Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Anemia defisiensi besi absolut: bila saturasi transferrin <20% dan ferritin
serum <100 ng/ml pada PGK non Dialisa, dan <200 ng/ml (PGK-HD)
Anemia defisiensi besi fungsional: bila ST < 20% dan FS > 100 ng/ml (PGKnon D, PGK-PD) dan > 200 mg/ml (PGK-HD).
Anemia
normositik biasanya memerlukan evaluasi sumsum tulang. Anemia ini dapat disertai
oleh peningkatan kadar retikulosit (anemia hemolitik) atau tidak disertai dengan
peningkatan kadar retikulosit. c
Patofisiologi Anemia pada Gagal Ginjal Kronis
Terdapat 4 mekanisme yang meyebabkan terjadinya anemia pada gagal ginjal kronis
yaitu:
Defisiensi eritropoietin
Pemendekan panjang hidup eritrosit
Metabolit toksis yang merupakan inhibitor eritropoiesis
Kecenderungan berdarah karena trombopati
Defisiensi Epo merupakan penyebab utama anemia pada GGK. Dalam keadaan
normal, 90% Epo diproduksi ginjal dan hanya 10% di produksi hati. d
Disamping itu masih banyak faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya GGK
yaitu:
Gangguan eritropoiesis
Dapat berupa defisiensi Epo, defisiensi besi, defisiensi asam folat, inhibitor uremik,
hiperparatiroid, intoksikasi aluminium. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu
yang sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronis. d
Defisiensi besi pada gagal ginjal kronis
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan
yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada
penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan
kapasitas sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan
untuk mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal
kronik. e
tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari sehingga kehilangan besi pada
pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak. d
Inflamasi
Inflamasi dan respon fase akut berkaitan dengan sistem hematopoetik. Selama periode
awal respon fase akut, konsentrasi hemoglobin selalu menurun secara drastis. Hal ini
disebabkan oleh pengrusakan eritrosit yang meningkat oleh makrofag
retikuloendotelial inflamasi yang teraktivasi yang membersihkan sirkulasi dari
eritrosit yang dilapisi dengan imunoglobulin atau kompleks imun. Pada pasien- pasien
dengan fungsi ginjal yang normal, penurunan hemoglobin yang tiba-tiba merangsang
sekresi eritropoetin selama 4-10 hari. Ternyata, sekresi eritropoetin yang meningkat
ini dihambat oleh sitokin-sitokin proinflamasi pada pasien-pasien yang mengalami
respon fase akut. Faktor pertumbuhan seperti eritropoetin dan beberapa sitokin
penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi progenitor eritrosit pada sumsum tulang.
Pada konsentrasi rendah, sitokin-sitokin proinflamasi TNF-danIL-1 menstimulasi
pertumbuhan awal progenitor. Efek inflamasi yang mensupresi eritropoesis terutama
disebabkan oleh peningkatan aktivitas sitokin-sitokin proinflamasi pada sel-sel
prekursor pada berbagai tingkatan eritropoesis. Dikatakan bahwa efek inhibisi pada
prekursor eritroid ini terutama disebabkan oleh perubahan sensitivitas terhadap
eritropoetin. Efek inhibisi TNF-danIL-1 pada eritropoesis dapat diatasi dengan
pemberian dosis tinggi ESA. Pada pasien-pasien dengan gagal ginjal terminal,
resistensi ESA berhubungan dengan respon inflamasi seperti pada pasien dengan
peningkatan CRP atau fibrinogen kurang respon terhadap ESA. Gunell dkk
melaporkan bahwa albumin serum yang rendah dan kadar CRP yang meningkat juga
memprediksi resistensi terhadap ESA pada pasien-pasien hemodialisis dan peritoneal
dialisis, yang mendukung konsep bahwa respon inflamasi menyebabkan
hipoalbuminemia dan anemia pada pasien-pasien gagal ginjal terminal. d
Diagnosis
Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat penyakit
terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan
apus darah perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi, anemia ini
bersifat hipoproliferatif normositik normokrom, apus darah tepi menunjukkan burr
cell. Skrining Hb pada pasien gagal ginjal kronis dilakukan minimal 1 kali setahun.
