Вы находитесь на странице: 1из 121

PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION

DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN


Studi Kasus Putusan Pengadilan Atas Gugatan Perwakilan Kelompok
Korban Tabrakan Kereta Api Tanggal 25 Desember 2001 di Brebes
(Perkara No. 1440 K/Pdt/2006. Jo. No. 87/PDT/2004/PT.DKI.
Jo. No. 114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst)

TESIS

MILIATER SIMALANGO
NPM 0606006431

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
DESEMBER 2008

Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh:
Nama
:
NPM
:
Program Studi
:
Judul Tesis
:

Miliater Simalango
0606006431
Ilmu Hukum
Penggunaan Gugatan Class Action
Dalam Rangka Perlindungan Konsumen
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Atas
Gugatan Perwakilan Kelompok Korban
Tabrakan Kereta Api Tanggal 25
Desember 2001 di Brebes.)

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.H.

(............................)

Penguji

: Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LLM (...........................)

Penguji

: Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H.

(............................)

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal

: .............. Januari 2009

Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa, karena atas berkat, kasih dan karuniaNya-lah, penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini dapat terselesaikan berkat
bantuan, dukungan, partisipasi dan bimbingan dari berbagai pihak.Oleh karena itu
sudah pada tempatnya dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang tulus dan sedalam-dalamnya terutama kepada Bapak Dr. Inosentius Samsul,
SH.,MH., yang telah meluangkan waktu dan dengan sabar membimbing,
mengarahkan dan mendorong penulis agar segera menyelesaikan tesis ini.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Sudaryatmo
Public Interest Lawyer Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) atas
kesediaanya meluangkan waktu untuk memberikan informasi dan data kepada
penulis berkaitan dengan pelaksanaan isi putusan pengadilan atas gugatan class
action korban tabrakan kereta api tanggal 25 Desember 2001 di Brebes. Kepada
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan
data dan informasi mengenai perkara-perkara gugatan class action, penulis juga
tak lupa menyampaikan terima kasih.
Penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus kepada rekan-rekan
kerja penulis di kantor Suyanto Simalango Patria & Partners, atas pengertian dan
dorongan semangat serta fasilitas yang diberikan selama penulis mengikuti studi
program fasca sarjana di Universitas Indonesia sampai dengan selesainya tesis ini.
Secara khusus penulis juga menyampaikan rasa syukur dan terima kasih
kepada istri penulis Farini Dwiningsih yang senantiasa dan tiada henti-hentinya
memberikan dorongan dan perhatian sehingga penulis tetap semangat dan terpacu
untuk segera meneruskan dan menyelesaikan penulisan tesis ini. Demikian juga
buat anak-anak penulis Rizky Falita Simalango dan Putra Permata Hasiholan
Simalango yang secara tidak langsung memberikan semangat dan inspirasi kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana ini. Semoga hasil yang
dicapai ini dapat berguna dan menjadi pendorong semangat di masa yang akan
datang.
Penulis menyadari bahwa keterbatasan kemampuan dan waktu jualah
sehingga tesis ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahana hati, kritik dan saran dari berbagai pihak,
senantiasa penulis harapkan demi penyempurnaan tesis ini.

ii

Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS


AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:
Nama
NPM
Program Studi
Fakultas
Jenis Karya

: Miliater Simalango
: 0606006431
: Ilmu Hukum
: Hukum
: Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exlusive Royaltry
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Penggunaan Gugatan Class Action Dalam Rangka Perlindungan Konsumen.
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal : 5 Januari 2009
Yang menyatakan,

(Miliater Simalango)

Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

ABSTRAK
Dalam hukum positif Indonesia, gugatan class action baru diakui sejak
tahun 1997 melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Setelah undang-undang ini, tercatat ada 3 (tiga) UndangUndang yang secara eksplisit mengakui mengenai gugatan class action yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, dan UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Saat ini penerapan
penggunaan mekanisme gugatan class action baru diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002.
Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 diatur bahwa wakil kelas tidak
memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok dalam mengajukan gugatan di
pengadilan. Ketentuan ini pada umumnya menjadi salah satu peluang bagi
tergugat untuk mengajukan keberatan terhadap penggunaan mekanisme gugatan
class action, dengan alasan dalam hukum acara perdata yaitu HIR yang
kedudukannya setingkat undang-undang ditentukan bahwa untuk bertindak di
pengadilan mewakili orang/pihak lain, maka harus ada surat kuasa khusus dari
pihak yang diwakilinya.
Dalam gugatan class action yang diajukan oleh korban tabrakan kereta api
di Brebes tanggal 25 Desember 2001, pengadilan dengan tegas telah mengakui
kedudukan para penggugat selaku wakil kelas dan telah mengadili perkara dengan
menggunakan mekanisme gugatan class action.
ABSTRACT
In positive law in Indonesia, class action is just admitted since 1997
through law No. 23 Year 1997 concerning Live Environment Management. After
this law, there are three (3) laws explicitly acknowledge concerning class action,
those are Law Number 8 Year 1999 concerning Customers Protection, Law
Number 18 Year 1999 concerning Construction Service, and Law Number 41
Year 1999 concerning Forestry. This time, the application of class action
mechanism is regulated through Supreme Court Regulation Number 1 Year 2002.
In PERMA Number 1 Year 2002 regulated that class representative does
not need power of attorney from group members applying law suit in court. This
stipulation generally has become one of opportunities for defendant to apply
objection for the use of class action mechanism, with the reason civil law is HIR
has a position as a level as law determined that to act in court represent by other
parties, so power of attorney from the represented parties should be existed.
In class action, applied by train accident victim happened in Brebes
Regency, on December 25,2001, the court explicitly has acknowledged that
position from plaintiff as class representative and has adjudicated that case by
using class action mechanism.

Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

DAFTAR ISI
Abstrak.. i
Kata Pengantar . ii
BAB I PENDAHULUAN. 1
A. Latar Belakang Penelitian ........ 1
B. Perumusan Masalah .... 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .. ..... 4
D. Kerangka Teoritis 5
E. Metode Penelitian ... 10
F. Sistematikan Penulisan.... 11
BAB II PENGATURAN GUGATAN CLASS ACTION 13
A. Pengertian Class Action ........ 13
B. Sejarah Perkembangan dan Pengaturan Class Action. 18
1. Perkembangan Class Action di Beberapa Negara. 18
2. Perkembangan dan Pengaturan Class Action Dalam Hukum Positif
Indonesia... 24
C. Ketentuan Pengajuan Gugatan Class Action 36
1. Hukum Acara Yang Berlaku Dalam Gugatan Class Action.. 36
2. Persyaratan Mengajukan Gugatan Class Action 38
3. Persyartan Formal Gugatan Class Action.. 38
4. Prosedur Pengajuan dan Pemeriksaan Gugatan Class Action 44
5. Manfaat Penggunaan Gugatan Class Action . 55
BAB III HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENGGUNAAN GUGATAN
CLASS ACTION..... 59
A. Beberapa Perkara Gugatan Yang Diajukan Dengan Menggunakan
Mekanisme Class Action Sebelum Adanya Pengakuan dan Pengaturan
Gugatan Class Action...................................... 59
B. Beberapa Perkara Gugatan Yang Diajukan Dengan Menggunakan
Mekanisme Class Action Setelah Adanya Pengakuan dan Pengaturan
Gugatan Class Action.. 64
C. Hambatan-Hambatan Dalam Penggunaan Gugatan Class Action... 81
1.
Tentang Surat Kuasa Dari Anggota Kelompok Kepada Perwakilan
Kelompok. . 81
2.
Tentang Surat Gugatan. 82
3.
Mempersamakan Gugatan Class Action Dengan Gugatan Legal
Standing.......................................................................................... 82
4.
Tentang Prosedur Acara Pemeriksaan... 84
5.
Tentang Notifikasi Atau Pemberitahuan 85
6.
Tentang Implementasi Putusan Pengadilan .. 85
7.
Kesulitan Dalam Mengelola........................... 87
8.
Dapat Menyebabkan Ketidakadilan.... 88
9.
Dapat Menyebabkan Kebangkrutan Pada Tergugat 88
10. Publikasi Gugatan Class Action Dapat Menyudutkan Pihak
Tergugat.......................................................................................... 88

iii

Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

BAB IV IMPLEMENTASI PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION


OLEH KONSUMEN PENGGUNA JASA KERETA API. . 92
A. Posisi Kasus..... 92
B. Putusan Pengadilan.. 97
C. Analisis Kasus. 98
1.
Mengenai Keberatan Para Tergugat Terhadap Penggunaan
Mekanisme Gugatan Class Action.. 98
2.
Mengenai Pembukitan PerbuatanMelawan Hukum . 101
3.
Mengenai Ganti Rugi.... 107
BAB V PENUTUP ........ 109
A. Kesimpulan ... 109
B. Saran .. 111
Daftar Pustaka 113

iv

Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Penelitian.


Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian,

pada bagian Menimbang huruf b disebutkan bahwa perkeretaapian sebagai salah


satu moda transportasi tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain
yang ditata dalam sistem transportasi nasional, mempunyai karakteristik
pengangkutan secara massal dan keunggulan tersendiri, perlu lebih dikembangkan
potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah baik
nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong dan penggerak
pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat.1
Dengan karakteristik dari sistem pengangkutan kereta api yang dapat
melakukan pengangkutan secara massal, relatif lebih cepat dan murah dibanding
dengan transportasi (darat) lainnya, membuat transportasi ini menjadi pilihan
utama bagi pengguna jasa transportasi umum. Meningkatnya minat dari pengguna
jasa kereta api tidak diikuti atau tidak sebanding dengan peningkatan sarana dan
prasarana termasuk fasilitas yang diperlukan agar sarana kereta api dapat
dioperasikan dengan baik. Fasilitas sarana dan prasarana kereta api sering
mempengaruhi kinerja pelayanan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang
menyebabkan sering terjadi ketidaknyamanan dalam menggunakan jasa kereta
api, seperti kecelakaan kereta api.
Pada tanggal 25 Desember 2001 telah terjadi tabrakan hebat di Stasiun
Ketanggungan Barat, Kabupaten Brebes antara Kereta Api Empu Jaya dengan
Kereta Api Gaya Baru Malam yang mengakibatkan sekurang-kurangnya 31 (tiga
puluh satu) orang meninggal dunia, 5 (lima) orang harus masuk ICU, 44 (empat

Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang


Perkeretaapian.

1
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

puluh empat) orang menjalani rawat inap, dan 20 (dua puluh) orang menjalani
rawat jalan.
Pada tanggal 28 Maret 2002, perwakilan kelompok korban tabrakan antara
Kereta Api Empu Jaya

dengan Kereta Api Gaya Baru Malam, mengajukan

gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana terdaftar dalam register


perkara nomor 114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst. Gugatan diajukan oleh 5 (lima) orang
penggugat yang masing-masing mewakili : (1) sub class anggota kelompok
korban penumpang Kereta Api Empu Jaya yang meninggal dunia yang diwakili
oleh Agus Yustianingsih selaku penggugat I, (2) sub class anggota kelompok
korban penumpang Kereta Api Gaya Baru Malam yang mengalami rawat
inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang berdomisili di Jakarta/Bekasi sekitarnya
yang diwakili oleh Eko Suyanto selaku penggugat II, (3) sub class anggota
kelompok korban penumpang Kereta Api Empu Jaya yang mengalami rawat
inap/rawat

jalan/luka/cacat

tetap

yang

berdomisili

di

Jawa

Tengah/

D.I,Yogyakarta dan sekitarnya yang diwakili oleh Kholil Rahman selaku


penggugat III, (4) sub class anggota kelompok korban penumpang Kereta Api
Gaya Baru Malam, yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang
berdomisili di Jawa Timur dan sekitarnya yang diwakili oleh Hartoyo selaku
penggugat IV, dan (5) sub class anggota kelompok korban penumpang Kereta Api
Empu Jaya yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang
berdomisili di Jakarta/Bekasi dan sekitarnya yang diwakili oleh Mulyadi selaku
penggugat V.
Gugatan diajukan terhadap PT. Kereta Api selaku tergugat I, Menteri
Perhubungan

Republik

Indonesia

selaku

tergugat

II,

Menteri

Negara

Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selaku tergugat III dan
Menteri Keuangan Republik Indonesia selaku tergugat IV.
Gugatan class action yang diajukan oleh para korban tabrakan kereta api
tersebut telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 6 Januari
2003 yang pada intinya mengabulkan sebagian tuntutan antara lain menyatakan
PT. Kereta Api Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum yang

