Вы находитесь на странице: 1из 44

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang terdiri dari satu atau
lebih elektron yang tidak berpasangan pada lapisan terluarnya serta dapat
dihasilkan dari metabolisme normal sel tubuh (Robbins SL dan Kumar V, 2007 ;
Pham-Huy et al, 2008). Kondisi berlebihan radikal bebas akan menyebabkan
kerusakan komponen biokimia sel, seperti lipid, protein, dan DNA yang akan
menghambat fungsi normal sel dalam tubuh manusia (Veskoukis et al, 2011).
2.1.1 Jenis Radikal Bebas
Jenis radikal bebas yang dihasilkan oleh tubuh dibagi menjadi 2 kelompok
besar, yaitu reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS).

Reactive Oxygen Species (ROS)


Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan molekul kecil dan sangat reaktif
yang menjadi kelompok besar radikal bebas oksigen dan mempunyai peran paling
penting dalam berbagai macam penyakit (Morrel, 2008). Konfigurasi elektron
yang dimiliki molekul oksigen mampu membentuk radikal anion superoksida
(O2-) dengan penambahan satu elektron pada molekul oksigen. ROS primer
terbentuk dari radikal superoksida memalui metabolisme oksigen oleh radiasi fisik
yang selanjutntya akan membentuk ROS sekunder dengan berinteraksi dengan
molekul lain (Valko et al, 2006). Adapun macam macam ROS dirinci dalam
tabel berikut :

Tabel 2.1. Macam macam ROS (Halliwell, 2004)

Macam macam Reactive Oxygen Species/ROS


O2
OH
ROO
RO1
O2
HO2
H2O2

Radikal superoksida (Superoxide radical)


Radikal hidroksil (Hydroxyl radical)
Radikal peroksil (Peroxyl radical)
Radikal alkoksil (Radikal alkoxyl)
Oksigen tunggal (Singlet oxygen)
Radikal hidroperoksil (Hydroperoxyl radical)
Hydrogen peroksida (Hydrogen peroxide)

Reactive Nitrogen Species (RNS)


Reactive Nitrogen Species (RNS) merupakan

komponen

berbagai

macam

molekul yang berasal dari nitrit oksida (NO) (Martinez, 2009). NO merupakan
molekul yang mengandung elektron tidak berpasangan dan termasuk dalam RNS
primer (Valko et al, 2006). RNS berperan dalam fungsi fisiologis tubuh manusia,
seperti pada sel otot polos, cardiomyocytes, platelet, sel syaraf, dan sel
juxtaglomerulus. Meskipun RNS memiliki peran penting dalam tubuh, namun
kondisi berlebihan dari RNS akan menyebabkan cedera dan kematian sel yang di
induksi oleh stres nitrosatif (Martinez, 2009).
Stress nitrosatif dapat menyebabkan reaksi nitrosilasi yang dapat mengubah
struktur protein sehingga menghambat fungsi normal protein. Stress nitrosatif ini
dapat terjadi ketika pembentukaan RNS dalam sistem melebihi kemampuan
sistem untuk menetralkan dan menghilangkan RNS (Valko et al, 2006). Adapun
macam macam RNS sebagai berikut:
Tabel 2.2 Macam macam RNS (Rahman et al, 2012)

Macam macam Reactive Nitrogen Species/RNS


NO
NO2NO NO
NO
ONOO

Nitrit oksida (Nitric oxide)


Nitrit dioksida (Nitrogen dioxide)
Nitrosyl anion
Nitrosyl cation
Nitrit peroksida (Peroxynitrite)

2.1.2 Mekanisme Pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS)


Reaksi radikal bebas merupakan suatu reaksi

yang bertahap dan dibagi

menjadi tahapan inisiasi, propagasi, dan terminasi. Berikut uraian dari tahapan
pembentukan radikal bebas (Winarsi, 2007 ; Nurhabiba, 2014) :
a. Tahap inisiasi
Merupakan tahapan awal pembentukan radikal bebas dengan pemanjangan
rantai radikal bebas dimana radikal bebas cenderung bertambah banyak dengan
oksidatif. Dalam keadaan yang berlebihan akan menimbulkan stres.
R1 H + OH R1 +H2O
b. Tahapan propagasi
Merupakan tahapan pemanjangan rantai radikal bebas dimana radikal bebas
cenderung bertambah banyak dengan reaksi rantai dengan molekul lain.
R2 H + R1 R2 + R1 H
R3 H + R2 R3 + R2 H
c. Tahapan terminasi
Merupakan tahapan dimana terjadi reaksi radikal bebas dengan radikal bebas
lain atau antara radikal bebas dengan penangkap radikal. Reaksi ini mengubah
radikal bebas menjadi radikal bebas stabil dan tidak reaktif yang menyebabkan
propagasinya rendah sehingga tidak ada radikal bebas baru yang terbentuk dalam
tahapan ini dan rantai menjadi putus.
R1 + R1 R1 R1

Obesitas

Genetik

Diet Tinggi Glukosa

Asam Lemak BebasFosforilasi

tirosin
Defek pada UCP 2
Hiperinsulinemia akut

R2
+ R1
Pi3 Kinase

DAG, Asetil Ko-A

R2 R1
Endapan amilin

R2 + R2 R2 R2 dst.
Esterifikasi ceremide
Sintesis
otot
Penurunan Uptake glukosa ke
dalamglikogen
sel

Terdapat beberapa reaksi dalam menghasilkan Reactive Oxygen Species


Hipoinsulinemia

spingoshine

(ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS), yaitu :


Tabel 2.3 Reaksi redoks berbagai macam ROS (Flora, 2009)
Resistensi Insulin

O2 + e - + H+

HO2 (hydroperoxyl radical)

HO2

H+ + O2- (superoxide radical)


Hiperglikemia

O2 + 2H + e

H2O2 (hydrogen peroxide)


Merusak endotel otot polos

H2O2 + e

Autooksidasi glukosa
+

OH- + OH (hydroxyl radical)


Aldose reductase
Gula pereduklsi asam amino

OH + e + H NADH oksidase H2O

Sorbitol
Tabel 2.3 menunjukkan reaksi redoks dalam
menghasilkan berbagai macam ROS.

Hambatan aktivitas SOD

Ages

Radikal hidroperoksil yang dibentuk dari atom oksigen dan hidrogen


menghasilkan radikal anion superoksidaBerikatan
secara dengan
fisiologis
pada makrofag
pH 7,4. (RAGEs)
reseptor
Selanjutnya, radikal anion superoksida akan berinteraksi dengan molekul lain
untuk membentuk ROS secara langsung melaui proses katalisis enzim. Radikal
Species
(ROS)
superoksida secara Reactive
cepat di Oxygen
detoksifikasi
menjadi
hidrogen peroksida karena

reaksi dismutasi untuk membentuk hidrogen peroksida dan oksigen (Flora, 2009).
Hidrogen peroksida kemudian bereaksi dengan berbagai agen pereduksi (e +) untuk
membentuk radikal hidroksil (the Harber Weiss reaction) (Florence, 1995).
Tahapan akhir dari reaksi redoks diatas yaitu pembentukan air oleh Cu, Zn-SOD,
dan atau Mn-SOD (Flora, 2009).
Sumber lain radikal hidroksil dalam sistem biologi yaitu anion peroksinitrit
(ONOO-) yang merupakan Activated Oxygen Species (AOS) yang reaktif. Anion

peroksinitrit dibentuk dari radikal superoksida dan radikal nitrit oksida (Florence,
1995) :
O2- + NO
2.1.3

ONOO-

Sumber Radikal Bebas

Radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh (endogen) maupun luar tubuh
(eksogen). Adapun rinciannya sebagai berikut :
Radikal Bebas Endogen
Radikal bebas endogen merupakan radikal bebas yang berasal dari dalam
tubuh sendiri yang meliputi :
Autooksidasi
Autooksidasi merupakan produk dari proses metabolisme aerobik. Molekul
yang mengalami autooksidasi berasal dari katekolamin, hemoglobin, sitrokom C
yang tereduksi, dan thiol. Autooksidasi dari molekul diatas akan menghasilkan
reduksi dari oksigen pada radikal dan pembentukan reaktif oksigen. Superoksida
merupakan bentukan awal dari radikal bebas. Ion ferrous (FeII) juga dapat
kehilangan elektronnya melalui oksigen untuk membuat superoksida dan Fe III
melalui autooksidasi (Halliwell dan Gutteridge, 1999).
Oksidasi enzimatik
Sistem enzim dari dalam tubuh dapat menghasilkan radikal bebas dalam
jumlah yang cukup bermakna, meliputi xanthine oxidase (activated ischemia
reperfusion), prostaglandin synthase, lipoxygenase, aldehyde oxidase, dan amino
acid oxidase. Enzim myeloperoxidase merupakan hasil dari aktivasi netrofil yang
memanfaatkan hidrogen peroksida untuk oksidasi ion klorida menjadi suatu
oksidan yang kuat (Arief, 2006).

