Вы находитесь на странице: 1из 148

PEMANFAATAN FRAKSI AKTIF EKSTRAK

TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn.)


SEBAGAI ZAT ANTIMIKROBA DAN ANTIOKSIDAN
DALAM SEDIAAN KOSMETIK

SRI WINDARWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER


INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa
tesis yang berjudul :
PEMANFAATAN FRAKSI AKTIF EKSTRAK TANAMAN JARAK
PAGAR (Jatropha curcas Linn.) SEBAGAI ZAT ANTIMIKROBA DAN
ANTIOKSIDAN DALAM SEDIAAN KOSMETIK adalah benar merupakan
karya sendiri dibawah arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah
dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi telah dinyatakan secara jelas
dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2011

Sri Windarwati
NRP : F351074011

ABSTRACT
SRI WINDARWATI. F351074011. Utilization of Active Fraction of Jatropha
curcas Herb Extracts as Antimicrobial and Antioxidant Agents in Cosmetic.
Supervised by DWI SETYANINGSIH and FRANSISKA R. ZAKARIA.

Crude extract of Jatropha curcas herbs exhibit antimicrobial and antioxidant


activity that may be used in cosmetic product. Extract fractionation was done by
solvent partition with hexane and ethyl acetate successively to produce low and
medium polarity fractions. The objective of this research was to obtain active
fraction from leaves, seedcakes, and stem barks of Jatropha curcas as
antimicrobial and antioxidant agents in cosmetics product. Furthermore, this
research examined the toxicity of the selected fractions and its cosmetics product
i.e. hand and body cream. Crude extract and/or its fractions were analyzed for
antioxidant activity by DPPH scavenging test, antimicrobial activity, total phenol,
phorbol ester, skin irritation testing by Draize test, and chemical composition by
GC-MS. Results of this study showed that methanol fraction of leaf extract was the
most potential antioxidants with DPPH scavenging activity of 89.42%, while ethyl
acetate fraction from the same extract was potentially used as an antimicrobial
agent with zone of inhibition of 12,5 mm. Total phenol content for methanol and
ethyl acetate fractions was 32,76 and 88,53 mg tannic acid/g sample, respectively.
Primary irritation testing using New Zealand white rabbits revealed that
application of methanol fraction (0,064%-1%) did not induce erythema or edema
formation, meanwhile the cream containing this fraction induced mild irritation.
Application of ethyl acetate fraction of 1.25% did not caused skin irritation,
meanwhile the cream containing this fraction induced mild irritation. Crude
extract and ethyl acetate fractions of leaf extract were classified as slight irritant;
meanwhile methanol fraction was considered as non irritant. Allergenic reaction
using human IgE showed that crude extract of leaves, seedcakes and stem barks
may react with human IgE that may induce allergy reaction.
Key words: antimicrobial, antioxidant, skin irritation, Jatropha curcas, extract

RINGKASAN
SRI WINDARWATI. F351074011. Pemanfaatan Fraksi Aktif Ekstrak Tanaman
Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) sebagai Zat Antimikroba dan Antioksidan
dalam Sediaan Kosmetik. Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH dan
FRANSISKA R. ZAKARIA.
Kajian mengenai aktivitas biokimia yaitu sifat antimikroba dan
antioksidan ekstrak kasar tanaman jarak pagar telah dilakukan oleh beberapa
peneliti. Untuk mendapatkan ekstrak murni dengan aktivitas biokimia yang lebih
tinggi serta untuk mendukung pemanfaatannya dalam produk turunan, maka fraksi
aktif dari ekstrak tanaman jarak pagar yang potensial sebagai agen antimikroba
dan antioksidan perlu dievaluasi. Uji coba pemanfaatan fraksi aktif ekstrak jarak
pagar dalam formula produk akhir perlu dilakukan untuk mengetahui
efektivitasnya dalam bentuk sediaan kosmetik/produk akhir sekaligus uji
toksisitas dan alergenitas untuk mengetahui tingkat keamanan penggunaan
produk.
Tujuan penelitian adalah untuk mengembangkan produk berbasis senyawa
aktif ekstrak tanaman jarak pagar, lebih khusus adalah produk zat antimikroba dan
zat antioksidan dalam sediaan kosmetik. Tujuan khusus penelitian adalah
mendapatkan fraksi aktif ekstrak tanaman jarak pagar yang potensial sebagai zat
antimikroba dan antioksidan, mengidentifikasi senyawa kimia yang terdapat pada
fraksi aktif ekstrak tanaman jarak pagar yang diperoleh, mendapatkan produk
sediaan kosmetik yang memanfaatkan fraksi aktif ekstrak tanaman jarak pagar,
mendapatkan informasi toksisitas kulit dari fraksi aktif ekstrak jarak pagar dan
produk sediaan kosmetik yang dihasilkan dan mendapatkan informasi sifat
alergenitas dari ekstrak jarak pagar.
Penelitian diawali dengan persiapan dan karakterisasi bahan baku (daun,
bungkil, kulit batang), dilanjutkan dengan proses ekstraksi dan fraksinasi untuk
menentukan fraksi terpilih sebagai zat antimikroba dan zat antioksidan. Ekstrak
kasar dan fraksi-fraksi ekstrak dianalisa aktivitas antioksidan (peredaman DPPH),
aktivitas antimikroba (difusi sumur), kandungan total fenol (Folin Ciocalteu) dan
kandungan senyawa toksik ester forbol. Fraksi terpilih diidentifikasi komposisi
kimianya dengan Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS) dan
digunakan dalam uji coba formulasi fraksi ekstrak jarak pagar dalam produk krim.
Pengaruh penambahan ekstrak jarak pagar terpilih dievaluasi berdasarkan analisa
pH, stabilitas emulsi, aktivitas antioksidan dan cemaran mikroba. Sebagai uji
tingkat keamanan penggunaan ekstrak, dilakukan uji toksisitas kulit yaitu uji
iritasi kulit primer dengan metode Draize test dan uji sifat alergenitas ekstrak
dengan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA).
Fraksi polar dari ekstrak metanol daun jarak pagar berpotensi sebagai zat
antioksidan dengan aktivitas peredaman DPPH 89,42%, kandungan total fenol
32,760,58 mg asam tanat/g dan tidak teridentifikasi senyawa toksik ester forbol.
Sedangkan fraksi etil asetat dari ekstrak yang sama berpotensi sebagai zat
antimikroba dengan diameter penghambatan terhadap S.aureus 12,50 mm, dengan
kandungan total fenol 88,5310,89 mg asam tanat/g ekstrak
Senyawa kimia yang teridentifikasi dalam fraksi metanol daun yang terpilih
antara lain senyawa fural, alkaloid, piran dan nicotinamida. Dalam fraksi etil

asetat terpilih teridentifikasi senyawa terpen, senyawa fenol, asam lemak, alkaloid
dan senyawa glikosida. Senyawa-senyawa tersebut berasal dari tanaman dan
reaksi pada proses penyiapan ekstrak, dan kemungkinan bertanggung jawab
terhadap aktivitas antimikroba dan antioksidan yang dimiliki.
Formulasi produk krim dengan penambahan fraksi etil asetat 1,25% sebagai
substitusi metil paraben dan propil paraben merupakan formula terbaik yang
memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dan nilai cemaran mikroba terendah.
Sedangkan formulasi produk krim dengan penambahan fraksi metanol daun jarak
0,064% sebagai substitusi BHT memiliki aktivitas antioksidan yang lebih rendah
dari formula komersial.
Penggunaan fraksi metanol daun jarak pagar sebagai zat antioksidan dalam
formula produk krim masih mungkin untuk ditingkatkan konsentrasinya karena
fraksi ekstrak ini dalam bentuk larutan 0,064%-1% dan pengenceran 1:1 (50%)
tidak menyebabkan reaksi iritasi kulit, dan diklasifikasikan sebagai bahan non
irritant. Larutan fraksi etil asetat daun jarak dengan konsentrasi 1,25% tidak
menyebabkan reaksi iritasi kulit (PII=0), sedangkan konsentrasi 2,5% dapat
menyebabkan iritasi lemah (PII=0,25) dan dengan pengenceran 1:1 menyebabkan
iritasi ringan (PII=2,25). Ekstrak kasar daun jarak pagar juga menyebabkan iritasi
kulit ringan (PII 1,25). Hasil uji sifat alergenitas ekstrak jarak pagar menggunakan
IgE manusia menunjukkan bahwa ketiga ekstrak kasar (daun, bungkil, kulit
batang) bereaksi positif dengan IgE serum subyek dan berpotensi menyebabkan
reaksi alergi.

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PEMANFAATAN FRAKSI AKTIF EKSTRAK TANAMAN


JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn.) SEBAGAI ZAT
ANTIMIKROBA DAN ANTIOKSIDAN
DALAM SEDIAAN KOSMETIK

SRI WINDARWATI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis

Nama
N RP

:
:

Pemanfaatan Fraksi Aktif Ekstrak Tanaman Jarak Pagar


(Jatropha curcas Linn.) sebagai Zat Antimikroba dan
Antioksidan dalam Sediaan Kosmetik
Sri Windarwati
F351074011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si.


Ketua

Prof. Dr. Fransisca R. Zakaria, M.Sc.


Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi


Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS

Tanggal ujian : 20 Juni 2011

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

Tanggal lulus :

ii

iii

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga tugas akhir penelitian yang
berjudul: Pemanfaatan Fraksi Aktif Ekstrak Tanaman Jarak Pagar
(Jatropha curcas Linn.) sebagai Zat Antimikroba dan Antioksidan dalam
Sediaan Kosmetik dapat diselesaikan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pelaksanaan penelitian dan penyusunan thesis
tidak mungkin selesai tanpa peran serta berbagai pihak yang telah membantu.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si. selaku Ketua Komisi
Pembimbing dan Prof. Dr. Fransisca R. Zakaria, M.Sc selaku Anggota Komisi
Pembimbing atas bimbingan dan arahannya; Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku
dosen penguji atas arahan dan masukannya, teman-teman seperjuangan di SBRC
LPPM IPB atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan penelitian, staf
dan laboran di Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB serta
rekan-rekan di Departemen Teknologi Industri Pertanian angkatan 2007 dan 2008.
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Ecoscience Investments
dan SBRC LPPM IPB atas kesempatan beasiswa yang diberikan. Ucapan terima
kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, Kakak dan AdikAdik dan seluruh keluarga atas segala dukungan dan doanya.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan agar
dapat memberikan informasi dalam pengembangan karya tulis ini lebih lanjut.

Bogor, Juli 2011

Sri Windarwati

iv

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1983 di Desa Ngawen Muntilan
Magelang Jawa Tengah. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara
dari pasangan Bapak Iskahar dan Ibu Siti Murni.
Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis pada tahun 1995 di SD
Muhammadiyah Ngawen, Magelang dan pendidikan menengah pertama
diselesaikan pada tahun 1998 di MTs Assalaam, Sukoharjo. Setelah itu penulis
menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas pada tahun 2001 di SMU
Assalaam, Sukoharjo.
Penulis melanjutkan kuliah Strata 1 tahun 2001 di Program Studi
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan mendapatkan
gelar sarjana pada tahun 2006. Sejak 2006 penulis telah bekerja sebagai staf
peneliti di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC LPPM IPB) dan
mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kuliah Strata 2 pada tahun ajaran
2007/2008 di Sekolah Pascasarjana, Teknologi Industri Pertanian IPB, melalui
program beasiswa pengembangan bioenergi dari Ecoscience Investments.

vi

vii

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
I.

PENDAHULUAN. ............................................................................. 1
1.1 Latar belakang ................................................................................. 1
1.2 Tujuan .............................................................................................. 3

II.

TINJAUAN PUSTAKA. .................................................................... 5


2.1 Tanaman Jarak Pagar ....................................................................... 5
2.2 Komposisi Kimia tanaman Jarak Pagar ........................................... 7
2.3 Senyawa Metabolit Sekunder pada Tanaman .................................. 12
2.4 Ekstraksi dan Fraksinasi Senyawa Aktif ........................................ 14
2.5 Zat Antimikroba .............................................................................. 16
2.6 Zat Antioksidan ............................................................................... 18
2.7 Sifat Toksisitas ................................................................................ 20
2.8 Sifat Alergenitas .............................................................................. 22
2.9 Produk Krim dan Pengawet pada Produk Kosmetik ....................... 26

III.

METODOLOGI PENELITIAN . ........................................................ 29


3.1 Kerangka Pemikiran ........................................................................ 29
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian.......................................................... 29
3.3 Bahan dan Alat ................................................................................ 30
3.4 Metode Penelitian ............................................................................ 30
3.4.1 Persiapan dan Karakterisasi Bahan Baku .............................. 31
3.4.2 Proses Ekstraksi dan Fraksinasi ............................................ 32
3.4.3 Analisis Ekstrak dan Fraksi Ekstrak ..................................... 33
3.4.4 Pemanfaatan fraksi aktif dalam formulasi produk
kosmetik ................................................................................ 33
3.4.5 Uji toksisitas kulit ................................................................. 34

viii

Halaman
3.4.6 Uji alergenitas ekstrak jarak pagar ........................................ 35
3.5 Teknik Analisis Data ........................................................................ 37
3.6 Hipotesis Penelitian.......................................................................... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. .......................................................... 39


4.1 Karakteristik Bahan Baku ................................................................ 39
4.2 Proses Ekstraksi Senyawa Aktif dan Fraksinasi .............................. 41
4.3 Analisa Ekstrak dan Fraksi Ekstrak ................................................. 45
4.3.1 Aktivitas Antimikroba............................................................. 45
4.3.2 Uji Aktivitas antioksidan ........................................................ 49
4.3.3 Uji Total Fenol ........................................................................ 53
4.3.4 Kandungan Ester Forbol ......................................................... 55
4.4 Pemilihan Fraksi Ekstrak Jarak Potensial sebagai zat antioksidan
dan zat antimikroba .......................................................................... 57
4.4.1 Zat Antioksidan ....................................................................... 57
4.4.2 Zat Antimikroba ...................................................................... 61
4.5 Uji Coba Formulasi Ekstrak Terpilih dalam Produk Krim .............. 64
4.6 Uji Toksisitas Kulit .......................................................................... 78
4.7 Uji Sifat Alergi ................................................................................. 81

V.

SIMPULAN DAN SARAN................................................................. 85


5.1 Simpulan .......................................................................................... 85
5.2 Saran ................................................................................................ 86

DAFTAR PUSTAKA . ................................................................................. 87


LAMPIRAN . ............................................................................................... 95

ix

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Komposisi kimia kernel dan cangkang biji jarak pagar ................................ 7
2. Kandungan phorbol ester pada beberapa bagian tanaman jarak pagar ......... 10
3. Tingkat kepolaran beberapa jenis pelarut ..................................................... 15
4. Klasifikasi potensi iritasi kulit ...................................................................... 21
5. Evaluasi reaksi kulit metode Draize .............................................................. 35
6. Hasil analisa proksimat bahan baku penelitian ............................................. 40
7. Rendemen proses ekstraksi ........................................................................... 42
8. Persentase fraksi-fraksi pelarut dari ekstrak ................................................. 43
9. Rendemen ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar ......................................... 44
10. Kandungan ester forbol ekstrak dan fraksi ekstrak ....................................... 56
11. Pemilihan ekstrak sebagai zat antioksidan .................................................... 58
12. Identifikasi senyawa kimia fraksi metanol ekstrak daun jarak pagar ........... 59
13. Pemilihan ekstrak sebagai zat antimikroba ................................................... 62
14. Identifikasi senyawa kimia fraksi etil asetat ekstrak daun jarak pagar ......... 62
15. Bahan pembuatan krim beserta fungsinya .................................................... 65
16. Formula penambahan fraksi aktif terpilih dalam produk krim ..................... 66
17. Nilai cemaran mikroba pada formula produk krim ....................................... 71
18. Pengaruh suhu penambahan ekstrak terhadap karakteristik krim ................. 74
19. Formula produk krim dengan penambahan ekstrak jarak pagar ................... 75
20. Hasil Primary Skin Irritation Testing ........................................................... 79

xi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Tanaman dan bagian tanaman jarak pagar .................................................... 6


Struktur tetradecanoyl phorbol-13-acetate (TPA) ......................................... 9
Respon peradangan dari senyawa ester forbol ............................................. 11
Mekanisme alergi .......................................................................................... 26
Diagram alir kegiatan penelitian ................................................................... 31
Diagram alir pembuatan produk hand and body cream ................................ 34
Daun, bungkil biji dan batang tanaman jarak pagar ...................................... 39
Fraksi metanol daun, bungkil dan kulit batang jarak pagar .......................... 45
Diameter zona penghambatan ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar
terhadap Bakteri S. aureus ............................................................................ 46
10. Aktivitas antioksidan ekstrak dan fraksi ekstrak daun, bungkil dan kulit
batang jarak pagar ......................................................................................... 50
11. Total fenol ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar ........................................ 54
12. Struktur senyawa yang teridentifikasi pada fraksi metanol daun jarak......... 59
13. Perbandingan aktivitas antioksidan ekstrak terpilih dengan BHT ................ 61
14. Struktur senyawa yang teridentifikasi pada fraksi etil asetat daun jarak ...... 64
15. Produk krim hasil formulasi dengan fraksi ektrak jarak pagar ..................... 67
16. Histogram pengaruh formulasi produk krim terhadap nilai pH .................... 68
17. Histogram pengaruh formulasi produk krim terhadap total mikroba............ 70
18. Histogram pengaruh formulasi ekstrak terhadap aktivitas antioksidan krim 73
19. Produk krim dengan perbedaan suhu penambahan ekstrak .......................... 74
20. Histogram pengaruh formulasi ekstrak jarak terhadap aktivitas antioksidan
krim ............................................................................................................... 76
21. Histogram pengaruh formulasi ekstrak jarak terhadap total mikroba ........... 77
22. Produk krim yang terkontaminasi mikroorganisme ...................................... 77
23. Hasil deteksi IgE dalam serum darah subyek ............................................... 82
24. Hasil ELISA penentuan alergenitas ekstrak jarak pagar ............................... 83

xii

xiii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Prosedur analisa bahan baku ......................................................................... 95
2. Prosedur analisa ekstrak dan fraksi ekstrak .................................................. 97
3. Prosedur analisis produk krim ....................................................................... 100
4. Data proses pemisahan partisi pelarut ........................................................... 101
5. Data hasil analisa ekstrak dan fraksi ekstrak................................................. 102
6. Kurva standar uji total fenol.......................................................................... 105
7. Analisis ragam untuk uji aktivitas antimikroba fraksi ekstrak ...................... 106
8. Analisis ragam untuk uji aktivitas antioksidan fraksi ekstrak ....................... 107
9. Analisis ragam untuk total fenol fraksi ekstrak............................................. 108
10. Kromatogram HPLC analisa ester forbol ...................................................... 109
11. Analisis ragam untuk pemilihan ekstrak sebagai zat antioksidan ................. 112
12. Analisis ragam untuk rendemen fraksi ekstrak ............................................. 113
13. Kromatogram komposisi kimia fraksi ekstrak terpilih dengan GCMS......... 114
14. Data hasil pengamatan uji tingkat iritasi kulit .............................................. 116
15. Hasil hasil pengamatan uji sifat alergi dengan ELISA ................................. 117

xiv

xv

I. PENDAHULUAN

1.3

Latar Belakang
Pengembangan jarak pagar sebagai salah satu tanaman penghasil Bahan

Bakar Nabati (BBN) di Indonesia sudah mulai bermunculan dengan berbagai


skala usaha. Sebagai bahan baku BBN, jarak pagar memiliki beberapa keunggulan
dibanding tanaman penghasil BBN lainnya. Tanaman ini merupakan tanaman
tropis yang dapat beradaptasi dengan baik pada lahan kering, memiliki kandungan
minyak yang tinggi, dan memiliki ciri yang sesuai untuk bahan bakar. Selain itu
jarak pagar tidak termasuk tanaman untuk pangan, sehingga pemanfaatannya
sebagai bahan baku energi diharapkan tidak mengganggu stabilitas harga pangan.
Keunggulan lain adalah hampir semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan
misalnya bungkil jarak sebagai biobriket, dan biopelet, sedangkan kulit buah dan
daun jarak dimanfaatkan sebagai kompos.
Selain pemanfaatan sebagai bioenergi, jarak pagar juga memiliki potensi
yang besar untuk pengembangan produk di bidang obat-obatan, pertanian maupun
industri kimia. Daun jarak pagar di sejumlah daerah di Indonesia secara
tradisional telah digunakan untuk penyembuh batuk, zat antiseptik setelah
melahirkan, pereda panas, pereda kembung, obat cacing, obat gusi bengkak, anti
ketombe dan lain-lain. Daun jarak juga dilaporkan sebagai obat malaria di Mali
(Henning 1997) dan sebagai haemostatik di Afrika (Watt dan Breyer-Brandwijk
1962, diacu dalam Gubitz et al. 1999). Minyak jarak digunakan sebagai obat
pencahar, mengobati penyakit kulit dan mengurangi rasa sakit akibat reumatik
(Duke 1985, diacu dalam Gubitz et al. 1999). Di Afrika, biji jarak digunakan
langsung sebagai obat pencahar dan anthelmintic (obat pembasmi cacing
pathogen) (Watt dan Breyer-Brandwijk 1962, diacu dalam Gubitz et al. 1999).
Penggunaan ekstrak jarak pagar secara tradisional untuk antiseptik dan obat
gigitan ular dilakukan masyarakat di Brazil, untuk pengobatan infeksi saluran
kencing di Timor, gatal-gatal kulit dan jamur mulut (candidiasis) di Tanzania dan
sakit tenggorokan di Trinidad dan Tobago.
Kajian mengenai aktivitas senyawa aktif pada tanaman jarak pagar juga
telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Igbinosa et al. (2009) melakukan

pengujian aktivitas antimikroba dari ekstrak etanol, metanol dan ekstrak air kulit
batang jarak pagar. Kemampuan ekstrak kasar dalam menghambat pertumbuhan
bakteri dan kapang merupakan indikasi adanya potensi yang besar sebagai produk
antimikroba. Pase (2009) melakukan pengujian aktivitas antimikroba dari sabun
transparan dan sabun opaque berbahan baku minyak jarak pagar. Adanya aktivitas
antimikroba pada sabun jarak membuka peluang untuk pengembangan sabun
kesehatan alami. Produk lain seperti antioksidan juga dapat dikembangkan dari
jarak pagar. Diwani et al. (2009) mendapatkan bahwa ekstrak metanol dari akar
tanaman jarak pagar menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi yang dapat
meningkatkan stabilitas oksidasi dari minyak dan biodiesel jarak pagar, jelantah
dan minyak zaitun.
Dalam pengembangan produk-produk turunan senyawa aktif, beberapa
negara telah mengembangkan beberapa produk seperti antibiotik, biopestisida,
anti virus dan anti fungi serta isolat protein dari jarak pagar. Berkaitan dengan
pengembangan jarak pagar di Indonesia sebagai bahan baku BBN, maka potensi
senyawa aktif pada jarak pagar perlu mendapatkan perhatian karena berpotensi
untuk menghasilkan produk-produk yang bermanfaat bagi manusia.
Kajian mengenai aktivitas antimikroba dan antioksidan ekstrak kasar
tanaman jarak pagar yang meliputi bagian batang dan daun, kulit buah serta biji
jarak dengan 3 jenis pelarut yaitu metanol, heksan dan etil asetat telah dilakukan.
Hasil uji antioksidan menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan terbesar terdapat
pada sampel ekstrak metanol biji jarak. Hasil uji antimikroba dengan metode
difusi sumur terhadap bakteri uji E.coli dan S. aureus menunjukkan bahwa sampel
yang memiliki aktivitas antimikroba dengan diameter penghambatan

6 mm

antara lain ekstrak biji jarak dengan pelarut metanol dan heksan, ekstrak batang +
daun jarak dengan pelarut metanol dan heksan serta ekstrak kulit buah jarak
dengan pelarut metanol. Ekstrak biji jarak pagar dengan pelarut metanol memiliki
diameter hambat terbesar yaitu 11,9 mm terhadap bakteri E. coli dan 14,83 mm
terhadap bakteri S. aureus (Nurmillah 2009).
Ekstrak tersebut masih berupa ekstrak kasar, untuk mendapatkan aktivitas
biokimia yang lebih tinggi serta untuk mendukung pemanfaatannya dalam produk
turunan, maka perlu dilakukan proses pemurnian untuk memperoleh fraksi aktif

dari ekstrak tanaman jarak pagar, yang potensial sebagai agen antimikroba dan
antioksidan. Untuk mengetahui efektivitasnya dalam bentuk sediaan kosmetik
maka perlu dilakukan uji coba pemanfaatan fraksi aktif ekstrak jarak pagar dalam
formula hand & body cream.

1.4

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan produk bioaktif berbasis

senyawa aktif ekstrak tanaman jarak pagar. Secara khusus, tujuan penelitian
adalah:
a. Mendapatkan fraksi aktif ekstrak tanaman jarak pagar sebagai zat
antimikroba dan antioksidan.
b. Identifikasi senyawa kimia yang terdapat pada fraksi aktif ekstrak tanaman
jarak pagar yang diperoleh.
c. Mendapatkan produk sediaan kosmetik yang memanfaatkan fraksi aktif
ekstrak tanaman jarak pagar.
d. Mendapatkan informasi toksisitas kulit dari fraksi aktif ekstrak jarak pagar
dan produk sediaan kosmetik yang dihasilkan (hand& body cream).
e. Mendapatkan informasi sifat alergenitas dari ekstrak jarak pagar.

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas. L)


Jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae. Tanaman ini merupakan
tanaman semak atau pohon yang tahan terhadap kekeringan dan dapat tumbuh
pada area dengan curah hujan rendah sampai tinggi (200-1500 mm per tahun).
Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah dan saat ini banyak dibudidayakan di
Amerika Selatan dan Tengah, Asia Tenggara, India dan Afrika (Gubitz et al.
1999). Jarak pagar berpotensi untuk memperbaiki lingkungan dan meningkatkan
kualitas hidup penduduk pedesaan di negara tropis karena pemanfaatannya yang
sangat beragam. Tanaman ini dapat digunakan untuk mencegah atau mengontrol
erosi, reklamasi lahan, meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai tanaman pagar.
Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak
teratur. Batangnya berkayu, silindris, dan bila terluka mengeluarkan getah.
Bagian-bagian tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Hambali et al. 2006):
2.1.1. Daun
Daun tanaman jarak pagar adalah daun tunggal berlekuk dan
bersudut 3 atau 5. Daun tersebar di sepanjang batang. Permukaan atas dan
bawah lebih pucat dibanding permukaan atas. Daunnya lebar dan
berbentuk jantung atau bulat telur melebar dengan panjang 5-15 cm. Helai
daunnya bertoreh, berlekuk, dan ujungnya meruncing. Tulang daun
menjari dengan jumlah 5-7 tulang daun utama. Daunnya dihubungkan
dengan tangkai daun. Panjang tangkai daun antara 4-15 cm.
2.1.2. Bunga
Bunga tanaman jarak pagar adalah bunga majemuk berbentuk
malai, berwarna kuning kehijauan, berkelamin tunggal dan berumah satu
(putik dan benang sari dalam satu tanaman). Bunga betina 4-5 kali lebih
banyak dari bunga jantan. Bunga jantan maupun bunga betina tersusun
dalam rangkaian berbentuk cawan yang tumbuh di ujung batang atau
ketiak daun. Bunganya mempunyai 5 kelopak berbentuk bulat telur dengan
panjang kurang lebih 4 mm. Benang sari mengumpul pada pangkal dan
berwarna kuning. Tangkai putik pendek berwarna hijau dan kepala putik

melengkung keluar berwarna kuning. Bunganya mempunyai 5 mahkota


berwarna keunguan. Setiap tandan terdapat lebih dari 15 bunga. Jarak
pagar termasuk tanaman monoecious dan bunganya uniseksual. Kadang
kala muncul bunga hermaprodit yang berbentuk cawan berwarna hijau
kekuningan.
2.1.3. Buah
Buah tanaman jarak pagar berupa buah kotak berbentuk bulat
telur dengan diameter 2-4 cm. Panjang buah 2 cm dengan ketebalan sekitar
1 cm. Buah berwarna hijau ketika muda dan berubah menjadi hijau
kekuningan dan coklat atau kehitaman ketika masak. Buah jarak terbagi
menjadi 3 ruang, masing-masing ruang berisi satu biji sehingga dalam
setiap buah terdapat 3 biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna
cokelat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan
rendemen sekitar 35-45% dan beracun.

Tanaman Jarak Pagar

Buah masak

Bunga

Biji jarak

Gambar 1 Tanaman dan bagian tanaman jarak pagar

Biji jarak pagar dapat dipisahkan bagian kernel dan cangkang.


Bagian kernel mencapai 60-62.7% bagian biji. Komposisi kimia kernel
dan cangkang biji jarak pagar varietas Cape Verde disajikan pada Tabel 1
berikut.

Tabel 1 Komposisi kimia kernel dan cangkang biji jarak pagar


Keterangan
Kernel biji jarak Cangkang biji jarak
Kandungan bahan kering (bk, %)
96.6
90.3
Protein kasar (bk, %)
22.2
4.3
Lemak (bk, %)
57.8
0.7
Abu (bk, %)
3.6
6.0
Neutral detergent fiber (bk, %)
3.8*
83.9
Acid detergent fiber (bk, %)
3.0*
74.6
*
Acid detergent lignin (bk, %)
0.2
45.1
*
Dihitung dari nilai yang diperoleh dari sampel bebas lemak
Sumber : Makkar et al. (1998)

2.10

Komposisi Kimia Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas. L)


Daun, ranting, batang, akar serta biji jarak mengandung berbagai macam

senyawa kimia, beberapa diantaranya merupakan senyawa-senyawa aktif.


