Вы находитесь на странице: 1из 33

PRESENTASI KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) GRADE V

Pembimbing:
dr. Mamun, Sp.PD

Disusun oleh :
Maya Alvionita

G4A015106

Irma Nuraeni

G4A016009

Denny Bimatama

G4A016005

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) GRADE V

Disusun Oleh :
Maya Alvionita

G4A015106

Irma Nuraeni

G4A016009

Denny Bimatama

G4A016005

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit
Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal : November 2016
Dokter Pembimbing :

dr. Mamun, Sp. PD

I.

PENDAHULUAN
Chronic
merupakan

Kidney

kerusakan

Disease
fungsi

(CKD)

ginjal

yang

ireversibel sehingga memberikan efek kepada


hampir seluruh sistem organ. Kidney Disease
Quality

Outcome

Initiative

(K/DOQI)

mendefinisikan CKD sebagai kerusakan ginjal


atau Glomerular Filtration Rate (GFR) < 60
mL/min//1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih
(Levey et., al., 2005). Pasien dengan CKD akan
memiliki perjalanan penyakit yang progresif
menuju End Stage Renal Disease (ESRD)
(McCance dan Sue, 2006).
Penurunan fungsi ginjal terjadi secara
berangsur-angsur dan irreversible yang akan
berkembang terus menjadi gagal ginjal terminal.
Adanya kerusakan ginjal tersebut dapat dilihat
dari kelainan yang terdapat dalam darah, urin,
pencitraan, atau biopsy ginjal. CKD merupakan
masalah kesehatan yang mendunia dengan
angka

kejadian

yang

terus

meningkat,

mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan


biaya perawatan yang mahal. Di negara-negara
berkembang

CKD

lebih

kompleks

lagi

masalahnya karena berkaitan dengan sosioekonomi

dan

penyakit-penyakit

yang

mendasarinya. Perjalanan penyakit CKD tidak


hanya terjadi gagal ginjal tetapi juga dapat
terjadi komplikasi lainnya karena menurunnya

fungsi ginjal dan penyakit kardiovaskularn


(Sharon, 2006).
CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat
yang dilihat dari derajat penyakit dan nilai GFR,
semakin besar derajat CKD prognosis penyakit
akan semakin buruk. Tanda dan gejala yang
muncul

pada

CKD

sering

dideskripsikan

sebagai uremia. Uremia merupakan beberapa


gejala yang muncul dikarenakan terganggunya
fungsi ginjal disertai akumulasi toksin pada
plasma

darah

(Eknoyan,

2009).

CKD

merupakan keadaan gangguan fungsi ginjal


progresif yang dapat disebabkan oleh banyak
faktor, namun hipertensi dan diabetes mellitus
merupakan 2 buah penyebab yang paling sering
mendasari terjadinya CKD. Penyebab lain yang
dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal
progresif adalah reduksi massa ginjal dan
obstruksi ginjal (Lopez-Novoa et., al., 2010).
Pasien

CKD

harus

mendapatkan

monitoring terhadap kemungkinan adanya DM,


hipertensi, penyakit kardiovaskuler, kanker, dan
penyakit kronis lainnya pada pasien tersebut.
Monitoring tersebut penting untuk dilakukan
karena keadaan gagal ginjal dapat memperburuk
progresifitas penyakit yang ada dan sebaliknya
(Eknoyan, 2009).
Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa
perjalanan

penyakit

CKD

tersebut

dapat

diperbaiki dengan melakukan deteksi dini dan


memberikan penanganan yang lebih awal. The
National Kidney Foundation (NKF) Kidney

Disease OutcomeQuality Initiative (K/DOQI)


tahun 2002 mengembangkan clinical practice
guidelineson CKD yang memuat mengenai
batasan, stadium, penilaian klinis berdasarkan
hasil laboratorium, dan membagi tingkatan
risiko akibat penurunan fungsi ginjal. Tujuan
guidelines ini agar dapat diterima secara
universal dan dapat memberikanpenanganan
yang optimal bagi penderita CKD (Kidney
Disease Outcomes Quality Iniatiative of The
National Kidney Foundation, 2002).

II.

LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama
: Tn. P
Umur
: 39 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Ajibarang wetan RT 03/02
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Pekerjaan
: PNS
Tanggal masuk RSMS : 04 november 2016

Tanggal periksa
No.CM

: 07 november 2016
: 00887055

B. Anamnesis
Keluhan utama
: mual sudah 1 minggu
Keluhan tambahan
:
Muntah +, lemas +, tangan dan kaki gemetar, bab lancar,bak lancar
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan mual sejak 1 minggu yang
lalu sebelum masuk rumah sakit. Mual dirasakan terus menerus sepanjang
hari, makin memberat saat aktifitas. Sebelumnya, pasien sering mengeluhkan
keluhan yang sama, dan berobat ke Puskesmas. Di Puskesmas, pasien
didiagnosis dispepsia dan diberikan obat untuk dispepsia, namun keluhan
tidak membaik meskipun pasien sudah meminum obat.

