Вы находитесь на странице: 1из 23

GRAND DESIGN FINANCIAL ARCHITECTURE

PENENTUAN BATAS KAPITALISASI ASET TETAP PADA


PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI STRATEGI DALAM
MELINDUNGI ASET PEMERINTAH
Oleh:
Debrian Ruhut Saragih (154060006364)
Kelas 8B STAR BPKP

POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN


2016

BAB I
LATAR BELAKANG
Pedoman

umum

pemerintah

pusat

maupun

pemerintah

daerah

dalam

menyajikan aset tetap di neraca adalah sebagaimana yang tercantum dalam SAP dan
kebijakan batas minimal kapitalisasi mengenai definisi umum aset tetap. Definisi umum
aset tetap sesuai PSAP No 7 adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan atau dimaksudkan untuk digunakan
dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Selain itu, ada
juga batas minimal kapitalisasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang mengacu pada
pasal 53 ayat 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah yang menyatakan bahwa Kepala Daerah menetapkan batas minimal
kapitalisasi (capitalization thresholds) sebagai dasar pembebanan belanja modal.

Dalam praktiknya, pedoman tersebut sulit dipedomani bagi Pemerintah Daerah


terlebih kewenangan dalam penentuan batas minimal kapitalisasi aset diserahkan
masing-masing daerah. Kesulitan ini terkait dengan ketidaksesuaian dalam penentuan
batas minimal kapitalisasi yang wajar terhadap aset tetapnya. Sebagai contoh dalam
menentukan apakah kain gorden yang dibeli oleh puskesmas dan kain gorden di rumah
jabatan bupati (yang tentu saja mutunya lebih bagus) sama-sama dicatat sebagai aset
tetap atau tidak. Pada akhirnya untuk mengatasi masalah itu baik pemerintah pusat
maupun pemda menetapkan dalam kebijakan akuntansinya suatu nilai batas minimal
kapitalisasi untuk menentukan apakah barang-barang seperti gorden di puskesmas dan
gorden di rumah jabatan bupati dicatat dan disajikan di neraca atau tidak.
Buletin Teknis (Bultek) nomor 9, menyebutkan pengukuran aset tetap harus
memperhatikan kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) soal batas minimal
kapitalisasi. Kebijakan batas minimal kapitalisasi yang dimaksud meliputi kapitalisasi
atas perolehan awal dan setelah perolehan awal. Menurut Bultek No 9 itu juga kecuali untuk aset tetap tanah dan jalan, irigasi, jaringan - pemerintah pusat dan pemda
harus menetapkan kebijakan batas minimal kapitalisasi. Untuk kedua jenis aset tetap ini
yakni tanah dan jalan, irigasi dan jaringan tidak diperlukan suatu nilai batas minimal
kapitalisasi, meski sebenarnya tidak ditemukan penjelasan yang cukup mengenai hal
2

itu. Atas dasar itulah ditambah dengan Pasal 53 ayat 4 Permendagri 59 tahun 2007,
pemda berbondong-bondong menetapkan kebijakan batas minimal kapitalisasi.
Terlepas dari itu, pemerintah pusat maupun pemda sebenarnya dapat saja menetapkan
batas minimal kapitalisasi sebesar nol, seperti halnya yang diakukan oleh pemerintah
pusat yang tidak menetapkan suatu batas minimal kapitalisasi untuk aset tetap lainnya
atau dengan kata lain batas minimal kapitalisasinya adalah sebesar nol. Namun,
kebebasan penetapan batas minimal ini tentu memberikan dampak dalam pelaporan
nilai dan komponen aset tetap yang dimiliki.
Dari uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa penetapan kebijakan batas
minimal kapitalisasi ini haruslah dilakukan dengan cermat karena akan menentukan
nilai aset tetap yang sebenarnya harus diakui pemerintah daerah. Ketidaksesuaian
penetapan nilai ini akan membuat hilangnya potensi aset tetap yang seharusnya dimiliki
pemerintah. Oleh karena itu dalam paper ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai
Penentuan Batas Kapitalisasi Aset Tetap Pada Pemerintah Daerah Sebagai
Strategi Dalam Melindungi Aset Pemerintah

BAB II
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah kebijakan dalam penetapan nilai batas minimal kapitalisasi aset oleh
masing-masing daerah sudah tepat?
2. Penentuan Batas Minimal Kapitalisasi Aset yang tidak tepat berisiko menghilangkan
aset tetap potensial seharusnya dicatat dalam kategori aset tetap. Apakah terdapat
konsep baru dalam penetapan nilai batas minial kapitalisasi aset sehingga aset
tetap diklasifikasikan dengan tepat?

