Вы находитесь на странице: 1из 29

BAGIAN IKM

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO

REFLEKSI KASUS
DESEMBER 2016

TINEA CRURIS

OLEH
SAKINA USMAN, S.Ked
N 111 14 011

PEMBIMBING:
Dr. dr. M. Sabir, M.Si
PEMBIMBING LAPANGAN
dr. Lily C. Mongi

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2016

BAB I

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki iklim tropis sehingga memudahkan sebagian penduduk
menderita dermatomikosis. Dermatomikosis atau dikenal pula sebagai mikosis
superfisialis merupakan kelainan kulit akibat infeksi jamur. Pendapat lain menyebutkan
bahwa dermatomikosis merupakan istilah umum, sehingga digunakan istilah
dermatofitosis. Dermatofitosis sendiri menggambarkan golongan jamur penyebab
penyakit ini yaitu golongan dermatofita. Golongan jamur ini memiliki sifat memakan
keratin pada kulit, rambut, dan kuku. Golongan jamur ini dibagi menjadi tiga genus
yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.1,2
Lain halnya dengan mikosis profunda yang jarang ditemui, dermatofitosis cukup
banyak dengan angka insidens yang kurang lebih sama di kota-kota besar di Indonesia.
Di Denpasar, penyakit ini menduduki posisi kedua setelah dermatitis. Selain itu,
penyakit ini mengenai semua golongan usia. Meskipun belum tersedia angka insidens
dermatofitosis di Indonesia, penelitian yang dilakukan di rumah sakit pendidikan
kedokteran di Indonesia (1997-1998) menunjukkan rentang usia penderita 25-64 tahun.
Hal ini berkaitan dengan tingkat aktivitas yang mengeluarkan banyak keringat, trauma,
dan lama pajanan terhadap jamur.1 Makalah ini akan membahas mengenai salah satu
dermatofitosis yaitu tinea kruris.
Oleh karena tergolong penyakit infeksi, penyakit ini tidak terlepas dari tiga
faktor yang saling memengaruhi yaitu host, agent, dan environment. Beberapa faktor
yang memegang peranan penting tersebut adalah hygiene yang kurang baik, penyakit
kronis dan penyakit sistemik lainnya yang menurunkan sistem imun, dan penggunaan
antibiotik, steroid, serta sitostatika yang meningkat. 1 Untuk itu, dalam mencegah dan
mengobati pasien dengan dermatofitosis harus dilakukan pendekatan terhadap ketiga
faktor tersebut baik melalui terapi non-medikamentosa maupun medikamentosa.

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA
I.DEFINISI
Tinea kruris merupakan salah satu bentuk mikosis superfisialis yang tergolong
ke dalam kelompok dermatofitosis. Istilah dermatofitosis didefinisikan sebagai sebuah
penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada
epidermis (epidermomikosis), rambut (trikomikosis), serta kuku (onikomikosis).3,4,5
Secara sederhana, dermatofitosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya,
yaitu sebagai tinea kapitis, tinea barbe, tinea kruris, tinea pedis, tinea manum, tinea
unguium, tinea korporis, dan lain-lain.3 Tinea kruris sendiri merupakan jenis
dermatofitosis yang terjadi pada daerah inguinal / lipat paha, yang dapat meluas hingga
pada suprapubis, daerah perineum, dan sekitar anus.4
.
II.ETIOLOGI
Seperti namanya, agen penyebab dermatofitosis adalah golongan jamur
dermatofita yang tergabung ke dalam kelas Fungi imperfecti, yang terbagi ke dalam tiga
genus, yaitu Mycrosporum (17 spesies), Tricophyton (21 spesies), dan Epidermophyton
(2 spesies). Golongan jamur ini bersifat mencernakan keratin.3
Transmisi dermatofita dapat terjadi melalui tiga sumber, yaitu:

Antropofilik, yaitu antar manusia melalui pemakaian barang bersamaan atau


kontak langsung walaupun jarang, yaitu T. rubrum, T.mentagrophytes,
T.schoenleini,

T.tonsurans,

T.violaceum,

Epidermophyton floccosum.
Tabel 1. Dermatofita Antropofilik.7

Microsporum

audouinii,

dan

Zoofilik, umumnya melalui kontak dengan kucing, anjing, maupun tikus, yaitu
T.equinum, T.mentagrophytes, T.verrucosum, M.canis.5,6

