Вы находитесь на странице: 1из 554

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ISBN: 978-602-71798-1-3

FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS ANTI BAKTERI MASKER PEEL OFF


SERBUK GETAH PEPAYA MUDA DAN MADU HITAM
Ade Arinia Rasyad, Frenny Zumariny, dan Ni Wayan Lisa Suasti
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi
email: adearinia@yahoo.co.id
Abstract
It has been reported before that sap of papaya and honey had antibacteria effect against Propionibacterium
acne and Staphylococcus sp. The goal of this study is to see the influence of combination between papaya's sap
and honey as active agent to their activity as antibacteria. Active agent is formulated in peel-of mask to increase
the theurapetic activity and comfort of using consideration. Papaya's sap is prepared as powder. It was
extracted and dried in oven. Dry powder was then added with sodium metabisulphite 0,7% before mixed with
honey. There were 4 formulas prepared as the composition of papaya's sap and honey. The composition of
those formulas were : 12% -8% (F1), 10%-10% (F2), 8%-12% (F3) and pell-of mask without active agent (F4)
respectively. PVA, HPMC, Potasium sorbate, glycerin, demin water and ethanol 96% were used to make peel-of
mask. Physical evaluation and antibacteria test were then conducted. "sumuran" method was choosen to
explore the antibacteria effect. Based on the data, F1 was the most stable formula that give maximum
antibacteria effect, i.e. 18,83, mm against SA and 17,82 mm against PA. It can be concluded that the
composition of active agent influenced the physical properties and antibacteria effect of papaya's sap and
honey.
Keywords: peel-of mask, papaya, honey, antibacterial
Abstrak
Dari hasil penelitian sebelum nya getah papaya (Carica papaya L.) dan madu (Apis dorsata) mampu bersifat
sebagai antibakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus sp. Dengan memformula kombinasi getah
pepaya dan madu dalam bentuk sediaan masker peel of diharapkan dapat meningkatkan efektivitas terapetik dan
kenyamanan dalam penggunaannya. Serbuk getah buah pepaya diperoleh dengan cara getah murni yang didapat
dengan cara disadap ditambahkan dengan natrium metabisulfit 0,7% kemudian dikeringkan dengan
menggunakan oven. Dibuat menjadi 3 formula, dengan persentase kombinasi serbuk getah pepaya dan madu
berturut-turut untuk F1, F2, F3 dan F4 adalah 12% dan 8%, 10% dan 10% , 8% dan 12%, serta masker peel off
tanpa zat aktif. Bahan tambahan yang digunakan untuk membuat masker peel off adalah Polivinil Alkohol
(PVA), HPMC (Hydroxy propyl methyl cellulose), Kalium Sorbat, Gliserin, Etanol 96%, dan Aquadest. Setelah
masker jadi dilakukan evaluasi fisik dan uji aktivitas antibakteri. Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan cara
metode difusi sumuran. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kombinasi getah pepaya dan madu dalam
bentuk sediaan masker peel of mempengaruhi sifat fisik sediaan dan aktivitas antibakteri. Hasil uji aktivitas
antibakteri menunjukkan formula 2 memiliki aktivitas antibakteri paling stabil dengan diameter hambat 15,74
mm terhadap Staphylococcus aureus dan 18,83 mm terhadap Propionibacterium acne.
Kata Kunci : masker peel of, papaya, madu, antibakteri

madu juga dapat menyembuhkan jerawat. Hal


ini terbukti dari hasil penelitian sebelumnya
dimana serbuk getah papaya dan madu mampu
menghambat pertumbuhan bakteri - bakteri
penyebab
jerawat
antara
lain
Propionibacterium
acne
Staphylococcus
epidermidis, dan Staphylococcus aureus
(Rinawati, 2014 dan Salampessy, 2013 ).

1. PENDAHULUAN
Acne vulgaris yang dikenal awam dengan
jerawat adalah penyakit kulit yang terjadi
akibat
adanya
peradangan
menahun.
Peradangan
dipicu
oleh
bakteri
Propionibacterium acne, Staphylococcus
epidermidis, dan Staphylococcus aureus
(Wasiaatmadja,1997).

Salah satu bentuk sediaan kosmetik yang


digunakan untuk merawat wajah adalah
masker. Namun, proses pemakaian masker
pada umumnya cukup rumit, padahal gaya

Salah satu tanaman yang dapat


digunakan sebagai obat anti jerawat adalah
pepaya. Selain serbuk getah pepaya muda,
1453

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

hidup masyarakat perkotaan dipenuhi dengan


kesibukan. Sehingga dibutuhkan produk
masker yang praktis dalam pemakaiannya,
salah satunya adalah dengan memakai masker
peel off. Masker peel off merupakan sediaan
kosmetik perawatan kulit yang berbentuk gel
dan setelah diaplikasikan ke kulit dalam waktu
tertentu hingga mengering, sediaan ini akan
membentuk lapisan film transparan yang
elastis, sehingga dapat dikelupaskan (Morris,
1993).

(Medina,

Gutierrez

dan

Garcia

dalam

Rinawati, 2014).
Menurut hasil penelitian uji aktivitas
antibakteri getah pepaya terhadap mikroba uji
yang diisolasi dari jerawat (Propionibacterium
acne dan Staphylococcus epidermis) getah
pepaya dengan pelarut air (1:1) dapat
menghambat semua isolat berjerawat dengan
diameter hambat paling besar 2,41 mm
terhadap
isolat
bakteri
jerawat
Propionibacterium acne, getah pepaya dengan
pelarut Natrium Klorida 2% (1:1) dapat
menghambat semua isolat berjerawat dengan
diameter hambat paling besar 2,03 mm
terhadap
isolat
bakteri
jerawat
Propionibacterium acne, getah pepaya dengan
pelarut larutan dapar fospat pH 6,4 (1:1) dapat
menghambat semua isolat berjerawat dengan
diameter hambat paling besar 2,87 mm
terhadap
isolat
bakteri
jerawat
Propionibacterium acne (Salampessy, 2013).

Kaum muda yang sangat memperhatikan


akan kesehatan kulit khususnya kulit wajah,
merupakan hal yang mendasari para industri
farmasi khususnya industri kosmetik untuk
berlomba-lomba membuat sediaan kosmetik
yang efektif, aman, dan bentuk sediaan yang
disukai konsumen serta mudah digunakan,
selain itu juga bahan baku zat aktif yang
mudah didapatkan dari lingkungan sekitar
menjadi daya tarik tersendiri. Sehingga hal
inilah yang membuat peneliti tertarik untuk
mengangkat tema penelitian ini dengan
membuat sediaan masker peel off dari serbuk
getah pepaya muda yang dikombinasikan
dengan madu hitam, untuk menjamin
efektifitas khasiat dari penggunaan sediaan
maka dilakukan evaluasi stabilitas fisik sediaan
dan pengujian aktivitas antibakteri terhadap
bakteri penyebab jerawat (Propionibacterium
acne dan Staphylococcus aureus ).

Dari penelitian lainnya formulasi gel


antijerawat serbuk getah buah pepaya muda
(Carica papaya L.) dan uji daya hambat
terhadap Staphylococcus aureus mamberikan
hasil formulasi gel serbuk getah buah pepaya
muda (Carica papaya L.) dengan konsentarsi
10% memiliki aktivitas antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus dengan diameter daya
hambat 25,7 mm (Rinawati, 2014).
Madu adalah suatu cairan kental, berasa
manis dan lezat bewarna kuning terang atau
kuning tua keemasan yang dihasilkan oleh
lebah. Madu umumnya terbuat dari nektar
yakni cairan manis yang terdapat di dalam
mahkota bunga yang dihisap oleh lebah
kemudian dikumpulkan dan disimpan didalam
sarangnya untuk diolah menjadi madu
(Purbaya, 2002).

2. KAJIAN LITERATUR DAN


PEGEMBANGAN HIPOTESIS
Nama umum pepaya di dunia adalah
Pawpaw,namun di berbagai negara memiliki
nama yang beragam. Misalnya di Malaysia
disebut betik,dicina dikenal dengan Pohon
Melon, dan di Indonesia populer dengan
nama Pepaya (Rahmat,1995).
Getah buah pepaya mengandung
papain, chymopapain A, chymopapain B,
protease, papain peptidase A dan damar.
Keterangan yang didapat dari masyarakat dan
beberapa buku obat tradisional, getah buah
tumbuhan ini dapat digunakan dalam bidang
kosmetik untuk mengobati jerawat, luka bakar,
ketombe, jamur dan kutil (Baga, 1996).

Sejumlah mineral yang terdapat dalam


madu seperti magnesium, kalium, potasium,
sodium, klorin, sulfur, besi dan fosfat. Madu
juga mengandung vitamin, seperti vitamin E
dan vitamin C serta vitamin B1, B2 dan B6
(Winarno, 1982). Menurut Hamad (2007) Di
dalam madu juga terdapat berbagai jenis
enzim, antara lain enzim glukosa oksidase dan
enzim invertase yang dapat membantu proses
pengolahan sukrosa untuk diubah menjadi
glukosa dan fruktosa yang keduanya mudah
diserap dan dicerna. Sehingga, madu disebut
higroskopis yakni mudah menghisap dan
melepas uap air (Purbaya, 2002).

Getah buah pepaya muda mengandung


10 % papain berdasarkan berat kering dan
jumlah papain yang dihasilkan berkisar antara
20-25 % dari getah yang dikumpulkan

1454

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Hasil penelitian pengaruh konsentrasi madu


hutan sumbawa terhadap sifat fisik dan
aktivitas antibakteri Propionibacterium acne
pada sediaan krim madu memberikan hasil
bahwa peningkatan konsentrasi madu hutan
Sumbawa (30%, 35%, dan 40%) menyebabkan
peningkatan aktivitas antibakteri, penurunan
daya sebar krim dan pH, serta peningkatan
daya lekat dan viskositas (Silvia, 2010). Dan
dari hasil penelitian lainnya Uji Aktivitas
Antibakteri dari Madu terhadap bakteri
Staphylococcus
aureus. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa madu dengan konsentrasi
1 % dan 2,5 % (v/v) belum menunjukkan
hambatan pada media pertumbuhan, sedangkan
madu dengan konsentrasi 5 %, 10 %, 25 %, 50
% (v/v) menunjukkan aktivitas antibakteri
dengan diameter zona hambatan 22,80; 26,90;
28,80; 28,70 mm (Susanti, 2010).
Masker wajah adalah sediaan kosmetik
untuk perawatan kulit wajah. Salah satu jenis
masker wajah adalah masker wajah gel peel
off. Masker peel off biasanya dalam bentuk gel
atau pasta, yang dioleskan ke kulit muka.
Setelah alkohol yang terkandung dalam masker
menguap, terbentuklah lapisan tipis film yang
tipis dan transparan pada kulit muka. Setelah
berkontak selama 15-30 menit, lapisan tersebut
akan diangkat dari permukaan kulit dengan
cara dikelupas (Slavcheff, 2000).

reaksi, pH meter, viskometer Brookfield,


mikroskop, kapas, kassa steril, kertas
perkamen, glass ukur, tabung reaksi, jarum
ose, cawan pentri, lampu bunsen, penjepit
kayu, pipet tetes, objek gelas, autoklaf, lemari
pendingin, dan jangka sorong.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah Serbuk
getah pepaya (Carica papaya L.), Madu Hitam
(Apis dorsata ), Polivinil Alkohol (PVA),
HPMC (Hydroxy propyl methyl cellulose),
Kalium Sorbat, Gliserin, Etanol 96%,
Aquadest, Natrium Metabisulfat 0,7%, Nutrien
agar, Bakteri Propionibacterium acnes,
Bakteri Staphylococcus aureus, dan NaCl
0,9%.

Penyiapan Sampel

Serbuk Getah Buah Pepaya Muda (Carica


papaya L.)
Penyadapan getah dilakukan pada
pagi hari antara jam 05.00 sampai 08.00 WIB.
Sebelum disadap buah dibersihkan dengan
kain serbet basah. Penyadapan dilakukan
dengan cara menorehkan alat sadap (pisau)
pada kulit buah mulai dari pangkal menuju
ujung buah, kedalaman torehan antara 12
mm, getah yang keluar dari buah segera
ditampung dalam wadah stainless steel. Getah
yang membeku pada buah dapat dikerok secara
hati-hati dengan pisau karet, pengerokan
dimulai dari pangkal (atas) ke ujung bawah,
getah yang membeku dikumpulkan menjadi
satu dengan getah lainnya.

3. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini merupakan
penelitian in vitro eksperimental dengan
meneliti aktivitas serbuk getah buah pepaya
muda (Carica papaya L.) dan madu hitam
(Apis dorsata) dalam sediaan masker peel off
sebagai antibakteri untuk pengobatan jerawat
yang
disebabkan
oleh
bakteri
Propionibacterium acne dan Staphylococcus
aureus.

Getah hasil penyadapan diolah menjadi


papain kasar (crude papain). Getah hasil
penyadapan dicampur dengan larutan Natrium
metabisulfit 0,7% sebanyak 4 kali jumlah
getah, lalu diaduk merata dengan alat
pengaduk (blender), campuran ini membentuk
emulsi getah berwarna putih susu agak kental,
selanjutnya emulsi getah dikeringkan dengan
oven pada suhu 55oC, dengan cara emulsi
getah dituang merata pada wadah stainless
steel dengan ketebalan 1 cm. Setelah kering
getah diambil lalu digerus dan diayak dengan
ayakan mesh-20.

Alat dan Bahan


Alat
Alat yang digunakan adalah stopwatch,
sarung tangan, blander, erlemeyer, mortir,
lumpang,
timbangan analitik, sudip, pot
plastik, pisau cukur, kain serbet, wadah
stainless steel, kaca arloji, batang pengaduk,
cawan penguap, beker gelas, oven, ayakan
mesh-20, kaca transparan, kertas grafik, tabung

Lokasi pengambilan sampel berada di Jl.


Taqwa Mata Merah Kelurahan Sei-selincah,

1455

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Kecamatan Kalidoni,
Sumatera Selatan.

Kota

Sorbat

Palembang,

%
Etanol
5.

Madu Hitam (Apis dorsata)

70%

Mempercep
at waktu
mengering

Ad 100

Pelarut

(g)

Sampel yang digunakan selain Carica


papaya, akan digunakan juga madu sebagai
kombinasi dalam pembuatan masker peel off.
Madu yang digunakan adalah madu hitam dari
lebah jenis Apis dorsata yang diambil dari
Desa Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin
SumSel.

6.

Tabel 1. Formula masker peel off anti jerawat


serbuk getah buah pepaya muda (Carica
papaya L.) dan Madu Hitam (Apis dorsata).
No

Bahan
FI

1.

2.

Serbuk
getah
pepaya
(%)
Madu
Hitam

F
II

FIII

Fungsi
Kontrol
Negatif

12

10

Zat Aktif

10

12

Zat Aktif

Pelarut

Tween
80
10%

Basis ad 100

Formula Basis
*

10
0

Ad
100

2. Pemeriksaan homogenitas
0,1 gram sediaan dioleskan pada sekeping
kaca yang transparan, amati didalam
mikroskop harus menunjukan susunan
yang homogen dan tidak boleh terlihat
adanya bintik-bintik partikel.

(ml)
3.

ad

Ad

EVALUASI FISIK MASKER PEEL-OF


1. Pemeriksaan organoleptis
Meliputi pemeriksaan bau, bentuk dan
warna, yang dilakukan secara visual

(ml)

3.

10

Cara Pembuatan Sediaan Masker Peel Off


Anti Jerawat dari Serbuk Getah Buah
Pepaya (Carica papaya L.) dan Madu Hitam
(Apis dorsata) :
PVA dilarutkan dengan aquadest hangat
(80oC) hingga mengembang sempurna lalu
gerus
homogen
(Massa
1).
HPMC
dikembangkan terlebih dahulu dengan air
dingin (20 kalinya jumlah HPMC) di dalam
lumpang selama 15 menit digerus homogen
(Massa 2). Kalium Sorbat larutkan dengan air
(Massa 3). Tambahkan massa 2 dan gliserin
gerus homogen lalu masukkan massa 3 gerus
homogen. Kemudian tambahkan massa 1 gerus
homogen lalu tambahkan etanol dan diamkan
sebentar
gerus
homogen.
Selanjutnya
tambahkan sisa aquadest gerus sampai
terbentuk massa gel yang homogen. Gerus
serbuk getah pepaya larutkan dengan Tween
80 10% diamkan dahulu lalu tambahkan madu
hitam lalu masukkan basis gel sedikit demi
sedikit sambil terus gerus hingga homogen.

Formulasi Masker Peel Off

Konsentrasi

Aquades

Basis berdasarkan Sukmawati dkk ( 2013 )


Pilivinil

1.

Alkohol
*

16

16

16

16

Gelling
Agent dan
Filming
Agent

Peningkat
Viskositas

Humektan

3. Pemeriksaan pH
Pemeriksaan pH pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan alat pH meter.
Pengujian pH dilakukan dengan cara
mencelupkan elektroda kedalam formula,
jarum akan bergerak menunjukan harga
pH sediaan .

0,2

0,2

0,2

0,2

Pengawet

4. Pengukuran viskositas

(%)

2.

HPMC*
(%)

Gliserin
3.
4.

%
Kalium

1456

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Pengukuran viskositas sediaan gel dengan


volume 100 dalam beker gelas 250
dilakukan dengan Viskometer Brookfield
pada suhu kamar dengan menggunakan
spindel nomor 6 kemudian dicelupkan ke
dalam gel dengan kecepatan putar sebesar
5 rpm kemudian viskositas masker peel
off dapat terbaca pada layar monitor alat
viskometer (Wulansari, 2014).

digoyangkan beberapa kali secara


horizontal agar suspensi bakteri ini merata
pada seluruh permukaan agar. Kemudian
dibiarkan pada suhu kamar selama 15
menit. Setelah media padat, buat lubang
menggunakan pipet tetes, kemudian
lubang diisi dengan 50 mg sediaan masker
peel off, kontrol positif dan kontrol
negatif. Inkubasi pada suhu 37C selama
24 jam kemudian ukur diameter hambatan
pertumbuhan bakteri uji yang ditunjukkan
dengan terbentuknya zona hambat yaitu
daerah jernih disekitar lubang atau
sumuran. Pengukuran dilakukan dari
dasar cawan petri dengan jangka
sorong.Pengujian dilakukan 3 kali untuk
setiap formula kemudian dihitung niali
rata-rata efek antibakteri pada masingmasing formula.

5. Uji daya menyebar


Sebanyak 1 gram masker peel off
diletakkan diatas kertas grafik yang sudah
dilapisi plastik transparan kemudian
ditutupi dengan plastik transparan lain dan
diukur diameternya dari lima titik sudut.
Beban 10 gram diletakkan diatas lapisan
gel, didiamkan selama 1 menit dan dicatat
diameter yang menyebar. Kemudian
beban 20 gram ditambahkan kembali
diatas gel, didiamkan selama 1 menit dan
dicatat diameter gel yang menyebar.
Beban 20 gram selanjutnya ditambahkan
hingga beban maksimum diatas gel
seberat 99 gram, dan setiap kali beban
ditambahkan diatas gel didiamkan selama
1 menit dan dicatat diameter gel yang
menyebar. Dibuat grafik hubungan antara
beban dan luas gel yang menyebar
(Voight, 1994).

Analisa Data
Data disajikan dalam bentuk tabel,
kemudian
dianalisis
secara
deskriptif,
sedangkan untuk data pH dan viskositas
dianalisa dengan menggunakan One way
Anova kemudian dilanjutkan dengan metode
Duncan. Data diameter hambat yang diperoleh
dirata-ratakan, lalu ditabulasi berdasarkan
formula masker peel off antibakteri.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

6. Pengujian waktu sediaan mongering


1 gram gel masker peel off dioleskan pada
kulit lengan dengan panjang 7 cm dan
lebar 7 cm. Kemudian dihitung kecepatan
mengering gel hingga membentuk lapisan
film dan gel masker peel off dengan
menggunakan stopwatch (Pertiwi, 2012).

Hasil Penelitian

7. Ui stabilitas metode cycling test


Sample gel disimpan pada suhu 4oC
selama 48 jam dan suhu 40oC selama 48
jam dilakukan sebanyak 3 siklus dan
diamati terjadinya perubahan fisik dari gel
(Butler, 2000).
8. Penentuan Aktivitas Antibakteri dengan
Metode Sumuran
Teteskan suspensi mikroba sebanyak 2
tetes ke dalam tabung reaksi yang berisi
10 ml media nutrien agar lalu
homogenkan kemudian tuangkan diatas
cawan petri yang berisi 10 ml media
nutrien agar yang telah memadat lalu
ratakan.
Cawan
petri
tersebut
1457

1.

Dari 72 buah pepaya muda (Carica


papaya L.) dapat menghasilkan 257,38
gram getah murni kemudian ditambahkan
dengan larutan natrium metabisulfit 0,7%.
Total serbuk getah pepaya kasar yang
didapat sebanyak 103,77 gram.

2.

Hasil pemeriksaan organoleptis sediaan


gel Masker Peel off yang mengandung
serbuk getah pepaya dan madu hitam ( FI,
FII, dan FIII) berwarna coklat muda
hingga ke coklat tua yang dihasilkan dari
madu hitam serta menunjukkan bentuk
yang kental dan bau khas madu hitam,
sedangkan
sediaan
yang
tidak
mengandung zat aktif (FIV) berwarna
jernih tidak berwarna dan berbentuk
sangat kental dengan bau khas etanol.

3.

Dari Hasil pemeriksaan homogenitas


keempat formula masker peel off

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

didapatkan sediaan yang homogen, hal


ini ditunjukkan dengan olesan yang rata
dan tidak adanya warna ataupun partikel
yang menumpuk.

Gambar 1. Kurva Viskositas Sebelum dan


Sesudah Cycling Test
4.

Tabel 2. Hasil Pengujian pH, viskositas,


waktu pengeringan masker peel of

Sampel

pH

Viskositas
( cps )

Formula I
Formula II
Formula III
Formula IV

5,2
5,2
5,2
5,9

12.533
9.866
10.400
20.000

Waktu
mengering
(Menit :
Detik)
27 : 37
27 : 12
28 : 29
25 : 06

Pada pemeriksaan menggunakan alat pH meter


yang telah dikalibrasi terlebih dahulu pada pH
4 dan pH 7. Hasil uji pH dari keempat sediaan
masker peel off dengan berkisar antara 5,1
sampai 6,0. Setelah dianalisis dengan
menggunakan One Way Anova lalu dilanjutkan
dengan metode Duncan didapatkan formula I
yang lebih stabil dibandingkan formula IV.

Gambar 2. Kurva pH Sebelum dan Sesudah


Cycling Test
7.

Aktivitas antibakteri masker peel-of

Tabel 4. Data Uji Aktivitas Antibakteri


terhadap Bakteri Staphyloccocus aureus
5.

Tabel 3. Hasil Uji Daya Sebar


Diameter Daerah Hambatan ( mm)
Luas Daya Sebar Gel (cm)

Beban
(gram)

FI

FII

FIII

FIV

4,69

4,22

6,26

3,78

10

4,69

4,22

6,26

3,78

20

4,69

4,22

6,28

3,79

50

4,69

4,22

6,28

3,79

100

4,88

4,49

6,44

3,94

6.

Formula
Formula
I
Formula
II
Formula
III
Kontrol
Negatif
(FIV)

Dari hasil cycling test untuk keempat


formula didapatkan sediaan gel masker
peel off yang stabil karena tidak terjadi
sineresis.

II

III

RataRata

21,1

17,5

17,9

18,83

12,35

18,7

16,18

15,74

19,4

17,6

19

18,65

Tabel 4. Data Uji Aktivitas Antibakteri


terhadap Bakteri Propionibacterium acne
Diameter Daerah Hambatan ( mm)
Formula
I

1458

II

III

RataRata

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Formula
I
Formula
II
Formula
III
Kontrol
Negatif
( FIV)

18,5

19,46

15,5

17,82

19,6

17,05

16,18

18,83

19,6

16,83

17,4

17,94

mengandung air sehingga rentan terhadap


pertumbuhan mikroba. Kalium sorbat sering
digunakan sebagai pengawet dalam sediaan
kosmetik selain itu kalium sorbat sangat larut
dalam air sehingga sesuai digunakan untuk
sediaan yang banyak mengandung air.
Langkah selanjutnya menambahkan polivinil
alkohol yang sudah larut dengan cara
penggerusan yang lambat agar tidak terlalu
banyak membentuk gelembung-gelembung
udara . Langkah selanjutnya menambahkan
etanol dipermukaan basis biarkan sebentar
sebelum melakukan penggerusan. Langakah
terakhir mencampurkan basis dalam jumlah
tertentu dengan serbuk getah pepaya yang
telah dilarutkan dengan tween 10% yang
berperan sebagai surfaktan selanjutnya yang
terakhir baru tambahkan madu hitam gerus
sediaan hingga homogen.

Pembahasan
Proses pembuatan masker peel off
dilakukan dengan beberapa langkah. Langkah
pertama yaitu dengan mengembangkan
polivinil alkohol dengan air panas sebanyak 3
kali jumlah polivinil alkohol diatas penangas
air sehingga partikel polivinil alkohol lebih
mudah larut. Polivinil alkohol digunakan
sebagai gelling agent dan filming agent karena
memiliki sifat adhesive atau dapat membentuk
lapisan film yang dapat dikelupas setelah
mengering (Lestari dkk, 2013). Pencampuran
polivinil alkohol dibantu dengan pengadukan
dan pemanasan, gunanya agar polivinil lebih
cepat larut. Langkah selanjutnya di lumpang
yang berbeda hidrosipropil metilselulosa
(HPMC) yang berfungsi sebagai peningkat
viskositas dikembangkan juga dengan air
hangat pada lumpang panas. Hal ini dimaksud
untuk mempercepat mengembang HPMC lebih
cepat, HPMC yang berfungsi sebagai
peningkat viskositas dalam formulasi dengan
menggunakan donor hidroksil dari polivinil
alkohol yang ditambahkan pada polimer.
Kombinasi dari donor hidroksil dan satu atau
lebih donor hidroksil akan menghasilkan
kekentalan karena bentuk hidrogen. Terjadinya
ikatan hidrogen dengan molekul polimer dapat
membentuk gel yang tidak coil sehingga dapat
meningkatkan viskositas (Anwar, 2012).
Selanjutnya ditambahkan gliserin yang
berperan sebagai humektan. Gliserin yang
bersifat higroskopis dengan afinitas tinggi
untuk menarik dan menahan molekul air
sehingga menjaga kestabilan dengan cara
mengabsobsi lembab dari lingkungan dan
mengurangi penguapan air dari sediaan ( Barel
dkk, 2009). Langkah ketiga yaitu melarutkan
kalium sorbat yang berfungsi sebagai
pengawet. Masker peel off sebagian besar

Setelah terbentuk sediaan masker peel off


dilakukan evaluasi mutu fisik terhadap sediaan
yang meliputi pengamatan organoleptis,
homogenitas, pengukuran pH, daya sebar,
waktu sediaan mengering dan uji stabilitas
cycling test.
Secara Organoleptis Sediaan gel Masker
Peel off yang mengandung serbuk getah
pepaya dan madu hitam ( FI, FII, dan FIII)
berwarna coklat muda hingga ke coklat tua
terlihat homogen.
Hasil uji pH dari keempat sediaan masker
peel off dengan berkisar antara 5,1 sampai 6,0.
Sediaan gel yang mengandung zat aktif
memiliki pH yang lebih asam dibandingkan
dengan sediaan yang tidak mengandung zat
aktif. Hal ini mungkin dipengaruhi dari
penambahan serbuk getah pepaya dan madu
hitam. Dari data yang dihasilkan, nilai pH
keempat sediaaan gel masih berada dalam
rentang pH normal kulit yaitu 4,5-6,5. Sediaan
masker peel off sebaiknya memiliki pH yang
sesuai dengan pH kulit karena jika gel
memiliki pH yang terlalu basa maka dapat
memyebabkan kulit menjadi kering, sedangkan
jika pH terlalu asam akan menimbulkan iritasi
kulit (Djajadisastra, 2004).
Dari hasil pengukuran viskositas viskositas
paling tinggi yaitu dari formula IV (tanpa zat
aktif) sebesar 20.000 cPs dan hasil viskositas
paling rendah yaitu dari formula II ( kombinasi
serbuk getah buah pepaya 10% dan Madu
Hitam 10%) sebesar 9.866 cPs.Sedangkan
pada pengukuran daya sebar Formula III
memiliki daya menyebar yang paling besar
1459

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

kemungkinan karena pada formula III madu


hitam yang ditambahkan lebih besar dari
formula lainnya sehingga sediaan formula III
lebih cair. Penurunan daya sebar terjadi
melalui meningkatnya ukuran unit molekul
karena telah terabsorsi pelarut sehingga cairan
tersebt tertahan dan menigkatkan tahanan
untuk mengalir dan menyebar (Martin et
al,1993).

formulasi 1 memiliki akivitas daya


hambat terhadap bakteri Staphylococcus
aureus sebesar 18,83 mm dan terhadap
bakteri Propionibacterium acne sebesar
17,82 mm..
6. REFERENSI
Butler, H. 2000. Poachers Perfumes, cosmetics
and Soap 10th Edition. London: Kluwer
Academic Publishers.
Djajadisastra, Joshita. 2004. Seminar Setengah
Hari HIKI. Jakarta : Cosmetic Stability
Martin, A., Swarbick, J., dan Cammarata, A. 1993.
Farmasi Fisik : Dasar-Dasar Farmasi Fisik
Dalam Ilmu Farmasetik Edisi Ketiga
Penerjemah Yoshita. Jakarta : UI Press.
Morris, K. 1993. Depilatories Mask Scrubs and
Bleaching Preparation, Pauchers Perfumes
Cosmetics and Soaps Hieda Butler. London.
Pertiwi, Putri Laras. 2012. Formulasi Gel Masker
Peel Off Bongkahan Gambir (Uncaria gambir
Roxb.) dengan Basis Kitosan dan Polivinil
alkohol (PVA). Skripsi Terpublikasi. Jakarta :
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayahtullah Jakarta.
Purbaya, J Rio. 2007. Mengenal Madu Alami.
Bandung: Pionir Jaya.Rahmat,1995
Rinawati, Bernadetha. 2014. Formula gel anti
jerawat dari serbuk buah pepaya muda (Carica
Papaya L.) dan uji daya hambat terhadap
bakteri Staphylococcus aureus. Skripsi.
Palembang : STIFI Bhakti Pertiwi Palembang.
Salampessy, Zulhaima Rezna. 2013. Uji Aktivitas
Antibakteri Getah Pepaya (Carica papaya L.)
Terhadap Bakteri Uji Yang Diisolasi Dari
Jerawat. Skripsi Terpublikasi. Jakarta : Fakultas
Farmasi Universitas Pancasila Jakarta.
Susanti, Sinta. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri dari
Madu Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus.
Karya Tulis Ilmiah Terpublikasi. Bandung :
Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.
Slavtcheff, C.S. 2000. Komposis Kosmetik Untuk
Masker Kulit Muka. Indonesia : Petent
2000/0004913.
Vieira, Rafael Pinto, et al. 2009. Physical and
Physicochemical Stabilyty Evaluation of
Cosmetic Formulations Containg Soybean
Extract Fermented by Bifidobacterium Animals.
Brazil Journal of Pharmaceutical Sciences.
Voight, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi
Farmasi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
Wasitaatmadja, S.M. 1997. Penuntun Ilmu
Kosmetik Medik. Jakarta: Penerbit UI-Press.
Wulansari, Sri Dewi. 2014. Formulasi Masker Gel
Peel Off Ekstrak Kunyit Putih (Curcuma
Valeton & Zijp ). Skripsi Terpublikasi. Palu :
Universitas Tadulako Palu.

Pengujian lama waktu mngering


dilakukan dengan mengoleskan 0,1 gram
sediaan gel pada 2,5x2,5 cm di kulit lengan
tangan dan dibiarkan hingga mengering dan
dapat dikelupas. Waktu kering sediaan dari
keempat formula masker peel off berkisar
antara 25 menit hingga 28 menit . Formula
yang tidak mengandung zat aktif (FIV)
memiliki waktu kering yang lebih cepat
dibandingkan ketiga formula lainnya yang
mengandung zat aktif, waktu mengering
formula yang tidak mengandung zat aktif ( FIV
) selama 25 menit 6 detik. Dari data yang
diperoleh keempat formula masker peel off
masih memenuhi waktu mengering gel masker
peel off yang baik yaitu antara 15-30 menit
(Vieira, 2009).
Dari hasil anova terlihat tidk ada
perbedaan yang nyata antara setiap formula,
hanya saja dari hasil cycling test didapatkan
formula yang paling stabil adalah formula 1.
Dari pengujian aktivitas antibakteri,
sediaan yang menghasilkan daya hambat
paling baik terhadap bakteri Staphylococcus
aureus adalah sediaan formula I, sedangkan
sediaan yang menghasilkan daya hambat
paling
baik
terhadap
bakteri
Propionibacterium acne
adalah sediaan
formula II, tetapi hasil nya tidak terlalu
berbeda dari Formula I.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dan analisa data yang
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1.

2.

Serbuk
getah
pepaya
yang
dikombinasikan dengan madu hitam dapat
diformulasikan menjadi sediaan masker
peel off dan memiliki stabilitas fisik yang
baik.
Formulasi masker peel off serbuk getah
buah pepaya dan madu hitam pada

1460

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

Isolasi dan Uji Aktivitas Senyawa Aktif Antihiperurikemia dari TumbuhanSida


rhombifolia.
Andita Utami 1)dan Roekmi-ati Tjokronegoro2)
1

Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Jambi


email : andita.utami@gmail.com
2
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran
Abstrak
Sidagori (Sida rhombifolia) merupakan jenis tanaman obatyang memiliki khasiat utama menyembuhkan
penyakit asam urat. Obat asam urat dari tumbuhan S. rhombifolia sudah umum digunakan berupa teh herbal,
namun tidak ada keterangan yang lengkap seperti dosis pemakaian dan lama penggunaan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengisolasi senyawa aktif antihiperurikemia dan mengetahui adanya pengaruh senyawa aktif
terhadap penurunan kadar asam urat secara in-vivo. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi isolasi senyawa
aktif menggunakan metode ekstraksi dan kromatografi mengikuti penelitian sebelumnya, selanjutnya dilakukan
uji aktivitas farmakologis terhadap senyawa aktif secara in-vivo menggunakan mencit sebagai hewan
percobaan. Mencit dibagi atas kelompok kontrol, kelompok pembanding dan kelompok uji. Pada kelompok
kontrol, mencit diberi suspensi kalium oksonat dengan dosis 350mg/kg kemudian dibiarkan selama satu jam lalu
diberi suspensi PGA 2%. Satu jam kemudian darah mencit diambil dengan cara memotong ekornya dan kadar
asam urat diukur menggunakan alat pengukur asam urat UA Sure. Sedangkan untuk kelompok uji, setelah
pemberian kalium oksonat, mencit diberi suspensi senyawa aktif antihiperurikemia dengan dosis 75mg/kg dan
150mg/kg secara oral, begitu pula kelompok pembanding yang diberikan suspensi allopurinol dosis 5mg/kg,
yang selanjutnya diperlakukan sama seperti kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh
pemberian senyawa aktif terhadap penurunan kadar asam urat secara in-vivo.
Kata Kunci: Antihiperurikemia, Sida rhombifolia, asam urat
Abstract
Sida Rhombifolia L. is one type of medicinal plants which has main benefit to heal the illness called gout.
Hyperuricemic drug from S. rhombifolia is commonly used as herbal tea, but the dose and limitation of usage
have not been reported. This research aims to determine the effect of the active antihyperuricemia compounds
on the decrease of uric acid level in vivo. The stages of the research consisted of the isolation of the active
compound using the extraction and chromatography methods as has been done by previous researched before,
followed by the tests of pharmacological activity of active compound in vivo using mice as experimental
animals. Mice were divided into control group, test group and compared group, each group consisted of 3
mices. In the control group, mice were given potassium oxonate dose 350mg/kg suspense orally, left for an hour
and then given a suspense of 2% PGA. One hour later, mice blood was collected by cut the mices tail and uric
acid levels were measured using UA Sure tool. As for the test group, after potassium oxonate were given, then
mice were given active compound dose 75mg/kg and 150mg/kg orally in the form of suspense, as a compared
group were given allopurinol dose 5mg/kg, then treated the same as the control group. The results showed there
were an effect of the active compound on the decrease of uric acid level in vivo.
Keywords: Antihyperuricemia, Sida rhombifolia, Uric Acid

mg/dL pada wanita dan 2 - 7,3 mg/dL pada


pria. Pada keadaan yang normal, asam urat ini
akan dikeluarkan dalam tubuh melalui feses
(kotoran) dan urin, tetapi bila ginjal tidak
mampu mengeluarkan asam urat yang ada
maka kadarnya akan meningkat dalam darah.
Hal lain yang dapat meningkatkan kadar asam
urat adalah bila terlalu banyak mengkonsumsi
bahan makanan yang mengandung kadar
karbohidrat dan protein tinggi dan minuman
yang mengandung alkaloida turunan purin.

1. PENDAHULUAN
Asam urat merupakan senyawa yang
terdapat di dalam tubuh manusia yang
merupakan sisa metabolisme zat purin. Secara
alamiah, purin terdapat dalam tubuh kita dan
dijumpai pada semua makanan dari sel hidup,
yakni makanan dari tanaman (sayur, buah,
kacang-kacangan) atau pun hewan (daging,
jeroan, ikan sarden). Asam urat diperlukan
dalam tubuh manusia, pada tubuh yang normal
mengandung kadar asam urat sebesar 2 - 5,7
1461

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Penumpukan asam urat menyebabkan


rasa nyeri pada persendian dan badan. Hal ini
disebabkan karena berlebihan asam urat
menyebabkan terjadinya pengkristalan pada
persendian dan pembuluh kapiler darah. Bila
ini dibiarkan terus menerus akan menyebabkan
cairan getah bening yang berfungsi sebagai
pelincir tidak berfungsi, sehingga persendian
tidak dapat digerakkan dan terjadi benjolan
pada persendian yang dinamakan penyakit
gout (Jo, 2007).
Kebanyakan obat asam urat bekerja
untuk menginhibisi kerja enzim ksantin
oksidase sehingga asam urat tidak terbentuk
lagi dan kelebihan asam urat akan dikeluarkan
secara berangsur-angsur melalui urine. Dengan
demikian penyembuhan berjalan lambat
terlebih jika asam urat sudah mengendap pada
sendi-sendi sehingga terjadi pembengkakan
dan dalam kasus ini asam urat sulit untuk
dikeluarkan(Gutirrez-Macias et al., 2005).
Allopurinol merupakan obat sintesis
yang sangat efektif dalam mengobati penyakit
gout, namun allopurinol dapat menyebabkan
efek samping yang berbahaya. Sebagai
alternatif maka digunakan obat-obatan
tradisional (Julian, 2008). Pengobatan
kelebihan asam urat dilakukan secara
tradisional oleh banyak penderita dengan
menggunakan berbagai macam tumbuhan.
Salah satunya adalah tumbuhan S. rhombifolia
yang biasanya dikenal sebagai tumbuhan
sidagori merupakan salah satu jenis tumbuhan
obat dari keluarga Malvaceae. Salah satu
khasiat
utamanya
adalah
untuk
menyembuhkan penyakit asam urat yang
sering diderita baik pria maupun wanita di atas
usia tiga puluh tahun (Yasuda et al., 200).
Berdasarkan pengalaman empiris,
rebusan akar S. rhombifolia dapat digunakan
untuk menurunkan kadar asam urat dalam
darah dengan cara diambil 7 akar kemudian
direbus dalam 5 gelas air sampai tersisa 3
gelas, menurunkan kadar asam urat dalam
darah 8 mg/dL menjadi 6mg/dL dan pada hari
ketiga asam urat menjadi 3 mg/dL (Asta,
2005).
Mengingat aktivitas rebusan akar S.
rhombifolia yang tinggi terhadap penurunan
kadar asam urat, ada kemungkinan yang
memberikan aktivitas tersebut merupakan
komponen utama. Sebelumnya, isolasi
komponen utama telah dilakukan terhadap
senyawa aktif yang diketahui sebagai
benzofenon glikosida yang beraktivitas

antihiperurikemia. Benzofenon glikosida dari


tanaman S. rhombifolia dengan konsentrasi 9,7
mg/dL dapat menurunkan kadar asam urat dari
9.7 mg/dL menjadi 4.4mg/dL (Tjokronegoro
dkk., in press). Untuk itu pada penelitian ini
dilakukan isolasi ulang senyawa aktif
antihiperurikemia tersebut, kemudian diuji
aktivitas farmakologisnya secara in vivo.
Di dalam persyaratan langkah
pembuatan obat dibutuhkan uji farmakologis,
baik itu secara in vitro maupun secara in vivo.
Perlu dilakukan pengujian secara in vivo untuk
mengetahui pengaruh senyawa aktif terhadap
penurunan kadar asam urat di dalam tubuh
manusia. Uji farmakologis secara in vivo ini
menggunakan
mencit
sebagai
hewan
percobaan dengan asumsi semua jaringan, selsel penyusun tubuh, serta enzim-enzim yang
ada pada tubuh hewan tersebut memiliki
kesamaan dengan manusia.
2. METODE PENELITIAN
Bahan Penelitian
Bahan
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
senyawa
aktif
antihiperurikemia yang diisolasi dari tumbuhan
S. rhombifolia L. Untuk uji farmakologiss
senyawa aktif terhadap penurunan kadar asam
urat secara in vivo digunakan hewan uji yaitu
mencit jantan (Mus muculus) galur Swiss.
Bahan Kimia
Bahan kimia yang digunakan untuk
ekstraksi dan isolasi adalah air suling, butanol,
etil asetat, n-heksan, kloroform, metanol, silika
gel GF254 untuk kromatografi lapis tipis (KLT)
dan silika gel G60(70230 mesh). Bahan kimia
yang digunakan untuk uji farmakologiss secara
in vivo adalah obat allopurinol, alkohol 70%,
kalium oksonat dan PGA (Pulvis Gummi
Arabici) 2%.
Alat
Alat-alat yang akan digunakan untuk
isolasi senyawa aktif meliputi berbagai alat
gelas yang umum digunakan di laboratorium
Kimia Analitik. Selain itu juga digunakan
peralatan pendukung lainnya seperti alat
distilasi, alat maserasi, alat kromatografi,
rotary evaporator dan corong pisah. Untuk
keperluan uji aktivitas farmakologis senyawa
aktif antihiperurikemia terhadap penurunan
kadar asam urat secara in vivo digunakan
kandang hewan uji dan perlengkapannya,
1462

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

didiamkan selama 1 hari. Ekstrak aseton yang


dihasilkan lalu dikristalisasi untuk memperoleh
kristal murni senyawa aktif antihiperurikemia.

mortir, spuit injeksi 1 mL, spuit oral,

timbangan analitis, alat pengukur asam


urat UA Sure beserta test strip yang
diproduksi oleh Apexbio.

Uji Aktivitas Farmakologiss secara In-Vivo


Pengujian ini dilakukan dengan
menggunakan
mencit
sebagai
hewan
percobaan yang dikelompokkan menjadi
kelompok kontrol, kelompok pembanding dan
kelompok uji, masing-masing kelompok terdiri
dari 3 ekor tikus. Sebelum percoabaan
dilakukan, mencit dipuasakan terlebih dahulu
selama 6 jam tetapi masih diberi air minum ad
libitum. Perlakuan tiap-tiap kelompok adalah
sebagai berikut:
Kelompok kontrol
mencit diberikan senyawa penginduksi asam
urat berupa suspensi kalium oksonat secara
intraperitoneal. Satu jam kemudian, mencit
diberikan senyawa pembawa oral berupa
suspensi PGA 2 %. Dua jam setelah diberikan
suspensi kalium oksonat, darah mencit diambil
dengan cara memotong bagian ekornya.
Kemudian
kadar
asam
urat
diukur
menggunakan alat UA Sure.
Kelompok pembanding
mencit diberikan senyawa penginduksi asam
urat berupa suspensi kalium oksonat secara
intraperitoneal. Satu jam kemudian, mencit
diberikan suspensi obat allopurinol secara oral.
Dua jam setelah diberikan suspensi kalium
oksonat, darah mencit diambil dengan cara
memotong bagian ekornya. Kemudian kadar
asam urat diukur menggunakan alat UA Sure.
Kelompok uji
mencit diberikan senyawa penginduksi asam
urat berupa suspensi kalium oksonat secara
intraperitoneal. Satu jam kemudian, mencit
diberikan
suspensi
senyawa
aktif
antihiperurikemia secara oral. Dua jam setelah
pemberian suspensi kalium oksonat, darah
mencit diambil dengan cara memotong bagian
ekornya. Kemudian kadar asam urat diukur
menggunakan alat UA Sure.

Tahapan Ekstraksi dan Fraksionasi


Bagian akar tanaman S. rhombifolia dicuci,
dikeringkan, kemudian dihaluskan sampai
menjadi serbuk. Serbuk akar sebanyak 2 kg
dimaserasi menggunakan pelarut metanol
95%. Ekstrak metanol dipekatkan pada
tekanan rendah menggunakan alat rotary
evaporator pada suhu 40C hingga diperoleh
ekstrak pekat. Ekstrak dilarutkan dengan
campuran pelarut air dengan kandungan
metanol 10% dan dipartisi dengan dua pelarut
yang tidak bercampur. Ekstrak metanol-air
diekstraksi dalam corong pisah menggunakan
pelarut n-heksana dengan perbandingan nheksana dan metanol-air (3:1). Fraksi nheksana dikumpulkan, sedangkan fraksi
metanol-air kembali dipartisi menggunakan
perbandingan pelarut etil asetat dan metanolair (3:1), sampai senyawa yang larut dalam etil
asetat habis. Fraksi metanol-air kemudian
dipartisi dengan n-butanol (3:1) sampai
senyawa yang larut dalam n-butanol habis,
yang diuji dengan KLT. Fraksi n-butanol
dipekatkan
menggunakan
alat
rotary
evaporator, lalu beratnya ditimbang.
Tahapan Isolasi dan Pemurnian
Pemisahan fraksi n-butanol sebanyak
3,5g
dilakukan
dengan
menggunakan
kromatografi kolom menggunakan pelarut
kloroform-metanol sebagai eluen secara
bergradien. Kecepatan elusi yang digunakan 4
menit/10mL. Kemudian fraksi-fraksi yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLT). Fraksi terberat
kembali
dipisahkan
dengan
kolom
kromatografi terbuka menggunakan eluen
kloroform-metanol-n-heksana dengan perbandingan 5:1:1, digunakan kecepatan alir 8
menit/10mL. Kemudian fraksi-fraksi yang
diperoleh lalu dianalisis dengan menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLT). Fraksi terberat
kemudian
dipisahkan
dengan
metode
kromatografi lapis tipis preparatif menggunakan silika gel GF254 (20x20) cm dengan
ketebalan 1mm, dielusi dengan perbandingan
pelarut kloroform-metanol 6 : 1. Pola noda
yang diinginkan kemudian dipisahkan lalu
diekstraksi menggunakan pelarut aseton dan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi dan Fraksionasi


Serbuk
akar
S.
rhombifolia
dikeringkan di udara terbuka yang bertujuan
agar dapat memecahkan dinding-dinding sel
pada tanaman sehingga senyawa-senyawa
yang terkandung di dalam tanaman sidagori
dapat lebih mudah terekstraksi. Hasil maserasi
disaring dan dipekatkan menggunakan rotary
1463

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

evaporator pada suhu 40C dan tekanan


rendah hingga diperoleh ekstrak pekat metanol
sebanyak 118 g. Ekstrak pekat metanol
kemudian dilarutkan dengan pelarut air dan
dipartisi dengan dua pelarut yang tidak
bercampur. Ekstrak metanol-air berturut-turut
diekstraksi dalam corong pisah menggunakan
pelarut n-heksana, etil asetat dan n-butanol.
Penggunaan metode partisi dengan berbagai
pelarut dengan tingkat kepolaran yang
berbeda-beda dalam isolasi senyawa bertujuan
untuk mengklasifikasikan senyawa-senyawa
berdasarkan tingkat kepolarannya (Harborne,
1987).

dengan kecepatan elusi 8 menit/10mL. Kemudian fraksi-fraksi yang diperoleh dianalisis


dengan menggunakan kromatografi lapis tipis
(KLT). Hasil analisis menggunakan KLT
diperoleh 3 fraksi gabungan yaitu B1 (100
mg), B2 (400 mg), B3(70mg), dengan profil
kromatogram sebagai berikut:

Isolasi dan Pemurnian Senyawa Aktif


Antihiperurikemia
Fraksi n-butanol menggunakan pelarut
bergradien
kloroform-metanol
dengan
perbandingan 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5 dan 100%
metanol dengan kecepatan elusi 4 menit/10mL.
Masing-masing tampungan kemudian dielusi
menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT)
dengan fasa diam silika gel GF254 untuk
mengetahui pola nodanya.. Fraksi-fraksi
dengan pola noda yang sama dikumpulkan
kemudian diuapkan pelarutnya menggunakan
rotary evaporator, diperoleh sebanyak 3 fraksi
yaitu fraksi A (0,21 g), fraksi B (1,24 g) dan
fraksi C (0,21 g), dengan profil kromatogram
sebagai berikut :

Gambar 2. Profil kromatografi lapis tipis


dengan fasa gerak kloroform-methanol-nheksana (5:1:1) dan penampak noda lampu UV
254 nm. Fraksi B1 (1-19), Fraksi B2 (20-70)
dan fraksi B3 (71-158).
Berdasarkan
kromatogram
KLT,
dipilih fraksi B2 untuk dipisahkan kembali
dengan metode kromatografi lapis tipis
preparatif menggunakan silika gel GF254 (20 x
20) cm dengan ketebalan 1 mm. Sebelumnya
dilakukan elusi dengan kromatografi lapis tipis
(KLT) menggunakan fasa diam silika gel GF254
dengan ukuran lebih kecil yaitu 6 x 3 cmuntuk
mengetahui mengetahui komposisi pelarut
yang dapat dengan baik memisahkan senyawa
aktif antihiperurikemia dari pengotor-pengotor
yang tidak diinginkan, serta dijadikan profil/
acuan saat kromatografi lapis tipis pada plat
yang lebih besar. Dari percobaan diperoleh
pelarut kloroform-metanol (6:1) yang dapat
memisahkan pola noda senyawa aktif anti
hiperurikemia dengan pola noda lainnya yang
dianggap sebagai pengotor.
Selanjutnya dilakukan kromatografi
lapis tipis preparatif dengan ukuran yang lebih
besar yaitu 20x20 cm menggunakan pelarut
kloroform-metanol (6:1) pada fraksi B2. Hasil
pemisahan dari kromatografi lapis tipis preparatif menunjukkan hasil yang baik, sehingga
senyawa target mudah diperoleh. Noda dari
senyawa target dipisahkan, kemudian diekstraksi menggunakan pelarut aseton dan didiamkan selama 1 hari agar proses ekstraksi oleh
aseton berlangsung maksimal. Ekstrak aseton
kemudian dipekatkan dan dikristalisasi sehing-

Gambar 1. Profil kromatografi lapis tipis (silika gel


60
GF254)
dengan
fasa
gerak
kloroform:methanol(8:2) penampak noda lampu
UV 254 nm. Fraksi A (1-45), Fraksi B (46-90),
fraksi C (91-95).

Fraksi B dipilih untuk dilakukan


pemisahan selanjutnya berdasarkan pada noda
mayor yang dihasilkan dari kromatogram
KLT. Fraksi B dipisahkan dengan menggunakan kolom kromatografi terbukamenggunakan
eluen kloroform-metanol-n-heksana (5:1:1)
1464

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ga menghasilkan isolat murni senyawa aktif


antihiperurikemia.

memberikan aktivitas penurunan kadar asam


urat yang jauh lebih besar. Penggunaan
allopurinol ini biasanya pada rentang waktu
yang cukup lama dan memberikan efek
samping yang paling fatal yaitu kerusakan hati.
Untuk itulah digunakan obat-obatan tradisional
yang memiliki efek samping lebih sedikit dan
mengandung senyawa aktif antihiperurikemia
yang selanjutnya diisolasi serta diuji
aktivitasnya. Senyawa aktif antihiperurikemia
yang ditemukan ini bisa dijadikan acuan untuk
penemuan obat baru.

Uji Aktivitas Farmakologis secara In-Vivo


Penelitian ini bertujuan untuk melihat
adanya pengaruh pemberian senyawa aktif
dengan dosis 75 mg/kg dan 150 mg/kg
terhadap penurunan kadar asam urat yang diuji
secara in vivo. Penurunan kadar asam urat
tersebut
dapat
diketahui
dengan
membandingkan kadar asam urat pada mencit
yang
diberikan
senyawa
aktif
antihiperurikemia dengan kadar asam urat
pada
mencit
yang
diberi
perlakuan
hiperurikemia. Selain itu digunakan pula obat
allopurinol sebagai pembanding.
Mencit yang telah dibagi menjadi 3
kelompok, dibuat hiperurikemia lalu sejam
setelahnya diberikan suspensi PGA 2% pada
kelompok kontrol, senyawa aktif dengan dosis
75 mg/kg dan 150 mg/kg untuk kelompok uji,
serta diberikan juga obat allopurinol pada
kelompok pembanding. Digunakan obat
allopurinol karena allopurinol merupakan obat
modern yang umum digunakan untuk
pengobatan asam urat. Dua jam setelah
pemberian kalium oksonat, kadar asam urat
pada mencit putih diukur menggunakan alat
pengukur asam urat UA Sure. Alat semacam
ini dapat diterapkan dalam penentuan kadar
asam urat mencit melalui sampel darah dari
ekornya. Hasil analisis kadar asam urat mencit
putih ditunjukkan pada grafik batang berikut
ini.
8
6
4

4. KESIMPULAN
Dari penelitian ini diketahui adanya
senyawa aktif yang berperan dalam penurunan
kadar asam urat yang diisolasi dari tumbuhan
S. rhombifolia. Senyawa aktif dengan dosis 75
mg/kg memberikan penurunan kadar asam
urat sebesar 27 %, sedangkan senyawa aktif
dengan dosis 150 mg/kg memberikan
penurunan kadar asam urat sebesar 36% dalam
3 hari masa percobaan.
5. REFERENSI
Asta, R. 2005. Isolasi Komponen Utama dari
Fraksi
Butanol
Akar
Sidagori
(Sida
rhombifolia) dan penentuan Pendahuluan
Farmakologinya Sebagai Anti asam Urat dan
Anti Bakteri. UNPAD.
Gutirrez-Macaz, A., A. Lizarralde-Palacioz, P.
Martnez-Odriozola & F.M. De La Villa. 2005.
Fatal Allopurinol Hypersensitivity Syndrome
After Treatment of Asymptomatic Hyperuricemia. http://bmj.com/cgi /content/full/331/7517/
623.
Jo, J. 2007. Gout dan Asam Urat. Fakultas
Kedokteran
UGM.
Yogyakarta.
http://www.depkes.go id.
Julian, A. 2014. Allopurinol. http://www.dechacare.
com/Allopurinol-P630.html.
Tjokronegoro, R., R. Asta, A. Subarnas & D.
Kurniawan in press. Isolasi dan Struktur
Elusidasi Senyawa Aktif Anti Asam Urat dalam
Akar Sidagori (Sida rhombifolis). Jurusan
Kimia. FMIPA UNPAD.
Yasuda, T., T. Yoshida, E. Ahmed, H. Mano, K.
Yano, S. Takumi, W. Miki, M. Yoichi, T. Miki
& S. Toshiyuki. 2008. Anti-Gout Agent
Allopurinol Exerts Cytotoxicity to Human
Hormone-Refractory Prostate Cancer Cells in
Combination with Tumor Necrosis Factor
Related Apoptosis-Inducing Ligand. American
Association for Cancer Research. 10: 15417786.

Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3

2
0
kelompok kelompok Kelompok Kelompok
Kontrol Allopurinol Uji Dosis Uji Dosis
75mg/kg 150mg/kg

Gambar 3. Diagram batang penurunan kadar


asam urat secara in vivo

Dari diagram batang terlihat jelas


adanya perbedaan terhadap penurunan kadar
asam urat pada pemberian senyawa aktif
antihiperurikemia
dengan
pemberian
allopurinol.. Kadar asam urat setelah
pemberian allopurinol yang tidak dapat terbaca
oleh alat UA Sure, diasumsikan memiliki kadar
asam urat di bawah 3 mg/dL, dalam hal ini
1465

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

Pengaruh Pemberian Sari Daun Cincau (Premna oblongiofolia Merr )


terhadap kadar Trigliserida dan Malonaldialdehida ( MDA)
Tikus Hiperlipidemia (Rattus norvegicus )
Anna Roosdiana1), Dyah Ayu Oktavianie2), 2Fadillah Asyiah Rahmatina2) , Eka Nora Vitaloka 2)
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Brawijaya 1)
aroos@ub.ac.id
Program Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya 2)
Abstract
Hyperlipidemia is the increase of blood lipid level consists of lipoprotein (cholesterol and triglyceride) followed
by the increase of MDA level. Grass Jelly leaves (Premna oblongiofolia Merr) contains flavonoid
,polyphenolic , alkaloid and saponin compounds which may lower cholesterol and triglyceride level. This
research aimed to investigate the potency of grass jelly leaves extract (Premna oblongifolia Merr) to prevent
hyperlipidemia which is indicated by Triglyceride and MDA level of rat induced with High-Fatty Diet (HFD.
This study was carried out using male rat (Rattus norvegicus), Wistar strain, the age of 8 weeks, and weight of
200g which was divided into 5 groups of treatment namely group Kn (negative control), Kp (positive control),
P1, P2, and P3 induced with HFD and grass jelly leaves extract at a dose of 5.27 g/ kg BW/ daily, 8.43 g/ kg
BW/ daily, 9.37 g/ kg BW/ daily. The grass jelly leaves extract was dissolved in water and delivered by sonde,
followed by HFD induction similarly with grass jelly extract, HFD composed of 1 g quail egg yolk; 2 g butter;
2 g cow fat. The triglyceride level
was measured
with Glycerol 3phosphate oxidase
PhenolAminophenazone(GPO-PAP, while MDA level was measured with Thiobarbituric Acid methode (TBA).
The data of triglyceride and MDA level were analyzed using ANOVA. This research showed that treatment of
grass jelly leaves extract (Premna oblongifolia Merr) can reduce 49.74 % of Triglyceride and 48.40% of MDA
level..The conclusion of this study was the grass jelly leaves extract was able to prevent the increase of
Triglyceride and MDA level rat (Rattus noervegicus) induced with HFD on dose 9.37 g/ kg/ BW/ daily.
Keywords: Grass Jelly leaves ,Hyperlipidemia , HFD, MDA, Triglyceride

merangsang VLDL di hepar yang dapat


merangsang peningkatan trigliserida, LDL, dan
penurunan HDL. Sedangkan diet lemak jenuh
dan makanan tinggi kolesterol dapat
mengaktifkan reseptor LDL yang dapat
meningkatkan LDL dan trigliserida[2]. Kadar
lemak darah yang tinggi akan disimpan
sebagian dalam jaringan adiposa dalam bentuk
trigliserida [3].
Diet tinggi lemak (terutama lemak
jenuh dan lemak trans) merupakan sumber
radikal bebas.. Kelebihan radikal bebas
tersebut dapat menyebabkan stres oksidatif
yaitu ketidak seimbangan antara radikal bebas
dan antioksidan . Stres oksidatif dapat memicu
reaksi peroksida lipid yang menghasilkan
malondialdehida (MDA).

1. PENDAHULUAN
Hiperlipidemia
merupakan
suatu
keadaan dimana kadar kolesterol atau
trigliserida yang tinggi di dalam darah
ditunjukkan oleh kadar LDL (Low Density
Lipoprotein )yang tinggi , tetapi kadar HDL
(High Density Lipoprotein) rendah di dalam
darah . Kadar kolesterol HDL plasma darah
tikus yang normal yaitu 35 mg/dL.
Sedangkan ambang batas normal LDL pada
tikus adalah 7-27,2mg/dl. Tikus memiliki
kadar kolesterol normal yaitu 10-54mg/dL[1].
Penyebab hiperlipidemia sangatlah
kompleks dan multifaktor, yaitu faktor genetik
(hiperlipidemia primer) dan lingkungan. Diet
tinggi lemak akan meningkatkan total asupan
energi dan meningkatkan kemungkinan
terjadinya hiperlipidemia dan berbagai
kelainan sistemik yang terkait dengan obesitas.
Pada hewan model yang diberikan diet tinggi
lemak dapat menginduksi retensi insulin,
hiperinsulinemia, dislipidemia dan obesitas.
Diet tinggi kalori yang diberikan dapat

Salah satu tumbuhan yang digunakan


sebagai
alternatif
pencegahan
dan
pengobatan hiperlipidemia yang aman dan
murah, serta memiliki khasiat untuk
menurunkan berat badan adalah daun
1466

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

meningkatkan kadar kolesterol terutama


kolesterol low density lipoprotein (LDL).
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah
karena disfungsi endotel menyebabkan LDL
lebih mudah masuk ke dinding pembuluh
darah. Keadaan stres oksidatif tersebut
menyebabkan LDL mudah masuk ke dinding
pembuluh darah. Stres oksidatif disebabkan
adanya peningkatan produksi reactive oxygen
species (ROS) sebagai akibat dari paparan
pakan diet tinggi lemak. Stres oksidatif
tersebut dapat memicu terjadinya reaksi
peroksidasi lipid yang menghasilkan MDA[8].
Cincau hijau (Premna oblongifolia
Merr)
adalah salah satu tanaman yang
mengandung serat. Sari dari daun cincau dapat
membentuk gel karena mengandung serat yang
dapat larut air. Kandungan dari serat larut air
salah satunya adalah polisakarida pektin.
Pektin merupakan salah satu jenis serat pangan
yang larut air dan mudah difermentasikan oleh
mikroflora usus besar. Karena kandungan
pektin tersebut, maka cincau hijau di anggap
sebagai sumber serat pangan yang baik. Serat
larut air jenis pektin mampu menurunkan
kadar kolesterol total dan LDL serum.
Penurunan kadar kolesterol dan trigliserida
oleh serat dilakukan dengan mengikat asam
lemak bebas serta kolesterol dalam bentuk
asam empedu di dalam saluran pencernaan dan
mengeluarkannya melalui feses. Serat juga
dapat difermentasikan dengan mudah oleh
mikroflora di dalam usus yang menghasilkan
asam asetat, propionat dan butirat yang dapat
menghambat sintesis kolesterol. Selain
mengandung serat cincau hijau juga memiliki
senyawa antioksidan salah satunya adalah
klorofil. Kadar klorofil yang tinggi dapat
menekan peningkatan kadar kolesterol total
dan trigliserida serum[4] Struktur klorofil yang
terdiri dari dua cincin kompleks porfirin dan
fitol. Fitol merupakan senyawa yang bersifat
hidrofobik
yang
dapat
menyebabkan
penurunan timbunan lemak dalam darah
sekaligus penyumbatan pembuluh darah[9].

cincau hijau (Premna oblongifolia merr)


yang diberikan dalam bentuk sari daun
cincau. Daun cincau hijau ini mengandung
alkaloid, saponin, flavonoid, klorofil,
karotenoid, alkaloid bisbenzylisoquinoline
yang
memiliki
efek
farmakologi.
Flavonoid merupakan senyawa yang
memiliki aktifitas antioksidan yang dapat
mempengaruhi beberapa reaksi yang tidak
diinginkan di dalam tubuh, misalnya
menghambat reaksi oksidasi, sebagai
pereduksi
radikal
hidroksil
dan
superhidroksil serta radikal peroksil.[4]
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui pengaruh pemberian sari daun
cincau terhadap kadar trigliserida dan
MDA dalam serum Tikus
(Rattus
norvegicus ) yang diiduksi dengan High
Fatty Diet(HFD)
2.KAJIAN
LITERATUR
PENGEMBANGAN HIPOTESIS

DAN

Lipid dari makanan, lipid yang


disintesis oleh hati dan jaringan adiposa, akan
dibawa oleh darah ke berbagai jaringan dan
organ tubuh untuk digunakan sebagai sumber
energi atau disimpan sebagai cadangan lemak.
Lipid akan disimpan sebagai trigliserol
(trigliserida) yang sebagian besar terdapat
dalam jaringan adiposa, dapat juga ditemukan
dalam otot rangka dan plasma [5].
Hewan yang diberi HFD (High Fatty
Diet) mengkatabolisme karbohidrat menjadi
monosakarida galaktosa dan fruktosa dan
disimpan sebagai glikogen di dalam hati. Pada
saat tubuh membutuhkan energi glikogen akan
dipecah menjadi glukosa,dilanjutkan dengan
glikolisis dan pembentukan asetil KoA. Asetil
KoA dari siklus krebs digunakan untuk
membentuk asam lemak bebas di sitosol [6].
Asam lemak dengan gliserol diesterifikasi
menghasilkan trigliserida [7]. Pemberian pakan
tinggi lemak dapat menyebabkan peningkatan
dari trigliserida. Peningkatan kadar trigliserida
dan kolesterol (lipoprotein) di dalam darah
menyebabkan
terjadinya
peningkatan
penyimpanan jaringan lemak. Lemak dalam
tubuh disimpan dalam bentuk trigliserida.
Trigliserida terakumulasi
menyebabkan
terjadinya hiperlipidemia.
Hiperlipidemia
kronis
dapat
menyebabkan disfungsi endotel. Pakan diet
tinggi lemak atau HFD yang diberikan dapat

2. METODE PENELITIAN
Bahan penelitian berupa daun cincau hijau
dibeli dari daerah Batu, Jawa Timur
Tikus (Rattus norvegicus)
berasal dari
Laboratorium Biosains, Universitas Brawijaya,
Malang strain Wistar sejumlah 20 ekor, jenis
kelamin jantan, berumur 8 minggu, berat
badan 200 gram dan penggunaan hewan model
1467

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

sudah mendapatkan sertifikat layak etik dari


Komisi Etik Penelitian (KEP) Universitas
Brawijaya.
Bahan kimia dan alat yang digunakan
Seperangkat alat gelas, Spektrofotometer UVVisible
Merk
Genesis,
sentrifuse
Thermoscientific Sorvall Biofuge Primo R,
pakan tikus standar pokhpand 511, kuning
telur puyuh, mentega, lemak sapi, lipase. 4aminoantipirin dan 4-klorofenol , peroksidase
Phosphate Buffer Saline (PBS), aquades, Asam
trikloroasetat (TCA) 4%, Asam klorida (HCl)
1 N, Natrium thiobarbiturat, Natrium klorida
(NaCl) fisiologis 0,9%, kloroform 10%,
standar MDA
Penelitian
ini
bersifat
eksperimental
menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) . Variabel bebas: dosis sari daun cincau
dan induksi HFD (high-fatty diet), Variabel
terikat : kadar MDA dan kadar trigliserida ,
sedangkan variabel kontrol
:jenis
kelamin, umur, berat badan tikus Rattus
norvegicus strain Wistar, suhu, lingkungan,
dan air minum

Darah diambil melalui ekor ( sebelum


perlakuan) dan jantung( akhir perlakuan).
Darah dimasukkan dalam tabung ependorf dan
diletakkan pada posisi miring dan dibiarkan
mengendap pada suhu kamar. Penetapan kadar
trigliserida menggunakan metoda GPOPAP(Glycerol
3phosphate
oxidase

PhenolAminophenazone) . Trigliserida akan


mengalami hidrolisis secara enzimatik dengan
lipase. Indikator yang digunakan adalah
quinonimin yang terbentuk dari hidrogen
peroksida , 4-aminoantipirin dan 4-klorofenol
dengan adanya pengaruh katalis peroksidase.
Serapan diukur pada 546nm
kurva standar MDA. Kurva standar MDA
dihasilkan berdasarkan persamaan regresi
antara absorbansi (y) dan konsentrasi MDA
(x).

Pengukuran Kadar MDA


Pengukuran kadar MDA dilakukan
dengan cara[10] : 100 L serum dimasukkan
dalam tabung microtube, ditambahkan 550 L
aquades dan dihomogenkan. ditambah 100 L
TCA 4%
dan dihomogenkan kembali.
Kemudian dilakukan penambahan 100 L HCl
1 N dan 100 L Na-Thiobarbiturat dan
dihomogenkan dengan vortex. Mulut tabung
mikro ditutup dengan aluminium foil dan
dipanaskan pada suhu 100oC selama 30 menit
dalam water bath. Setelah dingin, dilakukan
sentrifugasi dengan kecepatan 500 rpm selama
10 menit dan supernatannya dipindahkan ke
tabung mikrotube yang baru. Serapan sampel
diukur menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang maksimum (maks = 533
nm). Nilai serapan dikonversikan ke kadar
MDA menggunakan kurva baku. Kurva baku
dibuat dengan mengukur serapan larutan MDA
standar pada konsentrasi konsentrasi 1, 2, 3, 4,
5, 6, 7 dan 8 g/mL. Perlakuan larutan MDA
standar sama seperti pada saat mengukur
larutan sampel.

Persiapan Hewan Model Tikus (Rattus


norvegicus) Hiperlipidemia
Hewan model hiperlipidemia dibuat
dengan induksi HFD (high-fatty diet) yaitu diet
pakan diet lemak yang diberikan dengan
perbandingan 1 gram kuning telur puyuh : 2
gram mentega : 2 gram lemak sapi. HFD
diinduksikan dengan cara sonde dan diberikan
sebanyak 2,5 ml/tikus/ekor. Pembuatan HFD
dilakukan memanaskan lemak sapi bersama
mentega, mengambil suspensinya dengan
meninggalkan padatan dari lemak sapi.
Kemudian disaat kondisi lemak hangat-hangat
kuku dicampurkan dengan kuning telur puyuh
dan dimasukkan kedalam spuit 3 mL. Pakan
tinggi lemak diberikan dengan cara
menyondekan sebanyak 2,5 mL. Penentuan
volume yang diberikan mempertimbangkan
daya tampung atau volume lambung tikus,
yaitu maksimal 5 mL. Pemberian HFD
dilakukan dengan cara sonde lambung.
Penentuan kondisi hiperlipiemia pada hewan
model dilakukan menggunakan pengukuran tes
kadar kolesterol, trigliserida, LDL, dan HDL.
Induksi hiperlipidemia menggunakan HFD dan
sari daun cincau dilakukan selama 2 minggu.
Pemeriksaan kadar kolesterol total, LDL dan
Trigliserida satu minggu setelah perlakuan.
Pengukuran kadar Trigliserida dari Serum

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengukuran kadar trigliserida pada
serum tikus yang diberikan sari daun cincau
sebelum pemberian HFD selama 14 hari
ditampilkan pada Tabel 1 dan kadar MDA
pada Tabel 2
Tabel 1. Kadar trigliserida Tikus pada
kelompok perlakuan sari daun Cincau
1468

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Kelompok
Perlakuan
K(n)
K(p)
P1
P2
P3

cincau hijau (P1, P2, P3) dibandingkan dengan


kelompok kontrol negatif (Kn), tidak terdapat
perbedaan yang signifikan terlihat dengan
notasi yang sama.
Penurunan kadar trigliserida darah
pada kelompok perlakuan sari daun cincau
hijau dipengaruhi oleh kandungan serat dan
klorofil yang tekandung dalam daun cincau
hijau. Cincau hijau mengandung pektin yang
dapat mengikat lemak yang ada dalam saluran
pencernaan,
kemudian
mengeluarkannya
melalui feses . Cincau hijau juga mengandung
klorofil yang merupakan salah satu antioksidan
yang dapat menghambat oksidasi lipid daun
cincau hijau memiliki kadar klorofil relatif
tinggi yaitu 1184 ppm[11],. Klorofil juga
diduga mempengaruhi peningkatan enzim
lipoprotein lipase yang dapat berdampak pada
metabolisme lipoprotein yang kaya trigliserida.
Dengan
meningkatnya
enzim
tersebut
lipoprotein
VLDL
yang
mengangkut
trigliserida akan mengalami hidrolisis menjadi
asam lemak dan gliserol. Asam lemak yang
dibebaskan kemudian diserap oleh otot dan
jaringan lain yang dioksidasi untuk
menghasilkan energi dan oleh jaringan adiposa
disimpan sebagai cadangan energi .
Kadar MDA merupakan indikator terhadap
reaksi adanya radikal bebas yang diakibatkan
oleh peroksidasi lipid yang terjadi di dalam
tubuh (Tabel 2) . Tikus kelompok kontrol
negatif (Kn) memiliki rata-rata kadar MDA
terendah karena hanya diberikan pakan
standar, sehingga pembentukan ROS sedikit
dan tidak terjadi stress oksidatif. Kolesterol
dapat memicu terbentuknya radikal bebas di
dalam tubuh, akan tetapi jumlah radikal bebas
pada tikus kontrol negatif (Kn) tidak melebihi
jumlah antioksidan yang terdapat di dalam
tubuh tikus sehingga antioksidan dapat
menangkap radikal bebas dan menghambat
terjadinya peroksidasi lipid. Selain itu, radikal
bebas secara normal diproduksi oleh tubuh
dalam jumlah kecil yang merupakan akibat
dari hasil samping metabolisme sel yang
berlangsung selama respirasi sel dan
pencernaan. Radikal bebas diproduksi oleh
beberapa komponen penyusun sel tubuh seperti
mitokondria, membran plasma, lisosom,
reticulum endoplasma dan nukleus, sehingga
kadar MDA pada tikus kontrol negatif
merupakan termasuk rata-rata kadar MDA
yang normal dan dijadikan sebagai standar
terhadap kenaikan atau penurunan akibat
perlakuan.

Kadar Trigliserida ratarata(mg/dL)


a

80,75 16,68
b
143,2524,76
a
68,00 14,94
a
76,2515,02
a
72,0012,00

Keterangan: notasi berbeda menunjukkan


perbedaan yang signifikan (p < 0,05)

Tabel 2. Kadar MDA rata-rata


pada kelompok perlakuan
Kelompok

kadar MDA (g/ml) Ratarata

K(n)
K(p)
P1
P2
P3

0,4980,028a
0,9880,005d
0,8630,033c
0,5650,026b
0,5090,009a

Keterangan: notasi berbeda menunjukkan


perbedaan yang signifikan (p < 0,05)
Kadar trigliserida pada kelompok
kontrol negative K(n) dijadikan sebagai kadar
normal pada tikus model dan dapat dilihat
bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara
kontrol negatif (KN) dengan kontrol positif
(KP). Terjadi peningkatan secara signifikan
pada kelompok kontrol positif sebesar 77,4%
dari kelompok kontrol negatif, hal ini
menunjukkan bahwa dengan pemberian HFD
selama 14 hari pada tikus dapat meningkatkan
kadar trigliserida darah. Pemberian makanan
kaya lemak dapat memicu terjadinya
Hiperlipidemia dengan cara meningkatkan
aktifitas lipogenesis dan asam lemak bebas
sehingga asam lemak bebas di dalam jaringan
menjadi tinggi. Peningkatan asam lemak bebas
ini mengakibatkan peningkatan trigliserida [3]
Pada kelompok perlakuan sari daun
cincau (P1, P2, dan P3) terjadi penurunan
kadar trigliserida darah tikus model yang
signifikan jika dibandingkan dengan kontrol
positif. Kelompok perlakuan sari daun cincau
hijau 5,27 g/kg BB (P1) mengalami penurunan
kadar trigliserida darah sebesar 52,53% ,
perlakuan sari daun cincau hijau 8,438 g/kg
BB (P2) mengalami penurunan kadar
trigliserida darah sebesar 46,77% . Kelompok
perlakuan sari daun cincau hijau 9,375 g/kg
BB (P3) mengalami penurunan sebesar
49,74% . Kelompok perlakuan sari daun
1469

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Pada tikus kelompok kontrol positif (Kp)


memiliki rata-rata kadar MDA 0,4980,028
g/mL dengan rata-rata peningkatan kadar
MDA 49,5% dibandingkan dengan kelompok
kontrol negatif. Peningkatan kadar MDA pada
kelompok kontrol positif tikus yang diberi diet
lemak atau HFD yang dapat menyebabkan
kadar kolesterol di dalam darah meningkat dan
berbeda
nyata
dari
kondisi
normal.
Peningkatan ROS disebabkan oleh adanya
peningkatan sintesa asam empedu akibat dari
kelebihan kolesterol dan menyebabkan
peningkatan pembentukan radikal bebas.
Peningkatan ROS dapat menyebabkan
terjadinya stress oksidatif yang memicu
terjadinya reaksi peroksidasi lipid yang
menghasilkan
kenaikan
kadar
MDA.
Tingginya kadar kolesterol di dalam darah
tersebut dapat menyebakan disfungsi endotel.
Efek samping dari disfungsi endotel tersebut
berupa peningkatan permeabilitas pembuluh
darah sehingga LDL yang teroksidasi mudah
masuk ke dinding pembuluh darah dan terjadi
peningkatan ROS.
Penurunan kadar MDA kelompok
perlakuan 1 (P1) dibandingkan dengan
kelompok kontrol positif dengan pemberian
sari daun cincau hijau dosis 5,27 gram/ kg BB
selama 21 hari yaitu sebesar 12,6%.
Sedangkan kenaikan rata-rata kadar MDA
berbeda signifikan (p<0,05) dengan kontrol
negatif. Pemberian sari daun cincau hijau dosis
5,27 gram/ kg BB ini belum efektif untuk
menurunkan kadar MDA tikus hiperlipidemia
dikarenakan penurunannya tidak berbeda
signifikan (P>0,05) dengan kelompok kontrol
positif. Penurunan kadar trigliserida kelompok
P1 yang dibandingkan dengan kelompok
kontrol positif ini akan diikuti dengan
penurunan akumulasi lipid yang diikuti dengan
penurunan pembentukan radikal bebas dan
kondisi stress oksidatif,
peroksidasi lipid dan kadar MDA di dalam
tubuh.
Penurunan rata-rata kadar MDA
kelompok perlakuan 2 (P2) yang dibandingkan
dengan kelompok kontrol positif dengan
pemberian sari daun cincau hijau dosis 8,43
gram/ kg BB selama 21 hari yaitu sebesar
42,8%. Sedangkan kenaikan kadar MDA
berbeda signifikan (P<0,05) dari kontrol
negatif. Pemberian sari daun cincau hijau dosis
8,43 gram/ kg BB ini belum efektif untuk
menurunkan kadar MDA tikus hiperlipidemia
dikarenakan penurunannya tidak berbeda

signifikan (P>0,05) dengan kelompok kontrol


positif. Penurunan kadar MDA dikarenakan
kandungan klorofil, pektin dan saponin dari
sari daun cincau hijau dapat menurunkan
akumulasi lipid yang diikuti dengan penurunan
pembentukan radikal bebas sehingga tidak
terjadi kondisi stress oksidatif dan tidak
terdapat oksidasi lipid.
Kadar MDA pada tikus kelompok P3
yang dibandingkan dengan kelompok positif
mengalami penurunan sebesar
48,4%
dikarenakan oleh pemberian perlakuan sari
daun cincau hijau dengan dosis 9,37 gram/ kg
BB selama 21 hari. Sedangkan kenaikan kadar
MDA kelompok P3 berbeda signifikan
(P<0,05) dari kontrol positif.
Hal ini
menandakan bahwa perlakuan pemberian sari
daun cincau hijau sebanyak 9,37 gram/ kg BB
cukup efektif untuk menurunkan kadar MDA
yang ditunjukkan dengan kadar MDA
kelompok P3 yang tidak berbeda signifikan
(P>0,05) dengan kelompok kontrol negatif.
Dengan demikian pemberian sari daun cincau
hijau dengan dosis 9,37 gram/ kg BB efektif
dalam menurunkan kadar hiperlipidemia tikus
(Rattus norvegicus). Penurunan kadar MDA
tikus disebabkan oleh sari daun cincau hijau
mengandung serat larut air berupa pektin yang
dapat dengan mudah difermentasikan oleh
mikroflora usus besar yang menghasilkan asam
asetat, propionat dan butirat yang dapat
menghambat sintesis kolesterol. Penurunan
kadar kolesterol dan trigliserida oleh serat
dilakukan dengan mengikat asam lemak bebas
serta kolesterol dengan bantuan asam empedu
yang masuk melalui saluran hepatic duct yang
melewati pancreas kemudian masuk proksimal
duodenum yang letaknya berdekatan dengan
pylorus di dalam saluran pencernaan dan
mengeluarkannya melalui feses. Selain
mengandung serat cincau hijau juga
mengandung antioksidan salah satunya adalah
klorofil. Kadar klorofil yang tinggi dapat
menekan peningkatan kadar kolesterol total
dan trigliserida serum, dikarenakan klorofil
dapat menyumbangkan oksigen yang dapat
menetralkan radikal bebas dan menggagalkan
aktivitas dari radikal bebas sehingga tidak
terjadi stress oksidatif dan kerusakan membran
sel yang ditandai dengan penurunan kadar
MDA.
Stress oksidatif disebabkan adanya
peningkatan produksi reactive oxygen species
(ROS) sebagai akibat dari paparan pakan diet
tinggi lemak. Radikal bebas cenderung
1470

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

berikatan dengan senyawa lain untuk


membentuk senyawa yang stabil dan mampu
merusak makromolekul, seperti lipid membran
sel, DNA dan protein yang menyebabkan stres
oksidatif [12]. Stres oksidatif tersebut dapat
memicu terjadinya reaksi peroksidasi lipid.
Peroksidasi lipid pada membran sel yaitu
reaksi radikal bebas dengan PUFA dapat
menghasilkan MDA [13]
Peningkatan ROS disebabkan oleh
adanya peningkatan sintesa asam empedu
akibat dari kelebihan kolesterol dan
menyebabkan
peningkatan
pembentukan
radikal bebas. Hal tersebut dikarenakan
adiposit dan preadiposit yang diidentifikasikan
sebagai sumber sitokin proinflamasi, seperti
TNF-, IL-1, dan IL-6. Sitokin merupakan
stimulator untuk memproduksi ROS dan
nitrogen oleh makrofag dan monosit. Stress
oksidatif merupakan suatu keadaan oksidan
dan antioksidan yang tidak seimbang di dalam
tubuh, sehingga dapat memicu terjadinya
peroksidasi lipi. Peroksidasi lipid merupakan
reaksi berantai yang ditandai dengan proses
panambahan atom hidrogen oleh radikal
oksigen atau merupakan reaksi dari radikal
bebas dengan PUFA pada membran sel[13].
Secara luas stress oksidatif ditandai dengan
kadar MDA, sehingga kadar MDA digunakan
sebagai tanda biologis atau pengukuran stress
oksidatif yang terjadi di dalam tubuh . Hal ini
sesuai dengan peningkatan rata-rata kadar
MDA sebasar 48,4% pada kelompok kontrol
positif
subyek
hiperlipidemia
yang
menunjukkan adanya kerusakan oksidatif pada
lipid (LDL dioksidasi menjadi LDLox).
Berdasarkan hasil rata-rata kadar MDA
kelompok P3 pemberian sari daun cincau hijau
dosis 9,37 gram/kg BB/hari menunjukkan
kadar MDA tidak berbeda signifikan (P>0,05)
dari kontrol negatif. Dosis tersebut merupakan
dosis yang cukup efektif menurunkan kadar
MDA secara signifikan. Hal tersebut
dikarenakan sari daun cincau mengandung
serat larut air berupa pektin yang dapat dengan
mudah difermentasikan oleh mikroflora usus
besar yang menghasilkan asam asetat,
propionat dan butirat yang dapat menghambat
sintesis kolesterol. Penurunan kadar kolesterol
dan trigliserida oleh serat dilakukan dengan
mengikat asam lemak bebas serta kolesterol
dalam bentuk asam empedu di dalam saluran
pencernaan dan mengeluarkannya melalui
feses. Selain mengandung serat cincau hijau
juga mengandung antioksidan salah satunya

adalah klorofil. Kadar klorofil yang tinggi


dapat menekan peningkatan kadar kolesterol
total dan trigliserida serum, dikarenakan
klorofil dapat menyumbangkan elektron
hidrogen yang dapat menetralkan radikal bebas
dan menggagalkan aktivitas dari radikal bebas
sehingga tidak terjadi stress oksidatif dan
kerusakan membran sel yang ditandai dengan
penurunan kadar MDA.
4. KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah :
Pemberian
sari
daun
Cincau(Premna
oblongifolia merr) dengan dosis 5,27 g/kg
BB tikus 1jam sebelum pemberian HFD dapat
mencegah kenaikan kadar Trigliserida dan
pada dosis 9,37 g/kg BB dapat mencegah
kenaikan kadar MDA
5. REFERENSI
1. Riesanti, Diajeng Galuh, Masdiana C Padaga
dan Herawati. 2012. Kadar HDL, Kadar LDL
dan Gambaran Histopatologi Aorta Pada Hewan
Model
Tikus
(Rattus
norvegicus)
Hiperkolesterolemia Dengan Terapi Ekstrak Air
Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra).
[Skripsi}.
Program
Kedokteran
Hewan
Universitas Brawijaya Malang
2. Frida Lorita Hafidasari Priyoto dan Heni
Fatmawati. 2012. Efek Quercetin Untuk
Menurunkan Kadar Trigliserida Dan Glukosa
Darah Pada Tikus Model Diet-Induced Obesity.
The Journal of Medical Plant Vol. 1, No. 5,
April 2012.
3. Julizar, Bahroelim B., Etti Y., Endrinaldi, Nasni
Y. 1997. Uji Efek Preventif Dan Kuratif Infusa
Daun Asam (Tamarindus indica. L) Terhadap
Obesitas Pada Tikus Yang Diberi Diet Kalori
Tinggi. Majalah Kedokteran Andalas Vol. 21,
No. 2, Juli Desember 1997.
4. Wahyu Budiono dan Aryu Candra. 2013.
Perbedaan Kolesterol Total dan Trigliserida
Sebelum dan Setelah Pemberian Sari Daun
Cincau Hijau (Premna oblongifolia Merr) Pada
Tikus Dislipidemia. Journal Of Nutrition
College, Volume , Nomor 1, Tahun 2013, hlm.
118-125
5. D. F. Coelho, L. O. Pereira-Lancha, D.S.
Chaves, D. Diwan, R. Ferraz, P.L. CamposFerraz, J.R. Poortmans and A.H. Lancha Junior.
2011. Effect of High-Fat Diets on Body
Composition, Lipid Metabolism and Insulin
Sensitivity, and the Role of Exercise on These
Parameters. Brazillian Journal of Medical and
Biological Research 44:966-972.
6. Almatsier, Sunita. 2002. Prinsip Dasar Ilmu
Gizi. PT Gramedia. Jakarta.

1471

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
7. Basciano, H., L. Federico and K. Adeli. 2005.
Fructose, insulin resistance and metabolic
dyslipidemia. Nutrition and Metabolism 2005,
2:5.
8. Fitria Adinda, Masdiana C. Padaga, Dyah
Kinasih Wuragil. 2014. Efek Terapi Water
Soluble Extract (WSE) Yogurt Susu Kambing
Terhadap Kadar Malondialdehida (MDA) dan
Histopatologi Aorta Tikus (Rattus norvegicus)
Model Hipertensi Induksi DOCA-Salt.[Skripsi].
Program Studi Kedokteran Hewan, Program
Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya.
Malang
9. Astirani, Ananda E. 2012. Pengaruh Pemberian
Sari Daun Cincau Hijau (Premna oblongifolia
Merr) Terhadap Kadat Kolesterol HDL dan
Kolesterol LDL Tikus SPRAGUE DAWLEY
Dislipidemia. [Skripsi]. Program Studi Ilmu
Gizi.
Fakultas
Kedokteran.
Universitas
Diponegoro. Semarang

10. Botsoglou N A, Fletouris D J, Papageorgiou G


E, Vassilopoulos V N, Mantis A J, Trakatellis A
G 1994 Rapid, sensitive and specific
thiobarbituric acid method for measuring lipid
peroxidation in animal tissue, food and feedstuff
samples. Agric Food Chem 42: 193137
11. Novelina,
Tuty
Anggraini
and
Rudi
Hermansyah,2015,Production
of
Liquid
Chlorophyll from The Leaves of Green Grass
Jelly (Premna oblongifolia Merr.), International
Journal on Advance Science engineering
Information Technology , 5,5:366-369
12. Valko, M., C. J. Rhodes, J. Moncol, M.
Izakovic and M. Mazur. 2006. Free radical,
mental and antioxidant in oxidative stress
induced cancer. J Chem-Biol Rusia 160:1-40.
13. Afonso V., R. Champy, D. Mitrovic, P. Collin
dan A. Lomri. 2007. Reactive Oxygen Species
and Superoxide Dismutases: Role in Joint
Disease. Joint Bone Spine 74:324-329.

1472

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

Pengembangan Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) Matakuliah Bahasa Inggris Kimia


Asmadi Muhammad Noer*
*Prodi Pendidikan Kimia, FKIP- Universitas Riau
Email: amnoer2011@gmail.com
Abstract
The English for Chemistry Course materials worksheet for chemistry education students- FKP- Riau
University aims at not only supporting student work study programs but aslso supporting their professional
Chemistry teacher candidates later on. So in order to increase of the mastery of content, this studunets
worksheet is developed and provided for them. Development of methods of teaching materials / course
worksheet (or also called LKM in Indonesia) is adopted the Plomps design which consists of three stages: the
initial study or sometimes called preliminary study (analysis of the needs and characteristics of learners),
product (prototype) and evaluation (validation product). After the prototype teaching materials forming which
is based on student needs and their characteristics, then the product is validated until the expert perceived
the product is fulfill the standard quality. The product is validated by instructional design specialist, expert
specialist content (chemical education) and English language experts. All of inputs and comments will be based
to formulated a new next protipe. In this stage of research report, the validation of product.protype conducted
just until self-evaluation or / first product evaluated.
Keywords: English for Chemistry, Courework-sheet (LKM), Self-Evaluation.
Abstrak
Matakuliah bahasa Inggris Kimia merupakan matakuliah pendukung berkarya yang menunjang profesional
mahasiswa prodi kimia atau calon guru Kimia dalam rangka peningkatan penguasaan konten/isi (ilmu kimia).
Metode Pengembangan bahan ajar/matakuliah (atau disebut juga LKM) ini mengikuti desain Plomp dimana
terdiri dari tiga tahap yaitu penelitian awal (analisis kebutuhan dan karakteristik peserta didik), Produk
(prototype) dan Evaluasi (validasi produk). Sesetelah terbentuk prototype bahan ajar yang memperhatikan
analisis kebutuhan dan karakteristik mahasiswa, maka dilakukan validasi produk dengan meminta para pakar
bidang pembelajaran ( instruksional desain specialist), pakar konten specialist (pendidikan kimia) dan pakar
bahasa Inggris. Semua masukan dan perbaikan diakomodasi setelah sebelumnya dilakukan dilakukan validasi
self-evaluation terhadap dari prosuk asal/protype pertama kali dihasilkan.
Kata kunci: Matakuliah-Bahasa Inggris Kimia, Lembar Kerja Mahasiswa, Evaluasisendiri.

mempelajari bahasa Inggris tidak hanya untuk


kemudahan, prestise (menaikan gengsi) tetapi
sekaligus
bahasa
Inggris
merupakan
kebutuhan, dimana bahasa Inggris adalah
kunci perkembangan ilmu -teknologi dan
perdagangan. Pebisnis yang ingin menjual
produk, mekanik yang ingin baca petunjuk
manual, dokter/doktor yang membutuhkan
pengembangan karir dibidang masing-masing
dan
seluruh
pelajar/mahasiswa
yang
membutuhkan bacaan (bahan kuliah) dan
jurnal yang tersedia didominasi dalam bahasa
Inggris.
Sejalan dengan pernyataan pada
paragraf di atas, Jalal (2008) menyatakan
bahwa kualitas pendidikan Indonesia tidak
dapat ditingkatkan apabila para lulusan
Perguruan Tinggi Indonesia tidak mampu
bersaing dalam dunia kerja. Perguruan Tinggi
harus membekali lulusannya untuk memenuhi
tuntutan kualifikasi memasuki lapangan kerja.
Lulusan harus dipersiapkan secara profesional,

I. 1.PENDAHULUAN
Bahasa Inggris telah menjadi bahasa
global dunia dengan jumlah negara pengguna
sebagai bahasa resmi
menduduki urutan
pertama sebagai bahasa internasional, 140
negara sekitar 341 juta orang penutur asli
(Basri, 2011). Basri menyatakan lebih jauh
bahwa bahasa Inggris untuk bidang studi nonEnglish dititikberatkan sebagai English for
Specific Purposes (ESP) yang diarahkan pada
pengembangan kompetensi disiplin ilmu
mayor mahasiswa- seperti matakuliah Bahasa
Inggris Kimia pada program studi kimia-FKIP,
Universitas Riau. Hal senada disampaikan oleh
Seung-Lee (2010) dimana lima Universitas
besar di Korea-Selatan melakukan bilingual
pada pembelajaran
untuk persiapan
menghadapi era globalisasi.
Hutchinson and Waters (1987)
memberi alasan detail kenapa bahasa Inggris
menjadi begitu penting: Begitu banyak orang
1473

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

salah satu cara dengan membekali mereka


dengan ESP-Kimia (bahasa Inggris kimia)
untuk meningkatkan kompetensi.
Bahasa Inggris kimia merupakan
mata-kuliah wajib
prodi Kimia-FKIP
Universitas Riau. Berdasarkan Kurikulum
lama,
mata kuliah Bahasa Inggris Kimia
bertujuan membekali mahasiswa agar dapat
membaca-memahami buku teks. Sejak tahun
1999/2000 proses pembelajaran
yang
digunakan masih pendekatan konvesional
yaitu teacher-centered, serta men-translate
kata per kata dan menterjemahkan kalimat perkalimat. Hasil refleksi mengharapkan agar
mahasiswa terlibat dalam selama proses
pembelajaran
berlangsung.
Untuk
menjembatan agar mahasiwa berpartispasi
aktif, disediakanlah bahan ajar berupa hand
out
juga ditribusikan agar mahasiswa
terbantu. Namun usaha ini belum begitu
memperlihatkan hasil signifika, karena bahan
ajar/Lembar
Kerja
Mahasiswa
belum
dirancang sesuai dengan prosedur saintifik dan
analisis kebutuhan.
Disadari bahwa kebutuhan ESP Kimia
begitu penting untuk mahasiswa kimia/calon
guru Kimia, karena ESPKimia tak dapat
dipisahkan dan merupakan satu kesatuan. Satu
sisi, ESP Kimia merupakan isi (contents) dan
sisi lain adalah bahasa Inggris. Konsep, istilah,
simbol dan terminalogi dst. merupakan satu
kesatuan yang khas pada mata pelajaran
Kimia, sehingga ESP-kimia merupakan suatu
hal yang penting dikuasai dan dimiliki. Di
samping itu pesatnya perkembangan informasi
dan IPTEK yang berpuluh kali kecepatan atau
kecepatan manusia membaca (access) satu
buku,
maka untuk life-long learning
pengguasan kompetensi (skill) ESP oleh
peserta didik adalah sesuatu pilihan yang tepat.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Ansyar
(1998) bahwa peserta didik hendaklah dibekali
ketrampilan dasar (basic skills-5Rs):Reading,
Writing, Arithmetic (3Rs), Computer (4R) &
foreign language (5R). Namun karena
banyaknya
masalah
yang
ditemukan,
penguasaan ESP- masih menemukan banyak
kendala di lapangan.
Hasil identifikasi masalah yang terkait
dengan pembelajaran ESP kimia adalah
sebagai berikut: (1) bahan ESP-sangat padat
dan topik belum tersaji secara berurutan
(sequence); (2). mahasiswa masih cenderung
mengambil/merujuk buku-buku yang bukan
berbahasa Inggris untuk pembuatan tugas,

makalah, bahan seminar padahal mereka sudah


dibekali dengan ketrampilan ESP kimia. (3)
proses pembelajaran masih didominasi oleh
dosen/pengampu, (4) pelum semua mahasiswa
aktif dalam perkuliahan, mereka lebih dominan
mendengar, mencatat, dan (5) Kesulitan
mengelola kelas besar, rata-rata berisi 50
mahasiswa.
Setelah dilakukan analisis hasil belajar
dan proses belajar yang belum terlaksana,
maka tim pengajar perlu merancang Lembaran
Kerja Mahasiswa (LKM) yang mampu
mengaktifkan peserta didik (mahasiswa). Salah
satu strategi untuk mengaktifkan mahasiswa
yaitu
dengan
menggunakan
strategi
pendekatan belajar aktif, active learning (Dee
Fink, 1999; Silberman, 2006)
2.KAJIAN TEORI
Metode pengembangan LKM yang
digunakan merujuk kepada metode penelitian
Plomp (Desain Penelitian Plomp) yang dapat
dilihat pada tabel 1 berikut:
Khusus untuk desain/rancangan LKM dan
Pengembangan LKM-bahasa Inggris terdapat
pada poin 2 pada tabel 1.
Tabel 1.Design Research Model Plomp (2013)
No
1

1474

Tahap
Pengembangan
Penelitian
Pendahuluan
(Preliminary
Research)

Bentuk Kegiatan
yang dilakukan pada
Penelitian
Menganalisis
karakteristik instistusi
Menganalisis
karakteristik
Needs and
mahasiswa
context analysis
Menganalisis
instruksional mata
kuliah Bahasa Inggris
Kimia
Mengkaji
Review of
literatur/pustaka terkait
literature
dengan penelitian
Development of
conceptual or
Merancang kerangka
theoretical
konseptual untuk studi
framework for
pengembangan
the study

Tahap Prototipe
(Prototyping
Stage)Lembar Kerja
Mahasiswa

Desain
prototype

Kegiatan

Mendesain model
pembelajaran aktif
Melakukan uji
Formative
validitas prototype
evaluation
(expert validity)
Merevisi prototipe
Revision
berdasarkan hasil
formative evaluation
Tahap Penilaian
Melakukan uji
(Assesment
Summative
praktikalitas dan
Stage)
evaluation
efektifitas terhadap
prototype
Dokumentasi
Mendokumentasikan
dan Refleksi
Documentation dan menyempurnakaan
Sistematis
protipe

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
(Systematic
Reflection and
Documentation) Reflection

Melakukan Refleksi
terhadap
produk/protype akhir
berdasarkan hasil
penelitian

3.

4.

Prototipe LKM yang dihasilkan berdasarkan kajian pendahuluan, diperoleh model


LKM dengan sintak/tahapan sebagai berikut:
(1) orientasi, (2) pembentukan kelompok, (3)
penugasan kerja kelompok, (4) eksplorasi, (5)
presentasi materi, (6) pengecekan pemahaman
dan pendalaman materi, (7) refleksi dan
umpan balik, dan (8) evaluasi formatif

5.

3. METODE PENELITIAN

9.

6.

7.

8.

1. Model LKM berbasis aktif


Metode Penelitian dengan mengadopsi design
researh Plomp (lihat Bagan) dimana perekaan
model LKM memperhatikan dan mempertimbangkan (diperoleh Prototype LKM)
2. Prosedur Pengembangan
Prosedur pengembangan Lembar Kerja
Mahasiswa mengikuti beberapa tahap, dimana
tahap awal/disebut LKM prototipe awal
(pertama) dirancang oleh peneliti dengan
bimbingan pembimbing/promotor dilakukan
self-evaluation
mengenai
validitas,
praktikalitas dan effektivitas dari LKM
prototype 1 tersebut.
Selanjutnya LKM-Prototyp1 kemudian
dilakukan oleh Validator ahli (expert validator)
yang sesuai dengan kepakaran/keahlian yang
relevan. Validasi Konten/isi di validasi oleh
pakar bidang Ilmu Kimia(1 orang) dan pakar
ilmu Bahasa Inggis (1 Orang) dan satu (1)
orang dari
pakar Instruksional desain
(pembelajaran) serta oleh 1 orang praktisi (
dosen pengampu matakuliah sejenis). serta
respon oleh mahasiswa yang menggambil mata
kuliah. Sampai diperoleh produk final yang
telah memenuhi
pada tingkat validitas,
tingkat praktikalitas dan tingkat efektifitas
skore tinggi.( sesuai skala likert)
4.HASIL DAN PEMBAHASAN
a. HASIL

10.

11.

Aspek yang Dinilai

1.

Pertanyaan menggambarkan
kegiatan membaca teks bacaan
Bahasa Inggris Kimia
Pertanyaan menggambarkan
kegiatan Menunjukan arah/tujuan
bacaan. untuk ORIENTASI
bacaan Bahasa Inggris Kimia

2.

Penilaian secara umum


No

Uraian

Penilaian secara umum terhadap


instrumen penilaian validitas
LKM

B
X

Nilai
C D

Keterangan
A = Dapat digunakan tanpa revisi.
B = Dapat digunakan dengan revisi sedikit.
C = Dapat digunakan dengan revisi sedang.
D = Dapat digunakan dengan revisi
banyak.
E = Tidak dapat digunakan.
Berikut ini pada tabel 3, ada validasi
Prototype LKM1 secara Self-Evaluation.
Tabel 3. Penilaian Validasi LKM
No

Aspek yang Dinilai

ASPEK DIKDAKTIK
Kegiatan-Kegiatan pada
Pendahuluan (Pre-Reading) yang
disajikan membantu mahasiswa
mengaitkan dengan konsep/materi
yang akan mereka konstruk
Kegiatan-kegiatan pada kegiatan
Inti(Reading) yang disajikan
membantu mahasiswa
mengkonstruk materi dan
ketrampilan membaca.
Kegiatan-kegiatan pada Kegiatan
Penutup (Post-Reading) yang
disajikan membantu mahasiswa
merefleksi konsep yang dipelajari
dan ketrampilan membaca
LKM membantu mahasiswa
untuk memperoleh ketrampilan
reading
LKM memudahkan Dosen dan
Mhs untuk melakukan kegiatan
refleksi
ASPEK ISI

Tabel 2. Lembaran Validasi Instrumen


No

Pertanyaan menggambarkan
kegiatan mhs pada fase
Eksplorasi
Pertanyaan menggambarkan
pkegiatan mhs pada fase
Elaborasi
Pertanyaan menggambarkan
kegiatan mhs pada fase Refleksi
dan Umpan Balik
Pertanyaan yang
menggambarkan kegiatan mhs.
Mengkomunikasikan ide-ide baik
secara lisan dan tulisan.
Pertanyaan menggambarkan
penggunaan bahasa pada LKM
yang dirancang.
Pertanyaan menggambarkan
penyajian format LKM yang
dirancang.
Pertanyaan menggambarkan
penyajian soal-soal latihan pada
LKM yang dirancang
Pertanyaan menggambarkan
Ketrampilan Reading yang
sesuai dengan rancangan LKM
Menggunakan kalimat yang
mudah dipahami

Skor Penilaian
1 2 3
4
X

4
X
5
B

1475

Skor Penilaian
1 2
3
4
X

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
1

2.
3.

4.

C
1.
2.
3.
D.
1
2
3
4

Terdapat kesesuaian antara


materi, latihan dan komponen
refleksi pada LKM
Gambar-caption/ilustrasi pada
LKM dapat membantu mhs
memahami bacaan-teks
Gambar-caption/ilustrasi sesuai
dengan materi yang dipelajari
Soal latihan yang terdapat pada
LKM memfasilitasi mahasiswa
untuk mengembangkan
kemampuan meahami Bahasa
Inggris Kimia/reading skills,
ASPEK BAHASA
Kalimat yang digunakan pada
LKM baik dan benar sesuai
kaidah
Bahasa yang digunakan pada
LKM mudah dipahami mahasiswa
Struktur kalimat yang digunakan
jelas dan tidak menimbulkan
kerancuan
ASPEK TAMPILAN
Bentuk dan ukuran huruf dapat
terbaca dengan jelas
Gambar, ilustrasi dan CaptionBox yang digunakan menarik,
bermanfaat bagi mahasiswa
Penempatan Gambar, ilustrasi dan
Caption-Box pada LKM tepat
Disain tampilan LKM menarik

Kimia (disingkat BIK), dimana tujuan BIK


adalah memperoleh kemahiran generik/ Skill of
strategy learning bahasa- dalam bahasa Inngris
untuk peningkatan ilmu Kimia ( konsep, alur
berfikir dan sesuai dengan tujuan matakuliah
ini diadakan- sehingga penekanan Reading (
ketrampilan membaca- dengan pendekatan
strategi ketampilan membaca/ Reading Skill
Strategy) akan menjadi kan bekal untuk
mengeksplor buku-buku teksbook maupun
jurnal dan kariah ilmiah lainnya dalam bahasa
Inggris. Penekanan Ketrampilan Membaca,
sperti ketrampilan Scanning, Skimming yang
digunakan seperti penentuan topic sentence
dan ide pokok pada bacaan tesk kimia bahasa
Inggris- lebih diutamakan karena notabene
lulusan prodi Kimia akan berprofesi menjadi
Guru, yang mesti dan mengharuskan banyak
membaca, , sedangakan spekaing/ketreampilan
berbicara bukan tidak dibutuhkan namun pada
LKM ini tidak di prioritas ( analisis kebutuhan
ketermapilan bicara lebih banyak diperlukan
untuk profesi guide/prawisata dan profesi
toursime- perhotelan- sesuai dengan hasil
wawancara dengan pakar bahasa Inggris.

X
X

X
X

X
X

X
X

Penilaian secara umum


No

Uraian
Penilaian secara umum LKM
berbasis Pembelajaran Aktif
pada matakuliah Bahasa Inggris
Kimia

B
X

Nilai
C D

Hasil validasi terbatas-peer review cukup


menunjukkan LKM yang dihasilkan cukup
memadai untuk tahap awal, karena seperti
sudah diketahui dan menurut pakar
innstruksional diperlukan waktu, validasi yang
bertingkat serta uji coba yang bertingkat juga
untuk menghasilkan bahan ajar ( LKM- bagian
bahan Ajar) yang mumpuni, paraktis dan
efektif.

Keterangan:
A = Dapat digunakan tanpa revisi.
B = Dapat digunakan dengan revisi sedikit.
C = Dapat digunakan dengan revisi sedang.
D = Dapat digunakan dengan revisi
banyak.
E = Tidak dapat digunakan.

6.KESIMPULAN
5.PEMBAHASAN

Hasil validasi LKM bahasa Inggris Kimia


yang dilakukan pada tingkat self-evaluation
cukup baik, namun uji ini perlu dilanjutkan ke
tahap yang tahap lebih tinggi sebelum
dilakukan implementasi uji coba melalui
eksprimen.

Prototype LKM Bahasa Inggris Kimia


yang dihasilkan telah dipelajarai dilakukan
peer-review dengan teman sejawat yang
memiliki kompetensi yang sama
serta
mempertimbagkan dan diperkuat dengan
penelitian Muhatadi (2008) yang melaksankan
pembelajaran aktif sejenis.

DAFTAR PUSTAKA

Hasil analisis pendahuluan, dimana karena


karakteristik matakuliah Bahasa Inggris Kimia
ini berbeda dengan matakuliah yang
dilaksankan oleh (ada komponen grammarbahasa Inggris serta Vocab yang spesifik,
penulis
mengadopsimengambil
bagian/langkah
yang
sesuai
dengan
karekateriktik mata kuliah Bahasa inngris

Dee Fink. 1999. Active Learning. http://coe.sdsu.


edu. eet/ article/activeleraning/start.htm, diakses
tanggal 28 Agustus 2011).
Dimyati dan
Mujiono. 1999. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Gagne, M. Robert. 1988. Essential Learning for
Instruction. Hindale: The Dryden Press.

1476

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Gal,Iddo., Ginsburg, Lynda and Schau,Candance.
1997. Monitoring Attitudes and Beliefs in
Statics Education. Retrieved 20 Oct.2011 from
http://
www.stat.auckland.ac.nz/iase/publication/assessbkref.
Gay, L.R , Mills. G.E dan Airasian, P. 2009.
Educational Research: Comptencies for
Analyisis and applications. Columbus, Ohio:
Pearson
Guilford. J.P. & Frcher, B. 1978. Fundamental
Statistics in Psychology and Education. Sixth
Editions. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd.
Howard, J., Major, J. (2005). Guidelines for
Designing Effective English Language Teaching
Materials.Seoul,
South
Korea:
Ninth
Conference of the Pan-Pacific Association of
Applied Linguistics, Oct 2004. 101-109.
http://www.paaljapan.org/resources/proceedings
/PAAL9/pdf/Howard.pdf
Joyce Bruce, Weil Marsha dan Calhoun Emily.
2010. Models of Teaching- Model model
Pengajaran. Edisi kedelapan. Jakarta: Pustaka
Pelajar.
Joyce, B., Weil, M., with Showers, B. 1992..
Models of Teaching, 4 Th ed. Boston: Allyn &
Kaifa.
Littlewood, Wiliam. 1996. AUTONOMY; An
Anatomy and Framework System. 24 (4): 427435
Muhtadi. A,
2011
Implemnetasi Konsep
Pembelajaran Active Learning sebagai upaya
untuk meningkatkan keatifan mahasiswa dalam
Perkuliahan.
Nieveen, Nienke. 1999. Prototyping to Reach
Product Quality. Dalam Plomp, T; Nieveen, N;
Gustafson, K; Branch, R.M; dan van den Akker,
J (eds). Design Approaches and Tools in
Education and Training. London: Kluwer
Academic Publisher.
Nieveen, Nienken. 2010. Formative Evaluation in
Educational Design Reseach. Dalam Tjeerd
Plom and Nienken Nieeveen (Ed). An
Introduction to Educational Design Research.
Netherlands
in
www.slo.nl/organisatie/international/publication
s. Persada.

Plomp, T. 1997 . Educational Design: Introduction


from Tjeerd Plomp (eds). Eduacational &
Training Sistem Design: Introduction Design of
Education and Training (in Dutch). Utrech (the
Netherlands): Lemma. Netherland:Faculty of
Educational
Science
and
Technology,
University of Twente.
Plomp, Tjeerd. 2010. Educational Design
Research: An Introduction. Dalam Tjeerd Plom
and Nienken Nieeveen (Ed). An Introduction to
Educational Design Research. Netherlands in
www.slo.nl/organisatie/international/
publications.
Reigeluth, C. M., and Ann, Y. J. 2006. Functional
Contextualism: an Idea Framework for Theory
in Instructional Design and Technology.
Education
Technology
Research
and
Development, 54(1):49-53.
Richey, R. C., Klein, D.K and Nelson, W. A. 2002.
Developmental
Research:
Studies
of
Instructional Design and Development. In
David Jonassen, (Eds). Handbook of Research
on Educational Communication and Technology
(2nd
Edition).
P:
110
1-1130.
On
http://www.aectorgledtech/ 42.pdf
Richey, R.C & Nelson, W.A 1996).
Developmental Research. Handbook of
Research for Educational Communications and
Technology. New York. MacMillan Simon &
Schuster
Seung Lee, Jae. 2010. Offering English-Mediated
Chemistry Classes in South Korea: A note
Silberman, Melvin L. 2006. Active Learning: 101
Cara Belajar Siswa Aktif. Edisi Terjemah,
Cetakan III. Bandung: Penerbit Nusamedia.
Tracey, M. W. 2009. Design and Development
Research: a model validation case. Educational
Technology Research and Development,
57:553-5 71.
Tracey, M. W., and Richey, R. C. 2007. ID model
construction and validation: a multiple
intelligences case. Educational Technology
Research and Development, 55:369-390.
Zukowski J.; Faust. 2002. Steps to Academic
Reading: Steps and Pateaus. 2nd Edition.
Reading. Canada: Heinle, a division of Thomson
Learning Inc

1477

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

EFEKTIVITAS METODE STUDENT CENTERED LEARNING BERORIENTASI


GREEN CHEMISTRY
Axel Deby Cornellia Arifianty1), Ugi Fitri Hardiyanti2), Dahlena Pulungan3)
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan
Email: 1axelcornellia@gmail.com, 2hardiyanti_ugi@yahoo.com, 3dpoelengan@yahoo.com
Abstract
This research aims to know the effectiveness of student centered learning oriented green chemistry for science
process skills at XI school grade of SMA in Medan on 2016/2017 period. The population is normal and
homogeneous, so to take two groups of samples using cluster random sampling techniques. Design of this
research is posttest only control design. The succes of this research seen from cognitive aspect of student
achievement reach KKM. At the final stage ofthe analysis, the t test used was left-test with t count > t table
(1.696). The student achievementfor experimental classes obtained t count of 3.860 while the control class
0,914. This suggeststhat the experimental class has achieved mastery learning, while the control class not
yet. The average value of the psychomotor aspects of students in the experimental class was 82.6 which is
included in the excellent category and control class was 74 included in good category. In the aspect of
Students environmental concern, the average value of the experimental class was88.65 included in the
excellent category and class control was 81.7 included in good category. The conclusion was that the
research-oriented student centered learning of green chemistry proved effectively increase learning outcomes.
Keywords: student centered learning, green chemistry.

menerapkan pembelajaran yang berdasarkan


pada penguasaan tingkat materi. Dalam
metode Student Centered Learning, maka
siswa memperoleh kesempatan dan fasilitasi
untuk membangun sendiri pengetahuannya
sehingga
mereka
akan
memperoleh
pemahaman yang mendalam (deep learning)
dan pada akhirnya meningkatkan mutu kualitas
siswa (Afiatin, 2005:1).
Dalam pembelajaran yang berpusat
pada siswa digunakan sistem belajar yang
fleksibel sesuai dengan kehidupan dan gaya
belajar siswa sehingga guru tidak berperan
sebagai central dalam kegiatan belajar
mengajar tetapi hanya sebagai fasilitator dalam
kegiatan belajar mengajar (Hamalik, 2005:
201).
Green chemistry bukanlah environmental science tetapi bagian ilmu kimia yang
mencari dan berkreasi untuk mem-berikan
solusi bagi penciptaan teknologi yang aman
bagi manusia dan lingkungan-nya (Ilyas,
2010).
Green chemistry adalah bagian dari
produk dan proses kimia yang ramah
lingkungan meliputi semua aspek dan jenis
dari proses kimia yang mengurangi efek
negatif bagi kesehatan manusia dan lingkungan
sekitar (Kusuma, et al, 2009). Pembelajaran
kimia berorientasi green chemistry bertujuan
agar siswa me-miliki karakter peduli
lingkungan, khususnya dalam penanganan

1. PENDAHULUAN
Kesulitan pembelajaran kimia terletak
pada kesenjangan yang terjadi antara
pemahaman konsep dan penerapan konsep
yang ada sehingga menimbulkan asumsi sulit
untuk mempelajari dan mengembangkannya.
Saat ini metode pengajaran yang banyak
digunakan dalam kegiatan belajar mengajar
adalah metode ceramah yang lebih berpusat
terhadap
guru
sehingga
proses
pembelajarannya hanya berlangsung satu arah.
Metode ceramah ini menyebabkan siswa
menjadi jenuh dan bosan terhadap materi
pelajaran yang membuat siswa menjadi pasif
dalam kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran
kimia tidak lagi merupakan proses transfer
pengetahuan dari guru pada siswa, tetapi harus
merupakan upaya peningkatan keterampilan
edukasional secara menyeluruh melalui
pelajaran kimia. Banyak cara yang dilakukan
oleh seorang guru dalam menyampaikan
materi pelajaran yang akan membuat siswa
senang, di antaranya adalah dengan
menggunakan metode pembelajaran yang tepat
yang mampu mengubah rasa jenuh dan bosan
siswa dalam pembelajaran. Metode yang
digunakan untuk menyampaikan materi
pelajaran kimia agar siswa merasa senang dan
tidak merasa bosan yaitu dengan menggunakan
metode
Student Centered Learning atau
pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Metode
Student Centered Learning juga
1478

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

masalah lingkungan, membentuk perilaku agar


dapat berparti-sipasi dalam pemeliharaan
lingkungan. Peng-kajian terhadap fenomena
dan dam-pak perubahan lingkungan perlu
dilakukan melalui pendidikan formal (Setyo,
2011).
Rumusan masalah dalam penelitian ini
yaitu efektifkah pembelajaran model student
centered learning berorientasi green chemistry
terhadap keterampilan dan kepedulian
lingkungan siswa suatu SMA di Medan pada
materi kelarutan dan hasil kali kelarutan?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
keefektifanpembelajaran
model
student
centered learning ber-orientasi green chemistry
terhadap keteram-pilan proses sains dan
kepedulian lingkung-an siswaSMA di medan
pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di suatu SMA di
Medan pada materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan. Desain penelitian ini yaitu posttest
only control design. Populasi yang digunakan
dalam penelitian adalah siswa XI IPA SMA
tahun pelajaran 2016/2017. Kelas XI IPA 1
sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 2
sebagai kelas kontrol yang diambil dengan
teknik cluster random sampling. Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah model
pembelajaran.
Kelompok
eksperimen
menggunakan model pembelajaran student
centered learning berorientasi green chemistry
sedangkan kelompok kon-trol menggunakan
model pembelajaran kon-vensional. Variabel
terikat dalam pene-litian ini yaitu keterampilan
proses sains dan kepedulian lingkungan siswa
SMA tahun ajaran 2016/2017. Keberhasilan di
dalam penelitian ini dilihat dari ketuntasan
belajar pembelajaran yang menggunakan
model student centered learning berorientasi
green chemistry dari aspek kognitif mencapai
nilai KKM yaitu 72, aspek psikomotorik dan
kepedulian terhadap lingkungan setiap siswa
mencapai nilai 65 dengan ketuntasan klasikal
sebesar
85%
(Mulyasa,
2002).Metode
pengumpulan data dilaku-kan dengan metode
dokumentasi, tes, lembar observasi dan angket.
Bentuk instrumen yang digunakan berupa
silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran,
soalposttest, lembar observasi kepedulian terhadap lingkungan, lembar observasi psikomotorik dan angket. Data penelitian posttest
dianalisis secara statistik parametrik yaitu
dihitung dengan uji t dan uji ketuntasan
klasikal sedangkan kepedulian lingkungan,

sikomotor dan hasil angket tanggapan siswa


dianalisis secara deskriptif.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelas eksperimen pada penelitian ini
menggunakan model student centered learning
berorientasgreen chemistry.
Sedangkanpembelajaran pada kelas kontrol
meng-gunakan model pembelajaran seperti
yang biasa digunakan guru mitra yaitu menggunakan metode ceramah dan diskusi.
analisis hasil belajar kognitif secara statistika
meliputi uji normalitas, uji kesama-an dua
varians, uji keefektifan, uji ketunta-san
belajar, dan uji estimasi rata-rata hasil belajar.
Hasil uji normalitas data postteskedua kelas
berdistribusi normal. Uji kesa-maan dua
varians, kedua kelas memiliki varians yang
tidak berbeda (homogen). Perhitungan uji
keefektifan menggunakan uji t, pada kelas
eksperimen diperoleh thitung
= 3,8601
sedangkan ttabel= 1,696. Besarnyathitung> ttabel
dan thitung berada di daerah penerimaan H,
sedangkan untuk kelas kontrol thitung 0,914
dan thitung berada didaerah penolakan H. Jadi,
ada perbedaan yang signifikan antara hasil
belajar kimia kelas eksperimen dengan kelas
kontrol atau hasil belajar kimia kelas
eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol.
Hasil perhitungan uji ketuntasan belajar,
diperoleh hasil ketuntasan belajar pada kelas
eksperimen adalah 87,5% yang berarti bahwa
kelas eksperimen telah mencapai ketuntasan
belajar klasikal sedangkan hasil ketuntasan
belajar kelas kontrol adalah 71,9% yang berarti
bahwa kelas kontrol belum mencapai
ketuntasan belajar klasikal karena kurang dari
85%. Hal ini dikarenakan kelas eksperimen
menggunakan student centered learning
sehingga siswa dapat belajar menemukan
pengetahuan atau konsep, guru hanya memberi
pengarahan dan bimbingan jika diperlukan
siswa (Djamarah, 2002). Siswa
dengan
keterampilan proses sains yang tinggi lebih
mudah dalam memahami materi yang
diajarkan dan berdampak pada kognitif siswa
(Rahayu, 2011). Berdasarkan uji estimasi ratarata hasil belajar, dapat diprediksikan bahwa
rata-rata yang mungkin dicapai kelas
eksperimen berkisar antara 74,8 sampai 81,4
sedangkan pada kelas kontrol rata-rata hasil
belajarnya berkisar 70,7 sampai 76,6. Hasil
estimasi rata-rata hasil belajar ini menunjukkan
bahwa prediksi rata-rata hasil belajar yang
1479

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dicapai kelas eksperimen lebih tinggi daripada


rata-rata hasil belajar yang dicapai kelas
kontrol.
Penilaian ranah psikomotorik meng-gunakan
lembar observasi atau lembar pengamatan
yang dilakukan oleh observer. Penilaian ini
dilaksanakan ketika siswa melaksanakan
praktikum. Penilaian psiko-motorik terdiri
dari empat aspek. Aspek yang pertama yaitu
kegiatan persiapan. Kegiatan persiapan ini
dibagi menjadi 3 sub aspek yaitu menyiapkan
alat, menyiapkan zat/larutan kerja, dan
menyiapkan format laporan sementara. Untuk
kelas eksperimen maupun kelas kontrol ratarata nilai
aspek kegiatan persiapan ini
termasuk kriteria sangat tinggi, tetapi terdapat
perbedaan rata-rata nilai yaitu kelas ekperimen
3,6 sedangkan kelas kontrol 3,5. Aspek yang
kedua yaitu keterampilan proses sains. Aspek
ini terbagi menjadi 11 sub aspek yang sesuai
dengan sub-sub indikator keterampilan proses
sains serta disesuaikan dengan materi
kelarutan dan hasil kali kelarutan. Untuk aspek
ini rata-rata nilai kelas eksperimen 3,38 dan
kelas kontrol 2,8yang termasuk dalam kriteria
tinggi. Siswa dengan keterampilan proses
sains
tinggi
cenderung
melaksanakan
percobaan sesuai dengan metode ilmiah yang
baku, siswa memiliki bekal keterampilan untuk
melaku-kan
percobaan,
siswa
tidak
mengalami hambatan yang berarti dalam
pelaksanaan percobaan. Hal ini berdampak
pada psikomotorik siswa, yakni siswa dengan
keterampilan proses sains tinggi cenderung
memiliki prestasi belajar yang lebih baik
daripada siswa dengan keterampilan proses
sains rendah (Nur, 2011). Aspek yang ketiga
yaitu membuat laporan sementara. Aspek ini
hanya terbagi menjadi dua aspek yaitu
membuat laporan sementara hasil analisis dan
merevisi kesalahan hasil analisis. Untuk kelas
eksperimen
rata-ratanya
sebesar
2,68
sedangkan kelas kontrol 2,7. Kelas eksperimen
memiliki rata-rata yang lebih rendah dari kelas
kontrol dikarenakan kelas eksperimen mencari
sendiri susunan laporan yang sistematis,
sedangkan untuk kelas kontrol susunan laporan
diberikan olehguru sehingga lebih sistematis.
Susunan laporan hasil siswa kelas eksperimen
kurang sistematis, maka guru memberikan
arahan terhadap siswa. Untuk aspek yang
terakhir yaitu kegiatan setelah praktikum,
aspek ini dibagi menjadi tiga sub aspek yaitu
membuang sisa praktikum ke tempat yang
disediakan, kebersihan, dan pengembalian alat

yang sudah dibersihkan. Dalam aspekini kelas


eksperimen memiliki rata-rata 3,63, sedangkan
kelas kontrol memiliki rata rata 3,57. Hasil
nilai rata-rata psikomotorik kelas eksperimen
dan kelas control ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil nilai rata-rata psikomotorik


kelas eksperimen dan kelas kontrol
Keterangan: Aspek Psikomotorik
1: Kegiatan Persiapan
3: Laporan Sementara
2: Keterampilan Proses Sains
4: Kegiatan Setelah Praktikum
Karakter peduli lingkungan merupakan sikap
dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan lingkungan alam di sekitarnya dan
mengembangkan
upaya-upaya
untuk
memperbaiki kerusakan alam yang terjadi.
Penilaian ranah ini dilakukan pada saat proses
pembelajaran di kelas dan pada saat praktikum
di laboratorium. Peni-laian dilakukan oleh
observer. Untuk kelas eksperimen dan kelas
kontrol setiap siswa telah mencapai nilai lebih
dari 65 tetapi terdapat perbedaan pada ratarata
nilai aspek kepedulian terhadap
lingkungan. Rata-rata nilai
pada kelas
eksperimen
88,65 yang termasuk dalam
kategori sangat baik dan kelas kontrol 81,7
yang termasuk dalam kategori baik. Adapun
perbedaan rata-rata hasil analisis aspek
kepedulian siswa terhadap lingkungan kelas
eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada
Gambar 2.
3
2
1
0

nilai rata-rata

kelas
kelas kontrol
eksperimen

aspek kepedulian
terhadap
lingkungan

Gambar 2. Hasil nilai rata-rata nilai kepedulian


lingkungan terhadap lingkungan kelas
eksperimen dan kelas kontrol.

1480

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Keterangan: Aspek Kepedulian Terhadap


Lingkungan
1: Kepedulian Lingkungan Saat di Kelas
2: Kepedulian Lingkungan Saat Praktikum
Perbedaan rata-rata nilai
posttest, psikomotorik dan kepedulian terhadap lingkungan
lebih baik pada kelas eksperimen daripada
kelas kontrol. Student Centered Learning
menghasilkan efek yang cukup signifikan
antara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol (Bilgin, 2009).
Berdasarkan hal
tersebut, dapat dikatakan bahwa penggunaan
Student learning centered berorientasi green
chemistry dalam pelajaran kimia efektif
terhadap hasil postes, psikomotorik dan
kepedulian siswa terhadap lingkungan.
Berdasarkan hasil analisis angket tanggapan
siswa dalam penelitian ini dapat disimpulkan
pada kelas eksperimen
siswa menyukai
pembelajaran menggunakan student centered
learning berorientasi green chemstry. Angket
ini memiliki tingkatan respon mulai dari sangat
setuju, setuju, kurang setuju, dan tidak setuju.
Hasil angket menyatakan bahwa 63% sangat
setuju, 38% setuju, dan 0% tidak setuju dengan
per-tanyaan berkaitan dengan ketertarikan
pada materi kimia kelarutan dan hasil kali
kelarutan yang dipelajari. Siswa menyatakan
53% sangat setuju, 41% setuju, dan 6% tidak
setuju dengan pernyataan pembelajaran student
centered learning berorientasi green chemistry
dapat membuat
merekalebih mudah
memahami materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan. Pernyataan rasa ingin tahu
meningkat, mendapat respon 56% sangat
setuju, 31% setuju, dan 13% tidak setuju.
Siswa menyatakan 41% sangat setuju, 53%
setuju, dan 6% tidak setuju terhadap
pertanyaan pembelajaran student centered
learning berorientasi green chemistry dapat
meningkatkan kemampuan untuk mengingat
suatu konsep pembelajaran. Hasil ini didukung
dengan nilai posttest hasil belajar kelas
eksperimen yang meningkat dan lebih tinggi
dari pada kelas kontrol. Siswa memilih 66%
sangat setuju, 31% setuju, dan 3% tidak setuju
mengenai pernyataan pembelajaran student
centered learning berorientasi green chemistry
membuka wawasan mengenai fenomena
kelarutan dan hasil kali kelarutan dalam
kehidupan sehari-hari. Pernyataan tentang
lebih mudah dalam menyelesaikan soal-soal
latihan materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan mendapat respon 59% sangat setuju,
31% setuju dan 9% tidak setuju. Siswa

menyatakan 72% sangat setuju, dan 28%


setuju terhadap pertanyaan Pelaksanaan
pembelajaran student centered learning
berorientasi
green chemistry
membuat
mereka lebih tertarik untuk memperdalam
kimia lebih lanjut. Siswa menyatakan 69%
sangat setuju dan 31% setuju dengan
pernyataan Pelaksanaan pembelajaran student
centered learning berorientasi green chemistry
membuatnya
lebih peduli lagi terhadap
lingkungan sekitar. Adapun hasil analisis
respon siswa terhadap pembelajaran disajikan
dengan Gambar 3.

Keterangan:
Pernyataan
1. Pelaksanaan pembelajaran student centered
learning berorientasi
green chemistry
sangat menarik dan menyenangkan
2. Pelaksanaan pembelajaran student centered
learning berorientasi green chemistry dapat
membuat saya lebih mudah memahami
materi kelarutan dan hasil kali kelarutan
3. Pelaksanaan pembelajaran student centered
learning berorientasi green chemistry dapat
meningkatkan rasa ingin tahu saya
4. Pelaksanaan
pembelajaran
student
centered learning berorientasi
green
chemistry dapat meningkatkan kemampuan
saya untuk mengingat suatu konsep
pembelajaran
5. Pembelajaran student centered learning
berorientasi green chemistry membuka
wawasan saya mengenai fenomena
kelarutan dan hasil kali kelarutan dalam
kehidupan sehari-hari
6. Pelaksanaan pembelajaran student centered
learning berorientasi
green chemistry
membuat saya lebih mudah dalam
menyelesaikan soal-soal latihan materi
kelarutan dan hasil kali kelarutan
7. Pelaksanaan pembelajaran model student
centered learning berorientasi
green
chemistrymembuat saya lebih tertarik untuk
memperdalam kimia lebih lanjut
8. Pelaksanaan pembelajaran model student
centered learning berorientasi
green
1481

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Djamarah, S., 2002, Strategi BelajarMengajar,
Jakarta : Rineka Cipta.
Ilyas, W.,
2010,
Sama atau
Bedakah
GreenChemistry
Dan
EnviromentalChemistryItu?
Diunduhdarihttp://greenchemistryindonesia.blo
gspot.com/pada tanggal 8 April 2016.
Karsi dan Sahin, 2009, Developing Worksheet
Based On Science Process Skills: factors
affecting solubility,
Journal Of
Science
Learning and Teaching Vol 1, No 10, Hal: 112.
Kusuma, E., Sukirno, dan Kurniati, 2009,
Penggunaan
Pendekatan
ChemoEntrepreneurship Berorientasi Green Chemistry
Untuk Meningkatkan Kemampuan Life Skill
Siswa SMA, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia
Vol 1, No 3, Hal: 2-4.
Syarif Hidayatullah. Mulyasa,2002, Kurikulum
Berbasis Kompetensi, Bandung: Rosda-karya.
Nur, M., 2011, Modul Keterampilan Proses Sains,
Surabaya: Pusat Matematika dan Sains Sekolah
(PSMS) Universitas Negeri Surabaya.
Rahayu, E., Susanto,
dan
Yulianti,
2011,Pembelajaran sains dengan keterampilan
proses untuk meningkatkan hasil belajar dan
kemampuan berpikir kreatif siswa,Jurnal
Pendidikan Fisika Indonesia, Vol 2, No 7, Hal:
106-110.
Roestiyah, 2001, Strategi Belajar Mengajar,Jakarta:
Rineka
CiptaRustaman,
N.,
1992,
Pengembangan dan Validasi Alat Ukur
Keterampilan Proses Sains Pada Pendidikan
Dasar 9 Tahun Sebagai Persiapan Pelaksanaan
Kurikulum 1994,Laporan Penelitian, Bandung
:FPMIPA IKIP.

chemistry membuat saya lebih peduli lagi


terhadap lingkungan sekitar saya
3. SIMPULAN
Pembelajaran model student centered learning
berorientasi green chemistry efektif terhadap
keterampilan proses sains dan kepedulian
lingkungan. Nilai posttest kelas eksperimen
yang menerapkan model student centered
learning berorientasi green chemistrysebesar
77,50 sedangkan kelas kontrol yang
menggunakan pembelajaran
konven-sional
sebesar 73,18. Nilai aspek psiko-motorik
yang
didalamnya
sudah
mencakup
keterampilan proses sains untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol setiap siswa telah
mencapai nilai lebih dari 65 tetapi terdapat
perbedaan
pada
rata-ratanya.Rata-rata
nilaipada kelas eksperimen
82,6 yang
termasuk dalam kategori sangat baik dan kelas
kontrol yang termasuk dalam kategori baik.
Nilai aspek kepedulian terhadap lingkungan
untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol
setiap siswa telah mencapai nilai lebih dari 65
tetapi terdapat perbedaan pada rata-rata. Ratarata nilai pada kelas eksperimen 88,65yang
termasuk dalam kategori sangat baik dan kelas
kontrol 81,7 yang termasuk dalam kategori
baik.
4.

DAFTAR PUSTAKA

Amri,S.,2010,Proses Pembelajaran Kreatif dan


Inovatif Dalam Kelas,Jakarta : Prestasi Pustaka.

1482

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ISBN: 978-602-71798-1-3

THE IMPLEMENTATION OF QUANTUM TEACHING WITH


MODULE TO INCREASE STUDENTS ACHIEVEMENT IN
TEACHING HYDROCARBON
Biuti Fourtuna
Student of Chemistry Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, State University of Medan,
e-mail: uthiebefour@ymail.com
ABSTRACT
The influence of using module as a learning media combined with quantum teaching to increase
students achievement in chemistry for Senior High School (SHS) on the teaching of hydrocarbon is explained
in this paper. The objectives of quantum teaching combined with module is to give a new innovation in teaching
and learning process and to find the best way to increase students achievements. The research was done in the
first grade of State Senior High School in Percut Sei Tuan (SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan), Regency of Deli
Serdang, and Province of North Sumatera. The result showed, the influence of quantum teaching with module to
increase students achievements on the teaching of hydrocarbon had been proven; it can be seen by comparing
the students ability of solving problems before and after the teaching activities. Before teaching, the students
achievement in control class was (M=27), and in experimental class was (M=31), by using F-test for
homogeneity, those 2 classes were homogeneous where Fcalculation 1.028 < Ftable 2.168. After learning process,
there was an increasing of students achievement, where the result in experimental class (M=79.5) was bigger
than in control class (M=60). By using t-test of comparing 2 classes, the effectiveness of using quatum teaching
with module in learning process had also been proven after having significantly different results compared to
conventional (speech) method, where tcalculation 8.304 > ttable 2093. It can be concluded that the students
achievements were increased after using quantum teaching with module because it gave new innovation and
interesting way in learning.
Keywords : Learning Media, Module, Quantum Teaching, Hydrocarbon

1. Learningisa processto obtainmotivationin


knowledge, skills, habits, and behavior;
2. Learning isknowledge orskills gainedfrom
theinstruction. "
Learningcan be said to bemanaged
through a variety of activities. In this
connection, Rohani Ahmad and Abu Ahmadi
said that:Successful earning through a series
of activities, both physical and mental activity.
Physical activityis the enterprisinglearneractive with your body, making things, play
ingor working, he did notjust sitandlisten,
watchor just passive. Learners who
havepsychicactivity(psychiatric)
is
if
thepowerof his soulto workas muchora lot
ofwork in order to teach.
Based onthe above opinionis clear
thatlearning
activitiesarepsychic
and
physicalactivityof
studentsin
thelearningprocessthrough the guidance ofthe
teacher. At the time ofan activestudentbody,by
itself itis also activesoul,and vice versa. A
teachercan only bepresentandprovidelearning
materials,students
areprocessing

1. INTRODUCTION
Education
functions
like
an
enlightened torch for this civilized and
sophisticated society. Without education
human beings are no more than animals. On
the basis of wisdom and sanity grounds,
education is the lighthouse that enlightens in
them the ability to differentiate between right
and wrong, true and false, correct and incorrect
and also is the milestone in the development of
integrated personality, the righteousness in
character, the enlightenment of conscience and
the inculcation of social, moral, ethical and
spiritual values. A childs legs, arms and
body are made stronger by healthful play. We
can deduce the mind with its organic counter
part, the nervous system, improves and
becomes better equipped because of use and
exercise in the form of reading, calculating,
memorizing, speaking, imagining and other
mental activities.(Sorenson 1948).This is
education that is responsible for the all round
development of human beings.
Learningaccording toGagnecontains
twodefinitionsare:
1483

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

anddigestingitself in accordancewith the will,


skills, talents, and background.
Todays competitive world demands
quality education. Therefore Quality teacher
education has become an enduring theme as
we have to strive for better teachers for better
education of children. The quality of school
education has direct links to the knowledge,
competence and skills of teachers and their
initial training preparations. The quality and
coverage of any system of teacher education is
always decided by the content of teacher
education curriculum and the operational
modes used for its delivery by the system.
Curriculum cannot be stagnant or once for all
process of education. It is an evolutionary
phase of education phase at all levels from KG
to PG. It has to be in line with the changing
goals of education from time to time and
therefore meet the needs of the changing
environment in which we have to live in future
and compete for survival and success.
Curriculum development and modification has
to be rational but not emotional. Hence, for
achieving excellence, it has to be in line with
modern principles and practices in education.
In
order
to
createanactiveand
creativelearning, thenteachers need topay
attention tofourthings:
1. Ensuringthat
everystudentactive,
studentinterestneedditingktakan, thenneed
to be guidedto achieve certain goals.
2. Analyzingthe structure ofthe material that
willdiajarka, alsoneed to bepresentedin a
simplematerialthatis easily understood
bystudents.
3. Analyzingsequence.
Teachersteach,meansguiding
studentsthrough a sequence ofstatementsof
a
problem,
so
studentsgain
an
understandingandbe able to transferwhat
waslearned.
4. Providingreinforcementand
feedback.
Optimalreinforcementoccurswhenstudents
knowthat "he found the answer".

matter, solving problems,orapply whatthey


have learnedinto anewproblem thatexists inreal
life(Zaini et al, 2008).
Activelearning
strategiesdesignedto
turn
theclassroombecause
studentsbe
involveddirectlyin the process oflearning, fun
learningactivitiesforlearning
that
is
notmonotonous
andimprovephysical
andmentalengagement.
Active
learningis
intendedtooptimize the use ofall thepotential of
thestudents, so that allstudentscan achievea
satisfactorylearning
outcomesaccording
totheirpersonal
characteristics(Silberman,
2007).
Because students are engaged in
learning the subject matter. It takes a strategy
that would make students active during the
learning process. Where active learning
strategies designed to turn the classroom
because students be involved directly in the
process of learning, fun learning activities for
learning that is not monotonous and increasing
involvement of physically and mentally
(Silberman, 2007). One strategy that can
enable the students are learning Quantum
teaching strategies. This strategy emphasizes
the dynamics of the learning process in the
classroom.
Quantumteaching
islearningalterationfestivewith
all
thenuances.Inquantumteachingalso includesall
theterms
ofinteraction
andmaximize
themoment
oflearningdifferences.
Quantumteachingfocuses
onthe
dynamic
relationshipswithinthe classroom environment.
Interactionsthat
makethe
foundationand
frameworkfor learning(De porter.B, 2004).
Then, by Quantum Teaching as a
guidance in teaching the students. It will be
combined with a media in order to make the
students interested and more understanding the
matter. In this research, media that is used is
module which contain the resume of matter
The Development of Atomic Theory.
Learning Media
Generally media is the human,
material, or events that establish conditions
that make students be able to get knowledge,
skills, or attitudes. In this case, teachers,
textbooks, and school environment is a
medium. If the media was carrying messages
or information that aims to contain
instructional or teaching purposes then the
media is called media learning. (Arsyad, 2009)

2. LITERATURE REVIEW
Active
Learning&Quantum
Teaching
Active
learningisalearninginvites
students
toactivelylearn,
where
studentsarelearningto
dominateactivity.
Inactive learning, students activelyuse the
brain, eitherto findthe main ideaof the subject
1484

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

A learning media must fulfill some


requirements. Learning media should increase
learner motivation. The use of media has the
goal of providing motivation to the learners.
Besides, the media should also stimulate the
learner to remember what has been learned in
addition to provide new learning stimuli. Good
media will also enable learners to provide
feedback and encourage students to perform
practices properly.
Based on the development of
technology learning media can be grouping in
four groups namely: (1) printing media, (2)
audio-visual media, (3) based on computer
media, (4) collaboration of printing and
computer media. According to Arsyad (2009),
in a collaboration of printing and computer
media there are two kinds of media, namely
Traditional Media and Sophisticated Media.
One of example from traditional media in
printing is MODULE.
According to Munadi (2008) there are
three functions of media based on its media
namely: (a) Learning media have function as a
learning resource. (b) Semantic function is to
increase the vocabulary (verbal symbol) which
its meaning can be understood by students. (c)
Manipulative function. This function is based
on their general characteristic, media has two
abilities, and they are to overcome the
limitation of space and time and also the
insufficiency of sense.

the particular field of study from achievement


through this module. Except where readers
wanting the development of insight of these
fields, it is recommended to explore it down
even
further
through
the
reference
(bibliography) which often also attached at the
end of each module.
The contents of a
module should be complete, whether viewed
from its grain pattern, let alone its contents.
There are some advantages of module.
1. Module was made communicatively and in
two direction of learning, so its become
easier to student or user to use module as a
learning resources.
2. Module can change some of the role of
teaching. Then module cover of topic focus
and measurable so it makes all of
competence will fill in module.
3. Module more priority the activity of student
(user) it make student more active.
Learning module is a self-learning
approach that is focused on master in
competence of learning materials which
students learned by a certain time in
accordance with the potential and conditions.
Learning to use the module useful for such
things as the following:
1. Improve the effectiveness of learning
without having to go through face to face
on a regular basis because of geographical
conditions,
social,
economic,
and
community situations.
2. Determine and set the time to learn more in
line with the needs and development of
learn students.
3. Expressly aware of students achieving in
competence in stages through the criteria
established in the module.
4. Knowing the weakness or the competence
of learners who have not achieved based on
the criteria set out in the module so that the
tutor can decide and help learners to
improve learning and perform remediation.
The purpose of learning to use the
module is to reduce the diversity of students
learning speed through independent learning
activities. Implementation of the learning
modules more involved role of students than
teachers.

Module
According to Rosyid (2010), the
module is print teaching material which
designed to be studied independently by
learning participants. The module is also called
the media for self-study because it has been
completed for self-study guide. It means that
readers can perform learning activities without
the presence of teacher directly. The module is
a learning tool that contain material, methods,
limitations, and evaluation that designed
systematically and attractive to achieve the
expected competencies in accordance with the
level of complexity.
The use of modules is often associated
with independent learning activities (self
instruction). Because its function is as
described above, then the other consequences
that must be filled by this module is the
completeness of the contents; means the
content materials of a module must explain in
a whole of content so that readers understand

Hydrocarbon
Hydrocarbon is a subject matter that is
learned in the second semester of the first year
in the senior high school. This topic can be
considered as a quite difficult matter, because
1485

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

students have not learn about chemistry,


particularly in this topic for the previous year.
They have to open up their mind in
comprehending and analyzing the topic. There
are some subtopicsexplained inhydrocarbon,
which are: a) hydrocarbon as carbon
compound, b) the groups of hydrocarbon, c)
reactions of hydrocarbon compound and d) the
use of hydrocarbon in daily life.

a graduated student from this school so that


make it easier to the researcher to get
permission to conduct the mini research, such
as sampling, treating and evaluating during the
teaching process. The number of samples for
both experimental and control class are 20
students. To test the homogeneity of the
samples, researcher gave 10 questions pre test
for them. So, based on this result, researcher
will find whether all of samples are
homogeneus in their initial knowledge.
Student Achievement in Pre Test
Before conducting the research using
module combined with quantum teaching, the
researcher have to know the students initial
knowledge in the topic of hydrocarbon that
will be taught. To test the initial knowledge of
all students and also in order to test their
homogeneity, given the 10 questions pre test
for both control and experimental class. The
result is shown in Table 1.
Table 1. The Result of Pre Test of Samples

3. RESEARCH METHODOLOGY
The study is conducted in Medan. The
researcher choose one school that is wanted to
be the object of research which is SMAN 1
Percut Sei Tuan. Which is at Academic Year
2014/2015 in the second semester, on
March2015. The time of this research is
adjusted suitable with the schedule allocated in
the schools when the target materials of
Hydrocarbon are being taught and at the same
time the research is conducted without
interfere the students and the teachers activity
in the selected schools.
The procedure of this research are
determining the population and sample. The
population in this research is all of students in
class X senior high school, then from the
population researcher choose SMAN 1 Percut
Sei Tuan as a sample. From the sample, taking
2 class randomly of school and classify them
into experimental and control class. Both of
the experimental and control class, choosen 20
students for each as a sample. After choosing
the classes, giving pre test (10 questions) for
both of classes. After that,giving treatment for
both experimental class and control class.
Experimental class is treated with module and
quantum teaching learning while control class
is treated with conventional method. In the end
of learning process, students from both
experimental and control class are given by
post test (same question like pre test).
Collecting, evaluating and anlysing the result
of post test done by students. Comparing the
final result between experimental and control
class, then conclude the result.

Sam-ple

Control Class
Conventional Method

Experimental Class
Treating Method

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Total
Mean

30
30
40
30
20
40
30
20
30
30
40
30
20
10
20
20
10
30
30
30
540
27

40
50
30
40
30
30
20
30
40
30
30
40
40
20
20
30
20
30
20
30
620
31

Based on the data in Table 1, the first


thing that we can see is the initial knowledge
of all sample is relatively low, from 10
questions, they can comprehend for about 3-4
questions. We find the result of both
experimental and control class initial
knowledge about the topic averagely are;
M(control) = 27, M(experimental) = 31. This

4. RESULT AND DISCUSSION


Homogeneity of Samples
In order to make the research goes on
just like expected, has conducted the research
in 2 classes in SMAN 1 Percut Sei Tuan. The
reason of choosing this location of the sample
is caused by the limitation of researcher and as
1486

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

results also show the low of their knowledge


about the topic initially.
Not only to test their initial
knowledge, but also to test their homogeneity
based on this result. This test has conducted to
show the homogeneity between the control
class and the experimental class (Fstat 1.02<Fcrit
2.16). Actually, this result is relevant with the
expectation of the researcher. This result show
that between control class and experimental
class are homogeneous initially, and most of
all the students can answer the question
correctly even not all of the question. This
potentially happened because of the guessing
of the students in answering the questions
because they served in multiple choice.

data of table 2, we can see that there is an


increasing result from the pre test both for
control and experimental class, but if we
concern to the pre test result, there is a
significant
different;
M(control)=
60,
M(experimental)=79.5.
The result of difference in mean test,
shows the significant different between the
students achievement by using two kinds of
teaching method, (tstat 8.304> tcrit 2.093).
Based on this data analyzed, the
students achievement in experimental class is
higher compared to the students achievement
in control class due to the post test result that
shows the significant different between the
class treated by using module combined with
quantum teaching and class treated
conventionally.

The
Effectivenessof
Using
Module
Combined with Quantum Teaching to The
Students Achievement
The effectiveness of learning by using
module combined with quantum teaching to
the student achievement can be seen after
doing the treatment to the experimental class
and then analyzed of the result of post test. The
result is shown in table 2

5. CONCLUSION AND
SUGGESTION
From the result of the research can be
concluded that the teaching process by using
Module combined with quantum teaching in
the topic of hydrocarbon can increase the
students achievement. Module as a learning
media make the student easier in
comprehending the material because only the
important things are putted in the module. And
also the teaching process using the quantum
teaching makes the student more attractive
during the learning process compared to the
control class which is treated by conventional
method. As a suggestion, this learning media
using module can be applied by teacher in
daily learning process and also combined with
quantum teaching in order to make the class
more attractive. Maybe not only for
hydrocarbon but also for another topic in
chemistry.

Table 2. The Result of Post Test of Samples


Sample

Control Class
Conventional Method

Experimental Class
Treating Method

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Total
Mean

70
50
80
70
60
70
50
60
60
50
70
60
50
50
60
50
50
70
60
60
1200
60

70
100
80
90
80
80
70
80
80
80
80
90
70
70
80
70
70
90
80
80
1590
79.5

6. REFERENCES
Alipoetry, (2011). PENGERTIAN MODUL
(Dalam
Media
Pembelajaran
PAI)
untuk
sahabatku.
.http://aliranim.blogspot.com/2011/02/pengertia
nmodul- dalammedia.html.
Arikunto, S., (2010), Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta.
Arsyad, A., (2009), Media Pembelajaran. Rajawali
Pres. Jakarta.
Bandhana. (2011). Development and Modification
of Curriculum for Excellence in Teacher
Education Vol 2, No 9. India.

This post test was performed to test the


students level after given by treatment, both
for experimental and control class. From the
1487

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Barba, R. H., Valerie O. P., and Rafaela S. C.,
(1993). User-friendly text, Journal Textbook
Analysis, 60: 14-17.
Craggs, C. E., (2002). Media Education in the
Primary School. Taylor &
Francis
eLibrary. New York.
Harish, Bala. (2011). Challenges of Higher
Education in 21st Century Vol 2, No 6.
India. Justina, S. and Muchtaridi., (2009),
Chemistry for Senior High School, Yudistira:
Jakarta.
Mahajan, Gourav. 2011. Multimedia in Teacher
Education: Perceptions & Uses Vol 3, No 1.
India.
Munadi, Y., (2008). Media Pembelajaran. Gaung
Persada Press. Jakarta.
Nadu, Tamil. (2011). Attitude of Teachers of
Higher Education towards e-Learning Vol 2,No
4. India.
Nyenwe, Joy. (2012). Integration of Information
and Communication Technology
(ICT)
in Teacher Education for Capacity
Building Vol 3, No 10. Port Harcourt Rivers
State.
Oden N, Sarah. (2012). Optimizing Students
Performance in English through Quality
Teacher Education Vol 3, No.9. Nigeria.

Quitadamo, Ian J., Brahler, C. Jayne, Crouch,


Gregory J. (2009). Peer-Led Team Learning: A
Prospective Method for Increasing Critical
Thinking in Undergraduate Science Courses,
Journal of Science Educator Vol. 18, No. 1:
(29-39).
Rosyid, M., (2010), PENGERTIAN, FUNGSI,
DAN TUJUAN PENULISAN MODUL,
http://www.rosyid.info/2010/06/pengertianfungsi-dantujuanpenulisan.html
Saleem, Afshan. 2011. Higher Education and
Society Vol 2, No 8. Pakistan.
Senapati , Pritimayee. 2012. Role of Medium of
Instruction on the Development of Cognitive
Processes Vol 3, No 3. India.
Silberman, ML. (2007). Active Learning 101 Cara
Belajar Siswa Aktif. Nuansa
Nusamedia.
Bandung.
Silitonga, PM. (2011). Metodologi Penelitian,
FMIPA Unimed. Medan.
Situmorang, M., (2010). Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) Untuk Mata Pelajaran Kimia. Unimed.
Medan.
Zaini. H, Munthe. B, dan Ayu.AS,.(2008). Strategi
Pembelajaran Aktif. CTSD.
Yogyakarta.

1488

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

ANALISIS KANDUNGAN BEBERAPA ION PADA AIR SUNGAI DI KOTA


PADANG MENGGUNAKAN HIGH ION CHROMATOGRAPHY (HIC)
Budhi Oktavia1), Edi Nasra2), Hary Sanjaya3), Emil Febrianto4), Adek Sudtri Yunanda5)
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Padang
email: 1budhioktavia8@gmail.com, 2hardi_rais@yahoo.com, 3hary_sanjaya@yahoo.com,
4
emil.febrianto@gmail.com, 5adeksudtriyunanda@ymail.com
Abstract
The content of ions in the water is one of the reference water quality. That requires a method that could test the
ion content continuously with a high degree of accuracy. The river water is the source of water used for
drinking, irrigation and industry, so it is necessary to continuously analyzes. In this study we analyzed the
content of cations and anions such as sodium (Na +), magnesium (Mg2+), calcium (Ca2+), chloride (Cl-), bromine
(Br-), and sulfate (SO42-) were performed by varying the eluent , eluent concentration and concentration of ions,
as well as the measurement is done by HIC. These cations and anions that are often found in fresh water, that
cause of the decline in water quality as pollutant such as pesticides, detergents and hardness in high
concentrations. This research has been applied to determine the content of these ions in the river water in the
Padang city. These results indicate that the eluent 5 mM oxalic acid as the mobile phase to determine cations
and 4 mM sodium benzoate as the mobile phase for anions. The results showed that the concentration of sodium
= 2,95 ppm, magnesium = 5,22 ppm, calcium = 58,40 ppm, chloride = 1,01 ppm, sulfate = 17,3 ppm and for
bromide was not detected in sample river water.
Keywords: High Ion Chromatography, Cations, Anions, River Water of Padang City

hanya 2,75 %. Hal ini menunjukan bahwa air


yang digunakan oleh manusia untuk keperluan
domestik, irigasi, industri, dan sebagainya,
serta oleh tumbuh-tumbuhan dan hewanhewan darat hanya tersedia dalam porsi yang
kecil dari seluruh total air yang ada (1).
Namun jumlah air tawar yang kecil ini
dapat mengalami pencemaran yang luar biasa
yang dapat merusak kualitas air tersebut.
Pencemaran perairan dapat berasal dari
penggunaan pestisida, deterjen, shampoo, dan
lain-lain yang dibuang keperairan. Bahanbahan tersebut didalam air dapat terurai
menjadi anion-anion seperti Cl-, Br-, I-, SO42-,
SO32-, PO43-, Cr2O42-, BO2-, CO32-, C2O42-,
AsO43-, NO3-, NO2-,C2H3O2-, dan lain-lain.
Keberadaan anion yang melewati nilai ambang
batas (NAB) di perairan dapat menyebabkan
pencemaran perairan. Jenis anion yang umum
dijumpai dalam air tawar adalah klorida,
bromida dan sulfat.
Selain anion, beberapa kation dengan
kadar yang melebihi ambang batas juga dapat
menyebabkan pencemaran pada air tawar.
Pada air tawar, kation yang sering ditemukan
adalah kalsium, magnesium dan natrium pada
konsentrasi tinggi. Kalsium adalah unsur kimia
yang memegang peranan penting dalam

1. PENDAHULUAN
Air merupakan kebutuhan utama bagi
makhluk hidup, terutama manusia. Kandungan
zat zat yang terlarut dalam air merupakan salah
satu faktor yang sangat menentukan kualitas
air. Ion-ion yang terdapat dalam air dapat
menjadi penentu kualitas air, apakah air
tersebut dapat digunakan sebagai air minum,
untuk pertanian, industri atau sudah
mengalami pencemaran.
Kota Padang, Sumatera Barat dilalui oleh
beberapa sungai yang cukup besar seperti
Batang Kuranji, Batang Arau, Batang Anai,
Sungai Lubuk Minturun dengan panjang
masing-masing sungai mencapai 20 km. Air
sungai ini digunakan oleh warga kota Padang
sebagai perikanan, pertanian, kebutuhan rumah
tangga, air minum dan juga digunakan oleh
industri untuk kebutuhan dalam proses indutri
di pabriknya.
Air yang digunakan manusia adalah air
tawar yang bersumber pada air permukaan, air
tanah, dan air atmosfer, yang ketersediaannya
sangat ditentukan oleh air atmosfer atau sering
dikenal dengan air hujan. Air di planet bumi
ini seperti air asin yang merupakan bagian
terbesar, yakni 97,25 % sedangkan air tawar
1489

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

banyak proses geokimia. Ion kalsium bersamasama dengan magnesium dapat menyebabkan
kesadahan air. Dimana Air dengan kesadahan
yang tinggi memerlukan sabun lebih banyak
sebelum terbentuk busa. Sedangkan natrium
secara umum terdapat dalam konsentrasi tinggi
di dalam air tawar yang dapat menyebabkan
penurunan kualitas air bersama dengan ion
klorida (2).
Untuk mengetahui kadar dari ion-ion
tersebut secara terus menerus dibutuhkan satu
metoda analisa yang sangat bisa terpercaya dan
memberikan batas deteksi hingga konsentrasi
ppm maupun ppb. Salah satu metoda yang
dapat diandalkan untuk penentuan kadar ion
tersebut, baik anion maupun kation adalah
kromatografi penukar ion.
Kromatografi adalah suatu cara pemisahan
yang pertamakali diperkenalkan oleh seorang
botani dari Rusia pada tahun 1903 yaitu
Mikhail Semenovich Tswett (1872-1919),
yang memisahkan dan mengisolasi pigmen
pada daun. Sekarang ini, kromatografi telah
berkembang dengan sangat pesat, dimana
kromatografi adalah metoda yang umum dan
terbagi dalam beberapa teknik khusus dalam
pemisahan secara fisika dan kimia berdasarkan
kepada perbedaan distribusi dantara fasa diam
dan fasa gerak (3,4).
Kromatografi ion (IC) diperkenalkan pada
tahun 1975 oleh Small, Stevens dan Baumann
sebagai metode analisis baru (5). Kromatografi
pertukaran ion adalah bentuk kromatografi
yang mendayagunakan gaya-gaya ikatan kimia
dalam
proses
pemisahannya.
Dalam
pemisahannya terjadi perubahan struktural
dalam
molekulnya.
Komponen
yang
dipisahkan akan tertinggal bersama dengan
fase diam di dalam kolom dan penukarnya
akan keluar sebagai eluat (6).
Kromatografi penukar ion merupakan
metoda untuk penentuan ion yang digunakan
beberapa tahun belakangan ini. Hal ini sangat
cocok untuk penentuan anion dan kation
karena dapat mendeteksi secara simultan,
biaya analisis rendah, batas deteksinya tinggi
dan cepat dalam penganalisaan. Pada
penelitian ini telah dilakukan optimasi metoda
untuk penentuan kandungan kation natrium,
magnesium dan kalsium serta anion klorida,
bromida dan sulfat.

Alat-alat yang digunakan adalah 1 set


peralatan HIC dengan tipe Promenence Liquid
Chromatograp LC-20AD SP, peralatan gelas,
batang pengaduk, pipet tetes, labu semprot,
neraca analitik, ultrasonik dan kertas saring.
Bahan- bahan yang digunakan adalah aquades,
asam asetat (CH3COOH), asam oksalat
dihidrat
(H2C2O4.2H2O),
asam
tartarat
(C4H6O6), magnesium nitrat heksa hidrat
(Mg(NO3)2.6H2O),
natrium
karbonat
(Na2CO3),
kalsium
nitrat
dihidrat
Ca(NO3)2.4H2O, nartium klorida (NaCl),
Natrium Bromida (NaBr), natrium sulfat
(Na2SO4), natrium karbonat (Na2CO3),
natrium bikarbonat (NaHCO3), dan natrium
benzoat (C7H5NaO2).
B. Penentuan kondisi optimum eluen
untuk analisa ion Na+, Mg2+, Ca2+
pada variasi eluen dan konsentrasi
eluen
Larutan standar kation diinjeksikan
sebanyak 10 l ke dalam kolom penukar
kation menggunakan variasi fasa gerak yaitu
CH3COOH, H2C2O4 dan C4H6O6 dengan
variasi konsentrasi eluen yaitu 1 mM, 2,5 mM,
5 mM, 7,5 mM, 10 mM. Laju alir eluen yaitu 1
mL/menit. Dipilih komposisi fasa gerak yang
memberikan pemisahan terbaik berdasarkan
waktu retensi (tR).
C. Penentuan kondisi optimum eluen
untuk analisa ion Cl-, Br-, SO42pada variasi eluen dan konsentrasi
eluen
Larutan standar anion diinjeksikan
sebanyak 10 l ke dalam kolom penukar
kation menggunakan variasi fasa gerak
Na2CO3, C7H5NaO2, dan NaHCO3 dengan
variasi konsentrasi 20 mM; 15 mM; 10 mM; 5
mM dan 2 mM. Laju alir eluen yaitu 1
mL/menit. Dipilih komposisi fasa gerak yang
memberikan pemisahan terbaik berdasarkan
waktu retensi (tR).
D. Penentuan kadar Na +, Mg 2+, Ca2+,
Cl-, Br-, dan SO42- pada sampel secara
kromatografi penukar ion
Kondisi terpilih kemudian digunakan
pada analisis sampel air sungai. Sampel
tersebut disaring terlebih dahulu untuk
menghilangkan
kotoran-kotoran
yang
terkandung di dalamnya. Kemudian digetarkan
dengan ultrasonik untuk menghilangkan
gelembung-gelembung udara pada sampel

2. METODE PENELITIAN
A. Alat dan Bahan
1490

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

yang
nantinya
dapat
mengganggu
kromatogram yang dihasilkan. 10 l sampel
diinjeksikan ke dalam kolom penukar kation
dan dicatat waktu retensi puncak-puncak yang
dihasilkan sampel. Jika puncak-puncak
tersebut mempunyai waktu retensi yang kurang
lebih sama dengan waktu retensi puncak
larutan standar sampel simulasi, maka dapat
disimpulkan bahwa pada sampel air sungai
terdapat ion-ion tersebut.

dengan menggunakan HIC pada kondisi


optimum yang telah di dapatkan terlihat pada
gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2: Kromatogram Na+, K+, Mg2+, Ca2+, dan


Sr2+ 50 ppm dengan eluen asam
oksalat 5 mM, laju alir1 mL/menit,
injeksi 10 L

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Penentuan Kondisi Optimum Dengan
Menggunakan HIC
1. Variasi Fasa Gerak untuk kation
Fasa gerak atau eluen merupakan salah
satu
komponen
penting
yang
akan
mempengaruhi kesempurnaan pada suatu
pemisahan dalam kromatografi penukar ion.
Maka dari itu dilakukan variasi fasa gerak
untuk mencari kondisi optimum pemisahan
yang baik. Fasa gerak yang divariasikan
adalah asam oksalat, asam asetat, dan asam
tartarat. Dimana masing- masing dari fasa
gerak tersebut terdiri dari lima konsentrasi
yaitu 1 mM, 2,5 mM, 5 mM, 7,5 mM, dan10
mM.
Pengujian
dilakukan
dengan
menggunakan sampel ion Na+, Mg2+, dan Ca2+
pada satu konsentrasi yaitu 50 ppm.
Kromatogram yang memperlihat puncak yang
tajam yakni kromatogram yang dihasilkan
dengan menggunakan fasa gerak asam oksalat
5 mM dapat dilihat pada gambar 1 di bawah
ini:

2. Variasi Fasa Gerak untuk anion


Fasa gerak yang divariasikan adalah
natrium karbonat, natrium bikarbonat dan
natrium benzoat. Kolom yang digunakan pada
HIC adalah tipe IC-A3 dari produk Shimadzu
yang berisikan fasa diam berupa ammonium
kuartener group. Fasa gerak yang divariasikan
masing-masing terdiri dari lima konsentrasi
yaitu 2 mM, 5 mM, 10 mM, 15 mM dan 20
mM.
Pengujian
dilakukan
dengan
menggunakan sampel ion Cl-, Br- dan SO42pada satu sampel pada satu konsentrasi 100
ppm.
Kromatogram
yang
memperlihatkan
puncak yang tajam dengan intensitas yang
tinggi yakni kromatogram yang dihasilkan
dengan menggunakan fasa gerak natrium
benzoat 5 mM, dapat dilihat pada gambar 3 di
bawah ini.

Gambar 1: Kromatogram Na+, Mg2+, Ca2+ 50 ppm


dengan eluen asam oksalat 5 mM,
laju alir1 mL/menit, injeksi 10 L

Gambar 3. Kromatogram Cl-, Br-, SO42- dan NO350 ppm dengan eluen natrium benzoat
5 mM, laju alir 1 mL/menit, injeksi 10
L

Hasil ini membuktikan pemisahan sudah


sempurna dibanding 2 eluen yang lainnya,
sehingga ditetapkan sebagai kondisi optimum
untuk pemisahan ion Na+, Mg2+, dan Ca2+
dengan menggunakan kromatografi penukar
ion.
Sampel simulasi ini mengandung ion Li+,
+
Na , K+, Mg2+, Ca2+, dan Sr2+ yang di ukur

Namun setelah dilakukan penentuan untuk


anion simulasi seperti NO3-, terdapat puncak
yang berdempet antara NO3- dan SO42-. Hal ini
di sebabkan karena anion NO3- dan SO42memiliki waktu retensi yang berdekatan yaitu
5,8 dan 6,1 menit. Untuk itu dilakukan kembali
analisis anion Cl-, Br-, SO42- dan NO3- secara
1491

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Gambar 5: Kromatogram sampel dengan eluen
asam oksalat 5 mM, laju alir1
mL/menit, injeksi 10L

simultan dengan cara memperkecil konsentrasi


dari eluen natrium benzoat 5 mM menjadi 4
mM. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 4
dibawah ini.

Cl-

SO42-

Gambar 6. Kromatogram Sampel dengan eluen


Natrium Benzoat 4 mM, laju alir 1
mL/menit, injeksi 10 L

Gambar 4. Kromatogram Cl-, Br-, SO42- dan NO350 ppm dengan eluen natrium benzoat
4 mM, laju alir 1 mL/menit, injeksi 10
L

Dari kromatogram pada gambar 5 dan 6 di


atas
dilakukan
perhitungan
terhadap
kandungan kation dan anion berdasarkan pada
larutan standar. Diperoleh kadar kation dan
anion pada sungai Batang Arau pada daerah
Lubuk Begalung seperti pada tabel 1 berikut
ini.

Dapat dilihat pada kromatogram ini sudah


memberikan hasil pemisahan yang sempurna
sehingga ditetapkan sebagai kondisi optimum
untuk pemisahan anion Cl-, Br-, SO42- dan NO3dengan menggunakan kromatografi penukar
ion. Disana terlihat ion Cl- muncul lebih dulu
pada waktu retensi 3,7 menit; ion Br- pada
waktu retensi 5,5 menit; ion SO42- pada waktu
retensi 7,9 menit dan ion NO3- pada waktu
retensi 6,6 menit.

Tabel 1. Kadar Ion Sampel


No
Ion
Kadar (ppm)
1
Natrium
2,95
2
Magnesium
5,22
3
Kalsium
58,40
4
Klorida
1,01
5
Bromida
--6
Sulfat
17,83

B. Pengukuran sampel air sungai dengan


menggunakan HIC
Kondisi optimum pada penentuan kation
dan anion tersebut telah diaplikasikan pada
sungai Batang Arau dengan titik pengambilan
sampel pada daerah aliran sungai yang
melewati Lubuk Begalung. Sampel diambil
pada siang hari pada tahun 2015 dengan
kondisi udara cerah. Sampel ini mengalami
proses penyaringan terlebih dahulu sebelum
diukur dengan HIC dan di ultrasonic selama 5
menit untuk menghilangkan gelembung udara
pada sampel tersebut yang nantinya akan
mengganggu
pada
saat
pengukuran.
Kromatogram yang dihasilkan dapat dilihat
pada gambar 5 dan 6 di bawah ini:

Pada tabel 1 di atas terlihat bahwa kadar


kesadahan untuk sampel bisa dikatakan
tingkat kesadahannya belum terlalu tinggi atau
masih aman untuk masyarakat melakukan
aktivitas kesehariannya. Menurut Peraturan
Menteri
kesehatan
RI
nomor
492/MENKES/PER/IV/2010
tentang
persyaratan kualitas air minum menyatakan
kadar maksimum kesadahan yang di
perbolehkan adalah 500 mg/L(7).Sedangkan
Peraturan Menteri Kesehehatan nomor
416/MEN.KES/PER/IX/1990 tentang syaratsyarat dan pengawasan kualitas air menyatakan
bahwa kadar kesadahan yang di perbolehkan
pada air minum, air bersih, air kolam renang
adalah 500 mg/L(8).
Untuk anion dapat dilihat bahwa kadar
yang didapatkan masih aman dan tidak
menyebabkan
pencemaran
lingkungan.
Menurut Effendi(9) menyatakan bahwa kadar

1492

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Cl- di air tawar sekitar 8,3 mg/L dan sulfat


berkisar dibawah 250 mg/L.

5. REFERENSI
1. Amdani, Khairul. 2001. Sumber Daya Air
Tawar. Jurnal Pendidikan Science. Medan.
2. Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan.
Yogyakarta: Universitas Negeri Jakarta
3. P. A. Williams, M. J. Hudson. 1987. Recent
Developments in Ion Exchange, Elsevier,
London, New York
4. T. I. Williams. 1948. An Introduction to
Chromatography, Blackie & Son Ltd., London,
Glasgow
5. J. Weiss, Ion Chromatography. 1995. 2nd ed.,
VCH, Weinheim, New York, Basel, Cambridge,
Tokyo
6. Wonorahardjo, S. 2013. Metode-Metode
Pemisahan Kimia. Jakarta: Akademia Permata
7. Depkes RI. 2010. Peraturan Mentri Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010
Tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum. Jakarta
8. Depkes RI. 2010. Peraturan Mentri Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
416/MEN.KES/PER/IX/1990 Tentang Syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas Air. Jakarta
9. Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi
Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisus, Yogyakarta

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
diperoleh dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut.
1. Kondisi optimum yang diperoleh dari
variasi eluen adalah natrium benzoat 4
mM untuk analisa anion dan variasi
eluen adalah asam oksalat 5 mM untuk
analisa kation masing-masing dengan
laju alir 1 mL/menit dan volume injeksi
sampel 10 L.
2. Aplikasi pada sungai Batang Arau
diperoleh kadar natrium 2,95 ppm,
magnesium 5,22 ppm, kalsium 58,40
ppm, klorida 1,01 ppm, 17,83 ppm dan
bromida tidak terdeteksi. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa kadar ion
yang dianalisa masih dibawah ambang
batas pencemaran air.

1493

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

ISOLASI DAN UJI ANTIOKSIDAN SENYAWA KUMARIN DAN FLAVONOID


DARI TANAMAN Fagraea ceilanica Thunb.
Bustanul Arifin1) , Afrizal Itam, Norman Ferdinal, Rian Wahyu, Rizki Alfajri
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas Universitas Andalas, Padang 25613
e-mail: 1ba_arifin@yahoo.co.id HP: 08126752199
Abstract
Isolation coumarin compounds of Fagraea ceilanica Thunb leaves and flavonoid compounds from the bark
Fagraea ceilanica Thunb has been done by maceration method using n-hexane, ethyl acetate and methanol. At
the ethyl acetate extract was carried out using a chromatography column eluent n-hexane and ethyl acetate in a
polar-rise. Compounds isolated from leaves in the form of a white solid, melting point 140-1410C. Ultraviolet
spectra were obtained absorption at a wavelength of 227 and 311 nm. While the infrared spectrum showed the
presence of substituents OH, C = O, C = C and C-H. The antioxidant activity was very weak with IC50 value of
4098 mg / L.. While the compounds isolated from the bark in the form of yellow colored crystals, melting point
205-2070C. Ultraviolet spectra were obtained absorption at a wavelength of 288; 296; 344 nm. While the
infrared spectrum showed the presence of substituents OH, C = O, C = C, C-O and C-H. The antioxidant
activity was relatively weak with IC50 values of 358 mg / L.
Keywords: Fagraea ceilanica, kumarin, flavonid, antioksidan
Abstrak
Isolasi senyawa kumarin dari daun Fagraea ceilanica Thunb dan senyawa flavonoid dari kulit batang Fagraea
ceilanica Thunb telah dilakukan dengan metoda maserasi menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat dan
metanol. Ekstrak etil asetat dilakukan kolom kromatografi menggunakan eluen n-heksana dan etil asetat dengan
kepolaran bertingkat. Senyawa hasil isolasi dari daun berupa padat bewarna putih, titik leleh 140-1410C.
Spektrum ultra violet diperoleh serapan pada panjang gelombang 227 dan 311 nm. Sedangkan spektrum
inframerah menunjukan adanya subtituen OH, C=O, C=C, dan C-H. Aktfitas antioksidan sangat lemah dengan
nilai IC50 sebesar 4098 mg/L. Sedangkan senyawa hasil isolasi dari kulit batang berupa kristal bewarna kuning,
titik leleh 205-2070C. Spektrum ultra violet diperoleh serapan pada panjang gelombang 288; 296; 344 nm.
Sedangkan spektrum inframerah menunjukan adanya subtituen OH, C=O, C=C, C-O dan C-H. Aktfitas
antioksidan tergolong lemah dengan nilai IC50 sebesar 358 mg/L.
Kata kunci: Fagraea ceilanica, kumarin, flavonid dan antioksidan

penelitian terhadap famili Gentianceae dan


genus Fagraea, telah dilaporkan kandungan
berbagai senyawa metabolit sekunder seperti
fagraldehid5, gentisin, orientin6, fagraeoside7,
dan eudesmin8.
Bioaktifitas metabolit sekunder dari
famili dan genus ini yang telah dilaporkan
diantaranya antiinflamasi6, aktifitas hipoglikemik9, antiplasmodium5, dan antibakteri6. Salah
satu spesies dari genus Fagraea adalah
Fagraea ceilanica Thunb., namun laporan
mengenai metabolit sekundernya masih sangat
minim sehingga perlu dilakukan penelitian
terkait pada spesies ini.

1. PENDAHULUAN
Penggunaan bahan alam sebagai obat
maupun tujuan lain cenderung meningkat.
Tumbuhan obat yang dikenal dengan obat
tradisional sudah banyak digunakan masyarakat dalam upaya pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Disamping itu banyak anggapan bahwa penggunaan tumbuhan obat relatif
lebih aman dibandingkan dengan obat sintetis.
Walaupun demikian bukan berarti tumbuhan
obat tidak memiliki efek samping yang
merugikan bila penggunaannya belum tepat.1
Genus Fagraea (Gentianaceae) telah
banyak digunakan secara tradisional sebagai
obat-obatan dan parfum. Tumbuhan ini
tersebar luas seperti di India, Asia Tenggara,
China Selatan, Australia Utara serta di
Kepulauan
Pasifik.2,3,4.
Dari
beberapa

2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat distilasi, rotary evaporator
(Heidolph Laborota 4000), melting point appa1494

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ratus (Electrothermal MEL-TEMP), neraca


analitik (KERN), spektroskopi ultraviolet dan
sinar tampak (Shimadzu PharmaSpec UV1700), spektroskopi inframerah FTIR (Thermo
Scientific Nicolet iS10), lampu UV ( = 254
dan 356 nm), plat KLT (silica gel 60 F 254)
dan kolom kromatografi.
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu: metanol, n-heksan, etil asetat, aseton,
kloroform, asam klorida, logam magnesium,
silika gel, asam sulfat, natrium hidroksida,
ammonia, asam borat dan asam sitrat.

dengan
kromatografi
kertas
preparatif
menggunakan eluen n-butanol : asam asetat :
air (4:1:5). Hasil isolasi senyawa yang
didapatkan dilakukan karakterisasi untuk
mengetahui strukturnya (T.J. Mabry, at. al,
1970). Sedangkan hasil kolom kromatografi
fraksi etil asetat dari kulit batang dimurnikan
dengan cara rekristalisasi. Kemudian senyawa
hasil isolasi dilakukan karamterisasi.
2.2.4 Karakterisasi
Senyawa hasil isolasi dikarakterisasi secara
kimia dan spektroskopi. Karakterisasi secara
kimia yang dilakukan meliputi uji kumarin
dengan natrium hidroksida 10%10,11. Sedangkan untuk flavonoid dilakukan logam magnesium dan asam klorida. Karakterisasi secara
spektroskopi yang dilakukan yaitu spektoskopi UV/Vis, spektroskopi IR dan alat uji titik
leleh.

2.2. Prosedur Penelitian


2.2.1 Uji profil fitokimia sampel
Sampel uji yang digunakan yaitu daun segar
dan kulit batang Fagraea ceilanica Thunb.
Pengujian yang dilakukan diantaranya uji
flavonoid dengan shinoda tes, triterpenoid dan
steroid dengan reagen Liebermann-Burchard,
alkaloid dengan pereaksi Meyer, dan uji
kumarin dengan natrium hidroksida/UV.

2.2.5 Pengujian aktifitas antioksidan


Pengujian aktifitas antioksidan dilakukan
dengan metode antiradikal bebas DPPH15,16,
terhadap fraksi n-heksan, etil asetat, metanolair serta senyawa hasil isolasi.
Larutan DPPH 50 g/mL dibuat dengan
cara melarutkan 2,5 mg DPPH dalam labu
ukur dengan metanol hingga volume 50 mL.
Sebanyak 10 mg ekstrak masing-masing fraksi
dilarutkan dengan metanol hingga volume 10
mL, sehingga diperoleh larutan induk sampel
uji 1000 g/mL. Dari larutan induk dibuat
larutan uji dengan konsentrasi 150, 250, 350,
450, 550, dan 650 g/mL. Untuk senyawa
hasil isolasi dibuat larutan uji dengan
konsentrasi 40, 80, 120, 160 dan 200 g/mL.
Disiapkan juga larutan asam askorbat sebagai
pembanding. Sebanyak 1 mg asam askorbat
dilarutkan dengan metanol hingga volume 100
mL sehingga didapatkan larutan induk asam
askorbat 10 g/mL. Dari larutan induk
kemudian dibuat larutan uji dengan konsentrasi
0,5; 2; 3,5; 5 dan 6,5 g/mL.
Sebagai larutan kontrol pada pengujian ini
adalah metanol. Kontrol dan masing-masing
larutan uji diambil sebanyak 1 mL kemudian
ditambahkan 2,5 mL DPPH dan didiamkan
selama 30 menit dan campuran dihindarkan
dari cahaya. Setelah itu diukur absorbansi
larutan campuran pada panjang gelombang 516
nm. Dari nilai absorbansi kemudian ditentukan
persen inhibisi dan IC50.

2.2.2 Ekstraksi dan fraksinasi


Sebanyak 1000 gram sampel kering diekstrak
dengan menggunakan metode maserasi
mengggunakan pelarut metanol. Proses
maserasi dilakukan selama 3 hari pada suhu
ruang. Hasil maserasi disaring dan filtrat
dipekatkan dengan rotary evaporator.
Maserasi dilakukan beberapa kali hingga
pelarut tidak berwarna lagi, dan dilanjutkan
dengan proses fraksinasi. Sebanyak 200 gram
ekstrak pekat metanol dilarutkan dalam air dan
difraksinasi dengan pelarut n-heksan dan etil
asetat. Dari proses fraksinasi didapatkan tiga
fraksi yaitu fraksi heksan, etil asetat dan
metanol-air.
2.2.3 Kromatografi kolom
Sebanyak 10 g fraksi etil asetat dilakukan
kolom kromatografi dengan menggunakan
eluen n-heksan dan etil asetat menggunakan
sistem step gradien polarity (SGP). Hasil
kolom kromatografi dilakukan kromatografi
lapisan tipis (KLT) dengan pengungkap noda
uap iodium. Untuk fraksi yang mempunyai
pola noda dan harga Rf yang sama digabung
menjadi satu fraksi dan selanjutnya dipekatkan
dengan rotari evaporator.
Hasil kolom kromatografi terhadai fraksi
etil asetat dari daun dilakukan uji flavonoid
dan dilakukan kromatografi kertas untuk
menentukan adanya senyawa flavonoid. Fraksi
yang positif terhadap uji flavonoid dimurnikan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


1495

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

3.1 Profil fitokimia sampel


Hasil pengujian diketahui bahwa kulit batang
Fagraea ceilanica Thunb. mengandung
senyawa kumarain dan daun Fagraea ceilanica
Thunb. mengandung senyawa flavonoid.

asetat (5:5) dan 0,82 dengan eluen n-heksan :


aseton (3:7).
3.4 Karakterisasi dan analisis senyawa hasil
isolasi
1. Daun Fagraea ceilanica Thunb.
Hasil karakterisasi secara kimia senyawa
hasil isolasi dengan berbagai reagen
menunjukan
bahwa
senyawa
tersebut
merupakan
senyawa
fenolik golongan
kumarin. Titik leleh senyawa hasil isolasi
berada pada rentang 140,7-140,9oC.
Pada spektrum UV yang didapatkan,
serapan maksimum senyawa hasil isolasi
muncul pada panjang gelombang 211,0; 227,6
dan 311,2 nm. Pola spektrum senyawa hasil
isolasi memiliki kemiripan dengan pola
spektrum senyawa pinnarin13.
Pada spektrum inframerah senyawa hasil
isolasi yang didapatkan, bisa diamati beberapa
pita serapan penting yang terdapat pada
senyawa hasil isolasi. Pita serapan pada angka
gelombang 3378 cm-1 mengindikasikan adanya
gugus OH, 1685 cm-1 mengindikasikan adanya
C=O dan serapan pada 1600 cm-1 mengindikasikan adanya C=C pada sistim aromatis. Pita
serapan pada angka gelombang 1433 cm-1
mengindikasikan adanya C-H. Pita serapan di
pada 1100-1300 cm-1 mengindikasikan adanya
gugus ester. Adanya pita serapan penting
senyawa kumarin seperti serapan gugus ester,
C=C aromatis dan gugus karbonil semakin
mempertegas kesimpulan bahwa senyawa hasil
isolasi merupakan golongan kumarin.

3.2 Ekstraksi dan fraksinasi


1. Daun Fagraea ceilanica Thunb.
Dari proses fraksinasi ekstrak metanol
didapatkan fraksi n-heksan sebanyak 26,2
gram (rendemen 13,1%), fraksi etil asetat
sebanyak 12,6 gram (rendemen 6,3%), dan
fraksi metanol-air sebanyak 160,4 gram
(rendemen 80,2%).
2. Kulit batang Fagraea ceilanica Thunb. Dari
proses fraksinasi ekstrak metanol didapatkan
fraksi n-heksan sebanyak 15,8 gram (rendemen
2,63%), fraksi etil asetat sebanyak 23,4 gram
(rendemen 3,90%), dan fraksi metanol-air
sebanyak 12,4 gram (rendemen 2,06%).
3.3 Isolasi senyawa metabolit sekunder
1. Daun Fagraea ceilanica Thunb.
Kromatografi kolom dari fraksi etil asetat
diperoleh hasil sebanyak 380 vial. Setelah
dikelompokan berdasarkan pola noda yang
sama pada plat KLT dengan eluen nheksan:etil asetat (6:4) diperoleh fraksi A
sampai O. Fraksi yang dimurnikan lebih lanjut
yaitu fraksi B dengan jalan dekantasi. Fraksi B
dipilih karena merupakan fraksi dengan jumlah
yang memadai untuk dimurnikan lebih lanjut
dan memiliki pola noda yang paling sederhana
dibanding fraksi lainnya. Senyawa hasil isolasi
yang diperoleh berupa kristal jarum berwarna
putih dengan nilai Rf 0,62 dengan eluen nheksan : etil asetat (7:3), 0,90 dengan eluen nheksan : etil asetat (5:5) dan 0,20 dengan eluen
n-heksan:aseton (8:2).
2. Kulit Batang Fagraea ceilanica Thunb.
Kromatografi kolom dari fraksi etil asetat
diperoleh hasil sebanyak 436 vial. Setelah
dikelompokan berdasarkan pola noda yang
sama pada plat KLT dengan eluen n-heksan:
etil asetat (6:4) diperoleh fraksi A sampai M.
Fraksi yang dimurnikan lebih lanjut yaitu
fraksi H dengan jalan dekantasi. Fraksi H
dipilih karena merupakan fraksi dengan jumlah
yang memadai untuk dimurnikan lebih lanjut
dan memiliki pola noda yang paling sederhana
dibanding fraksi lainnya. Senyawa hasil isolasi
yang diperoleh berupa kristal kuning dengan
nilai Rf 0,42 dengan eluen n-heksan : etil
asetat (7:3); 0,62 dengan eluen n-heksan : etil

2. Kulit batang Fagraea ceilanica Thunb.


Sedangkan senyawa hasil isolasi dari
kulit batang berupa kristal bewarna kuning,
titik leleh 205-2070C. Spektrum ultra violet
diperoleh serapan pada panjang gelombang
288; 296; 344 nm.
Sedangkan
spektrum
inframerah
menunjukkan adanya subtituen OH pada angka
gelombang 3318 cm-1, C=O pada 1698 cm-1,
C=C pada 1602 cm-1, C-O pada 1026 cm-1 dan
C-H pada 1446 cm-1.
3.5 Pengujian aktivitas antioksidan
Uji antioksidan dilakukan terhadap fraksi nheksan, etil asetat, air serta senyawa hasil
isolasi dan digunakan asam askorbat sebagai
pembanding. Hasil uji antioksidan tersebut
dapat dilihat pada Tabel 1.

1496

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
2. Motley T.J., 2004, The ethnobotany of Fagraea
Thunb. (Gentianaceae) : The timber of Malesia
and the scent of Polynesia, Economic Botany,
58(3):396-409.
3. Majumdar K., Datta B.K., Shankar U., 2012, Ten
new additions of tree species to the flora of Tripure
state, North East India : Distributional range
extension and geographic map, NeBio, 3(1):17-24.
4. Weaver R.E, Anderson P.J., 2007, Botany section,
TRI-OLOGY, 46(2).
5. Jonville M-C., Capel M., Frederich M., Angenot
L., Dive G., Faure R., Azas N., Ollivier E., 2008,
Fagraldehyde, a secoiridoid isolated from Fagraea
fragrans,
Journal
of
natural
products,
71(12):2038-2040.
6. Jensen
S.R.,
Schripsema
J.,
2002,
Chemotaxonomy
and
pharmacology
of
Gentianaceae. In: Gentianaceae : Systematics and
natural history, Cambridge University press, hal
199-201.
7. Suciati., Lambert L.K., Ross B.P., Deseo M.A.,
Garson M.J., 2011, Phytochemical study of
Fagraea spp. uncovers a new terpene alkaloid with
anti-inflammatory properties, Australian journal of
chemistry, 64:489-494.
8. Kaikaew K., Mahabusarakam W., 2010,
Furofuran lignans from the stem bark of Fagraea
fragrans Roxb. Proceedings of 7th IMT-GT
UNINET and the 3rd International PSU-UNS
Conferences on Bioscience, Prince of Songkla
University, Thailand.
9. Singh A., 2008, Phytochemicals of Gentianaceae :
A review of pharmacological properties,
International journal of pharmaceutical sciences
and nanotechnology, 1(1):33-36.
10. Wagner H., Bladt S., 2001, Plant drug analysis :
A thin layer chromatography atlas, 2nd ed.,
Springer, hal 358-364.
11. Waksmundzka-Hajnos M., Sherma J., Kowalska
T., 2008, Thin layer chromatography in
phytochemistry, CRC press, hal 185-189.
12. Jork H., Werner F., Fischer W., Wimmer H.,
1994, Thin-layer chromatography : Reagents and
detection methods, VCH verlagsgesellschaft, hal
214 dan 446.
13. Murray R.D.H., Mendez J., Brown S.A., 1982,
The Natural Coumarins : Occurrence, chemistry
and Biochemistry, John wiley and Sons, hal 28.
14. Spangenberg B., Poole C.F., Weins C., 2011,
Quantitative thin-layer chromatography : A
practical survey, Springer, hal 189.
15. Enujiugha V.N., Talabi J.Y., Malomo S.A.,
Olagunju A.I., 2012, DPPH radical scavenging
capacity of phenolic extracts from African yam
beam (Sphenostylis stenocarpa), Food and
nutrition sciences, 3:7-13.
16. Kumar H.N.K., Navyashree S.N., Rakshitha
H.R., Chauhan J.B., 2012, Studies on the free
radical scavenging activity of Syagrus
romanzoffiana,
International
journal
of
pharmaceutical and biomedical research,
3(2):81-84.

Tabel 1. Hasil uji antioksidan masing-masing


fraksi dan senyawa hasil isolasi
No.

Sampel Uji

1.
2.
3.
4.
5.

Fraksi n-heksan
Fraksi etil asetat
Fraksi Air
Senyawa isolasi
Asam askorbat

IC50 (g/mL)
Daun
Kulit
Batang
864,24
6490,78
353,29
175,68
430,22
118,76
4098,00
358,71
5,56

Tinggi rendahnya aktifitas antioksidan suatu


senyawa dapat dilihat dari nilai IC50. Semakin
rendah nilainya maka semakin baik aktifitas
antioksidan senyawa tersebut. Dari hasil perhitungan IC50 yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa fraksi etil asetat memiliki aktifitas
antioksidan paling baik diantara ketiga fraksi
tersebut, ditunjukan dengan nilai IC50 paling
rendah jika dibandingkan dengan fraksi lainnya. Jika dibandingkan dengan asam askorbat,
nilai IC50 ketiga fraksi jauh lebih besar, maka
dapat disimpulkan bahwa aktifitas antioksidan
ketiga fraksi kurang aktif dibanding asam askorbat. Walaupun berasal dari fraksi etil asetat,
senyawa hasil isolasi menun-jukan nilai IC50
yang jauh lebih besar dari pada fraksi tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa senyawa hasil
isolasi bukanlah senyawa yang aktif sebagai
antioksidan pada fraksi etil asetat tersebut.
4. KESIMPULAN
Senyawa hasil isolasi termasuk kedalam
golongan kumarin dengan titik leleh 140,7140,90C. Senyawa ini memiliki gugus OH,
stretching C=O, stretching C=C aromatis,
bending C-H pada bidang, gugus ester dan
gugus nitril (-CN). Senyawa ini kurang aktif
sebagai antioksidan dengan nilai IC50
didapatkan sebesar 4098 g/mL. Sedangkan
senyawa hasil isolasi dari kulit batang berupa
kristal kuning, titik leleh 205-2070C. Spektrum
ultra violet diperoleh serapan pada panjang
gelombang 288; 296; 344 nm. Sedangkan
spektrum inframerah menunjukan adanya
subtituen OH, C=O, C=C, C-O dan C-H.
Aktfitas antioksidan tergolong lemah dengan
nilai IC50 sebesar 358 mg/L.
REFERENSI
1. Daniel, 2010, Isolasi dan identifikasi senyawa
flavonoid pada fraksi etil asetat dari daun
tumbuhan sirih merah (Piper crocatum Ruiz &
Pav), Mulawarman Scientifie, 9(2):17-26.

1497

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

SINTESIS HIDROKSIAPATIT BERPORI DARI CANGKANG KEONG


SAWAH (Bellamya javanica) DENGAN POROGEN POLIVINIL
ALKOHOL DAN PATI SINGKONG
Charlena 1), Irma Herawati Suparto2), Kartika Ayu Kusumawardhani
1
FMIPA Institut Pertanian Bogor
email: charlena.ipb@gmail.com
2
FMIPA Institut Pertanian Bogor
email: irma.suparto@yahoo.com

Abstract
Hydroxyapatite (HAp) (Ca10(PO4)6(OH)2) is a bioceramicswithchemical composition similar to
bone tissue. The purpose of this study was to synthesize porous HAp from snail shell as a calcium
sourceby using polyvinyl alcohol and starch as porogen agents. The method used was wet method
(precipitation) by reacting Ca(OH)2 and H3PO4 85% at 40 oC and pH 10. Synthesis of theporous
HAp was carried out by adding PVA and starch as porogen with the ratio of 10%:20%, 15%:15%,
20%:10%. Spectrum of X-ray diffraction showed that HAp is the dominant phase. In addition, there
were alsoother HAp phase such as Ca10(PO4)6CO3 and Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2. Scanning electron
microscope analysis showed that the best HAp was obtained from porogen PVA and starch at
10%:20% ratio with maximum pore size was 7.2 m. Analysis of functional groups by using Fourier
transform infrared spectrum showing OH-, PO43-, and CO32- functional groups at HAp without
porogen and that with PVA:starch (10%:20%).
Keywords: cassava starch, hydroxyapatite, polyvinyl alcohol, porogen.
dalam siput air tawar. Berdasarkan penelitian
Winata (2012), kandungan kalsium pada
cangkang keong sebesar 52%. Oleh sebab itu,
cangkang keong dapat digunakan sebagai
sumber kalsium dalam sintesis HAp.
Penelitian tentang HAp kini dikembangkan
untuk biokeramik HAp dengan morfologi
berpori. Pori-pori pada HAp akan menjadi
kantung oksigen dan tempat tumbuhnya saraf
dari tulang, sehingga pori tersebut menjadi
tempat tumbuhnya selsel tulang baru.
Pengendalian ukuran pori perlu dilakukan agar
didapat HAp dengan ukuran pori dankekuatan
mekanis
sesuai
dengan
kebutuhan
(Purwamargapratala 2011). Pembentukan HAp
berpori dapat dilakukan menggunakan bahan
porogen yang akan menghilang selama proses
sintering. Bahan-bahan yang dapat digunakan
sebagai porogen antara lain: parafin, naftalena,
pati atau beberapa polimer (Sopyan et al.
2007).
Bahan porogen yang digunakan pada
penelitian ini, yaitu PVA dan pati. Polivinil
alkohol bersifat nontoksik dan larut dalam air,
sehingga banyak digunakan diberbagai bidang,
antara lain bidang medis dan farmasi (Mutia
dan Eriningsih 2012). Pati mampu membentuk

1. PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi yang semakin
maju mendorong berkembangnya riset
mengenai implan. Pada berbagai kasus
kerusakan tulang (bone deffect) seperti
periodontitis, kanker tulang, dan lain
sebagainya, graft tulang sering digunakan
sebagai pengganti tulang yang rusak.
Hidroksiapatit (HAp) merupakan senyawa
mineral dan bagian dari kelompok mineral
apatit sebagai suatu bahan keramik yang
memiliki kesamaan komposisi kimia dengan
jaringan tulang (Bahrololoom et al. 2009).
Hidroksiapatit memiliki rumus molekul
Ca10(PO4)6(OH)2 dengan rasio Ca/P sekitar
1.67. Hidroksiapatit telah secara luas
digunakan untuk menambahkan, memperbaiki,
mengisi, dan merekonstruksi ulang jaringan
tulang yang telah rusak dan juga dalam
jaringan lunak. Hidroksiapatit dapat disintesis
dari beberapa sumber yang ada di alam
sepertikulit kerang, batu koral, tulang mamalia,
ataupun cangkang telur (Suryadi 2011).
Sumber yang digunakan pada penelitian ini
berasal dari kulit kerang, yaitu cangkang keong
sawah (Bellamya javanica) yang termasuk
1498

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

pori-pori kecil berukuran mikrometer dalam


HAp (Lei et al. 2005). Sumber pati baik
digunakan untuk aplikasi biomedis karena
memiliki sifat biodegradabel, biokompatibel,
dapat larut dalam air, dan harganya murah
(Sadjadi et al. 2010). Hidroksipatit dapat
disintesis dengan metode kering dan basah.
Metode basah yang paling terkenal dan paling
sering digunakan adalah metode pengendapan.
Hal ini karena dengan teknik ini dapat
disintesis HAp dalam jumlah besar tanpa
menggunakan pelarut-pelarut organik dan juga
dengan biaya yang tidak begitu mahal (Suryadi
2011).
Berdasarkan hasil morfologi mikroskop
elektron payaran (SEM) pada penelitian
Trianita (2012), ukuran pori dari variasi
konsentrasi HAp-PVA 10%, 15%, dan 20%
berada pada rentang 0.26-2.89 m, hasil yang
diperoleh dari HAp-pati dengan variasi
konsentrasi yang sama menghasilkan ukuran
yang mirip.Ukuran pori yang dihasilkan masih
kurang dari 100 m. Menurut Sopyan et al.
(2007), ukuran pori minimum yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan pada jaringan tulang
sekitar 100-150 m pada makropori. Untuk
memperbaiki ukuran pori pada penelitian
sebelumnya, maka dilakukan sintesis HApPVA-pati agar diperoleh ukuran pori yang
diharapkan.
Penelitian
ini
bertujuan
menyintesis HAp berpori dari cangkang keong
sawah dengan pencampuran porogen polivinil
alkohol dan pati singkong dengan nisbah 10%:
20%, 15%: 15%, dan 20%: 10% agar
didapatkan HAp dengan ukuran pori yang
diharapkan. Kemudian dilakukan pencirian
menggunakan difraksi sinar-X, SEM, dan
spektrofotometer inframerah transformasi
fourier. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat dibidang biomedis.

dengan proses tersebut, dilakukan pengadukan


menggunakan pengaduk magnetikpada suhu
40 C.Larutan NaOH 1M ditambahkan untuk
mengontrol nilai pH agar didapat nilai pH 10.
Larutan didiamkan pada suhu kamar selama 24
jam,kemudiandisentrifus
dan
divakum.
Endapan yang diperoleh dikeringkan dalam
oven pada suhu 100 C sampai endapan
menjadi kering. Selanjutnya, dipanaskan dalam
tanur pada suhu 1100 C selama 5 jam.
Sintesis Hidroksiapatit dengan
Porogen(Modifikasi Trianita 2012 dan
Poursamar et al. 2011)
Serbuk Ca(OH)2 (hasil kalsinasi
cangkang keong sawah) sebanyak 3.7000 g
dilarutkan dalam 25 mL etanol 96 %. Larutan
H3PO4 85 % sebanyak 1.5 mL dilarutkan
dalam 25 mL etanol 96 %. Larutan H3PO4 85%
dimasukkan dalam buret, dan larutan Ca(OH)2
berada dalam gelas piala. Proses pencampuran
kedua larutan tersebut dilakukan dengan cara
larutan H3PO4 85% diteteskan pada larutan
Ca(OH)2. Bersamaan dengan proses tersebut,
dilakukan
pengadukan
menggunakan
pengaduk magnetik pada suhu 40 C. Larutan
NaOH 1M ditambahkan untuk mengontrol
nilai pH. Kontrol pH yang dilakukan pada
penelitian ini, yaitu pada pH 10. Proses
selanjutnya ditambahkan larutan PVA dan pati
dengan
nisbah
konsentrasi10%:20%,
15%:15%, dan 20%:10%. Larutan PVA
maupun pati diteteskan secara perlahan-lahan
dan
dihomogenisasikan
menggunakan
pengaduk magnetik pada suhu 40 C. Larutan
didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar.
Kemudian disentrifus dan divakum. Endapan
yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada
suhu 100 C. Proses selanjutnya endapan
dipanaskan dalam tanur pada suhu 1100 C
selama 5 jam.

2. METODE PENELITIAN

Penentuan Pola Difraksi dan Kristalinitas


HAp dengan XRD
Sampel sebanyak 200 mg ditempatkan
pada suatu spesimen holder yang diletakkan
pada guaniometer dan dirotasikan pada sudut
kalibrasi (2) tertentu. Hasil yang diperoleh
berupa suatu difraktogram yang menunjukkan
fase yang terdapat dalam sampel. Data Joint
Committee on Powder Diffraction Standards
(JCPDS) digunakan sebagai pembanding untuk
mengetahui fase yang terkandung dalam HAp.

Sintesis Hidroksiapatit Tanpa


Porogen(Modifikasi Trianita 2012 dan
Poursamar et al. 2011)
Serbuk cangkang kerang Ca(OH)2 hasil
kalsinasi sebanyak 3.7000 g dilarutkan dalam
25 mL etanol 96 %. Laruan H3PO4 85 %
sebanyak 1.5 mL dilarutkan dalam 25 mL
etanol 96 %. Larutan H3PO4 85% dimasukkan
pada buret dan larutan Ca(OH)2 pada gelas
piala. Kedua larutan dicampurkan dengan cara
larutan H3PO4 85% diteteskan secara perlahanlahan ke dalam larutan Ca(OH)2. Bersamaan
1499

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

akhir proses pembentukan HAp, akan


terbentuk struktur apatit yang mengalami
defisiensi kalsium dan pada tahap sintering
akan mengalami dekomposisi sehingga
berubah menjadi trikalsium fosfat (Wojciech
dan Yoshimura 1998). Hidroksiapatit murni
dapat disintesis pada pH 10, campuran -TCP
dan HAp terbentuk pada pH 9, dan pada pH 8
fase yang dominan terbentuk adalah Ca2P2O7
(-TCP) (Kannan et al. 2006). Pola difraksi
sinar X HAp ditunjukkan pada Gambar1.

Penentuan Struktur Morfologi dan Pori


HAp dengan SEM
Sampel diletakkan pada plat alumunium
kemudian dilapisi dengan pelapis emas setebal
48 nm. Sampel yang telah dilapisi emas
diamati menggunakan SEM dengan tegangan
20 kV dan perbesaran 1000, 1500, dan 2000.
Pengukuran pori dapat dilakukan dengan
membandingkan diameter pada skala foto.
Penentuan Gugus Fungsi HAp dengan
FTIR
Sampel dibuat pelet telebih dahulu
dengan mencampurkan sebanyak 2 mg dengan
100 mg KBr. Pelet dianalisis dengan
jangkauan bilangan gelombang 4000-400 cm-1.
Identifikasi gugus fungsi yang ada dalam HAp
dapat dilakukan menggunakan FTIR.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1 Pola difraksi sinar X hidroksiapatit

Hidroksiapatit, merupakan padatan


kristalin yang tersusun atas kalsium dan fosfat
dengan rasio Ca/P = 1,67 (Darwis dan
Warastuti 2008). Sumber kalsium yang
digunakan pada penelitian ini berasal dari
cangkang keong sawah, sedangkan sumber
fosfat yang digunakan berasal dari asam
fosfat. Reaksi pembentukan HAp melibatkan
reaksi antara asam (H3PO4) dan basa
(Ca(OH)2) sebagai berikut :

Berdasarkan difraktogram sinar X HAp


(Gambar 1), puncak tertinggi berada pada
sudut 2 31.88 dengan intensitas 192 untuk
fase HAp. Selain faseHAp (Ca10(PO4)6(OH)2)
yang dominan, terdapat juga fase lain, yaitu
AKA
(Ca10(PO4)6CO3),
dan
AKB
(Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2). Senyawa Ca3(PO4)2
tidak terdeteksi lagi keberadaannya pada XRD.
Hal ini diduga karena pengaruh suhu pada
proses sintering. Sintering merupakan proses
pemanasan pada suhu tinggi dibawah titik
lebur sampel. Proses sintering bertujuan untuk
menghilangkan pengotor dan senyawa organik
lain yang ada pada sampel. Fase AKA
dibuktikan pada sudut 2 32.26. Fase AKB
dibuktikan pada sudut 2 49.54 dan 52.2.
Fase AKA dan AKB diduga karena
keberadaan CaCO3 yang ada pada cangkang
keong sawah hasil hidrasi, sehingga
mengganggu proses pembentukan kristal
apatit. Ion karbonat dapat menempati dua
posisi pada struktur HAp, yaitu pada posisi
pertama menggantikan OH- membentuk apatit
karbonat tipe A Ca10(PO4)6CO3 (AKA) pada
suhu tinggi dan posisi kedua menggantikan
membentuk apatit karbonat tipe B
Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2 (AKB) pada suhu
rendah (Aoki 1991). Derajat kristalinitas yang
diperoleh HAp adalah 82.34%.

10Ca(OH)2(aq) + 6H3PO4(aq)
Ca10(PO4)6(OH)2(s) + 18H2O(l)
Reaksi
antara
Ca(OH)2
dan
H3PO4
menghasilkan produk samping berupa air.
Komposisi Ca(OH)2 dan H3PO4 didapat
berdasarkan perhitungan stoikiometri terhadap
rasio konsentrasi Ca/P yaitu 1.67. Pada
penelitian ini dilakukan sintesis HAp tanpa
porogen dan dengan porogen. Porogen yang
digunakan adalah polivinil alkohol (PVA) dan
pati singkong dengan variasi konsentrasi.
Metode yang digunakan pada penelitian
ini, yaitu metode presipitasi karena murah,
mudah mengontrol komposisi dan karakteristik
fisik dari HAp, serta proses sintesisnya relatif
lebih
mudah.
Metode
presipitasi
(pengendapan) merupakan metode yang sering
digunakan dalam sintesis HAp (Pankaew et al.
2010). Reaksi pengendapan dilakukan pada
suhu tidak lebih dari 100C. Kontrol terhadap
pH dilakukan agar nilai pH selalu lebih besar
dari 9 karena jika kurang maka pada tahap
1500

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dengan sudut 2 25.94 dan 32.26, sedangkan


fase AKB dibuktikan dengan sudut 2 52.16.
Penambahan porogen polivinil alkohol
dan pati mampu meningkatkan kemurnian
HAp, terbukti dengan berkurangnya fase selain
HAp
(Ca10(PO4)6(OH)2)
seperti
AKA
(Ca10(PO4)6CO3) dan AKB (Ca10(PO4)3(CO3)3
(OH)2) pada difraktogram. Hal ini terjadi
karena porogen mampu mengikat pengotor
sehingga dapat mengurangi pembentukan fase
lain (Trianita 2012).

Sintesis Hidroksiapatit Berpori


Sintesis HAp berpori dilakukan dengan
menggunakan porogen PVA dan pati
singkong. Polivinil alkohol dan pati singkong
dicampurkan secara bersamaan ketika proses
sintesis HAp berlangsung. Porogen ini akan
menghilang dan membentuk pori ketika proses
sintering. Konsentrasi PVA dan pati singkong
yang
digunakan
adalah
(10%:20%),
(15%:15%), (20%:10%). Total porogen yang
digunakan pada penelitian ini sebanyak 30%.
Total porogen yang digunakan dalam
pembuatan HAp harus kurang dari 30% karena
jika lebih dari 30% akan membentuk komposit.
Pola difraksi sinar X HAp dengan porogen
PVA dan pati dengan variasi konsentrasi
ditunjukkan pada Gambar 5.

Tabel 1 Derajat kristalinitas hidroksiapatit


berporogen
Sampel
Derajat kristalinitas (%)
HAp-PVA-pati
85.82%
(10%:20%)
HAp-PVA-pati
88.29%
(15%:15%)
HAp-PVA-pati
95.34%
(20%:10%)
Derajat kristalinitas dapat dihitung
dengan cara membandingkan luas kristalin
dengan jumlah luas kristalin dan luas amorf.
Kristalinitas
sampel
berkaitan
dengan
keteraturan susunan atom. Semakin besar nilai
kristalinitasnya maka, semakin teratur susunan
atomnya. Derajat kristalinitas yang diperoleh
HAp dengan porogen PVA:pati (10%:20%)
adalah 85.82% (Tabel 1). Derajat kristalinitas
yang diperoleh HAp dengan porogen PVA:pati
(15%:15%)
adalah
88.29%.
Derajat
kristalinitas yang diperoleh HAp dengan
porogen PVA:pati (20%:10%) adalah 95.34%.
Mekanisme pembentukaan pori pada
Hap terjadi ketika proses sintering. Modifikasi
pori dengan penambahan porogen polivinil
alkohol dan pati menyebabkan ukuran pori
yang terbentuk lebih besar. Porogen akan
masuk kedalam pori HAp dan memodifikasi
ukuran pori. Porogen akan menghilang selama
proses sintering dan membentuk pori.

Gambar 2 Pola difraksi sinar X hidroksiapatit


dengan porogen (a) PVA:pati (10%:20%) (b)
dengan porogen PVA:pati (15%:15%) (c)
dengan porogen PVA:pati (20%:10%)
Berdasarkan difraktogram sinar X
(Gambar 2) HAp dengan porogen PVA:pati
(10%:20%), puncak tertinggi berada pada
sudut 2 31.82 dengan intensitas 258 untuk
fase HAp. Difraktogram sinar X menunjukkan
bahwa fase HAp adalah fase yang dominan,
selain itu juga terdapat fase AKA. Fase AKA
dibuktikan pada sudut 2 32.22. Puncak
tertinggi dari HAp dengan porogen PVA:pati
(15%:15%) berdasarkan difraktogram sinar X
terdapat pada sudut 2 31.78 dengan
intensitas 246 untuk fase HAp. Fase lain yang
terbentuk adalah AKB pada sudut 2 32.20
dan 52.16. Difraktogram sinar X untuk HAp
dengan porogen PVA:pati (20%:10%)
menunjukan fase HAp, AKA, dan AKB . Fase
HAp merupakan fase yang dominan. Puncak
tertinggi faseHAp berada pada sudut 2 31.82
dengan intensitas 216. Fase AKA dibuktikan

Pencirian Menggunakan SEM


Mikroskop elektron payaran dapat
digunakan
untuk
mengamati
struktur
mikroskopik dari sampel. Prinsip kerja SEM,

yaitu dengan memindai permukaan dari


material. Berkas elektron yang memindai
permukaan sebuah spesimen difokuskan
sehingga menghasilkan sebuah gambar.
Topografi dan morfologi dapat diamati
menggunakan SEM karena kedalaman area
1501

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

menghasilkan pori yang lebih banyak, namun


ukuran pori yang dihasilkan belum seragam.
Hidroksiapatit yang dihasilkan juga memiliki
permukaan yang kasar, tidak merata, dan
berongga. Hidroksiapatit tanpa porogen
memiliki ukuran pori yang lebih kecil bila
dibandingkan HAp dengan penambahan
porogen hal ini dikarenakan porogen akan
terjebak di dalam HAp, kemudian porogen
menghilang dan membentuk pori ketika proses
sintering (Abdurahim dan Sopyan 2008).
Nisbah konsentrasi porogen yang
digunakan pada penelitian ini, yaitu PVA: pati
(10%:20%), PVA:pati (15%:15%), PVA:pati
(20%:10%).Ukuran pori yang diperoleh
berdasarkan hasil penelitian untuk HAp
dengan porogen PVA:pati (10%:20%) berada
pada rentang 1.9-7.2 m dengan ukuran pori
maksimum 7.2 m menggunakan perbesaran
1000. Ukuran pori untuk HAp dengan
porogen PVA:pati (15%:15%) berada pada
rentang 1.7-5.3 m dengan ukuran pori
maksimum 5.3 m menggunakan perbesaran
1500. Ukuran pori untuk HAp dengan
porogen PVA:pati (20%:10%) berada pada
rentang 2-4.2 m dengan ukuran pori
maksimum 4.2 m menggunakan perbesaran
2000. Berdasarkan penelitian Trianita (2012),
ukuran pori yang terbentuk dari variasi
konsentrasi PVA 10%, 15%, dan 20% dan pati
10%, 15%, dan 20% berada antara rentang
0.26-2.89 m. Ukuran pori maksimum 2.89
m dengan penambahan PVA 15% dan 2.81
m dengan penambahan pati 15%. Ukuran pori
yang
diperoleh
dengan
penambahan
PVA:pati(10%:20%) lebih besar dibanding
PVA:pati
(15%:15%),
serta
pati
(20%:10%).Ukuran granula pati singkong
berkisar 4-35 m. Ukuran granula pati yang
besar menyebabkan ukuran pori yang dibentuk
juga semakin besar. Jejak pori yang besar pada
saat proses sintering juga dapat dihasilkan
akibat konsentrasi pati yang besar sehingga
menyebabkan adanya akumulasi pati yang
besar yang terjebak dalam HAp (Murphy
2000).
Ukuran pori yang diperoleh dari sintesis
HAp berpori menggunakan porogen PVA dan
pati dengan nisbah 10%:20%, 15%:15%, dan
20%:10% masih jauh dari ukuran pori
minimum yang dibutuhkan oleh jaringan
tulang. Persyaratan minimum untuk ukuran
pori yang dibutuhkan untuk pertumbuhan pada
jaringan tulang sekitar 100-150 m pada
makropori (Sopyan et al. 2007). Ukuran pori

yang bisa mencapai orde puluhan


mikrometer pada perbesaran 1000 kali dan
orde mikrometer pada perbesaran 10000
kali (Suryadi 2011). Morfologi dan ukuran
pori dari sampel yang diamati pada
penelitian ini, yaitu HAp tanpa porogen
dan menggunakan porogen PVA dan pati
dengan nisbah konsentrasi yang berbeda.
Hasil analisis SEM HAp tanpa porogen
dan dengan porogen PVA dan pati
singkong
dengan
berbagai
variasi
konsentrasi ditunjukkan pada Gambar 3.
(a)

(b)

Gambar 3 Hasil analisis SEM hidroksiapatit


(a) tanpa porogen perbesaran 1500 (b)
menggunakan porogen PVA:pati (10%:20%)
perbesaran 1000 (c) menggunakan porogen
PVA:pati (15%:15%) perbesaran 1500 (d)
menggunakan porogen PVA:pati (20%:10%)
perbesaran 2000
Hidroksiapatit hasil sintesis tanpa
penambahan porogen memiliki permukaan
yang tidak merata, kasar serta bergranula.
Berdasarkan hasil analisis SEM HAp tanpa
penambahan porogen dengan perbesaran
1500, ukuran pori yang diperoleh berkisar
antara 0.6-1.9 m.Sintesis HAp dengan
penambahan porogen PVA dan pati
1502

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

yang dihasilkan juga masih belum merata.


Hasil yang didapatkan pada penelitian ini
masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan
penelitian Athawi (2013), ukuran pori yang
diperoleh pada sintesis HAp dengan porogen
pati singkong dengan konsentrasi 20% adalah
4.54-19.69 m sedangkan ukuran pori yang
diperoleh dengan konsentrasi pati 30% adalah
13.20-46.79 m. Ukuran pori yang diperoleh
jauh lebih besar bila dibandingkan dengan
ukuran pori yang diperoleh pada penelitian ini,
hal ini kemungkinan karena PVA menutupi
pori yang terbentuk dari pati singkong,
sehingga ukuran pori yang diperoleh lebih
kecil.
Penelitian
lebih
lanjut
untuk
hidroksiapatit berpori perlu dilakukan agar
diperoleh ukuran pori yang lebih besar dan
seragam. Selain itu, pengukuran diameter pori
disarankan menggunakan particle size analysis
(PSA) agar diperoleh hasil yang lebih akurat.
Karakteristik pori sangat penting dalam tulang
karena
berhubungan
dengan
derajat
pertumbuhan tulang, terutama porositas,
morfologi, distribusi ukuran pori, dan orientasi
pori, serta tingkat kesalingterkaitan pori.
Kesalingterkaitan
pori
memungkinkan
sirkulasi dan pertukaran cairan tubuh, penetrasi
sel osteoblas, difusi ion, pasokan gizi, dan
vaskularisasi (Purwamargapratala 2011).

Gambar 4 Spektrum FTIR hidroksiapatit (a)


menggunakan porogen PVA dan pati (10%:
20%) (b) tanpa porogen
Berdasarkan spektrum FTIR untuk HAp
tanpa porogen dan dengan porogen, terdapat
gugus fungsi penyusun HAp seperti gugus OHdan gugus PO43-. Intensitas serapan gugus OHpada HAp dengan porogen mengalami
peningkatan bila dibandingkan dengan HAp
tanpa porogen, hal ini menunjukkan adanya
interaksi antara gugus OH- pada PVA dan pati
dengan HAp. Pada HAp tanpa porogen, pita
serapan vibrasi ulur asimetri (v3) PO43-berada
pada bilangan gelombang 1080.06 cm-1. Pita
serapan vibrasi ulur simetri (v1) berada pada
bilangan gelombang 962.41 cm-1. Pita serapan
vibrasi tekuk asimetri fosfat (v4) berada pada
bilangan gelombang 595.96 cm-1. Menurut
Pattanayak et al. (2005) ikatan gugus fosfat
dari v3dengan intensitas yang paling kuat
berada pada bilangan gelombang 1000-1100
cm-1. Pita serapan PO43- dari v4 diamati pada
bilangan gelombang 560-610 cm-1.Menurut
Sasikumar (2006), Pita serapan PO43- dengan
intensitas paling tinggi berada pada bilangan
gelombang 503.21 cm-1 dan 603.72 cm-1 untuk
v4, dan 1026.13 cm-1 untuk v3.
Pita serapan OH-berada pada bilangan
gelombang 3571.92 cm-1, 629.72 cm-1.Menurut
Pattanayak et al. (2005), pita serapan gugus
OH-berada pada bilangan gelombang 3400 cm1
dan 630 cm-1. Pita serapan CO32-berada pada
bilangan gelombang 1447.48 cm-1.Gugus apatit
karbonat berada pada bilangan gelombang
14001450 cm-1 (Dewi 2009). Pada HAp
dengan penambahan porogen PVA dan pati
(10%:20%), pita serapan PO43-berada pada
bilangan gelombang 1083.92 cm-1, 961.45 cm-1
dan 589.21 cm-1. Pita serapan OH- untuk PVA
dan pati (10%:20%) berada pada bilangan
gelombang 3570.96 cm-1 dan 628.75 cm-1.
Pada bilangan gelombang 1446.51 cm-1,
muncul pita serapan CO32-.

Pencirian Menggunakan FTIR


Identifikasi gugus fungsi dalam senyawa
kalsium fosfat dapat dilakukan menggunakan
FTIR yang merupakan salah satu teknik
spektroskopi inframerah. Spektrum inframerah
terletak pada daerah dengan panjang
gelombang 0.78 sampai 1000 m atau bilangan
gelombang dari 12800 sampai 1 cm-1. FTIR
termasuk ke dalam kategori radiasi inframerah
pertengahan (bilangan gelombang 4000-200
cm-1) (Lestari 2009). Hasil analisis FTIR HAp
tanpa porogen dan dengan penambahan
porogen PVA dan pati (10%:20%) ditunjukkan
pada Gambar 4.

6. Kesimpulan
Sintesis HAp berpori menggunakan
porogen PVA dan pati singkong dengan
1503

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Mutia T, Eriningsih R. 2012. Penggunaan webs
serat alginat/polivinil alkohol hasil proses
elektrospining untuk pembalut luka primer.
Jurnal Riset Industri. 6(2): 137-147.
Pankaew P, Hoonnivathana E, Limsuwan P,
Naemchanthara K. 2010. Temperature effect on
calcium phosphate synthesized from chicken
eggshells and ammonium phosphate. Journal of
Applied Sciences. 10(24): 3337-3342. doi:
10.3923/jas.2010.3337.3342.
Pattanayak DK, Divya P, Upadhyay S, Prasad RC,
Rao BT, Mohan TRR. 2005. Synthesis and
evaluation of hydroxiapatite ceramics. Trends in
Biomaterials and Artificial Organs. 18(2).
Poursamar SA, Mahmoud A, Masoud Mi.2011.
Controllable synthesis and characterization of
porous polyvinyl. Colloids and Surface B:
Biointerfaces.
84:
310-316.
doi:10.1016/j.colsurfb.2011.01.015.
Purwamargapratala Y. 2011. Sintesis dan
karakterisasi hidroksiapatit dengan pori
terkendali [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Sadjadi MS, Meskinfam M, Jazdarreh H. 2010.
Hydroxyapatite-starch nano biocomposites
synthesis and characterization. International
Journal of Nano Dimension. 1(1): 57-63.
Sasikumar S dan Vijayaraghavan S. 2006. Low
temperature synthesis of nanocrystaline
hydroxyapatite from egg shells by combustion
methods. Trends in Biomaterials and Artificial
Organs. 19(2): 70-71.s
Sopyan I, Mel M, Ramesh S, Khalid KA. 2007.
Porous hydroxyapatite for artificial bone
applications. Science and Technology of
Advance Materials. 8 (1): 116123. doi:
10.1016/j.stam.2006.11.017.
Suryadi. 2011. Sintesis dan karakterisasi
biomaterial dengan proses pengendapan kimia
basah [tesis]. Depok (ID): Universitas
Indonesia.
Trianita VN. 2012. Sintesis hidroksiapatit berpori
dengan porogen polivinil alkohol dan pati
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor .

berbagai variasi konsentrasi telah berhasil


dilakukan menggunakan metode presipitasi.
Berdasarkan analisis XRD, fase HAp
merupakan fase yang dominan terbentuk,
selain itu terdapat juga fase lain seperti AKA
dan AKB. Berdasarkan analisis SEM, ukuran
pori yang diperoleh dari sintesis HAp dengan
penambahan PVA dan pati singkong secara
keseluruhan berkisar 1.7-7.2 m dengan
ukuran pori maksimum 7.191 m dengan
penambahan porogen PVA:pati (10%:20%).
Analisis gugus fungsi pada HAp tanpa porogen
dan dengan porogen PVA:pati (10%:20%)
menunjukkan adanya gugus fungsi OH-, PO43-,
dan CO32-.
7. REFERENSI
Abdurrahim T, Sopyan I. 2008. Recent Progress
On The Development Of Porous Bioactive
Calcium
Phosphate
For
Biomedical
Application. Recent Patents on Biomedical
Engineering. 1: 213-229.
Aoki H. 1991. Science Medical Applications of
Hydroxyapatite. Tokyo (JP): JAAS.
Bahrololoom ME, Javidi M, Javadpour S, Ma J.
2009. Characterisation of natural hydroxyapatite
extracted from bovin cortical bone ash.
Journalof Ceramic Processing Research. 10(2):
129-138.
Darwis D, Warastuti Y. 2008. Sintesis dan
karakterisasi komposit hidroksiapatit (HA)
sebagai graft tulang sintetik. Jurnal Ilmiah
Aplikasi Isotop dan Radiasi. 4(2): 143-153.
Kannan S, Lemos AF, Ferreira JMF. 2006.
Synthesis and mechanical performances of
biological-like hydroxyapatite. Chemistry of
Material.
18(8):
2181-2186.
doi:10.1021/cm052567q.
Lei Y, Xiao-shan N, Qun-fang X, He-ping Z. 2005.
Preparation of porous hydroxyapatite ceramics
with starch additives. Transactions of
Nonferrous Metals Society China. 15(2): 257260.
Lestari A. 2009. Sintesis dan karakterisasi komposit
apatit-kitosan dengan metode in-situ dan ex-situ
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

1504

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

ADSORPSI ION Pb(II) MENGUNAKAN ADSORBEN KITIN TERESTERIFIKASI


Darjito1), M. Misbah Khunur dan Arya Budi Setyadi
Jurusan Kimia FMIPA UB, Email : darjito@ub.ac.id
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang adsorpsi ion Pb(II) menggunakan adsorben kitin teresterifikasi.
Proses esterifikasi merupakan modifikasi struktur adsorben kitin melalui reaksi esterifikasi gugus OH pada
kitin. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pH, lama kontak dan variasi konsentrasi ion Pb(II)
pada proses adsorpsi menggunakan adsorben kitin teresterifikasi. Variabel yang akan dikaji dalam penelitian
ini secara berurutan adalah pH larutan (3, 4, 5, 6, dan 7); lama kontak (20, 40, 60, 80, dan 100 menit) dan
variasi konsentrasi ion Pb(II) (100, 150, 200, 250, 300, dan 350 ppm). Hasil penelitian Kitin teresterifikasi
teridentifikasi dari data FT-IR dengan munculnya spektra serapan gugus O-H asam karboksilat pada bilangan
gelombang 3388,70 dan 3564,21 cm-1 serta gugus C=O karboksilat pada bilangan gelombang 1666,38 cm-1
yang diikuti juga adanya gugus C-O ester pada bilangan gelombang 1000 - 1300 cm-1. Berdasarkan hasil uji
menggunakan SEM-EDX menunjukkan morfologi kitin teresterifikasi memiliki struktur yang lebih teratur
dibandingkan kitin dan terjadi peningkatan jumlah kandungan unsur karbon dari 20,25% menjadi 33,33%.
Kondisi optimum adsorpsi ion Pb(II) terjadi pada pH 5 dan lama kontak pada menit ke 60. Kapasitas adsorpsi
kitin teresterifikasi terhadap ion Pb(II) sebesar 124,33 mg/g.
Kata kunci: Ion Pb(II), Adsorpsi, Kitin teresterifikasi.

pertanian, dan limbah industri[4]. Keberadaan limbah Pb(II) ini berdampak pada
menurunnya kualitas dan kuantitas lingkungan
hidup. Limbah logam berat yang mencemari
lingkungan air secara berlebihan akan bersifat
sebagai racun (toxic). Salah satu contohnya
yaitu pada industri yang berpotensi mengeluarkan sisa-sisa pembuangan limbah yang dapat
mencemari lingkungan perairan disekitarnya,
karena logam berat mudah terionisasi oleh air
dan udara secara langsung[3]. Timbal termasuk
logam yang beracun. Pencemaran perairan
yang disebabkan oleh timbal menjadi permasalahan serius yang mengganggu lingkungan dan
kesehatan publik. Manusia dapat tercemar oleh
timbal melalui makanan, udara, tanah, dan
debu. Timbal dapat mengganggu kesehatan
sistem reproduksi dan sistem saraf, merusak
ginjal, kesulitan konsentrasi dan ingatan,
menyebabkan tekanan darah tinggi, serta
dalam jumlah besar dapat menyebabkan koma
hingga kematian. Meskipun begitu, timbal
tetap digunakan dalam berbagai aplikasi
industri. Sejumlah besar limbah cair yang
mengandung sejumlah Pb(II) dari industri
dapat menyebar ke sistem perairan lingkungan
sehingga perlu untuk dimurnikan[5]. Timbal
termasuk unsur yang sangat melimpah dan
dapat
mencemari
lingkungan
karena
kelarutannya yang kecil, bersifat karsinogen,
dan dapat menyebabkan mutagenesis. Keracunan timbal dapat menyebabkan anemia,

1. PENDAHULUAN
Air merupakan sumber daya alam
yang terbatas. Air juga merupakan kebutuhan
dasar bagi tubuh manusia.Kegunaan air untuk
kebutuhan manusia antara lain: air untuk
konsumsi, air untuk kebersihan, dan air untuk
memproduksi makanan[1]. Tetapi sekarang air
sudah banyak tercemari yang dikarenakan oleh
terjadinya pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan ini terjadi
sebagai dampak negatif yang ditimbulkan
oleh semakin banyaknya industri yang
dibangun. Lingkungan dapat dikatakan
tercemar apabila keadaan lingkungan telah
berubah dari keadaan semula dan atau
masuknya zat dan benda asing yang dapat
menurunkan kualitas lingkungan tersebut[2].
Salah satu zat yang dapat mencemari
lingkungan yaitu logam berat.
Logam berat merupakan unsur yang
dapat
membahayakan kehidupan apabila
konsentrasinya melebihi ambang batas yang
telah ditentukan. Kadar logam berat yang
melebihi ambang batas bersifat karsinogenik
dan teratogenik. Logam berat yang biasa
ditemukan adalah logam berat yang dapat
larut dalam air, seperti ion Co(II), Cd(II),
Ni(II), dan Pb(II)[3] .
Ion Pb(II) merupakan contoh ion
logam berat yang keberadaannya sering
dijumpai pada limbah-limbah pertambangan,
1

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

hepatitis, sindrom nefritik, dan encephalophaty. Sehingga perlu untuk menghilangkan


timbal dari limbah sebelum dibuang ke sistem
pembuangan atau lingkungan perairan[6].
Proses penghilangan Pb(II) dalam air
juga dapat dilakukan melalui proses adsorpsi.
Pb(II) dapat direduksi melalui proses adsorpsi
menggunakan adsorben kitin terikat silang
glutaraldehid[7]. Pengikatan silang kitin dengan
glutaraldehid ini ternyata mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi kitin terhadap Pb(II)
sebesar 62,86 mg/g. Berdasarkan hasil penelitian dari peneliti tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan upaya lain untuk memodifikasi permukaan kitin melalui proses esterifikasi kitin. Esterifikasi digunakan untuk
meningkatkan kemampuan adsorpsi terhadap
ion logam berat. Adsorpsi logam berat menggunakan adsorben termodifikasi dapat meningkatkan kemampuan sebagai adsorben dengan
memodifikasi gugus OH melalui reaksi esterifikasi[8]. Proses esterifikasi ini dilakukan
dengan menambahkan gugus karboksilat.
Adanya gugus karboksilat ini diharapkan akan
mampu meningkatkan ketersediaan situs aktif
yang lebih berkarakter sebagai basa kuat yang
kemungkinan akan meningkatkan kemampuan
kitin teresterifikasi dalam mengikat logam
berat yang memiliki karakter sebagai asam
keras.
Proses adsorpsi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu pH, lama kontak, luas
permukaan, jenis dan sifat adsorben, sifat dan
konsentrasi adsorbat[9]. Pada penelitian kali ini
akan diangkat dua parameter, yaitu lama
kontak dan konsentrasi adsorbat. Parameter
lama kontak,dipergunakan untuk menentukan
terjadinya kesetimbangan proses adsorpsi.
Sedangkan variasi konsentrasi adsorbat
dipergunakan untuk menentukan kapasitas
adsorpsi dari adsorben kitin teresterifikasi.
Untuk pH digunakan kondisi pH optimum
adsorpsi Pb(II) menggunakan adsorben kitin
terikat silang glutaraldehid[7].

dengan akuades hingga pH filtrat sama dengan


pH akuades. Setelah itu, kitin dikeringkan
dengan oven pada suhu 60oC sampai berat
konstan dan disimpan dalam desikator.
Penentuan pH Optimum Adsorpsi Pb(II)
oleh Kitin Teresterifikasi
Larutan Pb(II) 100 ppm sebanyak 10
mL dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL
dan ditambahkan dengan larutan pH 3 hingga
mencapai tanda batas. Larutan ini dimasukkan
ke dalam Erlenmeyer 100 mL dan ditambah
0,1 gram adsorben kitin teresterifikasi.
Kemudian dilakukan pengocokan dengan
kecepatan 125 rpm (rotasi per menit) selama
100 menit. Suspensi yang terbentuk
disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
selama 30 menit. Supernatan yang diperoleh
dipisahkan dan dimasukkan ke dalam botol
sampel.
Konsentrasi
kadmium
dalam
supernatan ditentukan menggunakan SSA.
Perlakuan yang sama dilakukan juga pada pH
4, 5, 6, dan 7.
Penentuan Pengaruh Lama Kontak
terhadap Daya Adsorpsi Adsorben Kitin
Teresterifikasi terhadap ion logam Pb(II).
Larutan Pb(II) 100 ppm sebanyak 10 mL
dimasukkan botol sampel dan diatur menjadi
pH 5 dengan penambahan HCl 0,1 M. Setelah
itu dimasukkan dalam labu ukur 25 mL dan
ditandabataskan dengan akuades pH 5. Larutan
ini dimasukkan dalam erlenmeyer 100 mL dan
ditambah 0,1 gram adsorben kitin teresterifikasi. Kemudian dilakukan pengocokan menggunakan pengocok elektrik pada kecepatan 125
rpm selama 20 menit lalu disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang dihasilkan
dipipet sebanyak 1 mL dam dimasukkan labu
ukur 25 mL dan ditambah 1 mL HNO3 pekat
dan 5 tetes larutan lantan lalu ditandabataskan
dengan akuades. Larutan dimasukkan ke dalam
botol sampel dan diukur konsentrasi ion logam
Pb(II) sisa dengan spektrofotometer serapan
atom. Perlakuan yang sama dilakukan juga
pada lama kontak 40, 60, 80, dan 100 menit.

2. METODE PENELITIAN
Preparasi kitin teresterifikasi asam sitrat
Serbuk kitin sebanyak 5 gram
ditambahkan 50 mL larutan asam sitrat 0,8 M
dalam gelas kimia 250 mL dan diaduk selama
2 jam pada suhu ruang (25 2oC). Suspensi
dikeringkan pada 60oC selama 24 jam didalam
oven. Selanjutnya temperatur oven dinaikkan
menjadi 120oC selama 3,5 jam. Kitin hasil
esterifikasi didinginkan dan kemudian dicuci

Penentuan kapasitas adsorpsi kitin


teresterifikasi terhadap ion Pb(II)
Larutan ion Pb(II) 100 ppm sebanyak 10
mL dimasukkan botol sampel dan diatur
menjadi pH 7 dengan penambahan HCl 0,1 M
atau NaOH 0,1 M. Setelah itu dimasukkan
dalam labu ukur 25 mL dan ditandabataskan
dengan akuades pH 7. Larutan ini dimasukkan
1506

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dalam erlenmeyer 100 mL dan ditambah 0,1


gram adsorben kitin terimobilisasi glutaraldehid. Kemudian dilakukan pengocokan
menggunakan
pengocok
elektrik pada
kecepatan 125 rpm selama 100 menit yang
diperoleh dari lama kontak 60 menit lalu
disaring menggunakan kertas saring. Filtrat
yang dihasilkan dipipet sebanyak 1 mL dam
dimasukkan labu ukur 25 mL dan ditambah 1
mL HNO3 pekat dan 5 tetes larutan lantan lalu
ditandabataskan dengan akuades. Larutan
dimasukkan ke dalam botol sampel dan diukur
konsentrasi
ion
Pb(II)
sisa
dengan
spektrofotometer serapan atom. Perlakuan
yang sama dilakukan juga pada konsentrasi
Pb(II) 150, 200, 250, 300, dan 350 ppm.

Gambar 2. Mekanisme reaksi kitin


teresterifikasi

Uji pendukung yang dilakukan untuk


memastikan kitin telah terikat silang glutaraldehid adalah menggunakan Scanning Electron
Microscopy (SEM). Pengujian dengan SEM
dapat memberikan gambaran morfologi kitin
teresterifikasi serta unsur-unsur yang terdapat
pada kitin dan kitin teresterifikasi. Bentuk
morfologi permukaan kitin
dan kitin
teresterifikasi terlihat pada Gambar 3.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Preparasi Kitin Teresterifikasi
Kitin yang digunakan sebagai bahan dasar
untuk proses esterifikasi berasal dari kulit
udang yang telah mengalami proses
demineralisasi dan deasetilasi. Data spektra
infra merah kitin teresterifikasi disajikan pada
Gambar 1.
(A)

Kitin Esterif ikasi


Kitin Tanpa Esterif ikasi

1 7 9 5 .6 0

%T

1 0 1 0 .6 3

2 5 1 6 .9 3

75

60

Berdasarkan Gambar 3. terlihat bahwa


hasil morfologi kitin teresterifikasi lebih
teratur dibandingkan dengan kitin. Adanya
keteraturan struktur kitin teresterifikasi
tersebut diduga bahwa gugus ester yang
terbentuk juga menyebabkan terjadinya ikatan
silang antar polimer kitin.
Uji pendukung lainnya yang dilakukan
adalah dengan analisa EDX digunakan untuk
mengetahui kandungan unsur yang ada pada
kitin dan kitin teresterifikasi. Data spektra
EDX kitin dan kitin teresterifikasi seperti
tersaji pada Tabel 1.

4000
3500
3000
Kitin Tanpa Esterifikasi

1750

1 3 0 7 .6 5

1 2 6 9 .0 7

1 5 2 5 .5 9

1500

1 0 7 8 .1 3

1 1 4 7 .5 7

2000

1 4 4 6 .5 1
1 4 1 7 .5 8

1 6 6 6 .3 8

2500

1 5 7 7 .6 6

2 9 4 3 .1 7

3 2 4 9 .8 3
3 6 4 3 .2 8
3 5 6 4 .2 1

3 4 2 5 .3 4
3 3 8 8 .7 0

15

2 9 4 3 .1 7

30

8 7 5 .6 2
8 3 8 .9 8

1 1 8 4 .2 1

1 6 3 7 .4 5

45

(B)

Gambar 3. Bentuk Morfologi permukaan (A)


Kitin (B) Kitin Teresterifikasi

90

1250

1000

750

500
1/cm

Gambar 1. Spektra IR kitin dan kitin teresterifikasi


dari Cangkang Udang

Dari data spektra IR pada Gambar 1.


terlihat bahwa kitin memiliki serapan yang
cukup lebar, terdapat gugus N-H amina pada
bilangan gelombang 3249,83 dan 3425,34 cm-1
dan gugus C=O amida pada bilangan
gelombang 1637,45 cm-1 sedangkan kitin
teresterifikasi terdapat gugus O-H asam
karboksilat pada bilangan gelombang 3388,70
dan 3564,21 cm-1 dan terdapat gugus C=O
karboksilat pada bilangan gelombang 1666,38
cm-1. Selain itu, pada spektra esterifikasi juga
terdapat gugus C-O ester pada bilangan
gelombang 1000 - 1300 cm-1. Hal ini
menunjukan bahwa proses esterifikasi pada
kitin telah terjadi. Reaksi kitin teresterifikasi
seperti terlihat pada Gambar 2.

Tabel 1. Hasil SEM-EDX pada adsorben kitin dan


kitin teresterifikasi
Unsur
Karbon
Oksigen
Magnesium
Alumunium
Silikon
Kalsium

Kitin
20.252
48.426
0.361
0.292
0.591
30.078

Kandungan (%)
Kitin Teresterifikasi
33.332
49.359
TD
TD
0.345
16.964

Keterangan: TD = Tidak Terdeteksi

Berdasarkan data pada Tabel 1. terlihat


bahwa adsorben kitin teresterifikasi mengalami
kenaikan prosentase unsur oksigen. Semula
1507

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

pada adsorben kitin unsur oksigen yang


terkandung sebesar 48,426% sedangkan
setelah diesterifikasi menjadi 49,359%. Selain
unsur oksigen, unsur karbon juga mengalami
kenaikan dari 20,252% menjadi 49,359%. Hal
ini menunjukan bukti keberhasilan proses
esterifikasi dengan adanya penambahan basa
lewis dari asam sitrat

Pengaruh Lama Kontak Pada Kemampuan


Adsorpsi Kitin Teres-terifikasi terhadap ion
Pb(II)
Data hasil penelitian pengaruh lama
kontak pada kemampuan adsorpsi kitin
teresterifikasi terhadap ion Pb(II) disajikan
pada Gambar 5.

Pengaruh pH Pada Kemampuan Adsorpsi


Kitin Teresterifikasi terhadap ion Pb(II)
Data hasil penelitian pengaruh pH pada
kemampuan adsorpsi kitin teresterifikasi
terhadap ion Pb(II) disajikan pada Gambar 4.

Gambar 5. Kurva hubungan variasi lama kontak


dengan prosentase ion logam teradsorpsi

Lama kontak merupakan salah satu


faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi,
secara umum dengan semakin bertambahnya
lama kontak maka akan semakin meningkat
jumlah adsorbat yang dapat terserap pada
adsorben dan bila lama kontak semakin
diperlama maka jumlah adsorbat yang dapat
teradorpsi akan mencapai keadaan keseimbangan dimana laju adsorpsi akan sama dengan
laju desorpsi yang ditandai oleh tidak adanya
peningkatan jumlah adsorbat yang teradsorpsi.
Suatu keadaan dimana penambahan lama waktu kontak tidak mempengaruhi jumlah adsorbat
yang teradsorpsi dikatakan sistem sudah
berada dalam keseimbangan dan biasanya
dirujuk sebagai lama kontak optimum.
Berdasarkan kurva pada Gambar 5.
terlihat bahwa lama kontak berpengaruh
terhadap prosen ion Pb(II) teradsorpsi oleh
adsorben kitin teresterifikasi. Lama kontak
yang semakin meningkat dari 20 menit hingga
60 menit mampu meningkat prosentase ion
Pb(II) yang teradsorpsi dari 34,53% menjadi
39,47% ini menunjukkan bahwa pada lama
kontak tersebut belum terjadi keseimbangan
antara laju adorpsi dan laju desorpsi.
Sementara itu bila lama kontak ditingkatkan
lebih dari 60 menit terlihat jumlah ion Pb(II)
yang teradsorpsi sedikit mengalami penurunan.
Dengan demikian lama kontak optimum untuk
adsorpsi ion Pb(II) terjadi pada menit ke 60
dengan prosen adsorpsi sebesar 39,47%.

Gambar 4 Kurva hubungan variasi pH dengan


prosentase ion logam teradsorpsi

Berdasarkan kurva pada Gambar 4.


terlihat bahwa pH berpengaruh nyata pada
adsorpsi ion Pb(II), dimana pada pH rendah
dengan semakin banyaknya ion H+ dalam
larutan menyebabkan terjadi proses protonasi
pada gugus aktif dari adsorben yaitu gugus
amida (-NCOCH3) menjadi (-NHCOCH3)+
yang menyebabkan kemampuan dari adsorben
untuk mengikat ion logam menjadi menurun.
Sementara itu bila pH larutan terlalu tinggi
meskipun dari sisi gugus aktif adsorben
menguntungkan karena gugus amida dapat
bertindak penuh sebagai basa Lewis tetapi
dengan semakin meningkatnya jumlah ion OHyang juga merupakan gugus basa Lewis yang
jauh lebih keras akan menyebabkan terjadi
kompetisi ikatan dengan ion logam yang
bertindak sebagai asam Lewis, sehingga ion
logam akan cenderung membentuk ikatan
M(OH)x(n-1)+, hal itu terlihat dari kurva Gambar
4. untuk pH diatas 5 prosentase ion logam
teradsorpsi mengalami penurunan. Dengan
demikian pada proses adsorpsi ion Pb(II)
menggunakan kitin teresterifikasi optimum
terjadi pada pH 5 dengan prosentase adsorpsi
39,47%.
1508

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

gelombang 1000 - 1300 cm-1. Hasil


identifikasi
menggunakan
SEM-EDX
menunjukkan morfologi kitin teresterifikasi
memiliki struktur yang lebih teratur
dibandingkan kitin dan terjadi peningkatan
jumlah kandungan unsur karbon dari
20,25% menjadi 33,33%.
2. Kondisi optimum adsorpsi ion Pb(II) terjadi
pada pH 5 dengan prosen adsorpsi sebesar
39,47% dan lama kontak pada menit ke 60
dengan proses adsorpsi sebesar 39,47%.
3. Kapasitas adsorpsi kitin teresterifikasi
terhadap ion Pb(II) sebesar 124,33 mg/g.

Pengaruh Konsentrasi ion Pb(II) Terhadap


Daya Adsorpsi Kitin Teresterifikasi
Data hasil penelitian pengaruh variasi
konsentrasi ion Pb(II) terhadap adsorpsi kitin
teresterifikasi disajikan pada Gambar 6.

5. REFERENSI
[1]

Gambar 6. Kurva hubungan antara Ceq (mg/L)


dengan mg/g ion Pb(II) Teradsorpsi

[2]

Dari data pada Gambar 6. terlihat


bahwa peningkatan konsentrasi ion Pb (II)
diikuti dengan meningkatnya mg/g ion Pb(II)
teradsorpsi pada adsorben kitin teresterifikasi
sampai pada konsentrasi kesetimbangan 225
ppm peningkatan konsentrasi ion Pb(II) lebih
lanjut tidak menambah jumlah mg/g ion Pb(II)
teradsorpsi. Harga mg/g Ion Pb(II) teradsorpsi
pada kondisi optimum yang sudah tidak
memberikan kenaikan lagi tersebut yang
merupakan kapasitas adsorpsi dari adsorben
kitin teresterifikasi yaitu sebesar 124,33 mg/g.
Bila dilihat lebih lanjut dari kurva pada
Gambar 6 terlihat bahwa kurva hubungan
antara konsentrasi ion Pb(II) pada kesetimbangan (Eq) dengan mg/g ion Pb(II) teradsorpsi menghasilkan kurva tipe L seperti rektanguler hiprbola, hal ini mengindikasikan
bahwa proses adsorpsi ion Pb(II) dengan
adsorben kitin teresterifikasi mengikuti isoterm
Langmuir.

[3]
[4]

[5]

[6]

[7]

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan maka dapat diambil kesimpulan:
1. Kitin teresterifikasi teridentifikasi dari data
FT-IR dengan munculnya spektra serapan
gugus O-H asam karboksilat pada bilangan
gelombang 3388,70 dan 3564,21 cm-1 serta
gugus C=O karboksilat pada bilangan
gelombang 1666,38 cm-1 yang diikuti juga
adanya gugus C-O ester pada bilangan

[8]

[9]

1509

Christine,L. M and Richard, D. R, 2006,


Global Challenges In Water, Sanitation And
Health, Journal of Water and Health, IWA
Publishing, USA
Mashhood, A K, 2011, Environmental
Pollution:Its Effects On Life And Its
Remedies, International Refeed Research
Journal, vol 2, hal 278-285
Darmono, 1995, Logam dalam Sistem Biologi
Makhluk Hidup, UI Press, Jakarta
Rahardjo. M, Rosita. S.M.D., dan Darwati.
I, 2001, Status Logam Berat Kadmium (Cd)
Dan Hasil Rimpang Temu Ireng (Curcuma
Aeruginosa Roxb.) Pada Pemupukan Fosfat.
Balai Penelitian Obat dan Tanaman, Bogor.
Suc, N. V., dan Ly, H. T. Y., 2012, Equilibrium
Study Of Lead(II) Adsorption From Aqueous
Solution On Modified Chitosan With Citric
Acid, The 2012 International Conference on
GTSD.
Kaur, L., Gadgil, K., dan Sharma, S., 2010,
Effect of pH and Lead Concentration On
Phytoremoval Of Lead From Lead
Contamined Water By Lemma minor,
American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci,
Vol. 7, No. 5, Hal. 542-550.
Joko, I., Darjito, dan Purwonugroho, D., 2014,
Pengaruh pH, Waktu Kontak, dan Konsentrasi
pada Adsorpsi Pb(II) Menggunakan Adsorben
Kitin Terikat Silang Glutaraldehid, Skripsi,
FMIPA, Universitas Brawijaya.
Mao, J., Won, S. W., Choi, S. B., Lee, M. N.,
and Yun, Y. S., 2009, Surface Modification of
The Corynebacterium glutamicum Biomass to
Increase Carboxyl Binding Site for Basic Dye
Molecules, Biochemical Engineering Journal,
46: 1-6.
Sawyer, C.N dan P.L Mc Carty, 1987,
Chemistry of Engineering, Third Ed., Mc
Graw Hill, Kogakusha Ltd., Tokyo

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

THE IMPLEMENTATION OF COOPERATIVE LEARNING MODEL TYPE


TOWARD STUDENTS LEARNING OUTCOMES IN LEARNING COLLOIDAL
SYSTEM TOPIC
Descey Natalia Simbolon
Chemistry Department of FMIPA State University of Medan, Jl.Willem Iskandar Psr V Medan Estate, Medan,
North Sumatera, Indonesia, 20221, E-mail: nataliadescey@gmail.com
Abstract
The Implementation of Cooperative Learning Model Type toward Students Learning Outcomes in Learning
Colloidal System is explained in this paper. The purpose of this research is to fulfill the knowledge of the
students through Cooperative Learning Model Type. This research was conducted on SMAN 2 Balige through
the teaching of students with Cooperative Learning Model Type to the experimental class and compared the
result with those control class that taught by conventional teaching. The Cooperative Learning Model Type can
make students learning outcomes increase. The result showed of compare that students learning outcomes
with Cooperative Learning Model Type STAD (M= 707.94) is higher than the students that taught by
conventional teaching (M= 527.67), and both of the class are significantly different (ttest 2.77 > ttable 1.33). It
can be concluded that teaching of Colloidal system with Cooperative Learning Model Type can improve
students learning outcomes and character in learning. Furthermore, using Cooperative Learning Model Type
in the class is more effectively than using conventional method that is shown from the different of value that is
gotten from the experimental class and control class.
Keywords : Cooperative Learning, Learning Model, Learning Outcomes, Colloidal System

efficacy and cant develop the active


participation in the learning process.
Teachers should be known to teach the
learning material by used method combined
with media compatible. The teachers need to
be more creative and innovative in teaching,
especially in the learning chemistry topic.
Education without technological advances is
boring. The tendency of a teacher in delivering
subject matter using the same method in
chemistry courses, asked students to read and
memorize the learning materials make students
feel bored, annoyed and less active. It is make
decrease of students interest inquired for the
material being taught and understand it. The
teachers should keep students interest and
motivate to learn in different ways of teaching,
using varies teaching method and combined
with teaching media in improving students
motivation and students achievement.
Cooperative learning model is a learning
approach that focuses on the use of small
groups to work together to maximize the learning conditions for achieving the goal (Muhammad, 2010). Cooperative learning model is
method that can be done because it can
improve learning progress; makes positives
attitudes of students; increases motivation and
confidence of students.(Slavin, 1995).

I. INTRODUCTION
Chemistry is one of the most important branches of science; it enables learners to understand what happened around student. Because
chemistry topics are generally related to or
based on the structure of matter, chemistry
proves a difficult subject for many students.
Taber said that Chemistry curricula commonly
incorporate many abstract concepts, which are
central to further learning in both chemistry
and other sciences. These abstract concepts are
important because further chemistry/science
concepts or theories cannot be easily
understood if these underpinning concepts are
not sufficiently grasped by the student.
Most of teacher who teach chemistry
through face to face in the classroom using
conventional learning, which is dominated by
the lecture method. Thus, these methods of
learning is still teacher-centered learning, have
not been able to increase the active role
students in the learning process, and provides
less opportunity for students to express their
understanding and skills. Students will find it
is hard to follow or get the essence of learning
materials, so that their activities are limited to
take notes apocryphal. The pattern of active
learning with students teachers is passive low

1510

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Cooperative learning model has several


types with different steps include learning
model STAD (Students Teams Achievement
Division), TGT (Team Games Tournament)
and Jigsaw. Where all three of these methods
are equally divide the students into groups of
heterogeneous and students work together with
the group, so that students can exchange
information and learning experiences.
Concept of Colloidal system in the
SHS is the concept of remembering, because
it is about theory. So, many students difficult
to remember the colloidal system. So, with
the cooperative learning model types, like
STAD (Students Team Achievement
Division) that can make the students active in
the class in learning colloidal system and
make the students can remember easily.
Thats why the cooperative learning
model types can help the increasing of
students learning outcomes and give the
students develop their ability and increase
their learning outcomes in cognitive and
affective aspects.

The research sample that used as experimental


class and control class. The XI-IA 4 as the
experimental class and the XI-IA 5 is the
conventional class that have 30 students per
class. The experimental class taught by
Cooperative Learning Model Type in here we
use the STAD (Students Team Achievement
Division) and the control class taught by
conventional type.

II. RESEARCH METHODS


2.1 Overview of Research
Research conducted is about The Implementation of Cooperative Learning Model Type
toward Students Learning Outcomes in
Learning Colloidal System Topic are
interesting to discuss because by using the
suitable ways believed can increase student
learning outcomes in teaching of chemistry to
high school students. By using this method,
students can be learn independently and try not
just to be listener but they should be a
searcher, thus the students will be more
understood about what they are learn actually.
The overview of the research is
summarized in Figure 2.1.
2.2 Place and Time of Research
The research is conducted at SMAN 2
Balige that located in Kabupaten Tobasa. This
school is one of the Schools in the North
Sumatera. SMAN 2 Balige has 92 teachers and
780 students that grouping in 26 classrooms.
This research is conducted on April until May
in the first half of XI class school year
2015/2016.
2.3 Population and Sample of Research
The population of this research is all
students of XI grade in Balige in school year
2015/2016 that have 206 numbers of students
and grouping in 7 classes of Science Classes.

Figure 2.1. The overview of research planning to


Senior High School students. The Implementation
of Cooperative Learning Model Type toward
Students Learning Outcomes in Learning Colloidal
System Topic.

2.4 Research Variables


The variables in this study are as
follows:
1. Independent Variables
The independent variable in this study is the
cooperative learning Type STAD and
conventional model in colloids system.
2. Dependent VariablesDependent variable is
students learning outcomes in colloids
system.
3. Control Variables
In this research, the variable is the students
sample from the same school, same teacher,
same curriculum, same books and some
material that will teach in experimental
class and control class.
2.5 Research Instruments
The instruments that used in this
research are evaluation test. The evaluation test
is including the pretest and post test. The
written test conducts to know whether the
learning achievements of students who have
learning by using the Cooperative Learning
model type STAD in colloids system subject.

1511

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

The written test consists of prepared


questions to be answered by students as the
respondents with maximum score 1 and
minimum score is 0. Test used are multiple
choice test, which is consist of 20 questions
and five options. The questions raised for each
topic are distributed based on the grade,
category, and the difficulty index of the
subject. This test is to get the value of pre-test
and post test for each class.

to have the permission to do experiment in


state high schools in North Sumatera. In to the
target SHS, the class sample are chosen to be
included in the study, followed by sampling
process to obtain experimental class and
control class in SMAN 2 Balige. Before
treatments have been done, the samples are
homogenized in order to have the samples with
the relatively same knowledge in the target
topic of colloidal system topic. The pretest is
given to obtain the data on the achievement of
the students on chemistry. The evaluation was
conducted prior to the teaching for
experimental class and control class. The data
obtained from pretest was used to see the
variation of the samples before teaching
treatments being carried out.
After the samples are assessed to be
homogeny, the study was then followed by the
teaching treatments for three experimental
classes. Teaching treatments are given by
using cooperative learning model types STAD
for the experimental class and conventional
method for the control class. The data of the
students learning outcomes on chemistry were
obtain from evaluation test were conducted at
the end of the teaching. Through
implementation of cooperative learning model
types then investigated from students learning
outcomes on chemistry. The evaluation tests
were conducted one month after teaching
treatment to obtain how far students
understand the concept of chemistry with those
treated by the cooperative learning model
types STAD.

2.6 Design of the Research


Research is the containing of group of
students treated with cooperative learning
model type STAD, and Direct Instruction
method and student handbook thats just given
an ordinary lecture in the class.
In this research use two treatment
classes and the Direct Instruction method is
called as experimental treatment classes, and
the Direct Instruction method is called control
class (Situmorang, et.all,2007; Situmorang, et.
all, (2010). To determine students learning
outcomes obtain by using this treatment are
given test, consist of the pretest and post test.
The design of this research is shown in Table
2.1.
Table 2.1. The research design of the
implementation of cooperative learning model type
toward students learning outcomes in learning
colloidal system topic
Teaching
Method

Group of
Sample

Average Student
Achievement

Pretest
Post test
Experimental
Class
P1
Y1
Y2
Controlled
P2
Y1
Y2
Class
Where :
Y1: pretest, Y2: post test, P1: learning by using
Cooperative Learning Model Type STAD (Students
Team Achievement Division),
P2: learning by using Direct Instruction or
conventional method

III. RESULTS AND DISCUSSIONS


3.1 The General Procedure from Research
Results
The research had done in the class for
the colloidal system topic. For the
experimental class had taught by cooperative
learning model type STAD and the control
class had done learned the same topic with the
conventional method.
3.2 The Students Learning Outcomes
before Method
To measure the basic knowledge of
students for colloidal system topic that would
be taught by the researcher using pretest. The
results from pretest based on the total of
problems that answered that right from 20
problems of colloidal system in multiple
choices. The results of pretest in the control

2.7 Research Procedure


Research
procedures
on
the
implementation of cooperative learning model
type toward students learning outcomes in
learning Colloidal system are containing of
arranging the research instrument, innovation
of teaching method, sampling, treatment
teaching, evaluation, and conducting survey to
investigate the motivation of the students in
learning. The research procedures are
summarized in Figure 2.1. The complete
procedures begin from administration process
1512

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

class M=38.56.708 and in experimental class


M=43.510.894.

STAD in colloidal system topic. It can


conclude that the cooperative learning model
type STAD can be used to increase the
students learning outcomes.

Table 3.1. Students Learning Outcomes in


Learning Colloidal System The numbers in the
table are average and deviation standard
Name of School
Class
Pretest
Control
M=38.56.708
SMA Negeri 2
Balige
Experiment M=43.510.894

IV. CONCLUSION AND PROSPECT


From the analysis can be concluded
that cooperative learning model type STAD
can increase students learning outcomes in
colloidal system. It can be seen from the
increasing pretest and posttest. So that the
cooperative learning model type can be used
in the learning to increase the students
learning outcomes and can be used by
chemistry teacher at school for students.

3.3 The Students Learning Outcomes with


the Method
Table 3.2. Students Learning Outcomes in Posttest
in cooperative learning model type STAD in
learning colloidal system The numbers in the table
are average and deviation standard
Name of School
Class
Post test
Control
M=527.67
SMA Negeri 2 Balige
Experiment M= 707.94

V. ACKNOWLEDMENTS
Thank you for Prof.Drs. Manihar
Situmorang, M.Sc, Ph.D as the lecturer in this
major that helping me to do his research.
Thank you for Prof. Asrin Lubis as the Dean of
FMIPA and Dr. Iis Siti Jahro as the
Coordinator of Bilingual Class Program that
allow to do this research. And also, thank you
for the headmaster of SMAN 2 Balige, Mr.
Aldon Samosir and chemistry teacher Mrs.
Lamtiur Hutabarat that allow us to do this
research.

The students learning outcomes with


cooperative learning model type STAD is (M=
707.94)
higher
than
control
class
(M=527.67) where both of class have the
significant different (ttest 2.773 > ttable 1.33).
The implementation of cooperative
learning model types STAD can be seen after
learning. The evaluation in the posttest done to
know the students knowledge in colloidal
system topic. The data showed that there is
increasing of students learning outcomes after
taught by cooperative learning model type
STAD. The posttest in the experimental class
is higher (M= 707.94) than control class (M=
527.67). The analysis showed that the
average from both of the class have the
significant different.

REFERENCES
Alebiosu, K. A., (1998), Effects of Two
Cooperative Learning Models on Senior
Secondary School Students Learning Outcomes
in
Chemistry,
Thesis.Dept.of
Teacher
Education. University of Ibadan, Ibadan.
Giancarlo, L.C., and Slunt, K.M., (2004), The Dog
ate My Homework: A Cooperative Learning
Project for Instrumental Analysis, Journal of
Chemical Education 81: 868-869.
Muhammad, R., (2010), Effect of Cooperative
Learning Instructional Strategy on Students
Performance in Biology, Journal of Theoretical
and Empirical Studies in Education 2 (1), 222278.
Siegel, C., (2005), Implementing a Research-Based
Model of Cooperative Learning, Journal of
Educational Research, vol. 98, no. 6, pp. 339
349.
Situmorang, M. (2010), Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) untuk Mata Pelajaran Kimia, FMIPA,
UNIMED, Medan.
Slavin, Robert E., (1980) Cooperative Learning,
Review of Educational Research, vol. 50, no. 2,
Johns Hopkins University , Sage Publications.

Figure 3.1. The comparison of Pretests value and


Posttest value in the experiment class

The results impact that the cooperative


learning model type STAD help students easy
to remember the topic that taught. The result
analysis from both of the class show the
increasing students learning outcomes after
taught by cooperative learning model type

1513

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

DESIGN EKPERIMEN UNTUK OPTIMASI PENENTUAN TEMBAGA


DALAM AIR SECARAVOLTAMMETRI STRIPPING ADSORPTIF
Deswati dan Hamzar Suyani
Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas Padang, 25163, deswati_ua@yahoo.co.id,
hamzarsuyani2003@yahoo.com
Abstract
A procedure for the determination of metal Cu(II) by adsorptive stripping voltammetry (AdSV) using calcein as
a complexing agent, has been optimized. These lection of the experimental conditions was made using
experimental of respon surface methodology. The influence of several parameters were studied: variations
ofcalcein concentration, pH, accumulation potential and accumulation time. The design experiment was a
central composite design with 4 factors/variables, 3 levels and 31 treatment combinations. From analysis of
variance, it was decided to accept the second-order model and the independent variable, concluded that
asignificanteffectontheresponse variable (peakcurrent). Based on data analysis with response surface method,
the determination of copper obtained optimum conditions were: calcein concentration 0.11mM, pH 6.79,
accumulation potential -0.88Volt and accumulation time 42.34 seconds with a maximum peak current 373.
14nA. At the optimum condition were obtained relative standard deviation
0.74 %, recovery 99.88%, the
linear range 0.2- 110g/L, coefficient of correlation 0.99 with a detection limit of 1.79g/L. The procedure was
successfully applied to the determination of copper in water samples without prior treatment.
Keywords: copper, adsorptive, stripping, voltammetry, water.

dan Zang and Huang, 2001). Disamping itu,


dengan metoda ini dimungkinkan mempelajari
spesi kimia dari logam berat (Jugade and Joshi,
2006 ; El-Shahawi et al., 2011), yang tidak
bisa dilakukan dengan metoda lain. Hampir
semua metoda penentuan logam dalam jumlah
yang sangat kecil memerlukan waktu yang
cukup lama pada tahap pre-konsentrasi
sebelum pengukuran. Pada Voltammetri
Sripping Adsorptif tahap pre-konsentrasinya
waktunya lebih singkat, umumnya kurang dari
1 menit (Amini and Kabiri, 2005).
Untuk mencari kondisi optimum
(optimasi) penentuan ion-ion logam Cd, Cu,
Pb dan Zn (Deswatiet.al.,2012) dan ion-ion
logam Fe, Co, Ni dan Cr (Deswatiet.al.,2014b)
baik dalam bentuk tunggal maupun simultan
secara Voltammetri Stripping Adsorptif
(AdSV), dilakukan dengan mengamati
pengaruh salah satu variabel yang berubah,
sementara variabel yang lainnya disimpan
pada tingkat yang konstan. Teknik optimasi
ini disebut optimasi satu variabel atau satu
faktor pada waktu saat tersebut.
Kelemahan utama dari hasil optimasi
satu faktor
adalah optimasi yang tidak
memperhitungkan efek interaksi antar variabel
yang diteliti. Oleh sebab itu, teknik ini tidak
menggambarkan efek lengkap parameter
terhadap
respon (Bezerra et. al., 2008).

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beberapa unsur yang termasuk dalam
kategori logam berat seperti : As, Cr, Cd, Pb.
Fe Cu, Co, Hg, Se, Sb, Mn, Zn dan Ni berasal
dari limbahindustridanhasilaktivitaspenduduk,
khususnya di kotabesar. Adanya logam berat
dalam lingkungan termasuk bahan makanan
sangat berbahaya, karena mempunyai tingkat
toksisitas yang tinggi (Sanusi et. al., 1985).
Apabila masuk ke dalam tubuh manusia
mempunyai kecenderungan berkumpul dalam
organ tubuh, tidak bisa keluar lagi melalui
proses pencernaan. Air, tanah dan udara adalah
media yang dapat digunakan untuk penyebaran
logam berat ke lingkungan. Tanaman yang
berdaun lebar disamping menyerap logam
berat dari tanah juga dapat menyerap logam
berat dari udara (Saryati dan Wardiyati, 2008).
Voltammetri stripping adsorptif dipilih
sebagai alternatif metoda karena memiliki
banyak kelebihan antara lain : kadar garam
yang tinggi dari air laut tidak mengganggu
dalam analisis, memiliki sensitivitas tinggi,
limit deteksi rendah pada skala ug/L (ppb),
penggunaan mudah dan preparasi sampel yang
mudah, analisis cepat, infra struktur yang
murah (Deswati et. al., 2012, Ensafi et. al.,
2001, Abbasi et.al., 2011, Attar et. al., 2014
1514

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Kelemahan lain dari optimasi satu faktor


adalah
peningkatan
jumlah
percobaan
diperlukan untuk melakukan penelitian, yang
mengarah ke peningkatan waktu dan
peningkatan konsumsi reagen dan bahan.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan suatu
teknik optimasi prosedur analitik yaitu dengan
menggunakan teknik statistik multivarian. Di
antara teknik multivarian yang paling relevan
digunakan dalam optimasi analitis adalah
Metode Permukaan Respon (RSM) dengan
Rancangan Komposit Pusat (CCD). Metode
permukaan respon adalah kumpulan teknik
matematika dan statistik, yang digunakan
untuk pemodelan dan analisis masalah dalam
suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa
variabel yang tujuannya adalah untuk
mengoptimasi
respon
tersebut
atau
mengoptimalkan tingkat variabel-variabel ini
untuk mencapai sistem kinerja yang terbaik
(Bezerra et. al., 2008 ; Dewi et. al., 2013 dan
Oramahi, 2008).
Berdasarkan uraian yang telah
dijelaskan sebelumnya, maka pada penelitian
ini akan dikembangkan suatu metoda optimasi
Cu menggunakan kalsein sebagai pengomplek
dengan teknik optimasi desain komposit pusat.
Pemilihan kalsein sebagai pengomplek yang
sensitif dan selektif telah dilaporkan oleh
(Marcin and Golimowski, 2001) pada
penentuan Ti, tetapi penggunaan kalsein dalam
penentuan Cu belum pernah dilaporkan.
Voltammetri
stripping
adsorptif
merupakan teknik yang sangat sensitif (Jugade
and Joshi, 2006), respon yang diperoleh berupa
arus puncak(Ip) sangat dipengaruhi oleh
variabel- variabel (parameter) berikut yaitu:
konsentrasi pengomplek, kondisi pH, potensial
akumulasi dan waktu akumulasi. Oleh sebab
itu sangat penting untuk menentukan optimasi
dari
parameter
tersebut,
yang
akan
mempengaruhi terhadap pengukuran
arus
puncak dalam rangka untuk meningkatkan
kualitas hasil analisis (Paolicchi et. al., 2004).
Design/rancangan penelitian yang
akan digunakan dalam penelitian ini, sebagai
alat untuk optimasi adalah: Design Komposit
Sentral (CCD) dengan 4 variabel, 3 level/taraf
dan 31 kombinasi perlakuan. Langkah
pertamadari optimasi rancangan 2k factorial
adalah: memberi kode, dimana nilai level
tertinggi (+1), level terendah(-1) dan kode (0)
sebagai titik pusat. Program yang a kan
di guna kan untuk analisis data statistik yaitu
Software Minitab
dengan menggunakan

metode RSM (Respon Surface Methodology).


Penelitian
menitik
beratkan
mempelajari pengaruh parameter-parameter
berikut : variasi konsentrasi kalsein, pH, waktu
dan potensial akumulasi. Dari hasil kondisi
optimum yang didapatkantersebut, ditentukan
nilai limit deteksi (LOD) untuk sensifitas
metoda, linear range, serta recovery dan
standar deviasi relatif
Selanjutnya, dilakukan
pengujian
hasil kondisi optimum yang telah didapat
tersebut, untuk analisis logam Cu, dalam
sampelair secara voltammetri stripping
adsorptif.
Urgensi/Keutamaan Penelitian
Analisis logam-logam berbahaya
dalam lingkungan (Mohammad et. al., 2011),
baik tanah, batuan maupun bahan biologi
(penentuan Cu dalam sampel darah, Attar et.
al., 2013) bahan makanan dan air (penentuan
Cu dan Cd, Shahryar et. al., 2011) menjadi
subyek yang menempati perioritas yang tinggi,
dan difokuskan pada penentuan logam-logam
berat beracun yang bila masuk ke dalam tubuh
manusia dan hewan dalam waktu yang lama
sehingga dapat terakumulasi di dalam organ
vital.
Oleh sebab itu diperlukan suatu
metoda yang sensitif dan selektif untuk
menentukan kadar ion logam yang jumlahnya
runut tersebut, yaitu Voltammetri Stripping
Adsorptif
(AdSV). Voltammetri stripping
adsorptif dipilih sebagai alternatif metoda
penentuan logam-logam,
karena memiliki
banyak kelebihan antara lain : kadar garam
yang tinggi dari air laut tidak mengganggu
dalam analisis, memiliki sensitivitas tinggi,
limit deteksi rendah pada skala ug/L (ppb),
penggunaan mudah dan preparasi sampel yang
mudah, analisis cepat, infra struktur yang
murah (Deswati et. al., 2012, Ensafi et. al.,
2001, Zang dan Huang., 2001).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan
sangat diharapkan dapatdiaplikasikanoleh
masyarakatluasatau dipatenkan.Untuk itu
pertimbangan
biayamutlak
diperlukan,
danoptimasi merupakan salah satu carauntuk
menekan biayadengan hasil optimal (Oramahi,
1991).
Tujuan Penelitian
Tujuan daripenelitianini adalah untuk
mendapatkan kondisi optimum dari ion logam
berat Cu tersebut. Selanjutnya,sehingga dapat
diaplikasikan untuk analisis logam tembaga
1515

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dalam sampel air


Untuk mencapai tujuan tersebut,
diperlukan suatu teknik optimasi prosedur
analitik yaitu menggunakan Metode Permukaan Respon(RSM) dengan Desain Komposit
Pusat (CCD) (Dewiet.al.,2013). Beberapa
parameter yang ditelitiantara lain: variasi
konsentrasi kalsein, pH, potensial akumulasi
dan waktu akumulasi. Untuk menentukan
ketelitian, ketepatan dan kesensitifan metoda
ditentukan standar deviasirelatif (SDR),
perolehan kembali (recovery), batas deteksi
(limit deteksi), serta linear range.
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS

dengan 1,10 fenantrolin sebagai pengomplek


secara voltammetri stripping adsorptif
(Sudkate et. al., 2013) dan penentuan Cu
dalam level ultra runut dalam sampel makanan
dengan tiosemikarbazida sebagai pengomplek
(Shahryar et. al., 2011).
Pengggunaan
kalsein
sebagai
pengomplek telah dilaporkan untuk penentuan
sensitif dan selektif Titanium secara
voltammetri stripping katalitik adsorptif
(Marcin and Golimowski, 2001), sedangkan
penggunaan kalsein untuk penentuan tembaga
belum pernah dilaporkan.
Pada penelitian ini digunakan kalsein
sebagai pengomplek untuk analisis logam Cu,
dengan voltammetri stripping adsorptif
dimana struktur kalsein dapat dilihat pada
Gambar 1 (Marcin and Golimowski., 2001).

Voltammetri
stripping
adsorptif
(AdSV)
adalah
bagian dari
metode
voltammetri stripping yang didasarkan atas
penyerapan (adsorpsi) dari komplek logam
pada elektroda kerja atau elektroda merkuri
tetes gantung (HMDE), kemudian diikuti
reduksi dari komplek logam yang teradsorpsi
pada permukaan elektroda kerja dengan
memberikan potensial reduksi secara cepat
(Wang, 2006).
Metode ini, terdiri dari
4(empat)
langkah
yaitu
pembentukan
kompleks antara logam dengan ligan, adsorpsi
kompleks pada permukaan elektroda, reduksi
logam atau kompleks dan pengukuran arus
dengan scan potensial secara anoda atau
katoda (Amini and Kabiri, 2005).
Dari hasil
penelitian sebelumnya,
telah dilaporkan oleh berbagai peneliti di
dunia,
beberapa jenis pengomplekyang
digunakan untuk analisis penentuan ion-ion
logam baik individual maupun secara simultan
dengan voltammetri stripping adsorptif.
Penentuan simultan Pb dan Cd dengan morin
(Edgar et. al., 2012a, penentuan simultan Cu,
Pb, Cd dan Zn dengan menggunakan
mureksid sebagai pengomplek (Deswati et. al.,
2014a). penentuan simultan Pb dan Cd pada
level runut dalam perairan alami dengan
pirogalol
merah
(Edgar
et
al.,
2012b).Penentuan simultan Cu, Pb, Cd, Ni, Co
dan Zn dalam sampel bahan bakar bioetanol
dengan campuran beberapa pengomplek secara
voltammetri stripping adsorptif dan regresi
multi varian (Danielle et. al., 2014) dan
penentuan simultan Pb(II), Cd(II) dan Zn(II)
menggunakan clioquinol sebagai pengompleks
(Herrero et. al., 2014).
Penentuan yang sangat sensitif untuk
sejumlah runut Cu dalam sampel makanan

Gambar 1. Struktur Kalsein (Fluorexon)


Kalsein, juga dikenal sebagai fluorexon,
kompleks fluorescein, adalah pewarna
fluorescent dengan eksitasi dan emisi masingmasing panjang gelombang 495/515 nm.
Kalsein berupa bubuk berwarna orange dengan
rumus molekul C30H26N2O13 dan massa
molekul relatifnya adalah 622,55 g/mol yang
larut dalam NaOH 50 mg/mL digunakan
sebagai indikator untuk titrasi kompleksometri
untuk ion kalsium dengan EDTA, dan untuk
penentuan fluorometric kalsium.
Untuk penentuan kondisi optimum
dari penelitian digunakan teknik optimasi
menggunakan Metode Respon Permukaan
dengan Rancangan Komposit Pusat (CCD)
dengan 4 variabel, 3 level/taraf dan 31
kombinasi perlakuan. Langkah pertama dari
optimasi rancangan 2k factorial adalah :
memberi kode , dimana nilai level tertinggi
(+1), level terendah (-1) dan kode (0) sebagai
titik pusat. Program untuk pengolahan data
statistik yaitu Mini Tab dengan menggunakan
metode RSM (Respon Surface Methodology).
Response Surface Methodology (RSM)
merupakan suatu metode gabungan antara
teknik matematika dan teknik statistik, digunakan untuk membuat model dan menganalisa
suatu respon y yang dipengaruhi oleh beberapa
1516

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

variabel bebas/faktor x guna mengoptimalkan


respon tersebut (Montgomery, 1991)
RSM mempunyai duamodel yang dapat
menggambarkan hubungan X dan Y, yaitu
model orde satu dan model orde dua. Kedua
model mempunyai sedikit perbedaan pada
desain percobaan yang akan dianalisa. Kedua
model ini harus dianalisa dan model orde satu
dianalisa terlebih dahulu. Apabila model orde
satu sudah baik untuk menggambarkan data,
maka tidak perlu dilakukan analisa model orde
dua (Isnainiet. al., 2012).
Rancangan eksperimen orde I yang
sesuai untuk tahap penyaring faktor adalah
rancangan faktorial 2k(Two Level Factorial
Design).
Selanjutnya untuk model orde II,
biasanya terdapat kelengkungan dan digunakan
model polinomial orde kedua yang fungsinya
kuadratik:
k

i 1

i 1

Central Composite Design untuk optimasi


penentuan In(III) secara voltammetry stripping
adsorptif dengan menggunakan ammonium
pirollidin ditiokarbamat (APDC) sebagai
pengompleks. Danielle et al., (2014) telah
melaporkan penentuan simultan Cu, Pb, Cd,
Ni, Co dan Zn secara voltammetri stripping
adsorptif dengan menggunakan teknik
optimasi regresi multivariant dibantu dengan
algoritma proyeksi (SPA-MLR).
EspadaBellido et al., (2009) telah menggunakan
analisis multivariant untuk optimasi penentuan
timbal dalam air secara voltammetri stripping
adsorptif pada tingkat nanomolar berdasarkan
pembentukan komplek logam dengan 2asetilpiridin salicylhydrazon (2-APS).
3, METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat
yang
digunakan
pada
penelitian ini antara lain adalah neraca analitik
Metttler AE 200, Toledo OH-USA, pH meter
model 80 Griffin,797 Computer ace dari
Metrohm HMDE sebagai elektroda kerja,
Ag/AgClKCl 3M elektroda refrensi dan Pt
sebagai electroda pembantu dan peralatan
gelas yang digunakan dalam laboratorium.
Bahan-bahan yang digunakan adalah
HNO3 pa, NaOH, HCl pa,HClO4 pa, Cu(SO4)2,
KCl, kalsein, NH4OH, gas nitrogen, akuabider,
bufer pH 4, 7 dan 10. Sampel: buah-buahan,
kertas saring Whatman42.
Prosedur Kerja Untuk Optimasi RSM
Ke dalam vessel voltammeter,
dimasukkan 10 mL larutan estndar Cu(II) 10
ug/L, ditambahkan 0,2 mLKCl 0,1M dan 0,2
mL kalsein dalam 20 mL larutan, variabel ini
diatur konstan selama percobaan. Konsentrasi
kalsein, pH, potensial akumulasi dan waktu
akumulasi diatur sesuai dengan rancangan
percobaan dari Central Composit Design
(CCD) pada Tabel1, di bawah ini. Dari Tabel1
tersebut didapatkan respon berupa arus puncak
dari ion logam Cu
Rancangan Penelitian
Desain/rancangan penelitian yang akan
digunakan adalah : Rancangan Komposit
Pusat (CCD) dengan
Response Surface
Methodology (RSM) 4 faktor, dan 3 taraf/level
dari setiap faktor yang diberi kode -1, 0 dan
+1, dengan 2 kali ulangan. Angka -1, 0, dan
+1
merupakan
simbol
(kode)
yang
menunjukkan nilai dari variabel. Angka -1
menunjukkan nilai vaiabel terendah, angka +1
menunjukkan nilai variabel tertinggi, dan

Y 0 i X i ii X i2 ij X i X j
i j

Rancangan eksperimen orde II yang digunakan


adalah rancangan faktorial 3k (Three Level
Factorial Design), yang sesuai untuk masalah
optimasi. Kemudian dari model orde II
ditentukan titik stasioner yaitu titik dimana
respon yang diamati akan maksimal, minimal
atau pelana (Montgomery, 1991 dan Noordin
et.al., 2004).
Data pada model orde dua, agak
berbeda dengan model orde satu. Pada model
orde dua, data model orde satu ditambah
dengan data pada titik axialnya. Model orde
kedua bertujuan untuk menentukan titik yang
memberikan respon yang optimum sehingga
wilayah optimum yang diperkirakan akan
dieksplorasi lebih jauh dapat diperkirakan
dengan model yang lebih kompleks. Langkahlangkah yang diperlukan untuk menentukan
model orde kedua antara lain : 1) Melakukan
eksperimen dengan Central Composite
Design, dan 2) Model desain eksperimen dan
hasil percobaan dihitung dengan software
Minitab sehingga diperoleh titik optimum.
Penggunaan
Metode
Permukaan
Respon telah dilaporkan oleh (Yilmaz et. al.,
2013) dalam penentuan kandungan Al dalam
sampel garam dengan menggunakan kalkon
sebagai pengomplek secara voltammetry
stripping
katodik
adsorptif
(AdCSV).
Selanjutnya, (Phaollicci et. al., 2004)telah
menggunakan design experiment berupa
1517

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

angka 0 menunjukkan nilai variabel medium.


Faktor/variable dari rancangan penelitian ini
adalah konsentrasi pengomplek (kalsein), pH
larutan, potensial akumulasi dan waktu
akumulasi. Program untuk pengolahan data
statistik yaitu Minitab dengan menggunakan
metode RSM (Respon Surface Methodology).
Penentuan Ketelitian Metoda (Miller and
Miller, 1991)
Untuk melihat ketelitian metoda yang
diusulkan ditentukan nilai standar deviasi
relatif (SDR) dan perolehan kembali
(recovery). Penentuan standar deviasi relatif
dilakukan perhitungan untuk konsentrasi ion
logam Cu dengan 8 kali pengulangan (n = 8).
Selanjutnya nilai perolehan kembali dilakukan
dengan menggunakan sampel yang ditambahkan, yang diperoleh dari perbandingan
konsentrasi sampel ditambahkan dengan
sejumlah konsentrasi standar yang ditambahkan pada sampel.
Aplikasi pada sampel
Metoda pengambilan sampel dilakukan dengan
cara sampling purposif, yaitu dilakukan
dengan memperhatikan kondisi serta keadaan
dari daerah penelitian juga arus dan kedalaman
daerah penelitian. Hal ini dimaksud untuk
melihat sampai sejauh mana konsentrasi zat
pencemar menyebar. Untuk mengetahui
kandungan
logam
berat
dilakukan
pengambilan sampel berupa air laut, air kran,
air sungai dan limbah rumah sakit. Sampel
berupa air laut yang diambil dari lokasi
sebelum dianalisis diawetkan dengan HNO3 65
% dengan perbandingan 2 : 1000, sedangkan
sampel air sungai, air kran dan air limbah
rumah sakit disaring dulu sebelum dianalisis.
Penentuan Batas Deteksi (LOD)
Penentuan batas deteksi (LOD)
dilakukan dengan menghitung kadar yang
didapat dari arus puncak yang terukur dari
masing-masing larutan standar ion logam Cu,
dengan menggunakan kondisi optimum yang
diperoleh dari masing-masing ion logam
tersebut. Selanjutnya dihitung nilai rata-rata
dan standar deviasi relatifnya. Batas deteksi
dihitung dari tiga kali simpangan baku (3 SB)
dibagi dengan slope (kemiringan) dari larutan
standar ion logam Cu.
Penentuan Linear Range
Daerah pengukuran linier range
dilakukan dengan mengukur masing-masing
arus puncak dari 10 mL larutan standar Cu
dalam rentang konsentrasi antara 0-130 g/L

pada kondisi pengukuran optimum yang telah


diperoleh sebelumnya.
Tabel 1. Rancangan Percobaan CCD logam Cu

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengolahan data dilakukan dengan bantuan
software Minitab 16.
Analisis RSM tahap I logam Cu
Hasil pengolahan data pada percobaan tahap I
diperoleh hasil sebagai berikut
Tabel 2. Koefisien Regresi pada Model Orde I
Term
Constant
X1
X2
X3
X4

Coef
258,591
-36,2685
22,7848
-5,05229
-6,27646

Berdasarkan Tabel 1, model yang diperoleh


dari analisis data tahap I adalah ;
= 258,591 - 36,2685 X1+ 22,7848 X25,05229 X3 - 6,27646 X4
Sedangkan hasil analisis ragam data percobaan
tahap I dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Ragam Model Orde I

1518

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

H0 : i=0,
H1 : ada i0; i = 1,2,3,,k
Tabel 4. Hasil Analisis Ragam Model Orde II

Berdasarkan Tabel 3 dilakukan prosedur uji


yang digunakan untuk memutuskan apakah
model orde satu dapat digunakan atau tidak.
Uji hipotesis ini digunakan untuk menguji
keberartian model regresi, yaitu menguji
apakan terdapat peubah bebas yang
berpengaruh signifikan terhadap peubah
respon, Hipotesis yang diuji adalah:
H0 : i=0,
H1 : ada i0; i = 1,2,3,4
Berdasarkan Tabel 3, uji parameter regresi
secara serempak menghasilkan p-value
sebesar 0.530, artinya p-value yang diperoleh
lebih besar dari taraf signifikansi yang
digunakan yaitu sebesar = 0.05. Dengan
demikian diputuskan untuk tidak menolak H0
dan disimpulkan bahwa tidak satu pun peubah
bebas yang berpengaruh signifikan terhadap
peubah respon, sehingga model orde I tidak
dapat digunakan.
Analisis RSM tahap II logam Cu

Berdasarkan Tabel 4, uji parameter regresi


secara serempak menghasilkan p-value
sebesar 0.000, artinya p-value yang diperoleh
lebih kecil dari taraf signifikansi yang
digunakan yaitu sebesar = 0.05. Dengan
demikian diputuskan untuk menolak H0 dan
disimpulkan bahwa terdapat peubah bebas
yang berpengaruh signifikan terhadap peubah
respon, sehingga model orde II dapat diterima.
Penentuan Titik Stasoner
Berdasarkan nilai Koefisien regresi pada Tabel
3 dapat disusun matriks b dan B sebagai
berikut:

Karena model orde I tidak dapat digunakan,


maka dilanjutkan dengan model orde 2 yaitu
dengan menambahkan pengaruh kuadratik dan
interaksi.Hasil pengolahan data tahap II
diperoleh hasil sebagai berikut:

- 30,3417
22,4800
dan
b
1,5131

3,0543

Berdasarkan Tabel 3,model yang diperoleh


dari hasil ananlisis data Tahap II adalah

- 31,9435 24,0380 - 3,7643 17,9886


24,0380 - 32,9085 - 4,7447 - 10,4934

B
- 3,7643 - 4,7447 - 27,5806 - 3,6557

17,9886 - 10,4934 - 3,6557 - 33,6431

= 362,610 - 30,342 X1 + 22,480X2 + 1,513X3


+ 3,054X4 - 31,944X12-32,908 X22- 27,581 X32
- 33,643 X42 + 48,076 X1X2 - 7,529 X1X3 +
35,977X1X4 - 9,489 X2X3 - 20,987 X2X4 7,311 X3X4

sehingga diperoleh titik stasioner sebagai


berikut:
- 0,876403

B b - 0,210201
x0

0,233981
2

- 0,383074
1

sedangkan hasil analisis ragam data percobaan


tahap II dapat dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4 dilakukan prosedur uji
terhadap model orde II. Uji hipotesis ini
digunakan untuk menguji keberartian model
regresi, yaitu menguji apakah terdapat peubah
bebas (termasuk efek kuadratik dan interaksi)
berpengaruh signifikan terhadap peubah
respon,
Hipotesis yang diuji adalah:

Dengan demikian, solusi respons pada titik


stasioner diperoleh sebagai berikut:\
1
y 0 x0 'b 362,10 10.5251 373,135
2

Selanjutnya titik stasioner dapat dikembalikan


ke nilai sesungguhnya, diperoleh kondisi yang

1519

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

memberikan solusi optimla adalah sebagai


berikut:
Peubah

X1 (kons kalsein)
X2(pH)
X3 (Potensial)
X4 (Waktu)

Nilai optimal
(dikodekan)

Nilai optimal
(tidak dikodekan)

-0,876403
-0,210201
0,233981
-0,383074

0,11 mM
6,79
-0,88 V
42,34 s

SURFACE PLOT DARI ARUS PUNCAK LOGAM Cu


Hold Values
Potensial(X3)
0,2340
Waktu(X4)
-0,3831

400

Arus Puncak (Y)

200

1
0
-2

pH(X2)

-1

-1

-2

Kons. Calsein(X1)

Analisis Karakteristik Permukaan Respons.

b. Plot Contour dan Permukaan Respon pada


Kondisi X2 dan X4 di titik Stasioner

Untuk mendapatkan gambaran tentang


karakteristik permukaan respons maka terlebih
dulu dilkukan perhitungan nilai eigen () dari
matriks B dan diperoleh
- 68,4096 - 29,5170 - 23,3413 - 4,8078
Karena keempat nilai eigen adalah negative,
maka bentuk permukaan respon adalah
maksimum. Hal ini dapat juga dilhat dari plot
contour dan plot permukaan respon. Dengan
membuat konstans dua diantara 4 faktor yang
diamati pada titik stasioner, maka dapat dibuat
plot contour dan permukaan respons seperti
dapat dilihat pada Gambar (terlampir).
Berdasarkan analisis data dengan metode
permukaan respon, maka disimpulkan bahwa
Arus Puncak akan mencapai nilai maksimum
pada saat konsentrasi kalsein = 0,11 mM, pH
= 6,79, potensial akumulasi = - 0,88 Volt dan
waktu akumulasi = 42,34 detik. Adapun nilai
maksimum dari arus puncak adalah sebesar
373,14 nA.

Contour Plot of Arus Puncak (Y) vs Potensial(X3); Kons. Calsein(X1)


Arus
Puncak (Y)
< 100
100 150
150 200
200 250
250 300
300 350
> 350

1,5

Potensial(X3)

1,0
0,5
0,0

Hold Values
pH(X2)
-0,2102
Waktu(X4) -0,3831

-0,5
-1,0
-1,5
-1,5

-1,0

-0,5 0,0
0,5
Kons. Calsein(X1)

1,0

1,5

SURFACE PLOT DARI ARUS PUNCAK LOGAM Cu


Hold Values
pH(X2)
-0,2102
Waktu(X4) -0,3831

400
300
Arus Puncak (Y)

200
1

100

0
-2

-1

-1
0

Potensial(X3)

-2

Kons. Calsein(X1)

c. Plot Contour dan Permukaan Respon pada


Kondisi X2 dan X3 di titik Stasioner
SURFACE PLOT DARI ARUS PUNCAK LOGAM Cu

Plot Contour dan Permukaan Respons pada


Titik Stasioner (LOGAM Cu)

Hold Values
pH(X2)
-0,2102
Potensial(X3)
0,2340

Dengan membuat konstan dua diantara


empat faktor yang digunakan, maka dapat
ditunjukkan bahwa be ntuk contour dan
permukaan respons adalah maksimum. Berikut
akan disajikan plot contour dan permukaan
pada setiap kemungkinan pasangan faktor yang
digunakan.

300
Arus Puncak (Y)

200
100
1

0
-2

-1

-1
0

Waktu(X4)

-2

Kons. Calsein(X1)

Contour Plot of Arus Puncak (Y) vs Potensial(X3); pH(X2)


Arus
Puncak (Y)
< 200
200 240
240 280
280 320
320 360
> 360

1,5

a. Plot Contour dan Permukaan Respon pada


Kondisi X3 dan X4 di titik Stasioner

Potensial(X3)

1,0

Contour Plot of Arus Puncak (Y) vs pH(X2); Kons. Calsein(X1)


Arus
Puncak (Y)
<
0
0 100
100 200
200 300
> 300

1,5
1,0

pH(X2)

0,5

Hold Values
Kons. Calsein(X1) -0,8764
Waktu(X4)
-0,3831

0,0
-0,5
-1,0
-1,5

Hold Values
Potensial(X3)
0,2340
Waktu(X4)
-0,3831

0,0

0,5

-1,5

-1,0

-0,5

0,0
0,5
pH(X2)

1,0

1,5

-0,5

d. Plot Contour dan Permukaan Respon pada


Kondisi X1 dan X3 di titik Stasioner

-1,0
-1,5
-1,5

-1,0

-0,5 0,0
0,5
Kons. Calsein(X1)

1,0

1,5

1520

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ini dapat diterapkan penentuan tembaga dalam


air laut secara cepat, efektif dan efesien.

Contour Plot of Arus Puncak (Y) vs Waktu(X4); pH(X2)


Arus
Puncak (Y)
< 50
50 100
100 150
150 200
200 250
250 300
300 350
> 350

1,5
1,0

Waktu(X4)

0,5
0,0

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan yang telah mendanai
penelitian ini, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Nomor: 030/SP2H/PL/
DITLITABMAS/II/2015, Tanggal 05 Feb. 2015.

Hold Values
Kons. Calsein(X1) -0,8764
Potensial(X3)
0,2340

-0,5
-1,0
-1,5
-1,5

-1,0

-0,5

0,0
0,5
pH(X2)

1,0

1,5

SURFACE PLOT DARI ARUS PUNCAK LOGAM Cu

DAFTAR PUSTAKA

Hold Values
Kons. Calsein(X1) -0,8764
Potensial(X3)
0,2340

Abbasi, S,. Khodarahmiyan, K and Abbasi.F., (2011),


Simultaneous determination of ultra trace amounts
of lead and cadmium in food samples by adsorptive
stripping voltammetry, Food Chemistry, 128: 254258.
Amini. M.K and Kabiri. M., (2005), Determination of
trace amounts of nickel by differential pulse
adsorptive cathodic stripping voltmmetry using
calconcarboxylic acid as a chelating agent, J. Iran.
Chem Soc., 2 : 32-39.
Attar. T., Harek. Y., and Larabi. L., (2014),
Determination of copper in whole blood by
differential pulse adsorptive stripping voltammetry,
Mediterranean Journal of Chemistry., 2 Issue 6 :
691-700.
Bezerra. M.A., Santelli. R.E., Oliveira. E.P., Villar. L.S.,
and Escaleira. L.A., (2008), Respon surface
methology (RSM) as a tool for optimization in
analytical chemistry, Talanta, 76 : 965 977
Danielle. S., Nascimento., Insausti. M., Band. S.F., and
Lemos. S.G., (2014), Simultaneous determination of
Cu, Pb, Cd, Ni, Co and Zn in bioethanol fuel by
adsorptive stripping voltammetry and multivariate
linear regression, Fuel, 137 :172-178.
Deswati. Suyani. H and Safni.,(2012), The Method of the
development of analysis Cd, Cu, Pb and Zn in sea
water by adsorptive stripping oltammetry (AdSV) in
the presence of calcon as complexing agent, Indo. J.
Chem., 12(1) : 20 -27.
Deswati, Suyani. H., Safni., Loekman. U., and Pardi. H.,
(2013), Simultaneous determination cadmium,copper
and lead in sea water by adsorptive stripping
voltammetry in the presence of calcon as complexing
agent, Indo. J. Chem., 13(3) : 236 -241.
Deswati, Buhatika, C., Suyani, H., Emriadi and U.
Loekman., (2014)a,
Simultaneous determination
of copper, lead, cadmium and zinc by adsorptive
stripping voltammetry in the presence of murexide,
Int. J. Res. Chem. Environ., Vol. 4 Issue : 2 April
:143 152.
Deswati, Munaf. E., Suyani. H., Loekman. U and Pardi.
H.,(2014)b, The Sensitiveand Simple Determination
of Trace Metals Fe, Co, Ni and Cr in
water
samples by Adsorptive Stripping Voltammetry
(AdSV) in the Presence of Calcon, Res. J.Pharm,
Biol. Chem. Sci., 5(4): 990-999.
Deswati, Munaf. E., Suyani. H., and Zein. R., (2015),
Simultaneousdeterminationoftrace
amountsofiron,
cobalt,nickelandchromiuminwatersamples
with
calconasacomplexingagentbyadsorptive
strippingvoltammetry. Asian J. of Chem., 27(11):
3978-3982.