Pasien tidak

mengeluhkan adanya nyeri dan panas di ulu hati, serta perut tidak terasa
begah. Pasien mengaku tidak ada demam. BAK pasien sedikit, tidak berwarna
seperti teh, tidak bercampur darah. BAB lancar, tidak ada diare atau
konstipasi, tidak ada lendir atau darah saat BAB. Keluhan lain yang dirasakan
pasien adalah kadang-kadang muntah, muntahan berupa air makanan, muntah
tidak berwarna hitam dan berampur darah. Pasien juga mengeluhkan kaki dan
tangan gemetar, namun tidak ada kesemutan. Kaku pada pagi hari disangkal,
nyeri pada persendian disangkal. Pasien tidak mengeluhkan penurunan berat
badan yang signifikan, dan tidak sering berkeringat atau jantung berdebardebar. Pasien menyangkal adanya keluhan sering haus, sering lapar, dan
sering BAK terutama saat malam hari. Pasien mempuyai riwayat hipertensi
sejak 3 tahun lalu, namun pasien tidak rutin kontrol tekanan darah dan tidak
rutin meminum obat darah tinggi. 4 bulan yang lalu, pasien pernah mondok di
RS Margono dan pasien HD rutin hari rabu dan sabtu.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan yang sama
: Diakui
2. Riwayat hipertensi
: Diakui
3. Riwayat DM
: Disangkal
4. Riwayat penyakit jantung
: Disangkal
5. Riwayat alergi
: Disangkal
6. Riwayat mondok
: Diakui
Riwayat penyakit keluarga
1. Riwayat keluhan yang sama
2. Riwayat sakit kuning

: Disangkal
: Disangkal

3.
4.
5.
6.

Riwayat hipertensi
Riwayat DM
Riwayat penyakit jantung
Riwayat penyakit ginjal

: Diakui, Ayah pasien.


: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal

Riwayat sosial ekonomi


1. Home
Pasien tinggal bersama istri dan satu orang anaknya.
2. Community
Pasien tinggal di Ajibarang wetan. Jarak antar rumah cukup berdekatan.
Hubungan pasien dengan keluarganya baik dan komunikasi selalu lancar
dengan tetangganya.
3. Occupational
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Keseharian pasien
mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
4. Diet
Pola makan pasien tegolong baik dan teratur. Pasien dapat makan sehari
tiga kali dengan lauk pauk yang tercukupi akan tetapi, pasien termasuk
orang yang porsi konsumsi makannya sedikit
5. Drug
Pasien sedang tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu, Pasien rutin HD
hari rabu dan sabtu
C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di Bangsal Asoka kamar 2 Bed 1 RSMS, 07 November 2016.
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran
: Compos Mentis, GCS: 15 (E4M6V5)
3. Vital sign
Tekanan Darah
: 180/110 mmHg
Nadi
: 120 x/menit
Respiration Rate
: 24 x/menit
Suhu
: 36 0C
4. Berat badan
: 80kg
5. Tinggi badan
: 175 cm
6. Indeks Massa Tubuh
: 26,12 (pre obes)
7. Status generalis
a. Kepala
1) Bentuk
: mesochepal, simetris
2) Rambut
:warna hitam keputihan, tidak
dicabut, distribusi merata, tidak rontok
b. Mata
1) Palpebra
: edema (-/-) ptosis (-/-)
2) Konjungtiva
: anemis (+/+)
3) Sclera
: ikterik (-/-)

mudah

4) Pupil
: reflek cahaya (+/+), isokor
5) Exopthalmus
: (-/-)
6) Lapang pandang
: tidak ada kelainan
7) Lensa
: keruh (-/-)
8) Gerak mata
: normal
9) Tekanan bola mata : nomal
10) Nistagmus
: (-/-)
c. Telinga
1) otore (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) nyeri tekan (-/-)
d. Hidung
1) nafas cuping hidung (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) discharge (-/-)
e. Mulut
1) bibir sianosis (-)
2) bibir kering (-)
3) lidah kotor (-)
f. Leher
1) Trakhea
: deviasi trakhea (-/-)
2) Kelenjar lymphoid
: tidak membesar, nyeri (-)
3) Kelenjar thyroid
: tidak membesar
4) JVP
: Tidak meningkat (5+2 cm)
g. Dada
1) Paru
a)
Inspeksi
: bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (-)
b)

Palpasi
: vocal fremitus kanan=kiri
ketinggalan gerak kanan= kiri
c)
Perkusi
: sonor pada lapang paru kiri dan kanan
d)
Auskultasi : Suara dasar vesikuler pada apex dan
basal paru kanan sama dengan paru kiri, Wheezing(-), ronkhi basah halus
(-), ronkhi basah kasar (-)
2) Jantung
a)
Inspeksi
: ictus cordis terlihat di SIC V 2 jari medial LMCS
b)
Palpasi
: ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS.
c)
Perkusi
: Batas jantung kanan atas
: SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas
: SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 jari medial LMCS
d)
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
h. Abdomen
1) Inspeksi
: datar

