Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
ISOLASI SOSIAL
A.
Pengertian
Isolasi adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan
kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak
mampu untuk membuat kontak ( Carpenito, 1998 ).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang
lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Towsend, 1998).
Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang lain.
Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk
membagi perasaan, pikiran dan prestasi atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk
berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanivestasikan dengan sikap
memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang lain
(DepKes, 1998).
B.
Manifestasi Klinis
Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
Menghindari orang lain (menyendiri), klien nampak memisahkan diri dari orang lain,
misalnya pada saat makan.
Komunikasi kurang / tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien
lain/perawat.
Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
Berdiam diri di kamar / tempat terpisah. Klien kurang mobilitasnya.
Menolak berhubungan dengan orang lain. Klien memutuskan percakapan atau pergi jika
diajak bercakap-cakap.
Tidak melakukan kegiatan sehari-hari. Artinya perawatan diri dan kegiatan rumah tangga
sehari-hari tidak dilakukan.
Posisi janin pada saat tidur.
C.
1.
Faktor Presipitasi
Faktor sosio-cultural karena menurunnya stabilitas keluarga faktor dan berpisah karena
meninggal dan fakto psikologis seperti berpisah dengan orang yang terdekat atau kegagalan
orang lain untuk bergantung, merasa tidak berarti dalam keluarga sehingga menyebabkan klien
berespons menghindar dengan menarik diri dari lingkungan (Stuart and Sundeen, 1995).
Respon Adaptif
Respon Maladaptif
Menyendiri
Merasa sendiri
Otonomi
Dependensi
Ketergantungan
Curiga
Manipulasi
Bekerja sama
Interdependen
D.
Menarik diri
Curiga
Patopsikologi
Individu yang mengalami isolasi social seringkali beranggapan sumber / penyebab isolasi
social itu dari lingkungannya. Padahal rangsangan primer adalah kebutuhan perlindungan diri
secara psikologikterhadap kejadian traumatic sehubungan dengan rasa bersalah, marah, sepi dan
takut ditinggal orang yang dicintai, tidak dapat dikatakan segala sesuatu yang dapat mengancam
harga diri (Self Esteem) dan kebutuhan keluarga dapat meningkatkan kecemasan. Gejala dengan
meningkatnya kecemasan, kemampuan untuk memisahkan dan mengatur persepsimengenai
perbedaan apa yang dipikirkan dengan perasaan sendiri menurun, sehingga gejala sesuatu yang
diartikan berbeda dengan proses rasionalisasi tidak efektif lagi. Hal ini menyebabkan lebih sukar
lagi membedakan mana yang berasal dari pikiran sendiri dan dari lingkungan.
Untuk dapat mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan sumber koping meliputi
ekonomi, kemampuan menyelesaikan masalah, tekhnik pertahanan, dukungan social dan
motivasi, sumber koping sebagai model ekonomi dapt membantu seseorang mengintergrasikan
pengalaman yang menimbulkan rasa stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil. Semua
orang betapapun terganggu perilakunya tetap mempunyai beberapa kelebihan personal yang
mungkin meliputi: Aktivitas keluarga, hobi seni kesehatan dan perawatan diri, pekerjaan
kecerdasan dan hubungan interpersonal. Dukungan social dari peningkatan respon
psikofisiologis yang adaptif. Motivasi berasal dari dukungan keluarga ataupun individu sendiri
sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan diri pada individu (Stuart & Sundeen, 1998).
Jika individu tidak mempunyai mekanisme koping dari yang kuat maka akan mengikuti respon
destruktif diantaranya:
Menarik diri : karena mengalami kecemasan yang berat sehingga hanya mengurung diri
yang mengakibatkan kesulitan dalam membina hubunga social secara terbuka dengan
orang lain.
Dependen : Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dalam hubungan dengan
orang lain.
Manipulasi : Individu sudah tidak bisa membina hubungan social secara mendalam
karena menggap orang lain sebagai objek.
Impulsif
: Penilaian yang buruk individu sudah tidak bisa diandalkan untuk
berhubungan dengan orang lain.
Individu sudah mengalami harga diri yang rapuh karena mengharapkan penghargaan dan
pujian dan orang lain tidak mendukung.
E. POHON MASALAH
Gangguan Persepsi sensori : halusinasi
F.
Diagnosa Keperawatan
A. Isolasi social: menarik diri
B. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
C. Gangguan persepsi sensori: halusinasi
TUJUAN UMUM:
1.
2.
3.
c.
TINDAKAN/INTERVENSI
1.
Tindakan yang harus dilakukan dalam membina hubungan saling percaya, adalah :
Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien
Berkenalan dengan pasien: perkenalkan nama dan nama panggilan yang Saudara sukai,
serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien
Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini
Buat kontrak asuhan: apa yang Saudara akan lakukan bersama pasien, berapa lama akan
dikerjakan, dan tempatnya di mana
Jelaskan bahwa Saudara akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk kepentingan
terapi
Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap pasien
Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
2.
Dilakukan dengan cara mendiskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman
dan bergaul akrab dengan mereka
4.
DAFTAR PUSTAKA
Townsend M. C, (1998). Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri, Pedoman untuk
Pembuatan Rencana Keperawatan , Jakarta : EGC.
Anna Budi Keliat. (2000). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial Menarik Diri, Jakarta ;
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia..
Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga.Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API). Jakarta : fajar
Interpratama.
Stuart & Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Kesehatan Jiwa. Alih bahasa: Hafid. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
A.
DEFINISI
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya
penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari
suara bisikan itu (Hawari, 2001)
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera (Isaacs,
2002).
