Вы находитесь на странице: 1из 27

SANGKAN PARANING DUMADI

ORANG JAWA DAN RAHASIA KEMATIAN


Karya Bendung Layungkuning

Disarikan dan dibahas Oleh Bocah Angon

Upaya manusia untuk memahami keberadaanNYA diantara semua makhluk yang


tergelar di jagad raya telah membawa manusia dalam perjalanan pengembaraan yang
tak pernah berhenti. Pertanyaan tentang dari mana dan mau kemana (Sangkan Paraning
Dumadi) pada setiap perjalanan dari individu makhluk terus menggelinding dari zaman
ke zaman.

IA adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran. IA hanya satu, tanpa kembaran, Gusti
Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari. Orang jawa menyebutnya Gusti Pangeran.
Kata pangeran berasal dari kata pangengeran, yang artinya tempat bernaung dan
berlindung.
Terhadap Tuhan manusia hanya mampu memberikan sebutan sehubungan dengan
perannya, Gusti kang murbeng dumadi (Penentu nasib semua makhluk), Ya Rakhman
Ya Rakhim (Pengasih Penyayang, red : Bocah Angon) dan tidak dapat menggambarkan
wujudnya karena untuk mendefinisikanpun tidak bisa, sebab kata-kata hanyalah produk
fikiran. Sehingga orang jawa menyebutnya tan kena kinaya ngapa (tak dapat
disepertikan)

Dasar kepercayaan masyarakat jawa (javanisme) adalah keyakinan bahwa segala


sesuatu yang ada di dunia ini pada hakikatnya merupakan kesatuan hidup. Dengan
demikian kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan
pengalaman-pengalaman yang religius.
Perkembangan kecerdasan dan kesadaran manusia telah membentuk budaya pencarian
yang tiada hentinya. Syarat utama bagi para pejalan spiritual adalah kebersediaannya
dan kemampuannya menghilangkan atau menyimpan untuk sementara pemahaman
dogmatis (agama , red : bocah angon) yang telah dimilikinya, dan mempersiapkan diri
dengan keterbukaan hati dan pikiran untuk merambah ke jagad ilmu pengetahuan
(kawruh) non-ragawi, yaitu ilmu yang gawat dan wingit, karena sifatnya sangat pribadi
dan tidak bisa diseragamkan dengan idiom-idiom yang ada.

Perjalanan spiritual adalah proses panning upaya manusia untuk mencapai tatarankahanan (strata, Maqom) dengan cara membebaskan diri dari segala bentuk keterikatan
dan kemelekatan serta kepemilikan, baik itu jasmani ataupun rohani.
****(Salah satu metode yang dilakukan adalah bersemedi, yaitu menghentikan segala
fungsi tubuh, keinginan serta nafsu jasmaninya. Dengan latihan ini diharapkan agar diri
dapat membebaskan dari keadaan sekitar. Karena dengan metode ini akan tercipta
keheningan pikiran, sehingga membuat diri mengerti dan menghayati hakikat hidup :
Bocah Angon)
****Dalam islampun hal ini tersirat dalam peristiwa yang dikenal dengan Lailatul
Qadr. Lailatul Qadr merupakan sebuah peristiwa penting yang terjadi pada bulan
Ramadan (malam hari).
****Kenapa bulan ramadan?, bukankah artinya ramadan adalah kemenangan.
****Menang dari apa?, menang dari segala hawa nafsu yang ada di diri.
****Kenapa malam hari?, malam hari merupakan simbol dari keheningan,
simbolisasi dari Mengheningkan Cipta (menghentikan segala fungsi tubuh), dan
merupakan waktu yang tepat untuk merenungi diri (menghayati hakikat hidup).
****Sehingga apabila manusia disetiap harinya mampu mengendalikan dan
mengalahkan segala hawa nafsunya maka orang tersebut ditiap harinya mengalami
peristiwa Lailatul Qadr (penulisan Al Quran Teles / basah, red: hakikat hidup dalam
hati).
Al Quran dimulai diturunkan pada malam Lailatul Qadr, yang nilainya lebih dari seribu
bulan; para malaikat dan Jibril turun ke dunia pada malam Lailatul Qadr untuk
mengatur segala urusan.
Seperti yang dijelaskan dalam fiman Tuhan Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan[1593]. Dan tahukah kamu apakah
malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam
itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al Qadr 97 : 15)
[1593]. Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr
yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, karena pada malam itu permulaan
turunnya Al Quran.
**** = Bocah Angon

Dalam hadistnya Nabi Muhammad bersabda bahwa Malam Lailatul Qadar, bisa ditemui
dalam mimpi Aku lihat mimpi-mimpi kalian tentang lailatul qadar semuanya sama
menunjukkan pada tujuh malam terakhir. Karenanya siapa saja yang mau mencarinya,
maka hendaklah dia mencarinya pada tujuh malam terakhir. (HR. Al-Bukhari no. 1876
dan Muslim no. 1985)
****(Alam pikiran orang jawa telah merumuskan bahwa kehidupan manusia berada
dalam dua alam (kosmos), makrokosmos adalah alam semesta dengan pusat Tuhan dan
mikrokosmos adalah diri manusia secara pribadi.: Bocah Angon)
Dalam ajaran kejawen dikatakan bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaannya dengan
digambarkan sebagai curiga manjing warangka, warangka manjing curiga; seperti keris
masuk ke dalam sarungnya, seperti sarung memasuki kerisnya.

Meskipun ciptaannya selalu berubah atau menjadi (dumadi), Tuhan tidak


terpengaruh terhadap perubahan ciptaannya. Dalam kalimat puitis orang jawa
mengatakan Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening
geni, nganakake bantu manggon ong banyu ora teles dening banyu. Artinya Tuhan
mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar, menciptakan air bertempat di
air tetapi tidak basah.

Menyatunya Tuhan dengan ciptaanNYA secara simbolis juga dikatakan kaya kodhok
ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng (seperti katak menyelimuti liangnya dan
seperti katak terselimuti liangnya). Dengan pengertian demikian maka jarak antara
Tuhan dan ciptaanNYA tidak terukur lagi (Baca hakekat makna 1000 tahun). Dalam
filsafat jawa ditegaskan adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan, artinya jauh
tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan.

BAB I
MAKNA KEMATIAN BAGI MASYARAKAT JAWA
Manusia tidaklah selayaknya bersedih hati atas meninggalnya makhluk lain,
betapapun besar jasanya dan betapapun besar cinta kasihnya. Namun, ini juga bukanlah
berarti seseorang harus bersukaria atas kematian sanak keluarga. Dengan perkataan lain,
berduka-cita bukanlah suatu kebajikan, bukanlah suatu perwujudan dari rasa bakti, tulus
dan setia.

Untuk menyatakan serta membuktikan betapa besarnya rasa bakti dan cinta kasih
terhadap almarhum, seseorang tidaklah harus berduka-cita, menangis atau bahkan
menyewa orang-orang miskin untuk berpura-pura menangis. Karena semua menyadari
bahwa orang yang telah lama meninggal dunia tidaklah mungkin dapat dihidupkan
kembali, hal ini bukanlah pertolongan baginya di alam sana. Bukan tangisan dari sanak
keluarga yang dapat mengantarkan seseoran ke surga.
****(Yang dapat memberikan pertolongan adalah Doa dari anak (almarhum), Amal
perbuatan (kebaikan almarhum) selama di dunia dan ilmu (almarhum) yang bermanfaat
untuk sesama makhluk hidup. :Bocah Angon)
Seseorang yang dirundung malang kiranya dapat diumpamakan seperti orang yang
sedang terjatuh ke dalam jurang. Untuk membebaskan atau menolongnya seseorang
tidaklah harus ikut menceburkan diri bersama dengannya. Tindakan yang bijaksana
ialah berusaha mengangkat sahabat atau kerabat itu keluar dari jurang tersebut. Dengan
kata lain, pertolongan yang diberikan kepadanya ialah memberikan bimbingan Spirit
(semangat) agar dia sadar bahwa didunia ini memang tidak ada sesuatu yang bersifat
kekal (langgeng).