Geofilik, yaitu melalui lingkungan terutama tanah, yaitu M.gypseum, M.nanum. 5


Tabel 2. Dermatofita Zoofilik dan Geofilik.6

Pada tinea kruris, etiologi utamanya adalah T.rubrum dan T.mentagropyhtes.5


Faktor predisposisi yang berperan pada dermatofitosis adalah faktor kerentanan genetik
terkait keratin yang dimiliki, kondisi pejamu, berupa atopi, imunospuresi serta konsumsi
glukokortikoid topikal dan sistemik berkepanjangan, ichtyosis dimana terjadi defek
pada sawar kulit, dan penyakit kolagen vaskular.5,6 Di samping itu, terdapat pula faktor
lokal yang memudahkan terjadinya infeksi, yaitu keringat, pajanan okupasional khusus,

gaya hidup, lokasi geografis, dan kelembaban tinggi, terutama pada negara dengan
iklim tropis atau semitropis. 5
III EPIDEMIOLOGI
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis.
Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan
perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea cruris.Jamur ini sering
terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar
yang kotor dan lembab. Pada negara berkembang, umumnya dermatofitosis disebabkan
oleh T.rubrum, yang terutama ditemukan pada wilayah Asia Tenggara, Australia, dan
Afrika Barat.5
III.PATOFISIOLOGI
Cara penularan jamur dapat secara angsung maupun tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari
manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu
yang dihinggapi jamur, pakaian debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui
kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea
pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini menghasilkan keratinase yang
mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum korneum. Infeksi
dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam jaringan keratin yang
mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis dan
menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum
korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi
(ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu
reaksi peradangan.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:
a. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik, zoofilik,
geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu dengan yang lain
dalam hal afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya:

Trichopyhton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermophython fluccosum paling


sering menyerang liapt paha bagian dalam.
b. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.
c. Faktor suhu dan kelembapan
Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari
paling sering terserang penyakit jamur.
d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden
penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering ditemukan
daripada golongan ekonomi yang baik
e. Faktor umur dan jenis kelamin.
IV.MANIFESTASI KLINIS
1. Anamnesis
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat
meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra
pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak
berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama.
Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar
pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini
dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang
beresiko terkena dermatophytosis.
2. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder.
Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau
pustula. Jika kronis atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya makula
hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likenifikasi. Garukan kronis
dapat menimbulkan gambaran likenifikasi. Manifestasi tinea cruris :

Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat paha,

dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis


Daerah bersisik
Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif
Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan

disertai likenifikasi
Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus yang

tersebar dan sedikit skuama


Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi mungkin

muncul karena garukan


Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga
tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula

folikuler
Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis.

Gambar 1 : Tinea Cruris

V.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk
mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya
dibersihkan dengan alkohol 70%.
a. Pemeriksaan dengan sediaan basah
7

Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan
memakai scalpel atau pinggir gelas taruh di obyek glass tetesi KOH 10-15 % 1-2
tetes tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan lihat di mikroskop dengan
pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh
sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama
atau sudah diobati, dan miselium.

Gambar 2. Gambaran Dermatofita pada Sediaan Basah KOH.5


b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium
saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide (mycobyoticmycosel) untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.
Identifikasi jamur biasanya antara 3-6 minggu
c. Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya dan
spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc AcidSchiff, jamur akan tampak
merah muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak
coklat atau hitam
d. Penggunaan lampu wood
Bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma dimana akan tampak
floresensi merah bata
VI.DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan penunjang seperti
8

yang telah disebutkan dengan menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH
10-20%, sediaan biakan pada medium Saboraud, punch biopsi, atau penggunaan lampu
wood.
VII.DIAGNOSIS BANDING

Candidosis intertriginosa

Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida biasanya
oleh Candida albicans yang bersifat akut atau subakut dan dapat mengenai mulut,
vagina, kulit, kuku, bronki.Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang
semua umur, baik laki-laki maupun perempuan.
Patogenesisnya dapat terjadi apabila ada predisposisi baik endogen maupun
eksogen. Faktor endogen misalkan kehamilan karena perubahan pH dalam vagina,
kegemukan karena banyak keringat, debilitas, iatrogenik, endokrinopati, penyakit kronis
orang tua dan bayi, imunologik (penyakit genetik). Faktor eksogen berupa iklim panas
dan kelembapan, kebersihan kulit kurang, kebiasaan berendam kaki dalam air yang
lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur, kontak dengan
penderita.
Dapat mengenai daerah lipatan kulit, terutama ketiak, bagian bawah payudara,
bagian pusat, lipat bokong, selangkangan, dan sela antar jari; dapat juga mengenai
daerah belakang telinga, lipatan kulit perut, dan glans penis (balanopostitis). Pada sela
jari tangan biasanya antara jari ketiga dan keempat, pada sela jari kaki antara jari
keempat dan kelima, keluhan gatal yang hebat, kadang-kadang disertai rasa panas
seperti terbakar.
Lesi pada penyakit yang akut mula-mula kecil berupa bercak yang berbatas tegas,
bersisik, basah, dan kemerahan. Kemudian meluas, berupa lenting-lenting yang dapat
berisi nanah berdinding tipis, ukuran 2-4 mm, bercak kemerahan, batas tegas, Pada
bagian tepi kadang-kadang tampak papul dan skuama. Lesi tersebut dikelilingi oleh
lenting-lenting atau papul di sekitarnya berisi nanah yang bila pecah meninggalkan
daerah yang luka, dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi utama. Kulit
sela jari tampak merah atau terkelupas, dan terjadi lecet. Pada bentuk yang kronik, kulit
sela jari menebal dan berwarna putih.