Senyawa kimia yang terisolasi dari bagian daun dan ranting jarak pagar meliputi
cyclic triterpene stigmasterol, stigmast-5-en-3,7-diol, stigmast-5-en-3,7-diol,
cholest-5-en-3,7-diol, cholest-5-en-3,7-diol, campesterol, -sitosterol, 7keto- -sitosterol. Selain itu, bagian daun dan ranting mengandung senyawa
flavanoid apigenin, vitexin dan isovitexin (Neuwinger 1994).
Senyawa kimia yang diisolasi dari bagian batang tanaman jarak pagar antara
lain friedelin, epi-friedelinol, tetracyclic triterpene ester jatrocurcin dan scopoletin
methyl ester. Senyawa -amyrin, -sitosterol dan juga taraxerol didapatkan
terkandung pada bagian kulit batang tanaman jarak, sedangkan bagian akar
mengandung -sitosterol, -D-glucoside, mermesin, propacin, curculathyranes A
dan B dan juga curcusones A-D. Lebih lanjut, diterpenoid jatrophol dan
jatrpholone A dan B, coumarin tomentin, coumerin-lignan jatrophin dan juga
taraxerol juga ditemukan pada akar (Naengchomnong et al. 1994).
Bagian biji jarak merupakan bagian yang paling banyak dikaji mengandung
senyawa aktif. Biji jarak (physic nut, purging nut) memiliki bobot 0.75 g dan

daging buah mengandung protein 27-32% dan minyak 58-60%. Makkar et al.
(1998) melaporkan adanya total fenol serta tannin pada kernel dan cangkang biji
beberapa varietas jarak pagar (Cape verde, Nicaragua, Ife-Nigeria). Pada bungkil
jarak pagar (meal) ditemukan adanya aktivitas tripsin inhibitor, lektin, saponin,
juga phytat, sedangkan ester forbol ditemukan pada bagian kernel jarak. Senyawa
curcin dan ester forbol yang merupakan senyawa racun dan antinutrisi paling
banyak ditemukan pada bagian biji.
Komponen toksik utama pada bungkil jarak adalah hemaglutinin bernama
curcin. Curcin menghambat sintesis protein in vitro. Senyawa toksik lain adalah
lektin (51-102 mg bungkil/ml uji produksi hemaglutinasi), fitat (8.9-10.1%),
saponin (2.0-3.4% ekuivalen diosgenin) dan inhibitor tripsin (21.1-26.5 mg tripsin
dihambat/gram bungkil kering). Penelitian terhadap berbagai varietas jarak di
Meksiko menunjukkan kandungan tripsin inhibitor 33.1-36.4 mg tripsin/gram
bungkil kering, fitat 8.5-9.3% ekuivalen asam fitat, saponin 2.1-2.9% dan lektin
0.35-1.46 mg/ml sampel dibutuhkan untuk aglutinasi (Martinez-Herrera et al.
2006).
Menurut Aregheore et al. (2003) komponen toksik dan iritan pada biji jarak
adalah -D-glycoside dari sitosterol, curcin (lektin), flavonoid vitexin, isovitexin
dan 12-deoxyl-16-hydroxyphorbol (ester forbol). Lektin dan inhibitor tripsin
dapat dikurangi dengan pemanasan 121oC, 25 menit (Aderibigbe et al. 1997), fitat
sedikit berkurang dengan iradiasi 10 kGy, sementara ester forbol bersifat stabil
dan tahan terhadap suhu penyangraian sampai 160oC, 30 menit, akan tetapi
perlakuan kimia dapat mengurangi kandungannya (Makkar dan Becker 1997).
Ester forbol merupakan ester dari tiglian diterpen. Komponen penting dari
kelompok senyawa ini adalah tiglian, suatu diterpen tetrasiklik yang memiliki
gugus alkohol. Hidroksilasi senyawa ini dengan berbagai posisi dan jenis asam
melalui ikatan ester menghasilkan sejumlah besar senyawa yang disebut ester
forbol (Goel et al. 2007) (Gambar 2). Terdapat dua kelompok forbol yaitu dan
yang dibedakan berdasarkan gugus OH pada cincin C. Yang termasuk phorbol
aktif yaitu TPA (4-12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate) dan PDBU (4phorbol-12,13-dibutyrate).

Ester forbol bersifat mengaktifkan protein kinase C (PKC) yaitu enzim


kunci pada penghantaran sinyal dan proses pertumbuhan kebanyakan sel dan
jaringan. Interaksi yang berlanjut antara ester forbol dengan PKC menyebabkan
respon mitogenik dan pembentukan tumor. Ester forbol juga menyebabkan
meningkatnya proliferasi sel, aktivasi platelet darah, mitogenesis limfosit,
inflamasi, produksi prostaglandin dan degranulasi neutrofil (Aitken 1986, diacu
dalam Evans 1986).

Tiglian

Forbol

Gambar 2 Struktur tetradecanoyl phorbol-13-acetate (TPA) (Evans 1986)


Ester forbol telah diidentifikasi sebagai senyawa racun utama pada jarak
pagar. Kandungan ester forbol pada biji dan kernel jarak pagar sangat dipengaruhi
oleh varietas. Makkar et al. (1998) malaporkan kandungan ester forbol untuk
empat varietas jarak pagar yang berbeda. Varietas toksik Cape Verde yang
diperoleh dari Nicaragua mengandung ester forbol paling tinggi yaitu 2.7 mg/g
kernel, sedangkan varietas non toksik Mexico paling rendah yaitu 0.11 mg/g
kernel. Makkar et al. (1998) juga menemukan bahwa biji dari buah muda (belum
matang) mengandung senyawa ester forbol yang lebih tinggi.
Senyawa ester forbol secara alami ditemukan pada tanaman famili
Euphorbiaceae dan Thymelaeaceae. Beberapa tanaman yang dilaporkan
mengandung senyawa toksik ester forbol adalah Sapium indicum, S. japonicum,

10

Euphorbia frankiana, E. cocrulescence, E. ticulli, Croton spareiflorus, C.


tigilium, C.ciliatoglandulifer, Jatropha curcas, Excoecaria agallocha, dan
Homalanthus nutans (Beutler et al. 1989). Haas et al. (2002) telah melaporkan 6
jenis ester forbol dalam minyak jarak pagar, dimana semua senyawa memiliki
bagian diterpen yang sama yaitu 12-deoxy-16-hydroxyphorbol.
Makkar dan Becker (2009) melaporkan distribusi senyawa ester forbol pada
tanaman jarak pagar (Tabel 2). Kernel biji jarak pagar mengandung senyawa ester
forbol tertinggi yaitu 2-6 mg/g sampel kering, sedangkan konsentrasi terendah
ditemukan pada kayu tanaman jarak pagar (0,09 mg/g sampel kering). Adapun
pada getah tanaman jarak tidak terdeteksi senyawa tersebut.

Tabel 2 Kandungan ester forbol pada beberapa bagian tanaman jarak pagar
Bagian tanaman
Ester forbol (mg/g sampel kering)*
Kernel
2,00 6,00
Daun
1,83 2,75
Batang
0,78 0,99
Bunga
1,39 1,83
Bud (tunas)
1,18 2,10
Akar
0,55
Getah
tidak terdeteksi
Kulit (bagian luar, coklat)
0,39
Kulit (bagian dalam, hijau) 3,08
Kayu
0,09
* equivalent dengan phorbol 12 myristate 13 acetate
Sumber : Makkar dan Becker (2009)

Ekstraksi pelarut merupakan cara yang banyak digunakan untuk


menghilangkan senyawa ester forbol pada jarak pagar. Perlakukan panas yang
diikuti dengan ekstraksi pelarut untuk menghilangkan senyawa ester forbol dapat
mengeliminasi banyak senyawa beracun dan antinutrisi pada varietas jarak yang
beracun (Makkar dan Becker 1997). Perlakukan panas yang dikombinasikan
dengan perlakukan kimia dengan NaOH dan natrium hipoklorit dapat menurunkan
kandungan ester forbol hingga 75%. Kajian deasidifikasi minyak jarak dengan
NaOH dan KOH dan proses bleaching dengan beberapa bahan dapat mengurangi
ester forbol hingga 55%, dan proses degumming dan deodorisasi dapat
menurunkan kadar ester forbol menjadi lebih rendah (Hass dan Mittelbach 2000).

11

Selain cara fisik dan kimia, penggunaan larva Hyles euphorbiae dapat
memetabolisme 70-90% ester forbol (Hundsdoerfer et al. 2005). Selain itu enzim
liver carboxylesterase dari tikus juga dapat mendetoksifikasi senyawa forbol
(Mentlein 1986).
Selain memiliki efek negatif pada manusia dan hewan, senyawa ester forbol
juga memiliki sifat-sifat yang bermanfaat. Beberapa senyawa forbol alami mampu
menghambat tumor, menghambat replikasi virus (HIV) dan memiliki aktivitas
antileukemic yang potensial sebagai obat kanker darah. Dilaporkan bahwa TPA
merupakan satu-satunya penghambat potensial HIV-1 yang diinduksi CPEs
(cytopathic effects ) dengan nilai IC100 0.48 ng/ml. TPA juga dapat menghasilkan
perubahan struktur pada parasit Leishmania amazonensis pada konsentrasi 20
ng/ml (Chan-Bacab dan Pena-Rodrguez 2001).
Senyawa ester forbol bertanggung jawab terhadap reaksi iritasi kulit,
inflamasi (peradangan) dan pembentukan tumor. Mekanisme peradangan yang
disebabkan oleh senyawa ester forbol disajikan pada Gambar 3.
Ester forbol

Pelepasan histamin

Perubahan pembuluh darah

Aktivasi integrin pada


leukosit

Pelepasan interleukin
(IL-2)

Pelepasan protease, sitokin


dan aktivasi NADPH
oksidase

Kebocoran plasma

Migrasi sel
transendothelial

Ekspansi klonal

Kerusakan jaringan

Bengkak, panas,
kemerahan

Rasa sakit

Gambar 3 Respon peradangan yang diakibatkan oleh senyawa ester forbol


(Goel et al. 2007)

Senyawa ester forbol dapat menyebabkan beberapa reaksi ketika masuk ke


dalam jaringan, antara lain yaitu pelepasan histamin, aktivasi integrin pada
leukosit, pelepasan interleukin (IL-2) dan pelepasan protease, sitokin dan aktivasi
NADPH oksidase. Pelepasan histamin menyebabkan vascular remodelling yang

12

diikuti dengan pelepasan plasma yang bisa mengakibatkan tumor, kemerahan dan
rasa panas. Aktivasi integrin pada leukosit menyebabkan migrasi sel
transendotelial, sedangkan pelepasan interleukin (IL-2) menyebabkan ekspansi
klonal. Adapun pelepasan protease, sitokin dan aktivasi NADPH oksidase
menyebabkan kerusakan jaringan yang akhirnya menyebabkan rasa sakit (Goel et
al. 2007).
Sebagai promotor tumor, senyawa ester forbol sendiri tidak menyebabkan
tumor, akan tetapi memicu pertumbuhan tumor bagi sel/jaringan yang telah
terpapar dengan senyawa karsinogen pada dosis tertentu ataupun yang telah
mengalami mutasi. Dengan kata lain senyawa ester forbol merupakan kokarsinogen. Sifat ko-karsinogen ini menjadi jelas dengan adanya penelitian
Berenblum (1941), diacu dalam Goel et al. (2007), yang mendapatkan bahwa
minyak croton (Croton tiglium) dapat meningkatkan pembentukan tumor ketika
diaplikasikan pada kulit tikus bersamaan ataupun terpisah dengan aplikasi dosis
subefektif karsinogen hydrocarbon 3,4-bezpyrene. Lebih lanjut, Berebblum and
Shubik (1947), diacu dalam Goel et al. (2007) mendapatkan bahwa peningkatan
produksi tumor hanya terlihat ketika minyak croton diaplikasikan setelah aplikasi
karsinogen, bukan sebelumnya.

2.11

Senyawa Metabolit Sekunder pada Tanaman


Senyawa metabolit sekunder adalah senyawa-senyawa kimia pada

tanaman yang distribusinya sangat beragam dari tanaman satu dengan yang lain.
Beberapa senyawa metabolit sekunder tersebut memiliki penting pada tanaman
antara lain sebagai zat pertumbuhan tanaman, komponen pigmen dan bau pada
bunga, zat antiherbivora, zat antifungi, serta membantu proses simbiosis dengan
tanaman tertentu (Harborne 1999).
Terdapat tiga kelas utama senyawa metabolit sekunder yaitu senyawa
terpenoid, alkaloid dan senyawa metabolit mengandung nitrogen lainnya serta
kelas senyawa fenolik. Terpenoid dicirikan oleh biosintesis awal yang berasal dari
isopentenil pirofosfat dan sifat lipofilik yang dimiliki oleh senyawa tersebut.
Senyawa terpenoid terbentuk dari satuan isoprene, dan dibedakan menjadi
beberapa golongan berdasarkan jumlah sat uan isoprenenya yaitu dari dua unit

13

(C10) hingga delapan unit (C40). Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa
mulai dari komponen minyak atsiri yaitu monoterpen dan seskuiterpen yang
mudah menguap (C10 dan C15), diterpen yang lebih sukar menguap (C20) sampai
ke senyawa yang tidak menguap yaitu triterpenoid dan sterol (C30) serta pigmen
karotenoid (C40) (Harborne 1999).
Sifat umum senyawa terpenoid adalah larut dalam lemak, dan pada
tanaman sebagian besar terdapat pada bagian sitoplasma sel, sebagian kecil
terdapat dalam sel kelenjar khusus permukaan daun, daun dan daun bunga.
Ekstraksi terpenoid dari jaringan tanaman dilakukan menggunakan eter minyak
bumi, eter atau kloroform serta dapat dipisahkan secara kromatografi
menggunakan pelarut-pelarut tersebut. Senyawa terpenoid umumnya tidak
berwarna kecuali senyawa karotenoid (Harborne 1987).
Salah satu golongan terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba adalah
triterpenoid. Triterpenoid termasuk senyawa yang merupakan komponen aktif
dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit gangguan kulit,
berfungsi sebagai antifungi, insektisida, antibakteri atau virus (Robinson 1995).
Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa
yaitu triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung (Harborne
1987).
Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah
fitosterol yang terdiri dari sitosterol ( - sitosterol), stigmasterol, dan kampesterol.
Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid (Harborne 1987). Steroid
alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpen yaitu lanosterol dan
sikloartenol. Pada umumnya, steroid tumbuhan berasal dari sikloartenol. Senyawa
steroid dapat digunakan sebagai dasar untuk pembuatan obat.
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang dihasilkan dari grup
steroid atau triterpen yang berikatan dengan gula, senyawa ini memiliki pengaruh
biologis yang menguntungkan yaitu bersifat sebagai hipokolesterolemik dan
antikarsinogen serta dapat meningkatkan sistem imun (Meskin et al. 2002).
Saponin menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara
berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap bakteri adalah
pelepasan protein dan enzim dari dalam sel (Zablotowicz et al. 1996).

14

Alkaloid adalah senyawa metabolit tanaman mengandung nitrogen yang


paling umum. Alkaloid merupakan senyawa organik basa yang mengandung atom
nitrogen pada strukturnya sebagai bagian dari sistem siklik. Keberadaan senyawa
alkaloid pada tanaman tingkat tinggi sebagai senyawa metabolit sekunder cukup
terbatas. Hal ini berkaitan dengan senyawa nitrogen sebagai penyusun senyawa
alkaloid yang umumnya terbatas pada tanaman (Harborne 1999).
Senyawa fenol meliputi beragam senyawa yang memiliki ciri yang sama
yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih grup hidroksil. Senyawa
fenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya senyawa fenol sering
kali berikatan dengan gula sebagai glikosida. Flavanoid merupakan golongan
terbesar dari senyawa polifenol. Selain itu fenol monosiklik sederhana,
fenilpropanoid, dan kuinon fenolik juga terdapat dalam jumlah yang besar. Lignin,
melanin dan tannin yang merupakan polimer penting dalam tumbuhan adalah
senyawa fenolik. Kadang-kadang senyawa fenolik dijumpai pada protein, alkaloid
dan diantara terpenoid (Harborne 1987).
Harborne (1999) mengklasifikasikan senyawa-senyawa fenol menjadi
beberapa kelas meliputi 1) senyawa fenol sederhana, benzoquinones, 2) Asam
hidroksibenzoat, 3) Acetophenon, asam fenil asetat, 4) Asam hidroksisinamat,
fenilpropanoid yang terdiri dari kaumarin, isokaumarin, kromone dan kromene, 5)
Naptoquinon, 6) Xanthon, 7) Stilben, antraquinon, 8) flavanoid dan isoflavanoid,
9) lignan dan neolignan, 10) Biflavanoid, 11) lignin dan 12) Tanin terkondensasi
(flavolan atau proantosianidin). Flavanoid merupakan golongan terbesar dari
senyawa polifenol.

2.12

Ekstraksi dan Fraksinasi Senyawa Aktif


Proses ekstraksi dan isolasi senyawa metabolit sekunder dari tanaman

dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yang dapat dibagi menjadi 4 jenis
berdasarkan mediumnya yaitu cairan, aliran superkritis, uap dan gas. Ektraksi
pelarut merupakan cara yang paling umum dan banyak digunakan, dimana secara
teknis dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu maserasi, perkolasi dan ekstraksi
soxhlet (Van Beek, 1999). Maserasi merupakan proses perendaman sampel
dengan pelarut organik yang digunakan pada temperatur ruangan. Perkolasi

15

merupakan proses melewatkan pelarut organik pada sampel sehingga senyawa


organik akan terbawa oleh pelarut. Teknik perkolasi hanya efektif untuk senyawa
yang sangat mudah larut dalam pelarut yang digunakan. Sokletisasi merupakan
proses ekstraksi menggunakan soxhlet yang disertai dengan pemanasan. Teknik
ini akan menghemat pelarut karena terjadi sirkulasi pelarut yang selalu
membasahi sampel dan cocok untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh panas
(Briger 1969).
Pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi akan memberikan efektifitas
yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa dalam bahan. Pelarut
metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi
senyawa organik bahan alam karena dapat melarutkan semua golongan senyawa
metabolit sekunder (Briger 1969). Daftar pelarut yang umum digunakan diurut
berdasarkan tingkat kepolaran disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Tingkat kepolaran beberapa jenis pelarut


Pelarut
Heksan
Toluen
Etil eter
Diklorometan
Kloroform
Etil asetat
Butanon (metil etil keton)
Aseton
Metanol
Air
Sumber : Houghton and Raman (1998)

Indek kepolaran
0,1
2,4
2,8
3,1
4,1
4,4
4,7
5,1
5,1
10,2

Proses separasi/pemisahan umum dilakukan setelah diperoleh ekstrak


kasar yang mengandung berbagai macam senyawa baik yang diinginkan maupun
yang tidak diinginkan. Dengan proses pemisahan tersebut akan diperoleh senyawa
yang memang benar-benar diinginkan dalam bentuk yang lebih murni, sehingga
dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Cukup banyak metode-metode pemisahan yang
telah digunakan antara lain partisi pelarut, kromatografi, teknik aliran balik
(Countercurrent), kromatografi cair, elektroforesis kapiler, kromatografi cair

16

superkritis, kromatografi gas, distilasi vakum, presipitasi dan kristalisasi (Van


Beek, 1999). Proses pemisahan partisi pelarut merupakan teknik pemisahan tahap
awal yang paling umum dilakukan karena beberapa pertimbangan antara lain tidak
membutuhkan peralatan khusus, kapasitas yang lebih besar, proses penggandaan
skala mudah, pelarut dapat disesuaikan dengan senyawa yang akan dipisahkan,
relatif lebih cepat dan konsumsi pelarut lebih sedikit.

2.13

Zat Antimikroba
Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat

menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Fardiaz (1987) menyatakan


bahwa zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri),
bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal, fungistatik, atau
menghambat germinasi spora bakteri.
Zat antibakteri (antibacterial agent) banyak digunakan dalam produkproduk kosmetik dan rumah tangga karena senyawa ini memberikan efek
bakterisida dan bakteriostatik selama penggunaan. Fungsi lain dari zat antibakteri
adalah untuk melindungi produk selama penyimpanan dengan menyediakan efek
pengawetan melawan bakteri. Dengan mempertimbangkan jenis mikroba lain
selain bakteri seperti kapang dan khamir, maka digunakan istilah antimikroba
(Siquet dan Devleeschouwer 2001).
Zat antimikroba (antimicrobial agent) banyak digunakan dalam formulasi
produk seperti sabun batang, sabun cair, cairan pencuci tangan, deodoran dan
antiperspiran, produk-produk perawatan mulut seperti pasta gigi dan pencuci
kumur (cairan pencuci mulut) serta produk pencuci peralatan rumah tangga.
Sabun batang antibakteri mengandung triclocarbon (TCC) sebagai komponen
aktifnya, sedang sabun cair diformulasikan dengan triclosan hingga maksimal 1%.
Produk-produk
alumunium

deodoran

atau

dan

kombinasi

antiperspiran

menggunakan

zirkonium-alumunium

seperti

garam-garam
Al-Zi-Tri/tetra

chlorydex glycinate sebagai komponen aktif. Sedangkan komponen aktif utama


yang digunakan dalam pasta gigi dan cairan pencuci mulut adalah triclosan,
klorheksidin dan juga alkohol. Produk-produk pencuci piring (dishwashing

17

product) banyak menggunakan triclosan, minyak atsiri dan senyawa-senyawa lain


(Siquet and Devleeschouwer 2001).
Beberapa persyaratan zat antimikroba dalam fungsi pengawetan produk
kosmetik menurut Siquet and Devleeschouwer (2001) adalah sebagai berikut:
Compatible dengan komponen lain dalam formula produk
Dapat mempertahankan khasiat dalam jangka waktu lama
Bersifat non toksik bagi konsumen.
Memiliki koefisien partisi air-minyak yang bagus
Tidak terinaktivasi oleh faktor-faktor luar ( pH, kondisi proses)
Perlu diperhatikan juga kelarutan dan volatilitasnya

Menurut Pelczar et al. (1993), aktivitas antimikroba dimiliki senyawasenyawa kimia tertentu seperti fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen,
logam berat, detergen, dan senyawa amonium kuartener. Masing-masing senyawa
memiliki mekanisme khusus dalam menghambat atau membunuh mikroba.
Senyawa fenol dan senyawa fenolik merusak sel mikroba dengan
mengubah permeabilitas membran sitoplasma, menyebabkan kebocoran bahanbahan intraseluler serta dapat mendenaturasi dan menginaktifkan protein seperti
enzim. Alkohol akan mendenaturasi protein, merusak struktur lemak dan
membran sel mikroba; halogen yang terdiri dari iodium, klor, dan bromin dapat
mengoksidasi dan merusak organel penting dari sel mikroba, sedangkan logam
akan menginaktifkan protein seluler. Deterjen akan merusak membran sitoplasma
dan menyebabkan kebocoran bahan intraseluler, sedangkan senyawa amonium
kuarterner akan mendenaturasi protein, mengganggu proses metabolisme dan
merusak membran sitoplasma.
Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antimikroba adalah dengan cara
meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan
protein sel mikroba. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang
bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam
amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik bermolekul besar
mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada
konsentrasi yang sangat rendah (Prindle 1983). Senyawa fenol mampu

18

memutuskan ikatan peptidoglikan dalam usahanya menerobos dinding sel. Setelah


menerobos dinding sel, senyawa fenol akan menyebabkan kebocoran nutrien sel
dengan cara merusak ikatan hidrofobik komponen membran sel (seperti protein
dan fospolipida) serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara
hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya
kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan
biosintesa enzim enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme.

2.14

Zat Antioksidan
Senyawa antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat

oksidasi di dalam bahan khususnya senyawa lipid. Antioksidan harus mampu


menunda atau mencegah terjadinya reaksi autooksidasi radikal bebas dalam
oksidasi lipid (Kochhar dan Rossell 1990).
Autooksidasi merupakan reaksi rantai radikal bebas yang mekanismenya
diawali oleh proses inisiasi yang menyebabkan lepasnya gugus H, sehingga
membentuk radikal lemak. Tahap selanjutnya adalah propagasi yaitu radikal
lemak bereaksi dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksida yang
selanjutnya dapat bereaksi kembali dengan lemak tak jenuh sehingga terbentuk
hidroperoksida dan radikal lemak yang dapat bereaksi kembali dengan oksigen
untuk membentuk radikal peroksida dan begitu seterusnya (Wong 1989). Reaksi
oksidasi lemak dapat dipercepat oleh cahaya, panas, peroksida lemak atau
hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn, logam porfirin
seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzim-enzim lipoksigenase
(Winarno 2002).
Antioksidan dapat memperlambat atau mencegah reaksi oksidasi lipid
dengan

beberapa

mekanisme,

dimana

mekanisme

ini

dijadikan

dasar

pengelompokan antioksidan. Antioksidan dikelompokkan menjadi antioksidan


primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer dapat memecah rantai dan
mendonorkan atom hidrogennya ke radikal lemak dan radikal turunannya
sehingga menjadi stabil. Antioksidan sekunder dapat memperlambat laju
autooksidasi antara lain dengan mekanisme pengikatan ion metal, penangkapan

19

oksigen, pemecahan hidroperoksida menjadi non radikal, penyerapan radiasi


ultraviolet atau pendeaktifan oksigen singlet (Gordon 1990).
Antioksidan primer pada umumnya merupakan senyawa fenolik seperti
tokoferol dan alkil gallat. Aktivitas antioksidan senyawa fenolik ditentukan oleh
substituennya (Maslarova 2001). Adapun Gordon (1990) dan Jadhav (1996)
menyatakan bahwa aktivitas antioksidan senyawa fenolik tergantung pada
konsentrasi. Pada konsentrasi tinggi, antioksidan fenolik dapat bersifat sebagai
prooksidan yang disebabkan oleh keterlibatan senyawa fenolik tersebut dalam
menginisiasi reaksi oksidasi.
Contoh antioksidan sekunder antara lain asam askorbat, askorbil palmitat,
asam eritrobat serta natrium eritrobat. Senyawa-senyawa tersebut berperan
sebagai oxygen scavenger, yang dapat bereaksi dengan molekul oksigen dan
menghilangkannya dari sistem (Gordon 1990). Contoh lain antioksidan sekunder
adalah asam sitrat, asam amino, asam etilendiaminatetra asetat (EDTA) yang
mampu mengkelat logam. Ketiga senyawa yang terakhir sering disebut sebagai
antioksidan sinergis karena mampu meningkatkan peran antioksidan fenolik
namun memiliki aktivitas yang kecil ketika digunakan sendiri.
Antioksidan dikelompokkan menjadi dua berdasarkan sumbernya, yaitu
antioksidan sintetik yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia dan antioksidan
alami yang diperoleh dari hasil ekstraksi bahan alami. Butil hidroksi anisol
(BHA), butil hidroksi toluen (BHT), tert butil hidroksi quinon (TBHQ), propil
galat dan tokoferol merupakan antioksidan sintetik yang penggunaannya sudah
sangat luas dan tersebar di seluruh dunia (Buck 1991).
Antioksidan alami banyak terdapat dalam tanaman pada seluruh bagian
dari tanaman seperti akar, daun, bunga, biji, batang dsb. Menurut Pratt dan
Hudson (1990), senyawa-senyawa yang umum terkandung dalam antioksidan
alami adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavanol,
isoflavon, flavon, katekin, dan flavonon), turunan asam sinamat, tokoferol dan
asam organik polifungsi. Tokoferol merupakan antioksidan alami yang telah
diproduksi secara sintesis untuk tujuan komersial.
Empat kelompok senyawa yang tergolong antioksidan alami yang sangat
penting adalah vitamin E, vitamin C, senyawa tiol dan flavanoid. Vitamin

20

merupakan antioksidan yang paling banyak diaplikasikan pada produk-produk


topikal (Weber et al. 2001). Formulasi antioksidan tersebut dalam produk
kosmetik dinyatakan dapat memberikan perlindungan, melembabkan dan dapat
melawan penuaan kulit (Burke 2006).
Termasuk dalam kelompok antioksidan alami adalah senyawa produk
reaksi Maillard. Nakamura et al. (1992) menyatakan bahwa adanya konjugasi
ovalbumin dengan dekstran atau galaktomanan melalui reaksi Maillard antara
gugus amino bebas dalam protein dan gugus karbonil pereduksi dalam
polisakarida dapat meningkatkan aktivitas penangkapan radikal bebas oleh
ovalbumin. Aktivitas antioksidan dalam sistem asam linoleat juga ditunjukkan
oleh produk reaksi Maillard hasil pemanasan campuran lisin dan madu (Antony et
al. 2000), sedangkan Yoshimura et al. (1997) melaporkan aktivitas penghambatan
radikal bebas dari produk reaksi Maillard hasil pemanasan glukosa-glisin.
BHT dan BHA merupakan antioksidan sintetik yang umum digunakan
dalam produk kosmetik (pelembab, produk riasan, pewangi) sebagai antioksidan
dan pengawet. Lebih lanjut dinyatakan bahwa BHA bersifat toksik bagi sistem
imun, sedangkan BHT kemungkinan bersifat toksik bagi kulit, paru-paru, hati
serta sistem imun. Meskipun demikian CIR (Cosmetic Ingredient Review) untuk
produk personal care menyatakan bahan tersebut aman untuk formulasi kosmetik
(Steinberg 2010).

