Вы находитесь на странице: 1из 3

Hargai Kebhinekaan, Kunci Kerukunan Beragama

Oleh: Suryanto,M.Pd
Pemuka Agama Hindu, Tinggal di Sidoarjo
Apa hubungan antara Bhatara Kresna dengan isu penegakan hukum, dan kebhinekaan yang
menjadi isu-isu hangat dalam kehidupan berbangsa Indonesia saat ini? Barangkali memang tidak
ada korelasi langsung diantara ketiganya. Tetapi mari kita ingat kembali, bahwa upaya penegakan
hukum di negara kita tidak lepas dari peran pihak intelijen, baik yang dimiliki oleh lembaga BIN,
Polri, TNI, Kejaksaan, Imigrasi, dan lembaga penegak hukum lainnya.
Tugas utama mereka adalah sedini mungkin mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum, yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keberhasilan mencegah aksi bom bunuh diri yang mentarget istana kepresidenan beberapa waktu
lalu, adalah contoh nyata hasil kerja keras aparat intelijen BIN, Polri, TNI, dan lembaga terkait.
Ada yang menarik terkait kinerja Badan Intelijen Kepolisian (BIK), khususnya pada
lambang dan semboyan lembaga intelijen yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia
itu. Pada bagian tengah lambang BIK itu, tertera sosok Bhatara Kresna dalam dunia pewayangan
Jawa. Lalu, terdapat pula semboyan berbahasa Sanskerta, Indera Waspada, Negara Raharja.
Artinya, panca indera para aparat intelijen itu, khususnya mata dan telinga mereka, harus
dimaksimalkan untuk bekerja secara waspada, menjaring informasi, dan melakukan upaya
pencegahan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat membahayakan keamaanan negara.
Pertanyaannya, mengapa sosok Bhatara Kresna, dipilih sebagai simbol pada lambang
lembaga telik sandi kepolisian itu? Apa hubungan antara sais kereta perang Arjuna itu dengan
kegiatan intelijen dan penegakan hukum kepolisian?
Tulisan ini hanya ingin mengajak kita mengingat kembali, bagaimana kepiawaian Bhatara
Kresna dalam melakukan tindakan penegakan hukum. Dalam istilah kitab Mahabharata, konsep
dharma, meski tidak sama persis, dapat diidentikkan dengan konsep hukum yang berlaku di
sebuah negara. Upaya Bhatara Kresna dalam menegakkan dharma lewat instrumen para Pandawa,
sesungguhnya adalah sebuah upaya penegakan hukum. Berbagai dilema pelik, kontroversi, dan
bahkan tuduhan melanggar etika dan moral sempat mewarnai upaya para Pandawa saat itu.
Betapa tidak. Perang Bharata Yudha itu tak terelakkan lagi, meski segala upaya damai dan
negosiasi telah maksimal dilakukan. Bhatara Kresna juga telah berinisiatif menjadi duta
perdamaian dari pihak Pandawa. Namun Duryodana bersaudara, dengan ambisi politiknya untuk
menguasai negara, menolak mentah-mentah upaya lobi itu.
Tepat sebelum meletusnya perang di Kuruksetra, Arjuna meminta sais keretanya itu untuk
membawanya ke tengah-tengah antara kedua pasukan. Ketika akhirnya Arjuna sadar harus
membunuh kakek Bhisma, Guru Drona, Guru Kripa, para kerabatnya sendiri yang berdiri dipihak
Kaurawa, pemanah terbaik murid Drona itu mengalami keguncangan jiwa. Cucu kesayangan
Bhisma itupun terduduk lemas di atas keretanya, bulu romanya merinding, dan busur Gandiwa
terlepas dari genggamannya. Arjuna mengalami dilema bhatin yang tak terperikan.
Dengan alasan kemanusiaan dan demi menjunjung nilai-nilai moral, Arjuna memutuskan tak
ingin melanjutkan perang yang dapat menghancurkan dinasti Kuru itu. Berbagai argumen masuk
akal ia kemukakan sebagai pembenaran atas pilihannya. Arjuna menimbang-nimbang mala petaka
mengerikan yang akan menimpa Pandawa, bila mereka membunuh kakek, guru, paman, dan para
kerabat sendiri. Tak elok rasanya, menanggung dosa tak terampuni seperti itu, jika hanya demi
kepentingan merebut kekuasaan, tahta, dan harta kerajaan semata.
Lalu, bagaimana sikap Bhatara Kresna melihat kegalauan sahabatnya itu? Dikenal sebagai
Ratu Bhinatara, Bhatara Kresna adalah sosok yang sangat piawai sebagai seorang negarawan,
politikus, penasehat, sekaligus telik sandi ulung. Melihat keputusasaan Arjuna, Raja Dwarawati itu
menyadarkan Arjuna bahwa perang Bharata ini adalah sebuah proses penegakan hukum, bukan
semata demi merebut kembali kerajaan Hastinapura dan Indraprastha. Perang itu adalah tugas mulia
bagi seorang ksatria, demi tegaknya dharma, yaitu dharma agama dan dharma negara.
Bhatara Kresna mengingatkan kembali serentetan tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan Kaurawa. Peristiwa istana kardus, upaya meracuni Bima, dan puncaknya adalah ketika

