Вы находитесь на странице: 1из 15

Anemia

World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi


hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan < 12,0 gr/dl
pada wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan
anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah
hemoglobin normal adalah 11,5 gr/dl pada wanita, 13,5 gr/dl pada laki-laki dibawah
atau sama dengan 70 tahun dan 12,0 gr/dl pada laki-laki diatas 70 tahun.a The
National Kidney Foundations Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI)
merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin
< 11,0 gr/dl (hematokrit <33%) pada wanita premenopause dan pasien prepubertas,
dan < 12,0 gr/dl (hematokrit <37%) pada laki-laki dewasa dan wanita postmenopause.
Dan berdasarkan PERNEFRI 2011, dikatakan anemia pada penyakit ginjal kronik jika
Hb 10 gr/dl dan Ht 30%. Anemia sering terjadi pada pasien-pasien dengan
penyakit ginjal kronis. Klinisi harus memikirkan keadaan anemia jika tingkat. Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) pasien menurun ke 60 ml/menit/1,73 m2 atau lebih rendah.
Sementara itu ada juga yang disebut anemia defisiensi besi pada penyakit ginjal
kronik yang dibagi menjadi 2 yaitu: b

Anemia defisiensi besi absolut: bila saturasi transferrin <20% dan ferritin
serum <100 ng/ml pada PGK non Dialisa, dan <200 ng/ml (PGK-HD)

Anemia defisiensi besi fungsional: bila ST < 20% dan FS > 100 ng/ml (PGKnon D, PGK-PD) dan > 200 mg/ml (PGK-HD).

Anemia normositik normokromik


Anemia normositik (MCV= 75-100 fl) berhubungan dengan penyakit sistemik yang
mengganggu sintesis sel darah merah yang adekuat di sumsum tulang.

Anemia

normositik biasanya memerlukan evaluasi sumsum tulang. Anemia ini dapat disertai
oleh peningkatan kadar retikulosit (anemia hemolitik) atau tidak disertai dengan
peningkatan kadar retikulosit. c
Patofisiologi Anemia pada Gagal Ginjal Kronis

Terdapat 4 mekanisme yang meyebabkan terjadinya anemia pada gagal ginjal kronis
yaitu:

Defisiensi eritropoietin
Pemendekan panjang hidup eritrosit
Metabolit toksis yang merupakan inhibitor eritropoiesis
Kecenderungan berdarah karena trombopati

Defisiensi Epo merupakan penyebab utama anemia pada GGK. Dalam keadaan
normal, 90% Epo diproduksi ginjal dan hanya 10% di produksi hati. d

Disamping itu masih banyak faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya GGK
yaitu:
Gangguan eritropoiesis
Dapat berupa defisiensi Epo, defisiensi besi, defisiensi asam folat, inhibitor uremik,
hiperparatiroid, intoksikasi aluminium. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu
yang sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronis. d
Defisiensi besi pada gagal ginjal kronis
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan
yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada
penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan
kapasitas sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan

untuk mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal
kronik. e

Pemendekan umur eritrosit


Dapat disebabkan oleh hemolisis, hipersplenisme, dan transfusi berulang. d
Kehilangan darah
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh
karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasienpasien ini adalah dari dialisis, terutama hemodialisis dan nantinya menyebabkan
defisiensi besi juga. Pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan 3 -5 gr besi per

tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari sehingga kehilangan besi pada
pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak. d
Inflamasi
Inflamasi dan respon fase akut berkaitan dengan sistem hematopoetik. Selama periode
awal respon fase akut, konsentrasi hemoglobin selalu menurun secara drastis. Hal ini
disebabkan oleh pengrusakan eritrosit yang meningkat oleh makrofag
retikuloendotelial inflamasi yang teraktivasi yang membersihkan sirkulasi dari
eritrosit yang dilapisi dengan imunoglobulin atau kompleks imun. Pada pasien- pasien
dengan fungsi ginjal yang normal, penurunan hemoglobin yang tiba-tiba merangsang
sekresi eritropoetin selama 4-10 hari. Ternyata, sekresi eritropoetin yang meningkat
ini dihambat oleh sitokin-sitokin proinflamasi pada pasien-pasien yang mengalami
respon fase akut. Faktor pertumbuhan seperti eritropoetin dan beberapa sitokin
penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi progenitor eritrosit pada sumsum tulang.
Pada konsentrasi rendah, sitokin-sitokin proinflamasi TNF-danIL-1 menstimulasi
pertumbuhan awal progenitor. Efek inflamasi yang mensupresi eritropoesis terutama
disebabkan oleh peningkatan aktivitas sitokin-sitokin proinflamasi pada sel-sel
prekursor pada berbagai tingkatan eritropoesis. Dikatakan bahwa efek inhibisi pada
prekursor eritroid ini terutama disebabkan oleh perubahan sensitivitas terhadap
eritropoetin. Efek inhibisi TNF-danIL-1 pada eritropoesis dapat diatasi dengan
pemberian dosis tinggi ESA. Pada pasien-pasien dengan gagal ginjal terminal,
resistensi ESA berhubungan dengan respon inflamasi seperti pada pasien dengan
peningkatan CRP atau fibrinogen kurang respon terhadap ESA. Gunell dkk
melaporkan bahwa albumin serum yang rendah dan kadar CRP yang meningkat juga
memprediksi resistensi terhadap ESA pada pasien-pasien hemodialisis dan peritoneal
dialisis, yang mendukung konsep bahwa respon inflamasi menyebabkan
hipoalbuminemia dan anemia pada pasien-pasien gagal ginjal terminal. d
Diagnosis
Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat penyakit
terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan
apus darah perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi, anemia ini
bersifat hipoproliferatif normositik normokrom, apus darah tepi menunjukkan burr

cell. Skrining Hb pada pasien gagal ginjal kronis dilakukan minimal 1 kali setahun.
Jika didapatkan anemia dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan yaitu berupa:

Pemeriksaan darah lengkap: Hb, Ht, indeks eritrosit (MCH, MCV, MCHC),

leukosit dan hitung jenis, hitung trombosit


Apusan darah tepi
Hitung retikulosit
Uji darah samar feses
Pemeriksaan status besi (serum iron, Total iron binding capacity, Saturasi
transferrin, ferritin serum)b

Pemeriksaan lain untuk mengevaluasi penyebab anemia lainnya dapat dilakukan bila
didapatkan kecurigaan klinis.
Pemeriksaan kadar Hb lebih dianjurkan daripada Ht, oleh karena variabilitas
pemeriksaan Hb antar laboratorium kecil, dan kadar Hb tidak dipengaruhi oleh waktu
penyimpanan darah atau kadar glukosa serum. Pada pasien dengan hemodialisa,
waktu yang dianjurkan untuk pemeriksaan Hb adalah sebelum tindakan hemodialysis
dilakukan. Anemia ini terkadang disebabkan oleh adanya perdarahan tersembunyi dari
saluran cerna (occult blood) (sekitar 6-20%). b

Penatalaksanaan anemia pada Gagal Ginjal Kronis


Beberapa poin harus diperiksa dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi penambah
eritrosit, yaitu :
-

Darah lengkap
Pemeriksaan darah tepi
Hitung retikulosit
Pemeriksaan besi (serum iron, totalironbindingcapacity, saturasi

transferin, serum feritin)


Pemeriksaan darah tersamar pada tinja
Kadar vitamin B12
Hormon paratiroid

Penggunaan terapi ESA (eritropoiesis stimulating agents) sudah dilakukan sejak tahun
1898 dan terbukti efektif dalam penatalaksanaan anemia dan mengurangi kebutuhan
transfusi. Terapi ESA ini dilakukan dengan menggunakan recombinant human
eritropoetin (terapi EPO). Terapi ini juga terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien. Oleh karena itu terapi EPO menjadi suatu tatalaksana rutin pada pasien

dengan hemodialisa dan juga pada pasien CKD yang tidak di hemodialisa. Target Hb
pada pasien dengan terapi ESA masih dalam tahap evaluasi yang lebih lanjut namun
ada beberapa pilihan rekomendasi target Hb dalam terapi ESA menurut beberapa
guideline yaitu:

Target Hb pada pasien CKD juga harus memperhatikan kondisi klinis pasien. Bila
kondisi klinis pasien membaik dengan terapi ESA, dapat dilakukan sampai mencapai
terapi yang maksimal, bila mengalami perburukan maka tidak perlu melanjutkan
terapi ESA hanya untuk mencapai target Hb yang ditentukan.f Sementara itu
berdasarkan konsesus PERNEFRI target Hb pada pasien PGK adalah 10-12 g/dl dan
tidak boleh lebih dari 13 g/dl. b
Percobaan menunjukkan bahwa AB yang melawan materi rekombinan dan
menghambat terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya
adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis. Heparin yang tinggi
untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama dialisis. Pada
beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat terlihat. Peningkatan tekanan
darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus
vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan tingginya viskositas
darah bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat peningkatan
trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi human recombinant
eritropoetin pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu trombositosis mungkin
mempengaruhi hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang
meningkat dan hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer
karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan keadaan
umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh eritropoetin dapat menimbulkan
defisiensi besi khususnya pada pasien dengan peningkatan blood loss. Seluruh

observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant human eritropoetin harus


digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan bahwa kebanyakan efek
samping ini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak meningkat ke normal,
tetapi pada nilai 30-35%.g
Produksi recombinant human eritropoetin merupakan manajemen yang utama pada
pasien uremia. Preparat ESA yang beredar di Indonesia adalah Epoitein , , ESA
biosimilar dan C.E.R.A. Epoitein , merupakan rekombinan eritropoietin manusia
yang memiliki waktu paruh singkat. ESA biosimilar adalah produk bio-teknologi
non original dan masih perlu penilaian efektivitas dan keamaan produk ini. C.E.R.A
adalah suatu ESA baru yang merupakan pegylated epoietin yang mempunyai waktu
paruh lebih panjang (130 jam) sehingga dapat diberikan setiap 2 minggu sekali atau
sebulan sekali secara SC atau IV. b
Indikasi dan Kontraindikasi terapi ESA
1. Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab
lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
a. Cadangan besi mencukupi : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi
transferin > 20%
b. Tidak ada infeksi yang berat
2. Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO
3. Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:
-

Hipertensi tidak terkendali


Hiperkoagulasi
Beban cairan berlebih/fluid overload

Terapi ESA Fase koreksi:


Tujuan:
Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb tercapai:

Terapi ESA dianjurkan untuk diberikan secara Subkutan


Dosis dapat dimulai dengan epoietin dan dimulai dengan 20005000 IU 2x seminggu atau 80-120 unit/ kgBB/ minggu SC. Selain itu

dapat juga diberikan Continous Erythropoiesis Receptor Activator


(C.E.R.A) dapat diberikan 0.6 g/ kgBB. Atau 50-75 g setiap 2

minggu.
Target respon yang diharapkan yaitu Hb naik sekitar 0.5-1.5 g/dl dalam

4 minggu
Monitor Hb tiap 4 minggu
Bila target respon tercapai: pertahankan dosis ESA sampai taget Hb

tercapai (10-12 g/dl)


Bila target respon belum tercapai naikkan dosis 25%
Bila Hb > 13 g/dl, hentikan pemberian ESA
Monitoring status besi (dapat dilakukan pemberian suplemen sesuai
panduan terapi besi) b

Terapi ESA fase pemeliharaan


Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (10-12 g/dl). Dosis epoietin dan
2000-5000 IU/ minggu, pada dosis C.E.R.A sama dengan dosis koreksi dengan
interval pemberian setiap 4 minggu. Kemudian dilakukan pemonitoran Hb
setiap bulan dan pemeriksaan status besi secara berkala sesuai dengan panduan
terapi besi. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai >12 g/ dl maka
dosis ESA diturunkan 25%. b

Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup. Karena berat
badan rata-rata pasien PGK 50-60 kg maka dosis 80-150 IU/ kg BB/ minggu setara
dengan 2000-5000 IU/ kali HD. ESA dapat diberikan secara SC maupun IV namun
SC lebih dianjurkan karena pemberian ESA secara SC dapat menghemat kebutuhan
ESA sampai 30% karena waktu paruh lebih panjang. Pemberian dilakukan sebelum,
saat atau setelah HD selesai. b

Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah yang tidak
terkontrol.
Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, dapat diberikan terapi tambahan yaitu
berupa:

asam folat : 5 mg/hari


vitamin B6: 100-150 mg

Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan


Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi

fungsional yang mendapat terapi EPO


Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang

diakibatkan terapi besi intravena


Preparat androgen (2-3 x/minggu) b

Efek samping terapi ESA

Hipertensi
Terapi ESA berpotensi meningkatkan tekanan darah terutama bila kenaikan
Hb terlalu cepat atau menggunakan ESA dosis tinggi. Selama terapi ESA
dilakukan perlu perhatian khusus terhadap tekanan darah terutama pada fase
koreksi. Obat anti hipertensi diperlukan, dan kadang dibutuhkan peningkatan

dosis.
Trombosis
Trombosis dapat terjadi jika Hb meningkat secara cepat melebihi target
Kejang
Jarang dijumpai, umumnya terjadi pada Hb > 10 g/dl dengan peningkatan
yang cepat disertai tekanan darah yang tidak terkontrol.
Pure Red Cell Aplasia (PRCA)
PRCA dicurigai bila pasien dalam terapi ESA >4 minggu ditemukan gejala
berupa:
1. Penurunan Hb mendadak 0.5-1 g/dl/minggu atau membutuhkan
transfusi 1-2 kali/ minggu.
2. Hitung leukosit dan trombosit normal
3. Hitung retikulosit absolut < 10.000/ L.
4. Diagnosis PRCA ditegakaan berdasarkan pemeriksaan Anti
Erythropoietin antibody yan positif dan/atau pada biopsy sumsum
tulang ditemukan Erytroid progenitor Cells yang berkurang
5. Pada keadaan tersebut pemberian ESA harus dihentikan. b

Tatalaksana pada pasien yang hiporesponsif dengan terapi EPO


Pasien CKD yang disertai dengan komorbiditas kadang dapat menyebabkan adanya
respon yang kurang dengan terapi EPO. Disebut respon yang tidak adekuat bila pasien
gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8
minggu. Keadaan ini dapat menyebabkan peningkatan risiko mortalitas. Hal ini
menyebabkan suatu masalah karena harus dipikirkan apakah dosis terapi tersebut

harus dinaikkan sambil memikirkan efek samping yang mungkin terjadi. Ada
beberapa consensus yang mencoba menentukan batas maksimum penggunaan EPO
seperti KDIGO namun masih belum berhasil. Selain itu ada beberapa konsensus lain
seperti The Canadian Society and Nephrology yang merekomendasikan dosis
maksimal sebesar 3200-8000 IU 3x per minggu untuk epoetin alfa atau 80 g/
minggu, namun masih banyak kekurangan dari ide ini, sehingga definisi hiporesponsif
terhadap terapi EPO ini juga masih perlu penelitan lebih lanjut. h
Penyebab terapi yang tidak adekuat ini:

Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering)


Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE,AIDS)
Kehilangan darah kronik
Malnutrisi
Dialisis tidak mencukupi
Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis)
Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium,
hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi
asam folat dan vitamin B12, multiple mioloma, dan mielofibrosis,
hemolisis, keganasan). b

Pengkajian Status Besi dan Terapi besi


Sebelum melakukan terapi ESA harus dilakukan pemeriksaan status besi terlebih
dahulu agar respons eritropoiesis optimal, maka status besi harus cukup. Status besi
yang diperiksa meliputi SI, TIBC, ST dan FS. Untuk melakukan terapi pada anemia
defisiensi besi dapat dilakukan dengan sediaan parenteral (iron sucrose, iron dextran)
maupun per oral (ferrous gluconate, ferrous sulphate, ferrous fumarate, iron
polysaccharide). Indikasi terapi besi adalah pada anemia defisiensi besi absolut,
fungsional dan tahap pemeliharaan status besi. Sementara itu kontraindikasi terapi
besi adalah hipersensitivitas terhadap besi, gangguan fungsi hati yang berat (sirosis
hati, hepatitis akut) dan adanya iron overload (ST>50%). Sampai saat ini ST masih
dipakai sebagai pedoman dalam terapi besi. Pemeriksaan FS dianjurkan karena dapat
menggambarkan cadangan besi dan sebagai panduan dalam terapi besi, bila tidak
memungkinkan dapat digantikan dengan pemeriksaan ST setiap bulan. b
Terapi besi oral
Terapi besi oral diindikasikan pada pasien dengan pasien dengan penyakit ginjal
kronis non dialisa dan pre dialisa dengan anemia defisiensi besi. Jika setelah 3 bulan