BAB III
TEORI
Definisi Aset Tetap
Standar Akuntansi Pemerintahan mendefinisikan aset tetap sebagai aset
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
Aset tetap diakui dan dicatat berdasarkan biaya/harga perolehan aset tersebut.
Secara umum yang dimaksud dengan biaya perolehan adalah jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh aset tetap sampai dengan aset tetap tersebut dalam
kondisi dan tempat yang siap untuk digunakan. Berdasarkan PSAP 07 paragraf 29
menyatakan bahwa Biaya perolehan suatu aset tetap terdiri dari harga belinya atau
konstruksinya, termasuk bea impor dan setiap biaya yang dapat diatribusikan secara
langsung dalam membawa aset tersebut ke kondisi yang membuat aset tersebut dapat
bekerja untuk penggunaan yang dimaksudkan. Pada paragraf 30 memberikan contoh
biaya yang dapat diatribusi secara langsung adalah biaya persipan tempat; biaya
pengiriman, simpan dan bongkar; biaya pemasangan, biaya profesional dan biaya
konstruksi.
Batasan Lingkup Aset Tetap
Aset tetap diklasifikasikan berdasarkan kesamaan dalam sifat atau fungsinya dalam
aktivitas operasi entitas. Klasifikasi aset tetap adalah sebagai berikut :
a. Tanah; Tanah yang dikelompokkan sebagai aset tetap ialah tanah yang diperoleh
dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah dan dalam
kondisi siap dipakai.
b. Peralatan dan Mesin; Peralatan dan mesin mencakup mesin-mesin dan
kendaraan bermotor, alat elektonik, inventaris kantor, dan peralatan lainnya yang
nilainya signifikan dan masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan dan
dalam kondisi siap pakai.
c. Gedung dan Bangunan; Gedung dan bangunan mencakup seluruh gedung dan
bangunan yang diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan

operasional pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai.


d. Jalan, Irigasi, dan Jaringan; Jalan, irigasi, dan jaringan mencakup jalan, irigasi,
dan jaringan yang dibangun oleh pemerintah serta dimiliki dan/atau dikuasai oleh
pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai.
e. Aset Tetap Lainnya; Aset tetap lainnya mencakup aset tetap yang tidak dapat
dikelompokkan ke dalam kelompok aset tetap di atas, yang diperoleh dan
dimanfaatkan untuk kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap
dipakai.
f. Konstruksi dalam Pengerjaan. Konstruksi dalam pengerjaan mencakup aset
tetap yang sedang dalam proses pembangunan namun pada tanggal laporan
keuangan belum selesai seluruhnya.
Aset tetap yang tidak digunakan untuk keperluan operasional pemerintah tidak
memenuhi definisi aset tetap dan harus disajikan di pos aset lainnya sesuai dengan nilai
tercatatnya. Aset tetap tidak diterapkan untuk:
a. Hutan dan sumber daya alam yang dapat diperbaharui (regenerative natural
resources).
b. Kuasa pertambangan, eksplorasi dan penggalian mineral, minyak, gas alam, dan
sumber daya alam serupa yang tidak dapat diperbaharui (non- regenerative
natural resources).

Kapitalisasi Aset Tetap saat perolehan


Aset tetap diakui dan dicatat berdasarkan biaya/harga perolehan aset tersebut.
Secara umum, yang dimaksud dengan biaya perolehan adalah jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh aset tetap sampai dengan aset tetap tersebut dalam
kondisi dan tempat yang siap untuk digunakan. Berdasarkan PSAP 07 paragraf 29
menyatakan bahwa Biaya perolehan suatu aset tetap terdiri dari harga belinya atau
konstruksinya, termasuk bea impor dan setiap biaya yang dapat diatribusikan secara
langsung dalam membawa aset tersebut ke kondisi yang membuat aset tersebut dapat
bekerja untuk penggunaan yang dimaksudkan. Pada paragraf 30 memberikan contoh
biaya yang dapat diatribusi secara langsung adalah biaya persipan tempat; biaya
5

pengiriman, simpan dan bongkar; biaya pemasangan, biaya profesional dan biaya
konstruksi.
Biasanya di dalam pengganggaran yang masuk belanja modal dan kemudian di
konversi menjadi aset tetap adalah harga beli aset yang bersangkutan dan yang
dimaksud dengan kapitalisasi adalah biaya biaya penunjang yang teratribusi secara
langsung untuk aset yang bersangkutan yang kemudian menambah harga peroleh aset
tersebut.
Untuk aset tanah dan jalan, irigasi dan jaringan tidak ada nilai satuan minimum
kapitalisasi yang artinya berapapun nilai perolehannya seluruhnya dikapitalisasi sebagai
nilai perolehan aset tersebut, sedangkan untuk aset selain tanah dan jalan, irigasi dan
jaringan harus memperhatikan nilai satuan minimum kapitalisasi yang diatur didalam
kebijakan akuntansi. Jadi dapat dikatakan walaupun suatu barang yang umur
ekonomisnya lebih dari 1 tahun tetapi nilai satuannya di bawah nilai minimun yang
diatur oleh kebijakan akuntansi, maka tidak dapat dikapitalisasi sebagai aset tetap.

Kapitalisasi Aset Tetap setelah perolehan


Dengan berjalannya waktu, biasanya pemda melakukan pengeluaran
pengeluaran yang berhubungan dengan aset yang telah dimilikinya misalnya
pemeliharaan, rehabilitasi atau renovasi. Pengeluaran pengeluaran ini terbagi 2 yaitu:
1. yang tujuannya memperpanjang masa manfaat di akui sebagai pengeluaran
modal (capital expenditure) dan dapat dikapitalisasi menambah nilai aset yang
ada, misalnya rehabilitasi bangunan;
2. pengeluaran yang tidak menambah masa manfaat diakui sebagai pengeluaran
pendapatan (revenue expenditure) dan tidak dapat dikapitalisasi menambah nilai
aset yang ada misalnya pengecetan gedung.
Di dalam Bultek No. 09 terdapat pengecualian untuk pengeluaran modal (capital
expenditure) yang tidak menambah nilai aset yaitu pengeluaran setelah perolehan awal
atas aset tetap yang oleh karena bentuknya, atau lokasi penggunaannya memiliki risiko
penurunan nilai dan/atau kuantitas yang mengakibatkan ketidakpastian perolehan
potensi ekonomik di masa depan, seperti tanggul lumpur lapindo, tanggul pemecah

