Вы находитесь на странице: 1из 5

BAB II

PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD dengan keluhan berupa demam yang dirasakan sejak
5 hari SMRS. Demam muncul mendadak, terus-menerus dan dirasakan naik turun
sepanjang hari sampai mencapai 39C. Demam turun setelah pasien minum obat
penurun panas namun demam naik lagi beberapa jam

kemudian. Terjadinya

demam menunjukkan bahwa pada tubuh terdapat pirogen endogen dari leukosit
yang sebelumnya telah tersensitasi pirogen eksogen yang dapat berasal dari
mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak
berdasarkan suatu infeksi (Nelwan, 2009). Penyebab demam dapat diketahui
dengan melihat pola demam, misalnya pada pasien demam tinggi sejak 5 hari
SMRS, muncul mendadak, terus-menerus, dan naik-turun dapat mengarah pada
demam dengue. Ditambah keterangan dari pasien ada tetangga sekitar rumahnya
yang mengalami keluhan demam serupa, yang kemudian dirawat di rumah sakit
dan didiagnosis dengue. Jika terdapat pasien yang tinggal di area endemis dengue
atau baru saja bepergian ke daerah endemis dengue, patut diwaspadai
kemungkinan pasien terjangkit dengue apabila mengalami demam akut dan
ditambah gejala lain seperti mual, muntah, kemerahan, pegal linu, turniket positif,
leukopenia, dan tanda bahaya dengue.
Manifestasi

infeksi dengue

pada manusia

dapat

berupa infeksi

asimtomatik, demam dengue ringan, demam berdarah dengue yang lebih berat,
atau sindrom syok dengue yang mengancam nyawa. Faktor genetik merupakan
salah satu faktor yang ikut menentukan beratnya infeksi dengue pada manusia.
Polimorfisme genetik pada gen HLA kelas I, II dan III, serta 2 gen non-HLA,
yakni FcRII dan VDR ditemukan ikut mempengaruhi suseptibiltas individu
terhadap demam berdarah dengue (Eppy, 2012).

Gambar X. Klasifikasi dengue (WHO, 2009)


Terdapat tiga fase pada perjalanan dengue, yaitu fase febris, fase kritis, dan
fase konvalesen. Pada fase febris, pasien mengalami demam tinggi dan mendadak.
Demam berlangsung selama 2 hingga 7 hari yang terkadang dibarengi dengan
wajah kemerahan, kulit eritem, atralgia, myalgia, nyeri retro-orbital, fotofobia,
eksantem rubeliformis, dan sakit kepala (WHO, 2012). Beberapa gejala penyerta
demam tersebut muncul pada pasien (myalgia, atralgia, nyeri kepala), namun
tanpa disertai manifestasi perdarahan ringan seperti ptekia, epistaksis dan
perdarahan mukosa (gusi). Fase febris juga dapat disertai pembesaran hepar dan
penurunan angka leukosit yang menjadi tanda khas yang harus diperhatikan pada
infeksi dengue.
Transisi dari fase febris ke fase afebris disebut fase kritis. Pada fase ini
pasien mengalami kenaikan permeabilitas vaskuler yang dapat bermanifestasi
sebagai tanda kegawatan (warning sign) terutama disebabkan oleh kebocoran
plasma. Biasanya terjadi pada hari ke 3-8, suhu tubuh bisa turun hingga 37.538C, terjadi leukopenia dan trombositopenia progresif, dan kenaikan hematokrit.
Derajat kebocoran plasma bisa berbeda-beda tiap pasien. Kenaikan hematokrit
menandakan keparahan kebocoran plasma. Terapi utama pada kondisi ini adalah

penggantian cairan intravena. Manifestasi lain adalah perdarahan, yang paling


sering ditemui adalah hematom di tempat injeksi. Pada fase ini harus diwaspadai
adanya tanda-tanda kegawatan (WHO, 2012). DBD dengan syok dan perdarahan
spontan (DSS) merupakan komplikasi DBD yang sangat penting diwaspadai,
karena angka kematiannya sepuluh kali lipat dibandingkan pada DBD tanpa syok.
Keadaan syok dapat diperhatikan dari keadaan umum, kesadaran, tekanan sistolik
<100 mmHg, tekanan nadi <20 mmHg, frekuensi nadi lebih dari 100x/menit, akral
dingin dan kulit pucat serta diuresis kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam.

Gambar X. Perjalanan Dengue (WHO, 2012)


Setelah 24-48 jam fase kritis terlewati, secara berangsur-angsur terjadi
penyerapan kembali cairan yang menumpuk di ekstravaskuler kira-kira selama 4872 jam. Kemudian keadaan umum akan membaik, ditandai dengan membaiknya
nasfsu

makan,

berkurangnya

gejala

gastrointestinal,

stabilnya

status

hemodinamik, dan kenaikan diuresis.


Proses patogenesis dengue pada tingkat sel dan organ terjadi pada
beberapa sel, misalnya pada makrofag di jaringan, terjadi apoptosis sehingga
mediator larut (soluble) akan meningkatkan TNF , INF , IL-1, IL-2, IL-6, IL-8,
IL-10, IL-13, IL-18, TGF , C3a, C4b, C5a, MCP-1, CCL-2, VEGF, dan NO,
berakibat ketidakseimbangan profi terhadap sitokin dan mediator lain sehingga
terjadi gangguan endotel dan koagulasi. Melalui sel dendritik, virus dengue dapat

memicu ekspresi enzim-enzim matrix metalloprotease, MMP-2 dan MMP-9,


meningkatkan permeabilitas yang berakibat kebocoran plasma dan perdarahan.
Stimulasi terhadap sistem komplemen dan sel imunitas didapat akan
meningkatkan

koagulasi,

menurunkan

mediator

larut

(soluble),

terjadi

ketidakseimbangan profil sitokin sehingga berkembang menjadi gangguan


koagulasi. Pada sumsum tulang, terjadi replikasi dalam sel stroma sehingga terjadi
supresi hemopoietik termasuk trombosit (trombositopenia) yang berkembang ke
arah gangguan koagulasi. Pada hepar, terjadi nekrosis dan/atau apoptosis dari
hepatosit dan sel kupffer akibat invasi virus sehingga terjadi kenaikan enzim
transaminase (Lardo, 2013).
Diketahui bahwa aktivitas sel T lebih tinggi pada DBD dibanding pada
demam Dengue. Sitokin dan kemokin yang diinduksi oleh sel T berdampak pada
permeabilitas vaskuler sebagai penyebab kebocoran plasma DBD. Tingginya
risiko DBD pada infeksi sekunder memberi gambaran bahwa antibodi dari reaksi
silang yang tidak menetralisir antigen virus sebelumnya, dapat meningkatkan
penyerapan virus oleh sel pejamu dan akan memicu replikasinya. Kemudian
sistem imun bawaan dan adaptif akan teraktivasi secara intensif. Transfer pasif
antibodi bergantung pada nitrit oksida dan caspase (cysteine-aspartic protease)
yang berperan dalam berbagai peubahan seperti perdarahan, koagulopati,
kenaikan enzim hepar, dan kematian sel endotel (Rizal, 2011).

Вам также может понравиться