Erytrasma
9

Erytrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan
oleh Corynebacterium minitussismum, ditandai lesi berupa eritema dan skuama halus
terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Gejala klinis lesi berukuran sebesar milier
sampai plakat. Lesi eritroskuamosa, berskuama halus kadang terlihat merah kecoklatan.
Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita. Tempat
predileksi kadang di daerah intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk.
Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginose. Lesi tidak
menimbul dan tidak terlihat vesikulasi. Efloresensi yang sama berupa eritema dan
skuama pada seluruh lesi merupakan tanda khas dari eritrasma. Skuama kering yang
halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak. Pada pemeriksaan dengan
lampu wood lesi terlihat berfluoresensi merah membara (coral red)

Psoriasis

Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif,
ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang
kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan
Kobner. Tempat predileksi pada skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka,
ekstremitas ekstensor terutama siku serta lutut dan daerah lumbosakral. Kelainan kulit
terdiri atas bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema
sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering bagian di tengah
menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna
putih seperti mika, serta transparan. Besar kelainan bervariasi dapat lentikular, numular
atau plakat, dapat berkonfluensi.

Dermatitis Seboroik

Dermatitis Seboroik merupakan penyakit inflamasi konis yang mengenai daerah


kepala dan badan. Prevalensi Dermatitis Seboroik sebanyak 1-5% populasi.Lebih sering
terjadi pada laki-laki daripada wanita. Penyakit ni dapat mengenai bayi sampa orang
dewasa. Umumnya pda bayi terjadi pada usia 3 bulan sedang pada dewasa pada usia 3060 tahun. Kelainan kulit berupa eritema dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan dengan batas kurang tegas. Bentuk yang berat ditandai dengan adanya
bercak-bercak berskuama dan berminyak disertai eksudat dan krusta tebal.

10

VIII.PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pada pasien dengan tinea kruris dilakukan secara medikamentosa
maupun non medikamentosa.
Tatalaksana non medikamentosa terutama diarahkan untuk tetap menjaga
higiene / kebersihan diri melalui mandi dan mengganti pakaian, menjaga tubuh agar
tidak terlalu berkeringat, tidak menggunakan handuk / barang pribadi lain secara
bergantian, menghindari kontak langsung dengan hewan yang disangka menularkan
jamur, serta kepatuhan berobat.6,7
Berdasarkan pedoman PERDOSKI tahun 2011, secara medikamentosa dapat
diberikan administrasi obat topikal dan sistemik.4
Obat topikal terpilih berasal dari golongan alilamin, diberikan sekali sehari
selama 1-2 minggu. Sebagai alternatifnya, dapat diberikan golongan azol,
siklopiroksolamin, asam undesilinat, dan tonafal 1-2 kali sehari selama 2-4 minggu.4
Obat sistemik diberikan apabila lesi terjadi secara kronik, terjadi lesi luas /
ekstensif, atau gagal respons dengan pengobatan topikal. Pilihan obatnya adalah
griseofulvin oral 10-25 mg/kg BB/hari, ketokonazol 200 mg/hari, itrakonazol 2 x 100
mg/hari, serta terbinafin oral 1 x 250 mg/hari.4
Griseofulvin adalah golongan obat dengan sifat kerja fungistatik dengan dosis
umumnya 0,5-1 gram untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 gram untuk anak melalui
pemberian dosis terbagi. Obat umumnya akan diabsorbsi lebih baik dalam usus bila
dimakan bersama dengan makanan yang banyak mengandung lemak. Obat ini dapat
memberikan efek samping sefalgia pada 15% penderita, serta fotosensitif, gangguan
fungsi hati, keluhan gangguan traktus digestivus berupa nausea, vomitus, dan diare.3
Ketokonazol juga bersifat fungistatik dan dapat menjadi alternatif pilihan bila
terjadi resistensi pada griseofulvin. Pemberian dilakukan selama 10 hari 2 minggu
pada pagi hari setelah makan. Obat ini bersifat hepatotoksik sehingga tidak boleh
diberikan pada pasien dengan kelainan hepar.3
Pilihan obat lain yang cenderung kurang hepatotoksik adalah itrakonazol, akan
tetapi terdapat potensi interaksi yang cukup luas sehingga konsumsi obat lain pada
pasien juga harus dipertimbangkan. 3
Terbinafin adalah obat dengan sifat kerja fungisidal dan dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin. Obat ini diberikan selama 2 3 minggu dengan dosis 62,5 mg
11

