Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB I
LATAR BELAKANG
Pedoman
umum
pemerintah
pusat
maupun
pemerintah
daerah
dalam
menyajikan aset tetap di neraca adalah sebagaimana yang tercantum dalam SAP dan
kebijakan batas minimal kapitalisasi mengenai definisi umum aset tetap. Definisi umum
aset tetap sesuai PSAP No 7 adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan atau dimaksudkan untuk digunakan
dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Selain itu, ada
juga batas minimal kapitalisasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang mengacu pada
pasal 53 ayat 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah yang menyatakan bahwa Kepala Daerah menetapkan batas minimal
kapitalisasi (capitalization thresholds) sebagai dasar pembebanan belanja modal.
itu. Atas dasar itulah ditambah dengan Pasal 53 ayat 4 Permendagri 59 tahun 2007,
pemda berbondong-bondong menetapkan kebijakan batas minimal kapitalisasi.
Terlepas dari itu, pemerintah pusat maupun pemda sebenarnya dapat saja menetapkan
batas minimal kapitalisasi sebesar nol, seperti halnya yang diakukan oleh pemerintah
pusat yang tidak menetapkan suatu batas minimal kapitalisasi untuk aset tetap lainnya
atau dengan kata lain batas minimal kapitalisasinya adalah sebesar nol. Namun,
kebebasan penetapan batas minimal ini tentu memberikan dampak dalam pelaporan
nilai dan komponen aset tetap yang dimiliki.
Dari uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa penetapan kebijakan batas
minimal kapitalisasi ini haruslah dilakukan dengan cermat karena akan menentukan
nilai aset tetap yang sebenarnya harus diakui pemerintah daerah. Ketidaksesuaian
penetapan nilai ini akan membuat hilangnya potensi aset tetap yang seharusnya dimiliki
pemerintah. Oleh karena itu dalam paper ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai
Penentuan Batas Kapitalisasi Aset Tetap Pada Pemerintah Daerah Sebagai
Strategi Dalam Melindungi Aset Pemerintah
BAB II
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah kebijakan dalam penetapan nilai batas minimal kapitalisasi aset oleh
masing-masing daerah sudah tepat?
2. Penentuan Batas Minimal Kapitalisasi Aset yang tidak tepat berisiko menghilangkan
aset tetap potensial seharusnya dicatat dalam kategori aset tetap. Apakah terdapat
konsep baru dalam penetapan nilai batas minial kapitalisasi aset sehingga aset
tetap diklasifikasikan dengan tepat?
BAB III
TEORI
Definisi Aset Tetap
Standar Akuntansi Pemerintahan mendefinisikan aset tetap sebagai aset
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
Aset tetap diakui dan dicatat berdasarkan biaya/harga perolehan aset tersebut.
Secara umum yang dimaksud dengan biaya perolehan adalah jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh aset tetap sampai dengan aset tetap tersebut dalam
kondisi dan tempat yang siap untuk digunakan. Berdasarkan PSAP 07 paragraf 29
menyatakan bahwa Biaya perolehan suatu aset tetap terdiri dari harga belinya atau
konstruksinya, termasuk bea impor dan setiap biaya yang dapat diatribusikan secara
langsung dalam membawa aset tersebut ke kondisi yang membuat aset tersebut dapat
bekerja untuk penggunaan yang dimaksudkan. Pada paragraf 30 memberikan contoh
biaya yang dapat diatribusi secara langsung adalah biaya persipan tempat; biaya
pengiriman, simpan dan bongkar; biaya pemasangan, biaya profesional dan biaya
konstruksi.
Batasan Lingkup Aset Tetap
Aset tetap diklasifikasikan berdasarkan kesamaan dalam sifat atau fungsinya dalam
aktivitas operasi entitas. Klasifikasi aset tetap adalah sebagai berikut :
a. Tanah; Tanah yang dikelompokkan sebagai aset tetap ialah tanah yang diperoleh
dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah dan dalam
kondisi siap dipakai.
b. Peralatan dan Mesin; Peralatan dan mesin mencakup mesin-mesin dan
kendaraan bermotor, alat elektonik, inventaris kantor, dan peralatan lainnya yang
nilainya signifikan dan masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan dan
dalam kondisi siap pakai.
c. Gedung dan Bangunan; Gedung dan bangunan mencakup seluruh gedung dan
bangunan yang diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan
pengiriman, simpan dan bongkar; biaya pemasangan, biaya profesional dan biaya
konstruksi.
