Вы находитесь на странице: 1из 26

ABSES PERITONSILER

Kelompok 1

1. Desi Listasari
2. Dewi Cahya
3. Dwi Marta Fitriani
4. Lina Putriani
5. Nengah Swastawe
6. Dwi Wahyuningsih
7. Maria Vina Anggraini
8. Arsyad saputra
9. Abdul Gani
10.Andri Nofriza
11. Dwi Ardiansyah
12. Evi Varlina
13.Laksono Hadi

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)


MITRA LAMPUNG
TAHUN 2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut
dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam
terbentuk di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi
dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.
Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang
terlibat.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Stertococcus, Staphylococcus, kuman
anaerob Bacterioides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil,
abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina Ludovici (Ludwigs Angina).
Menurut Herzon, abses peritonsil adalah infeksi yang paling sering ditemukan di region
peritonsiler. Di Amerika Serikat, insidensinya mencapai 30 kasus per 100.000 penduduk
pertahun dan ditemukan hingga 45.000 kasus pertahunnya. Jumlah yang tinggi ini diperkirakan
karena adanya infeksi rekuren (berulang) dan resistensi terhadap antibiotic yang dilaporkan
secara internasional. Angka kematian yang diakibatkan oleh abses peritonsil belum diketahui
secara pasti, sedang angka kesakitan yang disebabkan abses ini paling banyak dihubungkan
dengan nyeri. Tidak ada predileksi ras tertentu untuk penyakit ini, baik laki-laki dan perempuan
mempunyai rasio resiko yang sama untuk menderita abses peritonsiler. Penyakit ini ditemukan
pada umur 10 60 tahun, namun paling banyak ditemukan pada umur 20 40 tahun. Apabila
ditemukan pada anak-anak seringnya adalah pada pasien immunocompromised. 2Abses
peritonsiler (PTA) banyak ditemukan pada praktek klinik yang merupakan salah satu
kegawatdaruratan di bagian otorhinolaryngologic dan mudah untuk terjadi kekambuhan. Jika
pasien dengan abses peritonsiler diterapi dengan berbagai metode yang berbeda maka hasilnya
juga akan berbeda. Untuk menambah efek terapi untuk abses peritonsiler, tiga metode efektif
telah dilaporkan, yaitu metode operasi pada stadium abses, metode operasi selektif dan terapi
konservatif.

1.2. TUJUAN PENULISAN


Mengetahui pengertian abses peritonsiler, etiologi, anatomi, patologi, gejala klinis, diagnostic,
komplikasi, diagnosa banding, terapi dan prognosis abses peritonsiler.

1.3. MANFAAT PENULISAN


1. Meningkatkan pemahaman perawat terhadap ilmu keperawatan medikal bedah
2. Sebagai landasan dalam melakukan penelitian baik klinik maupun praktik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai
akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik
dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari
Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses
parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa
berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform
inferior, dan palatum superior.
Abses peritonsil sering disebut sebagai PTA atau Quinsy adalah suatu rongga yang berisi
nanah didalam jaringan peritonsil.
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi
tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan
pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot
konstriktor faring.

2.2. ANATOMI FISIOLOGI


Tonsil terbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing masing tonsil mempunyai 10-30
kriptus yang meluas ke dalam yang meluas ke jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa
tonsil, daerah kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat
longgar pada mushulus kontriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali makan.

Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring. Nasofaring merupakan


bagian dari faring yang terletak diatas pallatum molle, orofaring yaitu bagian yang terletak
diantara palatum molle dan tulang hyoid, sedangkan laringofaring bagian dari faring yang
meluas dari tulang hyoid sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke rongga
mulut pada pilar anterior faring. Pallatum molle (vellum palati) terdiri dari serat otot yang
ditunjang oleh jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di median membaginya
menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak disentral disebut uvula. Dua pillar
tonsilar terdiri atas tonsil palatina anterior dan posterior. Otot glossoplatina dan pharyngopalatina
adalah otot terbesar yang menyusun pilar anterior dan pilar posterior. Tonsil terletak diantara
cekungan palatoglossal dan palatopharyngeal.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil dapat meluas
kearah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufiensi velofaring atau obstruksi hidung,
walau jarang di temukan. Arah perkembangan tonsil tersering adalah kearah hipofaring, sehingga
sering menyebabkan terganggunya saat tidur karena gangguan pada jalan nafas. Secara
mikroskopik mengandung 2 unsur utama:
1. Jaringan ikat / trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah saraf.
2. Jaringan interfolikuler yang terjadi jaringan limfoid dalam berbagai stadium.
Abses peri tonsil terjadi setalah serangan akut tonsilitis. Kira-kira seminggu setelah permulaan
sakit, penderita mulai merasa tidak sehat dan demam, serta disfagia timbul kembali. Gejala
karakteristik abses peri tonsil ialah adanya trimus, tanpa gejala ini diagnosis abses peri tonsil
mungkin salah.
Tonsil (amandel) dan adenoid merupakan jaringan limfoid yang terdapat pada daerah
faring atau tenggorokan. Keduanya sudah ada sejak lahirkan dan mulai berfungsi sebagai bagian
dari sistem imunitas tubuh setelah imunitas warisan dari ibu mulai menghilang dari tubuh.
Tonsil dan adenoid merupakan organ imunitas utama. Sistem imunitas ada 2 macam yaitu
imunitas seluler dan humoral. Imunitas seluler bekerja dengan membuat sel (limfoid T) yang
dapat memakan kuman dan virus serta membunuhnya. Sedangakan imunitas humoral bekerja
karena adanya sel (limfoid B) yang dapat menghasilkan zat immunoglobulin yang dapat