250 mg sehari bergantung pada berat badan pasien. Efek samping yang dapat terjadi
adalah gangguan gastrointestinal berupa nausea, vomitus, nyeri lambung, diare, dan
konstipasi. Di samping itu, dapat pula terjadi gangguan pengecapan maupun gangguan
fungsi hepar.3
Lamanya pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, serta
keadaan imunitas penderita. Pemberian obat dilakukan hingga secara klinis ditemukan
perbaikan diikuti dengan hasil negatif pada pemeriksaan laboratorium. 4 Agar tidak
residif, pengobatan dilanjutkan selama 2 minggu setelah terjadi kesembuhan secara
klinis.3 Secara umum, prognosis penyakit ini baik.7
Kriteria Rujukan
Pasien dirujuk apabila:
.Penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari setelah terapi.
Terdapat imunodefisiensi.
Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan
multifarmaka.
Edukasi kepada pasien di rumah :
1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering
2. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.
3. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan
mengganti pakaian yang lembab
4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti
katun, tidak ketat dan ganti setiap hari.
5. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan
penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.
IX.KOMPLIKASI
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada
infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.
X.PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan
kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga.
12

BAB III
KASUS
I.

Identitas Pasien
Nama

: An.F

Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 9 tahun

Alamat

: Labuan Induk

Pekerjaan

: Siswa

Agama

: Islam

Pendidikan

: SD

Tanggal pemeriksaan

: 07 Desember 2016

II.

Anamnesis (Heteroanamnesis)

Keluhan Utama:
Terdapat bercak-bercak merah yang terasa gatal pada bokong

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke Poliklinik Puskesmas Labuan dibawa oleh orangtuanya dengan
keluhan bercak-bercak kemerahan pada bokong sejak 2 minggu SMRS. Keluhan
muncul pertama kali pada daerah bokong, bercak awalnya berupa bintil-bintil
merah, kemudian lama kelamaan semakin melebar. Bapak pasien mengatakan
bercak tersebut terasa sangat gatal pada daerah pinggirnya sehingga pasien
selalu menggaruk daerah tersebut. Gatal dirasakan bertambah setelah pasien
bermain yaitu jika dalam keadaan berkeringat. Karena keluhan gatal dirasakan
sangat mengganggu, orangtua pasien mengolesi minyak tawon di daerah bercak,
keluhan gatal dirasakan berkurang namun bercak kemerahan masih ada. Keluhan
panas dan nyeri sebelumnya disangkal oleh pasien.
Riwayat Sosial dan Lingkungan:
o

Pasien tinggal dengan ayah, ibu, 2 kakak perempuan dan 3 kakak


laki-lakinya.

13

Rumah tinggal pasien memiliki 2 lantai, dilantai dasar terdiri dari 1

ruang tamu, 4 kamar tidur, 1 ruang keluarga, 1 ruang makan dan 1 dapur.
Luas rumah pasien lantai dasar 5x21meter dan lantai atas 5x10 meter,
memiliki pekarangan, jarak rumah pasien dengan rumah tetangga yang
merupakan rumah neneknya sangat dekat. Sinar matahari dapat masuk ke
dalam rumah pasien. Terdapat cukup jendela yang juga terbuat dari kayu dan
ventilasi pada ruang keluarga sehingga sinar matahari yang masuk cukup.
Lantai rumah terbuat dari tegel, dinding rumah pasien berupa tembok, atap
rumah terbuat dari seng. Keadaan rumah pasien cukup bersih namun sedikit
rapi, beberapa pakaian tergelatak diruang tamu.
Sumber air minum berasal dari air pam dan air galon, air minum

selalu direbus. Kamar mandi menggunakan bak sebagai penampung air,


terdapat jamban di dalamnya. Lantai kamar mandi terbuat dari semen.
Tembok kamar mandi terbuat dari tembok plester. Kamar mandi hanya
digunakan oleh keluarga. Untuk BAB pasien menggunakan wc yang terdapat
dalam kamar mandi, wc terlihat kotor. Jarak rumah dan septik tank sekitar 10
meter.
o

Pasien mandi menggunakan sabun batangan yang digunakan


bersama-sama dan handuk sendiri

Untuk mencuci piring dan alat dapur biasanya digunakan air ledeng
pam tersebut.