BAB II
MENGAPA MANUSIA HARUS MATI

Tuhan pada awalnya menciptakan manusia bukanlah untuk kematian, melainkan


untuk kekekalan. Adam diciptakan sesuai dengan Citra-NYA. Ia ditempatkan di sorga
firdaus, kemudian dari tulang rusuknya di bentuklah seorang perempuan (Hawa) sebgai
pasangan hidupnya.
Tuhan mengizinkan untuk memakan buah dari segala pohon yang ada disurga kecuali
pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat dan pohon kehidupan yang dalam
islam disebut dengan maul hayat atau dalam hindu atau buddha dinamakan
kalpataru.
Didalam surga firdaus terdapat juga ular. Dituturkan bahwa ular adalah binatang
yang paling cerdik diantara segala binatang di darat yang dijadikan Tuhan. Singkat
cerita Hawa terkena bujukan ular ini, akhirnya mengambil buah larangan dan
membaginya dengan adam.
Mengetahui perintah-NYA dilanggar, Tuhan murka. Ular dikutuk menjadi hewan yang
berjalan dengan perut dan dijadikan musuh abadi anak turunnya Adam. Dalam pada itu,

Tuhan merasa bahwa kedaulatan-NYA kini terancam oleh sifat keingintahuan manusia,
dimana manusia ingin tahu atas segalanya.
Tuhan tidak rela membagi kelebihan ini kepada yang lain, sebab apabila ada pihak lain
entah manusia, malaikat,iblis atau binatang berhasil memilikinya, keberadaan Tuhan
dalam alam semesta yang diciptakan-NYA niscaya menjadi tidak berbeda.
Ini diakui sendiri oleh Tuhan sebagaimana tersurat dalam firman-NYA
sesungguhnya manusia telah menjadi seperti salah satu dari kita, mengetahui kebaikan
dan kejahatan; maka sekarang janganlah sampai ia mengulurkan tangannya dan
mengambil pula buah kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selamalamanya
Takut kalau manusia berbuat lebih jauh lagi dengan mengambil buah pohon
kehidupan yang dapat membuat kekal (hidup selama-lamanya), maka Tuhan segera
mengusir dari Surga Firdaus. Merasa khawatir bahwa tindakan pencegahan ini masih
belum cukup aman, Tuhan memagari pohon kehidupan itu dengan pemandangan yang
menyala-nyala dan menyambar-nyambar (hijab).
Demikianlah ringkasan kisah yang menceritakan kejatuhan manusia ke dalam dosa
(melanggar perintah Tuhan), yang membuat seluruh manusia keturunan Adam mewarisi
kematian Sebagaimana dosa telah masuk ke dalam dunia melalui satu orang, dan
kematian melalui dosa, begitulah kematian tersebar luas ke seluruh umat manusia.

1. Refleksi terhadap kematian


Manusia diciptakan seorang diri dan haruslah waspada bahwa ia akan mati seorang
diri juga. Selama hidupnya ia selalu hidup untuk memenuhi segala keinginan hawa
nafsunya, dan padahal manusia sadar saat mengalami kematian semuanya tidak ada
yang dibawa, semua hasil memuaskan hawa nafsunya ditinggalkan.
Masyarakat jawa menyakini bahwa semasa hidup didunia ini laksana bercocok
tanam, siapa menanam kebajikan maka akan menuai kebaikan, begitupun sebaliknya.
****( Terdapat unen-unen yang bisa kita renungkan, dan hal ini sering dibuat bahasan
oleh kami, Isih urip ae wis ngedeni uwong, opo maneh lek wes mati Masih hidup
saja sudah nakut-nakuti orang apalagi kalau sudah Mati : Bocah Angon)

2. Kematian sebagai sebuah refleksi awal penciptaan

Filsuf Yunani Socrates melalui tulisan muridnya Plato menyampaikan filsuf sejati
adalah mereka yang justru bergembira dengan tibanya kematian. Melalui kematuanlah
seseorang bisa leluasa memurnikan jiwanya dari pengarh ragawi, keterikatan, dan nafsu
tubuh.
Sejarah telah banyak mencatat kisah-kisah kematian yang dramatik namun begitu tulus,
sebutlah Isa Al Masih, Mansyur al Hallaj, Syech Siti jenar, dll.

BAB III
TUHAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT JAWA

1. Upaya Orang Jawa Dalam Mencari Tuhan


Berdasarkan pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaanNYA, maka masyarakat
jawa menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan simbolisasi guna
memudahkan pemahaman.
Pada sebuah kidung dhandhanggula digambarkan : Ana pandhita akarya wangsit, kaya
kombang anggayuh tawang (seperti kumbang yang ingin terbang kelangit), susuh angin
(sarang burung) ngendi nggone, lawan galihing kangkung (inti kangkung), watesane
langit (batas cakrawala) jaladri, tapake kuntul mabur ( bekas telapak burung kuntul
yang terbang) nglayang lan gigiring panglu (pinggir dari bumi/globe).

Di sini jelaslah yang dicari merupakan sesuatu yang tidak tergambarkan atau tidak
dapat disepertikan (Tan kena Kinaya Ngapa). Sehingga masyarakat jawa menyatakan
bahwa hakikat Tuhan adalah sebuah kekosongan, Suwung.
Logikanya, apabila hakikat Tuhan adalah kekosongan, maka untuk menyatukan diri
dengan sang maha kosong kitapun harus kosong. Dengan menghilangkan muatanmuatan yang membebani jiwa, seperti nafsu dan keinginan.

2. Metode Pencarian
Salah satu cara pencarian hakikat Tuhan adalah dengan berpuasa atau tirakat sebagai
perwujudan laku pencarian tersebut.
a. ****( Tapa mutih, yaitu minum air putih dan makan satu jenis makan dengan tanpa

garam selama 40 hari. Sebagai contoh air putih dan nasi putih tanpa tambahan apa-apa
selama 40 hari. : Bocah Angon)
b. Tapa Ngrowot, makan sayuran saja.
c. ****(Tapa Pati Geni, berpantangan makanan yang dimasak menggunakan api, tidak
tidur dan dilakukan ditempat gelap/tidak ada cahaya.: Bocah Angon)
d. ****(Tapa Ngebleng, Tidak makan dan minum selama 7 / 13 / 19 / 21 hari.: Bocah
Angon)
e. ****(Tapa kungkum, Merendam diri di Pertemuan arus selama 40 hari.:Bocah
Angon)
f. Tapa Ngeli, Menghanyutkan diri di air.
g. ****(Tapa pendem, mengubur diri hingga nampak leher saja.:Bocah Angon)
h. Tapa Nggantung, Mengantung diri dipohon atau tidak menginjak tanah.
i. Tapa Ngrame, Diri tetap tenang walaupun di tengah hirup-pikuk aktifitas manusia,
selain itu siap berkorban atau menolong siapa saja, dan kapan saja.
j. Tapa Brata, Bersemedi dengan khidmat.

Untuk memahami makna puasa pencarian dengan metode puasa, perlu diingat
beberapa hal, antara lain :
Pertama, Dalam menjalani lelaku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan
guru-guru kebatinan.
Kedua, Dikarenakan ritual ini bernuansa mistik, maka penjelasannyapun memakai sudut
pandang tasawuf/mistis dengan mengutamakan RASA dan mengesampingkan
akal/nalar.
Ketiga, Dalam budaya mistis jawa terdapat etika guruisme, dimana murid melakukan
taklid buta (patuh, tunduk dengan tidak ada pertanyaan) pada sang Guru.
**** = Bocah Angon

3. Hakikat Penyembahan Tuhan Bagi Masyarakat Jawa

Sukma rimbag wutuh den-tingali, saosike ya sukma belaka, wujud ing sukma tan
pae, wus tan kengang binastu, woring jati kula lan Gusti, Maha Gusti ta kula, sih
kajatenipun, lamun tan kadyeka, kula misih kula, Gusti misih Gusti, tan kengang worwinoran.
Artinya, Sukma sepertinya utuh kalau dilihat, segala gerak adalah sukma itu sendiri,
wujud sukma sudah tidak bisa dibedakan melebur menyatu, menyatunya kesejatian
kawulo atau hamba dan Gusti atau Tuhan, Maha Gusti dengan kawulo, kesejatian
kasih, tetapi walaupun sepertinya tidak bisa dibedakan, kawulo masih tetap kawulo,
Gusti tetap Gusti, tidak bisa dicampuradukkan.