gelombang, tanggul penahan lahar di lereng gunung Merapi tidak dikapitalisasi,


melainkan diperlakukan sebagai biaya pemeliharaan biasa (expense).
Batasan Jumlah Biaya Kapitalisasi (Capitalization Treshold) Perolehan Awal Aset
Tetap.
Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap adalah pengeluaran pengadaan
baru dan penambahan nilai aset tetap dari hasil pengembangan, reklasifikasi, renovasi,
perbaikan atau restorasi. Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap menentukan
apakah perolehan suatu aset harus dikapitalisasi atau tidak.
Nilai satuan minimum kapitalisasi aset tetap atas perolehan aset tetap berupa
peralatan dan mesin dan aset tetap lainnya adalah nilai per unitnya sebagai berikut:
a. Peralatan dan mesin sebesar Rp. ke atas, sesuai kebijakan Pemda masingmasing.
b. Aset tetap lainnya seperti barang bercorak budaya/kesenian, hewan, ternak,
tanaman, buku-buku perpustakaan, dan aset tetap lainnya sebesar Rp. ke atas,
sesuai kebijakan Pemda masing-masing
c. Nilai satuan minimum kapitalisasi aset tetap atas perolehan aset tetap konstruksi
sebesar Rp ke atas, sesuai kebijakan Pemda masing-masing.
Batasan Jumlah Biaya Kapitalisasi Setelah Perolehan (Subsequent Expenditures)
Pengeluaran setelah perolehan awal suatu aset tetap yang memperpanjang
masa manfaat atau yang kemungkinan besar memberi manfaat ekonomi dimasa yang
akan datang dalam bentuk peningkatan kapasitas/volume, peningkatan efisiensi,
peningkatan mutu produksi, penambahan fungsi, atau peningkatan standar kinerja yang
nilainya sebesar nilai satuan minimum kapitalisasi aset tetap atau lebih, harus
ditambahkan pada nilai tercatat (dikapitalisasi) aset yang bersangkutan.
Tidak termasuk dalam pengertian memperpanjang masa manfaat atau memberi
manfaat ekonomik dimasa datang dalam bentuk peningkatan kapasitas/volume,
peningkatan efisiensi, peningkatan mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja
adalah

pemeliharaan/perbaikan/penambahan

yang

merupakan

pemeliharaan

rutin/berkala/terjadwal atau yang dimaksudkan hanya untuk mempertahankan aset

tetap tersebut agar berfungsi baik/normal, atau hanya untuk sekedar memperindah atau
mempercantik suatu aset tetap.
Nilai satuan minimum kapitalisasi aset tetap untuk pengeluaran setelah
perolehan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Pemeliharaan konstruksi meliputi gedung dan bangunan, jalan, irigasi, jaringan
sebesar Rp.ke atas, sesuai kebijakan Pemda masing-masing.
b. Pemeliharaan peralatan dan mesin sebesar Rp.ke atas, sesuai kebijakan
Pemda masing-masing.

BAB IV
FAKTA
Seperti dibahas sebelumnya bahwa dalam penetapan batas minimal kapitalisasi,
pemerintah daerah mengacu pada pasal 53 ayat 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang menyatakan
bahwa Kepala Daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi (capitalization
thresholds) sebagai dasar pembebanan belanja modal. Ketika pemerintah daerah
menetapkan suatu batasan minimal kapitalisasi yang dijadikan sebagai kriteria
penganggaran, sebagaimana ketentuan tersebut, disinilah baru timbul masalah.
Andaikan sebuah pemda menetapkan batasan minimal kapitalisasi untuk
pengadaan baru dan/atau pembangunan baru suatu aset tetap sebesar Rp1 juta,
sedangkan untuk pemeliharaan aset tetap sebesar Rp 10 juta, bagaimana kita melihat
hal ini?
Ketika kebijakan batasan minimal kapitalisasi di atas diterapkan untuk
penganggaran pengadaan barang daerah, maka implikasinya adalah barang-barang
daerah yang memenuhi definisi aset tetap di bawah nilai Rp 1 juta, dan belanja-belanja
capital expenditure yang dapat menambah umur manfaat aset tetap di bawah Rp 10
juta tidak akan dianggarkan sebagai belanja modal. Ketika hal tersebut tidak
dianggarkan dalam belanja modal maka realisasi belanja tersebut tidak dicatat oleh
sistem akuntansi sebagai penambahan aset tetap di neraca. Sebagai contoh,
pengadaan printer seharga Rp500 ribu tidak akan dianggarkan dalam belanja modal,
dan sistem akuntansi tidak akan mencatatnya sebagai aset tetap di neraca.
Penerapan batasan minimal kapitalisasi khususnya yang digunakan sebagai
kriteria penganggaran harus dilakukan secara hati-hati dan jangan gegabah. Apabila
kita gegabah dalam menerapkan hal tersebut, akan berakibat pada hilangnya aset
tetap pemerintah daerah secara sistematis yang jelas-jelas sangat diperlukan untuk
mendukung tupoksinya.
Dari sudut pandang pengendalian intern (SPIP), kebijakan akuntansi mengenai
penetapan batas minimal kapitalisasi yang mendasarkan pada ketentuan Permendagri
Nomor 59 Tahun 2007 tersebut memang mengandung risiko. Salah satu risikonya
9

adalah hilangnya aset apabila kebijakan tersebut tidak diterapkan secara hati-hati dan
tepat.