Keluarga pasien mengaku pasien mencuci tangan dengan sabun


setelah BAB, namun terkadang tidak mencuci tangan dengan sabun ketika
akan makan.

Terdapat tempat sampah dirumah, didepan rumah dan dibelakang


rumah pasien. Pasien biasanya mmbakar sampah dibelakang rumah.

Pendapatan keluarga berasal dari orangtua pasien yaitu bapak yang


bekerja sebagai PNS. Penghasilan per bulan berkisar antara 3-4 juta rupiah.
Menurut pengakuan keluarga pasien, penghasilannya sudah lebih dari cukup
dalam mencukupi kebutuhan keluarganya.

Pendidikan orangtua pasien: bapak S1, sedangkan ibu SMA

14

Pasien sering mandi-mandi hujan dan orangtuanya mengatakan

bahwa bajunya sering lembab dan kadang lupa diganti


o

Kuku pasien terlihat panjang dan kotor

= Pasien An. F, 9 th
= Laki-laki
= Perempuan
= Hubungan pernikahan
= Hubungan Keturunan

Gambar 3: Bagan Ikhtisar Keluarga Pasien


Riwayat penyakit dahulu:
Menurut bapak pasien, pernah belum pernah menderita gejala seperti
sebelumnya. Penyakit yang pernah diderita pasien yaitu demam, batuk dan
mencret-mencret.
Riwayat Imunisasi
Menurut ibu pasien, riwayat imunisasi dasar pasien lengkap. Namun belum
mendapatkan imunisasi tambahan campak.

Riwayat penyakit keluarga dan lingkungan:


Saat ini tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama
dengan pasien. Anggota keluarga yang tinggal serumah yaitu kakak pasien
pernah mengalami keluhan gatal-gatal tapi menurut orangtua pasien keluhan
gatalnya adalah sarampa.
Riwayat pengobatan:
Pasien sebelumnya tidak pernah memeriksakan diri ke tempat pelayanan
kesehatan lainnya dan untuk keluhannya, dan tidak mengkomsumsi obat atau
ramuan apapun.

Riwayat alergi
- Makanan

: disangkal
15

- Obat

III.

: disangkal

Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Keadaan umum :baik
Kesadaran/ GCS : compos mentis/ E4V5M6
2. Tanda vital
Tekanan darah : tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 96 x/menit, regular, isi tegangan cukup
Respirasi :20 x/ menit
Suhu : 36,80C
Pemeriksaan fisik umum
1. Kepala-leher
Kepala : simetris, deformitas (-)
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, mata cekung -/Wajah : sianosis (-), flushing (-)
Telinga : deformitas (-)
Hidung : deformitas (-)
Mulut : sianosis bibir (-), stomatitis (-), mukosa bibir basah
Leher : pembesaran KGB (-), Tekanan vena jugularis : meninggi (-)
Tidak terdapat ujud kelainan kulit.
2. Toraks-kardiovaskuler
Inspeksi : kelainan bentuk (-), Tarikan sela iga (retraksi subcostal) (-), simetris
Auskultasi : Jantung: S1 S2 tunggal, teratur, Murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler +/+, ronki-/-, Wheezing : -/Tidak terdapat ujud kelainan kulit.
3. Abdomen
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : peristaltik (+) meningkat
Perkusi : timpani

16

Palpasi : turgor normal, nyeri tekan (+) pada epigastrium, hepar dan lien tidak
teraba.
Tidak terdapat ujud kelainan kulit.
4.

Uro-genital
Tidak ditemukan kelainan. Tidak terdapat Ujud kelainan kulit.

5.

Anal-perianal
Terdapat ujud kelainan kulit.

6.

Ekstermitas atas
Edema (-)/(-), akral hangat (+)/(+), tidak terdapat ujud kelainan kulit

7.

Ekstremitas bawah
Edema (-)/(-), akral hangat (+)/(+), tidak terdapat ujud kelainan kulit

Status Dermatologis: Regio perianal-glueteal

Gambar 4: Ujud kelainan kulit pada pasien.


Keterangan : Tampak plak eritematous berbatas tegas dengan central healing dan
makula hiperpigmentasi berukuran numular hingga plakat berbentuk ireguler,
disertai papul-papul dan skuama dengan konfigurasi polisiklik, tampak
ekskoriasi.
IV.

Pemeriksaan Penunjang
17

(-)

V.