Sembah adalah pujian bagi Tuhan semesta alam yang berati juga menghormati dan
memujaNYA, istilah lainnya adalah Pujabrata. Ada guru laku yang mengatakan bahwa
sesungguhnya orang itu tidak diperkenankan melakukan Pujabrata, sebelum ia
melewati Tapa brata.
a. Sembah raga
Laku ini adalah tapa yang berkenaan dengan badan jasmani. Selama ini badan
hanyalah mengikuti perintah batin dan kehendak. Badan maunya menyenangnyenangkan diri, merasa gembira tanpa batas.
Mulai hari ini, usahakan supaya badan menuruti kehendak cipta, demgan jalan : bagun
pagi hari dan mandi, jangan malas, lalu sebagai manusia normal bekerjalah (disiplin
diri). Pelajarilah ilmu luhur yang berguna untuk diri sendiri dan orang lain.
b. Sembah Cipta
Terdiri dari dua tahapan, pertama harus melatih pikiran kepada kenyataan kawula
mengenal gusti. Kedua, harus selalu mengerjakan hal yang baik dan benar, mengontrol
nafsu dan menaklukkan keserakahan. Sehingga diharapkan rasa akan menjadi tajam
dan diri akan mulai melihat kenyataan.
Berlatih Cipta;
1. Lakukan dengan teratur, ditempat yang sesuai.
2. Konsentrasikan rasa.
3. Jangan memaksa raga, laksanakan dengan pelan dan santai.
4. Kehendak yang jernih dan fokus.
5. Rutinkan melakukan ini, sampai hal yang dikerjakan ini adalah sesuatu yang memang
harus dikerjakan, dan sama sekali tidak menjadi beban (keteguhan hati).
Saat berada dijalan menuju kenyataan sejati, merasa tidak ingat apapun, seolah raga dan
pikiran tidak berfungsi, tetapi jiwa tetap (eling). Itulah heneng dan hening dan sekaligus
eling dari rasa sejati (kesadaran).
c. Sembah Jiwa
Dengan rasa yang mendalam, menggunakan suksma jiwa yang telah ditemui saat

heneng, hening dan eling untuk menyembah pada Tuhan YME. Ini adalah sembah batin,
tidak melibatkan lahir.
d. Sembah Rasa
Sembah ini ditandai dengan dimengertinya dari mana manusia berasal, mengerti
dengan sempurna untuk apa manusia diciptakan, mengerti tujuan hidup, mengerti
dengan sempurna atas kenyataan hidup, mengerti akan keberadaan semua makhluk
hidup dan memahami kemana akan kembali (sangkan paraning dumadi).
Hubungan Antar Kawula dan Gusti seperti manisnya madu dan madunya, tidak
terpisahkan. Nyinau ngilmu kedah ngertos ilmuni pun, ilmu bebukanipun sarana pikir
,ngilmu lelabetan kalian laku, olehipun sampurna kedah kekalih, menawi sampun
lajeng kagunaknya adamel uruping sasamnya samodraning guna agesang.

4. Konsep Tuhan dalam Sedulur Papat Kalimo Pancer dan Etimologi Aksara
Jawa
Dalam universalisasi falsafah jawa dinyatakan bahwa manusia adalah titah dumadi
yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harmonis dengan jagad rat pramudita
(jagad raya seisinya).
Sehingga prinsip universal ini yang melahirkan istilah sedulur tunggal dina
kelahiran (saudara satu hari kelahiran), yaitu bahwa apapun makhluknya yang
tumbuh/muncul/lahir bertepatan dengan saat seseorang dilahirkan, maka makhluk
tersebut dianggap sebagai saudara. Hal ini menegaskan bahwa walaupun manusia
adalah makhluk yang paling sempurna dan mulia serta mengajarkan agar sebagai
khalifah janganlah bersikap sombong dan arogan.
Dengan adanya saudara tunggal hari kelahiran ini, maka setiap manusia akan berhatihati dalam tindakannya. Ia tidak akan merusak alam semesta ini dengan segala tingkah
polahnya karena khawatir menyakiti saudara-saudaranya.
Pada zaman dahulu orang jawa membuat minuman dawet ketika hewan ternaknya
melahirkan, hal ini sebagai pelaksanaan merayakan gumelaring titah dumadi, yaitu
penciptaan makhluk oleh sang pencipta.Sayangnya keluhuran budi ini sering dianggap
sebagai tahayul, gugon tuhon, bahkan tidak sedikit dianggap sesat dan bidah. Sehingga
sekarang bisa dilihat akibat dari tidak menghargai akan keluhuran budi tersebut, orang
menjadi beringas, menilai bahkan merusak apa saja yang tidak sama. Ia tidak ingat
kalau statusnya sebagai khalifah, yang mana seharusnya menjadi orang yang bijak
dan bajik. Nafsunya menguasai rasa sehingga tumpullah sudah persaudaraan sesama
makhluk.

Jawa sendiri mengandung arti kesadaran budi, sehingga apabila orang mengetahui,
menyadari bahkan memahami ini tentunya setiap manusia akan selaras dengan
keinginan Tuhan, yaitu sebagai khalifah/ utusan didunia ini yang Hamemayu
Hayuning Buwono / Rahmatan lilalamin.****(Bocah Angon)
Tuhan juga berfirman bahwa telah jelas kerusakan yang terjadi di muka bumi ini
adalah akibat ulah manusia sendiri. Sehingga jangan pernah menyalahkanNYA untuk
semua nestapa yang dialami manusia. Seringnya bencana alam seperti banjir, tanah
longsor, tsunami bukanlah takdir, semua terjadi atas ulah manusia.
Salah satu konsep kesadaran budi yang dipegang oleh masyarakat jawa adalah bahwa
manusia (jagad cilik) adalah bagian dari alam semesta (jagad Besar). Hal ini
menyadarkan bahwa kedua jagad ini harus selalu dalam keadaan harmonis. Artinya
dalam setiap hembusan nafasnya manusia selalu sadar bahwa dirinya adalah bagian dari
alam semesta dan tentunya ia harus Hamemayu Hayuning Buwono. Dari hal inilah
muncul falsafah Sedulur Papat Lima Pancer.
Sedulur papat tiada guna tanpa adanya pancer, dan pancer tiada berfungsi tanpa
bantuan sedulur papat. Konsepsi sedulur papapt dimulai saat seseorang masih berada
didalam guwa garba / bumi suci seorang ibu. Didalam rahim ada 4 komponen utama
yang mendukung kehidupan janin. Air ketuban, ari-ari (tembuni), pusar dan darah. Air
ketuban berfungsi menjaga bayi, meredam benturan. Ari-ari menyerap sari makanan
dari ibu. Pusar menjalankan tugas sebagai saluran. Darah membawa sari-sari makanan
yang diserap ari-ari kedalam tubuh si bayi.
Saat proses kelahiran air ketuban keluar mendahului bayi, disebut dengan kakang
kawah, tempatnya di Timur, warnanya putih. Plasenta keluar setelah bayi bayi, disebut
dengan adhi ari-ari, tempatnya dibarat, warnanya kuning. Darah disebut dengan Ponang
Getih, tempatnya di selatan, warnanya merah dan terakhir puser, tempatnya diutara
warnanya hitam. Bayi sebagai pancernya. Ketiadaan salah satunya, membuat unsur
yang lain tiada berguna.
Seorang bayi bersama empat saudaranya setelah lahir, sebenarnya hanyalah
berpindah tempat. Dari Bumi suci kandungan ibu ke Bumi mulyo, yaitu berpindah
kedalam kandungan ibu pertiwi atau alam semesta ini.
Ketika lahir, sedulur papat dan pancer-nya disebut sebagai sedulur tunggal
pertapaan, nunggal sak wat, ning beda-beda panggonane, yang artinya : saudara satu
tubuh, keluar lewat jalan yang sama, tetapi berbeda-beda tempatnya.
Hubungan Tuhan dan Manusia dalam pemahaman aksara jawa adalah sebagai berikut :
HA : Hana hurip wening suci, adanya hidup adalah kehendak dari Yang Maha Suci.