300
Arus Puncak (Y)

200
100

0
-2

-1

-1

pH(X2)

Waktu(X4)

-2

e. Contour dan Permukaan Respon pada


Kondisi X1 dan X2 di titik Stasioner
Contour Plot of Arus Puncak (Y) vs Waktu(X4); Potensial(X3)
Arus
Puncak (Y)
< 150
150 200
200 250
250 300
300 350
> 350

1,5
1,0

Waktu(X4)

0,5

Hold Values
Kons. Calsein(X1) -0,8764
pH(X2)
-0,2102

0,0
-0,5
-1,0
-1,5
-1,5

-1,0

-0,5 0,0
0,5
Potensial(X3)

1,0

1,5

SURFACE PLOT DARI ARUS PUNCAK LOGAM Cu


Hold Values
Kons. Calsein(X1) -0,8764
pH(X2)
-0,2102

400

Arus Puncak (Y)

300
200

1
0
-2

-1

-1
0

Waktu(X4)

-2

Potensial(X3)

5. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dengan metode
permukaan respon, maka didapatkan kondisi
optimum penentuan tembaga yaitu: konsentrasi
kalsein 0,11 mM, pH = 6,79, potensial
akumulasi -0,88 Volt dan waktu akumulasi
42,34 detik dengan nilai arus puncak maksimum dari tembaga 373,14 nA.Pada kondisi
optimumum tersebut diperoleh nilai standar
deviasi relatif 0,74%, recovery 99,88%, linear
range sampai 0,2 - 110 g/L dengan limit
deteksi 1,794 g/L. Metoda permukaan respon

1521

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Deswati, Suyani, H., Zein. R and Rahmi. I., (2015),
Application of respon surface methodology for the
determination of cadmium in sea water by adsorptive
stripping voltammetry in the presence of calcon. J.
Chem. Pharm. Res., 7(8): 750 -757.
Deswati, Rahmi. I., Suyani. H and Zein. R., (2015),
Respon surface methodology optimization for the
determination of zinc in water sample by adsorptive
tripping voltammetry. J. Chem, Pharm. Res., 7(10):
862 - 870.
Dewi, A.K., Sumarjaya. I.W., dan Srinadi. I.G.A.M.,
(2013), Penerapan metode permukaan respon dalam
masalah optimasi. E-Jurnal Matematika, 2(2) : 32-36.
Edgar. N., Arancibia. V., Rios. R., and Rojas. C., (2012) a,
Simultaneous determination of lead and cadmium in
the presence of morin by adsorptive stripping
voltammetry with a nafion-ionic liquid-coated
mercury film electrode, Int. J. Electrochem. Sci., 7:
5521-5533.
Edgar. N., Arancibia. V., Rios. R., and Rojas. C., and
Segura. R., (2012)b, Nafion-mercury coated film
electrode for the adsorptive stripping voltammetric of
lead and cadmium in the presence of pyrogallol red,
Talanta., 99: 119-124.
El-Shahawi. M.S., Bashammakh. A.S., Al-Shibaai. A.A.,
Bahaffi. S.O., and Al-Gohani. E.H., (2011),
Chemical speciation of Antimony (III and V) in water
by adsorptive cathodic stripping voltammetry using
the 4-(2-thiazolylazo)- resorcinol, Electroanalysis.,
23(3) : 747-754.
Ensafi. A.A., Abbasi S., Mansour H.R., (2001),
Differential pulse adsorption stripping voltammetric
determination
of
copper(II)
with
2mercaptobenzimidazol at Hanging Mercury-Drop
Electrode, Anal. Sci., 17 : 609-612
Espada-Bellido. E., Galindo-Riano. M.D., and GarciaVargas. M., (2009), Sensitive adsorptive stripping
voltammetric method for determination of lead in
water using multivariate analysis for optimization,
Journal of Hazardous Materials., 166 :1326-1331.
Herrero. E., Arancibia. V., and Rojas. C., (2014),
Simultaneous determination of Pb(II), Cd(II) and
Zn(II) by adsorptive stripping voltammetry using
clioquinol as a chelating agent, J. Elect. Anal. Chem.,
729 : 9-14.
Isnaini. N., Hadi. A.F., dan Julianto. B., (2012), Model
permukaan respon pada percobaan faktorial, Majalah
Ilmiah Matematika dan Statistika, 12 : 24 32.
Jugade. R., and Joshi. A.P., (2006), Highly sensitive
adsorptive stripping voltammetric method for the
ultra trace determination of chromium(VI), Anal.
Sci., 22 : 571-574.
Marcin. G and Golimowski. J., (2001), Sensitive and
very selective determination of titanium by

adsorptive-catalytic stripping voltammetry with


methylthymol blue, xylenol orange and calcein,
Analytica Chemica Acta., 427 : 55-61.
Mohammad. B., Gholivand., Pourhossein. A., and
Shahlaei. M., (2011), Simultaneous determination of
copper and cadmium in environmental water and tea
samples by adsorptive stripping voltammetry, Turk.
J. Chem., 35: 839-846.
Oramahi. H.A., (2008), Teori dan aplikasi penggunaan
RSM, penerbit Ardana Media, Yogyakarta, hal : 6
12.
Paolicchi. I., Renedo. O.D., Lomillo. M.A.L and
Martinez. M.A.A., (2004), Application of an a
optimazation procedure in adsorptive stripping
voltammetry for the determination of trace
contaminant metals in aqueos medium, Anal. Chem.
Acta., 511: 223 229.
Proti. P., (2001), Introduction to modern voltammetric
and
polarographicanalysistechniques,
Amel
Electrochemistry Ed. IV.
Richard. J.C., Brown Martin. J and Milton. T., (2005),
Analytical technique for trace element analysis : an
overview, Trend in Anal. Chem., 24(3) : 266 274.
Sanusi. H.S., Syamsu. S dan Sardjirun. S., (1985).
Kandungan dan distribusi logam berat pada berbagai
komoditi ikan laut disalurkan lewat TPI Pasar Ikan
Jakarta, Skripsi Fakultas Perikanan Institut Pertanian
Bogor.
Saryati dan Wardiyati. S., (2008), Aplikasi voltammetri
untuk penentuan logam berat dalam bahan
lingkungan, Indo. J.
Mat. Sci., edisi khusus
Desember : 265-270.
Shahryar. A., Bahirae. A., and Abbasai. F., (2011), A
highly
sensitive
method
for
simultaneous
determination of ultra trace levels of copper and
cadmium in food and water samples with luminal as a
chelating agent by adsorptive stripping voltammetry,
Food Chemistry., 129 Issue 3: 1274-1280.
Sudkate. C., Chailapakul. O., Sakai. T., Teshima. N and
Siangproh.
W.,
(2013),
Highly
sensitive
determination of trace copper in food by adsorptive
stripping voltammetry in the presence of 1,10phenanthroline, Talanta., 108 : 1-6.
Wang. J., (2006). Analytical Electrochemistry, 3nded, A
John Willey and Sons, Inc., Publication, New York,
85-87 and 93-97.
Yilmaz. S., Ozturk. B., Ozdemir. D., Eroglu. A.E and
Ertas. F.N., (2013), Application of experimental
design on determination of aluminum content in
saline samples by adsorptive cathodic stripping
voltammetry, Turk. J. Chem., 37 : 316 324.
Zang. S and Huang. W., (2001), Simultaneous
determination of Cd(II) and Pb(II) using a chemically
modified electrode, Anal. Sci., 17 : 983-985

1522

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENGARUH INHIBITOR EKSTRAK KULIT BUAH KAKAO (THEOBROMA CACAO)


TERHADAP LAJU KOROSI BAJA LUNAK DALAM MEDIA DALAM GARAM
Yuli Yetri1,2, Emriadi2, Novesar2 , Gunawarman3
1
Padang State Politechnic
Chemistry Deparment Faculty of Mathematic and Natural Science Unand
3
Mechanic Department of Faculty Engineering Unand
Kampus Limau Manis Padang , Indonesia
Email: yuliyetriyetri @ yahoo.com, gunawarman@ft.unand.ac.id

Abstrak
Efek inhibisi korosi dan sifat-sifat adsorpsi oleh ekstrak kulit buah kakao (Theobroma cacao) pada mild steel dalam
larutan NaCl 1,5M dipelajari menggunakan teknik konvensional metode berat hilang (weight loss) pada variasi waktu,
konsentrasi dan suhu, polarisasi potensiodinamik (Tafel) pada rentang suhu (303-323) K serta Electron Impedance Spectroscopy
(EIS) dengan konsentrasi ekstrak 0,5-2,5% dengan selang 0,5% untuk menentukan efisiensi inhibisinya. Polarisasi elektrokimia
telah dievaluasi untuk memastikan jenis inhibitor. Spektra infrared dan GCMS dilakukan untuk mengetahui senyawa ekstrak yang
berperan dalam proses inhibisi. Morfologi permukaan sampel diamati dengan menggunakan scanning electron microscopy
dengan energy dispersive X-ray spectroscopy (SEM-EDX). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa laju korosi berkurang
dengan kenaikan konsentrasi ekstrak dan meningkat dengan kenaikan temperatur. Efisiensi inhibisi terkorosi sebesar 91.93
(weight loss) dan 85.90% (Tafel), 90.19% (Rp) dan 71.78% (EIS) pada konsentrasi ekstrak 2,5%. Kenaikan efisiensi inhibisi
juga diikuti oleh kenaikan derajat penutupan permukaan akibat dari adsorpsi kimia yang terjadi di permukaan. Kurva polarisasi
menunjukkan inhibitor ini berperilaku sebagai inhibitor campuran dengan dominan pada inhibisi katodik. Adsorpsi kimia
(chemiadsorpsi) yang terjadi di permukaan memenuhi aturan adsorpsi Isotherm Langmuir, dengan indikasi adsorpsinya
unimolekuler. Penambahan ekstrak polar kulit buah kakao ke dalam larutan NaCl sangat efektif untuk mengurangi serangan
korosi di permukaan mild steel.
Key word: Extract, Corrosion inhibitor, Tafel, Adsorption, GC-MS
Corrosion inhibitor is a compound that when added in
small amounts can reduce the rate of corrosion in
aggressive media efficiently7,8,9. Commonly used corrosion
inhibitor compounds are compounds containing atoms N, P,
O, S, or As10. Extract has many natural ingredients that
attempted to obtain an environmentally friendly corrosion
inhibitors, especially derived from extracts of bark, skin
fruit4, leave5, 7, and seeds such as musa aquapinata skin4,
henna leaves5, azadirachta indica11, kalmegh leaves12,
rosemary flower13 , citrus aurantifiifolia14, carica papaya
leaves15,16, piper ningrum 17, artemisia annua18,
cathechin19, garcinia mangostana fruit20, fenugreek leaves21
and flavonoid monomers22.
Cacao peels as a result of plantation waste is
potentially used as inhibitors. The cacao peel until now has
not been used optimally even still largely a waste of cacao
plantations. The skin is only collected on a closed hole,
disposed around the cacao plant, or as a mixture fodder. In
order for the utilization of waste cacao peels can be useful;
it is necessary to find a more efficient utilization of
alternative and has a higher economic value. One is as a
corrosion inhibitor because the peels of cacao containing
metabolites secunder sizable19,22. Among polyphenols,

INTRODUCTION
Corrosion is a spontaneous process that occurs in
metal who want to return to forms previously, as a result of
material degradation. One easily corroded material is mild
steel. Mild steel has a high popularity because these metals
have the ability to be used in a wide variety of needs, easily
welded, and relatively inexpensive. Because of this ability
then steel is widely used as a commercial commodity to
make the construction, automotive industry, machinery
industry, automobile industry and lainnya1-3. Because steel
is easily corroded it needs maintenance to reduce the
corrosion rate. There are several ways to slow the rate of
corrosion, namely: the coating, anodic or cathodic
protection and with the addition of inhibitor1-4. The use of
corrosion inhibitors corrosion treatment is one of the most
efficient and economical, because the compound will
protect the surface of mild steel from corrosive media by
forming a passive layer or protective. The use of the usual
inorganic inhibitors is less effective and has a negative
impact because it is toxic and unfriendly environment5.
Therefore it may be advisable use of organic inhibitors
from natural product, non-toxic and biodegradable5, 6.

1523

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
flavonoids, tannins, saponins and anthocyanin rich in lone
electro pairs15,16,22. Based on this needs to be done a study
to determine the inhibitory power of cacao peels extract to
the reaction rate of corrosion of steel in sodium chloride
solution.

using the KBr disk technique. Then, analyzed the spectrum


produced by the compound functional group table.
METHODS
Weight loss method
Mild steel which has been prepared weighed to
determine the initial, then immersed in 1.5 M NaCl
corrosive medium for 48 hours, 96 hours, 192 hours, 384
hours and 768 hours, the inhibitor concentration variation
was 0.5%, 1.0%, 1.5%, 2.0% and 2.5%. After the corrosion
process run for a predetermined time, corrosion products
removed from the media corrosion, brushed using a soft
brush, then washed with distilled water and finally rinsed
with acetone. Then dried at room temperature, and then
weighed as the final weight. Corrosion rate and inhibition
efficiency calculated with equations 1 and 213-14 the
following:

EXPERIMENTAL
Mild steel Sample Preparation
The sample used for this study is a low carbon steel
(mild steel). The chemical composition testing of mild steel
with a Foundry-Master Xpert Spectrometry. The
composition of mild steel obtained as in Table 1. Sample
preparation is done by forming a circular piece of mild steel
with a diameter of 25 mm and a thickness of 2-3 mm. After
that, the specimen is polished using SiC emery paper to the
size of fineness 120, 600, 800, 1000, and 1500 m and final
polished with alumina compound. This has a smooth
surface washed with detergent and distilled water, the last
use of alcohol in order to free samples of fat. Then the
sample was dried with a hot dryer at a temperature of 30 C
for 10 minutes. Ready-made samples stored in desiccators.
Table 1. Chemical composition of mild steel
Mild steel
Contain

V=

IE% =

Axt
V without inhibitor V with inhibitor
V without inhibitor

(1)
x 100% (2)

Where, w is weight loss in mg, A is area of the specimen in


cm2, t is exposure time in hours, V is corrosion rate and IE
is inhibition efficiency.

Chemical composition (% mass)


C
Fe Si Cr Mo Mn S Cu
P
0,32 97,8 0,22 0,1 0,2 0,9 0,06 0,3 0,07

Electrochemical measurements
First prepared in solution and computer controlled
potentiostat instrument EDAQ 466 Potentiostat-Advanced
Electrochemical System. Samples to be corrosion, put on
holder footage, and dipped in a corrosion cell containing a
solution of corrosive media as much as 10 ml. Then put
mild steel as the working electrode, auxiliary electrode and
electrode comparator into the corrosion cell. Then the three
electrodes were connected to the potentiostat instrument.
Measured with a scanning speed of 0.1 mV/sec.
Measurements will be obtained from the corrosion current
density (Icorr), corrosion potential (Ecorr), resistance
polarization (Rp). Tafel curves obtained while the inhibition
efficiency was obtained using the formula 38,12,21 following:

Preparation of Cacao peels Extract


Cacao peels is cleaned of dirt, then chopped into small
pieces and dried in the open air without sunlight for 14
days. Skin that has been dried, ground up into a powder.
Cacao powder rind 200 grams, put in macerator, then added
70% methanol in 1 L. Then the mixture was stirred and left
in a macerator for 4-5 day. Maceration results filtered by
using filter paper, then the filtrate was put in a vacuum
rotary evaporator with a Heidolph WB 2000 at temperature
of 54-55 C for 1 hour until a concentrated extract. The
extracts ready to be used as inhibitors.
Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) and
Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FTIR)
GC-MS is used to identify what compound that plays a
role in the inhibition of corrosion of mild steel. The
composition of the extracts studied earlier by using gas
chromatography mass spectrometry (GC-MS). Tests carried
out by GC-MS-QP2010S Shimadzu, with parameters of
initial column: AGILENTJ%W DB-1, length: 30 m, ID: 0.25
mm, carrier gas: Helium, EI: 70 Ev, injection mode: Split,
injection temperature: 310oC, column temperature: 70oC and
maximum of 324oC for 50 minutes, column flow: 0,5
ml/min, linear velocity: 25.9cm/sec.
Than continue FTIR test. This test is done to see the
functional groups contained in the cacao peels extract.
FTIR spectra were recorded in a Nicolet iS10-FTIR
spectrophotometer, which extended from 4000 to 400 cm-1,

IE% =

Icorr Icorr (inh )


Icorr

x100%

(3)

Where, Icorr and Icorr (inh) are the corrosion current


densities without and with the presence of inhibitors.
Corrosion testing using the technique of Resistance
Polarization, intended to look at the sample resistance to
oxidation when given external potential. Resistance
polarization is a good method to determine the corrosion
rate and inhibition efficiency without damaging the metal
by using the formula 4 22 following:
Rp =

1524

ba x bc
Icorrx 2.303 (ba +bc )

x100%

(4)

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Where: ba = Tafel slope of the anodic and bc = cathodic
Tafel slope

0,60
0,50
Weight loss (g)

Electron Impedance Spectroscopy (EIS) Methods


EIS method used to determine the resistant transfer of
electric charge and double layer interface with a solution of
mild steel. The procedure with this method is almost the
same as the Tafel method. Electrochemical parameter
obtained from this test is Rs, Rct and Cdl, where Rs is the
resistance of the solution, the Rct is the charge transfer
resistant and Cdl is the capacitance of the electric double
layer. Initial operation of the tool is tested OCP (open
circuit potential) to determine the stability of the electrode
surface and the test solution. At the time of the EIS
measurements, this used amplitude of 10 mV peak to peak
with a frequency range of 0.1 Hz to 100Hz. The percentage
inhibition efficiency is determined by the following
equation 520,23:
Rct(inh) - Rct
%IE = ------------------ x 100%
(5)
Rct(inh)

0,40

48 jam

0,30

96 jam

0,20

192 jam

0,10

364 jam

0,00

768 jam
0,0

1,0

2,0

3,0

Concentration of extract (%)

.
Figure 1: Weight loss against concentration of extract at
different time interval
3,0
Corrosion rate (gram.cm2 day)

2,5
2,0

Where, Rct and Rct (inh) are the charge transfer resistant of
mild steel in solutions without and with the presence of
inhibitors.

48 jam

1,5

96 jam

1,0

192 jam
364 jam

0,5

Surface analysis
After the corrosion test, surface samples were
analyzed using optical microscopy brand S-3400N
Scanning Electron Microscopy. This observation aims to
look at the sample surface before and after the occurrence
of corrosion.

768 jam

0,0
0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

Concentration of extract (%)

Figure 2: Corrosion rate against concentration of extract at


different time

RESULT AND DISCUSSION


Analysis of GC-MS (Gas Chromatography-Mass
Spectrometry)
The results of GC-MS spectra showed that the
cacao peels extract as a whole contains 42 compounds
(spectra peaks) dominant, can be shown in previous article
(---).Of the 42 compounds that, when grouped consists of: 3
benzene groups, 1 amide, 5 carboxylic acid , 3
monoterpenes, 1 aromatic , 5 alkanes, 3 alcohols, 2 ketones
and 1 steroid and the rest could not be determined because
there is no supporting data.These compounds have high
molecular weights that are rich in lone electron pairs. The
lone electron pairs can be used to bind to the surface of
mild steel through covalent bonding coordination, to form a
monolayer coating on the surface of mild steel.

Iinhibition Efficiency (%)

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

48 jam
96 jam
192 jam
364 jam
768 jam
0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

Concentration of extract (%)


Figure 3. Inhibition Efficiency against concentration of
extract at different time

Analysis of corrosion rate with the Weight loss method

The results of the corrosion test of weight loss


method is seen that the addition of inhibitors to minimize
weight loss and will slow the corrosion rate of the initial
corrosion rate before given inhibitor as shown in Figure 1

1525

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
and 2. In contrast, the increase in the concentration of
inhibitor will increase the efficiency of inhibition on the
surface of mild steel; the relationship can be seen in Figure
3. This is because the larger the surface of mild steel in
contact with the solution, the more surface coated mild steel
by cacao peels extract as presented in Figure 4. The
occurrence of these terms, in accordance with the protection
mechanisms that the natural extracts are compounds
containing atoms with lone electron pairs 1, 10. These atoms
act as electron donors that will produce complexes with
iron19. These complexes are stable, not easily oxidized and
will envelop the iron metal surface, so that the rate of
corrosion can be inhibited. Means with the increase of the
inhibitor concentration will also increase the degree of
surface coverage.

further reduce the price of Icorr. Price highest Icorr look at


specimens were immersed in the media without the addition
of inhibitors. While the lowest value of Icorr is owned by
the specimen with the addition of inhibitors of 2.5%. If we
compare the test results with weight loss potentiodynamic
polarization produces the same relative response. Means a
decline in the rate of corrosion of the material with
increasing concentrations of inhibitors were added18.23.
Figure 5 shows an indication of the increasing
concentration of inhibitor was added to the media will
increasingly shift the curve upward. Curves shift to a more
positive price indicates that the inhibitor is added anodic23,
24
. This means that the cacao peels has a significant effect in
inhibiting the anodic dissolution of mild steel in the
simultaneously inhibit the hydrogen evolution reaction at
the cathode 25. A rise upward curve tends in the increasing
in the value of corrosion potential. Lowest Ecorr value
owned by the media without the addition of inhibitors is 0.2800 V, and was highest in the medium with the addition
of inhibitors is -0.2000 V. Ecorr price increase will lead to
more cathodic seen specimens of the reference electrode.
This shows the corrosion potential difference between the
two values will be much smaller.

Surface coverage ()

1
0,8
48 jam

0,6

96 jam

0,4

192 jam
0,2

364 jam

Polarization Resistance Analysis


When the metal is inserted into the solution will
occur interfacial electrochemical reaction between the metal
and the solution. This reaction produces an electrochemical
potential called the corrosion potential. This potential is
determined by the amount of negative charge is formed
when the metal was added to solution26,.27. When potential
oxidation rate equal to the rate of reduction is called an
equilibrium system. If the corrosion current Ired reduction
occurs in the reduction process while the current Ioks
corrosion occurs by a process of oxidation that Itotal = Ired
+ Ioks = 0. Flow is measured on the instrument is the total
current. When a potential is not the same as Ecorr given to
a system there will be polarization resulting in the reduction
and oxidation reactions, thus Ired and Ioks at Ecorr can be
determined. Table 2 shows the value of the free corrosion
potential (Ecorr), corrosion current density (Icorr), and
resistance polarization (Rp) of the measurement of each
sample at various concentration of inhibitor used.

768 jam
0,0

2,0

4,0

Concentration of extract (%)


Figure 4: Surface coverage against concentration of extract

Analysis of potentiodynamic polarization method


Calculation of corrosion rate with Tafel curve begins
by finding the value of Icorr (corrosion current density) and
Ecorr (potential corrosion). Icorr and Ecorr of each sample
obtained from Tafel extrapolation curves. Extrapolation is
done by drawing a tangent to the anodic and cathodic parts
of the branch that has the greatest straightness. Both
tangents are then extended to meet at a point. This point
that shows Icorr and Ecorr of the specimen in the solution.
Price corrosion rate of specimens tested by
potentiodynamic polarization method is determined by the
value of Icorr obtained. In Table 2 it can be seen, with
increasing concentrations of inhibitors in the media will
Table 2. Electrochemical and corrosion parameters for mild steel in the absence and presence of Theobroma cacao peels extract
in NaCl 1,5 M
No.

Inhibitor
Conc. (%V/V)

Icorr
mA cm-2

Ecorr
Vdec-1

ba
Vdec-1

1.
2.
3.
4.

Blank
0,5
1,0
1,5

0.0631
0.0513
0.0467
0.0347

-0.2700
-0.2750
-0.2200
-0.2100

1.8000
3.6000
6.0000
5.0000

1526

bc
Vdec-1
1.1430
2.8000
3.7500
2.5000

Rp
m2
7.279
13.331
21.457
27.661

IE(%)
Icorr

EI(%)
Rp

18.70
25.83
29.17

45.39
66.07
73.69

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
5.
6.

2,0
2,5

0.0200
0.0089

-0.2100
-0.2200

5.6000
4.7000

The size of the potential price of corrosion


samples indicate a tendency to undergo oxidation while the
corrosion media18.28. High and low prices on a sample of
potential corrosion inhibitor depend on the formation of a
protective oxide layer membrane27. Solids Fe, Fe2O3,
Fe3O4, and FeO (OH) which is a product and serves as a
protective corrosion formed according to the reaction:
+2

2Fe(OH) + Fe + 2H O Fe O + 6H
3

(7)

3Fe(OH) Fe O + H + 2H O
2

500

(8)

Blanko

Ekstrak 0.5%

-500

Ekstrak 1%

-1000

Ekstrak 1.5%

-1500

Fe(OH) + OH FeO(OH) + H O (9)


2

81.65
90.19

1000

(6)

68.30
85.90

2Fe + 3H O Fe O + 6H + 6e
2
+2

39.668
74.2365

that the resulting current is small and the rate of corrosion


will be reduced, otherwise the sample has a small prices of
resistance polarization have a large corrosion rate.

I (mA/cm2)

3.2000
2.2500

Ekstrak 2%

-2000

Products of iron compounds and extracts of cacao


peels more often referred to as passive protective membrane
layer impenetrable by oxygen. The stability of the
compound Fe3O4 is highly dependent on the concentration
and temperature of the solution. Needed the higher of
corrosion potential enable can damage the protective layer.
The formation of a protective coating that causes metal
corrosion potential shifts towards more positive samples29.
In theory, if the addition massive element is added in an
amount which is not enough in a corrosive medium, there
will be an increase in the rate of corrosion due to
passivation process. The decrease in corrosion rate can only
be reduced if the inhibitor is added has reached the
minimum concentration for massive metal. If the amount of
the minimum concentration for passivation has not been
reached, then the protective layer formed could not protect
the entire surface of the sample. So that part has a
protective oxide coating would be cathodic and parts that
are not covered by a protective membrane will be the
anodic oxide, thereby increasing the corrosion process on
the sample 20, 30.
The size of the corrosion rate is determined by the
polarization resistance value of corrosion and current
density, as shown in Figure 5. In accordance with the
mechanism of corrosion which results in the current, when
resistant per unit area larger than the current per unit are
that occurred small. The increase of resistance polarization
on metal surface causes the diffusion of ions and electrons
are separated from the metal surface will be reduced. So

-1,5

-0,5

0,5

1,5

Ekstrak 2.5%

E (V) vs AgCl

Figure 5. Polarization curves of mild steel absence and


presence of Theobroma cacao peels extract in
NaCl 1.5M
Impedance Relationship with Inhibitor Concentration
The results of EIS measurements on NaCl media at
room temperature and atmospheric pressure expressed in
the Nyquist plot. Semi-circular Nyquist plot, which shows
the relationship between the real impedance to the
impedance imaginary. In general, the resulting Nyquist plot
does not show the half-circle, but rather a semi-circle. This
behavior can be attributed to the frequency dispersion as a
result of the electrode surface roughness25. The first phase
of the impedance measurements without inhibitor (blank)
then performed the addition of inhibitors variation. Nyquist
plot difference between the blank and the absence of
inhibitors. In the media added inhibitors, an increase the
value of impedance in the electrode solution interface,
especially Rct value. This shows that the addition of
inhibitors inhibit the transfer of electrons from the surface
of mild steel into the solution. So the process of oxidation
of iron atoms and the reduction of H + ions are decrease29.
Electrochemical parameters on the variation of the inhibitor
concentration can be seen in Figure 6 and Table 3.
Table

3. Relations inhibitor concentration with the electrochemical parameters in NaCl 1.5M media at room temperature and
atmospheric pressure
No.
1.
2.
3.
4.

Konsentrasi inhibitor (%)


0.0
0.5
1.0
1.5

Rs
34.0
23.0
23.3
22.2

Rct (cm2)
505
850
1680
2435

1527

Cdl (Fcm2)
26.8
15.8
49.0
50.1

n
0.750
0.664
0.735
0.756

EI (%)
40.90
69.94
79.26

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
5.
6.

2.0
2.5

32.4
181

3259
3552

4.76
80.0

0.869
0.975

84.50
85.78

Adsorption of cacao peels extract on the surface of


mild steel in NaCl was studied using equations 107.8.
C
1
---- = ----- + C
(10)

Kads
Where C is the concentration of inhibitor, Kads is
adsorption coefficient, and is surface coverage of mild
steel by cacao peels extract. The amount of cacao peels
extract covering the steel surface was studied using
Langmuir and Freundlich adsorption isotherm. From 2
isotherm analysis is performed, both give a straight line if
plotted C/ vs C in Figure 8. The highest correlation
coefficient was obtained from the Langmuir adsorption
isotherm is 0.98-0.99. Mean adsorption occurs closer to the
Langmuir adsorption isotherm equation is unimoleculer
indication.

Figure 6. Nyquist plot of mild steel in NaCl 1.5M media


absence and presence of inhibitors of cacao
peels extract

Effect of Temperature
Temperature variations performed from 303K323K to see interactions between iron and salt absence and
presence inhibitors. Seen from Figure 7 inhibition
efficiency increased with increasing concentration of cacao
peels extract is added, but decreased with increasing
temperature. The decrease in inhibition efficiency of the
inhibitor with increase of temperature might be due to the
adsorption and desorption inhibitors. Adsorption and
desorption of inhibitor molecules occurs on a continuous
metal surface until a balance between these two processes is
reached at a certain temperature.

C/

3
2

R = 0,993

R = 0,981
0,994
R = 0,988

96 jam

192 jam

R = 0,987

0
0

382 jam

0,6
R = 0,935
0,4

303 K

Inhibition Efficiency (%)

764 jam

0,8

308 K

R = 0,967

R = 0,869
R = 0,991
48 jam

R = 0,964

96 jam
192 jam

0,2

313 K

364 jam

0,0

318 K

-0,5

324 K
0

C (%)

1,0
80
70
60
50
40
30
20
10
0

48 jam

0,5

768 jam

log C

1
2
3
Concentration of extract (%)

Figure 7. Effect of temperature on Inhibition Efficiency of


Theobroma cacao peels extract in NaCl 1.5 M

Figure 8. Isotherm Adsorption a. Langmuir, b.Freundlich


Kinetics and Thermodynamics Parameters

Adsorption Isotherm

1528

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

log V

To determine the activation energy of corrosion and


thermodynamic parameters, weight loss measurements
performed from 303 K - 323 K absence and presence
inhibitors of cacao peels extract in various concentrations.
Activation energy on the surface of mild steel in NaCl is
determined by using equation 1114.
Ea
k

exp

-3

--------

(11)

Kads

- Gads
----exp

I/T.10-3

Presenc
e
extract

log V/T

y=
0,0035
y =-10,0030
50
24,
50-2
x+
98,-3
12,
x+
2
12,-4
2-5
I/T 10-3

absence
extract
Presence
extract

b.
Figure. 9. Arrhenius plots for mild steel immersed in NaCl
1.5 M solution in the absence and presence of optimum
concentration (2.5 % v/v) of Theobroma cacao peels extract
(a) log V vs 1/T (b) log V/T vs 1/T
Table 4. Kinetic and thermodynamic parameters of mild
steel in presence of Theobroma cacao peels
extract in HCl. 1,5 M

-----------

N
o

Indicato
r

Ea
(kJ/mol
)

H
(kJ/mol
)

Go
(kj/mol
)

1.

Blank

98.669

347.32

2.

Blank +
inhibitor

17.838
6

100.84

12
55.5

Absenc
e
extract

a.

RT
Where k is a pre-exponential Arrhenius constant, T is the
temperature and R is the ideal gas constant. Arrhenius curve
obtained from the plot of log V vs 1/T and log V/T vs 1/T
Figure 9a and Figure 9b for the system absence and
presence of inhibitors. The activation energy (Ea) and heat
of adsorption H is calculated from the slope of the curve
in Figure 9, and the results are presented in Table 4. From
Table 4 looks Ea for the process of steel corrosion in NaCl
absence inhibitor 98.67 KJmol-1 and the presence of
inhibitors 100.08 kJmol-1. This value indicates the process
of corrosion of mild steel in NaCl with inhibitors occurs
slower than without inhibitor. This process occurs because
the cacao peels extract to form a passive layer on the
surface of mild steel, so the solubility of Fe is reduced 23.
The changes of Ea also showed that the inhibitor on the
metal surface either participate in the adsorption process.
Langmuir adsorption isotherm has provided a clear of the
mechanism of corrosion inhibition of mild steel surface in
NaCl 1.5M solution without and with the presence of the
extract. Value of the free energy of adsorption (Gads) can
be calculated from the following equation 1211.12
1
=

0 y
y0,0035
0,0030
=
-1
=
-2 5
-

S
(kj/mol
)

RT

With R is the ideal gas constant (8.314 Jmol-1K-1), the value


55.5 is the concentration of water (H2O) in solution (mol)
and T is the temperature (K). The calculation of value Kads
1.2759.103 and Gads -17.8386 KJ/mol. Negative values of
Go, indicate adsorption of cacao peels molecules on the
surface of mild steel in NaCl spontaneous. Adsorption
occurs on the surface of mild steel is chemical, because a
large value of H obtained from 20 KJ/mol 31.

352.44

Mechanism Inhibitors
The presence of the inhibitor molecules on the mild
steel surface is due to the adsorption. Adsorptions arise due
to the adhesion force between inhibitors and the surface of
mild steel. The adsorption of inhibitor molecules on the
mild steel surface will produce a kind of thin layers (films)
that can inhibit the rate of corrosion. In this case inhibitor of
cacao peels extract will act as forming a thin layer on the
surface of mild steel. Additionally inhibitors also serve as

1529

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
the control of the rate of corrosion by making the metal

interaction and chemical bonding between compounds of


extracts cacao peels with metal in surface area. Functional
groups identified from existing peaks in both spectra are
shown in Table 5.

divider between the media 8. Adsorption process of cacao


peels extract on mild steel surface will occur in fungsional
group19, 25. The higher the concentration of the inhibitor,
which is covered by a piece of metal corrosion inhibitor
molecules have also increased as shown in Figure 4.
Bonding that occurs on inhibitor adsorption processes in
mild steel surface alleged coordination covalent bonds

involving chemical adsorption as seen in the hard layer is

removed (Yuli Yetri, 2014).


Figure 10 . FTIR spectra of a) TCPE, b) corrosion product
after immersion in NaCl 1.5M without TCPE for 8 days
(196 h), c) adsorption layer formed on the mild steel
surface after immersion in NaCl 1.5Mwith 2.5 % TCPE for
8 days (196 h)

FTIR analysis
Table 5. FTIR Transmittance spectra of Theobroma cacao
peels extract (TCPE), Corrosion
product and their Identification

N
o

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Peaks from FT-IR spectra,


(cm-1)
Corrosion Corrosion
TC
Product
Product
PE
without
with
TCPE
TCPE
668
835
105
1020
1
1022
140
0
1458
1459
160
1654
3
1637
2360
2283
2923
2923
342
34222
3854
3397

Analysis of Microstructure
The observation of the surface morphology of mild
steel that has not done the treatment and pre-treated with
200x magnification can be seen in Figure 11a-11c. Photos
surface structure of the sample is obtained by using the S3400N Scanning Electron Microscopy with a magnification
of 200 times. Photo initial surface morphology of the
specimen can be seen in Figure 11a, the image seen the fine
lines are white and relatively thin which is the effect of
grinding and sanding on the surface of mild steel. Seen also
that the surface is flat, clean, and non-porous and there are
no holes.

Possible groups

Fe-H
Fe=O
C-O (ether)
C-C=C(asimetric
aromatic)
C-C (aromatic)
C=O
H-C-H (phenol)
C-H
O-H (phenol)

a
Figure 10 shows a significant difference between the
three spectra. There are several peaks in Figure 10a is lost,
but in Figure 10b and 10c accompanied by the presence of a
new peak in the both picture. However, many peaks that
appears in the same or adjacent frequencies. Identified
functional groups of cacao peels extract (Figure 10a) is
phenols, aromatic rings and ether. Most of these functional
groups appear in the corrosion products but with little
frequency shift. For example, C-O functional groups that
are at a frequency of 1051cm-1 shifted to 1020 and 1022
cm-1, C = O shift from 1603 cm-1 to 1654 cm-1 and 1637,
while the OH shift from 3422 cm-1 to 3422 cm-1 and
3397. New peak appears at frequency 2360 and 2283 is
the C-H bonds (phenol), 668 cm-1 is the Fe-H bond, and
another new peak at 835 cm-1 is predicted Fe = O bond the
effect of strain. These results indicate that there has been

c
b

Figure 11. SEM images of Mild steel in NaCl 1.5M after 8


days immersion at room temperature (a) before immersion
(polished) (b) without inhibitor (blank) (c) with 2.5 %
inhibitor.
This means it has not been demonstrated mild steel
corrosion reaction because there is no influence of the
environment such as water, air, acids, salts, bases or from
corrosive substances. The morphology of the surface of
mild steel after immersion for eight days in NaCl 1.5M
corrosive solution with and without the addition of cacao
peel extract shown in Figure 11b and 11c. Of the two
images can be seen there are significant differences in the
surface of mild steel due to the reaction that occurs in a
corrosive solution of sodium chloride. Figure 10b the steel
surface looks rough and many clumps of corrosion

1530

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
products. While in Figure 10c with the addition of 2.5%
extract visible decrease the rate of corrosion attack, the steel
surface is smooth and no visible lumps of corrosion
products.

2. Cacao peels extract adsorbed on the surface of the mild


steel by chemical adsorption, through coordination
covalent bonds with forming a passive layer on its
surface. The increasing concentration of the extract,
increasing the surface coverage of the mild steel
surface.
3. Corrosion rate of mild steel was significantly reduced
with the addition of the cacao peels extract in
NaCl.1.5M. But inhibition efficiency increases with
increase concentration of extract to 2.5%. Although the
efficiency decreases with increasing working
temperature, but the efficiency is still high enough until
temperature 323K.
4. From the potentiodynamic measurement known
inhibitor type cacao peels extract is mixed type
inhibitors in NaCl 1.5M with dominant cathodic
inhibitor, obeys Langmuir isotherm adsorption.
5. Impedance measurements showed that the addition of
inhibitors inhibit the transfer of electrons from the
surface of mild steel into the solution, so that the
process of oxidation of the iron atoms and the reduction
of H + ions decreases.
6. The mechanism of inhibition between extract of cacao
peels with mild steel surface studied through the
interaction between pairs of lonely electrons that
functions as donor ions to the surface of mild steel as an
acceptor.
7. It can be concluded that the cacao peels extract is a
good corrosion inhibitor for mild steel in NaCl. 1.5M.

Analysis of SEM-EDX
Analysis of elements of C and Fe on the surface of
mild steel in NaCl 1.5Mwas immersed for 8 days with and
without the cacao peels extract studied by SEM-EDX. The
results can be seen in Figure 12 and Table 6. Based on the
obtained graphs the percentage of element C increases from
0.3% to 6.58% with the cacao peels extract. This proves
that C element of the molecule cacao peels extract adsorbed
on the mild steel surface to form a passive layer. While the
percentage of Fe element decreased in the presence of the
cacao peels extracts from 98.79% to 80.00%. The elements
were detected in the initial O in Figure 12a does not exist,
and in Figure 12b is detected with a low percentage. While
there was an increase in Figure 12c oxygen percentage to
15.16% as immersion in NaCl 1.5M corrosive media
without inhibitors, so the oxide formed quickly by an attack
from the corrosive ions NaCl. But oxygen percentage is
decreased to 14.54% after adding the cacao peels extract.
This indicates that the Fe to form complex compounds with
molecular cacao peels extract so that the percentage of Fe
element were detected becomes smaller.
a
b
c
d

Acknowledgements
The first author thanks to Ministry of Education,
Republic of Indonesia, for BPPS scholarship grant during
her doctoral study, and Hibah Doctor Grant no. DIPA
042.05.28.33421/2014. The last author thanks to Indonesia
Government for providing SEM and other characterization
equipments. Part of this work is supported by DP2M DIKTI
under Hibah Pascasarjana Research Grant no. DIPA
023.04.2.415061/2012.

Figure 12: SEM-EDX graph the surface of Mild steel, b.


Mild Steel in the extract, c. Mild Steel in NaCl 1.5M
(blank), d. Mild steel in NaCl 1.5M with 2.5% extract
Table 6: Recapitulation of some elements and oxides were
identified in the SEM-EDX testing
No

Treatment

1.
2.
3.
4.

ST 37
ST 37 + 2.5% extract
ST 37 + NaCl 1.5M
ST 37 + NaCl + 2.5%
extract

Contain of element (%
mass)
C
Fe
O
0.32
98.79
6.19
92.66
4,33
2.27
80.61
15.16
6.58
80.00
14.54

REFERENCES
1.

2.
3.

Conclusion
1. The results of GC-MS showed that the cacao peels
extracts contain many secondary metabolites. Where
the functional group of compounds obtained was
confirmed by FTIR testing, to determine the heteroatom
groups that role in the inhibition of corrosion.

4.

5.

1531

Sastri. V. S, 2011, Green Corrosion Inhibitor Theory and


Practice, John Wiley & Sons, Inc. Publication, 1st edition,
Canada, pp.103-212.
Fontana, M.G, 1987, Corrosion Engineering, 3rd ed, Mac
Graw Hill Book Company, Singapore, 4, 14-31.
Okafor, P. C, Ebiekpe, V. E, Azike, C. F, Egbung , G. E,
Brisibe, E. A, and Ebenso, E. E, 2012, Inhibitory Action of
Artemisia annua Extract and Artemisinin on the corrosion of
Mild Steel in H2SO4 Solution, International Journal of
Corrosion, Vol. 10, No. 8.
Gunavathy, N. and Murugavel, S.C, 2012, Corrosion
Inhibition Studies of Mild Steel in Acid Medium Using
Musa Acuminata Fruit Peel Extract, E-Journal of Chemistry,
Vol. 9, No. 1, pp. 487-495.
Al-Sehaibani, H, 2000, Evolution of Extracts of Henna
Leaves as Environmentally Friendly Corrosion Inhibitors
for Metals, Mat.-wiss.u. Werkstofftech, 31, 1060-1063.

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

B P. Raja, M.G. Sethurahman, 2009, Solanum Tuberosum as


an Inhibitor of Mild Steel Corrosion in Acid Media, Iran
J.Chem. Eng, 28: 77-84.
Eddy, N. O, Awe, F, and Ebenso, E. E, 2010, Adsorption
and Inhibitive Properties of Ethanol Extracts of Leaves of
Solanum Melongena for the Corrosion of Mild Steel in 0,1
M HCl, Int. J. Electrochem. Sci. No. 5, pp. 1996-2011.
Loto, C. A, Loto, R.T, and Popoola, A.P.I, 2011, Inhibition
Effect of Extracts of Carica Papaya and Camellia Sinensis
Leaves on the Corrosion of Duplex (, ) Brass in 1M Nitric
acid, Int.J. Electrochem. Sci, No. 6, pp. 4900-4914.
Loto. C.A, 2012, Electrode Potential Evaluation of Effect of
Inhibitors on the Electrochemical Corrosion Behaviour of
Mild Steel Reinforcement in Concrete in H2SO4, J. Mater.
Environ.Sci, Vol. l. No. 3, pp. 195 205.
B. E. Amitha Rani and B.B.J. Basu, 2011, Green Inhibitors
for Corrosion Protection of Metals and Alloys:An Overview,
International Journal of Corrosion, 2012, 1-33.
Okafor, Peter, C, Ebenso E. E, and Udofot, J, 2010,
Azadirachta Indica Extracts as Corrosion Inhibitor for Mild
Steel in Acid Medium. Int. J. Electrochem.Sci, No. 5, pp.
978-993.
Singh, A, Singh, V.K, and Quraish, M.A, 2010, Aqueous
Extract of Kalmegh (Andrographis
paniculata) Leaves
as Green Inhibitor for Mild Steel in Hydrochloric Acid
Solution, International journal of Corrosion, pp. 1-10.
Hasan,
S. K. and Edrah, S, 2011, Rosemary Extract
as Eco Friendly Corrosion Inhibitor for Low Carbon Steel
in Acidic Medium, J. Ind. Res Tech.Vol. 1, No. 2, pp. 110113.
Saratha, R, Priya, S.V and Thilagavathy P, 2009,
Investigation of Citrus aurantiifolia Leaves Extract as
Corrosion Inhibitor for Mild Steel in 1 M HCl, E- Journal
of Chemistry. Vol. 6, No. 3, pp. 785-795.
A. Figueira, and Janick, 2008, New products from
Theobroma cacao seed pulp and pod gum, J. New crops,
475-478.
Azizah A. H, Nik Ruslawati M. N, Swee Tee T, 1999,
Extraction and Characterisation of Antioxidant from Cacao
by-Products, Journal of Food Chemistry, 64, pp. 199-202.
Matheswaran, P and Ramasamy, A. K., 2012, Corrosion
Inhibition of Mild Steel in Citric Acid by Aqueous Extract
of Piper Nigrum L, E-Journal of Chemistry, Vol. 9, No. 1,
pp. 75-78.
Okafor, P. C, Ebiekpe, V. E, Azike, C. F, Egbung, G.
E, Brisibe, E. A, and Ebenso, E. E,

2012,

20. K.P. Vinod Kumar, M.S. Narayanan Pillai and G. Rexin


Thusnavis, 2010, Pericarp of the Fruit of Garcinia
Mangostana as Corrosion Inhibitor for Mild Steel in
Hydrochloric Acid Medium, Portugaliae Electrochimica
Act, 28, 373-383.
21. E. A. Noor, 2007, Temperature Effects on the Corrosion
Inhibition of Mild Steel in Acidic Solutions by Aqueous
Extract of Fenugreek Leaves, Int. J. Electrochem Sci, 2, 9961017.
22. T. Okuda, H.Ito, 2011, Tannin of Constant Structure in
Medical and Food Plant, Hydrolyzable Tannins and
Polyphenol Related to Tannins, J. Molecule 16, 2191-2217.
23. M. Shyamala, P.K. Kasthuri, 2012, The Inhibitory Action of
The Extracts of Adathoda vesica, Eclipta alba, and Centella
asiatica on The Corrosion of Mild Steel in Hydrochloric
Acid Medium : A Comparative Study, International Jurnal
of Corrosion, pp. 1-13.
24. P.A. Schweitzer, 2010, Fundamental of Corrosion
Mechanisms, Cause, and Preventative Methods, Boca Raton,
CRC Press, America, pp. 23-24.
25. T. David and J. Talbot, 1997, Strategies for Corrosion
Control, Science and Technology, Brian Ralph, CRC Press,
New York, pp. 14-29.
26. ASTM Standard G 59-78, 1991, Standard Practice for
Conducting Potentiodynamic Polarization Resistance
Measurements, American Society for Testing and Materials,
Philadelphia, pp.15-47.
27. Loto, C.A, 2012, Electrode Potensial Evaluation of Effect
inhibitors on the Electrochemical Corrosion Behaviour of
Mild Steel reinforcement in Concrete in H2SO4, J. Mater
Environ.Sci, Vol. 3, No. 1, pp. 195-205.
28. Sayed, S. Rehim, Abdel.,Hazzazi, Omar A, Amin,
Mohammed, A, Kpped, Kpped, F, 2008, On The Corrosion
Inhibition of Low Carbon Steel in Concentrated Sulphuric
acid solutions, Journal Corrosion Science. No. 50, pp.
2258-2271.
29. N. Azzeeri, F. Mancia and A.Tamba, 1982,
Electrochemical Prediction of Corrosion Behaviour of
Stainless Steels in Chloride Containing Water, Corrosion
Science, Vol. 22, No. 7, pp. 675-687.
30. Cheng, S, S. Chen, T. Liu, and Y. Yin, 2007,
Carboxymenthyl Chitosan as an Ecofriendly Inhibitor for
Mild Steel in 1M HCll, Materials Letters, 61, pp. 3276
3280.
31. Abdallah, M, 2004, Guar Gum as Corrosion Inhibitor for
Carbon Steel in Sulfuric Acid Solutions, Portugaliae
Electrochimica Acta, 22,161 175.
32. Yuli Yetri, Emriadi, Novesar J and Gunawarman, Corrosin
Inhibitor of Mild Steel by Polar Extract of Theobroma
cacao Peels in Hydrochloric Acid Solution, Asian Journal of
Chemistry, (2015), 27 (3), 875-881.
33. U.S. Mohanty and K.L Lin,
2006, Potentiodynamic
Polarization Measurement of Sn8.5ZnXAl0.5Ga Alloy
in 3.5% NaCl Solution, J. Electrochemical Society, 153, pp.
319-324.

Inhibitory

Action of Artemisia annua Extract and Artemisinin on the


corrosion of Mild Steel in H2SO4 Solution, International
19.

Journal of Corrosion, Vol. 10, No. 8.


M. H. Hussin and M. J. Kassim, 2011, Electrochemical,
Thermodynamic and Adsorption Studies of (+)-Catechin
Hydrate as Natural Mild Steel Corrosion Inhibitor in 1 M
HCl, Int. J. Electrochem. Sci, 6, 1396-1414.

1532

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

UTILIZATION STUDY OF Ipomoea batatas EXTRACT AS NATURAL INDICATOR


TO DETECT BORAX
Dwita Oktiarni 1), Indah Puspita Sari, Sal Prima Yudha S 1), Asdim 1), Devi Ratnawati 1)
1
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu
email: dwita.oktiarni@unib.ac.id
Abstract
The aim of this research was to determine whether the water extract of Ipomoea batatas tubers can be
used as a natural indicator to detect the presence of borax content based on qualitative analysis using
spectrophotometer UV-Vis. Research stages were identification of sample, preparation of Ipomoea batatas
tubers extract solution, analysis of solution stability and measurement of wavelength alterations. Based on the
UV-Vis analysis, the solution of water extract of Ipomoea batatas tubers could be used as an indicator for borax
identification. This phenomenon was supported by the presence of new peak at 601-609 nm when borax was
added to the solution. Beside that long storage time of solution was very influential on wavelength shift, where
only the first day of measurement shown the best result. Therefore in analysis of borax should be done in a fresh
condition.
Keywords: Borax, Ipomoea batatas, Spectrophotometer UV-Vis

mahal sehingga menyulitkan masyarakat untuk


dapat menguji makanan yang dikomsumsinya
terdeteksi boraks atau tidak secara langsung,
sehingga dibutuhkan cara untuk mendeteksi
adanya boraks secara alami. Penelitian
terdahulu telah menemukan bahwa ekstrak ubi
jalar ungu dapat dijadikan pewarna makanan
alami [3]. Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas (L.)
Poir) biasa disebut Ipomoea batatas blackie
karena memiliki kulit dan daging umbi yang
berwarna ungu kehitaman (ungu pekat). Ubi
jalar ungu mengandung pigmen antosianin
yang lebih tinggi dari pada ubi jalar jenis lain.
Namun selama ini belum ada laporan tentang
pemanfaatan ekstrak umbi ubi jalar ungu
sebagai indikator adanya boraks.

1. PENDAHULUAN
Peranan bahan tambahan pangan (BTP)
khususnya pengawet menjadi semakin penting
sejalan dengan kemajuan teknologi produksi
bahan tambahan pangan sintesis. Penggunaan
bahan tambahan pangan dalam proses produksi
pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh
produsen maupun oleh konsumen, karena
dampak penggunaan bahan tambahan pangan
dapat berakibat positif maupun negatif. Di
bidang pangan diperlukan sesuatu yang lebih
baik untuk masa yang akan datang, yaitu
pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih
bermutu, dan bergizi [1].
Salah satu jenis BTP yang berdampak
negatif bagi kesehatan tubuh dan dilarang
penggunaannya yaitu boraks. Boraks sejak
lama digunakan oleh masyarakat Indonesia
untuk pembuatan gendar nasi dan kerupuk
gendar yang oleh masyarakat Jawa disebut
karak atau lempeng.
Boraks secara lokal dikenal sebagai air
bleng, garam bleng atau pijer [2]. Pemerintah
melarang penggunaan boraks per Juli 1979 dan
dikuatkan melalui SK Menteri Kesehatan RI
No.733/Menkes/Per/IX/1988.
Meskipun
sebagian masyarakat sudah mengetahui
terutama produsen bahwa zat ini berbahaya
jika digunakan sebagai pengawet makanan,
namun penggunaannya semakin meningkat.

2. KAJIAN LITERATUR
Kondisi makanan dan minuman yang tidak
sehat sangat merugikan kesehatan tubuh,
diantaranya dapat terinfeksi atau sakit bahkan
keracunan dengan gejala antara lain mual, sakit
perut,
muntah,
diare
bahkan
dapat
menyebabkan kejang dan akhirnya fatal bila
tidak segera mendapatkan pertolongan. Dalam
kehidupan sehari-hari, bahan tambahan pangan
(BTP) sudah digunakan secara umum oleh
masyarakat termasuk dalam pembuatan
makanan. Namun dalam prakteknya masih
banyak produsen makanan yang menggunakan
bahan tambahan yang berlebih, sehingga dapat
menjadi racun dan berbahaya bagi kesehatan
yang sebenarnya tidak boleh digunakan dalam
makanan [4].

Uji boraks ini hanya dapat dilakukan pada


skala laboratorium saja dan harganya pun
1533

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Sudah sejak lama boraks disalahgunakan


oleh produsen nakal untuk pembuatan kerupuk
beras, mi, lontong (sebagai pengeras), ketupat
(sebagai pengeras), bakso (sebagai pengenyal
dan pengawet), kecap (sebagai pengawet),
bahkan pembuatan bubur ayam (sebagai
pengental dan pengawet). Padahal fungsi
boraks yang sebenarnya adalah digunakan
dalam dunia industri non pangan sebagai
bahan solder, bahan pembersih, pengawet
kayu, antiseptik, dan pengontrol kecoa [1].
Sering
mengkonsumsi
makanan
yang
mengandung boraks akan menyebabkan
gangguan otak, hati, lemak dan ginjal. Dalam
jumlah banyak, boraks menyebabkan demam,
anuria (tidak terbentuknya urin), koma,
merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan
depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun,
kerusakan ginjal, pingsan bahkan kematian [5].
Pada anak kecil dan bayi bila dosis dalam
tubuh sebanyak 5 gram dapat menyebabkan
kematian, sedangkan untuk orang dewasa
kematian terjadi pada dosis 10-20 gram [6].
Penelitian terkait menyatakan bahwa
ekstrak kunyit dapat digunakan sebagai
pendeteksi adanya boraks pada makanan. Hasil
untuk sampel yang positif mengandung boraks
akan berubah warna menjadi merah kecoklatan
setelah ditetesi ekstrak kunyit yang berwarna
kuning. Metode penelitian yang digunakan
yaitu dengan meneteskan ekstrak kunyit ke
dalam makanan yang dijadikan sebagai sampel
[7]. Selanjutnya, telah dilaporkan bahwa
sampel yang positif mengandung boraks jika
diteteskan pada kertas ekstrak rimpang kunyit
(kertas turmeric) akan membentuk cincin
berwarna ungu kecoklatan. Metode penelitian
yang digunakan yaitu dengan meneteskan
ekstrak sampel pada kertas turmeric [8].
Penelitian terdahulu melaporkan bahwa
ekstrak ubi jalar ungu dapat digunakan sebagai
indikator titrasi asam basa [9]. Semakin ungu
warna
umbinya,
maka
kandungan
antosianinnya semakin tinggi. Berdasarkan
penelitian terkait lainnya [10], diharapkan
ekstrak ubi jalar ungu juga memberikan hasil
yang positif dengan terjadinya perubahan
warna pada larutan yang mengandung boraks,
sehingga dapat digunakan sebagai indikator
alami untuk mendeteksi adanya boraks.

NaOH 0,1 N, H3BO3 0,1 N, kapas, kertas


saring, alumunium foil, tisu, akuades teknis,
dan umbi ubi jalar ungu. Alat yang digunakan
meliputi pipet mikro, pH meter, dan
Spektrofotometer UV-Vis.
Sampel Ipomoea batatas (L.) Poir diambil
di perkebunan daerah Pematang Donok Kota
Kepahiyang, Provinsi Bengkulu. Identifikasi
tumbuhan di Herbarium Bogoriense, Bidang
Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor Jl.
Raya Jakarta - Bogor KM 46 Cibinong,
Indonesia.
Pembuatan Larutan Ekstrak Umbi Ubi
Jalar Ungu
Dengan memodifikasi metode yang
dilakukan terdahulu [11], umbi ubi jalar ungu
yang telah dicuci bersih dengan air mengalir,
dipotong kecil-kecil, diblender hingga halus
dengan perbandingan 1 : 1 yaitu 100 g sampel :
100 mL akuades. Kemudian ekstrak sampel
diperas dengan menggunakan kain lalu
disaring dengan kapas dan kertas saring.
Larutan ekstrak umbi ubi jalar ungu tersebut
dipipet 5 mL dimasukkan ke dalam labu takar
100 mL, kemudian ditambahkan akuades
sampai tanda batas.
Pembuatan Larutan Boraks 1%
Serbuk boraks ditimbang sebanyak 5 g,
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 500
mL, ditambahkan akuades sampai tanda batas
dan dikocok hingga larutan menjadi homogen.
Pembuatan Larutan Boraks Berbagai
Macam Variasi
Larutan boraks 1% dipipet 75 mL dengan
menggunakan pipet volume dimasukkan ke
dalam labu takar 100 mL, kemudian
ditambahkan akuades sampai tanda batas.
Selanjutnya dari larutan boraks 1% diambil
secara berurut sebanyak 10L; 100L; 1 mL;
10 mL; 15 mL; 20 mL; 25 mL; 50 mL dengan
pipet mikro dan pipet volume dimasukkan ke
dalam labu takar 100 mL dan diencerkan
dengan akuades sampai tanda batas. Sehingga
dihasilkan konsentrasi 0,0001%; 0,001%;
0,01%; 0,1%; 0,15%; 0,20%; 0,25%; 0,5%;
0,75%; 1% larutan boraks.
Pembuatan Larutan Uji
Larutan boraks dari berbagai konsentrasi,
yaitu 0,0001%; 0,001%; 0,01%; 0,10%;
0,15%; 0,20%; 0,25%; 0,50%, 0,75% dan 1%
masing-masing dipipet 10 mL dengan
menggunakan pipet gondok kemudian masingmasing larutan boraks ditambahkan dengan 10

3. METODE PENELITIAN
Bahan-bahan pereaksi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah boraks, HCl 0,1 N,
1534

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

mL ekstrak air umbi ubi jalar ungu hasil dari


pengenceran ekstrak air umbi ubi jalar ungu 5
mL dalam labu ukur 100 mL. Selanjutnya
dibuat larutan ekstrak air umbi ubi jalar ungu
10 mL yang telah ditambahkan akuades 10
mL, larutan ekstrak air umbi ubi jalar ungu 10
mL
ditambahkan
akuades
kemudian
dipanaskan pada suhu 100C.
Larutan boraks 0,50% 10 mL yang telah
ditambahkan 10 mL ekstrak air umbi ubi jalar
ungu dipanaskan sampai suhu 100C
kemudian dinginkan. Larutan boraks 0,50% 10
mL ditambahkan dengan 10 mL air umbi ubi
jalar ungu dan 10 mL NaOH 0,1 N kemudian
10 mL larutan boraks 0,50% ditambahkan
dengan ekstrak air umbi ubi jalar ungu dan
HCl 0,1 N masing-masing 10 mL.

Pengukuran
Panjang
Gelombang
Maksimum (max) Larutan Campuran
Ekstrak Air Umbi Ubi Jalar Ungu
Larutan yang telah dibuat dari langkah
(pembuatan larutan uji) masing-masing dipipet
sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke dalam
botol vial yang telah ditutup dengan
alumunium foil lalu larutan dimasukan ke
dalam kuvet. Kemudian diatur panjang
gelombangnya mulai dari panjang gelombang
380-800
nm
dengan
menggunakan
spektrofotometer UV-Vis dan data yang
diperoleh dari pengukuran panjang gelombang
ini digunakan untuk melihat perubahan
absorbansi dan pergeseran puncak spektrum
yang dihasilkan karena adanya interaksi antara
boraks dan ekstrak umbi ubi jalar ungu.
Dilakukan juga pengukuran pada larutan
boraks 1% dan untuk blanko menggunakan
akuades.

Uji Stabilitas pH Larutan Terhadap Lama


Waktu Penyimpanan
Tingkat keasaman (pH) sampel dapat
diukur menggunakan alat pH meter. Sebelum
memulai pengukuran alat ini dikalibrasi
terlebih dahulu dengan menggunakan buffer
pH 7. Nilai yang terbaca harus sesuai dengan
nilai pH kalibrasi. Setelah kalibrasi dilakukan,
elektroda dicuci dengan menggunakan
akuades. Setelah pH meter dikalibrasi,
pengukuran larutan ekstrak umbi ubi jalar
ungu dapat dimulai. Pengukuran pH larutan ini
diukur pada hari ke-1, hari ke-3, dan hari ke-6
dengan larutan yang sama. Larutan yang akan
diukur meliputi larutan-larutan yang telah
dibuat pada langkah (pembuatan larutan uji),
akuades dan larutan boraks 1%.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Uji Stabilitas pH Larutan Terhadap Lama
Penyimpanan
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa
pH akan mempengaruhi stabilitas antosianin
dan juga warna dari antosianin tersebut [12].
Dengan meningkatnya pH menunjukkan
adanya pengurangan kualitas warna merah dan
perubahan warna pada pigmen antosianin [13].
Data pengukuran pH ekstrak air umbi ubi jalar
ungu dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 hasil pengukuran pH larutan
memperlihatkan bahwa lamanya penyimpanan
larutan yang ditambahkan ekstrak ubi jalar
ungu berpengaruh terhadap derajat keasaman
larutan tersebut, dimana nilai pH larutan
bertambah seiring dengan lamanya penyimpan
sampel larutan. Nilai pH larutan ekstrak
selama masa penyimpanan mengalami
peningkatan pada No. 1, 2, 3, 4, 5, 14 jika
dibandingkan dengan pH pada hari ke-1.
Berbeda dengan larutan ekstrak ubi jalar ungu
pada No. 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, serta pH
akuades dan boraks 1% semakin lama
penyimpanan larutan tersebut nilai pH-nya
semakin turun. Perubahan saat penyimpanan
dikemungkinan disebabkan (1). Reaksi
kopigmentasi, (2). Diduga ekstrak masih
mengandung
enzim polifenolase
yang
mengkatalis reaksi pencoklatan [14].

Pengukuran
Panjang
Gelombang
Maksimum (max) Larutan Ekstrak Air
Umbi Ubi Jalar Ungu Dengan Larutan
Pembanding.
Larutan ekstrak umbi ubi jalar ungu
dipipet sebanyak 2 mL dan dicampurkan
dengan akuades sebanyak 2 mL dimasukkan
ke dalam botol vial kemudian larutan diaduk
hingga homogen dan dimasukan ke dalam
kuvet.
Kemudian
diatur
panjang
gelombangnya mulai dari panjang gelombang
380-800
nm
dengan
menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Perlakuan yang
sama dilakukan dengan mengganti akuades
dengan penambahan larutan Boraks 0,5%,
larutan HCl 0,1 N, larutan NaOH 0,1 N,
larutan H3BO3 0,1 N dan larutan (H3BO3 0,1 N
dan NaOH 0,1 N). Blanko yang digunakan
pada pengukuran ini adalah akuades.

Hasil Nilai Panjang Gelombang Maksimum


(max) dan Absorbansi (A) Ekstrak Air
1535

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

puncak gelombang larutan ekstrak ubi jalar


ungu dengan variasi konsentrasi boraks dan
larutan pembanding. Adanya puncak pada
rentang panjang gelombang 380 nm sampai
800 nm menunjukkan bahwa adanya interaksi
antar larutan tersebut. Adapun spektrum dari
ekstrak air ubi jalar ngu dengan variasi
konsentrasi boraks ditunjukkan pada Gambar
1.

Umbi Ubi Jalar Ungu Dengan Variasi


Konsentrasi Boraks.
Metode spektroskopi UV-Vis dapat
digunakan dalam analisis kualitatif, tetapi
hanya sebagai data sekunder atau pendukung,
yaitu dengan cara membandingkan spektrum
baku pembanding dengan spetrum dari
cuplikan yang dianalisis [15]. Analisis
kualitatif menggunakan spektrometer UV-Vis
dilakukan untuk mengetahui perbandingan

Tabel 1. Data uji stabiltas pH larutan ekstrak umbi ubi jalar ungu
No.

Larutan

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
1.2.
13.
14.
15.
16.
17.

Ekstrak Ubi + Akuades


Ekstrak Ubi + Akuades Pemanasan
Ekstrak Ubi + Boraks 0,0001%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,001%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,01%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,1%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,15%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,20%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,25%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,50%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,75%
Ekstrak Ubi + Boraks 1%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% + Pemanasan
Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% + HCl 0,1 N
Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% + NaOH 0,1 N
Akuades
Boraks 1%

Hari ke-1
4,75
4,63
4,20
4,84
4,89
7,52
7,83
7,97
8,16
8,43
8,46
8,51
8,30
3,26
9,13
7,21
8,57

Hari ke-1

Abs

Panjang gelombang (nm)

1536

pH
Hari ke-3
4,92
5,70
5,24
4,49
5,68
6,91
7,77
7,83
7,91
8,08
8,19
8,32
8,14
3,37
8,23
7,23
8,44

Hari ke-6
6,50
6,91
6,88
6,60
7,06
7,03
7,26
7,24
7,40
8,09
8,16
8,31
8,17
3,79
7,84
7,01
8,41

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Hari ke-3

Abs

Panjang gelombang (nm)


Hari ke-6

Abs

Panjang gelombang (nm)


Gambar 1. Hasil spektrum larutan ekstrak air umbi ubi jalar ungu.
Tabel 2. Hasil nilai panjang gelombang maksimum (max) dan absorbansi (a) ekstrak air umbi ubi jalar
ungu dengan variasi konsentrasi boraks.
No

Larutan

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

Ekstrak Ubi + Akuades


Ekstrak Ubi + Akuades Pemanasan
Ekstrak Ubi + Boraks 0,0001%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,001%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,01%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,1%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,15%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,20%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,25%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,50%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,75%
Ekstrak Ubi + Boraks 1%
Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% + Pemanasan
Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% + HCl 0,1 N
Ekstrak Ubi + Boraks 0,50% + NaOH 0,1 N
Akuades
Boraks 1%

Hari
ke-1
543
553
544
543
541
601
604
605
606
606
606
606
606
521
606
-

Berdasarkan Tabel 2 larutan boraks dan


ekstrak air umbi ubi jalar ungu dengan

max (nm)
Hari
ke-3
539
527
537
527
603
604
520
-

Absorbansi (A)
Hari
ke-6
553
603
603
520
-

Hari ke-1

Hari ke-3

Hari ke-6

0,301
0,231
0,311
0,312
0,312
0,406
0,449
0,432
0,461
0,442
0,467
0,433
0,177
0,453
0,215
-

0,348
0,323
0,256
0,327
0,313
0,297
0,528
-

0,273
0,270
0,266
0,537
-

berbagai perlakuan didapatkan panjang


gelombang dan absorbansi yang berbeda-beda,
1537

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dimana setiap pengulangan pengukuran larutan


dari hari ke-1 hingga hari ke-6 didapatkan
bahwa semakin lama penyimpanan sampel
maka struktur yang ada di dalam ekstrak akan
semakin rusak karena pengaruh dari suhu dan
lingkungan.
Dari data Tabel 2 dan Gambar 1, hasil
pengukuran panjang gelombang maksimum
larutan dapat dilihat bahwa hanya pada hari ke1 semua larutan yang direaksikan dengan
larutan ekstrak umbi ubi jalar ungu puncak
panjang gelombangnya dapat diukur. Setelah
hari ke-3 dan ke-6 larutan ekstrak yang
direaksikan dengan boraks tidak terukur lagi
panjang gelombangnya. Hal ini mungkin
dikarenakan terjadinya dekomposisi larutan
boraks terhadap lamanya penyimpanan larutan
tersebut. Larutan ekstrak air umbi ubi jalar

ungu mempunyai serapan puncak panjang


gelombang pada daerah 530-550 nm. Pada hari
ke-1 absorbansi yang didapatkan 0,301 dan
terjadi peningkatan absorbansi pada hari ke-3
tetapi di hari ke-6 larutan ekstrak telah
menurun kembali, dan panjang gelombang
yang didapat semakin hari semakin menurun
ini disebabkan larutan yang berkurang kadar
keasamannya sehingga kestabilan larutan ini
pun menurun.
Pada larutan ekstrak dan boraks yang dapat
terdeteksi
UV-Vis
dengan
terjadinya
pergeseran batokromatik meliputi larutan
boraks antara lain 0,1%; 0,15%; 0,20%,
0,25%, 0,50%, 0,75% dan 1%. Puncak panjang
gelombang larutan ekstrak ubi dengan larutan
boraks dari hasil spektrum berada pada daerah
yang sama yaitu daerah 600-610 nm.

(a. )(b.)(c.)(d.)(e.) (f.) (g.)(h.)(i.) (j.) (k.) (a. )(b.)(c.)(d.)(e.)(f.)(g.)(h.)(i.) (j.)(k.) (a. )(b.)(c.)(d.) (e.) (f.) (g.)(h.) (i.) (j.) (k.)

Gambar 2. Hasil gambar fisik larutan ekstrak air umbi ubi jalar ungu. (a.) ekstrak air umbi ubi jalar
ungu + akuades (b.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,0001%, (c.) ekstrak air
umbi ubi jalar ungu + boraks 0,001% (d.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,01%
(e.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,1% (f.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu +
boraks 0,15% (g.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,20% (h.) ekstrak air umbi
ubi jalar ungu + boraks 0,25% (i.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,50% (j.)
ekstrak air umbi ubi jalar ungu + boraks 0,75% (k.) ekstrak air umbi ubi jalar ungu +
boraks 1%.
Pada Gambar 2 dapat terlihat jelas
berwarna coklat [14]. Pada larutan ekstrak
perubahan warna yang terjadi pada saat larutan
yang telah ditambahkan boraks dengan
ekstrak ditambahkan dengan larutan boraks
konsentrasi 0,75% dan 1% masih didapat
0,1% dan 1% warnanya berubah menjadi biru
puncak panjang gelombangnya diduga karena
kehijauan dari warna merah pucat warna dasar
antosianin tidak stabil pada larutan boraks
ekstrak ubi. Perubahan warna tersebut
yang
konsentrasinya
kecil
sehingga
dikarenakan perubahan pH dari bentuk kation
menyebabkan
panjang
gelombang
flavilium menjadi quinodial anionik dimana
maksimumnya tidak teramati dan stabil pada
terjadi kehilangan satu atom H pada cincin B
konsentrasi boraks yang tinggi.
antosianin. Namun pada hari ke-3 dan ke-6
Berbeda dengan larutan ekstrak umbi ubi
larutan tersebut berubah warna menjadi
jalar ungu dengan boraks yang ditambahkan
kecoklatan hanya pada larutan campuran
larutan HCl 0,1 N. Dari Tabel 2 larutan
dengan konsentrasi 0,75% dan 1% saja yang
tersebut semakin hari absorbansinya naik dan
bertahan warna serta puncak gelombangnya.
serapan puncaknya stabil pada panjang
Perubahan warna antosianin ini disebabkan
gelombang 521 nm sama dengan larutan
karena antosianin mengalami degradasi
ekstrak umbi ubi jalar ungu tanpa boraks, ini
pigmen yang ditunjukkan oleh penurunan
menandakan larutan ekstrak ubi dengan HCl
absorbansi. Penurunan nilai absorbansi
tidak dapat digunakan untuk mendeteksi
disebabkan karena terjadinya perubahan
adanya boraks karena HCl yang bersifat asam
struktur pigmen antosianin sehingga bentuk
kuat akan menutupi larutan boraks yang
aglikon menjadi kalkon (tidak berwarna) dan
bersifat asam lemah sehingga larutan yang
akhirnya membentuk alfa diketon yang
didapat tetap bersifat asam. Warna pada
1538

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
[5] Widyaningsih D.T dan Erni S.M. Formalin.
Trubus Agri Sarana. Surabaya. 2006.
[6] Norliana, S. The Health Risk of Formaldehyde
to Human Beings. Malaysia. University Putra
Malaysia. Faculty of Food Science and
Tekhnology. 2009.
[7] Reysa E. Rahasia Mengetahui Makanan
Berbahaya. Titik Media Publisher. Jakarta.
2013.
[8] Fardiaz, S. Bahan Tambahan Makanan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 2007.
[9] Sari, I.P. Pemanfaatan Ekstrak Umbi Ubi Jalar
Ungu (Ipomea Batatas Poir) Sebagai Indikator
pada Titrasi Asam Basa. Bengkulu: Skripsi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Bengkulu. 2011.
[10] Badriyah, L. Ekstrak Kunyit Sebagai
Pendeteksi Boraks Pada Makanan. UNEJ
JURNAL 2013, I (1): 1-3. 2013.
[11] Sihombing, P. Aplikasi Ekstrak Kunyit
(Curcuma domestica) Sebagai Bahan
Pengawet Mie Basah. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. 2007.
[12] Markakis P. Stability of Anthocyanins in
Foods dalam Anthocyanins as Food Colors.
New York : Academic Press inc. 1982.
[13] Satyatama, DI. Pengaruh Kopigmentasi
Terhadap Stabilitas Warna Antosianin Buah
Duwet (Syzygium cumini). Tesis. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor. 2008.
[14] Lydia, S.W., Simon, B.W., dan Susanto, T.
Ekstraksi Dan Karekterisasi Pigmen Dari
Kulit
Buah
Rambutan
(Nephelium
lappaceum). Var. Binjai Biosains, Vol. 1 No.
2, Hal. 42-53. 2001.
[15] Mulya, M dan Suharman. Analisis
Instrumental. Airlangga University Press,
Surabaya,
1995.

larutan ini menjadi semakin pekat sehingga


nilai absorbansinya pun semakin tinggi.
Berdasarkan Gambar 2 warna merah larutan
stabil tidak berubah karena antosianin stabil
pada kondisi asam.
5. KESIMPULAN
Ekstrak air umbi ubi jalar ungu dapat
digunakan sebagai indikator alami untuk
mendeteksi adanya boraks, dimana konsentrasi
boraks yang terdeteksi yaitu pada variasi 0,1
%, 0,15%, 0,20%, 0,25%, 0,50%, 0,75% dan
1,0% yang ditunjukkan dengan adanya puncak
serapan larutan pada panjang gelombang 601609 nm dan terjadinya perubahan warna
larutan. Dari hasil spektrum serapan UV-Vis
dapat juga terlihat bahwa lama waktu
penyimpanan larutan sangat berpengaruh
terhadap pergeseran panjang gelombang,
sehingga dalam analisis boraks sebaiknya
dilakukan dalam keadaan larutan segar.
6. REFERENSI
[1] Cahyadi W. Analisis dan Aspek Kesehatan
Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara,
Jakarta, 2008, Edisi Kedua.
[2] Winarno, F.G dan Rahayu, S.T. Bahan
Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan.
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
[3] Winarti, S., Sarofa, U., Anggrahini, D.
Ekstraksi dan Stabilitas Warna Ubi Jalar Ungu
(Ipomoea Batatas L.,) Sebagai Pewarna Alami.
Jurnal Teknik Kimia. Vol 3. No. 1. September
2008. 2008.
[4] Hastuti S. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif
Formaldehid Pada Ikan Asin di Madura.
Teknologi Industri Pertanian. Universitas
Trunojoyo, Madura. 2010.

1539

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

KAJIAN IMMOBILISASI ASAM GALAT PADA Mg/Al HIDROTALSIT


Dyah Fitriani1 Sri Juari Santosa2
1
FMIPA Universitas Bengkulu
email : dyfa.kim86@yahoo.co.id
2
FMIPA Universitas Gadjah Mada
email : sjuari@yahoo.com
Abstract
Immobilization of gallic acid on Mg/Al hydrotalcite has been conducted. Mg/Al hydrotalcite (Mg/Al HT)
has been synthesized by coprecipitation method of Mg(NO 3)2 and Al(NO3)3 at pH 10 with Mg(II) and Al(III)
molar ratio of 2 : 1. The synthesized Mg/Al HT as well as its immobilization product with gallic acid (Mg/Al
HT-GA) were characterized by X-ray Diffraction and FT-IR Spectroscopy. The effect of pH on immobilization
Gallic acid and isoterm adsorption were also studied. Immobilization of gallic acid was reached at pH 5. The
analytical result using FTIR and XRD showed that gallic acid has been immobilized on surface of Mg/Al HT
with adsorption capacity which was determined according Langmuir isoterm model was 86.957 mg/g.
Keywords : Mg/Al hydrotalcite, gallic acid, Langmuir isoterm model.

Dengan terimobilisasinya asam galat pada HT


diharapkan molekul ini akan mampu meningkatkan
daya adsorpsi HT sekaligus juga memiliki
kemampuan untuk dapat mereduksi anion logam.

1.

PENDAHULUAN
Hidrotalsit (HT) merupakan salah satu mineral
lempung yang murah dan mudah disintesis,
mempunyai kemampuan pertukaran anion yang
besar dan luas muka yang besar. Rumus umum
senyawa ini adalah [MII1-xMIIIx(OH)2]x+[AmxII
dan MIII berupa kation
x/mnH2O] , dengan M
divalen dan trivalen seperti Mg2+ dan Al3+. Amadalah anion organik atau anorganik dan nilai x
berkisar antara 0,200,33 [1]. HT juga disebut
hidroksida lapis ganda, karena terdiri dari dua
lapisan dan ruang antar lapis.
Hidrotalsit dapat disintesis dengan dua
metode
yaitu pengendapan langsung
dan
pengendapan tidak langsung. Hidrotalsit hasil
sintesis dengan metode pengendapan secara
langsung banyak dimanfaatkan untuk menyerap
anion-anion anorganik yang bersifat polar, dimana
anion yang diserap akan menggantikan posisi OH
pada lembar bidang lapisnya ataupun anion
anorganik pada bidang antar lapisnya [2].
Hidrotalsit memiliki sifat yang istimewa karena
mampu berperan sebagai penukar ion, mempunyai
sifat memory effect dan luas permukaan yang
tinggi. Adsorben ini banyak diaplikasikan untuk
mengadsorpsi berbagai anion misalnya diklofenak
[3], zat warna metilen orange [4], timbal [5] anion
AuCl4 [6] dan lain-lain.
Asam galat termasuk senyawa fenolik.
Molekul ini mempunyai tiga gugus hidroksil dan
satu gugus karboksil. Senyawa fenolik yang
mengandung gugus OH yang terikat pada cincin
aromatis diketahui mempunyai kemampuan sebagai
agen pereduksi.

2. METODE PENELITIAN
2.1 Alat dan Bahan
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian
ini Mg(NO3)26H2O, Al(NO3)39H2O, NaOH, HCl,
HNO3, asam galat (C7H6O5), semua bahan ini
produksi E.Merck, dan gas N2 (CV Perkasa).
Analisisnya dilakukan dengan
menggunakan
spektrofotometer inframerah (Shimadzu FTIR-8201
PC), diffraktometer sinar-X (Shimadzu XRD-6000),
spektrofotometer UV-VIS (Shimadzu UV-1700
pharmaspec), Spektrometer Serapan Atom (SSA)
(Analytic Jena contrAA 300).
2.2 Prosedur Kerja
2.2.1 Sintesis Mg/Al HT
Sejumlah
12,821
g
(0,05
mol)
Mg(NO3)26H2O ditambahkan 9,378 g (0,025 mol)
Al(NO3)39H2O, selanjutnya dilarutkan dalam
akuades bebas CO2 dalam labu takar 100 mL. Ke
dalam larutan tersebut ditambahkan larutan NaOH
0,5 M tetes demi tetes sampai larutan campuran
mencapai pH 10, selanjutnya diaduk 30 menit
sambil dialiri dengan gas N2. Larutan campuran
kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 120 C
selama 5 jam, selanjutnya didinginkan hingga
proses pengendapannya sempurna.

1540

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Endapan dipisahkan dari larutannya dengan


cara centrifuge. Endapan yang diperoleh dicuci
dengan akuades bebas CO2, hingga pH netral.
Endapan koloid yang masih mengandung air
tersebut selanjutnya disaring dengan kertas
whatman 42 dan dikeringkan dalam oven pada
temperatur 70 C selama 48 jam. Setelah kering
padatan yang diperoleh digerus pada lumpang
porselen dan diayak dengan ayakan ficsher 250
mesh. Karakterisasi padatan hasil sintesis dilakukan
dengan menggunakan difraktometer sinar-X dan
spektroskopi inframerah.

c. Penentuan model isoterm adsorpsi


Larutan asam galat dengan pH optimum
diinteraksikan dengan 0,01 gram Mg/Al HT pada
variasi konsentrasi asam galat 0; 10; 25; 50; 100;
200 dan 500 ppm. Selanjutnya digojog selama 90
menit, setelah itu disaring dengan kertas saring
whatman no.42. Konsentrasi asam galat dalam
larutan diukur dengan spektrofotometer UV-Visibel
pada panjang gelombang serapan maksimum.
d. Stabilitas asam galat yang terimobilisasi pada
Mg/Al HT (Mg/Al HT-AG)
Dibuat larutan akuades pada variasi pH 3; 5;
7; 9 dan 11 dengan penambahan HCl atau NaOH.
Pada masing-masing larutan tersebut ditambahkan
0,01 gram Mg/Al HT-AG dan kemudian digojog
selama 90 menit, setelah itu disaring dengan kertas
saring whatman no.42 dan kemudian filtratnya
diukur dengan spektrofotometer UV-Visibel pada
panjang gelombang serapan maksimum.

2.2.2 Analisis kandungan logam dan air bebas serta


air kristal pada Mg/Al HT
Sebanyak 50 mg Mg/Al HT ditambahkan 10
mL larutan HNO3 0,1M kemudian diaduk dan
ditambahkan akuabides hingga volume 100 mL
sehingga diperoleh konsentrasi 500 ppm. Larutan
Mg/Al HT yang diperoleh kemudian dianalisis
kandungan logam Mg dan Al nya.
Analisis H2O bebas dan H2O kristal pada
Mg/Al HT dilakukan dengan cara menimbang 0,2
gram Mg/Al HT kering kemudian dipanaskan
selama 3 jam pada suhu 110 oC, setelah itu timbang
berat Mg/Al HT hasil pemanasan. Hasil yang
diperoleh merupakan H2O bebas, kemudian Mg/Al
HT ini dipanaskan kembali pada suhu 180 oC selam
3 jam. Selisih berat sampel sebelum dan sesudah
pemanasan pada suhu 180 oC merupakan H2O
kristal.

e. Karakterisasai padatan Mg/Al HT-AG


Mg/Al HT sebanyak 0,10 gram digunakan
untuk mengadsorp 100 mL larutan asam galat pada
kondisi pH dan konsentrasi optimum dengan waktu
kontak 90 menit. Endapan dipisahkan dari larutan
dengan penyaringan menggunakan kertas saring
whatman no. 42. Endapan selanjutnya dikeringkan
dan dikarakterisasi menggunakan spektrofotometer
inframerah dan difraktometer sinar-X.

2.2.3 Kajian imobilisasi asam galat pada Mg/Al HT


a. Penentuan panjang gelombang serapan
maksimum asam galat
Dibuat larutan 25 ppm asam galat kemudian
diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
200-700 nm. Selanjutnya dibuat grafik absorbansi
versus panjang gelombang dan dari grafik ini, dapat
ditentukan berapa panjang gelombang serapan
maksimum asam galat.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Sintesis dan Karakterisasi Mg/Al HT
Komposisi kimia Mg/Al HT pada penelitian
ini adalah Mg0,751Al0,249(OH)2(NO3)0,2490,323H2O.
Harga x = 0,249 pada padatan Mg/Al HT hasil
sintesis telah memenuhi rentang x yang
diperbolehkan seperti yang telah dilaporkan [1].
Berdasarkan
hasil
analisis
menggunakan
difraktometer sinar-X dihasilkan 3 puncak utama
yaitu pada 2 11,02; 22,92 dan 34,77 dengan d003
sebesar 8,02 (Gambar 1). Tiga puncak utama ini
menunjukkan puncak karakteristik Mg/Al HT sesuai
dengan kartu JCPDS 14-191 [7].

b. Pengaruh keasaman
Sebanyak 0,01 gram Mg/Al HT diinteraksikan
dengan 10 mL larutan asam galat dengan
konsentrasi 100 ppm. Harga pH larutan divariasi
mulai dari pH 3; 5; 7; 9 dan 11 dengan cara
menambahkan larutan HCl atau NaOH. Selanjutnya
campuran digojog selama 90 menit, setelah itu
disaring dengan kertas saring whatman no.42.
Konsentrasi asam galat dalam larutan diukur dengan
spektrofotometer UV-Visibel pada panjang
gelombang serapan maksimum.

1541

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Intensitas (Counts)

1200

3.3 Kajian Imobilisasi Asam Galat pada Mg/Al HT


3.3.1 Pengaruh keasaman
pH optimum imobilisasi asam galat pada
Mg/Al HT tercapai pada pH 5, sedangkan pH di
bawah dan di atas 5, adsorpsi mengalami
penurunan.
Nilai pHpzc untuk Mg/Al HT antara 8,78 [10]
sampai dengan 12,0 [11] maka Mg/Al HT diduga
akan mulai bermuatan positif pada pH medium di
bawah 8,78. Sementara asam galat mempunyai pKa1
sebesar 4,4 dan pKa2 sebesar 8,5 [12].
Pada pH 5, asam galat telah mengalami
disosiasi dan dominan dengan spesies yang
bermuatan negatif. Dengan dominannya spesies
yang bermuatan negatif pada asam galat,
menyebabkan lebih mudah spesies bermuatan
negatif dari adsorbat ini untuk berinteraksi dengan
permukaan adsorben Mg/Al HT. Namun demikian,
seiring dengan berubahnya nilai pH kearah nilai
yang semakin besar (pH>pHpzc dan pH>pKa),
jumlah asam galat yang terserap pada Mg/Al HT
semakin berkurang, diduga karena Mg/Al HT yang
bermuatan positif sifat positifnya semakin
berkurang. Pada kondisi pH yang tinggi (kondisi
basa), jumlah ion-ion OH melimpah sehingga
kemungkinan akan terjadi kompetisi antara ion
OH dengan anion asam galat, sehingga akibatnya
adsorpsi menjadi berkurang.

800

400

0
0

10

20

30

40

50

60

70

80

2 theta (derajat)

Gambar 1. Difraktogram Mg/Al HT hasil


sintesis
Interpretasi spektra FTIR Mg/Al HT hasil sintesis
disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Spektra FTIR Mg/Al HT hasil


sintesis

3.3.2 Isoterm adsorpsi


Kapasitas adsorpsi asam galat pada Mg/Al HT
ditentukan menggunakan dua model isoterm
adsorpsi yaitu isoterm Freundlich dan Langmuir.

Berdasarkan data spektra FTIR muncul


serapan kuat dan melebar pada bilangan gelombang
3471 cm-1 yang menunjukkan vibrasi stretching
gugus hidroksi pada lembaran-lembaran Mg/Al HT
dan molekul air pada bidang antar lapisnya [6].
Bilangan gelombang 1635 cm-1 merupakan vibrasi
bending molekul air pada daerah antar lapis. Pita
serapan yang relatif kuat pada 1381 cm-1
menunjukkan adanya anion nitrat pada Mg/Al HT.
Data spektra tidak memperlihatkan serapan dari ion
karbonat yang biasanya muncul pada bilangan
gelombang antara 1359-1369 cm-1. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam bidang antar lapis HT
hasil sintesis didominasi oleh anion NO3 dan
molekul air. Serapan yang melebar pada bilangan
gelombang di bawah 1000 cm-1 berhubungan
dengan serapan Mg-OH atau Al-OH [4,6,8]

Tabel 1.

Variasi parameter isoterm adsorpsi


Freundlich dan Langmuir pada
proses imobilisasi asam galat pada
Mg/Al HT
Freundlich
Langmuir
KF
qmax
KL
N
R2
R2
(mg/g)
(mg/g) (L/mg)
11,83 2,48 0,74 86,96
0,10
0,974

Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa adsorpsi asam


galat pada Mg/Al HT mengikuti model isoterm
Langmuir dengan faktor korelasi (R2) sebesar 0,974.
Artinya situs aktif pada permukaan adsorben Mg/Al
HT adalah homogen, sehingga adsorpsi asam galat
pada permukaan Mg/Al HT hanya membentuk satu
lapisan (monolayer).

3.2 Hasil Pengukuran Panjang Gelombang Serapan


Maksimum Asam Galat
Panjang gelombang serapan maksimum asam
galat yang diperoleh yaitu 265 nm sesuai dengan
hasil pengukuran yang dilakukan oleh Cioroi, M [9].

3.3.3 Stabilitas Mg/Al HT-AG

1542

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Abs. Larutan
A dan B

Nilai absorbansi dari Mg/Al HT-AG yang


diinteraksikan dengan akuades dalam berbagai
variasi pH (larutan A) dengan Mg/Al HT yang
diinteraksikan dengan akuades pada variasi pH
(larutan B) menunjukkan nilai absorbansi yang tidak
jauh berbeda atau berdekatan pada kondisi pH
medium 3; 5; 7 dan 9. Sementara pada pH 11,
terlihat selisih dari absorbansi larutan A dan B
cukup besar dibandingkan pada pH medium yang
lain (Gambar 3). Hal ini dapat dikarenakan pada pH
11 jumlah ion OH dalam larutan berada dalam
jumlah yang banyak, sehingga hal ini akan
menyebabkan semakin besar kesempatan ion OH
untuk berikatan pada permukaan adsorben sehingga
asam galat dapat terdesorpsi.

Hasil karakterisasi Mg/Al HT-AG dengan


difraktometer sinar X dapat dilihat pada Gambar 5
berikut
1800

1600

Intensitas (a.u)

1400

1200

1000

10

200

(a)

10

20

30

40

50

60

70

80

2 theta (derajat)

Gambar 5.

Difraktogram padatan (a) Mg/Al


HT (b) Mg/Al HT-AG
Berdasarkan analisis dengan difraktometer sinar-X
(Tabel 2), nilai d003 pada Mg/Al HT sebesar 8,02
sedangkan untuk Mg/Al HT-AG sebesar 8,01. Tidak
adanya peningkatan basal spacing d003 pada Mg/Al
HT-AG mengindikasikan bahwa anion asam galat
tidak masuk ke dalam antar lapis Mg/Al HT,
melainkan hanya teradsorp di permukaan Mg/Al
HT. Mekanisme yang terjadi diduga bukanlah
pertukaran ion melainkan interaksi elektrostatik
antara asam galat dengan permukaan Mg/Al HT.

12

pH medium

Gambar

600

400

Larutan A
Larutan B

0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0

(b)

800

3. Grafik Perbandingan antara


absorbansi larutan hasil interaksi
Mg/Al HT-AG dengan akuades
(larutan A) dan Mg/Al HT dengan
akuades (larutan B) pada berbagai
variasi pH.

Tabel 2. Harga d()/(2) Mg/Al HT sebelum dan


setelah adsorpsi dengan asam galat
Mg/Al HT
d ()/ 2 (derajat)
8,02 / 11,02
Sebelum adsorpsi
2,58 / 34,78
3,88/ 22,92
8,01 / 11,04
Setelah adsorpsi
2,59 / 34,62
3,92 / 22,64

3.3.4 Karakterisasi padatan Mg/Al HT- AG


Pada Gambar 4 terlihat bahwa terdapat pita
serapan baru yang muncul pada bilangan gelombang
2931,80 cm-1 yang menunjukkan vibrasi stretching
dari C-H (sp2) yang kemungkinan berasal dari rantai
cincin aromatis dari molekul asam galat. Hal ini
mengindikasikan adanya imobilisasi asam galat
pada Mg/Al HT.

4. KESIMPULAN
1. Immobilisasi asam galat pada Mg/Al HT terjadi
pada pH 5.
2. Berdasarkan data XRD, Mg/Al HT telah
berhasil disintesis pada pH 10 dengan puncak
utama pada 2 = 11,02; 22,92; 34,77 dan
berdasarkan spektra FTIR menunjukkan adanya
ikatan Mg-O dan Al-O pada permukaan serta
anion nitrat pada antar lapisnya.
3. Tidak adanya peningkatan basal spacing d003
pada Mg/Al HT-AG menunjukkan bahwa asam
galat teradsorp pada permukaan Mg/Al HT
bukan pada antar lapis.

Gambar 4. Spektra IR Mg/Al HT (a) sebelum


berinteraksi dengan asam galat (b)
setelah berinteraksi dengan asam
galat

5.
1543

REFERENSI

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Treatments
on
Magnesium-Aluminium
Hydrotalcites, J. Mater. Sci., 35, 4347-4353
[7] Bayliss, P., 1980, Mineral Powder Diffraction File,
Pensylvania 19801, U.S.A.
[8] Kloprogge, J.T., Wharton, D., Hickey, L., and
Frost, R.L., 2002, Infrared and Raman Study of
Interlayer Anions CO32-, NO3, SO42 and ClO4 in
Mg/Al Hydrotalcite, Am.Mint, 87, 623-629.
[9] Cioroi, M., 2009, Study on Total Polyphenols and
Reducing Power of Aqueous Extracts from
Selected Lamiaceae Species, J. Agro. Processess
and Tech., 15, 521-524.
[10] Das, D. P., Das, J. P. And Parida, K., 2003,
Physicochemical Characterization and Adsorption
Behaviour of Calcined Zn/Al Hydrotalcites-like
Compound (HTlc) Towards Removal of Fluoride
from Aqueous Solution, J. Colloid. Interf. Sci., 261,
213-220.
[11] Martin, M.J.S., Villa, M.V. and Camazano, M.S.,
1999, Glyphosate-Hydrotalcite Interaction as
Influenced by pH, Clay and Clays Minerals, 47,
777-783.
[12] Slawinska,, D., Polewski, K., Rolewski, P., and
Slawinski, J., 2007, Synthesis and Properties of
Model Humic Substances Derived from Gallic
Acid, Int. Agrophysics, 21, 199-208.

[1] Cavani, F., Trifiro, F., and Vaccari, A., 1991,

[2]

[3]

[4]

[5]

[6]

Hydrotalcite-type Anionic Clays : Preparation,


Properties and Applications, Catal. Today, 11, 173301
Pollman,H.,
1989,
MineralogischKristallographische
Untersuchugen
a
Hydratations Produkten der Aluminatphase
Hydraulisher Bindemittel- Habilitationsschrift,
Mineralogische Institut der Universitat Erlangen,
Nurenberg,
website
http://www.wiley.com
diakses tanggal 10 Oktober 2010.
Astuti,
2012,
Sintesis
Mg-Al-Diklofenak
Hydrotalcite Melalui Reaksi Penukaran Ion, Thesis,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Heraldy, E., Prasasti, D., Triyono, Wijaya, K., and
Santosa, S.J., 2012, Studi Pendahuluan
Pemanfaatan Limbah Desalinasi untuk Pembuatan
Mg/Al Hydrotalcite-Like Sebagai Adsorben Methyl
Orange, J. Bumi Lestari, 12, 16-23.
Karyani, M.S., 2007, Sintesis Ca-Al-Fosfat
Hidrotalsit dan Aplikasinya Sebagai Adsorben
Logam Timbal (Pb2+) dalam Limbah Cair, Tesis,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hickey, L., Klopprogge, J. T., and Frost, R. L.,
2000, The Effects of Various Hydrothermal

1544

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ISBN: 978-602-71798-1-3

KARAKTERISTIK SENYAWA ISOPULEGOL TERKAPSULASI


SERTA UJI AKTIVITASNYA SEBAGAI ANTI OKSIDAN DAN ANTI BAKTERI
Elvina Dhiaul Iftitah 1), Ravika Endriyana Safitri 2)
1
Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya Malang
email: vin_iftitah@ub.ac.id
2
Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya Malang
email: ravika.safitri@gmail.com

Abstract
Research on characteristic of microencapsulated isopulegol was aimed to determine the ideal
proportion between maltodextrin and arabic gum as coating material and how the antioxidant and
antibacterial activity. The ration between maltodextrin and arabic gum were studied in 1:1 2:3 and
3:2. Microencapsulation was carried out by freez drying. The optimum condition for microcapsules
were determined based on entrapped isopulegol through the FTIR spectra and micrograph image
from SEM (Scanning Electron Microscopy). The antioxidant avtivity were determined by the 2,2diphenyl-1-picrylhydrazil (DPPH) method. Antibacterial activities were measured by paper disc
diffusion of isopulegol against Escherichia coli. Microcapsules at a ratio of 3:2 was found to have
better characteristics with porous and particle size of microscale. Antioxidant activity has
EC50=24974 ppm. Antibacterial activity has strong inhibition toward E.coli growth around 13.3.
Keywords: Microencapsules, Isopulegol, Antioxidant, Antibacterial

Abstrak
Karakterisasi senyawa isopulegol termikrokapsulasi bertujuan untuk menentukan komposisi
ideal bahan penyalut maltodekstrin dan gum arab. Mikrokapsul isopulegol dengan komposisi bahan
penyalut ideal diuji aktivita antioksidan dan antibakteri. Komposisi bahan penyalut dibuat dalam
variasi 1:1, 2:3 dan 3:2. Teknik mikrokapsul dilakukan dengan metode kering-beku. Jumlah optimum
isopulegol terkapsulasi diukur secara kuantitatif dengan FTIR dan profil dianalisis dengan SEM.
Aktivitas antioksidan ditentukan dengan metode DPPH. Sedangkan aktivitas antobakteri diukur
dengan metode difusi terhadap bakteri Escherichia coli. Hasil yang didapatkan adalah bahwa
komposisi dengan karakter terbaik adalah maltodekstrin : gum arab = (3:2) dengan pori dan ukuran
partikel bersakala mikro. Aktivitas antioksidan EC50 = 24974 ppm dan aktivitas antibakteri mampu
menginhibisi E.coli sebesar 13,3
Kata kunci: Mikrokapsul, isopulegol, antioksidan, antibakteri
didalam satu titik saja. Sedangkan polimer
yang digunakan harus biokompatibel ataupun
biodegradabel [1]. Salah satunya adalah
polimer campuran maltodekstrin : gum arab.
Beberapa factor utama yang perlu mendapat
perhatian dalam teknik mikroenkapsulasi
adalah : konsentrasi bahan inti, konsentrasi
emulgator dan struktur permukaan penyalut
yang mempengaruhi waktu release [2]
Berdasarkan strukturnya, isopulegol dapat
berperan aktif sebagai senyawa antioksidan
dan
antibakteri.
Senyawa
antioksidan

1. PENDAHULUAN
Isopulegol (C10H18), merupakan senyawa
golongan monoterpen alcohol siklik dan
memiliki volalitas yang tinggi dengan bau
yang khas. Sifatnya yang mudah menguap
pada suhu ruang dapat diatasi dengan
menarapkan metode mikroenkapsulasi. Metode
ini merupakan teknik pelapisan atau
penyalutan senyawa aktif dengan polimer
berukuran sangat kecil (micron). Senyawa
aktif bertindak sebagai inti dan tidak terpusat
1545

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

merupakan inhibitor penghambat oksidasi.


Sedangkan antibakteri adalah zat yang dapat
membunuh atau menekan pertumbuhan atau
reproduksi bakteri.
Dalam
penelitian
ini,
produk
mikroenkapsulasi dengan berbagai komposisi
penyalut terhadap bahan inti isopulegol
dikarakterisasi secara kualitatif dan kuantitatif.
Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antioksidan
dan antibakteri sebagai alternative bahan
pengawet makanan.

Bahan yang digunakan : isopulegol (emerck), maltodekstrin sintetis, gum arab


sintetis, aquades, 2,2-difenil-2-prihydrazil,
etanol, indikator microorganism yakni Bacillus
subtilis MIUG B106B, Bacillus cereus MIUG
B107B, Rhodoturula glutinis MIUG D7,
Candida utilis MIUG D8, Saccharomyces
cerevisiae MIUG D9, Aspergillus niger MIUG
M5, Penicillium glaucum MIUG M9,
Geotrichum candidum MIUG M13
Peralatan yang digunakan : neraca
analitik Ohaus, oven, cawan petri, motor rotary
dan stirrer, botol sampel, alumunium foil,
kertas saring. FREEZE DRYER MODEL FD81, seperangkat alat SEM TM3000 HITACHI,
seperangkat alat UV-Visibel.

2. KAJIAN LITERATUR
Mikroenkapsulasi
Mikroenkapsulasi merupakan suatu teknik
yang ditujukan untuk menyalut senyawa aktif
berupa padatan, cairan maupun gas
menggunaan polimer dalam skala mikro.
Tujuan teknik tersebut adalah untuk
melindungi bahan aktif, salah satunya yang
disebabkan oleh sifat volalitas yang tinggi
sekaligus mengatur pelepasannya. [3]
Ada 2 tipe material penyalut untuk melapisi
material inti yakni polimer alami dan polimer
sintetis. Polimer alami yakni kitosan, gelatin,
alginat, pati, glikogen selulosa yang bersifat
biodegradable atau ramah lingkungan dan
untuk memanfaatkan sistem- release dari
bahan aktif yang tidak stabil atau juga dapat
digunakan untuk bahan tertentu dalam suatu
makanan. Polimer sintetik meliputi melamin,
urea, dan lain sebagainya. polimer sintetik ini
memiliki sifat racun apabila dikonsumsi secara
langsung terutama pada bidang makanan [4].

Pembuatan Mikrokapsul Isopulegol


Mikrokapsul isopulegol dibuat dengan
cara melarutkan gum arab dan maltodekstrin
dengan variasi bahan penyalut yakni 1:1, 2:3
dan
3:2.
Tekniknya
menggunakan
homogenizer dengan kecepatan 5000 rpm
dalam waktu 5 menit, kemudian sampel
tersebut dikeringkan dengan menggunakan
metode kering-beku (Freeze Dryer).
Penentuan Efisiensi Jumlah Pembentukan
Mikrokapsul
Penentuan
efisiensi
dari
jumlah
mikrokapsul yang terbentuk dilakukan dengan
cara menimbang mikrokapsul yang telah
berhasil dikeringkan dengan menggunakan
metode pengeringan atau freeze drying
kemudian dimasukkan kedalam persamaan
berikut ini:

Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri


Metode
penentuan
aktivitas
antioksidan biasanya menggunakan metode
DPPH (2,2-difenil-2-prihidrazil) yang dapat
memberikan informasi reaktivitas senyawa uji
dengan sutau radikal bebas stabil. Metodenya
sederhana, cepat dan mudah.
Sedangkan
pengujian
aktivitas
antibakteri digunakan metode difusi agar
Kirby-Bauer menggunakan kertas yang
didasarkan pada kemampuan senyawa
antibakteri menghasilkan jari-jari pada zona
hambat di sekeliling sumur uji terhadap bakteri
yang digunakan.

% Yield =
dimana :
M = Berat Mikrokapsul
M0= Berat isopulegol yang digunakan untuk
mikrokapsulasi
Penentuan Ukuran Mikrokapsul dengan
Menggunakan SEM (Scanning Electrone
Microscopy)
Penentuan ukuran partikel mikrokapsul
isopulegol yang terbentuk dari proses freeze
drying dianalisis dengan SEM untuk
menggambarkan morfologis dan permukaaan
mikrokapsul. Produk mikrokapsulasi dilapisi
atau dicoating dengan logam Pt dan Au dan
dimasukkan kedalam kolom SEM pada 10 mA

3. METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat

1546

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

selama 5 menit dan kemudian dapat diamati


dengan menggunakan mikroskop. Image
sampel diamati dengan perbesaran hingga 3001200 kali.
Penentuan aktivitas radikal DPPH terhadap
mikrokapsul isopulegol
Produk mikrokapsul ditambahkan 2 ml
larutan DPPH dan 1 ml etanol. Diaduk
menggunakan stirer dengan kekuatan tinggi.
Kemudian dilakukan inkubasi kedalam tempat
gelap selama 60 menit. Kemudian sampel
tersebut dilakukan pengukuran absorbansi
pada 515 nm dengan menggunakan
instrumen UV-Visibel. Untuk menentukan
persen
aktivitas
antiradikal
digunakan
persamaan berikut ini
AA% = 100
Dimana :
A sampel adalah serapan sampel dan DPPH
A sampel kosong adalah serapan sampel (
mikrokapsulasi)
A control adalah serapan blanko ( 2 ml DPPH
+ 1 ml etanol )
Penentuan aktivitas antimikroba pada
mikrokapsulasi isopulegol
Aktivitas mikroba ditentukan dengan
menggunakan metode Mueller Hinton difusi
sumuran agar. Bakteri ditumbuhkan pada
nutrient agar dengan suhu 37oC selama 18 atau
20 jam tergantung pada pelarutnya. Suspensi
microorganisme diuji dalam pelarut kimia (0.9
% NaCl, w/v). 2 ml supensi sel dituangkan
pada kultur spesifik medium agar (masingmasing MEA dan PCA) pada temperatur 42oC
dan kemudian dihomogenkan pada cawan petri
steril. Setelah beku 3 sumuran dengan ukuran
5 mm dalam medium agar dan diisi dengan
200 L suspensi dari mikrokapsul isopulegol
dalam Mili-Qwater. Piringannya diinokulum
dengan bakteri yang kemudian dilakukan
inkubasi pada 37oC selama 48 jam untuk yeast
dan 25oC selama 96 jam untuk moulds. Setelah
dilakukan inkubasi pembentukan lingkaran
pada daerah disekitar sumuran yang dapat
diindikasikan adanya aktivitas mikroba.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Mikrokapsulasi Isopulegol dengan Variasi
Komposisi Bahan Penyalut Maltodekstrin :
Gum Arab
Variasi komposisi bahan penyalut
berperan dalam penentuan konsentrasi
maksimum yang efisien dalam menyalut
isopulegol. Maltodekstrin dipilih karena
merupakan suatu polimer yang bersifat
biodegradabel dan tidak berbahaya bagi tubuh.
Sedangkan gum arab dapat berfungsi sebagai
emulsifier yang dapat melarutkan isopulegol
yang bersifat non polar dan maltodekstrin yang
bersifat polar. Proses pencampuran dilakukan
dengan menggunakan homogenizer yang
berperan untuk menghomogenkan suatu
campuran dan memperkecil ukuran glabula.
Ukuran glabula berbanding lurus dengan
kestabilan dari emulsi. Semakin kecil ukuran
glabula maka akan semakin stabil emulsi yang
akan dihasilkan. Proses terakhir yakni proses
freeze dryer. Freeze dryer merupakan suatu
proses pengeringan dengan menurunkan suhu
dan tekanan yang akan berubah menjadi
kristal.
Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi proses mikrokapsulasi adalah
konsentrasi bahan inti dan emulgator. Berikut
adalah hasil variasi komposisi bahan penyalut
maltodekstrin : gum arab terhadap massa
mikrokapsul isopulegol yang dihasilkan
disajikan dalam Tabel 1 :

Tabel 1 Massa Mikrokapsul Isopulegol


No
1
2
3

Komposisi
Bahan Penyalut

Massa (gram)

1:1
2:3
3:2

3.73
4.31
6.15

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan


adanya
kenaikkan
massa
mikrokapsul
isopulegol terhadap kenaikkan dari komposisi
bahan penyalut yang digunakan. Pada
komposisi bahan penyalut 3 : 2 memiliki
massa sebesar 6.15 gram.

Penentuan
efisiensi
maksimum
Mikrokapsul
Isopulegol
dengan
menggunakan FTIR
Efisiensi
mikrokapsul
isopulegol
dengan bahan penyalut maltodekstrin : gum
1547

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

arab ditentukan berdasarkan (%T) gugus C=C


(alkena) pada bilangan gelombang 1640
1680 cm-1.
Hasilnya
menunjukkan
bahwa
komposisi bahan penyalut maltodekstrin : gum
arab 3 : 2 memiliki konsentrasi isopulegol
maksimum dengan efisiensi sebesar 58,98%.

penyalut 3:2 menggunakan SEM Quorum


Q150R dengan perbesaran 300x.
Gambar 2 (a) merupakan profil
mikrokapsul yang disalut dengan komposisi
maltodekstrin : gum arab sebesar 3:2 memiliki
ukuran partikel yang besar dan memiliki pori
tiap partikelnya serta bentuk dari mikrokapsul
tersebut tidak berbentuk bulat sempurna dan
cekung disetiap permukaan mikrokapsul, hal
ini dikarenakan terjadinya penguapan pelarut
pada saat proses pengeringan sehingga matriks
yang telah menjerap air, akan kehilangan
kandungan air [1]. Akibatnya terbentuknya
cekungan cekungan pada permukaan luar
mikrokapsul. Hal tersebut umum terjadi pada
bahan penyalut polimer yang berasal dari
golongan polisakarida. Mikrokapsul sendiri
umumnya memiliki ukuran partikel antara 15000 m [2]. Berdasarkan hasil dari penelitian
didapatkan ukuran mikrokapsul maksimum
yakni sebesar 220 m yang menunjukkan
bahwa ukuran partikel tersebut sesuai dengan
teori.
Gambar 2 (b) memiliki profil
morfologi berupa serpihan serpihan, tidak
memiliki pori, strukturnya lebih halus, dan
tidak berbentuk bulat hal ini dikarenakan tidak
adanya bahan inti yang digunakan. Ukuran
partikel pada bahan penyalut maltodekstrin :
gum arab maksimum tanpa inti yakni sebesar
57.2 m. Dapat dilihat perbedaan ukuran
partikel dari mikrokapsul dengan inti dan tanpa
inti, mikrokapsul dengan menggunakan inti
ukuran partikelnya lebih besar yakni 220 m
sedangkan tanpa inti sebesar 57.2 m. Hal
tersebut dapat dikatakan bahwa ukuran partikel
dapat mempengaruhi ketebalan dinding dari
mikrokapsul. Jika mikrokapsul mengalami
penurunan ketebalan dinding, maka kecepatan
pelepasan dari senyawa yang terdapat dalam
mikrokapsul semakin cepat [3]. Berdasarkan
hasil penelitian mikrokapsul tanpa inti
mengalami pelepasan yang cepat dibandingkan
dengan mikrokapsul dengan inti sehingga lebih
cepat menguap jika dibandingkan dengan
mikrokapsul.

Gambar 1 Efisiensi Mikrokapsul Isopulegol


dengan Variasi Bahan Penyalut

Penentuan Ukuran Mikrokapsul dengan


Menggunakan SEM
Penentuan profil dari mikrokapsul
dilakukan pada mikrokapsul yang memiliki
konsentrasi yang optimum dan memiliki
efisiensi yang tinggi yakni pada mikrokapsul
dengan variasi komposisi bahan penyalut 3:2
yang kemudian dibandingkan dengan profil
dari mikrokapsul tanpa mensisipkan bahan inti
isopulegol dengan variasi komposisi bahan
penyalut 3:2 disajikan dalam Gambar 2.
(a)

(b)

Penentuan Aktivitas Antioksidan


Isopulegol memiliki gugus hidroksil
didalam rantai ikatannya sehingga berpotensi
mempunyai aktivitas antioksidan seperti
ditunjukkan dalam mekanisme reaksi berikut :
Gambar 2 (a) Mikrokapsul 3:2, (b) tanpa
bahan inti dengan variasi komposisi bahan
1548

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

yang lebih dari 1 sehingga mampu untuk


berikatan dengan DPPH dengan jumlah yang
banyak. Kemampuan untuk menghambat
radikal bebas lebih besar ditunjukkan dengan
kenaikan % inhibisi dari vitamin C sehingga
dapat berpengaruh pada nilai EC50 yang lebih
kecil. Oleh karena itu vitamin C termasuk
dalam senyawa memiliki aktivitas antioksidan
yang kuat.

Isopulegol akan mendonorkan I elektron pada


gugus Hidrogennya sehingga akan berikatan
dengan DPPH radikal menjadi DPPH
tereduksi. DPPH tereduksi inilah yang akan
mempengaruhi absorbansi dalam penentuan
aktivitas antioksidan. Hal ini dibuktikan
dengan uji aktivitas antioksidan pada
isopulegol yang dibandingkan dengan yang
telah dimikrokapsul adalah sebagai berikut
disajikan dalam Tabel 2 :

Gambar 3. Grafik aktivitas Antioksidan

Berdasarkan Gambar 3 aktivitas


antioksidan pada isopulegol lebih tinggi jika
dibandingkan dengan aktivitas antioksidan
pada mikrokapsul, hal ini dapat terjadi karena
pada mikrokapsul senyawa inti yang
digunakan yakni isopulegol mengalami slow
release. Prinsip dari slow release adalah
pengaturan pelepasan bahan aktif dari
mikrokapsul untuk melindungi bahan aktif
yang melarut secara konvensional [3] yang
mekanisme secara lepas lambat. Oleh karena
itu dapat dibuktikan dengan pengujian aktivitas
antioksidan
secara
berkala
dengan
menggunakan preparasi yang sama. Kemudian
dibandingkan aktivitas antioksidan yang awal
dan yang berkala. Pada pengujian aktivitas
antioksidan secara berkala mengalami
kenaikan jika dibandingkan dengan awal
seperti yang disajikan pada Tabel 3. Terlihat
bahwa kenaikan aktivitas antioksidan pada
mikrokapsul mengalami peningkatan yang
cukup tinggi jika dibandigkan dengan
isopulegol tanpa mikrokapsul.

Tabel 2 Aktivitas Antioksidan pada isopulegol dan


mikrokapsul
No.

Konsentrasi (ppm)

1
2
3
4
5

50
100
150
200
250

% Inhibisi
Isopulegol Mikrokapsul
1.799
0.957
4.570
1.641
5.912
1.778
6.169
2.735
7.969
3.000

Berdasarkan data diatas pada Tabel 2


didapatkan
adanya
pengaruh
dari
bertambahnya konsentrasi akan meningkatkan
peredaman radikal bebas yang menunjukkan
adanya aktivitas sebagai antioksidan. Aktivitas
antioksidan yang terdapat pada isopulegol
dibandingkan dengan isopulegol yang telah
termikrokapsul. Berdasarkan nilai regresi
didapatkan nilai EC50 pada isopulegol sebesar
5460 ppm sedangkan pada mikrokapsul
sebesar 24974 ppm. Menurut Miryanti,dkk [5]
aktivitas antioksidan berdasarkan harga EC50 :
< 50 ppm sangat kuat, 50-100 ppm kuat,100150 ppm sedang dan >150 ppm lemah. Dari
kedua nilai EC50 tersebut dapat dikatakan
bahwa senyawa tersebut memiliki nilai EC50
yang lemah hal ini dapat dikarenakan
isopulegol merupakan senyawa monoterpene
yang hanya memiliki 1 siklis sehingga hanya
dapat berikatan dengan DPPH radikal hanya 1
tahap saja. Berbeda jika dibandingkan dengan
Vitamin C yang merupakan kontrol positif.
Vitamin C memiliki jumlah gugus hidroksil

Tabel 3. Aktivitas Antioksidan dari waktu ke


waktu
(ppm)
50
100
150
200
250

1549

% Inhibisi Isopulegol
Awal Akhir
Selisih
1.799
2.685
0.886
4.570
4.265
-0.305
5.912
8.688
2.776
6.169 10.426
4.257
7.969 11.216

% Inhibisi Mikrokapsul
Awal
Akhir Selisih
0.957 5.869 4.912
1.641 7.223 5.582
1.778 7.900 6.122
2.735 9.255 6.52
3.000 9.480 6.48

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Terlihat pula pada Gambar 4 yang


merupakan grafik aktivitas antioksidan pada
isopulegol sebelum dimikrokapsul maupun
yang sudah termikrokapsul mununjukkan
adanya aktivitas antioksidan, pada mikrokapsul
mengalami kenaikkan yang signifikan
dibandingkan dengan isopulegol hal ini
dikarenakan mikrokapsul yang memiliki
kemampuan slow release pada senyawa
aktifnya sehingga dapat digunakan pada jangka
waktu berkala tanpa mengurangi aktivitas
antioksidan pada senyawa senyawa aktifnya

kertas cakram dengan menggunakan penggaris.


Hasil pengukuran zona hambat dapat dilihat
pada Tabel 4
Tabel 4. Diameter Zona Hambat (inhibisi)
Mikrokapsul Isopulegol terhadap E.Coli
Ulangan

Diameter Zona Hambat (mm)


Akuades

1
2
3
Total
Rata2

0
0
0
0
0

50
ppm
0
0
0
0
0

100
ppm
14
10
8
32
10.67

150
ppm
15
13
12
40
13.3

Tetracyclin
(+)
22.7
22.7
23.1
68.5
22.8

Tabel 4 menunjukkan bahwa dari keempat


perlakuan zona hambat yang dihasilkan pada
mikrokapsul isopulegol terhadap E.coli pada
konsentrasi 50 ppm tidak membentuk zona
hambat (0 mm), pada 100 ppm membentuk
zona hambat sebesar 10.67 mm, 150 ppm
membentuk zona hambat sebesar 13.3 mm,
dan pada tetracyclin yang bertindak sebagai
kontrol positif memberikan zona hambat
sebesar 22.8 mm hal ini menunjukkan bahwa
kontrol positif dan sampel dalam berbagai
konsentrasi memberikan aktivitas yang dapat
menghambat bakteri E.coli. Pelarut yang
digunakan sebagai kontrol yakni aquades tidak
memberikan zona hambat (0 mm). Pada
mikrokapsul isopulegol terhadap E.coli
menunjukkan
bahwa
semakin
pekat
konsentrasi akan membentuk diameter zona
hambat yang semakin besar.
Aktivitas antibakteri pada isopulegol dapat
diketahui dengan terbentuknya zona bening
yang merupakan zona hambat dari aktivitas
bakteri yang berada disekeliling kertas cakram
pada media biakan E. coli. Konsentrasi yang
digunakan yakni 50, 100 dan 150 ppm dengan
menggunakan kontrol negatif yakni akuades.
Berdasasarkan
hasil
penelitian
yang
memberikan zona hambat dari aktivitas bakteri
adalah isopulegol dengan konsentrasi 50, 100
dan 150 ppm seperti pada Gambar 6.

Gambar 4. Grafik Aktivitas Antioksidan dari


waktu ke waktu

4.4 Penentuan Aktivitas Antimikroba

Gambar 5. Zona Hambat Mikrokapsul Isopulegol


Perlakuan terhadap E.coli

Aktivitas antibakteri pada mikrokapsul


isopulegol
dapat
diketahui
dengan
terbentuknya zona bening yang merupakan
zona hambat dari aktivitas bakteri yang berada
disekeliling kertas cakram pada media biakan
E. coli. Konsentrasi mikrokapsul isopulegol
yang digunakan yakni 50; 100; 150 ppm
dengan kontrol yakni berupa aquades yang
merupakan suatu pelarut yang digunakan.
Berdasarkan hasil dari penelitian, yang
memberikan zona hambat dari aktivitas bakteri
adalah mikrokapsul isopulegol dengan
konsentrasi 100 dan 150 ppm sedangkan pada
konsentrasi 50 ppm tidak memberikan zona
hambat seperti pada Gambar 5.

Gambar 6. Zona Hambat Isopulegol Perlakuan


terhadap E.Coli

Pengamatan yang dilakukan yakni dengan


mengukur diameter zona hambat disekitar
1550

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Pengamatan yang dilakukan yakni dengan


mengukur diameter zona hambat disekitar
kertas cakram dengan menggunakan penggaris.
Hasil pengukuran zona hambat dapat dilihat
pada Tabel 5.

5. KESIMPULAN
Mikrokapsul isopulegol efektif pada
komposisi bahan penyalut maltodekstrin : gum
arab = (3:2) dengan profil berpori, tidak
berbentuk bulat sempurna dan memiliki ukuran
partikel 220 m. Aktivitas antioksidan terukur
dengan nilai EC50 sebesar 24974 ppm dan
aktivitas antibakteri terhadap bakteri E.Coli
memiliki zona hambat 13,3 mm yang
tergolong dalam zona hambat kuat.

Tabel 5. Diameter Zona Hambat (inhibisi)


Isopulegol terhadap E.Coli
Ulangan

Diameter Zona Hambat (mm)


Akuades

1
2
3
Total
Rata-rata

0
0
0
0
0

50
ppm
7.11
7.1
8.4
22.6
7.5

100
ppm
8.4
10.6
8.6
27.6
9.2

150
ppm
7.4
7.4
7.1
21.9
7.3

Tetracyclin
(+)
22.7
22.7
23.1
68.5
22.8

6. REFERENSI
[1] Dima, Cristian, Cotarlet, Mihaela, Tiberius,
Balaes, Bahrim, Gabriela, Alexe, Petru and
Dima, S., 2014, Encapsulation of Coriander
Essential Oil in Beta-Cyclodextrin : Antioxidant
and Antimicrobial Properties Evaluation,
Romanian Biotechnology Letters, Vol. 19 (2)
[2] George, James P., and Datta, A.K., 2002,
Development and Validation of Heat and Mass
Transfer Models for Freeze drying of Vegetable
Slices, Journal of Food Engineering, Vol. 52,
p.90
[3] Chung, Seong Kyun, Seo Ji Yeon, Lim, Jung
Hoon, Park Hyung Hwan, Yea, Myeong Jai.,
Park, H.J., 2013, Microencapsulation of
Essential Oil for Insect Repellent in Food
Packaging System, Journal of Food Science,
Vol. 78
[4] Yuliani, S., Desmawarni dan Harimurti, N.,
2007, Pengaruh Laju Alir Umpan dan Suhu
Inlet Spray Drying pada Karakteristik
Mikrokapsul Oleoresin Jahe, J. Pascapanen,
Vol. 4 (1), Hal. 18-26

Tabel 5 menunjukkan bahwa dari


keempat perlakuan zona hambat yang
dihasilkan pada isopulegol terhadap E.coli
pada konsentrasi 50 ppm membentuk zona
hambat sebesar 7.5 mm, pada 100 ppm
membentuk zona hambat sebesar 9.2 mm, 150
ppm membentuk zona hambat sebesar 7.3
mm, dan pada tetracyclin yang bertindak
sebagai kontrol positif memberikan zona
hambat sebesar 22.8 mm hal ini menunjukkan
bahwa kontrol positif dan sampel dalam
berbagai variasi konsentrasi memberikan
aktivitas yang dapat menghambat aktivitas
bakteri E.coli. Pelarut yang digunakan sebagai
kontrol yakni aquades tidak memberikan zona
hambat (0 mm).

1551

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENGGUNAAN PARAMETER GEOKIMIA MOLEKULAR UNTUK


MENENTUKAN KORELASI MINYAK BUMI BLOK BANGKOROKAN HILIR
DENGAN MINYAK BUMI DURI-BENGKALIS, RIAU
Emrizal Mahidin Tamboesai
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Riau
email: emrizaltamboesai@gmail.com
Abstract
The demand for crude oil in Indonesia is much higher than its production which leads to current energy crisis.
One of solutions for this crisis is to conduct correlation study, which determines the genetic relationship at
each oil well. This study could assist to provide the indication of the genetic relationship (source matter, souce
rock and the origins) of Bangko and Duri crude oil. The saturated fraction was analyzed using Gas
Chromatography (GC). On the basis of the abudance of hydrocarbon aliphatic, the crude oils samples have
small ratio value, which is 0,38-0,50 for Pr/n-C17 and 0,16-0,18 Ph/n-C18. This values indicated that the samples
were originated from higher vascular plants (terrestrial). The samples derived from lacustrine environments
(lake) have ratio valueof Pr/Ph (2,50-2,90). The calculation from Star diagram have showed that the oil
samples in area MB-07, MB-076 dan MB-172 of Bangko with the oil sample in Duri (MD-01) are negatively
correlated. The negative correlation indicated that the oil samples have different the genetic relationship source
matter and different in enhance oil recovery.
Keywords: crude oil, correlation study, oil wells, Gas Chromatography, hydrocarbon aliphatic.
Abstrak
Minyak bumi merupakan sumber energi utama dalam bidang industri, transportasi dan rumah tangga.
Peningkatan kebutuhan minyak bumi tidak seimbang dengan produksinya, dengan demikian menyebabkan
Indonesia mengalami krisis energi. Salah satu upaya untuk hal tersebut dengan studi korelasi, yang merupakan
salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan hubungan genetik antar sumur minyak. Studi
korelasi dari sumur produksi yang berada di daerah Bangko Rokan Hilir dengan Duri - Bengkalis belum
pernah dilakukan. Studi korelasi yang dilakukan pada sampel minyak Bangko dan Duri memberikan gambaran
tentang hubungan genetik, lingkungan pengendapan, batuan sumber (source rock). Sampel minyak bumi yang
baru diangkat dari sumur minyak didinginkan terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis geokimia. Sampel
minyak mentah dari sumur Bangko dan Duri difraksinasi dengan kolom kromatografi menjadi hidrokarbon
saturat. Analisis menggunakan kromatografi gas (GC) dari fraksi saturat. Berdasarkan kelimpahan
hidrokarbon alifatik, dari sampel ladang minyak bumi memiliki rasio nilai Pr/n-C17 dan Ph/n-C18 yang rendah
yaitu 0,38-0,50 dan 0,16-0,18 yang mengindikasikan minyak tersebut berasal dari sumber material organik
tumbuhan tingkat tinggi (terrestrial), dan lingkungan pengendapan berasal dari lingkungan lacustrine (danau)
memiliki nilai rasio Pr/Ph 2,50 2,90. Hasil analisis diagram bintang menunjukkan minyak bumi Blok Bangko
(MB-07, MB-026 dan MB-172) berkorelasi positif, akan tetapi MB-07 dengan MB-026 lebih dekat korelasinya
dibandingkan dengan MB-172, sedangkan sampel minyak Bangko (MB-07, MB-026 dan MB-172) dengan
sampel minyak Duri (MD-01) berkorelasi negatif. Korelasi positif mengindikasikan bahwa minyak bumi
tersebut mempunyai hubungan genetik, sumber material yang sama.
Kata kunci: Minyak mentah, lacustrine, kromatografi gas, diagram bintang

harus diimpor. Berdasarkan data dari Ditjen


Migas (2013), konsumsi minyak bumi di
Indonesia per harinya mencapai 1.530.000
barel, sedangkan jumlah produksi per hari
hanya sebesar 870.000 barel. Hal ini
mengakibatkan negara Indonesia harus
membeli minyak bumi dari negara lain untuk
memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Potensi

1. PENDAHULUAN
Minyak bumi merupakan sumber devisa
bagi negara, sumber energi utama untuk
industri, transportasi, dan kebutuhan rumah
tangga. Peningkatan kebutuhan minyak bumi di
Indonesia, menyebabkan komsumsi minyak
bumi ini sudah tidak dapat lagi dipenuhi lagi
oleh produksi minyak bumi di Indonesia
sehingga sebagian kebutuhan bahan bakar
1552

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

minyak bumi di Indonesia menurut data Ditjen


Migas (2013) mencapai 1,43miliar barel.
Penurunan jumlah produksi dikarenakan
salah banyaknya sumur minyak yang tidak
berproduksi lagi (sumur tua). Oleh karena itu,
perlu dilakukan eksplorasi untuk mencari
sumur-sumur produksi yang baru, menentukan
arah migrasi, asal usul dan sumber material
organik. Salah satu upaya eksplorasi adalah
dengan melakukan studi korelasi minyak bumi
dari beberapa sumur produksi dan analisis
geokimia molekuler (Kaufman dkk.,1990).
Data kajian geokimia molekular minyak
bumi digunakan untuk menentukan hubungan
genetik dan arah migrasi dari sumur produksi
yang berada di daerah Bangko dan Duri.
Meskipun telah banyak dilakukan kajian
korelasi sebelumnya, seperti kajian geokimia
minyak bumi Sumatera Tengah, pernah
dilakukan oleh Tamboesai (2002) terhadap
korelasi antar minyak dari sumur produksi
Duri, Riau, dan hal sama juga dilkukan
berdasarkan penelitian Rohmani (2010),
korelasi minyak bumi dari sumur produksi
Langgak, Namun, lapangan Bangko belum ada
studi kajian geokimia yang pernah dilakukan.
Minyak bumi Bangko-Rokan Hilir dan DuriBengkalis merupakan salah satu sumur minyak
yang terletak di cekungan Sumatera Tengah
dan belum ada studi korelasi minyak bumi
pada lapangan tersebut.

Analisis whole oil dapat di analisis yaitu


sampel minyak bumi Bangko melarutkan
sampel dengan diklorometana yaitu 10 mL
pelarut diklorometana dan 2 g sampel p.a untuk
mendapatkan minyak mentah dari sampel yang
digunakan. Sampel Minyak bumi yang
dilarutkan dikocok selama 30 detik. Kalau
minyaknya ada berarti warna larutan berubah
menjadi kuning kehitaman. Sampel yang ada
minyaknya disentrifugasi selama 15 menit
dengan kecepatan 3000 rpm. Hal ini dilakukan
melarutkan sampel dua kali dan hasilnya
kemudian digabungkan. Kemudian dianalisis
dengan kromatografi gas.
c. Fraksinasi minyak mentah
Fraksinasi minyak mentah di bagi 2
metode yaitu menghilangkan kontaminasi
senyawa polar dan memisahkan fraksi saturat.
Metode pertama untuk menghilangkan
senyawa polar yaitu Sampel minyak mentah
ditimbang sebanyak 200 mg dilarutkan dengan
1mL n-heksana/DCM (3:1 v/v) murni,
kemudian dimasukkan kedalam kolom dengan
panjang 20 cm diameter 1 cm yang berisi silika
gel di dalam kolom yang telah diaktivasi
dengan ukuran 60-200 mesh. Kolom yang telah
berisi dielusi dengan 17 mL n-heksana/DCM
(3:1 v/v) murni. Kemudian eluat ditampung
pada botol vial dan pelarut diuapkan hingga
terbentuknya minyak pada dinding vial.
Metode kedua yaitu untuk minyak yang
diperoleh kemudian dilarutkan dengan 2 mL nheksana (homogen) murni, hasil yang diperoleh
kemudian dimasukkan kedalam kolom panjang
20 cm dan diameter 1 cm yang berisi silika gel
yang telah diaktivasi dengan ukuran 60-200
mesh. Kolom yang telah berisi sampel
kemudian dielusi menggunakan 6 mL nheksana murni hingga didapat fraksi saturat
berwarna bening dapat dilihat dengan kasat
mata. Eluat saturat diuapkan menggunakan
waterbath sampai pelarut menguap. Kemudian
dianalsis dengan GC FID.
d. Analisis kromatogram fraksi saturat
menggunakan kromatogarafi gas
Fraksi saturat dianalsis menggunakan
kromatografi gas (GC) Agilent Technologies
7890 A Series dilengkapi dengan kolom kapiler
fused silica DB-5, panjang kolom 30 m,
diameter kolom 0,32 mm, tebal fase diam
0,25m. Gas helium digunakan sebagai gas
pembawa dengan kecepatan alir 1 mL/menit.
Sampel diinjeksikan menggunakan column

2. METODE PENELITIAN
a. Alat dan Bahan
Peralatan
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah kolom yang berdiameter 1
cm dan panjang 20 cm, kromatografi gas (GC)
Agilent Technologies 7890 A Series,
centrifuge, peralatan gelas yang menunjang
penelitian, botol kecil (vial), statip, timbangan
digital, oven.
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sampel minyak bumi dari
enam buah sumur produksi yaitu dua dari
sumur minyak Bangko (PN-07, MB-076 dan
MB-172) dan minyak bumi Duri (0SD-01),
Silika 60-200 mesh, n-heksana, dikorometana
(DCM), dan kapas steril.
b. Analisis whole oil
1553

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

injector 0,2 L dengan tinggi temperature inlet


270oC,
kemudian dideteksi oleh Flame Ionization
Detector
(FID)
yang
temperaturnya
o
dipertahankan pada 350 C.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. whole oil kromatogram
Dari analisis sampel minyak Bangko
kromatogram whole oil n-alkana yang
mengandung fraksi saturat, aromat dan residu
(Gambar 1)

Gambar 2. Fraksi saturat kromatogram


sampel
minyak Blok Bangko (MB-07).
Gambar 2. menunjukkan hasil dari
kromatogram sampel minyak Bangko (MB-07)
pada hasil kromatogram tersebut terlihat
adanya puncak pristana C17 dan phitana C18.
Pada kromatogram ini luas area sebagai data
kuantitatif.
Gambar 1. Kromatogram whole oil sampel
minyak bumi Blok Bangko
Whole oil merupakan minyak mentah
yang diinjeksikan kedalam kromatografi gas
yang belum terpisahnya fraksi saturat, aromat,
dan residu. Fraksi saturat identik dengan
puncak yang tinggi, sedangkan aromat puncak
yang rendah.
Hasil analisis dari whole oil kromatogram
pada Gambar 1. menunjukkan ada dua puncak
yang saling berdampingan pada bagian tengah
kromatogram. Puncak pertama pada puncak
tertinggi merupakan normal C17 (pristana)
sedangkan puncak kedua adalah normal C18
(phitana). Kedua puncak ini merupakan awal
dari penentuan nomor rantai karbon, biasanya
nomor rantai karbon dapat ditentukan pada
puncak sebelum maupun sesudah dari puncak
pristana dan phitana.

Gambar 3. Fraksi saturat kromatogram sampel


minyak Blok Bangko (MB-076)
Gambar 3. menunjukkan hasil dari
kromatogram sampel minyak Bangko (MB076) pada hasil kromatogram tersebut terlihat
pada bagian tengah yang berdempetan adanya
puncak pristana C17 dan phitana C18.

b. Analisis kromatogram GC fraksi saturat


Hasil kromatogram GC FID pada fraksi
saturat dari masing-masing sampel yang
dilakukan pada empat sampel. Fraksi saturat
terdiri dari n-parafin, iso-parafin, dan
sikloalkana (naftana). Hasil fraksi saturat
terlihat dari Gambar 2-5

1554

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Gambar 4. Fraksi saturat kromatogram sampel


minyak Bangko (MB-172).
Gambar 4. menunjukkan hasil dari
kromatogram sampel minyak Bangko (MB172) bagian tengah yang berdempetan adanya
puncak pristana C17 dan phitana C18.

Gambar 6. Cross plot Pr/n-C17 dan Ph/n-C18


pada minyak mentah Blok
Bangko dan Duri (peters dkk.,
1999)
Keterangan:
No

Rasio
Puncak

Bangko
(MB-07)

Bangko
(MB-076)

a
b
c
d
e
f
g
h

13/14
15/16
17/18
19/20
21/22
23/24
25/26
27/28

0,51
0,79
1,04
0,99
0,95
0,91
0,98
1,13

0,45
1,06
1,05
1,02
0,97
0,96
0,99
1,15

Bangko Duri
(MB- (MD172)
01)
0,32 0,99
0,86
1,18
1,04
1,25
1,02
1,24
0,92
1,32
0,94
1,34
1,01
1,34
0,68
1,33

Minyak Blok Bangko (MB-07)


Minyak Blok Bangko (MB-076)
Minyak Blok Bangko (MB-172)
Minyak Duri (MD-01)
Gambar 6 menunjukkan bahwa sampel
minyak tersebut pada zona A hal ini
menunjukkan berasal dari sumber material
organik tumbuhan tingkat tinggi (terrestrial)
dan
mengalami
biodegradasi
dengan
meningkatnya
kematangan
(Peter
dan
Moldowan,1993). Nilai Pr/Ph untuk setiap
sampel teranalisis dari sumur produksi Bangko
yaitu 2,29-2,30, sedangkan nilai Pr/Ph Duri
2,14. Perbandingan Pr/Ph diatas dapat
disimpulkan bahwa sampel diatas berasal dari
lingkungan pengendapan yang sama lacustrine
(danau). Menurut Didyk dkk (1975) nilai Rasio
Pr/Ph antara 1,5-3,0 mengidentifikasikan tipe
minyak bumi berasal dari lingkungan
lacustrine (danau) yang terbentuk dalam

Gambar 5. Fraksi saturat kromatogram


sampel minyak Duri (MD-01)
(Putri, 2013)
c. Penentuan sumber material batuan
organik
Sumber material batuan organik terbagi
atas sumber terestrial, sumber marine ,dan
sumber campuran.

1555

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dibawah
kondisi
reduksi
(lingkungan
pengendapan material organik kurang oksigen).

bedrimplikasi kepada teknik pengurasan


(eksploitasi) yang berbeda antara minyak bumi
bangko dan Duri.

d. Studi korelasi dengan diagram bintang


Tabel 1. Data rasio tinggi puncak
kromatogram diagram bintang sumur
minyak Blok Bangko dan Duri.
Tabel 1. Menunjukkan data rasio tinggi puncak
dari kromatogram setiap sumur minyak. Data
tersebut dapat digunakan untuk membuat
diagram bintang

5. Referensi
Agustina, R. 2013. Kajian Geokimia Molekuler
untuk Menentukan Asal-Usul, Lingkungan
Pengendapan, Jenis Minyak Pertamina Lirik,
Riau. Skripsi, Jurusan Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Riau, Pekanbaru.
Darpis. 2014. Korelasi Geokimia Molekular Minyak
Bumi Blok Langgak dengan Sumur Minyak
Bumi di Pendalian IV Koto, Rokan Hulu, Riau.
Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau,
Pekanbaru.
Didyk B.M., Simoneit B.R.T., Brassel S.C and
Englinton G., 1978. Organic Geochemical
Indicator of Paleoenviromental conditions of
sedimentation. Nature. 272: 216-221.
Ditjen
Migas.
2013.
Statistik
Minyak
BumiKementrian Energi Sumber Daya
Mineral Republik Indonesia, Jakarta.
Kaufman, R.L., Ahmed, A.S dan Elsinger, R.J.
1990. Gas Chromatography as development and
production tool for finger printing oils from
individual reservoirs : Applications in the Gulf
of Mexico. Didalam : Scumacker, D. & Perkins,
B.F (ed). Proceedings of the 9th Annual
Research Conference of the society of economic
Paleontologists and Mineralogists. New
Orleands.
Peters, K.E. dan Moldowan, J.M. 1993. The
Biomarker Guide, Interpreting molecular fossils
in Petroleum and ancient Sediments. Prentice,
New Jersey.
Rohmani, S. 2011. Korelasi antar Minyak Bumi dari
Blok Langgak. Skripsi, Jurusan Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Riau, Pekanbaru.
Tamboesai, E.M. 2002. Korelasi Antar Minyak
Bumi dari Sumur Produksi. Tesis. Pasca Sarjana,
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia,
Depok.

Gambar 7. Diagram bintang sumur minyak


Blok
Bangko
dan
Duri
berdasarkan
rasio
puncak
kromatogram.
Gambar 7 menunjukkan bahwa ketiga
sampel minyak bumi dari sumur minyak
Bangko (MB-07, MB-076 dan MB-172)
berkorelasi positif dan berkorelasi negatif
dengan minyak bumi Duri (MD 01), hal ini
menunjukkan perbedaan asal usul batuan
sumber dan lingkungan pengendapan yang
berbeda antara minyak bumi Bangko dan
minyak bumi Duri.
4. KESIMPULAN
Hasil
penelitian
yang
dilakukan
menunjukkan bahwa minyak bumi asal
Bangko-Rohil dan Duri-Bengkalis berkorelasi
negative. Hal ini menunjukkan bahwa kedua
minyak bumi tersebut berasal dari batuan
sumber yang berbeda dan hal tersebut

1556

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI EMULSI BERBAHAN BAKU MINYAK


KELAPA MENGGUNAKAN JENIS BASA YANG BERBEDA
1

Eni Widiyati 1
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu
E-mail: widiyati58@gmail.com

Abstrak
Penelitian tentang pembuatan dan karakterisasi emulsi dengan bahan baku minyak kelapa menggunakan jenis
basa yang berbeda (KOH, NaOH dan trietanolamina = TEA) telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk
membuat emulsi dengan bahan baku minyak kelapa menggunakan emulgator sabun stearat dan mempelajari
pengaruh konsentrasi basa terhadap sifat-sifat emulsi. Emulsi dibuat dengan cara mencampur fase air (akuades
dan gliserin) yang telah dipanaskan sampai mencapai suhu 70 oC ke dalam fase minyak (minyak kelapa, asam
stearat, lanolin dan setil alcohol) yang telah dipanaskan sampai 70 oC juga, kemudian ditambahkan basa
sedikit demi sedikit sambil diaduk, sampai mencapai suhu 35 oC. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi basa
terhadap sifat-sifat emulsi, maka basa (KOH, NaOH dan TEA) ditambahkan dengan konsentrasi yang
divariasi. Emulsi yang dihasilkan ditentukan sifat-sifat fisika dan kimia meliputi bentuk, warna, pH, dan
viskositas. Hasil penelitian menunjukkan, emulsi dengan bahan baku minyak kelapa menggunakan jenis basa
yang berbeda telah dapat dibuat. Jika konsentrasi basa yang ditambahkan ditingkatkan, maka pH dan
viskositas emulsi juga akan mengalami peningkatan. Emulsi yang dibuat dengan basa KOH dan TEA lebih
stabil daripada emulsi yang dibuat dengan basa NaOH. Hal ini berarti konsentrasi basa berpengaruh terhadap
sifat-sifat emulsi, dan pada penelitian ini, jenis basa yang berbeda berpengaruh pada stabilitas emulsi.
Kata kunci : pembuatan dan karakterisasi, emulsi, minyak kelapa, konsentrasi basa, sifat-sifat emulsi
Abstract
A research on preparation and characterization of emulsions with coconut oil as raw material and using
different types of bases (KOH, NaOH and triethanolamine =TEA) has been done. The purpose of this research
was to prepare the emulsion with coconut oil as raw material using stearic soap as an emulgator and to study
the effect of base concentration on properties of emulsions. The emulsion was made by mixing a hot (70 oC) of
aqueous phase ( aquadest and glycerin ) to the hot (70 oC) of oil phase (coconut oil, stearic acid, lanolin, and
cetyl alcohol), then the mixture was added a base while stirring until it reached a temperature of 35 oC. To
investigate the effect of base concentration on properties of emulsions, the concentration of KOH, NaOH, and
TEA as a base were added with varied concentrations. The emulsions were determined physical and chemical
properties, such as form, color, pH, and viscosity. The results show an emulsions with coconut oil as raw
material and using different types of bases have been prepared. If the base concentration increase, the pH and
the viscosity of emulsions will also increase. The emulsions with KOH and TEA as a base are more stable than
the emulsion with NaOH as a base. This mean that concentration of base affects the properties of emulsions,
especially pH and viscosity, and the type of base affects the stability of emulsions.
Keywords : preparation and characterization, emulsions, coconut oil, base concentration, properties of
emulsions

dengan persentase tinggi (93%) sehingga


cocok untuk pembuatan kosmetik [1],
mengandung asam laurat (47-50%) [2], dimana
di dalam tubuh manusia atau hewan asam ini
akan diubah menjadi monolaurin yang
berfungsi sebagai antiviral, antibakteri dan
antiprotozoa [3]. Minyak kelapa merupakan
trigliserida, dapat bereaksi dengan basa (KOH,
NaOH atau TEA) menghasilkan sabun, dan
sabun yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai
kosmetik pembersih. Minyak ini mengandung
gugus C=C dan C=O sehingga dapat menyerap
radiasi UV [4],
mempunyai harga SPF
sebesar 7,119, sehingga minyak kelapa

1. PENDAHULUAN
Saat ini, sudah banyak bahan-bahan
kebutuhan sehari-hari tersedia dalam bentuk
emulsi, salah satunya adalah kosmetik.
Sebagian masyarakat lebih memilih kosmetik
yang mengandung bahan alami dengan alasan
kurang memiliki efek samping sehingga lebih
aman untuk digunakan. Salah satu bahan yang
diperoleh dari bahan alam hayati yang dapat
digunakan sebagai bahan baku kosmetik
adalah minyak kelapa.
Minyak kelapa memiliki beberapa manfaat
antara lain mengandung asam lemak jenuh
1557

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

direkomendasikan untuk digunakan pada


pembuatan tabir surya [5]. Minyak kelapa
efektif dan aman digunakan sebagai
moisturiser pada kulit sehingga dapat
meningkatkan hidrasi kulit, meningkatkan
kandungan lipid di permukaan kulit dan
mempercepat penyembuhan pada kulit [6; 7].
Mengingat minyak kelapa memiliki banyak
manfaat, maka pada tahun-tahun terakhir ini
minyak ini banyak digunakan pada pembuatan
kosmetik.
Sebagian besar kosmetik perawatan kulit
(pembersih, pelembab dan tabir surya) yang
beredar di pasaran saat ini adalah dalam bentuk
emulsi. Emulsi adalah sistem koloid yang
mengandung dua cairan yang tidak saling
bercampur, dimana cairan yang satu (fase
terdispersi) didispersikan dalam media cair
yang lain (fase pendispersi) [8]. Dispersi yang
terbentuk tidak stabil, sehingga perlu
ditambahkan zat pengemulsi (emulgator) ke
dalamnya. Untuk membuat emulsi kosmetik
dapat digunakan emulgator sabun dari hasil
reaksi antara asam stearat dengan basa [9].
Suatu emulsi kosmetik harus terjaga
stabilitasnya dalam kurun waktu tertentu, baik
selama
pemakaian
atau
penyimpanan.
Stabilitas emulsi kosmetik dapat dipengaruhi
oleh konsentrasi emulgator dan konsentrasi
minyak yang ditambahkan [10], oleh karena
itu formulasi pada pembuatan emulsi kosmetik
sangat penting untuk dilakukan.
Saat ini sudah banyak tersedia kosmetik
dalam bentuk emulsi dengan menggunakan
emulgator sabun dari hasil reaksi antara asam
stearat dan basa, demikian juga dengan
penelitian-penelitian yang ada hubungannya
dengan
pembuatan
kosmetik
tersebut.
Penelitian tentang pembuatan krim pelembab
dengan menggunakan jenis minyak yang
berbeda yaitu minyak sayur dan minyak
paraffin, dengan bahan-bahan tambahan seperti
asam stearat 4%, trietanolamina (TEA) 0,4%
telah dilakukan. Krim yang dihasilkan
memiliki harga pH 6,8 untuk krim paraffin dan
6,37 untuk krim minyak kelapa. Krim yang
dihasilkan merupakan emulsi minyak dalam air
dan merupakan krim yang stabil [11]. Juga
telah dipelajari pembuatan vanishing cream
dengan konsentrasi asam stearat 24% dan
1.35% KOH. Krim yang dihasilkan memiliki
pH antara 6,7 sampai 6,8, dan memiliki sifatantara lain efektif dan mudah dicuci [9]. Dari
hasil-hasil penelitian di atas dapat diketahui
bahwa penggunaan jenis dan konsentrasi basa

yang berbeda akan berpengaruh pada sifat-sifat


emulsi seperti bentuk, pH dan viskositas.
Mengingat pada umumnya kosmetik
dibuat dalam bentuk emulsi, dan suatu emulsi
dapat distabilkan oleh emulgator seperti sabun,
maka pemilihan jenis basa dan konsentrasi
basa yang sesuai untuk menghasilkan sabun
(suatu surfaktan) perlu diperhatikan. Untuk itu
perlu dilakukan penelitian tentang pembuatan
dan karakterisasi emulsi menggunakan jenis
basa yang berbeda (KOH, NaOH dan
trietanolamina (TEA)).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
membuat emulsi dengan bahan baku minyak
kelapa dan mempelajari pengaruh penggunaan
jenis basa yang berbeda terhadap sifat-sifat
emulsi yang dihasilkan.
2. METODE PENELITIAN
Bahan-bahan
Bahan-bahan kimia yang digunakan pada
penelitian ini meliputi minyak kelapa, asam
stearat, lanolin, setil alkohol, gliserin (semua
bahan-bahan tersebut berkwalitas untuk
kosmetik), KOH (Merck), NaOH (Merck),
TEA (Merck) dan akuades.
Alat-alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian
ini meliputi peralatan gelas laboratorium,
timbangan digital, kompor listrik, alat penentu
viskositas (RION-Viscotester VT-04 E), dan
pH meter digital.
Pembuatan emulsi berbahan baku minyak
kelapa
Pada penelitian ini emulsi dengan bahan
baku minyak kelapa dibuat menggunakan
emulgator sabun dari hasil reaksi antara asam
stearat dengan jenis basa yang berbeda (KOH,
NaOH dan TEA). Untuk mempelajari
pengaruh konsentrasi basa terhadap sifat-sifat
emulsi, maka ditambahkan basa (KOH, NaOH,
dan TEA) dengan konsentrasi yang divariasi.
Cara kerja (1) :
Masing-masing emulsi (Komposisi Tabel
1) dibuat dengan cara sejumlah tertentu fase air
dimasukkan ke dalam gelas beker 250 mL dan
dipanaskan di atas kompor listrik sampai
mencapai suhu 70 oC. Kemudian, sejumlah
tertentu fase minyak dimasukkan ke dalam
1558

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Tabel 1. Komposisi Emulsi dengan variasi
konsentrasi KOH

gelas beker 500 mL dan dipanaskan di atas


kompor listrik sampai mencapai suhu 70 oC,
juga. Setelah itu, fase air dimasukkan ke dalam
fase minyak sedikit demi sedikit, sambil
diaduk, dan ditambahkan sejumlah tertentu
KOH. Campuran diaduk sampai mencapai
suhu kamar 35 oC. Emulsi yang dihasilkan
ditentukan sifat-sifatnya meliputi bentuk,
warna, tipe emulsi (dengan cara : sedikit
emulsi dilarutkan dalam pelarut), pH (dengan
alat pH meter digital), dan viskositas (dengan
alat RION-Viscotester).
Cara kerja (1) di atas diulangi dengan
menggunakan jenis basa yang berbeda yaitu
NaOH dan TEA. Komposisi bahan-bahan
untuk pembuatan emulsi masing-masing
disajikan di Tabel 2 dan Tabel 3 .
Masing-masing emulsi yang dihasilkan
diamati pH dan viskositas setiap seminggu
sekali selama 1 bulan.

Bahan
kimia
(%b/b)

Fase minyak
Minyak
kelapa
Asam Stearat
Setil Alkohol
Lanolin
Fase aiar :
Gliserin
Akuades

Basa :
KOH 50%

Sampel
4

10
10
1
1

10
10
1
1

10
10
1
1

10
10
1
1

10
10
1
1

10
10
1
1

10
10
1
1

8
69,5
0,5

8
69,25
0,75

8
69
1

8
68,75
1,25

8
68,5
1,5

8
68,25
1,75

8
68
2

Hasil pengamatan pH dan viskositas


emulsi menunjukkan,
konsentrasi KOH
berpengaruh pada pH (Gambar 2) dan
viskositas emulsi (Gambar 3). Dari Gambar 2
dapat diketahui bahwa dengan meningkatnya
konsentrasi KOH, maka pH emulsi cenderung
mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena
pada penelitian ini digunakan basa kuat
(KOH), yang akan bereaksi dengan asam
stearat (asam lemah) menghasilkan sabun

+
kalium stearat, (CH3 (CH2)16COO K )

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

yang merupakan garam basa (Gambar 1).

Pada penelitian ini telah dibuat 19 emulsi


dengan
bahan
baku
minyak
kelapa
menggunakan emulgator sabun dari hasil
reaksi antara asam stearat dan basa (KOH,
NaOH dan TEA).

Adanya senyawa-senyawa yang bersifat basa


menyebabkan pH emulsi lebih dari 7. Jika
konsentrasi basa dinaikkan, maka jumlah
garam basa juga akan meningkat sehingga pH
juga akan mengalami peningkatan. Apabila
konsentrasi basa yang ditambahkan berlebihan,
maka akan terdapat kelebihan basa, dan
menyebabkan pH emulsi tinggi.

Emulsi yang dibuat dengan basa KOH


Dengan menggunakan komposisi Tabel 1,
telah dibuat 7 emulsi dengan bahan baku
minyak kelapa menggunakan basa KOH.
Kalium hidroksida (KOH), merupakan basa
kuat, dapat bereaksi dengan sebagian asam
stearat
menghasilkan
kalium
stearat
(persamaan reaksi di Gambar 1), yang
berfungsi sebagai emulgator.
CH3 (CH2 )16 COOH + KOH H2O +
CH3(CH2)16 COO- K
kalium
stearat

p 7,6
7,4
pH

7,2
7
0

konsentrasi KOH (%b/b)


Gambar 2. pH emulsi pada konsentrasi KOH
yang divariasi
300

Gambar 1. Reaksi pembuatan sabun kalium


stearatHasil penelitian menunjukkan, semua
emulsi minyak kelapa yang dibuat dengan basa
KOH berwarna putih, tektur lembut, termasuk
dalam tipe emulsi minyak dalam air (M/A).
Emulsi yang dibuat dengan KOH konsentrasi
rendah (0,25 dan 0,375 % b/b) berbentuk
emusi encer, namun jika konsentrasi KOH
ditingkatkan, maka emulsi yang dihasilkan
menjadi semakin kental.

200
100

visko

0
0

0,5

1,5

konsentrasi KOH

Gambar 3. Viskositas emulsi pada konsentrasi


KOH yang divariasi
1559

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Data yang terdapat pada Gambar 3


menunjukkan semakin tinggi konsentrasi
KOH, maka viskositas emulsi akan meningkat
pula. Kondisi ini terjadi karena dengan
meningkatnya jumlah basa KOH,
maka
banyaknya sabun kalium stearat sebagai
emulgator juga akan meningkat. Emulgator
sabun kalium stearat memiliki gugus polar
(hidrofil) yaitu COO- +K, yang dapat larut
dalam fase air dan gugus non polar (hidrofob)
yaitu (CH3(CH2)16-, yang dapat larut dalam
fase minyak. Dengan meningkatnya jumlah
emulgator yang terbentuk, maka banyaknya
fase air dan fase minyak yang diemulsikan
juga akan meningkat, akibatnya viskositas
emulsi akan meningkat pula, dan diharapkan
emulsi yang dihasilkan akan lebih stabil. Jika
hanya ditambahkan sedikit KOH (konsentrasi
rendah), maka emulgator yang terbentuk
hanya sedikit, sehingga fase air dan fase
minyak yang diemulsikan juga hanya sedikit.
Akibatnya emulsi yang terbentuk tidak kental
(viskositas rendah).

konsentrasi NaOH yang divariasi terdapat di


Gambar 5 dan viskositas emulsi pada
konsentrasi NaOH yang divariasi disajikan di
Gambar 6. Dari Gambar 5 dapat diketahui,
semakin tinggi konsentrasi NaOH, maka pH
emulsi juga akan meningkat. Pada pembuatan
emulsi dengan emulgator sabun dari hasil
reaksi basa NaOH dengan asam stearat, akan
dihasilkan sabun natrium stearat (Gambar 4).
Basa NaOH juga merupakan basa kuat seperti
KOH, maka di dalam emulsi akan terbentuk
garam basa dan apabila terdapat kelebihan
NaOH maka pH emulsi akan mengalami
peningkatan.
10
8
6
4
2
0
0
0,5
konsentrasi NaOH (% b/b)

Emulsi yang dibuat dengan basa NaOH

100
50

Sampel
3

10
10
1
1

10
10
1
1

10
10
1
1

10
10
1
1

8
69,67
0,33

8
69,34
0,66

8
69
1

8
68,67
1,33

8
68,34
1,66

0,5
1
konsentrasi NaOH (%

Gambar 6. Viskositas emulsi pada konsentrasi

NaOH yang divariasi


Dari Gambar 6 dapat diketahui
peningkatan konsentrasi NaOH tidak linier
dengan peningkatan viskositas emulsi, namun
pada penelitian ini pH emulsi juga cenderung
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
NaOH. Dari pengamatan viskositas selama
penyimpanan, emulsi yang dibuat dengan basa
NaOH cepat sekali mengalami perubahan
viskositas, hal ini menyebabkan emulsi dengan
basa NaOH kurang stabil bila dibandingkan
dengan emulsi yang dibuat dengan basa KOH.
Emulsi yang dibuat dengan basa TEA

10
10
1
1

viskosita
s (dPas)

Gambar 4. Reaksi pembuatan sabun natrium


stearat
Tabel 2. Komposisi Emulsi dengan variasi
konsentrasi NaOH
1

Gambar 5. pH emulsi pada konsentrasi NaOH yang


divariasi
150

Pada penelitian ini juga telah dibuat


sebanyak 5 emulsi berbahan baku minyak
kelapa (komposisi Tabel 2) dengan emulgator
sabun dari hasil reaksi antara asam stearat
dengan basa NaOH (persamaan reaksi Gambar
4). Natrium hidroksida (NaOH) juga
merupakan basa kuat, jika bereaksi dengan
asam stearat (asam lemah), maka akan
dihasilkan garam basa.
CH3 (CH2 )16 COOH + NaOH H2O +
CH3(CH2)16 COO- Na+
Natrium Stearat

Bahan kimia
(%b/b)
Fase minyak
Minyak kelapa
Asam Stearat
Setil Alkohol
Lanolin
Fase aiar :
Gliserin
Akuades
Basa : NaOH 50%

Ph

Pada penelitian ini telah dibuat 8 emulsi


berbahan baku minyak kelapa menggunakan
basa TEA (komposisi Tabel 3).
TEA
merupakan basa lemah, akan bereaksi dengan
sebagian asam stearat menghasilkan TEA

Emulsi minyak kelapa yang dibuat dengan


basa NaOH berbentuk krim, berwarna putih
tekstur lembut. Hasil penentuan pH dengan
1560

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

stearat (persamaan reaksi Gambar 7), yang


berfungsi sebagai emulgator.

menstabilkan emulsi dengan jalan menurunkan


tegangan permukaan kedua fase pembentuk
emulsi. Semakin banyak emulgator terbentuk,
maka akan semakin banyak pula fase air dan
fase minyak yang diturunkan tegangan
permukaannya, sehingga emulsi makin kental.

(HOCH2CH2)3N: + H2O
HO(HOCH2CH2)3N:H
TEA
TEA(aq)

CH3(CH2)16COOH + HO(HOCH2CH2)3N:H
(HOCH2CH2)3NH+OOC(CH2)16CH3 + H2O
asam stearat
TEA(aq) TEA stearat

7,8
7,6
7,4
0
1
2
konsentrasi TEA (%

Hasil penentuan pH emulsi pada konsentrasi


TEA yang divariasi disajikan pada Gambar 8,
dan viskositas emulsi pada konsentrasi TEA
yang divariasi terdapat di Gambar 9. Emulsi
yang dihasilkan berbentuk krim, berwarna
putih, dan termasuk tipe A/W. Hasil penentuan
pH emulsi Gambar 8 menunjukkan apabila
konsentrasi TEA ditingkatkan, maka pH
emulsi secara umum juga mengalami
peningkatan. Apabila konsentrasi basa yang
ditambahkan berlebih, maka pH emulsi akan
menjadi >7 sehingga bersifat basa. TEA adalah
basa lemah, merupakan basa organik dengan
struktur (HOCH2CH2)3 N:, apabila direaksikan
dengan asam stearat maka akan menghasilkan
senyawa TEA stearat yang berfungsi sebagai
emulgator (persamaan reaksi Gambar 7).

Sampel
4
5

Fase minyak
Minyak kelapa
Asam Stearat
Setil Alkohol
Lanolin

10
10
1
1

10
10
1
1

10
10
1
1

10
10
1
1

10
10
1
1

10
10
1
1

10
10
1
1

Fase air : Gliserin


Akuades
Basa :TEA

10
10
1
1

Gambar 7. Pengaruh konsentrasi TEA terhadap pH


emulsi
500
400
300
200
100
0

viskosit
as
0

2
4
konsentrasi TEA (%

Gambar 8. Pengaruh konsentrasi TEA terhadap


viskositas emulsi

Sediaan emulsi yang dibuat pada


penelitian ini diharapkan berfungsi sebagai
kosmetik, sehingga penentuan parameter pH
dan viskositas sangat penting dilakukan.
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)
[13] untuk tabir surya, maka sediaan emulsi
harus memiliki persyaratan antara lain pH
antara 4,5 8 dan viskositas antara 2000
50000 cps. Pada penelitian ini, emulsi yang
dibuat dengan basa KOH dengan konsentrasi
antara 0,25-1% b/b, memiliki nilai pH antara
7,1-7,56 dan viskositas antara 20-250 dPa.s
(2000-25000 cps). Kondisi ini berarti semua
emulsi yang dibuat dengan basa KOH
memenuhi standar pH dan viskositas sesuai
SNI. Emulsi yang dibuat dengan basa NaOH
dengan konsentrasi 0,165-0,66% b/b memiliki
pH antara 7-8 (memenuhi standar SNI), namun
emulsi yang dibuat dengan konsentrasi 0,83%
b/b memiliki nilai pH 8,5 (tidak sesuai SNI).
Viskositas emulsi yang dibuat dengan basa
NaOH, sebesar 43-105 dPa.s (4300-10500
cps), berarti sudah sesuai menurut standar SNI.
Hasil pengamatan pH dan viskositas emulsi
yang dibuat dengan basa TEA menunjukkan,
penambahan TEA dengan konsentrasi antara

Tabel 3. Komposisi Emulsi dengan variasi


konsentrasi TEA
Bahan kimia (%b/b)

7,2

Gambar 7. Reaksi antara asam stearat dan TEA


menghasilkan TEA stearat [12]

8
8
8
8
8
8
8
8
69,75 69,50 69,25 69,00 68,75 68,50 68,25 68,00
0,25 0,50 0,75 1,00 1,25 1,50 1,75 2,00

Hasil penentuan viskositas emulsi


(Gambar 9), dengan konsentrasi TEA yang
divariasi menunjukkan, semakin tinggi
konsentrasi TEA, pada umumnya viskositas
emulsi
juga
akan
meningkat.Dengan
meningkatnya
konsentrasi
TEA,
akan
menyebabkan peningkatan jumlah garam TEA
stearat sebagai emulgator yang terbentuk.
Emulgator TEA stearat memiliki gugus
polar yaitu (HOCH2CH2)3NH+ - OOC- , yang
bisa larut (mengikat) fase air dan gugus non
polar yaitu CH3(CH2)16- (bagian rantai
karbon), yang bisa larut (mengikat) fase
minyak. Emulgator juga akan bekerja
1561

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

0,25- 2% b/b, memiliki nilai pH antara 7,477,91 dan viskositas emulsi sebesar 40-464
dPa.s (4000-464000 cps). Hal ini berarti
semua emulsi yang dibuat dengan basa TEA
telah memenuhi standar pH dan viskositas
menurut SNI. Mengingat sediaan kosmetik ini
dipergunakan pada kulit, maka pemilihan jenis
dan konsentrasi basa perlu dipertimbangkan.
Pemilihan jenis dan konsentrasi basa perlu
dilakukan agar diperoleh emulsi yang
memenuhi standar pH dan viskositas sebagai
kosmetik.
Dari hasil pengamatan setiap seminggu 1x
selama 1 bulan terlihat, emulsi yang dibuat
dengan basa KOH dan TEA memiliki pH
yang stabil, sedang yang dibuat dengan basa
NaOH mengalami penurunan pH.
Hasil pengamatan viskositas emulsi dapat
diketahui emulsi yang dibuat dengan basa
KOH memiliki viskositas konstan, sedang
viskositas emulsi yang dibuat dengan basa
NaOH mengalami penurunan, dan yang dibuat
dengan basa TEA, viskositas emulsi
mengalami peningkatan. Penurunan viskositas
emulsi dapat disebabkan oleh faktor selama
penyimpanan seperti perubahan suhu ruang
dan tipe emulsi. Peningkatan suhu ruang dapat
mengganggu daya tahan krim. Penurunan
viskositas karena waktu mencerminkan
peningkatan
ukuran
partikel
karena
penggumpalan [14].
Dilihat dari parameter pH dan viskositas,
maka pada penelitian ini, emulsi yang dibuat
dengan basa KOH merupakan emulsi yang
paling stabil, dan emulsi yang dibuat dengan
basa NaOH merupakan emulsi yang paling
tidak stabil.
4.
KESIMPULAN

[1] Alvarez, A. M. R., and Rodriquez, M. L. G.,


2000, Lipids in Pharmaceutical and Cosmetic
Preparations, Grasas. Aceites, 51, 74-96.
[2] Kamariah, L., Azim, A., Rosmawati, A., Ching,
M.G.W., Azlina, M.D., Sivapragasam, A., Tan,
C.P., dan Lai, O.M., 2008, Physico-chemical
and Quality Characteristics of Virgin Coconut
Oil-A Malaysian Survey, J. Trop. Agric. and
Fd. Sc., 36 (2), 1-10.
[3] Rubin, J., 2003, Extra Virgin Coconut Oil-the
Good Saturated Fat, Total Health, 25 (3), 30.
[4] Supratman, U., 2010, Elusidasi Struktur
Senyawa Organik : Metode Spektroskopi Untuk
Penentuan Struktur Senyawa Organik, Widya
Padjadjaran, Bandung.
[5] Kaur, C. D. and Saraf, S., 2010, Invitro Sun
Protection Vactor Determination of Herbal Oils
Used in Cosmetics, Pharmacog. Res, 2 (1), 2225.
[6] Agero, A.L. and Rowell, V.V.M., 2004, a
randomized double-blind controlled trial
comparing extra VCO as a moisturizer for mild to
moderate xerosis, Dermatitis, 15 (3), 109-116.
[7] Gediya, S. K., Mistry, R. B., Patel, U. K.,
Blessy, M. and Jain, H. N., 2011, Herbal
Plants : Used as a Cosmetics, J. Nat. Plant
Resour., 1 (1), 24-32.
[8] Tadras, T. F., 2009, Emulsion Science and
Technology, Wiley- VCHVerlag Gmb H &
Co, Weinheim.
[9] Das, K., Dang. R., Machale., M. U., Re, U.,
and Lalita, B., 2012, Evaluation for Safety
Assessmentof Formulated Vanishing Cream
Containing Aqueous Stevia Extract for Topical
Application, Indian J. Novel Drug Delivery, 4
(1), 43-51.
[10] Taherian, A. R., Fustier, P. dan Ramaswamy,
H. S., 2006, Effect of Added Oil and Modified
Starch on Rheological Properties, Droplet Size
Distribution, Opacity and Stability of Beverage
Cloud Emulsions, J. Food Eng., 77, 687-696.
[11] Oyedeji, F.O., and Okeke, I. E., 2010,
Comparative Analysis of Moisturizing Creams
from Vegetable Oils and Paraffin Oil. Res. J.
Applied Sci,. 5(3): p. 157-160.
[12] Zhu, S., Pudney, P.D.A., Butler, M.H.,
Butler, M., Ferdinando, D., and Kirkland, M.,
2007,
Interaction of The Acid Soap of
Triethanolamine Stearate and Stearic Acid with
Water, J. Phy. Chem. B., 111, 1016-1024.
[13] Anonim, 1996, Standar Nasional Indonesia
(SNI) : Sediaan Tabir Surya, DSN, SNI 164399-1996, 1-3.
[14] Gozali, D., Abdassah, M.,Subghan, A., dan
Lathiefah, S.A., 2009, Formulasi krim
pelembab wajah yang mengandung tabir surya
nanopartikel zink oksida salut silica, Farmaka,
7 (1), 37-47.

Emulsi dengan bahan baku minyak kelapa


menggunakan emulgator sabun dari hasil
reaksi dari asam stearat dengan basa (KOH,
NaOH dan TEA) telah dapat dibuat.
Konsentrasi KOH, NaOH, dan TEA
berpengaruh pada sifat-sifat (pH dan
viskositas) emulsi, yaitu jika konsentrasi basa
KOH, NaOH, dan TEA ditingkatkan, maka
secara umum pH dan viskositas emulsi juga
akan meningkat.
Emulsi yang dibuat dengan basa KOH
merupakan emulsi yang paling stabil dan
emulsi yang dibuat dengan basa NaOH
merupakan emulsi yang paling tidak stabil.
5.

REFERENSI

1562

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

THERMOSTABLE ENZYMES FROM JABOI SABANG ISOLAT :


EFFECT OF FERMENTATION TEMPERATURE
Febriani1, Teuku Mohammad Iqbalsyah2, Frida Oesman3
Chemistry Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Syiah Kuala University,
e-mail : 1febriani@unsyiah.ac.id, 2t.iqbalsyah@unsyiah.ac.id
3
Pharmacy Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Syiah Kuala University,
e-mail : fridaoesman@yahoo.com

Abstract
Thermophilic microorganisms could be produced thermostables enzymes of the highly potential application for
the research and industry. The goal of this study was investigated effect of fermentation temperature to the
enzymes activity such as protease, lipase, celullase and -amylase from Jaboi Sabang Isolate.The Jaboi Sabang
isolate was identified morphology based on Gram staining and Scanning Electron Microscopy as Geobacillus
sp. The Jaboi Sabang isolate showed the highest biomass when incubated temperature of 65 oC after incubation
periods 13 hour. The highest activity of protease (16,9 U) was found in 30 hours incubation period on 70 C.
The fermentation temperature of 70 oC also showed the highest lipase activity (11,8 U) after incubation periods
14 hour. In addition, the cellulase and -amylase activity showed highest activity at temperature 70 oC and 72
o
C, with activity enzymes of 1,678 U/g dan 1,882 U/g respectively by using Solid State fermentation. The high
activity of thermostable enzymes suggested that the Jaboi Sabang isolate was identified as unique local isolate
and have potential to produce thermostable enzymes.
Keyword : Thermostable enzymes, -amylase, protease, lipase cellulase, and Jaboi Sabang Isolate

me kelompok ini dapat menghasilkan enzim


yang bersifat termostabil. Enzim protease
(Annamalai et al., 2014), lipase (Zuraida et
al 2011), selulase, kitinase, DNA Polimerase
(Guimin et al ., 2012) dan amilase termostabil
(Kumar et al., 2010) yang dihasilkan sangat
membantu katalisis reaksi di industri.
Kelarutan dari reaktan, khususnya senyawa
polimer, pada suhu tinggi meningkat sehingga
memudahkan proses di industri. Karena itu
penggunaan enzim yang tahan panas akan
sangat menguntungkan. Selain itu resiko
kontaminasi dari mikroorganisme mesofilik
juga akan menurun (Burg, 2003). Enzim
termostabil juga mudah dimurnikan dan
memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap
denaturasi kimia (Becker et al., 1997).
Walaupun telah banyak dimanfaatkan dalam
proses industri, namun kajian terhadap enzim
termostabil masih perlu dilakukan karena
permintaan terhadap enzim-enzim baru dengan
karakter unik terus meningkat.

1. PENDAHULUAN
Mikroorganisme ditemukan dihampir seluruh
biosfer, termasuk pada lingkungan dengan
suhu, tekanan, salinitas dan pH yang ekstrim
(Ramesh and Mathivanan, 2009; Rothschild
and Maninelli, 2001). Mikroorganisme yang
tumbuh pada lingkungan ekstrim ini disebut
extremophile dan jika memiliki kemampuan
adaptasi pada lebih dari satu lingkungan
ekstrim maka disebut poliextremophile
(Rothschild and Maninelli, 2001).
Kelompok extremophile yang hidup pada suhu
ekstrim meliputi psikrophile (0-200C),
thermophile (45-80C) dan hiperthermophile
(>80C). (Kumar et al,2009) berdasarkan pH
habitatnya,
extremophile
dikelompokkan
menjadi acidophile (pH <5) dan alkaliphile
(pH >9). Mikroorganisme yang dapat hidup di
lingkungan dengan kadar garam yang tinggi,
misalnya di laut, disebut sebagai halophile.
Beberapa
extremophile
lain
misalnya
metallophile (kadar logam yang tinggi),
radiophile (tingkat radiasi tinggi), microaerophile (kadar oksigen yang sangat rendah).
Selain itu, terdapat mikroorganisme yang
mampu hidup di lingkungan dengan tekanan
sangat tinggi (piezophiles) (Rossi et al., 2003).

Beberapa contoh lokasi untuk mendapatkan


mikroorganisme thermofilik misalnya hot
spring (Febriani et al., 2013), lingkungan
geothermal (Yohandini et al., 2008; Adiawati
et al., 2009) dan kompos termogenik
(Nurhasanah et al., 2015). Potensi mikroorganisme
ekstrem
di
Indonesia
untuk
pengembangan bioteknologi sangat besar.

Dari seluruh extremophile, thermophile adalah


golongan yang paling menarik. Mikroorganis1563

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Sabuk gunung api, yang memiliki suhu


lingkungan di atas rata-rata, membentang dari
barat ke timur Indonesia. Area ini merupakan
habitat dari mikroorganisme termofilik.

Uji morfologis dilakukan menggunakan


pewarnaan Gram dan pewarnaan spora dengan
menggunakan mikroskop untuk visualisasi. Uji
fisiologis dilakukan dengan uji fermentasi
karbohidrat dan uji hidrolisis pati. Uji
fermentasi karbohidrat dilakukan dengan
mengamati aktivitas bakteri dalam tabung
Durham berisi glukosa yang ditambahkan
indikator merah fenol. Bila warna medium
berubah menjadi kuning, maka bakteri tersebut
membentuk asam dari fermentasi glukosa. Bila
pada tabung kecil yang diletakkan terbalik di
dalam tabung Durham terdapat gelembung,
maka pada fermentasi tersebut terbentuk pula
gas. Sementara itu, uji hidrolisis pati dilakukan
dengan menggenangi seluruh permukaan agar
dengan iodium Gram. Hasil positif ditandai
dengan area bening di sekitar koloni.

Sebelumnya kami telah mengisolasi bakteri


termofilik yang berasal dari area geothermal
Jaboi, Sabang. Pada penelitian ini kami
mengeksplorasi potensi enzim termostabil
yang dihasilkan seperti protease, lipase dan
selulase dan amilase. Parameter yang dipelajari
difokuskan pada suhu fermentasi. Dengan
penelitian lebih lanjut, diharapkan enzimenzim yang dihasilkan memiliki potensi untuk
aplikasi industri.
2. METODE PENELITIAN
2.1 Isolasi Mikroorganisme
Sampel air dan sedimen diambil dari area
hidrotermal di Jaboi Sabang Aceh, yang
memiliki lingkungan fisiologis dengan suhu
diatas 90oC dan pH sekitar 7. Sampel air dan
sedimen dipindahkan ke dalam media
Lysogeny Broth (LB) dan diinkubasi pada suhu
70oC. Salah satu koloni tunggal yang tumbuh
diregenerasi kembali pada media LB padat.
Koloni tunggal ini selanjutnya disebut dengan
Isolat Jaboi Sabang.

2.5Pengaruh
Protease

Koloni tunggal ditumbuhkan di dalam 50mL


media cair mengandung glukosa 0,5% (b/v),
NaCl 5% (b/v), MgSO4.7H2O 0,5% (b/v),
KH2PO4 0,5% (b/v), FeSO4. 7H2O 0,01% (b/v)
dan tripton 0,75% (b/v). Kultur selanjutnya
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 70C dan
150 rpm. Jumlah sel ditentukan dari OD pada
600 nm menggunakan spektrofotometer (OD600
Geobacillus = 1,0 setara dengan 106 sel/mL).
Kurva Pertumbuhan
Sabang

Isolat

Terhadap

Aktivitas

Optimasi suhu fermentasi terhadap aktivasi


protease dilakukan dengan menumbuhkan
koloni tunggal dalam media cair dengan
komposisi 0,5% (b/v) glukosa, larutan garam
5% (b/v) (dibuat dengan mencampurkan
glukosa 0,5% (b/v), NaCl 5% (b/v),
MgSO4.7H2O 0,5% (b/v), KH2PO4 0,5% (b/v),
FeSO4. 7H2O 0,01% (b/v) dan tripton 0,75%
(b/v). Media produksi ini diatur hingga
mencapai pH 9 dan diinkubasi pada variasi
suhu 60o, 70o, 80oC, serta waktu fermentasi 48
jam dengan pengamatan dilakukan setiap enam
jam. Protease didapatkan pada supernatan
setelah disentrifus dengan kecepatan 7000g
selama 10 menit.

2.2 Pembuatan Starter Cair Inokulum

2.3

Suhu

Penentuan aktivitas protease dilakukan


menggunakan metode Anson. Campuran
2,5mL kasein 2,5% (b/v) dan 1,5 mL buffer
glisin pH 3 diinkubasi selama 10 menit pada
suhu 65oC. Kedalam campuran selanjutnya
ditambahkan 1mL supernatan dan diinkubasi
lanjut selama 30 menit pada suhu yang sama.
Reaksi
enzimatis
dihentikan
dengan
penambahan 5mL TCA 30%. Setelah dikocok,
larutan didinginkan dalam penangas es selama
30 menit dan disentrifus dengan kecepatan
5000g selama 10 menit. Sebanyak 2mL
supernatan dicampur dengan 5mL NaOH 0,5N
dan 1,0mL reagen folin ciocalteau dan
dibiarkan selama 10 menit. Absorbansinya
diukur pada 660. Sebagai blanko digunakan
supernatan yang telah diinaktifasi dengan
larutan TCA 30%.

Jaboi

Untuk mempelajari pertumbuhannya pada


berbagai
suhu,
Isolat
Jaboi
Sabang
ditumbuhkan pada media cair LB dengan
komposisi tripton 0,5% (b/v), NaCl 0,5% (b/v),
yeast extract 0,25% (b/v), bacto agar 2% (b/v)
dan dilarutkan dalam aquades. Kultur
diinkubasi pada variasi suhu 60, 65 dan 70C
selama 15 jam. Sampel diambil setiap satu jam
dan penambahan biomassa diukur secara
sepektrofotometri pada 600nm.
2.4 Identifikasi Morfologis dan Fisiologis
Isolat Jaboi Sabang
1564

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Aktivitas
protease
dihitung
dengan
menggunakan kurva standar tirosin (20-70
g/mL). Satu unit aktivitas protease
didefinisikan sebagai jumlah enzim yang
mengubah kasein menjadi 1mol tirosin
selama 30 menit pada kondisi percobaan.
Aktivitas protease dihitung menggunakan
persamaan dibawah ini.

Pengulangan untuk
dilakukan tiga kali.

setiap

variabel

suhu

Penentuan jumlah air pada sekam dilakukan


dengan terlebih dahulu mengeringkan 10g
sekam pada suhu 100C sampai beratnya
konstan. Kadar air sekam diatur dengan
menambahkan air sesuai persamaan:

Setelah fermentasi, material pada cawan petri


dipindahkan
ke
dalam
erlenmeyer,
ditambahkan 100mL aquades dan digoyang
pada 200 rpm selama 30 menit pada suhu
ruang. Suspensi yang dihasilkan selanjutnya
disentrifuse pada 7000g selama 20 menit pada
suhu ruang. Supernatan digunakan untuk
analisa aktivitas selulase dan amilase.

2.6 Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas


Lipase
Optimasi suhu fermentasi terhadap aktivasi
lipase dilakukan dengan menumbuhkan koloni
tunggal dalam media cair dengan komposisi
pepton 0,5% (b/v), ekstrak ragi 0,5% (b/v),
NaCl 0,05% (b/v), CaCl2 0,05% (b/v) dan
dilarutkan sampai 100mL dengan bufer glisinNaOH 0,2M pH 9,0. Media produksi lipase
diinkubasi pada variasi suhu 65o dan 70oC,
serta waktu fermentasi 16 jam dengan
pengamatan dilakukan setiap dua jam. Lipase
didapatkan pada supernatan setelah disentrifus
dengan kecepatan 7000g selama 10 menit.

Aktivitas selulase ditentukan dengan menginkubasi 1mL supernatan dan 2mL substrat
selulosa (100mg/L dalam larutan bufer sitrat
0,05 M pH 5) pada suhu 70C selama 30 menit.
Reaksi dihentikan dengan pemanasan dalam
penangas air mendidih selama 15 menit dan
didinginkan dalam penangas es. Larutan
selanjutnya disentrifuse pada 7000g selama 5
menit. Supernatan selanjutnya ditambahkan
3mL pereaksi DNS dan dipanaskan dalam
penangas air mendidih selama 5 menit.
Absorbansi larutan selanjutnya diukur pada
516nm. Nilai absorbansi menunjukkan gula
reduksi yang dilepaskan akibat aktivitas enzim.
Konsentrasi gula reduksi dihitung dari kurva
standard glukosa (0,8 3,0 mmol/L) Larutan
yang terdiri dari 1ml bufer sitrat 0,05 M pH 5,
2mL substrat selulosa dan 3mL DNS yang
telah dipanaskan dalam penangas air mendidih
selama 5 menit digunakan sebagai blanko.

Aktivitas
lipase
ditentukan
secara
spektrofotometri menggunakan substrat pnitrofenil palmitat (p-NP palmitat) (Lee et al.,
1999, dimodifikasi). Campuran enzim dengan
substrat diinkubasi pada suhu 65oC pH 8
selama 15 menit. Reaksi enzim dihentikan
dengan inkubasi pada es kering selama 10
menit. Aktivitas enzim ditentukan dengan
mengukur absorbansi pada 405nm dengan
menggunakan kurva standar p-nitrofenol 0 10g/mL. Satu unit aktivitas lipase
didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dapat
melepaskan 1 mol p-nitrofenol per menit
pada kondisi percobaan. Aktivitas lipase
dihitung menggunakan persamaan dibawah ini.

Uji aktivitas amilase dilakukan dengan cara


yang sama, namun substrat selulosa diganti
dengan amilum dengan konsentrasi yang sama.
Aktivitas selulase dan amilase dihitung dengan
persamaan berikut:

2.7 Pengaruh Suhu Fermentasi Secara SSF


Terhadap Aktivitas Selulase dan
Amilase

Aktivitas spesifik selulase dan


dihitung dengan persamaan berikut:

Masing-masing sebanyak 10g sekam padi steril


dengan ukuran partikel <50 ditempatkan ke
dalam tiga cawan petri. Kadar air sekam diatur
menjadi 70% (b/b). Ke dalam media
ditambahkan kira-kira 5x107 sel/mL starter
inokulum, lalu diinkubasi pada variasi suhu
60C, 70C dan 80C selama 48 jam.

amilase

Penentuan konsentrasi protein total dilakukan


dengan metode Lowry dan kompleks yang
1565

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

terbentuk ditentukan absorbansinya pada


650nm. Konsentrasi dihitung dari kurva
standard BSA.

Hasil pewarnaan spora menunjukkan bahwa


Isolat Jaboi tidak berspora. Uji hidrolisis pati
menunjukkan hasil positif yang ditandai
dengan area bening di sekitar koloni bakteri.
Hasil ini menunjukan bahwa Isolat Jaboi dapat
menghasilkan enzim amilase. Sementara itu,
uji fermentasi karbohidrat menghasilkan warna
kuning, menunjukkan bahwa Isolat Jaboi dapat
membentuk asam dari fermentasi glukosa.
Hasil uji morfologis dan fisiologi yang
diperoleh mengindikasi bahwa Isolat Jaboi
tergolong ke dalam genus Bacillus sp.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Kurva Pertumbuhan dan Morfologi
Isolat Jaboi
Kurva pertumbuhan Isolat Jaboi Sabang pada
beberapa variasi suhu telah dipelajari. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa biomassa
yang dihasilkan (diukur pada absorbansi 600
nm) pada suhu 60oC dan 65oC memiliki trend
yang mirip, namun inkubasi pada suhu 65oC
menghasilkan fase lag yang lebih pendek dan
fase kematian yang lebih lama. Inkubasi pada
suhu 70oC memberikan fase lag yang paling
lama, yaitu mencapai 7 jam. Fase pertumbuhan
pada suhu ini juga berlangsung lebih pendek
dan tidak menunjukkan adanya fase stasioner
yang nyata. Selain itu, jumlah biomassa yang
dihasilkan juga lebih sedikit dibandingkan
kedua suhu yang lain (Gambar 1).

Tabel 1. Hasil uji morfologi dan fisiologis Isolat


Jaboi
Karakter Isolat
Mikroskopis sel
Hidrolisis pati
Fermentasi karbohidrat

Hasil Pengamatan
Sel berbentuk batang,
gram positif, dan tidak
menghasilkan spora.
Positif ditandai adanya
zona bening
Positif berwarna kuning

Skrining terhadap potensi enzim yang


dihasilkan menunjukkan bahwa Isolat Jaboi
mampu menghasilkan beberapa enzim
ekstraseluler termostabil, termasuk, protease,
lipase, selulase dan -amilase. Keempat enzim
ini termasuk kedalam kelas enzim hidrolase.
Berikut ini adalah kajian mengenai suhu
optimum untuk setiap enzim yang diproduksi.
3.2 Pengaruh Suhu Fermentasi Terhadap
Aktivitas Protease
Studi tentang aktivitas protease yang
dihasilkan Isolat Jaboi pada berbagai variasi
suhu menunjukkan bahwa suhu yang lebih
tinggi dari 70oC menurunkan aktivitas
protease. Fermentasi pada suhu 60oC dan 70oC
menghasilkan aktivitas protease yang relatif
sama, tergantung dari waktu fermentasi.
Namun demikian, aktivitas protease tertinggi
pada percobaan yang dilakukan teramati pada
suhu 70oC setelah diinkubasi 30 jam, yaitu
sebesar 16,9 U (Gambar 3).

Gambar 1. Kurva pertumbuhan Isolat Jaboi

Analisis morfologi selanjutnya dilakukan


terhadap Isolat Sabang, mencakup pewarnaan
Gram, pewarnaan spora, uji hidrolisis pati dan
fermentasi karbohidrat (Tabel 1). Isolat Jaboi
berbentuk batang dan tergolong bakteri Gram
positif, ditandai dengan terbentuknya warna
ungu akibat pembentukan kompleks zat warna
kristal violet-iodium setelah dicuci dengan
larutan pemucat (Gambar 2).

(a)

(b)

Aktivitas protease yang lebih rendah di atas


dan di bawah suhu 70oC diduga karena pada
suhu di atas 70oC protease akan mengalami
denaturasi sehingga mengakibatkan aktivitas
enzim menurun. Sementara itu, rendahnya
aktivitas protease pada suhu 60oC karena
kemungkinan sekresi metabolit
belum
maksimal dihasilkan pada suhu ini. Penjelasan
ini juga berlaku untuk enzim-enzim lain yang
dihasilkan oleh Isolat Sabang.

(c)

Gambar 2. (a) Morfologi koloni dan (b) Hasil


pewarnaan Gram (c) SEM Isolat Jaboi Sabang.

1566

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Bakteri termofilik kelompok Bacillus sp


diketahui dapat menghasilkan berbagai jenis
protease pada suhu optimum fermentasi yang
berbeda-beda. Aktivitas optimum pada
penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan
oleh Olajuyigbe dan Ajele (2005) bahwa
sebagian
besar
genus
Bacillus
sp.
memproduksi protease maksimal pada suhu
60-65oC. Sementara itu, Bacillus sp strain AH101 memproduksi protease serin alkali pada
temperatur optimum 80oC (Durham et al.,
1987). Protease yang dihasilkan bakteri
EP1001 dari Hot spring di Chimanimani,
Zimbabwe memiliki optimum pada suhu 75C
(Wilson dan Remigio, 2012). Aktivitas
protease dari strain Bacillus optimum pada
suhu fermentasi 55oC dengan waktu inkubasi
selama 96 jam menggunakan dedak sebagai
substratnya (Naidu and Devi, 2005).

suhu 65C. Namun demikian, kenaikan


aktivitas lipase pada kedua suhu menunjukkan
trend yang serupa dengan aktivitas tertinggi
dicapai pada 14 jam fermentasi. Aktivitas
tertinggi pada suhu 65C dan 70C masingmasing adalah 3,5 dan 11,8 U. Aktivitas lipase
menurun setelah 14 jam (Gambar 4).
Lipase yang dihasilkan dalam penelitian ini
memiliki aktivitas optimum pada suhu yang
relatif lebih baik dibandingkan beberapa
laporan sebelumnya. Lipase yang diproduksi
oleh Bacillus thermoleovorans ID-1 memiliki
aktivitas optimum pada suhu fermentasi 65oC
(Lee et al. 1999). Bacillus thermocatenulatus
menghasilkan aktivitas lipase optimum pada
suhu 63oC setelah 44 jam inkubasi pada pH 6,5
(Schmidt-Dannert et al., 1994). Kumar et al.
(2005) melaporkan bahwa aktivitas lipase
optimum dari Bacillus coagulans BTS-3
didapat pada suhu fermentasi 55oC pH 8,5
setelah diinkubasi 48 jam. Lipase diketahui
dapat digunakan dalam industri detergen.
Selain itu, lipase juga dapat diaplikasikan pada
industri makanan, misalnya untuk mengkatalis
reaksi transesterifikasi asam palmitat dengan
asam stearat pada substrat minyak sawit
(Sharma et al., 2001).

Gambar 3. Pengaruh waktu dan suhu fermentasi


terhadap aktivitas protease.

Protease memiliki potensi yang sangat luas


untuk digunakan dalam industri penyamakan
kulit sehingga proses produksi lebih baik dan
lebih ramah lingkungan. Selain itu, stabilitas
(suhu, pH dan surfaktan) dan kemampuannya
menghidrolisis noda darah membuat protease
dapat digunakan dalam industri deterjen (Rao
et al., 2009). Protease yang dihasilkan oleh
Mucor meihei dan Irpex lactis juga dapat
digunakan dalam produksi keju (Godfrey and
West, 1996).

Gambar 4. Pengaruh waktu dan suhu fermentasi


terhadap aktivitas lipase(pH 9,0)

3.4 Pengaruh Suhu Fermentasi Secara SSF


Terhadap Aktivitas Selulase
Sekam padi dapat digunakan sebagai media
untuk
menghasilkan
selulase
karena
mengandung nutrisi kompleks (Yusof et al.,
2008). Sekam padi tersebut terlebih dahulu
ditentukan kadar air terikatnya dengan
mengeringkan sekam sampai beratnya konstan.
Kadar air terikat pada sekam yang diperoleh
adalah 9,9%.

3.3 Pengaruh Suhu Fermentasi Terhadap


Aktivitas Lipase
Aktivitas lipase yang dihasilkan Isolat Jaboi
pada suhu 65C dan 70C menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pada dua jam pertama
fermentasi, aktivitas lipase yang dihasilkan
pada suhu 70C sekitar tiga kali lebih tinggi
dibandingkan dengan yang dihasilkan pada
1567

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Aktivitas selulase tertinggi dihasilkan pada


suhu 70oC, yaitu sebesar 1,678 U/g. Aktivitas
selulase pada suhu 60oC dan 80oC masingmasing sebesar 0,425 dan 1,034 U/g. Trend
aktivitas spesifik selulase berbanding terbalik
dengan aktivitas selulase. Aktivitas spesifik
adalah rasio antara aktivitas enzim dan kadar
protein total yang dihasilkan selama
fermentasi. Aktivitas spesifik selulase tertinggi
dihasilkan pada suhu 60oC, yaitu sebesar 2,275
U/mg. Aktivitas spesifik selulase pada suhu
70oC dan 80oC masing-masing sebesar 0,468
U/mg dan 0,727 U/mg (Gambar 5). Data ini
menunjukkan bahwa meskipun Isolat Jaboi
menghasilkan selulase dengan aktivitas
tertinggi pada suhu70oC, namun pada suhu
tersebut dihasilkan pula enzim atau protein
lain, seperti
amilase, pektinase
dan
lignoselulase.

Selain itu, selulase juga banyak digunakan


dalam industri pulp dan kertas (Poorna and
Prema, 2007).
3.5 Pengaruh Suhu Fermentasi Secara SSF
Terhadap Aktivitas -amilase
Selama fermentasi pada media sekam padi,
Isolat Jaboi menghasilkan enzim selulase dan
amilase secara bersamaan. Sekam padi yang
digunakan dalam penelitian ini sangat mungkin
masih mengandung pati, sehingga selain
menghasilkan selulase, fermentasi juga
menghasilkan amilase. Aktivitas amilase yang
teramati bahkan lebih tinggi dibandingkan
selulase, namun memiliki trend yang serupa
untuk setiap suhu fermentasi yang dipelajari.
Aktivitas amilase tertinggi dihasilkan pada
suhu 70oC yaitu sebesar 1,882 U/g. Aktivitas
pada suhu 60oC dan 80oC masing-masing
sebesar 0,604 U/g dan 0,932 U/g. Trend
aktivitas spesifik amilase mirip dengan
aktivitas spesifik selulase, dimana trend yang
teramati
berbanding
terbalik
dengan
aktivitasnya. Aktivitas spesifik amilase
tertinggi juga dihasilkan pada suhu 60oC yaitu
sebesar 2,485 U/mg. Aktivitas spesifik pada
suhu 70oC dan 80oC masing-masing sebesar
0,526 dan 0,656 U/mg (Gambar 6). Aktivitas
-amilase dari Isolat Jaboi secara SmF juga
menunjukkan aktivitas optimum pada suhu
70oC (data tidak ditampilkan), pada media
yang mengandung subtrat soluble starch 6%
sebagai penginduksi.

Isolat Jaboi mampu menghasilkan selulase


yang pada suhu inkubasi yang relatif tinggi.
Sifat termotoleran ini mungkin disebabkan
oleh perbedaan media dan mikroorganisme
yang digunakan. B. subtilis yang difermentasi
pada media agar molase memiliki suhu
optimum 45oC (Shabeb et al. 2010). Selulase
yang
dihasilkan
secara
Submerged
Fermentation (SmF) menggunakan strain
Bacillus memiliki aktivitas optimum pada suhu
40oC (Tabao dan Monsalud, 2010). Yin et al.
(2010) menemukan bahwa selulase dari B.
subtilis yang ditumbuhkan pada media SmF
memiliki suhu optimum 70oC.

Struktur pati mungkin lebih mudah dirombak


menjadi glukosa dibanding dengan selulosa
yang terhalangi oleh lignin. Oleh karena itu,
meskipun jumlah jauh selulosa lebih dominan
dibandingkan pati, namun aktivitas amilase
yang dihasilkan lebih tinggi.
Penerapan SSF untuk menghasilkan amilase
termostabil telah pula dilakukan oleh Mrudula
dan Kokila (2010) menggunakan B. cereus
pada media kulit gandum dan menghasilkan
aktivitas amilase optimum (1,096 U/g) pada
suhu 55C. SSF menggunakan Themomyces
lanuginosus pada media kulit gandum
menghasilkan aktivitas amilase optimum (534
U/g) pada suhu 50oC (Kunamneni et al., 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Singh et al.
(2009) menggunakan Humicola lanuginose
pada media jerami gandum dan menghasilkan
aktivitas amilase optimum (266 U/g) pada
suhu 50C.

Gambar 5.Variasi suhu fermentasi terhadap


aktivitas dan aktivitas spesifik selulase (secara SSF
pada media sekam dengan ukuran partikel <50
mesh dan kadar air 70% diinkubasi selama 48 jam).

Selulase yang dihasilkan dapat dimanfaatkan


dalam berbagai aplikasi industri. Misalnya,
selulase telah dimanfaatkan dalam fermentasi
untuk konversi biomassa yang mengandung
selulosa menjadi bioetanol (Mojsov, 2010).
1568

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Burg, van den B. 2003, Extremophiles as a source
for novel enzymes, Curr. Opin. Microbiol. 6:
213218.
Durham, D.R., Stewart, D.B. and Stellwagt, E.J.
1987, Novel alkaline and heat-stable serine
protease from alkalophilic Bacillus sp strain
GX6638, J. Bacteriol. 169 (6): 2762-2768.
Febriani, Ihsanawati, Hertadi, R., Warganegara,
F.M., Akhmaloka. 2013 Thermostable alkaline
Lipase Isolate from Thermus aquaticus
International Journal of Integrative Biology, 14
(2): 104-112.
Godfrey, T. and West, S. 1996, Industryal
Enzymology, 2nd Ed., Macmillan Publishers
Inc., New York, pp 3.
Guimin, Z., Shunyi, L., Yanfen, X., Liangwei, M.,
and Yanhe, M. 2012. Effects Of Salts On
Activity Of Halophilic Cellulose With
Glucomannanase Activity Isolated From
Alkaliphilic And Halophilic Bacillus sp. BGCS10. Extremophiles 16:3543.
Logan, N. A., Lebbe, L., Hoste, B., Goris, J.,
Forsyth, G., Heyndrickx, M., Murray, B. L.,
Syme, N., Wynn-Williams, D.D. and De Vos, P.
(2000), Aerobic endospore-forming bacteria
from geothermal environments in northern
Victoria Land, Antarctica, and Candlemas
Island, South Sandwich archipelago, with the
proposal of Bacillus fumarioli sp., Int. J. Syst.
Evol. Microbiol. 50: 1741-1753.
Kumar, C. G. and Takagi, H. 1999 Microbial
alkaline proteases: From a bioindustrial
viewpoint, Biotechnol. Adv. 17: 561594.
Kumar, S., Kikon, K., Upadhyay, A., Kanwar,S.S.
and Gupta, R. 2005, Production, purification,
and characterization of lipase from thermophilic
and alkaliphilic Bacillus coagulans BTS-3.,
Prot. Expr. Purif. 41, 38-44.
Kumar, G. S., Chandra, M. S., Mallaiah, K. V.,
Sreenivasulu, P., and Yong-Lark Choi. 2010.
Purification and Characterization of Highly
Thermostable -amylase from Thermophilic
Alicyclobacillus acidocaldarius. Biotechnol.
Bioproc. Eng. 15: 435-440.
Kumar, L., Awasthi, G., and Singh, B. 2011.
Extremophiles: A Novel Source of Industrially
Important Enzymes. Biotechnol. 10 (2): 121135.
Kunamneni, A., Permaul, K., and Singh, S. 2005,
Amylase production in solid state fermentation
by the thermophilic fungus Themomyces
lanuginosus, J. Biosci. Bioeng. 100: 168-171.
Lee, D., Koh, Y., Kim, K., Kim, B., Choi, H., Kim,
D., Suhartono, M. T. and Pyun, Y. 1999,
Isolation and characterization of a thermophilic
lipase from Bacillus thermoleovorans ID-1.,
FEMS Microbiol. Lett. 179: 393-400.
Madayanti, F., Viera, B. V. E., Widiastuty, M. P.
and Akhmaloka 2008, Characterization and
identification of thermophilic lipase producing

Gambar 6. Variasi suhu fermentasi terhadap


aktivitas dan aktivitas spesifik amilase (secara SSF
pada media sekam dengan ukuran partikel <50
mesh dan kadar air 70% diinkubasi selama 48 jam).

4. KESIMPULAN
Meskipun pertumbuhan Isolat Jaboi optimum
pada suhu 65C, namun enzim protease, lipase,
selulase dan amilase yang dihasilkan memiliki
aktivitas paling tinggi ketika fermentasi
dilakukan pada suhu 70C. Penelitian
mengenai optimasi produksi diharapkan dapat
meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang
dihasilkan. Pengembangan potensi Isolat Jaboi
memungkinkannya untuk dijadikan galur
unggul
mikrorganisme
yang
dapat
menghasilkan metabolit untuk aplikasi riset
dan industri.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Kami mengucapkan terima kasih atas Hibah
Bersaing tahun 2008 dan 2012. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota
tim Biomolecules Application Research Group;
terutama Rika Sri Utami dan Ika Fitriani.

6. REFERENSI
Aditiawati, P., Yohandini, H., Madayanti, F.,
Akhmaloka., 2009, Microbial diversity of acidic
hot spring Kawah Hujan B in Geothermal field
of Kamojang Area West Java Indonesia, The
Open Microbiology Journal, 3; 58-66.
Annamalai, N., Rajeswari, M.V., Sahu, S.K.,
Balasubramanian, T., 2014, Purification and
Characterization of Solvent Stable, Alkaline
Protease from Bacillus firmus CAS 7 by
Microbial Conversion of Marine Wastes and
Molecular Mechanism Underlying Solvent
Stability, Process Biochemistry, India.
Becker, P., Abu-Reesh, I., Markossian, S.,
Antranikian, G., dan
Markl, H. 1997,
Determination of the kinetic parameters during
continuous cultivation of the lipase producing
thermophile Bacillus sp IHI-91 on olive oil,
Appl. Microbiol. Biotechnol. 48: 184-90.

1569

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
bacteria from thermogenic compost, J. Pure
Appl. Microbiol. 2: 325-332.
Madigan, M. T. and Marrs, B. L. 1997
Extremophiles. Sci. Am. 276: 82-87.
Mojsov, K. (2010), Aplication of solid state
fermentation for cellulase enzyme production
using Trichoderma viride, Perspectives of
Inovation, Economics and Business, 5: 108-110.
Mrudula, S. and Kokila, R. 2010, Production of
termostable -amylase by Bacillus cereus MK
in solid state fermentation: Partial purification
and characterization of the enzyme, The Internet
J. Microbiol. 8(1): 379-385.
Naidu, K.S.B. and Devi, K.L. 2005, Optimization
of Thermostable Alkaline Protease Production
From Species of Bacillus Using Rice Bran, J.
Biotechnol. 4 (7): 724-726.
Nurhasanah, Nurbaiti, S., Warganegara, F.M.,
Akhmaloka, 2015, Diversity of Gene Encoding
Thermostable Lipase from Compost Based on
Metagenome Analysis, International Journal of
Integrative Biologi, 16 (1): 7-12.
Olajuyigbe, F. M. and Ajele, J. O. 2005, Production
dynamics of extracellular protease from
Bacillus species, J. Biotechnol. 4 (8):776-779.
Poorna, A. and Prema 2007, Production of
cellulase-free endoxylanase from novel
alkalophilic thermotolerent Bacillus pumilus by
solid-state fermentation and its application in
wastepaper recycling, Biores. Technol., 98 (3):
485-90.
Ramesh, S and Mathivanan, N. 2009. Screening of
marine actinomycetes isolated from the Bayof
Bengal, India for antimicrobial activity and
industrial enzymes. World J Microbiol
Biotechnol. 25:2103 2111.
Rao, C. S., Sathish, T., Ravichandra, P., and
Prakasham, R.S. 2009, Characterization of
thermo- and detergent stable serine protease
from isolated Bacillus circulans and evaluation
of eco-friendly applications, Proc. Biochem. 44:
262268
Rothschild, L. J. and Mancinelli, R. L. 2001 Life in
extreme environments, Nature 409: 1092-1101.
Schmidt-Dannert, C., Sztajer, H., StGcklein, W.,
Menge, U. and Schmid, R. D. 1994, Screening,
purification and properties of a thermophilic

lipase from Bacillus thermocatenulatus,


Biochim. Biophys. Acta, 1214: 43-53.
Shabeb, M. S. A., Younis, M. A. M., Hezavan, F.
F., Eldein, M. A. M. 2010, Production of
cellulase in low-cost medium by Bacillus
substilis KO strain, World. App. Sci. J. 8(1): 3542.
Sharma, R., Chisti, Y. and Banerjee, U. C. 2001,
Production, purification,characterization
and application of lipase, Biotechnol. Adv. 19 (8):
627 662.
Singh, R. K., Kumar, S. and Kumar, S. 2009,
Production of -amylase from agriculture byproduct by Humicola lanuginosa in solid state
fermentation. Curr. Trends Biotechnol. Pharm.
3 (2): 172-180.
Tabao, N. S. C. and Monsalud, R. G. 2010,
Screening and optimization of cellulase
production of bacillus strain isolated from
Philipine mangroves, Philippine J. Syst. Biol. 6:
026-034.
Yin, L. J., Lin, H. H., Xiao, Z. R., 2010,
Purification and characterization of a Cellulase
subtilis YJ 1, J. Marine Sci. Tech. 18: 466-471.
Wilson,
Parawira.,Zvauya
Remigio.,
2012
Production and characterization of protease
enzyme produced by a novel moderate
thermophilic bacterium (EP1001) isolated from
an alkaline hot spring Zimbabwe. African
Journal of Microbiology Research. 6 (27):
5542-5551.
Yohandini, H., Madayanti, F., Aditiawati, P.,
Akhmaloka, 2008, Diversity of Microbial
Thermophiles In a Neutral Hot Spring (Kawah
Hujan A) o Kamojang Geothermal Field,
Indonesia Journal of Pure and Applied
Microbiology.
Yusof, I. H., Farid, M. A., Zainal, Z. A., Azman,
M., 2008, Characterization of rice husk for
cyclone gasifier, J. Appl. Sci, 8 (4): 622-6.
Zuridah, H., Norazwin, N., Aisyah, M. S.,
Fakhruzzaman, M. N. A., and Zeenathul, N. A.
2011. Identification Of Lipase Producing
Thermophilic Bacteria From Malaysian Hot
Springs. African J. Microbiol. Res. 5(21):
3569-3573.

1570

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ISBN: 978-602-71798-1-3

PEMANFAATAN LIMBAH KULIT BUAH JENGKOL (Archidendron


pauciflorum)DALAM PEMBUATAN BIO-BRIKET
Fuldiaratman1), Sufri1), M. Imaduddin al-Islami1), Widya Sulastri2),Rayandra Ashyar3)
1)

Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Universitas Jambi


Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi
3)
Program Studi Magister Pendidikan Kimia Pascasarjana Universitas Jambi
2)

ABSTRACT
Utilization of Jengkolshells(Archidendron pauciflorum)waste as raw materials forthe preparation of biobriquettes using starch as binder was investigated. The investigationaimed to study the feasibility of the use of
the by-product as an alternative biofuel i.e. bio-briquette. The production processes were started by
carbonization of raw material in a cylindrical kiln followed by grinding and filtering out charcoalsto obtain
various smaller size particles (60, 80, 100 and 150 mesh). The briquettes were made by adding various amounts
ofstarch as binder (5, 7.5, 10, 12.5, 15%w/w). The quality of the briquettes were evaluated by analysis
ofphysical parameters includingheating value, ash content, water content,and volatile matter contentsand
conducting water boiling tests. The briquettes produced were comparable in calorific value to commercial
ones.Based on the experimental data it can be concluded that the bio-briquettes derived from jengkol shell waste
can serve as alternative fuelsince it shows superior combustioncharacteristics over fuel wood and the material
isreadily available in our environment.
Keywords:Alternative fuel, binder, bio-briquette, jengkol shell, waste, starch.

sekitar 60% dari berat buah jengkol merupakan


kulit.Ini artinya tiap tahun produksi kulit
jengkol mencapai 36.688 ton. Beberapa
peneliti menggunakan kulit jengkol sebagai
bahan baku adsorben ion krom dalam air
(Chaidir dkk., 2015). Jika dilihat dari
komposisi
kimianya,
kulit
jengkol
mengandung
makromolekulorganikberupa
selulosa dan lignin yang kaya unsur
karbon.Sehingga
sangat
memungkinkan
dijadikan bahan dasar bio-briket.Kualitas biobriket ditentukan oleh parameter fisika dan
kimianya. Parameter yang paling umum
digunakan adalahketahanan, kadar air, kadar
abu, kandungan zat volatile,dan nilai kalori
bio-briket serta uji pendidihan air (water
boiling test).

PENDAHULUAN
Seiring dengan pertambahan penduduk dan
proses modernisasi di Indonesia, kebutuhan
akanenergi juga semakin meningkat. Menurut
laporan British Petrolium (2005), 45,7% dari
kebutuhan energiIndonesia saat ini berasal dari
bahan bakar minyak dan gas bumi. Sementara,
cadangan minyak dan gas bumi Indonesia
semakin menipis dari waktu ke waktu.Oleh
karena itu diperlukan upaya secara terusmenerus untuk mencari bahan bakar alternatif
terbarukan (renewable fuels)dan memiliki nilai
ekonomis.Salah satu energi alternatif yang
banyak dikaji saat ini adalah bio-briket.Biobriket dapat dibuat dari berbagai jenis limbah
hasil pertanian dan hutan (Oladeji, et al,
2011).Yahaya
and
Ibrahim
(2012)
menggunakan sekam padi sebagai bahan baku
bio-briket. Sementara, Wilaipon (2009) dan
Sellin et al. (2013) membuat bio-briket dari
kulit pisang.Disamping itu, berbagai jenis
limbah hasil pertanian lainnya ternyata juga
bisa digunakan seperti tandan kosong sawit
(Ugwu and Agbo, 2013)dan daun manga dan
akasia (Birwatkar et al, 2014).Pada penelitian
ini, digunakan kulit jengkol(Archidendron
pauciflorum)sebagai bahan baku bio-briket
karena produksi jengkol diProvinsi Jambi
cukup tinggi, yaitu mencapai 61.147 ton per
tahun (BPS, 2013). Menurut Hari dkk (2015)

BAHAN DAN METODE


1. Alat dan Bahan
Bahan bakuyang digunakan adalah kulit buah
jengkol yang diperoleh dari para pedagang
Pasar Angso Duo dan Pasar Baru Kota
Jambi.Sebelum digunakan, bahan diseleksi dan
dikeringkan di bawah sinar matahari selama 710 hari.Sebagai perekat digunakan tepung
tapiokayang dibeli di pasar Angso Duo.Alatalat yang digunakan adalah kiln drum silinder
berlobang kapasitas 3 kg dengan diameter 30
cm dan tinggi 50 cm bagian tengahnya
1571

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dilengkapi pipa pengatur oksigen, alat tumbuk,


cawan krus, timbangan digital,muffle furnace
dengan suhu maksimal 1100 C, shaker listrik,
cetakan briket yang dioperasikan secara
manual, oven listrik, cawan porselin, alatBomb
calorimeter, stop watch dan termometer.

dimana: F = berat crucible+abu (g), G = berat


crucible (g), W = berat briket (g)
Kandungan Zat Volatil ditentukan dengan
metode ASTM D-3175 dengan memanaskan
sampel biobriket pada suhu 950 20oC selama
7 menit. Penurunan berat bahan setelah
pemanasan dilaporkan sebagai kandungan zat
volatil.Nilai kalordari produk bio-briket
ditentukan
denganBombcalorimeter,
sedangkanbulk density menggunakan metode
yang dilaporkanKaraosmanoglu et al.(1999).
Sedangkan, untuk ujicoba pendidihan air
mengadopsi metode Yahaya dan Ibrahim
(2012).

2. Prosedur kerja
a. Pembuatan briket
Secara umum prosedur penelitian ini terdiri
atas 4 langkah, yaitu: (1) pembuatan arang, (2)
pembuatan bio-briket, (3) analisis parameter
kualitas, dan (4) ujicoba produk. Kulit jengkol
yang sudah dikeringkandibakardalam drum
silinder berkapasitas 3 kg dibiarkansampai
semua kulit jengkol berubah menjadi arang.
Arang kulit jengkol yang dihasilkan
didinginkan ditumbuk hingga diperoleh
partikel halus.Lalu diayak dengan ayak listrik
untuk mendapatkanpartikel arang berukuran
60, 80,100 dan 150 mesh.Ditimbang 500 g
arang kulit jengkol berukuran 60 mesh,
dicampur dengantepung tapioka yang telah
diberi air dan dipanaskan dengan variasi berat
persentase 5, 7,5, 10, 12,5, dan 15%.Campuran
diaduk secara meratahingga berbentuk adonan
padat dandimasukkan ke dalam cetakan.Biobriket yang telah dicetak kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 60 0C
selama 2 hari. Dengan cara yang sama juga
dilakukan untuk sampel arang kulit jengkol
berukuran 80 dan 100 mesh.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Pengaruh ukuran partikel
Variasi ukuran partikel arang kulit jengkol
ternyata tidak memberikan pengaruh signifikan
terhadap sifat fisik dari bio-briket yang
dihasilkan. Ini dapat dilihat pada Tabel 1 yang
mana nilai kadar abu (AC) dan kadar air (WC)
hampir sama dari ketiga ukuran briket. Hal
yang sedikit berbeda terlihat pada nilai
kandungan zat volatil (VM) makin kecil
dengan bertambahnya ukuran partikel.
Kecenderungan hampir sama ditnjukkan nilai
kalor biobriket semakin tinggi dengan semakin
kecilnya ukuran partikel sebagai mana tertera
pada Tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1. Nilai kadar air (WC), kadar abu (AC),
kandungan zat volatile (VM) dan
nilai kalor (NK) biobriket dengan
berbagai ukuran partikel

b. Analisis briket
Kadar airproduk briket ditentukan dengan
metode ASTM D-5142. Sebanyak 1,0 gram
bahan briket dipanaskan pada suhu 104-110oC
dalam oven selama 2 jam, lalu didinginkan dan
dikeringkan dalam desikator silica gel. Kadar
air briket ditentukan dengan menggunakan
rumus berikut:
Kadar Air () =

12
1

Ukuran
Partikel
Biobriket
(mesh)
60
80
100
150
SNI

100%

dimana:X1dan
X1adalah
berat
sampel
(gram)sebelum dan setelah dikeringkan
Kadar abujuga ditentukan dengan metode
ASTM D-3174.Bahan briket dipanaskan dalam
muffle furnace selama 1 jam pada suhu 700750oC dan dilanjutkan dengan proses
pengabuan pada suhu 900-950oC selama 2 jam.
Kadar abu ditentukan dengan rumus:

Kadar Abu () = (

WC
(%)

VM (%)

AC
(%)

NK (kal/g)

5,55
5,68
6,05
6,37
-

13,02
15,22
16,27
18,71
-

5,89
5,12
4,11
5,41
-

5077,28
5139,51
5884,19
(1)
6070,58
5000,00

(Catatan: briket dengan zat perekat 10%)


Semakin tingginya nilai kalor biobriket
ternyata berbanding lurus dengan kandungan
zat volatile pada bio-briket, yaitu semakin
kecil ukuran partikel briket kandungan zat
volatile dan nilai kalor makin tinggi.Hal ini
kemungkinan disebabkan karena partikelpertikel berukuran kecil dari biobriket lebih
kuat mengikat zat volatile.Pada saat(2)proses

100%)
1572

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

pembakaran zat volatile tersebut mudah keluar


pada material dengan jumlah pori yang lebih
banyak, yaitu pada partikel berukuran kecil.Zat
volatile tersebut digunakan untuk nyala pada
saat proses pembakaran briket.Bila dilihat dari
angka nilai kalornya, produk yang dihasilkan
sudah memenuhi persyaratan minimal SNI
(5000 kal/l).

120

Suhu (C)

100
80
60
40

Biobriket

20
0
0

2. Pengaruh variasi zat perekat


Pengaruh variasi zat perekat ditentukan dengan
cara melakukan variasi perbandingan zat
perekat dan arang kulit jengkol. Percobaan
dilakukan menggunakan variasi persentase
perekat dalam campuran 5 - 15%. Hasil
percobaan secara lengkap ditunjukkan pada
Tabel 2 berikut:

WC
(%)
6,03
6,15
6,05
6,72
7,21
-

VM (%)
16,02
15,22
16,27
14,71
15,76
-

AC
(%)
4,39
4,42
4,11
4,41
4,62
-

9Waktu12(menit)
15

18

21

Gbr.1. Kecepatan mendidih air menggunakan


beberapa jenis bahan bakar
Dari Gbr.1 di atas terlihat variasi peningkatan
suhu air seiring dengan pertambahan waktu
pemanasan menggunakan 4 sampel uji
(kompor minyak tanah, kompor gas, kayu dan
biobriket).Pemanasan air dengan bio-briket
lebih cepat mencapai titik didihnya
dibandingkan menggunakan kompor minyak
tanahdan kayu bakar, dan lebih lambat bila
dibandingkan dengan menggunakan kompor
gas.Dari Gbr.1 tampak bahwa 1 liter air
mendidih dalam waktu 15 menit bila
dipanaskan
dengan
bio-briket.Sementara
waktu dibutuhkan 18 dan 21 menit bila
dipanaskan masing-masing dengan kompor
minyak dan kayu bakar.Waktu pendidihan
paling pendek dicapai dengan menggunakan
kompor gas, yaitu hanya dalam 12 menit.Bila
dilihat dari warna nyalanya, bio-briket
berwarna orange pucat pada saat awal lalu
segera berubah menjadi biru dalam waktu
beberapa menit. Hal yang sama ditunjukkan
oleh
kompor
minyak.
Sedangkan
menggunakan kayu warna nyalanya relative
tak berubah selama proses pemanasan
berlangsung. Cepatnya pendidihan dengan biobriket disebabkan karena adanya porositas biobriket yang memudahkan bahan-bahan volatile
melepaskan diri dari material yang digunakan
untuk nyala bio-briket.Ini diperkuat oleh data
yang ditunjukkan Gbr. 2 berikut:

Tabel 2. Nilai kadar air WC), kadar abu (AC),


kandungan zat volatile (VM) dan
nilai kalor (NK) biobriket dengan
berbagai variasi zat perekat
Perekat dlm
Briket (%)
5,0
7,5
10,0
12,5
15,0
SNI

NK (kal/g)
5277,25
5439,55
5884,19
5383,52
5292,61
5000,00

(Catatan: briket yang digunakan berukuran100


mesh)
Dari Tabel 2 diketahui bahwa jumlah zat
perekat berpengaruh terhadap kandungan air
briket, makin tinggi persentase zat perekat
semakin besar kadar air dalam briket.
Sebaliknya makin kecil kandungan zat
volatil.Ini berpengaruh terhadap nilai kalor
briket.Jadi, dapat disimpulkan bahwa persen
optimum perekat dalam briket kulit jengkol
adalah 10%.
3. Uji pendidihan air
Hasil tes pendidihan air dilakukan untuk
mengetahui keefektifan penggunaan biobriket
yang dihasilkan dengan membandingkannya
dengan bahan bakar lain yang biasa digunakan
masyarakat, yaitu kayu bakar, kompor minyak,
dan kompor gas. Disiapkan 2,0 liter air dalam
wadah dipanaskan di atas api bahan bakar yang
diuji. Hasil percobaan ditampilkan pada Gbr. 1
di bawah ini:

1573

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

yang
diperlukan
berlangsung.

120

selama

penelitian

Suhu (C)

100

DAFTAR PUSTAKA

80

American Society for Testing and Materials


(ASTM), 2002, Standar Coal and Coke
Analysis,ASTM D-5142-02, Philadelphia.
Birwatkar, V. R., Khandetod, Y. P., Mohod, A. G.
and Dhande, K. G.,(2014), Physical and
Thermal Properties of Biomass Briquetted
Fuel,Ind. J. Sci. Res. and Tech, 2(4):55-62
Biro Pusat Statistik (BPS), 2013, Statistics
Indonesia and Directorate General of
Horticulture 2013, Produksi Sayuran di
Indonesia. Jakarta.
Chaidir, Z., Zein, R.,Hasanah, Q., Aziz, H. and
Nurdin, H., 2015, Absorption of Cr(III) and
Cr(VI)
metals
in
aqueous
solution
usingMangosteen
Rind
(Pithecellobium
jiringa(jack) prain.), Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research, 7(8):948-956
Ismayana, A. dan M.R., Afriyanto, 2010, Pengaruh
Jenis dan Kadar Bahan Perekat Pada Pembuatan
Briket Blotong Sebagai Bahan Bakar
Alternatif,Jurnal Teknologi Industri Pertanian
21 (3), 186-193.
Karaosmanoglu, F., Tetik, E., Gurboy, B.and Sanli,
I., (1999), Characterization of the Straw Stalk of
the Rape Seed Plantas a Biomass Energy
Source, Energy Sources, 21, 801-810.
Kindriani, N. Retno, D. Rezy, P. Tieka, K., 2012,
Briket Arang Kulit Kacang Tanah dengan
Proses Karbonisasi. Jurnal Teknik Kimia,
6(2),15-23.
Oladeji, J. T., 2011, Agricultural and Forestry
Wastes and Opportunities for their use as an
Energy Source in Nigeria-AnOverview,World
Rural Observations, 3(4), 107-112.
Sellin, N., de Oliveira,B. G., Marangoni, C., Souza,
O., de Oliveira, A. P. N., de Oliveira,T. M. N.,
2013, Use of Banana Culture Waste to Produce
Briquettes, Chemical Engineering Transactions,
32, 349-353.
Ugwu, K. and Agbo, K., 2013, Evaluation of
binders in the production of briquettes
fromempty fruit bunches of Elais Guinensis,
Inter. Journal Renewable and Sustainable
Energy, 2(4): 176-179.
Wilaipon, P., 2009, The Effects of Briquetting
Pressure
on
Banana-PeelBriquette
and
theBanana Waste in Northern Thailand,
American Journal of Applied Sciences, 6 (1):
167-171.
Yahaya, D. B. and Ibrahim, T.G., 2012,
Development of Rice Husk Briquettes for Use
as Fuel, Research Journal in Engineering and
Applied Sciences, 1(2) 130-133.

60
40
60
mesh

20
0
0

9
12
15
Waktu (menit)

18

21

Gbr.2. Kecepatan mendidih air menggunakan


biobriket berbagai ukuran partikel
Tampak pada Gbr. 2 bahwa semakin besar
ukuran partikel semakin panjangwaktu
pencapaian titik didih air, meskipun pada tahap
awal kenaikan suhu air terlihat lebih cepat
pada ukuran partikel yang lebih besar.Ini
berarti bio-briket yang dihasilkan cukup layak
digunakan sebagai bahan bakar alternatif.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Limbah kulit jengkol sangat potensial
digunakan sebagai bahan dasar dalam
pembuatan bio-briket dengan kualitas yang
memenuhi standar SNI.
2. Hasil uji dengan metode pendidihan air
menunjukkan bahwa pemanasan air
menggunakan biobriket kulit jengkol lebih
cepat mencapai titik didih dibandingkan
menggunakan kompor minyak tanah dan
kayu, meskipun lebih lambat dibandingkan
kompor gas.
3. Jumlah optimal perekat untuk bio-briket
dari kulit jengkol adalah 10% dari berat
total bio-briket.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Rektor
Universitas Jambi yang telah memfasilitasi
pelaksanaan penelitian ini dengan Dana yang
bersumber dari PNBP Universitas Jambi
No.DIPA/042-04.2.400088/2015. Terimakasih
yang tinggi juga disampaikan kepada Dekan
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Jambi atas penyediaan fasilitas laboratorium

1574

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

Efektivitas Ektrak Biji Pepaya(Carica papaya) terhadap


Peningkatan Kematian Cacing Hati pada Kambing (Fasciola
hepatica) In Vitro
Grace Thresia Nainggolan 1), Muhammad Fikriansyah2), Gusti Aulia Nasution 3), Hamidatun Nisa4),
Minda Syafina5), Nora Susanti6)
1234
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan
56
Koordinator Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan
1
email: gracethresi4@gmail.com
6
nora.susanti.s2@gmail.com

Abstract
Garica Papaya,L.(local name: papaya) is a well fruits seeds in Indonesia one of each is have the
effect toward the death of Goat Worm (Fasciola hepatica) in vitro. Experimental laboratoric, with
post-test only control group design using 6 groups (NaCl 0.9% for negative control, extract of papaya
seeds with 10%, 15%, 20%, 25% of concentration, also pyrantel pamoate as the positive control with
Combantrine as the trademark). Observation is done by using purposive sampling method. The worm
is incubated in 37oC. Data analyzed done calculate the amount of worms and the time until the its was
died. It shows that the extract of papaya seeds of each concentration has effect of anthelmintic. From
the result it can be concluded that the extract of papaya seeds has effect to increase the death of
Fasciola hepatica In vitro and have the effectivity better than pyrantel pamoate. In 10% need 26.3
minutes, 15% need 24 minutes, 20% need 9.3 minutes, 25% need 4,3 minutes concentration and
pyrantel pamoate need 4,7 minutes. It showed that 25% concentration better then pyrantel pamoate to
increase death of the worms.
Keywords: Antihelmintik, extract of papaya seeds, pyrantel pamoate, Fasciola hepatica
lain tannin yang terdapat pada Biji Lamtoro
yang sudah lama digunakan masyarakat
sebagai obat cacing (Anwar, 2005). Tannin
mempunyai efek fermifuga, yakni secara
langsung berefek pada cacing melalui
perusakan protein tubuh cacing (Harvey dan
John, 2004). Namun demikian, belum banyak
orang yang mengetahui bahwa biji pepaya
mempunyai zat aktif antihelmintik yang bisa
digunakan sebagai obat cacing. Hal ini yang
membuat penulis tertarik untuk meneliti
apakah ekstrak biji pepaya memiliki efektifitas
terhadap kematian cacing hati.
Cacing hati yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Fasciola hepatica yang
terdapat dalam hati kambing. Penelitian ini
menggunakan karena cacing Fasciola hepatica
dalam keadaan hidup secara langsung pada
kondisi yang prima dari tubuh penderita
fasciolasis.
Infeksi Fasciola hepatica, dalam
jumlah kecil tidak menunjukkan gejala klinis
yang berarti. Namun, infeksi Fasciola hepatica
dalam jumlah besar sangat merugikan
manusia.
Pada
stadium
larva
dapat
menyebabkan gejala ringan hati, dan larva di

PENDAHULUAN
Fasciolasis adalah penyakit parasit
yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola
hepatica. Penyakit ini bersifat kosmopolit
yakni terdapat hampir di seluruh dunia, banyak
ditemukan di daerah yang beriklim lembab. Di
antara infeksi cacing lainnya, askariasis
merupakan infeksi yang paling sering terjadi,
dengan prevalensi berkisar 25% atau 0,8-1.22
milyar orang di dunia. (Rahmilia, 2010)
Papaya merupakan tanaman yang
banyak dibudidayakan di Indonesia. Hamper
semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan.
Akan tetapi, biji papaya belum dimanfaatkan
dengan baik oleh masyarakat karena hanya
digunakan untuk keperluan pembibitan dan
selebihnya dibuang, padahal biji papaya
memiliki kandungan gizi yang bermanfaat bagi
kesehatan. Analisis fitokimia menunjukkan
adanya alkaloid, flavonoid, saponin, tannin,
antrakuinon, dan antosianosida.(Meirindasari,
2013)
Di antara berbagai macam obat
tradisional di Indonesia, ada beberapa obat
yang mengandung zat kimia yang mempunyai
efek antihelmntik. Zat kimia tersebut antara
1575

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

paru-paru menyebabkan pneumonia fasciolasis


yang menimbulkan gejala berupa Sindroma
Loeffler. Fasciolasis berat pada anak-anak
menyebabkan gangguan penyerapan makanan
(malabsorbtion) yang berlanjut menjadi
penyakit kurang gizi, sedangkan pada orang
dewasa dapat terjadi ileus obstructivus yang
mempengaruhi
kesehatan
fisik
dan
produktifitas kerja (Gandahusada dkk, 2000).
Maka dari itu pengobatan yang tepat sangat
dibutuhkan untuk memberantas larva maupun
cacing dewasa.
Obat-obat antihelmintik adalah obat
yang digunkan untuk mengeradikasi parasit
cacing dari jaringan tubuh. Pyrantel pamoate
merupakan obat cacing pilihan pertama
terhadap fasciolasis. Walaupun demikian,
masih terdapat banyak kekurangan pada obatobat antihelmintik, terutama harganya yang
relatif mahal, dan pemakaian yang harus
dilakukan berulang kali yang dapat
menimbulkan efek samping dan residu obat
dalam jaringan tubuh.
Apakah infusa ekstrak biji pepaya
(Carica papaya) memiliki efektifitas terhadap
kematian cacing hati pada kambing (Fasciola
hepatica) In vitro?
Untuk mengetahui efektifitas ekstrak
biji pepaya (Carica papaya) terhadap kematian
cacing hati pada kambing (Faciola hepatica)
In vitro.
Manfaat Penelitian;
Memberikan informasi ilmiah kepada
masyarakat luas tentang manfaat ekstrak
biji pepaya (Carica papaya) yang dapat
digunakan sebagai obat antihelmintik.
Menambah referensi informasi fungsi
ekstrak biji pepaya (Carica papaya)
supaya tidak dikenal sebagai tanaman
yang perkebunan yang bijinya tidak
memiliki fungsi namun juga sebagai
tanaman obat antihelmintik dan memiliki
kegunaan.
Sebagai dasar penelitian In vivo efektifits
ekstrak biji pepaya (Carica papaya) pada
hewan bila terbukti pada penelitian In
vitro.
Membuka
peluang
kemungkinan
pembuatan preparat obat antihelmintik
dari ekstrak biji pepaya (Carica papaya)
bila terbukti pada penelitian In vivo.

KAJIAN LITERATUR DAN


PEGEMBANGAN HIPOTESIS
1. Tentang Cacing
Di dalam hati lah cacing Fasciola hepatica
tumbuh dan berkembang. Proses dari pada
pertumbuhannya, dapat kita lihat :

Gambar 1. Siklus Hidup Fasciola hepatica


2. Tentang Biji Pepaya
Dan penanganan penelitian ini
antihelmintik dari ekstrak biji papaya.

adalah

Gambar 2. Biji pepaya kering untuk diekstrak


3. Kandungan Biji Pepaya
Kandungan yang terdapat pada biji papaya
yang terkhusus adalah zat tannin. Tannin
memiliki efek antihelmintik In vitro maupun In
vivo di dalam tubuh kambing dan domba
(Brunet dan Hoste, 2006; Iqbal dkk, 2007;
Cenci dkk, 2001). Tannin juga memiliki
aktifitas penghambatan terhadap migrasi larva
cacing pada kambing (Alonso dkk, 2008)

1576

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental
laboratorik.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian
ini
dilakukan
di
Laboratorium
MIPA
Kimia
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Medan.

Gambar 3. Struktur molekul zat tannin


(Sumber : Wikipedia, 2016)

C. Subjek Penelitian
Subjek pemelitian/hewan uji adalah
Fasciola hepatica yang masih aktif bergerak
diperoleh dari hati kambing dari Rumah
Potong Hewan Mabar Medan. Kemudian
sampel dibagi berdasarkan rumus Federer
(Sudigdo, 2003).
(n-1) (t-1) 15
Keterangan :
n = besar sampel
t = jumlah kelompok perlakuan
Karena penelitian ini menggunakan 6
kelompok, maka :
(n-1) (t-1) 15
(n-1) (6-1) 15
5n 20
n4

4. Pyrantel pamoate
Pyrantel pamoate merupakan obat
yang banyak digunakan dalam masyarakat
karena efek samping yang ditimbulkan cukup
rendah. Pyrantel pamoate bekerja dengan
menimbulkan depolarisasi pada otot cacing
dan meningkatkan frekuaensi impuls, sehingga
cacing mati dalam keadaan spasis. Selain itu,
Pyrantel pamoate juga menghambat enzim
asetilkolinesteras sehingga akan meningkatkan
kontraksi otot cacing.
5. Kerangka Pemikiran

Masing-masing kelompok akan memiliki besar


sampel sebanyak 1 sampel dengan 3 kali
pengulangan (replikasi) [pada masing-masing
kelompok.
1.
2.

3.

Kelompok I : direndam dalam larutan


garam fisiologis sebagai kontrol negatif
Kelompok II-V : direndam dalam larutan
ekstrak biji pepaya dengan konsentrasi
10%, 15%, 20%, 25%
Kelompok VI : direndam dalam larutan
pyrantel pamoate dengan konsentrasi 5
mg/ml sebagai konsentrasi 20%.

D. Teknik Sampling
Di dalam penelitian ini menggunakan
teknik sampling purposive sampling dengan
cara menyamakan ukuran panjang cacing dan
jenis cacing serta tidak membedakan jenis
kelamin cacing.

6. Hipotesis
Hipotesis kerja dari penelitian ini yaitu :
1. Ekstrak biji papaya (Carica papaya)
memiliki
pengaruh
terhadap
peningkatan jumlah kematian cacing
Fasciola hepatica secara In vitro.
2. Peningkatan konsentrasi ekstrak biji
papaya akan meningkatkan pengaruh
kematian cacing yang lebih cepat juga.

E. Rancangan Peneltian
1. Tahap Penelitian Pendahuluan

1577

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

- Jenis cacing
- Ukuran cacing
- Konsentrasi ekstrak uji
- Suhu percobaan
B. Variabel perancu yang tak terkedali
- Umur cacing
- Umur biji pepaya
G. Skala Variabel
1. Kadar ekstrak biji pepaya: skala ordinal
2. Waktu kematian cacing: skala normal
H. Defenisi Operasional Variabel
1.

Gambar 4. Skema
Penelitian Pendahuluan

Rancangan

Serbuk Biji Pepaya


Serbuk biji pepaya adalah serbuk yang
dihasilkan dari biji pepaya yang telah
dikeringkan dalam oven pada suhu 40oC
kemudian dihaluskan.

Tahap

2.

Ekstrak Biji Pepaya


Ekstrak biji pepaya adalah ekstrak
yang dihasilkan setelah serbuk biji pepaya
dipanaskan dengan campuran aquades
dipanaskan sampai mendidih selama 5 menit.

2. Tahap Penelitian Akhir

3.

Konsentrasi Ekstrak Biji Pepaya


Konsentrasi ekstrak biji pepaya dibuat
dengan pelarutan dengan satuan volume
menurut konsentrasi yang telah ditentukan.
4.

Waktu Kematian Cacing


Waktu kematian cacing adalah waktu
matinya cacing dalam tiap perendaman setelah
perlakuan. Cacing dianggap mati apabila
disentuh dengan pinset anatomis tidak ada
respon gerakan.
Gambar 5. Skema
Penelitian Akhir

Rancangan

Tahap

5.

Lama Pengujian Ekstrak Biji Pepaya


Sebelum
melakukan
uji
daya
antihelmintik, dilakukan uji penelitian tahap
persiapan tentang lama hidup Fasciola
hepatica dalam larutan garam fisiologis
sebagai control negative dan pyrantel pamoate
5 mg/ml sebagai control positif. Perendaman
dalam larutan fisiologis untuk mengetahui
lama hidup cacing hati di luar tubuh kambing.
Lamanya waktu yang diperoleh ditetapkan
sebagai
waktu
maksimal
pengamatan
penelitian efektifitas ekstrak biji papaya.
Sedangkan perendaman dalam larutan pyrantel
pamoate
untuk
membandingkan
daya
antihelmintik ekstrak biji papaya dengan obat

F. Identifikasi Variabel Penelitian


1.

Variabel bebas
Konsentrasi bertingkat ekstrak biji
pepaya (Carica papaya).
2.

Variabel tergantung
Total waktu kematian cacing dalam
setiap pemberian perlakuan.
3.

Variabel perancu
A. Variabel perancu yang terkendali
1578

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

untuk fasciolasis yang beredar di pasaran


dengan merek dagang combantrine.
6.

7.

15 gr ekstrak biji papaya + 100ml


aquades larutan ekstrak biji papaya
15%

Variabel Perancu Terkendali


- Jenis cacing
- Ukuran cacing
- Suhu percobaan
Variabel Perancu Tidak Terkendali
- Umur cacing
- Umur biji papaya
- Variasi kepekaan larutan obat uji

I. Alat dan Bahan Penelitian


1. Cawan petri diameter 10cm
2. Beaker glass
3. Spatula
4. Hot plate
5. Pinset anatomis
6. Gelas ukur
7. Corong
8. Lumping alu
9. Neraca analitik
10. Toples menyimpan cacing
11. Oven
12. Kertas saring
13. Larutan NaCl 0,9%
14. Aquades
15. Larutan pyrantel pamoate 20%
16. Larutan uji ekstrak biji papaya

Konsentrasi III
20 gr ekstrak biji papaya + 100ml
aquades larutan ekstrak biji papaya
20%

Konsentrasi IV
25 gr ekstrak biji papaya + 100ml
aquades larutan ekstrak biji papaya
25%

K. Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh akan dianalisis
secara statistic dengan uji Kruskal-Wallis dan
uji Mann-Whitney U. Uji Kruskal-Wallis
adalah uji non parametric untuk menguji
perbedaan >2 kelompok tidak berpasangan
berupa variabel ordinal atau numeric tidak
berdistribusi normal. Mann-Whitney U adalah
uji non parametric untuk menguji 2 kelompok
data tidak berpasangan untuk variabel ordinal
atau numeric dengan distribusi tidak normal
(Arief,Dahlan 2003).
HASIL PENELITIAN
1. Tahap Pendahuluan
Tahap penelitian pendahuluan dilakukan
dengan mengamati jumlah waktu cacing
Fasciola hepatica yang mati pada kelompok
control dan perlakuan. Penelitian tahap
pendahuluan diadakan untuk mengetahui
berapa waktu kematian cacing Fasciola
hepatica tercepat yang ada pada larutan
ekstrak biji papaya, dan untuk mengetahui
berapa waktu tercepat ekstrak biji papaya
dapat membunuh cacing. Sehingga penelitian
ini dapat dijadikan dasar untuk pengamatan
pada tahap penelitian akhir. Hasil tahap
pendahuluan adalah sebagai berikut, kematian
cacing tercepat terdapat pada kelompok
ekstrak biji papaya konsentrasi 25% dengan
rata-rata pada menit ke 4,3 menit dengan 1
ekor cacing dan mengalami 3 kali percobaan.

J. Cara Kerja
1. Pembuatan ekstrak biji papaya
- Pengambilan bahan dari biji papaya: Secara
acak diambil dari buah pepaya
- Pengeringan bahan biji papaya : Biji di
keringkan dengan tujuan menghilangkan
kadar air yang tersimpan pada suhu 70oC
sampai kering
- Ekstrak biji papaya : Ekstrak biji papaya
yang dihasilkan adalah setelah serbuk biji
pepaya dipanaskan dan ditimbang dengan 4
penimbangan dengan berat 10,15,20,25gr
dan
masing-masing
mendapatkan
penambahan 100ml aquades, dipanaskan
sampai mendidih dan didinginkan.
2. Penentuan konsentrasi ekstrak uji
- Konsentrasi I
10 gr ekstrak biji papaya + 100ml
aquades larutan ekstrak biji papaya
10%
-

2. Tahap penelitian akhir


Penelitian akhir dilakukan dengan mengamati
waktu yang dibutuhkan cacing untuk mati pada
kelompok control dan kelompok perlakuan
untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak
biji papaya terhadap peningkatan kematian
cacing Fasciola hepatica.

Konsentrasi II
1579

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :


1. Ekstrak biji pepaya (Carica papaya)
memiliki pengaruh meningkatkan kematian
Faciola hepatica In vitro.
2. Peningkatan konsentrasi ekstrak biji papaya
sebanding dengan peningkatan waktu
kematian Fasciola hepatica In vitro.

Dari 6 perlakuan, dan 3 kali pecobaan,


kami memperoleh data waktu rata-rata yang
dibutuhkan cacing untuk mati :
Kontol positif
Kontrol negative
Konsentrasi 10%
Konsentrasi 15%
Konsentrasi 20%
Konsentrasi 25%

4,7 menit
- 26,3 menit
24 menit
9,3 menit
4,3 menit

SARAN
1. Dari hasil penelitian In vitro masih perlu
dilakukan penelitian secara In vivo terhadap
efek antihelmintik ekstrak biji papaya pada
hewan uji.
2. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui bentuk sediaan yang
paling efektif dari obat-obat tradisional
untuk pengobatan fasciolisis.
3. Sebelum diaplikasikan pada manusia
sebaiknya dilakukan uji pra klinik (uji
taksiologi) untuk mengetahui keamanan
ekstrak biji papaya sebagai antihelmintik.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian tersebut terlihat
bahwa ekstrak biji papaya memiliki efek
antihelmintik. Terlihat pada konsentrasi 25%
waktu yang diperlukan untuk membunuh
cacing adalah 4,3 menit. Sedangkan control
positif
memakai
Pyrantel
pamoate
membutuhkan waktu 4,7 menit untuk
membunuh cacing dengan 3 kali percobaan.
Terlihat pada konsentrasi ekstrak biji papaya
menunjukkan daya antihelmintik yang berbeda
pula, semakin tinggi konsentrasi, maka waktu
kemtian cacing semakin cepat pual.
Hal ini sesuai dengan teori sebelumnya
yang menyebutkan bahwa biji papaya memiliki
efek antihelmintik dari biji papaya dan
mungkin dikarenakan kandungan zat aktif
tannin pada biji. Senyawa tannin yang
memiliki kemampuan denaturasi protein
menyebabkan protein pada permukaan tubuh
cacing terdenaturasi sehingga permukaan
tubuh cacing menjadi tidak permeable lagi
terdapat zat di luar tubuh cacing (Brunet dan
Hoste, 2006; Iqbal dkk, 2007; Canci dkk,
2007).

REFERENSI
MEIRINDASARI, N. pengaruh pemberian jus biji
pepaya (carica papaya l.) terhadap kadar
kolesterol total tikus (Sprague dawley
Dislipidemia. 2013. program studi ilmu gizi
fakultas kedokteran, universitas diponegoro,
semarang.
RAHMILIA, A. D. Pengaruh Pemberian Infusa
Daun Teh (Camelia sinensis, Linn) Terhadap
Peningkatan Kematian Cacing Gelang Babi
(Ascaris suum, Goeze) In vivo. 2010.
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SEBELAS
MARET
SURAKARTA,
UNIVERSITAS
SEBELAS
MARET,
SURAKARTA.

1580

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

KEANEKARAGAMAN DAN KANDUNGAN KIMIA TAMARILLO SEBAGAI BUAH


ENDEMIK SUMATERA UTARA
Gusti Aulia Nasution1), Grace Thresia Nainggolan2), Muhammad Fikriansyah3), Eriadi Koto4), Freddy
5)
Tua Musa Panggabean , Nora Susanti6)
123

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan


Koordinator Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan
1
email: gustiaulia.nast@gmail.com, 5nora.susanti.s2@gmail.com

45

Abstract
Tamarillo (local name Terung Belanda) is a well known fruit in North Sumatera, Indonesia. It is widely
cultivated in areas surrounding The Toba Lake. The diversity and chemical content of this fruit were determined
in four districts around Toba Lake; The Karo, Dairi, Samosir, and Humbang Hasundutan districts. The result
showed that there was a different in flower color, Humbang Hasundutan and Karo tamarillo flower was pink
while Dairi and Samosir tamarillo flower was purplish. The fruit skin color was red with variation of dark spot;
no dark spot (Karo and Samosir), uneven dark spot (Dairi) and even dark spot (Humbang Hasundutan). The
chemical content obtained from freshly picked fruits from all four areas were protein (1.60 1.97 % w/w) using
semi micro Kjeldahl, fat (0.10-0.70 % w/w) using soxhlet extraction, carbohydrate (10.0-12.7 % w/w) using Luff
Schrool.
Keywords: Diversity, nutrition, tamarillo, terung belanda, Toba Lake

memiliki kulit yang halus dan berbentuk telur.


Warna kulit ungu gelap, merah darah, oranye
atau kuning, atau merah dan kuning,
terkandang berwarna samar gelap, dan
memiliki garis-garis memanjang. Warna
daging bervariasi seperti memiliki oranyemerah atau oranye kekuningan / krim-kuning.
Biji berbentuk tipis, dengan permukaan yang
hampir datar dan melingkar, memiliki ukuran
yang lebih besar dan lebih keras daripada
tomat dan memliki rasa pahit. Buah ini
memiliki aroma sedikit resin dan memiliki rasa
yang mendekati tomat (Morton, 1987).
Di Indonesia, tamarillo dikenal sebagai
Terung Belanda. Di Sumatera Utara,
Indonesia, terung belanda ini secara luas
dibudidayakan di Karo, Dairi, Humbang
Hasundutan, Samosir, Toba Samosir, Tapanuli
Utara dan kabupaten Simalungun. Semua
kabupaten ini berada di sekitar Danau Toba.
Buah ini biasanya dikonsumsi sebagai buah
segar, jus dan rempah-rempah untuk beberapa
hidangan tradisional oleh penduduk setempat.
Danau Toba terletak di pusat Sumatera Utara.
Kota ini terletak di 903 - 1981 m di atas
permukaan laut. Suhu rata-rata adalah antara
18 - 20 C. Kondisi ini sesuai dengan kondisi
tumbuh sempurna tamarillo. Temuan terbaru
tentang tamarillo sangat menyarankan fungsi
yang luar biasa dari buah ini. Tamarillo
menunjukkan efek perlindungan terhadap diet
lemak tinggi yang disebabkan obesitas dalam

1. PENDAHULUAN
Pohon tomat Cyphomandra betacea Sendt.
(C. hartwegi Sendt .; Solanum betaceum Cav.)
adalah yang paling terkenal dari sekitar 30
spesies Cyphomandra (keluarga Solanaceae).
Ini adalah asli subtropics Andes (Keanekaragaman International, 2013). Di berbagai daerah
tamarillo memiliki nama antara lain: tomate,
tomate extranjero (Guatemala); tomate de palo
(Honduras); arvore do tomate, tomate de
arvore (Brazil) dan pepino de arbol
(Colombia). Pada tahun 1970 nama "tamarillo"
diadopsi di Selandia Baru dan telah menjadi
sebutan komersial standar untuk buah.
Tanaman ini kecil, setengah-kayu, tingginya
mencapai 10 hingga 18 ft (3-5,5 m). Daun
tamarillo memiliki aroma muskie, hijau,
alternatif, berbentuk hati di bagian dasar,
berbentuk bulat telur, meruncing pada bagian
ujung, berbulu lembut dan memiliki urat kasar
mencolok. Pada bagian kecil, tandan lepas
dekat dengan pangkal tangkai cabang,
memiliki bunga-bunga yang harum dengan
lebar 1/2 sampai 3/4 inch (1,25-2 cm),
memiliki 5 kelopak berwarna merah muda
pucat atau lavender, berbentuk runcing seperti
lobus, memiliki 5 benang sari berwana kuning
yang mencolok, dan memiliki kelopak
berwarna hijau-ungu. Buah berbentuk panjang
mengintai, muncul dengan satu buah, atau
dalam kelompok mencapai 3 sampai 12,
1581

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

model tikus (Kadir, 2015). Hal ini juga


memiliki kapasitas yang tinggi antioksidan
(Espin 2015). Tamarillo kaya pigmen alami,
anthocyanin, yang terkait dengan pencegahan
penyakit kronis (Rajendra 2014; Mertz, 2009).
Meskipun dengan penggunaan tamarillo,
hal ini juga diketahui bahwa beberapa
kandungan kimia dalam buah bervariasi
dengan beberapa faktor, termasuk kondisi
iklim/lingkungan, negara jatuh tempo dan
posisi di pohon, penanganan dan penyimpanan
dan pematangan panggung, kandungan asam
askorbat dalam buah lemon misalnya (Nojavan
2008 dan Holcombe, 1992). Faktor lain yang
mempengaruhi kandungan kimia adalah daerah

budidaya (Wijayanti, 2010). Keanekaragaman


tanaman juga mempengaruhi kandungan kimia, seperti yang ditemukan dalam buah merah
dari Papua (Murtiningrum, 2012). Variasi
kandungan kimiawi menyiratkan variasi efek
yang didapat dari mengkonsumsi buah.
Untuk yang terbaik dari pengetahuan kita,
tidak ada laporan tentang keragaman dan kimia
isi tamarillo di Sumatera Utara. Oleh karena
itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan
keragaman dan kimia isi tamarillo dari
beberapa daerah Danau Toba sekitarnya (Karo,
Dairi, Humbang Hasundutan dan Kabupaten
Samosir) di Provinsi Sumatera Utara.

Gambar 1. Lokasi Danau Toba menunjukkan lokasi pengambilan sampel dari Solanum betaceum
2. METODE PENELITIAN

Analisis kandungan kimia


Analisis laboratorium dilakukan untuk
mempelajari karakteristik fisik dan komposisi
kimia dari tamarillo. Analisis komposisi kimia
pada tamarillo termasuk kandungan lemak
(ekstraksi Soxhlet), protein (mikro Kjeldahl),
karbohidrat (Luff-Schoorl) (SNI 01-28911992). Sampel untuk analisis laboratorium
baru diambil dari pohon. Buah diurutkan untuk
memastikan tahap pematangan serupa dengan
mengamati warna kulit buah. buah-buahan
yang dipilih harus memiliki warna ungu merah
tua.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi

Daerah penelitian
Wilayah studi yang dipilih adalah daerah
pusat untuk budidaya tamarillo di Provinsi
Sumatera Utara. Daerah yang terpilih adalah
(1) Dairi, (2) Humbang Hasundutan, (3) Karo
dan (4) kabupaten Samosir seperti dapat dilihat
pada Gambar 1. Setiap kabupaten diwa-kili
oleh tiga kecamatan. Penelitian ini menggunakan survei eksplorasi yang meliputi:
inventarisasi aksesi tamarillo yang dikenal
dengan nama komunitas lokal mereka dan
observasi di masyarakat untuk memeriksa
penggunaan buah ini berdasarkan pada
pengetahuan masyarakat.
1582

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Ciencias Agropecuarias y de Alimentos
(UTPL), Loja (Ecuador); Instituto de
Conservacin y Mejora de la Agrodiversidad
Valenciana, Valencia (Spain). 67 pp. Available
on <http://www.bioversityinternational.org/elibrary/publications/categories/books/>
Accessed 10.03.16.
Espin, S., Gonzalez-Manzano, S., Taco, V.,
Poveda, C., Ayuda-Durn, B., GonzalezParamas, AM., and Santos-Buelga, C. 2016.
Phenolic composition and antioxidant capacity
of yellow and purple-red Ecuadorian cultivars
of tree tomato (Solanum betaceum Cav.). Food
Chemistry, 194: 10731080
Holcombe, G.D. 1992. Fruit growth and
development, Applied Botany, 1st ed.
Livingstones Publisher, Churchill, pp. 46
Kadir, NAAA., Rahmat, A and Jaafar. HZE. 2015.
Protective Effects of Tamarillo (Cyphomandra
batacea) Extract against High Fat Diet Induced
Obesity in Sprague-Dawley Rats. Journal of
Obesity. 2015:1-8
Mertz, C., Gancel AL., Gunata, Z., Alter, P.,
Dhuique-Mayer, C., Vaillant, F., Perez, AM.,
Ruales, J and Brat, P. 2009. Phenolic
compounds, carotenoids and antioxidant activity
of three tropical fruits. Journal of Food
Composition an Analysis 22 : 381-387
Morton JF (1987) Fruits of warm climates. Creative
Resource Systems, Inc., Winterville. On line
accessed
at
https://hort.purdue.edu/newcrop/morton/tree_to
mato.html Accessed 19.03.16
Murtiningrum., Sarungallo, ZL., Mawikere, NL.
2012. The exploration and diversity of red fruit
(Pandanus conoideus L.) from Papua based on
its physical characteristics and chemical
composition. Biodiversitas 13 :124-129.
Nojavan, S., Khalilian, F., Kiaie, FM., Rahimi, A.,
Arabanian, A., Chalavi, S. 2008. Extraction and
Quantitative Determination of Ascorbic Acid
During Different Maturity Stages of Rosa
canina L. Friuts. Journal of Food Composition
and Analysis 21: 300 - 305
Rajendran, P., Nandakumar, N., Rengarajan, T.,
Palaniswami,
R.,
Gnanadhas,
E.
N.,Lakshminarasaiah, U., et al. 2014.
Antioxidants and human diseases. Clinica
Chimica Acta, 436: 332347.
Wijayanti, W.A et al, 2010. Minyak Atsiri dari
Kulit Batang Cinnamomum burmannii (Kayu
Manis) dari Famili Lauraceae Sebagai
Insektisida Alami, Antibakteri dan Antioksidan.
(Skripsi) Fakultas MIPA Institute Teknologi
Sepuluh November. httpdigilib.its.ac.idpublic
ITSUndergraduate-13458-Paper.pdf_24_4_
15_
aksesITS-Undergraduate-13458-Paper.
Accessed 17.03.16

Daun. Tamarillo memiliki bentuk hati daun


hijau berbulu. Warna daun yang mirip antara
semua sampel dari empat kabupaten.
Bunga. Bentuk bunga sama di antara semua
sampel sementara warna yang sedikit berbeda.
Warna bunga dari kedua Humbang
Hasundutan dan Karo merah muda sedangkan
yang dari Dairi dan Samosir lebih keunguan.
Semua sampel bunga memiliki 5 kelopak.
Buah.
Buah
mentah
menunjukkan
kesamaan warna kulit yaitu hijau dengan garis
hijau gelap. Buah matang menunjukkan warna
yang dan pola yang berbeda. Tamarillo dari
Karo dan Samosir memiliki warna merah tanpa
pola gelap. Tamarillo dari Dairi memiliki
warna merah dengan bintik gelap tersebar
merata sementara tamarillo dari Hubang
Hasundutan memiliki warna merah dengan
spot yang gelap.
Benih. Semua sampel (matang dan mentah)
menunjukkan warna dan bentuk benih yang
sama. Sampel biji mentah adalah putih dengan
mesocarp putih sedangkan yang matang hitam
dengan mesocarp oranye.
Kandungan kimia
Protein, lemak, dan karbohidrat dari 100 g
mesocarp tamarillo ditentukan dan hasilnya
tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan kimia dari 100 g
tamarillo
Content
Protein (%
w/w)
Fat (% w/w)
Carbohydrat
(% w/w)e

Karo

Dairi

Samosir

Humbang
Hasundutan

1.79

1.97

1.60

1.67

0.56

0.70

0.39

0.10

10.0

10.0

10.7

12.7

4. KESIMPULAN
Pengamatan morfologi tamarillo di empat
kabupaten di sekitar Danau Toba ( Kabupaten
Karo, Dairi, Samosir dan Humbang
Hasundutan) menunjukkan keragaman warna
kulit buah dan bunga. Kandungan protein
(1,60-1,97% w/w), lemak (0,10-0,70% w/w),
karbohidrat (10,0-12,7% w/w).
5. REFERENSI
Biodiversity International. 2013. Descriptors for
tree tomato (Solanum betaceum Cav.) and wild
relatives.
Corporate Editors: Bioversity
International, Rome (Italy); Departamento de

1583

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ISBN: 978-602-71798-1-3

ALKALOID FROM CHLOROFORM FRACTION POND APPEL


(Annona glabra) LEAF EXTRACT
Gustini Syahbirin 1), Mella Yanti 2), Purwantiningsih Sugita 3)
1, 2, 3

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor


email: gsyahbirin@yahoo.com, mellayanti1606@gmail.com, atiek_ps@yahoo.com

Abstract
Chloroform fraction of pond apple has been reported to have toxicity toward brine shrimp and zebrafish
embryos. Total alkaloid extract was obtained as 0.95 g (0.1%). Further evaluation of fractionation using
column chromatography showed that the presence of alkaloids was detected in D fraction on eluent CHCl3MeOH (90:10). Based on the results of characterization by LC-MS, UV-Vis and FTIR, the D3 spot is
armepavina as a suspected compound, while the LC chromatograms showed spots D4 and D5 is the presence of
a mixture of compounds, so that the content cannot be known compounds.
Abstrak
Fraksi kloroform daun sirsak hutan (Annona glabra) telah dilaporkan memiliki toksisitas terhadap larva udang
dan embrio ikan zebra. Ekstrak alkaloid total diperoleh sebanyak 0.95 g (0.1%). Fraksionasi dengan kolom
kromatografi menunjukkan keberadaan alkaloid yang terdeteksi pada fraksi D dalam eluen CHCl3-MeOH
(90:10). Pemisahan komponen alkaloid dengan metode kromatografi kolom dan KLT preparatif menghasilkan 3
noda alkaloid (D3:1.1%; D4:2.1%; D5:1.5%). Berdasarkan hasil pencirian dengan LC-MS, spektrofotometer
UV-Vis dan FTIR, noda D3 diduga merupakan senyawa armepavina, sedangkan kromatogram LC noda D4 dan
D5 menunjukkan keberadaan campuran senyawa, sehingga belum dapat diketahui kandungan senyawanya.
Keywords: alkaloid, Annona glabra, armepavina

putar hingga didapatkan ekstrak pekat/ekstrak


kasar etanol.

1. PENDAHULUAN
Sirsak hutan (Annona glabra) merupakan
salah satu spesies Annonaceae yang dikenal
dengan istilah pond apple. Aktivitas biologis
yang dimiliki tumbuhan ini di antaranya
sebagai antimikrob, antijamur, insektisida, dan
sporisida (Padmaja et al. 1995). Penelitian
Hendana (2012) dan Nazmi (2013) pada daun
sirsak hutan dari kawasan Kampus IPB
Dramaga mendapatkan bahwa berdasar-kan uji
toksisitas ekstrak etanol daun dengan metode
toksisitas letal larva udang dan toksisitas
embrio ikan zebra, fraksi kloroform adalah
fraksi teraktif. Uji fitokimia menunjuk-kan
keberadaan alkaloid sebagai metabolit
sekunder yang dominan. Penelitian ini
merupakan penelitian lanjutan dengan
mengisolasi dan mencirikan senyawa alkaloid
dalam fraksi kloroform tersebut.

Uji Alkaloid (Harborne 1987)


Sebanyak 0.1 g ekstrak kasar etanol dilarutkan
dalam 10 mL kloroform dan ditambahkan
amoniak pekat hingga suasana basa, kemudian
disaring. Filtrat ditambahkan H2SO4 2M dan
dikocok hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan
asam (tak berwarna) dipisahkan ke dalam 3
sumur berbeda pada lempeng tetes, masingmasing ditambahkan dengan beberapa tetes
pereaksi Mayer, Wagner, dan Dragendorf. Uji
positif alkaloid berturut-turut ditunjukkan
dengan terbentuknya endapan putih kekuningan, endapan cokelat, dan endapan jingga.
Isolasi Alkaloid (Chang et al.2000)
Ekstrak dipartisi menggunakan campuran
kloroform-air (1:1) dengan melarutkan ekstrak
terlebih dahulu dalam kloroform. Lapisan
kloroform (bagian bawah) dipisahkan dan
diekstraksi dengan asam asetat 5% hingga
terbentuk 2 lapisan. Lapisan asam (bagian atas)
dipisahkan dan dibasakan dengan NH4OH
pekat hingga pH 910, lalu diekstraksi

2. METODE PENELITIAN
Ekstraksi daun sirsak hutan
Sebanyak 840 g serbuk kering daun sirsak
diekstraksi dalam etanol 96% selama 3
24
jam pada suhu ruang. Filtrat yang diperoleh
dikumpulkan dan dipekatkan dengan penguap
1584

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

kembali dengan kloroform. Lapisan kloroform


dipisahkan dan dipekatkan dengan penguap
putar hingga diperoleh ekstrak alkaloid total.

Spektrum MS noda D3 pada Rt 4.39 menit


menunjukkan bobot molekul (BM) 313 g/mol
dengan kelimpahan ion molekul pada m/z 314
(M+H) paling tinggi (puncak dasar).
Kemudian elemental composition report (ECP)
molekul ini dianalisis untuk menduga rumus
molekul. Senyawa bernitrogen dengan BM 313
g/mol paling mungkin memiliki rumus
molekul C19H23NO3, dengan kemiripan sebesar
99.65%. Dari rumus molekul tersebut, dapat
ditentukan angka ketidakjenuhan (UN) atau
indeks defisiensi hidrogen (IHD) untuk
menduga struktur alkaloid yang dimiliki
senyawa tersebut. Hasil perhitungan UN noda
D3 ialah 9, sehingga dalam struktur molekul
tersebut diduga terdapat cincin heterosiklik
jenuh dengan atom N dan 2 cincin benzena
(UN=8,6 ikatan rangkap 2 dan 2 cincin siklik).
Dugaan tersebut memberikan gambaran
kerangka struktur benzilisokuinoli-na yang
merupakan turunan dari alkaloid isokuinolina.
Pada Gambar 2 adalah senyawa alkaloid:
retikulina (1), O-metilarmepavina (2), dan
armepavina (3) dalam genus Annona dan
struktur molekulnya memiliki nilai UN=9
yang pernah dilaporkan oleh Bhakuni et al.
(1972), dan Bhaumik et al. (1979) pada
A.
squamosa, dan Vendramin et al.(2013) pada
(A.rugulosa).

Pemisahan dan Pemurnian


Komponen alkaloid dipisahkan menggunakan
kolom kromatografi berdiameter 2.5 cm dan
panjang 50 cm dengan kapasitas sampel
maksimum 1 g. Ekstrak dimasukkan ke dalam
kolom yang telah dikemas. Proses elusi
dilakukan menggunakan pelarut n-heksana,
kloroform, etil asetat, dan metanol dengan
berbagai variasi kepolaran secara bertingkat,
dimulai dari pelarut nonpolar.
Setiap 50 mL eluat yang terkumpul diuji
dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Eluat
yang menunjukkan noda dengan nilai Rf yang
sama pada eluen CHCl3-MeOH (9:1)
digabungkan menjadi 1 fraksi. Setiap fraksi
tersebut diperiksa keberadaan alkaloidnya
dengan cara menyemprotkan pereaksi alkaloid
pada pelat KLT. Fraksi yang menunjukkan
keberadaan alkaloid dipisahkan lebih lanjut
dengan KLT preparatif.
Pencirian Senyawa Alkaloid
Senyawa alkaloid dianalisis dengan LC-MS,
spektrofotometer UV-Vis, dan FTIR.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak kasar etanol daun sirsak hutan
yang diperoleh sebanyak 119.86 g (rendemen:
14.27%). Hasil fraksi kloroform dari ekstrak
etanol didapat isolat sebanyak 0.95 g (0.11%).
Pemisahan isolat dengan kromatografi kolom
diperoleh 6 fraksi. Fraksi yang didapati positif
alkaloid adalah fraksi D (0.1628 g). Hasil
kromatogram lapis tipis preparatif terhadap
fraksi D menggunakan eluen CHCl3-MeOH
(85:15), memberikan keterpisahan yang dapat
dilihat di bawah sinar UV 254 nm sebagai
noda D3, D4, dan D5. Analisis dengan LCMS,
menunjukkan keberadaan campuran senyawa
pada noda D4 dan D5, sehingga pendugaan
struktur selanjutnya hanya difokuskan pada
noda D3 dan analisis spektroskopi sebagai
pendukungnya. Gambar 1 menyajikan spektrum MS untuk noda D3.

Gambar 2. Senyawa alkaloid yang struktur


molekulnya memiliki nilai UN=9 pada tanaman A.
Squamosa dan A. rugulosa

Berdasarkan hasil analisis LC-MS tersebut, noda D3 diduga merupakan senyawa


alkaloid armepavina. Pendugaan tersebut
berdasarkan kemiripan nilai BM dan rumus
molekulnya, sedangkan spektrum MS tidak
dapat dianalisis, karena pola pemisahan tidak
cukup baik untuk diinterpretasikan.
Hasil analisis UV-Vis terhadap noda D3
disajikan pada Gambar 3. Ciri khas senyawa
alkaloid ialah adanya atom nitrogen yang
memiliki pasangan elektron bebas. Atom

Gambar 1. Pola fragmentasi noda D3

1585

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

cm-1 diduga menunjukkan ikatan COC dari


substitusi O-metil dan atau OH dari armepavina. Senyawa aromatik (benzena) terdeteksi
dari ikatan C=C aromatik dan C-H aromatik
yang masing-masing memunculkan serapan di
1600 dan 1475 cm-1; 31503050 cm-1. Serapan
di 3182.55 cm-1 diduga berasal dari ikatan C-H
aromatik, sedangkan ikatan C=C aromatik
tidak terdeteksi dalam spektrum (Pavia et al.
2001). Sebagian besar puncak yang terdeteksi
pada spektrum IR memiliki kemiripan gugus
ikatan dengan senyawa armepavina.

nitrogen ini menyerap sinar UV pada panjang


gelombang >270 nm. Dibandingkan dengan
data
UV
senyawa
O-metilarmepavina
(Bhaumik et al. 1979) dalam pelarut metanol,
terdapat kemiripan panjang gelombang antara
hasil pengukuran (282 nm) dan data
pembanding (280 nm). Perbedaan panjang
gelombang ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan kondisi atau posisi atom nitrogen
dalam strukturnya.

4. KESIMPULAN
Pemisahan komponen alkaloid dengan
metode kromatografi kolom dan KLT preparatif menghasilkan 3 noda alkaloid (D3:1.05%;
D4:2.11%; D5:1.48%). Berdasarkan hasil
pencirian dengan LC-MS, spektrofotometer
UV-Vis dan FTIR, noda D3 diduga merupakan
senyawa armepavina.

Gambar 3. Spektrum ultraviolet noda D3

Spektrum FTIR noda D3 memunculkan


serapan pada bilangan gelombang 3485.37,
3182.55, 2922.16, 1660.71, 1111.00, 1060.85,
dan 1004.91 cm-1 (Gambar 4).

5. REFERENSI
Bhakuni DS, Tewari S, Dhar MM. 1972. Aporphine
alkaloids of Annona squamosa. Phytochemistry.
11(5):1819-1822.
Bhaumik PK, Mukherjee B, Juneau JP, Bhacca NS,
Mukherjee R. 1979.Alkaloids from leaves
of Annona squamosa. Phytochemistry. 18(9):
1584-1586.
Chang FR, Chen CY, Hsieh TJ, Cho CP, Wu YC.
2000. Chemical constituents from Annona
glabra III. J Chinese Chem Soc. 47:913-920.
Harborne
JB.
1987.
Metode
Fitokimia.
Padmawinata K, penerjemah. Bandung (ID):
ITB. Terjemahan dari: Phytocemical Methods.
Hendana W. 2012. Toksisitas akut ekstrak daun
sirsak ratu (Annona muricata) dan sirsak hutan
(Annona glabra) sebagai potensi anti kanker
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nazmi M. 2013. Pencirian ekstrak aktif sitotoksik
dari daun sirsak hutan (Annona glabra) Indonesia [skripsi], Institut Pertanian Bogor.
Padmaja V, Thankamany V, Hara N, Fujimoto Y,
Hisham A. 1995. Biological activities of Annona glabra. J Ethnopharmacol. 48(1):21-24.
Pavia DL, Lampman GM, Kriz GS. 2001. Introduction to Spectroscopy. Ed ke-3. Washington US:
Thomson Learning.
Vendramin ME, Costa EV, dos Santos EP, Belem
Pinheiro ML, Barison A, Campos FR. 2013.
Chemical constituents from the leaves of
Annona rugulosa (Annonaceae). BiochemSyst
Ecol. 49:152-155.

Gambar 4. Spektrum FTIR noda D3

Serapan pada bilangan gelombang 1060.85 cm1


diduga berasal dari ikatan CN amina 1, 2,
atau 3. Hal ini didukung oleh serapan pada
3485.37 cm-1 yang merupakan serapan ulur
NH amina 1 atau 2. Senyawa alkaloid
umumnya ditemukan dalam bentuk amina 2
atau 3, sebagian kecil saja yang ditemukan
dalam bentuk amina 1. Kemungkinan lain
adanya ikatan CN antara atom N dan C
alifatik diduga dari serapan di 2922.16 cm-1
yang terdeteksi sebagai ikatan CH alkana.
Serapan di 1660.71 cm-1 dengan intensitas
lemah diduga merupakan ikatan C=N imina
yang serapannya akan muncul dari intensitas
lemah sampai kuat. Nilai serapan pada 1004.91
cm-1 mengarah-kan dugaan pada ikatan CO,
yang kemungkinan dihasilkan oleh alkaloid
yang memiliki substituen O-metil atau OH.
Ikatan CO tersebut akan terdeteksi dalam
spektrum FTIR pada serapan 1120 cm-1 untuk
substitusi O-metil dan 1150-1100 cm-1 untuk
OH (alkohol 2 atau 3). Serapan di 1111.00

1586

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

ADSORPSI MINYAK DARI SAMPAH PLASTIK POLIPROPILEN


MENGGUNAKAN CAMPURAN BENTONIT/KARBON AKTIF YANG
TERAKTIVASI KOH
Heriyanti1, Restina Bemis2, Marfizal3, Affan Malik4, Sutrisno1
Program Studi Kimia Analisis Diploma III, Program Studi Ilmu Kimia,
Program Studi Teknik Pertambangan, Program Studi Pendidikan Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Jambi
email: heriyanti0205@gmail.com
Abstract
One of the development of alternative and renewable energy as a solution to reduce the dependence on fuel oil
is the conversion of plastic waste to oil as fuel by pyrolysis method. It also offers a way of solving problems of
plastic waste management as well as clean environment. The purpose of this studyis to improve the quality of oil
from plastic waste propylene through the adsorption process and characterization of bentonite and activated
carbon as an adsorbent. The adsorption process is used a mixture of bentonite and activated carbon were
activated with KOH. The ratio of bentonite and activated carbon is 40:50 and 55:45. Adsorption results
showed that the highest increase in the calorific value of 2.46% occurred in colorless polypropylene oils
adsorbed to the activated carbon composition of bentonite and 40%:60%. While the value of the sulfur content
of oil has decreased, with the largest decrease occurred in the colored polypropylene oil which is adsorbed to
the composition of bentonite and activated carbon 55:45 which is 23.52%. The characterization of bentonite
and activated carbon by XRD and SEManalysis showed that the compounds in the bentonite is dominated by
calcite (CaCO3) with the highest intensity of 100% at 2 of 29.6231 and the structure of activated carbon from
palm shell is amorphous compounds SiO2.
Keywords: polypropylene, pyrolisis, bentonite, activated carbon, adsorption
Abstrak
Salah satu pengembangan energi alternatif dan terbarukan sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan
pada bahan bakar minyak adalah konversi limbah plastik untuk minyak sebagai bahan bakar dengan metode
pirolisis. Ini juga menawarkan cara untuk memecahkan masalah pengelolaan sampah plastik serta lingkungan
yang bersih. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas minyak dari propilena sampah
plastik melalui proses adsorpsi dan karakterisasi bentonit dan karbon aktif sebagai adsorben. Proses adsorben
digunakan campuran bentonit dan karbon aktif yang diaktifkan dengan KOH. Rasio variasi campuran KOH
adalah 40:50 dan 55:45. Hasil adsorpsi menunjukkan bahwa peningkatan nilai kalor tertinggi yaitu 2,46%
terjadi pada minyak polipropilena bening yang diadsorpsi dengan komposisi bentonite dan karbon aktif
40%:60%. Sedangkan nilai kandungan sulfur minyak mengalami penurunan, dengan penurunan terbesar terjadi
pada minyak polipropilena warna yand diadsorpsi dengan komposisi bentonite dan karbon aktif 55:45 yaitu
sebesar 23,52%. Karakterisasi bentonit dan karbon aktif dengan XRD dan analisis SEM menunjukkan bahwa
senyawa dalam bentonit yang didominasi oleh kalsit (CaCO3) dengan intensitas tertinggi 100% pada 2 dari
29,6231 dan struktur karbon aktif dari tempurung kelapa adalah senyawa amorf SiO2 .
Kata kunci: polypropylene, pyrolisis, bentonit, karbon aktif, adsorpsi

Selain itu, setelah menjadi sampah, plastik


tidak biodegradable dan membutuhkan
puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai
secara alami di alam.

1. PENDAHULUAN
Penggunaan plastik dalam kehidupan
manusia semakin meningkat tiap tahunnya.
Material ini menjadi idola karena sifatnya
yang ringan, kuat, transparan, fleksibel,
mudah dibentuk, isolator yang baik, dan
dapat digunakan berulang kali. Namun,
plastik juga memiliki banyak kelemahan
diantaranya beberapa plastik mengandung
senyawa kimia yang berbahaya bagi manusia
jika penggunaanya tidak sesuai fungsinya.

Seiring dengan peningkatan penggunaan


plastik dalam kehidupan manusia, tumpukan
sampah plastik juga menjadi masalah besar
terutama bagi kota-kota besar, termasuk Jambi.
Menurut perhitungan Kementerian Lingkungan
Hidup (2015), peningkatan tumpukan sampah
di Indonesia telah mencapai 175.000 ton/hari
1587

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dengan kadar 15% adalah sampah plastik atau


mencapai 26.500 ton/hari.

melakukan adsorpsi minyak polipropilena


dengan menggunakan adsorben campuran
bentonite
dan
karbon
aktif
dengan
perbandingan
15:85.
Hasil
adsorpsi
memberikan kenaikan nilai kalor 4.28% dan
penurunan
kadar
sulfur
mencapai
22.89%.Pengombinasian bentonite dan karbon
aktif diharapkan akan menghasilkan adsorben
yang lebih baik dibanding sifat awal kedua
material tersebut dan meningkatkan kualitas
minyak plastik yang akan diterapkan sebagai
bahan bakar.

Pengelolaan sampah plastik dengan cara


ditimbun di tempat pembuangan akhir (TPA)
tidak
lagi
menjadi
solusi
terhadap
permasalahan meningkatnya tumpukan sampah
plastik. Hal ini dikarenakan kebutuhan lahan
TPA
akan
ikut
meningkat
dengan
meningkatnya
jumlah
sampah
plastik.
Ditambah lagi dengan sifat plastik yang
nonbiodegradable. Oleh karena itu, dibutuhkan
solusi jangka panjang dalam pengurangan
sampah plastik.

2. KAJIAN LITERATUR
Pada konversi limbah plastik menjadi
minyak, adsorpsi memegang peranan penting
dalam
kualitas
hidrokarbon
yang
dihasilkan.Adsorpsi adalah suatu proses
pemisahan bahan dari campuran gas atau cair,
bahan yang harus dipisahkan ditarik oleh
permukaan sorben padat dan diikat oleh gayagaya yang berkerja pada permukaan tersebut.
Didukung oleh selektifitas yang tinggi, proses
adsorpsi sangat sesuai untuk memisahkan
bahan dengan konsentrasi yang lebih kecil dari
campuran yang mengandung bahan lain yang
berkonsentrasi tinggi. (Bernasvoni et al, 1995).

Salah satu metode yang bisa digunakan


untuk mengurangi jumlah sampah plastik
adalah dengan mengkonversi sampah plastik
menjadi bahan bakar minyak setara premium
dan solar dengan metode pirolisis. Metode ini
tidak hanya menawarkan penyelesaian masalah
tumpukan sampah plastik, tetapi juga bisa
menjadi alternatif energi untuk mengurangi
ketergantungan pada bahan bakar minyak
berbasis fosil. Surono (2013) melaporkan telah
mengkonversi sampah plastik campuran
polietilen (PE) dan polipropilen (PP) menjadi
bahan bakar minyak menggunakan proses
thermo cracking pada temperatur 450oC
selama 2 jam dan dikondensasi pada
temperatur 21oC menghasilkan minyak yang
mempunyai jumlah atom karbon yang setara
dengan solar, yaitu C12-C17. Sutrisno et al
(2016) melaporkan telah melakukan pirolisis
sampah plastik jenis polipropilena bening dan
warna pada suhu berturut-turut 200 dan 300oC
dan menghasilkan minyak dengan rantai
karbon plastik polipropilena bening C4-C50
dan polipropilena warna dengan rentang C5C54 dengan luas area puncak tertinggi
menunjukkan rentang C8-C12.

Salah satu jenis adsorben adalah bentonite


dan karbon aktif. Penggunaan bentonit juga
berfungsi sebagai penukar kation sehingga
produk samping terikat kuat pada bentonit.
Dengan demikian produk yang terbentuk
hasilnya optimal. Alasan mengapa bentonit
dipakai sebagai adsorben dikarenakan daya
tukar ionnya cukup besar jika dilakukan
aktivasi secara fisika dan luas permukaan lebih
besar (Sahan, et al, 2012). Karena sifat-sifat
yang dimilikinya, maka bentonit jenis ini dapat
digunakan sebagai bahan penyerap (pemucat)
warna (Bleaching Earth), (Larosa, 2007).

Minyak hasil perengkahan umumnya


masih banyak mengandung pengotor-pengotor
sehingga perlu adanya upaya untuk
menghilangkan pengotor sehingga kualitas
minyak yang dihasilkan menjadi lebih baik,
salah satunya dengan cara adsorpsi.

Karbon aktif merupakan suatu padatan


berpori yang mengandung 85-95% karbon,
dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung
karbon. Dalam pembuatan arang aktif terdiri
dari dua tahap utama yaitu proses karbonasi
bahan baku dan proses aktivasi. Karbonasi
bahan baku merupakan proses pengarangan
dalam ruangan tanpa adanya oksigen dan
bahan kimia lainnya dalam proses pengarangan
terjadi pembentukan pori-pori sedangkan
aktivasi arang aktif berfungsi untuk
memperbesar pori-pori dari arang aktif
sehingga dapat menyerap logam berat dengan
maksimal (Sembiring, 2003).

Ada banyak jenis adsorben yang dapat


digunakan, bentonit merupakan salah satu jenis
adsorben yang melimpah dan tersebar
diberbagai daerah. Bentonit mempunyai sifat
mengadsorpsi,
karena
ukuran
partikel
koloidnya sangat kecil dan memiliki kapasitas
permukaan yang tinggi (Handayani dan
Yusnimar, 2013). Sutrisno et al (2016)
1588

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Agar
proses
adsorpsi
bentonite
berlangsung lebih cepat maka sebelum
digunakan sebaiknya dilakukan proses aktivasi
terlebih dahulu. Proses aktivasi dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu secara fisik
dengan proses heat treatment dan secara
kimiawi dengan menggunakan larutan asam
atau basa. Salah satu jenis zat kimia yang dapat
digunakan untuk proses aktivasi secara kimia
yaitu kalium hidroksida (KOH) atau nama
latinnya yaitu Potassium Hydroxide dimana
KOH ditambahkan kedalam karbon aktif dari
tempurung kelapa dengan perbandingan yang
dipakai yaitu 2:1 (dalam bentuk gram). Pada
penelitian ini aktivator yang digunakan adalah
KOH Hal ini karena KOH sebagai aktivator
dapat bereaksi dengan karbon dan KOH
merupakan basa kuat sehingga bisa
menghilangkan zat-zat pengotor dalam karbon
sehinggga membuat karbon menjadi lebih
berpori (Apriani et al, 2013).

Pencampuran
dengan
menimbang
sebanyak 10 gram campuran antara bentonit
dan karbon aktif. Variasi komposisi bentonite
dan karbon aktif adalah 15% : 85%, 40% :
60%, dan 55% : 45%.Campuran bentonite dan
karbon aktif kemudian digerus sampai terjadi
perubahan warna yang stabil.
Analisis Bentonit dan Karbon Aktif
Bentonit yang telah halus diambil
sebanyak 5 g untuk dianalisis dengan XRD (XRay Diffraction), SEM (Scanning Electron
Microscopy). Perlakuan yang sama untuk
karbon aktif teraktivasi.

Adsorpsi minyak PP dilakukan menurut


prosedur Aji dan Hidayat (2011) dengan
berbagai
modifikasi.
Minyak
plastik
polipropilena yang akan diadsorpsi adalah
minyak PP hasil penelitian Sutrisno et al
(2016). Campuran bentonit dan karbon aktif
pada berbagai komposisi yang telah halus
ditimbang sebanyak 10 g dan dimasukkan
ke dalam gelas kimia. Kemudian diberi sampel
minyak plastik 20 ml, diaduk dan dipanaskan
pada suhu 300C dengan menggunakan stirer
selama 2 jam. Minyak yang telah diaduk
kemudian disaring dengan menggunakan
kertas saring, filtrat disimpan untuk dianalisis
dengan menggunakan instrumen sulfur
analyzer, kalorimeter bomb dan GC-MS.

3. METODE PENELITIAN
Tahap penelitian terdiri dari dua tahap
yaitu adalah preparasi bentonite dan karbon
aktif dan adsorpsi minyak plastik PP dengan
campuran bentonite dan karbon aktif dengan
berbagai variasi komposisi.

Adsorpsi Minyak Plastik dengan


Campuran Bentonit dan Karbon Aktif

Preparasi Bentonit dan Karbon Aktif

Berdasarkan prosedur Nurhayati (2010),


bentonit dikeringkan dibawah sinar matahari,
kemudian dihancurkan dan dihaluskan dengan
menggunakan grinder, setelah didapatkan
bentonit dalam ukuran butiran selanjutnya
diayak dengan menggunakan ayakan 100
mesh, dicuci dengan menggunakan aquades
kemudian dioven 110oC selama 24 jam.
Perlakuan yang sama untuk karbon aktif
cangkang sawit.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Preparasi
Aktif

Bentonit

dan

Karbon

Bentonit yang digunakan adalah bentonit


lokal yang berasal dari Provinsi Jambi, hal ini
bertujuan untuk lebih memanfaatkan sumber
daya alam yang ada di Provinsi Jambi.
Preparasi
bentonite
dilakukan
dengan
penggerusan sehingga diperoleh bentonit
dengan ukuran 100 mesh, kemudian dilakukan
pencucian dan pemanasan dengan oven pada
suhu 110oC selama 24 jam. Pemanasan pada
suhu 100-200oC menyebabkan bentonit
kehilangan molekul air yang mengisi ruang
antar lapis (Nurhayati, 2010).

Aktivasi Karbon Aktif


Aktivasi karbon aktif dilakukan menurut
prosedur Sutrisno dan Yusnaidar (2007),
karbon aktif cangkang kelapa sawit yang telah
halus kemudian dikeringkan kemudian
dicampur dengan KOH dengan rasio
perbandingan 2 : 1, setelah tercampur
didehidrasi dalam tabung furnance pada suhu
450oC selama 2 jam. Kemudian cuci dengan
aquades sampai pH 6-7, lalu dikeringkan pada
suhu 110oC selama 2 jam.

Aktivasi Karbon Aktif


Proses aktivasi karbon cangkang sawit
dilakukan secara fisika dan kimia. Aktivasi
secara fisika dilakukan dengan pemanasan

Pencampuran Bentonit dan Karbon Aktif

1589

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

pada suhu 110oC sedangkan aktivasi secara


kimia dilakukan dengan menambahkan
aktivator. Aktivator yang digunakan adalah
KOH. KOH juga merupakan basa kuat
sehingga bisa menghilangkan zat-zat pengotor
dalam karbon sehingga membuat karbon
menjadi lebih berpori (Apriani, 2013). Tujuan
dari aktivasi ini untuk memperbesar luas
permukaan karbon. Pada penelitian ini
dihasilkan produk karbon aktif berwarna hitam
dan terdapat serbuk putih seperti warna kapur,
sesuai dengan penelitian Maulana (2011) saat
mengativasi karbon dengan KOH yang disertai
dengan terbentuknya serbuk putih. Hal ini
dikarenakan reaksi kimia antara karbon dengan
KOH menghasilkan terbentuknya senyawa
karbonat yang bersifat non volatil. Reaksi
kimia yang terjadi adalah sebagai berikut:

dioven pada suhu 110oC selama 24 jam dapat


dilihat pada gambar 1 dan tabel 1.
Berdasarkan hasil analisis foto SEM
bentonit pada gambar 1 memperlihatkan
distribusi pori pada permukaan bentonit. Dari
gambar dapat dilihat banyaknya lubang-lubang
hitam yang diidentifikasi sebagai pori,
sedangkan untuk komposisi penyusun dari
bentonit tersaji pada data EDS pada tabel 1,
terlihat komposisi penyusun bentonit antara
lain: Ca, C, Rb, Ir, Tl, dan As. Kandungan
unsur dalam bentonit yang terbesar adalah Ca
sebesar 75,3%
memperlihatkan bahwa
bentonit ini adalah jenis Ca-Bentonit.

6 KOH + C 4K + CO2 + 2 H2O


6 KOH + C 2K + 3H2 + 2K2CO3
4 KOH + 2CO22K2CO3 + 2H2O

Gambar 1. Foto SEM Bentonit


Tabel 1. Komposisi Unsur dalam Bentonit
Simbol
Nama
Konsentrasi
Unsur
Unsur
Ca
Calsium
75,3
C
Carbon
4,5
Rb
Rubidium
3.1
Ir
Iridium
7,6
Tl
Thallium
6,9
As
Arsenic
2,5

Pada proses aktivasi, karbon akan


bereaksi dengan aktivator (KOH) dan
menghasilkan karbon dioksida yang
berdifusi pada permukaan karbon.
Amorphous carbon yang menghalangi pori
bereaksi pada tahap oksidasi awal dan
sebagai hasilnya pori yang tertutup akan
terbuka. Ketika karbon dan aktivator
secara bersamaan dipanaskan pada suhu
tinggi, KOH bereaksi dengan karbon
menghasilkan K2CO3. Padatan potassium
karbonat terbentuk pada reaksi suhu tinggi
antara KOH dengan material karbon (Chao
et al, 2005). K2CO3 yang dihasilkan
selanjutnya
direduksi
oleh
karbon
membentuk atom kalium dan gas CO yang
kemudian terinterkalasi kedalam lapis
karbon menghasilkan permukaan pori
dengan ukuran sesuai jari-jari atom K,
sehingga
luas
permukaan
karbon
meningkat. Selanjutnya reaksi akan
berlanjut dengan mengikis dinding karbon
untuk menbentuk pori-pori baru sehingga
akan memperbesar luas permukaan karbon.

Hasil karakterisasi bentonit menggunakan


XRD disajikan pada Gambar 2 Dari Gambar 2
dapat dilihat bahwa pola difraksi bentonit alam
yang telah dibersihkan dan dioven pada suhu
110oC. Dengan membandingkan puncak

utama dari difraktogram XRD bentonit


(Gambar 2) dengan database pada XRD
yang digunakan, diduga bentonit yang
digunakan mengandung calsite (CaCO3).
Karakteristik calsite (CaCO3) pada o2,

29,623o dan nilai basal spacing sebesar


3,015 . Dan berdasarkan data dapat
diketahui sistem kristal pada CaCO3 yakni
rhombohedral

Karakterisasi Bentonit dan Karbon Aktif


Menggunakan XRD dan SEM
Hasil analisis SEM (Scanning Electro
Microscopy) dan EDS (Energi Disvertive
Spektoscopy) untuk bentonit alam yang telah
1590

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

menunjukkan bahwa terjadi pergeseran


kristalin
yang
berpengaruh
terhadap
pembentukan karbon aktif. Hal ini dapat dilihat
pada 2 untuk karbon sebelum aktivasi yaitu
26,63o dan setelah aktivasi puncak ini bergeser
menjadi 26,73o. Selain itu juga muncul puncak
baru pada 2 24,32o dan 31,47o.Menurut
database XRD pada 2 24,32odan 2 31,47o
merupakan senyawa potassium.
Gambar 2. Difraktogram XRD Bentonit
Hasil analisis topografi permukaan karbon
cangkang sawit seperti yang disajikan pada
gambar 3,terlihat bahwa pori-pori pada
permukaan karbon cangkang sawit yang belum
diaktivasi masih sedikit dan lekukanlekukannya tidak terlalu dalam serta jarak
antar pori berjauhan. Sedangkan untuk karbon
cangkang sawit yang telah diaktivasi pori-pori
yang terbentuk pada permukaan cukup banyak
dan lekukan-lekukannya cukup dalam dan
jarak antar poripun berdekatan. Bagian yang
berwarna putih merupakan hasil reaksi antara
karbon dengan KOH menghasilkan senyawa
karbonat.

(a)

Gambar 4. Difraktogram Karbon Cangkang


Sawit
Berdasarkan Mopoung (2008) puncak
grafik untuk grafit karbon ditunjukkan pada
2 26o dan 44o, K2O pada 2 28o dan 42o,
sedangkan K2CO3 ditunjukkan pada 2 31,4o.
Adanya kemiripan pola dari puncak grafik dan
keberadaan puncak grafik pada 2 yang sama
pada hasil penelitian Mopoung, menunjukkan
bahwa karbon yang dihasilkan adalah karbon
teraktivasi KOH. Tabel data puncak untuk
karbon sebelum aktivasi dan setelah aktivasi
dari instrumen XRD terdapat dalam Tabel 4.
Tabel 4. Data Puncak Difraktogram pada
Karbon Cangkang Sawit
Nama
Sebelum
Setelah
Senyawa
Aktivasi
Aktivasi
o
o
2

K
24,321 3,659
SiO2
26,633 3,344 26,736 3,334
K
31,474 2,842

(b)

Gambar 3. SEM Karbon Aktif (a) Sebelum


Aktivasi, (b) Teraktivasi KOH
Komposisi penyusun karbon cangkang
sawit yang telah teraktivasi dapat dilihat pada
tabel 3, terdeteksi adanya unsur C dalam
karbon cangkang sawit, selain itu juga
terdeteksi unsur O, K, dan Si. Sedangkan hasil
analisis karbon aktif menggunakan XRD
disajikan pada gambar 4.
Tabel 3. Komposisi Karbon Aktif
Simbol
Nama
C
Carbon
O
Oxygen
K
Potassium
Si
Silicon

Hasil analisis campuran bentonite dan


karbon aktif pada berbagai komposisi dapat
dilihat pada tabel 5. Dari tabel 5 diketahui
bahwa penyusun dari campuran bentonite dan
karbon aktif adalah C, K, O dan Ca.
Tabel 5. Komposisi Unsur Campuran Bentonit
Alam dan Karbon Teraktivasi KOH
Simbol
Konsentrasi (%)
40%:60% 55%:45%
C
9,0
4,2
K
25,8
24,1

(%)
25,0
50,8
21,5
2,6

Berdasarkan gambar 4 dapat dilihat pola


XRD karbon sebelum aktivasi dan setelah
aktivasi. Terdapat perbedaan pola XRD, hal ini
1591

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

O
Ca

57,5
7,8

56,1
15,7

Adsorpsi Minyak Plastik dengan


Campuran Bentonit dan Karbon Aktif

Perubahan fisik warna hasil adsorpsi


minyak polipropilena ditunjukkan pada tabel 6.
Dari tabel 6 diketahui terjadi perubahan warna
pada minyak polipropilena setelah diadsorpsi
dimana minyak plastik polipropilena sebelum
adsorpsi memiliki warna yang lebih pekat dan
gelap, sedangkan minyak plastik polipropilena
setelah diadsorpsi memiliki warna yang lebih
bening. Perubahan warna yang terjadi
dikarenakan adanya pengaruh dari campuran
bentonit alam dan karbon teraktivasi yang
dapat berperan sebagai bleaching. Menurut
Miskah (2010) Bleaching adalah proses
pemucatan warna untuk mengurangi atau
menghilangkan zat-zat warna yang terdapat
dalam minyak, baik yang terlarut maupun yang
terdispersi.

Gambar 5. Nilai Kalor Minyak Polipropilena


Hasil analisis kandungan sulfur minyak
polipropilena dan bensin sebagai pembanding
menggunakan kalorimeter bom dapat dilihat
pada gambar 6. Berdasarkan gambar 5, kadar
sulfur dalam minyak polipropilena dan bensin
mengalami penurunan untuk semua minyak
polipropilena dan bensin dengan persentase
berbeda tiap variasi komposisi adsorben. Hal
ini
mengindikasikan
bahwa campuran
bentonite
dan
karbon
aktif
mampu
menurunkan kadar sulfur pada variabel uji
yang disebabkan oleh karbon aktif dan Cabentonit yang memiliki kemampuan adsorpsi
dan bleaching (pemucatan). Selain itu,
pemucatan juga berperan dalam mengurangi
komponen miror lainnya seperti warna,
senyawa bersulfur dan logam berat.

Tabel 6. Perubahan Warna Minyak setelah


Adsorpsi
Sampel
PP Bening
PP Warna
Premium

Sebelum
Adsorpsi
Kuning
Bening
Kuning
Kecoklatan
Kuning
Emas

Setelah
Adsorpsi
Kuning
Bening Jernih
Kuning emas
Kuning emas
jernih

Hasil analisis nilai kalor minyak


polipropilena dan bensin sebagai pembanding
dapat dilihat pada gambar 5. Berdasarkan
gambar 5, nilai kalor minyak polipropilena dan
bensin mengalami kenaikan setelah diadsorpsi.
Ini menandakan bahwa pemakaian bentonit
alam karbon aktif yang bertindak sebagai
adsorben mampu membantu peningkatan nilai
kalor pada minyak sampel yang dianalisis
dengan cara mengikat zat pengotor yang
berada dalam minyak plastik polipropilena dan
minyak bensin.Namun, persentase kenaikan
nilai kalor pada kombinasi bentonite 40:60 dan
55:45 lebih rendah daripada penelitian
terdahulu (Sutrisno et al, 2016). Kenaikan nilai
kalor tertinggi terjadi kombinasi bentonite dan
karbon aktif 40% dan 60% yaitu 2,46% untuk
minyak polipropilena bening dan 2,19% untuk
minyak polipropilena warna.

Gambar 6. Kadar Sulfur Minyak


Polipropilena
Berdasarkan gambar 6, penurunan kadar
sulfur
terbesar
terjadi pada
minyak
polipropilena warna yang diadsorpsi dengan
campuran 55% bentonite dan 45% karbon
aktif, diikuti oleh minyak polipropilena warna
yang
diadsorpsi
dengan
perbandingan
bentonite dan karbon aktif sebesar 40%:60%.
Persentase penurunan kadar sulfur berturutturut adalah 23,52% dan 23,29%.

1592

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Technology of Shanxi Province and Ministry of
Education Taiyuan University of Technology:
China.

5. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh padapenelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Senyawa dalam bentonit adalah calcite
(CaCO3) berdasarkan analisis XRD dengan
intensitas 100% pada 2 sebesar 29,6231
sedangkan struktur dari karbon cangkang
sawit merupakan senyawa amorf dengan
senyawa SiO2 pada 2 26,633, intensitas
100%.
2. Nilai
kalor
minyak
polipropilena
meningkat setelah diadsorpsi dengan
campuran bentonite dan karbon aktif.
Kenaikan nilai kalor tertinggi terjadi
kombinasi bentonite dan karbon aktif 40%
dan 60% yaitu 2,46% untuk minyak
polipropilena bening dan 2,19% untuk
minyak polipropilena warna.
3. Adsorpsi
minyak
polipropilena
menyebabkan penurunan kadar sulfur pada
minyak. Penurunan kadar sulfur terbesar
terjadi pada minyak polipropilena warna
yang diadsorpsi dengan campuran 55%
bentonite dan 45% karbon aktif yaitu
23,52%.