Resume
Seorang anak laki-laki 9 tahun datang dengan keluhan bercak merah dan hitam
pada area bokong disertai rasa yang telah dirasakan kurang lebih 2 minggu SMRS.
Awalnya berupa bintik-bintik merah namun semakin melebar. Gatal bertambah
terutama dirasakan saat berkeringat. Pasien belum mendapatkan pengobatan, dan
hanya mengolesi minyak disekitar luka, tapi tidak ada perubahan.
Pasien mandi satu kali sehari, dan mengganti pakaian sehari sekali. Pasien sering
menggunakan pakaian/celana yang basah (lembab) karena sering bermain hujan.
Pasien kadang tidak mencuci tangan sebelum makan dan setelah beraktivitas dengan
sabun. Pasien dan anggota keluarga lainnya menggunakan sabun batangan saat
mandi dan digunakan bersama-sama. Pasien memiliki kuku yang panjang dan kotor.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan KU sakit sedang, tanda vital dalam
batas normal. Status dermatologis didapatkan ujud kelainan kulit pada daerah
perianal-gluteal berupa plak eritematous yang berbatas tegas dengan central healing,
beserta makula hiperpigmentasi berukuran nummular hingga plakat, disertai papulpapul dan skuama serta ekskoriasi.

VI.

Diagnosis:
Tinea cruris

VII.

Diagnosis Banding
Psoriasis
Candidiasis intertriginosa

VIII.

Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Antipruritus : CTM 2x1 tab
18

Antifungal oral: Griseovulfin 2x1 tab


Antifungal topical: Miconazole ointment 2x1 ue
2. Non Medikamentosa
Konseling dan edukasi
Edukasi mengenai penyebab dan cara penularan penyakit. Edukasi pasien dan
keluarga juga untuk menjaga hi gienetubuh, namun penyakit ini bukan
merupakan penyakit yang berbahaya . Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian
handuk/pakaian secara bersamaan harus dihindari.

Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering


Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.
Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan

mengganti pakaian yang lembab


Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti

katun, tidak ketat dan ganti setiap hari.


Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan
penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.

DOKUMENTASI

Gambar 4: Tampak depan rumah. Rumah terdiri atas 2 lantai. Jarak dengan
rumah tetangga berdekatan, terdapat halaman rumah.

19

Gambar 5: Saat dilakukan anamnesis aspek kesmas sekaligus penyuluhan


mengenai penyakit untuk anggota keluarga oleh koass di ruang tamu pasien.
Pencahayaan cukup.

Gambar 6: Ruang Tengah (Ruang keluarga) Pasien. Belum terdapat plafon, dan
jendela yang jarang terbuka. Lantai dari bahan tegel. Tampak suasana cukup
bersih dan rapi.

20

Gambar 7: Kamar tidur pasien. Bantal dan selimut terlipat rapi. Terdapat sapu
lidi untuk membersihkan tempat tidur. Seprei diganti satu kali seminggu. Pasien
tidur dengan 2 saudara laki-lakinya. Pencahayaan cukup.

Gambar 8: Ruang makan pasien. Tampak tudung saji yang menutupi makanan,
tampak taplak meja ruang makan dilapisi plastik. Terlihat cukup bersih.
Pencahayaan cukup.

21

Gambar 9: Dapur. Tampak kompor gas yang digunakan untuk memasak. Alat
masak digantung ditembok berbahan bata. Tampak tempat cuci piring yang
sedikit kurang rapi. Lantai berbahan semen plester.

Gambar 10: Kamar mandi. Terdapat wc , bak, dan sebagian dinding berbahan
tegel. Lantai berbahan semen plester. Terlihat kurang bersih.

22

Gambar 11: Halaman belakang rumah pasien. Ibu pasien menggunakan kompor
dari kayu jika memasak air. Asap masuk kedalam rumah.

Gambar 12: Halaman belakang rumah pasien. Tampak kubangan air limbah
rumah tangga pasien yang tergenang di tanah. Tidak ada saluran pembuangan
limbah / selokan.

Kerangka Konsep Masalah Pasien

23

HOST
HOST

Pasien
Pasien sering
sering
menggunakan
menggunakan
pakaian
terutama
pakaian terutama
celana
celana lembab
lembab

Pasien sering
Pasien
sering mandi
mandi
1
kali sehari
sehari dan
1 kali
dan
mengganti
pakaian
mengganti pakaian
dalam
1 kali
dalam 1
kali sehari
sehari

