Вы находитесь на странице: 1из 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi
kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan
waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Myasthenia gravis
mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Kelemahan otot yang parah yang
disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain, termasuk
kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicaracadel, kelopak mata
murung dan kabur atau penglihatan ganda.
Myasthenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun
lebih sering terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan 40 tahun.
Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan jarang terjadi selama masa kanak-kanak.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini. Sekitar
65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar
thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma).
Sekitar setengah thymoma adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan
gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi
memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan dengan pembentukan
persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan
pengobatan berbeda.
Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot mata terlebih dahulu terkena,
tetapi 85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang, hanya otot-otot mata
yang terkena, tetapi pada kebanyakan orang, kemudian seluruh tubuh terkena,
kesulitan berbicara dan menelan dan kelemahan pada lengan dan kaki yang sering
terjadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara lemah dan normal. Otot leher
bisa menjadi lemah. Sensasi tidak terpengaruh.
Ketika orang dengan myasthenia gravis menggunakan otot secara berulang-ulang,
otot tersebut biasanya menjadi lemah. Misalnya, orang yang dahulu bisa
menggunakan palu dengan baik menjadi lemah setelah memalu untuk beberapa
menit. Meskipun begitu, kelemahan otot bervariasi dalam intensitas dari jam ke
jam dan dari hari ke hari, dan rangkaian penyakit tersebut bervariasi secara luas.

Sekitar 15% orang mengalami peristiwa berat (disebut myasthenia crisis),


kadangkala dipicu oleh infeksi. Lengan dan kaki menjadi sangat lemah, tetapi
bahkan kemudian, mereka tidak kehilangan rasa. Pada beberapa orang, otot
diperlukan untuk pernafasan yang melemah. Keadaan ini dapat mengancam
nyawa.
1.2 Tujuan Umum
Menjelaskan konsep dan proses keperawatan miastenia gravis
1.2 Tujuan instruksional khusus
1.2.1 Mengetahui definisi miastenia gravis
1.2.2 Mengetahui etiologi miastenia gravis
1.2.3 Mengetahui patofisiologi miastenia gravis
1.2.4 Mengetahui manifestasi klinis miaatenia gravis
1.2.5 Mengetahui pemeriksaan diagnostik miastenia gravis
1.2.6 Mengetahui komplikasi miastenia gravis
1.2.7 Mengetahui penatalaksanaan miastenia gravis
1.2.8 Mengetahui prognosis miastenia gravis
1.2.9 Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis
adalah gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh
yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis
merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuskular
dengan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan
lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal).
(Price dan Wilson, 1995).

Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya


terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf
kranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada
wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun.
2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi
pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot.
Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang
merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada
ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat
memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR)
pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat
otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian
terjadilah kontraksi otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau
kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang
paling banyak berperanan
2.3 Patofisiologi
Myasthenia gravis merupakan gangguan neuromuskular junction yang
disebabkan oleh gangguan transmisi asetilkolin (Ach) untuk berikatan dengan
reseptornya di permukaan membran sel otot. Kelainan ini disebabkan oleh
terbentuknya antibodi berupa IgG yang nantinya akan berikatan secara inhibitor
kompetitif pada reseptor asetilkolin (AchR). Adanya antibodi yang terikat ini
nantinya akan menyebabkan lisis fokal yang ditandai dengan rusaknya reseptor.
Reseptor yang rusak akan mempercepat proses turn over dan mengurangi
jumlahnya pada permukaan membran sel. Mekanisme pembentukan antibodi
terhadap reseptor Ach ini masih belum dimengerti. Namun, mekanisme ini
tergolong dalam proses autoantibodi tipe II (reaksi kompleks imun). Selain itu,
antibodi yang terbentuk (IgG) dapat melewati plasenta. Sehingga, kelainan