2.15

Sifat Toksisitas
Toksisitas suatu bahan adalah kapasitas suatu bahan untuk menciderai

suatu organisme hidup. Informasi toksisitas suatu bahan dapat diperoleh dengan
mempelajari efek-efek dari pemaparan bahan kimia terhadap binatang percobaan,
pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah seperti bakteri dan
kultur sel dari mamalia di laboratorium, dan pemaparan bahan kimia terhadap
manusia.
Uji toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi 2 golongan, yaitu toksisitas
umum dan toksisitas khusus. Uji toksisitas umum meliputi berbagai pengujian
yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada
hewan uji. Pengujian toksisitas umum meliputi pengujian toksisitas akut, sub akut

21

atau subkronik, dan kronik. Pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi,
karsinogenik, mutagenik, teratogenik dan reproduksi serta toksisitas kulit dan
mata serta perilaku (Loomis 1978).
Uji toksisitas akut yang berhubungan dengan kulit (acute dermal toxicity
testing) dirancang untuk menyediakan informasi mengenai efek-efek lokal,
terutama iritasi dan korosi pada kulit (Barile 2007). Metode umum yang
digunakan adalah Draize Skin Test. Draize skin test pertama kali dipublikasikan
oleh Draize et al. (1944) yang merupakan kajian kuantitatif iritasi kulit sebagai
panduan untuk keamanan produk. Draize et al. (1944) mendefinisikan iritant lokal
utama sebagai senyawa yang menghasilkan reaksi radang kulit. Proses peradangan
yang tergolong sebagai iritasi kulit dicirikan dengan adanya edema (akumulasi
cairan di bawah kulit dan ruang interstisial) dan erythema (kemerahan kulit akibat
peningkatan aliran darah lokal).
Kajian iritasi kulit dirancang untuk meniru pemaparan pada manusia dan
biasa dilakukan pada kelinci. Uji ini dilakukan untuk mendapatkan nilai indek
iritasi kulit/PDII (Primary Dermal Irritation Index) dari suatu bahan. Klasifikasi
potensi iritasi kulit disajikan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4 Klasifikasi potensi iritasi kulit


Klasifikasi PDII
Skor
Non iritasi
0,0
Iritasi diabaikan/lemah
>0,0- 0,5
Iritasi ringan
>0,5- 2,5
Iritasi moderat/sedang
>2,5- 5,0
Iritasi parah/berat
>5,0- 8,0
Sumber : Auletta (2004) di dalam Barile (2007)

Irritant Contact Dermatitis (ICD) merupakan suatu reaksi kulit yang


dihasilkan karena terpaparnya kulit dengan iritant. Reaksi kulit ini bersifat sangat
komplek, yang tergantung pada faktor-faktor endogenous maupun eksogenous
seperti faktor genetik individu, sifat dari bahan pengiritasi (irritant) serta faktor
lingkungan. Ketika senyawa iritant kontak dengan kulit akan timbul reaksi non
spesifik yang mengganggu fungsi perlindungan kulit, menyebabkan kerusakan
selular dari lapisan epidermis secara langsung yang berakibat pada pelepasan

22

senyawa-senyawa mediator peradangan. Potensi iritasi kulit dipengaruhi oleh sifat


fisik iritant seperti pKa yang merupakan konstanta disosiasi asam (Mailbach dan
Watkins 2009). pKa digunakan untuk memprediksi potensi iritasi kulit akut untuk
senyawa asam dan basa. Asam dengan pKa kurang dari 4 dan basa dengan pKa
lebih dari 8 sangat bersifat iritasi/irritative (Hogan 2009).
Hogan (2009) mendefinisikan ICD sebagai reaksi peradangan kulit yang
ditunjukkan dengan erythema, edema dan pembentukan kerak. ICD merupakan
respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia secara langsung yang
melepaskan mediator-mediator peradangan yang kebanyakan berasal dari sel-sel
epidermis. Senyawa yang bersifat korosif akan menyebabkan kematian sel
epidermis secara langsung. Perubahan-perubahan patofisiologi yang teridentifikasi
dari ICD meliputi : terganggunya lapisan pelindung kulit, perubahan sel epidermis
dan pelepasan sitokin.
Banyak senyawa-senyawa kimia dengan konsentrasi dan waktu pemaparan
yang cukup dapat menyebabkan iritasi kulit. Iritant kulit yang bersifat ringan/low
grade antara lain sabun, detergen dan air. Sedangkan pelarut dapat menyebabkan
iritasi kulit lain, yaitu dengan menghilangkan minyak dan lemak esensial pada
kulit yang meningkatkan kehilangan air dan menyebabkan kulit menjadi lebih
rentan terhadap irritant (Hogan 2009).
Komponen dalam kosmetik yang berpotensi mengiritasi kulit antara lain
zat pengawet (zat antimikroba), antioksidan, pewangi, pewarna dan pelindung
UV. Meskipun demikian, komponen-komponen tersebut sering berada dalam
formula kosmetik dalam jumlah kecil dan tidak mempengaruhi keseluruhan
potensi iritasi dari produk akhir. Komponen tersebut lebih sering diperhatikan
karena reaksi alergi (Barel 2001).

2.16

Sifat Alergenitas
Secara umum alergi adalah suatu reaksi kekebalan yang menyimpang/

berubah yang dapat menimbulkan gejala yang merugikan tubuh. Alergi adalah
respon imun sekunder yang disebabkan adanya zat atau senyawa tertentu yang
dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan (Bellanti 1978). Zat atau senyawa
yang dapat menimbulkan alergi disebut dengan alergen.

23

Alergi dapat dikelompokkan berdasarkan organ yang diserang (alergi kulit,


hidung, mata), berdasarkan sumber alergen (alergi makanan, protein hewan,
getah) maupun berdasarkan gejala/respon alergi yang ditimbulkan (Ring 2005).
Berdasarkan respon alergi, dikenal rhinitis, asma, anaphylaxis, alergi makanan
dan alergi kulit. Rhinitis dicirikan dengan bersin-bersin, pembengkakan lokal
saluran pernafasan, keluar cairan dan iritasi hidung yang disebabkan oleh
terhirupnya alergen. Asma dicirikan oleh sesak nafas karena penyempitan saluran
pernafasan yang disebabkan oleh aktivasi mastosit pada saluran pernafasan bagian
bawah oleh alergen yang terhirup. Alergi kulit dicirikan dengan urtikaria akut dan
eksim yang ditandai dengan kemerahan dan pembengkakan kulit akibat alergen
memasuki kulit baik melalui gigitan serangga, kontak langsung maupun melalui
darah (obat atau makanan yang tertelan). Alergi kulit dapat disebabkan oleh
terpaparnya kulit pada obat atau senyawa-senyawa kimia tertentu (Barile 2007).
Goossens (2001) menyatakan bahwa penggunaan produk kosmetik pada
kulit dapat menyebabkan beberapa reaksi seperti iritasi, fototoksik, alergi kontak
dan fotokontak juga urtikaria kontak. Alergi kontak terhadap produk kosmetik
dipengaruhi

oleh

beberapa

faktor

antara

lain

frekuensi

penggunaan,

komposisi/formula produk, konsentrasi kandungan bahan/komposisi, penggunaan


ingredient kosmetik tertentu pada obat-obatan, senyawa-senyawa penguat
penetrasi produk, lokasi penggunaan produk, kondisi kulit, waktu kontak dan
frekuensi peggunaan dan efek kumulatif.
Barel (2001) mengklasifikasikan efek yang tidak diinginkan dari kosmetik
akibat ingredient tertentu menjadi 7 kategori, yaitu 1) iritasi dan urtikaria kontak,
2) alergi kontak, 3) reaksi fotosensitif, 4) acnegenesis dan comedogenesis, 5)
perubahan warna kulit dan appendages, 6) efek samping sistemik dan 7) efek
samping lokal lainnya. Alergi kontak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang
dimediasi oleh sistem imun.
Beberapa penyakit hipersensitivitas kulit antara lain urtikaria, penyakit
bulosa, vaskulitis, dan dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak alergi
merupakan hipersensitivitas lambat yang dipacu oleh sel T yang diawali oleh
antigen yang dipresentasikan sel Langerhans di epidermis yang selanjutnya

24

dibawa ke kelenjar getah bening regional dan mensensitasi limfosit. Sejumlah


bahan kimia dapat menginduksi reaksi ini (Baratawidjaja 2006).
Dermatitis kontak alergi sering disebut juga dengan sensitisasi kulit.
Reaksi sensitisasi kulit muncul dari respon imun terhadap protein kulit yang telah
dimodifikasi oleh suatu kovalen dari bahan kimia reaktif dengan berat molekul
rendah. Proses ini terjadi dalam 2 tahap yaitu induksi dan elisitasi. Pada tahap
induksi, sistem imun akan bereaksi dengan senyawa kimia yang berpenetrasi
dalam kulit yaitu dengan memperbanyak sel T yang mampu mengenali dan
merespon terhadap senyawa kimia tersebut. Sedangkan pada tahap elisitasi,
paparan terhadap bahan kimia akan menimbulkan peradangan kulit yang dikaitkan
dengan dermatitis kontak alergi (Basketter 2008).
Menurut Barile (2007), respon reaksi sensitisasi kulit memerlukan
minimal 24-72 jam, dan reaksi dikarakterisasi sebagai jenis hipersensitivitas
tertunda tipe IV. Respon berkisar dari iritasi ringan yang menimbulkan eritema
dan indurasi, hingga munculnya eksim, kulit terbakar hingga kulit pecah.
Pengujian alergi melibatkan uji invivo dan invitro (Arshad et al. 2005).
Yang termasuk uji invivo adalah tes kulit, yang umum dilakukan karena cukup
cepat, dapat diandalkan dan relatif murah. Terdapat tiga tipe tes kulit yang umum
dilakukan, yaitu:
1. Skin Prick Test (SPT)
SPT dilakukan dengan meletakkan 1 tetes cairan yang mengandung
allergen di atas kulit, dan rangkaian garukan atau tusukan jarum dilakukan
sehingga cairan dapat memasuki kulit. Perubahan positif pada kulit seperti
terbentuk warna merah, melebarnya area garukan/gatal menunjukkan
bahwa seseorang bersifat alergi terhadap allergen.
2. Intradermal Test (IT)
Intradermal test dilakukan ketika dihasilkan reaksi negative dari SPT, akan
tetapi senyawa/larutan tersebut tetap dianggap allergen bagi manusia. IT
bersifat lebih sensitif dibanding SPT, tetapi sering menunjukkan reaksi
positif terhadap orang yang tidak menunjukkan gejala-gejala alergi. Pada
Intradermal test ini, larutan disuntikkan ke dalam kulit.

25

3. Skin Patch Test


Pada pengujian ini, larutan allergen diletakkan dalam bantalan/alas yang
kemudian ditepukkan pada kulit selama 24-72 jam. Pengujian ini
digunakan untuk mendeteksi alergi kulit yang disebut dengan contact
dermatitis. Patch Testing sangat bermanfaat untuk menganalisis contact
allergic dermatitis yang disebabkan oleh logam nickel, pengawet kosmetik
maupun berbagai macam tanaman.

Yang termasuk uji invitro antara lain pengukuran total IgE serum, IgE
spesifik alergen, pengukuran total eosinofil darah, level triptase sel mastosit,
pelepasan histamin dll. Pengukuran IgE spesifik umum dilakukan untuk
mengkonfirmasi status alergi dan mengidentifikasi alergen tertentu.
IgE merupakan salah satu jenis dari lima kelompok antibodi yang
diproduksi manusia (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE). Menurut Baratawidjaja (2006)
IgE memiliki sifat utama dalam pengerahan agen antimikroba dan berperan pada
gejala alergi atopi. IgE mudah diikat sel mastosit, basofil dan eusinofil karena
pada permukaanya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. Dalam keadaan
normal IgE terdapat dalam konsentrasi yang sangat rendah pada serum yaitu 17450 nm/ml dan hanya sebagian kecil dari sel plasma dalam tubuh yang
membentuknya (Roitt 1990).
IgE berperan dalam reaksi alergi. Hawrylowicz dan OGarra (2005)
menggambarkan mekanisme alergi sebagai berikut. Ketika seseorang terpapar
dengan alergen untuk pertama kalinya, maka IgE yang spesifik terhadap alergen
tersebut akan diproduksi oleh sel B dengan bantuan sel T. IgE tersebut terikat
pada sel mastosit dan basofil karena pada sel-sel tersebut terdapat reseptor untuk
fraksi Fc dari IgE. Pada pemaparan selanjutnya, alergen akan berikatan dengan
IgE yang menyebabkan cross linking dari dua molekul IgE yang berdekatan.
Adanya pengikatan dengan allergen/antigen ini menyebabkan degranulasi sel
basofil dan sel mastosit yang akan melepaskan histamin dan mediator lain seperti
leukotrien, sitokin dan faktor kemotaksis yang dapat menyebabkan perubahan
permeabilitas vaskular, kontraksi otot polos dan produksi lendir (Gambar 4).

26

Gambar 4 Mekanisme alergi (Hawrylowicz dan OGarra 2005)

Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA, EIA) merupakan salah satu


uji in vitro alergi yang umum digunakan saat ini karena cukup sederhana dan tidak
menggunakan radioaktif. Prinsip dasar ELISA adalah reaksi antara antigen dengan
antibodi (Ag-Ab) yang kemudian keberadaan komplek tersebut dideteksi dengan
antibodi yang telah dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti peroksidase
horseradish (HRP), fosfatase alkaline (AP), urease, -galaktosidase dan oksidase
glucose. Tahapan umum metode ELISA meliputi penempelan Ag atau Ab pada
fase padat, penambahan konjugat Ab-enzim dan diakhiri dengan penambahan
substrat (Suryadi et al. 2009)

2.17

Produk Krim dan Pengawet pada Produk Kosmetik


Menurut Depkes RI (1995), produk krim adalah sediaan setengah padat

mengandung satu atau lebih zat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang
sesuai. Menurut Schmitt (1996), umumnya produk krim berbentuk o/w dengan
fasa minyak dan humektan yang lebih banyak dari produk lotion. Krim terdiri dari
15-40% fasa minyak dan 5-15% fasa humektan, dengan karakteristik
penampakannya hampir sama dengan produk lotion.
Sediaan kosmetik berupa cream bervariasi. Yang umum digunakan adalah
cream malam yang digunakan pada malam hari, cream penyejuk yang digunakan

27

pada siang hari dan berfungsi untuk memberikan kelembutan dan kesan dingin di
kulit, cream dasar bedak yang dapat membantu agar bedak tidak mudah luntur,
cream tangan dan badan untuk mencegah kekeringan pada kulit serta cream
pembersih untuk membersihkan atau menghapus kotoran dari wajah yang
disebabkan oleh debu ataupun sisa tata rias. Menurut Mitsui (1997), cream
berfungsi melindungi kulit dari perubahan cuaca, radiasi ultraviolet dan membuat
kulit tampak indah dan sehat. Untuk melindungi kulit dari radiasi ultraviolet
dikenal sunscreen cream (krim tabir surya).
Sebagaimana produk lotion, produk krim juga disusun oleh komponenkomponen emulsifier (pengemulsi), humektan, emolien, bahan aktif, dan air.
Komponen bahan pengawet dan pewangi juga penting untuk ditambahkan, namun
harus stabil pada suhu, pencahayaan dan kelembaban. Penambahan bahan
pengawet pada skin lotion adalah sebesar 0.1-0.2% (Schmitt 1996). Pengawet
yang digunakan sebagai tambahan pada produk menyebabkan mikroba tidak dapat
tumbuh karena memiliki sifat antimikroba. Pengawet juga harus ditambahkan
pada suhu yang tepat pada saat pembuatan, yaitu antara 35-45oC agar tidak
merusak bahan aktif dalam pengawet tersebut. Pengawet yang baik memiliki
persyaratan yaitu efektif mencegah tumbuhnya berbagai macam mikroorganisme
yang menyebabkan penguraian bahan, dapat larut dalam berbagai konsentrasi
yang digunakan dan tidak menimbulkan bahaya (racun) secara internal dan
eksternal pada kulit.
Menurut OLenick dan Siltech (2010), pengawet pada kosmetik
ditambahkan dengan dua tujuan. Pertama untuk menghentikan mikroba yang
menyebabkan kerusakan produk, dan kedua adalah menghentikan pertumbuhan
mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. Mikroba yang dapat menginfeksi
formula produk meliputi bakteri, jamur dan khamir. Bakteri seperti Psedomonas
dapat menyebabkan semua jenis masalah kesehatan seperti infeksi mata dan kulit.
Khamir Candida albicans dapat menyebabkan sariawan dan beberapa bakteri
menyebabkan produk menjadi berbau busuk, dan warna berubah atau dengan kata
lain terjadi kerusakan produk. Beberapa jenis pengawet yang umum digunakan
pada produk kosmetik antara lain: paraben, donor formaldehyde, turunan fenol,
quats, alkohol, isothiazolones, asam organik dan lain-lain.

28

III. BAHAN DAN METODE

3.7 Kerangka Pemikiran


Ekstrak kasar tanaman jarak pagar memiliki sifat antimikroba dan
antioksidan. Kendala pemanfaatan ekstrak kasar seperti kandungan padatan yang
tinggi, aktivitas yang rendah serta sifat toksik perlu diwaspadai. Oleh karena itu
perlu dilakukan proses fraksinasi/pemisahan dengan tujuan mendapatkan fraksi
ekstrak yang lebih murni dengan aktivitas yang lebih tinggi. Salah satu metode
pemisahan yang dapat digunakan adalah partisi pelarut.
Uji coba pemanfaatan fraksi aktif ekstrak terpilih sebagai zat antimikroba
atau zat antioksidan dalam formula produk kosmetik (hand and body cream)
dilakukan untuk mengevaluasi karakteristik produk kosmetik yang dihasilkan dan
mengevaluasi efektivitas fraksi aktif sebagai zat antimikroba dan zat antioksidan
dalam produk krim. Evaluasi dilakukan dengan melihat karakterisitik produk krim
yang disimpan pada suhu 37oC selama waktu tertentu.
Tujuan penambahan zat antioksidan dalam produk hand and body cream
ada dua yaitu sebagai pengawet yang melindungi produk dari oksidasi, dan
sebagai bahan aktif yang memberikan fungsi khusus (seperti perlindungan kulit,
pelembab, anti-aging). Adapun penambahan zat antimikroba lebih ditujukan
untuk pengawetan produk dengan melawan pertumbuhan mikroba pada produk
karena adanya peraturan BPOM (HK.03.1.23.12.10.12459) bahwa produk
kosmetika tidak dipergunakan untuk pengobatan atau mencegah penyakit.
Evaluasi keamanaan dari penggunaan ekstrak jarak pagar dalam produk
kosmetik dilakukan dengan melakukan uji toksisitas dan sifat alergenitas.
Beberapa uji untuk mengevaluasi tingkat keamanan suatu bahan antara lain uji
toksisitas akut oral, uji toksisitas akut kulit, uji iritasi kulit primer, uji iritasi kulit
kumulatif, uji fototoksik, uji iritasi mata, uji sensitisasi, dan uji fotosensitisasi.
3.8 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian pemanfaatan fraksi aktif ekstrak tanaman jarak pagar (Jatropha
curcas Linn.) sebagai zat antimikroba dan zat antioksidan dalam sediaan kosmetik
dilaksanakan dari bulan Januari 2010-Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pusat
Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC LPPM-IPB) dan Laboratorium Teknik

30

Kimia Teknologi Industri Pertanian, IPB. Beberapa laboratorium penunjang


antara lain Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan IPB, Laboratorium Instrumentasi SBRC LPPM IPB dan Laboratorium
Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan IPB.

3.9 Bahan dan Alat


Bahan utama dalam penelitian adalah sampel tanaman jarak pagar yang
diperoleh dari Kebun Jarak Pagar PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Citeureup
Bogor yang berupa batang dan daun serta bungkil jarak pagar. Bahan lain untuk
proses ekstraksi dan fraksinasi meliputi: metanol, kertas saring, n-heksan dan etil
asetat. Bahan untuk uji aktivitas dan analisa meliputi: DPPH, metanol p.a., bakteri
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus, media agar NA dan NB, pelarut
Folin Ciocalteu, natrium karbonat, asam tanat, aseton, asetonitril dan standar
phorbol ester. Bahan untuk uji toksisitas kulit dan sifat alergenitas menggunakan
PBS, antibodi sekunder (IgG kelinci anti IgE manusia, Anti IgG kelinci
terkonjugasi HRP), substrat DAB (Diaminobenzidine), Sodium Dodecyl Sulfate,
dan kelinci jantan sebagai hewan coba. Bahan untuk formulasi produk kosmetik
(krim) meliputi: asam stearat, setil alkohol, olive oil, Nipagin (MP), Nipasol (PP),
Dimetikon, Allantoin, BHT, propilen glikol, sorbitol dan aquades.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau dan wadah
untuk pengambilan sampel, perangkat alat ekstraksi, penguap putar (rotary
evaporator), freeze dryer, HPLC (Shimadzu, ELSD detector), spektrofotometer
(Genesys, Vis), inkubator, GC-MS (Agilent 19091S-433), lempeng ELISA
(Costar 3590), ELISA reader (BIORAD Microplate Reader Benchmark), serta
kandang kelinci percobaan.
3.10

Metode Penelitian
Kegiatan penelitian ini terdiri dari 6 kegiatan yaitu 1) persiapan dan

karakterisasi bahan baku, 2) proses ekstraksi dan fraksinasi, 3) analisis ekstrak dan
fraksi ekstrak, 4) uji coba formulasi fraksi ekstrak dalam produk krim, 5) uji
toksisitas kulit dan 6) uji sifat alergenitas ekstrak jarak pagar. Diagram alir
penelitian disajikan pada Gambar 5.

31

Batang

Daun dan ranting

Bungkil

Pemisahan kulit batang

Perajangan
Pengeringan

Penggilingan

Metanol

Ekstraksi (maserasi, 3x 24 jam)

Ekstrak kasar
Heksan
Etil asetat
Metanol dan air

Fraksinasi (partisi pelarut)

Fraksi ekstrak
Uji aktivitas antioksidan, aktivitas
antimikroba, total fenol, phorbol ester
Fraksi ekstrak
terpilih

Uji coba formulasi dalam


produk krim

Uji alergenitas

Uji toksisitas kulit

Identifikasi senyawa kimia


dengan GC-MS

Produk krim

Gambar 5 Diagram alir kegiatan penelitian

3.10.1 Persiapan dan Karakterisasi Bahan Baku


Sampel daun dan batang tanaman jarak pagar diambil pada saat
dilakukan pemangkasan tanaman jarak. Selanjutnya sampel basah dipisahkan
bagian daun dan batangnya. Bagian daun dihilangkan kotoran dan bagian yang
mengandung penyakit (kutu dan jamur tanaman) dan dirajang. Adapun bagian
batang jarak dikuliti untuk mendapatkan kulit batang yang selanjutnya
dipotong-potong. Potongan daun dan kulit batang segar selanjutnya
dikeringanginkan selama 1 minggu hingga kering dan digiling menggunakan
blender hingga diperoleh sampel serbuk kering. Adapun bungkil jarak sisa

32

pengepresan biji jarak langsung digiling karena sudah dalam keadaan kering.
Sampel serbuk kering dikemas dalam kantong plastik dan disimpan dalam
freezer sebelum proses ekstraksi. Karakterisasi yang dilakukan terhadap sampel
serbuk kering sebelum digunakan dalam penelitian meliputi analisa kadar air,
kadar abu dan kadar lemak. Prosedur analisa proksimat sampel jarak pagar
disajikan pada Lampiran 1.

3.10.2 Proses Ekstraksi dan Fraksinasi


Proses ekstraksi dilakukan menggunakan cara maserasi dengan pelarut
metanol. Prosedur ekstraksi yang dilakukan adalah sebagai berikut : sebanyak
200 g serbuk sampel kering diekstraksi menggunakan metanol (3 x 800 ml)
dengan cara direndam selama 24 jam pada suhu kamar (cara maserasi). Ekstrak
yang diperoleh dipisahkan dari pelarut dengan penguap putar (rotary
evaporator) hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak yang dihasilkan
dikeringkan dengan pengering beku (freeze dryer) hingga diperoleh ekstrak
kasar kering.
Proses fraksinasi kasar yang dilakukan mengacu pada metode Can-Ake
et al. (2004) yaitu proses partisi menggunakan pelarut metanol-air (2:3), heksan
dan etil asetat. Sebanyak 5 g ekstrak kasar dilarutkan dalam 50 ml pelarut
campuran metanol air. Larutan selanjutnya dipartisi dengan menambahkan 150
ml pelarut n-heksan, diaduk/dikocok dalam labu pemisah, didiamkan selama
30-60 menit dan dipisahkan lapisan yang terbentuk (lapisan metanol air bagian
bawah, lapisan heksan lapisan atas). Proses penambahan heksan pada lapisan
metanol air diulang tiga kali, dan lapisan heksan yang diperoleh digabungkan
menadi satu sebagai fraksi heksan.
Lapisan metanol air sisa dari proses partisi heksan dipartisi lanjut
dengan etil asetat. Sebanyak 150 ml pelarut etil asetat ditambahkan dalam
lapisan metanol air, dikocok dalam labu pemisah, didiamkan selama 30-60
menit dan dipisahkan lapisan yang terbentuk (lapisan metanol air bagian
bawah, lapisan etil asetat lapisan atas). Proses penambahan etil asetat pada
lapisan metanol air diulang tiga kali, dan lapisan etil asetat yang diperoleh
digabungkan menjadi satu sebagai fraksi etil asetat. Lapisan metanol air sisa

33

setelah proses partisi pelarut etil asetat dipisahkan sebagai fraksi metanol air.
Masing-masing fraksi yang diperoleh dipisahkan pelarutnya menggunakan
rotary evaporator pada suhu 50oC hingga diperoleh ekstrak kental dan
dikeringkan dengan pengeringan beku selama 24 jam hingga diperoleh fraksi
ekstrak. Perhitungan rendemen proses ekstraksi dan persentase fraksi pelarut
adalah sebagai berikut:

3.10.3 Analisis Ekstrak dan Fraksi Ekstrak


Ekstrak kasar dan fraksi ekstrak yang dihasilkan selanjutnya dianalisa
aktivitas antioksidan dengan metode peredaman DPPH, aktivitas antimikroba
dengan metode difusi sumur, total fenol dengan metode Folin Ciocalteu serta
dilakukan kandungan senyawa toksik ester forbol menggunakan HPLC. Fraksi
yang memiliki aktivitas antimikroba dan aktivitas antioksidan tinggi dipilih
sebagai fraksi aktif terpilih dan diidentifikasi komposisi senyawa kimianya
dengan GC-MS serta digunakan dalam formulasi produk yaitu produk krim.
Prosedur uji ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar disajikan pada Lampiran 2.

3.10.4 Pemanfaatan Fraksi Aktif dalam Formulasi Produk Kosmetik


Fraksi aktif terpilih diformulasikan dalam sediaan kosmetik yaitu
produk krim. Formula dan proses pembuatan produk krim mengacu pada
formula PT. ANI dengan dua kelompok utama bahan yaitu fase air dan fase
lemak. Pembuatan krim dilakukan dengan mencampurkan/menghomogenkan
masing-masing bahan fase air dan fase lemak secara terpisah pada suhu 60oC
dan 50oC, kemudian dilakukan pencampuran dan homogenisasi fase air dan
fase minyak hingga diperoleh sediaan krim. Diagram alir pembuatan produk
disajikan pada Gambar 6.
Fraksi aktif jarak pagar terpilih ditambahkan dalam formula krim
sebagai pensubstitusi zat antioksidan dan zat antimikroba komersial (MP, PP
dan BHT). Untuk melihat efektivitas aktivitas antimikroba dan antioksidan

34

dalam produk kosmetik dilakukan analisa penampakan, nilai pH, cemaran


mikroba dan aktivitas antioksidan produk krim awal dan setelah dilakukan
penyimpanan pada suhu 37oC. Prosedur analisa karakteristik produk krim
disajikan pada Lampiran 3.
Sorbitol dan air
Asam stearat, minyak
zaitun, dimetikon, em delta,
alantoin, TiO2

Pemanasan 60oC dan


pengadukan

Pengadukan

Propilen glikol

Pemanasan 50oC dan


pengadukan

Adonan A

Pengadukan dan
pencampuran

Pengadukan dan pemanasan


55-60oC , 15 menit

Adonan B

Pengadukan suhu 40oC

Cetil alkohol
Pemanasan 45oC

Zat antimikroba,
zat antioksidan

Homogenisasi
Hand and body
cream

Gambar 6 Diagram alir pembuatan produk hand and body cream

3.10.5 Uji Toksisitas Kulit


Uji toksisitas kulit yang dilakukan adalah Primary Skin Irritation
Testing dengan menentukan tingkat iritasi primer dengan metode Draize test
dengan sedikit modifikasi. Uji tingkat iritasi dilakukan terhadap fraksi ekstrak
jarak pagar terpilih baik dalam konsentrasi rendah maupun dalam bentuk
aslinya serta produk krim yang mengandung ekstrak jarak pagar. Sebanyak 4-6
ekor kelinci jantan jenis New Zealand dengan bobot 1,5-2 kg diaklimatisasi
selama 7 hari sebelum pengujian. Sebelum aplikasi sampel, punggung kelinci
dicukur. Sebanyak 0,1 g / 0,1 ml masing-masing sampel diaplikasikan pada
kulit tercukur (2*2 cm), selanjutnya daerah aplikasi ditutup dengan 2 lapis

35

perban dan dilekatkan menggunakan perekat. Sekitar 24, 48 dan 72 jam setelah
aplikasi, kulit kelinci diamati tanda-tanda iritasi dan dilakukan pemberian skor
dari eritema dan edema yang terbentuk berdasarkan Metode Draize (Tabel 5)
(Draize et al. 1944). Sebagai kontrol positif digunakan surfaktan SDS (Sodium
Dodecyl Sulfate) dengan konsentrasi 20%.
Tabel 5 Evaluasi reaksi kulit Metode Draize
No
1

Reaksi Kulit
Skor
Eritema dan Pembentukan Kerak
Tanpa eritema
0
Eritema sangat sedikit (hampir tidak nampak)
1
Eritema berbatas jelas
2
Eritema moderat sampai berat
3
Eritema berat (merat bit) sampai sedikit membentuk
4
kerak (luka dalam)
Total Skor Eritema yang mungkin
4
2
Pembentuka edema
Tanpa edema
0
Edema sangat sedikit (hampir tidak nampak)
1
Edema sedikit (tepi daerah berbatas jelas)
2
Edema moderat (tepi naik kira-kira 1 mm)
3
Edema berat (naik lebih dari 1 mmdan meluas keluar
4
daerah pajanan)
Total skor edema yang mungkin
4
Respon reaksi kulit = Jumlah maksimal skor eritema dan pembentukan kerak +
jumlah maksimal skor edema/Jumlah kelinci

3.10.6 Uji Alergenitas Ekstrak Jarak Pagar


Uji sifat alergi ekstrak jarak pagar dilakukan dengan metode ELISA
(Enzym linked immnunosorbent assay) dengan tipe sandwich, yaitu antigen
diikat oleh 2 molekul antibodi IgE dari serum subjek penderita alergi sehingga
membentuk lapisan seperti sandwich. Banyaknya IgE yang mengikat antigen
dideteksi menggunakan antibodi sekunder yang berkonjugasi dengan enzim
HRP. Substrat DAB (Diaminobenzidine) ditambahkan untuk mengukur
komplek Ab-Ag-Ab-Ab* yang terbentuk dimana substrat DAB akan teroksidasi
oleh enzim peroksidase membentuk warna coklat yang mudah diamati dan
diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader. Uji sifat alergi dilakukan
terhadap tiga jenis ekstrak kasar jarak pagar (daun, bungkil, kulit batang)

36

dengan menggunakan 6 serum subjek yang memiliki riwayat alergi


berdasarkan wawancara antara lain alergi jarak pagar, alergi getah, makanan,
udara dingin/ekstrim.
Pengambilan sampel darah dilakukan oleh dokter di Klinik IPB
Darmaga. Sebanyak 10 ml sampel darah yang diambil dari pasien yang
teridentifikasi memiliki alergi diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37oC
hingga keluar cairan bening (serum). Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama
15 menit, kecepatan 1.500 rpm. Serum yang dihasilkan kemudian di simpan di
freezer suhu -20oC dan siap digunakan untuk analisa.
Pengujian sifat alergi ekstrak jarak pagar dengan metode ELISA adalah
sebagai berikut. Sebanyak 50 l serum subyek tanpa pengenceran dilapiskan ke
dalam lempeng mikrotiter kemudian diinkubasi selama 15 jam pada suhu 4oC.
Lempeng selanjutnya diblok dengan PBS Skim 3% sebanyak 100 l, diinkubasi
lagi selama 1 jam pada suhu 37oC, lalu ditambahkan ekstrak jarak pagar (200
g/ml) sebanyak 50 l dan diinkubasi selama 3 jam pada suhu 37oC. Serum
subyek sebanyak 50 l kembali ditambahkan ke dalam lempeng mikrotiter dan
diinkubasi selama 15 jam pada suhu 4oC. Untuk melihat reaksi antara IgE
serum dengan ekstrak jarak dilakukan penambahan antibodi IgG kelinci anti
IgE manusia sebanyak 50l (pengenceran 1:100 dan 1:300) dan diinkubasi
selama 1 jam pada suhu 37oC. Untuk mendeteksi IgG kelinci maka
ditambahkan anti IgG kelinci yang telah diberi label horseradish peroxidase
sebanyak 50 l (pengenceran 1:1000) dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu
37oC. Pada setiap langkah setelah inkubasi dilakukan pencucian dengan PBSTween

sebanyak

kali.