Hiegieni
Hiegieni pasien
pasien
kurang
kurang

DERMATOFITO
DERMATOFITO
SIS
LINGKUNGAN
LINGKUNGAN

Meskipun rumah
rumah
Meskipun
tergolong bersih,
bersih,
tergolong
cuaca/iklim
hujan
cuaca/iklim hujan
menyebabkan
menyebabkan
kelembaban
kelembaban udara
udara
disekitar
lingkungan
disekitar lingkungan
tempat tinggal
tinggal
tempat
pasien
pasien menjadi
menjadi
lembab
lembab

AGENT
AGENT

dan pakaian
Kondisi
Kondisi dan
pakaian
lembab
merupakan
lembab merupakan
media
pertumbuhan
media pertumbuhan
yang
yang disukai
disukai jamur
jamur

Gambar 13: Kerangka konsep masalah pasien menyangkut penyakit infeksi, yang
dipengaruhi 3 faktor yaitu: Host, Agent, dan Lingkungan.

BAB IV
24

PEMBAHASAN
Aspek Klinis
Pasien anak laki-laki, berusia 9 tahun, datang dengan keluhan utama bercakbercak merah yang gatal di bokong sejak 2 minggu sebelum datang ke rumah sakit.
Keluhan gatal bertambah ketika berkeringat. Pasien memiliki kebiasaan mandi sekali
sehari dengan sabun batangan yang digunakan bersama keluarga, serta mengganti
pakaian dalam 1 kali sehari. Pakaian pasien sering lembab karena sering bermain hujan
dan jarang menggantinya.
Temuan data berdasarkan anamnesis di atas menjadi salah satu dasar penegakan
diagnosis untuk terjadinya infeksi jamur. Pasalnya, jamur cenderung membutuhkan
kelembaban untuk dapat tumbuh. Adapun infeksi dengan predileksi pada daerah
inguinal dipikirkan ke arah dermatofita, yaitu tinea kruris.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan plak eritematosa hiperpigmentasi
berukuran nummular hingga plakat, berbentuk ireguler, dengan tepi lebih aktif dan batas
tegas. Gambaran ini cukup khas untuk infeksi jamur, dalam hal ini tinea kruris. Lesi
umumnya menunjukkan gambaran tepi lebih aktif dan batas tegas karena mengikuti
pergerakan dermatofita dalam mencerna keratin. Di samping itu, ditemukan pula
efloresensi sekunder berupa skuama dan eskoriasi. Skuama dalam hal ini terkait dengan
sisa keratin yang dicerna oleh jamur sedangkan eskoriasi menandakan lesi akibat
garukan sebagai respons pasien terhadap gatal yang dialami sebagaimana diungkapkan
pula pada anamnesis.
Untuk penegakan diagnosis secara definitif, seharusnya dapat dilakukan berupa
pemeriksaan kerokan kulit dilanjutkan pemeriksaan KOH 20%, dengan tujuan
mendapatkan temuan hifa panjang dan artrospora merupakan bukti konkrit keterliatan
dermatofita dalam proses lesi yang terjadi, sehingga dengan demikian dapat ditegakkan
diagnosis tinea kruris. Namun karena ketersediaan alat di puskesmas terbatas yaitu tidak
terdapat mikroskop, maka pemeriksaan tidak dilakukan. Begitupun dengan pemeriksaan
woodlamp tidak dilakukan, karena keterbatasan alat.
Tatalaksana yang dilakukan pada kasus ini dilakukan secara medikamentosa dan
non medikamentosa.

25

Secara non medikamentosa, pasien diberikan edukasi mengenai penyakitnya


serta faktor yang memudahkan terjadinya penyakit. Pada pasien ini, ditekankan
mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri / hygiene, terutama dengan peningkatan
frekuensi mandi serta mengeringkan bokong setelah buang air kecil, kemudian sering
mengganti pakaian dalam terutama jika terasa lembab, untuk menjaga area tersebut
tetap kering. Hal ini penting untuk dilakukan untuk mencegah suasana lembab yang
mendukung pertumbuhan jamur.
Di samping itu, diedukasikan pula terkait menghindari penggunaan pakaian
secara bergantian, mencuci pakaian serta seprai secara rutin, serta menjemur pakaian
pada tempat yang panas.
Secara medikamentosa, pada pasien diberikan terapi antifungal, yaitu
Griseovulfin 3x125 mg.. Pemberian dilakukan selama 10-14 hari dan pasien diminta
untuk datang kembali untuk kontrol dalam 2 minggu ke depan untuk evaluasi secara
klinis dan laboratorium. Selain itu diberikan salep mikonazole, yang diberikan 1-2
minggu.
Secara umum, prognosis pada pasien ini adalah bonam, baik untuk ad vitam, ad
functionam, maupun ad sanationam.