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya
rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada
saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada
saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata
lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh
klien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution, 2003).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan
dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa
stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).
Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat,
mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang
yang tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2005).
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007).
Kesimpulannya bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indera terhadap
lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata.
B.
MACAM-MACAM HALUSINASI
1. Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan
yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada
percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana
klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat
membahayakan.
2. Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,gambar kartun,bayangan
yang rumit atau kompleks. Bayangan bias menyenangkan atau menakutkan seperti melihat
monster.
3. Pennciuman
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-bauan yang
tidak menyenangkan. Halusinasi penciuman sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.
4. Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
5. Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik
yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
C.
FAKTOR PREDIPOSISI
FAKTOR PRESIPITASI
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan
yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan
kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi
serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diinterpretasikan.
Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku.
Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
E.
MANIFESTASI KLINIK
1.
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian. Klien
mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk
menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini menolong untuk sementara. Klien masih mampu
mengotrol kesadarnnya dan mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat.
Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa bersuara,
pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asyik dengan halusinasinya dan
suka menyendiri.
2.
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal, klien
berada pada tingkat listening pada halusinasi. Pemikiran internal menjadi menonjol, gambaran
suara dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas klien takut apabila orang lain
mendengar dan klien merasa tak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan
halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti peningkatan denyut
jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan dengan
realitas.
3.
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa dan tak
berdaya pada halusinasinya. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien.
Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya beberapa menit atau
detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor dan tidak mampu mematuhi perintah.
4.
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya.
Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah dan
memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan
halusinasinya klien berada dalam dunia yang menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam
atau selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan, agitasi,
menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap perintah kompleks dan tidak
mampu berespon lebih dari satu orang.
Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku dengan
pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba marah
atau menyerang oranglain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga
keterangan dari klien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya ( apa yangdilihat, didengar atau
dirasakan).
F.
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori: halusinasi dapat beresiko mencederai
diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang
kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
Tanda dan Gejala :
1.
2.
3.
4.
5.
Memperlihatkan permusuhan
Mendekati orang lain dengan ancaman
Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
Mempunyai rencana untuk melukai
Klien yang mengalami halusinasi dapat kehilangan control dirinya sehingga bisa
membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan (resiko mencederai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan). Hal ini terjadi jika halusinasi sudah sampai fase ke IV,
dimana klien mengalami panic dan perilakunya dikendalikan oleh isi halusinasinya. Klien benarbenar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien
dapat melakukan bunuh diri, membunuh orang lain bahkan merusak lingkungan. Tanda dan
gejalanya adalah muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat dan
sering pula tampak klien memaksakan kehendak: merampas makanan, memukul jika tidak
senang
G.
PENATALAKSANAAN
permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya diberitahukan pada
keluarga klien dan petugas lain agar tidak membiarkan klien sendirian dan saran yang
diberikan tidak bertentangan.
Farmako:
1.
Anti psikotik:
2.
Anti parkinson:
Trihexyphenidile
Arthan
PATHWAY HALUSINASI
Mengontrol halusinasinya
Keluarga mampu :
Merawat pasien di rumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien.
Kriteria Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Hamid, Achir Yani. (2000). Buku Pedoman Askep Jiwa-1 Keperawatan Jiwa
Tindakan Keperawatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Teori dan
Hawari, Dadang. (2001). Pendekatan Holistik pada gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Isaacs, Ann. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Keliat, Budi Anna. (2006) Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga University Press.
Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care. Edisi 3.
Philadelphia: F. A. Davis Company
Stuart dan Laraia. (2007). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St. Louis:
Mosby Year Book.
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
A. Kasus (Masalah Utama)
Harga Diri Rendah
Pengertian
Harga diri rendah adalah perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri
dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, dalam Fitria, 2009).
Harga diri rendah adalah perasaan seseorang bahwa dirinya tidak diterima lingkungan
dan gambaran-gambaran negatif tentang dirinya (Barry, dalam Yosep, 2009).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri
yang negatif dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan (Towsend,
1998).
2.
Klasifikasi
Menurut Fitria (2009), harga diri rendah dibedakan menjadi 2, yaitu:
Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang sebelumnya memiliki
harga diri positif mengalami perasaan negatif mengenai diri dalam berespon, terhadap
suatu kejadian (kehilangan, perubahan).
Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami evaluasi diri yang
negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu lama.
3.
Etiologi
Harga diri rendah dapat terjadi secara :
Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus operasi, kecelakaan,
dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu karena sesuatu (korban
perkosaan, dituduh korupsi, dipenjara tiba-tiba).
Pada klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah, karena :
Privacy yang harus diperhatikan, misalnya : pemeriksaan fisik yang sembarangan,
pemasangan alat yang tidak sopan (pencukuran pubis, pemasangan kateter, pemeriksaan
perineal).
Harapan akan struktur bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena
dirawat/sakit/penyakit.
Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya berbagai pemeriksaan
dilakukan tanpa penjelasan, berbagai tindakan tanpa persetujuan.
4.
Proses terjadinya
Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang
membuat seseorang mengetahui tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang
lain (Stuart & Sunden, 1995). Konsep diri terdiri atas komponen : citra diri, ideal diri, harga diri,
penampilan peran dan identitas personal. Respons individu terhadap konsep dirinya berfluktuasi
sepanjang rentang konsep diri yaitu dari adaptif sampai maladatif. Salah satu komponen konsep
diri yaitu harga diri dimana harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri (Keliat, 1999). Sedangkan harga diri
rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan tidak bertanggung jawab atas
kehidupannya sendiri. Jika individu sering gagal maka cenderung harga diri rendah. Harga diri
rendah jika kehilangan kasih sayang dan penghargaan orang lain. Harga diri diperoleh dari diri
sendiri dan orang lain, aspek utama adalah diterima dan menerima penghargaan dari orang lain.