Kemudian

ditambahkan

substrat

DAB

(Diamiobenzidine) yang telah diencerkan dengan buffernya (1:10) sebanyak 50


l dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37oC. Pengukuran OD dilakukan
dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Kontrol dibuat dengan
melapiskan PBS Skim 3% pada lempeng mikrotiter secara langsung.

3.11

Teknik Analisis Data


Untuk menentukan fraksi terpilih sebagai zat antimikroba dan atau zat

antioksidan yang akan diformulasikan dalam produk krim dilakukan analisis

37

statistik terhadap data aktivitas antimikroba, aktivitas antioksidan, total fenol serta
rendemen ekstrak. Analisis statistik menggunakan Rancangan Petak Terbagi
dengan petak utama disusun secara acak lengkap (Steel dan Torrie 1995). Faktor
utama adalah bagian tanaman yang terdiri dari 3 perlakuan (daun, bungkil, kulit
batang), sedangkan anak petak adalah jenis ekstrak (ekstrak kasar, fraksi metanol,
fraksi heksan dan fraksi etil asetat). Model rancangan yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Yijk = + Ai + ik + Bj + ABij + ijk
Keterangan:
Yijk

: Nilai pengamatan pada faktor utama (A) taraf ke-i, faktor tambahan taraf
ke-j dan ulangan ke-k

: Rataan umum

Ai

: Pengaruh utama pada taraf ke-i

ik

: Pengaruh acak dari petak utama

Bj

: Pengaruh faktor tambahan pada taraf ke-j

Abij

: Interaksi antara faktor utama dengan faktor tambahan

ijk

: Pengaruh acak dari faktor tambahan

Apabila perlakuan berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Rentangan


Berganda Duncan.

3.12

Hipotesis Penelitian
Ekstrak kasar jarak pagar mengandung beberapa senyawa yang

diantaranya memiliki aktivitas antimikroba dan antioksidan. Aktivitas antioksidan


dan antibakteri dari fraksi aktif jarak pagar tersebut kemungkinan dapat
dimanfaatkan dalam produk kosmetik seperti krim karena umumnya pada formula
lotion atau krim sering ditambahkan zat aditif tersebut sebagai pengawet maupun
sebagai bahan aktif. Proses fraksinasi ekstrak kasar dapat mengurangi hambatan
penggunaan ekstrak tanaman jarak pagar dalam produk kosmetik yaitu dengan
meningkatkan kemurnian ekstrak, meningkatkan aktivitas antimikroba dan
antioksidan dan mengurangi sifat toksiknya.

38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku


Penelitian pengembangan zat antimikroba dan zat antioksidan dari fraksi
aktif ekstrak jarak pagar ini memanfaatkan bahan baku berupa produk hasil
samping dari budidaya jarak pagar yaitu batang dan daun hasil pemangkasan
tanaman jarak, dan dari proses pengepresan biji jarak pagar berupa bungkil
(Gambar 7).

Gambar 7 Daun, bungkil biji dan batang tanaman jarak pagar

Pemangkasan tanaman jarak pagar merupakan bagian dari teknik budidaya


jarak pagar yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah cabang
produktif. Hambali et al. (2006) menyatakan bahwa pemangkasan tanaman jarak
pagar dilakukan pertama kali dengan memangkas cabang/batang yang berkayu
dengan memotong pucuk tanaman setinggi 20-30 cm dari permukaan tanah dan
selanjutnya dilakukan secara rutin setiap tahun satu kali. Dari proses pemangkasan
ini akan dihasilkan pangkasan daun dan batang yang cukup banyak, mencapai
70% dari biomassa yang dipangkas. Dari pengamatan yang dilakukan oleh Mercy
(2011), pengumpulan biomassa hasil pemangkasan tanaman jarak pagar pada
tahun pertama menghasilkan sekitar 300 g biomassa kering/pohon. Bungkil jarak
merupakan sisa pengepresan biji jarak pagar hingga menjadi minyak. Jumlah
bungkil jarak yang dihasilkan juga cukup banyak, yaitu 65-70% dari jumlah biji
jarak yang diproses. Satu ton biji jarak pagar akan menghasilkan 650-700 kg
bungkil biji jarak.

40

Sebelum digunakan dalam penelitian, sampel serbuk kering dari daun,


bungkil dan kulit batang jarak pagar dikarakterisasi yang meliputi analisa kadar
air, kadar lemak dan kadar abu, dengan hasil analisis disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Analisis proksimat bahan baku penelitian


Parameter uji

Satuan

Sampel
Daun

Kulit batang
9,35

Kadar air

% bb

9,58

Bungkil
9,28

Kadar abu

% bb

13,74

4,41

10,84

Kadar minyak

% bk

12,47

22,64

4,96

Kandungan air selain berpengaruh terhadap daya simpan bahan, juga


dapat mempengaruhi proses ekstraksi yang dilakukan. Semakin rendah nilai
kadar air bahan maka semakin memudahkan pelarut untuk mengekstrak
komponen senyawa aktif yang diinginkan. Kadar air 10% telah digunakan
sebagai batasan maksimal kadar air agar bahan pertanian tidak mudah rusak
selama penyimpanan. Adapun Setyowati (2009) meyatakan bahwa dalam proses
ekstraksi, maksimum kadar air yang disyaratkan agar proses ekstraksi dapat
berjalan lancar yaitu sebesar 11%. Hasil pengujian kadar air menunjukkan bahwa
ketiga sampel memiliki kadar air dibawah kadar air maksimum yang disyaratkan,
yaitu untuk daun sebesar 9,58%; bungkil 9,28% dan kulit batang 9,35%.
Hasil pengujian kadar abu mendapatkan nilai kadar abu yang cukup
tinggi yaitu 13,74 %bb untuk daun, 4,41 %bb untuk bungkil dan 10,84 %bb
untuk kulit batang. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan
organik. Kadar abu bahan tanaman jarak pagar yang berasal dari kebun jarak
pagar PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk memang cukup tinggi,
sebagaimana hasil penelitian Nurmillah (2009) yang mendapatkan nilai kadar
abu untuk sampel serbuk daun dan batang adalah 10,58 (%b/b) dengan
menggunakan sampel tanaman jarak pagar dari perkebunan yang sama. Perkebunan
jarak yang ada tersebut memiliki kondisi lahan yang berkapur sehingga memiliki

kandungan mineral yang cukup tinggi seperti Fe, Mg, Ca, Zn, K, Si, Al, dan lain
sebagainya, sehingga mempengaruhi kandungan mineral pada tanaman tersebut.
Nurmillah (2009) melaporkan beberapa bahan mineral yang terdapat pada sampel

41

batang dan daun jarak pagar yaitu Fe (111,26 mg/kg b.b), Zn (71,37 mg/kg b.b),
Ca (2,75%), K (2,63%) dan Mg (0,44%).
Pengukuran

kadar

lemak

dengan

cara

ekstraksi

pelarut

selain

menunjukkan banyaknya kandungan trigliserida dalam bahan juga menunjukkan


kandungan bahan-bahan lain seperti steroid, vitamin, zat warna/pigmen yang ikut
terekstrak dalam pelarut non polar heksan. Hasil penelitian menunjukkan nilai
kadar lemak untuk daun adalah 12,47 %bk, bungkil 22,64 %bk dan kulit batang
4,96 %bk. Bungkil jarak pagar menunjukkan kadar lemak paling tinggi, yang
disebabkan karena biji jarak mengandung kadar minyak yang tinggi mencapai 3050%. Proses pengepresan biji jarak menggunakan mesin press tipe ulir (screw
press) untuk memisahkan minyak umumnya mendapatkan rendemen proses 1525%, tergantung pada kinerja mesin. Dengan demikian masih cukup banyak
minyak yang tertinggal dalam bungkil. Adapun pada daun jarak pagar, kandungan
pigmen dan lilin menyebabkan cukup tingginya kadar lemak daun.

4.2 Proses Ekstraksi Senyawa Aktif dan Fraksinasi


Senyawa aktif pada bahan alam dikenal umum dengan istilah senyawa
fitokimia yang meliputi beberapa golongan senyawa yaitu fenol, flavonoid, tanin,
alkaloid, steroid, dan triterpenoid. Proses ekstraksi senyawa aktif dari sampel
kering tanaman jarak pagar dilakukan secara maserasi, yaitu dengan cara
perendaman di dalam pelarut metanol pada suhu ruang. Maserasi merupakan
teknik ekstraksi konvensional dimana bahan direndam dalam pelarut dengan
waktu yang cukup lama. Maserasi banyak digunakan dalam teknik ekstraksi
senyawa dari bahan alam karena metode dan peralatan sederhana, murah karena
tidak memerlukan energi, dapat memberikan hasil ekstraksi yang bagus dan cukup
selektif, serta banyak diaplikasikan untuk senyawa-senyawa yang tidak tahan
panas.
Hasil perhitungan rendemen ekstrak jarak pagar (Tabel 7) menunjukkan
rendemen paling tinggi dimiliki oleh ekstrak metanol dari bagian kulit batang
diikuti ekstrak bungkil dan ekstrak daun jarak pagar. Kandungan senyawa
metabolit sekunder dalam kulit batang relatif lebih tinggi dibanding bagian
tanaman lainnya. Beragam senyawa fitokima yang terdiri dari saponin, steroid,

42

tanin, glikosida, alkaloid, dan flavonoid teridentifikasi pada kulit batang (Igbinosa
et al. 2009). Daun jarak pagar teridentifikasi mengandung senyawa tanin,
alkaloid, steroid dan saponin (Akinpelu et al. 2009), sedangkan dalam bungkil biji
jarak pagar teridentifikasi senyawa fitat, saponin dan tripsin inhibitor (Makkar dan
Becker 2009). Dengan proses ekstraksi menggunakan pelarut metanol, maka
senyawa-senyawa tersebut relatif dapat terekstrak semua karena metanol
merupakan pelarut universal yang mampu melarutkan semua jenis senyawa baik
polar, semi polar maupun non polar.

Tabel 7 Rendemen proses ekstraksi


Sampel
Daun jarak pagar
Bungkil biji jarak pagar
Kulit batang jarak pagar

Rendemen ekstrak kering (%)


5,08
6,55
7,77

Kandungan senyawa metabolit primer dalam bahan seperti kandungan lemak,


protein, karbohidrat, klorofil, pektin juga mempengaruhi rendemen proses
ekstraksi. Dalam bagian tanaman, semakin tinggi kandungan senyawa metabolit
primer, maka kandungan senyawa metabolit sekunder akan semakin rendah.
Untuk sampel jarak pagar, dibandingkan kulit batang, kandungan senyawa
metabolit primer relatif lebih tinggi pada daun dan bungkil jarak pagar. Daun
jarak pagar dari penelitian ini mengandung lemak sebesar 12,47% bk dan bungkil
jarak pagar mengandung lemak sebesar 22,64%-bk. Adapun Nurmillah (2009)
melaporkan kadar pati dan protein kasar sampel daun dan batang masing-masing
sebesar 20,04 1,14%-bb dan 25,37%-bb. Dengan proses ekstraksi menggunakan
metanol, beberapa senyawa metabolit primer seperti lemak, klorofil tidak dapat
terlarut sempurna dalam metanol karena perbedaan kepolaran. Hal inilah yang
menyebabkan rendemen ekstraksi untuk bagian daun dan bungkil lebih kecil dari
bagian kulit batang. Rendemen ekstraksi kulit batang adalah 7,77% berbeda nyata
dengan rendemen ekstrak daun dan bungkil jarak.
Van Beek (1999) menyatakan bahwa senyawa-senyawa yang dapat
teresktraksi meliputi sejumlah metabolit primer, klorofil, senyawa pektin, pati,
protein/glikoprotein dan garam serta senyawa metabolit sekunder. Persentase

43

berat senyawa metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman dan
bagian tanaman, (buah, biji, batang, kulit batang, kayu, bunga, daun) tetapi pada
umumnya kurang dari 10%.
Ekstrak daun menghasilkan rendemen ekstraksi sebesar 5.08%, sedangkan
ekstrak bungkil menghasilkan rendemen sebesar 6,55%. Besarnya rendemen
proses juga dipengaruhi oleh teknik ekstraksi yang dilakukan. Penelitian Sriprang
et al. (2007) mendapatkan perbedaan rendemen ekstrak bungkil jarak mencapai
51.24%, yaitu 2.67% untuk Cold extraction dan 35.03% untuk Hot extraction
dengan waktu ekstraksi selama 72 jam. Penggunaan Hot extraction dapat
melarutkan lebih banyak senyawa karena adanya bantuan panas yang dapat
meningkatkan penetrasi pelarut ke dalam jaringan tanaman. Meskipun demikian
waktu proses juga berpengaruh. Nurmillah (2009) mendapatkan ekstrak kasar
ranting dan daun jarak sebesar 8.85% dengan tehnik sokletisasi selama 5-6 jam.
Ekstrak kasar yang dihasilkan selanjutnya difraksinasi menggunakan
teknik partisi pelarut yaitu pelarut heksan dan etil asetat. Tujuan dari proses ini
adalah untuk memisahkan senyawa-senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya.
Hasil persentase proses pemisahan dengan partisi pelarut disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Persentase fraksi-fraksi pelarut dari ekstrak


Sampel
Daun
Bungkil
Kulit batang

Heksan
14,90
40,68
5,01

Fraksi (% b/b)
Etil asetat Metanol
8,11
72,56
8,28
36,89
1,54
89,98

Loss dan lain-lain


4,43
14,15
3,47

Dari proses partisi pelarut yang dilakukan, untuk ekstrak daun jarak,
fraksi terbanyak yang diperoleh adalah fraksi metanol diikuti oleh fraksi heksan
dan fraksi etil asetat. Begitu juga untuk ekstrak kulit batang, sedangkan untuk
ekstrak bungkil jarak, fraksi terbanyak dimiliki oleh fraksi heksan diikuti oleh
fraksi metanol dan fraksi etil asetat. Dari 100% ekstrak daun jarak kasar, 14,90%
adalah fraksi non polar (heksan), 8,11% fraksi semi polar (etil asetat), 72,56%
fraksi polar (metanol) dan 4,43% adalah loss proses dan padatan yang tersaring.
Jika persentase fraksi ini dikonversi ke dalam nilai rendemen (Tabel 9), maka

44

untuk bagian tanaman daun jarak akan mendapatkan nilai rendemen sebesar
5,08% (ekstrak kasar); 3,68% (fraksi metanol); 0,76% (fraksi heksan) dan 0,41%
(fraksi etil asetat)

Tabel 9 Rendemen ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar


Jenis Ekstrak
Ekstrak kasar
Fraksi metanol
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat

Rendemen ekstrak (% b/b serbuk kering)


Daun
Bungkil
Kulit batang
5,08 0.00
6,55 0.00
7,77 0.00
3,68 0.06
2,41 0.37
6,99 0.35
0,76 0.06
2,66 1,41
0,39 0.02
0,41 0.01
0,54 0.00
0,12 0.06

Pelarut etil asetat merupakan pelarut semipolar yang dapat melarutkan


alkaloid dan aglikon (Rahayu 1999), sedangkan pelarut nonpolar seperti heksan
akan melarutkan senyawa seperti lilin, lemak, dan terpenoid yang bersifat
nonpolar (Houghton dan Raman, 1998). Metanol merupakan pelarut universal
yang bisa melarutkan lebih banyak senyawa dibandingkan jenis pelarut lainnya.
Penelitian Aiyelaagbe et al. (2007) mendapatkan adanya senyawa steroid,
alkaloid, saponin, tanin dan glikosida pada ekstrak metanol akar jarak pagar.
Pelarut heksan hanya menghasilkan senyawa steroid, alkaloid dan tanin
sedangkan etil asetat hanya menghasilkan senyawa alkaloid dan tanin.
Fraksi heksan bungkil jarak berbentuk cairan kuning kecoklatan dengan
komponen utama senyawa lemak/minyak karena bahan baku bungkil jarak
mengandung minyak yang cukup tinggi (22,64%bk). Fraksi heksan dari ekstrak
daun dan kulit batang berbentuk semipadat (pasta) berwarna hijau gelap yang
sebagian besar merupakan komponen pigmen tanaman yang memang bersifat
larut dalam pelarut non polar. Kadar lemak daun jarak pagar adalah 12,47% bk.
Fraksi etil asetat yang merupakan fraksi terkecil dari kulit batang berbentuk
padatan/bubuk dengan warna hijau pucat. Senyawa-senyawa yang dapat terlarut
dalam etil asetat meliputi sterol dan terpenoid, saponin, tannin dan flavanoid.
Fraksi metanol merupakan komponen terbesar dalam ekstrak daun dan
kulit batang, sedangkan pada ekstrak bungkil jarak pagar merupakan komponen
terbesar kedua. Fraksi metanol berbentuk pasta berwarna coklat hingga coklat
gelap. Warna gelap berasal dari reaksi Maillard/pencoklatan yang terjadi selama

45

proses penguapan sisa pelarut yang dilakukan pada suhu 50oC dan pengeringan
beku yang dilakukan selama 24 jam. Reaksi pencoklatan ini terjadi karena dalam
fraksi metanol-air tersebut terlarut senyawa-senyawa prekursor reaksi Maillard
yaitu asam amino, protein serta senyawa gula yang memang bersifat larut dalam
pelarut polar. Semakin tinggi kandungan senyawa protein dan gula dalam fraksi
metanol-air, reaksi pencoklatan yang terjadi semakin besar. Hal ini terlihat dari
lebih gelapnya warna coklat pada fraksi metanol bungkil jarak dibanding fraksi
metanol daun dan kulit batang (Gambar 8).

Gambar 8 Fraksi metanol daun (a), bungkil (b) dan kulit batang (c)

4.3 Analisa Ekstrak dan Fraksi Ekstrak


a. Aktivitas Antimikroba
Uji aktivitas antimikroba merupakan uji yang dilakukan untuk melihat
apakah suatu zat atau senyawa tertentu memiliki aktivitas menghambat atau
membunuh mikroba. Uji ini menggunakan bakteri S.aureus yang merupakan
bakteri patogen kelompok Gram positif dan E.coli yang merupakan kelompok
Gram negatif.
Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif yang dapat tumbuh
secara aerobik atau anaerobik. S.aureus umum terdapat pada permukaan kulit,
rambut, hidung, mulut, dan tenggorokan manusia. Bakteri tersebut dapat
menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti bisul,
penyakit kulit, serta keracunan makanan (Brannan, 2006). Keberadaan
S.aureus dalam produk kosmetik merupakan indikasi adanya kontaminasi dari
manusia. Karena sifatnya yang patogen, maka S.aureus disyaratkan bernilai

46

negatif untuk tingkatan cemaran mikroba pada produk kosmetik, disamping


kapang Candida albicans dan Pseudomonas aeruginosa (BPOM 1994)
Adapun E. coli merupakan flora normal dari saluran usus.
Pada pengujian ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar terhadap S.aureus
diperoleh bahwa untuk semua jenis ekstrak (daun, bungkil, kulit batang),
fraksi etil asetat menunjukkan aktivitas antimikroba tertinggi dibanding fraksi
pelarut yang lain yang ditunjukkan oleh diameter penghambatan yang
terbentuk (Gambar 9). Diameter penghambatan adalah selisih antara diameter
areal bening yang terbentuk dengan diameter sumur. Areal bening di sekitar
koloni bakteri menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan bakteri uji,
semakin besar diameter areal bening menunjukkan semakin tinggi aktivitas
antimikroba dari sampel tersebut.

Gambar 9 Diameter zona penghambatan ekstrak dan fraksi ekstrak jarak


pagar terhadap bakteri S. aureus

Hasil sidik ragam terhadap aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa


jenis bagian tanaman (daun, bungkil, kulit batang) tidak berpengaruh nyata,
sedangkan jenis ekstrak (ekstrak kasar, fraksi metanol, fraksi heksan, fraksi
etil

asetat)

berpengaruh

sangat

nyata

( =0.01)

terhadap

diameter

penghambatan S.aureus pada konsentrasi uji 2,5%. Adapun interaksi antara

47

jenis bagian tanaman dan jenis ekstrak memberikan pengaruh yang sangat
nyata ( =0.01) (Lampiran 7). Fraksi etil asetat memiliki aktivitas paling tinggi
dan berbeda sangat nyata dengan jenis ekstrak lainnya.
Masing-masing fraksi dari ekstrak daun jarak memiliki aktivitas
antimikroba yang berbeda nyata ( =0.05), dengan aktivitas tertinggi dimiliki
oleh fraksi etil asetat. Untuk ekstrak bungkil jarak, aktivitas ekstrak kasar
tidak berbeda nyata dengan fraksi metanol, akan tetapi berbeda nyata dengan
fraksi etil asetat. Adapun fraksi heksan tidak menunjukkan aktivitas
penghambatan. Diantara ekstrak kasar, ekstrak daun memiliki aktivitas
penghambatan paling tinggi, berbeda nyata dengan ekstrak kulit batang tetapi
tidak berbeda dengan ekstrak bungkil jarak pagar. Untuk masing-masing
fraksi, aktivitas penghambatan dari semua jenis ekstrak bagian tanaman tidak
berbeda nyata.
Fraksi etil asetat memiliki aktivitas antibakteri yang paling tinggi
disebabkan karena pelarut semi polar ini mampu melarutkan beberapa
senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba seperti sterol dan terpenoid,
saponin, tanin, flavanoid serta senyawa fenol (Oyi et al. 2007). Fraksi heksan
memiliki aktivitas penghambatan paling rendah dibandingkan fraksi ekstrak
lainnya yang disebabkan karena pelarut tersebut hanya melarutkan sedikit
senyawa metabolit sekunder dengan aktivitas antimikroba. Senyawa lipid dan
pigmen tanaman seperti klorofil yang relatif tidak memiliki aktivitas
antimikroba akan terlarut sempurna dalam pelarut heksan. Hal inilah yang
menyebabkan tidak adanya aktivitas penghambatan mikroba pada fraksi
heksan bungkil jarak karena fraksi ini didominasi oleh komponen lemak yaitu
trigliserida. Pada ekstrak daun dan kulit batang, senyawa dengan aktivitas
antimikroba seperti sterol, steroid, dan triterpenoid relatif bisa ditemukan
dibandingkan pada ekstrak bungkil jarak.
Hasil penapisan fitokimia ekstrak metanol daun jarak pagar oleh
Akinpelu et al. (2009) menunjukkan keberadaan senyawa tanin, alkaloid,
steroid dan saponin. Igbinosa et al. (2009) membuktikan adanya senyawa
saponin, steroid, tanin, glikosid, alkaloid dan flavanoid pada ekstrak kulit
batang dengan penapisan fitokimia. Senyawa fitokimia tersebut berkontribusi

48

terhadap aktivitas biokimia yang dimiliki termasuk aktivitas antimikroba. Dari


tanaman famili Euphorbiaceae, senyawa tanin dilaporkan memiliki sifat anti
septik, antiviral, anti fungi dan antimutagenik. Senyawa alkaloid memiliki
sifat antimikrobial dan antitumor, saponin memiliki sifat sitoksik dan anti
ulcer sedangkan steroid yang merupakan golongan triterpenoid memiliki sifat
antibiotik dan anti fungi (Mwine dan Damme 2011).
Uji penghambatan terhadap bakteri E.coli menunjukkan semua ekstrak
dan fraksi ekstrak tidak menunjukkan aktivitas penghambatan yang terlihat
dari tidak terbentuknya zona bening. E.coli merupakan jenis bakteri gram
negatif yang relatif lebih tahan terhadap senyawa antimikroba karena
didukung oleh struktur ganda dinding selnya yang terdiri dari membran dalam
dan membran luar. Dinyatakan oleh Brannan (2006) bahwa membran luar
bakteri gram negatif terbuat dari lapisan lipid lapis ganda sebagaimana
membran pada umumnya. Adanya lipopolisakarida (LPS) yang memanjang
dari lapisan luar membran luar ke arah lingkungan memberikan keunikan pada
membran luar tersebut. LPS ini berperan dalam mendatangkan respon
kebanyakan antibodi selama masa infeksi dan dapat berubah secara cepat
untuk menghindari serangan antibodi terhadap sel mikroba. Fungsi lain LPS
adalah membantu menstabilkan membran luar dan merupakan komponen yang
berperan sebagai endotoksin. Membran luar bakteri gram negatif lebih
berperan dalam memberikan perlindungan dan memperlambat masuknya
senyawa toksik ke dalam sel.
Adapun bakteri Gram positif selnya sebagian besar (90%) terdiri dari
lapisan peptidoglikan dan lapisan tipis asam teikoat (Fardiaz, 1989). Asam
teikoat menyebabkan permukaan sel bakteri Gram positif bersifat polar dan
mempunyai muatan negatif. Sifat ini akan mempengaruhi laju penetrasi
molekul-molekul ke dalam sel yang akhirnya dapat menyebabkan kebocoran
sel.
Terlihatnya aktivitas penghambatan mikroba oleh suatu senyawa sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi bahan dan konsentrasi mikroba uji. Diperlukan
konsentrasi mikroba yang cukup rendah sehingga diameter hambat yang
terbentuk dapat terlihat. Konsentrasi bahan/senyawa uji yang digunakan

49

adalah 2,5% atau 25 mg/ml. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka aktivitas
penghambatan mikroba yang diperlihatkan akan semakin besar.
Konsentrasi terendah senyawa yang dapat menunjukkan aktivitas
penghambatan

mikroba

dikenal

dengan

MIC

(Minimum

Inhibitory

Concentration). MIC akan berbeda-beda untuk jenis ekstrak dan jenis


mikroba. Akinpelu et al. (2009) mendapatkan MIC yang cukup rendah dari
ekstrak metanol daun jarak pagar terhadap S.aureus dan E.coli yaitu 5 mg/ml.
Adapun Ogueke et al. (2007) mendapatkan MIC ekstrak etanol daun
Euphorbia hirta untuk S.aureus dan E.coli, P.aeruginosa dan B.subtilis
masing-masing adalah 22,55 mg/ml; 58,09 mg/ml; 57,64 mg/ml dan 74,61
mg/ml. Dari penelitian Ogueke tersebut terlihat bahwa MIC E.coli memiliki
nilai lebih dari dua kali lebih besar dibandingkan MIC S.aureus, yang berarti
konsentrasi ekstrak perlu ditingkatkan hingga dua kali lipat agar diperoleh
aktivitas penghambatan yang sama antara E.coli dengan S.aureus.

b. Uji Aktivitas Antioksidan


Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya dari radikal
bebas yang merupakan molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang
tidak berpasangan pada orbital kulit terluarnya. Aktivitas antioksidan adalah
kemampuan suatu bahan untuk menangkal/memperlambat reaksi oksidasi
bahan, baik dengan mekanisme pemutusan maupun mekanisme pencegahan.
Pemutusan reaksi oksidasi merupakan fungsi antioksidan primer yaitu dengan
proses pendonoran atom hidrogen pada radikal, sedangkan pencegahan
merupakan fungsi antioksidan sekunder yang dapat dilakukan melalui
beberapa mekanisme seperti pengikatan ion logam, menangkap oksigen,
memecah hidroperoksida menjadi non radikal, menyerap radiasi ultraviolet
maupun mendeaktifkan oksigen singlet.
Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan menggunakan metode
peredaman radikal bebas yaitu 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) dalam
pelarut metanol pada suhu ruang. Dalam pengujian antioksidan dengan DPPH
ini, aktivitas penangkapan radikal DPPH oleh suatu antioksidan dimonitor
dengan penurunan absorbansi. Ketika larutan DPPH bercampur dengan

50

senyawa yang dapat mendonorkan atom hidrogen, maka DPPH akan tereduksi
dan akan kehilangan warna ungunya. Semakin banyak senyawa antioksidan
dalam sampel, kehilangan warna unggu akan semakin besar. Aktivitas
peredaman DPPH ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar disajikan pada
Gambar 10.