Jika didapatkan anemia dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan yaitu berupa:
Pemeriksaan darah lengkap: Hb, Ht, indeks eritrosit (MCH, MCV, MCHC),
Pemeriksaan lain untuk mengevaluasi penyebab anemia lainnya dapat dilakukan bila
didapatkan kecurigaan klinis.
Pemeriksaan kadar Hb lebih dianjurkan daripada Ht, oleh karena variabilitas
pemeriksaan Hb antar laboratorium kecil, dan kadar Hb tidak dipengaruhi oleh waktu
penyimpanan darah atau kadar glukosa serum. Pada pasien dengan hemodialisa,
waktu yang dianjurkan untuk pemeriksaan Hb adalah sebelum tindakan hemodialysis
dilakukan. Anemia ini terkadang disebabkan oleh adanya perdarahan tersembunyi dari
saluran cerna (occult blood) (sekitar 6-20%). b
Darah lengkap
Pemeriksaan darah tepi
Hitung retikulosit
Pemeriksaan besi (serum iron, totalironbindingcapacity, saturasi
Penggunaan terapi ESA (eritropoiesis stimulating agents) sudah dilakukan sejak tahun
1898 dan terbukti efektif dalam penatalaksanaan anemia dan mengurangi kebutuhan
transfusi. Terapi ESA ini dilakukan dengan menggunakan recombinant human
eritropoetin (terapi EPO). Terapi ini juga terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien. Oleh karena itu terapi EPO menjadi suatu tatalaksana rutin pada pasien
dengan hemodialisa dan juga pada pasien CKD yang tidak di hemodialisa. Target Hb
pada pasien dengan terapi ESA masih dalam tahap evaluasi yang lebih lanjut namun
ada beberapa pilihan rekomendasi target Hb dalam terapi ESA menurut beberapa
guideline yaitu:
Target Hb pada pasien CKD juga harus memperhatikan kondisi klinis pasien. Bila
kondisi klinis pasien membaik dengan terapi ESA, dapat dilakukan sampai mencapai
terapi yang maksimal, bila mengalami perburukan maka tidak perlu melanjutkan
terapi ESA hanya untuk mencapai target Hb yang ditentukan.f Sementara itu
berdasarkan konsesus PERNEFRI target Hb pada pasien PGK adalah 10-12 g/dl dan
tidak boleh lebih dari 13 g/dl. b
Percobaan menunjukkan bahwa AB yang melawan materi rekombinan dan
menghambat terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya
adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis. Heparin yang tinggi
untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama dialisis. Pada
beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat terlihat. Peningkatan tekanan
darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus
vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan tingginya viskositas
darah bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat peningkatan
trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi human recombinant
eritropoetin pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu trombositosis mungkin
mempengaruhi hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang
meningkat dan hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer
karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan keadaan
umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh eritropoetin dapat menimbulkan
defisiensi besi khususnya pada pasien dengan peningkatan blood loss. Seluruh
minggu.
Target respon yang diharapkan yaitu Hb naik sekitar 0.5-1.5 g/dl dalam
4 minggu
Monitor Hb tiap 4 minggu
Bila target respon tercapai: pertahankan dosis ESA sampai taget Hb
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup. Karena berat
badan rata-rata pasien PGK 50-60 kg maka dosis 80-150 IU/ kg BB/ minggu setara
dengan 2000-5000 IU/ kali HD. ESA dapat diberikan secara SC maupun IV namun
SC lebih dianjurkan karena pemberian ESA secara SC dapat menghemat kebutuhan
ESA sampai 30% karena waktu paruh lebih panjang. Pemberian dilakukan sebelum,
saat atau setelah HD selesai. b
Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah yang tidak
terkontrol.
Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, dapat diberikan terapi tambahan yaitu
berupa:
Hipertensi
Terapi ESA berpotensi meningkatkan tekanan darah terutama bila kenaikan
Hb terlalu cepat atau menggunakan ESA dosis tinggi. Selama terapi ESA
dilakukan perlu perhatian khusus terhadap tekanan darah terutama pada fase
koreksi. Obat anti hipertensi diperlukan, dan kadang dibutuhkan peningkatan
dosis.
Trombosis
Trombosis dapat terjadi jika Hb meningkat secara cepat melebihi target
Kejang
Jarang dijumpai, umumnya terjadi pada Hb > 10 g/dl dengan peningkatan
yang cepat disertai tekanan darah yang tidak terkontrol.
Pure Red Cell Aplasia (PRCA)
PRCA dicurigai bila pasien dalam terapi ESA >4 minggu ditemukan gejala
berupa:
1. Penurunan Hb mendadak 0.5-1 g/dl/minggu atau membutuhkan
transfusi 1-2 kali/ minggu.
2. Hitung leukosit dan trombosit normal
3. Hitung retikulosit absolut < 10.000/ L.
4. Diagnosis PRCA ditegakaan berdasarkan pemeriksaan Anti
Erythropoietin antibody yan positif dan/atau pada biopsy sumsum
tulang ditemukan Erytroid progenitor Cells yang berkurang
5. Pada keadaan tersebut pemberian ESA harus dihentikan. b
harus dinaikkan sambil memikirkan efek samping yang mungkin terjadi. Ada
beberapa consensus yang mencoba menentukan batas maksimum penggunaan EPO
seperti KDIGO namun masih belum berhasil. Selain itu ada beberapa konsensus lain
seperti The Canadian Society and Nephrology yang merekomendasikan dosis
maksimal sebesar 3200-8000 IU 3x per minggu untuk epoetin alfa atau 80 g/
minggu, namun masih banyak kekurangan dari ide ini, sehingga definisi hiporesponsif
terhadap terapi EPO ini juga masih perlu penelitan lebih lanjut. h
Penyebab terapi yang tidak adekuat ini:
ST tidak dapat dipertahankan 20% dan/atau FS 100 ng/ml, maka dianjurkan untuk
pemberian terapi besi parenteral.
Terapi besi parenteral
Terapi besi parenteral terutama diindikasikan pada pasien PGK dengan hemodialisa.
Terapi ini mempunyai efek samping berupa hipersenstitivitas
Transfusi Darah
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah adalah:
Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah
mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum
tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hati. Target pencapaian Hb
dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi
EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi,
hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa
pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan dengan
peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan
penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal,
pemberian transfusi darah sedapat mungkin dihindari. Transfusi darah memiliki resiko
penularan Hepatitis virus B dan C, infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi
transfuse selain itu juga dapat terjadi iron overload, reaksi hemolitik dan circulation
overload. b
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anemia merupakan salah satu dari gejala klinik pada penyakit ginjal kronis. Anemia
pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40
ml/mnt/1,73m2 dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya
fungsi ekskresi ginjal. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik
normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat seperti defisiensi besi
yang terjadi pada gagal ginjal. Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada
patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu : hemolisis, produksi eritropoetin yang
tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap
eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti intoksikasi
aluminium. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis
ditanyakan tentang riwayat penyakit terdahulu , pemeriksaan fisik, evaluasi
pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan apus darah perifer. Pada era penggunaan
rekombinant human eritropoetin (rHuEPO) , penilaian terhadap simpanan besi melalui
perhitungan feritin serum, transferin, dan besi sangat diperlukan. Feritin serum
merupakan indikator yang tepat dari simpanan besi tubuh. Penatalaksanaan anemia
ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%, baik dengan
pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Terapi anemia pada gagal ginjal
bervariasi dari pengobatan simptomatik melalui transfusi sel darah merah sampai ke
penyembuhan dengan transplantasi ginjal. Peran dari transfusi sebagai pengobatan
anemia primer pada pasien gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis dan
penelitian serologic telah berkembang. Transplantasi ginjal pada banyak kasus, harus
menunggu dalam waktu yang tidak tertentu dan tidak setiap pasien dialisis memenuhi
syarat.