NA : Nur candra, gaib candra, warsitaning candra, Pengharapan manusia hanya selalu
sinar illahi.
CA : Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi, satu arah satu tujuan pada Yang Maha
Tunggal.
RA : Rasaingsun handulusih, rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani.
KA : Karsaingsun memayuhayuning bawana, Hasrat diarahkan untuk kesejahteraan
alam.

DA : Dumadining dzat kang tanpa winangenan, menerima hidup apa adanya.


TA : Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa, Mendasar, totalitas, visi, ketelitian dalam
memandang hidup.
SA : Sifat ingsun handulu sifatullah, Sifat kasih sayang ku seperti kasih Tuhan.
WA : Wujud hana tan kena kinira, Ilmu manusia terbatas, namun aplikasinya bisa tanpa
batas.
LA : Lir handaya paseban jati, Mengalirkan hidup semata pada Illahi.

PA : Papan kang tanpa kiblat, Hakikat Tuhan ada di segala arah.


DHA : Dhuwur wekase endek wiwitane, Untuk bisa di atas tentu dimulai dari dasar.
JA : Jumbuhing kawula lan Gusti, Selalu berusaha menyatu dan memahami kehendakNYA.
YA : Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi, Yakin akan titah/kodrat Illahi.
NYA : Nyata Tanpa Mata, ngerti tanpa diuruki, memahami kodrat kehidupan.

MA : Madep mantep manembah mring illahi, Yakin dan mantap dalam menyembah
Illahi.
GA : Guru sejati sing muruki, Belajar pada guru yang bernama Hati Nurani.
BA : Bayu sejati kang andalani, Menyelaraskan diri pada gerak alam.
THA : Tukul saka niat, Segala sesuatu harus dimulai dan tumbuh dari niatan.
NGA : Ngracut busananing manungso, Melepaskan egoisme pribadi Manusia.

Ajaran/Filsafat Hidup yang disampaikan oleh Paku Buwana IX berdasarkan aksara


jawa, yang dimulai dari tembang kinanthi;
Nora kurang wulang wuruk, tak kurang piwulang dan ajaran.
Tumrape wong tanah jawa, bagi orang tanah jawa.
Laku-lakune ngagesang, perilaku dalam kehidupan.

Lamun gelem anglakoni, Jika mau menjalaninya.


Tegese aksara jawa, maknanya aksara jawa.
Iku kang guru sejati, itu guru yang sejati.

Ajaran hidup itu adalah sebagai berikut :


Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada utusan, yakni utusan hidup, berupa napas yang
berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Ada yang mempercayakan
(Tuhan), ada yang dipercaya (manusia) dan ada yang dijalankan (kewajiban manusia).
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data : saatna
(dipanggil), tidak boleh sawala : mengelak. Manusia harus bersedia melaksanakan,
menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya Dzat pemberi Hidup (Tuhan) dengan yang diberi
hidup (Makhluk). Maksudnya padha : sama atua sesuai, jumbuh, cocok Tunggal batin
yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya berarti
menang atau unggul. Sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan, sekedar menang
atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala perintah dan larangan Tuhan. Manusia
harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk
mewiradat, berusaha menanggulanginya.

Triwikrama wisnu sebagai perwujudan kelahiran manusia di dunia


Triwikrama adalah tiga langkah Dewa Wisnu atau Atma Sejati (energi kehidupan)
dalam melakukan proses penitisan. Awal mela kehidupan dimulai sejak roh manusia
diciptakan Tuhan namun masih berada di alam sunyaruri yang jenjem Jinem, dinamakan
sebagai zaman Kertayuga, yaitu Zaman yang serba adem tenteram dan selamat didalam
alam keabadian.
Di alam tersebut roh belum terpolusi nafsu jagad dan duniawi, atau dengan kata lain
digoda oleh setan (nafsu negatif). Dari alam keabadian selanjutnya roh manitis yang
pertama kali, yakni masuk kedalam air sang bapa, dinamkanlah zaman Tirtayuga. Air
kehidupan (tirtamaya) yang bersemayam di dalam rahsa sejati sang bapa kemudian
menitis ke dalam rahim sang rena (ibu).
Penitisan atau langkah kedua dewa wisnu ini berproses di dalam Zaman
Dwaparayuga. Sebagai zaman keanehan, karena asal mula wujud sukma adalah

berbadan cahaya, lalu mengejawantahlah mewujud menjadi jasad manusia. Sang bapa
mengukir jiwa dan Sang Rena yang mengukir raga. Selama 9 bulan calon manusia
berproses di dalam rahim Sang Rena dari wujud badan cahaya menjadi badan raga.
Itulah zaman keanehan atau dwaparayuga.
Setelah 9 bulan lamanya dewa wisnu berada di dalam zaman dwaparayuga,
kemudian langkah Dewa wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi
menjadi manusia yang utus dengan segenap jiwa dan raganya. Penitisan terakhir dewa
wisnu ke dalam zaman mercapadha.
Merca artinya panas atau rusak, padha berarti papan atau tempat. Mercapadha adalah
tempat yang panas dan mengalami kerusakan. Disebut juga sebagai madyapada, madya
itu tengah, dan padha berarti tempat.Tempat yang berada ditengah-tengah, terhimpit
diantara tempat-tempat gaib. Gaib sebelum kelahiran dan gaib setelah ajal.
Di zaman madya atau mercapadha ini manusia memiliki kecenderungan sifat-sifat
yang negatif. Sebagai pembawa unsur setan , setan disini tidak untuk difahami
sebagai makhluk gaib gentayangan penggoda iman, melainkan sebagai kata kiasan
nafsu negatifyang ada di dalam segumpal darah (kalbu). Mercapadha merupakan
perjalanan hidup paling sedikit, namun paling berat dan sangat menakutkan kemuliaan
manusia dalam kehidupan sebenarnya yang abadi dan kekal.

Konsep Kehidupan hingga kematian dalam Tembang Jawa


Salah satu pesan yang tertuag dalam serat Wulang Reh adalah Yen sira waskita,
sampurna in badanira, sira anggegurua. Apabila engkau ingin bijaksana, mencapai
kesempurnaa dalam kehidupanmu, maka bergurulah.
Berguru bisa pada siapa saja, karena apapun yang ada di alam semesta ini akan selalu
memberikan petunjuk bagi siapa saja yang mau belajar. Dlam berguru, kita diajak untuk
tidak sombong, mau mendengarkan orang lain, berpikiran terbuka. Orang bijaksana
akan belajar dari siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
Hampir semua ksatria utama yang telah mencapai tahapan mukti akan memiliki
keinginan utama, yaitu memuliakan para leluhurnya. Mereka mengasah kewaskitaan
melalui laku spiritual, laku prihatin dan banyak belajar pada alam, sehingga kan
kelihataan kewibaannya. Apalgi kalu terkena sinar blencong, maka akan katon tejane.
Laku spiritual puncak dapat diibarakan telah mencapai tahapan Manyura, dalam
bahasa kawi berarti burung merak. Artinya, ia sudah merah atau nyedhak kepada sang
pencipta.