2) Auskultasi
: bising usus (+) normal
3) Perkusi
: timpani, pekak sisi (-), pekak beralih (-)
4) Palpasi
: supel, nyeri tekan epigastrium (+), undulasi (-)
5) Hepar
: tidak teraba
6) Lien
: tidak teraba
i. Pemeriksaan ekstremitas
Ekstremitas superior Ekstremitas inferior

D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 04 november 2016
Hematologi
Darah Lengkap
Hemoglobin
: 4,9 g/dl

(14 18 g/dl)
Leukosit
: 6,66 10^3/uL
(4,8 10,8/ul)
Hematokrit
: 14,2 %

(42 52 %)
Eritrosit
: 1,61 106/ul
(4,7 6,1 x 106/ul)
Trombosit
: 145 10^3/ul
(150 450/ul)
MCV
: 88,2 fL
(79 99 fL)
MCH
: 30.4 pg
(27 31 pg)
MCHC
: 34,5 %
(33 37 %)
RDW
: 12,3 %
(11,5 14,5 %)
MPV
: 9,7 fL
(7.2 11.1 fL)
Hitung Jenis
Basofil
:1%
(0.00 1.00 %)
Eosinofil
:2%
(2.00 4.00 %)
Batang
: 0,0 %

(2.00 5.00 %)
Segmen
: 80,3 %

(40.0 70.0 %)
Limfosit
: 20 %

(25.0 40.0 %)
Monosit
:7%
(2.00 8.00 %)
Kimia Klinik
Ureum darah
Kreatinin darah
Gula darah sewaktu

: 307 mg/dl
(12 50 mg/dl)
: 27,32 mg/dl

(0.90 1.30 mg/dl)


: 95 mg/dl
( 200 mg/dl)
SGOT
: 7 u/l
(<40)
SGPT
: 12 U/L
(<40)
Laboratorium tanggal 06-11-2016
Hemoglobin
: 8,0 g/dl

(14 18 g/dl)
Leukosit
: 7400 uL
(3000-1600/ul)
Hematokrit
: 24 %

(40 52 %)
Eritrosit
: 2,8 106/ul

(4,4 5,9)
Trombosit
: 141.000 ul
(150.000 450.000/ul)

MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
Kimia Klinik
Ureum darah
Kreatinin darah
Kalium

: 86,8 (0 100 fL)


: 28,6 pg/cell (26 34 pg)
: 32,9 % (32 36 %)
: 12,8 % (11,5 14,5 %)
: 10,4 fL (7.2 11.1 fL)
: 0,4 %
: 3,1 %
: 0,4 %
: 76,6 %
: 9,1 %
: 10,4 %

: 148,1 mg/dl
: 19,86 mg/dl

: 4,0 mmol/l
Urin lengkap
Bakteri +1

(0.00 1.00 %)
(2.00 4.00 %)
(2.00 5.00 %)
(40.0 70.0 %)
(25.0 40.0 %)
(2.00 8.00 %)
(14,98 38,52 mg/dl)
(0.80 1.30 mg/dl)
(3,5-5,1)

E. Resume
1. Anamnesis
a. Mual-mual
b. Muntah
c. Lemas
d. Tangan dan kaki gemetar
e. Riwayat hipertensi (+), riwayat keluarga hipertensi (+)
2. Pemeriksaan fisik
a. Vital sign : TD : 180/110 mmHg, RR : 24 x/m, N: 84 x/m, S: 36 c
b. Pemeriksaan ektrimitas : Mata: Konjungtiva Anemis (+/+)
3. Pemeriksaan Penunjang
4. Ureum darah
: 307 mg/dl
(12 50 mg/dl)
5. Kreatinin darah
: 27,32 mg/dl
(0.90 1.30 mg/dl)
( 14039 ) x 80
=4,1( grade 5)
LFG Cocroft-Gault
:
72 x 27,32
F. Diagnosis
CKD Grade V
HT grade II
Anemia sedang
Sindrom uremikum
G. Usulan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap berulang
Pemeriksaan ureum kreatinin berulang
Pemeriksaan elektrolit
H. Penatalaksanaan
Non Farmakologi
1. Pembatasan cairan

Farmakologi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

IVFD Nacl 0,9% 16 tpm


Inj ranitidin 2 x I amp. IV
Inj.ceftriaxone 1 g/12 jam.iv
Inj furosemid 3x2 amp.iv
Inj ondansentron 1 amp/8 jam
Asam folat 3x1 po
Bicnat 3x1 po
Amlodipin 1x10 mg

Monitoring
1. Tekanan darah
2. Hb, Ureum, Kreatinin dan Elektrolit.
I. Prognosis
Ad vitam
Ad sanationam
Ad functionam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