10

Inflamasi
Selama proses inflamasi terjadi proses fagositosis diperantarai oleh makrofag
dan neutrofil. Sel radang tersebut harus membentuk radikal bebas agar dapat
memfagositosis bakteri (Pham-Huy et al, 2008). Pada tahap pertama bakteri akan
masuk ke dalam fagosome dan berdifusi ke dalam lisosome. Pada membran
lisosome terdapat enzim Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate
(NADPH) oksidase yang berfungsi mengkatalisis pembentukan superoksida.
Reaksi ini membutuhkan oksigen dalam jumlah besar sehingga disebut
respiratory burst. Selanjutnya enzim superoxide dismutase (SOD) akan mengubah
superoksida menjadi hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida selanjutnya akan
menghancurkan bakteri. Neutrofil menghancurkan bakteri menggunakan enzim
myeloperoksidase. Enzim ini mengkatalisis reaksi antara hidrogen (Arief, 2006).
Respiratory burst
Respiratory burst merupakan terminologi yang digunakan untuk
menggambarkan proses dimana sel fagositik menggunakan oksigen yang besar
selama

fagositosis.

Penggunaan

oksigen

dapat

diperhitungkan

dalam

memproduksi superoksida. Sel fagositik tersebut memiliki sistem membran bound


flavoprotein cytochrome-b-245 NADPH oxidase. Enzim membran sel seperti
NADPH-oxidase keluar dalam bentuk inaktif. Paparan terhadap bakteri yang
diselimuti imunoglobulin, kompleks imun, komplemen 5a, atau leukotrien dapat
mengaktifkan enzim NADPH-oxidase. Aktivasi tersebut mengawali respiratory
burst pada membran sel untuk memproduksi superoksida. Kemudian superoksida
akan membentuk H2O2 dengan cara dismutasi bersama generasi berikutnya dari
OH dan HOCl oleh bakteri (Arief, 2006).
Ion Metal Transisi

11

Ion metal transisi adalah elemen dimana salah satu bentuk ionnya pada
orbital tidak terisi penuh. Besi dan tembaga merupakan ion metal transisi yang
terdapat di dalam tubuh manusia. Ion metal transisi ikut dalam reaksi Harber
Weiss, dimana reaksi ini dapat menghasilkan radikal hidroksil (Arief, 2006).
Organella Subseluler
Organella subseluler seperti mitokondria, kloroplas, mikrosome, peroksisome
dan nuklei dapat menghasilkan radikal bebas jenis superoksida (O2-). Mitokondria
merupakan penghasil utama energi dalam sel sehingga disebut the powerhouse of
the cell. Energi yang dihasilkan berbentuk adenosine trifosfat (ATP) melalui suatu
rantai transpor elektron dan oksigen merupakan rantai terakhir penerima elektron.
Adanya

kerusakan

pada

sistem

transport

elektron

pada

mitokondria

memungkinkan O2 untuk menerima satu elektron sehingga terbentuk O2-.


Pembentukan superoksida oleh mitokondria dapat terjadi pada dua keadaan yaitu
jika konsentrasi oksigen meningkat atau jika terjadi iskemia (Berg, 1999).

Radikal Bebas Eksogen


Radikal bebas eksogen merupakan radikal bebas yang berasal dari luar tubuh
yang meliputi :
Obat obatan
Peningkatan produksi radikal bebas dapat diperoleh dari beberapa macam obat
dalam bentuk peningkatan tekanan oksigen yang mampu meningkatkan kerusakan
seluler akibat radikal bebas. Beberapa contoh obat yang merupakan sumber
radikal bebas eksogen meliputi, antibiotik golongan quinoid atau obat yang
berikatan dengan logam untuk aktifitasnya seperti nitrofurantoin, bleomycin
sebagai obat kanker, anthracyclines (adryamicin), dan methotrexate, yang

12

memiliki aktivitas pro-oksidan. Radikal bebas yang berasal dari fenilbutason,


beberapa asam fenamat, serta komponen aminosalisilat dari sulfasalasin dapat
menginaktifasi protease. Proses percepatan pembentukan peroksidasi lemak dapat
disebabkan oleh penggunaan asam askorbat dalam jumlah yang berlebihan (Arief,
2006).
Radiasi
Radiasi merupakan salah satu sumber radikal eksogen. Paparan radiasi
biasanya terjadi pada proses radioterapi yang dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan jaringan yang dikarenakan radikal bebas. Radiasi elektromagnetik
contohnya, sinar X, sinar gamma, dan radiasi partikel seperti, partikel elektron,
proton, neutron, alfa, dan beta yang menghasilkan radikal primer dengan cara
pemindahan energinya pada komponen seluler seperti air. Radikal primer tersebut
dapat mengalami reaksi sekunder bersama oksigen yang terurai atau bersama
cairan seluler (Arief, 2006).
Asap Rokok
Oksidan yang berasal dari asap rokok mempunyai peran penting dalam
kerusakan alveoli pada saluran nafas. Bahan oksidan yang terkandung dalam tiap
hisapan rokok meliputi peroksida, nitrit oksida, radikal peroksil, dan radikal yang
mengandung karbon. Seorang perokok kronis akan mengalami perdarahan kecil
yang berulang sehingga menyebabkan desposisi besi dalam jaringan paru
perokok. Besi dalam bentuk terdesposisi akan membentuk radikal hidroksil yang
sangat reaktif dan menyebabkan kerusakan para jaringan paru serta komponen
biologi lainnya. Pada perokok juga terjadi peningkatan neutrofil pada saluran
nafas bagian bawah yang berkontribusi dalam peningkatan radikal bebas dalam
paru (Arief, 2006).

13

Berikut ini merupakan gambar produksi radikal bebas di dalam sel yang
terjadi dalam mitokondria, membran plasma, retikulum endoplasmik, lisosom,
peroksisom, dan inti sel (Kumar et al., 2004).

Gambar 2.1 Sumber Radikal Bebas Endogen dan Eksogen (Kumar et al., 2004)

Radikal bebas akan menyebabkan kerusakan atau kematian sel dengan


mengoksidasi dan menyerang komponen RNA, DNA, protein, lipoprotein, lipid
membran sel (Milner, 2000 ; Winarsi, 2007).
2.1.4 Efek Radikal Bebas Pada Tubuh
Radikal bebas memberikan efek pada tubuh melalui reaksinya dengan molekul
non radikal. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan radikal bebas untuk bereaksi
dengan molekul non radikal daripada dengan molekul radikal (Halliwel dan
Gutteridge, 1999). Proses reaksi yang terjadi melalui pemberian elektron tidak
berpasangan milik molekul radikal bebas atau mengambil elektron dari molekul
non radikal yang menyebabkan elektron pada orbit terluar molekul non radikal

14

menjadi tidak berpasangan dan tidak stabil (Halliwel dan Gutteridge, 1999 ;
Arief, 2006). Reaksi dari radikal bebas tersebut akan terjadi secara berantai dan
menyebabkan efek pada komponen biologi sel tubuh manusia yang meliputi :
Peroksidasi Lemak
Dalam membran sel terdapat asam lemak tak jenuh ganda atau poly
unsaturated fatty acid (PUFA), yang akan bereaksi dengan radikal bebas sehingga
mampu menyebabkan kerusakan oksidatif. Proses kerusakan oksidatif tersebut
dinamakan peroksidasi lemak. Radikal bebas hidroksil (OH) merupakan radikal
bebas oksigen yang sangat reaktif, yang dapat menyerang PUFA dari fosfolipid
membran antara lain seperti asam arakhidonat (Bast, 1991; Winarsi, 2007).
Peroksidasi lemak merupakan mekanisme dari trauma sel (Mardiani, 2008).
Mekanisme peroksidasi lemak yang diperantarai oleh ROS mempunyai tiga
komponen utama reaksi, yaitu inisiasi (pencetusan), propagasi (perambatan), dan
terminasi (penghentian) (Fang et al, 2002 ; Winarsi, 2007). Mekanisme reaksi nya
sebagai berikut (Halliwell, 1994 ; Winarsi, 2007), reaksi yang pertama, radikal
hidroksil akan menarik atom H dari rantai PUFA, terbentuk radikal karbon :
H
- C - + X

- XH + -C
Radikal karbon

Kedua, radikal karbon akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil:
O2
- C - + O2

-CRadikal peroksil

15

Ketiga, radikal peroksil yang terbentuk akan menyerang PUFA berikutnya untuk
membentuk radikal karbon baru, dan reaksi akan berlanjut secara berantai :
O2
H
H2O
- C - + - C

