Вы находитесь на странице: 1из 4

Ketimpangan Pendapatan dan Pemerataan Akses

Listrik
Ditulis oleh: Erina Mursanti dan Yesi Maryam, 19 Februari 2016

Beberapa waktu lalu headline harian Kompas


mengulas panjang mengenai lonjakan
ketimpangan pendapatan yang terjadi di
wilayah perkotaan. Berdasarkan rasio gini,
sebuah alat ukur yang digunakan untuk
mengukur ketimpangan, rasio gini
pendapatan pada September 2015 rasio gini
mencapai 0,47, melonjak dari 0,43 yang
terjadi pada September 2014. Angka ini, jauh
melampui rasio gini nasional yang berkisar
pada angka 0,41. Banyak kalangan menilai
arus orbanisasi yang deras menjadi salah
satu penyebab melonjaknya rasio gini tersebut.
Pemerintah sendiri telah melakukan sejumlah langkah strategis untuk mengatasi
persoalan ini. Seperti yang dijelaskan Bambang Widianto Sekretaris Eksekutif Tim
Nasional Percepata Penanggulangan Kemiskinan, Wakil Presiden Jusuf Kalla telah
memberikan instruksi mengenai koordinasi yang harus dilakukan oleh kementerian
terkait, termasuk pemerintah daerah. Selain itu, pemerintah juga telah menyiapkan
program pengaman khususnya di bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Urbanisasi dan Akses Listrik

Urbanisasi atau perpindahan penduduk yang


tinggal di desa ke wilayah perkotaan
merupakan yang fenomena yang sering
terjadi dalam proses pembangunan. Ada ada
dua faktor utama yang menyebabkan
terjadinya arus urbanisasi, yaitu faktor
pendorong (push factor) dan faktor penarik
(pull factor). Faktor pendorong terjadi karena
(1) tidak tersedianya pembangunan ekonomi
di pedesaan sehingga masyarakat tidak
memiliki banyak pilihan pekerjaan sebagai
mata pencaharian; (2) akses terhadap listrik di pedesaan tidak luas sehingga
mereka memiliki keterbatasan aktifitas di malam hari. Sedangkan faktor penariknya
adalah (1) pembangunan ekonomi lebih banyak terjadi di perkotaan sehingga ada
banyak pilihan pekerjaan sebagai mata pencaharian; (2) akses terhadap listrik
sudah lebih luas.
Menelaah lebih lanjut mengenai faktor urbanisasi tersebut, dapat dilihat bahwa
pemenuhan akses terhadap listrik di pedesaan akan mendorong pembangunan
ekonomi di pedesaan sehingga penduduk pedesaan akan memiliki banyak pilihan
pekerjaan di pedesaan dan tidak lagi memiliki alasan untuk tinggal di perkotaan.
Oleh karena itu, tulisan ini akan menitikberatkan pada pemerataan akses penduduk
(baik di pedesaan ataupun perkotaan) terhadap listrik.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa lebih dari 12 ribu desa atau sekitar
15,4% dari total desa di Indonesia belum memiliki akses terhadap listrik sampai
akhir tahun 2014. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun
mencatat bahwa akses penduduk terhadap listrik di seluruh provinsi di Indonesia
belum merata. Sebagai contoh, di tahun 2015 rasio elektrifikasi di Provinsi Bangka
Belitung telah mencapai 99,97%1, namun di Provinsi Papua rasionya baru mencapai
45,93%2.
Melihat situasi ini, ada beberapa langkah strategis yang sebetulnya bisa diambil
oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ketimpangan pendapatan di perkotaan
ini, salah satunya melalukan pemerataan akses listrik di setiap provinsi (baik di
pedesaan ataupun di perkotaan). Langkah ini sejalan dengan visi pengelolaan
energi3 Indonesia yang telah dituangkan dalam PP No.79/2014 pasal 6 yang
menyatakan bahwa Sumber daya energi tidak dijadikan sebagai komoditas ekspor
1 Artinya hampir seluruh penduduk di Provinsi Bangka Belitung memiliki akses
terhadap listrik.
2 Artinya lebih dari setengah penduduk di Provinsi Papua belum memiliki akses
terhadap listrik.