Biasanya di dalam pengganggaran yang masuk belanja modal dan kemudian di
konversi menjadi aset tetap adalah harga beli aset yang bersangkutan dan yang
dimaksud dengan kapitalisasi adalah biaya biaya penunjang yang teratribusi secara
langsung untuk aset yang bersangkutan yang kemudian menambah harga peroleh aset
tersebut.
Untuk aset tanah dan jalan, irigasi dan jaringan tidak ada nilai satuan minimum
kapitalisasi yang artinya berapapun nilai perolehannya seluruhnya dikapitalisasi sebagai
nilai perolehan aset tersebut, sedangkan untuk aset selain tanah dan jalan, irigasi dan
jaringan harus memperhatikan nilai satuan minimum kapitalisasi yang diatur didalam
kebijakan akuntansi. Jadi dapat dikatakan walaupun suatu barang yang umur
ekonomisnya lebih dari 1 tahun tetapi nilai satuannya di bawah nilai minimun yang
diatur oleh kebijakan akuntansi, maka tidak dapat dikapitalisasi sebagai aset tetap.
pemeliharaan/perbaikan/penambahan
yang
merupakan
pemeliharaan
tetap tersebut agar berfungsi baik/normal, atau hanya untuk sekedar memperindah atau
mempercantik suatu aset tetap.
Nilai satuan minimum kapitalisasi aset tetap untuk pengeluaran setelah
perolehan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Pemeliharaan konstruksi meliputi gedung dan bangunan, jalan, irigasi, jaringan
sebesar Rp.ke atas, sesuai kebijakan Pemda masing-masing.
b. Pemeliharaan peralatan dan mesin sebesar Rp.ke atas, sesuai kebijakan
Pemda masing-masing.
BAB IV
FAKTA
Seperti dibahas sebelumnya bahwa dalam penetapan batas minimal kapitalisasi,
pemerintah daerah mengacu pada pasal 53 ayat 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang menyatakan
bahwa Kepala Daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi (capitalization
thresholds) sebagai dasar pembebanan belanja modal. Ketika pemerintah daerah
menetapkan suatu batasan minimal kapitalisasi yang dijadikan sebagai kriteria
penganggaran, sebagaimana ketentuan tersebut, disinilah baru timbul masalah.
Andaikan sebuah pemda menetapkan batasan minimal kapitalisasi untuk
pengadaan baru dan/atau pembangunan baru suatu aset tetap sebesar Rp1 juta,
sedangkan untuk pemeliharaan aset tetap sebesar Rp 10 juta, bagaimana kita melihat
hal ini?
Ketika kebijakan batasan minimal kapitalisasi di atas diterapkan untuk
penganggaran pengadaan barang daerah, maka implikasinya adalah barang-barang
daerah yang memenuhi definisi aset tetap di bawah nilai Rp 1 juta, dan belanja-belanja
capital expenditure yang dapat menambah umur manfaat aset tetap di bawah Rp 10
juta tidak akan dianggarkan sebagai belanja modal. Ketika hal tersebut tidak
dianggarkan dalam belanja modal maka realisasi belanja tersebut tidak dicatat oleh
sistem akuntansi sebagai penambahan aset tetap di neraca. Sebagai contoh,
pengadaan printer seharga Rp500 ribu tidak akan dianggarkan dalam belanja modal,
dan sistem akuntansi tidak akan mencatatnya sebagai aset tetap di neraca.
Penerapan batasan minimal kapitalisasi khususnya yang digunakan sebagai
kriteria penganggaran harus dilakukan secara hati-hati dan jangan gegabah. Apabila
kita gegabah dalam menerapkan hal tersebut, akan berakibat pada hilangnya aset
tetap pemerintah daerah secara sistematis yang jelas-jelas sangat diperlukan untuk
mendukung tupoksinya.