membunuh kuman dan virus. Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid
terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabklan infeksi amandel yang kronis
dan berulang (Tonsilitis kronis). Infeksi yang berulan ini akan menyebabkan tonsil dan adenoid
bekerja terus dengan memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga ukuran tonsil dan
adenoid akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang normal. Tonsil dan adenoid yang
demikian sering dikenal sebagai amandel yang dapat menjadi sumber infeksi (fokal infeksi).

Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis, yang menutupi pilar
anterior dan sebagian dan sebagian permukaan anterior tonsil. Plika semilunaris (supratonsil)
adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang mempersatukan kedua pilar. Fossa supratonsil
merupakan celah yang ukurannya bervariasi yang terletak diatas tonsil diantara pilar anterior dan
posterior. Tonsil terdiri dari sejumlah penonjolan yang bulat atau melingkar seperti kripte yang
mengandung jaringan limfoid dan disekelilingnya terdapat jaringan ikat. Ditengah kripta terdapat
muara kelenjar mukus.

2.3 ETIOLOGI

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama

dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang
lebih tua dan dewasa muda.
Mikrobiologi yang sering ditemukan pada abses paling banyak adalah infeksi campuran.
Terdapat bakteri aerob dan anaerob. Apabila diisolasi paling sering ditemukan adalah
Streptococcus grup A atau grup B. Staphylococcus aureus, Fusobacterium dan bakteri gram
negative anaerob juga sering ditemukan. 5% dari kultur menunjukkan tidak adanya pertumbuhan
bakteri, hal ini disebabkan karena kebanyakan pasien mendapatkan terapi antibiotic sebelum
dilakukan operasi pada stadium akut.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium.
Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan
abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.
2.4. Patofisiologi

Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel atau tonsil
berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini akan memicu
tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi kadang-kadang
amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial
mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear.
Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut
detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis
akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan
hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti
makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah
bening melemah didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh
tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien
mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang tidak
menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.
Bila

bercak

melebar,

lebih

besar

lagi

sehingga

terbentuk

membran

semu

(Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka
epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan
limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok
melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.

2.5. MANIFESTASI KLINIS


a. Gejala tonsilitis antara lain : sakit tenggorokan, demam, dan kesulitan dalam menelan.
b. Gejala tonsilitis akut : gejala tonsilitis akut biasanya disertai rasa gatal / kering
ditenggorokan, lesu, nyeri sendi, anoreksia, suara serak, tonsil membangkak.

Di mulai dengan sakit tenggorokan yang ringan hingga parah, sakit menekan terkadang
muntah. Pada tonsilitis dapat mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan keluar
nanah pada lekukan tonsil.
c. Gejala tonsilitis kronis : (oginofagia) nyeri telan, biasanya pada sisi yang sama juga dan
nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah
(hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut
(trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekanbahkan dapat
menginfeksi telinga bagian tengah, misal proses berjalannya kronis, tingkat rendahnya
yang pada akhirnya menyebabkan ketulian permanen (Baughman, 2002).
Pada kasus yang agak berat, biasanya terdapat disfagia yang nyata. Pembengkakan
mengganggu artikulasi dan membuat bicara menjadi sulit. Demam sekitar 100o F,
meskipun adakalanya mungkin lebih tinggi. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak
mungkin

sulit

karena ketidakmampuan

pasien membuka

mulut.

Pemeriksaan

menyebabkan pasien merasa tidak enak. Diagnosis jarang sangsi jika pemeriksa melihat
pembengkakan peritonsiler yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah dengan
oedem dari palatum mole dan penonjolan dari jaringan ini ke arah garis tengah. Tonsilla
sendiri Nampak normal juga terdorong ke medial dan pembengkakan terjadi lateral
terhadap tonsilla. Palpasi jika mungkin membantu membedakan abses dari sellulitis.
2.6. DIAGNOSTIK
Dilakukan pemeriksaan fisik menyeluruh, dan pengumpulan riwayat kesehatan yang cermat
untuk menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan. Usap tonsilar dikultur untuk
menentukan adanya infeksi bakteri. Jika tonsil adenoid ikut terinfeksi maka dapat menyebabkan
otitis media supuratif yang mengakibatkan kehilangan pendengaran, pasien harus diberikan
pemeriksaan audiometik secara menyeluruh sensitivitas/ resistensi dapat dapat dilakukan jika
diperlukan.
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspiration
dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 16

18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah
(purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.

Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan:


1. Penanganan abses peritonsiler meliputi hidrasi, menghilangkan nyeri, dan antibiotik yang
2.

efektif mengatasi Staphylococcus aureus dan bakteri anaerob


Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte

level measurement), dan kultur darah (blood cultures).


3. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan
bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan
evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegaly.
4. Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk identifikasi organisme
yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan
5.

efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.


Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari
nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis

abses retropharyngeal.
6. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di
apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil).
7. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik.
8. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan compres dingin pada leher.
2.7. KOMPLIKASI

Faringitis merupakn komplikasi tonsilitis yang paling banyak didapat. Demam rematik, nefritis
dapat timbul apabila penyebab tonsilitisnya adalah kuman streptokokus.
Komplikasi yang lain dapat berupa :
1. Abses pertonsil

Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi beberapa
hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group A ( Soepardi, Effiaty
Arsyad,dkk. 2007 ).
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat
mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga
( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel mastoid
( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
4. Laringitis
Merupakn proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx. Peradangan ini
mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakter, lingkungan,
maupunmkarena alergi ( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau lebih dari sinus paranasal.
Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari
membran mukosa ( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharynx ( Reeves,
Roux, Lockhart, 2001 ).

2.8 PENATALAKSANAAN

Pada penderita abses peritonsiler, terlebih dahulu harus diperhatikan pernafasan dan
status nutrisinya. Jika perbesaran tonsil menutupi jalan nafas, maka perlu dilakukan tonsilektomi,
demikian juga jika pembesaran tonsil menyebabkan kesulitan menelan dan nyeri saat menelan,
menyebabkan penurunan nafsu makan / anoreksia. Pada penderita tonsillitis yang tidak
memerlukan tindakan operatif (tonsilektomi), perlu dilakukan oral hygiene untuk menghindari
perluasan infeksi, sedangkan untuk mengubahnya dapat diberikan antibiotic, obat kumur dan
vitamin C dan B.
Pemantauan pada penderita pasca tonsilektomi secara kontinu diperlukan karena resiko
komplikasi hemorraghi. Posisi yang paling memberikan kenyamanan adalah kepala dipalingkan
kesamping untuk memungkinkan drainage dari mulut dan faring untuk mencegah aspirasi. Jalan
nafas oral tidak dilepaskan sampai pasien menunjukkan reflek menelanya telah pulih.
Jika pasien memuntahkan banyak darah dengan warna yang berubah atau berwarna
merah terang pada interval yang sering, atau bila frekuensi nadi dan pernafasan meningkat dan
pasien gelisah, segera beritahu dokter bedah. Perawat harus mempunyai alat yang disiapkan
untuk memeriksa temapt operasi terhadap perdarahan, sumber cahaya, cermin, kasa, nemostat
lengkung dan basin pembuang. Jika perlu dilakukan tugas, maka pasien dibawa ke ruang operasi,
dilakukan anastesi umur untukmenjahit pembuluh yang berdarah. Jika tidak terjadi perdarahan
berlanjut beri pasien air dan sesapan es. Pasien diinstruksikan untuk menghindari banyak bicara
dan bentuk karena hal ini akan menyebabkan nyeri tengkorak.
Setelah dilakukan tonsilektomi, membilas mulut dengan alkalin dan larutan normal salin
hangat sangat berguna dalam mengatasi lender yang kental yang mungkin ada. Diet cairan atau
semi cair diberikan selama beberapa hari serbet dan gelatin adalah makanan yang dapat
diberikan.

Perawatan prehospital untuk abses peritonsiler meliputi transport dengan oksigen yang adekuat.
Managemen kegawat daruratan:

1. ABC, beri perhatian pada jalan nafas pasien. Jika jalan nafas terdapat gangguan segera
pasang intubasi endotrakheal. Jika dengan pemasangan ini masih belum dapat untuk
menjaga patensi jalan nafas diperlukan cricothyroidotomy atau tracheotomy.
2. Pasien dengan dehidrasi sering ditemukan karena kesulitan dalam makan dan minum
sehingga memerlukan cairan intravena sampai masalah peradangan (inflammation)
terpecahkan, sehingga tubuh pasien dapat memperoleh kembali intake cairan per oral
yang cukup (adequate oral fluid intake).
3. Antipyretics diberikan apabila terdapat kenaikan suhu dan analgesics dapat digunakan
untuk mengurangi nyeri
4. Aspirasi dengan jarum sebaiknya dilakukan untuk drainase abses dan harus tersedia
pereda nyeri sedang. Abses yang lebih luas kadang membutuhkan insisi dan drainase.
5. Antibiotic untuk terapi empiris infeksi streptococcus sebaiknya diberikan. Pemberian
steroid terbukti menurunkan waktu rawat inap.
6. Pasien dapat dirawat jalan kecuali terdapat tanda-tanda sepsis, gagal nafas danterdapat
komplikasi.
Antibiotic termasuk dalam komponen utama terapi. Selain dengan drainase abses
antibiotic biasanya mencukupi dalam kesembuhan abses. Terapi antibiotik sebaiknya
dimulai setelah biakan (culture) diperoleh dari abses. Karena resistensi streptococcus
mencapai 30% dan infeksi biasanya bercampur dengan flora normal banyak dokter
merekomendasikan penggunaan kombinasi penisilin dan metronidazole (sensivitasnya
98%). Beberapa dokter masih menggunakan penisilin saja. Resistensi penisilin
dilaporkan mencapai 11 65 %. Untuk pasien yang alergi terhadap penisilin pilihan
lainnya adalah clindamycin. Analgesic dan kumur tenggorokan juga direkomendasikan.
Beberapa praktisioner juga melaporkan penggunaan steroid untuk mengurangi oedem dan
nyeri. Cephalexin atau cephalosporin lainnya (dengan atau tanpa metronidazole)
merupakan pilihan pertama yang terbaik (the best initial option).
Sebagai alternatifnya antara lain:
a. cefuroxime atau cefpodoxime (dengan atau tanpa metronidazole),
b. clindamycin,
c. amoxicillin/clavulanate (jika diagnosis mononucleosis telah disingkirkan).
Antibiotik yang sering diberikan pada abses peritonsiler disesuaikan dengan jenis mikrobanya,
atau dengan melalui uji pertumbuhan bakteri dan sensitifitas terhadap antibiotik .

Berikut antibiotik yang sering diberikan pada penderita abses peritonsiler:


1.

Clindamycin
Antibiotic semisintetik yang dihasilkan dari kelompok lincomycin 7(S)-chlorosubstitution of 7(R)-hydroxyl menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinan dengan
memblok pemisahan peptid tRNA dari ribosom yang menyebabkan sintesis RNA behenti.
Pemberian secara luas tidak masuk ke CNS. Protein diikat dan diekskresi melalui ginjal
dan hepar. Pemberian oral dan intravena diindikasikan untuk infeksi dengan suspect
bakteri streptococcal, pneumococcal atau spesies staphylococcus. Antibiotic ini
diabsorpsi

baik

di

saluran

pencernaan

maupun

secara

parental.

Dosis dewasa: 150 450 mg PO per 8 jam dan 1.2 2.7 gram IV/ IM per 8 jam.
Dosis anak : 15 25 mg/ kg/ hari PO ; 25 40 mg/ kg/ hari IV/ IM2
2. Penisilin G Benzathine (Bicillin L-A)

Pemberian biasanya dikombinasikan dengan metronidazole. Efektif pemberiannya pada


98% pasien. Obat ini mengganggu multiplikasi sintesis sel dinding mukopeptida.
Dosis

dewasa:

600

mg

(~1

juta

unit)

IV

q6h

untuk

12

24

jam

Dosis anak: 12.500 25.000 U/ kg IV q6h


3. Metronidazole (flagyl)
Pemberian dengan kombinasi penisilin. Efektif pada 98% pasien. Cincin imiazole aktif
melawan berbagai bakteri anaerob dan protozoa. Obat ini diabsorbsi di sel
mikroorganisme yang mengandung nitroreductase. Komponen yang tidak stabil dibentuk
untuk mengikat DNA dan menghambat sintesis sehingga menyebabkan kematian sel.
Dosis dewasa: loading dose : 15mg/ kg atau 1 gr untuk berat 70 kg IV. Maintenance dose:
6 h following loading dose, infuse 7.5 mg/kg or 500 mg for 70-kg adult over 1 h q6-8h;
not to exceed 4 g/d.
Dosis anak: sama dengan dewasa
Terdapat suatu kajian yang melaporkan kebanyakan dokter umum memberikan antibiotic
penisilin (62%) diikuti dengan cephalosporin dan clindamycin dengan persenan hampir sama
yaitu 20% dan 21%. Terakhir adalah amoxicillin dan Augmentin. Kajian lain melaporkan pada
dokter spesialis THT kebanyakan memberikan Amoxicillin dan Augmentin untuk terapi abses
peritonsiler, dimana 7% nya diberikan secara intravena dan diikuti dengan pemberian steroid.