III.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Penurunan fungsi ginjal yang terjadi bersifat menahun,
berlangsung progresif, dan cukup lanjut. Hal ni terjadi apabila laju filtrasi
glomerular (LFG) kurang dari 50 mL/mnt(Sudoyo, 2006).
Gagal ginjal kronik / Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan
sebagai penurunan progresif fungsi ginjal menahun dan perlahan yang
bersifat irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme atau keseimbangan cairan dan elektrolit, yang berakibat
terjadinya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Suwitra, 2007).
Batasan penyakit ginjal kronik:

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi


ginjal,dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan
penanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan gambaran
radiologi.
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
B. Klasifikasi
CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit dan
nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin
buruk (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005).
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi
glomerolus.
Derajat

Penjelasan

LFG

(mL/menit/1,73m2)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal 90

2
3
4
5

atau
Kerusakan ginjal dengan LFG ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
Gagal ginjal

60-89
30-59
15-29
<15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi Chronic Kidney Disease


Derajat
1

Deskripsi
Kerusakan ginjal dengan
GFR Normal atau
meningkat
Kerusakan ginjal dengan
penurunan GFR ringan

Penurunan GFR sedang

Penurunan GFR berat

Gagal ginjal

Klasifikasi Berdasarkan Keparahan


GFR
Keadaan Klinis
mL/min/1.73 m2
Albuminuria,
90
proteinuria,
hematuria
Albuminuria,
60-89
proteinuria,
hematuria
Insufisiensi ginjal
30-59
kronik
Insufisiensi ginjal
15-29
kronik, pre-ESRD
< 15
Gagal ginjal, uremia,
Atau dialisis
ESRD

(Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005)

C. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) :
1. Gangguan imunologis
a. Glomerulonefritis
b. Poliartritis nodosa
c. Lupus eritematous
2. Gangguan metabolik
a. Diabetes Mellitus
b. Amiloidosis
c. Nefropati Diabetik
3. Gangguan pembuluh darah ginjal
a. Arterisklerosis
b. Nefrosklerosis
4. Infeksi
a. Pielonefritis
b. Tuberkulosis
5. Gangguan tubulus primer
a. Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
6. Obstruksi traktus urinarius
a. Batu ginjal
b. Hipertopi prostat
c. Konstriksi uretra
7. Kelainan kongenital
a. Penyakit polikistik
b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia
renalis)
D. Faktor Resiko
Faktor risiko potensial GGK dapat dilihat dari faktor klinis dan faktor
sosiodemografi.Faktor klinis berkaitan dengan kondisi kesehatan atau adanya
penyakit yang diderita sebelumnya.Sedangkan faktor sosiodemografi
menekankan kepada kondisi seseorang yang dapat menyebabkan orang

tersebut berisiko terkena GGK.Faktor risiko tersebut dijabarkan pada Tabel 4


(National Kidney Foundation, 2002).
Tabel 4. Faktor risiko gagal ginjal kronis
Faktor Klinis

Penyakit autoimun

Faktor Sosiodemografi

Paparan zat kimiawi di lingkungan


Tingkat pendapatan/pendidikan yang rendah

Infeksi Saluran Kemih (ISK)


Batu saluran kemih
Obstruksi saluran kemih bawah
Riwayat GGK pada keluarga
Pernah menderita GGA
Penurunan massa ginjal

E. Epidemiologi
Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100
juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya di
Malaysia, dandi negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar
40-60 kasis perjuta penduduk per tahun (Suwitra, 2007). Penyakit gagal ginjal
kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun lebih
sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.
Beberapa penyebab CKD yang menjalani hemodialisis di Indonesia
pada

tahun

2000

antara

lain

Glomerulonefritis(46,39%),

Diabetes

Mellitus(18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi(8,46%), dan


penyebab yang lain dengan presentase sebesar (13,65%) (Murray et al, 2007).
F. Patofisiologi
Berdasarkan hipofisis nefron yang utuh, mengatakan bahwa bila nefron
terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron

yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron
sudah berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat
dipertahankan lagi (Price et al, 2005).
Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam
usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadinya peningkatan filtrasi
dan reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk
seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal,
namun jika 75% massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban
solut bagi setiap nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan
keseimbangan glomerulus tubulus tidak dapat dopertahankan lagi (Price et al,
2005).
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.
Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu
mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa
terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita
sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis rennin dan angiotensin. Kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Saat muntah dan diare menyebabkan
penipisan air dan natrium yang dapat memepreberat stadium uremik. Dengan
berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring dengan
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal
mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al,
2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin
yang tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin
adalah suatu substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD,
produksi erytropoetin menurun dan anemia berat akan terjadi disertai
keletihan, angina dan sesak nafas (Price et al, 2005).

Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan


fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling
berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et
al, 2005).
Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat zat sisa.
Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam
urine penderita. Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et
al, 2005).
Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari
menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al,
2005).
Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan,
yaitu (McCance dan Sue, 2006):
1. Penurunan Fungsi Ginjal
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan
GFR < 50%. Pada keadaan ini, tanda dan gejala
CRF belum muncul, namun sudah terdapat
peningkatan pada ureum dan kreatinin darah.
2. Insufisiensi Ginjal
Insufisiensi ginjal menandakan bahwa
ginjal sudah tidak dapat lagi menjalankan
fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR
mengalami penurunan yang bermakna. Tanda
dan gejala serta disfungsi ginjal yang ringan
sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi
akan

melakukan

memaksimalkan

kompensasi

fungsi

ginjal.

untuk
Kelainan

konsentrasi urin, nokturia, anemia ringan, dan


gangguan fungsi ginjal saat stres dapat terjadi
pada tahapan ini.
3. Gagal Ginjal

Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan


dengan azotemia, asidosis, ketidakseimbangan
konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan
elektrolit (hipernatremia, hiperkalemia, dan
hiperpospatemia). Keadaan gagal ginjal terjadi
saat

GFR

<

20%

dan

penyakit

mulai

memberikan efek pada sistem organ lain.


4. ESRD
ESRD (End Stage Renal Disease)
merupakan tahapan terakhir dari gangguan
fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami
gangguan yang berat. GFR hampir tidak ada
lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi juga
terganggu, dikarenakan perubahan yang besar
dari elektrolit, regulasi cairan, dan gangguan
keseimbangan
kardiovaskuler,

asam

basa.

hematologi,

Gangguan
neurologi,

gastrointestinal, endokrin, metabolik, gangguan


tulang dan mineral juga dapat terjadi.

G. Manifestasi Klinis
Perjalanan klinis umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3
stadium:
a

Stadium pertama
Disebut penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum
dan kadar BUN normal, dan pasien asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal

hanya dapat terdeteksi dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal
tersebut, seperti tes pemekatan urine yang lama atau dengan mengadakan
tes GFR yang teliti. (Ketut, 2007)
b

Stadium kedua
Perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, bila lebih dari 75%
jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari normal). Pada
tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, bergantung pada
kadarprotein dalam makanan. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum
mulai meningkat melebihi kadar normal.
Azotemia biasanya ringan ( kecuali bila pasien mengalami stress akibat
infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi). Pada stadium insufisiensi ginjal ini
mulai timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria ( akibat gangguan
kemampuan pemekatan). Gejala gejala ini timbul sebagai respon terhadap
stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Pasien
biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala
tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang teliti. Nokturia (berkemih dimalam hari) didefinisikan sebagai gejala
pengeluaran urin waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml
atau pasien terbangun untuk berkemih beberapa kali waktu malam
hari.Nokturia disebabkan oleh hilangnya pola pemekatan urine diurnal
normal sampai tingkat tertentu dimalam hari.Dalam keadaan normal
perbandingan jumlah urine siang hari dan malam hari adalah 3:1 atau
4:1.Sudah tentu, nokturia kadang kadang dapat terjadi juga sebagai
respon kegelisahan atau minum cairan yang berlebihan, terutama teh, kopi
atau bir yang diminum sebelum tidur. (Ketut, 2007)

Stadium ketiga
Disebut stadium akhir atau uremia. ESRD (gagal ginjal stadium akhir)
terjadi apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR
hanya 10% dari normal. Pada keadaan ini kreatinin dan kadar BUN akan
meningkat dengan sangat mencolok. Pasien mulai mersakan gejala-gejala
yang

cukup

parah.Pasien

menjadi

oligourik

karena

kegagalan

glomerulus.Pada stadium akhir (sindrom uremik) terjadi kompleks gejala


yang berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen.Dua kelompok gejala
klinis dapat terjadi pada sindrom uremik. Pertama, gangguan fungsi
pengaturan dan ekskresi , kelainan volum cairan dan elektrolit, ketidak
seimbagan asam basa, retensi metabolit nitrogen dan metabolit lainnya,
serta anemia yang disebabkan oleh defisiensi sekresi ginjal. Kedua, timbul
gejala yang merupakan gabungan kelainan kardiovaskular, neuromuskular,
saluran cerna dan kelainan lainnya. (Ketut, 2007)
Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran
cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular (Murray et al.,
2007).
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagalginjalkronik. Anemia pada pasien
gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal
lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,
kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
ataupun kronik (Suwitra, 2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL
atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding
Capacity(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al.,
2007; Suwitra, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan

perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi


klinik adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007).
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis
mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah
yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus
halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang
setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada
conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder
atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas
dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan
gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit
biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea
pada kulit muka dan dinamakan urea frost (Kumar et al., 2007).
e.

Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat

kompleks.