Gambar 10 Aktivitas antioksidan ekstrak dan fraksi ekstrak daun, bungkil


dan kulit batang jarak pagar

Hasil sidik ragam terhadap aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa jenis


bagian tanaman (daun, bungkil, kulit batang) berpengaruh nyata, sedangkan
jenis ekstrak (ekstrak kasar, fraksi metanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat)
berpengaruh sangat nyata ( =0.01) (Lampiran 8). Fraksi etil asetat memiliki
aktivitas antioksidan paling tinggi, berbeda sangat nyata dengan fraksi heksan
dan fraksi metanol, akan tetapi tidak berbeda dengan ekstrak kasar. Adapun
interaksi antara jenis tanaman dan jenis ekstrak memberikan pengaruh yang
sangat nyata ( =0.01).
Proses pemisahan dengan partisi pelarut akan mengelompokkan senyawa
non polar dalam fraksi heksan, senyawa semi polar dalam fraksi etil asetat dan
senyawa-senyawa polar dalam fraksi metanol. Pada semua fraksi tersebut
ditemukan adanya akivitas antioksidan dengan nilai tertinggi dimiliki oleh
fraksi etil asetat, diikuti ekstrak kasar, fraksi metanol dan fraksi heksan.

51

Aktivitas antioksidan dalam ekstrak yang tinggi dipengaruhi oleh


kandungan senyawa fenolik dalam sampel yang umumnya merupakan
senyawa antioksidan alami pada tumbuhan yang dapat berupa golongan
flavanoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik
polifungsi (Pratt dan Hudson 1990). Senyawa antioksidan alami polifenolik
adalah bersifat multifungsional dan dapat bereaksi sebagai a) pereduksi, b)
penangkap radikal bebas, c) pengkelat logam dan d) peredam terbentuknya
singlet oksigen (Javanmardi et al. 2003).
Senyawa-senyawa yang merupakan antioksidan alami meliputi tokoferol,
karoten, flavanoid, diterpen, serta senyawa produk reaksi Maillard dll.
Senyawa-senyawa dengan aktivitas antioksidan tersebut memiliki tingkat
kepolaran yang berbeda-beda dan akan terpartisi dalam kelompok pelarut yang
berbeda-beda. Fraksi etil asetat dengan aktivitas antioksidan tertinggi
menunjukkan bahwa senyawa-senyawa dengan aktivitas antioksidan bersifat
semipolar dan terlarut dalam pelarut etil asetat.
Aktivitas antioksidan ekstrak kasar daun jarak pagar tidak berbeda nyata
( =0.05) dengan fraksi metanol, akan tetapi berbeda nyata dengan fraksi
heksan dan fraksi etil asetat. Aktivitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh
fraksi metanol daun jarak pagar dengan peredaman DPPH sebesar 88,21%.
Untuk ekstrak bungkil jarak pagar, aktivitas antioksidan ekstrak kasar tidak
berbeda nyata dengan fraksi metanol dan fraksi etil asetat, akan tetapi berbeda
nyata dengan fraksi heksan. Aktivitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh
ekstrak kasar bungkil jarak pagar dengan peredaman DPPH sebesar 94,98%.
Untuk ekstrak kulit batang, aktivitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh fraksi
etil asetat dengan peredaman DPPH sebesar 80,97%, nilai peredaman ini tidak
berbeda nyata dengan fraksi heksan akan tetapi berbeda nyata dengan ekstrak
kasar dan fraksi metanol.
Bungkil biji jarak pagar secara umum memiliki aktivitas antioksidan
paling tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena kandungan karoten, asam
lemak, senyawa diterpen serta flavanoid yang merupakan antioksidan alami.
Selain itu juga bisa disebabkan oleh kandungan protein dan karbohidrat/gula
dalam bungkil jarak. Kandungan gula dapat menstabilkan senyawa polifenol

52

yang ada sebagaimana penelitian Peinado et al. (2010) yang menemukan


adanya sinergi antara senyawa fenolik dengan senyawa gula terhadap aktivitas
antioksidan dalam sweet wine. Senyawa gula terlibat dalam menstabilkan
senyawa polifenol; sehingga autooksidasi katekin oleh ion Fe dapat dihambat
oleh campuran glukosa dan fruktosa.
Kandungan protein dan gula berkontribusi terhadap reaksi Maillard, dan
beberapa produk reaksi Maillard merupakan antioksidan alami. Reaksi
Maillard pada ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar kemungkinan terjadi pada
saat penguapan pelarut dengan rotary evaporator yang dilakukan pada suhu
50oC dengan kondisi vakum. Proses pengeringan beku untuk menghilangkan
kandungan air dalam ekstrak yang dilakukan selama 24 jam juga berkontribusi
terhadap reaksi Maillard yang terjadi pada ekstrak, sebagaimana dinyatakan
oleh Kroh (1994) yang diacu dalam Capuano et al. (2010) bahwa reaksi
Maillard akan mudah terjadi pada sistem dengan kandungan air sedang, suhu
lebih tinggi dari 50oC dan pH sedikit asam, dan waktu proses yang lama.
Adapun penelitian Budryn et al. (2009) mendapatkan bahwa pigmen coklat
yang merupakan produk reaksi Maillard dapat juga terbentuk selama ekstraksi
dan liofilisasi ekstrak, dimana diperlihatkan koefisien warna merah dan
kuning yang meningkat dengan kedua proses tersebut.
Produk reaksi Maillard telah terbukti memiliki aktivitas antioksidan.
Produk reaksi Maillard tersebut selain dapat berperan menangkap radikal
bebas (Nakamura et al. (1992), juga dapat berperan dalam menekan
pembentukan radikal OH melalui pengkelatan logam Fe2+ (reaksi Fenton)
(Yoshimura et al. 1997). Produk reaksi Maillard inilah yang diduga
menyebabkan tingginya aktivitas antioksidan fraksi metanol daun jarak, yang
terlihat dari penampakan fisik berupa pasta dengan warna coklat gelap disertai
dengan bau khas reaksi pencoklatan. Adapun fraksi metanol bungkil jarak
pagar yang memiliki penampakan yang lebih gelap tidak menunjukkan
aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena proses
penguapan pelarut serta pengeringan beku dalam waktu yang lama dapat
mendegradasi beberapa senyawa/unsur antioksidan dalam fraksi metanol

53

tersebut, disamping pengaruh distribusi/kelarutan senyawa dengan aktivitas


antioksidan yang spesifik dalam ekstrak bungkil jarak pagar tersebut.
Nicoli et al. (1999) menyatakan bahwa reaksi Maillard lebih mudah terjadi
pada kondisi aktivitas air yang rendah yang terjadi selama penyangraian.
Pengaruh akhir penyangraian terhadap nilai kapasitas antioksidan total
merupakan hasil kesetimbangan antara degradasi termal senyawa alami
antioksidan dan pembentukan produk reaksi Maillard baru yang memiliki
kapasitas antioksidan. Selain kondisi penyangraian, jumlah reaktan reaksi
Maillard yaitu karbohidrat dan protein akan menentukan kapasitas antioksidan
total akhir dari biji dan kacang-kacangan yang disangrai.

c. Uji Total Fenol


Total fenol mengacu kepada senyawa-senyawa fenol, yaitu senyawa
metabolit sekunder yang merupakan turunan dari lintasan pentosa fosfat,
shikimat dan lintasan phenylpropanoid pada tanaman. Kebanyakan senyawasenyawa fenol tersebut secara alami berkonjugasi dengan mono dan
polisakarida, atau berikatan dengan satu atau lebih grup senyawa fenol dan
juga bisa terjadi sebagai turunan fungsional seperti ester ataupun metil ester.
Hasil uji total fenol ekstrak dan fraksi ekstrak disajikan pada Gambar 11.
Secara keseluruhan, untuk masing-masing sampel tanaman jarak pagar, fraksi
etil asetat memiliki kandungan total fenol paling tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa senyawa fenolik dalam bahan alami umumnya bersifat semipolar dan
mudah larut dalam pelarut semipolar seperti etil asetat. Penelitian Bonnilla et
al. (1999) juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu ekstraksi senyawa fenolik
dari hasil distilasi residu fermentasi anggur merah dengan etil asetat
menghasilkan kadar fenolik yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
ekstraksi dengan air. Pelarut etil asetat juga terbukti efektif untuk
mengekstraksi senyawa fenol dari ampas minyak zaitun (Meessen et al. 2001).
Berdasarkan sifat kelarutan senyawa, pigmen dalam tanaman memiliki
kelarutan yang tinggi dalam pelarut non polar seperti heksan, kloroform,
sedangan flavon dan polifenol memiliki kelarutan yang tinggi pada etil asetat.

54

Gambar 11 Total fenol ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar

Hasil sidik ragam terhadap total fenol menunjukkan bahwa jenis bagian
tanaman (daun, bungkil, kulit batang) berpengaruh nyata ( =0.05), sedangkan
jenis ekstrak (ekstrak kasar, fraksi metanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat)
berpengaruh sangat nyata ( =0.01) (Lampiran 9). Adapun interaksi antara
jenis bagian tanaman dan jenis ekstrak tidak memberikan pengaruh yang
nyata. Fraksi etil asetat memiliki total fenol paling tinggi, berbeda sangat
nyata dengan ketiga jenis ekstrak lainnya. Total fenol fraksi etil asetat daun
jarak pagar menunjukkan nilai paling tinggi yaitu sebesar 88,53 mg asam
tanat/g ekstrak, berbeda nyata dengan ketiga fraksi ekstrak lainnya. Untuk
ekstrak bungkil jarak pagar dan kulit batang, fraksi etil asetat menunjukkan
kondisi yang sama, yaitu memiliki kandungan total fenol paling tinggi
masing-masing 83,57 dan 65,34 g asam tanat/g ekstrak.
Tingginya kandungan total fenol pada fraksi etil asetat inilah merupakan
salah satu alasan mengapa fraksi etil asetat tersebut menunjukkan aktivitas
antimikroba dan antioksidan yang tinggi. Meskipun tidak semua senyawa
fenol menunjukkan aktivitas antioksidan dan antimikroba. Hal ini terlihat dari
fraksi etil asetat daun jarak pagar memiliki total fenol paling tinggi, akan
tetapi aktivitas antioksidannya masih lebih rendah dibanding fraksi etil asetat
bungkil dan kulit batang. Senyawa-senyawa fenol menunjukkan sifat

55

fisiologis yang sangat luas seperti antialergi, anti arterogenik, anti inflamasi,
antimikroba, antioksidan, antitrombotik dan juga efek cardioprotective dan
vasodilatory (Balasundram et al. 2006).

d. Uji Kandungan Ester Forbol


Ester forbol merupakan senyawa diterpen tetrasiklik yang secara umum
dikenal karena aktivitasnya sebagai promotor tumor. Hal tersebut disebabkan
karena senyawa PE dapat meniru aksi dari Diacyl Glycerol (DAG) yaitu
sebagai aktivator protein kinase C (PKC) yang merupakan enzim kunci pada
penghantaran sinyal dan aktivitas metabolik sel lainnya. Interaksi yang
berlanjut antara phorbol ester dengan PKC menyebabkan respon mitogenik dan
pembentukan tumor. Phorbol ester juga menyebabkan meningkatnya proliferasi
sel, aktivasi platelet darah, mitogenesis limfosit, inflamasi, produksi
prostaglandin dan degranulasi neutrofil (Aitken 1986).
Hasil kromatogram HPLC menunjukkan keberadaan senyawa ester forbol
dalam sampel ekstrak yang terlihat pada peak-peak pada menit ke 3,9-9,0.
Penentuan peak sebagai phorbol ester didasarkan pada peak standar phorbol
ester (phorbol-12-myristate 13-acetate) yang muncul pada menit ke 3.96,
adapun peak-peak yang lain ditentukan berdasarkan referensi yang menyatakan
bahwa di dalam minyak jarak pagar teridentifikasi 6 jenis senyawa phorbol
ester (Haas et al. 2002) serta analisis ester forbol yang dilakukan oleh beberapa
peneliti. Hass dan Mittelbach (2000) menentukan waktu retensi senyawa ester
forbol pada menit ke 6-11 dimana analisa menggunakan campuran isokratik
80% acetonitrile dan 20% air, sedangkan Makkar et al.(2007) menyatakan
waktu retensi ester forbol pada menit ke 26-29 dimana analisa menggunakan
sistem gradien dari pelarut air yang bersifat asam, asetonitril dan
tetrahydrofuran.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak kasar bungkil jarak pagar
mengandung senyawa ester forbol dengan konsentrasi yang cukup tinggi yaitu
106,43 mg/g ekstrak. Dalam fraksi metanol tidak terdeteksi senyawa PE,
sedangkan dalam fraksi heksan terdeteksi senyawa PE dengan konsentrasi yang
lebih tinggi yaitu 267,75 mg/g ekstrak. Untuk ekstrak daun dan kulit batang,

56

pada ekstrak kasar dan fraksi metanol tidak terdeteksi senyawa PE secara jelas
sedangkan pada fraksi etil asetat terdeteksi peak dengan waktu retensi 3.6 yang
diduga sebagai senyawa PE. Konsentrasi PE fraksi etil asetat daun dan kulit
batang masing-masing adalah 13,41 mg/g ekstrak dan 1,55 mg/g ekstrak (Tabel
10). Kromatogram HPLC untuk analisa ester forbol disajikan pada Lampiran
10.

Tabel 10 Kandungan ester forbol pada ekstrak dan fraksi ekstrak


Sampel
Daun jarak pagar
Ekstrak kasar
Fraksi metanol
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat
Bungkil jarak pagar
Ekstrak kasar
Fraksi metanol
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat
Kulit batang jarak pagar
Ekstrak kasar
Fraksi metanol
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat

Ester forbol (mg/g ekstrak)


tidak dianalisa
tidak terdeteksi
tidak dianalisa
13,41
106,43
tidak terdeteksi
267,75
tidak dianalisa
tidak dianalisa
tidak terdeteksi
tidak dianalisa
1,55

Ester forbol telah diidentifikasi sebagai senyawa racun utama pada jarak
pagar. Kandungan ester forbol pada biji dan kernel jarak pagar sangat
dipengaruhi oleh varietas. Makkar et al. (1998) melaporkan kandungan ester
forbol untuk empat varietas jarak pagar yang berbeda. Varietas toksik Cape
Verde yang diperoleh dari Nicaragua mengandung ester forbol paling tinggi
yaitu 2.7 mg/g kernel, sedangkan varietas non toksik Mexico paling rendah
yaitu 0.11 mg/g kernel. Makkar et al. (1998) juga menemukan bahwa biji dari
buah muda (belum matang) mengandung senyawa ester forbol yang lebih
tinggi.
Distribusi senyawa ester forbol dalam biji jarak yang telah matang
sebagaimana dikemukakan oleh peneliti University Of York adalah sebagai
berikut: cangkang biji 0.33 0.11 g/mg, kulit ari biji 25.23 1.45 g/mg,

57

kernel / endosperma 4.71 0.71 g/mg, sedangkan embrio biji adalah 0.55
0.03 g/mg. Bungkil jarak pagar yang digunakan adalah bungkil biji utuh jarak
pagar, sehingga walaupun telah terekstraksi sebagian minyaknya, senyawa
ester forbol masih tertinggal dalam konsentrasi tinggi pada bungkil jarak.
Senyawa ester forbol terdistribusi pada tanaman jarak pagar dengan konsentrasi
yang berbeda-beda mulai dari akar hingga biji jarak (Makkar dan Becker
2009).
Biji jarak pagar mengandung ester forbol dengan konsentrasi tertinggi. Hal
ini karena kandungan minyak dalam biji dimana senyawa ester forbol bersifat
larut dalam minyak, dan sebagian besar terikut dalam minyak setelah proses
pengepresan. Sifat larut dalam lemak inilah yang menyebabkan tingginya
kandungan ester forbol dalam fraksi heksan bungkil jarak.
Setyaningsih (2010) menguji kandungan ester forbol pada bungkil jarak
pagar terdetoksifikasi. Bungkil jarak pagar yang diberi perlakuan pemanasan
basah (autoclave) mengandung ester forbol dengan konsentrasi 73,92 mg/g
bungkil, adapun perlakukan transesterifikasi yang diikuti pencucian heksan
dapat menurunkan kadar ester forbol menjadi 1,040,26 mg/g bungkil dan
tidak terdeteksi untuk pencucian dengan metanol.

4.4 Pemilihan Fraksi Ekstrak Jarak Potensial sebagai Zat Antioksidan dan
Zat Antimikroba
Pemilihan jenis ekstrak yang potensial sebagai zat antioksidan dan zat
antimikroba didasarkan pada aktivitas yang tinggi dengan memperhatikan
rendemen dan kandungan senyawa toksik ester forbol. Aktivitas antioksidan dan
aktivitas antimikroba yang dimiliki oleh ekstrak merupakan parameter
keampuhan/khasiat bahan. Rendemen berhubungan dengan pertimbangan
kelayakan proses dan kelayakan ekonomi, sedangkan kandungan ester forbol
berhubungan dengan tingkat keamanan penggunaan.

4.4.1. Zat antioksidan


Aktivitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh ekstrak kasar bungkil jarak
pagar, diikuti fraksi etil asetat bungkil, fraksi metanol daun jarak pagar, dan

58

fraksi etil asetat kulit batang. Dengan mempertimbangkan aktivitas


antioksidan dan rendemen (Tabel 11), ekstrak kasar dan fraksi metanol daun,
serta ekstrak kasar dan fraksi metanol bungkil jarak pagar cukup potensial
sebagai zat antioksidan. Diantara ekstrak potensial tersebut, fraksi metanol
daun dipilih sebagai zat antioksidan dengan pertimbangan aktivitas
antioksidan yang cukup tinggi dan tidak mengandung ester forbol, meskipun
aktivitasnya masih lebih rendah dari antioksidan komersial BHT yang
memiliki peredaman DPPH mencapai 95,36%. Ekstrak kasar bungkil jarak
pagar walaupun memiliki aktivitas paling tinggi, tidak dipilih sebagai zat
antioksidan karena mengandung senyawa toksik ester forbol. Ekstrak kasar
bungkil jarak memiliki aktivitas tertinggi yaitu 94,39%, berbeda nyata
( =0.05) dengan ekstrak kasar daun, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan
fraksi metanol daun dan fraksi metanol bungkil. Analisis ragam untuk
pemilihan ekstrak sebagai zat antioksidan dan analisis ragam untuk rendemen
ekstrak disajikan pada Lampiran 11 dan Lampiran 12.

Tabel 11 Pemilihan ekstrak sebagai zat antioksidan


Parameter
Peredaman DPPH (%)
Kandungan ester forbol
Rendemen
(% b/b serbuk kering)

Daun
Ekstrak Kasar
Fr. metanol

74,536.93
tidak
terdeteksi
5,080,00

89,421,64
tidak
terdeteksi
3,680,06

Bungkil
Ekstrak Kasar
Fr. metanol

94,391,38
terdeteksi

6,550,00

84,043,55
tidak
terdeteksi
2,410,37

Ekstrak terpilih sebagai zat antioksidan dikarakterisasi lebih lanjut dengan


analisa

komposisi

kimia

dengan

GC-MS

dan

dianalisa

aktivitas

antioksidannya dengan menentukan EC50.


Hasil analisa komposisi kimia menggunakan GC-MS pada fraksi metanol
daun jarak mendapatkan beberapa senyawa yang teridentifikasi seperti pada
Tabel 12. Kromatogram GC-MS fraksi metanol daun jarak disajikan pada
Lampiran 13.

59

Tabel 12. Identifikasi senyawa kimia fraksi metanol ekstrak daun jarak pagar
No
1
2
3
4
5
6
7

Retention
Time
6.76
7.38
8.97
9.20
10.42
13.19
13.73

Keterangan

Nama Senyawa
2,3-dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl, 4H-pyran-4-One
5-hydroxymethyl-2-furancarboxaldehyde
3-Pyridinecarboxamide
3-dimethylamino-2-methyl-2-cyclopenten-1-one
4-methyl-2,5-dimethylbenzaldehyde
n-Hexadecanoic acid
9H-Pyrido[3,4] indole

Senyawa piran
Seyawa fural
Nicotinamide

senyawa alkaloid

Senyawa 5-hydroxymethyl-2-furancarboxaldehyde adalah produk reaksi


Maillard yang merupakan hasil reaksi gugus karbonil dari gula dengan gugus
amino dari asam amino, peptida dan protein dalam fraksi metanol daun jarak.
Dengan kelimpahan yang cukup tinggi dalam fraksi metanol, senyawa inilah
yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antioksidan yang dimiliki. Bailey
dan Won Um (1992) melaporkan beberapa produk reaksi Maillard seperti
redukton amino ataupun polimer seperti melanoidin memiliki aktivitas
antioksidan. Waghmare et al. (2010) mendapatkan bahwa senyawa fural
ditemukan pada ekstrak metanol dan ekstrak etanol dari cangkang biji asam
(Tamarindus indica Linn.) dan bertanggung jawab terhadap aktivitas
antibakteri dari ekstrak yang dihasilkan.

5 hydroxymethyl, 2-Furancarboxaldehyde

2,3-dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl, 4HPyran-4-One

Pyridinecarboxamide
Gambar 12 Struktur senyawa yang teridentifikasi pada fraksi metanol daun jarak
(www. pubchem.ncbi.nlm.nih.gov)

60

Senyawa 2,3-dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl,-4H-pyran-4-one (DDMP)


adalah senyawa piran yang juga merupakan produk reaksi Maillard. Senyawa
dengan rumus molekul C6H8O4 ini mampu mendonorkan 2 ikatan hidrogennya
(Pubchem Compound), sehingga senyawa ini juga memiliki aktivitas
antioksidan. Aktivitas lain yang dimiliki oleh senyawa ini adalah aktivitas anti
proliferasi dan proapoptosis sebagaimana dilaporkan oleh Jung Ok Ban et al.
(2007). Dalam penelitiannya, Ok Ban mendapatkan bahwa perlakuan DDMP
yang diisolasi dari bawang putih dengan konsentrasi 0,5-1,5 mg/ml dengan
perlakuan 0-48 jam dapat menghambat pertumbuhan sel kanker kolon. DDMP
ditemukan juga pada ekstrak metanol daun Vitex negundo (Kumar et al, 2010).
Dilaporkan bahwa senyawa ini merupakan fraksi flavanoid yang memiliki
aktivitas antibakteri dan antiinflamasi.
Senyawa lain yang teridentifikasi adalah pyridinecarboxamide atau
dikenal juga dengan nicotinamide. Nicotinamide merupakan senyawa vitamin
yang merupakan konstituen penting dalam sintesis pyridine coenzyme pada
mamalia. Nicotinamide murni berwujud padat, kelarutan dalam air sebesar
691-1000g/l dan akan terpartisi sempurna dalam pelarut air (OECD SIDS).
Nilai Efficient Concentration (EC50) adalah parameter yang menunjukkan
kesetaraan konsentrasi yang memberikan 50% pengaruh. EC50 didefinisikan
sebagai konsentrasi substrat

yang menyebabkan kehilangan aktivitas

DPPH/warna sebesar 50%. Semakin tinggi aktivitas antioksidan, maka nilai


EC50 akan semakin rendah. Hasil pengukuran EC50 fraksi metanol ekstrak daun
jarak pagar adalah sebesar 0.13 mg/ml, adapun BHT sebagai antioksidan
komersial memiliki nilai EC50 sebesar 0.012 mg/ml. Perbandingan aktivitas
antioksidan ekstrak terpilih dengan BHT ditunjukkan pada Gambar 13.

61

Gambar 13 Perbandingan aktivitas antioksidan ekstrak terpilih dengan BHT

Nilai EC50 ekstrak terpilih adalah 0.13 mg/ml yang berarti bahwa untuk
meredam DPPH sebesar 50% diperlukan konsentrasi ekstrak sebesar 0.13
mg/ml. Konsentrasi ini masih lebih tinggi dibanding BHT yang hanya
memerlukan konsentrasi 0.012 mg/ml untuk proses peredaman. Pada
konsentrasi 0.04 mg/ml BHT sudah dapat meredam DPPH sebesar 85,15%.

4.4.2. Zat antimikroba


Pemilihan ekstrak sebagai zat antimikroba didasarkan juga pada aktivitas
antimikroba, rendemen, serta kandungan senyawa toksik ester forbol. Aktivitas
antimikroba tertinggi dimiliki oleh fraksi etil asetat bungkil, diikuti oleh fraksi
etil asetat daun, fraksi etil asetat kulit batang dan ekstrak kasar daun. Fraksi etil
asetat daun jarak terpilih sebagai zat antimikroba dengan pertimbangan
aktivitas antimikroba paling tinggi, kandungan ester forbol rendah, serta
pertimbangan proses produksi yang berkaitan dengan pemanfaatan fraksi
metanol daun sebagai zat antioksidan (Tabel 13).

62

Tabel 13 Pemilihan ekstrak sebagai zat antimikroba


Parameter

Daun
Diameter
penghambatan 12,5
terhadap S. aureus (mm)
Rendemen
0,41 0.01

Fraksi etil asetat


Bungkil
Kulit batang
14,45
12,42
0,54 0.00

0,12 0.06

tidak dianalisa

1,55

(% b/b serbuk kering)

Ester forbol (mg/g ekstrak)

13,41

Fraksi etil asetat bungkil jarak pagar memiliki rendemen yang paling
tinggi. Meskipun demikian fraksi ini tidak dipilih sebagai zat antimikroba
karena ditakutkan adanya kandungan ester forbol yang lebih tinggi. Kandungan
ester forbol pada fraksi etil asetat bungkil jarak tidak diketahui, akan tetapi
dapat diperkirakan kandungan senyawa ini jauh lebih tinggi dibanding dua
fraksi etil asetat lainnya karena tingginya kandungan ester forbol pada ekstrak
kasar dan fraksi heksan. Senyawa ester forbol khususnya forbol 12-miristat 13
asetat dilaporkan oleh Sigma bersifat larut dalam aseton, DMSO, etil asetat,
etanol dan metilen klorida.

Tabel 14 Identifikasi senyawa kimia fraksi etil asetat ekstrak daun jarak pagar
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Retention
Time
6.46
7.24
7.41
8.14
8.26
8.51
8.92
9.15
9.25
9.36
10.04
11.50
11.62
11.97
12.18
12.23

16
17
18
19
20
21

12.36
12.42
12.54
12.95
14.22
14.37

Nama Senyawa

Keterangan

Benzeneethanol
2,3-dihydro benzofuran
3 ethyl, 4 methyl 1 H-pyrole-2,5 dione
Indole
4 vinyl 2 methoxy phenol
4 hydroxy benzaldehyde
Niacinamide
4 hydroxy benzeneethanol
1-(4-hydroxyphenyl) ethanone
4-hydroxy benzoic acid methyl ester
1-Naphthalenol
12-methyl- tridecanoic acid methyl ester
9 hydroxy-4-megastigmen-3-one
4-methoxy-3-methylbenzofuran-6-ol
(-) Loliolide
4-hydroxy-3,5,6-trimethyl-4-(3-oxo-1-butenyl)-2cyclohexen-1-one
Neophytadiene
1H-Indole-3-carboxaldehyde
(E)-6,6-dimethylcyclooct-4-en-1-one
hexadecanoic acid methyl ester
9 Octadecenoic acid (Z) methyl ester
16-methyl- heptadecanoic acid methyl ester

alkohol aromatik
fenol
alkaloid
alkaloid
fenol
fenol
Senyawa vitamin
fenol
senyawa keton, fenol
ester
fenol
ester
senyawa glikosida
Senyawa terpene

alkaloid
Metil ester
Metil ester
Metil ester

63

Hasil uji GC-MS terhadap fraksi etil asetat daun jarak pagar mendapatkan
beberapa senyawa yang dapat teridentifikasi dengan baik (Tabel 14). Senyawasenyawa yang teridentifikasi meliputi senyawa fenol, aldehid serta terpene
yang cukup mendominasi fraksi etil asetat ekstrak daun jarak. Kromatogram
GC-MS fraksi etil asetat juga disajikan pada Lampiran 13.
Senyawa terpen yang teridentifikasi adalah Loliolide yang merupakan
senyawa monoterpen. Senyawa ini juga telah diisolasi dari tanaman Euphorbia
supine oleh Tanaka dan Matsunaga (1988), daun Equisetum arvense oleh
Hiraga et al. (2010) dengan aktivitas penghambatan terhadap germinasi biji
lettuce, ekstrak kloroform daun Eucommia ulmoides (Okada et al. 2001) yang
menunjukkan aktivitas immunosuppressive dan diisolasi dari ekstrak etanol
daun M.whitei (Apocynaceae) dimana Neergaard et al. (2010) melaporkan
bahwa senyawa ini bertanggung jawab terhadap aktivitas mirip antidepressant
dan menunjukkan afinitas terhadap serotonin transporter.
Senyawa-senyawa alkaloid yang teridentifikasi adalah 3 ethyl, 4 methyl 1
H-pyrole-2,5 dione, indole dan 1H-Indole-3-carboxaldehyde. Adapun senyawa
fenol yang teridentifikasi meliputi 2,3-dihydro benzofuran, 4 vinyl 2 methoxy
phenol, 4 hydroxy benzaldehyde, 4 hydroxy benzeneethanol dan 1Naphthalenol.

Senyawa

lain

yang

ditemukan

adalah

9-hydroxy-4-

megastigmen-3-one yang merupakan senyawa glikosida. Senyawa-senyawa


turunan megastigmen telah tercatat ditemukan pada beberapa family tanaman
yang berbeda-beda antara lain Apocynaceae, Aquifoliaceae, Betulaceae,
Cupressaceae, Euphorbiaceae, Lamiaceae, Leguminosae, Magnoliaceae,
Pinaceae,

Podocarpaceae,

Rhamnaceae,

Rosaceae,

Simaroubaceae,

Solanaceae, and Vitaceae. Senyawa ini menunjukkan aktivitas antimikroba


sehingga tanaman yang mengandung senyawa ini banyak digunakan sebagai
obat herbal untuk beberapa jenis penyakit.
Niasinamid merupakan senyawa aromatik heterosiklik yang umum
digunakan dalam produk kosmetik yaitu berfungsi sebagai conditioning agents
pada rambut dan kulit. Niasinamid merupakan senyawa vitamin larut air, dan
merupakan bagian dari golongan vitamin B. Senyawa ini menunjukkan
aktivitas anti inflamasi yang berguna bagi pasien dengan kondisi kulit

64

inflamasi seperti penyakit acne vulgaris. Beberapa struktur senyawa yang


teridentifikasi pada fraksi etil asetat daun jarak disajikan pada Gambar 14.