Bagaimana

menerapkan

kebijakan

akuntansi

mengenai

batas

minimal

kapitalisasi secara hati-hati agar kita tidak mengalami risiko kehilangan aset?
Jika kebijakan batas minimal kapitalisasi diterapkan sebagai kriteria untuk
menentukan penganggaran belanja modal atau bukan, maka sebaiknya jangan
menetapkan batasan minimal tersebut secara umum. Seperti dalam contoh di atas,
kebijakan batas nilai minimal kapitalisasi masih diterapkan secara umum yaitu untuk
pengadaan baru/pembangunan baru seluruh jenis aset tetap. Batasan minimal
kapitalisasi antara pengadaan komputer, printer, kendaraan roda dua, bangunan kantor,
buku, dan tanaman untuk contoh, diperlakukan sama.
Sebaiknya pemerintah daerah menetapkan batasan minimal kapitalisasi untuk
setiap jenis aset tetap. Memang akan sangat ideal apabila kita menetapkan batasan
minimal kapitalisasi sampai rincian obyek atau sub-sub kelompok aset tetap. Tetapi hal
tersebut akan sangat banyak karena itu artinya sama saja dengan kita menetapkan
batasan minimal kapitalisasi untuk segala macam aset tetap yang ada di dunia ini. Oleh
karena itu, setidaknya kita dapat menetapkan batasan minimal kapitalisasi sampai
obyek atau

sub kelompok. Sebagai contoh, akan sangat banyak apabila kita

menetapkan satu persatu aset tetap berikut: alat pemanas, radio, televise, cassette
recorder, amplifier, equalizer, loudspeaker, sound system, compact disk, laser disk, dan
karaoke.
Oleh karena itu, kita dapat menetapkan satu batasan minimal kapitalisasi untuk
contoh aset tetap tersebut sampai objek atau sub kelompoknya saja, yaitu misalnya
batasan minimal kapitalisasi untuk Belanja Modal Pengadaan Komputer, Alat-Alat
Studio, Alat-Alat Bengkel, alat rumah tangga lainnya (home use).
Mengambil contoh laporan belanja modal pada Pemerintah Kabupaten
Anambas, dapat dilihat rincian akun standar untuk belanja modal yang terdiri dari subsub akun per objeknya. Rincian per objek akun inilah yang kemudian dapat dijadikan
standar dalam menghitung indeks harga per masing-masing kabupaten/kota.

10

Tabel 1.
Rincian Per Objek Akun Standar Belanja Modal pada Pemerintah Kab. Anambas
Rekening
5 . 2 . 3 . 01
5 . 2 . 3 . 03
5 . 2 . 3 . 04
5 . 2 . 3 . 05
5 . 2 . 3 . 06
5 . 2 . 3 . 08
5 . 2 . 3 . 10
5 . 2 . 3 . 11
5 . 2 . 3 . 12
5 . 2 . 3 . 13
5 . 2 . 3 . 14
5 . 2 . 3 . 15
5 . 2 . 3 . 16
5 . 2 . 3 . 17
5 . 2 . 3 . 18
5 . 2 . 3 . 19
5 . 2 . 3 . 20
5 . 2 . 3 . 21
5 . 2 . 3 . 22
5 . 2 . 3 . 23
5 . 2 . 3 . 25
5 . 2 . 3 . 26
5 . 2 . 3 . 27
5 . 2 . 3 . 28
5 . 2 . 3 . 30
5 . 2 . 3 . 31
5 . 2 . 3 . 32

Nama Akun Belanja Modal Rinci Per Objek


Belanja Modal Pengadaan Tanah
Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Angkutan Darat Bermotor
Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Angkutan Darat Tidak Bermotor
Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Angkutan Di Atas Air Bermotor
Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Angkutan Di Atas Air Tidak Bermotor
Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Bengkel
Belanja Modal Pengadaan Peralatan Kantor
Belanja Modal Pengadaan Perlengkapan Kantor
Belanja Modal Pengadaan Komputer
Belanja Modal Pengadaan Mebeulair
Belanja Modal Pengadaan Peralatan Dapur
Belanja Modal Pengadaan Penghias Ruangan Rumah Tangga
Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Studio
Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Komunikasi
Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Ukur
Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Kedokteran
Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Laboratorium
Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jalan
Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jembatan
Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jaringan Air
Belanja Modal Pengadaan Instalasi Listrik Dan Telepon
Belanja Modal Pengadaan Konstruksi/Pembelian*) Bangunan
Belanja Modal Pengadaan Buku/Kepustakaan
Belanja Modal Pengadaan Barang Bercorak Kesenian, Kebudayaan
Belanja Modal Pengadaan Alat-Alat Persenjataan/Keamanan
Belanja Modal Marka/Rambu Transportasi
Belanja Modal Perlengkapan Upacara