Beberapa

faktor

seperti

anemia,

hipertensi,

aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien

gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat


menyebabkan kegagalan faal jantung.
H. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis CKD berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik mengenai manifestasi klinis yang ada pada pasien dan dibantu hasil
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti DM, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus,
perikarditis, kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya, seperti anemia, asidosis metabolik, dan
sebagainya.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel Burr pada
uremia berat. Leukosit dan trombosi masih dalam batas normal. Klirens
kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi glomerulus dan turun menjadi
kurang dari 5 ml/menit pada gagal ginjal terminal. Dapat ditemukan
proteinuria 200-1000mg/hari.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa penurunan ureum dan kreatinin serum,
dan penghitungan TKK
c. Kelainan biokimiawi darah seperti penurunan kadar hemoglobin dan
asam urat.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria dan leukosuria.
3. Gambaran radiologis;
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. USG bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.

4. Biopsi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat dilakukan pada
penderita dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara invasif sulit ditegakkan (Suwitra, 2007).
I. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif,
meringankan keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit.
a

Peranan diet Diet rendah protein menguntungkan untuk mencegah


atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi)


untuk GGK harus adekuat agar dapat mempertahankan keseimbangan
positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan
harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan


elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyebab dasar
penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease). (Sukandar, 2006)

2. Terapi simptomatik
a

Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena


meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan
mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali (sodium
bicarbonat) yang harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau
serum bikarbonat 20 mEq/L.

Anemia Dapat diberikan eritropoetin pada pasien GGK. Dosis inisial


50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL
kurangi dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum
pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu.
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu

pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi


darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
c

Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,


merupakan keluhan utama yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan
lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan
yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obatobatan simtomatik.

Kelainan kulit . Tindakan yang diberikan tergantung jenis keluhan di


kulit.

Kelainan neuromuskular. Terapi yang dilakukan adalah hemodialisis


reguler

yang

adekuat,

medikamentosa

operasi

subtotal

paratiroidektomi.
f

Hipertensi. Pemberian obat anti hipertensi terutama penghambat


Enzym Konverting Angiotensin (ACE inhibitor). Melalui berbagai
studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi
dan antiproteinuria.

Kelainan sistem kardiovaskular. Pencegahan dan terapi terhadap


penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-50%
kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian DM, hipertensi,
dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan
gangguan keseimbanagan elektrolit. (Sukandar, 2006)

3. Diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.Pembatasan
asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/mnt,sedangkan di atas
nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein
diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya merupakan
protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35

kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status


nutrisi pasien.
Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan.Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein
tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi urea dan substansi
nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal. Pemberian diet
tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan
gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Pembatasan protein
akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.Kebutuhan
cairan bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.19.Kebutuhan jumlah
mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit
ginjal dasar (underlying renal disease) (Sukandar, 2006).
4. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit GGK stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a

Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu
indikasi absolut, yaitu : perikarditis, ensefalopati atau neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Serta
indikasi elektif, yaitu LFG : antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat. (Rahardjo et al., 2006)

Dialisis peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik
disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu
keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal. (Rahardjo
et al., 2006)

Transplantasi ginjal

Pertimbangan dilakukannya transplantasi ginjal adalah


1

Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh


(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih

2
3
4

70-80% faal ginjal alamiah


Kualitas hidup normal kembali
Masa hidup (survival rate) lebih lama
Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif

untuk mencegah reaksi penolakan.


5 Biaya lebih murah dan dapat dibatasi. (Rahardjo et al., 2006)
Diagnosis CRF harus dilakukan berdasarkan klasifikasi etiologi dan
patologi sehingga petugas kesehatan dapat merencanakan terapi yang tepat
untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan umum. Tujuan
dari terapi CRF adalah (K/DOQI, 2002):
1. Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 2030% dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak
bermanfaat (Suwitra, 2007).

2. Pencegahan

dan

Terapi

terhadap

Kondisi

Komorbid
Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra,
2007).
3. Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus ini adalah dengan (Suwitra, 2007):
a. Pembatasan asupan protein
Pembatasan mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit, sedangkan di atas nilai
tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein
diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya
merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan
sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan
karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion nonorganic lain juga
diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia,
dengan

demikian

pembatasan

protein

akan

mengakibatkan

berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan


protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
akan

meningkatkan

progresivitas

pemburukan

fungsi

ginjal.

Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan

fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia
(Suwitra, 2007).
b. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus
Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil risiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan
hipertrfi glomerulus. Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat
terkait dengan derajat proteinuria, karena proteinuria merupakan factor
risiko

terjadinya

pemburukan

fungsi

ginjal.