Indol

benzofuran

Niasinamid

3 ethyl, 4 methyl 1 H-pyrole2,5 dione

1H-Indole-3-carboxaldehyde

Gambar 14 Struktur senyawa yang teridentifikasi pada fraksi etil asetat daun jarak
(www. pubchem.ncbi.nlm.nih.gov)
4.5 Uji Coba Formulasi Ekstrak Terpilih dalam Produk Krim
Produk kosmetik yang diformulasi adalah produk krim yang merupakan salah
satu produk kosmetik topikal untuk perawatan diri yang digunakan untuk
melindungi kulit supaya tetap halus dan lembut, mencegah kulit tidak kering,
bersisik dan mudah pecah. Secara komersial jenis krim dengan fungsi tersebut
dikenal dengan hand and body cream.
Terdapat dua jenis produk krim berdasarkan tipe emulsi yang dihasilkan,
yaitu tipe minyak dalam air (o/w) dan tipe air dalam minyak (w/o). Produk krim
tipe o/w lebih banyak digunakan karena tidak terasa lengket ketika dioleskan ke
kulit dan lebih merata. Produk krim merupakan produk emulsi tipe minyak dalam
air (o/w) dengan fase minyak dan humektan yang lebih banyak dari produk lotion.
Bahan-bahan penyusun produk krim serta fungsi yang dimiliki dalam formulasi
disajikan pada Tabel 15.

65

Tabel 15 Bahan pembuatan krim beserta fungsinya


Nama Bahan
Fase lemak
Asam stearat
Setil alkohol
Minyak zaitun
Nipagin (Metil paraben-MP)
Nipasol (Propil paraben-PP)
Em delta
Alantoin
Dimetikon
TiO2
BHT
Fase Air

Emmolient dan pengental/pembentuk konsistensi


Pengental dan pembentuk konsistensi, oklusif,
penstabil emulsi
oklusif, emmolient
Pengawet (Anti jamur)
Pengawet (Anti bakteri)
Anti iritasi dan pengobat luka kecil
Pelindung kulit, anti lengket, mencegah efek
penyabunan
Pengental, pemutih, bahan aktif tabir
surya/pelindung
Antioksidan
Humektan, Membantu efektivitas penetrasi dari
bahan lain dalam formula
Humektan, plastisizer

Propilen Glikol
Sorbitol
Pembuatan

Fungsi

produk

hand

and

body

cream

dilakukan

dengan

mencampurkan/menghomogenkan secara terpisah bahan-bahan fase air (air,


sorbitol dan PG) pada suhu 60oC dan fase lemak (asam stearat, em delta, dll) pada
suhu 50oC. Setelah masing-masing fase homogen kemudian dilakukan
pencampuran dan homogenisasi fase air dan fase minyak pada suhu 55-60oC
hingga diperoleh sediaan krim, pendinginan hingga suhu 40oC dan dilakukan
penambahan bahan pengawet yaitu zat antioksidan dan zat antimikroba.
BHT (Butylated hydroxytoluene) merupakan zat antioksidan sintetik yang
digunakan pada produk krim. BHT merupakan senyawa fenol terintangi dengan
karakteristik menyerupai BHA akan tetapi stabilitas pada suhu tinggi dan sifat
carry through dalam minyak dan lemak kurang bagus. Sifat carry through adalah
kestabilan pada kondisi pemrosesan. Karena sifat ini BHT umumnya ditambahkan
pada akhir proses pada suhu yang relatif rendah. Mitsui (1997) menyatakan bahwa
dalam formula produk kosmetik, zat antioksidan seperti tokoferol, BHT, BHA,
dan ester asam galat sering ditambahkan untuk mencegah pembentukan radikal
lipid yang bisa merusak produk. Nipagin (MP) dan nipasol (PP) adalah pengawet
yang berperan sebagai antimikroba yang sering digunakan pada berbagai produk

66

kosmetik dan produk personal care. Bahan ini merupakan ester dari asam
hidroksibenzoat.
Bahan pengawet dalam produk kosmetik harus bersifat larut dalam
konsentrasi yang digunakan. Hal ini terkait dengan fungsi pengawetan yang
diberikan dalam produk, dimana agar bisa memberikan fungsi yang maksimal,
senyawa pengawet harus bisa terlarut sempurna di dalam bahan yang akan
diawetkan. Meskipun demikian perlu dipertimbangkan beberapa persyaratan zat
pengawet dalam fungsi pengawetan produk kosmetik antara lain kesesuaian
dengan komponen lain dalam formula produk, khasiat, keamanan, kelarutan bahan
serta ketahananan terhadap lingkungan luar dan kondisi proses. Dalam hal ini
kesesuaian ekstrak jarak pagar terpilih sebagai zat antimikroba dan zat antioksidan
dievaluasi melalui uji coba formulasi dalam produk krim.

a.2.1. Formulasi krim tahap I


Fraksi aktif jarak pagar terpilih yaitu fraksi metanol daun jarak sebagai zat
antioksidan dan fraksi etil asetat sebagai zat antimikroba ditambahkan dalam
formula krim sebagai bahan substitusi pengawet (MP, PP dan BHT). Pada tahap
ini dicoba empat formula krim yang memanfaatkan fraksi ekstrak jarak pagar
termasuk formula kontrol (Tabel 16). Penambahan ekstrak antioksidan adalah
sebesar 0,064% hampir sama dengan penambahan konsentrasi BHT yaitu sebesar
0,0616%, dengan tujuan untuk mendapatkan kesetaraan aktivitas antioksidan
berdasarkan nilai peredaman DPPH yang diperoleh (BHT 95,35%; ekstrak
antioksidan 89,42%).
Tabel 16 Formula penambahan fraksi aktif terpilih dalam produk krim
Bahan

Formula (% bobot)
Kontrol (I)

II

III

IV

Zat antimikroba - Metil paraben

0,1

0,1

Zat antimikroba - Propil paraben

0,1

0,1

0,0616

0,0616

0,0616

Ekstrak antioksidan

0,0641

Ekstrak antimikroba

1,67

0,2

Zat antioksidan - BHT

67

Penambahan ekstrak antimikroba dilakukan dengan 2 konsentrasi yaitu 0,2%


yang merupakan total konsentrasi penggunaan MP dan PP dalam krim (masingmasing 0,1%), dan konsentrasi 1,67% dimana nilai ini diperoleh berdasarkan uji
coba kelarutan ekstrak dalam formulasi krim.
Penggunaan zat antioksidan dalam produk kosmetik memang tidak dibatasi
secara jelas. Diharapkan penambahan zat antioksidan tersebut tidak hanya untuk
perlindungan produk (pengawetan) akan tetapi berfungsi juga ketika produk
diaplikasikan. Meskipun demikian dalam penggunaannya harus memperhatikan
aspek keamanan seperti iritasi, toksisitas, perubahan warna produk dan juga
kelarutan. Lanigan dan Yamarik (2002) melaporkan penggunaan BHT dalam
produk kosmetik bervariasi dari 0,0002% - 0,5%. Penggunaan pengawet paraben
dalam produk kosmetik dibatasi hingga 0,4% untuk ester tunggal dan 0,8% untuk
ester campuran (BPOM 2008). Adapun pengawet dari bahan alami seperti minyak
atsiri dan ekstrak tanaman lain tidak terdapat batasan yang jelas tentang
konsentrasi penggunaannya. Penggunaan konsentrasi bahan alami tersebut lebih
dibatasi oleh sifat keamanannya dimana hal tersebut menjadi tanggung produsen.

Formula I

Formula III

Formula II

Formula IV

Gambar 15 Produk krim hasil formulasi dengan fraksi ektrak jarak pagar

68

Produk hand and body cream hasil formulasi dengan fraksi ektrak jarak pagar
terpilih disajikan pada Gambar 15. Untuk mengetahui pengaruh penambahan
ekstrak terpilih dalam produk kosmetik dan untuk melihat efektivitas aktivitas
antimikroba dan antioksidan yang dimilikinya maka dilakukan analisa nilai pH,
stabilitas emulsi, aktivitas antioksidan dan cemaran mikroba terhadap produk
yang telah disimpan pada suhu 37oC selama 15 hari.

a.2.1.1. Analisa pH Produk Krim


Derajat keasaman suatu produk ditunjukkan dengan nilai pH produk
tersebut. pH sediaan produk krim maupun sediaan kosmetik haruslah sesuai
dengan pH penerimaan kulit. Jika pH sediaan kosmetik jauh berbeda dengan
pH kulit, maka produk tersebut cenderung mengiritasi kulit, begitu juga jika
sediaan kosmetik memiliki sifat alkali akan menyebabkan kulit menjadi
kering. Pengukuran nilai pH juga menjadi salah satu parameter untuk
mengukur kestabilan dan keampuhan suatu pengawet pada produk akhir.

Gambar 16 Histogram pengaruh formulasi produk krim terhadap nilai pH

Nilai rata-rata pH produk krim dengan perlakuan penambahan ekstrak jarak


pagar bernilai antara 6,15 6,81 (Gambar 16). Nilai ini masih memenuhi
nilai pH persyaratan SNI produk krim yaitu berkisar 4.5-8. Pada awal
penyimpanan, nilai pH produk krim tertinggi dimiliki oleh Formula IV,
sedangkan nilai pH terendah dimiliki oleh krim Formula III. Nilai pH

69

formula IV berbeda nyata dengan ketiga formula lainnya, sedangkan antara


formula I dan II tidak ada perbedaan yang nyata. Rendahnya nilai pH pada
formula III dapat disebabkan salah satunya oleh komponen fenol yang
ditemukan cukup mendominasi fraksi etil asetat daun jarak pagar. Senyawa
fenol relatif bersifat asam dan dapat bereaksi dengan basa (Wikipedia 2011).
Jika membandingkan nilai pH awal dan akhir penyimpanan, terlihat bahwa
produk krim formula II relatif lebih stabil dibanding formula kontrol
(Formula I) dan formula lainnya. Penurunan nilai pH pada akhir
penyimpanan produk dapat terjadi karena adanya proses oksidasi, hidrolisis
maupun pengrusakan bahan organik oleh mikroba. Proses-proses tersebut
dapat menghasilkan senyawa-senyawa hasil degradasi akhir seperti alkohol,
asam karboksilat, keton dll.

a.2.1.2. Stabilitas emulsi


Emulsi merupakan suatu sistem heterogen yang mengandung dua fase
cairan, yang satu terdispersi sebagai globula dalam medium pendispersi
dalam bentuk droplet (butiran). Emulsi yang baik tidak membentuk lapisanlapisan, tidak terjadi perubahan warna, dan konsistensi tetap (Suryani et al.
2002).
Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah keseimbangan antara
gaya tarik menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam
sistem emulsi. Kestabilan emulsi perlu mengalami pengujian antara lain
dengan mengamati penampilan (pemisahan fase dan warna), bau, pH dan
kekentalan.
Uji stabilitas emulsi yang dilakukan adalah pengamatan pemisahan
fase. Hasil pengamatan produk krim menunjukkan bahwa semua sampel tidak
menunjukkan pemisahan fase (emulsi stabil). Adapun pengamatan stabilitas
emulsi pada akhir penyimpanan menunjukkan formula krim II walaupun
produk stabil terlihat adanya butiran-butiran, sedangkan pada formula III
terlihat ada sedikit fase minyak yang memisah.
Menurut Mitsui (1997), pengamatan perubahan fisik dapat dilakukan
untuk memantau kestabilan produk kosmetik. Perubahan fisik yang mungkin

70

terjadi antara lain pemisahan, sedimentasi, penggumpalan, pengembangan,


keluar cairan, pembentukan gel, ketidakmerataan, evaporasi, pengerasan,
pelunakan dll.

Perubahan fisik tersebut dapat diuji antara lain dengan

melakukan uji kestabilan temperatur sebagaimana dilakukan dalam penelitian


ini.

a.2.1.3. Cemaran mikroba


Total mikroba merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui
jumlah mikroorganisme yang terdapat pada suatu bahan. Uji ini
menggunakan metode hitungan cawan dengan menganggap bahwa setiap sel
yang dapat hidup akan berkembang menjadi koloni, jumlah koloni yang hidup
dan berkembang merupakan indeks jumlah mikroorganisme yang dapat hidup
pada produk tersebut.

Gambar 17 Histogram pengaruh formulasi produk krim terhadap total mikroba

Pada uji total mikroba terhadap produk krim (Gambar 17), diperoleh
jumlah mikroorganisme yang bervariasi dari 5,0 x 102 hingga 1,3 x 104.
Formula I yang merupakan formula kontrol memiliki jumlah mikroorganisme
1,4 x 103. Setelah dilakukan penyimpanan selama 15 hari pada suhu 37oC,
untuk semua formula krim menunjukkan peningkatan total mikroba. Total

71

mikroba formula III meningkat dari 5,0 x 102 menjadi 1,0 x 104 atau sebesar
19%, sedangkan formula IV mengalami peningkatan paling kecil yaitu
sebesar 0,15% yaitu dari 1,3 x 104 menjadi 1,5 x 104. Formula kontrol
menunjukkan peningkatan total mikroba sebesar 12,57%. Total mikroba
paling kecil pada awal dan akhir penyimpanan dimiliki oleh formula krim III
(Tabel 17).

Tabel 17 Nilai cemaran mikroba pada formula produk krim


Formula
krim
I
II
III
IV

Total mikroba (CFU/g)


Awal
Akhir
Selisih
penyimpanan penyimpanan
1.4E+03
1.9E+04 1.8E+04
4.4E+03
2.0E+04 1.6E+04
5.0E+02
1.0E+04 9.5E+03
1.3E+04
1.5E+04 2.0E+03

Peningkatan (%)
12.57
3.55
19.00
0.15

Sebagai zat antimikroba, ekstrak jarak terpilih dengan penambahan


pada konsentrasi tinggi dapat menekan jumlah mikroba, akan tetapi aktivitas
yang dimiliki diduga menurun/menghilang selama penyimpanan. Hal inilah
yang menyebabkan tingginya persentase peningkatan total mikroba pada
akhir penyimpanan. Ekstrak antimikroba yang digunakan didominasi oleh
senyawa fenol alami yang akan mudah teroksidasi atau rusak oleh
lingkungan.
Formula IV dengan konsentrasi antimikroba yang lebih rendah
menunjukkan total mikroba yang lebih tinggi baik pada awal penyimpanan
maupun pada akhir penyimpanan. Peningkatan total mikroba formula II lebih
rendah dari kontrol (Formula I) yang dapat menjadi indikasi bahwa
penambahan zat antioksidan dapat memberikan efek antimikroba, meskipun
di akhir penyimpanan diperoleh nilai total mikroba yang lebih tinggi.
Substitusi zat antimikroba sintetik dengan ekstrak antimikroba dengan
konsentrasi penambahan dalam formula krim 0,2%-1,67% sudah bisa
memberikan perlindungan produk, yang terlihat dari nilai cemaran mikroba
pada akhir penyimpanan pada formula III dan IV lebih rendah dibandingkan
formula I dan II.

72

Mengenai konsentrasi ekstrak jarak pagar sebagai zat antimikroba


yang ditambahkan dalam formula krim, pada formula IV, penambahan
sebanyak 0.2% belum memberikan efek pengawetan produk. Hal ini terlihat
dari produk krim yang dibiarkan pada suhu ruang mulai ditumbuhi jamur
pada hari 7, tidak demikian dengan Formula III (ekstrak antimikroba 1.67%)
dan formula lain dengan penambahan antimikroba komersial. Dengan
demikian, penambahan ekstrak jarak sebagai zat antimikroba perlu
ditingkatkan namun perlu mempertimbangkan kelarutan bahan dalam
formula produk.

a.2.1.4. Aktivitas Antioksidan


Pada penelitian ini aktivitas antioksidan produk krim dianalisa dengan
metode peredaman DPPH. Hasil uji antioksidan krim menunjukkan bahwa
penambahan ekstrak antioksidan menghasilkan produk krim dengan aktivitas
antioksidan yang masih lebih rendah dibanding kontrol/penambahan BHT
(Gambar 18). Dengan konsentrasi penambahan yang hampir sama, maka hal
ini dapat terjadi karena nilai EC50 ekstrak antioksidan lebih dari 10 kali lebih
besar dibanding nilai EC50 BHT. Adapun penambahan ekstak antimikroba
dengan konsentrasi 0,2% dapat meningkatkan aktivitas antioksidan jauh
melebihi formula kontrol. Hal ini disebabkan karena konsentrasi penambahan
ekstrak yang cukup tinggi yaitu mencapai 3 kali lebih besar dari penambahan
zat antioksidan komersial. Zat antimikroba terpilih (fraksi etil asetat daun
jarak pagar) memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai peredaman DPPH
sebesar 60,18%.

73

Gambar 18 Histogram pengaruh formulasi ekstrak terhadap aktivitas


antioksidan krim
Efektivitas antioksidan dalam sistem emulsi baik pada produk pangan
maupun produk kosmetik sangat dipengaruhi oleh sifat fisik emulsi serta
partisi antioksidan antara fase lipid, interfase dan fase air (Frankel et al.
2000; Schwarz et al. 2000). Efektivitas relatif antioksidan dalam sistem
emulsi tergantung pada beberapa faktor, yakni substrat lipid, pH, sistem
emulsi (O/W atau W/O), konsentrasi, waktu oksidasi, metode yang
digunakan dalam menentukan oksidasi lipid, pengemulsi, adanya inggredient
lain, stabilitas relatif antioksidan, serta kemampuan mendonasi atom
hidrogen. Nilai pH berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan karena
berhubungan dengan partisinya pada fase air. Antioksidan akan terdisosiasi
pada pH di atas nilai pKa.
Mengenai efektivitas antioksidan khususnya dalam bahan pangan,
Porter di dalam Frankel (2004) mempostulatkan suatu aturan umum, bahwa
dalam sistem pangan dengan rasio surface to volume rendah (seperti minyak
utuh), antioksidan polar dengan HLB tinggi seperti propil galat, TBHQ dan
trolox bersifat lebih aktif dibandingkan antioksidan lipofilik seperti BHA,
BHT, dan alfa tokoferol. Sebaliknya dalam sistem pangan yang mempunyai
rasio surface to volume tinggi (seperti minyak teremulsi), antioksidan
lipofilik dengan HLB rendah lebih disukai.

74

Pada formulasi krim tahap I ini juga dilakukan uji coba penambahan
ekstrak pada suhu lebih tinggi dari penambahan bahan pengawet pada
umumnya (40oC). Ekstrak antioksidan ditambahkan pada suhu 60oC yaitu
pada fase air, sedangkan ekstrak antimikroba ditambahkan pada suhu 50 oC
yaitu pada fase minyak. Hasil analisa produk krim disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Pengaruh suhu penambahan ekstrak terhadap karakteristik krim


Parameter
pH
Stabilitas emulsi
Penampakan krim
Total mikroba
Awal
Akhir
Aktivitas antioksidan
(% Peredaman DPPH)

Ekstrak antioksidan
60oC
40oC
(fase air)
6,48
6,61
Stabil
Stabil
tampak butiran homogen

Ekstrak antimikroba
50oC
40oC
(fase lemak)
6,81
7,25
Stabil
Stabil
tampak butiran homogen

4,4 x 103
2,0 x 104
29,54

1,3 x 104
1,5 x 104
90,13

2,9 x 103
3,0 x 103
28,95

Ekstrak antioksidan, 40oC

Ekstrak antioksidan, 60oC

Ekstrak antimikroba, 40oC

Ekstrak antimikroba, 60oC

4,0 x 103
1,6 x 104
90,73

Gambar 19 Produk krim dengan perbedaan suhu penambahan ekstrak

75

Dari analisa produk krim terlihat bahwa penambahan zat antimikroba


dan antioksidan pada suhu yang lebih tinggi dari 40oC dapat meningkatkan
nilai pH. Penambahan pada suhu proses juga dapat memperbaiki
kehomogenan produk karena ekstrak yang ditambahkan bersifat lebih larut.
Penambahan ekstrak pada suhu pengolahan tidak mempengaruhi aktivitas
antioksidan produk krim secara nyata. Penambahan ekstrak pada suhu
pengolahan memberikan efek positif pada total mikroba, dimana penambahan
pada suhu proses dapat menurunkan total mikroba dari 4,4 x 103 menjadi 2,9 x
103 untuk ekstrak antioksidan dan dari 1,3 x 104 menjadi 4,0 x 103 untuk ekstrak
antimikroba.

a.2.21. Formulasi Krim Tahap II


Pada tahap ini dilakukan formulasi 4 produk krim sebagaimana disajikan
pada Tabel 19. Zat antioksidan ditambahkan sebesar 0.0641%, sama dengan
penambahan antioksidan komersial, sedangkan zat antimikroba ditambahkan
sebesar 1.25%. Besarnya konsentrasi yang dipilih didasarkan pada uji coba
pembuatan krim tahap 1, dimana penambahan sebesar 1.67% b/b menunjukkan
produk yang tidak stabil (pemisahan fase minyak pada akhir penyimpanan,
perubahan nilai pH yang besar) dan dari penampakan produk yang memiliki
intensitas warna yang tinggi. Oleh karena pada formulasi tahap II dilakukan
pengurangan konsentrasi penambahan ekstrak antimikroba yaitu sebesar 1,25%.
Konsentrasi ini dipilih karena dari uji iritasi kulit yang dilakukan, larutan fraksi
etil asetat hingga konsentrasi 1,25% tidak menimbulkan reaksi iritasi.

Tabel 19 Formula produk krim dengan penambahan ekstrak jarak pagar


Bahan

Formula (% bobot)
I (kontrol)

II

III

IV

Zat antimikroba - metil paraben

0,0

0,1

0,1

0,0

Zat antimikroba - propel paraben

0,0

0,1

0,1

0,0

zat antioksidan - BHT

0,0

0,0616

0,0

0,0616

Ekstrak antioksidan

0,0

0,0

0,0641

0,0

76

Ekstrak antimikroba

0,0

0,0

0,0

1,25

Penambahan ekstrak antioksidan dilakukan pada suhu 55-60oC yaitu pada


fase air, sedangkan ekstrak antimikroba ditambahkan pada suhu 50oC yaitu pada
fase lemak untuk mendapatkan kelarutan yang lebih baik. Produk krim hasil
formulasi dianalisa nilai pH, aktivitas antioksidan, cemaran mikroba serta
disimpan pada suhu 37oC selama 30 hari untuk melihat kestabilan penyimpanan.
Produk krim hasil formulasi juga dianalisa sifat toksisitasnya yaitu tingkat iritasi
terhadap kulit.
Nilai pH produk krim yang dihasilkan berkisar 6,19 6.34, nilai tersebut
masih memenuhi standar SNI produk krim yang disyaratkan. Penambahan ekstrak
antimikroba sebanyak 1,25% berhasil mendapatkan nilai pH produk mendekati
formula kontrol dan formula komersial.
Uji aktivitas antioksidan produk krim menunjukan penambahan ekstrak
antioksidan sebesar 0.064% dapat meningkatkan aktivitas antioksidan sebesar
21% dibanding formula kontrol (tanpa penambahan bahan pengawet). Akan tetapi
peningkatan ini masih lebih rendah dibanding formula I yang menggunakan
pengawet komersial (BHT, MP, PP). Adapun krim formula III yang ditambah
ekstrak antimikroba sebesar 1,25% menunjukkan aktivitas antioksidan yang
sangat tinggi (Gambar 20). Dengan konsentrasi larutan pengujian yang 10 kali
lebih kecil dibanding formula lain masih menunjukkan aktivitas paling tinggi
yaitu sebesar 92,67%. Tingginya aktivitas antioksidan ini lebih disebabkan oleh
tingginya konsentrasi ekstrak antimikroba dalam sampel yaitu 1,25%, dimana
ekstrak tersebut juga memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi.

Gambar 20 Histogram pengaruh formulasi ekstrak jarak terhadap aktivitas

77

antioksidan krim
Uji total mikroba menunjukkan bahwa pada awal penyimpanan diperoleh
total mikroba tertinggi dimiliki oleh formula II yaitu sebesar 1,3 x 104 (Gambar
21). Total mikroba terendah dimiliki oleh formula III yaitu sebesar 2,0 x 103.
Adapun setelah dilakukan penyimpanan selama 30 hari pada suhu 37oC, total
mikroba tertinggi dimiliki oleh krim kontrol yaitu sebesar 6,1 x 104. Produk krim
formula kontrol yang disimpan menunjukkan pertumbuhan mikroba pada hari ke12, sedangkan pada ketiga formula lainnya tidak.

Gambar 21 Histogram pengaruh formulasi ekstrak jarak terhadap total mikroba

78

Gambar 22 Produk krim yang terkontaminasi mikroorganisme


Produk krim yang merupakan sediaan perawatan kulit berpotensi
terkontaminasi mikrooganisme karena di dalam formulanya terdapat air dan
bahan-bahan lain yang dapat dirusak mikroorganisme. Pada Gambar 22 disajikan
produk

krim

kontrol

(tanpa

penambahan

pengawet)

yang

ditumbuhi

mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam produk selain dipengaruhi


oleh kandungan bahan pengawet, juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
seperti kadar padatan, aktivitas air, pH, suhu serta kandungan oksigen. Untuk
mengontrol pertumbuhan mikrorganisme pada produk kosmetik maka dalam
produk ditambahkan pengawet berupa zat antimikroba seperti benzil alkohol,
asam borat, asam sorbat, chlorhexidine, formaldehid, paraben, senyawa amonium
quartener, phenol, senyawa imidazolidinil dll (Brannan 2006).

4.6 Uji Toksisitas Kulit


Uji toksisitas perlu dilakukan untuk mengetahui keamanan penggunaan
bahan baru di dalam formula kosmetik. Beberapa data keamanan diperlukan untuk
aplikasi kosmetik yang memanfaatkan bahan baku yang termasuk baru seperti
ekstrak tanaman. Pengujian bahan sebagai bahan baku kosmetik antara lain
meliputi uji toksisitas akut, uji iritasi kulit primer, uji iritasi kulit kumulatif, uji
sensitisasi, uji iritasi mata, uji mutagenik dan juga uji patch test pada manusia.
Uji toksisitas kulit yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji iritasi
primer. Pengujian ini menggunakan 4-6 ekor kelinci jantan New Zealand dengan
bobot 1.5-2 kg. Uji tingkat iritasi kulit dilakukan terhadap ekstrak jarak serta
produk krim yang mengandung ekstrak jarak pagar dengan menggunakan teknik
Draize test yang umum digunakan untuk mendefinisikan iritant lokal utama
sebagai senyawa yang menghasilkan reaksi radang kulit.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fraksi etil asetat daun jarak dengan
dengan konsentrasi 0,1% 1,25% tidak menyebabkan perubahan reaksi kulit (PII
= 0), sedangkan konsentrasi 2,5% menyebabkan reaksi peradangan berupa eritema
dan menghasilkan nilai PII sebesar 0,25 (Tabel 20). Adapun fraksi metanol daun
jarak pagar dengan konsentrasi 0,064% - 1% tidak menghasilkan reaksi iritasi
kulit (PII = 0).

79

Tabel 20 Hasil Primary Skin Irritation Testing


Bahan uji
Respon reaksi kulit*
Fraksi etil asetat
0,1%
( 0 + 0 )/4
0,5%
( 0 + 0 )/4
1,25%
( 0 + 0 )/4
2,50%
( 1 + 0 )/4
Fraksi metanol
0,064%
( 0 + 0 )/4
0,1%
( 0 + 0 )/4
0,5%
( 0 + 0 )/4
1%
( 0 + 0 )/4
Produk krim
Krim tanpa pengawet
( 0 + 0 )/4
Krim dg pengawet komersial
( 0 + 0 )/4
Krim dengan fraksi metanol 0,064%
( 1 + 0 )/4
Krim dengan fraksi etil asetat 1,25%
( 5 + 0 )/4
Ekstrak daun jarak
Ekstrak kasar (1:1)
( 5 + 0 )/4
Fraksi metanol (1:1)
( 0 + 0 )/4
Fraksi etil asetat (1:1)
( 9 + 0 )/4
Kontrol positif (SDS 20%)
(21 + 0 )/4

Nilai PII
0
0
0
0,25
0
0
0
0
0
0
0,25
1,25
1,25
0
2,25
5,25

Keterangan: Respon reaksi kulit*: (Jumlah maksimal score eritema dan pembentukan kerak +
jumlah maksimal score edema)/Jumlah kelinci

Pengujian sifat iritasi terhadap produk krim memperoleh hasil bahwa


produk krim yang mengandung fraksi etil asetat sebesar 1,25% menunjukkan
reaksi eritema dan menghasilkan PII sebesar 1,25 (produk bersifat iritasi ringan),
begitu juga produk krim dengan penambahan fraksi metanol sebesar 0,064% juga
menunjukkan reaksi eritema meskipun dengan nilai PII lebih rendah yaitu 0,25
(iritasi lemah).
Pada pengujian ekstrak daun jarak, ekstrak kasar menghasilkan reaksi
iritasi ringan (PII = 1,25), fraksi metanol tidak menghasilkan reaksi iritasi (PII=0),
sedangkan fraksi etil asetat juga menghasilkan iritasi ringan dengan PII cukup
tinggi yaitu 2,25. Kontrol positif yang digunakan yaitu Sodium Dedocyl Sulfat
(SDS) 20% menghasilkan tingkat iritasi parah/berat (PII = 5,25).
Produk krim dengan penambahan fraksi etil asetat sebesar 1,25% sebagai
zat antimikroba menyebabkan iritasi ringan (PII 1,25). Senyawa-senyawa aktif
dalam fraksi etil asetat teridentifikasi dapat menyebabkan reaksi iritasi kulit,
meskipun pada konsentrasi yang sama fraksi etas dalam bentuk larutan ekstrak

80

hanya menyebabkan iritasi yang bisa diabaikan (PII 0,25). Hal ini menunjukkan
bahwa bentuk sediaan aplikasi mempengaruhi tingkat iritasi. Bentuk krim yang
padat dapat meningkatkan penetrasi pada kulit dibandingkan bentuk larutan
karena bahan dapat menempel lebih lama pada kulit. Selain itu adanya interaksi
senyawa dalam ekstrak dengan senyawa lain dalam formula kosmetik juga
memungkinkan untuk menimbulkan reaksi iritasi.
Fraksi etil asetat ekstrak daun jarak pagar menunjukkan tingkat iritasi yang
cukup besar. Hal ini disebabkan karena senyawa-senyawa dalam fraksi tersebut
memiliki sifat toksik/iritasi antara lain senyawa benzeneethanol, senyawa fenol
serta senyawa terpen.
Senyawa diterpen yaitu ester forbol merupakan senyawa toksik jarak pagar
yang bersifat mengiritasi kulit. LD50 pada mencit jantan adalah 27.34 mg/kg berat
badan. Adolf et al. (1984) mengkaji tingkat iritasi turunan senyawa forbol dari
empat species Jatropha dengan menggunakan prosedur distribusi kromatografi
dan countercurrent. Komponen dengan tingkat iritasi tinggi yang diisolasi dari
jarak pagar adalah senyawa ester forbol (12-deoxy-16-hydroxyphorbol). Iritasi
kulit yang teridentifikasi pada larutan fraksi etil asetat ekstrak daun jarak serta
produk krim yang mengandung ekstrak tersebut dapat disebabkan oleh kandungan
ester forbol.
Gejala

toksisitas

jarak

pagar

tergantung

pada

jenis

ekstrak,

dosis/kosentrasi, cara pemberian/cara aplikasi serta sensitivitas hewan yang


digunakan. Fraksi toksik dari minyak jarak pagar yang diaplikasikan pada kulit
kelinci dengan dosis 100l menunjukkan reaksi eritema dan edema, yang
kemudian menjadi nekrosis dan teregenerasi. Skor eritema dan edema yang
dihasilkan adalah 5,83 dari total skor 8, adapun aplikasi minyak jarak pagar
menghasilkan skor iritasi 0,58. Fraksi toksik yang sama yang diaplikasikan pada
mencit dengan dosis 50 l menunjukkan pembengkakan wajah, mata berdarah,
diare dan eritema kulit sebelum terjadi kematian. Sedangkan aplikasi pada kulit
tikus (4 jam) pada dosis 50 l menunjukkan edema dan eritema yang kemudian
menyebabkan scaling/pembentukan kerak yang parah dan terjadi penebalan kulit
(Gandhi et al., 1995).