-C-+-C

Peroksida lipid

O2
- C - + O 2

- C - , dan seterusnya

Akhir reaksi berantai adalah terputusnya rantai PUFA menjadi komponen toksik.
Komponen yang diproduksi dalam proses tersebut meliputi alkanes,
malanoaldehyde (MDA), dan isoprotanes. Ketiga komponen utama dari hasil
peroksidasi lemak digunakan sebagai petanda dalam uji peroksidasi lemak pada
beberapa penyakit, seperti penyakit neurodegeneratif, ischemic reperfusion injury,
dan diabetes (Lobo, 2010).
Kerusakan Protein
Protein dan asam nukleat lebih bertahan terhadap serangan radikal bebas
daripada PUFA. Radikal bebas sangat jarang menyerang protein kecuali sangat
ekstensif atau apabila kerusakannya berpusat pada daerah tertentu dalam protein
tersebut (Arief, 2006). Radikal bebas akan mendorong terjadinya oksidasi pada
residu asam amino, formasi ikatan silang protein-protein, dan menyebabkan
fragmentasi protein (Droge, 2002). Produk dari kerusakan oksidatif protein terdiri
dari kelompok reaktif yang mampu berkontribusi pada kerusakan membran dan
beberapa fungsi sel. ROS mampu merusak protein dengan memproduksi karbonil
dan modifikasi dari asam amino lain, termasuk pembentukan methionine sulfoxide
dan peroksida protein. Kerusakan oksidatif pada protein dapat mempengaruhi

16

aktivitas enzim, reseptor, dan transpor membran. Selain itu kerusakaan oksidatif
mampu mempengaruhi mekanisme stabilitas panas dan kerentanan proteolisis
yang memicu terjadinya penuaaan (Lobo, 2010).
Kerusakan DNA
Banyak penelitian membuktikan bahwa DNA dan RNA merupakan komponen
yang mudah mengalami kerusakan oksidatif, namun kemungkinan kerusakan
DNA menjadi suatu reaksi berantai sangat kecil, sama halnya seperti protein.
Kerusakan DNA biasanya terjadi jika ada lesi pada susunan molekul DNA, yang
apabila tidak dapat teratasi dan terjadi sebelum replikasi maka akan terjadi suatu
mutasi. Mutasi DNA yang terjadi karena kerusakaan oksidatif berperan pada
berkembangnya berbagai macam penyakit, termasuk kanker (Arief, 2006 ; Lobo,
2010).

Gambar 2.2. Kerusakan DNA karena radikal bebas (Arief, 2006)

2.2

Antioksidan
Secara umum antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat menghambat atau

mencegah oksidasi substrat dengan cara membersihkan (scavenger) atau

17

memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas (Eberhardt, 2001).


Dalam pengertian kimia, senyawa antioksidan merupakan senyawa pemberi
elektron atau reduktan. Namun secara biologi, senyawa antioksidan merupakan
senyawa yang mampu mengurangi dampak negatif oksidan dan juga mampu
mencegah stres oksidatif (Surjohujodo, 2000). Karakteristik antioksidan yaitu
dengan memberikan satu elektron donor kepada radikal bebas sehingga bersifat
stabil. Menurut Patel et al. (2002) antioksidan sebagai pencegah radikal pada
dasarnya ditujukan untuk mencegah terbentuknya radikal hidroksil, oleh karena
radikal inilah yang paling berbahaya daripada radikal bebas lainnya (Winarsi H,
2007).
2.2.1 Sumber Antioksidan
Sumber antioksidan dapat diperoleh dari 2 kelompok besar, yakni antioksidan
dari sumber alami, yang meliputi antioksidan yang diperoleh dari dalam tubuh
(endogen) maupun antioksidan yang harus diperoleh dari luar tubuh (eksogen) ,
dan antioksidan sintetik yang berasal dari reaksi kimia sehingga menyerupai
struktur antioksidan.
Alami
Antioksidan alami dikelompokkan menjadi antioksidan endogen dan eksogen
(Trilling dan Jaber, 1996). Antioksidan endogen merupakan antioksidan yang
secara alami diproduksi dalam tubuh manusia, diantaranya adalah superokside
dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPx), katalase (CAT), glutation
reduktase (GRx), serta antioksidan yang berasal dari metabolisme tubuh, meliputi
lipoid acid, L-arginin, koenzim Q10, melatonin, uric acid, bilirubin, dan transferin
(Pham-Huy et al, 2008). Sedangkan antioksidan eksogen merupakan antioksidan
yang tidak diproduksi secara alami oleh tubuh sehingga harus tersedia dalam

18

bentuk makanan atau suplemen. Contoh antioksidan eksogen meliputi alfa


tokoferol (vitamin E), beta karoten (vitamin A), asam askorbat (vitamin C), serta
lemak omega-3 dan omega-6 (Pham-Huy et al, 2008 ; Astuti, 2009). Selain
berasal dari makanan atau suplemen, antioksidan alami juga dapat diperoleh
secara eksogen dari tanaman herbal yang didalamnya terkandung beberapa
komponen antioksidan (Ming-Lu et al, 2009), yaitu :
Fenol
Fenol merupakan senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mengandung
cincin aromatik dengan satu atau 2 gugus hidroksil. Fenol cenderung mudah larut
dalam air karena berikatan dengan gula sebagai glikosida atau terdapat dalam
vakuola sel (Harborne, 1987). Beberapa senyawa fenol telah diketahui fungsinya.
Misalnya lignin sebagai pembentuk dinding sel dan antosianin sebagai pigmen.
Senyawa fenol mempunyai aktivitas antioksidan, antitumor, antiviral, dan
antibiotik. Fenol dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu fenol sederhana dan
polifenol. Contoh dari fenol sederhana yaitu orsinol, 4-metilresolsinol, 2metilresolsinol, resolsinol, katekol, hidrokuinon, pirogalol, dan floroglusinol.
Sedangkan contoh polifenol adalah lignin, melanin, flavonoid, dan tanin
(Harborne, 1987 ; Apak et al, 2007).
Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar yang senyawanya terdiri dari
C6-C3-C6 dan sering ditemukan diberbagai macam tumbuhan dalam bentuk
glikosida atau gugusan gula bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil
fenolik (Sirait, 2007 ; Bhat et al, 2009). Flavonoid disintesis dari asam piruvat
melalui metabolisme asam amino (Bhat et al, 2009). Terdapat sekitar 10 jenis

19

flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon,


biflavonil, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon (Harborne, 1987).
Penamaan flavonoid berasal dari bahasa latin yang mengacu pada warna
kuning dan sebagian besar flavonoid adalah berwarna kuning. Flavonoid sering
ditemukan dalam bentuk pigmen dan co-pigmen. Kombinasi dari berbagai macam
pigmen flavonoid membentuk pigmentasi pada daun, bunga, buah, dan biji
tanaman. Pigmen juga bermanfaat bagi manusia dan salah satu manfaat yang
penting adalah sebagai antioksidan (Bhat et al., 2009). Flavonoid merupakan
komponen polifenol yang potensial dalam melawan stres oksidatif. Misalnya,
flavonoid merupakan agen pembersih radikal peroksil melalui reduksi secara
potensial pada radikal alkyl peroxyl yang pada prinsipnya akan menghambat
peroksidasi lipid (Flora, 2009).
Alkaloid
Alkaloid merupakan metabolit sekunder terbesar yang banyak ditemukan pada
tumbuhan tingkat tinggi dan mempunyai susunan basa nitrogen, yaitu satu atau
dua atom nitrogen (Harborne, 1987 : Bhat et al, 2009). Alkaloid sering beracun
bagi manusia dan mempunyai efek fisiologis yang menonjol, sehingga sering
digunakan untuk pengobatan (Harborne, 1987). Alkaloid tidak mempunyai tata
nama sistematik, oleh karena itu, suatu alkaloid dinyatakan dengan nama trivial
yang berakhiran -in (Lenny, 2006). Alkaloid dapat berfungsi sebagai zat
antioksidan dalam pengujian antioksidan pada daun Garcinia kydia (Meilandari,
2012). Senyawa alkaloid yang terkandung dalam suatu jenis tanaman dapat
bersifat sebagai bioaktif penolak (repellent) nyamuk (Mustanir dan Rosnani,
2008).

20

Terpenoid
Terpenoid adalah suatu senyawa yang tersusun oleh molekul isopren CH 2C(CH3)-CH-CH2. Terpenoid terdiri dari beberapa macam senyawa seperti
monoterpenoid dan seskuiterpenoid yang bersumber dari minyak atsiri yang
mudah menguap, diterpenoid, tetraterpenoid yang kurang menguap, triterpenoid,
dan sterol yang tidak menguap. Tetraterpenoid (karotenoid) adalah pigmen larut
lemak yang berfungsi melindungi lipid dari peroksidasi. Alfa karoten mampu
melawan radikal peroksil, radikal hidroksil, dan radikal anion superoksida (Flora,
2009). Tetraterpenoid juga hadir dalam bentuk hidrokarbon tak jenuh, misalnya
likopen. Likopen merupakan salah satu sumber antioksidan dan antiproliferatif
dengan menurunkan angka insidensi kanker prostat serta kanker payudara.
Sumber makanan utama yang mengandung likopen adalah tomat (Pham-Huy et
al, 2008).
Sintetik
Antioksidan sintetik yang sering digunakan yaitu, Butylated hydroxyanisole
(BHA), Butylated hidroxytoluene (BHT), Propylgalate (PG), dan Tert-Butyl
Hydroquinone (TBHQ) (Stoia dan Oancea, 2010). BHA digunakan sebagai
antioksidan dalam pangan. BHA sangat mudah mengalami degradasi oleh panas
dan irradiasi oleh sinar UV. BHT biasanya ditambahkan dalam bahan pangan guna
mencegah

terjadinya

proses

autooksidasi.