2
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

menimbulkan kerugian bagi para penggugat. Terhadap putusan tersebut, baik


penggugat maupun tergugat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta yang terdaftar dalam perkara nomor 87/PDT/2004/PT.DKI.
Permohonan Banding tersebut telah diputus oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
pada tanggal 3 September 2004 yang isinya menguatkan putusan pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor 114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst, tertanggal 6 Januari
2003. Kemudian terhadap putusan banding tersebut, PT. Kereta Api Indonesia
mengajukan upaya hukum kasasi pada tanggal 6 April 2006. Permohonan Kasasi
yang diajukan oleh PT. Kereta Api Indonesia ditolak oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Putusan Nomor 1440
K/Pdt/2006 tertanggal 3 Januari 2007, sehingga dengan demikian putusan
pengadilan atas gugatan class action yang diajukan oleh perwakilan kelompok
korban tabrakan api tersebut, telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(inkracht) dan oleh karenanya secara hukum putusan tersebut telah dapat
dilaksanakan (executable).
Yang menarik, dalam putusan tersebut, selain menyatakan PT. Kereta Api
telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, pengadilan juga
memerintahkan para penggugat dan para tergugat untuk membentuk Komisi
Pembayaran Ganti Rugi yang keanggotaannya terdiri dari 2 (dua) orang wakil dari
penggugat, 2 (dua) orang wakil dari PT. Kereta Api Indonesia dan 1 (satu) orang
wakil dari Menteri Perhubungan RI selaku tergugat II), yang tentunya dalam
pelaksanaannya mungkin akan mengalami persoalan-persoalan baru.
Selanjutnya penulis akan melakukan penelitian dan analisis hukum serta
studi kasus terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (inkracht) tersebut, untuk kemudian mencoba menemukan jawaban terhadap
permasalahan-permasalahan yang telah penulis rumuskan sebagaimana diuraikan
pada bagian B di bawah ini.

3
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

B.

Perumusan Permasalahan.
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka

yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :


1.

Bagaimana pengaturan gugatan class action dalam rangka


perlindungan konsumen ?

2.

Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat/kendala dalam


proses

penggunaan

gugatan

class

action

dalam

rangka

perlindungan konsumen ?
3.

Bagaimana implementasi penggunaan gugatan class action korban


tabrakan kereta api tanggal 25 Desember 2001 di Brebes ?

C.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian.


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban tentang pengaturan

mengenai gugatan class action termasuk mengenai syarat-syarat dan prosedur


pengajuan gugatan class action. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat/kendala dalam penggunaan
gugatan class action serta bagaimana implementasi penggunaan gugatan class
action perwakilan kelompok korban tabrakan kereta api antara Kereta Api Empu
Jaya dengan Kereta Api Gaya Baru Malam yang terjadi di Brebes tanggal 25
Desember 2001.
Penelitian ini diharapkan juga akan bermanfaat bagi pihak-pihak yang
terkait dengan penyelenggaraan perkeretaapian khususnya masyarakat pengguna
jasa kereta api dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian. Bagi masyarakat
pengguna jasa kereta api, diharapkan hasil penelitian ini dapat menimbulkan
kesadaran akan hak dan kewajibannya selaku konsumen. Di sisi lain bagi
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
masukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat
yang

pada

akhirnya

dapat

menunjang,

mendorong

dan

pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat.

4
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

menggerakkan

D.

Kerangka Teoritis.
Untuk pertama kalinya pada tahun 1997, melalui Undang-Undang Nomor

23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-Undang


Lingkungan Hidup) di Indonesia telah diperkenalkan mekanisme pengajuan
sengketa lingkungan hidup ke pengadilan secara perwakilan, yakni pengajuan
gugatan oleh sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat
dalam jumlah yang besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta
hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.2
Kemudian pada tahun 1999 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang
Perlindungan Konsumen). Pasal 46 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UndangUndang

Perlindungan

Kosumen

mengatur

mengenai

dimungkinkannya

sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama mengajukan


gugatan atas pelanggaran pelaku usaha.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada pasal 4 butir (a)
dan butir (h) diatur mengenai hak konsumen atas kenyamanan, keamaman, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, dan hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai
hak dari setiap konsumen atau sekelompok konsumen yang mempunyai
kepentingan yang sama yang merasa

dirugikan oleh pelaku usaha untuk

mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha melalui peradilan yang berada di


lingkungan peradilan umum.3
Selain dan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UndangUndang Perlindungan Konsumen, gugatan perwakilan kelompok juga dikenal
2

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkunqan Hidup, Nomor 23 Tahun


1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699, ps. 37.
3
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999, LN
Nomor 42 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, ps. 46pasal 45 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (1) butir b

5
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UndangUndang Kehutanan) yaitu dalam pasal 71 ayat 1 yang mengatur pengajuan
gugatan oleh masyarakat dalam bidang kehutanan secara perwakilan.
Masalahnya sistem hukum acara untuk class action atau gugatan
perwakilan belum dikenal bahkan berlainan dengan sistem hukum acara yang
berlaku di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari isi pasal 123 ayat (1) HIR atau 147
ayat (1) RBg yang menentukan bahwa setiap orang yang menghadap ke
pengadilan untuk mengajukan gugatan harus memenuhi beberapa syarat, antara
lain mempunyai surat kuasa khusus. Pasal ini menentukan pula tentang
kemungkinan penunjukan sebagai kuasa atau wakil di dalam persidangan
bilamana diajukan secara lisan.

Kasus yang melibatkan banyak pihak, baik

penggugat maupun tergugat, lazim disebut akumulasi subjektif, dimana setiap


individu dari subjek-subjek ini berkapasitas sebagai pihak. Berbeda dengan class
action dalam sistem itu semua individu atau subjek sebagai anggota kelas (class
members) tidak perlu dipandang sebagai pihak, karena sudah ada wakil kelas yang
mewakilinya. Dengan demikian anggota kelas tidak perlu memberikan kuasa
kepada wakil kelas untuk mewakilkan dirinya di pengadilan.4
Dalam prakteknya class action ini terasa cukup penting ketika sejumlah
besar manusia menjadi korban suatu perbuatan melanggar hukum, dan mereka
berusaha menuntut hak-haknya melalui proses gugatan di pengadilan. Dengan
melibatkan sejumlah besar orang yang menjadi korban dalam proses pengajuan
gugatan, secara sosial akan lebih efektif dan efisien cara mengakses keadilan yang
bersifat prosedural, daripada kalau dilakukan secara individual. Secara individual
mungkin korban tidak berani menggugat. Keberanian individual untuk
mengajukan gugatan sendiri-sendiri pun akan berbenturan dengan berbagai jenis
kendala prosedural, diantaranya soal pembuktian dan kendala hukum lainnya.5

Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab


Produk). Cet. I. Jakarta : Panta Rei, , hal. 244
5
Rhiti, Hyronimus. Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Yogyakarta,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Ed. I, 2006, hal. 92