Harga diri rendah di gambarkan sebagai perasaan yang negatifterhadap diri sendiri, termasuk
hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri,
penurunan produktivitas, destruktif yang diarahkan pada orang lain, perasaan tidak mampu,
mudah tersinggung dan menarik diri secara sosial.
Faktor yang mempegaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua yang
tidak relistis, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis. Sedangkan stresor pencetus
mungkin ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal seperti :
a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menaksirkan kejadian yang
mengancam.
b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dimana individu
mengalami frustrasi. Ada tiga jenis transisi peran, yaitu :
Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang berkaitan dengan
pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam kehidupan individu
atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-nilai tekanan untuk peyesuaian diri.
Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota keluarga
melalui kelahiran atau kematian.
Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan sakit.
Transisi ini mungkin dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran,
bentuk, penampilan dan fungsi tubuh, perubahan fisik, prosedur medis dan keperawatan.
Sedangkan menurut hasil riset Malhi (2008, dalam Yosep, 2009), menyimpulkan bahwa
harga diri rendah diakibatkan oleh rendahnya cita-cita seseorang. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya tantangan dalam mencapai tujuan. Tantangan yang rendah menyebabkan
upaya yang rendah. Selanjutnya hal ini menyebabkan penampilan seseorang yang tidak
optimal. Dalam tinjauan Life Span Teori (Yosep, 2009), penyebab terjadinya harga diri
rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas
keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai,
tidak diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal sekolah,
pekerjaan dan pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung
mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya.
5.
Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronik adalah penolakan orang tua yang
tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis (Fitria, 2009).
6.
Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya sebagian anggota
tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunnya
produktivitas (Fitria, 2009).
7.
Penatalaksanaan Medis
Terapi pada gangguan jiwa, khususnya skizofrenia dewasa ini sudah dikembangkan sehingga
klien tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi daripada masa
sebelumnya. Penatalaksanaan medis pada gangguan konsep diri yang mengarah pada diagnosa
medis skizofrenia, khususnya dengan perilaku harga diri rendah, yaitu:
a.
Psikofarmakologi
Menurut Hawari (2003), jenis obat psikofarmaka, dibagi dalam 2 golongan yaitu:
Golongan generasi pertama (typical)
Obat yang termasuk golongan generasi pertama, misalnya: Chorpromazine HCL
(Largactil, Promactil, Meprosetil), Trifluoperazine HCL (Stelazine), Thioridazine HCL
(Melleril), dan Haloperidol (Haldol, Govotil, Serenace).
Golongan kedua (atypical)
Obat yang termasuk generasi kedua, misalnya: Risperidone (Risperdal, Rizodal,
Noprenia), Olonzapine (Zyprexa), Quentiapine (Seroquel), dan Clozapine (Clozaril).
b.
Psikotherapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada klien, baru dapat diberikan apabila klien dengan
terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali
pulih dan pemahaman diri sudah baik.
Psikotherapi pada klien dengan gangguan jiwa adalah berupa terapi aktivitas kelompok (TAK).
c.
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial dengan
melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang
listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika oral atau injeksi,
dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik. (Maramis, 2005)
d.
Therapy Modalitas
Terapi somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan tujuan mengubah
perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dengan melakukan tindakan dalam
bentuk perlakuan fisik (Riyadi dan Purwanto, 2009).
Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:
Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual untuk
membatasi mobilitas fisik klien (Riyadi dan Purwanto, 2009).
Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan khusus (Riyadi dan
Purwanto, 2009).
Foto therapy atau therapi cahaya
Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini diberikan dengan
memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih terang dari sinar ruangan) (Riyadi dan
Purwanto, 2009).
ECT (Electro Convulsif Therapie)
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan
kejang pada penderita baik tonik maupun klonik (Riyadi dan Purwanto, 2009).
f.
Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu kelompok atau komunitas dimana terjadi interaksi antara
sesama penderita dan dengan para pelatih (sosialisasi).
C. Pohon Masalah
Menurut Fitria (2009) dan Yosep (2009), pohon masalah pada pasien dengan harga diri rendah
adalah sebagai berikut:
Risiko Perilaku Kekerasan
Isolasi sosial
RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa
keperawatan
1.
Tujuan
Klien dapat
membina
hubungan
saling
percaya
dengan
perawat.
Klien dapat
mengidentifi
kasi
kemampuan
yang dapat
digunakan.
Klien dapat
menilai
kemampuan
yang dapat
digunakan.
Klien dapat
menerapkan
(merencanak
an) kegiatan
sesuai
kemampuan
yang
dimiliki.
Klien dapat
melakukan
kegiatan
sesuai
kondisi sakit
dan
kemampuan
nya.
Klien dapat
Intervensi
1. Bina hubungan
saling percaya
dengan cara
selain
terapoutik.
2. Bicara dengan
jujur, singkat,
jelas, mudah di
mengerti.
3. Dengarkan
pernyataan
klien yang
empati tentang
halusinasi
tanpa
menentang atau
menyetujui.
4. Beri
kesempatan
untuk
mengungkapka
n perasaannya
tentang
penyakit yang
diderita.
Sediakan waktu
untuk
mendengarkan.
5. Katakan pada
klien bahwa
klien adalah
orang yang
berharga dan
bertanggung
jawab serta
mampu
menolong
rasionalisasi
Membina
hubungan
perawat klien
setiap akan
melakukan
tindakan
merupakanlang
kah awal yang
penting
sehingga klien
mempercayai
perawat
sehingga
berinteraksi
dengan
perawat. Sikap
jujur bersahabat
akan
menimbulkan
kepercayaan
kepada klien
sehingga
memudahkan
untuk
berkomunikasi.