Dari sudut pandang pengendalian intern (SPIP), kebijakan akuntansi mengenai
penetapan batas minimal kapitalisasi yang mendasarkan pada ketentuan Permendagri
Nomor 59 Tahun 2007 tersebut memang mengandung risiko. Salah satu risikonya
9
adalah hilangnya aset apabila kebijakan tersebut tidak diterapkan secara hati-hati dan
tepat.
Bagaimana
menerapkan
kebijakan
akuntansi
mengenai
batas
minimal
kapitalisasi secara hati-hati agar kita tidak mengalami risiko kehilangan aset?
Jika kebijakan batas minimal kapitalisasi diterapkan sebagai kriteria untuk
menentukan penganggaran belanja modal atau bukan, maka sebaiknya jangan
menetapkan batasan minimal tersebut secara umum. Seperti dalam contoh di atas,
kebijakan batas nilai minimal kapitalisasi masih diterapkan secara umum yaitu untuk
pengadaan baru/pembangunan baru seluruh jenis aset tetap. Batasan minimal
kapitalisasi antara pengadaan komputer, printer, kendaraan roda dua, bangunan kantor,
buku, dan tanaman untuk contoh, diperlakukan sama.
Sebaiknya pemerintah daerah menetapkan batasan minimal kapitalisasi untuk
setiap jenis aset tetap. Memang akan sangat ideal apabila kita menetapkan batasan
minimal kapitalisasi sampai rincian obyek atau sub-sub kelompok aset tetap. Tetapi hal
tersebut akan sangat banyak karena itu artinya sama saja dengan kita menetapkan
batasan minimal kapitalisasi untuk segala macam aset tetap yang ada di dunia ini. Oleh
karena itu, setidaknya kita dapat menetapkan batasan minimal kapitalisasi sampai
obyek atau
menetapkan satu persatu aset tetap berikut: alat pemanas, radio, televise, cassette
recorder, amplifier, equalizer, loudspeaker, sound system, compact disk, laser disk, dan
karaoke.
Oleh karena itu, kita dapat menetapkan satu batasan minimal kapitalisasi untuk
contoh aset tetap tersebut sampai objek atau sub kelompoknya saja, yaitu misalnya
batasan minimal kapitalisasi untuk Belanja Modal Pengadaan Komputer, Alat-Alat
Studio, Alat-Alat Bengkel, alat rumah tangga lainnya (home use).
Mengambil contoh laporan belanja modal pada Pemerintah Kabupaten
Anambas, dapat dilihat rincian akun standar untuk belanja modal yang terdiri dari subsub akun per objeknya. Rincian per objek akun inilah yang kemudian dapat dijadikan
standar dalam menghitung indeks harga per masing-masing kabupaten/kota.
10
Tabel 1.
Rincian Per Objek Akun Standar Belanja Modal pada Pemerintah Kab. Anambas
Rekening
5 . 2 . 3 . 01
5 . 2 . 3 . 03
5 . 2 . 3 . 04
5 . 2 . 3 . 05
5 . 2 . 3 . 06
5 . 2 . 3 . 08
5 . 2 . 3 . 10
5 . 2 . 3 . 11
5 . 2 . 3 . 12
5 . 2 . 3 . 13
5 . 2 . 3 . 14
5 . 2 . 3 . 15
5 . 2 . 3 . 16
5 . 2 . 3 . 17
5 . 2 . 3 . 18
5 . 2 . 3 . 19
5 . 2 . 3 . 20
5 . 2 . 3 . 21
5 . 2 . 3 . 22
5 . 2 . 3 . 23
5 . 2 . 3 . 25
5 . 2 . 3 . 26
5 . 2 . 3 . 27
5 . 2 . 3 . 28
5 . 2 . 3 . 30
5 . 2 . 3 . 31
5 . 2 . 3 . 32
11
BAB V
PEMBAHASAN
Dari penjelasan tersebut, maka penulis mengusulkan adanya perubahan
kebijakan dalam penentuan batas minimun kapitalisasi. Hal yang dapat dilakukan
adalah dengan melakukan penyeragaman dan penyesuaian proporsi batas minimun
nilai kapitalisasi per kabupaten/kota. Perubahan ini dilakukan secara nasional dan
dikoordinasikan oleh kementerian dalam negeri untuk membuat suatu keputusan yang
memuat nilai kapitalisasi per jenis objek dalam akun aset tetap. Penentuan batas
minimal kapitalisasi yang ditentukan secara nasional akan memakai suatu standar
indeks untuk menjadi patotan nilai di masing-masing daerah. Dalam hal ini, penulis
menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Pasar untuk
33 provinsi di Indonesia. Indeks ini diolah sedemikian hingga mendapatkan proporsi
nilai yang wajar untuk ditetapkan di masing-masing daerah.