Perjalan Kehidupan manusia digambarkan dalam pertunjukan wayang, salah satunya


dengan beraneka ragaman dan komposisi gending yang digunakan. Diawali dengan
gending patalon atau gending pembuka sebelum dalang memainkan wayang. Gending
berikutnya adalah gending cucur bawuk. Cucur atau kue cucur, Bawuk adalah kemaluan
anak wanita. Sehingga cucur bawuk menggambarkan kehidupan anak-anak yang polos,
original, penuh fantasi dan indah.
Dilanjutkan dengan gending Pare Anom. Pare Anom adalah pria yang masih muda,
gambaran masa remaja yang ceria. Dilanjutkan dengan Ladrang srikaton yang
mempunyai irama yang lincah, agung, dan dinamis. Gambaran Puncak kehidupan
manusia yang berada pada puncak karier dan prestasi.
Memasuki masa paro ketiga yang terakhir adalah masa-masa seseorang harus sudah
mendekatkan diri pada Sang Khalik. Diisyaratkan dengan gending Ketawang suksma
Ilang. Gending yang cepat dan menghentak, yaitu Srepeg dan sampak, gending ini
melambangkan suksma melayang, nyawa meninggalkan Tubuh. Akhir dari komposisi
gending ini adalah makin pelan, lirih kemudian menghilang dengan damai.
Para Leluhur zaman dahulu telah menggambarkan proses perkembangan manusia
dari lahir hingga mati, selangkah demi selangkah yang digambarkan dalam tembang
macapat (membaca sipat). Bentuk karyanya mengikuti tata aturan guru gatra, guru lagu,
dan guru wilangan, selain itu penggunaan tembang ini sesuai dengan suasana
lingkungan dan susana hati pelantunnya.

Ringkasnya, berbagai lirik nada yang digubah kedalam berbagai bentuk tembang
menceritakan sifat lahir, sifat hidup, dan sifat mati manusia sebagai sebuah perjalanan
yang harus dilalui oleh setiap insan, dengan harapan agar bisa sebagai pepeling dan saka
guru untuk perjalanan hidup setiap manusia. Berikut alurnya :
1. Mijil
Mijil artinya Lahir. Hasil olah raga dan jiwa laki-laki dan perempuan menghasilkan si
jabang bayi. Sang bayi sudah terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga selama 9
bulan, namun dia harus netepi titah gusti, maka lahirlah ke Mercapadha. Sang bayi
mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan yang memilukan. Tangisan
yang polos, tulus, dan alamiah bagai kekuatan getaran mantra tanpa tinulis.
2. Maskumambang
Setelah Sang bayi lahir, membuat hati orang tua diliputi perasaan bahagia, dijaganya
tiap malam agar jangan samapai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang.
Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tua untuk mengukir masa depan.

3. Kinanti
Semula jabang bayi berwujud merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang
selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuanya sebagai anugerah dan berkah. Dikanthikanthi (diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati, yang selalu menjaga
bumi pertiwi.
4. Sinom
Sinom : isih enom/ masih muda. Jabang bayi berkembang menjadi remaja. Orang tua
selalu berdoa disiang dan malam agar anak tidak salah arah dalam menentukan langkah.
Pengalamannya belum banyak, batinya belum matang.
5. Dhandanggula
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah. Mencoba hal-hal yang
belum pernah dirasa, walaupun itu dilarang agama, orang tua. Angan dan asa melamun
dalam keindahan dunia fana. Anak baru dewasa, remaja bukan, dewasa juga belum.
Masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia.
Walaupun begitu orang tua tidak punya rasa benci kepada pujaan hati. Selau setia
membimbing anak muda ini guna membuka panca inderanya.
6. Asmaradana
Asmaradana atau asmara dahana yaitu api asmara yang selalu membakar jiwa dan
raga. Kehidupannya digerakkan oleh motivasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia
miliknya saja. Apa yang dicitakan harus terlaksana, tidak peduli apapun akibatnya.
Sudah menjadi tugas orang tua untuk membimbing dan mengarahkan, karena sebentar
lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru. Jangan suka berpangku tangan tapi
pandailah memnfaatkan waktu. Ikuti tindak-tanduk sang guru lagu, yang selalu sabar
membimbing setiap waktu dan tak pernah mengerutu.
7. Gambuh
Gambuh atau gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah
menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai
sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah
bersinar. Menjadikan tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Dimana-mana
kepingin diakui sebagai pejuang, walaupun hatinya tidak lapang.

Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, akan tetapi berani hidup untuk menjadi
manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri. Kemana-mana terus berlari tanpa henti.
Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang
bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi.

Ilmu yang didaptkan seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi. Padahal
pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila
merasa ada yang kurang,menjadikannya sakit hati dan rendah diri.Jika tidak Tahan ia
akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadikannya pemuda-pemudi yang jauh
dari anugerah Ilahi.
Maka belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah
gumunan (heran) dan kagetan (kaget). Bila sudah paham hayatilah dan praktekkanlah
dalam setiap perbuatan, agar kau temukan dirimu yanng sejati sebelum raga yang
dibangga-banggakan itu menjadi mati.
8. Durma
Munduring Tata Krama. Tembang durma diciptakan untuk mengingatkan sekaligus
menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat.
Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau
memahami perasaan orang lain. Manusia cenderung mengikuti hawa nafsu yang
dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli
lagi.
Manusia walaupun tidak mau di sakiti, namun gemar manyakiti orang lain. Suka
berdalih dengan niat baik. Itulah keadaan manusia, suka bertengkar, emosi tak
terkendali, mencelakai dan menyakiti. Maka berhati-hatilah, orang yang beruntung
adalah orang yang selalu eling lan waspada.
Dalam cerita wayang purwa dikenal beberapa tokoh jahat. Sebut saja Dursasana,
Durmagati, Duryudana. Dalam terminilogi jawa istilah Dur/ dura ( nglengkara) yang
mewakili makna negatif (awon).
9. Pangkur
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Siang malam selalu berdoa, sementara
raga sudah tidak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan mati pun sungkan. Ke-sana
kemari ingin mengaji diri. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulah dimasa lalu
yang gemar mentang-mentang.
10. Megatruh
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh datangnya
ajal akan tiba sekonyong-konyong.
Terlanjur tidak paham jati diri. Selama ini menyembah Tuhan dengan penuh pamrih,
karena takut neraka dan berharap pahala surga. Sembahyangnya rajin namun tak sadar
sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia dan alam semesta. Penyakit hati
menjadi penentu dalam meraih kemuliaan sejati, dimana manusia tidak sadar diri selama
ini sering merasa benci, iri hati dan dengki.

Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakannya ia merasa paling pintar,
namun segala keburukan yang dilakukannya dianggapnya demi membela diri. Kini
dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat
merugikan diri.
11. Pocung
Pocung ataou pocong adalah orang yang telah mati, lalu dibungkus kain kafan. Itulah
batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati
dan abadi.
Bagi orang baik, kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali.
Sementara bagi durjana, saat meregang nyawa tiada yang peduli. Seram mengancam
dan mencekam.
Tuhan Maha Tahu dan bijaksana tak pernah luput dalam menimbang kebaikan dan
keburukan, walaupun itu sejumput. Manusia saat itu baru sadar, yang dituduh kafir
belum tentu kafir menurut Tuhan, yang dianggap sesat beleum tentu sesat menurut
Tuhan. Malah yang suka menuduh menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru
bersalah.Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupan ini kudu jeli, nastiti, dan ngatingati. Jangnlah suka menghakimi orang hanya karena tidak sefaham dengan kita. Lebih
bak kita mawas diri, agar kelak saat mati arwahmu tidak nyasar dan kemudian menjadi
Memedi.
12. Wirangrong
Hidup didunia ini penuh dengan siksaan, derita, pahit, dan getir, musibah dan
bencana. Namun manusia bertugas untuk mengubah itu semua menjadi anugerah dan
bahagia. Manusia harus melepaskan derita diri pribadi, maupun derita orang lain.
Manusia harus saling asah asih dan asuh kepada semua.
Hidup yang penuh cinta kasih dan sayang bukan berarti mencintai dengan membabi
buta. Manusia harus peduli, memelihara dan merawat, tidak membuat kerusakan bagi
sesama manusia lainnya, bagi makhluk hidup maupun jagad raya. Itulah nilai kehidupan
yang bersifat Universal, sebagai wujud nyata memayu Hayuning Bawana, Rahmatan lil
alamin.
Janganlah terlambat. Akan mengadu pada siapa jasad setelah masuk liang lahat
(ngerong). Wirangrong, Sak wirange mlebu ngerong, berikut segala perbuatan
memalukan selama hidup ikut dikubur bersama jasad yang kaku. Keburukannya akan
diingat masyarakat, aibnya dirasakan anak cucu.
Tidak pandang bulu, yang kaya atau melarat, pandai ataupun bodoh, keparat, rakyat
jelata maupun berpangkat. Semua itu sekadar pakaian dunia, tidak bisa menolong

kemuliaan akhirat. Hidup didunia sangatlah singkat, namun kenapa manusia banyak
yang keparat. Ajalnya mengalami sekarat. Gagal total merawat barang titipan Yang
Maha Kuasa, yakni segenap jiwa dan raganya.
Jika manusia tidak bermanfaat untuk kebaikan kepada sesama umat dan seluruh
jagad, merekalah manusia bejat dan laknat. Orang kaya namun pelit dan suka menindas,
orang miskin namun kejam dan pemarah, orang pandai namun suka berbohong dan
licik, orang bodoh namun suka mencelakai sesama.
Bahagia tak terperi, kemana-mana pergi dengan mudah sekehendak hati. Ibarat
lepas segala tujuannya dan luas kuburnya. Tiada penghalang lagi, seringkali
menengok anak, cucu, cicit yang masih hidup di dimensi bumi. Senang gembira rasa
hati, hidup sepanjang masa di alam keabadian yang langgeng tan owah gingsir.