6
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Pengaturan mekanisme pengajuan gugatan perwakilan kelompok (class


action) dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Jasa
Konstruksi, merupakan suatu kemajuan dalam sistem hukum acara perdata di
Indonesia. Namun demikian dalam ketiga Undang-Undang tersebut, tidak
mengatur secara tegas mengenai mekanisme dan tata cara pengajuan gugatan
perwakilan kelompok (class action).
Pada tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan
suatu terobosan baru dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2002 yang mengatur mengenai acara gugatan perwakilan kelompok (class
action). Meskipun hanya berbentuk sebuah PERMA, namun keberadaannya untuk
sementara waktu dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi para praktisi hukum
khususnya bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili gugatan perwakilan
kelompok sambil terus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta
menunggu diaturnya acara gugatan class action dalam bentuk Undang-Undang
yang lebih mempunyai kekuatan mengikat dan lengkap.
Dalam Pasal 1 huruf a PERMA Nomor 1 Tahun 2002 disebutkan bahwa
gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam
mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang
jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atas dasar hukum antara wakil
kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Menurut Mas Achmad Santosa, class action pada intinya adalah gugatan
perdata (biasanya terkait dengan permintaan injunction atau ganti kerugian) yang
diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya 1 atau 2
orang) sebagai perwakilan kelas (class reperesentatives) mewakili kepentingan
mereka, sekaligus mewakili ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai
korban.6

Santosa, Mas Achmad. Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class
Action), Jakarta : ICEL, 1997.

7
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Dari ketentuan Pasal 1 huruf a PERMA 1 Tahun 2002, persyaratan untuk


gugatan perwakilan kelompok sama dengan persyaratan class action yang dimuat
dalam US Federal of Civil Procedure, yaitu :7
a.

Numerosity, artinya jumlah penggugat sedemikian banyaknya (bisa


puluhan, ratusan bahkan ribuan orang), sehingga tidak praktis dan
tidak efisien apabila gugatan diajukan sendiri-sendiri, dan oleh
karenanya dipandang cukup apabila gugatan diajukan oleh satu
orang atau beberapa orang selaku wakil kelompok (class
representation) yang mewakili selaku anggota kelompok (class
members).

b.

Commonality, artinya harus ada kesamaan fakta maupun peristiwa


dan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili dan
pihak yang diwakili dalam pengajuan gugatan.

c.

Typicality, artinya harus terdapat kesamaan tuntutan maupun


pembelaan dari seluruh anggota yang diwakili (class members).

d.

Adequacy of Representation, artinya harus ada kelayakan


perwakilan yaitu mewajibkan perwakilan kelas (class of
representatives) untuk menjamin secara jujur dan adil serta mampu
melindungi kepentingan mereka yang diwakilkan.

Lebih lanjut N.H.T Siahaan, dalam bukunya Hukum Konsumen


(Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk), menyebutkan bahwa
elemen-elemen penting yang patut diketahui dari class action adalah menyangkut
jumlah penggugat, kesamaan fakta dan hukum di antara yang mewakili
(representative party) dengan jumlah anggota korban, tuntutan kelompok dan
adanya kelayakan (adequacy) termasuk kesungguhan dari mereka yang
mewakilinya.8
Sesuai dengan ketentuan pasal 157 ayat 1 Undang-Undang Perkeretaapian,
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa
yang mengalami kerugian, luka-luka atau meninggal dunia yang disebabkan oleh
pengoperasian angkutan kereta api. Hal ini sesuai dan sejalan dengan ketentuan
pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur
7

Abdullah, Ujang. Gugatan Perwakilan Kelompok Dan Hak Gugat Organisasi Dalam
Kaitannya Dengan Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara. Varia Peradilan Majalah Hukum
Tahun Ke XXII Nomor 254 Januari 2007, hal. 51.
8
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk). Cet. I. Jakarta : Panta Rei, hal. 239.

8
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut. Namun Undang-Undang Perkeretaapian tidak
mengatur mengenai gugatan perwakilan kelompok (class action). Dengan
demikian apakah seseorang atau sekelompok orang dapat mewakili kepentingan
para pengguna jasa kereta api yang mengalami kerugian atau yang menjadi korban
dalam pengoperasian kereta api, mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class
action) terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
Dalam pasal 1 butir 2 dan 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lainnya, dan tidak untuk
diperdagangkan. Dalam penjelasannya, diatur bahwa di dalam kepustakaan
ekonomi, dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir
adalah pengguna atau pemanfaat akhir suatu produk, sedangkan konsumen antara
adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses
produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini
adalah konsumen akhir. Sedangkan yang dimaksud dengan Pelaku Usaha adalah
setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama, melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi. Lebih lanjut dalam penjelasannya, disebutkan pelaku
usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN,
koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Dari ketentuan tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa pengguna jasa
kereta api sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir 12 Undang-Undang
Perkeretaapian, masuk ke dalam pengertian konsumen sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Demikian juga halnya, dengan
pengertian Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam

9
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

pasal 1 butir 17 Undang-Undang Perkeretapaian masuk ke dalam pengertian


pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, sehingga dengan demikian seseorang atau sekelompok orang dapat
mewakili kepentingan para pengguna jasa kereta api yang mengalami kerugian
atau yang menjadi korban dalam pengoperasian kereta api, mengajukan gugatan
class action terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.

E.

Metodologi Penelitian.
Dalam penelitian ini akan dilakukan pembahasan yang menyeluruh dari

suatu permasalahan yang ada sehingga dapat ditemukan kedalaman maknanya,


untuk nantinya akan dapat ditarik suatu kesimpulan.
a.

Jenis Yuridis Normatif.


Dalam penelitian ini pendekatan masalah yang digunakan adalah

pendekatan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian serta peraturan perundangundangan terkait lainnya, dikaitkan dengan kondisi dan fakta di lapangan.
b.

Data Yang Diperlukan.


Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer
adalah bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan topik penelitian. Bahan hukum sekunder adalah
bahan-bahan yang diperoleh peneliti dari hasil riset di lapangan terhadap
obyek penelitian dan bahan hukum yang menunjang pembahasan
permasalahan yang berasal dari studi kepustakaan berupa putusan-putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht),
buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah, surat kabar, artikel di warta internet,
makalah-makalah seminar, termasuk wawancara dengan pihak-pihak yang
terkait dengan topik di atas.

10
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

c.

Cara Pengumpulan Data.


Dalam proses penelitian ini digunakan tehnik pengumpulan dari

bahan normatif yaitu peraturan perundang-undangan, yang selanjutnya


digabungkan dengan data yang diperoleh dari studi kepustakaan.
Selanjutnya dilakukan pembahasan secara sistematis agar dapat diperoleh
sesuai dengan tema penelitian dan perumusan masalah yang diangkat
dalam Penelitian ini.
d.

Metode Analisis Data.