myasthenia gravis dapat ditularkan secara kongenital dari ibu yang menderita
myasthenia gravis.
Pada myasthenia gravis, gangguan yang terjadi terletak pada bagian
membran post sinaptik. Gangguan ini menyebabkan asetilkolin tidak akan
berikatan dengan reseptor sehingga asetilkolin akan terlihat berenang didalam
celah sinaptik. Kondisi asetilkolin bebas ini akan memudahkan asetilkolin
dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase. Sehingga, jumlah asetilkolin yang
terikat reseptor akan semakin sedikit dan hal ini menimbulkan depolarisasi
membran sel otot yang sifatnya tidak sekuat normal. Depolarisasi berjenjang sel
otot akan semakin menurun jumlahnya sehingga nantinya akan bermanifes pada
kelemahan otot dalam kontraksi.
Kelainan myasthenia gravis ditandai pada kelemahan otot-otot volunter.
Pada awalnya gejala ini timbul pada serat otot dengan satuan motorik terkecil
seperti otot-otot penggerak bola mata. Dan seringkali kelainan ini menyerang otot
yang dipersarafi nervus kranial. Pada skenario, penderita mengalami keluhan
berupa kelopak mata sulit dibuka serta bila melihat cepat capai dan tampak
double. Hal ini disebabkan oleh kelemahan otot-otot pada kelopak mata yaitu.
orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan
terletak di bawah kulit kelopak, yang berfungsi dalam menutup bola mata yang
dipersarafi n. VII. Sedangkan m. levator palpebra yang dipersarafi oleh n. III
berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata. Selain itu,
kelemahan akibat gangguan neurotransmiter ini juga terjadi di berbagai otot
volunter tubuh. Kelemahan otot penyangga leher, nantinya akan bermanifes pada
kesulitan menegakkan kepala, gangguan pada otot menelan bulbair ditandai
dengan kesulitan menelan dan suara yang makin melemah. Sedangkan kelemahan
otot-otot ekstremitas ditandai dengan kelemahan yang bersifat layuh (misalnya
bila mengangkat tangan selama 2-3 menit, tangan akan semakin menurun).
Keluhan pada myasthenia gravis ini semakin memburuk pada sore hari dan
membaik setelah istirahat karena hal ini terkait dengan penggunaan ATP dan
perangsangan yang timbul. Myasthenia gravis merupakan kelainan yang
bermanifes pada otot volunter/ otot skelet. Dan otot skelet ini diinervasi pada

persarafan somatik yang timbul oleh adanya rangsangan eksitatorik di otak. Pada
keadaan istirahat dan tidur, tidak ada rangsangan yang timbul sehingga produksi
asetilkolin berjumlah banyak tersimpan dalam vesikel. Dan pada saat memulai
aktivitas (rangsangan aksi awal), asetilkolin yang berikatan dengan reseptornya
masih dalam kadar yang cukup banyak sehingga mampu menimbulkan
depolarisasi membran dalam jumlah cukup. Namun, lama kelamaan keadaan ini
tidak akan terkompensasi dengan semakin lamanya aktivitas yang dicetuskan
karena terkait pada jumlah reseptor Ach yang semakin sedikit dan Ach yang
banyak dihidrolisis.
Myasthenia gravis merupakan penyakit yang bersifat progresif. Baik
progresif lambat ataupun cepat, tergantung pada kondisi autoimun yang diderita.
Akibatnya, keluhan yang dialami semakin lama akan makin berat. Pada kasus di
skenario, penderita belum mengalami sesak nafas/ perasaan tidak enak di dada.
Dalam hal ini, penderita masih belum mengalami gangguan pernafasan yang
nantinya dapat menimbulkan krisis miastenik. Dan bila sudah timbul kondisi ini,
maka penderita sudah berada dalam kondisi kritis yang memerlukan penanganan
secepat mungkin.
Dalam myasthenia gravis, pemeriksaan darah menunjukkan hasil normal
karena tidak terjadi kenaikan kadar kreatin kinase. Kadar kreatin kinase ini
biasanya timbul bila terjadi kerusakan otot sedangkan pada myasthenia, tidak
timbul kerusakan otot melainkan gangguan pada neurotransmiternya. Sehingga,
otot pada pasien myasthenia tampak normal. Akan tetapi, bila otot pasien yang
mengalami kelemahan tidak digunakan, lama kelamaan akan timbul disuse
atrophy. Sebenarnya, gangguan pada neurotransmiter dapat ditemukan pada
myathenia gravis dan sindrom Eaton-Lambert. Pada myasthenia gravis, asetilkolin
tidak dapat diterima oleh reseptor pada membran postsinaptik karena antibodi
telah menduduki reseptor itu. Pada sindrom Eaton-Lambert, asetilkolin di dalam
gelembung presinaptik tidak dapat dituangkan (eksositosis) di celah sinaptik
karena membran presinaptiknya terganggu oleh adanya antibodi pada kanal
kalsium.

