Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Pembimbing:
dr. Mamun, Sp.PD
Disusun oleh :
Maya Alvionita
G4A015106
Irma Nuraeni
G4A016009
Denny Bimatama
G4A016005
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
Disusun Oleh :
Maya Alvionita
G4A015106
Irma Nuraeni
G4A016009
Denny Bimatama
G4A016005
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit
Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
I.
PENDAHULUAN
Chronic
merupakan
Kidney
kerusakan
Disease
fungsi
(CKD)
ginjal
yang
Outcome
Initiative
(K/DOQI)
kejadian
yang
terus
meningkat,
CKD
lebih
kompleks
lagi
dan
penyakit-penyakit
yang
pada
CKD
sering
dideskripsikan
darah
(Eknoyan,
2009).
CKD
CKD
harus
mendapatkan
penyakit
CKD
tersebut
dapat
II.
LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita
Nama
: Tn. P
Umur
: 39 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Ajibarang wetan RT 03/02
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Pekerjaan
: PNS
Tanggal masuk RSMS : 04 november 2016
Tanggal periksa
No.CM
: 07 november 2016
: 00887055
B. Anamnesis
Keluhan utama
: mual sudah 1 minggu
Keluhan tambahan
:
Muntah +, lemas +, tangan dan kaki gemetar, bab lancar,bak lancar
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan mual sejak 1 minggu yang
lalu sebelum masuk rumah sakit. Mual dirasakan terus menerus sepanjang
hari, makin memberat saat aktifitas. Sebelumnya, pasien sering mengeluhkan
keluhan yang sama, dan berobat ke Puskesmas. Di Puskesmas, pasien
didiagnosis dispepsia dan diberikan obat untuk dispepsia, namun keluhan
tidak membaik meskipun pasien sudah meminum obat.
Pasien tidak
mengeluhkan adanya nyeri dan panas di ulu hati, serta perut tidak terasa
begah. Pasien mengaku tidak ada demam. BAK pasien sedikit, tidak berwarna
seperti teh, tidak bercampur darah. BAB lancar, tidak ada diare atau
konstipasi, tidak ada lendir atau darah saat BAB. Keluhan lain yang dirasakan
pasien adalah kadang-kadang muntah, muntahan berupa air makanan, muntah
tidak berwarna hitam dan berampur darah. Pasien juga mengeluhkan kaki dan
tangan gemetar, namun tidak ada kesemutan. Kaku pada pagi hari disangkal,
nyeri pada persendian disangkal. Pasien tidak mengeluhkan penurunan berat
badan yang signifikan, dan tidak sering berkeringat atau jantung berdebardebar. Pasien menyangkal adanya keluhan sering haus, sering lapar, dan
sering BAK terutama saat malam hari. Pasien mempuyai riwayat hipertensi
sejak 3 tahun lalu, namun pasien tidak rutin kontrol tekanan darah dan tidak
rutin meminum obat darah tinggi. 4 bulan yang lalu, pasien pernah mondok di
RS Margono dan pasien HD rutin hari rabu dan sabtu.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan yang sama
: Diakui
2. Riwayat hipertensi
: Diakui
3. Riwayat DM
: Disangkal
4. Riwayat penyakit jantung
: Disangkal
5. Riwayat alergi
: Disangkal
6. Riwayat mondok
: Diakui
Riwayat penyakit keluarga
1. Riwayat keluhan yang sama
2. Riwayat sakit kuning
: Disangkal
: Disangkal
3.
4.
5.
6.
Riwayat hipertensi
Riwayat DM
Riwayat penyakit jantung
Riwayat penyakit ginjal
mudah
4) Pupil
: reflek cahaya (+/+), isokor
5) Exopthalmus
: (-/-)
6) Lapang pandang
: tidak ada kelainan
7) Lensa
: keruh (-/-)
8) Gerak mata
: normal
9) Tekanan bola mata : nomal
10) Nistagmus
: (-/-)
c. Telinga
1) otore (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) nyeri tekan (-/-)
d. Hidung
1) nafas cuping hidung (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) discharge (-/-)
e. Mulut
1) bibir sianosis (-)
2) bibir kering (-)
3) lidah kotor (-)
f. Leher
1) Trakhea
: deviasi trakhea (-/-)
2) Kelenjar lymphoid
: tidak membesar, nyeri (-)
3) Kelenjar thyroid
: tidak membesar
4) JVP
: Tidak meningkat (5+2 cm)
g. Dada
1) Paru
a)
Inspeksi
: bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (-)
b)
Palpasi
: vocal fremitus kanan=kiri
ketinggalan gerak kanan= kiri
c)
Perkusi
: sonor pada lapang paru kiri dan kanan
d)
Auskultasi : Suara dasar vesikuler pada apex dan
basal paru kanan sama dengan paru kiri, Wheezing(-), ronkhi basah halus
(-), ronkhi basah kasar (-)
2) Jantung
a)
Inspeksi
: ictus cordis terlihat di SIC V 2 jari medial LMCS
b)
Palpasi
: ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS.