11

BAB V
PEMBAHASAN
Dari penjelasan tersebut, maka penulis mengusulkan adanya perubahan
kebijakan dalam penentuan batas minimun kapitalisasi. Hal yang dapat dilakukan
adalah dengan melakukan penyeragaman dan penyesuaian proporsi batas minimun
nilai kapitalisasi per kabupaten/kota. Perubahan ini dilakukan secara nasional dan
dikoordinasikan oleh kementerian dalam negeri untuk membuat suatu keputusan yang
memuat nilai kapitalisasi per jenis objek dalam akun aset tetap. Penentuan batas
minimal kapitalisasi yang ditentukan secara nasional akan memakai suatu standar
indeks untuk menjadi patotan nilai di masing-masing daerah. Dalam hal ini, penulis
menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Pasar untuk
33 provinsi di Indonesia. Indeks ini diolah sedemikian hingga mendapatkan proporsi
nilai yang wajar untuk ditetapkan di masing-masing daerah.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Pasar


Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar adalah jumlah nilai
tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di
suatu wilayah. Nilai tambah adalah nilai yang ditambahkan dari kombinasi faktor
produksi dan bahan baku dalam proses produksi. Penghitungan nilai tambah adalah
nilai produksi (output) dikurangi biaya antara.
Nilai tambah bruto di sini mencakup komponen-komponen pendapatan faktor
(upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak
langsung neto. Jadi dengan menjumlahkan nilai tambah bruto dari masing-masing
sektor dan menjumlahkan nilai tambah bruto dari seluruh sektor tadi, akan diperoleh
Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar.
Kumpulan data indeks PDRB per provinsi dapat dilihat di lampiran pada akhir
paper ini. Dengan menggunakan perhitungan hasil formulasi maka didapat proporsi nilai
minimum kapitalisasi suatu daerah dengan perhitungan sebagai berikut:
Misal: nilai indeks di DKI Jakarta 83,81(100%-indeks PDRB DKI Jakarta) dengan
nilai batas minimum kapitalisasi ditentukan untuk klasifikasi belanja Alat-alat studio
12

yang dapat di kapitalisasi DKI Jakarta (rata-rata harga alat studio di Jakarta) adalah
Rp1.000.000.
Maka untuk mendapatkan nilai kapitalisasi minimal belanja Alat-alat Studio di
Gorontalo dengan indeks rata-rata 99,86 (100%-indeks PDRB Prov. Gorontalo) dapat
dicari dengan rumus:

Dengan perhitungan di atas, maka apabila diketahui harga alat-alat studio di


Jakarta (harga di DKI Jakarta dijadikan patokan) sebesar Rp1.000.000, maka nilai
untuk masing-masing provinsi adalah sebagai berikut:
Tabel 2.
Perhitungan Nilai Batas Minimum Kapitalisasi Alat-alat Studio per Provinsi
Provinsi

Rata-Rata

100%-Rata

(1)

(2)

Indeks

Nilai Perhitungan

Aceh

1,71

98,29

89,098

1.172.859

Sumatera Utara

5,16

94,84

67,846

1.131.627

Sumatera Barat

1,66

98,34

89,382

1.173.408

Riau

6,28

93,72

60,978

1.118.303

Jambi

0,97

99,03

93,613

1.181.617

Sumatera Selatan

3,04

96,96

80,880

1.156.915

Bengkulu

0,36

99,64

97,391

1.188.947

Lampung

1,88

98,12

88,031

1.170.787

Kep. Bangka Belitung

0,51

99,49

96,474

1.187.167

Kepulauan Riau

1,39

98,61

91,019

1.176.584

DKI Jakarta

16,19

83,81

0,000

1.000.000

Jawa Barat

14,57

85,43

9,995

1.019.390

Jawa Tengah

8,53

91,47

47,106

1.091.390

DI Yogyakarta

0,89

99,11

94,132

1.182.624

14,86

85,14

8,179

1.015.868

Banten

3,34

96,66

79,084

1.153.430

Bali

1,25

98,75

91,881

1.178.257

Nusa Tenggara Barat

0,87

99,13

94,256

1.182.866

Nusa Tenggara Timur

0,53

99,47

96,348

1.186.923

Kalimantan Barat

1,17

98,83

92,385

1.179.235

Kalimantan Tengah

0,80

99,20

94,678

1.183.683

Kalimantan Selatan

1,12

98,88

92,719

1.179.882

Kalimantan Timur

6,36

93,64

60,468

1.117.313

Jawa Timur

13

Sulawesi Utara

0,69

99,31

95,340

1.184.968

Sulawesi Tengah

0,70

99,30

95,312

1.184.913

Sulawesi Selatan

2,14

97,86

86,423

1.167.668

Sulawesi Tenggara

0,52

99,48

96,387

1.187.000

Gorontalo

0,14

99,86

98,711

1.191.507

Sulawesi Barat

0,19

99,81

98,402

1.190.909

Maluku

0,16

99,84

98,607

1.191.306

Maluku Utara

0,10

99,90

99,000

1.192.069

Papua Barat

0,45

99,55

96,857

1.187.910

Papua

1,45

98,55

90,663

1.175.895

100,00

Selain dengan menggunakan indeks PDRD atas dasar harga pasar di atas,
beberapa indeks yang ada di Badan Pusat Statistik juga dapat dipakai, khususnya
untuk Belanja Modal Pengadaan Konstruksi bangunan. Untuk perhitungan indeks
masing-masing daerah terkait pengadaan konstruksi bangunan, indeks yang dipakai
yaitu Indeks Kemahalan Konstruksi Menurut Provisi, 2010-2014.

Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)


Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) adalah perbandingan Harga konstruksi terhadap
kota acuan. Dengan rumus perhitungan:

Misal: nilai rata-rata indeks Kemahalan Konstruksi di DKI Jakarta 95,26 (ratarata indeks selama 4 tahun DKI Jakarta) dengan nilai batas minimum kapitalisasi
ditentukan untuk klasifikasi belanja Konstruksi Bangunan yang dapat di kapitalisasi DKI
Jakarta adalah Rp10.000.000.

14

Maka untuk mendapatkan nilai kapitalisasi minimal belanja Konstruksi Bangunan


di Gorontalo dengan indeks rata-rata 92,41 (rata-rata indeks selama 4 tahun Prov.
Gorontalo) dapat dicari dengan rumus:

Dengan perhitungan di atas, maka apabila diketahui rata-rata konstruksi


bangunan di Jakarta (harga di DKI Jakarta dijadikan patokan) sebesar Rp10.000.000,
maka nilai untuk masing-masing provinsi adalah sebagai berikut:

Tabel 3.
Perhitungan Nilai Batas Minimum Kapitalisasi Konstruksi Bangunan per Provinsi
Indeks Kemahalan Konstruksi
Provinsi

Rata-rata

Nilai
Perhitungan

2010

2012

2013

2014

92,45

91,23

91,61

93,54

92,2075

9.679.561

SUMATERA UTARA

86,2

92,49

95,92

96,08

92,6725

9.728.375

SUMATERA BARAT

85,24

88,16

88,72

93

88,78

9.319.756

RIAU

96,93

100,8

101,3

102,9

100,48

10.547.974

JAMBI

89,31

96,25

96,97

95

94,3825

9.907.884

SUMATERA SELATAN

87,13

94,42

95,29

99

93,96

9.863.531

BENGKULU

87,83

87,47

94,98

96,21

91,6225

9.618.150

LAMPUNG

83,93

89,85

89,79

91,87

88,86

9.328.155

KEP. BANGKA BELITUNG

95,33

104,3

99,59

102,1

100,3275

10.531.965

KEP. RIAU

101,6

109,8

109,4

107,3

107,045

11.237.140

DKI JAKARTA

90,02

93,89

100

97,13

95,26

10.000.000

ACEH

15

JAWA BARAT

85,04

83,11

89

88,05

86,3

9.059.416

JAWA TENGAH

83,44

79,54

85,38

83

82,84

8.696.200

DI YOGYAKARTA

83,67

75,79

86,52

84,81

82,6975

8.681.241

JAWA TIMUR

83,36

81,14

85,94

87,62

84,515

8.872.034

84

87,28

89,25

89,19

87,43

9.178.039

85,53

91,15

93,02

91,67

90,3425

9.483.781

NUSA TENGGARA BARAT

87,2

78,68

80,01

81

81,7225

8.578.889

NUSA TENGGARA TIMUR

97,38

85,73

87,67

89,31

90,0225

9.450.189

KALIMANTAN BARAT

96,61

108,3

107,4

109,5

105,4275

11.067.342

KALIMANTAN TENGAH

100,8

106

100,3

103,2

102,595

10.769.998

KALIMANTAN SELATAN

90,46

97,72

97,88

99,18

96,31

10.110.225

KALIMANTAN TIMUR

100

108,5

100

100

102,115

10.719.609

KALIMANTAN UTARA

109,9

109,86

11.532.647

SULAWESI UTARA

98,63

100,5

103

102

101,0225

10.604.923

SULAWESI TENGAH

90,81

81,72

85

86,62

86,0375

9.031.860

SULAWESI SELATAN

85,99

86,51

85,89

88,55

86,735

9.105.081

SULAWESI TENGGARA

92,17

96,74

96,42

99,67

96,25

10.103.926

GORONTALO

90,74

92,1

93,18

93,62

92,41

9.700.819

SULAWESI BARAT

89,9

95,53

91,96

94,79

93,045

9.767.478

MALUKU

110

100,5

101

104,4

103,9925

10.916.702

110,4

108,6

115,1

117,9

113,005

11.862.797

BANTEN
BALI

MALUKU UTARA

16

PAPUA BARAT
PAPUA

143

149,2

121

125,8

134,7325

14.143.659

210,1

242,6

189

191,9

208,3975

21.876.706

Dalam penentuan nilai batas minimal kapitalisasi, sebagai contoh untuk


konstruksi bangunan, kita dapat melakukan survey harga untuk seluruh aset tetap yang
termasuk dalam sub kelompok konstruksi bangunan tersebut. Kemudian, dari hasil
survey tersebut, nilai harga terkecil dapat dijadikan sebagai batasan nilai minimal
kapitalisasi untuk belanja modal pengadaan konstruksi bangunan. Namun seiring
berjalannya waktu, hal tersebut harus ditinjau kembali, karena harga-harga tersebut
cenderung naik atau turun tergantung dari kondisi ekonomi yang terjadi.
Dalam contoh di atas, kita dapat memahami mengapa penetapan batas minimal
kapitalisasi tidak dilakukan sampai kelompok atau bidang/jenis aset tetap. Jika kita
menerapkannya hanya sampai kelompok atau bidang/jenis aset tetap, risiko tidak
diakuinya sebagai aset tetap dalam neraca sangat besar. Misalnya, kita menetapkan
batasan minimal kapitalisasi hanya sampai kelompok. Sebagai contoh kita menetapkan
nilai batasan minimal kapitalisasi untuk Alat Kantor sebesar Rp 500 ribu. Kebijakan
tersebut akan mengakibatkan mesin ketik manual portable (Sub kelompok: Mesin Tik)
akan dianggarkan sebagai belanja modal dan akan dicatat oleh sistem akuntansi
sebagai aset tetap, namun rak kayu (Sub kelompok: Alat Penyimpanan Perlengkapan)
menjadi tidak dianggarkan sebagai belanja modal dan tidak dicatat oleh sistem
akuntansi sebagai aset tetap.