Penanganan myasthenia gravis dapat dilakukan dengan terapi farmakologik


berupa

pemberian

obat

imunosupresif,

kortikosteroid

ataupun

obat

antikolinesterase. Selain itu, dapat pula dilakukan operasi pengangkatan timus


karean sekitar 15% penderita myasthenia gravis mengalami hiperplasia kelenjar
timus (timoma). Obat antikolinesterase memiliki spektrum kerja dalam
menghambat efek kerja enzim asetilkolinesterase (enzim yang terlibat dalam
penguraian asetilkolin/ Ach). Obat ini akan secara efektif meningkatkan
konsentrasi Ach pada motor end plate dan memperpanjang masa kerjanya. Telah
diketahui bahwa kerusakan reseptor karena antibodi bersifat reversibel, sehingga
terjadi pengurangan jumlah reseptor dalam satu permukaan membran sel otot.
Namun, dengan penggunaan obat antikolinesterase, Ach akan tidak langsung
dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterae. Sehingga, Ach yang berada dalam celah
sinaps akan memiliki waktu paruh panjang dalam menemukan reseptor yang sehat
(tidak terikat antibodi) dan nantinya menimbulkan pembukaan saluran Na-K.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pada penderita myasthenia gravis sesudah
mendapat pengobatan antikolinesterase yaitu krisis miastenik yang timbul karena
underdose obat antiasetilkolinesterase sehingga gejala-gejala lebih memburuk,
biasanya terjadi karena gangguan resorpsi obat antiasetilkolinesterase atau karena
infeksi berat. Selain itu, dapat juga terjadi krisis kolinergik yang timbul karena
obat antikolinesterase yang merusak sinaps sehingga asetilkolin tidak dapat
bekerja lagi sebagai neurotransmiter.
2.4 Manifestasi Klinis
1. Kelemahan otot mata dan wajah (hampir selalu ditemukan)
a. Ptosis
b. Diplobia
c. Otot mimic
2. Kelemahan otot bulbar
a.
b.
c.
d.
e.

Otot- otot lidah


Suara nasal, regurgitasi nasal
Kesulitan dalam mengunyah
Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang terbuka
Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan batuk

dan tercekik saat minum

f.
g.

Otot - otot leher


Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot

ekstensor
3. Kelemahan otot anggota gerak
4. Kelemahan otot pernafasan
a.

Kelemahan otot interkostal dan diaphragma menyebabkan retensi

CO2 hipoventilasi menyebabkan kedaruratan neuromuscular


b.
Kelemahan otot faring dapat menyebabkan gagal saluran nafas atas
2.5 Pemeriksaan Diagnositik
1. Laboratorium
a. Anti-acetylcholine receptor antibody
85% pada miastenia umum
60% pada pasien dengan miastenia okuler
b. Anti-striated muscle

Pada 84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40 tahun
c. Interleukin-2 receptor

Meningkat pada MG

Peningkatan berhubungan dengan progresifitas penyakit


2. Imaging
a. X-ray thoraks
Foto polos posisi AP dan Lateral dapat mengidentifikasi timoma
sebagai
massa mediatinum anterior
b. CT scan thoraks
Identifikasi timoma
c. MRI otak dan orbita
Menyingkirkan penyebab lain defisit Nn. Craniales, tidak
digunakan
secara rutin
3. Pemeriksaan klinis
a. Menatap tanpa kedip pada suatu benda yg terletak diatas bidang kedua mata
selama 30 dtk, akan terjadi ptosis
b. Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia
c. Menghitung atau membaca keras-keras selama 3 menit akan terjadi
kelemahan pita suara suara hilang