yang dapat di kapitalisasi DKI Jakarta (rata-rata harga alat studio di Jakarta) adalah
Rp1.000.000.
Maka untuk mendapatkan nilai kapitalisasi minimal belanja Alat-alat Studio di
Gorontalo dengan indeks rata-rata 99,86 (100%-indeks PDRB Prov. Gorontalo) dapat
dicari dengan rumus:
Rata-Rata
100%-Rata
(1)
(2)
Indeks
Nilai Perhitungan
Aceh
1,71
98,29
89,098
1.172.859
Sumatera Utara
5,16
94,84
67,846
1.131.627
Sumatera Barat
1,66
98,34
89,382
1.173.408
Riau
6,28
93,72
60,978
1.118.303
Jambi
0,97
99,03
93,613
1.181.617
Sumatera Selatan
3,04
96,96
80,880
1.156.915
Bengkulu
0,36
99,64
97,391
1.188.947
Lampung
1,88
98,12
88,031
1.170.787
0,51
99,49
96,474
1.187.167
Kepulauan Riau
1,39
98,61
91,019
1.176.584
DKI Jakarta
16,19
83,81
0,000
1.000.000
Jawa Barat
14,57
85,43
9,995
1.019.390
Jawa Tengah
8,53
91,47
47,106
1.091.390
DI Yogyakarta
0,89
99,11
94,132
1.182.624
14,86
85,14
8,179
1.015.868
Banten
3,34
96,66
79,084
1.153.430
Bali
1,25
98,75
91,881
1.178.257
0,87
99,13
94,256
1.182.866
0,53
99,47
96,348
1.186.923
Kalimantan Barat
1,17
98,83
92,385
1.179.235
Kalimantan Tengah
0,80
99,20
94,678
1.183.683
Kalimantan Selatan
1,12
98,88
92,719
1.179.882
Kalimantan Timur
6,36
93,64
60,468
1.117.313
Jawa Timur
13
Sulawesi Utara
0,69
99,31
95,340
1.184.968
Sulawesi Tengah
0,70
99,30
95,312
1.184.913
Sulawesi Selatan
2,14
97,86
86,423
1.167.668
Sulawesi Tenggara
0,52
99,48
96,387
1.187.000
Gorontalo
0,14
99,86
98,711
1.191.507
Sulawesi Barat
0,19
99,81
98,402
1.190.909
Maluku
0,16
99,84
98,607
1.191.306
Maluku Utara
0,10
99,90
99,000
1.192.069
Papua Barat
0,45
99,55
96,857
1.187.910
Papua
1,45
98,55
90,663
1.175.895
100,00
Selain dengan menggunakan indeks PDRD atas dasar harga pasar di atas,
beberapa indeks yang ada di Badan Pusat Statistik juga dapat dipakai, khususnya
untuk Belanja Modal Pengadaan Konstruksi bangunan. Untuk perhitungan indeks
masing-masing daerah terkait pengadaan konstruksi bangunan, indeks yang dipakai
yaitu Indeks Kemahalan Konstruksi Menurut Provisi, 2010-2014.
Misal: nilai rata-rata indeks Kemahalan Konstruksi di DKI Jakarta 95,26 (ratarata indeks selama 4 tahun DKI Jakarta) dengan nilai batas minimum kapitalisasi
ditentukan untuk klasifikasi belanja Konstruksi Bangunan yang dapat di kapitalisasi DKI
Jakarta adalah Rp10.000.000.
14
Tabel 3.