c)
Perkusi
: Batas jantung kanan atas
: SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas
: SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 jari medial LMCS
d)
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
h. Abdomen
1) Inspeksi
: datar
2) Auskultasi
: bising usus (+) normal
3) Perkusi
: timpani, pekak sisi (-), pekak beralih (-)
4) Palpasi
: supel, nyeri tekan epigastrium (+), undulasi (-)
5) Hepar
: tidak teraba
6) Lien
: tidak teraba
i. Pemeriksaan ekstremitas
Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 04 november 2016
Hematologi
Darah Lengkap
Hemoglobin
: 4,9 g/dl
(14 18 g/dl)
Leukosit
: 6,66 10^3/uL
(4,8 10,8/ul)
Hematokrit
: 14,2 %
(42 52 %)
Eritrosit
: 1,61 106/ul
(4,7 6,1 x 106/ul)
Trombosit
: 145 10^3/ul
(150 450/ul)
MCV
: 88,2 fL
(79 99 fL)
MCH
: 30.4 pg
(27 31 pg)
MCHC
: 34,5 %
(33 37 %)
RDW
: 12,3 %
(11,5 14,5 %)
MPV
: 9,7 fL
(7.2 11.1 fL)
Hitung Jenis
Basofil
:1%
(0.00 1.00 %)
Eosinofil
:2%
(2.00 4.00 %)
Batang
: 0,0 %
(2.00 5.00 %)
Segmen
: 80,3 %
(40.0 70.0 %)
Limfosit
: 20 %
(25.0 40.0 %)
Monosit
:7%
(2.00 8.00 %)
Kimia Klinik
Ureum darah
Kreatinin darah
Gula darah sewaktu
: 307 mg/dl
(12 50 mg/dl)
: 27,32 mg/dl
(14 18 g/dl)
Leukosit
: 7400 uL
(3000-1600/ul)
Hematokrit
: 24 %
(40 52 %)
Eritrosit
: 2,8 106/ul
(4,4 5,9)
Trombosit
: 141.000 ul
(150.000 450.000/ul)
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
Kimia Klinik
Ureum darah
Kreatinin darah
Kalium
: 148,1 mg/dl
: 19,86 mg/dl
: 4,0 mmol/l
Urin lengkap
Bakteri +1
(0.00 1.00 %)
(2.00 4.00 %)
(2.00 5.00 %)
(40.0 70.0 %)
(25.0 40.0 %)
(2.00 8.00 %)
(14,98 38,52 mg/dl)
(0.80 1.30 mg/dl)
(3,5-5,1)
E. Resume
1. Anamnesis
a. Mual-mual
b. Muntah
c. Lemas
d. Tangan dan kaki gemetar
e. Riwayat hipertensi (+), riwayat keluarga hipertensi (+)
2. Pemeriksaan fisik
a. Vital sign : TD : 180/110 mmHg, RR : 24 x/m, N: 84 x/m, S: 36 c
b. Pemeriksaan ektrimitas : Mata: Konjungtiva Anemis (+/+)
3. Pemeriksaan Penunjang
4. Ureum darah
: 307 mg/dl
(12 50 mg/dl)
5. Kreatinin darah
: 27,32 mg/dl
(0.90 1.30 mg/dl)
( 14039 ) x 80
=4,1( grade 5)
LFG Cocroft-Gault
:
72 x 27,32
F. Diagnosis
CKD Grade V
HT grade II
Anemia sedang
Sindrom uremikum
G. Usulan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap berulang
Pemeriksaan ureum kreatinin berulang
Pemeriksaan elektrolit
H. Penatalaksanaan
Non Farmakologi
1. Pembatasan cairan
Farmakologi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Monitoring
1. Tekanan darah
2. Hb, Ureum, Kreatinin dan Elektrolit.
I. Prognosis
Ad vitam
Ad sanationam
Ad functionam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
III.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Penurunan fungsi ginjal yang terjadi bersifat menahun,
berlangsung progresif, dan cukup lanjut. Hal ni terjadi apabila laju filtrasi
glomerular (LFG) kurang dari 50 mL/mnt(Sudoyo, 2006).