d. Tes untuk otot leher dg mengangkat kepala selama 1 menit dalam posisi
berbaring
e. Tes exercise untuk otot ekstremitas, dg mempertahankan posisi saat
mengangkat kaki dg sudut 45 pd posisi tidur telentang 3 menit, atau dudukberdiri 20-30 kali. Jalan diatas tumit atau jari 30 langkah, tes tidur-bangkit
5-10 kali
4. Tes tensilon (edrophonium chloride)
a.
Suntikkan tensilon 10 mg (1 ml) i.v, secara bertahap. Mula-mula 2
mg bila
perbaikan (-) dlm 45 dtk, berikan 3 mg lagi bila perbaikan (-), berikan 5
mg lagi. Efek tensilon akan berakhir 4-5 menit
b.
Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung
5. Tes kolinergik
6. Tes Prostigmin (neostigmin)
a.
Injeksi prostigmin 1,5 mg im
b.
dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek muskariniknya
seperti
nausea, vomitus, berkeringat. Perbaikan terjadi pada 10-15 menit, mencapai
puncak dlm 30 menit, berakhir dalam 2-3 jam
7. Pemeriksaan EMNG
a.
Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo
(decrement
respons) > 10% antara stimulasi I dan V. MG ringan penurunan mencapai
50%, MG sedang sampai berat dapat sampai 80%
8. Pemeriksaan antibodi Ach
a.
Antibodi AChR ditemukan pd 85-90% penderita MG generalisata,
&0%
MG okular. Kadar ini tdk berkorelasi dg beratnya penyakit
9. Evaluasi Timus
Sekitar 75% penderita MG didapatkan timus yg abnormal,terbanyak berupa
hiperplasia,sedangkan15% timoma. Adanya timoma dapat dilihat dg CT scan
mediastinum, tetapi pd timus hiperplasia hasil CT sering normal
10. Diagnosis Banding
a.
Sindroma Eaton-Lambert :
Sering terjadi bersamaan dengang small cell Ca dari paru.
Lesi terjadi di membran pre sinaptik dimana release Ach tidak dpt
berlangsung dg baik

b.

Botulism
Penyebab : neurotoksin dari Clostridium botulinum, yg dpt masuk

mll
makanan yg terkontaminasi
Dengang cara menghambat/menghalang-halangi pelepasan Ach
dari
ujung terminal akson persinaptik \
11. Pengobatan
a.
Mestinon
b.
Antikolinesterase : menghambat destruksi Ach
c.
Piridostigmin bromide (Mestinon, Regonol). Dosis awal 30-60 mg
tiap 6-8
jam atau setiap 3-4 jam. Dosis optimal bervariasi tgt kebutuhan mulai 30120 mg setiap 4 jam. Bila > 120 mg tiap 3 jam dpt menimbulkan Krisis
Kolinergik (G/ : dispneu, miosis, lakrimasi, hipersalivasi, emesis, diare
d.
Neostigmin Bromide (Prostigmin). Kerja lebih pendek. Dosis 15
mg tiap 34 jam
e.
Kortikosteroid : Mulai dosis rendah (12-50 mg prednison) kmd
dinaikkan
pelan-pelan sampai respon optimal (maksimal 50-60 mg prednison). Dosis
dipertahankan sampai perbaikan mencapai plateau (biasanya 6-12 bulan).
urunkan dosis sgt pelan-pelan sampai dosis pemeliharaan minimal. Awasi
efek samping obat
12. Imunosupresan
a.
Obat ; azathiprine 1-2,5 mg/minggu Biasanya dipakai bersama
prednisone
b.
Obat lain : Cyclosporine,Cyclophosphamide, Mycophenolate
mofetil
13. Intravenous Imunoglobulin
a.
Dosis : 0,4 gr/kg BB/hari selama 5 hari berturut2
b.
Pada MG berat
c.
Plasmapharesis
Pd MG berat untuk menghilangkan atau menurunkan antibodi yg beredar
dalam serum penderita
2.6 Penatalaksanaan
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari menghemat kekuatan.

2. Obat antikolinesterase diberikan untuk memperpanjang waktu paruh


asetilkolin di taut neuro moskular. Obat harus diberikan sesuai jadwal seetiap
hari untuk mencegah keletihan dan kolaps otot.
3. Obat anti inflamasi digunakan untuk membatasi serangan autoimun.
4. Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan,dan bantuan pernapasan
jika perlu.
5. Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat asetilkolin) dan bantuan
pernapasan,sampai

gejala

hilang.

Terapi

antikolinesisterase

ditunda

sampaikadar toksik obatb diatasi.


6. Krisis miastenia dan krisis kolinergik terjadi dengan cara yang sama,namun
diatasi secara berbeda. Pemberian tensilon dilakukan untuk membedakan dua
gangguan tersebut.
2.7 Komplikasi
1. Gagal nafasDisfagia
2. Krisis miastenik
3. Krisis cholinergic
4. Komplikasi sekunder dari terapi obat
5. Penggunaan steroid yang lama :
a.
Osteoporosis, katarak, hiperglikemi
b.
Gastritis, penyakit peptic ulcer
c.
Pneumocystis carinii
2.8 Prognosis
1. Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%
2. MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
3. 40% hanya gejala okuler

BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1.
Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis
kelamin,dan status
2.
Keluhan utama : kelemahan otot
3.
Riwayat kesehatan :
diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi klinis.
Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial
setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin
mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana.
Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat
menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
4.
Pemeriksaan fisik
a. B1 (breathing) : dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal
pernafasan
akut, kelemahan otot diafragma
b. B2 (bleeding) : hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi
c. B3 (brain) : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi
okular,jatuhnya mata atau dipoblia
d. B4 (bladder) : menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine,
hilangnya sensasi saat berkemih
e. B5 (bowel) : kesulitan mengunyah-menelan, disfagia, dan
peristaltik usus
turun, hipersalivasi, hipersekresi
f.
B6 (bone) : gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot
yang
berlebih
3.2 Diagnosa
1.

Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan

otot
Pernafasan
2.
Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan ptosis, dipoblia

3.

Resiko tinggi cedera berhubungan dengan fungsi indra penglihatan

tidak
Optimal
4.
Gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan
kelemahan
fisik umum, keletihan
5.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,
gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot
fasial atau oral
6.
Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal
3.3 Intervensi dan Rasional
1.

Ketidak efektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan

otot
pernafasan
Tujuan
Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien
kembali efektif
Kriteria hasil :
a.
b.

Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal


Bunyi nafas terdengar jelas, Respirator terpasang dengan optimal

Intervensi
a. Kaji Kemampuan ventilasi
b. Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap
perubahan yang terjadi.
c. Baringkan klien dalam posisi yang nyaman dalam posisi duduk
d. Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR)
2.

Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan ptosis, dipoblia

Tujuan
Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
Kriteria hasil
a. Adanya perubahan kemampuan yang nyata
b. Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat, orang
Intervensi

a.
b.
c.
d.

Tentukan kondisi patologis klien


Kaji gangguan penglihatan terhadap perubahan persepsi.
Latih klien untuk melihat suatu obyek dengan telaten dan seksama
Observasi respon perilaku klien, seperti menangis, bahagia,
bermusuhan, halusinasi setiap saat.\
e. Berbicaralah dengan klien secara tenang dan gunakan kalimat-kalimat
pendek.
3.

Resiko tinggi cedera berhubungan dengan fungsi indra penglihatan

yang
tidak optimal
Tujuan
Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam kemungkinan
cedera.
Krikteria hasil
a. Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan
faktor resiko dan melindungi diri dari cedera.
b. Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan
keamanan
Intervensi
1.

Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas


Rasional : Menjadi data dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya
2. Atur cara beraktivitas klien sesuai kemampuan
Rasional : Sasaran klien adalah memperbaiki kekuatan dan daya tahan. Menjadi
partisipan dalam pengobatan, klien harus belajar tentang fakta-fakta dasar
mengenai agen-agen antikolinesterase-kerja, waktu, penyesuaian dosis, gejalagejala kelebihan dosis, dan efek toksik. Dan yang penting pada pengguaan
3.

medikasi dengan tepat waktu dalah ketegasan


Evaluasi Kemampuan aktivitas motorik
Rasional : Menilai singkat keberhasilan dari terapi yang boleh diberikan
d. Gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan
kelemahan fisik umum, keletihan
Tujuan
Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema
inflamasi dan memungkinkanpenyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi

pernapasan minor yang tidak memberikan dampak pada individu yang


memilikiparu-paru normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM
1.
2.
3.

Krikteria hasil
Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit
Kemampuan batuk efektif dapat optimal
Tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh
Intervensi

1.

Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas


Rasional : Menjadi data dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya
2. Atur cara beraktivitas klien sesuai kemampuan
Rasional : Sasaran klien adalah memperbaiki kekuatan dan daya tahan. Menjadi
partisipan dalam pengobatan, klien harus belajar tentang fakta-fakta dasar
mengenai agen-agen antikolinesterase-kerja, waktu, penyesuaian dosis, gejalagejala kelebihan dosis, danefek toksik. Dan yang penting pada pengguaan
3.

medikasi dengan tepat waktu adalah ketegasan


Evaluasi Kemampuan aktivitas motorik
Rasional : Menilai singkat keberhasilan dari terapi yang boleh diberikan
e. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot
fasial atau oral
Tujuan
Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu
mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
Krikteria hasil

1. Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi


2. Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
Intervensi
1.

Kaji komunikasi verbal klien


Rasional : Kelemahan otot-otot bicara klien krisis miastenia gravis dapat
berakibat pada komunikasi

2.

Lakukan metode komunikasi yang idealsesuai dengan kondisi klien


Rasional : Teknik untuk meningkatkan komunikasi meliputi mendengarkan klien,
mengulangi apa yang mereka coba komunikasikan dengan jelas dan membuktikan
yang diinformasikan, berbicara dengan klien terhadap kedipan mata mereka dan
atau goyangkan jari-jari tangan atau kaki untuk menjawab ya/tidak. Setelah

3.

periode krisis klien selalu mampu mengenal kebutuhan mereka.