semata tetapi sebagai modal pembangunan nasional. Selanjutnya diharapkan akan


terjadi pemerataan pembangunan ekonomi (baik di pedesaan ataupun di perkotaan)
setelah adanya pemerataan akses penduduk terhadap listrik, yang berujung pada
rendahnya laju urbanisasi sehingga akan terjadi pemerataan pendapatan penduduk
(baik di pedesaan ataupun di perkotaan).
Berbicara mengenai pemerataan akses penduduk terhadap listrik, ada beberapa
permasalahan yang bisa dibaca dari beberapa kemungkinan. Pertama, perencanaan
penyediaan listrik yang dilakukan pemerintah, Kementerian ESDM lebih tepatnya,
menitikberatkan pada penyediaan listrik melalui sistem on-grid, yaitu penyediaan
listrik melalui pembangunan jaringan transmisi dan distribusi listrik baru yang
kemudian disambungkan ke jaringan transmisi dan distribusi listrik yang sudah ada.
Kemungkinan kedua, kondisi itu dapat diartikan bahwa biaya investasi yang
dibutuhkan sesuai perencanaan tersebut akanlah sangat tinggi, mengingat negara
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dengan variasi topograsi
yang beragam dari Pulau Aceh sampai Pulau Papua. Kemungkinan ketiga, kegiatankegiatan ekonomi lebih banyak dilakukan di Pulau Jawa sehingga pertumbuhan
ekonomi di Pulau Jawa meningkat lebih cepat apabila dibandingkan dengan pulaupulau lainnya.
Indikasi dari kemungkinan ketiga adalah jumlah proporsi PDB dari Pulau Jawa
terhadap PDB nasional sangatlah tinggi (yaitu sekitar 54%); dengan jumlah
penduduk terbanyak (yaitu sekitar 57% penduduk Indonesia) pada tahun 2014.
Terkait dengan beberapa kemungkinan sebagai penyebab ketimpangan akses
terhadap listrik yang dialami oleh penduduk Indonesia, pemerintah dapat
melakukan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Perencanaan penyediaan listrik yang dilakukan Kementerian ESDM juga
mencakup penyediaan listrik melalui sistem off-grid. Melalui sistem ini,
biaya investasi yang dibutuhkan dapat ditekan karena sistem off-grid
dapat mengoptimalkan penggunaan sumber bahan bakar yang sesuai
dengan potensi lokal.
Perencanaan sistem off-grid akan lebih banyak menggunakan energi baru
terbarukan sebagai sumber bahan bakar; dimana ketersediaan energi
baru terbarukan tersebut sangat besar dalam hal kuantitas serta dapat
digunakan secara mudah dengan biaya relatif kecil atau bahkan tidak
perlu mengeluarkan biaya.
Selain dari ketersediaan bahan bakar yang banyak tersebut, pemerintah
tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan
penyambungan jaringan listrik ke jaringan distribusi dan transmisi yang
3 Listrik termasuk salah satu jenis energi yang harus dikelola oleh pemerintah
Indonesia untuk kesejahteraan penduduknya

sudah ada. Sebuah studi yang dilakukan ADB pada tahun 2014 mengenai
elektrifikasi untuk Pulau Sumba di NTT menemukan bahwa penyediaan
listrik melalui sistem off-grid dengan sumber energi baru terbarukan akan
lebih ekonomis dibandingkan dengan sistem on-grid untuk melakukan
perluasan jaringan listrik bagi rumah tangga yang belum mendapatkan
akses listrik4.
(2) Pemerataan kegiatan ekonomi dapat dilakukan pemerintah melalui
program transmigrasi. Adapun begitu, banyak persiapan yang harus
dilakukan dalam hal program transmigrasi yaitu pembangunan
infrastruktur dan penciptaan lapangan kerja di daerah tujuan.
Diharapkan program transmigrasi ini dapat memunculkan kegiatankegiatan ekonomi yang lebih banyak di luar Pulau Jawa, sehingga pada
akhirnya pertumbuhan penduduk tidak hanya terjadi di Pulau Jawa.
Tentunya hal ini pun sejalan dengan program pemerintah untuk
pengendalian pertumbuhan penduduk yang dilakukan oleh BKKBN.
Dengan terkendalinya pertumbuhan penduduk, diharapkan pemerataan
akses terhadap listrik akan segera tercapai. Terdapat beberapa kisah
sukses dari program transmigrasi yang telah dilakukan pemerintah
Indonesia.
Sebagai contoh, Pujiyono, seorang transmigran yang mengikuti program
transmigrasi dari Semarang, Jawa Tengah, ke Pesisir Selatan, Sumatera
Barat pada tahun 1991 lalu. Saat ini ia telah menjadi petani kelapa sawit
yang telah sukses mengekspor hasil kelapa sawitnya sehingga dapat
membangun rumah dan memiliki sebuah mobil pribadi 5.

4 Asian Development Bank, Mid-Term Report (Final): Least-Cost Electrification Plan for the
Iconic Island, ADB TA 8287-INO: Scaling Up Renewable Energy Access in Eastern Indonesia,
2014.

5 Berita diakses 07 Februari 2016.


http://finance.detik.com/read/2013/04/15/211551/2221077/4/kisah-transmigranyang-sukses-bisnis-sawit-hingga-jadi-kepala-desa

Вам также может понравиться