BHT

merupakan

antioksidan

monofenolik. Tert-Butyl Hydroquinone (TBHQ) merupakan antioksidan difenolik


yang ditambahkan pada makanan. Sedangkan PG akan bekerja sinergi dengan
BHA dan BHT. PG juga mampu membentuk kompleks berwarna dengan ion

21

logam, sehingga akan mempengaruhi penampakan produk pada makanan kaleng


(Triyem, 2010). Struktur dari BHA, BHT , TBHQ, dan PG sebagai berikut :

Gambar 2.3. Stuktur BHA, BHT, TBHQ, dan PG (Bursato et al, 2014)

2.2.2 Jenis Antioksidan


Antioksidan dibagi menjadi dua jenis yaitu jenis enzimatik dan non enzimatik.
Adapun rinciannya sebagai berikut :
Enzimatik
Antioksidan enzimatik merupakan antioksidan yang diproduksi di dalam sel
melalui reaksi enzimatik serta tidak bisa diperoleh dari suplemen diet, meliputi :
Superoxide Dismutase (SOD)
Superoxide dismutase merupakan pertahanan antioksidan pertama dalam
melawan radikal bebas (Pham-Huy et al, 2008). SOD adalah senyawa protein
yang terlarut serta berasosiasi dengan sitoplasma dan inti sel (Wresdiyati, 2006).
Antioksidan ini bekerja dengan mengkatalisis dan mengkonversi radikal anion
superoksida (O2-) menjadi molekul oksigen dan hidrogen peroksida (H2O2)
dengan reaksi reduksi guna mencegah kerusakan sel yang diakibatkan oleh
metabolisme parsial oksigen (Flora, 2009). Reaksi yang terjadi sebagai berikut :
2O2-+ 2H+

SOD

H2O2 + O2 (Kangralkar et al, 2010)

SOD bekerja melalui sistem pertahanan preventif, menghambat, atau merusak


proses pembentukan radikal bebas. Dalam cairan intraseluler, SOD berperan
dalam proses degradasi senyawa spesies oksigen reaktif (ROS). Enzim ini

22

menghambat kehadiran simultan dari O2 dan H2O2 yang berasal dari


pembentukan radikal hidroksil (OH) (Wresdiyati,2006).
Catalase (CAT)
Catalase merupakan enzim yang terletak pada organela sel yang disebut
peroksisom. CAT mempunyai kapasitas besar dalam menghancurkan radikal
hidrogen peroksida (H2O2), namun afitinitasnya terhadap H2O2 rendah sehingga
hanya dapat bekerja cepat pada keadaan dimana konsentrasi H2O2 tinggi (Flora,
2009 ; Evan P and Halliwell B, 2001). Berikut kerja enzim catalase yang secara
efisien mengkatalisis dan mengkonversikan hidrogen peroksida menjadi molekul
oksigen dan air :
2H2O2 + O2

CAT

2H2O + O2

(Flora, 2009)

Glutathione Peroxidase (GPx)


Glutathion peroksidase adalah enzim intraseluler yang terdispersi dalam
sitoplasma, namun aktivitasnya juga ditemukan dalam mitokondria. Enzim ini
berkontribusi terhadap perubahan glutation tereduksi (GSH) menjadi glutation
teroksidasi (GSSH) dan mengeleminasi H 2O2 serta membentuk air (Hariyatmi,
2004). Berikut kerja enzim GPx :
2GSH + H2O2

GPx

GSSH + 2H2O

(Flora, 2009)

Oleh karena itu itu glutation peroksidase dan katalase dapat mencegah akumulasi
radikal superoksida dan hidrogen peroksida sehingga radikal hidroksil tidak
terbentuk (Hariyatmi, 2004).
Nonenzimatik
Antioksidan non ezimatik merupakan antioksidan yang terdapat dalam
makanan dan diperoleh melalui makanan sehari-hari atau konsumsi suplemen
tambahan.

23

Asam Askorbat (Vitamin C)


Asam askorbat merupakan antioksidan yang sangat penting dan potensial.
Antioksidan ini larut dalam air dan bekerja sama dengan vitamin E untuk
melindungi lipid dan protein di dalam sel dari kerusakan akibat radikal bebas
(Murray RK et al, 2003 ; Flora, 2009). Asam askorbat merupakan pembersih
(scavenger) paling baik untuk beberapa jenis ROS, seperti tercantum pada tabel
2.4 sebagai berikut :
Tabel 2.4 Peran Asam Askorbat Sebagai Antioksidan (Halliwel, 1994)
Asam Askorbat Sebagai Antioksidan
1. Membersihkan radikal superoksida (O2-), radikal hidroperoksil (HO 2), serta radikal
hidroksil (OH)
2. Membersihkan radikal peroksil (RO2) yang larut air
3. Memperbaiki dan mencegah kerusakan sel ketika terbentuk radikal bebas baru
dengan melawan radikal hidroksil (OH) selama pembentukan asam urat
4. Pembersih radikal asam hipoklorus yang poten dan sebagai substrat untuk enzim
myeloperoxidase yang memungkinkan pembentukan HOCl menjadi lambat
5. Menghambat peroksidasi lipid dengan memadukan reaksi hemoglobin atau
myoglobin dengan H2O2
6. Meregenerasi radikal -tocopheryl dalam membran dan lipoprotein
7. Melindungi plasma lipid dalam melawan peroksidasi yang diinduksi oleh neutrofil
yang teraktivasi

Banyak peran asam askorbat dalam melawan radikal bebas. Namun, adanya ion
logam transisi seperti besi dan tembaga, menyebabkan asam askorbat menjadi
senyawa pro -oksidan, dengan berperan sebagai agen pereduksi dan menghasilkan
radikal superoksida, hidrogen peroksida, serta radikal hidroksil (Halliwel, 1994).
Manfaat bagi kesehatan yang dihasilkan oleh asam askorbat yaitu dapat
digunakan sebagai anti aterogenik, anti karsinogenik, dan sebagai imodulator.

24

Efek positif lain dari asam askorbat yaitu dapat mengurangi insidensi kanker
lambung dan mencegah kanker paru serta kanker kolorektal. Sumber asam
askorbat berasal dari buah-buahan yang masam, sayuran hijau, dan tomat (PhamHuy et al, 2008).

Alpha- Tocopherol (Vitamin E)


Alfa tokoferol merupakan vitamin yang larut lemak dan dapat membersihkan
membran sel dan lipoprotein dari radikal bebas sehingga tidak terjadi kerusakan
sel yang lebih parah (Murray RK et al, 2003). Berikut struktur kimia vitamin E,

Gam
bar 2.4 Struktur Kimia Vitamin E (Murray RK et al, 2003)

Alpha- Tocopherol menghambat peroksidasi lipid dengan membersihkan radikal


peroksil. Selama reaksi rantai antioksidan, -tocopherol dikonversikan menjadi
radikal -tocopherol dengan memberikan hidrogen yang labil pada lipid atau
radikal peroksil lipid,
TH + LOO

T + LOOH

kemudian bentuk radikal -tocopherol direduksi menjadi bentuk semula (tocopherol) dengan bantuan asam askorbat,
T+ askorbat

TH + askorbat (Halliwel, 1994)

Dengan demikian, rantai peroksidasi lipid dapat dihambat.

25

Selain fungsi antioksidan dari -tocopherol, vitamin ini juga dimanfaatkan


untuk mencegah kanker kolon, prostat, dan payudara, serta mencegah beberapa
penyakit kardiovaskular, iskemia, katarak, artritis, dan kelainan neurologis (PhamHuy et al, 2008).
Beta Karoten
Beta karoten merupakan antioksidan golongan karotenoid larut lemak yang
masih dianggap sebagai provitamin karena dapat dikonversikan menjadi vitamin
A yang aktif. Beta karoten selanjutnya dikonversikan menjadi retinol yang
digunakan untuk menjaga kesehatan mata. Antioksidan ini berperan dalam
menangkap radikal bebas peroksil didalam jaringan pada tekanan parsial oksigen
yang rendah. Beta karoten melengkapi sifat antioksidan vitamin E yang efektif
pada konsentrasi oksigen lebih tinggi. Kandungan beta karoten dimiliki oleh
beberapa buah-buahan, gandum, minyak, dan sayur (wortel, tanaman hijau,
bayam, dan labu) (Pham-Huy et al, 2008 ; Murray RK et al, 2003).
2.2.3 Mekanisme Kerja Antioksidan
Antioksidan melindungi sel target dengan berbagai mekanisme, yaitu :
(Gutteridge dan Halliwel, 1999):
Meminimalkan pembentukan ROS sejak ada pada tahap inisiasi, sehingga
radikal baru tidak terbentuk.
Meredam ROS dengan mengunakan protein (enzim) atau reaksi kimia
langsung seperti donor elektron agar ROS stabil dan tidak reaktif kembali.
Mengikat ion metal transisi yang diperlukan untuk mengubah poorly reactive
species (O2- dan H2O2) menjadi spesies yang lebih reaktif (OH).
Memperbaiki kerusakan molekul sasaran radikal bebas.