Analisis yang digunakan adalah dengan metode deskriptif-normatif

analisis, yang artinya memberikan penjelasan atas keadaan yang terjadi di


lapangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tersedia
kemudian membedahnya agar didapatkan sebuah pemahaman makna yang
sesungguhnya terjadi. Kemudian menguraikan peraturan perundangundangan tersebut pada kasus yang diangkat pada penelitian ini dengan
kriteria yang sesuai dengan materi penelitian. Selanjutnya dianalisis
dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan melalui penguraian
unsur-unsur dalam pasal dikaitkan dengan substansi permasalahan yang
akan dibahas berdasarkan bahan yang ada kemudian hasil akhir ini akan
dipaparkan secara deskriptif.

F.

Sistematika Penulisan.
Guna memudahkan dalam memahami isi dari Tesis ini, berikut disajikan

Sistematika Penulisan yang dibagi ke dalam 5 Bab dan masing-masing Bab dibagi
lagi ke dalam beberapa sub Bab.
BAB I

PENDAHULUAN
Di dalam bab pertama sebagai bab pendahuluan diuraikan
latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, metode penelitian, kerangka teoritis
dan sistematika penulisan.

11
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

BAB II

PENGATURAN GUGATAN CLASS ACTION DALAM


RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN.
Di dalam Bab Kedua ini diuraikan mengenai sejarah,
pengertian dan pengaturan gugatan class action, termasuk
mengenai

pihak-pihak,

asas-asas,

syarat-syarat

dan

prosedur dalam pengajuan gugatan class action.


BAB III

FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT ATAU KENDALA


DALAM PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION
Di dalam bab ketiga ini akan disajikan beberapa putusan
pengadilan mengenai yang diajukan dengan menggunakan
mekanisme class action dan faktor-faktor yang menjadi
penghambat dalam penggunaan gugatan class action.

BAB IV

IMPLEMENTASI PENGGUNAAN GUGATAN CLASS


ACTION KORBAN TABRAKAN KERETA API
Di dalam bab keempat ini akan diuraikan dan dibahas
mengenai implementasi atau pelaksanaan gugatan class
action dalam rangka tuntutan ganti kerugian yang diajukan
oleh perwakilan kelompok korban tabrakan kereta api yang
terjadi di Brebes tanggal 25 Desember 2001.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


Di dalam bab ini akan disajikan kesimpulan yang
merupakan pernyataan singkat yang diperoleh dari hasil
penelitian dan pembahasan yang merupakan jawaban
terhadap permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini.
Selain

itu

disajikan

pula

saran

yang

merupakan

rekomendasi dari penulis bagi penelitian lanjutan dan juga


merupakan sumbangan pemikiran penulis tentang gugatan
class action khususnya di bidang perlindungan konsumen.

12
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

BAB II
PENGATURAN GUGATAN CLASS ACTION
A.

Pengertian Class Action.


Istilah class action atau disebut pula dengan action popularis diartikan

dalam bahasa Indonesia dengan gugatan perwakilan, gugatan kelompok atau ada
juga yang menyebutkan dengan gugatan berwakil.9 Ada beberapa pengertian yang
mencoba menjelaskan pengertian class action, baik menurut kamus hukum,
pendapat para ahli hukum maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Blacks Law Dictionary, definisi class action disebutkan sebagai
berikut :
Class action, a lawsuit in which the court authorizes a single person or a small
group of people to represent the interests of a larger group; specif, a lawsuit in
which the convenience either of the public or of the interested parties requires
that the case be settled through litigation by or against only a part of the group of
similarly situated persons and in which a person whose interests are or may be
affected does not have an opportunity to protect his or her interests by appearing
personally or through a personally selected representative, or through a person
specially appointed to act as a trustee or guardian.10

Mas Achmad Santosa, pakar hukum lingkungan menterjemahkan istilah


class action sebagai gugatan perwakilan dan mendefinisikannya sebagai berikut :
Class action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan
permintaan injunction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang
(dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya satu atau dua orang sebagai
perwakilan kelas (class representatives) mewakili kepentingan mereka, sekaligus
mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai
korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan dengan
class members. 11

Sementara

dalam

bukunya

yang

lain,

Mas

Achmad

Santosa

mendefinisikan class action sebagai berikut :

NHT Siahaan, Hukum Lingkungan. Jakarta : Pancuran Alam, 2006, hal. 214.
Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, Eight Ed. West Publishing Co, 2004, hal. 267
11
Mas Achmad Santosa, et. al., Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (Class
Actions). Cet.I. Jakarta : ICEL, 1999, hal. 1
10

13
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Class action atau gugatan perwakilan (kelompok) merupakan prosedur beracara


dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural bagi satu atau sejumlah
orang (jumlah yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk
memperjuangkan kepentingan para penggugat itu sendiri, dan sekaligus mewakili
kepentingan ratusan, ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan orang lainnya yang
mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Orang (tunggal) atau orangorang (lebih dari satu/jamak) yang tampil sebagai penggugat disebut wakil kelas
(class representative), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya
disebut sebagai class members.12

Stuart Sime dalam bukunya A Practical Approach to Civil Procedure,


menyebutkan class action merupakan sinonim class suit atau representative action
yang berarti :13
a.

gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan


oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok
(class representative);

b.

perwakilan kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya


untuk dan atas nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama
kelompok yang mereka wakili, tanpa memerlukan surat kuasa dari
anggota kelompok;

c.

dalam pengajuan gugatan tersebut, tidak perlu disebutkan secara


individual satu persatu identitas anggota kelompok yang diwakili;

d.

yang penting asal kelompok yang diwakili dapat didefinisikan


identifikasi anggota kelompok secara spesifik;

e.

selain itu, antara seluruh anggota kelompok dengan wakil kelompok


terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan :

kesamaan kepentingan (common interest),


kesamaan penderitaan (common grievance), dan
apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi
seluruh anggota.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan


Hidup, menterjemahkan class action dengan gugatan perwakilan. UndangUndang ini tidak secara spesifik mengatur mengenai definisi dari gugatan
perwakilan, yang diatur adalah definisi dari mengajukan gugatan perwakilan
yaitu :

12

Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Actions).
Cet.II. Jakarta : ICEL, 1998, hal. 10
13
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Cet. I. Jakarta : Sinar Grafika, 2004, hal. 139.