Handayani, K. dan Yusnimar. 2013. Pengaruh


Ukuran Partikel Bentonit dan Suhu Adsorpsi
Terhadap Daya Jerap Bentonit dan Aplikasinya
Pada Bleaching CPO. Jurnal Teknobiologi.
IV(2).
Larosa, N. Y. 2007. Studi Pengetasan Bentonit
Bentonit Terpilar-Fe2O3. Skripsi. Universitas
Sumatera Utara: Medan.
Maulana, A. 2011. Pembuatan Karbon Aktif
Berbahab Dasar petroleum Coke Dengan
Metoda Aktivasi Kimia. Universitas Indonesia:
Depok.
Miskah, S. 2010. Pemanfaatan Batu Apung
(Pumice) Sebagai Bahan Pemucat Crude Palm
Oil. Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik
Universitas Sriwijaya. Palembang.
Mopoung, S. 2008. Surface Image of Charcoal and
Activated Charcoal From Banana Peel. Journal
of Microscopy Society of Thailand, 22: 15-9.
Nurhayati, H. 2010. Pemanfaatan Bentonit
Teraktivasi Dalam Pengolahan Limbah Cair
Tahu. Skripsi. Universitas Sebelas Maret:
Surakarta.

6. REFERENSI

Sahan, Y., Despramita, K dan Sultana, Y. 2012.


Penentuan Daya Jerap Bentonit Dan
Kesetimbangan Adsorpsi Bentonit Terhadap Ion
Cu(II). Chem. Prog. 2: 94-99.

Aji, D.W. dan Hidayat, M.N. 2011. Optimasi


Pencampuran Carbon dan Bentonit Sebagai
Adsorben Dalam Penurunan Kadar FFA (Free
Fatty Acid) Minyak Bekas Melalui Proses
Adsorbsi. Universitas Diponegoro: Semarang.
1-5.

Sembiring, M.T, dan Sinaga.T.S. 2003. Arang


Aktif. Makalah. Sumatra Utara: Jurusan Teknik
Industri. Fakultas Teknik Universitas Sumatra
Utara.

Apriani, R., D. I. Faryuni dan D. Wahyuni. 2013.


Pengaruh Konsentrasi Aktivator Kalium
Hidroksida (KOH) Terhadap Kualitas Karbon
Aktif Kulit Durian Sebagai Adsorebn Logam Fe
Pada Air Gambut. Prisma Fisika. 2: 83.

Sutrisno dan Yusnaidar. 2007. Characterization and


Kinetic Adsorption Of The Different Sources
Activated Carbon For Liquid-Phase Adsorption.
J. Sains MIPA, ISSN 1978-1873. 3: 152-158.

Bernasconi, G, Gerster, H, dan Hauser H. 1995.


Teknologi Kimia Bagian 2. Edisi pertama.
Terjemahan Lienda Handojo, Pradnya Paramita.
Jakarta. hal:204.

Sutrisno, Heriyanti, Restina, B., 2016. Karakteristik


Minyak dari Sampah Polipropilena dan
Pemanfaatannya
sebagai
Bahan
Bakar
Alternatif.

Chao, Q, et al., 2005. Process Effect an Activated


Carbon with Spesific Surface Area from Corn
Cob. Key Laboratory for Coal Science and

1593

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

EDIBLE FILM DARI BLENDING PATI JANENG (Discorea hispida)-KHITOSAN SEBAGAI


PENGEMAS MAKANAN
Hira Helwati 1, Narlis, Saiful, Rahmi
1

Jurusan Kimia,FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia


hirahelwati@unsyiah.ac.id

ABSTRACT
Aplication of Edible film from blended janeng starch-chitosan as foods packaging, especially fruits and
vegetables has been studied. Blending of starch janeng with chitosan aiming to improve the mechanical
properties of the edible film especially for water resistance properties, as well as take advantage of the
antimicrobial activity of the chitosan. Optimum condition to obtain the best edible film was performed by
preparation of various concentrations of janeng starch, chitosan, and plasticizers. The clear and best
charcteristic films obtains at ratio Janeng starch: chitosan 1,6:1,4(%w/v) with plastisizer 1,2% of glycerol or
3% palm oil. The film degraded 100% after eight days on various types of soils where the film contained palm
oil degraded faster than glycerol contained film. Aplication of the edible films as fruits wraping and coating
shows that the film could mantainced the fruits during storage.
Key words: Janeng strarch, Chitosan, Edible bioplastic, blending.

et al., 2008; Malmiri et al., 2011; Bouton and


Chinnan, 201; Dhanapal et al.,2012,
Jimenez,et al., 2012). Pengemas edible dapat
di aplikasikan dalam bentuk film atau coating.
Film diaplikasikan sewaktu waktu, seperti
pada pengemas konvesional sedang coating
diaplikasikan dalam bentuk cair langsung pada
permukaan makanan (Rashidi and Bahri,
2009).
Bioplastik atau biofim dari pati janeng
telah berhasil di buat. Film dengan
penambahan gliserol sebagai pemlastis
mempunyai kualitas yang cukup baik dalam
mempertahankan sifat organoleptik buah yang
dikemas dengan bioplastik tersebut. Biofilm
ini terbiodegradasi dengan cepat pada semua
jenis tanah dan dapat menjaga kesegaran dan
kandungan vitamin C dari buah-buahan yang
di kemas dengan biofilm ini hampir sama
dengan penggunaan plasik sintetik (Helwati
dkk., 2013).
Salah satu kekurangan biofilm dari
pati adalah kekuatan tarik yang rendah dan
daya serap air tinggi, hingga untuk keperluan
pengemas makanan dan coating di sarankan
untuk mengkombinasi pati dengan
dan
biopolimer lain ((Gomez-Guillen et al., 2008
dalam Santacruz et al, 2015). Blending pati
janeng-khitosan dilakukan bertujuan untuk
meningkatkan sifat fisik bioplastik dari pati
janeng sedangkan penambahan pemlastis
adalah untuk meningkatkan elastisitas biofilm
yang dihasilkan. Studi ini mempelajari

PENDAHULUAN
Polimer alami seperti pati merupakan
salah satu alternatif pengganti plastik berbahan
dasar minyak bumi. Bioploimer ini dapat
dikembangkan sebagai film biodegradable dan
edible karena tersedia dalam jumlah yang
banyak dan berharga murah (Bourton and
Chinnan, 2008., Lu et al, 2009., SanchesGonzales et.al., 2015). Edible film merupakan
lapisan tipis yang melapisi suatu bahan pangan
dan layak dimakan. Pengembangan edible film
pada makanan selain dapat memberikan
kualitas produk yang lebih baik dan
memperpanjang daya tahan, juga dapat
merupakan bahan pengemas yang ramah
lingkungan (Bourtoon, 2008., Embuscado., et
al, 2009, Mei, et al, 2013). Edible film
memberikan alternatif bahan pengemas yang
tidak berdampak pada pencemaran lingkungan
karena menggunakan bahan yang dapat
diperbaharui
dan
harganya
murah
(Gambarzadeh, et al., 2010., Guttierres, et al.,
2015., Santacruz, et al., 2015)
Pengemas edible dapat digunakan
untuk memperbaiki kualitas makanan,
memperpanjang masa simpan, meningkatkan
efisiensi ekonomis, menghambat perpindahan
uap air, perubahan aroma, migrasi lipid
diantara bahan pangan, mencegah absorbsi
oksigen, meningkatkan sifat penanganan
mekanik dan sebagai pelindung fisik (Silva,
2005, Sanches-Gonzales.L., 2015.,Buttkinaree
1594

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

kecepatan biodegradasi biofilm pati janengkhitosan serta aplikasinya sebagai pengemas


buah-buahan.

Aplikasi edible film sebagai pengemas dan


coating
Uji daya tahan buah-buahan dilakukan
secara visual dengan membungkus irisan buah
apel dengan edible film selama penyimpanan
(7 hari) dan dibandingkan dengan buah tanpa
pembungkusan. Nilai daya tahan warna, tekstur dan aroma diperoleh dari 10 orang panelis
yang mengamati dan membandingkan dengan
potongan buah apel tanpa pembungkusan.

1. METODE PENELITIAN
Isolasi Pati Janeg
Sebanyak 2 kg umbi janeng (D.
hispida) dikupas dan dibersihkan kemudian
dipotong kecil-kecil dan dibilas dengan
akuades. Potongan umbi diblender dengan
larutan natrium bisulfit (1,12 g/L) selama 5
menit. Homogenat dibilas dengan aquades dan
diperas menggunakan kain berpori halus
beberapa kali sampai air perasan berwarna
bening. Uji kualitatif kandungan dioscorine
dan HCN dilakukan dengan menggunakan
larutan AgNO3 0,5 M. Air perasan didiamkan
selam 24 jam, endapan yang diperoleh dari
dicuci dengan akuades dan disaring dengan
penyaring Buchner dikeringkan dalam oven
suhu 70oC selama 24 jam, dihaluskan untuk
mendapatkan tepung janeng berukuran 100
mesh

Coating buah anggur dilakukan dengan


metoda pencelupan dimana buah di celupkan
pada campuran gelatin pati dan khitosan yang
telah di dinginkan dan di amati perubahan
warna dan tekture selama 15 hari
Uji Biodegradasi
Edible film dipotong masing-masing
berukuran 2x1,5 cm, dicuci dengan aquades
dan dibilas dengan alkohol 70% selama 5
menit. Spesimen yang sudah steril dikeringkan
dalam oven pada suhu 50oC selama 24 jam,
kemudian ditimbang dengan neraca analitik
dan dicatat hasilnya. Setiap potongan film
dikuburkan dalam wadah polibed yang berisi
tanah sampah sebanyak 4kg dengan kedalaman
10 cm. Setiap hari, spesimen uji diambil dan
dibersihkan, dicuci dengan aquades kemudian
dibilas dengan alkohol 70 % selama 5 menit.
Selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu
50oC selama 1 hari. Spesimen ditimbang
kembali menggunakan neraca analitik. Persen
kehilangan berat dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
Wo W1
Persen kehilangan berat =
x 100 %
Wo

Pembuatan Pasta Pati Janeng


Tepung janeng disuspensi dalam
aquades sesuai dengan konsentrasi yag di
inginkan kemudian diaduk hingga rata.
Campuran tersebut dipanaskan diatas hotplate
stirrer pada suhu 75-80oC hingga tercapai
kondisi gelatinisasi selama 15-30 menit menit.
Pasta tepung janeng yang terbentuk kemudian
didinginkan hingga mencapai suhu 27-30o C.
Pembuatan Larutan Khitosan
Sebanyak 2 gram khitosan dilarutkan
dalam asam asetat 1% hingga terlarut
sempurna. Larutan khitosan diaduk menggunakan stirrer kurang lebih 3 jam sehingga homogen secara sempurna.

Dimana: W0 = Berat plastik Biodegradable


sebelum uji biodegradasi (gr). W1 = Berat plastik
Biodegradable sesudah uji biodegradasi (gr).

Pembuatan edible film


Pasta dan larutan khitosan di campur
dengan komposisi pati 1.6% dan khitosan
1.4%. Campuran di aduk merata dengan stirer
dan di tambahkan gliserol 1.2% (w/w) dari
total berat larutan dan di aduk merata.
Campuran di tuang pada plat kaca dan di
simpan pada suhu 55oV selama 10 jam tanpa di
ganggu kemudian di dinginkan pada suhu
ruang sampai kering dan film yang terbentuk
bisa di lepaskan dari plat kaca. Perlakuan yang
sama di lakukan untuk film dengan pemlastis
minyak sawit 3%.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN


Jenis gadung yang digunakan pada
penelitian ini adalah D. hispida. Umbi D.
hispida mengandung kadar dioscorine dan
HCN yang tinggi sehingga harus dihilang
selama proses isolasi dan pemurnian pati. Hasil
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
kadar HCN pada D. hispida mencapai
700mg/kg umbi (Saidi et al., 2009).
Pati janeng diisolasi dengan cara
mengendapkan sari bubur janeng yang di
haluskan dengan alat blender. Endapan pati
dicuci berulang-ulang menggunakan akuades
1595

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

untuk menghilangkan kandungan dioscorine


dan HCN yang ditandai dengan hasil dengan
negatif reaksi pengujian menggunakan
pereaksi AgNO . Tepung pati Janeng yang
3

diperoleh dihaluskan dengan menggunakan


blender dan diayak dengan saringan 100 mesh.
Pati yang dihasilkan berwarna putih.
Gambar1. menunjukkan tahapan isolasi pati
dari umbi janeng, mulai dari proses
pengupasan, pemotongan, penghalusan umbi
janeng sampai didapatkan pati kering.

Gambar 2. . Profil plastik blending pati khitosan


(1,6 : 1,4 (w/v)

Gambar 3. Profil Biofilm pati-khitosan dengan


penambahan pemlastis gliserol 1,2%.
Gambar 1. Tahapan isolasi pati dari janeng (1):
Potongan janeng di tambahkan larutan Na.Bisulfit
dan di blender (2), hasil blender di saring (3) dan
filtrat endapkan, di cuci beberapa kali sampai tidak
ada lagi terbentuk endapan coklat pada uji dengan
AgNO3 (5). Endapan pati di kering kan dalam oven

Pembuatan bioplastik di lakukan


dengan metode pembalikan fasa (phase
inversion method). Secara garis besar, metoda
ini
cukup
sederhana
yaitu
dengan
mencampurkan pati dan air menjadi suatu
larutan cetak (dope). Larutan cetak kemudian
dicetak di atas bahan pendukung seperti plat
kaca atau keramik. Bioplastik akan terbentuk
setelah mengalami proses solidifikasi dengan
adanya penguapan dari pelarut Pencetakan
dilakukan pada suhu ruang. Plastik campuran
pati-khitosan di buat dengan menambahkan
larutan khitosan pada pati yang sudah
digelatinas dan di tuang dalam cetakan.
Gambar 2. merupakan profil bioplastik dari
campuran
pati-khitosan
perbandingan
pati:khitosan (1,6 : 1,4 (w/v)). Dari profil ini
terlihat plastik yang dihasilkan terlihat bening
dan halus. Penambahan pemlastis (1,2%
gliserol dan 3% minyak sawit) ke dalam
campuran pati-khitosan menghasilkan biofilm
yang lebih halus dan lentur (Gambar 3 dan 4).

Gambar 4. Profil Biofilm pati-khitosan dengan


penambahan pemlastis minyak sawit 3%

Uji biodegradasi bioplastik dilakukan


dengan penanaman bioplastik dalam tiga jenis
tanah yaitu tanah biasa yang di ambil dari
lapangan berumput, tanah bekas pembuangan
sampah dan tanah bercampur pupuk kandang
selama 8 hari. Pengujian didasarkan pada
kehilangan berat dengan menimbang berat
setiap harinya sehingga plastik habis
terdegradasi. Hasil pengujian dapat dilihat
pada grafik Gambar 5.
Dari grafik pada Gambar 5. dapat
dilihat bahwa bioplastik berbahan dasar pati
janeng dapat terurai dengan sempurna pada
semua tipe tanah uji. Tanah pupuk kandang
merupakan media yang sangat cepat dalam
kinetika penguraian bioplastik diikuti tanah
sampah dan tanah biasa. Bioplastik pati janeng
murni mempunyai kecepatan pengu-raian lebih
tinggi dalam semua media tanah. Bioplastik
1596

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

blending pati-khitosan
yang dimodifikasi
dengan penambahan gliserol sebagai pemlastis
terurai lebih cepat pada media tanah dengan
pupuk kandang sedangkan pada bioplastik
yang ditambahkan minyak sawit paling cepat
terurai pada tanah bekas pembuangan sampah.
Kinerja
biodegradasi
merupakan
akibat dari kerja mikroorganisme yang terdapat
dalam tanah. Pada tanah yang mengandung
pupuk kandang dan bekas pembuangan
sampah biodegaradasi lebih cepat karena
jumlah mikroorganisme pengurai sampah
seperti kelompok bakteri heterotrof antara lain
bakteri nitrit (nitrosococus), bakteri nitrat
(nitrobacter), clostridium dan sebagainya.
Disamping pengaruh populasi mikroorganisme, biodegradasi bioplastik dengan bahan
dasar pati juga bergantung pada beberapa
faktor seperti kelembaban, keasaman tanah,
suhu dan kandungan pati dalam sampel
(Bikiaris, 1998).

bungkus dengan bioplastik tersebut. Perubahan


warna dan tekstur potongan buah apel dalam
wadah plastik yang di tutup dengan biofilm
berbahan dasar janeng ini di amati selama
enam hari, terlihat terlihat jelas bahwa apel
yang di bungkus dengan bioplastik warna dan
tekturnya tidak berbeda jauh dengan apel yang
di bungkus dengan plastik komersial, sedangkan potongan apel kontrol yang tidak di bungkus terlihat adanya perubahan struktur dan
warna yang jauh berbeda (Gambar 6).
Pembusukan dan kehilangan air pada potongan
apel yang di kemas dalam biofilm dengan
penambahan pemlastis lebih lama dari pada
biofilm tanpa pemlastis.

Gambar 6. Perubahan warna dan tektur potongan


buah apel yang di bungkus dengan bioplastik setelah di simpan setelah 6 hari, di bandingkan dengan
kontrol bahan makanan yang tidak di bungkus dan
yang di bungkus dengan plastik sintetis.

Aplikasi biofilm dilakukan dengan melapisi


buah anggur dengan larutan biofilm. Larutan
biofil di buat dengan variasi konsentrasi pati
1,5 (w/v) dengan penambahan larutan khitosan
dalam asam asetat 1M 0,5%. Hasil pengamatan
buah anggur yang di lapisi biofim dan di
biarkan pada suhu ruang selama 15 hari terlihat
bahwa biofilm pati-khitosan dapat menjaga
kondisi buah dengan mengu-rangi kehilangan
air pada buah, memperlambat pembusukan dan
memperpanjang umur buah (Gambar 7.),
berbeda jauh dengan kontrol yang tidak di
lapisi biofilm yang sudah busuk dan kering
pada hari ke 15.

Gambar 7. Perubahan warna dan tektur buah


anggur yang di lapisi dengan biofilm setelah
dibiarkan pada suhu ruang selama 15 hari.

Gambar 4.Grafik % kehilangan berat bioplastik


setelah di tanam pada 3 jenis tanah selama 8 hari.

Aplikasi bioplastik/film yang dihasilkan sebagai pengemas lakukan dengan cara


melihat kemampuan bioplastik mempertahankan kesegaran bahan makanan yang di

3.

KESIMPULAN
Modifikasi biofilm dengan mencampur
(blending) pati janeng dan khitosan telah
1597

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Innovative Food Science and Emerging
Technologies 697702
Gomez-Guillen, M., Perez-Mateos, M., GomezEstaca, E., Lopez-Caballero, E.,Gimenez, B., &
Montero, P. 2008. Fish gelatin: a renewable
material for developing active biodegradable
films. Trends in Food Science and Technology,
20, 3-16
Gutierrez.T.J., Mara Soledad Tapia, Elevina Perez
, Luca Fama, 2015, Structural and mechanical
properties of edible films made from native and
modified cush-cush yam and cassava starch,
Food Hydrocolloids, 45, 211-217
Jimnez, A, Mara Jos Fabra, Pau Talens, Amparo
Chiralt. 2012, Edible and Biodegradable Starch
Films: A Review, Food Bioprocess Technol
5:20582076
Malmiri,J. H., Osman, A., Tan, C.P. and Rahman,
A. R., 2011, Development of an edible coating
based on chitosan-glycerol to delayBerangan
banana (Musa sapientum cv. Berangan) ripening
process International Food Research Journal
18(3): 989-997
Mei.J., Yilin Yuan, Yan Wu, Yunfei Li,
Characterization of edible starchchitosan film
and its application in the storage of Mongolian
cheese, International Journal of Biological
Macromolecules 57 (2013) 17 21
Rashidi,M., and Bahri, M.H., 2009, Interactive
Effects Of Coating Method And Storage Period
On Quality Of Carrot (Cv. Nantes) During
Ambient Storage, Journal of Agricultural and
Biological Science, VOL. 4, NO. 3.
Sanchez-Gonzalez.L, Elmira Arab-Tehrany, Maite
Chafer, Chelo Gonzalez-Martnez, and
Amparo Chiralt, 2015, Active Edible and
Biodegradable Starch Films, Book
chapter:Polysaccharides, Springer International
Publishing Switzerland
Santacruz.S., C. Rivadeneira, M. Castro, 2015,
Edible films based on starch and chitosan.
Effect of starch source and concentration,
plasticizer, surfactant's hydrophobic tail and
mechanical treatment, Food Hydrocolloids, 49,
89-94
Silva, S.S., 2005, Physical Properties and
biocompatibility of chitosan/soy blended
membranes, Journal of Materials Science, 16,
575-579.

dilakukan dan didapatkan komposisi biofilm


dengan karakteristik terbaik adalah dengan
perbandingan pati:khitosan:gliserol 1,6;1,4;1,2
(%w/v) dan pati:khitosan:minyak sawit
1,6:1,4: 3 (%w/v). Biofilm ini terdegradasi

sempurna setelah 8 hari penanaman dalam


tanah. Aplikasi edible film sebagai
pengemas makanan dapat di terapkan
dalam bentuk kemasan edible ataupun
coating yang dapat memperpanjang umur
simpan buah.
Ucapan Terima kasih
Ucapan terimakasih atas dukungan dana
penelitian dari
hibah penelitian
Fundamental Dikti tahun 2014-2015.
4. REFERENSI
Bourtoom,T., Chinnan, M.S., 2008, Preparation and
properties of rice starchechitosan blend
biodegradable film, Food Science and
Technology 41: 1633-1641
Bourtoom, T., 2009, Edible films and coatings:
characteristics and properties, Review Article,
International Food Research Journal 15(3):
237-248,.
Butkinare,S., Jinkar, T., Yoksan, R., 2008, Effects
of Biodegradable Coating on Barrier Properties
of Paperboard Food Packaging Journal of
Metals, Materials and Minerals. Vol.18
No.219-222
Dhanapal, A., Sasikala.P, Rajamani, L., Yazhini.,
K.V,. Shakila Banu ,G.M., , 2012, Edible films
from Polysaccharides, Food Science and
Quality Management Vol 3.9-18
Embuscado, M.E., Kerry C. Huber, 2009, Edible
Films and Coatings for Food Applications,
Springer, New York
Lu. D. R., C. M. Xiao, S. J. Xu, 2009, Starch-based
completely biodegradable polymer materials,
eXPRESS Polymer Letters Vol.3, No.6 366375
Ghanbarzadeh.B, Hadi Almasi , Ali A. Entezami,
2010, Physical properties of edible modified
starch/carboxymethyl cellulose films,

1598

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

THE ZEOLITE X FROM LIGHT FRACTION OF NON MAGNETIC ASH


RESIDUAL BURNING OF PALM OIL SHELL
Iis Siti Jahro 1), Tita Juwitaningsih 2), Rini Selly 3)
MIPA, Universitas Negeri Medan
email: 1jahrostiis@yahoo.com, 2juwitaningsih@gmail.com, 3rinonly.selly@gmail.com
Abstract
Palm oil factory produce palm oil shells and ash palm oil shells wastes around 63,523.00 and 9,528.45 tons in
a year. Palm oil shells ash causes pollutions of air, water and soil which damage the health of people around
the palm oil factory. The ash of palm oil shells contain 63.5% of SiO2 and and 8.6 % of Al2O3 so it can be used
as a material to synthesize a zeolite. Zeolite X has been successfully synthesized from light fraction of nonmagnetic ash of palm oil shells through the hydrothermal reaction at a temperature of 60 and 120 C. The
infrared spectra of zeolite X showed absorption bands in the wave numbers area of 400-500; 550-750 and 9001200 Cm-1. The quality of zeolite X affected by the purity of palm oil shells ash, the ratio of Si to Al and the
amount of Na2EDTA addition.
Keywords: Zeolite X, palm oil shells, hydrothermal reaction, infrared spectra

2. KAJIAN LITERATUR
Zeolit merupakan kristal aluminasilika
dengan struktur kerangka tiga dimensi yang
terbentuk dari tetrahedral silikat (SiO4) dan
aluminat (AlO4) yang saling berhubungan
melalui penggunaan bersama atom-atom
oksigen
untuk
membentuk
pori-pori
berdimensi molekular yang teratur. Jenis zeolit
yang dihasilkan dari suatu proses sintesis
sangat bergantung pada komposisi awal
reaktan dan metode atau prosedur sintesisnya.
Metode sintesis zeolit yang biasa digunakan
adalah reaksi hidrothermal dalam suasana basa
alkali [2],[3].
Secara umum rumus kimia zeolit adalah
Mx/n[(AlO2)x(SiO2)y]zH2O. Mx/n adalah kation
bervalensi n yang berada di luar kerangka
zeolit yang dapat dipertukarkan dengan kation
lain dari suatu larutan atau padatan.
[(AlO2)x(SiO2)y] adalah kerangka zeolit
aluminasilika dan z H2O adalah air kristal di
luar kerangka zeolit [4]. Raio Si/Al (y/x) di
dalam kerangka zeolit menentukan struktur
dan sifat zeolit.
Zeolit X dengan struktur khas yang
dimilikinya memperlihatkan sifat-sifat fisika
dan kimia yang sangat menarik. Beberapa sifat
kimia zeolit yang banyak dimanfaatkan secara
luas, adalah sifat katalis aktif, selektivitas
absorbsi, penyaring molekular dan penukar
ion. Kemampuan zeolit sebagai katalis
berkaitan dengan tersedianya pusat-pusat aktif
dalam saluran zeolit [5].

1. PENDAHULUAN
Pada pengoperasian pabrik minyak kelapa
sawit dihasilkan limbah cangkang kelapa sawit
dan abu cangkang kelapa sawit lebih kurang
63.523 dan 9.528 ton per tahun. Selama ini
limbah cangkang dan abu tersebut dibuang
begitu saja akibatnya semakin lama semakin
menumpuk
sehingga
menimbulkan
pencemaran udara, air dan tanah yang
mengganggu kesehatan masyarakat di sekitar
pabrik pengolahan kelapa sawit.
Hasil analisis kimia menunjukkan abu
limbah cangkang kelapa sawit mengandung
silika (SiO2) sekitar 61-63,5 % dan alumina
(Al2O3) sekitar 8,6-10,1 % [1]. Tingginya
kadar silika dan adanya alumina dalam abu
limbah cangkang kelapa sawit sangat potensial
untuk memanfaatkan abu tersebut sebagai
bahan sintesis zeolit.
Oleh karena itu tujuan utama penelitian ini
adalah mendapatkan zeolit X hasil sintesis dari
abu limbah cangkang kelapa sawit dengan
kualitas optimum yang dapat digunakan
sebagai katalis pada pengubah gas buang
(konventer katalitik) kendaraan otomotif
seperti angkutan umum dan becak motor.
Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan
untuk
mengkaji
pengaruh
perlakuan
pemisahan abu cangkang kelapa sawit secara
magnetik dan fraksinasi serta penambahan
Na2EDTA terhadap tingkat kemurnian dan
kristalinitas zeolit X hasil sintesis.

1599

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

puncak difraksi ke arah harga 2 lebih besar.


Von Balmoos mengemukakan bahwa struktur
Kristal zeolit X memunculkan puncak-puncak
difraksi yang khas pada sudut-sudut 2 sebagai
berikut : 6,12 ; 10,00 ; 11,73 ; 15,43 ; 20,07 ;
23,31 ; 26,65 ; 29,21 ; 30,30 ; 30,94 ; 31,98 ;
33,59 ; 34,18 dan 37,34. Diantara puncakpuncak difraksi tersebut, puncak-puncak yang
muncul pada sudut 2 : 6,12 ; 10,00 ; 11,73 ;
15,43 ; 23,31 ; 30,94 ; 31,98 dan 33,59
merupakan puncak khas utama zeolit X yang
memiliki intensitas relatif lebih tinggi
dibandingkan puncak-puncak lainnya [17].

Zeolit X telah berhasil disintesis


menggunakan beragam limbah seperti abu
layang sisa pembakaran batubara [6], [7],
tawas sebagai sumber natrium aluminat dan
waterglass sebagai sumber natrium silikat [8],
variasi pencampuran kaolin [9],[10], abu
sekam padi dan sampah aluminium foil [11].
Pada penelitian sebelumnya, penulis juga telah
berhasil mensintesis zeolit 4A dan 13X dari
abu layang sisa pembakaran batubara melalui
reaksi hidrotermal dalam suasana basa pada
suhu 100 dan 120C. Zeolit 4A dan 13X hasil
sintesis tersebut dimanfaatkan sebagai bahan
pembangun deterjen ramah lingkungan
[12],[13],[14],[15].
Spektroskopi inframerah merupakan salah
satu metode mudah dan cepat untuk
mengkarakterisasi zeolit karena vibrasi
fundamental struktur kerangka zeolit muncul
pada daerah bilangan gelombang 1500-300
Cm-1 yang merupakan daerah inframerah
sedang. Vibrasi fundamental kerangka zeolit
dapat diklasifikasikan dalam 2 kelas yakni
vibrasi internal dan vibrasi eksternal
sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

3. METODE PENELITIAN
Bahan utama yang digunakan pada
penelitian ini adalah limbah cangkang kelapa
sawit yang diambil dari pabrik kelapa sawit
Tanjung Garbus PTPN II Pagar Merbau
Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang.
Selain bahan utama tersebut, juga digunakan
bahan-bahan kimia yang meliputi: NaOH p.a,
Na2EDTA p.a., Al(OH)3 p.a, akudes dan
akuabides. Adapun alat yang digunakan pada
penelitian ini, meliputi alat untuk preparasi
limbah cangkang kelapa sawit, terdiri atas :
Cawan porselen, Furnace, dan ayakan ukuran
200 mesh. Alat untuk pemisahan abu limbah
cangkang kelapa sawit secara magnetik, terdiri
atas : Gelas kimia, Magnet batang, Pemanas
berpengaduk magnet (Hot plate magnetic
stirrer), Penjepit dan Botol semprot. Alat
untuk pemisahan abu limbah cangkang kelapa
sawit secara fraksinasi adalah tabung
fraksinasi, corong dan gelas kimia. Alat untuk
sintesis zeolit, terdiri atas : seperangkat alat
refluks yang meliputi labu dasar bulat,
pendingin spiral, thermometer 150C, pompa
pengatur sirkulasi air, magnet batang dan
pemanas berpengaduk magnet. Alat untuk
karakterisasi zeolit terdiri atas : Spektroskopi
Inframerah dan Difraksi Sinar-X Serbuk.
Lokasi preparasi limbah cangkang kelapa
sawit dan sintesis zeolit dilakukan di
Laboratorium Kimia, FMIPA Unimed, Jln.
William Iskandar Pasar V Medan. Adapun
karakterisasinya dilakukan di Laboratorium
Penelitian Fakultas Farmasi Universitas
Sumatra Utara dan Laboratorium Fisika
FMIPA Unimed.

Tabel 1 Daerah vibrasi inframerah struktur zeolit


[16]
Vibrasi internal TO4
Daerah vibrasi
[T = Si atau Al]
[Cm-1]
Vibrasi ulur asimetrik
900 1250
Vibrasi ulur simetrik
650 720
Vibrasi tekuk
500 420
Vibrasi eksternal
Daerah vibrasi
Sambungan TO4
[Cm-1]
Vibrasi bukaan pori
300 420
Vibrasi cincin ganda
500 650
Vibrasi ulur simetrik
750 820
Vibrasi ulur asimetrik
1050 1150

Setiap zeolit memiliki pola serapan inframerah yang khas, sehingga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi dan membedakan
beberapa zeolit dalam kelompoknya.
Difraksi sinar-X serbuk merupakan metode
yang
sesuai
untuk
mengkarakterisasi
kemurnian dan kritalinitas zeolit. Zeolit kristal
murni menghasilkan sebuah difraktogram
dengan garis dasar puncak sangat sempit dan
rata. Adanya perubahan komposisi dalam
struktur kerangka zeolit berpengaruh terhadap
posisi puncak pada difraktogram. Sebagai
contoh penggantian ikatan diantara Al-O
(1,69)
oleh
ikatan
Si-O
(1,61)
menyebabkan panjang satuan sel menyusut dan
jarak d mengecil, akibatnya terjadi pergeseran

Pemisahan Secara Magnetik


Pemisahan secara magnetik abu cangkang
kelapa sawit dilakukan dengan prosedur:
1600

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Dalam gelas kimia 250 mL dicampurkan 25


gram abu cangkang kelapa sawit dengan
akuades hingga volumenya 100 mL serta
sebuah magnet batang. Campuran tersebut
diaduk di atas hot plate magnetic stirrer
selama beberapa detik. Kemudian dengan
menggunakan penjepit, magnet batang diambil
dan bagian abu cangkang kelapa sawit yang
menempel pada magnet batang dilepaskan
dengan cara disemprot akuades dalam botol
semprot. Langkah kerja memasukkan magnet
batang, mengaduk dan mengambil serta
menyemprot bagian abu yang menempel pada
magnet batang dilakukan berulang-ulang
hingga tidak ada lagi abu yang menempel pada
magnet batang. Bagian abu cangkang kelapa
sawit yang menempel pada menget batang
disebut abu cangkang magnetik yang
merupakan pengotor sedangkan abu cangkang
yang tertinggal dalam gelas kimia disebut abu
non magnetik yang selanjutnya diberi
perlakuan pemisahan secara fraksinasi.

berikut : Ke dalam labu dasar bulat 250 mL


dimasukkan 5 g abu non magnetik, 7,04 g
NaOH, 2,77 g Al(OH)3 dan 3,5 g Na2EDTA,
magnet batang ukuran 3 Cm serta 100 mL
akudes. Campuran tersebut diaduk di atas hot
plate magnetic stirrer selama 10 jam pada
temperatur ruang. Setelah didiamkan selama
satu malam, kemudian campuran tersebut
dipanaskan pada suhu 70 C selama 3 jam.
Untuk mendapatkan kristal zeolit yang
diharapkan, campuran kembali direfluks pada
suhu 120 C selama 8 jam. Padatan hasil
sintesis disaring dan dicuci dengan akuades
sampai diperoleh pH netral pada air cuciannya,
kemudian dikeringkan pada 120 C selama 3
jam. Untuk mengkaji pengaruh penambahan
Na2EDTA dilakukan sintesis dengan prosedur
yang sama tetapi jumlah Na2EDTA yang
digunakan berbeda.

Pemisahan Secara Fraksinasi


Pemisahan abu non magnetik secara
fraksinasi dilakukan dengan menggunakan
tabung fraksinasi berukuran panjang 60 Cm,
diameter 1,5 Cm yang dilengkapi 3 kran
lubang pengeluaran berukuran 0,5 Cm. Ke
dalam tabung fraksinasi dimasukkan campuran
5 gram abu non magnetik dan akudes hingga
volume tabung fraksinasi terisi penuh.
Kemudian campuran dalam tabung tersebut
diaduk dengan cara dijungkirbalikan hingga
seluruh bagian dalam tabung terlihat homogen.
Setelah didiamkan selama lebih kurang 5 detik,
campuran dalam tabung membentuk tiga
bagian yang berbeda, yakni 20 Cm bagian atas
tabung yang tampak transparan
disebut
sebagai fraksi-1 atau fraksi ringan, 20 Cm
bagian tengah tabung yang tampak agak keruh
disebut sebagai fraksi-2 atau fraksi sedang dan
20 Cm bagian bawah tabung yang tampak
sangat keruh disebut sebagai fraksi-3 atau
fraksi berat. Masing-masing fraksi abu layang
non magnetik tersebut dikeluarkan melalui
lubang atas, tengah dan bawah berturut-turut
untuk abu layang non magnetik fraksi-1,
fraksi-2 dan fraksi-3. Masing-masing fraksi
abu non magnetik digunakan sebagai sumber
silika dan alumina untuk sintesis zeolit X.

Di dalam abu cangkang kelapa sawit


diperkirakan terdapat komponen bersifat
magnetik seperti mineral yang mengandung
ion besi dan titanium, merupakan pengotor
yang dapat mengganggu proses sintesis zeolit
dan menyebabkan tampilan warna zeolit
menjadi kurang putih.
Oleh karena itu
pengotor bersifat magnetik tersebut harus
dibuang dari abu cangkang kelapa sawit
melalui pemisahan secara magnetik. Berat abu
magnetik dan non magnetik yang diperoleh
dari setiap proses pemisahan disajikan pada
Tabel 2.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Pemisahan Abu Secara Magnetik

Tabel 2 Berat abu magnetik dan non magnetik yang


diperoleh dari pemisahan abu cangkang kelapa
sawit
Berat abu
Berat hasil pemisahan (g)
No.
asal (g)
Abu non magnetik Abu magnetik
1.
25
22,88
2,12
2.
25
22,89
2,11
3.
25
22,90
2,10
4.
25
22,90
2,10
5.
25
22,93
2,06

Pengotor bersifat magnetik yang dapat


dipisahkan dari abu cangkang kelapa sawit
pada setiap proses pemisahan, berat reratanya
sekitar 2,10 gram. Hal ini menunjukkan
pemisahan secara magnetik cukup efektif
untuk dilakukan sebagai upaya pemurnian abu
cangkang kelapa sawit dari pengotor bersifat
magnetik.

Sintesis Zeolit X
Sintesis zeolit X dilakukan dengan
mengacu pada metode de Lucas dkk sebagai
1601

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

pola serapan inframerah khas zeolit X. Pita


serapan yang muncul pada bilangan
gelombang 464,8 dan 987,5 Cm-1 menandai
vibrasi tekuk dan ulur asimetrik ikatan T-O
dari tetrahedral TO4 dengan T = Al atau Si.
Kedua vibrasi tersebut merupakan vibrasi
internal tetrahedral TO4. Adapun vibrasi
eksternal antar sambungan tetrahedral TO4
ditandai dengan munculnya pita serapan pada
370,3 ; 563,2 dan 740,6 Cm-1 yang secara
berturut-turut menandai vibrasi bukaan pori,
cincin ganda dan ulur simetrik pada struktur
kerangka zeolit.
Sedangkan pada spektrogram inframerah
zeolit hasil sintesis dari abu cangkang kelapa
sawit asal (abu cangkang kelapa sawit tanpa
perlakuan pemisahan secara magnetik), vibrasi
eksternal antar sambungan tetrahedral TO4 nya
tidak memiliki pita serapan yang menandai
vibrasi ulur simetriknya. Vibrasi eksternal
antar sambungan tetrahedral TO4 merupakan
finger print yang menandai terbentuknya
zeolit sesuai dengan jenisnya. Oleh karena itu
berdasarkan spektrogram inframerah tersebut
dapat disimpulkan bahwa zeolit X tidak
terbentuk
pada
sintesis
zeolit
yang
menggunakan bahan abu cangkang kelapa
sawit asal. Hal ini didukung oleh hasil
pengukuran difraksi sinar-X serbuk pada
padatan hasil sintesis yang menggunakan
bahan abu cangkang kelapa sawit asal.
Difraktogram sinar-X padatan hasil sintesis dari abu cangkang kelapa sawit asal
memiliki puncak difraksi dengan intensitas
tertinggi pada sudut difraksi (2) 35,02 yang
diperkuat dengan puncak difraksi pada 14,05 ;
22,38 dan 24,40 yang merupakan puncakpuncak difraksi khas Sodalit. Tidak terbentuknya zeolit X pada sintesis zeolit dari abu
cangkang kelapa sawit asal akibat adanya
pengotor bersifat magnetik yang mengganggu
proses pembentukkan struktur zeolit. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pemisahan
secara magnetik pada abu cangkang kelapa
sawit berpengaruh terhadap pembentukkan
struktur zeolit X.

Hasil Pemisahan Abu Non Magnetik Secara


Fraksinasi
Pemisahan abu cangkang kelapa sawit non
magnetik dimaksudkan untuk mendapatkan
abu non magnetik dengan komposisi kimia dan
rasio Si/Al yang paling sesuai untuk
pembentukkan zeolit X. Proses fraksinasi
menghasilkan tiga fraksi abu non magnetik
yakni fraksi ringan (fraksi-1), fraksi sedang
(fraksi-2) dan fraksi berat (fraksi-3).
Tabel 3 Berat abu non magnetik dalam setiap
fraksi yang diperoleh dari proses pemisahan secara
fraksinasi
Berat abu non
magnetik (g)
5
5
5
5
5

Berat abu non magnetik (g)


Fraksi-1 Fraksi-2
Fraksi-3
1,09
1,53
2,38
1,09
1,53
2,38
1,08
1,54
2,39
1,09
1,53
2,38
1,09
1,52
2,39

Adanya abu non magnetik pada bagian atas


(fraksi ringan), tengah (fraksi sedang) dan
bawah (fraksi berat) menunjukkan bahwa di
dalam abu non magnetik terdapat komponenkomponen yang memiliki berat jenis yang
berbeda-beda. Jumlah abu non magnetik yang
terdapat dalam fraksi ringan, sedang dan berat
makin meningkat dengan perbandingan berat
lebih kurang sama dengan 5 : 7 : 10.
Pengaruh Pemisahan secara Magnetik
Terhadap Kualitas Zeolit Hasil Sintesis
Hasil uji spektroskopi inframerah padatan
zeolit hasil sintesis dari abu cangkang kelapa
sawit sebelum dan setelah pemisahan secara
magnetik disajikan pada Gambar 1.

Pengaruh Pemisahan secara Fraksinasi


Terhadap Kualitas Zeolit Hasil Sintesis
Pemisahan secara fraksinasi abu cangkang
kelapa sawit non magnetik dimaksudkan untuk
mendapatkan fraksi abu non magnetik yang
memiliki komposisi kimia dan rasio Si/Al yang
sesuai untuk pembentukan zeolit X dengan
kemurnian dan kristalinitas lebih baik daripada

Gambar 1 Spektrogram inframerah zeolit hasil


sintesis dari (a) abu cangkang kelapa sawit asal, (b)
abu cangkang kelapa sawit non magnetik

Pada spektrogram inframerah zeolit hasil


sintesis dari abu cangkang kelapa sawit non
magnetik (Gambar 1.b) terlihat adanya pitapita serapan yang memiliki pola sesuai dengan
1602

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

zeolit X hasil sintesis sebelumnya. Untuk itu


dilakukan
sintesis
zeolit
X
dengan
menggunakan bahan masing-masing abu
cangkang kelapa sawit non magnetik fraksi
ringan (fraksi-1), fraksi sedang (fraksi-2) dan
fraksi berat (fraksi-3).

Pada difraktogram zeolit X hasil sintesis


dari abu cangkang kelapa sawit non magnetik
fraksi ringan (Gambar 2a) tampak puncakpuncak difraksi yang menandai puncak difraksi
khas zeolit X pada sudut 2 : 10,00 ; 15,43 ;
23,31 ; 26,65 ; 30,94 dan 41,29 , intensitas
relatifnya lebih tinggi dibandingkan puncakpuncak difraksi khas zeolit X pada kedua
difraktogram zeolit X hasil sintesis dari fraksi
sedang maupun fraksi berat. Hal ini
menunjukkan zeolit X hasil sintesis dari abu
cangkang kelapa sawit non magnetil fraksi
ringan memiliki tingkat kemurnian dan
kristalinatis lebih baik dibandingkan zeolit X
hasil sintesis lainnya. Dengan demikian dapat
disimpulkan
bahwa
pemisahan
secara
fraksinasi dapat menghasilkan fraksi abu non
magnetik dengan komposisi kimia terutama
rasio Si/Al yang sesuai untuk pembentukkan
zeolit X sehingga berpengaruh terhadap
kualitas zeolit X hasil sintesisnya. Meskipun
kualitas zeolit X hasil sintesis dari abu
cangkang kelapa sawit non magnetik fraksi
ringan relatif lebih baik dibandingkan zeolit X
hasil sintesis lainnya, namun jika dibandingkan
terhadap kualitas zeolit X standar hasil sintesis
dari bahan-bahan kimia murni SiO2 dan Al2O3,
maka kualitas zeolit X hasil sintesis dari abu
cangkang kelapa sawit non magnetik fraksi
ringan ini kualitasnya masih rendah.

Pita-pita serapan inframerah yang muncul


pada spektrogram masing-masing zeolit hasil
sintesis disajikan pada Tabel 4. Pada
spektrogram
inframerah
masing-masing
padatan hasil sintesis baik dari fraksi ringan,
sedang maupun berat, pita-pita serapan
innframerah khas zeolit X baik pada vibrasi
internal TO4 maupun vibrasi sambungan
eksternalnya semuanya muncul. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pada
masing-masing sintesis tersebut dihasilkan
zeolit X karena semua pita-pita serapan khas
zeolit X muncul pada bilangan gelombang
yang tidak berbeda jauh.
Tabel 4 Pita-pita serapan inframerah pada spektrogram zeolit hasil sintesis dari abu cangkang kelapa
sawit non magnetik fraksi ringan, sedang dan berat
Serapan pada Spektrogram
inframerah (Cm-1) zeolit dari
Vibrasi Internal TO4
(T = Si, Al)
Fraksi-1 Fraksi-2 Fraksi-3
Vibrasi ulur asimetrik
987,5
987,5
987,5
Vibrasi ulur simetrik
671,2
674,2
663,8
Vibrasi tekuk
460,7
462,9
464,8
Vibrasi Sambungan Eksternal TO4
Vibrasi bukaan pori
370,3
370,3
370,3
Vibrasi cincin ganda
563,2
563,2
563,2
Vibrasi ulur simetrik
740,6
748,6
740,6
Vibrasi ulur asimetrik
987,5
987,5
987,5

Pengaruh Penambahan Na2EDTA terhadap


Kualitas Zeolit Hasil Sintesis
Salah satu kemungkinan penyebab
rendahnya kualitas zeolit X hasil sintesis dari
bahan limbah seperti abu cangkang kelapa
sawit ini adalah adanya mineral-mineral
pengotor yang mengandung ion-ion logam
magnesium, kalsium, besi dan ion logam
lainnya yang dapat mengganggu proses
pembentukkan
struktur
zeolit
melalui
interaksinya dengan muatan negatif dari ion
silikat dan alumninat yang merupakan bahan
utama pembentuk struktur kerangka zeolit.
Catalfamo dkk [18] menemukan bahwa bahanbahan dengan kandungan kalsium 3% dari
berat bahan sintesis zeolit, maka bahan
tersebut tidak dapat dikonversi menjadi zeolit
akibat terjadinya interaksi spesifik antara ion
kalsium dengan ion silikat yang menyebabkan
larutnya gel aluminasilika sehingga berakibat
pada tidak terbentuknya kerangka struktur
zeolit. Interaksi antara ion kalsium dengan ion
silikat dapat ditekan sekecil mungkin melalui
penembahan ligan EDTA yang dapat

Perbedaan kualitas (kemurnian dan


kritalinitas) diantara ketiga zeolit X hasil
sintesis dapat diketahui dari hasil pengukuran
difraksi sinar-X serbuk sebagaimana disajikan
pada Gambar 2.

Gambar 2 Difraktogram zeolit X hasil sintesis dari


abu cangkang kelapa sawit non magnetik (a) fraksi
ringan, (b) fraksi sedang dan (c) fraksi berat

1603

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

membentuk kompleks secara selektif dengan


ion kalsium. Oleh karena itu untuk mengurangi
atau bahkan menghilangkan sama sekali
gangguan ion-ion logam tersebut terhadap
proses pembentukan zeolit, maka pada sintesis
berikutnya dilakukan perlakuan penambahan
senyawa Na2EDTA secara bervariasi sebanyak
2,0 ; 2,5 dan 3,0 gram.
Spektrogram inframerah zeolit hasil
sintesis dari abu cangkang kelapa sawit non
magnetik fraksi ringan dengan tambahan
senyawa Na2EDTA sebanyak 2,0 ; 2,5 dan 3,0
gram disajikan pada Gambar 3.

masing zeolit
Gambar 4.

sebagaimana disajikan pada

Gambar 4 Difraktogram zeolit X hasil sintesis dari


fraksi ringan abu cangkang kelapa sawit non
magnetik dengan tambahan Na2EDTA sebanyak :
(a) 0,0 ; (b) 2,0 ; (c) 2,5 dan (d) 3,0 g

Berdasarkan data difraktogram zeolit X


standar yang disintesis dari bahan-bahan kimia
murni SiO2 dan Al2O3, maka dapat
diidentifikasi puncak-puncak difraksi khas
zeolit X yang muncul pada masing-masing
difraktogram zeolit hasil sintesis. Puncakpuncak difraksi yang terdapat pada
difraktogram zeolit hasil sintesis yang bukan
puncak khas zeolit X dapat dikategorikan
sebagai puncak difraksi dari zat pengotor yang
terdapat pada zeolit hasil sintesis tersebut.
Berdasarkan hasil analisis terhadap setiap
puncak difraksi yang terdapat pada
difraktogram masing-masing zeolit hasil
sintesis maka diperoleh data persentase puncak
khas zeolit X dan pengotor sebagaimana
disajikan pada Tabel 5 berikut ini.

Gambar 3 Spektrogram inframerah zeolit hasil


sintesis dari fraksi ringan abu cangkang kelapa
sawit non magnetik dengan tambahan Na2EDTA
sebanyak : (a) 0,0 ; (b) 2,0 ; (c) 2,5 dan (d) 3,0 gr.

Pita-pita serapan khas zeolit X pada


spektrogram inframerah masing-masing zeolit
hasil sintesis muncul pada bilangan gelombang
yang tidak berbeda jauh. Namun ketajaman
setiap pita serapan pada spektrogram
inframerah zeolit X hasil sintesis dari abu
cangkang kelapa sawit non magnetik fraksi
ringan dengan tambahan 2,5 gram Na2EDTA
tampak lebih tajam dibandingkan pada
spektrogram zeolit
lainnya.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa zeolit X tersebut
kualitasnya lebih baik dibanding zeolit X hasil
sintesis lainnya. Indikasi tersebut didukung
oleh hasil pengukuran difraksi sinar-X masing-

Tabel 5 Jumlah dan persentase puncak difraksi khas


zeolit X dan pengotor pada difraktogram masingmasing zeolit hasil sintesis
Banyaknya
Na2ETDA
yang
ditambahkan
0,0 g
2,0 g
2,5 g
3,0 g

1604

Jumlah puncak
difraksi
Zeolit Pengotor
X
10
6
14
3
14
3
14
3

Persentase (%)
puncak difraksi
Zeolit Pengotor
X
62,5
37,5
82,4
17,6
82,4
17,6
82,4
17,6

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Pada Tabel 5 terlihat penambahan


Na2EDTA pada sintesis zeolit X berhasil
mengurangi persentase puncak pengotor dari
37,5% menjadi 17,6%. Dengan berkurangnya
pengotor maka proses pembentukkan kerangka
struktur zeolit X tidak terganggu sehingga
kristalinitasnya meningkat yang ditandai
dengan meningkatnya persentase puncak khas
zeolit X dari 62,5% menjadi 82,4%.
Berdasarkan data persentase puncak khas
zeolit X, kualitas ketiga zeolit X hasil sintesis
dari fraksi ringan abu cangkang kelapa sawit
non magnetik dengan tambahan Na2EDTA
sebanyak 2,0 ; 2,5 dan 3,0 g tidak dapat
dibedakan. Oleh karena itu selanjutnya
dilakukan
analisis
data
difraktogram
berdasarkan pendapat Imbert dkk [19] yang
mengemukakan bahwa total intensitas 10
puncak utama khas zeolit A sangat
menentukan derajat kristalinitas zeolit A
tersebut. Semakin besar nilai total intensitas 10
puncak utama zeolit A hasil sintesis maka
semakin tinggi derajat kristalinitas zeolit yang
bersangkutan. Penulis beranggapan bahwa
pendapat Imbert tersebut berlaku juga bagi
zeolit X. Oleh karena itu selanjutnya dilakukan
perhitungan total intensitas 10 puncak utama
khas zeolit X yang muncul pada difraktogram
masing-masing zeolit X hasil sintesis,
sebagaimana disajikan pada Tabel 6.

utama khas zeolit X pada difraktogram zeolit


hasil sintesis dari fraksi ringan abu cangkang
kelapa sawit non magnetik dengan tambahan
2,5 g Na2EDTA yaitu 278,23 adalah paling
besar dibandingkan nilai total intensitas 10
puncak utama khas zeolit X pada difraktogram
zeolit X hasil sintesis lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa kualitas zeolit X hasil
sintesis dari fraksi ringan abu cangkang kelapa
sawit non magnetik dengan tambahan 2,5 g
Na2EDTA adalah paling baik dibandingkan
kualitas zeolit X hasil sintesis lainnya. Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
penambahan 2,5 g Na2EDTA pada bahan
sintesis zeolit X dari fraksi ringan abu
cangkang kelapa sawit non magnetik adalah
cukup memadai untuk mengikat ion logam
kalsium khususnya dan ion-ion logam lainnya
yang terdapat dalam fraksi ringan abu
cangkang kelapa sawit non magnetik sehingga
zeolit X hasil sintesisnya memiliki tingkat
kemurnian dan derajat kritalintas paling baik
dibandingkan zeolit X lainnya.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yag telah
dikemukakan dan pembahasan yang telah
diuraikan dapat disimpulkan bahwa :
a. Pemisahan
secara
magnetik
dapat
memisahkan pengotor bersifat magnetik
dari abu cangkang kelapa sawit sehingga
dihasilkan abu cangkang kelapa sawit non
magnetik yang dapat digunakan sebagai
bahan sintesis zeolit X dengan kualitas
lebih baik dibandingkan zeolit X hasil
sintesis dari abu cangkang kelapa sawit
tanpa perlakuan pemisahan secara
magnetik.
b. Pemisahan secara fraksinasi terhadap abu
cangkang kelapa sawit non magnetik dapat
menghasilkan fraksi ringan abu cangkang
kelapa sawit non magnetik yang dapat
menghasilkan zeolit X hasil sintesis
dengan kualitas lebih baik dibandingkan
zeolit X hasil sintesis dari abu cangkang
kelapa sawit non magnetik tanpa perlakuan
pemisahan secara magnetik.
c. Penambahan 2,5 g Na2EDTA pada sintesis
zeolit yang menggunakan bahan 5 g fraksi
ringan abu cangkang kelapa sawit non
magnetik, 2,77 g alumunium foil dan 7,04
g NaOH dapat menghasilkan zeolit X
dengan kualitas paling baik dibandingkan
zeolit X hasil sintesis lainnya.

Tabel 6 Daftar harga 2 dan total intensitas 10


puncak utama khas zeolit X pada
difraktogram zeolit hasil sintesis
Data pada difraktogram zeolit hasil sintesis dari
fraksi ringan abu cangkang kelapa sawit non
magnetik dengan tambahan Na2EDTA :
2,0 g
2,5 g
3,0 g
Irelatif
Irelatif
Irelatif
2 ()
2 ()
2 ()
10,00 54,99 10,00 65,25 10,00 60,83
11,74 16,67 11,76 29,08 11,75 24,92
15,25 30,38 15,50 37,83 15,25 37,72
20,00 16,67 20,10 11,67 20,00 20,75
23,00 33,17 23,00 33,35 23,00 33,34
27,21 17,08 26,83 29,08 27,00 17,08
30,26 18,10 30,54 17,25 30,25 12,10
31,30 45,83 32,10 39,98 31,50 44,99
33,30 13,33 34,00 14,74 33,32 12,49
Total Irelatif =
Total Irelatif =
Total Irelatif =
246,67
278,23
264,25

Berdasarkan data pada Tabel 6 tampak


bahwa nilai total intensitas relatif 10 puncak
1605

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Sekam Padi dan Sampah Aluminium Foil,
Skripsi, FMIPA Unimed, Medan; 2013.

6. REFERENSI
[1] Hutahaean, B., Pengujian Sifat Mekanik Beton
Yang Dicampur Dengan Abu Cangkang Sawit,
Skripsi, FMIPA Unimed, Medan; 2007.

[12]Jahro IS, Sintesis dan Karakterisasi Zeolite 4A


dari Fraksi Non Magnetik Abu Layang, Tesis,
PPS UGM Yogyakarta; 1998.

[2] Barrer RM, Hydrothermal Chemistry of


Zeolite, Academic Press, London; 1982.

[13] Juwitaningsih T, Jahro IS, Zeolit 4A Dari Abu


Layang Sebagai Bahan Pembangun Deterjen
Alternatif Yang Ramah Lingkungan, Laporan
Penelitian Hibah Bersaing, Unimed Medan;
2009.

[3] Georgiev D, Bogdanov B, Krasimira A,


Markovska I, Hristov Y, Synthetic ZeolitesStructure, Clasification, Current Trends In
Zeolite Synthesis Review, Internasional Science
Conference, Stara Zagora, Bulgaria; 2009.

[14] Juwitaningsih T, Jahro IS, Pembuatan Sabun


Cuci Ramah Lingkungan Dari Limbah Padat
Abu Layang Sisa Pembakaran Batubara
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU),
Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Unimed
Medan; 2010.

[4] Hamdan H, Introduction to zeolite : Synthesis,


Characterization, and Modification, University
Technology Malaysia; 1992.
[5] Sutarti M, Rachmawati M, Zeolit Tinjauan
Literatur, Pusat Dokumentasi dan Informasi
Ilmiah LIPI, Jakarta; 1994.
[6] Ojha K, Narayan CP, Amarnath S, Zeolite from
Fly Ash; Synthesis and Characterization,
Indian Academy of Sciences. 2004 : 6 (27) :
555 564.

[15] Juwitaningsih T, Jahro IS, Uji Dampak


Terhadap Lingkungan Limbah Deterjen Ramah
Lingkungan Dengan Bahan Pembangun Zeolit
4A Dari Limbah Padat Sisa Pembakaran
Batubara PLTU, Laporan Penelitian Hibah
Bersaing, Unimed Medan; 2011.

[7] Armheim C, Haghnia GH, Kim TC, Mosher


AP, Gagajena RC, Amanios T, de La Torre
L, Synthesis and Properties of Zeolites from
Coal Fly Ash, Environmental Science and
Technology, 1996: 3 (30) : 735 741.

[16] Flanigen EM, Khatami H, Szimanski, HA,


Infrared Structure Studies of Zeolite
Framework,
Molecular Sieve Zeolite-I,
American Society Advances in Chemistry :
1971 (101) : 201 229.

[8]

[17] Von Ballmoos R, Collection of Simulated


XRD Powder Patterns for Zeolites, Mobil
Research
and Development Corporation,
Princenton, USA; 1984.

Ulfah EM, Fani AY, Istadi, Optimasi


Pembuatan Katalis Zeolit X dari Tawas, NaOH
dan Water Glass dengan Response Surface
Methodology,
Universitas
Diponegoro,
Semarang; 2006.

[18] Catalfamo P, Patane G, Pramerano P, Di


Pasquele S, Corigliano F, The Presence of
Calsium in The Hydrothermal Conversion of
Amorphous Aluminosilicates in Zeolite:
Interference and Removal,
Mateial
Engineering : 1994 (2) 5 : 159 173.

[9] de Lucas A, Uguina MA, Covin I, Rodrigues


L, Synthesis of Zeolite from Calcined Kaolins
and Sodium Silicate for Use in Detergents,
Ind. Eng. Chem. Res : 1992 (31) : 2134 2140.
[10] de Lucas A, Uguina MA, Costa E, Ruiz JC,
Synthesis of Zeolite from Calcined Kaolins for
Use in Detergents, Ind. Eng. Chem. Res :
1992 (27) : 1291 1296.

[19] Imbert F,
Moreno
C, Montero
A,
Venezuelan Natural Aluminosilicates as a
Feedstock in The Synthesis of Zeolit A,
ZEOLITE :1994 (14) : 374 387.

[11] Rangkuti WS, Jahro SI, Sintesis dan


Karakterisasi Zeolit 13X dari Limbah Abu

1606

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

SINTESIS MEMBRAN PENGHANTAR PROTON BERBASISKAN


POLISULFON DENGAN TINJAUAN PENGARUH PELARUT
Irfan Gustian
Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Bengkulu, Jalan Raya Kandang Limun Bengkulu, 38371
Irfan.g@unib.ac.id
Abstract
Synthesis proton conducting membranes with homogeneous method based on polysulfone has been done. The
solvent chloroform and 1,2-dichloroethane were used, polysulfone as backbone have sulfonated using
trimethylsilyl chlorosulfonat as sulfonating agent. Degree of sulfonation were determined by titration, the
analysis of the functional group was determined using FTIR, thermal stability properties has determined using
the TGA, and proton conductivity has determined using Impedance Analyzer. From the results shows that the
sulfonated polysulfone using 1,2-dichloroethane (optimum 136%) greater than the sulfonated polysulfone using
chloroform (optimum 25%).From FTIR analysis indicate difference spectrum of sulfonated polysulfone and
polysulfone in the area of wave number around 3500 cm-1 and the absorption band region near 1041 cm -1, there
are indicating stretching vibration of O-H and asymmetric stretching vibration of O = S = O from the group
sulfonate -SO3. The TGA analysis for sulfonated polysulfone 136% showed stability up to 200C. Proton
conductivity membrane sulfonated polysulfone obtained 7.94 x 10 -5 S cm-1 at 150C.
Keywords: Proton conducting membranes, polysulfone, Sulfonated polysulfone, chloroform, and 1,2dichloroethane.
Abstrak
Sintesis membran penghantar proton dengan metode homogen berbasiskan polisulfon telah dilakukan. Pelarut
yang digunakan adalah kloroform dan 1,2-dikloroetana, polisulfon sebagai backbone disulfonasi menggunakan
agen sulfonasi trimetilsililklorosulfonat. Derajat sulfonasi ditentukan secara titrasi, analisis gugus fungsi
ditentukan menggunakan FTIR, sifat kestabilan termal di tentukan menggunakan TGA, dan konduktivitas
proton dinalisis menggunakan Impedansi Analyzer. Dari hasil sulfonasi menunjukkan bahwa polisulfon yang
disulfonasi menggunakan pelarut 1,2-dikloroetana (optimum 136%) lebih besar dibandingkan polisulfon yang
disulfonasi menggunakan pelarut kloroform (optimum 25%). Dari analisis FTIR terlihat perbedaan spektrum
polisulfon tersulfonasi dan polisulfon khusunya di daerah bilangan gelombang sekitar 3500 cm-1 dan absorpsi
pita didaerah dekat 1041 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi stretching O-H dan asimetrik vibrasi stretching
O=S=O dari gugus sulfonat -SO3. Hasil analisis TGA, polisufon tersulfonasi 136% memperlihatkan kestabilan
hingga suhu 200C. Konduktivitas proton membran polisulfon tersulfonasi diperoleh 7,94 x 10-5 S cm-1 pada
temperatur 150 oC.
Kata Kunci: Membran Penghantar proton, Polisulfon, polisulfon tersulfonasi, kloroform dan 1,2-dikloroetana.

1839 dimana bahan yang digunakan untuk


membuat sel bahan bakar ini berbasis H2/O2
(Yuan, et al., 2009).
Thomas Bacot (1959), berkebangsaan
Inggris berhasil mengembangkan sel bahan
bakar alkali dengan kapasitas 5 kW (Yuan, et
al., 2009). Pada tahun 1960 General Electric
berhasil mengembangkan sel bahan bakar
dengan menggunakan membran polimer
elektrolit atau yang dikenal PEMFC (proton
exchange membran fuel cell) namun
aplikasinya masih terbatas akibat biaya yang
terlalu tinggi (Yuan, et al., 2009). Penelitian
sel bahan bakar terus berkembang dengan
penggunaan karbon berpori sebagai substrat
dengan jumlah katalis yang sedikit membuat

1. PENDAHULUAN
Arah penelitian polimer yang sangat pesat
saat ini adalah sintesis polimer tersulfonasi
sebagai membran sel bahan bakar. Prinsip
sintesis polimer tersulfonasi ini pada dasarnya
merupakan reaksi substitusi elektrofilik,
dimana atom hidrogen yang terikat pada cincin
aromatik pada rantai utama polimer di
substitusi dengan gugus sulfonat.
Prinsip sel bahan bakar pertama kali
dikemukakan oleh ilmuwan Jerman Christian
Friedrich Schon Bein pada tahun 1838.
Bardasarkan prinsip ini sel bahan bakar
pertama kali dikembangkan oleh ilmuwan
Wales, Sir William Robert Groove pada tahun
1607

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

sel bahan bakar H2/O2 menjadi lebih efisisien.


Pada saat yang sama sel bahan bakar juga
dikembangkan
untuk
sektor
otomotif
(Hoogrers, 2003).
Pada
tahun
1960-an
DuPont
memperkenalkan Nafion sebagai membran sel
bahan bakar komersial. Kelebihan membran
jenis ini memiliki kluster yang stabil, tidak ada
efek jebakan yang menghalangi pergerakan
proton karena membran mempunyai rantai
samping yang panjang dan distribusi gugus
sulfonat yang tersebar cukup banyak (Michael,
A. H, et al, 2004). Tetapi dari sisi harga
membran ini masih sangat mahal dan masih
menunjukkan beberapa kelemahan, terutama
batas temperatur operasi masih di bawah 100
o
C.
Penelitian yang berhubungan terhadap
sulfonasi polisulfon (SPSU) menggunakan
pelarut kloroform dan penggunaannya sebagai
membran pertukaran proton antara lain telah
dilaporkan oleh Lufrano, et al, (2000),
Lufrano, et al, (2001), Lufrano, et al, (2006),
dan Lufrano, et al, (2008). Tetapi
konduktivitas proton yang dihasilkan belum
mampu bekerja pada temperatur tinggi.
Pada penelitian yang telah dilakukan ini,
polisulfon disulfonasi secara homogen
menggunakan dua variasi pelarut, kloroform
dan 1,2 dikloroetana. Agent sulfonasi yang
digunakan adalah trimetilsilil klorosulfonat.
Karakterisasi yang dilakukan adalah analisis
derajat sulfonasi, analisis FTIR, stabilitas
termal TGA, dan konduktivitas proton.

perbandingan mol antara polisulfon dan agen


sulfonasi yang digunakan.
Perbandingan mol antara polisulfon dan
agen sulfonasi untuk masing-masing pelarut 1:
1,5 dengan waktu reaksi masing-masing 36
jam.
Reaksi sulfonasi dihentikan dengan
menambahkan metanol untuk memperoleh
polisulfon tersulfonasi. Selanjutnya
di
evaporasi pada tekanan 1 atm sebelumnya
dicuci dengan metanol dan dibilas dengan
akuades kemudian dikeringkan pada oven
vakum pada 400 mmHg dan 55oC. Polisulfon
tersulfonasi yang sudah kering digunakan
sebagai bahan untuk pembuatan membran.
Membran penghantar proton dibuat dengan
cara melarutkan masing-masing polisulfon
tersulfonasi kemudian pencetakan dilakukan
menggunakan wadah terbuat dari teflon
sembari dipanasi diatas hotplate pada suhu
30C.
Analisis derajat sulfonasi ditentukan
berdasarkan metaode titrasi, analisis gugus
fungsi menggunakan FTIR, stabilitas termal
ditentukan
menggunakan
TGA,
dan
konduktivitas proton ditentukan menggunakan
Impedansi Analyzer..
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sulfonasi polisulfon dilakukan secara
homogen dengan menggunakan dua sistem
pelarut yaitu kloroform dan 1,2-dikloroetana.
Sulfonasi polisulfon diawali dengan proses
pelarutan kristal polisulfon untuk masingmasing sistem pelarut. Dari proses ini
diperoleh lamanya waktu pelarutan 2 jam
untuk yang menggunakan pelarut kloroform
dan 5 jam menggunakan pelarut 1,2dikloroetana. Hasil proses pelarutan masingmasing diperoleh larutan polimer bening dan
viscous. Reaksi sulfonasi polisulfon diakhiri
dengan cara presipitasi kedalam metanol
secara berlebih dan ketika larutan polimer
viscous tersebut ditambahkan kedalam
metanol, untuk produk sulfonasi yang
menggunakan kloroform diperoleh produk
polisulfon tersulfonasi padatan berwarna
keputih-putihan dan tidak larut dalam metanol.
Sedangkan produk sulfonasi menggunakan
1,2-dikloroetana menjadi larut, produk
polisulfon tersulfonasi diperoleh dengan cara
penguapan pada 1 atm selama 24 jam,
komponen lain sebagai hasil samping reaksi
dihilangkan melalui proses evaporasi pada

2. METODE PENELITIAN
2.1 Sintesis polimer polisulfon
tersulfonasi
Metode sulfonasi merujuk yang telah
dilaporkan Gustian. I, et al, (2012) dan
Gustian. I, et al, (2014) . Polisulfon komersial
dilarutkan dalam pelarut pada temperatur 25oC
di bawah aliran gas nitrogen. Pelarut yang
digunakan adalah dua jenis pelarut yaitu
kloroform dan 1,2-dikloroetana. Volume
masing-masing pelarut: kloroform dan 1,2dikloroetana yang digunakan adalah 100% dari
berat polisulfon yang digunakan. Agen
pensulfonasi
trimetilsilil
khlorosulfonat
ditambahkan kedalam larutan tersebut pada
temperatur kamar; selama reaksi sulfonasi gas
nitrogen tetap dijaga alirannya. Banyaknya
polisulfon
ditentukan
berdasarkan

1608

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

oven vakum pada tekanan 400 mmHg dan


temperatur 55oC.

(a)

dengan mol rasio antara polimer dan agen


sulfonasi 1 : 2,3 pada temperatur kamar.
Sedangkan penelitian yang menggunakan
pelarut
1,2-dikloroetana
pada
sintesis
polisulfon tersulfonasi telah dilakukan oleh
Sheng-Li. C, et al, (2005), dimana dari hasil
penelitiannya disebutkan bahwa kondisi reaksi
dengan perbandingan antara mol polimer dan
mol agen sulfonasi yaitu 1 : 1,43 dan 1: 2,86.
Filho. F. A.A.M, et al, (2010) melaporkan
sintesis polisulfon tersulfonasi menggunakan
pelarut 1,2-diklroroetana dengan derajat
sulfonasi maksimum 83,4%. Penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Genova.PDimitrova, et al, (2001) juga menggunakan
pelarut 1,2-dikloroetana pada sulfonasi
polisulfon menghasilkan derajat sulfonasi
maksimum 136% pada temperatur kamar
selama 72 jam.
Dari laporan peneliti-peneliti tersebut,
sangat jelas menunjukkan adanya perbedaan
derajat sulfonasi yang diperoleh antara yang
menggunakan pelarut kloroform dan pelarut
1,2-dikloroetana. Ini sejalan dengan hasil
penelitian yang diperoleh pada sintesis
polisulfon tersulfonasi menggunakan pelarut
kloroform dan pelarut 1,2-dikloroetana.

(b)

Gambar 1. Proses presipitasi metanol


(a) Pelarutan polisulfon dengan kloroform, (b)
Pelarutan polisulfon dengan 1,2-dikloroetana.

% Transmittance (a.u.)

Perbedaan waktu pelarutan polisulfon yang


diperlukan
untuk
pelarutan
polisulfon
menunjukkan bahwa polisulfon lebih suka
larut pada pelarut kloroform dibandingkan
dengan pelarut 1,2-dikloroetana. Hal ini dapat
dilihat karena adanya perbedaan kepolaran dari
kedua pelarut yang digunakan. Bila ditinjau
dari momen dipol, pelarut kloroform memiliki
momen dipol lebih rendah yaitu 1,15
sedangkan pelarut 1,2-dikloroetana memiliki
momen dipole 1,86. Fenomena ini juga
didukung oleh perbedaan sifat fisik lain dari
kedua pelarut, yaitu konstanta dielektrik.
Dimana konstanta dielektrik kloroform yaitu
4,81 lebih rendah dibandingkan dengan
konstanta dielektrik 1,2-dikloroetana sebesar
10,36.
Hasil analisis derajat sulfonasi diperoleh
sebesar 136% untuk pelarutan menggunakan
1,2-dikloroetana dan 25% dari pelarutan
kloroform.
Penggunaan pelarut kloroform pada sintesis
polisulfon tersulfonasi sebagai membran
penghantar proton yang telah dilakukan
penelitiannya dan dilaporkan oleh Lufrano. F.
G, et al, (2000) ini, menghasilkan derajat
sulfonasi maksimum 48,7% dan perbandingan
perbandingan mol antara polimer dan agen
sulfonasi 1 ; 1,4 dan waktu reaksi 48 jam pada
temperatur kamar. Kemudian hasil penelitian
Lufrano. F. G, et al, (2001) diperoleh derajat
sulfonasi maksimum 77%. Berikutnya hasil
penelitian Lufrano. F. G, et al, (2006)
diperoleh derajat sulfonasi antara 50% hingga
70%, kemudian penelitian selanjutnya yang
dilaporankan oleh Lufrano. F. G, et al, (2008)
diperoleh derajat sulfonasi maksiumum 70%

Polisulfon
Polisulfon tersulfonasi 136%
Polisulfon tersulfonasi 25%
1.0

0.5
4000

3000

2000

1000
-1

Wavenumbers (cm )

Gambar 2. Spektrum FTIR Polisulfon, polisulfon


tersulfonasi 136% dan polisulfon tersulfonasi 25%.

Pada Gambar 2, terlihat spektrum


polisulfon tersulfonasi sebagai hasil reaksi
sulfonasi polisulfon dan spektrum polisulfon
sebagai bahan dasar awal terlihat adanya
perbedaan
diantara
spektrum-spektrum
tersebut. Perbedaan spektrum polisulfon
tersulfonasi dan polisulfon sangat jelas terlihat
khusunya di daerah bilangan gelombang
sekitar 3500 cm-1 dan absorpsi pita didaerah
dekat 1041 cm-1 dimana pada spektrum
polisulfon tidak menunjukkan adanya vibrasi
1609

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

stretching O-H dan asimetrik vibrasi stretching


O=S=O dari gugus sulfonat -SO3.
Pada spektrum Infra merah polisulfon dan
polisulfon tersulfonasi, ada beberapa pita
bilangan gelombang yang berhimpit. Ini
menunjukkan bahwa senyawa awal dan
senyawa akhir memang tersusun dari unsur
seperti ditunjukkan oleh bilangan-bilangan
gelombang yang terdeteksi tersebut. Setelah
disulfonasi, spektrum polisulfon tersulfonasi
136% terlihat lebih baik pada bilangan
gelombang 3500 cm-1 dibandingkan 25%.

mendekati temperatur 500C. Ini berhubungan


dengan degradasi dari rantai utama dari
polisulfona, pola ini mirip dengan penelitian
yang dilaporkan oleh Lufrano. F, et al, (2008).
Termogram polisulfon tersulfonasi, gugus
sulfonat yang menempel pada backbone
polisulfon berpengaruh besar terhadap
penurunan kestabilan termal polisulfon. Dari
Gambar 3 (b). polisulfon tersulfonasi 136%
masih terlihat stabil pada temperatur 200oC.
Pada daerah antara 200-250oC polisulfon
tersulfonasi
sudah
terlihat
terjadinya
penurunan berat atau kehilangan % berat,
sedangkan
polisulfon tersulfonasi 25%
Gambar 3 (c) lebih besar mengalami
kehilangan berat/degradasi. Menurut Ho Bum
Park, et al, (2005) degradasi polisulfon
tersulfonasi yang diukur menggunakan
Thermogravimetrymass spectroscopy diawali
dengan pelepasan molekul uap air yang terikat
oleh polisulfon tersulfonasi yang bersifat
hidrofil pada temperatur di sekitar 100 oC
kemudian diikuti dengan pelepasan molekul
SO pada daerah antara 200-300oC. Degradasi
selanjutnya adalah pelepasan molekul SO2
pada daerah antara 300-400oC.
. Data konduktivitas proton di peroleh dari
siklus pengukuran pada keadaan panas dan
pendinginan dari sejumlah temperatur daerah
pengkuran dari membran polimer elektrolit
yang mempunyai homogenitas yang baik.
Konduktivitas proton pada suhu 150Cuntuk
polisulfon tersulfonasi 136% adalah 7,94 x 10-5
S cm-1 sedangkan polisulfon tersulfonasi 25%
sebesar 1,65 x 10-5 S cm-1. Untuk polisulfon
tersulfonasi 136% terlihat lebih besar
dibandingkan yang hanya 25%, tetapi kedua
membran masih menunjukkan konduktivitas
pada orde yang sama.

(a)

(b)

(c)

4. KESIMPULAN
Jenis pelarut yang digunakan ketika proses
sulfonasi mempengaruhi derajat sulfonasi yang
diperoleh. Dari hasil diperoleh derajat
sulfonasi sebesar 136% untuk pelarutan
menggunakan 1,2-dikloroetana dan 25% dari
pelarutan kloroform. Perbedaan derajat
sulfonasi akan mempengaruhi sifat fisik
polisulfon tersulfonasi, derajat sulfonasi 25%
memilki kestabilan termal yang rendah
dibandingkan polisulfon tersulfonasi 136%.
Konduktivitas yang diperoleh masih pada orde
yang sama dengan polisulfon tersulfonasi
136% lebih besar dibandingkan yang 25%.

Gambar 3. Termogram polisulfon (a), polisulfon


tersulfonasi 136% (b) dan polisulfon tersulfonasi
25% (c).

Termogram
polisulfon
menunjukkan
kestabilan dimensi yang sangat tinggi dengan
temperatur transisi gelas sekitar 185 C dan
degradasi dari polisulfon di mulai hampir
1610

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Michael, A.H. Hossein Ghassemi. Yu Seung Kim.
Brian, R.E. James, E.M. 2004. Alternative
polymer systems for proton exchange
membrans (pems) Chem. Rev. 104: 587-4612.
Yuan, X.Z. Sang, C. Wang, H. and Zhing, J. 2009.
Electrochemicall impedance spectroscopy in
PEM Fuel cell. Springer Canada.
Lufrano, F. G. Squadrito. Patti, A. Passalacqua,
E. 2000. Sulfonated Polysulfone as Promising
Membrans for Polymer Electrolyte Fuel Cells.
Journal of Applied Polymer Science. Vol. 77:
1250-1257.
Lufrano, F.G. Squadrito. Patti, A. Passalacqua, E.
2001.
Sulfonated
polysulfone
ionomer
membrans for fuel cells. Solid State Ionics 145:
47-51.
Lufrano, F.G. Vincenzo Baglio. Pietro Staiti.
Antonino, S. A. and Vincenzo Antonucci. 2006.
Development and characterization of sulfonated
polysulfone membrans for direct methanol fuel
cells. Desalination 199: 283-285.
Lufrano, F.G. Vincenzo Baglio. Pietro Staiti.
Antonino, S. A. and Vincenzo Antonucci. 2008.
Polymer electrolytes based on sulfonated
polysulfone for direct metanol fuel cells.
Journal of Power Sources. 179: 34-41.
Sheng-Li.C. Bocarsly, A.B. Benjiger, J. 2005.
Nafion-layered sulfonated polysulfone fuel cell
membrans. Journal of power sources 152: 2733.

5. REFERENSI
Filho, F.A.A.M. and Gomes, A.S. 2010.
Crosslinked Sulfonated Polysulfone-Based
Polymer Electrolyte Membrans Induced by
Gamma Ray Irradiation. International Journal
of Polymeric Materials 59: 424-437.
Genova, P.D. Baradie, B. Foscallo, D. Poinsignon,
C. Sanchez, J.Y. 2001. Ionomeric membrans for
proton exchange membran fuel cell (PEMFC):
sulfonated
polysulfone
associated
with
phosphatoantimonic acid. Journal of Membran
Science 185: 59-71.
Gustian, I., Celik, S. U., , and Bozkurt.A, Novel
proton conductive hybrid membrans based on
sulfonated polysulfone and benzotriazole, J.
Mater. Res., 2012, Vol. 27, No. 20, Oct 28,
2650-2655.
Gustian I, Celik S U, Zainuddin A, Suratno W,
Bozkurt A, Siregar R E, Synthesis of Polymer
Electrolyte Membrane based on Complex Pair
and Its Characteristics, J.Math. Fund. Sci.,
Vol. 46, No. 1, 2014, 50-61.
Ho Bum Park. Hyun-Soo Shin. Young Moo Lee. JiWon Rhim. 2005. Annealing effect of
sulfonated polysulfone ionomer membrans on
proton conductivity and metanol transport.
Journal of Membran Science 247: 103-110.
Hoogrers, G. 2003. Fuel cell technology hand book.
CRC Press.

1611

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

TEKNIK IN VITRO MELALUI SUBKULTUR JERUK KEPROK BRASTAGI (Citrus


nobilis BRASTEPU) UNTUK MENGHASILKAN BIBIT BEBAS PENYAKIT CVPD
Isnaini Nurwahyuni* dan Riyanto Sinaga
Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Kampus USU Padang Bulan Medan, Sumatera
Utara, Indonesia 20155, E-mail: isnaininurwahyuni@yahoo.co.id
Abstract
In vitro propagation via subculture of Brastepu citrus (Citrus nobilis Brastepu) is aimed to obtain good quality
seedling free from CVPD for bioconservation of local citrus in North Sumatera. The study is carried out by
using shoot tips of healthy plant as source of explant and planted via subculture in medium culture enriched
with auxin and cytokinin. The results showed that the best condition at D1B1 by using 0.5 mg/L 2,4-D dan 0.51.0 mg/L BAP, produce 2.82 g callus. The best embryosomatic was obtained in D1B2 by using 0.5 mg/L 2,4-D
dan 0.5 - 1.0 mg/L BAP, with 24,80 embryosomatic. The best condition to obtain shoot was in D1B2 with
avarage 4.00. Statistical analysis with Duncan (P = 0.05) showed that the variation in treatment conditions are
significantly influenced the growth and development of callus, embryosomatic, and the shoot of Brastepu citrus.
Confirmation test has demonstrated that all plants produced in this technique are free from CVPD. The DNA
band profile from RAPD reveals that the isolated DNA of plant obtained from in vitro propagation has similar
genetic properties with original plants of Brastepu citrus.
Keywords: Bioconservation, In vitro, subculture, Citrus nobilis Brastepu, In Vitro, CVPD, Brastagi citrus

baik yang dapat dilakukan secara teknik in


vitro.

1. PENDAHULUAN
Penyakit Citrus Vein phloem Degeneration
(CVPD) merupakan salah satu penyakit
pembunuh massal yang pernah menyerang
Jeruk keprok Brastagi (Citrus nobilis
Brastepu) sehingga varietas jeruk lokal
Sumatera Utara ini menjadi langka dan
terancam
dari
kepunahan.
Beberapa
keunggulan genetika jeruk Brastepu yaitu
memiliki cita rasa manis, bentuk dan warna
buah menarik, ukuran buah besar, kuantitas
buah banyak, dan kulit buah dan daun
mengandung senyawa bioaktif yang dapat
dipergunakan
sebagai
obat
tradisionil
(Nurwahyuni, dkk., 2015, Simatupang, 2009).
Jeruk Brastagi pernah menjadi buah unggulan
Sumetera Utara, namun saat ini sudah jarang
ditemukan di pasar lokal. Jeruk lokal Brastagi
sudah ditinggalkan oleh petani dan diganti
oleh Jeruk Madu karena rentan terhadap
penyakit CVPD yang membunuh jeruk lokal
Brastagi secara massal beberapa tahun silam.
Bencana alam Erupsi Gunung Sinabung yang
melanda Desa Brastepu Tahun 2013-2015
mempercepat kepunahan jeruk lokal Brastagi
plasmanuftah
Indonesia
indonesia
ini
(Nurwahyuni dan Sinaga, 2015). Dengan
demikian, diperlukan usaha untuk pelestarian
tanaman melalui menyediakan bibit jeruk
keprok Brastagi bebas CVPD dan berkualitas

Beberapa keuntungan menggunakan teknik


propagasi in vitro melalui kultur jaringan yaitu
dapat menghasilkan bibit klonal secara massal
dalam waktu singkat, dapat menghasilkan bibit
tanaman jeruk yang seragam dan tingkat
kesehatan lebih baik [4]. Teknik in vitro jeruk
melalui
embriogenesis
somatik
akan
menghasilkan propagula dalam jumlah besar
dalam waktu singkat [5] melalui pembentukan
kalus [6]. Perbanyakan secara kultur jaringan
sebagai usaha untuk mendapatkan bibit jeruk
Brastepu yang baik dilihat dari potensi fenotip
dan genotip sama dengan induknya, dan
sekaligus menghasilkan bibit tanaman yang
bebas penyakit CVPD.
Teknik in vitro melaui subkultur dilakukan
untuk mengatasi keterbatasan pertumbuhan di
dalam media dalam jangka lama karena
mengalami habituasi (Fei, dkk., 2002). Teknik
subkultur
memberikan
peluang
untuk
perbanyakan tanaman yang lebih baik karena
penyediaan nutrisi yang mencukupi untuk
pertumbuhan dan perkembangan kultur (Peng,
dkk., 2015; Yann, dkk., 2012). Teknik
subkultur telah berhasil dilakukan untuk
perbanyakan berbagai tanaman seperti
tembakau (Pospilov, dkk., 2009), mulbery
(Zhu, dkk., 2014), kacang-kacangan (Yeo,
dkk., 2004), dan tanaman pantai (Breton, dkk.,
1612

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
jenis zat pengatur tumbuh auksin (D) dan sitokinin
(B), dan pada masing-masing perlakuan ditambah
atau tanpa suplemen.

2006; David, dkk., 2005). Teknik in vitro


melalui subkultur dapat menghasilkan nodul
dan embrioid normal dan meningkatkan umur
kultur seperti yang dilakukan pada kalus kultur
kentang (Villafranca, dkk., 1998). Teknik
subkultur akan dilakukan untuk perbaikan
pertumbuhan dan perkembangan kultur dalam
perbanyakan jeruk keprok Brastagi yang
dilakukan di dalam penelitian ini. Tujuan
penelitian adalah untuk mendapatkan kultur
meristem pucuk dengan satu kali subkultur
dalam media baru media MS basal yang
diperkaya 2,4-D dan BAP sebagai usaha untuk
perbanyakan tanaman bebas CVPD dalam
jumlah banyak.

Auksin
2,4 D
(D)

0
1
2

Sitokinin BAP (B)


0
1
2
D0B0
D0B1
D0B2
D1B0
D1B1
D1B2
D2B0
D2B1
D2B2

3
D0B3
D1B3
D2B3

Keterangan: D0 = 2,4 dichlorophenoxyacetic acid 2,4-D


0,0 mg/l; D1 = 2,4 dichlorophenoxyacetic acid 2,4-D 0,5
mg/L; D2 = 2,4 dichlorophenoxyacetic acid 2,4-D 1,0
mg/L; B0 = Benzyl Amino Purin dan BAP 0,0 mg/L; B1
=Benzyl Amino Purin dan BAP 0,5 mg/L; B2 = Benzyl
Amino Purin dan BAP 1,0 mg/L; B3 = Benzyl Amino
Purin dan BAP 3,0 mg/L.

Bagan percobaan teknik in vitro melalui


kultur meristem pucuk dan subkultur untuk
mendapatkan bibit jeruk Brastepu yang sehat
dan bebas CVPD diperlihatkan pada Gambar
1. Hasil kultur dikarakterisasi molekuler
menggunakan Random Amplified Polymorphic
DNA (RAPD). Prosedur kultur meristem
pucuk dan subkultur terdiri atas penyediaan
media kultur, sterilisasi pucuk dan penanaman
eksplan serta subkultur, Analisis Random
Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dan
PCR dengan DNA jeruk hasil kultur. Prosedur
lengkap penelitian ini dijelaskan dalam
Nurwahyuni dan Sinaga (2016).

2. METODE PENELITIAN
Penelitian teknik in vitro melalui
subkultur jeruk keprok brastagi (Citrus nobilis
Brastepu) untuk menghasilkan bibit bebas
penyakit CVPD dilakukan di Laboratorium
Fisiologi Tumbuhan, Departemen Biologi,
FMIPA-USU. Bahan yang digunakan di dalam
penelitian adalah tanaman jeruk keprok
Brastepu yang diperbanyak secara teknik
okulasi sebagai sumber eksplan (Nurwahyuni,
dkk., 2012; Nurwahyuni dan Sinaga, 2014).
Bahan kimia untuk teknik in vitro terdiri atas
media MS (Murashige dan Skoog, 1962), agar
bacto, larutan benlate, alkohol, larutan NaClO,
larutan
HgCl2,
akudes,
2,4
dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), dan
Benzyl Amino Purin dan (BAP), 1Naphthaleneacetic acid (NAA) dan ekstrak
malt. Alat yang digunakan untuk kultur
jaringan adalah mikroskop binokular, Laminar
Air Flow (LAF), dissecting set, Mikroskop
cahaya berkamera, kaca preparat dan penutup,
jarum preparat, kaca pembesar (loup), botol
kultur, gunting, dan sarung tangan disposibel.
Percobaan bersifat eksperimental dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
dengan 2 faktor yaitu 2,4-D pada konsentrasi
0,0; 0,5; 1,0 mg/L 2,4-D, dan BAP pada
konsentrasi 0,0; 0,5; 1,0; 1,5 mg/L BAP
dengan kombinasi seperti pada Tabel 1. Setiap
perlakuan dilakukan dengan 10 unit. Media
dasar yang digunakan adalah Murashige dan
Skoog (MS) yang diperkaya kombinasi ZPT
untuk kultur meristem pucuk satu kali
subkultur.

Gambar 1. Bagan percobaan teknik perbanyakan


tanaman jeruk keprok Brastepu secara in vitro
melalui kultur meristem pucuk satu kali sub kultur
untuk menghasilkan kultur dan planlet bebas
CVPD.

3. HASIL PENELITIAN DAN


PEMBAHASAN
1. Penyediaan Jeruk keprok Brastepu
Sebagai Sumber Eksplan
Kultur pucuk dan subkultur jeruk dilakukan
dengan menggunakan sumber eksplan tunas
muda berasal dari tanaamn yang diperbanyak
secara okulasi, yaitu tanaman jeruk bebas
penyakit CVPD. Pucuk yang diperlukan di

Tabel 1.Kultur in vitro jeruk keprok Brastepu


dengan rancangan acak lengkap kombinasi variasi

1613

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dalam penelitian kultur pucuk dan subkultur


jeruk Brastepu dengan ukuran 2 - 5 cm. Pucuk
bagian apikal jeruk (Gambar 2a) dipotong
sebesar 3 mm, daun-daun yang menutupi
dipotong dan diisolasi bagian kubah sekitar 1
mm, disebut sebagai meristem pucuk atau
meristem shoot tip (mst) seperti diperlihatkan
pada Gambar 2b. Pucuk disterilkan dan bagian
meristem diisolasi dalam kotak pindah, dan
selanjutnya meristem ditanam di dalam media
kultur dengan komposisi bervariasi, dan
penanaman kultur di dalam media dengan
variasi ZPT dengan meletakkan eksplan
berada di bagian atas media dengan posisi
menempel dan sedikit terbenam di dalam
media kultur untuk menginisiasi kalus
(Gambar 2c). Selanjutnya kultur disusun dan
diletakkan di dalam rak kultur untuk inkubasi
dengan pengaturan suhu dan cahaya pada
kondisi ruangan steril (Gambar 2d).

ngan kultur mulai dari kalus setelah umur kultur lima bulan diperlihatkan pada Gambar 3.
Pertumbuhan dan perkembangan kultur
kultur meristem pucuk dengan satu kali
subkultur dipelajari untuk melihat inisiasi
kalus
pada
masing-masing
kelompok
perlakuan sama seperti pada kultur inisiasi
sampai umur empat bulan. Kultur inisiasi di
dalam media padat MS diperkaya ZPT
diinkubasi selama satu bulan terlihat
bertumbuh menjadi kalus berbentuk kapas dan
gumpalan yang menutupi eksplan (Gambar
3a), dan selanjutnya kalus disubkultur satu kali
dengan cara memindahkan kalus inisiasi di
dalam MS baru dengan variasi sitokinin dan
auksin dan diinkubasi sampai umur lima bulan
(Gambar 3b).

Gambar 2. Bahan tanaman yang diperlukan di


dalam kultur pucuk dan subkultur jeruk keprok
Brastepu: (a) Tunas muda dari pucuk jeruk sehat
sebagai bahan eksplan, (b) Meristem pucuk (mst)
yang sudah disterilisasi siap untuk ditanam di
dalam media kultur, (c) Eksplan steril (tanda
lingkaran) yang ditanam di dalam media kultur
dengan variasi zat pengatur tumbuh, dan (d) Kultur
diletakkan di dalam rak kultur untuk inkubasi.

Gambar 3. Pertumbuhan kultur meristem pucuk


dengan satu kali subkultur jeruk keprok Brastepu:
(a) kultur jeruk berupa kalus yang diperoleh dari
kultur inisiasi berumur lima bulan, (b) kultur
inisiasi disubkultur pada media MS yang diperkaya
dengan zat pengatur tumbuh, (c) bentuk
pertumbuhan kalus menjadi embriosomatik di
dalam media MS diperkaya dengan zat pengatur
tumbuh umur lima bulan, (d) perkembangan
tanaman subkultur umur lima bulan.

2. Pertumbuhan Kultur Meristem Pucuk


Dengan Satu Kali Subkultur

Media kultur berwarna jernih dan kalus


yang tumbuh di dalam media umumnya
berwarna hijau kekuningan. Eksplan yang
berada di dalam kultur yang mengandung
media MS padat menunjukkan perubahan
bentuk kalus bervariasi sesuai dengan
perlakuan. Bentuk kalus yang dihasilkan pada
umumnya berupa sel-sel yang menyebar atau
berbentuk gumpalan, dan pada sebagian
perlakuan hanya mengalami pembesaran
eksplan dan kalus embriogenik (Gambar 3c).
Perlakuan lain menghasilkan kalus yang
tumbuh dan berproliferasi membentuk kalus
noduler dan tunas, dan setelah kultur berumur

Kultur meristem pucuk jeruk Brastepu


dengan satu kali subkultur, yaitu dengan cara
memindahkan kalus hasil inisiasi berumur satu
bulan dan melakukan subkultur kalus satu kali
di dalam media dengan variasi ZPT. Teknik
kultur meristem pucuk dengan satu kali
subkultur ini dilakukan menggunakan media
kultur padat MS dan diperkaya 2,4-D dan BAP
terbukti dapat memicu pertumbuhan kalus,
menstimulasi
embriosomatik
dan
pembentukan tunas. Kultur meristem pucuk
dengan satu kali subkultur di dalam media MS
yang diperkaya dengan ZPT dan perkemba1614

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

empat bulan telah terlihat pertumbuhan


tanaman yang sempurna memiliki akar, batang
dan daun (Gambar 3d). Pertumbuhan dan
perkembangan kultur sebagai hasil subkultur
dari masing-masing kultur tanpa subkultur
yang disubkultur satu kali pada umur empat
bulan dirangkum pada Tabel 2.

butiran dan gumpalan, dan sebagian lainnya


menunjukkan perubahan eksplan mengalami
pembesaran. Dari perlakuan diperoleh kalus
yang tumbuh dan berproliferasi membentuk
kalus noduler dan tunas seperti dirangkum
pada Tabel 2. Pola pertumbuhan, perkembangan dan karakteristik kultur meristem pucuk
dengan satu kali subkultur berupa hasil kultur
isisiasi jeruk Brastepu yang disubkultur satu
kali di dalam media MS padat diperkaya
dengan sitokinin dan auksin di dalam media
dijelaskan pada pembahasan berikut ini.

Pertumbuhan dan perkembangan kalus


dalam kultur meristem di dalam MS yang
diperkaya dengan ZPT diamati untuk melihat
pola pertumbuhan dan karakteristik kalus,
perkembangan kalus di dalam media dengan
melihat pertambahan bobot kalus, kemampuan
kultur untuk menginisiasi kalus, dan
pembentukan tunas di dalam subkultur. Hasil
ini menunjukkan bahwa variasi konsentrasi
ZPT yang ditambahkan ke dalam media sangat
berperan
di
dalam
mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan kalus pada
subkultur. Pola perkembangan kultur yang
diperoleh bervariasi. Pengamatan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan kultur di
dalam media kultur pada variasi perlakuan
menunjukkan ada variasi karakteristik
pertumbuhan dan perkembangan kultur.
Beberapa botol kultur menunjukkan perubahan
eksplan menjadi sel-sel menyebar berupa

3.1. Bobot kalus Jeruk Keprok Brastepu


Kultur Meristem Pucuk
Pengamatan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan kalus yang terdapat pada
masing-masing eksplan dilakukan setelah
melakukan kultur meristem pucuk dengan satu
kali subkultur di dalam media MS yang
diperkaya dengan zat pengatur tumbuh.
Pengamatan terhadap pembentukan kalus di
dalam media kultur meristem pucuk dengan
satu kali subkultur menunjukkan pertumbuhan
kalus yang bervariasi sesuai dengan sumber
eksplan pada umur lima bulan seperti
dirangkum pada Tabel 2.

Tabel 2. Pertumbuhan, perkembangan dan karakteristik kultur jeruk keprok Brastepu pada kultur meristem
pucuk dengan satu kali subkultur di dalam media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh setelah umur
subkultur empat bulan. Angka rataan yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji jarak Duncan (P = 0,05).
D0B0
D0B1
D0B2
D0B3
D1B0
D1B1

Bobot
Kalus (g)
0,46 a
1,26 d
0,99 c
0,74 b
1,99 i
2,82 l

Jumlah
Embriosmatik
1,40 a
3,60 b
4,30 c
3,20 b
12,20 h
16,20 i

Jumlah
Tunas
0,30
0,40
0,70
0,50
2,80
2,90

D1B2

2,39 k

24,80 k

4,00

D1B3

2,16 j

20,50 j

3,50

D2B0
D2B1
D2B2
D2B3

1,34 e
1,78 h
1,51 f
1,65 g

5,10 d
6,80 e
10,10 g
8,40 f

0,90
1,50
2,20
1,80

Perlakuan

Keterangan:

Deskripsi dan Karakteristik Kultur


Sel-sel menyebar (suspensi) dan gumpalan
Eksplan membesar
Eksplan membesar
Eksplan membesar
Sel-sel menyebar (suspensi) dan gumpalan
Kalus tumbuh dan proliferasi membentuk kalus noduler,
media masih tersisa sampai 6 minggu
Kalus tumbuh dan proliferasi membentuk kalus noduler,
tunas, media hamper habis sampai 6 minggu
Kalus tumbuh dan proliferasi membentuk kalus noduler,
tunas, media hampir habis sampai 6 minggu
Kultur berupa gumpalan, kelompok sel
Kultur berupa gumpalan, kelompok sel
Kultur berupa gumpalan, kelompok sel
Kultur berupa gumpalan, kelompok sel

D0 = 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid 2,4-D 0,0 mg/L; D1 = 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid 2,4-D 0,5


mg/L; D2 = 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid 2,4-D 1,0 mg/L; B0 = Benzyl Amino Purin dan BAP 0,0 mg/L;
B1 = Benzyl Amino Purin dan BAP 0,5 mg/L; B2 = Benzyl Amino Purin dan BAP 1,0 mg/L; B3 = Benzyl
Amino Purin dan BAP 3,0 mg/L.

Kelompok
mengandung
seperti pada
D0B3 tidak

kalus, hanya menunjukkan perbesaran eksplan


pada subkultur di dalam media MS yang
diperkaya dengan zat pengatur tumbuh.
Konsentrasi sitokinin yang digunakan dalam
kultur tahap inisiasi tidak secara nyata

perlakuan tahap inisiasi yang


sitokinin dan bebas auksin
kelompok D0B1, D0B2, dan
mengalami perubahan bobot
1615

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

mempengaruhi bobot kalus pada subkultur di


dalam media. Hampir semua kultur inisiasi
yang mengandung auksin 0,5 mg/L 2,4-D
yang
disubkultur
pada
media
baru
menunjukkan pertumbuhan kalus sangat baik.
Dengan mengkombinasikan auksin 0,5 mg/L
2,4-D dengan sitokinin 0,5 mg/L BAP pada
kelompok perlakuan D1B1 maka eksplan
mengalami pertumbuhan kalus dan mengalami
proliferasi membentuk kalus noduler. Pada
kondisi ini media masih tersisa setelah waktu
kultur dua bulan, dan dihasilkan kalus paling
besar dengan bobot kalus 2,82 g.
Meningkatkan jumlah BAP 1,0 mg/L yang
dikombinasikan dengan auksin 0,5 mg/L 2,4-D
pada kelompok perlakuan D1B3 dihasilkan
kalus tumbuh dan berproliferasi membentuk
kalus noduler dan tunas. Pengamatan terhadap
hasil kultur meristem pucuk dengan satu kali
subkultur menunjukkan bahwa hampir semua
unit perlakuan yang berasal dari kultur inisiasi
yang mengandung auksin tinggi (1,0 mg/L
2,4-D) menghasilkan kalus berupa kompak
yang dikategorikan sebagai kalus embriogenik.
Dari hasil ini diketahui bahwa perlakuan
kultur meristem pucuk dengan satu kali
subkultur di dalam media MS yang diperkaya
dengan
auksin
dan
sitokinin
dapat
mengakibatkan
eksplan
membesar,
pertumbuhan kalus dan proliferasi membentuk
kalus noduler, pembentukan tunas, dan ada
juga yang menghasilkan kalus berupa agregat
sebagai kelompok sel tergantung pada kondisi
awal pemberian zat pengatur tumbuh auksin
dan sitokinin yang dilakukan pada kultur
dengan satu kali subkultur. Analisis statistik
menggunakan uji jarak Duncan (P = 0,05)
menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan
berbeda nyata terhadap bobot kalus.

mg/L-1,5 mg/L BAP tanpa kehadiran auksin


setelah disubkultur di dalam media padat
(D0B1, D0B2 dan D0B3) menghasilkan
eksplan membesar, tetapi jumlah embriosomatik bervariasi. Perlakuan D0B1 menghasilkan
3,60 embriosomatik dan D0B2 diperoleh lebih
banyak embriosomatik, yaitu 4,30 embriosomatik. Akan tetapi, dengan meningkatkan
BAP menjadi 1,5 mg/L dihasilkan jumlah
embriosomatik semakin sedikit, yaitu 3,20
buah embriosomatik. Variasi 2,4-D dan BAP
di dalam media kultur telah dilakukan dan
setelah disubkultur diperoleh perkembangan
embriosomatik seperti dirangkum pada Tabel
2. Subkultur yang diberikan konsentrasi auksin
lebih tinggi menghasilkan embriosomatik yang
semakin tinggi. Perlakuan kultur meristem
pucuk dengan satu kali subkultur di dalam
media yang diperkaya dengan kombinasi
auksin 0,5 mg/L 2,4-D dan sitokinin 0,5 mg/L
BAP pada kelompok D1B1 terbentuk rata-rata
sebanyak 16,20 embriosomatik, dan peningkatan pemberian sitokinin pada konsentrasi 1,0
mg/L BAP pada kelompok perlakuan D1B2
mampu menghasilkan rata-rata sebanyak 24,80
embriosomatik sebagai perlakuan yang menghasilkan embriosomatik paling tinggi diantara
semua perlakuan berdasarkan frekuensi
subkultur. Akan tetapi, peningkatan 1,5 mg/L
BAP pada kelompok perlakuan D1B3
dihasilkan lebih sedikit embrioseomatik, yaitu
20,50 buah embriosomatik. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa perlakuan kultur meristem pucuk dengan satu kali subkultur di dalam
media MS yang diperkaya ZPT dapat meningkatkan jumlah embriosomatik pada hampir
seluruh perlakuan yang dipengaruhi oleh
pemberian kombinasi auksin 0,5 mg/L 2,4-D
dan sitokinin 0,5 - 1,0 mg/L BAP. Analisis
statistik menggunakan uji jarak Duncan (P =
0,05) menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan
berbeda nyata terhadap jumlah embriosomatik
di dalam media kultur meristem pucuk dengan
satu kali subkultur.

3.2. Pertumbuhan Embriosomatik Pada


Kultur Meristem Pucuk
Teknik perbanyakan tanaman melalui
kultur meristem pucuk dengan satu kali
subkultur dilakukan untuk melihat perkembangan embriosomatik di dalam kultur yang
diperlukan sebagai bakal tanaman dan berpotensi dikembangkan menjadi bibit tanaman.
Setelah kultur disubkultur pada umur empat
bulan diperoleh hasil pembentukan embriosomatik seperti dirangkum pada Tabel 2. Bentuk
pertumbuhan embriosomatik di dalam media
MS yang diperkaya dengan ZPT pada umur
lima bulan diperlihatkan pada Gambar 3c.
Kelompok perlakuan yang diberikan 0,5

3.3. Pertumbuhan Tunas Pada Kultur


Meristem Pucuk
Pertumbuhan tunas jeruk keprok Brastepu
pada teknik kultur meristem pucuk dengan
satu kali subkultur sebagai bakal tanaman dan
menjadi bibit tanaman dipelajari. Pertambahan
jumlah tunas pada kultur meristem pucuk
dengan satu kali subkultur sangat dipengaruhi
oleh kondisi kultur tahap inisiasi, dan pola
pertumbuhan dan perkembangan tunas di
1616

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dalam media pada umur empat bulan


diperlihatkan pada Gambar 3d. Jumlah tunas
jeruk Brastepu yang dihasilkan setelah umur
kultur lima bulan dirangkum pada Tabel 2.
Pemberian 2,4-D dikombinasikan dengan BAP
di dalam media dihasilkan tunas bervariasi.
Perlakuan dengan pemberian 0,5 mg/L 2,4-D
dan 0,5 mg/L BAP, yaitu pada kelompok
D1B1 terlihat bahwa tunas yangdihasilkan
rata-rata 2,90. Peningkatan sitokinin 1,0 mg/L
BAP dan 0,5 mg/L 2,4-D pada perlakuan
D1B2 menghasilkan tunas paling banyak,
yaitu 4,00. Apabila kombinasi 0,5 mg/L 2,4-D
dan meningkatkan kadar sitokinin diperbanyak
sampai 1,5 mg/L pada perlakuan D1B3
dihasilkan rata-rata tunas lebih sedikit yaitu
3,50 dibandingkan dengan D1B2 (4,00 tunas),
namun jumlah tunas pada perlakuan ini masih
lebih banyak dari perlakuan lain untuk variasi
kombinasi sitokinin dan auksin. Kombinasi
pemberian auksin 1,0 mg/L 2,4-D dengan
sitokinin 0,5 mg/L BAP pada kelompok D2B1
dihasilkan jumlah tunas yang lebih banyak,
yaitu rata-rata 1,50 buah, dan jumlah tunas
lebih meningkat pada kelompok perlakuan
kombinasi auksin 1,0 mg/L 2,4-D dengan
sitokinin 1,0 mg/L BAP yaitu D2B2
menghasilkan 2,20 tunas. Analisis statistik
menggunakan uji jarak Duncan (P = 0,05)
menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan
berbeda nyata terhadap pertambahan jumlah
tunas di dalam media kultur dengan satu kali
subkultur.

telah diperoleh bakal tanaman, dan DNA


sampel diisolasi dan dilanjutkan dengan
menggunakan PCR untuk melihat pola protein
yang terkandung di dalam DNA hasil
subkultur, kemudian dibandingkan dengan
kontrol positif CVPD yang terdapat di dalam
jeruk (C+), kontrol negatif CVPD jeruk (C-),
dan marker DNA bakteri CVPD (M/L).
Bentuk hasil analisis PCR kultur jeruk keprok
Brastepu yang diperoleh dari kultur meristem
pucuk dengan satu kali subkultur diperlihatkan
pada Gambar 4.

Gambar 4. Hasil analisis DNA dengan PCR


sampel jeruk keprok Brastepu hasil kultur meristem
pucuk dengan satu kali subkultur untuk skrining
CVPD: (1 - 12) adalah sampel DNA jeruk hasil
isolasi, (C+) adalah kontrol positif CVPD, (C-)
adalah kontrol negatif CVPD, dan (M/L) adalah
marker.

Tidak ditemukannya pita protein pada


sampel 1-12 menunjukkan bahwa kultur kultur
meristem pucuk dengan satu kali subkultur
jeruk Brastepu negatif CVPD, yaitu hampir
sama dengan kontrol negatif CVPD (C- pada
gambar), dan berbeda dengan kontrol positif
CVPD (C+ pada gambar). Marker DNA dari
bakteri CVPD menunjukkan pita pada 1160 bp
yaitu sebagai pita protein dari CVPD (lihat
Gambar 4). Dari hasil ini dapat disimpulkan
bahwa kultur dari kultur meristem pucuk
dengan satu kali subkultur semuanya bebas
dari CVPD.

3.4. Skrining CVPD DNA Kultur Jeruk


Keprok Brastepu
Untuk mengetahui apakah tanaman
jeruk Brastepu yang diperbanyak secara teknik
in vitro yang dilakukan melalui perlakuan
kultur meristem pucuk dengan satu kali
subkultur telah bebas dari penyakit CVPD
maka dilakukan isolasi DNA terhadap
tanaman hasil kultur jeruk pada semua
kelompok percobaan dan dilanjutkan dengan
skrining CVPD terhadap DNA hasil isolasi
menggunakan analisis DNA dengan PCR.
Analisis PCR untuk hasil kultur dan okulasi
menggunakan metode Tatiteni, et al., (2008).
Primer forward HLB 65 (5-TCCTGAGAA
TTACACACAAAC) dan primer reverse HLB
66
(3-TCTAAGTCTATCCTGTAACCC)
didesain berdasarkan gen polimerase DNA
putatif bakteri CVPD. Dari sebanyak 12
kelompok tanaman dalam percobaan kultur
meristem pucuk dengan satu kali subkultur

5. KESIMPULAN
Kultur meristem pucuk dan subkultur
jeruk Brastepu telah berhasil dilakukan untuk
mendapatkan bibit Jeruk Brastepu melalui
kultur meristem pucuk dengan satu kali
subkulturdi dalam media. Dari hasil ini
disimpulkan bahwa kultur meristem pucuk
dengan satu kali subkultur diperoleh bahwa
kalus di dalam media MS basal dan diperkaya
dengan variasi zat pengatur tumbuh dapat
menginisiasi kalus, embriosomatik dan tunas
sesuai variasi media kultur yang digunakan.
Bobot kalus tertinggi diperoleh pada perlakuan
D1B1 menggunakan auksin 0,5 mg/L 2,4D
1617

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Kemajuan Penelitian (Sedang Berjalan),
FMIPA USU, Medan Indonesia
Nurwahyuni, I., Napitupulu, J.A., Rosmayati, dan
Harahap, F., (2012), Pertumbuhan Okulasi
Jeruk Keprok Brastepu (Citrus nobilis Var.
Brastepu) Menggunakan Jeruk Asam Sebagai
Batang Bawah., Journal Saintika 12(1): 24-35.
Nurwahyuni, I., Napitupulu, J.A., Rosmayati, dan
Harahap, F., (2015), Identification And
Screening Of Citrus Vein Phloem Degeneration
(CVPD) On Brastagi Citrus Variety Brastepu
(Citrus nobilis Brastepu) In North Sumatra
Indonesia., Journal of Agricultural Science
7(4): 30-39.
Peng, X., Zhang, T., dan Zhang, J., (2015), Effect
of subculture times on genetic fidelity,
endogenous hormone level and pharmaceutical
potential of Tetrastigma hemsleyanum callus.,
Plant Cell Tiss Organ Cult 113(3): 1-11.
Pospilov, J., Haisel, D., Synkov, H., Dan
Bakov-Spoustov, P., (2009), Improvement
of ex vitrotransfer of tobacco plantlets by
addition of abscisic acid to the last subculture,
Biologia Plantarum 53(4): 617-624.
Simatupang, S., (2009), Karakterisasi and
Pemanfaatan Plasma Nutfah Jeruk In Situ oleh
Masyarakat Lokal Sumatra Utara., Buletin
Plasma Nutfah 15(2): 70-74
Terol, J., Naranjo, M.A., Ollitrault, P., dan Talon,
M., (2008), Development of genomic resources
for Citrus clementina: Characterization of three
deep-coverage BAC libraries and analysis of
46,000 BAC end sequences, BMC Genomics. 9:
423-429.
Villafranca, M.J., Veramendi, J., Sota, V., dan
Mingo-Castel, A.M., (1998), Effect of
physiological age of mother tuber and number
of subcultures on in vitro tuberisation of potato
(Solanum tuberosum L.)., Plant Cell Reports
17: 787790.
Yann, L.K., Jelodar, N.B., dan Lai-Keng, C.,
(2012), Investigation on the effect of subculture
frequency and inoculum size on the artemisinin
content in a cell suspension culture of Artemisia
annua L., AJCS 6(5): 801-807.
Yeo, U.D, Pandey, D.M., dan Kim, K.H., (2004),
Long-Term Effects of Growth Regulators on
Growth and Turnover of Symplastic and
Apoplastic Sugars in the Suspension Subculture
of Kidney Bean., Journal of Plant Biology
47(1): 21-26.
Zhu, H., Wei, P., Cen, X., Zhi, J., and Zhou, F.,
(2014), Effects of Exogenous Hormones on
Subculture Multification and Root Induction of
Tissue Culture Seedling of Mulbery.,
Agricultureal Science & Technology 15(5):
760-764..

dan sitokinin 0,5 - 1,0 mg/L BAP, dengan


bobot kalus 2,82 g. Jumlah embriosomatik
tertinggi diperoleh pada kelompok D1B2
menggunakan auksin 0,5 mg/L 2,4D dan
sitokinin 0,5 - 1,0 mg/L BAP dihasilkan 24,80
embriosomatik. Kondisi terbaik di dalam
menghasilkan tunas adalah pada kelompok
perlakuan D1B2 dihasilkan rata-rata 4,00
buah. Analisis statistik menggunakan uji jarak
Duncan (P = 0,05) menunjukkan bahwa
pengaruh perlakuan berbeda nyata terhadap
pertumbuhan dan perkembangan kalus,
embriosomatik dan tunas jeruk Brastepu pada
perlakuaan satu kali subkultur.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Proyek Penelitian Fundamental Tahun 2016
DP2M Dirjen Dikti Kementerian Riset dan
Pendidikan Tinggi yang memberikan dana
penelitian.
6. DAFTAR PUSTAKA
Breton, D., Harvengt, L., Trontin, J.F., Bouvet, A.,
dan Favre, J.M., (2006), Long-term subculture
randomly affects morphology and subsequent
maturation of early somatic embryos in
maritime pine., Plant Cell Tiss Organ Cult 87:
95108.
David, B., Luc, H., Trontin, J., Alain, B., dan JeanMichel, F., (2005), High Subculture Frequency,
Maltose-Based And Hormone-Free Medium
Sustained Early Development of Somatic
Embryosis in Maritime Pine, In Vitro Cellular
& Developmental Biology 41(4): 494-504.
Fei, S.Z., Riordan, T., dan Read, P., (2002),
Stepwise decrease of 2,4-D and addition of BA
in subculture medium stimulated shoot
regeneration and somatic embryogenesis in
buffalograss., Plant Cell, Tissue and Organ
Culture 70: 275279.
Murashige, T., dan Skoog, F., (1962), A revised
media for rapid grouth and bioassay with
tobacco tissue culture., Physiol. Plant. 15: 473496.
Nurwahyuni, I., (2002), Kultur jaringan daun jeruk
(Citrus
sinensis
Brastepu)
untuk
mikropropagasi, Jurnal Sain Indonesia 24(1):
17-20.
Nurwahyuni, I., dan Sinaga, R., (2014), In Vitro
Propagation For Bioconservation Of Threatened
Brastagi Citrus In North Sumatra Indonesia, Int
J Pharm Bio Sci 5(4): (B) 863-873
Nurwahyuni, I., dan Sinaga, R., (2016), Teknik In
Vitro Melalui Subkultur Untuk Perbanyakan
Jeruk Keprok Brastagi (Citrus nobilis
Brastepu) Bebas Penyakit CVPD, Laporan

.
1618

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

INOVASI PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK UNTUK PENGAJARAN


SENYAWA ENOLAT PADA MATA KULIAH KIMIA ORGANIK LANJUT
Jamalum Purba dan Manihar Situmorang

Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Medan, Jl. Willem Iskandar Psr V Medan Estate, Medan,
Sumatera Utara, Indonesia, 20221, E-mail: jp64.purba@gmail.com dan msitumorang@lycos.com
Abstract
Learning innovation is needed to improve students competencies to make learning process be
communicative and be able to motivate the students to use learning resources optimally. The istudy is aimed to
design innovative learning material with project based learning to improve students achievement to study
Enolate compound. The study is carried out by development of chemistry material on the topic of Enolate
compound with integration the material with mini project that to be able to improve students competencies
(cognetive, affective and psihomotor). Innovated material have been developed well and implemented on
experimental class and was compared with conventional study by using text book in control class. The results
showed that the students in experimental class (M=75,5) have higher achievement compare the control class
(M=69,2), and both class are significantly different (tcount 7,254 > t table 1,663). The innovated material (91%) is
found more effective than conventional teaching (89%). Learning pacages that is set in this experiment is suited
to the need of the students to study Advance Organic. An innovative learning material is able to provide the
student to study independently.
Keywords: Proyek Mini, Inovasi Pembelajaran, Kompetensi, Senyawa Enolat, Organik Lanjut

Pengalaman pembelajaran di Program Studi


Pendidikan Kimia FMIPA Unimed menunjukkan bahwa Mata Kuliah Kimia Organik Lanjut
termasuk kurang diminati mahasiswa walaupun tergolong sebagai matakuliah wajib (Purba
dan Situmorang, 2015). Hal ini mungkin
disebabkan karena perkuliahan cenderung
menerapkan pembelajaran konvensional yang
minus inovasi. Inovasi dalam pendidikan
sering dihubungkan dengan pembaharuan yang
berasal dari hasil pemikiran kreatif, temuan
dan modifikasi yang memuat ide dan metode
yang dipergunakan untuk mengatasi suatu
permasalahan pendidikan.

1. PENDAHULUAN
Pemberlakuan Kurikulum Nasional berbasis KKNI di Indonesia membawa perubahan
pola pembelajaran di Perguruan Tinggi,
terutama di Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) yang mempersiapkan
tenaga pendidik. Universitas Negeri Medan
(Unimed) sebagai salah satu LPTK di Indonesia selalu ambil bagian dalam peningkatan
sumber daya manusia berkarakter untuk
mensukseskan program nasional perbaikan
mutu pendidikan melalui Kurikulum Nasional.
Komitmen yang kuat dimiliki oleh Program
Studi Pendidikan Kimia FMIPA Unimed untuk
menyelaraskan proses pembelajaran kimia
dengan kemajuan teknologi sesuai dengan
kebutuhan stakeholder. Inovasi pembelajaran
sangat diperlukan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa pada pengajaran kimia
sehingga pembelajaran kimia lebih bermakna,
komunikatif, dan mampu untuk memotivasi
mahasiswa belajar kimia secara optimum.
Pembelajaran inovatif berbasis proyek sangat
mendesak dilakukan untuk menghasilkan
pembelajaran baru yang dapat memberikan
hasil belajar lebih baik dan sekaligus mendorong mahasiswa terbiasa dalam pembelajaran
penyelidikan dan pengamatan ilmiah yang
berpusat pada diri mahasiswa.

Inovasi pembelajaran adalah suatu strategi


dalam merekayasa dan perbaikan kegiatan
pendidikan untuk menghasilkan pembelajaran
yang baru, mendisain bahan instruksional dan
sebagai pengarah terhadap kegiatan pembelajaran di dalam atau di luar kelas menyesuaikan terhadap kurikulum (Washburn, 2011;
Situmorang dan Sinaga, 2006; Cheang, 2009).
Agar inovasi pembelajaran berhasil optimum
sesuai dengan tujuan yang diinginkan maka
beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam
inovasi seperti rasional teoritis, landasan pemikiran pembelajaran dan lingkungan belajar.
Inovasi pembelajaran dapat diakui apabila
dapat dipergunakan secara luas dalam pembe1619

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

lajaran dan terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Dengan
demikian, inovasi pembelajaran sebaiknya
fleksibel dan bertanggungjawab terhadap hasil
dan tujuan pembelajaran sehingga penyampaian materi menjadi terfokus (Situmorang,
dkk., 2006).

efektif bila dilakukan dengan penuh persiapan


(Situmorang, 2013).
Pembelajaran berbasis proyek bertujuan
untuk membangun pengetahuan mahasiswa
dalam belajar secara sistematis, yaitu sebagai
teknik untuk meningkatkan pengetahuan
mahasiswa dalam penguasaan konsep belajar
dan pemecahan masalah karena melalui
pengamatan dan pengumpulan data di laboratorium atau melalui virtual akan mendekatkan
mahasiswa pada situasi nyata (Thompson,
dkk., 2010; Ofstad dan Brunner, 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan
pembelajaran inovatif berbasis proyek untuk
meningkatkan kompetensi mahasiswa pada
pengajaran Senyawa Enolat pada mata kuliah
Kimia Organik Lanjut

Inovasi pembelajaran kimia meliputi


strategi, metode dan prinsip pengajaran yang
dipergunakan dalam penyampaian materi ajar
kimia kepada pebelajar seperti siswa dan
mahasiswa. Inovasi pembelajaran kimia akan
efektif apabila memuat pemecahan masalah,
perbaikan strategi pembelajaran mengikuti
perkembangan teknologi terkini, dapat
diaplikasikan secara luas, dan fleksibel untuk
mendukung teori bidang ilmu dan konsep
paedagodi (Situmorang, dkk., 2011; Parulian
dan Situmorang, 2013). Inovasi pembelajaran
kimia mengalami perkembangan sejalan
dengan perkembangan teknologi. Beberapa
inovasi pembelajaran yang telah berhasil
dipergunakan dalam pembelajaran sain diantaranya adalah (a) Pembelajaran kontekstual, (b)
Pembelajaran berbasis proyek, dan (c)
Pembelajaran berbasis teknologi informasi
(web), Masing-masing model pembelajaran ini
akan dijelaskan secara singkat berikut ini.

2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di FMIPA Unimed
Tahun Akademik 2015/2016. Objek penelitian
adalah materi ajar Senyawa Enolat sebagai
pokok bahasan Kimia Organik Lanjut.
Langkah penelitian Materi kimia Senyawa
Enolat diinovasi menjadi paket pembelajaran
berbasis proyek yang dipergunakan oleh
mahasiswa dalam perkuliahan di Jurusan
Kimia FMIPA Unimed. Sebagai populasi
adalah mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA
Unimed. Mahasiswa yang terlibat dalam
penelitian ini dipilih secara purposif dari
Program Studi Pendidikan Kimia dan Program
Studi Kimia, selanjutnya dijadikan sebagai
kelompok ekperimen dan kelompok kontrol.
Intervensi pembelajaran, sampel penelitian
adalah mahasiswa yang terpilih dikelompokkan berdasarkan tingkat kemampuan dasar
akademik mahasiswa dari indeks prestasi
kumulatif (IPK) semester sebelumnya.
Prosedur penelitian terdiri atas persiapan
penelitian, penyusunan instrumen penelitian,
pelaksanaan penelitian, pengumpulan data, dan
analisis data hasil penelitian. Instrumen
penelitian yang dipergunakan meliputi
questioner, pencatatan dokumen potensi lokal
yang dapat dipergunakan dalam pembelajaran,
inovasi pembelajaran (materi belajar inovatif),
dan evaluasi belajar (test) mengikuti prosedur
Situmorang, dkk., (2013) dan Purba, dkk.,
(2015), seperti diperlihatkan pada Gambar 1

Pembelajaran berbasis proyek dapat


dipergunakan untuk membangun pemahaman
dan penguasaan objek pendidikan (Purba dan
Situmorang, 2015). Beberapa pembelajaran
berbasis proyek yang sering dipergunakan
dalam pembelajaran diantaranya menggunakan
laboratorium, studi lapang, studi pustaka,
virtual melalui web, pemecahan masalah, dan
penugasan (Brill dan Yarden, 2003;
Uskokovc, 2010; Karimi, 2011; Azer, dkk.,
2013). Mini proyek sangat berguna bagi
mahasiswa untuk pembelajaran yang bersifat
konfrehensip, terutama sebagai strategi dalam
menjelaskan fenomena yang kompleks sebagai
pendukung teori yang sudah ada di dalam buku
teks. Pembelajaran menggunakan proyek mini
akan lebih efektif jika paket proyek sudah
dipersiapkan dengan baik, terutama dalam
petunjuk proyek mini yang dilakukan secara
individu atau kelompok, dan tersedia bahan
dan sumber belajar yang dapat dipergunakan
oleh mahasiswa dalam menjelaskan konsep
yang diinginkan harus dicapai oleh mahasiswa
(Hughes dan Ellefson, 2013; Lopatto, 2007).
Inovasi pembelajaran dengan menggunakan
proyek mini yang menuntut ketrampilan sangat
1620

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

katkan kompetensi mahasiswa pada pengajaran


Senyawa Enolat mata kuliah Kimia Organik
Lanjut. Untuk mengukur kemampuan pengetahuan mahasiswa dan tingkat penguasaan
mahasiswa terhadap materi Senyawa Enolat
yang akan diajarkan di dalam kelas maka
terhadap
seluruh
kelompok
perlakuan
dilakukan evaluasi pendahuluan (pretest), yaitu
terhadap kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol pada Prodi Pendidikan Reguler (A1),
Prodi Pendidikan Ekstensi (A2), dan Prodi
Non-pendidikan (B). Selanjutnya dilakukan
pembelajaran untuk pengajaran Senyawa
Enolat dilanjutkan dengan evaluasi akhir
pertama (postest-1) dan satu bulan setelah
pembelajaran (postest-2). Hasil belajar mahasiswa berdasarkan kemampuan mahasiswa
menjawab soal sebelum pembelajaran dimulai
dan sesudah pembelajaran untuk Pokok
Bahasan Senyawa Enolat dirangkum pada
Tabel 1. Deskripsi hasil belajar yang diperoleh
dijelaskan pada diskusi berikut ini.

Gambar 1. Prosedur dan tahapan penelitian inovasi


pembelajaran berbasis proyek mata kuliah Kimia
Organik Lanjut untuk meningkatkan kompetensi
mahasiswa pada pengajaran Senyawa Enolat

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Bahan Ajar Berbasis Proyek
Bahan ajar inovatif berbasis proyek hasil
pengembangan dipergunakan untuk mening-

Tabel 1. Hasil belajar mahasiswa berdasarkan evaluasi hasil belajar (pretest, postest-1 dan postest-2) pada
pengajaran Senyawa Enolat Mata Kuliah Kimia Organik Lanjut. Angka adalah rata-rata pada masing-masing
kelompok sampel.
Jenis Evaluasi
& Efektifitas
Pretest
Postest-1
Postest-2
Efektifitas (%)

Hasil Belajar Mahasiswa Dalam Ujian Formatif


Prodi A2
Prodi B

Prodi A1

Rata-rata

Eksperimen

Kontrol

Eksperimen

Kontrol

Eksperimen

Kontrol

Eksperimen

Kontrol

22,4
76,3
69,2
91

22,3
67,3
60,1
89

20,9
78,4
70,1
89

20,8
68,4
60,1
88

20,0
71,6
66,7
93

19,7
72,0
64,4
89

21,1
75,5
68,7
91

20,9
69,2
61,5
89

Keteranga: A1 = Prodi Pendidikan Reguler; A2 = Prodi Pendidikan Ekstensi; dan B = Prodi Non Pendidikan Reguler.

hampir sama dengan hasil belajar mahasiswa


kelompok
kontrol
yang
diberikan
pembelajaran konvensional adalah (M=20,9).
Analisis uji beda menunjukkan tidak ada
perbedaan signifikan untuk kedua kelompok
perlakuan (thitung 0,132 < ttabel 1,663). Hasil
perlakuan ini mendukung harapan tim peneliti
yaitu menggunakan sampel yang relatif
homogen yang meiliki penguasaan materi
terhadap Senyawa Enolat tergolong rendah.
Analisa lebih lanjut dilakukan untuk masingmasing ulangan untuk tiga Program Studi yang
dijadikan sampel penelitian menunjukkan hasil
yang hampir sama, yaitu pengetahuan
mahasiswa terhadap penguasaan materi
Senyawa Enolat masih rendah karena belum
mempelajarinya.
Dengan
demikian
implementasi penggunaan bahan ajar inovatif
dalam pembelajaran dapat diselidiki.

Penguasaan mahasiswa pada materi


Senyawa Enolat sebelum perkuliahan dimulai
tergolong rendah. Mahasiswa untuk 3 program
studi pada umumnya belum mengetahui materi
kimia pokok bahasan Senyawa Enolat yang
ditunjukkan dari capaian mahasiswa berada
pada skor rendah. Hampir semua mahasiswa
hanya memapu menjawab soal dengan benar
sangat rendah yang ditunjukkan dari angka
pencapaian mahasiswa menjawab dengan
benar tergolong sedikit dari 20 soal yang
diujikan. Tidak ada mahasiswa yang
ditemukan memiliki hasil belajar tinggi
dibanding sampel dalam kelasnya sehingga
semua mahasiswa dapat dijadikan menjadi
sampel dalam penelitian ini. Hasil belajar
mahasiswa kelompok eksperimen yang akan
diberikan
pengajaran
menggunakan
pembelajaran berbasis proyek (M=21,1)
1621

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

memberi kesan pembelajaran lebih lama


dibandingkan dengan pembelajaran yang
dilakukan menggunakan buku teks pegangan
mahasiswa. Pencapaian mahasiswa pada
kelompok eksperimen secara konsisten jauh
lebih tinggi untuk tiga program studi yang
diberikan perlakuan dalam penelitian ini.
Keefektifan pembelajaran menggunakan bahan
ajar inovatif berbasis proyek (91%) lebih
tinggi dibandingkan terhadap pembelajaran
menggunakan bahan ajar pegangan mahasiswa
(89%). Pembelajaran berbasis proyek dapat
menguatkan cara belajar kimia organik
menjadi lebih menarik, menantang, dan
membangun kreativitas dan kemampuan
berpikir kritis terhadap hubungan materi kuliah
dengan percobaan kontekstual. Pembelajaran
berbasis proyek dapat memperbaiki cara
belajar kimia organik lanjut menjadi lebih
sederhana dan mudah dipelajari sehingga
kesan pembelajaran yang lebih lama diingat
dan meningkatan hasil belajar mahasiswa.

3.2. Pengaruh Bahan Ajar Inovatif Dalam


Pengajaran Senyawa Enolat
Evaluasi akhir tahap pertama (postes-1)
ditentukan
untuk
mengetahui
tingkat
penguasaan siswa terhadap materi Senyawa
Enolat sesudah perlakuan pembelajaran.
Pengaruh
pengajaran
menggunakan
pembelajaran berbasis proyek untuk kelompok
eksperimen dan pembelajaran konvensional
untuk kelompok kontrol setelah dilakukan
evaluasi akhir pertama, maka hasil belajar
mahasiswa dirangkum dalam Table 1. Hasil
belajar mahasiswa yang diberi perlakuan
pembelajaran berbasis proyek (M=75,5) lebih
tinggi dibandingkan terhadap hasil belajar
mahasiswa dengan metode konvensional
(M=69,2), dan hasil uji beda menunjukkan
adanya perbedaan signifikan antara hasil
belajar mahasiswa dengan menggunakan dua
jenis perlakuan pengajaran (thitung 7,254 > t tabel
1,663). Lebih lanjut diketahui pola yang sama
ditemukan pada ulangan menggunakan 3
Progam Studi. Dapat dinyatakan bahwa
pembelajaran
berbasis
proyek
untuk
pengajaran
Senyawa
Enolat
dapat
meningkatkan hasil belajar mahasiswa.

4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian diketahui bahwa paket
pembelajaran inovatif berbasis proyek untuk
pengajaran Senyawa Enolat telah berhasil
dikembangkan berupa paket pembelajaran
berbentuk proyek mini yang menantang bagi
mahasiswa. Hasil belajar mahasiswa yang
diberi perlakuan pembelajaran berbasis proyek
lebih tinggi dibandingkan terhadap hasil
belajar
mahasiswa
dengan
metode
konvensional.
Tingkat
keefektifan
pembelajaran berbasis proyek juga lebih tinggi
dibanding dengan pembelajaran konvensional.
Paket pembelajaran kimia berbasis proyek
sangat sesuai dengan kebutuhan mahasiswa
pada pengajaran Kimia Organik Lanjut.

Bahan ajar hasil inovasi diberikan kepada


mahasiswa dalam bentuk hard copy dan
softcopy sebagai milik sendiri sehingga
mahasiswa dapat menggunakannya untuk
belajar mandiri pada pkok bahasan Senyawa
Enolat setelah pembelajaran telah selesai.
Dalam perkuliahan telah diingatkan kepada
mahasiswa bahwa terhadap materi yang sama
akan dilakukan evaluasi tahap kedua sebagai
setelah jangka wakti satu bulan pelajaran.
Evaluasi akhir kedua dilakukan untuk
mengetahui bagaimana tingkat penguasaan
siswa terhadap materi pengajaran pada pokok
bahasan Senyawa Enolat. Evaluasi akhir kedua
bertujuan untuk mengetahui keefektifan bahan
ajar di dalam membantu mahasiswa dalam
pengajaran Senyawa Enolat, terutama untuk
melihat apakah pembelajaran berbasis proyek
mampu memberi kesan pengajaran kepada
mahasiswa. Hasil evaluasi tahap kedua untuk
pengajaran Senyawa Enolat dirangkum pada
Tabel 1. Diketahui bahwa hasil belajar
mahasiswa pada kelopmok eksperimen
(M=68,7) lebih tinggi dibandingkan kelopmok
kontrol (M=61,5), dan kedua kelompok
berbeda nyata (thitung 7,171 > ttabel1,663). Dari
hasil ini dinyatakan bahwa pengajaran dengan
menggunakan pembelajaran berbasis proyek

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Ditlitabmas Dikti Kemenristek Dikti yang
memberikan dana penelitian melalui Penelitian
Fundamental Tahun Anggaran 2016
6. REFERENSI
Azer, S.A., Hasanato, R., Al-Nassar, S., Somily, A.,
dan AlSaad, M.M., (2013), Introducing
integrated laboratory classes in a PBL
curriculum: impact on students learning and
satisfaction, BMC Medical Education 13: 7183.

1622

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Brill, G., dan Yarden, A., (2003), Learning Biology
through Research Papers: A Stimulus for
Question-Asking by High-School Students, Cell
Biology Education 2: 266-274.
Cheang, K.I., (2009), Effect of Learner-Centered
Teaching on Motivation and Learning Strategies
in a Third-Year Pharmacotherapy Course,
American Journal of Pharmaceutical Education
73(3): 1-8 (Article 42).
Hughes, P.W., dan Ellefson, M.R., (2013), Inquirybased training improves teaching effectiveness
of biology teaching assistants, PLOS ONE
8(10): 1-14 (www.plosone.org)
Karimi, R., (2011), Interface between problembased learning and a learner-centered paradigm,
Advances in Medical Education and Practice 2:
117-125.
Lopatto, D., (2007), Undergraduate Research
Experiences Support Science Career Decisions
and Active Learning, CBELife Sciences
Education 6: 297-306.
Ofstad, W., dan Brunner, L.J., (2013), Team-Based
Learning in Pharmacy Education, American
Journal of Pharmaceutical Education 77(4): 111 (Article 70).
Parulian, H.G., dan Situmorang, M., (2013),
Inovasi Pembelajaran Di Dalam Buku Ajar
Kimia SMA Untuk Menigkatkan Hasil Belajar
Siswa Kelas XI, Jurnal Penelitian Bidang
Pendidikan 19(2): 67-78.
Purba, J., dan Situmorang, M., (2015), Inovasi
Pembelajaran
Berbasis
Proyek
Untuk
Meningkatkan Kompetensi Mahasiswa Pada
Pengajaran Gugus Fungsi Prosiding Seminar
Nasional dan Rapat Tahunan BKS PTN-B
bidang MIPA di Universitas Tanjungpura
Pontianak Tgl 6-9 Mei 2015, Hal 506-513
Purba, J., Sinaga, M., dan Dibiyantini, R.B ( 2015),
Inovasi Pembelajaran Berbasis Proyek Pada

Pengajaran
Kimia
Organik
Untuk
Meningkatkan Kompetensi Mahasiswa, Laporan
Penelitian, FMIPA UNIMED Medan
Situmorang, M, Sinaga, M., dan Juniar, A., (2006),
Efektifitas Inovasi Pembelajaran Untuk
Meningkatkan Prestasi Belajar Mahasiswa Pada
Mata Kuliah Kimia Analitik II, Jurnal
Penelitian Bidang Pendidikan 13(1): 1-13
Situmorang, M., (2013), Pengembangan Buku Ajar
Kimia SMA Melalui Inovasi Pembelajaran Dan
Integrasi
Pendidikan
Karakter
Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa, Prosiding
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan BKS
PTN Barat Bidang MIPA di Bandar Lampung,
Tgl 10-12 Mei 2013, Hal 237-246
Situmorang, M., dan Sinaga, M., (2006), Inovasi
Pembelajaran Pada Mata Kuliah Kimia Analitik
II, Jurnal Pendidikan Matematika dan Sain
1(2): 114-119
Situmorang, M.; Sinaga,.M.; Tarigan, D.A., Sitorus,
C.J, and Tobing, A.M.L., (2011), The
Affectivity of Innovated Chemistry Learning
Methods to Increase Students Achievement in
Teaching of Solubility and Solubility Product,
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan 17(1): 2937.
Thompson, K.V., Nelson, K.C., Marbach-Ad, G.,
Keller, M., dan Fagan, W.F., (2010), Online
Interactive
Teaching Modules
Enhance
Quantitative Proficiency of Introductory
Biology
Students,
CBELife
Sciences
Education 9, 277-283.
Uskokovc, V., (2010), Major Challenges for the
Modern Chemistry in Particular and Science in
General, Found Sci. 15(1): 303344.
Washburn, N.R., (2011), Teaching Technological
Innovation and Entrepreneurship in Polymeric
Biomaterials, J Biomed Mater Res A. 96(1): 5865.

1623

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

IDENTIFIKASI MINERAL BATU GIOK TAKENGON ACEH MENGGUNAKAN


METODE X- RAY DIFFRACTION (XRD)
Julinawati 1), Irfan Mustafa 2), Rahmi 3), Susilawati 4)
1,2,3,4)
FMIPA, Universitas Syiah Kuala
1
email: juli _fuadi@yahoo.com, 2email: Irfan.musta@gmail.com, 3email:mimirahmi@yahoo.com,
4
email:susilawatisulaiman64@yahoo.com
Abstract
Research on the identification of minerals from Jades of Takengon Aceh using XRD method has been done.
Based on data of XRD, they showed that Jades of Takengon belonged to a minerals of silicate. The types of
mineral of Jades Takengon are Grossular (Ca3Al2(SiO4)3 from the Garnet group, which is a mineral
nesosilicate and the other type is lizardite, (Mg3Si2O5(OH)4, from the Serpentine group, which is the mineral of
the phyllosilicate. XRD can also be used as a technique to identify the types of minerals and the results obtained
more selectivity and high efficiency.
Keywords: XRD, Minerals, silicate, Jades, Takengon
Abstrak
Penelitian tentang identifikasi mineral batu Giok Takengon Aceh menggunakan metoda XRD telah dilakukan.
Berdasarkan hasil XRD diperoleh bahwa batu Giok Takengon mengandung mineral silikat. Jenis mineral
dalam batu Giok tersebut adalah Grosular (Ca 3Al2(SiO4)3), dari kelompok Garnet yang merupakan mineral
nesosilikat dan jenis mineral lainnya adalah Lizardite, (Mg 3Si2O5 (OH)4), dari kelompok Serpentine, yang
merupakan mineral phylosilikat. Teknik analisa XRD ini merupakan salah satu metoda analisa yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi jenis mineral dengan selektivitas dan efisiensi tinggi.
Kata kunci : XRD, mineral, silikat, batu giok, Takengon

setengah mulia atau semi-precious stone untuk


bahan yang kekerasannya tidak melebihi 7
skala Mohs, misalnya, mineral keluarga
kuarsa, giok, prehnit, dan rodonit.

1. PENDAHULUAN
Peristiwa tektonik dan vulkanik yang
terus-menerus melanda kepulauan Indonesia
sejak 410 juta tahun menyebabkan magma
keluar dari perut bumi dan diperkirakan
mengandung berbagai logam berharga,
terutama emas dan tembaga. Dipihak lain
magma yang keluar tersebut menerobos naik
ke permukaan bumi sambil mengendapkan
beragam jenis mineral di rongga-rongga atau
rekahan-rekahan batuan yang dijumpai di
sepanjang
perjalanannya.
Ini
akan
menyebabkan terbentuknya berbagai jenis
batuan termasuk batu mulia (Tampubolon, A.
2007).

Menurut para ahli gemology, permata


diidentifikasi berdasarkan karakteristiknya
dengan menggunakan terminologi spesifik
gemologi. Susunan kimia adalah karakteristik
awal yang digunakan oleh ahli gemologi untuk
mengidentifikasinya,
yang
kemudian
dikembangkan menjadi klasifikasi berdasarkan
sistem kristal (Herman, D. Z., 2009).
Batu giok merupakan nama dagang
atau nama pasar yang diberikan untuk jenis
batu hias yang umumnya memiliki sifat fisik
warna variasi hijau, mulai dari hijau muda
hingga hijau tua. Batu ini sebagaimana batubatu lainnya disusun oleh satu jenis mineral
atau gabungan berbagai mineral, dan dibentuk
oleh satu kristal atau gabungan beberapa

Batu mulia adalah segala jenis batuan,


mineral, dan bahan alam lainnya termasuk
beberapa jenis bahan organik, yang setelah
diproses dengan sentuhan teknologi, memiliki
keindahan dan ketahanan yang mencukupi
untuk dijadikan sebagai batu permata. Dalam
cakupan batu permata juga dikenal istilah batu
permata mulia untuk bahan yang kekerasannya
melebihi 7 skala Mohs, seperti intan, merah
delima, safir, zamrud dan batu permata

kristal. Di Asia, istilah tradisional giok


digunakan untuk semua jenis ukiran yang
saat ini dibedakan menjadi mineral yang
berbeda
seperti
jadeite,
nephrite,
1624

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

omphacite, serpentine, penamaan ini


tergantung kepada kandungan mineral
utamanya, (Krzemnicki, M.S., 2008).

Alat XRD yang dioperasikan


menggunakan sumber tegangan Cu pada
40 KV dan 40 mA sebagai sumber radiasi.
Sudut scanning dimulai dari 10 sampai
100o.
Sebelum
dianalisa,
sampel
dihaluskan terlebih dahulu dalam mortal
atau alu atau menggunakan mill grinding,
selanjutnya sampel dimasukkan dalam
holder sampel. Sampel dikenai suatu sinarX yang dipancarkan dari sumber
tegangannya. Sinar-X tersebut akan
menabrak suatu bidang kristal, yang
menghasilkan pancaran sinar-X yang
dibiaskan oleh suatu bidang kristal
tersebut. Objek dan detektor berputar
untuk menangkap dan merekam intensitas
dari pantulan sinar-X dan mengolahnya
dalam bentuk grafik/difraktogram yang
khas sesuai dengan kisi-kisi kristal masingmasing senyawa.

Penggemar batu mulia di Indonesia


sampai saat ini masih berkembang pesat, dan
giok dari daerah Lumut Takengon Aceh
menjadi salah satu incaran karena bentuk dan
warnanya yang menarik, itu di buktikan
dengan diraihnya peringkat kedua dalam
kancah lomba batu mulia Indonesia pada
September 2014 (http://aceh.tribunnews.com/
2014/04/16/ giok singgahmata).
Selama ini penentuan kualitas batu
mulia kebanyakan berdasarkan sifat fisiknya.
Sifat fisik yang sering digunakan antara lain
penentuan bentuk kristal (form), kilap (luster),
warna (colour), cerat (streak), kekerasan
(hardness), belahan (cleavage),
pecahan
(fracture) dan berat jenis (specifik gravity)
(Wahyudi, T., 2014). Penentuan dengan cara
tersebut tidak dapat menjelaskan kandungan
jenis mineralnya secara detail, sedangkan
secara gemology susunan kimia diperlukan
untuk menentuakan kualitas batu mulia. Jadi
perlu dilakukan analisa lanjutan untuk dapat
mengetahui jenis mineral dari suatu batuan
terutama batu Giok Takengon Aceh.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Mineral adalah bahan anorganik yang
terbentuk
secara alamiah yang memiliki
susunan atom yang teratur, dengan komposisi
kimia tertentu dan memberikan sifat fisik yang
spesifik. Di alam ini terdapat lebih dari 2000
jenis mineral yang telah diketahui. Tetapi
hanya beberapa mineral saja yang dijumpai
sebagai mineral pembentuk batuan. Batu giok
jarang disusun oleh satu mineral. Pada
umumnya banyak dijumpai batu giok disusun
oleh beberapa mineral lebih dari tiga mineral.

Salah satu metode karakterisasi lain


yang dianggap tidak rumit dan dapat
memberikan informasi tentang jenis mineral
batuan dalam waktu yang lebih singkat adalah
metode XRD. Metode difraksi sinar-X (XRD)
merupakan salah satu metode yang sangat
potensial untuk mengidentifikasi bahan kimia
dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan.
Hasil identifikasinya berupa pola difraksi dan
pola ini dihasilkan berdasarkan jarak antara
atom dan antar molekul bahan yang diperiksa.
Disamping itu XRD ini merupakan metode
yang mempunyai selektivitas dan efisiensi
tinggi (Srivastava, A, 2012; Li, W., et al,
2011).

Penentuan jenis mineral batuan tidak


hanya dapat ditentukan berdasarkan sifat
fisiknya, tetapi dapat juga ditentukan dengan
metode XRD. Metode XRD merupakan
metode yang menghasilkan pola difraksi yang
khas untuk setiap materi. Metode ini
digunakan untuk mendapatkan informasi
tentang struktur kristal bahan logam dan
paduan, mineral, senyawa anorganik, polimer,
bahan organik, superkonduktor orientasi
kristal, jenis kristal, ukuran butir, konstanta
kisi dan lain-lain. Data yang diperoleh
memberikan karakteristik dari masing-masing
bahan kimia (Crespy, 2013; Cook et al, 2009).

2. METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Penelitian ini menggunakan sampel
batu Giok dari daerah Lumut kecamatan Linge,
Takengon Aceh. Alat yang digunakan adalah
X-Ray Difraction (XRD) PANanalytical,
Empyrean.

Hasil karakterisasi terhadap 3 sampel


batu Giok desa Lumut Takengon dapat dilihat
dalam Gambar 1, 2 dan 3 dan Tabel 1. berikut
ini.

Metode
1625

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Sampel
1

Gambar 1. Hasil Pola Difraksi XRD


sampel 1

Sudut 2
30,1; 33,7;
33,8; 37,1;
55,9; 58,0;
58,1; 58,3
12,2; 24,5;
35,5
30,1; 33,7;
33,8; 37,1;
38,7; 47,2;
55,8; 58,0;
58,2

Jenis mineral
Grossular
Ca3Al2(SiO4)3
Lizardite,
Mg3Si2O5(OH)4
Grossular
Ca3Al2(SiO4)3

Grossular (Ca3Al2(SiO4)3
adalah
mineral kelompok garnet dengan tingkat
kekerasan 6,5-7 Mohs dan mempunyai warna
dari kuning sampai hijau (Nassau, 1992).
Grossular ini adalah bentuk awal dari mineral
omphacite dan omphacite ini mempunyai
rumus kimia (Ca,Na)(Mg,Fe2+,Fe3+,Al)Si2O6,
yang dikenal sebagai salah satu jenis batu giok

Berdasarkan Gambar 1, 2, 3 dan juga


Tabel 1, terlihat bahwa sampel batu Giok
Takengon mengandung mineral Grossular
(Ca3Al2(SiO4)3) dan Lizardite (Mg3Si2O5
(OH)4). Kedua mineral ini merupakan mineral
silikat. Mineral Grossular adalah mineral
kelompok Garnet dari nesosilikat, sedangkan
lizardite berasal dari kelompok Serpentine
dari phylosilikat.

(Krzemnicki, M.S., 2008).


Sampel batu Giok Takengon yang
diketahui mengandung Grossular dan berwarna
hijau, dapat dilihat dalam Gambar 4.

Gambar 4. Batu giok Takengon Aceh yang


mengandung mineral Grossular
Gambar 2. Hasil Pola Difraksi XRD
sampel 2

Lizardite
(Mg3Si2O5(OH)4
juga
merupakan mineral yang ditemukan dalam
sampel batu giok Takengon. Lizardide ini
merupakan mineral kelompok Serpentine yang
mempunyai tingkat kekerasannya dari 3-4,5
Mohs. Lizardite berwarna hijau, kuning, coklat
sampai hitam. Lizardite ini dibentuk dari
hidrasi batuan ultramafic yang kaya olivine
dan mengandung hingga 13% berat H2O
(Petriglieri, 2014).
Sampel batu Giok Takengon yang
mengandung Lizardite berwarna hijau
kekuning-kuningan, dapat dilihat dalam
Gambar 5.

Gambar 3. Hasil Pola Difraksi XRD


sampel 3
Tabel 1. Sudut 2 Sampel Batu Giok
Takengon
1626

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
4. Jarot, S., 2014, Giok Singgah Mata dan Proses
Pembentukannya, http://aceh. tribunnews.com/
2014/04/16/ gioksinggah mata.diakses tanggal
10 Agustus 2015.
5. Krzemnicki M.S., Pettke T., Hnni H.A. (2007)
Laser Ablation Inductively Coupled Plasma
Mass Spectrometry (LA-ICP-MS), a new
method for gemstone analysis. Journal of the
Gemm. Ass. Of Hong Kong, Vol. 28.

Gambar 5. Batu giok Takengon Aceh yang


mengandung mineral Lizardite

6. Li, W., Zhanga, F., Yua, D., Suna, B., Lia, M.,
Liua, J. (2011). Impact of fat and muscle in
energy dispersive X-ray diffraction-based
identification of heroin using multivariate data
analysis, Journal of Chemometrics, Wiley on
linelibrary.com. DOI: 10.1002/cem.1409.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil
analisa
menggunakan XRD dapat disimpulkan bahwa
sampel batu Giok dari Takengon merupakan
batuan yang mengandung mineral silikat. Jenis
mineral dalam batu Giok tersebut adalah
Grosular (Ca3Al2(SiO4)3), dari kelompok
Garnet yang merupakan mineral nesosilikat
dan jenis mineral lainnya adalah Lizardite,
(Mg3Si2O5(OH)4), dari kelompok Serpentine,
yang merupakan mineral filosilikat. Teknik
analisa XRD ini merupakan salah satu metoda
analisa yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi jenis mineral batuan dengan
selektivitas dan efisiensi tinggi.

7. Nassau,K., Rossman, G.R.,Wood, D.,L., 1992,


Unstable Radiation-Inducer Yellow-Green
Color in Grossular Garnet, Gems and
Gemology, Butterworths, Boston.
8. Petriglieri1, J. R , Bersani1, D. Salvioli-Marian,i
E., Mantovani1, L.. Tribaudino1, M Lottici1, P.
P. and Laporte-Magoni C, 2014, Polymorphs
Of Serpentine: Identification By Means Of
Raman Spectroscopy, Department of Physics
and Earth Sciences, University of Parma, Italy.
9. Srivastava, A., Vinod K.J., 2012, Applying
SEM-EDX
and
XRD
Techniques
to
Demonstrate the Overgrowth of Atmospheric
Soot and Its Coalescence with Crystal Silicate
Particles in Delhi, Atmospheric and Climate
Sciences, 2, 89-93.

5. REFERENSI
1. Crespy, C., 2013. Energy Dispersive X-Ray
difraction to Identify Explosive Substances :
Spectra Analysis Procedure Optimization, HAL
Id:
https://hal.archives-ouvertes.fr/hal00878519.

10. Salleh, M.N., Khairul N.I., Kamarudin, H.,


Shamsul B.J., dan Che M.R..G., 2006, Pencirian
Batu Reput di Negeri Perlis Menggunakan XRD
Dan SEM, KUKUM Engineering Research
Seminar, 69-74.

2. Cook, E. J., Pani, S., George, L., Hardwick, S.,


Horrocks, J. A., Speller. R. D. (2009).
Multivariate
Data
Analysis
for
Drug
Iidentification Using Energy-Dispersive X-Ray
Diffraction, Journal IEEE Transactions on
Nuclear Science - IEEE Trans Nucl Scii, vol.
56, no. 3, pp. 1459-1464.

11. Tampubolon, A. 2007. Inventarisasi Mineral


Logam di Kabupaten Bener Meriah dan
Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Proceeding Pemaparan
Hasil Kegiatan Lapangan dan Non Lapangan
tahun 2007, Pusat Sumber Daya Geologi.

3. Herman, D. Z., 2009, Pendayagunaan Mineral


Untuk Menjadi Permata, http:// buletin_pdf_file/
Bul Vol 3 no. 3 thn 2008/1. Batumulia. diakses
20 november 2015.

12. Wahyudi, T., 2014, Pengantar Mineralogi,


Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara,
Bandung.

1627

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENGARUH BEBERAPA EKSTRAK PELARUT BAWANG PUTIH (Allium sativum


Linn) TERHADAP AKTIVITAS Candida albicans
Khairan Khairan1, Dilla Santhyia1, Nurul Khaira1, Liana Marseila1, Rena Mutia1 Teuku Edi Juanda1,
Misrahanum1, Frida Oesman1, Risa Nursanti2, Suryawati3, Muhammad Bahi4
1.
Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 23111
2.
Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 23111
3.
Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 23111
4.
Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 23111
*Correspondence e-mail: khannazia_yusuf@yahoo.com
ABSTRAK
Bawang putih (Allium sativum Linn) diketahui mengandung senyawa organosulfur, senyawa ini merupakan
senyawa aktif dari bawang putihdan diketahui mempunyai sifat sebagai antibakteri, antikanker dan antijamur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa ekstrak pelarut bawang putih terhadap aktivitas
jamur Candida albicans. Uji fitokimia terhadap beberapa ekstrak pelarut bawang putih menujukkan bahwa
ekstrak petroleum eter (EPE) dan ekstrak metilen klorida (EMK) positif menunjukkan adanya flavonoid dan
alkaloid. Sementara, uji fitokimia terhadap ekstrak etil asetat (EEA) dan ekstrak etanol positif menunjukkan
adanya flavonoid, alkaloid, saponin dan tanin. Analisis KLT untuk ke empat ekstrak bawang putih menunjukkan
bahwa EPE dan EMK diduga mengandung homolog allilsistein dengan Rf nya beturut-turut adalaah 0,58 dan
0.6 dengan menggunakan pelarut toluen:etil aseat (70:30). Sementara EEA dan EE diduga mengandung
homolog allicin dengan Rf nya adalah 0,63 dan 0,73. Uji zona hambat dilakukan dengan menggunakan metode
Kirby-Bauer, menunjukkan bahwa EEA menunjukkan aktivitas yang paling tinggi terhadap Candida albicans,
diikuti oleh EE, EMK, dan EPE. Zona hambat yang terbentuk diduga disebabkan oleh adanya kandungan
senyawa organosulfur yang terkandung dalam ekstrak bawang putih seperti alilsistein, allisin dan beberapa
produk dekomposisi lainnya dari senyawa organosulfur.
Kata kunci : Bawang putih (Allium sativum), senyawa organosulfur, dan Candida albicans
ABSTRACT
Garlic (Allium sativum Linn) has been known contens some organosulphur compounds, these compounds are
known possess high reactivity against antimicrobial, and act as antibacterial, anticancer, and antifungi. The
aim of this study was to investigate the infuences of several garlic extract solvents against the activity of
Candida albicans. Screening of phytochemistry were studied to evaluate the secondary metabolite from garlic
extracts, the results showed that garlic petroleum ether extract (EPE), and garlic methylene chloride extract
(EMK) containing flavonoid and alkaloid. Meanwhile, garlic ethyl acetate extract (EEA) and garlic ethanol
extract (EE) possess flavonoid, alkaloid, saponin, and tanin. Thin layer chromatography (TLC) analysis was
used to indentifiy the Rf values from extracts, in this analysis we used toluen:ethyl acetate (70:30) as a solvents.
The results showed that EPE and EMK possess Rf values by 0.58 and 0.6 respectively, these values have been
expected containing homolog allylcysteine with Rf was around 0.59. Meantime, Rf values for EEA and EE were
0.63 and 0.73 respectively, these values have been expected containing homolog allicin. Zone inhibition assay
has been done by Kirby-Bauer method, the results showed that EEA were highly active against Candida
albicans, followed by EE, EMK and EPE extracts. The inhibition zone that formed was expected caused by
organosulphur compounds, such as allylcysteine, allicin, and other decomposition products of organosulphur
compounds from garlic.
Keywords: Garlic (Allium sativum Linn), organosulphur compounds, and Candida albicans.

infeksi yang terjadi, infeksi kandidiasis


merupakan kasus yang paling sering terjadi.
Data menunjukkan bahwa 84% penderita
penyakit infeksi adalah disebabkan oleh jamur
opurtunistik
Candida albicans.
Untuk
mengurangi penyakit yang disebabkan oleh
infeksi. Pemberian obat antijamur seperti
vorikonazol, amfoterisin, itrakonazol dan
flukonazoal merupakan salah satu pilihan
untuk mengobati penyakit yang disebabkan

1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara tropis, sebagai
negara tropis, Indonesia masih banyak
menghadapi beragam penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dan mikroba. Penyakit
infeksi merupakan penyakit yang paling
dominan di Indonesia, dan saat ini masih
merupakan penyebab kematian kedua setelah
penyakit jantung. Dari berbagai jenis penyakit
1628

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

oleh infeksi. Penggunaan obat antijamur yang


tidak sesuai cenderung memicu resistensi dan
muculnya berbagai efek samping yang tidak
diinginkan (Raharjo, 2008). Untuk mengatasi
masalah tersebut, penggunaan obat herbal
merupakan suatu alternatif lain untuk
mengobati penyakit yang disebabkan oleh
infeksi, utamanya adalah infeksi yang
disebabkan oleh jamur. Penggunan obat herbal
atau bahan alam, dipilih karena bersifat aman
dan efektif dalam membunuh jamur
(Sharanappa, 2013). Bawang putih (Allium
sativum Linn) adalah tumbuhan alami yang
telah lama digunakan sebagai bahan obat dan
bahan makanan. Bawang putih berpotensi
digunakan sebagai agen antimikroba karena
kemampuannya
dalam
menghambat
pertumbuhan mikroba. Agen antimikroba yang
ditimbulkan oleh bawang putih berasal dari
senyawa organosulfur dan flavonoid yang
terkandung di dalamnya. Allicin (diallyl
thiosulphate) dari bawang putih di duga
memiliki
aktivitas
sebagai
antijamur
(Hernawan and Setyawan, 2003). Selain itu,
ajoene juga merupakan senyawa aktif yang
ditemukan dalam bawang putih yang
memainkan peran besar sebagai zat antijamur
topikal seperti Candida albicans (Gebreselema
dan Mebrahtu, 2013). Bawang putih (Allium
sativum) mengandung senyawa organosulfur,
seperti allicin. Allicin dalam bawang putih
terbentuk dari reaksi antara alliin dan alliinase
yang selanjutnya mengalami transformasi
membentuk senyawa allicin. Allicin (tio-2propena-1-asam sulfinat-S-alil ester), yaitu
suatu senyawa volatil yang bertanggung jawab
dalam aroma khas bawang putih, diketahui
mempunyai aktivitas biologis (Robinkov at al,
1995). Allicin diyakini bertanggung jawab
dalam aktivitas bawang putih sebagai
antikanker, antimkrobial, antijamur, dan
antinematoda (Jacob, 2008). Okada et al
(2005) melaporkan bahwa senyawa allicin
sangat berperan sebagai antioksidan karena
aktivitasnya sebagai radical-traping melalui
mekanisme abstraksi atom-H dari gugus ally
pada senyawa allicin membentuk radikal
allicin. Senyawa radikal ini diyakini
mempunyai aktivitas antioksidan. Disamping
itu, senyawa allicin ini mempunyai aktivitas
biologis
karena
mampu
mengalami
biotransformasi untuk membentuk beberapa
senyawa aktif lainnya seperti vinildithiins dan
beberapa senyawa polisulfida yang diyakini

mempunyai sifat antibiotik, antimikrobial dan


antijamur.
2. METODE PENELITIAN
Peralatan dan bahan
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah; plat KLT silika gel 60,
lampu UV254, autoklaf, inkubator, rotary
evaporator, Bunsen, Laminar Air Flow (LAF),
jangka sorong, kawat ose, timbangan,
Erlenmeyer, gelas kimia, cawan petri, tabung
reaksi, pinset, batang pengaduk, sentrifugasi,
pipet kapiler dan pipet tetes. Bahan-bahan
yang digunakan antara lain; bawang putih
(Allium sativum Linn), petroleum eter, etil
asetat, metilen klorida, etanol, NaCl 0,9 %,
nistatin, blank disc, etil asetat, toluen, Besi III
klorida (FeCl3), magnesium, dimetil sulfoksida
(DMSO), media Saboraund Dextrose Agar
(SDA), Muller Hinton Agar (MHA), kertas
buram, kapas, aluminium foil, dan akuades.
Mikroorganisme yang digunakan
Mikroorganisme yang digunakan pada
penelitian ini adalah isolat Candida albicans
yang
diperoleh
dari
Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda
Aceh.
Persiapan sampel bawang putih
Bawang putih (Allium sativum Linn) yang
digunakan dilakukan uji determinasi terlebih
dahulu di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Bogor. Sampel diperoleh dari
pasar tradisional Lambaro Aceh Besar, diambil
dengan menggunakan teknik sampel acak
terkontrol (random purposive sampling).
Kriteria sampel yang di pilih yaitu berwarna
putih dengan ukuran siung yang sama yaitu
sekitar 2 cm. Bawang putih segar yang telah
dikupas kulitnya di timbang sebanyak 500 g,
dilakukan sortasi basah lalu dikeringanginkan
pada suhu ruang (25-29C) selama 4 minggu.
Bawang putih yang telah dikeringanginkan ini
selanjutnya digunakan untuk preparasi ekstrak
beberapa pelarut bawang putih seperti
petroleum eter, etil asetat, metilen klorida, dan
etanol.
Pembuatan ekstrak
Bawang putih (Allium satium Linn) yang telah
dikering-anginkan ditimbang sebanyak 250 g,
kemudian dirajang dan dihomogenkan didalam
1629

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

75 ml akuadest steril dengan menggunakan


blender pada kecepatan maksimum selama 10
menit. Homogenat, selanjutnya didiamkan
selama 2 menit pada suhu ruang agar terbentuk
reaksi enzimatik. Homegenat selanjutnya
dijenuhkan dengan 75 ml larutan salin (NaCl
0,9%) untuk menjaga kestabilan senyawa yang
terkandung dalam bawang putih, kemudian
diekstrak dengan etil asetat dengan volume
(v/v). Fraksi air yang dihasilkan, selanjutnya
diekstrak sekali lagi menggunakan etil asetat
dengan volume yang sama. Fraksi-fraksi etil
asetat yang dihasilkan selanjutnya digabung
dan diuapkan dengan menggunakan rotary
evaporator vakum pada suhu 40C. Kemudian
ekstrak kasar etil asetat (crude ethyl acetate
extract), EEA, yang diperoleh dihitung
rendemennya, dan disimpan pada suhu -20C
sampai digunakan (Block E, 2010). Dengan
metode yang sama, juga dilakukan terhadap
ekstrak petroleum eter, EPE, ekstrak etanol,
EE, dan ekstrak metilen klorida, EMK .

Sebanyak 500 mg ekstrak bawang putih


ditambahkan 5 tetes etanol 80%. Kemudian
dikocok hingga homogen dan selanjutnya
ditambahkan 0,5 g magnesium dan HCl 0,5 M.
Flavonoid menunjukkan hasil positif, jika
terbentuk endapan merah muda atau ungu
(Dirjen POM, 1997).
Uji Saponin
Sebanyak 500 mg ekstrak bawang putih
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian
ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan dan
dikocok kuat hingga terbentuk buih setinggi 110 cm selama tidak kurang dari 10 menit. Pada
penambahan 1 tetes HCl 2 N, buih tidak hilang
(Dirjen POM, 1997).
Uji Tanin
Sebanyak 500 mg ekstrak bawang putih
dimaserasi dengan akuades 10 ml selama 15
menit kemudian disaring. Filtrat diencerkan
dengan akuades sampai hampir tidak
berwarna. Sebanyak 2 ml filtrat ditambahkan 2
tetes FeCl3 10% dan diamati warna yang
terbentuk. Hasil positif jika terbentuk warna
biru atau hijau yang menunjukkan adanya
tanin (Dirjen POM, 1997).

Kromatografi lapis tipis (KLT)


Ekstrak kasar bawang putih etil asetat,
petroleum eter, etanol, dan metilen klorida
dimonitoring spot senyawanya menggunakan
lempeng silika gel 60 GF254 dengan fase gerak
yang digunakan yaitu toluen:etil asetat dengan
perbandingan 70 : 30.

Uji Aktivitas Candida albicans


Media Saboraund Dextrose Agar (SDA)
digunakan untuk pertumbuhan Candida
albicans (C. albicans). Untuk uji aktivitas
ekstrak bawang putih terhadap C. albicans
digunakan media Muller Hinton Agar (MHA).
Media MHA yang digunakan untuk uji
aktivitas disterilisasi pada suhu 121C selama
15 menit dengan menggunakan autoklaf. Uji
zona hambat dilakukan dengan menggunakan
metode Kirby-Bauer. Kedalam media uji,
selanjutnya ditambahkan 0,5 ml larutan
suspensi C. albicans (Strandar Mc Farland
0,5), media selanjutnya digojok secara
perlahan agar larutan suspensi tercampur
homogen dan selanjutnya dituangkan secara
aseptis kedalam cawan petri steril masingmasing 20 ml. Setelah memadat, media ini
dapat digunakan untuk uji aktivitas dengan
meneteskan sebanyak 12 l ke dalam kertas
cakram. Kontrol positif yang digunakan adalah
Nistatin, sedangkan kontrol negatif adalah
pelarut yang digunakan untuk ekstraksi.
Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama
24 jam, diamati dan diukur zona hambat yang
terbentuk
setelah
24
jam
inkubasi

Skrining Fitokimia
Uji alkaloid
Sebanyak 500 mg ekstrak bawang putih
ditambahkan 1 ml asam klorida (HCl) 2 N dan
9 ml akuades, dipanaskan di atas penangas air
selama 2 menit, kemudian didinginkan dan
disaring. Filtrat dipindahkan masing-masing 3
tetes kedalam 3 tabung reaksi. Tabung reaksi
pertama, diteteskan larutan pereaksi (LP)
Mayer, tabung reaksi kedua, diteteskan larutan
pereaksi Bouchardat, dan tabung reaksi ketiga,
diteteskan larutan pereaksi Dragendrof
masing-masing sebanyak 2 tetes. Reaksi
positif, jika larutan dengan pereaksi Mayer
terdapat endapan menggumpal putih atau
kuning, dengan pereaksi Bouchardat terbentuk
endapan coklat sampai hitam, dan dengan
pereaksi Dragendrof terbentuk endapan kuning
jingga. Ekstrak dinyatakan mengandung
alkaloid jika 2 dari 3 reaksi diatas memberikan
hasil yang positif (Depkes, 1995).
Uji flavonoid

1630

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

menggunakan mistar berskala milimeter (mm)


(World Health Organization, 2009).

menggunakan KLT terhadap beberapa ekstrak


bawang putih dapat dilihat pada Tabel 2.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Farmakope Herbal Indonesia menunjukkan


bahwa allicin memiliki nilai Rf 0,59, hasil uji
KLT menunjukkan bahwa ekstrak EPE dan
EMK memiliki nilai Rf berturut-turut adalah
0,58 dan 0,6. Nilai ini hampir sama dengan
nilai Rf allylcysteine yang terdapat dalam
Farmakope Herbal Indonesia, sehingga EPE
dan EMK diduga mengandung senyawa
allylcysteine. Sementara itu, EEA mempunyai
nilai Rf sebesar 0,63, nilai ini berada dalam
range Rf senyawa allicin, sehingga diduga
EEA mengandung senyawa allicin. Dalam
EEA, disamping mengandung allicin juga
mengandung humolog allicin rantai pendek
dan rantai panjang. Allicin memiliki sifat
kepolaran yang lebih rendah dibandingkaan
dengan
allylcysteine.
Tabel
2, juga
memperlihatkan range Rf senyawa humolog
allicin. Humolog allicin yang memiliki jumlah
atom C pendek (C1-C3) memiliki nilai Rf <0,5,
sementara homolog allicin yang memiliki
jumlah atom C panjang, memiliki nilai Rf pada
range 0,7 dan 1.

Determinasi Tumbuhan
Determinasi tanaman bawang putih dilakukan
di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat
Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Bogor. Hasil menunjukkan
bahwa bawang putih yang digunakan dalam
penelitian ini termasuk dalam spesies Allium
sativum Linn.
Jumlah Rendemen
Dalam penelitian ini, ada beberapa ekstrak
bawang putih yang dihasilkan, yaitu EEA,
EPE, EE, dan EMK. Persen rendemen yang
dihasilkan dalam ekstraksi beberapa pelarut
bawang putih dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel
1 menunjukkan bahwa. Persen rendemen yang
paling banyak didapat adalah EMK yaitu
sekitar 14,32%, sementara persen rendemen
adalah EEA, yaitu 3,3%.
Tabel 1. Persentase rendemen yang dihasilkan pada
beberapa ekstrak pelarut bawang putih
Ekstrak
Berat
Berat Hasil
Persen
Bawang
Sampele
Ekstraksif
rendemeng
Putih
(g)
(g)
(%)
EPEa
250
11,31
4,52
EMKb
250
35,79
14,32
EEAc
250
7,5
3,00
EEd
250
26,3 g
10,52
Keterangan: aekstrak petrolium bawang putih
(EPE); bekstrak metilen klorida bawang putih
(EMK); cekstrak ekstrak etil asetat bawang putih
(EEA); dekstrak etanol bawang putih (EE); eberat
sampel bawang putih sebeleum maserasi; fberat
hasil ekstraksi menggunakan rotary evaporator;
g
persen rndemen, berat hasil ekstraksi dibagi
dengan berat sampel bawang putih dikalikan
dengan 100%.

Uji Fitokimia
Uji skrining fitokimia terhadap beberapa
ekstrak pelarut bawang putih bertujuan untuk
melihat senyawa metabolit sekunder apa saja
yang terkandung dalam beberapa pelarut yang
digunakan. Proses penarikan senyawa oleh
pelarut organik terhadap tanaman terjadi
melalui dinding sel. Kelarutan suatu metabolit
atau senyawa sangat tergantung pada
kepolaran pelarut dan kepolaran suatu senyawa
atau metabolit. Dalam proses kelarutan suatu
senyawa sangat tergantung pada interaksi zat
aktif yang terkandung dalam rongga sel
tanaman dan pelarut. Pelarut akan masuk ke
rongga sel yang ada dalam tanaman dan
selanjutnya berinteraksi dengan sel, sehingga
akan melarutkan zat aktif yang terdapat dalam
sel tanaman (Voight, 1994). Skrinning
fitokimia dilakukan terhadap empat metabolit
sekunder yaitu alkaloid, flavonoid, saponin dan
tanin. Hasil skrinning fitokimia beberapa
ekstrak bawang putih dapat dilihat pada Tabel
3.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Hasil KLT
Ekstrak yang dihasilkan dari rotary evaporator
(RE) dilakukan analisis kualitatif menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) silika gel
60 F254 dengan menggunakan pengembang
toluen dan etil aseat dengan perbandingan
70:30. Spot yang terbentuk selanjutnya
dideteksi dibawah lampu UV254, spot yang
terbentuk selanjutnya ditentukan nilai Rfnya
masing-masing
ekstrak.
Hasil
analisis

Tabel 3 menunjukkan bahwa EPE dan EMK


tidak mengandung metabolit sekunder seperti
alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin karena
1631

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

uji fitokimia menunjukkan hasil yang negatif


pada keempat uji tersebut.

organosulfur yang terdapat pada ekstrak


bawang putih seperti allilcysteine, allicin, dan
senyawa organosulfur lainnya. Sementara itu,
EPE dan EMK mempunyai aktivitas yang
hampir sama kuat dengan ekstrak EEA dan
EE.

Tabel 3. Uji fitokimia ekstrak petroleum eter


bawang putih
MS

Perea-ksi

Ekstrak bawang putih


(Kandungan metabolit
sekunder)
EPE EMK EEA EE
+
+
+
+
+
+
+
+

Tabel 4 juga menunjukkan bahwa semakin


tinggi konsentrasi ekstrak, maka semakin
tinggi pula zona hambat yang terbentuk. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Brook et al.,
2007 bahwa efektifitas suatu zat antimikroba
dipengaruhi oleh konsentrasi zat tersebut.
Meningkatnya konsentrasi ekstrak dapat
menyebabkan meningkatnya kandungan bahan
aktif yang berfungsi sebagai antimikroba
sehingga kemampuannya dalam menghambat
suatu mikroba juga akan semakin besar.

Dragendorf
Mayer
Bouchart
Flavonoid MgHCl
0,5M
Air
+
+
Saponin
FeCl3
+
+
Tanin
Keterangan: MS= Metabolit Sekunder; (+) =
menunjukkan hasil positif; (-) = menunjukkan hasil
negatif. aekstrak petroleum bawang putih (EPE); bekstrak
metilen klorida bawang putih (EMK); cekstrak ekstrak
etil asetat bawang putih (EEA); dekstrak etanol bawang
putih (EE).
Alkaloid

Terbentuknya zona hambat disebabkan


oleh kandungan senyawa kimia yang terdapat
di dalam ekstrak bawang putih yang tertarik
oleh pelarut. Komponen bawang putih
dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagian
yang larut dalam minyak dan bagian yang larut
dalam air. Komponen larut dalam minyak
antara lain senyawa-senyawa organosulfur
seperti dialilsulfida (DAS), dialildisulfida
(DADS), dialiltrisulfida (DATS), dialiltetrasulfida (DATS), alilmetiltrisulfida, dan ajoene.
Sementara, komponen yang larut dalam air
merupakan turunan dari senyawa sistein,
seperti S-alilsistein (SAC), S-alil merkaptosistein (SAMC), S-metilsistein, dan turunan
gamma-glutamil sistein (-glutamilsistein).
Menurut Agustina, komponen larut dalam air
lebih stabil dibandingkan dengan komponen
larut dalam minyak (Agustina et al., 2010).
Zona hambat yang terbentuk, menunjukkan
aktivitas senyawa terhadap mikroba uji.
Gambar 2 menunjukkan aktivitas beberapa
pelarut bawang putih terhadap Candida
albicans.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah


dilakukan oleh Packia et al. 2015, bahwa EPE
tidak mengandung alkaloid, flavonoid, saponin
dan tanin. Packia menyebutkan bahwa EPE
mengandung terpenoid, fenolik dan asam-asam
amino seperti metionin. Sementara itu, hasil uji
fitokimia terhadap EEA dan EE menunjukkan
adanya kandungan metabolit sekunder
flavonoid, alkaloid, saponin, dan tanin.
Uji aktivitas beberapa ekstrak pelarut
bawang putih terhadap Candida albicans
Uji zona hambat beberapa ekstrak pelarut
bawang putih terhadap Candida albicans dapat
dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan
aktivitas beberapa konsentrasi beberapa
ekstrak pelarut bawang putih terhadap
pertumbuhan
Candida albicans. Hasil
menunjukkan bahwa EEA dan EE memiliki
aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan dua ekstrak bawang putih lainnya
seperti EMK dan EPE. Ekstrak EEA dan EE
memiliki aktivitas yang paling tinggi terhadap
aktivitas Candida albicans, dengan zona
hambat maksimumnya berturut-turut adalah
sebesar 38,73 dan 41,78 mm. Tabel 4, juga
memperlihatkan bahwa semua konsentrasi
EEA dan EE yang digunakan dalam penelitian
ini menunjukkan aktivitas terhadap Candida
albicans, hasil juga menunjukkan bahwa EE
mempunyai daya hambat yang paling besar.
Zona hambat yang terbentuk diduga
disebabkan
oleh
kandungan
senyawa

4. KESIMPULAN
Berdasarkan uji fitokimia menunjukkan bahwa
EPE dan EMK tidak ditemukan adanya
kandungan metabolit sekunder seperti alkaloid,
flavonoid, saponin dan tanin. Sementara itu,
hasil uji fitokimia terhadap EEA dan EE
menunjukkan adanya kandungan metabolit
sekunder flavonoid, alkaloid, saponin, dan
tanin. Ekstrak EE menunjukkan aktivitas yang
paling tinggi terhadap aktivitas Candida
albicans, diikuti oleh EEA, EMK, dan EPE
1632

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Hernawan, U.K., dan Setyawan, A. D., 2003.
Senyawa Organosulfur Bawang Putih (Allium
sativum L.) dan Aktivitas Biologinya.
Biofarmasi 1 (2): 65-76. Universitas Sebelas
Maret, Surakarta.
Jacob C., 2006, A scent of therapy:
pharmacological implications of natural
products containing redox-active sulfur atoms,
Natural Product Reports, 23:851-863.
Jacob C, Anwar A., 2008, The chemistry behind
redox regulation with a focus on sulphur redox
systems, Physiol Plantarum, 133:469-480.
Motonori Fujiwara, Masao Yoshimura, and Sadako
Tsuno, 1955, Allicin homologues in thr plants
of the Allium species, The Journal of
Biochemistry, Vol. 42, No.2.
Okada Y, Tanaka K, Fujita I, Sato E, Okajima H.,
2005, Antioxidant activity of thiosulfinates
derived from garlic, Redox Report, 10:96-102.
Packia Lekshmi NCJ, Viveka S, Viswanathan,
Jeeva and Raja Brindha, 2015, Phytochemical
Screening and In Vitro Antibacterial Activity of
Allium sativum Extract Against Bacterial
Pathogens, Journal of Science, Vol 5, Issue 5,
pp. 281-285.
Robinkov. A., Wilcheck. M., Mirelman. D., 1995,
Alliinase (alliin lyase) from Garlic (Allium
Sativum) is Glycosylated at ASN146 and forms
a Complex with a Garlic Mannosa Spesific
Lectin, Glycoconjugate Journal (1995) 12: 690698).
Sharanappa, R., and Vidyasagar, G. M. 2013. AntiCandida Activity of Medicinal Plants. A
Review. International Journal of harmacy
and Pharmaceutical Sciences. 5(4).
Voight, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi
Farmasi, Gajah Mada University Press, Jakarta.
World Health Organization, 2009, Microbiological
Examination of Non-Steperile Product : Test
For Specified.
Zhou S-F, 2010, Supportive Cancer Care with
Chinese Medicine, Springer Netherlands.

dengan besarnya zona hambat maksimum


berturut-turut adalah 41,78; 38,73; 32,13; dan
31,11. Zona hambat yang terbentuk diduga
disebabkan
oleh
kandungan
senyawa
organosulfur dan metabolit yang terdapat
dalam ekstrak bawang putih.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
terutama isolasi dan pemurnian senyawa aktif
yang terkandung dalam ekstrak EE dan EEA.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini didanai oleh Direktorat
Penelitian Tinggi dalam skip penelitian
Fundamental tahun 2015, kode Nomor
BCHP:027/UN11.2/LT/SP3/2015.
REFERENSI
Agustina, L., Hatta, M., Purwanti, S., 2010,
Penggunaan
Ramuan
Herbal
Untuk
Meningkatkan Prodiktivitas dan Kualitas
Broiler (Penggunaan Ramuan Herbal Untuk
Meningkatkan
Performadan
Gambaran
Histopatologi Organ Dalam Broiler, Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veterine,
Makassar.
Block, E., 2010, Garlic and other Allium The Lore
and The Science, The Royal Society of
Chemistry, Cambridge.
Brooks, G. F., Butel, J. S dan Morse, S. A., 2007,
Mikrobiologi Kedokteran, Edisi Ke-23,
Terjemahan dari Jawetz, Melnick, Adelbergs
medical microbiology 23th oleh Retna Neary,
Penerbit Buku kedokteran EGC, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995,
Farmakope Indonesia. Ed. 3, Depkes RI,
Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan,
1977, Materia Medika Indonesia, Jilid 6,
Penerbit Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan
Makanan, Jakarta.

Gambar 1. Reaksi biotransformasi Allicin membentuk beberapa senyawa aktif sulfur lainnya (Zhou S-F, 2010).

1633

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Tabel 2. Perbedaan nilai Rf hasil analisis KLT terhadap beberapa pelarut ekstrak bawang putih menggunakan
pengembang toluen dan etil aseat dengan perbandingan 70:30.
Range Rf
Senyawaa
Rf (sistem pelarut toluen:etil asetat; 70:30)
FHIb
EPEc
EMKd EEAe
EEf
0,1 - 0,2
CH3-S(O)S-CH3 (Humolog Allicin)
0,2 - 0,4
CH3-S(O)S-CH3 (Humolog Allicin)
0,26
0,28
0,30
0,4 - 0,5
CH3-S(O)S-C3H5 (Humolog Allicin)
0,5 - 0,6
C3H5-S-CH2-CH (NH2)-COOH (Allylsistein)
0,59
0,58
0,60
0,6 - 0,7
C3H5-S(O)S-C3H5 (Allicin)
0,63
0,7 - 0,8
CH3-S(O)S-C3H7 (Humolog Allicin)
0,73
0,8 - 0,9
C3H5-S(O)S-C3H7 (Humolog Allicin)
0,89
0,86
0,9 - 1,0
C3H7-S(O)S-C3H7 (Humolog Allicin)
Keterangan: aMotonori Fujiwara, et al., 1955; bFarmakope Herbal Indonesia (FHI), Depkes, 1995; cekstrak petrolium
bawang putih (EPE); dekstrak metilen klorida bawang putih (EMK); eekstrak ekstrak etil asetat bawang putih (EEA); fekstrak
etanol bawang putih (EE).

Tabel 4. Zona hambat yang terbentuk pada beberapa ekstrak pelarut bawang putih terhadap pertumbuhan
Candida albicans setelah 24 jam inkubasi.
Konsentrasi
(%b/v)
Nistatin
10
25
50
75
100

D1
15,63
19.6
27.3
32,05

EPE
D2
D3
22.63
19,4
18.6
20.2
26.65
28.45
31,85
29,45

Dmean
19,22
19.46
27.46
31,11

D1
19,8
11,4
15,3
27,8
32,1

Diameter zona hambat yang terbentuk (D, mm)


EMK
EEA
D2
D3
Dmean
D1
D2
D3
18,95
19,20
18,90
20,1
20,1
20,3
10,50
9,80
10,10
19,80
18,30
19,50
10,8
11,7
11,3
28,65
27,90
28,50
16,6
16,4
16,1
31,10
32,00
31,00
28,1
28,3
28,06
38,30
38,20
39,70
32,4
31,9
32,13

EE
Dmean
19,02
10,10
19,20
28,35
31,36
38,73

D1
20,05
11,50
18,50
25,80
29,03
40,10

D2
19,10
11,30
18,25
28,40
29,02
44,05

D3
18,70
12,10
17,20
25,65
29,00
41,20

Dmean
19,28
11,63
17,99
26,62
29,02
41,78

Keterangan: ekstrak petrolium bawang putih (EPE), ekstrak metilen klorida bawang putih (EMK), ekstrak etil asetat bawang
putih (EEA), dan ekstrak etanol bawang putih (EE); Segismundo et al., 2008; mengklasifikasikan intesitas aktivitas
antijamur berdasarkan diameter zona hambat yang terbentuk dengan kategori kuat >17 mm dan kategori sedang 12-16 mm.
b
ta (tidak ada aktivitas).

Aktivitas zona hambat EPE

Aktivitas zona hambat EMK

Aktivitas zona hambat EEA

Aktivitas zona hambat EE

Gambar 2. Zona hambat yang terbentuk oleh ekstrak EPE, EMK, EEA, dan EE pada masing-masing
konsentrasi terhadap Candida albicans

1634

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI PVP (POLIVINIL PIROLIDON) K90


TERHADAP LAJU DISOLUSI KETOKONAZOL DALAM SISTEM DISPERSI
PADAT
Lidia,Risnalia
Stifi Bhakti Pertiwi Palembang
lidia.kopertis@gmail.com
Abstract
Research of the influence of increasing the solubility of Ketoconazole to the dissolution rate in solid
dispersions using PVP K90 has been done. The purpose of this research to enhance the solubility and
dissolution rate of poorly soluble drugs with the effect of solid dispersion ratio Ketoconazole-PVP (Polovinil
pyrrolidone) K90 increasing the solubility and dissolution rate. The solid dispersion system using method of
dissolution and some ratio of 1: 0.5, 1: 0.25 and 1: 0,125 each comparison is diluted with ethanol and oven
temperature of 50-600C for 1 hour. To view the solubility test using the dissolution paddle method in a
dissolution medium 900 ml of HCl pH 2.0 and a temperature of 37 0,10C in 50 rpm. The results shows that
dissolution on Dp 75 minutes to 1: 0.5 was 47.43%, Dp 1: 0.25 was 64.75%, Dp 1: 0.125 was 29.53%, Cf 1:
0.5 was 23 64, Cf 1: 0.25 was 30.44%, and Cf 1: 0.125 was 26.88%. solid dispersion ratio indicates a higher
yield than the physical mixture. The higher of the concentration of PVP K90 occurs barriers recrystallization
because the high viscosity of PVP K90 in ketoconazole.
Key Words: Ketoconazole, PVP K90,solid dispersion,dissolution rate
Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh peningkatan kelarutan Ketokonazol terhadap laju
disolusi dalam sistem dispersi padat menggunakan PVP K90.Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan
kelarutan dan laju disolusi obat yang sukar larut dengan pengaruh perbandingan dispersi padat KetokonazolPVP (Polovinil Pirolidon) K90 dalam meningkatkan kelarutan dan laju disolusi. Penelitian menggunakan
sistem dispersi padat dengan metode pelarutan dan beberapa perbandingan 1:0,5, 1:0,25, dan 1:0,125 setiap
perbandingan dilarutkan dengan etanol dan dioven suhu 50-600C selama 1 jam. Untuk melihat kelarutan
dilakukan uji disolusi yang dengan metode dayung dalam medium disolusi 900 ml larutan HCl pH 2,0 suhu
370,10C dan kecepatan 50 rpm. Dari hasil disolusi pada menit ke 75Dp 1:0,5 sebesar 47,43%, Dp 1:0,25
sebesar 64,75%, Dp 1:0,125 sebesar 29,53%, Cf 1: 0,5 sebesar 23,64, Cf 1:0,25 sebesar 30,44%, dan Cf
1:0,125 sebesar 26,88% perbandingan dispersi padat menunjukan hasil yang lebih tinggi dibanding campuran
fisik. Semakin tinggi konsentrasi PVP K90 terjadi hambatan rekristalisasi karena viskositas PVP K90 tinggi di
dalam ketokonazol.
Kata Kunci: Ketokenazole, PVP K90, dispersi padat, laju disolusi

1.

padat memisah dan molekul bercampur dengan


cairan dan tampak menjadi bagian dari cairan
tersebut. Oleh sebab itu, disolusi obat adalah
proses ketika molekul obat di bebaskan dari
fase padat dan masuk ke dalam fase larutan.
Jika partikel tetap berada dalam fase padat
setelah dimasukkan ke dalam fase larutan,
dihasilkan suspensi famasetik. Umumnya,
hanya obat dalam bentuk larutan yang dapat
diabsorpsi,
didistribusi,
dimetabolisme,
diekskresi atau bahkan memberikan kerja
farmakologis (Sinko, 2011).
Ketokonazol adalah zat antijamur sintetik
golongan azol yang merupakan turunan

PENDAHULUAN

Obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam


air (poorly soluble drugs) seringkali
menunjukan laju disolusi dan ketersediaan
hayati yang rendah dalam air. Laju disolusi
merupakan tahap penentu (rate limiting step)
pada proses absorpsi obat untuk obat-obat
yang mempunyai kelarutan rendah dalam air
(Leuner dan Dressman, 2000).
Disolusi mengacu pada proses ketika
fase padat (misalnya, tablet atau serbuk)
masukke dalam fase larutan, seperti air.
intinya, ketika obat melarut, partikel-partikel
1635

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

imidazol.Rumus
molekulnya
adalah
C26H28C12N4O4 yang berupa serbuk putih atau
hampir putih, praktis tidak larut dalam air,
mudah larut dalam metilen klorida, larut dalam
metanol, dan agak sukar larut dalam etanol
(British Pharmacopeia, 2001). Ketokonazol
termasuk dalam BCS (Biopharmaceutical
Classification System) kelas II. Dimana
senyawa ini memiliki permeabilitas yang
tinggi dan kelarutan yang buruk sehingga
diperlukan usaha untuk memperbaiki kelarutan
dalam air dan laju disolusinya (Kumar et all,
2011). Pada penelitian kali ini digunakan
Polivinypyrolidone PVP K90 dengan berat
molekul yang besar PVP K90 sebagai matriks
dispersi padat, karena dengan adanya
penigkatan viskositas dari PVP K90 makan
akan terjadi hambatan rekristalisasi bahan obat
yang lebih baik dalam dispersi padat
(Tantishaiyakul, 1999). Dengan semakin
meningkatnya kadar PVP K90 akan dapat
meningkatan kelarutan dalam air dan laju
disolusinya akan semakin cepat (Retnowati,
2010).
Menurut hasil penelitian (Retnowati,
2010). Perbandingan ibuprofen dan PVP K90
yang digunakan adalah 1:0.125, 1:0.25, dan
1:0.5 di peroleh hasil disolusi yang baik pada
perbandingan 1:0.125 dimana konsentrasi obat
yang terlarut dalam dapar fosfat adalah sebesar
54,89% yang disolusi selama 45 menit.
Berkaitan dengan kenyataan di atas, maka
dilakukan penelitian laju disolusi sistem
dispersi padat Ketokonazol-PVP K90 dengan
metode pelarutan. Diharapkan dengan sistem
dispersi padat Ketokonazol-PVP K90 dapat
memberikan laju disolusi ketokonazol yang
baik.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di labolatorium
sekolah tinggi ilmu farmasi palembang,
dengan menggunakan beberapa alat dan bahan.
a. Alat dan bahan
Alat yang digunakan adalah: SEM, cawan
penguap, beaker gelas 50 ml, gelas ukur 10 ml,
erlemeyer 100 ml, vial, pipet gondok 0,5/5
ml,spuit 20cc, beaker gelas 1000ml, timbangan
analytical balance, kertas perkamen, mortir,
lumpang, batang pengaduk, ayakan No 20,
sudip,
desikator,
Dissolution
Tester,
Spektrofotometri
UV.Bahan-bahan
yang
digunakan yaitu : Ketokonazol (Dexa Medica),
PVP K90 (Asian Chemical), etanol 96%,
aquadest, HCl 0,1 N dan silika gel.
b. Pembuatan Dispersi Padat Ketokonazol

Tabel 1. Perbandingan dispersi padat


Ketokonazol
No Bahan
Perbandingan
1.
Ketokonazol
1
1
1
2.
PVP K90
0.125 0.25 0.5
Menurut
penelitian
sebelumnya
perbandingana 1:0.125, 1:0.25 dan 1:0.5,
perbandingan 1:0.125 tinggkat kelarutan lebih
tinggi (Retowati, 2010).Sistem dispersi padat
dibuat dengan metode pelarutan dengan
menvariasikan jumlah PVP K90 dengan
perbandingan berat (Ketokonazol dan PVP
K90) sebagai berikut 1:0.125, 1:0.25 dan 1:0.5.
Dispersi padat dibuat dengan metode pelarutan
yaitu campuran ketokonazol dan PVP K90
dilarutkan ke dalam etanol di dalam beker
glass. Pelarutan etanol lalu diuapkan dan
kemudian dikeringkan menggunakan oven
pada suhu 600C selama 1 jam dan setelah itu
masukkan ke dalam desikator selama 48 jam,
lalu dispersi padat yang terbentuk digerus di
dalam mortir selama 15 menit dan diayak
dengan ayakan 20m. Dispersi padat disimpan
dalam desikator (Cipta, 2012).
c. Pembuatan Campuran Fisik
No Bahan
Perbandingan
1.
Ketokonazol
1
1
1
2.
PVP K90
0.125 0.25 0.5
Campuran fisik seperti perbandingan
1:0.125, 1:0.25 dan 1:0.5 pada dispersi padat
digerus halus dengan mortir selama 15 menit
sampai homogen, kemudian dlewatkan pada
ayakan 20m dan disimpan dalam wadah
desikator (Retnowati, 2010).
d. Uji Disolusi Dispersi Padat Ketokonazol
Cara pengujian disolusi dengan metode
pengaduk bentuk dayung :
Uji disolusi dilakukan terhadap Ketokonazol,
dispersi padat ketokonazol-PVP K90 dengan
variasi perbandingan ditimbang 50 mg,
menggunakan alat tipe dayung dengan
kecepatan 50 rpm. Medium disolusi yang
digunakan 1000 ml HCl 0,1 N (pH 2,0) dengan
temperatur 370,10C. Pengambilan sampel
dilakukan setelah pengujian berjalan selama 0,
5, 10, 15, 30, dan 45 menit. Dari 5 ml sampel
ditarik dan sekaligus diisi ulang dengan 5 ml
larutan HCl pada suhu yang sama untuk
mempertahankan kondisi tenggelam. Di uji
secara spektrofotometri UV 270 nm
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).

1636

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

=
0,994.
a. Hasil Keseluruhan %Terdisolusi Dispersi
Padat dan Campuran fisik

e. Perhitungan kadar obat terdisolusi


Kadar obat terdisolusi dihitung menggunakan
kurva kalibrasi dengan persamaan :Y = a +
bxKadar obat terdisolusi dimisalkan x
mg/LPerhitungan sampel pada waktu 5
menitCn 5 = x mg/L X volume medium
Cn
disolusi X pengenceran% Cn = CpK 100 %.

Tabel1 . Hasil % Terdisolusi Dispersi Padat


dan Ketokonazol Fisik
perbandingan

Perhitungan sampel pada waktu 10 menit


Cn 10 = x mg/L X volume medium disolusi X
pengenceran+FK
Faktor Koreksi FK
volume pemipetan
=
Xmgzatterdisolusi
volume medium disolusi

Dp 0,5
Dp 0,25
Dp 0,125
Cf 0,5
Cf 0,25
Cf 0,125

Cn

% Terdisolusi

% Cn = cpk 100%.
Hal yang sama dilakukan untuk menit-menit
yang berikutnya, dan dibuat kurva hubungan
antara persentase terdisolusi terhadap waktu.
Keterangan
:
Cn = konsentrasi obat yang terdisolusi pada
waktu
t
Cpk = kadar obat dalam sediaan

70
60
50
40
30
20
10
0

15
8,26
12,06
6,18
7,78
8,18
4,97

% Terdisolusi
30
45
60
16,8 18,41 31,24
23,61 34,74 46,21
10,82 26,5 27,72
11,59 12,07 20,66
9,78 17,98 22,76
8,47 10,09 16,73

75
47,43
64,75
29,53
23,64
30,44
26,88

Profil Terdisolusi Ketokonazol-PVP K90


Dp 0,5
Dp 0,25
Dp 0,125
Cf 0,5
Cf 0,25
Cf 0,125
5

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

5
7,22
8,16
4,34
0,52
2,91
0,41

15

30
45
60
Wakru (Menit)

75

Gambar 1. Kurva Profil disolusi serbuk


dispersi padat
dan campuran fisik
Ketokonazol-PVP K90.

Panjang maksimum ketokonazol dalam


medium disolusi larutan HCl (Asam Klorida)
sebagai blanko pada konsentrasi 5 ppm pada
panjang gelombang 200-300 nm diperoleh
panjang gelombang ketokonazol yaitu 276 nm.
Kurva kalibrasi ketokonazol dalam larutan
HCl, dari hasil pengukuran serapan pada
panjang gelombang 276 nm dengan
konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm,
dan 25 ppm di dapat persamaan regresi linear
yaitu y = 0,021x- 0,220dan koefisien
koleransinya (r) = 0,994. Hasil persen
terdisolusi dispersi padat (Dp) dan campuran
fisik (Cf)Perbandingan Dp 1:0,5 sebesar
47,43%, Dp 1:0,25 sebesar 64,75%, Dp
1:0,125 sebesar 29,53%, Cf 1: 0,5 sebesar
23,64, Cf 1:0,25 sebesar 30,44%, dan Cf
1:0,125 sebesar 26,88%.

Dari hasil pembuatan kurva kalibrasi dapat


ditentukan persen disolusi serbuk dispersi
padat dan campuran fisik yang menunjukan
bahwa
serbuk
dispersi
padat
dapat
meningkatkan laju disolusi dibandingkan
dengan campuran fisik, ini disebabkan oleh
serbuk dispersi padat ketokonazol terdispersi
dalam bentuk molekul di dalam pembawa
(Cipta, 2012). Diantara 3 perbandingan disperi
padat diperoleh dengan perbandingan 1:0,25
menunjukan persen disolusi yang paling tinggi
bila dibandingkan dengan perbandingan
perbandingan yang lainnya.
perbandingan % Terdisolusi
5
15
Dp 0,5
7,22 8,26
Dp 0,25
8,16 12,06
Dp 0,125
4,34 6,18

Pada penentuan panjang gelombang


maksimum Ketokonazol dalam medium HCl
0,1 N ternyata didapatkan panjang gelombang
maksimum pada 276 nm, ini masih sesuai
dengan standar Farmakope Indonesia Edisi V
yaitu pada panjang gelombang 270,
selanjutnya panjang gelombang maksimum
dapat digunakan untuk pembuatan kurva
kalibrasi didapatkan kurva garis dengan nilai r

30
16,8
23,61
10,82

45
18,41
34,74
26,5

60
31,24
46,21
27,72

75
47,43
64,75
29,53

Sistem dispersi padat Ketokonazol- PVP


K90 dibuat dengan metode pelarutan karena
PVP K90 mempunyai titik lebur yang rendah
maka
dengan
adanya
pelarut
dapat
menghindari penguraian PVP K90 atau
Ketokonazol
akibat
temperatur
tinggi
(Retnowati, 2010). Serbuk dispersi padat dan
PVP K90 dilarutkan dalam etanol 96% karena
1637

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

etanol dapat melarutkan zat pembawa dan


obat, selain itu etanol mudah menguap dan
relatif tidak toksik dibandingkan dengan
pelarut organik lainnya (Erizal, 2003),
kemudian dimasukkan ke dalam open dengan
suhu 50-60oC selama 1 jam sampai kering.
Sebagai perbandingan digunakan campuran
fisik yang dibuat bahan ditimbang digerus
homogen kemudian diayak dengan ayakan no
20 masukan ke dalam pot dan disimpan di
dalam desikator.

Gambar 4. Hasil Scanning Electron


Microscopy (SEM) Dispersi Padat 1:0,25
Pada dispersi padat gambar menunjukan
bulatan
bulatan
yang
menunjukan
ketokonazol terdispersi ke dalam PVP K90

Dari hasil yang didapatkan profil disolusi


paling besar pada perbandingan 1:0,25 pada
dispersi padat. Hal ini dikarenakan dalam
sistem dispersi padat terjadi perubahan fisik
antara lain pengecilan ukuran partikel sehingga
luas permukaan kontak bahan obat dengan
medium disolusi bertambah besar, dan efek
pembasahan dapat mencegah agregasi partikelpartikel bahan obat, serta berkurangnya
kristalisasi dari ketokonazol yang berada
dalam sistem dispersi. Laju disolusi paling
besar teramati pada perbandingan PVP 0,25
hal ini dimungkinkan karena viskositas PVP
K90 yang tinggi (Bmbesar).

Hasil Anova One Way dianalisa


duncan antara kelompok menit. Pada menit ke
5 data dianalisa tidak mempunyai perbedaan,
menit ke 15-75 data yang dianalisa mempunyai
perbedaan yang bermakna.Dan Hasil AUC
dianalisa pada perbandingan Dispersi padat
1:0,25 mempunyai perbedaan yang nyata dan
bermakna.
4. KESIMPULAN
1. Sistem dispersi padat Ketokonazol- PVP
K90 dapat meningkatkan laju disolusi
ditunjukkan dari perbandingan Dp 1:0,5
sebesar 47,43%, Dp 1:0,25 sebesar 64,75%,
Dp 1:0,125 sebesar 29,53%, Cf 1: 0,5
sebesar 23,64, Cf 1:0,25 sebesar 30,44%,
dan Cf 1:0,125 sebesar 26,88%,
ditunjukkan pada perbandingan DP 1:0,25
sebesar 64,75% laju disolusi paling tinggi.
2. Pada penentuan profil disolusi menunjukan
bahwa serbuk dispersi padat dengan
perbandingan 1:0,25 sebesar 64,75%
memiliki profil disolusi yang baik. Semakin
tinggi konsentrasi PVP K90 terjadi
hambatan rekristalisasi karena viskositas
PVP K90 tinggi di dalam ketokonazol.

c. Hasil % Terdisolusi Campuran fisik


Tabel 3. Hasil % Disolusi Campuran Fisik

% Terdisolusi

40

Profil Terdiolusi Ketokonazol-PVP K90

30

Cf 0,5

20

Cf 0,25

10

Cf 0,125

0
1

3Waktu4 ( Menit)
5
6

Gambar 3. Kurva Profil disolusi serbuk


campuran fisik Ketokonazol-PVP K90.

5. DAFTAR PUSTAKA

Evaluasi yang dilakukan terhadap serbuk


dispersi padat dan campuran fisik dianalisa
menggunakan Scanning Electron Microscopy
(SEM) dengan pembesaran 5000 kali dapat
terlihat morfologi dari serbuk Dispersi padat
1:0,25 dan campuran fisik 1:0,25.

1. Abdou, H.M. 1989. Dissolution Biovailability


and Bioequivalence.
Mack Publishing
Company. Easton. Pennsylvania.
2. Chiou WL & Riegelman S. 1971.
Pharmaceutical applications of solid dispersion
system. Journal of Pharmaceutical Science.
3. Cipta, Angga. 2012. Peningkatan Kelarutan
Ketokonazol Dengan Teknik Dispersi Padat
Menggunakan EudragitE 100. J.Trop. Parm.
Chem Vol 2. No 1. Fakultas Farmasi Universitas
Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.
4. Nurhadijah, Gina et al. 2015. Peningkatan
Kelarutan dan Laju Disolusi Glimepirid dengan

Hasil Scanning Electron Miscrocopy (SEM)


Dispersi padat dan Campuran Fisik

1638

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Teknik Dispersi Padat Menggunakan Polimer
Pvp K-30. Prosiding Penelitian Spesia Unisba.
Prodi Farmasi, Fakultas MIPA, Unisba, Jl.
Transari Bandung.
5. Depertemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope
Indonesia, Edisi IV. Jakarta.
6. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2011.
Farmakologi dan Terapeutik, Edisi V. Badan
Penerbit FKUI. Jakarta.
7. Enggarini, Ratih. 2008. Pengaruh PVP K30
Terhadap Laju Disolusi Ibuprofen Dalam
Sistem Dispersi Padat. Skripsi S1 Sekolah
Tinggi Ilmu Farmsi Bhakti Pertiwi Palembang.
8. Erizal, Goeswin agus et al, 2003, Studi Sistem
Dispersi Padat Glibenklamid dalam Polivinil
Pirolidon K-30, J. Sais dan Tekfar, Padang.
9. Kementerian Kesehatan RI. 2014. Farmakope
Indonesia, Edisi V. Jakarta.
10. Kumar, Pankaj et al. 2011. Physiochemical
Characterization and Release Rate Studies of
Solid Dispersions of Ketoconazole with
Pluronic F127 and PVP K-30. Iranian Journal
of Pharmaceutical Research (2011), 10(4): 685-

694. India. Shaheed Beheshti University of


Medical Sciences and Health Services.
11. Leuner C & Dressman J. 2000. Improving drug
solubilty for oral delivery using solid
dispersions.
European
Journal
of
Pharmaceutical and Biopharmaceutics..
12. Retnowati, Dini. Dwi Setyawan. 2010.
Peningkatan Disolusi Ibuprofen Dengan Sistem
Dispersi
Padat
Ibuprofen-PVP
K90.
Departemen Farmasetika Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga Surabaya.
13. Sinko, Patrick J. 2011. Farmasi Fisika dan Ilmu
Farmasetika, Edisi V, alih bahasa, Joshita
Djajadisastra,
Jakarta:
Penerbit
buku
kedocteran.
14. Voight R. 1994. Buku pelajaran teknologi
farmasi. (edisi V). Penerjemah: Noerono, S.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
15. Yani, Sari. 2014. Peningkatan Laju Disolusi
Dispersi Padat Allopurinol Dan Polietilen
Glikol 4000 Dengan Penambahan Natrium
Lauryl Sulfat. Skripsi D3 Politeknik Kesehatan
Palembang Jurusan Farmasi.

1639

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PERFORMANCE DAN KARAKTERISASI ZEOLIT DARI FLY ASH


BATUBARA DENGAN METODE PELEBURAN HIDROTERMAL
Lince Muis 1), Tuti Fitri Yani 2)
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Jambi
email: ilincemuisismet@yahoo.com
2
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Jambi
email: tutifitriyani028@gmail.com
1

Abstract
Zeolite characterization from coal fly ash with hydrothermal smelting method by varying hydrothermal
temperature using KOH activators. Zeolite production conducted by varying the temperature i.e 100C, 120C
and 140C. Zeolite will be characterized using X-Ray Diffraction (XRD), Fourier Transform Infra Red (FTIR),
Scanning Electron Microscopy (SEM). In higher temperature 140C, diffractograms peak intensity is higher
with the main peak is appeared at 2 (20,67; 20,73; 28,661; 28,734; 34,348; 34,436; 42,11; 42,22). In X-Ray
spectrum, the optimum temperature is on 140C, Zeolite A and Natrolite Zeolite had been formed. The analysis
results using infrared spectrum on the shift of absorption bands which had formed is capable to prove that coal
fly ash had formed to the zeolite. Analysis using SEM is confirmed that activated coal fly ash using KOH base
with the best temperature is on 140C and had reacted into zeolite.
Key words: Fly ash, Coal, Zeolite, Hydrothermal Smelting

zeolit. Sehingga konversi Abu terbang menjadi


zeolit merupakan bukti yang menunjukkan
bahwa Abu terbang merupakan bahan awal
yang murah dan efektif. Querol dkk, 2002
menyebutkan bahwa proses pembuatan zeolit
dari abu terbang yang saat ini digunakan
adalah: (a) konversi langsung melalui aktivasi
alkali sederhana terhadap abu terbang dengan
larutan KOH dan NaOH, (b) ekstraksi silika
dari abu terbang dan kombinasi silika terlarut
dengan aluminat konsentrasi tinggi untuk
menghasilkan produk zeolit murni.

1. PENDAHULUAN
Perkembangan
industri
tidak
saja
menimbulkan dampak positif, tetapi juga dapat
menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif
berupa pencemaran lingkungan di sekitar
industri akibat adanya limbah dari kegiatan
industri yang tidak ditangani dengan baik,
sebagai contoh adalah industri kertas (pulp)
merupakan indekasi pengguna batubara yang
semakin meningkat (Tim Kajian Batubara
Nasional, 2006) yang dapat menghasilkan
limbah salah satunya adalah abu terbang (fly
ash). Abu Terbang adalah salah satu jenis
limbah yang dihasilkan dari pembakaran
(Akbar, 1997). Dari analisis yang telah
dilakukan diperoleh bahwa secara umum
komposisi kimia abu terbang terdiri dari
oksida-oksida anorganik dengan komposisi
terbesar adalah berupa silikon SiO2 (21,92%),
alumina Al2O3 (16%) dan Fe2O3 (16,47%).
Silika dan alumina adalah oksida yang
mempunyai struktur berongga, maka sangat
mungkin abu terbang digunakan sebagai bahan
dasar pembuatan zeolit (Akbar, 1997).
Chang dan Shih, 2000 Salah satu
pendekatan yang dapat digunakan untuk
memanfaatkan limbah Abu terbang batubara
adalah dengan mengkonversikannya menjadi

Perlakuan yang telah dilakukan dengan


menggunakan satu tahap suhu hidrotermal
pada kisaran 100C-180C telah mampu
mengkonversikan abu terbang menjadi zeolit.
(Murayaman dkk, 2002). Peleburan alkali
dilakukan dengan mereaksikan antara abu
terbang yang terdiri dari komponen SiO2 dan
Al2O3 dengan basa NaOH pada temperatur
yang tinggi (550-650C), sehingga akan
terjadi perubahan struktur kimia abu

terbang menjadi garam (Molina dan Poole,


2004). Berdasarkan paparan sebelumnya, maka
penelitian ini akan dilakukan karakterisasi
zeolit dari abu terbang batubara dengan
metode
peleburan
hidrotermal
dengan
menvariasikan
temperatur
hidrotermal
menggunakan aktivator KOH. Kelebihan
peleburan hidrotermal sendiri dimana hampir
1640

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

semua pertikel abu terbang berubah menjadi


silikat dan aluminat. Reaksi peleburan
hidrotermal akan menghasilkan zeolit dengan
kuantitas dan kristalinitas lebih tinggi
dibandingkan dengan tanpa peleburan. (Chang,
shia. 1998). Zeolit akan dilakukan karakterisasi
menggunakan X-Ray Diffraction (XRD),
Fourier Transform Infra Red (FTIR),
Scanning Electron Microscopy (SEM),

kemiripan komponen antara abu terbang


dengan zeolit.

Pola X-Ray Diffraction Abu Terbang dan


Zeolit

2. KAJIAN LITERATUR DAN


PEGEMBANGAN HIPOTESIS
Zeolit mempunyai situs aktif, baik situs
asam Bronsted dan asam Lewis. Adanya situs
aktif ini mengakibatkan zeolit memiliki
kemampuan untuk menyerap senyawa atau ion
baik dari dalam larutan atau udara. Selain itu
adanya ukuran pori-pori yang berbeda untuk
jenis zeolit yang berbeda akan memberikan
sifat selektivitas terhadap kemampuan adsorpsi
zeolit. Dengan adanya kemampuan adsorpsi
yang baik dari zeolit maka dipikirkan untuk
mensintesis material zeolit dari abu layang
batubara yang memiliki kandungan mineral
silika (SiO2) alumina (Al2O3) yang sangat
tinggi
sebagai
bahan
dasar
sintesis
(Budhyantoro, 2005).

Gambar 1:.Difaktogram Abu tebang (Flyash)


Hasil difraksi sinar X abu terbang batubara
pada 1 memperlihatkan puncak-puncak utama
yaitu pada 2= 20,8130; 2= 26,5730; 2=
26,6410; 2= 42,530; 2= 50,120. Menurut
Vucinic dkk, 2002 berdasarkan JCPDS no. 50490 tersebut merupakan puncak untuk
senyawa kuarsa (SiO2). Untuk puncak 2=
33,180; 2= 33,260; 2= 35,270; 2= 35,360
merupakan puncak untuk senyawa mullite
(Al6Si2O12) berdasarkan JCPDS no. 731389.

3. METODE PENELITIAN
Metode penelitian menjelaskan rancangan
kegiatan, ruang lingkup atau objek, bahan dan
alat utama, tempat, teknik pengumpulan data,
definisi operasional variable penelitian, dan
teknik analisis.[Times New Roman, 11,
normal].
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi Awal Abu terbang Batubara

Gambar 2: Difraktrogram zeolit sintesis dan


abu terbang (a). Abu terbang murni (b).
Temperatur Hidrotermal 100C, (c).
Temperatur hidrotermal 120 C, (d).
Temperatur hidrotrmal 140C
Pola difraksi sinar X menunjukkan
pembuatan zeolit dengan proses hidrotermal
dengan variasi temperatur. Pada temperatur
yang lebih tinggi 140C, intensitas puncak
difaktogram lebih tinggi dari pada temperatur
100C dan 120C hasil ini menunjukkan
adanya
kenaikan
kristalinitas
prosuk
hidrotermal terlihat pada Gambar 2 dengan
puncak utama muncul pada 2 (20,67; 20,73;
28,661; 28,734; 34,348; 34,436; 42,11; 42,22).
Pada temperatur 100C puncak utama muncul
masing-masing pada 2 (28,652; 28,725;

Tabel 1: Hasil karakterisasi awal abu terbang


batubara.
No

Parameter

Satuan

1
2
3
4
5
6
7

Si
SiO2
Al
Al2O3
Fe
Fe2O3
Ca

%
%
%
%
%
%
%

Hasil
Analisa
29,02
62,19
1,53
5,81
5,60
7,98
2,31

Dari analisa diketahui bahwa kandunagan


Al2O3 dan SiO2 dari abu terbang dari PT.
Lontar Papyrus Pulp and Paper Product
cukup besar dan ini menunjukkan adanya
1641

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ke bilangan gelombang 1904,08cm-1 dan dari


1065,17cm-1 ke pita serapan baru pada zeolit
dengan bilangan gelombang 964,08cm-1 dan
dari 787,45cm-1 ke pita serapan baru zeolit
pada bilangan gelombang 691,00cm-1 yang
merupakan karakteristik serapan untuk zeolit.
Pita serapan baru yang tidak muncul pada abu
terbang muncul pada daerah panjang
gelombang 1496,02cm-1 Gambar 3a. Dengan
adanya pergeseran pembentukkan pita serapan
baru ini merupakan salah satu bukti bahwa abu
terbang ini merupakan salah satu bukti telah
terbentuk zeolit. Hal tersebut menunjukkan
telah terjadi material baru hasil peleburan
hidrotermal, meskipun intensitas spektra tidak
terlalu tajam.
Gugus Si-O dalam abu terbang Gambar
3a) memperlihatkan dengan munculnya
bilangan gelombang pada 1065,17cm-1 yang
merupakan vibrasi rentangan asimetrik
eksternal Si-O-Si dan pada 787,45 cm-1 yang
merupakan vibrasi simetrik eksternal Si-O-Si.
Pada hail pembuatan zeolit dengan peleburan
hidrotermal
menggunakan
basa
KOH
temperatur 140C menunjukkan adanya
pergeseran abu terbang Gambar 3a menjadi
954,08 cm-1 Gambar 3b. Hasil spektra sesuai
denagan spektra IR senyawa silika alumina
yang dikemukakan Flanigen dkk,1971.
Pita
serapan
pada
3127,24cm-1
,1904,08cm-1 menunjukkan vibrasi rentangan
dan vibrasi tekuk O-H dari molekul air dalam
zeolit yang cukup besar. Oleh karena itu
mencul serapan pada daerah ini merupakan
suatu bukti terbentuknya zeolit melalui proses
peleburan
hidrotermal.
Pita
serapan
karakteristik yang menunjukan adanya zeolit
ditandai dengan tautan internal dan eksternal
tetrahedral yang teramati pada daerah 1200400cm-1(Mimura dkk., 2001).

34,403; 34,491) dan pada temperatur 120C


puncak utama masing-masing 2 (28,647;
28,719; 34,38; 34,47) dengan puncak intensitas
yang lebih rendah. Menurut Jumaeri, 2008
pada dasarnya kenaikan temperatur tidak
menimbulkan 2 produk hidrotermal ada
perubahan yang berbeda sehingga hal ini
bukan merupakan karakteristik zeolit yang
diinginkan, namun merupakan campuran dari
beberapa zeolit, sehingga tidak menghasilkan
zeolit yang spesifik. Tetapi akibat adanya
kenaikan temperatur menimbulkan bertambah
atau meningkatnya intensitas fase kristalinitas.
Pada spektra sinar X-Ray temperatur optimum
yaitu 140C telah terbentuk Zeolit A dengan
rumus kimia K11Si12Al12O48, berdasarkan
Inorganic Crystal Structure Database (ICSD)
Code 40134 dan Zeolit Natrolite dengan
rumus kimia K2(Al2Si3O10)(H2O)2 berdasarkan
ICSD Code 69407(Karen, 2010) dengan
tingkat kristalinitas yang tinggi. Pada
temperatur 100C dan 120C kemungkinan
terbentuk zeolit tetapi tidak diketahuin jenis
zeoit yang terbentuk hal ini disebabkan akibat
kurang
meningkatnya
temperatur
saat
hidrotermal.
Karakterisasi Dengan Fourier Transform
Infra Red

Gambar 3: Analisa FT-IR (a) Abu terbang, (b)


Zeolit T:140C.

Analisis SEM-EDS
Setelah pembuatan abu terbang menjadi
zeolit dikarakterisasi dengan menggunaka
spektra Infrared pada bilangan gelombang
4000-600cm-1
Berdasarkan Gambar 3 tampak bahwa pita
serapan abu terbang batubara muncul pada
2214,98cm-1 yang menunjukan adanya ikatan
gugus aril-SH vibrasi rentangan S-H. Selain
itu
terlihat
adanya
pergeseran
dan
pembentukkan pita serapan baru dibandingkan
dengan abu terbang asal. Pergeseran abu
terbang terjadi pada bilangan gelombang
1901,53cm-1 ke pita serapan baru zeolit yaitu
1642

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

untuk mendapatkan analisis kimia lokal.


Berdasarkan gambar 4 diperoleh unsur-unsur
dari abu terbang batubara dan zeolit seperti
terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3 tampak
bahwa Si dan Al masih muncul antara abu
terbang batubara dan zeolit yang terbentuk.

Gambar 5: Spectrum EDS a. Abu terbang., b.Zeolit


Tabel 2: Komposisi unsur dalam abu terbang
Element
Number

7
8
13
14

Element
Symbol

N
O
Al
Si

Element
Name

Nitrogen
Oxygen
Aluminium
Silicon

Concentration

1.1
68.5
16.1
14.3

Tabel 3: Komposisi unsur dalam zeolit temperatur


140C
Element
Number
6
13
14
19

B
Gambar 4: A. Abu terbang dan B.Zeolit Temperatur
Hidrotermal 140C

Pada analisis menggunakan SEM hasil


pada abu terbang batubara terdiri dari pertikel
halus dan bulat (spherical), yang diselangin
dengan bagian kecil kristalin Gambar 4a.
Partikel dengan berbentuk bola-bola halus
berdiameter kurang dari 20m menunjukkan
fasa glass dan alumunium silika amorf.
Sedangkan bola-bola kecil kemungkinan
merupakan mineral berupa kristal mullite
(3Al2O3.2SiO2) dan kuarsa (SiO2). Dari hasil
SEM, menunjukkan adanya perbedaan
morfologi permukaan antara abu terbang
batubara dengan zeolit yang terbentuk. Pada
zeolit menunjukkan bahwa kristal kubik yang
terbentuk belum teratur dan belum semua
permukaan terbentuk sama rata Gambar 4b.
EDS memanfaatkan spektrum sinar-X yang
dipancarkan oleh sampel padat yang
dibombardir dengan berkas electron terfokus

Element
Symbol
C
Al
Si
K

Element
Name
Carbon
Aluminium
Silicon
Potassium

Concentration
5.6%
16.5%
28.3%
49.5%

5.
KESIMPULAN
1. Temperatur terbaik 140C terbentuknya
terbentuk Zeolit A dengan rumus
K11Si12Al12O48 dan Zeolit Natrolite dengan
rumus K2(Al2Si3O10)(H2O)2 dengan tingkat
kristalinitas yang tinggi adalah pada
temperatur 140C dengan Aktivator Basa
KOH.
2. Hasil karakterisasi dengan difratogram
sinar-X pada temperatur terbaik 140C
menujukkan intensitas kristalinitas yang
semakin tinggi pada puncak 2 28,734;
34,348; 34,436 dan 42,110; 42,220.struktur
yang terbentuk adalah Zeolit A Monoclinic
dan Zeolit Natrolite hexagonal. Hasil
analisa menggunakan spektra infrared pada
1643

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Mandalahi, Helmina., 2015, Adsorpsi Merkuri (II)
Menggunakan Zeolit dari Flyash batubara.
Fakultas Sains dan Teknoogi: Universitas Jambi
Molina, A. dan Poole, C. (2004), A Comparative
StudyUsing Two Methods To Produce Zeolites
from Fly Ash, Mineral Engineering, Vol. 17,
hal. 167173.
Murayaman, N., Yamamoto, H. And Shibata, J.,
2002, Mechanism of Zeolite Synthesis from
Coal Fly Ash by Alkali Hydrotermal Reaction,
Int. J. Miner. Proccessing, 64, 1, 1-17.
Muller, J. C. M., Hakvoort, G. And Jansen., J.C.
1998, DSC and TG Study of Water Adsorpstion
and Desorption on Zeolite Na-A. J. Therm.
Anal., 53, 258-261
Querol, X., Alastuey, A., Soler, A.L., dan Plana, F.,
2002, A Fast Method for Recycling Fly Ash:
Microwave-Assisted Zeolite Synthesis. Environ.
Sci. Technol., 31(9): 2527-2533.
Sastrohamidjojo,
H.,
1992,
Spektroskopi
Inframerah, Yogyakarta: Liberty.
Sutarno, Arryanto, Y., dan Yulianto, I.2004.
Sintesis Faujasit dari Abu Layang Batubara:
Pengaruh Refluks dan Penggerusan Abu
Layang Batubara terhadap Kristalinitas
Faujasite Prosiding Seminar Nasional Kimia
VIII, Jurusan Kimia Fakultas MIPA, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 285-290.
Vicky L. Karen, 2010. Ceramics Division, National
Institute of Standards and Technology,
Gaithersburg, Maryland 20899, USA
Vucinic D, Miljavonic I, RisicA and Lazic P
(2002), Effect of Na2O/SiO2 mole Ratio on the
Crystal Type of Zeolite Shynthesized from Coal
Fly Ash J, Serb Chem, Soc.68 (6) 471-478
Yulianto, I., 2000, Pengaruh peleburan dengan
Natrium Hidroksi pada Sintesis Faujasit dari
Abu Layang, Skripsi, Yogyakarta: FMIPA
UGM

pergeseran pita serapan yang terbentuk


mampu membuktikan bahwa abu terbang
batubara telah terbentuk zeolit. Analisa
menggunakan SEM membuktikan bahwa
abu terbang yang diaktivasi menggunakan
basa KOH dengan temperatur terbaik 140C
telah bereaksi menjadi zeolit.
6. REFERENSI
Akbar F. 1997. Sintetis dan Karakterisasi zeolit 4A
dari Bahan Dasar Abu Layang dengan Metoda
peleburan. Lembaga Penelitian. Universitas
Riau.
Balkus, K.J.J., and Kieu, T.L., 1991, The
Preparation and Characterization of an X-type
Zeolite, J. Chem. Ed., 68 (10), 875-877
Chang, H.L and shih, W.H., 1998, A general
Methods for the as Ion Exchangers for cesium ,
Ind. Eng. Chem. Res ., 37 (1) 71-78
Chang, H. dan Shih,W. (2000), Synthesis of zeolite
A and X from Fly ash and Their Ion Exchange
Behavior Wieh Cobalt Ions, Industrial
Engeneering Chemical Research, Vol.39,
hal.4185-419
Flanigen, E.M, 1991, Zeolit and Molecular Sievesan Histrorical Perspective, Editor: Bekkum,
V.H., Flanigen, E.M., and Jansen, J.C.,
Interoduction to Zeolit Science and Practice,
Elsevier, Amsterdam.
Jumaeri, Astuti, P, Sulistiyaningsi, T. Dan Latifah.
2008. Sintesis Zeolit dari Abu Layang Batubara
Secara Alkali Hidrotermal dan Aplikasinya
Sebagai Penukar Ion dalam Proses Pengolahan
Air. Laporan Penelitian Hibah Bersaing.
Semarang: Jurusan FMIPA UNNES

1644

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENENTUAN AKTIFITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM


(Eugenia polyantha Wight), DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava) DAN DAUN JATI
BELANDA (Guazumaulmifolia Lamk.)
Lusiana1, Sulistiyani2, I Made Artika3
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Bengkulu, Bengkulu1
lusy_chem99@yahoo.com, JL. WR Supratman Kandang Limun Bengkulu
Jurusan Biokimia, FMIPA IPB2
Jurusan Biokimia, FMIPA IPB3
ABSTRACT
Various plants have been used traditionally by communities for treatment of cardiovascular disease. In
this research, leaf extracts of salam (Eugenia polyantha Wight), jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.), and
guava (Psidium guajava) were studied. This study aims to determine the effect of the antioxidative potential of
these extracts. Antioxidative potentials were analyzed using Thiobarbituric acid (TBA) assay by measuring the
concentration of Malonaldehyde (MDA). The highest antioxidative potential is showed by leaf extract of salam
at 100 ppm which inhibited the concentration of MDA as much as 68.17% and the lowest antioxidative
potential is showed by leaf extract of jati belanda 200 ppm which inhibited the concentration of MDA as much
as 46,10%.
Keyword: Antioxidant, TBA, Eugenia polyantha Wight, Psidium guajava, Guazumaulmifolia Lamk.

antioksidan
sintetik
(buatan).
Namun
antioksidan sintetik seperti butil hidroksi
anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT),
propil galat (PG) dapat menyebabkan kanker.
(Reynertson, 2007).
Berbagai tanaman telah sering digunakan
secara tradisional oleh masyarakat untuk
mengobati penyakit kardiovaskular. Tanaman
obat ini banyak mengandung senyawa fenol
dan memiliki aktivitas antioksidasi diantaranya
ialah
flavonoid
(isoflavon,
falvonol,
antosianidin), kuinon, lignan dan kurkumin.
Oleh karena itu di dalam penelitian ini
digunakan ekstrak daun dari beberapa tanaman
yang
digunakan
dalam
pengobatan
kardiovaskular dan berpotensi sebagai
antioksidan. Tanaman tersebut adalah salam
(Eugenia polyantha Wight), jati belanda
(Guazumaulmifolia Lamk.) dan jambu biji
(Psidium
guajava).
Ekawati
(2007)
melaporkan bahwa ekstrak etanol daun salam
memiliki aktivitas antioksidasi, Alviani (2007)
melaporkan bahwa jambu biji juga memiliki
aktivitas antioksidasi. Tombilangi (2004)
melaporkan bahwa daun jati belanda memiliki
aktivitas antioksidasi. Penelitian ini bertujuan
untuk
menentukan
pengaruh
potensi
antioksidasi dari ekstrak daun salam (Eugenia
polyantha Wight), daun jati belanda
(Guazumaulmifolia Lamk.) dan daun jambu
biji (Psidium guajava). Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi

1. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak
dapat terbebas dari senyawa radikal bebas.
Radikal bebas merupakan atom atau molekul
yang tidak stabil dan sangat reaktif karena
mengandung satu atau lebih elektron tidak
berpasangan (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Beberapa sumber pembentuk senyawa radikal
bebas diantaranya yaitu asap rokok, makanan
yang digoreng, paparan sinar matahari yang
berlebihan, asap kendaraan bermotor dan sinar
uv (Umayah dkk, 2007). Apabila radikal bebas
bereaksi dengan senyawa polutif, maka akan
berubah menjadi racun bagi tubuh. Sehingga
racun tersebut dapat merusak fungsi sel dan
menyebabkan timbulnya berbagai macam
penyakit degeneratif (Hernani dan Raharjo,
2005).
Di dalam tubuh terdapat mekanisme
antioksidan atau antiradikal bebas secara
endogenik, tetapi bila jumlah radikal bebas
dalam tubuh berlebih maka dibutuhkan asupan
antioksidan tambahan yang berasal dari
sumber alami atau sintetik dari luar tubuh.
Misalnya vitamin C, vitamin E dan senyawa
fenol yang diperoleh dari tumbuhan (Langseth,
1995). Antioksidan merupakan senyawa kimia
yang dapat menyumbangkan satu atau lebih
elektron kepada radikal bebas, sehingga
radikal bebas tersebut dapat diredam.
Berdasarkan sumber perolehannya, antioksidan
ada dua macam, yaitu antioksidan alami dan
1645

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ilmiah mengenai khasiat antioksidasi ekstrak


daun salam (Eugenia polyantha Wight), daun
jati belanda (Guazumaulmifolia Lamk.) dan
daun jambu biji (Psidium guajava) dalam
mekanismenya untuk pencegahan penyakit
kardiovaskular.

potensi
antioksidasinya.
Masing-masing
campuran
diambil
1
mL
kemudian
ditambahkan 2 mL TCA 20% (b/v) dan 2 mL
larutan TBA 1% (b/v) dalam pelarut asam
asetat 50% (v/v). Lalu campuran reaksi
tersebut diinkubasi dalam penangas air bersuhu
100 C selama 10 menit. Setelah dingin
dilakukan sentrifugasi pada 3000 rpm selama
15 menit, selanjutnya diukur serapannya pada
532 nm.
Sebagai kurva standar, larutan stok
pereaksi TMP konsentrasi 6 M dibuat menjadi
1.5, 3.0, 6.0, 9.0, 12.0, 15.0, dan 18.0 M.
Masing-masing konsentrasi dipipet sebanyak 1
mL, selanjutnya ditambahkan 2 mL TCA 20%
(b/v) dan 2 mL larutan TBA 1% (b/v) dalam
pelarut asam asetat 50% (v/v). Lalu campuran
reaksi tersebut diinkubasi dalam penangas air
bersuhu 100 C selama 10 menit. Setelah
dingin dilakukan sentrifugasi pada 3000 rpm
(960 kali gravitasi) selama 15 menit,
selanjutnya diukur serapannya pada 532 nm.

2. METODE PENELITIAN
Serbuk kering daun sebanyak 20 gram
diekstraksi dengan 200 mL pelarut etanol 70%
selama 2 jam pada suhu 70oC. Ekstrak yang
diperoleh kemudian disaring dan diuapkan
dengan rotary evaporator pada suhu 50oC dan
dioven pada suhu 400C sehingga diperoleh
ekstrak kasar dengan persen rendemen masingmasing adalah ekstrak daun salam 20,55 %,
ekstrak daun jambu biji 21,1 % dan ekstrak
daun jati belanda 18,30 %. Ekstrak selanjutnya
dianalisis fitokimia (Harborne, 1987).
Analisis Hidroperoksida dari Oksidasi
Asam Linoleat dengan Metode Diena
Terkonjugasi (Kikuzaki dan Nakatani
1993).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebanyak 2 mL asam linoleat 50 mM


dalam etanol 99.8%, dan 1 mL air bebas ion
dimasukkan ke dalam botol gelap yang berulir,
kemudian campuran diinkubasi pada suhu 40
o
C selama 8 hari. Campuran sampel tersebut
diambil 50 L ke dalam 6 mL etanol 75%,
kemudian Absorbansi diena terkonjugasi
sampel diukur langsung menggunakan
spektrofotometer sinar UV pada panjang
gelombang 234 nm.

Pada penelitian ini digunakan ekstrak


daun salam, daun jambu biji dan daun jati
belanda masing-masingnya terdiri atas dua
konsentrasi yaitu 100 ppm dan 200 ppm. Hasil
analisis statistik yang menggunakan rancangan
faktorial RAL, menunjukkan bahwa dosis yang
digunakan yaitu 100 ppm dan 200 ppm tidak
berpengaruh nyata (p>0,05). Dari ketiga
ekstrak yang digunakan, potensi antioksidasi
terbesar terdapat pada ekstrak daun salam 100
ppm yaitu 68,17 % dan potensi antioksidasi
yang terkecil terdapat pada ekstrak daun jati
belanda 200 ppm yaitu 46,10 %
Berdasarkan uji Duncan diketahui
potensi antioksidasi ekstrak daun salam tidak
berbeda nyata dengan ekstrak daun jambu biji,
namun berbeda nyata dengan ekstrak daun jati
belanda. Potensi antioksidasi ekstrak daun
jambu biji tidak berbeda nyata dengan ekstrak
daun jati belanda dan ekstrak daun salam
(p=0,05). Hal ini dimungkinkan karena
kandungan fitokimia ekstrak daun salam dan
daun jambu biji hampir sama jenis senyawa
kimianya.

Analisis Konsentrasi Malonadialdehida


(MDA) dengan metode TBA (Kikuzaki dan
Nakatani 1993).
Campuran sampel yang dibuat terdiri
atas 2 mL bufer fosfat 0.1 M pH 7, 2 mL asam
linoleat 50 mM dalam etanol 99.8%, dan 1 mL
larutan sampel. Sebagai kontrol negatif dibuat
campuran yang sama tetapi 1 mL larutan
sampel diganti dengan 1 mL air bebas ion.
Sebagai pembanding atau kontrol positif
dibuat campuran yang terdiri atas 2 mL bufer
fosfat 0.1 M pH 7, 2 mL asam linoleat 50 mM
dalam etanol 99.8% yang mengandung tokoferol (vitamin E) 200 ppm total campuran,
dan 1 mL air bebas ion, kemudian campuran
diinkubasi pada suhu 40C dengan lama
inkubasi 6 hari (2 hari setelah tercapainya
puncak serapan pada hari ke-4). berdasarkan
hasil pengukuran diena terkonjugasi dari asam
linoleat. Campuran reaksi kemudian diuji
1646

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Daya Hambat Oksidasi (%)
100,00
90,00
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00

94,02

yang memiliki potensi antioksidasi tertinggi


yakni ekstrak daun salam 100 ppm dengan
potensi antioksidasi sebesar 68,17%.

Asam Linoleat 1
Vitamin E 200 ppm-1

68,1766,46
59,27
53,66
51,22
46,10

Ekstrak Daun Salam 100 ppm1


Ekstrak Daun Salam 200 ppm1

REFERENSI

Ekstrak Daun Jati Belanda 100


ppm-1

Alviani. 2007. Khasiat ramuan ekstrak daun jati


belanda terhadap peroksidasi lipid hati tikus
hiperlipidemia [skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Andriani Y. 2004. Ekstrak daun jati belanda
mencegah hiperlipidemia dan perkembangan
aterosklerosis pada kelinci [tesis]. Bogor:
Sekolah Pasca sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Buhler DR, Miranda C. 2000. Antioxidant
Activities of Flavonoids. Department of
Environmental and Molecular Toxicology
Oregon State University.
Ekawati RA. 2007. Potensi antioksidasi daun salam
(Eugenia polyantha wight.) pada lingkungan
agrobiofisik yang berbeda. [skripsi]. Bogor:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.
Giovannini C. Scazzocchio B., Vari R., Santangelo
C., DArchivio M., Masella R. 2007. Apoptosis
in cancer and atherosclerosis polyphenol
activities. Ann Ist Super Sanita. 43: 406-416.
Harborne. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun cara
modern menganalisis tumbuhan. Terbitan
kedua. Bandung: ITB.
Hernani, Rahardjo M. 2005. Tanaman Berkhasiat
Antioksidan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Indariani S. 2006. Aktivitas antioksidan ekstrak
daun jambu biji (Psidium guajava L.). J.II. Pert.
Indon. 11: 13-17.
Jishage K, Tachibe T, Ito T, Shibata N, Suzuki S,
Mori T, Hani T, Arai H, Suzuki H. 2005.
Vitamin E is essensial for mouse placentation
but not for embryonic development itself.
Journal Biology of Reproduction. 73: 983-987
Kikuzaki H, Nakatani N. 1993. Antioxidant effect
of some ginger constituents. Journal of Food
Science. 58: 1407-1410.
Saija A, Scalese M, Lanza M, Marzullo D, Bonina
F, Castelli F. 1995. Flavonoids as Antioxidant
Agents: Importance of Their Interaction with
Biomembranes. Free Radical Biology and
Medicine. 19: 481-486.
Tombilangi AK. 2004. Khasiat ekstrak daun jati
belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) terhadap
kadar lipid peroksida darah kelinci yang
hiperlipidemia [skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.

Ekstrak Daun Jati Belanda 200


ppm-1

0,00

Ekstrak Daun Jambu Biji 100


ppm-1
Ekstrak

Ekstrak Daun Jambu Biji 200


ppm-1

Gambar 1 Potensi antioksidasi ekstrak daun


salam, daun jambu biji dan daun jati
belanda
Aktivitas antioksidan dari ketiga
ekstrak ini mungkin diperoleh dari senyawa
aktif yang dikandungnya seperti tannin,
flavonoid, dan alkaloid. Pada uji fitokimia
terhadap ketiga ekstrak yang digunakan,
kandungan alkaloid, flavonoid dan tanin
menunjukkan hasil yang positif.
Ekstrak daun salam, daun jambu biji
dan daun jati belanda telah banyak
dipublikasikan sebagai obat tradisional yang
berpotensi sebagai antioksidan. Senyawa
bahan alam yang diduga berperan sebagai
antioksidan adalah senyawa flavonoid.
Flavonoid dapat membantu memberikan
perlindungan terhadap penyakit kanker,
penuaan,
aterosklerosis,
peradangan
(inflamasi) dan penyakit neurodegeneratif
(Parkinson dan Alzheimer) bersama dengan
vitamin antioksidan dan enzim.
Studi epidemiologi telah menunjukkan
bahwa asupan flavonoid berbanding terbalik
dengan kematian akibat penyakit jantung
koroner dan kejadian serangan jantung (Buhler
dan Miranda C. 2000). Menurut Giovannini et
al. (2007), senyawa polifenol memiliki
aktivitas antioksidan dan dapat mengatur
proses apoptosis dengan cara-cara yang
berbeda tergantung pada konsentrasi, sistem
sel, jenis atau tahap proses patologis. Senyawa
flavonoid memiliki aktivitas antioksidan
karena dapat bertindak sebagai pemutus rantai
dan penangkap radikal. Aktivitas ini
tergantung struktur kimia mereka yang
mempengaruhi kekuatan antioksidan mereka
(Saija et al. 1995, Giovannini et al. 2007).
4. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa: ekstrak

1647

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

ENFORCEABILITY OF DISCOVERY LEARNING MODEL AND ITS EFFECT ON


ATTITUDE OF CREATIVE STUDENTS IN CHEMISTRY LEARNING
AT CLASS XI MIA SMAN 2 OF JAMBI
M. Dwi Wiwik Ernawati dan Siti Fatimah Jufri
FKIP Universitas Jambi, e-mail: wwkchem2@yahoo.co.id
Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang keterlaksanaan model discovery learning dan pengaruhnya terhadap sikap
kreatif peserta didik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keterlaksanaan model discovery
learning serta pengaruhnya terhadap sikap kreatif peserta didik dalam pembelajaran materi kelarutan dan hasil
kali kelarutan (Ksp) di kelas XI MIA SMAN 2 Kota Jambi. Penelitian deskriptif asosiatif ini didesain melalui
model eksperimen tipe One-Shot Case Study. Sampel ditentukan dengan teknik purposive sampling.
Keterlaksanaan model discovery learning dan sikap kreatif peserta didik dipantau menggunakan lembar
observasi dan angket. Untuk melihat pengaruh keterlaksanaan model discovery learning terhadap sikap kreatif
peserta didik dilakukan uji korelasi product moment dan dilanjutkan dengan uji-t. Hasil menunjukkan bahwa
keterlaksanaan model discovery learning terkategori baik, dilihat dari rata-rata hasil observasi guru maupun
peserta didik tiap pertemuannya. Hubungan keterlaksanaan model discovery learning dengan sikap kreatif
dikategorikan kuat (rxy = 0,633), serta memberi pengaruh yang bermakna sebesar 4,020 (=0,01). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa model discovery learning dalam pembelajaran kelarutan dan hasil kali
kelarutan (Ksp) di kelas XI 5 MIA SMAN 2 Kota Jambi telah terlaksana dengan baik sehingga dapat
mengembangkan sikap keratif peserta didik secara bermakna dalam proses pembelajaran.
Kata kunci: model discovery learning, sikap kreatif, pembelajaran kimia

domain feeling and valuing (attitudinal domain) berkaitan dengan sikap ilmiah (Zuchdi,
2011). Sikap ilmiah menurut Harlen (dalam
Anwar 2009) diantaranya adalah sikap ingin
tahu, respek terhadap data, berpikir kritis,
ketekunan, penemuan/kreatif, berpikiran terbuka, kerjasama, keinginan menerima ketidakpastian dan sensitif terhadap lingkungan.
Menghadapi era yang penuh dengan
tantangan saat ini, kompetensi sikap kreatif di
kalangan peserta didik sangat penting untuk
diperhatikan oleh para pendidik. Peserta didik
dituntut untuk selalu kreatif dalam menghadapi
permasalahan di era globalisasi yang penuh
dengan persaingan dengan kompleksitas
permasalahan yang semakin tinggi di segala
aspek kehidupan. Menurut Haris (dalam
Danim 2013) kreatif sebagai sikap adalah
kemampuan diri untuk melihat perubahan dan
kebaruan, suatu keinginan untuk bermain
dengan ide dan kemungkinan, kefleksibelan
pemandangan, sifat menikmati kebaikan,
sambil mencari cara untuk memperbaikinya.
Kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp)
merupakan materi dalam pelajaran kimia SMA
khususnya kelas XI dengan karak-teristik
materi berupa konsep-konsep yang ada dalam
fakta kehidupan sehari-hari. Agar mudah

1. PENDAHULUAN
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa kegiatan pembelajaran adalah
proses interaksi peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar yang bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik sehingga menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (Kurniasih, 2014). Sesuai
dengan tujuan pendidikan, terlihat bahwa
pembelajaran bagi peserta didik tidak hanya
sekedar mengajar-kan ilmu tetapi meletakkan
dasar-dasar yang kuat dalam menopang
pembangunan karakter dan jati diri bangsa.
Lima ranah/domain dalam taksonomi
untuk pendidikan sains (taxonomy for science
education) yang dikembangkan oleh Allan J.
Mac Cormack dan Robert E. merupakan
perluasan, pengembangan dan pendalaman tiga
ranah Bloom yang mampu meningkatkan
aktivitas pembelajaran sains di kelas dan
mengembangkan sikap positif terhadap mata
pelajaran. Salah satu domain tersebut adalah
1648

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dipahami, maka perlu disajikan dalam bentuk


yang menarik. Sampai saat ini belum ada
penelitian yang mengungkap keterlak-sanaan
model discovery learning dan penga-ruhnya
terhadap pengembangan sikap kreatif peserta
didik. Model discovery learning ialah suatu
cara mengajar yang melibatkan siswa dalam
proses kegiatan mental melalui tukar pendapat,
dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan
mencoba sendiri, agar anak dapat belajar
sendiri (Roestiyah, 2008). Sehingga pelaksanaan model discovery learning diharapkan
dapat memberi pengaruh terhadap pengembangan sikap kreatif peserta didik dalam
pembelajaran kimia.
Pada tulisan ini akan diungkap keterlaksanaan model discovery learning serta pengaruhnya terhadap pengem-bangan sikap kreatif
dalam pembelajaran kelarutan dan hasil kali
kelarutan (Ksp) di kelas XI MIA SMAN 2
Kota Jambi.

rung kuat mengingat konsep yang mereka


temukan sendiri. Dalam mengaplikasikan model discovery learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan mem-beri kesempatan
kepada siswa untuk belajar secara aktif, guru
harus dapat membimbing dan mengarahkan
kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan.
Kondisi seperti ini ingin mengubah kegiatan
belajar mengajar yang teacher oriented
(berorientasi pada guru) menjadi student
oriented (berorientasi pada siswa).
Langkah-langkah pembelajaran yang
ditempuh menurut Danim dan Khairil (2011)
adalah: (1) Menentukan pokok permasalahan
atau fokus belajar, (2) Melakukan eksplorasi,
mengumpulkan data,atau mengamati, (3)
Menganalisis data atau merekonstruksi temuan pengamatan, dan (4) Merumuskan kesimpulan atau mengkonstruksi konsep. Dalam
discovery learning, bahan ajar tidak disajikan
dalam bentuk akhir, tetapi siswa dituntut untuk
melakukan berbagai kegiatan menghimpun
informasi, membandingkan, mengkatagorikan, menganalisi, mengintegrasikan, mengorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan
(Kurniasih,2014).
Menurut Hosnan (2014), Ciri utama
belajar menemukan, yaitu (1) mengeksplorasi
dan memecahkan masalah untuk mencipta-kan,
mengabungkan, dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3) kegiatan
untuk menggabungkan pengetahuan baru dan
pengetahuan yang sudah ada.
Pelaksanaan strategi discovery learning
dikelas, menurut Syah (dalam Hosnan 2014)
ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara
umum yaitu melaksanakan langkah persiapan
dan prosedur aplikasi strategi discovery
learning yaitu Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah), stimulation (stimulasi/ pemberian rangsangan), data collection
(pengumpulan data), data processing (pengolahan data), verification (pembuktian), dan
generalization (generalisasi).

2. KAJIAN LITERATUR
Model Discovery Learning
Belajar menemukan (discovery learning)
dipelopori oleh Jerome Bruner. Belajar
menemukan adalah suatu pendekatan pembelajaran, dimana dengan cara itu siswa berinteraksi dengan lingkungannya untuk menggali dan memanipulasi obyek, bergulat dengan
pertanyaan dan kontroversi atau melakukan
percobaan. Model discovery learning adalah
teori belajar yang dide-finisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi bila pelajaran tidak
disajikan dengan pelajaran dalam bentuk
finalnya, tetapi diharapkan siswa mengorganisasikan sendiri (Kurniasih, 2014). Menurut
Hosnan (2014) pembelajaran discovery learning adalah suatu model untuk mengembangkan
cara belajar siswa aktif dengan menemukan
sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang
diperoleh akan setia dan tahan lama dalam
ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa.
Sedangkan menurut Sund (dalam Roestiyah,
2008) discovery merupakan proses mental
dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Jadi model
discovery learning adalah suatu model untuk
mengembangkan cara belajar siswa aktif
dengan menemukan sendiri, dilakukan melalui
proses mental yaitu mengasimilasikan sesuatu
konsep atau prinsip, pelajaran tidak disajikan
dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan siswa
mengorganisasikan sendiri agar siswa cende-

Kreativitas
Kreativitas adalah aktivitas kognitif yang
menghasikan suatu pandangan yang baru
mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak
dibatasi pada hasil yang prakmatis (selalu
dipandang menurut kegunaannya) (Solso,
1995). Demikian menurut para ahli
(Csikszentmihalyi, 1999, 2000; Kozbelt,
Beghetto, & Runco, 2010; Lubart &
1649

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Mouchiroud, 2003; Sternberg & Lubart, 1996)


dalam Sternberg and Sternberg (2012),
kreativitas sebagai proses produksi sesuatu
yang orisinil dan bernilai. Sesuatu di sini bisa
memiliki banyak bentuk. Berarti kreativitas
sangat erat kaitannya dengan perkembangan
kognitifnya. Hal ini didukung oleh Clark
(1988) dan Gowan (1989) melalui teori
belahan otak dalam (Danim, 2013; Ngalimun,
Fadilah, & Ariani, 2013), mengatakan bahwa
sesungguhnya otak manusia, menurut fungsinya terbagi menjadi dua belahan yaitu
belahan otak kiri (left hemisphere) dan belahan
otak kanan (right hemisphere). Belahan otak
kiri mengarah kepada cara berpikir konvergen
(convergent thinking) sedangkan otak kanan
mengarah
kepada
ber-pikir
menyebar
(divergent thinking).
Seseorang yang memiliki kreativitas
biasanya memiliki kemampuan berpikir konvergen dan divergen. Kemampuan berpikir
konvergen (convergent thinking) atau penalaran logis merujuk pada pemikiran yang
menghasilkan satu jawaban dan mencirikan
jenis pemikiran berdasarkan tes intelegensi
standar. Menurut Krulik & Rudnick (1995)
dalam Rochmad (2013), Reasoning to be the
part of thinking that goes beyond recall level
(penalaran merupakan bagian berpikir di luar
tingkat penalaran). Penalaran meliputi berpikir
dasar (basic thinking), berpikir kritis (critical
thinking), dan berpikir kreatif (creative
thinking).
Sedangkan kemampuan berpikir diver-gen
(divergent thinking) merujuk pada pemikiran
yang menghasilkan banyak jawab-an atas
pertanyaan yang sama atau lebih.
Berarti untuk mewujudkan kreativitas
diperlukan keterpaduan antara keduanya
(berpikir kreatif). Demikian juga menurut JP
Guilford dalam Runco and Pritzker (1999),
berpikir divergen merupakan definisi yang
paling umum untuk kedua kreativitas
(kreativitas pada oang dewasa dan anak-anak).
Berpikir divergen meliputi beberapa bentuk
pemikiran kreatif, termasuk (a) fluency; (b)
flexibility; (c) originality; dan (d) elaboration.
Jadi kreativitas merupakan kemampuan yang
dimiliki seseorang untuk mengeluarkan atau
mengaktualisasikan diri sesuai dengan daya
kreasi dan pola berpikir yang dikembangkan.
Pribadi yang kreatif akan mendorong
seseorang untuk berkreasi, hal ini tergantung
pada proses berpikirnya, oleh karena itu
kemampuan berpikir kreatif seseorang

dipengaruhi juga oleh pribadi yang kreatif.


Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kreatif seseorang akan
tergambar dalam kepribadian/ sikap kreatifnya.
Untuk itu aspek censitivity, fluency, flexibility,
originality dan elabo-ration dapat dijadikan
parameter kreativitas (Lee, 2005); JP Guilford
dalam Runco and Pritzker (1999).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk deskriptif asosiatif dengan desain eksperimen menggunakan
Pre-Eksperimental Design dengan tipe OneShot Case Study. Data dikumpulkan dengan
cara mix method jenis concurrent embedded
yaitu
data kualitatif mendukung data
kuantitatif.
Desain penelitian ini hanya menggunakan satu kelas eksperimen dengan teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah
Purposive Sampling yaitu kelas XI MIA 5
karena guru pernah menggunakan model
discovery learning di kelas ini dengan jumlah
peserta didik yang lebih sedikit dibandingkan
dengan kelas lainnya.
Instrumen penelitian yang digunakan
adalah lembar observasi keterlaksanaan model
discovery learning baik dari guru maupun
peserta didik serta lembar observasi dan
angket sikap kreatif peserta didik.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu pengamatan atau observasi secara
langsung (observasi keterlaksanaan model
discovery learning dan observasi sikap kreatif)
disetiap pertemuan yang diisi oleh observer.
Kemudian diakhir pertemuan diberikan angket
mengenai sikap kreatif yang diisi oleh peserta
didik. Teknik analisis untuk data kuantitatif
hasil observasi keterlaksanaan model discovery
learning di persentasekan serta dikategorikan
dan data kualitatifnya dianalisis menggunakan
analisis Miles dan Huberman. Hasil persentase
observasi keter-laksanaan model discovery
learning dan observasi sikap kreatif siswa
dikorelasikan dan dilanjutkan dengan uji t
untuk me-nentukan adakah terdapat pengaruh
pelak-sanaan model discovery learning
terhadap sikap kreatif. Hasil angket sikap kratif
dikorelasikan dengan lembar observasi sikap
kreatif peserta didik untuk melihat hubungannya.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Keterlaksanaan model discovery learning
1650

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Persentase

Hasil observasi keterlaksanaan model


discover learning tidak hanya berisi data
kuantitatif berupa skor nilai akan tetapi juga
berisi data kualitatif berupa catatan observer
pada saat mengobservasi.
1. Hasil observasi keterlaksanaan model
discover learning oleh guru
Data
hasil
keterlaksanaan
model
discovery learning oleh guru juga disajikan
dalam gambar 4.1.
90
80
70
60

75

82.14 85.71

Hal ini dikarenakan guru masih pemula dan


belum berpengalaman dalam menggunakan
model ini sehingga masih terdapat kekurangankekurangan pada pelaksanaannya. Selain itu,
sikap guru terha-dap peserta didik lebih ramah
dan tetap tegas.
Menurut Sudjana (2010) ada tiga hal
pokok yang harus diperhatikan guru dalam
melaksanakan strategi mengajar. Pertama
tahap mengajar (merencanakan ren-cana
belajar), kedua menggunakan pende-katan
mengajar (alat peraga) dan ketiga prin-sip
mengajar (persiapan mental). Persiapan yang
baik sangat perlu untuk mendapatkan atau
memperoleh hasil yang maksimal.

Kurang Baik
Cukup
Baik

II

Pertemuan

III

Sangat Baik

b. Interaksi guru dan peserta didik


Berdasarkan hasil observasi, disebutkan
bahwa sikap guru terhadap peserta didik lebih
ramah dan tetap tegas. Hal ini dapat membuat
peserta didik tidak tertekan didalam proses
pembelajaran dan mengurangi situasi pembelajaran yang kurang kondusif seperti keributan didalam kelas. Selain itu, hubungan guru
dan peserta didik akrab sehingga peserta didik
tidak merasa kaku dan sungkan dalam
mengemukakan pertanyaan maupun pendapat
kepada guru. Guru yang kurang berinteraksi
dengan siswanya secara akrab menyebabkan
proses belajar mengajar itu kurang lancar
sehingga siswa yang merasa jauh dari guru
maka segan berpartisipasi secara aktif dalam
belajar (Daryanto, 2010).

Gambar 4.1 Diagram persentase hasil


keterlaksanaan model discovery learning oleh guru

Berdasarkan gambar 4.1 terlihat bahwa


keterlaksanaan model discovery learning oleh
guru mengalami peningkatan setiap pertemuannya. Guru selalu mengevaluasi kekurangan pada setiap pertemuannya, hal ini
menunjukkan bahwa model discovery learning
yang diterapkan di kelas XI MIA 5 SMA N 2
Kota Jambi, sudah terlaksana dengan sangat
baik (Arikunto, 2010). Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pembe-lajaran menurut
Suryosubroto (2009) salah satunya adalah
peranan guru. Peran guru di sekolah juga
sangat penting dalam mening-katkan kemauan
belajar anak anak (Hakim, 2010). Dalam
mengaplikasikan model dis-covery learning
guru berperan sebagai pem-bimbing dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk
belajar secara aktif dan kreatif, sebagaimana
pendapat guru harus bisa membimbing dan
mengarahkan kegiatan be-lajar siswa dengan
tujuan (Kurniasih, 2014).
Hal ini diperkuat dengan data kualitatif
berupa tulisan observer pada lembar observasi
guru yang dibahas dalam uraian deskriptif
berikut ini:

Managemen Kelas
Berdasarkan tulisan observer, disebutkan
bahwa guru meninjau setiap kelompok peserta
didik selama melakukan pengamatan dengan
berkeliling. Di sini guru sudah beru-saha
maksimal untuk mengamati dan menge-cek
proses yang dilakukan oleh seluruh ke-lompok.
Selama proses pembelajaran, guru selalu
memberikan applause dan pujian kepada
peserta didik yang aktif menjawab pertanyaan.
Hal ini mnyebabkan peserta didik lebih giat
lagi dalam merespon pembelajaran dengan
membangkitkan motivasi belajarnya.
Adapun kendala yang dihadapi dalam
pembelajaran ini yaitu guru membatasi waktuwaktu berinteraksi dalam proses pembelajaran
sehingga interkasi dalam pengamatan ataupun
diskusi tidak maksimal. Hal ini menyebabkan
peserta didik masih belum merasa puas untuk
mengemukakan idenya dalam pengelolaan
kelas. Tujuan manajemen kelas adalah agar
setiap anak di kelas dapat bekerja dengan tertib
c.

a. Kesiapan guru
Berdasarkan tulisan observer pada lembar
observasi pelaksanaan model disco-very
learning oleh guru, disebutkan bahwa guru
memiliki persiapan dan menguasai bahan
pelajaran tetapi pada pertemuan masih kurang
lancar dalam penyampaian. Untuk pertemuan
selanjutnya dan ditinjau dari persentase guru
mulai memperbaiki keku-rangan-kekurangan
dalam mengajar pada pertemuan sebelumnya.
1651

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

sehingga segera tercapai tujuan penga-jaran


secara efektif dan efisien (Daryanto, 2010).

Persentase
keterlaksanaan
model
discovery learning oleh guru maupun peserta
didik sama-sama mengalami peningkatan
setiap pertemuan hal ini dikarenakan guru dan
peserta didik sudah mulai terbiasa menggunakan model discovery learning di dalam kelas.
Suryosubroto (2009) menyatakan, efektivitas
guru mengajar, terlihat nyata dari keberhasilan siswa menguasai apa yang diajarkan
guru. Hanya saja persentase keterlaksanaan
model oleh guru lebih besar dibandingkan
keterlaksanaan model oleh siswa. Terbukti
bahwa guru memiliki peranan penting dalam
proses pembelajaran. Hal ini diperkuat dengan
data kualitatif dari beberapa tulisan observer
yang dibahas pada uraian dekriptif berikut:

d. Fasilitas
Berdasarkan tulisan observer, ruang kelas
yang sempit membuat pergerakan guru dalam
meninjau kelompok peserta didik sangat
terbatas. Ruangan yang sempit tidak sesuai
dengan jumlah pesrta didik sehingga membuat
pergerakan peserta dan guru sangat terbatas
karena posisi duduk yang terlalu rapat. Ruang
kelas yang baik adalah ruang kelas yang dapat
mendukung usaha para guru dalam
melancarkan pelaksanaan proses pembelajaran (Daryanto, 2010).
2. Hasil observasi keterlaksanaan model
discovery learning oleh peserta didik
Dalam proses pembelajaran, aktivitas
peserta didik berdasarkan sintaks model
discovery learning diamati oleh dua orang
observer.
Data hasil rekapitulasi keterlaksanaan
model discovery learning oleh peserta didik
berdasarkan kategori juga ditampilkan pada
gambar 4.2.
100

Persentase

50

85
60
40

65
35

a. Kesiapan peserta didik


Berdasarkan tulisan observer, peserta
didik yang menjawab pertanyaan digolongkan
berkemampuan tinggi saja. Sesuai dengan
kelemahan model discovery learning peserta
didik yang belum memiliki persiapan terha-dap
materi yang diajarkan akan merasa tertekan
dalam proses pembelajaran. Peserta didik lebih
tertarik jika dihadapkan pada suatu objek. Hal
ini disebabkan peserta didik lebih menyukai
kegiatan pembelajaran dengan melakukan
pengamatan langsung. Pada per-temuan
pertama peserta didik harus ditunjuk terlebih
dahulu dalam menyampaikan hasil diskusinya.
Sebabnya peserta didik masih belum terbiasa
dengan penggunaan model pembelajaran ini.
Pada pertemuan kedua dan ketiga ada beberapa
siswa yang langsung mengajukan diri untuk
mempresentasikan jawaban di depan kelas.
Hal ini menunjukkan peserta didik sudah
mulai terbiasa menggunakan model ini dalam
pembelajaran. Peserta didik terkadang
berpatokan dengan buku ketika menjelaskan
sehingga menyebabkan teman-temannya masih bingung dengan apa yang dijelaskan. Hal
ini menyebabkan kurang kondusifnya proses
pembelajaran karena timbulnya sedikit keributan dari kebingungan peserta didik.
Beberapa peserta didik masih terlihat
gugup sehingga kurang bisa menyampaikan
pendapatnya/pertanyaan secara jelas dan
lancar. Hal ini menunjukan peserta didik masih
belum terbiasa berpartisipasi secara aktif
dalam pembelajaran dikarenakan pada proses
pembelajaran sebelumnya peserta didik pasif
selama proses pembelajaran. Peserta didik
sudah
mampu
membuat
kesim-pulan
berdasarkan beberapa literatur. Peserta didik

Kurang
Baik
Cukup
Baik

Sangat
Baik

0
I

II

Pertemuan

III

Gambar 4.2 Diagram rekapitulasi keterlaksanaan


model discovery learning oleh peserta didk
berdasarkan kategori

Adanya peningkatan hasil ini menunjukkan bahwa peserta didik mulai terbiasa
mengikuti sintaks model discovery learning
serta aktif dalam pembelajaran. Cara belajar
peserta didik juga dipengaruhi oleh interaksi
peserta didik dengan gurunya, dalam interaksi
juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antara
pihak-pihak yang terlibat melainkan terjadi
saling mempengaruhi (Asrori, 2007).
Guru yang kurang berinteraksi dengan
siswanya secara akrab menyebabkan proses
belajar mengajar itu kurang lancer sedangkan
siswa yang merasa jauh dari guru maka segan
berpartisipasi secara aktif dalam belajar
(Daryanto, 2010).

1652

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

sudah terbiasa memanfaatkan beberapa


literatur yang ada dalam menarik kesimpulan
dalam pembelajaran.

diperoleh persentase untuk kategori kurang


baik selalu 0% untuk tiap pertemuan-nya. Hal
ini dikarenakan peserta didik di kelas XI MIA
5 SMAN 2 Kota Jambi sudah memiliki potensi
kreatif hanya saja belum dapat berkembang
dengan baik.
Berdasarkan informasi dari guru mata
pelajaran, mereka pada dasarnya sudah
memiliki sikap kreatif, hanya saja belum
terlihat secara keseluruhan dalam pembelajaran. Pada dasarnya setiap anak yang lahir
memiliki potensi kreatif, namun potensi
tersebut dapat berkembang dengan baik jika
anak diberikan rangsangan dan respon yang
sesuai, begitu sebaliknya kreativitas anak tidak
akan berkembang dengan baik jika anak tidak
mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kreativitas (Rachmawati dan Euis, 2010).
Berdasarkan studi yang dilakukan menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki
kecerdasan normal pun sesungguhnya dapat
memiliki kemampuan kreatif, hanya mereka
kadang-kadang tidak menyadari potensi kreatifnya, karena mereka berada pada ling-kungan
yang menghalangi tumbuhnya motivasi
intrinsik sebagai faktor yang di-anggap dapat
membangkitkan seseorang untuk bersikap
kreatif (Yudhawati dan Haryanto, 2011).
Hasil data angket sikap kreatif peserta
didik dihitung dari persentase tiap indikator
dinyatakan dalam diagram pada gambar 4.4.

b. Interaksi peserta didik


Berdasarkan tulisan observer, beberapa
peserta didik tidak setuju dikelompokkan
dengan anggota kelompoknya sehingga
menyebabkan sedikit keributan. Beberapa
peserta didik masih ada yang tidak mengemukakan pendapat baik dalam diskusi
kelompok maupun diskusi kelas. Beberapa
peserta didik berdiskusi dengan pasangan dari
kelompok lain. Beberapa peserta didik melakukan pengamatan diluar konteks pelajaran
apabila guru belum meninjau kelompoknya.
Peserta didik yang berkemampuan rendah
belajar dari peserta didik yang berkemampuan
tinggi. Peserta didik yang berkemampuan
tinggi diandalkan anggota kelompoknya untuk
mempresentasikan hasil diskusi.
Adapun kendala yang terjadi dalam
interaksi antar peserta didik ini bisa terjadi
dikarenakan kurangnya kedekatan antar
peserta didik dalam kelompoknya sehingga
diskusi yang dilakukan belum sepenuhnya
maksimal hanya siswa yang berkemampuan
tinggi berpartisipasi lebih aktif dari yang
lainnya.
Sikap kreatif peserta didik
Hasil penelitian mengenai sikap kreatif
peserta didik diperoleh dari data hasil lembar
observasi sikap kreatif peserta didik yang diisi
oleh observer dan data hasil angket sikap
kreatif yang diisi oleh peserta didik secara
individual.
Jika dinyatakan dalam diagram rekapitulasi sikap kreatif oleh peserta didik berdasarkan kategori akan tampak sebagai berikut.
100
80
Persentase

60
40

80
65
35

65
35
20

20

Kurang
Baik
Cukup

Gambar 4.4 Persentase hasil angket sikap kreatif


peserta didik

Baik
Sangat
Baik

0
I

II

Pertemuan

Keterangan Indikator:
1. Aspek rasa ingin iahu
(a) Mengajukan banyak pertanyaan
(b) Semangat melakukan eksperimen/
percobaan atau diskusi
(c) Membaca buku lain selain buku wajib
(d) Mengikuti pembelajaran.
2. Aspek imajinatif
(a) Memberikan contoh-contoh konsep
yang berbeda dengan yang sudah ada

III

Gambar 4.3 Diagram rekapitulasi sikap kreatif


peserta didik berdasarkan kategori

Adanya peningkatan hasil observasi ini


menunjukkan bahwa sikap kreatif peserta didik
mengalami perkembangan dengan baik. Dari
data rekapitulasi hasil observasi sikap kreatif,
1653

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

(b) Mudah melihat kekurang sempurnaan


suatu penyelesaian soal
3. Aspek merasa tertantang oleh
kemajemukan
(a) Merasa tertantang oleh soal-soal rumit
(b) Menyelesaikan tugas individual tanpa
bantuan orang lain
(c) Terus berusaha sehingga tugasnya
berhasil dengan baik dan tepat waktu
4. Aspek berani mengambil resiko
(a) Berani mempertahankan gagasan
penyelesaian soal bila mendapat
kritikan dari orang lain
(b) Berani mengemukakan masalah yang
tidak dikemukakan orang lain
(c) Optimis akan kebenaran jawaban soal
yang dibuatnya
(d) Berani menerima tugas yang sulit
5. Aspek menghargai
(a) Mempertimbangkan setiap masukan
dari orang lain untuk penyempurnaan
penyelesaian tugas
(b) Melakukan kesempatan yang diberikan
guru untuk pengembangan
kemampuan bakatnya
Hasil analisis observasi sikap kreatif
peserta didik dalam pertemuan ketiga terdapat
relevansi dengan hasil analisis angket sikap
kreatif peserta didik. Karena tidak adanya
perbedaan sikap kreatif yang diisi oleh
observer dengan pengakuan peserta didik
secara pribadi.
Dari hasil angket dan observasi peserta
didik memperoleh hasil persentase yang
berbeda-beda disetiap indikatornya. Indikator
yang paling tertinggi yakni indikator (b) yaitu
peserta didik semangat melakukan eksperimen/percobaan atau diskusi dan dalam aspek
tertinggi dari sikap kreatif peserta didik yaitu
aspek rasa ingin tahu. Sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Widadnyana, Sadia dan
Suastra (2014) untuk aspek rasa ingin tahu
pada penerapan model discovery learning
berkualifikasi baik dan dengan skor tertinggi
daripada
aspek
yang
lain.
Menurut
Suryosubroto (2009), peserta didik yang kratif
selalu mempunyai rasa ingintahu, ingin
mencoba-coba, berpetualang, memiliki banyak ide, mampu mengelaborasi beberapa
pendapat, suka bermain dan intuitif.
Sedangkan persentase terendah yakni
indikator (e) pada aspek imajinatif dimana
pesrta didik masih sulit memberikan contoh contoh konsep yang berbeda dengan yang
sudah ada. Kemampuan melahirkan ide-ide,

menciptakan, menghasilkan, menemukan gagasan kadang kala suatu gagasan datang pada
saat yang tak terduga. Kadang kala juga datang
membutuhkan waktu panjang untuk mengembangkan suatu gagasan (Laurens, 2011).
Dari 15 indikator yang ada terdapat 3
indikator yang berkategorikn cukup baik dan 2
indikator yang berkategorikan kuarang baik
dan selebihnya berkategorikan baik. Adapun
penyebab kurang tercapainya beberapa indikator dari sikap kreatif yaitu peserta didik
belum siap dalam proses pembelajaran tersebut
disebabkan karena peserta didik belum belajar,
kurang terbiasanya peserta didik dengan model
yang diterapkan oleh guru karena model
pembelajaran yang baru tidak bisa langsung
diterima oleh peserta didik dan model yang
baik dapat menumbuh-kan kegiatan belajar
siswa (Suryosubroto, 2009), tidak ada atau
kurangnya kesempatan yang diberikan oleh
guru dalam pencapaian indikator ini karena
faktor pengelolaan waktu juga mempengaruhi
keterlaksanaan, hal ini sesuai dengan salah satu
kelemahan model discovery learning yaitu
bukan hanya membutuhkan waktu yang lama,
melainkan siswa kurang memiliki kemampuan
dalam mengikuti pembelajaran discovery
(Wahyuni, 2015), peserta didik tidak bisa
menerima maksud pertanyaan atau pernyataan
yang diberikan oleh guru, adanya faktor
eksternal lain atau memang peserta didik yang
tingkat IQ dan EQ nya rendah.
Dilihat dari keeratan hubungan antara
angket dan lembar observasi sikap kreatif
peserta didik digunakan analisa korelasi
Product Moment Pearson dengan program
SPSS 17, hasil korelasi yang diperoleh adalah
0,74. Berdasarkan tabel pedoman interpretasi
koefisien relasi, nilai r 0,724 memiliki tingkat
hubungan kuat karena berada di rentang 0,600,79 (Sugiyono,2013). Hal ini menunjukkan
bahwa sikap kreatif peserta didik yang dinilai
dari pengamatan observer selaras dan memiliki hubungan yang kuat dengan pengakuan
sikap kreatif peserta didik melalui angket.
Jadi dapat disimpulkan bahwa bahwa
sikap kreatif yang ada pada peserta didik kelas
XI MIA 5 SMAN 2 Kota Jambi dapat
dikatakan telah berkembang dengan baik.
Pengaruh keterlaksanaan model discovery
learning terhadap sikap kreatif peserta
didik.
Hasil korelasi antara keterlaksanaan
model discovery learning peserta didik dengan
1654

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

sikap kreatif peserta didik ditampilkan dalam


tabel di bawah ini:
Pertemuan
Pertama
Kedua
Ketiga
Rata- rata

didik dalam pembelajaran kelarutan dan hasil


kali kelarutan (Ksp) di kelas XI MIA 5 SMAN 2
Kota Jambi.

Korelasi
0.615244
0.632621
0.652103
0,633

6. REFERENSI
Anwar, H., 2009, Penilaian Sikap llmiah Dalam
Pembelajaran Sains, Jurnal Pelangi Ilmu No 5, Vol
2, hal 103-114.
Asrori, M., 2007, Psikologi Pembelajaran, Bandung: CV.
Wacana Prima.
Danim, S., 2013, Perkembangan Peserta Didik..
Bandung: CV.Alfabeta.
Daryanto, 2014, Pendekatan Pembelajaran Saintifik
Kurikulum 2013, Yogyakarta: Gava Media.
Fathur. R, Hadi. S, Ellianawati. 2012. Unnes Physics
Education Journal. Penerapan Model Discovery
Terbimbing Pada Pembelajaran Fisika untuk
Meningkatkan Kemampuan berfikir Kreatif. ISSN
NO 2257-6935, Vol 1, Hal 1-5, Universitas Negeri
Semarang.
Kurniasih, I dan Sani, B., 2014, Perancangan
Pembelajaran Prosedur Pembuatan RPP yang sesuai
dengan Kurikulum 2013, Jakarta : Kata Pena.
Lee, K.-H. (2005). The relationship between creative
thinking ability and creative personality of
preschoolers. International Education Journal, 6(2),
194-199.
Ngalimun, Fadilah, H., & Ariani, A. (2013).
Perkembangan dan Pengembangan Kreativitas.
Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Rachmawati, Y dan Euis, K. 2010. Strategi
Pengembangan Kreativitas Pada Anak Usia Taman
Kanak-Kanak, Jakarta : Kencana.
Rochmad. (2013). Keterampilan Berpikir Kritis dan
Kreatif dalam Pembelajaran Matematika. Makalah
Seminar Nasional, rachmad_manden@yahoo.com.
Rostiyah, N, K. 2008, Strategi Belajar Mengajar. Jakarta
: Rineka Cipta.
Runco, M. A., & Pritzker, S. R. (1999). Encyclopedia of
Creativity (Vol. 1). California: Academic Press.
Solso, R. L. (1995). Cognitive Psychology (4 ed.). USA:
Allyn and bacon.
Sternberg, R. J., & Sternberg, K. (2012). Cognitive
Psychology (6 ed.). Canada: Wadsworth, Cengage
Learning.
Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung
: Alfabeta.
Suryosubroto, B., 2009, Proses Belajar Mengajar di
Sekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Wahyuni, W.A., Winarsih, Rosdiana,L, Pengaruh Model
Discovery Learning terhadapa hasil Belajar Siswa
Materi Energi Dalam Kehidupan Kelas VII SMPN 2
Taman, No 2, Vol 3, Universitas Negeri Surabaya.
Widadnyana, W., Sadia, W dan Suastra, W., 2014,
Pengaruh Model Discovery Learning Terhadap
Pemahaman Konsep IPA dan Sikap Ilmiah Siswa
SMP. e-Journal program pasca sarjana, Vol 4,
Universitas Pendidikan Ganesha.
Yudhawati, R dan Haryanto, D. 2011. Teori-teori dasar
psikologi pendidikan. Jakarta : PT. Prestasi
Pustakarya.
Zuchdi, D., 2011, Pendidikan Karakter dalam Perspektif
Teori dan Praktik. Yogyakarta : UNY Press.

Dari tabel di atas terlihat bahwa


korelasinya semakin meningkat pada setiap
pertemuan dan menunjukkan nilai positif. Dari
ketiga korelasi ini dijumlahkan dengan hasil
1,899 dan dirata-ratakan diperoleh nilai rxy
sebesar 0,633 dengan interpretasi tingkat
hubungan kuat karena berada di rentang 0,600,799 (Sugiyono,2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Fathur,
Hadi dan Ellianawati (2012) mengatakan
bahwa penerapan model pembelajaran
discovery dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif siswa. Demikian juga dengan
Rudyanto (2011) penelitian pembelajaran
matematika materi bangun ruang dengan
menggunakan perangkat pembelajaran model
discovery learning dengan pendekatan saintifik
bermuatan karakter dinyatakan efektif, karena
adanya
peningkatan kemampuan berpikir
kreatif. Kemampuan kreatif peserta didik tidak
hanya menerima informasi dari pendidik
namun juga berusaha mencari dan memberikan
informasi
dalam
proses
belajar
(Suryosubroto,2009).
Hasil perhitungan uji t diperoleh nilai t =
4,020 dengan nilai signifikansi 0,001 < 0,05,
berarti terdapat pengaruh antar variabel
(Priyatno, 2010). Dengan demikian ini dapat
menguji kebenaran hipotesis, yaitu terdapat
pengaruh antara keterlaksanaan model
discovery learning peserta didik terhadap sikap
kreatif peserta didik pada materi kelarutan dan
hasil kali kelarutan (Ksp) di kelas XI MIA 5
SMAN 2 Kota Jambi.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan analisis keterlaksanaan model discovery learning terhadap sikap kreatif pada
materi kelarutan dan hasil kali kelarutan (Ksp)
di kelas XI MIA SMAN 2 Kota Jambi,
diperoleh kesimpulan bahwa model discovery
learning dalam pembelajaran kelarutan dan
hasil kali kelarutan (Ksp) di kelas XI MIA 5
SMAN 2 Kota Jambi telah terlaksana dengan
baik. Terdapat pengaruh pelaksanaan model
discovery learning terhadap sikap kreatif peserta

1655

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENUMBUHANKRISTAL TUNGGGAL CuO PADA GEL METASILIKAT


M. Misbah Khunur, Danar Purwonugroho, Intan Holy Rahmanita
Jurusan Kimia FMIPA UB
Email : mmisbahkhunur@yahoo.com
ABSTRAK
Metode gel merupakan metode penumbuhan kristal tunggal yang banyak dikembangkanuntuk sintesis
oksida logam. Penumbuhan kristal tunggal CuOpada gel metasilikat dari garam asetatnya dilakukan dengan
metode tabung tunggal pada variasi pH 6,5 ; 6,8 ; 7,0 ;7,3 ; dan 7,5 dan konsentrasi NaOH 0,5 M ; 1 M ; 1,5
M dan 2 M.Penumbuhan dilakukan pada suhu kamar selama 15 hari dengan penambahan larutan supernatan
Cu(CH3COO)2 yang dicampurkan dengan NaOH di permukaan gel metasilikat yang berisi larutan asam asetat.
Karakterisasi kristal hasil sintesis dilakukan menggunakan spektrofotometer IR, XRD, AAS dan SEM.Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan optimum kristal tunggal CuO terjadi pada pH 7,0. Karakterisasi
dengan spektrofotometer IR, XRD, AAS dan SEM membuktikan bahwa kristal hasil penumbuhan mengandung
oksida logam CuO.
Kata kunci:Gel metasilikat, asetat, CuO, kristal tunggal

terhadap berbagai reaksi, dapat membentuk


banyak aliasi atau campuran sehingga
diharapkan
dapat
digunakan
sebagai
nanopartikel. Cu(II) juga dapat digunakan
sebagai ion pusat dalam senyawaan sulfida,
kompleks dengan logan halida atau amina
membentuk kompleks tetrahedral [3].
Gel metasilikat merupakan media yang
digunakan dalam penumbuhan kristal tunggal
CuO yang dapat larut dalam air membentuk
asam monosilikat, merupakan polimer
anorganik yang mengandung tautan silang Si
O Si dan memiliki rongga untuk
menumbuhkan kristal [4].Gel ini relatif stabil
pada suhu ruang serta tidak bereaksi dengan
reaktan yang digunakan ataupun kristal yang
dihasilkan sehingga peluang dihasilkannya
tumbuh inti kristal lebih besar[5]. Pembuatan
kristal tunggal dalam gel sangat dipengaruhi
oleh keasaman gel, konsentrasi supernatan,
suhu, lama penumbuhan, dan teknik
penumbuhan [6] [7].
Penumbuhan
kristal
tunggal
CuO
dilakukan dengan metode gel metasilikat
dengan larutan Na2SiO3 dan larutan asam
asetat berada di dalam gel pada pH 6,5; 6,8; 7;
7,3; dan 7,5 yaitu pada rentang sedikit asam
hingga sedikit basa karena pada umumnya
penumbuhan kristal tersebut dilakukan pada
pH rentang netral. Sedangkan larutan NaOH
sebagai prekursor dan larutan supernatan
tembaga (II) asetat (Cu(CH3COO)2) dilarutkan
terlebih dahulu kemudian ditambahkan ke
dalam gel sedikit demi sedikit secara perlahan.

1. PENDAHULUAN
Pengembangan metode penumbuhan
kristal tunggal dari suatu senyawa telah banyak
diteliti dalam bidang material, dikarenakan
struktur dan analisis kimia suatu material dapat
lebih mudah dilakukan dan lebih akurat jika
berada dalam bentuk kristal tunggal. Selain itu
juga dapat diteliti sifat fisika dan kimia
material tersebut. Dalam penumbuhan kristal
tunggal dapat dilakukan secara metode gel,
pelelehan, penguapan atau pemanasan dan
pelarutan. Gel merupakan sistem semipadat
sangat kental dan memiliki pori yang
memungkinkan bebas dari elektrolit dan dapat
mempertahankan nukleasi kristal. Salah satu
jenis gel yaitu hidrosilika gel seperti sodium
metasilikat yang dapat dilarutkan dalam air
sehingga mengubah pH dan gel dapat dibentuk
[1].
Penumbuhan kristal tunggal CuO
dilakukan dengan metode gel menggunakan
sodium metasilikat. Tembaga oksida (CuO)
sebagai oksida penting yang mengandung
logam transisi dengan celah sempit atau
narrow band gap (Eg = 1,2 eV). CuO yang
bersifat fotokonduktif dan fotokimia telah
dipelajari secara intensif karena dapat
diaplikasikan sebagai katalis hidrogen, sensor
gas, bahan elektroda, bahan sel surya [2]
Pada penelitian ini, Cu(II) sebagai ion pusat
karena memiliki energi kisi lebih tinggi
dibanding logam alkali, bersifat katalitik
1656

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Penumbuhan kristal tunggal CuO dilakukan


pada pH 6,5; 6,8; 7; 7,3; dan 7,5 yaitu pada
rentang sedikit asam hingga sedikit basa
karena pada umumnya penumbuhan kristal
tersebut dilakukan pada pH rentang netral. Jika
penumbuhan kristal CuO dilakukan pada
rentang sangat basa atau pH di atas 10 maka
Cu(II) akan mengendap berbentuk endapan
hidroksidanya. Kemudian juga dilakukan
variasi konsentrasi NaOH yaitu pada 2 M; 1,5
M; 1 M; dan 0,5 M untuk mempelajari
pengaruh konsentrasi prekursor terhadap lama
penumbuhan kristal dan hasil penumbuhan
kristal. Selain itu juga dapat berpengaruh
terhadap massa dan komposisi kristal hasil
penumbuhan yang dapat dikarakterisasi

difraksi sinar x (XRD) untuk mempelajari pola


difraksi, spektrofotometri inframerah (FT-IR),
spektroskopi serapan atom (AAS) dan
scanning electron microscope (SEM).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Preparasi larutan supernatan dan gel
metasilikat
Gel metasilikat disiapkan dengan
dikondisikan pada rentang sedikit asam, netral
hingga sedikit basa yaitu pada pH 6,5 ; 6,8 ;
7,0 ; 7,3 ; 7,5 dengan menggunakan asam
asetat. Gel metasilikat sebagai media
penumbuhan kristal tunggal merupakan hasil
reaksi antara asam asetat dengan larutan
natrium metasilikat. Tujuan digunakan asam
asetat untuk menghasilkan pH asam pada gel
dan sebagai penyuplai anion dalam
penumbuhan kristal tunggal CuO, sehingga pH
gel berada pada rentang yang telah ditentukan.
Selain itu, pada larutan supernatan juga
mengandung asetat, yang dimaksudkan agar
reaksi antara ligan dalam supernatan pun juga
dapat diminimalisir bahkan dihilangkan. Tidak
adanya reaksi tersebut dapat mempengaruhi
komposisi hasil penumbuhan.
Natrium metasilikat yang larut dalam
air akan membentuk natrium hidroksida dan
asam monosilikat. Kemudian asam monosilikat
mengalami reaksi polimerisasi sampai
terbentuk sistem tiga dimensi rantai Si O
Si. Sistem tiga dimensi tersebut membuat gel
lebih stabil dan memberikan tempat yang
kondusif untuk terbentuknya inti kristal serta
tumbuhnya kristal tunggal. pH gel metasilikat
sebanding dengan kelunakan gel. Semakin
rendah pH gel maka konsentrasi ion
H+semakin besar sehingga gel yang terbentuk
bersifat lunak. Begitu sebaliknya, semakin
tinggi pH gel, maka konsentrasi ion H+
semakin kecil sehingga gel akan terbentuk
seketika. Kelunakan gel terjadi akibat gugus
silikat terprotonasi secara sempurna yang
mengakibatkan jumlah molekul air sebagai
produk samping dalam gel lebih banyak
sehingga
ronggaunit
strukturterlalu
renggangdan tidak tersusunsempurna. Reaksi
polimerisasi gel seperti tersaji pada Gambar 1.
Padatan Cu(CH3COO)2 yang memiliki
sifat mudah larut dalam air digunakan sebagai
bahan utama preparasi larutan supernatan yang
kemudian ditambahkan pada permukaan gel.
Dalam penumbuhan kristal tunggal, metode
gel yang digunakan adalah metode tabung

2. METODE PENELITIAN
Pembuatan larutan supernatan tembaga
(II) asetat
Padatan tembaga(II) asetat ditimbang
sebanyak 36,68 g dan dilarutkan dengan
akuades hingga 100 mL dalam gelas kimia 100
mL.
Preparasigel metasilikat
Larutan Na2SiO3 1 M sebanyak 9,4 mL
dimasukkan
dalam
gelas
100
mL.
Ditambahkan 28,1 mL akuades dan 1,3 mL
asam asetat. Kemudian diaduk dengan
magnetic stirrer hingga diperoleh pH 6,5; 6,8;
7; 7,3; dan 7,5. Larutan masing-masing pH
diambil sebanyak 7,75 mL dan dimasukkan
dalam tabung gelas tunggal dan ditutup dengan
aluminium foil pada temperatur ruang selama
5 hari hingga terbentuk gel.
Penumbuhan kristal tunggal CuO
Larutan supernatan tembaga(II) asetat
(Cu(CH3COO)2) sebanyak 12,5 mL dilarutkan
dengan larutan NaOH sebanyak 6,3 mL
dengan variasi konsentrasi 2 M ; 1,5 M ; 1 M ;
0,5 M terlebih dahulu. Kemudian dimasukkan
dalam tabung gelas tunggal setiap pH secara
perlahan melalui dinding tabung. Ditutup
kembali dengan aluminium foil pada
temperatur ruang selama 15 hari hingga
terbentuk kristal. Kristal yang terbentuk
dipisahkan dari gel dengan cara dilarutkan
dalam akuades hangat( 60 C) dan disaring
dengan kertas saring. Kemudian padatan dicuci
dengan etanol 96% dan dikeringkan dalam
oven pada temperatur 100 C. Padatan
disimpan dalam desikator hingga diperoleh
massa konstan. Kristal dianalisis dengan
1657

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

gelas tunggal untuk memicu terjadinya


pembentukan kristal tunggal pada kondisi
temperatur ruang dengan memanfaatkan
tekanan hidrostatik yang terjadi dalam gel
sehingga terjadi difusi secara langsung. Difusi
ini terjadi akibat kontak antara gel dengan
larutan supernatan juga secara langsung,
berbeda dengan metode tabung U yang
memiliki lengkungan yang dimaksudkan untuk
meminimalisir tekanan hidrostatik. Umumnya
digunakan jika penumbuhannya dilakukan
dalam temperatur ruang akibat senyawanya
mudah terdekomposisi pada temperatur tinggi.
Konsentrasi supernatan sangat mempengaruhi
laju difusi pada pembentukan kristal tunggal.
Jika konsentrasi supernatan terlalu tinggi maka
proses difusi akan semakin cepat, yang
berakibat pada pembentukan inti tidak
sempurna. Pada akhirnya kristal tidak tumbuh
dengan baik dan ukuran kristal menjadi kecil.

muda. Pada 1 minggu pertama setelah


penambahan larutan, belum terbentuk kristal.
Namun setelah 2 minggu, kristal CuO telah
terbentuk pada permukaan gel. Pada Gambar
2, terbentuk 4 lapisan, paling atas adalah
larutan tak berwarna, lapisan kedua adalah
kristal hitam CuO, lapisan ketiga adalah
endapan biru, sedangkan paling bawah adalah
gel. Larutan yang direaksikan dalam
penumbuhan tidak semuanya bereaksi
menghasilkan kristal, terbukti dengan adanya
endapan biru pada penumbuhan kristal tunggal
CuO, diduga endapan Cu(CH3COO)2 yang
tidak seluruhnya bereaksi dengan gel. Endapan
biru tersebut berada diantara gel dan kristal,
sedangkan di atas kristal masih ada larutan tak
berwarna diduga adalah asam asetat yang
dihasilkan dari reaksi Cu(CH3COO)2 dengan
NaOH. Kristal yang terbentuk dihasilkan pada
permukaan gel karena ukuran partikel kristal
lebih besar dibanding ukuran pori gel sehingga
kristal tidak dapat tumbuh dalam gel
melainkan pada permukaannya. Gel memiliki
sifat selektivitas karena jika kristal dapat
tumbuh dalam gel maka kristal yang terbentuk
merupakan kristal tertentu dengan ukuran
partikel lebih kecil.

Gambar 2. Hasil Penumbuhan Kristal CuO


Massa hasil penumbuhan kristal CuO
hanya didapatkan pada kondisi pH 7,0 dengan
konsentrasi NaOH 1 M yaitu sebesar 0,49
gram. Hal ini disebabkan CuO hanya dapat
tumbuh dalam kondisi pH netral dengan
konsentrasi NaOH yang tidak terlalu pekat
sehingga memungkinkan morfologi CuO dapat
diamati. Karena jika pH sistem tidak netral dan
konsentrasi NaOH terlalu pekat atau encer
maka tidak terbentuk CuO dan morfologinya
tidak teramati. Selain itu, jika penumbuhan
kristal CuO dilakukan pada rentang sangat
basa dengan konsentrasi OH- berlebih
makaakan mengendap berbentuk endapan

Gambar1. Mekanisme reaksi polimerisasi gel


Penumbuhan kristal tunggal CuO
Sebelum dilakukan penumbuhan,
larutan supernatan dicampurkan terlebih
dahulu dengan NaOH. Pada campuran larutan
Cu(CH3COO)2 dan NaOH, warna menjadi biru
1658

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Massa CuO (g)

hidroksidanya. Sedangkan jika penumbuhan


dilakukan pada rentang sangat asam,
konsentrasi H+ berlebih justru menghalangi
pembentukan inti kristal CuO. Pengaruh pH
terhadap penumbuhan Kristal tunggal CuO
seperti tersaji pada Gambar 3.
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0

Berdasarkan spektra pada Gambar 4.


Keberadaan CuO ditunjukkan pada puncak
spesifik yaitu 575 500 cm-1.Selain itu juga
terdapat puncak spesifik pada 3450 3425 cm1
yang menunjukkan adanya air, didukung
dengan adanya puncak spesifik pada 1650
1325 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi
OH dengan logam Cu. Khusus untuk CuO,
pada bilangan gelombang 660 605 cm-1
merupakan serapan vibrasi Cu2O. Pada hasil
penelitian menunjukkan tidak ada serapan pada
bilangan gelombang tersebut, sehingga kristal
hitam bukan Cu2O. Sampel mengandung air
meskipun telah dilakukan pemanasan pada
temperatur 100 C selama 2 jam, terlihat pada
serapan 3450 3425 cm-1. Untuk meyakinkan
bahwa kristal ZnO hasil sintesis memang telah
berhasil
ditumbuhkan
maka
dapat
dibandingkan dengan data spektra IR Kristal
CuO referensi yang disajikan pada Tabel 1.

[NaOH] = 1
M
6,4 6,6 6,8 7 7,2 7,4 7,6
pH

Gambar 3. Pengaruh pH gel dan konsentrasi


NaOH terhadap massa CuO
Polimerisasi gel dapat terbentuk dari
reaksi Si OH dengan Si O- pada tingkat
keasaman sedang. Namun jika pH diturunkan,
ion H+ yang berlebih dapat bereaksi dengan
gugus Si OH membentuk Si+ dan
menghasilkan H2O, dapat dituliskan sebagai
berikut :
Si OH + Si O- Si O Si + OHSi OH + H+ Si+ + H2O
Si+ + Si OH Si O Si + H+
Ketersediaan ruang Si O Si sebagai
tempat tumbuhnya kristal dapat berkurang
akibat adanya molekul air dan tingkat
kejenuhan gel menurun. Untuk membentuk gel
dengan adanya kandung air di dalamnya,
membutuhkan waktu yang lama, pada
penelitian ini sekitar 5 hari.

Tabel 1. Perbandingan serapan IR kristal CuO


dengan serapan IR CuO referensi
No
1
2
3

Bilangan Gelombang (cm-1)


Kristal CuO Pembanding

3450
3425
1650
1325
575 500

3450
3425
1650
1325
< 700

Hasil
Mengandung air
Vibrasi OH dengan
logam Cu
Cu O stretching
monoklinik

Karakterisasi Kristal CuO menggunakan


XRD
Spektra hasil karakterisasi Kristal CuO
menggunakan XRD seperti disajikan pada
Gambar 5. Berdasarkan spektra XRD pada
Gambar 5. Hasil penumbuhan kristal tunggal
CuO menunjukkan bahwa terdapat puncak
yang memiliki intensitas tinggi yaitu pada
posisi 2 14,8; 17,3; 24,08; 31,2; 35,5;
dan 38,8.

Karakterisasi kristal CuO Menggunakan


Spektrofotometer IR
Karakterisasi kristal dilakukan dengan
spektrofotometer IR untuk mengidentifikasi
oksida logam dan kandungan lain dalam
kristal. Spektra IR Kristal CuO seperti tersaji
pada Gambar 4.

Counts

CuO

400

200

0
10

20

30
Position [2Theta]

40

Gambar 5 Spektra XRD Kristal CuO

Pada hasil difraktogram tersebut, jika


dibandingkan dengan standar JCPDS kode 00041-0254, menunjukkan bahwa terdapat pola
kristalin pada CuO hasil penumbuhan yaitu
dengan adanya puncak yang sama pada posisi

Gambar 4. Spektra IR Kristal CuO

1659

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

2 yang berdekatan. Selain itu juga dapat


ditinjau dari harga D pada tiap 2 yang
berimpit antara hasil penumbuhan kristal CuO
dengan JCPDS. Hasil D relatif sama maka
puncak tersebut dihasilkan dari bidang difraksi
yang sama pada struktur kristal yang sama.
Perbandingan spektra Kristal CuO hasil
penumbuhan dengan JCPDS seperti tersaji
pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil SEM pada Gambar


6a. padatan kristal CuO yang didapat
membentuk pola seperti dendrit pada syaraf
yang terlihat pada ujung sampel. Pola tersebut
mendekati hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh R Wahab Gambar 6b. sehingga
hasil SEM kristal CuO menegaskan bahwa
padatan kristal hasil penumbuhan mengandung
oksida logam CuO. Namun masih terdapat
pengotor yang belum terpisahkan secara
sempurna.