26

Merusak molekul sasaran yang rusak berat dan menggantinya dengan yang
baru.

Gambar 2.5 Pertahanan Sel Terhadap ROS (Rock et al, 1996)

Gambar 2.5 menjelaskan lokasi antioksidan dalam melawan ROS. Vitamin E


berada pada inti (DNA), Retikulum Endoplasma (RE) kasar, lisosom, dan
membrane sel. Vitamin C, Glutation peroksidase, dan GSH berada pada lisosom.
SOD, Glutation peroksidase dan GSH berada pada mitokondria. Katalase dan
SOD berada pada peroksisom. Sedangkan beta karoten berada pada RE kasar dan
lisosom.

27

ambar 2.6

G
Mekanisme Pemberian Elektron oleh Senyawa Antioksidan dalam
Menetralisir Radikal Bebas (Craig, 2005)

Pada gambar 2.6 dijelaskan tentang mekanisme senyawa antioksidan melalui


pendonoran elektron untuk menetralisir radikal bebas sehingga kerusakan
oksidatif mampu dicegah.
2.3

Penyakit Degeneratif dan Stres Oksidatif


Penyakit degeneratif merupakan penyakit kronis dan tidak menular yang

disebabkan oleh kemunduran fungsi organ tubuh seiring dengan proses penuaan
(Handajani et al, 2009). Penyakit degeneratif ini erat hubungannya dengan stres
oksidatif yang merupakan kondisi dimana produksi senyawa reaktif atau Reactive
Oxygen Species (ROS) berlebihan tanpa diimbangi antioksidan yang memadai.
Adanya stres oksidatif pada tiap komponen biokimia akan sel menjadi dasar
berkembangnya penyakit degeneratif (Monroy, 2013).
2.3.1 Dasar Teori Penuaan dan Penyakit Degeneratif
Perkembangan modern teori biologi penuaan membagi teori penuaan
menjadi dua kategori, yaitu teori program dan teori kerusakaan atau kesalahan

28

yang dapat digunakan sebagai dasar berkembangnya penyakit degeneratif (Jin,


2010).
Teori Program
Pada teori program, penuaan terjadi seiring dengan waktu dimana seorang
individu tumbuh dan berkembang dari masa anak - anak hingga lanjut usia. Teori
program terbagi lagi menjadi beberapa teori (Jin, 2010), meliputi :

Teori Program Penuaan


Teori ini menjelaskan bahwa penuaan merupakan hasil dari pengaktifan dan
penginaktifan secara berturut - turut dari spesifik gen tertentu. Penuaan terjadi
seiring berjalannya waktu berkaitan dengan semakin tua umur individu. Sebagai
contoh nya yaitu keterbatasan Hayflick yang menekankan pada perubahan kondisi
fisik manusia dipengaruhi oleh adanya kemampuan reproduksi dan fungsional sel
organ yang menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Misalnya, fibroblas akan
terbelah dan terulang lagi sampai mencapai 50 divisi (Jin, 2010).
Terdapat teori lain yang merupakan perkembangan dari teori keterbatasan
Hayflick, yaitu teori pemendekan telomer. Telomer adalah bagian paling ujung
dari DNA linear yang berperan penting dalam menjaga kestabilan genom tiap sel
saat penggandaan DNA pada proses pembelahan. Telomer akan mengalami
pemendekan setiap kali melakukan pembelahan sel. Ketika telomer menjadi
semakin pendek oleh karena terlalu banyak pembelahan, maka sel dikatakan
memasuki tahap penuaan.

29

Gambar 2.7 Proses Pemendekan Telomer (Jin, 2010)


Pada gambar 2.7 dijelaskan tentang proses pemendekan telomer akibat
pembelahan sel, dimana telomer semakin memendek dan habis hingga
pembelahan sel berhenti terjadi (Jin, 2010).
Enzim yang berfungsi dalam pengisian celah rantai DNA yang ditimbulkan
oleh karena pembelahan sel, adalah enzim telomerase yang akan menempelkan
basa nukleotidanya pada ujung kromosom. Namun seiring berjalannya waktu,
jumlah telomerase akan menurun sehingga akan terus terjadi pemendekan telomer
dan akan berperan pada perkembangan penyakit aterosklerosis, cardiovascular
disease, cerebrovascular disease, dan kanker (Jin, 2010).

Teori Endokrin
Teori ini berdasarkan peranan sistem hormon bagi fungsi organ tubuh. Jam
biologis bertindak melalui hormon untuk mengontrol laju penuaan. Hormon akan
berefek pada pertumbuhan, metabolisme, temperatur, inflamasi, dan stres. Dengan
bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang pada
akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh. Misalnya mana wanita menopause

30

akan terjadi penurunan hormon estrogen dan progesteron (Goldman dan Klantz,
2007).
Teori Imunologi
Pada teori ini sistem kekebalan tubuh diprogram untuk menurun dari waktu ke
waktu, yang mengarah pada peningkatan kerentanan terhadap penuaan, timbulnya
penyakit, dan kematian. Disregulasi dari sistem imun akan berperan dalam
perkembangan penyakit kardiovaskular, alzheimer, inflamasi, dan kanker (Jin,
2010).
Teori Kerusakan atau Kesalahan
Teori kerusakan atau kesalahan menekankan bahwa kondisi stres dari
lingkungan akan menyebabkan kerusakan kumulatif di berbagai tingkatan
sehingga terjadilah proses penuaan (Jin, 2010). Teori ini terdiri dari beberapa sub
teori, meliputi :

Teori "Wear and Tear"


Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan
disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh fungsinya menurun karena
toksin di dalam makanan dan lingkungan, seperti konsumsi lemak berlebihan,
gula, kafein, alkohol, nikotin, sinar ultraviolet, dan stres fisik serta emosional.
Misalnya penggunaan tulang dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan
perkembangan penyakit osteoartritis pada orang lanjut usia (Goldman dan Klantz,
2007).
Teori Rate of Living

31

Pada teori ini dijelaskan bahwa semakin besar metabolisme basal oksigen
suatu organisme, maka semakin pendek rentang hidup organisme tersebut.
Radikal bebas dan berbagai produk metabolisme mempunyai peran dalam proses
penuaan. Sebagai contoh, hewan mempunyai metabolisme basal yang cepat
daripada pada manusia, misalnya burung mempunyai rentang hidup yang lebih
pendek daripada manusia (Jin, 2010).

Teori Cross-linking
Menurut teori ini, akumulasi dari reaksi lintas protein menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan, sehingga memperlambat proses tubuh yang mengakibatkan
penuaan. Sebagai contohnya, reaksi glikosilasi non - enzimatik terjadi ketika
molekul glukosa melampirkan protein sehingga menyebabkan reaksi rantai kimia
dan menimbulkan perubahan struktural pada protein. Hal ini terlihat pada jaringan
ikat yang kehilangan fleksibilitasnya serta adanya perubahan mikrovaskular di
arteri (Jin, 2010).