ST tidak dapat dipertahankan 20% dan/atau FS 100 ng/ml, maka dianjurkan untuk
pemberian terapi besi parenteral.
Terapi besi parenteral
Terapi besi parenteral terutama diindikasikan pada pasien PGK dengan hemodialisa.
Terapi ini mempunyai efek samping berupa hipersenstitivitas

Terapi besi fase koreksi


Terapi ini bertujuan untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi absolut sampai
status besi cukup yaitu ST 20% dan FS mencapai 100 ng/ml (PGK non D,
PD), 200 ng/ml (PGK-HD). Sebelum dimulainya terapi besi intravena,
dilakukan dosis uji coba yaitu untuk mengetahui adanya hipersensitivitas
terhadap besi. Caranya adalah dengan melarutkan Iron Sucrose, atau iron
dextran 25 mg dilarutkan dalam 25 ml NaCl 0.9% drip IV selama 15 menit,
amati tanda-tanda hipersensitivitas. Dosis terapi besi pada fase koreksi adalah
100 mg sebanyak 2x per minggu, saat HD, dengan perkiraan keperluan dosis
total 1000 mg (10x pemberian). Cara pemberian terapi besi intravena yaitu
dengan mengencerkan 100 mg iron sucrose/ iron dextran dengan 100 ml NaCl
0.9%, drip IV 15-30 menit bila dapat ditoleransi atau dengan cara disuntikkan
secara IV tanpa diencerkan secara perlahan (15 menit). Evaluasi status besi
dilakukan 1 minggu pasca terapi besi pasca koreksi. b

Terapi besi fase pemeliharaan


Terapi ini bertujuan untuk menjaga kecukupan kebutuhan besi untuk
eritropoiesis selama pemberian terapi ESA. Target terapi ini meliputi: ST 2050%, FS 100-500 ng/ml (PGK non D dan PGK-PD), 200-500 ng/ml (PGKHD). Status besi harus diperiksa setiap 1-3 bulan dan dosis terapi besi
disesuaikan dengan kadar ST dan FS. b

Transfusi Darah
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah adalah:

Hb < 7 g/dl dengan atau tanpa gejala anemia


Hb < 8 g/dl dengan gangguan kardiovaskular yang nyata
Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
Pasien yang akan menjalani operasi

Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah
mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum
tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hati. Target pencapaian Hb
dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi
EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi,
hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa
pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan dengan
peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan
penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal,
pemberian transfusi darah sedapat mungkin dihindari. Transfusi darah memiliki resiko
penularan Hepatitis virus B dan C, infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi
transfuse selain itu juga dapat terjadi iron overload, reaksi hemolitik dan circulation
overload. b