Ilmu hidup yang tergelar di jagad raya, sebagai papan tanpa tulis atau sastra jendra,
semuanya berada dalam rumus Sang Hyang Mahawisesa. Termanifestsikan kedalam
kodrat alam/hukum alam semesta. Nembang Macapat itu adalah Olah rasa dana olah
Jiwa.

BAB IV

UPACARA KEMATIAN MASYARAKAT JAWA

Semua orang pasti suatu saat akan mati, entah bagaimana caranya atau seperti apa
matinya. Dan setiap orang pasti akan merasakan kematian, walaupun arti merasakan
itu tidak sama dengan yang dipersepsi oleh orang yang hidup.
Bagaimananpun cara orang melihat kehidupan akan sangat terkait dengan bagaimana
orang mempersepsi kematian. Ketentuan takdir kehidupan ini adalah bagian dari
pengejawantahan akan hukum keselarasan alam (Istilah Plato : mimesis). Masyarakat
jawa dalam memahami konsep ini tercermin dari filosof bahwa urip iki mung mampir
ngombe (hidup ini hanya mampir minum), atau urip ki mung sakdermo nglakoni
(hidup ini hanya sekedar menjalani), atau nrima ing pandum (menerima pemberian
Tuhan).
Pribadi yang selaras adalah pribadi yang tenang dalam segala situasi dan kondisi
perubahan, baik hal yang menyenangkan ataupun tidak. Hal ini salah satunya dicapai

dengan olah rasa, seperti meditasi.


Meditasi identik dengan penguasaan atas ngelmu atau kawruh tentang panracutan /
pangukutan. Dalam tarekat jawa, konsep urip (hidup) sebagai suatu entitas abadi
urip tan kena ing pati. Harapan dari kesemua konsep diatas adalah agar manusia
memahami betul akan sangkan paraning dumadi. Dalam tembang dhandanggula di
jelaskan

Kawruhana sejatining urip


Urip ono jroning alam donya
Bebasane mampir ngombe
Umpama manuk mabur
Lunga saka kurungan neki
Pundi Pencokan benjang
Awja kongsi kaleru
Njan-sinajan ora wurung bakal mulih
Umpama lunga sesanja
Mulih mulanira

Artinya ketahuilah sejatinya hidup, hidup didalam alam dunia ini, ibarat perumpamaan
mampir minum, ibarat burung terbang, pergi jauh dari kurungannya, dimana
hinggapnya besok, jangan sampai keliru, umpama orang pergi bertandang, saling
bertandang, yang pasti bakal pulang, pulang ke asal muasalnya.

Simaklah sebuah tembang dari syekh siti jenar yang digubah oleh Raden Panji
Natara dan digubah lagi oleh Bratakesawa yang bunyinya adalah sebagai berikut
Kowe padha kuwalik panemumu, angira donya iki ngalame wong mati, mulane kowe
padaha konthal-kumanthil marang kahanan ing donya, sarta suthik aninggat donya.
Artinya Kalian semua banyak berpendapat terbalik, mengira dunia ini alamnya orang
hidup, akhirat itu alamnya orang mati. Makanya kamu sangat lekat dengan kehidupan
dunia, dan tidak mau meninggal alam dunia
Siti jenar menambahkan penjelasannya Sanyatane, donya iki ngalame wong mati,
iya ing kene ki anane swarga lan neraka, tegese, bungah lan susah. Sawise kita ninggal
donya iki, kita bali urip langgeng, ora ana bedane antarane ratu lan kere, wali karo
bajingan,
Artinya Pada kenyataannya, dunia ini alamnya orang mati, didunia ini adanya surga
dan neraka, artinya senang dan susah. Setelah kita meninggalkan alam dunia ini, kita

kembali hidup langgeng, tidak ada bedanya antara yang berpangkat ratu dan orang
miskin, wali ataupun bajingan,..

Wejangan para leluhur mengatakan Urip sing sejati yaiku urip sing tan keno pati,
hidup yang sejati itu adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian.
Tetapi permasalahan yang muncul adalah, siap kah kita menghadapi hidup yang sejati
jika kita berpegang teguh pada kehidupan di dunia yang serba fana?, ajaran leluhur juga
menjelaskan : Tengeh lamun siro biso ngerti sampurnaning pati, yan sirao ora ngerti
sampurnaning urip. Artinya mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna,
jka kamu tidak mengerti hidup yang sempurna.

Selamatan kematian
Menurut Bratawidjaja (1993), setiap selamatan kematian seperti tersebut dibawah ini
memiliki makna terkait dengan kepergian roh yang meninggal (kaitannya dengan
upaya penyempurnaan roh dan jasad manusia) .
Penghitungan menggunakan hari dan pasaran :
a. Ngesur tanah dengan rumus jisarji, maksudnya hari kesatu dan pasaran juga ke satu.
b. Nelung dina dengan rumuslurasu, yaitu hari ketiga dan pasaran ketiga.
c. Menujuh hari (mitung dina) dengan rumus tusaro, yaitu hari ketujuh dan pasaran
kedua.
d. 40 hari (matangpuluh dina) dengan rumus masarama, yaitu hari kelima dan pasaran
kelima.
e. 100 hari (nyatus dina) dengan rumus rosarama, yaitu hari kedua pasaran kelima.
f. Peringatan tahun pertama (mendhak pisan) dengan rumus patsarpat, yaitu hari
keempat dan pasaran keempat.
g. Peringatan tahun ke-2 (mendhak pindho), dengan rumus jisarly, yaitu hari satu dan
pasaran ketiga.
h. Peringatan seribu (nyewu) dengan rumus nemasarma, yaitu hari ke enam dan pasaran
ke lima.

Tafsirannya adalah sebagai berikut :


Ngesur tanah, bermakna bahwa jenazah telah dikebumian, berarti memindahkan dari
alam fana ke alam baka, asal manusia dari tanah akan kembali ketanah.
Selamatan meniga, bermakna untuk menyempurakan empat perkara yang disebut
dengan anasir hidup manusia, yaitu bumi, api, angin, dan air. Selain itu juga
dimaksudkan untuk memberikan penghormatan pada roh yang meningalkan badan
wadag. Masyarakat jawa berkeyakinan bahwa roh tersebut masih berada dirumah dan
mulai mencari jalan untuk meninggalkan rumah.
Selamatan tujuh hari, untuk menyempurnakan kulit dan kuku. Selain itu pihak
keluarga meminta pengampunan dengan membaca tahlil, berasal dari kata arab, halla,
yang berarti membaca kalimat laillaha illallah, agar dosa yang meninggal diampuni.
Selamatan 40 hari, untuk menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibu yang
berupa darah, daging, sumsum, jeroan (isi perut), kuku rambut, tulang dan otot. Selain
itu selamatan matangpuluh dina ini dimaksudkan untuk memberikan penghormatan
kepada roh yang sudah mulai meninggalkan pekarangan menuju alam baka.
Selamatan 100 hari, untuk menyempurnakannsemua hal yang bersifat badan wadag.
Selamatan mendhak pisan untuk menyempurnakan semua kulit, daging dan jeroan.
Selamatan mendhak pindho menyempurnakan semua kulit, darah dan semacamnya
yang tinggal hanyalah tulangnya saja. Selain itu untuk memberikan penghormatan
terhadap roh yang sudah dialam baka. Di alam ini, ROh masih sering kembali
kekeluarga hingga peringatan mendhak tahun ke dua.
Selamatan mendhak ketiga, untuk menyempurnakan rasa dan bau sehingga semua
rasa dan bau lenyap. Roh baru akan pergi dan tidak kembali setelah peringatan 1000
hari.