Perhitungan Nilai Batas Minimum Kapitalisasi Konstruksi Bangunan per Provinsi
Indeks Kemahalan Konstruksi
Provinsi
Rata-rata
Nilai
Perhitungan
2010
2012
2013
2014
92,45
91,23
91,61
93,54
92,2075
9.679.561
SUMATERA UTARA
86,2
92,49
95,92
96,08
92,6725
9.728.375
SUMATERA BARAT
85,24
88,16
88,72
93
88,78
9.319.756
RIAU
96,93
100,8
101,3
102,9
100,48
10.547.974
JAMBI
89,31
96,25
96,97
95
94,3825
9.907.884
SUMATERA SELATAN
87,13
94,42
95,29
99
93,96
9.863.531
BENGKULU
87,83
87,47
94,98
96,21
91,6225
9.618.150
LAMPUNG
83,93
89,85
89,79
91,87
88,86
9.328.155
95,33
104,3
99,59
102,1
100,3275
10.531.965
KEP. RIAU
101,6
109,8
109,4
107,3
107,045
11.237.140
DKI JAKARTA
90,02
93,89
100
97,13
95,26
10.000.000
ACEH
15
JAWA BARAT
85,04
83,11
89
88,05
86,3
9.059.416
JAWA TENGAH
83,44
79,54
85,38
83
82,84
8.696.200
DI YOGYAKARTA
83,67
75,79
86,52
84,81
82,6975
8.681.241
JAWA TIMUR
83,36
81,14
85,94
87,62
84,515
8.872.034
84
87,28
89,25
89,19
87,43
9.178.039
85,53
91,15
93,02
91,67
90,3425
9.483.781
87,2
78,68
80,01
81
81,7225
8.578.889
97,38
85,73
87,67
89,31
90,0225
9.450.189
KALIMANTAN BARAT
96,61
108,3
107,4
109,5
105,4275
11.067.342
KALIMANTAN TENGAH
100,8
106
100,3
103,2
102,595
10.769.998
KALIMANTAN SELATAN
90,46
97,72
97,88
99,18
96,31
10.110.225
KALIMANTAN TIMUR
100
108,5
100
100
102,115
10.719.609
KALIMANTAN UTARA
109,9
109,86
11.532.647
SULAWESI UTARA
98,63
100,5
103
102
101,0225
10.604.923
SULAWESI TENGAH
90,81
81,72
85
86,62
86,0375
9.031.860
SULAWESI SELATAN
85,99
86,51
85,89
88,55
86,735
9.105.081
SULAWESI TENGGARA
92,17
96,74
96,42
99,67
96,25
10.103.926
GORONTALO
90,74
92,1
93,18
93,62
92,41
9.700.819
SULAWESI BARAT
89,9
95,53
91,96
94,79
93,045
9.767.478
MALUKU
110
100,5
101
104,4
103,9925
10.916.702
110,4
108,6
115,1
117,9
113,005
11.862.797
BANTEN
BALI
MALUKU UTARA
16
PAPUA BARAT
PAPUA
143
149,2
121
125,8
134,7325
14.143.659
210,1
242,6
189
191,9
208,3975
21.876.706
17
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
Penentuan batas minimum kapitalisasi aset tetap yang selama ini menjadi
wewenang masing-masing daerah masih menemui berbagai kendala. Kendala ini
terkait dengan kurangnya studi yang komprehensif dalam menentukan batas minimal
kapitalisasi yang wajar oleh masing-masing daerah.
Penerapan batasan minimal kapitalisasi khususnya yang digunakan sebagai
kriteria penganggaran harus dilakukan secara hati-hati dan jangan gegabah. Apabila
kita gegabah dalam menerapkan hal tersebut, akan berakibat pada hilangnya aset tetap
pemerintah daerah secara sistematis yang jelas-jelas sangat diperlukan untuk
mendukung tupoksinya.
Salah satu solusi yang diusulkan untuk dilakukan dalam mengatasi titik kritis
penetapan batas minimal kapitalisasi aset tetap adalah dengan cara menyusun suatu
indeks harga yang ditetapkan secara berkala untuk akun aset tetap sampai pada rincian
per objek atau sub kelompoknya.