Teori Radikal Bebas


Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi
akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Hal ini
berkaitan dengan penggunaan fungsi sel yang terus - menerus. Radikal bebas
merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan dan
bersifat sangat reaktif dengan kecenderungan menarik elektron dan dapat
mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau
bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak
molekul melalui elektron yang telah ditariknya sehingga menyebabkan kerusakan

32

sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh
yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohudoyo,
2000). Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal
bebas semakin mengambil peranan penting, sehingga dapat mengganggu
metabolisme sel dan merangsang mutasi sel, yang pada akhirnya menyebabkan
kanker atau kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin
yang merupakan suatu protein untuk menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel,
dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas,
terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan
yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz,
2007).
Teori Kerusakan Somatis DNA
Berdasarkan teori ini, DNA akan mengalami kerusakan terus menerus
sepanjang siklus hidup organisme. Semakin tua usia sel somatis akan
berhubungan dengan semakin banyaknya mutasi genetik. Sebagian besar
kerusakan DNA akan diperbaiki oleh sistem pertahanan tubuh, namun beberapa
kerusakan akan menumpuk sebagai polimerasi DNA. Kerusakan DNA
mitokondria akan menyebabkan disfungsi mitokondria. Dalam teori ini, proses
penuaan terjadi akibat tidak seimbangnya perbaikan kerusakan DNA dan
banyaknya kerusakan yang terus diproduksi oleh DNA (Jin, 2010).
2.3.2 Stres Oksidatif Pada Penyakit Degeneratif
Terjadinya proses penuaan dan penyakit degeneratif berhubungan dengan
peningkatan kadar ROS dalam tubuh. Sel dalam tubuh mampu mengubah ROS
menjadi komponen kurang reaktif dalam kadar normal, namun dalam kadar
berlebihan ROS akan menjadi semakin reaktif dan berperan dalam perkembangan

33

penyakit degeneratif beserta komplikasinya. Perkembangan penyakit degeneratif


berkaitan dengan kondisi stres oksidatif, dimana terjadi ketidaseimbangan antara
kadar pro-oksidan dan antioksidan (Kadenbach et al, 2009). Kondisi stres
oksidatif pada penyakit degeneratif diperantarai oleh kadar ROS yang meningkat,
terutama kadar anion superoksida (O2-) , hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal
hidroksil (OH) dalam sel. Sebagai hasil dari terjadinya stres oksidatif yaitu
terakumulasinya mutasi inti sel atau mitokondria DNA (mtDNA), dan pada
akhirnya terjadi nekrosis atau apoptosis sel (Kadenbach et al, 2009). Beberapa
penyakit degeneratif yang diperantarai oleh proses stres oksidatif yaitu :
Kanker
Perkembangan kanker pada manusia merupakan proses yang kompleks
meliputi perubahan tingkat seluler dan molekuler yang dimediasi oleh stimulus
faktor penyebab dari endogen dan eksogen yang berbeda - beda. Kerusakan
oksidatif pada DNA akan menyebabkan perkembangan kanker. Inisiasi kanker
berhubungan dengan defek kromosom dan aktivasi onkogen yang diinduksi oleh
radikal bebas. Kerusakan DNA oleh radikal bebas menyebabkan mutasi genetik
dan perubahan transkripsi gen. Bentuk kerusakan yang paling sering yaitu
pembentukan basa hidroksilasi DNA, dimana hal itu sangat penting dalam
terjadinya karsinogenesis. Kerusakan oksidatif DNA juga menghasilkan
banyaknya modifikasi dalam struktur DNA termasuk lesi pada
basa dan struktur gula, rantai DNA, dan cross-link protein DNA yang
mampu menginduksi terjadinya apoptosis (Pham-Huy et al, 2008).

Aterosklerosis

34

Aterosklerosis merupakan proses kompleks yang melibatkan penumpukan


lipoprotein plasma dan proliferasi elemen seluler pada dinding arteri. Kondisi
kronis dari penyakit ini adalah terbentuknya plak ateroma yang akan memberikan
tahanan pada aliran darah arteri. Aterogenesis di mediasi oleh proses oksidatif
radikal bebas. Pokok utama dalam hipotesis ini adalah low-density lipoprotein
(LDL) yang masuk dalam celah sub endotelial arteri, sehingga LDL berubah
menjadi LDL teroksidasi (oxLDL). Peningkatan oxLDL juga menstimulasi
peningkatan makrofag, sehingga akan semakin banyak radikal bebas dan stres
oksidatif yang dihasilkan (Rahman et al, 2012).

Obesitas
Pada kondisi obesitas, stres oksidatif dihasilkan dari akumulasi trigliserida
intraseluler. Trigliserida intraseluler mampu meningkatkan produksi radikal
superoksida dalam transpor elektron melalui penghambatan transporter adenosin
nukleotida pada mitokondria. Mekanisme penghambatan ini menimbulkan
penurunan adenosin difosfat (ADP), yang kemudian mereduksi aliran proton
melalui reaksi sintesis adenosin trifosfat (ATP) (reaksi ATP membutuhkan ADP
sebagai substrat). Sebagai hasilnya, elektron terbentuk dalam rantai transpor
elektron, sehingga dapat mengurangi O2 dan meningkatkan bentuk radikal
superoksida (O2-). Stres oksidatif pada obesitas juga diperantai oleh adanya kadar
adiposit dan preadiposit yang berlebihan, dimana adiposit merupakan sumber
sitokin inflamasi. Sitokin merupakan stimulus potensial dalam memproduksi ROS
yang diperantarai oleh kehadiran makrofag dan monosit (Rahman et al, 2012).

Diabetik Nefropati

35

Diabetik nefropati merupakan salah satu komplikasi diabetes mellitus.


Diabetes menyebabkan peningkatan hiperfiltrasi glomerulus dan sebagai hasilnya
terjadi peningkatan tekanan glomerulus. Peningkatan tekanan ini menyebabkan
kerusakan sel glomerular. Penghambat angiotensin II mampu menurunkan
tekanan glomerulus dan mencegah albuminuria. Namun, peningkatan kadar
angiotensin II mampu menginduksi stres oksidatif selama ada aktivasi dari NADP
oksidase dan stimulasi sitokin inflamasi. Peningkatan kadar gula darah pada
kondisi diabetes menyebabkan glikosilasi sirkulasi dan protein sel yang dapat
menginisiasi reaksi autooksidasi glukosa, sehingga terbentuk akumulasi dari
advanced glycosylation end-products (AGEs) pada jaringan. AGEs mampu secara
potensial dalam mengoksidasi dan menyebakan kerusakan jaringan melalui
mekanisme radikal bebas (Rahman et al, 2012).

2.4

Pulutan (Urena lobata)

2.4.1 Taksonomi Urena lobata


Kingdom
Subkingdom
Super Divisi
Divisi
Kelas
Sub Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
Sinonim

: Plantae (Tumbuhan)
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
: Dilleniidae
: Malvales
: Malvaceae (suku kapas-kapas)
: Urena
: Urena lobata L.
: Urena americana L. f, Urena grandiflora DC, Urena
trilobata Vell., Urena lobata L, Urena diversifolia
Schumach (Institute of Systematic Botany, 2003).

36

Gambar 2.8 Urena lobata (Hyde, 2016)

2.4.2 Morfologi Urena lobata


U.lobata tergolong dalam jenis tumbuhan berserat dari suku kapas-kapasan
yang mampu tumbuh di daerah iklim tropik termasuk di Indonesia. Tumbuhan ini
tumbuh secara liar dan mampu mencapai ketinggian hingga lebih dari 1. 800 m di
atas permukaan laut. U.lobata merupakan tumbuhan perdu tegak, mempunyai
cabang yang banyak, batang dan tangkai yang liat sehingga tidak mudah untuk
dipatahkan, serta seluruh tanaman ditumbuhi rambut halus. Buah tanaman Urena
lobata berbentuk kapsul globules dengan ukuran 8-10 mm. Buah ini muncul dari
cabang batang dan membentuk 5 duri-duri (glochidate). Daun tumbuhan ini
berbentuk tunggal, berlekuk menjari sebanyak 3,5 atau 7, tumbuh berselingan satu
sama lain, panjang 3 - 8 cm, lebar 1 - 6 cm, tepi bergigi, pangkal daun
membulat,dan ujung daun runcing. Bunga dari U.lobata ini muncul di setiap
ketiak daunnya dan biasanya soliter, dengan kelopak bunga berjumlah 5 serta
berwarna merah muda. Ukuran bunga dari U.lobata ini sekitar 1 cm. Akar dari
tumbuhan ini berwarna kuning gading dengan karakter yang keras namun

37

fleksibel. Ada beberapa bagian akar yang terbuka di atas tanah dan beberapa lagi
tumbuh kesamping dari arah tumbuhan (Dixa singh, 2010).
2.4.3

Kandungan Zat Aktif Urena lobata

U.lobata memiliki kandungan nutrisi dan non nutrisi yang dirinci sebagai
berikut :

Kandungan Nutrisi
Kandungan kalori dalam 100 gr daun Urena lobata adalah 54 kalori (FAO,
2013). Rincian dari kandungan nutrisi tumbuhan dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
Tabel 2.5 Kandungan Nutrisi Urena lobata (FAO, 2013)

No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kandungan
Karbohidrat
Protein
Serat
Lemak
Kalsium
Fosfor
Abu

Nilai (gr)
12.8
3.2
1,8
0,1
0,558
0,067
2.1

Kandungan Non Nutrisi


Kandungan non nutrisi dalam daun Urena lobata meliputi quercetin, kaemferol
(Dixa Singh, 2010), alkaloid dan polifenol (Roselina et al, 2009), mangiverin
(Keshab, 2004), flavonoids, flavonoids glikosida, -sitosterol, hypolatin,
stigmasterol, furocoumarin, imperatorin, luteolin, gossypetin (Rinku, 2013),
glikosida, tannin, saponin, dan quarcetin steroid (Torequl, 2012).
2.4.4

Efek Farmakologi Urena lobata

Efek farmakologi U.lobata dibagi berdasarkan data empirik dan uji pra klinik
pada penelitian sebelumnya. Adapun rinciannya sebagai berikut :