81

Beberapa

komponen

dalam

kosmetik

memang

dapat

berpotensi

mengiritasi kulit antara lain zat pengawet (zat antimikroba), antioksidan, pewangi,
pewarna dan pelindung UV. Pada penelitian produk krim yang menggunakan
pengawet komersial tidak menghasilkan reaksi iritasi kulit, sama dengan produk
krim yang tidak menggunakan bahan pengawet. Hal ini menunjukkan bahwa
bahan pengawet komersial cukup aman. Sebagaimana dilaporkan oleh FDA, pada
tahun 1984, The Cosmetic Ingredient Review (CIR) telah mengkaji keamanan
penggunaan bahan pengawet paraben. Disimpulkan bahwa bahan tersebut aman
digunakan dalam produk kosmetik hingga level 25%. Umumnya paraben
digunakan pada rentang konsentrasi 0,01 0,3%. Hingga saat ini kajian tentang
keamanan pengawet paraben telah dilakukan beberapa kali dan hasilnya masih
belum berubah tentang keamanannya.
Mitsui (1997) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi respon
kulit dalam pengujian iritasi kulit. Pertama adalah bahan uji yang meliputi sifat
fisikokimia, kemurnian, pelarut/pengencer dan konsentrasi. Kedua adalah faktor
biologi seperti faktor genetik, jenis kelamin, umur dan kondisi kulit. Faktor ketiga
adalah kondisi lingkungan seperti cuaca, suhu dan kelembaban, dan faktor
keempat adalah aplikasi dan penggunaan seperti frekuensi, kondisi penanganan,
periode aplikasi dan penggunaan. Dalam pengujian tingkat iritasi kulit ini faktor
kedua hingga keempat diasumsikan sama, sehingga hasil hanya dipengaruhi oleh
sifat bahan.
Beberapa bahan dalam formulasi produk kosmetik seperti surfaktan
maupun pengawet memang berpotensi untuk mengiritasi kulit. Oleh karena itu
dalam beberapa formula ditambahkan zat anti iritasi yang dapat mengurangi
tingkat iritasi seperti penambahan alantoin dalam formula produk krim ini. Selain
itu dapat juga digunakan bahan-bahan alam yang dapat mengurangi tingkat iritasi
seperti jus gel lidah buaya dan sejenis lumut irish moss sebagaimana dilaporkan
dalam US Patent No. 6.485.711.

4.7 Uji Sifat Alergi


Uji sifat alergi ekstrak jarak pagar pada penelitian ini dilakukan
menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Prinsip

82

pengujian ELISA adalah reaksi antara antibodi dan antigen, dimana reaksi yang
terbentuk diamati berdasarkan perubahan warna yang terjadi pada substrat
pereaksi sesuai dengan konjugat enzim/label yang digunakan.
Tehnik ELISA yang digunakan adalah metode Sandwich, yaitu ekstrak
jarak pagar diikat oleh 2 molekul Ab serum subjek penderita alergi (IgE) sehingga
membentuk lapisan seperti sandwich. Banyaknya IgE yang mengikat ekstrak
dideteksi menggunakan Ab sekunder yang berkonjugasi dengan enzim HRP.
Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 100 g/well (200 g/ml, 50 l/well),
sedangkan serum subjek langsung dilapiskan pada lempeng tanpa pengenceran
dengan pertimbangan konsentrasi IgE dalam serum yang cukup rendah.
Pada tahap awal pengujian dilakukan deteksi IgE dalam serum subjek.
Serum subjek dilapiskan dalam lempeng mikrotiter. Adanya IgE dalam serum
dideteksi dengan IgG kelinci anti IgE manusia, dan IgG kelinci dideteksi dengan
anti IgG kelinci yang terkonjugasi dengan HRP. Hasil deteksi IgE dalam serum
subjek disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23 Hasil deteksi IgE dalam serum darah subjek

Tiga dari enam serum terbukti positif mengandung IgE (Nilai OD lebih
besar dari blanko/kontrol negatif) dan digunakan lebih lanjut untuk pengujian
ekstrak jarak pagar. Tiga serum terpilih adalah serum A, serum W dan serum S,

83

dimana 2 dari 3 subjek berdasarkan hasil wawancara memiliki alergi terhadap


produk jarak pagar.
Pada pengujian alergenitas ekstrak jarak pagar, ekstrak jarak pagar
ditambahkan pada sumur mikrotiter yang telah berisi IgE serum subjek. Setelah
penambahan ekstrak, serum sebagai sumber IgE ditambahkan kembali ke dalam
sumur sehingga akan terbentuk komplek antigen antibodi dalam sistem sandwich.
Keberadaan komplek tersebut dideteksi dengan antibodi sekunder IgG kelinci anti
IgE manusia dan anti IgG kelinci yang terkonjugasi dengan HRP (Horseradish
Peroxidase). Hasil uji alergenitas ekstrak jarak pagar disajikan pada Gambar 24.

(a)

(b)
Gambar 24 Hasil ELISA penentuan alergenitas ekstrak jarak pagar
(a) pengenceran 1:100, (b) pengenceran 1:300

84

Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak bungkil jarak dan kulit


batang bersifat alergen bagi subyek A dan S, sedangkan bagi subjek W, ekstrak
bungkil tidak bersifat alergen yang terlihat dari nilai OD. Semakin besar nilai OD
berarti semakin banyak komplek yang terbentuk, sementara komplek yang
terbentuk menunjukan kandungan IgE dalam serum yang bereaksi dengan ekstrak
jarak pagar.
Maciel et al. (2009) melaporkan alergen dari biji jarak pagar yaitu berupa
protein 2S albumin yang dinotasikan dengan Jat c 1. Senyawa ini dapat berikatan
dengan IgE yang terikat pada sel mastosit yang dapat memicu pelepasan histamin
dalam uji PCA (passive cutaneus anaphylaxis) dan uji degranulasi sel mastosit
secara in vitro. Senyawa tersebut juga menunjukkan reaktivitas silang dengan
alergen utama pada biji jarak kepyar Ric c1 dan Ric c3. Senyawa alergen dalam
biji jarak pagar tersebut kemungkinan juga yang menyebabkan reaksi positif sifat
alergenitas dari ekstrak bungkil jarak pagar.
Dari ketiga bagian tanaman jarak pagar, kulit batang tanaman jarak
menunjukkan sifat alergi yang paling positif (nilai OD paling tinggi). Hal ini
dapat mungkin disebabkan oleh kandungan senyawa kimianya yang berpotensi
menyebabkan alergi seperti jatrocurcin. Naengchomnong et al. (1994) melaporkan
kandungan tetrasiklik triterpen ester jatrocurcin dalam kulit batang tanaman jarak
pagar. Curcin merupakan toxalbumin yang utamanya ditemukan pada biji jarak
pagar, juga pada buah dan getah.
Senyawa-senyawa yang merupakan antigen/alergen umumnya adalah
senyawa protein, polisakarida, glikoprotein maupun lipoprotein baik dari bahan
hewani atau nabati. Alergen juga dapat berupa hapten atau senyawa molekul kecil
yang membentuk komplek dengan protein. Alergen memiliki 2 sifat utama, yaitu
memiliki kemampuan untuk merangsang pembentukan antibodi dan kemampuan
untuk bereaksi secara spesifik dengan antibodi tersebut dan atau jaringan yang
berhubungan. Adapun dari sudut pandang secara kimia, alergen harus memiliki
permukaan dimana antibodi dapat membentuk permukaan yang saling
melengkapi, harus memiliki urutan asam amino yang dapat berikatan dengan
MHC-II, energi bebas untuk proses interaksi antara alergen dan antibodi harus
mencukupi untuk memastikan terjadinya pengikatan pada konsentasi rendah dan

85

alergen harus membentuk paling sedikit 2 epitop yang bisa beraksi sebagai
jembatan yang menghubungkan 2 molekul antibodi (Blumenthal dan Rosenberg
2004).

86

V. SIMPULAN DAN SARAN


5. 1 Simpulan
Fraksi polar dari ekstrak metanol daun jarak pagar berpotensi sebagai zat
antioksidan dengan aktivitas peredaman DPPH 89,42%, kandungan total fenol
32,760,58 mg asam tanat/g bk ekstrak dan tidak teridentifikasi senyawa toksik
ester forbol. Sedangkan fraksi etil asetat dari ekstrak yang sama berpotensi
sebagai zat antimikroba dengan diameter penghambatan terhadap S.aureus 12,50
mm, dengan kandungan total fenol 88,5310,89 mg asam tanat/g bk ekstrak.
Senyawa kimia yang teridentifikasi dalam fraksi metanol ekstrak daun antara
lain 1 senyawa fural, 1 senyawa alkaloid, 1 senyawa piran dan 1 nicotinamida.
Dalam fraksi etil asetat ekstrak daun teridentifikasi 1 senyawa terpene, 6 senyawa
fenol, 3 senyawa alkaloid, 1 senyawa glikosidan dan 5 senyawa ester. Senyawasenyawa tersebut berasal dari metabolisme tanaman dan produk turunannya yang
timbul akibat proses penyiapan ekstrak.
Formulasi produk krim dengan penambahan fraksi etil asetat 1,25% sebagai
substitusi metil paraben dan propil paraben merupakan formula terbaik yang
memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dan nilai cemaran mikroba terendah.
Formulasi produk krim dengan penambahan fraksi metanol daun jarak 0,064%
sebagai substitusi BHT memiliki aktivitas antioksidan yang lebih rendah dari
formula komersial.
Penggunaan fraksi metanol daun jarak pagar sebagai antioksidan dalam
formula produk krim masih mungkin untuk ditingkatkan konsentrasinya karena
fraksi ekstrak ini dalam bentuk larutan 0,064%-1% dan pengenceran 1:1 (50%)
tidak menyebabkan reaksi iritasi kulit, dan diklasifikasikan sebagai bahan non
irritant. Larutan fraksi etil asetat daun jarak dengan konsentrasi 1,25% tidak
menyebabkan reaksi iritasi kulit (PII=0), sedangkan konsentrasi 2,5% dapat
menyebabkan iritasi lemah (PII=0,25) dan dengan pengenceran 1:1 menyebabkan
iritasi ringan (PII=2,25). Ekstrak kasar daun jarak pagar juga menyebabkan iritasi
kulit ringan (PII 1,25). Hasil uji sifat alergenitas ekstrak jarak pagar menggunakan
IgE manusia menunjukkan bahwa ketiga ekstrak kasar (daun, bungkil, kulit
batang) bereaksi positif dengan IgE serum subyek dan berpotensi menyebabkan
reaksi alergi.

88

5.2 Saran
Proses fraksinasi dengan partisi pelarut telah berhasil mendapatkan fraksi
ekstrak terpilih sebagai zat antimikroba dan zat antioksidan. Meskipun demikian
fraksi etil asetat ekstrak daun masih memiliki hambatan penggunaan dalam
produk kosmetik karena pada konsentrasi 2,5% menyebabkan reaksi iritasi kulit.
Oleh karena itu diperlukan kajian lanjut teknik pemisahan fraksi aktif yang bisa
meningkatkan khasiat/aktivitas dan menghilangkan senyawa toksik.
Aspek keamanan penggunaan ekstrak/fraksi ekstrak jarak pagar sebagai
ingredient baru dalam kosmetik masih perlu dikaji lebih luas seperti kajian
toksisitas akut, iritasi kulit kumulatif, iritasi mata, dan uji mutagenik serta uji
sensitisasi. Pengujian sifat alergi fraksi ekstrak masih perlu dilanjutkan untuk
mengidentifikasi senyawa allergen pada ekstrak/fraksi ekstrak jarak pagar.

DAFTAR PUSTAKA
Aderibigbe, A.O., C.O.L.E. Johnson, H.P.S. Makkar, K. Becker, dan N. Foidl.
1997. Chemical composition and effect of heat on organic matter and
nitrogen degradability and some antinutritional components of Jatropha
meal. Animal Feed Sci Technol 67: 223-243.
Adolf, W. H. J. Opferkuch dan E. Hecker. 1984. Irritant phorbol derivatives from
four Jatropha species [Abstract]. Phytochem, 129-132.
Ahmed, W.A dan Salimon, J. 2009. Phorbol ester as a toxic constituents of
tropical Jatropha curcas Seed Oil. Eur J Sci Research 31(3): 429-436.
Aiyelaagbe, O.O., B.A. Adeniyi, O.F. Fatunsin dan B.D. Arimah. 2007. In vitro
antimicrobial activity and phytochemical analysis of Jatropha curcas roots.
Int J Pharmacol 3(1): 106-110.
Akinpelu, D., O.A. Aiyegoro dan A.I. Okoh. 2009. The bioactive potentials of
two medicinal plants commonly used as folkore remedies among some
tribes in west africa. African J Biotechnol 8(8): 1660 1664.
Aregheore, E.M., Becker, K., Makkar, H.P.S. 2003. Detoxification of a toxic
variety of Jatropha curcas using heat and chemical treatments, and
preliminary nutritional evaluation with rats. S Pac J Nat Sci 21: 50-56.
Arshad, S.H., S.T. Holgate, N.F. Adkinson dan K.S. Babu. 2005. Allergy : An
Atlas of Investigation and Management. Taylor & Francis Ltd, Boca Raton
FL, USA.
Bailey, ME dan Won Um K. 1992. Maillard reaction and lipid oxidation. Di
Dalam: Angelo AJS. Lipid Oxidationin Food. ACS Symposium series. New
York: August 25-30.
Balasundram, N., K. Sudram dan S. Samman. 2006. Phenolic compounds in
plants and agri-industrial by-products: Antioxidant activity, occurrence, and
potential uses. Food Chem 99:191-203.
Baratawidjaja, K.G. 2006. Imunologi Dasar Edisi 7. Balai Penerbit, Fakultas
Kedokteran Univ. Indonesia, Jakarta.
Barel, AO. 2001. General concepts of skin irritancy and anti-irritant products. Di
Dalam: Paye, M., A.O. Barel dan H.I. Mailbach, editor. HandBook of
Cosmetic Science and Technology. Marcel Dekker Inc, New York.
Barile, F.A. 2007. Principles of Toxicology Testing. CRC Press Taylor and
Francis Group, New York.
Basketter, D.A. 2008. Skin immunology and sensitisation. Di dalam: Chilcott, R.P
dan Price, S., editor. Principle and Practice of Skin Toxicology. John Wiley
and Sons, Ltd, England.
Bellanti, J.A. 1978. Immunology II. W.W. Saunders Comp, London.
Beutler, J.A., A.B. Ada, T.G. McCloud, dan G.M. Cragg. 1989. Distribution of
phorbol ester bioactivity in the euphorbiaceae. Phytother Res 3:188-192.

90

Blumenthal, M.N. dan Rosenberg, A. 2004. Definition of an Allergen


(Immunobiology). Di Dalam Lockey, R.F., S.C. Bukantz dan J. Bousquet,
editor. Allergens and Allergen Immunotherapy, Third Edition, Revised and
Expanded. Marcel Dekker Inc, New York.
Bonilla, F., M. Mayen, J. Merida dan M. Medina. 1999. Extraction of phenolic
compounds from red grape marc for use as food lipids antioxidants. Food
Chem 66:209-215
Brannan, D.K. 2006. Biology of Microbes. Di Dalam: Geis, P.A., editor.
Cosmetics Microbiology: A Practical Approach, Second Edition.
Taylor&Francis Group. New York.
Briger. 1969. A Laboratory Manual for Modern Organik Chemistry. Harver and
Row Publiser, New York.
Budryn, G., E. Nebesny, A. Podsedek, D. Zyzelewicz, M. Matersks, S. Jankowski
dan B. Janda. 2009. Effect of different extraction methods on the recovery
of chlorogenic acids, caffeine and Maillard reaction products in coffee
beans. Eur Food Res Technol 228: 913-922.
Burke, K.E. 2006. Topical nutritional antioxidants. Di Dalam: Draelos, Z.D. dan
Thaman, L.A., editor. Cosmetic Formulation of Skin Care Products.
Taylor&Francis, New York.
Can-Ake, R., Gilda, E.R., Filogonio, M.P., and Luis, M.P. 2004. Bioactive
terpenoids from roots and leaves of Jatropha gaumeri. Rev Soc Qum Mx
48: 11-14.
Capuano, E., G. Garofalo, A. Napolitano, H. Zielinski dan V. Fogliano. 2010. Rye
flour extraction rate effects Maillard reaction development, antioxidant
activity, and acrylamide formation in bread crisps. Cereal Chem Mar/Apr
2010; 87.2
Chan-Bacab, M. J. dan L. M. Pena-Rodrguez. 2001. Plant natural products with
leishmanicidal activity. Nat Prod Rep 18:674688.
Draize, T.H., G. Woodland, dan H.O. Calvey. 1944. Methods for the study of
irritation and toxicity of substances applied topically to the skin and
mucous membranes. J Pharmacol Exp Ther 82:377-390.
Diwani, G., S. El Rafie dan S. Hawash. 2009. Protection of biodiesel and oil from
degradation by natural antioxidants of Egyptian Jatropha [Abstract]. Intl J
Environ Sci Technol. Diakses pada Juli 2009.
Evans, F.J. 1986. Naturally occurring phorbol esters. CRC Press, Boca Raton, FL.
Fardiaz, S. 1989/7. Penuntun Praktik Mikrobiologi Pangan. Bogor: Lembaga
Sumber Daya Informasi, IPB.
Frankel, E.N., T.S. Gracia, A.S. Meyer dan J.B. German. 2002. Oxidative
Stability of fish and algae oils containing long-chain polyunsaturated fatty
acids in bulk and in oil-in-water emulsions. J Agric Food Chem 50:20942099.

91

Gandhi, V.M., Cherian, K.M., Mulky, M.J., 1995. Toxicological studies on


Ratanjyot oil. Food Chem Toxicol 33 (1): 3942.
Garriga, M., M. Hugas, T. Aymerich dan J. M. Monfort. 1993. Bacteriocinogenic
activity of Lactobacili from fermentation sausage. J App Microbiol 7: 142148.
Goel, G., H.P.S. Makkar, G. Francis d K. Becker. 2007. Phorbol esters: Structure,
biological activity and toxicity in animal. Intl J Toxicol 26:279288.
Goossens, A.E. Allergy and hypoallergenic products. Di Dalam: Paye, M., A.O.
Barel dan H.I. Maibach, editor. HandBook of Cosmetic Science and
Technology. Marcel Dekker Inc, New York.
Gordon, M.H. 1990. The Mechanism of antioxidant action in vitro. Di dalam:
Hudson BJF, editor. Food Antioxidant. London. Elsevier Appl. Science.
Gubitz, G.M., M. Mittelbach, dan M. Trabi. 1999. Exploitation of the tropical oil
seed plant Jatropha curcas L. Bioresource Technol 67: 73-82.
Hambali, Erliza, Ani Suryani, Dadang, Hariyadi, Hasim .H., Iman .K.R., Mira
Rivai, M. Ihsanur, P. Suryadarma, S. Tjitrosemito, T.H. Soerawidjadja, T.
Prawitasari, T. Prakoso dan Wahyu Purnama. 2006. Jarak Pagar Tanaman
Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya. Jakarta.
Haas, W., H.Sterk, M. Mittelbach. 2002. Novel 12-deoxy-16-hydroxyphorbol
diesters isolated from the seed oil of Jatropha curcas. J Nat Prod 65: 1434
1440.
Haas, W., dan M. Mittelbach. 2000. Detoxification experiments with seed oil
from Jatropha curcas L. Inds. Crop Prod 12:111118.
Harborne, J.B. 1999. Classes and functions of secondary products from plants. Di
dalam: N.J. Walton dan D.E. Brown. Chemicals from Plants, Perspectives
on Plant Secondary Products. Imperial College Press, London.
Harborne, JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Padmawinata K & Sudiro I, penerjemah; Bandung, ITB.
Terjemahan dari : Phytochemical Methods.
Hawrylowicz, C.M. dan OGarra, A. 2005. Potential role of Interleukin-10secreting regulatory T cells in allergy and asthma. [Review]. Nature
ReviewsImmunology
April
2005
Volume
5:271-283.
www.nature.com/reviews/ immunol. [Mei 2011]
Henning, K. 1997. Fuel production improves food production: the jatropha project
in Mali. Di dalam: Gubitz, G.M., Mittelbach, M., Trabi, M., editor. Biofuels
and Industrial Products from Jatropha Curcas. pp: 92-97. DBV Graz.
Hiraga, Y., K. Taino, M. Kurokawa, R. Takagi dan K. Ohkata. 2010. (-)-Loliolide
and other germination inhibitory active constituents in Equisetum Arvense
[Abstract]. http://www.informaworld.com. [Desember 2010].
Hogan, D.J. 2009. Contact Dermatitis, Irritant. eMedicine Dermatology [artikel].
www.emedicine.medscape.com. [Desember 2010].

92

Houghton, P.J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation
of Natural Extract. Chapman and Hall, London. .
Hundsdoerfer, A. K., J. N. Tshibangu1, B. Wetterauer, dan T. Wink. 2005.
Sequestration of phorbol esters by aposematic larvae of Hyleseuphorbiae
(Lepidoptera:Sphingidae). J Chemoecology 15:261267.
Igbinosa, O.O., E.O. Igbinosa dan O.A. Aiyegoro. 2009. Antimicrobial activity
and phytochemical screening of stem bark extracts from Jatropha curcas
(Linn). African J Pharmacy Pharmacol 3(2) : 058-062.
Jadhav, S.J., S.S. Nimbalkar, A.D. Kulkarni, D.L. Madhavi. 1996. Lipid oxidation
in biological and food systems. Di Dalam: Madhavi, D.L., S.S. Deshpande
dan D.K. Salunkhe, editor. Food Antioxidant, Technological, Toxicological,
and Health Perspectives. Marcel Dekker Inc, New York.
Javanmardi, J., C. Stushnoff, E. Locke, dan J.M. Vivanco. 2003. Antioxidant
activity and total phenolic content of Iranian Ocium Accessions. J Food
Chem 83:547-550
Jung Ok Ban, I.G. Hwang, T.M. Kim, B.Y. Hwang, U.S.Lee, H.S. Jeong, Y.W.
Yoon, D.J. Kim dan J.T. Hong. 2007. Anti-proliferate and pro-apoptotic
effects of 2,3-Dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl-4H-pyranone through
inactivation of NF-B in human colon cancer cells. Arch Pharm Res
30(11): 1455-1463.
Kochhar, S.P. dan Ressel, B. 1990. Detection, estimation and evaluation of
antioxidants in food system. Di Dalam: Hudson, B.J.F., editor. Food
Antioxidants. Elsevier Applied Science, London.
Kumar, P.P., S. Kumaravel dan C. Lalitha. 2010. Screening of antioxidant
activity, total phenolics and GC-MS study of Vitex negundo. African J
Biochem Res 4(7): 191-195.
Lanigan, R.S. dan Yamarik, T.A. 2002. Final report on the safety assessment of
Int J Toxicol. 21 Suppl 2:19-94.
BHT(1). [Abstrak].
www.ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/12396675. [4 Juli 2011]
Liyana-Pathiranan, CM dan Shahidi, F. 2005. Antioxidant activity of commercial
soft and hard wheat (Triticum aestivum L) as affected by gastric pH
conditions. J Agric Food Chem 53: 2433-2440.
Loomis, TA. 1978. Essential of Toxicology, ed ke-3. Philadelpia: lea nd Febiger.
Maciel, F.M., M.A. Laberty, N.D. Oliveira, S.P. Felix, A.M.S. Soares, M.A.
Vericimo dan O.L.T. Machado. 2009. A new 2S albumin from Jatropha
curcas L. seeds and assessment of its allergenic properties. Peptides 30:
2103-2107.
Mailbach, HI dan Watkins, S.A. 2009. The hardening phenomenon in irritant
contact dermatitis: Cosmetic Implication. Cosmetic and Toiletries [Artikel].
www.cosmeticandtoiletries.com. [Desember 2010].
Makkar, H.P.S., A.O. Aderibigbe, dan K.Becker. 1998. Comparative evaluation of
non-toxic and toxic varieties of Jatropha carcas for chemical composition,

93

digestibility, protein degradability and toxic factors. Food Chem 62(2):


207-215.
Makkar, H.P.S., dan K. Becker,. 1997. Jatropha curcas toxicity: Identification of
toxic principles: Di dalam Proceedings of the 5th International Symposium
on Poisonous Plants, San Angelo, Texas.
Makkar, HPS dan K. Becker. 2009. Jatropha curcas, a promising crop for the
generation of biodiesel and value-added coproducts [Review Article]. Eur J
Lipid Sci Technol 111: 773787.
Makkar, H.P.S., P. Siddhuraju dan K. Becker. 2007. Methods in Molecular
Biology, Vol. 393: Plant Secondary Metabolites. Humana Press Inc.,
Totowa NJ.
Mariod, A.A., R.M. Ibrahim, M. Ismail dan N. Ismail. 2009. Antioxidant activity
of the phenolic leaf extracts from Monechma ciliatum in stabilization of
corn oil. J Am Oil Chem Soc. Jan 87, 1; p: 35.
Martinez-Herrera, J., P. Siddhuraju, G. Francis, G. Davila-Ortiz, dan K. Becker.
2006. Chemical composition, toxic/antimetabolic constituents, and effects
of different treatments on their levels, in four provenances of Jatropha
curcas L. from Mexico. Food Chem 96:80-89.
Mentlein, R. 1986. The tumor promoter 12-O-tetradecanoyl phorbol 13-acetate
and regulatory diacylglycerols are substrates for the same carboxylesterase.
J Biol Chem 261:78167818.
Meskin, M. S., W. R. Bidlack, A. J. Davies, S. T. Omaye. 2002. Phytochemicals
in Nutrition and Health. CRC Press, London- New York.
Meessen, L.L., D. Navarro, S.Maunier, J.C. Sigoillot, J. Lorquin, M.Delattre, J.L.
Simon, M. Asther dan M. Labat. 2001. Simple phenolic content in olive oil
residues as a function of extraction systems. Food Chem 75: 501-507.
Mitsui, T. 1997. New Cosmetic Science. Elsevier Science BV, AmsterdamNetherlands.
Mujumdar, A.M, dan Misar, A.V. 2004. Antiinflammatory activity of Jatropha
curcas roots in mice and rats. J Ethnopharmacol 90: 1115.
Mwine, J.T. dan P.V. Damme. 2011. Why do Euphorbiaceae tick as medicinal
plants? A review of Euphorbiaceae family and its medicinal features. J
Med Plants Res 5(5): 652-662.
Nakamura, S., Kato, A., Kobayashi, K. 1992. Enhanced antioxidative effect of
avalbumin due to covalent binding of polysaccharide. J Agric Food Chem
40:2033-2037.
Neergaard, J.S., H.B. Rasussen, G.I. Stafford, J.Van Staden dan A.K. Jager. 2010.
Serotonin transporter affinity of ()-loliolide, a monoterpene lactone from
Mondia
whitei.
[Abstract].
http://resolver.scholarsportal.info
/resolve/02546299/v76i0003/593 [Desember 2010].

94

Naengchomnong, W., B. Tarnchompoo, dan Y. Thebtaranonth. 1994. (+)Jatropha, (+)-marmesin, propacin and jatrophin from the roots of Jatropha
curcas (Euphorbiaceae). J Sci Soc Thailand 20: 73-83.
Nicoli MC, Anese M, Parpinel M. 1999. Influence of processing on the
antioxidant properties of fruit and vegetables. Trends Food Sci Technol
10:94100
Nurmillah, O.Y. 2009. Kajian Aktivitas Antioksidan dan Antimikroba Ekstrak
Biji, Kulit Buah, Batang dan Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas
L.). [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor.
Ogueke, C.C., J.N. Ogbulie, I.C. Okoli dan B.N. Anyanwu. 2007. Antibacterial
activities and toxicological potentials of crude ethanolic extracts of
Euphorbia hirta. J American Sci 3(3)
Okada, N., K. Shirata, M. Niwano, H. Koshino dan M. Uramoto. 2001.
Immunosuppressive activity of a monoterpene from Eucommia ulmoides
[Abtract]. Phytochemistry 37:281-282
OLenick, A.J. dan Siltech. 2010. Comparatively
Cosmetics&Toiletries
preservatives.
www.cosmeticsandtoiletries.com [Desember 2010].

speaking:

cosmetic
[artikel].