Gagal ginjal kronik / Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan
sebagai penurunan progresif fungsi ginjal menahun dan perlahan yang
bersifat irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme atau keseimbangan cairan dan elektrolit, yang berakibat
terjadinya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Suwitra, 2007).
Batasan penyakit ginjal kronik:
Penjelasan
LFG
(mL/menit/1,73m2)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal 90
2
3
4
5
atau
Kerusakan ginjal dengan LFG ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
Gagal ginjal
60-89
30-59
15-29
<15 atau dialisis
Deskripsi
Kerusakan ginjal dengan
GFR Normal atau
meningkat
Kerusakan ginjal dengan
penurunan GFR ringan
Gagal ginjal
C. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) :
1. Gangguan imunologis
a. Glomerulonefritis
b. Poliartritis nodosa
c. Lupus eritematous
2. Gangguan metabolik
a. Diabetes Mellitus
b. Amiloidosis
c. Nefropati Diabetik
3. Gangguan pembuluh darah ginjal
a. Arterisklerosis
b. Nefrosklerosis
4. Infeksi
a. Pielonefritis
b. Tuberkulosis
5. Gangguan tubulus primer
a. Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
6. Obstruksi traktus urinarius
a. Batu ginjal
b. Hipertopi prostat
c. Konstriksi uretra
7. Kelainan kongenital
a. Penyakit polikistik
b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia
renalis)
D. Faktor Resiko
Faktor risiko potensial GGK dapat dilihat dari faktor klinis dan faktor
sosiodemografi.Faktor klinis berkaitan dengan kondisi kesehatan atau adanya
penyakit yang diderita sebelumnya.Sedangkan faktor sosiodemografi
menekankan kepada kondisi seseorang yang dapat menyebabkan orang
Penyakit autoimun
Faktor Sosiodemografi
E. Epidemiologi
Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100
juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya di
Malaysia, dandi negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar
40-60 kasis perjuta penduduk per tahun (Suwitra, 2007). Penyakit gagal ginjal
kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun lebih
sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.
Beberapa penyebab CKD yang menjalani hemodialisis di Indonesia
pada
tahun
2000
antara
lain
Glomerulonefritis(46,39%),
Diabetes
yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron
sudah berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat
dipertahankan lagi (Price et al, 2005).
Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam
usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadinya peningkatan filtrasi
dan reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk
seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal,
namun jika 75% massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban
solut bagi setiap nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan
keseimbangan glomerulus tubulus tidak dapat dopertahankan lagi (Price et al,
2005).
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.
Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu
mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa
terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita
sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis rennin dan angiotensin. Kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Saat muntah dan diare menyebabkan
penipisan air dan natrium yang dapat memepreberat stadium uremik. Dengan
berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring dengan
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal
mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al,
2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin
yang tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin
adalah suatu substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD,
produksi erytropoetin menurun dan anemia berat akan terjadi disertai
keletihan, angina dan sesak nafas (Price et al, 2005).
melakukan
memaksimalkan
kompensasi
fungsi
ginjal.
untuk
Kelainan
GFR
<
20%
dan
penyakit
mulai
asam
basa.
hematologi,
Gangguan
neurologi,
G. Manifestasi Klinis
Perjalanan klinis umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3
stadium:
a
Stadium pertama
Disebut penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum
dan kadar BUN normal, dan pasien asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal
hanya dapat terdeteksi dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal
tersebut, seperti tes pemekatan urine yang lama atau dengan mengadakan
tes GFR yang teliti. (Ketut, 2007)
b
Stadium kedua
Perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, bila lebih dari 75%
jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari normal). Pada
tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, bergantung pada
kadarprotein dalam makanan. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum
mulai meningkat melebihi kadar normal.
Azotemia biasanya ringan ( kecuali bila pasien mengalami stress akibat
infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi). Pada stadium insufisiensi ginjal ini
mulai timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria ( akibat gangguan
kemampuan pemekatan). Gejala gejala ini timbul sebagai respon terhadap
stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Pasien
biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala
tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang teliti. Nokturia (berkemih dimalam hari) didefinisikan sebagai gejala
pengeluaran urin waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml
atau pasien terbangun untuk berkemih beberapa kali waktu malam
hari.Nokturia disebabkan oleh hilangnya pola pemekatan urine diurnal
normal sampai tingkat tertentu dimalam hari.Dalam keadaan normal
perbandingan jumlah urine siang hari dan malam hari adalah 3:1 atau
4:1.Sudah tentu, nokturia kadang kadang dapat terjadi juga sebagai
respon kegelisahan atau minum cairan yang berlebihan, terutama teh, kopi
atau bir yang diminum sebelum tidur. (Ketut, 2007)
Stadium ketiga
Disebut stadium akhir atau uremia. ESRD (gagal ginjal stadium akhir)
terjadi apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR
hanya 10% dari normal. Pada keadaan ini kreatinin dan kadar BUN akan
meningkat dengan sangat mencolok. Pasien mulai mersakan gejala-gejala
yang
cukup
parah.Pasien
menjadi
oligourik
karena
kegagalan
Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat
kompleks.
