Вы находитесь на странице: 1из 3

BAB III

ANALISIS VIDIO
Disleksia bukannya satu penyakit, tetapi merupakan salah satu gangguan dalam
pembelajaran yang biasanya dialami oleh kanak-kanak. Lazimnya, masalah pembelajaran yang
dihadapi adalah seperti membaca, menulis, mengeja, dan kemahiran mengira. Oleh itu dyslexia
merujuk kepada mereka yang menghadapi masalah untuk membaca dan menulis walaupun
mempunyai daya pemikiran yang normal.
Disleksia adalah gangguan akan kemampuan membaca, yaitu kemampuan membaca anak
berada di bawah kemampuan seharusnya, dengan mempertimbangkan tingkat inteligensi, usia,
dan pendidikannya. Gangguan ini bukan bentuk dari ketidak mampuan fisik, seperti masalah
penglihatan, tetapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang
sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia
sekolah untuk beberapa waktu.
Perkembangan bahasa lambat tersebut sebagai akibat perkembangan dan kematangan
fungsi otak pusat memori dan bahasa mengalami perkembangan yang lambat, tak integratifnya
belahan otal kanan dan kiri sehingga jadi disleksia, ciri-cirinya:
1. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
2. Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya kata "saya" urutan hurufnya
adalah s a y a.
3. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata.
4. Sulit mengeja secara benar. Bahkan bisa jadi anak tersebut akan mengeja satu kata dengan
bermacam ucapan. Walaupun kata tersebut berada di halaman buku yang sama.
5. Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Bisa terjadi anak dengan gangguan ini akan
terbalik-balik membunyikan huruf, atau suku kata. Anak bingung menghadapi huruf yang
mempunyai kemiripan bentuk, seperti d - b, u - n, m - n. Ia juga rancu membedakan
huruf/fonem yang memiliki kemiripan bunyi, seperti v, f, th.
6. Membaca suatu kata dengan benar di satu halaman, tapi keliru di halaman lainnya.
7. Bermasalah ketika harus memahami apa yang dibaca. Ia mungkin bisa membaca dengan
benar, tapi tidak mengerti apa yang dibacanya.
8. Sering terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata, ketuhanan" menjadi
"kehutanan" atau "Kucing duduk di atas kursi" menjadi "Kursi duduk di atas kucing."

9. Rancu terhadap kata-kata yang singkat. Misalnya, ke, dari, dan, jadi.
10. Bingung menentukan harus menggunakan tangan yang mana untuk menulis.
11. Lupa mencantumkan huruf besar atau mencantumkannya pada tempat yang salah.
12. Lupa meletakkan titik dan tanda-tanda seperti koma, tanda seru, tanda tanya, dan tanda baca
lainnya.
13. Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik.
14. Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Anak dengan gangguan ini biasanya
menulis dengan tidak stabil, tulisannya kadang naik dan kadang turun.
15. Menempatkan paragraf secara keliru.
Jadi dari ciri2 yang dipaparkan diatas maka kami memgambil kesimpulan bahwa anak
dalam video ini mengalami disleksia. Untuk menangani disleksia ini dapat dilakukan metode
multi-sensory. Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak hanya
berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan
kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka
diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin
(plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan
untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan
sehingga mempermudah otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
Membangun rasa percaya diri Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami
atau diketahui lingkungannya, termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung
dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan
benar seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering dilecehkan, diejek
atau pun mendapatkan perlakuan negatif, sementara kesulitan itu bukan disebabkan
kemalasan. Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak. Dari
situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor penghambat proses belajarnya.
Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai
dari proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga permainan kata dan
kalimat dalam buku-buku cerita sederhana. Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut,
dalam proses yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa amannya. Jadi,
berkat usaha dan ketekunan mereka, para penyandang disleksia ini dapat juga menguasai
kemampuan membaca dan menulis. Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin
melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini. Menurut penelitian,
mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam hal koordinasi fisik, kreativitas, dan
berempati pada orang lain. Untuk membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka

mengevaluasi dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki.
Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada
kekurangannya sebagai anak dengan gangguan disleksia. Anak-anak tersebut perlu diajak
mencari dan mencatat semua kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas
bersama satu demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu
menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang
handal dan sekaligus perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa
mengeja dengan benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka
padanya. Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar bisa merasa bangga dan
tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada
mereka figur-figur orang terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan
melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat.
Sementara guru-guru di sekolah bisa melakukan beberapa cara untuk membantu anakanak ini, seperti menggunakan alat tulis berbagai warna untuk menulis kata yang penting,
memberikan waktu istirahat selama 10 menit dari setiap 20 menit belajar membaca,
memberikan waktu lebih saat menulis dan membaca.
Guru juga dapat memberikan soal atau tulisan dengan ukuran huruf yang lebih besar agar
terlihat jelas dan dapat menarik penglihatan mereka. Intinya, anak-anak penderita disleksia
perlu diberikan kesempatan yang sama dengan anak-anak lainnya karena mereka juga
memiliki potensi yang besar. Dan anak-anak itu tidak boleh diberikan cap negatif.
Anak-anak tertentu, khususnya mereka yang disleksia, tidak akan pernah mampu membaca
dengan kecepatan tinggi dan akan selalu mengalami kesulitan mengembangkan kemampuan
mengeja yang sesuai usia. Disleksia dipandang sebagai gangguan biologis yang
dimanifestasikan dengan kesulitan dalam belajar membaca dan mengeja walaupun diberi
pengajaran konvensional dan memiliki kecerdasan yang memadai (Snowling, 1987).

Вам также может понравиться