Вы находитесь на странице: 1из 4

Efek Domino Korupsi

Oleh : Muhtar Sadili


Pustakawan Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
Maraknya pemberitaan korupsi belakangan ini, semakin mengukuhkan
tesis almarhum Umar Kayam bahwa 'budaya korupsi' masih bersemayam
di Indonesia, atau bisa jadi seperti dugaan Amin Rais, penyakit korupsi ini
telah melembaga dalam denyut birokrasi negeri ini. Kita juga ingat bahwa
secara tradisional kebiasaan upeti untuk raja adalah benih-benih korupsi.
Rasa sungkan sebagai padanan untuk malu mengungkap skandal korupsi,
turut juga menyemaikan kebiasaan buruk itu.
Problematika ini berimplikasi serius pada integritas kepemimpinan,
sebagai subsistem penting dalam penyelenggarakan kehidupan benegara
yang bersih sekaligus berwibawa. Korupsi akan menggrogoti sistem
kepemimpinan, yang tadinya diharapkam membawa perubahan yang
signifikan pasca rontoknya orde baru. Reformasi tidak gratis kita
dapatkan, dan bukan pula cek kosong yang bisa diisi dengan praktek
kekuasaan yang penuh noda dan dosa.
Dengan sedih, kita mesti mengakui bahwa tampaknya etika sebagian
pemimpin kita telah diwarnai oleh 'watak kekuasaan yang cendrung
korup'. Lebih menyedihkan lagi hilangnya rasa malu dan sakit hati untuk
mencabik-cabik martabat bangsa sendiri.
Rakyat akan merasa frustasi karena sekandal korupsi, kolusi, dan
kejahatan lain terutama yang dilakukan di kalangan elit penguasa. Yang
ditakutkan, adalah 'imunitas keteladalan' berdampak secara massif,
sehingga membentuk cara pandang rakyat terhadap dirinya, elit
penguasanya dan bahkan bangsanya sendiri.
Masyarakat yang melakukan anarkisme sosial dalam bentuk kerusuhan,
penjarahan, tawuran, kericuhan dan penganiyaan atas sesamanya akan

merasa tidak bersalah. Bahkan bisa jadi mereka berkata "kami juga bisa
melakukannya, seperti para pemimpin kami memperlakukan negara ini!"
Ini disebabkan oleh rasa putus asa dan tidak percaya lagi bahwa elit
penguasa sungguh-sungguh mau memberantas korupsi hingga ke akarakarnya. Jika suasana kejiwaan ini berlangsung lama, maka pada
gilirannya akan menggumpal dan menjadi pendorong bagi masyarakat
umum untuk ikut-ikutan melakukan korupsi, merusak etika sosial dan
tidak lagi percaya pada elit penguasa.
Krisis Keteladanan
Dalam kacamata etis, maraknya berita korupsi menunjukkan krisis
keteladanan. Sikap amanah para elit penguasa kita, berada pada deret
hitung yang sangat memprihatinkan. Yang mengukur kesungguhan dan
keberhasilan dalam memikul amanat tersebut, adalah masyarakat itu
sendiri.
Dalam kehidupan bernegara, ketauladanan merupakan kunci untuk
memperolah dukungan rakyat. Siapa dan kenapa kehidupan bernegara
harus diatur, akan berjalan lancar kalau saja kepercayaan masyarakat
bisa diraih. Karena tidak mungkin melakukan pembangunan ini tanpa
diperankan oleh elit penguasa.
Secara sistemik, krisis keteladanan akan menggrogoti kehidupan
mayoritas yang secara sosial, ekonomi, budaya dan politik telah tertindas
oleh segilintir orang yang duduk dalam singgasana kekuasan. Yang paling
ditakutkan adalah ketika rakyat menggunakan "haknya" dengan
mempergunakan cara-caranya sendiri. Karena mereka adalah konstituen
otentik yang memegang kedaultan berbangsa dan bernegara kita.
Krisis keteladanan akan meyebabkan rakyat bersikap apatis dan psimis
untuk mendelegasikan urusannya pada elit penguasa. Prilaku sosial yang
cendrung anarkis yang kita saksikan setiap hari, cukup jadi bukti, betapa

krisis keteladanan ini mempunyai efek domino yang luar biasa. Rasa
bangga akan figur pemimpin yang baik, tenggelam di balik himpitan nafsu
kekuasaan yang begitu rupa.
Etika Transformatif
Elit penguasa harus memberikan contoh baik bagi rakyatnya. Suka atau
tidak penghuni wilayah atas dari piramida sosial ini, sangat menentukan
arah perbaikan kehidupan bernegara kita. Kepentingan mayoritas, dalam
prakteknya dititipkan pada segelintir elit penguasa yang hadir karena
seleksi kepemimpinan.
Posisi strategis elit penguasa, menjadi dilema demokratisasi yang baru
saja dirintis. Kita sepenuhnya menyadari, seleksi kepemimpinan yang
telah dilakukan sedikit banyak lebih baik dari yang sebelumnya. Namun,
kita juga tidak habis pikir, proses itu tidak berbanding lurus dengan watak
sebagian (besar) elit penguasa dalam menjalankan amanahnya. Pasca
reformasi, tidak jarang apa yang dikata jauh dari apa yang dilakukan.
Prilaku berkuasa jauh dari nilai-nilai luhur yang ditanam oleh para pendiri
republik ini.
Jika kondisi ini terus berlangsung, maka 'etika tranformatif' yang
diharapkan jauh panggang daripada api. Setiap kali mendengar kata
pemberantasan korupsi, serentak berita tindak pidana korupsi datang ke
telinga kita. Rakyat mayoritas disuguhi tontonan yang paradoksal. Satu
saat elit penguasa bicara tentang anti korupsi, dan tidak berselang lama
mereka 'terlihat asyik' dengan kekuasaannya.
Ironisnya, dengan realitas seratus persen mengakui nilai-nilai luhur yang
ditetapkan dalam dasar negara kita, tetapi kenyatanannya, praktek
korupsi ditemukan hampir di seluruh lini kehidupan.
Seleksi pemimpin yang terbilang demokratis itu, sepertinya gagal
menghantarkan 'tokoh-tokoh panutan' menjadi pemimpin yang tetap

pada komitemnya untuk kesejahteran dan kemakmuran rakyat. Bahkan,


peringkat negara terkorup pun masih kita sandang.
Kekuasaan sebagai cara untuk menciptakan masyarakat yang adil dan
makmur, bukan tujuan yang bisa dinikmati begitu saja, setelah bersusah
payah meraihnya. Spirit kekuasaan bukan diadreskan untuk kepentingan
individu dan atau golongannya, tapi sepenuhnya untuk melayani
kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan otentik dari amanah
yang diberikan.
Walhasil, berita korupsi tidak akan berdiri sendiri. Ia akan menjalar pada
tingkah dan kebiasaan rakyatnya. Nantinya, menjadi spirit komunalitas
yang membayakan reformasi itu sendiri. Wa Allh 'alam bi al-shawb

Вам также может понравиться