17

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
Penentuan batas minimum kapitalisasi aset tetap yang selama ini menjadi
wewenang masing-masing daerah masih menemui berbagai kendala. Kendala ini
terkait dengan kurangnya studi yang komprehensif dalam menentukan batas minimal
kapitalisasi yang wajar oleh masing-masing daerah.
Penerapan batasan minimal kapitalisasi khususnya yang digunakan sebagai
kriteria penganggaran harus dilakukan secara hati-hati dan jangan gegabah. Apabila
kita gegabah dalam menerapkan hal tersebut, akan berakibat pada hilangnya aset tetap
pemerintah daerah secara sistematis yang jelas-jelas sangat diperlukan untuk
mendukung tupoksinya.
Salah satu solusi yang diusulkan untuk dilakukan dalam mengatasi titik kritis
penetapan batas minimal kapitalisasi aset tetap adalah dengan cara menyusun suatu
indeks harga yang ditetapkan secara berkala untuk akun aset tetap sampai pada rincian
per objek atau sub kelompoknya.
Hasil perhitungan indeks dan proporsi batas minimal kapitalisasi yang dilakukan
masih banyak keterbatasan dan memerlukan studi lebih lanjut. Dengan koordinasi dari
berbagai instansi terkait diharapkan nilai batas minimum kapitalisasi aset tetap untuk
pemerintah daerah bisa lebih dipertanggungjawabkan guna mendorong akuntabilitas
aset tetap yang lebih baik. Untuk tujuan yang lebih luas penentuan Batas Kapitalisasi
Aset Tetap yang tepat pada Pemerintah Daerah akan mengurangi risiko pengakuan
aset tetap yang tidak diakui dan menjadi strategi dalam melindungi aset pemerintah.

18

REFERENSI
Republik Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Kementerian Dalam Negeri.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2015. Produk Domestik Regional Neto (PDRN)Atas Dasar Harga
Pasar. (Online). (http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/83, diakses 09
Februari 2016).
Badan Pusat Statistik. 2015. Indeks Kemahalan Konstruksi Menurut Provisi, 2010-2014.
(Online). (http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1625, diakses 09 Februari
2016).
Damargo Hadiono. 2015. Apakah Seluruh Realisasi Belanja Modal Harus Diakui
Sebagai Aktiva Tetap?. (Online), (http://www.warungkopipemda.com/apakahseluruh-realisasi-belanja-modal-harus-diakui-sebagai-aktiva-tetap/,

diakses

09

Februari 2016).
Eko Hery Winarno. 2015. Menimbang-nimbang Kembali Penerapan Kebijakan Batas
Minimal

Kapitalisasi.

(Online),

(http://www.warungkopipemda.com/menimbangnimbang-kembali-penerapankebijakan-batas-minimal-kapitalisasi/ , diakses 09 Februari 2016).


Eko Hery Winarno. 2015. Menimbang-nimbang Kembali Penerapan Kebijakan Batas
Minimal

Kapitalisasi.

(Online),(http://www.warungkopipemda.com/hati-hati-

menetapkan-batas-minimal-kapitalisasi-capitalization-threshold/,

diakses

09

Februari 2016).
Rabiatul

Adawiyah.

2012.

Kapitalisasi

Aset,

Apa

dan

Bagaimana.

(Online),

(http://www.warungkopipemda.com/kapitalisasi-aset-apa-dan-bagaimana/, diakses
09 Februari 2016).

19

Lampiran.

Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Provinsi,
2005-2013 (Persen)
Provinsi