Tabel 2. Perbandingan data XRD CuO dengan


JCPDS
No
1
2
3
4
5

Hasil Penelitian
2 ()
I (%) d ()
32.1275 45.48 2.786
35.5375 90.29 2.523
38.3381 53.50 2.347
38.8655 54.19 2.317
46.0640 8.55
1.97

2 ()
32.509
35.539
38.371
38.941
46.264

JCPDS
I (%)
8.0
100.0
100.0
100.0
3.0

d ()
2.752
2.524
2.323
2.311
1.96

4. KESIMPULAN
Kristal CuO berwarna hitam berhasil
ditumbuhkan dengan metode gel pada
permukaan gel metasilikat. Kristal CuO yang
terbentuk, memiliki massa 0,49 gram,
dihasilkan pada kondisi pH 7,0 dengan
konsentrasi NaOH 1 M. Kenaikan pH dan
konsentrasi NaOH sebanding dengan massa
oksida logam yang terbentuk. Hasil
karakterisasi dengan FT-IR, XRD, AAS dan
SEM menunjukkan bahwa kristal hasil
penumbuhan mengandung oksida logam CuO.

Karakterisasi Kristal CuO menggunakan


AAS
Selanjutnya dilakukan karakterisasi
dengan AAS untuk menunjukkan banyaknya
kadar kandungan seng dalam kristal. Hasil
analisis kadar seng untuk Kristal CuO seperti
tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Data AAS CuO
No

Sampel

1
2

CuO
non
gel
CuO gel

Absorbansi
0,0266
0,0123

5. REFERENSI

Konsentrasi
(ppm)
1,5955
0,7348

[1] Khunur, M. M., Purwonugroho, D., Wardhani,


S., Prananto, Y.P., 2012,PenumbuhanKristal
Tunggal Kromium(III)-Tartrat Hidrat
(Crx(C4H4O6)Y.(H2O)z) dalam Gel Meta
silikat, Laporan Penelitian DPP/SPP,
FMIPA, Universitas Brawijaya, Malang.
[2] Wang, J., He, S., Li, Z., Jing, X., Zhang, M.,
2009, Synthesis of claw-like CuO andits
catalytic
activityin
the
thermal
decomposition of ammonium perchlorate,
Materials Science-Poland, Vol. 27, No. 2.
[3] Phiwdang, K., Suphankij, S., Mekprasart, W.,
Pecharapa. W., 2013, Synthesis of
CuONanoparticles
by
Precipitation
MethodUsing Different Precursors, Energy
Procedia, 34 : 740 745.
[4] Mabbs, F. E., Stephens, P. J., 1973,
Magnetism
and
Transition
Metal
Complexes, Wiley / Halts, New York.
[5] Henisch, H., 1988, Crystal in Gel and
Liesegang Rings, Cambridge University
Press,Australia.
[6] Patel, A. R.,Rao, A. V., 1982, Crystal Growth
in Gel Media, Bulletin of MaterialScience,
vol. 4 (5): 527 - 548.
[7] Suib, S. L., 1985, Crystal Growth in Gel,
Journal of Chemical Education,vol. 62
(1):81-82

Berdasarkan data pada Tabel 3. Terlihat bahwa


konsentrasi tembaga pada kristal CuO hasil
metode non gel lebih besar dibandingkan
dengan tembaga pada kristal CuO hasil metode
gel.
Karakterisasi menggunakan SEM
Hasil karakterisasi dengan scanning
electron microscope (SEM) untuk Kristal CuO
disajikan pada Gambar 6.

(a)

(b)

Gambar6. Hasil pengamatan dengan SEM (a) CuO,


(b) CuO oleh R Wahab

1660

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENGARUH pH dan SUHU TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK


METANOL KULIT RANTING KAYU MANIS (Cinnamomum burmani)
The Effects of pH and Temperature of Antioxidant Activities Metanol Extract Of Cinnamon Twig Bark
(Cinnamomum burmani)
Madyawati Latief, SP, 1), Silvi Leila Rahmi 2) Ahsan Alfri
Fakultas Sains dan Teknologi UNJA.
Email: 1)madya246@yahoo.co.id, 2) silvi@unja.ac.id
ABSTRACT
The aim of this research was to evaluate the effects of pH and temperature on the antioxidant activity of
metanol extract cinnamon twig bark of Kerinci. The reserch conducted by using factorial CRD method with 3
replication. The combination of the treatment of pH and temperature were: 3 - 100 C, 3-110C, 3-120 C, 5100 C, 5-110 C, 5-120 C, 7-100 C, 7 - 110 C, 7-120 C. The results showed that temperature affected the
antioxidant activity of cinnamon twig bark of Kerinci, and pH didnt affect the antioxidant activity. There was
an interaction of temperature and pH on antioxidant activity. The highest antioxidant activity was at pH 7 and
temperature 100oC.
Keyword: pH, temperature, antioxidant activity, methanol, cinnamon twig bark.

dibeberapa bagian tanaman seperti pada kayu,


kulit, akar, daun, buah, bunga, biji dan serbuk
sari (Pratt, 1992)
Kayu manis merupakan salah satu
sumber antioksidan alami. Potensi kayu manis
sebagai antioksidan alami tersebut telah
diteliti, Seperti penelitian saputra (2011), yang
menyatakan bahwa daya aktivitas antioksidan
beberapa bagian tanaman kayu manis yang
diperoleh dari Kerinci yang diekstrak
menggunakan metanol memiliki aktivitas
antioksidan jauh lebih besar dibandingkan
dengan antioksidan standar (-tokoferol) pada
konsentrasi yang sama dan aktivitas tertinggi
terdapat pada kulit ranting yaitu dengan nilai
IC50 61,791 ppm.
Pemanfaatan antioksidan sebagai zat
aditif pada bahan pangan sudah banyak
digunakan. Sehingga pemanfaatan sumber
antioksidan alami yang berasal dari kayu
manis untuk pangan sangat prospektif.
Penanganan, penyimpanan dan pengawetan
bahan pangan sering menyebabkan terjadinya
perubahan nilai gizinya, yang sebagain besar
tidak diinginkan. Dalam kaitan dengan
aplikasinya, aktivitas antioksidan dipengaruhi
oleh sistem pangan yang merupakan medium
bagi antioksidan tersebut.
Seperti yang
disampaikan Ketaren (1986) bahwa beberapa
jenis antioksidan, terutama golongan fenolat
bersifat dapat menguap pada suhu kamar,
terlebih-lebih pada proses penggorengan.
Kehilangan antioksidan ini disebabkan oleh
penguapan akibat degradasi molekul, terutama
pada suhu yang semakin meningkat. Tensiska

PENDAHULUAN
Antioksidan merupakan senyawa yang
dapat menghambat reaksi oksidasi dengan
mengikat radikal bebas dan molekul yang
sangat reaktif. Berkaitan dengan reaksinya di
dalam tubuh, status antioksidan merupakan
parameter penting untuk memantau kesehatan
seseorang. Tubuh manusia memiliki sistem
antioksidan untuk menangkal reaktivitas
radikal bebas, yang secara berlanjut dibentuk
sendiri oleh tubuh. Jika jumlah senyawa
oksigen reaktif
ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh,
kelebihannya akan menyerang komponen lipid,
protein maupun DNA sehingga mengakibatkan
kerusakan-kerusakan yang disebut dengan
stress oksidatif (Winarsi, 2007 dalam
Sudirman, 2011).
Sumber-sumber antioksidan dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu
antioksidan
sintetik (antioksidan
yang
diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan
antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi
bahan alami). Beberapa contoh antioksidan
sintetik yang diijinkan penggunaannya untuk
makanan dan penggunaannya telah sering
digunakan yaitu butil hidroksi anisol (BHA),
propel galat, tert-butil hidroksi quinon (TBHQ)
dan tokoferol. Senyawa antioksidan yang
diisolasi dari sumber alami adalah yang berasal
dari tumbuhan. Isolasi antioksidan alami telah
dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan,
tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat
dimakan.
Antioksidan
alami
tersebar
1661

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

et al,. ( 2003) menambahkan bahwa proses


panas yang diterapkan pada pengolahan
pangan serta panambahan asam pada makanan
turut pula mempengaruhi kestabilan aktivitas
antioksidan. Selanjutnya, Sukemi (2004)
menyatakan bahwa pemanasan pada suhu 70oC
80oC dapat menurunkan aktivitas antioksidan
dalam menangkap radikal bebas.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui pengaruh pH dan suhu terhadap
aktivitas antioksidan ekstrak metanol kulit
ranting kayu manis serta mengetahui kondisi
pH
dan
suhu
yang
tepat
dalam
mempertahankan
kestabilan
antioksidan
ekstrak metanol kulit ranting kayu manis
(Cinnamomum burmani).

Provinsi Jambi. Kemudian kulit kayu manis


disortasi dan dibersihkan diambil sebanyak
500 gr lalu dikeringkan menggunakan oven
pada suhu 60oC selama 24 jam. Kemudian
dihaluskan menggunakan lumpang untuk
memperluas permukaan sampai membentuk
serbuk dan disaring menggunakan saringan 40
mesh dan di dapatkan serbuk sampel.
Selanjutnya Serbuk kulit kayu manis masingmasing sebanyak 50 gr (3 ulangan) direndam
dengan 250 mL metanol dalam bejana tertutup
selama 24 jam pada suhu ruang. Maserat yang
diperoleh disaring menggunakan kertas
whatman no. 41 ke dalam labu ukur 500 ml
ditutup dan disimpan pada tempat gelap.
Serbuk sampel hasil penyaringan dimaserasi
kembali dengan pelarut metanol 250 ml selama
24 jam dan disaring menggunakan kertas
whatman no. 41, maserat yang diperoleh
dimasukan dalam labu ukur yang berisi
maserat sebelumnya. Filtrat ekstrak kulit kayu
manis dipekatkan dengan rotary evaporator
pada suhu 60oC. Dan tahap kedua adalah
perlakuan pH dan suhu pada masing-masing
sampel (ekstrak pekat). Masing-masing sampel
yang diperoleh digunakan untuk uji
penangkapan radikal DPPH menggunakan
metode Selvi et al., 2003.
Selain uji DPPH ekstrak pekat
dilakukan penghitungan persen rendemen dan
uji deskriptif metabolit sekunder (alkaloid,
flavonoid, fenol, terpenoid dan steroid)
(Metode Arbain & Tamin (1995) dalam
Mubarakah (2011)).

METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan pada penelitian ini
adalah kulit ranting kayu manis, metanol, HCI
2N, dan NaOH 2N. Sedangkan bahan yang
digunakan untuk analisa adalah dimetil
sulfoksida (DMSO), metanol, -tokoferol,
larutan DPPH (1,1-dyphenil-2-picrylhydrazil),
aquades, pereaksi mayer, kloroform ammonia
0,05M, asam sulfide 2N, metanol, kloroform,
logam magnesium, asam klorida pekat, larutan
besi (III) klorida 1%, dan pereaksi lieber
mann-Burchard (asam asetat dan asam sulfat
pekat). Alat-alat yang digunakan pada
penelitian ini meliputi rotari evaporator, dan
oven sedangkan alat-alat yang digunakan
untuk analisa adalah spektrofotometer UV-Vis,
labu ukur, pipet mikro, vial, gelas piala, gelas
ukur, neraca analitik, Erlenmeyer, corong
pisah, tabung reaksi, kertas saring Whatman
no. 41, pipet tetes, penangas air, plat tetes dan
saringan tepung.
Penelitian ini menggunakan rancangan
percobaan acak lengkap (RAL) faktorial
dengan dua faktor yaitu suhu dan pH dengan
taraf perlakuan masing- masing adalah faktor
pH (P); P1= pH 3, P2= pH 5, P3= pH 7, dan
faktor suhu (T); T1= 100oC, T2= 110oC, T3=
120oC .Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali,
sehingga diperoleh 27 satuan percobaan.
Analisis data dilakukan dengan metode
analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut
DNMRT pada taraf 1% dan5% .
Penelitian ini terdiri dari 2 tahap dalam
pembuatan sampel, tahap pertama adalah
persiapan sampel. Kulit kayu manis yang
digunakan adalah kulit ranting tanaman kayu
manis (grade C) asal Kabupaten Kerinci

HASIL DAN PEMBAHASAN


Ekstraksi Kulit Ranting Cinnamomum
burmani Kerinci
Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi
menggunakan pelarut metanol selama 48 jam
dan diuapkan pada suhu 60oC dengan
menggunakan rotary evaporator. Metode
ekstraksi maserasi dipilih karena cukup mudah
diterapkan dan murah, pelarut yang digunakan
tidak terlalu banyak serta dapat memberikan
hasil ekstraksi yang baik. Hasil ekstrak pekat
kulit ranting tanaman kayu manis (Cinnamomum burmani dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai ekstrak pekat kulit rating kayu manis
(Cinnamomum burmani) asal Kabupaten
Kerinci.
Ulangan Berat Ekstrak %
RataPekat (g)
Rendemen rata(%)
1
9,887
19,774
18,994

1662

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
2
3

9,036
9,568

bagian tanaman memiliki kandungan senyawa


metabolit sekunder berbeda.
Alkaloid adalah senyawa alami amina,
baik pada tanaman, hewan, ataupun jamur dan
merupakan produk yang dihasilkan dari proses
metabolisme sekunder, dimana saat ini
diketahui sebanyak 5500 jenis alkaloid
(Harborne, 1987). Hasil penelitian Sudirman
(2011) menyatakan bahwa alkaloid dapat larut
pada pelarut polar, non polar maupun semi
polar.
Flavonoid umumnya terdapat dalam
tumbuhan, dalam bentuk aglikon maupun
terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne
1987). Karena mempunyai sejumlah gugus
gula, flavonoid bersifat polar maka umumnya
flavonoid larut dalam pelarut polar seperti
etanol (EtOH), metanol (MeOH), butanol
(BuOH), aseton, dimetil sulfoksida (DMSO),
dimetil formamida (DMF), air dan lain-lain.
Sebaliknya, aglikon yang kurang polar
cenderung lebih mudah larut dalam pelarut
seperti eter dan kloroform (Markham, 1988
dalam
Andriyanti, 2009). Dari hasil
identifikasi sampel ekstrak metanol kulit
ranting kayu manis asal Kerinci menunjukkan
sampel positif mengandung flavonoid dalam
jumlah sedang.
Sampel ekstrak metanol kulit ranting
kayu manis teridentifikasi positif mengandung
fenol tetapi dalam jumlah yang kecil. Senyawa
fenol merupakan salah satu antioksidan yang
banyak terdapat secara alami di dalam teh,
Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam
air karena umumnya seyawa ini seringkali
berikatan dengan gula sebagai glikosida, dan
biasanya terdapat dalam vakuola sel
(Harborne, 1987).
Hasil ekstraksi metanol kulit ranting
kayu manis asal Kerinci positif mengandung
senyawa terpenoid. Hal ini di buktikan dengan
terbentuknya warna merah setelah sampel
direaksikan dengan pereaksi lieberman
buchard. Menurut Harborne (1987) senyawa
terpenoid juga dapat ditemukan pada
tumbuhan. Terpenoid adalah senyawa tidak
berwarna, sering mempunyai titik lebur tinggi
dan umumnya sulit untuk dikarakterisasi
karena secara kimia tidak reaktif.

18,072
19,136

Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil


ekstraksi kulit ranting Cinnamomum burmani
Kerinci menggunakan pelarut metanol dengan
3 kali ulangan diperoleh rendemen ekstrak
pekat rata-rata 18,994%. Ekstrak pekat yang
dihasilkan bewarna coklat kehitaman dan
berbentuk ekstrak pekat. Hasil ekstrak yang
diperoleh bergantung pada beberapa faktor,
yaitu kondisi senyawa tersebut, metode
ekstraksi, ukuran partikel, kondisi dan waktu
penyimpanan, serta perbandingan jumlah
pelarut dan sampel (Harbone, 1987).
Senyawa Metabolit Sekunder
Hasil identifikasi senyawa metabolit sekunder
pada ekstrak metanol kulit ranting tanaman
kayu manis dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan senyawa metabolit sekunder
kulit ranting kayu manis (Cinnamomum burmani)
asal Kabupaten Kerinci.
Senyawa Metabolit
Kandungan
Sekunder
Alkaloid
+
Flavonoid
+
Fenol
+
Saponin
Terpenoid
+
Steroid
Ket :
+ : ada,
- : tidak ada

Tabel 2 menunjukkan bahwa ekstrak


kulit ranting tanaman kayu manis asal
kabupaten kerinci mengandung senyawa
alkaloid, flavonoid, fenol dan terpenoid. Uji
yang dilakukan pada penelitian ini hanya
sebatas uji kualitatif, hanya untuk mengetahui
ada tidaknya kandungan senyawa-senyawa
metabolit sekunder pada ekstrak kulit ranting
kayu manis Kerinci. Kandungan senyawa
metabolit sekunder dapat dipengaruhi oleh
proses pengekstraksian dan bahan yang
diekstraksi.
Kandungan
senyawa
metabolit
sekunder yang teridentifikasi pada ekstrak kulit
ranting kayu manis berpotensi sebagai
antioksidan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Pratt (1992) senyawa yang memiliki aktivitas
antioksidan yang terdapat dialam umumnya
adalah asam-asam amino, asam askorbat,
golongan flavonoid, tokoferol, karotenoid,
tanin, peptida, melanoidin, produk-produk
reduksi dan asam-asam organik lain. Setiap

Aktivitas Antioksidan
Metode yang digunakan dalam
pengujian aktivitas antioksidan adalah
menggunakan metode radikal DPPH, karena
metode ini merupakan metode yang sederhana,
1663

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

mudah dan menggunakan sampel dalam


jumlah yang sedikit dengan waktu yang
singkat (Hernani, 2005).
Aktivitas antioksidan dari masingmasing ekstrak metanol kulit ranting kayu
manis asal Kabupaten Kerinci yang telah
dilakukan perlakuan suhu dan pH ini
dinyatakan dalam persentase inhibisinya

terhadap radikal DPPH. Persen inhibisi ini


didapat dari perbedaan serapan antara absorban
DPPH dengan absorban sampel yang diukur
dengan alat spektrofotometer UV-Vis. Hasil
nilai persen inhibisi ekstrak metanol kulit
ranting tanaman kayu manis asal Kabupaten
Kerinci tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Persen inhibisi ekstrak metanol masing-masing sampel dan standar antioksidan -tokoferol dan kontrol
tanpa perlakuan dengan metode DPPH pada variasi konsentrasi.
Kon
sentrasi
(ppm)
0
100
200
300
400
500

Persen Inhibisi (%I)


Kon
trol
0
87,57
88,45
89,60
90,52
91,60

P1T1
0
87,40
87,94
89,16
89,50
90,25

P1T2
0
87,30
87,84
88,28
89,47
90,21

P1T3
0
87,20
88,01
88,32
89,40
90,42

P2T1
0
87,37
88,49
88,96
90,25
91,33

P2T2
0
87,37
88,35
89,16
90,45
91,26

Nilai
inhibisi
pada
Tabel
3
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya
konsentrasi sampel yaitu sampai 500 g/mL
dapat
menurunkan
absorbansi
DPPH
(C18H12N5O6) atau meningkatnya persen
inhibisi sampel. Penurunan nilai absorbansi
dikarenakan penangkapan radikal pada DPPH
oleh sampel uji yang menyebabkan jumlah
ikatan rangkap diazo pada DPPH berkurang
sehingga terjadi pemucatan warna DPPH yang
berakibat nilai absorbansi turun. Dari hasil uji
sampel ekstrak metanol kulit ranting tanaman
kayu manis dinyatakan mempunyai aktivitas
antioksidan karena dapat menyebabkan
berkurangnya ikatan rangkap pada DPPH.
Hasil pengujian aktivitas antioksidan
menunjukkan bahwa persen inhibisi sampel
ekstrak metanol kulit ranting tanaman kayu
manis pada konsentrasi 100 g/mL mempunyai
nilai persen inhibisi lebih tinggi dibandingkan
persen inhibisi standar antioksidan
tokoferol. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak
metanol kulit ranting tanaman kayu manis asal
Kabupaten Kerinci mempunyai kemampuan
aktivitas antioksidan yang tinggi.

P2T3
0
87,17
88,21
89,23
89,98
91,26

P3T1
0
87,50
88,35
89,06
90,21
91,60

P3T2
0
87,61
88,45
89,03
90,08
91,47

P3T3
0
87,34
87,98
88,59
90,28
91,03

tokoferol
0
83,92
86,25
87,27
88,72
90,92

300, 400, 500 g/mL. Persamaan regresi linear,


koefisien korelasi dan nilai IC50 untuk
masing-masing sampel dan kontrol serta
standar antioksidan -tokoferol tertera pada
Tabel 4.
Tabel 4. Persamaan regresi, koefisien korelasi dan
IC50 ekstrak metanol untuk masing-masing sampel,
kontrol dan -tokoferol.
Perlakuan
[PH-Suhu
(oC)]
Kontrol
(P0T0)
P1T1
P1T2
P1T3
P2T1
P2T2
P2T3
P3T1
P3T2
P3T3
-Tokoferol

Persamaan Regresi

Koefisien
Korelasi

IC50
(ppm)

Y= 41,20 + 0,134x
Y= 41,28 + 0,131x
Y= 41,14 +0,131 x
Y= 41,11 + 0,131x
Y= 41,13 + 0,133x
Y= 41,12 + 0,133x
Y= 41,04 + 0,133x
Y= 41,12 + 0,133x
Y= 41,20 + 0,133x
Y= 41,02+ 0,133 x
Y= 39,27 + 0,134x

0,684
0,676
0,676
0,677
0,683
0,684
0,683
0,683
0,682
0,683
0,703

65,844
66,566
67,734
67,820
66,656
66,642
67,334
66,632
66,184
67,676
79,944

Hasil pengamatan pada Tabel 4. menunjukkan


bahwa ekstrak metanol kulit ranting tanaman
kayu manis asal Kabupaten Kerinci memiliki
kemampuan meredam 50% radikal bebas
(IC50). Hasil IC50 masing-masing sampel
memiliki nilai IC50 dibawah 100 diatas 10. Hal
ini menunjukkan bahwa sampel-sampel
tersebut aktif sebagai antioksidan sesuai
dengan pernyataan Jun et al., (2003) dalam
Winata (2011), yang mengelompokkan
kekuatan aktivitas antioksidan berdasarkan
nilai IC50. Aktivitas antioksidan digolongkan
sangat aktif bila nilai IC50 kurang dari 50 ppm,
dikatakan aktif bila nilai IC50 diantara 50 100
ppm, digolongkan sedang bila nilai IC50 101

IC50 (Kemampuan menghambat radikal


sebesar 50%)
Besarnya nilai antioksidan dapat
diketahui dengan nilai IC50, yaitu konsentrasi
larutan sampel yang dibutuhkan untuk
menghambat 50% radikal bebas DPPH. Uji
aktivitas antioksidan menggunakan metode
DPPH terhadap ekstrak metanol untuk masingmasing sampel pada konsentrasi 0, 100, 200,
1664

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

250 ppm, serta digolongkan tidak aktif bila


nilai IC50 diatas 500 ppm.
Semakin kecil nilai IC50 berarti
aktivitas antioksidan semakin tinggi. Dari hasil
pengamatan dapat diketahui bahwa aktivitas
antioksidan kulit ranting karyu manis asal
Kabupaten Kerinci lebih tinggi dibandingkan
dengan aktivitas antioksidan standar yaitu tokoferol yaitu dengan nilai IC50 pada sampel
kontrol kulit ranting kayu manis Kerinci (P0T0)
adalah 65,844. Nilai IC50 dari hasil
pengamatan pada tabel 7 diatas menunjukkan
adanya pengaruh aktivitas antioksidan setelah
dilakukan perlakuan pH dan suhu, hal ini
terlihat dari nilai IC50 pada sampel kontrol
(P0T0) lebih kecil dibandingkan dengan nilai
IC50 sampel yang telah mengalami perlakuan
pH dan suhu.
Pengaruh pH dan Suhu terhadap Aktivitas
Antioksidan Kulit Ranting Kayu Manis
Asal Kabupaten Kerinci
Pengaruh pH dan suhu terhadap aktivitas
antioksidan dilakukan dengan cara analisis
sidik ragam metode Rancangan Acak Lengkap
(RAL) faktorial. Analisis sidik ragam
dilakukan dari hasil data pengamatan IC50
masing-masing sampel. Berdasarkan sidik
ragam diketahui bahwa suhu berpengaruh
nyata terhadap aktivitas antioksidan sedangkan
pH dan interaksi pH dan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan.
Nilai IC50 dan notasi uji DNMRT untuk
masing-masing sampel dapat dilihat Tabel 5.

turunnya aktivitas antioksidan terutama pada


suhu 120oC. Hal ini dapat terlihat dari notasi
hasil uji DNMRT pada taraf 5% yang
menunjukkan adanya perubahan huruf dengan
naiknya perlakuan suhu seperti pada pH 3
terjadi perubahan notasi dari A menjadi B pada
suhu 100 oC menjadi 110 oC yang berarti kedua
sampel tersebut memiliki aktivitas antioksidan
yang berbeda nyata, sedangkan pada pH 3
suhu 110 oC menjadi 120 oC terjadi perubahan
notasi dari B menjadi C yang berarti kedua
sampel ini memiliki aktivitas antioksidan yang
berbeda nyata. Penurunan aktivitas antioksidan
(naiknya IC50) akibat pemanasan ini bisa
disebabkan karena adanya kandungan

senyawa flavonoid dan fenolat pada


antioksidan kulit ranting kayu manis, sesuai
dengan pernyataan Ketaren (1986), yang
menyatakan bahwa beberapa antioksidan,
terutama golongan fenolat bersifat dapat
menguap pada suhu kamar terlebih pada proses
penggorengan. Kehilangan antioksidan ini
disebabkan penguapan akibat degradasi
molekul, terutama pada suhu semakin
meningkat.

IC50
(ppm)

Suhu (oC)

Tabel 5. Nilai IC50 (ppm) dan notasi uji DNMRT


pada taraf 5% kulit ranting kayu manis asal
Kabupaten Kerinci pada beberapa perlakuan pH
dan suhu.
Suhu (oC)
pH
100
110
120
3
66,279a
66,939b
67,820b
A
B
C
5
66,656a
66,798a
67,042a
A
A
A
7
66,278a
66,773a
67,676a
A
B
C

Ket :
:pH 3
: pH 5
: pH 7
Gambar 2. Grafik pengaruh pH dan suhu terhadap
aktivitas antioksidan kulit ranting kayu manis.

Dari Gambar 2 diatas dapat diketahui


perubahan aktivitas antioksidan akibat
pengaruh pH dan suhu relatif kecil yang
ditandai dengan kemiringan atau slove
yang relatif kecil. Hal ini menunjukkan
bahwa aktivitas antioksidan kulit ranting
kayu manis relatif tahan terhadap pH dan
panas terutama pada suhu dibawah 120oC
dan pH bekisar 3 sampai pH 7 karena
penurunan aktivitas antioksidan yang dipengaruhi oleh pH dan suhu perlakuan tersebut tidak signifikan dan nilai IC50 masih
berada diantara 101 - 250 ppm yang berarti
aktivitas antioksidan masih tergolong aktif.

Ket : angka yang di ikuti huruf yang sama tidak berbeda


nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%. Huruf
kecil dibaca arah vertical (kolom) dan huruf capital
dibaca arah horizontal baris.

Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa


semakin tinggi suhu pemanasan pada masingmasing pH maka nilai IC50 sampel juga
mengalami penaikkan yang menandakan

Terdapat interaksi antara pH dan suhu


terhadap aktivitas antioksidan ekstrak metanol
1665

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Ekstraksi senyawa aktif antioksidan dari lintah laut
(Discodoris sp.) asal perairan kepulauan seribu.
skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Harborne JB. 1987. Metode Fito kimia. ITB,
Bandung.
Hernani RM. 2005. Tanaman Berkhasiat
Antioksidan. Penebar swadya, Jakarta.
Ketaren S. 1986. Pengantar teknologi minyak dan
Lemak Pangan. UI Press, Jakarta.
Miksusanti, Elfita dan Hotdelina S. 2013. Aktivitas
Antioksidan dan Sifat Kestabilan Warna
Campuran Ekstrak Etil Asetat Kulit Buah
Manggis (Garcinia mangostana L.) dan Kayu
Secang (Caesalpinia sappan L.). Jurnal
Penelitian Sains Jurusan Kimia Universitas
Sriwijaya, Sumatera Selatan.
Pratt DE. 1992. Natural Antioksidants from plant
Material. Di dalam : M.T. Huang, C.T. Ho, dan
Lee CY. Editor . Phenolic Compounds in food
and Their Effects on Health. American Society,
Washington DC.
Safitri, DE. 2012. Stabilitas Antosianin dan
Aktivitas Antioksidan pada Minuman Sari Buah
duwet (syzygium cumini). Skripsi Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Saputra, Andriyanto. 2011. Aktifitas Antioksidan
Ekstrak Metanol Beberapa Bagian Tanaman
Kayu Manis (Cinnamomum burmani) Asal
Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Skripsi.
Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Jambi.
Selvi AT, GS Joseph, and GK Jayaprakarsa, 2003.
Inhibitor of growth and aflatoksin production in
Aspergillus flavus by Granicia indica extract
and its antioksidant activity. J. Food
Microbiology 20 : 455-460.
Sudirman S. 2011. Aktivitas Antioksidan dan
Komponen Bioaktif Kangkung Air (Ipomoea
Aguatica Forsk.). Skripsi. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Sukemi R P. 2004. Uji Stabilitas Antioksidan
Pigmen Buah Kuning (Canna coccinea MILL)
(Kajian Jenis Pelaru dan Pemanasan). Fakultas
Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang,
Malang.
Tensiska CH. Wijaya dan A Nuri. 2003. Aktivitas
Antioksidan Buah Andalima (Zanthoxylum
acantthopodium DC) dalam Beberapa sistem
Pangan dan Kestabilan Aktivitasnya terhadap
Kondisi Suhu dan Ph. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan. 16: 29-39.
Winata H. 2011. Aktivitas Antioksidan Kandungan
Kimiawi Ekstrak Daun Wungu (Graptophyllum
pictum L.Griff.) Skripsi. Fakultas MIPA Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

kulit ranting kayu manis Kerinci. Pada taraf


suhu 100oC aktivitas antioksidan pH 5 lebih
rendah dibandingkan aktivitas antioksidan
pada pH 3 dan 7, namun aktivitas antioksidan
pada taraf pH 5 lebih stabil dengan naiknya
suhu dibanding pH 3 dan 7. Peristiwa ini dapat
disebabkan karena kandungan antioksidan
pada ekstrak metanol kulit ranting kayu manis.
Miksusanti et al., (2013) menyatakan bahwa
pH berpengaruh terhadap nilai absorbansi
antioksidan, pada pH 1, 2, 7 dan 8 antioksidan
yang dominan aktif (stabil) adalah flavonoid
jenis antosianin dan antosianidin, sedangkan
pada pH 4, 5 dan 6 antioksidan yang dominan
aktif (stabil) adalah flavonoid jenis auron.
Penelitian sebelumnya Rahmawati (2011)
dalam Safitri (2012) menyatakan bahwa
antioksidan flavonoid jenis antosianin mudah
mengalami degradasi akibat pemanasan, di
duga hal ini yang menyebabkan aktivitas
antioksidan pada pH 3 dan 7 relatif lebih
mudah mengalami penurunan antioksidan
akibat naiknya suhu pemanasan karena pada
pH ini aktivitas antioksidan yang dominan
adalah jenis antosianin. Aktivitas antioksidan
tertinggi yaitu pada perlakuan pH 7 dan suhu
100oC, dengan nilai IC50 yaitu 66,278 ppm.
KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan,


maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat interaksi antara pH dan suhu
terhadap
kestabilan
aktivitas
antioksidan kulit ranting kayu manis,
pada pH rendah dan suhu semakin
tinggi aktivitas antioksidan semakin
rendah, sebaliknya pH tinggi dan suhu
semakin rendah aktivitas antioksidan
semakin tinggi.
2. pH dan suhu yang tepat untuk mempertahankan kestabilan aktivitas antioksidan adalah pada pH 7 dan suhu 100 OC.
3. Kulit rating kayu manis (cinnamomum
burmani) berpotensi sebagai sumber
antioksidan dengan nilai IC50 yaitu 65,843.
Referensi

1666

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR KIMIA INOVATIF DAN INTERAKTIF


BERBASIS MULTIMEDIA UNTUK PENGAJARAN SENYAWA AROMATIS
Manihar Situmorang1, Jamalum Purba1, dan Rumondang Hotmaida Sihombing1
1

Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Medan, Jl. Willem Iskandar Psr V Medan Estate, Medan, Sumatera
Utara, Indonesia, 20221, E-mail: msitumorang@lycos.com
ABSTRACT

The development of innovative and interactive learning material with multimedia based for chemistry teaching
is explained. The study is aimed to obtain a standard, innovative, and interactive learning material with
multimedia based on the teaching of Aromatic compound. The development is carried out to explore and
improve chemistry material on Aromatic compound to meet the need of students to accomplish their competence
as required on national curriculum. The results have shown that the developed learning material is able to
improve students achievement on chemistry. Students achievement on chemistry in experimental groups are
found higher than that in control class, where both groups are significantly different. An innovative and
interactive chemistry learning material is found be able to motivate the students to learn chemistry effectively.
The availability of learning instructions, integration web, and the facility of help in the developed learning
package make the learning material valuable for self study. The students activities are improved and their
learning outcomes are achieved. Students learning style has move from Lecture centre learning to become
Student centre learning.
Key Words: Learning Material, Innovative, Interactive, Multimedia, Learning Outcome, Aromatic Compound

melalui pengadaan bahan ajar bermutu yang


dapat memotivasi mahasiswa belajar secara
optimem dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi terkini (Situmorang, dkk., 2015).
Bahan ajar yang bak dan standar harus
memiliki isi secara lengkap berdasarkan
ketuntasan materi pelajaran sesuai tuntutan
kurikulum, serta menjembatani pembelajaran
agar kompetensi dapat tercapai (Jippes, dkk.,
2010). Bahan ajar yang baik harus mampu
memfasilitasi materi ajar dalam memperbaiki
pola pikir peserta didik sehingga tercipta
karakter baik dan keinginan belajar yang
berpusat pada peserta didik (Situmorang, dkk,
2013). Pembelajaran interaktif dan inovatif
akan dapat membantu mahasiswa untuk belajar
melalui internet, sehingga tercipta kesempatan
yang
luas
bagi
mahasiswa
dalam
mengembangkan ketrampilannya melalui
keaktifan mencari sumber belajar yang tersedia
secara global sesuai kebutuhan pebelajar.
Bahan ajar inovatif interaktif berbasis
multimedia akan memungkinkan memfasilitasi
mahasiswa untuk belajar dalam jumlah besar
dalam waktu yang relatif sama sehingga
mahasiswa dapat belajar dimana saja dan
kapan saja dalam pemenuhan kompetensi yang
diinginkanya (Situmorang, dkk., 2015).

1. PENDAHULUAN
Implementasi Kurikulum Perguruan Tinggi
dalam bentuk Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI) sebagai acuan dalam
penyusunan capaian lulusan, sebagaimana
diamantkan dalam Perpres No 08 Tahun 2012
dan Juknis Permendikbud no 73 Tahun 2013,
menuntut Perguruan Tinggi (PT) mempersiapkan lulusan berkualitas baik dan kompeten.
Lulusan PT diharapkan memiliki kemampuan
hidup sebagai pribadi dan warga negara yang
beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif serta mampu berkontribusi pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Untuk dapat
memenuhi tuntutan kompetensi maka diperlukan peningkatan pembelajaran. Salah satu
diantarany adalah inovasi bahan ajar yang
interaktif berbasis multimedia yang dapat
dipergunakan oleh mahasiswa dalam meningkatkan aktivitas belajarnya dalam rangka
pencapaian kompetensi yang diinginkan sesuai
kurikulum KKNI. Pembelajaran interaktif
sangat tepat untuk diimplementasikan dalam
pengajaran di Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) untuk mempersiapkan
mahasiswa, kususnya Prodi Pendidikan yang
kelak menjadi guru di sekolah setelah
menyelesaikan studinya. Salah satu upaya
untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah

Pengembangan bahan ajar kimia yang


inovatif dan interaktif berbasis multimedia
1667

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

sangat diperlukan untuk mempercepat


pencapaian tuntutan pendidikan. Bahan ajar
yang baik mencakup komponen materi kimia
yang diwajibkan di dalam kurikulum dan
dilengkapi dengan komponen inovasi yang
dapat memotivasi mahasiswa untuk selalu
belajar sehingga pengetahuan terhadap materi
pelajaran kimia meningkat (Munthe dan
Situmorang (2015). Pemanfaatan teknologi
informasi untuk pembelajaran juga telah
mendorong pergeseran dari pembelajaran
konvensional kepada pembelajaran mandiri
sehingga kesan pembelajaran lama diingat oleh
mahasiswa (Lehmann, dkk., 2014; Montelongo
dan Herter, 2010). Inovasi bahan ajar berbasis
multimedia sangat diperlukan terutama dalam
melengkapi keterbatasan bahan ajar cetak yang
hanya memberikan informasi narasi dengan
minus inlustrasi dari kehidupan nyata. Inovasi
bahan ajar akan melengkapi pendalaman dan
perluasan materi yang relevan bagi peserta
didik sehingga materi yang akan dipelajari
tuntas, sistematik, mudah dimengerti, menarik,
inovatif dan interaktif dan relevan dengan
materi yang dipelajari. Berbagai jenis inovasi
bahan ajar telah dilakukan untuk meningkatkan
hasil belajar pada pengajaran kimia
(Situmorang dan Situmorang, 2014).

alat komunikasi dalam penyampaian materi


pelajaran (Washburn, 2011; Lax, dkk., 2011;
Blouin, dkk., 2009). Pembelajaran yang
inovatif
dapat
diakui
apabila
dapat
dipergunakan secara luas dalam pembelajaran
dan terbukti efektif dalam meningkatkan hasil
belajar
mahasiswa
(Kolluru,
2012;
Douthwaite, dkk., 2009). Pembelajaran kimia
memiliki kelebihan dalam tiga aspek, yaitu
pembelajaran
pemecahan
masalah,
pembelajaran berdasarkan pengalaman, dan
pembelajaran berbasis individu dan kerjasama
(Ofstad dan Brunner, 2013). Pembelajaran
pemecahan masalah menuntun mahasiswa
melakukan penyelidikan melalui permasalahan
bermakna dan menuntun mahasiswa belajar
aktif untuk membangun pengetahuan dan
ketrampilan (Heijne-Penninga, 2013; Nicholl
dan Lou, 2012; Karimi, 2011; Stewart, dkk.,
2011). Tujuan penelitian adalah untuk
mendapatkan bahan ajar kimia yang standar,
inovatif dan interaktif berbasis multimedia
untuk
pengajaran
Senyawa
Aromatis.
Pengembangan bahan ajar dilakukan melalui
inovasi pembelajaran pada pokok bahasan
senyawa Aromatis yang dapat menolong
mahasiswa di dalam pembelajaran dalam
mencapai kompetensi sesuai tuntutan KKNI.
Pengembangan bahan ajar dilakukan melalui
inovasi pembelajaran pada pokok bahasan
senyawa Aromatis yang dapat menolong
mahasiswa di dalam pembelajaran dalam
mencapai kompetensi sesuai tuntutan KKNI.
Bahan ajar dilengkapi fasilitas pembelajaran
aktif untuk meningkatkan kegiatan belajarmengajar kimia secara mudah, efisien, dan
berpusat pada diri mahasiswa.

Inovasi pembelajaran untuk meningkatkan


hasil belajar pada mata pelajaran kimia sangat
perlu dilakukan karena berhubungan dengan
peningkatan kualitas lulusan dalam mengisi
lapangan kerja bidang kimia (Parulian dan
Situmorang, 2013). Salah satu usaha yang
perlu mendapat perhatian adalah melakukan
inovasi pembelajaran sesuai materi pelajaran
yang diajarkan (Simatupang dan Situmorang,
2013). Inovasi pembelajaran yang dituangkan
di dalam isi buku ajar sangat penting karena
dapat memberikan peningkatan hasil belajar
lebih cepat, peningkatan efisiensi dan
efektivitas pembelajaran menuju pembaharuan
(Folb, 2011). Inovasi pembelajaran kimia
adalah suatu pendekatan pengajaran meliputi
strategi, metode dan prinsip pengajaran yang
dipergunakan dalam proses belajar mengajar
kimia (Situmorang, dkk., 2010). Inovasi dalam
pendidikan sering dihubungkan dengan
pembaharuan yang berasal dari hasil pemikiran
kreatif, temuan dan modifikasi yang memuat
ide dan metode yang dipergunakan untuk
mengatasi suatu permasalahan pendidikan
(Situmorang dan Sitorus, 2011). Inovasi
pembelajaran harus dapat berfungsi sebagai

2. METODE PENELITIAN
Penelitian pengembangan bahan ajar kimia
SMA/MA yang inovatif dan interaktif untuk
pengajaran hidrokarbon adalah Research and
Development (R&D), merupakan gabungan
survery, exploratif, dan eksperimental seperti
dijelaskan pada penelitian sebelumnya dengan
modifikasi (Situmorang, dkk., 2015, Situmorang dan Situmorang, 2014). Fokus penelitian
adalah pengembangan bahan ajar inovatif dan
interaktif sebagai kelanjutan penelitian yang
sudah dikembangkan sebelumnya (Situmorang
dan Situmorang, 2014; Situmorang, 2013;
Simatupang dan Situmorang, 2013; Situmorang, dkk., 2013). Penelitian meliputi: (1)
Pengayaan materi ajar pokok bahasan Senyawa
Aromatis sesuai Kurikulum KKNI, (2)
1668

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Menggunakan potensi lokal untuk memperkaya materi pelajaran di dalam bahan ajar
pokok bahasan Senyawa Aromatis, (3) Inovasi
materi pelajaran melalui integrasi kegiatan
laboratorium, integrasi model dan strategi
pembelajaran interaktif agar materi pembelajaran dapat disampaikan secara sederhana,
komunikatif, menarik, dan memotivasi mahasiswa untuk belajar, (4) Menginterface materi
ajar dan penyediaan fasilitas interaktif dengan
alat multimedia menggunakan teknologi informasi (TI), (5) Standarisas, evaluasi dan modifikasi bahan ajar hasil inovasi berdasarkan
standar isi BNSP, (6) Penggunaan bahan ajar
hasil inovasi untuk meningkatkan kompetensi
mahasiswa pada pengajaran Senyawa Aromatis. Penelitian dilakukan di Jurusan Kimia
FMIPA Unimed tahun akademi 2015/2016.
Objek penelitian adalah meliputi textbook
yang memuat pokok bahasan Senyawa
Aromatis yang dipergunakan sebagai buku
pegangan perkuliahan, dosen Kimia Organik,
dan mahasiswa yang mengikuti perkuliahan
Kimia Organik. Mahasiswa yang dilibatkan
dalam penelitian ini dipilih secara purposif dari
Prodi Kependidikan dan Non Kependidikan.

mahasiswa berdasarkan Kurikulum KKNI


FMIPA Unimed. Terhadap responden Dosen
Kimia Organik yang telah mengajar Kimia
Organik paling sedikit tiga tahun berturutpturut
diberikan susunan materi kimia yang mungkin
tercakup dalam Pokok Bahasan dan Sub Pokok
Bahasan Senyawa Aromatis, meliputi materi
pokok, materi tambahan dan materi pengayaan
yang berhubungan dengan Senyawa Aromatis
sehingga responden diharapkan dapat memilih
materi ajar yang sesuai. Berdasarkan hasil
penilaian responden terhadap usulan materi
Senyawa Aromatis diperoleh urutan materi
seperti terdapat pada Tabel 1.
Pengembangan bahan ajar Pokok Bahasan
Senyawa Aromatis dilakukan melalui inovasi
untuk memperoleh bahan ajar yang standar
dengan cara mengintegrasikan kegiatan
praktikum dan kegiatan aktivitas belajar
mahasiswa di dalam dan diluar kelas,
pengemasan ilustrasi gambar, pemberian
contoh-contoh soal dan cara penyelesaiannya,
memadukan media ajar interaktif dengan
menggunakan teknologi computer dan
mengintegrasikan hyperlink dengan website
yang relevan sesuai dengan tuntutan kurikulum
KKNI. Penyusunan draft bahan inovatif untuk
Pokok Bahasan Senyawa Aromatis dilakukan
melalui studi pustaka dengan melihat
kemajuan saat ini yang berhubungan dengan
Senyawa Aromatis, dilanjutkan dengan
standarisasi bahan ajar melalui uji pendapat
ahli untuk menguji standar kelayakan isi,
bahasa, penyajian dan kegrafikaan dengan cara
membagikan angket yang sudah standar
kepada dosen sebagai validator ahli. Hasil
penilaian responden dipergunakan sebagai
ukuran kelayakan masing-masing komponen
terhadap usulan materi dan standar kelayakan
bahanu ajar Senyawa Aromatis. Tahap
pengembangan berikutnya adalah pengemasan
bahan ajar Senyawa Aromatis hasil inovasi
yang digabung dengan multimedia dalam
bentuk hard copy dan soft copy di dalam CD,
keduanya (bahan teks dan bahan elektronik)
dapat dipergunakan oleh mahasiswa sebagai
media pembelajaran, bersama-sama dengan
petunjuk penggunaannya dengan tujuan agar
mahasiswa dapat menggunakan bahan ajar
secara efektif dan efisien. Tahap lanjutan
dalam pengembangan bahan ajar Pokok
Bahasan Senyawa Aromatis adalah melakukan
uji coba penggunaan bahan ajar kimia inovatif
kepada maha dalam pembelajaran, yaitu bahan

Prosedur penelitian terdiri atas persiapan


penelitian, inovasi bahan ajar, penyusunan
instrumen penelitian, pelaksanaan penelitian,
pengumpulan data, dan analisis data hasil
penelitian.
Instrumen
penelitian
yang
dipergunakan meliputi questioner, pencatatan
dokumen
potensi
lokal
yang
dapat
dipergunakan dalam pembelajaran, inovasi
pembelajaran (materi belajar inovatif),
integrasi kegiatan laboratorium dan aktivitas
non laboratorium dalam materi pembelajaran,
dan evaluasi belajar (test) yang mencakup
ranah kognetif, afektif, dan psikomotor.
Inovasi pembelajaran dilakukan mengikuti
prosedur yang dijelaskan Situmorang, dkk.,
(2010); Situmorang, dkk., (2011); dan
Situmorang (2013). Seluruh instrumen
penelitian
disusun
dan
distandarsisasi
mengikuti prosedur standar yang dijelaskan
dalam penelitian sebelumnya (Situmorang,
dkk., 2013, Situmorang, dkk., 2011).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pengembangan Bahan Ajar Inovatif
Untuk Pengajaran Senyawa Aromatis
Pengembangan bahan ajar pokok bahasan
Senyawa Aromatis dimulai dari pengajuan
materi Senyawa Aromatis yang relevan untuk
1669

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ajar hasil pengembangan dipergunakan sebagai


media pembelajaran di dalam kelas ekperimen
untuk mengetahui peningkatan hasil belajar
kimia terhadap mahasiswa dan dibandingkan
dengan mahasiswa pada kelompok kontrol
menggunakan
buku
kimia
pegangan
mahasiswa.

Hasil penilaian responden terhadap bahan


ajar hasil pengembangan berdasarkan pendapat
responden berada pada kategori baik dengan
rata-rata 3,71. Seluruh parameter yang
diajukan di dalam komponen penilaian
ditanggapi sangat positif oleh responden. Hasil
penilaian yang diberikan oleh Dosen kimia
(3,65) tergolong sangat baik. Penilaian yang
baik juga diberikan oleh responden Mahasiswa
senior (3,78). Dengan demikian bahan ajar
inovatif interaktif berbasis multimedia layak
untuk dipergunakan dalam pembelajaran pada
pengajaran
Senyawa
Aromatis
untuk
meningkatkan kompetensi mahasiswa.

Tabel 1. Susunan materi Senyawa Aromatis yang


relevan untuk dibuat menjadi bahan ajar inovatif
interaktif berbasis multimedia
Bab
Bab
IV

Poko
Bahasan
Senyawa
Aromatis

Sub Pokok Bahasan


Pengantar Senyawa Aromatis
Sejarah Benzena
Stabilitas dan Energi Resonansi
Benzena
Sifat Senyawa Aromatis
Persyaratan Senyawa Aromatik
Senyawa Turunan Benzena
Tatanama Benzen dan Turunannya
Reaksi dan Mekanisme Reaksi
Turunan Aromatis
Gugus Pengaruh Orto, Meta dan
Para Senyawa Aromatis
Kegunaan Senyawa Aromatis
Senyawa Aromatis Dalam Industri

3.3. Implementasi Bahan Ajar Inovatif


Dalam Pengajaran Senyawa
Aromatis
Bahan ajar inovatif interaktif pokok bahasan
Senyawa Aromatis hasil pengembangan
dijadikan sebagai media pembelajaran di
dalam kelas pada pengajaran Senyawa
Aromatis pada beberapa Program Studi paralel
di Jurusan Kimia FMIPA Unimed, dan sebagai
kontrol dipergunakan buku teks pegangan
mahasiswa. Kemampuan awal mahasiswa
terhadap penguasaan Senyawa Aromatis
diukur melalui evaluasi awal (pretest)
sebebelum pembelajaran dilakukan. Hasil
belajar mahasiswa berdasarkan kemampuan
menjawab soal pretest dirangkum pada Tabel
3. Hasil analisis menunjukkan bahwa
responden yang diikutkan dalam penelitian ini
relatif homogen ditunjukkan dari rata-rata hasil
penguasaan mahasiswa pada materi kimia
sebelum pembelajaran dilakukan, yaitu pada
kelompok eksperimen (M=25,8) dan kelompok
kontrol (M=26,0), dua kelompok perlakuan
tidak berbeda secara nyata thitung 0,031 < ttabel
1,663. Kemampuan awal mahasiswa pada
semua Program Studi yang dijadikan sebagai
sampel penelitian relatif sama.

3.2. Standarisasi Bahan Ajar Inovatif Pokok


Bahasan Senyawa Aromatis
Bahan ajar hasil pengembangan untuk
Pokok
Bahasan
Senyawa
Aromatis
distandarisasi menggunakan penilai ahli Dosen
kimia dan dilanjutkan dengan ujicoba materi
ajar dalam pembelajaran kepada mahasiswa.
Untuk mengetahui kualitas bahan ajar Pokok
Bahasan
Senyawa
Aromatis
dalam
pembelajaran,
kepada
masing-masing
responden telah diberikan satu set materi ajar
hasil pengembangan, dan responden diminta
pendapat
tentang buku ajar
inovasi
berdasarkan
kriteria
panilaian
sangat
positif/sangat baik (skor 4) sampai yang paling
lemah/tidak baik (skor 1). Hasil penilaian
responden pada kualitas bahan ajar kimia
inovatif pada diringkas pada Tabel 2.

Tabel 2. Kualitas bahan ajar inovatif pokok bahasan Senyawa Aromatis berdasarkan penilaian Dosen Kimia
Organik (D), Mahasiswa Senior (M). Angka adalah rata-rata dari 35 responden. Kriteria penilaian: 4 =
sangat baik, 3 = baik, 2 = kutang baik, dan 1 = tidak baik.
Komponen
Bahan Ajar
Kimia

Isi

Keterbacaan

Deskripsi Singkat Penilaian Terhadap Materi Bahan Ajar Inovatif Berbasis


Multimedia
- Kelengkapan isi berdasarkan pokok bahasan dan sub pokok bahasan sesuai
kurikulum KKNI
- Keakuratan isi untuk menjadi bahan rujukan, integrasi muatan lokal, percobaan
laboratorium, aplikasi kontekstual, dan kesesuaian media dan strategy
pembelajaran
- Ukuran kalimat, pragraf, ilustrasi, penjelasan gambar dan tabel, contoh soal dan
penyelesaian

1670

Pendapat
Responden
D
M Rataan
3,90

4,00

3,95

3,90

4,00

3,95

3,00

3,33

3,17

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Kedalaman
Materi

Disain

Bahasa

- Keterkaitan antar paragraph dalam pokok bahasan dan sub pokok bahasan, dan
penjelasan kontekstual
- Materi kimia disajikan dalam urutan yang sesuai terdiri atas pendahuluan, isi,
contoh soal, latihan, quiz, dan hyperlink
- Ketersediaan aplikasi konsep dan contoh berhubungan dengan kehidupan seharihari
- Kesesuaian antara tata letak, desain, ilustrasi, grafis, dan animasi dengan pokok
bahasan dan sub pokok bahasan
- Penyajian table, ilustrasi, gambar, yeknologi informasi, multimedia, dan
tatawarna dengan pokok bahasan
- Ketersediaan interaktif yang melibatkan peserta didik untuk belajar mandiri
- Sesuai dengan perkembangan peserta didik
- Mudah dimengert, komunikatif dan baku
- Kejelasan dan ketepatan penggunaan istilah, bahasa dan tatabahasa, simbol,
persamaan reaksi kimia, dan rumus kimia
Rataan

3,50

3,67

3,59

3,50

3,67

3,59

3,50

3,67

3,59

4,00

4,00

4,00

3,50
3,50
4,00
3,50

3,67
3,67
4,00
3,67

3,59
3,59
4,00
3,59

4,00
3,65

4,00
3,78

4,00
3,71

belajar diringkas pada Tabel 3. Berdasarkan


hasil evaluasi akhir diketahui bahawa
mahasiswa pada dua kelompok perlakuan
dapat menjawab soal dengan baik, ditunjukkan
dari peningkatan hasil belajar yang relatif
tinggi dibandingkan hasil belajar yang
diperoleh pada pretest. Hasil belajar yang
diperoleh pada kelompok eksperimen yang
diberikan pembelajaran menggunakan Bahan
ajar inovatif interaktif berbasis multimedia
hasil pengembangan (M=83,4) lebih tinggi
dibanding pencapaian hasil belajar mahasiswa
pada kelompok kontrol yang menggunakan
buku pengangan mahasiswa (M=73,6), dua
kelompok perlakuan berbeda secara nyata
(thitung 7,781 > ttabel 1,663).

Implementasi bahan ajar inovatif interaktif


pokok bahasan Senyawa Aromatis hasil
pengembangan dilakukan pada kelompok
eksperimen, sedangkan kelas kontrol diberikan
pembelajaran menggunakan buku ajar kimia
pegangan sekolah. Berbagai parameter
penelitian diusahakan relatif sama dalam
pembelajaran. Evaluasi belajar tahap pertama
(postest 1) dilakukan pada jam pelajaran kimia
pada minggu efektif berikutnya, bertujuan
untuk memberikan waktu cukup bagi
mahasiswa menggunakan Bahan ajar inovatif
interaktif hasil pengembangan untuk belajar
mandiri (self learning) untuk menyelesaikan
soal-soal kimia Senyawa Aromatis. Hasil
belajar (skor) mahasiswa diukur berdasarkan
kemampuan mahasiswa menjawab evaluasi

Tabel 3. Hasil belajar mahasiswa berdasarkan evaluasi belajar (pretest, postest 1 dan postest 2) pada pengajaran
Senyawa Aromatis menggunakan Bahan ajar inovatif interaktif. Angka adalah rata-rata pada masingmasing kelompok sampel.
Hasil Belajar Mahasiswa (rata-rata dari kemampuan menjawab soal pilihan berganda)
Prodi A1
Prodi A2
Prodi B
Rata-rata
Jenis Evaluasi (Test)
dan Efektifitas
Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol
Pretest
30,3
30,0
23,0
23,2
24,2
24,8
25,8
26,0
Postest-1
84,0
75,0
82,8
72,5
83,3
73,2
83,4
73,6
Postest-2
75,5
64,8
76,3
69,0
82,5
69,7
78,1
67,8
Efektifitas (%)*
90
86
92
95
99
95
94
92
Keterangan: A1 = Prodi Pendidikan Reguler; A2 = Prodi Pendidikan Ekstensi; dan B = Prodi Non Pendidikan Reguler
*Persentase keefektifan pembelajaran dihitung berdasarkan hasil pencapaian kelompok ekperimen dibandingkan terhadap
kelompok kontrol

postest-2 dibandingkan terhadap postest-1.


Kepada mahasiswa pada kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol diberikan evaluasi tahap
dua (postest 2) maka setelah jangka waktu satu
bulan setelah perlakuan pembelajaran telah
berlalu dengan menggunakan soal dengan
bobot relatif sama dengan yang dilakukan pada
postest-1. Hasil belajar mahasiswa pada
postest-2 dirangkum pada Tabel 3. Hasil

Selanjutnya diselidiki tingkat keefektifan


bahan ajar inovatif interaktif pokok bahasan
Senyawa Aromatis hasil pengembangan dalam
meningkatkan daya ingat mahasiswa terhadap
penguasaan konsep materi kimia dalam
pembelajaran kimia. Keefektifan bahan ajar
inovatif interaktif pokok bahasan Senyawa
Aromatis dalam meningkatkan daya ingat
mahasiswa dilihat dari hasil belajar pada
1671

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

belajar mahasiswa pada kelompok eksperimen


(M=78,1) secara konsisten lebih tinggi
dibanding kelompok kontrol (M=67,8), dan
dua kelompok perlakuan berbeda secara nyata
(thitung 7,021 > ttable 1,663). Pola penurunan hasil
belajar pada postest 2 diperoleh pada kedua
kelompok percobaan dibanding dengan hasil
belajar yang diperoleh pada postest 1. Tingkat
efektifitas bahan ajar inovatif interaktif
berbasis multimedia hasil pengembangan
(94%) lebih tinggi dibanding efektifitas buku
pegangan mahasiswa (92%). Kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen sama-sama
efektif dalam meningkatkan hasil belajar
mahasiswa karena mahasiswa yang berada
pada kelompok kontrol juga menggunakan
bahan
ajar
inovatif
interaktif
hasil
pengembangan yang sudah dimiliki oleh rekan
mahasiswa di kelas eksperimen. Hasil ini
menyakinkan bahwa bahan ajar inovatif
interaktif efektif dalam meningkatkan hasil
belajar mahasiswa dalam pengajaran Senyawa
Aromatis. Hal ini disebabkan karena bahan
ajar inovatif mampu meningkatkan motivasi
mahasiswa dalam belajar mandiri. Fasilitas
yang tersedia di dalam bahan ajar inovatif
interaktif seperti media yang ditata dalam
bentuk CML menjadikan mahasiswa belajar
lebih intensif.

pergeseran pembelajaran dari Lecture centre


learning menuju Student centre learning.
Terjadi peningkatan persentase mahasiswa
termotivasi belajar mandiri menggunakan
bahan ajar inovatif.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Dirjen Dikti Kementerian Ristek dan
Dikti yang telah memberikan dana penelitian
melalui Hibah Kompetensi (HIKOM).

6. DAFTAR PUSTAKA
Blouin, R.A., Riffee, W.H., Robinson, E.T., Beck,
D.E., Green, C., Joyner, P.U., Persky, A.M., dan
Pollack, G.M., (2009), Roles of Innovation in
Education Delivery, American Journal of
Pharmaceutical Education 73(8): 1-12.
Douthwaite, B., Beaulieu, N., Lundy, M., dan
Peters, D., (2009), Understanding how
participatory approaches foster innovation,
International
Journal
of
Agricultural
Sustainability 7(1): 42-61.
Folb, B.L., Wessel, C.B., dan Czechowski, L.J.,
(2011), Clinical and academic use of electronic
and print books: the Health Sciences Library
System e-book study at the University of
Pittsburgh, J Med Libr Assoc. 99(3): 218-228.
Heijne-Penninga, M., Kuks, J.B.M., Hofman,
W.H.A., Muijtjens, A.M.M., dan CohenSchotanus, J., (2013), Influence of PBL with
open-book tests on knowledge retention
measured with progress tests, Adv in Health Sci
Educ 18: 485495.
Jippes, E., Van-Engelen, J.M.L., Brand, P.L.P., dan
Oudkerk, M., (2010), Competency-based
(CanMEDS) residency training programme in
radiology: systematic design procedure,
curriculum and success factors, Eur Radiol.
20(4): 967-977.
Karimi, R., (2011), Interface between problembased learning and a learner-centered paradigm,
Advances in Medical Education and Practice 2:
117-125.
Kolluru, S., (2012), An Active-Learning
Assignment Requiring Pharmacy Students to
Write Medicinal Chemistry Examination
Questions, American Journal of Pharmaceutical
Education 76(6): 1-7.
Lax, L., Watt-Watson, J., Lui, M., Dubrowski, A.,
McGillion, M., Hunter, J., MacLennan, C.,
Knickle, K., Robb, A., dan Lapeyre, J., (2011),
Innovation and design of a web-based pain
education interprofessional resource, Pain Res
Manage 16(6): 427- 432.
Lehmann, E.D., DeWolf, D.K., Novotny, C.A.
Reed, K., dan Gotwals, R.R., (2014), Dynamic
Interactive Educational Diabetes Simulations
Using the World Wide Web: An Experience of

4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian diketahui bahwa bahan
ajar
inovatif
interaktif
pokok
hasil
pengembangan sangat efektif dipergunakan
untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa
pada pengajaran Senyawa Aromatis sesuai
tuntutan kompetensi yang diinginkan dalam
kurikulum KKNI. Bahan ajar dilengkapi
fasilitas
pembelajaran
aktif
untuk
meningkatkan kegiatan belajar-mengajar kimia
secara mudah, efisien, dan berpusat pada diri
mahasiswa. Bahan ajar inovatif interaktif dapat
dipergunakan sebagai media pembelajaran di
dalam kelas dan terbukti secara nyata dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mahasiswa terhadap Senyawa Aromatis. Hasil
belajar pada kelompok eksperimen yang
diberikan pengajaran menggunakan bahan ajar
inovatif lebih tinggi dibanding kelompok
kontrol yang diajar menggunakan buku
pengangan mahasiswa. Bahan ajar hasil
pengembangan dapat meningkatkan kegiatan
belajar-mengajar secara mudah, efisien dan
berpusat pada diri mahasiswa sehingga terjadi
1672

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
More Than 15 Years with AIDA Online,
International Journal of Endocrinology, Article
ID 692893, 25 pages (http://dx.doi.org/10.1155/
2014/692893).
Montelongo, J.A., dan Herter, R.J., (2010), Using
Technology to Support Expository Reading and
Writing in Science Classes, Science Activities,
47: 89-102.
Munthe, L.B., dan Situmorang, M., (2015),
Pengembangan Media Pembelajaran Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Pada Pengajaran
Radioisotop, Prosiding Seminar Nasional dan
Rapat Tahunan BKS PTN-B bidang MIPA di
Universitas Tanjungpura Pontianak Tgl 6-9 Mei
2015, pp. 514-522
Nicholl, T.A., dan Lou, K., (2012), A Model for
Small-Group Problem-Based Learning in a
Large Class Facilitated by One Instructor,
American
Journal
of
Pharmaceutical
Education; 76(6): 1-6.
Ofstad, W., dan Brunner, L.J., (2013), Team-Based
Learning in Pharmacy Education, American Journal

Situmorang, M., Sinaga, M., Tarigan, D.A., Sitorus,


C.J, dan Tobing, A.M.L., (2011), The Affec-tivity
of Innovated Chemistry Learning Me-thods to
Increase Students Achievement in Teaching of
Solubility and Solubility Product, Jurnal Penelitian

Bidang Pendidikan 17(1): 29-37


Situmorang, M., Sinaga, M., Tobing, A.M.L.,
Sitorus, C.J., dan Tarigan, D.A., (2010), Teaching Innovation in the Laboratory to Increase
Students Achievement in chemistry, Jurnal
Penelitian Bidang Pendidikan 17(1): 7-14.
Situmorang, M., Sinaga, R., Sitorus, M., dan
Situmorang, A.A., (2015), Pengembangan
Bahan Ajar Kimia SMA/MA Inovatif Dan
Interaktif Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Siswa Pada Pengajaran Hidrokarbon, Prosiding
Seminar Hasil Penelitian Lembaga Penelitian
Unimed Tahun 2013 Bidang Pendidikan, Tgl
14-16 November 2013, pp. 199-206.
Situmorang, M., Sitorus, M., dan Situmorang, A.A.,
(2015), Pengembangan Bahan Ajar Kimia
SMA/MA Inovatif Dan Interaktif Berbasis
Multimedia, Prosiding Seminar dan Rapat
Tahunan BKS PTN-B Bidang MIPA di UNTAN
Pontianak, Tgl 5-9 Mei 2015, pp. 533-542
Situmorang, M., Sitorus, M., Hutabarat, W., dan
Situmorang, Z., (2015), The Development of
Innovative Chemistry Learning Material For
Bilingual Senior High School Students in
Indonesia, International Education Studies
8(10): 72-85
Situmorang, M., Suyanti, R.D., Milfayetty, S.,
(2013), Pengembangan Buku Ajar Kimia
SMA/MA Melalui Inovasi Pembelajaran dan
Integrasi Pendidikan Karakter, laporan Hasil
Penelitian, FMIPA UNIMED Medan.
Situmorang, M., Suyanti, R.D., Simatupang, N.I.,
dan Munthe, S.D.D., (2013), Pengembangan
Buku Ajar Kimia SMA/MA Kelas X Sesuai
Kurikulum 2013 Melalui Inovasi Pembelajaran
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa,
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Lembaga
Penelitian Unimed Tahun 2013 Bidang
Pendidikan, Tgl 14-16 November 2013, pp. 1-8.
Stewart, D.W., Brown, S.D., Clavier, C.W., dan
Wyatt, J., (2011), Active-Learning Processes Used

of Pharmaceutical Education 77(4): 1-11.

Parulian, H.G., dan Situmorang, M., (2013),


Inovasi Pembelajaran Di Dalam Buku Ajar
Kimia SMA Untuk Menigkatkan Hasil Belajar
Siswa Kelas XI, Jurnal Penelitian Bidang
Pendidikan 19(2): 67-78.
Simatupang, N.I. dan Situmorang, M., (2013),
Innovation of Senior High School Chemistry
Textbook To Improve Students Achievement In
Chemistry, Proceeding of The 2nd International
Conference of the Indonesian Chemical Society
2013 October, 22-23th 2013, p. 44 52.
Situmorang, M., (2013), Pengembangan Buku Ajar
Kimia SMA Melalui Inovasi Pembelajaran dan
Integrasi
Pendidikan
Karakter
Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa, Prosiding
Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN-B
Bidang MIPA di Bandar Lampung, Tgl 10-12
Mei 2013, pp. 237-246.
Situmorang, M., dan Sitorus, C.J., (2011), The
Innovation of Demonstration Method to
Increase Students Achievement in the teaching
of solubility Product, Jurnal Penelitian Bidang
Pendidikan, 18(1): 1-7.
Situmorang, M., dan Situmorang, A.A., (2014),
Efektivitas Modul Pembelajaran Inovatif Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Pada Pengajaran
Laju Reaksi, Jurnal Penelitian Bidang
Pendidikan 20(2): 139-147

in US Pharmacy Education, American Journal of


Pharmaceutical Education 75(4): 1-6.
Washburn, N.R., (2011), Teaching Technological
Innovation and Entrepreneurship in Polymeric
Biomaterials, J Biomed Mater Res A. 96(1): 58-65.

1673

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

MODIFIKASI KROMATOGRAFI SILIKAGEL UNTUK MEMURNIKAN ASAM


LINOLEAT TERKONJUGASI HASIL SINTESIS LINOLEAT MINYAK JARAK
Marham Sitorus dan Wesley Hutabarat
FMIPA Universitas Negeri Medan (UNIMED)
marham.sitorus@gmail.com
ABSTRAK
Telah dilakukan pemurnian CLA (Conjugated Linoleic Acid) hasil sintesa risinoleat minyak jarak dengan
kromatografi kolom silikagel yang diimpregnasi dengan perak nitrat. Elusi dilakukan secara gradien dengan
perbandingan heksana : asetonitril 49 : 1 sampai 40 : 10 dengan kenaikan volume asetonitril dan pengurangan
heksana 1 mL. Hasil yang paling baik adalah dengan perbandingan heksana : asetonitril 40 : 10 dengan kadar
CLA yang diperoleh 76.05 % atau tingkat pencapaian 90.68 % dibandingkan dengan CLA standar dengan
kadar 84.52 %.
Kata kunci: CLA, risinoleat, inpregnasi dan perak nitrat

ABSTRACT
Purification of CLA (Conjugated Linoleic Acid) synthesized from ricinoleic of castor oil by column
chromatography silicagel impregnated with Silver Nitrate with have conducted. Ratio of eluent hexane :
acetonitril was 49: 1 to 40: 10 with inreasing was one mL. The most excellent resolution is ratio of eluent
hexane - acetonitrile 40: 10. Yied of CLA obtained is 76.05% with a purity level of 90.68% as compared to
the Standard CLA with a purity of 84.52%.
Keywords: CLA, ricinoleic, impregnation and silver nitrate

dengan fraksi urea akan menghasilkan CLA


dengan kemurnian yang tinggi (Vellenueve et
al,. 1995), namun dalam bentuk asam lemak
sehingga esensialiatasnya berobah bila
dibandingkan
dengan
dalam
bentuk
trigliserida. Pemisahan isomer CLA juga telah
dilakukan dengan teknik fraksinasi solven
dengan hasil yang cukup baik , namun pelarut
dan disain reaktornya sangat mahal (Hidetaka
et al., 2006 dan Uehara et al,. 2006).
Pemisahan dengan kromatografi kolom dengan
fasa diam silikagel dan alumina tidak optimal
karena komponen pengotor dan CLA
mempunyai sifat fisik dan kimia yang
berdekatan (Cristie et al., 2007), padahal kedua
sifat ini adalah sebagai dasar pemisahan
dengan kromatografi kolom.

1. PENDAHULUAN
Senyawa CLA (Conjugated Linoleic
Acid) hasil sintesis dari risinoleat minyak jarak
masih tercampur dengan komponen lain sesuai
dengan komposisi minyak jarak dan dari hasil
samping reaksi dehidrasi dan isomerisasi.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa
CLA dapat terpisah dengan resolusi yang
tinggi bila dianalisa dengan GC dan GC MS
dengan kolom kapiler baik fasa normal
maupun fasa terbalik (Cristie et al., 2000,
Dobson, 1998, Ozgul 2005 dan Sehat et al.,
1998).
Resolusi juga relatif baik
bila
dianalisis dengan
Ag+ HPLC dengan fasa
normal atau terbalik dengan merangkai
minimal tiga buah kolom (Yuruwecs dan
Morehouse, 2001, Adolft et al., 2002,
Vereshhchagin dan Pchelkin, 2003 dan Cristie
et al., 2007). Analisis dengan GC dan GC
MS tidak preparatif dan harus melalui
derivatisasi sehingga pemisahan CLA tidak
cocok dilakukan dengan cara tersebut.
Selanjutnya walapun HPLC adalah preparatif
namun hanya dalam skala kecil dan harga
peralatannyapun sangat mahal. Pemisahan

Pada penelitian ini telah dilakukan


pemisahan CLA dengan kromatografi kolom
yang
dimodifikasi
yaitu
dengan
mengimpregnasi fasa diam silikagel perak
nitrat (argentonated). Dasar terjadinya
pemisahan adalah fenomena dimana ikatan
rangkap komponen lemak dalam minyak jarak
hasil dehidrasi (DCO = Dehydrated Castor
1674

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Oil) dapat membentuk ikatan koordinasi yang


reversibel dengan ion perak melalui kompleks
EDA (electron donor acceptor) yang analog
dengan dasar yang digunakan dengan analisis
pada Ag+HPLC. Sifat reversibel ikatan
rangkap dengan ion perak dipengaruhi oleh
jumlah ikatan rangkap dan geometri trans dari
komponen penyusunnya (Damyonova, 2006,
Neff et al., 1999 dan Cristie et al., 2007),
sehingga waktu elusi tiap komponen akan
berbeda. Cara elusi yang dilakukan adalah
elusi bergradien dengan memvariasi campuran
pelarut heksana, asetonitril dan
aseton.
Kondisi ini telah dicobakan untuk memisahkan
trigliserida GLA (gamma linoleic acid) suatu
trigliserida dengan tiga ketidakjenuhan
(linoleat) dari Evening Primrose Oil (EPO)
dan berbagai bijian tumbuhan dengan hasil
yang baik (Guel- Guerro, 2000 dan Rincon et
al., 2009). Kajian perbandingan pelarut
dilakukan secara elusi bergradien berdasarkan
kenaikan kepolaran dengan memvariasi
campuran eluen heksana dan, asetonitril .
Pemisahan dipandu dengan KLT dan deteksi
noda dengan lampu UV. Analisis dilakukan
dengan gabungan GC, FTIR dan UV,
sedangkan penentuan komposisi dengan GC
MS yang dibandingkan dengan standar.

(pa) MERK yaitu


: serbuk Zn anti
polimerisasi, P2O5, Silikagel 60 G, Alumina, nheksana, aseton, perak nitrat , plat KLT
,Iodium , FAME CLA standar produksi sigma,
akuades, pH universal, dan gas nitrogen dari
aneka gas Medan

2. METODE PENELITIAN

Metode permurnian ini diadopsi dari


prosedur Rincon at al., 2009 untuk pemurnian
GLA (gamma linolenic acid) yang diisolasi
dari EPO (evening primrose oil). Sebanyak 20
g silikagel ditambahkan ke dalam 50 mL
etanol absolut membentuk bubur silikagel.
Ditempat lain dibuat 1 g AgNO3 dalam 50 mL
etanol absolut yang diaduk dengan pengaduk
magnet. Selanjutnya larutan perak nitrat
dicampurkan dengan bubur silikagel dan
diaduk sekitar 10 menit. Etanol diuapkan
dengan rotari evavorator vakum (50oC) dan
silikagel terimpregnasi diperoleh dengan
pemanasan dalam oven pada suhu 105oC
selama 2 Jam. Kolom disiapkan dengan
melarutkan silikagel terimpregnasi dengan
pelarut n-heksana hingga menjadi bubur.
Selanjutnya bubur dimasukkan kedalam kolom
dengan diameter 2,5 cm dan tinggi 30 cm
hingga tidak ada lagi gelembung udara dalam
kolom. Untuk homogenisasi dibiarkan selama
semalam dengan membiarkan pelarut sekitar 2
cm diatas kolom serta karan bawah dan bagian
atas ditutup untuk menghindari kekeringan.

Dehidrasi Risinoleat Minyak Jarak


Prosedur yang digunakan adalah
berdasarkan prosedur optimal yang dilakukan
(Sitorus, et. al, 2010) yaitu. Sebanyak 25 ml
minyak jarak (23,8525 g) dimasukkan dalam
labu alas bulat leher tiga kapasitas 100 ml.
Selanjutnya ditambahkan 3 % w/w dehidrator
P2O5 dan 0,1 g serbuk Zn sebagai
antipolimerisasi . Labu dirangkai dengan
pendingin bola , pompa vacuum, dan gas
Nitrogen. Dehidrasi dilakukan suhu 175
200oC pada kondisi pengurangan tekanan 50
70 mmHg, aliran gas Nitrogen dan kecepatan
pengadukan 800 1000 rpm. Selanjutnya
Hasil dianalisis komposisinya dengan GC dan
GC MS yang digunakan sebagai patokan
untuk tingkat kemurnian hasil pemisahan
dengan kromatografi kolom.
Pereparasi
Kromatografi
Impregnasi Perak Nitrat.

Peralatan yang digunakan adalah


berbagai peralatan gelas timbangan digital
AND GR 2000, alat evaporator Heidolph VV
2000, satu set alat refluks, hot plate yang
dilengkapi dengan pengatur suhu dan magnetig
stirer, pompa vacuum KRISBOW yang
dilengkapi dengan manometer U, tabung
serbuk magnesium dan tabung silikagel,
tabung gas Nitrogen, alat GC HP 3890.
Spektrofotometer
FTIR SHIMADZU IR
Prestige 21 dan alat GC- MS SIMADZU,
Spektofotometer UV SIMADZU Milton roy
Spektronic 3000 array , kolom kromatografi
dan lampu UV SPECTROLINE
dengan
panjang gelombang 365 nm (long wave) dan
254 nm (short wave) , kolom kromatografi 30
cm dan diameter 1 inci, dan Chamber untuk
KLT. Sedangkan bahan kimia habis pakai yang
digunakan adalahsampel minyak jarak yang
digunakan adalah yang diperdaganggangkan di
kota medan dengan grade II atau RDCO
(Refine and Deodorized Castor OIL) dari toko
Asean Medan. Bahan kimia habis pakai yang
digunakan semua adalah grade pro-analysis
1675

Kolom

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

perbandingan eluen optimal untuk pemurnian


CLA dengan kromatografi kolom fasa diam
silikagel yang diimpregnasi dengan perak
nitrat.

Pemurnian CLA dengan Kromatofrafi


yang Diimpregnasi Perak Nitrat
Sekitar
2,5 mL sampel CLA
dimasukkan pelan pelan kedalam kolom dan
dilakukan elusi garidien dengan pelarut
Heksana (H) dan Asetonitril (As). Urutan
perbandingan H : As (masing masing 8 x 5
mL) adalah: 50 : 1 sampai dengan 40 : 10
dengan pertambahan volume 1 mL. Sampling
tiap fraksi
dibuat KLT untuk melihat
kemiripan pola noda dengan standar dan
selanjutnya dianalisis dengan GC, FTIR dan
GC MS. Selanjutnya dilakukan perekaman
(scan) panjang gelombang maks (maks) dengan
spektrofotometer UV
dari CLA hasil
dehidrasi,
hasil
pemurnian
dengan
kromatografi kolom silikgel yang diimpregnasi
dengan perak nitrat dengan pelarut n-heksan
yang dibandingkan dengan standar otentik
CLA. Hasil interpretasi akan menghasilkan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Perbandingan eluen n-Heksana (H) : asetonitril
(As) yang digunakan berturut turut adalah :
49 : 1 sampai dengan 40 : 10 dengan kenaikan
volume asetonitril 1 mL yang ditampung
masing masing tiap perbandingan pelarut
(fraksi) 10 vial x 5 mL. Sampel tiap fraksi
noda dibuat data KLTnya utuk melihat
kesamaan pola noda dengan standar. Deteksi
noda terhadap analisis KLT tiap sampel fraksi
pemisahan dilakukan dengan lampu ultra violet
(UV) . Selanjutnya hasil KLT yang resolusi
(pemisahannya)
paling
baik
dibuat
kromatogramnya dengan hasil pada tabel 1.

Tabel 1. Komposisi CLA hasil pemisahan dengan kromatografi Kolom Fasa diam silikagel yang diimpregnasi
AgNO3 dengan variasi Eluen n-Heksana : Asetonitril

H : As(V/V)a

No Vial

40 : 10

7
8
7
8
7
8

42 : 8
43 : 7

Standar CLA
a. H (n-Heksana) dan As (Aseton)
b. Berdasarkan luasan puncak
c. Optimal
Berdasarkan sampling analisis terhadap hasil
KLT yang resuolisinya baik maka maka
perbandingan eluen n-heksana : Asetonitril
paling optimal adalah 40: 10 karena relatif
stabil pada vial 7 dan 8 dengan tingkat
pencapaian terbaik dibanding standar adalah :
[76,05/90,68] x 100 % = 84,52 %.Selanjutnya
dilakukan analisis
CLA hasil pemurnian
dengan spektroskopi FTIR hasil pemurnian
adalah
untuk
mengkonformasi
gugus

CLA (%)b
9t/c 11c/t
9t 11t
56,60
19,45
56,56
14,77
59.32
16,02
49,03
9,59
54,54
21,12
55,18
8,30
90,68
16,38

Total CLA
(%)b
76,05c
71,77
75,04
58,62
75,66
63,40
90,68

fungsional. Identifikasi dilakukan terhadap


hasil pemurnian dengan eluen heksana :
asetonitril 40 : 10 (v/v) vial 7 yang
dibandingkan dengan CLA standar untuk
mengidentifikasi keidentikan pola spektranya
FTIRnya. Secara spesifik keduanya akan
memunculkan pita serapan dari alkena
terkonjugasi dengan spektra seperti gambar 1
berikut .

1676

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

[a]
C=C-C=C

Overtone
C=O

C=O
[b]
C=C-C=C

Ovetone
C=O

C=O

Gambar 1. Spektra FTIR [a]. CLA standar dan [b]. hasil pemisahan
dengan perbandingan eluen (v/v)heksana : asetonitril : 40 : 10
Penampilan spektra FTIR hasil
pemurnian (gambar 1a) identik dengan standar
CLA (gambar 1b) khususnya serapan alkena
konjugasi yaitu pita ganda pada bilangan
gelombang sekitar 1600an cm-1 yang
mengindikasikan secara kualitatif bahwa
keduanya mengandung komponen yang sama
yaitu CLA. Secara spesifik persamaan spektra
adalah serapan alkena terkonjugasi (C=CC=C) yaitu dengan munculnya serapan ganda
yaitu 1851,07 cm-1 dan 1612,49 cm-1 untuk
standar (gambar 1a) dan 1658,78 cm-1 dan
1558 cm-1 untuk hasil pemisahan (gambar 1b).
Pita serapan 3464,15 cm-1 (Gambar 1a) dan
3448,72 cm-1
(gambar 1b) masing masing
adalah penguatan (overtone) dari serapan
gugus karbonil (C=O). Hasil verifikasi
menunjukkan kesamaan pola spektra FTIR

yang mengindikasikan bahwa keduanya


mengandung senyawa sama yaitu CLA.
Selanjutnya analisis dengan spektroskopi UV
adalah untuk membandingkan kesamaan pola
gugus kromofor yaitu ikatan rangkap
terkonjugasi (C = C C = C) yang dapat
meyerap radiasi sinar ultra violet (UV) antara
CLA hasil pemurnian dan standar. Serapan ini
adalah merupakan dasar analisa kualitatif dari
suatu senyawa yang mengandung gugus
kromofor yang
didasarkan pada serapan
maksimum pada suatu pangjang gelombang
yang spesifik (maks) untuk setiap senyawa
yang mengandung gugus kromofor. Dalam
penelitian ini dilakukan perekaman (scan) UV
terhadap hasil pemurnian dengan kromatografi
kolom silikagel terimpregnasi peraknitrat
(AgNO3) yang paling optimal (eluen heksana :
1677

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

asetonitril 40 : 10 v/v) . Interpretasi spektra


UV dibandingkan dengan standar CLA untuk
membandingkan
kesamaan pola grafik

absorbansi lawan panjang gelombang antara


sampel dan standar dengan spektra pada
gambar 2 berikut.

maks

[a]

maks

Gambar 2. [b]
Spektra UV [a]. CLA standar dan [b]. hasil pemurnian
dengan perbandingan eluen heksana : asetonitril 40 : 10 (v/v).
Spektra UV standar CLA (gambar 2a)
menunjukkan bahwa panjang gelombang
maksimum (maks) adalah 233 nm (A = 0789).
Harga panjang gelombang maksimum untuk
hasil pemurnian dengan kromatografi kolom
silikagel yang diimpregnasi perak nitrat
(AgNO3) dengan eluen heksana : asetonitril =
95 : 5 (v/v) (gambar 2b) juga adalah identik
yaitu 231 nm (A = 0,955). Kesamaan pola
spektra UV dari standar CLA [a] dan hasil
pemurnian [b] menunjukkan secara kualitatif
bahwa keduanya terdapat senyawa CLA.
Perbedaan panjang gelombang maksimum
(maks) sebesar 2 nm yaitu 233 nm untuk
standar CLA dan 231 nm untuk hasil hasil
pemurnian dengan kromatografi kolom

impregnasi diperkirakan adalah pergeseran


yang disebabkan oleh penggunaan pelarut atau
adanya komponen selain linoleat dan CLA
pada hasil pemurnian. Perbedaan ini adalah hal
yang lazim bahkan menurut hasil penelitian
yang dikemukakan Kanal dan Dhiman , 2004
harga (maks) untuk CLA adalah sebesar 230
nm.
4. KESIMPULAN
Pemurnian CLA dapat dilakukan
dengan teknik kromatografi kolom silikagel
modifikasi yaitu dengan mengimpregnasi
silikagel dengan perak nitrat (AgNO3) . Hasil
terbaik diperoleh denganrbandi perbandingan
1678

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Lin. T. Y; C. W. Lin and Y. J. Wang; 2003;
Production of Conjugated Linoleic Acid by
Enzyme Ekstract of Lactobacillus Acidophilus
CCRC 14079; Food Chem. 83 : 27 31.
Pilar. L; J. Fontheca; M. Juarez and M. A. de la
Fuente; 2005; Conjugated Linoleic Acid in Ewe
Milk Fat; J. Dairy Research 72 : 415 424.
Priest.W. G and J. D. Von Mikusch;1997;
Composition and Analysis of Dehydrated
Castor Oil; Woburn Degreasing Company of
New Jessey New York.
Rincon. M. A. C; I. R. Garcia and J. L. GuilGuerro; 2009;
Purification of GLA
Triglycerides from Evening Primrose Oil by
Gravimetric Colomn Chromatography; JAOCS
86 : 605 609.
Roach. J.A.G; M.P. Yuruwecz; J.G.K. Kramer;
M.M. Mossoba
and Y. Ku; 2000; Gas
Chromatography High Resolution Selection
Mass Spectometric Identification of Trace 21:0
and 20:2 Fatty Acid Eluting With Conjugated
Linoleic Acid Isomers; Lipids 35 :797 -802.
Sehat. N; J. K. G. Kramer; M. M. Mossoba; M.
P. Yurawecz; J. A. G. Roach; K. Eulitz; K. M.
Morehouse and Y. Ku; 1998; Identification of
Conjugated Linoleic Acid Isomers in Cheese by
Gas Chromatography , Silver Ion High
Performance Liquid Chromatography and Mass
Spectral Reconstructed Ion Profiles Camparison
of Chromatographic Elution Sequences; Lipids
33: 963 - 971.
Sitorus. M; S. Ibrahim; H. Nurdin dan D. Darwis;
2011a; Isomerisasi Linoleat Minyak jarak Hasil
Dehidrasi Menjadi Asam Linoleat Terkonjugasi
dan Pemisahannya dengan Kromatografi Kolom
Fasa Diam Silikage Terimpreknasi Perak Nitrat;
Jurnal Matematika dan Sains 16 (1): Inpress
Yuruwecz .M. P and K. M. Morehouse; 2001;
Silver-Ion HPLC of Conjugated Linoleic Acid
Isomers; Eur J Lipid Sci Technol 103 : 609 613.

eluen Heksana : Asetoniril = 40 : 10 (v/v),


dengan komposisi berdasarkan hasil analisis
dengan GC CLA (9c/t 11t/c) 56,60 % dan
CLA (9t 11t) 19,45 % atau total CLA
adalah 76,05 %. Komposisi CLA standar
otentik adalah CLA (9c/t 11t/c) 74,30 % dan
CLA (9t 11t) 16,38 % atau total CLA
adalah 90,68 %. Dengan demikian tingkat
pencapaian
hasil
pemurnian
CLA
dibandingkan dengan standar adalah 84,52 %.
5. DAFTAR PUSTAKA
Adolf .R. O; A. Menzel and V. D. Taran; 2002;
Analysis of Conjugated Linolec Acid Enriched
TriacylglycerolnMixture by Isocratic Silver
Ion High Performance Liquid Chromatography;
J. Chrom. A 953 : 293 297.
Cristie .W. W; G. Dopson and R. O. Adlof; 2007; A
Practical Guide to The Isolation, Analysis and
Identification of Conjugated Linoleic Acid;
Lipids 42: 1073 1025.
Damyanova B. N; 2010;
Silver Ion
Chromatography
and
Lipids;
http://www.lipidlibrary.aocs.org/silver/bnd_rev/
idex1.htm (Accested on September 10th 2010)
Dobson. G; 1998; Identification of Conjugated
Linoleic Acid by GC-MS of 4-methyl 1,2,4
triazoline -3,5 Dione Adducts; JAOCS 75:
137 142.
Guil - Guerro. J. L; P. Campra Madrid and E. El
Hassan; 2000; - Linoleic Acid Purification
from Seed Oil Sources by Argentated Silica gel
Chromatograpy Colomn ; J. Chrom. A 694: 381
389.
Liangli.Y; 2001; Free Radical Scavenging of
Conjugated Linoleic Acid; J. Agr. and Food
Chem. 49: 3452 3456.
Liangli.Y;
D. Adams and M. Gabel; 2002,
Conjugated Linoleid Acid Differs in Their Free
Radical Scavenging Properties; J. Agr. and
Food Chem. 50 : 4135 4140.

1679

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

SINTESIS DAN KARAKTERISASI RESIN ASAM SALISILAT-FORMALDEHID


UNTUK ADSORPSI Cd(II)
Martina Asti Rahayu 1), Rusnadi 2), Muhammad Bachri Amran 3)
1 Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Jambi
email: martinaastirahayu@gmail.com
2Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung
email: rusnadi@chem.itb.ac.id
Fakultas
Matematika
dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung
3
email: amran@chem.itb.ac.id
Abstract
Polymeric resin has been synthesized by condensing salicylic acid with formaldehyde as a cross linking agent at
1605C using HCl as catalyst. Characterization of this resin indicated that Salysilic acid-formaldehyde
polymer has been formed as shown as the presence of -CH2-bridge vibration band which is not found in IR
spectrum of salicylic acid as monomer. Absorption band shift of C=O and -OH which is found in Poly(salisilic
acid-formaldehyde) spectrum show that Cd(II) ions has been released from resin using with addition of EDTA.
The uptake behavior of Cd(II) metal ions towards synthesized resin has been studied depending on various
concentration. The adsorption capacities of the resin for removal Cd(II) were found to be 20.83 mg/g. The
sorption data obtained at optimized conditions were analyzed by two parameter isotherm models like Langmuir
and Freundlich. The Langmuir were found better to describe the sorption data with high correlation for the
adsorption.
Keywords: cadmium, adsorption, salysilic acid, formaldehyde, resin.

(SPE) memiliki keunggulan dibanding metode


prakonsentrasi lain yaitu faktor prakonsentrasi
yang baik, ramah lingkungan, dan waktu
ekstraksi yang cepat[4].
Salah satu metode prakonsentrasi sampel
cair yang mengandung logam berat adalah
menggunakan polimer pengkelat logam.
Khelat asam salisilat telah dikenal sejak lama.
Asam salisilat adalah senyawa yang larut
dalam air dan tidak dapat digunakan sebagai
presipitan logam. Saat asam salisilat
terkondensasi dengan adanya formaldehid
serta katalis asam, akan terbentuk kopolimer
yang tidak larut dalam air dan dapat bertindak
sebagai presipitan logam[5]. Sorben polimer
memiliki area permukaan yang lebih luas dan
jika diikatsilangkan oleh suatu crosslinker
akan menghasilkan polimer yang dapat
meretensi analit dengan baik[6]. Oleh karena

1. PENDAHULUAN
Peningkatan konsentrasi Kadmium di
perairan, tanah dan makanan disebabkan oleh
berbagai macam kegunaannya pada beberapa
cabang aplikasi industri. Paparan Kadmium
telah terbukti memiliki efek buruk pada
jantung, paru-paru, tulang dan terutama ginjal.
Setelah terakumulasi dalam hati dan ginjal,
kemudian diekskresikan sangat lambat dan
prosesnya dapat berlangsung bahkan untuk 2030
tahun[1].
Selain
itu,
Kadmium
diklasifikasikan sebagai bahan karsinogen
(Kelompok IA) oleh Badan Internasional untuk
Penelitian Kanker[2]. Oleh karena efek
toksisitas yang tinggi, perlu dilakukan
pemantauan
dan
evaluasi
konsentrasi
Kadmium di lingkungan. Nilai ambang batas
kadar kadmium untuk air minum adalah 3 gL1[3]
.
Metoda analisis yang biasa dilakukan
untuk logam kadmium adalah spektrofotometri
serapan atom (SAA). Dengan kondisi sampel
lingkungan yang kadar kadmiumnya sangat
sedikit dan matriks yang rumit, umumnya
diperlukan suatu metode prakonsentrasi
sebelum
analisis
dilakukan.
Metode
prakonsentrasi melalui ekstraksi fasa padat

itu, pada penelitian ini akan dilakukan


sintesis dan karakterisasi resin polimer
berbahan asam salisilat dan formaldehid
yang diharapkan memiliki daya adsorpsi
yang baik terhadap Cd (II).
2. METODE PENELITIAN
2.1. Bahan

1680

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Bahan-bahan yang digunakan dalam


penelitian ini memiliki derajat kemurnian pro
analisis (p.a). Adapun bahan-bahan yang
digunakan adalah HCl(l) pekat, asam salisilat,
formaldehida 37%, EDTA dan Cd(CH3COO)2.

dan formaldehida merupakan hasil dari reaksi


kondensasi, karena pada prosesnya dilepaskan
molekul air. Sintesis PASF berlangsung
dengan reaksi seperti pada gambar 1 dibawah
ini:
COOH

2.2. Sintesis Resin


Asam
salisilat
dicampur
dengan
formaldehid dengan perbandingan mol 1:3
serta 20 mL HCl 2M sebagai katalis.
Campuran ini kemudian direfluks selama 10
jam pada temperatur 1605C. Polimer yang
dihasilkan dikeringkan di dalam oven pada
temperatur 501C kemudian digerus sampai
ukuran 40-60 mesh.

OH

HCHO

Formaldehid

Asam salisilat

140 C, HCl
COOH

COOH
OH

2.3. Instrumentasi
Karakterisasi gugus fungsi polimer
dilakukan
menggunakan
spektrometri
inframerah transformasi Fourier (FTIR
Prestige 21 Shimadzu), analisis kadar ion
logam Cd(II) dilakukan dengan menggunakan
Spektrofotometer serapan atom (double beam
GBC-902).

C
H2

C
H2

OH

C
H2

PASF

Gambar 1. Reaksi polimerisasi pada PASF

3.2 Karakterisasi Resin PASF


Analisis dengan menggunakan FT-IR
dilakukan untuk melihat pergeseran nilai
bilangan gelombang puncak serapan masing
masing sampel setelah dilakukan reaksi
polimerisasi. Dengan menggunakan spektrum
FT-IR hal yang dapat diamati adalah ikatan
ikatan baru yang terbentuk pada kopolimer.
Gambar 2. dibawah ini menunjukkan
perbandingan spektrum FT-IR asam salisilat
dan PASF:

2.4. Karakterisasi resin polimer asam salisilatformaldehid.


2.4.1. Penentuan pH optimum
Masing-masing sebanyak 0,05 gram
serbuk polimer asam salisilat formaldehid
dikontakkan dengan 20 mL larutan Cd(II) 7
ppm dengan variasi pH dari 3-7 selama 24 jam.
Campuran ini disaring lalu filtrat yang
diperoleh diukur potensialnya menggunakan
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA).
2.4.2.
Penentuan Kapasitas Adsorpsi
Masing-masing sebanyak ebanyak 0,05
gram PASF dikontakkan dengan 20 mL larutan
Cd(II) 7 ppm dengan variasi pH dari 3-7
selama 24 jam. Campuran ini disaring lalu
filtrat yang diperoleh diukur potensialnya
menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom
(SSA).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Sintesis Resin Polimer Asam SalisilatFormaldehid (PASF).
PASF disintesis dengan monomer berupa
asam salisilat yang dihubungkan oleh
formaldehid sebagai methylene bridge. Reaksi
dilangsungkan dengan adanya pemanasan dan
HCl sebagai katalis. Kopolimer asam salisilat

Gambar 2. Perbandingan spektrum FT-IR PASF dan


asam salisilat

Gugus fungsi yang membuktikan bahwa


PASF telah terbentuk ditunjukkan oleh
keberadaan puncak pada daerah bilangan
gelombang sekitar 2922 cm-1 PASF. Pita
serapan di sekitar bilangan gelombang ini
menunjukkan vibrasi stretching dari gugus
metilen [5] Ini mengindikasikan keberadaan
1681

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

jembatan CH2 yang menghubungkan antara


monomer asam salisilat dan molekul asam
salisilat. Pada panjang gelombang 3035-3400
cm-1 merupakan karakteristik untuk vibrasi
stretching gugus -OH. Terjadi pergeseran
panjang gelombang ke bilangan gelombang
yang jauh lebih besar untuk vibrasi OH jika
dibandingkan dengan spektrum IR asam
salisilat. Hal yang sama juga terjadi untuk
vibrasi -C=O yang mengalami kenaikan
bilangan gelombang dari 1654 cm-1 menjadi
1658 cm-1. Pergeseran bilangan gelombang ini
menunjukkan polimerisasi asam salisilat
dengan formaldehida sudah berhasil dilakukan.
Untuk cincin aromatik, pada asam salisilat
terdapat puncak tajam yang khas, disebut
dengan
ring
torsion,
puncak
ini
mengidentifikasikan adanya cincin benzena
yang tersubstitusi. Pada panjang gelombang
786 cm-1 bergeser ke panjang gelombang yang
lebih besar dan intensitas nya menurun.

konsentrasi 200 ppm. Di atas konsentrasi 200


ppm kapasitas retensi cenderung tidak
meningkat seiring dengan telah jenuhnya
permukaan
PASF
sehingga
didaptkan
kapasitas adsorpsi PASF terhadap Cd(II)
sebesar 20,83 mg/g. Kurva yang menunjukkan
kemampuan retensi dari PASF dapat dilihat
pada gambar 4. dibawah

Gambar 5. Kapasitas Adsorpsi PASF

3.4 Isoterm Adsorpsi


Untuk mengetahui jenis isoterm yang
terjadi pada adsorpsi ion Cd(II) di permukaan
Cd-imprinted polymers dilakukan pengujian
dengan dua model isoterm adsorpsi, yaitu
menurut Langmuir dan Freundlich.
Berikut ini merupakan perbandingan antara
adsorpsi dengan model frendlich dan linear
yang kemudian dibandingkan dengan adsorpsi
secara eksperimen

3.2 Optimasi pH
Dari hasil karakterisasi dipilih pH
optimum 5 karena di atas pH 5 kemampuan
penyerapan tidak signifikan berbeda. pH 4
tidak dipilih karena rawan terjadi penurunan
kemampuan penyerapan yang drastis jika
larutan yang di buat kurang dari pH 4.
Sedangkan pH 6 tidak dipilih karena
dikhawatairkan pada pH yang sedikit lebih
tinggi dari 6 mulai terjadi pengendapan Cd(II)
menjadi Cd(OH)2 terlihat dari grafik yang
sudah sedikit menurun di pH 6. Kurva pH
terhadap kapasitas retensi ion Cd(II) dapat
dilihat pada Gambar 3 dibawah ini :

Gambar 6. Perbandingan kapasitas adsorpsi


eksperimen dan kapasitas retensi menurut
persamaan Isoterm adsorpsi Langmuir dan
Freundlich

Dari kurva pada gambar 6 diatas dapat


dilihat bahwa proses adsorpsi secara
eksperimen lebih mengikuti model adsorpsi
Langmuir. Adsorpsi Langmuir berasumsi
bahwa pada permukaan Cd-IPs terdapat
sejumlah tertentu sisi aktif yang sebanding
dengan luas permukaan adsorben. Ketika ion
Cd(II) menempati sisi aktif, maka adsorpsi
selanjutnya tidak dapat terjadi pada sisi aktif

Gambar 3. Optimasi pH
3.3 Kapasitas Retensi
Kapasitas adsorpsi PASF ditentukan
dengan metode batch pada rentang konsentrasi
5-250 ppm. Jumlah ion Cd(II) yang diadsoprsi
per satuan massa PASF meningkat seiring
dengan meningkatnya konsentrasi awal Cd(II),
peningkatan ini terus berlangsung sampai
1682

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Health, health, 1(3), 159-166, 1997.
[4] Chowdhury, D.A., Hoque, M.I.., Fardous, Z.,
Solid Phase Extraction of Copper, Cadmium
and Lead using Amberlite XAD-4 Resin
Functionalized
with
2HydroxybenzaldehydeThiosemicarbazone and
Its Application on Green Tea Leaves, Jordan
Journal of Chemistry, 8 (2), 90-102, 2013
[5] Bhavna A. Shah, Ajay V. Shah, (2007), Studies
of Chelation Ion-exchange Properties of
Copolymer Resin Derivated from Salicylic Acid
and its Analytical Applications. Irian
Polymer Journal, 16(3), 173-184.
[6] Bhavna A. Shah, Ajay V. Shah, Studies of
Chelation
Ion-exchange
Properties
of
Copolymer Resin Derivated from Salicylic Acid
and its Analytical Applications. Irian Polymer
Journal, 16(3), 173-184. 2007.
[7] Awadallah, R. M., Conductometric and
SpectrophoStudies on Copper(II), Zinc(II), and
Cadmium(II)
Complexes
of
4-(2pyridilazo)resorcinol,
Asian
Journal
of
Chemistry, 4 (3), 511-517, 1992.
[8] Amran, M.B., Panggabean, A.S., Sulaeman, A.,
Rusnadi., Preparation of a Chelating Resin and
its Application as a Preconcentration System for
Determination of Cadmium in River Water by
Flow Injection Analysis, International Journal of
Environmental Research., 5(2), 531-536, 2011.
[9] Yan, H., Row, K.H,Characteristic and
Synthetic Approach of Molecularly Imprinted
Polymer, Int. J. Mol. Sci. 155-178, 2006.
[10] Fang, Flow Injection Separation and
Preconcentration, VCH, Weinheim, 1993.
[11] Bhavna A. Shah, Ajay V. Shah, Studies of
Chelation
Ion-exchange
Properties
of
Copolymer Resin Derivated from Salicylic Acid
and its Analytical Applications. Irian Polymer
Journal, 16(3), 173-184, 2007.
[12] Karipcin F., Kabalcilar E., Spectroscopic and
Thermal on solid complexes of 4-(2-pyridylazo)
resorcinol with some transition metals, Acta.
Chem. Slov., 54 : 242, 2007.

itu. Oleh karena itu pada model isoterm


adsorpsi Langmuir terdapat parameter Qm yang
menunjukkan kapasitas adsorpsi maksimum.
Dekatnya nilai Qm (Langmuir) dan Qe
(eksperimen) menunjukkan bahwa total sisi
monolayer yang telah jenuh sebanding dengan
kapasitas adsorpsi. Pada keadaan sisi aktif
jenuh, retensi Cd(II) tidak dapat terjadi lagi
dan nilai kapasitas retensi akan cenderung
konstan. Hal ini sesuai dengan bentuk kurva
kapasitas adsorpsi secara eksperimen pada
gambar 5. Gambar tersebut juga menunjukkan
bahwa pada konsentrasi awal kenaikan
kapasitas adsorpsi cenderung lebih tajam. Ini
memberikan gambaran bahwa jika sisi aktif
Cd-IPs belum jenuh, peningkatan konsentrasi
adsorbat akan sebanding dengan peningkatan
kapasitas retensi.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh
pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
sintesis material PASF telah berhasil
dilakukan, hal ini dibuktikan dengan
karakterisasi gugus fungsi dan juga
karakterisasi sifat retensi. PASF merupakan
material yang efektif untuk keperluan adsorpsi
ion Cd(II) hal ini ditandai dengan kemampuan
retensi yang baik.
5. REFERENSI
[1] P. Patnaik, A Comprehensive Guide to the
Hazardous Properties of Chemical substances,
3rd ed, John Wiley & Sons, Inc., 2007, pp.
652653.
[2] World Health Organization,Cadmium in
Drinking Water Background document for
development of WHO Guidelines for Drinkingwater Quality, WHO, 3(4), 1-9, 2011.
[3] ATSDR (Agency for Toxic Substances and
Disease Registry), Toxicological Profile for
Cadmium (Update) dalam Xiu Han-Jing, Qi
Shang, Yu Du, Review: Effect Of
Environmental Cadmium Pollution On Human

1683

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

INOVASI BAHAN AJAR BERBASIS KONTEKSTUAL DALAM BENTUK


ELEKTRONIK (E-BOOK) UNTUK PENGAJARAN SISTEM KESETIMBANGAN
Marudut Sinaga, Febry Maria Limbong, dan Manihar Situmorang*
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Medan, Jl. Willem Iskandar Psr V Medan Estate, Medan, Sumatera
Utara, Indonesia, 20221, E-mail: marudutsng@gmail.com, dan msitumorang@lycos.com
Abstract
Inovation of learning material that is design in e-book is explained on the teaching of Chemistry Equilibrium
System. The research is aimed to provide an inovative learning material with contextual based learning to be
used as learning media in the teaching of Chemistry Equilibrium System. The innovation is carried out with
integration of laboratory work, cases, outside activities and learning media onto chemistry topic, followed by
equipped with recent technology. The developed material is then to be implemented in the class. The chemistry
material has been standardized to meet the criteria for standard learning material. Implementation of learning
material on the teaching of Chemistry Equilibrium System showed that the students who are taught by using
innovated material in experimental class obtained higher achievement (M=77.85) compare with control class
(M=69.55) that are taught with ordinary textbook, and both group are significantly different (t caount 6.131 > ttabel
1.775). Innovative learning material is foud effective to motivate students to learn chemistry.
Keywords: Contextual Learning, Learning Innovation, Learning Material, Chemistry Equilibrium

komunikatif dan memotivasi


belajar secara optimum.

1. PENDAHULUAN
Inovasi ajar berbasis kontekstual perlu
mendapat perhatian agar teori yang dipelajari
mahasiswa dapat diterapkan dengan kehidupan
sehari-hari. Ketersediaan bahan ajar Kimia
Umum berkualitas baik akan dapat menolong
mahasiswa di dalam pembelajaran, sehingga
kompetensi dapat tercapai sesuai tuntutan
kurikulum KKNI. Pembelajaran kontesktual
sebagai salah satu model pembelajaran sangat
tepat
untuk
diimplementasikan
dalam
pengajaran di Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan
(LPTK)
dalam
rangka
mempersiapkan mahasiswa menjadi guru di
sekolah. Salah satu upaya untuk meningkatkan
mutu lulusan FMIPA adalah melalui
pengadaan bahan ajar bermutu berbasis
kontekstual yang dapat mendorong mahasiswa
menghubungkan materi ajar dengan kehidupan
nyata. Pengajaran Kimia Umum perlu
mendapat perhatian karena Kimia Umum
merupakan mata kuliah wajib bagi seluruh
mahasiswa di Fakultas matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas
Negeri
Medan
(UNIMED).
Untuk
meningkatkan
kompetensi
mahasiswa
diperlukan bahan ajar bermutu agar
pembelajaran
kimia
lebih
bermakna,

mahasiswa

Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu


lulusan perguruan tinggi adalah melalui
pengadaan bahan ajar bermutu, baik sebagai
modul maupun buku ajar (Hosler dan Boomer,
2011; Lee, dkk., 2010). Buku ajar yang baik
harus mampu menyajikan materi pelajaran
sesuai dengan tuntutan kurikulum, mengikuti
perkembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi (IPTEK), serta dapat menjembatani
pembelajaran agar kompetensi yang telah
ditetapkan dapat tercapai (Situmorang, 2013;
Jippes, dkk., 2010; Jungnickel, dkk., 2009).
Pemanfaatan teknologi informasi untuk
pembelajaran juga telah mendorong pergeseran
pembelajaran dari pembelajaran konvensional
kepada pembelajaran mandiri sehingga kesan
pembelajaran lama diingat oleh mahasiswa
(Montelongo dan Herter, 2010; Situmorang
dan Situmorang, 2009). Pembelajaran

menggunakan pendekatan kontekstual


berakar dari konstruktivistik melalui
kegiatan belajar yang dapat membangun
pengetahuan
melalui
interaksi
di
lingkungan nyata (Lee, dkk., 2014).
Pendekatan pembelajaran kontekstual
adalah membangun pengetahuan secara
alami dan bermakna dari hubungan
1684

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

berdasarkan standar isi BSNP, dan penggunaan


buku hasil pengembangan untuk meningkatkan
hasil belajar mahasiswa pada pengajaran
Sistem Kesetimbangan. Penelitian dilakukan di
FMIPA Unimed pada tahun 2016. Prosedur
penelitian terdiri atas persiapan penelitian,
penyusunan instrumen penelitian, pelaksanaan
penelitian, pengumpulan data, dan analisis data
hasil penelitian. Instrumen penelitian yang
dipergunakan meliputi questioner, pencatatan
dokumen
potensi
lokal
yang
dapat
dipergunakan dalam pembelajaran, inovasi
pembelajaran (materi belajar inovatif), dan
evaluasi belajar (test) yang standar.
Pelaksanaan penelitian untuk mendapatkan
data penelitian dilakukan mengikuti prosedur
yang dijelaskan Situmorang, dkk., (2013),
terdiri
atas:
(1)
Penyusunan
dan
pengembangan bahan ajar untuk pokok
bahasan Sistem Kesetimbangan melalui
inovasi
pembelajaran
kontekstual,
(2)
Standarisasi bahan ajar, (3) Ujicoba bahan ajar
sebagai media pembebelajaran, dan (4)
Implementasi bahan ajar di dalam perkuliahan
seperti diilustrasikan pada Gambar 1.

pebelajar dengan
yang dialaminya
(Achterberg, dkk., 2014). Beberapa
penelitian telah berhasil menggunakan
pendekatan kontekstual dalam mempelajari
berbagai bidang ilmu seperti bahasa (Hills,
dkk., 2010), farmasi (Cushman, dkk.,
2011), kedokteran (Mitsushima, dkk.,
2011), psikology (Zelikowskya, dkk.,
2013) dan bidang ilmu lainnya.
Kenyataan
menunjukkan
penguasaan
mahasiswa dalam materi Kimia Umum belum
memuaskan yang ditunjukkan dari hasil belajar
mahasiswa yang relatif rendah dalam ujian
bersama yang dilakukan setiap semesternya.
Hal ini mungkin disebabkan oleh penyajian
materi sulit, membosankan dan menakutkan,
sehingga mahasiswa kurang menguasai konsep
dasar kimia, dan akhirnya belajar kimia
menjadi tidak menarik lagi bagi kebanyakan
mahasiswa. Tidak tersedianya bahan ajar
Kimia Umum yang baik standar sesuai
tuntutan kurikulum semakin membuat
mahasiswa sulit belajar. Dengan demikian
diperlukan buku teks standar yang baik dan
inovatif untuk menjembatani mahasiswa pada
kehidupan sehari (kontekstual) melalui
ketersediaan bahan ajar Kimia Umum dalam
bentuk buku teks dan buku elektronik
(Textbook dan E-Book). Keterwujudan
pengadaan buku ajar ini dimulai dari inovasi
bahan ajar untuk pokok bahanasan dan sub
pokok bahasan yang dibuat berbasis
kontekstual, kemudian dikemas menjadi bahan
ajar dalam bentuk elektronik (e-book). Tujuan
penelitian adalah untuk mendapatkan bahan
ajar berbasis kontekstual yang standar dan
inovatif agar dapat dipergunakan sebagai
media pembelajaran dalam meningkatkan hasil
belajar mahasiswa pada pengajaran Sistem
Kesetimbangan.

Gambar 1. Prosedur dan tahapan penelitian


inovasi bahan ajar berbasis kontekstual dalam
bentuk elektronik (e-book) untuk pengajaran
Sistem Kesetimbangan Kimia.

2. METODE PENELITIAN

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian
bersifat
Research
and
Development (R&D), yaitu menginovasi bahan
ajar berbasis kontekstual yang baik dan standar
untuk dipergunakan meningkatkan hasil
belajar mahasiswa mengikuti prosedur yang
dilakukan
sebelumnya
(Sinaga
dan
Situmorang, 2015). Penelitian meliputi
pengembangan dan pengayaan materi kimia
berbasis kontekstual, integrasi teknologi
informasi pada sumber kontekstual secara
online, evaluasi dan standarisas bahan ajar

3.1. Bahan Ajar Inovatif Berbasis


Kontekstual
Materi ajar kimia berbasis kontekstual
sudah dikembangkan untuk pengajaran Sistem
Kesetimbangan. Urutan materi kimia untuk
Pokok Bahasan Sistem Kesetimbangan disusun
menjadi 5 Sub Pokok Bahasan. Masing-masing
Sub Pokok Bahasan dikembangkan menjadi
lengkap dan informatif. Total keseluruhan
materi ajar untuk sistem kesetimbangan ada 73
halaman. Pengambangan bahan ajar dilakukan
1685

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

melalui pengayaan materi kimia ajar Sistem


Kesetimbangan mengikuti Kurikulum Kimia
Dasar di FMIPA Unimed berbasis KKNI yang
menuntut output pembelajaran. Selanjutnya
dilakukan
berbagai
inovasi,
terutama
menjadikan bahan ajar berbasis kontekstual
sehingga bahan ajar sesuai untuk dipergunakan
pada mahasiswa pada kuliah bersama. Bagian
Sub Pokok bahasan dan jenis inovasi yang
dilakukan
pada
pengajaran
Sistem
Kesetimbangan dirangkum pada Tabel 1.

baik dari buku teks, internet dan jurnaljurnal yang sehingga menjadi bahan
inovatif. Bahan ajar dijadikan lebik
kontekstual yang menghubungkan gejala
kimia
yang
melibatkan
sistem
kesetimbangan kimia di dalam kehidupan
sehari-hari. Bahan ajar inovatif dikemas
dengan baik agar informatif untuk dibaca
oleh mahasiswa, sehingga dapat membantu
mahasiswa belajar dengan madiri dan
membantu mempermudah mahasiswa
untuk menguasai materi kesetimbangan
kimia.

Bahan ajar Sistem Kesetimbangan Kimia


inovatif dan interaktif ini berisi materi
standar yang dikemas dari berbagai sumber

Tabel 1. Deskripsi komponen pengembangan bahan ajar berbasis kontekstual pada pengajaran Sistem
Kesetimbangan Kimia Mata Kuliah Kimia Umum berdasarkan KKNI
No
1

Pokok Bahasan/
Subpokok Bahasan
Konsep Dasar
Kesetimbangan

Jenis-jenis Reaksi
Kesetimbangan

Tetapan
Kesetimbangan

Pergeseran
Kesetimbangan

Aplikasi
Kesetimbangan di
Industri

Pengembangan Bahan Ajar Yang Dilakukan


Pengayaan materi ajar konsep Dasar Sistem Kesetimbangan melalui integrasi pembelajaran
berbasis kontekstual, Kasus yang berbubungan dengan Sistem Kesetimbangan, seting media
powerpoin dan video dalam media flash, hyperlink pada website yang relevan. Penyusunan
materi ajar dalam bentuk hard copy dan e-book.
Pengayaan materi ajar Jenis-jenis Reaksi Kesetimbangan melalui integrasi pembelajaran
berbasis kontekstual, integrasi kegiatan laboratorium berhubungan dengan kontekstual untuk
masing-masing jenis Reaksi Kesetimbangan, Penyajian media pembelajaran dan video dalam
media flash, hyperlink pada website yang relevan. Penyusunan materi dalam bentuk hard copy
dan e-book.
Pengayaan materi ajar dalam Tetapan Kesetimbangan dengan beberapa cara, Simulasi computer
dalam Tetapan Kesetimbangan yang diseting dalam media flash, Kegiatan luar kelas, soal-soal
dan pembahasan yang berhubungan dengan Tetapan Kesetimbangan, dan hyperlink pada
website yang relevan. Penyusunan materi dalam bentuk hard copy dan e-book.
Pengayaan materi ajar yang berhubunagn dengan Pergeseran Kesetimbangan, faktor yang
mempengaruhi kesetimbangan, integrasi pembelajaran berbasis kontekstual, Aplikasi yang
berhubungan dengan Pergeseran Kesetimbangan, Soal dan pembahasan. Penyusunan materi
dalam bentuk hard copy dan e-book.
Pemilihan materi ajar yang berhubungan dengan Aplikasi Kesetimbangan di Industri, integrasi
pembelajaran berbasis kontekstual terutama untuk Pembuatan Amonia menurut Proses HaberBosch, lingk untuk aplikasi industri Pembuatan Asam Sulfat Menurut Proses Kontak, dan
proyek yang ditugaskan kepada mahasiswa untuk mencari aplikasi lain di dalam industri.

dalam memperbaiki bahan ajar, dan hasil


penilaian responden diringkas pada Tabel 2.
Secara umum semua responden memberikan
penilaian yang positif terhadap materi ajar
hasil pengembangan untuk semua komponen,
yaitu komponen isi, Keterbacaan, Kedalaman
Materi, Disain, dan Bahasa, (rata-rata 3,67).
Dengan demikian bahan ajar kimia hasil
pengembangan layak untuk dipergunakan
dalam
pembelajaran
pada
pengajaran
pengajaran Sistem Kesetimbangan Kimia.

3.2. Standarisasi Bahan Ajar Inovatif


Bahan
ajar
kimia
inovatif
hasil
pengembangan
telah
distandarisasi
berdasarkan pendapat ahli dan dilanjutkan
dengan merevisi bahan ajar berdasarkan
masukan dari para ahli. Selanjutnya terhadap
mahasiswa senior yang sudah pernah
mengikuti perkuliahan pada pokok bahasan
yang sama diminta pendapat dan tanggapan
terhadap isi dan kelayakan bahan ajar secara
keseluruhan. Semua masukan yang diberikan
oleh responden dibuat sebagai pertimbangan

Tabel 2. Penilaian responden terhadap kualitas bahan ajar hasil pengembangan untuk pengajaran
Sistem Kesetimbangan Kimia. Angka adalah rata-rata dari kelompok responden (total 91
responden). Kriteria penilaian: 4 = sangat baik, 3 = baik, 2 = kutang baik, dan 1 = tidak baik.
Komponen Bahan

Deskripsi Singkat Bahan Ajar Inovatif Berbasis Kontekstual

1686

Pendapat

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Ajar Kimia

Responden
Ds

Mhs Rataan

3,80

3,75

3,78

Isi

- Kelengkapan isi berdasarkan pokok bahasan dan sub pokok bahasan sesuai
kurikulum
- Keakuratan isi untuk menjadi bahan rujukan, integrasi muatan lokal,
percobaan laboratorium, aplikasi kontekstual, dan kesesuaian media dan
strategy pembelajaran

3,80

3,67

3,74

3,80

3,65

3,73

Keterbacaan

- Ukuran kalimat, pragraf, ilustrasi, penjelasan gambar dan tabel, contoh soal
dan penyelesaian
- Keterkaitan antar paragraph dalam pokok bahasan dan sub pokok bahasan,
dan penjelasan kontekstual

3,80

3,6

3,70

3,72

3,86

Kedalaman Materi

- Materi kimia disajikan dalam urutan yang sesuai terdiri atas pendahuluan, isi, 4,00
contoh soal, latihan, quiz, dan hyperlink
- Ketersediaan aplikasi konsep dan contoh berhubungan dengan kehidupan
3,60
sehari-hari

3,42

3,51

3,80

3,75

3,78

Disain

- Kesesuaian antara tata letak, desain, ilustrasi, grafis, dan animasi dengan
pokok bahasan dan sub pokok bahasan
- Penyajian table, ilustrasi, gambar, yeknologi informasi, multimedia, dan
tatawarna dengan pokok bahasan
- Ketersediaan interaktif yang melibatkan peserta didik untuk belajar mandiri

4,00

3,72

3,86

3,60

3,6

3,60

Bahasa

- Sesuai dengan perkembangan peserta didik


- Mudah dimengert, komunikatif dan baku
- Kejelasan dan ketepatan penggunaan istilah, bahasa dan tatabahasa, simbol,
persamaan reaksi kimia, dan rumus kimia

3,60
3,20
3,60

3,67
3,37
3,5

3,64
3,29
3,55

3,72

3,62

3,67

Rata-rata
Keterangan: Ds= Dosen Kimia Umum, Mhs = Mahasiswa Jurusan Kimia Semester III dan IV

diperoleh dari kemampuan mahasiswa dalam


menjawab ujian formatif yang dilakukan
sebanyak 3 tahap. Ujian Formatif tahap
pertama dilakukan sebelum pembelajaran
dimulai, Ujian Formatif tahap kedua dilakukan
setelah semua materi Reaksi redoks tuntas
dilakukan (2 kali pertemuan), dan Ujian
Formatif tahap ketiga dilakukan setelah waktu
pembelajaran telah berlangsung 1 bulan
(Sinaga dan Situmorang, 2015). Untuk
menjaga agar waktu yang diperlukan dalam
perkuliahan dan penggunaan bahan ajar tidak
terganggu, dan untuk menjamin evaluasi
belajar dapat menjaring hasil belajar secara
murni maka ujian formatif diatur dilakukan
bersamaan di luar roster pelajaran yang
tersedia. Hasil belajar mahasiswa dirangkum
pada Tabel 3.

3.3. Penggunaan Bahan Ajar Inovatif


Dalam Pembelajaran
Paket bahan ajar inovatif berbasis
kontekstual hasil pengembangan dipergunakan
sebagai media pembelajaran dalam pengajaran
Sistem Kesetimbangan Kimia. Mahasiswa
FMIPA Unimed pada masing-masing Program
Studi dipilih 2 kelas paralel dari sebanyak 5
kelas paralel setiap angkatannya, dan
dikelompokkan menjadi kelas eksperimen dan
kelas kontrol. Terhadap kelas Experimen
diberikan pembelajaran menggunakan bahan
ajar inovatif berbasis kontekstual hasil inovasi,
sedangkan pada kelas kontrol diberikan
pembelajaran menggunakan bahan ajar
pegangan mahasiswa yang sudah dimiliki oleh
mahasiswa.
Pembelajaran
diusahakan
menggunakan Dosen yang sama dan dengan
waktu relatif sama. Hasil belajar mahasiswa

Tabel 3. Hasil belajar mahasiswa (nilai) berdasarkan evaluasi belajar (pretest, postest 1 dan postest 2)
pada pengajaran Sistem Kesetimbangan Kimia Mata Kuliah Kimia Umum II. Angka adalah
rata-rata pada masing-masing kelompok sampel.
Jenis Evaluasi
dan Efektifitas

Prodi A
Ekspen
Kontrol

Hasil Belajar Mahasiswa


Prodi B
Prodi C
Ekspen
Kontrol
Ekspen
Kontrol

1687

Rata-rata
Ekspen
Kontrol

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Pretest
30,10
33,40
31,03
30,64
31,04
29,26
30,72
Postest-1
76,15
63,75
77,04
61,76
80,36
83,14
77,85
Postest-2
78,15
77,53
79,53
75,15
90,07
79,08
82,59
Efektifitas (%)
103
122
103
122
112
95
106
Keteranga: A = Prodi Pendidikan Matematika; B = Prodi Pendidikan Kimia; dan C = Prodi Pendidikan Biologi.
Experimen= Pembelajaran menggunakan Bahan ajar Inovatif berbasis kontekstual,
Kontrol = Pembelajaran menggunakan Bahan Ajar pegangan mahasiswa

31,10
69,55
77,26
111

evaluasi
pertama
diketahui
bahwa
pembelajaran sangat nyata meningkatkan hasil
belajar mahasiswa pada kedua kelopmpok
perlakuan. Diperoleh hasil rata-rata postest-1
lebih tinggi dibanding hasil rata-rata pretest
untuk kelompok eksperimen dan kontrol di
masing-masing program studi. Hasil belajar
mahasiswa pada kelompok ekperimen
(M=77,85) lebih tinggi dibanding kelompok
kontrol (M=69,55), dan hasil uji beda
menunjukkan bahwa kedua kelompok berbeda
secara nyata (thitung 6,131 > ttabel 1,775).
Peningkatan hasil belajar ini diyakini diperoleh
dari pengaruh pemberian pembelajaran
menggunakan bahan ajar inovatif berbasis
kontekstual yang dipergunakan di dalam
pembelajaran.

Tingkat penguasaan mahasiswa terhadap


materi Sistem Kesetimbangan Kimia sebelum
pembelajaran dimulai diukur menggunakan
evaluasi awal (Pretest), yaitu dihitung
berdasarkan kemampuan siswa menjawab
soal-soal yang dikonversi menjadi angka
(Skala 0-100) seperti diperlihatkan pada Tabel
3. Berdasarkan hasil ini diketahui bahwa
penguasaan siswa pada materi ajar Sistem
Kesetimbangan Kimia tergolong rendah untuk
semua kelompok perlakuan, yaitu kelompok
eksperimen (30,72) dan kelompok kontrol
(31,10), dan kedua kelompok perlakuan tidak
berbeda secara nyata (thitung 0,762 < ttabel
1,775). Dari semua sampel pada kelompok
perlakuan terlihat bahwa sampel dapat
dipergunakan karena tidak ada outlier yang
memiliki nilai tinggi. Dapat dinyatakan bahwa
dalam kondisi ini mahasiswa tergolong
homogen dengan tingkat penguasaan materi
kimia Sistem Kesetimbangan Kimia relatif
sama dan rendah sehingga sangat baik untuk
dipergunakan dalam penerapan bahan ajar di
dalam pembelajaran.

Untuk menyakinkan bahwa bahan ajar


inovatif
berbasis
kontekstual
yang
dipergunakan
di
dalam
pembelajaran
berpengaruh nyata di dalam meningkatkan
hasil belajar mahasiswa maka kepada kedua
kelopmok mahasiswa diberikan kesempatan
untuk mempelajari bahan ajar dan menentukan
pelaksanaan evaluasi akhir tahap kedua, yaitu
satu bulan setelah pembelajaran dilakukan
dengan menggunakan soal dengan bobot relatif
sama. Hasil hasil belajar mahasiswa
berdasarkan evaluasi kedua (postes-2)
dirangkum pada Tabel 3. Hasil belajar
mahasiswa pada kelompok ekperimen
(M=82,59) lebih tinggi dibanding kelompok
kontrol (M=77,26), dan dua kelompok
perlakuan berbeda secara nyata (thitung 6,811 >
ttabel 1,775). Selanjutnya tingkat keefektifan
bahan ajar dihitung berdasarkan hasil
perhitungan rata-rata belajar mahasiswa pada
postest-2 dibanding terhadap postest-1 pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
(Sihole dan Situmorang, 2006). Dari hasil
diperoleh bahwa semua kelompok perlakuan
memperoleh hasil belajar lebih tinggi pada
postest-2 dibandingkan hasil belajar yang
diperoleh
mahasiswa
pada
postest-1.
Peningkatan hasil belajar pada pengajaran
Sistem Kesetimbangan Kimia ini disebabkan
oleh usaha mahasiswa mempelajari kembali
materi yang diajarkan menggunakan bahan

Tahap selanjutnya dari implementasi bahan


ajar inovatif berbasis kontekstual dilakukan
pada mahasiswa kelompok eksperimen dan
bahan ajar pegangan mahasiswa pada
kelompok kontrol. Kepada mahasiswa
diberikan instruksi yang sama dan penggunaan
waktu yang relatif sama untuk mempelajari
materi ajar Sistem Kesetimbangan Kimia
dengan penjelasan tagihan-tagihan yang
diperlukan. Instruksi pembelajaran dikemas
dalam bentuk lembar kerja terstruktur yang
didistribusikan kepada mahasiswa dalam
perkuliahan. Faktor-faktor lain yang dapat
dikontrol diusahakan relatif sama sehingga
yang berbeda pada kelompok ekperimen dan
kelompok kontrol adalah jenis bahan ajar yang
dipergunakan di dalam kegiatan belajarmengajar. Pada akhir perkuliahan dilakukan
evaluasi akhir pertama (postest-1), yaitu pada
waktu yang sudah ditentukan di luar jadwal
perkuliahan.
Hasil
belajar
mahasiswa
berdasarkan evaluasi belajar postest 1
dirangkum pada Tabel 3. Berdasarkan hasil
1688

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ajar yang tersedia terutama pada komponen


materi ajar yang dianggap salah pada saat
menjawab soal-soal postest-1. Tingkat
efektifitas kelompok ekperimen (106%) lebih
rendah dibanding kelompok kontrol (111%).
Terjadinya peningkatan hasil belajar yang
lebih tinggi pada kelompok kontrol disebabkan
oleh keinginan mahasiswa kelompok kontrol
untuk menggunakan bahan ajar inovatif yang
sudah dimiliki oleh temannya, sehingga
hampir seluruh mahasiswa telah menggunakan
bahan ajar inovatif dalam pembelajaran. Dapat
dinyatakan bahwa bahan ajar inovatif berbasis
kompetensi dapat meningkatkan daya ingat
mahasiswa terhadap penguasaan materi kimia.
Fasilitas yang tersedia di dalam bahan ajar
inovatif sangat menolong bagi mahasiswa
dalam mempelajari materi kimia, terutama
materi kimia yang mereka anggap relatif sulit
bila menggunakan bahan ajar pegangan yang
tersedia.
Selama
pembelajaran
kimia
berlangsung terlihat bahwa semua mahasiswa
secara serius mengikuti petunjuk yang
diberikan dalam menggunakan bahan ajar
kimia hasil inovasi.

pada Pokok Bahasan yang lain dan mata kuliah


kimia dan non kimia untuk meningkatkan
kompetensi mahasiswa sesuai yang output
yang diinginkan dalam kurikulum KKNI.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti menyampaikan terima kasih
kepada Ditlitabmas Dikti Kemenristek Dikti
yang memberikan dana penelitian melalui
Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran
2016.
6. DAFTAR PUSTAKA
Achterberg, K.G., Buitendijk, G.H.S., Kool, M.J.,
Goorden, S.M.I., Post, L., Slump, D.E., Silva,
A.J., van Woerden, G.M., Kushner, S.A., dan
Elgersma, Y., (2014), Temporal and RegionSpecific Requirements of CaMKII in Spatial
and Contextual Learning, The Journal of
Neuroscience 34(34): 11180 11187
Cushman, J.D., Moore, M.D., Jacobs, N.S., Olsen,
R.W., dan Fanselow, M.S., (2011), Behavioral
pharmacogenetic analysis on the role of the
4GABAA receptor subunit in the ethanolmediated
impairment
of
hippocampusdependent contextual learning, Alcohol Clin Exp
Res. 35(11): 19481959.
Hills, T.T., Maouene, J., Riordan, B., dan Smith,
L.B., (2010), The Associative Structure of
Language: Contextual Diversity in Early Word
Learning, J Mem Lang. 63(3): 259273
Hosler, J., dan Boomer, K.B., (2011), Are Comic
Books an EffectiveWay to Engage Nonmajors
in Learning and Appreciating Science?, CBELife Sciences Education 10: 309-317.
Jippes, E.; van Engelen, J.M. L.; Brand, P.L.P. dan
Oudkerk, M., (2010), Competency-based
(CanMEDS) residency training programme in
radiology: systematic design procedure,
curriculum and success factors, Eur Radiol.
20(4): 967-977.
Jungnickel, P.W., Kelley, K.W., Hammer, D.P.,
Haines, S.T., dan Marlowe, K.F., (2009),
Addressing Competencies for the Future in the
Professional Curriculum, American Journal of
Pharmaceutical Education 73(8): 1-15.
Lee, A.D., Green, B.N., Johnson, C.D., dan
Nyquist, J., (2010), How to Write a Scholarly
Book Review for Publication in a PeerReviewed Journal A Review of the Literature,
The Journal of Chiropractic Education 24(1):
57-69.
Lee, K.J., Park, S.B., dan Lee, I., (2014), Elemental
or contextual? It depends: individual difference
in the hippocampal dependence of associative
learning for a simple sensory stimulus,
Frontiers in Behavioral Neuroscience 8: 1-8
(Article 217)

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Inovasi bahan ajar berbasis kontekstual
pada pengajaran Sistem Kesetimbangan Kimia
telah berhasil menolong mahasiswa dalam
belajar kimia terutama untuk mendekatkan
teori yang dipelajari mahasiswa di dalam kelas
di dukung oleh kenyataan yang ada dalam
kehidupan sehari-hari. Bahan ajar inovatif
berbasis kontekstual yang dikemas dalam
bentuk
elektronik
(e-book)
dapat
meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada
pengajaran Sistem Kesetimbangan Kimia.
Bahan ajar inovatif hasil pengembangan
mampu meningkatkan aktivitas belajar
mahasiswa sehingga pembelajaran menjadi
lebih menarik, dapat dilakukan dengan mudah,
efisien
dan
meningkatkan
kompetensi
mahasiswa. Bahan ajar hasil pengembangan
mampu memotivasi mahasiswa belajar mandiri
dan memberi penekanan pada konsep Sistem
Kesetimbangan Kimia yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari. Fasilitas yang
tersedia di dalam bahan ajar elektronik mampu
meningkatkan kesan pembelajaran lebih lama
diingat oleh mahasiswa sehingga dapat
meningkatan kompetensi mahasiswa pada
pengajaran Sistem Kesetimbangan Kimia.
Disarankan agar penggunaan bahan ajar
inovatif berbasis kontekstual dapat dilakukan
1689

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Mitsushima, D., Ishihara, K., Sano, A., Kessels,
H.W., dan Takahashi, T., (2011), Contextual
learning requires synaptic AMPA receptor
delivery in the hippocampus, PNAS 108(30):
12503-2508
Montelongo, J.A., dan Herter, R.J., (2010), Using
Technology to Support Expository Reading and
Writing in Science Classes, Science Activities,
47: 89-102.
Sinaga, M., dan Situmorang, M., (2015),
Pengembangan
Bahan
Ajar
Berbasis
Kontekstual Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Mahasiswa Pada Pengajaran Reaksi Redoks
Prosiding Seminar Nasional dan Rapat
Tahunan BKS PTN-B bidang MIPA di
Universitas Tanjungpura Pontianak Tgl 6-9 Mei
2015
Situmorang, H., dan Situmorang, M., (2009),
Keefektifan
Media
Komputer
Dalam
Meningkatkan Penguasaan Kimia Siswa
Sekolah Menegah Kejuruan Pada Pengajaran
Materi dan Perubahannya, Jurnal Pendidikan
Matematika dan Sain 3(1): 45-51.
Situmorang, M., (2013), Pengembangan Buku Ajar
Kimia SMA Melalui Inovasi Pembelajaran Dan
Integrasi
Pendidikan
Karakter
Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa, Prosiding
Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN-B
Bidang MIPA di Bandar Lampung, Tgl 10-12
Mei 2013, pp. 237-246.
Situmorang, M., Sinaga, M., Tarigan, D.A., Sitorus,
C.J, dan Tobing, A.M.L., (2011), The
Affectivity of Innovated Chemistry Learning
Methods to Increase Students Achievement in
Teaching of Solubility and Solubility Product,
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan 17(1): 2937
Situmorang, M., Sitorus, M., Hutabarat, W., dan,
Situmorang, Z., (2015), The Development of
Innovative Chemistry Learning Material For

Bilingual Senior High School Students in


Indonesia, International Educational Studies
8(10): 72-85
Situmorang, M., Suyanti, R.D., Simatupang, N.I.,
dan Munthe, S.D.D., (2013), Pengembangan
Buku Ajar Kimia SMA/MA Kelas X Sesuai
Kurikulum 2013 Melalui Inovasi Pembelajaran
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa,
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Lembaga
Penelitian Unimed Tahun 2013 Bidang
Pendidikan, Tgl 14-16 November 2013, p. 1-8
Situmorang, M., Suyanti, R.D., Simatupang, N.I.,
dan Munthe, S.D.D., (2013), Pengembangan
Buku Ajar Kimia SMA/MA Kelas X Sesuai
Kurikulum 2013 Melalui Inovasi Pembelajaran
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa,
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Lembaga
Penelitian Unimed Tahun 2013 Bidang
Pendidikan, Tgl 14-16 November 2013, pp. 1-8.
Situmorang, M., Suyanti, R.D., Simatupang, N.I.,
dan Munthe, S.D.D., (2013), Pengembangan
Buku Ajar Kimia SMA/MA Kelas X Sesuai
Kurikulum 2013 Melalui Inovasi Pembelajaran
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa,
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Lembaga
Penelitian Unimed Tahun 2013 Bidang
Pendidikan, Tgl 14-16 November 2013, p. 1-8
Situmorang, M.; Sinaga,.M.; Tarigan, D.A., Sitorus,
C.J, and Tobing, A.M.L., (2011), The Affectivity of Innovated Chemistry Learning Methods to Increase Students Achievement in
Teaching of Solubility and Solubility Product,
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan 17(1): 2937
Zelikowskya, M., Bissiere, S., Hast, T.A., Bennett,
R.Z., Abdipranoto, A., Vissel, B., dan
Fanselow, M.S., (2013), Prefrontal microcircuit
underlies contextual learning after hippocampal
loss, PNAS 110(24): 99389943

1690

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

Pengaruh Ion Logam Cd (II) terhadap Adsorpsi Ion Logam Pb (II)


Dengan Adsorben Tanah Napa
Mawardi, Hary Sanjaya, Azhar Maliki
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, Indonesia
Email: mawardianwar@yahoo.com
Abstract
Research has been done about influence of the presence of metal ions Cd (II) on the adsorption of metal ions Pb
(II) by using adsorbents napa land from areas Aripan, South Solok. Napa soil contains 63.20% of silica and
alumina 16:55%, it was lmost same as the content of silica and alumina in zeolite nature so that it can be used
as an adsorbent. In this research studied the influence of presence of metal ions Cd (II) metal ions on the
absorption of Pb (II) with some parameters, such as the initial concentration of the solution, the addition of
metal ions Cd (II), pH and temperature of heating the adsorbent. Then also studied the regeneration of both
metals by using a solution of 1% HNO3. These results indicate that the presence of metal ions Cd (II) decrease
the absorption of the metal ions Pb (II). The optimum concentration of metal ion uptake of Pb (II) was 150 mg /
L, the optimum concentration of the addition of metal ions Cd (II) is times of concentration of metal ions Pb
(II). The optimum pH for metal ions Pb (II) was 5 and 6 for the metal ions Cd (II). While the optimum
adsorbent heating temperature is 125 C, and the percentage of regenerating metal ions Pb (II) was 64 326%
and Cd (II) was 38 675%.

Keyword Adsorption, Napa Soil, Pb (II), Cd (II), AAS, regeneration


dan memisahkan ion-ion logam berat dari
limbah (Ismail, et al, 2012; Mawardi, et al,
2011;, 2014; 2015)
Alternatif lain untuk memisahkan logam
pencemar dari limbah cair melalui proses
adsorpsi dengan memanfaatkan mineral
alumina silica alami sebagai adsorben, seperti
zeolit dan bentonit dan beberapa mineral
alumina lain. Zeolit memiliki bentuk kristal
yang sangat teratur dengan rongga yang saling
berhubungan
ke
segala
arah
yang
menyebabkan luas permukaan zeolit sangat
besar sehingga sangat baik digunakan sebagai
adsorben (Sutarti dan Rachmawati, 1994).
Salah satu mineral alumina silika yang, yang
terdapat dalam jumlah melimpah di Sumatera
Barat adalah tanah napa, sebutan masyarakat
Minangkabau, terhadap sejenis mineral
alumina silika (Mawardi, et. al, 2015). Tanah
napa merupakan mineral alumina silika dengan
komposisi, secara umum, SiO2, Al2O3, K2O,

1. PENDAHULUAN
Perkembangan
industri
di
Indonesia
menghasilkan dampak sampingan berupa
pencemaran lingkungan yang menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan dan
makhluk hidup. Logam-logam berat seperti
krom, timbal, kadmium, merkuri, tembaga, dan
arsen merupakan salah satu kandungan limbah
cair industri yang menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan dan makhluk
hidup (Georgiev, et al, 2012; Mawardi, 2011;
Feng, et al, 2010). . Pencemaran akan
mempengaruhi sumder daya air dan merusak
ekosistem disekitarnya dan populasi manusia.
Hal ini dikarenakan air yang menjadi
kebutuhan terbesar makhluk hidup tercemar
oleh logam berbahaya. Banyak jenis penyakit
yang ditimbulkan oleh keracunan logam
berbahaya karena tercemarnya air (Grassi., et
al, 2012; Hani at al, 2012).
Perlakuan umum yang dilakukan untuk
memisahkan logam-logam berat dari limbah
cair adalah dengan proses pengendapan logam
berat sebagai hidroksida nya, pertukaran ion,
adsorpsi, proses membran, osmosis terbalik,
dan
eksraksi
pelarut
serta
dengan
memanfaatkan
kemampuan
biomaterial,
seperti biomassa alga hijau, dalam menyerap

Fe2O3, CaO dan K2O masing-masing 64,52


; 24,99; 5,97; 2,31 dan 0,82% dengan
SiO2/ Al2O3 2,58 (Mawardi, et.al, 2015).
Limbah yang merupakan hasil samping
industri umunya mengandung banyak matriks
berupa beberapa kation yang berbeda jenis dan
sifatnya. Keberadaan kation lain dalam suatu
1691

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

larutan
akan
menyebabkan
terjadinya
kompetisi untuk memperebutkan sisi aktif
adsorben (Nurhasni, 2008). Keberadaan kation
lain cenderung akan menurunkan kapasitas
penyerapan suatu logam. Tujuan penelitian ini
adalah melihat pengaruh keberadaan ion logam
Cd (II) terhadap penyerapan ion logam Pb (II)
dengan menggunakan adsorben tanah napa.

Penentuan konsentrasi logam dilakukan


dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)
nyala (Analys 100), dengan bahan bakar udaraasetilen pada panjang gelombang yang sesuai
untuk masing-masing logam.
Perlakuan Sistem Kontinu
Pengaruh Konsentrasi Awal Larutan
Disiapkan larutan ion logam Pb (II) dengan
variasi konsentrasi 50, 75, 100, 125, 150 dan
175 ppm. Diambil 25 mL larutan dan
dielusikan kedalam kolom, ditentukan jumlah
logam yang terserap dengan AAS.

2.

METODA PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan :
1) Mempersiapkan adsorben dan pengemasan
kolom; 2) Mempelajari faktor yang
mempengaruhi
proses
adsorbsi
yaitu
konsentrasi ion cadmium dantimbal dalam
larutan, pH larutan, dan pengaruh pemanasan
adsorben.

Pengaruh Penambahan Larutan ion Logam


Cd (II)
Disiapkan
larutan
logam
dengan
konsentrasi optimum Pb2+, kemudian larutan
Cd ditambahkan 0, , 1 dan 1 kali Pb2+dan
campuran larutan logam sebanyak 25 mL di
elusikan ke dalam kolom, ditentukan jumlah
logam yang terserap dengan AAS.

Alat dan Bahan


Peralatan
yang
digunakan
adalah
perangkat gelas, seperti kolom kerja dan gelas
piala, neraca analitik, pH universal, labu ukur,
pipet tetes, pipet takar, stopwatch, corong, alu
dan lumpang, batang pengaduk, spatula,
ayakan standar 850-833 m, oven dan AAS

Pengaruh pH Awal Larutan


Disiapkan 25 ml larutan logam masing
masing dengan pH 2, 3, 4, 5 dan 6. Kemudian
kedua larutan logam dicampur dan 25 mL
larutan logam dielusikan kedalam kolom
dengan konsentrasi optomum, ditentukan
jumlah logam yang terserap dengan AAS.

Bahan-bahan yang dibutuhkan antara lain


: Tanah Napa, aquades, gelas wool, larutan
standar Cd(NO3)2.4H2O, larutan standar
Pb(NO3)2.4H2O dan HNO3 1% (v/v).
Mempersiapkan Adsorben dan Pengemasan
Kolom
Tanah napa dalam bentuk butiran dicuci
dengan aquades, dikeringkan dengan oven,
digiling dan diayak menggunakan ayakan
dengan ukuran partikel tertentu. Disiapkan
peralatan peralatan gelas yang diperlukan
diantaranya kolom kerja dengan perangkatnya.
Pada kolom di packing adsorben tanah napa
yang didasarnya ditempatkan gelas wool
sebagai penyangga. Sebelum digunakan kolom
dijenuhkan dengan aquades dan siap dikontak
dengan larutan logam dengan sistem kontinue.

Regenerasi Kolom
Kolom yang telah diadsorpsi dengan
konsentrasi dan pH optimum, diregenerasi
dengan menggunakan HNO3 1%, ditentukan
jumlah logam yang terserap dengan AAS.
ditentukan jumlah logam yang terserap dengan
AAS.
Pengaruh Pemanasan Adsorben
Disiapkan enam kolom yang masingmasing di packing dengan adsorben tanah napa
dengan ukuran partikel optimum dan telah
dipanaskan (dalam oven) dengan suhu
pemanasan bervariasi (dipanaskan selama 6
jam masing-masing pada suhu normal (270C),
50, 75, 100, 125, 150 0C). Masing-masing
kolom dikontak dengan 25 ml campuran
larutan logam dengan pH dan konsentrasi
optimum, ditentukan jumlah logam yang
terserap dengan AAS.

Perlakuan Penelitian Pada Sistem Kontinu


Disiapkan peralatan-peralatan gelas yang
diperlukan diantaranya kolom kerja dengan
perangkatnya. Pada kolom di packing adsorben
tanah napa yang siap dikontak dengan larutan
logam dengan sistem kontak berupa sistem
kontinu. Data yang diharapkan antara lain data
kapasitas adsorbsi maksimum hasil optimasi
parameter yang diteliti seperti suhu pemanasan
adsorben, pH dan konsentrasi larutan logam.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh Konsentrasi Awal Larutan
1692

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

3,5

1,784
1,65
1,546

1,5

1,153
0,952
0,664

0,5

2,865

3
ads Pb +2 dan Cd +2 (mg/g)

kapasitas penyerarapan
(mg/g)

Adsorpsi terhadap larutan ion logam Pb


(II) telah dilakukan dengan menggunakan
tanah napa sebagai adsorben. Hasil
ditunjukkan pada gambar 3.

Pb 2+

2,5
2

1,859
1,438

1,5

1,854
1,659
1,522

0,905

1
0,5

Pb +2
Cd+2

0
0 X [Cd]

1/2 X 1 X [Pb] 1 1/2 X


[Pb]
[Pb]
penambahan konsentrasi Cd +2

50

75 100 125 150 175

Gambar 2. Grafik kapasitas penyerapan ion


logam Pb (II) dengan pengaruh ion logam Cd
(II)

konsentrasi (mg/L)
Gambar 1 .Grafik Pengaruh konsentrasi
larutan ion logam Pb (II) terhadap adsorpsi
pada adsorben tanah napa

Adanya ion logam Cd (II) dalam larutan


ternyata menurunkan penyerapan ion Pb (II)
pada adsorben tanah napa. Dari grafik terlihat
bahwa kapasitas penyerapan larutan ion logam
tanpa adanya ion logam Cd (II) pada
konsentrasi 150 ppm adalah 1,859 mg/g.
Tetapi dengan adanya penambahan larutan ion
logam Cd (II) dengan berbagai konsentrasi,
kapasitas penyerapan larutan ion Cd (II)
mengalami penurunan.
Menurut Mahdian (2008), salah satu
faktor yang mempengaruhi adsorpsi suatu
logam adalah ukuran jari-jari ion. Untuk zeolit
yang memiliki kemiripan dengan tanah napa,
memiliki pori dengan ukuran garis tengah yang
selektif terhadap penyerapan suatu logam atau
molekul dengan ukuran jari-jari ion tertentu.
Ion logam Cd (II) memiliki jari-jari ion yang
lebih kecil (0,97 ) dibandingkan dengan Pb
(II) yang memiliki jari-jari ion sebesar (1,20
). Hal ini akan menyebabkan ion Cd(II) akan
lebih mudah diserap oleh adsorben tanah napa
dengan diameter pori tertentu, dibandingkan
Pb (II) yang memiliki ukuran jari-jari ion yang
labih besar.
Berdasarkan grafik penyerapan ion logam
Pb (II) dengan pengaruh ion logam Cd (II)
dapat dilihat bahwa adanya larutan ion logam
Cd (II) dalam larutan akan menurunkan
kapasitas penyerapan ion logam Pb (II). Hal ini
disebabkan karena terjadinya kompetisi
diantara kedua ion logam untuk menempati
pori-pori adsorben. Sehingga hal tersebut akan
menurunkan kapasitas penyerapan suatu ion
logam.

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat


bahwa konsentrasi awal larutan ion logam Pb
(II) yang terukur dengan menggunakan AAS
dalah 55,021 ppm, 78,435 ppm, 103,345 ppm,
129,352 ppm, 155,724 ppm dan 178,200 ppm.
Adsorpsi terhadap logam dilakukan dengan
menggunakan adsorben tanah napa, dan
konsentrasi larutan ion logam Pb (II) setelah
elusi juga diukur dengan AAS dengan hasil
yang terukur secara berturut-turut adalah 1,364
ppm, 2,253 ppm, 3,987 ppm, 6,147 ppm, 9,068
ppm dan 36,354 ppm.
Penyerapan terhadap adsorbat bisa terjadi
karena adsorben memiliki pori-pori yang dapat
mengasorpsi adsorbat. Apabila jumlah poripori adsorben belum jenuh oleh adsorbat,
kenaikan
konsentrasi akan
menaikkan
kapasitas penyerapan. Ketika semua pori-pori
telah jenuh oleh adsorbat, kenaikan konsentrasi
cenderung tidak meningkatkan penyerapan.
Hal ini dikarenakan semua pori telah diisi oleh
ion atau molekul adsorbat.

Pengaruh Penambahan Larutan Ion Cd(II)


terhadap Adsorpsi Larutan Ion Logam
Pb(II)
Penambahan larutan ion logam Cd (II) ke
dalam larutan ion Pb (II) bertujuan untuk
mengetahui adanya kompetisi ion logam yang
terserap pada permukaan adsorben tanah napa.
1693

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

meningkat untuk ion logam Cd (II) apabila pH


terus dinaikkan hingga 6.
Pengaruh Pemanasan Adsorben Tanah
Napa terhadap Kapasitas Penyerapan Ion
Logam Pb (II) dan Cd (II)

2
1,84
1,769 Pb+
1,738
1,8 1,615 1,715
2
1,6
Cd+
1,4
2
1,2
0,918
1
0,848
0,763 0,787 0,827
0,8
0,6
0,4
0,2
0
2

2
1,8
1,6

1,542

1,624 1,656

1,721

1,785 1,729
Pb+2

1,4

ads Pb +2 dan Cd +2 (mg/g)

ads Pb +2 dan Cd +2 (mg/g)

Pengaruh pH terhadap Adsorpsi Ion Pb(II)


dan Cd (II) oleh Adsorben Tanah Napa

Cd+2

1,2
1

0,8

0,777 0,779 0,808 0,829

0,908 0,87

0,6

0,4

pH larutan ion logam

0,2

Gambar 3. Grafik kapasitas penyerapan ion


logam Pb (II) dan Cd (II) dengan pengaruh pH
larutan ion logam

0
27C 50C 75C 100C 125C 150C

suhu pemanasan adsorben

Berdasarkan grafik pengaruh pH di atas,


terlihat bahwa pH mempengaruhi kapasitas
adsorpsi ion Pb (II) dan Cd (II). Pada pH 2,
kapasitas adsorpsi untuk ion logam Pb (II)
sebesar 1,615 mg/g dan Cd (II) sebesar 0,763
mg/g. Kemudian pH dinaikkan menjadi 3,
kapasitas penyerapan ion logam Pb (II)
menjadi 1,715 mg/g dan Cd (II) sebesar 0,787
mg/g. Pada pH 4, kapasitas penyerapan ion
logam Pb (II) menjadi 1,738 mg/g dan Cd (II)
sebesar 0,827 mg/g. Untuk pH 5, kapasitas
penyerapan Pb (II) terus naik menjadi 1,84
mg/g dan Cd (II) sebesar 0,848 mg/g. Tetapi
pada pH 6, kapasitas penyerapan ion logam Pb
(II) mengalami penurunan menjadi 1,769
mg/g, sementara untuk ion logam Cd (II) terus
naik menjadi 0,918 mg/g.
Menurut Paul yang dikutip oleh Mahdian
(2008), derajat keasaman (pH) merupakan
variabel tolak ukur untuk menentukan jumlah
adsorpsi. Makin tinggi pH (konsentrasi H+
makin kecil) penyerapan akan meningkat
hingga pada pada pH tertentu. Kapasitas
penyerapan ion logam Pb (II) terus meningkat
dengan meningkatnya pH larutan ion logam.
Penyerapan optimum terjadi pada pH larutan 5
untuk ion logam Pb (II) yaitu sebesar 1,84
mg/g, dan mengalami penurunan kapasitas
penyerapan pada ph 6 yaitu menjadi 1,769
mg/g. Sementara kapasitas penyerapan terus

Gambar 4. Grafik kapasitas penyerapan ion


logam Pb (II) dan Cd (II) dengan pengaruh
pemanasan adsorben
Pada suhu kamar (27C), kapasitas
penyerapan ion logam Pb (II) sebesar 1,542
mg/g dan ion logam Cd (II) adalah 0,777 mg/g.
Apabila suhu pemanasan adsorben dinaikkan
menjadi 50C, kapasitas penyerapan ion logam
Pb (II) naik menjadi 1,624 mg/g dan Cd (II)
sebesar 0,779 mg/g. Pada suhu 75C, kapasitas
penyerapan menjadi 1,656 mg/g untuk ion
logam Pb (II) dan 0,808 mg/g untuk ion logam
Cd (II). Kapasitas penyerapan terus meningkat
menjadi 1,721 mg/g untuk ion logam Pb (II)
dan 0,829 untuk Cd (II) pada suhu 100C.
Sementara pada suhu 125C, kapasitas
penyerapan untuk ion logam menjadi
maksimum, yaitu 1,785 mg/g dan 0,908 untuk
Cd (II). Kapasitas penyerapan untuk ion logam
Pb (II) dan Cd (II) menjadi turun ketika suhu
dinaikkan menjadi 150C, yaitu 1,729 mg/g
untuk ion logam Pb (II) dan 0,870 mg/g untuk
ion logam Cd(II).
Menurut Nurhasni (2002), pemanasan
adsorben dapat meningkatkan kemampuan
penyerapan terhadap adsorbat. Pemanasan
yang dilakukan dapat memperbesar pori-pori
adsorben sehingga akan meningkatkan
efisiensi penyerapan. Tetapi, pemakaian panas
1694

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya


pelepasan aluminium dari struktur kerangka
tetrahedral zeolit sehingga penyerapan akan
berkurang.
Regenerasi Tanah Napa dengan Larutan
Asam Nitrat
Regenerasi merupakan proses penarikan
kembali ion logam yang teradsorpsi oleh tanah
napa
dengan
menggunakan
larutan
pendesorpsi. Larutan pendesorpsi yang
digunakan adalah asam nitrat 1%. Persentase
regenerasi untuk ion logam Pb (II) dan Cd (II)
dapat dilihat dari grafik berikut.
70

telah mencapai titik optimum. Sehingga kation


H+ tidak bisa lagi menggantikan kation logam
yang terikat oleh tanah napa (Yefrida, 2010).
4. KESIMPURAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari data dan hasil penelitian penyerapan
ion logam Pb (II) dan Cd (II) menggunakan
adsorben tanah napa yang telah dilakukan
dapat disimplkan bahwa:
1. Kapasitas penyerapan ion logam Pb
(II) meningkat dengan bertambahnya
konsentrasi hingga pada konsentrasi
150 ppm.
2. Adanya ion logam Cd (II) dengan
variasi konsentrasi dalam larutan akan
menurunkan kapasitas penyerapan ion
logam Pb (II).
3. Kapasitas penyerapan ion logam
meningkat dengan naiknya pH.
4. Pemanasan adsorben akan menaikkan
kapasitas penyerapan untuk kedua
logam hingga suhu tertentu.
5. Regenerasi dengan menggunakan
asam nitrat 1% cukup efektif
digunakan untuk ion logam Pb (II),
namun kurang efektif untuk ion
logam Cd (II).

64,329

60
50
38,675

% regenerasi

40
30
20
10
0
Pb +2

Cd +2

logam terdesorpsi

Saran-saran
Disarankan untuk melakukan penelitian
lebih lanjut untuk lebih dari dua logam dalam
campuran dan mencari asam yang lebih efektif
untuk regenerasi masing-masing logam.

Gambar 5.Grafik regenerasi ion logam Pb (II)


dan Cd (II) dengan adsorben tanah napa
Dari Gambar 5, terlihat bahwa ion logam
Pb (II) memberikan % regenerasi yang lebih
besar yaitu 64,326 %. Artinya sebanyak
64,326% dari konsentrasi ion logam Pb (II)
yang awalnya terikat pada adsorben tanah
napa, dapat dikeluarkan kembali dengan asam
nitrat. Sementara untuk ion logam Cd (II)
memiliki % regenerasi yang lebih rendah yaitu
38,675 %.
Pada regenerasi dengan menggunakan
larutan asam, akan terjadi pergantian kation H+
dengan kation logam yang terikat pada
adsorben. Pada kasus variasi konsentrasi
larutan asam untuk mendesorpsi logam,
konsentrasi larutan pendesorpsi di bawah
konsentrasi optimum pendesorpsi akan
memberikan % regenerasi yang rendah karena
kation H+ yang akan menggantikan kation
logam sedikit. Sementara apabila konsentrasi
di atas konsentrasi optimum, % regenerasi
akan memperlihatkan grafik konstan, karena
pergantian kation H+ dengan kation logam

DAFTAR PUSTAKA
Feng. Y, Gong. J-L, Zeng. G-M, Niu Q-Y, Zhang
H-Y, Niu C-G, Deng J-H, Yan. M., 2010,
Adsorption of Cd(II) and Zn(II) from Aqueous
Solutions Using Magnetic Hydroxyapatite
Nanoparticles as Adsorbents, Chemical
Engineering Journal. 162 (2010) 487-494.
Georgiev. D, Bogdanov. B, Markovska. I, Hristov.
Y, 2012, The Removal of Cu (II) Ions from
Aqueous Solutions on Synthetic Zeolie NaA,
World Academy of Science, Engineering and
Technology. 59-2012.
Ginting. A.B, Anggraini. D, Indaryati. S.,
Kriswarini. R., 2007, Karakterisasi Komposisi
Kimia, Luas Permukaan Pori, dan Sifat Termal
dari Zeolit Bayah, Tasikmalaya, dan Lampung,

1695

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Laporan Penelitian. Banjarmasin : FKIP
Unilam.
Mawardi, A, Munaf, E., Kosela, S, Wibowo W.;
Rahadian, Z., 2015, Study of Pb(II) biosorption
from aqueous slution using immobilized
Spirogyra subsalsa biomass, Journal of
Chemical and Pharmaceutical Research,
7(11):715-722
Mawardi, A, Munaf, E., Kosela, S, Wibowo W.,
2014, Removal of Chromium (III) and
Chromium (VI) Ions in the aqueous Solution by
Green Algae Spirogyra subsalsa Biomass as
Biosorbent, Jurnal Reaktor,15, 01: 27-36
Mawardi, Sanjaya, H. and Rahadian, Z, 2015,
Characterization of napa soil and adsorption of
Pb (II) from aqueous solutions using on column
method,
Journal
of
Chemical
and
Pharmaceutical Research, 7(12):905-912
Nurhasni, dkk. 2008. Penyerapan ion Logam Cd
dan Cr dalam Air Limbah Menggunakan Sekam
Padi. Laporan Penelitian. Jakarta : UIN Syarih
Hidayatullah
Yefrida. 2010. Regenerasi Serbuk Gegaji yang
telah digunakan sebagai Penyerap Ion Logam.
Laporan Akhir Penelitian BBI. Jurnal Kimia

J. Tek. Bhn. Nukl. Vol. 3, No. 1, Januari 2007:


1-48.
Grassi.M., Kaykioglu. G., Belgiorno. V., and
Lofrano. G., 2012, Removal of Emerging
Contaminants from Water and Wastewater by
Adsorption Process, SpringerBriefs in Green
Chemistry for Sustainability.
Hani. H.A, El-Sayed. M.M.H, Mostofa. A.A., ElDefrawy. N.M, Sorour. M.H., 2012, Removal of
Cr (III) in Batch and Pilot Scale Dynamic
Systems Using Zeolite NaA Prepared from
Egyptian Kaolin, International Journal of
Chemical and Enviromental Engineering. Vol.
3, No. 3.
Ismail. M.H.S., Zhang. X.T, Adnan. S.N, 2012,
Application of Clinotptilolite in Removal of
Nickel (II) in Plating Wastewater, World
Applied Science Journal. IDOSI Publication. 18
(5); 659-664, 2012.
Mahdian, Parham Saadi. 2008. Pengaruh
Konsentrasi dan pH larutan terhadap adsorpsi
Timbal (II) dan Kadnium (II) pada Adsorben
Biomassa Apu-apu dengan Metoda Statis.

1696

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

AKTIVITAS ANTIJAMUR EUSIDERIN A (Eusideroxylon zwagery) TERHADAP


Rhizoctonia solani DAN Gliocladium fimbriatum
Muhaimin 1*, Meity Suradji Sinaga 2, Harizon 1, Syamsurizal 1, Afrida 1
1

Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi, Mendalo Darat, Jambi
*
Email: muhaimin_73@yahoo.de
2
Departemen Proteksi Tanaman, FAPERTA IPB, Darmaga, Bogor
Abstract

The purpose of this research was to investigate antifungal activity of Eusiderin A from Eusideroxylon zwagery
against Rhizoctonia solani and Gliocladium fimbriatum. Antifungal activity of Eusiderin A (3, 4, 5 ppm) was
studied against pathogenic plant fungus using PDA (Potato Dextrose Agar) as testing culture media at room
temperature, and were monitored for 5 days. The invitro antifungal activity was performed by agar well
diffusion method. Eusiderin A, a rare benzodioxane-type neolignan was isolated as major component from E.
zwagery which showed potent antifungal activity against Rhizoctonia solani and Gliocladium fimbriatum.
Eusiderin A was at a concentration of 5 ppm to give most effective inhibition, 21.95% on the colony growth of
Rhizoctonia solani. Whilst it had no inhibitory activity against the growth of Gliocladium fimbriatum colony.
The result was in line with Gliocladium fimbriatums nature as antagonist agent against various pathogenic
plants and it is very well known as a biological control. It can be concluded that Eusiderin A was a candidate
compound for a potent antifungal agent since it could exhibit Rhizoctonia solani colony growth.
Keywords: Eusiderin A, Eusideroxylon zwagery, Rhizoctonia solani, Gliocladium fimbriatum

senyawa ini mampu melindungi tanaman


bulian terhadap serangan rayap dan cendawan
pelapuk kayu [1,2,9].
Dari penelitian
terdahulu, pada tanaman ini berhasil
ditemukan lima senyawa murni, masingmasing tiga senyawa turunan neolignan dan
dua senyawa turunan alkaloid jenis aporfin dan
fenantren. Satu dari senyawa neolignan
tersebut telah diidentifikasi sebagai Eusiderin
A [3,7]. Akan tetapi bagaimana peranan
biologis senyawa tersebut di dalam kayu
bulian terhadap serangan rayap dan cendawan
belum pernah diteliti. Demikian juga
bioaktifitasnya terhadap mikroorganisme lain.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka dalam tulisan ini dilaporkan tentang
perlunya dilakukan suatu penelitian tentang
Aktivitas
Antijamur
Eusiderin
A
(Eusideroxylon
zwagery)
Terhadap
Rhizoctonia
solani
dan
Gliocladium
fimbriatum karena berpeluang besar dalam
mendapatkan
senyawa
bioaktif
yang
mempunyai aktivitas kuat sebagai antijamur
tanaman padi. Tahap-tahap yang dilakukan
meliputi tahap isolasi Eusiderin A, pembuatan
media pertumbuhan jamur, pembiakan jamur
uji, pengujian aktivitas senyawa Eusiderin A
terhadap jamur uji dan identifikasi aktivitas
Eusiderin A terhadap jamur uji.

1. PENDAHULUAN
Tanaman
bulian
(Eusideroxylon
zwagery) dikenal sebagai kayu besi, termasuk
famili Lauraceae, adalah tanaman spesies
langka yang hanya terdapat di Indonesia.
Bagian kayu tanaman ini telah banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat Jambi sebagai
sumber kayu berkualitas tinggi yang tahan dari
serangan rayap dan cendawan. Buahnya secara
tradisional banyak digunakan sebagai obat anti
inflamasi. Khasiat yang dimiliki oleh kayu
bulian ini pada dasarnya sangat berkaitan
dengan senyawa bioaktif atau metabolit
sekunder yang ada di dalamnya. Dewasa ini
telah diyakini bahwa pembentukan metabolit
sekunder dalam tumbuhan berkaitan dengan
fungsi ekologis sebagai perwujudan interaksi
tumbuhan tersebut dengan lingkungannya.
Keawetan tanaman bulian (Eusideroxylon
zwagery T et B) merupakan perwujudan dari
adanya interaksi tersebut [4,6,7].
Ada empat kelompok besar metabolit
sekunder yang dihasilkan oleh tanaman
Eusideroxylon zwagery T et B yaitu kelompok
senyawa alkaloid, steroid, terpenoid dan
fenolik [5]. Di antara keempat kelompok
senyawa tersebut, seperti lazimnya pada jenis
kayu lain, senyawa-senyawa fenolik turunan
stilben dan lignan mempunyai sifat fungisida
dan insektisida [8]. Diperkirakan golongan
1697

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dicairkan (suhu 45 0C) pada cawan petri steril.


Senyawa Eusiderin A diuji aktivitas anti
jamurnya terhadap jamur patogen tanaman
(Rhizoctonia
solani
dan
Gliocladium
fimbriatum) dengan memasukkannya sebanyak
20 L ke dalam sumur yang telah dibuat pada
media biakan dalam cawan petri steril, dengan
menggunakan tiga jenis variasi konsentrasi 3
ppm, 4 ppm dan 5 ppm yang ditetapkan
melalui pengujian orientasi. Setiap pengujian
dilakukan lima kali pengulangan. Adanya
hambatan terhadap pertumbuhan jamur terlihat
sebagai daerah atau zona kosong di sekeliling
sumur.
Peubah
yang
diamati
ialah
pertumbuhan jari-jari koloni jamur yang
diamati sampai hari kelima inkubasi [10,11].
Untuk menguji pengaruh pelarut,
dilakukan pengujian blanko yaitu uji aktivitas
pelarut yang dimasukkan dalam sumur yang
telah dibuat pada media biakan dalam cawan
petri steril. Lalu dilakukan uji dengan cara
yang sama dengan uji aktivitas isolat terhadap
jamur.

2. METODE PENELITIAN
2.1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah
Eusiderin A dari Eusideroxylon zwagery,
Rhizoctonia solani, Gliocladium fimbriatum,
media Potato Dekstrosa Agar, zat-zat kimia
yang digunakan untuk isolasi Eusiderin A, dan
zat-zat kimia yang digunakan untuk pengujian
aktivitas senyawa Eusiderin A terhadap jamur
uji. Zat-zat kimia yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki kapasitas p.a (pro
analysis).
2.2. Isolasi Eusiderin A dari Eusideroxylon
zwagery
Sebanyak 10 kg serbuk kering kayu
bulian dimaserasi dengan pelarut n-heksan dan
ampasnya
dimaserasi
dengan
metanol
sebanyak 15 L selama 3 x 24 jam. Kemudian
terhadap ekstrak metanol awal tersebut
dilakukan pemisahan untuk senyawa-senyawa
golongan alkaloid menggunakan asam sitrat
3% dan dilanjutkan dengan ekstraksi
menggunakan etil asetat. Bagian residunya
dipartisi dengan pelarut benzen, metilen
klorida, dan etil asetat. Eusiderin A dipisahkan
dari kelompok fraksi nonpolar dari ekstrak
benzen. Isolasi Eusiderin A ini dimulai dari
ekstrak melalui teknik-teknik kromatografi,
yaitu kromatografi vakum cair, kromatografi
grafitasi, kromatotron, KLT dan kromatografi
tekan. Karakterisasi terhadap isolat murni
menggunakan
spektroskopi,
meliputi
spektroskopi UV dan IR.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Isolasi Eusiderin A dari Eusideroxylon
zwagery
Senyawa ini dipisahkan dari kelompok
fraksi nonpolar dari ekstrak benzen. Yang
berwujud kristal putih dengan titik leleh 99100 oC, dan uji KLT yang menghasilkan satu
noda telah menunjukkan kemurnian.
Spektrum UV (Gambar 1a) dalam
CHCl3 menunjukkan serapan pada panjang
gelombang maks (log ) 241 (4,99) dan 273
(4,83). Serapan di daerah maks 241 lazimnya
adalah khromofor tidak jenuh dari alkena yang
tersubstitusi sedangkan pada maks 273 biasanya
khromofor dari sistem aromatik teroksigenasi.
Perlakuan dengan pereaksi geser (NaOH 0,4
M) tidak menunjukkan perubahan serapan
mengindikasikan tidak adanya OH bebas pada
sistem aromatik yang didukung oleh spektrum
IR dimana tidak terlihat vibrasi ulur OH
aromatik di daerah 3100-3400 cm-1.
Spektrum infra merah (IR) senyawa
isolat ini memperlihatkan adanya vibrasi ulur
C-H aromatik yang cukup tajam pada daerah
3079 cm-1, vibrasi ulur C-H alifatik pada
daerah 2975 dan 2933 cm-1, vibrasi tekuk C-H
aromatik terlihat pula di daerah finger print
998, 829 dan 637 cm-1, daerah-daerah vibrasi
ini sekaligus juga mengindikasikan adanya
sistem aromatik yang tersubstitusi. Selain itu
vibrasi ulur C=C aromatik cukup tajam terlihat

2.3. Pembuatan Stok dan Inokulum Jamur


Rhizoctonia solani dan Gliocladium
fimbriatum
Jamur
Rhizoctonia
solani
dan
Gliocladium fimbriatum dibiakan pada media
PDA pada cawan petri dan diinkubasi pada
suhu 37 oC selama 24 jam. Biakan jamur yang
telah berumur 7 x 24 jam di simpan, lalu
dibiakkan pada media dalam tabung reaksi
dengan media agar miring. Media yang
digunakan diupayakan sedemikian rupa agar
jamur yang dibiakkan tidak menurun
virulensinya
atau
kemampuan
penginfeksiannya.
2.4. Uji Aktivitas Antijamur Rhizoctonia
solani dan Gliocladium fimbriatum
dengan Metode Sumur
Media biakan pada petri dibuat dengan
menuangkan 10 ml media steril yang telah
1698

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

pula di daerah 1597 dan 1508 cm-1. Spektrum


IR dari Eusiderin A dapat dilihat pada Gambar

1b dan struktur molekul Eusiderin A pada


Gambar 1c.

(a)

(b)

OMe
OMe
O
O

OMe
Me

OMe

(c)
Gambar 1. (a) Spektrum UV Eusiderin A, (b) Spektrum IR Eusiderin A dan (c) Struktur Molekul
Eusiderin A
Dari data titik leleh, data spektrum UV
dan IR yang dibandingkan dengan data standar
Eusiderin A menunjukkan kesamaan, maka
dinyatakan penelitian ini telah berhasil
mengisolasi Eusiderin A dari Eusideroxylon
zwagery.

Eusiderin A terhadap jamur tersebut, pertamatama dilakukan pengujian aktivitas pelarut.


Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah
pelarut mempunyai aktivitas atau tidak.
Ternyata setelah dilakukan pengujian pelarut
kloroform
tidak
mempunyai
aktivitas
antijamur Rhizoctonia solani dan Gliocladium
fimbriatum. Pengujian aktivitas eusiderin A
terhadap Rhizoctonia solani dan Gliocladium
fimbriatum dilakukan dengan mengukur jarijari pertumbuhan koloni jamur setiap hari
sampai hari kelima inkubasi. Selanjutnya data
yang
didapat
dikonversikan
menjadi
persentase penghambatan pertumbuhan jarijari koloni jamur. Hasil uji aktivitas tersebut
bisa dilihat pada Gambar
2 berikut,

3.2. Uji Aktivitas Anti Jamur Patogen


Tanaman
Pada penelitian ini, uji aktivitas
dilakukan terhadap jamur Rhizoctonia solani
(penyebab penyakit busuk pelepah daun padi)
dan Gliocladium fimbriatum (agens antagonis
berbagai patogen tumbuhan sangat berguna
sebagai pengendali hayati) [10]. Sebelum
dilakukan pengujian aktivitas senyawa

1699

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
CHCl3

CHCl3

(a)

(b)

Gambar 2. Hasil pengujian aktivitas antijamur, kloroform terhadap (a) Rhizoctonia solani dan (b)
Gliocladium fimbriatum
Dari tiga macam variasi konsentrasi
(3, 4, dan 5 ppm) yang diujikan terhadap jamur
patogen tanaman, ternyata eusiderin A
berpotensi sebagai fungisida hayati karena
mempunyai aktivitas dalam menghambat
pertumbuhan jamur. Hasil uji aktivitas untuk 5
hari inkubasi menunjukkan Rhizoctonia solani
dihambat pertumbuhannya oleh eusiderin A
dengan konsentrasi 5 ppm. Senyawa eusiderin
A 5 ppm persentase penghambatannya
terhadap pertumbuhan jari-jari koloni jamur
Rhizoctonia solani (= 21,95%). Sedangkan

3 ppm

penghambatan
terhadap
Gliocladium
fimbriatum sangat lemah. Gliocladium
fimbriatum sebagai agens antagonis berbagai
patogen tumbuhan sangat berguna sebagai
pengendali hayati. Pada penelitian ini senyawa
yang berpotensi sebagai fungisida (eusiderin
A) tidak mempunyai aktivitas penghambatan
terhadap
pertumbuhan
koloni
jamur
Gliocladium fimbriatum, maka dengan adanya
penelitian ini berarti kompatibel. Hasil uji
aktivitasnya bisa dilihat pada Gambar 3.

4 ppm

5 ppm

(a)
3 ppm

Gambar 3.

4 ppm

5 ppm

(b)
Hasil pengujian aktivitas antijamur, Eusiderin A terhadap (a) Rhizoctonia solani dan (b)
Gliocladium fimbriatum

Selanjutnya data lengkap tentang persentase


penghambatan pertumbuhan jari-jari koloni
jamur Rhizoctonia solani dan Gliocladium
oleh senyawa eusiderin A untuk 5 kali

pengujian (n = 5) dapat dilihat pada Tabel 1


berikut. Dari tabel terlihat jelas bahwa
senyawa eusiderin A 5 ppm paling efektif
persentase penghambatannya.
1700

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

.
Tabel 1. Persentase penghambatan pertumbuhan jari-jari koloni Rhizoctonia solani dan Gliocladium
fimbriatum oleh senyawa Eusiderin A (n = 5)

Senyawa

Eusiderin A

Rata-rata

Rataan Persentase Penghambatan Pertumbuhan Jari-jari Koloni Jamur


( r (%), n = 5)
Rhizoctonia solani
Gliocladium fimbriatum
Konsentrasi (ppm)
Konsentrasi (ppm)
3
4
5
3
4
5
1
2,5
22,5
0,6
2
4,5
1
2,5
21,75
0,6
2,5
5
0,6
2
22
0
2
5
0,6
2
21,5
0
2
4,5
0,6
2,5
22
0,6
2,5
5,5
0,76
2,3
21,95
0,36
2,2
4,9

(Eusideroxylon zwagery), Laporan Penelitian,


DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional.
[4]. Heyne, K., 1987, Tumbuhan Berguna
Indonesia, Jilid II, Badan Litbang Kehutanan,
Jakarta.
[5]. Hobbs, J.J., King, F.E., 1960, The Chemistry
of Extractives from Hardwoods. Eusiderin, a
possible by-product of Lignin Synthesis in
Eusideroxylon zwagery, J. Chem. Soc., 47324738.
[6]. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang,
Y.I., dan Kadir, K., 1989, Atlas Kayu
Indonesia, Departemen Kehutanan, Bogor.
[7]. Merlini, L., Zanarotti, A., 1975, a
Biogenetically Patterned Synthesis of ()
Eusiderin, Tetrahedron Lett., 42:3621-3622.
[8]. Miles H.D., Maria, Barbara, A.R., Shirley,
1985, Insect Antifeedant from The Peruvian
Plant Alchornea triplinervia, J. Am. Chem.
Soc., 276, 470.
[9]. Moore, E., 1996, Fundamentals of The Fungi,
Fourth Edition, Prentice Hall International,
Inc., New Jersey.
[10]. Pegg, G.F., 1987, Fungal Infection of Plants,
Cambridge University Press, Cambridge.
[11]. Priyono, D., Adnan, A.M., 2004, Pengujian
Pestisida Berbahan Aktif Majemuk (Bahan
Pelatihan), Pusat Kajian Pengendalian Hama
Terpadu - Departemen HPT IPB.

4. KESIMPULAN
Pada penelitian ini telah berhasil
diisolasi senyawa Eusiderin A dari kayu bulian
(Eusideroxylon zwagery). Pada pengujian
aktivitas antijamur senyawa Eusiderin A dari
kayu bulian (Eusideroxylon zwagery) terhadap
jamur patogen tanaman Rhizoctonia solani
terlihat bahwa eusiderin A 5 ppm paling
efektif persentase penghambatannya, karena
dapat menghambat pertumbuhan jari-jari
koloni Rhizoctonia solani (= 21,95%). Pada
penelitian ini senyawa yang berpotensi sebagai
fungisida (eusiderin A) tidak mempunyai
aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan
koloni jamur Gliocladium fimbriatum, maka
dengan
adanya penelitian ini berarti
kompatibel.
5. REFERENSI
[1]. Blanchette, R.A., 1991, Delignification by
Wood-decay Fungi, Ann. Rev. Phytopathol.,
29:381-398.
[2]. Boddy, L., 1991, Importance of Wood Decay
Fungi in Forest Ecosystem, Marcel Dekker,
Inc., New York.
[3]. Harizon,
Syamsurizal,
Afrida,
2001,
Eksplorasi Potensi Kimia Tanaman Bulian

1701

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENENTUAN POTENSI ANTIKANKER BEBERAPA TUMBUHAN OBAT ASAL


KALIMANTAN BARAT
DETERMINE THE POTENCY OF ANTICANCER ACTIVITY OF SOME MEDICAL
PLANT FROM WEST BORNEO
Muhamad Agus Wibowo 1), Nora Idiawati 1), Dohot Maruli Purba 1), Syafri Lushaini 1), Djoko Parwanto
1)
, Rio Andie 1), Puji Ardiningsih 1), Faskalia 1).
1
FMIPA, Universitas Tanjungpura
email: aguso2@yahoo.com
Abstrak
Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang kaya akan tumbuhan obat. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menentukan potensi antikanker ekstrak metanol dari lima daun tanaman asal
Kalimantan Barat. Pada penelitian ini dilakukan penentuan aktivitas sitotoksisitas (LC50) dengan metoda
BSLT, aktivitas antioksidan (IC50), dan pengukuran total fenol. Hasil penelitian diperoleh data LC50, IC50,
dan total fenol dari masing-masing ekstrak secara berturut-turut adalah Kedadai (224,03 ppm, 76,54 ppm, dan
24,67 g TAE/mg), Kentutan (578,31 ppm, 117,32 ppm, dan 22,22 g TAE/mg), Malek (389,60 ppm, 223,54
ppm, dan 121,15 g TAE/mg), Buas-buas (1266,14 ppm, 227,72 ppm, dan 300,80 g TAE/mg), dan Soma
(363,13 ppm, 244,61 ppm, dan 21,30 g TAE/mg). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tumbuhan
Kedadai, Kentutan, Malek, dan Soma bersifat sititoksik dan potensi sebagai antikanker.
Abstract
West Borneo is one of the provinces in Indonesia which is rich in medicinal plants. The purpose of this study
was to determine the anticancer potential of the leaves methanol extract of five plants from West Borneo. The
study conducted to determine the cytotoxic activity (LC50) with BSLT method, the antioxidant activity (IC50),
and the measurement of total phenols. The results of the research data showed LC50, IC50, and total phenol of
extracts is Kedadai (224.03 ppm, 76.54 ppm, and 24.67 g TAE/mg), Kentutan (578.31 ppm, 117.32 ppm, and
22.22 g TAE/mg), Malek (389.60 ppm, 223.54 ppm, and 121.15 g TAE/mg), Buas-buas (1266.14 ppm, 227.72
ppm , and 300.80 g TAE/mg), and Soma (363.13 ppm, 244.61 ppm, and 21.30 g TAE/mg). The results
concluded that plants Kedadai, Kentutan, Malek, and Soma are cytotoxic and potential as anticancer.
Keywords: Kedadai, Kentutan, Malek, Buas-buas, Soma.

tubuh (Zhu, et al., 2015). Dengan ditekannya


ROS maka kerusakan DNA dapat dicegah dan
dapat menginduksi terjadinya apoptosis pada
sel kanker (Klauning, et al., 2010). Salah satu
alternative sumber antioksidan yang paling
melimpah di alam adalah tanaman obat.

1. PENDAHULUAN [
Kanker merupakan salah satu penyakit
dengan prevalensi terus meningkat dan
penyumbang kematian terbesar ketiga baik di
dunia maupun di Indonesia (WHO, 2014).
Penyakit ini tergolong kedalam penyakit
degeneratif yang disebabkan
oleh tidak
berfungsinya sel secara normal akibat
meningkatnya stres oksidasi pada tubuh
(Campisi, et al., 2011; Haun, et al., 2013).
Meningkatnya stres oksidatif dalam tubuh akan
mengakibatkan terjadinya kerusakan DNA
yang berakibat pada mutasi dan meningkatnya
laju proliferasi (Klauning, et al., 2010; Cooke,
et al., 2003; Zamkova, et al., 2013).
Penggunaan antioksidan dalam pengobatan
dan pencegahan kanker merupakan salah satu
strategi (Klauning, et al., 2010). Kemampuan
ini karena antioksidan dapat secara bertahap
menekan produksi ROS yang berlebihan pada

Kalimantan Barat sebagai salah satu


propinsi di Indonesia mempunyai potensi
kekayaan hayati yang sangat besar sebagai
sumber antioksidan alami untuk dimanfaatkan
sebagai bahan obat kanker (Wibowo , et al.,
2011; Wibowo & Wulandari, 2007). Beberapa
diantaranya adalah tanaman kedadai, kentutan,
malek, buas-buas, dan soma. Selain
ketersediaannya melimpah tanaman ini juga
sering digunakan sebagai bahan obat oleh
masyarakat. Mengingat semakin meningkatnya
prevalensi penderita kanker maka perlu
dicarikan solusi pemecahannya berbasis
tanaman obat asli indonesia. Sehingga pada
1702

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

penelitian ini dilakukan uji potensi anti kanker


dengan metoda BSLT dan aktivitas antioksidan
dari kelima tanaman tersebut.

konsentrasi 0, 4, 8, 12, 16, 20 g/ml. Nilai


total fenol untuk masing masing ekstrak
dihitung dengan rumus:

2. METODE PENELITIAN
Bahan penelitian. Bahan yang dipakai
dalam penelitian ini adalah daun tumbuhan
Kedadai (Ficus variegata Blume), Kentutan
(Paederia foetida L.), Malek (Litsea garciae
Vidal), Buas-buas (P. serratifolia L), Soma
(Ploiarium alternifolium). Terhadap semua
bahan penelitian kemudian dikering anginkan,
dihaluskan dan dimaserasi dengan pelarut
metanol 2x24 jam. Terhadap maserat yang
diperoleh kemudian dievaporasi sehingga
diperoleh ekstrak metanol kental (Wibowo , et
al., 2011).
Uji fitokimia (Harborne, 1987). Uji
alkaloid dilakukan dengan menggunakan
pereaksi Meyer, Wagner, dan Dragendorf. Uji
flavonoid dilakukan dengan pereaksi shinoda
tes, uji fenolik dengan pereaksi FeCl3 1%,
sedangkan uji terpenoid/steroid dengan
pereaksi Salkowski dan LiebermanBurchard.
Uji aktivitas antioksidan (Khanahmadi,
et al., 2010). Dibuat larutan ekstrak uji dengan
konsentrasi 0, 20, 50, 100, 250, dan 500 ppm.
Terhadap masing-masing larutan ekstrak uji
kemudian dicampur dengan larutan DPPH
0,004% dalam metanol (4 mL), dan didiamkan
selama 30 menit, dan diukur absorbansinya
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
maks 525 nm. Kekuatan inhibisi dari masingmasing larutan
uji
dihitung dengan
menggunakan rumus:

Uji Brine Shrimp lethality test (BSLT)


(McLaughlin & Roggers, 1998). Sebanyak 10
ekor anak udang (Artemia salina) yang baru
menetas dimasukkan ke dalam masing-masing
botol vial yang telah diisi larutan ekstrak daun
tanaman uji dengan konsentrasi masingmasing 1000, 100, 10, dan 0 ppm dalam air
laut murni. Setelah 24 jam, diamati jumlah
udang yang mati untuk tiap-tiap konsentrasi
dan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali.
Data yang diperoleh selanjutnya ditentukan
nilai LC50 dengan metoda probit menggunakan
program SPSS 17. Berikut adalah rumus yang
digunakan untuk menentukan prosentase
kematian
larva
untuk
masing-masing
konsentrasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis fitokimia terhadap ekstrak
metanol tanaman uji memberikan hasil seperti
pada tabel 1. Tabel 1 menunjukka bahwa
ekstrak metanol daun kedadai, kentutan,
malek, buas-buas, dan soma mengandung
senyawa golongan alkaloid, flavonoid,
fenolik, dan terpenoid/steroid.
Hasil uji total fenol manunjukkan bahwa
nilai total fenol dari ekstrak daun tanaman uji
adalah secara berturut-turut adalah kedadai
(24,67 g TAE/mg), kentutan (22,22 g
TAE/mg), malek (121,15 g TAE/mg), buasbuas (300,80 g TAE/mg), dan soma (2,13 g
TAE/mg). Dari hasil uji total fenol
manunjukkan bahwa buas-buas memiliki total
fenol tertinggi dan secara berturut-turut diikuti
oleh tumbuhan malek, kedadai, kentutan, dan
soma

Nilai IC50 diperoleh dengan persamaan garis


lurus menggunakan program SPSS 17.
Uji total fenol. Sebanyak 50 l (1mg/ml)
ekstrak sampel dimasukkan ke dalam tabung
reaksi (4ml) yang berbeda. Selanjutnya, ke
dalam masing-masing tabung reaksi ditambah
450 l akuades dan 500 l reagen FolinCiocalteu (1N). Campuran yang dihasilkan
kemudian dibiarkan selama 2-8 menit dan
ditambahkan
1000 l
(20%
Na2CO3).
Campuran dibiarkan dan digoyang pada
kondisi gelap selama 2 jam. Absorbansi diukur
pada 757 nm menggunakan Spektrofotometer
UV-Vis. Kadar total fenol diukur dengan
memplotkan pada kurva baku dari larutan
standar (asam tanat) yang dibuat dengan
memfariasikan konsentrasi sebesar dengan

Tabel 1. Uji fitokimia masing-masing ekstrak


tanaman
Ekstrak
Tanaman
Kedadai
Kentutan
Malek
Buas-buas
Soma

1703

Flavonoid Alkaloid Terpenoid / fenolik


steroid
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Tabel 2. Total fenol masing-masing ekstrak


tanaman
No

Ekstrak

1
2
3
4
5

Kedadai
Kentutan
Malek
Buas-buas
Soma

Total
fenol
TAE/mg)
24,67
22.22
121,15
300,80
21,30

Tabel 4. Nilai LC50 masing-masing ekstrak


tanaman

(g

No
1
2
3
4
5

5. REFERENSI
Campisi, J., Andersen, J. K., Kapahi, P. & Melov,
S., 2011. Cellular senescence: A link between
cancer and age-related degenerative. Seminars
in Cancer Biology, Volume 21, p. 354359.
Cooke, M. S., Evans, M. D., Dizdaroglu, M. &
Lunec, J., 2003. Oxidative DNA damage:
mechanisms, mutation, and disease. The FASEB
Journal, Volume 17, pp. 1195-1214.
Harborne, J. B., 1987. Metode Fitokimia, Penuntun
Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. 2nd ed.
Bandung: ITB.
Haun, F., Nakamura, T. & Lipton, S. A., 2013.
Dysfunctional Mitochondrial Dynamics in the
Pathophysiology of neurodegenerative Diseases.
Journal of Cell Death, Volume 6, p. 2735.
Khanahmadi, M., Razazadeh, S. & Taran, M.,
2010. In vitro Antimicrobial and Antioxidant
Properties of Smyrnium cordifolium Boiss.
(Umbelliferae) Extract, sian. Journal of Plant
Sciences, 9(2), pp. 99-103.
Klauning, J. E., Kamendulis, L. M. & Hocevar, B.
A., 2010. Oxidative Stress and Oxidative
Damage in Carcinogenesis. Toxicologic
Pathology, Volume 38, pp. 96-109.
Maiza-Benabdesselam, F. et al., 2007. Antioxidant
activities of alkaloid extracts of two Algerian
species of Fumaria : Fumaria capreolata and
Fumaria bastardii. Rec. Nat. Prod., 1(2-3), pp.
28-35.
McLaughlin, . J. L. & Roggers, L. L., 1998. The
Use Of Biological Assays to Evaluate
Botanicals. Drug Information Journal, Volume
32, pp. 513-524.
Merzetti, E. M. & Staveley, B. E., 2013.
Mitochondrial Dynamics in Degenerative
Disease and Disease Models. Neuroscience
Discovery, Volume doi: 10.7243/2052-6946-18, pp. 1-8.
Meyer, B., Ferrigni N.R., N., Putnam, J. &
Jacobsen, L., 1982. Brine shrimp: a convenient

Tabel 3. Nilai IC50 masing-masing ekstrak


tanaman
Ekstrak
Kedadai
Kentutan
Malek
Buas-buas
Soma

LC50 (ppm)
224,03
578,31
389,60
1266,14
363,13

4. KESIMPULAN
Hasil uji aktivitas antioksidan dan BSLT
memberikan bahwa kelima ekstrak tumbuhan
berpotensi obat dan hanya empat ekstrak
tumbuhan yang berpotensi antikanker masingmasing tanaman itu adalah kedadai, kentutan,
malek, dan soma.

Uji aktivitas antioksidan diperoleh data


nilai IC seperti terlihat pada tabel 3. Hasil uji
menunjukkan
bahwa
ekstrak
kedadai
menunjukka memiliki kekuatan antioksidan
yang paling kuat dan secara berturut turut
adalah kentutan, malek, buas-buas dan soma.
Besaran nilai IC50 dari masing-masing ekstrak
menunjukkan bahwa kekuatan antioksidan
tidak sejalan dengan kandungan total fenol
yang terdapat pada tanaman. Hal ini
dimungkinkan karena kandungan alkaloid dan
terpenoid steroid yang terdapat pada tanaman
juga bersifat sebagai antioksidan, sehingga
menyumbangkan pada besarnya nilai IC50
seperti pada ekstrak kedadai dan kentutan
((Tiong, et al., 2013; Maiza-Benabdesselam, et
al., 2007). Dari uji antioksidan menunjukkan
bahwa kelima tanaman berpotensi sebagai obat
herbal.

No
1
2
3
4
5

Ekstrak
Kedadai
Kentutan
Malek
Buas-buas
Soma

IC50 (ppm)
76.54
117,32
223.54
227,72
244,61

Secara keseluruhan besaran nilai LC50


(tabel 4) sejalan dengan kekuatan antioksidan
(tebel 3) dari ekstrak, ekstrak dengan kekuatan
antioksidan tinggi bersifat sitotoksik terhadap
larfa udang uji. Hasil uji BSLT memberikan
nilai LC50 seperti pada tabel 4, dimana kedadai
memiliki aktivitas sitotoksik yang tinggi dan
seca berturut-turut diikuti oleh soma, malik,
kentutan, dan buas-buas. Dari nilai LC50 yang
diperoleh untuk kelima ekstrak memberikan 4
ekstrak tumbuhan masing-masing tanaman itu
adalah kedadai, kentutan, malek, dan soma
yang berpotensi antikanker, Hal ini karena
keempat tanaman tersebut memiliki nilai LC50
dibawah 1000 ppm (Meyer, et al., 1982).

1704

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
general bioassay for active plant constituent.
Planta Medica, Volume 45, pp. 31-34.
Tiong, S. H. et al., 2013. Antidiabetic and
Antioxidant Properties of Alkaloids from
Catharanthus roseus(L.) G. Don. Molecules,
Volume 18, pp. 9770-9784.
WHO, 2014. Preventing Chronic diseases: a vital
investment,
Geneva:
World
Health
Organization.
Wibowo , M. A., Purnomo , B. B., Widodo, A. M.
& A., 2011. Anti Neoplastic Effect of Ethyl
Acetate Fraction of Kesum Leaf. Jurnal
Kedokteran Hewan, 5(1), pp. 1-5.

Wibowo, M. A. & Wulandari, R., 2007. Isolasi dan


uji Aktivitas Antimikroba Minyak Atsiri Daun
Tanaman Kesum (Polygonum cf minus Huds).
Malang, Universitas Brawijaya.
Zamkova, M., Khromova, N., Kopnin, B. P. &
Kopnin, P., 2013. Ras-induced
ROS
upregulation affecting cell proliferation is
connected with cell type-specific alterations of
HSF1/SESN3/p21 (Cip1/WAF1) pathways. Cell
Cycle, 12(5), pp. 826-836.
Zhu, Y. et al., 2015. Antioxidant inhibition of
steady-state reactive oxygen species and cell
growth in neuroblastoma. Surgery., Volume doi:
10.1016/j.surg.2015.03.062, pp. 827-836.

1705

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Pepaya(Carica papaya)


Terhadap Peningkatan Kematian Cacing Gelang Babi (Ascaris
suum, Goeze) In Vitro
Muhammad Fikriansyah1), Gusti Aulia Nasution2), Grace Thresia Nainggolan3), Hamidatun Nisa4),
Muhammad Nizam5), Nora Susanti6)
1234
Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan
56
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan
1
email: chemical.hunter0@gmail.com, 6email: nora.susanti.s2@gmail.com
Abstract
Garica Papaya,L.(local name: papaya) is a well fruits seeds in Indonesia one of each is have the effect toward
the death of Pig Worm (Ascaris suum, Goeze) in vitro. Experimental laboratoric, with post-test only control
group design using 4 groups (NaCl 0.9% for negative control, extract of papaya seeds with 5%, 10% of
concentration, also pyrantel pamoate as the positive control with Combantrine as the trademark). Observation is
done by using purposive sampling method. The worm is incubated in 37oC. Data analyzed done calculate until
the worm was died. It shows that the extract of papaya seeds of each concentration has effect of anthelmintic.
From the result it can be concluded that the extract of papaya seeds has effect to increase the death of Ascaris
suum, Goeze In vitro although the effectivity as a little bit lower than pyrantel pamoate and increase of extract
papaya seeds concentration is proportionally with the increase of the death worm.
Keywords: Anthelmintic, extract of papaya seeds, pyrantel pamoate, Ascaris suum, Goeze

multiguna karena memiliki banyak manfaat antara lain sebagai bahan makanan dan
minuman, pakan ternak, bahan kosmetik,
industri, serta bahan obat tradisional.
Meskipun bagian-bagian pepaya banyak
dimanfaatkan dalam berbagai bidang, tetapi
manfaat biji pepaya masih belum banyak
diketahui masyarakat. Selain digunakan
sebagai bibit, biji pepaya selalu dibuang.
Menurut Wijayakusuma, dkk (1992)
bahwa biji pepaya, berkhasiat sebagai
obat cacingan, peluruh haid (emenagog),
karminatif, gangguan pencernaan, pembesaran hati dan limfa, abortivum dan
penyakit kulit.

1. PENDAHULUAN
Di Indonesia terdapat beragam tumbuhan
yang dapat dijadikan sebagai tanaman obat.
Obat tradisional lebih digemari masyarakat
karena relatif aman dan memliki efek samping
yang minimal (kuntoro, 2007).
Selain itu obat tradisonal juga murah dan
mudah didapat karena dijumpai di mana-mana,
serta dapat mngikutsertakan masyarakat untuk
mengurangi subsidi pemerintah (Herawati,
2000). Oleh sebab itu, obat-obat tradisional
yang mengandung zat anthelmintic perlu
dimanfaatkan sebagai obat alternatif untuk
pemberantasan penyakit cacing di Indonesia.
Obat-obat anthelmintic adalah obat yang
digunakan untuk menghilangkan parasit cacing
dari saluran atau jaringan intestinal dalam
tubuh. Mebendazole albendazole dan pyrantel
pamoate merupakan obat-obat cacing pilihan
pertama terhadap askariasis. Sedangkan
alternatifnya piperazine dan levamisola (Tjay
dan Rahardja, 2002 ; Katzung, 2004) serta zat
kimia Tannin yang terdapat pada biji lamtoro
(Anwar, 2005) dan daun teh (Duke, 2009).

Cacing gelang yang digunakan dalam


penelitian ini adalah Ascaris suum, Goeze yang
terdapat
dalam
usus
babi.
Peneliti
menggunakan cacing ini karena secara
morfologi hampir sama dengan Ascaris
lumbricoides, Linn bahkan cacing tersebut
disebut juga Ascaris lumbricoides suum.
Cacing Ascaris suum, Goeze ini dapat
menginfeksi
manusia
walaupun
tidak
menimbulkan manifestasi klinis yang berarti
(laskey, 2007; Miyazaki, 1991).

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan


jenis tanaman yang bernilai ekonomis.
Hampir semua bagian tanaman pepaya
memiliki daya dan hasil guna, dari daun
sampai akarnya dapat dimanfaatkan dalam
kehidupan manusia. Pepaya disebut

2. KAJIAN LITERATUR
Cacingan(askariasis) merupakan penyakit
endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing
1706

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

parasit dengan prevalensi tinggi, tidak


mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan
tubuh
manusia
sehingga
berakibat
menurunnya kondisi gizi dan
kesehatan
masyarakat. Cacing yang popular sebagai
parasit
saat
ini
adalah
cacing
gelang (Ascaris lumbricoides), cacing kremi
(Oxyuris vermicularis), cacing pita (Taenia
solium) dan cacing tambang (Ancylostoma
duodenale) (Zulkoni, 2010).
Menurut Safar(2010), nematoda intestinal
merupakan nematoda
yang
berhabitat
di
saluran pencernaan manusia dan
hewan. Manusia merupakan
hospes
beberapa
nematoda intestinal. Di antara
Nematoda Intestinal ini terdapat beberapa
spesies yang tergolong Soil Transmitted
Helminth,
yaitu
nematoda
yang
dalam siklus hidupnya untuk mencapai
stadium infektif, memerlukan tanah dengan
kondisi tertentu.
Obat-obat anthelmintic adalah obat yang
digunakan untuk menghilangkan parasit cacing
dari saluran atau jaringan intestinal dalam
tubuh. Mebendazole albendazole dan pyrantel
pamoate merupakan obat-obat cacing pilihan
pertama terhadap askariasis. Sedangkan
alternatifnya piperazine dan levamisola (Tjay
dan Rahardja, 2002 ; Katzung, 2004).
Pyrantel pamoate merupakan obat yang
banyak digunakan dalam masyarakat karena
efek samping yang ditimbulkan cukup rendah.
Pyrantel
pamoate
bekerja
dengan
menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan
meningkatkan frekuaensi impuls, sehingga
cacing mati dalam keadaan spasis. Selain itu,
Pyrantel pamoate juga menghambat enzim
asetilkolinesteras sehingga akan meningkatkan
kontraksi otot cacing.
Pepaya awalnya berasal dari Amerika
Tengah. Namun, buah ini juga tumbuh di
Indonesia memiliki kandungan zat yang
berperan sebagai obat anthelmintic alternatif.

Kecamatan Medan Tuntungan Komplek


Adam Malik Kota Madya Medan, Sumatera
Utara. Secara umum tanaman pepaya memiliki
ciri-ciri yang sama dengan tanaman pepaya
yang hidup di daerah lain.
Biji pepaya yang diambil dari buah
pepaya didaerah ini memiliki bentuk buah
agak panjang dan lonjong, ukurannya
bervariasi, dari yang kecil, sedang sampai
besar.

Gambar 1. Biji pepaya kering untuk diekstrak

Kandungan kimia yang terdapat


dalam biji pepaya adalah: 25% atau lebih
lemak campuran, 26,2% lemak, 24,3%
protein, 17% serat, 15,5% karbohidrat,
8,8% abu dan 8,2% air (Kalie, 2008). Selain
mengandung asam-asam lemak, biji
pepaya diketahui mengandung senyawa
kimia lain seperti golongan fenol, alkaloid,
dan saponin (Warisno, 2003).
Kandungan yang terdapat pada biji
papaya yang terkhusus adalah zat tannin.
Tannin memiliki efek anthelmintic In vitro
maupun In vivo di dalam tubuh kambing dan
domba (Brunet dan Hoste, 2006; Iqbal dkk,
2007; Cenci dkk, 2001). Tannin juga memiliki
aktifitas penghambatan terhadap migrasi larva
cacing pada kambing (Alonso dkk, 2008)

Klasifikasi Buah Pepaya (Carica papaya,


Linn)
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Cistales
Suku
: Caricacea
Marga
: Carica
Jenis
: Carica papaya L. (Hembing,
2008)
Biji pepaya yang digunakan dalam
penelitian ini berasal dari buah pepaya
daerah
Kelurahan
Kemenangan
Tani,

Gambar 2. Struktur molekul zat tannin


(Wikipedia, 2016)
3. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian
ini
bersifat
eksperimental
laboratorik.
1707

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

1. Serbuk Biji Pepaya


Serbuk biji pepaya adalah serbuk yang
dihasilkan dari biji pepaya yang telah
dikeringkan dalam oven pada suhu 40oC
kemudian dihaluskan.

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
MIPA Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan.
Subjek Penelitian
Subjek pemelitian/hewan uji adalah cacing
Ascaris suum, Goeze yang masih aktif
bergerak diperoleh dari Rumah Potong Hewan
Mabar Medan dengan perincian sebagai
berikut:
1. Kelompok I : direndam dalam larutan
garam fisiologis sebagai kontrol negatif
2. Kelompok II-III : direndam dalam larutan
ekstrak biji pepaya dengan konsentrasi
5% dan 10%
3. Kelompok VI : direndam dalam larutan
pyrantel pamoate dengan konsentrasi 5
mg/ml sebagai konsentrasi 10%.

2. Ekstrak Biji Pepaya


Ekstrak biji pepaya adalah ekstrak yang
dihasilkan setelah serbuk biji pepaya
dipanaskan dengan campuran aquades
dipanaskan sampai mendidih selama 5 menit.
3. Konsentrasi Ekstrak Biji Pepaya
Konsentrasi ekstrak biji pepaya dibuat dengan
pelarutan dengan satuan volume menurut
konsentrasi yang telah ditentukan.
4. Waktu Kematian Cacing
Waktu kematian cacing adalah waktu matinya
cacing dalam tiap perendaman setelah
perlakuan. Cacing dianggap mati apabila
disentuh dengan pinset anatomis tidak ada
respon gerakan.

Teknik Sampling
Di dalam penelitian ini menggunakan teknik
sampling purposive yaitu dengan cara
menyamakan ukuran panjang cacing dan caing
yang diteliti adalah yang masih bergerak

5.

Lama Pengujian Ekstrak Biji Pepaya


Sebelum
melakukan
uji
daya
anthelmintic, dilakukan uji penelitian tahap
persiapan tentang lama hidup Ascaris suum,
Goeze dalam larutan garam fisiologis sebagai
kontrol negative dan pyrantel pamoate 10%
sebagai kontrol positif.
Perendaman dalam larutan fisiologis
untuk mengetahui lama hidup cacing di luar
tubuh inangnya. Lamanya waktu yang
diperoleh ditetapkan sebagai waktu maksimal
pengamatan penelitian efektifitas ekstrak biji
papaya. Sedangkan perendaman dalam larutan
pyrantel pamoate untuk membandingkan daya
anthelmintic ekstrak biji papaya dengan obat
yang beredar di pasaran dengan merek dagang
combantrine.

Rancangan Penelitian
1. Tahap Penelitian Pendahuluan
Pertama, cawan petri disediakan sebagai
tempat sampel dengan perincian :
Kelompok I
: direndam dalam larutan
garam fisiologis sebagai kontrol negatif
Kelompok II-III
: direndam dalam
larutan ekstrak biji pepaya dengan
konsentrasi 5% dan 10%
Kelompok VI
: direndam dalam
larutan
pyrantel
pamoate
dengan
konsentrasi 5 mg/ml sebagai konsentrasi
10%.
Kemudian di inkubasi pada suhu 37oC
dan diamati pergerakan cacing selama
hidup
2. Tahap Penelitian Akhir
Setelah melalui tahap pndahuluan,
perhatikan dengan seksama pergerakan
cacing. Kemudian catat waktu kematian
pada cacing

Alat dan Bahan


1. Cawan petri diameter 10cm
2. Beaker glass
3. Spatula
4. Hot plate
5. Pinset anatomis
6. Gelas ukur
7. Corong
8. Lumping alu
9. Neraca analitik
10. Toples menyimpan cacing
11. Oven
12. Kertas saring

Identifikasi Variabel Penelitian


Variabel bebas : Ekstrak biji pepaya
Variabel Terikat : waktu kematian cacing
Variabel kontrol : Jenis cacing, ukuran, suhu
percobaan
Definisi Operasional Variabel
1708

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

13.
14.
15.
16.

Larutan NaCl 0,9%


Aquades
Larutan pyrantel pamoate 10%
Larutan uji ekstrak biji papaya

berikut, kematian cacing tercepat terdapat pada


kelompok ekstrak biji pepaya konsentrasi 10%
dengan waktu 12 jam.
Tahap penelitian akhir
Penelitian akhir dilakukan dengan mengamati
waktu yang dibutuhkan cacing untuk mati pada
kelompok control dan kelompok perlakuan
untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak
biji papaya terhadap peningkatan kematian
cacing Ascaris suum, Goeze

Cara Kerja
1. Pembuatan ekstrak biji papaya
Pengambilan bahan dari biji papaya:
Secara acak diambil dari buah pepaya
Pengeringan bahan biji papaya :
Biji di keringkan dengan tujuan
menghilangkan kadar air yang tersimpan
pada suhu 70oC sampai kering
Ekstrak biji papaya :
Ekstrak biji papaya yang dihasilkan
adalah setelah serbuk biji papaya
dipanaskan dan ditimbang dengan 2
penimbangan dengan berat 2,5 dan 5 gram
dan
masing-masing
mendapatkan
penambahan 50ml aquades, dipanaskan
sampai mendidih dan didinginkan.
2. Penentuan konsentrasi ekstrak uji
- Masukkan ekstrak biji pepaya ke dalam
beaker glass I (2,5 gram ekstrak biji
pepaya dalam 50 ml aquades) dan II (5
gram ekstrak biji pepaya dalam 50 ml
aqudes). Setelah itu ekstrak biji pepaya
dmasukkan ke dalam masing-masing
beaker glass, lalu aquades ditambahkan
sampai mencapai batas 50 ml dan aduk
homogen. Lalu filtrat didekantasi.

Keterangan :
Dari 4 perlakuan diperoleh data waktu rata-rata
yang dibutuhkan cacing untuk mati :
Kontol positif
30 menit
Kontrol negative
-Konsentrasi 5 %
>12 jam
Konsentrasi 10%
12 jam

3. Penentuan waktu kematian cacing


Filtrat dimasukkan ke dalam cawan petri
dan diberi tanda I dan II. Kemudian tiaptiap cawan petri dimasukkan 1 cacing
Ascaris suum, Goeze

5. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan diperoleh hasil bahwa pemberian
ekstrak biji pepaya berpengaruh terhadap
peningkatan kematian cacing Ascaris suum,
Goeze. Hal ini dibuktikan bahwa cacing yang
disimpan pada cawan petri dengan konsentrasi
10% akan mati pada waktu ke 12 jam.
Sementara cacing yang disimpan
pada
konsentrasi
5%
masih
hidup,tapi
pergerakannya sangat lambat. Namun, cacing
yang diberi perlakuan dengan Pyrantel
pamoate 10% mengalami kematian pada menit
ke-30. Hal ini menunjukkan penggunaan
Pyrantel pamoate masih lebih efektif
dibanding ekstrak biji pepaya.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Saran

(1) Perlu dilakukan penelitian lanjutan


mengenai aktivitas anthelmintic ekstrak
biji pepaya terhadap Ascaris suum, Goeze
secara in vitro agar ekstrak tersebut benarbenar dapat digunakan sebagai obat cacing
alternatif.

Tahap Pendahuluan
Tahap penelitian pendahuluan dilakukan
dengan mengamati jumlah waktu cacing
Ascaris suum, Goeze yang mati pada
kelompok control dan perlakuan. Penelitian
tahap pendahuluan diadakan untuk mengetahui
berapa lama waktu kematian cacing tercepat
yang ada pada larutan ekstrak biji pepaya, dan
untuk mengetahui berapa waktu tercepat
ekstrak biji papaya dapat membunuh cacing.
Sehingga penelitian ini dapat dijadikan dasar
untuk pengamatan pada tahap penelitian akhir.
Hasil tahap pendahuluan adalah sebagai

(2) Perlu dilakukan pengujian aktivitas


anthelmintic
tanaman
lainnya
agar
didapatkan tanaman yang lebih efektif
dalam perannya sebagai anthelmintic
terhadap Ascaris suum, Goeze.

1709

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENGARUH PEMBERIAN QUIZ PADA PEMBELAJARAN JIGSAW TYPE


4 TERHADAP HASIL BELAJAR KIMIA SISWA
DI SMAN 2 TANJAB TIMUR JAMBI
Muhammad Haris Effendi1), Fatria Dewi2), Fuldiaratman3), Nurasiah4)
1,2,3)
Pendidikan Kimia FKIP Universitas Jambi
email: hariseffendi@unja.ac.id
4)
Magister Pendidikan Kimia Program Pasca Sarjana Universitas Jambi
Abstrak
Beberapa jenis tipe pembelajaran jigsaw memberikan siswa pengalaman belajar yang berbeda. Perbedaan
tersebut dapat berasal dari pemberian kuis seperti yang direkomendasikan oleh jigsaw 4. Makalah ini
melaporkan pengaruh pemberian kuis terhadap hasil belajar kimia siswa di SMAN 2 Tanjung Jabung Timur
Jambi. Desain penelitian campur telah digunakan dalam mengumpulkan data. Dua lokal kelas 10 telah
dilibatkan untuk menerapkan jigsaw tipe 4 dan jigsaw tipe 1. Data dikumpulkan menggunakan lembar
observasi, test dan wawancara. Hasil analisis menunjukkan bahwa score siswa kelas jigsaw 4 lebih baik
dibanding siswa kelas jigsaw 1 (mean= 80.35 vs 75.9; t-test sig= 0.029 < 0.05). Berdasarkan hasil observasi
terlihat bahwa siswa kelas jigsaw 4 memiliki kesiapan yang lebih baik untuk menghadapi test dibanding siswa
kelas jigsaw 1. Hal ini terjadi karena mereka telah mendapatka kuis pada tahap diskusi kelompok. Dalam
wawancara, beberapa siswa memberikan komentar mengenai pengalaman belajarnya. Berdasarkan hasil yang
diperoleh dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa pada kelas jigsaw dapat ditingkatkan dengan cara
meningkatkan kesiapan siswa khususnya melalui pemberian kuis
Kata kunci : Model Pembelajaran Jigsaw, hasil belajar, kuis, mata pelajaran kimia

nikasi, serta bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya dalam menuntaskan


materi yang dipelajari (Rusman, 2008). Jadi,
dalam pembelajaran jigsaw siswa diharuskan
untuk saling bekerja sama dan saling
ketergantungan positif serta bertanggung
jawab secara mandiri atas hasil belajarnya.
Beberapa hasil penelitian terdahulu telah
menunjukkan bahwa model pembelajaran
kooperatif type jigsaw banyak memberikan
manfaat bagi siswa meliputi manfaat
peningkatan hasil belajar (Asni, 2012; Azizah,
2013; Carol, 1986; Persky & Gary, 2009;
Perkins & Renee, 2001; Li, 2012), partisipasi
dan antusiasme siswa dalam belajar (Maceiras,
Cancela, Urrejola, & Sanchez, 2011; Mengduo
& Xiaoling, 2010), meningkatkan keaktifan
dan kemampuan berpikir kreatif siswa,
menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri,
menumbukan rasa suka pada materi pelajaran
(Li, 2012), menumbuhkan tanggung jawab
siswa terhadap suatu materi yang telah
diberikan (Azizah, 2013), bahkan mampu
membantu siswa menurunkan kecemasan
dalam belajar sains (Oludipe & Jonathan,
2010). Contoh-contoh yang dipaparkan diatas
menegaskan bahwa model pembelajaran
kooperatif type jigsaw adalah model

1. PENDAHULUAN
Dalam kurikulum KTSP guru dituntut
untuk berperan sebagai fasilitator dibawah
pendekatan belajar berpusat pada siswa
(student-centered learning) dan bukan lagi
sebagai sumber belajar dengan pendekatan
berpusat
pada
guru
(teacher-centered
learning). Hal ini berarti guru harus
meninggalkan
praktek
pembelajaran
langsung/ekspositori dan mengadopsi praktek
pembelajaran aktif termasuk pembelajaran
kooperatif.
Satu satu model pembelajaran yang tergolong kedalam model pembelajaran kooperatif
adalah jigsaw. Jigsaw diimplementasikan dengan cara mengkondisikan siswa untuk belajar
dalam dua tahap pembelajaran yaitu diskusi
kelompok ahli atau expert group yang
membahas materi yang sama untuk semua
siswa anggotanya, dan diskusi kelompok asal
atau home group yang membahas materi yang
berbeda (Lie, 2008). Dalam model pembelajaran tipe jigsaw ini siswa memiliki banyak
kesempatan untuk melakukan interaksi antar
teman sebaya, mengemukakan pendapat dan
mengelola informasi yang didapat dalam
rangka meningkatkan keterampilan berkomu1710

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

pembelajaran yang baik yang tidak hanya


mampu memberikan manfaat belajar pada
ranah kognitif, namun juga pada ranah afektif
siswa.
Namun demikian, berdasarkan hasil
penelitian Ningsih (2015), hasil belajar siswa
menggunakan model pembelajaran jigsaw
pada materi kimia di Kota Jambi belum begitu
menggembirakan. Temuan diatas sejalan
dengan hasil belajar kimia siswa di SMAN 2
Tanjab Timur Jambi tahun ajaran 2014/2015
dan 2015/2016 pada materi Pemberian Nama
Senyawa Kimia dimana rerata nilai masingmasing 74,07 dan 74,54 dan belum melampaui
KKM (75). Hal tersebut, menurut Ningsih
(2015), disebabkan karena lemahnya kesiapan
siswa dalam memahami materi yang menjadi
tanggung jawabnya sehingga mempengaruhi
kualitas interaksi antar siswa dan tutor sebaya
pada diskusi kelompok asal.
Untuk meningkatkan hasil belajar dari
penerapan model belajar jigsaw maka perlu
diupayakan suatu strategi yang dapat
membantu siswa lebih siap dalam berdiskusi.
Holiday (2002) telah merumuskan beberapa
tahapan baru dalam pembelajaran jigsaw dan
salah satunya adalah pemberian kuis pada
tahapan diskusi kelompok sebelum memasuki
tahapan diskusi kelas dan tes. Pemberian kuis
ini dimaksudkan untuk membantu siswa
meningkatkan kesiapannya dalam berdiskusi
sehingga akan meningkatkan pemahaman
konsepnya terhadap materi pembelajaran.
Jigsaw tipe ini akhirnya disebut jigsaw tipe 4.
Jigsaw dapat diterapkan pada materi
kimia. Kimia dalam KTSP (kurikulum 2006)
merupakan rumpun mata pelajaran ilmu
pengetahuan alam yang mempelajari gejalagejala alam, dan mengkhususkan diri dalam
mempelajari struktur, susunan, sifat, dan
perubahan materi serta energi yang menyertai
perubahan materi. Sebagian besar aspek yang
dibahas dalam ilmu kimia adalah konsep
teoritis dan bersifat abstrak. Salah satu
contohnya dalah materi kimia kelas X SMA
pada semester genap dengan Standar
Kompetensi 3 (Memahami sifat-sifat larutan
non-elektrolit dan elektrolit, serta reaksi
oksidasi-reduksi) dan Kompentensi Dasar 3.2
(Menjelaskan perkembangan konsep reaksi
oksidasi reduksi dan hubungannnya dengan
tatanama senyawa serta penerapannya). Dalam
mengajarkan konsep kimia tersebut, umumnya
guru menggunakan metode ceramah. Dengan
metode ini guru tidak memiliki kesempatan

untuk mengidentifikasi dan memastikan


seberapa banyak siswa paham dengan konsep
kimia tersebut. Untuk membantu siswa
memahami konsep kimia yang bersifat abstrak
tersebut maka terlihat pentingnya penerapan
model pembelajaran kelompok seperti jigsaw
dimana siswa lebih mendapat kesempatan
berdiskusi dan saling mengajari. Lebih lanjut,
untuk membantu siswa agar lebih siap dalam
berdiskusi dan menghadapi tes maka sebuah
kuis akan diberikan ketika diskusi kelompok.
Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
kuis pada pembelajaran jigsaw terhadap hasil
belajar siswa.
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Model Pembelajaran Kooperatif
Johnson dan Johnson (1994) menyatakan
bahwa cooperative learning adalah mengelompokkan siswa yang ada di dalam kelas ke
dalam suatu kelompok kecil agar dapat bekerja
sama dengan kemampuan maksimal yang
mereka miliki dan mempelajari materi dengan
teman sekelompoknya. Sedangkan menurut
Taber (2014) bahwa pembelajaran kooperatif
adalah sebuah pendekatan yang menginstruksikan kerja kelompok dengan keterlibatan siswa
bekerja didalam kelompoknya untuk mencapai
tujuan bersama. Selanjutnya, Hanafiah, dkk,
(2009), menyatakan bahwa pembelajaran
kelompok adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivisme. Strategi pembelajaranmya adalah siswa
belajar dengan sejumlah siswa yang lain dalam
kelompok kecil dengan tingkat kemampuan
yang berbeda-beda. Dalam menyelesaikan
tugas kelompoknya, siswa diharuskan bekerja
sama dan saling membantu dalam memahami
pelajaran. belajar belum dikatakan selesai jika
masih ada teman dalam kelompoknya yang
belum memahami bahan pelajaran. Lebih
lanjut, model pembelajaran kooperatif menurut
Suprijono (2010) adalah semua jenis kerja
kelompok termasuk bentuk-bentuk yang
dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru
dimana guru bertindak sebagai fasilitator,
memberikan dukungan tetapi tidak mengarahkan kelompok ke arah hasil yang sudah disiapkan. Semua anggotanya saling berinteraksi dan
saling mempengaruhi satu sama lain.
Sebagai hasilnya, model pembelajaran
kooperatif diyakini menjadi salah satu strategi
1711

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

belajar yang mampu meningkatkan keaktifan


siswa di kelas (Artzt & Newman, 1997;
Gillies, 2003; Leikin & Zaslavsky, 1999;
Peterson & Miller, 2004; Sutton, 1992) serta
mampu meningkatkan keberhasilan belajar
siswa pada mata pelajaran sains dengan daya
tahan yang lebih lama (Alebiosu, 1998;
Johnson, Johnson & Stane, 2000; Rosini &
Flowers, 1997; Springer, Stanne & Donovan,
1999) baik pada siswa yang memiliki
kemampuan yang homogen maupun heterogen
(Johnson & Johnson, 1994; Johnson, Johnson
& Smith, 2004). Dalam strategi ini, tugas guru
hanyalah bersifat sebagai fasilitator yang
berfungsi untuk memberi sarana, material dan
bimbingan bagi siswa selama pembelajaran
(NRC, 1996). Sebaliknya, siswa mencari
informasi dan pemahaman melalui kegiatan
mental aktif dengan cara bekerjasama dan
berdiskusi dalam kelompoknya yang terdiri
dari siswa dengan latar belakang kemampuan
yang beragam (Oludipe & Jonathan, 2010).
Manfaat penggunaan model belajar
koperatif dalam mengaktifkan siswa juga telah
direkomendasikan oleh Slavin (1995) tatkala
beliau menyatakan bahwa pembelajaran
kooperatif dapat membuat siswa berinteraksi
secara aktif dan positif dalam kelompok.
Model belajar ini memfasilitasi terjadinya
pertukaran ide (exchange of ideas) dan pemeriksaaan ide (scrutiny of ideas) dalam suasana
yang bersahabat, sesuai dengan falsafah
konstruktivisme. Manfaat yang sama juga terlihat saat model ini digunakan guru untuk
mengatasi permasalahan yang ditemu-kan
dalam mengaktifkan siswa yang pasif, yang
kurang peduli pada siswa lain dan siswa yang
kurang dapat bekerja sama dengan siswa lain
(Isjoni, 2010). Jadi, model pembelajaran
koperatif dapat memberikan suasana belajar
yang aktif dan menyenangkan serta melatih
siswa untuk bersosialisasi dalam rangka membangun/mengkonstruk sendiri pengetahuannya.

ditugaskan untuk menjadi ahli (expert) pada


suatu aspek tertentu dari materi tersebut.
Setelah membaca dan mempelajari materi
ahli dari kelompok berbeda akan berkumpul
untuk mendiskusikan topik yang sama dari
kelompok ahli sampai mereka menjadi ahli di
konsep yang ia pelajari. Kemudian kembali ke
kelompok asal untuk mengajarkan topik yang
mereka kuasai kepada anggota kelompoknya.
Jadi, dalam pembelajaran jigsaw, siswa
bergantung pada temannya dalam kelompok
asal untuk bisa memahami keseluruhan materi.
Beberapa aspek yang harus diperhatikan
dalam menerapkan model pembelajaran jigsaw
adalah mengatasi berbagai kesulitan dalam
penerapannya. Salah satu kendala tersebut
adalah lemahnya kesiapan siswa untuk berdiskusi sehingga mempengaruhi hasil belajarnya
(Ningsih, 2015). Untuk meningkatkan kualitas
pelaksanaan jigsaw dan hasil belajar siswa
maka beberapa modifikasi telah dilakukan oleh
ahli, sebagai berikut:
B1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw II
Menurut Slavin, 1986a: 237 dalam Slavin
(2005), bentuk adaptasi model pembelajaran
jigsaw yang lebih praktis dan mudah adalah
jigsaw II. Jigsaw II dapat digunakan apabila
materi yang akan dipelajari adalah materi yang
berbentuk narasi tertulis. Metode ini sesuai
untuk subyek-subyek seperti ilmu pengetahuan
sosial, literatur, sebagian pelajaran ilmu
pengetahuan ilmiah, dan bidang lainnya yang
tujuan pembelajarannya lebih pada penguasaan
konsep daripada penguasaan kemampuan.
Dalam jigsaw II siswa bekerja dalam tim
yang heterogen. para siswa diberikan
tugas`untuk membaca beberapa bab atau unit,
kemudian diberikan lembar ahli (expert sheet)
yang terdiri dari topik-topik yang berbeda yang
menjadi fokus perhatian masing-masing
anggota tim saat mereka membaca. Setelah
semua anggota kelompok selesai membaca
maka akan bertemu dikelompok ahli untuk
mendiskusikan topik mereka sekitar tiga puluh
menit. Para ahli kemudian kembali ke kelompok asal dan dengan cara bergantian mereka
mengajari materi yang mereka kuasai ke
anggota kelompoknya. Selanjutnya diberikan
tes dan penghargaan terhadap individu dan
kelompok yang memperoleh nilai tertinggi.

B. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe


Jigsaw
Model pembelajaran jigsaw pertama kali
dikembangkan oleh Elliot Aronson dan koleganya di Universitas Texas pada tahun 1978
(Ibrahim dkk, 2000). Dalam belajar kooperatif
tipe jigsaw, secara umum siswa dikelompokkan secara heterogen dalam kemampuan.
Siswa diberi materi yang baru atau pendalaman dari materi sebelumnya untuk dipelajari
masing-masing anggota kelompok secara acak

B2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe


Jigsaw IV
1712

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Pada tahun 2002, Holiday mengembangkan model pembelajaran jigsaw yang diberi
nama model pembelajaran jigsaw IV. Model
pembelajaran ini merupakan pengembangan
dari jigsaw I, II, dan jigsaw III yang dirancang
untuk
memperbaiki
model-model
pembelajaran sebelumnya. Terdapat tiga aspek
baru dan penting dalam jigsaw IV yakni
pendahuluan, kuis dan re-teaching (dilakukan
setelah pemberian tes dan peringkat). Maka,
menurut Holliday (2002), ada sembilan
tahapan pada proses pembelajaran, yakni: 1)
Pendahuluan dimana guru memperkenalkan
prinsip yang berkenaan dengan keseluruhan
materi yang akan dipelajari, membentuk
kelompok asal, pembentukan kelompok ahli,
2) Membagikan lembar ahli (expert sheet)
kepada kelompok ahli, 3) Kelompok ahli
mengerjakan pertanyaan-pertanyaan yang ada
pada lembar ahli untuk memeriksa pemahaman
terhadap materi yang menjadi ahlinya, 4)
Pemberian kuis pada masing-masing kelompok
ahli untuk memeriksa ketelitian dan
pemahaman siswa selama bekerja pada
kelompok ahli, 5) Ahli kembali ke kelompok
asalnya dan menginformasikan hasil pekerjaannya kepada teman sekelompoknya, 6) Pemberian kuis pada masing-masinmg kelompok
asal untuk memeriksa ketelitian dan pemahaman siswa mengenai keseluruhan materi
selama proses pembelajaran, 7) Mengadakan
review proses yang bertjuan untuk menelaah
kembali konsep-konsep yang rawan membuat
siswa tidak memahaminya, 8) Pemberian tes
secara keseluruhan dan memberikan penghargaan baik individu maupun kelompok, dan 9)
Re-teach atau penghargaan kembali untuk
memberikan penguatan-penguatan terahadap
materi-materi yang belum dikuasai untuk
menghindari kesalahpahaman.

D. Kerangka Berpikir
Model pembelajaran jigsaw adalah proses
pembelajaran kooperatif dalam kelompokkelompok kecil dengan melibatkan peran siswa
sebagai tutor sebaya dimana siswa harus
menjelaskan materi yang menjadi tanggung
jawabnya kepada teman sekelompoknya.
Kualitas diskusi melalui sistem tutor sebaya
tersebut menjadi kunci penentu hasil belajar
siswa. Untuk memastikan sebuah diskusi tutor
sebaya yang berkualitas maka guru harus
betul-betul yakin akan kemampuan siswa
dalam menguasai materi pelajaran yang
menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu guru
dapat memberikan kuis kepada siswa di
kelompok ahli sebelum kembali ke kelompok
asal. Kuis tersebut akan memberikan hasil
belajar yang berbeda jika dibandingkan dengan
kelas jigsaw yang tanpa pemberian kuis.
E. Hipotesis Tindakan
Memperhatikan landasan teori dan
kerangka berpikir tersebut diatas, maka
hipotesis tindakan dirumuskan sebagai berikut:
Terdapat perbedaan hasil belajar siswa antara
kelas 10B yang diberi kuis (jigsaw 4) dan kelas
10C tanpa pemberian kuis (jigsaw 1) pada
materi penamaan senyawa kimia di SMAN 2
Tanjung Jabung Timur.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilakukan di SMAN 2
Tanjung Jabung Timur pada tahun ajaran
2015-2016. Partisipan pada penelitian ini
adalah siswa-siswi kelas 10 yang direkruit
secara
sukarela
menggunakan
teknik
convenience sampling sebanyak 2 kelas.
Mereka diasumsikan memiliki karakteristik
akademik sama yaitu kelas 10B berjumlah 29
orang yang akan belajar menggunakan model
pembelajaran jigsaw tipe 4 dan kelas 10C
berjumlah 26 orang yang akan belajar
menggunakan model pembelajaran jigsaw tipe
1. Pokok bahasan yang diajarkan pada
penelitian ini adalah materi penamaan senyawa
kimia sebanyak 2 kali pertemuan.
Desain metode campuran (mix method)
yang
menggunakan
metode
penelitian
kualitatif dan kuantitatif telah digunakan pada
penelitian ini sehingga teknik triangulasi dapat
digunakan dalam mengolah data dan menarik
kesimpulan (Mertens, 2005). Oleh karena itu,
tiga jenis instrument berbeda telah digunakan
untuk mengumpulkan data yaitu lembar

C. Hasil Belajar
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan,
nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap,
apresiasi, dan ketrampilan. Hasil belajar
mencakup ketiga aspek yaitu kognitif,
psikomotor dan afektif (Suprijono, 2010).
Belajar adalah perubahan tingkah laku
secara keseluruhan bukan hanya salah satu
aspek potensi kemanusian saja. Artinya hasil
pembelajaran yang dikategorikann oleh pakar
pendidikan sebagaimana tersebut diatas tidak
bisa kita lihat secara terpisah-pisah melainkan
harus dilihat secara komprehensif.

1713

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

observasi, tes dan wawancara. Observasi


dilakukan
oleh
2
orang
pengamat
menggunakan lembar observasi dan direkam
menggunakan handycam untuk mendapatkan
data tentang keaktifan siswa
selama
pembelajaran, tes berupa essay berjumlah 5
soal diberikan diakhir pembelajaran dan
wawancara dilakukan terhadap siswa setelah
pembelajaran untuk mendapatkan persepsi
mereka tentang manfaat pemberian kuis
terhadap hasil belajar mereka.
Setelah data diperoleh maka dapat
dianalisis menggunakan metode yang sesuai.
Data dari observasi diolah dengan cara
interpretasi langsung (Merriam, 1998). Data
tes diolah menggunakan uji t menggunakan
SPSS 20 dan data wawancara di olah dengan
metode kualitatif Miles dan Huberman (1994).

Tabel 2. Hasil Uji Independent Test Hasil


Belajar

Tabel 1. Hasil Tes Kelas 10B dan 10C


10 B
80,34
29

10C
75,96
26

3
16
4
6

0
11
4
11

Significance
0,08 dan
0,169
0,647

Independent
test

0,029

Kesimpulan
Kedua data Normal
Sig > 0,05
Kedua data homogen Sig>0,05
Kedua data berbeda
Sig < 0,05

Data yang ditampilkan dalam Tabel 2


menunjukkan bahwa kedua data terdistribusi
normal dan homogen. Kedua data juga berbeda
secara signifikan. Hal ini berarti hipotesis
dapat diterima. Hasil uji statistika ini
mempertegas bahwa hasil belajar kelas 10B
lebih baik dibanding hasil belajar kelas 10C
karena jika mengacu kepada nilai rerata kelas
maka nilai rerata kelas 10B yang diberi kuis
(80,34) lebih besar dibanding nilai rerata kelas
10C yang hanya sebesar 75,96.
Perbedaan hasil belajar diantara kedua
kelas tersebut didukung oleh data yang
diperoleh dari observasi. Selama observasi
terlihat bahwa siswa kelas 10B lebih memiliki
percaya diri untuk melakukan kegiatan diskusi
tutor sebaya. Mereka terlihat lebih memahami
materi pelajaran dan mampu menjelaskannya
kepada teman satu kelompok ketika kembali
ke kelompok asal. Begitu pula ketika
melakukan presentasi didepan kelas, siswa
kelas 10B terlihat lebih lancar menjelaskan
materi pelajaran.
Hal berbeda teramati pada siswa-siswa di
kelas 10C. Mereka terlihat ragu-ragu dalam
menjelaskan materi pelajaran yang menjadi
tanggungjawabnya
kepada
teman
satu
kelompok. Akibatnya pemahaman konsep
mereka tidak dapat dipastikan kebenarannya.
Kedua kondisi diatas dapat dipastikan
terjadi karena perlakuan berbeda yang mereka
terima ketika pembelajaran jigsaw. Kelas 10B
yang mendapat kuis mendapat kesempatan
untuk dikonfirmasi oleh guru mengenai
kebenaran akan pemahaman mereka. Hasilnya
mereka menjadi lebih paham setelah
mengerjakan kuis dan menjadi lebih mampu
untuk melakukan tutor sebaya. Pada
gilirannya, distribusi pengetahuan terjadi
secara rata dan berkualitas dan mereka mampu
menjawab tes dengan benar.
Sebaliknya, siswa di kelas 10C yang tidak
mendapat kuis tidak mendapat kesempatan
untuk dikonfirmasi oleh guru akan pemahaman
mereka. Hasilnya mereka menjadi kurang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil belajar kelas 10 B yang diberikan
kuis pada pembelajaran jigsaw lebih baik
dibanding hasil belajar kelas 10C tanpa kuis.
Berdasarkan hasil analisis terhadap data tes
terlihat adanya perbedaan hasil belajar antara
kedua kelas (Tabel 1).

Kelas
Rerata
Jumlah siswa
Distribusi nilai:
>90
80-90
75-80
<75 (KKM)

Parameter
Kolmogorov
Smirnov
Levenes tes

Perbedaan hasil belajar yang ditunjukkan


oleh data pada Tabel 1 dapat dilihat dari nilai
rerata kelas 10B yang lebih tinggi dibanding
kelas 10C. Selain itu, perbedaan tersebut dapat
pula dilihat dari jumlah siswa yang lulus KKM
(75). Pada kelas 10B terdapat 23 orang yang
lulus KKM atau sekitar 79,3% sementara
hanya ada 15 orang atau sekitar 57,69% yang
lulus KKM di kelas 10C. Kedua data yang
diuraikan diatas mengindikasikan bahwa hasil
belajar kelas 10B lebih baik dibanding kelas
10C.
Selanjutnya,
untuk
mendapatkan
keyakinan yang valid atas perbedaan hasil
belajar dari kedua kelas tersebut maka
dilakukan uji t terhadap kedua deretan data
menggunakan SPSS 20 (Tabel 2).

1714

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

memahami konsep materi yang dipelajari.


Pada gilirannya, distribusi pengetahuan tidak
terjadi dengan baik dan berkualitas sehingga
mereka memiliki miskonsepsi saat menjawab
tes.
Data observasi dan tes yang telah
disampaikan diatas didukung oleh data
wawancara terhadap siswa. Beberapa siswa
kelas 10B ketika ditanya sehabis pelajaran
menyampaikan manfaat kuis terhadap proses
belajar dan hasil belajar mereka. Mereka
menyukai pemberian kuis karena sangat
membantu mereka dalam memahami konsep
pelajaran. Akibatnya mereka lebih percaya diri
untuk melakukan diskusi tutor sebaya. Salah
satu siswa menyampaikan:

Holliday, (2002) menegaskan bahwa ketelitian


hasil kerja siswa selama proses pembelajaran
jigsaw sebaiknya dievaluasi dengan kuis. Kuis
yang diberikan pada kelompok ahli dirancang
untuk memeriksa ketelitian dan pemahaman
siswa selama bekerja dalam kelompok ahli,
sedangkan kuis yang diberikan pada kelompok
asal dirancang untuk memeriksa ketelitian dan
pemahaman siswa selama bekerja di kelompok
asal. Selanjutnya, Ningsih (2015) mengatakan
bahwa kesiapan siswa untuk melakukan
diskusi tutor sebaya perlu ditingkatkan dengan
menerapkan strategi tertentu, salah satunya
adalah dengan pemberian kuis.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap data hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 1) ada
perbedaan hasil belajar antara siswa yang
melakukan jigsaw 4 dengan pemberian kuis
dibanding hasil belajar siswa yang melakukan
jigsaw 1 dengan tanpa pemberian kuis, 2)
pemberian kuis dapat meningkatkan kesiapan
siswa untuk melakukan tutor sebaya.

saya senang pembelajaran dengan jigsaw


dan pemberian kuis. Kami menjadi lebih
paham
saya lebih percaya diri untuk menjelaskan
ke teman karena saya sudah yakin saya tahu.
Disamping itu, dampak pemberian kuis
terhadap hasil belajar siswa dapat dipahami
karena dengan mengerjakan kuis siswa kelas
10B mendapat latihan berulang untuk
mempelajari materi pelajaran sebelum
menghadapi tes. Kenyataan tersebut dapat
dilihat dari nilai kuis yang diperoleh siswa
kelas 10B dimana selama dua kali melakukan
kuis mereka mendapat nilai yang baik (Tabel
3).
Tabel 3. Hasil Kuis Siswa Kelas 10B.
Kuis
Mean
Jumlah siswa
Distribusi nilai:
>90
80-90
75-80
<75 (KKM)

Kelompok
Ahli
86,89
29

Kelompok
Asal
84,96
29

14
11
0
4

13
9
3
4

6. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kami sampaikan
kepada Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi atas bantuan dana penelitian
yang diperoleh melalui skema Penelitian
Fundamental tahun 2016. Semoga hasil
penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.
7. REFERENSI
Alebiosu, K.A. (1998).

Effects

of

two

cooperative learning models on senior


secondary school students learning outcomes
inn chemistry. Unpublished PhD Thesis.
University of Ibadan. Nigeria.
Asni, Yunita Fitri. (2012). Studi Perbandingan
Pembelajaran
Larutan
Penyangga
Menggunakan Model Jigsaw Antara Peta
Konsep dan Peta Pikiran Terhadap Hasil
Belajar Siswa Kelas XI IPA SMAN 1 Muaro
Jambi. Unpublished Thesis. Jambi: Universitas
Jambi.
Artzt, A. and Newman, C. (1997). How to use
cooperative learning in the mathematics
classroom. 2 (ed.) The National Council of
Teachers of mathematics, Inc: USA.
Azizah,
Nur.
(2013).
Pengaruh
Metode
Pembelajaran Jigsaw Terhadap Hasil Belajar
Mata Pelajaran Dasar Kompetensi Kejuruan Di
SMK Wongsorejo Gombong. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta. 2013. Website:

Tabel 3 menunjukkan bahwa rerata nilai


kuis baik di kelompok ahli dan asal relative
tetap dan baik. Hal ini mengindikasikan bahwa
proses belajar telah terjadi sejak diskusi
kelompok ahli melalui kuis yang diberikan.
Pada kondisi tersebut guru memberikan
konfirmasi dan penguatan terhadap hasil kuis
sehingga
kesalahpahaman
terhadap
pemahaman materi dapat diminimalkan.
1715

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
http://eprints.uny.ac.id/10164/1/JURNAL%20P
ENELITIAN.pdf diakses 5 november 2013.
Carrol, D.W. (1986). Use of the jigsaw technique in
laboratory and discussion classes. Teaching of
Psychology. 13(4): 208-210.
Gillies, R. M. ( 2003). Structuring cooperative
group work in classrooms. International
Journal of Educational Research. 39(1-2): 3549.
Hanafiah, N dan Suhana, C. (2009). Konsep
Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika
Aditama.
Holliday, D.C., (2002), Jigsaw IV: Using
Student/Teacher Concerns to Improve Jigsaw
III. ERIC ED 465687.
Ibrahim, Muslimin dkk. (2000). Pembelajaran
Kooperatif. Surabaya: Unesa University Press.
Isjoni. (2010). Cooperative Learning. Bandung:
Alfabeta.
Johnson, D. and Johnson, R. (1994). Learning
together and alone: Cooperative, competitive,
and individualistic learning. (4th ed.). Boston:
Allyn & Bacon.
Johnson, D.W., Johnson, R.T. and Stane, M.E.
(2000). Cooperative learning methods: A meta
analysis. Cooperative learning centre. Website:
http://www.pubmedcentral.org/direct3.egi.
Johnson, D. and Johnson, R. and Smith, K. (2004).
Constructive controversy: Effective techniques
for stimulating college students. Change. 32(1):
28-37.
Leikin R. and Zaslavsky, O. (1999). Cooperative
learning in mathematics. Mathematics Teacher.
92(3): 240-246.
Lie, Anita. (2008). Cooperative Learning. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Li, Weihong. (2012). Critical Analysis of
cooperative learning in Chinese ELT context.
Journal of Language Teaching and Research.
3(5): 961-966.
Maceiras, R., Angeles Cancela, Santiago Urrejola
and Angel Sanchez. (2011). Experience of
cooperative learning in engineering. European
Journal of Engineering Education. 36(1): 1319.
Mengduo, Q. and Jin Xiaoling. (2010). Jigsaw
strategy as a cooperative learning technique:
Focusing on the language learners. Chinese
Journals of Applied Linguistics (Bimonthly).
33(4): 113-125.
Merriam, S.B. (1998). Qualitative research and
case study applications in education (2 ed.). San
Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
Mertens, D. M. (2005). Research and evaluation in
education and psychology: Integrating diversity
with quantitative, qualitative, and mixed
methods. 2 (ed.). California, USA: SAGE
Publications.

Miles, Matthew B. and Huberman, Michael A.


(1994). Qualitative Data Analysis 2nd Edition.
California: SAGE Publications, Inc.
Ningsih, E. G., (2015), Analisis Kesulitan Proses
Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada
Materi Konsep Redoks Di Kelas X Mia SMAN 3
Kota Jambi, Unpublished Thesis. Jambi:
Universitas Jambi, 2015.
National Research Council. (1996). National
Science Education Standards. Washington, DC:
National Academy Press.
Oludipe, D. and Jonathan O. Awokoy. (2010).
Effect of cooperative learning teaching strategy
on the reduction of students anxiety for
learning chemistry. Journal of Turkish Science
Education. 7(1): 30-36.
Perkins, D.V. and Renee N. Saris. (2001). A
jigsaw technique for undergraduate statistic
course. Teaching of Psychology. 28 (2): 111113.
Persky, A. M. and Gary M. Pollack. (2009).
Instructional design and assessment: A hybrid
jigsaw approach to teaching renal clearance
concepts. American Journal of Pharmaceutical
Education. 73 (3): 1-6.
Peterson, S.E. and Miller, J.A. (2004). Comparing
the quality of students experiences during
cooperative
learning
and
large-group
instruction. The Journal of Educational
Research. 97(3): 123-133.
Rosini, B. Abu and Jim Flowers. (1997). The effect
of
cooperative
learning
methods
on
achievement, retention, and attitudes of home
economics students in North Carolina. Journal
of Vocational and Technical Education. 13(2):
1-7.
Rusman. (2008). Manajmen Kurikulum Seri
Manajmen Sekolah Bermutu. UPI Press
Bandung.
Slavin, R.E.. (1995). Cooperative learning: Theory,
research and practice. (2nd ed). Boston: Allyn
and bacon.
Slavin, R. E. (2005). Cooperative Learning (Teori,
Riset dan Praktik) . Bandung: Nusa Media.
Springer, L., Stanne, M.E., and Donovan, S. (1999).
Measuring the success of small group learning
in college level SMET teaching: A meta
analysis. Review of Educational Research.
69(9): 21-51.
Suprijono, A. (2010). Cooperative Learning Teori
Dan Aplikasi Paikem. Yokyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sutton, G. (1992). Cooperative learning works in
mathematics. Mathematics Teacher. 85(1):6366.
Taber, K. S. (2014). Learning with Understanding
in the Chemistry Classroom. Netherlands:
Springer.

1716

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

AKTIVITAS ANTIMIKROBIAL EKSTRAK ETIL ASETAT


DAUN GALINGGANG (Casia alata)
Murniana 1), Binawati Ginting 2) Kartini Hasballah 3) Leyna Miska 4)
1

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala, email: murniana2010@yahoo.com
2
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala, email: binawati@chem.unsyiah.ac.id
(corresponding author)
3
Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, email: kartinirusly@gmail.com
4
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala, email: leynamiska@gmail.com

Abstract
The antimicrobial activity of ethyl acetate extracts of leaves Galinggang (Cassia alata) was conducted. This
research to aim blocked ability of C. alata leaves that growed in Aceh toward growth of S. aureus, E. coli
bacteria and C. albicans fungus. C. alata leave prepared then separated its compound using Vacuum Liquid
Chromatography that produced 6 group fraction, CAE-1 (3,61 g); CAE-2 (2,02 g); CAE-3 (0,64 g); CAE-4
(0,92 g); CAE-5 (1,44 g) and CAE-6 (1,02 g). Antimicrobial activity test of crude extract and fractions toward
S. aureus, E. coli bacteria and C. albicans fungus using agar diffusion method with 5%; 10% and 20%(w/v)
concentration. Antimicrobial activity test result showed that an active ethyl acetate crude extract toward S.
aureus bacteria on 5%; 10% and 20% (w/v) concentration with inhibition zone 7,5 mm; 8,5 mm and 10 mm
respectively. The most active fraction toward S. aureus bacteria is CAE-6 fraction on 20% (w/v) concentration
produced inhibition zone among 10 mm. Ethyl acetate crude of C. alata leave in active toward E. coli bacteria
and C. albicans fungus. Based on phytochemical test result, CAE-6 fraction has secondary metabolite from
fenol group that estimated active in inhibiting S. aureus bacteria.
Keyword:

Cassia alata, antimicrobial, ethyl acetate extract, Sthaphylococcus aureus, Eschericia coli,
Candida albicans

Abstrak
Uji Aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat daun Galinggang (Cassia alata) telah dilakukan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui daya hambat ekstrak etil asetat daun C. alata yang ditumbuh di Aceh terhadap
pertumbuhan bakteri S. aureus, E. coli dan dan jamur C. albicans. Ekstrak etil asetat daun C. alata dipisahkan
komponen-komponennya menggunakan Kromatografi Cair Vakum (KCV), diperoleh 6 fraksi yaitu CAE-1
(3,61 g); CAE-2 (2,02 g); CAE-3 (0,64 g); CAE-4 (0,92 g); CAE-5 (1,44 g) dan CAE-6 (1,02 g). Ekstrak etil
asetat dan fraksi-fraksi yang diperoleh diuji aktivitas antimikrobial terhadap bakteri S. aureus, E. coli dan jamur
C. albicans menggunakan metode difusi agar dengan konsentrasi 5 %(b/v); 10 %(b/v) dan 20 %(b/v). Hasil uji
aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat aktif terhadap bakteri S. aureus pada masingmasing konsentrasi 5 %(b/v); 10 %(b/v) dan 20 %(b/v) dengan zona hambat 7,5 mm; 8,5 mm dan 10 mm.
Fraksi yang paling aktif terhadap bakteri S. aureus adalah fraksi CAE-6 pada konsentrasi 20 %(b/v) dengan
zona hambat antara 10 mm. Ekstrak etil asetat daun C. alata tidak aktif terhadap bakteri E. coli dan jamur C.
albicans. Berdasarkan hasil uji fitokimia, fraksi CAE-6 memiliki metabolit sekunder dari kelompok fenol yang
diperkirakan aktif dalam menghambat bakteri S. aureus.
Keyword:

Galinggang (Cassia alata), antimikrobial, ekstrak etil asetat, Sthaphylococcus aureus, Eschericia
coli, Candida albicans

lainnya Sennaalata, Herpesalata dan Cassia


bracteataini merupakan tumbuhan yang
berasal dari daerah tropik Amerika. Tumbuhan
ini dapat tumbuh di negara-negara beriklim
tropis, yang membentang dari Amerika sampai
India, Fiji, Indonesia, Malaysia dan Afrika
(Ehiowemwenguan et al., 2014), Nigeria,
Australia, Thailand (Zige et al., 2014), Peru,
Brazil, French Guiana, Guyana, Suriname,
Venezuela, dan Kolombia (Chatterjee et al.,
2012).

I. PENDAHULUAN
Tanaman berkhasiat obat telah dikenal
oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu
upaya penyembuhan berbagai penyakit
sebelum pelayanan kesehatan formal yang
menggunakan obat-obatan modern dikenal
secara luas. Salah satu tanaman yang sering
digunakan oleh masyarakat adalah tanaman
galinggang (Cassia alata). Cassia alata
dikategorikan dalam famili Fabaceae, yang
merupakan jenis semak hias dengan tinggi
sekitar 2-3 m. Tumbuhan dengan nama ilmiah
1717

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Ehiowemwenguan
et
al.,
(2014)
melaporkan bahwa daun C. alata ini berguna
dalam mengobati kejang, gonore, gagal
jantung, sakit perut, edema dan juga digunakan
sebagai obat pencahar. Tanaman C. alata di
Indonesia secara tradisional digunakan untuk
menyembuhkan berbagai penyakit yaitu
diantaranya sebagai obat panu, kurap, kudis,
sembelit, cacingan dan sariawan (Utami,
2008). Kandungan kimia yang terdapat pada
akar C. alata berdasarkan hasil uji fitokimia
pada penelitian yang telah dilakukan oleh
Doughari et al., (2007) yaitu saponin, tannin,
glikosida dan alkaloid, sedangkan bagian daun
mengandung saponin, alkaloid, glikosida,
steroid dan fenol. Promgool et al., (2014) juga
melaporkan daun C. alata yang berasal dari
Thailand mengandung beberapa senyawa
antrakuinon: aloe-emodin, emodin,
hydroxyemodin, lunatin, physcion, ziganin, dan
flavonoid:
apigenin,
7,4-dihydroxy-5methoxyflavone,
diosmetin,
kaempferol,
luteolin, dan trans-dihydrokaempferol, begitu
juga seperti yang dilaporan Majekodunmi dan
Essien, (2014) melaporkan bahwa daun C.
alata yang berasal dari Nigeria mengandung
chrysophanol,
isochrysophanol,
rhein,
ellagitannin, asam fenolik cassia xanthone
danastragalin.
Aktivitas ekstrak C. alata sebagai
antimikrobial telah dibuktikan oleh beberapa
penelitian. Zige et al., (2014) melaporkan
bahwa ekstrak etanol dari C. alata yang
dikumpulkan dari Nigeria memiliki aktivitas
antimikrobial terhadap bakteri E. coli, S.
Typhy, P. mirabilis, P. auriginosa, K. mirabilis
spp dan jamur yang bersifat patogen pada
manusia seperti M. pachydermatis, M.
furfures, M. globosa dan M. restricta.
Ehiowemwenguan et al., (2014) juga
melaporkan bahwa esktrak air, metanol dan
aseton daun C. alata dari Nigeria menunjukkan
aktivitas yang cukup besar terhadap bakteri E.
coli, P. mirabilis, P. aeruginosa dan jamur A.
flavus, A. niger, C. albicans. Penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Rizki (2013)
melaporkan bahwa uji aktivitas senyawa
antibakteri ekstrak n-heksana daun C. alata
yang berasal dari Aceh tidak memiliki aktivitas
antibakteri
sedangkan
fraksi-fraksinya
memiliki aktivitas antibakteri terhadap E. coli
dan S. aureus. Penelitian yang dilakukan oleh
Mutia (2013) juga melaporkan bahwa uji
aktivitas ekstrak n-heksana dari daun C. alata

yang juga berasal dari Aceh terhadap jamur C.


albicans menunjukkan bahwa fraksi D
memiliki aktivitas antijamur pada konsentrasi
10, 30 dan 50% dengan diameter zona
hambatnya yaitu masing-masing sebesar 10,6;
11,3 dan 12,26 mm.
Berdasarkan uraian diatas menarik
dilakukan ekstraksi dan isolasi ekstrak etil
asetat dan penentuan aktivitas antimikrobanya
meliputi penentuan aktivitas antibakteri
terhadap bakteri S. aureus dan E. coli serta
antijamur terhadap jamur C. albicans yang
berasal dari daerah Aceh.
2. KAJIAN LITERATUR
Tumbuhan dengan nama ilmiah C. alata
ini memiliki beberapa sinonim diantaranya
Senna alata, Herpetica alata, Cassia bracteata
dan Cassiaherpetica (Chatterjee et al., 2012).
Tumbuhan C. alata dalam masyarakat dikenal
dengan nama galinggang atau ketepeng cina
(Indonesia). Nama daerah untuk tumbuhan ini
adalah ketepeng badak, ketepeng kebo,
ketepeng cina (Jawa), ki manila (Sunda); aconaconan (Madura), saya mara (Galela)
galinggang (Aceh), tabankun (Tidore) dan
kupang-kupang (Ternate) (Kinho et al., 2011).
Taksonomi tumbuhan C. alata menurut
Kandowangko et al., (2011) adalah:
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spemlatopyta
Kelas
: Monocotyledoneac
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae
Genus
: Cassia
Spesies
: Cassia alata
Anatomi tumbuhan C. alata ditunjukkan
pada Gambar 1.

Gambar 1. Anatomi tanaman C. alata

1718

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Kandungan kimia yang terdapat pada C. alata


berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
oleh Makinde et al., (2007) yaitu, senyawa
golongan alkaloid, antrakuinon, saponin, tanin,
terpenoid, steroid, flavonoid, dan karbohidrat.
Penelitian yang dilakukan Promgool et al.,
(2014) melaporkan bahwa daun C.alata
mengandung beberapa senyawa antrakuinon:
aloe-emodin, emodin, - hydroxyemodin,
lunatin, physcion, ziganin, dan flavonoid:
apigenin,
7,4-dihydroxy-5-methoxyflavone,
diosmetin, kaempferol, luteolin, dan transdihydrokaempferol,
chrysophanol,
isochrysophanol, rhein, ellagitannin, asam
fenolik cassiaxanthone dan astragalin.
Majekodunmi dan Essien, (2014) juga
melaporkan C. alata mengandung senyawa
chrysoeriol-7-O-(2"-O-beta-Dmannopyranosyl)-betaDallopyranoside,
kaempferol 3-O-gentiobioside, naringenin,
quercetin dan Chatterje et al., (2012)
melaporkan adanya senyawa rhamnetin-3-O(2"-O-beta-D-mannopyranosyl)-beta-Dallopyranoside.

GF254, plat KLT, NaCl 0,9%, nistatin,


gentamisin,
Media Nutrient Agar (NA),
media Mueller Hinton Agar (MHA), dan
media Sabouraud Dextrose Agar (SDA).
3.4. Uji fitokimia
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui
jenis metabolit sekunder yang terdapat pada
sampel yang akan diuji. Uji fitokimia
berdasarkan metode Harborne, (1996).
3.4 Ekstraksi dan Isolasi
Daun C. alata yang telah kering sebanyak
2 Kg dimaserasi dengan metanol selama 3x24
jam. Ekstrak metanol dipekatkan menggunakan
rotaryevaporator pada kondisi vakum. Ekstrak
metanol pekat yang diperoleh kemudian dicuci
mengunakan
petroleum
eter
untuk
menghilangkan klorofil. Fraksi metanol
diekstraksi lagi menggunakan pelarut nheksana hingga jernih, lalu dipekatkan hingga
diperoleh ekstrak n-heksana. Ffraksi metanol
kemudian diekstraksi lagi menggunakan etil
asetat hingga jernih, lalu dipekatkan hingga
diperoleh ekstrak etil asetat. Ekstrak pekat etil
asetat sebagian digunakan untuk aktivitas
antimikrobial dan sebagian lagi digunakan
untuk keperluan isolasi.
Ekstrak etil asetat ditentukan sistem eluen
dengan perbandingan pelarut yang sesuai
menggunakan plat KLT. Sebanyak 7 g ekstrak
etil asetat dipisahkan komponen-komponennya
menggunakan Kromatografi Cair Vakum
(KCV) dengan fase diam silika gel G-60 GF254
dan fase gerak variasi diklorometana dengan nheksana secara gradien elusi. Fraksi hasil KCV
ditampung dalam Erlenmeyer setiap 100 mL
dan diberi tanda kemudian fraksi tersebut
selanjutnya di monitor dengan plat KLT
dengan sitem eluen diklorometana : n-heksana
(9:1). Fraksi dengan pola noda sama kemudian
digabung yang disebut fraksi gabungan
kemudian
diuji
fitokimia
dan
diuji
antimikrobial.

3. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh. Waktu penelitian dimulai dari April
2015 sampai dengan Desember 2015
3.2 Sampel dan Bioindikator
Sampel daun tumbuhan C. alata diambil
didaerah Suak Raya, Meulaboh, Aceh Barat,
Provinsi Aceh. Bioindikator yang digunakan
dalam penelitian ini adalah bakteri S. aureus,
E. coli dan jamur C.albicans, yang telah
tersedia di Laboratorium.
3.3 Alat dan Bahan
Peralatan
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah rotaryevaporator,
inkubator, pipet mikro, cawan petri, autoklaf,
jarum ose, laminar flow, seperangkat alat
distilasi, pinset, lampu spritus, beberapa
peralatan gelas yang umum digunakan di
laboratorium dan spektrofotometer.
Bahan yang digunakan adalah n-heksana,
etil asetat, metanol teknis yang telah
didestilasi, reagen fitokima, silika gel G-60

3.5 Penentuan aktivitas antimikrobial


3.5.1 Penentuan aktivitas antibakteri
Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan
metode difusi agar Kirby-Bauer. Suspensi
bakteri diambil dengan cara mencelupkan
kapas lidi steril dalam suspensi bakteri
kemudian ditekan kapas ke sisi tabung agar
inoculum tidak berlebih lalu diulas secara
merata pada seluruh permukaan media MHA
1719

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

sebanyak 3 kali dan memutar cawan dengan


sudut putaran 60 setiap selesai sekali ulasan.
Kemudian kapas lidi diulas melingkar pada
pinggiran cawan. Setelah beberapa saat
diletakkan cakram yang telah ditetesi larutan
uji dengan konsentrasi 5 %b/v, 10 %b/v, dan 20
%b/v masing-masing sebanyak 20 L pada
permukaan agar yang telah ditanami bakteri.
Antibiotik gentamisin 10 g digunakan sebagai
kontrol positif dan pelarut etil asetat digunakan
sebagai kontrol negatif. Inkubasi dilakukan
pada suhu 37C selama 18-24 jam. Aktivitas
antibakteri diamati berdasarlan diameter zona
hambat yang ditunjukkan dengan zona bening
yang terbentuk disekeliling kertas cakram.
Diameter zona hambat yang terbentuk diukur
dengan menggunakan penggaris dalam satuan
milimeter.

4.2 Ekstraksi
Hasil ekstraksi terhadap 2 Kg daun C.
alata ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil ekstraksi daun C. alata

Ekstrak
Metanol
Etil asetat
n-heksana

Berat
(g)
119,11
73,40
57,50

Rendemen
(%)
5,95
3,67
2,87

4.3 Uji Fitokimia


Daun segar dan ekstrak etil asetat daun C.
alata diuji fitokimia. Hasil uji fitokimia
terhadap daun segar dan ekstrak etil asetat daun
C. alata ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji fitokimia

3.5.2 Penentuan aktivitas antijamur


Uji aktivitas antijamur dilakukan dengan
metode difusi agar Kirby-Bauer. Suspensi
jamur diambil dengan cara mencelupkan kapas
lidi steril dalam suspensi jamur kemudian
ditekan kapas ke sisi tabung agar inokulum
tidak berlebih lalu diulas secara merata pada
seluruh permukaan media MHA sebanyak 3
kali dan memutar cawan dengan sudut putaran
60 setiap selesai sekali
ulasan. Setelah
beberapa saat diletakkan cakram yang telah
ditetesi larutan uji dengan konsentrasi 5 %b/v,
10 %b/v, dan 20 %b/v
masing-masing
sebanyak 20 L pada permukaan agar yang
telah ditanami jamur. Antibiotik Nistatin 100U
digunakan sebagai kontrol positif dan pelarut
etil asetat digunakan sebagai kontrol negatif.
Inkubasi dilakukan pada suhu 37C selama 2448 jam. Aktivitas antijamur diamati
berdasarlan diameter zona hambat yang
ditunjukkam dengan zona bening yang
terbentuk pada kertas cakram. Diameter zona
hambat yang terbentuk diukur dengan
penggaris dalam satuan millimeter.

Kandungan
kimia
Alkaloid
Steroid
Terpenoid
Saponin
Flavonoid
Fenol

Daun
segar
+
+

Ekstrak
Etil Asetat
+
+

Keterangan
Endapan Putih
Endapan coklat
Endapan merah
Hijau
Merah
Busa
Merah muda
Coklat tua

Keterangan:
(+) : mengandung metabolit sekunder
() : tidak mengandung metabolit sekunder
Hasil uji fitokimia daun segar C. alata
menunjukkan adanya senyawa metabolit
sekunder golongan steroid sedangkan pada
ekstrak etil asetat terdapat steroid dan fenol.
Data hasil uji fitokimia ini sesuai penelitian
yang dilaporkan oleh Zige, et al., (2014) yang
melaporkan bahwa daun C. alata mengandung
senyawa metabolit sekunder tannin, steroid,
fenol dan saponin. Uji fitokimia bertujuan
untuk
mengetahui
kelompok
senyawa
metabolit sekunder yang terdapat dalam
tumbuhan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Determinasi Tumbuhan
Hasil identifikasi sampel tanaman yang
dilakukan di Herbarium Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Syiah Kuala menunjukkan
bahwa tanaman yang digunakan pada
penelitian ini adalah tanaman galinggang
(Cassia alata L.) dari famili Fabaceae.

4.4 Isolasi senyawa metabolit sekunder


ekstrak etil asetat daun C. alata
Ekstrak etil asetat daun C. alata
dipisahkan dengan Kromatografi Cair Vakum
(KCV) menggunakan silika gel G-60 GF254
sebanyak 100 g dan sampel sebanyak 7 g
dengan sistem eluen n-heksana : diklorometana
: metanol (elusi gradien). Fraksi-fraksi yang
diperoleh kemudian dilakukan Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) untuk melihat pola noda
1720

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

masing-masing
fraksi.
Proses
KLT
menggunakan sistem eluen DCM : n-heksana
(9:1). Hasil KLT ekstrak etil asetat dan
fraksinya dapat dilihat pada Gambar 2.

Uji antibakteri ekstrak etil asetat daun C.


alata dan fraksi-fraksinya menggunakan
bakteri S. aureus dan E. coli. Variasi
konsentrasi larutan uji yang digunakan pada uji
ini adalah 5 %(b/v), 10 %(b/v), dan 20 %(b/v)
dengan menggunakan etil asetat sebagai
pelarut. Antibiotik yang digunakan sebagai
kontrol positif pada uji antibakteri adalah
gentamisin 10 g. Gentamisin merupakan
kelompok antibiotik amino glikosida yang
memiliki spektrum antibakteri sangat luas yang
mampu menghambat bakteri Gram positif dan
Gram negatif. Mekanisme kerja gentamisin
yaitu dengan cara menghambat sintesis protein
bakteri.
Aktivitas
antibakteri
diuji
menggunakan metode difusi agar dengan
cakram kertas. Prinsip umum pengujian
antibakteri ini adalah dengan melihat zona
hambat yang dihasilkan. Cakram yang
digunakan pada uji ini berdiameter 5 mm.
Hasil uji antibakteri ekstrak etil asetat dan
fraksinya terhadap bakteri S. aureus dan E. coli
dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

(a)
(b)
Gambar 1. Kromatogram KLT (a) Pola noda
ekstrak etil asetat; (b) KLT fraksi hasil KCV
ekstrak etil asetat daun C. alata
Fraksi yang memiliki pola noda sama
kemudian digabung hingga diperoleh 6 fraksi
gabungan selanjutnya diberi label fraksi Casia
alata Etil asetat (CAE-1 sampai CAE 6).
Masing-masing fraksi gabungan ditentukan
beratnya dan diidentifikasi komponenkomponennya secara fitokimia.

Tabel 4 Diameter zona hambat fraksi ekstrak


etil asetat daun C. alata terhadap
bakteri S. aureus
Diameter zona hambat (mm)
Konsentrasi Ekstrak
Fraksi
% (b/v)
kasar A B C D
E
5
7,5
7
10
8,5
- 7,5
20
10
8 8,5
(+)
24
24 24 24 24 24
()
Keterangan: (+) = Gentamisin
() = Etil asetat

Tabel 3. Hasil uji fitokimia fraksi CAE-1


sampai dengan CAE-6
Nama
fraksi
CAE-1
CAE-2

Nomor
fraksi
1-6
7-10

CAE-3

11-13

CAE-4

14-17

Oranye
Coklat
kekuningan
Coklat
kehijauan
Hijau pekat

CAE-5

18-20

Hijau tua

CAE-6

21-26 Coklat muda

Warna

Berat
(g)
3,61
2.02

Metabolit
Sekunder
Steroid

0,64

Steroid

0,92

Steroid,
fenol
Streoid,
fenol
Fenol

1,44
1,02

F
6,5
9
10
24
-

Tabel 4 menunjukkan bahwa ekstrak etil


asetat memiliki zona hambat sebesar 7,5 mm
pada konsentrasi 5 %(b/v), zona hambat
sebesar 8,5 mm pada konsentrasi 10 %(b/v)
dan zona hambat sebesar 10 mm pada
konsentrasi 20 %(b/v). Zona hambat juga
dihasilkan pada fraksi-fraksinya, yaitu pada
fraksi CAE-4, sampai dengan fraksi CAE-4
sedangkan fraksi CAE-1 sampai dengan fraksi
CAE-3 tidak menunjukkan zona hambat.
Fraksi CAE-4 memiliki zona hambat hanya
pada konsentrasi 20 %(b/v) yaitu sebesar 8
mm. Fraksi CAE-5 memiliki zona hambat
sebesar 7 mm pada konsentrasi 5 %(b/v), 7,5
mm pada konsentrasi 10 %(b/v) dan 8,5 mm
pada konsentrasi 20 %(b/V). Fraksi CAE-6
memiliki zona hambat sebesar 6,5 mm pada

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui


bahwa fraksi-fraksi etil asetat mengandung
senyawa metabolit sekunder steroid dan fenol.
Fraksi CAE-2 dan fraksi CAE-3 mengandung
senyawa metabolit sekunder golongan steroid.
Fraksi CAE-4 dan fraksi CAE-5 mengandung
senyawa metabolit sekunder steroid dan fenol,
sedangkan fraksi CAE-6 mengandung senyawa
metabolit sekunder fenol.
4.5 Uji Antimikrobial
4.5.1 Uji antibakteri
1721

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

konsentrasi 5 %(b/v), 9 mm pada konsentrasi


10 %(b/v) dan 10 mm pada konsentrasi 20
%(b/v). Zona hambat fraksi CAE-5 dan fraksi
CAE-6 terhadap S. aureus ditunjukkan pada
Gambar 2.

fraksi CAE-5

berbeda dalam menghambat pertumbuhan


bakteri Gram positif S. aureus dan bakteri
Gram negatif E. coli. Hal ini disebabkan
karena perbedaan struktur dinding sel yang
dimiliki oleh masing-masing bakteri (Radji,
2011). Diameter daya hambat ekstrak etil
asetat daun C. alatapada S. aureuslebih besar
daripada E. coli karena dinding sel S. aureus
hanya
tersusun
dari
beberapa
lapis
peptidoglikan, karena itu selnya akan mudah
terdenaturasi oleh senyawa antibakteri
sehingga diameter daya hambatnya lebih besar.
Sedangkan bakteri E. coli tersusun atas tiga
polimer pembungkus yang terletak di luar
lapisan peptidoglikan yaitu lipoprotein, selaput
luar dan lipopolisakarida, oleh karena itu
selnya susah terdenaturasi sehingga diameter
daya hambatnya lebih kecil (Jawetz et al.,
1986). Selain itu, hasil uji fitokimia juga
menunjukkan adanya senyawa steroid pada
fraksi-fraksi ekstrak etil asetat dan C. alata.
Mekanisme kerja steroid sebagai antibakteri
yaitu dengan cara menghambat sintesis dinding
sel bakteri dengan cara menghasilkan
membran sehingga menyebabkan kebocoran
pada liposom (penyusun dinding sel bakteri
(Shihabudeen, 2010).
Uji
aktivitas
antimikrobial
menggunakan kontrol positif dan kontrol
negatif. Penggunaan kontrol positif bertujuan
sebagai pembanding daya hambat ekstrak
terhadap pertumbuhan bakteri dan jamur
sedangkan penggunaan kontrol negatif
bertujuan untuk melihat apakah zona hambat
yang dihasilkan ekstrak dipengaruhi oleh
kontrol negatif itu sendiri atau dari senyawa
pada tumbuhan itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa senyawa steroid dan fenol
yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun C.
alata berperan sebagai antibakteri dalam
menghambat aktivitas bakteri S. aureus dan E.
coli. Beberapa senyawa fenol dari daun C.
alatatelah dilaporkan oleh Promgool et al
(2014), yaitu mengandung beberapa senyawa
antrakuinon:
aloe-emodin,
emodin,
hydroxyemodin, lunatin, physcion, ziganin, dan
flavonoid:
apigenin,
7,4-dihydroxy-5methoxyflavone,
diosmetin,
kaempferol,
luteolin,
dan
trans-dihydrokaempferol,
chrysophanol,
isochrysophanol,
rhein,
ellagitannin, asam fenolik cassiaxanthone dan
astragalin

fraksi CAE-6

Gambar 2. Zona hambat fraksi CAE-5 dan


fraksi CAE-6 terhadap S. aureus
Uji aktivitas antibakteri ekstrak etil
asetat terhadap bakteri S. aureus fraksi CAE-6
memiliki aktivitas yang lebih besar
dibandingkan dengan fraksi lain. Efek
antibakteri paling baik terlihat pada
konsentrasi ekstrak 20 %(b/v) terhadap bakteri
S. aureus (10 mm). Sedangkan konsentrasi
terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri S. aureus terdapat pada konsentrasi
ekstrak 5 %(b/v) dengan zona hambat sebesar
6,5 mm. Menurut Davis dan Stout (1971),
kriteria kekuatan daya antibakteri adalah
sebagai berikut: diameter zona hambat 5
termasuk kategori lemah, zona hambat 5-10
mm dikategorikan sedang, 10-20 mm
dikategorikan kuat, dan zona hambat 20
dikategorikan sangat kuat. Berdasarkan kriteria
tersebut, maka daya antibakteri ekstrak daun
C. alata terhadap bakteri S. aureus dengan
konsentrasi ekstrak 20 %(b/v) dengan zona
hambat sebesar 10 mm termasuk kategori
sedang. Persentase kekuatan antibakteri
ekstrak adalah sebesar 40% dari kontrol
positif. Berdasarkan hasil uji fitokimia, fraksi
CAE-6 mengandung senyawa metabolit
sekunder golongan fenol. Senyawa fenol
mampu melakukan migrasi dari fase cair ke
fase lemak yang terdapat pada membran sel
yang menyebabkan turunnya tegangan
permukaan
membran
sel,
kemudian
mendenaturasi protein dan mengganggu fungsi
membran sel sebagai lapisan yang selektif,
sehingga sel menjadi lisis (Jawetz, et al.,
2008).
Ekstrak etil asetat daun C. alata dan
fraksi-fraksinya memiliki aktivitas yang
1722

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Kandowangko, N.Y., Solang, M., dan Ahmad, J.
2011. Kajian Etnobotani Tanaman Obat Oleh
Masyarakat Kabupaten Bone bolango Provinsi
Gorontalo. Laporan Penelitian. Universitas
Negeri Gorontalo, Gorontalo.
Kinho, J., 2011. Tumbuhan Obat Tradisional di
Sulawesi Utara Jilid 2. Balai Penelitian
Kehutanan Manado dan Balai Penelitian
Pengembangan
Kehutanan
Kementrian
Kehutanan, Manado.
Majekodunmi, S.O., dan Essien, A.A. 2014.
Development and evaluation of antimicrobial
herbal formulations containing the methanolic
extract of Cassiaalata for skin diseases. Journal
of Coastal Life Medicine. 2(11) : 872-875.
Mutia, R. 2013. Uji Aktivitas Ekstrak n-heksana
dari Daun Cassia alata Terhadap Jamur Candida
albican. Skripsi. Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh.
Promgool, T., Pancharoen, O., and Deachathai, S.
2014.
Antibacterial
and
antioxidative
compounds
from
Cassia
alata
Linn.
Songklanakarin J. Sci.Technol. 36 (4): 459-463.
Radji, M. 2011. Mikrobiologi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Refai, M., El-Enbaawy, M., and Hassan, A. 2015.
Monographon Candida albicans. Cairo.
Rizki, E. 2013. Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri
Ekstrak n-heksana Daun Ketepeng Cina (Cassia
alata). Skripsi. Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh.
Shihabudden,
S.M.,
Priscilla,
H.D.,
and
Thirumurugan, K. 2010, Antimicrobial Activity
and Phytochemical Analysis of selected Indian
Folk Medicinal Plants, International Journal of
Pharma Sciences and Reaserch, 1 (10), 431432.
Utami, P. 2008. Buku Pintar TanamanObat.
PT.Agromedia Pustaka, Jakarta.
Zige, D.V., Ohimain, E.I., and Nengimonyo, B.
2014. Antimicrobial Activityof Ethanol Extract
of Senna alata Leaves against Some selected
Microorganism in Bayelsa State, Nigeria.
Greener Journal of Microbiology and
Antimicrobial. 2(2):026-031

5. KESIMPULAN
1. Ekstrak etil asetat memiliki aktivitas
antibakteri terhadap S. aureus pada
konsentrasi 5%, 10% dan 20% dengan
zona hambat sebesar masing-masing
sebesar 7,5 mm; 8,5 mm dan 10 mm
2. Fraksi CAE-6 ekstrak etil asetat
merupakan fraksi yang paling aktif
terhadap bakteri S. aureus adalah dengan
zona hambat masing-masing sebesar 6,5
mm; 9 mm dan 10 mm pada konsentrasi
5%, 10% dan 20%.
6. REFERENSI
Chatterjee,S., Chatterjee, S., and Dutta, S. 2012. An
Overviewon
the
Ethnophytopathological
Studiesof Cassiaalata-an Important Medicinal
Plantand the Effect of VA Monits Growthand
Productivity. International Journal of Research
in Botany. 2(4):13-19.
Doughari, J.H., Okafor, B. 2007. Antimicrobial
activity of Senna alata Linn. East and Central
African J. Pharm. Sci., 10: 17 21
Davis, W.W., and Stout, T.R. 1971. Disc Plate
Methods of Microbiological Antibiotic Assay.
Microbiology. 22 (4): 659-665.
Ehiowemwenguan, G., ; A. O. Iloma2 ; J. O.
Adetuwo,
2014,
Physico-Chemical
and
Bacteriological Quality of Borehole Water in
Eyaen Community Area of Edo State, Nigeria,
International Journal of Basics and Aplied
Sciences, Insan Akademika Publications, PISSN, 2301-4458; E-ISSN, 2301-8038
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun
Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
Terjemahan dari Phytochemical Methods, oleh
Padmawinata, K., dan dan Soediro, I. Penerbit
ITB, Bandung.
Jawetz, E., Melnick, J.K., and Adelberg, E.A. 1986.
Mikrobiologi Untuk Kesehatan edisi 16, Oleh
Tonang, H. Penerbit EGC, Jakarta.
Jawetz, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran edisi
pertama.
Terjemahan
dari
Medical
Microbiology, Mudihardi, E., Penerbit Salemba
Medika, Jakarta.

1723

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

KANDUNGAN TIMBAL PADA KIJING (PILSBRYOCONCHA EXILIS)


SUNGAI RIAM KANAN KALIMANTAN SELATAN
1)

Noer Komari1), Utami Irawati1), Sri Hidayati1)


Program Studi Kimia FMIPA Universitas Lambung Mangkurat,
Jl. A. Yani Km. 36 Banjarbaru Kalimantan Selatan 70714
e-mail : noerkomari@yahoo.com
Abstract

Gravestone (Pilsbryoconcha exilis) is one macrozoobentos in freshwater. The animal was one of bioindicator of
heavy metal pollution, because their lives are relatively sedentary, considered filter feeders and
bioaccumulative properties of the heavy metals. The research objective was to determine the concentrations of
lead on the gravestone (P. exilis) of Riam Kanan River South Kalimantan using Atomic Absorption
Spectrophotometer. Sampling was conducted in March and April 2012 in the three-point location, the Tiwingan
Village, Mandikapau Villages and Sungai Alang Villages. The results showed that the concentrations of lead at
0.218 to 1.681 mg / kg . Based on the quality standard Food and Drug Administration Center, gravestone in
Right Riam River South Kalimantan is suitable for consumption.
Keywords: Pilsbryoconcha exilis, bioindicator, heavy metals, timbal

Pb yang tinggi dalam aorta, hati, ginjal,


pankreas, paru-paru, tulang, limpa, testis,
jantung dan otak [4].
Saat ini pemantauan tingkat pencemaran
logam berat di perairan perlu didukung dengan
monitoring pada organisme hidup dan
sedimen. Monitoring pada organisme hidup
atau dikenal dengan bioindikator, adalah
penggunaan jenis organisme tertentu yang
dapat mengakumulasi bahan-bahan pencemar
yang ada sehingga mewakili keadaan di dalam
lingkungan hidupnya [6].
Penelitian ini menggunakan kijing
(Pilsbryoconcha exilis) sebagai bioindikator
cemaran Pb di perairan Sungai Riam Kanan
karena hidupnya relatif menetap didasar
perairan, tergolong filter feeder , mampu
bertahan hidup pada lingkungan yang kurang
mendukung dan memiliki respon cepat
terhadap zat pencemar.

1. PENDAHULUAN
Sungai Riam Kanan di Kabupaten Banjar
Kalimantan Selatan merupakan sungai yang
dipakai oleh masyarakat untuk kegiatan rumah
tangga dan pembuangan hasil penambangan.
Sungai tersebut diduga kuat telah tercemar
logam berat akibat aktivitas masyarakat
tersebut. Berdasarkan data Badan Lingkungan
Hidup Kabupaten Banjar tentang kualitas
perairan Sungai Riam Kanan untuk parameter
logam berat masih berada di bawah baku mutu
air. Tetapi telah diteliti kandungan timbal pada
ikan Seluang (Rasbora caudimaculata) di
Sungai Riam Kanan yang berkisar antara
0,0368-0,1779 mg/kg [1].
Logam berat merupakan logam yang dapat
menjadi bahan racun dan mampu meracuni
tubuh makhluk hidup [2]. Logam berat yang
berbahaya dan beracun diantaranya adalah
timbal (Pb). Timbal merupakan salah satu dari
logam berat yang dipermasalahkan karena
bersifat sangat toksik dan tergolong sebagai
bahan buangan beracun dan berbahaya. Timbal
dapat terakumulasi dalam tubuh makhluk
hidup baik secara langsung maupun tidak
langsung
melalui
rantai
makanan
(biomagnifikasi) dan bisa terakumulasi ke
jaringan
tubuh.
Apabila
manusia
mengkonsumsi organisme tersebut dalam
jumlah yang banyak dan waktu yang lama
dapat memberikan efek yang membahayakan
[3]. Keracunan timbal ini menyebabkan kadar

2. METODOLOGI
Pengambilan sampel
Sampling dilakukan secara purposive.
Titik pengambilan sampel adalah Desa
Tiwingan, Desa Mandikapau dan Desa Sungai
Alang, Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan
pada bulan Maret dan April 2012.
Pengambilan sampel kijing dilakukan dengan
menggunakan alat Ponar Grap. Air dan
sedimen juga diambil dari masing-masing titik
sungai untuk dilakukan pengukuran kandungan
1724

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Pb. Selain Pb, juga ditentukan parameter fisika


dan kimia air antara lain: suhu, pH, kekeruhan
dan DHL.

dilanjutkan selama 30 menit. Jika larutan


contoh uji belum jernih, di destruksi lagi.
Kemudian sampel didinginkan, lalu disaring
dengan kertas saring kuantitatif. Filtrat sampel
ditampung dalam labu ukur 100 ml dan
tambahkan air suling sampai tanda tera. Filtrat
contoh uji
siap
diukur
ke
dalam
spektrofotometer serapan atom (SSA).

Penentuan Pb pada kijing (P. exilis)


Daging kijing diambil dan diblender
hingga halus. Sampel yang telah dihaluskan
ditimbang masing-masing 25,0 gram. Sampel
ditambah asam nitrat pekat sebanyak 25,0 ml
hingga sampel terendam. Setelah 24 jam,
sampel di destruksi dengan hot plate selama 30
menit hingga sampel berwarna kuning muda
jernih. Sampel diencerkan sampai batas pada
labu ukur 100,0 ml. Kemudian di saring
dengan kertas saring whatman dengan
membuang 2,0 ml larutan pertama hasil
penyaringan. Sampel siap untuk diukur
kandungan
Pb
dengan
menggunakan
Spektrofotometer Serapan Atom.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Parameter fisika air
Pengukuran parameter fisika pada bulan
Maret dan April 2012 di Sungai Riam Kanan
Kalimantan Selatan pada ketiga titik pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter fisika air Sungai Riam Kanan

Analisis air [7]


Sampel air yang akan diuji diambil 50 mL
dan dimasukkan ke dalam gelas beaker lalu
ditambahkan 5 mL HNO3 pekat, lalu
dipanaskan di atas hot plate hingga larutan
tersisa 15-20 mL. Apabila destruksi belum
sempurna (tidak jernih), ditambahkan lagi 5
mL HNO3 pekat dan didinginkan beberapa
saat. Larutan yang sudah dingin kemudian
disaring ke dalam labu ukur 50 mL, Kertas
saring dibilas hingga bersih dan ditambahkan
akuades hingga tanda batas. Filtrat siap diukur
dengan spektrofotometer serapan atom (SSA).

Parameter
Fisika

Lokasi Pengambilan Sampel


1 (Desa
2 (Desa
3 (Ds.
Tiwingan) Mandikapau) S. Alang)
I
II
I
II
I
II

pH

6,78

6,63

7,31

6,86

28,10

28,70

28,40

28,70 28,50 28,80

2,90

4,60

12,61

14,50 18,18 18,90

Temperatur
(oC)
Kekeruhan
(NTU)
DHL
(mhos/cm)

6,34

6,37

Baku
Mutu
6-9
26-30

111,86 116,60 125,20 140,70 85,38 93,14

Keterangan :
1
: Pengambilan pada bulan Maret
II
: Pengambilan pada bulan April

Tabel 1 menunjukkan paramater pH


6,34-7,31,
temperatur
28,10-28,80oC,
kekeruhan 4-19 NTU dan DHL 83-140
mhos/cm. pH air Sungai Riam Kanan
menunjukkan masih berada dalam batas
standar baku mutu. Perubahan pH perairan,
baik ke arah alkali (kenaikan pH) maupun ke
arah asam (pH menurun) akan mengganggu
kehidupan ikan dan hewan air sekitarnya [9].
Temperatur air Sungai Riam Kanan
28,10-28,80oC. Kenaikan temperatur air dapat
menyebabkan kelarutan logam pada suatu
perairan menjadi makin besar. Temperatur
merupakan parameter penting bagi kehidupan
organisme di lautan [9].
Nilai daya hantar listrik (DHL) air
Sungai Riam Kanan 85,38-140,70 mhos/cm.
Suatu perairan alami mempunyai kisaran DHL
501500 mhos/cm. Daya hantar listrik
menunjukkan
kemampuan
air
untuk
menghantarkan listrik. Konduktivitas air
tergantung dari konsentrasi ion dan suhu air.
Oleh karena itu, kenaikan jumlah padatan
terlarut akan mempengaruhi kenaikan DHL

Analisis Pb pada Sedimen [8]


Sampel
sedimen
yang
sudah
dihomogenkan ditimbang sebanyak 3,00 g
dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Sampel
ditambahkan 25,0 ml aquades dan 5,0 10,0
ml HNO3 pekat, diaduk hingga bercampur
rata. Sampel dalam Erlenmeyer diletakkan di
atas penangas listrik dengan suhu 105 oC - 120
o
C. Pemanasan sampai volume sampel + 10 ml
lalu, di angkat dan didinginkan. Sampel
kemudian tambahkan 5 ml HNO3 pekat dan 1
ml - 3 ml HClO4 pekat tetes demi tetes melalui
dinding kaca Erlenmeyer. Sampel dipanaskan
kembali pada penangas listrik sampai timbul
asap putih dan larutan contoh menjadi jernih.
Setelah timbul asap putih, pemanasan
1725

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

[10]. Padatan terlarut juga berasal dari buangan


penduduk, limbah industri, limpasan dari
daerah pertanian, dan masuknya bahan bahan
aerosol ke dalam air. Larutan yang
mengandung senyawa atau komponen bahan
anorganik akan jadi penghantar listrik yang
baik, sedangkan senyawa atau komponen
bahan organik tidak dapat berdisosiasi dalam
larutan sehingga kemampuan hantar listriknya
akan menjadi rendah [11].
Kekeruhan merupakan gambaran sifat
optik air dari suatu perairan yang ditentukan
berdasarkan banyaknya sinar yang dipancarkan
dan diserap oleh partikel-partikel yang ada
dalam air. Kekeruhan berkorelasi positif
dengan padatan tersuspensi dan berkorelasi
negatif dengan kecerahan. Nilai kekeruhan air
Sungai Riam Kanan 2,90-18,90 NTU
(Nephelometric Turbidity Units).

keadaan habitat kerang hidup [12]. Hasil di


lapangan menunjukkan saat pengambilan
sampel, pada bulan Maret memiliki curah
hujan yang lebih rendah dibandingkan bulan
April. Tingginya curah hujan tersebut akan
menyebabkan sungai menampung lebih
banyak air yang kemungkinan membawa
bahan pencemar yakni timbal. Kandungan Pb
di perairan tersebut akan disaring oleh kijing
bersamaan dengan makanan karena kijing
bersifat filter feeder.

Analisis Pb pada air


Gambar 1 memperlihatkan bahwa
pada ketiga titik sampling, kandungan Pb air
Sungai Riam Kanan bulan Maret dan April
tidak berbeda secara signifikan Hal ini berarti
penyebaran Pb di lokasi pengambilan sampel
terdistribusi merata baik Desa Tiwingan, Desa
Mandikapau, dan Desa Sungai Alang.

Gambar 2. Kandungan Pb dalam kijing pada tiap


titik lokasi pengambilan sampel (1: Desa Tiwingan, 2: Desa Mandikapau, 3: Desa Sungai Alang)

Gambar 2 menunjukkan konsentrasi


Pb pada kijing di Desa Mandikapau dan Desa
Sungai Alang lebih tinggi dibanding sekitar
Desa Tiwingan. Desa Mandikapau sepanjang
aliran sungainya terdapat aktifitas galian C
seperti penambangan pasir dan batu kerikil
yang diambil dari sungai. Kandungan logam
yang sudah terdapat secara alami pada tanah
dan batuan akan terekspos akibat adanya
penambangan tersebut. Buangan penambangan
yang langsung menuju Sungai Riam Kanan
menyebabkan tingginya kadar Pb pada titik ini.
Beberapa hasil penelitian yang
terdahulu terhadap kandungan Pb pada
beberapa kerang di beberapa tempat dapat
dilihat pada tabel 2.

Gambar 1. Kandungan Pb dalam air pada tiap itik


lokasi pengambilan sampel (1 : Desa Tiwingan, 2 :
Desa Mandikapau, 3 : Desa Sungai Alang)

Analisis Pb pada kijing


Gambar 2 menunjukkan konsentrasi
Pb pada kijing dalam waktu satu bulan
cenderung mengalami kenaikan. Hal ini
menunjukkan bahwa di lokasi pengambilan
sampel dalam waktu singkat tingkat
pencemaran Pb terjadi dengan cepat. Penelitian
di Korea menyebutkan bahwa tingkat
kandungan logam berat pada kerang
mengalami fluktuasi selama enam periode,
juga disebabkan oleh perubahan cuaca selama
periode tersebut sehingga mempengaruhi

Tabel 2. Hasil penelitian terhadap kandungan Pb


pada beberapa jenis kerang
No Kerang
Lokasi
Pb (mg/kg) Sumber
1. Kerang Bulu Perairan Belawan
1,4378
[13]
(Anadara
antiquata)
2. - Siput
Teluk Kelabat,
9,26
[14]
gonggong
Pulau Bangka
(Strombus
6,73
canarium)
- Kerang
darah
(Anadara sp)

1726

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
3.

4.

Kerang Hijau Teluk Jakarta


(Perna
(Kamal)
viridis)
T. Banten
(Karangantu)
T. Lada
(Panimbangan)
Kerang Bulu Desa Semere Kec.
(Anadara
Keraton Kab.
antiquata)
Pasuruan

Kijing lokal
(P. exilis)

Kijing
exilis)

Perairan Situ Gede,


Bogor

(P. Sungai Riam


Kanan Kab. Banjar

0,997
0,021

[15]

Analisis Pb pada sedimen


Gambar 3 memperlihatkan ketiga
titik lokasi pengambilan sampel, kandungan Pb
pada sedimen dalam waktu satu bulan
cenderung naik. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam waktu singkat tingkat pencemaran Pb
terjadi dengan cepat. Akan tetapi konsentrasi
logam yang cenderung naik dalam waktu satu
bulan ini tidak dapat menjadi patokan bahwa
konsentrasi Pb dalam sedimen akan terus
meningkat. Pengambilan sampel dilakukan
pada waktu musim hujan, seharusnya
konsentrasi logam kemungkinan menurun
karena adanya pengenceran dari air hujan,
akan tetapi perubahan musim yang tidak
teratur sehingga juga berpengaruh pada
konsentrasi logam dalam sedimen.

0,018

4,397

[16]

1,34-1,44

[17]

0,2181,681

Penelitian
ini

Tabel 2 memperlihatkan kandungan


Pb beberapa jenis kerang di berbagai lokasi.
Pada penelitian ini didapatkan konsentrasi Pb
pada kijing berkisar antara 0,218-1,681 mg/kg.
Penelitian pada kijing lokal di perairan Situ
Gede, Bogor didapatkan konsentrasi Pb
berkisar antara 1,34-1,44 mg/kg [17]. Kadar Pb
dalam kijing di Perairan Situ Gede lebih tinggi
hal ini karena perairannya berfungsi sebagai
irigasi pertanian dan perkebunan masyarakat
sekitarnya. Penelitian di Teluk Jakarta
melaporkan bahwa kandungan Pb pada kerang
hijau (Perna viridis) berkisar 0,018-0,997
mg/kg [15]. Sementara penelitian tentang
kerang bulu di perairan Belawan menunjukkan
kandungan Pb adalah 1,4378 mg/kg [13].
Kandungan Pb pada kijing dan kerang diatas
layak untuk di konsumsi karena masih masuk
dalam syarat mutu berdasarkan Dirjen POM
tentang batas maksimum cemaran logam Pb
khususnya daging dan hasil olahannya adalah
2,0 mg/kg.
Sebuah
penelitian
melaporkan
kandungan Pb di Teluk Kelabat, Pulau Bangka
pada Siput gonggong (Strombus canarium)
adalah 9,26 mg/kg dan Kerang darah (Anadara
sp) adalah 6,73 mg/kg [14]. Sementara
kandungan Pb Kerang Bulu (Anadara
antiquata) dari Desa Semere Kec. Keraton
Kab. Pasuruan adalah 4,397 mg/kg [16].
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar
Pb telah terakumulasi dalam tubuh kerang dan
melampaui yang dibolehkan oleh Dirjen POM
untuk di konsumsi. Hal ini terjadi karena sifat
akumulatif logam non esensial seperti Pb
dalam jaringan tubuh kerang cenderung
membentuk ikatan kompleks dengan bahan
organik. Tingginya kandungan Pb dalam
jaringan tubuh kerang karena jenis organisme
ini tidak dapat mengekskresikan logam dengan
baik, sehingga akan terakumulasi terus
menerus dalam jaringan tubuh kerang tersebut
.