Beberapa

obat

antihipertensi terutama golongan ACE inhibitor melalui berbagai studi


terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal
(Suwitra, 2007).
4. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular
Lebih kurang 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam
pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian
diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hperfosfatemia, dan terapi
terhadap cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait
dengan terapi dan pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik
secara keseluruhan (Suwitra, 2007).
5. Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi,
yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2007):
a. Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89
ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat
b. Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia,
hipokalsemia,

anemia,

hiperparatiroid,

hipertensi,

dan

hiperhomosisteinemia
c. Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis
metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemia
d. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia
6. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat

berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra,


2007).
Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin, Hb, dan Gula
darah

juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas penyakit untuk

berkembang lebih cepat (K/DOQI, 2002).


J. Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan pada penderita penyakit gagal ginjal kronik antara lain :
1. Anemia
Terjadinya anemia karena gangguan pada produksi hormone eritropoietin
yang bertugas mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan
energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari.Akibat dari
gangguan tersebut, tubuh kekurangan energy karena sel darah merah yang
bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak
mencukupi.Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang
energi, cepat lelah, luka lebih lambatsembuh, kehilangan rasa (baal) pada
kaki dan tangan.
2. Osteodistofi ginjal
Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan
metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah sangat
tinggi, akan terjadi pengendapan garam dalam kalsium fosfat di berbagai
jaringan lunak (klasifikasi metastatik) berupa nyeri persendian (artritis),
batu ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh
darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan.
3. Gagal jantung
Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang
memadai

ke

seluruh

tubuh.Jantung

tetap

bekerja,

tetapi

kekuatanmemompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung pada


penderita gagal ginjal kronis dimulai dari anemia yang mengakibatkan
jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung
kiri (left venticular hypertrophy/ LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan
melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya
(sindrom kardiorenal).
4. Disfungsi ereksi
Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan
ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan

pasangannya.Selain akibat gangguan sistem endokrin (yang memproduksi


hormon testeron) untuk merangsang hasrat seksual(libido), secara
emosional penderita gagal ginjal kronis menderita perubahan emosi
(depresi) yang menguras energi.Namun, penyebab utama gangguan
kemampuan pria penderita gagal ginjal kronis adalah suplai darah yang
tidak cukup ke penis yang berhubungan langsung dengan ginjal.
5. Sindrom Metabolik
Terdapat korelasi erat antara komponen sindrom metabolic dengan CKD
dan

albuminuria

dianggap

sebagai

komponen

dari

sindrom

metabolik.Hiperinsulinemia dan resistensi insulin terhadap mortalitas


penyakit kardiovaskular. Penurunan kadar adiponektin plasma dapat
meningkatkan risiko kematian pada penyakit kardiovaskular pasien CKD.
6. Atherosklerosis
Faktor risisko terjadinya atherosclerosis pada CKD adalah diabetes, kadar
kolesterol total yang tinggi, kadar kolesterol HDL yang rendah, merokok,
dan tingginya tekanan darah sistolik.
7. Inflamasi
Peradangan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
atherosklerosis.Peenanda
menandakan

adanya

C-reactive
peradangan,

protein
namun

(CRP)
dapat

tidak

hanya

menggambarkan

perkembangan atherosklerosis, termasuk inisiasi, pembentukan dan


pecahnya plak.
8. Kerusakan dan disfungsi sel endothelial
Vasodilatasi endotel yang abnormal sebagai manifestasi gangguan arteri
brakhialis merupakan prediktor kejadian penyakit kardiovaskular dan
kematian pada pasien dengan CKD serta berhubungan dengan kekakuan
arteri dan LVH. Kematian sel endotel memfasilitas pembuluh darah,
proliferasi sel otot polos dan makrofag, dan aktivasi platelet dan agregrasi
(Medscape, 2014).

K. Prognosis
Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari,
keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang
menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani

transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis
kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi
(14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%) (Medscape,
2014).

BAB IV
KESIMPULAN
1

Chronic Kidney Disease adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, bersifat menahun, berlangsung
progresif, dan cukup lanjut. Hal ni terjadi apabila laju filtrasi glomerular

(LFG) kurang dari 50 mL/mnt.


Penyebab gagal ginjal kronis berdasarkan keperluan klinis dapat dibagi
dalam 2 kelompok, yaitu penyakit parenkim ginjal dan penyakit ginjal

obstruktif.
Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan,
yaitu penurunan fungsi ginjal, insufisiensi ginjal, gagal ginjal, dan end
stage renal disease.

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologis.Klasifikasi
berdasarkan derajat penyakit, dibuat atas dasar perhitungan GFR.
Pedoman KDOQI merekomendasikan perhitungan GFR dengan rumus

Cockroft-Gault untuk orang dewasa.


Terapi yang diberikan berupa konservatif, simptomatik, diet tinggi kalori
rendah protein serta transplantasi ginjal.