Beberapa
faktor
seperti
anemia,
hipertensi,
4. Biopsi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat dilakukan pada
penderita dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara invasif sulit ditegakkan (Suwitra, 2007).
I. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif,
meringankan keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit.
a
Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan
harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
2. Terapi simptomatik
a
yang
adekuat,
medikamentosa
operasi
subtotal
paratiroidektomi.
f
3. Diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.Pembatasan
asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/mnt,sedangkan di atas
nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein
diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya merupakan
protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu
indikasi absolut, yaitu : perikarditis, ensefalopati atau neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Serta
indikasi elektif, yaitu LFG : antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat. (Rahardjo et al., 2006)
Transplantasi ginjal
2
3
4
2. Pencegahan
dan
Terapi
terhadap
Kondisi
Komorbid
Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra,
2007).
3. Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus ini adalah dengan (Suwitra, 2007):
a. Pembatasan asupan protein
Pembatasan mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit, sedangkan di atas nilai
tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein
diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya
merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan
sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan
karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion nonorganic lain juga
diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia,
dengan
demikian
pembatasan
protein
akan
mengakibatkan
meningkatkan
progresivitas
pemburukan
fungsi
ginjal.
fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia
(Suwitra, 2007).
b. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus
Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil risiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan
hipertrfi glomerulus. Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat
terkait dengan derajat proteinuria, karena proteinuria merupakan factor
risiko
terjadinya
pemburukan
fungsi
ginjal.
Beberapa
obat
anemia,
hiperparatiroid,
hipertensi,
dan
hiperhomosisteinemia
c. Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis
metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemia
d. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia
6. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat
ke
seluruh
tubuh.Jantung
tetap
bekerja,
tetapi
albuminuria
dianggap
sebagai
komponen
dari
sindrom
adanya
C-reactive
peradangan,
protein
namun
(CRP)
dapat
tidak
hanya
menggambarkan
K. Prognosis
Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari,
keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang
menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani
transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis
kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi
(14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%) (Medscape,
2014).
BAB IV
KESIMPULAN
1
Chronic Kidney Disease adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, bersifat menahun, berlangsung
progresif, dan cukup lanjut. Hal ni terjadi apabila laju filtrasi glomerular
obstruktif.
Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan,
yaitu penurunan fungsi ginjal, insufisiensi ginjal, gagal ginjal, dan end
stage renal disease.
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologis.Klasifikasi
berdasarkan derajat penyakit, dibuat atas dasar perhitungan GFR.
Pedoman KDOQI merekomendasikan perhitungan GFR dengan rumus
DAFTAR PUSTAKA
Eknoyan, Garabed. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney
Disease. US Nephrology: 13-7.
Ketut , S. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi. 4
Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;.hlm 570-3.
Kidney Disease Outcome Quality Initiative. 2002. Clinical Practice Guidelines
for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.
New York: National Kidney Foundation.
Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. 2007. Robbins buku ajar
patologi volume 2 edisi 7. Jakarta: EGC.
Levey, AS, Coresh J, Balk E, Kautz T, Levin A, Steves M et al. 2005. National
Kidney Foundation Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification,and Stratification. Ann Intern Med ;139:137-47.
Lopez-Novoa, Jose M., Carlos MS., Ana B. RP., Francisco J. L. H. 2010.
Common Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease:
Therapeutic Perspectives. Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81.
McCance, K. L., Sue E. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic of Disease
in Adults and Children. Canada: Elsevier Mosby.
Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. 2007. Chronic Renal failure in Oxford
Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University. 29497.
National Kidney Foundation. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm.
Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses
perjalanan penyakit, volume 1, edisi 6. Jakarta: EGC.
Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono., 2006. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 579-580.
Sharon, K. Chronic kidney disease.Critical Care Nurse. 2006;14:17-22.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid
I. Jakarta Balai Penerbit FKUI. p. 725 33 ; 766 71.
Sukandar, E., 2006. Nefrologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.
Suwitra, K.2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,
Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hlm 570-3.