Penisilin sebagai agen antibiotic lini pertama bertarget pada bakteri Streptococcus
(biasanya Streptococcus beta hemolyticus grup A) yang sering ditemukan pada isolasi. Pada
kultur bakteri dan uji sensitifitas antibiotic menunjukkan semua bakteri succeptible dengan
penicillin G, ampicillin dan erythromycin. Penggunaan antibiotic dengan penisilin saja,
gabungan penisilin dan metronidazole dan antibiotic sephalosporin tidak memberikan perbedaan
terhadap angka rawat inap.
Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara
0% sampai 22%. Kebanyakan kekambuhan muncul pada satu bulan pertama sampai dua bulan
setelah gejala awitan pertama. Hal ini ditafsirkan sebagai gejala residual dari penyakit pertama
dan bukan kekambuhan yang nyata. Wolf et al melaporkan adanya kekambuhan lebih tinggi pada
pasien yang dilakukan aspirasi jarum daripada pada pasien dengan insisi dan drainase. Riwayat
tonsillitis yang kambuh-kambuhan (sekurangnya 2 3 kambuhan per tahun) atau abses
peritonsilaris adalah factor utama yang mempengaruhi management selanjutnya. Insidensi
tonsillitis kambuh-kambuhan yang mendahului abses peritonsilaris bervariasi dari 21% sampai
56%. Tonsilektomi interval sebaiknya secara selektif dilakukan pada pasien dengan riwayat
tonsillitis

yang

berulang

yang

dikhawatirkan

menyebabkan

infeksi

peritonsiler.

Terapi abses peritonsiler meliputi terapi konservatif, operasi selektif dan operasi pada stadium
abses. Terapi konservatif utamanya mengambil pus dengan paracentesis, menginsisi dan drainase
dengan nyeri yang lebih ringan, tetapi pasien yang diterapi dengan metode ini sembuh lebih
lambat dan dapat kambuh. Selama operasi selektif, kondisi tonsil yang melekat ke jaringan
peripheral dan bekas luka membuat pemisahan sulit. Pada prosedur selektif, ketika bagian-bagian
yang merekat dipisahkan, serabut konstriktor faring akan mengalami kerusakan dan tonsil sulit
untuk diekstirpasi dan meninggalkan bagian residual dengan waktu operasi yang lama
menyebabkan perdarahan yang banyak. Operasi pada stadium abses, tonsil dipisahkan dari
jaringan peripheral dan secara mudah didiseksi tanpa pembentukan jaringan parut dan pelekatan,
serta

resiko

kerusakan

lebih

sedikit

dan

perdarahan

yang

lebih

sedikit

juga.

Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler untuk mencegah kekambuhan,
dimana angka kekambuhannya tinggi. Di masa lalu operasi sebaiknya dilakukan 2 3 minggu
setelah resolusi infeksi akut, tetapi setelah 2 3 minggu jaringan parut akan terbentuk di capsul
tonsiler yang akan menyulitkan diseksi dan menyebabkan banyak perdarahan dan meninggalkan
sisa jaringan. Tonsilektomi tidak hanya meringankan infeksi tetapi juga mengeliminasi abses

karena antibiotic dapat mengontrol inflamasi secara efektif. Tonsilektomi pada stadium abses,
jaringan lebih bengkak dan rapuh karena operasi dilakukan di stadium infeksi akut, kemungkinan
akan meninggalkan sisa jaringan bila tidak dilakukan dengan hati-hati, operasi lebih sulit.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang
sistematis dalam mengumpulkan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi

status

kesehatan

klien

(Nursalam,

2001).

Pengkajian dalam sistem imun meliputi riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan prosedur
diagnostik yang merupakan data yang menunjang keadaan klinis dari pasien.

a. Identitas klien yang terdiri dari nama, umur, suku/bangsa, status perkawinan, agama,
pendidikan, alamat, nomor register, tanggal datang ke rumah sakit.
b. Riwayat kesehatan yang terdiri dari :
1) Keluhan utama adalah keluhan atau gejala apa yang menyebabkan pasien berobat atau
keluhan atau gejala saat awal dilakukan pengkajian pertama kali yang utama. Keluhan
utama klien tonsilitis biasanya nyeri pada tenggorokan dan pada saat menelan disertai
demam.
2) Riwayat kesehatan sekarang adalah faktor yang melatarbelakangi atau mempengaruhi
dan mendahuli keluhan, bagaimana sifat terjadinya gejala (mendadak, perlahan-lahan,
terus menerus atau berupa serangan, hilang dan timbul atau berhubungan dengan waktu),
lokalisasi gejalanya dimana dan sifatnya bagaimana (menjalar, menyebar, berpindahpindah atau menetap). Bagaimana berat ringannya keluhan berkurang, lamanya keluhan
berlangsung atau mulai kapan serta upaya yang telah dilakukan apa saja.
3) Riwayat kesehatan masa lalu dapat ditanyakan seperti riwayat pemakaian jenis obat,
jumlah dosis dan pemakaiannya, riwayat atau pengalaman masa lalu tentang kesehatan
atau penyakit yang pernah dialami atau riwayat masuk rumah sakit atau riwayat
kecelakaan.
4) Riwayat kesehatan keluarga Adakan keluarga yang menderita penyakit tonsilitis.
5) Penampilan Umum
a. Kulit pucat kering.
b. Lemah
c. Tanda-tanda vital : pola pernafasan dan suhu tubuh meningkat.
d. Tingkat kesadaran : composmetis, somnolen, sofor, koma, delirium
e. Konsentrasi : mampu berkonsentrasi atau tidak.
f. Kemampuan bicara : mampu bicara atau tidak.
2. Diagnoas Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan tonsil.