DAFTAR PUSTAKA
Eknoyan, Garabed. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney
Disease. US Nephrology: 13-7.
Ketut , S. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi. 4
Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;.hlm 570-3.
Kidney Disease Outcome Quality Initiative. 2002. Clinical Practice Guidelines
for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.
New York: National Kidney Foundation.
Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. 2007. Robbins buku ajar
patologi volume 2 edisi 7. Jakarta: EGC.
Levey, AS, Coresh J, Balk E, Kautz T, Levin A, Steves M et al. 2005. National
Kidney Foundation Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification,and Stratification. Ann Intern Med ;139:137-47.
Lopez-Novoa, Jose M., Carlos MS., Ana B. RP., Francisco J. L. H. 2010.
Common Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease:
Therapeutic Perspectives. Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81.
McCance, K. L., Sue E. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic of Disease
in Adults and Children. Canada: Elsevier Mosby.

Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. 2007. Chronic Renal failure in Oxford
Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University. 29497.
National Kidney Foundation. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm.
Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses
perjalanan penyakit, volume 1, edisi 6. Jakarta: EGC.
Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono., 2006. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 579-580.
Sharon, K. Chronic kidney disease.Critical Care Nurse. 2006;14:17-22.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid
I. Jakarta Balai Penerbit FKUI. p. 725 33 ; 766 71.
Sukandar, E., 2006. Nefrologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.
Suwitra, K.2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,
Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hlm 570-3.

Вам также может понравиться

  • Form Medication
    Form Medication
    Документ8 страниц
    Form Medication
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет
  • Terapi Farmakologi Pada Hipertensi PDF
    Terapi Farmakologi Pada Hipertensi PDF
    Документ73 страницы
    Terapi Farmakologi Pada Hipertensi PDF
    Tunggul Selena
    Оценок пока нет
  • Teori Dan Konsep Perilaku
    Teori Dan Konsep Perilaku
    Документ8 страниц
    Teori Dan Konsep Perilaku
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет
  • Narkotika Psikotroka Dan Perlindungan Konsumen
    Narkotika Psikotroka Dan Perlindungan Konsumen
    Документ4 страницы
    Narkotika Psikotroka Dan Perlindungan Konsumen
    vina_nursyaidah
    Оценок пока нет
  • Kista Gartner
    Kista Gartner
    Документ2 страницы
    Kista Gartner
    Firsty Demy Christanti
    67% (6)
  • Eritroderma
    Eritroderma
    Документ26 страниц
    Eritroderma
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет
  • Eritroderma
     Eritroderma
    Документ5 страниц
    Eritroderma
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет
  • DHF-1
    DHF-1
    Документ30 страниц
    DHF-1
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет
  • Kulit
    Kulit
    Документ24 страницы
    Kulit
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет
  • Presbes Irma-Dr - Indah SP.P
    Presbes Irma-Dr - Indah SP.P
    Документ32 страницы
    Presbes Irma-Dr - Indah SP.P
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет
  • DHF Dokhep Dahlia
    DHF Dokhep Dahlia
    Документ36 страниц
    DHF Dokhep Dahlia
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет
  • Prescil Paru TB Paru Lesi Luas MDR Fix Irma
    Prescil Paru TB Paru Lesi Luas MDR Fix Irma
    Документ27 страниц
    Prescil Paru TB Paru Lesi Luas MDR Fix Irma
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет
  • DHF Dokhep Dahlia
    DHF Dokhep Dahlia
    Документ36 страниц
    DHF Dokhep Dahlia
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет
  • Toxoplasmosis Mata
    Toxoplasmosis Mata
    Документ13 страниц
    Toxoplasmosis Mata
    Rahmi Fatma Sari
    Оценок пока нет
  • Toxoplasmosis Mata
    Toxoplasmosis Mata
    Документ13 страниц
    Toxoplasmosis Mata
    Rahmi Fatma Sari
    Оценок пока нет
  • Uveitis
    Uveitis
    Документ14 страниц
    Uveitis
    Fika Khulma Sofia
    Оценок пока нет
  • Toxoplasmosis Mata
    Toxoplasmosis Mata
    Документ13 страниц
    Toxoplasmosis Mata
    Rahmi Fatma Sari
    Оценок пока нет
  • CHORIORETINITIS
    CHORIORETINITIS
    Документ18 страниц
    CHORIORETINITIS
    Kha Aninda Dzulistio
    Оценок пока нет
  • Riandi Candra Prayoga (G4a015212)
    Riandi Candra Prayoga (G4a015212)
    Документ15 страниц
    Riandi Candra Prayoga (G4a015212)
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет
  • M Fadlil Azka - Blefaritis Anterior
    M Fadlil Azka - Blefaritis Anterior
    Документ10 страниц
    M Fadlil Azka - Blefaritis Anterior
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет
  • Blefaritis
    Blefaritis
    Документ14 страниц
    Blefaritis
    Achy Ramadhani
    Оценок пока нет
  • Infestasi Parasit Pada Mata
    Infestasi Parasit Pada Mata
    Документ13 страниц
    Infestasi Parasit Pada Mata
    Vina Nur Syaidah
    Оценок пока нет