Mengetahui
persepsi klien
terhadap
kondisinya.
Klien merasa
dihargai karena
ada orang yang
mau
mendengarkann
ya bicara.
Dengan
memberikan
meciptakan
sistem
pendukung
yang ada.
dirinya sendiri.
6. Diskusikan
kemampuan
dan aspek
positif yang
dimiliki klien
dapat dimuat
dan bagian
tubuh mana
yang masih
berfungsi
dengan baik.
Kemampuan
yang dimiliki
oleh klien,
aspek positif
yang dialami
oleh klien. Jika
klien tidak
mampu
mengungkapka
n maka dimulai
dengan perawat
memberikan
rein forcement
terhadap aspek
positif klien.
Setiap bertemu
klien tindakan
memberi
penilaian
negatif,
utamakan
memberi pujian
yang realistic.
7. Diskusikan
dengan klien
kemampuan
yang masih
dapat
digunakan
selama sakit.
Misalnya
penampilan
klien dalam
self care
latihan fisik
dan ambulasi
serta aspek
aspek.
8. Diskusikan
dalam
kemampuan
yang dapat
rewards, maka
harga diri klien
akan meningkat
sehingga timbul
perasaan
berharga dan
meningkatkan
percaya diri.
Menggali
kemampuan
positif klien
kemudian
ditonjolkan
sehingga klien
merasa
hidupnya
berarti. Dengan
memberikan
reinforemen
klien akan
menyadari
bahwa dirinya
mempunyai
kelebihan
seperti orang
lain.
Penilaian
negatif akan
menambah
klien merasa
rendah diri /
HDR dengan
menunjukkan
kemampuan
klien / membuat
klien
beraktifitas
akan
menambah
perasaan
berguna bagi
klien sehingga
akan
meningkatkan
harga diri.
Dapat di
ketahui
kegiatan
kegiatan yang
bisa dilakukan
sendiri dan
mulai dilatih
aktivitas yang
dibantu
dilanjutkan
penggunaannya
setelah pulang
sesuai dengan
kondisi sakit
pasien.
9. Rencanakan
bersama klien
aktifitas yang
dapat dilakukan
setiap hari,
sesuai dengan
kemampuan
kegiatan
mandiri,
kegiatan
dengan bantuan
sebagai
bantuan total.
10. Tingkatkan
kegiatan yang
sesuai dengan
kondisi klien.
11. Beri contoh
cara
pelaksanaan
kegiatan yang
lebih dilakukan
klien.
12. Berikan
kesempatan
pada klien
untuk mencoba
kegiatan yang
telah
direncanakan.
13. Beri pujian atas
kebersihan
klien.
14. Diskusikan
kemungkinan
penatalaksanaa
n rumah.
15. Berikan
pendidikan
kesehatan pada
klien tentang
cara merawat
klien dengan
HDR.
16. Bantu dengan
keluarga
memberi
dukungan
selama klien
sehingga klien
dapat
melakukannya
secara mandiri,
memberikan
contoh kegiatan
yang di dapat
dilakukan klien
kelak takut
melakukan
aktivitas
tersebut.
Membuat
kesempatan
pada klien
untuk
menunjukkan
kemampuan
dan
memberikan
pujiannya akan
meningkatkan
harga diri klien.
Pendidikan
kesehatan dapat
meningkatkan
pengetahuan
dan wawancara
keluarga
tentang cara
merawat klien,
keluarga
merupakan
faktor penting
dalam
penanggulanga
n masalah,
keluarga juga
merupakan
lingkungan
pertama
sebelum ke
masyarakat.
Hasil yang
diharapkan :
Klien
mengungkapka
n perasaannya
terhadap
penyakit yang
diderita.
Klien
menyebutkan
aspek positif
dirawat.
17. Bantu keluarga
menyiapkan
lingkungan
dirumah.
dan
kemampuan
dirinya (fisik ,
internal, sistem
pendukung).
Klien berperan
serta dalam
perawatan di
derita.
Percaya diri
klien meningkat
dengan
menerapkan
keinginan atau
tujuan yang
realistis.
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
A.
Masalah Utama
B.
Defisit Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia didalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya,kesehatannya dan kesejahteraannya sesuai
dengan kondisi kesehatannya.Klien dinyatakan terganggu perawatan dirinya jika tidak dapat
melakukan perawatan dirinya. (Aziz R., 2003)
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan
kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti
mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan BAB atau BAK (toileting) (Fitria, 2009).
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya
perubahan proses piker sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri
menurun.Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri
diantaranya mandi,makan dan minum secara mandiri,berhias secara mandiri, dan toileting.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perawatan diri kurang:
1. Perkembangan:
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif dan
keterampilan.
2.
Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
3. Kemampuan Realitas turun
Klien dengan dengan gangguan jiwa, dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
ketidak pedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri
4. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan dari lingkungannya.
Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009) adalah sebagai berikut :
o Mandi/Hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,memperoleh atau
mendapatkan sumber air,mengatur suhu atau aliran air mandi,mendapatkan perlengkapan
mandi,mengeringkan tubuh,serta masuk dan keluar kamar mandi
o Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan pakaian
,menanggalkan pakaian,serta memperoleh atau menukar pakaian.Klien juga memiliki
ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam,memilih pakaian,mengambil pakaian
dan mengenakan sepatu
o Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,mempersiapkan
makanan,melengkapi makanan,mencerna makanan menurut cara yang diterima
masyarakat,serta mencerna cukup makanan dengan aman
o Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau
kamar kecil,duduk atau bangkit dari jamban,memanipulasi pakaian untuk
toileting,membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat,dan menyiram toilet atau
kamar kecil.