Dursasana berupaya menelanjangi Drupadi, setelah permaisuri kerajaan itu dipertaruhkan di meja
judi oleh Yudhistira, suaminya sendiri.
Sangkuni yang licik sengaja mengatur sebuah permainan judi curang, yang menggiring agar
Pandawa pada akhirnya mau menyerahkan kerajaan Indraprasta sebagai taruhan. Ketika mereka tak
memiliki apapun lagi, Yudhisthira menjadikan Draupadi sebagai taruhan, hingga akhirnya upaya
penelanjangan itu terjadi. Hasil akhir perjudian yang curang itu, Pandawa diasingkan ke hutan
selama tiga belas tahun, dan ditahun keempat belas mereka harus bersembunyi dan menyamar. Bila
pada tahun terakhir itu mereka berhasil diketemukan oleh telik sandi Kaurawa, maka proses
pengasingan itu akan diulang lagi dari awal, begitu seterusnya.
Masalahnya, mengapa kakek Bhisma, Guru Drona, Guru Kripa, dan para pendeta kerajaan
yang menyaksikan semua peristiwa itu, hanya bungkam saja? Mengapa mereka tak berkata sepatah
katapun, saat Kaurawa melakukan penelanjangan terhadap Draupadi di hadapan publik? Ternyata,
kebisuan itu terjadi, karena Bhisma, Drona, Kripa, Adipati Karna, dan para ksatria perkasa lainnya
yang menyaksikan kejadian memalukan itu, terikat pada kepentingan politik mereka masingmasing.
Ada kepentingan-kepentingan pribadi yang membuat mereka tidak berdaya untuk melawan
perbuatan angkara murka Kaurawa tersebut. Bhisma misalnya, terikat pada sumpahnya untuk
melindungi tahta Hastinapura, dan tak ingin nama baiknya rusak bila melanggar sumpah itu. Guru
Drona merasa berhutang budi, karena Bambang Aswatama, anak lelakinya, berteman baik dengan
Kaurawa. Drona juga terikat pada hutang budi karena ia diangkat sebagai pendeta kerajaan, dan
sekaligus guru bagi para pangeran Kuru.
Semua dilema pribadi itu membuat mereka yang semestinya menjadi penegak hukum, justru
terlibat pada kebisuan yang bersifat koruptif. Mereka tak berbuat apa-apa, saat perbuatan amoral
oleh Kaurawa itu berlangsung di depan mata mereka. Jika terhadap seorang permaisuri kerajaan
saja, Kaurawa mampu bertindak tidak terpuji seperti itu, bagaimana perilaku mereka terhadap
wanita dan masyarakat biasa? Negara dan pemerintahan yang tidak mampu melindungi harkat dan
kehormatan kaum wanita, yang tidak mampu memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat
sipil, berhak untuk diperangi.
Dalam konteks itulah, Bhatara Kresna menasehati agar Arjuna bertempur sebagai seorang
ksatria pelindung dharma. Arjuna tak boleh ingkar terhadap proses penegakan hukum, karena
dilema kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompoknya. Penegakan hukum, perlindungan
terhadap dharma, harus tetap ditegakkan tanpa terhalangi oleh hubungan kekerabatan atau
nepotisme.
Jika Arjuna mundur dari medan perang karena rasa hormatnya kepada kakek Bhisma dan
Guru Drona, maka Kaurawa akan berkuasa, dan kebenaran akan sirna dari muka bumi.
Sesungguhnyalah, segala ciptaan yang beranekaragam, bhinneka, indah, dan maha hebat itu tidak
lain adalah segelintir cerminan dari keagungan dan kemahakuasaan Tuhan yang tiada batas, yang
patut dilindungi dan diapresiasi oleh masyarakat manusia. Demikianlah Kresna menyadarkan
kewajiban Arjuna sebagai seorang ksatria.
Demikianlah, pada akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh
Pandawa dengan
pengorbanan tak terperikan. Semua itu dimungkinkan berkat nasehat dan strategi perang jitu yang
disusun berdasarkan informasi intelijen yang diberikan oleh Bhatara Kresna, sang kusir kereta
Arjuna. Banyak pengetahuan politik, strategi perang, strategi intelijen, dan ilmu ketatanegaraan
yang dapat dipetik dari sosok Bhatara Kresna itu. Kiranya, tidaklah berlebihan bila sosok Bhatara
Kresna itu lalu dipilih sebagai lambang dan semboyan kinerja lembaga Badan Intelijen Kepolisian.
Kita berharap, aparat intelijen kita mampu bekerja secara profesional, dan mampu
memberikan informasi intelijen yang akurat, guna mencegah terjadinya ancaman terhadap keutuhan
NKRI. Kebhinekaan Indonesia harus tetap kita rawat dan kita jaga, salah satunya adalah melalui
proses penegakan hukum yang tegas, transparan, dan menjunjung nilai-nilai keadilan. Tidak ada
salahnya kita bercermin kembali kepada kisah-kisah inspiratif yang tertuang dalam kisah Bharata
Yudha yang tertuang dalam lakon-lakon pewayangan. Bukankah, wayang sendiri telah ditetapkan
oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya tak benda dunia (Intangible World Cultural
Heritage) asli Indonesia, pada tahun 2003? Marilah berbangga berbangsa dan berbudaya Indonesia.

Вам также может понравиться