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Rata-Rata

Aceh

2,12

2,26

2,00

1,72

1,55

1,49

1,45

1,41

1,36

1,71

Sumatera Utara

5,20

5,11

5,11

5,01

5,08

5,19

5,21

5,21

5,33

5,16

Sumatera Barat

1,66

1,69

1,68

1,66

1,65

1,65

1,64

1,64

1,68

1,66

Riau

5,17

5,32

5,91

6,47

6,39

6,53

6,86

6,97

6,89

6,28

Jambi

0,84

0,83

0,90

0,96

0,95

1,02

1,05

1,08

1,13

0,97

Sumatera Selatan

3,03

3,06

3,09

3,13

2,95

2,98

3,03

3,06

3,06

3,04

Bengkulu

0,38

0,36

0,36

0,35

0,35

0,35

0,35

0,36

0,36

0,36

Lampung

1,52

1,57

1,71

1,73

1,91

2,05

2,12

2,15

2,17

1,88

Kep. Bangka Belitung

0,53

0,51

0,50

0,50

0,49

0,50

0,51

0,51

0,51

0,51

1,53

1,47

1,46

1,37

1,37

1,35

1,33

1,35

1,32

1,39

DKI Jakarta

16,15

15,99

15,93

15,85

16,28

16,28

16,30

16,39

16,57

16,19

Jawa Barat

14,49

15,08

14,80

14,83

14,82

14,57

14,30

14,11

14,12

14,57

Jawa Tengah

8,73

8,99

8,79

8,60

8,55

8,40

8,27

8,26

8,23

8,53

DI Yogyakarta

0,94

0,94

0,93

0,89

0,89

0,86

0,86

0,85

0,84

0,89

15,08

15,05

15,10

14,55

14,76

14,70

14,67

14,87

14,99

14,86

Banten

3,62

3,56

3,45

3,27

3,28

3,24

3,19

3,17

3,23

3,34

Bali

1,31

1,24

1,24

1,22

1,30

1,27

1,23

1,25

1,25

1,25

Nusa Tenggara Barat

0,96

0,91

0,94

0,83

0,95

0,94

0,81

0,74

0,74

0,87

Nusa Tenggara Timur

0,55

0,54

0,54

0,51

0,52

0,52

0,52

0,52

0,53

0,53

Kalimantan Barat

1,29

1,23

1,22

1,15

1,17

1,14

1,11

1,11

1,12

1,17

Kalimantan Tengah

0,78

0,78

0,79

0,77

0,80

0,80

0,81

0,83

0,84

0,80

Kalimantan Selatan

1,18

1,10

1,11

1,07

1,11

1,13

1,13

1,13

1,10

1,12

Kalimantan Timur

6,71

6,36

6,26

7,37

6,14

6,08

6,50

6,23

5,61

6,36

Sulawesi Utara

0,70

0,68

0,68

0,67

0,71

0,70

0,69

0,70

0,70

0,69

Sulawesi Tengah

0,65

0,63

0,65

0,67

0,70

0,70

0,74

0,76

0,77

0,70

Kepulauan Riau

Jawa Timur

20

Lampiran.

Sulawesi Selatan

1,93

1,94

1,95

1,99

2,15

2,23

2,28

2,37

2,44

2,14

Sulawesi Tenggara

0,48

0,49

0,50

0,52

0,55

0,54

0,53

0,54

0,54

0,52

Gorontalo

0,13

0,13

0,13

0,14

0,15

0,15

0,15

0,15

0,16

0,14

Sulawesi Barat

0,16

0,16

0,17

0,19

0,20

0,21

0,21

0,21

0,21

0,19

Maluku

0,17

0,16

0,16

0,15

0,15

0,15

0,16

0,17

0,17

0,16

Maluku Utara

0,10

0,09

0,09

0,09

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

Papua Barat

0,29

0,29

0,29

0,33

0,39

0,51

0,60

0,64

0,67

0,45

Papua

1,62

1,49

1,56

1,44

1,65

1,66

1,27

1,15

1,23

1,45

100,00

100,00

100,00

100,00

100,00

100,00

100,00

100,00

100,00

100,00

21

Lampiran.

Indeks Kemahalan Konstruksi Menurut Provisi, 2010-2014


Indeks Kemahalan Konstruksi
Provinsi

Rata-rata
2010

ACEH

2012

2013

2014

92,45

91,23

91,61

93,54

92,2075

SUMATERA UTARA

86,2

92,49

95,92

96,08

92,6725

SUMATERA BARAT

85,24

88,16

88,72

93

88,78

RIAU

96,93

100,8

101,3

102,9

100,48

JAMBI

89,31

96,25

96,97

95

94,3825

SUMATERA SELATAN

87,13

94,42

95,29

99

93,96

BENGKULU

87,83

87,47

94,98

96,21

91,6225

LAMPUNG

83,93

89,85

89,79

91,87

88,86

KEP. BANGKA BELITUNG

95,33

104,3

99,59

102,1

100,3275

KEP. RIAU

101,6

109,8

109,4

107,3

107,045

DKI JAKARTA

90,02

93,89

100

97,13

95,26

JAWA BARAT

85,04

83,11

89

88,05

86,3

JAWA TENGAH

83,44

79,54

85,38

83

82,84

DI YOGYAKARTA

83,67

75,79

86,52

84,81

82,6975

JAWA TIMUR

83,36

81,14

85,94

87,62

84,515

84

87,28

89,25

89,19

87,43

85,53

91,15

93,02

91,67

90,3425

NUSA TENGGARA BARAT

87,2

78,68

80,01

81

81,7225

NUSA TENGGARA TIMUR

97,38

85,73

87,67

89,31

90,0225

KALIMANTAN BARAT

96,61

108,3

107,4

109,5

105,4275

KALIMANTAN TENGAH

100,8

106

100,3

103,2

102,595

KALIMANTAN SELATAN

90,46

97,72

97,88

99,18

96,31

KALIMANTAN TIMUR

100

108,5

100

100

102,115

KALIMANTAN UTARA

109,9

109,86

BANTEN
BALI

22

Lampiran.

SULAWESI UTARA

98,63

100,5

103

102

101,0225

SULAWESI TENGAH

90,81

81,72

85

86,62

86,0375

SULAWESI SELATAN

85,99

86,51

85,89

88,55

86,735

SULAWESI TENGGARA

92,17

96,74

96,42

99,67

96,25

GORONTALO

90,74

92,1

93,18

93,62

92,41

SULAWESI BARAT

89,9

95,53

91,96

94,79

93,045

MALUKU

110

100,5

101

104,4

103,9925

110,4

108,6

115,1

117,9

113,005

143

149,2

121

125,8

134,7325

210,1

242,6

189

191,9

208,3975

MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA

23

Вам также может понравиться