Aspek Ilmu Kesehatan Masyarakat


Keadaan di masyarakat dikatakan ada masalah kesehatan ketika terjadi
ketidakseimbangan komponen segitiga epidemiologi yaitu: Host, Agent, dan
Lingkungan. Pada saat terjadi ketidakseimbangan antara ketiga komponen tersebut,
akan menimbulkan penyakit pada individu atau masalah kesehatan di masyarakat.
Host, Agent dan Lingkungan
Pada kasus ini, pasien merupakan merupakan anak berusia 9 tahun. Pada usia ini
anak masih kurang dalam hal tanggung jawab kebersihan diri/ hiegini karena lebih
terfokus terhadap belajar dan bermain. Kasus dermatofitosis atau infeksi jamur pada
kulit merupakan salah satu penyakit yang berhubungan dengan kebersihan diri dan
lingkungan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada onset dewasa terutama pada jenis
kelamin laki-laki, namun pada kasus didapatkan pada usia anak. Pasien hanya mandi
sekali sehingga higienitas tubuh dalam hal ini berkurang. Pasien juga seringkali mandi26

mandi hujan dan disungai sehingga menyebabkan pakaian dan celana dalamnya basah
dan kondisi ini cukup mendukung pertumbuhan jamur. Hiegienitas pasien yang kurang
juga dapat dilihat dari kuku yang panjang dan kotor, sehingga dalam hal ini harus
diberikan konseling dan edukasi mengenai penyakit jamur dan faktor risiko yang
menyebabkannya. Kebiasaan yang menggunakan sabun mandi batangan yang bersamasama harus dihentikan. Menggunakan handuk sendiri-sendiri, pakaian sendiri-sendiri
dapat mengurangi terjadinya penularan penyakit ini.
Lingkungan yang lembab akibat cuaca/iklim juga dapat mempengaruhi
terjadinya penyakit. Pada kasus infeksi jamur, lingkungan dapat menjadi faktor berperan
karena kondisi ini sangat disukai jamur untuk dapat tumbuh. Pada lingkungan rumah
pasien termasuk bersih, meskipun beberapa hal yang dapat mengganggu seperti wc
yang masih kotor dan tidak terdapatnya saluran pembuangan limbah dapat mengurangi
kebersihan lingkungan sehingga dapat menjadi sarang penyakit.
Peran petugas kesehatan dalam hal ini pihak puskesmas juga sangat penting
terutama dalam hal promosi dan pencegahan penyakit ini. Di puskesmas Labuan sendiri,
terdapat klinik sanitasi yang bertanggungjawab terutama untuk penyakit menular
berbasis lingkungan. Oleh karena itu perannya harus terus dikembangkan, dan berbagai
penyuluhan mengenai pencegahan penyakit dan promosi kesehatan harus dilakukan,
sehingga dapat menurunkan angka morbiditas terkait dengan penyakit infeksi kulit.

27

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Tinea kruris merupakan salah satu infeksi jamur kulit (Dermatomikosis) yang
mengenai daerah ekstremitas bawah, bokong dan perut bagian bawah. Penyakit ini
sering terjadi pada daerah tropis, dengan kelembapan udara yang tinggi.
2. Penyakit ini sangat

berhubungan dengan hiegine personal dan kebersihan

lingkungan, sehingga menanamkan hidup bersih dapat menjadi cara untuk mencegah
timbulnya penyakit ini.
3. Tinea kruris ditangani dengan medikamentosa dan non medikamentosa
4. Peran petugas kesehatan dalam hal promosi dan pencegahan dapat mengurangi angka
insidensi dan morbiditas akibat penyakit ini.
Saran
1.

Klinik sanitasi menjadi salah satu unit kerja puskesmas yang dapat mendukung
untuk pencegahan penyakit infeksi jamur kulit, sehingga harus lebih ditingkatkan
kinerjanya dan lebih inovatif.

28

DAFTAR PUSTAKA
1

Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S.


Dermatomikosis Superfisial. Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.hal.1-6.
Budimulja U. Mikosis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi

Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;


2009.hal.89-92.
Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit

Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: FKUI; 2007.hal.92-100.


Sugito TL, Hakim L, Suseno LS, Suriadiredja A, Toruan TL, Alam TN, editor. Panduan

Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin PERDOSKI. Jakarta: PP


PERDOSKI; 2011.hal.96-9.
Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical

Dermatology.[e-book].

Fifth

Edition.

Philadelphia:

McGraw-Hill

Companies;

2007.Chapter 23: Cutaneous Fungal Infection.


James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of the Skin Clinical

Dermatology. Eleventh Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.p.287-8,299.


Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Grifftths C, editors.

Rooks textbook of Dermatology. [e-book] Seventh Edition. Massachussets: Blackwell


Science; 2004.

29

Вам также может понравиться