2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pemasukan: mual,
anoreksia, letargi.
3.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,


mual, muntah.

4.

Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme penyakit.

5.

Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai penyakit,


prognosis dan kebutuhan pengobatan.

6.

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi atau imflamasi: rasa
sakit pada jaringan tonsil.

3. Intervensi Keperawatan
DX 1 : Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan tonsil
Tujuan

: Dapat hilang atau berkurang

Kriteria hasil

Mengenal faktor penyebab


Mengenali serangan nyeri
Tindakan pertolongan non analgetik
Mengenali gejala nyeri
Menunjukan posisi/ekspresi wajah rileks

Intervensi Rasional

Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 1-10), frekuensi dan waktu.
Menandai non verbal, misal: gelisah, takikardi, meringis Mengindikasi kebutuhan

untuk intervensi dan juga tanda-tanda perkembangan/resolusi komplikasi


Dorong pengungkapan perasaan Dapat mengurangi ansietas dan rasa takut, sehingga

mengurangi persepsi akan intensitas rasa takut


Berikan aktivitas hiburan, misal: membaca, nonton TV, bermain handphone
Meningkatkan kembali perhatian kemampuan untuk menanggulangi
Lakukan tindakan paliatif, misal: pengubahan posisi, masase Meningkatkan

relaksasi/menurun ketegangannya
Instruksikan pasien untuk menggunakan visualisasi/ bimbingan imajinasi, relaksasi
progresif, teknik nafas dalam Meningkatkan relaksasi dan perasaan sehat. Dapat
menurunkan narkotik analgesic (depresan SSN) dimana telah terjadi proses degeneratif

neuro /motor. Mungkin tidak berhasil jika muncul demensia, meskipun minor
Berikan analgesik/antipiretik. Gunakan ADP (analgesik yang dikontrol pasien) untuk
memberikan analgesik 24 jam dengan dosis prn Memberikan penutunan nyeri atau
tidak nyaman: mengurangi demam. Obat yang dikontrol pasien atau berdasarkan waktu
24 jam mempertahankan kadar analgesia darah tetap stabil. Mencegah kekurangan
ataupun kelebihan obat-obatan

DX 2 : Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan pembatasan pemasukan: mual,


anoreksia, letargi
Tujuan : Tidak terjadinya dehidrasi
Kriteria hasil :
-

Mempertahankan dehidrasi
Membran mukosa lembab
Turgor kulit baik, tanda-tanda vital stabil

Intervensi Rasional
-

Catat peningkatan suhu dan durasi demam. Berikan kompres hangat sesuai indikasi.
Pertahankan pakaian tetap kering. Pertahankan kenyamanan suhu lingkungan
Meningkatkan

kebutuhan

metabo-lisme

dan

diaforesis

yang

berlebihan

dihubungkan dengan demam dalam meningkatkan kehilangan cairan tak kasat mata

yang

Kaji turgor kulit, membrane mukosa dan rasa haus Indikator tidak langsung dan status

cairan
Timbang berat badan sesuai indikasi Meskipun kehilangan berat badan dapat
menunjukkan penggunaan otot, fluktuasi tiba-tiba menunjukkan status hidrasi.
Kehilangan cairan berkenaan dengan diare dapat dengan cepat menyebabkan krisis dan

mengancam hidup.
Pantau pemasukan oral dan memasukkan cairan sedikitnya 2500 ml/hari
Mempertahankan keseimbangan cairan, mengurangi rasa haus dan melembabkan

membrane mukosa
Berikan cairan/elektrolit melalui selang pemberi makanan/IV Mungkin diperlukan
untuk mendu-kung/memperbesar volume sirkulasi, terutama jika pemasukan oral tak

adekuat, mual/muntah terus menerus


Pantau hasil pemeriksaan labora-torium sesuai indikasi, misal: HB/Ht
Elektrolit serum/urine Bermanfaat dalam memperkirakan kebutuhan cairan.
Berikan obat-obatan sesuai indikasi
Antimetik, misal: proklo-perazin maleat (Compazine); trimeto-benzamid (Tigan);

metoklo-pramid (Reglan)
Mengurangi insiden muntah untuk mengurangi kehilangan cairan/elektro-lit lebih lanjut
Antidiarea, misal: difenik-silat (Lomotil), loperamid Imodium, paregoric atau
antipasmodik, misal: mepen-zolat, bromide (Cantil) Menurunkan jumlah dan keenceran
feses; mungkin mengurangi kejang usus dan peristalis. Catatan : Antibiotik mungkin

digunakan untuk mengobati diare jika disebabkan oleh infeksi


Antipiretik, misal: asetaminofen (Tylenol) Membantu mengurangi demam dan respons
hipermetabolisme, menurun-kan kehilangan cairan tak kasan mata