Gambar 3. Kandungan Pb sedimen pada tiap titik


lokasi pengambilan sampel (1: Desa Tiwingan,
2: Desa Mandikapau, 3: Desa Sungai Alang)

Hubungan antara kandungan Pb pada air,


kijing dan sedimen
Kandungan Pb pada air berhubungan
dengan kandungan Pb pada sedimen dan Pb
pada kijing. Pb sedimen mengalami
peningkatan konsentrasi pada musim hujan
kemungkinan disebabkan oleh tingginya laju
erosi pada permukaan tanah yang terbawa ke
dalam badan sungai, sehingga sedimen dalam
sungai yang diduga mengandung logam berat
akan terbawa oleh arus menuju muara dan
pada akhirnya terjadi proses sedimentasi.
Faktor
biokonsentrasi
atau
bioakumulasi
dapat
digunakan
untuk
mengetahui kemampuan makhluk hidup dalam
menyerap dan menyimpan suatu bahan
pencemar. Makin besar faktor biokonsentrasi,
makin mudah logam diserap dan diakumulasi
1727

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Atom (SSA). Seminar Nasional III ISSN 19780176, Yogyakarta.
[5] Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi
Mahkluk Hidup. Cetakan I. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
[6] Rashed M.N. 2007. Biomarker as Indicator
for Water Pollution with Heavy
Metals
in Rivers. Fac. of Sciene. South Valley
University. Egypt.
[7] SNI 6989.8:2009. Air dan air limbah Bagian
8:
Cara
uji
timbal
(Pb)
secara
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA).
[8] SNI 06-6992.3-2004. Sedimen Bagian 3:
Cara uji timbal (Pb) secara destruksi asam
dengan Spektrofotometer Serapan Atom
(SSA).
[9] Palar, H. 1994. Pencemaran & Toksikologi
Logam Berat. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
[10] Rochyatun, E., Lestari, A. Rahman. 2001.
Kualitas Lingkungan Perairan Banten dan
Sekitarnya Ditinjau dari Kondisi Logam Berat.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2005.
No. 38: 23-46.
[11] Tewari, A., Joshi, H.V., Raghunathan, C.,
Kumar, V.G.S., and Khambhaty, Y. 2001.
Effect of heavy metal pollution on growth,
carotenoid and bacterial
flora in the gut
of perna viridis (L.) in in situ condition.
Current Science.
81 (7) : 819828.
[12] Szefer P, BS. Kim, CK. Kim, EH. Kim, CB.
Lee. 2003. Distribution and coassociations
of trace elements in soft tissue and byssus of
Mytilus
galloprovincialis relative to the
surrounding seawater and suspended matter
of the southern part of Korean Peninsula.
Science Direct 129:209-228
[13] Nainggolan, L. P. 2009. Pengaruh Variasi
Berat Asam Gelugur (Garcinia atroviridis,
Griff) Terhadap Penurunan Kadar Logam Pb,
Cr dan Cd pada Perebusan Kerang Bulu
(Anadora antiquata) dari Perairan Belawan.
Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas
Sumatera Utara.
[14] Arifin, Z. 2011. Konsentrasi Logam Berat di
Air, Sedimen dan Biota di teluk Kelabat,
Pulau Bangka. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis.
3(1):104-114
[15] Jalius, D.S, Daniel, S. Komar, R. Etty & E.
Yunizar. 2008. Bioakumulasi Logam Berat
dan Pengaruhnya terhadap 0ogenesis Kerang
Hijau (Perna Viridis). Jurnal Ris Akuakultur .
3 (1): 43-52
[16] Hidayat K.S. 2003. Survey Kadar Logam
Berat Pb dan Cd Pada Kerang Bulu (Anadara
antiquate) Di Pantai utara kabupaten
Pasuruan Dan
Probolinggo
Jawa
Timur. Skripsi. Manajemen Sumber Daya
Perairan Universitas Brawijaya. Malang.
[17] Sembiring, R. 2009. Analisis Kandungan
Logam Berat Hg, Cd dan Pb pada Daging

oleh jaringan makhluk hidup dan habitatnya.


Faktor tersebut digunakan untuk mengetahui
kemampuan makhluk hidup mengakumulasi
sejumlah bahan pencemar [18].
Kijing potensial tercemar logam berat
mengingat cara makannya dengan menyaring
air (filter feeder). Kijing juga mengandung
senyawa karotenoid yang tinggi sehingga
menyebabkan biota tersebut sangat resisten
terhadap polusi yang terjadi di lingkungan
perairan tempat tinggalnya [21]. Di samping
itu, kijing hidupnya relatif menetap (immobil)
di dasar perairan/sedimen.
Sistem rantai makanan menunjukkan
bahwa manusia merupakan pengakumulasi
logam berat paling tinggi karena berperan
sebagai pemangsa tingkat tinggi [22]. Akibat
dari pencemaran tidak secara langsung
dirasakan oleh manusia karena bahan
pencemar tersebut bersifat akumulatif yang
akan berdampak kronis dalam tubuh [23].
4. KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian antara lain bahwa
kijing (P. exilis) yang hidup di Sungai Riam
Kanan Kalimantan Selatan sudah terpapar Pb.
Konsentrasi Pb berkisar antara 0,218 - 1,681
mg/kg. Berdasarkan Dirjen POM untuk logam
Pb maksimal 2,0 mg/kg, menunjukkan bahwa
kijing yang ada di Sungai Riam Kanan
Kalimantan Selatan masih layak untuk
dikonsumsi karena masih di bawah baku mutu.
5. REFERENSI
[1] Ikrimah, R. 2011. Analisis Kandungan Timbal
(Pb) pada Ikan Seluang (Rasbora
caudimaculata) di Sungai Riam Kanan
Kecamatan Karang Intan. Skripsi.Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitasasis Lambung Mangkurat.
[2] Untari, 2001. Pola Pergerakan Cangkang
Kiijing Taiwan sebagai Bioindikator
Pencemaran Kadmium pada Air Tawar.
Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
[3] Sen, I. A, Shandil & V. S Shrivastava. 2011.
Study for Determination of Heavy
Metals
in Fish Species of the River Yamuna (Delhi).
Advances in Applied Science Research. 2 (2):
161-166.
[4] Supriyanto, C. 2007. Analisis Cemaran Logam
Berat Pb, Cu, Dan Cd Pada Ikan Air Tawar
Dengan Metode Spektrometri Nyala Serapan

1728

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Kijing Lokal (Pilsbryochoncha. exilis) dari
Perairan Situ Gede, Bogor. Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
[18] Susilawati, F. 2011. Analisis Kandungan
Kromium pada Gondang (Pila scutata) di
Perairan Sungai Riam Kanan Kecamatan
Karang Intan Kabupaten Banjar. Skripsi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Lambung Mangkurat.
[19] Muawanah, T.K.Atri, & Kurniastuty. 2006.
Evaluasi Kandungan Logam Berat (Pb, Hg
dan Cu) pada Kerang Hijau (Perna Viridis)
di Perairan
Panimbangan
Banten.
Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2(1): 122-130
[20] Suaniti, N. M. 2007. Pengaruh EDTA dalam
Penentuan Kandungan Timbal danTembaga
pada Kerang Hijau (Mytilus viridis). ISSN
1907-5626. Volume 2 : 1

[21] Tewari, A., Joshi, H.V., Raghunathan, C.,


Kumar, V.G.S., and Khambhaty, Y. 2001.
Effect of heavy metal pollution on growth,
carotenoid and bacterial
flora in the gut
of perna viridis (L.) in in situ condition.
Current Science.
81 (7) : 819828.
[22] Murtini, J.T., Y. Yennie., dan R.
Peranginangin. 2003b. Kandungan logam
berat pada kerang darah (Anadara granosa),
air laut dan sedimen di perairan Tanjung
Balai dan Bagan Siapi-api. J. Penel. Perik.
Indonesia 9 (5) : 7784
[23] Yennie, Y. dan J.T, Murtini. 2005.
Kandungan logam berat air laut, sedimen dan
daging kerang darah (Anadara granosa) di
perairan mentok dan tanjung jabung timur. J.
Ilmu-Ilmu Perairan dan Perik. Indonesia.
Dep. MSP, FPIK, IPB. 12 (1) : 2732.

1729

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PERBANDINGAN KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI SISWA PADA


PEMBELAJARAN JIGSAW II DAN IV DI SMAN 2 TANJAB TIMUR JAMBI
Nurasiah1), Muhammad Haris Effendi2))
Magister Pendidikan Kimia Program Pasca Sarjana Universitas Jambi
email: nurasiah.402@gmail.com
2
Magister Pendidikan Kimia Program Pasca Sarjana Universitas Jambi
email: hariseffendi@unja.ac.id
1

Abstrak
Dalam pembelajaran jigsaw, keterampilan komunikasi siswa sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan
belajar siswa. Ada perlakuan berbeda yang diberikan kepada siswa antara jigsaw II dan jigsaw IV. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami perbedaan dalam kemampuan berkomunikasi siswa pada
model pembelajaran jigsaw II dan jigsaw IV dalam pemberian nama senyawa kimia. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian campuran (mixed methods) dan penelitian ini bersifar deskriptif. Subyek
penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 2 Tanjung Jabung Timur Jambi yeng terdiri dari 2 kelas
masing-masing melaksanakan jigsaw II dan jigsaw IV . Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar
observasi dan kuesioner. Hasil analisis menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi siswa melaksanakan
jigsaw 4 adalah jauh lebih baik daripada di jigsaw II. Perbedaan ini disebabkan oleh kuis yang disediakan
untuk siswa di jigsaw IV membuat siswa memiliki kesiapan yang lebih baik. Mereka tampak lebih percaya diri
untuk melakukan aktivitas sebagai rekan tutor sebaya . Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kesiapan siswa terutama dengan menerapkan kuis dapat meningkatkan kualitas kegiatan tutor
sebaya antara siswa yang pada gilirannya akan mempengaruhi hasil belajar mereka.
Kata Kunci: Pembelajaran jigsaw, tutor sebaya, ketrampilan berkomunikasi, materi kimia
Abstract
In jigsaw learning, students communication skill is critically needed to produce the students learning success.
There is a different treatment provided for students between the jigsaw II and jigsaw IV. Hence, this study
aimed to understand the difference in the students communication skill taught by jigsaw II and jigsaw IV
models in a chemistry-nomenclature subject. A mixed method design was used in this study descriptively. Two
classes of grade 10 students of SMA Negeri 2 Tanjung Jabung Timur Jambi were involved to implement jigsaw
II and jigsaw IV respectively. Data was collected using observational sheet and questionnaires. The results of
analysis showed that the communication skill of students implementing the jigsaw IV was much better than
those in the jigsaw II. The difference was due to the quizzes provided for students in the jigsaw IV that made the
students had a better preparedness. They looked more confident to conduct peer tutorial activity than their
counterparts. Based on the results above, it can be concluded that increasing the students preparedness
particularly by implementing quizzes can develop the quality of peer tutorial activity between students that in
turn will affect their learning outcomes.
Keywords: Jigsaw learning, peer tutorial, communication skill, chemistry subject.

Kimia dalam KTSP (kurikulum 2006)


merupakan rumpun mata pelajaran ilmu
pengetahuan alam yang mempelajari gejalagejala alam, dan mengkhususkan diri dalam
mempelajari struktur, susunan, sifat, dan
perubahan materi serta energi yang menyertai
perubahan materi. Sebagian besar aspek yang
dibahas dalam ilmu kimia adalah konsep
teoritis dan bersifat abstrak atau invisible serta
informatif. Salah satu contohnya dalah materi
kimia kelas X SMA pada semester genap

1. PENDAHULUAN
Implementasi KTSP di sekolah menuntut
para guru dan siswa untuk lebih kreatif dan
memiliki
inovasi
dalam
pelaksanaan
pembelajaran di kelas. KTSP lebih
menekankan pada pencapaian kompentensi
siswa, ini berarti dalam pembelajaran kimia
berpusat kepada siswa (student oriented) dan
bukan lagi bersumber pada guru (teacher
oriented).

1730

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dengan standar kompetensi 3. Memahami


sifat-sifat larutan non-elektrolit dan elektrolit,
serta
reaksi
oksidasi-reduksi
dengan
kompentensi
dasar
3.2
Menjelaskan
perkembangan konsep reaksi oksidasi reduksi
dan hubungannnya dengan tatanama senyawa
serta penerapannya.
Metode yang umum digunakan guru
dalam pembelajaran konsep tersebut adalah
ceramah atau pembelajaran klasikal. metode
pembelajaran demikian sudah baik namun
yang perlu dipertimbangkan seberapa banyak
guru dapat memastikan siswa paham dengan
apa yang mereka dengar. Permasalahan yang
datang ketika guru menjelaskan tentang cara
pemberian nama suatu senyawa, contohnya
masih banyak siswa belum bisa membedakan
penamaan senyawa tersebut berdasarkan
kategorinya (senyawa asam, basa, atau garam).
Untuk membantu siswa memahami konsep
tatanama senyawa kimia maka perlu dilakukan
inovasi model pembelajaran pada konsep
materi tersebut.
Berdasarkan data empiris penulis selama
13 tahun mengabdi di SMA N 2 Tanjung
Jabung Timur bahwa budaya kerja kelompok
di sekolah sudah baik, ketika proses
pembelajaran dikemas dalam metode diskusi
rerata
siswa
senang
dengan
desain
pembelajaran seperti itu namun dari sisi
aktivitas dalam berdiskusi masih banyak siswa
hanya mengandalkan teman yang mereka
anggap pintar. Selain itu kemampuan
berkomunikasi siswa dalam proses diskusi
cenderung belum terampil. Hal ini dapat
terlihat
ketika
proses
pembelajaran
berlangsung masih banyak siswa yang ragu
dalam menjawab pertanyaan dan juga masih
kelihatan ragu-ragu ketika menyampaikan
pendapat padahal kemampuan berkomunikasi
amat diperlukan siswa ketika mengikuti proses
pembelajaran agar proses pembelajaran
berjalan dengan baik dan dapat memberikan
hasil belajar yang baik pula. Berdasarkan data
hasil belajar tahun ajaran 2014/2015 (KKM
75) pada materi Pemberian Nama Senyawa
Kimia rerata diperoleh nilai 74,07 dengan
persentase ketuntasan 70,71%, Menurut
Arikunto (2006) hasil belajar rerata pada tahun
tersebut sudah berada dalam kategori baik
namun persentase ketuntasan masih dalam
kategori cukup. Sedangkan pada tahun ajaran
2015/2016 semester 1 (KKM 75) rerata
diperoleh nilai 74,54% dengan persentase
ketuntasan 72,42%. Menurut Arikunto (2010)

hasil belajar rerata dan pada persentase


ketuntasan tahun ini juga sudah berada dalam
kategori baik. Namun data tersebut belum
mencapai target kurikulum yang ditetapkan
oleh sekolah yaitu 75 %. Data tersebut
mengindikasikan bahwa partisipasi siswa
dalam proses pembelajaran belum optimal.
Setidaknya ada tiga faktor penyebab
rendahnya partisipasi siswa dalam proses
pembelajaran, yakni: 1) Siswa kurang
memiliki kemampuan untuk merumuskan
gagasan sendiri, 2) Siswa kurang memiliki
keberanian untuk menyampaikan pendapat
kepada orang lain, dan 3) Siswa belum
terbiasa bersaing menyampaikan pendapat
dengan teman yang lain (Abimanyu, 1995).
Permasalahan diatas tidak bisa hanya
dibebankan pada siswa saja. tetapi gurulah
yang harus bertanggung jawab pertama kali
untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Peran fungsional guru pada pembelajaran
aktif yang utama adalah sebagai fasilitator. Hal
ini sejalan dengan teori pembelajaran
konstruktivisme. Fasilitator adalah seorang
yang membantu siswanya untuk belajar dan
memiliki
ketrampilan-ketrampilan
yang
diperlukan
dalam
mencapai
tujuan
pembelajaran (Warsono dan Hariyanto, 2012).
Oleh karena itu perlu dicarikan solusi untuk
membangkitkan partisifasi aktif siswa dalam
pembelajaran. Secara sadar guru harus
berperan sesuai fungsinya sebagai fasilitator
pembelajaran, menghindari pembelajaran satu
arah agar siswa terbiasa aktif mengemukakan
pendapat dan gagasan dengan harapan secara
perlahan siswa akan terlatih dan memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik
sehingga atmosfir pembelajaran di kelas
menjadi aktif dan tujuan pembelajaran dapat
tercapai.
Bertolak dari fakta diatas, peneliti
berkeinginan
meningkatkan
kualitas
pembelajaran agar kemampuan berkomunikasi
siswa menjadi lebih baik dari sebelumnya
karena kemampuan komunikasi siswa yang
baik akan memberikan hasil belajar yang baik
pula. Salah satu model pembelajaran yang
peneliti anggap cocok dengan karakter siswa
dan juga karakter materi pelajaran dalam
upaya
meningkatkan
kemampuan
berkomunikasi
siswa
adalah
model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
Ada beberapa kesulitan yang harus diatasi
dalam menerapkan model pembelajaran
jigsaw. Berdasarkan hasil penelitian Ningsih
1731

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

(2015), kesulitan yang ditemukan pada


penerapan model pembelajaran jigsaw adalah:
1) Kesiapan siswa, 2) Interaksi antar siswa, 3)
Manajemen kelas dan fasilitas. Kesulitankesulitan diatas harus diatasi semaksimal
mungkin dengan cara memberikan tugas
membaca materi yang akan dipelajari ke siswa
pada pertemuan sebelumnya, memberikan
pemahaman ke siswa bahwa pentingnya
belajar kelompok untuk membangun suatu
pengetahuan dan rasa tanggung jawab,
membuat peta posisi duduk kelompok,
mengontrol interaksi siswa dalam diskusi
kelompok, merancang RPP sesuai karakter
siswa dan materi serta mempertimbangkan
fasilitas sarana prasarana yang ada.
Untuk mendukung keterlaksanaan proses
pembelajaran
yang
diharapkan
model
pembelajaran koopertaif tipe jigsaw yang akan
peneliti gunakan adalah model pembelajaran
jigsaw yang telah dimodifikasi yaitu model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw II dan
jigsaw IV. Dalam model pembelajaran ini
semua siswa dalam kelompok dituntut untuk
menjadi rekan tutor sebaya, berkerjasama
untuk menyelesaikan permasalahan yang
diberikan
pada kelompok ahli dimana
selanjutnya tiap anggota kelompok ahli
bertanggung
jawab
mengimbaskan
pengetahuan yang telah dikuasainya ke semua
anggota kelompok asal. Pada proses ini
kemampuan komunikasi siswa secara individu
amat diperlukan agar apa yang dikuasainya
dapat diimbaskan dengan baik ke temannya
dalam kelompok asal. Ada perbedaan
perlakuan pada model pembelajaran jigsaw II
dan IV, pada model pembelajaran jigsaw II
siswa tidak diberikan kuis-kuis baik ketika
dikelompok ahli maupun dikelompok asal
sedangkan pada jigsaw IV siswa diberikan
kuis-kuis ketika mereka bekerja dalam
kelompok ahli dan juga ketika mereka kembali
ke kelompok asal, hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa secara individu semua
siswa telah menguasai materi pelajaran yang
dibahas ketika itu. Dengan adanya perbedaan
perlakuan pada tahap pembelajaran peneliti
ingin melakukan suatu penelitian untuk
mengetahui sejauh mana perbedaan perlakuan
tersebut berpengaruh pada kemampuan
berkomunikasi siswa.

2. KAJIAN LITERATUR DAN


PEGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Belajar dan Pembelajaran Kimia
Belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan
suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil yang diperoleh dari
pengalamanya sendiri ketika berinteraksi
dengan lingkungannya. hasil dari kegiatan
belajar tercermin dalam suatu perubahan
perilaku yang terjadi pada diri siswa.
(Slameto, 2010.)
Mata pelajaran IPA di jenjang SMA/MA
meliputi biologi, fisika dan kimia. Kimia
merupakan salah satu cabang ilmu IPA dimana
ilmu kimia lahir dan berkembang melalui
langkah-langkah
observasi,
perumusan
masalah, penyusunan hipotesis, pengujian
hipotesis melalaui eksperimen, penarik
kesimpulan serta penemuan teori atau konsep
(Trianto, 2014.)
Pada pembelajaran kimia siswa dituntut
untuk aktif dan lebih ditekankan pada
kemampuan untuk memecahkan masalah
masalah
melalui
kegiatan
observasi,
bereksperimen, berdiskusi tentang suatu
masalah atau persoalan, memperhatikan
kegiatan demostrasi, menjawab pertanyaan
dan mampu menerapkan konsep-konsep dan
hukum-hukum
untuk
memecahkan
permasalahan yang sedang dipelajari serta
mampu mengkomunikasikan hasilnya.
B. Model Pembelajaran Kooperatif
Cooperative
learning
dalam
pengertian Bahasa Indonesia dikenal dengan
nama pembelajaran kooperatif. menurut
Johnson dan Johnson dalam Isjoni (2013),
cooperative learning adalah mengelompokkan
siswa yang ada di dalam kelas ke dalam suatu
kelompok kecil agar dapat bekerja sama
dengan kemampuan maksimal yang mereka
miliki dan mempelajarai materi dengan teman
sekelompoknya. Sedangkan menurut Taber
(2014) menyatakan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah sebuah pendekatan yang
menginstruksikan kerja kelompok dengan
keterlibatan siswa bekerja didalam kelompoknya untuk mencapai tujuan bersama. Selain
mengembangkan ketrampilan kognitif, pembelajaran kooperatif juga menolong siswa
mengembangkan ketrampilan berkerja dalam
team, mengatasi permasalahan dan kepemimpinan, yang merupakan ketrampilan yang
1732

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

mereka butuhkan untuk menjadi seseorang


yang profesional di dalam hidupnya.
Menurut Hanafiah, dkk (2009), pembelajaran adalah salah satu bentuk pembelajaran
yang berdasarkan faham konstruktivisme.
Strategi pembelajaranmya adalah siswa belajar
dengan sejumlah siswa yang lain dalam
kelompok kecil dengan tingkat kemampuan
yang berbeda-beda. Dalam menyelesaikan
tugas kelompoknya, siswa diharuskan bekerja
sama dan saling membantu dalam memahami
pelajaran. belajar belum dikatakan selesai jika
masih ada teman dalam kelompoknya yang
belum memahami bahan pelajaran.
Model pembelajaran kooperatif menurut
Suprijono (2010) adalah semua jenis kerja
kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih
dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru.
Dimana guru bertindak sebagai fasilitator,
memberikan
dukungan
tetapi
tidak
mengarahkan kelompok ke arah hasil yang
sudah disiapkan. Semua anggotanya saling
berinteraksi, saling mempengaruhi satu sama
lain. Model pembelajaran kooperatif terdiri
dari enam fase yaitu: 1) Menyampaikan tujuan
dan mempersiapkan siswa, 2) Menyajikan
informasi, 3) Mengorganisir siswa ke dalam
tim-tim belajar, 4) Membantu kerja tim, 5)
Mengevaluasi dan 6) Pengakuan atau
penghargaan.
Pembelajaran kooperatif dianggap sama
dengan belajar kelompok pada umumnya,
akan tetapi tidak semua kerja kelompok dapat
dikatakan pembelajaran kooperatif. Ada lima
unsur utama yang menyatakan bahwa belajar
kelompok merupakan pembelajaran kooperatif, lima unsur ini amat menentukan
pembelajaran kooperatif kan berjalan efektif.
Unsur tersebut adalah: 1) Saling ketergantungan positif, 2) Pertanggung-jawaban
individu, 3) Pengelolaan Kelompok, 4)
Kelompok kecil dan kemampuan berhubungan
satu sama lain, dan 5) Interaksi antar siswa.

kelompok secara acak ditugaskan untuk


menjadi ahli (expert) pada suatu aspek
tertentu dari materi tersebut. Setelah membaca
dan mempelajari materiahli dari kelompok
berbeda akan berkumpul untuk mendiskusikan
topik yang sama dari kelompok ahli sampai
mereka menjadi ahli di konsep yang ia
pelajari. Kemudian kembali ke kelompok asal
untuk mengajarkan topik yang mereka kuasai
kepada anggota kelompoknya. Jadi, dalam
pembelajaran jigsaw, siswa bergantung pada
temannya dalam kelompok asal untuk bisa
memahami keseluruhan materi.
Beberapa aspek yang harus diperhatikan
dalam menerapkan model pembelajaran jigsaw
adalah mengatasi berbagai kesulitan dalam
penerapannya. Berdasarkan hasil penelitian
Ningsih (2015), kesulitan yang ditemukan
pada penerapan model pembelajaran jigsaw
adalah: 1) Kesiapan siswa, 2) Interaksi antar
siswa, 3) Manajemen kelas dan fasilitas.
C. 1 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw II
Menurut Slavin, 1986a: 237 dalam Slavin
(2005), bentuk adaptasi model pembelajaran
jigsaw yang lebih praktis dan mudah adalah
jigsaw II. Jigsaw II dapat digunakan apabila
materi yang akan dipelajari adalah materi yang
berbentuk narasi tertulis. Metode ini sesuai
untuk subyek-subyek seperti ilmu pengetahuan
sosial, literatur, sebagian pelajaran ilmu
pengetahuan ilmiah, dan bidang-bidang
lainnya yang tujuan pembelajarannya lebih
pada penguasaan konsep daripada penguasaan
kemampuan.
Dalam jigsaw II siswa bekerja dalam tim
yang heterogen. para siswa diberikan
tugas`untuk membaca beberapa bab atau unit,
kemudian diberikan lembar ahli (expert sheet)
yang terdiri dari topik-topik yang berbeda
yang menjadi fokus perhatian masing-masing
anggota tim saat mereka membaca. Setelah
semua anggota kelompok selesai membaca
maka akan bertemu dikelompok ahli untuk
mendiskusikan topik mereka sekitar tiga puluh
menit. Para ahli kemudian kembali ke
kelompok asal dan dengan cara bergantian
mereka mengajari materi yang mereka kuasai
ke anggota kelompoknya. Selanjutnya diberikan tes dan penghargaan terhadap individu dan
kelompok yang memperoleh nilai tertinggi.
C. 2 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw IV

C. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe


Jigsaw
Model pembelajaran jigsaw pertama kali
dikembangkan oleh Elliot Aronson dan
koleganya di Universitas Texas pada tahun
1978 (Ibrahim dkk, 2000). Dalam belajar
kooperatif tipe jigsaw, secara umum siswa
dikelompokkan secara heterogen dalam
kemampuan. Siswa diberi materi yang baru
atau pendalaman dari materi sebelumnya
untuk dipelajari masing-masing anggota
1733

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Pada tahun 2002, Holiday mengembangkan model pembelajaran jigsaw yang diberi
nama model pembelajaran jigsaw IV. Model
pembelajaran ini merupakan pengembangan
dari jigsaw I, II, dan jigsaw III yang dirancang
untuk memperbaiki model-model pembelajaran sebelumnya. Terdapat tiga aspek baru
dan penting dalam jigsaw IV yakni pendahuluan, kuis dan re-teaching (dilakukan setelah pemberian tes dan peringkat), tiga aspek
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pendahuluan
Guru dapat memberikan pendahuluan
dengan memperkenalkan materi dengan
metode ceramah, mempresentasikan literatur,
menyajikan masalah, menampilkan video
pembelajaran, atau mungkin mengadakan
pretest dengan tujuan untuk merangsang minat
siswa dalam proses pembelajaran
b. Kuis
Ketelitian hasil kerja siswa selama proses
pembelajaran dievaluasi melalui kuis. Kuis
pertama dirancang untuk memeriksa ketelitian
dan pemahaman siswa selama bekerja dalam
kelompok ahli (berdasarkan lembar ahli). Kuis
kedua dirancang untuk memeriksa ketelitian
dan pemahaman siswa selama bekerja dalam
kelompok asal (berdasarkan semua materi
yang dipelajari dalam kelompok asal).

memeriksa ketelitian dan pemahaman siswa


mengenai keseluruhan materi selama proses
pembelajaran, 7) Mengadakan review proses
yang bertjuan untuk menelaah kembali
konsep-konsep yang rawan membuat siswa
tidak memahaminya, 8) Pemberian tes secara
keseluruhan dan memberikan penghargaan
baik individu maupun kelompok, dan 9) Reteach atau penghargaan kembali untuk
memberikan penguatan-penguatan terahadap
materi-materi yang belum dikuasai untuk
menghindari kesalahpahaman.
D. Kemampuan Berkomunikasi
Kemampuan berkomunikasi siswa adalah
ketrampilan menyampaikan gagasan atau hasil
penemuannya kepada orang lain baik secara
lisan maupun tulisan. Indikator ketrampilan
komunikasi lisan adalah; siswa mempunyai
ketrampilan mendiskusikan permasalahan atau
hasil percobaan yang meliputi ketrampilan
mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, mengajukan pendapat, mendengarkan dan
menanggapi pendapat yang dikemukakan
orang lain secara jelas, sistematis, dan spontan
serta keaktifan siswa dalam diskusi. Indikator
ketrampilan berkomunikasi tulisan yaitu:
siswa mampu menyusun dan menyampaikan
laporan secara sistematis dan jelas, dan
mampu menjelaskan hasil pemecahan masalah
atau hasil percobaan dengan menggunakan
grafik atau tabel (Sutardi, 2010).
Indikator ketrampilan berkomunikasi
siswa dapat dilihat dari aktifitas siswa yang
meliputi: 1) Ketrampilan berkomunikasi
verbal, meliputi melakukan diskusi, mempresentasikan hasil diskusi, menyampaikan
pendapat, menjawab pertanyaan, menuliskan
hasil akhir diskusi, tata bahasa yang baik,
pembicaraan singkat, jelas dan mudah
dimengerti serta suara terdengan jelas, 2)
Ketrampilan komunikasi non verbal meliputi
melihat lawan bicara, ekspresi wajah yang
ramah, dan gerakan tangan yang sesuai dengan
kata-kata yang diucapkan.

c. Re-teach
Re-teach memberikan penguatan terhadap
soal dan materi yang belum dikuasai serta
dapat menyebabkan kesalahpahaman. Re-teach
ini dilakukan berdasarkan pada postest
keseluruhan.
Menurut Holliday (2002), ada sembilan
tahapan pada proses pembelajaran, yakni: 1)
Pendahuluan dimana guru memperkenalkan
prinsip yang berkenaan dengan keseluruhan
materi yang akan dipelajari, membentuk
kelompok asal, pembentukan kelompok ahli,
2) Membagikan lembar ahli (expert sheet)
kepada kelompok ahli, 3) Kelompok ahli
mengerjakan pertanyaan-pertanyaan yang ada
pada
lembar
ahli
untuk memeriksa
pemahaman terhadap materi yang menjadi
ahlinya, 4) Pemberian kuis pada masingmasing kelompok ahli untuk memeriksa
ketelitian dan pemahaman siswa selama
bekerja pada kelompok ahli, 5) Ahli kembali
ke kelompok asalnya dan menginformasikan
hasil
pekerjaannya
kepada
teman
sekelompoknya, 6) Pemberian kuis pada
masing-masinmg kelompok asal untuk

E. Hasil Belajar
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan
,nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap,
apresiasi, dan ketrampilan. Hasil belajar
mencakup ketiga aspek yaitu kognitif,
psikomotor dan afektif (Suprijono, 2010).
Belajar adalah perubahan tingkah laku
secara keseluruhan bukan hanya salah satu
aspek potensi kemanusian saja. Artinya hasil
1734

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

pembelajaran yang dikatetgorikann oleh pakar


pendidikan sebagaimana tersebut diatas tidak
bisa kita lihat secara terpisah-pisah melainkan
harus dilihat secara komprehensif.

yang memiliki karakteristik akademik sama


yaitu kelas
XB dengan pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw IV yang berjumlah
siswa 29 orang
dan kelas XC dengan
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw II dengan
jumlah siswa 26 orang.

F. Kerangka Berpikir
Model pembelajaran jigsaw adalah proses
pembelajaran kooperatif dalam kelompokkelompok kecil dengan melibatkan peran
siswa sebagai tutor sebaya sehingga siswa
merasa bertanggung jawab terhadap materi
yang dipelajarinya.
Model ini tepat diterapkan pada
pembelajaran kimia khususnya materi
Penamaan Senyawa Kimia
karena
pembelajaran materi tersebut memerlukan
interaksi siswa dengan sumber belajar, satu
diantara sumber belajar tersebut adalah
temannya dalam satu kelompok.
Model pembelajaran jigsaw juga dapat
merangsang ketrampilan komunikasi siswa
dalam pembelajaran, sehingga aktifitas dan
kemampuan
komunikasi
siswa
dalam
menyampaikan gagasan atau pendapat dalam
proses pembahasan materi atau konsep
semakin bermakna.
G. Hipotesis Tindakan
Memperhatikan landasan teori dan
kerangka berpikir tersebut diatas, maka
hipotesis tindakan dirumuskan sebagai berikut;
Ada perbedaan kemampuan berkomunikasi
siswa pada model pembelajaran Jigsaw II dan
IV materi penamaan senyawa kimia di SMAN
2 Tanjung Jabung Timur.

C. Tehnik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan melalui
observasi dan angket. Data kuantitatif berupa
rekapitulasi lembar observasi dan angket
sedangkan data kualitatif berupa hasil observasi terhadap proses pembelajaran. Observasi
dilakukan untuk mengamati keaktifan siswa
selama kegiatan pembelajaran berlangsung,
dari observasi tersebut dapat dilihat peningkatan aktifitas belajar yang meliputi kemampuan berkomunikasi siswa dalam pelaksanaan
pembelajaran. Angket digunakan untuk
mengukur aspek pendukung dan model
pembelajaran, pelaksanaan model jigsaw dan
peranan guru, dimana angket adalah merupakan tanggapan dari seluruh siswa terhadap
kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan,
bermanfaat atau dapat dirasakan oleh siswa
dalam rangka meningkatkan kemampuan aktifitas dan kemampuan berkomunikasi siswa.
D. Tehnik Analisis Data
Data yang diperoleh pada kegiatan
penelitian dianalisis secara deskriptif dengan
menggunakan tehnik persentase untuk melihat
kecenderungan yang terjadi dalam proses
pembelajaran. Kegiatan analisis meliputi: 1)
Tingkat keterlaksanaan pembelajaran dan 2)
Tingkat keberhasilan kemampuan komunikasi
siswa dengan kategori sebagai berikut
(Arikunto, 2006):

3. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian campuran (mixed methods). Dua
jenis data yaitu data kuantitatif dan data
kualitataif secara bersamaan digunakan untuk
menjawab rumusan masalah penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif yang
bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan
berkomunikasi siswa dalam pembelajaran
menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw II dan IV sub pokok bahasan
penamaan senyawa kimia.

Angka 100
80 100
66 79
56 65
40 55
30 39

Angka 10
8,0 10,0
6,6 7,9
5,6 6,5
4,0 5,5
3,0 3,9

Huruf
A
B
C
D
E

Keterangan
Baik Sekali
Baik
Cukup
Kurang
Gagal

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Keterlaksanaan Pembelajaran
Berdasarkan hasil observasi terhadap
aktivitas belajar siswa selama proses
pembelajaran berlangsung menggunakan
model pembelajaran jigsaw diperoleh hasil
bahwa aktivitas siswa selama proses
pembelajaran sangat baik pada jigsaw II
maupun IV karena sama-sama menunjukkan

B. Lokasi dan Subyek Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 2
Tanjung Jabung Timur waktu penelitian
dilaksanakan pada bulan maret tahun 2016.
Subyek penelitian adalah siswa pada kelas
1735

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Gambar 1. Keterlaksanaan Model Pembelajaran
Jigsaw berdasarkan indikator

hasil yang memuaskan, siswa terlibat aktif


dalam proses pembelajaran. Kesulitankesulitan yang ditemui pada penerapan model
jigsaw oleh peneliti sebelumnya dapat teratasi.
Faktor kesiapan siswa dalam mengikuti proses
pembelajaran sudah baik, siswa sudah terfokus
pada pembelajaran ketika itu, interaksi antar
siswa dalam kelompok juga sudah baik hal ini
didukung dengan kondisi kelas yang tidak
terlalu padat (jumlah siswa 30 orang) dan
posisi tempat duduk kelompok sudah
ditentukan sehingga siswa tidak mengalami
kesulitan ketika melakukan proses berpindah
tempat dari kelompok asal ke kelompok ahli
dan ke kelompok asal lagi. Siswa tidak
mengalami kebingungan ketika mencari teman
satu kelompoknya.
Pada model pembelajaran jigsaw II
tampak pada awal ketika diksusi di kelompok
ahli ada beberapa siswa yang bingung untuk
memulai mempelajari materi yang menjadi
tanggungjawabnya, namun setelah berjalan
beberapa menit siswa sudah mulai membaur
dalam kelompok ahli dan mulai berkerjasama
dengan baik untuk menjawab permasalahan/
soal yang ada pada lembar ahli (expert sheet).
Pada jigsaw II masih ada siswa yang ragu-ragu
dalam menyampaikan pertanyaan kepada guru
tentang konsep yang belum mereka pahami,
dan ada beberapa siswa yang belum mampu
menjelaskan secara gamblang tentang materi
ahli yang menjadi tugas mereka pada diskusi
kelompok asal, dan ketika proses diskusi kelas
rerata kelompok masih mengandalkan ketua
kelompok mereka untuk menyampaikan hasil
diskusi. Berbeda dengan model pembelajaran
jigsaw IV keaktifan, antusias dan rasa percaya
diri siswa lebih baik.
Analisis keterlaksanaan pembelajaran
juga dilakukan pada angket tertutup yang
meliputi aspek pendukung dan model
pembelajaran, pelaksanaan model jigsaw dan
peranan guru diperoleh data sebagai berikut:

Dari diagram di atas pada jigsaw II


persentase terendah berada pada indikator
tanggung jawab dan tertinggi pada indikator
kerjasama sedangkan pada jigsaw IV
persentase terendah berada pada indikator
pemahaman siswa terhadap materi dan tetinggi
pada indikator informator (peran guru)

Gambar 2. Rerata Keterlaksanaan Model


Pembelajaran Jigsaw

Dari data diatas tampak bahwa


keterlaksanaan pembelajaran pada jigsaw II
berada pada kategori baik sedangkan pada
jigsaw IV berada pada kategori sangat baik.
Ini membuktikan bahwa keaktifan siswa sudah
sesuai dengan model pembelajaran kooperatif
jigsaw.
Jika diamati dari komentar, saran dan
kritik yang diberikan pada angket terbuka
siswa merasa senang belajar dengan model
pembelajaran tipe jigsaw karena mereka lebih
mudah memahami materi karena belajar
bersama dengan temanya dan rasa tanggung
jawab terhadap materi yang harus dikuasai
juga lebih meningkat, hal ini menandakan
peran tutor sebaya sudah berjalan dengan baik.
Siswa juga menginginkaan peran guru sebagai
fasilitator pembelajaran dapat berjalan
maksimal. Secara klasikal siswa menginginkan
pembelajaran model jigsaw ini dapat
dilaksanakan pada pembelajaran materi-materi
berikutnya.
B. Kemampuan Berkomunikasi
Kemampuan berkomunikasi siswa pada
pembelajaran jigsaw II berdasarkan hasil
observasi menunjukkan bahwa rasa percaya
diri siswa untuk menyampaikan hasil diskusi
baik di kelompok ahli, dikelompok asal
maupun pada diskusi kelas sudah baik.
Sedangkan pada pembelajaran Jigsaw IV
berdasarkan hasil observasi kemampuan
berkomunikasi siswa lebih baik, siswa antusias
1736

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dan lebih percaya diri menyampaikan hasil


diskusi baik di kelompok ahli, dikelompok
asal maupun pada diskusi kelas. Mereka
mampu menjawab pertanyaan yang diberikan
oleh teman-temanya dengan suara yang jelas
dan ekpresi yang komunikatif.
Kemampuan berkomunikasi siswa pada
pembelajaran jigsaw II berdasarkan hasil
angket diperoleh rerata 73% dan pada jigsaw
IV diperoleh rerata 88%, seperti yang
ditampilkan pada diagram dibawah ini:

bekerja dalam kelompok ahli, sedangkan kuis


yang diberikan pada kelompok asal dirancang
untuk memeriksa ketelitian dan pemahaman
siswa selama bekerja di kelompok asal.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap data hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1)
Kemampuan berkomunikasi siswa SMAN 2
Tanjung Jabung Timur pada penerapan model
pembelajaran jigsaw IV jauh lebih baik
daripada penerapan model pembelajaran
jigsaw II, 2) Peningkatan kesiapan siswa
terutama dengan menerapkan kuis dapat
meningkatkan kualitas kegiatan tutor sebaya
antara siswa yang pada gilirannya akan
mempengaruhi hasil belajar mereka.
6. REFERENSI

Gambar 3. Kemampuan Berkomunikasi

Abimanyu, S. (1995). Metode Peningkatan


Aktivitas Siswa dalam Proses pembelajaran.
Makasar: FIP UNM.
Arikunto, S, Suhardjono dan Supardi. (2006).
Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi
Aksara.
Hanafiah, N dan Suhana, C. (2009). Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama.
Holliday, D. C. (2002). Jigsaw IV: Using student/
teacher concerns to improve jigsaw III. ERIC
ED 465687.
Ibrahim, Muslimin dkk. (2000). Pembelajaran
Kooperatif. Surabaya: Unesa University Press.
Isjoni.
(2013).
Cooperative
Learning:
Mengembangkan
Kemampuan
Belajar
Kelompok. Bandung: Alfabeta.
Slameto. (2010). Belajar & Faktor-faktor Yang
Mempengaruh. Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, R. E. (2005). Cooperative Learning (Teori,
Riset dan Praktik) . Bandung: Nusa Media.
Suprijono, A. (2010). Cooperative Learning Teori
Dan Aplikasi Paikem. Yokyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sutardi. (2010). Pengembangan Bahan Ajar Fisika
SMA Berbasis Spreadsheet untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa berkomunikasi Ilmiah.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng
& DIY (hal. 168-179). Radiasi Vol 7 No 2.
Sutikno, M. S. (2007). Menggagas Pembelajaran
Efektif dan Bermakna. Mataram: NTP Press.
Taber, K. S. (2014). Learning with Understanding
in the Chemistry Classroom. Netherlands:
Springer.
Trianto. (2014). Model Pembelajaran Terpadu.
Jakarta: Bumi Aksara.
Warsono dan Hariyanto. (2012). Pembelajaran
Aktif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Siswa

Dari data diatas tampak bahwa


kemampuan berkomunikasi siswa pada model
pembelajaran jigsaw II berada pada kategori
baik sedangkan pada jigsaw IV berada pada
kategori sangat baik. Ini membuktikan bahwa
kemampuan berkomunikasi siswa pada model
pembelajaran jigsaw IV lebih baik dibanding
jigsaw II. Kemampuan berkomunikasi siswa
yang sangat baik pada jigsaw IV
ini
berdasarkan data angket terbuka siswa
mengakui bahwa peran guru sebagai fasiltator
amat mereka butuhkan. Adanya peran guru
pada pendahuluan dengan memperkenalkan
materi sehingga minat siswa untuk mengikuti
proses pembelajaran menjadi lebih terfokus
dan pada re-teach guru memberikan penguatan
terhadap materi yang belum sehingga
kesalahpahaman terhadap pemahaman materi
dapat diminimalkan. Perbedaan kemampuan
berkomunikasi siswa juga didukung dari
pernyataan siswa pada angket terbuka bahwa
adanya pemberian kuis-kuis ketika mereka
berada di kelompok ahli dan kembali ke
kelompok asal membuat mereka lebih
memahami materi yang dipelajari. Menurut
Holliday (2002), ketelitian hasil kerja siswa
selama proses pembelajaran siswa dievaluasi
dengan kuis. Kuis yang diberikan pada
kelompok ahli dirancang untuk memeriksa
ketelitian dan pemahaman siswa selama

1737

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

FLAVONOID DARI DAUN CRYPTOCARYA TOMENTOSA (LAURACEAE)


DAN SIFAT SITOTOKSIKNYA
Nurul Fadhilah1, Yana Maolana Syah2, and Lia Dewi Juliawaty2
Facutly of Sciences and Technology, University of Jambi, nurul.fadhilah@unja.ac.id
2
Organic Chemistry Research Division, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Institut Teknologi Bandung, liadewi@chem.itb.ac.id

Abstract
Cryptocarya (Lauraceae) is a genus plant distributed mostly in tropical and subtropical forests regions in the
world. In Indonesia, it grows almost in every island and is locally known as Medang. This evergreen trees
genus has economic values, since it has been commonly traded in timber industry for building, furnishing and as
pulp in paper industry. Moreover, Crytocarya is also used as traditional medicines, such as treatment for sore
of joints and muscles, headache, bellyful and infectious caused by bacteria and fungi. The phytochemical studies
on Cryptocarya reported that the major secondary metabolites of this genus belong to alkaloids, flavonoids, and
pyrones. These secondary metabolites exhibited diverse bioactivities, such as cytotoxicity against several cell
lines, antimalarial, antibacterial and antiinflammation. However, the phytochemistry and bioactivity studies of
Indonesian Cryptocarya were limited on some parts i.e. stem barks, heartwoods and roots. The study of leaves
of Cryptocarya is reported rarely. One of Cryptocarya grows in Indonesia is C. tomentosa. In this research, the
phytochemical investigation on leaves of C. tomentosa has been conducted and they have not been previously
reported. Two flavonoids have been isolated from ethyl acetate (EtOAc) extract of C. tomentosa leaves by using
several chromatography techniques, such as vacuum liquid chromatography and column chromatography. The
structures of the isolated compounds have been identified as quercetine (1) and dehydroquercetine (2), based on
spectroscopic data of 1D and 2D NMR. Furthermore, the cytotoxicity assay of EtOAc extract of the leaves of C.
tomentosa and the isolated flavonoids against murine leukemia P-388 cells have been examined, but the results
showed that the extract and the compounds were inactive.
Keywords : Cryptocarya tomentosa, flavonoids, cytotoxicity, murine leukemia P-388 cells.

daun C. latifolia dapat menyembuhkan sakit


kepala dan mual (Heyne, 1987; Lemmens dkk.,
1995). Pemanfaatan tumbuhan ini sebagai
bahan obat ini tentunya tidak terlepas dari
kandungan metabolit sekunder yang terdapat
pada tumbuhan tersebut.
Sejumlah penelitian telah melaporkan
bahwa genus Cryptocarya memiliki berbagai
jenis metabolit sekunder dengan aktivitas
biologis yang beragam. Metabolit sekunder
yang berasal dari genus ini di antaranya adalah
beberapa senyawa dari golongan flavonoid dan
piron yang memiliki aktivitas sitotoksisik
terhadap sel
murin leukemia P-388,
antikanker, antibakteri, dan antiinflamasi
(Usman, 2006; Kurniadewi, 2010; Siallagan,
2010 : Feng dkk., 2012; Fu dkk, 2013). Selain
itu, senyawa alkaloid dari C. nigra memiliki
aktivitas antiplasmodial (Nasrullah dkk.,
2013). Akan tetapi, sebagian besar kajian
fitokimia dan bioaktivitas Cryptocarya
tersebut masih terbatas pada jaringan kulit
batang, kayu batang atau akar. Kajian
fitokimia pada jaringan daun jarang dilakukan
dan kajian fitokimia jaringan daun C.
tomentosa bahkan belum pernah dilaporkan.

1. PENDAHULUAN
Cryptocarya merupakan salah satu genus
utama dari famili Lauraceae, selain Bleismedia
dan Litsea, yang tersebar di kawasan tropis dan
subtropis seperti Asia, Australia dan
Melanesia. Penyebaran utama Cryptocarya di
Indonesia adalah di kawasan hutan Indonesia
bagian timur (Kosterman, 1968).
Cryptocarya, seperti genus lain dari
famili Lauraceae pada umumnya, merupakan
tumbuhan berupa pohon kayu yang dapat
mencapai ketinggian 40-47 m dan diameter 6090 cm. Kayu pohon Cryptocarya adalah kayu
yang kuat karena memiliki kerapatan yang
berkisar antara 440-830 kg/m3 sehingga kayu
pohonnya digunakan oleh masyarakat sebagai
bahan bangunan dan bahan baku perabot
(Lemmens, dkk, 1995).
Di Indonesia, pemanfaatan Cryptocarya
juga dikenal sebagai tumbuhan obat. Beberapa
spesies tertentu dari Cryptocarya memiliki
khasiat, seperti air rebusan dari kulit batang C.
massoy dapat menyembuhkan nyeri otot dan
kulit batang C. alba digunakan untuk
mengobati infeksi akibat jamur. Selain itu,
1738

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Fraksi B10 dan B11 digabungkan dan


digunakan untuk proses pemurnian lebih lanjut
dengan teknik kromatografi kolom grafitasi
(KKG) dengan eluen n-heksana : EtOAc
dimulai dengan perbandingan 4:1. Proses
pemurnian ini menghasilkan 4 fraksi yakni
BI.1 s.d BI.4. Fraksi BI.4 (9 mg) diidentifikasi
sebagai suatu senyawa murni, yaitu
dihidrokuersetin (2).
Sementara itu, pemurnian BI.1 juga dilakukan
dengan teknik KKG dan menggunakan eluen
n-heksana : EtOAc dengan perbandingan 3:2
sehingga diperoleh 4 fraksi yakni fraksi BI.1.1BI.1.4. Hasil KLT uji tiga eluen dari fraksi
BI.1.3 (19 mg) menunjukkan bahwa fraksi ini
merupakan suatu senyawa murni dan telah
diidentifikasi sebagai kuersetin (1).
Fraksinasi dan pemurnian lebih lanjut terhadap
fraksi C menggunakan teknik kromatografi
cair vakum dan kromatografi kolom gravitasi
juga diperoleh dihidrokuersetin (2) sebanyak
14 mg.

2. METODE PENELITIAN
Bahan dan alat
Sebanyak 2 kg daun C. tomentosa diperoleh
dari Kebun Raya Bogor pada bulan Februari,
2014. Identifikasi dilakukan di Herbarium
Bogoriense, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia,
Bogor. Daun C. tomentosa
selanjutnya dikeringkan dan dihaluskan
sehingga diperoleh sebagai serbuk kering.

Bahan kimia yang digunakan adalah


metanol, n-heksana, kloroform, etil asetat,
aseton, silika gel Merck 60G, silika gel
Merck 60 (70 230 mesh), silika gel 60
PF254, dan pelat alumunium berlapis Si-gel
Merck Kieselgel 60 GF254 dengan
ketebalan 0,25 mm. Larutan 1,5% serium
sulfat dalam asam sulfat 2 N digunakan
sebagai penampak noda pada analisis KLT.
Peralatan yang digunakan adalah peralatan
gelas
yang
biasa
digunakan
di
laboratorium kimia organik, rotary
evaporator, detektor UV-Vis SSC-5410
(untuk monitor KLT), alat pengukur titik

Penentuan Struktur Senyawa Hasil Isolasi

Penentuan struktur dan karakterisasi


senyawa
hasil
isolasi
dilakukan
berdasarkan analisis data spektroskopi
yang meliputi spektroskopi UV, IR dan
NMR serta pengukuran titik leleh.

leleh Fisher-John, polarimeter Rudolph


Research Analytical. spektrofotometer NMR
Jeol 500 MHz (1H-NMR) dan 125 MHz (13CNMR).

Uji Sitotoksisitas Terhadap Sel Murin


Leukemia P-388
Ekstrak etil asetat dan senyawa hasil
isolasi dari daun C. tomentosa diuji
sitotoksisitasnya terhadap sel murin leukemia
P-388 yang terdapat di Laboratorium KOBA
ITB. Pengujian tersebut dilakukan berdasarkan
metode MTT assay dengan prinsip perubahan
warna yang terjadi pada pereaksi MTT [3-(4,5dimetiltiazo-2-il)2,5
difeniltetrazolium
bromida].

Ekstraksi dan Isolasi Metabolit Sekunder


Serbuk daun C. tomentosa dimaserasi dengan
metanol selama 3 x 24 jam. Ekstrak metanol
yang diperoleh sebanyak 296 gram direndam
menggunakan campuran metanol : air ( 1:1)
selama 24 jam untuk memisahkan klorofil
yang terkandung dalam ekstrak tersebut. Filtrat
dan residunya kemudian dipisahkan dengan
penyaringan. Filtrat dipartisi dengan etil asetat
sehingga diperoleh ekstrak etil asetat sebanyak
40 gram. Ekstrak etil asetat difraksinasi
menggunakan teknik kromatografi cair vakum
(KCV) dan sistem eluen n-heksana : EtOAc
dengan perbandingan 3:7 1:9 ; EtOAc
100% ; dan
EtOAc : MeOH
dengan
perbandingan 19:1 dan 9:1.
Fraksinasi
terhadap ekstrak etil asetat ini menghasilkan 7
fraksi utama (fraksi A-G). Fraksi B sebanyak
504 mg difraksinasi lebih lanjut dengan teknik
KCV dengan eluen n-heksana : EtOAc dimulai
dengan perbandingan 9:1 yang ditingkatkan
kepolarannya secara bertahap sehingga
menghasilkan 16 fraksi yakni B1 s.d B16.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Fraksinasi dan pemurnian lebih lanjut dari dua
fraksi utama yakni fraksi B dan C yang
diperoleh ekstrak etil asetat telah menghasilkan
dua senyawa turunan flavonoid. Kedua
senyawa flavonoid tersebut telah diidentifikasi
sebagai kuersetin (1) dan dehidrokuersetin (2).
Senyawa kuersetin (1) diperoleh dari fraksi B
berupa padatan kekuningan sebanyak 19 mg
yang memiliki titik leleh > 300 C. Spektrum
1
H-NMR senyawa 1 menunjukkan beberapa
ciri khas untuk senyawa flavonoid. Pertama,
1739

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

adanya satu sinyal singlet pada H 12,16 ppm


yang menunjukkan adanya satu proton dari
gugus hidroksi pada C-5 yang terkelasi pada
karbonil C-4. Ciri khas kedua adalah adanya
sinyal-sinyal proton aromatik lain yang
menunjukkan adanya dua cincin aromatik
tersubstitusi. Dua buah sinyal doblet pada H
6,26 dan 6,52 ppm yang mengindikasikan
terhadap dua proton aromatik pada posisi meta
untuk cincin A. Selain itu terdapat tiga sinyal
lain yakni dua sinyal doblet dan satu sinyal
dobel doblet yang menunjukkan adanya sistem
ABX untuk cincin B.
Hasil analisis spektrum 13C-NMR senyawa 1
memperlihatkan adanya sinyal yang mewakili
15 karbon. Satu sinyal pada C 175,66 ppm
yang menunjukkan satu atom karbonil pada
posisi C-4. Lima sinyal pada rentang C 161148 ppm untuk atom karbon oksi-aril pada
posisi C-5, C-7, C-8a, C-3, C-4. Dua sinyal
oksivinil pada C 146,0 dan 135,8 ppm masingmasing adalah untuk C-2 dan C-3.
Berdasarkan hasil analisis spektrum NMR dan
membandingkan data literatur (Saewan dkk,
2011), senyawa 1 diidentifikasi sebagai C-5,C7,C-3,C-4-tetrahidroksi flavonol (kuersetin).
Data yang diperoleh dari spektrum UV dan IR
memperkuat usulan bahwa senyawa 1
merupakan suatu flavonol. Spektrum UV
senyawa 1 memperlihatkan adanya dua puncak
serapan maksimum, yakni pada maks 258 nm
(pita II) dan 368 nm (pita I). Kedua pita ini
muncul pada rentang panjang gelombang
sesuai untuk kerangka senyawa flavonol
(Markham, 1988). Spektrum IR menunjukkan
adanya vibrasi dari gugus OH dengan adanya
maks pada 3423 cm-1 (O-H, stretching), vibrasi
gugus C=O pada 1664 cm-1, dan vibrasi ulur
C=C aromatik pada 1613 cm-1. Di samping
itu, maks pada 1014
cm-1 menunjukkan vibrasi ulur C-O aromatik.
Senyawa berupa padatan putih yakni
dihidrokuersetin (2) berhasil diisolasi dari dua
fraksi utama B dan C masing-masing sebanyak
9 dan 14 mg menggunakan teknik KCV dan
KKG. Senyawa ini meleleh pada rentang suhu
147-149 C. Spektrum 1H-NMR dari senyawa
2 memperlihatkan juga menunjukkan adanya
sinyal singlet untuk proton pada C-5 yang
terkelasi dengan karbonil C-4 dan sinyal-sinyal
pada daerah aromatik yang mengindikasikan
dua cincin aromatik dengan pola oksidasi yang
sama dengan senyawa kuersetin (1). Akan
tetapi, pada spektrum 1H-NMR senyawa 2
menunjukkan adanya dua sinyal doblet pada

daerah oksi-alkil yakni H 5,01 dan 4,60 ppm


dengan konstanta kopling sebesar 11,5 Hz
yang merupakan kopling trans-diaksial untuk
H-2 dan H-3 dari suatu kerangka flavanonol.
Spektrum 13C-NMR senyawa 2 terdiri dari 15
sinyal karbon yang juga menunjukkan ciri khas
untuk kerangka flavanonol. Pada spektrum
terdapat sinyal pada C 198,16 ppm yang
menunjukkan satu atom karbonil pada posisi
C-4 dan dua sinyal pada daerah oksi-alkil
yakni pada C 84,46 dan 73,13 ppm untuk C-2
dan C-3. Berdasarkan hasil analisis spektrum
NMR, struktur senyawa ini disarankan sebagai
5,7,3,4-tetrahidroksiflavanonol
atau
dihidrokuersetin (2). Hal ini juga diperkuat
dengan perbandingan data NMR senyawa 2
dengan literatur (Han dkk, 2007) yang
menunjukkan kesesuaian.
Spektrum UV dan IR yang diperoleh dari hasil
pengukuran senyawa 2 mendukung hasil
interpretasi yang telah dilakukan berdasarkan
spektrum NMR. Spektrum UV senyawa 2
menunjukkan munculnya puncak serapan pita
II pada maks 292 nm dan serapan yang lemah
(bahu) pada maks 324 nm. Kedua serapan ini
berkesesuaian dengan rentang serapan
maksimum untuk kerangka flavanon, yaitu
rentang pita II adalah 275-295 nm dan pita I
berupa bahu muncul pada rentang 300-330
nm (Markham, 1988). Spektrum IR senyawa
227 menunjukkan adanya vibrasi ulur dari
gugus OH pada 3420 cm-1, vibrasi ulur C-H
aromatik pada 2587 cm-1, dan vibrasi C=O
terkonjugasi pada 1782 cm-1.
Kedua senyawa yang telah diisolasi dari
ekstrak etil asetat daun C. tomentosa ini
merupakan turunan flavonoid dengan kerangka
dasar yang berbeda (flavonol dan flavanonol
secara berturut-turut untuk senyawa 1 dan
2),akan tetapi memiliki pola oksidasi yang
sama pada cincin A dan B. Dehidrokuersetin
(2) dilaporkan untuk pertama kalinya dari
genus Cryptocarya, sedangkan kuersetin (1)
telah diisolasi dari C. alba.
Ekstrak etil asetat dari daun Cryptocarya
tomentosa dan salah satu senyawa hasil isolasi,
dihidrokuersetin (2) telah diuji aktivitasnya
terhadap sel murin leukemia P-388. Akan
tetapi, hasil pengujian menunjukkan bahwa
ekstrak etil asetat dan tiga senyawa tersebut
tidak aktif terhadap sel murin leukemia P-388.
Ekstrak etil asetat daun C. tomentosa
memberikan nilai IC50 > 20 g/mL, sementara
itu dihidrokuersetin (2), memberikan nilai IC50
> 4 g/mL.
1740

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
OH

OH
OH

OH

4'

HO

8a

4a

O
4

HO

1'

OH

OH

OH O

OH O

Tabel 1. Data 1H-NMR (500 MHz) dan 13C-NMR (125 MHz) dari kuersetin (1) dan dehidrokuersetin (2) dalam
aseton-d6
1
2
No
C (ppm)
H ppm ( I, m, J)
C (ppm)
H ppm ( I, m, J)
2
146,04
84,4
5,01 ( 1H, d, 11,5 Hz)
3
135,84
73,1
4,60 ( 1H, d, 11,5 Hz)
4
175,66
198,1
4a
103,22
101,5
5
156,85
167,8
6
98,32
6,26 ( 1H, br s)
97,0
5,98 ( 1H, d, 2,0 Hz)
7
164,08
164,9
8
93,53
6,52 ( 1H, br s)
96,0
5,94 ( 1H, d, 2,0 Hz)
8a
161,41
164,1
1
121,85
129,7
2
114,86
7,82 (1H, d, 1,7 Hz)
115,8
7,06 (1H, d, 1,9 Hz)
3
144,93
146,5
4
147,44
145,7
5
115,33
6,99 (1H, d, 8,5 Hz)
115,7
6,85 (1H, d, 8,1 Hz)
6
120,53
7,69 (1H, dd, 8,5 Hz)
120,8
6,90 (1H, dd, 8,1 dan 1,9 Hz)
OH-5
12,16 (1H, s)
11,69 (1H, s)
component from Cayratia japonica. Archives of
Pharmacal Research, 30(1), 13-17
Kosterman, A.J.G.H. (1968): Material for A
Revision of Lauraceae I, Reinwardt, Herbarium
Bogoriense, Bogor, Indonesia
Juliawaty, L.D., Aimi, N., Ghisalberti, M.,
Kitajima, M., Makmur, L., Syah, Y.M.,
Siallagan, J., Achmad, S.A. dan Hakim, E.H.
(2006): Chemistry of Indonesian Cryptocarya
Plant (Lauraceae), dalam Brahmachari, G., Ed.,
Chemistry of Natural Products: Recent Trends
& Developments, Research Signpost, India
Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I. dan Wong,
W.C. (1995): Plant Resource of South-East
Asia, No 5(2) PROSEA, Bogor
Markham, K.R. (1988): Cara Mengidentifikasi
Flavanoid. Diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata. Bandung : Penerbit ITB
Nasrullah, Ayu Afiqah., Zahari, Azeana.,
Mohamad,
Jamaludin.,
Awang,
Khalijah.,(2013): Antiplasmodial Alkaloids
from the Bark of Cryptocarya nigra
(Lauraceae), Molecules, 18, 8009-8017
Saewan, N., Koysomboon, S., Chantrapromma, K.
(2011): Anti-tyrosinase
and anti-cancer
activities of flavonoids from Blumea
balsamifera DC. Journal of Medicinal Plants
Research. 5(6), 1018-1025

4. KESIMPULAN
Dua senyawa flavonoid yang diidentifikasi
sebagai kuersetin (1) dan dehidrokuersetin (2)
telah berhasil diisolasi dari ekstrak etil asetat
daun C. tomentosa. Berdasarkan hasil uji
aktivitas sitotoksik terhadap sel murin
leukemia P-388, ekstrak etil asetat dari daun
C. tomentosa dan dihidrokuersetin (2) bersifat
tidak aktif.
5. REFERENSI
Feng, Rui., Zhi Kai Guo, Chun Min Yan, Er Guang
Li, Ren Xiang Tan, Hui Ming Ge (2012): Antiinflammatory Flavonoids from Cryptocarya
chingii, Phytochemistry, 76, 98105
Feng, Rui., Ting Wang, Wei Wei, Ren Xiang Tan,
Hui Ming Ge. (2013): Cytotoxic constitutents
from Cryptocarya maclurei, Phytochemistry,
90, 147153
Fu, X., Sevenet, T., Remy, F., Pais, M., Hadi,
A.H.A. dan Zeng, L.M. (1993): Flavonone and
Chalcone Derivatives from Cryptocarya kurzii,
Journal Natural Product, 56, 1153-1163
Han, Xiang Hua., Seong So., Hwang, Ji Song., Lee,
Myung Kuo., Hwang, Bang Yeon., Ro, Jai
Seop. (2007): Monoamine oxidase inhibitory

1741

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENGARUH ELEKTROLIT H3PO4 TERHADAP SIFAT LISTRIK ELEKTRODA


EDLC DARI KARBON TEMPURUNG BIJI KARET
Olly Norita Tetra,(1) Emriadi, Admin Alif, dan Gesti Upramita
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas Padang
Email : olly512@yahoo.com

(1)

Abstract
Carbon of rubber seed shell was prepared and used as an electrode material for EDLC in H3PO4 electrolyte.
Effect of H3PO4 as the electrolyte is added to polyvinyl alcohol is done with H 3PO4 concentrations to vary from
0.3 to 1.0 M. It was found that the optimum capacitance value contained at a concentration of 0.9 M H 3PO4 in
the amount of 69.85 nF and 53.4 nF, the voltage value 0.3 and 0.114 volt and current values of 7.0 and 3.0 A
for rubber seed shell carbon electrodes with particle sizes of 90 and 125 m.
Keywords: EDLC, Supercapacitors, Rubber Seed Shell, Capacitance, Polyvinyl Alcohol
Abstrak
Karbon dari tempurung biji karet telah digunakan sebagai bahan elektroda untuk EDLC(electrochemical
double layer capasitor) atau kapasitor elektrokimia. Pengaruh H3PO4 sebagai elektrolit yang ditambahkan
pada polivinil alkohol dilakukan dengan menvariasikan konsentrasi H3PO4 dari 0,3 sampai 1,0 M. Diperoleh
bahwa nilai kapasitansi optimum terdapat pada konsentrasi H3PO4 0,9 M yaitu sebesar 69,85 nF dan 53,4 nF
dengan nilai tegangan 0,3 dan 0,114 volt dan nilai arus 7,0 dan 3,0 A untuk elektroda karbon tempurung biji
karet dengan ukuran partikel 90 dan 125 m.
Kata Kunci : EDLC, Superkapasitor, Tempurung Biji Karet, Kapasitansi, Polivinil Alkohol

terhadap listrik elektroda campuran zeolit dari


bottom ash dan resin damar sebagai
EDLC/superkapasitor, dimana didapat nilai
konduktivitas maupun kapasitansi yang rendah
yaitu masing - masing 26, 57 . 10 5 S/cm dan 6,
39 nF (Alif, A, dkk, 2013). Selain itu
campuran zeolit dan damar memberikan bahan
yang rapuh sehingga sulit dalam proses
pembentukan plat elektroda. Berdasarkan
hasil-hasil penelitian tersebut dan dari
literature tentang bahan dasar elektroda EDLC
yang menggunakan karbon sebagai bahan
dasar elektroda, sampai saat ini belum ada
yang melaporkan carbon aktif yang berasal
dari limbah tempurung biji karet sebagai bahan
elektroda
superkapasitor.
Selama
ini
tempurung biji karet hanya ditumpuk di daerah
perkebunan dan menjadi limbah. Oleh karena
itu pada penelitian ini di pelajari pemanfaatan
limbah tempurung biji karet dengan kandungan
karbon aktif sebagai bahan elektroda EDLC
/superkapasitor dengan mempelajari sifat
listriknya yaitu nilai kapasitansi dan
konduktasi EDLC/superkapasitor tersebut dan
karakterisasi dari permukaan elekrtoda yang
terbentuk. Tujuan dari penelitian ini adalah
mempelajari pemanfaatan limbah tempurung

1. PENDAHULUAN
EDLC/Superkapasitor merupakan terobosan
baru yang sedang dikembangkan pada saat
sekarang ini. Penggunaan EDLC sebagai
penyimpan energi dalam jumlah besar untuk
memenuhi kebutuhan listrik menjadi solusi
yang tepat. EDLC memiliki banyak kelebihan
dibanding dengan alat penyimpan energi yang
lain seperti baterai. Menurut Burke, A. F.
(2007), saat ini satu-satunya teknologi yang
tersedia adalah superkapasitor yang dapat
memberikan daya spesifik yang besar (lebih
dari 1 kW/kg) dan bisa di pakai ulang dengan
harga terjangkau, aman, sedikit toksisitas dan
terpercaya. Proses penyimpanan energi terjadi
karena terbentuknya pasangan ion dalam
elektrolit dan elektron pada permukaan antara
elektroda dan elektrolit. (B. H. Kim. et all,
2013).
Pemakaian karbon yang merupakan material
berpori sebagai elektroda telah banyak
dimodifikasi untuk meningkatkan nilai
kapasitansinya. (Alif, A, dkk, 2013) Penelitian
EDLC dengan elektroda berbahan dasar zeolit
dan karbon telah pernah
dilakukan,
diantaranya pengaruh elektrolit H2SO4
1742

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

biji
karet
sebagai
elektroda
EDLC/superkapasitor dengan mempelajari
nilai kapasitansi dan konduktasi EDLC.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengukuran Nilai Kapasitansi EDLC /
Superkapasitor

2. METODE PENELITIAN
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah peralatan gelas, magnetic stirrer, neraca
analitik Ainsworth, oven. Instrumen yang
digunakan
adalah
Lutron
LCR-9073,
Hochspannung-Netzgerat High Voltage Power
Suplly Unit and Sanwa Digital Multimeter.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain :
Karbon aktif dari tempurung biji karet, PVA
(poli vinil alcohol), H3PO4 (asam pospat ).

Gambar 2. Pengaruh Konsentrasi Elektrolit


H3PO4 Terhadap Nilai Kapasitansi EDLC pada
ukuran partikel karbon empurung biji karet 90
m

Cara Kerja
Pembuatan Elektroda
Tempurung biji karet dihaluskan, setelah itu di
furnace pada suhu 300 oC selama 1 jam dan
diayak dengan ukuran 90 m dan 125 m.
Setelah itu serbuk tempurung biji karet
ditambah lem silikon (lem kaca) dan dicetak
dengan ukuran 3 cm x 3 cm.
Proses Pembuatan Polimer Elektrolit
Pembuatan
polimer
elektrolit
dengan
mencampurkan 1 gram poli vinil alcohol
(PVA) dan 10 mL larutan H3PO4 (asam
pospat). Variasi konsentrasi H3PO4 yang
digunakan adalah 0,3 - 1,0 M.

Gambar 3. Pengaruh Konsentrasi Elektrolit


H3PO4 Terhadap Nilai Kapasitansi EDLC pada
ukuran partikel karbon tempurung biji karet
125 m

Pembuatan EDLC/Superkapasitor
Struktur EDLC dibuat seperti sandwich,
dimana diantara dua elektroda EDLC
diselipkan satu buah polimer elektrolit.
Elektroda tersebut kemudian ditempelkan pada
lempengan logam tembaga (Plat Cu).

Pemisah

Pada Gambar 2 dan 3 terlihat perbedaan nilai


kapasitansi yang dihasilkan dari karbon
tempurung biji karet dengan partikel 90 m
dan karbon tempurung biji karet 125 m.
Semakin kecil ukuran partikel dari suatu
elektroda EDLC maka nilai kapasitansi akan
semakin besar. Hal ini dikarenakan semakin
kecil ukuran partikel karbon maka semakin
besar luas permukaan karbon dari karbon yang
digunakan dan akan menyebabkan semakin
banyak ion yang terserap dalam elektroda,
sehingga meningkatkan kapasitansi dari
EDLC/superkapasitor dan semakin besar daya
simpan muatannya, sehingga ion-ion positif
dan ion-ion negatif dari elektrolit H3PO4 yang

Elektroda Karbon
Kolektor Arus

Gambar 1. Susunan elektroda EDLC


Pengukuran
Pengukuran sifat listrik dilakukan dengan LCR
Meter dan Multimeter

1743

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

akan tersimpan dipermukaan elektroda akan


menjadi lebih banyak.
Pengukuran Nilai Tegangan dan Arus
setelah Pengisian dengan Tegangan 7,82
Volt

Gambar 6. Hubungan antara Waktu Pengisian


terhadap Arus pada Berbagai Konsentrasi
Elektrolit H3PO4 dengan Ukuran Partikel
Karbon Tempurung Biji Karet 90 m
Gambar 4. Hubungan antara waktu pengisian
muatan listrik dan tegangan pada berbagai
konsentrasi elektrolit H3PO4 dengan ukuran
partikel karbon tempurung biji karet 90 m

Gambar 6 dan 7 memperlihat bahwa pada


waktu pengisian 0, 5, 10, 15, 20, 30, 60, 90,
120 dan 150 menit, arus yang terisi dan terbaca
oleh multimeter sebagai arus keluar yang
konstan pada pemisah elektrolit H3PO4 dengan
konsentrasi 0,3; 0,4; 0,5 M, 0,6 M; 0,7 M; lalu
mengalami kenaikan pada konsentrasi 0,8 M
dan 0,9 M kemudian mengalami penurunan
kembali pada 1 M. EDLC tidak mengeluarkan
arus
yang
terisi
sekaligus,
dan
mengeluarkannya sebagai arus keluar secara
konstan.

Gambar 4 dan 5 menunjukan bahwa semakin


lama waktu yang digunakan untuk mengisi
muatan maka semakin besar tegangan yang
terisi oleh suatu elektroda EDLC. Pada karbon
tempurung biji karet yang memiliki partikel 90
m dapat mengisi muatan dalam jumlah yang
lebih banyak dibanding partikel karbon
tempurung biji karet 125 m.

Gambar 7. Hubungan antara Waktu Pengisian


terhadap Arus pada Berbagai Konsentrasi
Elektrolit H3PO4 dengan Ukuran Partikel
Karbon Tempurung Biji Karet 125 m

Gambar 5 Hubungan antara waktu pengisian


muatan listrik dan tegangan pada berbagai
konsentrasi elektrolit H3PO4 dengan ukuran
partikel karbon tempurung biji karet 125 m
1744

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

4 . KESIMPULAN

4. Burke,

Pengaruh H3PO4 sebagai elektrolit yang


ditambahkan pada polivinil alkohol dengan
menvariasikan konsentrasi H3PO4 dari 0,3
sampai 1,0 M dapat mempengaruhi nilai
kapasitansi elektroda tempurung biji karet.
Dimana semakin besar konsentrasi elektrolit
H3PO4 maka nilai kapasitansi semakin besar
sampai mencapai optimum pada konsentrasi
konsentrasi elektrolit H3PO4 0,9 M yaitu
sebesar 69,85 nF dan 53,4 nF, nilai tegangan
0,3 dan 0,114 volt dan nilai arus 0,7 dan 0,3
A untuk elektroda karbon tempurung biji
karet dengan ukuran partikel 90 dan 125 m.

5.

6.

7.
8.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alif, A. O.N, Tetra, Emriadi, dan Yantika, R.

2.

3.

2014 Pengaruh Elektrolit H2SO4 Terhadap


Sifat Listrik Elektroda Campuran Zeolit Dari
Bottom Ash dan Resin Damar Sebagai
Superkapasitor, Jurnal Kimia Unand, Volume
3 Nomor 4.
Barmawi, Irwanto. 2011. Erman Taer dan
Akrajas Ali Umar. Efek Penumbuhan
Nanopartikel Platinum pada Elektroda Karbon
terhadap Prestasi Superkapasitor. Jurnal Fisika
Himpunan Fisika Indonesia. Vol. 11(1)p 1-5 .
B. H. Kim, , K. S. Yang, H. G. Woo, K.
Oshida. 2011. Supercapacitor performance of
porous carbon nanofiber compositesprepared
by electrospinning polymethylhydro-siloxane
(PMHS)/polyacrylonitrile
(PAN)
blend
solutions, Synthetic Materials, 161, 12111216.

9.

10.

11.

1745

A. F., 2007. Batteries and


Ultracapacitors for Electric, Hybrid, and Fuel
Cell Vehicles, Proceeding of the IEEE, 806-82.
Dwivedi. B, Sahay. K.2009. Supercapacitors
Energy Storage System for Power Quality
Improvement: An Overview, J.Electrical
System x-x. Hal 1-8.
Emriadi, Muttaqin, A., Alif, A., 2013,
Pemanfaatan Nanokomposir Resin dari Getah
Damar untuk Bahan Superkapasitor yang
Ramah Lingkungan, Laporan Penelitian
Unggulan Perguruan Tinggi, Universitas
Andalas, Padang
FirdausSusanto.2014. Ekstraksi Biji Karet.
Fakultas Teknologi Industri.Institut Teknologi
Bandung :Bandung.
Hashim, M.A. Lawal Saadu dan Karsoo A.
Dasuki. 2012. Supercapasitors Based On
Activated Carbon And Polymer Electrolyt. Int
Journal
of
Sustainable
Energy
and
Environmental Research 1 (1):1-6.
Rosi, M., Iskandar, F., Abdullah, M., 2014,
Hydrogel-Polymer Electrolytes Based on
Poliviny; Alcohol and Hydroxyethycellulose
for Supercapacitor Apllications, Int. J.
Electrochemical. Sci., 9, 4251-4256.
Schneulwly, A., Gallay, R., 2000, Properties
and Applications of Supercapacitors from the
State of the Art to Future Trends, Proceeding
PCIM, 1-3.
Teguh, Ariyanto. Imam Prasetyo dan
Rochmadi.2012. Pengaruh Struktur Pori
terhadap Kapasitansi Elektroda Superkapasitor
yang dibuat dari Karbon Nanopori. Reaktor,
Vol.14 No. 1, Hal 25-32

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

Kinerja Panel Surya Cu2O-CuO/Al pada Lampu Neon dan Sinar UV


Rahadian Zainul1, Admin Alif2, Hermansyah Aziz2, Syukri Arief3, Syukri4
1
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Padang
email : rahadianzmsiphd@fmipa.unp.ac.id
email : rahadianzmsiphd@yahoo.com
2
Fakultas MIPA, Universitas Andalas
Abstract
This research aims to investigate the performance of solar cells made of material Cu2O-CuO/Al under
irradiation Neon lights and UV rays. Neon lights and UV rays used are fluorescent lamps of 10 watts and 10
watts of UV light by varying the amount of 1, 2 and 3. The design which used the flat panel design with a panel
surface area 4 cm x 10 cm and wide electrode used is 0.003711 m 2. From the test results, the solar panels
provide maximum performance of 129 038 Mwatt/m2 for fluorescent lamps (n=3) the intensity footcandle 184.75
(ftc) and 27.89 Mwatt/m2 to UV light (n=3) at an intensity of 15.515 ftc.
Keywords : Panel Surya, Neon,UV, Cu2O-CuO/Al

Misalnya, bahan baku polimer telah


dikembangkan (M. Liu et al., 2010), organik
dan pewarna (Dye)(Peter, 2011). Modifikasi
permukaan semikonduktor, antara lain
nanowire, percabangan seperti akar serabut
dan nanorod (K. Liu, Qu, Zhang, Tan, &
Wang, 2013; Lundgren, Lopez, Redwing, &
Melde, 2013).
Dalam penelitian ini, modifikasi
dilakukan pada aspek sumber fotonnya. Salah
satunya adalah pemanfaatan Lampu Neon
yang memiliki intensitas yang rendah dan
sinar UV, untuk menghasilkan energy listrik.
Hal ini menarik diteliti karena pemakaian
sumber foton berintensitas rendah dapat
memungkinkan sel PV diaplikasikan untuk
lokasi tertutup seperti di dalam ruangan dan
bangunan serta dilakukan pada malam hari
dengan sumber radiasi dari Lampu Neon.

1. Pendahuluan
Sel surya atau sel photovoltaic adalah
suatu rangkaian alat semikonduktor yang
mengkonversi foton (cahaya) menjadi energi
listrik. Struktur inti dari sel surya pada
umumnya terdiri dari satu atau lebih jenis
material semikonduktor dengan dua daerah
berbeda yaitu, daerah positif dan negatif. Dua
sisi yang berlainan ini berfungsi sebagai
elektroda. Untuk menghilangkan dua daerah
bermuatan yang berbeda umumnya digunakan
dopant dengan golongan periodik yang
berbeda. Hal ini dimaksudkan agar dopant
pada daerah negatif akan berfungsi sebagai
pendonor elektron, sedangakan dopant pada
daerah positif akan berfungsi sebagai penerima
elektron.
Efisiensi sel surya bisa tinggi bila
foton yang berasal dari sinar matahari dapat
diserap
sebanyak-banyaknya,
kemudian
memperkecil refleksi dan rekombinasi serta
memperbesar konduktivitas dari bahannya.
Penyerapan foton bisa maksimum, bila energi
band-gap berada dalam jangkauan yang lebar,
sehingga memungkinkan untuk bisa menyerap
sinar matahari yang mempunyai energi sangat
bermacam-macam tersebut. Salah satu bahan
yang sedang banyak diteliti adalah Oksida
Tembaga
(Cu2O-CuO)
yang
dikenal
merupakan
salah
satu
dari
direct
semiconductor.(Zainul et al, 2015)
Modifikasi dan karakterisasi Sel
Fotovoltaik
(PV)
dilakukan
untuk
mendapatkan efisiensi dan kemampuan
konversi sel yang tinggi (Zainul dkk, 2015).

2. Eksperimen
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Multimeter (Heles), Lightmeter (Oppo
F7a), SEM-EDX (Hitachi S-3400N), XRD
(PANalytical), lampu neon (Philip 10 watt),
Kertas, Kertas Karbon, Furnace, Timbangan
Analitik, dan Alat alat gelas.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kaca (PT Asahimas), lem kaca, Pelat
Cu (PT Metalindo), Pelat Alumunium,
Natrium sulfat (Na2SO4) (Merck), agar,
kloroform(Merck) dan aquades.
3. Metoda yang digunakan
Pembuatan elektroda Cu2O-CuO
1746

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Gambar 2. Foto SEM dari permukaan lempengan
tembaga sebelum dibakar (a) 5000x, setelah
pembakaran pada suhu 400oC (b) 5000x, dan
pembakaran pada suhu 500oC (c) 5000x (zainul et
al. 2105)

Elektroda Cu2O-CuO dibuat dengan teknik


kalsinasi. Pelat Cu dikalsinasi pada suhu 400
dan 500oC selama 1 jam. Hasil dari kalsinasi
pelat Cu dikarakterisasi dengan menggunakan
SEM EDX dan XRD. Luas elektroda yang
dipakai adalah 0.003711 m2. Pengujian
kemampuan panel elektroda Cu2O-CuO
dilakukan dengan merangkai Sel PV (zainul et
al, 2015) cahaya ruang seperti pada gambar 1.

Proses kalsinasi seperti terlihat pada Gambar


2, permukaan pelat tembaga berubah dengan
terbentuknya oksida. Hal ini terjadi karena
proses pembakaran berlangsung dengan
adanya oksigen. Oksida ini akan merubah sifat
pelat tembaga menjadi semikonduktor menjadi
bersifat fotokatalis dan dapat digunakan
sebagai material untuk panel sel fotovoltaik.
Pada gambar 2 (a) permukaan lempengan
tembaga terlihat seragam dan beraturan (tidak
memiliki beda potensial signifikan pada
daerah antar muka). Setelah pembakaran pada
o
suhu 300 C, dinamika atomik terjadi sehingga
atom atom pada permukaan lempengan
tembaga mengalami difusi dan terjadinya
ekpansi jarak antar atom sehingga molekul
oksigen masuk ke daerah lapisan Helmholt
(double layer). Pada Gambar 2 (b), sebagian
besar oksigen akan bertumbukkan dan
bereaksi membentuk oksida tembaga dan
membentuk
Kristal
yang
bersifat
semikonduktor. Apabila suhu dinaikkan
sampai ke 400oC, oksida terbentuk akan
membentuk pola Kristal yang baru dan bersifat
fotokatalis (Sabbaghi, Orojlou, Parvizi,
Saboori;, & Sahooli, 2012).
Pemeriksaan dengan SEM-EDX,
diketahui terjadi peningkatan jumlah oksigen
pada permukaan lempengan Cu yang awalnya
1,22 %. Pada suhu pembakaran 400oC
diperoleh persen oksigen sebesar 16.5 %. Pada
suhu 500oC, persen oksigen pada permukaan
lempengan Cu sebesar 15.27 %. Peningkatan
ini disebabkan pada suhu 400oC jumlah atom
oksigen yang teradsorpsi secara kimia
mencapai kondisi optimum, selanjutnya
dengan peningkatan suhu mencapai 500oC
menyebabkan terdesorpsinya atom oksigen
sebagian sebagaimana diketahui dari hasil
SEM-EDX. Pada pemeriksaan lanjutan
ditentukan
oksida
terbentuk
dengan
menggunakan XRD.

Gambar 1. Skema desain reaktor sel PV (zainul et


al, 2015)

Pembuatan Larutan Elektrolit Agar


Natrium Sulfat (Na2SO4)
Sebanyak 3.6 gram Na2SO4 dilarutkan ke
dalam 100 mL air dan ditambahkan agar
sebanyak 0.5 gram. Campuran diaduk dan
dipanaskan sampai mendidih sampai larutan
menjadi bening. Setelah itu tambahkan
beberapa tetes kloroform. Dalam keadaan
panas larutan elektrolit dituangkan ke dalam
sel PV.
Pengukuran arus dan tegangan sel PV
Tiap sel PV diisi dengan agar natrium sulfat,
lalu disinari dengan cahaya matahari yang
masuk ke dalam ruangan dan cahaya lampu
neon. Arus dan tegangan dari tiap sel diukur
dengan menggunakan multimeter.
4. Hasil dan Pembahasan
Hasil Analisa SEM EDX
Dari hasil Scanning Electron Microscope
(SEM) seperti pada gambar 2, terlihat
terjadinya perbedaan permukaaan pelat
tembaga mula mula dan pelat tembaga yang
dikalsinasi.

Karakterisasi XRD
(a)

(b)

(c)

1747

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Gambar 4. Grafik arus dan tegangan sel PV dari


elektroda pasangan Cu2O/Al pada variasi jumlah
lampu neon dan lampu UV dengan pembandingnya
Cu2O/Cu

Gambar 3. Hasil XRD lempengan tembaga setelah


dilakukan pembakaran pada suhu 400 oC

Pada pemeriksaan dengan XRD, terlihat


adanya puncak kurva yang menunjukkan
terbentuknya senyawa tembaga oksida. Dari
table 2, diketahui bahwa terbentuk senyawa
CuO sebesar 26.7 % dan Cu2O sebesar 73.3 %.
Oksida terbentuk pada suhu 400oC didominasi
oleh tembaga (I) oksida (Cu2O). Pada suhu
diatasnya yakni 500oC terjadi transformasi
tembaga
(I)
menuju
tembaga
(II)(R.Trethewey., 1988), sehingga dari
pemeriksaan SEM-EDX diketahui terjadinya
penurunan persentase oksigen pada suhu
500oC sebesar 16.5% - 15.27% = 1.23%.

Pengukuran voltase dan arus yang dihasilkan


sel PV dilakukan pada kondisi sebagaimana
terlihat pada table 3 berikut.
Tabel 3. Pengukuran intensitas lampu neon dan
lampu UV
Intensitas
Flux high
Flux low
Flux
rerata
Ft high
Ft low
Ft rerata

Tabel 2. Hasil XRD lempengan tembaga


setelah pembakaran pada suhu 400 oC
Formula Pesen
Compound
CuO
26.7% Copper Oxide
Cu2O
73.3% Copper Oxide

Neon
n=1
1435
1425

Jumlah Lampu
Neon
Neon
n=2
n=3
1728
1993
1705
1986

1430

1716.5

1989.5

159.5

132.85
131.83
132.34

158.86
157.75
158.305

185.27
184.23
184.75

15.7
15.33
15.515

UV
n=3
163
156

Penelitian tentang mekanisme transformasi


oksida tembaga yang dievaluasi berdasarkan
suhu pembakaran, antara suhu 350oC hingga
754oC memperlihatkan pola serupa dengan
kecenderungan penurunan kandungan oksigen
dengan peningkatan suhu (Youngfu Zhu,
Kouji Mimura, & Isshiki, 2002).
Hasil Pengukuran Arus dan Tegangan Sel
PV
Arus dan Tegangan dengan variasi jumlah
lampu neon dan lampu UV

Gambar 5. Grafik Daya sel PV dari elektroda


pasangan Cu2O/Al pada variasi jumlah lampu neon
dan lampu UV dengan pembandingnya Cu2O/Cu

Dari hasil pengukuran arus dan


tegangan dengan variasi jumlah lampu neon
yang digunakan, terlihat pada gambar 4, sel
PV pasangan elektroda Cu2O/Al memberikan
arus dan tegangan sebesar 247 A dan
tegangan sebesar 470 mV pada lampu neon
(n=1). Apabila jumlah lampu ditingkatkan,
maka kemampuan sel PV juga semakin besar.
1748

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Daya yang dihasilkan mencapai 116.09 Watt


(0.11609 mWatt) untuk jumlah lampu neon n
= 1. Hal yang sama, daya akan meningkat
apabila jumlah lampu yang digunakan
bertambah. Hal ini disebabkan pada lampu
n>1, maka intensitas yang dihasilkan semakin
besar. Sehingga, lebih banyak terjadinya
fotoelektrik sehingga proses fotokimia
berlangsung lebih banyak dibandingkan pada
penyinaran lampu neon n = 1. Pada penyinaran
dengan Lampu UV (n=3), kemampuan sel PV
adalah 230 A dan 450 mV, serta 103.5 Watt
(0.1035 mWatt)
Penurunan kemampuan sel PV pada
penyinaran lampu UV dibandingkan neon
mencapai 10.84 % disebabkan karena pada
panjang gelombang UV proses eksitasi
elektron masih berlansung pada oksida
tembaga, namun lebih optimum dengan pada
penyinaran dengan lampu neon. Perbedaan
panjang gelombang ini lebih banyak
mempengaruhi band gap (BG) antara pita
valensi dan pita konduksi. Sementara, oksida
terbentuk pada semikonduktor berupa CuO
dan Cu2O. Eksistensi Cu2O akan menggeser
BG menjadi lebih lebar sehingga peluang
electron untuk tereksitasi dari Pita Valensi ke
Pita Konduksi. Hal inilah yang menyebabkan
kinerja sel PV akan lebih efektif dam efisien
dengan iluminasi lampu Neon dibandingkan
Lampu UV (Kudo, 2003; Walsh & Butler,
2014).
Pada tabel 4, terlihat bahwa semakin
banyak jumlah lampu neon yang digunakan,
maka semakin besar intensitas cahaya yang
terpapar. Peningkatan intensitas lampu neon,
terlihat pada table 5 berikut.

Gambar 6. Kurva arus dan tegangan dari elektroda


pasangan Cu2O/Al pada penyinaran cahaya lampu
neon ruangan dengan jumlah neon 3 buah

Kinerja karekateristik IV sel PV elektroda


pasangan Cu2O/Al memperlihatkan bahwa
daya pada lampu (n=1;2; dan 3) mencapai
0.11609 mWatt ; 0.15453 mW dan 0.197828
mW. Daya persatuan luas sel PV Cu2O/Al
(luas sel CuO/Al = 0.003711 m2) adalah
31.28267 mW/m2 (n=1) ; 41.64107 mW/m2
(n=2) dan 53.30854 mW/m2 (n=3) serta pada
penyinaran dengan lampu UV (n=3) adalah
sebesar 27.89006 mW/m2. Daya maksimum
tercapai saat n = 3, dengan P max = 478.86
Watt (0.47886 mWatt) atau dalam setiap
meter perseginya sel PV mampu menghasilkan
129.037 mWatt.
Tabel 5. Arus rangkaian terbuka (Ioc), tegangan
rangkaian terbuka (Voc), Arus Maksimum (I
maks), Tegangan maksimum (V maks), Nilai
Faktor Pengisi (FF) dan Efisiensi Sel PV ()
Penyinaran lampu neon (n=3) pada Sel PV Cu2O/Al
I oc
V oc
I max V max
FF

318.3 438.7
545
647
2.525204
1.3 %

Dari table 5 terlihat, efisiensi sel PV elektroda


pasangan Cu2O/Al adalah 1.3 %. Sel PV
menghasilkan daya maksimum sebesar
129.037 mWatt/m2, tercapai saat I max = 545
A dan V max = 647 mV. Sel PV yang dibuat
menghasilkan daya masih kecil, namun sudah
bisa menjadi referensi untuk melanjutkan
penelitian lanjutan dengan focus pada disain
elektroda dan panel surya.

Tabel 4. Intensitas cahaya lampu dan jumlah


lampu neon
Jumlah Lampu
Flux
Intensitas

1
1430
132.34

2
1716.5
158.305

3
1989.5
184.75

Peningkatan intensitas lampu neon, akan


mempengaruhi interaksi antara permukaan
semikonduktor elektroda dan foton. Peluang
tereksitasinya electron semakin besar pada
jumlah neon lebih besar (n=3), sehingga
kemampuan sel PV meningkat dengan
semakin bertambahnya intensitas lampu neon.

5. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini disimpulkan kinerja
sel PV elektroda pasangan Cu2O/Al
memberikan performa sel yang relative besar,
dengan efisiensi 1,3 % pada penyinaran 3 buah
lampu neon, dan lebih tinggi 10 %
dibandingkan pada penyinaran pada lampu
UV. Sel dengan pasangan Cu2O/Al dapat

Karakteristik Kurva I-V

1749

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Philos Trans A Math Phys Eng Sci, 369(1942),
1840-1856. doi: 10.1098/rsta.2010.0348
R.Trethewey., K. (1988). Corrosion, for Students
of Science and Engineering. longman Group,
UK Limited, pages. 83, 349-361.
Rahadian Zainul, Admin Alif, Hermansyah Aziz,
Syukri Arief & Syukri. (2015). Design of
Photovoltaic Cell with Copper Oxide Electrode
by Using Indoor Lights. Research Journal of
Pharmaceutical, Biological and Chemical
Sciences, Volume 6 (4), pages : 353-361
Rahadian Zainul, Admin Alif, Hermansyah Aziz,
Syukri Arief dan Syukri. (2015). Modifikasi
dan Karakterisasi I-V Sel Fotovoltaik Cu2O/CuGel Na2SO4 Melalui Iluminasi Lampu Neon.
EKSAKTAm Berkala Ilmiah Bidang MIPA.
Volume 2, tahun XVI, Juli 2015
Sabbaghi, S., Orojlou, H., Parvizi, M. R., Saboori;,
R., & Sahooli, M. (2012). Effect of temperature
and time on morphology of CuO nanoparticle
during synthesis. international journal of nano
dimension, Article 9, Volume 3, Issue 1,
Summer 2012, Page 69-73
(Issue 1), 6973
Walsh, A., & Butler, K. T. (2014). Prediction of
electron energies in metal oxides. Acc Chem
Res, 47(2), 364-372. doi: 10.1021/ar400115x
Youngfu Zhu, Kouji Mimura, & Isshiki, M. (2002).
oxidation mechanism of copper at 623 - 1073
K. materials transactions, 43(9), 2173-2176.

dikembangkan lebih lanjut pada disain panel


yang multikolektor dan modifikasi pada
permukaan elektroda, sehingga efisiensi sel
PV dapat ditingkatkan untuk pemakaian pada
penyinaran lampu neon.
Referensi
Kudo, A. (2003). Photocatalyst materials for water
splitting. Catalysis Surveys from Asia, Vol. 7,
No. 1, April 2003
Liu, K., Qu, S., Zhang, X., Tan, F., & Wang, Z.
(2013). Improved photovoltaic performance of
silicon nanowire/organic hybrid solar cells by
incorporating silver nanoparticles. Nanoscale
Res Lett, 8(1), 88. doi: 10.1186/1556-276X-888
Liu, M., Rieger, R., Li, C., Menges, H., Kastler,
M., Baumgarten, M., & Mullen, K. (2010). A
polymer with a benzo[2,1-b;3,4-b']dithiophene
moiety
for
photovoltaic
applications.
ChemSusChem,
3(1),
106-111.
doi:
10.1002/cssc.200900161
Lundgren, C., Lopez, R., Redwing, J., & Melde, K.
(2013). FDTD modeling of solar energy
absorption in silicon branched nanowires. Opt
Express, 21 Suppl 3, A392-400. doi:
10.1364/OE.21.00A392
Peter, L. M. (2011). Towards sustainable
photovoltaics: the search for new materials.

1750

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

AN INSPIRING INSTRUCTIONAL SCENARIO FOR BUILDING CHARACTER OF THE


8TH-GRADE STUDENTS THROUGH TEACHING SCIENCES
Rayandra Asyhar1), Delismar1), Anita Herda1), Sufri2), M. Imaduddin al-Islami2), Hastuti
Wibowo3), Chitra Karina Dewi4)
1)

Program StudiDoktorPendidikan MIPA Universitas Jambi


2)
JurusanPendidikan MIPA FKIP Universitas Jambi
3)
SekolahMenengahPertamaXaverius 1 Kota Jambi
4)
SekolahMenengahPertamaAl-Azhar Kota Jambi
Contact Person: rayandra@unja.ac.id
Abstract

Character educationisan important issueandbecameatrending topicinIndonesiain thelast three years. Itis in


linewith theimplementation ofthe 2013 school curriculum. As a consequence, teachers need to integratecharacter
valuesintosubject matter content in classroom activities. The problemis thatmanyteachers are not ableto do the
integrationin real teaching. This researchaim to develop an instructionalscenariothat describesthe
integrationofthe character valuesinto chemistry as an inspirationfor midGIe school teachers. A research and
development method was used this study by adoptingASSURE model. While the questionnaire, interview and
observation techniques were used for the data collection. The created scenario was judged by the experts and
selected science teachers of few midGIe schools in Jambi City prior to application. According to the assessment
of the validators, the scenario was very innovative product, met the standards of the new curriculum, and can be
used as a model for inspiring teachers in building character their students. It is recommended to usethe product
of scenario in the teaching character values to 8th-grade students through science.
Keywords: Character building, chemistry, global era, 8th-grade, instructional scenario.

melainkan semua guru mata pelajaran,


termasuk IPA.
Sebagai implikasi dari kebijakan
pendidikan
tersebut,
maka
perlu
dikembangkan
model-model
integrasi
pendidikan karakter dalam materi pelajaran
(Pala, 2011). Terkait dengan itu, beberapa
peneliti telah melaporkan hasil penelitiannya.
Mahmudi (2014) telah mengintegrasikan nilai
karakter dalam pembelajaran matematika,
Fauzee et al (2014) mengajarkan nilai karakter
melalui pelajaran olah raga. Sementara, Hadi
(2015) melaporkan model integrasi karakter
dan mata pelajaran ekonomi. Dari kajian
literatur diketahuibahwapenelitian tentang
integrasipendidikankarakterdalampembelajara
n IPA telah dilakukan oleh beberapa peneliti
(Khusniati, 2012; SuastradanYasmini, 2013).
Meskipunpenelitiandanpengembangan
model integratifkaraktertelahbanyakdilakukan,
namun belum memberikan hasil optimal. Pada
penelitian ini akan dikembangkan model
integrasi nyata nilai karakter dalam proses
pembelajaran IPA pada Topik Zat Aditif
Makanan. Materi ini diajarkan dengan
menerapkan model Group investigation
terbimbing proses ilmiah melalui kegiatan

PENDAHULUAN
Globalisasi
menimbulkan
kondisi
paradoksal dalam kehidupanmanusia.Di satu
sisi, orang dengan mudah bisa mengakses
informasi dan membangun komunikasi satu
sama lain tanpa dibatasi oleh ruang, waktu dan
sekat-sekat geografis. Pada saat yang sama, era
global dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap kehidupan masyarakat, seperti
terjadinya konfliksosial, praktik koruptif, dan
berbagai prilaku menyimpang di masyarakat.
Dampak negatif globalisasi merupakan
ancaman serius bagi negara dan bangsa (Nuh,
2014). Oleh karena itu, pendidikan karakter
perlu digalakkan di semua jenjang pendidikan.
Di samping itu, nilai karakter menjadi syarat
utama bagi dunia kerja saatini. Berbagai
penelitian menunjukkan budi pekerti yang baik
berkorelasi positif dengan produktivitas kerja.
Menurut Mahmudi (2011), sekitar 87%
kegagalan orang ditempat kerjadi sebabkan
karena karakter yang kurangbaik. Itulah
sebabnya kurikulum 2013 yang baru
diberlakukan
lebih
menekankan
pada
pembangunan karakter peserta didik (Asyhar,
2014). Pendidikan karakter tidak hanya tugas
dan tanggungjawab guru agama dan PKn saja,
1751

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

praktikum sederhana dan menyenangkan yang


mengandung nilai-nilai karakter.

Dilihat dari sisi suku, siswa yang


menjadisubjekpenelitianinicukupberagam.
Gbr.3 menunjukkan45% Tiong Hoa,21%
Batak, 14% Minang, 13% Jawa dan7% suku
Melayu.

Persentase (%)

METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah penelitian
pengembangan karena menghasilkan suatu
produk berupa skenariopembelajaran. Proses
pengembangan mengadopsi model ASSURE
yang diimplementasikan melalui beberapa
kegiatan sebagaimana tergambar berikut ini:

100
80
60
40
20
0
Tiong
Hoa

Batak Minang Jawa Melayu


Suku

Gbr. 3. Profilsiswaberdasarkansuku

Dari sisi latar belakang sosio-kultural dan


ekonomi keluarga sangat beragam. Jenis
pekerjaan orang tua juga beragam, seperti
wiraswasta, pedagang, pegawai negeri sipil,
petanidan buruh. Dengan adanya perbedaan
latar belakang pengetahuan, kemampuan, latar
belakang keluarga, dan suku/ras, maka
kegiatanpembelajaran IPA yang dipilihadalah
model
cooperative
learningteknikgroup
investigation
(GI).Melalui
model
GIinidiharapkanakan terjadi kerjasama antar
siswa untuk mengembangkan sikap saling
menghargai dan menerima perbedaan. Dari
kombinasi hasil analisis tujuan dan
karakteristik peserta didik, maka ditetapkan
perangkat pembelajaran yang dikembangkan
harus mengandung kegiatan penyelidikan
ilmiah melalui pendekatan kontekstual.

Gbr.1. Diagram alir pengembangan produk


skenario pembelajaran

Proses pengembangan diawali dengan


tahap analisis yang meliputi analisis karakteristik peserta didik, dan materi kurikulum.
Tahap berikutnya adalah merumuskan tujuan,
memilih model, desain skenario dan pendukung pembelajaran. Draf skenario divalidasi
oleh tim ahlidan guru IPA berpengalaman
sebelumdigunakandalamkegiatansimulasidanuj
icobapembelajarannyata.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1) Karakteristik Peserta Didik
Hasilanalisismenunjukkanbahwapesertadid
ikkelas VIII SMP Xaverius I Kota Jambi
terdiridari 67% priadan 33% wanita dengan
rentang usia antara 12-15 tahun. Sebagian
besar siswa memiliki gaya belajar kinestetik
yang lebih manyukai pembelajaran dengan
demonstrasi/praktikum. Dilihat dari asal
sekolah, peserta didik sangat beragam. Gbr. 2
menunjukkan 45,5% berasal dari SD negeri,
53,5% dari SD swasta dan 1%berasal dari MI
dan lain-lain. Ini berarti siswa SMP di Kota
Jambi memiliki latar belakang pengetahuan
yang berbeda-beda.

2) Kerangkakerja scenario pembelajaran


Kerangka kerja dari skenario baru pembelajaran IPA berbasis karakter ini merupakan
kombinasi dari sintaks model pembelajaran,
nilai karakter, serta kegiatan guru dansiswa
yang tertuang dalam skenario pembelajaran
seperti digambarkan pada Gbr 4 berikut:

Persentase (%)

100
80
60
40
20
0
SD Negeri SD Swasta Lain-lain
Asal Sekolah

Gbr. 2. Profilsiswaberdasarkan asal sekolah

Gbr 4. Kerangka kerja skenario baru pembelajaran


IPA berbasis karakter

1752

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Hasil revisi drafproduk selama proses


pengembangan tertera pada Tabel 1 berikut:

3) Validasi Produk

Tabel 1. Jenis revisi dan saran tim ahli selama proses validasi 1drafskenario
No
1

Tim
Validator
Ahli Materi

Komentar

Saran

o Aspekkarakterbelumterintegrasisecarabaikkedalam
proses pembelajaran.
o Nama-namazataditifdandampaknyabelumlengkap.
o Uraianmateribelumdilengkapigambar

o Tambahkan informasi tentang nama-nama zat aditif


buatan, dampaknya terhadap kesehatan dan cara
penanggulangan.
o Tambahkan ilustrasi gambar untuk setiap penjelasan
materi.
o Perhatikanprinsip
ABCD,
untukmembedakanantaraindikatordantujuanpembelajar
an.
o BerikandeskripsisecarajelassintakGIpadaskenario.
o Perlu diberikan contohskrip skenario kegiatan
pembelajaran utk satu kali pertemuan.
o Berikan pembagian waktu secara detail untuk 80 menit
(2 JP)
Perlu dilengkapi, langkah-langkah guru dalam
menerapkan model GIdalambentukskripskenario
Berikan panduan bagi guru agar model pembelajaran
dapat terlaksana dalam waktu yang telah ditetapkan

Ahli
Pembelajaran

o Rumusantujuanbelummenggambarkankaedah
ABCD.
o Sintaks model GIbelum terlihat jelas padascenario.
o Alokasi waktu belum ditulis secara jelas pd setiap
tahapkegiatanpembelajaran

Praktisi IPA
(1)
Praktisi IPA
(2)

Cara penerapan model dalam pembelajaran masih


kurang lengkap
Langkah untuk efisien waktu belum jelas

Komentar dan saran yang diberikan digunakan sebagai bahan untuk perbaikan draf hingga
dihasilkan produkawal. Selanjutnya, produkawal divalidasi lagi oleh tim validasi untuk memperoleh
produk yang sahih sebelum diujicobakan. Beberapa komentar yang diberikan oleh tim validator
tertera pada Tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2. Jenis revisi dan saran tim ahli selama proses validasi 2
No
1

Tim
Validator
Ahli Materi

Ahli
Pembelajaran

Praktisi IPA
(1)
Praktisi IPA
(2)

Komentar

Saran

o Kegiatansiswapadatahappendahuluankurangmenantangbagisiswa

o Berikancontoh yang
menantangdanrelevandengan topic
ygdibahas.

o Distribusi waktu tdk memperhitungkan banyaknya materi dan


volume kegiatan yang hrs dilakukan siswa.
o Belum dilenkapi dengan tugas proyek terkait dengan topik yang
harus dikerjakan siswa di luar sekolah.

o Pembagian
waktu
perlu
memperhatikan materi dan kegiatan.
Misalnya kegiatan inti dengan banyak
kegiatan investigasi perlu diberi
waktu lebih banyak, tidak cukup 55
menit.
o Tambahkan tugas proyek untuk
dikerjakan siswa menggunakan tugas
kontekstual.
o Perlu diperjelas pada skenario
kegiatan pembelajaran.
o Tetapkan penggunaan waktu ke
lapangan pada kegiatan inti.

Di samping memberikan catatan berupa


komentar dan saran-saran perbaikan, tim ahli
juga memberikan penilaian terhadap skenario
menggunakan instrumen yang telah disiapkan
oleh tim pengembang. Penilaian mencakup 6
aspek, yaitu: (a) materi, (b) media/bahan, (c)
karakter, (d) pendekatan, (e) didaktikdan (f)
bahasa. Dengan skor penilian dari 1 sampai 5,
rata-rata penilaian yang diberikan tim ahli pada
ke 6 aspek yang dinilai berkisar antara 45
atau kategori sangatbaik seperti terlihat pada
Gbr. 5.

Dari
hasil
penilaian
tim
ahli
terhadapprodukakhirskenariopembelajaranyan
g dikembangkan seperti tertera pada Gbr 5 d
atas, terlihat rata-rata nilai yang diberikan
cukup tinggi yaitu 4,7 aspek materi4,6 aspek
media, 4,5 pada asepk karakter, 4,6 aspek
pendekatan, 4,5 aspekdidaktik, dan 4,4 untuk
aspek bahasa. Jadi nilai rata-rata adalah 4,55
atau kategori sangat baik. Dengan demikian,
skenario yang dikembangkan sangat layak
untuk diujicobakan.

1753

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Sementara,
responsiswaterhadapprodukskenario
yang
diterapkanmelaluiujicobapadapembelajarannya
tadenganmelibatkan 30 siswa SMP Xaverius I
kelas
VIII
didapatkanbahwasemuasiswasetujuprodukditer
apkandalampembelajarandenganalasansangatm
enyenangkan,
memberikankesempatansiswaaktifdanmeningk
atkankreativitaspesertadidik.
KESIMPULAN
Dari proses pengembangan diperoleh
produk awalskenario dapat diambil beberapa
kesimpulan, yaitu:
1. Produk awal yang dihasilkan pada
penelitian
ini
sangat
valid,sudahmencakupaspekkarakter, sangat
baik dari segi materi maupun pedagogi,
dan dapat diujicobakan di lapangan.
2. Dari
hasil
penilaian
tim
ahlididapatkanprodukskenarioyang
dikembangkanberkatagorisangat
baik
padasemuaaspek penilaian, dengannilai
rata-rata 4,55.
3. Menurut penilaian guru, skenarioyang
dikembangkan
aplikatif
karena
memerlukan bahan-bahan yang tersedia di
lingkungan sekolah dan sangat layak
digunakan sebagai perangkat alternatif
pembelajaran IPA.

Gbr 5. Rata-rata nilai tim ahli terhadapproduk


Selanjutnya,skenario
disimulasikan
dengan melibatkan 20 guru SMP/MTs peserta
PLPG Rayon 8 Jambi tahun 2014.
Hasilpenilaianrata-rata
para
guru
terhadapproduk
yang
dikembangkandapatdilihatpadaGbr. 6 berikut.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih yang sebesarbesarnya
disampaikan
kepada
Rektor
danDirekturPascasarjanaUniversitas Jambiatas
bantuan finansial yang diberikanmelalui Dana
PNBP Universitas Jambi tahun 2014.
Terimakasih juga disampaikan kepada Kepala
SMP Xaverius I Kota Jambi atas fasilitas yang
diberikan.

Gbr. 6.Hasil penilaian guru IPA terhadap produk

Dari hasil simulasi dapat disimpulkan


bahwa
perangkat
pembelajaran
yang
dikembangkan dapat dilaksanakan dengan baik
sesuai
langkah-langkah
pembelajaran.
Beberapa saran disampaikan oleh para peserta
simulai adalah:
1) Tahap pendahuluan jangan terlalu panjang
menggunakan waktu terutama pada tahap
motivasi.
2) Pembagian kelompok disarankan sudah
dilakukan sebelum hari pelaksanaan
kegiatan pembelajaran.
3) Peserta didik diminta untuk membaca
materi dasar dari berbagai sumber sebelum
mengikuti pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Asyhar, R., (2014), Perangkat Pembelajaran IPAKimia
Bercirikan
Model
GI
melalui
Lingkungann Sekolah untuk Siswa Kelas VII
SMP, Makalah Seminar Nasional IPA, 18
Januari 2014 Unesa, Surabaya.
Fauzee, M. S. O., Nazarudin, M. N., Saputra, Y.
M., Sutresna, N., Taweesuk, D., Chansem, W.,
Latif, R. A., Geok, S. K., (2014), The Strategies
for
Character
Building
through
SportsParticipation, International Journal of
Academic Research in Business and Social
Sciences,2 (3), 48-58.

1754

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Hadi, R., (2015), The Integration of Character
Values in the Teaching of Economics: ACase of
Selected High Schools in Banjarmasin,
International Education Studies; 8 (7), 11-20.
Khusniati,
M.,
(2012),
PendidikanKarakterMelaluiPembelajaran IPA,
JurnalPendidikan IPA Indonesia, 1(2), 204-210.
Mahmudi, A., (2011), Developing Students
Character through Mathematics Teaching and
Learning, Proceeding, International Seminar
and
the
Fourth
National
Conference
onMathematics Education 2011 Building the
Nation
Character
through
HumanisticMathematics
Education.

Department of Mathematics Education,


Yogyakarta StateUniversity, Yogyakarta, July
21-23, pp. 503-510.
Nuh, M., (2014), MembangunPeradabanUnggul,
Dikbud, No. 3, Tahun ke-6, 3-12.
Pala, A., (2011), TheNeed for Character Education,
International Journal of Social Sciences and
Humanity Studies, 3(2), 23-32.
Suastra, I. W. danYasmini, L. P. B., (2013),
Efektivitas
Model
Pembelajaran
Fisika
BerbasisKearifan Lokal untuk Mengembangkan
Kreativitas Berpikir dan Karakter Bangsa,
Proseding Seminar Nasional Riset Inovatif I,
21-22 Nopember 2013 di Singaraja, 157-163.

1755

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

STUDI PERANAN GUGUS KARBOKSILAT PADA BIOSORPSI ION Cr(VI) OLEH


BIOMASSA Cladophora fracta
Riski Dwimalida Putri1* Mawardi2, dan Bahrizal2
Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi
2
Program Studi Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang
*Jl. Jambi-Ma. Bulian KM 15 Mendalo Darat Jambi
email: riskidwimalida@gmail.com

ABSTRACT
One of alternative to heavy metal removal in waters is biosorption. The main mechanisms in biosorption are
ionic interactions and complexes formation between metal ions and ligands contained in biomaterial structure.
Potential functional groups act as ligands in biosorption process, and depend on the organism. Potential metal
binding group in algal mat are carboxylate, amine, imidazole and sulfhydryl group. This study was examined
contribution of carboxylate group in Cr(VI) ion biosorption by Cladophora fracta biomass. Carboxylate groups
were modified with esterification reaction. Characterization using FTIR showed decreasing in intensity of -OH
groups and increasing intensity of groups that showed the presence of ester functional groups. Biosorption of
Cr(VI) ion is performed at pH 2 as optimum pH, retrieved decrease absorption capacity from 5.35 mg/g to 4.36
mg/g. It concluded that a carboxylate group has a significant role in biosorption of Cr (VI) ion by Cladophora
fracta.
Keyword: Biosorption, Carboxylate groups, Cr(VI)
ABSTRAK
Salah satu alternatif penghilangan logam berat diperairan adalah melalui proses biosorpsi. Mekanisme utama
yang berlangsung dalam proses biosopsi meliputi interaksi ionik dan pembentukan komplek antara ion logam
dan ligan yang terdapat dalam struktur biomaterial. Gugus fungsi yang potensial berperan sebagai ligan dalam
proses biosorpsi sangat bergantung pada organisme. Pada kelompok alga mat gugus fungsi yang potensial
diantaranya karboksilat, amina, imidazol dan sulfuhidril. Pada penelitian ini dilakukan studi peranan gugus
karboksilat pada biosorpsi ion Cr(VI) oleh biomassa Cladophora fracta. Untuk mengetahui peranan gugus
karboksilat, gugus fungsi tersebut dimodifikasi menjadi ester melalui reaksi esterifikasi dengan metanol dan
asam klorida. Karakterisasi menggunakan FTIR menunjukkan bahwa setelah dimodifikasi terjadi penurunan
intensitas gugus OH dan meningkatnya intensitas serapan pada gugus-gugus yang menunjukkan keberadaan
gugus fungsi ester. Biosorpsi ion Cr(VI) dilakukan pada pH 2 yang merupakan pH optimum penyerapan.
Diperoleh penurunan kapasitas penyerapan dari 5,35 mg/g menjadi 4,36 mg/g. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa gugus karboksilat memiliki peran yang signifikan pada biosorpsi ion Cr(VI) oleh Cladophora fracta
Kata kunci: Biosorpsi, gugus karboksilat, Cr(VI)

menjelaskan mekanisme biosorpsi (Wang,


2009).
Dalam memodifikasi dinding sel
tersebut dapat meliputi treatmen fisika dan
kimia. Treatment fisika meliputi pemanasan,
pendinginan, pengeringan dan liofolisasi.
Sedangkan treatment kimia dapat dilakukan
melalui
pencucian
biomassa
dengan
menggunakan detergen, ikat silang dengan
pelarut organik serta treatmen asam atau basa.
Pretreatment
ini
dapat
memodifikasi
karakteristik permukaan atau gugus dengan
memindahkan atau menutup atau bahkan
mengekspos sisi aktifnya terhadap logam
(Wang, 2009).
Apabila suatu biosorben mengandung
beberapa gugus fungsional yang reaktif

1. PENDAHULUAN
Biosorpsi merupakan salah satu
metode
yang
efektif
dalam
usaha
penanggulangan
logam
berat
yang
terkontaminasi di perairan. Sejumlah penelitian
telah banyak dilakukan untuk mempelajari
proses biosorpsi, mekanisme serta alternatif
biosorben yang dapat digunakan.
Proses biosorpsi dipengaruhi oleh
keadaan dinding sel biomassa dimana terdapat
gugus-gugus fungsi. Modifikasi dinding sel
tersebut dapat mengubah sisi aktifnya terhadap
pengikatan logam. Sejumlah metode telah
dilakukan untuk memodifikasi dinding sel
dengan tujuan untuk memperbesar kapasitas
sisi aktifnya terhadap logam serta untuk
1756

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

terhadap suatu pereaksi (logam), maka untuk


melihat peranan gugus-gugus fungsional
tersebut dalam reaksi dapat dilakukan dengan
cara memodifikasi gugus fungsi dimaksud
kemudian diamati pengaruh modifikasi itu
terhadap jumlah logam yang terserap.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mempelajari mekanisme biosorpsi khususnya
peranan gugus fungsi karboksilat terhadap
penyerapan ion krom(VI) dengan merubah
gugus karboksilat menjadi ester.

Biomaterial yang telah terimobilisasi


dengan ukuran partikel 250 m ditimbang
sebanyak 8 gram, dimasukkan kedalam 175 ml
metanol 99.9 % kemudian ditambahkan HCl
pekat, sehingga konsentrasi HCl akhir 0.1 M.
Campuran dikocok dengan shaker selama 6
jam. Setelah itu biomaterial dibilas dengan
aquades bebas ion, dikeringkan kemudian
diperlakukan dengan menggunakan larutan
simulasi yang disiapkan dari larutan induk.
Pengaruh variasi pH terhadap biosorpsi ion
Cr(VI)
Disiapkan masing-masing biomassa C.
fracta terimmobilisasi dan tertreatment
(biosorben) sebanyak 1 gr dikemas ke dalam
kolom (kolom kerja) dan biomassa tertreatmen
serta termodifikasi. Kemudian dielusi dengan
25 ml larutan Cr(VI) dengan konsentrasi 250
ppm dengan variasi pH 1 2, 3, 4, dan 5 pada
laju alir 1,5 ml/menit. Eluen yang diperoleh
diukur dengan AAS untuk mendapatkan
konsentrasi Cr(VI) yang tidak terserap

2. METODE PENELITIAN
Objek Penelitian
Objek penelitian adalah alga hijau dari
jenis alga Cladophora fracta yang diperoleh
dari perairan Sungai Batang Air Dingin Lubuk
Minturun Kota Padang.
Persiapan biosorben
Alga hijau dipisahkan dari medium
tumbuhnya
kemudian
sebagian
kecil
dipisahkan untuk diidentifikasi dan sisanya
dicuci dengan air untuk menghilangkan sisa
kotoran yang menempel seperti pasir,
keringkan diudara terbuka (tanpa terpapar
cahaya matahari secara langsung). Biomassa
yang telah kering diblender, kemudian diayak
dengan ukuran 250 m. Hasil ayakan dicuci
dengan larutan asam nitrat encer 0,1 M,
kemudian dinetralkan lagi dengan aquades.
Kemudian biomassa kembali dikeringkan
dengan cara yang sama. Biomassa yang kering
disimpan
dalam
desikator
dan
siap
diimobilisasi
dengan
Natrium
silikat
(Mawardi, 2006).

Studi peranan gugus karboksil pada


penyerapan ion Cr(VI)
Disiapkan masing-masing biomassa C.
fracta termodifikasi gugus karboksil dan non
modifikasi gugus karboksil masing-masing
sebanyak 1 gr dikemas ke dalam kolom (kolom
kerja) dan biomassa tertreatmen serta
termodifikasi. Kemudian dielusi dengan 25 ml
larutan Cr(VI) dengan konsentrasi 250 ppm
dan pH 2 pada laju alir 1,5 ml/menit. Eluen
yang diperoleh diukur dengan AAS untuk
mendapatkan konsentrasi Cr(VI) yang tidak
terserap.

Immobilisasi alga hijau dengan natrium


silikat
Disiapkan 90 gram biomassa dan 75
ml H2SO4 5 % dicampur dengan Natrium
Silikat 6 % hingga mencapai pH 2. Pada pH 2,
sejumlah biomassa yang telah disiapkan tadi
ditambahkan kedalam larutan silikat dan
kemudian
diaduk selama
15 menit.
Penambahan Natrium Silikat 6 % akan
menyebabkan pH akan meningkat secara
perlahan sampai pH 7. Gel yang didapat
dicuci dengan air dan diuji dengan BaCl2.
Biomassa yang diimmobilisasi dikeringkan
semalam pada suhu 60oC kemudian digerus
Gardea (1996).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh pH terhadap penyerapan ion Cr
(VI)
pH merupakan salah satu faktor
penting yang mempengaruhi penyerapan pada
biosorpsi. Hal ini dikarenakan interaksi antara
ion logam dengan gugus fungsi pada biomassa
tidak hanya tergantung pada sifat biosorbennya
saja melainkan juga pada sifat kimia dari
larutan logam yang akan diserap.
Pada larutan logam Cr(VI), spesi
terbesar yang berada pada larutan adalah
HCrO4- dan Cr2O72-. sehingga akan berikatan
dengan gugus fungsi yang bermuatan positif
pada biomassa. Pada pH rendah, ion H+

Modifikasi biomassa

1757

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

tersebar banyak di larutan dan menempel pada


gugus fungsi mengakibatkan protonasi gugus
fungsional seperti karboksil dan amino
menghasilkan gugus-gugus yang bermuatan
positif sehingga memungkinkan anion HCrO4dan Cr2O72- terikat.
Selain itu, biosorpsi ion Cr(VI) juga
didahului oleh proses reduksi Cr(VI) dengan
dua mekanisme yaitu:
1.Reduksi langsung
Pada mekanisme ini Cr(VI) direduksi langsung
menjadi Cr(III) melalui kontaknya dengan
gugus pendonor elektron pada permukaan
biomassa.
2.Reduksi tidak langsung
Reduksi tidak langsung ini berlangsung dalam
tiga langkah yaitu:
a.Ikatan antara anion Cr(VI) dengan
gugus bermuatan positif pada
permukaan biomassa.
b.Reduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) dibantu
oleh keberadaan gugus pendonor elektron
pada biomassa.
c.Pelepasan ion Cr(III) atau pembentukan
kompleksnya dengan gugus fungsi yang
bersesuaian.

karboksil. Karboksil memiliki peranan karena


sifat asam keras yang dimilikinya sehingga
dapat berikatan dengan ion logam Cr yang
bersifat basa keras. Sesuai dengan prinsip
HSAB Pearson, asam keras akan berinteraksi
dengan basa keras membentuk kompleks yang
stabil, demikian juga asam lunak akan
membentuk kompleks paling stabil dengan
basa lunak. Interaksi asam kuat dengan basa
kuat merupakan interaksi ionik, sedangkan
interaksi asam lemah dengan basa lemah
merupakan interaksi yang lebih bersifat
kovalen.
Untuk mengetahui peranan gugus
karboksil, gugus karboksil yang terdapat pada
biomassa diubah melalui reaksi esterifikasi
dengan metanol dan asam klorida menjadi
ester yang tidak banyak berperan pada
biosorpsi. Reaksi esterifikasi ini juga akan
menurunkan kemampuan penyerapan logam
berat karena perlakuan ini akan mengurangi
jumlah sisi yang bermuatan positif untuk
pembentukan kompleks dengan Cr(VI) pada
pH asam.

Gugus amino dan karboksil yang


terdapat pada biomassa mengambil bagian
pada reaksi pertama di mekanisme kedua. Pada
pH rendah jumlah ion H+ yang besar dapat
berkoordinasi dengan gugus-gugus tersebut
dan menghasilkan gugus positif yang dapat
mengikat anion Cr(VI). pH rendah juga
mempercepat reaksi reduksi karena reaksi
tersebut dipengaruhi oleh keberadaan H+.
Pada
biomassa
termodifikasi,
pengaruh pH juga terlihat sama. Hal ini terjadi
karena pada saat gugus karboksil mengalami
esterifikasi, gugus amino dan gugus lainnya
masih berperan dengan baik dalam biosorpsi.
Penyerapan terbesar terjadi di pH rendah yaitu
sebesar 4,1375 pada pH 1 dan meningkat
menjadi 4,725 mg/g pada pH 2 dan turun
bertahap pada pH 3 ,4 ,dan 5 sebesar 4,112
mg/g, 2,950 mg/g dan 2,625 mg/g.

Gambar 4: Kurva perbandingan penyerapan


dan
pertukaran
ion
pada
biomassa
termodifikasi dan non modifikasi.
Jumlah Cr(VI) yang terserap oleh
biomassa yang termodifikasi lebih sedikit
dibandingkan
dengan
biomassa
yang
tertreatmen nonmodifikasi (gambar 4). Selisih
dari jumlah Cr(VI) merupakan ion logam
Cr(VI) yang seharusnya terikat pada gugus
karboksil. Hal ini menunjukkan bahwa gugus
karboksil memiliki peranan yang cukup besar
dalam biosorpsi. Perubahan komposisi gugus
fungsi pada biomassa ini dapat dilihat pada
spektrum FTIR (gambar 5).

Peranan
gugus
karboksil
terhadap
penyerapan ion Cr(VI) pada biomassa
C.fracta
Keberadaan gugus fungsi merupakan
faktor utama dalam proses biosorpsi. Dalam
biomassa pada umumnya terdapat tiga gugus
fungsi terbesar dan berpengaruh pada
penyerapan ion logam. Salah satunya adalah
1758

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

termodifikasi, pH menjadi salah satu faktor


yang sangat berpengaruh. Dimana pH
optimum penyerapan berada pada pH 2 dengan
jumlah serapan sebesar 5.775 mg/g dan
menurun dengan pertambahan pH. Serta
diperoleh penurunan kapasitas penyerapan dari
5,35 mg/g menjadi 4,36 mg/g. Sehingga dapat
disimpulkan
bahwa
gugus
karboksilat
memiliki peran yang signifikan pada biosorpsi
ion Cr(VI) oleh C. fracta.
DAFTAR PUSTAKA
Aneja, R. K . Chaudhary, G. Ahluwalia, S. S.
Goyal, D, 2010, Biosorption of Pb2+ and Zn2+
by Non-Living Biomass of Spirulina sp, Indian
J Microbiol 50(4):438442
Bhavantha et al.2009. Biosorption of Cd (II) and Pb
(II) onto brown seaweed, Lobophora variegate
(Lamouroux):
kinetic
and
equilibrium
studies.biodegradation (2009) 20:1-13
Bunluesin.2007. Batch and Continuous Packed
Column Studies of Cadmium Biosorption by
hydrilla verticillata Biomass. Journal of
Bioscience and Bioengineering vol 103,no. 6,
509-513
Davisa, T. A. Voleskya, B. Muccib, A, 2003, A
review of the biochemistry of heavy metal
biosorption by brown algae ,Water Research 37
43114330
Gardea, J.L, et al, 1996. Biosorption of Cadmium,
Cromium, Lead, and Zink by Biomassa of
Medicago Sativa (Alfalfa). Proceedings of the
11 th Annual Converence on Hazardous Waste
Research, Edited by L.E, Erickson, D.L.
Tillison, S.C. Grant dan J.P. McDonald, Kansas
State Univ:Manhattan, KS, Hal 209-214
Gardea-Torresdey, J.I, et.al.,1990. Effect of
Chemical Modification Of Algae Carboxyl
Groups On Metal Ion Binding. Environ. Sci.
Technol. 24, 9, 1372 1378.
Hameed, M. S. Abdel, 2006. Continuous Removal
and Recovery of Lead by Alginate Beads, Free
and Alginate-immolilized Chorella vulgaris,
African Journal of Biotechnology, Vol. 5 (19),
Hal 1819-1823.
Mawardi, 2006. Kajian Pemanfaatan Biomassa
Alga Hijau (Chlorophyta) sebagai Biosorben
Ion-Ion Logam Berat Dalam Limbah Cair,
laporan Penelitian Hibah Bersaing, UNP.
Oves, M., Khan, M. S., Zaidi, A, 2013. Biosorption
of heavy metals by Bacillus thuringiensis strain
OSM29 originating from industrial effluent
contaminated north Indian soil. Saudi Journal of
Biological Sciences 20, 121129
Wang, J. Chen, C, 2009, Biosorbents for heavy
metals removal and their future, Biotechnology
Advances, 27, 195226

Gambar 5: Spektrum Infra Merah untuk


biomassa (A) biomassa terimmobilisasi dan
tertretmen(B) biomassa terimmobilisasi dan
tertreatmen dan termodifikasi

Dari spektrum FTIR biomassa C.


fracta terlihat bahwa terdapat pergeseran
serapan pada bilangan gelombang 3435 cm-1
pada biomassa nonmodifikasi menjadi 3340
cm-1 pada biomassa termodifikasi. Hal yang
sama juga terjadi pada bilangan gelombang
1642 cm-1 menjadi 1645 cm-1 yang
menunjukkan bahwa sebagian karboksil telah
berubah menjadi ester.
Selain itu pada
bilangan gelombang 1088 cm-1 bergeser
menjadi 1086 cm-1 dan intensitasnya
meningkat. Serapan dipanjang gelombang
1050-1280 cm-1 menunjukkan adanya ikatan
C-O eter. Pada biomassa termodifikasi
intensitasnya
meningkat
tajam
yang
menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah
ikatan C-O eter pada biomassa. Hal ini
dikuatkan oleh pernyataan Sastrohamidjojo
(1992) bahwa salah satu ciri adanya ester pada
suatu senyawa adalah adanya rentangan C O
yang muncul dalam kisaran 1300 1000 cm-1.
Peningkatan jumlah ikatan ini merupakan
pengaruh dari reaksi esterifikasi yang
dilakukan pada gugus karboksil. Dimana
gugus COOH diubah menjadi COOR.
Perubahan ini mengakibatkan bertambahnya
jumlah COOR yang ditandai dengan
meningkatnya intensitas serapan pada panjang
gelombang 1086 cm-1.
4. KESIMPULAN

biomassa

Pada biosorpsi ion Cr (VI) oleh


C.fracta terimmobilisasi dan

1759

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

DEVELOPMENT STUDENT WORKSHEET BASED MATACOGNITIVE


TO IMPROVE THE ABILITY OF CRITICAL THINKING
Roberto Putra kusuma Hutagaol
Megister Pendidikan Kimia, Universitas Jambi, Email : amigoh1990@gmail.com
Abstract
Constraints experienced by students in learning is the difficulty in studying the materials that are chemical
calculations .the data is gotten from five respondents who have the differ ent teaching experience the data is
used through interviewing and then analized my using qualitative metode of miles and hubermen.Based on data
analisys, so it is goteen that almost all respondents are agreed that this so important to use the learning set in
the class. They said that the learning set will create an eficien and effective learning proses, There were some
respondents who create their own learning device, but there are some respondents taking the learning set from
website. Based on this research aims to develop students' worksheets based metacognitive viable approach
theoretically and empirically to improve student learning outcomes.This study was included in the research
development , namely the development of student worksheets based metacognitive approach developed by Adie .
In this development study authors also intends to develop critical thinking skills, which is one in metacognitive
skills .
Keywords : Worksheets students , Metacognitive , critical thinking
Abstrak
Kendala yang dialami siswa dalam belajar kimia adalah kesulitan dalam mempelajari materi perhitungan
kimia Data ini didapat dari lima responden yang memiliki perbedaan pengalaman mengajar, data yang
digunakan di peroleh melalui wawancara dan kemudian dianalisis menggunakan Metode kualitatif dan di
analisi menggunakan miles dan hubermen. berdasarkan analisa data, bahwa semua responden setuju bahwa
perangkat pembelajarin ini sangat penting untuk digunkan di kelas. Mereka mengatakan bahwa penggunaan
perangkat pembelajaran akan membuat Proses pembelajaran menjadi efesien dan efektif, Ada beberapa
responden yang membuat perangkat pembelajaran mereka sendiri, tetapi ada beberapa responden mengambil
pembelajaran dari website. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan lembar kerja siswa be pendekatan
metakognitif yang layak secara teoritis dan empiris untuk meningkatkan hasil belajar siswa belajar.penelitian
ini termasuk dalam pengembangan penelitian, yaitu pengembangan lembar kerja siswa pendekatan
metakognitif menggunkana model Addie.dalam penelitian pengembangan ini penulis juga bermaksud untuk
mengembangkan keterampilan berpikir kritis, yang merupakan salah satu keterampilan metakognitif.
Kata Kunci : Lembar kerja Siswa. Metakognitif, Berfikir Kritis .

1.PENDAHULUAN :

pada jenjang sma/smk, meskipun belakangan


ini siswa/i smp sudah diperkenalkan oleh
pelajaran kimia namun tetap saja pembelajaran
kimia di anggap sebagai pelajaran yang sulit,
dalam pembelajaran kimia siswa sering kali
siswa kesulitan dalam memahami dan
mengerjakan
materi
yang
memiliki
perhitungan kimia,hal ini didapat berdasarkan
observasi awal kepada 5 guru kimia yang
mengajar di sma ataupun smk di kota jambi,
perhitungan kimia yang di maksud dalam hal
ini meliputi materi stoikiometri,asam dan
basah, hukum hukum dasar kimia.
Dalam kurikulum SMA Pembalajaran
kimia materi Stoikiometri diajar kan pada saat
kelas X, materi stoikiometri lebih banyak
berbicara
tentang
perhitungan,
dalam
pemahaman dan pengerjaan soal materi
stoikiometri siswa sering kali merasa kesulitan
hal ini disebabkan karna kurang pemahaman

Pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu


proses yang kompleks yang memerlukan
penanganan yang professional, karena tidak
hanya dibutuhkan penguasaan terhadap
keterampilan-keterampilan untuk mengajar
tetapi juga penguasaan terhadap apa yang
diajarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran bukan merupakan suatu hal yang
mudah, karena keberhasilan pembelajaran
ditentukan oleh proses pembuatan dan
pelaksanan keputusan. Pengambilan keputusan
dalam memilih strategi, memilih pendekatan
materi serta keputusan untuk melaksanakan
apa yang dipilih merupakan proses yang perlu
dilakukan guru.
Pembelajaran kimia merupakan pembalajaran yang didapati saat anak-anak berada
1760

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

konsep siswa terhadap materi stoikiometri,dan


lemah nya kemampuan berfikir kritis
siswa.Untuk mengatasi persoalan di atas maka
perlulah
ada
nya
sebuah
perangkat
pembelajaran yang dapat membantu siswa
untuk memahami lebih lanjut mengenai
perhitungan kimia tersebut. Maka sangatlah
perlu seorang guru menyusun perangkat
pembelajaran sesuai kebutuhan siswa nya.
Solusi yang dimunculkan dalam
mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan
menerapkan strategi metakognitif. Strategi
metakognitif merupakan strategi yang dapat
membantu siswa menyadari kesalahan konsep
dan memperbaikinya dengan jalan mengajukan, mohamad nur (2000) mengemukakan
bahwa metakognitif berhubungan dengan
berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri
dan kemampuan mereka menggunakan
strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat,
metakognitif memiliki dua komponen, yaitu
(a) pengetahuan tentang kognisi, dan (b)
mekanisme pengendalian diri dan monitoring
kognitif.
Strategi pembelajaran metakognitif
memiliki manfaat dalam pembelajaran.
Marzano dalam Susantini (2004) menyatakan
bahwa manfaat strategi metakognitif bagi guru
dan siswa adalah menekankan pemantauan
(monitoring) diri dan tanggung jawab siswa.
Metakognisi adalah keterampilan untuk
mengontrol ranah atau aspek kognitif. Huit
dalam Kuntjojo (2009: 1) mengatakan bahwa:
metakognisi meliputi kemampuan untuk
bertanya dan menjawab pertanyaanpertanyaan
seperti, "Apa yang saya ketahui tentang topik
ini? Apakah saya tahu apa yang perlu saya
ketahui? Apakah saya tahu dimana saya
mendapatkan informasi yang dibutuhkan? Apa
strategi dan taktik yang dapat digunakan? Dan
lain sebagainya." Matlin dalam Kuntjojo
(2009: 1): Metacognition is our knowledge,
awareness, and control of our cognitive
process . dalam metakognisi Pencapaian hasil
belajar kognitif erat kaitanya dengan
kemandirian siswa dalam belajar.Kemandirian
siswa tersebut berkaitan dengan keterampilan
metakognitif siswa. Keterampilan metakognitif
dapat membantu mengembangkan kemampuan
berpikir siswa yang selanjutnya juga
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Livingston (1997)
menyatakan
bahwa
metakognitif memegang salah-satu peranan
kritis (sangat penting) agar pembelajaran
berhasil. Metakognitif mengarah
pada

kemampuan berpikir tinggi (high order


thinking) yang meliputi kontrol aktif terhadap
proses kognitif dalam pembelajaran. Aktifitas
seperti
merencanakan
bagaimana
menyelesaikan
tugas
yang
diberikan,
memonitor pemahaman, dan mengevaluasi
perkembangan
kognitif
merupakan
metakognitif yang terjadi dalam sehari-hari.
Keterampilan metakognitif memungkinkan
siswa
untuk
melakukan
perencanaan,
mengikuti perkembangan, dan memantau
proses belajarnya (Imel, 2002). Dalam proses
pembelajaran
nya
metakognitif
akan
menghasilkan
keterampilan,
ketermpilan
Metakognitif
meliputi
empat
jenis
keterampilan
yaitu:
1)
Keterampilan
pemecahan masalah (Problems Sloving),
2)Keterampilan
pengambilan
keputusan
( decision making ), 3)Keterampilan Berpikir
kritis (Critical thinking), 4)Keterampilan
Berpikir Kreatif ( Creative thingking)
Maulana,2008 menjelaskan ada nya
hubungan pengembangan LKS berpendekatan
metakognitif dengan peningkatan kemampuan
befikir kritis pada mahasiswa yang ditelitinya.
Masih banyak penelitian yang terkait tentang
pengembangan LKS berbasis metakognitif
dan sebagian besar digunakan dalam
pengembangan bahan ajar matematika
sedangkan untuk pembelajaran kimia masih
terbilang baru.
Berdasarkan permasalahan tersebut
peneliti bermaksud untuk Mengembangan dan
menghasilkan LKS berpendekatan metakognitif yang layak secara teoretis dan empiris untuk
meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran pada materi stoikiometri untuk meningkatakan kemampuan berfikir kritis siswa.
2.PEMBAHASAN
Pembelajaran IPA, khususnya kimia berfokus
pada bagaimana siswa mengkonstruksi
pengetahuan yang dimilikinya. Pemahaman
terhadap suatu konsep kimia tidak cukup
hanya dengan pemberian informasi dari guru,
tetapi siswa juga harus bisa mengkonstruksi
pemahaman konsepnya sendiri. Menurut teori
konstruktivis guru tidak hanya sekedar
memberikan pengetahuan kepada siswa akan
tetapi siswa harus membangun sendiri
pengetahuannya. Guru hanya memberikan
kemudahan dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan ide-ide mereka sendiri, Untuk
1761

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

membantu siswa dalam mengkonstruksi


pemahamannya, maka diperlukan bahan ajar
yang tepat untuk menunjang proses
pembelajaran tersebut dimana bahan ajar
tersebut dapat menuntun siswa untuk belajar
mandiri dalam hal ini kita dapat menggunakan
LKS ( Lembar Kerja siswa).
LKS merupakan bahan ajar yang
sudah paling sering digunakan oleh guru,
namun pada kenyataan nya penggunaan LKS
tidak sesuai dengan tujuannya, Dari penelitian
yang dilakukan oleh Yasir dkk., dikemukakan
bahwa bahan ajar yang ditemukan di sekolahsekolah kurang membuat siswa paham
terhadap
materi.
Sedangkan
didalam
prosesnya, pembelajaran IPA mengharuskan
siswa merekonstruksi pemahaman konsepnya
sendiri.Hal ini disebabkan bahan ajar yang
digunakan kurang sesuai dengan kebutuhan
siswa. Septiani dkk., dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa LKS yang dibuat oleh
penerbit sudah berisi materi yang lengkap,
akan tetapi kurang dapat memfasilitasi peran
siswa dalam pembelajaran untuk menemukan
dan memahami konsep materi melalui
petunjuk-petunjuk kegiatan dalam LKS. LKS
tersebut lebih banyak berisi soal-soal yang
dapat dijawab hanya dengan menyalin dari
ringkasan materi yang ada, untuk itu sangatlah
perlu bagi seorang guru untuk dapat membuat
bahan ajar yang benar benar sesuai dengan
kebutuhan siswa yang dapat membangun
pengetahuan,memahami
struktur,dan
perkembangan kognisinya sehingga akan
mempermudah proses pembelajarannya
Salah satu faktor lain yang berperan
dalam
kontruksi
pengetahuan
adalah
metakognisi. Metakognisi dapat menyadarkan
peserta didik dalam memahami konsep materi
yang dipelajari, atau dengan kata lain siswa
mengembangkan kontrol eksekutif (executive
control) dalam pembelajaran sehingga siswa
tidak secara pasif merespon pembelajaran.
Pentingnya metakognisi dalam pembelajaran
juga didukung Permendiknas Nomor 41 Tahun
2007 tentang standar proses yang didalamnya
dikatakan
bahwa
didalam
kegiatan
pembelajaran, guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk berfikir, merancang,
menganalisis,
menyelesaikan
masalah,
mengetahui cara dan mengapa hal tersebut
dilakukan, memonitor, dan mengevaluasi. Hal
tersebut merupakan serangkaian kegiatan yang
termasuk bagian dari metakognisi. Novitasari
dkk.,
mendapatkan
kesimpulan
dari

penelitiannya bahwa dengan menggunakan


LKS
metakognisi,
kemampuan
metacomperehension siswa berada pada
kriteria baik dan sangat baik. Selain itu, hasil
belajar menunjukkan hasil 85% siswa tuntas
dalam pembelajaran dan memberikan respon
positif terhadap LKS berbasis metakognisi
yang dikembangkan
Pencapaian hasil belajar kognitif erat
kaitanya dengan kemandirian siswa dalam
belajar.Kemandirian siswa tersebut berkaitan
dengan keterampilan metakognitif siswa.
Keterampilan metakognitif dapat membantu
mengembangkan kemampuan berpikir siswa
yang selanjutnya juga berpengaruh terhadap
hasil belajar siswa. Livingston (1997)
menyatakan bahwa metakognitif memegang
salah-satu peranan kritis (sangat penting) agar
pembelajaran berhasil. Metakognitif mengarah
pada kemampuan berpikir tinggi (high order
thinking) yang meliputi kontrol aktif terhadap
proses kognitif dalam pembelajaran. Aktifitas
seperti
merencanakan
bagaimana
menyelesaikan
tugas
yang
diberikan,
memonitor pemahaman, dan mengevaluasi
perkembangan
kognitif
merupakan
metakognitif yang terjadi dalam sehari-hari.
Keterampilan metakognitif memungkinkan
siswa
untuk
melakukan
perencanaan,
mengikuti perkembangan, dan memantau
proses belajarnya (Imel, 2002).
Dalam proses pembelajaran nya
metakognitif akan menghasilkan keterampilan,
ketermpilan Metakognitif meliputi empat jenis
keterampilan yaitu :
1. Keterampilan
pemecahan
masalah
(Problems Sloving)
2. Keterampilan
pengambilan
keputusan
(decision making)
3. Keterampilan Berpikir kritis (Critical
thinking)
4. Keterampilan Berpikir Kreatif (Creative
thingking)
Dalam penelitian ini juga akan di kaji
bagaimana metakognitif dapat meningkatan
kemampun berfikir kritis siswa. Telah banyak
penelitian terkait pengembangan untuk
meningkatkan kemampun kritis siswa, seperti
yang dikemukakan Azi Nugraha mengatakan
Terdapat pengaruh positif keterampilan proses
terhadap kemampuan berpikir kritis siswa,
yang berarti bahwa keterampilan proses siswa
dalam pembelajaran dengan pendekatan
1762

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

metakognitif berbasis humanistik untuk


menumbuhkan kemampuan berpikir kritis
siswa pada materi himpunan secara nyata
dapat menumbuhkan kemampuan berpikir
kritis siswa. Besarnya pengaruh keterampilan
terhadap kemampuan berpikir kritis sebesar
88,3%.
1.Lembar Kerja Siswa (LKS)
Menurut Hendro Darmodjo dan Jenny
R. E. Kaligis (1992 : 40), LKS atau Lembar
Kerja Siswa merupakan sarana pembelajaran
yang
dapat
digunakan
guru
dalam
meningkatkan keterlibatan atau aktivitas siswa
dalam proses belajar-mengajar.Pada umumnya,
LKS berisi petunjuk praktikum, percobaan
yang bisa dilakukan di rumah, materi untuk
diskusi, Teka Teki Silang, tugas portofolio,
dan soal-soal latihan, maupun segala bentuk
petunjuk yang mampu mengajak siswa
beraktivitas dalam proses pembelajaran.
Pendapat
lainnya
dikemukakan
oleh
Surachman (1998 : 46) yang menyatakan LKS
sebagai jenis hand out yang dimaksudkan
untuk membantu siswa belajar secara terarah
(guided discovery activities). Sedangkan
menurut andi prastowo (2011 : 204) bahwa
dalam LKS, peserta didik akan mendapatkan
materi,ringkasan dan tugas yang berkaitan
dengan materi. Selain itu siswa juga dapat
menemukan arahan yang terstruktur untuk
memahami materi yang diberikan. Dan pada
saat yang bersamaan siswa diberi materi serta
tugas yang berkaitan dengan materi tersebut.
Struktur lembar kegiatan siswa secara
umum terdiri dari judul lembar kegiatan siswa,
mata pelajaran, semester, tempat, petunjuk
belajar, kompetensi yang akan dicapai,
indikator yang akan dicapai oleh siswa,
informasi pendukung, tugas-tugas dan
langkah-langkah kerja serta penilaian. Suatu
tugas yang harus dikerjakan siswa dalam
lembar kegiatan siswa haruslah sesuai dengan
kompetensi dasar yang akan dicapai. Oleh
karena itu sebelum membuat lembar kegiatan
siswa diawali terlebih dahulu dengan
menganalisis kurikulum, standar kompetensi,
kompetensi dasar, indikator serta materi
pembelajaran, menyusun peta kebutuhan
lembar kegiatan siswa, menentukan judul
lembar kegiatan siswa, selanjutnya baru
menyusun lembar kegiatan siswa serta
menentukan alat penilaiannya.
Dalam pengembangan LKS harus lah
kita
melihat
beberapa
hal
meliputi
menganalisis kurikulum, standar kompetensi,

kompetensi dasar, indikator serta materi


pembelajaran, menyusun peta kebutuhan
lembar kegiatan siswa, menentukan judul
lembar kegiatan siswa, selanjutnya baru
menyusun lembar kegiatan siswa serta
menentukan alat penilaiannya. Hal yang paling
penting dalam pengembangan LKS harus lah
memenuhi 3 syarat yaitu : didaktik,kontruksi
dan teknis.
2.Metakognitif
Metakognisi adalah keterampilan
untuk mengontrol ranah atau aspek kognitif.
Huit dalam Kuntjojo (2009: 1) mengatakan
bahwa: metakognisi meliputi kemampuan
untuk
bertanya
dan
menjawab
pertanyaanpertanyaan seperti, "Apa yang saya
ketahui tentang topik ini? Apakah saya tahu
apa yang perlu saya ketahui? Apakah saya tahu
dimana saya mendapatkan informasi yang
dibutuhkan? Apa strategi dan taktik yang dapat
digunakan? Dan lain sebagainya." Matlin
dalam Kuntjojo (2009: 1): Metacognition is
our knowledge, awareness, and control of our
cognitive process . Metakognisi, menurut
Matlin, adalah pengetahuan, kesadaran, dan
kontrol terhadap proses kognitif yang terjadi
pada diri sendiri.Berdasarkan pernyataan di
atas, dapat diartikan bahwa metakognisi
merupakan cara berpikir dan rasa ingin tahu
yang besar tentang apa yang belum dan akan
diketahui, serta berpengaruh terhadap proses
kognitif yang terjadi pada diri sendiri.
Metakognisi merupakan aktivitas berpikir
tingkat tinggi. Dikatakan demikian karena
aktivitas ini mampu mengontrol proses
berpikir yang sedang berlangsung pada diri
sendiri.
Dalam OLRC News, 2004 mengatakan
metakognitif
terdiri
atas
pengetahuan
metakognitif dan pengalaman metakognitif,
Metakognitif
Knowledge
(Pengetahuan
metakognitif) memuat pengetahuan deklaratif
(declarative
knowledge),
pengetahuan
prosedural (procedural knowledge), dan
pengetahuan
kondisional
(conditional
knowledge) (OLRC News, 2004). Pengetahuan
deklaratif yaitu pengetahuan tentang diri
sendiri sebagai pebelajar serta pengetahuan
tentang strategi,keterampilan dan sumbersumber belajar yang dibutuhkannya untuk
keperluan belajar. Pengetahuan prosedural
yaitu
pengetahuan
tentang
bagaimana
menggunakan segala sesuatu yang telah
diketahui dalam pengetahuan deklaratif dalam
aktivitas belajarnya. Pengetahuan kondisional
1763

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

yaitu
pengetahuan
tentang
bilamana
menggunakan suatu prosedur, keterampilan,
atau strategi dan bilamana hal-hal tersebut
tidak digunakan, mengapa suatu prosedur
berlangsung dan dalam kondisi yang
bagaimana berlangsungnya, dan mengapa
suatu prosedur lebih baik daripada prosedurprosedur yang lain. Oleh sebab itu
pengetahuan metakognitif dianggap sebagai
berpikir tingkat tinggi karena melibatkan
fungsi
eksekutif
yang
lebih
mengkoordinasikan perilaku pembelajaran.
Penelitian
mengenai
komponen
pengetahuan dari metakognisi diawali dari
penelitian yang dilakukan oleh Flavell (dalam
Neuenhaus, dkk, 2011), yang membagi
pengetahuan metakognitif dalam 3 variabel
yang berinterelasi yaitu (1) pengetahuan
mengenai diri sendiri dan orang lain sebagai
pembelajar (person variable), (2) pengetahuan
mengenai permintaan tugas (task variable) dan
pengetahuan mengenai strategi (strategy
variable). Sementara, berdasarkan penelitian
Brown (dalam Neuenhaus, dkk, 2011)
dibedakan antara (1) declarative strategy
knowledge, yang merujuk pada pengetahuan
mengenai apa pengukuran yang dapat
dilakukan untuk menyelesaikan tugas, (2)
procedural strategy knowledge mengenai
bagaimana merealisasikan pengukuran, dan
(3) conditional
strategy
knowledge yang
berkaitan dengan efektifitas strategi (kapan
saat yang tepat untuk mengaplikasikan strategi
proses pembelajaran).
Self Regulation (Pengalaman )yang
dimaksud adalah proses yang dapat diterapkan
dalam mengontrol aktivitas kognitif dan
mencapi tujuan kognitif itu sendiri pada saat
proses pembelajaran. Objek berpikir dalam
keterampilan metakognisi adalah proses
berpikir yang terjadi pada diri sendiri.
Pengalaman
metakognitif
melibatkan
penggunaan strategi metakognitif, Strategi
metakognitif adalah proses sekuensial untuk
mengontrol aktivitas kognitif dan memastikan
bahwa tujuan kognitif telah dipenuhi. Proses
ini menurut (OLRC News, 2004) metakognisi
membantu untuk mengatur dan mengawasi
belajar dan terdiri dari:
1. Perencanaan
(planning),
yaitu
kemampuan merencanakan aktivitas
belajarnya;
2. Strategi mengelola informasi (information
management
strategies),
yaitu
kemampuan strategi mengelola informasi

berkenaan dengan proses belajar yang


dilakukan;
3. Memonitor
secara
komprehensif
(comprehension
monitoring),
yaitu
kemampuan dalam memonitor proses
belajarnya dan hal-hal yang berhubungan
dengan proses;
4. Strategi
debugging
(debugging
strategies), yaitu strategi yang digunakan
untuk membetulkan tindakan-tindakan
yang salah dalam belajar; dan
5. Evaluasi (evaluation), yaitu mengevaluasi
efektivitas strategi belajarnya, apakah ia
akan mengubah strateginya, menyerah
pada keadaan, atau mengakhiri kegiatan
tersebut.
3.Befikir Kritis
Berpikir merupakan satu keaktifan
pribadi
manusia
yang
mengakibatkan
penemuan yang terarah kepada suatu tujuan.
Berpikir juga merupakan suatu kegiatan mental
untuk
membangun
dan
memperoleh
pengetahuan.
Dalam
suatu
proses
pembelajaran, kemampuan berpikir peserta
didik
dapat
dikembangkan
dengan
memperkaya pengalaman yang bermakna
melalui persoalan pemecahan masalah.
Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Tyler (Mayadiana, 2005)
mengenai pengalaman atau pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk memperoleh keterampilan-keterampilan
dalam
pemecahan
masalah,
sehingga
kemampuan berpikirnya dapat dikembangkan.
Betapa pentingnya pengalaman ini agar peserta
didik mempunyai struktur konsep yang dapat
berguna
dalam
menganalisis
serta
mengevaluasi suatu permasalahan. Salah satu
kemampuan berpikir yang termasuk ke dalam
kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah
kemampuan berpikir kritis. Kemampuan
berpikir kritis dapat dikembangkan melalui
pembelajaran matematika di sekolah ataupun
perguruan tinggi, yang menitikberatkan pada
sistem, struktur, konsep, prinsip, serta kaitan
yang ketat antara suatu unsur dan unsur
lainnya. Matematika dengan hakikatnya
sebagai ilmu yang terstruktur dan sistematis,
sebagai suatu kegiatan manusia melalui proses
yang aktif, dinamis, dan generatif, serta
sebagai ilmu yang mengembangkan sikap
berpikir kritis, objektif, dan terbuka, menjadi
sangat penting dikuasai oleh peserta didik
dalam menghadapi laju perubahan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat.
1764

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Berpikir kritis dapat terjadi ketika seorang


membuat keputusan atau memecahkan suatu
masalah. Ketika seorang mempertimbangkan
apa-kah akan mempercayai atau tidak mempercayai, melakukan atau tidak melakukan suatu
tindakan, atau mempertimbangkan untuk
bertindak dengan alasan dan kajian yang kuat,
maka ia sedang menggunakan cara berpikir
kritis. Seorang yang berpikir kritis akan
mengkaji ulang apakah keyakinan dan
pengetahu-an yang dimiliki atau dikemukakan
orang lain logis atau tidak. Demikian juga
seorang yang berpikir kritis tidak akan
menelan begitu saja kesimpulan-kesimpulan
atau hipotesis yang dike-mukakan dirinya
sendiri atau orang lain. Beyer (dalam
Hassoubah, 2004) mengatakan bahwa keterampilan berpikir kritis meliputi beberapa
kemampuan sebagai berikut :
1. Menentukan kredibilitas suatu sumber.
2. Membedakan antara yang relevan dari yang
tidak relevan.
3. Membedakan fakta dari penilaian.
4. Mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi
yang tidak terucapkan.
5. Mengidentifikasi bias yang ada
6. Mengidentifikasi sudut pandang
7. Mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk
mendukung pengakuan.

ketahui; apa yang diperlukan untuk mengerjakan; menitikberatkan pada aktivitas belajar;
membantu dan membimbing siswa ketika
mengalami kesulitan; serta membantu siswa
dalam mengembangkan konsep diri mereka
ketika sedang belajar matematika. Dan
Suzana mendefinisikan pembelajaran
dengan pendekatan ketrampilan metakognitif
sebagai pembelajaran yang menanamkan
kesadaran bagaimana merancang, memonitor,
serta mengontrol, tentang apa yang mereka
ketahui; apa yang diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana melakukannya. Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif
menitik beratkan pada aktifitas belajar siswa;
membantu dan membimbing siswa jika ada
kesulitan; serta membantu siswa untuk
mengembangkan konsep diri apa yang
dilakukan saat belajar matematika.Dalam buku
yang berjudul How Student Learn (Hal
176,2005) Suzanne menyatakan adanya
manfaat dari pendekatan pembelajaran
metakognitif yaitu:
A metacognitive approach to instruction can
help students learn to take control of their own
learning by defining learning goals and
monitoring their progress in achieving them.
Pendekatan metakognitif instruksi
dapat membantu siswa belajar untuk
mengendalikan pembelajaran mereka sendiri
dengan mendefinisikan tujuan pembelajaran
dan memantau kemajuan mereka dalam
mencapai mereka.
Ada dua konteks yang mesti dipahami
agar siswa mampu belajar secara baik dalam
proses pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan ketrampilan metakognitif, yaitu
siswa dapat memahami dan menggunakan
strategi kognitif dan strategi kognitif
metakognitif selama proses pembelajaran
berlangsung. Menurut Hartono, pengertian
strategi
kognitif
adalah,
penggunaan
ketrampilan-ketrampilan intelektual secara
tepat oleh seseorang dalam mengorganisasi
aturan-aturan
ketika
menanggapi
dan
menyelesaikan soal, sedangkan strategi
kognitif metakognitif adalah mengontrol
seluruh aktivitas belajarnya, bila perlu
memodifikasi strategi yang biasa digunakan
untuk mencapai tujuan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan metakognitif, siwa diharuskan memiliki kemampuan
untuk bertanya dan menjawab pada diri sendiri

4.Pendekatan Metakognitif
Pendekatan
pembelajaran
dapat
diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang
kita terhadap proses pembelajaran, yang
merujuk pada pandangan tentang terjadinya
suatu proses yang sifatnya masih sangat
umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi,
menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.
Pendekatan adalah jalan atau arah
yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam
mencapai
tujuan
pembelajaran
dilihat
bagaimana materi itu disajikan. Dilihat dari
pendekatannya, terdapat dua jenis pendekatan
pembelajaran,
yaitu:
(1)
pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat
pada siswa (student centered approach) dan
(2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi
atau berpusat pada guru (teacher centered
approach).
Pembelajaran dengan pendekatan
metakognitif menurut Kramarski dan Zoldan
(2008) adalah pembelajaran yang menanamkan
kesadaran bagaimana merancang, memonitor,
serta mengontrol tentang apa yang mereka
1765

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

terkait masalah atau soal yang mereka hadapi.


Huit menyatakan beberapa pertanyaan yang
tercakup dalam metakognisi sebagai berikut:
a. Apa yang saya ketahui tentang materi, topik
atau masalah ini ?
b. Tahuka saya apa yang dibutuhkan untuk
mengetahuinya?
c. Tahukah sya dimana dapat memperoleh
informasi atau pengetahuan ?
d. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
mengetahuinya?
e. Strategi-strategu atau taktik-taktik apa yang
dapat digunakan untuk mempelajarinya?
f. Dapatkah saya pahami dengan hanya
mendengar, membaca, atau melihat?
g.
Akankah
saya
tahu
jika
saya
mempelajarinya secara cepat?
h. Bagaimana saya dapat membuat sedikit
kesalahan jika saya membuat sesuatu?
Metakognisi sebagai pengetahuan dan
keterampilan tentu dapat diajarkan, dilatihkan,
atau dikembangkan. Osman & Hannafin
(dalam Huitt, 1997) mengemukakan dua
kriteria untuk mengklasifikasikan strategistrategi pelatihan metakognitif, yakni: (a)
pendekatan pelatihan (training approach); dan
(b)
hubungan
dengan
isi
pelajaran
(relationship to lesson content). Mereka
menggambarkan strategi-strategi pelatihan
metakognitif berdasarkan pendekatannya, ada
yang melekat (embedded) atau tergabung
dalam isi pelajaran dan ada yang diajarkan
secara terpisah (detached) dari materi
akademik. Berdasarkan hubungannya dengan
konten/isi pelajaran, startegi-strategi mungkin
tergantung pada (dependent on), atau bebas
dari (independent of) konten/isi pelajaran.
Strategi content-dependent terfokus secara
eksplisit pada konsepkonsep yang dipelajari
dari konten khusus. Sebaliknya strategi content
dependent adalah bebas dari konten, yakni
strategi umum yang tidak spesifik pada materimateri akademik tertentu.
3.PENUTUP
Pembelajaran IPA, khususnya kimia
berfokus pada bagaimana siswa mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya. Pemahaman terhadap suatu konsep kimia tidak
cukup hanya dengan pemberian informasi dari
guru, tetapi siswa juga harus bisa mengkonstruksi pemahaman konsepnya sendiri.
Menurut teori konstruktivis guru tidak hanya

sekedar memberikan pengetahuan kepada


siswa akan tetapi siswa harus membangun
sendiri
pengetahuannya.
Guru
hanya
memberikan kemudahan dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan
atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, salah
satu yang dapat di lakukan seorang guru ialah
dengan membuat sebuah LKS yang benarbenar mampu membantu siswa dalam membangun pengetahuannya dan meningkatkan
kemampun berfikir kritis siswa secara mandiri,
dan ketercapaian semua itu dapat diperoleh
dengan mengembangan LKS berpendekatan
metakognitif. Yang telah teruji dari berbagai
penelitian yang telah dilakukan beberapa
peneliti sebelumnya. Maka sangat lah penting
untuk penelitian ini terkait pengembangan
berpendekatan metakognitif ini dilakukan pada
setiap jenis pembelajaran yang ada dengan
melihat peningkatan hasil belajar serta
peningkatan setiap keterampilan yang ada
dalam metakognitif itu sendiri.
4.DAFTAR PUSTAKA
Yasir, Mohammad., Endang Susantini, dan Isnawati.
Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berbasis
Strategi Belajar Metakognitif Untuk Meningkatkan
Hasil Baelajar Siswa Pada Materi Pewarisan Sifat
Manusia, BioEdu.2, 2013.
Firda Karya Novitasari, dkk., Pengembangan Lembar
Kegiatan Siswa Berbasis Strategi
Metakognitif Pada Materi Pewarisan Sifat, BioEdu, 2,
2013, h.46
Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis. (1992).
Pendidikan IPA II. Jakarta: Depdikbud
Andi Prastowo, Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar
Inovatif: Menciptakan Metode Pembelajaran yang
Menarik dan Menyenangkan, ( Yogyakarta: Diva
Press,2011), hlm 204.
Huitt,
William
G.
(1997).
Metacognition.
[Online].Tersedia:http://tip.psychology.org/meta.html.
OLRC News. (2004) Metacognition. [Online]. Tersedia
pada: Error! Hyperlink reference not valid./
ohioeff/resource.doc.
Neuenhaus, N., Artelt, C., Lingel, K., & Schneider, W.
(2011). Fifth Graders Metacognitive Knowledge:
General or Domain Spesific? European Journal of
Psychology and Education 26:163178. DOI:
10.1007/s10212-010-0040-7.
Kramarski, B dan Zoldan, S. (2008). Using errors as
spingboard for enhancing Mathematical Reasoning
With Three Metacognitive Approaches. Proquest
Journal.
Huitt, William G. 1997. Metacognition. Available:
http://tip.psychology.org/ meta.html.
M. Suzanne and John D. Bransford. How Students
Learn:History in the Classroom. (Whasington DC :
National Academic press,2005),hal.176

1766

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

Nanodot Catalyst S/TiO2 : Photocatalytic degradation of Methanyl Yellow azo dye


Rudy Situmeang
Department of Chemistry, Lampung University,
Jl. Sumantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung 35145, Indonesia
* Corresponding author. Tel/Fax : +62-82180081896/721-704625
Email address : rudy.tahan@fmipa.unila.ac.id

Abstract
The photocatalytic degradation of Metanil Yellow azo dye was carried out in aqueous solution using S/TiO 2 as
photocatalyst under UV light irradiation. The nanoparticles of S/TiO2 were prepared with S/Ti molar ratio of 1
: 7 by a sol gel and sonocation method simultaneously and were characterized by X-ray powder diffraction
(XRD), Scanning electron Microscope (SEM), and Transmission electron Microscope (TEM). The XRD result
show the existence of anatase crystalline phase and cell parameters are a = b = 3,785 and c = 9,506 using
Rietveld Calculation . The grain size is 8 nm determined by TEM analysis. The activity of the nanodot catalyst
on Methanyl Yellow degradation was excellent using UV-light irradiation, 68.5%.
Keywords: sulphur-titania; photocatalysis; azo-dye, Brnsted Lowry and Lewis acid sites

blue 21, direct blue 80 and vat violet that have


a COD/BOD ratio of 59.0, 17.7 and 10.8,
respectively [5].
Other methods in handling dye-stuffs
of industrial effluents are flocculation,
coagulation,
precipitation,
membranefiltration,
electrochemically
destruction,
irradiation, ion-exchange, ozonalization, and
adorption [6]. Unfortunately, even those
methods are quite good to eliminate the
colour, there are some weaknesses, for
examples, the usage of too many chemicals,
and the formation of sludge which causes the
formation of both hazardous and poisonous
materials. As a consequent, an alternative

1. INTRODUCTION
Colouring in textile industries became
an attractive process due to producing an
interesting or specific textiles. However, these
results are particularly identified with the use
of reactive dyes and up to 30% of the used
dye-stuffs remain in the spent dye-bath after
the dyeing process [1]. The high consumption
of reactive dyes, mainly in the cotton-textile
industries, cause environmental and aesthetic
problems. A significant percentage (10-40%)
of the dye remains in its hydrolyzed and
unfixed form in the exhausted dye bath or is
removed in the washing liquors [2].
Types of dyes and pigments are
produced annually worldwide, about 10,000
and over 700,000 tons of dyes or pigments, of
which about 20% are in industrial effluents
from the textile dyeing and finishing processes
[1]. Unfortunately, many of these synthetic
dye-stuffs cannot be treated successfully by
conventional methods due to their complex
polyaromatic structure and hence cause health
problems [3]. There is also concern that the
aromatic amines, which are formed as
metabolites by reductive fission of the azo
bond under anaerobic conditions, could have a
more serious toxic hazard than the intact dye
molecules [4].
In case of conventional treatment such
as biological method, it will no longer be
acceptable since 53% of 87 colour-dyes are
identified as non-biodegradable. Pagga and
Brown [4] reported that the residual colour is
usually due to insoluble dyes such as reactive

method to handle industrial effluents from


dye-stuffs effectively is needed to
degradate that pollutant [7]. The promising
method is photodegradation-method based
on photocatalysis.
In photodegradation reaction, titania
(TiO2) is a well-known material. Since this
compound has the superior both physical and
chemical properties, it makes
an
environmental friendly photocatalysts [7].
However, this material has a relatively high
band-gap energy (3,2 eV) due to its
application to photodegradate the pollutants in
environment [8].
In order to deminish the band-gap
energy of titanium oxides, many researchers
have done varies modification by adding
metals (Cu, Co, Ni, Cr, Mn, Mo, Nb, Fe, Ru,
Au, Ag, Pt) or non-metals (N, S, C, B, P, I, F)
into TiO2 matrices. These efforts have been
1767

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

succeeded to decrease the band-gap energy of


TiO2 [9]. The main usage of titania is to
decompose the toxic organic compound like
dyes used in the textile industry [10]. Some
investigations of photodegradation dyes using
TiO2 nanoparticles under UV light irradiat-

Titanium isopropoxide (Merck, 97%),


tween-80 (Merck, 92% purity) , H2SO4 1M
(prepared from conc. H2SO4, Merck),
isopropanol (Merck, HP), and bidest as a
solvent.

ion give a promising results such as


immobilized TiO2 ables to decolourize
three types of azo-dyes with 94 %
conversion for 6 hours [11], TiO2
suspension is also abling to decolourize
VatYellow-4 dye with 84% conversion for
2 hours [12], and TiO2 under alkaline
conditions can degradate the Basic Blue41 with 70% conversion for 30 minutes
[13].
Another result proved that the TiO2
modified photocatalysts ameliorate their
activity, such as S-doped TiO2 under the
visible light irradiation, its activity is
increased by 15% compare to TiO2 activity
to decompose methylene blue [14], and Ndoped TiO2 under the visible light
irradiation, its activity is about 19 times

2.2. Instrumentations
The instruments used for characterizations were Philips X-ray diffractometer (XRD)
model PW 1710 with Cu-K radiation used for
structural and crystalline phases identification,
SEM-EDS JEOL JSM-6510la for morphological and composition identifications, TEM for
crystallographic and grain size of microstructures, FTIR Spectrometer Shimadzu Prestige21 for identifying the presence of functional
groups, and UV-Vis spectro-photometer for
analysizing the azo-dye concentration.
2.3. Procedures
S/TiO2 Preparation. 5 g tween-80 is put into
beaker glass and Isopropanol is then poured as
many as 50 mL while stirred for 10 minutes
until homogenous solution formed. Then, 3.5
mL Ti-isopropoxide 97% is added to the
homogenous solution, dan stirred again for 20
minutes until all homogenous solution formed.
Further, H2SO4 1M solution is added while
stirring for 12 hours. Finally the solution is
dried in oven in two stages which are, first
stage to eliminate isopropanol by setting
temperature to 70-80C for 24 hours. The
second stage oleic acid contained in Tween-80
is eliminated by heating in 110-120C until
powder formed. Then it is calcined gradually
until 400oC [14,18].

higher than that of TiO2 in decomposing


Methylene Orange [15].
Beside dopant addition, photocatalyst
activity is also augmounted by changing its
particle size to be smaller or finer [16]. Since
particle size determine the surface area of
photocatalyst, the smaller the particle size the
more the surface area. It means the chance of
contact between dyes molecules and catalysts
surfaces is more intense. Therefore, method of
preparation due to obtain the finer particle size
of photocatalyst is very crucial.
CdS QDs embedded mesoporous TiO2
photocatalyst reached 45% after 15 min irradiation comparing to that of C-doped TiO2, the
activity was enhanced by approximately 84%
[17]. For the pure TiO2 sample, only about 9%
NO gas was removed, indicating its low photoresponse to simulated solar light irradiation.
In this chance, the preparation of
nanodot S/TiO2 and its photocatalytics
activity to decolourize the Methanyl Yellow
under UV light irradiation with varied
exposure time are reported.

Characterization of S/TiO2
X-Ray diffractogram analysis. X-ray powder
diffraction pattern of the sample was recorded
from 2 = 15 to 70o on a Philips diffractometer
Model PW1710 using Cu K radiation at a step
0.05o/sec. The phase identification was
performed using Search and Match method by
comparing the X-ray pattern of the sample to
those of the standards in the ICDD-JPCD files
[19], and identified phase was quantified using
Rietveld method [20 22].
SEM analysis. The surface morphology and
composition identifications were characterized
using SEM-EDS JEOL JSM-6510la. The
analysis was conducted on polished and

2. EXPERIMENTAL SECTION
2.1. Materials

1768

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

thermally etched samples


magnifications [23]

with

different

Quantitative analysis of S/TiO2 material using


Rietveld method [20] is presented in Fig. 2,
and show very good agreement between the
observed and calculated, as reflected by very
small differences of the plots (the green line
below).

TEM analysis. In order to obtain high-quality


of images, it has to be careful to prepare the
sample such as clean and concentrate solution.
The sample was then carefully splintered into
very small crystallites in an agate mortar.
Then, the crystallites were dispersed in
acetone. A drop of suspension was transferred
to a porous carbon film supported on a metal
grid and acetone removed by evapoartion [24].
UV-Vis
Spectrophotometry.
After
photocatalysis of methanyl yellow under UV
light irradiation, the wavelength maximum
(max) is determined by scaning in the range of
350 800 nm and then this max is used to
measure the adsorption of methanyl yellow
after photocatalysis. Finally, concentration of
methanyl yellow after degradation is obtained
by interpolation % adsorption data
into
standard curve of varied concentration of
methanyl yellow versus % its adsorption based
on the Lambert-Beer law [25].

Figure 2. Quantitative analysis of Si doped TiO2


diffractogram fitted using Rietveld method. The
observed and the calculated data are shown by the
(+) black and red signs, respectively. The blue
strips (below) refers to point series of hkl and the
green line is the difference profile between
observed and calculated data.

From the refinement of S-doped TiO2 using


Rietveld method, it showed that the goodness
of fitting (GoF or 2) value obtained satisfy the
required values of 4 [27] and cell parameters
such as a=b= 3,78480 and c= 9,50630 .
The space group is I41/amd with cell-angle
= = = 90. These values is closed to those
of TiO2 anatase phase obtained by Howard et
al., [28].

3. RESULT AND DISCUSSION


X-Ray Diffraction Analysis
The X-ray diffraction analysis was carried out
on S doped TiO2 sample. The diffraction
pattern of S/TiO2 with some labels related to
the predicted phase of the sample was
presented in Fig. 1. With the aid of search and
match method, using standard TiO2 (PDF 21-

Microstructure Analysis
As generally known, the surface characteristic
plays very important roles in the application of
solid material in the process involving the
surface interaction, such as photocatalytic
reaction. For this reason, the sample
investigated in this study were characterized
using SEM and TEM techniques [29-32]. The
SEM and TEM micrographs of the sample is
shown in Fig. 4 and 5, respectively.

1272 for anatase phase and PDF 21-1276


for rutile phase), it was found that the sample
is fitted to anatase phase by comparing and
matching 3-4 representative peaks [26].

As can be seen in Fig. 4, SEM micrograph of


the sample displays quite significant
inhomogenous surface in terms of topography
and morphology of the sample. The grain size
and shape of S/TiO2 phase is impossible to
identify.
This
is
happen
because
agglomeration of the particles formed, leading
to poor separation of the particles.

Figu
re 1. Diffractogram S-doped TiO2 (with 0.02
mole of sulphur; and a = anatase phase) and
calcined at 400oC

1769

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

70%, eventhough the conditions for preparing


S-doped TiO2 have not yet been optimized as
shown in Figure 6 and 7 below.

Figure 4. SEM micrograph of S/ TiO2 with 5k


magnification.

Figure 6. The effect of UV light irradiation


exposure time on the concentration of
methanyl yellow azo-dye in the sample

As shown in Figure 6, the concentration of


methanyl yellow in the sample decreases
gradually as the exposure time to UV light
irradiation became longer. The great
decrease of methanyl yellow concentration
was begun at the exposure time of 30
minutes. It become plateau at 40 50
minutes and its concentration is 31.5 ppm.
As a consequence, the photodegradation of
methanyl yellow increases gradually and
reaches maximum as much as 70% at 50
minutes of exposure time as shown in
Figure 7 below.

Figure 5. TEM micrograph of S-doped TiO2


In Fig. 5, TEM micrograph of S/TiO2 displays
clearly and homogenously the grain of the
sample. Fortunately, the existence of crystalline phase as a unit cell with firmed particle
size and shape are hard easy to be identified.
To predict the grain size, the Vernier Caliper
method was applied. According to this method, the grain size can be defined as the average size at five different spots (marked in
Fig.5). Using this method, it was found that
the average grain size of the sample is 8.3 nm.
Photodegradation Analysis
We evaluated the photocatalytic activities of Sdoped TiO2 powder as a function of exposure
time (10 50 minutes, with ramp of 10) under
UV light irradiation at wavelengths of 422
nm.

Figure 7. The percentage degradation of


Methanyl yellow after varied exposure time to
UV light irradiation
4. CONCLUSION
It can be concluded that S-doped TiO2
photocatalysts is succeded to be prepared. The
S-doped TiO2 powder, which shows relatively
high photocatalytic activity under UV light
irradiation at wavelengths 422 nm, may have a

From photodegradation activity tests of


methanyl yellow azo-dye under UV light
irradiation, it can be said that S/TiO2 is
active to photodegrade methanyl yellow.
Its activity is significanty good, around
1770

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
synthesis of N-doped TiO2 photocatalyst with high
visible-light activity. J. Alloys Comp., vol. 502,
pp. 289294, 2010.
[16]. Gui-Sheng Li, Die-Qing Zhang, and Jimmy C. Yu.
A New Visible-Light Photocatalyst: CdS Quantum
Dots Embedded Mesoporous TiO2. Environ. Sci.
Technol., vol. 43, pp. 70797085, 2009.
[17]. Y. Huang, W. K. Ho, S. C. Lee, L. Z. Zhang, G. S.
Li, and J. C. Yu. Effect of carbon doping on the
mesoporous structure of nanocrystalline titanium
dioxide and its solar-light-driven photocatalytic degradation of NOx. Langmuir, vol. 24, pp. 3510
3516, 2008.
[18]. Hyeok Choi, Elias Stathatos, and Dionysios D.
Dionysiou. Solgel preparation of mesoporous
photocatalytic TiO2 films and TiO2/Al2O3
composite
membranes
for
environmental
applications . Appl. Catal. B: Environmental,
vol.63, pp. 6067, 2006.
[19]. J. Drbohlavova, R. Hrdy, V. Adam, R. Kizek, O.
Schneeweiss, and J. Hubalek. Preparation and
Properties of Various Magnetic Nanoparticles.
Sensors, vol. 9, pp. 2352 2362, 2009.
[20]. H.M. Rietveld. J. Appl. Crystallogr.,Vol. 2, pp. 65
71, 1969.
[21]. R. A.Young. The Rietveld Method. International
Union of Crystallography, Oxford University Press,
1993.
[22]. B.D.Cullity. Elements of X-Ray Diffraction, 2nd,
ed. Addison-Wesley, London, p. 102, 1978.
[23]. L. D. Hanke. Handbook of Analytical Methods for
Materials.Materials Evaluation and Engineering
Inc. Plymouth, pp. 35 38, 2001.
[24]. L. A. Bendersky and F.W. Gayle. Electron diffraction using transmission electron microscopy. National Institute of Standards and Technology. Gaithersburg. MD 20899 - 8554, 2001.
[25]. ASTM 4824-13. Test methodFor determination of
catalyst acidity by pyridine chemisorption, MNL
58-EB. 2013.
[26]. J. D. Hanawalt, H. W. Rinn and L.K.Frevel. Ind.
Eng. Chem. Anal. vol.10, p. 457, 1938.
[27]. E.H. Kisi and E.A. Gray. J. Appl. Cryst. Vol. 31, p.
363, 1998.
[28]. C.J. Howard, T.M. Sabine, and F. Dickson. Acta
Crystallogr., Sect. B: Struct. Sci., B47, pp. 462
468, 1991.
[29]. L. D. Hanke. Handbook of Analytical Methods for
Materials, Materials Evaluation and Engineering
Inc., Plymouth, pp. 3538. 2001.
[30]. E.P. Parry. J. Catal., vol. 2 (5), 371379, 1963.
[31]. Jun Kawai, Hideshi Ishii, Yasuto Matsui, Yasuko
Terada, Teruo Tanabe, and Iwao Uchiyama. Risk
assessment of TiO2 photocatalyst by individual
micrometer-size particle analysis with on-site combination of SEM-EDX and SR-XANES microscope . Spectrochim. Act. Part B, vol. 62, pp. 677
681, 2007
[32]. L. Zhang, B. Miller, and P. Crozier. In Situ
Analysis of TiO2 Photocatalysts under Light
Exposure in the Environmental TEM. Microscopy
and Microanalysis, vol. 18 (2), pp. 1126 - 1127,
2012.

possible wide range of applications. We expect


that the activity will
be more improved by optimizing conditions
for both preparing and varying the dopant
content of the S-doped TiO2 powders.
5. REFERENCES
[1]. P.Cooper (Ed.). Colour in Dyehouse Effluent. The
Society of Dyers and Colorists, Alden Press,
Oxford, 1995.
[2]. V.Lopez and M.C. Gutierrez.
Decolourisation of simulated reactive dye bath effluents
by electrochemical oxidation assisted by UV light.
Chemosphere, vol. 62, pp. 106-112, 2006.
[3]. U. Pagga and D. Brown. The degradation of dye,
Behavior of dyestuffs in aerobic biodegradation
tests. Chemosphere, vol. 15, pp. 479-491, 1986.
[4]. B. Dyes Clover. Environmental Chemistry.
Reprinted from: Kirk- Othmer Encyclopedia of
Chemical Technology, 4th Edn., John Wiley &
Sons, Inc. New York, vol. 8, pp. 753-784, 1993.
[5]. O. Marmagne and C. Coste. Colour removal from
textile plant effluents. American
Dyestuff
Reports, vol. 85, pp. 15-21, 1996.
[6]. I.M. Banat, P. Nigam, D. Singh, and R. Marchant.
Microbial Decolorization of Textile-Dye Containing affluents: a Review. Biores. Techn., vol.
58, pp. 217-227, 1996.
[7]. L. Rong, L.N.S. Dao, and W.H. Chang. Chin.Chem.
Lett., vol. 17 (8), pp. 10891096, 2006.
[8]. M. Hoffman, S. Martin, W. Choi, and D. Bahnemann. Environmental Application of Semiconductor Photocatalysis, Chem. Rev., vol. 95. pp.
69-96, 1995.
[9]. R. Asahi, T. Morikawa, T. Ohwaki, K. Aoki, and Y.
Taga. Visible-light photocatalysis in nitrogendoped titanium dioxide. Science. Vol. 293 , pp.
269-271, 2001.
[10]. D. Cani, and P.P. Pescarmona, J. Catal.,311, 404
411, 2012.
[11]. A.R. Khataee, M.N Pons
and O.Zahraa.
Photocatalytic degradation of three azo dyes using
immobilized TiO2 nanoparticles on glass plates
activated by UV light irradiation: influence of dye
molecular structure. J. Hazard. Mater., vol. 168 (1)
pp.451- 457, 2009.
[12]. S.K. Kavitha and P.N. Palanisamy, Photocatalytic
Degradation of Vat Yellow 4 Using UV/TiO2.
Modern Appl. Scie., vol. 4 (5), pp. 130 142,
2010.
[13]. Abdulraheem Giwa, Peter Obinna Nkeonye, Kasali
Ademola Bello, and Kasali Ademola Kolawole.
Photocatalytic Decolourization and Degradation
of C. I. Basic Blue 41 Using TiO2 Nanoparticles.
J.Environm. Protect., vol. 3, pp.1063-1069, 2012.
[14]. Teruhisa Ohno,
Akiyoshi Miyako, Tsutomu
Umebayashi, Keisuke Asai, Takahiro Mitsui and
Michio Matsumura. Preparation of S-doped TiO2
photocatalysts and their photocatalytic activities
under visible light. Applied Catalysis A: General,
vol. 265 , pp.115121, 2004.
15. Deyong Wua, Longa Mingce, Cai Weimin, Chen
Chao, Wu Yahui. Low temperature hydrothermal

1771

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

KAJIAN POTENSI TIGA SENYAWA TRIFENILTIMAH(IV) HIDROKSIBENZOAT


SEBAGAI INHIBITOR KOROSI PADA BAJA LUNAK PADA MEDIA NaCl
Hapin Afriyani, Sutopo Hadi*, dan Hardoko Insan Qudus
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Lampung, Bandar Lampung, Indonesia
*Alamat surat menyurat e-mail: sutopo.hadi@fmipa.unila.ac.id
Abstract
Senyawa organotimah(IV) karboksilat dan semua turunannya memiliki aktivitas biologi sangat kuat dan dikenal
memiliki aktivitas penghambatan yang tinggi bahkan pada konsentrasi yang sangat rendah sehingga golongan
senyawa ini sangat menarik untuk terus dipelajari. Melanjutkan keberhasilan dalam sintesis dan berbagai uji
terhadap senyawa organotimah(IV) karboksilat pada beberapa penelitian sebelumnya, dalam makalah ini kami
laporkan kajian penghambatan korosi tiga senyawa trifeniltimah(IV) dengan menggunakan ligan asam 2-, 3dan 4-hidroksibenzoat. Ketiga senyawa hasil sintesis dikarakterisasi dengan beberapa teknik spektroskopi dan
juga berdasarkan data mikroanalisis unsur dan data fisika. Uji penghambatan korosi diukur dengan
menggunakan Potensiostat Terintegrasi eDAQ tipe ER644 pada baja lunak jenis hot roller plate (HRP)dalam
larutan NaCl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga senyawa yang diuji memiliki kemampuan
menghambat korosi dengan persen efisien penghambatan untuk turunan trifeniltimah(IV) 2-hidroksibenzoat, 3hidroksibenzoat dan 4-hidroksibenzoat berturut-turut 75,6; 77,9 dan 80,4%. Hasil ini mengindikasikan bahwa
ketiga senyawa memiliki kemampuan yang sangat baik sebagai penghambat korosi yang baik.
Keywords: antikorosi,baja lunak, % efisiensi penghambat, trifeniltimah(IV) hidroksibenzoat

sebelumnya,
senyawa
organotimah(IV)
karboksilat yang mengikat gugus organik
diketahui memiliki aktivitas yang baik sebagai
antifungi, antikanker, antitumor dan inhibitor
korosi (Hadi and Rilyanti, 2010; Hadi et al.,
2012; Hadi et al., 2015; Kurniasih et al.,
2015)). Senyawa ini memberikan efek
penghambatan yang tinggi meski pada
konsentrasi rendah.

1. PENDAHULUAN
Baja lunak merupakan material bersifat
ringan dan banyak digunakan dalam berbagai
bidang seperti proses industri, pembangkit
listrik tenaga nuklir, proses pengolahan bahan
bakar fosil, transportasi, proses kimia,
pertambahangan dan konstruksi (Doner et al.,
2011; Wan Nik et al., 2011; Ketis dkk., 2011).
Penggunaan baja lunak dalam jumlah besar
tidak sebanding dengan ketahanannya terhadap
korosi.Korosi baja lunak bergantung pada
komposisi anion-anion dalam larutan elektrolit
(Ketis dkk., 2011). Lingkungan dengan kadar
garam yang tinggi merupakan medium
elektrolit yang memiliki tingkat korosivitas
yang tinggi, sehingga diperlukan suatu metode
yang tepat untuk menanggulangi korosi pada
daerah ini. Korosi pada permukaan luar suatu
material dapat ditangani dengan berbagai cara
seperti pengecatan, pelapisan dengan logam
maupun dengan membuat padanan logam,
tetapi korosi pada bagian dalam suatu material
hanya dapat dikendalikan oleh inhibitor
korosi.

Aktivitas inhibisi korosi senyawa turunan


organotimah(IV) karboksilat dalam medium
DMSO-HCl telah dilaporkan sebelumnya
(Hadi et al, 2015; Kurniasih et al., 2015).
Pada makalah ini kami laporkan kajian
penghambatan korosi dalam medium NaCl
senyawa trifeniltimah(IV) dengan berbagai
ligan asam 2-, 3-, 4-hidroksibenzoat yang telah
disintesis
dan
dikarakterisasi
dengan
menggunakan berbagai instrumen.
2. METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan adalah zat-zat
kimia dengan kualitas PA (Pro Analysis). n(C6H5)3SnOH, asam 2-hidroksibenzoat, asam
3-hidroksibenzoat, asam 4-hidroksibenzoat
dari Sigma Aldrich, metanol, air HPLC,
DMSO, NaCl dari JT Baker yang dapat
digunakan tanpa pemurnian.

Senyawa organotimah(IV) karboksilat


terus menarik untuk dipelajari karena
menunjukan kemampuan yang baik dalam
berbagai uji biologi. Pada penelitian
1772

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Analisis
UV
dilakukan
dengan
spektrofotometer UV Shimadzu UV 245 pada
konsentrasi 1x10-4 M dalam pelarut metanol
pada daerah UV. Analisis IR dengan
spektrofotometer Bruker VERTEX 70 FTIR
dengan pellet KBr.Analisis 1H dan 13C NMR
dilakukan dengan Bruker AV 600 MHz untuk
1
H NMR dan 150 MHz untuk 13C NMR dalam
pelarut DMSO. Analisis Mikroelementer
dilakukan denganCHNS Fision EA 1108
Elemental
Analyzer.Pengujian
korosi
dilakukan dengan potensiostat terintegrasi
EA161eDAQ

diperoleh dari pemindaian selanjutnya


dianalisis menggunakan analisis Tafel. Data ln
|J| dan overpotensial ( ) yang selanjutnya
diekstrapolasi ke bentuk grafik untuk
mengetahui nilai arus korosi Icorr. Metode yang
sama juga silakukan untuk analisis inhibisi
senyawa trifeniltimah(IV) hidroksiebenzoat
dengan
variasi
konsentrasi
inhibitor
20,40,60,80, dan 100 mg/L. Data arus korosi
yang diperoleh dari masing-masing pengujian
digunakan untuk menentukan efisiensi inhibisi
berdasarkan Persamaan 1.

(1)

Sintesis Senyawa Trifeniltimah(IV)


Hidroksibenzoat
Sintesis
senyawa
trifeniltimah(IV)
hidroksibenzoat yang digunakan pada
penelitian ini dilakukan seperti pada prosedur
yang telah dilaporkan sebelumnya (Hadi and
Rilyanti, 2010; Hadi et al., 2012; Hadi et al.,
2015; Kurniasih et al., 2015) yang merupakan
adaptasi dari Szorcsik et al. (2002). Sebanyak
1,10 g (0,003 mol) senyawa trifeniltimah(IV)
hidroksida direaksikan dengan 0,42 g (0,003
mol) asam 2-hidroksibenzoat dalam 30 mL
metanol selama 4 jam dengan pemanasan pada
suhu 60 . Setelah reaksi berlangsung
sempurna selanjutnya senyawa dikeringkan
dalam desikator hingga siap digunakan dalam
pengujian korosi. Prosedur yang sama juga
dilakukan
untuk
sintesis
senyawa
trifeniltimah(IV) 3- dan 4-hidroksibenzoat.
Rendemen rata-rata pada sintesis ini sekitar
80-90%.

dengan %EI adalah presentase efektifitas


inhibisi,
adalah arus korosi pada medium
korosif tanpa inhibitor dan
adalah arus
korosi pada medium korosif dengan inhibitor
(Rastogi et al., 2005).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis senyawa trifeniltimah(IV) 2hidroksibenzoat[(C6H5)3Sn(2-OOCC6H4(OH))]
(2),
trifeniltimah(IV)
3-hidroksibenzoat
[(C6H5)3Sn(3-OOCC6H4(OH))]
(3)
dan
trifeniltimah(IV)
4-hidroksibenzoat
[(C6H5)3Sn(2-OOCC6H4(OH))]
(4)
telah
berhasil dilakukan dengan bahan awal
trifeniltimah(IV) hidroksida [(C6H5)3SnOH]
(1) dan ligan asam 2-,3-, dan 4hidroksibenzoat. Gambar 1 menunjukan
contoh skema reaksi sintesis senyawa ini.
Struktur senyawa hasil sintesis ditunjukan pda
Gambar 2. Hasil analisis mikroelementer
menunjukan senyawa hasil sintesis memiliki
kemurnian yang baik. Data hasil analisis dan
perhitungan komposisi unsur disajikan pada
Tabel 1.

Penentuan Aktivitas Inhibisi Korosi


Baja lunak tipe hot roller plate dipotong
dengan ukuran 2x1x0,1cm selanjutnyadengan
grit bertingakat 240, 400,600, dan 800 hingga
permukaan baja homogen. Baja selanjutnya
dicuci dengan HCl, akuades dan aseton
kemudian dikeringakan dan disimpan dalam
desikator.
Pengujian korosi dengan EA 161
Potensiostat eDAQ menggunakan elektroda
kerja baja lunak, elektroda bantu platina (Pt),
dan
elektroda
pembanding
Ag/AgCl.
Pengujian mula-mula dilakukan pada medium
korosigf NaCl 0,1 M tanpa penambahan
inghibitor sebagai kontrol.
Elektroda
selanjutnya diinteraksikan dengan medium
korosif selama 10 menit kemudian dipindai
dengan laju pemindaian 2 mV/s. Data yang

Data pergeseran kimia hasil karakterisasi


dengan spektrometer1H dan 13C NMR
dirangkum dalam Tabel 2. Pergeseran kimia
spesifik yang dapat dijadikan acuan untuk
menentukan senyawa yang diinginkan telah
disintesis dengan baik adalah munculnya
puncak pada daerah sekitar 160 -170 ppm
yang mengindikasikan adanya gugus karbonil
pada spektrum 13C NMR. Senyawa
2memberikan pergeseran kimia dengan
munculnya puncak pada 168,731 ppm,
1773

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
sedangkan senyawa 3dan 4berturut-turut
muncul pada 167,019 dan 165,532 ppm.
Pergeseran nilai
ini disebabkan karena
perbedaan lingkungan kimia dari disekitar
gugus karbonil dari senyawa 2, 3, dan 4.
Pergeseran kimia untuk C dari ligan fenil
muncul pada nilai 134-136 ppm, sedangkan
serapan C dari ligan asam hidroksibenzoat
muncul pada nilai
yang lebih rendah
didaerah 128-136 ppm seperti pada senyawa
turunan organotimah(IV) karboksilat lainnya
yang telah dilaporkan sebelumnya (Hadi et al.,
2012; Hadi et al., 2015; Kurniasih et al.,
2015). Pergeseran kimia untuk 1H pada ligan
fenil pada senyawa 2, 3, dan 4.muncul pada
daerah sekitar 7-7,5 ppm, sedangkan pada
ligan benzoat muncul pada 7,75-7,86 ppm.
Serapan karakteristik dari spektrum IR
dari senyawa 2, 3, dan 4.disajikan pada Tabel
3. Munculnya puncak C=O pada senyawa 2,
3,dan 4.mengindikasikan reaksi sintesis telah
berlangsung dengan baik dengan terikatnya
ligan asam hidroksibenzoat pada atom pusat
Sn. Pada bilangan gelombang sekitar 3200 3500 cm-1dari ketiga spektrum muncul pita

serapan melebar yang menunjukan adanya


gugus OH. Terjadinya pergeseran serapan
karakteristik Sn-O di daerah 600-800 cm-1
pada bilangan gelombang 694,74 cm-1 dari
senyawa 1 ke bilangan gelombang yag lebih
tinggi dari senyawa 2, 3, dan 4.berturut-turutdi
daerah 792,32; 730,33; dan 696,37 cm-1
menujukan terjadinya pergantian gugus OH
pada senyawa awal dengan ligan asam
hidroksibenzoat.
Hasil karakterisasi senyawa dengan
spektrofotometer UV dirangkum dalam Tabel
4. Pada ketiga spektum senyawa hasil sintesis
muncul 2 puncak dari transisi
dan
. Pada senyawa 1 muncul
213
nm sedangkan transisi dari
tidak
muncul. Transisi dari
dan
pada senyawa 2berturut-turut muncul pada
235 dan 288 nm, senyawa 3
munculpada
233 dan 287 nm dan
senyawa 4 pada
233 dan 288 nm.
Pergeseran batokromik dari senyawa awal ke
senyawa akhir menunjukan terjadinya
pergantian
ligan
OH
oleh
asam
hidroksibenzoat dari senyawa awal.

Gambar 1. Skema sintesis senyawa trifeniltimah(IV) hidroksibenzoat

Gambar 2. Struktur senyawa trifeniltimah(IV) hidroksibenzoat hasil sintesis


Tabel 1. Komposisi persen unsur dari analisis mikroelementer senyawa hasil sintesis
Senyawa
Kadar hasil analisis (teoritis) (%)
C
H
[(C6H5)3Sn(2-C6H4(OH)COO)](2)
60,7 (61,6)
4,2 (4,1)
[(C6H5)3Sn(3-C6H4(OH)COO)] (3)
59,7 (61,6)
3,9 (4,1)
[(C6H5)3Sn(4-C6H4(OH)COO)] (4)
60,9 (61,6)
4,3 (4,1)
Tabel 2. Data pergeseran kimia 1H dan 13C NMR pada senyawa hasil sintesis.
Senyawa
H pada fenil
H pada benzoat
C pada fenil dan benzoat (ppm)
(ppm)
(ppm)
[(C6H5)3Sn(2-C6H4(OH)COO)]
H2&H6 7,43
7,75-7,85 (d/t)
C1-C-6 (fenil) 135 136; C7
(2)
(d,6H); H3&H5
168,73; C8 135,947; C9 128,89;
7, 42 (t,6H); H4
C10 C11 128,8; ; C12 128, 307; C
7,41 (t, 3H)
13 136,26
[(C6H5)3Sn(3-C6H4(OH)COO)]
H2&H6 7,44
7,75-7,86 (s/d)
C1-C6 (fenil) 135,27 135,81; C7

1774

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
(3)

[(C6H5)3Sn(4-C6H4(OH)COO)]
(4)

(d,6H); H3&H5
7, 43 (t,6H); H4
7,42 (t, 3H)
H2&H6 7,43
(d,6H); H3&H5
7, 42 (t,6H); H4
7,42 (t, 3H)

167,019; C8 134,63; C9; C10 C11


131,021; ; C12 C13 134,702;
C1-C6 (fenil) 134,84 135,87; C7
165,532; C8 134,60; C9 C13
130,934; ; C10 C12 128,853;

7,80-7,86 (d)

Tabel 4. Serapan karakteristik spektrum IR dari senyawa trifeniltimah(IV) hidroksibenzoat hasil sintesis
Bilangan gelombang (cm-1)
Serapan
Refrensi
2
3
4
Sn-O
800-600
792,32
730,33
696,37
Sn-O-C
1250-1000
1243,06
1220,21
1229,26
CO2 asimetri
1500-1400
1482,40
1480,7
1432,84
O-H
3100-3500
3449,38
3440,55
3398,80
C=O
1600-1760
1627,96
1615,96
1613,48
Tabel 5. Serapan panjang gelombang spektrum UV dari senyawa trifeniltimah(IV)
hidroksibenzoat hasil sintesis
Panjang Gelombang (nm)
Senyawa Organotimah
[(C6H5)3Sn(OH)] (1)
[(C6H5)3Sn(2-C6H4(OH)COO)](2)
[(C6H5)3Sn(3-C6H4(OH)COO)] (3)
[(C6H5)3Sn(4-C6H4(OH)COO)] (4)

204
235
233
233

Seperti pada sintesis senyawa yang telah


dilakukan sebelumnya, senyawa turunan
trifeniltimah(IV)
karboksilat
umumnya
memberikan penghambatan korosi yang lebih
tinggi dibandingkan senyawa sejenisnya (Hadi
et al., 2015; Kurniasih et al., 2015). Nilai
efisiensi inhibisi senyawa uji pada penelitian
ini dirangkum dalam Tabel 6. Hasil penelitian
menunjukan senyawa4 memiliki nilai efisiensi
inhibisi yang lebih tinggi dibandingkan
senyawa lainnya.
Pengujian aktivitas antikorosi juga
dilakukan pada senyawa 1 dan ligan sebagai
bahan awal sintesis senyawa trifeniltimah(IV)
hidroksibenzoat. Hasil penelitian menunjukan
Kemampuan
inhibisi
senyawa
trifeniltimah(IV) hidroksida berada diantara
ligan dan senyawa akhir. Adanya ligan yang
terikat pada senyawa trifeniltimah(IV)
hidroksida
membentuk
senyawa

288
287
288

trifeniltimah(IV)
hidroksibenzoat
dapat
meningkatkan
kemampuannya
dalam
menghambat korosi. Semakin jauh posisi OH
yang
terikat
pada
ligan
semakin
mendestabilkan oksigen pada Sn-O, sehingga
efisiensi inhibisi senyawa trifeniltimah(IV) 4hidroksibenzoat memiliki kemampuan inhibisi
yang lebih besar dibandingkan kedua senyawa
lainnya.
Berdasarkan
kurva
polarisasi
potensiodinamiknya, inhibitor ini cenderung
mengikuti pola inhibitor anodik dalam
menghambat korosi baja (Rastogi et al.,
2005).Penghambatan korosi senyawa ini
diperkirakan melalui pembentukan lapisan
pasif inhibitor pada permukaan logam
sehingga dapat menghambat arus elektron dari
anoda baja lunak menuju katoda sehingga
proses redoks dapat terhambat.

Tabel 6. Efisiensi inhibisi penambahan senyawa trifeniltimah(IV) hidroksibenzoat


dibandingkan kontrol NaCl 0,1 M
1
Konsentrasi
ln|Jcorr|
Jcorr
Icorr
(mg/L)
(A/cm2)
( A)
NaCl 0,1 M

[(C6H5)3Sn(2-C6H4(OH)COO)] (2)

(Kontrol)

-4,29

20
40
60

-4,92
-5,15
-5,37

1775

13,70

31,52

7,30
5,80
4,65

16,79
13,34
10,70

% EI
(%)
0,00
46,74
57,68
66,04

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

[(C6H5)3Sn(3-C6H4(OH)COO)] (3)

[(C6H5)3Sn(4-C6H4(OH)COO)] (4)

80
100

-5,6
-5,7

3,70
3,35

8,51
7,70

73,02
75,59

20
40
60
80
100

-4,95
-5,15
-5,45
-5,67
-5,8

7,08
5,80
4,30
3,45
3,03

16,29
13,34
9,88
7,93
6,96

48,31
57,68
68,65
74,84
77,91

20
40
60
80
100

-5
-5,25
-5,55
-5,71
-5,92

6,74
5,25
3,89
3,31
2,69

15,50
12,07
8,94
7,62
6,18

50,84
61,71
71,63
75,83
80,41

.
Hadi, S., M. Rilyanti and Suharso. 2012. In Vitro
Activity and Comparative Studies Of Some
Organotin(IV) Benzoate Derivatives Against
Leukemia Cancer Cell, L-1210. Indo. J. Chem.
12 (1): 172-177.
Hadi, S., H, Afriani., W.D. Anggraini., H.I. Qudus.,
and T. Suhartati. 2015. The Synthesis and
Potency Study of Some Dibutyltin(IV)
Dinitrobenzoate Compounds as Corrosion
Inhibitor for Mild Steel HRP in DMSO-HCl
Solution. Asian J. Chem. 27 (4), 1509-1512.
Ketis, N.K., D. Wahyuningrum, S. Achmad, B.
Bunjali. 2010. Efektivitas Asam Glutamat
Sebagai Inhibitor Korosi pada Baja Karbon
dalam Larutan NaCl 1%. J. Mat. Sains. 15(1):
1-7.
Kurniasih, H., M. Nurissalam., B Iswantoro, H.
Afriyani, H. I. Qudus and S. Hadi. 2015. The
Synthesis, Characterization and Comparative
Anticorrosion Study of Some Organotin(IV) 4Clorobenzoates. Orient. J. Chem. 31(4): 23772383
Rastogi, R.B., M.M. Singh, K. Singh and M.
Yadav.
2005.
Organotin
Dithiohydrazodicarbonamides as Corrosion
Inhibitors
for
Mild
Steel
Dimethyl
SulfoxideContaining HCl. Port. Electrochim.
Acta. 22: 315332.
Szorcsik, A., L. Nagy, K. Gadja-Schrantz, L.
Pallerito, E. Nagy and E.T. Edelmann. 2002.
Structural Studies on Organotin(IV) Complexes
Formed with Ligands Containing {S, N, O}
Donor Atoms, J. Radioanal. Nucl. Chem. 252
(3): 523 530.
Wan Nik, W. B., F. Zulkifli, M. Rahman and R.
Rosliza. 2011. Corrosion Behavior of Mild Steel
in Seawater from Two Different Sites of Kuala
Terengganu Coastal Area. IJBAS-IJENS.
11(6):75-80.

4. KESIMPULAN
Sintesis senyawa trifeniltimah(IV) 2hidroksibenzoat,
trifeniltimah(IV)
3hidroksibenzoat dan trifeniltimah(IV) 4hidroksibenzoat telah berhasil dilakukan
dengan baik dan didukung dengan hasil
karakterisasi
menggunakan
berbagai
instrumen. Adanya pergantian ligan asam
hidroksibenzoat terhadap senyawa awal
trifeniltimah(IV)
hidroksida
membentuk
senyawa trifeniltimah(IV) hidroksibenzoat
dapat meningkatkan kemampuan senyawa
dalam menghambat korosi baja lunak dalam
medium NaCl. Inhitor ini cenderung mengikuti
pola inhibitor anodik dalam menghambat
korosi baja melalui pembentukan lapisan pasif
pada permukaan baja.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada Direktorat
Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat,
Kemenristekdikti atas dana melalui Hibah
Kompetensi 2016. Prof. Bohari M. Yamin (UKM
Malaysia) yang telah membantu melakukan
mikroanalisis unsur dan Prof. Hasnah Osman (USM
Malaysia) yang telah melakukan pengukuran NMR.

6. REFERENSI
Doner, A., R. Solmaz, M. Ozcan, G. Kardas. 2011.
Experimental and Theoretical Studies of
Thiazoles as Corrosion Inhibitors for Mild Stell
in Sulphuric Acid Solution. Corros. Sci.
53:2909-2913.
Hadi, S., and M. Rilyanti. 2010. Synthesis and In
Vitro
Anticancer
Activity
of
Some
Organotin(IV) Benzoate Compounds. Orient. J.
Chem. 26 (3): 775-779.

1776

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

KARAKTERISTIK MINYAK DARI SAMPAH PLASTIK POLIPROPILEN DAN


PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
Sutrisno1, Heriyanti1, Restina Bemis2
Program Studi Kimia Industri Diploma III1), Program Studi Kimia2)
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Jambi
email: herasutrisno@gmail.com
Abstract
Plastic as solid waste is as a problem, especially in the big cities, including Jambi. The buildup of plastic waste
has been no longer a solution due to the limited of land for landfill. Moreover, plastic waste is difficult to
degrade by microorganisms. From these facts, it is needed a better alternative method for processing plastic
waste to be a recycle model.Utilization of plastic waste as a source of fuel is one method that can be used to
reduce the problems caused by plastic waste.The aim of this study was to make a reactor which is biomass gas
as a fuel gas for conversion of plastic waste (polypropylene type), into oil, production of oil by pirolysis method,
and improving the quality of oil by adsorption using a mixture of bentonite and activated carbon with a
composition ratio of 85%: 15%. The pirolysis results of 5 kg colorless polypropilene produced 310 mL and
320 mL from 6 kg colored polypropylene. The characterization of bentonite using XRD and SEM show that the
compuund is calcite (CaCO3) and some element such as carbon, calcium,rubidium, iridium, thallium, and
arsenic. The characteristicof oil shows that colorless after adsorption process and the carbon chain is in the
range of C8-C12. The caloric value is 45.032 MJ/kg and 45.542 MJ/kg for colorless and colored PP. The
caloric value increased 4.28% after it adsorb, while the sulfur contained reduced 22.89% and 13.86% for
colorless and colored PP, respectively.
Keywords: polypropylene, pyrolisis, bentonite, activated carbon, adsorption
Abstrak
Plastik sebagai sampah padat merupakan masalah, terutama di kota-kota besar, termasuk Jambi. Menumpuk
sampah plastik bukan lagi solusi karena terbatasnya lahan untuk TPA. Selain itu, sampah plastik sulit
didegradasi oleh mikroorganisme. Dari fakta-fakta ini, diperlukan sebuah metode alternatif yang lebih baik
untuk pengolahan sampah plastik menjadi model daur ulang. Pemanfaatan limbah plastik sebagai sumber bahan
bakar adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengurangi masalah yang disebabkan oleh sampah
plastik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat reaktor berbahan bakar gas biomassa sebagai bahan
bakar untuk konversi sampah plastik (tipe poliproiylena), menjadi minyak, produksi minyak dilakukan dengan
metode pirolisis, dan meningkatkan kualitas minyak dengan adsorpsi menggunakan campuran bentonit dan
karbon aktif dengan rasio komposisi 85% : 15%. Hasil pirolisis dari 5 kg plastik polipropilena bening diproduksi
310 mL dan 320 mL dari 6 kg plastik polipropilena warna. Karakterisasi bentonit menggunakan XRD dan SEM
menunjukkan bahwa senyawa tersebut adalah kalsit (CaCO3) dengan kandungan unsurnya adalah karbon,
kalsium, rubidium, iridium, talium, dan arsen. Karakteristik minyak menunjukkan bahwa terjadi pemucatan
warna setelah proses adsorpsi dan rantai karbon dikisaran C8-C12. Nilai kalorminyak 45,032 MJ/kg dan 45,542
MJ/kg untuk minyak PP bening dan warna. Nilai kalor meningkat 4,28% setelah adsorpsi, sedangkan kandungan
sulfur yang terkandung berkurang 22,89% dan 13,86% berturut-turut untuk PP bening dan warna.
Kata kunci: polipropilena, pirolisis, bentonit, karbon aktif, adsorpsi

ditransfer ke TPA dengan persentase


komponen sampah organik 66,9% dan
anorganik 33,1%. Kondisi ini diprediksi akan
terus meningkat.

1. PENDAHULUAN
Peningkatan produksi sampah masyarakat
merupakan permasalahan yang muncul akibat
pertambahan penduduk.Walikota Jambi pada
kegiatan National workshop on Sustainable
Solid Waste Management in Secondary Cities
and Small Towns (2014) menyampaikan
bahwa produksi sampah Kota Jambi mencapai
1.532,34 m3/hari, 61,67% dikumpulkan dan

Tantangan dari pengolahan timbunan


sampah, khususnya sampah plastik adalah
TPA sudah tidak mampu menampung sampah
yang diproduksi oleh penduduk Kota Jambi,
sementara ketersediaan lahan yang bisa
1777

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

digunakan
sebagai
TPA
semakin
menyempit.Ditambah lagi sampah plastik yang
bersifat nonbiodegradable. Alternatif yang
dapat digunakan untuk pengurangan sampah
plastik yaitu mengkonversi plastik menjadi
bahan bakar cair adalah melalui reaksi
perengkahan plastik, baik perengkahan termal
(pirolisis) maupun perengkahan katalitik
(Junya, 2004; Ofoma, 2006).

Pirolisis adalah proses dekomposisi suatu


bahan pada suhu tinggi tanpa adanya udara
atau dengan udara terbatas atau disebut juga
devolatilisasi. Produk utama dari pirolisis yang
dapat dihasilkan adalah arang (char), minyak,
dan gas. Arang yang terbentuk dapat
digunakan untuk bahan bakar ataupun
digunakan sebagai karbon aktif. Sedangkan
minyak yang dihasilkan dapat digunakan
sebagai zat additif atau campuran dalam bahan
bakar. Sedangkan gas yang terbentuk dapat
dibakar secara langsung (A.S Chaurasia., B.V
Babu., 2005). Menurut Agra (1995) metode
pirolisis dapat merubah limbah plastik menjadi
minyak pirolitik dan padatan kokas.

Minyak hasil perengkahan umumnya


masih banyak mengandung pengotor-pengotor
sehingga perlu adanya upaya untuk
menghilangkan pengotor sehingga kualitas
minyak yang dihasilkan menjadi lebih baik,
salah satunya dengan cara adsorpsi.Bentonit
adalah salah satu jenis tanah liat (clay) yang
banyak terdapat di alam dan diketahui
mempunyai daya pemucat (bleachingearth)
dan dapat digunakan secara luas pada proses
pemurnian minyak tumbuhan untuk menyerap
pengotor yang terdapat di dalam minyak
mentah. Meskipun bentonit sangat berguna
untuk adsoprsi, namun kemampuan untuk
adsorpsinya terbatas (Cool et al., 1998).
Sedangkan karbon aktif merupakan senyawa
karbon amorf, yang dapat dihasilkan dari
bahan-bahan yang mengandung karbon atau
dari arang yang diperlakukan dengan cara
khusus untuk mendapatkan permukaan yang
lebih luas. Penggabungan bentonite dan karbon
aktif diharapkan akan menghasilkan adsorben
yang lebih baik dibanding sifat awal kedua
material tersebut dan meningkatkan kualitas
minyak plastik yang akan diterapkan sebagai
bahan bakar.

Tubnonghee et al (2010) melaporkan


pirolisi plastik jenis polyethylene (PE) dan
polyprophelene (PP) pada temperatur 450C
selama 2 jam. Dari hasil analisa diketahui
bahwa komposisi minyak dari campuran
plastik PE dan PP tersebut mempunyai jumlah
atom karbon yang setara dengan solar, yaitu
C12-C17.
Pada konversi limbah plastik menjadi
minyak, adsorpsi memegang peranan penting
dalam kualitas hidrokarbon yang dihasilkan
(Ermawati, 2011).Adsorpsi adalah suatu proses
pemisahan bahan dari campuran gas atau cair,
bahan yang harus dipisahkan ditarik oleh
permukaan sorben padat dan diikat oleh gayagaya yang berkerja pada permukaan tersebut.
Didukung oleh selektifitas yang tinggi, proses
adsorpsi sangat sesuai untuk memisahkan
bahan dengan konsentrasi yang lebih kecil dari
campuran yang mengandung bahan lain yang
berkonsentrasi tinggi (Bernasvoni, 1995).

2. KAJIAN LITERATUR
Plastik
adalah
salah
satu
jenis
makromolekul yang dibentuk dengan proses
polimerisasi senyawa hidrokarbon yang
dihasilkan dari penyulingan minyak bumi atau
gas alam (Kumar et al., 2011). Jenis-jenis
plastik yang paling banyak digunakan
diantaranya adalah polypropylene (PP), poly
ethylene terephthalate (PET) dan high density
polyethylene (HDPE). Polypropylene (PP)
adalah sebuah polimer termoplastik yang
dibuat oleh industri kimia dan digunakan
dalam berbagai aplikasi, diantaranya adalah
untuk kantong plastik, gelas plastik, ember dan
botol. Polipropilena bersifat lebih tahan panas,
keras, fleksibel dan dapat tembus cahaya
(Nugraha, et al).

3. METODE PENELITIAN
Tahap penelitian terdiri dari tiga tahap.
Tahap pertama adalah pembuatan minyak
plastik polipropilena dengan menggunakan
metode pirolisis. Tahap kedua adalah
pencampuran 15% kabon teraktivasi KOH dan
tahap ketiga adalah adsorpsi minyak plastik
dengan campuran 15% karbon aktif dan 85%
bentonit alam.
Pirolisis Sampah Plastik
Proses
pirolisis
sampah
plastik
polipropilena dilakukan menurut prosedur
Zainuri (2014), sampah plastik jenis
polipropilena dari wadah air mineral jenis
polipropilena dipotong kecil-kecil, lalu
dimasukan
ke
dalam
reaktor
tanpa
1778

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

menggunakan katalis. Selanjutnya dipanaskan


dengan menggunakan bahan bakar biomassa
dari limbah sampah. Hasil pirolisis (produk)
berupa cairan ditampung dan dianalisis dengan
menggunakan instrumen analisis sulfur,
kalorimeter bomb, alidan gas kromatografi.

tekanan 1 atm dengan kapasitas reactor 5 kg


dan menghasilkan volume minyak plastik
bening sebesar 310 mL dengan rentang waktu
pirolisis sampai dihasilkan minyak adalah 4-9
jam. Sedangkan untuk sampah plastik PP
warna sebanyak 320 ml dengan suhu pirolisis
300oC. Catalysts, (2006) telah meneliti
pirolisis plastik PP, didapatkan hasil bahwa
pada suhu rendah plastik PP yang memiliki
struktur ikatan kristal teratur, lebih sulit
terdekomposisi jika dibandingkan dengan
plastik PE yang memiliki struktur rantai yang
panjang dan bercabang. Polipropilena adalah
polioelefin yang memiliki titik leleh 155160C pada homopolimernya dan 160-165C
pada kopolimer bloknya.

Penghalusan Bentonit dan Karbon


Berdasarkan prosedur Nurhayati (2010),
bentonit dikeringkan dibawah sinar matahari,
kemudian dihancurkan dan dihaluskan dengan
menggunakan grinder, setelah didapatkan
bentonit dalam ukuran butiran selanjutnya
diayak dengan menggunakan ayakan 100
mesh, dicuci dengan menggunakan aquades
kemudian dioven 110oC selama 24 jam.
Perlakuan yang samauntuk karbon aktif
cangkang sawit.

Karakterisasi Minyak Plastik Polipropilena


dengan GC-MS
Hasil analisis GC-MS terhadap minyak
propilena bening terdapat 120 puncak
(senyawa) dalam rentang waktu retensi tertentu
Spektra GC dapat dilihat pada gambar 1.

Aktivasi Karbon Aktif


Dilakukan menurut prosedur Sutrisno dan
Yusnaidar (2007), karbon aktif cangkang
kelapa sawit yang telah halus kemudian
dikeringkan kemudian dicampur dengan KOH
dengan rasio perbandingan 1 : 0,5, setelah
tercampur didehidrasi dalam tabung furnance
pada suhu 450oC selama 2 jam. Kemudian cuci
dengan aquades sampai pH 6-7, lalu
dikeringkan pada suhu 110oC selama 4 jam.
Pencampuran Bentonit dan 15% Karbon
Aktif
Pencampuran
dengan
menimbang
sebanyak 1,5 gram karbon aktif dan 8,5 gram
bentonit, kemudian digerus sampai terjadi
perubahan warna yang stabil.

Gambar 1. Spektra GC Minyak Plastik


Polipropilena Bening
Berdasarkan gambar 1 menunjukkan
bahwa setiap puncak yang muncul memiliki
senyawa-senyawa yang terdapat dalam minyak
plastik polipropilena dengan rentang C4-C50.
Produk yang didapat sebagian besar terdapat
dalam waktu retensi dibawah 20 menit dengan
jumlah puncak yaitu 88 puncak. Sedangkan
hasil analisis gas kromatografi pada minyak
plastik polipropilena menunjukkan terdapat
100 puncak dalam rentang waktu retensi
tertentu dengan rentang C5-C54. Spektra GC
minyak
plastik
polipropilena
warna
ditunjukkan pada gambar 2.

Adsorpsi Minyak Plastik Campuran


Bentonit dengan 15% Karbon Teraktivasi
Dilakukan menurut prosedur Aji dan
Hidayat (2011) dengan berbagai modifikasi.
Campuran bentonit dan 15% karbon aktif yang
telah halus ditimbang sebanyak 10 g dan
dimasukkan ke dalam gelas kimia. Kemudian
diberi sampel minyak plastik 20 ml, diaduk
dan dipanaskan pada suhu 30OC dengan
menggunakan stirer selama 2 jam. Minyak
yang telah diaduk kemudian disaring dengan
menggunakan kertas saring. Perlakuan yang
sama untuk premium SPBU.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses pirolisis sampah plastik PP bening
dilakukan menggunakan reaktor pirolisis
berbahan bakar biomassa pada suhu 200C dan
1779

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Gambar 2. Spektra GC Minyak Plastik


Polipropilena Warna

34, 52, 53 dan 54. Minyak plastik


polipropilena bening memiliki puncak ke-14
(5,41%) terdapat rentang C8-C10, puncak ke36 (7,03%) dengan rentang C9-C12. Minyak
plastik polipropilena warna memiliki puncak
ke-16 (14,93%) dengan rentang C8-C10,
puncak ke-34 (5,43%) dengan rentang C12C20, puncak ke-52 (9,80%) dengan rentang
C11-C20, puncak ke-53 (5,50%) dengan rantai
C11-C20, dan puncak ke-54 (8,08%) dengan
rantai C11-C20. Hal ini mengindikasikan
bahwa minyak plastik polipropilena bening
memiliki rentang C8-C12 dan minyak plastik
polipropilena warna dengan rentang C8-C12
merupakan struktur dasar dari bensin/gasoline.

Gambar 2 menunjukkan bahwa minyak


plastik polipropilena warna terdapat 70 puncak
dalam waktu retensi diatas 20 menit. Analisis
waktu retensi minyak plastik polipropilena
ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Waktu retensi hasil pirolisis minyak
plastik polipropilena
Minyak Plastik Polipropilena Bening
R. Time
Jumlah
%Area
C
(Min)
Puncak
<10
27
24,68
C4-C12
10-20
61
61,75
C7-C50
>20
32
13,6
C7-C21
Minyak Plastik Polipropilena Warna
R. Time
Jumlah
%Area
C
(Min)
Puncak
18
26,05
C5-C12
<10
12
7,08
C8-C25
10-20
70
73,71
C9-C54
>20
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa
senyawa terbanyak dari minyak plastik
polipropilena bening terdapat pada waktu
retensi dibawah 20 menit sebesar 86,43%
dengan rantai karbon mulai dari C4-C50
sedangkan
senyawa
terbanyak
plastik
polipropilena warna terdapat pada waktu
retensi diatas 20 menit sebesar 73,71% dengan
rantai karbon mulai dari C9-C54. Hal ini
menunjukkan bahwa hasil pirolisis minyak
plastik polipropilena bening dan warna
memiliki senyawa hidrokarbon berantai
panjang. Menurut Andarini dan Purwo (2009)
analisis menggunakan gas kromatografi
minyak plastik polipropilena menghasilkan
165 puncak dengan 89,16% terdapat pada
waktu retensi dibawah 20 menit. Menurut
Norsujianto (2014) dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa sampel minyak pirolisis
plastik akan menghasilkan kecenderungan
pembentukan
unsur
hidrokarbon yang
bervariasi.

Karakterisasi Bentonit dan Karbon


Cangkang Sawit
Karakterisasi bentonite menggunakan
XRD dilakukan pada sudut awal 2 adalah
20,01 dan sudut akhir adalah 69,99 dengan
material anoda Cu pada temperatur operasional
25C. Spektra dan harga 2 terhadap jarak (dspacing,
)
dan
intensitas
(%)
bentonitdisajikan pada gambar 3. Pada pola
spektra dan nilai 2 pada dari bentonit pada
gambar 3, menunjukkan 2 = 29,6231 dengan
puncak tajam yang memiliki intensitas
tertinggi 100% ditunjukkan dengan garis biru,
hal ini mengindikasikan pola yang muncul
ketika dilakukannya XRD menunjukkan
sampel bentonit yang digunakan mengandung
senyawa kimia yaitu kalsium karbonat
(CaCO3) sehingga diduga bentonit yang
digunakan adalah Ca-bentonit dan hampir
disemua puncak yang ada mengandung
mineral calcite.

Gambar 3. Spektra Bentonit

Minyak plastik polipropilena bening dan


warna diduga memiliki struktur dasar mirip
bensin dengan menganalisis luas area puncak
yang muncul pada gas kromatografi dan
menganalisis struktur senyawa serta berat
molekulnya dengan analisis spektrum massa.
Berdasarkan gambar 1 yang memiliki luas area
puncak diatas 5% yaitu puncak ke-14 dan 36,
sedangkan pada gambar 2 yaitu puncak ke-16,

Pola spektra dan nilai 2 bentonite juga


sesuai dengan data JCPDS 47-1743 dan PDF
Card Nr. 24-0027 pada penelitian Mohseni
(2007). Menurut Haney (2015) dalam
penelitiannya menjelaskan pada 2 sebesar
29,42 merupakan intensitas terbaik yang
dimiliki oleh calsite (CaCO3). Berdasarkan
database XRD Highscoreplus, struktur kristal
1780

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

calcite adalah
Reeder, 1990).

heksagonal

(Paquete

and

Hasil karakterisasi bentonite menggunakan


SEM dapat dilihat pada gambar 4 dan tabel 2.
Berdasarkan gambar 4.pori berwarna hitam
yang diidikasikan sebagai bagian porositas dari
bentonit. Sedangkan bagian berwarna putih
merupakan permukaan bentonit yang banyak
mengandung mineral kalsium (Ca-Bentonit)
dengan komposisi sebanyak 75,3% (Tabel 3).

Gambar 5.Perbandingan Pergeseran Dan


Penambahan Puncak Baru Spektra Karbon
Cangkang Sawit dan karbon teraktivasi KOH
Berdasarkan gambar 6, karakterisasi
dengan SEM dengan perbesaran 10m
menunjukkan porositas dari karbon sebelum
aktivasi relatif kecil hal ini dikarenakan masih
menempelnya zat pengotor pada permukaan
karbon sehingga menutup rongga-rongga pada
permukaan karbon. Sedangkan s porositas
yang ditandai dengan rongga-rongga hitam
pada karbon meningkat dan relatif besar, hal
ini disebabkan dengan adanya aktivasi
menggunakan kalium hidroksida (KOH) dan
adanya pengaruh suhu pemanasan 450C
sehingga sehingga zat pengotor dapat terangkat
dari rongga-rongga permukaaan karbon.
Dengan membesarnya ukuran porositas pada
permukaan karbon menyebabkan kemampuan
adsorpsi akansemakin meningkat.Komposisi
pada karbon aktif dapat dilihat pada tabel3.

Gambar 4. Porositas Bentonit


Tabel 2. Komposisi kimia pada sampel
bentonit
Element
(%)
Number Symbol
Name
20
Ca
Calcium
75.3
6
C
Carbon
4.5
37
Rb
Rubidium
3.1
77
Ir
Iridium
7.6
81
Tl
Thallium
6.9
33
As
Arsenic
2.5
Karakterisasi karbon aktif yang berasal
cangkang sawit juga dilakukan dengan
menggunakan XRD dan SEM sebelum dan
sesudah diaktivasi dengan KOH (Gambar 5).
Hasil karakterisasi menggunakan XRD
menunjukkan bahwa sebelum aktivasihanya
ada satu puncak dengan intesitas sebesar 100%
dan memiliki 2 sebesar 26,633 serta dspacing, sebesar 3,34429 merupakan puncak
dari quartz (SiO2) yang sesuai dengan pola
spektra standar JCPDS 46-1045. Sedangkan
setelah aktivasi dengan KOH, menunjukkan
terjadinya pergeseran kristalitas pada puncak
2 SiO2 yang semula 26,633 bergeser menjadi
26,652 yang ditandai dengan garis hijau serta
munculnya puncak baru pada 2 = 24,32 dan
31,47 yang merupakan mineral magnesit
yangditandai dengan garis biru. Hal ini
mempengaruhi pembentukan kristalitas pada
karbon aktif. Hal ini dapat disebabkan karena
adanya penggunaan aktivator KOH.

Gambar 6. Porositas Karbon Sebelum


Aktivasi (kiri); Teraktivasi KOH (kanan)
Tabel 3. Hasil analisis EDS untuk sampel
karbon setelah aktivasi
Number
6
8
19
14

Element
Symbol
C
O
K
Si

(%)
Name
Carbon
Oxygen
Potassium
Silicon

25.0
50.8
21.5
2.6

Pencampuran Bentonit dan 15% Berat


Karbon Aktif
Pada proses pencampuran digunakan
bentonit dengan 15% berat karbon aktif dalam
10 gram. Kemudian campuran bahanbaku
tersebut dihomogenkan dengan cara ditumbuk
(gerus) sampai terjadi perubahan warna
1781

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

menjadi abu-abu. Indikasi terjadinya reaksi


adalah timbulnya perubahan warna yang stabil.
Tabel 4, menunjukkan konsentrasi atom C
lebih sedikit daripada atom Ca yang berjumlah
81,7%.

polipropilena dengan campuran 15% berat


karbon aktif dengan bentonit mampu mengikat
zat pengganggu yang mempengaruhi nilai
kalor minyak plastik polipropilena bening dan
premium SPBU.
Salah satu hal yang juga menyebabkan
perbedaan nilai kalor antara premium SPBU
dengan minyak plastik polipropilena bening
dan warna adalah berat jenis (BJ). Berat jenis
merupakan suatu perbandingan massa dari
bahan bakar minyak dengan massa dari air
dalam volume dan suhu yang sama. Berat jenis
menunjukan perbandingan massa persatuan
volume (Bahan Bakar Minyak, Elpiji dan BBG
Pertamina: 2011; Somad, 2001). Berat jenis
minyak plastik polipropilena dan premium
SPBU ditunjukkan pada gambar 9.

Tabel 4. Hasil Analisis EDS untuk sampel


Campuran 15% karbon aktif dan bentonit
Element
(%)
Name
Number Symbol
6
C
Carbon
12.0
20
Ca
Calcium
81.7
19
K
Potassium
6.4
Adsorpsi Minyak Plastik Polipropilena
Setelah dilakukan adsorpsi terlihat jelas
perubahan warna pada masing-masing minyak,
diindikasikan bahwa adanya pengaruh dari
bentonit dan karbon aktif yang berfungsi
sebagai bleaching pada minyak. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Tanjaya
et al (2006) mengunakan bentonit sebagai
adsorben. Kemampuan bentonit sebagai
bleaching (pemucat) dapat mengikat zat
pengganggu penyebab warna dan bau yang
tidak diinginkan.
Uji Hasil Adsorpsi
Polipropilena

Minyak

Gambar 8.Nilai Berat Jenis Minyak


Polipropilena dan Premium
Berdasarkan gambar 8 menunjukkan bahwa
berat jenis minyak plastik polipropilena
memiliki nilai berat jenis lebih kecil
dibandingkan dengan premium SPBU, hal ini
mengindikasikan nilai kalor premium SPBU
lebih rendah daripada minyak plastik
polipropilena. Sedangkan hasil uji berat jenis
setelah diadsorpsi menunjukkan bahwa plastik
polipropilena bening dan premium SPBU
mengalami penurunan berat jenis sebesar
0,32%, tetapi berat jenis minyak plastik
polipropilena warna mengalami kenaikan yaitu
0,05%. Hal ini mengindikasikan bahwa
adsorpsi campuran 15% karbon aktif dengan
bentonit tidak berpengaruh terhadap penurunan
berat jenis minyak plastik polipropilena warna.

Plastik

Pengujian nilai kalor dilakukan dengan


menggunakan alat kalorimeter bomb. Nilai
kalor dari minyak plastik polipropilena
sebelum dan sesudah adsorpsi ditunjukkan
pada gambar 7.

Uji Kadar Sulfur

Gambar 7. Hasil analasis nilai kalor

Analisa kadar sulfur pada minyak plastik


polipropilena bertujuan untuk mengetahui
persentase (%wt) kadar sulfur, hal ini
dikarenakan kadar sulfur yang telalu tinggi
dalam bahan bakar minyak sangat berbahaya.
Kerugian utama dari adanya sulfur adalah
resiko korosi oleh asam sulfat yang terbentuk
selama dan sesudah terjadinya pembakaran,
dan pengembunan di cerobong asap, pemanas

Berdasarkan gambar 7 menunjukkan bahwa


hasil pengujian nilai kalor setelah adsorpsi
menggunakan campuran 15% berat karbon
aktif dengan bentonit menunjukkan terjadinya
peningkatan nilai kalor yaitu 4,45% untuk
minyak plastik polipropilena bening,0,03%
minyak plastik polipropilena warna, dan 5,67%
pada premium SPBU yang merupakan kontrol.
Hal ini menunjukkan bahwa adorpsi minyak
1782

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

awal di udara dan ecomizer (Mahmud, 2010).


Hasil analisis %wt sulfur ditunjukkan pada
gambar 9.

tinggi sebesar 45,032 MJ/Kg untuk minyak


plastik polipropilena bening dan 45,5542
MJ/KG dan variabel kontrol premium
SPBU sebesar 44,068 MJ/Kg. Setelah
adsorpsi meningkat secarat berturut-turut
minyak plastik bening dan warna serta
premium SPBU menjadi 46,962 MJ/Kg,
45,556 MJ/Kg dan 46,569 MJ/Kg.
5. Campuran 15% berat karbon aktif dengan
bentonit mampu melakukan pemucatan
pada warna minyak plastik polipropilena
dan menurunkan kadar sulfur dalam
minyak plastik polipropilena hasil pirolisis
sebesar
0,1955%
untuk
plastik
polipropilena bening, minyak plastik
polipropilena warna sesbesar 0,1150% dan
premium SPBU sebesar 0,2107%.

Gambar 9. KandunganSulfur pada Minyak


Polipropilena dan Premiun
Berdasarkan gambar 9 menunjukkan bahwa
hasil pengujian kadar sulfur dari proses
pirolisis minyak plastik polipropilena bening
memiliki kandungan sulfur lebih rendah
daripada premium SPBU. Kandungan sulfur
minyak plastik polipropilena sebesar 0,2535%
sedangkan premium SPBU sebesar 0,2668%.
Setelah adsorpsi menggunakan campuran 15%
karbon aktif dengan bentonite,kadar sulfur
pada
masing-masing
variabel,
turun.
Persentase penurunan untuk minyak plastik
polipropilena bening, warna dan premium
masing-masingnya adalah 22,88%, 13,86%,
dan 21,03%. Hal ini mengindikasikan bahwa
campuran 15% karbon aktif dengan bentonit
mampu menurunkan kandungan sulfur pada
variabel uji yang disebabkan oleh karbon aktif
dan Ca-bentonit yang memiliki kemampuan
adsorpsi dan bleaching (pemucatan).

6. REFERENSI
Agra, I.B. 1995. Penyulingan Kering Sampah
Plastik. Karya Penelitian
Aji, D.W. dan Hidayat, M.N. 2011. Optimasi
Pencampuran Carbon dan Bentonit Sebagai
Adsorben Dalam Penurunan Kadar FFA (Free
Fatty Acid) Minyak Bekas Melalui Proses
Adsorbsi. Universitas Diponegoro: Semarang.
1-5.
Andarini, N. dan Purwo, S. H. D. 2009. Konversi
Plastik Menjadi Senyawa Fraksi Bahan Bakar
Cair Melalui Reaksi Perengkahan Katalitik
Dengan Katalis Ni(II)/H5NZA. Jurnal Saintifika
2:171-180.

5. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh padapenelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Pirolisis pada suhu 200C mampu
menghasilkan minyak plastik polipropilena
bening sebanyak 310 mL dan pada suhu
300C menghasilkan minyak plastik
polipropilena warna sebanyak 320 mL.
2. Senyawa dalam bentonit adalah calcite
(CaCO3) berdasarkan analisis XRD
dengan intensitas 100% pada 2 sebesar
29,6231 sedangkan struktur dari karbon
cangkang sawit merupakan senyawa amorf
dengan senyawa SiO2 pada 2 26,633,
intensitas 100%.
3. Hasil analisis GC-MS menunjukkan
minyak plastik polipropilena bening
memiliki
rentang
C4-C50
dan
polipropilena warna dengan rentang C5C54 dengan luas area puncak tertinggi
menunjukkan rentang C8-C12.
4. Plastik polipropilena bening hasil pirolisis
memiliki nilai kalor yang yang cukup

A.S Chaurasia., B.V Babu. 2005. Modeling &


Simulation of Pyrolysis of Biomass: Effect of
Thermal Conductivity, Reactor Temperatur
and Particle Size on Product Consentrations.
Pilani, India.
Bernasvoni, G, Gerster, H, dan Hauser H. 1995.
Teknologi Kimia Bagian 2. Edisi pertama.
Terjemahan Lienda Handojo, Pradnya Paramita.
Jakarta. hal:204.
Catalysts, N.Z. 2006. Pyrolysis of Polypropylene.
Hamburg University, Hamburg, Germany.
Cool, P. and Vanssant, E. F., 1988. Pillared Clays:
Preparation, Characterization and Application.
Moleculer Sieves, Springer
Fasha, S.Y. 2014. Development of a Waste to
Energy Pilot: Perspective from Jambi City.
National Workshop on Pro-Poor and
Sustainable Solid Waste Management in
Secondary Cities and Small Towns: Prospects
for the Application of Anaerobic Digestion to
Treat Municipal Solid Waste in Indonesia.
Jakarta.

1783

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Junya, Masaaki, Hironobu, Tadashi, dan Nobuhiko.
2004. Development of Feedstock Recycling
Process for Converting Waste Plastic to
Petrochemicals. IHI Engineering Review. Vol.
37 No. 2.

Reeder,R.J. 1990. Carbonates: Mineralogy and


chemistry, reviews in mineralogy. Minelaogical
society of America,11,1-22.
Sembiring, M.T, dan Sinaga.T.S. 2003. Arang Aktif
(Pengenalan dan Proses Pembuatan). Makalah.
Sumatra Utara: Jurusan Teknik Industri.
Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara

Kumar S., Panda, A.K., dan Singh, R.K. 2011. A


Review on Tertiary Recycling of High-Density
Polyethylene to Fuel. Resources, Conservation
and Recycling Vol. 55 893910.

Somad. A. 2010. Pengaruh Variasi Campuran


Bahan Bakar Solar dan Wate Tire Oil Terhadap
Kepekatan Emisi Gas Buang Pada Mesin
Diesel. Skripsi. Semarang: UNNES.

Mahmud, R. A. N. 2010. Penentuan Nilai Kalor


Berbagai Komposisi Campuran Bahan Bakar
Minyak Nabati. Skripsi. Malang: UIN Maulana
Malik

Sutrisno dan Yusnaidar. 2007. Characterization and


Kinetic Adsorption Of The Different Sources
Activated Carbon For Liquid-Phase Adsorption.
J. Sains MIPA, ISSN 1978-1873. 3: 152-158.

Mohseni, Katayoon. 2007. Characterization of


Precipitated
Calcium
Carbonate
(PCC)
Compounds on the Basis of Powder X-ray
Diffraction Data. Disertasi. Iran-Teheran:
Universitat Karlsruhe (TH).

Tanjaya, AT. 2006. Aktivasi Bentonit Alam Pacitan


Sebagai Bahan Penjerap pada Proses Pemurnian
Minyak Sawit. Jurnal Teknik Kimia Indonesia.
2(5),429-433.

Nugraha, F. M., Wahyudi, A. dan Gurnadi, I.


Pembuatan Feul Dari Liquid Hasil Pirolisis
Plastik Polipropilena Melalui Proses Reforming
Dengan Katalis NiO/-Al2O3. HaL 1-5. ITS:
Surabaya.

Tubnonghee. R., Sanongraj, S., Sanongraj, W.,


2010. Comparative Characteristics of Derived
Plastic Oil and Commercial Diesel Oil. The 8th
Asian-Pacific Regional Conference on Practical
Environmental Technologies (APRC2010),
Ubon Ratchathani University, Ubonratchathani,
Thailand.

Nurhayati, H. 2010. Pemanfaatan Bentonit


Teraktivasi Dalam Pengolahan Limbah Cair
Tahu. Skripsi. Universitas Sebelas Maret:
Surakarta.

Zainuri, F dan K, D. Mustofa. 2014. Pirolisis


Sampah Plastik Hingga Suhu 900oC Sebagai
Upaya Menghasilkan Bahan Bakar Ramah
Lingkungan. Simposium Nasional RAPI XIII,
ISSN 1412-9612: 98-102.

Paquette, J and Reeder, R.J.1990. American


Mineralogist, 75. 1151-1158.
Pujiyanto. 2010. Pembuatan Karbon Aktif Super
dari Batubara dan Tempurung Kelapa.
Departemen Teknik Kimia. Depok, Universitas
Indonesia., pp. 8-14,19, dan 30.

1784

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

ISOLASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER DARI FRAKSI NON POLAR


KULIT BATANG TUMBUHAN KENANGKAN (Artocarpus rigida)
1)

Tati Suhartati1), Neneng Suryani1), Jhons Fatriyadi Suwandi2)


Department of Chemistry, University of Lampung, Soemantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung 35 145
2)
Faculty of Medicine, University of Lampung, Soemantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung 35 145
email: tati.suhartati@fmipa.unila.ac.id
Abstract

From the non polar fraction bark of Kenangkan plants (Artocarpus rigida) obtained from the Village Keputran
Pringsewu Sukoharjo regency of Lampung Province, it has been done the isolation of secondary metabolites.
Isolation stages starting from the collection and preparation of samples and then extraction, isolation, and
purification of compounds using multiple chromatographic methods . The structure of isolated compound is
determined by IR spectroscopy, NMR, and mass (MS) . The physical properties of isolated compound are form
white needle-shaped crystals with a melting point of 187 C - 188 C, and identification using a reagent
Liebermann Burchard, this compound gave a positive reaction . Based on IR spectroscopy , NMR , and mass (
MS ) , and a comparison with literature, isolated compound is estimated has a similar to functional groups of
-amyryltetracosanoate.
Keywords : - amiriltetrakosanoat , Artocarpus rigida , isolation

1. PENDAHULUAN

2. METODE PENELITIAN

Artocarpus termasuk genus utama dalam


tumbuhan famili Moraceae, terdiri dari lebih
kurang 50 spesies, banyak di antaranya yang
tumbuh di Indonesia [1]. Isolasi se nyawa dari
tumbuhan
Artocarpus
banyak
yang
menghasilkan senyawa-senyawa fenolik yang
diisolasi menggunakan pelarut kloroform,
etilasetat, aseton, atau metanol yang
merupakan pelarut semi polar dan polar.
Isolasi senyawa-senyawa fenolik juga telah
dilakukan terhadap A. rigida [2]; [3]
menggunakan
pelarut
metanol.
Untuk
mengetahui senyawa kimia dalam fraksi non
polar, maka pada penelitian dilakukan isolasi
senyawa kimia dari fraksi non polar
kulit batang tumbuhan A. rigida .
Pada
penelitian ini akan dilaporkan hasil isolasi
senyawa dari ekstrak n-heksana, yang
diperkirakan telah diperoleh senyawa yang
memiliki gugus fungsi mirip dengan amiriltetrakosanoat
berdasarkan
data
spektroskopinya.
Berbagai senyawa triterpenoid telah diisolasi
dari tumbuhan Artocarpus, di antaranya adalah

Alat-alat dan bahan


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini meliputi alat-alat gelas, satu set alat
kromatografi, alat kromatografi cair vakum
(KCV), kromatotron,
kromatografi
kolom (KK), pengukur titik leleh, lampu
UV, pipet kapiler, Rotary Evaporator,
spektrofotometer FTIR Scimitar 2000,
spektrofotometr NMR, dan spektroskopi massa
(MS) LC MS-ESI.
Bahan yang
digunakan
adalah
kulit
batang tumbuhan kenangkan (A. rigida) yang
telahdikeringkan dan dihaluskan, diperoleh
dari Desa Keputran, Kecamatan
Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi
Lampung. Pelarut yang digunakan untuk
ekstraksi dan kromatografi
berkualitas
teknis
yang
telah
didestilasi
sedangkan
untuk
analisis
spektrofotometer berkualitas proanalisis (p.a). Bahan
kimia yang dipakai
meliputi etil asetat
(EtOAc), metanol
(MeOH),
n-heksana
(n-C6H14), aseton
(C2H6O), akuades (H2O),
serium sulfat
(CeSO4) 1,5% dalam asam sulfat (H2SO4)
2N, benzena (C6H6), kloroform (CHCl3),
diklorometana (CH2Cl2), silika gel Merck
G 60 untuk impregnasi, silika gel Merck 60

sikloeukalenol, glutinol, sikloartenon, dan


-sitosterol dari A. champeden [4],
sikloartenil asetat [5],
24S)-9.19siklolanost-3-on-24 0.25-diol [6] dari A.
heterophyllus.
1785

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

(35-70 Mesh) untuk KCV (Kromatografi


Cair
Vakum)
dan KK
(Kromatografi
Kolom), untuk KLT (Kromatografi Lapis
Tipis) digunakan plat KLT silika gel Merck
kiesegel
60 F254
0,25 mm, silika
gel 60 PF254 untuk plat kromatotron.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Spektrum IR senyawa menunjukkan beberapa
puncak penting, yaitu puncak vibrasi pada
2947,39 cm 1 yang berasal dari serapan
uluran (stretching) dari gugus C-H,
daerah
bilangan gelombang 1734 cm 1 vibrasi dari
karbonil (C=O),
puncak vibrasi
C-O-C
pada daerah bilangan gelombang 1247,56 cm
1,
menunjukkan ada gugus C-O-C
yang
berasal dari gugus ester dan adanya puncak
serapan pada bilangan gelombang 1647,21
cm 1 yang berasal dari vibrasi C=C (Gambar
3).

Metode
2,71 kg serbuk kulit batang kenangkan
dimaserasi menggunakan metanol.
Hasil
maserasi kemudian disaring lalu dipekatkan
menggunakan rotavapor, diperoleh ekstrak
kental 177,8 gr.
Ekstrak ini selanjutnya
dipartisi secara KCV mengunakan silika gel
dan eluen n-heksana-etilasetat yang dinaikkan
kepolarannya. Fraksi hasil elusi menggunakan
eluen etilasetat-n-heksana hingga 15% yang
memiliki Rf yang sama pada KLT, diuapkan,
diperoleh ekstrak 30,5 gr. Pemurnian fraksi
selanjutnya dilakukan dengan kromatotron, dan
KK menggunakan berbagai campuran pelarut
dari n-heksana, etilasetat, benzena, kloroform,
metilenklorida, dan campuran metanol air 10%,
diperoleh kristal murni 21 mg, berwarna putih
dengan titik leleh 187-188 C. pada uji
kemurnian menggunakan KLT dengan tiga
sistem eluen, menunjukkan satu noda (Gambar
1), dan pada identifikasi dengan LibermanBuchard, senyawa ini memberikan warna
merah (Gambar 2).

Gambar 3. Spektrum IR senyawa hasil isolasi

Berdasarkan data IR dan


uji
kualitatif
dengan menggunakan pereaksi
Liebermann
Burchard, menunjukkan bahwa senyawa hasil
isolasi
merupakan
senyawa golongan
triterpenoid [7].
Spektrum NMR karbon (125 MHz,
CDCl3)
dari senyawa hasil isolasi
diperoleh data
geseran kimia dari 61 sinyal yang berasal dari
61 atom karbon yang muncul pada (ppm)
14,68; 15,75; 16,15; 16,38; 16,69; 16,88; 16,98;
18,19; 18,38; 18,45; 19,47; 21,11; 21,54; 23,71;
23,75; 23,88; 25,26; 26,13; 26,31; 27,08; 28,12;
28,53; 29,0-29,9; 31,27; 32,75; 33,53; 34,38; 34,90;
35,74; 37,0; 37,26; 37,31; 37,90; 37,97; 38,20;
38,43; 38,55; 39,97; 40,18; 41,0; 41,87; 43,0;
43,18; 46,95; 47,4; 47,72; 48,19; 48,45; 50,51;

Gambar 1. Kromatogram KLT senyawa


hasil isolasi,dari kiri ke kanan: eluen
diklorometana/n-heksana 1:9,
eluen diklorometana/n-heksana 2:8, dan
diklorometana/ n-heksana 3:7

55,41; 55,54; 81,12; 81,62; 109,55; 121,81;


145,40; 151,18; dan 171,12. Spektrum DEPT
menunjukkan
adanya
tujuh karbon
metil, 21 karbon metilen, 19 karbon metin
dan 14 karbon kuarterner.
Data NMR ini menunjang data spektrum IR
bahwa senyawa hasil isolasi mengandung
gugus fungsi ester dengan adanya 171,12
ppm dari karbonil; 81,12 ppm berasal dari CO ester; dan adanya karbon-karbon ikatan

Gambar 2. Kromatogram KLT senyawa hasil


isolasi
1786

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

rangkap

121,81dan
145,40
ppm.
Berdasarkan triterpen literatur yang telah
diisolasi dari Artocarpus, umumnya memiliki
jumlah karbon 30, beberapa ada yang lebih
dari 30, yaitu terpenoid yang terasetilasi.
Berdasarkan data ini, berarti senyawa triterpen
dengan jumlah karbon 61 belum pernah
ditemukan pada Artocarpus. Dari penelusuran
literatur diperoleh data triterpen yang memiliki
gugus ester tetapi jumlah atom karbon 54
adalah -amiriltetrakosanoat yang diisolasi
dari Salvia fruticosa Mill [8]. Perbandingan
data 13C-NMR literatur dengan senyawa hasil
isolasi menunjukkan hanya beberapa geseran
kimia yang mendekati, yaitu untuk untuk
karbonil, C-ester, C-ikatan rangkap sedangkan
data untuk karbon alkana banyak yang tidak
sesuai, termasuk untuk kerangka karbon
triterpen pentasiklik.

perlu dibuat kembali spektrum MS yang


menunjukkan puncak ion molekul beserta
fragmentasinya dengan jelas.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada Kementrian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Dit.
Litabmas atas dukungan dana dalam bentuk
Penelitian Hibah Kompetensi tahun anggaran
2016.
5. REFERENSI
[1] R.H.M.J.Lemmens, I. Soerianegara, and W.C.
Wong (Ed), Plant Resources of South-East Asia
5, (2) Timber Trees: Minor Commercial
Timbers, Bogor, 59-70, 1995.
[2] T. Suhartati, , A.S. Yandri, and Sutopo Hadi,
The bioactivity of artonin E from the bark of
Artocarpus rigida Blume, European Journal of
Scientific Research, 23(2), 330-337, 2008.
[3] T. Suhartati, A.S.Yandri, Jhons F.S., and
Sutopo Hadi, In vitro and in Vivo
Antiplasmodia Activity of Oxyresveratrol and
Artonin E Isolated from Two Artocarpus Plants
in Indonesia, OJC, 26(3), 825-830, 2010.
[4]
S.A.
Achmad, , E.H. Hakim, L.D.
Juliawaty, L. Makmur, Suyatno, N. Aimi, and
E.L.
Ghisalberti. A new
prenylated
flavone from Artocarpus champeden. J. Nat.
Prod. 59. Hlm 878-879, 1996.
[5]
B.R.
Barik, T. Bhaunik, A.K. Kundu,
and A.B. Kundu. Triterpenoids of
Artocarpus heterophyllus. J. Indian.
Chem.
Soc. 74. Hlm 163-164, 1997.
[6] Aliefman Hakim, The diversity of secondary
metabolites
from
Genus
Artocarpus
(Moraceae). Bioscience 2 (3): 146-156,
November 2010.
[7]
K. Rosyidah,
N. Latifah,
dan M.D
Astuti. Isolasi dan Karakterisasi senyawa Amirin dari kulit
Batang
Binjai
(Mangifera caesia). Valensi. 2 (2). Hlm 389392, 2011.
[8]G.Topu, M. ztrk, T. Kuman, A.A.B Demirk
oz, U. Kolak, and
A. Ulubelen.
Terpenoids, essential oil composition, fatty
acid profile, and biological
activities of
Anatolian
Salvia fruticosa Mill. Turk.J. Chem.
37
(1). Hlm 619-632, 2013.

Spektrum massa dari senyawa hasil isolasi


memberikan sinyal pada m/z 409
yang
merupakan puncak dasar senyawa hasil
isolasi. Hal ini menunjukkan kemiripan
dengan spektrum massa senyawa
Amiriltetrakosanoat yang mempunyai puncak
dasar
409, sedangkan untuk
puncak
ion molekul dari
senyawa
hasil
isolasi tidak terdeteksi.
Berdasarkan perbandingan data 13C-NMR dan
MS, disimpulkan bahwa senyawa hasil isolasi
adalah triterpen yang memiliki gugus fungsi
ester dengan rantai karbon lebih dari 30, tetapi
kerangka triterpennya bukan pentasiklik seperti
pada umumnya tetapi memiliki puncak dasar
yang sama dengan -amiriltetrakosanoat.
4. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian,


disimpulkan kulit batang
tumbuhan
kenangkan (Artocarpus rigida) telah
diisolasi senyawa triterpen yang memiliki
gugus fungsi ester berantai panjang dan
mempunyai puncak dasar yang sama
dengan -amiriltetrakosanoat.
Disarankan, untuk mendapatkan struktur
molekul yang pasti dari senyawa hasil isolasi,

1787

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENINGKATAN KEMAMPUAN ANTI-OKSIDAN OLEH PROSES


TRANSGLIKOSILASI ENZIMATIS EKSTRAK KULIT MANGGIS
Titania Tjandrawati Nugroho1), Hilwan Yuda Teruna2), Riryn Novianti3), Yuana Nurulita4), Miranti5),
)
Diah Amalia Indratni6
1

FMIPA,Universitas Riau.
email: titania.nugroho@lecturer.unri.ac.id
Abstract
Transglycosylation of .flavonoids and polyphenols can enhance their solubility in polar solvents and increase
their biological activity. Enzymatic transglycosylation can be catalyzed by cellulases that have the retaining
mechanism. Ethanol extracts of mangosteen (Garcinia mangostana) pericarp has antioxidant properties, and
hence can protect cells against oxidative stress. This study evaluates the enzymatic transglycosylation process
of ethanol extracts of mangosteen pericarp by cellulase extracts produced by a Riau isolate of Trichoderma.
Ground and dried mangosteen pericarp was extracted with various concentrations of ethanol, with or without
cellulase. The transglycosylation process was followed by HPLC analysis, and the products evaluated in vivo
and in vitro for ability to protect cells against oxidative stress. In vitro analysis was through the free radical
scavenging DPPH method. In vivo analysis is by the MTT method to evaluate cell death due to oxidative stress.
Enzymatic transglycosylation of mangosteen ethanol extracts could be detected in the presence of ethanol in pH
5,5 buffers. We will also present the antioxidant activities of the extracts obtained.
Keywords: Garcinia mangostana, Trichoderma, cellulase
Abstrak
Transglikosilasi flavonoid dan polifenol dapat meningkatkan sifat kelarutan zat dalam pelarut polar
dan aktivitas biologisnya. Transglikosilasi secara enzimatis dapat dilakukan oleh selulase yang memiliki
kemampuan retaining dalam mekanisme kerjanya. Ekstrak etanol dari kulit manggis memiliki kemampuan
penangkapan radikal bebas, sehingga dapat memberikan perlindungan sel terhadap stres oksidatif.. Penelitian
ini bertujuan menguji kemampuan transglikosilasi enzimatis menggunakan selulase Trichoderma lokal Riau
untuk meningkatkan kemampuan ekstrak etanol kulit manggis dalam perlindungan sel terhadap stres oksidatif.
Selulase yang digunakan merupakan ekstrak kasar dari media produksi selulase Trichoderma galur lokal Riau.
Proses ekstraksi senyawa aktif kulit manggis dilakukan pada berbagai konsentrasi etanol, dengan dan tanpa
selulase. Hasil transglikosilasi dideteksi melalui profil HPLC dari produknya. Kemampuan perlindungan stress
oksidatif oleh produk ekstrak etanol kulit manggis, baik yang tertransglikosilasi, maupun yang tidak (kontrol)
diuji secara in vitro dan in vivo. Uji in vitro adalah berdasarkan kemampuan menangkap radikal bebas DPPH,
sedangkan uji in vivo dilakukan menggunakan kultur sel yang diperlakukan dengan H2O2 sebagai oksidan.
Transglikosilasi ekstrak etanol kulit manggis oleh selulase Trichoderma terjadi dalam suasana adanya pelarut
etanol pada pH 5,5. Akan dipresentasikan juga aktivitas antioksidan dari ekstrak yang diperoleh.
Kata kunci: Garcinia mangostana, Trichoderma, selulase.

serta anti-malaria (Chaverri et al., 2008).


Penelitian oleh Pothitirat et al. (2010)
menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan
terbesar dalam kulit buah manggis berasal dari
fraksi polar, yang terdiri dari senyawa fenolik
dan tannin. Pada penelitian lainnya, fraksi
polar ini ditunjukkan memiliki aktivitas
antioksidan dan juga dapat melindungi sel
syaraf dari stres oksidatif yang disebabkan
penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer,
stroke dan Parkinson (Weecharangsan et al.,
2006, Moongkarndi et al., 2014).

1. PENDAHULUAN
Kulit buah manggis mengandung
beberapa kelompok senyawa fenolik seperti
tanin, flavonoid, dan xanthon yang memiliki
beberapa aktivitas biologis yang dapat
digunakan untuk perlindungan sel atau sebagai
obat kanker (Li et al., 2013, Walker, 2007).
Beberapa penelitian telah membuktikan
aktivitas farmakologi dari senyawa yang
dikandung kulit buah manggis, di antaranya
sebagai antioksidan, antikanker, anti-inflamasi,
anti-alergi, anti-bakteri, anti-fungi, anti-virus,
1788

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Metoda yang umum digunakan untuk


mengestrak senyawa aktif polar kulit buah
manggis adalah dengan menggunakan pelarut
organik. Penelitian Chen et al. (2011)
menunjukkan bahwa ekstraksi senyawa fenolik
dari daun Ginko biloba, dapat ditingkatkan
dengan terlebih dahulu menginkubasi daun
Ginko biloba dengan enzim selulase, karena
terjadinya transglikosilasi senyawa fenolik
Ginko secara enzimatis. Transglikosilasi
senyawa
fenolik
selain
meningkatkan
kelarutannya dalam pelarut polar, juga ternyata
meningkatkan kestabilannya terhadap suhu
tinggi. Selulase juga meningkatkan kelarutan
senyawa fenolik dan tannin dengan sekaligus
mendegradasi selulosa pada dinding sel
tanaman, sehingga berbagai senyawa yang
berada dalam sel tanaman, mudah diekstraksi
ke luar.

senyawa polar aktif tersebut dari kulit buah


manggis.
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS (JIKA
ADA)
Manggis (Garcinia mangostana Linn)
merupakan salah satu buah yang digemari oleh
masyarakat Indonesia. Tanaman ini berasal
dari hutan tropis yang teduh di kawasan Asia
Tenggara, yaitu hutan Indonesia, Malaysia,
Srilanka, Philipina dan Thailand (Chaverri et
al. 2008). Kulit buah manggis (Garcinia
mangostana L.) mengandung senyawa
golongan xanthone dengan senyawa paling
aktif
berupa
alfa-mangostin,
gammamangostin dan garsinon-E (Chin et al., 2008).
Kulit buah manggis juga mengandung senyawa
golongan flavonoid, saponin, alkaloid,
triterpenoid, tanin, dan polifenol (Pothitirat et
al., 2010).

Laboratorium
Biokimia,
FMIPA
Universitas Riau telah mengisolasi beberapa
galur Trichoderma dan Penicillium penghasil
selulase dari tanah Riau T. asperellum
LBKURCC1 (T.N.C52) dan LBKURCC2
(T.N.J63) yang semula diisolasi sebagai
Trchoderma sp. penghasil kitinase, ternyata
juga dapat menghasilkan selulase. T.
asperellum LBKURCC1 (T.N.C52) diisolasi
dari tanah perkebunan coklat di kecamatan
Rumbai, kota Pekanbaru, Riau dan T.
asperellum LBKURCC2 (T.N.J63) diisolasi
dari tanah perkebunan jeruk di Kabupaten
Kampar, Riau (Nugroho et al., 2003; Devi et
al., 2001, Nugroho, 2006). Ke semua galur ini
menghasilkan selulase endoglukanase (EC
3.2.1.4) dan eksoglukanase (EC 3.2.1.91)
dengan aktivitas yang bervariasi (Sepryani et
al., 2011). Penelitian ini bertujuan menguji
kemampuan
transglikosilasi
enzimatis
menggunakan selulase Trichoderma lokal Riau
untuk meningkatkan kemampuan ekstrak
etanol kulit manggis dalam perlindungan sel
terhadap stres oksidatif. Transglikosilasi
senyawa aktif kulit buah manggis (Garcinia
mangostana
L.)
secara
enzimatis
menggunakan selulase diharapkan dapat
menghasilkan senyawa aktif glikon yang lebih
polar, lebih stabil terhadap panas dan memiliki
aktivitas antioksidan yang tinggi sehingga akan
lebih
maksimal
diaplikasikan
sebagai
neuroprotektan. Selain itu karena selulase
dapat mendegradasi selulosa pada dinding sel
tanaman, juga terjadi peningkatan ekstraksi

Penelitian yang dilakukan oleh


Moongkarndi et al. (2014) mengungkapkan
aktivitas neuroprotektif dari zat antioksidan
dalam berbagai jenis sel ekstrak metanol dari
kulit buah manggis menunjukkan aktivitas
antiproliferatif, apoptosis dan antioksidan pada
sel kanker SKBR3 payudara manusia.
Penelitian yang dilakukan oleh Li et al. (2013)
mengungkapkan senyawa polifenol dari
ekstrak kulit buah manggis menunjukkan
aktvitas antikanker pada payudara dan prostat.
Ekstrak
senyawa
polar
dapat
dimodifikasi menjadi flavonoid glikosida
melalui reaksi glikosilasi Flavonoid glikosida
memiliki kelarutan dalam air yang baik, lebih
stabil terhadap suhu tinggi, lebih mudah
diserap usus dan citarasa yang lebih baik
dibandingkan ekstrak senyawa polar aglikon
(Noguchi et al., 2008). Sebagai contoh Ono et
al. (2006) menunjukkan bahwa quercitin
oligoglukosida meiliki kemampuan absorbsi
usus yang lebih baik dari flavonoid aglikon
quercitin.
Glikosilasi senyawa secara umum
dapat dilakukan secara sintesis organik
konvensional
atau
secara
enzimatik.
Glikosilasi senyawa secara sintesis organik
konvensional dapat menghasilkan senyawa
samping yang sulit dipisahkan dari senyawa
target atau senyawa samping yang kurang
ramah lingkungan. Sebaliknya glikosilasi
enzimatik (transglikosilasi) yang lebih spesifik
1789

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dan selektif dapat menghasilkan senyawa


tunggal dan lebih ramah lingkungan (Gao et
al., 2001)

(40:80), dengan kecepatan alir 1 mL/menit,


suhu ruang (25oC).
Penentuan aktivitas antioksidan metode
DPPH dilakukan dengan mengacu kepada
metode Blois. Larutan ekstrak dipersiapkan
dengan melarutkan 0,1 g ekstrak kering di
dalam 50 mL, 50 % larutan metanol. Larutan
stok didilusi dengan 50% metanol untuk
mempersiapkan sampel dengan konsentrasi 1,
10, 50 dan 100 g/mL. Larutan sampel
dicampur dengan larutan DPPH dan metanol
0,01% pada rasio 1:1 kemudian diinkubasi
selama 30 menit pada ruangan gelap pada suhu
kamar. Selanjutnya absorbansi diukur pada
panjang gelombang 517 nm dengan
spektrofotometer UV-VIS dan sebagai standar
digunakan larutan asam askorbat. Persentasi
penangkapan aktivitas radikal bebas dihitung
dengan persamaan berikut :

Metoda yang umum digunakan untuk


mengestrak senyawa aktif kulit buah manggis
adalah dengan menggunakan pelarut organik
seperti etanol dan metanol.. Penelitian yang
dilakukan oleh Moongkarndi et a.l (2014)
menunjukkan ekstraksi dengan pelarut etanol
menghasilkan senyawa -mangostin yang
berpotensi sebagai antiinflamasi, antitumor,
antioksidan
dan
aktivitas
antibakteri.
Sedangkan pemisahan ekstrak etanol dengan
pelarut air memiliki efek neuroprotektif
terhadap oksidasi stress pada beragam sel saraf
secara in vitro and in vivo. Penelitian Chen et
al. (2011) menunjukkan bahwa ekstraksi
senyawa fenolik dari daun Ginko biloba, dapat
ditingkatkan
dengan
terlebih
dahulu
menginkubasi daun Ginko biloba dengan
enzim
selulase,
karena
terjadinya
transglikosilasi senyawa fenolik Ginko secara
enzimatis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisis HPLC menunjukkan terjadi
biotransformasi pada ekstrak etanol kulit
manggis dengan adanya selulase pada proses
ekstraksi dengan pelarut etanol 30 hingga 50%.
Biotransformasi ini ditunjukkan dengan pola
kromatogram HPLC yang berbeda antara
ekstrak tanpa selulase, dengan ekstrak
menggunakan selulase.
Sebagai contoh
ditunjukkan salah satu hasil kromatogram pada
konsentrasi pelarut etanol 30% (Gambar 1
dan 2). Jika dibandingkan profil HPLC antara
hasil ekstraksi dengan selulase ( Gambar 2) ,
dengan tanpa enzim (Gambar 1), maka
terdapat perbedaan yang cukup signifikan,
dengan munculnya suatu puncak pada waktu
retensi 17,0 menit pada panjang gelombang
280nm. Puncak 17,0 menit ini sangat tinggi
(60 mV) dengan adanya selulase, dan tak
ditemukan pada ekstrak tanpa selulase. Di
samping itu terdapat puncak yang secara
konsisten menurun pada ekstraksi dengan
enzim, dibandingkan ekstrak tanpa enzim,
yaitu puncak pada waktu retensi 6,7 menit.
Kromatogram ekstrak pada konsentrasi etanol
40% dan 50% dilaporkan pada publikasi
(Nugroho et al., 2016).

3. METODE PENELITIAN
Selulase yang digunakan dalam penelitian
ini adalah ekstrak kasar selulase yang
diproduksi oleh Trichoderma asperellum
LBKURCC1
pada
media
produksi
menggunakan 1% CMC sebagai sumber
karbon utama. Ekstrak etanol kulit buah
manggis
kering
dilakukan
dengan
menginkubasi bubuk kering kulit manggis
dengan selulase dalam pelarut bufer pH 5,5
yang mengandung variasi konsentrasi etanol
30 hingga 50%,
sesuai metode yang
dideskripsikan oleh Chen et al.(2011). Semua
prosedur ekstaksi diulang 3x. Hal yang sama
dilakukan terhadap kontrol, yaitu ekstraksi
tanpa penggunaan selulase. Ekstrak yang
diperoleh dikeringkan dengan penguapan
vakum pada rotary evaporator suhu 50oC,
dilanjutkan pengeringan oven hingga suhu
konstan 60oC.
HPLC fasa terbalik ekstrak kulit manggis
yang diperoleh dilakukan dengan melarutkan
ekstrak kering dalam methanol (1 mg/mL).
HPLC dilakukan menggunakan kolom Shim
Pack C18 (5 m, 250 mm x 4 mm, Shimadzu,
Kyoto,
Japan),
dengan
detektor
spektrofotometer UV 280 nm. Kolom dielusi
dengan fasa gerak gradient air : asetonitril

Biotransformasi selulase terhadap ekstrak


yang ditunjukkan dengan perbedaan profil
HPLC antara ekstraksi dengan dan tanpa
selulase, ternyata sejalan dengan peningkatan
1790

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

aktivitas anti-oksidan dari ekstrak etanol. Data


selengkapnya dilaporkan pada publikasi
(Nugroho et al., 2016). Biotransformasi yang
terjadi sangat mungkin disebabkan reaksi
transglikosilasi yang dikatalisis oleh selulase
T. asperellum yang digunakan.
Reaksi
transglikosilasi ini dimungkinkan bila selulase
T. asperellum adalah selulase dengan
mekanisme kerja retaining, seperti yang
dipostulatkan oleh York & Hawkins (2000)
untuk selulase dari Trichoderma reesei. Masih
diperlukan pembuktian sifat retaining ini, dan
apakah produk ekstrak yang dihasilkan adalah
benar suatu produk tertransglikosilasi.
Pembuktian ini hanya dapat dilakukan bila
masing-masing puncak pada kromatogram
dapat diidentifikasi dan dielusidasi struktur
senyawanya. Apabila terbukti bahwa memang
mekanisme transglikosilasi selulase yang
berperan pada proses biotransformasi ekstrak
kulit manggis, maka pertanyaan selanjutnya

adalah identitas dari donor glikon yang ada


dalam proses ekstraksi. Sangat mungkin donor
glikon tersebut bukan selulosa dari kulit
manggis itu sendiri, melainkan salah satu dari
gula kompleks yang mungkin dikandung oleh
kulit manggis tersebut. Memahami donor yang
berperan, akan penting jika ingin dilakukan
modifikasi atau optimasi dari proses
biotransformasi tersebut, untuk mendapatkan
ekstrak dengan aktivitas antioksidan lebih
tinggi lagi, atau untuk memperoleh senyawa
baru dengan bioaktivitas lainnya.
5. KESIMPULAN
Selulase Trichoderma asperellum isolat
Riau memiliki kemampuan biotransformasi
senyawa pada kulit manggis dalam suasana
adanya etanol, sehingga menghasilkan ekstrak
etanol dengan aktivitas antioksidan meningkat.

Gambar 1. Profil kromatogram HPLC pada panjang gelombang 280nm dari ekstrak 30% etanol kulit
manggis tanpa inkubasi dengan selulase.

Gambar 2. Profil kromatogram HPLC pada panjang gelombang 280nm.dari ekstrak 30% etanol kulit
manggis yang diinkubasi dengan selulase
Chin, Y.W., Jung, H.A., Chai, H., Keller, W.J.,
Kinghorn, A.D., (2008). Xanthones with
quinone reductase-inducing activity from the
fruits of Garcinia mangostana (Mangosteen).
Phytochemistry 69: 754758.

6. REFERENSI
Chaverri, J. P., N. C. Rodriguez, M. O. Ibarra, and
J. M. P. Rojas. (2008). Medicinal Properties of
Mangosteen (Garcinia mangostana). Food and
Chem. Toxicol., 46: 32273239.

1791

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Chen, S. Xing, X.-H., Huang, J.-J & Xu.-S. (2011).
Enzyme-assisted extraction of flavonoids from
Ginkgo biloba leaves: improvement effect of
flavonol transglycosylation catalyzed by
Penicillium decumbens cellulase. Enzyme
Microb. Technol., 48: 100-105
Devi, S., Indriati, Nugroho, T.T. (2001). Pemurnian
selulase ekstrak selular Trichoderma harzianum
TNC52. Jurnal Natur Indonesia 4: 15-24.
Gao, C., Mayon, P., MacManus, D.,& Vulfson, E.
(2001). Novel enzymatic approach to the
synthesis of flavonoid glycosides and their
esters. Biotechnol. Bioeng. 71: 235-243
Li G, Thomas S & Johnson J. (2013) polyphenols
from the mangosten (Garcinia mangostana)
fruit for breast and prostate cancer. Frontiers in
pharmacology.4,
doi:
10.3389/fphar.2013.00080.
Moongkarndi P, Jaisupaa N, Samera J, Kosema N,
Konlataa J, Rodpaib E & Pongpan N. (2014).
Comparison of the biological activity of two
different isolates from mangosteen. Journal of
Pharmacy
and
Pharmacology:
doi:
10.1111/jphp.12239
Nugroho, T.T., Ali, M. Ginting, C., Wahyuningsih,
Dahliaty, A., Devi, S., Sukmarisa, Y. (2003).
Isolasi dan karakterisasi sebagian kitinase
Trichoderma viride TNJ63. Jurnal Natur
Indonesia 5: 101-106
Nugroho, T.T. (2006). Versatile plant protection
biocontrol of fungi: Biochemistry and
biotechnology potential in agriculture, industry
and health. Prosiding Seminar UKM-UNRI Ke4. Fakulti Sains dan Teknologi Universiti
Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor,
Malaysia. 1-13.
Nugroho, T. T., Teruna, H. Y., Novianty, R.,
Octaviani, D., Miranti.
2016. Increased

extraction of ipomea batatas andGgarcinia


mangostana
antioxidants in ethanol by
trichoderma asperellum cellulase may involve
transglycosylation. Enzyme and Microbial.
Technol. (in process).
Noguchi, A., Inohara-Ochiai, M., Ishibashi, N.,
Fukami,,Nakayama, T., & Nakao, M. (2008). A
novel glucosylation enzyme : Molecular
cloning, expression, and characterization of
Trichoderma viride JCM22452 alpha-amylase
and enzymatic synthesis of some flavonoid
monoglucosides and oligoglucosides. J. Agric.
Food Chem., 56: 12016-12024.
Ono, Y., Tomimori, N., Tateishi, N., Moriwaki, M.,
Emura, K. Okuyama, S. (2006). Patent No.
WO2006/070883A1
Pothitirat W., Chomnawang, M. T., Supabphol, R.,
Gritsanapan, W. (2010). Free radical scavenging
and anti-acne activities of mangosteen fruit rind
extracts prepared by different extraction
methods Pharmaceutical Biology, 2010; 48(2):
182186
Sepryani, H., Analismawati, Zul, D., Devi Sy, S.,
Nugroho, T.T. (2011). Isolasi Trichoderma
selulolitik dari tanah hutan sekunder kawasan
shelter sundak cagar biosfer Giam Siak KecilBukit Batu Riau.Prosiding Seminar Nasional
Himpunan Kimia Indonesia 2011. Himpunan
Kimia Indonesia, Pekanbaru.27-31.
Walker EB (2007). HPLC analysis of selected
xanthones in mangosteen fruit. J Sep. Sci. 30:
12291234.
Weecharangsan, W., Opanasopit, P., Sukma, M.,
Ngawhirunpat, T., Sotanaphun, U., Siripong, P.
(2006). Antioxidative and Neuroprotective
Activities of Extracts from the Fruit Hull of
Mangosteen (Garcinia mangostana Linn.). J
Medical Principles Practical 15:281287

1792

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

FORMULASI SUSPENSI ANTASIDA DENGAN ZAT PENSUSPENSI


METHOCEL E 15 DAN VEEGUM HV
FORMULATED ANTACID SUSPENSION USED SUSPENDING AGENT
METHOCEL E 15 DAN VEEGUM HV
Uce Lestari 1*, Vinny Hosiana2, Fifi Harmely 3
Program Studi Farmasi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi 1*, Jambi
Email : uce_kenzie@yahoo.co.id,
Fakultas Farmasi, Universitas Andalas Padang2
Jurusan Farmasi STIFI Yayasan Perintis Padang3

ABSTRACT
It has been formulated antacid suspension used suspending agent Methocel E 15dan Veegum
HV wtih combination. Evaluation of the suspension included investigation of organoleptick, degree of
sedimentation, pH, particle size, viscosity with rheological property, density and neutralizing capacity
acid
It was foundthat formula V with suspending agent combination Methocel E 15 dan Veegum
HV that each concentration 1 % given well evaluation and all of formulation not influence
neutralizing capacity acid.
Keywords: Antacid Suspension, Methocel E 15,Veegum HV, Neutralizing capacity acid
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian formulasi suspensi antasida dengan menggunakan zat pensuspensi
Methocel E 15 dan Veegum HV serta kombinasinya. Evaluasi sediaan meliputi pemeriksaan
organoleptis, derajat sedimentasi, pH, ukuran partikel, kekentalan serta sifat aliran, bobot jenis, dan
kapasitas penetralan asam.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa formula V dengan kombinasi zat pensuspensi
Methocel E 15 dan Veegum HV yang masing-masing konsentrasi 1 % memberikan evaluasi yang
lebih baik dan semua formula tidak mempengaruhi kemampuan kapasitas penetralan asam .
Kata kunci : Suspensi Antasida, Methocel E 15 , Veegum HV, Kapasitas penetralan asam.
bentuk suspensi atau tablet. Bentuk suspensi
ini lebih disukai daripada bentuk tablet karena
suspensi bekerja lebih cepat dan obat sudah
berada dalam bentuk partikel didalam sediaan.
Pilihan pertama umumnya adalah senyawa
Magnesium dan Aluminium dengan sifat
netralisasi yang baik tanpa resorpsi usus [2,3]
Untuk memperoleh suspensi yang stabil
secara fisika diusahakan agar partikel-partikel
obat terdispersi dalam cairan pendispersi
selama mungkin dan bila terjadi endapan,
maka endapan tersebut dapat didispersikan
kembali dengan pengocokan perlahan [3,4].
Untuk itu perlu penambahan bahan pembantu
salah satu diantaranya adalah zat pensuspensi.
Zat pensuspensi adalah zat yang dapat
meningkatkan viskositas yang digunakan

1. PENDAHULUAN
Antasida atau zat
pengikat asam
adalah basa-basa lemah yang digunakan untuk
menetralisir atau mengikat asam lambung yang
berlebihan, seperti pada penyakit tukak
lambung dan tukak usus. Hal ini disebabkan
karena berkurangnya daya tangkis selaput
lendir lambung yang dalam keadaan normal
tahan terhadap asam klorida dan pepsin.
Antasida tidak mengurangi volume asam
klorida yang dikeluarkan lambung, tetapi
peningkatan pH akan menurunkan aktifitas
pepsin dalam cairan lambung [1,2].
Kebanyakan preparat antasida disusun
dari bahan-bahan yang tidak larut dalam air
sehingga sediaan antasida ini diformula dalam
1793

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

untuk mengurangi kecepatan sedimentasi


partikel-partikel terdispersi [5]. Zat-zat
pensuspensi yang umumnya dipakai adalah
Veegum
(0,5-2,5%,
Tragacanth
(1%),
Methocel (1-2%), Gom arab (5-10%), Na
Alginat (1-5%), HPMC (0,45-1%) dan lainlain
yang
masing-masing
mempunyai
keuntungan dan sifat aliran yang spesifik [6].
Pada Pembuatan suspensi anatasida ini
maka dipilih zat suspensinya adalah Methocel
E 15 dan Veegum HV karena mempunyai
keuntungan
dibandingkan
dengan
zat
pensuspenasi lainnya antara lain :
Methocel E 15 dalam suspensi bekerja
sebagai koloid pelindung yang menyelubungi
partikel, sehingga mencegah terbentuknya
cake dengan struktur partikel yang longgar,
sehingga
akan
memudahkan
untuk
pendistribusian kembali dalam waktu yang
cepat. Methocel E 15 memberikan aliran
pseudoplastis [6,7]
Veegum HV dalam suspensi mengembang
didalam air sehingga menembus masuk
kedalam celah pori-pori partikel untuk
membentuk dispersi koloid yang mempunyai
viskositas tinggi. Veegum HV memberikan
aliran tiksotropik dengan harga yield value
tinggi, biasanya dikombinasi dengan pengental
organik untuk memperbaiki harga yield value
dan sebagai kontrol flokulasi [7,8,9,10]

Berdasarkan hal diatas untuk mendapatkan


suspensi yang memenuhi syarat evaluasi dan
kapasitas penetralan asam sediaan maka perlu
dibuat suspensi dengan menggunakan berbagai
jenis bahan pensuspensi dan kombinasinya.
2. METODE PENELITIAN
Alat: Timbangan digital (Denver Instrument
Company), viskometer Brook field (Rion
Viscotester Vt 04 F), viskometer stirmer,
viskometer hoeppler, pH meter (inolab pH
Level 1), mikroskop elektrik yang telah
dilengkapi dengan mikrometer, piknometer,
stopwatch, lumpang dan alu, buret dan standar,
magnetik stirer, termometer, lampu spiritus,
kaki tiga dan kasa asbes, botol semprot, kaca
objek dan penutup, alat-alat gelas standar
laboratorium.
Bahan : Aluminium Hidroksida ( Harum
Sari), Magnesium Hidroksida (Harum Kimia),
Sorbitol 70% (Harum Kimia), Methocel E 15
(Indo Farma), Veegum Hv (Harum Kimia),
Natrium Benzoat (Brataco), Oleum Menthae
piperitiae (Brataco), Sukrosa ( Harum Kimia),
Asam Klorida, Asam Oksalat, Natrium
Hidoksida dan air suling
Pemeriksaan bahan berkhasiat dan bahan
tambahan dilakukan menurut persyaratan yang
terdapat pada Farmakope Indonesia edisi IV,
Martindale edisi 28 dan Handbook of
Pharmaceutical Excipients

Nama Bahan
l(OH)3
Mg(OH)2
Sorbitol 70 %
Methocel E 15
Veegum HV
Sirup simplex
Na Benzoat
Oleum MP
Air Suling ad
Tabel 1. Rancangan Formula

FI
200 mg
200 mg
4 % v/v
1 % b/v
10 % b/v
0,1 % b/v
0,038 % v/v
5 ml

FII
200 mg
200 mg
4 % v/v
2 % b/v
10 % b/v
0,1 % b/v
0,038 % v/v
5 ml

FIII
200 mg
200 mg
4 % v/v
1 % b/v
10 % b/v
0,1 % b/v
0,038% v/v
5 ml

FIV
200 mg
200 mg
4 % v/v
2 % b/v
10 % b/v
0,1 % b/v
0,038 % v/v
5 ml

FV
200 mg
200 mg
4 % v/v
1 % b/v
1 % b/v
10 % b/v
0,1 % b/v
0,038 % v/v
5 ml

Larutan sorbitol 70 % ditambahkan sedikit


demi sedikit kedalam masa II sambil terus
diaduk sampai homogen, gerus homogen.
Larutan natrium benzoat yang telah dilarutkan
dalam air ditambahkan, aduk homogen.
Suspensi diencerkan dengan air suling. Oleum
MP ditambahkan, aduk homogen. Sisa air
suling ditambahkan sampai 300 ml. Kemudian
diamsukkan kedalam beaker glass, aduk
homogen. Sediaan dipindahkan kedalam botol
dan ditutup rapat.

Suspensi dibuat sebanyak 300 ml dengan


cara sebagai berikut : dibuat sirup simplek (64
gram sukrosa dilarutkan dengan air mendidih
sampai 100 ml [11], zat pensuspensi Methocel
E 15 dan Veegum HV sesuai konsentrasi
ditaburkan diatas air panas sebanyak 12
kalinya dan dibiarkan mengembang selama 15
menit lalu diaduk sampai homogen (masa I).
Al(OH)3 dan Mg(OH)2 yang telah diayak
dimasukkan dalam lumpang, gerus homogen.
1794

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dengan cara sebagai berikut : mikrometer


pentas dikalibrasi dengan perbesaran yang
akan dipakai. Suspensi yang telah dikocok
diambil satu tetes kemudian diencerkan dengan
air suling (1:10), setelah itu diambil lagi satu
tetes dari suspensi yang telah diencerkan
tersebut diletakkan pada kaca objek lalu
ditutup dengan coverglass kemudian diamati
dibawah mikroskop pada perkiraan tertentu,
kemudian partikel diamati sebanyak 1000
partikel.
Pengukuran pH sediaan
Untuk menentukan pH sediaan dilakukan
dengan menggunakan alat pH meter.
Pengukuran dilakukan setiap seminggu selama
dua bulan dengan cara sebagai berikut :
suspensi dimasukkan kedalam beakerglass
sebanyak 25 ml. Alat dikalibrasi terlebih
dahulu dengan larutan dapar pH 7 dan pH 10,
hingga pH meter menunjukkan harga pH
tersebut. Elektroda dicuci dengan air suling,
lalu dikeringkan dengan tisu. Pengukuran pH
dilakukan dengan cara mencelupkan elektroda
kedalam sediaan dan biarkan angka pada pH
meter bergerak sampai posisi konstan. Angka
yang menunjukkan oleh pH meter merupakan
harga pH sediaan

Pemeriksaan derajat sedimentasi


Suspensi yang telah dibuat dimasukkan
kedalam gelas ukur 10 ml, lalu ditutup dan
disimpan pada suhu kamar. Amati volume
awal sebelum pengendapan (Vo) dan volume
akhir
pengendapan
(Vu).
Pengukuran
dilakukan setiap hari selama seminggu pertama
dan selanjutnya sekali seminggu selama dua
bulan.
Penentuan viskositas dengan Viskometer
Brookfield
Prinsipnya mengukur viskositas dengan
gaya yang dibutuhkan untuk memutar poros
dalam sediaan yanga akan diuji [12]
pengukuran dilakukan setiap minggu selama
dua bulan dengan cara sebagai berikut : rotor
no 3 ditempatkan pada bagian tengah gelas,
kemudian sediaan dimasukkan kedalamn gelas
sampai tanda batas rotor (170 ml). Jarum
apitan digeser dengan arah yang berlawanan
dengan tanda panah. Alat dihidupkan. Ketika
rotor mulai berputar, jarum penunjuk
viskositas untuk sementara membelok kekanan
kemudian kembali seimbang, setelah seimbang
nilai viskositas dapat dibaca dari skala sesuai
dengan rotor no 3. Alat dimatikan, kemudian
jarum apitan digeser kembali dengan arah yang
berlawanan dengan tanda panah sampai jarum
kembali keposis semula.

Penentuan kapasitas penetralan terhadap


asam
Pengujian ini dilakukan pada suhu 37 C
dengan cara titrasi asam basa dengan cara
sebagai berikut : suspensi yang telah dikocok
homogen diambil sebanyak 10 ml dan
dimasukkan kedalam beaker glass 250 ml,
kemudian air suling ditambahkan sampai 70
ml, selanjutnya asam klorida 1 N ditambahkan
sebanyak 30 ml dan diaduk dengan magnetic
stirer selama 15 menit dengan kecepatan 300
RPM. Kelebihan asam klorida I N dititrasi

Penentuan Bobot Jenis


Suspensi yang telah dibbuat ditentukan
BJ dengan menggunakan piknometer yang
mempunyai volume 25 ml. Pengukuran
dilakukan setelah penyimpanan selama dua
bulan dengan cara sebagai berikut :
pikonometer
kosong
ditimbang
(Wo)
kemudian ditambahkan air suling dan
ditimbang (Wb). Piknometer dibersihkan,
masukkan suspensi antasida dan ditimbang
(Wa).
Pengukuran Ukuran Partikel
Suspensi yang telah dibuat ditentukan
ukuran partikelnya dengan menggunakan
mikroskop
yang
dilengkapi
dengan
mikrometer. Pengukuran dilakukan sebelum
dan setelah penyimpanan selama dua bulan
Evaluasi
Organoleptis bentuk
sediaan
Derajat sedimentasi
Sifat aliran

dengan NaOH 0,5 N sambil terus diaduk


sampai titik akhir menunjukkan pH 3,5
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari data hasil rekapitulasi evaluasi
suspensi antasida dapat dilihat pada tabel
berikut ini:

FI
Agak encer

FII
Agak encer

FIII
Agak kental

FIV
Kental

FV
Agak kental

0,150 -0,160
Pseudotropik

0,160-0,180
Pseudotropik

0,400-0,430
Tiksotropik

0,602-0,800
Tiksotroik

0,419-0,450
Pseudoplastik
tiksotropik

1795

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
pH
Ukuran partikel
Bobot Jenis
Kapasitas penetralan
asam

9,38-9,45
28,12-28,77 um
1,0771
24,653 mEq

9,45-9,48
28,97-30,13 um
1,0725
24,553 mEq

Pengamatan derajat sedimentasi yang


bertujuan untuk melihat kecepatan sedimentasi
partikel-partikel yang terdispersi. Dari
pengamatan
tersebut
terlihat
bahwa
pengurangan kecepatan sedimentasi sedikit
sekali. Semua sediaan menunjukkan penurunan
derajat
sedimentasi
selama
waktu
penyimpanan sampai akhirnya nilai derajat
sedimentasi itu menjadi konstan. Penurunan
derajat sedimentasi tersebut terjadi karena pada
pendiaman
selanjutnya
partikel-partikel
tersuspensi yang lebih kecil akan menempati
ruang diantara partikel-partikel yang lebih
besar karena adanya gaya garvitasi. Derajat
sedimentasi berbanding terbalik dengan
kecepatan sedimentasi, dimana semakin besar
derajat sedimentasi atau harganya mendekati
satu maka kecepatan sedimenatsi semakin
kecil dan sebaliknya
Dalam memformula suspensi kesulitan
yang sering dijumpai adalah cepatnya terjadi
proses sedimentasi dari partikel-partikel yang
terdispersi dalam medium pendispersi. Proses
sedimentasi ini dapat diperlambat dengan
memilih zat pensuspensi yang dapat
mempengaruhi kekentalan. Dengan demikian
penambahan
zat
pensuspensi
dapat
mengurangi kecepatan sedimentasi partikelpartikel terdispersi [5,7]. Zat pensuspensi yang
digunakan Methicel E 15 dengan konsentrasi
1-2 %, veegum HV dengan konsentrasi 1-2%
serta kombinasinya dengan konsentrasi 1 %.
Selain proses sedimentasi kesulitan yang
sering ditemui dalam memformula suspensi
yaitu mengenai proses pembasahan fasa padat
oleh medium pendispersi. Untuk itu perlu
penambahan suatu zat pembasah yang dapat
menurunkan tegangan permukaan partikel zat
padat dengan medium pendispersi, sehingga
sudut kontak akan diperkecil dan zat padat
tersebut akan mudah dibasahi. Pada suspensi
antasida ini digunakan zat pembasah dari
golongan senyawa polialkohol yaitu sorbitol
70 %. Dengan alasan karena sorbitol 70 % ini
mampu mencegah terjadinya pengumpalan
dari Al(OH)3 pada saat formulasi, dimana
Al(OH)3 apabila bercampur dengan air akan
mengumpal seperti gel [7]
Pada pemeriksaan pH selama penyimpanan
semua sediaan mengalami sedekit perubahan

9,74-9,83
17,29-18,70 um
1,0986
24,403 mEq

9,77-9,99
20,39-20,95 um
1,0943
24,303 mEq

9,68
22,99-23,42 um
1,0866
24,153 mEq

pH, kemungkinan disebabkan karena adanya


perubahan arus listrik yang masuk pada saat
pemeriksaan pH atau adanya senyawa amfoter
yang dapat bersifat sebagai asam dan basa
seperti : Al(OH)3
Dari hasil pemeriksaan viskositas dengan
menggunakan alat viskometer Brookfield dan
viskometer Stormer didapatkan viskositas yang
berbeda, dimana viskositas yang ditentukan
dengan viskometer Brookfield dihasilkan
viskositas yang kecil, hal ini kemungkinan
karenap pada penentuan viskositas dengan
viskometer Brookfield dilakukan pada satu
kecepatan geser yaitu digunakan rotor no 3
berat 46 gram, yang dapat memutar poros
dalam suspensi antasida.
Dari hasil pemeriksaan viskositas dengan
viskometer Brookfield dapat dilihat bahwa FI,
FII, FIII, FIV, FV viskositasnya meningkat
selama penyimpanan. Pada FIII pada awal
penyimpanan viskositasnya naik dan setelah
penyimpanan
viskositasnya
turun
kemungkinan disebabkan oleh pengaruh
kekuatan baterai pada alat sudah mulai
melemah.
Untuk pemeriksaan sifat alir FI dan FII
memiliki aliran pseudoplastis terlihat kurva
baik dan kurva turun berhimpit karena sediaan
tidak membutuhkan waktu untuk kembali
semula. FIII dan FIV memiliki aliran
tiksotropik sedangkan FV memiliki aliran
pseudoplastis tiksotropik terlihat jurva naik
dan kurva turun tidak berhimpit karena sediaan
membutuhkan waktu untuk kembali keadaan
semula. Perbedaanya pada aliran tiksotropik
memiliki celah yang lebih besar dibandingkan
aliran pseudoplastis tiksotropik.
Ukuran partikel ini dapat ditentukan dengan
menggunakan mikroskop elektrik yang
dilengkapi dengan mikrometer. Dari hasil
pengukuran bahwa suspensi yang dihasilkan
mempunyai ukuran partikel berkisar 17-30 um.
Ini merupakan ukuran yang memenuhi syarat
untuk sediaan suspensi karena dalam literatur
dinyatakan bahwa ukuran partikel yang stabil
secara fisisk dari suatu suspensi adalah 0,5-50
um [3]. Selama penyimpanan terjadi sedikit
pertambahan ukuran partikel . kemungkinana
karena partikel-partikel yang lebih kecil akan
menempati ruang diantara partikel-partikel
1796

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

yang lebih besar sehingga terdispersi dalam


medium pendispersi sehingga ukuran partikel
bertambah besar.
Dari hasil kurva distribusi partikel terlihat
bahwa FV memberikan hasil kurva yang
berbeda sebelum dan sesudah penyimpanan.
Kemungkinan pada saat pengocokan dan
pengambilan sediaan tidak terdispersi secara
merata akibatnya partikel banyak menumpuk
pada salah satu diameter yang terlihat pada
saat pengamatan.
Ukuran partikel erat hubungannya dengan
kecepatan sedimentasi. Makin kecil ukuran
partikel maka kecepatan sedimentasi makin
lambat, sebaliknya makin besar ukuran partikel
maka kecepatan sedimentasi makin cepat.
Ukuran partikel dapat diperkecil dengan
penggerusan didalam lumpang serta dengan
pengayakan [3].
Bobot Jenis seluruh suspensi antasida
berbeda, hal ini disebabkan karena suspensi
menggunakan zat pensuspensi yang berbeda
dengan konsentrasi yang berbeda pula.
Dari hasil penentuan kapasitas penetralan
asam suspensi antasida yang dilakukan secara
titrasi asam basa pada suhu 37C terlihat bahwa
penambahan zat pensuspensi dengan berbagai
konsentrasi
serta
kombinasinya
tidak
mempengaruhi
kemampuan
penetralan
terhadap kelebihan asam. Hal ini dapat dilihat
dari hasil penentuan kapasitas penetralan asam
yang memiliki harga miliekuivalen berkisar
24,153-24,653 mEq harga miliekuivalen yang
terdapat pada standar literatur bahwa kapasitas
penetralan asam Al(OH)3 tidak kurang dari 25
miliekuivalen sedangkam Mg(OH)2 2,7
miliekuivalen [2,13]. Perbedaan miliekuivalen
tiapformula tidak berbeda jauh, hal ini
mungkin disebabkan kemampuan kerja dari zat
pensuspensi dalam menyelubungi partikel zat
aktif yang berbeda.
Dari data rekapitulasi evaluasi suspensi
bahwa FV memberikan evaluasi yang relatif
baik dibandingkan dengan FIV, hal ini dapat
dilihat dari bentuk suspensi FV berupa cairan
agak kental, derajat sedimentasi kecil dari satu
berkisar 0,419-0,450, sifat aliran pseudoplastis
tiksotropik, pH 9,68yang stabil selama
penyimpanan, ukuran partikel 22,988-23,424
um, BJ 1,0866 dan kapasitas penetralan asam
24,153 mEq, sedangkan FIV bentuk suspensi
berupa cairan kental, derajat sedimentasi
hampir mendekati satu berkisar 0,602-0,800,
sifat aliran tiksotropik, pH 9,79-9,99 yang
berubah selama penyimpanan, ukuran partikel

20,388-20,923 um, BJ 1,0943 dan kapasitas


penetralan asam 24,303 mEq.
Dari seluruh evaluasi FIV memenuhi
syarat, tetapi dari sifat aliran tidak memenuhi
syarat karena FIV menggunakan zat
pensuspensi tunggal dengan sifat aliran
tiksotropik mempunyai celah yang lebih besar
dari FV, sedangkan untuk mendapatkan
suspensi yang baik menggunakan dua zat
pensuspensi dengan sifat aliran yang berbeda.
Dimana FV memberikan sifat aliran
pseudoplastis tiksotropik dengan kombinasi

zat pensususpensi yaitu Methocel E 15 dan


Veegum HV
4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah


dilakukan bahwa FV dengan zat pensuspensi kombinasi Methocel E 15 dan
Veegum HV dengan konsentrasi masingmasing 1 % yang memberikan evaluasi
lebih baik dari semua formula dan
penambahan zat pensuspensi Methocel E
15 dan Veegum HV serta kombinasinya
dengan berbagai
konsentrasi
tidak
mempengaruhi kemampuan penetralan
asam dari suspensi antasida. Disarankan
untuk memformulasi antasida dengan zat
pensuspensi yang memiliki kemampuan
terhadap penetralan asam.
5. REFERENSI
[1] Goodman,
L.S.
and
Gilman,
the
Pharmacological Basis of Therapeutics, 6 th
ed, Mac Millan Publishing Co, New York,
1980
[2] Gans, S. Farmakologi dan Terapi, edisi
keempat, bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
1995
[3] Martin, A.N,J Swarbrick and A.Cammarata,
Physical Pharmacy 3 nd, Lea and Febiger,
Phyladelphia, 1983
[4] Osol, A.H, Remingtons Pharmaceutical
Science, 15 th ed, Mac Publishing Company,
easton, Pensylvania, 1975
[5] Voight, R. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi,
Edisi V, diterjemahkan oleh Soendani
Neorono,
GAMA
University
Press,
Yogyakarta, 1994
[6] Reynold, JEF, Martindale The Extra
Pharmacopeaia, 28 th Ed, The Pharmaceutical
Press, London, 1970

1797

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
[7] Anief, M. Sistem Dispersi, Formulasi
Suspensi dan Emulsi, Gajah Mada University
Press, 1999
[8] Aulton, M E, Pharmaceutics : The Science of
Dosage Form Design, Churhill, Livingstone,
Edinburgh London Melbourne and New York,
1988
[9] Jenkins, et, Al, The Art of Compounding, 9 th.
Ed, The Balkiston Division Me Grow Hill
Book Company, Inc, New York Toronto
London, 1987

[10] Handbook of Pharmaceutical Excipients,


American
Pharmaceutical
Asosiation,
Washington, USA, 1986
[11] Nederland Pharmacopea, 5 th, Brussel, 1979
[12] Ansel. HC, Pengantar Bentuk Sediaan
Farmasi, Edisi keempat, diterjemahkan oleh
Farida Ibrahim, Universitas Indonesia, 1989
[13] Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta 1995

1798

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN KESETIMBANGAN KIMIA


BERBASIS MULTIPLE REPRESENTATIF UNTUK MAHASISWA
PENDIDIKAN KIMIA FKIP UNIVERSITAS JAMBI
Wilda Syahri, Muhaimin, Yusnaidar
Prodi Pendidikan Kimia, PMIPA FKIP, Universitas Jambi, Mendalo Darat, Jambi
Email: wildasyahri@yahoo.com

Abstract
The purpose of this study was to develop a chemical equilibrium learning media based on multiple
representations (macroscopic, sub microscopic and symbolic). In this research, the ADDIE model was applied,
which has the main purpose as product development and testing of product effectivity in achieving its objectives
in this study. Instrument sheets used for collecting data were validation of media and validation of material
questionnaires. The main result of this study is a chemistry learning media on chemical equilibrium based on
multiple representations. The results showed that quality of prototype I of interactive learning media of
chemical equilibrium based on multiple representations is very good based on validation results from chemistry
experts with a mean score of 4.45 and while based on validation results of multimedia experts is very good with
a mean score of 4.41. Validation results showed that the prototype I could be applied to the students in
classroom after some revision from chemistry and multimedia experts. The prototype II is a revised version of
prototype I, from which its content and display are better, in accordance with recent curriculum, the rules and
elements of education.
Keywords: chemical equilibrium, multiple representations, ADDIE model

persamaan reaksi, model atom dan molekul,


dan simbol. Tingkat makroskopis yang bersifat
nyata dan mengandung bahan kimia yang kasat
mata dan nyata. Tingkat submikroskopis juga
nyata tetapi tidak kasat mata yang terdiri dari
tingkat partikulat yang dapat digunakan untuk
menjelaskan pergerakan elektron, molekul,
partikel atau atom.
Oleh karena itu, dipandang perlu untuk
mengembangkan suatu model dan media
pembelajaran
yang
dapat
membantu
mahasiswa untuk dapat secara mandiri
mempelajari
dan
memahami
materi
Kesetimbangan Kimia, sehingga memberikan
keleluasaan dan keluwesan bagi mahasiswa.
Media pembelajaran interaktif berbasis TIK
dengan aplikasi computer assisted learning
adalah salah satu alternatif jawabannya.
Dengan media pembelajaran interaktif berbasis
TIK dengan aplikasi computer assisted
learning ini, akan dapat menggali kemampuan
individual mahasiswa serta menimbulkan daya
tarik, sehingga diharapkan dapat melahirkan
motivasi bagi mahasiswa dalam meningkatkan
prestasi dan hasil belajarnya [1,2,3,4].
Disamping itu media pembelajaran
interaktif berbasis TIK ini juga diharapkan
dapat
menjembatani
permasalahan
keterbatasan
kemampuan
daya
serap
mahasiswa dan keterbatasan kemampuan

1. PENDAHULUAN
Berdasarkan kurikulum Program Studi
Pendidikan Kimia FKIP Universitas Jambi,
Kesetimbangan Kimia merupakan pokok
bahasan yang sangat penting dalam Kimia
Fisika II, merupakan salah satu mata kuliah
yang tergabung dalam kelompok Mata Kuliah
Keilmuan dan Keahlian (MKK). Dengan
demikian keberadaan pokok bahasan dan mata
kuliah ini sangat penting, namun banyak
mahasiswa yang kurang antusias dan kurang
berminat mempelajarinya, yang ditandai
dengan rendahnya hasil belajar yang mereka
peroleh. Bila ditilik dari materinya sarat
dengan teori-teori dan konsep yang abstrak,
dimana menuntut penalaran yang tinggi untuk
level makroskopis, mikroskopis dan simbolik
[1,2]. Multiple representasi merupakan bentuk
representasi yang memadukan antara teks,
gambar
nyata,
atau
grafik.
Perlu
diketahui,untuk perangkat pembelajaran dan
model pembelajaran yang tepat untuk
Kesetimbangan Kimia ini sudah dikaji dan
dikembangkan.
Pada penelitian ini, pembelajaran
dengan multiple representasi diharapkan
mampu
untuk
menjembatani
proses
pemahaman siswa terhadap konsep-konsep
kimia. Representasi kimia dikembangkan
berdasarkan urutan dari fenomena yang dilihat,
1799

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dosen dalam proses belajar mengajar di kelas,


untuk memahami dan memberikan perlakuan
sesuai dengan karakteristik mahasiswa secara
individual, serta dengan adanya bantuan media
pembelajaran interaktif berbasis TIK ini dapat
menjembatani persoalan rendahnya aktualisasi
diri mahasiswa, sehingga materi-materi yang
kurang dipahami dapat di ekplorasi kembali
melalui media pembelajaran interaktif berbasis
TIK dengan aplikasi computer assisted
learning ini. Dengan cara ini diharapkan
tingkat penguasaan konsep dan keterampilan
proses sains mahasiswa sebagai calon guru
kimia terhadap materi Kesetimbangan Kimia
akan lebih baik sehingga dapat meningkatkan
kompetensi profesional calon guru kimia
[5,6,7,8]. Hasil dari penelitian ini akhirnya
adalah media pembelajaran interaktif berbasis
TIK dengan aplikasi computer assisted
learning tentang Kesetimbangan Kimia yang
sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan
juga sesuai dengan kaidah-kaidah pendidikan
serta mengandung unsur edukasi [9,10,11].
2 METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian
pengembangan (Research and Development).
Dalam penelitian pengembangan ini produk
yang dihasiklan berupa media pembelajaran
berbasis TIK (Teknologi informasi dan
komunikasi). Desain pengembangan dalam
penelitian ini menggunakan model penggembangan ADDIE. Alasan menggunakan model
ini karena produk pengembangan berbasis
komputer yaitu media pembelajaran yang
memerlukan langkah-langkah yang jelas dan
bersifat deskriptif. Tahapannya sebagai
berikut,
1. Analisis, pada tahap ini yang dianalisis
adalah karakteristik mahasiswa yang
berhubungan dengan penggunaan atau
pengoperasian komputer yang digunakan
oleh mahasiswa atau latar belakang
mahasiswa dalam penggunaan komputer
serta minat mahasiswa terhadap materi
Kesetimbangan Kimia. Analisis materi
dilakukan dengan tujuan untuk menetapkan
kebutuhan dalam pengembangan perangkat
pembelajaran.
Analisis
teknologi
pendidikan ini dilakukan untuk mengetahui
apakah tempat yang akan dijadikan objek
penelitian
bisa
mendukung
untuk
terlaksananya penelitian serta untuk
mengetahui berbagai sarana dan prasarana
di Prodi Kimia FKIP UNJA yang bisa
menunjang proses pembelajaran.