Oyi, A.R., J.A. Onaolapo, A.K. Haruna dan C.O. Morah. 2007. Antimicrobial
screening and stability studies of the crude extract of Jatropha curcas Linn.
latex (Euphorbiaceae). Nig J Pharm Sci 6(2): 14-20
Pase, G.A.P. 2009. Kajian aktivitas antimikroba sabun berbahan baku minyak
jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan penambahan khitosan. [Skripsi].
Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Peinado, J., N. Lopez de Lerma dan R.A. Peinado. 2010. Synergistic antioxidant
interaction between sugars and phenolics from a sweet wine [Abstract]. Eur
Food Res Technol Jul 2010 Vol. 231 Iss. 3; pg 363.
Pelczar, M. J., Chan, E. C. S. and Krieg, N. R. 1993. Microbiology Concepts and
Application. Mc Graw-Hill, Inc. New York.
Pratt, D. E. dan B.J.F. Hudson. 1990. Natural Antioxidants Not Exploited
Commercially. Elsevier applied Science, New York.
Prindle, R. F. 1983. Phenolic Compounds. Di Dalam: Block, S.S. editor.
Disinfection, Sterilization, and Preservation. 3rd. Lea and Febiger,
Philadelphia. Hal 197-210.
Rahayu, W. P. 1999. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak dan fraksi rimpang
lengkuas (Alpina galanga) terhadap mikroba patogen dan perusak pangan.
[Disertasi] Program Pasca Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Ring, J. 2005. Allergy in Practice. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Jerman.
Roitt, I.M. 1990. Pokok-Pokok Ilmu Kekebalan. Terjemahan. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.

95

Schmitt, W. H. 1996. Skin care products. Di Dalam Williiams, D. F. and W. H.


Schmitt, editor. Cosmetics and Toiletries Industry. 2nd Ed. Blackie
Academe and Profesional, London.
Schwarz, K., S.W. Huang, J.B. German, B. Tiersch, J. Hartmann dan E.N.
Frankel. 2000. Activities of antioxidants are affected by colloidal properties
of oil-in-water emulsions and bulk oils. J Agric Food Chem 48:4874-4882
Setyaningsih, D. 2010. Peningkatan nilai tambah produk jarak pagar melalui
pemanfaatan bungkil sebagai pakan ternak. Laporan Penelitian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Deptan.
Setyowati, Suparni. 2009. Unit Corn Mill. www.chem-is-try.org. (Juli 2009)
Siquet, F dan Devleeschouwer, M.J. 2001. Antibacterial agents and preservatives.
Di Dalam: Paye, M., A.O. Barel dan H.I. Maibach, editor. HandBook of
Cosmetic Science and Technology. Marcel Dekker Inc, New York.
SNI 01-2891. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Badan Standarisasi
Nasional. Jakarta.
Sriprang, S., N. Sripang, T.Sumpradit dan D. Shimbhu. 2007. Antibacterial
activities of crude extracts from Physic nut (Jatropha curcas L.) seed
residues. Short Report. ScienceAsia 36:346-348
Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu
Pendekatan Biometrik Edisi Kedua. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Steinberg, D.C. 2010. The impact of junk science on R&D: a review of the Dirty
Dozen. Cosmetics&Toiletries [artikel]. www.cosmeticsandtoiletries.com
[Desember 2010].
Suryadi, Y., I. Manzila dan M. Machmud. 2009. Potensi pemanfaatan perangkat
diagnostik ELISA serta variannya untuk deteksi patogen tanaman.
Tinjauan. J Agro Biogen 5(1):39-48
Suryani, A., I. Sailah, E. Hambali. 2002. Teknologi Emulsi. Jurusan Teknologi
Industri Pertanian, IPB. Bogor.
Tanaka, R dan Matsunaga, S. 1989. Loliolide and olean-12-en-3,9,11-triol
from Euphorbia supine. Abstract. http://www.sciencedirect.com
/scidirimg/faviconSD.ico. [Desember 2010].
Van Beek, T.A. 1999. Modern methods of secondary product isolation and
analysis. Di dalam: N.J. Walton dan D.E. Brown. Chemicals from Plants,
Perspectives on Plant Secondary Products. Imperial College Press,
London.
Waghmare, S.W., D.Y. Jadhav, J.S. Ghosh dan A.K. Sahoo. 2010.
Characterization of some antimicrobial substances from seed coat of
Tamarindus indica Linn. British J Pharmacol Toxicol 1(1): 29-32.
Weber, S.U., C. Saliou, L. Packer and J.K. Lodge. 2001. Antioxidants. Di Dalam:
Paye, M., A.O. Barel dan H.I. Maibach, editor. HandBook of Cosmetic
Science and Technology. Marcel Dekker Inc, New York.

96

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wong, D.W.S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. Van Nostrand
Reinhold, New York.
www. id.wikipedia.org/wiki/Fenol. [4 Juli 2011]
Yoshimura, Y., Iijuma, T., Watanabe, T dan Nakazawa, H. 1997. Antioxidative
effect of Maillard reaction products using glucose-glycine model system. J
Agric Food Chem 45: 4106-4109.
Zablotowitcz, R. M., R. E. Hoagland, S. C. Wagner. 1996. Effect of Saponin on
The Growth and activity of Rizophere Bacteria. CRC Press, USA.

97

Lampiran 1. Prosedur Analisa Bahan Baku


a. Kadar Air (SNI 01-2891-1992)
Sebanyak 2-5 sampel serbuk kering dimasukkan ke dalam cawan
alumunium yang telah diketahui bobotnya. Cawan yang berisi contoh kemudian
dikeringkan pada oven suhu 105oC selama 3 jam, setelah itu cawan didinginkan
dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot
tetap. Perhitungan :
Kadar air = w1 w2

x 100%

w1
Ket : w1 : Bobot sampel awal (g)
w2 : Bobot sampel akhir setelah dikeringkan (g)
b. Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)
Sebanyak 2-3 g contoh dimasukkan ke dalam sebuah cawan porselin
yang telah diketahui bobotnya. Untuk sampel bentuk cairan, contoh diuapkan
diatas penangas air sampai kering. Cawan yang berisi sampel selanjutnya
diarangkan diatas nyala pembakar, lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu
maksimum 550oC sampai pengabuan sempurna (sesekali pintu tanur dibuka
sedikit agar oksigen bisa masuk). Kemudian cawan didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Perhitungan :
Kadar Abu = w1 w2

x 100%

w
ket : w

: Bobot contoh sebelum diabukan (g)

w1

: Bobot contoh + cawan setelah diabukan (g)

w2

: Bobot cawan kosong (g)

c. Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992)


Sebanyak 1-2 g contoh dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang
dialasi dengan kapas. Selongsongan kertas berisi contoh tersebut disumbat
dengan kapas, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari
80oC selama kurang lebih satu jam, kemudian dimasukkan kedalam alat soxhlet
yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah

98

dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian diekstrak dengan heksan atau


pelarut lemak lainnya selama kurang lebih 6 jam. Kemudian heksan disulingkan
dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105oC. Labu
lemak didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan ulang hingga tercapai
bobot tetap. Perhitungan :
% Lemak =

w2 w1
x100 %
w

Ket : w

: Bobot contoh (g)

w1

: Bobot labu lemak kosong (g)

w2

: Bobot labu lemak setelah ekstraksi (g)

99

Lampiran 2. Prosedur Analisa Ekstrak dan Fraksi Ekstrak


a. Uji Aktivitas Antimikroba (Garriga et al., 1993)
Uji aktivitas antimikroba pada penelitian ini dilakukan melalui uji difusi
sumur. Uji difusi sumur ini dilakukan pada ekstrak hasil ekstraksi yang telah
dilarutkan dalam aquades dengan konsentrasi 25.000 ppm.
Kultur uji yang akan digunakan untuk uji difusi sumur disegarkan terlebih
dahulu dengan cara diambil satu ose, lalu ditumbuhkan pada media pertumbuhan
NB 5 ml dan diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Dibuat nutrient agar
sebanyak 700 ml, kemudian dituang ke cawan petri steril, dibiarkan membeku lalu
di ambil sebanyak 0.1 ml dari kultur yang telah disegarkan dan disebarkan ke
dalam agar tersebut dengan menggunakan batang penyebar. Setelah itu, dibuat
lubang atau sumur menggunakan alat pembuat sumur dengan diameter 6 mm.
Pada pengujian ini setiap cawan dibuat 4 lubang atau sumur dan diisi dengan
sampel. Cawan uji difusi sumur kemudian disimpan diinkubasi pada suhu 370C
selama 48 jam.
Setelah waktu inkubasi selesai, diamati zona atau diameter penghambatan
berupa areal bening disekitar sumur. Diameter penghambatan adalah selisih antara
diameter zona bening dengan diameter sumur. Pada masing-masing sampel
dilakukan pengujian aktifitas antimikroba terhadap dua jenis bakteri uji yaitu
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Areal bening disekitar koloni bakteri
menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan bakteri uji, semakin luas areal
bening menunjukkan semakin tinggi aktifitas antimikroba dari sampel tersebut.
Diameter penghambatan (mm) = diameter zona bening (mm) diameter sumur (mm)

b. Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode Efek Peredaman terhadap


Radikal Bebas DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhidrazil) (Liyana dan Shahidi
2005).
Prinsip pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH adalah
ketika larutan DPPH bercampur dengan senyawa yang dapat mendonorkan atom
hidrogen (zat antioksidan), maka DPPH akan tereduksi dan akan kehilangan
warna ungunya. Sebanyak 1 ml DPPH 0,135 mM dalam metanol dicampurkan
dengan 1 ml ekstrak dalam metanol yang berisi 0.1 mg ekstrak. Setelah itu

100

campuran disimpan diruang gelap pada suhu ruang selama 30 menit, kemudian
absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm.
BHT dan asam askorbat digunakan sebagai pembanding. Sebagai kontrol
disiapkan tanpa penambahan ekstrak sampel dan metanol digunakan sebagai
koreksi. Kapasitas antioksidan diekspresikan sebagai % peredaman dan dihitung
dengan rumus sebagai berikut.

c. Uji Total Fenol Metode Folin Ciocalteu (Kaur et al. 2008)


Sebanyak 0,1 ml cairan ekstrak dalam metanol (konsentrasi 0,1 mg
ekstrak/ml) diencerkan menjadi 1 ml dengan aquadest. Ke dalam larutan tersebut
ditambahkan 0,5 ml reagen Folin Ciocalteu, yang diikuti dengan penambahan 2
ml larutan Na2CO3 7,5%. Cairan kemudian divortex dan dibiarkan (diinkubasi)
selama 30 menit pada suhu 40oC. Absorbansi sampel diukur pada panjang
gelombang 760 nm. Absorbansi yang terbaca merupakan nilai y yang dimasukkan
ke dalam persamaan garis yang didapat dari pembuatan kurva standar asam tanat
konsentrasi 25-125 mg/L. Dengan demikian akan diperoleh kandungan total fenol
(nilai x) sampel yang dinyatakan sebagai mg ekuivalen asam tanat/g sampel
ekstrak. Perhitungan total fenol adalah sebagai berikut:
Total fenol (mg asam tanat/g ekstrak) =

d. Analisis Ester Forbol Metode HPLC (Modifikasi Ahmed and Salimon


2009).
Sejumlah sampel ekstrak dilarutkan dalam metanol dengan bantuan alat
sonikasi. Ekstrak terlarut kemudian dilewatkan dalam 0,2 m filter teflon atau
nylon dan diinjeksi (20 l) ke dalam HPLC. Peak ester forbol diidentifikasi
berdasarkan waktu retensi dari standar (phorbol-12-myristate 13-acetate).
Instrument yang digunakan adalah HPLC Shimadzu dengan Evaporator Light
Scattering (ELS) detector. Packed C18 Column 5m X120 4.6x250 mm.
Kondisi kerja yang digunakan adalah suhu 35oC, tekanan 2,2 bar, mobile phase

101

menggunakan asetone : asetonitril (20:80), laju alir 1 ml/min selama 30 menit.


Dengan metode tersebut, injeksi standar ester forbol menghasilkan peak pada
menit ke 3.96.

Phorbol ester

Kromatogram HPLC standar ester forbol (phorbol-12-myristate 13-acetate)

Konsentrasi ester forbol dalam sampel ditentukan dengan membandingkan


area ester forbol dalam sampel dengan area standarnya. Rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut:

Konsentrasi peak PE dalam standar yang digunakan adalah 100 g/ml


Dengan demikian, konsentrasi yang tidak diketahui dari peak PE dalam sampel,
U (g/ml) = (A1 x 100 g/ml)/S2
Konsentrasi ester forbol dalam sampel (mg/g) =

e. Identifikasi Senyawa Kimia dengan GC-MS


Identifikasi senyawa kimia dalam ekstrak terpilih dilakukan menggunakan
GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry) Agilent 19091S-433. Analisis
dilakukan di Puslabfor Mabes Polri Jakarta.

102

Lampiran 3. Prosedur Analisis Produk Krim


a. Analisa pH (SNI 16-4399-1996)
Sampel sebanyak 1 g ditimbang dan dilarutkan dengan 10 ml aquadest
di dalam tabung reaksi dan didiamkan selama 30 menit. Kemudian diukur
derajat keasamannya dengan pH meter.
b. Stabilitas Emulsi/Stabilitas Produk (Bennet, 1974)
Sampel bahan emulsi dimasukkan ke dalam wadah dan ditimbang
beratnya. Wadah dan bahan tersebut dimasukkan dalam oven dengan suhu
45C selama 1 jam kemudian dimasukkan ke dalam pendingin bersuhu di
bawah 0C selama 1 jam dan dikembalikan lagi ke dalam oven suhu 45C
selama 1 jam. Pengamatan dilakukan terhadap kemungkinan terjadinya
pemisahan air dari emulsi. Bila terjadi pemisahan, emulsi dikatakan tidak
stabil dan tingkat kestabilannya dihitung berdasarkan persentase fase
terpisahkan terhadap emulsi keseluruhan. Stabilitas emulsi dapat dihitung
berdasarkan rumus berikut :
SE (%) = 100 %

Bobot Fase Yang Memisah


x100 %
Bobot Total Bahan Emulsi

c. Uji Total Lempeng Mikroba (Total Plate Count)


Penentuan total mikroba sampel dilakukan dengan metode Standard
Plate Count dengan media PCA (Plate Count Agar). Pengukuran dilakukan
terhadap 5 g contoh yang diencerkan dengan larutan garam fisiologis
(NaCl 0.85%) menjadi 10-1 dan sejumlah 0.5 ml hasil pengenceran
diinokulasikan pada PCA. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar selama 1-3
hari dan dihitung total koloni yang tumbuh pada agar. Pengukuran
dilakukan 2 kali pada setiap contoh.

103

Lampiran 4 Data proses pemisahan partisi pelarut


Persen Fraksi (% b/b)

Ekstrak Daun
1

Rata-rata

Fraksi heksan

15,78

14,02

14,90

Fraksi etil asetat

7,86

8,36

8,11

Fraksi metanol air

71,61

73,51

72,56

Kehilangan dalam proses

4,76

4,11

4,43

Persen Fraksi (% b/b)

Ekstrak Bungkil
1

Rata-rata

Fraksi heksan

25,46

55,89

40,68

Fraksi etil asetat

8,28

8,28

8,28

Fraksi metanol air

41,95

31,83

36,89

Kehilangan dalam proses

24,32

4,00

14,15

Persen Fraksi (% b/b)

Ekstrak Kulit Batang


1

Rata-rata

Fraksi heksan

5,19

4,82

5,01

Fraksi etil asetat

2,02

1,05

1,54

Fraksi metanol air

86,81

93,15

89,98

Kehilangan dalam proses

5,97

0,98

3,47

104

Lampiran 5. Data hasil analisis ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar
a. Aktivitas Antioksidan
Jenis Bagian
Tanaman

Jenis ekstrak
Ekstrak kasar

Fraksi metanol
Daun
Fraksi heksan

Fraksi etil asetat

Ekstrak kasar

Fraksi metanol
Bungkil
Fraksi heksan

Fraksi etil asetat

Ekstrak kasar

Fraksi metanol
Kulit batang
Fraksi heksan

Fraksi etil asetat

BHT

Asam askorbat

Ulangan

% Peredaman DPPH

78.98

79.43

88.16

88.26

35.32

51.70

49.72

70.64

94.60

95.36

87.97

86.55

23.11

20.74

92.23

90.44

43.75

37.25

31.63

27.75

65.44

68.37

73.77

88.16

95,36

95,36

96,60

96,60

Rata-Rata
79.20

88.21

43.51

60.18

94.98

87.26

21.92

91.34

40.50

29.69

66.90

80.97

95,36

96,60

105

b. Aktivitas Antimikroba
Sampel
Kontrol

Jenis ekstrak

Diameter Hambat
(mm)a
0,00

0,00

6,00

12,33

4,06

8,56

0,00

3,83

8,44

16,56

5,22

5,50

5,67

6,50

0,00

0,00

14,45

16,06

0,00

0,00

0,00

0,00

3,56

2,00

11,67

13,17

Ulangan

Air + DEA
Ekstrak kasar
Fraksi metanol

Daun
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat
Ekstrak kasar
Fraksi metanol
Bungkil
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat
Ekstrak kasar
Fraksi metanol
Kulit
batang
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat

Keterangan: a : S.aureus
b

: E.coli

Rata
(mm)
0,00
9,17
6,31
1,92
12,50
5,22
6,08
0,00
14,45
0,00
0,00
2,78
12,42

Diameter Hambat
(mm)b
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00

Rata
(mm)
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00

106

c. Total Fenol
Jenis Bagian
Tanaman

Jenis Ekstrak
Ekstrak kasar
Fraksi metanol

Daun
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat
Ekstrak kasar
Fraksi metanol
Bungkil
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat
Ekstrak kasar
Fraksi metanol
Kulit batang
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat

Ulangan

Total fenol (mg


asam tanat/g)

37.78

36.09

33.17

32.35

16.54

9.08

80.83

96.23

8.28

9.93

7.85

6.86

4.91

5.26

83.57

83.57

4.14

4.83

2.78

2.66

7.50

8.55

86.19

44.49

Rata-rata
36.93
32.76
12.81
88.53
9.10
7.36
5.26
83.57
4.49
2.72
8.03
65.34

107

Lampiran 6 Kurva standar uji total fenol


Konsentrasi asam tanat (ppm)
0
250
500
750
1000
1250

Absorbansi
0
0.0515
0.129
0.2205
0.308
0.3725

108

Lampiran 7 Analisis Ragam untuk Uji Aktivitas Antimikroba Fraksi Ekstrak


Daftar Sidik Ragam
Sumber Keragaman

Derajat
Bebas

Jumlah
Kuadrat (J K)

Kuadrat
Tengah (KT)

Jenis Tanaman (A)

59.738

29.869

Galat (a )

65.776

21.925

Jenis ekstrak (B)

474.701

158.234

Galat (b)

8.656

0.962

AB

94.814

15.802

ns :
*:
** :

F hitung

F (0,05)

F(0,01)

1.362

ns

9.55

30.82

164.520

**

3.86

6.99

16.430

**

3.37

5.8

"non significant"/ tidak nyata


berpengaruh nyata (pada taraf 5%)
berpengaruh sangat nyata (pada taraf 1%)

Uji Lanjut Duncan terhadap Aktivitas Antimikroba


Pengaruh Jenis Ekstrak
Jenis ekstrak
Ekstrak kasar
Fraksi metanol
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat

Rata-rata
4.84
4.13
1.56
13.39

Selisih
0.00
0.71
ns
3.28
**
8.55
**

0.00
2.56
9.26

Notasi
b
b
**
**

0.00
11.83

Pengaruh Interaksi Jenis Tanaman dan Jenis Ekstrak


Jenis ekstrak
Jenis tanaman
Kasar
Fr. Metanol
Fr. Heksan
Daun
9.17 b A
6.31 b A
1.92 c A
Bungkil
5.36 b A
6.08 b A
0.00 c A
Kulit batang
0.00 b A
0.00 b A
2.78 b A

c
**

Fr. Etas
12.50 a A
15.25 a A
12.42 a A

Nilai dengan huruf yang berbeda kearah baris (huruf kecil) dan kolom (huruf
besar) menunjukkan berbeda nyata(P<0.01), sebaliknya huruf yang sama kearah
baris dan kolom menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.01).

109

Lampiran 8 Analisis Ragam untuk Uji Aktivitas Antioksidan Fraksi Ekstrak


Daftar Sidik Ragam
Sumber Keragaman

Derajat
Bebas

Jumlah
Kuadrat (J K)

Kuadrat
Tengah (KT)

Jenis Tanaman (A)

1567.972

783.986

Galat (a )

188.109

62.703

Jenis ekstrak (B)

3877.705

1292.568

Galat (b)

307.483

34.165

AB

9100.775

1516.796

ns :
*:
** :

F hitung

F (0,05)

F(0,01)

12.503

9.55

30.82

37.833

**

3.86

6.99

44.396

**

3.37

5.8

"non significant"/ tidak nyata


berpengaruh nyata (pada taraf 5%)
berpengaruh sangat nyata (pada taraf 1%)

Uji Lanjut Duncan terhadap Aktivitas Antioksidan


Pengaruh Jenis Tanaman
Perlakuan
Daun dan ranting
Bungkil
Kulit batang

Rata-Rata
67.78 0.00
73.88 6.10
54.51 13.26

Selisih
ns
ns

Notasi
ab
b
ab

0.00
19.36 *

Pengaruh Jenis Ekstrak


Perlakuan
Ekstrak kasar
Fraksi metanol
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat

rata-rata
71.56
68.39
44.11
77.49

Selisih
0.00
3.17
27.45
5.93

ns
**
ns

0.00
24.27
9.11

Notasi
a
a

**
ns

0.00
33.38

b
**

Pengaruh Interaksi Jenis Tanaman dan Jenis Ekstrak


Jenis tanaman
Daun
Bungkil
Kulit batang

Kasar
79.20 a A
94.98 a A
40.50 b B

Jenis ekstrak
Fr. Metanol
Fr. Heksan
88.21 a A
43.51 b B
87.26 a A
21.92 b C
29.69 b B
66.90 a A

Fr. Etas
60.18 ab B
91.34 a A
80.97 a A

Nilai dengan huruf yang berbeda kearah baris (huruf kecil) dan kolom (huruf
besar) menunjukkan berbeda sangat nyata(P<0.01), sebaliknya huruf yang sama
kearah baris dan kolom menunjukkan tidak berbeda sangat nyata (P>0.01).

110

Lampiran 9 Analisis Ragam untuk Total Fenol Fraksi Ekstrak


Daftar Sidik Ragam
Derajat
Bebas

Sumber Keragaman

Jumlah
Kuadrat (J K)

Kuadrat
Tengah (KT)

Jenis Tanaman (A)

2188.335

1094.168

Galat (a )

204.724

68.241

Jenis ekstrak (B)

19749.093

6583.031

Galat (b)

815.995

90.666

AB

747.428

124.571

ns :
*:
** :

F hitung

F (0,05)

F(0,01)

16.034

9.55

30.82

72.607

**

3.86

6.99

1.374

ns

3.37

5.8

"non significant"/ tidak nyata


berpengaruh nyata (pada taraf 5%)
berpengaruh sangat nyata (pada taraf 1%)

UJI rentangan berganda DUNCAN


Pengaruh Jenis Tanaman
Perlakuan
Daun dan ranting
Bungkil
Kulit batang

Rata-Rata
42.76 0.00
26.28 16.48
20.14 22.61

Selisih
ns
*

Notasi

0.00
6.14

ns

a
ab
b

Pengaruh Jenis Ekstak


Perlakuan
Ekstrak kasar
Fraksi metanol
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat

rata-rata
16.84
14.28
8.64
79.14

Selisih
0.00
2.56
8.20
62.31

ns
ns
**

0.00
5.64
64.87

ns
**

0.00
70.50

**

Notasi
b
b
b
a

Lampiran 10. Kromatogram Analisa Phorbol Ester


a. Fraksi Metanol dan Fraksi Etil asetat Ekstrak Daun Jarak Pagar

Fraksi metanol daun

Fraksi etil asetat

112

b. Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Bungkil Jarak Pagar

Fraksi Heksan

Fraksi metanol

Ekstrak Kasar

113

c. Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Kulit Batang Jarak Pagar

Lampiran 11 Analisis Ragam untuk Pemilihan Ekstrak sebagai Zat Antioksidan


Daftar Sidik Ragam
Sumber
Keragaman
Perlakuan
Galat
Total

Derajat
Bebas
3
4
7

Jumlah
kuadrat (JK)
433.53
65.22
498.74

KuadratTengah
(KT)
144.51
16.30

Fhitung
8.86

F (0,05)

F(0,01)

6.59

16.69

UJI lanjut DUNCAN


Perlakuan
A1
A1B1
A2
A2B1
ns :
*:
** :

Rata
74.53
89.42
94.39
84.04

Selisih
0.00
14.88
19.86
9.51

ns
*
ns

"non significant"/ tidak nyata


berpengaruh nyata (pada taraf 5%)
berpengaruh sangat nyata (pada taraf 1%)

0.00
4.97
5.38

ns
ns

0.00
10.35

ns

Notasi
b
ab
a
ab

115

Lampiran 12 Analisis Ragam untuk Rendemen Fraksi Ekstrak


Daftar Sidik Ragam
Derajat
Bebas

Sumber Keragaman

Jumlah
Kuadrat (J K)

Kuadrat
Tengah (KT)

F hitung

F (0,05)

F(0,01)

**

9.55

30.82

217.218 **

3.86

6.99

3.37

5.8

Jenis Tanaman (A)

7.184

3.592

Galat (a )

0.285

0.095

Jenis ekstrak (B)

142.491

47.497

Galat (b)

1.968

0.219

AB

29.057

4.843

22.148

b
b
a

ns :
*:
** :

37.870

**

"non significant"/ tidak nyata


berpengaruh nyata (pada taraf 5%)
berpengaruh sangat nyata (pada taraf 1%)

UJI rentangan berganda DUNCAN


Pengaruh Jenis Tanaman
Perlakuan
Daun dan ranting
Bungkil
Kulit batang

Rata-Rata
2.48 0.00
3.03 0.54
3.82 1.33

Selisih
ns
*

0.00
0.79

Notasi

Pengaruh Jenis Ekstak


Perlakuan
Ekstrak kasar
Fraksi metanol
Fraksi heksan
Fraksi etil asetat

rata-rata
6.47
4.34
1.27
0.36

Selisih
0.00
2.13 **
5.20 **
6.11 **

0.00
3.07 **
3.98 **

0.00
0.91 **

Notasi
a
b
c
d

116

Lampiran 13 Kromatogram Komposisi Kimia Fraksi Ekstrak Terpilih dengan GC-MS


Fraksi etil asetat ekstrak daun jarak pagar

Fraksi metanol ekstrak daun jarak pagar

118

Lampiran 14. Hasil Pengamatan Uji Tingkat Iritasi Kulit


Pengamatan 24 jam
Sampel
Ekstra kasar
Fraksi metanol
Fraksi etil asetat
SDS 20%
Pengamatan 48 jam
Sampel
Ekstra kasar
Fraksi metanol
Fraksi etil asetat
SDS 20%
Pengamatan72 jam
Sampel
Ekstra kasar
Fraksi metanol
Fraksi etil asetat
SDS 20%

K1
1
0
1
3

K1
1
0
1
2

K1
1
0
1
4

K2
0
0
1
2

Eritema
K3
1
0
1
2

K2
0
0
1
4

Eritema
K3
1
0
1
2

K2
1
0
3
4

Eritema
K3
0
0
1
2

K4
0
0
0
2

K4
0
0
1
2

K4
1
0
1
2

Total 24
2
0
3
9

Total 48
2
0
4
10

Total 72
3
0
6
12

K1
0
0
0
0

K1
0
0
0
0

K1
0
0
0
0

K2
0
0
0
0

Edema
K3
0
0
0
0

K4
0
0
0
0

Total 24
0
0
0
0

K2
0
0
0
0

Edema
K3
0
0
0
0

K4
0
0
0
0

Total 48
0
0
0
0

K2
0
0
0
0

Edema
K3
0
0
0
0

K4
0
0
0
0

Total 72
0
0
0
0

Lampiran 15. Hasil Pengamatan Uji Sifat Alergi dengan ELISA


Uji Identifikasi serum subyek
Serum Subyek
A
W
T
S
D
K
1.5 kali blanko
Blanko
Kontrol positif

1
0.084
0.072
0.068
0.075
0.065
0.069
0.063
0.108

Ab sekunder 1:100
2
3
0.087 0.091
0.073 0.075
0.07 0.066
0.078 0.076
0.068 0.065
0.068
0.073
0.100

0.077

Rata
0.087
0.073
0.068
0.076
0.066
0.069
0.107
0.071
0.104

1
0.086
0.071
0.063
0.074
0.061

0.061
0.089

Ab sekunder 1:300
2
3
0.083
0.083
0.076
0.073
0.066
0.074
0.084
0.076
0.063
0.061
0.064
0.059
0.069
0.101

0.072
0.093

Rata
0.084
0.073
0.068
0.078
0.062
0.062
0.101
0.067
0.094

Uji Sifat Alergi Ekstrak Jarak Pagar


Ab sekunder 1:100
Serum
A
W
S
Ab sekunder 1:300
Serum
A
W

1
0.062
0.066
0.065

Ekstrak daun
2
3
0.072 0.076
0.078 0.081
0.072 0.074
Ekstrak daun
2
3
0.071 0.079
0.075 0.081
0.072 0.080

Rata
0.074
0.072
0.073

Rata
0.071
0.074
0.072

1
0.076
0.067
0.071

Ekstrak bungkil
2
3
0.081
0.085
0.067
0.070
0.073
0.074

1
0.072
0.065
0.069

Ekstrak bungkil
2
3
0.079
0.084
0.066
0.068
0.070
0.071

Rata
0.081
0.068
0.073

Ekstrak kulit batang


1
2
3
Rata
0.079
0.082
0.084
0.082
0.089
0.087
0.091
0.089
0.077
0.081
0.086
0.081

Rata
0.078
0.066
0.070

Ekstrak kulit batang


1
2
3
0.082
0.088
0.089
0.087
0.088
0.090
0.081
0.083
0.087

Rata
0.086
0.088
0.084

120

Вам также может понравиться