Hasil perhitungan indeks dan proporsi batas minimal kapitalisasi yang dilakukan
masih banyak keterbatasan dan memerlukan studi lebih lanjut. Dengan koordinasi dari
berbagai instansi terkait diharapkan nilai batas minimum kapitalisasi aset tetap untuk
pemerintah daerah bisa lebih dipertanggungjawabkan guna mendorong akuntabilitas
aset tetap yang lebih baik. Untuk tujuan yang lebih luas penentuan Batas Kapitalisasi
Aset Tetap yang tepat pada Pemerintah Daerah akan mengurangi risiko pengakuan
aset tetap yang tidak diakui dan menjadi strategi dalam melindungi aset pemerintah.
18
REFERENSI
Republik Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Kementerian Dalam Negeri.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2015. Produk Domestik Regional Neto (PDRN)Atas Dasar Harga
Pasar. (Online). (http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/83, diakses 09
Februari 2016).
Badan Pusat Statistik. 2015. Indeks Kemahalan Konstruksi Menurut Provisi, 2010-2014.
(Online). (http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1625, diakses 09 Februari
2016).
Damargo Hadiono. 2015. Apakah Seluruh Realisasi Belanja Modal Harus Diakui
Sebagai Aktiva Tetap?. (Online), (http://www.warungkopipemda.com/apakahseluruh-realisasi-belanja-modal-harus-diakui-sebagai-aktiva-tetap/,
diakses
09
Februari 2016).
Eko Hery Winarno. 2015. Menimbang-nimbang Kembali Penerapan Kebijakan Batas
Minimal
Kapitalisasi.
(Online),
Kapitalisasi.
(Online),(http://www.warungkopipemda.com/hati-hati-
menetapkan-batas-minimal-kapitalisasi-capitalization-threshold/,
diakses
09
Februari 2016).
Rabiatul
Adawiyah.
2012.
Kapitalisasi
Aset,
Apa
dan
Bagaimana.
(Online),
(http://www.warungkopipemda.com/kapitalisasi-aset-apa-dan-bagaimana/, diakses
09 Februari 2016).
19
Lampiran.
Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Provinsi,
2005-2013 (Persen)
Provinsi
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Rata-Rata
Aceh
2,12
2,26
2,00
1,72
1,55
1,49
1,45
1,41
1,36
1,71
Sumatera Utara
5,20
5,11
5,11
5,01
5,08
5,19
5,21
5,21
5,33
5,16
Sumatera Barat
1,66
1,69
1,68
1,66
1,65
1,65
1,64
1,64
1,68
1,66
Riau
5,17
5,32
5,91
6,47
6,39
6,53
6,86
6,97
6,89
6,28
Jambi
0,84
0,83
0,90
0,96
0,95
1,02
1,05
1,08
1,13
0,97
Sumatera Selatan
3,03
3,06
3,09
3,13
2,95
2,98
3,03
3,06
3,06
3,04
Bengkulu
0,38
0,36
0,36
0,35
0,35
0,35
0,35
0,36
0,36
0,36
Lampung
1,52
1,57
1,71
1,73
1,91
2,05
2,12
2,15
2,17
1,88
0,53
0,51
0,50
0,50
0,49
0,50
0,51
0,51
0,51
0,51
1,53
1,47
1,46
1,37
1,37
1,35
1,33
1,35
1,32
1,39
DKI Jakarta
16,15
15,99
15,93
15,85
16,28
16,28
16,30
16,39
16,57
16,19
Jawa Barat
14,49
15,08
14,80
14,83
14,82
14,57
14,30
14,11
14,12
14,57
Jawa Tengah
8,73
8,99
8,79
8,60
8,55
8,40
8,27
8,26
8,23
8,53
DI Yogyakarta
0,94
0,94
0,93
0,89
0,89
0,86
0,86
0,85
0,84
0,89
15,08
15,05
15,10
14,55
14,76
14,70
14,67
14,87
14,99
14,86
Banten
3,62
3,56
3,45
3,27
3,28
3,24
3,19
3,17
3,23
3,34
Bali
1,31
1,24
1,24
1,22
1,30
1,27
1,23
1,25
1,25
1,25
0,96
0,91
0,94
0,83
0,95
0,94
0,81
0,74
0,74
0,87
0,55
0,54
0,54
0,51
0,52
0,52
0,52
0,52
0,53
0,53
Kalimantan Barat
1,29
1,23
1,22
1,15
1,17
1,14
1,11
1,11
1,12
1,17
Kalimantan Tengah
0,78
0,78
0,79
0,77
0,80
0,80
0,81
0,83
0,84
0,80
Kalimantan Selatan
1,18
1,10
1,11
1,07
1,11
1,13
1,13
1,13
1,10
1,12
Kalimantan Timur
6,71
6,36
6,26
7,37
6,14
6,08
6,50
6,23
5,61
6,36
Sulawesi Utara
0,70
0,68
0,68
0,67
0,71
0,70
0,69
0,70
0,70
0,69
Sulawesi Tengah
0,65
0,63
0,65
0,67
0,70
0,70
0,74
0,76
0,77
0,70
Kepulauan Riau
Jawa Timur
20
Lampiran.