2. Desain, langkah selanjutnya setelah analisis


dilakukan adalah desain produk. Sebelum
membuat media pembelajaran terlebih
dahulu di buat draft media pembelajaran
yang telah disesuaikan dengan informasi
dan data yang telah terkumpul pada tahap
sebelumnya. Draft ini akan berguna untuk
membuat Flowchart atau diagram alur dari
media pembelajaran yang digunakan
sebagai dasar atau patokan untuk membuat
media tersebut. Selanjutnya dari Flowchart
atau diagram alur dibuat storyboard yang
akhirnya bisa menjadi dasar untuk
membuat media pembelajaran.
3. Pengembangan. Ini merupakan langkah
yang ketiga dalam model pengembangan
ADDIE. Pada tahap ini, peneliti akan
mendesain produk dengan software
macromedia flash. Produk yang akan
dihasilkan media pembelajaran yang berisi
desain tampilan, isi materi, animasi, teks,
video dan musik, yang menggamabarkan
konsep Kesetimbangan Kimia berbasis
multiple representatif yaitu makroskopik,
submikroskopik dan simbolik.
4. Implementasi, langkah nyata untuk
menerapkan sistem pembelajaran yang
sedang kita buat. Artinya, pada tahap ini
semua yang dikembangkan diinstal atau
diset sedemikian rupa sesuai dengan peran
atau fungsinya agar bisa di implementasikan. Produk yang telah direvisi oleh tim
ahli dan dinyatakan layak untuk diuji
cobakan pada kelompok kecil yang
berjumlah sekitar 10 orang mahasiswa
5. Evaluasi, adalah proses untuk melihat
apakah sistem pembelajaran yang sedang
dibangun berhasil, sesuai dengan harapan
awal atau tidak. Tahap ini tidak dilakukan
karena
keterbatasan
penelitian
dan
penelitian dapat dilanjutkan oleh peneliti
lain dengan menggunakan media yang
sama dalam uji coba kelompok besar. Tapi
sebenarnya tahap evaluasi bisa terjadi pada
setiap empat tahap di atas. Evaluasi yang
terjadi pada setiap empat tahap diatas itu
dinamakan evaluasi formatif, karena
tujuannya untuk kebutuhan revisi. Pada
penelitian ini dilakukan evaluasi formatif
yaitu revisi oleh ahli media dan ahli materi
yang dilakukan sebanyak dua kali
menggunakan angket validasi media dan
angket validasi materi. Tahap evaluasi,
dilakukan validasi prototype-I oleh tim ahli
materi dan tim ahli media melalui angket
1800

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

validasi produk. Selanjutnya dilakukan


revisi prototype-I berdasarkan saran
perbaikan tim ahli materi dan media dan
dihasilkan prototype-II.

Kuesioner untuk validasi materi terdiri dari 15


item yang mencakup aspek pembelajaran dan
isi. Kuesioner untuk validasi media terdiri dari
15 item yang mencakup aspek tampilan,
penyajian, dan pemrograman.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Persiapan perancangan Media
Pembelajaran Kesetimbangan Kimia
Sesuai dengan GBPP mata kuliah
Kimia Fisika II, Kesetimbangan Kimia
merupakan bahasan inti. Matakuliah ini
membahas konsep tentang Kesetimbangan
kimia (chemical equilibrium). Penekanan pada
kemampuan penguasaan materi kuliah secara
logis dan ilmiah serta kemampuan menggunakan metode ilmiah dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Topik-topik mata
kuliah meliputi : Ciri kesetimbangan kimia,
Potensial kimia, Potensial kimia dalam
larutan, Tetapan kesetimbangan kimia dalam
berbagai larutan, Pengaruh temperatur
terhadap tetapan kesetimbangan kimia, serta
Kesetimbangan heterogen.
3.2. Perancangan Media Pembelajaran
Interaktif Kesetimbangan Kimia
Desain
perancangan
media
Pembelajaran Kesetimbangan Kimia berbasis
multipel representatif dilakukan dengan
menggunakan Macro Media Flash CS 8
menghasilkan
prototype-I.
Prototype-I
dilengkapi autorun agar program dapat
langsung terbuka menampilkan tampilan awal
media. Tampilan prototype-I terdiri dari
tampilan cover dan tampilan isi (Gambar 1).
Tampilan isi prototype-I ini terdiri dari
materi, animasi, evaluasi, musik, tampilan
gambar, serta pengembang. Tombol materi
berisi uraian materi, tombol animasi berisi
animasi pendukung materi, tombol evaluasi
berisi evaluasi dari keseluruhan materi, tombol
musik berisi musik instrumen, dan tombol
pengembang berisi data pengembang dan
pemrogram. Agar program dapat berjalan
dengan baik maka data yang dimasukkan harus
kompatibel dengan program Macro Media
Flash CS8. Hasil perancangan media
Pembelajaran Interaktif Kesetimbangan Kimia
berbasis multiple representatif
dengan
komputer adalah prototype-I selanjutnya
divalidasi tim ahli materi dan media.
3.3. Validasi Prototype-I Media Pembelajaran Kesetimbangan Kimia
Media Pembelajaran Kesetimbangan
Kimia
berbasis
multiple
representatif
divalidasi oleh tim ahli materi dan ahli media.

(a)

(b)
Gambar 1. Tampilan cover (a) dan Tampilan
molekul (b) didalam Prototype-I Media
Pembelajaran Kesetimbangan Kimia berbasis
multiple representatif

3.3.1. Validasi Ahli Materi


Hasil validasi oleh tim ahli materi
terhadap prototype-I Media Pembelajaran
Interaktif Kesetimbangan Kimia berbasis
multiple representatif yang dikembangkan
diperoleh berupa data penilaian tim ahli materi
dan saran-saran untuk melakukan perbaikan.
Saran perbaikan yang diberikan tim ahli materi
digunakan sebagai acuan untuk revisi
prototype-I. Jenis kesalahan dan saran tim ahli
materi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis kesalahan dan saran perbaikan dari
tim ahli materi
No

1801

Bagian
yg salah
Soal

Jenis
kesalahan
Soal yang
ada belum
lengkap

Saran perbaikan
Soal yang ada
dilengkapi sesuai
dengan materi dan
kompetensi dasar

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Referensi

Referensi
belum ada

Referensi harus dibuat


lebih lengkap dan
mewakili penjelasan

masukan yang diberikan oleh tim ahli materi


dan ahli media untuk merevisi prototype-I
untuk lebih meningkatkan kualitas prototype-I
yang dikembangkan. Revisi prototype-I telah
dilakukan sesuai saran yang diberikan oleh tim
ahli materi dan ahli media menghasilkan
prototype-II Media Pembelajaran Kesetimbangan Kimia berbasis multiple representatif.

Secara keseluruhan tim ahli materi juga


menyatakan bahwa sebagai media pembelajaran, media ini dapat mempermudah mahasiswa dalam memahami materi Kesetimbangan
Kimia serta penggunaan waktu dalam pembelajaran menjadi lebih efisien.
3.3.2 Validasi Ahli Media

Hasil validasi oleh tim ahli media


terhadap prototype-I Media Pembelajaran
Kesetimbangan Kimia berbasis multiple
representatif yang dikembangkan diperoleh
berupa data penilaian tim ahli media dan
saran-saran untuk melakukan perbaikan.
Saran perbaikan yang diberikan tim ahli
media digunakan sebagai acuan untuk revisi prototype-I. Jenis kesalahan dan saran
tim ahli media dapat dilihat pada Tabel 2.
Gambar 2. Tampilan isi Media Pembelajaran
Kesetimbangan Kimia berbasis multiple
representatif sesudah revisi

Tabel 2. Jenis kesalahan dan saran perbaikan dari


tim ahli media
No
1
2

Bagian yang
salah
Uraian
materi
Animasi

Jenis
kesalahan
Ukuran
tampilan kecil
Tampilan kecil

Saran perbaikan
Ukuran tampilan
diperbesar
Tampilan
diperbesar

Secara keseluruhan tim ahli media menyatakan


bahwa secara keseluruhan produk ini sudah
baik, namun ada kesalahan yang perlu
diperbaiki.
3.4. Revisi Prototype-I Media
Pembelajaran Kesetimbangan Kimia
Proses revisi dilakukan berdasarkan
saran-saran dari tim ahli materi dan tim ahli
media. Beberapa tampilan media Pembelajaran
Kesetimbangan Kimia berbasis multiple
representatif sesudah revisi prototype-I dapat
dilihat pada Gambar 2 dan 3.
3.5. Analisis Data
3.5.1. Analisis data hasil validasi ahli materi
Data dari validasi ahli materi (validasi
kedua) terdiri dari dua aspek yaitu aspek
pembelajaran dan aspek isi/materi. Kriteria
aspek pembelajaran dinilai sangat baik dan
kriteria aspek isi/materi dinilai sangat baik
oleh tim ahli materi.
Meskipun penilaian oleh tim ahli
materi dan ahli media termasuk kategori sangat
baik, namun masih ada beberapa saran atau

Gambar 3. Tampilan Animasi Media Pembelajaran


tentang Faktor yang Mempengaruhi Kesetimbangan
Kimia berbasis multiple representatif sesudah revisi
Tabel 3. Kualitas prototype-I Media Pembelajaran
Kesetimbangan Kimia berbasis multiple representatif Hasil Validasi Ahli Materi (Validasi kedua)
Aspek
penilaian
pembelajaran
isi/materi
Rerata

Rerata skor
Ahli materi Ahli materi
Rerata Kriteria
1
2
4,47
4,45
4,46
SB
4,43
4,45
4,44
SB
4,45
4,45
SB
4,45

3.5.2. Analisis data hasil validasi ahli media

1802

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
DP2M Ditjen Dikti atas penda-naan Penelitian
Hibah Bersaing Tahun 2016.

Data yang diperoleh dari validasi ahli


media (validasi ketiga) terdiri dari tiga aspek
yaitu aspek tampilan, aspek penyajian, dan
aspek pemrograman selanjutnya dianalisis dan
dijadikan acuan untuk melakukan revisi
prototype-I yang sedang dikembangkan. Aspek
tampilan, aspek penyajian dan aspek
pemrograman dinilai sangat baik oleh ahli
media. Skor rata-rata prototype-I Media
Pembelajaran Kesetimbangan Kimia berbasis
multiple representatif yang dikembangkan
ditinjau dari aspek tampilan, penyajian dan
pemrograman adalah 4,41 termasuk dalam
kriteria sangat baik.

6. PUSTAKA
[1]. Akker JJHVD. 1999. Principle and methods of
development research, In J.J.H. van den Akker
RM, Branch K, Gustafson NM. Nieveen and
Tj. Plomp (Eds). Design Approaches and
Tools
in
Education
and
Training.
Dordrecht:Kluwer.
[2]. Acree B, Cormae RM, Fulbright G, Weaver S,
Krantzman KD. 1995. Creating animation of
chemical reactions. J. Chem. Ed., 72 (12):
1077-1082.
[3]. Domagk, S., Schwartz, R.N., Plass, J.L.
Interactivity in multimedia learning: An
integrated model. Computers in Human
Behavior. 2010; 26, 10241033.
[4]. Fetton, L.A., Keesee, K., Mattox, R.,
McClosky, R., Medley, G. Comparison of
Video Instruction and Conventional Learning
Methods on Students Understanding. Am. J.
Pharm. Educ. 2000; 65, 53-57.
[5]. Jones LL, Smith SG. 1993. Multimedia
technology: a catalyst for change in chemical
education. Pure and Applied Chemistry.
65:245-249.
[6]. Suyanto, M. Analisis & Desain Aplikasi
Multimedia untuk Pemasaran: Perkembangan
Multimedia dan CD Interaktif. Andi Offset:
Yogyakarta; 2004.
[7]. Syahri W. 2010. Pengembangan Media
Interaktif Pembelajaran Elektrokimia dengan
Model Kooperatif tipe Jigsaw untuk
Meningkatkan Penguasaan Konsep dan
Keterampilan Proses Sains Mahasiswa. Tesis.
Universitas Jambi.
[8]. Syahri W, Yusnaidar. 2012. Pengembangan
CD Pembelajaran Interaktif Termodinamika
Kimia untuk Meningkatkan Penguasaan
Konsep dan Keterampilan Proses Sains
Mahasiswa. Prosiding Bidang Pendidikan
MIPA Tanggal 11-12 Mei 2012 BKS Wilayah
Barat. Medan.
[9]. Utomo, T., Ruijter, K. Peningkatan dan
Pengembangan
Pendidikan.
Gramedia:
Jakarta; 1994.
[10].Yager , R.E. The Constructivist Learning
Model : Towards Real Reform in Science
Education. The Science Teacher, National
Teacher Association. 1994.
[11] Widodo CS, Jasmadi. 2008. Panduan
Menyusun Bahan Ajar Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Kompas Gramedia.

Tabel 4. Kualitas prototype-I Media Pembelajaran


Interaktif Kesetimbangan Kimia Berbasis Multiple
Representatif Hasil Validasi Ahli Media (Validasi
ketiga)
Aspek
penilaian
tampilan
penyajian
pemrograman
Rerata

Ahli
media 1
4,30
4,40
4,41
4,37

Rerata skor
Ahli media
Rerata Kriteria
2
4,50
4,40
B
4,42
4,41
SB
4,43
4,42
SB
SB
4,45
4,41

4. KESIMPULAN
Media Pembelajaran Kesetimbangan
Kimia
berbasis
multiple
representatif
merupakan
pengembangan
awal
yang
mengadopsi metode pengembangan ADDIE.
Kriteria
kualitas
prototype-I
Media
pembelajaran interaktif Kesetimbangan Kimia
berbasis multiple representatif hasil validasi
tim ahli materi (validasi kedua) adalah sangat
baik dengan rerata skor 4,45 dan hasil validasi
tim ahli media adalah sangat baik dengan
rerata skor 4,41. Hasil validasi menunjukkan
bahwa prototype-I layak untuk digunakan/uji
coba lapangan dengan revisi sesuai saran ahli
materi dan ahli media. Hasil revisi prototype-I
adalah prototype-II, dimana isi dan
tampilannya lebih baik, sesuai dengan
kurikulum yang berlaku dan sesuai dengan
kaidah-kaidah pendidikan serta mengandung
unsur edukasi.
5. Ucapan Terima Kasih
Terima kasih disampaikan kepada Program
Pendidikan Tinggi PKUPT Univer-sitas Jambi dan

1803

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENINGKATAN STABILITAS ENZIM SELULASE DARI


BAKTERI ISOLAT LOKAL Bacillus subtilis ITBCCB148
DENGAN PENAMBAHAN SORBITOL
Yandri1), Sundari Riawati1), Putri Amalia1), Mulyono1), Tati Suhartati1)
1)
Department of Chemistry, University of Lampung,
Soemantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung 35 145
E-mail: yandri.as@fmipa.unila.ac.id
Abstract
This research aims to study the effect of the addition of sorbitol on stability of cellulase enzymes purified from
the bacterium Bacillus subtilis ITBCCB148 local. To achieve these objectives do production, isolation, and
purification of cellulase enzymes. The addition of sorbitol to the purified enzyme was done by varying the
concentration of 0.5; 1.0; 1.5 M. The enzyme after addition of sorbitol and purified enzymes were characterized
include: determining the optimum temperature, optimum pH, the data kinetics and thermal stability. The enzyme
activity was determined by Mandels methods and protein content was determined by Lowry method. The results
showed purified enzyme has a pH optimum of 5.5 and an optimum temperature of 50 oC. Value KM = 26.42 mg /
mL substrate, Vmax = 4.42 mol mL-1 min-1. Thermal stability test for 100 minutes at 50 C enzyme purification
results have ki = 0.0121 min-1, t 1 / 2 = 57.27 minutes, and Gi = 102.19 kJ / mol. Enzymes after the addition of
sorbitol with a concentration of 0.5; 1.0; 1.5 M respectively have the optimum temperature and pH of the same
enzyme is purified; The optimum temperature is 50 C and an optimum pH of 5.5. KM value of the enzyme after
the addition of sorbitol, respectively: 22.23; 18.58; 19.85 mg / mL substrate, while the Vmax respectively: 3.71;
3.49 and 3.64 mol mL-1 min-1. Test the thermal stability of the enzyme after the addition of sorbitol (0.5; 1.0; 1.5
M) for 100 minutes at 50 C has a row: t 1 / 2 = 90.00; 99.00 and 92.40 minutes; ki = 0.0077; 0.0070; 0.0075
min-1; Gi = 103.41; 103.66 and 103.48 kJ / mol. The increase in t 1 / 2 and Gi, as well as decreased ki showed
an increased stability of the enzyme after the addition of sorbitol to 1.6 to 1.7 times.
Keywords: Selulase, Bacillus subtilis, ITBCCB148, sorbitol.

senyawa
aditif
untuk
mempelajari
pengaruhnya dalam mempertahankan stabilitas
enzim selulase dari Bacillus subtilis
ITBCCB148.

1. PENDAHULUAN
Selulase merupakan enzim yang banyak
digunakan dalam berbagai bidang industri
seperti industri pakan ternak, tekstil, air
limbah, dan bioetanol [1]; [2]. Penggunaan
selulase dalam industri harus memenuhi
beberapa persyaratan seperti enzim harus stabil
pada pH dan suhu yang ekstrim [3]. Untuk
mendapatkan enzim tersebut dapat diperoleh
dengan berbagai cara salah satunya dengan
mengisolasi enzim secara langsung dari
lingkungan ekstrim [4] atau dapat dilakukan
dengan beberapa teknik seperti modifikasi
kimia, amobilisasi dan penambahan senyawa
aditif. Senyawa aditif telah banyak digunakan
dan telah terbukti mempertahankan stabilitas
enzim seperti katalase menggunakan senyawa
golongan poliol seperti gliserol dan glikol [5].
Senyawa aditif digolongkan menjadi 6
kelompok yaitu; 1) substrat atau koenzim, 2)
ion logam, 3) garam dan anion, 4) polimer, 5)
gula dan glikol, serta 6) aditif lainnya [6]; [7].
Pada penelitian ini digunakan sorbitol sebagai

2. METODE PENELITIAN
2.1 Bahan
Semua bahan kimia yang digunakan dalam
penelitian ini mempunyai derajat proanalisis.
Bacillus subtilis ITBCCB148 diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi dan Teknologi
Bioproses, Jurusan Teknik Kimia, ITB.
2.2 Alat
Alat-alat yang digunakan penelitian ini antara
lain alat-alat gelas, jarum ose, pembakar
spirtus, autoklaf model S-90N, laminar air
flow CURMA model 9005-FL, neraca analitik,
shaker incubator, sentrifuga, lemari pendingin,
mikropipet Eppendorff, waterbath, kolom
kromatografi, freeze dry, dan spektrofotometer
UV-VIS Carry Win UV 32.

1804

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

2.3 Pembuatan
fermentasi

media

inokulum

dan
Karakterisasi enzim hasil pemurnian dan
setelah penambahan sorbitol meliputi:
penentuan pH optimum, suhu optimum,
penentuan data kinetika (KM dan Vmaks),
penentuan stabilitas termal dan pH enzim, serta
penentuan waktu paruh (t1/2), konstanta laju
inaktivasi (ki), dan perubahan energi akibat
denaturasi (Gi).

Media inokulum dan fermentasi yang


digunakan terdiri dari (gL-1) (NH4)2SO4, 1,4;
KH2PO4, 2,0; Urea, 0,3; CaCl2, 0,3; MgSO4,
0,3; FeSO4.7H2O, 0,005; ZnSO4.7H2O, 0,0014;
CoCl2, 0,002; CMC, 7,5; dan pepton, 0,75 [8].
2.4 Penentuan kondisi optimum Bacillus
subtilis ITBCCB148 dalam memproduksi
enzim selulase

2.9.1 Penentuan pH optimum enzim hasil


pemurnian dan setelah penambahan
sorbitol

Kondisi
optimum
Bacillus
subtilis
ITBCCB148 dalam memproduksi enzim
selulase ditentukan dengan cara memindahkan
2% media inokulum ke media fermentasi yang
memiliki variasi pH 5,5; 6,0; 6,5; 7,0; 7,5; dan
8,0, kemudian dikocok dalam shaker
incubator. Lalu diuji aktivitas enzim selulase
pada setiap interval waktu tertentu [9].

Untuk mengetahui pH optimum enzim hasil


pemurnian dan setelah penambahan sorbitol
digunakan buffer fosfat 0,05 M dengan variasi
pH sebagai berikut: 5,0; 5,5; 6,0; 6,5; 7,0; 7,5;
dan 8,0. Suhunya dijaga tetap pada 50C,
kemudian dilanjutkan dengan pengujian
aktivitas enzim.

2.5 Produksi, isolasi, dan pemekatan enzim


selulase

2.9.2 Penentuan suhu optimum enzim hasil


pemurnian dan setelah penambahan
sorbitol

Produksi enzim dilakukan pada kondisi


optimum yang diperoleh pada tahap
sebelumnya. Isolasi enzim dilakukan dengan
memisahkan enzim dari komponen sel lainnya
melalui sentrifugasi. Filtrat yang diperoleh
dipekatkan dengan freeze dry [9].

Untuk mengetahui suhu optimum kerja enzim


hasil pemurnian dan setelah penambahan
sorbitol dilakukan dengan memvariasikan suhu
sebagai berikut: 40; 45; 50; 55; 60; 65; dan
70C. pH tetap dijaga pada pH optimum,
kemudian dilanjutkan engan pengujian
aktivitas enzim.

2.6 Pemurnian enzim selulase


Enzim hasil pemekatan menggunakan freeze
dry dimurnikan dengan kromatografi kolom
filtrasi gel Sephadex G-100 [9].

2.9.3 Penentuan data kinetika enzim (nilai


KM dan Vmaks) enzim hasil pemurnian dan
setelah penambahan sorbitol

2.7 Uji aktivitas dan kadar protein


enzim selulase

Konstanta Michaelis-Menten (KM) dan laju


reaksi maksimum (Vmaks) enzim hasil
pemurnian dan setelah penambahan sorbitol
ditentukan dari kurva Lineweaver-Burk. Kurva
Lineweaver-Burk dibuat dengan menguji
aktivitas enzim selulase dengan variasi
konsentrasi substrat 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1 dan
1,25% dalam buffer fosfat pH 5,5 dan suhu
50oC selama 60 menit.

Uji aktivitas dilakukan dengan metode


Mandels et al. [10] dan penentuan kadar
protein dilakukan dengan metode Lowry et
al. [11].
2.8 Penambahan sorbitol
Larutan sorbitol dengan variasi konsentrasi
0,5; 1,0; dan 1,5 M ditambahkan ke dalam
enzim hasil pemurnian dengan perbandingan
1:1.

2.9.4 Uji stabilitas termal enzim hasil


pemurnian dan setelah penambahan
sorbitol

2.9 Karakterisasi enzim hasil pemurnian


dan setelah penambahan sorbitol
1805

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Penentuan stabilitas termal dan pH enzim


dilakukan dengan mengukur aktivitas sisa
enzim setelah diinkubasi selama periode waktu
100 menit pada suhu 50oC dan pH 5,5. [12]
2.9.5 Penentuan waktu paruh (t1/2),
konstanta laju inaktivasi (ki), dan
perubahan energi akibat denaturasi (Gi)
enzim hasil pemurnian dan setelah
penambahan sorbitol

Gambar 1. Grafik hubungan antara pH enzim


hasil pemurnian dan setelah
penambahan sorbitol (0,5; 1,0; 1,5
M) dengan aktivitas (%).

Penentuan nilai ki (konstanta laju inaktivasi


termal) enzim selulase hasil pemurnian dan
setelah penambahan sorbitol dilakukan dengan
menggunakan persamaan kinetika inaktivasi
orde 1 [13] dengan persamaan:
ln (Ei/E0) = - kit
Sedangkan untuk perubahan energi akibat
denaturasi (Gi) enzim hasil pemurnian dan
setelah penambahan sorbitol dilakukan dengan
menggunakan persamaan [13]:
Gi = - RT ln(kih/kBT)

3.2. Penentuan suhu optimum enzim hasil


pemurnian dan setelah penambahan
sorbitol
Enzim hasil pemurnian dan setelah
penambahan sorbitol memiliki suhu optimum
yang sama yaitu 50C yang ditunjukkan pada
Gambar 2. Aktivitas sisa (%) enzim setelah
penambahan sorbitol lebih baik dibandingkan
enzim hasil pemurnian. Pada suhu 55 C - 70
C enzim setelah penambahan sorbitol
memiliki aktivitas sisa (%) di atas 80%,
sedangkan
enzim hasil pemurnian.
mempunyai aktivitas sisa (%) di bawah 80%.
Hal ini menunjukkan bahwa enzim dengan
penambahan sorbitol memiliki stabilitas yang
tinggi pada rentang suhu antara 50-70C,
sehingga enzim ini masih dapat digunakan
dalam proses industri karena bekerja pada
rentang suhu antara 60-125C [14].

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Penentuan pH optimum enzim hasil
pemurnian dan setelah penambahan
sorbitol
Gambar 1 menunjukkan hasil pemurnian dan
setelah penambahan sorbitol memiliki pH
optimum yang sama yaitu 5,5. Walaupun
penambahan sorbitol tidak mempengaruhi pH
optimum enzim hasil pemurnian, tetapi
aktivitas sisa (%) enzim setelah penambahan
sorbitol pada pH di atas 5,5 menunjukkan
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
enzim hasil pemurnian. Pada pH 8,0 semua
enzim hasil penambahan dengan sorbitol
menunjukkan aktivitas sisa (%) masih di atas
50%, sedangkan enzim hasil pemurnian
memiliki aktivitas sisa (%) dibawah 50%.
Semakin tinggi konsentrasi sorbitol yang
ditambahkan, maka semakin tinggi stabilitas
enzim tersebut.
Hal ini sesuai dengan
peryataan Noriko et al. [7], bahwa
penambahan
senyawa
poliol
dapat
meningkatkan stabilitas enzim dalam pelarut
air.

Gambar 2. Grafik hubungan antara suhu enzim


hasil pemurnian dan setelah
penambahan sorbitol (0,5; 1,0; 1,5
M) dengan aktivitas (%).
3.3. Penentuan KM dan Vmaks enzim hasil
pemurnian dan setelah penambahan
sorbitol
1806

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Grafik
Lineweaver-Burk
enzim
hasil
pemurnian dan setelah penambahan sorbitol
dapat dilihat pada Gambar 3. Data pada
Gambar 3 menunjukkan nilai KM dan Vmaks
enzim hasil pemurnian yaitu: 26,42 mg/mL
substrat dan 4,42 mol mL-1 menit-1.
Sedangkan nilai KM
enzim setelah
penambahan sorbitol (0,5; 1; 1,5 M) secara
berturut-turut yaitu: 22,23; 18,58 dan 19,85
mg/mL substrat, dan nilai Vmaks enzim setelah
penambahan sorbitol (0,5; 1; 1,5 M) berturutturut yaitu 3,71; 3,49 dan 3,64 mol mL-1
menit-1.

pemurnian mempunyai aktivitas sisa (%) yaitu


31%.
Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan sorbitol dapat meningkatkan
stabilitas termal enzim.

Gambar 4. Grafik hubungan antara aktivitas


sisa (%) enzim hasil pemurnian dan
setelah penambahan sorbitol (0,5;
1,0; 1,5 M) pada suhu 50oC dan pH
5,5.

3.5. Waktu paruh (t1/2), konstanta inaktivasi


termal (ki), dan perubahan energi akibat
denaturasi (Gi) enzim hasil pemurnian dan
setelah penambahan sorbitol

Gambar 3. Grafik Lineweaver-Burk enzim


hasil pemurnian dan setelah
penambahan sorbitol (0,5; 1,0; 1,5
M ) dengan aktivitas (%).

Konstanta laju inaktivasi termal (ki), waktu


paruh (t1/2), dan perubahan energi akibat
denaturasi (Gi) enzim hasil pemurnian dan
setelah penambahan sorbitol dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Perubahan konstanta laju inaktivasi
(ki), waktu paruh (t1/2), dan energi
akibat denaturasi (Gi) enzim hasil
pemurnian dan setelah penambahan
sorbitol

Terjadi penurunan nilai KM semua enzim


setelah penambahan sorbitol, walaupun
penurunannya tidak terlalu besar, sehingga
dapat diperkirakan penambahan sorbitol tidak
terlalu mempengaruhi afinitas antara enzim
dan substrat. Sedangkan untuk nilai Vmaks
semua enzim setelah penambahan sorbitol juga
tidak mengalami perubahan yang besar, hal ini
diperkirakan sorbitol tidak menghalangi
interaksi antara enzim dan substrat, sehingga
nilai Vmaks untuk semua enzim setelah
penambahan sorbitol tidak mengalami
penurunan yang besar.

Enzim
Hasil
Pemurnian
Sorbitol 0,5 M
Sorbitol 1,0 M
Sorbitol 1,5 M

3.4. Stabilitas termal enzim enzim hasil


pemurnian dan setelah penambahan
sorbitol

ki (menit-1)

t1/2
(menit)

Gi
(kJ/mol)

0,0121
0,0077
0,0070
0,0075

57,27
90,00
99,00
92,40

102,19
103,41
103,66
103,48

Dari Tabel tersebut dapat dilihat bahwa waktu


paruh (t1/2) enzim setelah penambahan sorbitol
meningkat antara 1,6 - 1,7 kali dibandingkan
dengan enzim hasil pemurnian. Peningkatan
t1/2 didukung dengan penurunan nilai ki yaitu
laju inaktivasi enzim. Peningkatan nilai Gi
untuk enzim setelah penambahan sorbitol
menunjukkan bahwa semakin besar energi
yang dibutuhkan untuk mendenaturasi enzim
setelah penambahan sorbitol. Ini berarti terjadi

Gambar 4 menunjukkan aktivitas sisa (%)


enzim hasil pemurnian dan enzim setelah
penambahan sorbitol setelah disimpan selama
100 menit pada suhu 50oC dan pH 5,5.
Aktivitas sisa (%) enzim setelah penambahan
sorbitol (0,5; 1,0; 1,5 M) bertururt turut yaitu
45; 48 dan 47%, sedangkan enzim hasil
1807

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

peningkatan
stabilitas
penambahan sorbitol[15].

enzim

engineering. J.Biotechnology, 28: p. 41 54,


1993.
[4] E.S. Wagen, Strategies for Increasing The
Stability of Enzymes, in Enzyme Engineering.
The New York Academy of Sciences, New York.
7: 1-19, 1984.
[5] S.A. Costa, T.Tzanov, A.F.Carneiro, A. Paar,
G.M. Gubitz, and A.C. Paulo, Studies of
Stabilization of Native Catalase Using
Additives. Enzyme and Microbial Technol. 30:
p. 387-391, 2001.
[6] P. Lozano, D. Combes, , and J.L. Iborra,
Effects of Polyols on -chymotrypsin
Thermostability a Mechanistic Analysis of The
Enzyme Stabilization. J Biotechnol. 35: p. 98,
1994.
[7] M.K. Noriko, K. Miok,
and K. Tada,
Stabilization of LAscorbic acid by superoxide
dismutase and catalase. Bios. Biotechnol.
Biochem. p. 63, 54-57, 1999.
[7] D. Stenberg, Production of cellulose by
Trichoderma. Biotech. And Bioeng. Symp., 6,
John Wiley and Sons Inc, 1976.
[9] S. Riawati, dan Yandri , Studi Pengaruh
penambahan gliserol terhadap stabilitas enzim
selulase dari Bacillus subtilis ITBCCB148,
Prosiding Seminar Nasional Sains Matematika
Informatika dan Aplikasinya III, 526-531, 2012.
[10] M. Mandels, A. Raymond, and R.Charles,
Measurement of Saccharifying Cellulose.
Biotech. & Bioeng. Symp., 6. John Wiley &
Sons Inc, 1976.
[11] O.H. Lowry, N.J. Rosebrough, A.L. Farr and
R.J. Randall , Protein Measurment with The
Folin Phenol Reagent. Journal of Biological
Chemistry. 193: 265 - 275. 1951
[12] Z.Yang, D. Michael, A. Robert, X.Y. Fang,
and J.R. Alan, Polyethylene Glycol-Induced
Stabilization of Subtilisin. Enzyme Microb.
Technol. 18: p. 82-89, 1996.
[13] D. Kazan, H. Ertan,
and A. Erarslan,
Stabilization of Escherichia coli Penicillin G
Acylase agains thermal Inactivation by crosslinking with dextran dialdehyde polymers.
Applied. Microbiol Biotechnol, 48: p. 191-197,
1997.
[14] C. Vieille, and J. G. Zeikus, Thermozymes:
Identifying molecular determinant of protein
structural and functional stability. Tibtech., 14
(6), 183-189, 1996.
[15] S.Stahl, Thermophilic Microorganisms: The
Biological Background for Thermophily and
Thermoresistance
of
Enzymes.
in
Thermostability of Enzymes (Gupta, M.N.
editor). Springer Verlag. New Delhi. p. 59-60,
1999.

setelah

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
enzim hasil pemurnian mempunyai pH
optimum 5,5 dan suhu optimum 50oC. Nilai
KM = 26,42 mg/mL substrat, Vmaks = 4,42 mol
mL-1 menit-1 .Uji stabilitas termal selama 100
menit pada suhu 50oC enzim hasil pemurnian
mempunyai ki = 0,0121 menit-1, t1/2 = 57,27
menit, dan Gi = 102,19 kJ/mol. Enzim setelah
penambahan sorbitol (0,5; 1,0; 1,5 M) secara
berurutan mempunyai suhu optimum 50oC dan
pH optimum 5,5. Nilai KM = 22,23; 18,58;
19,85 mg/mL substrat, Vmaks = 3,71; 3,49 dan
3,64 mol mL-1 menit-1 dan uji stabilitas termal
selama 100 menit pada suhu 55oC mempunyai
t1/2 = 90,00; 99,00 dan 92,40 menit, ki =
0,0077; 0,0070; 0,0075 menit-1, serta Gi =
103,41; 103,66 dan 103,48
kJ/mol.
Peningkatan t1/2 dan Gi, serta penurunan ki
menunjukkan terjadinya peningkatan stabilitas
enzim setelah penambahan sorbitol hingga 1,61,7 kali.
Untuk lebih meningkatakan kestabilan enzim
hasil
pemurnian
disarankan
untuk
menggunakan metode lain yaitu proses
modifikasi kimia, sehingga enzim hasil
pemurnian lebih meningkat kestabilannya
dibandingkan dengan penambahan zat aditif.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada Kementrian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Dit.
Litabmas atas dukungan dana dalam bentuk
Penelitian Hibah Kompetensi tahun 2016
5. REFERENSI
[1] M. Coughlan, Cellulose Degradation by Fungi.
Microbial Enzymes and Biotechnology. p. 1-36,
1990.
[2] P. Beguin, and J. P. Aubert, The Biological
Degradation
of
Ce,llulose.
FEMS
Microbiology Reviews. 13: p. 25-58, 1994.
[3] D.W. Goddete, C. Terri, F.L Beth, L. Maria,
R.M. Jonathan, P. Christian, B.R. Robert, S.Y.
Shiow, and C.R. Wilson,
Strategy and
implementation of a system for protein

1808

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

Test the antioxidant activity of the extract of the fruit Shorea sumatrana method of 1,1diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH)
Yusnelti.
PMIPA FKIP the Jambi of Universit, yusneltiwitiza@ymail.com
Abstract
Plant Shorea sumatrana a potential oil-producing plants in the flower as a natural preservative, cosmetic
ingredients, raw materials butter, and the lipstick. Oil from Shorea sumatrana of the results of the preliminary
study identified the compound class of flavonoids, phenolic and quinone compounds. The results of previous
studies of treatment for noodle, oil from the fruit Shorea sumatrana to power resilience noodles, noodles
produced lasting for 7 days (Yusnelti, 2008). The aim of research to find out the results Shorea sumatrana fruit
extracts as antioxidants, method used is using the solvent n-hexane to soxhletation sumatrana Shorea fruit, the
fruit has been managed in isolation Shorea sumatrana and be treated with testing antiokasidan using 1,1diphenyl-2- picrylhydrazyl DPPH, the measurements are made with UV-vis spectrophotometer UV. Results
obtained from tests with DPPH antioxidant activity of fruit extraction Shorea sumatrana produce absorbent at
0.019 and inhibition of 95.5%, natrium benzoat (control +) absorbent 0.015 and inhibition of 96.1 This
indicates that the fraction of ethyl acetate have antioxidant activity better and have a standard approach
positive activity (natrium benzoat ).
Keywords: antioxidant soxhletation, shorea sumatrana 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH

dapat mengawetkan nasi minyak selama 15


hari.
Baru-baru ini, antioksidan menjadi
topik menarik.Ini merupakan minat yang besar
bagi khalayak ramai, ahli obat, nutrisi,
penelitian ilmu kesehatan dan makanan untuk
mengetahui kapasitas dan unsur antioksidan
pada makanan yang kita konsumsi, begitu pula
pada tumbuhan.Antioksidan dapat membantu
melindungi tubuh manusia melawan kerusakan
yang disebabkan oleh senyawa oksigen reaktif
(ROS; reactive oxygenspecies) dan radikal
bebas lainnya.Akibat reaktivititas yang tinggi,
radikal bebas dapat merusak berbagai sel
makromolekul, termasuk protein, karbohidrat,
lemak dan asam nukleat.Radikal bebas mampu
merusak molekul dan menjadi penyebab dari
beberapa penyakit degeneratif dan penyakit
kronis lainnya. Banyak penelitian telah
membuktikan manfaat mengkonsumi tanaman
yang berkhasiat antioksidan, seperti dapat
menurunkan resiko penyakit jantung,kanker,
katarak dan penyakit degeneratif lain karena
proses. Hal ini menjadikan antioksidan,
terutama dari alam, banyak diminati di dunia
saat ini.
Shorea sumatrana merupakan salah
satu menghasil minyak yang berasal dari buah/
bijinya, buah dapat menghasil minyak dikenal
dengn minyak tengkawang, shorea sumatrana
merupakan salah satu tumbuhan tingkat tinggi

1.PENDAHULUAN
Dipterocarpacea adalah suatu famili
tumbuhan yang besar dan tersebar di daerah
tropika Asia, famili tumbuhan ini terdiri 16
genus dan sekitar 600 spesies. Tiga genus yang
utama dalah shorea terdiri dari 150 spesies
dikenal dengan meranti atau tengkawang,
hopea dikenal dengan merawan terdiri dari
sekitar 100 spesies, dan dipterocarpus terdiri
75 spesies yang dikenal dengan keruing
(Heyne, 1987, Hakim, 2002) kayu terdiri dari
shorea kayu putih, shorea kayu kuning dan
shorea kayu merah, genus shorea penghasil
minyak terdiri dari 15 spesis,
salah satu
adalah shorea sumatrana,
Kita telah banyak mengenal tamanan
penghasil senyawa sebagai antioksidan, fungsi
dan manfaatnya terhadap suatu makanan
maupun sebagai obat untuk mengobat penyakit
kanker. Hal mana umumnya tanaman yang
banyak menyandung
kandungan senyawa
Flavonoid dan fenolik. Salah satu tanaman
yang mengandung flavonoid adalah pada
tumbuhan shorea sumatrana, dimana buah/biji
dari tumbuhan menghasilkan minyak, minyak
digunakan pada masyarakat dipedesaan untuk
digunakan pengawet nasi minyak trasidional,
hal mana dalam proses pembuatan nasi minyak
menggunakan minyak tengkawang sehingga

1809

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

yang terdapat di Povinsi Jambi. Buah/biji dari


Tumbuhan ini telah banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat dipedesan di desa seling untuk
berbagai keperluan sebagai minyak , minyak
tengkawang di pedesan digunakan untuk
pengwet nasi minyak tradisional untuk pesta
pernikahan dan untuk sebagai penangan makan
nasi pada pagi hari dan digunakan juga buah
yang mentah untuk mengatasi badan pegalpegal setelah aktivitas di kebun. Minyak
tengkawang juga digunakan untuk bahan dasar
kosmetik untuk pembuatan listik, margarin dan
sabun, juga digunakan dalam pembuatan
coklat. Minyak tengkawang sangat awet dan
tahan selama lebih kurang lima tahun tanpa
terjadi perobahan bau dan rasa, dan juga tidak
tengik. Kayu shorea sumatrana berkualitas
tinggi karena sangat kuat dan tahan terhadap
serangga sehingga sering digunakan untuk
bahan bangunan dan pembuatan meubel dan
lain-lain.

menggunakan berbagai eluen yang sesuai


dengan kandungan metabolitenya. Selain itu
peneliti juga tertarik untuk mengetahui
besarnya aktivitas antioksidan (%) minyak
tengkawang
tersebut dengan cara reaksi
peredaman
radikal
(DPPH)
secara
spektrofotometri. Penelitian ini dibatasi pada
analisis metabolit sekunder yang terdapat
dalam inyak tengkawang , karena dari
penelitian sebelumnya diketahui bahwa
minyak tengkawang dapat mengawetkan mie
basah dan aktif terhadap bakteri. Informasi
yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
pada
peningkatan pemanfaatan sumber daya
alam,khususnya dalam bidang pengobatan.
2.KAJIAN LITERATUR
MINYAK TENGKAWANG
Minyak tengkawang dihasilkan dari buah
tengkawang yang dibuang kulitnya kemudian
dijemur ataudisalai hingga kering di bawah
matahari, lalu ditumbuk dan diperas hingga
keluar minyaknya. Minyak singkawang/
tengkawang juga dikenal sebagai green butter

Dalam bidang kesehatan, minyak


tengkawang berwarna kuning
digunakan
untuk disentri dan luka bakar lainnya. Ekstrak
kulit batangini diketahui mempunyai efek
antikanker, antiimlmasi, HIV,
serta
mempunyai bioaktivitas sebagai antimikroba
terhadap Staphylococcus. Dari penelusuran
literatur, sedikit sekali diperoleh informasi
ilmiah
tentang
bioaktifitas
minyak
tengkawang, padahal secara tradisional minyak
tengkawang telah dimanfaatkan sebagai bahan
obat. Pada penelitian sebelumnya telah
dilakukan penapisan pada minyak tengkawang
dengan
menggunakan
metode
brine
shrimplethality test (BSLT) dan dengan
peredaman
radikal
2,2-diphenyl-1picrylhydrazyl (DPPH) [8]. Pada uji awal
reaksi peredaman DPPH, diketahui bahwa
ekstrak n-heksan,etil asetat dan metanol dari
kulit batang punya aktivitas antioksidatif yang
cukup baik biladibandingkan asam askorbat
(vitamin C). Metabolit sekunder yang bersifat
antioksidatif diantaranya adalah alkaloid,
flavonoid,
senyawa
fenol,
steroid
danterpenoid. Berdasarkan hal tersebut peneliti
melanjutkan penelitian ini untuk mengetahui
senyawa metabolit sekunder apa saja yang
bersifat
antioksidatif
dalam
minyak
tengkawang

Gambar 1.pohon dan buah shorea sumatrana

Biji Tengkawang
Secara tradisional, minyak Tengkawang
digunakan
untuk
memasak,
penyedap
masakan, dan ramuanobat-obatan. Dalam
dunia industri, minyak tengkawang digunakan
untuk pembuatan permensebagai pengganti
mentega dan minyak coklat, bahan farmasi
(obat-obatan), minyak makan,makanan ternak,
kosmetika (bahan lipstik), dipakai dalam
pembuatan lilin, sabun, margarin,pelumas, dan
sebagainya. Minyak tengkawang juga dapat
digunakan untuk menaikkan titik lelehcokelat
pada industri cokelat.Setelah diekstraksi dari
biji
tengkawang,
minyak
tengkawang
dimurnikan untuk menghilangkan rasadan bau
yang tidak enak, serta warna yang tidak

Dalam penelitian ini plat KLT


digunakan untuk menapis peredaman 2,2diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) dengan
1810

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

menarik.Kemudian, minyak singkawang atau


tengkawang
dicampur
sebagai
bahan
pembentuk bahan lipstick yang baik. Di
Provinsi Jambi proses pengambilan minyak
singkawang ini cara pengeringan dan di
jadikan tepung kemudian dikukus dan
dilanjutkan dengan menggunakan alat pres
minyak secara tradional. Dan dimasukan
minyak yang sudah ada tersebut kedalam
wadah bammbo dan botol minum agua atau
kaki tiga.Minyak singkawang yang di hasil
dari Shorea sumatrana ini membeku/padat
pada suhu kamar dan berwarna kuning.

Beberapa spesies Shorea menghasilkan tengkawang, yakni buah merantimerantian yang besar dan berlemak.Setelah
disalai agar awet, biji tengkawang dikempa
untuk mengeluarkan minyaknya yang berharga
tinggi. Minyak tengkawang digunakan dalam
industri kosmetika dan makanan Lemak
tengkawang yang diekstraksi dari biji
tengkawang (shorea spp), selama ini sebagian
besar hanya digunakan untuk meningkatkan
titik leleh lemak coklat pada industri coklat
yang nilai ekonominya masih rendah.
Berdasarkan sifat fisik lemak tengkawang,
peningkatan nilai ekonomi lemak tengkawang
dapat dilakukan melalui pemanfaatannya untuk
pembuatan produk yang bernilai ekonomi lebih
tinggi yaitu sebagai bahan pembentuk batang
lipstik. Lemak tengkawang melalui proses
pemurnian sampai tahapan pemucatan dapat
mensubstitusi malam secara parsial dalam
pembuatan batang lipstik dengan biaya
produksi yang lebih rendah (Erliza, dkk, 2002)
Tengkawang/singkawang
adalah
nama buah dan pohon dari beberapa jenis
Shorea,
sukuDipterocarpaceae,
yang
menghasilkan minyak lemak yang berharga
tinggi. Pohon-pohon tengkawang ini hanya
terdapat di Kalimantan dan sumatera. Dalam
bahasa Inggris tengkawang dikenal sebagai
illipe nut atau Borneo tallow nut. Ada belasan
jenis pohon tengkawangyang menghasilkan
minyak , di antaranya:
Shorea amplexicaulis P.S.Ashton, tengkawang
mege
Shorea beccariana Burck, tengkawang tengkal
Shorea compressa
Shorea fallax Meijer, engkabang layar
Shorea havilandii Brandis, selangan batu
pinang, tengkawang ayer
Shorea lepidota (Korth.) Blume, tengkawang
gunung
Shorea macrantha Brandis, engkabang
bungkus
Shorea macrophylla (de Vriese) P.S.Ashton,
tengkawang hantelok
Shorea mecystopteryx Ridl. tengkawang layar
Shorea palembanica Miq., tengkawang majau
Shorea pinanga Scheff., tengkawang rambai
Shorea scaberrima Burck, tengkawang kijang
Shorea seminis (de Viese) v.Slooten,
tengkawang terendak
Shorea singkawang (Miq.) Miq., sengkawang
pinang
Shorea splendida (de Vriese) P.S.Ashton,
tengkawang bani

Gambar 2.buah dan ekstrak minyak tengkawang

Dari hasil penelitian yang sudah


dilakukan terhadap tumbuhan Tengkawang
(Shorea sumatrana.) khususnya yang berkaitan
dengan nutrisi ada beberapa hasil yang
menakjubkan,
dimana
hasil
tersebut
menunjukkan adanya aktivitas antioksidan
yang tinggi. Biji tengkawang dapat
menghasilkan minyak yang dikenal dengan
namagreen butter, cacao butter, oleum shorea

dan minyak tengkawang. Keistimewaan dari


minyak tengkawang dilihat dari titik lelehrnya

yang tinggi, yaitu sekitar 30 oC sehingga cocok

digunakan untuk pembuatan margarin, coklat,


lipstick, lilin, Sebelumnya telah dilaporkan
bahwa dari spesies ini ditemukan senyawa
laevifonol, (-)-viniferin dan hopeafenol serta
dua dimer resveratrol yaitu diptoindonesin A
dan (-)-ampelopsin A yang berhasil diisolasi
dari
ekstrak
etil
asetat
kulit
batang.ShoreaseminisV.Sl. Senyawa kimia
laevifonol yang merupakan turunan senyawa
- viniferin dapat digunakan sebagai zat
antimikroba, sedangkan dari senyawa viniferin dapat bersifat antifungal (Aminah
dkk, 2003) , (sahidin dkk, 2006) . Sebelumnya
telah dilaporkan pula bahwa minyak
tengkawang
dapat
digunakan
untuk
mengawetkan mie basah, tahu dan bakso
selama beberapa hari (Yusneli, 2007) , hal ini
diduga karena adanya antioksidan yang obat
obatan dan lain-lain (Irwanto,2009).
1811

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Shorea stenoptera Burck, tengkawang tungkul


Shorea sumatranaSym. ex Desch, kedawang
tengkawang batu
Shorea singkawang Miq, singkawang pinang
Sumber radikal bebas
Secara umum sumber radikal bebas dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu endogen dan
eksogen.Radikal
bebas endogen
dapat
terbentuk melalui autoksidasi, oksidasi
enzimatik, fagositosis dalam respirasi, transfor
elektron di mitokondria dan oksidasi ion-ion
logam transisi.Sedangkan radikal bebas
eksogen berasal dari luar sistem tubuh,
misalnya sinar UV.Di samping itu, radikal
bebas eksogen dapat berasal dari aktifitas
lingkungan. Aktifitas lingkungan yang dapat
memunculkan radikal bebas antara lain radiasi,
polusi, asap rokok, makanan,minuman, ozon
dan pestisida (Supari, 1996dalam ).

dari uji aktivitas antioksidan dengan


peredaman radikal DPPH adalah nilai efficient
concentration (EC50) atau disebut nilai IC50,
yakni
konsentrasi
yang
menyebabkan
hilangnya 50% aktivitas DPPH.Peredaman
radikal DPPH adalah peredaman radikal yang
mudah dan akurat dengan kehandalan untuk
mengukur
kapasitas
antioksidan
suatu
sampel.Peredaman radikal DPPH ini memiliki
teknik sederhana, tetapi memiliki kelemahan
dalam waktu pengaplikasiannya.
Uji Antioksidan Ekstrak Kulit Batang
Shorea singkawang (Miq). Miq
Pada pengujian awal uji antioksidan ini
ditentukan terlebih dulu panjang gelombang
maksimum DPPH.Dari hasil pengukuran
didapatkan panjang gelombang DPPH maks
adalah 515 nm.Panjang gelombang ini
digunakan untuk pengukuran absorban larutan
sampel. Dari 3,8 mL larutan DPPH 50 M
yang ditambahkan dalam 0,2 mL metanol
digunakan
sebagai
kontrol
didapatkan
absorban sebesar 0,387. Dari hasil pengukuran
absorban sampel, absorban dari masing-masing
sampel .
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini di lakukan uji daya
antioksidan
minyak
tengkawang
atau
shokletasi dari buah shorea sumatrana dengan
menggunakan
metode
DPPH
secara
kuantitaatifmengggunakan spektrofotometer
pada panjang gelombang 500 nm dan
absorbansi blanko sebesar 0,523 nm.
Pengukuran absorbansi minyak tengkawang
dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.
Berdasarkan gambar 2 dan 3 diketahui
bahwa minyak tengkawang memiliki inhibisisi
hampir sama dengan standar natrium benzoat.
Hal ini mengindikasikan bahwa minyak
tengkawang memiliki aktivitas antioksidan
yang lebih baik dan memiliki aktivitas
mendekati standar positif (natrium benzoat).
Terhadap
minyak
tengkawang
dilanjutkan pengujian aktivitas antioksidan
dari beberapa konsentrasi, yaitu 1 ppm; 2 ppm;
4 ppm; 6 ppm ; 8 ppm. Berdasarkan hasil
pengukuran absorban didapat % inhibisi
seperti yang terlihat pada Tabel 1.Cara
perhitungan dan regresi (antara konsentrasi
sampel dengan % inhibisi).

Gambar 3: Sumber radikal bebas

4.METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini dilakukan sohkletasi
buahshorea
sumatrana,
nampak
noda
disesuaikan dengan metabolit sekunder yang
akan diamati Dengan metode KLT ini juga
dilakukan penapisan aktivitas antioksidan dari
masing-masing metabolite sekunder dengan
menggunakan
perekasi
2,2-diphenyl-1picrylhydrazyl (DPPH). Penapisan aktivitas
antioksidan
ini
dilakukan
dengan
menggunakan asam askorbat sebagai larutan
standar.Uji antioksidan dengan metode
peredaman DPPHdilakukan lebih lanjut
dengan mengukur sejauh mana reaksi
peredaman terhadap radikal bebas DPPH dapat
berlangsung.Pengukuran dilakukan secara
spektrofotometri dengan mengukur serapan
dari masing-masing sampel yang sudah
direaksikan dengan larutan standar DPPH 1
mM pada 515. Sebagai standar digunakan
larutan asam askorbat.Parameter yang biasa
digunakan untuk menginterpretasikan hasil
1812

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Minyak berbentuk cairan kental dan berwarna


putih ekstrak ini dilakukan penapisan fitokimia
dan antioksidan untuk senyawa alkaloid,
flavonoid, polifenol dan terpenoid/steroid
dengan metode KLT.kemudian dilanjutkan uji
aktivitas antioksidan dengan peredaman
radikal DPPH, sebagai kontrol positif dengan
natrium benzoat
Pada penelitian ini di lakukan uji
aktifitas
antioksidanminyak tengkawang
shorea sumatrana dengan menggunakan
metode
DPPH
secara
kuantitatif
mengggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 500 nm dan absorbansi blanko
sebesar 0,523 nm. Pengukuran absorbansi
minyak tengkawang dilakukan sebanyak 3
kali ulangan. Sampel di buat dalam 5
konsentrasi hingga di peroleh hasil seperti
pada Tabel 2.
Gambar 4.serapan DPPH 40 ppm dalam Metanol
Tabel 1 : Hasil pengujian aktivitas antioksidan
minyak tengkawang
Konsentrasi
(ppm)

1
2
4
6
8

AbsorAktifitas
bansi
penghambatan
(A)
(% inhibisi)
=500 nm

0,205
0,210
0,215
0,220
0,225

33,45
33,85
35,00
36,15
37,45

Persamaan
regresi linear

y=0,5677x+
32,823
R2=0,9982

Nilai
IC50
(g/ml)

3,02

Pengukuran aktivitas antioksidan dari


minyak tengkawang dilakukan pada 5
konsentrasi pengenceran.Bila dilihat dari data
Tabel 1dapat diketahui bahwa semua
konsentrasi sampel menunjukkan nilai
absorbansiyang
berkurang
dan
%
penghambatan radikal DPPH (% inhibisi) yang
meningkatseiring
dengan
peningkatan
konsentrasi.Hal ini menunjukkan bahwa
terjadipengurangan konsentrasi DPPH setelah
direaksikan dengan sampel.
Hasil pengujian pada konsentrasi 1
ppm menunjukkan penghambatanradikal bebas
33,45 %, konsentrasi 2 ppm sebesar 33,85 %,
dan konsentrasi 4ppm yang paling tinggi
sebesar 35.00 %. Pada konsentrasi 6 ppm
36,15%, konsentrasi 8 ppm 37,45%
menunjukkanaktifitas
antioksidan
yang
tertinggi karena merupakan konsentrasi
terbesar,semakin tinggi konsentrasi sampel
maka aktifitas antioksidan akan semakin
besarpula, Hasil ini didukung oleh penelitian
yang telah dilakukan oleh Hanani et al.(2005)
yang
menyatakan
bahwa
persentase
penghambatan
(persen
inhibisi)terhadap

Gambar 5 .kurva serapan DPPH standar Natrium


Benzoaat dan minyak Tengkawang

Berdasarkan % inhibisi yang didapat dihitung


EC50 dari minyak tengkawang ini, yaitu
konsentrasi minyak tengkawang
yang
diperlukan untuk meredam 50% aktivitas
radikal DPPH. Didapatkan EC50 sebesar 8
ppm. Hal ini berarti dengan konsentrasi 8 ppm
minyak tengkawang ekstrak buah Shorea
sumtrana
dapat meredam 50% aktivitas
radikal DPPH.
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil.Sampel diambil dari Kecamatan Tabir
desa seling. Pada penelitian ini, 500 gram biji
yang sudah dikering dan dijadikan tepung ,di
ekstrak dengan menggunakan pelarut etanol .
hasilekstrak buah shorea sumatranaEkstrak
etanol yang diperoleh dari 3 kali maserasi
adalah 286,5 gram dengan rendemen 50,96%.
1813

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

aktivitas radikal bebas akan ikut meningkat


seiring dengan meningkatnyakonsentrasi.
Pada sampel yang mengandung
senyawa
antioksidan,
semakin
tinggi
konsentrasi berarti semakin banyak pula
senyawa yang akan menyumbangkanelektron
atau atom hidrogennya kepada radikal bebas
DPPH, yang turutmenyebabkan pemudaran
warna pada DPPH. DPPH yang awalnya
berwarna ungutua, jika direaksikan dengan
senyawa antioksidan dalam jumlah besar
akanberubah
menjadi
warna
kuning.
Perubahan warna DPPH ini terkait pula
denganenergi yang dimiliki radikal bebas
DPPH.Saat berada dalam bentuk radikal,DPPH
cenderung tidak stabil (reaktif) dan memiliki
energi yang besar karenaselalu bereaksi
mencari pasangan elektronnya, namun setelah
mendapat
pasanganelektronnya,
DPPH
menjadi lebih stabil (energinya rendah).
Struktur DPPH hasilreaksi dengan antioksidan
dapat dilihat pada Gambar

RH
NO2

O2N

NO2

DPPH

2004).NilaiIC ekstrak sampel diperoleh


berdasarkan perhitungan persamaan regresi
lineardari kurva absorbansi sampel. Kurva
absorbansi sampel ekstrak minyak tengkawang
dapat dilihat pada Gambar 2
Nilai IC50 ekstrak minyak tengkawang
didapat dari hasilperhitungan persamaan
regresi linier dimana persamaan regresi dari
minyak tengkawang yang didapat adalah y =
05677x + 32,823 dan R2 = 0,9982.
Koefisien y pada persamaan ini adalah
sebagai IC50, sedangkan koefisien x
padapersamaan ini adalah konsentrasi dari
ekstrak yang akan dicari nilainya, dimananilai
dari x yang didapat merupakan besarnya
konsentrasi yang diperlukan untukdapat
meredam 50% aktivitas radikal DPPH. Nilai
R2 = 0,9982 yangmenggambarkan bahwa
dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak
maka semakinbesar aktivitas antioksidannya,
jadi konsentrasi ekstrak mempengaruhi
persenaktivitas antioksidan sebesar 0,9982.
Hubungan antara aktifitas antioksidan
dan konsentrasi diperolehpersamaan linear.
Persamaan linear tersebut digunakan untuk
menghitung nilaiIC dari senyawa yang
diujikan. Nilai IC minyak tengkawang adalah
3.02 g/ml. Suatu senyawa dikatakan sebagai
antioksidan sangatkuatapabila nilai IC kurang
dari 50 g/mL, kuat apabila nilai IC antara 50100g/mL, sedang apabila nilai IC berkisar
antara 100-150 g/mL, dan lemahapabila nilai
IC berkisar antara 150-200 g/mL (Molyneux,
2004). Dari nilai IC minyak tengkawang dapat
diketahui
bahwa
minyak
tengkawang
memiliki aktivitas antioksidan yang tergolong
sangatkuat.
Berdasarkan persamaan regresi linier
didapat rata-rata IC50 minyak tengkawang
sebesar 3,02 g/ml jadi dapat diketahui bahwa
untukmeredam radikal bebas sebesar 50%
dibutuhkan 3,02 g/ml antioksidan minyak
tengkawang .
Uji aktivitas antioksidan menggunakan
kontrol positifnya yaitu natrium benzoate
karena senyawa yang terdapat pada natrium
benzot ini mempunyai kemampuanmeredam
atau menangkal radikal bebas yang sangat baik
dan banyak digunakanoleh peneliti-peneliti
sebagai kontrol positif pada senyawa-senyawa
yang lainkhususnya pada uji aktivitas antioksidan. Pengukuran aktivitas antioksidan dari
natrium benzoat dapat dilihat pada Tabel 2.

N H R
NO2

O2N

NO2

DPPH-H

Gambar 6.Reduksi DPPH dari senyawa antioksidan

Data kuantitatif uji aktivitas antioksidan minyak tengkawang dilakukan


pengujian dengan pengukuran penghambatannya (% Inhibisi).
Persen inhibisi adalah kemampuan
suatu bahan untuk menghambat aktifitasradikal
bebas, yang berhubungan dengan konsentrasi
suatu bahan uji. Perseninhibisi ini didapatkan
dari perbedaan serapan antara absorbansi
DPPH denganabsorbansi sampel yang di ukur
dengan spektrophotometer UV-VIS (Andayani
dkk., 2008).
Parameter yang dipakai untuk
menunjukkan aktivitas antioksidan adalah
Inhibition Concentration (IC) yaitu konsentrasi
suatu zat antioksidan yangdapat menyebabkan
50% DPPH kehilangan karakter radikal atau
konsentrasisuatu
zat
antioksidan
yang
memberikan persen penghambatan 50%.
Semakin kecilnilai IC berarti aktivitas
antioksidannya semakin tinggi (Molyneux,
1814

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Tabel 1. Hasil pengujian aktivitas antioksidan
Ntrium Benzoat
Konsentra
si
(ppm)
1
2
4
6
8

Absorban
si (A)
=500 mm
0,205
0,210
0,215
0,220
0,225

Aktifitas Persamaan
Antioksid regresi linear
an (%)
32,90
y=0,3939+
33,85
32,188
34,85
R2=0,9992
35,45
36,10

nilai IC50 dapat lebih kecil lagi sehingga


aktivitas
antioksidanmenjadi
lebih
baik.Aktivitas antioksidan pada minyak
tegkawang dengan kandungan metabolit
sekunder yang dikandungnya yaitusenyawa
golongan flavonoid, Senyawa flavonoid dalam
tumbuhan terdistribusidalam bentuk antosianin
atau pigmen pemberi warna pada tumbuhan.
Minyak tengkawang memiliki warna ungu,
warna ungu pada biji inikarena adanya pigmen
yang
memberi
warna
pada
minyk
tengkawang.Menurut Landy dkk., (2013)
minysk tengkawang mengandung senyawa
metabolit sekunder yaitu Flavonoid, fenolik
dan kuinon. Aktifitas antioksidandalam
minyak tengkawang karena adanya komponen
flavonoid, kuinon dan fenolik, di dalam tubuh
manusia,senyawa fenol dapat mengikat
oksigen aktif. Dengan cara ini, senyawa
fenoltersebut berperan sebagai antioksidan dan
mencegah efek oksigen aktif yangdapat
merusak komponen biologis seperti protein,
lipida, vitamin dan DNA.Senyawa antioksidan
terdapat dalam semua bagian tanaman seperti
bunga,biji, daun, buah, kayu, kulit kayu dan
akar, Fitrya dkk., (2010).Telah melakukanuji
fitokimia kulit batang tumbuhan shorea
sumatrana yangdiketahui bahwa minyak
tengkawang juga mengandung senyawa
fenolat, dan kuinon dimana senyawa
fenolatmemiliki kandungan tertinggi. Sehingga
dapat digunakan sebagai antimikrobadan
menurunkan kadar gula darah dan flavonoid
yang dominan sebagaiantioksidan.
Aktivitas antioksidan pada minyak
tengkawang
diduga
karena
pada
ekstraktersebut terdapat senyawa flavonoid
yang terlarut sempurna dalam pelarut etanolp.a
yang bersifat polar, hal ini di dukung oleh
penelitian Andayani dkk., (2008)bahwa bahan
dan senyawa kimia akan mudah larut pada
pelarut yang relatif samakepolarannya.
Mekanisme kerja dari flavonoid
sebagai antioksidan dapat secara langsung
maupun secara tidak langsung.Flavonoid
sebagai antioksidan secara langsungadalah
dengan mendonorkan ion hidrogen sehingga
dapat menstabilkan radikalbebas yang reaktif
(Saija, 1995) dan bertindak sebagai penangkal
radikal bebassecara langsung. Flavonoid
sebagai antioksidan secara tidak langsung
bekerja didalam tubuh dengan meningkatkan
ekspresi gen antioksidan endogen sehingga
terjadi peningkatan gen yang berperan dalam

Nilai
IC50
(g/ml)
4.52

Pengukuran aktifitas antioksidan dari natrium


benzoate pada konsentrasi 1 ppmmenunjukkan
nilai penghambatan radikal bebas sebesar
33,33%, pada konsentrasi2 ppm menunjukkan
nilai
penghambatan
radikal
bebas
sebesar33,82% dan padakonsentrasi 4 ppm
menunjukkan nilai penghambatan radikal
bebas sebesar35,00% , pada konsentrasi 6 ppm
menunjukan nilai penghambat radikal bebas
sebesar 36,00% , pada konsentrasi 8 ppm
menunjukan nilai penghambat radikal bebas
sebesar 36,45% jadi dapat diketahui bahwa
natrium benzoate memiliki aktifitas yang
kuatnampak dari besarnya nilai penghambatan
radikal bebas mulai dari konsentrasiterkecil
sampai konsentrasi tertinggi.
Data hasil uji aktivitas oksidan
kemudian dihubungkan dengan konsentrasi
natrium benzoate
pada kurva absorbansi
sehingga
diperoleh
persamaan
linear
yangdigunakan untuk memperoleh nilai IC.
Kurva absorbansi natrium benzoate Nilai IC
dari natrium benzoate adalah 4,52 g/ml.
Suatu senyawa dikatakansebagai antioksidan
sangat kuat apabila nilai IC kurang dari 50
g/mL, kuatapabila nilai IC antara 50-100
g/mL, sedang apabila nilai IC berkisar
antara100-150 g/mL, dan lemah apabila nilai
IC berkisar antara 150-200 g/mL(Arianto,
2006). Dari nilai IC ntrium benzoate dapat
diketahui bahwa ntrium benzoate memiliki
aktivitas antioksidan yang tergolong sangat
kuat. Natrium benzoate inidigunakan sebagai
kontrol positif karena senyawa yang terdapat
pada natrium benzoat ini mempunyai
kemampuan meredam atau menangkal radikal
bebas yang sangatbaik.
Pengujian aktivitas antioksidan dari
minyak tengkawang dan natrium benzoate
menghasilkan hubungan antara konsentrasi
senyawa yangdigunakan dengan persen
inhibisinya dapat dilihat padaDiagram pada
Gambar 2 dapat di ketahui bahwa bila
dilakukanpeningkatan konsentrasi lebih lanjut
dari minyak tengkawang maka dimungkinkan
1815

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Haryoto, B. Santoso, dan H. Nugroho. 2007.
Aktivitas Antioksidan Fraksi PolarEkstrak
Metanol dari Kulit Kayu Batang Shorea
acuminatissima denganMetode DPPH. Jurnal
Ilmu Dasar, Vol. 8 No. 2, Hal : 158-164.
Hernani dan Rahardjo, M. 2005.Tanaman
Berkhasiat
Antioksidan.
Jakarta,Penebar
Swadaya
Kumalaningsih, S. 2006. Antioksidan AlamiPenangkal Radikal Bebas, Sumber,Manfaat,
Cara Penyediaan dan Pengolahan.Penerbit
Trubus Agrisarana. Surabaya.
Landy, A., Lolaen, Fatimawati, Gayatri.2013. Uji
Aktifitas AntioksidanKandugan Fitokimia Jus
Buah Gandaria Bouea macrophylla Griff.
Program Study Farmasi Fakultas MIPA UNSRAT,
Manado.
Lautan, J. 1997. Radikal Bebas Pada Eritrosit dan
leukosit. Cermin duniakedokteran
Molyneux, P. 2004. The Use Of Stable Free
Radical Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) Or
Estimating Antioksidan Activity.
Songklanakarin J SciTechnol 26(2) 211-219
Nita Londo, 2015 . Bioaktifitas ekstrak kasar biji
gandaria Bouea macrophylla Griff sebagai
bahan antiokasidan skripsi S1 biolog
Universitas Hasanuddin Makasar.
Papas, A.M. 1999.Antioxidant Status, Diet,
Nutrition and Health.CRC Press.Washington,
D.C.
Raharjo, S. 2007. Strategi menghindari kerusakan
mutu produk pangan goreng.
Food Review.
Rice, C.A., N.J and G. Paganga. 1996. Sifat
Struktur
Antioksidan
SenyawaFenolik.
Agricultural University, Bogor.
Saija. 1995. Flavonoids as antioxidant agents :
importance
of
their
interactionwith
biomembranes. Free Radic. Biol. & Med. 19(4):
481-486
Soeksmanto, A., Y.Hapsari dan P.Simanjuntak.
2007. Kandungan Antioksidan
pada Beberapa Bagian Tanaman Mahkota Dewa
Phaleria macrocarpaScheff. Biodiversita.9295.
Sunarni, T. 2005. Aktivitas Antioksidan Penangkap
Radikal Bebas Beberapakecambah Dari Biji
Tanaman Familia Papilionac.
Wiryowidaglo.2006.
Uji
AktivitsAntioksidan
Beberapa Spons Laut dari Kepulauan
Seribu.Jurnal BahanAlam Indonesia vol.6 (1)
hal 1-4.
Yusnelti, Harlis, Nasri. 2008. Pemanfaatan Minyak
Tengkawang (Shorea sumatrana) sebagai
Pengawet Alam dalam Proses Pembuatan Mie
Basah, Tahu, Bakso bagi Industri Rumah
Tangga. Laporan Penelitian Universitas Jambi.

sintesis enzim antioksidan endogen seperti


SOD (superoxide dismutase).
Natrium benzoate memiliki efektivitas
antioksidan yang sangat tinggi dikarenakan
natrium benzot memiliki sifat polaritas yang
tinggi karena mempunyai banyak gugus
hidroksil, natrium benzoate memiliki nilai
potensial reduksi yang kecil sehingga
lebihmudah mereduksi radikal bebas.
Minyak tengawang
memiliki nilai
IC50sebesar 3,02 g/ml sedangkan natrium
benzoate yang digunakan sebagai pembanding/
kontrol positif memiliki IC504,52 g/ml. Dari
nilai IC50 yangdidapatkan diketahui bahwa
minyak tengkawang memiliki aktifitas
antioksidan yang sangat kuat hampir sama
besarnya denganaktifitas antioksidan dari
natrium benzoate.
6.KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa ekstrak biji/minyak
tengkawang Shorea sumatrana menunjukkan
adanya aktivitas antioksidanyang tinggi
dengan nilai IC50 sebesar 3.02 g/ml sebanding
dengan natrium benzoate ,dengan nilai IC50
sebesar 4,52 g/ml
REFERENSI
Andayani, R., Lisawati, Y., Maimunah. 2008.
Penentuan Aktivitas Antioksidan,Kadar Fenolat
Total, dan Likopen Pada Buah Tomat.Jurnal
Sains dan Teknologi Farmasi universitas Gadjah
Mada Vol.13, No.1.
Ariyanto,R. 2006. Uji Aktivitas antioksidan,
Penentuan Kandungan Fenolik danFlavonoid
Total Fraksi Kloroform dan Fraksi Air Ekstrak
MetanolikPegagan (Centella asiaticaL.Urban).
Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah
Mada
Evans. 1991. Sifat Fisiokimia dan Aktifitas
Antioksidan Sarang SemutMyrmecodia pendans
Sebagai Pengawet Alami Pangan.Program
StudiIlmu dan Teknologi Pangan, Universitas
Jendral Soedirman.
Gordon, M. H. 1990. The Mechanism of
Antioxidant Action in vitro. Di dalam :Hudson,
B. J. F. (ed). Food Antioxidants.Elsevier
Applied Science, LondonHanani, E, A. Munim,
R. Sekarini, dan S.
Hakim, E.H. 2002.Oligostilbenoid dari Tumbuhan
Dipterocarpaceae.Buletin of The Indonesian
Society of Natural Product Chemistry. 2. 1-19.

1816

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENGARUH SUHU PEMBAKARAN TERHADAP PERFORMANCE TiO2/C


BERPENDUKUNG KERAMIK SEBAGAI ELEKTRODA SUPERKAPASITOR
Admin Alif, 1 Olly Norita Tetra, 1 Emriadi, 1 dan Aliza Rosdianty1
1

Jurusan Kimia, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas Padang
Email : olly512@yahoo.com

Abstract
Effect of calcinations temperature on the performance of TiO2/C reinforced ceramics as a supercapacitor
electrode has been investigated. TiO2 sols was synthesized with sol-gel method. The ceramic electrodes was
coated by TiO sol with temperature calcined variant of 150oC, 250oC, 350oC, 450oC, and without calcined.
Measurement results showed that the highest capacitance is given by the ceramic electrodes are coated titania
sol without calcined and lowest capacitance given by the ceramic electrodes was coated by TiO2 sols with
250oC calcined temperature.
Keywords: Supercapacitors, EDLC, sol gel methodes , Capacitance
Abstrak
Pengaruh suhu pembakaran terhadap performance TiO2/C berpendukung keramik sebagai elektroda
superkapasitor telah diteliti. Sintesis sol TiO2 dilakukan dengan menggunakan metode sol-gel. Elektroda
keramik dilapisi dengan sol TiO2 dan dibakar dengan variasi suhu 150oC, 250oC, 350oC, 450oC, dan tanpa suhu
pembakaran. Dari hasil pengukuran didapatkan bahwa kapasitansi yang tertinggi diberikan oleh elektroda
keramik yang dilapisi sol titania tanpa dibakar dan kapasitansi terendah diberikan oleh elektroda yang dibakar
pada suhu 250oC.
Kata Kunci: Superkapasitor, EDLC, metode sol gel, TiO2, kapasitansi

Penelitian tentang modifikasi karbon


sebagai
elektroda
dilaporkan
mampu
meningkatkan nilai kapasitansi superkapasitor,
diantaranya penggunakan oksida logam dan
polimer sebagai elektroda, pemanfaatan
elektroda karbon aktif yang dicampurkan
dengan platina, sintesis campuran Carbon
Nanopores/ZnO, dan campuran polimer
polianilin yang dicampurkan dengan karbon
aktif [6,7,8].
Elektroda superkapasitor berbahan
dasar zeolit sintesis dilaporkan mempunyai
nilai kapasitansi dan konduktivitas yang masih
rendah. Sulitnya pembuatan plat elektroda juga
menjadi kekurangan dari elektroda ini karena
sifatnya yang rapuh dan terbuat dari butiran
halus sehingga sulit dikompaksi [9]. Oleh
karena itu, pada penelitian ini digunakan TiO2
sebagai elektroda yang kemudian ditumbuhkan
pada template keramik lantai sehingga tidak
perlu melalui proses kompaksi.
Penggunaan TiO2 sebagai bahan
pembuat elektroda juga telah banyak
dilakukan, salah satunya adalah elektroda
superkapasitor dari campuran TiO2 dan karbon
aktif [10]. Pada penelitian ini, TiO2 disintesis

1. PENDAHULUAN
Superkapasitor menjadi perangkat penyimpan
energi listrik yang sekarang sedang
berkembang secara meluas. Hal ini karena
sifatnya yang mampu menutupi kekurangan
dari fuel cell dan baterai. Superkapasitor
mempunyai nilai kapasitansi yang lebih besar,
rapat energi yang besar, dan siklus hidup yang
lebih lama [1]. Material yang biasanya
digunakan sebagai elektroda EDLC adalah
karbon, oksida logam, dan polimer konduktif.
Secara umum penggunaan karbon sebagai
elektroda EDLC lebih besar karena
keunggulan sifatnya dibandingkan dua
material lainnya. Oksida logam biasanya
mahal dan polimer konduktif bersifat tidak
stabil. Karbon memiliki luas permukaan yang
besar sehingga memungkinkan untuk banyak
menyimpan muatan dari elektrolit. Keuntungan
penggunaan karbon sebagai bahan elektroda
adalah mudah didapatkan, harganya yang
murah, dan stabil. Karbon yang digunakan
sebagai elektroda dapat berupa graphene,
carbon nanotube, carbon aerogel, maupun
komposit mineral karbon [2-5].
1817

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

menggunakan metode sol-gel dan kemudian


dicoating pada keramik lantai sebagai
elektroda. Modifikasi pembakaran tidak
sempurna TiO2 pada berbagai variasi suhu
pembakaran
elektroda
superkapasitor
diharapkan dapat memberikan jumlah karbon
yang cukup banyak untuk membentuk
nanokomposit Karbon-TiO2 pada keramik dan
memperluas permukaan elektroda sehingga
dapat meningkatkan nilai kapasitansi dari
superkapasitor [11,12].

Proses Pengeringan dan Pembakaran


Keramik yang telah dicoating, kemudian
dilakukan pemanasan didalam oven dengan
suhu 100oC selama 1 jam. Selanjutnya keramik
dibakar didalam furnace dengan variasi suhu
pembakaran selama 2 jam.
Tabel 1. Variasi Suhu Pembakaran Elektroda
Keramik
Elektroda
1
2
3
4
5
6

2. METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini
adalah keramik lantai (Materina), H3PO4
(Merck),
(CH2CHOH)n
(Bratachem),
Ti(OC3H7)4 (Aldrich, 97%), CH3CH2(OH)CH3
(Merck), C4H11NO2 (Merck), dan Akuades.

Suhu Pembakaran (oC)


Blanko (Tanpa dicoating dan tanpa
dibakar)
Tanpa dibakar
150
250
350
450

Pembuatan Elektrolit Hidrogel Polimer


1 gram PVA ((CH2CHOH)n) dilarutkan dengan
10 mL larutan H3PO4 dengan variasi
konsentrasi 0,1 0,7 M. Campuran tersebut
didiamkan selama 30 menit, kemudian
dipanaskan pada suhu 50oC diatas hot plate
sampai homogen. Setelah homogen, campuran
dituangkan kedalam petridish dan dibiarkan
kering secara alami.

Peralatan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini
adalah plat tembaga, kaca (4x4 cm), oven,
furnace, hot plate, charger (Handphone Nokia
8,62 V), Multimeter (Heles UX-838TR), LCRMeter (Lutron LCR-9073), dan peralatan gelas
laboratorium lainnya.

Perakitan superkapasitor
Struktur
superkapasitor
dibuat
seperti
sandwich, dimana diantara dua elektroda
dengan suhu pembakaran yang sama
diselipkan satu buah polimer elektrolit.
Elektroda tersebut kemudian ditempelkan pada
lempengan logam tembaga (Plat Cu),
selanjutnya ditekan dengan plat kaca agar
rakitan tidak renggang dan dijepit dengan
penjepit.

Prosedur Kerja
Persiapan Elektroda Keramik Lantai
Keramik yang digunakan diperoleh dari
keramik lantai yang ada di pasaran dan biasa
digunakan sebagai keramik lantai rumah.
Keramik diambil bagian dalamnya saja,
sedangkan kemudian ditipiskan hingga
ketebalannya 2,5 mm, dibentuk lingkaran
berdiameter 4 cm [12].

Pelapisan Elektroda Keramik dengan sol


Titania
Proses pembuatan sol titania dilakukan dengan
mencampurkan
Isopropanol
(CH3CH2(OH)CH3),
Dietanol
Amin
(C4H11NO2), dan Titanium Tetra Isopropoksida
(Ti(OC3H7)4). Campuran tersebut kemudian
distirrer selama 4 jam pada suhu kamar.
Selanjutnya untuk pelapisan, keramik yang
telah ditipiskan sesuai ukuran dicelupkan ke
dalam sol titania selama 2 menit. Proses
pelapisan ini dilakukan pada semua sisi
keramik. [12].

Plat Cu

Kaca

Elektroda keramik

Pemisah

Gambar 1 Susunan rakitan superkapasitor.


Pengukuran Sifat Listrik Superkapasitor
Pengukuran nilai kapasitansi dan resistansi dari
elektroda
menggunakan
LCR-Meter,
sedangkan pengukuran nilai arus dan tegangan
dari superkapasitor menggunakan Multimeter.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Suhu Pembakaran Terhadap
Nilai Kapasitansi

1818

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Kapasitansi (nF)

Kapasitansi merupakan kemampuan suatu


superkapasitor untuk menyimpan muatan
listrik. Rangkaian superkapasitor dengan
variasi konsentrasi elektrolit H3PO4 diukur
menggunakan LCR-Meter. Kapasitansi yang
tertinggi diberikan oleh elektroda yang tidak
dibakar dan kapasitansi terendah adalah pada
elektroda dengan suhu pembakaran 250oC
seperti pada Gambar 2.

Konsentrasi Elektrolit (M)


Akuades
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7

0,2
0,15
0,1
0,05
0
0

200

400

Dari Tabel 2. terlihat bahwa PVA yang hanya


dilarutkan dengan Akuades juga dapat
menyimpan muatan listrik sebesar 0,060 nF.
Hal ini dikarenakan oleh jumlah ion H+ dan
OH yang dimiliki oleh Akuades, hanya saja
jumlah ion ini lebih sedikit jika dibandingkan
dengan elektrolit H3PO4. Muatan tertinggi
disimpan
oleh
superkapasitor
dengan
menggunakan konsentrasi 0,5 M sebesar 0,190
nF.
Pengaruh suhu pembakaran terhadap nilai
kapasitansi dengan semua variasi konsentrasi
elektroda dapat dilihat pada Gambar 4. Dari
gambar terlihat bahwa untuk semua variasi
konsentrasi elektrolit H3PO4, nilai kapasitansi
tertinggi diberikan oleh elektroda tanpa
dibakar dan nilai kapasitansi paling rendah
diberikan oleh elektroda dengan suhu
pembakaran 250oC.

600

Suhu Pembakaran (oC)

Gambar 2. Pengaruh suhu pembakaran


terhadap nilai kapasitansi elektroda keramik
tanpa dibakar menggunakan pemisah PVA dan
elektrolit H3PO4 0,3 M.

Kapasitansi (nF)

Pengaruh Konsentrasi Elektrolit H3PO4


Terhadap Nilai Kapasitansi
Gambar 3 menunjukan nilai kapasitansi
dengan berbagai variasi konsentrasi elektrolit
H3PO4.
0,2
Kapasitansi (nF)

Nilai Kapasitansi
(nF)
0.060
0.096
0.148
0.165
0.170
0.190
0.118
0.071

0,15
0,1
0,05

0,2
0,15
0,1
0,05
0
0

200

400

600

Suhu Pembakaran (oC)

0,2

0,4

0,6

0,8

Konsentrasi (M)

Gambar 3. Pengaruh konsentrasi elektrolit


H3PO4 terhadap nilai kapasitansi.

Aquadest

0,1 M

0,2 M

0,3 M

0,4 M

0,5 M

0,6 M

0,7 M

Gambar 4. Pengaruh suhu pembakaran


elektroda
terhadap
nilai
kapasitansi
superkapasitor dengan variasi konsentrasi
elektrolit H3PO4.

Seiring dengan kenaikan konsentrasi, maka


nilai kapasitansi juga semakin meningkat
namun terjadi penurunan kapasitansi pada
konsentrasi elektrolit yang lebih tinggi, yaitu
0,6 dan 0,7 M.

Pengaruh Waktu Pengisian Terhadap Sifat


Listrik Superkapasitor
Pengaruh Waktu Terhadap Arus Listrik

Tabel 2. Nilai kapasitansi superkapasitor pada


berbagai variasi konsentrasi elektrolit H3PO4
dengan elektroda keramik tanpa dibakar.

Dari Gambar 5, terlihat bahwa pada waktu


pengisian 30 menit, arus yang tersimpan dan
terbaca oleh multimeter sebagai arus keluar
adalah relatif konstan pada pemisah yang
1819

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dilarutkan dengan Akuades; 0,1; 0,2; dan 0,3


M, lalu mengalami kenaikan pada konsentrasi
0,4 M dan optimum pada 0,5 M dan kemudian
mengalami penurunan kembali pada 0,6 dan
0,7 M.

Pengaruh Waktu terhadap Tegangan Listrik


Nilai tegangan tersimpan yang tertinggi
diberikan oleh konsentrasi 0,5 M selama 150
menit waktu pengisian sebesar 0,285 Volt.
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa dengan
konsentrasi yang sama, maka tegangan
semakin
meningkat
seiring
dengan
peningkatan waktu pengisian superkapasitor.
Pengaruh konsentrasi elektrolit terhadap
tegangan dalam waktu pengisian yang sama
dapat dilihat dari Gambar 7. Dengan
pemberian waktu pengisian 150 menit,
tegangan naik seiring dengan kenaikan
konsentrasi sampai 0,5 M, kemudian
mengalami penurunan pada konsentrasi 0,6
dan 0,7 M.

0,7
0,6

Arus (A)

0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0

0,2

0,4

0,6

0,8

Konsentrasi (M)

Gambar 5. Pengaruh konsentrasi elektrolit


H3PO4 terhadap arus yang tersimpan dengan
waktu pengisian 30 menit.

0,3
Tegangan (Volt)

0,25

Setelah dilakukan pengukuran lebih lanjut,


didapatkan nilai arus konstan meskipun waktu
pengisian meningkat. Hal ini menandakan
bahwa resistansi superkapasitor yang dibuat
telah dapat menjaga arus yang keluar konstan
sehingga dapat menyimpan arus untuk waktu
yang lebih lama. Superkapasitor tidak
mengeluarkan arus yang tersimpan sekaligus,
dan mengeluarkannya sebagai arus keluar
secara konstan.

0,2
0,15
0,1
0,05
0
0

50

100

150

200

Waktu Pengisian (Menit)

Gambar 6. Pengaruh waktu pengisian


terhadap tegangan pada pemisah PVA dan
elektrolit H3PO4 0,5 M.

0,7
0,6

0,4
0,3

Tegangan (Volt)

Arus (A)

0,5

0,2
0,1
0
0

50

100

150

200

Waktu (Menit)
Aquadest, 0,1, 0,2, 0,3, 0,6, 0,7 M

0,4 M

0,5 M

0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0

0,2

0,4

0,6

0,8

Konsentrasi (M)

Gambar 6. Nilai arus yang terbaca pada


masing-masing waktu pengisian.

Gambar 7. Pengaruh konsentrasi elektrolit


H3PO4 terhadap tegangan dengan waktu
pengisian 150 menit.

Untuk melihat berapa lama waktu yang


dibutuhkan sebuah superkapasitor untuk
menyimpan arus listrik, maka dilakukan proses
pengisian dari 0 sampai 25 menit dengan
interval waktu 5 menit.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa keramik lantai yang
1820

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
7. Barmawi, I., Taer, E., Umar, A. A., Lukita, J.,
Lustania., Penumbuhan Nanopartikel Logam
dengan
Metode
Kimia
Basah
untuk
Meningkatkan
Prestasi
Superkapasitor
Elektrokimia.
Prosiding
SNTK
TOPI,
Pekanbaru, 2012.
8. Jing, F., Mu, C., Hai, L., Zhi-An, Z., Yan-Qing,
L., Ji, L., Hybrid Supercapacitor Based on
Polyaniline Doped with Lithium Salt and
Activated Carbon Electrodes, J. Cent. South
Univ. Technol, 2009, 16:04340439.
9. Khairati, M., Pengaruh Elektrolit H3PO4
terhadap Sifat Listrik pada Elektroda
Superkapasitor dari Campuran Zeolit dan Resin
Damar, Skripsi, FMIPA Universitas Andalas,
Padang, 2014.
10. Fitriana, V. N., Diantoro M., Nasikhudin,
Sintesis dan Karakterisasi Superkapasitor
Berbasis Nanopartikel TiO2/C, Skripsi, FMIPA
Universitas Negeri Malang, 2014.
11. Syukri, A., Alif, A., Willian, N., Pembuatan
Lapisan Tipis TiO2-Doped Logam M (M= Ni,
Cu, dan Zn) dengan metode dip-coating dan
Aplikasi Sifat Katalitiknya pada Penjernihan
Air Rawa Gambut. J. Ris. Kim, 2008, 2(1).
12. Alif, A., Tetra, O., Efdi, M., Penggunaan
Membran Keramik Modifikasi Titania dalam
Penjernihan Air Rawa Gambut, Proceeding:
Seminar dan Rapat Tahunan BKS-PTN
Indonesia bagian Barat Bidang MIPA, 2010.
13. Tseng, T. K., Lin, Y. S., Chen, Y. J., Chu, H., A
Rievew of Photocatalysts Prepared by Sol-Gel
Method for VOCs Removal, Int. J. Mol. Sci,
2011, 11:2336-2361.
14. Haria, R., Aziz, H., Alif A., Penggunaan
Membran Keramik Dimodifikasi dengan Titania
yang Dilengkapi dengan Prefilter dalam
Penjernihan Air Rawa Gambut, PPs-Kimia
Unand, 2012.
15. Permana M. A., Syafei A. D., Penyisihan
Kandungan Organik dengan Metode Pelapisan
Fotokatalis TiO2 pada Permukaan Keramik.
Skripsi. Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
2011.
16. Brinker, C. J., Frye, G. C., Hurd, A. J., Ashley,
C. S., Fundamentals of Sol-Gel Dip Coating,
Thin Solid Film Elsevier, 1991, 201:97-108.

telah
dimodifikasi
dengan
melakukan
pelapisan sol titania dapat dijadikan sebagai
elektroda superkapasitor. Suhu pembakaran sol
titania pada template keramik lantai tidak
mempengaruhi performance superkapasitor.
Pelapisan titania pada elektroda keramik
mampu meningkatkan nilai kapasitansi dari
elektroda keramik. Elektroda keramik yang
memperlihatkan nilai kapasitansi paling baik
diberikan oleh elektroda keramik dilapisi sol
titania tanpa dibakar. Nilai kapasitansi
tertinggi terdapat pada elektroda keramik yang
dilapisi sol titania tanpa dibakar dengan
konsentrasi elektrolit H3PO4 0,5 M sebesar
0,190 nF dan mampu menghasilkan tegangan
sebesar 0,285 Volt serta arus sebesar 0,6 A
selama 150 menit waktu pengisian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chen, S. M., Ramachandran, R., Mani, V.,
Saraswathi, R., Recent Advancements in
Electrode Materials for the High-Performance
Electrochemical Supercapacitors: A Review,
Int. J. Electrochem. Sci., 2014, (9):4072-4085.
2. Scherson, D. A., Palencsar, A., Batteries and
Electrochemical
Capacitors,
The
Electrochemical Society Interface, 2006.
3. Pandolfo, A. G., Hollenkamp, A. F., Carbon
Properties and Their Role in Supercapacitors.
Journal of Power Source, 2006, (157):11-17.
4. Wang, X., Yan, Z., Pang, H., Wang,, W., Li, G.,
Ma, Y., Zhang, H., Li, X., Chen, J.,
NH4CoPO4H2O Microflowers and Porous
Co2P2O7
Microflowers:
Effective
Electrochemical Supercapacitor Behavior in
Different Alkaline Electrolytes, Int. J.
Electochem. Sci., 2013, (8):3768-3785.
5. Ho, M. Y., Khiew, P. S., Tan, T. K., Chiu, W.
S., Chia, C. H., Hamid, M. A., Shamsudin, R.,
Nano Fe3O4-Activated Carbon Composites for
Aqueous Supercapacitors, Sains Malaysiana,
2014, 43(6):885-894.
6. Liu, Y., Hu, Z., Xu, K., Zheng, X., Gao, Q.,
Surface Modification and Performance of
Activated Carbon Electrode Material, Acta
Phys. Chim. Sin., 2008, 7(24): 1143-1148.

1821

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

UJI TOKSISITAS ION LOGAM Pb2+ TERHADAP BERBAGAI JENIS IKAN


Andi Arif Setiawan1), Arinafril2)
1.

Mahasiswa PPS Universitas Sriwijaya, Staf pengajar Univ. PGRI Plg , email : aaschem90@gmail.com
2.
Staff pengajar PPS Universitas Sriwijaya
Abstract

Industrial activity tends to use hazardous substances, one of which is a heavy metal of lead (Pb).Waste
containing Pb although it has treatment, needs to be done bioassay in the form of toxicity test, and needs to be
done bioassay in the form of toxicity test. Testing is important because usually the end result of the sewage
treatment still contains contaminants the exceed the threshold value, so that it can disrupt aquatic. This study
aims to determine the LC50 and LT50 of Pb 2+ ions to various types of fish, including : mas (Cyprinus carpio
Linn), Mujair (Tilapia mozambica) dan nila (Oreochromis sp). Toxicity test Pb 2+ ion carried out with a
concentration of 5,964 ppm. At a concentration of the conducted a preliminary test on toxicity to various species
of fish. The concentration varied from 0; 1,491;2,982; 4,473 and 5,965 ppm for 96 hours with 3 iterations.
Preliminary test results of toxicity generally show the no death of the fish (sublethal). Death was found at the
concentration of 9,654 ppm Pb2+ ion. Determining the value of LC50 and LT50 using SPSS software. The LC50
value of fish of mas, mujair and nila each 12,376; 12,764 and 14.756 ppm. While the LT50 values occur in
127,158; 126,18 and 340,46 hours.
Keywords : toxicity test, Pb2+ ions, Various types of fish, LC50 and LT50
Abstrak
Aktivitas industri cendrung mengunakan bahan berbahaya, salah satunya yaitu logam berat timbal (Pb).
Limbah yang mengandung Pb walaupun telah mengalami pengolahan, perlu dilakukan uji hayati (bioassay)
berupa uji toksisitas. Pengujian ini penting dilakukan karena biasanya hasil akhir dari pengolahan limbah
tersebut masih mengandung bahan pencemar yang melebihi nilai ambang batas, sehingga dapat mengganggu
biota perairan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan besarnya LC50 dan LT50 dari ion Pb2+ terhadap
berbagai jenis ikan, meliputi : ikan mas (Cyprinus carpio Linn), mujair (Tilapia mozambica) dan nila
(Oreochromis sp). Uji toksisitas ion Pb2+ dilakukan dengan konsentrasi 5,964 ppm. Pada konsentrasi tersebut
terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan toksisitas terhadap berbagai jenis ikan tersebut. Konsentrasinya
tersebut divariasikan dari 0; 1,491; 2,982; 4,473 dan 5,965 ppm selama 96 jam. Pengamatan terhadap
kematian ikan dilakukan setiap 8 jam dengan 3 perulangan. Hasil uji pendahuluan toksisitas yang dilakukan
secara umum tidak menunjukan kematian ikan-ikan (sublethal). Kematian dijumpai pada konsentrasi ion Pb 2+
5,964 ppm. Penentuan nilai LC50 dan LT50 dengan menggunakan program SPSS. Nilai LC50 untuk ikan mas,
mujair dan nila masing-masing 12,376; 12,764 dan 14,756 ppm. Sedangkan nilai LT 50 terjadi pada 127,158;
126,18 dan 340,46 jam.
Kata kunci : Uji toksisitas, ion Pb2+, Berbagai jenis ikan, LC50 dan LT50

Masuknya zat beracun berupa logam berat dari


kegiatan industri ke ekosistem perairan
menyebabkan permasalahan krusial (Fonkou et
al., 2005).
Diantara bahan pencemar berupa logam
berat tersebut yaitu : timah hitam atau
plumbum (Pb). Pada tingkat pajanan dibawah
10 l/dL menunjukan gangguan kognitif,
ketidak teraturan tingkah laku, kerusakan
sistem syaraf (Patrick, 2006). Akibat lainnya
pada manusia mengakibatkan kerusakan pada
ginjal atau liver (Shi et al., 2014), jika terserap
masuk melalui aliran darah dan tersebar ke

1.

PENDAHULUAN.
Pembangunan di bidang industri, seperti
: percetakan, peleburan logam, pelapisan
logam dan penambangan, berdampak positip
bagi perekonomian disisi lain berdampak
negatip berupa limbah. Keberadaan limbah di
lingkungan semakin lama semakin meningkat,
ini di perparah dengan meningkatan jumlah
penduduk, kemajuan teknologi dan aktivitas
manusia (Karbassi et al., 2008; Ozseker et al,
2013). Potensi ancaman tersebut dapat berupa
logam-logam berat yang dapat mencemari
lingkungan (Kwonpongsagoon et al.,2007).
1822

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dalam
bagian-bagian
tubuh.
Sebagian
menempel di tulang, dimana ion Pb2+ tersebut
manggantikan
ion
Ca2+
dikarenakan
mempunyai kemiripan muatan ionnya. Selain
itu Pb dapat menghambat fungsi enzim
pembentukan sel darah merah dan berikatan
dengan hemoglobin membentuk komplek.
Disamping itu juga Pb dapat menyebabkan
kerusakan ginjal, liver, otak, penurunan
mental, ketidakteraturan tingkah
laku,
gangguan pencernaan, kerusakan sel darah
merah jantung, gangguan alat reproduksi dan
gangguan inggatan (Dunnivant and Anders,
2006;
United
Nations
Environment
Programme, 2010; Fewtrell et al., 2003.
Timbal yang terserap oleh ibu hamil akan
berakibat pada kematian janin dan kelahiran
prematur, berat lahir rendah bahkan
keguguran. Penelitian menunjukkan bahwa
timbal yang terserap oleh anak, walaupun
dalam jumlah kecil, dapat menyebabkan
gangguan pada fase awal pertumbuhan fisik
dan mental yang kemudian berakibat pada
fungsi kecerdasan dan kemampuan akademik
(Arifin, 2008).
Kadar Pb secara alami dapat ditemukan
dalam batuan sekitar 13 mg/kg. Khusus Pb
yang tercampur dengan batuan fosfat dan
terdapat di dalam batuan pasir kadarnya lebih
besar yaitu 100 mg/kg. Pb yang terdapat di
tanah berkisar 5-25 mg/kg dan dibawah tanah
berkisar atara 1-60 ug/l (Sudarmaji, Mukono
dan
Corie, 2006). Pada perairan yang
diperuntukkan bagi air minum, kadar
maksimum Pb adalah 0,05 mg/liter.
Masuknya logam berat ke perairan
mengakibatkan terjadinya pencemaran di
ekosistem perairan. Logam berat terakumulasi
dalam jaringan hewan air, sehingga logam
berat tersebut dapat mengganggu kesehatan
masyarakat (Kalay et al., 1999 ; Ashraf, 2005
dalam Farombi et al., 2007), bahkan
menyebabkan kematian melalui rantai
makanan (Vutukuru, 2005; Ahmad, 2010).
Ikan sebagai salah satu biota perairan
dapat dijadikan sebagai salah satu indikator
tingkat pencemaran yang terjadi di dalam
perairan. Jika di dalam tubuh ikan telah
terkandung kadar logam berat yang tinggi dan
melebihi batas normal yang telah ditentukan
dapat sebagai indikator terjadinya suatu
pencemaran dalam lingkungan (Supriyanto,
dkk., 2007).
Penggunaan ikan sebagai bioindikator
terhadap efek zat pencemar sangat sering

digunakan untuk mendeteksi permasalahan


lingkungan (Bombail et al, 2001 dalam
Ventura et al., 2007) dan (Farombi et al.,
2008). Hasil yang diperoleh dari pengujian
ikan dapat digunakan untuk mengevaluasi
keberadaan bahan yang berpotensi berefek
kanker pada manusia (Matsumuto et al., 2006
dalam Ventura et al., 2007). Kriteria
organisme yang cocok untuk digunakan
sebagai uji hayati tergantung beberapa faktor :
organisme harus sensitif terhadap bahan
beracun
dan
perubahan
lingkungan,
penyebarannya luas dan mudah didapat,
mempunyai nilai ekonomi dan mempunyai arti
ekologi.
2.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini berupa percobaan yang
dilakukan di Laboratorium Lingkungan
Program Studi Pengelolaan Lingkungan
Universitas Sriwijaya. Adapun peralatan yang
digunakan erlenmyer, akuarium, aerator,
selang, pipet volume, pengaduk, pompa
sirkulasi, dan pengaduk. Sedangkan bahan
yang digunakan air, Pb(NO3)2 dan pakan ikan.
Hewan uji yang digunakan berupa ikan
mas, mujair dan nila. Ikan sebelum digunakan
sebagai objek penelitian terlebih dahulu dipilih
ukuran yang seragam dan kondisi fisik yang
sehat. Selama penelitian, hewan uji diberi
makan sebanyak 10% dari bobot tubuh per hari
dengan frekwensi pemberian tiga kali sahari.
Ikan-ikan ini diaklimatisasi selama 7 hari.
Aklimatisasi ini bertujuan agar ikan-ikan dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi penelitian.
Uji pendahuluan toksisitas dilakukan
menggunakan 5 akuarium untuk setiap jenis
ikan yang berisikan 10 ekor jenis ikan,
konsentrasi ion Pb2+ 5,964 ppm yang
digunakan ini berasal dari hasil penelitian
percobaan penulis sebelumnya (Pemanfaatan
Limbah Biomassa Kulit Kacang
Tanah,
Sekam Padi dan Serbuk Gergaji sebagai
Bioadsorben dalam Menyerap ion Pb2+).
Percobaan dilaksanakan
dengan 3
perulangan dan 5 perlakuan tingkat konsentrasi
0 (kontrol), 25% (1,491 mg/l); 50% (2,982)
mg/l; 75% (4,473) mg/l dan 100% (5,964)
mg/l. Pakan diberikan secara teratur (3x sehari)
maksimal 3% dari berat badan perhari. Hitung
jumlah ikan yang mati, untuk masing-masing
perlakuan setiap 8 jam. Setelah didapatkan
konsentrasi yang menyebabkan kematian 50%
populasi ikan dilanjutkan dengan uji toksisitas
akut.
1823

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Uji toksisitas akut ini bertujuan untuk


mengetahui jumlah kematian ikan akibat
konsentrasi yang diujikan, sehingga nilai LC50
dan LT50
dapat ditentukan dengan
menggunakan program SPSS. Nilai LC50
(probit), ditentukan dengan alat bantu sofware
SPSS. Model matematika probit ditunjukan
oleh persamaan 1 :
Probit (P) = Intercep + BX ...................(1)
Dimana B = Koefisien regresi,
X = konsentrasi
Adapun tahapannya terlebih dahulu
disiapkan sejumlah aquarium, lalu dimasukan
larutan ion Pb2+ dengan konsentrasi ditentukan
dengan rumus 1 dan 2 :

log

n=Konsentrasi
ambang
atas
yang
menyebabkan kematian 0 %,
K=banyaknya tingkatan konsentrasi yang
digunakan di luar kontrol; A, .., I =
banyaknya tingkatan konsentrasi yang
diujikan
Masukkan ikan yang telah disiapkan
masing 6 ekor kedalam akuarium tersebut.
Catat waktu saat memasukan ikan tersebut.
Pakan diberikan secara teratur (3x sehari).
Catat jumlah ikan yang mati dengan interval
waktu 24, 48, 72, 96 dan 120 jam.
3.

HASIL PENELITIAN
Dari hasil uji pendahuluan toksisitas
terhadap ikan mas, mujair dan nila dengan
jumlah masing-masing ikan 6 ekor, ukuran 3-4
cm, variasi konsentrasi : 0 (kontrol), 25%
(1,491 mg/l); 50% (2,982) mg/l; 75% (4,473)
mg/l dan 100% (5,964) mg/l dan waktu
pengamatan setiap 8 jam. Hasil pengamatan
terhadap kematian hewan uji dijumpai pada
konsentrasi 5,964 ppm, sedangkan pada
konsentrasi dibawahnya tidak jumpai kematian
hewan uji, lihat tabel 1 dan 2.

N
A
K . log( ) ................................................(2)
n
n

A B C D
E
F
G H
I

.
. ........................(3)
n A B C
D E
F
G
H

Dimana :
N=Konsentrasi
ambang
bawah
menyebabkan kematian 100%,

yang

Tabel 1. Data hasil pengamatan uji toksisitas pada beragai konsentrasi setiap 8 jam
Konsentrasi Pb (%)
0
25
25
25
50
50
50
75
75
75
100
100
100

Populasi Ikan
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6

Jenis Ikan
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

Mortalitas
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0

Jenis Ikan
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2

Mortalitas
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0

Jenis Ikan
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3

Mortalitas
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Keterangan : Jenis ikan 1 = mas, 2=mujair dan 3 = nila


Tabel 2. Data hasil pengamatan uji toksisitas pada beragai Konsentrasi konsentrasi 5,964 ppm setiap 8
jam
Waktu
8
8
8
16
16
16
24
24
24
32
32
32

Populasi Ikan
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6

Jenis Ikan
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

Mortalitas
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0

Jenis Ikan
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2

1824

Mortalitas
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0

Jenis Ikan
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3

Mortalitas
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
40
40
40
48
48
48
56
56
56
56
64
64
64
72
72
72
80
80
80
88
88
88
96
96
96

6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2

Uji pendahuluan toksisitas ini bertujuan


untuk memperoleh kisaran konsentrasi yang
menyebabkan kematian hewan uji sebanyak 50
% dari populasi hewan uji, atau yang dikenal
dengan sebutan LC50 (Lethal Consentration) ,
Uji pendahuluan toksisitas terhadap
kematian ikan secara umum dari konsentrasi
yang diujikan tidak menghasilkan kematian
ikan (sub lethal),. Kematian ikan hanya terjadi
pada konsentrasi 5,964 ppm pada ulangan
pertama untuk ikan mas, dan mujair,
sedangkan pada ulangan ke-2 dan ke-3 tidak
menunjukan kematian ikan.
Dari data olah menggunakan SPSS di
dapatkan persamaan 4 a untuk jenisi ikan 1, 4
b untuk jenis ikan 2 dan 4 c untuk jenis ikan 3.
Model probit (LC50) pengaruh konsentrasi
terhadap probit kematian ikan, untuk ikan jenis
1, 2 dan 3 masing-masing

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Sedangkan uji pendahuluan untuk


menentukan LT50 8 jam dengan konsentrasi
5,964 mg/l mayoritas ikan yang diujikan
selama 0 sampai 96 jam masih hidup (sub
lethal). Kematian ikan dijumpai pada waktu
16 jam ulangan ke 1 untuk ikan 1 (mas) dan
waktu ke 24 jam ulangan ke 1 (mujair).
Dari
data
olah
dengan
SPSS
menampilkan persamaan model probit (LT50)
pengaruh waktu paparan terhadap probit
kematian ikan. Persamaan 5 a untuk ikan jenis
1 , persamaan 5 b untuk jenis ikan 2 dan
persamaan 5 c untuk jenis ikan 3 masingmasing
P 1,98085 0,01951X 5 a
P 1,96059 0,01951X .. 5 b
P 6,14239 0,01951X 5 c
Dari persamaan model matematika
tersebut dapat diketahui bahwa LT50 8 jam
atau probit 50% (P=50%) dari populasi ikan
jenis mas, mujair dan nila masing-masing
didapatkan waktunya adalah -127.158 jam, 126,18 jam dan -340,46 jam. Tanda negative
tersebut diatas menerangkan bahwa dari
konsentrasi yang diujikan 4,473 ppm selama 0
sampai 96 jam tidak menunjukan kematian
(sub lethal).
Penyebabnya sebagian kecil kematian
atau sebagian besar tidak mati, dikarenakan
kondisi fisik ikan yang mati tersebut lemah
sehingga tidak tahan terhadap paparan Pb pada

P = -3.96315 + 0,36062X.. (4 a)
P = -4,10299 + 0,36062X .. (4 b)
P = -4,82123 + 0,36062X . (4 c)
Artinya dari persamaan 4 a, 4 b dan 4 c
tersebut dapat ditentukan untuk kematian 50%
populasi atau LC50 8 jam (P=0,5) dari 6
populasi dan 3 ikan jenis mas, mujair dan nila
masing-masing didapatkan
konsentrasinya
adalah 12,376 ppm, 12,764 ppm dan 14,756
ppm.
1825

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

konsentrasi yang diujikan. dimungkinkan


enzim yang ada pada ikan mas, mujair dan nila
yang berperan dalam mendetoksifikasi mampu
menetralisir
racun logam berat tersebut,
sehingga ikan tersebut tidak sampai mati (sub
lethal).
Enzim yang berperan mendetoksifikasi
zat racun, mengalami katalisi oleh sejumlah
enzim melalui 2 fase. Fase pertama meliputi
biotranformasi zat asing menjadi lebih
hidropilik, enzim pada tahap pertama ini
cytocrom P450. Enzim cytocrom P450 ini
untuk meningkatkan kelarutan molukul
hydrophobic melalui reaksi reduksi. Fase
kedua melalui konyugasi metabolisme zat
asing agar mudah eksekresi. Pada fase kedua
ini enzim yang berperan berupa enzim
glutation S trasferase (GST) dan UDP
glukoronil trasnfease (UDPGT) (Halliwell and
Gutteridge 1999 dalam Almroth, 2008).
Enzim Glutation S-Transferase (GST)
merupakan sekelompok enzim multifungsi
yang memiliki peran penting dalam
mengkatalisis reaksi glutation (GSH) dengan
menghasilkan perlindungan makromolekul
seluler dari zat asing/xenobiotik (Hsieh et al.,
1999 dalam Martono, 2005). GST dijumpai
dalam fraksi sitosol kebanyakkan sel dan organ
tubuh seperti hati, ginjal, paru, dan usus halus
(Commandeur et al., 1995 dalam Martono,
2005).
Gad, (2009) melaporkan bahwa paparan
polutan (pertanian dan industri) terhadap ikan
menyebabkan aktivitas enzim sistim pertahan
tinggi pada liver yang berperan utama terhadap
zat
racun. meliputi enzim glutation
peroksidase, glutation S-ternferase, superoksid
dismutase
Farombi et al., (2007) melaporkan
kecendrungan tingkatan akumulasi logam berat
pada ikan (Clarias gariepinus) dalam organ
hati
:
Zn>Cu>Pb>As>Cd,
insang
:
Zn>Cu>Pb>Cd>As,
ginjal
:
Zn>Cu>Pb>As>Cd,
Liver
:
Zn>Cu>Pb>As>Cd.
Aktivitas
enzime
Superoksida Dimutase (SOD) meningkat 60%
dalam lever, 50% di ginjal, 28% dalam hati,
sedangkan di insang mengalami penurunan
44%. Enzim glutation S-Transferase (GST)
dalam liver, ginjal dan hati meningkat masingmasing 62, 72 dan 37%, sedangkan di insang
mengalami penurunan yang signifikan sebesar
41%. Enzim Glutation (GSH) meningkat pada
liver, ginjal dan hati masing-masing 81, 83,
53%.

Kandungan enzim glutation (GSH)


meliputi -glutamyl-cysteine sintetase (GSC)
dan glutation transfrase (GST) dalam insang
dan kelencar pencernaan pada kerang (Mytilus
gallaprovincialis Lam.) yang di papar selama
1, 4 dan 7 hari dengan konsentrasi sub lethal
Cu2+ dan CH3Hg masing-masing 0,6 uM dan
0,2 uM.mengalami penurunan (Canesi et al.,
1999).
GSH kelimpahannya terdapat pada sel,
yang berperan dalam metabolisme,proses
transportasi dan melindungi sel dari efek racun
diantaranya unsur yang reaktif terhadap
oksigen dan logam berat.(Meister and
anderson, 1983; Sie and Ketterer, 1988,
Taniguchi et al., 1983 dalam Canesi et al.,
1999).
Kation logam berat (Me) mempunyai
aktivitas yang kuat terhadap gugus fungsi (SH)
yang berasal dari enzim glutation (GSH),
dimana Me dan SH membentuk ikatan
komplek sulfur tiolat (GS-Me) (Rabestein et
al., 1985 dalam Canesi et al., 1999).
Toksisitas logam berat dapat berakibat
stress dan berpengaruh pada mekanisme
pertahanan enzim. Pada organ ikan mas
pencemaran
di
lingkungan
berakibat
terbentukan tumor (malins et al., 1991 dalam
Vinodhini, 2007). Umumunnya peracunan
logam berat yang tampak mengalami
perusakan mitokondria melalui mekanisme
pelemahan enzim glutation, dimana gugus tiol
(-SH) yang mengandung antioksidant, dimana
hasil dari radikal
bebas dapat berakibat
kerusakan pada mitokondria ( Sanfeliu et al.,
2001 dalam Vinodhini, 2007).
Tjalkens et. al , (1998) dalam Farombi
et.al, (2007) melaporkan bahwa logam berat
diperairan akan terakumulasi pada jaringan
ikan yang secara umum reaktif terhadap
radikal
oksigen/reactive oxygen species
(ROS). Sistem pertahanan
ini meliputi
antioksidan seperti superoksida dismutase
yang mana mengkatalis radikal superoksida
menjadi hydrogen peroksida, glutation Stransferase yang berperan aktiv dalam
mendetoksifikasi polutan organik dan logam
berat.
Toksisitas sub lethal logam Pb terhadap
ikan berdampak pada hematology dan
neorologi Hudson et al., 1984 dalam Martinez
et al., 2004), dimana logam Pb berdampak
pada kerusakan yang cepat pada sel darah
merah dan menghambat pembentukan
hemoglobin melalui erithrosit-asam amino
1826

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Environmental Legislation. John Wiley and
Sons, Inc., Hoboken, New Jersey
Farombi, E. O., 2007. Biomarkers of Oxidative
Stress and Heavy Metal Levels as Indicators of
Environmental Pollution in African Cat Fish
(Clarias gariepinus) from Nigeria Ogun River.
Int. J. Environ. Rec. Public Health, 4 (2): 158165
Fewtrell, L., R. Kaufmann and A.P. Ustun. Lead;
Assessing the Environmental Burder of Disease
at Nationatl and Local Levels. Enviromental
Burden of Disease Series No. 2. World Health
Organization Protection of Human Environment
Fonkou, T. P., Agendia, I. Kengne, A. Akoa, A.
Akoa, F. Derek, J. Nya and F., Dongmo. 2005.
Heavy Metal Concentration in some Biotic and
Abiotic Components of the Olezoa Wetland
Complex (Yaounde-Cameroon, West Africa.
Water Qual. Rs. J. Canada, 40 (4): 457-461.
Gad N.S., 2009. Determination of Glutathione
Related Enzymes and Cholinesterase Activities
in Oreochromis Niloticus and Claris Gariepinus
as Bioindicator for Polution in Lake Manzala.
Global Veterinaria 3 (1), 37-44.
Martinez C.B.R., Nagae M.Y., Zaia C.T.B.V., Zaia
D.A.M., 2004. Acute Morphological and
Physiological Effects of Lead in the
Neotropical. Braz. J. Biol. 64 (4), 797-807.
Martono S., 2005., Kekuatan Penghambatan
Beberapa Senyawa Turunan Metoksifenil
Terhadap Aktivitas Invitro GST Kelas Mu.
Majalah Farmasi Indonesia 16(1), 45-50.
Karbassi, A.R., S.M. Monavari, G.R.N. Bidhendi
and K.Nematpour. 2008. Metal Pollution
Assessment of Sediment and Water ini the Shur
River. Environ Monit assess 147: 107-116.
Kwonpongsagoon, S., H.P. Bader and R.
Scheidegger. 2007. Modelling Cadmium Flows
in Australia on the Basis of a Subtance flow
Analysis. Clean Tech Environ Policy 9: 313323.
Ozseker K., C. Eruz and C. Ciliz., 2013.
Determination of Copper Pollution and
Associated Ecological Risk in Coastal
Sediments of Sotheastern Black Sea Region,
Turkey. Bull Environ Contam Toxicol. 91: 661666.
Patrick L. 2006. Lead Toxicity; Exposure,
Evaluation and Treatment. Alternative Medicine
Review Vol.11 (1).
Salam, N.A. and
F.A. Adekola. 2005, The
Influence of pH and Adsorbent Concentration
On Adsorption Of Lead And Zinc On A Natural
Goethite, African Journal of Science and
Technology (AJST) Science and Engineering
Series Vol. 6, No. 2: 55 66.
Shi P., J. Xiao, Y. Wang and L. Chen. 2014.
Assessment of Ecological and Human Health
Risks of Heavy Metal Contamination in
Agriculture Soils Disturbed by Pipeline

dehidratase (ALA-D). Akibat paparan Pb


berupa anemia atau eritrosit menjadi rendah.
Efek neorologi berupa perilaku yang tidak
normal (Hodson, 1976 dalam Martinez et al.,
2004).
Logam
Pb
juga
berdampak
terganggunya metabolisme glukosa, dimana
dilaporkan terjadi kenaikan kadar gula darah
akibat paparan logam Pb (Salmeron-Flores et
al., 1990 dalam Martinez et al., 2004).
Toksisitas akut untuk beberapa bahan
kimia dapat menyebabkan kerusakan insang
dalam beberapa jam. Pengamatan terhadap
insang ikan P.lineatus yang dipapar dengan
Pb(NO3)2 selama 96 jam menunjukan
terjadinya perubahan pada histopatologi seperti
penganggkatan pada epitel, ini menunjukan
racun tersebut bekerja. Penganggkatan dan
hyperplasia pada epitel lamellar menunjukan
respon pertahanan ikan (Mallat, 1985 dalam
Martinez et al., 2004). Perubahan ini juga pada
epitel insang ikan P.scrofa yang dipapar
dengan logam Cu secara akut (Mazon et al.,
2002 dalam Martinez et al., 2004).
4. KESIMPULAN
1. Nilai LC50 8 jam (P=0,5) dari 6 populasi
dan 3 ikan jenis mas, mujair dan nila
masing-masing didapatkan 12,376 ppm,
12,764 ppm dan 14,756 ppm.
2. Nilai LT50 didapatkan waktunya adalah
127.158 jam, 126,18 jam dan -340,46 jam

REFERENSI
Almroth B.C., 2008. Oxidative Damage in Fish
Used as Biomarkers in Field and Laboratory
Studies. Dissertation. Department of Zoology/
Zoophysiology University of Gothenburg,
Sweden.
Ahmad, M.K., S. Islam, S. Rahman, M.R. Haque
and M.M. Islam. 2010. Heavy Metals in Water,
Sediment and Some Fishes of Buriganga River,
Bangladesh. Int. J. Environ. Rs., 4(2): 321-332.
Arifin. 2008. Potensi Karbon Aktif Sebagai Media
Adsorpsi Logam Berat Timbal (Pb) Dan
Kadmium (Cd)(online).
http://forkomklfkmunhas.wordpress.
com/2008/11/03/
Canesi L., Viarengo A., Leonzion C., Filippelli M.,
Gallo G., 1999. Heavy Metal and Glutation
Metabolism in Mussel Tissues., Aqatic
Toxicology 46, 67-76
Dunnivant, M.F. and E., Anders. 2006. A Basic
Introduction To Pollutant Fate And Transport :
An Integrated Approach With Chemistry,
Modeling,
Risk
Assessment,
And

1827

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Construction. Int. J. Environ. Res. Public
Health.
Srivasta N.K., Majumder C.B., 2008. Novel
Biofiltration Methode for the Treatmen of
Heavy Metal from Industrial Wastewater.
Journal of Hazardous Material 151, 1-8.
Sudarmaji, J. Mukono , I. P. Corie. 2006.
Toksiologi Logam Berat B3 dan Dampak
Terhadap
Kesehatan,
Jurnal
Kesehatan
Lingkungan, 2 (2).
Supriyanto, Samin dan Kamal. 2007. Analisis
Cemaran Logam Berat Pb, Cu, Dan Cd Pada
Ikan Air Tawar Dengan Metode Spektrometri
Nyala Serapan Atom (SSA). Seminar Nasional
III. SDM Teknologi Nuklir. Yogyakarta, 21-22
November 2007
Ventura B.D.C., Angelis D.F., Morales M.A.M.,
2007. Mutagenic and Genotoxic Effect of the
Atrazine Herbicide in Oreochromis Nioticus

(Perciformes, Cichlidae) Detected by the


Micronuclei Test and the Comet Assay.
Pesticide Biochemistry and Physiology 90, 4251.
Vinodhini R and Narayan M., 2007. Biochemical
changes of antioxidant enzymes in common
Carp (Cyprinus carpio L.) after Heavy Metal
Exposure. Turk J. Vet. Anim. Sci. 334(4), 273278.
Vutukuru S.S., 2005. Acute Effects of Hexavalent
Chromium on Survival, Oxygen Consumption,
Hematological
Parameters
and
Some
Biochemical Profiles of the Indian Major Carp,
Labeo rohita. Int. J. Environ. Res. Public Health
2 (3): 456-562.
Yan G and Viraraghavan T.,. 2000. Effect of
Pretreatment on the Bioadsorption of Heavy
Metal on Mocor Rouxii. Water S A., 26 (1) :
119-123.

1828

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH


UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI MAHASISWA
PADA MATERI KESETIMBANGAN FASA
Ani Sutiani, Nurmalis, dan Rahmat Nauli
FMIPA, Universitas Negeri Medan
email : asr.sutiani@gmail.com
Abstract
The problem based learning is needed to improve critical thinking skill and problem solving ability in order to
improve student competency on the subject of Phase Equilibrium. The research is aimed to develop a problembased learning materials including development exercises and standard evaluation based of competency and
material, and set of problem based experiment for Phase Equilibrium subject. The research carried out is
Research and Development (R & D) with the stages of the research is to develop teaching materials through the
enrichment of materials, preparation exercises and standards evaluation, integrating set of experiment and
learning activities, and the feasibility of teaching materials development results, and implementation of
problem-based teaching materials to improve the learning outcomes of students on the subject of Phase
Equilibrium.. The results showed that the problem-based teaching materials for teaching on the subject of Phase
Equilibrium has been successfully developed. The development of problem-based learning includes enrichment
material integration with experiment activities, exercises and standards evaluation and learning activities, able
to develop critical thinking skills and problem solving that can improve student competency. Student
achievement which are taught by a problem-based learning was found higher than student achievement which
are taught by a conventional learning.

Keywords : Problem Based Learning, Students Competency, Phase Equilibrium.


Kesetimbangan Fasa merupakan salah
satu pokok bahasan dalam mata kuliah Kimia
Fisika di Perguruan Tinggi. Di dalam
Kesetimbangan Fasa dipelajari tentang
berbagai konsep sistem diagram fasa untuk
satu komponen, dua komponen dan tiga
komponen,
yang
banyak
melibatkan
pemahaman
gambar/
diagram
sistem
kesetimbangan fasa baik untuk sistem caircair, cair-padat maupun, cair-uap. Oleh karena
itu untuk meningkatkan kompetensinya,
mahasiswa harus memiliki kemampuan
pemecahan masalah dan keterampilan berpikir
kritis sehingga memperoleh pengetahuan dan
konsep yang esensial dari materi tersebut.
Selain itu desain pembelajaran harus berpusat
pada mahasiswa sehingga mahasiswa diberi
peluang untuk bekerja secara otonom untuk
mengkonstruksi cara belajarnya, dan dosen
hanya berfungsi sebagai motivator dan
fasilitator [2]. Salah satu desain yang sesuai
adalah desain pembelajaran berbasis masalah /
Problem Based Learning (PBL) yaitu
pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa
yang memberdayakan mahasiswa untuk
melakukan penelitian, mengintegrasikan teori
dan praktek, dan mengaplikasikan pengetahuan
dan kemampuan untuk mengembangkan solusi

1.

PENDAHULUAN
Permasalahan utama dalam pendidikan
di Indonesia adalah bagaimana meningkatkan
kualitas pendidikan untuk menghasilkan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas. Untuk menghadapi permasalahan
tersebut, perlu diciptakan pendidikan yang
dapat
mengembangkan
potensi
dan
kemampuan mahasiswa secara optimal.
Pendidikan nasional, sebagai salah satu sektor
pembangunan
nasional
dalam
upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa, mempunyai
visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan
semua
warga
negara
Indonesia berkembang menjadi manusia yang
berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu
berubah. Dalam upaya mewujudkan suasana
dan proses pembelajaran yang berkualitas,
maka proses pembelajaran harus berlangsung
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi mahasiswa untuk aktif
serta memberikan ruang untuk kreativitas dan
kemandirian sesuai bakat, minat dan
perkembangan mahasiswa, yang dapat
menekankan pada kemampuan pemecahan
masalah dan keterampilan berpikir kritis [1].
1829

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

yang layak dalam memecahkan masalah, serta


mampu menyiapkan individu untuk belajar
mandiri dan berkelanjutan [3][4].
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menghasilkan bahan ajar kimia untuk materi
Kesetimbangan Fasa dengan menggunakan
pembelajaran berbasis masalah yang dapat
meningkatkan hasil belajar mahasiswa
sehingga kompetensi mahasiswa yang telah
ditetapkan dalam kurikulum dapat tercapai.

[9]. Materi yang disajikan harus lengkap,


sistematik, mudah dipahami, menarik dan
mampu memotivasi siwa untuk belajar aktif
serta memiliki materi tambahan sebagai bahan
pengayaan
yang
disesuaikan
dengan
karakteristik mahasiswa [10]. Pengembangan
keterampilan, baik umum dan teknis, konsep
kimia, pengetahuan dan pemahaman adalah
tujuan inti dari modul PBL, dan ini dapat
dicapai melalui pengajaran alternatif dan
pembelajaran
lingkungan
dengan
menggabungkan pra-pengetahuan,
kerja
kelompok, diskusi, kerja praktek dan penilaian
alternatif. Pengembangan modul PBL pada
dasarnya menyajikan lingkungan yang
mendukung pembelajaran mahasiwa dan
pengembangan keterampilan. Dalam Modul
PBL, permasalahan harus mengarah pada
konsep (concept driven), pengembangan
keterampilan (skills development) dan
pemahaman (understanding)[11].

2. KAJIAN LITERATUR
Pendekatan PBL telah digambarkan
sebagai strategi belajar yang efektif yang
mendorong mahasiswa untuk belajar mandiri
dan mengembangkan keterampilan berpikir
kritis, keterampilan pemecahan masalah dan
keterampilan kerja sama tim [5]. Ada tujuh
langkah klasik PBL, yaitu : (1) memahami
situasi; (2) mengidentifikasi masalah; (3)
menyatakan hipotesis; (4) menghubungkan
masalah dan penyebab; (5) menentukan jenis
informasi; (6) memperoleh informasi; dan (7)
menerapkan informasi [6]. Hal ini berarti
dalam PBL, mahasiswa diharapkan mampu
mengeksplorasi
kompleksitas
situasi
kehidupan nyata, mencari koneksi di seluruh
disiplin ilmu, dan menggunakan pengetahuan
yang ada dan baru diperoleh untuk
digeneralisasikan dalam proses pembelajaran.
Keuntungan penggunaan PBL didasarkan pada
beberapa wawasan modern pada pembelajaran,
termasuk konstruktivisme, kolaboratif dan
pembelajaran kontekstual. Teknik penentuan
masalah sangat menentukan keberhasilan
penggunaan desain PBL. Pengetahuan
mahasiswa akan lebih dalam, bermakna dan
akan bertahan lebih lama, karena pengetahuan
dibangun berdasarkan konteks kebutuhan.
Masalah dalam PBL harus didasarkan situasi
yang menarik, menghasilkan beberapa
hipotesis, kemampuan pemecahan masalah,
dan diintegrasikan dalam berbagai disiplin
ilmu,
sehingga
mahasiswa
dilatih
mengembangkan keterampilan pengambilan
keputusan dengan mengaitkan pengetahuan
yang ada dengan informasi baru yang
diperoleh serta memberikan solusi alternatif
untuk
penyelesaian
masalah
yang
dihadapi.[7][8].
Usaha untuk meningkatkan kualitas
pendidikan
dapat
dilakukan
dengan
penyediaan bahan ajar yang menyajikan materi
sesuai dengan kurikulum sehinga dapat
mencapai kompetensi yang telah ditentukan

3.

METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan bersifat
Research and Development (R&D) untuk
mengembangkan bahan ajar di perguruan
tinggi sehingga memperoleh bahan ajar standar
pada materi Kesetimbangan Fasa yang
merupakan bagian dari mata kuliah kimia
fisika. Tahapan penelitian yang dilakukan
adalah (1) mengembangkan bahan ajar melalui
pengayaan materi, (2) penyusunan kisi-kisi
soal latihan dan evaluasi standar, (3)
melakukan integrasi paket kegiatan praktikum
dan aktivitas pembelajaran, (4) uji kelayakan
bahan ajar hasil pengembangan, serta (5)
implementasi bahan ajar untuk meningkatkan
hasil belajar mahasiswa pada materi
Kesetimbangan Fasa di perguruan tinggi.
Instrumen penelitian yang disusun
terdiri dari (1) lembar observasi aktivitas
mahasiswa diadaptasi dari Sinaga [12] ; (2)
lembar penilaian (Validasi) buku ajar yang
diadaptasi dari BSNP [13] ; (3) Angket untuk
pengumpulan data tentang respon mahasiswa
terhadap efektifitas proses pembelajaran, dan
(4) instrumen tes untuk mengukur hasil belajar
mahasiswa terhadap materi perkuliahan yang
diberikan dalam proses pembelajaran [14].
Model pengembangan perangkat yang
digunakan dalam penelitian terdiri dari tahap
pengumpulan
data,
perencanaan,
dan
pengembangan. Pada tahap pengumpulan data
dilakukan penetapan perangkat yang akan
dikembangkan yaitu GBPP, Silabus, Kontrak
1830

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Perkuliahan, RPP dan Bahan Ajar. Pada tahap


perencanaan dilakukan penyusunan perangkat
tersebut, dan pada tahap pengembangan
dilakukan penelaahan/ validasi buku ajar oleh
dosen KDBK dengan menggunakan instrumen
yang sudah ditentukan. Tahap akhir dalam
pembuatan perangkat ini adalah melakukan
perbaikan perangkat oleh peneliti.
Data hasil belajar diperoleh melalui
implementasi bahan ajar dalam proses
pembelajaran Kesetimbangan Fasa pada
mahasiswa semester 4 prodi pendidikan kimia
FMIPA Unimed. Untuk kelas eksperimen
dilakukan proses pembelajaran berbasis
masalah dengan menggunakan bahan ajar yang
telah disusun, sedangkan untuk Kelompok
kontrol dilakukan pembelajaran konvensional.
Sebelum proses pembelajaran dimulai,
dilakukan terlebih dahulu tes awal (pre test)
dan setelah proses pembelajaran dilakukan tes
akhir (post test). Angket respon mahasiswa
terhadap efektifitas proses pembelajaran
diberikan satu minggu setelah proses
pembelajaran selesai yang diberikan pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Bahan Ajar Kesetimbangan
Fasa
Bahan ajar yang disusun didasarkan
pada kompetensi yang harus dicapai dalam
pembelajaran Kesetimbangan Fasa sesuai
dengan tuntutan kurikulum yang berlaku di
prodi pendidikan Kimia FMIPA Unimed.
Bahan ajar dikembangkan melalui pengayaan
materi, penyusunan kisi-kisi soal latihan dan
evaluasi standar, dan melakukan integrasi
paket kegiatan praktikum dan aktivitas
pembelajaran, yang disusun secara sistematis
dan terstruktur untuk mendukung teori pada
materi Kesetimbangan Fasa. Di dalam bahan
ajar dilengkapi dengan contoh kontekstual,
gambar, dan contoh soal serta penyelesaian
yang diaplikasikan dalam kehidupan seharihari. Selain itu disediakan alamat tautan
penelusuran yang dapat dijadikan sebagai
referensi tambahan. Secara umum bahan ajar
yang disusun dirangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Deskripsi materi dalam bahan ajar
Kesetimbangan Fasa
No.
1

Materi/ Submateri
Pendahuluan

Istilah dalam
Kesetimbangan
Fasa

Sistem Satu
komponen

Persamaan
Clausius
Clayperon

Sistem Dua
komponen

Diagram T-X
Biner Padat - Cair

Diagram T-X
Cair-cair larut
Sebagian

Penyajian konsep umum


tentang berbagai istilah
dalam kesetimbangan fasa,
disertai contoh dalam
kehidupan dan pembahasan.
Pengayaan materi ajar,
integrasi pembelajaran
berbasis masalah, contoh
berbagai bentuk diagram
fasa satu komponen, setting
media powerpoint dan
penyajian contoh soal serta
latihan.
Pengayaan materi ajar,
integrasi pembelajaran
berbasis masalah, contoh
kasus untuk penentuan
pengaruh tekanan terhadap
suhu, syarat kesetimbangan
dua fasa dalam system satu
komponen, penyajian
penurunan persamaan
dalam bentuk contoh soal
dan latihan.
Pengayaan materi ajar,
integrasi pembelajaran
berbasis masalah, kegiatan
laboratorium, analisis
diagram system dua
komponen, penyajian
teknik perubahan system
diagram T-X dan P-X, dan
analisis data percobaan
destilasi dalam bentuk
laporan.
Pengayaan materi ajar,
integrasi pembelajaran
berbasis masalah, setting
pembelajaran media
powerpoint, contoh analisis
diagram fasa bentuk padat
cair dengan berbagai kasus
(Sistem eutektik, kongruen
dan tak kongruen). .
Pengayaan materi ajar,
integrasi pembelajaran
berbasis masalah, Kegiatan
laboratorium, contoh
integrasi lab dalam
pembuatan diagram dan
kebalikannya yang diajikan
dalam bentuk studi kasus.
Penyajian analisis diagram
dalam bentuk laporan.

4.2 Analisis Bahan Ajar Kesetimbangan


Fasa
Setelah penyusunan bahan ajar selesai,
maka dilakukan penelaahan bahan ajar oleh
dosen KDBK Kimia Fsika dengan
menggunakan instrumen berupa lembar
validasi Bahan Ajar. Komponen bahan ajar
yang divalidasi mencakup beberapa hal yaitu
(1) komponen kelayakan isi, (2) komponen

Materi yang disajikan


Disajikan deskripsi materi
secara umum, kompetensi
yang diharapkan dan peta
konsep

1831

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

kebahasaan, dan (3) komponen teknik


penyajian. Hasil dari validasi yang dilakukan
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisa Bahan Ajar Materi
Kesetimbangan Fasa
No
I.

Komponen yang dinilai


KELAYAKAN ISI
1. Keluasan materi
2. Kedalaman materi
3. Akurasi materi
4. Kemutakhiran materi
5. Merangsang
keingintahuan
6. Mengandung wawasan
Produktivitas
II KEBAHASAAN
1. Sesuai perkembangan
peserta didik
2. Komunikatif
3. Keruntutan alur fikir
4. Kesesuaian penulisan
dengan kaidah Bahasa
Indonesia yang baik.
5. Ketepatan penggunaan
istilah/ simbol/ lambang
III TEKNIK PENYAJIAN
1. Konsistensi sisematika
sajian dalam setiap bab
2. Penyajian teks, tabel, dan
gambar
3. Ketepatan penomoran dan
penamaan dalam tabel
dan gambar
4. Kelengkapan pendukung
penyajian materi (soal)
5. Kemampuan merangsang
mahasiswa untuk aktif belajar
mandiri
Rataan Seluruh Komponen

Skor
3,33
3,33
3,33
3,00

pembelajaran berbasis masalah, sedangkan


kelas kontrol menggunakan pembelajaran
secara konvensional. Hasil pre-test bertujuan
untuk
mengetahui
kemampuan
awal
mahasiswa pada materi Kesetimbangan Fasa
dan hasil posttest untuk mengetahui hasil
belajar masing-masing kelas sampel yang
diberikan perlakuan berbeda. Data hasil test
yang telah dilakukan ditunjukkan Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Tes Mahasiswa
Pada Materi Kesetimbangan Fasa

Rerata

3,17

3,00

Kelas

3,00
3,33
3,33
3,00

Eksp
3,40
Kontrol

3,67

Rata-rata Hasil test (skor)

Tinggi
Rendah

Pretest
36,382,27
28,484,50

Posttest
88,825,35
81,965,38

Total

32,454,27

85,825,36

Tinggi

36,352,32

80,206,24

Rendah

29,813.09

72,124,48

Total

33,084,99

75.965,32

Dari data pretest pada Tabel 3 terlihat


bahwa sebelum pembelajaran dilakukan,
penguasaan
mahasiswa
pada
materi
Kesetimbangan Fasa termasuk rendah, yaitu
pada Kelompok kontrol (33,084,99) dan
Kelompok eksperimen (32,454,27). Hasil uji
t menunjukkan kedua kelas sampel tidak
berbeda signifikan (thitung 0,4270 < ttabel
1,9963). Hal ini berarti kemampuan awal
mahasiswa pada materi Kesetimbangan Fasa
untuk kedua kelas sampel relatif sama. Hasil
belajar mahasiswa setelah proses pembelajaran
dilakukan dengan menggunakan posttest. Data
pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kedua kelas
perlakuan
memperlihatkan
kemampuan
penguasaan
mahasiswa
pada
materi
Kesetimbangan Fasa secara umum mengalami
peningkatan dibandingkan hasil preteset. Hasil
belajar mahasiswa kelas eksperimen yang
menggunakan pembelajaran berbasis masalah
(85,825,36) lebih tinggi dibandingkan hasil
belajar kelas kontrol yang menggunakan
pembelajaran konvensional (75.965,32).
Hasil uji t menunjukkan kedua kelas sampel
berbeda signifikan karena thitung berada di
daerah kritis. (thitung = -4,5780 dan ttabel 1,9963).
Hasil belajar juga dianalisa untuk
mahasiswa dengan kemampuan akademik
relatif tinggi dan mahasiswa dengan
kemampuan akademik relatif rendah. Dari data
hasil belajar terlihat bahwa untuk kelompok
siswa dengan kategori tinggi, hasil belajar
untuk kelas eksperimen (88,825,35) lebih
tinggi
dibandingkan
kelas
kontrol
(82,206,24), dan hasil uji t, thitung = -3,4169

3,67

3,67
3,67
4,00

Kel. Mhs

3,60

3,33
3,33
3,39

Dari hasil analisa bahan ajar terlihat


bahwa validator memberikan penilaian dengan
kategori baik terhadap bahan ajar yang disusun
yang ditunjukkan oleh skor rata-rata seluruh
komponen adalah 3,39. Semua komponen
penilaian yang diajukan ditanggapi positif oleh
validator. Hal ini berarti bahwa bahan ajar
yang disusun layak digunakan untuk
pembelajaran materi Kesetimbangan Fasa
karena memenuhi kriteria baik sesuai standar
BSNP.
3.3 Hasil Belajar Mahasiswa
Data hasil belajar yang diperoleh
dalam penelitian ini adalah tes awal (pretest),
yang diberikan sebelum perlakuan dan tes
akhir (posttest) yang diberikan setelah
perlakuan
pada
masing-masing
kelas
eksperimen dan kontrol. Bahan ajar yang
sudah disusun digunakan pada pengajaran
materi Kesetimbangan Fasa pada kelas
eksperimen yang menggunakan desain
1832

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dan ttabel = 2,0135, yang berarti menunjukkan


kedua Kelompok berbeda signifikan karena
thitung berada di daerah kritis. Hasil yang sama
diperoleh untuk Kelompok siswa dengan
kategori rendah, hasil belajar untuk kelas
eksperimen
(81,965,38)
lebih
tinggi
dibandingkan kelas kontrol (72,124,48) dan
hasil uji t menunjukkan kedua Kelompok
berbeda signifikan karena thitung berada di
daerah kritis, dengan thitung -4,1763 dan ttabel
2,0336). Berdasarkan data yang dicapai
mahasiswa, maka dapat dinyatakan bahwa
perbedaan hasil belajar Kesetimbangan Fasa
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, baik
untuk Kelompok mahasiswa kategori rendah
maupun tinggi, disebabkan penggunaan paket
pembelajaran
berbasis
masalah
yang
menyediakan fasilitas pengayaan materi
terintegrasi dengan kegiatan praktikum, soal
latihan dan evaluasi standar serta aktivitas
pembelajaran mampu menuntun mahasiswa
untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kritis dan pemecahan masalah yang dapat
meningkatkan kompetensi mahasiswa.

meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk


berpikir kritis (80,17%) dan menyelesaikan
masalah dalam soal-soal latihan (82,35%).
Selain itu, sebanyak 80,72% mahasiswa
menyatakan bahwa teknik yang diberikan
dalam menjelaskan cara penyelesaian soal-soal
sangat mudah dipahami.
Berkaitan dengan tugas-tugas yang
diberikan dosen dalam perkuliahan, sebanyak
83,48% mahasiswa menyatakan bahwa tugas
yang diberikan dapat memotivasi mahasiswa
untuk belajar secara mandiri maupun
kelompok.
Disamping
itu,
mahasiswa
menyatakan bahwa model pembelajaran ini
dapat meningkatkan keberanian mahasiswa
untuk mengajukan pertanyaan (82,53%)
maupun menjawab pertanyaan yang diberikan
(81,89%). Sedangkan respon mahasiswa
tentang kontribusi desain pembelajaran
terhadap softskill menunjukkan bahwa 84,25%
mahasiswa
menyatakan
bahwa
model
pembelajaran
yang
digunakan
dapat
meningkatkan rasa percaya diri, saling
menghargai dan kerjasama sesama mahasiswa.

3.4 Hasil Angket Mahasiswa Terhadap


Pembelajaran Yang Digunakan
Untuk mengetahui respon atau
persepsi
mahasiswa
terhadap
proses
pembelajaran yang digunakan, maka diberikan
angket kepada mahasiswa setelah satu minggu
proses pembelajaran selesai.
Hasil angket, secara umum mahasiswa
memberikan respon positif dalam mengikuti
perkuliahan pada materi Kesetimbangan Fasa.
Sebanyak 83,60% mahasiswa menyatakan
bahwa perkuliahan menyenangkan dan
sebanyak 89,91% menyatakan merasa puas
mengikuti
perkuliahan
pada
materi
Kesetimbangan Fasa. Tingginya tingkat
kepuasan mahasiswa ini kemungkinan
disebabkan karena dengan menerapkan desain
pembelajaran berbasis masalah, mahasiswa
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
dan pemecahan masalah untuk menyelesaikan
soal-soal latihan yang diberikan serta memiliki
kesempatan untuk belajar secara mandiri
maupun kelompok.
Respon mahasiswa tentang kontribusi
desain pembelajaran yang digunakan terhadap
pemahaman materi perkuliahan, sebanyak
81,47%
mahasiswa menyatakan dapat
meningkatkan
kemampuannya
dalam
memahami materi Kesetimbangan Fasa.
Desain pembelajaran yang digunakan dapat

5. KESIMPULAN
Bahan ajar berbasis masalah sesuai
kriteria
BSNP
untuk
pengajaran
Kesetimbangan
Fasa
telah
berhasil
dikembangkan. Paket pembelajaran berbasis
masalah meliputi pengayaan materi yang
terintegrasi dengan kegiatan praktikum,
demonstrasi dan variasi media, soal latihan
dan
evaluasi
standar
serta
aktivitas
pembelajaran,
mampu
mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dan pemecahan
masalah yang dapat meningkatkan kompetensi
mahasiswa. Hasil belajar mahasiswa yang
diajar menggunakan pembelajaran berbasis
masalah lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil belajar mahasiswa yang diajar
menggunakan pembelajaran konvensional.
6.

REFERENSI

[1] Tsapartis G, Zoller U. Evaluation of Higher vs


Lowerorder
Cognitive
Skills-Type
Examination in Chemistry : Implications for
University
in-class
Assessment
and
Examination. U.Chem.Ed. 2003, 7:50-57.
[2] Sutiani A, Zainuddin, Nugraha A.W. Penerapan
Model Pembelajaran ATI dan Keterampilan
Proses Pada Mata Kuliah Kimia Fisika II. J.
Pendidikan Kimia. 2011; 3(2) :
[3]
Temel S. The effects of problem-based
learning on pre-service teachers : critical

1833

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

[4]

[5]

[6]

[7]

[8]

thinking dispositions and perceptions of


problem-solving ability, South African
Journal of Education. 2014;34(1)
Tosun C, Senocak E. The Effects of ProblemBased Learning on Metacognitive Awareness
and Attitudes toward Chemistry of
Prospective
Teachers
with
Different
Academic Backgrounds. Australian Journal of
Teacher Education. 2013; 38(3):
Kivela J, Kivela R.J. Student perceptions of an
embedded
problem-based
learning
instructional approach in a hospitality
undergraduate program. International Journal
of Hospitality Management. 2005; 24(3):437464.
Johnson S.M, Finucane P.M. The emergence of
problem-based learning in medical education.
Journal of Evaluation in Clinical Practice.
2000;6(3):281-291.
Ram P. Problem-Based Learning in
Undergraduate Education. Journal of
Chemical Education. 1999 Aug; 76(8):
Tosun C, Taskesenligil Y. The Effect of
Problem Based Learning on Student
Motivation Towards Chemistry Classes and
on Learning Strategies. Turkish Science
Education. 2011; 9(1):

[9]

[10]

[11]

[12]

[13]
[14]

1834

Hosler, Boomer. Are Comic Books and


Effective Way to Engage Nonmajors in
Learning and Appreciating Science. CCBELife Science Education. 2011; 10:309-217.
Situmorang M, Situmorang A. A. Efektivitas
Modul
Pembelajaran
Inovatif
Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Pada Pengajaran
Laju Reaksi, Jurnal Penelitian Bidang
Pendidikan.2014;20(2):139-147.
Kelly O.C, Finlayson O.E. Providing solutions
through problem-based learning for the
undergraduate 1st year chemistry laboratory.
Chemistry Education Research and Practice.
2007;8(3):347-361.
Sinaga B. Merenda Kompetensi Pedagogik
dalam
Perencanaan
dan
Pelaksanaan
Pembelajaran. Makalah pada Lokakarya
Remodelling
Microteaching.
Universitas
Negeri Medan. 2008.
BSNP. Kriteria Penilaian Buku. Depdiknas.
Jakarta. 2006.
Romero, R.M, Eriksen S.P, and Haworth I.S.
Instructional Design and Assessment :
Quantitative Assessment of Assisted Problem
Based Learning in Pharmaceutics Course.
American
Journal
of
Pharmaceutical
Education 2010; 74 (4):1-9.

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

THE IMPLEMENTATION ENVIRONMENT-BASED LEARNING TO IMPROVE


EFFECTIVENESS OF CHEMISTRY LEARNING
Anita Herda
SMAN N 1 Muara Bungo, email: anitaherda87@gmail.com
Abstract
From observation and experience has shown that the application of the method of discussion and demonstration
in chemistry learning is not effective to increase the activity and achievements of learners. Limitations of
existing chemicals in the laboratory led to experiments rarely implemented. The alternative is to use materials
from the surrounding environment base on local-advantage.This study aims to determine the increase in activity
and achievement of learners by applying experimental methods using materials from the surrounding
environment in chemistry learning in class XII MIPA 1st semester. The subjects were 38 students of class XII
MIPA in the 1st half at SMA N 1 Muara Bungo. This research was conducted in three cycles, and each cycle
consisting of planning, implementation, evaluation, and reflection. Preparation of the learning takes place at
the planning stage. The learning process is done through experiments, discussions, presentations, and
assignments. The results showed that an increase in the activities and achievements of learners each cycle. It
can be concluded that the application of environment-based learning can improve the effectiveness of learning
chemistry class XII MIPA 1st semester.
Keywords: environment, learning, activities, achievements, the effectiveness
konsep-konsep kimia dan kurangnya minat siswa
terhadap pelajaran kimia. Di samping itu, guru
kurang memberikan contoh-contoh konkrit
tentang perubahan-perubahan kimia yang ada di
lingkungan sekitar dan sering dijumpai siswa.
Oleh sebab itu, diperlukan suatu usaha untuk
mengoptimalkan pembelajaran kimia di kelas
dengan menerapkan pendekatan dan metode yang
tepat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan
bahwa rendahnya aktivitas, minat, dan hasil
belajar kimia siswa dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain: (1) Penyampaian
materi kimia di kelas XII semester I oleh guru
dengan metode demonstrasi dan diskusi tanpa
contoh konkrit yang terjadi di lingkungan siswa
cenderung membuat siswa jenuh, siswa hanya
dijejali informasi yang kurang konkrit dan diskusi
yang kurang menarik karena bersifat teoritis; (2)
Siswa tidak pernah diberi pengalaman langsung
dalam mengamati suatu perubahan kimia,
sehingga siswa yang baru memperoleh materi
kimia menganggap materi pelajaran kimia adalah
abstrak dan sulit difahami; (3) Metode mengajar
yang digunakan guru kurang bervariasi dan tidak
inovatif, sehingga membosankan dan tidak
menarik minat siswa. Maka, untuk meningkatkan
aktivitas dan minat belajar siswa terhadap materi
pelajaran kimia perlu adanya perbaikan dalam
pembelajaran, yaitu strategi pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan keterampilan
proses melalui metode eksperimen (pengamatan,
pengumpulan data dan penyimpulan) berbasis
lingkungan dengan memanfatkan keunggulan
lokal Muara Bungo. Oleh sebab itu, penelitian

1. PENDAHULUAN
Berdasarkan
hasil
pengamatan
dan
pengalaman mengajar didapatkan bahwa hanya
sekitar 8 % saja siswa yang memiliki kesiapan
yang cukup untuk belajar di kelas, sehingga dapat
mengikuti secara aktif dalam setiap proses
pembelajaran. Hal tersebut terlihat dari aktivitas
siswa dalam mengajukan pertanyaan pada guru
dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh
guru. Proses pembelajaran selama ini nampak
kurang hidup, padahal metode mengajar yang
digunakan selama ini adalah demonstrasi,
eksperimen, ceramah, dan diskusi yang dilengkapi
dengan LKS. Materi kimia kelas XII semester I
berisi konsep-konsep yang cukup sulit untuk
difahami siswa, karena menyangkut reaksi-reaksi
kimia dan hitungan-hitungan yang dianggap sulit
oleh siswa. Dengan demikian, penyampaian
materi kimia kelas XII semester I dengan metode
demonstrasi dan diskusi nampaknya kurang
optimal dalam meningkatkan aktivitas dan minat
belajar siswa. Dalam proses pembelajaran selama
ini terlihat kurang menarik, sehingga siswa
merasa jenuh dan kurang memiliki minat pada
pelajaran kimia, sehingga suasana kelas cenderung pasif, sedikit sekali siswa yang bertanya
pada guru meskipun materi yang diajarkan belum
dapat difahami, akibatnya pada saat diadakan tes,
nilai kimia yang diperoleh siswa sangat rendah.
Hasil analisis guru bersama-sama dengan
teman sejawat, ternyata rendahnya hasil belajar
siswa tersebut disebabkan pada umumnya siswa
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan yang menyangkut reaksi kimia dan
hitungan kimia, akibat rendahnya pemahaman

1835

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
tindakan kelas ini dilakukan untuk mencapai
harapan di atas.
2. KAJIAN LITERATUR
Perkembangan ilmu kimia sejalan dengan
perkembangan sains dan teknologi serta
perubahan kondisi masyarakat yang sangat pesat
ini mengharuskan para guru meningkatkan
kemampuan dan mengembangkan keahliannya.
Kini tugas guru semakin kompleks dan
menantang, sehingga selalu dituntut untuk
mengembangkan kemampuannya, baik secara
individu maupun kelompok. Tugas utama
seorang guru adalah membantu siswa dalam
belajar, yakni berupaya menciptakan situasi dan
kondisi yang memungkinkan terjadinya proses
pembelajaran. Berkaitan dengan hal di atas, maka
peranan guru kimia dalam perkembangan IPTEK
sangat
besar terutama
dalam
membina
kemampuan awal siswa untuk menghadapi masa
industrialisasi dimasa sekarang dan masa depan.
Kemampuan awal tersebut dapat berupa
kemampuan dasar dan keterampilan proses sains.
Kemampuan dasar merupakan kompetensi dasar
yang harus dicapai dalam setiap pembelajaran.
Kompetensi
dasar
adalah
kemampuankemampuan yang mencakup pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang harus dimilki siswa
dan dikembangkan secara maju dan berkelanjutan
(Pusat Kurikulum Depdiknas, 2001). Kompetensi
dasar yang dimiliki siswa harus dapat
ditunjukkan oleh siswa dalam setiap proses
pembelajaran dan siswa dapat membuktikan
suatu kejadian melalui tindakan seperti;
menyelidiki, mendiskripsikan, membedakan,
membandingkan dan sebagainya. Misalnya,
menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi
laju reaksi dan menentukan order reaksi
berdasarkan data percobaan.
Kegiatan
belajar
mengajar
dengan
pendekatan keterampilan proses merupakan
kegiatan pembelajaran yang direncanakan,
sehingga siswa dapat menemukan fakta- fakta,
konsep-konsep
dan
teori-teori
dengan
keterampilan proses dan sikap ilmiah siswa
sendiri (Soetarjo dan Soejitno, 1998). Oleh sebab
itu, dalam penelitian tindakan kelas ini akan
dikembangkan pendekatan keterampilan proses
melalui metode eksperimen, namun dengan
menggunakan bahan-bahan yang ada di
lingkungan yang mudah diperoleh dan harganya
lebih murah.
Keterampilan proses dalam pembelajaran
sains dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
keterampilan dasar proses sains dan keterampilan
proses sains terpadu. Keterampilan dasar proses
sains meliputi kegiatan observasi, komunikasi,
klasifikasi, kesimpulan sementara, dan ramalan
atau prediksi (Rezba dalam Prasetyo, 1998).
Sedangkan kegiatan keterampilan terpadu proses
sains meliputi kegiatan identifikasi variabel,

membuat tabel/grafik, mendiskripsikan hubungan


antara variabel-variabel, pengumpulan dan
pemrosesan data, analisis, penyusunan hipotesis,
definisi operasional variabel, desain investigasi
dan eksperimen.
Dalam mata pelajaran kimia, kesempatan
untuk melakukan penemuan, dan menyimpulkan
sendiri hasil pengamatannya dapat diperoleh
siswa antara lain melalui metode eksperimen.
Pada
metode
eksperimen,
siswa
diberi
kesempatan untuk mengalami sendiri, mengikuti
suatu
proses,
mengamati
suatu
objek,
menganalisis,
membuktikan
dan
menarik
kesimpulan (Roestiyah, N.K., 1985). Dalam
metode eksperimen siswa dapat aktif mengambil
bagian dalam berbuat untuk diri sendiri. Dengan
demikian siswa dapat memperoleh kepandaian
yang diperlukan dan langkah-langkah berfikir
ilmiah (Tim Didaktik, 1995).
Dalam menggunakan metode eksperimen,
menurut Winarno Surakhmad (1986) ada beberapa
kelemahan, seperti keterbatasan alat yang
mengakibatkan tidak semua siswa dapat
memperoleh kesempatan untuk melakukan
eksperimen dan jika dalam pelaksanaannya
membutuhkan waktu yang cukup lama dapat
menghambat
pelajaran
selanjutnya,
juga
kurangnya persiapan dan pengalaman siswa dapat
menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan
eksperimen tersebut. Namun, menurut Aripin
(1995) keuntungan dalam menggunakan metode
eksperimen ini lebih banyak manfaatnya, antara
lain dapat memberikan pengalaman praktis serta
keterampilan dalam menggunakan alat-alat
praktikum, memberikan gambaran yang konkrit
tentang suatu peristiwa sehingga siswa tidak
mudah percaya pada sesuatu yang belum pasti
kebenarannya sebelum mereka mengamati secara
langsung proses terjadinya (misal suatu reaksi),
serta
melatih
siswa
lebih
aktif
dan
mengembangkan
cara
berfikir
ilmiah.
Eksperimen tidak harus dilakukan dengan
menggunakan peralatan dan bahan kimia yang
mahal, namun dapat dilaksanakan dengan
menggunakan peralatan sederhana yang didesain
sendiri oleh guru dengan menggunakan barangbarang bekas yang ada di sekitar kita. Demikian
pula bahan-bahan kimia tersedia cukup banyak di
alam sekitar kita, yaitu bahan sehari-hari.
Seandainya gedung laboratorium kimia telah
dibuat, namun untuk melaksanakan kegiatan
eksperimen
di
laboratorium
tersebut
membutuhkan biaya tinggi karena mahalnya
bahan kimia, maka alam telah menyediakan
beribu-ribu bahan yang dapat dipakai untuk
menggantikan bahan kimiawi tanpa harus
mengeluarkan biaya yang cukup tinggi.
Berbagai eksperimen kimia telah banyak
dilakukan dengan menggunakan bahan alam yang
ada di sekitar kita antara lain eksperimen tentang:

1836

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
1. Untuk menerangkan perbedaan perubahan
fisika dan kimia, Duffy (1995) dan Derr
(2000)
melakukan
percobaan
dengan
menggunakan proses pelarutan garam dapur
sebagai contoh perubahan fisika dan reaksi
antara cuka dengan soda kue yang
menghasilkan karbondioksida sebagai contoh
perubahan kimia.
2. Untuk menerangkan topik Konsep Mol, Fruen
(1992) mempelajari jumlah partikel dari suatu
senyawa dengan cara memperkirakan jumlah
molekul air yang terdapat dalam bak mandi di
rumah, percobaan dilakukan dengan terlebih
dahulu mengukur volume bak mandi, dan
menimbang berat beberapa ml air untuk
menentukan berat jenisnya.
3. Untuk menerangkan topik Kesetimbangan
Kimia, Synder (1992) melakukan percobaan
dengan cara mempelajari reaksi kesetimbangan
pada botol minuman soda yang diberi indikator
asam-basa, sedangkan cara yang berbeda
dilakukan oleh Kanda (1995) untuk
mempelajari pengaruh konsentrasi asam-basa
pada reaksi kesetimbangan indikator alam.
Percobaan Kanda ini dilakukan dengan
menambahkan larutan asam dan basa secara
bergantian pada suatu larutan indikator asambasa alam.
4. Selain percobaan di atas, Kanda juga
melakukan percobaan untuk menerangkan
topik Larutan Asam-Basa dengan terlebih
dahulu membuat kertas lakmus dari serbet
kertas. Percobaan dilakukan dengan membuat
ekstrak tanaman (kunyit putih, kembang
sepatu, dan kol merah), kemudian serbet
kertas dicelupkan ke dalam ekstrak tersebut
dan dikeringkan, selanjutnya serbet kertas
yang telah menjadi kertas lakmus digunakan
untuk menguji sifat asam dan basa dari cuka,
larutan sabun, dan sari buah lemon.
5. Topik Senyawa Organik dapat diterangkan
melalui eksperimen tentang pembuatan ester.
Percobaan
dilakukan
dengan
cara
memanaskan campuran alkohol dan cuka
selama beberapa menit, terbentuknya ester
ditandai dengan terciumnya bau harum yang
khas, atau dengan terbentuknya dua lapisan
bila dicampurkan dengan air (Solomon, 1996).
6. Tina Agustina (1996) dalam bukunya yang
berjudul Percobaan Sains Sederhana dengan
Bahan Sehari-hari, menjelaskan bagaimana
menerangkan topik Oksidasi Reduksi melalui
eksperimen
dengan
bahan
sehari-hari.
Percobaan ini dilakukan dengan cara
mengamati proses korosi pada paku dengan
berbagai faktor yang mempengaruhinya
(misalnya kondisi asam dan basa), percobaan
lain adalah membuat sel volta dari buah jeruk
lemon yang diberi elektroda logam yang
dihubungkan ke galvanometer atau lampu

kecil dengan menggunakan kabel tembaga.


Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut,
kelemahan metode eksperimen sebenarnya
mudah diatasi, karena berbagai peralatan dan
bahan kimia yang mahal dapat diganti dengan
bahan sehari-hari yang relatif lebih murah dan
mudah didapatkan, meskipun tidak semua
eksperimen kimia dapat digantikan dengan bahan
sehari-hari.
3. METODE PENELITIAN
a. Setting penelitian
Penelitian dilaksanakan di kelas XII MIPA 2
semester I Tahun Pelajaran 2015/2016, dengan
jumlah siswa 38 orang yang terdiri dari 15 siswa
laki-laki dan 23 siswa perempuan. Penelitian
dilaksanakan selama lebih kurang 8 bulan sejak
Maret hingga awal November 2015 mulai tahap
persiapan (penyusunan Silabus, LKS, persiapan
alat dan bahan, uji coba praktikum, dan
penyempurnaan LKS), sampai dengan tahap
pelaksanaan (pembelajaran di sekolah) dan tahap
pelaporan. Pada tahap pelaksanaan di kelas,
materi pokok yang menjadi objek penelitian
adalah materi pengenalan kimia, tatanama
senyawa, persamaan reaksi, dan hukum-hukum
dasar kimia.
b. Gambaran umum prosedur penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dibagi menjadi
tiga siklus tindakan dan setiap siklus terdiri dari
satu atau dua materi pokok. Setiap siklus terdiri
dari 2-3 kali pertemuan, dan setiap selesai satu
materi pokok akan diadakan tes formatif untuk
mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap
konsep kimia yang ada pada materi pokok yang
bersangkutan. Pada setiap siklus dilakukan
observasi sebanyak 2 kali oleh guru lain sesuai
dengan pembagian tugas. Observasi dilakukan
terhadap guru yang sedang mengajar, maupun
terhadap siswa yang sedang belajar untuk melihat
aktivitasnya. Selain itu juga diadakan refleksi oleh
pengamat yang terdiri dari 2 orang guru untuk
membicarakan hal-hal yang sudah dilakukan
dengan tepat, maupun kekurangan-kekurangan
yang masih ada pada siklus tersebut, yang akan
menjadi bahan pertimbangan dan perbaikan dalam
pelaksanaan siklus berikutnya.
c. Rincian prosedur penelitian
Secara rinci pelaksanaan penelitian
tindakan kelas ini meliputi langkah-langkah:
1) Tahap perencanaan (Persiapan)
1. Menentukan kelas penelitian dan menetapkan
siklus tindakan (yaitu 3 siklus)
2. Menetapkan waktu memulainya penelitian
tindakan kelas, yaitu pada awal semester I.
3. Menetapkan materi pelajaran, yaitu materi
pelajaran kimia kelas XII semester I sesuai
dengan kurikulum yang berlaku saat ini, yaitu
Kurikulum 2013
4. Menyusun silabus dan rencana pembelajaran
serta menentukan materi yang dapat

1837

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
dieksperimenkan (dipraktikumkan) dengan
bahan-bahan yang ada di lingkungan untuk
masing-masing materi pokok.
5. Menyusun LKS untuk eksperimen dengan
menggunakan bahan-bahan yang ada di
lingkungan.
6. Menyusun alat tes, yaitu bentuk tes pilihan
ganda untuk setiap materi pokok.
7. Menetapkan cara pengamatan terhadap
pelaksanaan kegiatan pembelajaran melalui
metode eksperimen, dengan menggunakan alat
observasi.
8. Menyusun alat observasi dan angket, baik
untuk siswa maupun untuk guru serta
pedoman wawancara baik untuk siswa maupun
guru.
9. Menetapkan jenis data yang dikumpulkan
yang sesuai dengan respon terhadap tindakan
yang dilakukan, baik data kuantitatif maupun
data kualitatif.
10.Menetapkan cara refleksi, yang dilakukan
oleh guru sebagai peneliti dan guru lainnya
sebagai observer yang dilakukan setiap akhir
tindakan pada setiap siklusnya.
2) Tahap pelaksanaan (Implementasi tindakan)
Pelaksanaan tindakan akan dilakukan untuk
tiga siklus sesuai dengan yang ditetapkan:

selesai dikerjakan, guru membahas hasil


eksperimen tersebut bersama-sama dengan siswa
melalui diskusi dalam waktu 10 sampai 15 menit
terakhir. Guru lain dalam setiap pertemuan
bertugas sebagai pengamat (observer).
Setelah
satu
materi
pokok
selesai
dilaksanakan selanjutnya dilakukan tes formatif
untuk melihat tingkat pemahaman siswa terhadap
konsep-konsep kimia yang bersangkutan. Kriteria
keberhasilan pada siklus satu ditunjukkan dengan
rata-rata nilai tes siswa adalah 75 dan 75 %
siswa memiliki aktivitas yang tinggi baik pada
praktikum maupun pada saat berlangsungnya
pembelajaran di kelas atau diskusi.
Pada akhir siklus, dilakukan refleksi untuk
mengkaji strategi pembelajaran yang diberikan
guru dan mengkaji perubahan tingkah laku siswa
selama dan setelah pemberian tindakan, sebagai
acuan dalam membuat rencana tindakan baru
pada siklus berikutnya.
Siklus kedua: Materi pokok yang diberikan
pada siklus kedua adalah Sifat Koligatif Larutan
Non Elektrolit dan Elektrolit (Penurunan Titik
Beku) Pelaksanaan tindakan yang dilakukan
sama seperti pada siklus pertama, hanya pada
siklus kedua guru tidak lagi menjelaskan secara
rinci prosedur eksperimen yang diberikan ke
siswa dan dalam membahas dan menarik
kesimpulan hasil eksperimen guru hanya
memberikan arahan dan berperan sebagai
fasilitator. Pada siklus kedua ini guru masih
membantu
siswa
dalam
melaksanakan
percobaannya. dan guru lain berperan sebagai
observer dan sekaligus membantu guru pengajar
memfasilitasi
kegiatan
pembelajaran
dan
eksperimen. Kriteria keberhasilan pada siklus
kedua, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi,
observasi, dan refleksi sama seperti pada siklus
pertama.
Siklus ketiga: Materi pokok yang akan
diberikan pada siklus ketiga ini adalah Sifat
Koligatif Larutan Non Elektrolit dan Elektrolit
(Tekanan
Osmotik).
Langkah-langkah
pelaksanaan penelitian tindakan kelas pada siklus
tiga ini sama dengan siklus pertama dan kedua,
yang berbeda hanyalah pada pelaksanaan
eksperimennya, dimana pada siklus ketiga ini
guru hanya memantau pelaksanaan eksperimen
saja sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan
pada kelompok yang telah menyelesaikan satu
topik percobaan. Seluruh topik percobaan pada
eksperimen dilakukan oleh siswa dalam
kelompoknya dengan prosedur yang telah
diberikan pada pertemuan sebelumnya. Guru
berperan sebagai fasilitator, dan diskusi
dilakukan oleh siswa. Selanjutnya guru
memberikan komentar terhadap hasil kesimpulan
akhir dari masing-masing kelompok dan
membahasnya. Guru lain sebagai observer juga

Siklus pertama: Pada siklus ini materi


pokok yang menjadi inti pembelajaran adalah
Sifat Koligatif Larutan Non Elektrolit dan
Elektrolit (Penurunan Tekanan Uap dan
Kenaikan Titik Didih). Pelaksanaan kegiatan
pembelajaran diawali dengan pertemuan guru
membuka
pelajaran
dengan
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan
untuk
mengetahui
penguasaan siswa terhadap konsep kimia yang
telah diperoleh siswa yang terkait dengan materi
yang akan diberikan.
Selanjutnya guru
mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan
kejadian sehari-hari yang berhubungan dengan
materi yang akan disampikan, misalnya tentang
proses pembuatan es puter, pencairan salju
dijalan raya dan sebagainya. Di akhir pertemuan
siswa diberi prosedur percobaan yang akan
dieksperimenkan pada pertemuan berikutnya, dan
guru mengelompokkan siswa untuk eksperimen
(setiap kelompok terdiri dari 5-8 orang) dan
menjelaskan prosedur eksperimen. Eksperimen
(praktikum) untuk tiap materi pokok yang akan
dilaksanakan terdiri dari 2-3 percobaan di bawah
bimbingan guru. Selama eksperimen berlangsung
guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada
siswa tentang perubahan-perubahan yang terjadi
dan setiap siswa mencatat pengamatannya. Setiap
selesai satu topik percobaan, guru menggiring
siswa untuk membahas dan menyimpulkan
sendiri. Demikian seterusnya, sampai semua
topik percobaan selesai dalam satu kali
pertemuan. Setelah semua topik percobaan

1838

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
membantu guru pengajar dalam memfasilitasi
kegiatan pembelajaran, eksperimen, dan diskusi.
3) Tahap observasi (pemantauan) dan evaluasi
Pelaksanaan observasi dilakukan secara
bersamaan
dengan
pelaksanaan
tindakan.
Pelaksanaan observasi dilakukan oleh semua tim
peneliti termasuk guru, dengan menggunakan alat
bantu berupa lembar observasi dan angket.
Lembar observasi yang disiapkan meliputi
lembar observasi tentang aktivitas siswa, minat
belajar siswa, pedoman wawancara guru dan
pedoman wawancara siswa. Pemberian angket
dimaksudkan untuk mengungkap ada tidaknya
peningkatan aktivitas dan minat belajar siswa
terhadap pelajaran kimia setelah diberikan
tindakan, yang selanjutnya divalidasi dengan data
observer.
Evaluasi terhadap keberhasilan tindakan
dilakukan melalui tes formatif, yang juga
dimaksudkan
untuk
mengukur
tingkat
pemahaman siswa terhadap konsep-konsep kimia
yang ada pada masing-masing pokok bahasan pada
setiap siklusnya.
Data yang dikumpulkan merupakan data
kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif
diperoleh melalui tes formatif dan angket yang
diberikan pada siswa, sedangkan data kualitatif
dikumpulkan melalui lembar observasi.
4) Analisis dan refleksi
Berdasarkan data hasil observasi dan evaluasi
selanjutnya dilakukan analisis data sebagai bahan
kajian pada kegiatan refleksi. Analisis dilakukan
dengan cara membandingkan hasil yang telah
dicapai dengan kriteria keberhasilan yang telah
ditetapkan sebelumnya (indikator keberhasilan).
Pada kegiatan refleksi akan ada beberapa
pertanyaan
yang
akan
dijadikan
acuan
keberhasilan,
misalnya
apakah
proses
pembelajaran sudah berjalan dengan baik (yang
berarti
sudah
mengikuti
metodologi
pembelajaran, misalnya bagaimana dengan teknik
bertanya, pemberian motivasi, pengelolaan kelas,
pengelolaan praktikum, dan sebagainya), apakah
dalam proses pembelajaran tersebut tujuan dan
kompetensi dasar sudah tercapai, bagaimana hasil
dari proses pembelajaran secara kuantitatif
(ditinjau dari ketuntasan belajar siswa sesuai
dengan yang telah ditetapkan, yaitu 75),
bagaimana respon siswa terhadap proses
pembelajaran tersebut, dan sebagainya.
Hasil analisis pada tahap ini akan dijadikan
sebagai bahan untuk membuat rencana tindakan
baru yang akan dilaksanakan pada siklus
selanjutnya.
4. Indikator Keberhasilan Tindakan
Kriteria keberhasilan tindakan kelas adalah
apabila terjadi peningkatan aktivitas dan hasil
belajar pada setiap siklusnya dan 80 % siswa
memperoleh nilai 75 baik nilai kognitif maupun
psikomotor.

5. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Hasil
Dalam penelitian ini telah dilakukan
pengembangan beberapa aspek, antara lain; (1)
Metode instruksional, dimana diskusi dan tanya
jawab dikembangkan melalui penyelenggaraan
praktikum dan presentasi yang dilakukan oleh
siswa, (2) Proses pembelajaran, dalam hal ini
dikembangkan metode eksperimen berbasis
lingkungan (praktikum menggunakan bahan
yang ada di lingkungan siswa berbasis
keunggulan lokal) dan pembahasan hasil
eksperimen oleh siswa melalui presentasi serta
latihan soal sebagai umpan balik siswa dalam
belajar mandiri., (3) Tugas rumah, yang
diberikan untuk setiap selesainya satu atau dua
sub materi pokok, berupa soal-soal yang
menyangkut baik pemahaman maupun analisis.,
(4) Teknik evaluasi, yang dilakukan pada setiap
berakhirnya siklus tindakan untuk mengkaji
pencapaian belajar siswa dan sebagai acuan
dalam pelaksanaan siklus berikutnya guna
perbaikan.
Penilaian terhadap tugas pekerjaan rumah
(PR) tidak dijadikan data penelitian, hanya
ditujukan sebagai diagnostik terhadap kelemahan
dan kesulitan belajar siswa, selanjutnya dijadikan
acuan sejauhmana siswa telah mencapai
kompetensi yang diharapkan, sehingga proses
pembelajaran dapat dilanjutkan untuk materi dan
sub materi pokok selanjutnya. Bila hasil
penilaian tugas PR rendah (rata-rata < 75), maka
materi dan sub materi pokok tersebut dibahas lagi
dalam waktu lebih kurang 10 hingga 15 menit.
Namun, bila sudah mencapai rata-rata 75,
maka pembelajaran dilanjutkan pada materi pokok
berikutnya pada siklus yang sama. Hasil
pengamatan/observasi dan wawancara selama
proses pembelajaran pada setiap siklus dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Hasil Pengamatan Aktivitas siswa dalam
Pembelajaran (Diskusi)
NO
1
2

3
4
5

Komponen
yang diamati
Bertanya pd
guru
Menjawab
pertanyaan
guru
Memberikan
pendapat
Aktif dlm
diskusi
Ketepatan
mengumpulkan
tugas

Jum
12

Siklus
II
III
%
Jum %
Jum %
31,57 12 31,57 19
50,00

13

34,21 15

39,47 16

42,10

13

34,21 12

31,57 15

39,47

28

73,68 30

78,94 32

84,21

32

84,21 34

89,47 35

92,10

Demikian pula, bila dilihat dari aktivitas yang


bersifat off task (prilaku siswa yang tidak
dinginkan) terlihat adanya penurunan prosesntase
off task (Tabel 2).
Tabel 2. Data Pengamatan (Observasi) Siswa
dengan Aktivitas yang Off Task

1839

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Komponen
Off Task

NO
1
2
3
4
5

I
Jum
8
4

Ngobrol
Mengganggu
teman
Keluar masuk
kelas
Mengantuk/tidur
Suka main-main

Dari hasil observasi selama siklus I


didapatkan
data
aktivitas
siswa
pada
pembelajaran (Tabel 1). Berdasarkan data
tersebut, ternyata pada siklus I menunjukkan
bahwa siswa cukup aktif dan selalu memberikan
respon positif dalam setiap pembelajaran yang
dikembangkan dalam penelitian ini. Dilihat dari
ketepatan mengumpulkan tugas pekerjaan rumah
diberikan oleh guru menunjukkan bahwa minat,
motivasi belajar dan keinginan untuk belajar
siswa sangat tinggi. Ketetapatan mengumpulkan
tugas ditentukan melalui ketetapatn waktu, yaitu
pada saat masuk kelas sebelum pembelajaran
dimulai tugas harus sudah dikumpulkan.
Analisis terhadap masing-masing aktivitas
siswa dalam pembelajaran menunjukkan aktivitas
bertanya, menjawab pertanyaan, dan aktif
memberikan pendapat belum menunjukkan hasil
yang memuaskan, karena masih dibawah 80%
siswa dari 4 kali pertemuan pembelajaran di kelas
dan di laboratorium (Tabel 1). Hal ini antara lain
disebabkan siswa masih belum terbiasa belajar
melalui metode pembelajaran yang bervariasi
(eksperimen, diskusi, presentasi, dan latihan),
dimana dalam proses pembelajaran terlihat
banyak siswa yang masih terlihat ragu-ragu untuk
melaksanakan praktikum dan mendiskusikan
hasilnya. Di samping itu, terlihat juga banyak
siswa yang masih menunjukkan tingkah laku
yang tidak diinginkan (Tabel 2), diantaranya
masih cukup banyak siswa yang ngobrol ketika
pembelajaran berlangsung, suka keluar masuk
kelas, suka main-main baik dalam belajar maupun
praktikum, dan suka mengganggu temannya yang
sedang belajar. Hasil wawancara dengan siswa
diperoleh 75,00% siswa merasa belum yakin
bahwa bahan-bahan yang digunakan dalam
praktikum dapat menggantikan bahan kimia
sintetik dan dapat dijadikan bahan kajian teoritis
untuk membahas materi pokok dalam mencapai
kompetensi dan hanya 20,00 % siswa yang
merasa yakin (Tabel 3), oleh sebab itu siswa
perlu penyesuaian dan bimbingan dari guru.
Setelah proses pembelajaran pada siklus I
selesai, selanjutnya pada akhir siklus dilakukan
tes formatif (kognitif) untuk mengetahui
kemampuan siswa dalam menyerap materi yang
telah dibahas. Dari hasil tes formatif pada siklus I
diperoleh nilai rata-rata siswa sebesar 70
(Gambar 1) dan jumlah siswa yang memenuhi
kriteria ketuntasan belajar yang ditetapkan
sekolah (nilai 75,00) sebanyak 11 orang atau
28,94 % (Tabel 4). Bila dilihat dari ketuntasan
belajar secara klasikal, hasil tindakan pada siklus
I belum menunjukkan keberhasilan yang
memuaskan karena masih di bawah 80%. Nilai
hasil belajar yang dicapai pada siklus I ini belum
memenuhi indikator keberhasilan tindakan yang
diinginkan (80% siswa memperoleh nilai
75,00). Dari hasil evaluasi (Tabel 4) hanya 28,94

Siklus
II
III
%
Jum %
Jum %
21,05 6 15,78
3
7,89
10,53 2 5,26
2
5,26

10,53

7,89

5,26

3
6

7,89
15,78

2
3

5,26
7,89

1
2

2,63
5,26

Tabel 3. Hasil Wawancara dengan Siswa terhadap


Pelaksanaan Pembelajaran dan Praktikum dari 15
orang Responden yang Menjawab Positif.
Pointer
1
2
3
4
5
6
7

I
Jum
3
4
6
3
5
2
3

%
20,00
26,67
40,00
20,00
33,33
13,33
20,00

Siklus
II
Jum %
5
33,33
4
26,67
8
53,33
7
46,67
9
60,00
8
53,33
7
46,67

III
Jum
11
10
12
11
13
12
11

%
73,33
66,67
80,00
73,33
86,67
80,00
73,33

Data hasil belajar dan aktivitas siswa pada saat


praktikum (nilai keterampilan) dapat dilihat pada
gambar dan tabel berikut ini.

Gambar 1. Rerata Nilai hasil Belajar Siswa dan


Nilai Keterampilan
Tabel 4. Presentase Siswa yang Mencapai
Ketuntasan Belajar dan Kriteria Keberhasilan
Tindakan (Nilai Kognitif)
Nilai
<75
75-85
>85

I
Jum
27
8
3

%
71,05
21,05
7,89

Siklus
II
Jum %
16 42,10
12 31,58
10 26,32

Jum
4
5
29

III
%
10,53
13,16
76,32

Tabel 5. Presentase Siswa yang Mencapai


Keberhasilan Tindakan (Dilihat dari Nilai
Keterampilan/Aktivitas Praktikum)
Nilai
<75
75-85
>85

I
Jum
7
8
20

%
18,42
21,05
52,63

Siklus
II
Jum %
1
2,63
2
5,25
35
92,10

III
Jum
0
2
36

%
0
5,26
94,74

b. Pembahasan
Siklus I
Siklus I berlangsung selama 4 x 2 x 45
menit atau empat kali pertemuan. Materi
disajikan
dalam
bentuk
praktikum
di
laboratorium dengan menggunakan bahan-bahan
yang ada di lingkungan siswa, diskusi, presentasi,
dan latihan soal. Praktikum yang dilaksanakan
pada siklus I sebanyak 2 kali eksperimen.

1840

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
% siswa yang memperoleh nilai 75,00. Bila
dilihat dari nilai psikomotor/aktivitas siswa pada
kegiatan praktikum (Tabel 5) juga menunjukkan
bahwa pada siklus I kriteria keberhasilan tindakan
belum tercapai (73,68% siswa memperoleh nilai
keterampilan 75,00). Hal ini menunjukkan
bahwa eksperimen dengan menggunakan bahanbahan yang mudah diperoleh dan terdapat di
lingkungan siswa belum dapat memotivasi dan
membangkitkan minat siswa terhadap mata
pelajaran kimia terutama keterampilan dalam
bereksperimen di laboratorium. Keadaan ini
antara lain disebabkan banyaknya siswa yang
masih menunjukkan tingkahlaku yang tidak
diinginkan ketika praktikum berlangsung (Tabel
2).
Faktor
tidak
tercapainya
indikator
keberhasilan yang dilihat dari nilai kognitif
tersebut di atas adalah kurang maksimalnya
metode yang dilaksanakan dalam pembelajaran,
terutama pemberi konstribusi yang cukup besar
terhadap kurang berhasilnya penelitian ini adalah
banyak siswa (27 orang) yang memperoleh nilai
kurang 75 dan hanya 11 orang siswa yang
memperoleh nilai 75. Berdasarkan hasil
observasi terhadap guru dan refleksi pada siklus
I, keadaan ini disebabkan oleh:
1. Paradigma lama guru masih nampak kental
yang dapat dilihat dari kegiatan dimana
pembelajaran masih didominasi oleh guru,
guru tidak banyak memberikan kesempatan
pada siswa untuk berfikir sendiri dalam
menemukan konsep-konsep baru.
2. Guru kurang persiapan, sehingga praktikum
yang dilaksanakan masih banyak mengalami
hambatan dan harus dilakukan berulangulang
untuk
mencapai
keberhasilan
praktikum (pendapat siswa pointer 6).
3. Siswa masih terlihat kurang bersemangat
dalam berdiskusi dan tanya jawab, karena
pembelajaran dengan metode eksperimen
menggunakan bahan-bahan sederhana yang
ada di lingkungan siswa belum pernah
dilaksanakan.
4. Guru kurang memberikan waktu tunggu yang
cukup kepada siswa untuk menjawab
pertanyaan.
5. Dalam menyajikan materi dan memberikan
penjelasan, suara dan gaya bahasa guru
kurang dapat diterima oleh siswa.
6. Guru tidak memberikan contoh konkrit
penerapan materi kimia yang sedang dibahas
dengan kehidupan sehari-hari dan tidak
memberikan penjelasan yang cukup tentang
bagaimana hasil percobaan yang dilakukan
jika bahannya adalah bahan kimia sintetik.
Dengan mengevaluasi aktivitas dan hasil
belajar yang diperoleh pada siklus I maka perlu
adanya perbaikan dalam melaksanakan siklus II
antara lain dengan lebih memotivasi dan menarik

perhatian siswa pada materi yang sedang dibahas,


terutama aspek-aspek yang masih belum optimal
dilaksanakan, yaitu enam butir kelemahan
tersebut di atas, terutama persiapan praktikum
dan kreasi pembuatan alat praktik sederhana perlu
disempurnakan.
Siklus II
Siklus II berlangsung selama 3 x 2 x 45 menit
atau tiga kali pertemuan. Proses pembelajaran
berlangsung sebagaimana siklus I dengan
perbaikan beberapa teknik pembelajaran sesuai
hasil refleksi pada siklus I.. Praktikum yang
dilaksanakan pada siklus II sebanyak 2 kali
eksperimen.
Berdasarkan hasil observasi selama siklus II
diperoleh data aktivitas siswa pada pembelajaran
(Tabel 1). Berdasarkan data tersebut, ternyata
pada siklus II sama seperti pada siklus I, yaitu
siswa sangat aktif dan memberikan respon yang
positif dalam setiap pembelajaran yang
dikembangkan melalui penelitian ini. Dilihat dari
ketetapatan mengumpulkan tugas pekerjaan
rumah diberikan oleh guru pada siklus II juga
menunjukkan bahwa minat dan motivasi belajar
siswa sangat tinggi.
Analisis terhadap aktivitas bertanya,
menjawab pertanyaan, dan aktif memberikan
pendapat pada siklus II masih belum
menunjukkan hasil yang memuaskan, karena
masih dibawah 80% siswa dari 3 kali pertemuan
pembelajaran di kelas dan di laboratorium (Tabel
1). Hal ini antara lain disebabkan siswa masih
belum yakin dengan
pembelajaran
yang
dilaksanakan melalui metode pembelajaran
yang bervariasi (eksperimen, diskusi, presentasi,
dan
latihan),
meskipun
dalam
proses
pembelajaran siswa yang merasa ragu-ragu untuk
melaksanakan praktikum dan mendiskusikan
hasilnya sudah sangat berkurang. Berdasarkan
hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa yang
off task (Tabel 2), menunjukkan adanya
penurunan presentase siswa yang off task
dibandingkan dengan siklus I, namun aktivitas
negatif seperti mengobrol masih cukup banyak
(15,78 %). Hasil wawancara dengan siswa
(terutama pointer 3 dan 4) menunjukkan bahwa
pada siklus II terdapat siswa yang masih merasa
belum yakin bahwa bahan-bahan yang digunakan
dalam praktikum dapat menggantikan bahan
kimia sintetik dan dapat dijadikan bahan kajian
teoritis untuk membahas materi pokok dalam
mencapai kompetensi sebanyak 5 orang atau
33,33% dari 15 responden dan 66,67 % siswa
lainnya sudah merasa yakin (Tabel 3). Oleh sebab
itu, untuk meningkatkan minat dan motivasi
siswa dalam pembelajaran yang dikembangkan,
maka pada pada siklus berikutnya masih
diperlukan bimbingan dan penjelasan yang lebih
intensif kepada siswa. Jika dibandingkan dengan
aktivitas siswa pada siklus I, maka pada siklus II

1841

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
terjadi peningkatan aktivitas siswa yang positif (on
task). Adanya peningkatan aktivitas ini
menunjukan adanya perubahan motivasi dan
minat siswa terhadap mata pelajaran kimia
setelah mengikuti proses pembelajaran dengan
eksperimen menggunakan bahan-bahan yang ada
di lingkungan.
Pada akhir siklus II dilakukan tes formatif
(kognitif) untuk mengetahui kemampuan siswa
dalam menyerap materi yang telah dibahas
(penguasaan materi). Dari hasil tes formatif
tersebut diperoleh nilai rata-rata siswa sebesar 77
(Gambar 1) dan jumlah siswa yang memenuhi
kriteria ketuntasan belajar yang ditetapkan
sekolah dengan nilai 75 sebanyak 22 orang atau
57,90% (Tabel 4).
Bila dilihat dari ketuntasan belajar siswa
yang ditetapkan sekolah, hasil tindakan pada
siklus II belum menunjukkan keberhasilan yang
memuaskan. Demikian juga bila dilihat dari
kriteria keberhasilan tindakan, pada siklus II
masih belum mencapai hasil yang diinginkan
(80% siswa memperoleh nilai 75,00). Dari hasil
evaluasi (Tabel 4) hanya 57,90% siswa yang
memperoleh nilai 75,00. Meskipun hasil ini
belum memenuhi indikator keberhasilan tindakan,
tetapi jika dibandingkan dengan nilai rata-rata
hasil belajar yang dicapai siswa pada siklus I,
pada siklus II mengalami peningkatan sebesar
28,96%.
Bila dilihat dari nilai keterampilan / aktivitas
siswa pada kegiatan praktikum (Tabel 6)
menunjukkan bahwa pada siklus II sama dengan
siklus I, yaitu kriteria keberhasilan tindakan
sudah terpenuhi (97,35% siswa memperoleh nilai
psikomotor 75,00). Jika dibandingkan dengan
nilai psikomotor yang dicapai siswa pada siklus I,
maka pada siklus II mengalami peningkatan
sebesar 23,67 %.
Berdasarkan hasil observasi dan refleksi
yang dilakukan oleh semua tim peneliti
menyatakan bahwa pembelajaran pada siklus II
masih memiliki beberapa kelemahan dan
merupakan indikasi belum tercapainya indikator
keberhasilan tindakan. Kelemahan pembelajaran
yang muncul pada siklus II adalah
1. Paradigma lama guru masih terlihat,
nampak guru masih dominan dalam
pembelajaran.
2. Diagnostik dan pembimbingan terhadap
siswa yang mengalami kesulitan belajar oleh
guru belum maksimal.
3. Penguatan yang diberikan guru pada siswa
yang menjawab pertanyaan hanya dilakukan
pada siswa yang menjawab benar saja.
4. Guru masih belum memberikan waktu
tunggu yang cukup kepada siswa untuk
menjawab pertanyaan, disebabkan waktu yang
terbatas.
5. Gaya bahasa guru masih belum dapat diterima

dengan jelas oleh siswa .


Berdasarkan analisis aktivitas dan hasil
belajar yang diperoleh pada siklus II, maka agar
pada siklus III aktivitas dan hasil belajar bisa
meningkat dan indikator keberhasilan tindakan
tercapai diperlukan adanya perbaikan dalam
pengelolaan proses pembelajaran dan praktikum,
antara lain dengan menekankan pada keaktifan
siswa untuk menggali dan memahami materi
yang dibahas baik secara mandiri maupun
kelompok.
Siklus III
Siklus III berlangsung selama 4 x 2 x 45 menit
atau empat kali pertemuan. Proses pembelajaran
berlangsung sebagaimana siklus I dan siklus II
dengan perbaikan beberapa teknik pembelajaran
sesuai hasil refleksi pada siklus II.
Hasil observasi pada siklus II diperoleh data
aktivitas siswa pada pembelajaran (Tabel 1).
Berdasarkan data tersebut, ternyata pada siklus III
sama seperti pada siklus II. Dilihat dari
ketetapatan mengumpulkan tugas pekerjaan
rumah diberikan oleh guru pada siklus III juga
menunjukkan bahwa minat dan motivasi belajar
siswa sangat tinggi. Dari komponen aktivitas
tersebut, aktivitas siswa off task mengalami
penurunan untuk setiap komponen off task.
Penurunan ini menunjukkan bahwa siswa semakin
tertarik dan keingintahuan siswa terhadap materi
yang dibahas cukup tinggi. Namun, bila dilihat
dari hasil wawancara masih terdapat siswa
(26,67%) yang menganggap bahwa materi yang
dibahas dan dipraktikumkan dianggap merupakan
materi yang cukup sulit (pointer 1), sehingga
siswa tersebut kurang memiliki ide untuk
menyampaikan pendapat, terutama pada saat
kegiatan presentasi hasil praktikum dan diskusi.
Hal ini juga ditunjukkan dengan adanya aktivitas
memberikan pendapat baik pada kegiatan
pembelajaran melalui diskusi maupun latihan
yang masih rendah, hanya 39,47% siswa yang
selalu memberikan pendapat pada setiap kegiatan
tersebut.
Analisis terhadap aktivitas bertanya dan
menjawab pada siklus III masih belum
menunjukkan hasil yang memuaskan, karena
masih dibawah 80% siswa (Tabel 1). Hasil
wawancara dengan siswa (Tabel 4. pointer 1, 2,
dan 5) menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
siswa
masih
dominan
dalam
pembelajaran.
menganggap pembelajaran yang dikembangkan
guru memang menarik namun materi yang
dibahas
lebih
rumit
dibanding
materi
sebelumnya. Di samping itu, presentasi yang
dilakukan oleh siswa secara kelompok pada
setiap akhir praktikum tidak banyak memperoleh
ide dan masukan atau pendapat dari temannya
atau dari anggota kelompoknya. Namun, bila
dilihat dari pointer lain, menunjukkan bahwa lebih
dari 75,00% siswa sudah merasa yakin bahwa
pembelajaran dengan metode eksperimen

1842

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
menggunakan bahan-bahan yang ada di
lingkungan siswa dapat menggantikan bahan
kimia sintetik dan dapat dijadikan bahan kajian
teoritis untuk membahas materi pokok dalam
mencapai kompetensi. Jika dibandingkan dengan
aktivitas siswa pada siklus II, maka pada siklus
III terjadi peningkatan aktivitas siswa yang
positif (on task). Adanya peningkatan aktivitas ini
menunjukan adanya perubahan motivasi dan
minat siswa terhadap mata pelajaran kimia
setelah mengikuti proses pembelajaran dengan
eksperimen menggunakan bahan-bahan yang ada di
lingkungan.
Tes formatif (kognitif) yang dilakukan pada
akhir siklus III untuk mengetahui kemampuan
siswa dalam menyerap materi (penguasaan materi)
yang telah dibahas menunjukkan hasil yang
memuaskan. Dari hasil tes formatif tersebut
diperoleh nilai rata-rata siswa sebesar 80
(Gambar 1) dan jumlah siswa yang memenuhi
kriteria ketuntasan belajar yang ditetapkan
sekolah dengan nilai 75 adalah 89,48% (Tabel
4). Bila dilihat dari kriteria keberhasilan tindakan,
nilai hasil belajar yang dicapai pada siklus III ini
sudah mencapai hasil yang diinginkan (80%
siswa memperoleh nilai 75,00).
Dengan hasil yang diperoleh pada siklus III
berarti indikator keberhasilan tindakan sudah
tercapai, bila ditinjau dari segi peningkatan hasil
belajar dan aktivitas siswa dari siklus ke siklus.
Hal ini antara lain disebabkan siswa telah terbiasa
dengan pembelajaran yang memanfaatkan bahanbahan yang ada di lingkungan sebagai bahan
pengganti bahan kimia sintetik untuk praktikum
di laboratorium, sehingga dapat mempermudah
dalam memahami konsep-konsep kimia dan guru
dalam proses pembelajaran hanya bertindak
sebagai fasilitator.
Demikian pula, bila dilihat dari nilai
keterampilan/aktivitas siswa pada kegiatan
praktikum (Tabel 5) menunjukkan bahwa pada
siklus III sama dengan siklus II, yaitu kriteria
keberhasilan tindakan sudah terpenuhi (100%
siswa memperoleh nilai psikomotor 75,00).
Berdasarkan hasil observasi dan refleksi
yang dilakukan bahwa pembelajaran pada siklus
III masih memiliki beberapa kelemahan, antara
lain:
1. Guru masih belum memberikan waktu
tunggu yang cukup kepada siswa untuk
menjawab pertanyaan dan menyampaikan
pendapatnya, disebabkan waktu yang
terbatas.
2. Guru masih belum memberikan motivasi
pada siswa yang cukup, terutama dalam
memberikan penguatan.
3. Bimbingan guru pada siswa untuk mem-buat
kesimpulan sendiri melalui kelom-pok belum
maksimal, disebabkan keter-batasan waktu
dan banyaknya siswa yang membutuhkan

bimbingan secara individu.

4. Melalui kegiatan praktikum, diskusi, dan


presentasi, terutama dengan mengguna-kan
bahan sehari-hari.
5. Diskusi yang diselenggarakan hendaknya
disesuaikan dengan waktu jam pelajaran,
sehingga tidak sering melewati jam pelajaran.
6. Pemanfaatan waktu belajar dan prakti-kum
kurang efektif, dimana pengaturan waktu
praktikum, latihan, penjelasan gu-ru, diskusi,
dan presentasi mestinya diperhitungkan
secara
proporsional,
sehingga
tidak
mengganggu jam pelajaran lain.
Oleh sebab itu, dalam pengembangan
pembelajaran selanjutnya untuk menerap-kan
metode dan teknik pembelajaran sebagaimana
penelitian ini, guru perlu memperbaiki beberapa
kelemahan tersebut. Di samping itu, beberapa
saran siswa berdasarkan hasil wawncara
(pointer 8) menunjukkan bahwa menurut siswa
meskipun perkuliahan sangat menarik dan
siswa lebih terbantukan, namun ada beberapa
yang perlu diperbaiki dalam pembelajaran yang
lain, yaitu:
1. Hendaknya guru dapat merinci soal-soal yang
tidak
dapat
dikerjakan
siswa,
dan
menginventarisir konsep-konsep essensial
yang tidak mudah disampaikan melalui
kegiatan praktikum, diskusi, dan presentasi,
terutama dengan menggunakan bahan seharihari.
2. Diskusi yang diselenggarakan hendaknya
disesuaikan dengan waktu jam pelajaran,
sehingga tidak sering melewati jam pelajaran.
3. Pemanfaatan waktu belajar dan praktikum
kurang efektif, dimana pengaturan waktu
praktikum, latihan, penjelasan guru, diskusi,
dan presentasi mestinya diperhitungkan
secara
proporsional,
sehingga
tidak
mengganggu jam pelajaran lain.
Demikian pula, pada pointer 7, sebanyak
83,33% siswa memberikan informasi kualitatif
yang menginginkan agar sistem pembelajaran
semacam ini dipertahankan dan dapat ditiru oleh
mata pelajaran lainnya, serta memberikan penilaian
bahwa pelaksanaan pembelajaran dan praktikum
sangat baik, dan siswa merasa puas dengan sistem
pembelajaran yang diterapkan.
Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa
pengembangan pembelajaran melalui
penerapan metode eksperimen menggunakan
bahan-bahan yang ada di lingkungan siswa dapat
menumbuhkan motivasi dan minat siswa dalam
belajar, sehingga aktivitas siswa baik dalam
pembelajaran maupun dalam praktikum dapat
ditingkatkan. Tabel 1 dan Gambar 1, menunjukkan
bahwa ada peningkatan yang signifikan baik
aktivitas siswa dalam pembelajaran, aktivitas siswa
dalam praktikum (keterampilan psikomotor),

1843

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Fruen, L. (1992) . Why do We Have to Know This
Stuff?. Journal of Chemical Education, 63 (9),
737 740.
Hans Jurgen (diterjemahkan oleh Tim Penerbit
Angkasa).
(1991).
Bermain
dengan
Pengetahuan. Penerbit: Angkasa. Bandung.
Kanda, N., Asano, T., and Itoh, T. (1995).
Preparing Chamelon Balls from Natural Plants,
Simple Handmade pH Indicator and Teaching
Material for Chemical Equilibrium. Journal of
Chemical Education, 72 (12), 1131 1132.
Prasetyo, Z.K. (1998) . Kapita Selekta
Pembelajaran Fisika., Universitas Terbuka,
Depdikbud. Jakarta.
Pusat
Kurikulum:
Balai
Penelitian
dan
Pengembangan Depdiknas. (2001). Kurikulum
Berbasis Kompetensi; Materi Pelajaran Kimia
Sekolah Menengah Umum., Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta.
Roestiyah, N.K. (1985). Masalah Pengajaran
Sebagai Suatu Sistem., Penerbit: Bina Aksara.
Jakarta.
Soetarjo, dan Soejitno, PO.(1998). Proses Belajar
Mengajar dengan
Metode
Pendekatan
Keterampilan Proses. Penerbit: SIC, Surabaya.
Solomon, S., Hur, C., Lee, A., and Smith, K.
(1996). Synthesis of Ethyl Salicylate Using
Household Chemicals. Journal of Chemical
Education., 73 (2), 173175.
Synder, C.A., Synder, D.C., and DiStefano., (1992).
Simple Soda Bottle Solubility and Equilibria.
Journal of Chemical Education., 69 (7), 573.
Tina Agustina., (1996). Percobaan Sains
Sederhana
dengan
Bahan
Sehari-hari.
Penerbit: Angkasa. Bandung.
Winarno Surakhmad., (1986). Metodologi Pengajaran
Nasional. Penerbit: Jemmers. Bandung.

maupun penguasaan materi siswa dari siklus I ke


siklus II dan dari siklus II ke siklus III.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat
dikatakan bahwa pemanfaatan bahan-bahan
lingkungan (bahan-bahan sehari-hari) dalam
pembelajaran kimia di kelas XII SMA N 1 Muara
Bungo dapat meningkatkan aktivitas dan hasil tes
siswa, sehingga dapat pula dikatakan bahwa
pembelajaran yang berlangsung cukup efektif
dalam meningkatkan hasil belajar siswa.

6. KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil
peneltian
dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa
1. Pembelajaran kimia kelas XII SMA N 1
Muara Bungo melalui metode eksperimen
berbasis lingkungan dapat meningkatkan:
a. aktivitas siswa baik dalam pembelajaran
maupun praktikum dari siklus ke siklus.
b. Penguasaan materi kimia siswa kelas XII
semester 1 dari siklus ke siklus.
2. Penerapan metode eksperimen berbasis
lingkungan dapat mengefektifkan proses
pembelajaran kimia pada siswa kelas XII
semester 1 SMA N 1 Muara Bungo

7. REFERENSI
Aripin,
M.(1995).
Pengembangan
Program
Pengajaran Bidang Studi Kimia., Erlangga. Jakarta.
Duffy, D.G., Show, S.A., Bare, W.D., and Goldsby,
K.A. (1995) . More Chemistry in a Soda Bottle, A
Conversation of Mass Activity., Journal of
Chemical Education, 72 (8), 734 736.
Derr, H.R., Lewis, T., and Derr, B.J. (2000). Gas Me
Up, or A Baking Powder Diver. Journal of
Chemical Education, 77 (2), 171 172.

1844

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PROFIL ASAM LEMAK RANTAI PENDEK CAIRAN RUMEN PADA MASA


INKUBASI BERBEDA
Armina Fariani, Gatot Muslim, Dyah Wahyuni, Langgeng Priyanto, Arfan Abrar.
Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
email: arfan_abrar@unsri.ac.id
Abstract
The purpose of this study was to study Short Chain Fatty Acid (SCFA) profile of incubated with palm oil of total
mix ration (TMR) of rumen fluid with various incubation period. Palm oil TMR was composed by palm oil
plantation by products and incubated in fistulated Bali Cattle (280 kg). Rumen fluid were samples on 0, 6 and
12 hour after incubation and the SCFA were determined by High Performance Liquid Chromatography method.
Complete randomized designed with 3 treatments (0, 6 and 12 incubation period) and 9 replications were
applied on this study with acetate, propionate, butyrate concentration and acetate-propionate ration as
observed parameters. The result showed that only acetate, propionate and butyrate concentration were
significantly affected by the incubation period.
Keywords: Fistula, in sacco, SCFA, HPLC, palm oil

Menurut Diwyanto et al. (2004), potensi


sumber daya alam seperti yang terdapat pada
lahan antara tanaman kelapa sawit dan limbah
hasil pengolahan pabrik kelapa sawit masih
cukup berpeluang dimanfaatkan secara intensif
sebagai sumber pakan ternak. Untuk dapat
dimanfaatkan secara optimal, maka produk
samping tanaman dan pengolahan buah kelapa
sawit
sebaiknya
dilakukan
teknologi
pengolahan pakan. Teknologi pengolahan
pakan merupakan dasar teknologi untuk
mengolah limbah pertanian, perkebunan
maupun agroindustri dalam pemanfaatannya
sebagai pakan.
Pada umumnya produk
samping yang diperoleh dari industri kelapa
sawit dibagi kedalam dua kelompok, yaitu: (1)
berasal dari kebun kelapa sawit (diantaranya
pelepah dan daun) dan (2) dari pabrik
pengolahan buah kelapa sawit (seperti bungkil
dan lumpur) Nilai nutrisi limbah tanaman dan
pengolahan kelapa sawit telah banyak
dilaporkan (Mathius et al., 2004).
Total mix ration atau pakan komplit
merupakan jenis pakan yang cukup
mengandung nutrisi untuk hewan dalam
tingkat fisiologisnya tertentu yang dibentuk
dan diberikan sebagai satu-satunya pakan yang
mampu memenuhi kehidupan pokok dan
produksi tanpa substansi lain, kecuali air.
Semua bahan pakan tersebut, baik hijauan
(pakan kasar) maupun konsentrat dicampur
menjadi satu. Pakan komplit biasanya berasal
dari bahan limbah pertanian yang nilai
kualitasnya rendah kemudian dilakukan

1. PENDAHULUAN
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia
merupakan salah satu komoditas unggulan
yang
mendapat
prioritas
dalam
pengembangannya selain karet, kelapa dan
kopi. Prospek perkembangan industri kelapa
sawit saat ini sangat pesat, dimana terjadi
peningkatan jumlah produksi kelapa sawit
seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat.
Luas lahan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia pada tahun 2012 mencapai
9.074.621 Ha dan khusus untuk Sumatera
Selatan memiliki luas lahan perkebunan seluas
828.114 Ha (Direktorat Jenderal Perkebunan,
2012). Limbah hasil pertanian dan perkebunan
diartikan sebagai bahan yang dibuang dari
sektor pertanian dan perkebunan. Limbah
kelapa sawit merupakan salah satu bahan yang
memiliki potensi sangat tinggi dibandingkan
dengan limbah hasil pertanian dan perkebunan
lainnya.
Produksi limbah dari kelapa sawit di
Sumatera Selatan tahun 2010 diantaranya (1).
Pelepah menghasilkan 1 juta ton/tahun
(2).Daun menghasilkan 83.284,84 ton/tahun
(3). Solid menghasilkan 83.287,84 ton/tahun
(4). Bungkil inti sawit menghasilkan 30.400,06
ton/tahun
(5).Tandan kosong menghasilkan
478.905,08 ton/tahun (6).Serat perasan sawit
menghasilkan
270.685,48
ton/tahun.(7).
Cangkang menghasilkan 135.342,74 ton/tahun
(Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Selatan,
2010).

1845

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

pengolahan bahan pakan sehingga meningkat


nilai kualitasnya (Hartadi et al., 2005).
Keuntungan
pakan
komplit
adalah
meningkatkan efisiensi dalam pemberian
bahan pakan, menurunkan sisa pakan dalam
palungan, hijauan yang palatabilitasnya rendah
bila dicampur dengan konsetrat dapat
meningkatkan
konsumsi,
menghemat
penggunaan konsentrat karna mahal, mudah
dalam pencampuran konsentrat dengan
hijauan, dan ternak mudah kenyang.
Senyawa SCFA merupakan sumber
utama sebagai penyedia energi dan karbon
untuk pembentukan protein mikroba dan
mempertahankan kehidupan mikroorganisme
di dalam rumen karena SCFA mampu
memasok 55- 60% dari energi yang
dibutuhkan oleh ternak. SCFA merupakan
hasil proses degradasi pencernaan karbohidrat
didalam rumen ternak ruminansia yang
tersusun atas asetat, propionat, butirat, valerat
dan formiat. Produksi SCFA yang tinggi
merupakan indicator kecukupan energi bagi
ternak (Sakinah, 2005). Penelitian mengenai
profil SCFA cairan rumen yang dilakukan
secara in sacco belum banyak dilakukan, untuk
itu pada penelitian ini dilakukan pengujian
status profil SCFA cairan rumen dengan
ransum TMR sawit pada waktu inkubasi yang
berbeda secara in sacco.

rumen pada sapi fistula yang telah diadaptasi


dengan ransum TMR
( Lumpur
sawit 52,5 % + Daun pelepah sawit 37,5 % +
Serat perasan sawit 10 % ) dengan kandungan
nutrisi sebagai berikut; bahan kering 92,10%,
protein kasar 12,61%, lemak kasar 9,74%,
serat kasar 18,22% dan abu 6,13%. Sampel
tersebut disimpan dalam freezer untuk
dianalisa profil SCFA
( Short Chain
Fatty Acid) dengan waktu inkubasi yang
berbeda (0, 6 dan 12 jam).
Pengambilan sampel cairan rumen diawali
dengan cara disiapkan terlebih dahulu batu es
yang sudah diserut dan dimasukkan kedalam
wadah ice box. Setelah itu siapkanmicrotube
yang sudah ditandai dengan label. Kemudian
ambil
rumen 1 ml dari sapi fistula
menggunakan glove. Dan masukkan ke dalam
microtube kemudian tutup dengan rapat.
Setelah itu masukkan kedalam ice box, dan
segera
dibawa ke
labolatorium dan
dimasukkan kedalam freezer.
Menjelang
analisa sampel cairan rumen dilayukan pada
suhu ruang 27oC. Kemudian cairan rumen
tersebut divortex hingga homogen. Kemudian
Pipet 200 ml sampel dan dimasukkan kedalam
tabung microtube. Tambahkan HClO4 6%
sebanyak 600 ml kedalam tabung microtube.
Setelah itu divortex selama 30 detik. Tabung
microtube tadi disimpan pada temperatur 4oC
selama 3 jam. Setelah 3 jam, Sampel
disentrifius dan diambil supernatannya
kemudian
difilter
kedalam
tabung
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
Tabung KCKT kemudian dimasukkan dalam
rak untuk diproses dalam mesin HPLC.
Adapun peubah yang akan diamati yaitu :
Profil SCFA parsial, asetat, propionat, butirat,
dan A : P (asetat : propionat).

2. METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan metode eksperimental dengan
teknik in sacco. Rancangan yang digunakan
adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan
3 perlakuan waktu inkubasi 0, 6, dan 12 jam
dan
masing masing perlakuan diulang 9
kali dengan cara mengambil sampel cairan

Tabel 1. hasil analisa KCKT untuk profil SCFA cairan rumen yang diinkubasi dengan TMR sawit secara in
sacco
Waktu inkubasi (jam)
Peubah yang diamati
0
6
12
Asetat (mM)
36,52 2,60a
56,23 3,40b
39,04 2,27a
Propionate (mM)
13,13 0,22a
25,67 1,55b
11,44 0,45a
a
b
Butirat (mM)
7,49 0,60
12,88 1,25
7,95 0,60a
Rasio asetat : propionat
2,7
2,2
3,5
a-b
Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%(P < 0,05).

pada masa inkubasi 6 jam dan menurun


kembali pada masa inkubasi 12 jam sedangkan
rasio asetat dan propionat tidak mengalami
perbedaan yang nyata pada masa inkubasi
yang berbeda.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisa data (table 1) pada profil
SCFA cairan rumen yang diinkubasi dengan
TMR sawit secara in sacco menunjukkan
bahwa produksi SCFA meningkat secara nyata
1846

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Faktor faktor yang mempengaruhi tinggi


dan rendahnya produksi SCFA menurut Arora
(1995) adalah tingkat fermentabilitas bahan
pakan khususnya kandungan serat kasar
pakan, jumlah karbohidrat yang mudah larut,
pH rumen, kecernaan bahan pakan, dan jumlah
serta macam bakteri yang ada di dalam rumen.
Peningkatan jumlah SCFA menunjukkan
mudah atau tidaknya pakan tersebut
difermentasi oleh mikroba rumen (karbohidrat
dan protein terlarut). Jika protein dalam pakan
memiliki kelarutan yang tinggi, maka protein
tersebut akan mengalami fermentasi dalam
rumen dan menghasilkan SCFA dan amonia.
Sementara, jika protein dalam pakan memiliki
tingkat kelarutan rendah, maka protein
tersebut relatif tidak mengalami perubahan
ketika melalui rumen (by pass), (Widiawati
dan Thalib,2008).
Produksi
SCFA
yang
tinggi
merupakan indikator kecukupan energi bagi
ternak (Sakinah, 2005). SCFA diserap melalui
dinding rumen dan dimanfaatkan sebagai
sumber energi oleh ternak . Produksi SCFA
ini merupakan kondisi yang mencukupi untuk
sintesis protein mikroba rumen optimal, sesuai
dengan pendapat
Van Soest (1994) yang
menyatakan bahwa kisaran SCFA yang
dibutuhkan untuk ternak untuk pertumbuhan
mikroba rumen adalah 80-160 mM.
Pada penelitian ini nilai asam asetat yang
lebih tinggi pada waktu inkubasi 6 jam
dibandingkan 12 jam. Disebabkan oleh lumpur
sawit mengandung protein kasar yang lebih
tinggi yaitu 14,58% dan serat kasar sebesar
35,88%
(Manurung dan Zulbardi, 2006).
Tingginya kandungan protein kasar dalam
pakan dapat mempengaruhi konsentrasi SCFA
total. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Winugroho (2001) yang menyatakan bahwa
nilai konsentrasi SCFA dipengaruhi oleh
adanya perbedaan kandungan karbohidrat dan
protein dari hijauan pakan.
Pada penelitian ini konsentrasi asam
propionat berbeda nyata pada waktu inkubasi
6 jam. Hal ini diduga karena puncak produksi
asam propionat mengalami peningkatan. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Shirley (1986)
yang menyatakan bahwa produksi SCFA akan
meningkat secara nyata pada level protein
pakan 12 13% karena pada level protein
tersebut sintesa protein mikroba mencapai
puncaknya sehingga kemampuan mikroba
untuk memfermentasi pakan juga meningkat.
Jika level protein ditingkatkan lebih dari 13%,

konsentrasi NH3 dalam rumen akan meningkat


tetapi tidak diiringi dengan peningkatan
produksi protein mikroba. Konsentrasi SCFA
dalam cairan rumen dipengaruhi oleh
kecernaan pakan. Semakin tinggi nilai
kecernaan maka SCFA yang dihasilkan
semakin tinggi. Konsentrasi SCFA dalam
rumen juga dipengaruhi oleh laju pemanfaatan
SCFA oleh mikroba rumen.
Hasil penelitian ini menunjukkan pada
perlakuan waktu inkubasi 0 jam memiliki nilai
rasio (A:P) 2,7 yang merupakan sisa pakan
konsentrasi SCFA hari sebelumnya. Kemudian
pada perlakuan waktu inkubasi 6 jam memiliki
rasio (A:P) yang terendah 2,2 karena SCFA
yang diproduksi di absorsi oleh dinding
rumen. Rasio (A:P) merupakan indikator
terjadinya asidosis atau tidak dalam proses
fermentasi rumen. Asidosis terjadi bila sapi
mengkonsumsi
karbohidrat
yang
bisa
difermentasi dalam jumlah yang cukup banyak
sehingga menyebabkan akumulasi asam
nonfisiologis dan berbarengan dengan
penurunan pH. Hal ini dapat terjadi karena
adanya pengaruh manajemen dan fisiologis.
Tanda-tanda
terjadinya
adalah
terjadi
peningkatan level asam laktat pada rumen, pH
rumen dan pH darah menurun, hemo
konsentrasi, peningkatan tekanan osmotik
dalam rumen, rumen statis, penurunan jumlah
protozoa rumen (Greenwood dan McBride,
2010).
Rasio (A:P) yang tinggi menunjukkan
komposisi ransum yang memiliki kandungan
serat kasar tinggi, sedangkan propionat berasal
dari ransum yang kandungan energinya tinggi.
Pada penelitian ini rasio (A:P) yang tinggi
pada 12 jam menunjukkan proses fermentasi
optimal ada pada waktu inkubasi 12 jam.
4. KESIMPULAN
Komposisi kimia ransum TMR memiliki
profil SCFA yang berbeda pada masa inkubasi
yang berbeda secara in sacco. Peningkatan
produksi SCFA yang terjadi pada masa
inkubasi 6 jam menunjukkan bahwa setelah 6
jam maka input ransum perlu ditambah.
5. REFERENSI
Arora SP.1995. Pencernaan Mikrobia Pada
Ruminansia. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Dinas Pertanian Provinsi Sumsel. 2010. Buku Saku
Data Perkebunan Sumatera Selatan Tahun
2010. Palembang.

1847

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Luas Areal
Kelapa Sawit Menurut Provinsi di Indonesia,
2008-2012. Direktorat Jendral Perkebunan,
Jakarta.
Diwyanto KD., Sitompul I., Manti, IW. Mathius.
dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan
Usaha Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi.Puslitbang Peternakan, Bogor.
Greenwood SL., McBride BW. 2010. Development
and characterization of the ruminant model of
metabolic acidosis and its effects on protein
turnover and amino acid status. Dalam
Australasian Dairy Science Symposium.
Proceedings of the 4th Australasian Dairy
Science Symposium, Melbourne. Augustus
2010. Hal 400-404.
Hartadi HS. Reksohadiprodjo. dan Tilman AD.
2005.
Komposisi Pakan untuk Indonesia.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Manurung T. Dan Zurbardi, M. 2006. Peningkatan
mutu serat sawit dengan perlakuan urea dan
tetes pada teknis amoniasi. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner.hlm.33-37
Mathius IWD., Sitompul BP., Manurung. dan
Azmi. 2004. Produk samping tanaman dan
pengolahan kelapa sawit sebagai bahan pakan
ternak sapi potong: Suatu tinjauan. Pros.
Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa

SawitSapi. Badan Litbang Pertanian, Pemprov


Bengkulu dan PT. Agricinal. Pp: 120128.
Sakinah D. 2005. Kajian suplementasi probiotik
bermineral terhadap produksi VFA, NH3, dan
kecernaan zat makanan pada domba. . Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Shirley RL. 1986. Nitrogen and Energy Nutrition
of Ruminants. Departemen of Animal Science
University of Florida. Academic Press Inc.
Florida.
Sutardi T. 1979. Ketahanan Protein Bahan
Makanan terhadap Degradasi oleh Mikroba
dan
Populasi
Protozoa
Rumen
dan
Pemanfaatannya
bagi
Produktivitas
Ternak.Prosiding Seminar Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.Lembaga Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Van Soest JP. 1994. Nutrition ecology of ruminant.
2nd Edition. Cornell University Press. London
Widiawati Y., Winugroho, M., Teleni, E. and
Thalib, A.2007. Fermentation kinetics (in vitro)
of leucaena leucocephala, gliricidia sepium and
calliandra callothyrsus leaves (3) the pattern of
gas production, organic matter degradation, pH,
NH3 and VFA concentration; estimated CH4
and microbial biomass production. JITV vol.
12(3).

1848

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

ANALISIS PEWARNA RHODAMIN B PADA LIPSTIK YANG BEREDAR


DI PASAR TRADISIONAL KOTA JAMBI
Armini Hadriyati1, Lia Anggresani1, Lili Kurniati1
1
Program Studi Farmasi STIKES Harapan Ibu Jambi
email: armini_muas@yahoo.com

Abstract
Rhodamine B is the colour synthetic essence that banned its use in cosmetic. Rhodamine B caused
irritation of respiratory tract that has carcinogenic characteristic in high concentration that coused
liver damage. The purpose of this research proved is there any Rhodamin B as cosmetic dye in Lipstic
that circulate in Tradisional market in Jambi city or not by using using the thin layer chromatography
with eluent (n-Butanol Acetat glacial acid and ammonia = 5:3:3) and to know its sample, by doing
the spectrophotometry UV-Vis tested. This research is done on February -March 2016. Four samples
are positive containing Rhodamine B and eight samples negative containing Rhodamin B from twelve
samples has been research. The conclusions of this research is the discovery of four sample are
positive containing Rhodamine B dye, with the highest levels sample F 0.115726 mg/ml and the lowest
sample B of 0.028476 mg/ ml.
Keywoard: Rhodamine B, Lipstic, Thin Layer Chromatography, Spectrofotometry UV-vis.
Abstrak
Rhodamin B merupakan zat warna sintetis yang dilarang penggunaanya dalam kosmetik. Rhodamin B
dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan dan bersifat karsinogenik, dalam konsentrasi
tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Tujuan Penelitian ini adalah untuk membuktikan ada
tidaknya Rhodamin B sebagai pewarna sintetis pada Lipstik yang beredar di Pasar Tradisional Kota
Jambi, menggunakan Metode Kromatografi Lapis Tipisdengan eluen (n-Butanol Asam asetat glasial
dan amonia = 5:3:2) dan untuk mengetahui kadarnya dalam sampel dilakukan uji spektrofotometri
UV-Vis. Penelitian dilakukan pada bulan Februari Maret 2016. Hasil penelitian terdapat 4 sampel
yang positif mengandung Rhodamin B, dan 8 sampel negatif megandung Rhodamin B dari 12 sampel
yang diteliti. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ditemukannya 4 sampel positif mengandung zat
pewarna Rhodamin B, dengan kadar tertinggi pada sampel F 0.115726 mg/ml dan kadar terendah
pada sampel B 0.028476 mg/ ml.
Kata Kunci : Rhodamin B, Lipstik, Kromatografi Lapis tipis, Spektrofotometri UV-Vis.
kecantikan yang dijanjikan oleh berbagai
produk kosmetik tidak mengindahkan efek
samping bahan-bahan terhadap kulit.Kesehatan
kulit tidak lagi dipertimbangkan demi
penampilan yang bersifat sementara, namun
berujung pada kerusakan dikemudian hari
(Tranggono dan Latifah, 2007).
Dinyatakan dalam peringatan (Public
Warning) No. KH.00.01432.6081 tahun 2007
bahwa dilarang kosmetik yang mengandung
bahan perwarna Bahan pewarna merah K.10
(Rodamin B) merupankan zat warna sintetis
yang umumnya digunakan sebagai zat warna
kertas, tekstil atau tinta. Zat warna ini dapat

PENDAHULUAN
Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang
dimaksudkan untuk digunakan pada bagian
luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku,
bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi
dan membran mukosa mulut terutama untuk
membersihkan,
mewangikan,
mengubah
penampilan atau memperbaiki bau badan dan
melindungi atau memelihara tubuh pada
kondisi baik (BPOM RI, 2011).
Kosmetik telah menjadi kebutuhan pokok
dalam kehidupan manusia, terutama kaum
wanita.Sayangnya
banyak
sekali
isu
1849

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

menyebabkan
iritasi
pada
saluran
pernafasandan merupakan zat karsinogenik
(dapat menyebabkan kanker), Rhodamin B
dalam konsentrasi tinggi dapat meyebabkan
kerusakan pada hati (BPOM RI, 2007). Di
Indonesia, peraturan mengenai pelarangan dan
pembatasan zat warna yang di gunakan dalam
kosmetik diatur berdasarkan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. 2 tahun
2014 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Kepala Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
No.
HK.03.1.23.08.11.07517 tentang Persyaratan
Teknis Bahan Kosmetika, Rhodamin B
termasuk dalam daftar bahan berbahaya yang
dilarang untuk digunakan dalam pembuatan
kosmetika.
Dari hasil survei yang dilakukan di Pasar
Tradisional Kota Jambi, ditemukan masih
terdapat Lipstik yang dijual dengan harga yang
sangat murah dan tidak memiliki nomor
regitrasi atau tidak terdaftar di BPOM,
berdasarkan hal tersebut, dimungkinkan
adanya pewarna yang dilarang termasuk
Rhodamin B. Tujuan penelitinian ini adalah
untuk membuktikan ada tidaknya penggunaan
Rhodamin B sebagai pewarna sintetis pada
Lipstik yang dijual di Pasar Tradisional Kota
jambi

amonia 10%, dipanaskan di atas penangas air


hingga warna pada bulu domba luntur. Larutan
berwarna yang diperoleh dikumpulkan dalam
cawan penguap dan diuapkan di atas penangas
air hingga diperoleh ekstrak kering kemudian
ekstrak kering di cukupkan kan dalam 10 ml
metanol p.a dan disaring pakai kertas saring
dan ditotolkan pada plat KLT yang siap pakai
(Hendayana, 2006).
Analisis Kualitatif
Uji dengan Kromatografi Lapis Tipis
Potong pelat KLT 7,5 x 4 cm, buat
garis tipis dengan pensil tanpa merusak
lapisan, 1 cm dari tepi atas dan 1 cm dari tepi
bawah (garis penotolan). Pada garis penotolan
tandai dengan pensil, titik-titik dengan jarak
sekitar 1 cm (titik penotolan).Larutan senyawa
uji dan standar ditotolkan dengan pipa kapiler
pada titik penotolan beberapa kali, setiap
kalinya
harus
dikeringkan.
Bejana
kromatografi bagian dalamnya dilapisi dengan
kertas saring, kemudian di isi dengan fasa
gerak (n-Butanol asam asetat glasial dan
amonia dengan perbandingan 5:3:2 ), camber
ditutup, dibiarkan fasa gerak merambat naik
sampai membasahi kertas saring (penjenuhan
bejana). Dilihat tinggi fasa gerak dalam
chamber. Plat KLT dimasukkan kedalam
chamber dengan posisi sedikit miring, harus
dijaga supaya titik penotolan tidak tenggelam,
kemudian chamber ditutup, dibiarkan fasa
gerak merambat naik sampai garis front,
kemudian dikeluarkan, dikeringkan dan
kromatogram diamati dengan mata telanjang
(untuk yang berwarna) dan dengan lampu UV
254 dan 366 nm untuk senyawa yang tidak
berwarna. Di hitung RF masing-masing
bercak.
Sampel
yang
secara
KLT
menunjukkan adanya Rhodamin B dicatat dan
selanjutnya Rhodamin B ini diidentifikasi lebih
lanjut dengan cara Spektrofotometri UV-Vis.

1. KAJIAN LITERATUR DAN


PEGEMBANGAN HIPOTESIS
Dari hasil survei yang dilakukan di Pasar
Tradisional Kota Jambi, ditemukan masih
terdapat Lipstik yang dijual dengan harga yang
sangat murah dan tidak memiliki nomor
regitrasi atau tidak terdaftar di BPOM,
berdasarkan hal tersebut, dimungkinkan
adanya pewarna yang dilarang termasuk
Rhodamin B.
2. METODE PENELITIAN
Pembuatan Larutan Sampel
Sampel diambil dari pasar Tradisioal
Kota Jambi masing-masing ditimbang 1 gram,
dilarutkan masing-masing sampel dalam 50 ml
aquabides dan tambahkan 30 ml asam asetat
6%, kemudian masukkan bulu domba kedalam
sampel dan panaskan diatas penangas air
selama 30 menit, sambil diaduk-aduk sampai
warna terserap. Bulu domba yang berwarna
dibilas dengan aquades hingga bersih.Bulu
domba yang telah bersih dimasukkan ke dalam
cawan penguap, ditambahkan 30 ml larutan

Analisis Kualitatif dengan Spektrofotometri


UV-Vis
Untuk sampel yang secara KLT
terbukti mengandung Rhodamin B dilakukan
identifikasi secara Spektrofotometri sebagai
berikut, larutan induk ekstrak sampel di ambil
3 ml dan dilakukan pengenceran
dalam
metanol p.a cukupkan 10 ml diukur serapannya
dengan Spektrofotometri pada panjang
gelombang 400-800 nm, di tentukan panjang
gelombang serapan gelombang maksimumnya,
1850

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

kemudian bandingkan hasilnya dengan


spektrum serapan maksimum Rhodamin B.

UV Vis pada panjang gelombang serapan


maksimum

Analisis Kuantitatif
Penentuan panjang gelombang serapan
maksimum Rhodamin B
Larutan standar dibuat dengan cara 10
mg Rhodamin B dilarutkan dengan 100 ml
metanol p.a (Hendayana, 2006)
Pipet larutan standar Rhodamin
sebanyak 10 ml kemudian di Encerkan dengan
metanol p.a 50 ml, sehingga didapat
konsentrasi larutan 20 g/ml. Kemuadian
dibuat larutan Rhodamin B dengan konsentrasi
4 g/ml, di pipet sebanyak 10 ml di Encerkan
dengan methanol p.a 50 ml dari konsentrasi
larutan 20 g/ml. Kemudian pipet larutan
Rhodamin B 4 g/ml sebanyak 7mL,
kemudian encerkan dengan metanol p.a hingga
10 mL kedalam labu ukur, ukur serapan
larutan dengan spektrofotometri UV-Vis pada
panjang gelombang 400 800 nm.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada penelitian ini dilakukan analisis
zat pewarna Rhodamin B pada berbagai
macam merek Lipstik yang di ambildari Pasar
Tradisional KotaJambi yang tidak memiliki
nomor regitrasi, yaitu merek A, B, C, D, E, F,
G, H, I dan dilakukan perbandingan dengan
Lipstik yang memiliki nomor Regitrasi. Lipstik
yang diambil berupa Lipstik berwarna merah
yang di curigai mengandung pewarna
Rhodamin B. Setelah dilakukan uji kualitatif
dengan metode KLT dan spektrofotometri UVVis didapatkan hasil yaitu 4 sampel
mengandung Rhodamin B yaitu sampel yang
tidak memiliki nomor regitrasi.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. 2 tahun
2014 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Kepala Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
No.
HK.03.1.23.08.11.07517 tentang Persyaratan
Teknis Bahan Kosmetika, Rhodamin B
termasuk dalam daftar bahan berbahaya yang
dilarang untuk digunakan dalam pembuatan
kosmetika.Rhodamin B dilarang digunakan
untuk produk kosmetik khususnya Lipstik.Hal
ini disebabkan pada lokasi pemakaian jenis
kosmetik tersebut yaitu mulut merupakan
daerah yang sensitif terhadap pemaikaian
pewarna tekstil karena efek Rhodamin B pada
mulut dapat menimbulkan iritasi sampai
dengan terjadi peradangan. Jika mulut
mengalami peradangan, akan berpengaruh
pada pengasupan makanan dan akhirnya akan
memperburuk kesehatan, antara lain dapat
menimbulkan
gangguan
pada
saluran
pencernaan. Rhodamin B merupakan zat warna
sintetis yang umumnya digunakan sebagai zat
warna kertas, tekstil dan tinta. Pewarna sintetis
ini mempunyai keuntungan yang nyata
dibandingkan dengan pewarna alami, yaitu
mempunyai kekuatan mewarnai yang lebih
kuat,
lebih
seragam,
lebih
stabil,
penggunaannya lebih praktis dan biasanya
lebih murah, namun disamping keuntungan itu
semua, pewarna sintetis ini dapat memberikan
efek yang kurang baik bagi kesehatan.
Meskipun telah dilarang pengunaan bahan
kimia berbahaya ini namun tetap ada produsen
yang memproduksi Lipstik yang mengandung
Rhodamin B dan tidak memiliki izin edar, juga

Pembuatan kurva kalibrasi Rhodamin B.


Dari
larutan
standart
dengan
konsentrasi 4 g/ml, dibuat sederetan larutan
dengan konsentrasi :
1. 1 g/mL : pipet 2,5 mL, encerkan dengan
metanol p.a hingga 10 mL dalam labu
ukur.
2. 1,2 g/mL : pipet 3 mL, encerkan dengan
metanol p.a hingga 10 mL dalam labu
ukur.
3. 1,4 g/mL : pipet 3,5 mL, encerkan
dengan metanol p.a hingga 10 mL dalam
labu ukur.
4. 1,6 g/mL : pipet 4 mL, encerkan dengan
metanol p.a hingga 10 mL dalam labu
ukur.
5. 1,8 g/mL : pipet 4,5 mL, encerkan
dengan metanol p.a hingga 10 mL dalam
labu ukur.
Kemudian masing-masing larutan ini
diukur serapannya dengan spektrofotometri
UV-Vis pada panjang gelombang maksimum
Rhodamin B. Buat kurva kalibrasi antara
serapan dan konsentrasi larutan standar.
Penetapan kadar Rhodamin B dalam
sampel dengan spektrofotometri UV-Vis.
Larutan induk ekstrak sampel diambil 3 mL
masukkan ke dalam labu ukur dan dilakukan
pengenceran sampai 10 ml dalam metanol p.a
sampai tanda batas, kemudian larutan sampel
di ukur absorbannya dengan spektrofotometri
1851

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
13

tidak memenuhi persyarata mutu CPKP yaitu


Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik.
Hasil KLT memperlibatkan 4 sampel
memiliki nilai Rf yang sama dengan Rf
pembanding dan 8 sampel nilai Rf nya tidak
sama dengan pembanding. Dilihat dibawah
lampu UV 366 nm, terdapat 4 sampel yang
berfluoresensi yang nilai Rf nya sama dengan
pembanding, 5 sampel berfluoresensi tetapi
tidak sama nilai Rf nya dengan pembanding
dan 3 sampel yang tidak berfluoresensi.

Warna
visual

Warna
dibawah
UV 366 nm

Rf
Sampel

Merah jambu

Orange

Rf
Rodamin
B
0,85

Merah jambu

Kuning

0,87

0,85

Merah jambu

Orange

0,85

0,85

Merah jambu

Orange

0.85

0,85

Merah jambu

Orange

0,85

0,85

Merah jambu

0,83

0,85

Merah jambu

Orange

0,85

0,85

Merah jambu

Kuning

0,90

0,85

Merah jambu

Kuning

0,94

0,85

Merah jambu

Kuning

0,94

0,85

J
K
L

Merah jambu
Merah jambu
Merah jambu

Kuning
-

0,90
0,8
0,8

0,85
0,85
0,85

Hasil

Nama Sampel
P
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K

No

Sampel

Absorban

1
2
3
4

B
C
D
F

0.393
0.996
0.435
1.443

Kadar
Rhodamin B
dalam Larutan
(g/ml)
0.8543
2.19029
0.9473
3.4718

Kadar
Rhodamin B
dalam Sampel
(% b/b)
0,00284766
0.00000315
0.00730096
0.01157266

Hasil analisis berupa penelitian menyatakan


bahwa Rhodamin B dapat membahayakan
kesehatan manusia yaitu tidak dapat dicerna
oleh tubuh dan akan mengendap secara utuh
dalam hati sehingga dapat menyebabkan
keracunan hati. Pengaruh toksisitas yang
teramat biasanya bersifat akut saja yaitu yang
pengaruhnya
cepat
terjadi,
sedangkan
pengaruh yang bersifat kronis tidak dapat
diketahui secara cepat karena manusia yang
normal memiliki toleransi yang tinggi terhadap
racun dalam tubuh dengan adanya mekanisme
detoksifikasi. Efek toksik yang disebabkan
oleh penggunaan Lipstik yang mengandung
pewarna sintetis yang tidak diizinkan dapat
timbul pada manusia karena golongan pewarna
sintetik
tersebut
memang
dilarang
pengunaannya pada kosmetik khususnya
Lipstik. Efek ini tergantung pada banyaknya
intake pewarna sintesik yang tidak diizinkan
dan daya tahan seseorang karena dalam tubuh
manusia terdapat proses detoksifikasi.

Sampel dilakukan uji kualitatif dengan


spektrofotometri
UV-Vis
dengan
membandingkan panjang gelombang sampel
dengan pembanding. Dari hasil uji didapatkan
4 sampel panjang gelombangnya hampir
mendekati pembanding yaitu 3 nm dari
panjang gelombang pembanding, dan 8 sampel
panjang gelombang nya tidak sama dengan
pembanding (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Uji Penentuan Panjang
Gelombang maksimal sampel
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

498.50 m

Penetapan kadar dilakukan dengan metoda


spektrofotometer UV-Vis. Terlebih dahulu
ditentukan panjang gelombang maksimum dari
baku pembanding yaitu 544.50 nm. Panjang
gelombang maksimum digunakan karena
kepekaannya juga maksimum serta perubahan
absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi
adalah paling besar. Absorban yang terbaca
pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2 0,8 nm (Rohman, 2007). Didapatkan
persamaan regresi Y = 0,45135 X 0,00741
dengan harga koofisien korelasinya (r) =
0,999, jadi linearitasnya mendekati satu.
Hasil uji kuantitatif pada sampel dari Pasar
Tradisional Kota Jambi ternyata mengandung
Rhodamin B, dengan kadar terlihat dalam tabel
3.
Tabel 3. Hasil uji kadar Rhodamin B.
dalam sampel

Tabel 1. Hasil Analisis kualitatif menggunakan


KLT dengan Eluen n.Butanol Asam Asetat
Glasial dan Amonia (5:3:2).
Sampel
Lipstik

Panjang Gelombang Max ()


544.50 nm
490.00 nm
542.00 nm
542.50 nm
545.00 nm
539.50 nm
547.00 nm
522.50 nm
505.00 nm
515.50 nm
503.50 nm
494.00 nm

4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian pada sampel
yang diambil dari Pasar Tradisional Kota
Jambi yaitu 4 sampel yang mengandung
1852

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Hendayana, S (2006). Kimia Pemisahan: Metoda
Kromatografi dan Elektroforesis Modern,
Cetakan I, Bandung : PT Remaja Kosdakarya.
Mamoto, L.V, & Citraningtyas, F.G, (2013).
Analisis Rhodamin B pada Lipstik yang Beredar
di Paar Kota Manado.Pharmacon Jurnal Ilmiah
Farmasi-Unstrat, Vol. 2 No. 2, 61-66.
Rohman, Abdul. (2007). Kimia Farmasi
Analisis.Jakarta : Pustaka Pelajar.
Sinurat, M. (2011).Analisis Kandungan Rhodamin
B Sebagai pewarna pada Sediaan Lipstik yang
Beredar di Masyarakat.1-6
Tranggono, Retno Iswari. (2007). Buku Pegangan
Pengetahuan Kosmetik.Jakarta : PT Gramedia
Pustaka utama.
Vogel, 2013.Buku Ajar Kimia Analisis Kuantitatif
Anorganik. Penerbit Buku Kedokteran EGC.,
Terjemahan Dr. A.Hadyana Pudjaatmaka.
Jakarta. Hal : 226.
Widana, Gede Agus Beni. (2014). Analisis Obat,
Kosmetik, dan Makanan. Yogyakarta :

Rhodamin B dan 8 sampel yang tidak


mengandung Rhodamin B.
5. REFERENSI
BPOM RI. (2014). Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.03.1.23.08.11.07517
tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetik.
Jakarta: BPOM RI.
Cahyadi, W (2008). Analisis dan Aspek Kesehatan
Bahan Tambahan Pangan.Edisi kedua. Penerbit
Bumi Aksara. Jakarta.
Day R (2002). Analisis Kimia Kuantitatif Edisi
Keenam. Penerjemah : Sopyan Iis. Jakarta :
Erlangga. Terjemahan dari : Quantitative
Analysis Sixth Edition.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(1995).Farmakope Indonesia Edisi IV.Jakarta.
Gandjar, I.G dan Rohman, A (2007).Kimia Farmasi
Analisis. Cetakan Kedua, Penerbit Pustaka
Pelajar. Jakarta.

1853

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

BIOSURFAKTANDARIPSEUDOMONAS PELI PADA BERBAGAI SUMBER


KARBON SEBAGAI AGENANTI KERAKUNTUK PIPA MINYAK BUMI
Bambang Yudono1, Widia Purwaningrum2, Cinthia Fajri3
1,2,3

Jurusan Kimia FMIPA UniversitasSriwijaya, 1E-mail: yudonob@hotmail.com


2
E-mail: purwaningrum.widia@yahoo.com, 3E-mail: fajriyak@gmail.com

Biosurfactant production by Pseudomonas peli with molase, crude oil, and coconut oils waste as carbon source
were tested as scale inhibitor in crude oil distribution pipe. The study aims to determine the best carbon source
for biosurfactant produced by Pseudomonas peli. Biosurfactant production as scale inhbitorwas tested by using
gravimetric analysis methode. The result of research showed that Pseudomonas peli growth which was the best
in molase as carbon source with the total number of living cells as much 1.8 x 109 CFU/mL and it could dissolve
scale with the percentage of soluble scale in biosurfactant solution 20% as much 16.01%. The extract
components qualitatively were identified by using GC, it showed that the hydrocarbon composition of soluble
scale in each biosurfactant were different.
Keywords:Biosurfactant, Pseudomonas peli, carbon source, molase, scale

I.

tanaman, campuran bahan kosmetika, agen


pada proses bioremediasi, dan digunakan luas
pada proses MEOR (Microbial Enhanced Oil
Recovery). Ramnolipid merupakan salah satu
jenis biosurfaktan yang dihasilkan oleh
mikroba
Pseudomonaspeli.Biosurfaktan
ramnolipid mempunyai gugus hidrofobik yang
berupa rantai karbon dan gugus hidrofilik yang
berupa ramnosa (Lang and Wullbrandt, 1999).
Adanya gugus hidrofobik dan gugus hidrofilik
pada biosurfaktan inilah yang memberikan
hipotesa bahwa biosurfaktan dapat menjadi
scale inhibitor. Gugus hidrofobik pada
biosurfaktan
diharapkan
akan
dapat
melarutkan minyak mentah pada oil coated
scale sedangkan gugus hidrofilik pada
biosurfaktan diharapkan mampu melarutkan
ion-ion penyebab scale.
Biosurfaktan yang dihasilkan oleh
mikroba akan berbeda tergantung pada jenis
mikroba dan nutrien yang dikonsumsinya.
Demikian pula untuk jenis mikroba yang sama,
jumlah surfaktan yang dihasilkan berbeda
berdasarkan nutrien yang dikonsumsinya
(Duvnjak et al. 1983 dalam Priyani dkk. 2011).
Nutrien merupakan hal yang sangat penting
artinya bagi pertumbuhan mikroba termasuk
mikroba penghasil biosurfaktan.Beberapa
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa elemen makro yang memegang peranan
penting dalam menunjang pertumbuhan bakteri
penghasil biosurfaktan adalah elemen karbon
dan nitrogen (Horowitz et al. 2005 dalam
Nugroho, 2006).Perbedaan sumber karbon dan
panjang rantai substrat hidrokarbon sering
berakibat signifikan terhadap konsentrasi akhir

PENDAHULUAN

Pada bagian fasilitas produksi sering


dijumpai adanya masalah-masalah yang dapat
mengganggu pendistribusian minyak mentah
(crude oil), hal ini umumnya disebabkan oleh
terbentuknya endapan (scale) di sepanjang
pipa distribusi (Syahri dan Sugiarto,
2008).Adanya scale dapat mengakibatkan pipa
pendistribusian minyak bumi rusak dan pecah.
Metode yang umum digunakan untuk
mencegah terbentuknya scale adalah dengan
menambahkan agen anti kerak (scale
inhibitor).Scale inhibitor yang digunakan
umumnya memiliki ikatan oksigen posfor yang
sangat tidak stabil dalam larutan encer dan
akan terhidrolisa dalam air, selain itu biaya
yang harus dikeluarkan untuk mencegah
terbentuknya scale juga tinggi (Asnawati,
2001). Oleh karena itu banyak peneliti yang
mencoba untuk mencari scale inhibitor
alternatif yang cenderung lebih ekonomis dan
stabil di dalam air.
Salah satu senyawa kimia yang memiliki
sifat yang diperlukan sebagai scale inhibitor
adalah biosurfaktan. Biosurfaktan juga
memiliki keuntungan lain diantaranya ramah
lingkungan, tidak toksik, dan mudah
didegradasi oleh mikroba (Al Sulaimani,
2011). Biosurfaktan yang saat ini tengah
banyak diteliti adalah biosurfaktan jenis
ramnolipid
dikarenakan
potensi
penggunaannya yang sangat luas antara lain
sebagai bahan emulsifier, pengendali hama
1854

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

fermentasi biosurfaktan (Georgiou, 1992).


Sebagai
contoh,
Arthrobacter
hanya
memproduksi 75% biosurfaktan ekstraseluler
ketika ditumbuhkan pada asetat dan etanol
namun dapat mencapai 100% biosurfaktan
ekstraseluler ketika ditambahkan pada substrat
hidrokarbon (Mulligan and Gibbs. 1993).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
sumber karbon yang berbeda dengan
konsentrasi yang berbeda akan menghasilkan
jumlah biosurfaktan yang berbeda pula.
Telah banyak dilakukan penelitian untuk
mengetahui sumber karbon terbaik dalam
proses produksi ramnolipid. Adapun sumber
karbon yang telah digunakan pada proses
produksi ramnolipid adalah glukosa (GuerraSantos et al. 1984), minyak kedelai (Andriani,
2007), gasolin, paraffin oil, dan whey (Rashedi
et al. 2006), molase (Priyani et al. 2011),
minyak sawit (Nurani dan Marsudi, 2013), dan
crude oil (Nugroho, 2006).
Sumber karbon yang akan digunakan pada
penelitian ini adalah molase, limbah minyak
kelapa sawit, dan crude oil. Molase digunakan
sebagai sumber karbon karena berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Priyani dkk
(2011) merupakan sumber karbon yang paling
baik dalam proses produksi ramnolipid.
Limbah minyak kelapa sawit digunakan
sebagai
sumber
karbon
dikarenakan
mengandung gliserol yang dapat langsung
dikonsumsi
oleh
mikroba
dalam
genusPseudomonas (Nurani dan Marsudi,
2013).Crude oil digunakan karena mikroba
Pseudomonas peli merupakan mikroba indigen
dari sumur tua minyak bumi yang
mengkonsumsi minyak bumi, selain itu
molase, limbah minyak kelapa sawit, dan
crude oil dipilih sebagai sumber karbon
dikarenakan melimpahnya keberadaan sumber
karbon tersebut di Provinsi Sumatera Selatan.
Ramnolipid yang dihasilkan selanjutnyaakan
diuji keefektivannya sebagai scale inhibitor
yang mampu melarutkan kerak (scale) pada
pipa pendistribusian crude oil.

Organik Jurusan Teknik Kimia Politeknik


Negeri Sriwijaya.
2.2 Alat dan Bahan
2.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian
ini: autoklaf, erlenmeyer 1000 mL, erlenmeyer
500 mL, erlenmeyer 250 mL, tabung reaksi,
vortex,seperangkat
alat
GC-Shimadzu,
inkubator, jarum ose, cawan petri, kertas
saring, beker gelas, pipet tetes, aerator, selang
plastik, colony counter, rotary shaker,hot
plate, danmagnetic stirrer
2.2.2 Bahan
Bahan yang telah digunakan adalah isolat
mikroba Pseudomonas peli (diisolasi dari
sumur tua minyak mentah Desa Babat Toman
Musi Banyuasin), media NB (Nutrient broth),
plate count agar,yeast extract, blood agar,
bacteriological agar, alkohol 70%, molase
(diambil dari limbah pabrik gula PT. Cinta
Manis, Palembang Sumatera Selatan) , limbah
minyak kelapa sawit (diambil dari limbah PT.
SAP, Banyuasin Sumatera Selatan),crude
oil(diambil dari sumur tua minyak mentah
Desa Babat Toman Musi Banyuasin),dan
bongkahan kerakdari pipa distribusi minyak
mentah.
2.3. Prosedur Penelitian
2.3.1 Sterilisasi Alat
Semua peralatan tahan panas disterilisasi
dengan autoklaf dengan suhu 121C,
sedangkan peralatan lainnya disterilisasi
dengan alkohol 70%.

2.3.2 Pembuatan Media


Media NB dibuat dengan melarutkan 25
g NB (Nutrient Broth) dengan 1000 mL
akuades. Media dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 1000 mL, kemudian dididihkan di
atas hot plate dan dihomogenkan dengan
magnetic stirrer. Setelah mendidih larutan
disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121C
dan tekanan 15 lbs selama 15 menit.
Media NB padat dibuat dengan
melarutkan 0,75 gbacteriological agar dan
1,25 g NB ke dalam 50 mL akuades. Media
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100
mL.Media kemudian dididihkan di atas hot
plate dan dihomogenkan dengan magnetic
stirrer.Media lalu dibagi ke dalam beberapa
tabung reaksi masing-masing sebanyak 8
mL.Mulut tabung reaksi selanjutnya disumbat

II. METODOLOGI PENELITIAN


2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada
bulan Juni - Oktober 2014di Laboratorium
Penelitian Jurusan Kimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Sriwijaya. Analisis GC di Laboratorium Kimia

1855

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dengan kapas.Media disterilisasi dengan


autoklaf pada suhu 121C dan tekanan 15 lbs
selama 15 menit.Setelah disterilisasi media
dimiringkan dan dibiarkan hingga padat.

darah (Blood Agar), lalu diinkubasi dengan


suhu 400 C selama 1x24 jam. Aktifitas
hemolisis yang ditandai dengan terbentuknya
zona bening di sekitar koloni bakteri dapat
menjadi indikator terbentuknya biosurfaktan
(Bharali et al., 2011)

2.3.3 Peremajaan Pseudomonas peli


Pseudomonas peli diinokulasikan
dengan gerakan zig-zag secara aseptis ke
dalam agar miring ZoBell. Kultur lalu siap
diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam.
Setelah inkubas,kultur siap digunakan.

2.3.6 Pembuatan Larutan Biosurfaktan


Biosurfaktan yang dipakai dalam
penelitian ini adalah biosurfaktan crude
oildengan konsentrasi 0% ; 5% ; 10% ; 15% ;
20%,, biosurfaktan molase dengan konsentrasi
0% ; 5% ; 10% ; 15% ; 20%, dan biosurfaktan
limbah minyak kelapa sawit dengan
konsentrasi 0%; 5% ; 10% ; 15% ; 20%
masing-masing dengan volume total 100 mL.

2.3.4 Pembuatan Starter Pseudomonas peli


Ke dalam erlenmeyer 500 mL
ditambahkan campuran media NB dan crude
oil dengan perbandingan 98 : 2 (v/v) sehingga
volume total 200 mL. Ke dalam campuran lalu
dimasukkan 5 ose isolat Pseudomonas peli.
Kemudian dilakukan proses aerasi (guna
mensuplay oksigen) dengan cara memasukkan
selang plastik yang telah disambungkan
dengan aerator. Proses aerasi tersebut
dilakukan selama 24 jam (Munawar, 2014).
Jumlah koloni bakteri dihitung sampai
kepadatan 107 CFU/mL (Colony Forming
Unit/mL) dengan alat colony counter sebelum
starter bakteri digunakan untuk tahap
penelitian selanjtnya. Perlakuan yang sama
juga digunakan untuk variasi sumber karbon
molase dan limbah minyak kelapa sawit
(Murdini, 2013).

2.3.7 Penentuan Potensi Biosurfaktan


Sebagai Agen Anti Kerak (Scale
Inhibitor)
Sebanyak 100 mL larutan biosurfaktan
crude oil dengan konsentrasi 5% dimasukkan
ke dalam beker gelas 250 mL, selanjutnya
bongkahan kerak sebanyak 5 g dimasukkan ke
dalam beker gelas dan kemudian dilakukan
pengadukan dengan shaker selama 24
jam.Setelah pengadukan dihentikan, campuran
disaring dengan menggunakan kertas saring
yang sudah ditimbang terlebih dahulu
sebelumnya.Kemudian endapan yang ada di
kertas saring dikeringkan dan ditimbang.Untuk
mengetahui potensi biosurfaktan sebagai agen
anti kerak pada pipa pendistribusian minyak
bumi maka dihitung jumlah kerak terlarut
dengan
menggunakan
metode
gravimetri.Pekerjaan di atas dilakukan juga
terhadap crude oil dengan konsentrasi 10% ;
15% ; dan 20% , biosurfaktan molase dengan
konsentrasi 0% ; 10% ; 15% ; dan 20% dan
juga terhadap biosurfaktan limbah minyak
kelapa sawit dan crude oil(Syahri dan
Sugiarto, 2008).

2.3.5 Produksi Biosurfaktan


Ke dalam erlenmeyer 1000 mL
ditambahkan campuran media NB, starter
isolat Pseudomonas peli, crude oil, dan yeast
extract dengan perbandingan 87,9 : 10 : 2 :
0,1(v/v) sehingga total volume 200 mL.
Campuran lain dibuat dengan memvariasikan
crude oil dengan perbandingan campuran
bahan masing-masing 86,9 : 10 : 3 : 0,1 (v/v)
dengan total volume 200 mL dan 85,9 : 10 : 4 :
0,1 (v/v) dengan total volume 200 mL. Kultur
diaerasi (guna mensuplay oksigen) dengan
aerator selama 24 jam.Biosurfaktan crude oil
siap digunakan untuk penelitian berikutnya.
Perlakuan yang sama juga digunakan untuk
variasi sumber karbon molase dan limbah
minyak kelapa sawit (Silva et al, 2010). Ada
tidaknya
biosurfaktan
diuji
dengan
menggunakan uji hemolisis. Uji hemolisis
dilakukan dengan metode Kirby-Bauer
(metode difusi) dengan cara kertas cakram
steril dicelupkan ke dalam crude biosurfaktan,
kemudian diletakkan di atas medium agar

2.3.8 Analisis GC
Biosurfaktan dengan persentase kerak
terlarut paling tinggi diekstrak dengan nheksan. Ekstrak tersebut kemudian diencerkan
dengan n-heksan dengan perbandingan 1 : 9.
Ekstrak diambil beberapa mL untuk diinjeksi
pada alat GC Shimadzu dengan suhu
terprogram (75-2800 C).Suhu injektor 3200C
dan gas pembawa adalah helium (kecepatan
alir total 40 mL/menit). Jenis kolom yang
dipakai adalah Rtx-5MS dengan panjang
kolom 30 m dan diameter 0,25 mm.
1856

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

bakteri tanpa melalui proses fermentasi


terlebih dahulu (Priyani dkk, 2009).
Tabel 1 juga menunjukkan jumlah
populasi Pseudomonas peliyang lebih rendah
ketika ditumbuhkan pada limbah minyak
kelapa sawit dan crude oil dibandingkan
dengan jumlah populasi Pseudomonas peli
ketika ditumbuhkan dengan molase sebagai
sumber karbon. Hal ini diduga karena
terbatasnya unsur-unsur makronutrien yang
lain seperti nitrogen (N) dan fosfor (P).
Murdini (2013) mengemukakan bahwa selain
unsur karbon (C), masih diperlukan
penambahan nitrogen dan fosfor untuk
mengkonversi hidrokarbon menjadi bahan sel
bagi
mikroba.Pseudomonas
peli
yang
ditumbuhkan dengan sumber karbon molase
mendapat nutrisi tambahan berupa fosfor
sebanyak 0,6-2% yang terkandung dalam
molase sehingga pertumbuhan mikroba
menjadi lebih optimal sedangkan Pseudomonas peli yang ditumbuhkan dengan limbah
minyak kelapa sawit dan crude oil tidak
mendapat nutrisi tambahan dan hanya
mengandalkan makronutrien berupa nitrogen
dan fosfor yang ada pada media. Wulan (2006)
mengungkapkan bahwa pertumbuhan bakteri
akan terhambat jika berada dalam kondisi
keterbatasan unsur nitrogen dan fosfor karena
akan menghambat pembentukan senyawasenyawa penting seperti asam nukleat dan
asam amino yang penting dalam proses
metabolisme Pseudomonas peli.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Telah dilakukan produksi biosurfaktan
oleh Pseudomonas peli dengan menggunakan
sumber karbon molase, crude oil, dan limbah
minyak kelapa sawit.Selanjutnya biosurfaktan
dimanfaatkan sebagai agen anti kerak pada
pipa pendistribusian minyak bumi.Untuk
menguji potensi produksi biosurfaktan tersebut
diukur beberapa parameter di antaranya adalah
jumlah bakteri, diameter zona bening, persen
kerak terlarut, dan analisis komposisi senyawa
dari
ekstrak
kerak
terlarut
dengan
menggunakan GC. Hasil penelitian tersebut
ialah sebagai berikut :
3.1 Jumlah Bakteri
Perhitungan jumlah bakteri dilakukan pada
starter yang sebelumnya telah dilakukan aerasi
dengan menggunakan aerator selama 24
jam.Perhitungan jumlah bakteri dilakukan
masing-masing untuk starter dari Pseudomonas peli yang ditumbuhkan pada konsentrasi
yang berbeda.Metode yang dilakukan untuk
menghitung jumlah Pseudomonas peli
dilakukan dengan metode SPC (Standard Plate
Count). Rata-rata jumlah Pseudomonas peli
yang ditumbuhkan pada sumber karbon limbah
minyak kelapa sawit, crude oil, dan molase
disajikan pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Pertumbuhan bakteri Pseudomonas peli
Sumber
P-7
P-8
P-9
SPC
Karbon
(cfu/mL)
1.
Limbah
183
55
7
1,8 x 108
minyak
kelapa
sawit
2.
Crude oil
210
127
56
1,3 x 109
3.
Molase
TBUD
184
46
1,8 x 109
Keterangan : TBUD : Tidak Bisa Untuk Dihitung
No

3.2 Uji Potensi Biosurfaktan dengan Agar


darah (Blood Agar)
Uji potensi biosurfaktan dapat dilakukan
dengan uji pembentukan zona bening.Pada
penelitian ini digunakan sumber karbon
dengan konsentrasi masing-masing 2%, 3%,
dan 4% (Bharali et al., 2011).

Berdasarkan data di atas, Pseudomonas peli mencapai jumlah yang paling tinggi
pada sumber karbon molase yang diduga
merupakan sumber karbon yang berkontribusi
lebih baik dalam pertambahan jumlah sel
bakteri dibandingkan dengan penggunaan
sumber karbon limbah minyak kelapa sawit
dan crude oil.Hal ini mengindikasikan bahwa
molase merupakan sumber karbon yang baik
untuk menumbuhkan mikroba Pseudomonas
peli. Molase dapat menjadi sumber karbon
terbaik untuk menumbuhkan mikroba Pseudomonas peli dikarenakan molase merupakan
senyawa kimia yang tersusun atas 62% gula
sehingga dapat langsung dikonsumsi oleh

Tabel 2. Diameter zona bening yang terbentuk pada


agar darah
No

Sumber
Karbon

1.

Limbah
minyak
kelapa
sawit
Crude Oil

2.

3.

1857

Molase

Konsentrasi
Sumber Karbon
(%)
2
3
4

Diameter
zona bening
(mm)
9,20
10,35
18,775

2
3
4
2
3
4

10,60
18,95
19,975
10,925
19,375
23,325

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Berdasarkan Tabel 2 diketahui


biosurfaktan
yang
diproduksi
bakteri
Pseudomonas pelidengan sumber karbon
molase dengan konsentrasi 4% membentuk
zona bening dengan diameter yang paling
besar yaitu 23,325 mm. Hal ini bersesuaian
dengan data bahwa Pseudomonas peli tumbuh
dengan jumlah yang paling banyak saat
ditumbuhkan dengan sumber karbon molase.
Hasil penelitian yang dilakukan
secara kualitatif oleh Sarafin et al. (2014)
menunjukkan bahwa Kocuria marina BS-15
dapat membentuk zona bening di atas Blood
Agar
Plate
dalam
uji
haemolisis.
Chandankere et al. (2013) melaporkan bahwa
Bacillus
methylotropicus
USTBdapat
membentuk zona bening dengan diameter 2
cm. Penelitian yang dilakukan oleh Bharali et
al. (2011) menyatakan bahwa Alcaligenes
faecalis dapat membentuk zona bening
dengan diameter 1 cm dengan metode uji
haemolisis.
Manurung (2014) mengungkapkan
bahwa pembentukan zona bening ini erat
kaitannya dengan kemampuan bakteri untuk
menghasilkan biosurfaktan ke lingkungan
sekitarnya sehingga mampu melisiskan sel-sel
darah merah medium Blood Agar. Yudono dkk
(2013) menyatakan bahwa semakin besar zona
bening yang terbentuk, maka semakin besar
pula
potensi
bakteri
tersebut
untuk
menghasilkan biosurfaktan.

12
persen kerak terlarut

10
8
6
4
2
0
0

5
10biosurfaktan
15
20
konsentrasi
(%) 25
Gambar 1. Grafik persen kerak terlarut pada
berbagai sumber karbon dengan konsentrasi sumber
karbon 2%

persen kerak
terlarut

15
10
5
0
0

10
20
30
konsentrasi biosurfaktan (%)
Gambar 2. Grafik persen kerak terlarut pada
berbagai sumber karbon dengan kosnsentrasi
sumber karbon 3%

persen kerak
terlarut

20
15
10
5
0

3.3 Uji PotensiCrude Biosurfaktan dari


Pseudomonas peli sebagai Agen Anti
Kerak pada Pipa Pendistribusian
Minyak Bumi
Uji
potensi
biosurfaktan
dari
Pseudomonas peli sebagai agen anti kerak
pada pipa pendistribusian minyak bumi
dilakukan masing-masing untuk sumber
karbon limbah minyak kelapa sawit, crude
oil,dan molase.Biosurfaktan yang digunakan
adalah biosurfaktan dari bakteri Pseudomonas
peli yang ditumbuhan dalam berbagai sumber
karbon dengan konsentrasi 2%, 3%, dan 4%.
Hasil
uji
potensi
biosurfaktan
dari
Pseudomonas peli yang ditumbuhkan dalam
sumber karbon limbah minyak kelapa sawit,
crude oil, dan molase tersaji pada grafik di
bawah ini

10
20
30
konsentrasi biosurfaktan (%)
Gambar 3. Grafik persen kerak terlarut pada
berbagai sumber karbon dengan konsentrasi sumber
karbon 4%

Pada
masing-masing
grafik
menunjukkan bahwa persen kerak terlarut yang
paling tinggi terletak pada penggunaan
biosurfaktan dengan konsentrasi 20%. Hal
yang sama juga berlaku untuk berbagai sumber
karbon. Hal ini dapat terjadi karena semakin
tinggi
konsentrasi
biosurfaktan
yang
digunakan maka kandungan biosurfaktan dan
mikroorganisme di dalam larutan tersebut juga
semakin besar. Adanya biosurfaktan dan
mikroorganisme yang lebih banyak akan
membantu proses pelarutan kerak dengan lebih
maksimal.Larutan
biosurfaktan
yang
diproduksi pada sumber karbon molase 4%
dengan konsentrasi 20% mampu melarutkan
1858

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

kerak dengan persentase kerak terlarut paling


tinggi sebesar 16,01% jika dibandingkan
dengan biosurfaktan yang diproduksi pada
sumber karbon limbah minyak kelapa sawit
dan crude oil pada konsentrasi yang sama. Hal
ini dapat terjadi karena biosurfaktan yang
diproduksi pada sumber karbon limbah minyak
kelapa sawit dan crude oil tidak terekskresikan
ke dalam media dapat menurunkan aktivitas
biosurfaktan
dalam
melarutkan
kerak
(Fatimah, 2007).Dari hal di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa jenis karbon yang
digunakan dapat mempengaruhi aktivitas
biosurfaktan.
Jain et al. (2013) melaporkan bahwa
biosurfaktan juga pernah digunakan untuk
mengekstrak minyak dari tanah yang
terkontaminasi minyak. Sebanyak 57-90%
minyak
mampu
diekstrak
dengan
menggunakan biosurfaktan yang diproduksi
oleh Pseudomonas aeruginosa SP4, Bacillus
subtilis PT2, Rhodococcus rubber, dan
Klebsiella sp. RJ-03 (Jain et al., 2012; Urum et
al., 2004; Whang et al., 2008; Lai et al., 2009
dalam Jain et al., 2013). Dari
penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa biosurfaktan
dapat mengekstrak minyak bumi dengan
mengandalkan gugus hidrofobik yang mampu
melarutkan minyak bumi.Mekanisme kerja
tersebut merupakan mekanisme kerja yang
dilakukan oleh biosurfaktan dalam melarutkan
kerak.Kerak yang tersusun dari berbagai jenis
ion dapat dilarutkan oleh biosurfaktan dengan
mengandalkan gugus hidrofilik yang berupa
ramnosa sedangkan minyak yang melapisi
kerak tersebut dapat dilarutkan oleh gugus
hidrofobik biosurfaktan.

bahwa senyawa yang mempunyai kisaran suhu


penguapan antara 50-350 bahkan 500C dapat
dianalisis dengan metode kromatografi gas.
Pengukuran GC dilakukan untuk melihat
perubahan antara puncak kromatogram yang
ada pada biosurfaktan dari sumber karbon
yang paling potensial dalam melarutkan kerak
dengan biosurfaktan dari sumber karbon yang
tidak potensial untuk melarutkan kerak yang
dalam hal ini biosurfaktan dari sumber karbon
molase dan limbah minyak kelapa sawit.
Gambar 4 merupakan kromatogram
minyak yang terekstrak dengan menggunakan
biosurfaktan yang diproduksi pada sumber
karbon molase menunjukkan terdapat 21
puncak yang muncul pada waktu retensi yang
berbeda.Pada waktu retensi tertentu, terdapat
puncak yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan puncak-puncak yang lainnya yaitu
pada waktu retensi 2,049; 2,082; 2,118; 2,225;
dan 2,362.Puncak yang muncul pada waktu
retensi yang lainnya memiliki puncak yang
jauh lebih rendah.Pada menit ketujuh hingga
tiga belas, hanya ada satu puncakyang muncul
yaitu pada waktu retensi 11,517. Pada akhir
proses GC terdapat tujuh puncak yang muncul
pada waktu retensi masing-masing 14,092;
14,708; 15,038; 15,894; 16,766; 17,234; dan
17,294.

3.4 Analisis Kromatogram Hasil GC pada


Biosurfaktan Limbah Minyak Kelapa
Sawit dan Biosurfaktan Molase Setelah
Proses Uji Potensi sebagai Senyawa
Penghilang Kerak

Gambar 4. Kromatogram Ekstrak Kerak Terlarut


dengan Biosurfaktan yang Diproduksi pada Sumber
Karbon Molase

Berdasarkan metode analisa gravimetri


yang telah dilakukan, didapatkan data yang
menyatakan bahwa biosurfaktan dapat
melarutkan kerak yang diketahui dari
beratakhir kerak yang berkurang setelah proses
shaker berlangsung. Pada proses kelarutan
kerak, penambahan biosurfaktan yang masih
mengandung bakteri Pseudomonas peli dapat
mengurangi berat kerak yang menghasilkan
fraksi hidrokarbon yang larut dalam air dan
bersifat volatil. Susanti (2009) mengemukakan

Gambar 5. Kromatogram Ekstrak Kerak Terlarut


dengan Biosurfaktan yang Diproduksi pada Sumber
Karbon Limbah Minyak Kelapa Sawit

1859

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Gambar 5 merupakan kromatogram


limbah minyak kelapa sawit menunjukkan
adanya empat belas puncak yang muncul
dengan empat puncak tinggi yang muncul pada
waktu retensi 2,046; 2,114; 2,222; dan 2,359.
Puncak-puncak lain yang muncul relatif lebih
rendah dibandingkan dengan keempat puncak
yang telah disebutkan sebelumnya. Pada suhu
183C yang ditunjukkan dengan menit ke 17
pada proses GC terdapat satu puncak yang
muncul dengan waktu retensi 17,256. Puncak
tersebut adalah puncak terakhir yang muncul
pada proses GC. Hal ini menyatakan bahwa
puncak tersebut merupakan puncak dari
senyawa yang paling akhir mengalami proses
penguapan pada proses GC.
Yudono (1994) menyatakan bahwa
dalam analisis GC dapat digunakan metode
temperatur
terprogram.
Penggunaan
temperatur terprogram dapat mengidentifikasi
fraksi karbon yang ada pada kromatogram.
Fraksi
rantai
karbon
tersebut
dapat
dikelompokkan
berdasarkan
kisaran
temperatur program seperti pada Tabel 3.

sumber karbon molase menunjukkan adanya


tujuh puncak pada waktu retensi 14 menit
hingga 18 menit sedangkan kromatogram
biosurfaktan limbah minyak kelapa sawit
hanya ada satu puncak yang muncul pada
waktu retensi empat belas menit hingga
delapan belas menit.Puncak yang muncul pada
waktu retensi tersebut merupakan puncak yang
mewakili senyawa hidrokarbon dengan kisaran
jumlah rantai karbon antara 15 hingga 17
rantai karbon.Dari hal di atas dapat ditarik
kesimpulan
bahwa
biosurfaktan
yang
diproduksi pada sumber karbon molase lebih
baik dalam mengekstrak fraksi berat minyak
bumidibandingkan dengan biosurfaktan yang
diproduksi dengan sumber karbon limbah
minyak kelapa sawit.
Berdasarkan
Tabel3
didapatkan
kesimpulan bahwa terdapat persamaan antara
kromatogram minyak yang terekstrak dengan
biosurfaktan yang diproduksi pada sumber
karbon molase dengan kromatogram minyak
yang terekstrak dengan biosurfaktan yang
diproduksi pada sumber karbon limbah minyak
kelapa sawit. Persamaan tersebut terletak pada
munculnya puncak-puncak tinggi pada rentang
menit kedua dan ketiga proses GC. Senyawa
dengan jumlah atom karbon kurang dari 10
akan menguap pada suhu di bawah 100C
yang ditunjukkan dengan munculnya puncak
dengan waktu retensi delapan menit pertama
pada kedua kromatogram tersebut.
Kedua kromatogram tersebut juga
menunjukkan perbedaan yang dapat dilihat
pada jumlah puncak yang muncul pada waktu
retensi 14 menit hingga 18 menit pada proses
GC. Kromatogram minyak yang diekstrak
dengan biosurfaktan yang diproduksi pada
sumber karbon molase menunjukkan adanya
tujuh puncak pada waktu retensi 14 menit
hingga 18 menit sedangkan kromatogram
biosurfaktan limbah minyak kelapa sawit
hanya ada satu puncak yang muncul pada
waktu retensi empat belas menit hingga
delapan belas menit.Puncak yang muncul pada
waktu retensi tersebut merupakan puncak yang
mewakili senyawa hidrokarbon dengan kisaran
jumlah rantai karbon antara 15 hingga 17
rantai karbon.Dapat ditarik kesimpulan bahwa
biosurfaktan yang diproduksi pada sumber
karbon molase lebih baik dalam mengekstrak
fraksi berat minyak bumidibandingkan dengan
biosurfaktan yang diproduksi dengan sumber
karbon limbah minyak kelapa sawit.

Tabel 3. Identifikasi Senyawa Hidrokarbon yang


Terdegradasi
Kisaran Temperatur
Fraksi rantai karbon yang
teridentifikasi
<100C
< C10
100C - 150C
C11 C14
150C - 200C
C15 C17
200C - 250C
C18 C21
250C - 300C
>C22

Berdasarkan Tabel 3. didapatkan


kesimpulan bahwa terdapat persamaan antara
kromatogram minyak yang terekstrak dengan
biosurfaktan yang diproduksi pada sumber
karbon molase dengan kromatogram minyak
yang terekstrak dengan biosurfaktan yang
diproduksi pada sumber karbon limbah minyak
kelapa sawit. Persamaan tersebut terletak pada
munculnya puncak-puncak tinggi pada rentang
menit kedua dan ketiga proses GC. Senyawa
dengan jumlah atom karbon kurang dari 10
akan menguap pada suhu di bawah 100C
yang ditunjukkan dengan munculnya puncak
dengan waktu retensi delapan menit pertama
pada kedua kromatogram tersebut.
Kedua kromatogram tersebut juga
menunjukkan perbedaan yang dapat dilihat
pada jumlah puncak yang muncul pada waktu
retensi 14 menit hingga 18 menit pada proses
GC. Kromatogram minyak yang diekstrak
dengan biosurfaktan yang diproduksi pada
1860

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Gudina, E.J., Jorge F.B.A., Ligia R.R., Joao A.P.C., &
Jose A.T. 2012.Isolation and Study of Microorganis
from Oil Samples for Application in Microbial
Enhanced
Oil
Recovery.International
Biodeteriovation and Biodegradation.68 : 56-64.
Guerra-Santos, L., O. Kappeli, & A. Fiechter. 1984.
Biosurfactant Production in Continuous Culture With
Glucose as Carbon Source. Applied and
Environmental Microbiology. 48: 301-305.
Mulligan, C.N., B.F. Gibbs. 1993. Factor Influencing the
Economics of Biosurfactants. New York : Marcel
Dekker Inc.
Munawar, A., 2007. Kajian Statistik Terhadap Nutrien
Organik dan Anorganik untuk In Situ Tes
Bioremediasi Tumpahan Minyak Bumi dengan
Metode Biostimulation di Lingkungan Pantai. J.
Ilmiah Teknik Lingkungan. 2. 41-54.
Murdini, L.A. 2013. Pengaruh Aerasi dan Nutrisi pada
Bioremediasi Limbah Cair Minyak Bumi oleh
Konsorsium Bakteri Petrofilik dan Salvinia molesta
D.S. Mitchell. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas
Sriwijaya. Tidak Dipubilkasi.
Nugroho, A. 2006.Produksi Biosurfaktan oleh Bakteri
Pengguna Hidrokarbon dengan Penambahan Variasi
Karbon.Biodiversitas. 7: 312-316.
Nurani, D., Sidik, M., 2013.Produksi Biosurfaktan
Ramnolipid Oleh Pseudomonas aeruginosa IFO 3924
dengan Teknik Kultivasi Umpan Curah dan Sumber
Karbon Kelapa Sawit.Seminar Nasional Matematika,
Sains dan Teknologi Universitas Terbuka, 18
November 2013, Tangerang Selatan, Indonesia.
Priyani, N., Erman M., & Nikmah R.B. 2011.Optimasi
Produksi Biosurfaktan oleh Pseudomonas aeruginosa
dengan Variasi Sumber Karbon dan Nirogen
Medium.Prosiding Seminar Nasional Biologi.
Medan.
Rashedi, H., M. M. Assadi, E. Jamshidi, & B.
Bonakdarpour. 2006. Optimization of the Production
of Biosurfactant by Pseudomonas aeruginosa HR
isolated from an Iranian Southern Oil Well. Iran J.
Chem Chem Eng. 25 (1) : 25-30.

IV. KESIMPULAN dan SARAN


4.1. Kesimpulan
1. Sumber
karbon
terbaik
dalam
menumbuhkan bakteri Pseudomonas peli
adalah molase dengan jumlah bakteri total
1,8 x 109 yang dihitung dengan metode
SPC (Standart Plate Count)
2. Biosurfaktan dari Pseudomonas peli yang
paling potensial dalam melarutkan kerak
pada pipa pendistribusian minyak bumi
adalah biosurfaktan yang ditumbuhkan
pada sumber karbon molase dengan
konsentrasi sumber karbon 4% yang
mampu
melarutkan
kerak
dengan
persentase 16,01%.
4.2. Saran
Proses
produksi
biosurfaktan
sangat
bergantung pada kondisi pertumbuhan seperti
agitasi, temperatur, pH, dan keberadaan
oksigen sehingga perlu dilakukan optimasi
kondisi produksi biosurfaktan agar dapat
menghasilkan biosurfaktan dengan persentase
yield yang tinggi untuk pengembangan
penggunaan biosurfaktan sebagai agen anti
kerak pada pipa pendistribusian minyak
mentah pada skala yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sulaimani,H. 2011. Microbial Biotechnology for
Enhancing Oil Recovery : Current Developments and
Future Prospect. Biotechnol.Bioinf. Bioeng. 2 : 147158.
Andriani, D. 2007. Produksi Biosurfaktan Menggunakan
Minyak kedelai Secara Biotransformasi oleh
Rhodococcus rhodochrous dan Aplikasinya Untuk
Recovery Ion Logam Cd. Skripsi. Jurusan Kimia.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam.Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Asnawati.2001. Pengaruh Temperatur Terhadap Reaksi
Fosfonat dalam Inhibitor kerak pada Sumur
Minyak.Jurnal Ilmu Dasar.2 (1).
Bharali,P., Das, S., Konwar, B.K., & Tahkur, A. J. 2011.
Crude Biosurfactant from Thermophilic Alcaligenes
faecalis : Feasibility in Petro-spill Bioremediation.
International Biodeteriation and Biodegradation. 65 :
682-690.
Chandankere, R., Yao, J., Cai, M., Masakorala, K., Jain,
A.K. & Choi, M. M. F. 2014. Properties and
Characterization of Biosurfactant in Crude Oil
Biodegradation
by
Bacterium
Bacillus
methylotrophicus USTBa. Fuel. 122 : 140-148.
Georgiou, G., Lin, S. C., & Sharma, M. M. 1992. Surface
Compounds From Microorganism. Bio/Technology.
10 : 60-65

Syahri,M., Sugiarto,B. 2008. Scale Treatment pada Pipa


Distribusi Crude Oil Secara Kimiawi. Prosiding
Seminar Nasional Teknoin 2008 Bidang Teknik
Kimia dan Tekstil, 22 November 2008, Yogyakarta,
Indonesia.
Wulan,P., Gozan, M., Arby, B., Achmad, B., 2006.
Penentuan Rasio C:N:P sebagai Nutrisi pada Proses
Biodegradasi Benzena-Toluena dan Scale Up Kolom
Biogenerator. Artikel.Bidang studi teknik Kimia
Universitas Indonesia.8 hlm.
Yudono, B., Estuningsih, S.P. 2013. Kinetika Degradasi
Limbah Minyak Bumi menggunakan Bakteri
Konsorsium (Micrococcus
sp,
Pseudomonas
pseudomallei, Pseudomonas psedoalcaligenes, dan
Bacillus sp) dan Rumput Eleusine Indica (L.) Gaernt.
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung.
Zajic, J. E., Grignard, H., & Gerson, F.D. 1977.
Emulsifying and Suface Active Agents from
Corybacterium
hydrocarbonclatus.Biotech
and
Bioeng.19 : 1285-1301.

1861

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

AKTIVITAS SITOTOKSIK FRAKSI TOTAL FLAVONOID DAUN PALA


Myristica fragrans Houtt) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY (BSLT)
Binawati Ginting 1) Hira Helwati 2) Lamek Marpaung 3) Partomuan Simanjutak 4)
1

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala,


email: binawati@chem.unsyiah.ac.id
2
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala
email: hirahelwati@gmail.com
3
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara
email: partomsimanjuntak@gmail.com
4
LIPI Cibinong dan Universitas Pancasiala Jakarta
email: toyamaikayakadai@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian tentang isolasi fraksi-fraksi total flavonoid daun Pala (Myristica fragrans Houtt) dan uji toksisitasnya
dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) telah dilakukan. Daun Pala 3 Kg (3000 g) diekstraksi
dengan metanol. Ekstrak metanol diekstraksi dengan etil asetat kemudian dipartisi lagi dengan n-heksana
sehingga diperoleh total flavonoid (F1). Total flavonoid (F1) dihidrolisis dengan HCl 6N sehingga diperoleh
total flavonoid hasil hidrolisis (F2). Total flavonoid (F2) dipisahkan fraksi-fraksinya dengan kromatografi kolom
gravitasi dengan silika gel 60 G dan eluen n-heksana dan etil asetat (elusi gradien) diperoleh 10 fraksi Myristica
fragrans Daun hasil Hidrolisis (MFDH 1-10). Masing-masing fraksi MFDH 1 10 ditentukan aktivitas
sitotoksik terhadap benur udang pada konsentrasi 10, 100, dan 1000 ppm. Hasil uji aktivitas sitotoksik fraksifraksi total flavonoid MFDH 1-10 dengan metode BSLT menunjukkan bahwa yang mempunyai aktivitas
sitotoksik yang paling kuat adalah fraksi MFDH 3 dan MFDH 9 dengan nilai LC50 berturut-turut 22,34 ppm dan
36,64 ppm.
Pala Myristica fragrans Houtt), Myristicaceae, fraksi total flavonoid, toksisitas, BSLT
Abstract
Research on isolation of total flavonoid fractions of leaves Nutmeg (Myristica fragrans Houtt) and toxicity test
method Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) has been performed. Pala leaves 3 Kg (3000 g) were extracted with
methanol. The methanol extract is extracted with ethyl acetate and then partitioned again with n-hexane to
obtain total flavonoids (F1). Total flavonoid (F1) is hydrolyzed with 6N HCl to obtain total flavonoid hydrolysis
(F2). Total flavonoid (F2) separated fractions by column chromatography on silica gel gravity of 60 G and the
eluent n-hexane and ethyl acetate (gradient elution) to obtain 10 fractions Myristica fragrans Leaves results
Hydrolysis (MFDH 1-10). Each faction MFDH 1-10 determined cytotoxic activity against shrimp seed at
concentrations of 10, 100, and 1000 ppm. The results cytotoxic activity of total flavonoid fractions MFDH 1-10
with methods BSLT showed that having a cytotoxic activity of the most powerful is the fraction MFDH 2 and
MFDH 9 with LC50 value of 22.34 ppm and 36.64 ppm respectively.
Kata Kunci :

Keyword: Nutmeg Myristica fragrans Houtt), Myristicaceae, total flavonoid fraction, toxicity, BSLT

bubuk untuk penyedap pada roti, kue,


pudding, saos, sayuran, serta minuman
penyegar dan sebagai bumbu masakan
tradisional khas Aceh. Daging buah pala
juga menjadi olahan berbagai jenis
manisan yang menjadi ciri khas buah
tangan di daerah Aceh (Idawani, 2015).

I. PENDAHULUAN
Indonesia tanaman pala (Myristica
fragrans Houtt) tersebar luas di daerah Aceh

khususnya di Kabupaten Aceh selatan.


Masyarakat Aceh Selatan umumnya
mengenal minyak pala sebagai obat luar
dengan berbagai khasiat seperti pereda
sakit perut, sakit gigi, digunakan untuk
mengatasi susah tidur, meredakan gatal
akibat gigitan serangga, mengurangi
memar akibat benturan dan berbagai
khasiat lainnya. Pala juga dimanfaatkan
untuk menghasilkan minyak pada bagian
kulit aril atau fuli. Biji pala bisa dijadikan

Masyarakat Aceh mengenal minyak pala


sebagai obat luar dengan berbagai khasiat
seperti pereda sakit perut dan sakit gigi,
digunakan untuk mengatasi susah tidur,
meredakan gatal akibat gigitan serangga,
mengurangi memar akibat benturan dan
berbagai khasiat lainnya. Pemanfaatan
tanaman pala di daerah Aceh khususnya Aceh
1862

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Selatan hanya terbatas pada buahnya saja,


dimana biji Pala dimanfaatkan serbagai bumbu
masakan. Kulit aril biji pala digunakan untuk
memperoleh minyak essensial dan daging buah
pala diolah menjadi makanan ringan yaitu
manisan pala. Bagian lain dari tanaman pala
seperti daun, batang dan akar masih belum
dimanfaatkan secara maksimal. Padahal bagian
lain dari tanaman pala seperti daunnya sangat
melimpah dan selalu tersedia sepanjang waktu.
Ginting et al, 2014 melaporkan bahwa
aktivitas sitotoksik fraksi total flavonoid dari
daun pala dengan metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT) menunjukkan aktivitas
yang kuat dengan nilai LC50 30,92 ppm,
namun pengujian sifat sitoksik fraksi-fraksi
total flavonoid daun pala belum dilaporkan.
Isolasi total flavonoid dilakukan dengan
menggunakan kromatografi kolom, sebagai
fase diam adalah silika gel dan n-heksana : etil
asetat sebagai fase gerak (gadien elusi)
diperoleh 10 fraksi gabungan (Ginting et al,
2016).
Brine Shrimp Lethality Test merupakan
salah satu metode uji toksisitas yang sering
digunakan dalam penelusuran senyawa
bioaktif yang bersifat toksik dari bahan alam.
Metode ini dapat digunakan sebagai bioassayguided fractionation dari bahan alam, karena
mudah, cepat, murah dan cukup reprodusibel.
Penentuan toksisitas akut dimana efek toksik
dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu
singkat dengan menggunakan metode BSLT,
yaitu rentang waktu selama 24 jam setelah
pemberian dosis uji. Aktivitas fraksi-fraksi
aktif atau isolat murni dari suatu ekstrak
tanaman terhadap larva Artemia salina Leach
dapat ditentukan dengan menghitung nilai
LC50 dari masing-masing fraksi atau isolat
murninya. Suatu ekstrak dikatakan toksik
berdasarkan metode BSLT jika harga LC50 <
1000 g/ ml (ppm) (Carballo, 2002).
LC50 adalah konsentrasi dari suatu
senyawa kimia di udara atau dalam air yang
dapat menyebabkan 50% kematian pada suatu
populasi hewan uji atau makhluk hidup
tertentu. Penggunaan LC50 dimaksudkan untuk
pengujian ketoksikan dengan perlakuan
terhadap hewan uji secara berkelompok yaitu
pada saat hewan uji dipaparkan suatu bahan
kimia melalui udara maka hewan uji tersebut
akan menghirupnya atau percobaan toksisitas
dengan media air. Nilai LC50 dapat digunakan
untuk menentukan tingkat efek toksik suatu

senyawa sehingga dapat juga untuk


memprediksi potensinya sebagai antikanker.
Berdasarkan uraian di atas dilakukan
penelitian uji sitosiksik fraksi-fraksi total
flavonoid daun Pala terhadap Kista atau larva
Artemia salina Leach BSLT.
2. KAJIAN LITERATUR
2.1 Myristica fragrans Houtt
Tanaman pala (Myristica fragrans)
berupa pohon yang berasal dari kepulauan
Banda, Maluku. Semenjak zaman eksplorasi
Eropa pala tersebar luas di daerah tropika lain
seperti Mauritius dan Karibia (Grenada).
Tumbuhan ini berumah dua (dioecious)
sehingga dikenal pohon jantan dan pohon
betina. Daunnya berbentuk elips langsing.
Buahnya berbentuk lonjong seperti lemon,
berwarna kuning, berdaging dan beraroma
khas karena mengandung minyak atsiri pada
daging buahnya. Bila masak, kulit dan daging
buah membuka dan biji akan terlihat
terbungkus fuli yang berwarna merah. Satu
buah menghasilkan satu biji berwarna coklat.
Klasifikasi Tumbuhan pala (M. fragrans)
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Magnoliales
Suku
: Myristicaceae
Marga
: Myristica
Jenis
: Myristica fragrans Houtt.
Nama umum : Pala
Nama daerah : Pala (Melayu); Falo
(Nias); Pala (Jawa); Pala (Madura); Kapala
(Bima); Bubula (Roti); Pal (Timor); Pala
(Makasar); Pala (Bugis); Pahalo (Ambon);
Gosora (Ternate). Tanaman pala ditunjukkan
pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman pala


2.2. Senyawa Flavonoid
Senyawa flavonoid merupakan senyawa
polifenol yang mempunyai kerangka dasar
karbon yang terdiri dari 15 atom karbon,
dimana dua cincin benzen (C6) terikat pada
suatu rantai propan (C3) sehingga membentuk
1863

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

suatu susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat


menghasilkan 3 jenis struktur, yaitu 1,3diarilpropana atau flavonoid, 1,2-diarilpropan
atau isoflavonoid dan 1,1 diarilpropan atau
neoflavonoid.
Istilah "flavonoid" yang diberikan untuk
senyawa fenol ini berasal dari kata flavan,
yaitu nama dari salah satu jenis flavonoid
yang terbesar jumlahnya dan juga lazim
ditemukan. Senyawa kimia flavan mempunyai
kerangka 2-fenilkroman, dimana posisi orto
dari cincin A dan atom karbon yang terikat
pada cincin B dari 1,3-diarilpropan
dihubungkan oleh jembatan oksigen, sehingga
membentuk suatu cincin heterosiklik yang baru
(cincin C) (Markham, 1988). Kerangka 2fenilkroman dapat dilihat pada Gambar 2.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret


sampai dengan April 2016
3.2 Sampel dan Bioindikator
Sampel daun tumbuhan pala diambil
didaerah yang berasal dari Desa Paya
Peulumat, kecamatan Labuhan Haji Timur,
kabupaten Aceh Selatan.
Bioindikator yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Kista Artemia salina
Leach yang diperoleh dari Lab. Laboratorium
Kimia Bahan Alam Puslit Bioteknologi LIPI
Cibinong
3.3 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan pada penelitian
ini meliputi berbagai alat gelas meliputi rotary
evaporator, erlenmeyer, gelas ukur, cawan
petri, timbangan, corong pisah, neraca
elektronik, autoklaf, inkubator, kawat ose,
autoklaf, blank disc, kapas, inkubator dan
spektrofotometer.
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: dietil eter, reagen
Liberman-Bourchard (asam asetat glasialH2SO4(P)), reagen Mayer (kalium tetra iodo
merkurat), reagen Dragendorf (Bi(NO3)3) dan
reagen Wagner (I2 dalam KI), n-heksana,
metanol, etil astat, silika gel G-60 GF254, plat
KLT. Bahan yang digunakan untuk uji
sitotoksik adalah air laut, etanol dan DMSO.