BAB V

HIDUP & MATI DALAM KAJIAN SASTRA JAWA

1. Hakekat kematian dalam serat Pangracutan


Serat kekayasaning Pangracutan adalah karya sastra sultan Agung Anyakrakusuma
Raja Mataram (1613 1645). Serat kekayasaning Pangracutan ditulis ulang oleh R.ng

Ronggowarsito. Karya sastra ini juga merupakan sumber dari Wirid Hidayat Jati yang
ditulis juga oleh Ronggowarsito.
Serat kekayasaning Pangracutan adalah hasil temu nalar Sultan Agung dengan para
ahli kasampurnan, seperti Panembahan Purbaya, Panembahan Juminah, Panembahan
RAtu Pekik di Surabaya, Panembahan Juru Kithing, Pangeran kadilangu, Pangeras
Kudus, Pangeran Tembayat, Pangeran Kajoran, Pangeran Wangga, Kiai Penghulu
Ahmad Katengan. (baca : Serat Kekiyasaning Pangracutan)

2. Kematian Dalam Pandangan Syekh Siti Jenar


Ajaran Syekh Siti Jenar menyatakan bahwa dunia ini adalah kematian. Dunia
adalah alam kuur dan raga adalah sebuah teralis besi yang menahan jiwa berada di dunia
dan merasakan kesusahan, haus, lapar dan kesedihan.
Hakikat hidup adalah kekal selamanya dan tak tertimpa kematian. Ketika manusia lahir,
dia sebenarnya born to die, lahir untuk menuju kematian.
Kebutuhan kita didunia akan sandang, pangan, papan adalah untuk menunda
kematian dan untuk menemukan jalan hidup.
Bila manusia tidak memikirkan lagi tentang syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, maka
dirinya telah menuju manunggaling kawulo Gusti. Sehingga realitas manusia sejati
bisa berasal dari islam, kristen, budha, hindu ataupun lainnya, karena manusia sejati ini
memenuhi kodratnya sebagai KhalifahNYA di dunia.
Menurutsyehk siti jenar dalam serat gatholoco, mati itu seperti uning unong uninong
aning, artinya mati itu seperti orgasme. Sama-sama melepaskan beban, melepaskan
emosi dan ketengangan. Sehingga terasa lega.
Pada suatu kesempatan sunan kudus berkesempatan melemparkan pertanyaan
simbolik kepada Ki Ageng Pengging, sebagai berikut : Kalamun ingsun kapanggih
kalawan kekasihingwang, dadi kawula pan mami, kalamun ingsun kapisah kalawan
kekasih mami, sun dadi ratu, ratu ratuning sabumi, ratu angratoni jagad. Sapa
sejatiningsun, lan sapa kekasihingwang? (manakala aku bertemu dengan kekasihku,
aku menjadi kawula (hamba), manakala aku terpisah dengan kekasihku, aku menjadi
Raja, Raja diraja seluruh bumi, raja yang merajai jagad raya. Siapakah ingsun dan
siapakah kekasih-ku?
Ki Ageng Pengging tersenyum sambil menjawab ingsun ya ingsun, datan ono telu,
kasebut hyang paramashiwa, hyang sadashiwah lan hyang atma, telu-telune jatine
tunggal! (ingsun adalah ingsun, tiada lagi yang kedua ataupun ketiga, disebut juga
hyang paramashiva, hyang sadashiva dan hyang atma, ketiga-tiganya sesungguhnya
adalah satu)Kasebut ugi Allah, Rasul lan mukhammad, telu-telune tunggal uga!

( Disebut juga Allah, Rasul dan Mukhammad, ketiga-tiganya sesungguhnya adalah satu
juga).
Kang ingaranan kekasihingwang, ya jisim ya suksma, yen ingsun kapanggih kalawan
jisim lan suksma, ingsun pan dadya ratu, ratune ing jagad, ya brahman ya Allah, Tan
liyan saking punika! ( Yang disebut kekasih-ku, adalah jasad dan suksma, manakala
ingsun bertemu dengan jasad dan suksma, ingsun menjadi kawula, manakala ingsun
terpisah dengan jasad dan suksma, ingsun menjadi raja, raja diraja semesta, Ya Brahman
YA Allah, tiada lain dari itu!)
Sunan kudus tersenyum mendengar jawaban Ki Ageng Pengging, perdebatan pun
semakin panas. Sunan kudus bertanya lagi : Ana curiga kalawan warangka. Yen mung
katon warangka, anengngendi curiganira? ( Ada keris dan warangka. Manakala hanya
terlihat warangka, dimanakah kerisnya?)
Ki Ageng Pengging menjawab Amanjing warangka. Manunggal anyawiji! (masuk
kedalam warangka. Manunggal mejadi satu!)
Sunan kudus bertanya kembali Yen mung katon warangka, aneng ngendi
curiganira?( Manakala hanya terlihat keris, dimanakah Warangkanya?) Ki Ageng
Pengging menjawab, Amanjing Curiga. Manunggal anyawiji! (masuk ke dalam keris.
Manunggal menjadi satu)
Kemudian sunan kudus bertanya lagi, Yen musna ilang lelorone, dumunung ing
ngendi? (manakala hilang musnah keduannya, berada dimanakah?) Ki Aggeng
Pengging menjawab, Dumunung aneng urip! ( Berada di dalam hidup!)
Sunan kudus tertawa, lantas bertanya lagi Ana ing ngendi dununging urip?
(Dimanakah tempat kediamannya hidup?), Ki ageng pengging menjawab ana ing
galihing kangkung, ana ing gigiring punglu, ana ing susuhing angin, ana ing wekasaning
langi (berada di inti tumbuhan kangkung, berada di sudut pelor, berada di kediaman
angin, berada diakhir langit).
Kembali sunan kudus tersenyum, dan sunan kudus belum puas. Kembali ia
melempar pertanyaan, Yen ilang alip, lebur marang lam awal lan lam akhir. Illang lam
awal lan lam akhir, lebur marang ha. Yen ha dumunung aneng ngendi? ( Jika hilang
huruf alif, maka lebur kadalam lam awal, dan lam akhir. Jika hilang lam awal dan lam
akhir, lebur kedalam ha. Jika ha lebur, berada dimanakah?) Ki Ageng menjawab ,
Urip! (hidup).
Sunan kudus menyela, Alip jisimku (alip jasadku), Ki Ageng menyela juga ,
ANG raganingsun (ANG ragaku), Sunan kudus menyela lagi, lam awal lan lam

