Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Marisca Agustina
Dosen Tetap Program Studi Ners
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju
Telp : (021) 78894045
Abstrak :
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, mempunyai tujuan, serta kegiatanya
dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Kemampuan pasien menghardik suara-suara pada halusinasi merupakan suatu
usaha untuk mengontrol diri terhadap halusinasi yang dengan menutup kedua telinga saat halusinasi muncul,
bercakap cakap dengar orang lain, melakukan kegiatan harian dan minum obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan komunikasi terapeutik terhadap kemampuan pasien dalam menghardik suara-suara pada
halusinasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta Tahun 2014. Desain penelitian yang digunakan adalah
deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi sebanyak 30 responden. pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini dengan teknik total populasi yang berjumlah 30 responden. Hasil bivariat
menunjukan ada hubungan komunikasi terapeutik terhadap kemampuan pasien dalam menghardik suara-suara pada
halusinasi dengan nilai p value 0,008 Diharapkan perawat hendaknya melakukan komunikasi terapeutik lebih baik
dan efektif dalam berinteraksi dengan pasien halusinasi mulai dari fase interaksi, fase kerja sampai dengan
terminasi sehingga pasien mampu menghardik sura-suara dan mengontrol halusinasi.
Kata kunci : Komunikasi Terapeutik, Halusinasi, Sp1.
Abstract :
Therapeutic communication is consciously planned communication , has a goal , and in the conference focused on
the patient's recovery . The ability of patients rebuked hallucinatory voices in an attempt to control themselves
against hallucinations that by covering both ears when hallucinations appear , and chatting to hear others , perform
daily activities and take medication. The purpose of this study was to determine the relationship of therapeutic
communication to the patient's ability to rebuke the hallucinatory voices on Drug Dependence Hospital Jakarta in
2014. The study design used is descriptive correlation with cross sectional approach. The population of 30
respondents . The sample used in this study with the technique of the total population of 30 respondents . Bivariate
results showed no relationship to the ability of the patient's therapeutic communication in a rebuke to the
hallucinatory voices with p value of 0.008 is expected that nurses should perform better therapeutic communication
and effective in interacting with patients hallucinations start of phase interaction , phase of work until the
termination so that the patient is able to rebuke Hallucinations voice and control hallucinations .
Keywords : Therapeutic Communication ,Hallucinations, Sp1
Marisca Agustina
Pendahuluan
Badan kesehatan dunia (WHO) mengatakan
jumlah penderita gangguan jiwa didunia adalah
450 juta jiwa. Dengan mengacu data tersebut,
dan kini jumlah itu diperkirakan sudah
meningkat. Di Indonesia diperkirakan ada
sekitar 50 juta jiwa yang mengalami gangguan
jiwa, jika dipersentasekan sekitar 22%. Data
yang dikeluarkan Badan Kesehatan Dunia
(WHO) pada Tahun 2006 yang mengatakan
bahwa ada sekitar 26 juta penduduk Indonesia
mengalami gangguan kejiwaan dari tingkat
ringan sampai berat. Departemen kesehatan
menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa
berat sebanyak 2,5 juta jiwa, data tersebut
diambil dari data Rumah Sakit Jiwa seIndonesia.
Halusinasi adalah persepsi yang salah atau
palsu tetapi tidak ada rangsangan yang
menimbulkannya atau tidak ada objeknya1.
halusinasi adalah terganggunya persepsi
seseorang dimana tidak terdapat stimulus.
Berdasarkan data diketahui bahwa jenis
halusinasi yang paling banyak diderita oleh
pasien dengan skizofrenia adalah halusinasi
pendengaran. Halusinasi merupakan bentuk
yang paling sering dari gangguan sensori
persepsi. Pasien yang mengalami halusinasi
biasanya merasakan sensori
palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan dan
penghidu2.
Tipe halusinasi yang paling sering adalah
halusinasi pendengaran yaitu pasien merasa ada
suara padahal tidak ada stimulus suara,
sedangkan halusinasi penglihatan pasien melihat
bayangan atau sesuatu padahal tidak adap
objeknya. Halusinasi penciuman yaitu pasien
mengalami hal-hal seperti mencium bau-bau
tertentu padahal orang lain tidak merasakan
sensasi serupa. Selanjutnya adalah halusinasi
pengecapan, dimana pasien merasakan stimulus
yang sebetulnya tidak ada, merasakan mengecap
sesuatu padahal tidak sedang makan apapun
serta merasakan sensasi rabaan padahal tidak
ada apapun pada permukaan kulit4.
Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan
pada pasien dengan gangguan sensori persepsi
halusinasi yakni ; membina hubungan saling
percaya, mengenal atau mengidentifikasi isi
halusinasi, mengidentifikasi waktu terjadinya
halusinasi,
mengidentifikasi
frekuensi
halusinasi, mengidentifikasi situasi yang
menimbulkan
halusinasi,
mengidentifikasi
respon pasien terhadap halusinasi, latih cara
mengontrol halusinasi dengan cara mengajarkan
menghardik halusinasi, dan memasukan dalam
jadwal kegiatan harian.
Gangguan sensori persepsi yang dialami
pasien tidak bersumber dari kehidupan nyata,
melainkan dari pasien itu sendiri. Dalam hal ini
sebagai tenaga kesehatan perawat dibutuhkan
untuk membantu dan merawat pasien agar dapat
mengontrol halusinasinya. Peran perawat harus
mempunyai pengetahuan tentang strategi
pelaksanaan dan menguasai tentang bagaimana
melakukan komunikasi yang baik terhadap
pasien dalam memberikan asuhan keperawatan
yang diberikan kepada pasien, khususnya
komunikasi terapeutik sehingga dapat membantu
pasien dalam mengontrol halusinasinya terutama
dalam menghardik suara-suara. Sehingga
komunikasi terapeutik menjadi efektif dalam
membantu pasien dalam proses perawatanya.
Kemampuan komunikasi yang baik yang
dimiliki seorang perawat merupakan salah satu
faktor keberhasilan dalam melaksanakan proses
keperawatan. Kemampuan komunikasi sangat
mempengaruhi kelengkapan data yang diperoleh
dari pasien. Untuk itu selain perlunya
meningkatkan
kemampuan
dalam
berkomunikasi seorang perawat juga perlu
mengetahui hambatan, kelemahan dan karakter
pasien dalam berkomunikasi. Perawat perlu
memperhatikan budaya yang mempengaruhi
kapan dan dimana komunikasi dilakukan,
penggunaan bahasa, usia dan perkembangan
pasien13.
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi
interpersonal dengan titik tolak saling
memberikan pengertian antar perawat dengan
pasien. Persoalan mendasar dalam komunikasi
ini adalah adanya saling membutuhkan antara
perawat
dan
pasien,
sehingga
dapat
dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di
antara perawat dan pasien, perawat membantu
dan pasien menerima bantuan2.
Hubungan teraputik antara perawat dan klien
adalah hubungan kerjasama yang ditandai
dengan tukar menukar perilaku, perasaan,
2
Frekuensi
14
16
30
47
53
100
Marisca Agustina
Frekuensi
11
19
37
63
Mampu
Kurang Mampu
Jumlah
30
100
efektif dengan mampu dalam menghardik suarasuara pada halusinasi (56,3%). Sedangkan dari
10 dari 14 (71,4%) responden komunikasi
melakukan komunikasi terapeutik kurang efektik
dengan
responden kurang mampu dalam
menghardik suara-suara pada halusinasi. Hasil
uji statistic diperoleh Pvalue = 0,008
(Pvalue<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan antara komunikasi terapeutik
dengan kemampuan pasien dalam menghardik
suara-suara pada halusinasi di RSKO Jakarta
Tahun 2014. Hasil analisis diperoleh nilai OR
sebesar 2,944 artinya responden dengan
komunikasi terapeutik yang efektif mempunyai
peluang 2,944 (2,9) kali berpengaruh terhadap
kemampuan pasien dalam menghardik suarasuara pada halusinasi dibandingkan dengan
responden
yang
melakukan
komunikasi
terapeutik kurang efektif.
Pembahasan
Hasil penelitian hubungan komunikasi
terapeutik dengan kemampuan pasien dalam
menghardik
suara-suara
pada
strategi
pelaksanaan (SP1) halusinasi di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat Jakarta Tahun 2014 telah
dianalisis menggunakan uji statistik chi-square.
Hasil analisis menunjukkan bahwa :
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 16
responden
yang
melakukan
komunikasi
terapeutik efektif, 9 responden (56,3%) secara
observasi dapat melakukan menghardik suarasuara pada halusinasi dan 7 responden (43,7%)
tidak mampu melakukan menghardik suara-sura
pada halusinasi. Sedangkan dari 10 dari 14
responden melakukan komunikasi terapeutik
kurang efektif, 10 responden (71,4%) kurang
mampu melakukan menghardik suara-suara pada
halusinasi. Hasil uji chi-square statistik
diperoleh nilai P value 0,008 0,05 sehingga
HO ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara komunikasi
terapeutik perawat dengan kemampuan pasien
dalam menghardik suara-suara pada strategi
pelaksanaan (sp1) halusinasi di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat Jakarta Tahun 2014.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Witojo (2010) dengan judul
Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi
dengan cara menghardik halusinasi di Rumah
4
Marisca Agustina