B
O
1
A

C
4

2
3

Gambar 2. Kerangka 2-fenilkroman


Senyawa heterosiklik pada tingkat
oksidasi yang berbeda terdapat dalam
kebanyakan tumbuhan. Berdasarkan tingkat
oksidasi dari rantai propan dari sistem 1,3diarilpropan,
maka
senyawa-senyawa
flavonoid ini dibagi menjadi beberapa jenis.
Kelompok senyawa kimia flavan dianggap
sebagai senyawa induk dalam tatanama
senyawa-senyawa turunan flavonoid karena
mempunyai tingkat oksidasi terendah.
Suatu jembatan oksigen yang melibatkan
atom karbon sentral dari rantai C3 dalam alam,
hanya terdapat dalam jumlah yang terbatas,
dalam hal ini, cincin heterosiklis yang
terbentuk adalah dari tipe furan, yaitu kerangka
C15 dari 2-benzil kumarin. Senyawa-senyawa
auron misalnya termasuk dalam kelompok
struktur ini. Selain sambungan atom karbon,
senyawa flavonoid juga mempunyai pola
oksigenasi dalam cincin benzennya. Substituen
yang mungkin adalah OCH3, -O-CH2-O- atau
0-glikosida.

3.4. Uji fitokimia


Uji
fitokimia
dilakukan
untuk
mengetahui jenis metabolit sekunder yang
terdapat pada sampel yang akan diuji. Uji
fitokimia berdasarkan metode Harborne,
(1996).
3.5 Ekstraksi dan Isolasi
Daun
Pala
dihaluskan, ditimbang
sebanyak 3 Kg, dimaserasi dengan pelarut
metanol selama 24 jam, kemudian disaring
sehingga diperoleh filtrat dan ampas. Maserasi
terhadap ampas dilakukan sampai filtrat yang
diperoleh berwarna jernih dan disaring. Filtrat
diuapkan hingga diperoleh ekstrak metanol,
terhadap residu diekstraksi lagi dengan etil
asetat, disaring. Filtrat diuapkan hingga
diperoleh ekstrak etil asetat. Kemudian ekstrak
etil asetat dilarutkan dalam metanol, dipartisi
dengan n-heksana. Lapisan bawah (fraksi
metanol) diambil, diuapkan hingga diperoleh
total flavonoida yang bebas klorofil dan
senyawa non polar seperti triterpen. Kemudian

3. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
penelitian Kimia Organik Bahan Alam Jurusan
Kimia FMIPA Universitas Syiah Kuala.

1864

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

total flavonoid bebas klorofil dihidrolisis


dengan HCl 6N, sehingga diperoleh total
flavonoid yang terdiri dari senyawa aglikon.

Untuk setiap konsentrasi dilakukan 3 kali


ulangan (triplo). Sebagai kontrol adalah air laut
yang tidak diberi ekstrak sampel. Botol
percobaan disimpan di bawah pencahayaan
lampu TL. Pengamatan dilakukan setelah 24
jam. Jumlah larva udang yang mati dicatat
kemudian dihitung persentase kematiannya.
Data yang diperoleh diolah dengan
menggunakan analisis probit dengan program
SPSS 11.5 dengan prosedur sebagai berikut
1. Klik program SPSS 11.5
2. Pertama
masukkan
data
meliputi
konsentrasi, jumlah total larva dan jumlah
larva mati dengan mengklik
Analyse;
Regresi;
Probit
Response frequency= jumlah larva mati
Total observe = jumlah larva hidup
Factor = kosongkan
Covariete =konsentrasi

3.6 Pemisahan Total Flavonoid


Total flavonoida bebas glikon sebanyak 2
g dikromatografi kolom gravitasi dengan silika
gel 60G sebanyak 100 g sebagai fase diam dan
fase gerak n-heksana : etil asetat yang
ditentukan dari hasil uji kromatografi lapis
tipis atau KLT (elusi gradien). Masing-masing
fraksi sebanyak 10 mL dikumpulkan. Setiap
fraksi yang diperoleh dianalisa dengan KLT
dan fraksi yang mempunyai pola noda yang
sama digabung dan fraksi gabungan yang
diperoleh diuji aktivitas sitotoksiknya terhadap
Kista Artemia salina Leach.
3.7 Uji Toksisitas Dengan Metode BSLT
3.7.1 Penetapan Kista Artemia salina Leach
Kista A. salina Leach ditimbang kurang
lebih 50 mg dan dimasukan ke dalam
Erlenmeyer yang berisi 500 mL air laut yang
sudah disaring, kemudian dipasang aerator.
Biarkan salama 48 jam dengan pencahayaan
lampu TL agar menetas sempurna. Larva yang
sudah menetas dipipet ke dalam botol
percobaan dan diberi ekstrak sesuai perlakuan.
3.7.2 Persiapan sampel
Pembuatan larutan masing-masing fraksi
total flavonoid untuk konsentrasi 2000 ppm.
Sebanyak 20 mg ekstrak ditimbang dengan
teliti, kemudian dilarutkan dalam 10 mL air
laut. Untuk ekstrak yang sukar larut, dapat
ditambahkan dengan DMSO 1% (5 tetes)
untuk meningkatkan kelarutan. Konsentrasi
200 ppm dibuat dengan memipet 2 mL sampel
2000 ppm dan ditambahkan air laut sampai 20
mL. Konsentrasi 20 ppm dibuat dengan
memipet 2 mL larutan konsentrasi 200 ppm
dan ditambahkan air laut sampai 20 mL.
Larutan sampel 500 ppm dibuat dengan
cara memipet 2,5 mL larutan ekstrak 2000
ppm dan ditambahkan air laut diaddkan sampai
10 mL. Konsentrasi 100 ppm dibuat dengan
cara memipet larutan ekstrak 200 ppm
sebanyak 5 mL dan ditambahkan air laut 5 mL.
Larutan sampel 10 ppm dibuat dengan cara
memasukkan 5 mL larutan ekstrak 20 ppm dan
ditambahkan 5 mL air laut.
3.7.3 Uji bioaktivitas
Uji bioaktivitas dilakukaan dengan
memasukkan 15 ekor larva udang A. salina
Leach yang berumur 48 jam ke dalam botol
yang telah berisi larutan ekstrak dan air laut.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Determinasi Tumbuhan
Sampel yang digunakan dalam penelitian
ini dideterminasi di Herbarium Bogoriensis,
bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Cibinong. Hasil determinasi menyatakan
bahwa tanaman yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Myristica fragrans Houtt
(Pala), famili Myristicaceae.
4.2 Uji Fitokimia
Hasil uji fitokimia total flavonoid
menunjukkan bahwa pada sampel tersebut
hanya mengandung metabolit sekunder jenis
flavonoid.
4.3 Isolasi Daun Pala
Maserasi daun 3 Kg daun pala dengan
metanol diperoleh 417,60 g (13,92%) ekstrak
metanol. Ekstrak metanol dilarutkan dengan
etil asetat diperoleh 104,1 g (5,96%) ekstrak
etil asetat daun Pala (. Hasil partisi ekstrak etil
asetat dengan n-heksana diperoleh ekstrak etil
asetat bebas tanin 32,76 g (31,47%). Hasil
hirolisis ekstrak etil asetat bebas tanin dengan
HCl 6% diperoleh 1,8 g (5,5%) total flavonoid
(bebas glukosida). Hasil pemisahan total
flavonoid menggunakan kromatografi kolom
dengan eluen n-heksana dan etil asetat secara
gradien menghasilkan 10 fraksi gabungan
(Ginting, et al, 2016). Masing-masing fraksi
Myristica fragrans Daun hasil Hidrolisis
1865

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

(MFDH) 1-10 diuji aktivitas sitotoksiknya


terhadap Kista Artemia salina Leach.

Fraksi MFDH 1-10 yang diperoleh diuji


aktivitas sitotoksiknya terhadap Kista Artemia
salina Leach. Hasil uji sitotoksik fraksi MFDH
1-10 daun Pala terhadap Kista Artemia salina
Leach ditunjukkan pada Tabel 1.

4.4 Uji Toksisitas Dengan Metode BSLT

Tabel 1. Hasil uji toksisitas fraksi MFDH 1-10 dengan metode BSLT
Fraksi
MFDH
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

10
1

3
10
14
15
10
13
10
7
12

2
10
13
15
11
15
12
10
6

2
12
15
14
10
14
11
8
9

KONSENTRASI (ppm)
Jumlah Jumlah
100
Jumlah Jumlah
larva
larva
larva
larva
1 2 3
hidup
mati
hidup
mati
- - 20
25 1 1 1
3
42
32
13 8 7 6
21
24
42
3 8 8 9
25
20
44
1 9 8 8
25
20
31
14 4 4 6
14
31
42
3 8 9 9
26
19
33
12 8 8 8
24
21
25
20 2 2 0
4
41
27
18 2 3 1
6
39

Berdasarkan Tabel 1 diatas dapat dilihat


bahwa fraksi yang mempunyai aktivitas
sitotoksik terhadap Kista Artemia salina Leach
adalah berturut-turut fraksi MFDH 2, MFDH 9
dan MFDH 10 dan MFDH 6 daun pala dengan
nilai LC50 berturut-turut 22,34; 36,64; 45,78
dan 62,55 ppm. Sedangkan fraksi MFDH 3, 4,
7, dan 8 kurang aktif. Jumlah fraksi MFDH 1
sangat sedikit sehingga tidak diuji. Dalam hal
ini senyawa flavonoid diduga yang
menyumbang keaktifan dalam menghambat
pertumbuhan larva Artemia salina Leach
dengan cara merusak struktur dinding sel,
menghambat kerja enzim, menghambat fungsi
membran sel, dan atau menghambat sintesis
protein dan asam nukleat.

1000
1

0
0
2
3
1
4
3
0
0

0
0
2
3
0
2
3
0
0

0
0
3
3
0
2
3
0
0

Jumlah Jumlah
larva
larva
hidup
mati
0
45
0
45
7
38
9
36
1
44
8
37
9
36
0
45
0
45

LC50
(ppm)
a
22,34
265,84
425,01
489, 18
62,55
369,16
328,19
36,64
45,78

6. REFERENSI
Carballo JL., 2002. Comparison between two brine
shrimp assays to detect in vitro cytotoxicity in
marine natural products. BMC Biotechnology.
Ginting, B, T. Barus, P, Simanjuntak, L.
Marpaung., 2016, Uji Toksisitas Ekstrak Daun
(Myristica fragrans Houtt) Dengan Metode
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), Seminar
Nasional Kimia Universitas Mulawarman,
Samarinda
Ginting, B, T. Barus, P, Simanjuntak, L.
Marpaung., 2016, Isolation and Identification of
Flavonoid Compound from Nutmeg Leaves
(Mirystica fragrans Houtt), Asian Journal Of
Chemistry, 28 (1)
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun
Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
Terjemahan dari Phytochemical Methods, oleh
Padmawinata, K., dan dan Soediro, I. Penerbit
ITB, Bandung.
Idawani, 2016, Pengembangan Usaha Komoditi
Pala
Aceh,
http://nad.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/
info-teknologi/775-pengembangan-usahakomoditi-pala-aceh, tanggal akses 13 januari
2016
Markham, K.R., 1988, Techniques of Flavonoids
Identification, diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung

5. KESIMPULAN
1. Hasil pemisahan total flavonoid dengan
kromatografi kolom menghasilkan 10 fraksi
gabungan yaitu fraksi MFDH 1-10
2. Fraksi yang mempunyai aktivitas sitotoksik
terhadap Kista Artemia salina Leach adalah
bertut-turut fraksi MFDH 2, MFDH 9 dan
MFDH 10 dan MFDH 6 daun pala dengan
nilai LC50 berturut-turut 22,34; 36,64; 45,78
dan 62,55 ppm.

1866

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PROFILING ON SECONDARY METABOLITE OF THE FLAVONOID WHICH IS


SYNTHESIZED IN THE TISSUE CULTURE OF CALLUS, CELL SUSPENSION
AND ROOT OF KACANG TUNGGAK (Vigna unguiculata)
Edi Priyo Utomo
Chemistry Department, Faculty of Mathematic and Sciences, Brawijaya University
Email : edipu2000@yahoo.com
Abstract
Plant cells perform various activities biosynthesis of secondary matebolites that have a variety of potential for
human health. Kacang tunggak (Vigna unguiculata) has been well known as edible plant that the plant produce
a variety of flavonoid compounds which have phytoestrogen activity. In this study the metabolite secondary
profile of tissue culture of callus, suspension cells and roots which produced from meristemic plant of kacang
tunggak has been carried out. Induction of cell culture performed using explants root was cultured in solid and
liquid medium (MS) containing the synthetic hormone growth regulators. Furthermore, the methanol extract of
callus and suspension cells, and also root culture were analyzed their secondary metabolite profile using LCMS/MS. From their LC/MS TIC chromatograms of the three samples showed some peaks of the deprotonated
molecular ions [M-H] - from each of the samples. By comparing with references material, the cells and root
showed deprotonated molecular ion at m/z 253, 267, 269, 285 which correspond to daidzein, coumestrol,
genistein, luteolin. The profile of tissue culture of root is more complicated secondary metabolite than callus
and cell suspension. Vigna furan, the specific secondary metabolite of kacang tunggak only can be detected in
root culture and their root-intake plant.
Keywords : plant tissue culture, profiling, flavonoid

Additional advantages of such processes


include: controlled production according to
demand and a reduced and requirement.
However, this plant cell culture technology is
still being developed for establishing the most
suitable technology for the production of
useful plant secondary metabolites in large
scale. There are many kind type of plant cell
culture such as callus, cell suspension, root,
shoot etc. Each type of culture can be
performed using a apart of meristemic plant as
explants that cultured in suitable growth
medium. The most medium for culturing
explants usually contain nutrient based on MS
composition in the form of solid and liquid.
The growth of cell can be inducted by using
many kind of plant growth regulator of auxin
and cytokinin and now these plant growth
regulator can be found as both natural and
synthetic.
Kacang tunggak (Vigna unguiculata ) is a
leguminosae crop, which find in most of
tropical countries. The dried seeds, green pod
and leaves are consumed as human food, wher
as the dried haulm is important as livestock
feed. The seed contain many secondary
metabolites such as quercetin, isoquercetin and
kaempferol in the form of their glycosides
(Cui, et al., 2012). Although Lattanzio et.al

1. INTRODUCTION
Plant cell culture is viewed a potential
source of valuable secondary metabolites
which can be used as food additives,
nutraceuticals, flavor, agrochemical and
pharmaceuticals.
The
synthesis
of
phytochemicals by the cell cultures in contrast
to these in plants is independent of
environmental
conditions
and
quality
fluctuations. In many cases, the chemical
synthesis of metabolites is not possible or
economically feasible. The major advantages
of a plant cell culture system over the
conventional cultivation of whole plants are as
follows (Hussain, et al, 2012):
a. Useful compounds can be produced under
controlled conditions independent of
climatic changes or soil conditions.
b. Cultured cells would be free of microbes
and insects.
c. The cells of any plants, tropical or alpine,
could easily be multiplied to yield their
specific metabolites.
d. Automated control of cell growth and
rational regulation of metabolite processes
would reduce labor costs and improve
productivity. Organic substances are
extractable from callus cultures.

1867

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

(1997) evaluated chemotaxonomy of flavonoid


occurrence of wild Vigna species, but the
distribution of isoflavonoid in this species are
still opened for further investigation.
Kang et al (2007) have elucidated the
fragmentation pathway for deprotonated
isoflavones such as genistein and daidzein in
electrospray ionization using MSn ion trap
mass spectrometry and triple quadrupole mass
spectrometry.
In this research was conducted to culture
cell of kacang tunggak in the form of callus,
cell suspension and root, and their isoflavoids
as the valuable secondary metabolite was
profiled using LC-MSMS.

L/min with gradient program at 20%


until 90 % acetonitrile.
All of LC-MSMS experiment was adopted
from Kang at al (2007) using ThermoElectron
Finnigan
LTQlinear
ion
trap
mass
spectrometer. Electrosray Negative Ionization
Mode [M-H]- was used for detecting each
mass. The data range utilized was set at m/z
250 800u for TIC mass scan, m/z 250-800u
for LC/MS/MS TIC scans and for LC/MS2 or
LC/MS3 and selected ion scans was adjusted as
follows
253@49 [m/z 65 272u]
267@48 [m/z 70 295u]
269@48 [m/z 70 295u]
285@40 [m/z 75 300u]
429@40 267@48 [m/z 70 295u]
431@40 268@48 [m/z 70 300u]
These mass scan set based on the molecular
weight of each predicted compounds namely
daidzein (m/z : 254.23), genistein (m/z =
270.24), formononetin (m/z = 268.26),
vignafuran (m/z = 270.28), coumestrol (m/z =
268.22), kaempferol (m/z = 286.23), luteolin
(m/z = 286,23).

2. METHODOLOGY
Tissue culture
The seeds of kacang tunggak var. KT7
were purchased from BALITKABI Malang,
East Jawa Indonesia. The seed was washed
under running water for 15 minute and then
treated with 0.5% CaOCl2 for 5 minutes in
laminar flow hood, then washed with sterile
distilled water for 3 times. Seedling of kacang
tunggak was grown in agar-solid media for 7
days and the root was used as the explants.
The explants were then inoculated in MS
media (Murashige and Skoog 1962)
supplemented with various concentrations of
auxins such as 2, 4-Dichlorophenoxyacetic
acid (2,4-D) and Naphthalene Acetic Acid
(NAA), Kinetin (Kn) and Benzylaminopurine
(BAP). The ratio of these synthetic hormones
were prepared at different concentration that it
will effect on cell differenciation. All cultures
would be maintained for subculturing at every
2 weeks. All kind of cultures were maintained
at 252C under light intensity (1200 lux) for
photoperiod of 16h light and 7010 relative
humidity.
The mass of tissue was collected from
callus, root, and shoot cultures respectively
after 4-5 weeks. Each of mass was and dried
under illumination of 60 watt wolfram- lamp in
a cupboard. The dried mass was weighted and
extracted with methanol pro analysis grade.

3. RESULT AND DISCUSSION


Yellowish callus was obtained from root
explants of kacang tunggak which cultured on
solid-MS medium containing 0.2 ppm kinetin
and 0.4 ppm 2,4-D. Brown root culture was
also propagated from induction explants of
root on liquid MS medium containing an
optimum concentration of 2,4-D. While, cell
suspension was prepared from callus and then
it was subcultured on Liquid MS medium and
only containing 2,4-D. Shaking on the liquid
containing cell suspension was applied
continously.
callus development started
approximately 7 days after culture. Each type
of cell cultures were harvested from medium
after 4-5 weeks. The growth profile of the
three culture showed that the growth rate of
cultured-root mass is more higher than other
cultures (figure 1). It means the root culture
has a potential tissue mass for producing
secondary metabolite in large scale. Callus
culture showed the mass production slightly
higher than cell suspension. It may be only
surviving on callus growth with limited ontact
surface of callus cell.

The methanolic extract of kacang


tunggak tissue culture was then analyzed
its flavonoid/isoflavonoids profile using
LC-MS/MS with operation conditioned
adjusted as follows : Mobile phase was
acetonitrile and water with 0.1% formic
acid. Injection volume: 5L Flow rate: 200
1868

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Figure 1. Profile of tissue culture growth of callus,
cell suspension and root

Exudates
which
containing
secondary
metabolite must be found in this situation
(Dakora, and Phillips, 2002). In addition, in
take root of kacang tunggak can survive
against to bacteria invasion by exudates of
their secondary metabolite.

Figure 2. LC/MS TIC chromatograms of the methanolic extract of callus, cell suspension and root culture.

Methanolic extract of cell seems very


suitable for preparing samples prior to
profiling
analysis using LC-MS/MS. The peaks of TIC,
then scanned to explore the secondary
metabolites.
From their LC/MS TIC chromatograms of
the four samples (figure 2), some peaks of the
deprotonated molecular ions [M-H]- from each
of the samples were detected. Based on
interest
compounds
(flavonoids
and
isoflavonoids), the deprotonated molecular
ions (m/z 253, 267, 269, 285, 429 and 431)
from the LC/MS TIC chromatograms and did
further LC/MS2 or LC/MS3 analysis, several

compounds have been confirmed, others need


further experiments. Daidzein ([M-H]- ions m/z
253 ) was found at retention time (RT) 12.5
12.8 min, Genistein ([M-H]- ions m/z 269 )
was found at RT 17.2 17.5min, Coumestrol
([M-H]- ions m/z 267 ) was found at RT 17.3
17.8min. The peaks of genistein and
coumestrol are partly overlapped in the TIC
chromatogram as their chromatographic RT
are so close, only can be separately observed in
the multiple SRM chromatograms. All these
three compounds have been confirmed by their
mass spectra and chromatographic RT by
comparing with standards and reference (figure
2) (Kang et.al., 2007).
1869

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Genistein in standard solution

Genistein of cell suspension culture

Daidzein in standard solution

Daidzein of sell suspension culture

Coumestrol in standard solution

Coumestrol of sell suspension culture

Figure 3. Comparasion on the fragmentation spectra of [MH] between standard compounds and sample of
genistein, daidzein and coumestrol

LC/MS2 scans of [M-H]- ions m/z 285 gave


a peak at chromatographic RT 8.2 8.5min.
The peaks have been compared its mass
spectrum with references (figure 3), it is not
kaempferol as it give absolute different
fragmentation pattern, but maybe belongs to
luteolin, and that must be confirmed by further
experiment.
LC/MS TIC chromatogram of intake root
sample showed a peak at m/z 431 in but
LC/MS3 scans of [M-H]- m/z 431 show it was
not belongs to genistin. We also found a peak
[M-H]- m/z [M-H]- 429 in LC/ MS TIC
chromatogram of intake root extract, possibly
coumestrol glucoside (data not shown). More
experiments may be needed. In addition,
multiple SRM chromatograms show there are
several other [M-H]- ions m/z 269 peaks in the
samples,
their
mass
spectra
and
chromatographic RT are different from the
genistein, so maybe there are vignafuran and
other isomers exist, or totally other type
compounds, more experiments and literature
search may need to elucidate them.

culture of cowpea roots are larger than callus


culture and cell suspension.
REFFERENCE
Cui, E-J., Song, N-Y., Shrestra, S., Chung, I-S.,
Kim, J-Y., Jeong, T-S., and Baek, N-I., 2012,
Flavonoid glycosides from cowpea seed (Vigna
sinensis K.) inhibit LDL Oxidation, Food
science and Biotechnology, vol. 21, issue 2, pp.
619-624
Dakora, F.D., and Phillips, D.A., 2002, Root
Exudates as mediators of mineral acquisition in
low-nutrient environments, Plant and Soil, 245,
pp. 35-47
Hussain, Md. S., Fareed, S., Ansari, S., Rahman,
Md A., Ahmad, I. Z., Saeed, M. , 2012, Current
approaches toward production of secondary
plant metabolites, Journal of Pharmacy and
Bioallied Sciences , Vol 4 Issue 1, pp. 10-20.
Lattanzio, L., Cardinali, A., Linzalata, V., Perrino,
P., and Ng, N.Q., 1997, Flavonoid HPLC
Fingerprint of
Wild Vigna Species, in
Advanced in Cowpea Research, Internatioanl
Institute Tropical Agriculture, Ibadan Nigeria.
Kang, J., Hick, L.A., Price, W.E., 2007, A
fragmentation study of isoflavones in negative
electrospray ionization by MSn ion trap mass
spectrometry and triple quadrupole mass
spectrometry, Rapid Communications in Mass
Spectrometry, 2007. 21(6): p. 857-868

4. CONCLUSION
Cell culture of cowpea can produce
various secondary metabolites, of flavonoids
and isoflavonoids. Metabolites and mass

1870

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

ISOLASI MIKROALGA DARI PERAIRAN AIR TAWAR DI ALIRAN


SUNGAI DAERAH LUBUK MINTURUN YANG BERPOTENSI
UNTUK PRODUKSI BIODIESEL
Elida Mardiah, Nasrul Zuwardi dan Zulkarnain Chaidir
Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia FMIPA Unand
(e-mail : elidamardiah@g.mail.com)
Abstract
Research to isolate microalgae from fresh water in stream of Lubuk Minturun river poteantially for biodiesel
production has been done . Result of the isolated using dilution method obtained two species of microalgae that
was predicted as Scenedesmus dimorphus and Scenedesmus quadricauda through observation with light
microscope at magnification of 400 times. Both of these species was glowed using the nile red staining method
under fluoroscence microscope that was showed potential lipid prduction .ln this observation S- dimorphus was
glowed brighter that was indicated higher levels of lipids. Extraction conducted on this species using water
and hexana solvent to obtain a crude lipid extract. Extracted lipids was trans-esterificated using acid and base
catalyst. Result of trans-esterification was analyzed using gas chromatography-mass spectroscopy (GC-MS)
and indetified 10 types of fatty acid methyl ester wich has potensial as a biodiesel.
Keywords: microalgae, nile red, trans-esterification , fatty acid methyl ester

pada jenis mikroalga dan proses kultivasinya.


(5.7). Mikroalga merupakan spesies yang
secara umum hidup diperairan. Perairan
Sumatera Barat diyakini memiliki banyak
spesies mikroalga oleh karena itu pada
penelitian ini dilakukan isolasi mikroalga dari
perairan air tawar dialiran sungai Lubuk
Minturun kota Padang yang bertujuan untuk
mendapatkan mikroalga yang berpotensi untuk
produksi biodisel serta menentukan jenis asam
lemak dari lipid yang diekstrak dari isolat
mikroalga tersebut.
2. METODE PENELITIAN
2.1.Bahan dan Alat.
Bahan yang digunakan adalah sampel air
Lubuk Minturun , KNO3, Bold Basal Medium
(BBM), heksana, aseton, metanol, Nile - Red.
Alat yang digunakan , mikroskop cahaya
(Zeiss)
mikroskop
fluorescent,
spektrofotometer UV-Vis (Thermoscientific
Geneyis 20), Gas chromatography Mass
spectrometry ( QP2010 Shimidzu)
2.2 Pembiakan dan pengamatan mikroalga
Sampel diambil menggunakan planktonnet
kemudian dipindahkan kedalam tabung kaca
yang berisi KNO3 1,25 % dibiarkan selama 10
hari, mikroalga dipindahkan kedalam media
BBM dibiarkan 20 hari, mikroalga

1. PENDAHULUAN
Dengan semangkin menipisnya persedian
bahan bakar berbasis fosil, maka diperlukan
bahan bakar pengganti yang bersifat
terbarukan. Biodiesel merupakan bahan bakar
alternatif yang dapat diperoleh dari minyak
tumbuhan, lemak binatang, minyak kelapa dan
minyak jarak melalui proses trans-esterifikasi
(1.2). Seiring dengan laju pertumbuhan
kendaraan bermotor, konsumsi bahan bakar
minyak meningkat. Tingkat konsumsi minyak
rata-rata naik 6 % pertahun. Untuk memenuhi
tingkat konsumsi terhadap bahan bakar minyak
dimanfaatkan energi alternatif terbarukan dari
bahan bakar nabati (BBN), diantaranya
biodiesel(3.4). Mikroalaga dicoba untuk
dikembangkan sebagai salah satu alternatif
bahan baku pembuatan biodiesel mengingat
mikroalga adalah salah satu potensi alam
Indonesia. Miroalga mengandung minyak
nabati sangat tinggi, bahkan beberapa
diantaranya mempunyai kandungan minyak
labih dari 50 %. Lipid dan asam lemak pada
mikroalga dapat dikonversi menjadi biodiesel
melalui trans-esterifikasi (5.6). Potensi
mikroalga
dalam menghasilkan biodiesel
terkait dengan lipid dan asam lemak yang
terkandung dalam mikroalga tersebut. Kadar
lipid bergantung

yang tumbuh diamati dengan mikroskop


cahaya dengan perbesaran 400 kali.
2.3 Isolasi mikroalaga
1871

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Mikroalga diisolasi dengan metoda dilusi


menggunakan
media
BBM
hingga
pengenceran 10 -5.Inkubasi dilakukan selama
20 hari menggunakan shaker dengan kecepatan
300 rpm, pertumbuhan sel mikroalga diamati
setiap hari. Dari hasil pengamatan mikroskop
diambil mikroalga yang merupakan koloni
tunggal.
2.4 Pengukuran pertumbuhan mikroalga
Koloni tunggal yang diperoleh ditumbuhkan
dalam 1000 mL media BBM. Pertumbuhan
mikroalga diamati setiap hari dengan
mengukur density optik (DO) menggunakan
spektrofotometer. Pengukuran dilakukan untuk
membandingkan pertumbuhan mikroalga.
2.5 Pewarnaan Nile-Red
Mikroalga sebanyak 0,5 mL disentrifus dengan
kecepatan 1500 rpm selama 10 menit, dicuci
beberapa kali dengan aquades, kemudian
ditambahkan Nile-Red. Setelah itu diinkubasi
20 menit dan dilihat dibawah mikroskop
fluoresent.
2.7 Ekstraksi lipid
Mikroalga sebanyak 10 g ditambah 50 mL
metanol dan 50 mL aquades. Campuran
disonikasi selama 8 menit dan distirer selama 1
jam.Lipid disekstrak dengan 50 mL heksan
kemudian fasa heksan diambil. Ekstraksi
dilakukan sebanyak 4 kali. Ekstrak diuapkan
pelarutnya dengan rotary evaporator dan
kemudian dikering anginkan.
2.8 Trans-estrifikasi asam lemak.
Trans-esterifikasi dilakukan dengan katalis
asam dan katalis basa. Ekstrak lipid yang
diperoleh sebanyak 0,5 g dicampur denga 3 g
metanol. Untuk penggunaan katalis asam,
campuran ditambah denga 0,1 mL asam sulfat
9,5 %. Untuk katalis basa campuran ditambah
dengan 0,1 mL KOH 9,5 %. Campuran distirer
dipanaskan pada suhu
65 0 C selama 10
menit. Fasa metil asam lemak yang dihasilkan
dipisahkan dari fasa gliserol dan dianalisis
menggunakan GC-MS.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3.1 Jenis mikroalga pada sampel


air Lubuk Minturun.
3.2 Hasil isolasi mikroalga
Hasil isolasi dengan menggunakan
medium BBM dapat dilihat pada Gambar
berikut,

Database A

Database a

Isolat a

Database b
Isolat b
Gambar.3.2 Mikroalga hasil isolasi
Secara morfologi
isolat
a dapat
diidentifikasi
sebagai Schenedesmus
dimorphus dibandingkan dengan data pada
algaebase org. Sel dari spesies ini tersusun
zig-zag dan masing-masing selnya
menempel
dengan
yang
lainnya
membentuk satu unit. Masing masing unit
tersusun dari 4 atau 8 sel berkoloni.
Isolat b dapat dindentifikasi sebagai
Schnedesmus quadricauda,
selnya
membentuk satu unit yang serupa dengan
Schenedesmus dimorphus namun inti
selnya tersusun sejajar.

3.1 Pengamatan mikroalga


Dari hasil pengamatan dengan mikroskop
diperoleh 2 jenis mikroalga yang berbeda
morfologinya yaitu berbentuk bulat dan
elips. Keduanya termasuk jenis mikroalga
hijau. Jenis mikroalga tersebut dapat
dilihat pada gambar 3.1

1872

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

3.3 Kurva pertumbuhan isolat mikroalga


Dari Gambar 3.3 dibawah ini dapat dilihat
pertumbuhan isolat mikroalga

Gambar 3,3 Kurva pertumbuhan isolat


mikroalga.
Pada gambar diatas terlihat S.quadricauda
mempunyai nilai absorban lebih tinggi dari
S. dimorphus. Ini menunjukkan bahwa
jumlah S.quadricauda lebih banyak karena
media
BBM
lebih
cocok
untuk
pertumbuhan S.quadricauda dibandingkan
dengan S. dimorphus. S.quadricauda cepat
beradaptasi pada media BBM kelihatan
pada kurva absorbannya naik dengan cepat
dan mencapai maksimum pada hari ke 16,
sedangkan
S.
dimorphus
tidak
menunjukkan kenaikan absorban yang
tajam.
3.4 Pewarnaan Nile-Red
Hasil pewarnaan Nile - Red dapat dilihat
pada Gambar3.4. Berdasarkan hasil
pengamatan menggunakan mikroskop
fluorecsent diketahui bahwa isolat S.
dimorphus dan S.quadricauda memiliki
kandungan lipid karena adanya warna
kuning kemerahan yang terbentuk.
Perpendaran lipid dari S. dimorphus lebih
terang dibandingkan S.quadricauda maka
S.dimorphus dibiakan untuk kemudian
diekstrak lipidnya.

Gambar 3.4 Perpendaran lipid menggunakan


Nile-Red.
a.1 = perpendaran lipid S quadricauda
a.2 = mikroalga S quadricauda
b.1 = perpendaran lipid S.dimorphus
b.2 = mikroalga S.dimorphus
3.5 Karakterisasi FAME menggunakan GCMS.
Data hasil GC-MS terlihat pada tabel 3.1
memperlihatkan jenis-jenis asam lemak yang
teresterifikasi.
Tabel. 3.1 Hasil GC-MS berupa jenis metil
ester yang terbentuk

Dari data tersebut didapatkan bahwa


komponen yang mengalami trans-esterrifikasi
dengan persen area yang besar yaitu Z.9-Metil
oktadekanoat dan Metil heksadekanoat. Dari
data GC-MS masih ada asam lemak yang
belum tertrans-esterifikasi sehingga tidak

1873

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

membentuk FAME. Komponen komponen


tersebut terlihat pada Tabel 3.2

1. Gouveia Luisa,A.C.O.,2009.Microalgae as a

Tabel 3.2 Komponnen asam lemak yang belum


tertrans-esterifikasi berdasarkan
data GC-MS

2.

3.

4. KESIMPULAN
Pada aliran sungai didaerah Lubuk Minturun
ditemukan mikroalga diduga Scenedesmus
dimorphus daan Scenedesmus quadricauda .
Dari kedua isolat ternyata yang dominan
mengandung lipid adalah isolat Scenedesmus
dimorphus. Trans-esterifikasi lipid dengan
menggunakan katalis asam dan basa
menghasilkan berbagai jenis metil ester (
biodiesel) yaitu Metil dekanoat, Metil
dodekanoat, Metil tetradekanoat, Metil
pentadekanoat, Metil heksadekanoat , Z, 9metil heksadekanoat, Metil oktadekanoat, Z.9Metil oktadekanoat, Z,Z 9, 12-Dimetil
oktadekanoat,Metil eicosanoat.

4.

5.

6.
7.

REFERENSI

1874

raw material for biofuels production .J Ind


Microbiol Bioetechnol,36 p 269-274
Hosain A.B.M. Sharif, A.S Amru Nasrulhaq
Boyce, Partha chodhury Mohd Naqiuddin,
2008, Biodiesel Fuel Production from Algae as
Renewwable Energy . American Journal of
Biochemistry and Biotechnology, 4 p 250-258.
Da Silva Teresa Lopes, A.R., Roberto
Medeiros, Ana Cristina Oliveira, Luisa
Gouveia, 2009, Oil Production Towards Biofuel
from Autotrophic Microlagae Semicontinuous
Monitorized by Flow Cytometry, Appl Biochem
Biotechnol, 159.p.568 -578
Hu Qiang Hu, M.S., Eric Jarvis, Maria
Ghirardi., Matthew Posewitz, Michel Seibert,
Al Darzins, 2008, microalgal triacylglycerols as
feedstocks for biofuel production; perspective
and advances. The Plant Journal, 54 p 621-639.
Ratha Sachitra K, R.P., Rachapudi B.N. Prasad,
Chandragiri Sarika, Dolly W.Dhar, Anil K.
Saxena, 2013 Modulating lipid accumulation
and composition in microalgae by biphasic
nitrogen supplementation Aquaculture, 392.p
69-76.
Demirbas Ayhan, M.F.D., 2011. Importance of
algae oil as a source of biodiesel Energy
Conversion and Management 52 : p 163 -170.
Chisti, Y., 2007. Biodiesel from microalgae
Biotechnology Advances, 25: p 294-306.

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

SINTESIS NANOPARTIKEL ZnO DALAM MEDIUM EKSTRAK AIR


Hibiscus rosa sinensis DAN Allium sativum
SYNTHESIS OF ZnO NANOPARTICLES IN AQUAEOUS EXTRACTS OF Hibiscus
rosa sinensis AND Allium sativum
Evi Maryanti 1), Irfan Gustian 2), Totok Eka Suharto3), Asdim4)
1
Fakultas MIPA, Universitas Bengkulu (penulis 1)
email: evimaryanti82@yahoo.com
2
Fakultas MIPA, Universitas Bengkulu (penulis 2)
email: unibfan@yahoo.com
3
Fakultas MIPA, Universitas Bengkulu (penulis 3)
email: tesuharto@yahoo.com
4 Fakultas MIPA, Universitas Bengkulu (penulis 4)
email: asdim_001@yahoo.com
Abstract
ZnO nanoparticles have been synthesized in medium aqueous extract of Hibiscus rosa sinensis and Allium
sativum as capping agent. The synthesis was conducted by using a modified hydrothermal method at a

temperature of 90 95 C in the oven. The current conditions produced the desired ZnO nanoparticles with
difference shapes and crystallinity depending on the concentration of aqueous extract of Hibiscus rosa sinensis
and Allium sativum.
Keywords: ZnO nanoparticle, Hibiscus rosa sinensis, Allium sativum, capping agent

morfologi, dan sifat dari nanopartikel ZnO


telah banyak dilakukan diantaranya
penggunaan pati pada sintesis nanopartikel
ZnO dengan metode sonokimia [7],
sintesis nanopartikel ZnO dari reaksi
Zn(CH3COO)2.3H2O dalam etanol dan
NaOH, dan PVA (polyvinyl alcohol)
sebagai capping agent [10] dan sintesis
nanopartikel ZnO dalam medium esktrak
air Sapindus rarak DC dengan metode
hidrotermal
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa variasi berat ekstrak
yang
digunakan
mempengaruhi
kristalinitas yang dihasilkan [11].
Berdasarkan penelusuran literatur dan
penelitian sebelumnya, sejauh ini belum
ada kajian mengenai penelitian tentang
nanopartikel ZnO dengan memanfaatkan
ekstrak daun Hibiscus rosa sinensis dan
umbi Allium sativum yang menjadi salah
satu metode alternatif berbasis green
synthesis, sehingga diharapkan dapat
melihat pengaruh penambahan ekstrak
daun Hibiscus rosa sinensis dan Allium
sativum
terhadap
pertumbuhan

1. PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian
di bidang nanopartikel telah banyak dilakukan.
Salah satu material nanopartikel yang banyak
diteliti pada saat ini adalah ZnO. ZnO (Zinc
Oxide) merupakan material semikonduktor
dengan celah pita energy
3,37 eV,
menjadikan material ini dapat dimanfaatkan
untuk berbagai aplikasi seperti piezoelektrik
[1], laser UV [2], sensor gas [3], kosmetik dan
krim medis [4], dan juga anti mikroba [5].

Nanopartikel ZnO dapat disintesis pada


berbagai metode dengan variasi prekursor,
suhu
dan
capping
agent
untuk
menghasilkan nanopartikel ZnO dengan
ukuran, morfologi dan sifat yang
bervariasi.
Sintesis nanopartikel ZnO telah
banyak diteliti dengan menggunakan
berbagai metode, antara lain metode
hidrotermal [6], sonokimia [7], Maryanti
mechanochemical [8] serta metode sol-gel
[9].
Sintesis
nanopartikel
ZnO
menggunakan capping agent yang
digunakan sebagai pengontrol ukuran,
1875

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

nanopartikel
ZnO
dengan
hidrotermal termodifikasi.

metode

yang digunakan sebagai obat dalam herbal


medicine sejak ribuan tahun yang lalu.
Bawang Putih digunakan sebagai obat
untuk menurunkan tekanan darah dan
kolesterol, melawan infeksi, dan mencegah
kanker [17]. Sebagaimana kebanyakan
tumbuhan lain, bawang putih mengandung
lebih dari 100 metabolit sekunder yang
secara biologi sangat berguna. Senyawa ini
kebanyakan mengandung belerang yang
bertanggung jawab atas rasa, aroma, dan
sifat-sifat farmakologi bawang [18].
Mayoritas senyawa yang mengandung
sulfur dalam bawang putih yang masih
utuh adalah -glutamyl-S-allyl-L-cysteines
dan S-allyl-L-cysteine sulfoxides (allin)
putih [19].

2. KAJIAN LITERATUR

Seng oksida adalah senyawa anorganik


dengan rumus kimia ZnO. ZnO (zink
oksida) berupa bubuk putih umumnya
dikenal sebagai seng putih atau sebagai
zincite mineral. Mineral yang biasanya
berisi sejumlah unsur mangan dan lainnya
dan umumnya berwarna kuning hingga
merah. Kristal seng oksida berubah dari
putih ke kuning bila dipanaskan dan di
udara beralih ke putih pada proses
pendinginan. ZnO mempunyai aplikasi
yang sangat luas seperti dalam bidang
optoelektronik,
elektronik,
dan
elektrokimia [12]. ZnO bersifat amfoter
tidak larut dalam larutan netral tetapi dapat
larut dalam larutan asam dan basa kuat
[13].
Kembang
sinensis)

Sepatu

(Hibiscus

Capping Agent
Capping Agent sering digunakan
dalam
sintesis
nanopartikel
untuk
menghambat pertumbuhan berlebih dan
agregasi serta mengontrol karakteristik
struktural
dari
suatu
nanopartikel.
Penambahan capping agent Sapindus
rarak
DC
dapat
mempengaruhi
kristalinitas
nanopartikel
ZnO.
Nanopartikel ZnO yang disintesis dalam
medium ekstrak air S. rarak DC pada
konsentrasi 5% memberikan derajat
kristalinitas dan morfologi terbaik.
talinitas nanopartikel ZnO [11]. Begitu
juga dengan kehadiran capping agent
seperti
polivinil alkohol (PVA) pada
sintesis nanopartikel ZnO dapat mengubah
permukaan-permukaan
kristal,
PVA
teradsorbsi pada inti kristal dan membantu
partikel untuk tumbuh secara terpisah [10].

rosa

Tanaman kembang sepatu (Hibiscus


rosa sinensis) adalah tanaman semak suku
Malvaceace yang berasal dari Asia Timur.
Tanaman ini banyak digunakan sebagai
tanaman hias ataupun tanaman pagar pada
daerah tropis maupun sub tropis. Hibiscus
rosa sinensis merupakan tanaman perdu
yang tumbuh tegak dengan banyak cabang,
dapat tumbuh di daerah dataran tinggi
maupun pegunungan. Tanaman ini
biasanya dikenal dengan nama Bungo raja,
sedangkan di daerah Jawa tanaman
Hibiscus rosa sinensis biasanya dikenal
dengan kembang wera [14]. Tanaman
Hibiscus rosa sinensis mengandung tanin,
flavonoid, alkaloid, polifenol dan saponin
[15].Kadar saponin pada tumbuhan
Hibiscus rosa-sinensis sebesar 12,77%
[16].

3. METODE PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah zink nitrat tetrahidrat (Merck),
HMTA
(hexamethylenetetramine)
(Merck), akuades, akua DM (Brataco),
kertas saring Whatman No.1, kertas saring
Whatman No. 42, daun Kembang Sepatu
(Hibiscus rosa sinensis) dan Bawang
Putih (Allium sativum)

Bawang Putih (Allium sativum)


Garlic atau bawang putih (Allium
sativum) merupakan salah satu tanaman
1876

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

kemudian disaring dengan menggunakan


kertas saring Whatman 42. Endapan putih
kecoklatan yang dihasilkan kemudian
dicuci dengan akua DM dan metanol.
Kemudian dikeringkan pada suhu 95C
selama 4 jam. Prosedur yang sama
dilakukan untuk ekstrak bawang putih
(Allium sativum) dengan variasi berat 5;
7,5 dan 10 gram.

3.2 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
SEM
(JEOL-JSM-6510LV),
XRD(Philip Analitical PW 1710 BASED),
timbangan analitik, hot plate, oven,
termometer, aluminium foil, dan peralatan
gelas.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Pengambilan Sampel
Sampel daun Kembang Sepatu
diambil dalam keadaan segar di kawasan
Medan Baru Kota Bengkulu dan Bawang
Putih dibeli di Pasar Minggu Kota
Bengkulu.

3.3.4 Karakterisasi
Karakterisasi
X-Ray
Diffraction(XRD)
dilakukan di Laboratorium Fisika Universitas
Negeri Padang dan Scanning Electron
Microscopy (SEM) di laboratorium Teknik
Mesin Universitas Andalas, Padang

3.3.2 Pembuatan Ekstrak Air Kembang


Sepatu (Hibiscus rosa sinensis) dan
Bawang Putih (Allium sativum)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil ekstrak daun Hibiscus rosa


sinensis
yang
diperoleh
berwarna
kecoklatan sedangkan untuk bawang putih
berwarna krem Semakin besar berat
sampel yang digunakan maka warna yang
dihasilkan semakin pekat. Perbedaan buih
yang dihasilkan juga terlihat dari masingmasing variasi berat ekstrak daun Hibiscus
rosa sinensis. Pada ekstrak daun Hibiscus
rosa sinensis 2,5 gram menghasilkan buih
yang lebih sedikit dibandingkan dengan
variasi berat 5 gram dan 7,5 gram. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi variasi berat
daun Hibiscus rosa sinensis maka jumlah
saponin yang diperoleh semakin banyak.
Sedangkan untuk penambahan ekstrak air
Allium sativum menunjukkan perubahan
warna campuran menjadi kekuningan.
Semakin banyak berat bawang putih yang
ditambahkan,
endapan
putih
yang
terbentuk juga semakin banyak.
Selama proses sintesis berlangsung,
proses pembentukan ZnO terjadi melalui
tahapan reaksi di dalam campuran, antara
larutan zink nitrat tetrahidrat dengan
heksamin, mekanisme pembentukan ZnO
sebagai berikut:
1). Pada proses pertama, zink nitrat
tetrahidrat yang direaksikan dengan
HMTA dalam larutan berair membentuk
senyawa hidroksida yang kompleks.
2). Proses kedua, HMTA bertindak sebagai
lewis
polidentat
(khelat)
karena

Pada pembuatan ekstrak air kembang


sepatu (Hibiscus rosa sinensis) dan
bawang putih (Allium sativum) yang
digunakan adalah daun yang segar. Ekstrak
terlebih dahulu disiapkan dengan cara
menimbang daun/umbi
yang telah
dihaluskan menggunakan lumpang dan alu
sebanyak
2,5
gram.
Kemudian,
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml
dan ditambahkan akuades sampai tanda
batas. Campuran dimasukkan ke dalam
erlenmeyer dan distirrer selama 1 jam
pada suhu 70C. Setelah itu, campuran
disaring menggunakan kertas saring
Whatman No. 1. Prosedur yang sama
dilakukan untuk variasi berat 5 dan 7,5
gram dan untuk pembuatan ekstrak air
bawang putih variasi berat 5; 7,5 dan 10
gram.
3.3.3 Sintesis Nanopartikel ZnO dengan
Capping Agent Ekstrak Daun Hibiscus
rosa sinensis dan Allium sativum
Sebanyak 50 mL larutan zink nitrat
tetrahidrat 0,1 M dicampurkan ke dalam 50
mL filtrat ekstrak daun Hibiscus rosa
sinensis dengan berat sampel 2,5 gram
didalam erlenmeyer, ke dalam larutan
tersebut kemudian ditambahkan 100 mL
larutan HMTA 0,1 M secara perlahan.
Campuran kemudian dipanaskan di oven
pada suhu 95C selama 8 jam. Campuran
1877

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

mempunyai empat gugus amina yang


membantu pembentukan ion Zn2+.
3). Senyawa kompleks ini kemudian
terurai menjadi Zn(OH)2 berbentuk padat
dan HMTA dilepaskan kembali kedalam
larutan. Selama proses pemanasan
berlangsung, Zn(OH)2 berubah menjadi
ZnO padat dengan melepaskan H2O dalam
bentuk uap air [20]. Setelah pemanasan
selama 4 jam di dalam oven, nanopartikel
ZnO murni didapat bewarna putih dan tak
berbau
Difraktogram hasil karakterisasi pada
sintesis
nanopartikel
ZnO
dengan
penambahan ekstrak daun Hibiscus rosa
sinensis dan Allium sativum yang
dihasilkan, ditunjukkan pada Gambar 1.
Difraktogram yang dihasilkan dengan
berbagai variasi berat sampel menunjukkan
adanya perbedaan kristalinitas yang dapat
dilihat dari intensitas yang dihasilkan.
Penambahan ekstrak daun Hibiscus rosa

Intensitas (a.u)

Variasi Berat Ekstrak 7,5 gram

Variasi Berat Ekstrak 5 gram

(b
)

B aw an g p u tih
10 g
B aw an g p u tih
7 ,5 g

in te n sita s (a .u )

(a)

sinensis pada variasi berat 2,5 gram dan 5


gram menunjukkan intensitas yang relatif
lebih tinggi jika dibandingkan dengan
variasi berat 7,5 gram. Hal ini diperkirakan
karena pengaruh gugus OH pada saponin
yang terkandung dalam ekstrak daun
Hibiscus
rosa
sinensis
dapat
mempengaruhi pertumbuhan nanopartikel
sehingga kristalinitas yang dihasilkan
menurun. Berdasarkan perhitungan ukuran
Kristal menggunakan persamaan DebyeScherrer didapatkan ukuran kristal
nanopartikel ZnO tanpa penambahan
ekstrak sebesar 40,87 nm, penambahan
ekstrak air Hibiscus rosa sinensis variasi
berat 2,5; 5 dan 7,5 gram berturut-turut
berukuran 29,54 nm, 27,26 nm dan 29, 30
nm. Sedangkan penambahan ekstrak air
Allium sativum dengan variasi berat 5, 7,5
dan 10 gram berturut-turut berukuran
27,446 nm, 15,346 nm, dan 31,278 nm.

B aw an g p u tih
5g
Variasi Berat Ekstrak 2,5 gram

20

30

40

60

50

70

80

20

90

40

60

80

2 th eta (d erajat)

Gambar 1. Difraktogram ZnO dengan penambahan ekstrak air tanaman pada berbagai variasi
berat sampel (a). Hibiscus rosa sinensis, (b). Allium sativum.
Begitu juga dengan ZnO yang
dihasilkan pada penambahan ekstrak air
Allium sativum,
difraktogram (b)
memperlihatkan kristalinitas material ZnO
semakin berkurang akibat penambahan
ekstrak bawang putih dengan variasi berat
7,5 dan 10 gram.
Gambar 2 menunjukkan hasil
Scanning Electrone Microscope (SEM)
dari nanopartikel ZnO yang disintesis (a)
tanpa penambahan ekstrak, (b) dengan
penambahan ekstrak air Hibiscus rosa

sinensis variasi berat sampel 5 gram, (c)


dengan penambahan ekstrak air Allium
sativum variasi berat sampel 5 gram. Hasil
yang diperoleh dapat dilihat bahwa
morfologi
yang
didapatkan
pada
nanopartikel ZnO tanpa penambahan
ekstrak
berbentuk
batang
dengan
permukaan heksagonal (gambar 2.a),
sedangkan pada penambahan ekstrak air
Hibiscus rosa sinensis dengan variasi berat
5 gram memperlihatkan morfologi
berbentuk spherical. Adapun penambahan
1878

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ekstrak air Allium sativum menunjukkan


(a)

nanopartikel ZnO mengalami aglomerasi.

(b
)

(c)

Gambar 2. SEM morfologi nanopartikel ZnO (a). tanpa penambahan ekstrak, (b) dengan
penambahan ekstrak air Hibiscus rosa sinensis, (c). dengan penambahan ekstrak
air Allium sativum
[4] Oladiran, A.A., Olabisi, I.A.M. 2013. Synthesis
And Kharacterization Of ZnO Nanoparticles
With Zinc Chloride As Zinc Source. Asian
Journal Of Natural & Aplied Sciences. Vol 2
(2): 2186-8476
[5] Rajendran, R., Balakumar, C., Ahammed, M.H.,
Jayakumar, S., Veideki, K., Rajesh, E.M.
2010. Use of Zink Oxide Nanoparticle for
Production
of
Antimicrobial
textiles.
International Journal of Engineering Science
and Technologi. Vol 2 (1): 202-208
[6] Aneesh, P. M., K, A. Vanoja., M, K. Jayaraj.
2007. Synthesis of ZnO nanoparticles by
hydrothermal
method.
Nanophotonic
Materials IV. 6639
[7] Mishra, P., Raghvendra, S.Y. & Avinash, C.P.
2009. Starch Assisted Sonochemical Synthesis
of Flower-like ZnO Nanostructure. Digest
Journal
of
Nanomaterial
and
Biostructures.Vol 4 (1): 193-198
[8] Maryanti, E., Yudha, S.P., Padli. 2013. Sintesis
Mikro Partikel ZnO Terdoping Sulfur Alam
(ZnO:S) Melalui Metode Machanochemical.
Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan
Bidang MIPA BKS PTN Wilayah Barat Tahun
2013 Bandar Lampung. ISBN 978-60298559-2-0
[9] Widodo, S. 2010. Teknologi Sol-Gel Pada
Pembuatan Nano Kristalin Metal Oksida
Untuk Aplikasi Untuk Aplikasi Sensor Gas.
Journal Non-Crystal Solids. Vol 48 (1): 14114216
[10]Askarinejad, A., Alavi, M.A. & Morsali, A.
2011. Sonochemically Assisted Synthesis of
ZnO Nanoparticles: A Novel Direct Method.
Iran. Journal of Chemical Engineering. Vol
30 (3): 75-81
[11]Maryanti, E., Damayanti, D., Gustian, I.,
Yudha, S.S. 2014. Synthesis of Zno
Nanoparticles by Hydrothermal Method in

5. KESIMPULAN

Ekstrak air Hibiscus rosa sinensis


dan Allium sativum dapat digunakan dalam
sintesis
nanopartikel
ZnO
untuk
menghasilkan nanopartikel ZnO dengan
karakteristik yang berbeda. Penambahan
ekstrak air tanaman sebagai capping agent
dengan berbagai variasi berat sampel
menghasilkan ukuran nanopartikel ZnO
yang lebih kecil daripada tanpa
penambahan ekstrak air dengan morfologi
yang
berbeda-beda.
Karakteristik
nanopartikel ZnO yang berbeda diharapkan
menghasilkan sifat optik, sifat listrik dan
magnetik yang berbeda pula sehingga
dapat diaplikan dalam berbagai bidang.
6. REFERENSI
[1] Cho, Jinhyun., Lin, Qiubao., Yang, Sungwoo.,
Jr, Jay G, Simmons., Cheng Yingwen., Lin,
Erica., Yang, Jianqiu., Foreman, John V.,
Everitt, Henry O., Yang, Weitao., Kim,
Jungsang., & Liu, Jie. 2011. Sulfur-Doped
Zinc Oxide (ZnO) Nanostars: Synthesis and
Simulation of Growth Mechanism.Nano Res.
ISSN 1998-0124
[2] Wang, F. F., Cao, L., Pan, A. L., Liu, R. B.,
Wang, X., Zhu, X., Wang, S. Q., Zou, B. S.
(2007). Synthesis of tower-like ZnO structures
and visible photoluminescence origins of
varied shaped ZnO nanostructures. J. Phys.
Chem. C, Vol. 111, 2007, p. 7655,
ISSN:1932-7447.
[3] Rai, P., Yeon, T.Y. 2012. Citrate-assisted
Hydrothermal Synthesis of Single Crystalline
ZnO NPs for gas sensor Application. Sensors
& Actuators B: Chemical.

1879

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Aqueos Rinds Extracts of Sapindus rarak DC.
Material Letters. Vol (118): 96-98
[12]Wang, L Zhong. 2004.
Zinc Oxide
Nanostructures: Growth, Properties And
Applications.
School
of
Materials
Engineering, Georgia Institute of Technology,
Atlanta, GA 30332-0245, USA
[13] Sahu, S & Manish, K. 2010. Zinc Oxide
Nanostructures Synthesized By Oxidization Of
Zinc. Thesis, Department Of Metallurgical &
Materials Engineering, National Institute Of
Technologi Rourkela, Orissa
[14] Gilman E.F. 1999. Hibiscus rosa sinensis.
Institute of Food and Agricultural Sciences.
University of Florida, 254, 1-3
[15] Patel R., Patel A., Desai S., Nagee A. 2012.
Study of secondary metabolites and
antioxidant properties of leaves, stem and root
among Hibiscus rosa-sinensis cultivars. Asian
journal
of
experimental
biological
sciences, 3(4), 719-725

[16] Susanti S., Marhaeniyanto E. 2014. Kadar


saponin daun tanaman yang berpotensi
menekan gas metana secara in-vitro. Buana
Sains, 14 (1), 29-38
[17]Kumar,
K.P.S.,
Bhowmik,
D.,
Chiranjib.,Tiwari, P., Kharel, R. 2010. Allium
Sativum and Its Health Benefits: An
Overview. Journal Of Chemical and
Pharmaceutical Research. Vol 2 (1): 135-146
[18] Hernawan, U. E., Setyawan, A.D. 2003.
Seyawa Organosulfur Bawang Putih (Allium
Sativum) dan Aktivitas Biologinya. Jurnal
Biofarmasi. Vol 1(2): 65-76
[19] Jaz, S., Woong, L.C., Ejaz, A. 2003. Extract
Of Garlic (Allium Sativum) in Cancer
Chemoprevention. Experimental Oncology.
Vol 25 : 93-97
[20]Khusaimi, Z., Mamat, M. H., Abdullah, N., &
Rusop, M. 2012. ZnO Nanoparticles on Si,
Si/Au, and Si/Au/ZnO Substrates by MistAtomisation. Journal of Nanomaterials. Doi :
10.1155/2012/8728567.

1880

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

BAHAN AJAR BERBASIS MULTIMEDIA INTERAKTIF MATERI IKATAN


KMIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS
F. Eka Safitri1), Fuad Abdurachman2), Hartono3)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,Universitas Sriwijaya
f.eka_safitri1988@yahoo.com, Fuad_abd.rachman@yahoo.co.id, hartonosains@yahoo.co.id

Abstract The purpose of the research are to produce teaching materials multimedia-based on chemical bonding
grade X. The methodology used in this research was development research by using Alessi and Trollip models
which carried out in three phases, namely planning, design, and development. This paper would explain about
planning and design phases. The conclusion of the research was that the teaching materials interactive
multimedia-based that was developed was valid, practical and had effectivity towards students learning output.
The suggestion for other researcher, it is that they are expected to develop quiz and games for mental bonding,
random question for evaluation process, and closing evaluation program in order that the evaluation would not
be able to be opened by the students before the time;(2) for the teacher, it is expected that the teaching material
will be able to be applied as one of the teaching material in order the learning process would be easier; (3) for
the school, it is expected that the teaching material interactive multimedia based will be used as a learning
resources in the teaching chemistry at X grade and as a model for other teacher.
Key words: development research, teaching materials, interactive multimedia, chemical bonding

didik dalam kegiatan pembelajaran. Bahan ajar


berbasis multimedia interaktif memungkinkan
peserta didik belajar secara individu sesuai
dengan kemampuan masing-masing dalam
memahami materi ajar, sehingga peserta didik
diharapkan mampu memecahkan persoalan
yang dihadapi di dalam pembelajaran tanpa
harus tergantung dari gurunya. Bahan ajar
berbasis multimedia interaktif sangat cocok
untuk diterapkan di SMAN 1 Indralaya Utara.
Prasarana teknologi di sekolah sebagai
pendukung
pembelajaran
berbasis
komputerpun sudah memadai. Kualitas sumber
daya manusia, baik guru maupun peserta didik
sudah baik dalam menggunakan komputer.
Sekolah ini merupakan sekolah yang berbasis
ICT, yang dibuktikan dengan pelaksanaan
ujian secara online pada setiap midsemester
dan semesternya, sehingga seluruh peserta
didik SMAN 1 Indralaya Utara memiliki
fasilitas laptop dan modem pribadi yang dapat
digunakan dalam pembelajaran.
Penggunaan
bahan
ajar
berbasis
multimedia interaktif dapat meminimalisir
peran guru di dalam kegiatan pembelajaran
(Kennedy dan Naught, 1997). Kennedy juga
mengemukakan bahwa penggunaan bahan ajar
berbasis multimedia interaktif di dalam
pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar
kognitif peserta didik. Para guru diharapkan
mampu mengembangkan bahan ajar berbasis
multimedia interaktif, sehingga tercipta
pembelajaran
yang
interaktif
dan
menyenangkan. Kennedy menyarankan kepada

I.

PENDAHULUAN
Pembelajaran kimia pada pokok
bahasan ikatan kimia biasanya dilakukan guru
hanya dengan mengandalkan bahasa verbal
dan
buku
paket.
Berdasarkan
studi
pendahuluan yang telah dilakukan melalui
wawancara peserta didik kelas X dan guru
mata pelajaran yang bersangkutan, kebanyakan
peserta
didik
merasa
jenuh
dengan
pembelajaran yang bersumber pada buku
paket. Hal ini karena peserta didik merasa
kesulitan untuk memahami materi pelajaran
yang terdapat pada buku paket, terutama
materi-materi yang bersifat abstrak, seperti
pada pokok bahasan ikatan kimia, sehingga
saat diberikan tes formatif yang berupa
ulangan harian, hanya 44% peserta didik yang
mencapai ketuntasan dalam belajar. Selain itu,
pembelajaran yang bersumber pada buku paket
tidak bisa melibatkan seluruh peserta didik
untuk berpartisipasi aktif di dalam kegiatan
pembelajaran, sehingga pembelajaran dirasa
kurang interaktif. Beberapa peserta didik
hanya merasa sebagai peramai dalam
pembelajaran tersebut, oleh sebab itu mereka
mengharapkan agar guru mempersiapkan suatu
bahan ajar yang menarik, interaktif, dan
konstruktif.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut,
peserta didik mengharapkan agar guru mampu
mengembangkan bahan ajar yang menyertakan
gambar, video, animasi, dan game yang
menarik dan bersifat kontekstual, sehingga
dapat meningkatkan keinteraktifan peserta
1881

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

pengembang selanjutnya untuk merancang


bahan ajar berbasis multimedia interaktif
dengan memperluas desain multimedia yang
akan membawa pembelajaran berpusat kepada
peserta didik (student centered) sehingga dapat
mengikutsertakan peserta didik untuk aktif di
dalam pembelajaran.
Penelitian mengenai bahan ajar berbasis
multimedia juga telah dilakukan oleh beberapa
ahli, di antaranya yaitu Jones (2013)
mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis
multimedia pada materi geometri molekul
dapat membantu peserta didik dalam
memahami pergerakan molekul, hal ini
dibuktikan dengan hasil evaluasi belajar yang
tinggi. Peserta didik yang dalam proses
pembelajarannya menggunakan multimedia
pembelajaran memiliki nilai rata-rata hasil
belajar sebesar 83, sedangakan peserta didik
yang di dalam proses pembelajarannya tidak
menggunakan multimedia pembelajaran hanya
memiliki nilai rata-rata 59,5. Pada penelitian
ini Jones menyarankan untuk mengembangkan
grafis
multimedia
pembelajaran
yang
didasarkan pada prinsip desain pembelajaran,
yang
menekankan
pada
kemudahan
penggunaan, kemenarikan, dan kemampuannya dalam memberikan umpan balik.
Hasil penelitian Zhang (2005) mengenai
multimedia interaktif
menunjukan bahwa
penggunaan bahan ajar berbasis multimedia
interaktif dapat membuat pembelajaran
menjadi lebih interaktif. Selanjutnya penelitian
menggunakan bahan ajar berbasis multimedia
interaktif juga telah dilakukan oleh Martin, et
al (2013) yang menunjukan bahwa bahan ajar
berbasis
multimedia
interaktif
dapat
meningkatkan perhatian peserta didik saat
pembelajaran berlangsung.
Dari beberapa penelitian di atas, dapat
disimpulkan bahwa bahan ajar berbasis
multimedia interaktif merupakan bagian dari
media pembelajaran di sekolah yang sangat
membantu peserta didik dalam meningkatkan
hasil belajar. Selain itu penggunaan bahan ajar
berbasis multimedia interaktif juga dapat
meningkatkan minat peserta didik dalam
pembelajaran. Namun dalam pelaksanaan
penelitian di atas, terdapat beberapa
kekurangan yang berpusat pada prinsip-prinsip
desain pembelajaran. Kekurangan-kekurangan
ini akan diperbaiki melalui penelitian ini.
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan
menambahkan
petunjuk
penggunaan

multimedia interaktif yang berfungsi sebagai


penuntun peserta didik dalam menjalankan
multimedia interaktif. Selain itu, multimedia
interaktif yang akan dibuat ini bersifat stand
alone. Hal ini bertujuan agar dapat digunakan
secara mandiri dalam kegiatan pembelajaran.
Melalui multimedia interaktif yang akan dibuat
ini,
diharapkan
peserta
didik
dapat
mempelajari materi, mengerjakan soal latihan,
dan mengerjakan evaluasi secara mandiri
dengan pemberian penguatan pada hasil
jawaban peserta didik. Berdasarkan uraian di
atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang
Pengembangan
Bahan
Ajar
Berbasis
Multimedia Interaktif Pada Materi Ikatan
Kimia Kelas X di Sekolah Menengah Atas
Negeri 1 Indralaya Utara.
2. KAJIAN LITERATUR
2.1Hakikat Bahan Ajar
Yaumi (2013:244) mengemukakan bahwa
bahan pembelajaran merupakan seperangkat
bahan yang disusun secara sistematis untuk
kebutuhan pembelajaran yang bersumber dari
bahan cetak, alat bantu visual, audio, video,
multimedia, dan animasi, serta computer dan
jaringan. Menurut Sanjaya (2008:141) bahan
atau materi ajar adalah segala sesuatu yang
menjadi isi kurikulum yang harus dikuasai
oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi
dasar dalam rangka mencapai standar
kompetensi setiap mata pelajaran
dalam
satuan pendidikan tertentu.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa bahan ajar
merupakan komponen pembelajaran yang
digunakan oleh guru sebagai bahan belajar bagi
peserta didik untuk membantu guru dalam
melaksanakan pembelajaran di kelas. Pada
penelitian kali ini akan dikembangkan bahan
ajar berbasis multimedia interaktif
yang
diharapkan dapat membantu pembelajaran di
kelas.
2.2 Multimedia Interaktif
Rusman
(2013:140)
mengemukakan
bahwa multimedia interaktif adalah media
yang dibuat dengan mengkombinasikan teks,
grafik, audio, gambar bergerak (video dan
animasi) dengan menggabungkan link dan tool
yang
memungkinkan
pemakai
untuk
melakukan navigasi, berinteraksi, berkreasi,
dan berkomunikasi. Menurut Susilana dan
Riyana (2009:126) multimedia interaktif
1882

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

merupakan alat atau sarana pembelajaran yang


berisi materi, metode, batasan-batasan, dan
cara mengevaluasi yang dirancang secara
sistematis untuk mencapai kompetensi atau
subkompetensi suatu mata kuliah.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa multimedia interaktif
merupakan media ajar yang di dalamnya
terdapat gambar, grafik, video, suara, dan
animasi yang digunakan dalam membantu
guru menyampaikan materi ajar. Peran
multimedia interaktif di atas merupakan dasar
untuk melakukan penelitian pengenai
pengembangan
bahan
ajar
berbasis
multimedia interaktif di sekolah menengah
atas.

cukup besar. Ikatan ini terjadi antara unsur


logam dan nonlogam. Misalnya pada
garam meja (natrium klorida), Ketika
natrium (Na) dan klor (Cl) bergabung,
atom-atom natrium kehilangan elektron,
membentuk kation (Na+), sedangkan atomatom klor menerima elektron untuk membentuk anion (Cl-). Ion-ion ini kemudian
saling tarik-menarik dalam rasio 1:1
2.3.2.2 Ikatan Kovalen
Ikatan kovalen merupakan ikatan
yang terjadi karena adanya pemakaian
bersama elektron dari atom-atom penyusun
suatu senyawa (Purba, 2006:108). Ikatan
kovalen terjadi antara unsur nonlogam
dengan nonlogam. Sebagai contoh ikatan
pada senyawa hidrogen klorida (HCl).
Meskipun klorin memiliki keelektronegatifan yang lebih besar dari pada hidrogen,
perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan
sehingga tidak memungkinkan terjadinya
serah terima elektron. Konfigurasi stabil
dicapai dengan pepmbentukan ikatan
kovalen. Dalam hal ini elektron tunggal
dari atom hidrogen dipasangkan dengan
elektron klorin yang belum berpasangan.
2.3.2.2.1 Jenis-jenis Ikatan Kovalen
1) Ikatan Kovalen Polar
Ikatan kovalen polar terjadi jika PEI
tertarik lebih kuat ke salah satu atom. Hal
ini dikarenakan atom-atom yang berikatan
memiliki perbedaan keelektronegatifan
yang cukup besar. Contoh senyawa-senyawa yang memiliki ikatan kovalen polar,
antara lain: HCl, NH3, H2O, dan lain-lain.
2) Ikatan Kovalen nonpolar
Ikatan kovalen nonpolar terjadi jika
PEI tertarik sama kuat ke semua atom.
Senyawa-senyawa yang memiliki ikatan
kovalen nonpolar memiliki momen dipol
nol dan tidak memiliki PEB pada atom
pusatnya. Contoh senyawa-senyawa yang
memiliki ikatan kovalen nonpolar, antara
lain: CH4, Cl2, BF3 dan lain-lain.
3) Ikatan Kovalen Koordinasi
Ikatan kovalen koordinasi terjadi jika
penggunaan bersama pasangan elektron
hanya berasal dari salah 1 atom yang
berikatan (pasangan elektron bebas),
sedangkan atom yang lain hanya menerima

2.3
Ikatan Kimia
2.3.1 Peranan Elektron Pada
Pembentukan Ikatan Kimia
Senyawa alami dari gas mulia tidak
dapat ditemukan di alam. Sebagian besar
unsur gas mulia di alam terdapat dalam
bentuk gas monoatomik. Para ahli
mengaitkan kestabilan gas mulia dengan
konfigurasi elektronnya. Gas mulia
mempunyai konfigurasi penuh, yaitu
konfigurasi oktet (mempunyai delapan
elektron pada kulit terluar), kecuali helium
dengan konfigurasi duplet (dua elektron
pada kulit terluar
Unsur-unsur lain di luar golongan gas
mulia menunjukan kecendrungan untuk
mencapai kestabilan dengan menjadikan
konfigurasi elektronnya sama seperti gas
mulia terdekat. Kecendrungan ini disebut
sebagai aturan oktet. Konfigurasi oktet
dapat dicapai dengan serah terima elektron
atau penggunaan bersama elektron ketika
atom-atom tersebut membentuk ikatan.
Serah terima elektron menghasilkan apa
yang disebut dengan ikatan ion, sedangkan
penggunaan bersama elektron menghasilkan ikatan kovalen.
2.3.2 Jenis-jenis katan Kimia
2.3.2.1 Ikatan Ion
Ikatan ion merupakan gaya tarik
menarik listrik antara ion yang berbeda
muatan (Purba, 2006:102). Ikatan ion terjadi jika unsur-unsur yang bereaksi memiliki perbedaan keelektronegatifan yang
1883

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Teknik pengumpulan data yang telah


dilakukan dalam mengembangkan dan
menciptakan bahan ajar berbasis multimedia
interaktif yaitu teknik
wawancara yang
dilakukan pada tahap analisis kebutuhan
peserta didik, sarana prasarana sekolah, sosial
ekonomi peserta didik, tugas peserta didik

pasangan elektron yang digunakan


bersama. Pasangan elektron ikatan (PEI)
yang
menyatakan
ikatan
dativ
digambarkan dengan tanda anak panah
kecil yang arahnya dari atom donor
menuju akseptor pasangan elektron. Hal ini
dapat dilihat pada gambar 3 berikut.
2.3.2.3 Ikatan Logam
Logam memiliki sedikit elektron
valensi, sehingga kulit terluar unsur logam
relatif longgar, dan elektron dapat berpindah dari satu atom ke atom lain, dan elektron valensi logam mengalami delokalisasi
(Purba, 2006:131). Dalam ikatan logam,
kation-kation logam tersusun rapat seperti
halnya kelereng dalam kotak. Elektronelektron valensi tidak terikat pada satu
atom, tetapi terdelokalisasi dan berpindahpindah dari satu atom ke atom yang lain.
Jadi ion-ion positif logam dikelilingi lautan
elektron.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1Hasil Tahap Perencanaan
Pada tahap ini dilakukan delapan analisis,
di antaranya: analisis kebutuhan peserta didik,
analisis teknologi, analisis sosial ekonomi,
analisis tugas peserta didik, analisis bahan ajar
interaktif, analisis SK KD, analisis tujuan
pembelajaran,
dan
analisis
media
pembelajaran.
4.1.1 Analisis Kebutuhan Peserta Didik
Berdasarkan hasil wawancara dengan
guru dan peserta didik, dapat disimpulkan
bahwa peserta didik menginginkan guru
mengembangkan suatu bahan ajar yang dapat
membantu mereka agar lebih mudah dalam
memahami konsep-konsep kimia dan bahan
ajar tersebut dilengkapi dengan gambar, video,
animasi, dan game, sehingga pembelajaran
menjadi interaktif.
4.1.2 Analisis Teknologi
Berdasarkan hasil observasi yang telah
dilakukan peneliti mengenai prasarana di
SMAN 1 Indralaya Utara, diperoleh informasi
bahwa prasarana di SMAN 1 Indralaya Utara
mendukung untuk diterapkan pembelajaran
berbasis komputer. Walaupun ketersediaan
komputer di laboratorium komputer hanya 10
unit, 100% peserta didik sudah memiliki
laptop dan modem pribadi yang dapat
digunakan untuk menunjang pembelajaran
berbasis komputer.
4.1.3 Analisis Sosial Ekonomi
Berdasarkan data yang diperoleh dari
buku induk peserta didik SMAN 1 Indralaya
Utara diketahui bahwa 90,62% perekonomian
keluarga peserta didik SMAN 1 Indralaya
Utara tergolong mampu.
4.1.4 Analisis Tugas Peserta Didik
Melalui wawancara yang telah dilakukan
oleh peneliti kepada peserta didik dan guru
mata pelajaran kimia diketahui bahwa tugastugas yang sering diberikan guru berupa tugastugas yang sifatnya individu yang berupa soalsoal latihan yang bersumber pada buku paket.
4.1.5 Analisis Bahan Ajar Interaktif

3.METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan
dan pendekatan penelitian pengembangan
(development research) yang menghasilkan
produk berupa bahan ajar berbasis multimedia
interaktif pada pembelajaran ikatan kimia.
Penelitian ini telah dilaksanakan di kelas X
SMAN 1 Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir
pada bulan Oktober- November 2015.
Model pengembangan yang digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
model
pengembangan Alessi dan Trollip. Model
Alessi dan Trollip meliputi tiga tahap, yaitu
tahap perencanaan, tahap desain, dan tahap
pengembangan. Paper ini hanya akan
membahas hingga tahap desain. Tahapantahapan yang telah dilakukan dalam penelitian
ini meliputi: (1) tahap perencanaan, peneliti
melakukan delapan analisis, yaitu analisis
kebutuhan peserta didik, analisis teknologi,
analisis sosial ekonomi, analisis tugas peserta
didik, analisis bahan ajar interaktif, analisis SK
KD, analisis tujuan pembelajaran, dan analisis
media pembelajaran; dan (2) tahap desain,
peneliti membuat flowchart, membuat garis
besar program media (GBPM), membuat
storyboard, menentukan software yang akan
digunakan untuk membuat bahan ajar berbasis
multimedia interaktif, dan menentukan activity
yang menunjang pembelajaran.
1884

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Pada analisis bahan ajar interaktif,


peneliti
mengumpulkan
jurnal-jurnal
pendidikan mengenai penggunaan bahan ajar
berbasis
multimedia
interaktif
dalam
pembelajaran. Jurnal-jurnal tersebut di
antaranya: (1) hasil penelitian Kennedy (2013);
(2) hasil penelitian Jones (2013); (3) hasil
penelitian Zhang (2005).
Data dari jurnal-jurnal ini kemudian
dianalisis, sehingga dapat disimpulkan bahwa
bahan ajar berbasis multimedia interaktif
sangat baik digunakan dalam pembelajaran.
4.1.6 Analisis SK KD
Hasil dari analisis ini adalah SK, KD dan
Indikator pembelajaran. Standar kompetensi
yang dipilih pada penelitian ini adalah
memahami struktur atom, sifat-sifat periodik
unsur, dan ikatan kimia. Kompetensi dasar
yang dipilih pada penelitian ini adalah
membandingkan proses pembentukan ikatan
ion, ikatan kovalen, ikatan kovalen koordinat,
dan ikatan logam serta hubungannya dengan
sifat fisika senyawa yang terbentuk. Indikator
pembelajaran pada penelitian ini,yaitu: (1)
menentukan cara suatu unsur mencapai
kestabilan menggunakan konfigurasi elektron;
(2)
menentukan
nama
suatu
unsur
menggunakan
struktur
Lewisnya;
(3)
menganalisis
unsur-unsur
yang
dapat
membentuk
ikatan
ion
menggunakan
konfigurasi elektron; (4) menganalisis proses
pembentukan senyawa ion menggunakan
nomor atom; (5) menganalisis unsur-unsur
yang dapat membentuk ikatan kovalen
menggunakan konfigurasi elektron; (6)
menganalisis proses pembentukan senyawa
kovalen menggunakan elektron valensi; (7)
menjelaskan proses pembentukan ikatan
kovalen koordinasi pada suatu senyawa
; (8) menentukan ikatan kovalen koordinasi
yang terdapat pada suatu senyawa melalui
struktur Lewis senyawa tersebut ; (9)
menentukan sifat senyawa ion suatu materi;
(10) menentukan sifat suatu materi yang
mengandung ikatan kovalen melalui data-data
sifat fisis suatu materi.
4.1.7 Analisis Tujuan Pembelajaran
Setelah mendapatkan hasil analisis SK
dan KD, yang dilakukan selanjutnya adalah
merumuskan tujuan pembelajaran. Tujuan dari
pembelajaran ini, yaitu: (1) peserta didik dapat
menentukan cara suatu unsur mencapai
kestabilan menggunakan konfigurasi elektron
dengan tepat; (2) peserta didik dapat

menentukan nama suatu unsur menggunakan


struktur Lewisnya dengan tepat; (3) peserta
didik dapat menganalisis unsur-unsur yang
dapat membentuk ikatan ion menggunakan
konfigurasi elektron dengan tepat; (4) peserta
didik dapat menganalisis proses pembentukan
senyawa ion menggunakan nomor atom
dengan tepat; (5) peserta didik dapat
menganalisis
unsur-unsur
yang
dapat
membentuk ikatan kovalen menggunakan
konfigurasi elektron dengan tepat; (6) peserta
didik dapat menganalisis proses pembentukan
senyawa
kovalen menggunakan elektron
valensi dengan tepat; (7) peserta didik dapat
menjelaskan proses pembentukan ikatan
kovalen koordinat pada suatu senyawa dengan
tepat; (8) peserta didik dapat menentukan
ikatan kovalen koordinasi yang terdapat pada
suatu senyawa melalui struktur Lewis senyawa
tersebut dengan tepat; (9) peserta didik dapat
menentukan sifat senyawa ion dengan tepat;
(10) peserta didik dapat menentukan sifat suatu
materi yang mengandung ikatan kovalen
melalui data-data sifat fisis suatu materi
dengan tepat.
4.1.8 Analisis Media Pembelajaran
Berdasarkan tujuan pembelajaran di atas,
,maka media pembelajaran yang sebaiknya
digunakan adalah media pembelajaran yang
dapat memvisualisasikan hal-hal abstrak pada
materi ikatan kimia. Bahan ajar berbasis
multimedia interaktif dapat membantu peran
guru dalam menjelaskan materi ikatan kimia
dengan memvisualisasikan hal-hal yang
bersifat abstrak agar menjadi konkret.
4.2 Hasil Tahap Desain
Hasil dari tahap desain adalah sebagai berikut.
4.2.1 Membuat Flowchart
Pada tahap ini peneliti mengembangkan
topik-topik yang menjadi konten dari bahan
ajar berbasis multimedia interaktif terlebih
dahulu, hasilnya tergambar melalui flowchart.
4.2.2 Membuat Garis Besar Program Media
(GBPM)
Pembuatan garis besar program media
(GBPM) bertujuan untuk menentukan materi
yang akan dimuat dalam storyboard yang
selanjutnya digunakan dalam perancangan
bahan ajar berbasis multimedia interaktif.
4.2.3 Membuat Storyboard
1885

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Secara garis besar dalam storyboard


memuat menu-menu sebagai berikut:1)
petunjuk
penggunaan;2)
kompetensi;3)
materi;4) evaluasi; dan 5) profil peneliti.
Adapun contoh storyboard pada halaman
pembuka bahan ajar berbasis multimedia
interaktif, dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

guru dalam menyampaikan materi ajar di


kelas; (2) peserta didik merasa jenuh dengan
pembelajaran yang bersumber pada buku
paket; (3) peserta didik kesulitan dalam
memahami konsep-konsep kimia yang terdapat
pada buku paket; (4) peserta didik merasa
pembelajaran kimia kurang interaktif; (5)
peserta didik lebih menyukai bahan ajar yang
menyertakan gambar, video, animasi, dan
game yang menarik dan bersifat kontekstual.
Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan
bahwa
peserta
didik
menginginkan guru mengembangkan suatu
bahan ajar yang dapat membantu mereka agar
lebih mudah dalam memahami konsep-konsep
kimia dan bahan ajar tersebut dilengkapi
dengan gambar, video, animasi, dan game,
sehingga pembelajaran menjadi interaktif.
Pada pembelajaran materi ikatan kimia
diharapkan peserta didik mampu menentukan
cara suatu unsur mencapai kestabilan,
menjelaskan unsur-unsur yang membentuk
ikatan ion, kovalen, dan kovalen koordinat,
menganalisis unsur-unsur yang membentuk
ikatan ion, kovalen, dan kovalen koordinat,
serta menentukan sifat suatu materi
berdasarkan jenis ikatannya, oleh sebab itu
untuk flowchart, GBPM, dan storyboard yang
dibuat menyertakan latihan-latihan soal dan
games pada setiap materi.
Kelebihan-kelebihan bahan ajar berbasis
multimedia interaktif pada materi ikatan kimia
yang dikembangkan antara lain.
1. Materi ikatan kimia yang bersifat abstrak
dapat divisualisasikan melalui bahan ajar
berbasis multimedia interaktif yang
dikembangkan peneliti. Bahan ajar ini
mampu
memvisualisasikan
proses
pembentukan ikatan ion, ikatan kovalen,
ikatan kovalen koordinat, ikatan logam, dan
sifat-sifat fisis materi berdasarkan jenis
ikatannya melalui animasi yang tidak dapat
dilakukan
dengan
pembelajaran
menggunakan buku teks.
2. Bahan ajar berbasis multimedia interaktif
dilengkapi dengan soal-soal latihan pada
subpokok bahasan Kestabilan unsur,
struktur Lewis, ikatan ion, kovalen, kovalen
koordinat dan sifat fisis materi untuk
melatih pemahaman peserta didik dalam
belajar.
3. Bahan ajar berbasis multimedia interaktif
ini dilengkapi game pada subpokok
bahasan kestabilan unsur, struktur Lewis,

Tabel 1. Contoh Storyboard Bahan Ajar


Judul

Ikatan Kimia

Tampilan
Tampilan halaman pembuka terdiri
dari tombol enter, fullscreen, dan
musik.

Halaman
: 1
Teks
Selamat datang di
pembelajaran interaktif
ikatan kimia

Keterangan Media
Teks,
musik
dan
animasi

4.2.4 Menentukan Software


Pengembangan bahan ajar berbasis
multimedia interaktif pada materi ikatan kimia
ini menggunakan aplikasi macromedia flash 8.
4.2.5Menentukan Activity yang Menunjang
Pembelajaran

Activity yang dirancang dalam


pengembangan bahan ajar berbasis
multimedia interaktif pada materi ikatan
kimia ini di antaranya, peserta didik
membaca bahan ajar berbasis multimedia
interaktif sesuai dengan subpokok bahasan,
peserta didik diminta untuk menjawab
pertanyaan yang diberikan guru yang
berhubungan dengan subpokok bahasan,
peserta didik bermain game yang terdapat
pada beberapa subpokok bahasan, di
antaranya subpokok bahasan kestabilan
unsur, struktur Lewis, ikatan ion, dan
ikatan kovalen serta menjawab soal-soal
latihan yang terdapat pada setiap akhir
subpokok bahasan ikatan kimia. Aktivitas
terakhir yang dilakukan pada penelitian ini
adalah menjawab soal-soal evaluasi yang
terdapat pada bahan ajar berbasis
multimedia interaktif.
4.3 PEMBAHASAN
Melalui wawancara dengan peserta didik
dan guru mata pelajaran yang bersangkutan
diperoleh informasi bahwa : (1) buku paket
merupakan bahan ajar utama yang membantu
1886

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ikatan ion dan ikatan kovalen, sehingga


peserta didik merasa tertarik dalam
mempelajari ikatan kimia.
Keterbatasan kemampuan pengembang
dari segi isi materi dan teknisnya, serta
keterbatasan waktu yang tersedia, sehingga
bahan ajar berbasis multimedia interaktif ini
terdapat kelemahan dan kekurangan, antara
lain sebagai berikut:
1. Peneliti belum mampu mengembangkan
kuis dan game yang terdapat pada materi
ikatan logam pada bahan ajar berbasis
multimedia interaktif ini.
2. Peneliti belum mampu mengembangkan
soal evaluasi yang sifatnya random. Hal ini
dimaksudkan agar peserta didik kesulitan
untuk bekerja sama dengan temannya saat
proses evaluasi berlangsung.
3. Peneliti belum mampu membuat template
evaluasi yang terkunci, sehingga hanya
dapat dibuka pada saat yang telah
ditentukan. Templete evaluasi yang dibuat
peneliti dalam pengembangan bahan ajar
berbasis multimedia interaktif ini dapat
dibuka oleh peserta didik kapanpun dan
dimanapun, sehingga peserta didik dapat
mengetahui lebih dahulu soal evaluasi
sebelum
melakukan
evaluasi
yang
sebenarnya di kelas.
Beberapa kekurangan yang ada dalam
bahan ajar berbasis multimedia interaktif yang
telah dikembangkan, diharapkan dapat
dijadikan sebagai pertimbangan bagi peneliti
atau pengembang lain untuk menghasilkan
bahan ajar berbasis multimedia interaktif yang
lebih baik lagi.

1. Bagi peneliti lain, diharapkan agar dapat


mengembangkan game dan soal-soal untuk
materi
ikatan
logam,
mampu
mengembangkan soal-soal evaluasi yang
sifatnya random, dan mampu membuat
template evaluasi yang terkunci agar soalsoal evaluasi tidak dapat dibuka sebelum
peserta didik benar-benar melakukan
evaluasi pembelajaran.
2. Bagi guru, diharapkan media yang
dihasilkan dapat digunakan sebagai salah
satu bahan ajar yang mempermudah
penyampaian materi pelajaran
3. Bagi sekolah, diharapkan agar bahan ajar
berbasis
multimedia
interaktif
ini
digunakan sebagai sumber belajar pada
mata pelajaran kimia kelas X dan dapat
digunakan sebagai percontohan bagi guruguru lain yang akan menggunakan bahan
ajar berbasis multimedia interaktif.
DAFTAR PUSTAKA
Alessi, S.M., Trollip, S. R, 2001. Media For
Learning Methods and Development. Needham
Heights: Allyn and Bacon.
Jones, L., 2013.
How Multimedia-Based
Learning and Molecular Visualization
Change the Landscape of Chemical
Education Research. Journal of Chemistry
Education, 90: 1571 1576.
Kennedy, D., M., Naught, M., C., 1997. Design
Elements for Interactive Multimedia.
Australian Journal of Educational Technology,
13(1): 1-22.
Martin, F., Hoskins O., Brooks R., Bennett, T.,
2013. Development of
an Interactive
Multimedia
Instructional Module. The
Journal of Applied Instructional Design, 3(3):
5- 17.
Purba, Michael. 2006. Kimia SMA Kelas X Jilid IA.
Jakarta: Erlangga.
Rusman, 2013. Belajar dan Pembelajaran Berbasis
Komputer. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, Wina, 2008. Perencanaan dan Desain
Sistem Pembelajaran. Bandung: Kencana
Prenada Media Group.
Susilana, R., Riyana C., 2009. Media
Pembelajaran. Bandung : CV Wacana Prima.
Yaumi, M., 2013. Prinsip-prinsip Desain
Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Zhang, D., 2005. Interactive Multimedia-Based
E-Learning: A Study of Effectiveness.

5. SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan mengenai
bahan ajar berbasis
multimedia interaktif pada materi ikatan kimia
di Sekolah Menengah Atas, dapat disimpulkan
bahwa peneliti telah mengembangkan bahan
ajar berbasis multimedia interaktif yang dapat
digunakan dalam pembelajaran ikatan kimia
di Sekolah Menengah Atas.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, saran yang dapat diberikan adalah
sebagai berikut.

1887

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

ANALISIS KUALITAS AIR PASCA TERJADINYA UP WELLING


PADA LOKASI PEMELIHARAAN IKAN KARAMBA JARING APUNG
DI DANAU MANINJAU
Hamzar Suyani, Refilda dan Deswati
Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas Padang, 25163
hamzarsuyani2003@yahoo.com, refilda_59@yahoo.com, deswati_ua@yahoo.co.id
Abstract
In upwelling events that occurred on 22 February 2016 has led to rising toxic gas from the bottom, so the fish
are reared in floating net cages mass death. Aquaponics has been developed since 2015 yet has not been able to
work optimally in the recycling of waste fish feed, because it has not unbalance amount Aquaponics with
floating net.Therefore, we take samples two times, February 28, 2016 and March 19, 2016 using a depth of 1m,
5m and 15m, and the results are as follows: sampling I (D0 0-4.1 mg/L,turbidity 0-359 NTU, pH7,8-8,2,
temperature 28-28.3C,Ammonia 16.45-27.3 mg/Lphosphates 13.65-15.53mg/L, and sulfide 1.36-1.62mg/L),
while sampling II (D0 0-4.2mg/L, turbidity 6-1265 NTU, pH 7,8-8,1, temperature 28.2-29.5C,Ammonia 20.6524.85 mg/L, phosphate 2.25-2.91mg/L, and sulfide 1.0 -1.42 mg/L). Based on the above data, the water quality
of Maninjau Lake after up welling is not feasible for fish farmingin floating net cages, mainly the depth more
than10 m.
Key words : water quality, up welling, floating net cages, aquaponic, not feasible

permukaan air, karena dapat mematikan


kultivan yang ada di dalamnya. Hal ini
disebabkan semakin banyaknya biota yang
dibudidayakan di Keramba Jaring Apung
(KJA) sehingga terjadi residu penumpukan
sisa pakan buatan/pelet. Selain itu hasil
metabolisme dari kultivan seperti urine dan
feses. Terakumulasinya bahan-bahan organik
tersebut menyebabkan turunnya kadar oksigen
dan meningkatnya kadar NH3, NO2 dan H2S
yang pada konsentrasi tertentu dapat
mematikan ikan. Kotoran ikan dapat
menimbulkan deposisi yang meningkat di
dasar perairan, selanjutnya mengakibatkan
penurunan kadar oksigen di bagian dasar
Disatu sisi,
pengembangan usaha
budidaya ikan dalam KJA akan memberikan
dampak positif berupa penciptaan lapangan
kerja baru
dan peningkatan pendapatan
masyarakat setempat, namun di sisi lain usaha
ini juga akan membawa dampak negatif
terhadap ekosistem perairan, yang diakibatkan
oleh limbah pakan. Bila konsentrasinya
melebihi ambang batas, dapat mencemari dan
meracuni biota di perairan danau tersebut.
Kejadian kematian masal ikan tidak hanya
berdampak secara ekonomi tetapi juga
menyebabkan
dampak
sosial
kepada
masyarakat. Dampak sosial ditinjau dari
hilangnya sumber mata pencaharian sejumlah
tenaga kerja, adanya peningkatan hutang untuk

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Danau Maninjau merupakan suatu
ekosistem yang kompleks, dan banyak
fenomena-fenomena
fisika
yang
mempengaruhi kestabilan suatu ekosistem
danau, salah satunya adalah upwelling.
Upwelling merupakan fenomena yang biasa
terjadi di suatu wilayah perairan seperti
danau/waduk dan lautan/samudra yang
dipengaruhi oleh wind-driven motion (angin
bergerak) yang kuat, dingin yang biasanya
membawa massa air yang kaya akan nutrien ke
arah permukaan laut. Sebaliknya, downwelling
ditandai dengan bertemunya arus dan intrusi
air hangat (Carbonel, 2003).
Selain itu
upwelling juga dapat diartikan sebagai
fenomena naiknya massa air danau. Gerakan
naiknya massa air ini juga diakibatkan karena
adanya stratifikasi seperti lapisan yang
memiliki perbedaan densitas pada setiap
lapisannya karena dengan bertambahnya
kedalaman perairan maka suhunya akan
semakin turun dan densitas meningkat
sehingga
menimbulkan
energi
untuk
menggerakkan massa air secara vertikal.
Berbeda dengan peristiwa upwelling di
lautan, dimana air yang naik membawa banyak
unsur hara yang berguna, overturn atau arus
balik pada waduk/ danau justru menyebabkan
naiknya gas beracun dari dasar perairan ke
1888

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

melanjutkan usaha dan terjadinya penurunan


kualitas konsumsi masyarakat yang terkena
dampak secara langsung. Selanjunya Hare et
al. (1990) menyarankan untuk dicarikan opsi
kebijakan yang tepat
agar pemanfaatan
perairan Danau Maninjau dapat berlangsung
secara berkelanjutan sesuai dengan prinsipprinsip pembangunan perikanan berkelanjutan.
Penggunaan akuaponik menawarkan
solusi pemecahan, karena aplikasi teknologi
akuaponik memungkinkan untuk mendaur
ulang limbah pakan di perairan menjadi nutrisi
bagi tanaman. Demikian juga halnya limbah
dari kotoran ikan yang larut di perairan
dapat dijadikan pupuk alami bagi tanaman
hidroponik (Sutopo dan Deswati, 2014; Suyani
dkk., 2015). Keberadaan akuaponik belum
mampu mengantisipasi permasalahan tersebut
diatas, karena jumlahnya masih sangat sedikit
dibandingkan dengan jumlah karamba jaring
apung (Suyani dkk., 2015).
Masalahyang selalu timbul dalam sistem
budidaya karam bajaring apung adalah
pencemaran lingkungan yang disebabkanoleh
berbagai kegiatan di sekitar perairan maupun
usaha budida yaitu sendiri. Pencemaran ini
dapat berupa pencemaran fisika- kimia
khususnya
(suhu,
kekeruhan,pH,DO,
ammonia, fosfat dan sulfida). Meskipun aspek
fisika kimia ini pernah diteliti, namun para
pakar dan pengelola perairan selalu
menganjurkan bahwa penelitian pencemaran
perairan
perlu
dilaksanakan
secara
berkesinambungan menginga setiap waktu
dapat saja terjadi perubahan lingkungan.
Berbagai
masalah
telah
timbul,
mengganggu dan mengancam fungsi-fungsi
Danau Maninjau karena telah terjadi degradasi
lingkungan danau akibat proses up welling.
Untuk itu, maka informasi tentang parameter
kualitas air perlu dikemukakan untuk
digunakan sebagai indikator kualitas perairan
serta bahan pembanding dalam kegiatan
pemantauan perkembangan perairan dengan
mengacu kepadaPeraturan PemerintahNo.82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air.
Urgensi/Keutamaan Penelitian

diakibatkan oleh aktifitas bawah air dan


kualitas air yang datang tiba-tiba
mengakibatkan kerugian milyaran rupiah.
Permasalahan utama yang dihadapi
oleh perairan Danau Maninjau adalah
penurunan kualitas dan kuantitas perairan,
sehingga menimbulkan kematian masal
ikan.
Permasalahan penurunankualitas
perairan umumnya disebabkan oleh adanya
bahan pencemar baik organik maupun
anorganik yang masuk ke badan perairan
tersebut (Syandri, 2002). Sementara itu,
permasalahan kekurangan air disebabkan
oleh terbatasnya presipitasi air dan
penggunaan air yang berlebihan.
Danau Maninjau mempunyai banyak
potensi yang menunjang secara finansial,
sehingga menyebabkan pertumbuhan penduduk dan pelayanan jasa di sekitar danau
menjadi semakin meningkat. Perkembangan penduduk disekitar perairan danau
dengan berbagai aktifitasnya, merupakan
sumber utama bahan pencemar (limbah)
yang masuk ke perairan danau, sehingga
menyebabkan
terjadinya
penurunan
kualitas perairan danau.
Karamba jaring apung atau yang biasa
disebut KJA merupakan wadah budidaya
yang paling banyak digunakan masyarakat
untuk membudidayakan ikan pada danau.
Karena perairan bersifat terbuka maka
KJA lah menjadi alternatif utama untuk
melakukan kegiatan budidaya. Namun,
tetap saja danau yang digunakan harus
memenuhi kriteria dan keberadaan KJA
tetap masih dalam batas wajar.
Kejadian kematian ikan secara masal
tidak hanya berdampak secara ekonomi
tetapi juga menyebabkan dampak sosial
kepada masyarakat. Dampak sosial ditinjau
dari hilangnya sumber mata pencaharian
sejumlah tenaga kerja, adanya peningkatan
hutang untuk melanjutkan usaha dan
terjadinya penurunan kualitas konsumsi
masyarakat yang terkena dampak secara
langsung.

Saat ini aplikasi akuaponik untuk


dapat memperbaiki kualitas air telah
menjadi kebutuhan yang mendesak bagi
area karamba jaring apung yang tersebar di
danau Maninjau. Hal ini disebabkan dari
catatan yang ada kerugian yang

Tujuan Penelitian
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui kondisi kualitas air beberapa
daerah pemeliharaan ikan KJA di Danau
1889

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Maninjau. Dari penelitian ini diharapkan


dapat diketahui parameter kualitas air yang
berperan di daerah KJA.
KAJIAN LITERATUR

anaerobik di badan air danau (Hidayah dkk.,


2012).
Pakan ikan merupakan penyumbang
bahan organik tertinggi di danau/waduk (80%)
dalam menghasilkan dampak lingkungan.
Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi atau
terbuang di dasar perairan oleh ikan sekitar
2050%. Berbagai pendapat mengenai jumlah
pakan yang terurai di danau /waduk (Krismono
dan Krismono, 2002; Krismono, 1992;
Sutardjo,2000; Lukman dan Hidayat, 2002;
Azwar, 2004).
Kotoran ikan dapat menimbulkan deposisi
yang meningkat di dasar perairan, selanjutnya
mengakibatkan penurunan kadar oksigen di
bagian dasar. Menurut Lukman dan Hidayat
(2002), pasokan oksigen dalam pengelolaan
KJA adalah untuk respirasi biota, pembusukan
feses ikan dan pembusukan sisa pakan ikan.
Menurutnya untuk setiap gram organik (limbah
budidaya ikan) diperlukan 1,42 gram oksigen.
Konsentrasi oksigen yang tersedia berpengaruh
secara langsung pada kehidupan akuatik
khususnya respirasi aerobik, pertumbuhan dan
reproduksi.
Sebagian besar Nitrogen di perairan
terdapat dalam bentuk gas, sedangkan
selebihnya dalam bentuk amonia, nitrat,
nitrit,
urea,
dan
senyawa
organik
terlarut.0rofosfat merupakan bentuk fosfor
anorganik
yang
dapat
langsung
dimanfaatkan
oleh
fitoplankton
untuk
pertumbuhannya,
meskipun dibutuhkan
dalam jumlah sedikit, fosfor biasanya
merupakan faktor pembatas di perairan
(Goldman dan Horne, 1983).
METODE PENELITIAN
Metode
penelitian
menggunakan
purpolsive random sampling dengan 8 lokasi
sampling pada karamba jaring apung, dengan
kedalaman masing-masing 5 m, 10 m dan 15
m. Parameter kualitas air yang diukur : suhu,
kekeruhan, pH, DO, Amonia, fosfat dan
Sulfida. Secara in situ parameter yang
dianalisis adalah suhu, kekeruhan, pH, DO.
Sedangkan parameter Amonia, fosfat dan
sulfat dianalisis di Laboratorium Kimia
Analitik Universitas Andalas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbandingan
hasil
pengukuran
dilapangan dan analisis laboratorium dengan
standar bakumutu untuk kegiatan budidaya
ikan air tawar (kelas II) menurut PP No.82
Tahun 2001, dapat dilihat pada tabel 1.

Menurut Diersing (2009), Kualitas air


adalah suatu ukuran kondisi air dilihat dari
karakteristik fisik, kimiawi, dan biologisnya.
Kualitas air juga menunjukkan ukuran kondisi
air relatif terhadap kebutuhan biota air dan
manusia. Karakter kualitas air yang perlu
diperhatikan dalam budidaya ikan, antara lain:
(a) Karakter kimia air: Salinitas, DO
(Dissolved Oxygen), BOD, COD, logam berat,
Nitrat, Derajat Keasaman (pH), dan Akalinitas;
(b)
Karakter
fisika
air:
kecerahan
(transparansi) air, suhu, padatan terlarut,
padatan tersuspensi, bau, warna, rasa dan
kedalaman air. dan (c) Karakter biologi air:
kepadatan
dan
kelimpahan
plankton,
Ephemeroptera,
Plecoptera,
Trichoptera,
Mollusca, Escherichia coli dan Bakteri
koliform.
Budidaya ikan dengan KJA di Danau
merupakan budidaya berbasis pelet, dengan
kata lain kegiatan usaha yang efisien secara
mikro tetapi inefisien secara makro, terutama
apabila ditinjau dari segi dampaknya terhadap
lingkungan. Pertumbuhan jumlah keramba
yang terus meningkat yang berarti terus
meningkatnya jumlah ikan yang dipelihara
akan menghasilkan sejumlah limbah organik
yang besar akibat pemberian pakan yang tidak
efektif dan efisien (Hidayah dkk, 2012).
Pada saat jumlahnya melampaui batas
tertentu
dapat
mengakibatkan
proses
sedimentasi yang tiggi berupa penumpukan
sisa pakan di dasar perairan, limbah tersebut
akan menyebabkan penurunan kualitas
perairan (pengurangan pasokan oksigen dan
pencemaran air danau/waduk) yang pada
akhirnya
mempengaruhi
hewan
yang
dipelihara. Sisa pakan dan metabolisme dari
aktifitas pemeliharaan ikan dalam KJA serta
limbah domestik yang berasal dari kegiatan
pertanian maupun dari limbah rumah tangga
menjadi penyebab utama menurunnya fungsi
ekosistem danau yang berakhir pada terjadinya
pencemaran danau, mulai dari eutrofikasi yang
menyebabkan ledakan (blooming) fitoplankton
dan gulma air seperti enceng gondok
(Eichornia crassipes), upwelling dan lain-lain
yang yang dapat mengakibatkan organisme
perairan (terutama ikan-ikan budidaya) serta
diakhiri dengan makin menebalnya lapisan
1890

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

enceng gondok yang membusuk di dasar


perairan.
Menurut Dahuri dkk. (2001)bahwa
perairan yang sedimentasinya tinggi dapat
membahayakan kehidupan di lingkungan
perairan, diantaranya sedimen menyebabkan
peningkatan
kekeruhan
air
dengan
menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke
dalam air sehingga dapat mengganggu
kehidupan organisme di dalamnya.
Derajad Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan faktor
lingkungan yang dapat berperan sebagai faktor
pembatas pada perairan.Nilai pH pada
sampling I (7,8-8,2) maupun II (7,8-8,1)masih
tergolong normal sesuai dengan nilai baku
mutu PPRI No. 82 Tahun 2001 Kelas II untuk
perikanan budidaya air tawar yaitu berkisar
antara 6-9 (Tabel 1). Nilai pH sangat penting
sebagai parameter kualitas air karena ikan dan
biota air lainnya hidup pada kisaran pH
tertentu, dengan diketahuinya nilai pH maka
kita dapat mengetahui apakah air tersebut
sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan
mereka. Menurut Cahyono (2000) ikan nila
hidup pada nilai pH berkisar antara 6-8.5.
Selanjutnya Manahan (2002) mengatakan
bahwa nilai pH air dapat mempengaruhi
akumulasi logam berat dalam tubuh hewan air,
karena semakin rendah pH air dan pH sedimen
maka logam berat semakin larut dalam air
(bentuk ion) sehingga semakin mudah masuk
ke dalam tubuh hewan tersebut, baik melalui
insang, bahan makanan ataupun difusi.
Dissolved Oxygen (DO)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxgen)
adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang
berasal dari fotosintesa dan absorbsi
atmosfer/udara. Hasil penelitian menunjukkan
nilai DO sebagian masih di luar kisaran nilai
baku mutu minimum sesuai PPRI No.82
Tahun 2001 untuk Kelas II pada sampling I (04,1 mg/L) dan sampling II (0-4,2 mg/L) (Tabel
1). DO yang rendah terutama terjadi di
perairan dengan kedalaman > 10 meter,
dimana kekeruhan tinggi yang menyebabkan
kegiatan fotosintesis tidak bekerja optimal
sehingga suplai oksigen berkurang, bahkan
oksigennya 0 mg/l.Sebaliknya di perairan
dangkal (kedalaman < 5 m) keberadaan
oksigen lebih banyak dihasilkan oleh
fotosintes dari tanaman air.
Semakin banyak limbah organik yang
masuk dan tinggal pada lapisan aerobik akan
makin besar pula kebutuhan oksigen bagi

Tabel 1. Kondisi kualitas air perairan sampling


I dan II.
Parameter

Satuan

Suhu
Kekeruhan
pH
DO
Ammonia

C
NTU
mg/L
mg/L

Baku
mutu
20-32
<5
6-9
>3
<0,02

Fosfat

mg/L

<0,1

Sulfida

mg/L

<0,002

Nilai sampling
I
II
28-28,3
28,2-29,5
0-359
6-1.265
7,8-8,2
7,8-8,1
0-4,1
0-4,2
16,4520,6527,3
24,85
13,652,25-2,91
15,53
1,36-1,62
1,01-1,42

Suhu
Radiasi cahaya matahari yang tiba dan
masuk ke dalam perairan akan memberikan
energi panas pada badan air. Jika jumlah
radiasi yang berhasil diserap oleh perairan
berbeda, maka temperatur yang dihasilkan juga
akan berbeda. Hasil pengukuran menujukkan
bahwa suhu yang diperoleh masih sesuai
dengan nilai baku mutu PPRI No. 82 Tahun
2001 kelas II untuk perikanan budidaya air
tawar, yaitu adalah 28-28,30C pada sampling I
dan 28,2-29,5oC sampling II (Tabel 1). Suhu
sangat penting bagi kehidupan organisme
perairan karena secara langsung dapat
mempengaruhi proses metabolisme dan
kelarutan gas-gas lainnya seperti oksigen dan
daya toksisitas senyawa-senyawa nitrogen
seperti nitrit dan amoniak.
Kekeruhan (turbidity)
Kekeruhan atau turbidity disebabkan oleh
adanya padatan halus yang tersuspensi dan
padatan yang terlarut di dalam air. Padatan
tersuspensi dan
terlarut dapat bersifat
anorganik dan organik seperti kwarsa, liat,
lempung, sisa tanaman, plankton dan
sebagainya.Nilai kekeruhan di kawasan
karamba Danau Maninjau berkisar antara 0359 NTU untuk sampling I dan 6-1265 NTU
pada sampling II telah melewati nilai baku
mutu PPRI No. 82 Tahun 2001 Kelas II untuk
perikanan budidaya air tawar (Tabel 1).
Tingginya nilai kekeruhan pada sampling II
dikarenakan
waktu sampling hari hujan.
Kekeruhan juga diakibatkan oleh adanya
sedimen di badan air yang masuk ke dalam
danau sebagai akibat dari erosi di daerah aliran
sungai (DAS) di sekitar wilayah area
tangkapan air (catchment area) Danau
Maninjau maupun bahan organik dan
anorganik dari kegiatan budidaya karamba
maupun ikan mati yang membuduk karena
dibuang di perairan Danau Maninjau., tanaman
1891

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

mikroba yang mendekomposisi, bahkan jika


keperluan oksigen bagi mikroba yang ada
melebihi konsentrasi oksigen terlarut maka
oksigen terlarut bisa menjadi nol dan mikroba
aerobpun akan musnah digantikan oleh
mikroba anaerob dan fakultatif yang untuk
aktifitas hidupnya tidak memerlukan oksigen.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang
menyatakan bahwa KJA telah menimbulkan
penurunan oksigen terlarut di perairan Danau
Maninjau, sehingga sampai rendah sekali.
Amoniak (NH3)
Amoniak merupakan senyawa nitrogen
yang akan berubah menjadi amonium (NH4+)
pada pH rendah dan amoniak sendiri berada
dalam keadaan tereduksi. Senyawa amoniak
ini sangat toksit bagi organisme perairan
meskipun pada kadar yang relatif rendah. Hasil
pengamatan kandungan amoniak pada
pengambilan sampel I sebesar 16,65-27,3
mg/L dan pada pengambilan sampel II sebesar
20,65-24,85 mg/L telah melebihi bahan mutu
kelas III (PP no. 82/2001) (Tabel 1), berarti
amonia sebagai salah satu parameter kualitas
air yang berkontribusi terhadap kematian
masal ikan.
Fosfat
Total fosfor dalam perairan terdapat
sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat dan
fosfat organik. Fosfat organik adalah unsur P
yang terikat pada senyawa-senyawa organik
hingga tidak berada dalam larutan secara
terlepas. Setiap senyawa fosfat tersebut
terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi dan
terikat dalam senyawa organik. Nilai fosfat
pada sampling I (13,65-15,53 mg/L) maupun
II (2,25-2,91 mg/L) sudah melebihi nilai baku
mutu PPRI No. 82 Tahun 2001 kelas II untuk
perikanan budidaya air tawar (<0,1 mg/L)
(Tabel 1). Tingginya fosfat dapat disebabkan
hasil oksidasi atau penguraian bahan organik
oleh mikroorganisme decomposer di dalam
badan air dan introduksi fosfat organik melalui
buangan penduduk seperti tinja dan limbah
rumah tangga dari pemukiman warga.
Sulfat

di Danau Maninjau telah meningkatkan


produksi sulfida hasil dari aktivitas bakteri
pereduksi sulfat di lapisan hipolimnion.

Eksploitasi budidaya ikan dengan


keramba jaring apung (KJA) sejak tahun
1997 telah menyebabkan buruknya kualitas
air
di
Danau
Maninjau
dengan
meningkatnya
akumulasi
kandungan
material organik di dasar danau.
Akumulasi senyawa organik karbon
akibat buangan sisa pakan aktivitas KJA

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan


kualitas air Danau Maninjau tidak layak untuk
budidaya ikan air tawar, khususnya pada
kedalaman lebih dari 10 m. Oleh sebab itu
diperlukan langkah-langkah antisipasi agar
dampak
negatif
up
welling
dapat
diminimalisir.
UCAPAN TERIMAKASIH

Nilai sulfida pada sampling I (1,36-1,62


mg/L) maupun II (1,01-1,42 mg/L) sudah
melebihi nilai baku mutu PPRI No. 82 Tahun
2001 kelas II untuk perikanan budidaya air
tawar (<0,02 mg/L) (Tabel 1).Implikasi dari

produksi hidrogen sulfida di danau tidak


saja bisa menyebabkan habisnya oksigen
terlarut dan hilangnya besi di perairan
tetapi juga dapat menyebabkan fosfat
terlepas dari sedimen dan terakumulasi di
badan air, yang seterusnya berdampak
eutrofikasi
pada
danau.
Penelitian
bertujuan untuk mengkaji implikasi
dinamika sulfida terhadap pelepasan posfat
di lapisan hipolimnion Danau Maninjau.
Langkah Antisipasi
Beberapa
langkah
darurat
yang
harussegera dilakukan untuk mengantisipasi
dan mencegah kematian ikan masal akibat up
welling adalah: (1) Mensosialisasikan kepada
para pembudidaya ikan mengenai tanda-tanda
akan terjadinya up welling, antara lain :. cuaca
mendung dan atau hujan yang terus-menerus
selama 2-3 hari berturut-turut (tidak ada
cahaya matahari masuk ke badan air), dan
kualitas air danau mulai menunjukkan
penurunan; (2) Melakukan oksigenasi/aerasi
untuk mengurangi dampak negatif zat beracun;
(3) Memilih jenis ikan yang lebih toleran
terhadap perubahan kualitas air yang tidak
optimal; (4) Mengurangi jumlah KJA yang
beroperasi atau mengurangi kepadatan ikan
yang dipelihara. (5) Segera memanen ikan
yang ukurannya mendekati ukuran konsumsi,
untuk menekan kerugian yang lebih besar; (6)
Memindahkan KJA secara regular, ke posisi
dengan kondisi air yang lebih baik; dan
(7)
Memanfaatkan
akuaponik
untuk
memperbaiki kualitas air dan mengurangi
resiko kematian ikan.
KESIMPULAN

1892

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Krismono dan Krismono A. 1998. Mengapa Ikan
Dalam Keramba Jaring Apung di Danau dan
Danau Mati? Warta Penelitian Perikanan
Indonesia, hal. 12-16, Puslitbang Perikanan,
Badan Litbang Pertanian, Deptan.
Krismono. 1992. Penelitian Potensi Sumberdaya
Perairan
Waduk
Wadaslintang,
Mrica,
Karangates dan Waduk Selorejo untuk
Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung.
Buletin Penelitian Perikanan Darat. Vol. II No.
2 Juni. 20 hal.
Lukman dan Hidayat. 2002. Pembebanan dan
Distribusi Organik di Waduk Cirata. Jurnal
Teknologi Lingkungan. P3TL-BPPT. Vol. 3 (2):
129 135.
Manahan S.E. 2002. Environmental Chemistri,
Seventh Edition, Lewis Publisher, New York
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Pencemaran Air dan Pengelolaan
Kualitas Air.
Sutardjo. 2000. Pengaruh Budidaya Ikan pada
Kualitas Air Waduk (Studi Kasus pada
Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung, di
Ciganea, Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa
Barat). Program Studi Ilmu Lingkungan.
Program Pascasarjana. Universitas Indonesia.
Jakarta. Tesis.
Sutopo J dan Deswati. 2014. Akuaponik (Integrasi
Sayuran-Ikan) Hasilkan Produk Organik
Berlimpah di Lahan Pekarangan Perkotaan yang
Sempit untuk Menghadapi Asean Economy
Community. Badan Koordinasi Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Provinsi
Sumatera Barat.
Suyani H; Refilda dan Deswati. 2015. Laporan
Akhir Unggulan Perguruan Tinggi. Penggunaan
Akuaponik
sebagai
Solusi
Pencegahan
Kematian Masal Ikan Air Tawar di Danau
Maninjau. Univerersitas Andalas.
Syandri H. 2002. Laporan Penelitian Dampak
Karamba Jaring Apung terhadap Kualitas
Perairan Danau Maninjau. Presented in Diskusi
Panel Press Club (PPC). Padang.

Penulis mengucapkan ribuan terima kasih


kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi,Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan yang telah mendanai penelitian
Unggulan Perguruan Tinggi tahun 2016
DAFTAR PUSTAKA
Azwar ZI; Ningrum S dan Ongko S. 2004.
Manajemen Pakan Usaha Budidaya Ikan di
Karamba Jaring Apung. Dalam Pengembangan
Budidaya Perikanan di Perairan Waduk. Pusat
Riset Budidaya Perikanan. Jakarta.
Cahyono B. 2000, Budidaya Ikan Air Tawar,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Carbonel CAAH. 2003. Modelling of UpwellingDownwelling Cycles Caused by Variable Wind
in a Very Sensitive Coastal System. Continental
Shelf
Research.
23
(1559-11578).
http://en.wikipedia.org/wiki/Downwelling
Dahuri R; Rais J; Ginting SP dan Sitepu MJ. 2001.
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu, Edisi Revisi, Pradnya
Paramita, Jakarta.
DiersingN. 2009.Water Quality: Frequently Asked
Questions. Florida Brooks National Marine
Sanctuary, Key West, FL.
Goldman CR. and Horne AJ. 1983. Limnology.
McGraw Hill International Book company,
Tokyo.
Hare WL; Marlow JP;
Rae ML; Gray F;
Humphries R and Ledgar R. 1990. Ecologically
Sustainable Development, A Submission ACF,
Greenpeace, The Wilderness Society and WWF
For Nature- Australia,
Australian
Conservation Foundation, Fitzroy, Australia.
Hidayah AM; Purwanto dan Soeprobowati TR.
2012. Kandungan logam berat pada air, sedimen
dan ikan nila di karamba Danau Rawapening.
Prosiding seminar nasional sumberdaya alam
dan lingkungan, Semarang 11 Sepember 2012.

1893

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

IDENTIFIKASI STEROID FRAKSI HEKSANA SPONS Callyspongiasp.


DARI PERAIRAN PULAU RANDAYAN KALIMANTAN BARAT
1

Harlia ; 2Ajuk Sapar


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam , Universitas Tanjungpura
email : harlia_160959@yahoo.co.id
2
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam , Universitas Tanjungpura
email : ajuk_chem@yahoo.com
1

Abstract
Randayan Island is located in West Borneo Province has coral reefs ecosystem that is habitat of
sponge. The Sponges have bioactive compounds such as stetoid. In This Research, the stroid compounds group
of the Callysponpongiagia sp .from Randayan Island has been isolated. The Identfication of n-hexane fraction
consisted the white needle crystals. The GC-Chromatogram showaed seven compounds, there are separated at
retention time (tr) range 22.72 24.69. The NMR-1H spectrum (CDCl3 ,500 MHz ) revealed four chemical shift
of the steroid Compounds group which are : 3.5854 ppm (s, H-C3); 5.3528 ppm (d, HO-C3 ) ; 0.6434 ppm (s,
H-C18) ; 1.0064 ppm (s, H-C19). The spectra of steroid isolate marked as H-2, have similar spectras with
stygmasterol compound spectras. Therefore, based on the spectrscopyc analysis, we suggest that the isolate
compound are the steroid group.
Keywords : Sponge , Callyspongia sp. , steroid

telah mengisolasi steroid teroksigenasi sebagai


komponen mayor dari Dysidea sp.
Observasi awal terhadap ekosistem
terumbu karang di Perairan Pulau Randayan
menunjukkan keberadaan spesies spons.
Beberapa di antaranya berasal dari genus
Callyspongia, yaitu Callyspongia sp. Spons
Callyspongia sp. ini termasuk ke dalam kelas
Demospongiae.

1. PENDAHULUAN
Pulau Randayan adalah salah satu dari
sepuluh pulau kecil yang terdapat di kawasan
perairan propinsi Kalimantan Barat. Perairan
di sekitar pulau-pulau ini memiliki ekosistem
terumbu karang yang cukup potensial
(Bappeda,2002). Ekosistem terumbu karang
merupakan bagian dari ekosistem laut yang
menjadi sumber kehidupan bagi biota laut.
Berdasarkan laporan Marine and Coastal
management Area-MCM Bappeda Provinsi
Kalimantan Barat (2002) telah Xestospongia
sp., Haliclona sp.,Callyspongia sp.
Spons merupakan salah suatu biota laut
yang mengandung metabolit sekunder dengan
potensi bioaktif yang dapat beperan sebagai
antisitotoksik,antitumor,antivirus,
antifungi,
inflamasi,antileukemia
dan
penghambat
aktivitas enzym ( Sudiro,1999). Pada beberpa
jenis spons, steroid merupakan komponen
mayor dari campuran metabolit sekundernya.
-sitosterol adalah salah satu dari metabolit
sekunder dari Xestospongia exigua, jumlahnya
mencapai 170 mg dari 9 g ekstrak atau kirakira 1,9% ( Liu et al, 2004 ). Dari 1,65 g
ekstrak Epipolasis sp. diperoleh 18 mg sterol
atu sekitar 1,09 % (Kerr et al., 1997).
Demikian halnya Braekman et al. (1989) juga

Minimnya informasi, pengetahuan dan


hasil penelitian tentang spons dari Perairan
Kalimantan Barat menunjukkan bahwa
hewan porifera ini kurang dimanfaatkan
sebagai objek penelitian. Hingga saat ini
baru sebagian kecil spesies spons di
Perairan Kalimantan Barat yang telah
diidentifikasi spesies dan kandungan
metabolit sekundernya sebagai salah satu
kelompok metabolit sekunder. Oleh karena
itu peneliti merasa perlu untuk melakukan
penelitian terhadap spons yang terdapat
pada ekositem terumbu karang di perairan
pulau Randayan, yaitu isolasi steroid dari
spons Callyspongia sp, sehingga dapat
menambah informasi, pengetahuan tentang
kandungan kimia spons dari Perairan
Kalimantan Barat.

1894

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

2. KAJIAN LITERATUR
2.1 Spons
Taksonomi spons Callyspongia sp.
Klasifikasi hewan spons Callyspongia sp.
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum
: Porifera
Klas
: Demospongiae
Sub Klas
: Ceractinomorpha
Ordo
: Haplosclerida
Family
: Callyspongiidae
Spesies : Callyspongia sp.

2.2.1 Steroid pada spons


Menurut Faulkner (2002) dan Blunt et al.
(2004) bahwa spons merupakan salah satu
biota laut yang diketahui sebagai sumber
steroid. Fouad et al. (2004) menemukan
beberapa senyawa steroid yang termasuk
kedalam kelompok saponin, diantaranya
erylosida A, erylosida K dan erylosida L yang
diisolasi dari spons Erylus lendenfeldi.
Gauvin et al. (2000) menemukan senyawa
5,8-epidioxy-24-methylcholesta-6,22-dien3-ol dan 5,8-epidioxy-24-ethylcholesta6,22-dien-3-ol yang telah diisolasi dari spons
Luffariella sp. Braekman et al. (1989)
melaporkan 3 senyawa polioksigenasisteroid
telah diisolasi dari sponge Dysidea tupha.
Sponge Epipolasis sp. yang ditemukan di
Pulau Hachijojima mengandung 6 senyawa
sterol sulfat, epipolasterol dan 22,23dihidroepipolasterol (Kerr et al., 1997).
Liu et al. (2004)
menemukan 24metilcholesterol, 5,6-dihidrocholesterol, sitosterol
telah
diisolasi
dari
spons
Neopetrosia exigua.

Spons tumbuh melekat pada terumbu


karang dan dasar laut. Binatang lunak dengan
variasi warna, bentuk, dan ukuran ini tidak
dapat berpindah seperti halnya ikan dan
binatang laut lainnya. Untuk mempertahankan
diri dari predator, spons memiliki senjata
perisai berupa senyawa kimia membentuk
metabolit sekunder, yang ditakuti dan
dihindari predator karena bersifat toksik dan
berkhasiat juga sebagai antikanker (cytotoxic)
dan antibiotik (Munifah dkk., 2008).
2.2 Morfologi spons
Spons adalah hewan multiseluler yang
bersifat filter feeder, menghisap air dan bahanbahan lain di sekelilingnya melalui pori-pori
(ostisna) kemudian dialirkan ke seluruh bagian
tubuhnya melalui saluran (channel) dan
dikeluarkan melalui pori-pori yang terbuka
(ostula). Melalui pori-pori dan saluran-saluran
inilah air diserap oleh sel khusus yang
dinamakan sel berbentuk leher, yang dalam
banyak hal menyerupai cambuk yang disebut
koanosit
(choanocyte;
yunani=choane:
cerobong, kytos=berongga) (Munifah dkk.,
2008).
Kehidupan biota laut tidak terlepas dari
faktor biotik yang melingkupinya. Pada spons
terdapat populasi mikroorganisme simbiotik.
Simbion tersebut seperti archaea bakteria,
sianobakteri, dan mikroalgae. Mikroorganisme
tersebut
merupakan
sumber
metabolit
sekunder. Fungi yang berasosiasi dengan
spons diketahui pula menghasilkan senyawa
bioaktif (Proksch et al., 2002; Munifah dkk.,
2008; Faulkner, 2000).
Secara garis besar, spons terdiri dari tiga
kelas, yaitu Calcarea, Demospongiae, dan
Hexactinellida (Amir dan Budiyanto, 1996;
Romimohtarto dan Juwana,1999), sedangkan
menurut Hooper (2000), spons terdiri dari
empat kelas, yaitu Calcarea, Demospongiae,
Hexactinellida, dan Sclerospongia.

HO

HO
HO

24-methyl
cholesterol

5,6-dihydro
cholesterol

-sitosterol

Gambar 2.2. Senyawa-senyawa golongan


steroid dari spons Neopetrosia exigua
Kemudian
Faulkner
(2002)
yang
mereview beberapa jurnal hasil penelitian
senyawa bahan alam melaporkan ada 26
steroid telah diisolasi dari 11 spesies spons.
Senyawa 2,3,14,20-tetrahidroksi-22-(2hidroksiasetiloksi)-5-cholest-7-en-6-on telah
diperoleh dari spons Iotrochota birotulata dan
7-hidroksitheonellasterol
dari
spons
Theonella swinhoei.
Beberapa senyawa kimia telah ditemukan
dari spons Callyspongia sp. yaitu steroid,
derivat asetilen, asam lemak, diterpenoid dan
triterpenoid, alkylpyridin dan alkylpiperidin
alkaloid (Faulkner, 2002; Blunt et al., 2007;
Youssef et al., 2003; Jadulco et al., 2002).
Jenis senyawa juga telah berhasil diisolasi dari
spons Callyspongia sp., diantaranya callystatin
A yang masuk dalam golongan poliketida,
callyspongenols A, callyspongenols B,
callyspongenols C dan dehydroisophono1895

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

chalynol yang ketiganya termasuk ke dalam


kelompok poliasetilenik, serta niphatoxin C
yang merupakan golongan senyawa alkaloid
(Rosmiati, dkk., 2005; Kobayashi et al., 1998;
Buchanan et al., 2007; Youssef et al., 2003).

steroid, (4) Penelusuran komposisi eluen,


(5) Pemisahan dan pemurnian dan (6)
Analisis isolat dengan instrumen GC-MS
dan NMR-1H.
3.3.1 Pengambilan dan pengolahan sampel
Spons dari spesies Callyspongia sp.
diperoleh dari perairan Pulau Randayan,
Kalimantan Barat, dengan cara SCUBA
Diving. Data mengenai sampel seperti berat,
tekstur, warna dan bentuk dicatat dan
didokumentasikan. Sampel yang telah diambil
dibersihkan, dimasukkan dalam kantong
plastik, diberi label dan disimpan dalam cool
box.
Spons Callyspongia sp. 506 g dimaserasi
dengan metanol (500 mL) pada suhu kamar
selama 1x24 jam dan diulangi sebanyak 3 kali.
Ekstrak disaring dan filtratnya dikumpulkan,
kemudian residu dimaserasi kembali dengan
metanol yang baru. Maserasi dihentikan
setelah ekstrak tak berwarna. Seluruh filtrat
dikumpulkan
dan
dipekatkan
dengan
evaporator di bawah tekanan rendah pada
temperatur 54oC. Setelah pekat, ekstrak
selanjutnya ditimbang hingga diperoleh
ekstrak kental metanol berwarna coklat
kehitaman dengan berat 68,74 g. Ekstrak
kental metanol pada sampel dipartisi
menggunakan
pelarut
organik
dengan
kepolaran yang berbeda yaitu n-heksana,
metilen klorida, etil asetat secara berurutan. Ke
3.3.2 Ekstraksi
Spons Callyspongia sp. 506 g dimaserasi
dengan metanol (500 mL) pada suhu kamar
selama 1x24 jam dan diulangi sebanyak 3 kali.
Ekstrak disaring dan filtratnya dikumpulkan,
kemudian residu dimaserasi kembali dengan
metanol yang baru. Maserasi dihentikan
setelah ekstrak tak berwarna. Seluruh filtrat
dikumpulkan
dan
dipekatkan
dengan
evaporator di bawah tekanan rendah pada
temperatur 54oC. Setelah pekat, ekstrak
selanjutnya ditimbang hingga diperoleh
ekstrak kental metanol berwarna coklat
kehitaman dengan berat 68,74 g. Ekstrak
kental metanol pada sampel dipartisi
menggunakan
pelarut
organik
dengan
kepolaran yang berbeda yaitu n-heksana,
metilen klorida, etil asetat secara berurutan. Ke
dalam ekstrak ditambahkan Na2SO4 anhidrat
dan disaring. Fraksi-fraksi tersebut selanjutnya
dipekatkan dengan evaporator sehingga
dihasilkan fraksi n-heksana (27,41 g), fraksi

3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di
Laboratorium Kimia Jurusan Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Tanjungpura Pontianak. Analisis
dengan menggunakan kromatografi gasspektroskopi massa (GC-MS) dilakukan di
Laboratorium Kesehatan Daerah (KESDA)
DOPPING Jakarta dan resonansi magnetik inti
proton (NMR-1H) dilakukan di LIPI Serpong,
Tangerang, Banten.
3.2 Bahan dan Peralatan
3.2.1 Sampel
Sampel yang digunakan adalah spons dari
spesies Callyspongia sp. yang diperoleh dari
perairan Pulau Randayan, Kalimantan Barat.
Keakuratan spesies hewan dideterminasi di
Laboratorium Herbarium Bogoriense LIPI
Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa
nama spesies sampel adalah Callyspongia sp.
3.2.1 Bahan kimia
Bahan-bahan yang digunakan adalah
berbagai jenis pelarut organik diantaranya
aseton p.a., metanol p.a., n-heksana p.a dan
redestilasi., metilen klorida p.a. dan redestilasi,
dan etil asetat p.a., plat kromatografi lapis tipis
silika gel 60 F254 (merck) dan silika G60 (70230 mesh) untuk kromatografi kolom flash,
serta reagen penampak noda (vanilin).
3.2.2 Peralatan
Alat-alat yang digunakan diantaranya
adalah alat-alat gelas kimia yang umum
digunakan di Laboratorium Kimia, neraca
analitik (Mettler AE 2000), seperangkat alat
kromatografi kolom flash, evaporator yang
dilengkapi dengan sistem vakum (rotary
Heidolph WB 2000), lampu UV (Vettler
GMBH), kromatografi gas-spektrofotometer
massa (GC-MS) (Agilent Technologies 6890 5973 MSD), dan resonansi magnetik inti
proton (NMR-1H) (Unity Plus Variant-500
MHz).

3.3 Metode Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan melalui
beberapa tahap: (1) Pengambilan dan
pengolahan sampel, (2) Ekstraksi, (3) Uji
1896

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

metilen klorida (12,74 g), fraksi etil asetat


(1,02 g).
3.3.3 Uji steroid
Uji steroid dilakukan terhadap fraksi nheksana.
Pengujian
dilakukan
dengan
mereaksikan ekstrak dan fraksi dengan
pereaksi Liebermann-Burchard (LB). Reaksi
positif yang menunjukkan keberadaan steroid
adalah timbulnya warna biru, hijau, merah
atau orange jika dilakukan penambahan
pereaksi LB terhadap ekstrak.
3.3.4 Penelusuran Komposisi Eluen
Ekstrak n-heksana diorientasi dengan
kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan
n-heksana, kloroform, etil asetat, aseton dan
kombinasi dari dua pelarut tersebut untuk
menentukan komposisi eluen sampai diperoleh
pola pemisahan yang baik untuk memilih
eluen yang akan digunakan pada kromatografi
kolom.
3.3.5 Pemisahan dan pemurnian
Berdasarkan hasil uji steroid yang telah
dilakukan, maka fraksi n-heksana diteruskan
dan
dilakukan
pemurnian.
Pemurnian
dilakukan dengan menggunakan beberapa
teknik kromatografi. Sejumlah ekstrak
dilarutkan dalam n-heksana kemudian
dilakukan analisis dengan kromatografi lapis
tipis silika gel F254 (tebal 0,2 mm; ukuran 5x1
cm; jarak elusi 4 cm) sampai diperoleh pola
pemisahan yang baik untuk memilih eluen
yang akan digunakan dalam kromatografi
kolom.
Setelah diperoleh eluen yang sesuai
(n-heksana:metilen klorida = 8:2), pada
ekstrak n-heksana kemudian dilakukan
pemisahan dengan kromatografi kolom flash
dengan menggunakan fasa diam silika gel 60
(70-230 mesh) dan dielusi berturut-turut secara
bergradien
dengan
n-heksana,
nheksana:metilen klorida (9:1); (8:2); (7:3);
(6:4); (5:5); (4:6); (3:7); (2:8); (1:9), metilen
klorida, aseton:metilen klorida (2:2), aseton,
dan metanol.
Fraksi yang diperoleh dari tahapan di
atas dilanjutkan dengan kromatografi lapis
tipis untuk melihat pola noda yang dapat
digabungkan. Hasil kromatografi kolom flash
yang memiliki pola noda sama dikumpulkan
dan diuapkan.
3.3.6 Identifikasi steroid
Isolat yang menunjukkan positif sebagai
steroid kemudian dianalisis dengan berbagai
instrumen yaitu kromatografi gas-spektrometri

massa (GC-MS) dan spektroskopi resonani


magnetik inti proton (NMR-1H).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemilihan fraksi yang akan dianalisis
didasarkan pada kuantitas fraksi, sehingga
fraksi yang dipilih untuk dianalisis adalah
fraksi dengan kuantitas terbanyak yaitu fraksi
H-1 (62,7 mg). Namun berdasarkan hasil KLT,
noda yang dihasilkan isolat H-1 lebih lebar jika
dibandingkan dengan isolat H-2, sehingga
diduga isolat H-1 memiliki jumlah komponen
senyawa yang lebih banyak dibandingkan
dengan isolat H-2. Oleh karena itu, isolat yang
diteruskan untuk dianalisis dengan NMR-1H
dan GC-MS adalah isolat H-2 (5,9 mg).
1.1 Analisis Golongan Steroid dalam Isolat
H-2
1.1.1 Analisis Data GC-MS
Hasil kromatografi gas (GC) menunjukkan
bahwa isolat H-2 terdiri atas 7 komponen
senyawa steroid pada rentang waktu retensi (tr)
21,63 24,69 seperti pada Gambar 4.1 dan
ketujuh komponen steroid dari isolat H-2
ditunjukkan pada Tabel 4.1. Analisis MS
terhadap puncak-puncak hasil kromatografi
gas dari isolate H-2 hanya dilakukan pada 2
puncak dengan waktu retensi (tr) 23,99 dan
24,69, dimana senyawa tersebut mempunyai
kelimpahan paling tinggi yaitu 36,38% dan
33,17% serta mempunyai data m/z : 400 dan
414 dari spektrum MS isolate H-2 mewakili
kelompok senyawa yang sejenis dari golongan
steroid pada spektrum GC.
Tabel 4.1
Komponen Senyawa Steroid
dari Isolat H-2 (Berdasarkan Hasil
Identifikasi dengan GC-MS)

22,72

Kelim
pahan
Relatif
(%)
3,83

23,05

10,32

23,40

10,93

23,99

36,38

24,69

33,17

(tr)

1897

Nama
Senyawa

Rumus
Molekul

Berat
Mole
kul

Cholesta5,22dien-3-ol
Cholest5-en-3-ol
Ergosta5,22dien-3-ol
Ergost-5en-3-ol
Stigmast5-en-3-ol

C27H44O

384

C27H46O

386

C28H47O

398

C28H49O

400

C28H51O

414

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Data yang diperoleh dari spektrum MS


isolat H-2 adalah perbandingan massa dengan
jumlah muatan (m/z) yang menunjukkan berat
molekul fragmen serta kelimpahan relatif yang
menunjukkan stabilitas dari fragmen-fragmen
tersebut (Silverstein et al., 1986).

17
+

Gambar 4.1: Spektrum MS isolat H-2 pada


tr 23,99
Tabel 4.2 Data Fragmentasi GC-MS Isolat H-2
pada tr 24,69

Senyawa yang
Teridentifikasi
Rumus
Rumus
Struktur
Molekul
+

36

m/z

C3H7+

43

C4H9+

57

C5H11+

71

C11H13+

145

367

Penembakan
inti
dengan
elektron
menghasilkan ion molekuler dengan m/z 400
dan tumbukan berikutnya akan menyebabkan
terjadinya berbagai macam fragmen ( Gambar
4.3) Munculnya fragmen dengan m/z = 71
terbentuk dari lepasnya elektron ikatan C23C24 yang diikuti pembentukan fragmen m/z =
57 dan m/z = 43. Ion Molekul A dapat
mengalami fragmentasi yang diawali dengan
lepasnya elektron ikatan C20-H sehingga
menghasilkan ion molekuler dengan m/z =
255. Ion molekuler ini kemudian mengalami
penataan ulang yang selanjutnya membentuk
fragmen-fragmen dengan m/z = 213, m/z =
159 dan m/z = 145. Fragmentasi pada rumus A
juga dapat terjadi dengan lepasnya elektron
bebas pada gugus OH dan gugus metil dan
membentuk fragmen dengan m/z = 367.
Berdasarkan data dan pola fragmentasi,
maka isolat H-2 pada tr 23,99 diduga sebagai
ergost-5-en-3-ol dengan rumus molekul
C28H48O. Data ini didukung pula oleh
kemiripan pola fragmentasi antara spektrum
MS isolat H-2 pada tr 23,99 dengan pola
fragmentasi spektrum MS senyawa ergost-5en-3-ol (Lampiran 7).
\Adapun struktur hipotetik senyawa dari
isolat H-2 pada tr 23,99 ditunjukkan sebagai
berikut

4.1.1.1 Analisis data MS pada tr 23,99


Spektrum MS isolat H-2 pada tr 23,99
menunjukkan bahwa massa ion molekuler
isolat adalah 400 dan ini merupakan massa
molekulnya.

Kelimpa
han
Relatif
(%)
100

C25H43+

35

HO

27

20

22

14

HO

2
13

C12H15+

159

C16H21+

213

C19H27+

255

C21H32+

302

C28H46+

Gambar 4.3. Struktur hipotetik senyawa isolat


H-2 pada tr 23,99
4.1.1.2 Analisis data MS pada tr 24,69
Spektrum MS isolat H-2 pada tr 24,69 (tabel
4.3) menunjukkan bahwa massa ion molekuler
isolat adalah 414 dan ini merupakan massa
molekulnya
Tabel 4.3 : Data Fragmentasi GC-MS Isolat
H-2 pada tr 24,69
Kelimpahan
Relatif (%)

382
1898

Senyawa yang
Teridentifikas

m/z

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

100
36
29
18
23
17
22
22

C3H5+
C8H9+
C11H13+
C13H17+
C16H21+
C19H27+
C21H33+
C23H25+

43
105
145
173
213
255
301
329
Gambar 4.5: Spektrum resonansi magnetik inti
proton isolat H-2

Penembakan inti dengan elektron


menghasilkan ion molekuler dengan m/z = 414
dan tumbukan berikutnya akan menyebabkan
terjadinya berbagai macam fragmen.
Struktur molekul A mengalami fragmentasi
yang diawali dengan lepasnya elektron ikatan
C23-H sehingga menghasilkan ion molekuler
dengan m/z = 329. Ion molekuler ini kemudian
mengalami penataan ulang yang selanjutnya
membentuk fragmen-fragmen dengan m/z =
255, m/z = 213, m/z = 159, m/z = 145 dan m/z
= 105. Fragmen dengan m/z = 213 dapat
mengalami penataan ulang dan membentuk
fragmen dengan m/z = 173.
Fragmentasi pada rumus A juga dapat terjadi
dengan lepasnya elektron bebas pada gugus
OH dan gugus metil dan membentuk fragmen
dengan m/z = 381. Munculnya fragmen
dengan m/z = 43 terbentuk dari lepasnya
elektron ikatan C24-C25.
Maka isolat H-2 pada tr 24,69 diduga sebagai
stigmast-5-en-3-ol dengan rumus molekul
C29H50O. Data ini didukung pula oleh
kemiripan pola fragmentasi antara spektrum
MS isolat H-2 pada tr 24,69 dengan pola
fragmentasi spektrum MS senyawa stigmast-5en-3-ol (Lampiran 5). Adapun struktur
hipotetik senyawa dari isolat H-2 pada tr 24,69
ditunjukkan pada Gambar 4.12.

Untuk memperkirakan struktur senyawa


dari isolat H-2, maka dilakukan penelusuran
pustaka dengan membandingkan profil
spektrum NMR-1H isolat H-2 dengan senyawa
steroid yang telah dikenal yakni stigmasterol.
Senyawa stigmasterol yang digunakan sebagai
pembanding, diisolasi dari fraksi metanol kulit
akar Calotropis gigantea (Linn). Elusidasi
struktur dilakukan dengan spektrometri massa
(MS), spektroskopi resonansi magnetik inti
karbon (NMR-13C) dan spektroskopi resonansi
magnetik inti proton (NMR-1H). Adapun hasil
interpretasi spektrum NMR-1H dari isolat H-2
pada Gambar 4.21 dengan spektrum NMR-1H
senyawa stigmasterol disajikan pada Tabel 4.8
(Habib et al., 2007).
Tabel 4.4 Data Perbandingan Spektrum NMR1
H Stigamasterol dan Isolat H-2
Proton
Stigmasterol
Isolat H-2
(ppm)*
(ppm)
H-C3
3,50 (m)
3,5854 (m)
H-OH
5,35 (d)
5,3528 (d)
H-C18
0,60 (s)
0,6434 (s)
H-C19
1,00 (s)
1,0064 (s)
* Sumber: Habib et al., (2007)
Hasil identifikasi NMR-1H isolat H-2
menunjukkan kelompok sinyal khas yang
saling tumpang tindih pada daerah 0,7 - 2,2
ppm dan menunjukkan adanya puncak-puncak
serapan pada pergeseran kimia () 3,5854;
5,3528; 0,6434 dan 1,0064 ppm. Pergeseran
kimia dari puncak-puncak tersebut memiliki
kemiripan dengan puncak-puncak serapan
NMR-1H yang diberikan oleh stigmasterol
(Elya, 2003). Berdasarkan hasil analisis GCMS dan NMR-1H maka dapat disimpulkan
bahwa isolat H-2 merupakan suatu steroid.

HO

Gambar 4.4. Struktur hipotetik senyawa


isolat H-2 pada tr 24,69
4.1.2 Spektrometri NMR-1H
Analisis senyawa golongan steroid dalam
isolat H-2 dengan spektrometer resonansi
magnetik inti proton (NMR-1H) menghasilkan
spektrum sebagai berikut.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis GC-MS dan
NMR-1H, maka isolat dari sampel H-2
adalah senyawa golongan steroid yang
1899

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
.

Liu, H.; Mishima, Y.; Fujiwa, T.; Nagai, H.;


Kitazama, A.; Mine, Y.; Kobayashi, H.; Yao,
X.; Yamada, J.; Oda, T. and Namikoshi, M.,
2004, Isolation of Araguspongine M:A New
Stereoisomer of an Araguspongine /
Xestospongin Alkaloid and Dopamine from the
Marine Sponge Neopetrosia exigua collected in
Palau, Mar. Drugs, 2: 154-163
Munifah, I.; Wikanta, T. dan Nursid, M., 2008,
Spons: Biota Laut Penghasil Senyawa Bioaktif
yang Potensial, Laboratorium Bioteknologi
Kelautan, Pusat Riset Pengolahan Produk dan
Sosial-Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Silverstein, R.M.; Bassler, G.C. dan Morrill, 1986,
Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik,
Ed ke-4, a.b: A.J. Hartomo dan Anny Victoria
Purba, Erlangga, Jakarta.
Soediro., 1999, Produk Alam Hayati dan Prospek
Pemanfaatannya di Bidang Kesehatan dan
Kosmetika,
dalam
Prosiding
Seminar
Bioteknologi Kelautan Indonesia I, 1998,
Jakarta

terdiri atas, Ergost-5-en-3-ol (tr 23,99) dan


Stigmast-5-en-3-ol (tr 24,69).
6. REFERENSI
Achmad, S.A., 1985, Kimia Organik Bahan Alam,
Universitas Terbuka, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Jakarta.
Amir, I. dan Budiyanto., 1996, Mengenal Spons
Laut (Demospongiae) Secara Umum, Oseana.
Bappeda Provinsi Kalbar, 2002, Pengumpulan Data
dan
Informasi
Marine
and
Coastal
Management Area-MCMA Kalimantan Barat,
Bappeda Provinsi Kalbar, Pontianak.
Creswell, C.J.; Runquist, O.A. dan Campbell,
M.M., 1982, Analisis Spektrum Senyawa
Organik, a.b: Kosasih
. Elya, B., 2003, Isolasi dan Karakterisasi Senyawa
Kimia dari Ekstrak n-Heksana Kulit Batang
Garcinia rigida, Universitas Indonesia, FMIPA,
Depok, (Skripsi).
Faulkner, D.J., 2000, Marine Natural Products, Nat.
Prod. Rep., 17: 7-55.

1900

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

DEVELOPMENT OF INTERACTIVE MULTIMEDIA MACROMEDIA FLASH 8


COURSE FOR BASIC CHEMICAL MATERIAL
Haryanto
Faculty of Teacher Training and Education Jambi University
email: Harry_to68@yahoo.co.id
Abstract
Students of Mathematics and Science in studying the chemical material having trouble especially on the
abstract material or material that is difficult to be exemplified as atomic structure, periodic system, chemical
bonds, chemical core. Special instructional media needed to help students understand the course materials.
Media that can be developed to help the learning process is media software macromedia flash 8 are
interactive.The development follows the ADDIE model of the stages, Analysis, Design, Development,
Implementation, and Evaluation. Design is validated by a team of media and subject matter experts as well as
an assessment by faculty and small group trial. Instruments used in the form of expert validation questionnaire
media and subject matter experts, questionnaire responses lecturers and students questionnaire responses. This
results in the development of interactive multimedia for basic chemistry course material. Based on the
validation results obtained a score of 59 media experts with good category, subject matter experts obtained a
score of 64 with very good category. The assessment results faculty get a score of 63 in both categories and the
results of student responses to interactive multimedia categorized very well earn a score of 65.6 with a
percentage of 87.46%. Macromedia flash 8 interactive multimedia for basic chemical material is categorized as
feasible as the medium of learning, either by the validation team of experts, and very interesting based on
student responses.
Keywords: Interactive Multimedia, Materials of Basic Chemical, Macromedia Flash 8.

pendidikan,
diharapkan
akan
semakin
memberdayakan proses belajar mengajar
menjadi lebih kreatif dan kompetitif.
Seiring
dengan
kemajuan
Iptek
banyaklembaga pendidikan dan mahasiswa
memiliki fasilitas memadai seperti komputer
atau laptop, wifi dan LCD Proyektor, tetapi
belum dimanfaatkan secara maksimal. Padahal
fasilitas yang ada tersebut dapat dimanfaatkan
oleh para dosen dan mahasiswanya dalam
menunjang proses pembelajaran.
Dosen berperan penting dalam mewujudkan
suasana belajar yang menarik demi tercapainya
tujuan.Setiap dosen harus dapat memanfaatkan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
untuk kepentingan penyelengaraan kegiatan
pengembangan yang mendidik.Penggunaan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
dalam
pembelajaran
dapat
membantu
meningkatkan pendidikan yang berkualitas
(Sutrisno, 2009).Menurut Hamalik (2002)
bahwa tenaga pengajar hanya memilih media
pengajaran yang bermanfaat, ekonomis dan
hambatan-hambatan praktis yang mungkin
dihadapi oleh siswa dan guru juga menjadi
dasar pertimbangan.
Menjawab permasalahan di atas maka
pengembangan multimedia teknologi informasi

1. PENDAHULUAN
Pemahaman materi pembelajaran kimia
khususnya materi kimia bersifat abstrak
merupakan kendala tersendiri bagi mahasiswa.
Seorang pengajar dituntut untuk jeli dan teliti
dalam memilih metode yang sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Selain itu juga
merupakan tugas dan tanggung jawab serta
kewajiban.
Kesulitan pemahaman materi abstrak pada
mata kuliah kimia dasar dialami oleh mahasiswa Pendidikan MIPA FKIP Universitas Jambi.
Hal tersebut diketahui berdasarkan pengalaman empiris penelitiselama bertugas di lembaga ini.
Hasil observasi pendahuluan terhadap
mahasiswa ini membuktikan bahwa proses
pembelajaran cenderung kurang maksimal
terhadap materi yang disampaikan, terutama
pada materi yang sifatnya abstrak seperti
struktur atom, kimia unsurdan sistem periodik,
ikatan kimia dan kimia inti.
Oleh karena itu perlu dirancang suatu media
pembelajaran interaktif untuk materi kimia
dasaryangbersifat abstrak dengan sistematika
yang mudah dipahami dan dapat dicerna
mahasiswa dengan baik.Dengan pemanfaatan
teknologi yang berkolaborasi di dalam dunia
1901

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

(IT) sangatlah tepat untuk pembelajaran


kimia.Macromedia Flash 8 merupakan salah
satu program unggulan dari adobe flash system
yang khusus digunakan untuk membuat
animasi, game dan aplikasi multimedia
interaktif seperti demo produk dan tutorial
interaktif software ini juga dapat mendesain
grafis animasi yang sangat popular dan banyak
digunakan desainer grafis.
Multimedia
interaktif
adalah
suatu
multimedia yang dilengkapi dengan alat
pengontrol yang dapat dioperasikan oleh
pengguna, sehingga pengguna dapat memilih
apa yang dikehendaki untuk proses
selanjutnya. Macromedia flash 8 yang
digunakan
untuk
memudahkan
dalam
memahami dan mudah dimengerti sehingga
media pembelajaran menjadi lebih menarik
dan interaktif.Sehingga jika dikaitkan dengan
materi-materi kimia dasar yang abstrak akan
lebih memudahkan untuk memahami materi
tersebut.

animasi secara
terintegrasi. Multimedia
terbagi menjadi dua kategori, yaitu:
multimedia linier dan multimedia interaktif.
Multimedia
interaktif
adalah
suatu
multimedia yang dilengkapi dengan alat
pengontrol yang dapat dioperasikan oleh
pengguna, sehingga pengguna dapat memilih
apa yang dikehendaki untuk proses
selanjutnya. Menurut Prasetyo (2007) bahwa
karakteristik multimedia pembelajaran adalah :
memiliki lebih dari satu media yang
konvergen,
bersifat
interaktif, bersifat
mandiri. Selain memenuhi ketiga karakteristik
tersebut, multimedia pembelajaran sebaiknya
memenuhi fungsi; mampu
memperkuat
respon pengguna secepatnya dan sesering
mungkin, punya karakteristik, urutan koheren
dan
terkendalikan, mampu
memberikan
kesempatan adanya partisipasi dari pengguna
dalam bentuk respon, baik berupa jawaban,
pemilihan, keputusan, percobaan dan lain-lain.
3. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian
pengembangan (Research and Development)
dengan model pengembangan ADDIE
(analysis, design, development, implementation, and evaluationi) yang dikembangkan oleh
Lee dan Owens, dengan tujuan untuk
menghasilkan produk berupa multimedia
interaktif dengan menggunakan software
macromedia flash 8 yang di kembangkan
dengan materi-materi kimia dasar.
Penelitian melibatkan tim ahli yaitu ahli
materi dan media untuk menilai kelayakan
multimedia interaktif. Data bersumber dari
validator, tanggapan dosen mata kuliah kimia
dasar dan uji coba kelompok kecil.Jenis data
yang diperoleh berupa data kualitatif berupa
kritik, komentar, dan saran dan kuantitatif
berasal dari angket tanggapan dosen dan
respon mahasiswa.
Alur kerja dalam penelitian ini adalah
dapat dilihat pada bagan Gambar 1.

2. KAJIAN LITERATUR
Belajar adalah proses yang kompleks,
terjadi pada setiap orang sepanjang hidupnya.
Proses belajar itu terjadi karena adanya
interaksi
antara
seseorang
dengan
lingkungannya. Oleh karena itu, belajar dapat
terjadi kapan saja dan dimana saja, salah satu
pertanda seseorang itu telah belajar adalah
adanya perubahan tingkah laku pada
dirinya.Peruahan dapat terjadi pada tingkat
pengetahuan, keterampilan, atau sikapnya
(Arsyad, 2010).
Cara yang dilakukan oleh setiap orang
berbeda
untuk
memperoleh
ilmu
pengetahuan.Menurut Warsita (2008) bahwa
teori kognitif beranggapan bahwa belajar
adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif
dan persepsi untuk memperoleh pemahaman.
Dalam model ini, tingkah laku seseorang
ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya
tentang situasi yang berhubungan dengan
tujuan dan perubahan tingkah laku sangat
dipengaruhi oleh proses berpikir internal yang
terjadi selama proses belajar.
Salah satu cara mudah memperoleh
pengetahuan adalah dengan menggunakan
media pembelajaran.
Suheri (2006)
menyatakan multimedia akan lebih efektif
dalam penggunaannya karena menggabungkan
dua unsur atau lebih media yang terdiri dari
teks, grafis, gambar, foto, audio, video dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengembangan ini menghasilkan sebuah
produk berupa (1) multimedia interaktif
berupaMacromedia Flash 8 pada materi Kimia
Dasar, (2) penilaian multimedia interaktif, (3)
penilaian oleh dosen, dan (4) persepsi
mahasiswa terhadap multimedia interaktif.

1902

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

lakukan oleh peneliti, validator ahli instrumen;


ahli media dan materi.
Tahap Pengembangan
1. Validasi Oleh Tim Ahli
Multimedia Interaktif dengan Macromedia
Flash 8 pada materi kimia dasar yang bersifat
abstrak.Validator terdiri dari tim ahli media
dan materi yang merupakan dosen Pendidikan
Kimia dan dosen mata kuliah kimia dasar.
Validator memberikan saran, kritikan,
penilaian, pendapat dan masukan terhadap
multimedia interaktif yang dibuat, kemudian
multimedia interaktif direvisi sehingga layak
untuk digunakan. Multimedia Interaktif materi
kimia dasardivalidasi sebanyak 2 kali. Validasi
ini tidak mengalami banyak revisi dan
validator memberikan penilaian menggunakan
angket validasi.

Gambar 1 Bagan alur model ADDIE


Tahap Analisis
Hasil analisis pendahuluan melalui
wawancara terhadapdosen mata kuliah kimia
dasar, diketahui bahwa lembaga ini cukup
tersedia laboratorium komputer tetapi belum
digunakan
secara
maksimal
untuk
pembelajaran
kimia.Penggunaan
buku
merupakan sumber belajar utama dan
penggunaan media kebanyakan berupa
powerpoint.
Analisis kebutuhan menggunakan angket
terhadap 10 orang mahasiswa, diketahui tidak
semua kelas memiliki fasilitas LCD-Proyektor
untuk
media
mengajar.Selanjutnya,
pengetahuan
awal
mahasiswa
tentang
pembelajaran materi kimia dasar, dirasakan
sulitterutama pada materi kuliah yang bersifat
abstrak.
Keadaaan inilah yang mendasari perlu
adanya penggunaan media pembelajaran yang
spesifik sesuai dengan karakteristik materi
kuliah
tersebut.Sehingga
muncul
ide
untukmengembangkan
multimedia
pembelajaran
dengan
menggunakan
macromedia flash 8 yang diimplementasikan
ke materi kimia dasar.

2. Tanggapan Dosen
Pada tahap pengembangan multimedia
interaktif materikimia dasar, pengembang juga
meminta tanggapan dosen terhadap multimedia
interaktif dengan macromedia flash 8 yang
telah di kembangkan.Tanggapan dosen
terhadap produk dinyatakan layak digunakan.
3. Uji coba Kelompok Kecil
Tujuan dilakukannya uji coba produk ini
untuk melihat respon pengguna terhadap media
yang dikembangkan dan menilai setiap detail
kekurangan guna mengetahui kelayakan
produk
multimedia
interaktif
yang
dikembangkan. Uji coba kelompok kecil
dilakukan terhadap 10 orang mahasiswa.
Analisa Data
1. Analisis Data Validasi Tim Ahli
Untuk memperoleh suatu produk yang
lebih baik maka di lakukan validasi materi dan
media. Data hasil validasi materi dan media
adalah sebagai berikut:

Desain
Tahap desain yaitu menentukan jadwal
pembuatan
produk,
membuat
desain
multimedia pembelajaran dan membentuk tim
validasi. Dengan rincian (1) Jadwal pembuatan
produk menghabiskan waktu 2 bulan, di
mulai
dengan
menganalisis
produk,
menyiapkan materi, animasi, audio, mendesain
serta membuat produk (2) Tim kerja pada
pengembangan modul, pengembangan di

Tabel 1. Hasil validasi Ahli


N
o

Jenis Validasi

1
2

Materi
Media

Tahap dan Kriteria Validasi


I
Krit
II
Krit
52
B
64
SB
56
B
59
B

Beberapa aspek yang perlu di perbaiki


menurut ahli materi dan media, yaitu:

1903

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

1. Tampilan pada materi teori perkembangan


atom.
2. Font menjadi arial dan rata kiri kanan
3. Perbedaan warna pada rumus penanda
atom ( A, Z, dan X)
4. Bahasa dan tulisan dengan kalimat yang
mudah dipahami
5. Penambahan soal alternatif
Adapun saran perbaikan media dari
validator yaitu :
1. Animasi tampilan awal dikurangi
2. Penggunaan kalimat disederhanakan dan
lebih fokus
3. Animasi yang tidak berkaitan materi
dihilangkan
4. Degradasi warna dan huruf

mahasiswa
terhadap
ditampilkan sangat baik.

multimedia

yang

5. KESIMPULAN
Kesimpulan dalam peneliitian ini adalah
mengembangkan multimedia interaktif materi
kimia dasarpada software Macromedia Flash 8
dengan
menggunakan
model
desain
pengembangan ADDIE yang menghasilkan
produk awal (produk 1). Hasil yang divalidasi
oleh tim ahli materi dan ahli media, serta
berdasarkan
saran
perbaikan
validator
dilakukan
revisi
desain,
sehingga
menghasilkan produk 2. Selanjutnya dilakukan
validasi tahap II oleh tim ahli dimana
berdasarkan
validator
bahwa
media
pembelajaran layak untuk di ujicobakan. Uji
coba produk dilaksanakan di Program Studi
Pendidikan Kimia MIPA FKIP Universitas
Jambi
melalui penilaian dosen dan uji
kelompok kecil terhadap 10 orang mahasiswa.
Respon 10 orang mahasiswa didapatkan hasil
bahwa multimedia interaktif ini layak sebagai
media pembelajaran, baik dan sangat menarik.

Produk tersebut direvisi sesuai dengan


saran validator.Selanjutnya divalidasi lagi pada
tahan 2. Hasil validasi pada tahap 2 diperoleh
skor 64 untuk materi dengan kriteria sangat
baikdan skor 59 untuk media dinyatakan baik.
Hal ini berarti validator sudah menyatakan
bahwa media layak untuk diuji cobakan dalam
kelompok kecil.

6. REFERENSI
2. Tanggapan Dosen Kimia Dasar
Penilaian produk oleh dosendengan
menggunakan angket terdiri dari 15
pertanyaan.Penilaian produk dilakukan satu
kali,diperoleh tingkat kelayakan multimedia
interaktifmateri kimia dasar
adalah 63.
Dengan skor ideal 75, maka presentasenya
63
adalah 75 x 100% = 84%.
Berdasarkan perhitungan tersebut di
peroleh nilai presentase hasil penilaian dosen
yaitu sebesar 84% dengan kategori valid
sehingga produk dapat di gunakan dalam
pembelajaran kimia.

Arsyad, A. 2010.Media Pembelajaran.Jakarta : PT


Raja Grafindo Persada
Astuti, D. 2006. Macromedia Flash 8 Profesional.
Yogyakarta: Penerbit Andi
Asyhar, R. 2010. Kreatif Mengembangkan Media
Pembelajaran.Jakarta : GP Press
Djaali dan Muljono. 2008. Pengukuran dalam
bidang pendidikan. Jakarta : PT.Grasindo
Haryadi. 2005. Evaluasi pembelajaran. Yogyakarta
: Multi Press
Hamalik, O. 2002. Perencanaan Pengajaran
Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Ningsih, B. 2008.Teori teori Belajar.Jakarta :
Erlangga
Novita, S. 2013. Pengembangan Multimedia
Pembelajaran Berbasis Macromedia Flash
Sebagai Sumber Belajar Mandiri Pada Materi
Koloid Kelas XI IPA SMA dan MA. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Prasetyo, S. 2007. Pengembangan Pembelajaran
Dengan Menggunakan Multimedia Interaktif
Untuk Pembelajaran Yang Berkualitas.
Semarang: UNNES.
Pribadi, A. 2014.Desain dan Pengembangan
Program Pelatihan Berbasis Kompetensi
Implementasi Model ADDIE.Jakarta: Prenada
Media Group
Purba, M. 2006. Kimia untuk SMA/MA Kelas X.
Jakarta: Erlangga

3. Respon Mahasiswa
Ujicoba produk kelompok kecil terhadap
10 mahasiswa di peroleh skor rata rata 65.6,
maka presentasenya:
65.6
75

x 100% = 87.46 %

Berdasarkan hasil persentasi skor dengan


nilai 87.46% dan melihat data tabel kriteria
penilaian kualifikasi produk, maka produk
yang dikembangkan oleh pengembang dapat
dikategorikan sangat menarik serta tanggapan
1904

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Slameto, 2003.Belajar dan Faktor-Faktor Yang
mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudarmo, U. 2013. Kimia untuk SMA/MA Kelas X.
Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. 2009. Metode Penulisan Kuantitatif
Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suprijono, A. 2009.Cooperative Learning Teori &
Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Suheri, A. 2006.Teknologi Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara

Sutrisno, 2009.Teknologi Pembelajaran Kimia.


Jakarta. Rineka Cipta
Warsita,
B.
2008.Teknologi
Pembelajaran
Landasan & Aplikasinya.Jakarta: Rineka Cipta
Yamasari, Y. 2010. Pengembangan Media
Pembelajaran Matematika Berbasis ICT yang
Berkualitas.Seminar Nasional Pasca Sarjana XITS. Surabaya 4 Agustus 2010

1905

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

DETERMINATION Saccharoyces cerevisiae FERMENTATION OPTIMAL TIME


TOWARDS WATER, PROTEIN AND CRUDE FIBER CONTENTS OF FISH
PELETS FROM ORGANIC WASTE
Hasmalina Nasution1 1), Febrianti Tri Nike Purnama Sari 1) , Wahyuningsih 3)
1
Fakultas MIPA dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Riau
email: hasmalinanst@umri.ac.id. febriantitrinike@gmail.com
3
UPT PSMB Dinas Perdagangan dan Industri, Provinsi Riau, email: ayu.jacob@yahoo.co.id
ABSTRACT
Fish farming in Indonesia is one of the important components in the fisheries sector. Farmed fish requires
quality feed nutritionally complete in order to live and breed well. The high price of feed can be overcome either
by making homemade feed using a simple method.This study aims to determine the effect of the optimal time
fermented fish pellets are made from organic waste (snails, bone catfish, banana peels and cassava peels) to the
value of water content, protein and crude fiber with variation of time 0, 1, 2, 3, 4 and 5 days. The
microorganisms used for fermentation is Saccharomyces cerevisiae in a state of aerobic. Analysis of water
content to use the oven method and obtained optimum moisture content is time on day 2 is 9.44%. Analysis of
protein content using the Kjeldahl method and obtained semimikro optimal timing of protein levels on day 2 as
well, namely 34.32% and crude fiber content analysis used the gravimetric method and obtained the optimal
time for crude fiber content is at day 3, namely 6.38%. T-test (p = 0.05) showed no significant difference
between the results of water content, protein and crude fiber obtained between 2 and 3 days of fermentation.
Pellets fermented fish at the optimum time (2 days) meet the quality requirements of catfish feed ISO 7548: 2009
is the maximum moisture content of 12%, at least 25% protein and crude fiber maximum of 8%.
Keywords:

Pellets of fish, Saccharomyces cerevisiae, Water content, Protein content, Crude fiber content
ABSTRAK

Budidaya ikan di Indonesia merupakan salah satu komponen yang penting pada sektor perikanan.Ikan yang
dibudidayakan memerlukan pakan berkualitas dengan kandungan nutrisi yang lengkap agar dapat hidup dan
berkembangbiak dengan baik. Mahalnya harga pakan dapat diatasi salah satunya dengan membuat pakan
buatan sendiri menggunakan metode yang sederhana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
waktu optimal fermentasi pelet ikan yang dibuat dari limbah organik (bekicot, tulang ikan lele, kulit pisang dan
kulit singkong) terhadap nilai kadar air, protein dan serat kasar dengan variasiwaktu 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 hari.
Mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae dalam keadaan aerob.
Analisis kadar air digunakan metode oven dan didapatkan waktu optimal kadar air adalah pada hari ke 2 yaitu
9,44 %. Analisis kadar protein menggunakan metode semimikro Kjeldahl dan didapatkan waktu optimal kadar
protein pada hari ke 2 juga yaitu 34,32 % dan analisis kadar serat kasar digunakan metode gravimetri dan
didapatkan waktu optimal terhadap kadar serat kasar adalah pada hari ke 3 yaitu 6,38 %. Hasil uji t (p = 0,05)
menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata antara hasil kadar air, protein dan serat kasar yang diperoleh
antara waktu fermentasi 2 dan 3 hari. Pelet ikan yang difermentasi pada waktu optimal (2 hari) memenuhi
syarat mutu pakan ikan patin SNI 7548:2009 yaitu kadar air maksimal 12 %, protein minimal 25 % dan serat
kasar maksimal 8 %.
Kata kunci :

Pelet ikan, Saccharomyces cerevisiae, Kadar air, Kadar protein, Kadar serat kasar

sektor penting untuk mendukung perkembangan ekonomi pedesaan (Sitanggang, 2014).


Kebutuhan pakan selama budidaya dapat
mencapai sekitar 60 - 70% dari biaya
operasional budidaya (Megawati dkk, 2012).
Mahalnya harga pakan dapat diatasi salah
satunya dengan membuat pakan buatan sendiri
menggunakan metode yang sederhana dengan
memanfaatkan sumber-sumber bahan baku
yang murah, mudah didapat, mudah diolah dan

PENDAHULUAN
Budidaya ikan di Indonesia merupakan salah
satu komponen yang penting pada sektor
perikanan. Hal ini berkaitan dengan perannya
dalam menunjang ketersediaan pangan nasional dan menciptakan pendapatan dan lapangan kerja. Budidaya ikan juga berperan dalam mengurangi beban sumber daya laut. Di
samping itu budidaya ikan dianggap sebagai

1906

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

mengandung zat gizi yang diperlukan oleh


ikan (Zaenuri dkk, 2013).
Bahan alternatif yang murah dan mudah
didapat salah satunya adalah limbah organik.
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari
suatu proses produksi baik industri maupun
domestik (rumah tangga), yang kehadirannya
pada suatu saat dan tempat tertentu tidak
dikehendaki lingkungan karena belum
memiliki nilai ekonomis (Widjajanti, 2009).
Berdasarkan teknologi yang sudah ada,
pengkayaan bahan pakan berasal dari limbah
dengan memanfaatkan bahan kimia maupun
secara mikrobiologi secara tidak langsung
dapat digunakan sebagai bahan pakan hewan
(Wiyatno dkk, 2010).
Bekicot (Achatina fulica) merupakan bahan
hewani yang mengandung 59,27 % protein dan
2,47 % serat kasar. Bekicot banyak terdapat di
lingkungan dan mudah mendapatkannya.
Selama ini masyarakat hanya mengetahui
bahwa bekicot merupakan hama yang sering
mengganggu budidaya pangan (Adelina dan
Boer, 2007).
Kualitas pelet ikan, tidak hanya ditentukan
oleh kandungan nutrisinya yang mencukupi
untuk kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan ikan, akan tetapi juga ditentukan oleh
sifat fisiknya, misalnya kemampuan daya
apungnya maupun stabilitas pakan dalam air,
serta beberapa sifat fisik pakan yang lain. Agar
diperoleh pakan dengan stabilitas dalam air
yang baik, perlu digunakan bahan perekat ke
dalam bahan pelet. Penggunaan perekat yang
tepat dapat meningkatkan kualitas pakan.
Bahan dengan kandungan karbohidrat yang
cukup tinggi baik dijadikan bahan perekat.
Karbohidrat dalam pakan berfungsi sebagai
perekat dan memperkuat ikatan partikel
penyusun pakan (Mulia dan Maryanto, 2014).
Salah satu limbah yang berpotensi sebagai
perekat pelet ikan adalah kulit singkong karena
mengandung karbohidrat sebesar 74,73 %
(Pratiwi, 2013).
Proses fermentasi dapat meningkatkan
kadar protein (Fransistika dkk, 2012),
menurunkan kadar serat kasar (Utami dkk,
2012), menurunkan kadar HCN yang terdapat
pada kulit singkong (Pratiwi, 2013) dan
sebagai produksi gas CO2 (Yaumi, 2010) pada
pelet agar dapat mengapung. Produksi protein
dengan fermentasi menggunakan pembaharuan
bahan meliputi limbah organik telah
mendapatkan perhatian dari dunia sebagai

solusi pemanfaatan limbah lingkungan maupun


industri (Wiyatno dkk, 2010).
Proses fermentasi merupakan suatu proses
pengubahan substrat menjadi produk tertentu
yang dikehendaki dengan menggunakan
bantuan mikroba (Suprihatin, 2010). Salah satu
mikroorganisme yang sering digunakan dalam
proses
fermentasi
adalah
khamir
Saccharomyces cerevisiae yang merupakan
spesies umum yang banyak digunakan dalam
fermentasi makanan (Suprayudi dkk, 2012).
Pada mikroorganisme dalam proses fermentasi
dapat bekerja maksimal pada waktu optimal.
Sehingga diperlukan untuk mencari waktu
optimal fermentasi dalam hal ini terhadap
kadar air, protein dan serat kasar. Pada
penelitian sebelumnya Suprayudi dkk (2012)
melakukan fermentasi pada pakan ikan mas
menggunakan
khamir
Saccharomyces
cerevisiae 1% selama 24 jam dengan bahan
yang
berbeda
didapatkan
peningkatan
kandungan protein dan penurunan kandungan
serat kasar.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium
Kimia Terpadu Program Studi Kimia, FMIPA
dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah
Riau, Pekanbaru dan di laboratorium Aneka
Komoditi, UPT-PSMB Disperindag Provinsi
Riau.
Teknik pengumpulan data
Pelet ikan dibuat dari bekicot, tulang ikan lele,
kulit pisang dan kulit singkong yang masingmasing telah dibuat menjadi tepung. Setelah
itu difermentasi dengan Saccharomyces
cerevisiae pada waktu yang berbeda dan
dicetak. Kemudian masing-masing pelet diuji
kadar air, protein dan serat kasarnya. Setelah
itu, diketahui berapa waktu optimal fermentasi
pelet ikan dengan bahan limbah organik
terhadap kadar air, protein dan serat kasar.
Pembuatan dan fermentasi pelet ikan
Pelet ikan dibuat dengan menepungkan
bahan limbah organik. Kemudian disiapkan
enam wadah yang sudah diberi label sebagai
berikut :
a. PI0
: Fermentasi 0 hari
b. PI1
: Fermentasi 1 hari
c. PI2
: Fermentasi 2 hari
d. PI3
: Fermentasi 3 hari
e. PI4
: Fermentasi 4 hari
1907

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Tabel 3. Hasil Analisis Kadar Protein Pelet Ikan

f. PI5
: Fermentasi 5 hari
Setiap wadah dimasukkan tepung bekicot 16
gr, tepung tulang ikan lele 12 gr, dan tepung
kulit pisang 12 gr. Kemudian ditambahkan
tepung kulit singkong 4 gr yang telah dicairkan
dalam air mendidih lalu diuleni hingga elastis.
Pada setiap wadah dimasukkan ragi roti 0,4
gr dan diuleni lagi. Kemudian ditutup
menggunakan daun pisang (proses fermentasi
aerob). Bahan difermentasi dalam waktu sesuai
label dan dicetak menggunakan pencetak pelet.
Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu
60oC selama dua jam (Suprayudi dkk, 2012).

No.
1
2
3
4
5
6

No.
1
2
3
4
5
6

No.
1
2
3
4
5
6

Hasil pengamatan
Hasil penelitian ini adalah nilai kadar air,
protein dan serat kasar dari pelet ikan dari
limbah organik yaitu bekicot, tulang ikan lele,
kulit pisang dan kulit singkong dengan
perbandingan 4:3:3:1 yang difermentasi
menggunakan ragi roti (Saccharomyces
cerevisiae) secara aerob pada variasi waktu 0,
1, 2, 3, 4 dan 5 hari. Pelet ikan pada penelitian
ini juga dibuat tanpa fermentasi (0 hari) dan
ragi roti (Saccharomyces cerevisiae). Hal ini
bertujuan
untuk mengetahui
pengaruh
penambahan ragi roti dalam pelet ikan.

1
2
3

Kadar air
Kadar protein
Kadar serat
kasar

8,51

8,78

1
2
3
4
5
6

Waktu
fermentasi
(hari)
0
1
2
3
4
5

Rata-rata
(%)
8,65
30,65
8,64

Hasil (%)
2

Ratarata (%)

Standar
maks. SNI
(%)

8,82
9,05
9,41
9,15
8,97
7,89

8,86
8,95
9,47
9,40
9,00
7,89

8,84
9,00
9,44
9,27
8,98
7,89

12

33,29
34,10
33,77
33,79
31,39
30,68

33,70
33,90
34,32
33,50
31,23
31,15

25

Waktu
fermentasi
(hari)
0
1
2
3
4
5

Hasil (%)
1

Ratarata (%)

8,92
7,85
6,83
6,24
6,39
6,84

8,95
7,46
6,70
6,53
6,92
6,79

8,93
7,65
6,76
6,38
6,65
6,81

Standar
min. SNI
(%)

Waktu
fermentasi
(hari)
0
1
2
3
4
5

Kadar air
(%)
8,84
9,00
9,44
9,27
8,98
7,89

Kadar
protein
(%)
33,70
33,90
34,32
33,50
31,23
31,15

Kadar
serat kasar
(%)
8,93
7,65
6,76
6,38
6,65
6,81

Pembahasan
Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi
dalam melakukan fermentasi diantaranya yaitu
waktu fermentasi dan konsentrasi inokulum.
Hal ini akan mempengaruhi tingkat
pertumbuhan dari mikroba. Waktu fermentasi
berpengaruh terhadap pertumbuhan dari
mikroba dan ragi yang digunakan. Pada masa
pertumbuhannya sel-sel terus membelah secara
cepat. Selama
kondisi
memungkinkan
pertumbuhan dan pembelahan sel berlangsung
sampai sejumlah besar populasi sel terbentuk
(Simangunsong dkk, 2014).
Hal ini berarti tiap jenis mikroorganisme
yang digunakan memiliki waktu optimal dalam
berfermentasi sehingga mampu menghasilkan
senyawa dalam bentuk yang lebih sederhana.
Semakin optimal waktu fermentasi, mikroba
akan berkembang dengan baik dan aktif,
sehingga mampu menguraikan kandungan
kimia dalam bahan organik (Simangunsong
dkk, 2014).
Hasil fermentasi diperoleh sebagai akibat
metabolisme mikroba-mikroba pada suatu
bahan pangan dalam keadaan aerob dan
anaerob. Mikroba yang melakukan fermentasi

Tabel 2. Hasil Analisis Kadar Air Pelet Ikan


No.

34,12
33,71
34,88
33,22
31,08
31,63

Standar
min. SNI
(%)

Keterangan : Waktu ke 2 hari merupakan waktu


optimal fermentasi pelet ikan

Tabel 1. Hasil Analisis Pelet Ikan Tanpa


Fermentasi dan Ragi Roti
Hasil (%)
1
2
8,71
8,60
30,19
31,12

Ratarata (%)

Tabel 5. Hasil Analisis Rata-rata Kadar Air, Protein


dan Serat Kasar Pelet Ikan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis uji

Hasil (%)

Tabel 4. Hasil Analisis Kadar Serat Kasar Pelet


Ikan

Parameter yang diukur dan analisis data


Parameter yang diujikan terhadap pelet ikan
adalah kadar air menggunakan metode oven,
kadar protein menggunakan metode semimikro
Kjeldahl dan kadar serat kasar menggunakan
metode gravimetri.
Analisis data dari penelitian ini disajikan
dalam bentuk grafik dan tabel serta dianalisis
secara statistik.

No.

Waktu
fermentasi
(hari)
0
1
2
3
4
5

1908

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

membutuhkan energi yang umumnya diperoleh


dari glukosa. Dalam keadaan aerob, mikroba
mengubah glukosa menjadi air, CO2 dan energi
(ATP) (Panuntas, 2012). Pada penelitian ini
proses fermentasi aerob terbukti menghasilkan
air dengan adanya kadar air, CO2 dengan
adanya uap air di bagian bawah kulit pisang
yang dipakai sebagai penutup wadah
fermentasi dan energi (ATP) dengan adanya
kadar protein.
Reaksi fermentasi aerob :
C6H12O6 + 6O2
6CO2 + 6H2O + ATP

ini terjadi dikarenakan variasi waktu


fermentasi yang jauh.
Penurunan kadar air di hari ke 3 sampai ke
5 dikarenakan mikroba mengalami fase
menuju kematian sampai kematian yang
disertai dengan penguapan air selama proses
fermentasi
karena
proses
fermentasi
berlangsung secara aerob. Kadar air yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan pembusukan
dan ketengikan pada pelet ikan, sedangkan
terlalu rendah juga dapat menyebabkan pelet
ikan mudah hancur (Ahmad, 2014).

Analisis kadar air


Pada proses fermentasi aerob mikroba
menghasilkan air, CO2 dan energi (ATP)
(Panuntas, 2012). Kadar air suatu bahan yang
terfermentasi akan semakin bertambah hingga
mikroba mengalami fase statis (waktu optimal)
setelah mengalami fase adaptasi dan
pertumbuhan. Produksi air dari proses
fermentasi berkurang saat mikroba mengalami
fase menuju kematian dan berhenti pada fase
kematian (Suprihatin, 2010).

Analisis kadar protein


Hasil analisis kadar protein pelet ikan terjadi
kenaikan kadar protein dari 0 hari sampai ke 2
hari fermentasi dan terjadi penu-runan
setelahnya sampai fermentasi ke 5 hari. Waktu
2 hari adalah waktu terbaik fermentasi dalam
penelitian ini karena mencapai kadar protein
tertinggi yaitu 34,32% sedangkan kadar
protein terendah pada fermentasi 5 hari yaitu
31,15%. Kadar protein pelet ikan sebelum
penambahan ragi roti dan fermentasi adalah
30,65% sedangkan setelah penambahan
menjadi 33,70%. Hal ini terjadi karena di
dalam ragi roti yang digunakan sudah
mengandung protein yaitu sebesar 3,05 %.
Berdasarkan uji t pada kadar protein pelet
ikan untuk 2 dan 3 hari fermentasi tidak terjadi
perbedaan nyata pada p = 0,05. Hal ini
menunjukkan kemungkinan waktu optimal
belum tentu pada 2 hari fermentasi, tetapi bisa
jadi antara 2 hari sampai 3 hari fermentasi.
Peningkatan kandungan protein tersebut
diduga disebabkan oleh lamanya waktu
fermentasi
yang
dapat
memberikan
kesempatan pada S. cerevisiae untuk tumbuh
dan berkembang sehingga akan meningkatkan
massa mikrobial yang kaya protein. Peningkatan kadar protein disebabkan adanya penurunan komponen karbohidrat dan BETN
(Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen). Jadi, semakin lama waktu fermentasi kandungan protein
semakin tinggi oleh karena adanya peningkatan pertumbuhan khamir sampai mencapai
optimal (Umiyasih dan Anggraeny, 2008).

Gambar 1. Grafik hasil analisis kadar air pelet ikan

Kadar air pelet ikan bertambah 0,19 %


setelah penambahan ragi roti, hal ini terjadi
karena di dalam ragi roti yang ditambahkan
juga mengandung kadar air. Kadar air pelet
ikan dari hasil fermentasi terjadi kenaikan
sampai waktu ke 2 hari yaitu 9,44 % dan
terjadi penurunan pada waktu ke 3 yaitu 9,27
% sampai 5 hari yaitu 7,89 %. Dari hasil yang
diperoleh dapat dilihat waktu optimal
fermentasi terhadap kadar air diperoleh pada
hari ke 2.
Pembuktian waktu optimal pada fermentasi
pelet ikan terhadap kadar air diuji secara
statistik menggunakan uji t pada waktu
fermentasi pelet ikan 2 dan 3 hari. Hal ini
dilakukan karena antara waktu 2 dan 3 hari
selisihnya dekat dan berada diantara waktu
optimal. Setelah diuji ternyata tidak terjadi
perbedaan yang nyata pada p = 0,05. Sehingga
dapat disimpulkan kemungkinan waktu
optimal belum tentu pada waktu ke 2 hari
tetapi bisa jadi diantara waktu 2 dan 3 hari. Hal

Gambar 2. Grafik hasil analisis kadar protein pelet


ikan

1909

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Tahap pengujian kadar protein ada tiga


tahap yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Pada
tahap
destruksi
sampel
dipanaskan
menggunakan labu Kjeldahl di atas pembakar
listrik dengan penambahan campuran selen dan
H2SO4 pekat. Asam sulfat berfungsi untuk
mendestruksi sehingga terbentuk unsurunsurnya. Elemen karbon, hidrogen teroksidasi
menjadi
CO, CO2 dan H2O. Sedangkan
nitrogennya berubah menjadi (NH4)2SO4.
Campuran selen berfungsi sebagai katalisator
yaitu untuk mempercepat proses destruksi.
Proses destruksi selesai apabila larutan
menjadi jernih atau tidak berwarna. Pada tahap
destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi
ammonia dengan penambahan NaOH.
Amonium yang dibebaskan selanjutnya
ditangkap oleh asam borat 2 % yang
ditambahkan indikator mengsel. Destilasi
diakhiri bila semua ammonia terdestilasi
sempurna dengan ditandai destilat tidak
bereaksi basa. Tahap terakhir adalah titrasi.
Hasil
destilasi
selanjutnya
dititrasi
menggunakan HCl 0,01 N (Fauzi, 2008).

hari ke 4 dan ke 5, tetapi kenaikannya tidak


berbeda jauh dari pelet ikan fermentasi hari ke
3. Setelah mengalami fase statis, mikroba
mengalami fase menuju kematian dan
kematian (Suprihatin, 2010) sehingga setelah
hari ke 3 mikroba berkurang kemampuannya
dalam merombak serat kasar. Hal ini
dibuktikan pada hari ke 4 dan 5 terjadi
penurunan serat kasar yang tidak jauh berbeda.
Penentuan waktu optimal kadar serat kasar
diuji secara statistik untuk waktu fermentasi
hari ke 2 dan ke 3 pada taraf nyata p = 0,05
dan didapatkan tidak terjadi perbedaan yang
nyata antara fermentasi hari ke 2 dan ke 3. Hal
ini menunjukkan waktu optimal fermentasi
berada pada antara hari ke 2 sampai hari ke 3.

Gambar 3. Grafik Hasil Analisis Kadar Serat Kasar


Pelet Ikan

Analisis kadar serat kasar


Analisis kadar serat kasar pelet ikan ini
dilakukan dengan mengekstrak sampel dengan
asam dan basa. Asam yang digunakan adalah
H2SO4 1,25 % sedangkan basa yang digunakan
adalah NaOH 3,25%.
Hasil analisis serat kasar pelet ikan
menunjukkan penurunan kadar serat kasar
sampai ke 3 hari fermentasi yaitu 6,24 % dan
kenaikan pada hari ke 4 dan ke 5 yaitu masingmasing 6,39 % dan 6,79 %. Kadar serat kasar
pelet ikan sebelum ditambahkan ragi roti dan
fermentasi adalah 8,64 % sedangkan setelah
penambahan menjadi 8,93 %. Hal ini terjadi
karena di dalam ragi roti yang digunakan
mengandung serat kasar sebesar 0,29 %.
Proses fermentasi dapat menurunkan kadar
serat kasar bahan yang difermentasi. Tinggi
rendahnya selisih penurunan serat kasar pada
bahan tergantung jenis bakteri atau khamir
yang digunakan (Ginting dan Krisnan, 2006).
Penurunan serat kasar akibat perlakuan
fermentasi berhenti pada hari ke 3 fermentasi
dan hari ketiga merupakan waktu optimal
untuk penurunan kadar serat kasar pelet ikan
dalam fermentasi dalam penelitian ini. Karena
saat berhentinya penurunan kadar serat kasar,
mikroba mengalami fase statis setelah
mengalami fase adaptasi dan pertumbuhan.
Kenaikan kadar serat kasar terjadi pada pada

Dalam proses fermentasi substrat yang


digunakan harus mengandung unsur karbon
(C) dan nitrogen (N) yang dibutuhkan
mikroorganisme untuk pertumbuhan. Hasil
fermentasi sangat tergantung pada bahan pakan
sebagai bahan dasar (substrat), macam
mikroba atau inokulum, dan kondisi
lingkungan yang sangat mempengaruhi
pertumbuhan dan metabolisme mikroba
tersebut (Umiyasih dan Anggraeny, 2008).
Hasil pelet ikan limbah organik
berdasarkan waktu fermentasi yang terbaik
adalah waktu fermentasi hari ke 2. Dari hasil
analisis pelet ikan didapatkan dari semua
variasi waktu untuk kadar air dan protein
memenuhi syarat mutu pakan ikan Patin (SNI
7548:2009) yaitu syarat mutu kadar air
maksimal adalah 12 % dan protein minimal 25
%. Sedangkan kadar serat kasar pelet ikan
pada hari ke 0 tidak memenuhi syarat mutu
standar tetapi untuk hari ke 1 sampai ke 5
memenuhi syarat mutu maksimal kadar serat
kasar yaitu 8 %.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Limbah organik yaitu bekicot, tulang ikan lele,
kulit pisang dan kulit singkong dapat
1910

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Penelitian LPPM UMP 2014. Universitas
Muhammadiyah Purwokerto, Purwokerto
Panuntas, M. M. 2012. Kajian Konsentrasi Koji
Saccharomyces cereviseae Var. Ellipsoideus
dan Suhu pada Proses Fermentasi Kering
terhadap Karakteristik Kopi Var. Robusta.
Jurnal. Universitas Pasundan, Bandung
Pratiwi, I. D. 2013. Pengaruh Subtitusi Tepung
Kulit Singkong Terhadap Kualitas Muffin.
Skripsi. UNNES, Semarang
Simangunsong, J., Kumalaningsih, S., Putri, W. I.
2014. Penggunaan Ma-11 pada Fermentasi
Limbah Bungkil Inti Kelapa Sawit Sebagai
Bahan Pakan Sapi (Kajian Waktu Fermentasi
dan Konsentrasi Ma-11). Jurnal. Universitas
Brawijaya, Malang
Sitanggang, L. D. 2014. Laju Pertumbuhan Populasi Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) dengan Pemberian Pakan Alami dan
Buatan serta Kombinasinya. Skripsi. USU,
Medan
SNI-01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan
Minuman. Badan Standardisasi Nasional
SNI 7548:2009. Pakan buatan untuk ikan patin
(Pangasius sp.). Badan Standardisasi Nasional
Suprayudi, M. A., Edriani, G., Ekasari, J. 2012.
Evaluasi Kualitas Produk Fermentasi Berbagai
Bahan Baku Hasil Samping Agroindustri Lokal
: Pengaruhnya Terhadap Kecernaan serta
Kinerja Pertumbuhan Juvenil Ikan Mas. Jurnal
Akuakultur Indonesia. 11 (1) : 1 10
Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi. UNESA
Press, Surabaya
Umiyasih, U., Anggraeny, Y. N. 2008. Pengaruh
Fermentasi Saccharomyces cerevisiae terhadap
Kandungan Nutrisi dan Kecernaan Ampas Pati
Aren (Arenga pinnata Merr.). Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Loka
Penelitian Sapi Potong, Pasuruan
Utami, I. K., Haetami, K., Rosidah. 2012. Pengaruh
Penggunaan Tepung Daun Turi Hasil
Fermentasi dalam Pakan Buatan Terhadap
Pertumbuhan Benih Bawal Air Tawar
(Colossomamacropomum
cuvier).
Jurnal
Perikanan dan Kelautan. Vol. 3, No. 4 : 191 199
Wiyatno, F. H., Yuliono, D. T., Sunar., Wicitra, V.
N., Saifudin, F. 2010. Produksi Pakan Ikan
Berprotein Tinggi dengan Pemanfaatan
Fermentasi Ampas Teh. Usulan Program
Kreatifitas Mahasiswa. Universitas Airlangga,
Surabaya
Yaumi, N. 2010. Penambahan Tepung Kacang
Merah dalam Pembuatan Donat dan Daya
Terimanya. Skripsi. USU, Medan
Zaenuri, R., Suharto, B., Haji, A. T. S. 2013. Kualitas Pakan Ikan Berbentuk Pelet Dari Limbah
Pertanian. Jurnal Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Universitas Brawijaya, Malang

dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan pelet


ikan. Jumlah kadar air, protein dan serat kasar
pelet ikan dipengaruhi oleh waktu fermentasi.
Hal ini ditunjukkan dari perbedaan jumlah
kadar air, protein dan serat kasar pada waktu
berbeda. Hasil analisis statistik dengan uji t
menunjukkan bahwa waktu fermentasi pelet
ikan dengan kualitas terbaik adalah pada hari
ke 2 (p = 0,05).
Saran
Pada pelet ikan dilakukan pengujian yang lain
selain kadar air, protein dan serat kasar.
Fermentasi dilakukan dengan menggunakan
mikroorganisme anaerob. Variasi waktu
fermentasi perlu dicoba dengan selisih waktu
yang lebih dekat dan Saccharomyces
cerevisiae
yang
digunakan
adalah
Saccharomyces cerevisiae murni.
DAFTAR PUSTAKA
Adelina., Boer, I. 2007. Pemanfaatan Tepung
Bekicot (Achatina fulica) Sebagai Bahan
Pakan Benih Ikan Baung (Mystus nemurus
C.V) dan Ikan Mas (Cyprinus carpio L).
Berkala Perikanan Terubuk. Februari 2007
hal 1 -9
Ahmad, N. 2014. Kajian Terhadap Kadar Air
Tepung Jagung dan Tepung Karaginan Sebagai
Bahan Baku Puding Jagung. Thesis. Universitas
Negeri Gorontalo, Gorontalo
Fauzi, A. 2008. Analisa Kadar Unsur Hara Karbon
Organik dan Nitrogen di Dalam Tanah
Perkebunan Kelapa Sawit Bengkalis Riau.
Tugas Akhir. USU, Medan
Fransistika, R., Idiawati, N., Destiarti, L. 2012.
Pengaruh Waktu Fermentasi Campuran
Trichoderma Reesei dan Aspergillus Niger
Terhadap Kandungan Protein dan Serat Kasar
Ampas Sagu. JKK. Volume 1 (1) : 35 39
Ginting, S. P., Krisnan, R. 2006. Pengaruh
Fermentasi Menggunakan Beberapa Strain
Trichoderma dan Masa Inkubasi Berbeda
terhadap Komposisi Kimiawi Bungkil Inti
Sawit. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner. Loka Penelitian Kambing
Potong, Galang
Megawati, R. A., Arief, M., Alamsjah, M. A. 2012.
Pemberian Pakan dengan Kadar Serat Kasar
yang Berbeda Terhadap Daya Cerna Pakan pada
Ikan Berlambung dan Ikan Tidak Berlambung.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Vol. 4
No. 2
Mulia, D. S., Maryanto, H. 2014. Uji Fisik dan
Kimiawi Pakan Ikan yang Menggunakan Bahan
Perekat Alami. Prosiding Seminar Hasil

1911

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PEMBUATAN NANOMATERIAL KRIPTOMELAN DENGAN PROSES


MICROWAVE DAN OVEN
Lia Anggresani 1), Syukri Arief 2), Rahmayeni 3)
1

Prodi Farmasi, STIKES Harapan Ibu Jambi, email : anggresani@yahoo.com


2,3
Fakultas MIPA, Universitas Andalas
Abstract

Preparation of crytomelane nanomaterials using microwave and oven process has been investigated. The
reaction process used kalium permanganate as precursor, H 2O2 as redactor, HCl and Buffer Sitrat-Fosfat as
the acidity controller. Powder could be prepared by heating of mixture in microwave about 10 minutes or oven
about 6 hours at 140-160oC. The product was found in the darkbrown powder. Powder washed by water several
times then dried in oven at 95-105oC. The characterization of powder by X-Ray Diffraction (XRD) showed that
the product of manganese oxide using microwave and oven was found criptomelane with simple formula of
K0,5Mn2O4.1,5 H2O. Scanning Electron Microscopy (SEM) images showed that the morfology of powder were
spherical (using HCl microwave and oven) and bulk (using Buffer Sitrat-Fosfat microwave and oven).
Keywords: Cryptomelane Nanomaterials, Microwave, Oven,HCl, and Buffer Sitrat-Fosfat

MnO6 oktahedral untuk lapisan H2O yang


berada diantara 2 sheet yang berdekatan /
bersebrangan. Struktur tunnel yang terbentuk
dari edge dan corner sharing dari MnO6
oktahedral
untuk
membentuk
tunnel
1x1(pyrolusite), tunnel 1x2 (Ramsdellite),
tunnel intergrown 1x1atau 1x2 (Nstutite),
tunnel 2x2 (Hollandite atau kriptomelan
dengan Ba+2 atau K+ dalam tunnel), tunnel 2x3
(Romanechite), tunnel 3x3 (todorokite), tunnel
2x4 (yang disintesis di dalam laboratorium
kita) Pembuatan, penelitian dan aplikasi dari
material bulk OMS-2 telah dikembangkan dan
diteliti selama 2 dekade belakangan ini.
Metode reflux adalah cara yang paling sering
digunakan untuk membuat material bulk OMS2 ini (liu, et al, 2004).
Kriptomelan (OMS-2) adalah salah satu
bentuk mangan dioksida dengan ukuran tunnel
0,46 nm x 0,46 nm yang terbentuk dari edgeshared double [MnO6] rantai oktahedral yang
terhubung antar sudut-sudutnya sehingga
membentuk tunnel 1D. Biasanya di dalam
tunnel terdapat mineral kriptomelan, ion
potasium, ion barium dan sejumlah kecil air.
Ion potasium dan molekul-molekul air dapat
bersifat sebagai penukar ion (ion-exchange)
dengan kation anorganik yang lain dengan
ukuran-ukuran tertentu, seperti Cu+2, Co+2, dan
Ni+2. Ion-ion logam yang terdapat pada tunnel
tidak hanya menyeimbangkan muatan dari
Mn+2, Mn+3, dan Mn+4, tapi juga dapat
berfungsi sebagai pusat aktif untuk proses

1. PENDAHULUAN
Struktur nanoscale satu dimensi (nanorods,
nanotubes, dan nanofibers) telah menarik
perhatian belakangan ini, karena sifat
elektroniknya yang unik, optikal, mekanik, dan
sifat-sifat magnetik serta aplikasi yang
berpotensi pada segala bidang.
Octahedral Molecular Sieve (OMS)
merupakan salah satu material nanoscale yang
memiliki ukuran partikel yang kecil dan luas
permukaan yang tinggi (Villegas, et al, 2005).
OMS mempunyai struktur tunnel (berongga) 1
dimensi. Struktur tunnel ini terbentuk dari
bagian pinggir dan bagian sudut dari
oktahedral MnO6 (liu et al, 2004). OMS
memiliki bermacam-macam ukuran nanoscale
dari 2,3 x 2,3 sampai 4,6 x 11,5 .
Beberapa material mangan oksida nanoscale
dari 3 x 3 (OMS-1), 2 x 2 (OMS-2), 2 x 3
(OMS-6), 2 x 4 (OMS-5), dan 1 x 1 (OMS-7)
telah diteliti dan dilaporkan (Ghosh, et al,
2006).
Material oksida mangan OMS banyak
diaplikasikan sebagai katalis dan material
baterai (liu, et al, 2004). Kriptomelan jenis
material oksida mangan (OMS-2) adalah
kelompok material OMS yang penting karena
material OMS-2 telah banyak digunakan
sebagai katalis, pemisahan, sensor kimia, dan
baterai.
Ada 2 struktur yang utama yaitu : Material
berlapis yang terbentuk dari edge-sharing
1912

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

katalisis selektif. Struktur tunnel terbuka


khusus dan valensi mangan yang beragam
pada pori OMS-2, menunjukkan ia memiliki
sifat fisika-kimia yang unik, seperti
kemampuannya untuk menjalankan proses
pertukaran ion dan transformasi redoks
multielektron reversibel. Oleh karena itu
OMS-2 dapat digunakan sebagai katalis redoks
heterogen, sensor zar kimia dan bahan bateraI
(Ding, et al, 2005).
Proses
pembuatan
nanomaterial
kriptomelan yang dikembangkan dalam
penelitian ini adalah metode microwave dan
oven. Proses microwave merupakan metode
sintesis yang baru dan berkembang dengan
cepat dalam berbagai penelitian. Dalam sistem
ini, interaksi microwave dengan material
didasarkan pada konsep pemanasan dielektrik
dan absorbsi resonansi yang berkaitan dengan
eksitasi rotasi. Teknik ini dikerjakan secara
luas untuk variasi reaksi meliputi sintesis
organik. Dibandingkan dengan metode
konvensional, metode ini lebih cepat, bersih,
dan ekonomis (Apte, et al,2006).
Proses oven yang dilakukan disini hampir
sama dengan metode hidrotermal yaitu suatu
metode
pembuatan
material
dengan
mereaksikan larutan di dalam bejana tertutup
diatas titik didihnya dengan pemanasan dalam
kondisi hidrotermal. Temperatur yang
digunakan dalam sintesis hidrotermal adalah
temperatur sedang yang berkisar antara 100300oC (Bunshah, et al,1994).

beberapa menit hingga kering pada suhu 100


5oC. Hasil yang didapatkan berupa bubuk.
b. Pembuatan
OMS-2
dengan
menggunakan Buffer sitrat-fosfat
KMnO4 sebanyak 6,5 g dilarutkan dengan
150 ml air (aqudest) lalu dilakukan penstireran
(larutan 1). Setelah itu larutan hidrogen
peroksida (H2O2) dengan variasi 1%, 5%, 15%
sebanyak 40 ml dan variasi pengontrolan
keasaman yaitu buffer sitrat-fosfat pH = 2,5
sebanyak 10 ml (larutan 2). Larutan 1
ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam
larutan 2 dan dilakukan penstireran selama 1
jam. Larutan tersebut dimasukkan dalam
microwave selama 10 menit tetapi jika oven
digunakan dilakukan selama 6 jam dengan
suhu 150 10oC. Setelah didapatkan powder
kering, dilakukan pencucian dengan aquadest
hal ini bertujuan untuk menghilangkan
pengotor-pengotor yang ada dan dilakukan
penyaringan dengan menggunakan pompa
vakum. Setelah itu sampel dikeringkan dengan
oven selama beberapa menit hingga kering
pada suhu 100 5oC. Hasil yang didapatkan
berupa bubuk.
c. Karakterisasi Sampel
Analisis XRD untuk dapat mengetahui bentuk
kristal, ukuran, derajat kristalinitas serta
derajat orientasinya dan analisis SEM
dilakukan dengan cara menembaki permukaan
sampel dengan elektron. Dengan analisis ini
dapat diketahui morfologi permukaan sampel.

2. METODE PENELITIAN
a. Pembuatan
OMS-2
dengan
menggunakan HCl
KMnO4 sebanyak 6,5 g dilarutkan dengan
150 ml air (aqudest) lalu dilakukan penstireran
(larutan 1). Setelah itu dibuat larutan hidrogen
peroksida (H2O2) dengan variasi 1%, 5%, 15%
sebanyak 30 ml dan variasi pengontrolan
keasaman HCl 6 N sebanyak 3ml (larutan 2).
Larutan 1 ditambahkan sedikit demi sedikit ke
dalam larutan 2 dan dilakukan penstireran
selama 1 jam. Larutan tersebut dimasukkan
dalam microwave selama 10 menit tetapi jika
oven digunakan dilakukan selama 6 jam
dengan suhu 150 10oC. Setelah didapatkan
powder kering, dilakukan pencucian dengan
aquadest
hal
ini
bertujuan
untuk
menghilangkan pengotor-pengotor yang ada
dan
dilakukan
penyaringan
dengan
menggunakan pompa vakum. Setelah itu
sampel dikeringkan dengan oven selama

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pembuatan kriptomelan melalui metode
microwave dan oven dengan bahan dasarnya
adalah kalium permanganat (KMnO4) yang
bertindak
sebagai
oksidator,
hidrogen
peroksida (H2O2) sebagai reduktor dan HCl
dan Buffer Sitrat-Fosfat sebagai pengontrol
keasaman. KMnO4 direduksi oleh H2O2 dalam
suasana asam untuk menghasilkan spesies Mn
yang memiliki valensi yang lebih rendah.
Secara umum reaksi kimianya dapat diusulkan
sebagai berikut:
2 MnO4- (aq) + 3 H2O2 (aq) + 2 H+(aq)
2 MnO2 (s) + 3 O2 (g) + 4 H2O
(g)
Dari reaksi dapat dilihat bahwa MnO2 yang
dihasilkan berupa padatan sedangkan O2 dan
H2O berupa gas sehingga oksida mangan yang
diharapkan adalah berupa padatan. Dan dari
pengamatan fisik secara visual didapatkan
hasil berupa padatan berwarna coklat
1913

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

kehitaman disini O2 dan H2O yang didapatkan


berupa gas.

Lar.
Buffer

Coklat tua
Agak kasar
Coklat
Lebih halus
muda
15% Dari tabel 3 terlihat bahwa ketika konsentrasi
H2O2 dinaikkan maka powder yang dihasilkan
menjadi lebih halus dan warnanya menjadi
lebih muda. Pada konsentrasi 15% H2O2 tidak
dapat dilakukan, hal ini dikarenakan terjadinya
kerusakan alat pada microwave.

a. Pembuatan
Kriptomelan
dengan
menggunakan HCl
Kriptomelan dapat dibuat dengan mereaksikan
antara KMnO4 dan H2O2, dengan metode
reflux (villegas, et al, 2005). Pembuatan
kriptomelan pada penelitian ini dilakukan
dengan proses microwave dan oven. Pada
kedua proses ini digunakan HCl yang
berfungsi untuk memperkuat sifat asam dari
H2O2.
Tabel 1. Pengamatan fisik setelah powder
didapatkan dengan proses microwave
H2O2 Warna
Pengamatan
fisik
HCl 1%
Coklat tua
Agak kasar
5%
Coklat
Halus
muda
15%
Coklat
Halus
muda
Dari tabel 1 terlihat bahwa ketika konsentrasi
H2O2 dinaikkan maka powder yang didapatkan
menjadi lebih halus dan warnanya menjadi
lebih muda.

1%
5%

Tabel 4. Pengamatan fisik setelah powder


didapatkan dengan proses oven
H2O2 Warna
Pengamatan
fisik
Lar.
Buffer

1%
Coklat tua
Agak kasar
5%
Coklat muda Lebih halus
15% Dari tabel 4. pengamatan fisik yang didapatkan
adalah semakin banyak konsentrasi H2O2 yang
digunakan maka powder yang didapatkan
semakin halus sedangkan warnanya berubah
dari coklat tua menjadi coklat muda. Dari tabel
3 dan 4 dapat dilihat bahwa dengan kedua
proses sintesis ini powder yang dihasilkan
semakin
halus
dengan
bertambahnya
konsentrasi H2O2.
Dari tabel semua perlakuan diatas
didapatkan powder yang umumnya berwarna
coklat. Hal ini telah dijelaskan juga pada
referensi yang ada (villegas, 2005), umumnya
kriptomelan memiliki warna coklat.

Tabel 2. Pengamatan fisik setelah powder


didapatkan dengan proses oven
H2O2 Warna
Pengamatan fisik
HCl 1%
Coklat tua Agak kasar
5%
Coklat tua Agak kasar
15% Coklat tua Agak kasar
Dari tabel 2 terlihat bahwa berdasarkan
pengamatan warna dan fisiknya tidak terjadi
perbedaan yang mendasar pada powder yang
dihasilkan dengan naiknya konsentrasi H2O2.
Dari kedua tabel ini didapatkan bahwa proses
microwave menghasilkan powder yang lebih
halus dibandingkan dengan oven. Hal ini
mungkin disebabkan oleh energi panas dari
microwave yang tinggi daripada energi oven.

c. Pengeringan
Pengeringan dilakukan pada oven setelah
powder didapatkan pada proses sintesis.
Pengeringan dilakukan selama beberapa menit
yang sebelumnya dicuci dengan air (aquadest)
yang bertujuan untuk menghilangkan pengotor.
Setelah dikeringkan maka diperoleh powder
yang berwarna coklat kehitaman.
d. Karakterisasi
1) X-Ray Diffraction (XRD)
Analisis X-Ray Diffraction (XRD) digunakan
untuk mengetahui susunan atom-atom dalam
material kristalin sehingga dapat diketahui
struktur, orientasi, dan ukuran kristal. Gambar
4a menunjukkan pola difraksi sinar-X dari
powder yang dibuat dengan HCl dan H2O2 1%
menggunakan microwave. Puncak dengan
intensitas yang tinggi terdapat pada sudut 2 =
12,261o, dengan merujuk kepada JCPDS No:
42-1317 maka nilai hklnya adalah (0 0 1). Hal

b. Pembuatan
Kriptomelan
dengan
menggunakan Buffer Sitrat-Fosfat
Pembuatan
kriptomelan
untuk
proses
microwave dan oven juga dilakukan dengan
menggunakan larutan buffer sitrat-fosfat yang
berfungsi untuk menahan pH atau menjaga pH
agar tetap asam.
Tabel 3. Pengamatan fisik setelah powder
didapatkan dengan proses microwave
H2O2 Warna
Pengamatan
fisik
1914

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

sama diperoleh ukuran kristalnya sebesar


6,177 nm (lihat tabel 5).
Gambar 4c memperlihatkan pola difraksi
sinar-X dari powder yang dibuat dari HCl dan
H2O2 5% menggunakan oven dan difurnace
pada suhu 500oC. Puncak dengan intensitas
yang tinggi terdapat pada sudut 2 = 37,658o
dan didukung oleh puncak-puncak dengan
sudut 2 = 12,853; 24,997; dan 60,535o.
Puncak yang didapatkan tidak sama dengan
JCPDS-421317, hal ini menandakan bahwa
powder yang didapatkan bukanlah kriptomelan
dengan rumus K0,5Mn2O4 .1,5 H2O. Berarti
dengan dilakukannya pemanasan kembali
dengan
menggunakan
suhu
tinggi
mengakibatkan berubahnya struktur.
Intensitas (arb. unit)

ini juga didukung oleh puncak-puncak pada


sudut 2 = 24,136; 37,115; dan 66,299o. Sesuai
dengan data pada JCPDS No: 42-1317 ini,
maka produk yang terbentuk adalah K0,5Mn2O4
.1,5 H2O. Dari puncak-puncak ini tidak terlihat
puncak-puncak lain selain dari K0,5Mn2O4 .1,5
H2O.
Pola difraksi sinar-X dapat juga
memberikan informasi mengenai ukuran
kristal.
Dengan
menggunakan
metode
Scherrer, puncak yang tajam dengan lebar
puncak yang sempit menandakan bahwa
ukuran kristal besar, sedangkan puncak yang
mengalami pelebaran menandakan ukuran
kristal kecil. Dengan mengukur FWHM (Full
Width at Half Maximum) diperoleh ukuran
kristalnya sebesar 5,398 nm (lihat tabel 5)

Intensitas (a.u)

150
Sampel A

100
50

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
10

20

30

JCPDS-421317

20

40

60

90
Intensitas (arb. unit)

80
70
60
50
40
30
20
10
0
30

40

50

60

70

80

Gambar 4c.
Pola XRD dari powder yang dibuat dari HCl
dan H2O2 5% menggunakan oven (sampel A)
dan difurnace pada suhu 500oC.
Gambar 5a memperlihatkan pola difraksi
sinar-X dari powder yang dibuat dengan buffer
sitrat-fosfat dan H2O2 5% menggunakan
microwave. Puncak dengan intensitas yang
tinggi terdapat pada sudut 2 = 12,390o, sesuai
dengan JCPDS-421317 maka nilai hkl (0 0 1).
Puncak ini didukung oleh puncak-puncak
dengan sudut 2 = 22,830; 36,874; dan
65,587o. Hal ini juga menunjukkan bahwa
produk yang dihasilkan masih berupa
K0,5Mn2O4 .1,5 H2O(JCPDS-421317) dan
didapatkan ukuran kristal sebesar 3,595 nm
(lihat tabel 5).

Gambar 4a.
Pola XRD dari powder kriptomelan yang
dibuat dari HCl dan H2O2 1% menggunakan
microwave (sampel A)

20

50

80

Sudut dua teta

10

40

Sudut 2q /

60

70

80

Sudut 2q / o

Gambar 4b.
Pola XRD dari powder kriptomelan yang
dibuat dari HCl dan H2O2 1% menggunakan
oven (sampel A)
Gambar 4b menunjukkan pola difraksi sinar-X
dari powder yang dibuat dengan HCl dan H2O2
1% menggunakan oven. Gambar ini
memperlihatkan pola yang sama dengan
Gambar 4a. Puncak dengan intensitas yang
tinggi terdapat pada sudut 2 = 12,380o sesuai
dengan JCPDS-421317 maka nilai hklnya
adalah (0 0 1). Puncak ini didukung oleh
puncak-puncak dengan sudut 2 = 25,041;
36,976; dan 66,314o. Hal ini menunjukkan
bahwa hasil yang didapatkan adalah K0,5Mn2O4
.1,5 H2O (JCPDS-421317). Dengan cara yang

Intensitas (a.u)

150
100

Sampel B

50
0

JCPDS-421317

20

40

60

80

Sudut dua teta

Gambar 5a.
Pola XRD dari powder kriptomelan yang
dibuat dari buffer sitrat-fosfat dan H2O2 5%
menggunakan microwave (sampel B)
1915

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Tabel 5. Ukuran kristal K0,5Mn2O4 .1,5 H2O


berdasarkan Scherrers Formula

Intensitas (arb. Unit)

60
50

Sampel

Metode

2(o)

FWHM
o
()

(A)

Microwave
Oven
Microwave
Oven

37,115
36,976
36,874
37,339

1,536
1,344
2,304
1,920

40
30
20

(B)

10
0
10

20

30

40

50

60

70

Ukuran
kristal L
(nm)
5,398
6,177
3,595
4,321

Dari tabel 5 terlihat bahwa ukuran kristal yang


didapatkan bervariasi yaitu dari 3,595 nm
6.177 nm. Ukuran kristal terendah didapatkan
pada pola XRD dari powder yang dibuat dari
larutan buffer sitrat-fosfat dan H2O2 5%
menggunakan microwave dan ukuran kristal
yang tertinggi didapatkan pada pola XRD dari
powder yang dibuat dari pelarut HCl dan H2O2
1% menggunakan oven. Dapat dilihat pada
tabel
bahwa
pembuatan
nanomaterial
kriptomelan dengan menggunakan microwave
menghasilkan ukuran kristal yang lebih kecil
dibandingkan dengan proses oven.

80

Sudut 2q / o

Gambar 5b.
Pola XRD dari powder kriptomelan yang
dibuat dari buffer sitrat-fosfat dan H2O2 5%
menggunakan oven (sampel B)
Gambar 5b memperlihatkan pola difraksi
sinar-X dari powder yang dibuat dari buffer
sitrat-fosfat dan H2O2 5% menggunakan oven.
Puncak dengan intensitas yang tinggi terdapat
pada sudut 2 = 11.830o sesuai dengan JCPDS421317 didapatkan nilai hklnya adalah (0 0 1).
Puncak ini didukung oleh puncak-puncak
dengan sudut 2 = 23,320; 37,339; dan
66,222o. Hal ini menunjukkan hasil yang
didapatkan berupa K0,5Mn2O4 .1,5 H2O
(JCPDS-421317) dan ukuran kristalnya 4,321
nm (lihat tabel 5).
Dari pola difraksi pada semua gambar
diatas dapat dilihat bahwa tidak adanya
perbedaan produk yang dihasilkan dari kedua
metode ini (microwave dan oven), dimana
sama-sama menghasilkan kriptomelan dengan
rumus K0,5Mn2O4 .1,5 H2O. Dapat dilihat
bahwa puncak yang dihasilkan tidak tajam, hal
ini dikarenakan kriptomelan merupakan salah
satu mangan dioksida dengan ukuran tunnel
(berongga) sehingga jika material ini
dipanaskan maka struktur material akan dapat
berubah. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4c,
bahwa puncak yang dihasilkan tidak sesuai
dengan JCPDS-421317.
Menurut referensi yang ada (Li, et al,
2006), pola XRD kriptomelan didapatkan pada
suhu 120oC tetapi jika suhu yang digunakan
180oC maka pola XRD yang ditemukan ada
perubahan puncak yang muncul. Dalam
penelitian ini proses sintesa menggunakan
oven dilakukan pada suhu 150oC sehingga
didapatkan kriptomelan dengan rumus
K0,5Mn2O4 .1,5 H2O, ini merupakan
kriptomelan dengan rongga K yang terdapat
dalam MnO2 sebanyak 2 buah yang selebihnya
dikelilingi oleh air.

2)

Scanning Electron Microscopy (SEM)


SEM merupakan analisis yang digunakan
untuk mengkarakterisasi morfologi permukaan
sampel. Karakterisasi dilakukan dengan
menembaki permukaan sampel dengan
elektron (West, 1998).
Pada gambar 6a dan 6b terlihat jelas
bahwa material berbentuk butiran halus berupa
bulatan-bulatan atau spherical sedangkan
gambar 6c memperlihatkan bentuk bulat yang
berserat. Hal ini dikarenakan telah berubahnya
struktur (dilihat dari hasil XRD) yang
terbentuk dimana puncak yang dihasilkan tidak
berada disekitar range kriptomelan K0,5Mn2O4
.1,5 H2O. Dari hasil SEM ini memberikan
informasi bahwa sampel memiliki ukuran
sangat kecil yang relatif seragam (berukuran
mikro), sehingga memiliki daerah permukaan
yang luas. Daerah permukaan merupakan salah
satu
faktor
terpenting
yang
dapat
mempengaruhi aktifitas. Kriptomelan yang
memiliki daerah permukaan yang luas akan
memiliki aktivitas katalitik yang tinggi pula,
karena dia mempunyai permukaan yang lebih
luas untuk bereaksi. Dengan demikian material
ini dapat dikatakan sangat baik digunakan pada
bidang katalitik (Ding, et al, 2005).
Ukuran partikel dari gambar 6a berkisar
antara 0,22 0,83 m, gambar 6b berkisar
antara 0,16 0,61 m, dan gambar 6c ukuran
partikelnya berkisar antara 0,16 0,61 m
(lihat lampiran 6).
1916

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Gambar 7a.
Gambar SEM powder kriptomelan yang dibuat
dari
Buffer
sitrat-fosfat
dan
H2O2
menggunakan microwave dengan pembesaran
20.000x

Gambar 6a.
Gambar SEM powder kriptomelan yang dibuat
dari HCl dan H2O2 menggunakan microwave
dengan pembesaran 20.000x

Gambar 6b.
Gambar SEM powder kriptomelan yang dibuat
dari HCl dan H2O2 menggunakan oven dengan
pembesaran 20.000x

Gambar 7b.
Gambar SEM powder kriptomelan yang dibuat
dari
Buffer
sitrat-fosfat
dan
H2O2
menggunakan oven dengan pembesaran
20.000x

Gambar 6c.
Gambar SEM powder kriptomelan dibuat dari
HCl dan H2O2 menggunakan oven dan
difurnace pada suhu 500oC dengan pembesaran
20.000x

Pada gambar 7a dan 7b memperlihatkan


bentuk
morfologi
berupa
bongkahanbongkahan.
Hal
ini
juga
sangat
menguntungkan sekali bagi aplikasinya, yakni
sebagai katalis dan absorben yang baik. Pada
gambar ini, ukuran partikel yang dihasilkan
tidak dapat diukur dikarenakan bentuk
morfologinya yang berupa bongkahan.
Dari hasil SEM dapat dilihat bahwa
partikel yang dihasilkan dari variasi asam
menggunakan HCl lebih halus dibandingkan
dengan buffer sitrat-fosfat dan distribusi
partikel lebih merata pada HCl dibandingkan
dengan
buffer.
Hasil
SEM
juga
memperlihatkan
ukuran
partikel
yang
dihasilkan dengan proses microwave lebih
halus dibandingkan dengan oven.
1917

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Size Control, Metal Substitution, and Catalytic
Application of Crytomelane Nanomaterials
Prepared Using Cross-Linking Reagents, J.
Mater. Chem., 2004, 16, pp.276-285
Ghosh. Ruma, Shen. Xiongfei, Villegas. Josanlet C,
Ding. Yunshuang, Malinger. Kinga and Suib.
Steven L. Role of Manganese Oxide Octahedral
Nolecular Sieves in Styrene Epoxidation, J.
Phys. Chem., 2006, 110, pp.7592-7599
Apte. S. K, Naik. S. D, Sonawane. R. S, Kale. B. B,
Pavaskar. Neela, Mandale. A. B, Das. B. K.
Nanosize Mn3O4 (Hausmanite) by Microwave
Irradiation Method, Materials Research
Bullettin, 2006, 41, pp.647-654
Bunshah. Rointan F, Handbook of Deposition
Technologist for Films and Coating, USA,
Noyes Publications. 1994. p 24-25, 249.
Ding. Yun-Shuang, Shen. Xiong-Fei, Sithambaram.
Shanthakumar, Gomez. Sinue, Kumar. Ranjit,
Crisostomo. Vincent Mark B, Suib. Steven L,
and Aindow. Mark. Synthesis and Catalitic
Activity of Cryptomelane Type Manganese
Dioxide Nanomaterial Produced by a Novel
Solvent-Free Method, J. Chem., 2005, 17,
pp.5382-5389
Wesr. A. R, Solid State Chemistry and Its
Applications, John Willey and Sons Ltd, New
York, 1998, pp.65-75
Li. Wei Na, Yuan. Jikang, Gomez-Mower. Sinue,
Sithambaram. Shantakumar, and Suib. Steven
L, Synthesis of Single Crystal Manganese
Oxide Octahedral Molecular Sieve (OMS)
Nanostructures with Tunable Tunnels and
Shapes, J. Phys. Chem., 2006, 110,pp.30663070

4. KESIMPULAN
Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan
bahwa produk yang dihasilkan dari proses
microwave sederhana dan oven adalah
kriptomelan dengan rumus struktur K0,5Mn2O4
.1,5 H2O. Powder yang dihasilkan dari
penggunaan dengan microwave sederhana
lebih halus dibandingkan dengan oven
sedangkan
jika
dilihat
dari
variasi
pengontrolan keasaman melalui HCl dan
buffer sitrat-fosfat
tidak memberikan
perbedaan yang nyata terhadap powder yang
dihasilkan. Hasil SEM pada penggunaan
variasi pengontrolan keasaman dengan HCl
baik menggunakan microwave dan oven
menghasilkan bentuk morfologi berupa
bulatan-bulatan atau spherical sedangkan
dengan buffer sitrat-fosfat menggunakan
microwave dan oven bentuknya berupa
bongkahan-bongkahan. Distribusi partikel
yang dihasilkan dengan menggunakan HCl
lebih merata dibandingkan dengan buffer
sitrat-fosfat.
5. REFERENSI
Villegas. Josanlet C, Garces. Luis J, Gomez. Sinue,
Durand. Jason P. and Suib. Steven L. Partikel
Size Control of Criptomelane Nanomaterials by
Use of H2O2 in Acidic Condition, J. Mater.
Chem., 2005, 17, pp.1910-1918
Liu. Jia, Son. Young-Chan, Cai. Jun, Shen.
Xiongfei, Suib. Steven L, and Aindow. Mark.

1918

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR METIL PARABEN DALAM SEDIAAN KRIM


PEMUTIH YANG BEREDAR DI KOTA JAMBI
MENGGUNAKAN METODA HPLC
LiliAndriani1), Rahmadevi2), Jayanti Marta Sari 3)
1,2,3
Program StudiFarmasi, StikesHarapanIbu Jambi
email: liliandriani116@gmail.com
Abstract
Methyl paraben is a kind of preservative of whitening cream. If quantitative of methyl paraben excess from
0.4% caused cancer. The aim of this research were identification and determination quantitative of methyl
paraben at whitening cream in Jambi city using HPLC method. This method using reversed phase column (C-8)
as stationary phase and mobile phase methanol:water (60:40) v/v. Flow rate of 1 mL/min, detection at 254 nm,
use UV detector. The qualitative result showed five samples containing methyl paraben detected by arise peak
at same retention time, if compared with standard 3 minute. Recovery of methyl paraben in the whitening cream
was between 0.1% to 0.39%.
Keywords: methyl paraben, whitening cream, HPLC

Sediaan Krim Pemutih yang Beredar di Kota


Jambi Menggunakan Metoda HPLC.
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu
mengidentifikasi dan mengetahui kadar metil
paraben pada krim pemutih tanpa izin edar di
pasaran Kota Jambi.

PENDAHULUAN
Bahan kosmetika adalah bahan atau campuran
bahan yang berasal dari alam dan atau sintetik
yang merupakan komponen kosmetika
termasuk bahan pewarna, bahan pengawet dan
bahan tabir surya. Bahan pengawet adalah
bahan atau campuran bahan yang digunakan
untuk mencegah kerusakan kosmetika yang
disebabkan oleh mikrooganisme.1
Salah satu contoh produk kosmetika
yang banyak digunakan yaitu krim pemutih.
Krim
pemutih
adalah
produk
yang
mengandung bahan aktif yang dapat menekan
atau menghambat melamin yang sudah
terbentuk sehingga akan memberikan warna
kulit yang lebih putih.2
Salah satu bahan pengawet yang
biasadigunakanpadakrimpemutihadalahmetilpa
raben. Penggunaan meti lparaben sebagai
pengawet kosmetik diizinkan, tetapi perlu
diperhatikan penggunaannya dalam kosmetik
agar tidak melampaui batas, sehingga tidak
berdampak negatif terhadap
kesehatan
manusia. Menurut Peraturan Kepala BPOM
No: HK.00.05.42.1018, kadar maksimum metil
paraben yang diperkenankana dalah sebesar
0,4 %. Bahaya utama terhadap kesehatan yaitu
iritasi kulit, mata, saluran pernafasan, dan
pencernaan.3
Berdasarkan hal di atas, maka
dilakukan penelitian mengenai Identifikasi
dan Penetapan Kadar Metil Paraben dalam

METODE
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental di Laboratorium
Kimia STIKES Harapan Ibu Jambi
1. AlatdanBahan
Alat yang digunakan timbangan analitik
(merk shuma), labu ukur (pyrexs), pipet ukur
(pyrexs), erlenmeyer (pyrexs), gelas ukur
(pyrexs), mikro pipet, gelas beaker (pyrexs),
erlemeyer, penyaring membran filter0,45m,
HPLC. Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah yang digunakan yaitu
metil paraben, etanol grade HPLC, metanol
grade HPLC, asam sulfat 2M, sampel krim
pemutih. Sampel yang digunakan adalah
krimpemutih yang tidak memiliki izin edar di
pasaran kota Jambi. Sampel krim pemutih
kemudian diambil sebanyak 5 merek sampel
yaitu sampel A, B, C, D, dan E.
2. Prosedur Kerja
A. Penyiapan Larutan Standar
Pembuatan
Asam
Sulfat
2M
Diambil 1,1 mL asamsulfat 36 N di masukkan
ke dalam labu ukur 10 mL tambahkan pelarut
sampai tanda batas.

1919

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

PembuatanLarutanStandarMetilParaben
0,01 gram metil paraben dilarutkan
dengan pelarut hingga volume 10 mL, di ambil
0,8 mL masukkan kedalam labu ukur 10 mL,
dilarutkan dengan pelarut sampai tanda batas,
lalu di injeksikan ke dalam alat HPLC dengan
detektor UV254 nm, laju alur 1 mL/menit,
volume injeksi 20 L.
B. Penyiapan Sampel
3 gram sampel ditimbang seksama
dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250
mL. Tambahkan 1 mL asam sulfat 2 M, 10 mL
campuran etanol air (9:1) v/v. Campuran
tersebut dihomogenkan, panaskan di atas
penangas air pada suhu 600C selama 5 menit,
dinginkan dan simpan dalam lemari pendingin
selama 1 jam. Campuran tersebut disaring lalu
disonikasi, dandiinjeksikan ke HPLC.4
Pembuatan Kurva Kalibrasi
Sebanyak 0,01 gram metil paraben
dilarutkan dengan pelarut hingga volume 10
mL sehingga di dapat konsentrasi (1000
g/mL). Di pipet 1 mL masukkan ke dalam
labu ukur 10 mL didapat konsentrasi (100
g/mL), lalu dibuat dengan konsentrasi 20
ppm, 40 ppm, 80 ppm, 120 ppm, 140 ppm,
tambahkan 1 mL asam sulfat 2 M, homogenkan
tambahkan pelarut sampai tanda batas, saring
menggunakan penyaringmembrane filter 0,45
m kedalam vial. Injeksikanke dalam alat
HPLC.

Gambar

1. Kurva Kalibrasi
Metilparaben

Standar

Uji kualitatif menunjukkan semua


sampel positif mengandung metil paraben
(gambar 2,3,4,5,6). Pengujian metil paraben
diawalidenganmenginjeksikanstandarmetilpara
benpadaHPLC, didapatkanwakturetensi 3,008
menit (gambar 1).

Gambar 2.Sampel A

Prosedur HPLC
Masingmasing
larutan
sampel
diinjeksikan ke HPLC, dengan menggunakan
fasa diam silika C-8, fase gerak metanol : air
(60:40) v/v, dilakukan pada panjang
gelombang 254 nm, laju alir 1 mL/menit,
volume injeksi 20 L, sehingga di dapat
kromatogram dari masing masing sampel.5

Gambar 4.Sampel C

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari penelitian mengenai identifikasi
dan penetapan kadar metil paraben dalam
sediaan krim pemutih yang beredar di kota
Jambi didapatkan kromatogam standar sebagai
berikut.
Gambar 6.Sampel E
Padapenelitianini didapatkan waktu
retensi metilparaben sampel yaitu pada menit
ke 3. Dilihat darianalisa waktu retensi,
setelahsampeldibandingkandenganstandar,
1920

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

maka diduga bahwa kelima sampel krim


pemutih positif mengandung bahan pengawet
metil paraben. Selain itu pada sampel juga
terlihat adanya puncakyang berbeda waktu
retensinya dengan standar, yang menandakan
adanya
senyawa
lain
yang
belum
teridentifikasi, yang diduga merupakan pelarut
ataupun senyawa pengotor.
Dari kurva kalibrasi diperoleh nilai r2 =
0,998 dengan persamaan regresi linier y =
10286x-13893 (gambar 7). Data dari salah satu
konsentrasi standar dapat dilihat pada tabel 1.

inimenunjukkan metil paraben pada semua


sampel krim pemutih yang di uji masih dalam
batas yang diperbolehkan yaitu 0,4% (tabel 2).

Tabel
2.Hasilkadarmetilparabendarisampelkri
mpemutih
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Dari 5 sampel yang sudah di uji, semua
sampel mengandung pengawet metil
paraben.
2. Kadar metil paraben yang ditemukan pada
semua sampel masihdalamrentang yang
diizinkandalamyaitukecildari 0,4%.

Gambar 3.Sampel B

DAFTAR PUSTAKA
1. Permenkes RI. 2010. Notifikasi Kosmetika
.NO:1176/MENKES/PER/VIII 2010.
2. Badan POM RI. 2011. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.00.35.42.10181.2 Tahun
2011 Tentang Bahan Kosmetik. Jakarta.
3. Berutu, Esra. 2013. Identifikasi Asam Retinoat
DalamSediaanKrimPemutihWajahSecaraKroma
tografiCairKinerjaTinggi. Medan: USU.
4. Badan POM RI. 2011. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia
Nomor
HK.03.1.23.08.11.07331
Tahun 2011 Tentang Metode Analisis
Kosmetika. Jakarta.
5. BelmaImamovic.
et
al.
2012.
HPLC
Determination of Some frequently used
Parabens in Sunscreens. Journal of Pharmachy
Teaching & Practices, Vol.3, Issue 1, 219-224.
6. Lee H, Chan H. 1997. 1,3,6-trihydroxy-7methoxy-8-(3,7-dimethyl-2,6-octadienyl)
xanthone from Garciniacowa, Phytochemistry.
16 : 20038-20040.

Gambar 5.Sampel D

Gambar 7.Kurva Kalibrasi Standar MetilParaben


Tabel 1. Data kromatogramstandar

Konsentrasi (ppm)
Standar 80 ppm

Rt
3,107

Luas Area
7800524

Uji kuantitatif terhadap masing


masing sampel memperlihatkan, kadar metil
paraben pada sampel krim pemutih sampel A
sebesar 0,29%, sampel B sebesar 0,39%,
sampel C sebesar 0,17%, sampel D sebesar
0,10%, sampel E sebesar 0,34%.Hal

1921

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

SINTESIS BASA SCHIFF DARI HASIL KONDENSASI SINAMALDEHIDA


DENGAN ETILENDIAMIN DAN FENILHIDRAZIN SERTA PEMANFAATANNYA
SEBAGAI INHIBITOR KOROSI PADA LOGAM SENG
Mimpin Ginting, Herlince Sihotang, Roympus Manalu,
Departemen Kimia FMIPA USU Jl. Bioteknologi No.01 Kampus USU Medan.
mimpin.ginting@yahoo.com
Abstrak
Telah dilakukan sintesis basa Schiff melalui reaksi kondensasi sinamaldehida dengan dua sumber amina primer
yaitu etilendiamina dan fenilhidrazin. Kondensasi sinamaldehida dengan etilendiamina dilakukan melalui cara
refluks dalam pelarut etanol selama 5 jam untuk menghasilkan basa Schiff I, sedangkan dengan fenilhidrazin
juga dilakukan secara refluks dalam pelarut etanol selama 1 jam untuk menghasilkan basa Schiff II. Dari 13,2
gram silamaldehida yang dikondensasikan dengan 2,4 gram etilendiamina dihasilkan 8,40 gram(72,91%) basa
Schiff I selanjutnya hasil analisis spektroskopi FT-IR menunjukkan adanya uluran C=N pada puncak spektrum
daerah bilangan gelombang 1627 cm-1. Reaksi lainnya sebanyak 13,2 gram sinamaldehida yang
dikondensasikan dengan 5,4 gram fenilhidrazin dihasilkan 9,54 gram (85,94%) Basa Schiff II yang selanjutnya
hasil analisis spektroskopi FT-IR menunjukkan adanya uluran C=N pada puncak spektrum daerah bilangan
gelombang 15977 cm-1. Hasil analisis spektroskopi UV-Vis memberikan pita serapan pada daerah panjang
gelombang maksimum 403 nm untuk Basa Schiff I dan 360 nm untuk basa Schiff II. Hasil Pengujian efisiensi
inhibitor korosi terhadap logam seng dalam media HCl 0,1N memberikan nilai efisiensi inhibitor untuk basa
Schiff I pada konsentrasi 7000 ppm yaitu sebesar 90,17 %. Sedangkan untuk sinamaldehida, etilendiamna
fenilhidrazin dan basa Schiff II berturu-turut sebesar 58,5%, 50,04%, 35,01% dan 78,47%.
Kata kunci: Sinamaldehida, etilenamin, fenilhidrazin, kondensasi, BasaSchiff, Inhibitor korosi

2011). Senyawa dari bahan anorganik seperti


fosfat, kromat, nitrit, borak dan silikat dapat
digunakan sebagai inhibitor korosi baik
sebagai inhibitor kationik, anionik, maupun
campuran, ternyata penggunaaannya kurang
ramah lingkungan. Pengembangan inhibitor
korosi tersebut diarahkan ke sektor berbasis
organik yang mengandung unsur nitrogen,
oksigen, belerang, dan fosfor yang dapat
menurunkan laju penyerapan lingkungan
penyebab suatu korosi terhadap suatu logam
karena adanya gugus fungsi yang mengandung
atom-atom yang dapat membentuk ikatan
dengan logam yang membentuk kompleks
terlarut maupun kompleks mengendap
(Dalimunthe, 2004).
Basa Schiff merupakan senyawa imina
dengan karakteristik ikatan C=N. Senyawa ini
dapat diperoleh melalui kondensasi suatau
senyawa amina primer dengan senyawa
karbonil seperti aldehid maupun keton (Agung
et al, 2009). Salah satu hal yang menarik dari
basa Schiff bahwa penggunaannya sebagai
suatu inhibitor korosi yang efektif, dimana
didasarkan pada kemampuan secara spontan
membentuk suatu lapisan pada permukaaan
agar terlindung dari korosi. Banyak inhibitor
komersial termasuk aldehid atau amina, tetapi

1. PENDAHULUAN
Korosi adalah suatu proses perusakan
logam, dimana logam akan mengalami
penurunan mutu (degradation) karena bereaksi
dengan lingkungan baik itu secara kimia atau
elektrokimia
pada
waktu
pemakaian
(Rajeev,2012 ). Indonesia merupakan Negara
beriklim tropis dengan tingkat curah hujan dan
kelembapan yang tinggi serta polusi udara, dari
industri akan mempercepat terjadinya proses
korosi(Fajar, 2013). Korosi terjadi pada semua
logam terutama yang berhubungan langsung
dengan udara dan cairan yang korosif. Logam
seng, tembaga, besi, baja dan berbagai logam
lainnya banyak digunakan dalam membuat
perlengkapan sehari-hari karena mempunyai
beberapa sifat yang menguntungkan antara lain
kuat, keras, dan tahan lama (Suhartanti,2005).
Bahan logam mudah mengalami kerusakan dan
kehilangan fungsi akibat proses alam dimana
korosi pada alat tersebut tidak dapat dicegah
tetapi lajunya dapat dikurangi (Callister, 1991).
Sejauh ini pencegahan korosi yang
efektif dilakukan dengan metode penambahan
inhibitor korosi (Haryono, dkk, 2010).
Umumnya inhibitor korosi berasal dari
senyawa organik dan anorganik (Umoren et al,
1922

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

adanya ikatan C=N pada basa Schiff lebih


efisien pada banyak kasus salah satunya
sebagai inhibitor korosi. Prinsip interaksi
antara inhibitor dengan permukaan logam
adalah adsorpsi kimia (Ashraf et al, 2011).
Sinamaldehida adalah senyawa organik
golongan fenil propanoid dimana disamping
dapat disintesis, juga merupakan komponen
utama minyak kayu manis (Guenther,1990).
Pemanfaatan senyawa ini masih sangat perlu
dikembangkan dalam
upaya pengubahan
sinamaldehida menjadi senyawa turunannya
yang lebih berdaya guna. Berdasarkan struktur
kimianya, sinamaldehida mempunyai cincin
benzen, gugus alkena dan gugus aldehida,
sehingga memungkinkan untuk ditransformasi
menjadi turunannya dengan bertambahnya
gugus fungsi lain (Ngawidiyana et al, 2007 ).
Gugus aldehida pada sinamaldehida tersebut
jika direaksikan dengan amina primer dapat
membentuk imina. Imina yang tersubsitusi
disebut dengan basa Schiff (Solomon, 1994).
Beberapa hasil penelitian sebelumnya
telah mengkaji bahwa basa Schiff yang
mengandung gugus RCH=NR sebagai
inhibitor korosi diantaranya basa Schiff hasil
kondensasi
sinamaldehida
dengan
2aminofenol dan mengujikan basa Schiff
tersebut terhadap logam baja dalam media HCl
0,5N dan diperoleh nilai efisiensi inhibitor
sebesar 92,02% sedangkan kondensasi
sinamaldehida dengan fenildiamin dan
mengujikan basa Schiff tersebut pada logam
baja dalam media HCl 0,5N diperoleh nilai
efisiensi sebesar 94,62% (Qasim, 2011).
Peneliti lainnya juga telah memanfaatkan asam
lemak tidak jenuh dari minyak nabati sebagai
sumber aldehida melalui reaksi ozonolisis yang
selanjutnya dikondensasikan dengan amina
primer, diantaranya basa Schiff
hasil
kondensasi antara aldehida metil oleat dengan
etilendiamin dan anilina sebagai sumber amina
primer dimana pengujiannya digunakan
sebagai inhibitor korosi terhadap logam seng
dalam media HCl 0,1N dimana memberikan
nilai efisiensi inhibisi korosi sebesar 73,30%
untuk etilendiamin pada konsentrasi7000 ppm
dan untuk anilina sebesar 80,09%
pada
konsentrasi 7000 ppm (Febriany, 2014).
Dari uraian diatas maka peneliti
tertarik untuk mensintesis basa Schiff dengan
memanfaatkan
sinamaldehida
yang
dikondensasikan dan membandingkan dua
jenis senyawa amina yaitu etilendiamin dan
fenilhidrazin yang diikuti dengan uji efisiensi

basa Schiff yang diperoleh sebagai inhibitor


korosi terhadap logam seng dalam media HCl
0,1N.
2.METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah eksprimen
laboratorium alat yang digunakan uatuk
pembuatan, analisis dan pengujian basa Sciff
yang terdiri dari kondensor bola, labu leher
dua, gelas ukur, gelas Beaker, termometer,
corong kaca, gelas kaca, kertas pasir, kertas
saring, labu takar, alat vakum, chamber, neraca
analitis,
lampu
UV
254/356
nm,
spektrofotometer FT-IR(Shimadzu), dan UVVis(Shimadzu). Selanjutnya bahan kimia yang
digunakan adalah asam klorida, CaCl2
anhidrous, etanol, etilendiamin, fenilhidrazin,
plat Zn, sinamaldehida, dan plat KLT adsorbed
gel.Tahapan-tahapan
yang
dilakukan
mengikuti prosudur berikut dibawah ini
a. Sintesis Basa Schiff dari Sinamaldehida
diikuti Kondensasi dengan Etilendiamin
(Basa Schiff I)
Sebanyak 13,2 g (0,1 mol)sinamaldehida
dilarutkan dengan 25 ml etanol, kemudian
dimasukkan kedalam labu leher dua 250 ml.
Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan
pengaduk magnetik , termometer, dan
perangkap air. Selanjutnya melalui corong
penetes secara perlahan diteteskan sebanyak
2,4 g (0,04 mol) etilendiamin yang telah
dilarutkan dalam 25 ml etanol. Kemudian
campuran direfluks selama 5 jam.. Hasil
reaksi diuapkan melalui rotarievaporator.
Sinamaldehida yang berlebih diuapkan melalui
destilasi vakum pada suhu 100oC dan tekanan
20 mmHg. Residu hasil penguapan dilakukan
analisis melalui kromatografi lapis tipis (KLT)
menggunakan devoloper n-heksana : etanol 9:1
(v/v) serta adsorben Kieselgel 60 HF254
dengan penampak noda lampu UV. Kemudian
dikeringkan dalam desikator dan ditimbang .
Hasil yang diperoleh diukur titik leburnya,
nilai
absorbansi
menggunakan
spektrofotometer UV-Vis, spektrofotometer
FT-IR dan uji efisiensi korosi.
b. Sintesis Basa Schiff dari Sinamaldehida
diikuti Kondensasi dengan Fenilhidrazin
(Basa Schiff II)
Sebanyak13,2 g (0,1 mol) sinamaldehida
dilarutkan dengan 25 ml etanol,kemudian
dimasukkan kedalam labu leher dua volume
1923

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

250 ml. Dirangkai alat refluks yang


dilengkapi dengan magnetik bar, termometer,
dan perangkap air. Selanjutnya diteteskan
fenilhidrazin sebanyak 5,4 g (0,05 mol) yang
telah dilarutkan dengan 25 ml etanol melalui
corong penetes secara perlahan-lahan kedalam campuran tersebut. Kemudian direfluks
selama 1 jam sambil diaduk. Endapan yang
terbentuk disaring, residu adalah basa schiff
II. Selanjutnya dilakukan analisa KLT dengan
devoloper
n-Heksan
:
etanol
9:1
menggunakan adsorben Kieselgel 60 HF254
dengan lampu UV sebagai penampak noda.
Kemudian ditimbang dan dikeringkan dalam
desikator. Hasil yang diperoleh dilakukan
penentuan titik lebur dan dianalisis
spektrofotometer UV-Vis, spektrofotometer
FT-IR dan uji efisiensi korosi.

sama dilakukan untuk variasi konsentrasi


inhibitor dalam larutan 3000 ppm, 5000 ppm
dan 7000 ppm dengan waktu perendaman 48,
72, 96 dan 120 jam demikian juga uji effisiensi
inhibitor untuk sinamaldehid, etilendiamin,
fenilhidrazin, basa Schiff I, dan basa Schiff II
W0 W1
W0

% EI =
Dimana:

X 100%..................(1)

EI =Efisiensi Inhibitor (%)


W0= kehilangan berat logam tanpa
menggunakan inhibitor (gram)
W1=
kehilangan berat logam
menggunakan inhibitor (gram)
.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Sintesis Basa Schiff I
Hasil kondensasi antara sinamaldehida
dengan etilendiamin dalam pelarut etanol pada
kondisi refluks selama 5 jam dihasilkan zat
padat basa Schiff I sebanyak 8,4 g (72,91%)
dengan titik lebur 162-164OC . Terbentuknya
hasil reaksi dibuktikan
dukungan dari
spektrum hasil analisis spektroskopi FT-IR,
menunjukkan munculnya uluran vibrasi C=N
pada puncak serapan daerah bilangan
gelombang () 1627cm-1dan serapan ulur C-N
pada = 1126 cm-1. Serapan pada =3101 cm-1
menjukkan C-H Sp2 dan =1674 cm-1
menunjukkan
vibrasi C=C dari senyawa
aromatis.
Dalam pembuatan basa Schiff dengan
terbentuknya ikatan imina (C=N) hasil analisis
spektroskopi UV-Vis dimana terjadi peubahan
panjang gelombang()mak seperti yang telah
dilakukan Azzouz dan Ali (2010) dalam
sintesis basa Schiff dari benzaldehida dan
salisaldehida dengan asam amino
dimana
terjadi pertambahan nilai harga mak dari
247 nm untuk benzaldehida menjadi 327 nm
untuk basa Schiff. Hasil analisis dengan
spektroskopi UV-Vis yang telah dilakukan
dimana terjadi pertambahan nilai mak dari
290 nm untuk sinamaldehida sebagai bahan
pereaksi menjadi 403 nm untuk basa Schiff I
seabagai hasil reaksi. Hal ini menunjukkan
bahwa pada senyawa tersebut terjadi
pertambahan ikatan rangkap terkonjugasi
gugus C=N pada basa Sciff I. Adapun reaksi
pembentukan basa Schiff I hasil kondensasi
sinamaldehida dengan etilendiamin secara
hipotesa memberikan reaksi sebagai berikut
(Gambar 1).

c.Penentuan Efisiensi Inhibitor


- Persiapan Spesimen dan Pembuatan
Larutan Induk Inhibitor
Spesimen atau sampel seng dengan
panjang 5 cm dan lebar 1,5 cm dihaluskan
permukaanya dengan menggunakan ampelas
besi. Permukaaan yang telah halus ini dicuci
dengan akuades dan dikeringkan kemudian
ditimbang beratnya. Selanjutnya untuk
pembuatan larutan induk dimana Larutan
inhibitor korosi Basa Schiff 10000 ppm
dengan pelarut larutan HCl 0,1 N. Larutan
tersebut dibuat dengan melarutkan 1 g Basa
Schiff dengan HCl 0,1 N dalam labu takar 100
mL sampai garis batas. Larutan inhibitor yang
diinginkan dibuat dengan cara mengencerkan
larutan induk 10000 ppm menggunakan larutan
HCl 0,1 N dengan variasi konsentrasi inhibitor
1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm dan 7000
ppm.
-Uji Efisiensi Inhibitor
Larutan perendaman lempeng seng diambil
dari larutan inhibitor 1000 ppm sebanyak 50
mL dimasukkan kedalam wadah kaca.
Lempeng seng yang telah diamplas dan
ditimbang kemudian direndam dalam larutan
tersebut selama 24 jam. Lempeng seng
diangkat dari media korosi, dicuci secara hatihati dengan menggunakan sikat halus dan
lembut, dibilas dengan metanol dan diangkat
kemudian dibiarkan kering selama 5 menit dan
ditimbang berat akhirnya.Dan efisiensi
inhibitor dihitung dengan persamaan (1):
Sebagai pembanding (kontrol) digunakan
larutan tanpa inhibitor. Dengan prosedur yang
1924

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

O
CH CH C

+ NH2 CH2 CH2 NH2

Etanol
refluks

Etilendiamin
Sinamaldehida

CH CH C

CH2

CH2

CH CH

+ H2O

CH

Basa Schiff I

Gambar 1. Reaksi Pembentukan Basa Schiff I

senyawa aromatis. Dalam pembuatan basa


Schiff dengan terbentuknya ikatan imina
(C=N) juga didukung
hasil
analisa
spektroskopi
UV-Vis
dimana
terjadi
pertambahan nilai dari mak = 290 nm pada
sinamaldehida. menjadi 360 nm untuk basa
Schiff II Gambar 5). Hal ini menunjukkan
bahwa pada senyawa tersebut terjadi
pertambahan ikatan rangkap terkonjugasi yang
disebabkan terbentuknya gugus C=N pada
basa Sciff II.Adapun reaksi pembentukan basa
Schiff II hasil kondensasi sinamaldehida
dengan
fenilhidrazin
secara
hipotesa
memberikan reaksi sebagai berikut (Gambar
2).

3.2 Sintesis Basa Schiff II


Reaksi
kondensasi
antara
sinamaldehida dengan fenilhidrazin dalam
pelarut etanol pada kondisi refluk selama 1
jam menghasilkan basa Schiff II bentuk
padatan sebanyak 9.54 g (85,94%) dengan titik
lebur 138-140OC..Terbentuknya hasil reaksi
dibuktikan dukungan spektrum hasil analisis
spektroskopi FT-IR yang menunjukkan
munculnyauluran vibrasi C=N pada puncak
serapan daerah = 1597 cm-1 dan ulur C-N
pada = 1134,14 cm-1. Serapan pada =
3101,54 cm-1 menunjukkan vibrasi C-H sp2
yang didukung serapan ulur pada = 1519,91
cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C=C dari
O
CH CH C
Sinamaldehida

+
H

NH NH2

Etanol

CH CH C N N
H

refluks

+ H2O

Basa Schiff II

Fenilhidrazin
Gambar 2. Reaksi Pembentukan Basa Schiff II

disebabkan oleh reduksi ion hidrogen yang


berlangsung dalam larutan.Molekul-molekul
hidrogen yang terbentuk diadsorpsi oleh logam
menyebabkan ikatan-ikatan antar logam pada
lempeng seng mengalami pelemahan atau
perapuhan.
Pada pengujian efisiensi inhibitor
korosi metode yang digunakan adalah metode
kehilangan berat. Dimana prinsip pada metode
kehilangan berat yaitu semakin kecil selisih
berat kehilangan lempeng seng tanpa
penambahan inhibitor dengan berat kehilangan
lempeng seng dengan adanya penambahan
inhibitor maka nilai efisiensi inhibitor akan
semakin besar(Chitra et al, 2010).

3.3. Pengujian Efisiensi Inhibitor


Pengujian efisiensi inhibitor dilakukan
pada logam seng dikarenakan logam seng
merupakan suatu logam yang aktif dan banyak
digunakan aplikasinya dalam industri (Shah et
al, 2011). Logam tersebut akan mengalami
reaksi oksidasi dari Zn menjadi Zn2+. Dari
proses ini dapat disimpulkan bahwa semakin
besar konsentrasi asam klorida yang digunakan
maka semakin banyak atom-atom yang
terlepas dari logam tersebut sehingga korosi
semakin meningkat (Riegher,1992). Adapun
kemungkinan tahapan terjadinya proses korosi
pada logam yang dikemukakan oleh Trethewey
and Chamberlain (1991), pertama, zat agresif
seperti sulfat, diperkirakan akan mengurangi
kekuatan ikatan antar logam dengan adanya zat
agresif tersebut, sehingga energi yang
digunakan dalam mengikat ion-ion agresif oleh
atom-atom logam akan mengurangi energi
ikatan antara atom-atom. Kedua, korosi logam

3.3.1

1925

Pengaruh Waktu Perendaman


Terhadap kehilangan berat Lempeng
Logam Seng dalam Media Korosi
HCl 0,1 N

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Pengaruh waktu perendaman lempeng seng


terhadap kecepatan korosi pada larutan HCl
0,1 N dimana dari lima variasi waktu
perendaman yaitu 24, 48, 72, 96, dan 120 jam
dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan korosi
yang tinggi dalam larutan yang mengandung
HCl 0,1 N. Hal ini menunjukkan bahwa
larutan asam klorida merupakan media yang
korosif. Kecepatan korosi lempeng seng dalam
larutan asam klorida menjadi semakin tinggi
dengan lamanya waktu perendaman. Hal ini
sejalan dengan penelitian sebelumnya dimana
semakin lama waktu perendaman logam
lempeng seng dalam media H2SO4 0,1 M maka
kecepatan korosi semakin bertambah ( Ginting
2013)

pada cincin benzene, N yang memiliki


pasangan elektron bebas dan ikatan pada
ikatan C=N sedangkan untuk basa Schiff II
sumber pasangan elektron bebas hanya
terdapat pada atom N. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Munir bahwa basa Schiff yang
memiliki cincin aromatis dalam strukturnya
dan memiliki sistem konjugasi lebih efektif
karena bersifat lebih stabil.
4. Simpulan dan Saran
4.1. Simpulan

Reaksi kondensasi antara 13,2 g


sinamaldehida dengan 2,4 g etilendiamina
menghasilkan basa Schiff I sebanyak 8,4 g
(72,91%). Sedangkan reaksi kondensasi
antara 13,2 g sinamaldehida dengan 5,4 g
fenilhidrazin menghasilkan basa Schiff II
sebanyak 9,54 g (85,94 %).
Uji efisiensi inhibitor korosi terhadap
logam seng dalam media korosif HCl 0,1
N memberikan nilai efisiensi rata-rata yang
semakin besar dimana pada konsentrasi
7000 ppm dihasilkan sebesar 90,17 % pada
basa Schiff I. sedangkan nilai efisiensi
untuk
sinamaldehida,
etilendiamin,
fenilhidrazin, dan basa Schiff II masingmasing sebesar 58,18 %, 50,04 %, 35,01
%, dan 78,47 %. Dengan demikian maka
penggunaan inhibitor yang paling baik
digunakan sebagai penghambat korosi
terhadap logam seng yaitu basa Schiff I.

3.3.2

Pengaruh Konsentrasi Inhibitor


Terhadap Kehilangan Berat Lempeng
Seng dalam Korosi HCl 0,1 N
Semakin besar konsentrasi inhibitor yang
ditambahkan maka kehilangan berat lempeng
seng semakin menurun (gambar3). Hal ini
disebabkan terjadinya adsorpsi molekulmolekul inhibitor pada permukaan lempeng
seng yang dapat membentuk lapisan pelindung
oleh elektron bebas yang ada pada atom O, N,
dan ikatan pi sehingga dapat membatasi difusi
O2 ke permukaan lempeng seng. Trethewey
dan Chamberlain (1991) mengemukakan
bahwa molekul-molekul organik dapat
bertindak sebagai inhibitor dengan cara
teradsorpsi pada permukaan logam sehingga
dapat membatasi difusi oksigen kepermukaan
logam, memerangkap ion-ion logam pada
permukaan, memantapkan lapisan ganda dan
dapat mereduksi laju pelarutan logam.

4,2. Saran
Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk
membandingkan sintesis basa Schiff dari
sinamaldehida dengan sumber amina lainnya,
demikian juga pengujian inhibitor korosi pada
suatu logam dalam berbagai medium penyebab
korosi maupun pengujian basa Schiff untuk
manfaat lainya.

3.3.2 Pengaruh Penambahan Inhibitor


Terhadap Efisiensi Inhibitor pada Lempeng
Seng dalam Media Korosi HCl 0,1 N
Senyawa inhibitor yang digunakan dalam hal
penelitian
ini
adalah
sinamaldehida,
etilendiamin, fenilhidrazin, Basa Schiff I, dan
basa Schiff II.Kelima senyawa tersebut
memiliki sifat yang aktif sebagai inhibitor
korosi. Dimana efisiensi suatu inhibitor
meningkat sejalan dengan meningkatnya
konsentrasi inhibitor yang ditambahkan
kedalam media korosi HCl 0,1 N (Gambar 4).
Dari diagram diperoleh efisiensi inhibitor yang
paling tinggi adalah basa Schiff I dibandingkan
inhibitor lainnya. Basa Schiff I dapat
membatasi difusi O2 yang lebih tinggi
dikarenakan adanya ikatan rangkap (ikatan )

DAFTAR PUSTAKA
Ashraf, M.A. Karamat,M., and Abdul,W. 2011.
Synthesis, Characterization and Biological
Activity of Schiff Bases. IPCBEE Vol.10.
Singapore: IACSIT Press.
Azzouz, A.S.P., and Ali. R.T. 2010.Synthesis of
Schiff Base Derived from Benzaldehyde and
Salicylaldehyde with Some Amino Acids by a
New Devolop Method. Iraq: National Journal of
Chemistry, 37, 158-169

1926

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Callister, W.D. 1991. Material Science and
Enggineering. An Introduction. Second edition.
Singapore. 367-396.
Chitra, S., Parameswari, K., danSelvaraj, A.
2010.Dianiline Schiff Bases as Inhibitor of Mild
Steel Corrosion in Acid Media. Int. J.
Electrochemistry. Vol.5. hal 1675-1697
Dalimunthe, I.S. 2004. Kimia dari Inhibitor Korosi.
Teknik Kimia. Medan: Universitas Sumatera
Utara
Fajar,M.S
.2013.
Analisa
Korosi
dan
Pengendaliannya. Baruna Slawi: Akademi
Perikanan Baruna Slawi.
Febriany, S. 2014. Sintesis basa Schiff dari Hasil
Kondensasi Etilendiamin dan Anilina dengan
Senyawa Aldehida Hasil Ozonolisis Metil Oleat
serta Pemanfaatannya sebagai Inhitor Korosi
pada Logam Seng. Medan: Jurusan Kimia
FMPA USU.
Ginting, E. 2013.Sintesis Basa Schiff Melalui
Ozonolisis
Minyak
biji
Kemiri
(Alleuritesmollucana Wild) Yang Diikuti
Kondensasi Dengan Anilina Yang berfungsi
Sebagai Inhibitor Korosi Pada Logam Seng.
Medan: Jurusan Kimia FMIPA USU.
Guenther, E. 1990.The Essential Oils. Jilid II.
Jakarta : UI-Press.
Haryono, G., Sugihartom, B, Farid, H dan Tanodo
Y, 2010 Ekstrak Bahan Alami sebagai Inhibitor
Korosi, Prosiding Seminar Teknik Kimia
Kejuangan, Yokyakarta 26 Januari 2010
Qasim,M. 2011. Synthesis and Characterization of
New Schiff bases and Evalution as

CorrosionInhibitor. Iraq: Departement of


Chemistry University of Basrah.
Riegher, H. P. 1992. Electrochemistry. New York:
Chapman and Hall Inc.
Rajeev, P., Surendranathan, A.O and Murty,
Ch.S.N, 2012, Corrotion Mitigation of The Well
Stells Using Organic Inhibitors- A-revew,
J.Mater, Eviron, Sci 3(5) hal. 856-869.
Shah, M.D., Patel, A.S., Mudaliar, G.V. and N.K.
Shah.2011. Schiff Bases of Tryethylenetetramine
as Corrosion Inhibitors of Zinc in Hydrochloric
Acid.Chemistry. Departement. School of
Science, Gujarat University:Ahmedabad.
Solomon, G.1994. Fundamentals of organic
Chemistry. New York: John Wiley & sons, Inc.
Suhartanti, D. 2005. Laju Korosi Baja di Kawasan
Udara PLTP Kamojang Jawa Barat. Prosiding
Seminar Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Depok: Universitas
Indonesia.
Trethewey, K.R and Chamberlain, J. 1991. Korosi
untuk mahasiswa dan rekayasawan. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Umoren, S.A., Eduok, U.M., Solomon, M.M, and
Udoh. A.P. 2011. Corrosion Inhibition by
Leavesand Stem Extracts of Sida Acuta for Mild
Steel in H2SO4 Solution Investigated by
Chemical and Spectroscopy techniqure. Arabian
jurnal of Chemistry.
Van Vlack, L.H. 1995, Element of Material
Sciences
and
Enginering.
5th
Edition.
Diterjemahkan oleh Sriati Djaprie. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Gambar 3.Grafik Pengaruh Waktu Perendaman dan Variasi Konsentrasi Inhibitor Korosi Terhadap Kehilangan
Berat Lempeng Seng dalam Media HCl 0,1N

1927

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Efisiensi Inhibitor (%)

100
80
60
40
20
0
1000

3000

5000

7000

Konsentrasi Inhibitor (ppm)


sinamaldehida

etilendiamin

fenilhidrazin

basa schiff I

basa schiff II

Gambar 4. Grafik Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Terhadap Efisiensi Inhibitor

1928

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

EFEKTIFITAS BERBAGAI METODE SUPLEMENTASI PIRIDOKSIN


MENGOPTIMALISASI PRODUKSI IMMUNOGLOBULIN Y (IGY)
KUNING TELUR AYAM
1)

Pasar Maulim Silitonga1) dan Melva Silitonga2)


Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Medan. email : pasar.silitonga@gmail.com
2)
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Medan

Abstrak
Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menemukan metode suplementasi piridoksin yang paling
efektip dan efisien dalam mengoptimalkan produksi immunoglobulin Y (IgY) kuning telur. Digunakan 12 ekor
ayam betina dewasa (jenis Isa brown) siap bertelur yang dibagi menjadi tiga kelompok dan diberi perlakuan
suplementasi piridoksin dosis 3 mg/kg ransum dengan metode yang bervariasi yaitu via air minum (S1),
mencampurkannya dalam ransum (S2) dan via suntikan intramuscular (S3). Selama percobaan, semua ayam
diberi air minum secara ad libitum dan ransum komersil standar yang telah mengandung piridoksin dengan
dosis normal. Semua ayam diimunisasi empat kali dengan antigen toksoid tetanus Sampel telur diambil setelah
4 minggu injeksi antigen toksoid terakhir. Uji spesifitas IgY secara kualitatif dilakukan dengan uji AGP,
purifikasi IgY dengan FPLC, penentuan kadar IgY dengan metode Bradford. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan kadar IgY kuning telur ayam yang diberi suplementasi piridoksin
via air minum, dicampur dalam ransum maupun via suntikan intravena, dengan demikian diisimpulkan bahwa
suplementasi piridoksin via air minum merupakan metode yang paling efektip dan efisien dalam
mengoptimalkan produksi IgY kuning telur. Dengan metode ini diperoleh rataan kadar IgY kuning telur sebesar
2,151 0,026 gr/100mL setara dengan 107,55 mg/ butir telur
Kata Kunci : Piridoksin, IgY, Immunoglobulin

tersebut merupakan masalah yang masih belum


terpecahkan hingga saat ini.
Salah satu upaya alternatif yang dapat
meningkatkan produksi antibodi dalam kuning
telur adalah dengan cara suplementasi
piridoksin pada ayam petelur. Piridoksin atau
vitamin B6 sebagai salah satu vitamin yang
larut dalam air, merupakan vitamin yang
sangat penting dalam proses metabolisme.
Salah satu peranan piridoksin yang paling
menarik adalah adanya fakta-fakta bahwa
vitamin ini
berperan dalam aspek
pembentukan sistem pertahanan tubuh
terhadap invasi mikroorganisme. Dari berbagai
hasil penelitian telah diketahui bahwa kondisi
defisiensi piridoksin pada manusia dan
berbagai spesies hewan menunjukkan adanya
kelainan-kelainan dalam sistem pertahanan
tubuh yang diantaranya adalah total sel-sel
pembentuk antibodi lebih sedikit dibandingkan
dengan keadaan normal [5], jumlah limfosit
lebih sedikit [6], fungsi sistem immun
menurun [7]. Upaya meningkatkan produksi
IgY dalam kuning telur yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa suplementasi piridoksin
secara oral/cekok dengan dosis 3,0 mg/kg
ransum memberikan produksi antibodi/
immunoglobulin yolk (IgY) kuning telur
sebesar 106,1 mg/ butir telur [8]. Keadaan ini

PENDAHULUAN
Ayam telah dikenal sebagai pabrik
biologis
penghasil
antibodi
yaitu
immunoglobulin Y (IgY) dalam kuning telur
(yolk) [1] ;[2] ;[3]. Apabila ayam diimunisasi
dengan antigen tertentu, maka biosintesis
antibodi akan berlangsung dalam sistem imun
ayam dan selanjutnya ditransfer ke embrio
melalui telur sehingga antibodi dapat
ditemukan dalam telur ayam. Selanjutnya jika
kuning telur tersebut dikonsumsi, maka yang
bersangkutan memperoleh imunisasi pasif dan
akan kebal terhadap serangan antigen spesifik
tersebut. Berbagai penelitian telah berhasil
memproduksi antibodi atau immunoglobulin
yolk (IgY) dengan memanfaatkan ayam
sebagai pabrik biologis untuk pengobatan dan
pencegahan penyakit.
Permasalahan yang
masih dihadapi dalam hal produksi IgY hingga
saat ini adalah jumlah produk IgY yang
dihasilkan dari setiap butir telur masih rendah
sehingga belum menguntungkan dari segi
komersil. Ayam yang diimunisasi empat kali
dengan antigen Pseudomonas aerugenosa
dosis 25-100 g hanya mampu menghasilkan
40-100 mg IgY per butir telur [4]. Selanjutnya,
tidak adanya metode atau cara praktis yang
murah dan efektip untuk meningkatkan dan
mengopti-malkan jumlah produksi IgY
1929

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

telah mengalami peningkatan sekitar 6%


dibandingkan dengan kandungan IgY yang
ditemukan peneliti terdahulu.. Walaupun
produksi IgY dengan cara suplementasi
piridoksin telah menunjukkan peningkatan,
namun kandungan IgY kuning telur yang
diperoleh belum optimal. Selanjutnya, metode
suplementasi yang digunakan masih kurang
praktis karena pemberian piridoksin secara oral
/ cekok membutuhkan tenaga dan waktu yang
cukup besar terutama bagi peternakan yang
mengelola ayam petelur dengan jumlah ribuan
bahkan puluhan ribu ekor. Berdasarkan hal
tersebut di atas, penelitian ini dimaksudkan
untuk menemukan metode suplementasi
piridoksin yang paling efektip dan efisien
dalam
mengoptimalkan
produksi
immunoglobulin Y (IgY) kuning telur.

2. METODE PENELITIAN
Digunakan 12 ekor ayam betina
dewasa (jenis Isa brown) siap bertelur dan
toksoid tetanus (produksi PT BiofarmaBandung)
sebagai
antigen.
Penelitian
menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan tiga perlakuan dan masingmasing perlakuan diberi empat ulangan. Ayam
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok dan
diberi suplementasi piridoksin dengan metode
yang bervariasi yaitu via air minum (S1),
dicampur dalam ransum (S2), dan via suntikan
intravena (S3). Pemeliharaan dilakukan dalam
kandang baterai selama 68 hari (10 minggu)
sesuai prosedur [17]. Selama percobaan, semua
ayam diberi air minum secara ad libitum dan
ransum komersil standar yang telah
mengandung piridoksin dengan dosis normal.
Proses imunisasi ayam dengan toksoid
tetanus dilakukan sesuai prosedur [18]. Pada
minggu pertama setelah pemberian perlakuan
suplementasi
piridoksin,
semua
ayam
percobaan diimunisasi dengan antigen toksoid
tetanus dosis 100 Lf yang diemulsikan dalam
Freunds adjuvant complete dan diberikan
secara intramuscular. Pada minggu kedua dan
ketiga immunisasi ulang dilakukan dengan
menggunakan Freunds adjuvant incomplete.
Immunisasi ulang selanjutnya dilakukan
setelah empat minggu kemudian dengan dosis
300 Lf yang diemulsikan dalam Freunds
adjuvant incomplete. Sampel telur diambil
setelah 2 minggu injeksi antigen toksoid
terakhir. Identifikasi, purifikasi dan penentuan
kadar IgY spesifik terhadap toksoid dalam
kuning telur dilakukan dengan beberapa
tahapan sebagai berikut: Uji spesifitas IgY
secara kualitatif dilakukan dengan uji AGP
(Agar gel Presipitation) [19]. Purifikasi
immunoglobulin Y (IgY) dari kuning telur
dilakukan dengan fast Performan Liquid
Chromatography (FPLC) [2], Penentuan kadar
IgY kuning telur dengan metode Bradford
[20]. Data kadar IgY masing-masing perlakuan
ditabulasi, lalu dianalisis secara statistik.

1. KAJIAN LITERATUR
Produksi antibodi atau immunoglobulin
yolk (IgY) yang memanfaatkan ayam sebagai
pabrik biologis telah banyak diaplikasikan
untuk pengobatan dan pencegahan penyakit,
misalnya untuk pengobatan penyakit Marek
[9], penyakit influenza [10], penyakit akibat
infeksi
Salmonella
enteridis
dan
typhimurium[11];[12]. Antibodi kuning telur
ayam sangat menarik untuk menjadi bahan
pertimbangan dalam rangka pencegahan dan
pengobatan penyakit karena biayanya relatif
murah [13]..
Piridoksin atau vitamin B6 mempunyai
rumus molekul C8H11O3N dengan berat
molekul 169 yang mempunyai bentuk aktif
piridoksal posfat (PLP). Dari berbagai hasil
penelitian telah ditemukan sekitar 60 jenis
reaksi-reaksi asam amino / protein yang
melibatkan piridoksal posfat [14].Salah satu
peranan piridoksin yang paling menarik adalah
adanya fakta-fakta bahwa vitamin ini berperan
dalam aspek pembentukan sistem pertahanan
tubuh terhadap invasi mikroorganisme.
Berbagai
penelitian
tentang
hubungan
piridoksin dengan aspek kekebalan tubuh pada
hewan dan manusia telah dilaporkan.
Defisiensi piridoksin pada
hewan dan
manusia, dapat menurunkan respon immun
berperantara sel (cel mediated immune
response) dan respon immun humoral
terhadap berbagai jenis antigen [15].
Selanjutnya,
telah
dilaporkan
bahwa
suplementasi piridoksin pada manusia lanjut
usia dapat memperbaiki fungsi limfosit dan
mensimulasi sistem kekebalan tubuh[16].

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Antibodi spesifik terhadap toksoid tetanus
pada telur dideteksi dengan menggunakan uji
agar gel presipitasi (AGP). Keberadaan
antibodi spesifik terhadap toksoid tetanus
ditandai dengan terbentuknya garis presipitasi
pada agar gel. Dari hasil pengujian diperoleh
bahwa antibodi terdeteksi pada semua sampel
1930

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

telur (Tabel 1). Dengan demikian dapat


disimpulkan bahwa biosintesis / produksi IgY
spesifik anti tetanus pada kuning telur ayam
percobaan dalam penelitian ini telah berhasil.

immunoglobulin yolk (IgY) dalam kuning


telur ayam. Hal ini juga memperkuat hasilhasil penelitian terdahulu yang menunjukkan
bahwa piridoksin benar-benar terlibat dalam
biosintesis immunoglobulin sebagai respon
terhadap masuknya antigen spesifik ke dalam
tubuh ayam. Selanjutnya, antibodi yang telah
terbentuk tersebut ditransfer ke embrio dalam
kuning telur.
Tidak adanya perbedaan yang
signifikan kadar immunoglobulin yang
disintesis oleh tubuh ayam untuk berbagai
perlakuan metode suplementasi piridoksin,
diduga karena dosis suplementasi piridoksin
yang diterapkan bagi ayam petelur yaitu 3,0
mg/kg ransum sudah sangat sesuai dan
distribusi piridoksin yang diberikan cukup
merata untuk semua ayam percobaan. Dengan
adanya fakta-fakta bahwa dengan penerapan
metode suplementasi piridoksin yang berbeda
yaitu via air minum, mencampur dalam ransum
dan suntikan intravena, diperoleh kadar
immunoglobulin Y (IgY) kuning telur yang
tidak berbeda secara signifikan, maka untuk
implementasi di lapangan sebaiknya metode
suplementasi piridoksin yang digunakan
adalah via air minum karena lebih praktis,
murah dan hemat tenaga dibandingkan dengan
metode pencampuran dalam ransum maupun
dengan cara suntikan intravena.

TABEL 1. Hasil Uji AGP IgY Kuning Telur


Ayam
Metode Suplementasi Piridoksin
Via air
Dicampur
Via suntikan
minum
dalam ransum
intravena
1
+
+
+
2
+
+
+
3
+
+
+
4
+
+
+
Ket : (+) terjadi garis presipitasi pada uji AGP
Ulangan

IgY anti tetanus dikoleksi dari kuning telur


yang menunjukkan reaksi positif pada uji AGP
kemudian
diekstraksi, purifikasi dan
dianalisis untuk menentukan kadar IgY setiap
sampel telur Rataan kadar IgY pada kuning
telur untuk setiap perlakuan suplementasi
piridoksin disajikan pada Tabel 2. Dari hasil
uji statistik dengan sidik ragam diperoleh
kesimpulan bahwa Ho diterima yang berarti
tidak ada perbedaan yang signifikan kadar IgY
kuning telur ayam yang diberi suplemen-tasi
piridoksin via air minum, dicampur dalam
ransum maupun via suntikan intravena.
TABEL2. Rataan Kadar IgY pada Kuning Telur
Ayam yang Diberi Suplementasi Piridoksin dengan
Metode yang Berbeda
Peubah

4. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data yang
dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa kadar
IgY kuning telur ayam yang diberi
suplementasi piridoksin via air minum,
dicampur dalam ransum maupun via suntikan
intravena tidak berbeda secara signifikan.
Suplementasi piridoksin melalui air minum,
mencampur dalam ransum, dan via suntikan
intravena pada ayam petelur memberikan
rataan kadar antibodi / immunoglobulin yolk
(IgY) kuning telur berturut-turut sebesar 2,151
0,026 gr/100mL atau setara dengan 107,55
mg/ butir telur ; 2.132 0,019 gr/100mL atau
setara dengan 106,6 mg/ butir telur dan 2,18
0,036 gr/100mL atau setara dengan 109,0
mg/ butir telur. Kandungan IgY yang diperoleh
ini lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan IgY yang ditemukan pada
penelitian-penelitian sebelumnya. Pemberian
suplementasi piridoksin via air minum pada
ayam petelur merupakan metode yang paling
efektip dan efisien dalam meningkatkan

Metode Suplementasi Piridoksin


Via air
Dicampur
Via Suntikan
minum
dalam
Intravena
ransum

Kadar IgY
Kuning
2,1510,026a 2.1320,019a
2,18 0,036a
Telur
(gr/100 ml)
Kandungan
107,55
106,6
109,0
IgY Telur*) mg/butir
mg/butir
mg/butir
Ket: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama,
menunjukkan perbedaan yang nyata (P 0,01).
*) 1 butir telur = 5 mL

Kandungan IgY yang diperoleh dalam


penelitian ini berkisar antara 106 109 mg
IgY /butir telur. Hal ini berarti lebih tinggi
dibandingkan dengan kandungan IgY yang
ditemukan
pada
penelitian-penelitian
sebelumnya dimana ayam yang diimunisasi
empat kali dengan 25-100 g antigen
Pseudomonas aerugenosa hanya mampu
menghasilkan 40-100 mg IgY per butir telur
[4]. Hal ini membuktikan bahwa suplementasi
piridoksin berpotensi sebagai salah satu
metode praktis,murah dan efektip untuk
meningkatkan
produksi
antibodi
/
1931

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Haliotis discus hannai Ino. Fish & shellfish
immunology. 19 (3) :241-52
[8] Silitonga, P.M., dan M.Silitonga. 2013.
Upaya
Meningkatkan
Produksi
Immunoglobulin Y (IgY) Kuning Telur
dengan Suplementasi Piridoksin. Laporan
Hasil Penelitian Hibah Bersaing Tahun I,
Dikti-Kemdiknas.
[9] Kermani, AV., T. Moll., BR. Cho., WC. Davis
and YS. Lu. 2001. Effects of IgY antibodi on
the development of mareks disease. Avian
Dis. 20: 32-41
[10] Bogoyavlensky, AP., V.E. Bersin and VP.
Tolmachva.
1999.
Immunogenicity of
influenza glicoprotein with different forms of
supramolecular
organization
in
hens.
Balt.J.Lab. Anim.Sci. 4: 99-105
[11] Lee, E.N., H.H.Sunwoo., K.Menninen.,and
JS.Sim. 2002. In vitro studies of chicken egg
yolk antibody (IgY) against Salmonella
enteridis and Salmonella typhimurium.
Poult.Sci. 81 (5): 632-641
[12] Babu, U., M. Scott., M.J.Myres., M.Okamura.,
D.Gaines., H.F. Yancy., H.Lillehoj., RA.
Heckert and RB. Raybourne. 2003. Effects of
live attenuated and killed salmonella vaccine
on t-lymphocyte mediated immunity in laying
hens. Vet.Immun. And Immunopathol. 91: 3944
[13] Mine, Y., SB. Lee and RMW Steverson. 2000.
Prevention of Yersinia Ruckery Infection in
Rainbow Trout With Hens Egg Yolk
Immunglobulin.
Egg Nutrition and
Biotechnonology. Pp. 341-350.
[14] Conn, E.E. P.K. Stumf, G. Bruening and R.H.
Doi. 1987. Outlines of Biochemistry. John
Weley & Sons New York
[15] Beisel, W.R.
1982. Single nutrients and
immunity. Am. J.Clin. Nutr. 35: 417- 464.
[16] Talbott, M.C., L.T. Miller and N.I. Kerkvliet.
1997. Pyridoxine Suplementation : Effect on
lympocyte responses in elderly persons. Am.
J. Clin. Nutr. 46: 659-664
[17] Djanah, D.
1991.
Beternak Ayam.
CV.Yasaguna, Surabaya.
[18] Suartini,
IGAA.,
IWT.
Wibawan.,
MT.Suhartono., Supar dan IN.Suarta. 2007.
Aktivitas IgY dan IgG antitetanus setelah
perlakuan pada berbagai pH, suhu dan enzim
proteolitik. J.Vet. 8 (4): 160-166
[19] Darmawi., U.Balqis., R. Tiuria., M. Hambal
dan
Samadi.
2010.
Purifikasi
Immunoglobulin Yolk Ayam yang Divaksin
Terhadap Ekskretori/Sekretori Stadium L3
Ascaridia galli. Agripet 10 (2): 9-15
[20] Alexander, R.R., J.M. Griffiths dan M.L.
Wilkinson.
1985. Basic Biochemical
Methods. Jhon Wiley & Sons. New York.

produksi antibodi / immunoglobulin yolk


(IgY) dalam kuning telur ayam.
Penelitian lanjutan sangat perlu
dilakukan untuk menguji kemanjuran IgY
kuning telur dalam mencegah timbulnya
kelainan /penyakit akibat serangan antigen
spesifik. Telur diberikan pada tikus putih
dengan tingkat kemasakan yang bervariasi
yaitu mentah, setengah matang dan matang.
Dari percobaan tersebut akan diketahui apakah
ada pengaruh tingkat kemasakan telur yang
dikonsumsi terhadap efektivitas IgY kuning
telur dalam mencegah timbulnya kelainan
/penyakit akibat serangan antigen spesifik.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada
Rektor Unimed dan Pimpinan DP2MKementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, atas
bantuan biaya penelitian ini melalui Proyek
Penelitian Hibah Bersaing.
6. REFERENSI
[1] Li X., T. Nakano., HH. Sunwoo., BH.Paek.,
HS. Chae and JS. Sim. 1998. Effects of egg
and yolk weighst on yolk antibody (IgY)
production in laying chickens. Poult Sci. 77:
266-270
[2] Soejoedono,
RD.,
Z.
hayati
dan
IWT.Wibawan. 2005. Pemanfaatan Telur
Ayam Sebagai Pabrik Biologis: Produksi Yolk
Immunoglobulin (IgY) anti plaque dan diare
dengan Titik Berat pada Anti Streptococcus
mutan, Escherichia coli dan Salmonella
Enteridis.
Laporan RUT XII Kerjasama
Lembaga
Penelitian
dan
Pengabdian
Masyarakat IPB dengan Kementerian Riset
dan Tehnologi RI
[3] Suartha, IN., IWT. Wibawan., dan IBP.
Darmono. 2006. Produksi imunoglobulin Y
spesifik antitetanus pada ayam. J. Vet. 7 (1) :
21-28
[4] Carlander, D. 2002. Avian IgY antibody,
invitro and invivo. Dissertation. Acta
Universitatis Upsaliensis. Upsala
[5] Kumar, M., and A.E. Axelrod. 1988. Cellular
antibody synthesis in vitamin B6-deficient
rats. J. Nutr. 96: 53-59.
[6] Debes, S.A., and A. Kirksey. 1999. Influence
of dietary pyridoxine on selected immune
capasities of rat dams and pups. J. Nutr. 109:
744-250.
[7] Chen, H., K.May, W.Zang, Z. Liufu, W.Xu,
and B.Tan.
2005. Effects of dietary
pyridoxine on immune responses in abalone,

1932

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

THE EFFECT OF pH ON SYNTHESIS OF HYDROXYAPATITE


FROM GELOINA COAXANS SHELL
Pepi Helza Yanti
Department of Chemistry-FMIPA-Universitas Riau
Kampus Bina Widya Jl. HR. Soebrantas 12,5 KM Panam
peppyhelza@yahoo.com
Abstract
The effect of pH on synthesis of hydroxyapatite from Geloina coaxans shell has been done by precipitation
method. Geloina coaxans shells and several phosphate sources (NH 4)2 HPO4 and H3PO4 were used as
precursors on synthesis of HAp. Synthesis of HAp was done with molar ratio of precursors 1,67 and pH of
solution were varied at 10, 12, 13, and 14. The result proved that nano-HAp can be obtained successfully and
shown that pH value was a significant parameter variable on synthesis HAp that can influence crystalinity
and purity of HAp. Using Schererr equation, particle size of HAp powder of (NH 4)2HPO4 was 26,69 while
H3PO4 was 40 nm respectively.
Keywords: Geloina coaxans, HAp, (NH4)2HPO4 and H3PO4
Abstrak
Pengaruh pH pada sintesis hidroksiapatit mengggunakan cangkang lokan (Geloina coaxans) telah
dilakukan menggunakan metode pengendapan. Cangkang lokan (Geloina coaxans) dan beberapa sumber
posfat seperti (NH4)2 HPO4 dan H3PO4 telah digunakan sebagai prekursor pada sintesis senyawa
hidroksiapatit. Sintesis senyawa hidroksiapatit ini dilakukan dengan perbandingan molar prekursor 1,67 dan
pH larutan divariasikan pada 10, 12, 13, dan 14. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nanohidroksiapatit dapat diperoleh melalui variasi pH, dan membuktikan bahwa pH merupakan suatu parameter
penting dalam sintesis hidroksiapatit yang dapat mempengaruhi kristalinitas dan kemurnian dari
hidroksiapatit yang dihasilkan. Dengan menggunakan persamaan Schererr, ukuran partikel hidroksiapatit
yang yang dihasilkan (NH4)2HPO4 adalah 26,69 sedangkan H3PO4 adalah 40 nm
Kata kunci: Geloina coaxans, HAp, (NH4)2HPO4 and H3PO4

(Hashimoto dkk., 2009). Hidroksiapatit juga


dapat digunakan sebagai katalis pada reaksi
kimia (Zahouily dkk., 2003), Hidroksiapatit
juga bermanfaat pada kromatografi kolom
untuk proses fraksinasi secara cepat dan
sederhana dari protein dan asam nukleat
(Purdy dkk., 1996).
Dengan banyaknya aplikasi dari senyawa
hidroksiapatit ini, pengembangan beberapa
prekursorpun dilakukan untuk menghasilkan
senyawa
hidroksiapati
dengan
tingkat
kemurnian baik. Konversi cangkang moluska
telah dilakukan sebagai sumber prekursor
kalsium (Ca) untuk sintesis hidroksiapatit,
seperti cangkang kerang kepah (Mussel shell)
(Shavandi dkk., 2014) dan cangkang kerang
tiram (Oyster shell) (Rujitanapanich dkk.,
2014). Variasi sumber fosfat (P) pun juga
telah digunakan dalam sintesis hidroksiapatit
(HAp) seperti Na2HPO4 (Shavandi dkk., 2014).

1. PENDAHULUAN
Hidroksiapatit merupakan suatu mineral
dengan rumus molekul Ca10(PO4)6(OH)2, yang
dapat digunakan untuk menggantikan jaringan
tulang yang rusak tanpa menyebabkan
kerusakan pada jaringan lain.
Hidroksiapatit (HAp) dapat diaplikasikan
sebagai drug carrier (Kano dkk., 1994), dan
pelapis dalam implantasi (Dahlan dkk., 2009),
hal ini dipengaruhi oleh sifat kimia
hidroksiapatit (HAp) yang non toxic, bioactive
dan biocompatible serta merupakan fasa kristal
dari senyawa kalsium fosfat yang paling
stabil. Hidroksiapatit (HAp) juga dapat
digunakan untuk penghilang logam berat
(Reichert dkk., 1996), biosensor (Salman dkk.,
2008), konduktor ion dan sensor gas
(Mahabole dkk., 2005) serta dapat digunakan
dalam proses pengolahan air dan remediasi
tanah yang terkontaminasi logam berat
1933

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Cangkang lokan (Geloina coaxans)


merupakan salah satu jenis moluska yang
dapat digunakan sebagai prekursor kalsium
(Ca) untuk sintesis hidroksiapatit (HAp)
karena mengandung kalsium karbonat
(CaCO3) yang cukup tinggi yang dapat diubah
menjadi CaO melalui proses kalsinasi pada
temperatur tinggi. Lokan (Geloina coaxans)
merupakan jenis phylum moluska, kelas
bivalvia yang distribusinya banyak dijumpai di
hutan mangrove (Morton, 1984) .Di Indonesia
penyebaran lokan (Geloina coaxans) terdapat
pada beberapa daerah diantaranya adalah Desa
Panipahandi Kecamatan Pasir Limau Kapas
Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Parameter
reaksi
seperti
kecepatan
pengadukan, waktu pengadukan, serta
temperatur kalsinasi juga merupakan salah
faktor
yang
mempengaruhi
senyawa
hidroksiapatit yang dihasilkan, maka pada
penelitian ini dilakukan variasi pH untuk
mempelajari kualitas HAp yang dihasilkan

Biomaterial
Biomaterial merupakan material sintesis
yang diimplantasikan kedalam jaringan tubuh
sebagai pengganti fungsi jaringan hidup dan
organ. Biomaterial yang diimplantasikan
kedalam tubuh harus bersifat biocompatible,
bioactive, ostreoconductive, non corrosive dan
non toxic.
Biomaterial banyak digunakan untuk
memperbaiki atau menggantikan fungsi suatu
sistem kerangka tubuh manusia yang sakit atau
rusak, misalnya seperti tulang yaitu: tulang
sendi dan tulang gigi. Biomaterial juga
dimanfaatkan untuk tulang buatan atau
protestik yang berinteraksi dengan cairan
tubuh manusia untuk jangka pendek atau
panjang (Jaffe dkk., 1996).
Hidroksiapatit (HAp)
Hidroksiapatit merupakan suatu mineral
dengan rumus molekul Ca10(PO4)6(OH)2.
Hidroksiapatit memiliki berat jenis 3,08 g/cm3
dan serbuk
hidroksiapatit yang murni
berwarna putih. Hidroksiapatit (HAp) memiliki
berat molekul 502.31 g/mol dan massa
jenisnya 3.156 g/cm (Junqueira dkk., 2003).
Hidroksiapatit (HAp) adalah mineral alami
komponen anorganik pada tulang manusia dan
gigi. Unsur-unsur penyusun hidroksiapatit
(HAp) adalah kalsium dan fosfor, dengan rasio
Ca/P stoikiometri dari 1.667.
Struktur kristal dari hidroksiapatit adalah
heksagonal dengan parameter kisi a= 9.423
dan c = 6. 875 . Unit sel terdiri dari dua
subsel prisma segitiga rombik. Terdapat dua
kaca horizontal yaitu, Z = dan Z = dan
sebagai tambahan terdapat bidang tengah
inversi, tepatnya disetiap tengah muka vertikal
dari setiap subsel. Atom Ca ditunjukkan oleh
lingkaran berwarna hijau, atom O ditunjukkan
oleh lingkaran berwarna biru dan atom P
ditunjukkan oleh lingkaran berwarna merah.
Unit sel memiliki dua atom Ca yaitu, 1). Ca1 :
memiliki tiga pusat, puncak dan dasar dihitung
sebagai Ca1. Masing-masing subsel
memiliki dua atom Ca dari Ca1 dan 2). Ca2 :
memiliki enam atom Ca2, total atom Ca dalam
setiap unit sel adalah sepuluh (terdiri dari 4
Ca1 dan 6 atom Ca2). Atom-atom Ca2
membentuk dua segitiga normal hingga sumbu
C dan berotasi sebesar 60o (Aoki, 1991).

2. KAJIAN LITERATUR

Lokan ( Geloina Coaxans)


Lokan (Geloina coaxans) merupakan salah
satu kerang yang hidup di perairan payau
Menurut Dwiono (2003) klasifikasi lokan
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class
: Bivalvia
Ordo
: Lamellibranschia
Famili
: Corbicullidae
Genus
: Gelonia
Species : Geloina coaxans

Gambar 1. Lokan (Geloina coaxans)


Umumnya, cangkang kerang dari berbagai
jenis memiliki kandungan karbonat yang dapat
dikonversikan menjadi CaO melalui kalsinasi
pada suhu tertentu.
1934

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

digunakan yaitu sebesar 1.67 dengan kalsium


(Ca) dari cangkang lokan
1M dan fosfat
(P) adalah (NH4)2HPO4 0.6 M. Serbuk
cangkang lokan (CaO) hasil kalsinasi
dilarutkan dalam (akuabides) dan (NH4)2HPO4
dilarutkan dalam 100 mL air (akuabides).
Larutan (NH4)2HPO4 dimasukkan pada buret
dan larutan Ca(OH)2 pada beaker gelas. Kedua
larutan dicampurkan, (NH4)2HPO4 diteteskan
secara perlahan-lahan ke dalam larutan
Ca(OH)2 suhu 300C dengan
kecepatan
pengadukan 300 rpm selama 2 jam pada
beberapa variasi pH = 10, 12, 13 dan 14
melalui
penambahan
larutan
NH4OH.
Selanjutnya
didiamkan pada suhu kamar
selama 24 jam, kemudian larutan disaring
dengan kertas saring Whatman No 42.
Endapan yang diperoleh kemudian dipanaskan
dalam oven pada suhu 110C selama 2 jam dan
selanjutnya dikalsinasi pada suhu 9000C
selama 2 jam. Senyawa hidroksiapatit (HAp)
yang
telah
diperoleh
dikarakterisasi
menggunakan XRD

Gambar 2. Struktur hidroksiapatit


(Aoki, 1991).
3. METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini
lumpang, cawan, blender (Philips) peralatan
gelas standar laboratorium kimia, furnace
(VulcanTM seri A-130), pH meter, oven (Gallen
kemp), hotplate (Rexim RSH-1DR As One),
magnetik stirrer (Spinbar), crucible, neraca
analitik ((Mettler AE 200), ayakan 200 mesh
(W.S Tyler Incorporated U.S.A), X-Ray
Diffractometer (Gbc Emm),
Bahan yang digunakan pada penelitian ini
adalah cangkang lokan (Geloina coaxans),
(NH4)2HPO4(Merck), NH4OH (Merck), kertas
saring whatman 42 dan akuabides.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisis menggunakan XRD dapat
diamati pada difraktogram Gambar.3 dan
Gambar 4. di bawah

Prosedur Penelitian
Preparasi sampel
Cangkang lokan (Geloina coaxans) segar
diambil dari daerah Desa Panipahan,
Kecamatan Pasir Limau Kabupaten Rokan
Hilir. Cangkang lokan (Geloina coaxans)
dibersihkan dengan cara disikat serta dicuci
menggunakan air untuk membuang kotoran
dan pasir yang masih tersisa. Cangkang lokan
(Geloina coaxans) yang telah bersih tersebut
dikeringkan diudara terbuka, setelah kering
ditumbuk sampai halus dengan menggunakan
lumpang,
kemudian
diayak
dengan
menggunakan ayakan yang lolos 200
mesh.Bubuk cangkang
lokan (Geloina
coaxans) tersebut dikalsinasi selama 12 jam
pada temperatur 900oC.