Terapi yang sedang dikembangkan


Peginesatide suatu ESA berbasis peptida dikatakan dapat menstabilkan kadar
hemoglobin pada pasien CKD yang tidak di hemodialisa. Peginesatide sudah terbukti
efektivitas dan efisiensinya dibandingkan dengan darbepoietin alfa. Efek samping
peginesatide juga tidak jauh berbeda dengan terapi darbepoitein. Peginisatide dapat
menstabilkan kadar Hb dalam pemberian 1x dalam sebulan, bila dibandingkan dengan
penggunaan darbepoitein yang memerlukan 2x dalam sebulan. Namun penggunaan
obat ini masih perlu diteliti lebih lanjut mengenai interaksi obat dan efeknya terhadap
organ-organ tubuh.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anemia merupakan salah satu dari gejala klinik pada penyakit ginjal kronis. Anemia
pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40
ml/mnt/1,73m2 dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya
fungsi ekskresi ginjal. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik
normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat seperti defisiensi besi
yang terjadi pada gagal ginjal. Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada
patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu : hemolisis, produksi eritropoetin yang
tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap
eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti intoksikasi
aluminium. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis
ditanyakan tentang riwayat penyakit terdahulu , pemeriksaan fisik, evaluasi
pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan apus darah perifer. Pada era penggunaan
rekombinant human eritropoetin (rHuEPO) , penilaian terhadap simpanan besi melalui
perhitungan feritin serum, transferin, dan besi sangat diperlukan. Feritin serum
merupakan indikator yang tepat dari simpanan besi tubuh. Penatalaksanaan anemia
ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%, baik dengan
pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Terapi anemia pada gagal ginjal
bervariasi dari pengobatan simptomatik melalui transfusi sel darah merah sampai ke
penyembuhan dengan transplantasi ginjal. Peran dari transfusi sebagai pengobatan
anemia primer pada pasien gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis dan
penelitian serologic telah berkembang. Transplantasi ginjal pada banyak kasus, harus
menunggu dalam waktu yang tidak tertentu dan tidak setiap pasien dialisis memenuhi
syarat.

Вам также может понравиться

  • Asupan
    Asupan
    Документ1 страница
    Asupan
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Diskusi Case Ujian
    Diskusi Case Ujian
    Документ14 страниц
    Diskusi Case Ujian
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Trauma Asam
    Trauma Asam
    Документ3 страницы
    Trauma Asam
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Batu Saluran Kemih
    Batu Saluran Kemih
    Документ5 страниц
    Batu Saluran Kemih
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Case DR Andri
    Case DR Andri
    Документ10 страниц
    Case DR Andri
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Case DR Steven
    Case DR Steven
    Документ41 страница
    Case DR Steven
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Faktor Radiasi
    Faktor Radiasi
    Документ1 страница
    Faktor Radiasi
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Appendicitis Akut
    Appendicitis Akut
    Документ3 страницы
    Appendicitis Akut
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • KANKER LERAH RAHIM
    KANKER LERAH RAHIM
    Документ21 страница
    KANKER LERAH RAHIM
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Asupan
    Asupan
    Документ1 страница
    Asupan
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Adb
    Adb
    Документ4 страницы
    Adb
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Mini Project Puskesmas
    Mini Project Puskesmas
    Документ5 страниц
    Mini Project Puskesmas
    Arda Denta
    0% (4)
  • Faktor Radiasi
    Faktor Radiasi
    Документ1 страница
    Faktor Radiasi
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Bab I
    Bab I
    Документ39 страниц
    Bab I
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Daftar Tabel
    Daftar Tabel
    Документ2 страницы
    Daftar Tabel
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Jumancil
    Jumancil
    Документ3 страницы
    Jumancil
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Dbdvilia
    Dbdvilia
    Документ10 страниц
    Dbdvilia
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • EpilepsiAnak
    EpilepsiAnak
    Документ5 страниц
    EpilepsiAnak
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Appendicitis Akut
    Appendicitis Akut
    Документ3 страницы
    Appendicitis Akut
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Batu Saluran Kemih
    Batu Saluran Kemih
    Документ5 страниц
    Batu Saluran Kemih
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Bells Palsy
    Bells Palsy
    Документ21 страница
    Bells Palsy
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Tugas
    Tugas
    Документ1 страница
    Tugas
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Hiperkes Word Fin Kelompok 3
    Hiperkes Word Fin Kelompok 3
    Документ34 страницы
    Hiperkes Word Fin Kelompok 3
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • TB pkl2
    TB pkl2
    Документ3 страницы
    TB pkl2
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Angka Loss To Follow Up
    Angka Loss To Follow Up
    Документ1 страница
    Angka Loss To Follow Up
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Faktor Radiasi
    Faktor Radiasi
    Документ1 страница
    Faktor Radiasi
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Asupan
    Asupan
    Документ1 страница
    Asupan
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Angka Loss To Follow Up
    Angka Loss To Follow Up
    Документ1 страница
    Angka Loss To Follow Up
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет
  • Tugas Prof Imunisasi
    Tugas Prof Imunisasi
    Документ10 страниц
    Tugas Prof Imunisasi
    Vilia Budi Prasetio
    Оценок пока нет