38

2.4.4.1. Efek Urena lobata Berdasarkan Data Empirik


Secara empirik, ekstrak daun dan akar Urena lobata digunakan untuk
mengobati penyakit kolik, malaria, gonore, demam, luka, sakit gigi, dan rematik
(Forest Research Institute of Malaysia, 2003). Di Afrika daun pulutan dapat
digunakan untuk pengobatan malaria, sifilis, dan gonore (Rinku, 2013).
Sedangkan di Nigeria daun pulutan digunakan secara empirik sebagai antidiabetes
(Omonkhua dan Onoagbe, 2011).
Akar dari Urena lobata memiliki efek diuretik dan dapat digunakan untuk
mengobati rematik. Infusa dari bunga Urena lobata memiliki efek sebagai
ekspektoran dan dapat mengobati batuk dan tenggorokan kering (Rinku, 2013).
2.4.4.2 Efek Urena lobata Berdasarkan Uji Pra klinik
Pada uji pra klinik Urena lobata menunjukkan efek anti diabetes pada tikus
yang diinduksi oleh steptozotocin. Efek tersebut dikendalikan oleh senyawa aktif
saponin, flavonoid dan quercetin melalui mekanisme insulin sensitizer (Lans,
2006 ; Omonkhua, 2011). Adapun zat aktif sebagai secretogouge secara tidak
langsung dikendalikan oleh mangiferin, -sitosterol, saponin, dan flavonoid.
Kandungan Urena lobata yang meliputi -sitosterol, sigmasterol dan mangiferin
sebagai antidiabetik bekerja dengan mekanisme penghambatan enzim dipeptydil
peptidase-IV (DPP-IV), sehingga aktivitas GLP-1dapat dipertahankan. Aktifitas
GLP-1 pada pankreas dapat meningkatkan sekresi insulin melalui aktifasi Camp,
proliferasi, dan anti apoptosis sel pankreas. Senyawa saponin yang dimiliki
Urena lobata mempunyai efek sebagai antidiabetik dengan cara meningkatkan
regresi sel langerhans, aktivasi enzim untuk metabolisme glukosa, dan stimulasi
pembentukan serta sekresi insulin (Purnomo et al, 2015). Efek antidiabetik yang

39

dihasilkan tanaman ini melalui mekanisme penurunan kadar glukosa darah dan
juga mengakibatkan penurunan produksi ROS sehingga kerusakan oksidatif dapat
dihambat (Rajesh, 2011; Kalaivanam et al 2006).
Pada uji pra klinik lain, pemberian dekokta daun Urena lobata mampu
meningkatkan kadar superoxide dismutase (SOD) dan menurunkan kadar
malonyldehid (MDA) ginjal dan hepar tikus diabetes mellitus tipe 2 (Kinanti et al,
2015 ; Suciwulansari, 2015). Hal ini dikarenakan dekok daun Urena lobata
memiliki kandungan senyawa antioksidan dan antidiabetik. Efek antioksidan dari
dekok daun Urena lobata dikendalikan oleh senyawa aktif tanin, saponin, dan
flavonoid (Omonkhua A dan Onaogbe, 2011). Tanin berperan sebagai scavenger
H2O2, sehingga H2O2 tidak mampu masuk ke dalam membran sel untuk
menghasilkan produk oksigen reaktif seperti OH dan asam hipoklorin. OH
bersifat sangat toksik karena merusak sel dan memperoksidasi lipid untuk
menghasilkan MDA (Forest Research Institute of Malaysia, 2003 ; Rajesh, 2011).
Saponin berfungsi sebagai antioksidan melalui peningkatkan pembentukan SOD
dan katalase, merubah oksigen yang reaktif menjadi hidrogen peroksida yang
meningkatkan ekspresi gen dari katalase untuk merubah kelebihan peroksida
menjadi air, sehingga peroksida tidak reaktif lagi (Smith et al, 2014). Sedangkan
flavonoid berperan sebagai pendonor ion hidrogen dan menetralisir radikal bebas,
meningkatkan ekspresi gen antioksidan endogen sehingga terjadi peningkatan gen
yang berperan dalam sintesis enzim SOD, serta menghambat ikatan oksidan dan
logam untuk menghasilkan senyawa yang lebih reaktif (Rajesh, 2011 : Inoue,
2001).

40

2.5 Kayu Manis (Cinnamomum burmanii)


2.5.1 Taksonomi Cinnamomum burmannii
Kingdom
: Plantae
Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Laurales

Famili

: Lauraceae

Genus

: Cinnamomum

Spesies
Sinonim

: Cinnamomum burmannii
: Cinnamomum chinense

Gambar 2.9 Cinnamomum burmannii (BPOM RI, 2008)

2.5.2

Morfologi Cinnamomum burmannii

Tanaman Cinnamomum burmannii memiliki tinggi pohon mencapai 10-15 m.


Batang berkayu, tegak, bercabang, berwarna hijau kecoklatan. Daunnya tunggal,
lanset, ujung, dan pangkal runcing, tepi rata, panjang 4-14 cm, lebar 1-6 cm,

41

pertulangan daun melengkung, saat masih muda warna daun merah pucat, setelah
tua berubah warna menjadi hijau. Bunga tanaman ini majemuk, bentuk malai,
tumbuh di ketiak daun, berambut halus dengan tangkai mencapai panjang 4-12
mm, benang sari dengan kelenjar ditengah tangkai sari, mahkota panjang 4-5 mm,
serta berwarna kuning. Buahnya buni, panjang kurang lebih 1 cm, warna buah
ketika masih muda hijau setelah tua berwarna hitam. Biji kecil-kecil, bulat telur,
masih muda berwarna hijau setelah tua menjadi hitam. Akar tanaman berjenis akar
tunggang berwarna warna coklat (BPOM RI, 2008).
2.5.3

Kandungan Zat Aktif Cinnamomum burmannii

Kandungan zat aktif pada Cinnamomum burmanii dibagi menjadi dua macam,
yakni kandungan nutrisi dan kandungan non nutrisi. Berikut rincian kandungan
tersebut :
Kandungan Nutrisi
Secara kimia, Cinnamomum burmannii mirip dengan Cinnamomum cassia
(Ravindran et al., 2004). Komposisi kayu manis terdiri dari:
Tabel 2.6 Kandungan Nutrisi Penghasil Energi C.burmannii (Gul dan Safdar,
2009)

No
1.
2.
3.
4.
5.

Kandungan
Karbohidrat
Protein
Serat
Lemak
Abu

Nilai (%)
52
3.5
33
4
2.4

42

Sedangkan komposisi mineralnya terdiri dari :


Tabel 2.7 Kandungan Mineral Penghasil Energi C.burmannii (Gul dan Safdar,
2009)

No
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kandungan
Zat besi
Zinc
Kalsium
Chromium
Magnesium
Fosfor

Nilai (mg/g)
7
2.6
83.8
0.4
85.5
42.2

Kandungan Non Nutrisi


Kandungan non nutrisi C.burmanii yang memiliki efek hipoglikemik meliputi
flavonoid, alkaloid, glikosida, steroid, dan terpenoid. Berdasarkan uji gas
chromatography-mass spectrometry (GC-MS) and liquid chromatography (LCMS), komponen utama yang terkandung dalam kulit batang C.burmanii adalah
komponen minyak volatil ((E)-cinnamaldehyde) dan beberapa polifenol
(utamanya proantosianidin dan (epi) katekin ) (Shan et al, 2007). Kandungan
polifenol lain yang terdapat di dalam C.burmanii meliputi quercetin, kaempferol,
dan katekin (Al-Numair et al, 2007). Polifenol dalam kayu manis yang memiliki
aktivitas mirip dengan insulin (insulun mimetic) adalah doubly-linked procyanidin
type-A polymeres yang merupakan bagian dari katekin atau epikatekin yang
selanjutnya

disebut

sebagai

methylhydroxychalcone

polymers

(Andersona et al, 2004) atau cinnamtannin B1 (Taher et al, 2006).