14
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam


jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan
tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.14

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,


menterjemahkan class action dengan gugatan kelompok. Undang-Undang ini
tidak mengatur definisi dari class action atau gugatan kelompok, namun istilah
class action secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang ini, yaitu dalam
penjelasan pasal 46 ayat (2) huruf b.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi,
istilah class action diterjemahkan dengan gugatan perwakilan. UndangUndang ini hanya mengatur definisi dari hak mengajukan gugatan
perwakilan sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak
sekelompok kecil masyarakat bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar
yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum, dan ketentuan
yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.15

Sementara dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor


1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, class action
diterjemahkan dengan gugatan perwakilan kelompok, dan mendefinisikannya
sebagai berikut :
Gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam
mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
diri atau diri-diri mereka sendiri, dan sekaligus mewakili sekelompok orang
banyak yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum
antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.16

14

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor 23 Tahun


1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699, ps. 37.
15
Indonesia, Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi, Nomor 18 Tahun 1999, LN
Nomor 54 Tahun 1999, TLN Nomor 3833, ps. 38.
16
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok, PERMA Nomor 1 Tahun 2002, ps. 1 huruf a.

15
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Dari ketentuan pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung tersebut, dapat


dilihat persyaratan untuk gugatan perwakilan kelompok sama dengan persyaratan
class action yang dimuat dalam US Federal of Civil Procedure, yaitu :17
a.

Numerosity, artinya jumlah penggugat sedemikian banyaknya (bisa


puluhan, ratusan bahkan ribuan orang), sehingga tidak praktis dan tidak
efisien apabila gugatan diajukan sendiri-sendiri, dan oleh karenanya
dipandang cukup apabila gugatan diajukan oleh satu orang atau beberapa
orang selaku wakil kelompok (class representation) yang mewakili
selaku anggota kelompok (class members).

b.

Commonality, artinya harus ada kesamaan fakta maupun peristiwa dan


dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili dan pihak
yang diwakili dalam pengajuan gugatan. Amerika Serikat dan Inggris
memiliki perbedaan konsep mengenai kesamaan hukum dan fakta.
Inggris mengartikannya secara ketat dengan menentukan bahwa salah
satu indikatornya adalah satu kontrak yang sama (absolute commonality).
Dengan demikian konsumen yang mengajukan gugatan haruslah
berdasarkan kontrak yang sama. Dengan dasar pemikiran yang demikian,
maka representative action cocok untuk suatu pernyataan (declaration)
atau injuction (atau sanksi melakukan sesuatu).18

c.

Typicality, artinya harus terdapat kesamaan tuntutan maupun pembelaan


dari seluruh anggota yang diwakili (class members).

d.

Adequacy of Representation, artinya harus ada kelayakan perwakilan


yaitu mewajibkan perwakilan kelas (class of representatives) untuk
menjamin secara jujur dan adil serta mampu melindungi kepentingan
mereka yang diwakilkan.

Dari definisi-definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa class


action adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang
bertindak untuk dirinnya sendiri dan sekaligus mewakili kelompok tertentu untuk
menuntut ganti kerugian melalui pengadilan yang didasarkan atas adanya
kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok tersebut dengan kelompok yang diwakilinya.

17

Ujang Abdullah, Gugatan Perwakilan Kelompok Dan Hak Gugat Organisasi Dalam
Kaitannya Dengan Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara. Varia Peradilan Majalah Hukum
Tahun Ke XXII Nomor 254 Januari 2007, hal. 51.
18
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab
Mutlak. Cet.I. Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal.
221

16
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Dari beberapa pengertian class action, maka didapatkan unsur-unsur class


action yang terdiri dari :19
1.

Gugatan secara perdata.

Gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata.


Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang
bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan
untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri (eigenrichting). Gugatan
yang merupakan bentuk tuntutan hal yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya
adalah penggugat dan tergugat. Pihak di sini dapat berupa orang perseorangan
maupun badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti
rugi berupa uang.
2.

Wakil Kelompok (Class Representative).

Adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan
gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.
Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa
khusus dari anggota kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan
maka kedudukan dari wakil kelompok sebagai penggugat aktif.
3.

Anggota Kelompok (Class Members)

Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita


kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan.
Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota
kelompok adalah sebagai penggugat pasif.
4.

Adanya kerugian.

Untuk dapat mengajukan class action, baik pihak wakil kelompok (class
representative) maupun anggota kelompok (class members) harus benar-benar
atau secara nyata mengalami kerugian atau diistilahkan concrete injured parties.
5.

Kesamaan peristiwa atau fakta dan dasar hukum.

Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum


(question of law) antara pihak yang mewakili (class representative) dan pihak
yang diwakili (class members).

19

Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar, Makalah Disampaikan Pada Kursus
HAM Untuk Pengacara X, Jakarta, 2005, hal. 2

17
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

B.

Sejarah Perkembangan dan Pengaturan Class Action.


1.

Perkembangan Class Action di Beberapa Negara.


Class action dikenal di banyak negara yang menganut sistem

hukum common law. Hal tersebut sesuai dengan sejarah diperkenalkannya


lembaga class action untuk pertama kalinya, yakni di Inggris, Negara
tempat lahirnya system common law sekitar tahun 1700-an. Kebanyakan
Negara-negara bekas jajahan Inggris kemudian ikut menganutnya.20
a.

Inggris.
Inggris memperkenalkan prosedur class action berdasarkan

judge made law dan khususnya untuk perkara-perkara berdasakan


equity yang diperiksa oleh Court of Chancery. Saat itu Court of
Chancery mengadili suatu perkara yang melibatkan pihak
penggugat yang jumlahnya puluhan dan ratusan orang secara
kumulasi. Pengadilan secara administrasi mengalami kesulitan
untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap gugatan
tersebut. Maka mulailah pengadilan menciptakan prosedur class
action, dimana puluhan atau ratusan orang yang mempunyai
kepentingan sama tersebut, tidak semuanya maju ke pengadilan
melainkan cukup diwakili oleh satu atau beberapa orang.21
Ketentuan mengenai class action pertama kali dimulai
tahun 1873 diatur dalam Supreme Court of Judiciatur Act 1873.
Esensinya

memberi

kemungkinan

dan

kewenangan

bagi

pengadilan menjatuhkan putusan yang bersifat deklaratif atas


pemulihan yang adil (equitable remedies), yaitu berupa pemulihan
terhadap suatu hal yang diderita kelompok yang anggotanya
berjumlah banyak (numerous). Kemudian tahun 1965 terjadi
perubahan substansial dan diatur kembali dalam The English Rule
20

E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan
Penerapannya di Indonesia), Jogjakarta: Universitas Atma Jaya, 2002, hal. 10
21
Emerson Yuntho, op. cit., hal. 10

18
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

of the Supreme Court (ERCS), 1965. Esensinya mengatur


representative action, yaitu gugatan perwakilan kelompok yang
berpatokan pada syarat : anggota kelompoknya banyak (numerous
members), terdapat kesamaan kepentingan (same interest in one
action), gugatan itu untuk kepentingan seluruh anggota (such
action on behalf of benefit of all members).22 Amerika Serikat dan
Inggris memiliki perbedaan konsep mengenai kesamaan hukum
dan fakta. Inggris mengartikannya secara ketat, salah satu
indikatornya

adalah

satu

kontrak

yang

sama

(absolute

commonality).23

b.