D.
Effect
Core Problem
Causa
Defisit Perawatan Diri
Menurunnya Motivasi Perawatan Diri
POHON MASALAH
No.
Dx
Dx.
Keperawatan
Perencanaan
1.
Defisit
Perawatan Diri
TUM :
Tujuan
Kriteria hasil
1. Setelah
x
interaksi
klien
Klien
menunjukkan tanda
dapatmelakukan tanda percaya
perawatan
diri pada perawat :
secara mandiri
Wajah
cerah, tersenyum
TUK 1 :
Mau
dapat berkenalan
Klien
membina
Ada
hubungan saling kontak mata
percaya
Bersedia
menceritakan
perasaan
Bersedia
mengungkapkan
masalahnya
Intervensi
1.
Bina hubungan
saling percaya dengan :
Beri
salam
setiap berinteraksi
Perkenalkan
nama, nama panggilan
perawat, dan tujuan
perawat berinteraksi.
Tanyakan dan
panggil nama kesukaan
klien
Tunjukkan
sikap empati, jujur dan
menepati janji setiap
kali berinteraksi.
Tanyakan
perasaan klien dan
masalah yang dihadapi
klien
Buat kontrak
interaksi yang jelas
Dengarkan
dengan empati
Penuhi
kebutuhan dasar klien
TUK 2 :
Klien
mengetahui
pentingnya
perawatan diri
2. Dalamx
2. diskusikan dengan
interaksi
klien klien :
menyebutkan :
Penyebab klien
Penyebab
tidak merawat diri
tidak merawat diri
Manfaat
Manfaat
menjaga perawatan diri
menjaga perawatan untuk keadaan fisik,
diri
mental dan sosial
Tanda
Tanda-tanda
tanda bersih dan perawatan diri yang
rapi
baik
Gangguan
yang dialami jika
perawatan
diri
tidak diperhatikan
Penyakit atau
gangguan
kesehatan
yang bisa dialami oleh
klien bila perawatan
diri tidak adekuat
3.1 Dalam x
interaksi
klien
Klien
menyebutkan
mengetahui cara- frekuensi menjaga
cara melakukan perawatan diri :
perawatan diri
Frekuensi
mandi
TUK 3 :
Frekuensi
gosok gigi
Frekuensi
keramas
Frekuensi
ganti pakaian
Frekuensi
berhias
Frekuensi
gunting kuku
Mandi
Gosok gigi
Keramas
Berpakain
Berhias
Gunting kuku
Mandi
Gosok gigi
Keramas
3.2 Dalam x
interaksi
klien
menjelaskan cara
menjaga perawatan
diri :
Cara
mandi
gigi
Berpakain
Berhias
Gunting kuku
Cara gosok
Cara
keramas
Cara
berpakaian
Cara
berhias
Cara
gunting kuku
TUK 4 :
Klien
dapat
melaksanakan
perawatan
diri
dengan bantuan
perawat
mempraktekan
perawatan
diri
dengan
dibantu
oleh perawat :
Mandi
Mandi
Berpakain
Gosok gigi
Berhias
Keramas
Gunting kuku
Berpakain
Berhias
kuku
Gunting
TUK 5 :
5. Dalam x
interaksi
klien
Klien
dapat melaksanakan
melaksanakan
praktek perawatan
perawatan secara diri
secara
mandiri
mandiri :
Mandi
sehari
Mandi
Gosok gigi
Gosok gigi
sehabis makan
Ganti
pakaian 1x sehari
Berhias
sehabis mandi
Keramas
2x
Keramas
2x seminggu
Gosok gigi
Keramas
Berpakain
Berhias
Gunting kuku
Gunting
kuku setelah mulai
panjang
TUK 6 :
6.1 Dalam x
interaksi keluarga
Klien
menjelaskan caramendapatkan
cara
membantu
dukungan
klien
dalam
keluarga untuk memenuhi
meningkatkan
kebutuhan
perawatan diri
perawatan dirinya
6.2 Dalam x
interaksi keluarga
menyiapakan
sarana perawatan
diri klien : sabun
Penyebab klien
tidak
melaksanakan
perawatan diri
Tindakan yang
telah dilakukan klien
selama di Rumah Sakit
dalam
menjaga
perawatan diri dan
kemajuan yang telah
dialami oleh klien
Dukungan
yang bisa diberika oleh
keluarga
untuk
meningkatkan
kemempuan
klien
dalam perawatan diri
6.3
Keluarga
mempraktekan
6.2 Diskusikan denagn
perawatan
diri keluarga tentang :
kepada klien
Sarana
yang
diperlukan
untuk
menjaga perawatan diri
klien
Anjurkan
kepada
keluarga
menyiapkan
sarana
tersebut
6.3 Diskusikan dengan
keluarga hal-hal yang
perlu
dilakukan
keluarga
dalam
perawatan diri :
Anjurkan
keluarga
untuk
mempraktekan
perawatan diri (mandi,
gosok gigi, keramas,
ganti baju, berhias dan
gunting kuku)
Ingatkan klien
waktu mandi, gosok
gigi, keramas, ganti
baju,
berhias
dan
gunting kuku
Bantu
jika
klien
mengalami
hambatan
dalam
perawatan diri
Berikan pujian
atas keberhasilan klien
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
A.
PENGERTIAN
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan (fitria, 2009).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut
(Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun orang lain (Yoseph, 2007).
Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress berat,
membuat orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalkan: memaki-maki
orang disekitarnya, membanting-banting barang, menciderai diri dan orang lain, bahkan
membakar rumah.
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO
(dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok
orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan
memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan
hak
Menurut Townsend (2000), amuk (aggresion) adalah tingkah laku yang bertujuan untuk
mengancam atau melukai diri sendiri dan orang lain juga diartikan sebagai perang atau
menyerang
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993)
B.
1.
PENYEBAB
Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori
biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam
Purba dkk, 2008) adalah:
a.
Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
1)
Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik,
lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi
atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi,
perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu
tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat
otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2)
Biokimia
Genetik
Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak
kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma
otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b.
Teori Psikologik
1)
Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan
rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah.
Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra
diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri.
2)
Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua
mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau
berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki
persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan
perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain.
Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
c.
Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap
perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai
cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak
kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat
terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat
berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan
dalam hidup individu.
2.
Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan (Yosep,
2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah
konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog
untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai
seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak
mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
C.
Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif mal adaptif. Rentang
respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut : (Keliat, 1997).
Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain,
atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan.
Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat dari ancaman
tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
dialami.
Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol oleh
individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia berpendapat
bahwa setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan
mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain
Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri.
Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Respon kemarahan dapat berfluktusi dalam rentang adaptif-maladaptif.
D.
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
1.
Fisik
a.
b.
c.
Tangan mengepal
d.
Rahang mengatup
e.
f.
Jalan mondar-mandir
2.
Verbal
a.
Bicara kasar
b.
c.
d.
e.
Suara keras
f.
Ketus
3.
Perilaku
a.
b.
c.
d.
Merusak lingkungan
e.
Amuk/agresif
4.
Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5.
Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6.
Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung
perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7.
Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8.
Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
E.
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri, orang
lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat
melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
F.
PROSES MARAH
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh
setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak
menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan. Berikut ini
digambarkan proses kemarahan :(Beck, Rawlins, Williams, 1986, dalam Keliat, 1996)
Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu :
Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan menantang. Dari ketiga cara ini cara yang pertama
adalah konstruktif sedang dua cara yang lain adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau
menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka
kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri dan lingkungan dan akan tampak sebagai
depresi dan psikomatik atau agresif dan ngamuk.
PATHWAY/ PATOFLOWDIAGRAM
G.
PERILAKU
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi
terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah
merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan
saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti
rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat
.
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku acting out untuk
menarik perhatian orang lain.
Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan
Perilaku Kekerasan
H.
MEKANISME KOPING
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa
mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain : (Maramis,
1998)
Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti
meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan
seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya.
Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya.
Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci
orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan
benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.
Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.
Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan
dengan temannya.
I.
PENATALAKSANAAN
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
1.
Medis
a.
b.
c.
d.
ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila mengarah pada keadaan
amuk.
2.
Penatalaksanaan keperawatan
a.
Psikoterapeutik
b.
Lingkungan terapieutik
c.
d.
Pendidikan kesehatan
J.
PERENCANAAN PULANG
Perawatan dirumah sakit akan lebih bermakna jika dilanjutkan dirumah. Untuk itu semua rumah
sakit perlu membuat perencanaan pulang. Perencanaan pulang dilakukan sesegera mungkin
setelah klien dirawat dan diintegrasikan didalam proses keperawatan.
Jadi bukan persiapan yang dilakukan pada hari atau sehari sebelum klien pulang.
Tujuan perencanaan pulang:
1.
2.
3.
4.
K.
Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap
pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data, analisa data, dan perumusan masalah
atau kebutuhan klien atau diagnosa keperawatan.
a. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap sekresi
epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar,
pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya
kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks
cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam,
ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran panca
indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses
intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah,
mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan
diintegrasikan.
Aspek social
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah
sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan
mengkritik tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan
kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan
individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal
yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang
dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu secara
komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat
dapat dilukiskan sebagai berikut :
Aspek fisik: terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat,
berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat.
Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel.
Aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
Aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
b. Klasifiaksi data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu data
subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh klien
dan keluarga. Data ini didapatkan melalui wawancara perawat dengan klien dan keluarga.
Sedangkan data obyektif yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui obsevasi atau
pemeriksaan langsung oleh perawat.
c. Analisa data
Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan permasalahan yang
dihadapi klien dan dengan memperhatikan pohon masalah dapat diketahui penyebab sampai pada
efek dari masalah tersebut. Dari hasil analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa keperawatan.
Pohon masalah
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual dan potensial dari
individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan sebagai proses kehidupan
(Carpenito, 2000). Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien marah dengan
masalah utama perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan perilaku
kekerasan.
Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
Diagnosa
keperawata
n
Resiko
mencederai
diri sendiri,
orang lain
dan
lingkungan
b.d perilaku
kekerasan
Perencanaan
Tujuan
TUM
Klien
tidak
mencederai
diri
sendiri,orang lain
dan lingkungan.
TUK
1. Klien dapat
membina hubungan
saling percaya.
Intervensi
Kriteria evaluasi
1.1. Klien mau 1.1.1.
Beri
mambalas salam.
salam/nama
panggilan
1.2. Klien mau
menjabat tangan.
1.1.2.
Sebutkan
nama
perawat
sambil
jabat
1.3. Klien mau tangan.
menyebutkan
nama.
1.1.3.
Jelaskan
maksud hubungan
1.4. Klien mau interaksi.
tersenyum.
1.1.4.
Jelaskan
tentang
kontrak
1.5. Klien mau yang akan dibuat.
kontak mata.
1.1.5. Beri rasa
1.6. Klien mau aman dan sikap
mengetahui nama empati
perawat.