(MHCP)

43

Gambar 2.10 Struktur Kimia Doubly-linked procyanidin type-A polymeres,


Cinnamaldehyde, dan Ethyl Cinnamate (Iyer et al, 2009)

2.5.4 Efek Farmakologi Cinnamomum burmanii


Efek farmakologi Cinnamomum burmanii dibagi berdasarkan data empirik
dan uji pra klinik pada penelitian sebelumnya. Adapun rinciannya sebagai berikut:
2.5.4.1 Efek Cinnamomum burmanii Berdasarkan Data Empirik
Tanaman kayu manis telah lama digunakan secara turun temurun oleh bangsa
Mexico sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit,
antara lain adalah sebagai obat diare, batuk, demam, mual, dan sebagai obat anti
jamur (Al-Dhubaib, 2012).
2.5.4.2 Efek Cinnamomum burmanii Berdasarkan Uji Pra klinik
Pada Uji Pra klinik oleh Moselhy dan Junbi (2010) membuktikan bahwa
ekstrak kayu manis yang diberikan pada tikus induksi Carbon Tetra Chlorida
(CCL4) menghasilkan efek antioksidan dengan bertindak sebagai hepatoprotektor

44

dengan menurunkan kadar malonilaldehyde (MDA) dan meningkatkan kadar


superoxide dismutase (SOD) serta catalase (CAT). Aktivitas antioksidan ini
bekerja melalui mekanisme free radical scavenging yang dilakukan oleh
komponen polifenol kayu manis.
Penelitian secara in vitro yang dilakukan oleh Pang et al, (2009) membuktikan
bahwa polifenol dan flavonoid yang terkandung dalam kayu manis mampu
bertindak sebagai inhibitor Mitogen-Activated Protein Kinase Kinase 1 (MKK 1)
sehingga mampu menghambat pertumbuhan sel kanker (Peacnikar et al, 2009).
2.6

Uji Aktivitas Antioksidan


Metode pengujian aktivitas antioksidan dikelompokkan menjadi 3 golongan.

Golongan pertama adalah Hydrogen Atom Transfer Methods (HAT), misalnya


Oxygen Radical Absorbance Capacity Method (ORAC) dan Scavenging of H2O2
radicals. Golongan kedua adalah Electron Transfer Methods (ET), misalnya
Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) dan 1,1-diphenyl-2,2-picrylhydrazil
(DPPH) Free Radical Scavenging Assay. Golongan ketiga adalah metode lain
seperti Total Oxidant Scavenging Capacity (TOSC) (Badarinath et al, 2010).
Adapun rincian macam metode pengujian aktivitas antioksidan sebagai berikut :
Oxygen Radical Absorbance Capacity Method (ORAC)
Pengujian antioksidan dengan metode ORAC didasarkan pada tes kemampuan
substansi antioksidan untuk menghambat oksidasi -phycoerythrin (Badarinath et
al, 2010). Molekul target yang dapat digunakan dalam metode ini yaitu
flouresensi atau jenis -phycoerythrin yang lain. Pengujian antioksidan dengan
metode ini menunjukkan adanya penggunaan Trolox (analog dari vitamin E yang
larut air) sebagai standar dalam menentukan Trolox Equivalent (TE). Prinsip dari

45

metode ini adalah penggunaan radikal bebas AAPH (2,2-azobis 2-amidopropane


dihydrochloride) yang diujikan pada substansi antioksidan, sehingga penurunan
pada pengukuran flouresensi menunjukkan adanya aktivitas pembersihan radikal
bebas oleh substansi antioksidan yang diuji. Pada pengujian dengan menggunakan
-phycoerythrin sebagai target radikal bebas, AAPH digunakan sebagai radikal
peroksil, dan Trolox sebagai standar kontrol. Setelah penambahan AAPH pada
larutan yang diujikan, aktivitas flouresensi dicatat dan aktivitas antioksidan
ditunjukkan sebagai Trolox Equivalent (TE) (Alam et al, 2012).

Scavenging of H2O2 radicals


Manusia terpapar hirogen peroksida (H2O2) sekitar 28 mg/kg/hari dari
lingkungan disekitarnya. Hidrogen peroksida dengan cepat di dekomposisi
menjadi oksigen dan air yang akan memproduksi radikal hidroksil penyebab
peroksidasi lipid serta kerusakan DNA. Pada uji antioksidan dengan metode
scavenging of H2O2 radicals, aktivitas substansi antioksidan diuji kemampuannya
dalam membersihkan radikal hirogen peroksida. Bahan yang digunakan dalam
metode ini meliputi larutan hidrogen peroksida yang disiapkan dalam fosfat
buffer. Kemampuan absorbansi radikal diukur pada panjang gelombang 230 nm
dengan menggunakan spektrofotometri. Kemudian substansi ekstrak antioksidan
ditambahkan pada larutan hidrogen peroksida dan diukur pada panjang
gelombang 230 nm, hasil ditentukan setelah 10 menit. Kontrol yang digunakan
yaitu pengukuran kemampuan absorbansi ekstrak antioksidan melawan larutan
fosfat buffer tanpa diberikan larutan hidrogen peroksida (Alam et al, 2012).

46

Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP)


Pada uji antioksidan dengan metode ini diukur kemampuan substansi
antioksidan dalam mengurangi jumlah ferric iron. Hal ini didasarkan pada
pengurangan

kompleks

ferric

iron

dan

2,3,5-triphenyl-1,3,4-triaza-2-

azoniacyclopenta-1,4-diene chloride (TPTZ) menjadi bentuk ferous pada pH


rendah. Bentuk reduksi tersebut di pantau melalui perubahan absorbansi melalui
decay-array spectropothometer dengan panjang gelombang 593 nm. Metode ini
dilakukan dengan melarutkan reagen FRAP dengan sampel antioksidan yang diuji,
kemudian absorbansi uji antioksidan diukur dengan panjang gelombang 593 nm
dan dicatat setelah 10 menit pada suhu inkubasi 370C (Alam et al, 2012).

1,1-diphenyl-2,2-picrylhydrazil (DPPH) Free Radical Scavenging Assay


Salah satu metode yang paling umum digunakan untuk menguji aktivitas
antioksidan adalah dengan menggunakan 1,1-diphenyl-2,2-picrylhydrazil (DPPH)
Free Radical Scavenging Assay. Pengukuran antioksidan dengan metode DPPH
merupakan metode pengukuran antioksidan yang sederhana, cepat, dan tidak
membutuhkan banyak reagen seperti halnya metode lain. Hasil pengukuran
dengan metode DPPH menunjukkan kemampuan antioksidan sampel secara
umum, tidak berdasar jenis radikal yang dihambat (Juniarti et al., 2009). Pada
metode lain selain DPPH membutuhkan reagen kimia yang cukup banyak, waktu
analisis yang lama, biaya yang mahal, dan tidak selalu dapat diaplikasikan pada
semua sampel (Badarinath et al, 2010).
Pada metode DPPH, larutan DPPH berperan sebagai radikal bebas yang akan
bereaksi dengan senyawa antioksidan, sehingga DPPH akan berubah menjadi 1,1diphenyl-2,2-picrylhydrazin yang bersifat non-radikal. Peningkatan jumlah 1,1-

47

diphenyl-2,2-picrylhydrazin akan ditandai dengan berubahnya warna ungu tua


menjadi warna merah muda atau kuning pucat dan dapat diamati menggunakan
spektrofotometer sehingga aktivitas peredaman radikal bebas oleh sampel dapat
ditentukan (Molyneux, 2004). Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode
DPPH menggunakan prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH dalam metanol
berwarna ungu tua terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 515517 nm. Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian DPPH adalah
dengan nilai IC-50 (Inhibitor Concentration). IC-50 merupakan konsentrasi
larutan substrat atau sampel yang mampu mereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%.
Semakin kecil nilai IC-50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara
spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC-50
kurang dari 50 ppm (IC-50 < 50 ppm), kuat (50 ppm < IC-50 < 100 ppm), sedang
(100 ppm < IC-50 < 150 ppm), lemah (150 ppm < IC-50 < 200 ppm), dan sangat
lemah (IC-50 > 200 ppm). Strukur DPPH radikal bebas dan DPPH yang telah
bereaksi dengan antioksidan disajikan pada gambar 2.10 dan gambar 2.11
(Molyneux, 2004).

Gambar 2.11 Diphenyl picrylhydrazil


(Bentuk radikal bebas) (Molyneux, 2004)

Gambar 2.12 Diphenylpicrylhydrazine


(Bentuk non-radikal) (Molyneux, 2004)

Daya hambatan terhadap radikal DPPH dinyatakan sebagai (%) inhibisi. Persen
inhibisi dapat dihitung melalui rumus :

48

(%) inhibisi = [(Abscontrol Abssample)] / (Abscontrol)] 100


Dimana Abscontrol adalah absorbansi dari DPPH + etanol/metanol; Abssample adalah
absorbansi dari DPPH radical + sampel ekstrak atau standar (Molyneux, 2004).
Total Oxidant Scavenging Capacity (TOSC)
Pengujian antioksidan dengan metode TOSC dapat mengidentifikasi substansi
antioksidan larut lemak dan larut air. Komponen radikal bebas yang dapat diukur
dengan menggunakan metode ini meliputi radikal bebas yang mampu
menyebabkan kerusakan potensial pada jaringan biologi, seperti radikal peroksil,
radikal hidroksil, dan peroksinitrit. Radikal peroksil dihasilkan dari homolisis
termal

2,2-azobis(2-methylpropionamidine)

dichloride

(ABAP).

Radikal

hidroksil dibentuk selama besi dan asam askorbat didorong reaksi fenton.
Sedangkan peroksinitrit diproduksi oleh dekomposisi 3-morpholinosydnonimine
N-ethylcarbamide (SIN-1) (Lichtenthaler et al, 2003).

Вам также может понравиться