akhir napsuingsun (lam awal dan lam akhir nafsuku), Ki Ageng menyela UNG
sukmaningsun (UNG sukmaku).
Sunan kudus menimpali HU ruhingsun (HU rohku), Ki Ageng menimpali
MANG atmaningsun (MANG Atmaku), Sunan Kudus Allah Asmaningsun (Allah
namaku), Ki Ageng HONG asmaningsung ( HONG namaku). Sunan kudus, ALIP,
LAM AWAL, LAM AKHIR, HU.ALLAH, Ki Ageng Pengging , ANG, UNG,
MANG..HONG!.
Sunan kudus diam. Lantas menantang secara halus, Yen tebu weruh legine, yen
endhog weruh dadare ( Apabila tebu nyata manisnya, apabila telur nyata
isinya)*****(Ungkapan ini adalah khas ungkapan jawa, yang maksudnya meminta
bukti nyata dari semua yang diucapkan damar shasangka.
Ki Ageng tersenyum dan berkata Sumangga ing karsa.. (silahkan jika
berkenan). Ki Ageng Pengging lantas bersendakep dan meminta sunan kudus untuk
memperhatikan titik diantara kedua alis beliau. Lantas Ki Ageng memejamkan mata.
Sunan kudus lekat memperhatikan titik diantara kedua alis Ki Ageng Pengging.
Suasana mendadak berubah, ruangan dimana sunan kudus berada terasa hampa,
senyap seolah tanpa suara sama sekali. Beberapa detik kemudian suna kudus mendadak
tersentak manakala dia melihat cahaya terang nan lembut memancar dari titik diantara
kedua mata Ki Ageng Pengging. Cahaya nan lembut itu menerobos kesadaran Sunan
Kudus. Dan disana, ditengah hempasan cahaya tersebut, sunan kudus melihat dirinya
berada disana. Sejenakkemudian berubah menjadi wujud Ki Ageng Pengging, lantas
berubah lagi menjadi wujudnya.
Sunan kudus menutup mata, namun penampakan itu menembus kelopak matanya
yang terpejam. Sunan kudus lantas berkata Aku Percaya Nak Mas Pengging. Sudah
cukup.
Ki Ageng Pengging tersenyum, dan cahaya lembut yang memancar dari titik
Ditengah kedua alis matanya tersebut, mendadak sirna tanpa bekas. Sunan kudus
membuka kedua matanya dan menatap Ki Ageng Pengging tajam, sembari berkata
kabarnya, Nakmas Pengging mampu mati sakjroning urip. Urip sakjroning pati?
Ki Ageng Pengging menjawab Kanjeng sunan, saya tahu kanjeng sunan demak
menganggap saya sebagai klilip (penghalang) beliau. Tidak usah baa-basi lagi. Saya
siap mati sekarang. Saya bisa mengakhiri kehidupanku saat ini juga. Tetapi, kalau saya
melakukannya sendiri, sama saja saya dengan bunuh diri. Bunuh diri dalam keyakinan
Shiwa maupun Islam adalah hal yang tercela. Untuk itu jadilah perantara kematianku.

3. Kematian Dalam Serat Centhini


Serat centini adalah sebuah pustaka jawa dengan ketebalan mencapai 4.200 halaman,
tulisan tangan dengan huruf jawa (12 jilid). Serat ini ditulis pada tahun 1814 M atas
kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra kanjeng
susuhunan Pakubuwana IV, yang kemudian bertahta sebagai pakubuwana V. (Baca Serat
Centhini)

BAB VI
KEMATIAN YANG INDAH

Pada kasus tertentu, kemajuan di bidang medis hanya mampu mempertahankan


kehidupan seseorang pesakit, tetapi gagal mengembalikan keadaan kesehatannya
seperti sediakala atau setidak-tidaknya mampu menjalani kehidupan secara wajar.
Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kecerobohan adalah jalan menuju
kematian. Orang yang waspada tidak mengenal kematian, tetapi orang yang ceroboh tak
ubahnya seperti orang yang sudah mati. Dunia dikatakan tak timbul karena kesadaran
tak muncul, dikatakan hidup karena munculnya kesadaran, dikatakan mati karena
padamnya kesadaran.
Mari kita belajar pada pengalaman yang pernah diperoleh dari sunan kalijaga. Ketika
itu, Kanjeng Sunan Kalijaga yang dijuluki syekh malaya berniat hendak pergi ke
Mekkah. Tetapi niatnya itu akhirnya dihadang oleh Nabi Khidir. Nabi Khidir berpesan
hendaknya sunan kalijaga mengurungkan niatnya untuk pergi ke MEkkah, sebab ada hal
yang lebih penting untuk dilakukan di pulau Jawa. Kalau tidak, maka penduduk Pulau
Jawa akan kembali menjadi Kafir. Wejangan Nabi Khidir ini termuat dalam suluk
linglung sunan kalijaga. Inilh kutipannya :
Bilahi ananireku, aranira Allah jati. Tanana kalih ketiga, sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora, ngarani namanireki timbullah hasrat kehendak Allah
menjadikan terwujudnya dirimu
Artinya :Dengan adanya wujud dirimu, menunjukkan adanya Allah dengan
sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa mengetahui asal
muasa kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan
membanggakan dirinya sendiri.

Sifat jamal punika, ingkan kinen angarani, pepakane ana ika, akon ngarani puniki, iya

Allah angandika, mring Muhammad kang kekasih.


Artinya : Ada pun sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah sifat yang selalu berusaha
menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya dirinya karena ada yang mewujudkan
adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi
kekasihNYA.
Yen tanana sira iku, ingsun tanana ngarani, mung sira ngarani ingwang, dene tunggal
lan sireki iya ingsun iya sira, aranira aran mami.
Artinya : Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; hanya dengan sebab
ada kamulah yang menyebut keberadaanKU; sehingga kelihatan seolah-olah satu
dengan dirimu. Adanya Aku, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya
DzatKU.

Tauhid hidayat sireku, tunggal lawan Sang Hyang Widhi, tunggal sira lawan Allah, uga
donya uga akhir, ya rumangsana pangeran, ya Allah ana nireki.
Artinya : Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Yuhan. Menyatu
dengan Allah, baik itu di dunia maupun di akhirat. Dan Kamu merasa bahwa Allah itu
ada dalam dirimu.

Ruh idhofi neng sireku, makrifat ya den arani, uripe ingaranan syahdat, urip tunggil
jroning urip sujud rukuk pangasonya, rukuk pamore Hyang Widhi.
Artinya : Ruh idhofi yang ada dalam dirimu, Makrifat sebutannya, Hidupnya disebut
syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya.
Rukuk berarti dekat dengan Tuhan.

Sekarat tananamu nyamur, ja melu yen sira wedi, lan ja melu-melu Allah, iku aran
sakaratil, ruh idhofi mati tannana, urip mati mati urip.
Artinya : Penderitaan yang selalu menyertai ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan
takut menghadapi sakharatul maut. Dan jangan ikut-ikutan takut menjelang
pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh
idhofi tak akan mati; hidup mati, mati hidup.

Liring mati sajroning ngahurip, iya urip sajroning pejah, urip bae selawase, kang mati
nepsu iku, badan dhohir ingkang nglakoni, katampan badan kang nyata, pamore
sawujud, pagene ngrasa matiya, syekh malaya ( S. Kalijaga) den padhang sira nampi,
Wahyu prapta nugraha.
Artinya : Mati didalam kehidupan. Atau sama dengan hidup didalam kematian, yaitu
hidup abadi karena yang mati itu adalah nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati.
Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataan satu wujud. Raga sirna, sukma moksa.

Jelasnya mengalami kematian! Syekh malaya (s. Kalijaga), terimalah hal ini sebagai
ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.

Ibarat perjalanan ke suatu tujuan dengan mempergunakan kendaraaan yang berbedabeda, kita semua sebgai penumpang pasti akan sampai tujuan tersebut, tinggal kita
awas dalam perjalanan ataupun kita hanya tidur. Yang awas akan mengerti isi
perjalanannya dan yang tidur tidak mengerti isi perjalanannya.
Agama boleh terus berkembang, tetapi hendaknya manusia tidak menyikapinya
dengan raya yang fanatik yang berlebihan, atau memaksakan ajarannya kepada orang
lain, bahkan menerapkan hukum agama tersebut sebagai hukum negara. Jika kaidah
tersebut dibakukan sebagai sebuah kaidah keyakinan mutlak, maka dapat dipastikan
umat agama yang lain tidak dapat berkembang atau mengabarkan agamnnya dan
pemaksaan tersbut ujung-ujungnya adalah pertentangan hingga mengakibatkan
peperangan.
Masyarakat jawa hidup penuh toleransi, menghargai pendapat dan keyakinan orang,
dan mereka tidak bodoh dengan memaksa berdoa harus memakai bahasa tertentu.
Sedangkan Tuhan / Gusti Pangeran itu adalah Maha tahu segala bahasa yang diucapkan
oleh semua makhluk. DIA maha adil dan maha melihat walaupun rahasia yang
tersembunyi sekalipun seperti terpendam di hati.
http://www.mercubuanaraya.com/Sangkan-Paraning-Dumadi.html

Вам также может понравиться