Beri peringatan bahwaklien di ruang ini mengalami gangguan berbicara,
sediakan bel khusus bila perlu
Rasional : Untuk kenyamanan yang berhubungan dengan ketidakmampuan

komunikasi
4. Antisipasi dan bantu kebutuhan klien
Rasional : Membantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau
ketidakmampuan berkomunikasi
5.
Ucapkan langsung kepada klien dengan berbicara pelan dan tenang, gunakan
pertanyaan denganjawaban ya atautidak dan perhatikan respon klien
Rasional : Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya
informasi. Memajukan stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata.
6.
Kolaborasi: konsultasi ke ahli terapi bicara
Rasional : Mengkaji kemampuan verbal individual,sensorik, dan motorik, serta
fungsi kognitif untuk mengidentifikasi defisit dankebutuhan terapi
f. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal
Tujuan
Citra diri klien meningkat
1.

Krikteria Hasil
Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang

situasi dan perubahan yangsedang terjadi


2.
Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi
3.
Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara
yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi
1.
Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat
ketidakmampuan
Rasional : Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan
atau pemilihan intervensi.

2.

Identifikasi arti dari Kehilangan atau disfungsi pada klien.


Rasional : Beberapa klien dapat menerima dan mengatur beberapa fungsi secara
efektif dengan sedikit penyesuaian diri, sedangkan yang lain mempunyai kesulitan

membandingkan mengenal dan mengatur kekurangan.


3.
Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan
Rasional : Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengontrol lebih
4.

dari satu area kehidupan


Anjurkan orang yang Terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal untuk
dirinya sebanyak-banyaknya
Rasional : Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu

5.

perkembangan harga diri serta mempengaruhi proses rehabilitasi


Kolaborasi: rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi
Rasional : Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk
perkembangan perasaan

3.4 Evaluasi
a.
Bersihan jalan napas efektif.
b.
Persepsi sensorik optimal
c.
Pasien dapat melihat dengan bantuan penutup mata
d.
Kemampuan aktivitas optimal
e.
Pasien mampu berkomunikasi dengan alternatif pilihan pasien
f.
Pasien mampu mengekspresikan konsep diri yang positif

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi
kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan. Myasthenia gravis
dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi
pada para wanita sehingga kita sebagai perawat harus bisa menentukan diagnosa
keperawatan terhadap pasien dengan myastenia gravis serta perlu melakukan
beberapa tindakan dan asuhan kepada pasien dengan masalah tersebut.
4.2 Saran

Sebagai perawat disarankan untuk memberi dukungan kepada pasien, dan


menganjurkan pasien maupun keluarga untuk tidak putus asa terhadap
kemungkinan buruk yang akan terjadi, serta menganjurkan pasien untuk
mengikuti terapi yang dianjurkan.
Selain itu juga perawat harus memperhatikan personal hygiene untuk mengurangi
dampak yang terjadi pada saat memberikan pelayanan kesehatan pada penderita
myhastenia gravis.

DAFTAR PUSTAKA
http://copyaskep.wordpress.com/2011/09/13/asuhan-keperawatan-pasien-denganmyasthenia-gravis/ (diakses pada tanggal 26 januari 2013)
http://pataulanursing.wordpress.com/2011/09/19/asuhan-keperawatan-padapasien-dengan-miastenia-gravis/ (diakses pada tanggal 26 januari 2013)
http://akperppnisolojateng.blogspot.com (diakses pada tanggal 26 januari 2013)
http://rizok.wordpress.com/2010/08/09/apa-sih-myasthenia-itu/ (diakses pada
tanggal 26 januari 2013)
http://www.mgindonesia.org/myasthenia-gravis/diagnosa-myastheniagravis.html(diakses pada tanggal 28 januari 2013)
http://www.mgindonesia.org/myasthenia-gravis.html(diakses pada tanggal 28
januari 2013)

http://tunsa.wordpress.com/2012/06/04/tentang-myasthenia-gravis/(diakses pada
tanggal 28 januari 2013)
W.A NewmanDorland.2010.Kamus Kedokteran Dorland.edisi 31.Jakarta:EGC
Nursing.2011.memahami berbagai macam penyakit.Cetakan 2.Jakarta Barat:PT
Indeks

Вам также может понравиться