DX 3 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah
Tujuan
: Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil :
-

Adanya peningkatan berat badan sesuai tujuan


Berat badan sesuai tinggi badan
Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

Intervensi Rasional

Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan Lesi mulut, tenggorokan
dan implamasi pada tonsil dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien

untuk mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan


Timbang berat badan sesuai kebutuhan. Evaluasi berat badan dalam hal adanya berat

badan yang tidak sesuai. Gunakan serangkaian pengukuran berat badan dan antropometri
Indikator kebutuhan nutrisi/pema-sukan yang adekuat
Hilangkan rangsangan lingku-ngan yang berbahaya atau kondisi yang membentuk reflek

gagal Mengurangi stimulus pusat muntah di medulla


Berikan perawatan mulut terus menerus, awasi tindakan pencegahan sekresi. Hindari obat
kumur yang mengandung alkohol Mengurangi ketidaknyamanan yang berhubungan
dengan mual/muntah, lesi, oral, pengeringan mukosa. Mulut yang bersih meningkatkan

nafsu makan
Rencanakan diit dengan pasein/ orang terdekat: Jika memung-kinkan, sarankan makanan
dari rumah. Sediakan makanan yang sedikit tapi sering berupa makanan pada nutrisi,
tidak bersifat asam dan juga minuman dengan pilihan yang disukai pasien. Mendorong
konsumsi makanan berkalori tinggi, yang dapat merangsang nafsu makan. Catat waktu,
kapan nafsu makan menjadi baik dan pada waktu itu usahakan untuk menyajikan porsi
makan yang lebih Melibatkan pasien dalam memberikan perasaan kontrol lingkungan
dan mungkin meningkatkan pemasukan. Memenuhi kebutuhan akan makanan non

institusional mungkin juga meningkatkan pemasukan


Berikan obat yang antiemetik misal: Ranitidin Mengurangi insiden muntah,

meningkatkan fungsi gaster


Berikan suplemen vitamin Kekurangan vitamin terjadi akibat penurunan pemasukan
makanan dan ataun kegagalan menguyah dan absorpsi dalam sistem gastrointestinal

DX 4 : Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme penyakit.


Tujuan : Suhu tubuh kembali normal
Kriteria hasil :
-

Suhu tubuh dalam rentang normal


Suhu kulit dalam batas normal
Nadi dan pernafasan dalam batas normal

Intervensi Rasional

Pantau suhu pasien (derajat dan pola); perhatikan menggigil/ diafpresis Suhu 38,90C,
41,10C menunjukan proses penyakit infeksius akut. Pada demam dapat membantu dalam

diagnosis; misal kurun demam lanjut berkahir dari 24 jam.


Pantau suhu lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi Suhu

ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal


Berikan kompres mandi hangat Dapat membantu mengurangi demam
Berikan antipiretik, misal: paracetamol, asetaminofen Digunakan untuk mengurangi
demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus, meskipun demam mungkin dapat
berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme dan meningkatkan autodestruksi dari
sel-sel yang terinfeksi

DX 5 : Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan


kebutuhan pengobatan
Tujuan : Ansietas berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
-

Berkurang atau hilang


Ansietas berkurang
Menunjukan pemahaman akan proses penyakit dan prognosis
Memanifestasi perilaku akibat kecemasan tidak ada

Intervensi Rasional
-

Berikan informasi mengenai terapi obat-obatan, interaksi efek samping dan pentingnya
ketaatan pada program Meningkatkan pemahaman dan meni-ngkatkan kerjasama dalam

penyem-buhan/profilaksis dan mengurangi risiko kambuhnya komplikasi


Diskusikan kebutuhan untuk pemasukan nutrisional yang tepat/seimbang
Perlu untuk penyembuhan optimal dan kesejahteraan umum
Dorong periode istirahat adekuat dengan aktivitas yang terjadwal Mencegah kepenatan,

penghematan energi dan meningkatkan penyembuhan


Tinjau perlunya kesehatan pribadi dan kebersihan lingkungan Membantu mengontrol

pemajanan lingkungan dengan mengurangi jum-lah bakteri patogen yang ada


Identifikasi tanda-tanda/gejala-gejala yang membutuhkan evaluasi medis, misalnya
peningkatan suhu menetap, takikardia, sinkope, ruam yang tak diketahui asalnya,
kepenatan yang tidak dapat dijelaskan, anoreksia, peningkatan rasa haus dan perubahan

pada fungsi kandung kemih. Pengenalan dini dari perkembangan/ kambuhnya infeksi
akan memung-kinkan intervensi dan mengurangi risiko perkembangan ke arah situasi
-

membahayakan jiwa
Tekankan pentingnya imunisasi profilaktik/terapi antibiotik sesuai kebutuhan
Penggunaan pencegahan terhadap infeksi