Kanada
Kanada mulai mengenal prosedur class action pertama kali

di propinsi Ontario dengan dikeluarkannya the Ontario Judicatur


Act 1881, yang kemudian diperbaharui dengan Supreme Court of
Ontario Rules of Practice (SCORP), 1980. Ketentuan tentang class
action kemudian diatur lebih lengkap dalam Ontario Class
Proceedings Act (OCPA) tahun 1992. Di Ontario kemudian
dibentuk Ontario Law Reform Commission yang salah satu
tujuannya adalah mengembangkan model-model class action di
Negara tersebut. Dalam rangka mewujudkan prosedur class action
yang seragam untuk seluruh propinsi di Kanada, the Uniform Law
Conference of Canada telah berhasil membuat class Proceeding
Act pada tahun 1996 yang diharapkan dapat diberlakukan di
seluruh propinsi di Kanada.24
Dalam OCPA 1992, pengaturan class action mencakup :
adanya sejumlah orang yang mempunyai permasalahan hukum
yang sama, permasalahan hukum itu timbul dari fakta atau
22

M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 137.


Inosentius Samsul, op. cit., hal. 221.
24
Yuntho, Emerson. op. cit.
23

19
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

peristiwa yang sama, dan dalam hal seperti itu satu atau lebih
anggota kelompok, dapat tampil mengajukan gugatan mewakili
seluruh anggota kelompok yang bersangkutan.25

c.

Amerika Serikat
Negara Amerika Serikat, mengatur prosedur class action

untuk system peradilan federal, yakni di dalam the United State of


Federal Rules of Civil Procedure (FRCP), 1938, yang kemudian
direvisi pada tahun 1966. Pada awalnya (berdasarkan FRCP) tahun
1938) di peradilan Federal Amerika Serikat dikenal adanya tiga
jenis class action, yakni true class action, hybrid class action serta
spurious class action. Di dalam FRCP tahun 1966 ketiga jenis class
action tersebut dihapuskan, sehingga hanya dikenal satu jenis class
action, sebagaimana diatur dalam Rule 23 FRCP 1966. Ada tiga
puluh dua Negara bagian yang mengikuti ketentuan Rule 23 FRCP
1966. Enam belas Negara bagian mengadopsinya secara murni
tanpa mengadakan modifikasi, enam belas Negara bagian lainnya
telah membuat modifikasinya26
Di Amerika Serikat, sejak awal tahun 1970-an jumlah
gugatan class action semakin meningkat. Peningkatan tersebut
sejalan dengan perubahan dalam hukum materiil yang membuka
peluang mengajukan gugatan melalui class action, serta tuntutan
pembayaran

biaya

perkara

yang

semakin

besar.

Dalam

perkembangannya, class action dapat digunakan untuk masalahmasalah sosial atau isu-isu lainnya yang sedang menjadi perhatian
publik seperti masalah lingkungan, hak-hak perdata, dan gugatan di
bidang ketenagakerjaan.27
25

M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 138.


Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindunan Konsumen, Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikiran, Banjarmasin : Nusa Media, 2008, hal. 144
27
Inosentius Samsul, op. cit., hal. 221-222
26

20
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Kasus-kasus gugatan class action yang menarik perhatian


publik di Amerika Serikat antara lain kasus Agent Orange (1987),
kasus Dalkon Shield (1989) dan kasus the Smokers versus Tobacco
Companies (1997).28
Kasus Agent Orange (1987) adalah gugatan class action
yang diajukan oleh lebih dari seribu kaum veteran perang Vietnam
terhadap pabrik kimia beracun yang memproduk defoliant sebagai
senjata dalam perang Vietnam. Penggugat mendalilkan bahwa
bahan kimia beracun defoliant yang disebut agent orange (salah
satu jenis dioxin) menimbulkan cacat fisik dan trauma psikologis
yang serius bagi para penggugat. Kendati kemudian gugatan ini
memerlukan pembuktian yang kompleks, hakim pengadilan pada
akhirnya memutuskan untuk memenuhi gugatan class action
penggugat dengan pemberian kompensasi sejumlah US $
250.000.000, yang didistribusikan dalam 2 bentuk, yaitu : (1)
pemberian santunan secara tunai dan langsung kepada para
penggugat

(class

members),

dan

(2)

memberi

pelayanan

rehabilitasi dan perawatan kesehatan bagi para korban perang


Vietnam yang telah dikenali maupun yang belum dikenali (future
claimants).
Kasus Dalkon Shield adalah gugatan class action yang
diajukan para penggugat terhadap perusahaan yang memproduk
kontraseptif (intrautrine contraceptive device). Alat kontraseptif ini
ternyata menimbulkan sterilitas para penggunanya dan cacat pada
bayi yang dilahirkan para ibu yang menggunakan kontraseptif
tersebut. Gugatan class action ini dimenangkan oleh para
penggugat dengan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang kepada
kelompok penggugat.

28

I Nyoman Nurjaya, Jurnal 40/XIII/2007, January 3, 2008

21
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Kasus Smokers versus Tobacco Companies (1977) adalah


gugatan class action Norma Broin (42 tahun) mantan pramugari
American Airlaines yang menderita kanker paru-paru karena
menjadi perokok pasif (secondhand smoker) selama bertugas
sebagai pramugari. Ia mewakili dirinya sendiri dan teman-teman
sekerjanya yang menderita maupun belum terkena kanker paruparu. Pengadilan Negeri Miami, Florida memutuskan kepada
perusahaan-perusahaan

rokok

membayar

sebanyak

US$

300.000.000 untuk melakukan studi tentang penyakit-penyakit


yang disebabkan oleh rokok, sedangkan kompensasi untuk dirinya
sendiri (individual compensation) tidak dikabulkan pengadilan.

d.

Australia
Australia pertama kali mengakui prosedur class action pada

tahun 1970 tepatnya di Negara bagian New South Wales dan diatur
di dalam New South Wales Supreme Court Rules (NSWSCR),
1970. Peradilan Federal kemudian juga memperkenalkan class
action dan diatur di dalam Federal Court of Australia Act (FCAA),
1976.29 Part 8 Rule 13 (1) dari NSWSCR menentukan dalam hal
ada sejumlah besar orang mempunyai kepentingan yang sama, satu
atau lebih dari mereka dapat mengajukan gugatan atau digugat,
mewakili

kepentingan

seluruhnya.