1.1.6.
lakukan
kontan singkat tapi
Rasionalisasi
Hubungan
saling percaya
merupakan
landasan utama
untuk hubungan
selanjutnya.
sering.
2. Klien dapat 2.1
Klien 2.1.1
Beri
menidentifikasi
mengungkapkan
kesempatan untuk
penyebab perilaku perasaannya.
mengungkapkan
kekerasan.
perasaannya
2.2 Klien dapat
mngungkapkan
2.1.2 Bantu klien
penyebab perasaan untuk
jengkel/kesal (dari mengungkapkan
diri sendiri,orang penyebab perasaan
lain
atau jengkel/kesal
lingkungan)
3. Klien dapat
mengidentifikasi
tanda dan gejala
perilaku kekerasan.
4. Klien dapat
mengidentifikasi
perilaku kekerasan
yang
biasa
dilakukan.
A.Beri
kesempatan
untuk
mengungkapka
n perasaannya,
itu
dapat
membantu
menurunkan
stress
dan
penyebab
perasaan
jengkel/kesal
dapat diketahui.
3.1. Klien dapat .1.1 Anjurkan klien
Untuk
megungkapkan
mengungkapkan
mengetahui hal
perasaan
saat apa yang dialami yang
dialami
marah/jengkel.
dan dirasakannya dan dirasakan
saat marah/jengkel. saat jengkel.
3.2. Klien dapat
mnyimpulkan tanda 3.1.2
Observasi
dan
gejala tanda dan gejala
Untuk
jengkel/kesal yang perilaku kekerasan mengetahui
dialaminya.
pada klien.
tanda-tanda
klien
jengkel/kesal .
3.2.1
Simpulkan
bersama
klien
tanda dan gejala
jengkel/kesal.
Menarik
kesimpulan
bersama klien
supaya
klien
mengetahui
secara
garis
besar
tandatanda
marah/kesal.
4.1. Klien dapat 4.1.1
Anjurkan
mengungkapkan
klien
untuk Mengeksplorasi
perilaku kekerasan mengungkapkan
perasaan klien
yang biasa dialami. perilaku kekerasan terhadap
yang
biasa perilaku
4.2. Klien dapat dilakukan
klien kekerasan yang
bermain
peran (verbal, pada orang biasa dilakukan.
sesuai
perilaku lain,
pada
kekerasan
yang lingkungan
dan
biasa dilakukan.
pada diri sendiri).
4.3. Klien dapat
mengetahui
cara
yang
biasa
dilakukan
untuk
menyelesaikan
Untuk
mengetahui
perilaku
kekerasan yang
biasa dilakukan
masalah
4.3.1
Bicarakan
dengan
klien,
apakah dengan cara
yang klien lakukan
masalahnya selesai.
5. Klien dapat
mengidentifikasi
aklibat
perilaku
kekerasan
6. Klien dapat
mendemonstrasika
n cara fisik untuk
mencegah perilaku
kekerasan
Akibat
orang lain
pada
Akibat
lingkungan
pada
dan
dengan
bantuan perawat
bisa
membedakan
perilaku yang
konstruktik dan
destruktif.
Dapat
membantu klien
untuk
menemukan
cara yang dapat
menyelesaikan
masalah.
5.1.1.
Bicarakan
Dapat
akibat/kerugian
membantu klien
dari cara yang untuk menilai
dilakukan klien.
perilaku
kekerasan yang
5.1.2.
Bersama dilakukannya.
klien
menyimpulkan
Dengan
akibat dari cara mengetahui
yang
dilakukan akibat perilaku
klien.
kekerasan
diharapkan
5.1.3.
Tanyakan klien
dapat
pada klien apakah merubah
ia
ingin perilaku
mempelajari cara destruktif yang
baru yang sehat
dilakukannya
menjadi
perilakuk yang
konstruktif.
6.1.1 Diskusikan
kegiatan fisik yang
biasa
dilakukan
klien.
Agar klien
dapat
mempelajari
cara yang lain
yng konstruktif.
Membantu
klien
untuk
memilih
cara
yang
paling
cocok dengan
klien
dilakukan
untuk bisa
6.2. Klien dapat mencegah perilaku melakukannya.
mendemonstrasika kekerasan, yaitu:
n cara fisik untuk tarik nafas dalam
mencegah perilaku dan pukul kasur
kekerasan.
serta bantal.
6.3.
Klien
mempunyai jadwal
untuk melatih cara
pencegahan fisik
yang
telah
dipelajari
sebelumnya.
6.4.
Klien
mengevaluasi
kemampuannya
dalam melakukan
cara fisik sesuai
jadwal yang telah
disusun.
6.2.1.
Demonstrasikan
cara tarik nafas
dalam
dengan
klien.
6.2.2. Beri contoh
kepada
klien
tentang
cara
menarik
mafas
dalam.
6.2.3. Minta klien
untuk
mengikuti
contoh
yang
diberikan sebanyak
lima kali.
6.2.4. Beri pujian
positif
atas
kemampuan klien
mendemonstrasika
n cara menarik
nafas dalam.
6.2.5.
Tanyakan
perasaan
klien
setelah selesai.
6.2.6.
Anjurkan
klien
untuk
menggunakan cara
yang
telah
dipelajari
saat
marah/jengkel.
6.2.7. Lakukan hal
yang sama dengan
6.2.1.
sampai
dengan 6.2.6. untuk
cara fisik lain di
pertemuan
yang
lain.
6.3.1. Diskusikan
dengan
klien
mengenai frekuensi
latihan yang akan
dilakukan sendiri
oleh klien.