DX 6 : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi atau imflamasi: rasa sakit
pada jaringan tonsil.
Tujuan

: Mempertahankan pola nafas efektif

Kriteria hasil :
-

Tidak mengalami sesak nafas


Pernafasan dalam batas normal
Tidak terjadi batuk

Intervensi Rasional
-

Auskultasi bunyi nafas, tandai daerah paru yang mengalami penurunan atau kehilangan
ventilasi Memperkirakan adanya perkem-bangan komplikasi/infeksi pernafasan yang

terjadi pada jaringan tonsil


Catat kecepatan/kedalaman pernafasan, sianosis, penggu-naan otot aksesori/kerja
pernafasan munculnya dispnea Takipnea, sianosis, tidak dapat beristirahat dan
peningkatan nafas menunjukkan kesulitan pernafasan dan adanya kebutuhan untuk

meningkatkan pengawasan/intervensi medis


Kaji perubahan tingkat kesadaran Hipoksemia dapat terjadi akibat adanya perubahan
tingkat kesadaran mulai dari ansietas dan kekacauan mental dan mencegah komplikasi
pernafasan

4. Implementasi
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tujuan
dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah diterapkan, yang
mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit pemulihan kesehatan dan memfasilitasi
koping (Nursalam: 2001).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang
diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Nursalam, 2001).
Adapun evaluasi dari tiap-tiap masalah di atas adalah :
a. Nyeri berkurang atau teratasi
Kriteria hasil : Reflek menelan baik, tidak ada masalah saat makan, tidak mengalami batuk saat
menelan, menelan secara normal, menelan dengan nyaman.
b. Keseimbangan cairan terpenuhi
Kriteria hasil : Mukosa bibir lembab, Turgor kulit baik, tanda-tanda vital stabil
c. Nutrisi tubuh terpenuhi
Kriteria hasil : Nafsu makan klien bertambah, mual dan muntah berkurang, peningkatan berat
badan.
d. Suhu tubuh dalam batas normal
Kriteria hasil : Suhu tubuh dalam rentang normal 36-370C, keadaan, kulit dalam batas normal
tidak mengalami turgor kulit yang jelek, nadi dan pernapasan dalam batas normal yaitu 80
x/menit dan pernapasan 18 x/menit.
e. Cemas tidak terjadi, kenyamanan pasien meningkat
Kriteria hasil : Ansietas berkurang, klien bisa mengendalikan tingkat kecemasannya, mengetahui
penyebab mengalami kecemasan.
f. Pola nafas efektif
Kriteria hasil : Tidak mengalami sesak nafas, pernafasan dalam batas normal, tidak terjadi batuk

BAB IV
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan
leher akibat dari kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler. Abses peritonsil
terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus
Weber di kutub atas tonsil. Abses peritonsiler terbentuk dia area antara tonsil palatine dan
kapsulnya. Jika abses berlanjut maka akan menyebar ke daerah sekitarnya meliputi musculus
masseter dan muskulus pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi penetrasi melalui
pembuluh darah karotis.
Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara
0% sampai 22%. Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler untuk
mencegah kekambuhan, dimana angka kekambuhannya tinggi. Pada individu dengan abses
peritonsiler ulangan atau riwayat faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam
jangka enam minggu kemudian dilakukan tonsilektomi.
3.2 SARAN
1. Diharapkan untuk masyarakat lebih memperhatikan kesehatan untuk mencegah
timbulnya masalah kesehatan dalam keluarga.
2. Selain itu agar meningkatkan mutu kesehatan dalam masyarakat melalui pelaksanaan
penyakit kesehatan dalam masyarakat atau keluarga.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, EA et al. 2008. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Fakultas Kedokteran Uniersitas Indonesia. Jakarta
2. Efendi H: Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar
Penyakit THT Edisi VI, EGC, Jakarta, 1997. Hal 333
3. http://www.cjmed.net/html/2006712_43.html?
PHPSESSID=28d51ad055ae04f2529d1241b27c0187 Cheng Fang Ming. 2006. Efficacy
of three therapeutic methods for peritonsillar abscess. Journal of Chinese Clinical
4.

Medicine;2006,7;Vol.1,No.2.
Adams et al. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jakarta
5. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?
pil=3&jd=Tips+Praktis+Mengenali+Abses+Peritonsil&dn=20080125161248
6. http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html
7. Ong YK et al. 2004. Peritonsillar Infection: Local Experience. Singapore Med J 2004 Vol
45(3) : 105.

Вам также может понравиться