Вы находитесь на странице: 1из 1

BEGO

Aku terbangun, berkeringat. Perlahan aku duduk di pinggiran tempat tidurku. Dengan mata
tertutup kucari ponselku dan kulihat jam pada layarnya. Astaga! Jam setengah 10 pagi. Aku telat!
Kulihat pesan WA di ponselku, 20 pesan di grup dan 2 pesan dari team leaderku. Pasti menanyakan
alasan kenapa aku tidak masuk hari ini. Tanpa membuang waktu membaca pesan-pesan itu, aku
bergegas bangun dan mandi. Jam 10 aku pun berangkat.
Sudah sebulan ini aku bekerja sebagai penerjemah acara televisi di salah satu perusahaan
penyedia layanan televisi berbayar di Jakarta. Aku ingin tahu bagaimana reaksi orang-orang di
kantorku atas keterlambatan ini. Bukan baru sekali ini saja aku terlambat di hari senin. Kebanyakan
memang tidak peduli, karena aku masih baru dan itu bukan urusan mereka juga. Di sini orang sibuk
dengan urusan masing-masing. Terlalu banyak ikut campur urusan orang nanti dikira suka cari tahu.
Paling-paling hanya orang-orang traffic yang kebingungan karena harus membagi jatahku untuk
keroyokan.
Aku sedikit memelankan motorku di jalanan yang agak becek karena hujan lebat semalam.
Sejenak pikiranku teralihkan dari kehidupan kantor ke jalanan yang licin ini. Sambil berusaha pelanpelan di jalan, tiba-tiba sebuah angkot mendahuluiku dan memercikkan air lumpur ke motor dan
pakaianku. Bego lu! Aku berteriak sambil menghentikan motorku. Aku ingat jumat malam lalu aku
baru menyelesaikan terjemahan untuk salah satu acara gulat. Paling tidak aku masih ingat beberapa
jurus yang bisa kupakai kalau sopir angkot ini meladeni teriakanku. Tapi goyangan pinggul angkot itu
membuktikan kalau sopir itu sudah terbiasa mendapat makian seperti itu. Mungkin aku harus memaki
dengan bahasa dari kampung, pikirku.
Niatku untuk ke kantor semakin memudar. Aku mempertimbangkan untuk tidak masuk. Tapi
aku merasa sayang membuang-buang jatah cutiku hanya karena ketololan supir angkot. Lagipula
orang-orang di kantor tidak terlalu memperhatikan penampilan. Aku bisa membersihkan pakaianku di
kamar mandi. Aku heran juga karena bukan kebiasaanku untuk meneruskan sesuatu jika ada halangan.
Apa ini mentalitas yang terbentuk secara tidak sengaja karena aku terbiasa memaksakan diri untuk
harus menyelesaikan jatah terjemahanku? Aku menghidupkan motorku dan mulai berjalan lagi.
Setibanya di kantor, kulihat suasana lengang. Aku melewati satpam dengan acuh tak acuh,
mengabaikan tatapan mereka yang penuh curiga. Aku menaiki lift yang kosong dan memasuki lantai
tempat departemenku. Aku segera ke wc untuk membersihkan pakaianku. Biasanya aku akan
berpapasan dengan beberapa rekan yang sedang membuat kopi atau menelepon di lorong. Aku
bergegas mengeringkan pakaianku dan memasuki ruangan kerjaku.
Di dalamnya sepi. Tidak ada seorang pun. Lampu mati, semuanya mati. Tidak ada tanda-tanda
kehidupan. Aku ke luar, dan menyadari ruangan di departemen lain juga sepi. Segera kubuka ponselku
dan kubaca lagi beberapa pesan WA yang kulewatkan tadi.
Pesan dari team leaderku berbunyi, hari ini libur, gak usah masuk. Bego lu! Kataku pada diriku
sendiri sambil menatap mataku yang kemerahan dan berkantung hitam di pintu lift.

Вам также может понравиться