6.3.2. Susun jadwal
kegiatan
untuk
melatih cara yang
telah dipelajari.
6.4.1.
Klien
mengevaluasi
pelaksanaan
latihan,
cara
pencegahan
perilaku kekerasan
yang
telah
dilakukan
dengn
mengisi
jadwal
kegiatan harian.
6.4.2.
Validasi
kemampuan klien
dalam pelaksanaan
latihan.
6.4.3.
berikan
pujian
atas
keberhasilan klien.
6.4.4.
Tanyakan
kepada
klien
apakah kegiatan
cara
pencegahan
perilaku kekerasan
dapat mengurangi
perasaan marah.
7. Klien dapat 7.1. Klien dapat 7.1.1 Diskusikan
mendemonstrasika menyebutkan cara cara bicara yang
n cara sosial untuk bicara
(verbal) baik dengan klien
mencegah perilaku yang baik dalam
kekerasan
mencegah perilaku 7.1.2 Beri contoh
kekerasan.
cara bicara yang
baik.
Meminta dengan
baik
Meminta dengan
baik.
Menolak dengan
baik
Menolak dengan
baik.
Mengungkapkan
perasaan
dengan Mengungkapkan
baik
perasaan
dengan
baik.
klien.
8.3.1. Diskusikan
dengan
klien
tentang
waktu
pelaksanaan
kegiatan ibadah.
8.3.2. Susun jadwal
kegiatan
untuk
melatih
kegiatan
iabadah.
8.4.1.
Klien
mengevaluasi
pelaksanaan
kegiatan
ibadah
dengan
mengisi
jadwal
kegiatan
harian.
8.4.2.
Validasi
kemampuan klien
dalam
melaksanakan
ibadah.
8.4.3.
Berikan
pujian
atas
keberhasilan klien.
9. Klien dapat
mendemonstrasika
n kepatuhan minum
obat
untuk
mencegah perilaku
kekerasan.
8.4.4.
Tanyakan
pada
klien
Bagaimana
perasaannya setelah
teratur
melaksanakan
ibadah?Apakah
keinginan
marahnya
berkurang?.
9.1.1. Diskusikan
bersama
klien
tentang jenis obat
yang
diminum
(jenis,
warna,
besarnya); waktu
minum obat; cara
minum obat.
9.1.
Klien
menyebutkan jenis,
dosis, dan waktu
minum obat serta
manfaat dari obat
itu
(prinsip
5
benar
:
benar
orang, obat, dosis,
waktu dan cara
pemberian.
9.1.2. Diskusikan
dengan
klien
9.2.
Klien tentaang manfaat
mendemonstrasika minum obat secara
Klien dapat
mengetahui
prinsip
benar
agar
tidak
terjadi
kesalahan
dalam
mengkonsumsi
obat.
klien.
9.3.4.
Tanyakan
kepada
klien
Bagaimana
perasaannya
dengan minum obat
secara
teratur?
apakah keinginan
untuk
marahnya
berkurang?.
10. klien dapat 10.1.
Klien 10.1.1. Anjurkan
mengikuti TAK : mengikuti
TAK klien untuk ikut
stimulasi persepsi stimulasi perrsepsi TAK : stimulasin
pencegahan
pencegahan
persepsi
perilaku kekerasan. perilaku kekerasan pencegahan
perilaku kekerasan.
10.2.
Klien
mempunyai jadwal 10.1.2.
Klien
TAK : stimulasi mengikuti TAK :
persepsi
stimulasi persepsi
pencegahan
pencegahan
perilaku kekerasan. perilaku kekerasan
(kegiatan
10.3. Klien dapat tersendiri).
melakukan evaluasi
terhadap
10.1.3. Diskusikan
pelaksanaan TAK
dengan
klien
tentang
kegiatan
selama TAK.
10.1.4.
Fasilitasi
klien
untuk
mempraktikan hasil
kegiatan TAK dan
beri pujian atas
keberhasilannya.
10.2.1. Diskusikan
dengan
klien
tentang
jadwal
TAK.
10.2.2.
Masukan
jadwal
TAK
kedalam
jadwal
kegiatan
harian
klien.
10.3.1.
Klien
mengevaluasi
pelaksanaan TAK
dengan
jadwal
haraian.
mengisi
kegiatan
10.3.2.
Validasi
kemampuan klien
dalam mengikuti
TAK.
10.3.3. Beri pujian
atas
kemampuan
mengikuti TAK.
11.
Klien
mendapatkan
dukungan keluarga
dalam melakukan
cara
pencegahan
perilaku kekerasan
10.3.4. Tanyakan
kepada
klien
Bagaimana
perasaan
klien
setelah TAK?
11.1.
Keluarga 11.1.1. Identifikasi
dapat
kemampuan
mendemonstrasika keluarga
dalam
n cara merawat merawat
klien
klien.
sesuai dengan yang
telah
dilakukan
keluarga terhadap
klien selama ini.
11.1.2.
Jelaskan
keuntungan peran
serta
keluarga
dalam
merawat
klien.
11.1.3.
Jelaskan
cara
cara
merawat klien :
Terkait dengan
cara
mengontrol
perilaku
marah
secara konstruktif.
Sikap dan cara
bicara.
Membantu klien
mengenal penyebab
marah
dan
pelaksanaan cara
pencegahan
perilaku kekerasan
11.1.4.
keluarga
Bantu
mendemonstrasika
n cara merawat
klien.
11.1.5.
Bantu
keluarga
mengungkapkan
perasaannya setelah
demonstrasi.
11.1.6.
Anjurkan
keluarga
mempraktikannya
pada klien selama
dirumah sakit dan
melanjutkannya
setelah
pulang
kerumah.