Sulawesi Selatan
1,93
1,94
1,95
1,99
2,15
2,23
2,28
2,37
2,44
2,14
Sulawesi Tenggara
0,48
0,49
0,50
0,52
0,55
0,54
0,53
0,54
0,54
0,52
Gorontalo
0,13
0,13
0,13
0,14
0,15
0,15
0,15
0,15
0,16
0,14
Sulawesi Barat
0,16
0,16
0,17
0,19
0,20
0,21
0,21
0,21
0,21
0,19
Maluku
0,17
0,16
0,16
0,15
0,15
0,15
0,16
0,17
0,17
0,16
Maluku Utara
0,10
0,09
0,09
0,09
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
Papua Barat
0,29
0,29
0,29
0,33
0,39
0,51
0,60
0,64
0,67
0,45
Papua
1,62
1,49
1,56
1,44
1,65
1,66
1,27
1,15
1,23
1,45
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
21
Lampiran.
Rata-rata
2010
ACEH
2012
2013
2014
92,45
91,23
91,61
93,54
92,2075
SUMATERA UTARA
86,2
92,49
95,92
96,08
92,6725
SUMATERA BARAT
85,24
88,16
88,72
93
88,78
RIAU
96,93
100,8
101,3
102,9
100,48
JAMBI
89,31
96,25
96,97
95
94,3825
SUMATERA SELATAN
87,13
94,42
95,29
99
93,96
BENGKULU
87,83
87,47
94,98
96,21
91,6225
LAMPUNG
83,93
89,85
89,79
91,87
88,86
95,33
104,3
99,59
102,1
100,3275
KEP. RIAU
101,6
109,8
109,4
107,3
107,045
DKI JAKARTA
90,02
93,89
100
97,13
95,26
JAWA BARAT
85,04
83,11
89
88,05
86,3
JAWA TENGAH
83,44
79,54
85,38
83
82,84
DI YOGYAKARTA
83,67
75,79
86,52
84,81
82,6975
JAWA TIMUR
83,36
81,14
85,94
87,62
84,515
84
87,28
89,25
89,19
87,43
85,53
91,15
93,02
91,67
90,3425
87,2
78,68
80,01
81
81,7225
97,38
85,73
87,67
89,31
90,0225
KALIMANTAN BARAT
96,61
108,3
107,4
109,5
105,4275
KALIMANTAN TENGAH
100,8
106
100,3
103,2
102,595
KALIMANTAN SELATAN
90,46
97,72
97,88
99,18
96,31
KALIMANTAN TIMUR
100
108,5
100
100
102,115
KALIMANTAN UTARA
109,9
109,86
BANTEN
BALI
22
Lampiran.
SULAWESI UTARA
98,63
100,5
103
102
101,0225
SULAWESI TENGAH
90,81
81,72
85
86,62
86,0375
SULAWESI SELATAN
85,99
86,51
85,89
88,55
86,735
SULAWESI TENGGARA
92,17
96,74
96,42
99,67
96,25
GORONTALO
90,74
92,1
93,18
93,62
92,41
SULAWESI BARAT
89,9
95,53
91,96
94,79
93,045
MALUKU
110
100,5
101
104,4
103,9925
110,4
108,6
115,1
117,9
113,005
143
149,2
121
125,8
134,7325
210,1
242,6
189
191,9
208,3975
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
23