Gambar 3. Difraktogram hidroksiapatit


menggunakan prekursor (NH4)2HPO4 pada
variasi pH (A=10; B=12; C=13; dan D=14)

Sintesis hidroksiapatit
Sintesis hidroksiaptit dilakukan menggunakan
(NH4)2HPO4 sebagai sumber fosfat dan dari
cangkang lokan dalam bentuk CaO sebagai
sumber kalsium. Rasio konsentrasi Ca/P yang
1935

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Gambar 4. Difraktogram hidroksiapatit


menggunakan prekursor (H3PO4) pada variasi
pH (A=10; B=12; C=13; dan D=14)

5. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa pH merupakan suatu
parameter
penting
dalam
sintesis
hidroksiapatit, yang dapat mempengaruhi
kristalinitas dan kemurnian dari hidroksiapatit
yang dihasilkan. Dengan menggunakan
persamaan
Schererr,
ukuran
partikel
hidroksiapatit yang yang dihasilkan untuk
(NH4)2HPO4 adalah 26,69 sedangkan H3PO4
adalah 40 nm

Analisis menggunakan XRD digunakan untuk


mempelajari
tingkat
kristalinitas
dan
kemurnian senyawa hidroksiapatit yang
dihasilkan. Berbagai parameter reaksi dapat
dilakukan
untuk
mempelajari
tingkat
kristalinitas hidroksiapatit. Variasi pH
dilakukan untuk mempelajari pengaruh kondisi
larutan
pada
sintesis
hidroksiapatit.
Berdasarkan
hasil
difraktogram
yang
diperoleh, dengan menggunakan prekursor
(NH4)2HPO4 Senyawa hidroksiapatit dapat
diperoleh melalui variasi pH tersebut tetapi
dengan tingkat kristalinitas berbeda.Senyawa
HAp muncul paling baik diperoleh pada pH
13, yang ditandai dengan munculnya puncak
HAp pada 2=31,7o yang sesuai dengan
JCPDS No 09-0432. Puncak HAp lainnya
juga muncul pada 2=25,9o. Ukuran kristal
dianalisis menggunakan persamaan Schererr di
bawah ini.

6. REFERENSI
1)

2)

3)
Ukuran kristal yang diperoleh adalah 26,69
nm.
Sementara
dengan
menggunakan
prekursor (H3PO4) HAp juga dapat dihasilkan
pada pH=10 pada 2=31,7o yang sesuai
dengan JCPDS No 09-0432. Puncak HAp
lainnya juga muncul pada 2=46,8o. Ukuran
kristal yang diperoleh adalah 40 nm.
Penelitian sebelumnya Ahmed dkk. (2014)
menyatakan bahwa dari variasi pH yang
dilakukan pada pH 5, 6,7,9 dan 11. Nilai pada
pH=11 menyatakan kondisi yang cukup stabil
jika dibandingkan dengan pH lainnya. Peneliti
lainnya Zhang dkk. (2009), juga menyatakan
bahwa pengaturan pH merupakan faktor
penting dalam penentuan produk atau senyawa
hidroksiapatit. Palanivelu dkk (2014) juga
menyatakan
bahwa
nano-kristalin
hidroksiapatit dapat diperoleh pada pH besar
dari 9 dan nilai pH merupakan faktor penting
dalam
menentukan
morfologi
dari
hidroksiapatit. Hasil yang sama juga dijelaskan
Liu dkk (2003), bahwa dari nilai pH yang
divariasikan 6, 9 dan 14, nilai pH 9
menunjukkan hasil baik.

4)

5)

6)

7)

8)

1936

Zahouily, M. Abrouki Y, Bahlaouan B,


Rayadh A, Sebti S. 2003. Hydroxyapatite
new efficient catalyst for the Michael
addition. Journal Catal Commun.(4):
5214.
Kano S, Yamazaki A, Otsuka R, Ohgaki
M, Akao M, Aoki H. 1994. Application of
hydroxyapatite-sol as drug carrier.
Journal Biomedical Materials and
Engineering. 4: 283.
Dahlan, K, Prasetyanti F, Sari Y W. 2009.
Sintesis hidroksiapatit dari cangkang telur
menggunakan dry method. J Biofisika.
5(2):71-78.
Reichert, J, Binner, J. 1996. An evaluation
of hydroxyapatite-based fi lters for
removal of heavy metal ions from
aqueous solutions. Journal Materials
Science 31:1231-1241
Salman S, Soundararajan S, Safi na G,
Satoh
I,Danielsson
B.
2008.
Hydroxyapatite as a novel reversible in
situ adsorption matrix for enzyme
thermistor-based FIA. Journal Talanta.
(77): 490-493.
Mahabole M, Aiyer R, Ramakrishna C,
Sreedhar B, Khairnar R. 2005. Synthesis
characterization and gas sensing property
of hydroxyapatite ceramic. Journal Bull
Mater(28): 53545.
Hashimoto Y, Taki T, and Sato T. 2009.
Sorption of dissolved lead from shooting
rangesoils
using
hydroxyapatite
amendments synthesized from industrial
byproducts as affected by varying ph
conditions. J Environ Manag(90):17829.
Purdy K, Embley T, Takii S, and Nedwell
D. 1996. Rapid extraction of DNA and
RNA from sediments by a novel

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

9)

10)

11)

12)

13)

14)

hydroxyapatite spin-column method.


Journal Environ Microbiology. (62):
39057.
Shavandi, A. Bekhit, A. Ali, A. Sun, Z.
2014. Synthesis of nano-hydroxyapatite
(nHA) from waste mussel shells using a
rapid microwave method. Journal
Chemistry and Physic.1-10
Rujitanapanich, S. Kumpapan, P dan
Wanjonoi, P. 2014. Synthesis of
Hydroxyapatite from Oyster Shell Via
Precipitation. Journal Materials Science
and Engineering. (56) : 112-117.
Morton, B. 1994. A Review of
polymesoda (Geloina) Gray 1842
(Bivalvia: Corbiculidae) From Indo
Pasific mangroves. J Marine Biology: 7786.
Dwiono, S. A. P. 2003. Pengenalan
kerang mangrove, geloina erosa dan
geloina expansa. Jurnal Oseana.28(2):
31-38.
Jaffe, W. G. 1969. Hemagglutinins, In
Linier, I.E. (Ed).Toxic Constituents of
Plants Food stuffs. New York City:
Academic Press
Junqueira, L. C. dan Jos C. 2003.
Inorganic matter represents about 50% of
the dry weight of bone crystals show
imperfections and are not identical to the
hydroxylapatite found in the rock
minerals. Basic Histology Text & Atlas,
(10th ed), Mcgraw-Hill Companies. ISBN
0071378294.144.

15) Aoki, H. 1991. Science and Medical


Applications of Hydroxyapatite. Jepang:
Tokyo Medical and Dental university.
16) Ahmed, M.A., Mansour. S.F., El-dek
S.I.,Abd-Elwahab., Ahmed. M.K. 2014.
Characterization
and
annealing
performance of calcium phosphate
nanoparticles
synthesized
by
coprecipitation
method.
J.Ceramic
International.
17) Ahmed, M.A., Mansour. S.F., El-dek
S.I.,Abd-Elwahab., Ahmed. M.K. 2014.
Characterization
and
annealing
performance of calcium phosphate
nanoparticles
synthesized
by
coprecipitation
method.
J.Ceramic
International.
18) Zhang,Y. L, J. Wang ,J. Yang S, Chen,Y.
2009. Synthesis of nanorod and needlelike hydroxyapatite crystal and role of pH
adjustment. Journal of Crystal Growth.
311.47404746
19) Palanivelu, R. Mary Saral, A. Ruban
Kumar,A.
2014.
Nanocrystalline
hydroxyapatite prepared under various pH
conditions. Spectrochimica Acta Part A:
Molecular
and
Biomolecular
Spectroscopy 131. 37-41.
20) Liu,J. Ye,X. Wang,H. Zhu,M. Wang,Bo.
Yan,H. 2003.The influence of pH and
temperature on the morphology of
hydroxyapatite
synthesized
by
hydrothermal
method.
Ceramics
International 29.629633

1937

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI


DALAM PENGAJARAN LAJU REAKSI
UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI MAHASISWA
Rahmat Nauli1* , Ani Sutiani2*
FMIPA, Universitas Negeri Medan, Medan1*2*
Email : nauli66.rahmat@gmail.com
Abstract
The Inquiry based learning development was needed to increase learning based student activity, meaningful
learning and increase motivation in order to increase student competency. The research aim is to product of an
innovative teaching of Reaction Rates in General Chemistry. The research kind is research and development
that conducted on regular Biology Class and bilingual physic class, FMIPA State University of Medan. The
steps of the research is to develop subject of reaction rates, grilles and inquiry-based learning plans, developed
a concept map media on inquiry learning model for improving learning activities, and the implementation
inquiry model combine with concept map media for improving student learning outcomes in subject of reaction
rates. The research development output is document of Subject matter based on inquiry, Subject grille and
competency, teaching reaction rates based on inquiry with media, that built critical thinking skill, problem
solving ability and student creativity. The research data shows that guided inquiry based learning can improve
the learning outcomes of students in each group of students with the ability relatively high, medium or low, both
in the regular Biology class and bilingual Physics class.
Keywords : Inquiry based learning, Student competency, Reaction Rates

mahasiswa dalam rangka


peningkatan
kompetensi mahasiswa. Dalam suatu proses
belajar mengajar, dua unsur yang amat penting
adalah model dan media pembelajaran.
Pemilihan salah satu model pembelajaran
tertentu akan mempengaruhi jenis media
pembelajaran yang sesuai. Penelitian ini
bertujuan untuk memperbaiki model dan media
pembelajaran
serta
implementasinya.
Pembelajaran berbasis inkuiri yang sesuai
dengan karakteristik materi dan karakteristik
mahasiswa.

1.

PENDAHULUAN
Kimia umum merupakan perkuliahan
yang sangat penting bagi perkuliahan lanjutan
di jurusan kimia FMIPA Universitas Negeri
Medan (Unimed). Namun jumlah kelas paralel
24 kelas menyulitkan pengelola menyediakan
kualitas kompetensi dosen KDBK dan kualitas
perkuliahan yang setara di setiap karakteristik
materi kimia umum. Evaluasi diri 3 tahun
terakhir menunjukkan bahwa penetapan dosen
belum berbasis kompetensi, pembelajaran
bersifat konvensional, minimnya kolaborasi,
sharing dan refleksi sebagai evaluasi,
penggunaan media yang kurang, konten materi
kuliah dan praktikum belum di-up to date,
penelitian praktikum berbasis barang bekas
dan bahan alam jarang dilakukan. Dampaknya,
nilai kimia umum masih rendah. Hasil ujian
bersama (F3) sebagai pengontrol kualitas hanya
20 66 dari skala 100 [1]. Minat mahasiswa
mengikuti kuliah rendah, motivasi dan aktifitas
juga rendah [2]. Jelas bahwa kerja keras dalam
pengajaran
kimia
adalah
mengubah
pendekatan guru sebagai pusat pembelajaran
menjadi
pembelajar
sebagai
pusat
pembelajaran. Oleh karena itu, pembelajaran
sesuai tuntutan Kurikulum KTSP dan
kurikulum 2013 yakni Student Centred
Learning (SCL) sangat diperlukan untuk
meningkatkan minat, motivasi dan aktifitas

2. KAJIAN LITERATUR
Pembelajaran berbasis inkuiri dapat
meningkatkan pemahaman siswa dengan
melibatkan siswa dalam proses kegiatan
pembelajaran secara aktif, sehingga konsep
yang dicapai lebih baik [3]. Inkuiri terbimbing
secara kooperatif mempunyai pemahaman
lebih baik terhadap penguasaan konsep materi
pelajaran dan menunjukkan sikap yang positif
[4]. Ciri-ciri pembelajaran menggunakan
inkuiri adalah sebagai berikut : a). Siswa diberi
peluang untuk mengadakan penelaahan
penyelidikan
dan
menemukan
sendiri
jawabannya melalui teknik pemecahan
masalah;
b).
Masalah
dirumuskan
seoperasional mungkin, sehingga terlihat
kemungkinannya untuk dipecahkan; c). Siswa
1938

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

merumuskan hipotesis, untuk menuntun


mencari data; d). Siswa mengumpulkan data
secara individual atau kelompok dengan
melakukan
eksperimen,
mengadakan
pengamatan, membaca atau memanfaatkan
sumber lain yang relevan; e). Siswa mengolah
data dan mengambil kesimpulan. Pembelajaran
inkuiri dibedakan menjadi dua macam, yaitu
inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas. Inkuiri
terbimbing adalah inkuiri yang banyak
dicampuri
oleh
guru.
Guru
banyak
mengarahkan dan memberikan petunjuk baik
lewat prosedur yang lengkap dan pertanyaanpertanyaan pengarahan selama proses inkuiri
[5]. Sedangkan inquiri bebas adalah inquiri
yang tidak banyak diarahkan oleh guru.
Mahasiswa diberikan kebebasan berkreasi
sendiri.
Multimedia adalah presentasi materi
dengan menggunakan kata-kata sekaligus
gambar-gambar [6][7]. Interaktifitas dalam
multimedia diberikan batasan bahwa pengguna
(user) dilibatkan untuk berinteraksi dengan
program aplikasi [8] sehingga multimedia
mampu melibatkan banyak indera dan organ
tubuh selama proses pembelajaran berlangsung
[9]. Penggunaan media dalam proses
pembelajaran dapat mengatasi perbedaan gaya
belajar, minat, intelegensi, keterbatasan daya
indera dan keterbatasan waktu [10]. Peta
konsep digunakan karena dapat menyediakan
bantuan visual konkret yang dapat membantu
mengintegrasikan informasi sebelum informasi
itu dipelajari [11]. Karena peta konsep adalah
suatu gambaran skematis untuk mempresentasikan suatu rangkaian konsep dan kaitan
antar konsep yang ada [11] [12]. Peta konsep
memberikan kesempatan kepada mahasiswa
untuk menyajikan hubungan antara istilah
istilah sains yang dipelajari, dan mengorganisasikan istilah-istilah sains melalui hubungannya dengan kunci konsep. Dengan
menggunakan multimedia interaktif berbasis
peta konsep, diharapkan kegiatan pembelajaran
bersifat efektif dan dapat meningkatkan hasil
belajar mahasiswa [13] [14].

dilakukan adalah (1) mengembangkan materi


pokok bahasan laju reaksi berbasis inkuiri, (2)
mengembangan kisi-kisi dan RPP berbasis
inkuiri,
(3) mengembangkan media peta
konsep pada model pembelajaran inkuiri untuk
meningkatkan aktifitas pembelajaran, serta (4)
implementasi model inkuiri dengan bantuan
peta konsep untuk meningkatkan hasil belajar
mahasiswa pada materi laju reaksi.
Instrumen penelitian yang disusun
terdiri dari (1) Angket untuk pengumpulan
data tentang respon mahasiswa terhadap
efektifitas proses pembelajaran, dan (2)
Instrumen tes untuk mengukur hasil belajar
mahasiswa terhadap materi perkuliahan yang
diberikan dalam proses pembelajaran. Model
pengembangan yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari tahap pengumpulan
data, perencanaan, dan pengembangan. Pada
tahap
pengumpulan
data
dilakukan
pengembangan kompetensi mahasiswa, dan
analisis konsep pada laju reaksi. Pada tahap
perencanaan dilakukan pengumpulan materi
laju
reaksi
dari
berbagai
sumber,
pengembangan kisi dari berbagai kurikulum
LPTK dan pada tahap pengembangan
dilakukan pengembangan materi, kisi, model
dan media peta konsep. Pada tahap akhir
dilakukan implementasi model inkuiri dan
media peta konsep.
Data hasil belajar diperoleh melalui
implementasi model inkuiri dan media peta
konsep dalam proses pembelajaran laju reaksi
pada mahasiswa semester 1 kelas Fisika
Bilingual dan kelas Biologi reguler FMIPA
Unimed. Kedua kelas merupakan kelas
eksperimen
yang
dilakukan
proses
pembelajaran berbasis inkuiri dengan bantuan
peta konsep. Sebelum proses pembelajaran
dimulai, dilakukan terlebih dahulu tes awal
(pre test) dan setelah proses pembelajaran
dilakukan tes akhir (post test). Angket respon
mahasiswa
terhadap
efektifitas
proses
pembelajaran diberikan satu minggu setelah
proses pembelajaran selesai yang diberikan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Kisi Laju reaksi
Kisi materi laju reaksi yang
merupakan bagian dari kimia dasar dikembangkan dari sillabus yang berlaku di beberapa
lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan
LPTK diantaranya Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), Universitas Negeri Jakarta
(UNJ) dan universitas Negeri Yogjakarta

3. METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan bersifat
Research and Development (R&D) untuk
mengembangkan
model
dan
media
pembelajaran di perguruan tinggi sehingga
memperoleh model dan media pada materi
laju reaksi yang merupakan bagian dari mata
kuliah kimia umum. Tahapan penelitian yang
1939

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

(UNY). Kisi materi laju reaksi yang


dikembangkan dirangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Deskripsi Kisi Materi Laju reaksi
No.
1

Materi/ Sub-materi
Reaksi Kimia

Defeisi Laju Reaksi

Rumus umum
Laju Reaksi dan
orde

Penentuan Rumus
umum dan tetapan
laju reaksi

Faktor Faktor
yaang
mmempengaruhi
Laju reaksi

materi laju reaksi dan hasil posttest untuk


mengetahui hasil belajar masing-masing kelas
setelah diberikan perlakuan yang sama. Data
hasil test yang telah dilakukan ditunjukkan
pada Tabel 2.
Dari data pretes pada Tabel 2 terlihat
bahwa sebelum pembelajaran dilakukan,
penguasaan mahasiswa pada materi laju reaksi
termasuk rendah, yaitu pada Biologi Reguler
(41,6) dan Kelas Fisika Bilingual (41,8). Hal
ini berarti kemampuan awal mahasiswa pada
materi Laju reaksi untuk kedua kelas relatif
sama. Hasil belajar mahasiswa setelah proses
pembelajaran dilakukan dengan menggunakan
postest. Data pada Tabel 3 menunjukkan
bahwa kedua kelas perlakuan memperlihatkan
kemampuan penguasaan mahasiswa pada
materi laju reaksi secara umum mengalami
peningkatan dibandingkan hasil pretest. Hasil
belajar mahasiswa kelas Biologi reguler adalah
(87,92,9) dan hasil belajar kelas Fisika
Bilingual adalah (88,42,9). Hasil uji t
menunjukkan kedua kelas sampel berbeda
signifikan karena thitung berada di luar daerah
kritis. t hitung kelas Biologi regular adalah
36,98 sedangkan t tabelnya 1,78 (db = 35) dan
t hitung di kelas Fisika Bilingual 32,88
sedangkan t tabelnya 1,70 (db = 27) .

Pengembangan
Memahami pengertian
pereaksi, hasil reaksi,
gambar energi aktivasi
reaksi eksoterm dan reaksi
endoterm
Membedakan Pereaksi dan
hasil reaksi, satuan waktu
dan perubahan waktu.
Pengembangan jumlah
contoh
Membaca data eksperimen,
koefisien reaksi, reaksi
unimolekuler, reaksi
bimolekuler dan
termolekuler, menghitung
orde reaksi. Pengembangan
jumlah contoh.
Membandingkan data
percobaan demi percobaan,
membuat grafik.
Pengembangan jenis
contoh penentuan orde
reaksi melalui perhitunga
dari data reaksi atau
membuat grafik
Memahami setiap faktor
yang mempengaruhi laju
reaksi dan bagaimana cara
mempengaruhi laju reaksi.
Pengembangan jumlah
contoh.

Tabel 2: Hasil Penerapan inkuiri pada pokok


bahasan Laju reaksi

4.2 Analisis Media Peta Konsep


Setelah pengembangan media peta
konsep maka dilakukan penelaahan sederhana
terhadap peta konsep oleh dosen peneliti
dengan menggunakan rubrik tentang peta
konsep. Komponen peta konsep yang ditelaah
yaitu (1) konsep utama, (2) sub sub konsep,
(3) garis penghubung, (4) Kesetaraan sub sub
konsep, (5) Crosslink dan kekompleksan peta
konsep. Dari hasil analisa terlihat bahwa peta
konsep yang disusun sudah memenuhi rubrik
dengan skala 3. Hal ini berarti bahwa peta
konsep yang disusun layak digunakan untuk
pembelajaran materi laju reaksi.

Variabel
Rata rata
Pretes
Rata rata
Postes
Varians
Standar
deviasi
thitung
ttabel =0,05
Kriteria

Kelas Biologi
Reguler

Kelas
Fisika
Bilingual

41,6

41,8

87,90
8,41

88,40
8,41

2,9
36,98
1,78(db=35)
Tolak Ho

2,9
32,88
1,70(db=27)
Tolak Ho

Data
yang
diperoleh
juga
menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar
setelah penerapan model pembelajaran inkuiri
terbimbing dan media peta konsep.
Peningkatan terjadi di seluruh Kelompok
mahasiswa, baik Kelompok tinggi, sedang,
maupun rendah seperti di uraikan pada tabel 3.

3.3 Hasil Belajar Mahasiswa


Data hasil belajar yang diperoleh
dalam penelitian ini adalah tes awal (pretest),
yang diberikan sebelum perlakuan dan tes
akhir (posttest) yang diberikan setelah
perlakuan
pada
masing-masing
kelas
eksperimen. Hasil pre-test bertujuan untuk
mengetahui kemampuan awal mahasiswa pada
1940

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Tabel 3: Rekapitulasi Peningkatan Hasil Tes


Mahasiswa Pada Materi Laju Reaksi
Kelas
Biologi
Reguler

Fisika
Bilingual

Kelompok
Mahasiswa
Tinggi
Sedang
Rendah
Kelas
Tinggi
Sedang
Rendah
Kelas

menyatakan sangat puas. Tingginya tingkat


kepuasan dan menyenangkannya pembelajaran
bagi mahasiswa ini menunjukkan bahwa
dengan menerapkan model pembelajaran
berbasis inkuiri terbimbing dan peta konsep
keterlibatan mahasiswa dalam pembelajaran
(SCL) menjadi sangat tinggi. Hal ini sesuai
dengan keunggulan model inkuiri terbimbing.
Model
pembelajaran
inquiri
juga
meningkatkan pemahaman siswa terhadap
materi laju reaksi, meningkatkan kemampuan
menyelesaikan masalah berkaitan dengan
materi dan peningkatan kemampuan berpikir
kritis dan pemecahan masalah untuk
menyelesaikan
soal-soal
latihan
yang
diberikan, ujian F3,
serta memiliki
kesempatan untuk belajar secara mandiri
maupun kelompok juga berada pada keadaan
baik dan sangat baik pada kelas Biologi regular
maupun kelas Fisika Bilingual.
Respon mahasiswa tentang kontribusi
model pembelajaran inkuiri terbimbing yang
digunakan terhadap pemahaman materi
perkuliahan, mahasiswa menyatakan dapat
meningkatkan
kemampuannya
dalam
memahami materi Laju Reaksi. Model
pembelajaran
yang
digunakan
dapat
meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk
berpikir kritis dan menyelesaikan masalah
dalam soal-soal latihan. Selain itu, mahasiswa
menyatakan bahwa teknik yang diberikan
dalam menjelaskan cara penyelesaian soal-soal
sangat mudah dipahami.
Berkaitan dengan tugas-tugas yang
diberikan dosen dalam perkuliahan, mahasiswa
menyatakan bahwa tugas yang diberikan dapat
memotivasi mahasiswa untuk belajar secara
mandiri maupun kelompok. Disamping itu,
mahasiswa
menyatakan
bahwa
model
pembelajaran
ini
dapat
meningkatkan
keberanian mahasiswa untuk mengajukan
pertanyaan maupun menjawab pertanyaan
yang diberikan. Sedangkan respon mahasiswa
tentang kontribusi model pembelajaran
terhadap softskill menunjukkan bahwa
mahasiswa
menyatakan
bahwa
model
pembelajaran
yang
digunakan
dapat
meningkatkan rasa percaya diri, saling
menghargai dan kerjasama sesama mahasiswa

Rata Rata
Peningkatan
48,73
46,15
44,15
46,80
49,31
47,53
41,80
46,60

Peningkatan hasil belajar dianalisa


untuk mahasiswa dengan
kemampuan
akademik relatif tinggi, sedang dan rendah.
Dari data peningkatan hasil belajar terlihat
bahwa model inkuiri terbimbing dan media
peta membantu bagi semua tingkatan
mahasiswa baik berkemampuan tinggi, sedang
dan rendah pada kedua kelas baik pada kelas
Biologi regular maupun kelas Fisika Bilingual.
Peningkatan hasil belajar mahasiswa kelas
Biologi
regular
hanya
mahasiswa
berkemampuan tinggi 48,73 yang berada
diatas nilai peningkatan kelas sebesar 46,80.
Sedangkan pada kelas Fisika Bilingual
peningkatan
hasil
belajar
mahasiswa
berkemampuan tinggi 49,31 dan siswa
berkemampuan sedang 47,53 dan keduanya
berada di atas peningkatan hasil belajar kelas
sebesar 46,60.
3.4 Hasil Angket Mahasiswa Terhadap
Pembelajaran Yang Digunakan
Untuk mengetahui respon atau
persepsi
mahasiswa
terhadap
proses
pembelajaran yang digunakan, maka diberikan
angket kepada mahasiswa setelah satu minggu
proses pembelajaran selesai. Data hasil angket
menunjukkan bahwa secara umum mahasiswa
memberikan respon baik dan sangat baik untuk
semua item angket dalam mengikuti
perkuliahan pada materi laju reaksi. Pada kelas
Biologi regular sebanyak 67,4% mahasiswa
menyatakan bahwa perkuliahan menyenangkan
dan sebanyak 33,6% menyatakan sangat
menyenangkan mengikuti perkuliahan pada
materi laju reaksi sedangkan pada kelas Fisika
Bilingual sebanyak 83,6% menyatakan senang
dan 16,4% menyatakan sangat senang. Tingkat
kepuasan mahasiswa kelas Biologi 64,5%
menyatakan puas dan 35,5% menyatakan
sangat puas sedangkan pada kelas Fisika
Bilingual 35,2% menyatakan puas dan 64,8%

5. KESIMPULAN
Pengembangan pembelajaran inkuiri
terbimbing pada materi Laju Reaksi telah
berhasil
dilakukan.
Pengembangan
pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing
1941

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

meliputi pengembangan kisi kisi, RPP, Peta


konsep dan implementasi dalam pembelajaran
Laju
Reaksi.
Pengembangan
dan
implementasinya
mampu
meningkatkan
aktifitas
mahasiswa
dalam
kegiatan
pembelajaran,
mampu
meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan pemecahan
masalah
dalam
rangka
meningkatkan
kompetensi mahasiswa. Data penelitian
menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis
inkuiri terbimbing dengan bantuan peta konsep
mampu meningkatkan hasil belajar mahasiswa
di setiap kelompok mahasiswa dengan
kemampuan relatif tinggi, sedang maupun
rendah, baik di kelas Biologi reguler maupun
kelas Fisika Bilingual.
6.

[5] Paul Suparno. Metodologi Pembelajaran


Fisika. Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma. 2007
[6] Mayer, R. Multimedia Learning PrinsipPrinsip dan Aplikasi. Yogyakarta :
Pustaka
Pelajar. 2009.
[7] Meita Istianda dan Darmanto. 2009.
Pembuatan Multimedia Sebagai Upaya
Peningkatan Layanan Bantuan Belajar
Mahasiswa dalam Menghadapi Program
Tugas Akhir. Jurnal Pendidikan Terbuka dan
Jarak Jauh. 2009; 5(2): 10-17.
[8] Ariani, N dan Haryanto, D. Pembelajaran
Multimedia
di
Sekolah
Pedoman
Pembelajaran Inspiratif, Konstruktif dan
prospektif. Jakarta : Prestasi Pustakarya. 2010.
[9] Munadi, Y. Media Pembelajaran : Sebuah
Pendekatan Baru. Jakarta : Gaung
Persada
Press. 2008.
[10] Sadiman, A.S. Media Pendidikan :
Pengertian,
Pengembangan
dan
pemanfaatannya. Jakarta : Rajawali Press.
2009
[11] Trianto. Model Model Pembelajaran Inovatif
Progresif. Jakarta : Kencana. 2009
[12] Vanides, J., Yin, Y., Tomita, M., and RuizPrimo, M.A. Concept Map in Science
Classroom. Science Scope, 2005; 28(8).
[13] Chi, M. T. H., R. Glaser, and M. J. Far.. The
nature of expertise. Hillsdale, NJ: Lawrence
Earlbaum. 2008
[14] Yin, Y., J. Vanides, M. A. Ruiz-Primo, C. C.
Ayala, and R. J. Shavelson.. A comparison of
two
construct-a-concept-map
science
assessments: Created linking phrases and
selected linking phrases. Journal of Research
in Science Teaching, 2005; 42 (2): 166184.

PUSTAKA

[1] Anonim. Publikasi Nilai Ujian Formatif 3


FMIPA Unimed. 2014
[2] Duffy, T. M., & Jonassen, D. H..
Constructivism and the Technology of
Instruction a Conversation. New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates, Inc.1992.
[3] Kubicek, P. John. Inquiry-based learning, the
nature of science, and computer technology:
New possibilities in science education.
Canadian Journal of Learning and
Technology. 2005; 31(1):1-5
[4] Bilgin, Ibrahim. The Effects of Guided
Inquiry
Instruction
Incorporating
a
Cooperative Learning Approach on University
Students Achievement of Acid and Bases
Concepts and Attitude Toward Guided Inquiry
Instruction. Scientific Research and Essay.
2009;.4 (10): 1038-1046.

1942

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

ANTIBACTERIAL, ANTIFUNGAL AND ANTIDIABETIC ACTIVITIES


OF Dimocarpus longan FRUIT SKIN EXTRACT
Rahmiwati Hilma1), Siti Mukhlisa1), Haiyul Fadli2)
1

Program Studi Kimia, FMIPA dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Riau


email : rahmiwatihilma@umri.ac.id
2
Sekolah Tinggi Farmasi Riau
Abstract

Dimocarpus longan is one of widely plant cultivated in Indonesia to utilize fruit, but skin of longan fruit had
only ended up in the trash. Usually people have taken advantage of longan skin as herbal remedy for urinations
problem, worms problem, blood sugar problem, headaches, vaginitis, hernia and also for eye nourishment. The
purpose of this research was to identify the active compound, antibacterial activity, antifungal activity and
antidiabetic activity of D. longan fruit skin extract. Antibacterial and antifungal activity test was conducted by
diffusion methode. Antidiabetic activity test was carried out by in vitro model of ihhibitory activity agains glucosidase. The result compound obtained were flavonoid, fenolic, saponin, terpenoid, steroid and alkaloid.
Antibacterial test showed that n-hexane extract, ethyl acetate extract and methanol extract of D. longan fruit
skin did not show any antibacterial activity against S. aureus and E. coli. Antifungal test showed that n-hexane
extract of D.longan fruit skin has antifungal activity of C. albicans with minimum inhibitory concentration
(MIC) value of 11,19 mm at 50 ppm. Antidiabetic activity test showed inhibitory activity. Metanol exstract with
IC 50 value of 297,21 ppm and etil asetat exstract with IC 50 value of 305,55 ppm.
Keywords : Dimocarpus longan, Antibacterial, antifungal, antidiabetic, -glucosidase inhibition

corilagin, asam galat, dan asam ellagat sebagai


antiplasmodial, antimikroba, antioksidan,
antiinflamasi dan senyawa pencegah kanker.

1. PENDAHULUAN
Tanaman kelengkeng (Dimocarpus longan)
merupakan tanaman yang banyak ditemukan di
Indonesia. Pada umumnya, masyarakat hanya
memanfaatkan daging buah kelengkeng
sebagai konsumsi buah sehari-hari. Pada
pengobatan China, daging buah kelengkeng
digunakan sebagai stomachic, febrifuge,
vermifuge, dan juga sebagai penangkal racun.
Kelengkeng kering juga digunakan sebagai
tonik dan perawatan insomnia. Sementara itu,
kulit dan biji kelengkeng segar sebesar 17%
dari berat keseluruhan buah hanya berakhir
sebagai limbah dan bahan bakar. Berdasarkan
beberapa penelitian ilmiah, kulit dan biji
kelengkeng memiliki berbagai senyawa kimia
yang dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal
seperti untuk melancarkan buang air kecil,
mengatasi cacingan, menyehatkan mata,
menurunkan kadar gula darah, mengobati sakit
kepala, keputihan dan hernia (Jaitrong, et
al,.2006).

Beberapa penelitian juga mengindikasikan bahwa asam galat dan asam ellagat ini
mempunyai manfaat yang penting bagi
kesehatan. Sifat antioksidan asam galat dan
asam ellagat yang terdapat pada biji
kelengkeng menunjukkan adanya hambatan
yang signifikan terhadap produksi NO yang
berperan dalam terjadinya kerusakan jaringan
(Huang et al,.2012). Selain itu senyawa fenolik
yang terdapat pada kulit buah dan biji
kelengkeng ini dapat mencegah terjadinya
infeksi sekunder pada daerah luka yang
berpengaruh pada proses penyembuhan
(Rangkadilok et al,. 2005).
Berdasarkan literatur dari manfaat dan
kandungan senyawa kimia pada tanaman
D.longan di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan pengujian terhadap ekstrak kulit
kelengkeng dengan harapan kulit kelengkeng
dapat berpotensi sebagai antibakteri, antijamur
dan antidiabetes.

Pada Penelitiannya Jaitrong,


et al
(2006) melaporkan bahwa kandungan kimia
dalam kulit kelengkeng adalah asam galat,
glikosida, flavon, dan hidroksinamat dengan
kandungan utama flavon berupa kuersetin dan
kaemferol. Sedangkan biji kelengkeng
mengandung
senyawa
fenolik
seperti

2. METODOLOGI PENELITIAN
Rancangan Penelitian
1. Pengambilan sampel
1943

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

2. Penapisan fitokimia simplisia


3. Ekstraksi
4. Uji aktivitas antimikroba dan
antijamur terhadap hasil ekstraksi
5. Uji aktivitas antidiabetes terhadap
hasil ekstraksi

dengan diblender hingga diperoleh serbuk


kering kulit kelengkeng dan selanjutnya siap
untuk di uji dan diekstraksi.
Uji alkaloid
Sampel segar kulit buah kelengkeng sebanyak
5 g dirajang dan digerus dalam lumpang
porselen. Ditambahkan 10 mL larutan
kloroform beramoniak 0,05 M, diaduk
kemudian disaring. Ditambahkan 1 mL asam
sulfat 2 N ke dalam tabung reaksi, kocok
selama 2 menit, biarkan hingga terbentuk dua
lapisan dan terjadi pemisahan. Diambil lapisan
asam dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi
Mayer atau pereaksi Dragendorff, jika
terbentuk endapan putih dengan pereaksi
Mayer atau warna jingga dengan pereaksi
Dragendorff menunjukkan hasil yang positif
untuk alkaloid.

Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan.
Pengujian dilakukan di Laboratorium Kimia
Program
Studi
Kimia
Universitas
Muhammadyah Riau (UMRI).
Alat dan Bahan Yang Digunakan
Alat-alat yang digunakan adalah : oven, neraca
analitik, botol berwarna gelap, rotary
evaporator (Buchi), alat destilasi, bunsen,
aluminium foil, autoklaf (Napco), pipet
mikro, jarum Ose, hot plate, inkubator,
jangka sorong, dan alat-alat gelas yang biasa
digunakan dilaboratorium. Sedangkan untuk
alat antidiabetesnya yaitu, pH meter,
microplate reader 96 wells (epoch), High
Pressure Liquid Cromatography (HPLC),
Spektrofotometer UV (Shimadzu), inkubator,
timbangan analitik (Acculab), sentrifuse, pipet
mikro 10-100 l (eppendorf), eppendrorft tube
dan peralatan gelas yang biasa digunakan di
laboratorium.

Uji Flavonoid
Beberapa tetes lapisan air pada plat tetes
ditambah 1-2 butir logam magnesium dan
beberapa tetes asam klorida pekat. Terjadinya
warna jingga, merah muda sampai merah
menandakan adanya senyawa flavonoid.
Uji Fenolik
Beberapa tetes lapisan air pada plat tetes
ditambah 12 tetes larutan besi (III) klorida
1%. Bila terbentuk warna hijau, berarti
terdapat senyawa fenolik.

Bahan-bahan yang digunakan adalah:


Kulit buah kelengkeng, n-heksana, etilasetat,
metanol, aquadest, media Nutrient Agar (NA),
Nutrient Broth (NB), PDA (Potato Dextro
Agar), WP (Water Pepton), silika gel Merck
60
GF254,
kertas
saring,
amoxsan,
ketoconazole,
Escherichia
coli,,
Staphylococcus aureus
dan
Candida
albicans. Sedangkan bahan antidiabetesnya
yaitu, dimetilsulfoksida (DMSO) (sigmaaldrich, USA), larutan buffer fosfat pH 7
(sigma-aldrich, USA), Bovin Serum Albumin
(BSA) (Merck), larutan Na2CO3 (Sigmaaldrich, USA), plat KLT, n-heksan, etil asetat,
kloroform, etanol absolute.

Uji Saponin
Lapisan air dalam tabung reaksi dikocok.
Apabila terbentuk busa yang bertahan selama 5
menit, berarti positif adanya saponin.
Uji Terpenoid dan Steroid
Lapisan kloroform disaring melalui pipet yang
berisi norit. Hasil saringan di pipet 23 tetes
dan dibiarkan mengering pada plat tetes.
Setelah
kering
ditambahkan
pereaksi
Liebermann-Burchard (2 tetes asam asetat
anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat).
Terbentuknya warna merah berarti positif
adanya terpenoid dan warna hijau-biru berarti
positif adanya steroid.

Prosedur Kerja
Persiapan Sampel
Buah kelengkeng diambil secara acak disekitar
wilayah Pekanbaru sebanyak 2 Kg. Kulit buah
kelengkeng terlebih dahulu dikupas dan
dipisahkan dari bijinya kemudian dibersihkan
dari kotorannya dan dipotong kecil-kecil,
dikering anginkan selama 2 minggu dan
tidak terkena sinar matahari secara langsung,
setelah kering kulit kelengkeng dihaluskan

Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi atau
perendaman
dengan
metoda
ekstraksi
bertingkat, menggunakan pelarut dengan
tingkat kepolaran yang berbeda dari pelarut
non polar, semi polar sampai polar berturut1944

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

turut yaitu n-heksan, etil asetat dan metanol.


Sampel yang telah dihaluskan dimasukkan ke
dalam botol berwarna gelap yang berkapasitas
4 L. Perendaman dilakukan sebanyak 3 kali
selama 3 hari dengan sesekali diaduk untuk
masing-masing pelarut. Hasil maserasi
kemudian disaring dengan kapas dan filtratnya
dipindahkan kedalam bejana tertutup. Maserat
yang diperoleh dari hasil maserasi dikentalkan
dengan alat rotary evaporator sehingga
diperoleh ekstrak kental kulit kelengkeng.
Uji Aktivitas Antibakteri
dengan Metode Difusi

selama 24 jam. Kultur bakteri dari agar NA


dipindahkan ke dalam media nutrient broth
(NB) sebanyak 10 mL yang sudah disterilisasi.
Tabung biakan kemudian diinkubasi pada suhu
37oC selama 24 jam.
Peremajaan Jamur
Peremajaan dilakukan dengan memindahkan
satu Ose Jamur dari stok murni kedalam
medium PDA diinkubasi pada suhu 25 C
selama 48 jam. Kultur jamur dari agar PDA
dipindahkan ke dalam media Water Pepton
(WP) sebanyak 10 mL yang sudah disterilisasi.
Tabung biakan kemudian diinkubasi pada suhu
25 C selama 48 jam.

dan Antijamur

Pembuatan Media Nutrient Agar (NA)


Sebanyak 4 gram serbuk medium Nutrien Agar
(NA), dilarutkan dalam 200 ml aquadest dalam
erlenmeyer dan dipanaskan sampai larut
hingga mendidih. Kemudian disumbat dengan
kapas dan ditutup dengan alumunium foil lalu
disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 0C
selama 15 menit.

Pengujian aktivitas antibakteri


Sampel ekstrak kulit kelengkeng dibuat dalam
konsentrasi 50 ppm, 250 ppm dan 500 ppm.
Kontrol negatif menggunakan DMSO dan
kontrol positif menggunakan amoxan. Bakteri
bioindikator untuk uji antibakteri digunakan S.
Aureus dan E. coli yang diperoleh dari
laboratorium Organik Universitas Riau. Uji
aktivitas antibakteri pada penelitian ini
menggunakan metode difusi agar (Lay, 1994).
Sebanyak 15 ml Medium NA dimasukkan
dalam tabung reaksi kemudian dipanaskan
dalam waterbath pada suhu 50oC, kemudian
tambahkan 1 ml biakan bakteri kedalam NA
kemudian difortek. Dituangkan ke dalam
cawan petri dan dibiarkan hingga media
mengeras. Kertas cakram diinjeksikan dalam
larutan sampel selama 15 menit dan
dikeringkan. Kertas cakram ditempatkan pada
permukaan media yang telah memadat. Media
yang telah diisi sediaan uji kemudian
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam,
selanjutnya dilakukan pengamatan dan
pengukuran diameter zona hambat yang
terbentuk.

Pembuatan Media Nutrient Broth (NB)


Sebanyak 0.016 g serbuk medium Nutrien
Broth (NB), dilarutkan dalam 20 ml aquadest
dalam erlenmeyer dan dipanaskan sampai larut
hingga mendidih. Kemudian disterilisasikan
dalam autoklaf pada suhu 121 C selama 15
menit.
Pembuatan Media Potato Dextro Agar
(PDA)
Ditimbang 7,8 gr PDA (Potato Dextrose Agar)
di dalam beaker gelas kemudian dilarutkan
kedalam aquades 200 ml, setelah itu PDA
dipanaskan diatas hot plate sampai larut dan
mendidih. Masukkan sebanyak 15 ml pada
masing-masing tabung reaksi ditutup dengan
kain kasa dan kapas disterilkan dalam autoklaf
pada suhu 121 C selama 15 menit.

Pengujian aktivitas antijamur


Pengujian daya hambat ekstrak n-heksan, etil
asetat dan metanol kulit kelengkeng terhadap
pertumbuhan jamur
Candida albicans
dilakukan dengan metode difusi menggunakan
kertas cakram. Medium PDA 15 ml dalam
tabung reaksi didinginkan dalam waterbath
pada suhu 50oC, kemudian tambahkan 1 ml
biakan bakteri kedalam PDA kemudian
difortek. Dituangkan ke dalam cawan petri dan
dibiarkan hingga media mengeras. Kertas
cakram direndam dalam larutan sampel selama
15 menit dan dikeringkan. Kertas cakram

Pembuatan Media Water Pepton (WP)


Sebanyak 0.5 gram serbuk medium Water
Pepton (WP) dilarutkan dalam 20 ml aquadest
dalam erlenmeyer dan dipanaskan sampai larut
hingga mendidih. Kemudian disterilisasikan
dalam autoklaf pada suhu 121 C selama 15
menit
Peremajaan Bakteri
Strain murni Staphylococcus aureus dan
Eschericia coli dipindahkan satu Ose kedalam
medium NA diinkubasi pada suhu 37 C
1945

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

ditempatkan pada permukaan media yang telah


memadat. Media yang telah diisi sediaan uji
kemudian diinkubasi pada suhu 25 C selama
2x24 jam, selanjutnya dilakukan pengamatan
dan pengukuran diameter zona hambat yang
terbentuk.
Uji aktivitas antidiabetes dengan Uji
inhibisi enzim -glukosidase secara in-vitro

hingga mencapai volume 10 ml untuk


mendapatkan kosentrasi 1000 ppm sebagai
larutan induk, kemudian pipet 500 l dari
larutan induk encerkan dengan penambahan
bufer fosfat 500 l untuk kosentrasi 500 ppm
begitu seterusnya untuk pembuatan konsentrasi
50 ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm dan
1000 ppm.

Penyiapan larutan pereaksi uji inhibisi


enzim -glukosidase

Pengujian Kontrol Blanko (B0)


Pada microplat reader 96 well, 10 l DMSO
dicampurkan dengan 50 l buffer fosfat (pH
7), 25 l p-NPG 20 mM lalu inkubasi selama
30 menit pada suhu 37C. Setelah 30 menit,
reaksi dihentikan dengan penambahan 100 l
larutan 0,1M Na2CO3, lalu absorban dari pnitrofenol diukur pada panjang gelombang 410
nm dengan spektrofotometer UV Vis.

1. Larutan buffer fosfat pH 7


2. Larutan buffer fosfat pH dibuat dari
campuan
1,361
gr
potassium
dihidrogenphosphate dalam 100 ml pelarut.
Untuk mendapatkan pH 7 ditambahkan 35
grdisodium hidrogen phosphate lalu
ditambahkan aquadest hingga 1000 ml.
3. Larutan natrium karbonat 0.1 M
4. Sebanyak 0.53 gr natrium karbonat
dilarutkan dalam 50 ml aquades.
5. Larutan enzim 0.2 unit
6. Sebanyak 1 mg enzim-Glukosidase
dilarutkan dalam 10 ml buffer fosfat saline
pH 7 yangmengandung 20 mg Bovin Serum
Albumin.
7. Larutan
substrat
p-nitrofenil--Dglukopiranosida (p-NPG) 20 mM

8. Larutan substrat p-NPG


konsentrasi 20 mM dibuat
menimbang sebanyak 0.1507
dan dilarutkan dalam 25 ml
fosfat pH 7.

Pengujian Blanko (B1)


Pada microplate reader 96 well, 10 l DMSO
dicampurkan dengan 50 l buffer fosfat (pH
7), 25 l p-NPG20 mM, 25 l -glukosidase
(0,2 U/ml) lalu inkubasi selama 30 menit pada
suhu 37C. Setelah 30 menit, reaksi dihentikan
dengan penambahan 100 l larutan Na2CO30,1
M, lalu absorban dari p-nitrofenol diukur pada
panjang gelombang 410 nm dengan
spektrofotometer UV Vis.

dengan
dengan
p-NPG
buffer

Pengujian Kontrol Sampel (S0)


Pada microplat reader 96 well, 10 L sampel
1000 ppm ditambah dengan 50 l buffer fosfat
(pH 7), 25 l p-NPG 20 mM lalu inkubasi
selama 30 menit pada suhu 37C. Setelah 30
menit, reaksi dihentikan dengan penambahan
100 l larutan Na2CO30,1 M, lalu absorban
dari p-nitrofenol diukur pada panjang
gelombang 410 nm dengan spektrofotometer
UV Vis. Dilakukan pengujian yang sama pada
serial konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 250 ppm,
500 ppm dan 1000 ppm.

Penyiapan Larutan Uji


Penyiapan larutan akarbose
Sebanyak 1 gram tablet glucobay (akarbose)
yang jumlahnya 4 tablet dengan kandungan
akarbose 100 mg/tablet digerus kemudian
dilarutkan dalam buffer fosfat pH 7 dan HCl 2
N dengan perbandingan (1:1) sebanyak 100 ml
untuk mendapatkan konsentrasi 1000 ppm,
kemudian
disentrifus
lalu
bagian
ssupernatannya diambil dan dilakukan
pengenceran hingga 100 ppm untuk pengujian
inhibisi dan dibuat serial konsentrasi 0,1 ppm;
0,5 ppm; 1 ppm; 5 ppm dan 10 ppm.

Pengujian Sampel (S1)


Pada microplat reader 96 well, 10 L sampel
1000 ppm ditambah dengan 50 l buffer fosfat
(pH 7), 25 l p-NPG 20 mM, 25 l glukosidase (0,2 U/ml) lalu inkubasi selama 30
menit pada suhu 37C. Setelah 30 menit reaksi
dihentikan dengan penambahan 100 l larutan
Na2CO3 0,1 M, lalu absorban dari p-nitrofenol
diukur pada panjang gelombang 410 nm
dengan spektrofotometer UV Vis. Dilakukan
pengujian yang sama pada serial konsentrasi

Penyiapan larutan ekstrak sampel


Ekstrak n-heksan, ekstrak etil asetat dan
ekstrak metanol masing-masing ditimbang 10
mg, kemudian dilarutkan dengan penambahan
DMSO 1 ml dan ditambahkan bufer fosfat
1946

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

melihat adanya aktivitas inhibisi enzim glukosidase pada sampel kulit buah
kelengkeng dengan menggunakan rumus
(Bachhawat et al, 2011):
(BS)
% inhibisi = B 100%

50 ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm, 1000


ppm.
Pengujian kontrol acarbose sebagai kontrol
positif (A0)
Pada microplat reader 96 well, 10 L
akarbose 1 ppm ditambah dengan 50 l buffer
fosfat (pH 7), 25 l p-NPG 20 mM lalu
inkubasi selama 30 menit pada suhu 37C.
Setelah 30 menit, reaksi dihentikan dengan
penambahan 100 l larutan Na2CO3 s0,1 M,
lalu absorban dari p-nitrofenol diukur pada
panjang gelombang 410 nm dengan
spektrofotometer
UV-Vis.
Dilakukan
pengujian yang sama pada serial konsentrasi
0,1 ppm; 0,5 ppm; 1 ppm; 5 ppm dan 10 ppm.

Keterangan: B = Absorbansi blanko dikurangi


absorbansi kontrol blanko,
S =Absorbansi
Sampel dikurangi absorbansi kontrol sampel

Nilai persen inhibisi yang telah dihitung


dari setiap konsentrasi selanjutnya digunakan
untuk perhitungan IC50. IC50 atau Inhibitor
Concentration 50% adalah nilai konsentrasi
suatu bahan untuk menghambat aktivitas
enzim -glukosidase sebesar 50%. Nilai
konsentrasi dari larutan yang telah diencerkan
dari ekstrak dan persen inhibisi diplotkan pada
sumbu x dan y. kemudian nilai IC50 dihitung
dengan regresi non linear :

Pengujian acarbose sebagai kontrol positif


(A1)
Pada microplat reader 96 well, 10 L
akarbose 1 ppm ditambah dengan 50 l buffer
fosfat (pH 7), 25 l p-NPG 20 mM, 25 l glukosidase (0,2 U/ml) lalu inkubasi selama 30
menit pada suhu 37C. Setelah 30 menit,
reaksi dihentikan dengan penambahan 100 l
larutan Na2CO3 s 0,1 M, lalu absorban dari pnitrofenol diukur pada panjang gelombang 410
nm dengan
spektrofotometer
UV-Vis.
Dilakukan pengujian yang sama pada serial
konsentrasi 0,1 ppm; 0,5 ppm; 1 ppm; 5 ppm
dan 10 ppm.

y = a ln(x) + b
Keterangan: y = % Inhibisi, X= Konsentrasi
sampel, a = Intersep, b = Slope
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengumpulan Buah Kelengkeng ( Dimocarpuslongan) dan penapisan fitokimia

simplisia
Dari 2 kg kulit batang basah didapatkan
simplisia kering sebanyak 500 gr berarti berat
simplisia 25% dari berat basah. Hasil
penapisan fitokimia simplisia serbuk D.
longan menunjukkan bahwa simplisia
mengandung senyawa fenolik, flavanoid,
terpenoid, steroid, saponin dan alkaloid.

Analisa Data
Persen inhibisi digunakan untuk menentukan
persentase hambatan dari suatu bahan yang
dilakukan terhadap aktivitas enzim glukosidase (Romansyah, 2011). Data hasil
penelitian dalam bentuk absorban kemudian
dikonversikan ke dalam % inhibisi dan
dianalisa secara statistik deskriptif untuk

Tabel 1. Pengujian profil fitokimia kulit buah kelengkeng


No
1
2
3
4
5
6

Golongan
senyawa
Flavonoid
Fenolik
Saponin
Terpenoid
Steroid
Alkaloid

Pereaksi
Sianidin test
FeCl3 1%
H2O
Liberman-Burchad
Liberman-Burchad
Meyer

Pengamatan
Larutan merah
Larutan coklat
Berbusa
Warna merah bata
Warna merah bata
Ada endapan Putih

Dari proses maserasi yang dilakukan


terhadap 500 gr simplisia kering untuk pelarut
n-hexan diperoleh ekstrak sebanyak 2,770 gr,
pelarut etil asetat diperoleh ekstrak sebanyak

Hasil

ket

Larutan Merah
Larutan Biru/Ungu
Busa
Warna Merah Bata
Warna Biru kehijauan
(Putih dan coklat kemerahan)

(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)

27,640 gr dan pelarut metanol diperoleh


ekstrak sebanyak 29,696 gr.
Hasil Uji Aktivitas Antibakteri
1947

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Hasil uji aktivitas antibakteri kandungan


senyawa kimia pada kulit buah D.longan pada
konsentrasi 500 ppm menunjukkan bahwa
ekstrak methanol, etilasetat dan n-heksan tidak
aktif terhadap bakteri uji, baik terhadap
S.aureus maupun E.Coli.

Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini


diperoleh dari beberapa pasar buah yang ada di
kota Pekanbaru. Tanaman yang diperoleh
terlebih dahulu disortir basah, dipilih bagian
yang digunakan dalam penelitian ini.
Selanjutnya bagian-bagian tanaman tersebut
dibersihkan dari pengotor seperti debu dengan
dicuci dengan air mengalir Hingga bersih.
Bagian kulit buah yang telah bersih kemudian
dirajang atau diperkecil ukurannya. Hal ini
dilakukan untuk mempermudah proses
pengeringan atau pembuatan serbuk.

Tabel.2. Hasil pengujian antibakteri ekstrak kulit


buah kelengkeng
Senyawa

n-heksana
Etilasetat
Metanol

Konsentrasi
(ppm)

E. coli

S.
aureus.

500
500
500

0
0
0

0
0
0

Pengeringan dilakukan dengan dianginanginkan di udara terbuka selama


kurang lebih dua minggu. Dari 2 kg kulit buah
basah didapatkan simplisia kering sebanyak
500 gr, berarti berat simplisia 25% dari berat
basah. Selanjutnya simplisia dimaserasi
dengan pelarut dengan kepolaran bertingkat,
dimulai dari N-heksan, etil asetat dan terakhir
dengan metanol.
Dari proses maserasi yang dilakukan
terhadap 500 gr simplisia untuk pelarut nhexan diperoleh ekstrak sebanyak 2,770 gr
atau dengan rendemen sebesar 0,0054 %,
untuk pelarut etil asetat diperoleh ekstrak
sebanyak 27,640 gr (0,05528%) dan untuk
pelarut metanol diperoleh ekstrak sebanyak
29,696 gr (0,059392 %).
Pendekatan dalam pengujian aktivitas
atau potensi senyawa bioaktif tanaman ada
beberapa macam, salah satunya adalah
pendekatan penapisan fitokimia langsung
(pytochemistry
directed
screening
approaches). Dari penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa ekstrak kulit buah
lengkeng mengandung senyawa fenolik,
flavanoid, terpenoid, steroid, saponin dan
alkaloid. Hal ini yang bisa menyebabkan
ekstrak kulit buah D.longan mempunyai
bioaktivitas yang beragam

Hasil Uji Aktivitas Antijamur


Hasil uji aktivitas antijamur pada
konsentrasi 500 ppm menunjukkan bahwa
ekstrak n-heksan aktif terhadap jamur uji
sedangkan ekstrak etil asetat dan metanol tidak
aktif pada konsentrasi tersebut.
Tabel.3. Hasil pengujian Antijamur ekstrak kulit
buah kelengkeng
Ekstrak
Konsentrasi (ppm)
C.albicans
500
27,26
n-heksana
250
14,43
50
11,19
Etil asetat
500
0
Metanol
500
0

Hasil Uji aktivitas antidiabetes secara invitro


Uji penghambatan aktivitas -Glukosidase
dilakukan dengan menggunakan larutan enzim
0,0279 U/mL dan larutan substrat dengan
konsentrasi 15 mM. Pengujian dilakukan
dengan variasi konsentrasi ekstrak dengan
tujuan untuk mengetahui pengaruh variasi
konsentrasi ekstrak terhadap daya hambat
enzim dengan melihat nilai IC50. IC50 adalah
konsentrasi
yang
dibutuhkan
untuk
menghambat 50 % aktivitas enzim.
Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 50
ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm dan 1000
ppm. Nilai IC50 ekstrak etil asetat adalah
305,55 ppm and ekstrak metanol 297,21 ppm.

Uji Aktivitas Antibakteri


Dari pengujian yang telah dilakukan pada
masing-masing ekstrak kulit buah D.longan
dalam penelitian ini menggunakan bakteri
gram positif (S. Aureus) dan bakteri gram
negatif (E.coli), dengan amoxsan sebagai
pembanding. Mekanisme kerja dari amoxan
atau Amoksisilin adalah dengan mencegah
pembentukan membran sel bakteri sehingga
semua materi genetik yang ada di dalamnya
terurai keluar dan menyebabkan bakteri mati
(Deby, 2012).

Tabel.5. Nilai IC50 yang diperoleh dari ekstrak kulit


buah kelengkeng
Sampel
IC50 (ppm)
Ekstrak Etil Asetat
305,55
Ekstrak Metanol
297,21
Akarbose
0.47

Pembahasan
Penyiapan bahan
Fitokimia

Uji

dan

Penapisan

1948

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Pada pengujian hasil fitokimia pada


ekstrak kulit kelengkeng ini walaupun
menunjukkan adanya beberapa senyawa yang
aktif untuk pengujian antibakteri seperti
flavanoid, dimana flavonoid disintesis oleh
tanaman sebagai sistem pertahanan dan dalam
responsnya
terhadap
infeksi
oleh
mikroorganisme,
sehingga
tidak
mengherankan apabila senyawa ini efektif
sebagai senyawa antimikroba terhadap
sejumlah
mikroorganisma.
Flavonoid
merupakan salah satu senyawa polifenol yang
memiliki bermacam-macam efek antara lain
efek antioksidan, anti tumor, anti radang,
antibakteri dan anti virus (Apriani, 2013). Pada
penelitian ini menunjukkan bahwa senyawa
flavonoid yang terkandung dalam ekstrak tidak
mampu menghambat pertumbuhan S. aureus
maupun E.coli. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh struktur dari flavonoidnya
sendiri yang tidak mendukung terhadap
aktivitas atau adanya senyawa lain didalam
ekstrak yang bersifat antagonis dengan
flavonoid yang terkandung dalam ekstrak kulit
buah
D.longan
terhadap
aktifitas
antibakterinya.

konsentrasinya menjadi 250 ppm, ternyata dari


hasil uji masih menunjukkan zona bening
sebesar 14,43 mm, akhirnya diperoleh KHM
untuk ekstrak tersebut pada konsentrasi 50
ppm. Pada konsentrasi ini ekstrak n-heksan
memberikan diameter hambat terhadap
C.albican sebesar 11,19 mm.
Djunaedy (2008) menyatakan bahwa
senyawa antijamur memiliki mekanisme kerja
dengan cara menetralisasi enzim yang terkait
dalam invasi jamur, merusak membran sel
jamur, menghambat sistem enzim jamur
sehingga mengganggu terbentuknya ujung hifa
dan mempengaruhi sintesis asam nukleat dan
protein. Mujim (2010) menyatakan bahwa
meningkatnya
konsentrasi
ekstrak
menyebabkan meningkatnya kandungan bahan
aktif yang berfungsi sebagai antijamur
sehingga kemampuannya dalam menghambat
pertumbuhan suatu jamur juga semakin besar.
hal ini yang terjadi pada konsentrasi 50 ppm,
250 ppm dan 500 ppm pada ekstrak n-heksan
D.longan yang memiliki zona bening yang
semakin besar dengan semakin besarnya
konsentrasi.
Berdasarkan uji pendahuluan atau
fitokimia yang telah dilakukan terhadap kulit
buah
kelengkeng
dapat
diketahui
menghasilkan berbagai senyawa kimia yang
aktif antara lain flavonoid dan terpenoid.
Dalam hal ini yang dapat menghambat
pertumbuhan aktivitas antijamur adalah
ekstrak n-heksan. Pada uji fitokimia yang
dilakukan menunjukan adanya senyawa yang
terkandung dalam ekstrak n-heksan kulit buah
kelengkeng
yaitu
senyawa
terpenoid.
Terpenoid merupakan senyawa bioaktif yang
memiliki fungsi sebagai antijamur. Senyawa
senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan
jamur, baik melalui membran sitoplasma
maupun mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan spora jamur. Natta et al. (2008),
mengungkapkan
bahwa
mekanisme
penghambatan oleh senyawa terpenoid masih
belum diketahui dengan jelas. Namun dengan
adanya sifat hidrofobik atau lipofilik pada
senyawa terpenoid kemungkinan menyebabkan
kerusakan sitoplasmik membran, koagulasi sel,
dan terjadinya gangguan proton pada sel jamur
(Rosiska, 2012). Sehingga kemungkinan pada
ekstrak
n-heksan
dapat
menghambat
pertumbuhan jamur C. albicans.

Uji Aktivitas Antijamur


Kandungan senyawa kimia pada kulit buah
kelengkeng menunjukkan aktivitas antijamur
terhadap jamur Candida albicans yang
ditandai dengan timbulnya zona bening
disekitar kertas cakram setelah diinkubasi
selama 48 jam.
Pengujian aktivitas antifungi/antijamur
dilakukan pada ekstrak n-heksan, metanol dan
etilasetat kulit buah kelengkeng (dimocarpus
longan) terhadap jamur candida albicans
untuk menentukan konsentrasi hambat
minimum (KHM) yaitu konsentrasi terendah
antijamur
yang
masih
menghambat
pertumbuhan
jamur
dan
sebagai
pembandingnya digunakan ketokonazol.
Hasil uji aktivitas antijamur pada
konsentrasi 500 ppm menunjukkan bahwa
ekstrak n-heksan aktif terhadap jamur uji
sedangkan ekstrak etil asetat dan metanol tidak
aktif. Ekstrak n-heksan mempunyai diameter
hambatan terhadap C,albican sebesar 27,26
mm. Berdasarkan aktivitas ini, ekstrak nheksan dilanjutkan uji aktivitas antijamurnya
dengan menurunkan konsentrasi untuk
menentukan konsentrasi hambat minimumnya
(KHM),
dimulai
dengan
menurunkan

Uji aktivitas Antidiabetes


1949

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Analisis efek penghambatan enzim glukosidase oleh ekstrak kulit buah kelengkeng
dilakukan menggunakan ekstrak dengan
konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500
ppm dan 1000 ppm. Analisis inhibisi enzim glukosidase pada penelitian ini menggunakan
instrumen microplate absorbance reader.
Penggunaan instrumen microplate absorbance
reader dipilih karena memiliki beberapa
kelebihan, diantaranya proses analisis cepat,
sampel yang digunakan dalam jumlah sedikit.
Metode tersebut dapat digunakan untuk
mengkaji adanya penghambatan enzim glukosidase serta membandingkan reaksi
enzim-substrat tanpa inhibitor dan reaksi
enzim-substrat dengan inhibitor, sehingga
dapat digunakan untuk menentukan daya
inhibisi (Purwatresna, 2012).

pengukuran yang digunakan. Maka, pengujian


kontrol
sampel
diperlukan
untuk
menghilangkan nilai serapan dari ekstrak yang
berwarna tanpa adanya aktivitas enzim karena
telah dibasakan oleh natrium karbonat.
Untuk
menentukan
nilai
IC50,
diperlukan persamaan kurva standar standar
dari persen inhibisi sebagai sumbu y dan
konsentrasi sampel/inhibitor sebagai sumbu x.
IC50 dihitung dengan cara memasukkan nilai
50 % ke dalam persamaan kurva standar
sebagai sumbu y kemudian dihitung nilai x
sebagai konsentrasi IC50. Semakin kecil nilai
IC50 menunjukkan semakin tinggi daya
inhibisinya terhadap enzim glukosidase.
Pengujian standar akarbose dilakukan
terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar dapat
membandingkan antara IC50 akarbose dan IC50
sampel (ekstrak). Akarbose dipilih sebagai
pembanding karena akarbose merupakan obat
antidiabetes yang bekerja dalam menghambat
alfa-glukosidase yang beredar di Indonesia dan
juga akarbose sudah menjadi pembanding yang
diakui secara internesional. Selain itu, dalam
hal struktur akarbose memiliki struktur yang
hamper sama dengan subtract p-nitrofenil--Dglukopiranosa. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa akarbose memiliki efek penghambatan
enzim -glukosidase yang dinyatakan dengan
IC50 sebesar 0.47 ppm, Dengan kata lain
nilai/konsentrasi yang dibutuhkan akarbose
secara in vitro dapat menghambat kerja enzim
glukosidase sebesar 50% adalah 0.47 ppm.
Kemudian nilai IC50 pada ekstrak etil asetat
dan ekstrak methanol dibandingkan dengan
nilai IC50 akarbose. Ekstrak yang memiliki
nilai IC50 yang lebih kecil dari nilai IC50
akarbose merupakan nilai ekstrak yang
memiliki aktivitas antidiabetes yang baik
(Mas, 2012).

Uji penghambatan aktivitas enzim


dilakukan dengan mengukur serapan pnitrofenol pada panjang gelombang 410 nm
menggunakan
spektrofotometer
UV-Vis.
Pengujian dilakukan pada kontrol blanko (B0),
blanko (B1), kontrol sampel (S0), sampel (S1),
sebagai pembanding akarbose (A1) dan kontrol
akarbose (A0). Pengujian larutan blanko dan
kontrol blanko dilakukan untuk mengetahui
aktivitas enzim tanpa adanya sampel sebagai
inhibitor.
Hal
ini
dilakukan
karena
penyimpanan
larutan
enzim
dapat
menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas
enzim. Reaksi yang terjadi pada uji daya
hambat terhadap enzim -glukosidase adalah
sampel akan menghambat hidrolisis pnitrofenil--D-glukopiranosida
(p-NPG)
menjadi p-nitrofenol yang berwarna kuning
dan D-glukosa. Intensitas warna kuning pnitrofenol yang dihasilkan diukur dengan
spektrofotometer. Semakin besar aktivitas
inhibisi ekstrak maka jumlah p-nitrofenol yang
dihasilkan semakin sedikit sehingga intensitas
warna kuning akan berkurang (Faiz, 2008).

Persentase inhibisi ekstrak metanol dan


etilasetat kulit buah kelengkeng terhadap glukosidase
meningkat
sesuai
dengan
meningkatnya konsentrasi. Persentase inhibisi
ekstrak metanol kulit buah D.longan pada
konsentrasi 1000 ppm, 500 ppm, 250 ppm, 100
ppm dan 50 ppm adalah 80, 114%; 64.094 %;
42,057 %; 4,970 % dan -2.294 %. Persentase
inhibisi ekstrak etil asetat kulit buah D.longan
pada konsentrasi 1000 ppm, 500 ppm, 250
ppm, 100 ppm dan 50 ppm adalah 80, 048 %;
68.092 %; 40,910 %; 5,179 % dan -13.347 %.
Hasil uji dari masing masing ekstrak

Pengujian larutan sampel untuk


mengetahui
kemampuan
penghambatan
aktivitas enzim glukosidase oleh sampel,
sedangkan pengujian kontrol sampel dilakukan
sebagai faktor koreksi terhadap larutan sampel.
Begitu pula pengujian larutan pembanding
yaitu larutan akarbose dan pengujian kontrol
pembanding akarbose. Pada pengujian larutan
sampel, nilai serapan bisa saja tidak murni
berasal dari p-nitrofenol tetapi dapat
dipengaruhi
oleh
serapan
gelombang
1950

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

menunjukkan bahwa persen inhibisi antara


kedua ekstrak tidak begitu jauh berbeda.
Semakin besar persen inhibisi maka akan
semakin tinggi daya hambat sampel terhadap
-glukosidase. Hal ini juga dapat ditentukan
dengan intensitas warna kuning yang terjadi
terhadap p-nitrofenol yang terbentuk, semakin
berkurang intensitas warna kuning yang terjadi
maka semakin sedikit p-nitrofenol yang
terbentuk sehingga persen inhibisi akan
semakin tinggi.

penghambatan
terhadap
pertumbuhan
antibakteri.
2. Hasil uji aktivitas antijamur menunjukkan
adanya zona hambat terhadap Candida
albicans pada ekstrak n-heksan dengan
nilai konsentrasi hambat minimum nya
(KHM) sebesar 11.19 mm pada konsentrasi
50 ppm.
3. Ekstrak metanol dan etil asetat kulit buah
kelengkeng (Dimocarpus longan) memiliki
aktivitas inhibisi terhadap enzim glukosidase secara in vitro dengan nilai
IC50 sebesar 247, 21 ppm untuk ekstrak
metanol dan 305,55 ppm untuk ekstrak etil
asetat.
Saran untuk penelitian selanjutnya, karena
ekstrak ini belum murni belum bisa dipastikan
senyawa apa yang terkandung dalam masingmasing ekstrak yang memberikan aktivitas
antijamur dan menghibisi enzim glukosidase. Jadi perlu penelitian lebih lanjut
untuk mengisolasi senyawa murninya.
Kemungkinan ekstrak ini juga berpotensi
untuk aktivitas lainnya, sehingga sewaktuwaktu bisa dijadikan untuk pengobatan herbal.

Hasil uji ekstrak metanol kulit buah


D.longan terhadap penghambatan enzim glukosidase mempunyai nilai IC50 sebesar
247,21 sedangkan ekstrak etil asetat
mempunyai nilai IC50 sebesar 305,55. Kedua
ekstrak mempunyai aktivitas lebih rendah jika
dibandingkan dengan akarbose yang IC50-nya
0,47. Hal ini disebabkan dalam tablet akarbose
telah mengandung satu senyawa murni yang
aktif dan efektif dapat menghambat kerja
enzim -glukosidase, sedangkan pada sampel
ekstrak masih mengandung senyawa aktif dan
senyawa kimia lainnya. Berdasarkan uji
fitokimia kandungan kimia yang ditemukan
pada ekstrak kulit buah D.longan diantaranya
adalah alkaloid dan flavonoid. Beberapa dari
golongan senyawa ini pernah diteliti sebagai
penghambat enzim -glukosidase dan terbukti
memiliki potensi.

DAFTAR PUSTAKA
Acer, 2014. Handbook of Bacteri and Wastewater
Microbiology. School of Civil Engineering.
University of Leeds, UK.
Abu, 2009. Metode ekstraksi. Makalah penelitian:
Universitas Sumatra Utara.
Bachhawat, A., Shihabudeen, M. S., and Thirumurugan.
2011. Screening ofFifteen Indian Ayurvedic Plants
For Alpha-Glukosidase Inhibitory Activity and
Enzyme Kinetics. Research Article. School of Bio
Sciences & Technology.Vellore Institute of
Technology (VIT). Vellore
Brooks, G. F., Butel, J. S., & Morse. S. A. 2001.
Mikrobiologi Kedokteran. Buku 1. Penerjemah dan
editor: Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Edisi Pertama. Salemba
Medika: Jakarta.
Diana, 2014. Kegunaan Kelengkeng Bagi Kesehatan.
Laporan Penelitian: Universitas Indonesia. Jakarta.
Dea, A.P. 2014. Pengaruh Metode Ekstraksi Dan
Konsentrasi Terhadap Aktivitas Jahe Merah
(Zingiber Officinale Var Rubrum) Sebagai
Antibakteri Escherichia coli. Skripsi. sUniversitas
Bengkulu.
Depkes RI. 2009. Farmakope Indonesia edisi IV. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Dewi, F.K. 2010. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol
Buah Mengkudu (Morinda Citrifolia, Linnaeus)
Terhadap Bakteri Pembusuk Daging Segar.
Surakarta : Jurusan Biologi MIPA, Univ. Sebelas
Maret
Edwin, D.A., Dwi, S., Achmad, M. 2014. Uji Aktivitas
Antifungi Fraksi Etanol Infusa Daun Kepel
(Stelechocarpus Burahol, Hook F&Th.) Terhadap
Candida albicans. Tesis Program Studi Sarjana

Pada kedua ekstrak kemungkinan juga


mengandung senyawa yang sama yang
memberikan aktivitas terhadap inhibisi glukosidase, karena dari beberapa literatur
didapatkan adanya senyawa yang sama bisa
larut dalam kedua pelarut etil asetat dan
metanol yang berbeda kepolarannya. Tapi
dalam hal ini kedua ekstrak masih
menunjukkan nilai IC50 yang kecil,
kemungkinan disebabkan karena banyaknya
senyawa yang terkandung didalam ekstrak
sehingga terjadi reaksi kompetisi diantara
senyawa yang ada didalam sampel untuk
berikatan dengan enzim -glukosidase.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Adapun kesimpulan hasil penelitian
yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Hasil dari pengujian aktivitas antibakteri
pada ekstrak n-heksan, etil asetat dan
methanol terhadap bakteri Escherichia coli
dan Staphylococcus aureus diberbagai
konsentrasi tidak menunjukan adanya
1951

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Farmasi. Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Yogyakarta.
Erwin, Erawati, Rusli. 2012. Mencit (Mus Musculus)
Galur Balb-C Yang Diinduksikan Streptozotosin
Berulang Sebagai Hewan Model Diabetes Melitus.
Jurnal Kedokteran Hewan. Universitas Syiah Kuala.
Fernando, R. 2013. Uji Bioaktivitas Ekstrak Biji Alpukat
(Persea americana Mill) Sebagai Inhibitor Enzim Glukosidase. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Riau: Pekanbaru.
Irvan, P. 2014. Uji Antidiabetes Senyawa Turunan
Calkon Dengan Substitusi Naftalen Terhadap Enzim
-Glukosidase. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Riau. Pekanbaru.
Juliantina, F. R. 2008. Manfaat sirih merah (piper
crocatum) sebagai agen anti bakterial terhadap
bakteri gram positif dan gram negatif. JKKI Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Indonesia.
Lima, C.R., Vasconcel.os, C.F.B., Costa-Silfa, J.H.,
Maranhao, C.A., Costa, J., Batista, T.M., Carneiro,
E.M., Soares, L. A.L., Ferreira, F., Wanderley, A.G.
2011. Anti-diabetic Activity of Extract From Persea
americana Mill.
Madigan, M. T., Martinko, J. M., & Parker. J. 2003.
Biology of Microorganisms, 10 th edition. Pearson
Education. United States ofAmerica.

Monica, F. 2006. Pengaruh Pemberian Air Seduhan


Serbuk Biji Alpukat (Persea americana Mill.)
Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar Yang
Diberi Beban Glukosa. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Semarang
Pratiwi, S.T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Erlangga,
Jakarta
Roslizawaty, Nita, Y.R., Fakhrurrazi., Herrialfian. 2013.
Aktivitas Antibakterial Ekstrak Etanol Dan Rebusan
Sarang Semut (Myrmecodia Sp.) Terhadap Bakteri
Escherichia coli. Jurnal Medika Veterinaria.
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Sancheti, S., Sancheti, S, Sung-Yum, S. 2009.
Chaenomeles Sinensis: A Potent - and Glucosidase Inhibitor. American Journal of
Pharmacology and Toxicology. Department of
Biology. Kongju National University. Korea
Suryani, 2012.Manfaat Buah Lengkeng, Herbal Penenang
Alami. Laporan Penelitian: Universitas Indonesia.
Jakarta.
Sri, A.F.K., 2011. Mekanisme dan Deteksi Molekul
Resistensi Antibiotik pada Bakteri. Jurusan FarmasiITB, Bandung.

1952

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENENTUAN KANDUNGAN LOGAM BERAT DALAM AIR SUNGAI


CIBANJARAN PASCA LETUSAN GUNUNG GALUNGGUNG
TASIKMALAYA JAWA BARAT
Rusvirman Muchtar, Eyka Yuditia Saferia, Sukrido
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jenderal Achmad Yani
Email : ir.muctar@gmail.com
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang penentuan kandungan logam berat dalam air sungai Cibanjaran pasca letusan
gunung Galunggung Tasikmalaya. Tahapan analisa meliputi analisa kualitatif menggunakan reagen spesifik dan
analisa kuantitatif menggunakan Sprektrofotometer Serapan Atom (SSA). Hasil analisa kualitatif diperoleh
logam merkuri (Hg), kromium (Cr), kadmium (Cd), dengan kadar menurut analisa kuantitatif berturut-turut
0,1634-0,3268 ppb, 0,0431 -0,0641 ppm, 0,0110 0,0331 ppm. Analisa dari ketiga logam tersebut masih berada
dibawah batas ambang menurut PP No 82 Tahun 2001.
Kata kunci : Sungai Cibanjaran, Analisa Kualititif (reagen spesifik) dan Kuantitatif (SSA).
ABSTRACT
Was done research about heavy metal content determination in Cibanjaran Pasca's river water eruption locksup Galunggung Tasikmalaya. Step morphologicaling to cover qualitative analysis utilizes reagen specific and
quantitative analysis utilizes Sprektrofotometer Atom uptake (SSA). Qualitative analysis result gotten by
merkuri's metal (Hg), chromium (Cr), cadmium (CD), with quantitatives analysis terminological rate in a row
0,1634 - 0,3268 ppb, 0,0431 0,0641 ppm, 0,0110 0,0331 ppm. Analysis of metal third that still lies under
bounds floats to terminological PP No. 82 Years 2001.
Key word: An river Cibanjaran, kualititif's analysis (reagen is specific) and quantitative (SSA).

jumlah masih di bawah batas ambang.


Dalam rangka prepentif pencemaran raksa
(Hg) dan logam B3 lainnya perlu
dilakukan analisa logam B3 secara rutin,
pengaruh
logam
tersebut
sangat
membahaya kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu dalam penelitian ini dilakukan
pemantauan logam
B3 dari sungai
Cimanjaran.
Klasifikasi air menurut Peraturan
Pemerintah No. 82 Tahun 2001 dibagi
menjadi 4 kelas, antara lain :( ) ,(1). Kelas
Satu Sumber air kelas satu adalah air yang
peruntukannya dapat digunakan untuk air
baku air minum, dan peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan air tersebut.(2). Kelas
Dua, Sumber air kelas dua adalah air yang
peruntukannya dapat digunakan untuk
sarana dan prasarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,
air untuk mengairi pertanaman, dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan

I.PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Pasca letusan gunung Galunggung


Tasikmalaya Jawa Barat tahun 1982
sampai sekarang masih mengeluarkan
lahar dingin dalam kapasitas kecil,
terutama kalau ada hujan lumpur yang
berwarna coklat masuk ke badan sungai
Cibanjaran dan Cikunir, dimana kedua
sungai
ini
berasal
dari
gunung
Galunggung. Penelitian ini ditujukan untuk
pemantauan logam berat terutama logam
B3 di sungai Cibanjaran karena sungai
tersebut
banyak
digunakan
oleh
masyarakat sebagai sumber air minum
disamping MCK, dari pada sungai Cikunir.
Pencemaran dan penyebaran logam
B3, sungai Cibanjaran pasca
letusan
gunung
Galunggung,
sangat
memungkinkan terjadi karena aktivitasnya
masih berlangsung dalam kapasitas rendah
dengan mengeluarkan lahar dingin.
Analisa setelah 14 tahun meletus atau
tahun 2002, dikedua sungai tersebut
mengandung logam raksa (Hg) dalam
1953

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

tersebut. (3). Kelas Tiga, Sumber air kelas


tiga adalah air yang peruntukannya dapat
digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut. (4). Kelas
Empat, Sumber air kelas empat adalah air
yang peruntukannya dapat digunakan
untuk mengairi pertanaman dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan air
tersebut.
Pencemaran akibat letusan gunung
berapi merupakan pencemaran karena
aktivitas alam, material padat yang
dimuntahkan saat letusan gunung api baik
berupa bongkah besar, lava, kerikil
ataupun abu akan menutupi permukaan
tanah sekitarnya, dan masuk ke badan
sungai yang umumnya mengandung logam
berat dan unsur lain dalam konsentrasi
tinggi seperti : As, Ba, Mg, Mn, Al, Cu,
Pb, Zn, Hg, Cd, Fe. Air meteorik yang
bersifat asam akan mengubah dan
menguraikan material padat menjadi
material lapukan. Sebagian logam berat
dan unsur runut ada yang tetap berada
dalam material lapuk dan ada pula yang
didistribusikan ke daerah sekitarnya
melalui media air. Logam berat dan unsur
runut yang tetap berada dalam air dan
tanah disamping dikenal sebagai unsur
yang bersifat toksik dalam kadar tertentu
seperti Hg, Pb, Cd dan juga mengandung
unsur-unsur Zn, Cr, Se dan Fe yang
dikenal sebagai unsur hara.( )
1.2 RUMUSAN MASALAH
Hasil analisa di tahun sebelumnya
terbukti sungai Cibanjaran mengandung
logam Hg walau masih dibawah batas
ambang. Mengingat aktivitas gunung
Galunggung
masih
berlangsung
berkapasitas
rendah,
memungkinkan
sungai Cibanjaran terjadi penambahan
logam B3 atau tercemar. Analisa rutin
logam B3 perlu dilakukan menginat air
sungai Cibanjaran merupakan kebutuhan
esensial bagi masyarakat sepanjang sungai
Cibanjaran.

1.3. TUJUAN PENELITIAN


Tujuan penelitian ini adalah penentuan
kadar logam B3 di sungai Cibanjaran pasca
letusan gunung Galunggung Tasikmalaya Jawa
Barat, sedangkan tujuan khusus untuk melihat
dan memantau secara berkala kandungan
logam berat B3 pasca meletus gunung
Galunggung Tasikmalaya Jawa Barat di sungai
Cibanjaran. Pemantauan perlu dilakukan
karena gunung Galunggung masih aktif dan
masih mengeluarkan lahar dingin, walupun
dalam kapasitas rendah.
II.METODE PENELITIAN
2.1 DIAGRAM ALIR PENELITIAN

2.1.CARA KERJA.
2.1.1.Pengambilan sampel (Sampling)
2.1.1.1.Sampling di lapangan
1. Siapkan botol sampel yang bersih dan
kering, bebas kontaminasi
2.Menentukan titik pengambilan di badan
sungai Cibanjaran
3.Pengambilan sampel dilakukan di
berbagai titik dengan volume yang sama (2
liter) dan tambahkan 10 ml HNO3
sebagai pengawetan
4.Ulangi langkah-langkah diatas hingga
diperoleh 10 sampel air dengan kode
Cibanjaran (CB), CB1, CB2, CB2, CB3,
CB3, CB4, CB5,CB6,CB7,CB8,CB9
CB10
2.1.1.2.Sampling di laboratorium
1.Masing-masing sampel CB1, CB2, CB2,
CB3, CB3, CB4,CB5,CB6,CB7,CB8,
CB9, CB10 dihomogenkan dengan
mengocok.
2.Sampel yang dihomogenkan di
gabungkan dalam wadah kapasitas 30 ml,
1954

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

sehingga di peroleh satu sampel dengan


kode Sungai Cibanjaran (SCB).
3.Sampel SCB di homogenkan lagi dengan
mengocok berulang kali
4.Sampel SCB siap untuk dianalisa.
2..1.1.3. Analisa Kualitatif (reagen
spesifik).
Analisa logam diarahkan pada logam B3
diantaranya (Hg, Cd, Pb, Cr, Fe, Mn, Cu,
Ni, Zn)
1.Untuk Hg :
a.Setetes sampel ditambahkan setetes
K2CrO4 1M, terjadi endapan kuning dari
HgCrO4 yang larut dalam NaOH 2M
b.Setetes sampel ditambahkan pada
sekeping Cu (bersih) terlapis dengan Hg
(abu-abu), jika digosok dengan kertas
saring akan mengkilat
2.Untuk Cd :
a.Setetes atau dua tetes sampel
ditambahkan setetes air H2S terjadi
endapan
kuning dari CdS.
3.Untuk Cu :
a.Sampel diteteskan pada kertas saring,
kemudian ditambah setetes larutan
benzoinoxim dan kertas dikenakan padsa
uap NH3, Warna biru menandakan
Cu
b.Setetes sampel ditambah setetes HCl 2M,
kemudian setetes larutan
K4Fe(CN)6. Endapan merah coklat muncul
dari Cu2Fe(CN)6.
4.Untuk Cr :
a.Setetes sanpel ditambahkan larutan
Na2CrO4 dan tambahkan setetes larutan
AgNO3 terjadi endapan merah.
b.Setetes sampel ditambahkan
setetes larutan PbOAc terjadi endapan
kuning

5.Untuk Mn :
a.Setetes atau dua tetes sampel
ditambahkan 5 tetes larutan HNO3 6M,
kemudian sedikit NaBiO3 padat
lalu panaskan timbul
6.Untuk Pb :
a.Setetes sampel ditambah
setetes larutan K2CrO4 1M, terjadi endapan
kuning PbCrO4 yang larut
NaOH 2M.
b.Setetes sampel ditambah
setetes larutan H2SO4 2M dsan setetes
alkohol ter
bentuk endapan putih PbSO4
7.Untuk Ni :
a.Setetes sampel ditambahkan
NaOAc dan setetes larutan dimetil glioksin
terjadi endapan merah.
8.Untuk Zn :
a.Setetes sampel ditambah setetes
larutan K4Fe(CN)6 , terjadi endapan putih
2.1.1.4 Analisa Kuantitatif
Analisa kuantitatif dilakukan
terhadap logam yang positif ditemukan
pada
analisa kualitatif, dimana dalam
pengukuran dengan AAS setiap logam
dibuat
larutan standar untuk membuat
kurva standar logam bersangkutan.
Berdasarkan kurva standar
digunakan sebagai tolok ukur untuk
menentukan
kadar logam bersangkutan dalam
sampel.
III.HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil sampling sampel dilapangan dan analisa
kualitatif dari air sungai Cibanjaran dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 3.1. Hasil sampling sampel air sungai Cibanjaran Tasikmalaya Jawa Barat
Debit air
Foto lokasi
No
Titik Koordinat Suhu, oC pH
(m3/dt)

CB1

S 07O16.100
E 108O06.390

16

1955

0,1825

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

CB2

S 07O16.100
E 108O06.390

16

0,1443

CB3

S 07O16.590
E 108O06.400

17

0,2870

CB4

S 07O16.590
E 108O06.400

17

0,2286

CB5

S 07O16.180
E 108O06.520

17

0,2632

CB6

S 07O16.180
E 108O06.540

17

0,3215

CB7

S 07O16.700
E 108O06.540

17

1,3443

CB8

S 07O16.700
E 108O07.520

17

1,6675

CB9

S 07O17.240
E 108O07.530

17

0,2109

CB10

S 07O16.240
E 108O07.530

17

3,0021

1956

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
108o06.390-108o06.700, suhu rata antara 6-7 dan
debet air antara 0,1825-1,3443 m3/dt. Waktu
pengambilan sampel cuaca cerah atau tidak ada
hujan didapatkan 10 sampel..

Dari tabel 3.1 diatas menunjukan hasil sampling


dari lokasi pengambilan sampel dimana kesepuluh
sampel rata-rata pH antara 6-7, titik kordinat S
antara 07o16.390 07o16.700 dan E antara

Tabel 3.2. Hasil sampling air sungai Cibanjaran di laboratorium


No

Kode sampel digabungkan


dan dihomogenkan
CB1,CB2,CB3,CB4,CB5
CB6,CB7,CB8,CB9,CB10

Jumlah sampel
(bh)
10

Tabel 3.2 proses sampling di laboratorium


dengan
menggabungkan
dan
menghomogenkan sampel sehingga terdsapat 1

Kode sampel akhir

Jumlah sampel
(bh)
1

SCB

sampel yang akan dianalisa baik kualitatif


maupun kuantitatif.

Tabel 3.3 Hasil analisa kualitatif logam berat B3 dari sungai Cibanjaran
No
1

Kode sampel
SCB

Hg
++

Cd
++

Cu
-

Dari tabel 3.3 diatas terlihat bahwa logam B3


yang terpantau adalah logam Hg, Cd dan Cr,
sedangkan logam yang dianalisa lainnya tidak
terdeteksi seperti Cu, Mn, Pb, Ni dan Zn.
Tidak menutup kemungkinan logam-logam B3
yang dianalisa terjadi perubahan kadarnya

Cr
++

Mn
-

Pb
-

Ni
-

Zn
-

dalam air mengingat air sungai Cibanjaran


masih dimasuki lahar dingin dari gunung
Galunggung disamping adanya penambangan
pasir disepanjang sungai.

Tabel 3.4.Hasil analisa kuantitatif air sungai Cibanjaran


No

Kode
sampel

Jenis logam yang dianalisa kuantitatif


Hg
absorban

SCB

0,0075

Cd
kadar
(ppb)
0,2451
0,0817

Absorban
0,0061

Dari tabel 3.4 diatas terlihat bahwa sungai


Cibanjaran mengandung logam Hg sebesar
0,24510,0817 ppb atau berkisar antara 0,0431
sampai 0,0642 ppb, logam Cd 0,02210,0111
ppm atau 0,0110 sampai 0,0331 ppm dan
logam Cr 0,05360,0105 ppm atau berkisar
antara 0,0431 sampai 0,0641 ppm. Ketiga
logam B3 yang ditemui dalam air sungai
Cibanjaran masih berada dibawah batas
ambang menurut PP No 82 tahun 2001 yakni
Hg 0,001-0,005 ppm, dan Cr 0,05-1,0 ppm
sedangkan logam Cd 0,01-0,5 ppm.
Berdasarkan kandungan logam B3 dari sungai
Cibanjaran termasuk katagori 1 menurut PP
No 82 tahun 2001 dan aman untuk di kosumsi
oleh masyarakat maupun hewan dan
tumbuhan.
IV.SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan

Cr
kadar
(ppm)
0,0221
0,0111

absorban
0,0063

kadar
(ppm)
0,0536
0,0105

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan


sebagai berikut
1.Sungai Cibanjaran mengadung logam B3
Hg, Cr dan Cd dan tidak mengandung logam
Cu, Mn, Pb,
Ni dan Zn.
2.Kadar logam Hg berkisar antara 0,16430,3268 ppb, Cr berkisar antara 0,0431-0,0642
ppm
dan Cd 0,0110-0,0331 ppm.
3.Berdasarkan PP No 82 tahun 2001 hasil
analisa logam B3 di sungai Cibanjaran
tergolong katagori 1
dan aman untuk dimanfaatkan baik untuk
kebutuhan rumah tangga, pertanian,
perekebunan maupun
hewan yang dihidup disungai tersebut.
4.2 Saran-saran
1.Perlunya pemantuan rutin analisa logam B3
di sungai Cibanjaran Tasikmalaya Jawa Barat
1957

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Spektrofotometer Sereapan Atom (SSA) Uap
Dingin atau Mercury Analyzer.
3. Bounie,G.MD & Maryland Composistion
Company, 1998,Standar Methods For The
Examination of Water and Wastwater. 20th
Edition. American Public Health Association
(APHA).
1015
Fifteenth
Street.NW
Washington.DC 20005-2605
4.Cantle, J. E, Cornell, D. W, Gregory, J. Miller,
1982, Atomic Absorption Spectrometry, 5,
New York, Elsevier Scientific Publishing
Company
5.Gary D.C, Analytical Chemistry, Fifth Edn, John
Wiley & Sons, Inc, 2000
6.Effendi, Hefni.2003. Telaah Kualitas Air bagi
Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yokjakarta.
7.Palar H. Drs.2004.Pencwemaran dan Toksikologi
Logam Berat. Cetakan Kedua. Penerbit
Rinekacipta. Jakarta.
8.Rahmawati, Atik, Sri Juari Santoso.2012.Studi
Adsorpsi Logam Pb (II) dan Cd (II) pada Asam
Humut dalam Medium Air.Jurnal.Alchemy Vol.2
No 1 Oktober 2012, 46-57
9.Setiadi.T.B.2005.Penyebaran Merkuri Akibat
Usaha Pertambangan Emas di Daerah Sangon
Kabupaten Kulon ProgoD.I Yokjakarta.Kolokium
Hasil Lapangan. DIM

mengingat sungai tersebut sudah


mengandung logam B3 walaupun pada saat ini
kadarnya tidak
melampaui nilai batas ambang menurut PP
No 82 tahun 2001.
2.Perlunya melakukan penyuluhan kepada
masyarakat bahwa sungai Cibanjaran sudah
mengandung
logam B3 dan memberikan ilmu
pengetahuan bahaya logam B3 dalam air yang
dikosumsi serta
cara-cara penanggulangannya.
3.Perlunya pemkot Tasikmalaya Jawa Barat
dalam program APBDnya memasukan
program
pemantuan rutin analisa logam B3 di sungai
Cibanjaran dan sungai-sungai lainnya yang
terkena
aliran lahar dingin dari gunung Galunggung
Tasikmalaya Jawa Barat
DAFTAR PUSTAKA
1.Adlanisyam.I.N, 2014, Penentuan Kadar Merkuri
(Hg) dari Air Sungai Cikunir Pasca Letusan
Gunung Galunggung Tasikmalaya (Jawa Barat).
Jurusan KimiaFMIPA UNJANI Cimahi
2. Anonim. SNI 6989.78:2011. 2011.Air dan
Limbah. Bagian 78 : Cara Uji Raksa (Hg) secara

1958

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

Pengembangan Adsorben Dari Limbah Activated Sludge Industri Karet Remah


Untuk Mereduksi Zn (II)
Salmariza.Sy1), Intan Lestari 2), Desy Kurniawati 3), Harmiwati 4), Hermansyah Aziz 5), Zulkarnain Chaidir 5)
and Rahmiana Zein 5)
1) Balai Riset dan Standardisasi Industri Padang, Padang
rizasalma@yahoo.com
2) Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Jambi, Jambi,
ilestari_15@yahoo.co.id
3) Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Negeri Padang, Padang
Desi.chem@gmail.com
4) Jurusan Teknik Kimia, Politeknik ATI Padang
harminahar@gmail.com
5) Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas, Padang, Padang
Haziz13@yahoo.com

Abstract
Development adsorbent from waste activated sludge of crumb rubber industry by soaking in HNO3 as post
treatment for Zn ion reduction was performed in batch system. The main parameters in the adsorption process
such as the agitation time, metal ion concentration, adsorbent dosage and solution pH were studied in order to
know the optimum condition and adsorption ability of the adsorbent. The FTIR, XRF and SEM-EDS analysis
were conducted in order to characterize the adsorbent. The results showed that the adsorption of Zn (II) was
optimum at pH 5 and the maximum adsorption capacity was found to be 16.1 mg/g. As the sludge is discarded
as waste from wastewater treatment processing, the adsorbent derived from waste activated sludge of crumb
ruber industry is expected to be an economical product for metal ion remediation from water and wastewater.
Keywords; crumb rubber industry, waste activated sludge, adsorbent, adsorption, Zn
Pengembangan adsorben dari limbah lumpur aktif industri remah karet dengan merendamnya dalam
HNO3 sebagai post treatment untuk mereduksi ion Zn telah dilakukan dalam sistem batch. Parameter utama
dalam proses adsorpsi seperti waktu pengadukan, konsentrasi ion logam, dosis adsorben dan solusi pH
dipelajari untuk mengetahui optimal kondisi dan adsorpsi kemampuan adsorben. untuk mengkarakterisasi
adsorben dilakukan nalisa FTIR, XRF dan SEM-EDS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adsorpsi Zn (II)
optimum pada pH 5 dengan kapasitas adsorpsi maksimum 16,1 mg / g. Sebagai lumpur yang dibuang sebagai
limbah dari sebuah pengolahan air limbah, adsorben yang berasal dari limbah lumpur proses activated sludge
industri karet remah, diharapkan dapat menjadi produk ekonomis untuk penyerapan ion logam dari dalam air
air dan air limbah.
Kata Kunci : industry karet renah, limbah lumpur proses lumpur aktif, adsorben, adsorbsi, Zn

2006). Sedangkan Permen LH No. 5 Tahun


2014 tentang Baku Mutu Air Limbah
menetapkan kadar seng untuk limbah juga 5
mg / L. Keberadaan seng di lingkungan
umumnya adalah sebagai akibat dari aktivitas
manusia seperti pertambangan, pemurnian
seng, timah dan bijih kadmium, produksi baja
dan pembakaran batubara dan pembakaran
limbah. Seng hadir dalam konsentrasi tinggi
dalam air limbah farmasi, galvanising, cat,
pigmen, insektisida, kosmetik, dan lain-lain
yang menyebabkan masalah serius bagi
lingkungan
Banyak
metode
yang
telah
dikembangkan untuk meminimalisir ion logam
berat dari dalam air seperti presipitasi kimia,

I.

PENDAHULUAN
Seng (Zn) dianggap sebagai elemen
penting bagi kehidupan dan bertindak sebagai
mikro nutrien ketika tersedia dalam jumlah
yang dibutuhkan. Tapi terlalu banyak seng
dapat berbahaya bagi kesehatan. Zn (II)
dilaporkan menjadi racun di atas ambang batas
yang diperbolehkan. Gejala keracunan seng
meliputi iritabilitas,
kekakuan otot,
kehilangan
nafsu
makan
dan
mual
(Bhattacharya et al., 2006). Lebih lanjut
dilaporkan
bahwa
logam
ini
dapat
menyebabkan masalah ekologi karena ia dapat
terakumulasi dalam flora dan fauna. WHO
merekomendasikan kadar seng dalam air
minum adalah 5 mg / L. (Bhattacharya et al.,
1959

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
adsorpsi, elektrolisis, pertukaran ion dan
reverse osmosis, namun hal itu sering tidak
efektif atau ekonomis. Adsorpsi adalah salah
satu metode umum yang telah banyak
diterapkan untuk pengolahan air dan air
limbah. Karbon aktif adalah adsorben umum
yang di gunakan di berbagai negara, namun,
itu cukup mahal (Siswoyo et al.,2014). Biaya
tinggi dari karbon aktif ini telah menginspirasi
banyak peneliti
untuk mencari alternatif
pengembangan adsorben yang cocok dan
berbiaya rendah.
Akibatnya, penelitian terbaru telah
difokuskan pada pengembangan alternatif
adsorben yang efektif dan berbiaya murah
dengan menggunakan berbagai sumber daya
alam dan limbah industri. Beberapa adsorben
yang dibuat dari limbah pertanian dan industri
menunjukkan kemampuan yang tinggi untuk
meminimalisir ion logam Zn, seperti dari kulit
buah coklat (Njoku, 2014), Sekam Padi
(Bhattacharya et al., 2006), Tempurung kelapa
(Yanagisawa et al., 2010) bentonit, (Yuan et
al., 2013), Kulit Ceiba pentandra (Rao et al.,
2008), Bambu (Gonzlez et al., 2014) serta
beberapa penelitian menggunakan adsorben
dari limbah lumpur juga telah banyak
dilakukan seperti penelitian pemanfaatan
limbah lumpur sebagai penjerap ion logam
dalam larutan seperti clarifield sludge dari
industri baja (Bhattacharya et al., 2008),
limbah lumpur pengolahan air limbah kota
(Wu et al., (2010), dan Yang et al., (2010)),
limbah lumpur pabrik tekstil (Hunsom et al.,
2013), limbah lumpur
pabrik kosmetik
(Monsolvo, et al., 2012), limbah lumpur pabrik
sawit (Zaini et al., 2013), dan pabrik susu
(Iddou and Quali, (2008), Benaissa and
Elouchdi, (2011)). Pretreatment adsorben juga
biasa digunakan untuk meningkatkan kapasitas
adsorpsinya.
Penelitian pemanfaatan limbah lumpur
IPAL industri karet remah sebagai bioadsorben
belum banyak dilakukan. Baru yang telah
dilaporkan yaitu untuk logam Cr (Salmariza,
2012 dan 2014) dengan menggunakan
aktivator NaOH dan H3PO4. Sedangkan untuk
logam Zn belum ada dilaporkan. Pada
penelitian ini dipelajari kemampuan limbah
lumpur industri karet remahPT Kilang Lima
Gunung Lubuk Begalung Padang sebagai
adsorben dengan perlakuan post treatment
melalui prerendaman dalam larutan HNO3
0,1M. Selanjutnya dilakukan pengujian

serapan adsorben terhadap ion logam Zn (II)).


Agar proses adsorpsi terhadap logam Zn (II)
maksimal, maka perlu dilakukan pengujian
kondisi optimum dari beberapa faktor yang
mempengaruhi proses adsorpsi, diantaranya
pH, waktu kontak dan konsentrasi awal ion Zn
(II). Dan untuk mengetahui besarnya serapan
oleh adsorben terhadap ion logam Zn(II)
dilakukan pengukuran dengan menggunakan
spektrofotometer serapan atom(SSA).
II. METODA PENELITIAN
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah
peralatan gelas (pyrex), neraca analitis, muffle
Furnace Thermoline-6000, desikator, ayakan
test siever merek Retsch 5657 Haun W.
Germany No.40 mesh dan No 60 mesh, shaker
merek Adjustable Reciprocating Orbital
Shaker (AROS)-160TM, pH meter, Atomic
Absorption Spectrophotometry (AAS) merk
AAS GBC 932 AA, XRF (X-ray fluorescence
spectrometer) merk PANalytical Epsilon3,
FTIR
(Fourier
Transform
Infrared
Spectrometer) merk Perkin Elmer dan SEM
EDX (Scanning Electron Microscopy - Energy
Dispersive X-ray Spectroscopy) model S3400N dan kertas saring Whatman 42.
Bahan
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah limbah lumpur proses
activated sludge (WAS) dari sistem Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada tangki
pengeringan di Industri Karet remahPT. Kilang
Lima Gunung, Larurtan standar Zn asam nitrat
(HNO3) 0,01M, HCl, dan aquades. Double
destilat Water. Semua bahan kimia yang
digunakan dengan tingkat kemurnian tinggi
(p.a) keluaran Merck Germany
Preparasi Sampel
Limbah padat yang berupa lumpur sisa
pengolahan limbah cair dengan system
activated sludge diambil dari pabrik karet
remah PT. Kilang Lima Gunung Padang.
Sampel dikeringkan dengan suhu ruang sampai
kering (selama 2 hari). Kemudian
dihaluskan dan diayak menggunakan test
siever No 40 mesh dan tertahan pada 60 mesh.
Sampel Sampal selanjutnya direndam dalam
asam nitrat (HNO3) 0,01M selama 2 jam,
dicuci dan dibilas dengan double destilat
Water sampai pH larutan sesuai dengan pH
1960

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
awal., dikeringkan kembali dan sampel
adsorben dari limbah lumpur siap digunakan.

pH larutannya menjadi pH optimum dengan


menambahkan NaOH 0,01 M. kemudian
dimasukkan kedalam 10 buah erlenmeyer 50
mL, dan ditambahkan adsorben sebanyak 01,
0,2, 0,3, 0,4, 0,5, 0,6, 0,7, 0,8,0,9 dan 1 gram.
Kemudian
digoyang/dishaker
dengan
kecepatan 180 rpm selama waktu optimum
yang telah didapatkan. Kemudian larutan
dipisahkan dengan cara menyaring filtratnya
dengan kertas saring Whatman 42 dan di
analisis dengan AAS.

Percobaan Adsorbsi Secara Batch


Pengaruh Ph Larutan Pada Penyerapan Ion
Logam Zn(II)
Pada 20 mL larutan Zn(II), dengan
konsentrasi 10 mg/L ,yang telah diatur pH
larutannya menjadi pH 1, 2,3,4,5,6 dan 7,
dengan menambahkan NaOH 0,01 M,
dimasukkan kedalam 7 buah erlenmeyer 50
mL, masing-masing ditambahkan adsorben
sebanyak
0,5
gram,
kemudian
digoyang/dishaker dengan kecepatan 180 rpm
selama 30 menit. Kemudian larutan dipisahkan
dengan cara menyaring filtratnya dengan
kertas saring Whatman 42 dan di analisis
dengan AAS.

Karakterisasi
Karakterisasi adsorben dari limbah lumpur
proses activated sludge industri karet remah
dilakukan terhadap sampel sebelum dan
sesudah proses adsorbsi yaitu dengan
menggunakan:
1. FTIR : untuk melihat Gugus Fungsi
adsorben
2. XRF : untuk melihat Komposisi konsentrasi
(senyawa dan oksida) dari adsorben
3. SEM : untuk melihat Morfologi permukaan
adsorben dan
4. EDS : untuk melihat komposisi adsorben

Pengaruh Waktu Kontak Pada Penyerapan


Ion Logam Zn(II)
Sebanyak 20 mL larutan Zn(II),
dengan konsentrasi 10 mg/L yang telah diatur
pH larutannya menjadi pH optimum dengan
menambahkan NaOH 0,01 M. kemudian
dimasukkan kedalam 5 buah erlenmeyer 50
mL, masing-masing ditambahkan adsorben
sebanyak
0,5
gram
Kemudian
digoyang/dishaker dengan kecepatan 180 rpm
selama 15, 30, 60, 90 dan 120 menit.
Kemudian larutan dipisahkan dengan cara
menyaring filtratnya dengan kertas saring
Whatman 42 dan di analisis dengan AAS

Analisis Data
Perhitungan Kapasitas Penyerapan
Konsentrasi masing-masing logam saat
setimbang dan
konsentrasi
mula-mula
ditentukan secara Spektrofotometri Serapan
Atom. Banyaknya ion logam Zn(II), yang
teradsorpsi (mg) per gram adsorben
ditentukan dengan menggunakan persamaan:

Pengaruh Konsentrasi Larutan Pada


Penyerapan Ion Logam Zn(II)
Sebanyak 20 mL larutan Zn(II),
dengan konsentrasi masing-masing 10-250
mg/L yang telah diatur pH larutannya menjadi
pH optimum dengan menambahkan NaOH
0,01 M. kemudian dimasukkan kedalam 9
buah erlenmeyer 50 mL. masing-masing
ditambahkan adsorben sebanyak 0,5 gram.
Kemudian
digoyang/dishaker
dengan
kecepatan 180 rpm selama waktu optimum
yang telah didapatkan. Kemudian larutan
dipisahkan dengan cara menyaring filtratnya
dengan kertas saring Whatman 42 dan di
analisis dengan AAS.

Qe =

Dimana, Qe = Kapasitas adsorpsi pada saat


kesetimbangan (mg/g), Co = konsentrasi
larutan ion logam awal (mg/L), Ce
=
konsentrasi larutan ion logam pada saat
kesetimbangan (mg/L), m = berat adsorben
(gram) dan V = Volume larutan ion logam
(L)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakterisasi Adsorben
Karakterisasi adsorben dari limbah lumpur
proses activated sludge industri karet remah
dengan
Fourier
Transform
Infrared
Spectrometer (FTIR), X-ray fluorescence
spectrometer (XRF) dan Scanning Electron

Pengaruh Dosis Adsorben Pada Penyerapan


Ion Logam Zn(II)
Sebanyak 20 mL larutan Zn(II),
dengan konsentrasi optimum, yang telah diatur
1961

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Microscopy - Energy Dispersive X-ray
Spectroscopy (SEM-EDS) dapat di lihat pada
Gambar 1, Tabel 1, dan Gambar 2.

55.786% dan 63.203% kandungan silika dan


oksidanya serta 13.628% dan 16.076%
kandungan alumina dan oksidanya berkurang
menjadi berturut-turut 28.511%, 36.68%,
15.952% dan 19.778% untuk kandungan silika
dan oksidanya serta alumina dan oksidanya
pada saat setelah terjadi proses adorbsi.
Sebaliknya terlihat peningkatan ion logam
Zn(II) dan oksidanya dari 0.114% dan 0.048%
menjadi 6.363% dan 3.268%.

Gambar 1. Spektra FTIR adsorben limbah lumpur


proses activated sludge industri karet remah

Karakterisasi menggunakan analisis


spektrofotometri FTIR pada Gambar 1. dapat
menunjukkan jenis gugus fungsi pada
adsorben dari limbah lumpur proses activated
sludge industri karet remah pada spektranya.
Pola spektra adsorpsi dari adsorben yang
dikembangkan dari limbah lumpur proses
activated sludge industri karet remah
menunjukkan pita lebar dengan puncak pada
bilangan gelombang 3299,75 cm -1 merupakan
pita adsorpsi vibrasi gugus OH. Adsorpsi
pada 1030,47 cm -1 merupakan vibrasi ulur
asimetri dari C O (Zaini, 2013) dan vibrasi
tekuk gugus NH ditunjukkan pada bilangan
gelombang 1635,21 cm-1 (Siswoyo et al.,
2014). Gugus fungsi-gugus fungsi tersebutlah
sangat berperan dalam proses adsobsi logam
Zn(II).

Gambar 2. Photo SEM (A1), (A2) dan EDS (B1),


(B2) adsorben dari limbah lumpur proses activated
sludge industri karet remah sebelum dan sesudah
proses adsorbsi

Karakterisasi menggunakan photo SEM


pada Gambar 2. memperlihatkan bahwa
morfologi area permukaan adsorben dari
limbah lumpur proses activated sludge industri
karet remah tidak sama rata dan porous
sebelum poses penyerapan (A1) yang diduga
akan berperan dalam penyerapan ion logam
Zn(II). Sesudah proses adsorbsi (A2) terlihat
adanya pengurangan porousnya. Hal ini
kemungkinan terjadi karena adanya impregnasi
dari molekul Zn(II) pada permukaan adsorben
selama proses adsorbsi (Njoku,
2014).
Sementara itu dari hasil analisa EDS juga
terlihat adanya kandungan ion logam Zn(II)
pada adsorben dari limbah lumpur proses
activated sludge industri karet remah setelah
proses adsorbsi (B2).

Tabel 1. Komposisi adsorben dari limbah padat


lumpur aktif industri karet remah yang dianalisa
dengan metoda XRF
Konsentrasi (%)
Sebelum adsorbsi
Sesudah adsorbsi

Senya
wa
Oksida

Konsentrasi (%)
Sebelum adsorbsi
Sesudah adsorbsi

Al

13.628

15.952

Al2O3

16.076

19.778

Si

55.786

.511

SiO2

63.203

36.68

1.523

0.912

K2O

0.757

0.561

Ti

1.361

0.808

TiO2

0.839

0.601

Zn

0.114

6.363

ZnO

0.048

3.268

Mn

0.229

0.46

MnO

0.106

0.26

Element
Tunggal

Karakterisasi menggunakan metoda


XRF pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa
adsorben dari limbah lumpur proses activated
sludge industri karet remah mengandung silika
dan alumina yang cukup tinggi yang diduga
berperan sebagai sisi aktif adsorben dalam
menyerap ion logam Zn(II). Terlihat bahwa

2. pH Optimum
Derajat keasamanan (pH) merupakan
faktor utama yang mempengaruhi adsorpsi
logam dalam larutan, karena akan berpengaruh
pada muatan situs aktif adsorben dan spesies
logam yang ada dalam larutan. Hasil analisa
1962

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
perlakuan pH 1- pH 7 larutan ion Zn 10 mg/l
yang dikontakkan dengan adsorben dari limbah
lumpur proses activated sludge industri karet
remah dengan post treatment ukuran 40 mesh,
dan dosis 0,5 g selama 30 menit disajikan pada
Gambar 3. Dari Gambar 3 terlihat bahwa
kapasitas penyerapan ion Zn(II) meningkat
sejalan dengan kenaikan pH sampai pada
maksimum penyerapan di pH 5, dan setelah
itu terjadi penurunan sejalan dengan
meningkatnya pH dari pH 6 ke pH 7. pH
optimum untuk penyerapan Zn(II) didapatkan
pada pH 5 dan digunakan sebagai perlakuan
selanjutnya. Menurut Njoku, (2014), pada pH
rendah, ion H+ bersaing secara efektif dengan
Zn(II), akibatnya mengurangi pengikatan Zn
(II) oleh adsorben, sehingga mengakibatkan
penurunan kapasitas adsorpsi. Pada pH yang
lebih tinggi, permukaan adsorben lebih
bermuatan negatif sehingga mendukung
adsorbsi
Zn (II) karena gaya tarik
elektrostatik. Namun, pada diatas pH 6,
kapasitas adsorpsi menjadi kurang. Ini bisa
menjadi sebagai akibat dari pembentukan
kompleks hidroksida anion yang mengurangi
konsentrasi ion Zn (II).

Zn(II) menurun.
Hasil analisa perlakuan
waktu kontak untuk konsentrasi Zn 100 dan
200 mg/l pada pH 5 dengan adsorben dari
limbah lumpur proses activated sludge industri
karet remah 40 mesh, 0,5 g dengan dapat
dilihat pada Gambar 4.
160,0

Concentration (ppm)

140,0
120,0
100,0
80,0
60,0

C.remov
al

40,0
20,0
0,0
15

30

60

90

120

Time (mnt)

Gambar 4. Konsentrasi removal ion Zn 100 dan


200 mg/l pada variasi waktu kontak sesudah proses
adsorbsi dengan adsorben dari limbah lumpur
proses activated sludge industri karet remah

Gambar 3. Grafik pengaruh pH awal larutan Zn(II)


terhadap serapan adsorben dari limbah lumpur
proses activated sludge industri karet remah (0,5 g
adsorben, 20 mL larutan Zn(II) 10 mg/L dan waktu
30 menit)

Dari Gambar 4. terlihat bahwa waktu


optimum penyerapan logam Zn(II) oleh
adsorben dari limbah lumpur proses activated
sludge industri karet remah pada waktu kontak
30 menit. terjadi peningkatan konsentrasi
removal ion logam Zn(II) dari waktu kontak 15
menit ke waktu kontak 30 menit dan terjadi
penurunan pada waktu kontak 60 menit dan
mulai agak konstan pada waktu kontak 90 dan
120 menit.
Dalam peristiwa adsorbsi, ada
kemungkinan adsorben akan jenuh, karena
semua sisi aktifnya telah terisi oleh ion logam
yang teradsobsi, sehingga kemungkinan pada
waktu kontak tertentu diperkirakan konsentrasi
removal akan konstan atau penyerapan
maksimum. Sesuai Bhattacharya et al., (2006)
bahwa penyerapan logam Zn(II) oleh adsorben
dari clarifield sludge meningkat sejalan dengan
pertambahan waktu kontak hingga mencapai
optimum pada waktu kontak 1 jam.

3. Pengaruh Waktu kontak

4.

Waktu
kontak
memengaruhi
konsentrasi removal ion logam Zn(II).
Semakin lama waktu kontak, maka semakin
tinggi konsentrasi removal ion logam Zn(II).
Namun pada saat mencapai titik jenuh, dapat
mengakibatkan konsentrasi removal ion logam

Hasil analisa perlakuan konsentrasi Zn


dari 10,20,30,40,50,60,100,150,200 dan 250
mg/l pada pH 5 dengan adsorben dari limbah
lumpur proses activated sludge industri karet
remah 40 mesh, 0,5 g dengan waktu 30 menit
dapat dilihat pada Gambar 5.

Concentration (ppm)

10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0

Co

Initial pH

1963

Pengaruh Konsentrasi awal

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
untuk konsentrasi logam Zn(II) 200ppm yang
sejalan dengan peningkatan dosis adsorben
dari 0,1gr menjadi 0,9gr. Sesuai Bhattacharya
et al.,(2006) bahwa dalam setiap kasus
peningkatan dosis adsorben menghasilkan
peningkatan dalam Konsentrasi removal
Zn(II). Dengan meningkatnya dosis adsorben
maka luas permukaan adsorpsi lebih banyak
tersedia sehingga terjadi peningkatan bidang
aktif pada adsorben.

Concentration (ppm)

300
250

Co
Ce

200
150
100
50
0
10 20 30 40 50 60 100 150 200 250

Concentration (ppm)

Initial Zn Concentration (ppm)

Gambar 5. Konsentrasi dan removal ion Zn(II) pada


variasi konsentrasi awal sebelum dan sesudah
proses adsorbsi dengan adsorben dari limbah
lumpur proses activated sludge industri karet remah

Konsentrasi
awal
logam
juga
mempengaruhi konsentrasi removal ion logam
Zn(II) dalam larutan. Dari Gambar 5. dapat
dilihat bahwa secara keseluruhan konsentrasi
logam 250 ppm menghasilkan konsentrasi
removal yang lebih tinggi dibanding dengan
konsentrasi 10,20,30,40,50,60,100,150 dan
200 ppm. Sesuai Bhattacharya et al., (2006)
bahwa konsentrasi removal Zn (II) sejalan
dengan meningkatnya konsentrasi. Pada saat
ion logam/rasio adsorben rendah, adsorpsi ion
logam melibatkan energi permukaan yang
tinggi. Pada saat terjadi peningkatan ion
logam/rasio adsorben meningkat, energi
permukaan yang tinggi tadi menjadi jenuh
sehingga adsorpsi dimulai pada energi
permukaan
yang
lebih
rendah
dan
mengakibatkan
penurunan
konsentrasi
removal.

200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0

C.remov
al

0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9


Dosis (g)

Gambar 6. konsentrasi removal ion Zn(II) 100 dan


200 mg/l pada variasi dosis adsorben sesudah
proses adsorbsi dengan adsorben dari limbah
lumpur proses activated sludge industri karet remah

Sebaliknya pada Gambar 7 terlihat


bahwa semakin rendah dosis adsorben, maka
semakin
tinggi
kapasitas
penyerapan.
Kapasitas penyerapan logam Zn (II) dalam
larutan oleh adsorben dari limbah lumpur
proses activated sludge industri karet remah
menurun dari 9,0mg/g menjadi 1,9 mg/g untuk
konsentrasi logam Zn(II) 100ppm dan 16,1
mg/g menjadi 3,5mg/g untuk konsentrasi
logam Zn(II) 200ppm yang sejalan dengan
peningkatan dosis adsorben dari 0,1gr menjadi
0,9gr. Kapatasitas optimum adsorbsi logam Zn
(II) oleh adsorben dari limbah lumpur proses
activated sludge industri karet remah
didapatkan 16,1 mg/g dimana lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kapasitas penyerapan Zn
(II) dengan berbagai macam adsorben yang
dilaporkan Bhattacharya et al., (2006) yaitu
15.53 mg/g untuk Clarified sludge 14.30 mg/g
unuk Rice husk ash 13.69 mg/g untuk
Activated alumina dan 13.29 mg/g Neem bark.
Sebagai lumpur yang dibuang sebagai limbah
dari sebuah pengolahan air limbah, adsorben
yang berasal dari limbah lumpur proses
activated sludge industri karet remah,

5.

Pengaruh Dosis
Hasil analisa perlakuan dosis adsorben
dari limbah lumpur proses activated sludge
industri karet remah 40 mesh untuk
konsentrasi Zn 100 dan 200 mg/l pada pH 5
dengan waktu 30 menit terhadap konsentrasi
removal dapat dilihat pada Gambar 6 dan
terhadap kapasitas penyerapan 7.
Dosis
mempengaruhi konsentrasi removal
logam
Zn(II) dalam larutan. Terlihat pada Gambar 6.
dimana semakin banyak dosis adsorben,
semakin
tinggi
konsentrasi
removal.
Konsentrasi removal logam Zn (II) dalam
larutan meningkat dari 45,2ppm menjadi
85,0ppm untuk konsentrasi logam Zn(II)
100ppm dan 85,5ppm menjadi 172,8 ppm
1964

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Bambusa
vulgaris
striata.
Chemical
EngineeringRresearch and Design 92. 27152724
Hunsom, M., & Autthanit, C. 2013. Adsorptive
purification of crude glycerol by sewage sludgederived activated carbon prepared by chemical
activation with H3PO4, K2CO3 and KOH. Chemical
Engineering Journal, 229 :334343.
Iddou, A., & Ouali, M. S. 2008. Waste-activated sludge
(WAS) as Cr(III) sorbent biosolid from wastewater
effluent. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces,
66(2), 240245.
Monsalvo, V. M., Mohedano, A. F., & Rodriguez, J. J.
2011. Activated carbons from sewage sludge.
Application to aqueous-phase adsorption of 4chlorophenol. Desalination, 277(1-3): 377382.
Njoku V.O. 2014. Biosorption potential of cocoa pod
husk for the removal of Zn(II) from aqueous phase.
Journal of Environmental Chemical Engineering 2.
881887
Rao,M.M, Rao G.P. C. K, Seshaiah , Choudary N.V,
Wang M.C. 2008 Activated carbon from Ceiba
pentandra hulls, an agricultural waste, as an
adsorbent in the removal of lead and zinc from
aqueous solutions Waste Management 28 .849858
Salmariza. Sy. 2012.Pemanfaatan Limbah Lumpur Proses
Activated Sludge Industri Karet Remah Sebagai
Adsorben. Jurnal Riset Industri VI.(2): 59-66
Salmariza. Sy. Mawardi, Resti Hariyani, Monik Kasman.
2014.Pengembangan Adsorben Dari Limbah Lumpur
Industri Crumb Rubber Yang Diaktivasi Dengan
H3po4 Untuk Menyerap Ion Cr (IV).Jurnal Litbang
Industri. 4 No (2): 67-77
Siswoyo. E., Mihara Y., Tanaka S. 2014. Determination
of key components and adsorption capacity of a low
cost adsorbent based on sludge of drinking water
treatment plant to adsorb cadmium ion in water
Applied Clay Science 9798 : 146152
Wu, J., Zhang, H., He, P. J., Yao, Q., & Shao, L. M.
2010. Cr(VI) removal from aqueous solution by dried
activated sludge biomass. Journal of Hazardous
Materials, 176(1-3): 697703.
Yanagisawa H, Matsumoto Y, Machida M. 2010.
Adsorption of Zn(II) and Cd(II) ions onto magnesium
and activated carbon composite in aqueous solution.
Applied Surface Science 256. 16191623
Yang, C., Wang, J., Lei, M., Xie, G., Zeng, G., & Luo, S.
201). Biosorption of zinc(II) from aqueous solution
by dried activated sludge. Journal of Environmental
Sciences, 22(5): 675680.
Yuan L, Liu, Y. 2013. Removal of Pb(II) and Zn(II) from
aqueous solution by ceramisite prepared bysintering
bentonite, iron powder and activated carbon.
Chemical Engineering Journal 215216. 432439
Zaini, M. A. A., Zakaria, M., Mohd.-Setapar, S. H., &
Che-Yunus, M. A. 2013. Sludge-adsorbents from
palm oil mill effluent for methylene blue removal.
Journal of Environmental Chemical Engineering,
1(4): 10911098.

diharapkan dapat menjadi produk ekonomis


untuk penyerapan ion logam dari dalam air air
dan air limbah.
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Qe (mg/g)

Qe
10

0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9


Dosis (g)

Gambar 7. Kapasitas penyerapan ion Zn(II) 100


dan 200 mg/l pada variasi dosis adsorben sesudah
proses adsorbsi dengan adsorben dari limbah
lumpur proses activated sludge industri karet remah

IV. KESIPULAN
Adsorben yang dikembangkan dari
limbah lumpur proses activated sludge industri
karet remah mengandung silika dan alumina
yang tinggi. Dengan pH optimum pada pH 5
dapat dijadikan sebagai adsorben penyerap ion
logam Zn(II) dengan kapasitas enyerapan
optimum sebesar 16,1 mg/g yang diharapkan
mampu menjadi produk ekonomis untuk
penyerapan ion logam dari dalam air air dan
air limbah.
V. REFERENSI
Bhattacharya A.K., Mandal S.N., S.K. Das. 2006.
,Adsorption of Zn(II) from aqueous solution by using
different adsorbents Chemical Engineering Journal
123: 435
Bhattacharya A.K., Naiya T.K., Mandal S.N., Das S.K.
2008. Adsorption, kinetic and equilibrium studies on
removal of Cr (VI) from aqueous solution using
different low-cost adsorbents. Chem Eng Journal.
137: 529-541.
Benassa, H., & Elouchdi, M. A. 2011. Biosorption of
copper (II) ions from synthetic aqueous solutions by
drying bed activated sludge. Journal of Hazardous
Materials, 194, 6978
Gonzleza P.G., Cuervo Y.B.P. 2014. Adsorption of
Cd(II), Hg(II) and Zn(II) from aqueous solution using
mesoporous activated carbon produced from

1965

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

COMBINATION OF TAPIOCA AND TOFU DREGS AS SUBSTRATE


IN PRODUCING YEAST FROM ISOLATE OF HIBISCUS LEAF
Samuel Heriantoa), Surya Lesmanab), Firman Sebayangc) and Emma Zaidard)
Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Sumatera Utara
a)
samuelherianto@usu.ac.id, b)suryalesmana@usu.ac.id, c)firman1@usu.ac.id, d)ema3@usu.ac.id
Abstract
Combination of tapioca dregs as a source of carbon and tofu dregs as a source of nitrogen had a strong
foundation as a substrate to support the activity of Rhizopus sp. Therefore, this study is needed to be done in
order to know the characteristics of yeast resulting from the isolate of hibiscus leaf (Hibiscus tiliaceus) and the
best combination of the substrate between tapioca dregs and tofu dregs (ATP:ATH). In this study, Rhizopus sp.
was isolated from hibiscus leaf by PDA to obtain a pure culture. Pure culture of Rhizopus sp. was suspended in
a PDB medium. That suspension was planted in combination of substrate (100% ATP, 3:1, 2:1, 1:1, 1:2, 1:3
and 100% ATH). That combination was inoculated by a pure culture suspension at 30C for 3 days and then
dried at 37-40C for 24 hours and milled. The number of spores, TPC and moisture content of yeast were
measured. The result shows that the best combination is 3:1 with the number of spores 3.75 x 108 spores/g, TPC
3.75 x 107 CFU/g and water content 4.15%.
Keywords: Combination, substrate, Rhizopus sp., yeast

dicoba oleh penelitian sebelumnya. Azizah


(2007)
melakukan
penelitian
dengan
menggunakan kombinasi beras dan onggok.
Menurut
penelitian
Fransiska
(2007),
kandungan karbohidrat pada tepung tapioka
cukup tinggi yakni mencapai 69,00%.
Sedangkan menurut penelitian
Supriapti
(2005), kandungan protein pada ampas tahu
mencapai 23,39%. Kedua komponen ini
berpotensi sebagai substrat pada pembuatan
laru tempe.

1. PENDAHULUAN

Rhizopus sp. merupakan kapang yang


penting dalam industri makanan sebagai
penghasil berbagai bermacam-macam
enzim seperti amilase, protease, pektinase
dan lipase (Hermana dkk, 1970). Kapang
dari Rhizopus sp. juga telah diketahui sejak
lama sebagai kapang yang memegang
peranan utama pada proses fermentasi
kedelai menjadi tempe.

3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi
dan
Biokimia,
FMIPA,
Universitas Sumatera Utara.
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi laru daun waru yang
diperoleh dari daerah Pancurbatu, PDA
(Potatoe Dextrose Agar), PCA (Plate Count
Agar), akuades, ampas tahu, ampas tapioka
dan kentang.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini meliputi mikroskop, cawan petri, ose,
bunsen, object glass, cover glass, tabung reaksi
bertutup, autoklaf, inkubator, oven, pipet
mohr, mikropipet, refrigerator, vortex,
erlenmeyer dan hot plate.
Penelitian ini bersifat eksperimental
dengan tahapan meliputi isolasi kapang
Rhizopus sp. dari daun waru, identifikasi
kapang, pembuatan suspensi kapang Rhizopus
sp. dan pembuatan laru. Pada pembuatan laru

Dalam memproduksi tempe lebih banyak


mempergunakan laru tempe berbentuk serbuk
dengan alasan kepraktisan penggunaan
(Fardiaz, 1989). Selain itu, di pasaran pun kini
laru tempe berbentuk serbuk lebih mudah
diperoleh. Pada umumnya, laru tempe
berbentuk serbuk dapat dibuat dengan
menggunakan beras sebagai substrat (Azizah,
2007). Namun, penggunaan beras ini memiliki
kendala terutama dari segi finansial
sehubungan dengan tingginya harga beras.
Oleh karena itu, penggunaan substrat lain
dengan harga yang terjangkau perlu diuji coba
guna memperoleh laru tempe berkualitas baik
dengan harga yang terjangkau, salah satunya
adalah dengan memanfaatkan ampas tapioka
dan ampas tahu.
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS
Penggunaan substrat lain selain berat sudah
1966

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

digunakan 2 jenis substrat yakni ampas tapioka


(ATP), ampas tahu (ATH) dan campuran
keduanya. Dari kedua jenis substrat yang
digunakan, didapatkanlah 7 formulasi substrat
yang akan diujikan, yakni ATP 100%,
ATP:ATH (3:1), ATP:ATH (2:1), ATP:ATH
(1:1), ATP:ATH (1:2), ATP:ATH (1:3), dan
100 % ATH. Laru yang dihasilkan kemudian
dianlisis total plate count (TPC), jumlah spora
dan kadar air.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Identifikasi Isolat Daun Waru
Gambar 2. Rhizopus sp. dengan pembesaran
mikroskop 1000 kali

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa


kapang yang terdapat dalam daun waru adalah
Rhizopus sp. hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri
mikroskopik Rhizopus sp. Penumbuhan koloni
Rhizopus sp. pada cawan petri dapat dilihat
pada Gambar 1. di bawah ini.

b. Kadar Air Ampas Tapioka dan Tahu


Grafik 1. Kadar Air Ampas
Tapioka dan Tahu (%)
4,45
4,4
4,35
4,3
4,25
4,2
4,15
4,1

4,4

4,22

Ampas Tapioka

Ampas Tahu

Jumlah kadar air pada tepung terigu yang


mempengaruhi kualitas tepung. Bila kadar air
melebihi standar (maksimal 14,5%) maka
memungkinkan terjadinya penurunan daya
simpan tepung terigu karena akan cepat rusak,
berjamur dan berbau apek, mempermudah
penetasan telur kutu dalam tepung, dan
kurangnya daya tepung terigu menyerap air
(Suprapti, 2005).

Gambar 1. Kultur murni Rhizopus sp.


Menurut Syarief (1999), koloni Rhizopus
sp. dalam cawan petri berwarna abu-abu yang
berangsur-angsur menjadi hitam kecokelatan.
Perubahan
warna
tersebut
disebabkan
tumbuhnya spora dalam koloni tersebut. Spora
Rhizopus sp berwarna hitam dan tumbuh
setelah waktu 2-3 hari.
Penumbuhan koloni Rhizopus sp. secara
mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 2.
Menurut Syarief (1999), identifikasi
mikroskopik yang menunjukkan bentuk khas
Rhizopus sp. adalah stolon, sporangiofora serta
terbentuknya jumlah spora dalam jumlah
banyak.

c. Viabilitas Spora pada Daun Waru


Tabel 1. Viabilitas Spora pada Daun Waru

Swab Area ke
1
2
3
4
Rata-rata

Jumlah Spora/cm2
1,1 x 103
9,3 x 103
1,4 x 103
1,6 x 103
1,26 x 103

Secara teori, daun waru dapat digunakan


secara langsung menjadi laru, namun daya
awetnya relatif rendah dan tidak murni
1967

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

sehingga
proses
fermentasi
dapat
dikontaminasi oleh kapang jenis lain (Syarief,
1999). Jumlah spora pada daun waru juga
perlu diketahui untuk mengukur pertumbuhan
spora pada laru tempe yang akan dibuat.
Dari hasil penelitian di atas diperoleh ratarata jumlah spora kapang adalah 1,26 x 103
spora per cm2 luas permukaan daun waru.
Jumlah spora kapang pada penelitian ini relatif
lebih besar dibandingkan jumlah kapang pada
daun waru Jawa Barat yakni sebesar 1,10 x 103
spora per cm2 (Azizah, 2007).

menurunkan viabilitas spora laru disebabkan


kombinasi substrat yang tidak proporsional.
Ampas tapioka tidak mengandung nitrogen,
sedangkan
ampas
tahu
kekurangan
karbohidrat.
Jika dibandingkan dengan viabilitas laru
tempe dari substrat beras, maka viabilitas hasil
kombinasi ampas tapioka dan tahu lebih tinggi.
Viabilitas laru tempe dengan substrat beras
adalah 1,0 x 106 spora per gram laru (Sudiarso,
1993). Viabilitas laru dengan substrat beras
yang lebih rendah disebabkan oleh kandungan
protein (sebagai sumber N) pada beras yang
sangat rendah. Selain itu, terjadi kenaikan
jumlah spora pada laru dibandingkan pada
daun waru, hal ini membuktikan bahwa laru
tempe hasil isolasi lebih murni dan dapat
tumbuh dengan baik.

d. Viabilitas Spora pada Laru Tempe

40
35
30
25
20
15
10
5
0

Grafik 2. Viabilitas Spora pada Laru


Tempe (x 10 7 Spora/cm 2 )
37,5

e. Total Plate Count (TPC)


1,5

4,38 2,1251,875 1,25 1,25

Grafik 3. TPC pada Laru Tempe (x


10 6 CFU/g)
25

20

20

15

15
10
5

Viabilitas spora menyatakan jumlah spora


dalam laru tempe. Viabilitas spora sangat
dipengaruhi oleh umur biakan, faktor
lingkungan (kandungan air, suhu dan cahaya
matahari) dan kesuburan media biakan.
Dari Grafik 1. di atas dapat dilihat bahwa
viabilitas spora yang paling tinggi adalah
sampel dengan kombinasi substrat ATP:ATH
(3:1). Kombinasi ATP:ATH (3:1) adalah
ampas tapioka 3:1 ampas tahu. Penggunaan
substrat di atas dan di bawah 3:1 akan
menghasilkan laru dengan viabilitas spora
yang menurun.
Walker (1999) berpendapat bahwa substrat
yang digunakan hendaknya dapat memenuhi
minimal kebutuhan minimum pertumbuhan
berupa karbon, nitrogen dan air. Artinya,
komposisi ATP:ATH (3:1) sudah memenuhi
kebutuhan
pertumbuhan
Rhizopus
sp.
Kebutuhan karbon diwakili oleh ampas
tapioka, sedangkan kebutuhan akan nitrogen
diwakili oleh ampas tahu.
Penggunaan substrat di bawah dan di atas
komposisi di atas kurang mendukung
pertumbuhan Rhizopus sp. Penggunaan 100%
ampas tapioka dan 100% ampas tahu akan

10
5
1,6

Total Plate Count (TPC) didasarkan pada


asumsi bahwa setiap sel mikroorganisme hidup
dalam suspensi akan tumbuh menjadi satu
koloni
setelah
situmbuhkan
dalam
pertumbuhan dan lingkungan yang sesuai.
Dari Grafik 3. di atas dapat dilihat bahwa
TPC spora yang paling tinggi adalah sampel
dengan kombinasi substrat ATP:ATH (3:1).
Kombinasi ATP:ATH (3:1) adalah ampas
tapioka 3:1 ampas tahu. Penggunaan substrat
di atas dan di bawah 3:1 akan menghasilkan
laru dengan TPC spora yang menurun.
Penggunaan substrat di bawah dan di atas
komposisi
3:1
kurang
mendukung
pertumbuhan Rhizopus sp. Penggunaan 100%
ampas tapioka dan 100% ampas tahu akan
menurunkan TPC spora laru disebabkan
kombinasi substrat yang tidak proporsional.
Ampas tapioka tidak mengandung nitrogen,
1968

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

sedangkan
ampas
tahu
kekurangan
karbohidrat.
Substrat
yang
digunakan
dalam
memproduksi laru tempe hendaknya dapat
memenuhi minimal kebutuhan minimum
pertumbuhan berupa karbon, nitrogen dan air
(Walker, 1999). Artinya, komposisi ATP:ATH
(3:1) sudah memenuhi kebutuhan pertumbuhan
Rhizopus sp. Kebutuhan karbon diwakili oleh
ampas tapioka, sedangkan kebutuhan akan
nitrogen diwakili oleh ampas tahu.

5. KESIMPULAN
Dari perhitungan dan pembahasan di atas,
maka dapat diberikan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Kombinasi ampas tapioka dan tahu yang
paling optimal dalam menghasilkan laru
tempe dengan karakteristik terbaik adalah
3:1 (ATP 75% : ATH 25%) disebabkan
kombinasi tersebut mampu menghasilkan
sumber karbon dan nitrogen yang
proporsional
terhadap
kelangsungan
Rhizopus sp.
2. Karakteristik laru tempe dengan kombinasi
3:1 adalah jumlah spora 3,75 x 108 spora/g,
TPC 3,75 x 107 CFU/g, dan kadar air
4,15%.

f. Kadar air

Grafik 4.4. Kadar Air pada Laru


Tempe (%)
5
4,8
4,6
4,4
4,2
4
3,8
3,6

6. REFERENSI

4,8
4,3

4,15

4,35

Azizah. 2007. Formulasi Tempe. Intritut Pertanian


Bogor, Bogor.
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Fransiska. 2010. Pemanfaatan Limbah Singkong
Sebagai Biogas. Fakultas Teknik, Universitas
Dipenogoro. 2007. Semarang.
Hermana dan Sutedja. 1970. Advances in the
preparation of tempe. Gizi Indonesia, 2: 167.
Sudiarso, F. D. 1993. Kajian Teknologis dan
Finansial Produk Laru Tempe Kedelai. Skripsi
Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Suprapti, M. L. 2005. Teknologi Pengolahan
Pangan. Kanisius. Yogyakarta. .
Syarief, R. dan H. Halid. 1989. Teknologi
Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Walker, G. M. 1999. Media for industrial
fermentation. Di dalam: Robinson, K, C. A.
Batt,
(eds.).
Encyclopedia
of
Food
Microbiology. Academic Press, New York.

4,35

4,1

Kadar air menyatakan jumlah air yang


terkandung di dalam laru tempe. Selain karbon
dan nitrogen, Rhizopus sp. juga membutuhkan
kandungan air dalam substrat untuk
mendukung pertumbuhannya (Walker, 1999).
Menurut Azizah (2007) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa kandungan air 4,00%
adalah kandungan air optimal dalam
menunjang pertumbuhan Rhizopus sp. dalam
substrat. Kandungan air dalam laru yang
diproduksi di atas adalah berkisar 4,10%4,80%.

1969

4,22

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

SYNTHESIS OF FERTILIZER Fe (STUDY: CONCENTRATION ZEOLITE AND


CONCENTRATION ACETIC ACID) FROM MUD SIDOARJO
Sri Wardhani1), Maryam Putri Eradewi2) , Rachmat Triandi Tjahjanto3)
1,2,3
FMIPA Universitas Brawijaya
email: Wardhani.ub@gmail.com
Abstract
This study aimed to determine the effect of zeolite and the concentration of acetic acid in a slow release
fertilizer to the release Fe Fe. Fe fertilizer is made by extracting the Lapindo mud with 3M NaOH heat. The
filtrate extraction Fe levels measured by uv-vis spectrophotometer. Filtrate extraction impregnated zeolite
activation mass in 1, 2, 5, 10, and 15 grams. Fe-zeolite is then calcined for 4 hours at temperatures of 500oC
and subsequently entrusted to chitosan gel that has been created by the addition of acetic acid 0.5; 1.0; 1.5; 2%.
The gel is then made granules by inserting the gel in a solution of NaOH dropwise to produce granular zeoliteFe-chitosan. The fertilizer has been produced is tested release of Fe in water by using a method of soaking and
stirring. The results showed that the release of Fe in the addition of 15 g zeolite is the slowest. Fe content were
separated as much as 0,369mg / L per hour per gram of fertilizer. 1% acetic acid resulted in the formation of
the granules is easier and the release of at least 0.370 mg Fe / L per hour per gram of fertilizer.
Keywords: zeolite, slow-release fertilizer, the mud, chitosan, acetic acid

penambahan zeolit dalam hasil ekstraksi Fe


dari lumpur Sidoarjo.
Zeolit digunakan sebagai pengemban
karena
strukturnya
yang
berpori
mengakibatkan luas permukaan zeolit besar
sehingga lebih banyak logam yang dapat
diembankan (Rianto, L.B.,2012). Luas
permukaan dapat dimaksimalkan dengan
mengaktivasi zeolit menggunakan asam
(Lestari, D.Y., 2010). Selanjutnya akan
dilakukan proses pengembanan Fe-zeolit
dengan kitosan. Semakin banyak kitosan yang
ditambahkan, logam Fe akan terikat semakin
kuat. Karena situs aktif dalam kitosan seperti
gugus NH2 maupun ion NH3+ mampu
mengadsrobsi logam dengan membentuk
khelat (Wiyarsi A., 2015).
Larutan
kitosan
dibuat
dengan
menggunakan konsentrasi asam asetat yang
berbeda-beda. Asam asetat mengandung gugus
karboksil yang akan memudahkan pelarutan
kitosan karena terjadi interaksi hidrogen
(Pebriani, R.H., 2012 ).
Berdasarkan uraian tersebut maka akan
dipelajari pengaruh konsentrasi asam asetat
terhadap kemampuan release Fe. Zeolit-Fekitosan akan dibentuk menyerupai granul yang
akan digunakan sebagai pupuk Fe lepas lambat
dan akan dilakukan uji pelepasan Fe. Pupuk
lepas lambat ini bertujuan untuk mengontrol
pelepasan unsur yang ada dalam pupuk secara
lambat sehingga dapat digunakan maksimal

1. PENDAHULUAN
Pupuk sangat dibutuhkan di Indonesia
untuk memaksimalkan hasil panen dengan
keadaan lahan yang makin berkurang
(Kementerian Pertanian,2015 ). Modifikasi
pupuk berguna untuk meningkatkan efektifitas
dan efesiensi pemakaian pupuk sehingga hasil
panen yang didapat lebih maksimal. Salah satu
pupuk modifikasi adalah pupuk Fe lepas
lambat yang bertujuan agar pelepasan Fe
dalam unsur hara dapat dilakukan tepat sesuai
dengan
kebutuhan
tumbuhan
akan
mikronutrien,
sehingga
tidak
banyak
mikronutrien yang terbuang dan tidak
berbahaya bagi tanah (Chandra, P. K., dkk,
2009 ).
Dalam lumpur sidoarjo terdapat kandungan
Fe yang cukup tinggi yaitu 24,5% (Fadli, A.F.,
2013). Oksida besi (Fe2O3) dalam lumpur
sidoarjo dapat diekstraksi dengan larutan
NaOH 3M dan didapatkan endapan Fe3+ secara
maksimal (Putri, V.C.F., 2015). Proses
ekstraksi dilakukan dengan menambahkan
larutan NaOH 3M dalam lumpur sidoarjo, lalu
dilakukan pemanasan dengan pengadukan
konstan. Dalam penelitian ini ion Fe yang
diperoleh akan diembankan dalam zeolit.
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari pengaruh

1970

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

oleh tanaman dan tidak mencemari lingkungan


(Hadiwinoto, S., , 2010).

tahan pada temperatur reaksi yang cukup


tinggi [7].
Pupuk lepas lambat merupakan pupuk
yang saat ini sangat dibutuhkan tanaman dan
tidak mencemari lingkungan, karena pupuk ini
dapat mengontrol pelepasan unsur-unsur yang
ada didalamnya secara lambat sesuai dengan
kebutuhan unsur yang dibutuhkan oleh
tanaman
(Hadiwinoto,S.,2010).
Kontrol
pelepasan unsur yang ada dalam pupuk lepas
lambat disebabkan karena adanya pengikatan
mineral lain seperti zeolit. Zeolit merupakan
bahan yang dapat mengikat unsur sementara,
karena memiliki nilai kapasitas tukar kation
yang tinggi antara 120-180 me/100g. Sehingga
kebutuhan unsur dalam tanah yang kurang
dapat dikendalikan pelepasan unsurnya
berdasarkan waktu dan jumlah yang
dibutuhkan tanaman (Nainggolan, G.D.,
Suwardi, dan Darmawan, 2009). Dengan kata
lain, pupuk lepas lambat adalah pupuk yang
dapat mengontrol pelepasan kandungan unsur
yang ada didalamnya secara lambat dengan
jangka waktu mengikuti pola penyerapan unsur
hara oleh tanaman (Nainggolan, G.D.,
Suwardi, dan Darmawan, 2009).

2. KAJIAN LITERATUR
Lumpur Sidoarjo merupakan lumpur panas
yang menyembur di lokasi pengeboran PT
Lapindo Brantas di Desa Renokenongo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur pada tanggal 29 Mei 2006 (Hidayat, S.
I., 2007). Kandungan utama lumpur Sidoarjo
adalah silika (Si) [4]. Selain Si ada banyak
mineral lain yang terkandung dalam lumpur
tersebut. Tabel 2.1 menampilkan sebagian
diantaranya:
Tabel 2.1. Hasil XRF lumpur Sidoarjo [4]
Logam
Kadar (%)
46,7
Si
24,5
Fe
13
Al
5,57
K
4,18
Ca
1,8
P
0,17
V
Zeolit alam merupakan suatu polimer
anorganik material berpori yang terbentuk
akibat berbagai macam proses kimia dan fisika
yang ada di alam. Zeolit bisa berasal dari
batuan maupun hasil dari proses pelapukan
lava gunung berapi. Zeolit mempunyai rumus
empiris Mm/z [mAlO2.nSiO2].qH2O yang
biasanya disebut dengan alumunium silikat
terhidrasi.
Zeolit
sering
sebagai
absorben,
pengemban, penukar ion dan katalisator. Selain
itu zeolit mempunyai struktur kristal dengan
kemampuan
selektivitas
yang
tinggi
(Rehakova,M.dkk,2004).
Untuk
memaksimalkan
kinerja
zeolit
ketika
digunakan sebagai pengemban hingga
katalisator, mineral ini harus diaktivasi terlebih
dahulu. Proses pengaktivan zeolit dapat
dilakukan melalui tiga cara yaitu secara fisis
melalui pemanasan dan secara kimia melalui
penambahan asam dan basa. Aktivasi zeolit
melalui
proses
pengasaman
adalah
menggunakan asam dan kalsinasi dengan suhu
600oC selama 2 jam. Hal ini bertujuan agar
pengotor anorganik hilang sehingga dapat
terjadi pertukaran kation dengan H+ dan
struktur zeolit menjadi lebih stabil serta lebih

Prinsip kerja dari pupuk lepas lambat


berdasarkan suatu hambatan yang berasal dari
interaksi antar molekuler sehingga zat hara
dalam butiran pupuk tidak mudah lepas ke
lingkungan. Mekanisme yang diterapkan
dalam pupuk lepas lambat yaitu mekanisme
peleburan zat hara pupuk dalam suatu matriks
(Bansiwal, A.K., dkk, 2006).
Banyak
penelitian
yang
telah
membuktikan cara kerja pupuk slow release,
namun kebanyakan unsur yang digunakan
dalam pupuk lepas lambat yaitu unsur makro
yang dibutuhkan oleh tanaman seperti urea,
nitrogen dan fosfor.
3. METODE PENELITIAN
a. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Kimia Anorganik Jurusan Kimia Fakultas
MIPA Universitas Brawijaya Malang pada
bulan Agustus 2015 sampai dengan Januari
2015.
b. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ayakan 150 mesh, ayakan 200 mesh,
kertas saring Whatman no. 41, pH indikator
1971

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

universal Merck, shaker WiseShake SHO-2D,


hot plate Thermo Scientific Cimarec,
desikator, Furnace RHF 1500 Carbolite, neraca
analitik Ohaus PA214, oven Fisher Scientific
655F, XRF PANanalytical type Minipal 4, FTIR 8400S Shimadzu, Spektrofotometer UVVIS Genesys 10S ThermoScientific.
Bahan
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah lumpur Sidoarjo, NaOH
(teknis), HCl 32% (teknis), akuades, HNO3
pekat (teknis), zeolit alam Turen, kitosan
serbuk, asam asetat glasial pekat (teknis).
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1 Preparasi Lumpur
Lumpur
Sidoarjo
dikeringkan
dengan
menggunakan oven selama satu jam pada
temperatur 110 oC, kemudian ditumbuk halus
dan diayak dengan ayakan 150 mesh dan 200
mesh. Lumpur yang tertahan dalam ayakan
200 mesh dan lolos ayakan 150 mesh akan
dikalsinasi menggunakan tanur selama lima
jam pada temperatur 800 oC. Lumpur Sidoarjo
yang sudah dikalsinasi disiapkan sebanyak dua
gram untuk dikarakterisasi menggunakan XRF.

Sebanyak 1, 2, 5, 10 dan 15 gram zeolit


teraktivasi dimasukkan dalam filtrat hasil
ekstraksi yang telah diendapkan dengan NaOH
4M. Campuran dikocok dengan kecepatan 100
rpm selama lima jam dengan menggunakan
shaker. Endapan Fe-Zeolit dipisahkan dari
filtratnya
dengan
proses
penyaringan
kemudian dikeringkan dengan menggunakan
oven pada suhu 110 oC selama satu jam. Fezeolit dikalsinasi dengan menggunakan tanur
pada suhu 500 oC selama empat jam.

3.3.2 Aktivasi zeolit


Sebanyak 30 gram zeolit dicuci menggunakan
100 mL aquades dan diaduk selama 15 menit,
lalu disaring menggunakan kertas saring.
Padatan yang tersaring dikeringkan dalam
oven selama satu jam. Padatan zeolit kemudian
dimasukkan kedalam larutan HCl 0,4 M
sebanyak 50 mL dan diaduk menggunakan
magnetic stirer selama 15 menit. Filtrat dan
endapan dipisahkan dengan kertas saring.
Endapan zeolit dikalsinasi menggunakan tanur
pada temperatur 500 oC selama empat jam.

3.3.6 Uji pelepasan pupuk Fe


3.3.6.1 Metode perendaman
Uji aktivitas pupuk dilakukan dengan
membandingkan satu pot yang berisi air dan
dua pot yang berisi air dengan pupuk Fe lepas
lambat. Pupuk Fe lepas lambat ditimbang satu
gram dan dimasukkan dalam 100 mL air kran.
Masing-masing air dalam pot diambil
sebanyak 5 mL tiap 60 menit dan diukur kadar
Fe yang lepas dari pupuk menggunakan
spektrofotometer UV Visible.

3.3.5 Pengembanan Fe-zeolit pada kitosan


Preparasi kitosan dilakukan dengan cara
melarutkan satu gram kitosan dalam larutan
asam asetat 1%. Diaduk dengan menggunakan
magnetic stirer selama 30 menit. Setelah itu
ditambahkan satu gram zeolit-Fe dan diaduk
dengan menggunakan stirer lagi selama 30
menit. Zeolit-Fe-kitosan diteteskan ke dalam
larutan NaOH 4M. Zeolit-Fe-kitosan ini
dikeringkan dengan menggunakan oven,
selanjutnya
dikarakterisasi
dengan
menggunakan spektrofotometer FT-IR.

3.3.6.2 Metode pengadukan


Uji aktivitas pupuk dilakukan dengan
membandingkan satu pot yang berisi air
dengan dua pot yang berisi air dengan pupuk
Fe lepas lambat. Pupuk Fe lepas lambat
ditimbang 1 gram dan dimasukkan dalam 100
mL air kran. Air kran diambil dalam satu
waktu sebanyak 1000 mL dan dipindahkan
sebanyak 100 mL dalam masing-masing gelas
kimia. Selanjutnya diaduk menggunakan
magnetic stirer selama 1 jam dengan
kecepatan 100 rpm. Setelah itu dipindahkan
kedalam tabung sentrifuge dan diendapkan
dengan sentrifugasi selama 30 menit dengan
kecepatan 1000 rpm. Untuk memisahkan
larutan dan endapan dilakukan dekantasi.
Larutan dipindahkan kedalam gelas kimia 100
mL dan dipipet sebanyak 5 mL untuk diukur

3.3.3 Ekstraksi lumpur dengan larutan


NaOH 3M panas
Sampel lumpur Sidoarjo hasil kalsinasi
ditimbang sebanyak dua gram, lalu
ditambahkan larutan NaOH 3M sebanyak 100
mL. Kemudian diaduk menggunakan magnetic
stirrer selama dua jam sambil dipanaskan pada
temperatur 200oC. Endapan yang diperoleh
ditambah HCl 32%, filtrat hasil ekstraksi
diukur
kadar
besinya
menggunakan
spektrofotometer uv-vis dan sebagian filtrat
ditambahkan NaOH 4M hingga pH 7.
3.3.4 Pengembanan
Fe
dengan
penambahan sebanyak 1, 2, 5, 10 dan
15 gram zeolit

1972

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

kadar
besinya
dengan
menggunakan
spektrofotometer uv-vis, sedangkan endapan
ditambahkan 100 mL air kran lagi.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh penambahan zeolit pada hasil
ekstraksi Fe
Larutan garam FeCl3 hasil ektraksi diendapkan
dengan menggunakan larutan NaOH 4M
hingga endapan Fe berbentuk koloid bewarna
jingga dan filtrat bening dengan pH larutan
sama dengan 7. Larutan NaOH digunakan
untuk mengendapkan Fe3+ dalam larutan
membentuk Fe(OH)3. Ksp Fe(OH)3 lebih
rendah daripada logam lainnya yaitu 1,1x10-36,
sedangkan Ksp untuk Al(OH)3 dan Fe(OH)2
berturut-turut yaitu 1,8x10-33 dan 1,6x10-14,
sehingga Fe(OH)3 lebih mudah mengendap
(Chang, R., 2008). Koloid Fe bewarna jingga
diimpregnasikan kedalam zeolit aktivasi
dengan massa yang berbeda beda dengan
tujuan untuk mengetahui Fe yang dilepaskan
dalam zeolit-Fe-kitosan. Zeolit aktivasi
berfungsi sebagai media pengemban besi(III).
Zeolit Fe didestruksi dengan
menggunakan larutan HCl 32% dan diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer
uv-vis untuk mengetahui kadar Fe. Kadar Fe
dalam zeolite-Fe ditampilkan dalam Tabel 4.1
Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan
bahwa semakin banyak massa zeolite yang
ditambahkan maka kadar Fe dalam zeolite-Fe
semakin menurun. Namun hasil dari uji F yang
dilakukan pada data kadar Fe dalam zeolite-Fe
dengan perbedaan penambahan massa zeolite
menunjukkan bahwa F tabel lebih besar dari F
hitungnya yaitu 5,79 dan 0,22. Berdasarkan uji
F dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan dari kadar Fe
dengan penambahan massa zeolite.

Gambar 4.1. Pengaruh akumulasi waktu


perendaman
terhadap
pelepasan Fe dalam zeolitkitosan
Gambar 4.1 merupakan kurva akumulasi Fe
yang dilepas dalam zeolit-kitosan setiap
jamnya selama 5 jam perendaman. Kadar Fe
yang dilepaskan dalam zeolit-kitosan pada satu
jam pertama sebesar 0,370 mg/L. Pada satu
jam kedua dan ketiga Fe yang dilepas tetap.
Pada satu jam keempat Fe yang terlepas dua
kali lebih banyak dari Fe yang dilepaskan pada
satu jam pertama yaitu sebanyak 0,740 mg/L.

Gambar 4.2. Pengaruh akumulasi waktu


perendaman terhadap pelepasan Fe dalam
zeolit-Fe-kitosan
Hasil dari uji pelepasan Fe dalam zeolitFe-kitosan terdapat pada Gambar 4.2. Pada
penambahan zeolit sebanyak 1 gram,
pelepasan Fe semakin lama semakin
meningkat. Pelepasan Fe paling banyak
terdapat pada satu jam ketiga dan mengalami
penurunan pelepasan ketika jam keempat, serta
secara bertahap mengalami penurunan karena
kandungan Fe yang terdapat dalam zeolit-Fekitosan semakin sedikit.
Pelepasan Fe pada penambahan 2 gram
zeolit terjadi kenaikan kandungan Fe sangat
banyak pada jam kedua dan kemudian turun
secara drastis pada jam ketiga. Untuk

Tabel 4.1. Kadar Fe dalam zeoliteFe


Penambahan
Kadar Fe dalam
zeolite (gram)
zeolite-Fe (mg/kg)
63146
1
61947
2
61854
5
59778
10
59317
15
4.2 Uji pelepasan Fe-zeolit-kitosan

1973

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

pelepasan Fe pada penambahan 5, 10 dan 15


gram zeolit hampir sama, yaitu mengalami
kenaikan secara bertahap pada tiap jamnya.
Hanya saja untuk pelepasan Fe penambahan 5
gram zeolit pada jam keempat mengalami
kenaikan yang cukup besar bila dibandingkan
dengan penambahan 10 dan 15 gram zeolit.
Pelepasan Fe pada 10 dan 15 gram zeolit
hampir sama, namun 10 gram zeolit lebih
cepat melepaskan Fe dari pada 15 gram zeolit.
Saat zeolit-fe-kitosan direndam selama 24 jam,
untuk penambahan 1 dan 2 gram Fe yang
terlepas semakin sedikit karena Fe banyak
yang terlepas pada jam-jam awal dikarenakan
ikatan antara zeolit, Fe dan kitosan belum
maksimal. Sedangkan pada penambahan 5, 10
dan 15 gram cenderung meningkat dengan
stabil, karena pada jam awal Fe yang terlepas
tidak terlalu banyak dan cenderung bertahap.
Semakin banyak penambahan zeolit, maka
semakin banyak Fe yang akan terikat, karena
luas permukaan yang akan mengikat Fe dari
zeolit semakin banyak.
4.2 Pengaruh konsentrasi asam asetat pada
pembuatan larutan gel-kitosan terhadap
pelepasan Fe
Dalam
pembuatan
granul
untuk
membentuk pupuk Fe (zeolit-Fe-kitosan)
larutan asam asetat digunakan untuk
melarutkan kitosan. Kitosan tidak dapat larut
dalam air maupun larutan organik dan hanya
dapat larut dalam larutan asam organik atau
mineral encer seperti asam formiat, asam asetat
dan asam glutamate (Wiyarsi A., 2015). Untuk
mengetahui pengaruh konsentrasi asam asetat
dalam pembuatan granul dan kecepatan
pelepasan
Fe
dalam
zeolit-Fe-kitosan
dilakukan
pembuatan
granul
dengan
konsentrasi asam asetat 0,5, 1, 1,5 dan 2%.
Zeolit-Fe-kitosan diteteskan kedalam
larutan NaOH 4M. Hasil pengadukan asam
asetat dengan konsentrasi 1,5% dan 2% dalam
zeolit-Fe kitosan cenderung encer dan sangat
encer sehingga susah dalam pembentukan
granul karena larutan terlalu encer. Ketika
diteteskan kedalam larutan NaOH 4M larutan
zeolit-Fe-kitosan akan cenderung pecah dan
tidak terbentuk bulir yang sempurna. Berbeda
dengan larutan zeolit-Fe-kitosan dengan
konsentrasi 0,5% dan 1% asam asetat yang
cenderung kental sehingga ketika diteteskan ke
dalam larutan NaOH 4M akan terbentuk
granul. Pada saat pembuatan granul terjadi
proses
repolimerisasi
kitosan.
Ketika
konsentrasi kitosan 1,5 dan 2% kitosan agak

larut dalam larutan NaOH 4M karena terlalu


encer, sehingga reaksi repolimerisasi tidak
sempurna dan menyebabkan susah dalam
pembentukkan granul (Cahyaningrum, S.E.,
2014). Setelah itu masing-masing larutan
zeolit-Fe-kitosan dicuci dengan menggunakan
akuades hingga netral dan dikeringkan dengan
menggunakan oven.

Gambar 4.3. Pengaruh konsentrasi asam


asetat pada pembuatan pupuk
zeoli-Fe-kitosan
terhadap
pelepasan Fe perendaman 2
jam
Gambar 4.3 merupakan grafik
hubungan antara konsentrasi asam asetat
dengan rata-rata Fe yang dilepaskan tiap 30
menit selama dua jam uji pelepasan Fe.
Penambahan asam asetat akan menyebabkan
afinitas gugus-gugus fungsional yang ada pada
kitosan meningkat dalam pengikatan logam.
Semakin tinggi asam asetat yang ditambahkan
maka semakin banyak logam yang teradsorpsi
(Cahyaningrum, S.E., 2014). Namun pada
penambahan asam asetat 0,5%, Fe yang
terlepas banyak karena kitosan belum
semuanya larut dalam larutan asam asetat
sehingga ketika direaksikan dengan NaOH 4M
reaksinya belum sempurna dan cepat memadat.
Hal ini menyebabkan ikatan antara zeolit-Fekitosan menjadi kurang sempurna, sehingga
banyak Fe yang terlepas. Sedangkan pada
penambahan asam asetat 1%, Fe yang terlepas
sangat sedikit, karena reaksi repolimerisasi
terjadi sempurna sehingga Fe terikat kuat pada
zeolit dan kitosan.
Pada
saat
pembuatan
granul
penambahan asam asetat 0,5% lebih kental
daripada penambahan asam asetat 1%.
Pelepasan Fe pada penambahan asam asetat
1,5 dan 2% lebih banyak daripada asam asetat
1% dan perlahan mengalami peningkatan
dalam melepaskan Fe dalam media air.
Perbedaan pelepasan Fe dari penambahan
asam asetat 1% dengan 1,5 dan 2% karena
1974

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Rianto, L.B., Amalia, S., dan Khalifah, S.N., 2012,
Pengaruh Impregnasi Logam Titanium Pada
Zeolit Alam Malang Terhadap Luas
Permukaan Zeolit, ALCHEMY, Vol.2, no.1,
hal. 58-67
Lestari, D.Y., 2010, Kajian Modifikasi dan
Karakterisasi Zeolit Alam dari Berbagai
Negara, Jurdik Kimia UNY, Prosiding Seminar
Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia ISBN:
978-xxx-xxxxx-x-x, Yogyakarta
Wiyarsi A., dan Priyambodo, E., 2015, Pengaruh
Konsentrasi Kitosan dari Cangkang Udang
Terhadap Efisiensi Penjerapan Logam Berat,
http://staff.uny.ac.id/sites/Penelitian kitosan.pdf,
Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA, Universitas
Negeri Yogyakarta, diakses tanggal 19 Agustus
2015
Pebriani, R.H., Rilda, Y., dan Zulhadjri, 2012,
Modifikasi Komposisi Kitosan pada Proses
Sintesis Komposit TiO2-Kitosan, Jurnal
Kimia Unand, vol.1, no.1, hal.40-47
Hadiwinoto, S., Saputro, N.A.E., Nurjanto, H.H.,
dan Widiyanto, 2010, Media Kompos Serbuk
Gergaji Kayu Sengon dan Pupuk Lepas
Lambat untuk Meningkatkan Pertumbuhan
Semai Pinus merkusii di KPH Banyumas
Timur, Jurnal Ilmu Kehutanan, vol.IV, No.2,
hal.111-118
Hidayat, S. I., 2007, Dampak Lumpur Lapindo
Sidoarjo Pada Sektor Pertanian, Jurnal
Pertanian MAPETA, Vol.10, No.1, hal.7-12
Rehakova, M., dkk, 2004, Agricultural and
Agrochemical Uses of Natural Zeolite of The
Clipnoptilolite Type, Current Opinion in Solid
State and Materials Science, vol.8, hal.397-404
Nainggolan, G.D., Suwardi, dan Darmawan, 2009,
Pola Pelepasan Nitrogen dari Pupuk
Tersedia Lambat (Slow Release Fertilizer)
Urea-Zeolit-Asam Humat, Jurnal Zeolit
Indonesia, vol.8, no.2, hal.89-96
Bansiwal, A.K., dkk, 2006, Surfactant-Modified
Zeolite as a Slow Release Fertilizer for
Phosporus, Journal of Agricultural and Food
Chemistry, no.54, hal.4773-4779
Chang, R., 2008, General Chemistry The
Essential Concepts Fifth Edition, The
McGraw-Hill Companies Inc, New York
Cahyaningrum, S.E., 2014, Pengaruh Konsentrasi
Asam Asetat Terhadap Kapasitas Adsorpsi
Ion
Logam
Zink(II)
pada
Kitosan
Nanobeads, Seminar Nasional Kimia dan
Pendidikan Kimia VI, hal.187-193, ISBN:
979363174-0

dalam penambahan 1,5 dan 2% asam asetat


kitosan larut semua, akibatnya larutan yang
terbentuk terlalu encer. Granul susah terbentuk
karena larutan terlalu encer dan reaksi
repolimerisasi yang terjadi tidak sempurna
sehingga menyebabkan Fe yang terikat dalam
zeolit tidak terikat kuat dalam kitosan.
5 KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dapat diambil kesimpulan, bahwa
1. Penambahan zeolit 15 gram dalam hasil
ekstraksi 2 gram lumpur Sidoarjo
mengalami pelepasan Fe paling lambat.
Kadar Fe yang terlepas sebanyak 0,369
mg/L. Semakin banyak zeolit yang
ditambahkan, maka pelepasan Fe pada
pupuk Fe lepas lambat (zeolit-Fe-kitosan)
dalam media air akan semakin lambat.
2. Penambahan asam asetat pada pembuatan
pupuk Fe lepas lambat berpengaruh
terhadap pelepasan Fe. Gel kitosan yang
dibentuk dengan asam asetat 1%
menyebabkan granul mudah dibentuk dan
melepaskan Fe paling sedikit dibanding
dengan asam asetat yang lain. Rata-rata
kadar Fe yang terlepas sebanyak 0,370
mg/L.
Kesimpulan berisi rangkuman singkat atas
hasil penelitian dan pembahasan.[Times New
Roman, 11, normal].
6 REFERENSI
Kementerian Pertanian, 2015, Rencana Strategis
Kementrian Pertanian Tahun 2015-2019,
Biro Perencanaan-Sekretariat Jenderal, Jakarta
Selatan
Chandra, P. K., Ghosh, K., dan Varadachari, C.,
2009, A New Slow-releasing Iron Fertilizer,
Chemical Engineering Journal, 155, hal.451456
Fadli, A.F., 2013, Ekstraksi Silika dalam
Lumpur Lapindo Menggunakan Metode
Kontinyu, Kimia Student Journal, vol.1, no.2,
hal. 182-187
Putri, V.C.F., 2015, Pengaruh Konsentrasi NaOH
dalam Ekstraksi Fe dari Lumpur Sidoarjo
untuk Pembuatan Pupuk Fe Slow Release,
Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya,
Malang

1975

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

STUDY OF MANGOSTEEN RIND AS RAW MATERIALS IN PRODUCING


BIOETHANOL THROUGH HYDROLYSIS AND
FERMENTATION METHODS
Surya Lesmana1,a), Samuel Herianto1,b), Rosmery Tobing2,c) and Firman Sebayang1,d)
1)
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara
2)
Program Studi Teknik Kimia, Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan
a)
email: suryalesmana@usu.ac.id, b)email: samuelherianto@usu.ac.id, c)email: rosmerytobing@yahoo.com,
d)
email: firman1@usu.ac.id
Abstract
Study of mangosteen rind as raw material for bioethanol has been done. The carbohydrate content of
mangosteen rind reached 82.50% (Ministry of Agriculture 2010). Carbohydrate could be converted as
bioethanol through hydrolysis and fermentation methods. The purpose of this study was to determine the
characteristics of bioethanol produced from mangosteen rind with varying concentrations of yeast and compare
them with the characteristics of bioethanol in the Indonesian National Standard (SNI). This research is an
experimental laboratory that is divided into several stages, such as raw material preparation, carbohydrate
hydrolysis, fermentation and purification of bioethanol by distillation. Hydrolysis included glucose test with
Fehling's solution (A and B). The result of hydrolysis was fermented for 5 days to produce bioethanol by using
yeast Shaccaromyces cerevisieae by varying the concentration 0.75%; 1.00%; 1,25%; 1.50%. The result shows
that the mangosteen rind has great potential to produce bioethanol and bioethanol characteristics (yeast 1.00%)
include the density (0.9748 ml/g), refractive index (1.34762) and the concentration of ethanol (40.9943%).
Keywords: Mangosteen, yeast, ethanol, hydrolysis and fermentation

kayu dan tebu, salah satunya adalah dengan


pemanfaatan limbah (Wulandari, 2007).
Limbah kulit manggis adalah salah satu solusi
yang sedang dikaji dalam penelitian ini.
Sebagai mana kita ketahui, Indonesia adalah
salah satu negara penghasil buah manggis
terbesar di dunia. Manggis (Gracia
Mangostana L.) merupakan salah satu
komoditi ekspor andalan Indonesia yang
memiliki peranan besar (Kementan, 2010).
Menurut hasil penelitian sebelumnya (B2P3
Pertanian, 2010), kandungan karbohidrat kulit
manggis mencapai 82,50% yang terdistribusi
dalam karbohidrat jenis selulosa, hemiselulosa
dan lignoselulosa. Kandungan karbohidrat
jenis selulosa, glukosa adalah bahan baku yang
dapat dijadikan bioetanol. Umumnya, bagian
yang dimanfaatkan dari manggis adalah daging
buah yang melekat pada biji, sedangkan
kulitnya belum dimanfaatkan secara optimal,
terbukti dengan minimnya riset terkait
pemanfaatan kulit manggis. Oleh sebab itu,
kulit manggis sangat potensial untuk dikaji
sebagai bahan baku dalam memproduksi
bioetanol.

1. PENDAHULUAN

Laju konsumsi Bahan Bakar Minyak


(BBM) secara nasional yang jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan tingkat
produksinya menyebabkan terjadinya
kelangkaan BBM, khususnya di negara
berkembang seperti Indonesia (Wulandari,
2007).
Kebijakan
mengeksplorasi
dan
memanfaatkan sumber energi alternatif seperti
pemanfaatan biomassa merupakan salah satu
solusi dalam mengatasi masalah energi
(khususnya premium) di Indonesia, mengingat
Indonesia merupakan negara dengan sumber
karbohidrat yang berlimpah. Salah satu
sumber/bahan baku energi terbarukan adalah
dari tumbuh-tumbuhan yang tinggi kandungan
karbohirat, seperti ubi kayu, tebu dan jagung
(Retno dan Rini Sutanti, 2008). Penggunaan
bahan baku tersebut mengalami kendala yang
besar yakni terjadinya tumpang tindih
penggunaannya sebagai sumber makanan yang
dibutuhkan dalam jumlah besar oleh Indonesia
dengan fungsinya sebagai energi. Oleh sebab
itu, perlu dimanfaatkan sumber/bahan baku
lain yang bersifat subsitutif dari jagung, ubi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk


mengetahui potensi kulit buah manggis
sebagai bahan baku bioetanol dan
1976

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

mengetahui karakteristik dari bioetanol


yang dihasilkan sebagai bahan bakar
terbarukan pengganti/substitusi BBM.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Kimia Fisika PTKI Medan dan Laboratorium
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan.
Penelitian ini bersifat laboratorium
eksperimental yang dibagi menjadi beberapa
tahap, seperti persiapan bahan baku kulit
manggis, proses hidrolisis karbohidrat, proses
fermentasi dan pemurnian bioetanol dengan
distilasi. Hidrolisis dilengkapi uji glukosa
dengan larutan Fehling A dan B. Hasil
hidrolisis difermentasi selama 5 hari untuk
menghasilkan bioetanol dengan menggunakan
yeast Shaccaromyces cerevisieae. Produk
bioetanol yang dihasilkan akan diuji dan
dikarakterisasi meliputi analisa kadar etanol
dengan alat gas chromatography, berat jenis
dengan piknometer, indeks bias dengan ABBE
refractometer, dengan variable-variabel

Gambar 1. Endapan Merah Bata


Uji fehling dilakukan pada sampel larutan
glukosa yang telah dihidrolisis dengan HCl.
Dari percobaan kualitatif ini diperoleh endapan
merah bata. Percobaan ini dilakukan sebanyak
3 kali percobaan dan disimpulkan secara
kualitatif terdapat kandungan glukosa di dalam
sampel sehingga layak untuk difermentasi.
b. Berat Jenis
Grafik 1. Berat Jenis Bioetanol

Berat Jenis (g/ml)

0,9754

sebagai berikut:
a. Variabel tetap yaitu berat kulit manggis 200
g, ukuran partikel kulit manggis 100-120
mesh,
temperatur
hidrolisis
70oC,
konsentrasi HCl 0,3% (v/v), lama
fermentasi 5 hari dan temperatur destilasi
90oC.
b. Variabel bebas yaitu kadar dari yeast
Shaccaromyces cerevisieae meliputi 1%,
2%, 3%, 4%, 5% dan 6%.

0,9752

0,9753

0,975

0,9748
0,9748

0,9746
0,9746

0,9744

0,9745

0,9742

0,974
0,75

1,00

1,25

1,50

Persentase yeast (%)

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini


antara lain limbah kulit manggis, NaOH 30%
(w/v), HCl 0,3 (v/v), larutan fehling A, larutan
fehling B, aquadest, ragi saccharomyces
cerevisieae.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
antara
lain
seperangkat
alat
gas
chromatography (GC), seperangkat alat pH
meter, neraca analitis, seperangkat alat ABBE
refractrometer, labu destilasi, piknometer,
indikator universal, batu didih, corong leher
angsa, erlenmeyer 500 ml, erlenmeyer 1000
ml, gelas beaker, pipet tetes, penumbuk, kertas
saring, aluminium foil, spatula, gabus dan
selang.

Berat jenis merupakan perbandingan antara


massa etanol dengan volumenya. Berat jenis
bioetanol murni adalah 0,789 g/ml (BSN,
2009). Dari Grafik 1. di atas terlihat bahwa
densitas bioetanol diperoleh kisaran 0,9745
g/ml 0,9753 g/ml, di mana densitas tersebut
melebihi densitas bioetanol murni (0,789
g/ml). Hal ini menunjukkan bahwa etanol yang
dihasilkanbelum murni dan masih bercampur
dengan air. Hal ini disebabkan oleh destilasi
yang dilakukan hanya destilasi sederhana
bukan destilasi azeotrop. Selain itu menurut
Primadony (2013), ketidakmurnian ini juga
disebabkan kurang teliti dalam menjaga
kestabilan temperature destilasi sehingga uap
yang keluar bukan hanya bioetanol melainkan
bioetanol yang bercampur dengan air.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Hasil Uji Fehling

c. Indeks Bias
Grafik 2. Indeks Bias Bioetanol
1977

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

persentase yeast 1,00% yaitu 41,5548%. Dari


grafik di atas juga dapat diketahui bahwa
semakin banyak yeast yang ditambahkan akan
semakin meningkat kadar bioetanol sampai
batas tertentu dan kemudian turun. Penurunan
tersebut dapat dilihat pada penambahan yeast
1,25% kadar bioetanol menurun sedikit yaitu
40,9943%. Hal ini sesuai dengan teori dan
penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa persentase yeast optimal dalam
menghasilkan kadar bioetanol tertinggi adalah
1,00% (Budiyanto, 2002).
Kadar bioetanol yang dihasilkan di atas
masih sangat terlalu kecil dibandingkan
dengan kadar bioetanol murni untuk gasohol
yakni 99,5%. Hal ini disebabkan oleh destilasi
yang masih sederhana untuk memisahkan
destilat bioetanol serta kurang telitinya dalam
menjaga suhu destilasi (Primadony, 2013).

1,35300

Indeks Bias

1,35200

1,35213
1,35100 1,35160
1,35000
1,34900
1,34800
1,34700

1,34762

1,34600

1,34652

1,34500
1,34400

1,34300
0,75

1,00

1,25

1,50

Persentase yeast (%)

Indeks bias merupakan perbandingan


anatara laju cahaya di ruang hampa terhadap
laju cahaya di dalam zat (etanol). Indeks bias
etanol adalah 1,36 (Perry, 1999). Dari Grafik
2. di atas terlihat bahwa indeks bias bioetanol
yang dihasilkan masing-masing sampel
berkisar 1,34652-1,35213. Indeks bias yang
dihasilkan pada percobaan di atas masih terlalu
kecil jika dibandingkan dengan indeks bias
bioetanol menurut SNI yaitu 1,36. Artinya,
indeks bias bioetanol pada percobaan ini
belum memenuhi karakteristik bioetanol. Hal
ini menunjukkan bahwa bioetanol yang
dihasilkan belum murni disebabkan oleh masih
adanya air dalam bioetanol tersebut (Perry,
1999).
d. Kadar Etanol

e. Rendemen Bioetanol
Tabel 1. Rendemen Bioetanol
Rendeman
Bioetanol *(%)
1.
0,75
29.79266
2.
1,00
33.61443
3.
1,25
34.56648
4.
1,50
29.59714
*Rendemen berdasarkan bahan baku 100 g.

No.

Rendemen Bioetanol (%)

Grafik 4. Hubungan Persentase yeast (%)


terhadap Rendemen Bioetanol (%)

Kadar Etanol (%)

Grafik 3. Kadar Etanol


43,0000
42,0000
41,0000
40,0000
39,0000
38,0000
37,0000
36,0000
35,0000
34,0000

41,554
40,994
8
3

35,171 35,111
7
7
0

0,5

1,5

Persentase Yeast (%)

36,0000
35,0000
34,0000
33,0000
32,0000
31,0000
30,0000
29,0000

34,5665
33,6144

29,7927 29,5971
0,00 0,50 1,00 1,50 2,00

Persentase yeast (%)

Rendemen bioetanol dihitung untuk


mengetahui jumlah optimal bioetanol murni
yang dihasilkan. Nilai rendemen berkaitan erat
dengan volume distilat, densitas dan massa
kulit manggis yang dihidrolisis. Dari Grafik 4.
di atas terlihat bahwa rendemen bioetanol
memiliki relasi yang cukup kuat dengan kadar
bioetanol yang telah diuji dengan GC dan
grafik yang dihasilkan juga memiliki kondisi

Persentase yeast (%)

Kadar bioetanol diuji dengan Gas


Chromatography (GC) untuk menentukan
kemurnian bioetanol yang dihasilkan. Dari
Grafik 3. di atas terlihat bahwa kadar
bioetanol yang paling tinggi dihasilkan pada
1978

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

yang mirip dengan kadar bioetanol. Kemiripan


tersebut dapat diketahui bahwa semakin
banyak yeast yang ditambahkan akan semakin
meningkat rendemen bioetanol sampai batas
tertentu dan kemudian turun.
Rendemen bioetanol yang tertinggi
diperoleh pada persentase yeast 1,25% dengan
rendemen bioetanol sebesar 34,56648%.
Penambahan
jumlah
yeast
1,50%
menghasilkan bioetanol dengan rendemen
yang turun secara signifikan. Penurunan ini
disebabkan
semakin
banyaknya
yeast
(Saccharomyces cereviviae) yang ditambahkan
maka akan terjadi persaingan yang lebih
banyak di antara yeast dalam memperoleh
makanan atau energi dalam melakukan
konversi glukosa menjadi bioetanol. Fase
tersebut membuat pertumbuhan pada sampel
dengan jumlah yeast yang banyak mengalami
perlambatan dan bahkan mengalami fase
kematian dengan cepat (Riadi, 2007). Dengan
kata lain aktivitas dalam mengubah glukosa
menjadi bioetanol menjadi menurun.

masing-masing sampel relatif cukup tinggi


yakni 35,1717% - 41,5548% atau
rendemen yang dihasilkan juga cukup
banyak yakni 29,59714% - 34,56648%.
Sedangkan karakteristik bioetanol yang
dihasilkan dari kulit buah manggis dengan
penambahan yeast 1,25% adalah densitas
(0,9748 g/ml), indeks bias (1,34762), kadar
etanol murni (40,9943%) dan rendemen
yang dihasilkan adalah 34,56648%.
5. REFERENSI
Badan Standar Nasional. 2009. Etanol Nabati,
Standar Nasional Indonesia (SNI) 3565. BSN:
Jakarta.
Budiyanto, H.M. 2002. Mikrobiologi Terapan.
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Press, Malang.
Dellweg, H. 1983. Biomass, Microorganism for
Special Application Microbial Product
Energy
from
Renewable,
Resource.
Biotechnol. Vol. 3. Verlag Chemie. Florida.
Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan 1.
Gramedia Pustaka Utama Umum. Jakarta.
unaepah, U. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi
dan Konsentrasi Glukosa terhadap Aktivitas
Antibakteri, Polifenol Total dan Mutu Kimia
Kefir Susu Kacang Merah. Tesis. Universitas
Dipenogoro. Semarang.
Lin, Yan and S. Tanaka. 2006. Ethanol
Fermentation from Biomass Resources
Current State and Prospects. Appl. Microbial.
Biotechnol. 69:627-642. Verlag Chemie.
Florida.
Neway, D. R. 1989. Fermentation Process
Development of Industrial Organism. Mercel
Dekker. New York.
Perry, R.H., D.W. Green and J.O. Maloney. 1999.
Perrys Chemical Engineers Handbook.
McGraw Hill Book Company 7th Edition. New
York.
Prihardana, Rama, dkk. 2007. Bioetanol Ubi
Kayu: Bahan Bakar Masa Depan. Agro
Media Pustaka. Jakarta.
Primadony, Ratih. 2013. Pengaruh Massa Ragi
dan Waktu Fermentasi Terhadap Bioetanol
dari Biji Durian. Jurnal Teknik Kimia USU,
Vol. 2, No. 4. Medan.
Retno, Dwi dan Rini Sutanti. 2008. Pemanfaatan
Limbah Padat Ampas Singkong dan Lindur
Sebagai Bahan Baku Pembuatan Etanol.
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Universitas Diponegoro. Semarang.
Riadi, Lieke. 2007. Teknologi Fermentasi.
Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta.
Richana, N. 2011. Bioetanol: Bahan Baku,
Teknologi, Produksi dan Pengendalian Mutu.
Penerbit Nuansa. Bandung.

f. Analisa Potensi Kulit Manggis Sebagai


Bahan Baku Bioetanol
Dari pembahasan di atas dapat dilihat
bahwa kulit manggis memiliki potensi yang
cukup baik dalam menghasilkan bioetanol, hal
ini terlihat dari kadar etanol yang dihasilkan
masing-masing sampel relatif cukup tinggi
yakni 35,1717% - 41,5548% atau rendemen
yang dihasilkan juga cukup banyak yakni
29,59714% - 34,56648%. Jika dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya oleh Primadony
(2013) hanya menghasilkan kadar bioetanol
sebesar 18,9998% dan rendemen 3,6 ml maka
penelitian ini relatif lebih tinggi dan besar
hasilnya. Artinya dalam 100 gram kulit
manggis akan dihasilkan 35,1717 gram41,5548 gram bioetanol murni yang dihasilkan.
Meskipun bioetanol yang dihasilkan belum
memenuhi SNI disebabkan oleh peralatan dan
teknologi yang digunakan belum memadai
seperti destilasi sederhana, namun dapat
disimpulkan bahwa kulit manggis memiliki
peluang dan potensi yang cukup besar dalam
menghasilkan bioetanol.
4. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa kulit buah

manggis memiliki potensi yang cukup baik


dalam menghasilkan bioetanol, hal ini
terlihat dari kadar etanol yang dihasilkan
1979

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Samsuri, M., dkk. 2007. Pemanfaatan Selulosa
Bagas untuk Produksi Etanol Melalui
Sakarifikasi dan Fermentasi serentak dengan
Enzim Xylanase. Makara. Teknologi Vol. 11,
No. 1, 17-24.
Stanburry, P. F. dan A. Whittaker. 1984. Principles
of Fermentation Technology. Pergamon Press.
London.
Tim Penulis. 2010. Komoditi Ekspor Pertanian
Nasional. Kementerian Pertanian RI. Jakarta.

VogeL, H. C. 1983. Fermentation and


Biochemical Engineering Handbook. Noyes
Publication. Mill Road Park Ride. New Jersey.
Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wulandari, A. 2007. Studi Awal Fermentasi Air
Perasan Jerami Padi Menjadi Bioetanol
dengan Ragi Komersial. Skripsi. Fakultas
Teknologi Industri. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.

1980

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

NATURAL ACEH BENTONITE AND DERIVED TiO2 BENTONITE USED FOR


PHOTOCATALYTIC DEGRADATION OF INDIGO CARMINE
Surya Lubis*, Sheilatina Vicky Praja Putra and Syahrinta Sepia Nika
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala,
Darussalam Banda Aceh 23111
email: suryalubis@unsyiah.ac.id
Abstract
The modification of natural bentonite from Kuala Dewa, North Aceh into titania pillared bentonite (TiO2bentonite) and determination of its photocatalytic activity on degradation of indigo carmine dye has been
conducted. Natural bentonite was modified by cation exchange into Na 2-bentonite and H2-Bentonite, followed
by pillarization using titanium tetraisopropoxide in hydrochloric acid as pillaring agent. The as prepared
materials were characterized by X-Ray Diffraction, Scanning Electron Microscope and nitrogen adsorptiondesorption isotherms. The specific surface area of TiO2-bentonite (18.329 m2/g) was higher than that of non
pillared bentonite (Na2-Bentonite: 15.884 m2/g and H2-Bentonite: 13.933 m2/g). TiO2-pillared bentonite was
categorized as mesoporous material with the average pore diameter was 9.33 nm. Photocatalytic activity of
TiO2-pillared bentonite on degradation of indigo carmine dye was determined at various conditions of initial pH
solution, radiation time, photocatalyst dosage and initial dye concentration. The maximum degradation
percentage of indigo carmine dye under UV irradiation was 87,4% which was obtained at pH = 3, photocatalyst
dosage 0.4 g, initial dye concentration 15 mg/L for 120 minutes. Photocatalytic activity of TiO2-bentonite on
degradation of indigo carmine under solar light was higher than that of under UV irradiation.
Keywords: Bentonite, titania pillared bentonite, degradation, indigo carmine
Abstrak
Modifikasi bentonit alam dari Kuala Dewa, Aceh Utara menjadi bentonit terpilar titania (TiO2-Bentonit) dan
penentuan aktivitas fotokatalitiknya pada degradasi zat warna indigo karmin telah dilakukan. Bentonit alam
dimodifikasi melalui pertukaran kation menjadi Na2-bentonit dan H2-Bentonit, dilanjutkan dengan pilarisasi
menggunakan titanium tetraisopropoksida dalam lingkungan asam klorida sebagai agen pemilar. Material yang
diperoleh dikarakterisasi menggunakan difraksi sinar-X, Scanning electron microscope dan isotherm adsorpsidesorpsi nitrogen. Luas permukaan spesifik TiO2-bentonite (18,329 m2/g) lebih besar daripada bentonit tidak
terpilar (Na2-Bentonit: 15,884 m2/g and H2-Bentonit: 13,933 m2/g). TiO2-pillared bentonit dikategorikan
sebagai material berukuran pori meso dengan rata-rata diameter pori 9,33 nm. Aktivitas fotokatalitik bentonit
terpilar titania pada degradasi zat warna indigo karmin ditentukan pada berbagai kondisi seperti pH awal
larutan, waktu radiasi, jumlah fotokatalis dan konsentrasi awal zat warna. Persen degradasi maksimum zat
warna indigo karmin sebesar 87,4% diperoleh pada pH= 3; jumlah fotokatalis 0,4 g dan konsentrasi awal zat
warna 15 mg/L setelah diradiasi dengan sinar UV selama 120 menit. Aktivitas fotokatalitik TiO2-bentonit pada
degradasi indigo karmin menggunakan sinar matahari lebih tinggi daripada menggunakan sinar UV.
Keywords: Bentonit, bentonit terpilar titania, degradasi, indigo karmin

[4]. Bentonit dapat digunakan sebagai


adsorben dan penyangga katalis, sedangkan
bentonit yang telah dimodifikasi dapat
digunakan sebagai katalis.
Modifikasi bentonit bertujuan untuk
meningkatkan kinerjanya sebagai katalis. Salah
satu cara yang dilakukan adalah melalui
pemilaran atau pembentukan komposit dari
bentonit oleh oksida logam. Modifikasi
bentonit dilakukan dengan mempertukarkan
kation yang terdapat pada antar lapisan
bentonit (Na+, K+ atau Co2+) dengan kation
yang lebih besar. Polikation hidroksil dapat
diinterkalasikan melalui proses pertukaran

1. PENDAHULUAN
Provinsi Aceh memiliki sumber daya alam
mineral bentonit yang tersebar di beberapa
daerah seperti di Kabupaten Aceh Utara,
Kabupaten Bireun, Kabupaten Bener Meriah,
Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh
Jaya dan Kabupaten Aceh Barat [1-3]. Di
Kabupaten Aceh Utara, mineral bentonit
banyak terdapat di beberapa lokasi, salah satu
diantaranya adalah di daerah Kuala Dewa.
Bentonit merupakan salah satu jenis lempung
yang memiliki kandungan utama mineral
smektit (montmorillonit) dengan kadar 85-95%
1981

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

kation ke dalam antar lapisan bentonit dan


setelah dikalsinasi polikation hidroksil
membentuk oksida logam yang akan berfungsi
sebagai pilar pada bentonit [5]. Bentonit
terpilar memiliki stabilitas termal yang lebih
baik, luas permukaan yang lebih besar dan
struktur pori-pori yang stabil pada suhu tinggi
[6].
Pilarisasi bentonit dengan Ti4+ akan
membentuk TiO2 sehingga bentonit tidak
hanya berfungsi sebagai adsorben tetapi juga
sebagai fotokatalis. Fotokatalis adalah suatu
material yang dapat mempercepat laju reaksi
dengan melibatkan cahaya berenergi tinggi
(foton) sebagai pemicu reaksi. Pada umumnya
fotokatalis yang digunakan berupa bahan
semikonduktor seperti, TiO2, ZnO, CdS, Fe2O3
dan sebagainya [7].
Titanium dioksida (TiO2) merupakan
fotokatalis yang paling banyak dipelajari dan
telah digunakan pada degradasi polutan (zat
pencemar) oganik dan zat warna di dalam air
[8]. Namun titanium dioksida memiliki ukuran
partikel yang kecil, sehingga jika digunakan
dalam keadaan murni akan menimbulkan
masalah karena cenderung membentuk
gumpalan dan sulit dipisahkan dari air [9].
Kelemahan ini dapat diatasi dengan
mendispersikan atau mengimobilisasi TiO2
pada material lain yang dapat berfungsi
sebagai penyangga seperti zeolit, karbon aktif,
alumina dan lempung (clay). Montmorillonit
merupakan jenis clay yang memiliki struktur
berlapis, luas permukan yang besar dan
kapasitas tukar kation yang besar, sehingga
jika TiO2 didispersikan ke dalam lapisan
montmorillonit dapat meningkatkan aktivitas
fotokatalitik TiO2 [10].
Zat warna merupakan salah satu jenis
polutan yang banyak terdapat pada air limbah
yang berasal dari industri tekstil. Limbah zat
warna ini dibuang ke sungai-sungai tanpa
adanya penanganan terlebih dahulu sehingga
dapat mengakibatkan pencemaran air. Limbah
yang dibuang ini dapat merusak biota yang ada
disungai dan akan mengalir ke laut sehingga
juga dapat merusak biota yang ada di lautan
[11]. Indigo karmin merupakan salah satu zat
warna kelompok indigoid yang sangat beracun,
dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan mata
serta bersifat karsinogenik [12].
Beberapa metode telah digunakan untuk
mengatasi limbah zat warna seperti: adsorpsi,
koagulasi, presiptasi, fotodegradasi dan lainlain [13]. Metode fotodegradasi dengan

menggunakan fotokatalis merupakan metode


yang banyak dikembangkan karena lebih
efektif yaitu dapat mendegradasi zat organik
yang berbahaya menjadi zat organik yang tidak
berbahaya dan jika fotodegradasi berlangsung
sempurna akan menghasilkan H2O, CO2 dan
asam anorganik. Metode adsorpsi tidak dapat
menguraikan atau menghilangkan polutan,
tetapi hanya mampu memindahkan polutan
dari satu fasa ke fasa yang lain sehingga
adsorbennya perlu dilakukan proses regenerasi
[14, 15].
Pada penelitian ini dilakukan modifikasi
bentonit menjadi bentonit terpilar titania dan
aktivitasnya diuji pada degradasi zat warna
indigo karmin menggunakan radiasi sinar UV
dan matahari.
2. METODE PENELITIAN
2.1 Material dan Peralatan
Peralatan utama yang digunakan adalah
spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV mini
1240), lampu UV (= 365 nm), oven
(Memmert), microcentrifuge (Hettich-EBA
III), tanur (Memmert).
Bentonit alam yang digunakan pada
penelitian ini diambil dari daerah Kuala Dewa,
Aceh
Utara,
Indonesia.
Titanium
tetraisopropoksida (Ti(OCH(CH3)2)4) dan zat
warna indigo karmin (zat warna anionik
dengan rumus molekul C16H8N2Na2O8S2 (C.I.
= 73015, MW = 466.36 g/mol) dibeli dari
Merck.
2.2 Prosedur Kerja
2.2.1 Modifikasi Bentonit Alam
Bentonit alam dihaluskan dan diayak
dengan ayakan 100 mesh, kemudian dibilas
dengan aquades untuk menghilangkan
pengotor. Bentonit bersih dikeringkan pada
suhu 105C selama 5 jam.
Modifikasi bentonit alam dilakukan
mengikuti prosedur yang telah dilaporkan
sebelumnya [16]. Bentonit alam dimodifikasi
melalui proses pertukaran kation menggunakan
larutan NaCl dan NH4Cl untuk mengubah
bentonit alam yang merupakan Ca-Bentonit
menjadi Na2-Bentonit dan H2-Bentonit.
Pilarisasi bentonit dilakukan menggunakan
larutan titanium tetraisopropoksida dalam
lingkungan asam khlorida sebagai prekursor
TiO2 [17].
2.2.2 Pilarisasi H2-Bentonit menjadi bentonit
terpilar titania
Preparasi bentonit terpilar titania dilakukan
dengan menambahkan tetes demi tetes larutan
1982

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

titanium tetraisopropoksida 1 mM ke dalam


larutan HCl 1 M dengan perbandingan molar
HCl/Ti = 4:1. Campuran diaduk selama 3 jam
pada suhu ruang hingga terbentuk sol titanium
hidrat. Proses interkalasi dilakukan dengan
menambahkan sol titanium hidrat tetes demi
ke dalam suspensi bentonit (10 gram dalam
500 mL aquades) sambil diaduk menggunakan
magnetik stirrer pada suhu ruang. Setelah
proses penambahan selesai, pengadukan
dilanjutkan selama 12 jam. Selanjutnya
campuran dipisahkan dengan cara sentrifugasi
dan padatan yang diperoleh dibilas dengan
aquades sampai bebas dari ion klorida (filtrat
diuji dengan larutan AgNO3, sampai tidak
terbentuk endapan putih AgCl). Padatan
dikeringkan pada temperatur 105C selama 12
jam dan dikalsinasi pada temperatur 550C
selama 5 jam.
2.2.3 Karakterisasi Bentonit
Bentonit alam dan bentonit terpilar titania
dikarakterisasi menggunakan difraksi sinar-X
(Shimadzu XRD), adsorpsi gas
nitrogen
(metode BET) menggunakan Quantachrome
Nova 3200E dan scanning electron microscope
(SEM
JEOL-JSM-6510LV)..
XRD
dioperasikan menggunakan radiasi Cu K, =
0,15401 nm pada sudut 2 = 5 - 80.
2.2.4 Uji fotodegradasi indigo karmin oleh
bentonit terpilar titania
Aktivitas fotokatalitik TiO2-bentonit diuji
pada degradasi zat warna indigo karmin
menggunakan sinar UV dengan sistem batch.
Larutan stok zat warna indigo karmin
disiapkan pada konsentrasi 100 mg/L,
kemudian
diencerkan
sesuai
dengan
konsentrasi awal zat warna yang diinginkan.
Proses fotodegradasi dilakukan pada
beberapa variasi kondisi yaitu pH larutan zat
warna (3, 5, 7, 9 dan 11, pengaturan pH
dilakukan dengan menambahkan larutan HCl
0,1 M atau NaOH 0,1 M), konsentrasi awal zat
warna (5, 10, 15, 20 dan 25 mg/L), waktu
radiasi (0, 30, 60, 90, dan 120 menit) dan
jumlah fotokatalis (0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1,0 g).
Larutan zat warna 25 mL dimasukkan
dalam medium dan ditambahkan TiO2bentonit, selanjutnya diletakkan dalam reaktor
dan diradiasi dengan sinar UV selama waktu
yang diinginkan. Campuran disaring dengan
cara sentrifugasi selama 15 menit. Konsentrasi
zat
warna
ditentukan
menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang

gelombang 610 nm. Persen degradasi (%D) zat


warna ditentukan menggunakan rumus:
Persen degradasi (% D) = C0-Ct x 100%

C0

Keterangan:
C0 = konsentrasi awal zat warna
Ct = konsentrasi zat warna pada waktu t
Fotodegradasi zat warna indigo karmin
juga dilakukan menggunakan sinar matahari
pada kondisi optimum pH, berat fotokatalis
dan konsentrasi awal zat warna yang telah
diperoleh pada prosedur sebelumnya. Sampel
diradiasi dengan sinar matahari antara jam
11.00 14.00 WIB. Fotodegradasi zat warna
juga dilakukan dalam keadaan gelap, tanpa
fotokatalis dan menggunakan bentonit alam.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Modifikasi dan karakterisasi kentonit


Modifikasi bentonit dimulai dengan proses
pertukaran kation Ca2+ yang terdapat pada Cabentonit dengan ion Na+. Ion Ca2+ yang
terdapat pada Ca-bentonit terikat lemah pada
strukturnya sehingga dapat digantikan oleh ion
Na+ dari NaCl dan selanjutnya digantikan oleh
ion NH4+ dari NH4Cl menghasilkan H2Bentonit [16]. H2-Bentonit selanjutnya
dilakukan proses pilarisasi menjadi bentonit
terpilar titania dengan metode sol-gel. Reaksi
dapat ditulis sebagai berikut :
Ca-Bentonit + 2 NaCl
Na2-Bentonit + 2 NH4Cl
(NH4)2-Bentonit

Na2-Bentonit + CaCl2
(NH4)2-Bentonit + 2 NaCl
H2-Bentonit + 2NH3

Modifikasi H2-Bentonit menjadi TiO2bentonit dilakukan dengan menggunakan agen


pemilar polioksokation yang berasal dari
(Ti(OCH(CH3)2)4) dalam suasana asam.
Setelah proses kalsinasi polioksokation
titanium akan berubah menjadi TiO2. TiO2
yang terbentuk akan berfungsi sebagai pilar
atau tiang antar lapis silikat bentonit.
Terbentuknya pilar ini akan mengakibatkan
meningkatnya jarak antar lapis (d) pada
struktur
bentonit
yang
menghasilkan
peningkatan luas permukaan. Peningkatan luas
permukaan penting pada fotokatalis karena
dapat meningkatkan aktivitas fotokatalitik dari
bentonit.
Ca-Bentonit dan TiO2-Bentonit yang
diperoleh dikarakterisasi dengan menggunakan
Difraksi Sinar-X (XRD), Scanning Electron

1983

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Microscope (SEM) dan adsorpsi gas nitrogen


(uji BET).

karena terbentuknya pilar TiO2 pada antar lapis


bentonit. Luas permukaan spesifik Na2-bentonit

adalah 15,884 m2/g; H2-bentonit 13,933 m2/g dan


TiO2-bentonit 18,329 m2/g. Namun rerata
diameter pori-pori (berturut-turut 10,73; 10,06
dan 9,33 nm) dan volume total pori 0,04; 0,03;
0,04 cc/g) bentonit yang telah dimodifikasi

tidak mengalami perubahan yang signifikan.


Isoterm
adsorpsi-desorpsi
nitrogen
menunjukkan bahwa bentonit terpilar titania
merupakan isoterm tipe IV yaitu jenis
adsorpsi dari padatan berukuran pori meso.
Gambar 1. Difraktogram TiO2-Bentonit dan
bentonit alam

3.2 Fotodegradasi indigo karmin oleh


bentonit terpilar titania
Reaksi fotodegradasi zat warna indigo
karmin menggunakan TiO2-Bentonit dilakukan
pada suhu kamar dengan adanya sinar UV
sebagai
sumber
energi
foton
yang
menyebabkan terjadinya eksitasi elektron pada
TiO2 dari pita valensi ke pita konduksi.
Eksitasi elektron ini akan menghasilkan
elektron pada pita konduksi dan hole pada pita
valensi yang akan memicu terjadinya reaksi
redoks dimana elektron akan bereaksi dengan
O2 menghasilkan ion superoksida (O2-)
sedangkan hole bereaksi dengan H2O
menghasilkan radikal hidroksil (OH). Ion
superoksida dan radikal hidroksil merupakan
reduktor dan oksidator kuat yang akan
mereduksi atau mengoksidasi molekul zat
warna yang teradsorpsi ke permukaan dan
membentuk intermediet teroksidasi. Jika
proses oksidasi berlangsung sempurna maka
akan dihasilkan CO2, H2O dan asam anorganik.

Gambar 1 menunjukkan bahwa pada pola


difraksi
Ca-bentonit
terdapat
puncak
karakteristik montmorillonit pada sudut 2 =
5,920. Setelah dilakukan pemilaran dengan
TiO2 terjadi pergeseran basal spacing (d001)
pada sudut 2 sekitar 4,20 (tidak terdeteksi).
Hal ini disebabkan karena rusaknya struktur
lapisan silika dan alumina bentonit (delaminasi
struktur) akibat masuknya TiO2. Hal ini sesuai
dengan yang dilaporkan pada penelitian
sebelumnya yang membuktikan bahwa TiO2
berhasil membentuk pilar dalam lapisan
bentonit [18, 19]. Namun puncak TiO2 tidak
teramati pada difraktogram TiO2-bentonit,
yang kemungkinan disebabkan karena
ketidakhomogenan sampel.
Analisis SEM dilakukan untuk mengetahui
komposisi serta morfologi permukaan dari
sampel. Gambar 2 merupakan hasil foto SEM
TiO2-bentonit pada perbesaran 20.000 kali,
menunjukkan bahwa adanya partikel-partikel
TiO2 pada permukaan bentonit yang berwarna
putih dengan ukuran yang tidak seragam. Hasil
analisis EDX menunjukkan bahwa bentonit
alam mengandung TiO2 sebesar 0,36% dan
meningkat menjadi 5,29% pada TiO2-bentonit.
Dengan demikian, jumlah TiO2 yang
membentuk pilar pada antar lapis bentonit
adalah sebesar 4,93%.

3.2.1 Pengaruh pH terhadap fotodegradasi


indigo karmin
Efisiensi dari degradasi fotokatalitik sangat
tergantung pada pH larutan zat warna karena
pH larutan mempengaruhi proses adsorpsi zat
warna ke permukaan fotokatalis [20]. Gambar
3 menunjukkan bahwa persen degradasi indigo
karmin yang paling besar terjadi pada pH 3,
namun peningkatan pH larutan zat warna
mengakibatkan persen degradasi zat warna
menjadi menurun. Hal ini dapat dijelaskan
karena sifat TiO2 yang merupakan senyawa
amfoter sehingga permukaan TiO2 akan
bermuatan positif dalam suasana asam dan
dalam suasana basa akan bermuatan negatif:
pH asam (pH < 7): Ti-OH + H+ TiOH2+
pH basa (pH >7): Ti-OH + OH-TiO-+ H2O

Gambar 2. Gambar SEM a) Bentonit alam dan b)


TiO2-Bentonit

Hasil uji BET menunjukkan adanya


peningkatan luas permukaan spesifik bentonit
1984

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

sisi aktif katalis sehingga persentase degradasi


menjadi menurun [24].

Gambar 3. Pengaruh pH terhadap fotodegra-dasi


indigo karmin. Kondisi: konsentrasi larutan 15
mg/L dan jumlah fotokatalis 0,2 g menggunakan
sinar UV.
Gambar 4. Pengaruh jumlah fotokatalis terhadap
fotodegradasi indigo karmin. Kondisi: pH = 3,
konsentrasi larutan 15 mg/L menggunakan sinar
UV.

Telah dilaporkan bahwa tahap awal proses


fotokatalitik adalah adsorpsi. Anion akan lebih
mudah diadsorpsi oleh adsorben pada pH
rendah karena adanya ion H+, sedangkan pada
pH tinggi kation akan teradsorpsi karena
adanya muatan negatif pada permukaan
bentonit. Zat warna indigo karmin merupakan
zat warna anionik (bermuatan negatif),
sehingga akan lebih mudah teradsorpsi pada
permukaan TiO2 dalam suasana asam [21].
Persen degradasi maksimum zat warna
indigo karmin yang diperoleh pada kondisi pH
asam (pH = 3) adalah 53,03% pada waktu
radiasi selama 120 menit. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilaporkan
sebelumnya bahwa pH optimum pada
fotodegradasi zat warna indigo karmin adalah
pada suasana asam [22, 23]. Sehingga pada
fotodegradasi selanjutnya dilakukan pada pH =
3.
3.2.2 Pengaruh jumlah fotokatalis terhadap
fotodegradasi indigo karmin
Gambar 4. menunjukkan persen degradasi
larutan zat warna indigo karmin semakin
meningkat dengan bertambahnya jumlah
fotokatalis TiO2-Bentonit. Hal ini disebabkan
karena
semakin
bertambahnya
jumlah
fotokatalis TiO2-Bentonit maka jumlah radikal
hidroksil dan ion superoksida yang dihasilkan
saat diradiasikan dengan sinar UV semakin
meningkat. Oleh karena itu, jumlah indigo
karmin yang terdegradasi juga semakin
meningkat.
Gambar 4. juga menunjukkan bahwa
penggunaan jumlah fotokatalis lebih dari 0,4 g
menyebabkan terjadinya penurunan persentase
degradasi. Hal ini disebabkan penambahan
jumlah fotokatalis yang berlebihan dapat
menghalangi sinar UV masuk ke dalam larutan
akibat katalis yang tersuspensi dan menutupi

Jumlah fotokatalis TiO2-Bentonit optimum


yang diperoleh adalah sebanyak 0,4 g dengan
persen degradasi sebesar 87,63% dengan
waktu radiasi selama 120 menit. Sehingga
fotodegradasi
selanjutnya
dilakukan
menggunakan jumlah fotokatalis 0,4 g.
3.2.3 Pengaruh konsentrasi awal zat warna
terhadap fotodegradasi indigo karmin
Gambar 5. menunjukkan bahwa konsentrasi
larutan indigo karmin optimum adalah 15
mg/L dengan persen degradasi sebesar 87,4%
setelah waktu radiasi selama 120 menit. Jika
waktu radiasi diperpanjang hingga 180 menit,
maka persen degradasi indigo karmin yang
diperoleh adalah 96,5%. Semakin besar
konsentrasi zat warna yang digunakan maka
semakin
banyak
jumlah
molekulnya.
Banyaknya
jumlah
molekul
tersebut
menyebabkan kompetisi antar molekul zat
warna untuk teradsorpsi dan terdegradasi oleh
fotokatalis TiO2-Bentonit semakin besar dan
proses fotodegradasi semakin menurun.
Konsentrasi zat warna yang besar juga dapat
menghalangi sinar UV untuk masuk ke
permukaan fotokatalis TiO2-Bentonit. Jika
sinar UV yang masuk ke permukaan katalis
sedikit, maka energi foton yang mengenai
permukaan
katalis
juga
sedikit
dan
mengakibatkan kemampuan elektron untuk
tereksitasi semakin kecil.
Hal ini dapat
mengakibatkan OH radikal dan ion
superoksida yang dihasilkan semakin sedikit
dan kemampuan untuk mengoksidasi zat warna
juga berkurang.
Fotodegradasi zat warna indigo karmin juga
dilakukan menggunakan sinar matahari dengan
dan tanpa TiO2-bentonit, yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh sumber sinar/cahaya dan
1985

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

fotokatalis pada degradasi fotokatalitiknya.


Hasil yang diperoleh diberikan pada Gambar 6
dan menunjukkan bahwa persen degradasi zat
warna indigo karmin menggunakan sumber
cahaya matahari lebih besar (99,7%) dibanding
menggunakan sinar UV (87,3%). Hal ini
menunjukkan bahwa TiO2-bentonit dapat
diaplikasikan
ke
lingkungan
dengan
menggunakan sumber cahaya matahari atau
cahaya tampak dengan energi yang lebih
rendah daripada sinar UV.

Gambar 6. Pengaruh sumber sinar dan fotokatalis


terhadap degradasi fotokatalitik zat warna indigo
karmin. Kondisi: konsentrasi zat warna 15 mg/L,
pH = 3 dan jumlah fotokatalis 0,4 g

4 KESIMPULAN
Modifikasi dan pilarisasi terhadap bentonit
alam menjadi bentonit terpilar titania dapat
meningkatkan luas permukaan dari bentonit.
Bentonit terpilar titania dapat digunakan
sebagai fotokatalis pada degradasi zat warna
indigo karmin menggunakan sinar UV dengan
persen degradasi hingga 87,4% yang dicapai
pada kondisi pH = 3, jumlah fotokatalis 0,4 g
dan konsentrasi awal zat warna 15 mg/L
selama
waktu radiasi 120 menit.
Fotodegradasi zat warna
indigo karmin
dengan bentonit terpilar titania menggunakan
sinar matahari memberikan hasil yang lebih
baik dengan persen degradasi sebesar 99,7%.

Gambar 5. Pengaruh konsentrasi awal zat warna


terhadap fotodegradasi indigo karmin. Kondisi: pH
= 3, jumlah fotokatalis o,4 g menggunakan sinar
UV.

Gambar 6. juga menunjukkan bahwa TiO2Bentonit menunjukkan hasil yang lebih baik
dibandingkan bentonit tanpa pemilaran (Cabentonit) dimana persen degradasi Ca-bentonit
hanya sebesar 48,4% setelah diradiasi sinar
UV selama 120 menit. Hal ini membuktikan
bahwa proses pilarisasi dapat meningkatkan
kinerja dari bentonit alam. Jika TiO2-bentonit
digunakan untuk degradasi zat warna indigo
karmin pada keadaan gelap, konsentrasi indigo
karmin berkurang sebanyak 50%. Hal ini
membuktikan peran TiO2-bentonit sebagai
fotokatalis dan terjadinya efek sinergis dari
proses adsorpsi dan fotodegradasi. Degradasi
zat warna indigo karmin oleh cahaya UV
menghasilkan persen degradasi sebesar 1,8%,
sedangkan menggunakan cahaya matahari
memberikan persen degradasi sebesar 19,2%.
Hal ini membuktikan peran TiO2-bentonit
sebagai fotokatalis.

5 REFERENSI
[1]

Kaelani, M. S., I. A. Harahap, I. Muksin, A.


Sunardi, J. Bakara, A. Fatah dan Y.
Anggraeni, 2007, Inventarisasi Mineral Non
Logam Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten
Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Prosiding Pemaparan Hasil Kegiatan
Lapangan dan Non Lapangan Tahun 2007,
Pusat Sumber Daya Geologi. Bandung,
Indonesia.1-8.
[2] Chowaji, P. W. dan P. M. Raja, 2007,
Inventarisasi Mineral Non Logam Di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
Provinsi Aceh. Prosiding Pemaparan Hasil
Kegiatan Lapangan dan Non Lapangan
Tahun 2007, Pusat Sumber Daya Geologi.
Bandung, Indonesia,1-14.
[3] Sayekti, B. dan P. M. Raja, 2011. Inventarisasi
Mineral Non Logam Di Kabupaten Aceh Jaya
dan Kabupaten Aceh Barat, Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Prosiding Hasil
Kegiatan Pusat Sumber Daya Geologi Tahun
2011, Bandung, Indonsia. 1-11.
[4] Serwicka, E. M., 2001, Clays as Catalysts for
the Removal of Nitrogen Oxides, Polish
Journal of Chemistry, 75, 307 328.

1986

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
[5]

Pinnavaia, T. J., 1983, Intercalated Clay


Catalysts, Science, 220: 365-371.
[6] Vineente, M. A., A. Gil., and F-Bergaya. 2013.
Chapter 105. Pillared Clay and Clay Minerals
in Handbook of Clay Science, Devolopments
in Clay Science, 5A, Elsevier Science, 523557.
[7] Sakthivel S., B. Neppolian, M. V. Shankar, B.
Arabindoo, M. Palanichamy, and M.
Murugesan. 2003. Solar Photocatalytic
Degradation of Azo Dye: Comparison of
Photocatalytic Efficiency of ZnO and
TiO2.Solar Energy Material and Solar Cells.
77: 65-82.
[8] Li, J., C. Chen, J. Zhao, H. Zhu, and J.
Orthman. 2002. Photodegradation of Dye
Pollutants on TiO2 Nanoparticles Dispersed in
Silicate Under UV-Vis Irradiation, Applied
Catalyst B: Enviromental, 37: 331-338.
[9] Shavisi, Y., S. Sharifnia, M. Zendehzaban, M.
L. Mirghavami and S. Kakehazar, 2014.
Application of solar light for degradation of
ammonia in petrochemical wastewater by a
floating TiO2/LECA photocatalyst, Journal of
Industrial and Engineering Chemistry, 20:
2806 2813.
[10] Chen, D., Q. Zhu, F. Zhof, X. Deng, and F. Li.
2012.
Synthesis
and
Photocatalytic
Performance
of
The
TiO2
Pillared
montmorillonite, Journal of Hazardous
Materials, 235-236: 186-193.
[11] Koay, Y.S., S. A. Intan, M. M. Nourouzi., L.
C. Abdullah, T. S. Y. Choong. 2014.
Development of Novel Low-Cost Quaternized
Adsorbent from Palm Oil Agriculture Waste
for Reactive Dye Removal. Bioresource, 9(1),
66-85.
[12] Jenkins, C.L., 1978, Textile dyes are potential
hazards, Archives of Environmental Health:
An International Journal, 40 (5),712.
[13] Sivakumar, V., M. Asalthambi, P. Sivakumar
and N. Gopal. 2014. Removal of Congo Red
Dye Using an Adsorbent from Martynia
annua, L. Seed, American Chemical Science
Journal, 4(4): 424-442.
[14] Utubira, Y., K. Wijaya, Triono dan E.
Sugiharto,
2006.
Preparation
and
Characterization of TiO2-Zeolit and Its
Application to Degrade Textile Wastewater
by Photocatalitic Method. Indonesian Journal
of Chemistry, 6(3): 231-237.
[15] Asilturk, M. dan Sener, 2012, TiO2-activated
carbon
photocatalysts:
Preparation,
characterization and photocatalytic activities,

Chemical Engineering Journal, 180, 354


363.
[16] Lubis, S. dan sheilatina, 2013, Sintesis
Biodiesel dari Minyak Goreng Bekas
Menggunakan Katalis Bentonit Terpilar
Alumina, Jurnal hasil Penelitian industri, 26
(2), 93-100.
[17] Dvininov, E., E. Popovici, R. Pode, L.
Cocheci, P. Barvinschi, and V. Nica, 2009,
Synthesis and characterization of TiO2pillared Romanian clay and their application
for azoic dyes photodegra-dation, Journal of
Hazardous Materials, 167, 10501056.
[18] Jagtap, N. and V. Ramaswamy, 2006,
Oxidation of aniline over titania pillared
montmorillonite clays, Applied Clay Science,
33, 8998
[19] Dhamayanti, Y, K. Wijaya dan I. Tahir, 2005,
Fotodegradasi Zat Warna Methyl O
Menggunakan Fe2O3-Montmorillint dan
Sinar Ultra Violet, Prosiding seminar
Nasional Dies ke 50 FMIPA UGM, 22-29.
[20] Bulut, E., M. Ozacar and A. Sengil, 2008.
Adsorption of Malachite Green onto
Bentonite: Equilibrium and Kinetic Studies
and Process Design, Microporous and
Mesoporous Materials, 115: 234246.
[21] Daneshvar, N., D. Salari, and A.R. Khataee,
2003. Photocatalytic Degra-dation of Azo
Dye Acid Red 14 In Water: Investigation of
The Effect of Operational Parameters.
Journal
of
Photochemistry
and
Photobiology, 157(1): 111-116.
[22] Abaamrane, A., Q. Samir, B. Noureddine S.M.
Billah, A. Assabbane and Y. Ait-Ichou. 2012.
Optimal Decolorization Effiency of Indigo
Carmine by TiO2/UV Photocatalytic Process
Couple with Response Surface Methodology.
Oriental Journal of Chemistry, 28 (3): 10911098.
[23] Debnath, S., B. Niladri, N. Hlengilizwe, M.
Arjun and P. Kriveshini, 2014. Optimization
and Mechanism Elucidation of the Catalytic
Photo-Degradation of the Dyes Eosin Yellow
(EY) and Naphthol Blue Black (NBB) by a
polyaniline-coated
Titanium
Dioxide
Nanocomposite. Applied Catalysis B:
Enviromental, 163: 330-32.
[24] Madhu, G. M., Lourdu, A. R. M. A.,
Vasantha, Kumar Pai K. dan Shreyas.
2007. Photodegradation of Methylen Blue
Dye using UV/BaTiO3,
UV/H2O2, and
UV/H2O2/BaTiO3
Oxidation
Processes,
Indian Journal of Chemical Technology, 14 :
139144.

1987

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

SYNTHESIS OF ZINC FERRITE (ZnFe2O4) NANOCRYSTALS:


COMPARISON OFSOL-GEL AND HYDROTHERMALMETHODS
Syukri Arief*) and Rahmayeni
Laboratorium Material, Kimia FMPA Universitas Andalas
syukriarief@gmail.com

Abstract
Zinc ferrite (ZnFe2O4)nanocrystals with diameter of about 10 nm, have been obtained through solgel
and hydrothermal methods. In solgelmethod, ethanol is used as a solvent, while citric acid as a
chelating agent. Using the hydrothermal process, NaOHused as precipitator and creator of alkaline
conditions. We have studied the use solgel and hydrothermal methods in synthetic ferrite compounds,
especially for the size and shape of the particles. A point to note that the formation process (method)
so play an important role on the particle size and quality of the ferrite compound. Synthesized ferrite
showed superparamagnetic properties as expected for a single domain nanoparticles with the values
of magnetization were relatively good.
Keywords : ZnFe2O4, solgel, hydrothermal, superparamagnetic
ZnFe2O4 telah disintesis dengan menggunakan
berbagai metode, seperti co-presipitasi [7], solgel [8], reaksi solid-state [9], reaksi
pembakaran menggunakan glisin [10] dan urea
sebagaireduktor [11], sintesis hidrotermal [12],
solvothermal
dan
sintesis
mikrowave
solvothermal [13], energi tinggi bolapenggilingan [14], metode microwave
pembakaran [15]. Kebanyakan penelitian itu
dilakukan secara sendiri-sendiri. Di sini, kami
membandingkan du buah metode, yaitu solgel
dengan
hidrotermal
dalam
pembuatan
nanopartikel ZnFe2O4. Diantara kedua metoda
itu, yang ingin diketahui adalah kelebihan dan
kekurangannya, bagaimana bentuk partikel dan
sebaran partikel serta stuktur kristalnya.
.

1. PENDAHULUAN
Senyawa ferit (MFe2O4) dimana M =
logam transisi atau alkali tanaha dalah material
magnetik dengan struktur spinel. Senyawa ini
pada akhir-akhir ini menarik perhatian para
peneliti karena aplikasinya yang potensial
sebagai
penyimpanan
data,
biosensor,
pengantar obat dan diagnosis penyakit [1],
sensor gas [2], peralatan elektronik,
katalisator[3-4] dan lain-lain. Dalam proses
fotokatalitik partikel MFe2O4 sudah digunakan
untuk mendegradasi beberapa senyawa organik
berbahaya dalam air. MFe2O4dengan band gap
yang sempit dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan ZnO dalam proses
fotokatalitik karena material ini dapat
mempersempit band gap ZnO dan memperluas
daerah serapannya pada daerah sinar tampak.
Di samping itu karena oksida logam ini
bersifat magnetik maka partikel yang
dihasilkan bersifat magnetik sehingga dapat
dipisahkan daric airan dengan menggunakan
pengaruh medan magnit dari luar[5-6].

2. KAJIAN LITERATUR DAN


PEGEMBANGAN HIPOTESIS (JIKA
ADA)
Ferit merupakan senyawa yang memiliki
struktur kristal spinel dengan rumus molekul
MFe2O4 (M= Zn, Fe, Ni, Co, Mg, Mn, Cu) dan
merupakan material yang bersifatmagnetik.
Senyawa utama ferit adalah Fe3O4, yaitu
mineral magnetit. Rumus untuk Fe3O4 dapat
ditulis sebagai Fe2+O2- (Fe3+)2(O2-)3, di mana
ion Fe ada di keduavalensi +2 dan +3 dalam
rasio 1:2. Ion O2-bersifat magnetis netral.

Beberapa material spinel seperti ZnFe2O4,


adalahsenyawa
jenis
semikonduktoryang
memiliki energi Gap yang relatif kecil (sekitar
2eV). Semikonduktor-semikonduktor ini
menunjukkan karakteristik respon cahaya
tampak yang sangatbaik, stabilitasfotokimia
yang baik, sertabersifat magnet yang
menguntungkan. Sampai saat ini, nanopartikel

Nanopartikel zink berbasis ferit (ZnFe2O4)


telah menarik perhatian karena kemampuannya
1988

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

andinganmol Zn+2 : Fe+3 : asamsitratadalah 1 :


2 : 3. Campuraninidiadukdengankecepatan 500
rpm selama 1 jam padasuhu 70 oC hingga
terbentuk gel basah. Gel yang terbentuk
dikeringkan di dalam oven padasuhu 120oC
selama 24 jam untukmembentuk gel kering.
Gel
keringtersebutkemudiandigerusdengan
mortar hingga membentuk serbuk halus.
Serbuk yang dihasilkan dikalsinasi di dalam
furnace padasuhu 600oC selama 2 jam, lalu
dikarakterisasi dengan peralatan XRD, SEMEDX, dan VSM.

dalam beberapa aplikasi sebagai sensor gas,


bidang kedokteran, dan sebagai fotokatalis.
ZnFe2O4 memiliki struktur spinel dengan
daerah tetrahedral A diisioleh ion-ion Zn2+,
dan oktahedral B diisi oleh ion-ion Fe3+[16].
Penelitian tentang sintesis ZnFe2O4 telah
dilakukan dengan beberapa metode seperti
metode
solution
combustion
untuk
menghasilkan struktur yang berpori dan
memiliki tingkat absorpsi yang tinggi[3],
metodeball milling energi tinggi dari campuran
ZnO dan Fe2O3[17], metode ultrasonic spray
pyrolysis dengancaracampuran ion Zn+2dan
Fe+3dikabutkanterlebihdahulumenggunakan
nebulizer utrasonikdengandialirkan gas H2dan
N2 di dalamreaktoruntukuntukmenghasilkan
ZnFe2O4tipe-n dantipe-p dandibandingkansifat
magnet dan aktifitas foto katalitiknya[18],
metode
polimerisasikompleksmenggunakan
asam sitrat sebagai pembentuk gel dan
kompleks
polimerdenganmembandingkan
variasisuhukalsinasiuntukmembandingkankem
urnianfasa yang dihasilkan dengan aplikasinya
untuk foto degradasi isopropil alkohol,
metodehidrotermaluntukmempelajarisifatnyase
bagai sensor gas, metode hidrotermal dengan
menggunakan
surfaktan
CATB
untuk
mempelajari pengaruh surfaktan tersebut
terhadap ukuran kristal dan sifat magnetnya
dimana hasil yang didapatkanyaitumenurunnya
ukurankristaldanmagnetisasisaturasi ZnFe2O4
yang disintesisdengannaiknyajumlahsurfaktan
yang ditambahkan [16].

Sintesisdenganmetodehidrotermal
Sejumlah 10 mmol Zn(NO3)2.4H2O dan 20
mmol Fe(NO3)3.9H2O dilarutkandalam 100
mL akuades dan diaduk hingga homogen.
Kemudian ditambahkanN aOH 2 M ke dalam
larutan sedikit demi sedkit dan tetap diaduk
hingga pH 12. Hasilnya berupa campuran
suspensi. Campuran tersebut dituangkan ke
dalam tabung autoclave dandipanaskandalam
oven padasuhu 180oC selama 3 jam.
Nanopartikel yang terbentuk disaring lalu
dibilas dengan akuades hingga pH 7-8 dan
dikeringkan.
Powder
yang
dihasilkan
dikarakterisasi dengan peralatan XRD, SEMEDX, dan VSM.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum, bentuk powder yang dihasilan
dari kedua metode ini tidak terlalu jauh
berbeda dari sisi warna, yaitu warna coklat
kehitaman. Hanya saja, kalau dicermati lebih
dalam, ada perbedaan dalam kehalusan ata
ukuran partikel yang dihasilan, sebagaimana
terlihat pada Gambar 1. Secara visualisasi
biasa, powder yang didapatkan dari metode sol
gel lebih kasar dibandingkan dengan powder
yang diperoleh dengan metode hidrotermal.

3. METODE PENELITIAN
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian
ini adalah seng nitrat tetrahidrat Zn(NO3)2.
4H2O (Merck), asam sitrat C6H8O7 (Merck),
NaOH (Merck), etanolp.a (Merck), etanol dan
aquades. Peralatan yang digunakan berupa
peralatan gelas, teflon autoclave, furnace dan
spektrofotometer.
Karakterisasi
sampel
dilakukan dengan menggunakan peralatan Xray diffraction (XRD), Scanning Electron
Microscopy-Energy Dispersive X-ray (SEMEDX), Transmission Electron Microscopy
(TEM), Vibrating Sampler Magnetometer
(VSM),

a
)

b)

Sintesisdenganmetode sol-gel

Gambar
1.
FotosampelZnFe2O4
disintesismelaluia) proses sol-gel
Hidrotermal

Sebanyak 10 mmol Zn(NO3)2.4H2Odan 20


mmolFe(NO3)3.9H2Odicampurkan di dalam 40
mL etanolp.a, lalu 30 mmol asam sitrat
dilarutkan di dalam 40 mL etanol p.a.
Semualarutantersebutdicampurkandenganperb

Pola XRD sampel ZnFe2O4yang dibuat dengan


metode solgel (a) dan hidrotermal (b) dapat
dilihat pada Gambar 2. Difraktogram untuk
kedua sampel menunjukkan bahwa setiap
1989

yang
danb)

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

masih dibutuhkan suhu sekurangnya 500oC.


Ketika suhu dinaikkan, secara umum,
pertumbuhan kristalinitasnya juga akan
meningkat.

sampel memiliki struktur kubik spinel sesuai


standar JCPDS No. 89-1012. Puncak difraksi
pada 2 dari 30,05, 35.36, 42,78, 52,96,
56,78 dan 62,20 dapat dianggap berasal dari
refleksi bidang (220), (311), (400), (422),
(511) dan (440) dari masing-masing spinel
ZnFe2O4.Disisi lain, perbedaan metode
pembuatan ini memberikan ketajaman dan
ketinggian puncak yang berbeda. Puncakpuncak yang diperoleh denganmenggunakan
metode solgel lebih tajam dan lebbih tinggi
daripada metoda hidrotemal. Berdasarkan
persamaan Scherer, puncak yang tajam dan
tinggi memberikan ukuran kristal yang lebih
besar dari puncak yang lebar dan rendah. Hal
ini bisa dibuktikan nanti dengan SEM.

Gambar4. Magnetik histerisis loop dari


ZnFe2O4 yang disintesismelaluia) proses solgel danb) Hidrotermal

Magnetic hysteresis loop (M.H loop) yang


diperoleh dari data VSM sebagaimana
pada Gambar4menunjukkanhasil loop
histeresisdarinanopartikelZnFe2O4yang
diperlakukan pada suhukamar. Koersiviti
darinanopartikelZnFe2O4untukkeduametoda
baik itu solgel (a) maupun hidrotermal (b)
memiliki nilai yang hampirsama. Dari hasil
ini terlihat bahwa keduanya memiliki sifat
superparamagnetic.

b)

a
)
Gambar2. Pola XRD dariZnFe2O4 yang
disintesismelaluia) proses sol-gel danb)
Hidrotermal

Gambar3. Foto
disintesismelaluia)
Hidrotermal

SEMdariZnFe2O4
proses sol-gel

5. KESIMPULAN
Dari penelitian ini diidapat kesimpulan bahwa
bedasarkan data visualisasi, XRD dan SEM
memperlihatkan ZnFe2O4yang dibuat dengan
metode solgel memiliki ukuran partikel yang
lebih besar jika dibandingkan dengan
menggunakan
hidrotermal.
Penggunaan
hidrotermal
sangat
disarankan
dalam
pembuatan ZnFe2O4 yang lebih halus.

yang
danb)

6. REFERENSI

Hasil darifotoSEM (lihat Gambar 3)


menunjukkanbahwasampelZnFe2O4dengan
metode solgel (a) dan hidrotermal (b)
terbentukolehaglomerasipartikel-partikel.
Ukuran partikel lebih kecil diperoleh dari

1. Sharifi I., H. Shokrollahi, S. Amiri, 2012,


Ferrite-based magnetic nanofluids used in
hyperthermia
applications,
Journal
of
Magnetism and Magnetic Materials, 324, 903
915.
2. Sivakumar P. R. Ramesh , A. Ramanand , S.
Ponnusamy
C. Muthamizhchelvan, 2013,
Synthesis
and
characterization
of
NiFe2O4nanoparticles and nanorod, Journal of
Alloys and Compounds,563, 611
3. Sun S., Yang X., Zhang Y., Zhang F., Ding J.,
Bao J., Gao C., 2012, Enhanced photocatalytic
activity of Sponge-Like ZnFe2O4 synthesized by
solution combustion method, Progress in

ZnFe2O4yang dibuat dengan metode solgel.


Hal ini sesuai dengan gambaraan sekali dengan
apa yang dilihat secara visual, disetujui juga
dengan hasil tinggi dan lebar puncak dari data
XRD. Halusnya partikel yang didapatkan
dengan menggunakan hidrotermal, karena
metada ini jauh lebih rendah suhu yang
digunakan. Ketika digunakan metoda solgel,
untuk pembentukan kristalinitas yang baik,
1990

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Natural Science:Material International, 22(6) :
639-643.
4. Jang J.S., 2009, Synthesis of nanocyrstalline
ZnFe2O4 by polymerized complex method for its
visible light photocatalytic application: an
Efficient
photo-oxidant,
Bull.
Korean
chemSoc, 30, 8.
5. Wang Y. Q., R. M. Cheng, Z. Wen, and L. J.
Zhao, 2011, Synthesis and characterization of
single-crystalline MnFe2O4 ferrite nanocrystals
and their possible application in water
treatment, Eur. J. Inorg. Chem., 29422947.
6. Zhang L. F., and Y. Wu, 2013, Sol-Gel
Synthesized Magnetic MnFe2O4 Spinel Ferrite
Nanoparticles as Novel Catalyst for Oxidative
Degradation of Methyl Orange, Journal of
Nanomaterials, pp 1-6.Teixeira, A.M.R.F.;
Ogasawara, T.; Nbrega, M.C.S. Investigation
of sintered cobalt-zinc ferrite synthesized by
coprecipitation at different temperatures: A
relation between microstructure and hysteresis
curves. Mater. Res. 2006, 9, 257262
7. Li, Q.; Bo, C.; Wang, W. Preparation and
magnetic properties of ZnFe2O4 nanofibers by
coprecipitationAir oxidation method. Mater.
Chem. Phys. 2010, 124, 891893.
8. Liu, H.; Guo, Y.; Zhang, Y.; Wu, F.; Liu, Y.;
Zhang, D. Synthesis and properties of ZnFe2O4
replica with biological hierarchical structure.
Mater. Sci. Eng. B 2013, 178, 10571061.
9. Jesus, C.B.R.; Mendona, E.C.; Silva, L.S.;
Folly, W.S.D.; Meneses, C.T.; Duque, J.G.S.
Weak ferromagnetic component on the bulk
ZnFe2O4 compound. J. Magn. Magn. Mater.
2014, 350, 4749.
10. Patil, J.Y.; Nadargi, D.Y.; Gurav, J.L.; Mulla,
I.S.; Suryavanshi, S.S. Glycine combusted
ZnFe2O4 gas sensor: Evaluation of structural,
morphological and gas response properties.
Ceram. Int. 2014, 40, 1060710613.

11. Costa, A.C.F.M.; Tortella, E.; Neto, E.F.;


Morelli, M.R.; Kiminami, R.H.G.A. Sintering
of Ni-Zn ferrite nanopowders by the constant
heating rate (CHR) method. Mater. Res. 2004,
7, 523528.
12. Han, L.; Zhou, X.; Wan, L.; Deng, Y.; Zhan, S.
Synthesis of ZnFe2O4 nanoplates by succinic
acid-assisted hydrothermal route and their
photocatalytic degradation of rhodamine B
under visible light. J. Environ. Chem. Eng.
2014, 2, 123130.
13. Blanco-Gutierrez, V.; Climent-Pascual, E.;
Torralvo-Fernandez, M.J.; Saez-Puche, R.;
Fernandez-Diaz, M.T. Neutron diffraction study
and superparamagnetic behavior of ZnFe2O4
nanoparticles obtained with different conditions.
J. Solid State Chem. 2011, 184, 16081613.
14. Banerjee, A.; Bid, S.; Dutta, H.; Chaudhuri, S.;
Das, D.; Pradhan, S.K. Microstructural changes
and effect of variation of lattice strain on
positron annihilation lifetime parameters of zinc
ferrite nanocomposites prepared by high enegy
ball-milling. Mater. Res. 2012, 15, 10221028.
15. Manikandan, A.; Kennedy, L.J.; Bououdina, M.;
Vijaya, J.J. Synthesis, optical and magnetic
properties of pure and Co-doped ZnFe2O4 n
16. Lemine O. M., 2013, Effect of Milling
Condition
on
the
Formation
of
ZnFe2O4Nanocrystalline, International Journal
of Physical Scineces, 8(10) : 380-387
17. Nunome T., Irie H., Sakamoto N., Sakurai O.,
Shinozaki K., Suzuki H., Wakiya N., 2013,
Magnetic and Photocatalytic Properties of nand p-Type ZnFe2O4 Particles Synthesized
Using Ultrasonic Spray Pyrolysis, Journal of
Ceramic Society of Japan, 121(1) : 26-30.
18. Pang Z., Fang M., Wu M., Liu Y., Ma Y., Liu
X., Zhang L., 2011, Polyvinyl pyrolidoneassisted hydrothermal synthesis of octahedral
ZnFe2O4 nanoparticles, Published in Micro
and Nano Letters, 6, Iss. 12, pp. 10121015

1991

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

PENENTUAN DERAJAT GRAFTING DARI POLIPROPILENA DENGAN


MALEAT ANHIDRIDA
Tengku Rachmi Hidayani*, Darwin Yunus, Yugia Muis
Politeknik ATI Padang, Jalan Bungo Pasang Tabing, Padang 25171 (0751-7055053)*
rachmihidayani@yahoo.com (081361906746)
Abstract
Research on the effect of the concentration of maleic anhydride (MA) on the degree of grafting maleic
anhydride on polypropylene (PP) with the initiator benzoyl peroxide (BPO) . The reaction of grafting is done
with processing techniques reactive in an internal mixer at a temperature of 165 oC with variations in
composition (w/w) PP : MA : BPO , 97 : 1 : 2 , 95 : 3 : 2 , 92 : 6 : 2 , 89 : 9 : 2 and 86 : 12 : 2 . th en performed
grading grafting titration method and FTIR spectra analysis to determine the presence of maleic anhydride
grafting the polypropylene chain . The results showed that the process of grafting maleic anhydride on
polypropylene can occur and the weight ratio of the mixture PP : MA : BPO ( 95 : 3 : 2 ) is the highest degree
of maleic anhydride grafting .
Keywords : Crosslinking , Grafting Polypropylene, Maleic anhydride

metode kimia radikal bebas dilepaskan oleh


inisiator seperti benzoil peroksida (BPO) atau
azobisisobutironitril (AIBN).(Singh, R.P.,
1992).
Polipropilena adalah suatu polimer yang
bersifat non polar. Polipropilena ini dapat
diubah sifat non polarnya menjadi polar
dengan cara menggrafting gugus fungsi polar
kedalam rantainya dengan adanya suatu
inisiator. Modifikasi suatu polimer dengan
teknik grafting melibatkan pembentukan situs
aktif berupa radikal bebas atau ion terlebih
dahulu pada polimer induk. Pembentukan situs
aktif dapat dilakukan dengan metode kimia
dan fisika. Dengan metode kimia, radikal
terbentuk pada polipropilena akibat abstraksi
atom hidrogen oleh radikal inisiator seperti
benzoil peroksida (BPO). (Afriando, 2009)
Penentuan derajat grafting maleat anhidrida
pada beberapa polipropilena yang tergrafting
dengan maleat anhidrida komersil dapat
dilakukan dengan metode titrasi dan fourier
transform infrared spectroscopy (FTIR) untuk
melihat gugus fungsi maleat anhidrida yang
tergrafting pada polipropilena. (M. Sclavon,
1996)
Oleh karena itu, penulis berkeinginan
meningkatkan kepolaran dari polipropilena
dengan cara mendegradasi polipropilena
dengan benzoil peroksida (BPO), selanjutnya
polipropilena
yang
terdegradasi
dapat
digrafting dengan maleat anhidrida (MA).
Diharapkan pada aplikasi selanjutnya dapat

1. PENDAHULUAN
Polipropilena
merupakan
polimer
termoplastik yang penting dan luas
penggunaannya disamping polietilena dan
polivinil klorida. Perkembangan berbagai
variasi dan luasnya jenis penggunaannya,
maka memungkinkan untuk memanipulasi
dengan berbagai aditif untuk mendapatkan
bahan polimer yang dapat dipakai untuk
berbagai keperluan lainnya.
Fungsionalisasi yang mungkin dari
polipropilena (baik polimer ataktik ataupun
isotaktik) oleh monomer-monomer
polar
merupakan suatu cara yang efektif untuk
meningkatkan kepolaran dari polipropilena
tersebut. Dan kenyataannya berbagai jenis dari
polimer-polimer yang tergrafting telah
digunakan secara luas untuk memperbaiki
adhesi permukaan antara komponen pada
campuran
polimer.
Modifikasi
dari
polipropilena isotaktik dan ataktik juga
digunakan secara luas untuk meningkatkan
penggunaan dari bahan-bahan mekanik dari
komposit yang berbahan dasar polipropilena
dan juga meningkatkan kekuatan dari komposit
tersebut. (Collar, E.P., 1997)
Metode grafting terbagi empat diantaranya
yaitu mekanisme ionik, mekanisme koordinasi,
mekanisme coupling dan mekanisme radikal
bebas yang terdiri dari metode kimia,
fotografting, radiasigrafting, plasmagrafting
dan kimia mekanik grafting. Dimana pada
1992

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

dijadikan sebagai bahan coupling agent dalam


pembuatan komposit dengan serat alam.

1. Derajat grafting maleat anhidrida pada


polipropilena

2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium, yaitu untuk memodifikasi struktur polimer polipropilena dilakukan beberapa tahap
yaitu:

2. Suhu titik lebur PP-g-MA

1. Proses degradasi polipropilena dengan


inisiator benzoil peroksida dengan waktu
penambahan inisiator benzoil peroksida
selama 5 menit yang dilakukan dalam
internal mixer pada suhu 170oC
2. Proses grafting maleat anhidrida kedalam
polipropilena
terdegradasi
dengan
perbandingan polipropilena terdegradasi
(PPd): maleat anhidrida (MA) : benzoil
peroksida (BPO) yaitu
(97%;1%:2%),(95%:3%:2%),(92%:6%:2%)
,(89%:9%:2%), dan (86%:12%:2%) dengan
penambahan inisiator benzoil peroksida
selama 5 menit yang dilakukan dalam
internal mixer pada suhu 165oC.
3. Proses Pemurnian PP-g-MA dengan cara
merefluks PP-g-MA dengan 100 ml xylene
sampai larut, setelah larut ditambahkan 40
ml aseton dan disaring. Endapannya dicuci
dengan metanol berulang-ulang, kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 120oC
selama 6 jam.
4. Proses penghitungan derajat grafting
dengan metode titrasi dengan cara endapan
yang telah murni direfluks kembali dengan
100 ml xylene sampai larut. Setelah larut
ditambahkan 1 tetes air dan refluks kembali
selama 15 menit. Kemudian ditambahkan 3
tetes indikator fenoftalein dan dititrasi
dengan KOH 0.05 N dalam keadaan panas.
Dihentikan titrasi saat terjadi perubahan
warna menjadi merah rose.
5. Proses perekaman spektra FTIR pada PPdg-MA dengan derajat grafting tertinggi
6. Proses penentuan titik leleh dengan metode
DTA

1.
2.

3. Gugus Fungsi maleat anhidrida pada


polipropilena
Variabel tetap:

3.
4.

Benzoil peroksida (BPO) 2%


Waktu penambahan benzoil peroksida
(BPO) selama 5 menit
Suhu internal mixer untuk proes
degradasi 170oC
Suhu internal mixer pada saat proses
grafting 165oC

Pembatasan masalah:
1. Dalam penelitian ini digunakan perbandingan polipropilena: benzoil peroksida
yaitu 95% : 5%
2. Dalam penelitian ini digunakan perbandingan polipropilena terdegradasi (PPd): maleat anhidrida (MA) : benzoil peroksida
(BPO) yaitu: (97%:1%:2%), (95%:3%:2%),
(92%:6%:2%), (89%: 9%: 2%), (86%:
12%: 2%)
3. Waktu yang digunakan dalam setiap
penambahan benzoil peroksida (BPO)
adalah 5 menit
4. Karakterisasi dilakukan dengan uji FTIR ,
DTA dan penentuan derajat grafting
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia
Polimer Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sumatera
Utara,
Laboratorium PTKI Medan dan
Laboratorium Kimia Organik Universitas
Gajah Mada Yogyakarta.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Pencampuran Polimer
Pada
penelitian
ini
dilakukan
pencampurn antara polipropileno terdegradasi
(PPd), maleat anhidrida (MA),dan benzoil
peroksida (BPO). Hasil pencampuran variasi
komposisi campuran dapat dilihat pada tabel 1.

Variabel-variabel yang digunakan adalah:


Variabel bebas :

Tabel 1. Data Hasil Pencampuran Polimer

Konsentrasi polipropilena terdegradasi dan


maleat anhidrida dalam campuran PPd: MA:
BPO
Variabel terikat :
1993

No
.

Sampe
l PPd
(%)

M
A
(%)

BP
O
(%)

Berat
Endapa
n
(gram)

97

1,08

Volum
e
KOH
0,05N
(ml)
2,2

Derajat
Graftin
g
(%)
4,99

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
2
3
4
5

95
92
89
86

3
6
9
12

2
2
2
2

0,83
0,97
1,09
0,94

3,3
3,8
3,6
2,9

9,73
9,59
8,08
7,55

suatu inisiator. Bentuk formasi pencangkokan


maleat anhidrida kedalam polipropilena dapat
berupa disproporsionasi dan cross-lingking.
Semakin banyak jumlah maleat anhidrida
tergrafting pada polipropilena maka semakin
tinggi juga derajat graftingnya, dimana
penghitungan derajat grafting dilakukan
dengan titrasi.

Grafik perbandingan derajat grafting dengan


konsentrasi MA terlihat pada gambar 1.
Derajat Grafting (%) Vs Konsentrasi Maleat Anhidrida (MA%)

Derajat Grafting (%)

12
10

9.73

3.3.1. Pengaruh Konsentrasi Maleat Anhidrida


Terhadap Derajat Grafting

9.59
8.08

7.55

Pengaruh konsentrasi maleat anhidrida


terhadap derajat grafting dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :

4.99

4
2
0
0

10

12

14

[MA] (%)

Tabel 2. Perbandingan Konsentrasi Maleat


Anhidrida terhadap Derajat
Grafting

Gambar 1. Grafik perbandingan derajat


grafting dengan konsentrasi MA
3.2. Perhitungan

Bilangan Asam

ml KOH x N KOH x 56,1


Berat Endapan ( g )

Derajat Grafting

Bilangan Asam x 98
2 x56,1

Konsentrasi MA (%)
1
3
6
9
12

Derajat Grafting %)
4,99
9,73
9,59
8,08
7,55

Penentuan derajat grafting maleat


anhidrida pada polipropilena dilakukan dengan
cara titrasi. Dari hasil penelitian yang tertera
pada tabel 4.3.1, persentase derajat grafting
maksimum terjadi pada konsentrasi maleat
anhidrida 3%. Dan persentase derajat grafting
menurun ketika konsentrasi maleat anhidrida
terus bertambah sampai 12%. Ini disebabkan
karena terjadinya homopolimerisasi, yang
menyebabkan monomer-monomer maleat
anhidrida cenderung membentuk diri polimer
sendiri dibandingkan menempel pada rantai
polipropilena. Hasil ini didukung oleh Mousa
Ghaemy yang telah meneliti proses grafting
maleat pada polietilena (Mousa, G. 2002)

Untuk sampel 1 diperoleh volume KOH = 2,2


ml dan berat endapan = 1,08 g, maka dari
rumus diatas diperoleh :

2,2 x 0,05 x 56,1


5,71
1,08
5,71 x 98
Derajat Grafting
4,99 %
2 x56,1
Bilangan Asam

Dengan cara yang sama untuk sampel PP-gMA 2,3,4 dan 5 diperoleh hasil :
Derajat grafting sampel 2 = 9,73 %

3.3.2. Analisa FTIR (Fourier Transform


Infrared
Spectroscopy) dari
campuran
PPd/MA/BPO dengan Derajat Grafting
Maksimum

Derajat grafting sampel 3 = 9,59 %


Derajat grafting sampel 4 = 8,08 %
Derajar grafting sampel 5 = 7,55 %

Penerapan Spektroskopi inframerah


pada penelitian dilakukan untuk mengetahui
perbedaan gugus-gugus fungsi yang terdapat
pada polipropilena murni dan polipropilena
yang tergrafting maleat anhidrida . Dimana
gugus-gugus fungsi tersebut mempunyai
frekuensi yang khas.

3.3. Pembahasan
Reaksi radikal bebas dari monomer kedalam
hidrokarbon (polyolefin) adalah jenis inisiasi
melalui alkoksi radikal yang dibentuk dari
dekomposisi peroksida. Pencangkokan maleat
anhidrida kedalam polipropilena terjadi ketika
polimer tersebut menjadi radikal oleh adanya
1994

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Bilangan gelombang FTIR polipropilena murni


dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Penerapan analisis thermal diffrensial


pada penelitian ini untuk mengetahui
perubahan sifat-sifat khusus panas dari suatu
bahan sampel, dengan mengukur perbedaan
temperatur diantara sampel dengan suatu
bahan pembanding yang stabil terhadap
perubahan panas. Dimana pada penelitian ini
sampel yang digunakan adalah polipropilena
murni, PP-g-MA sebelum dan sesudah
pemurnian dengan derajat grafting maksimum
dan bahan pembanding yang digunakan adalah
Al2O3.

Tabel 3. Bilangan Gelombang Polipropilena


Sampel
Poliprop
ilena

Bil. Gelombang (cm-1)


2862,36
2839,22
2924,09

Gugus Fungsi
CH3
CH2
CH

Bilangan gelombang FTIR dari PP-g-MA


sebelum pemurnian dengan derajat grafting
maksimum dapat dilihat pada tabel dibawah ini
:

Dari termogram DTA dapat dilihat


perubahan titik lebur pada polipropilena murni
dengan PP-g-MA sebelum dan sesudah
pemurnian dengan derajat grafting maksimum,
dimana pada polipropilena murni titik lelehnya
yaitu 165oC dengan temperatur terdekomposisi
sebesar 350oC dan pada PP-g-MA baik
sebelum ataupun sesudah pemurnian dengan
derajat grafting maksimum titik lelehPnya
menurun menjadi 150oC dengan temperatur
terdekomposisi sebesar 400oC

Tabel 4. Bilangan Gelombang PP-g-MA


sebelum pemurnian dengan
derajat grafting maksimum
Sampel
PP-g-MA
(sebelum
pemurnian)

Bil. Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi


2839,22
CH3
2723,49
CH2
1604,77
C=C
1712,79
C=O

Bilangan gelombang FTIR dari PP-g-MA


setelah pemurnian dengan derajat grafting
maksimum dapat dilihat pada tabel dibawah ini
:
Tabel 5. Bilangan Gelombang PP-g-MA
setelah pemurnian dengan derajat grafting
maksimum
Sampel
PP-g-MA
(setelah
pemurnian)

Bil. Gelombang
(cm-1)
2924,09
2954,95
1720,50

Perubahan sifat dari polipropilena


murni dan PP-g-MA sebelum dan sesudah
pemurnian dengan derajat grafting maksimum
diduga karena adanya proses degradasi yang
menyebabkan terputusnya rantai polimer dari
polipropilena.

Gugus
Fungsi
CH3
CH
C=O

4. KESIMPULAN
Reaksi grafting antara maleat anhidrida dengan
polipropilena dapat terjadi yang dibuktikan
dengan adanya serapan yang khas pada spektra
FTIR dari setiap bahan campuran. Derajat
grafting maksimum dihasilkan dari konsentrasi
maleat
anhidrida
sebesar
3%
pada
polipropilena. Perubahan titik leleh dari
polipropilena murni dan PP-g-MA sebelum
dan sesudah pemurnian dengan derajat grafting
tertinggi dibuktikan dengan analisa DTA,
dimana titik leleh dari polipropilena murni
yaitu sebesar 165oC dan titik leleh dari PP-gMA sebelum dan sesudah pemurnian sebesar
150oC

Dari tabel 4 dan 5 hasil spektra FTIR


menunjukan telah terjadi interaksi antara
Polipropilena (PP), maleat anhidrida (MA) dan
benzoil peroksida (BPO). Hal ini ditunjukan
dengan munculnya puncak serapan yang khas
pada bilangan gelombang 1712,79 cm-1 untuk
gugus karbonil dari maleat anhidrida pada PPg-MA sebelum pemurnian dan 1720,50 cm-1
setelah pemurnian. Dan pada hasil spektra
FTIR dari PP-g-MA setelah pemurnian tidak
ditemukannya gugus C=C, ini menunjukan
bahwa setelah pemurnian polipropilena yang
tidak tergrafting telah larut pada proses
pemurnian.

5. REFERENSI
Afriando.2009.Pengaruh Konsentrasi Benzoil
Peroksida
Pada
Degradasi
Thermal
Poilipropilena. Medan : USU.
Allen, N.S. 1983. Degradation and Stabilisation Of
Polyolefins. London : Applied Science
Publishers

3.3.3. Analisa DTA (Diffrensial Thermal


Analysis) dari campuran PPd/MA/BPO dengan
Derajat Grafting Maksimum

1995

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Arifin, 1996. Sintesis Kopolimer Stirena Maleat
Anhidrida dan Karakterisasinya. Tesis
PPS
Kimia. Bandung : Institut Teknologi Bandung
Press.
Billmeyer, F.W. 1962. Textbook Of Polymer
Science. Second Edition. New York : John
Wiley and Sons
Collar, E.P.1997. Chemical Modification of
Polypropylenes by Maleic Anhydride Influence
of Stereospecificity and Process Conditions.
Spain :Departemento de
Fisica
e
Ingenierta de Polimeros
Cowd, M.A. 1991. Kimia Polimer. Bandung :
Penerbit ITB
Gachter,M., 1990. Plastic Additives Handbook.
Third Edition. Munich: Hanser Publisher.
Hartomo, A.J., 1995. Penuntun Analisis Polimer
Aktual. Yogyakarta : Penerbit Andi
Hartomo, A.J., 1996. Polimer Mutakhir.
Yogyakarta : Penerbit Andi
http://id.wikipedia.org/wiki/maleat anhidrida
http://en.wikipedia.org.wiki.Polypropylene
Hummel, D.O.,1985. Infrared Spectra Polymer in
the Medium and long Wavelength
Region. London : John Wiley and Sons

Sastrohamidjojo,H.1992. Spektroskopi Inframerah.


Yogyakarta : Penerbit Liberty
Saihi, D. 2001. Graft Copolymerization of a
Mixture of Perfluorooctyl-2 Ethanol Acrylic and
Stearyl Methacrylate Onto Polyester Fibers
Using Benzoyl Peroxide as
Initiator.
France : Ecole Nationale Superieure des Arts et
Industries de Strasbourg.
Sclavons,M., 1996. The Anhudride Content of Some
Commercial PP-g-MA:FTIR and
Titration. Belgium ;John Wiley and Sons.
Singh, R.P. 1992. Surface Grafting Onto
Polypropylene
A
Survey
of
Recent
Developments. India : National Chemical
Laboratory.
Stein, S., 1986. Penyelidikan Spektrometrik
Senyawa Organik. Edisi keempat. Jakarta
: Erlangga.
Seymour, 1984. Structure-Property Relationship in
Polymer. New York : Plenum Press.
Steven, M.P. 2001. Kimia Polimer. Jakarta : PT.
Pradnya Paramita.
Strepikheyev, A., 1971. A First Course in Polymer
Chemistry. Moscow : MIR Publishers
Wirjosentono, B. 1998. Struktur dan Sifat Mekanis
Polimer. Medan : Intan Dirja Lela Press

1996

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

UJI AKTIVITAS SITOTOKSIK FRAKSI DAUN PEDADA (Sonneratia caseolaris L.)


DENGAN METODE BLST
Yulianis1, Madyawati Latief2, Ainun Jariah1
Program Studi Farmasi, STIKES Harapan Ibu Jambi
email: yulianisaljazira@yahoo.com
2
Fakultas Sains danTeknologi, Universitas Jambi

Abstract
Sonneratia caseolaris L. contain bioactive compounds such as flavonoids, phenols, terpenoids, and tannins is
and active anti-oxidants. Compounds are experimental as anti-oxidants have potential anti-cancer, so do the
cytotoxic activity of the leaf Sonneratia caseolaris L. Samples were fractionated in stages with n-hexane, ethyl
acetate and methanol. Cytotoxic activity test was conducted using Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). The
results of the cytotoxic activity test by the method BSLT, LC50 values obtained methanol fraction leaves
Sonneratia caseolaris L. 22.38 ppm, 24.89 ppm of ethyl acetate fraction and 54.83 ppm hexane fraction, Test the
cytotoxic activity of each fraction are actively researched Sonneratia caseolaris L. leaves cytotoxic marked with
LC50 values of the three small extract of 1000 ppm.
Keywords: Brine Shrimp Lethality Test, LC50, Sonneratia caseolaris L.
Abstrak
Tumbuhan pedada mengandung senyawa bioaktif seperti flavonoid, fenol, terpenoid, dan tanin yang aktif
sebagai anti oksidan. Senyawa yang berkhasiat sebagai anti oksidan memiliki potensi anti kanker, sehingga
dilakukan pengujian terhadap aktivitas sitotoksik dari daun pedada. Sampel difraksinasi secara bertingkat
dengan n-heksan, etil asetat dan metanol. Uji aktivitas sitotoksik dilakukan dengan metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT). Hasil pengujian aktivitas sitotoksik dengan metode BSLT, diperoleh nilai LC 50 fraksi
metanol daun pedada 22,38 ppm, fraksi etil asetat 24,89 ppm dan fraksi heksan 54,83 ppm. Uji aktivitas
sitotoksik masing-masing fraksi daun pedada diteliti bersifat aktif sitotoksik ditandai dengan nilai LC 50 dari
ketiga ekstrak kecil dari 1000 ppm.
Kata Kunci : Brine Shrimp Lethality Test, LC50, Pedada.

Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung


Jabung Barat Jambi.
Pemanfaatan tumbuhan ini masih sangat
jarang, daunnya di gunakan untuk mengobati
penyakit cacar dan untuk lalapan sedangkan
buahnya hanya digunakan untuk campuran
membuat rujak dan bahan baku sirup pedada.
Tumbuhan pedada mengandung senyawa
bioaktif seperti flavonoid, fenol, steroid,
terfenoid, hidroquinon, dan tanin yang aktif
sebagai bahan anti mikroba (Naiborhu, 2002).
Dari penelitian Kumar (2005) dari tanaman
ini diperoleh 2 senyawa flavonoid, yaitu
luteolin dan luteolin 7-O-beta glikosida.
Menurut Woo dan Kim (2013) senyawa
flavonoid mempunyai mekanisme efek anti
kanker, yaitu melalui mekanisme pengaktifan
jalur apoptosis sel kanker, selain itu flavonoid
sebagai penghambat poliferasi tumor / kanker
yang salah satunya dengan menginhibisi
aktivitas protein kinase, karena aktivitas tirosin

1. PENDAHULUAN
Sumber
keanekaragaman
hayati
di
Indonesia merupakan salah satu kekayaan alam
yang berperan penting dalam berbagai lapisan
masyarakat. Sebagai negara dengan budaya
yang masih kental akan pemanfaatan ragam
tanaman tradisional untuk mengobati berbagai
penyakit, masyarakat terutama di daerah
pedesaan cenderung memakai tanaman
tradisional untuk menyembuhkan penyakit
yang diderita.
Salah satu tumbuhan yang berpotensi
sebagai obat adalah tumbuhan pedada
(Sonneratia caseolaris L.) yang merupakan
spesies dari famili Lytraceae (Santoso et al.,
2008). Tumbuhan pedada adalah sejenis pohon
yang hidup di daerah yang pasang surut yang
berlumpur, rawa-rawa pada tepi sungai.
Tumbuhan ini banyak di jumpai di daerah

1997

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

kinase yang meningkat berperan dalam


pertumbuhan pertumbuhan keganasan sel
kanker. Flavonoid juga berperan untuk
mengurangi resistensi tumor terhadap agen
kemoterapi.
Berdasarkan latar belakang di atas dimana
tumbuhan pedada memiliki potensi sebagai
anti kanker. Selain itu tumbuhan pedada ini
mudah didapat di sekitar peneliti oleh karena
itu peneliti tertarik untuk melakukan pengujian
aktivitas sitotoksik dari beberapa fraksi daun
pedada dengan metode Brine Shrimp Lethality
Test (BSLT).
Metode BSLT adalah salah satu cara yang
digunakan untuk mengetahui kemampuan
sitotoksik dari suatu senyawa, yang dihasilkan
oleh ekstrak tanaman dengan menggunakan
larva udang Artemia salina Leach. sebagai
bioindikator (Kanwar 2007). BSLT lazim
digunakan karena lebih murah, mudah, cepat
dan hasilnya akurat. Selain itu, metode ini
telah terbukti memiliki hasil yang berkorelasi
dengan kemampuan sitotoksik senyawa anti
kanker (Meyer et al., 1982).
Sitotoksik adalah sifat dari suatu senyawa
yang dapat menghambat atau membunuh sel
organisme (Enviromental, 2002). Tingkat
toksisitas diketahui dari nilai LC50. Jika nilai
LC50 hasil uji ekstrak nilainya berada dibawah
1000 ppm, maka ekstrak tersebut dinyatakan
aktif bersifat sitotoksik dalam menghambat
pertumbuhan larva udang (Artemia salina
Leach.) (Kelana, 2007).

Sampel seberat 0,5 gram ekstrak


ditambahkan beberapa tetes H2SO4 pekat dan
dikocok kuat-kuat. Jika ekstrak menghasilkan
warna kuning berarti positif mengandung
flavonoid golongan flavon dan flavonol dan
jika menghasilkan warna merah tua
mengandung flavonoid golongan khalkon.
c. Uji Fenol (Houghton dan Raman (1999)
dalam Fadhilla 2010)
Sampel seberat 0,5 gram ekstrak
ditambahkan beberapa tetes FeCl3 1%. Jika
menghasilkan warna hitam kehijauan ekstrak
positif mengandung fenol.
d. Uji Tanin (Lathifah,2008 )
Sampel seberat 0,5 gram ekstrak
ditambahkan 2 ml air dan 2 tetes larutan FeCl3
1 %. Apabila larutan menghasilkan warna
hijau kebiruan, maka ekstrak positif
mengandung tanin.
e. Uji Saponin
Sampel seberat 0,5 gram ekstrak sampel
dari hasil ekstraksi ditambahkan 0,5 ml air
panas kemudian dikocok selama 1 menit.
Apabila menimbulkan busa stabil selama 10
menit, maka ekstrak positif mengandung
saponin.
f. Uji Triterpenoid dan Steroid
Sampel seberat 0,5 gram ekstrak sampel
dari hasil ekstraksi ditambahkan 2 ml
kloroform dan
ditambahkan asam asetat
glasial dan H2SO4 pekat. Larutan dikocok
perlahan. Jika menghasilkan warna biru/hijau
ekstrak positif mengandung sretoid dan jika
menghasilkan warna merah/ungu positif
mengadung terpenoid.

2. KAJIAN LITERATUR DAN


PEGEMBANGAN HIPOTESIS
Berdasarkan penelitian Kumar (2005) dari
tanaman ini diperoleh 2 senyawa flavonoid,
yaitu luteolin dan luteolin 7-O-beta glikosida.
Menurut Woo dan Kim (2013) senyawa
flavonoid mempunyai mekanisme efek anti
kanker, yaitu melalui mekanisme pengaktifan
jalur apoptosis sel kanker.

Ekstraksi Dan Fraksinasi Sampel


Sampel daun pedada sebanyak, 1,5 kg,
diekstraksi secara maserasi bertingkat di mulai
dengan n-heksan, etil asetat dan metanol.
Masing-masing dilakukan 3 x 24 jam . Hasil
masing-masing maserat diuapkan dengan
rotari evaporator dan diperoleh ekstrak kental
heksan, etil asetat, dan metanol.

3. METODE PENELITIAN
Skrining Fitokimia (Harborne, 1987)
a. Uji Alkaloid
Sampel seberat 0,5 gram ekstrak
ditambahkan 0,5 ml HCl 2N kemudian
ditambahkan 2 tetes reagen dragendorf.
Apabila hasil pengujian menghasilkan warna
orange, maka ekstrak positif mengandung
alkaloid.
b. Uji flavonoid

Uji Kromatografi Lapis Tipis


Ekstrak n-heksan, ekstrak etil asetat
dan ekstark metanol kemudian dikromatografi
lapis tipis dengan menggunakan eluen nheksan : etil asetat (7 : 3). Bercak atau noda
pada plat KLT dimonitor dibawah lampu UV
dengan panjang gelombang 254 nm (Cannel,
1998)

1998

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

b. Aktivitas sitotoksik daun pedada tethadap


Artemia salina Leach. di tentukan
berdasarkan analisa probit dan dibuat
persamaan regresi linier.
y = a + bx
dimana y = angka probit
x = log konsentrasi

Metode Uji Sitotoksik dengan Brine Shrimp


Lethality Test (Juniarti dkk, 2009).
a. Penetasan Telur Artemia salina Leach.
Larva uji yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh dengan cara
menetaskan telur Artemia salina Leach. Di
dalam wadah penetasan. Dimana wadah dibagi
menjadi dua ruangan, yaitu bagian yang terang
yang disinari lampu terus menerus dan bagian
yang gelap yang ditutup, serta dilengkapi
dengan sistem aerasi. Sumber cahaya
diletakkan untuk menarik larva, sedangkan
sistem aerasi berguna untuk pertumbuhan
larva. Telur sebanyak 100 mg ditempatkan
pada bagian yang gelap dari wadah yang
berisi air laut. Kemudian telur diinkubasi
selam 48 jam dan lampu dinyalakan untuk
menetaskan telur. Setelah menetas larva akan
berenang melewati pembatas bejana. Larva
yang berhasil melewati pembatas bejana
penetasan dapat digunakan sebagai larva uji.

Persamaan tersebut dapat digunakan untuk


mengetahui nilai LC50 dari ekstrak daun
pedada dengan memasukkan nilai probit 5
(50% kematian) kepersamaan tersebut
sehingga
diperoleh
konsentrasi
yang
menyebabkan 50% kematian.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses ekstraksi dan fraksinasi dengan
metode
maserasi
secara
bertingkat
menggunakan pelarut yang berbeda tingkat
kepolarannya, yaitu n-heksan, etil asetat dan
metanol.
Hal
ini
bertujuan
untuk
menyederhanakan
komponen-komponen
kimianya, sehingga dapat dikelompokkan
berdasarkan fraksi non polar, semi polar, dan
polar.
Hasil maserasi di peroleh ekstrak
kental dari masing-masing ekstrak. Dari 1,5 kg
daun pedada (Sonneratia caseolaris L.) kering
diperoleh fraksi kental metanol 61,43 gram
(4,095%), fraksi kental etil asetat 52,50 gram
(3,5%), fraksi kental heksan 11,25 (0,75).
Jumlah rendemen ekstrak yang diperoleh dari
masing-masing ekstrak menunjukkan kuantitas
yang berbeda-beda. Perbedaan banyaknya
ekstrak pekat yang diperoleh dari setiap fraksi
sangat tergantung jumlah kandungan senyawa
yang dimiliki masing-masing sampel.
Selanjutnya dari masing-masing fraksi
kental dilakukan uji pendahuluan kandungan
kimia dapat dilihat pada tabel 1.

b. Prosedur Uji Toksisitas


Pengujian aktivitas dilakukan dengan 5
variasi konsentrasi yaitu 1000, 500, 100, 50
dan 10 ppm dan setiap konsentrasi dibuat tiga
kali pengulangan. Ekstrak metanol, ekstrak nheksan, ekstrak etil asetat masing-masing
dipipet berdasarkan konsentrasi yang telah
ditentukan.
Setelah sampel dimasukkan ke dalam
masing-masing
vial
dengan
berbagai
konsentrasi kemudian masing-masing sampel
ditambahkan DMSO 100 l pada masingmasing vial dan tambahkan air laut bagian
dari batas vial yang sudah dikalibrasi 5 ml,
aduk sampai larut kemudian masukkan air laut
kembali ad 5 ml. Masukkan larva sebanyak 10
ekor dan aduk hingga homogen lalu inkubasi
selama 1x24 jam. Hitung larva yang mati dari
tiap-tiap vial. Kemudian hitung ratarata
kematian dari tiap pengenceran ekstrak dan
hitung persentase kematiannya.

Tabel 1. Uji Skrining Fitokimia dari daun

pedada (Sonneratia caseolaris L.)


Sampel

Analisa Data
a. Perhitungan rendemen dilakukan dengan
membandingkan jumlah ekstrak kental yang
didapat terhadap jumlah serbuk simplisia
yang di ekstraksi kemudian dikalikan
100%.
Rendemen = Berat ekstrak kental x 100%
Berat simplisia

1999

Senyawa Metabolit sekunder


Alkaloid Fenol Triter
Flavo Tanin
penoid noid

Saponin

Fraksi
etil
asetat

Fraksi
metanol

Fraksi
heksan

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

Dari masing-masing fraksi yaitu fraksi heksan,


fraksi etil asetat, fraksi metanol dilakukan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT),

daun pedada memiliki aktivitas sitotoksik,


karena nilai LC50 dari ketiga fraksi kecil dari
1000 ppm (tabel 2). Sitotoksik adalah
kemampuan suatu senyawa menghambat
pertumbuhan sel, dimana suatu ekstrak
dinyatakan aktif sitotoksik apabila nilai LC50 <
1000 ppm. Sifat sitotoksik suatu ekstrak dapat
ditentukan dengan melihat nilai LC50, jika
LC50 30 ppm maka bersifat sangat toksik, jika
30-1000 ppm bersifat toksik. Nilai LC50 fraksi
metanol 22,38 ppm kecil dari 30 ppm maka
fraksi metanol ini dapat di kategorikan sangat
toksik (Meyer et al., 1982), nilai LC50 fraksi
etil asetat 24,89 ppm kecil dari 30 ppm dapat
dikategorikan sangat toksik, sedangkan nilai
LC50 fraksi heksan 54,83 ppm besar dari 30
ppm dan kecil dari 1000 ppm jadi dapat
dikategorikan bersifat toksik.

Gambar 1. Profil KLT dengan fase gerak


n-heksan : etil asetat (7:3) dilihat dengan
lampu UV 254 nm.
Tujuan dilakukan Kromatografi Lapis
Tipis pada penelitian ini adalah untuk melihat
pola noda dari masing-masing ekstrak dimana
pola noda sebagai parameter telah terjadi
pemisahan, dari hasil KLT yang dilakukan
pada fraksi heksan, etil asetat, dan metanol
menunjukkan telah terjadi pemisahan hal ini
ditandai dengan banyaknya noda.
Toksisitas dari suatu ekstrak tumbuhan
terhadap larva udang Artemia salina Leach.,
dapat ditentukan berdasarkan nilai ekstrim
tumbuhan tersebut, dikatakan toksik apabila
ekstrak tumbuhan memiliki nilai LC50 < 1000
ppm, dengan parameter suatu ekstrak dianggap
sangat toksik bila memiliki nilai LC50 dibawah
30 ppm, dianggap toksik bila memiliki nilai
LC50 30-1000 ppm dan dianggap tidak toksik
bila nilai LC50 di atas 1000 ppm. Sedangkan
senyawa murni dinyatakan toksik bila
memiliki nilai LC50 200 ppm (Meyer et al.,
1982). Tingkat toksisitas tersebut memberikan
makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai
anti tumor.
Aktivitas sitotoksik daun pedada
(Sonneratia caseolaris L.) terhadap Artemia
salina Leach. ditentukan berdasarkan analisa
probit dan dibuat persamaan regresi linier y = a
+ bx, dimana y = nilai probit dan x = log
konsentrasi. Persamaan tersebut digunakan
untuk mengetahui nilai LC50 dari fraksi daun
pedada dengan memasukkan nilai probit 5
(50% kematian) kepersamaan tersebut
sehingga
diperoleh
konsentrasi
yang
menyebabkan 50% kematian.
Nilai LC50 yang diperoleh dari hasil uji
aktivitas sitotoksik yang dilakukan pada
masing-masing ekstrak yaitu fraksi heksan, etil
asetat, metanol menunjukkan bahwa fraksi

Sampel
Fraksi
Metanol
Rata-rata
Fraksi
Etil Asetat
Rata-rata
Fraksi
n-heksan
Rata-rata

Jumlah Kematian Larva


Udang dengan Konsentrasi
(PPM)
1000
500 100
50
10
9
9
6
6
6
8
7
5
5
5
9
9
5
5
4
8,9
8
5,3
5,3
5
8
10
5
6
4
10
8
6
6
4
10
8
7
6
5
9,3
8,6
6
6
4,3
7
7
6
6
5
7
6
5
4
5
7
8
4
4
3
7
7
5
4,7
3

LC50
(Ppm)

22,38

24,15

54,83

Tabel 2. Pemerisaan Uji Aktivitas Sitotoksik


Daun Pedada
Hasil uji BSLT yang dilakukan dari
ketiga fraksi yaitu fraksi metanol, etil asetat,
heksan, yang memiliki nilai LC50 yang sangat
toksik adalah fraksi metanol. Sifat sangat
toksik dari ekstrak metanol daun pedada
(Sonneratia caseolaris L.) diperkirakan karena
adanya
kandungan
senyawa
metabolit
sekunder yang dikandungnya, dimana fraksi
metanol
mengandung
senyawa
fenol,
triterpenoid, flavonoid, tanin, saponin. Fraksi
etil asetat mengandung senyawa fenolik,
triterfenoid, tanin, sedangkan fraksi heksan
mengandung alkaloid, dan triterpenoid Selain
itu fraksi metanol bersifat polar, dimana
mampu menarik semua jenis senyawa, itu
ditandai dengan banyaknya kandungan
senyawa metabolit sekunder yang di
kandungnya dibanding ekstrak etil asetat yang
bersifat semipolar dan fraksi heksan yang
bersifat non polar.
2000

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun
Cara Modern MenganalisisTumbuhan. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
Juniarti, Delvi, O, dan Yuhernita., (2009),
Kandungan Senyawa Kimia , Uji Toksik
(Brine Shrimp Lethality Test) dan Antioksidan
dari Ekstrak daun Abrus precatorius L. Jurnal
Makara Sains., 13(50-54).
Kanwar, A.S. 2007. Brine Shrimp (Artemia salina)
a Marine Animal for Simple and Rapid
Biological Assays. Chinese Clinical Medicinal
2(4): 35-42.
Kumar, S. T. Dkk. Oleanic acid-an a-Glucosidase
inhibitory and
antihyperglycemic active
compound from the fruits of Soneratia
caseolaris. Open Access Journal of Medicinal
and Aromatic Plants Vol 1(1):19-23.
Lathifah. 2008. Uji Aktivitas Ekstrak Kasar
Senyawa Antibakteri pada Buah Belimbing
Wuluh (Averrhoa Bilimbi L) dengan Variasi
Pelarut. Skripsi. Universitas Islam Negeri
Malang. Malang.
Meyer, B.N., Ferrigni, N.R., Putnam, J.E.,
Jacobsen, L. B., Nichols, D. E. Dan
McLaughlin, J.L. 1982. Brine Shrimp: A
Convenient General Bioassay for Active Plant
Constituent, Journal of Medicinal Plant
Research. 45:31-34.
Naiborhu, P.E. 2002. Ekstraksi dan Manfaat
Ekstrak Mangrove (Sonneratia alba dan
Sonneratia caseolaris) sebagai Bahan Alami
Antibakterial Pada Patogen Udang Windu,
Vibrio harveyi. Tesis, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor. 63 hal.
Woo, H D dan Kim. J. 2013. Dietary Flavonoid
Intake and Risk of Stomach and Colorectal
Cancer. World Journal of Gastroenterology

Menurut Woo dan Kim (2013)


senyawa flavonoid mempunyai mekanisme
efek anti kanker, yaitu melalui mekanisme
pengaktifan jalur apoptosis sel kanker, selain
itu flavonoid sebagai penghambat poliferasi
tumor / kanker yang salah satunya dengan
menginhibisi aktivitas protein kinase, karena
aktivitas tirosin kinase yang meningkat
berperan dalam pertumbuhan pertumbuhan
keganasan sel kanker. Flavonoid juga berperan
untuk mengurangi resistensi tumor terhadap
agen kemoterapi.
5. KESIMPULAN
Fraksi daun pedada bersifat aktif
sitotoksik ditandai dengan nilai LC50 dari
ketiga ekstrak kecil dari 1000 ppm. Nilai LC50
fraksi metanol 22,38 ppm bersifat sangat
toksik, nilai LC50 fraksi etil asetat 24,89 ppm
bersifat sangat toksik, sedangkan nilai LC50
fraksi heksan 54,83 ppm bersifat toksik.
Hasil uji kandungan fitokimia pada
daun pedada (Sonneratia caseolaris L.)
menunjukkan adanya senyawa triterpenoid,
flavonoid, fenol, tanin dan saponin.
6. REFERENSI
Cahyadi, R 2009. Uji toksisitas akut ekstrak etanol
buah pare (Momordica charantia L) terhadap
larva Artemia salina Leach dengan metode
BSLT Universitas Diponegoro Repository. 5:
1-8
Enviromental Health Education Center of the
University of Maryland school of nursing,
2002). Comparison of pharmacology and
toxicology

2001

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
ISBN: 978-602-71798-1-3

OPTIMASI PERTUMBUHAN MIKROALGA Chlorella vulgaris UNTUK


MENINGKATKAN KADAR GLUKOSA SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL
Zulkarnain Chaidir, Indah Kurnia , Elida Mardiah
Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas, Padang
(e-mail: zulkarnain_ch@yahoo.com)
Abstract
Research on biofuels production from microalgae has been done. But until now only a view amount of research
found on bioethanol production among many researches which are focus on biodiesel production. There are
some species found with a relatively high carbohydrate content which is potential as raw material in bioethanol
production. Our research goal is to optimize the microalga Chlorella vulgarise growth in order to increase the
level of its carbohydrate content. Optimization include the variation of light intensities and nitrogen sources. To
obtain glucose levels, Chlorella vulgarise was hydrolysed by varying the initial concentration, temperature,
sulphuric acid concentration and hydrolysis duration. The best chlorella vulgarise growth required 2000 lux
light intensity, ZA fertilizer as nitrogen source. To hydrolyse chlorella vulgarise used 2N H 2SO4 at 120 oC in 15
minutes producing 926.582 mg/L glucose.
Keywords: microalgae , Chlorella vulgaris, karbohidrat, glukosa , bioethanol

terhadap lingkungan kultur yang baru, cepat


tumbuh dan cepat di panen. C. vulgaris
mengandung bahan-bahan lignoselulosa seperti
selulosa, hemiselulosa dan lignin dimana
selulosa dapat dikonversi menjadi glukosa dan
dijadikan sebagai substrat energi alternatif.
Selulosa secara alami diikat oleh hemiselulosa
dan dilindungi oleh lignin. Adanya senyawa
pengikat lignin inilah yang menyebabkan
bahan-bahan
lignoselulosa
sulit
untuk
dihidrolisis. Proses perlakuan awal dilakukan
untuk mengkondisikan bahan lignoselulosa
dengan tujuan memecah dan mengurangi
kandungan lignin dan hemiselulosa, merusak
struktur
kristal
dari
selulosa
serta
meningkatkan porositas bahan Rusaknya
struktur kristal selulosa akan mempermudah
terurainya
selulosa
menjadi
glukosa.
Selanjutnya senyawa-senyawa gula sederhana
tersebut yang akan difermentasi oleh
mikroorganisme tertentu. Namun tantangan
utama dalam produksi bioetanol dari biomasa
mikroalga adalah bagaimana memecah gula
kompleks dari mikroalga menjadi gula yang
sederhana secara efisien. Karbohidrat dalam
alga hijau umumnya mengandung pati di
dalam kloroplasnya dan selulosa/polisakarida
dalam dinding selnya. Untuk itu, perlu
dihidrolisis untuk mengubahnya menjadi gula
sederhana sebelum di fermentasi menggunakan
mikroorganisme. Ada 2 metoda dalam
hidrolisis yaitu secara kimia dan secara
enzimatis, secara kimia yaitu menggunakan

1. PENDAHULUAN
Mikroalga atau disebut juga fitoplankton
merupakan
tumbuhan
yang
berukuran
mikroskopik sekitar 330 m, tidak
mempunyai akar, batang, dan daun. Mikroalga
memiliki sel eukariotik dan memiliki pigmen
yang berbeda-beda, yaitu pigmen hijau
(klorofil), coklat (fikosantin), biru kehijauan
(fikobilin), dan merah (fikoeritrin). Mikroalga
mengandung bahan-bahan penting yang sangat
bermanfaat, misalny, karbohidrat dan lemak
sehingga bisa dijadikan sebagai sumber
bioenergi. Penelitian tentang bioenergi dari
mikroalga telah banyak dilakukan, namun
kebanyakan lebih fokus terhadap biodiesel dari
pada bioetanol karena kandungan lipidnya
yang tinggi dan prosesnya yang lebih
sederhana. Kandungan lipid kebanyakan
mikroalga memang lebih tinggi dibandingkan
dengan kandungan karbohidratnya, tapi ada
juga beberapa spesies mikroalga yang
mempunyai
kandungan karbohidrat yang tinggi, seperti
Chlorella, Dunaliella, Chlamydomonas, dan
Scenedesmus
kandungan
karbohidratnya
mencapai 50% dari biomasa keringnya saat
ditumbuhkan pada kondisi kultur spesifik [1].
Chlorella vulgaris mempunyai potensi yang
sangat baik sebagai sumber energi terbarukan
karena ketersediaannya mudah diperoleh
melalui kultur, tidak bersaing dengan bahan
pangan, memiliki daya adaptasi yang cepat
2002

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

asam seperti asam klorida, asam sulfat dll atau


dengan basa seperti NaOH, dan enzimatis
menggunakan enzim [2].
Pada penelitian ini digunakan mikroalga C.
vulgaris karena kandungannya karbohidratnya
yang tinggi mencapai 50% dari berat kering
dan pertumbuhannya yang relatif cepat
dibandingkan dengan tumbuhan terestial.
Sebelumnya
pertumbuhan
mikroalga
dioptimasi penggunaan sumber nitrogen dan
cahayanya. Pada penelitian ini dilakukan
optimasi hidrolisis menggunakan metode
kimia dengan asam sulfat karena untuk
menghidrolisis selulosa yang digunakan
biasanya adalah asam sulfat. Untuk mengukur
kadar glukosa pada sampel digunakan metode
Nelson-Samogy karena metode ini lebih
murah, cepat dan teliti.

g/L dan urea 8,823 g/L. Pertumbuhan


dilakukan menggunakan cahaya matahari serta
lampu floresens 2000 lux. Pemanenan
mikroalga dilakukan pada fase exponensial.
Mikroalga dipanen dengan cara sentrifus
dengan 2000 rpm selama 10 menit pada suhu
ruang. Kemudian dikering anginkan untuk
memperoleh biomasa kering. Larutan standar
glukosa dengan variasi konsentrasi 200, 400,
600, 800, 1000 mg/L. Dipipet masing-masing
1mL dari larutan tersebut kemudian
ditambakan 1 mL reagen Nelson, panaskan
dalam air mendidi selama 20 menit kemudian
dinginkan sampai mencapai suhu ruangan
kemudian ditambahkan 1 mL fosfomolibdat, di
tambah kan 7 mL aquadest dan ukur
absorbannya pada panjang gelombang 540 nm
yang
merupakan
panjang
gelombang
maksimum untuk daerah spectrum warna.
Sampel yang telah dihidrolisis dipipet sebanyal
1 mL kemudian ditambakan 1 mL reagen
Nelson, panaskan dalam air mendidih selama
20 menit kemudian dinginkan sampai
mencapai
suhu
ruangan
kemudian
ditambahkan 1 mL fosfomolibdat, ditambahka
7 mL aquadest dan ukur absorbannya pada
panjang gelombang 540 nm. Biomasa kering
mikroalga C. vulgaris dihidrolisis dengan
variasi konsentrasi asam sulfat (5;4;3;2;1;0,8;
0,6;0,4;0,2) N, suhu (90, 100, 110, 120, 130,
140)C dan waktu (5, 10, 15, 20) menit.

2. METODE PENELITIAN
2.1 Bahan Kimia, Peralatan, dan
Instrumentasi
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah
alat-alat gelas, aquarium, pompa aquarium,
spektrotofotometer UV-Vis (Genesys 20
Thermo Scientific), mikroskop cahaya,
sentrifuge, lampu floresens 2000 lux. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini ialah
mikroalga Chlorella vulgaris yang diperoleh
dari BBPBAP (Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau), Jepara, Indonesia, Media
Pertumbuhan
Mikroalga
(NaNO3,
MgSO4.7H2O, NaCl, K2HPO4,
H2PO4,
CaCl.2H2O,
ZnSO4.7H2O,
MnCl2.4H2O,
MoO3, CuSO4.5H2O, CO (NO3)2.6H2O,
H3BO3, EDTA,KOH). H2SO4, reagen Nelson
A (Na2CO3 anidrat, Na2SO4, K-Na tartarat, Nabikarbonat), reagen Nelson B (CuSO4, H2SO4),
pereaksi arsenomolibdat (NH4 Molibdat,
Na2HAsO4.7H 2O, H2SO4), pupuk ZA
((NH4)2SO4), pupuk urea ((NH2)2CO

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan
mikroalga dilakukan menggunakan cahaya
matahari dengan siklus gelap terang (12 jam
terang/12 jam gelap). dibandingkan dengan
cahaya lampu floresens pada intensitas 2000
lux . Hasilnya dapat dilihat pada Gambar.1
didapatkan
pertumbuhan
mikroalga
menggunakan sumber cahaya lampu floresens
lebih
cepat
dibandingkan
dengan
pertumbuhan menggunakan sumber cahaya
matahari. Hal ini diamati dari absorban (nilai
OD) pada kurva pertumbuhan mikroalga. Nilai
absorban yang tinggi menunjukkan banyaknya
jumlah sel pada media pertumbuhan, dan
sebaliknya nilai absorban
yang rendah
menunjukkan sedikit jumlah sel pada media
pertumbuhan [3]. Pada Gambar 1 nilai
absorban
pertumbuhan
mikroalga
menggunakan cahaya lampu dengan intensitas
2000 lux lebih tinggi dibandingkan dengan
menggunakan sumber cahaya matahari
kemungkinan dikarenakan oleh intensitas

2.2 Prosedur Kerja


Untuk pemeliharaan kultur murni C. vulgaris
dibuat medium Bolds basal. Pembuatan
medium dilakukan dengan melarutkan
makronutrien
(NaNO3,
CaCl2.2H2O,
MgSO4.7H2O, K2HPO4, KH2PO4, NaCl) dan
mikronutrien
(Larutan
EDTA,
trace
element,H3BO3) dengan akuades. Larutan
diautoklaf dan didinginkan hingga suhu ruang
sebelum
digunakan.
Untuk
optimasi
pertumbuhan mikroalga medium dimodifikasi
dengan mengganti sumber nitrogen dengan
urea dan ZA dengan berat ZA adalah 19,411
2003

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

cahaya matahari tidak konstan sedangkan


dengan
menggunakan
cahaya
lampu
intensitasnya konstan.

metabolism mikroalga lainnya. Namun


berbagai sumber nitrogen yang berbeda akan
mempengaruhi proses metabolisme dari
masingmasingnya metabolit [5]. Untuk
membuktikan efek sumber nitrogen terhadap
petumbuhan mikroalga maka dicobakan tiga
sumber nitrogen yang berbeda pada mikroalga
C. vulgaris yaitu urea, ZA, dan NaNO3. Berda
sarkan kurva pertumbuhan yang diperoleh
(Gambar 2) ,didapatkan sumber nitrogen yang
paling bagus untuk pertumbuhan mikroalga
adalah ZA. Nilai absorban kultur C. vulgaris
dengan sumber nitrogen ZA lebih tinggi
dibandingkan dengan urea dan NaNO3.

Gambar 1. Kurva pertumbuhan mikroalga


Clorella vulgaris dengan variasi sumber cahaya
yaitu dengan lampu (2000 lux) dengan cahaya
matahari.

Pengaruh sumber cahaya terhadap biomasa


kering dan kadar glukosa yang terdapat pada
Clorella vulgaris. Pemakaian lampu floresens
(2000 lux) biomasa keringnya lebih tinggi
dibandingkan dengan menggunakan cahaya
matahari (Tabel 1). Sedangkan kadar glukosa
yang dihasilkan lebih tinggi menggunakan
cahaya matahari. Kedua hal diatas terjadi
karena penggunaan lampu dengan intensitas
2000 lux sebagai sumber cahaya pada
pertumbuhan mikroalga intensitas cahaya yang
didapatkan dengan menggunakan lampu lebih
stabil dibandingkan dengan menggunakan
cahaya matahari. Sebaliknya kadar glukosa
lebih tinggi dengan menggunakan sinar
matahari hal ini terjadfi karena adanya proses
fotosintesis dari mikroalga hijau Chlorella
vulgaris. Seperti yang kita ketahui bahwa
fotosintesis adalah bagian dari metabolisme,
maka apabila metabolisme ini terganggu maka
pertumbuhan dari Chlorella akan mengalami
hambatan [4].

Gambar 2. Kurva pertumbuhan mikroalga


C.vulgaris dengan variasi sumber nitrogen.

Selain melihat pertumbuhan mikroalga melalui


serapan mikroalga pada spektrofotometer UVVis dengan OD 440 nm, efek sumber nitrogen
terhadap biomasa kering dan kadar glukosa
pada mikroalga juga
dilakukan (Tabel 2).
Tabel 2. Efek sumber nitrogen terhadap biomasa
kering dan kadar karbohidrat mikroalga C. vulgaris

Tabel 1. Pengaruh sumber Cahaya terhadap


biomasa kering dan kadar karbohidrat ikroalga C.
vulgaris

Pada Tabel 2 dan Gambar 2 dapat dilihat


bahwa, penggunaan ZA sebagai sumber
nitrogen memiliki biomasa dan kadar glukosa
serta pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan sumber nitrogen lain yang
diujikan. Ini dikarenakan kadar N dan S dalam
pupuk ZA lebih banyak dibandingkan dengan
pupuk Urea atau NaNO3 yang menyebabkan
pertumbuhan, biomasa dan kadar glukosa lebih
tinggi dimana kandungan nitrogen dalam
mikroalga berfungsi sebagai sintesis protein

Nitrogen adalah nutrien yang paling penting


untuk pertumbuhan mikroalga. Nitrogen
diperlukan dalam sintesis protein, asam
nukleat, pertumbuhan sel dan dalam proses
2004

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016

untuk pertumbuhan dan perkembangan


mikroalga [4]. Selanjutnya dilakukan optimasi
hidrolisis dengan variasi konsentrasi asam
sulfat (5; 4; 3; 2;1; 0,8; 0,6; 0,4;0,2) N. Pada
Gambar 3 . Terlihat bahwa konsentrasi asam
sulfat 3 N dan 2 N memberikan hasil yang
lebih baik dan untuk konsentrasi asam sulfat
yang lebih dari 3 N mengalami penurunan
kadar glukosa ini glukosa dalam sampel
terdegradasi ke produk lain seperti asetat, asam
format, dan hidroksimetilfulfural(HMF)[6].
Namun dalam
proses hidrolisis mempertimbangkan masalah
lingkungan dan biaya operasi, maka
konsentrasi asam sulfat 2 N lebih efektif
dibandingkan dengan konsentrasi asam sulfat
3 N. Untuk optimasi hidrolisis dengan variasi
suhu dilakukan 6 temperatur yaitu. (90,100,
10, 120, 130, 140)C. Gambar 4 menunjukkan
bahwa semakin tinggi suhu hidrolisis maka
kadar glukosa juga akan tinggi. ini dikarenakan
proses hidrolisis merupakan reaksi endotermis
yang memerlukan panasuntuk bereaksi namun
apabila suhu terlalu tinggi, maka katalis akan
menguap yang mengakibatkan melambatnya
reaksi
idrolisa dan akan berakibat pada
konsentrasi glukosa yang diperoleh. Suhu
optimum hidrolisis untuk mikroalga C.
vulgaris adalah 120 oC.

trasi glukosa yang dihasilkan juga akan


meningkat karena akan memperpanjang
kesempatan asam untuk mendegradasi ikatan
rantai lurus dan panjang dari 1,4--glukosa
pada selulosa. Namun pada gambar 4.6 terjadi
penurunan konsentrasi pada menit ke-20, hal
ini kemungkinan dikarenakan ion H+ pada
asam telah mencapai titik optimumnya dalam
melepas ikatan rantai glikosidik pada selulosa
[7]

Suhu (0 C)

Gambar 3. Kurva hasil pengaruh suhu


hidrolisis

Gambar 5. Kurva hasil pengaruh waktu hidrolisis


terhadap kadar glukosa dalam sampel mikroalga

Setelah didapatkan pertumbuhan optimum


dengan menggunakan sumber nitrogen ZA dan
menggunakan lampu floresens 2000 lux
biomasa kering mikroalga dihidrolisis dengan
menggunakan asam sulfat 2 N selama 15 menit
pada suhu 120oC. kemudian diukur kadar
glukosa menggunakan metode Nelson Samogy
maka didapatkan kadar glukosa 926,582 mg/L
pada absorbansi 0,375.

Gambar 3. Kurva hasil hidrolisis mikroalga


dengan variasi konsentrasi asam sulfat.

Dan untuk optimasi hidrolisis dengan variasi


waktu hidrolisis dilakukan dengan variasi
waktu hidrolisis yaitu 5 menit, 10 menit, 15
menit, dan 20 menit. Waktu hidrolisis
menggunakan asam juga berpengaruh dalam
proses hidrolisis. Pada Gambar 5 dapat dilihat
peningkatan suhu megakibatkan meningkat
nya kadar glukosa. Namun pada menit ke 20
konsentrasi glukosa mengalami penurunan
yang signifikan. Maka ini menunjukkan bawa
waktu opitimum adalah pada menit ke-15.
Semakin lama waktu hidrolisis maka konsen

4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan hasil
dan diskusi adalah pertumbuhan mikroalga
Chlorella vulgaris dengan sumber nitrogen
pupuk ZA memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan sumber
nitrogen urea atau NaNO3. Pertumbuhan
mikroalga C. vulgaris dengan sumber cahaya
lampu neon 2000 lux memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan sumber
cahaya
matahari. Dan pada penelitian
2005

Prosiding SEMIRATA Bidang MIPA 2016; BKS-PTN Barat, Palembang 22-24 Mei 2016
Prabowo, D. A., 2009. Optimasi Pengembangan
Media Untuk Pertumbuhan Chlorella sp, Pada
Skala Laboratorium, Skripsi, Institut Pertanian
Bogor .
Unesco, U., 1980. The Paractical salinity Scale and
The International Equation of State of Sea
Water, Tent report of the jointPanel On
Oceanographyc Tables and standards, Unesco,
Paris.
Siregar, S., Risal, M., 2014, Pengaruh
Konsentrasi NaOH dan Lama Waktu
Pemanasan
Microwave
Dalam
Proses
Pretreatment Terhadap Kadar Lignoselulosa
Chlorella vulgaris, Universitas Brawijaya.
Qaisum, Q., Fajrina, F., 2015, Hidrolisis Mikroalga
Tetraselmis
Chui
Menjadi
Glukosa
Menggunakan Solvent Asam Sulfat dengan
Variasi Waktu, Universitas Riau.

didapatkan bahwa konsentrasi asam sulfat


yang tepat pada konsentrasi 2N, pada suhu 120
0C selama 15 menit dengan kadar glukosa
926.582 mg/L.
5. REFERENSI
Hyoung, K. K., 2014. Bioethanol Production From
Nutrient Stress Induced Microalga Chlorella
vulgaris by Enzymatic Hydrolysis and
Immbolized Yeast Fermentation,Biortech, 153
(10) : 47-54.
Mielenz, J. R., 2001. Ethanol Production
From Biomass : Technology and Commerci
alization Status, Curr. Opin. Microbial, 4 (3) :
324-329.
Isnansetyo, A dan Kurniastuty. K., 1995, Teknik
Kultur Phytoplankton Zooplankton, Pakan
Alam Untuk Pembenihan Organisme Laut
,Yogyakarta.

2006

Вам также может понравиться