Negara

bagian

Victoria

mengatur prosedur class action secara sumir, yakni di dalam Order


18 Victoria Supreme Act (VCSA), 1986, yang secara keseluruhan
menentukan bahwa apabila ada sejumlah orang mempunyai
kesamaan kepentingan tiap-tiap gugatan, maka gugatan-gugatan
tersebut dapat diajukan dan diteruskan dalam sebuah gugatan oleh
atau terhadap seorang atau lebih yang mempunyai kesamaan
kepentingan sebagai wakil dari keseluruhan. Negara bagian
29

Emerson Yuntho, op. cit., hal.11

22
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Australia Selatan mengatur prosedur class action di dalam section


34.01 dari South Australia Civil Procedures (SACP), 1992.
Menurut

ketentuan

tersebut,

dimana

ada

sejumlah

orang

mempunyai kesamaan permasalahan fakta dan hukum, satu atau


lebih

dari

mereka

dapat

mengajukan

gugatan

mewakili

keseluruhan.30
Dalam pengadilan tingkat Federal di Australia, berdasarkan
The Federal Court of Australia Act 1976, Part IV A dan s. 43 (14)
ditentukan kriteria gugatan class action adalah :31
(1)
(2)
(3)

(1)
(2)

(3)

e.

Thera are 7 or more persons with potential claim,


rather the common law requirement of numerous
person at the commencement of proceedings;
The claims arise out of the same similar or
circumtances, instead of the common law equirement of
common interest;
The claims give rise to at least on substantive issue of
law or of fact, instead of the common law test of a
common grievance.
Ada tujuh orang atau lebih, dengan tuntutan potensial
disamping persyaratan common law mengenai jumlah
banyak orang pada saat permulaan gugatan hukum;
Suatu tuntutan timbul dari keadaan yang sama, keadaan
serupa atau keadaan terkait, disamping persyaratan
common law tentang kepentingan bersama, atau
common interest;
Tuntutan timbul, sedikitnya dari satu persoalan
substantive hukum fakta hukum, di samping persyaratan
common law tentang keluhan bersama.

Filipina
Mahkamah Agung Filipina pada tahun 1993 juga mengakui

prosedur gugatan class action dalam kasus sengketa lingkungan


Minor Oposa. Kasus ini melibatkan penggugat yang terdiri dari 14
anak-anak di bawah umur (minor) yang didampingi oleh para
orang tua mereka mengajukan gugatan terhadap Menteri
30

Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hal. 146-147


Indro Sugianto, Class action Membuka Akses Keadilan Bagi Rakyat, Jakarta : In
TRANS Press, 2008, hal. 9
31

23
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Lingkungan Hidup Filipina (Secretary of the Department of


Environment and Natural Resources/DENR) mengenai pembatalan
ijin penebangan hutan (logging) dengan mengatasnamakan
kelompok penggugat dan sekaligus generasi mendatang yang
memiliki kepentingan dan kepedulian yang sama bagi kelestarian
hutan di Filipina.32

f.

India
Di India, class action mulai dikenal tahun 1908 dan diatur

dalam Rule of Order of Civil Procedure, 1908.33 Ketentuan tersebut


kemudian diubah dan disempurnakan pada tahun 1976. Menurut
ketentuan tersebut, yang dimaksud dengan class action adalah
gugatan yang diajukan oleh atau terhadap seseorang yang
merupakan anggota dari suatu kelompok untuk mewakili seluruh
kepentingan kelompok tersebut dengan syarat : (1) ada sejumlah
besar orang, (2) mempunyai kepentingan yang sama, (3)
pengadilan mengijinkan orang tersebut untuk menjadi wakil
kelompok, (4) ada kewajiban memberitahukan kepada seluruh
anggota kelompok.34

2.

Pengakuan dan Pengaturan Class Action Dalam Hukum


Positif Indonesia
Untuk pertama kalinya pada tahun 1997, Indonesia mengakui dan

memperkenalkan mekanisme pengajuan gugatan ke pengadilan secara


class action melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan tanggal 19 September
1997 (Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup).
32

I Nyoman Nurjaya, Jurnal 40/XIII/2007, January 3, 2008


M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 139
34
Emerson Yuntho, op. cit., hal. 11
33

24
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur


mengenai hak dari masyarakat untuk mengajukan gugatan perwakilan ke
pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai
masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa mengajukan gugatan perwakilan adalah hak
kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam
jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta
hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.35
Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa class action untuk kasus
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah sebuah hak. Hak
itu dimiliki oleh sekelompok kecil masyarakat untuk menjadi wakil
masyarakat yang jumlahnya besar (ratusan, ribuan atau puluhan ribu)
bertindak sebagai penggugat. Syaratnya ialah pertama, bahwa para wakil
itu memiliki kesamaan permasalahan yaitu mengalami kerugian akibat
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Kedua, kesamaan fakta
hukum (question of law). Yang dimaksud adalah fakta bahwa hukum
lingkungan cq peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup
yang telah dilanggar, dan ketiga adalah kesamaan tuntutan. Maksudnya
tuntutan wakil kelas adalah apa yang menjadi tuntutan dari mereka yang
diwakilinya.36
Jika mau diuraikan, maka unsur-unsur dari gugatan perwakilan
menurut Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah terdiri
dari (a) sekelompok kecil masyarakat; (b) mewakili masyarakat korban;
(c) berdasarkan kesamaan masalah, fakta hukum dan tuntutan; (d)
kerugian karena pencemaran atau perusakan lingkungan. 37

35

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor 23 Tahun


1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699, ps. 37
36
Hyronimus Rhiti, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Cet.I. Yogyakarta :
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2006, hal. 96
37
NHT Siahaan, Hukum Lingkungan, Cet. I, Jakarta : Pancuran Alam, 2006, hal. 218.

25
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Penyebutan sekelompok masyarakat, adalah mereka-mereka di


antara korban yang bertindak sebagai wakil kelas (representatives class)
atas sejumlah korban yang sama-sama menderita yang disebut anggota
kelas (class member) berdasarkan adanya kesamaan (commonality)
peristiwa atau permasalahan kerugian yang timbul karena adanya
pencemaran atau perusakan lingkungan seperti limbah pabrik.
Sebelum adanya ketentuan hukum positif Indonesia yang mengatur
mengenai class action, terdapat beberapa kasus yang penyelesaiannya
diajukan dengan mekanisme class action, antara lain : (1) Kasus Bentoel
Remaja yang diajukan oleh R.O. Tambunan tahun 1980-an, (2) Kasus
gugatan demam berdarah yang diajukan oleh Dr. Muchtar Pakpahan
terhadap Gubernur DKI Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan
DKI Jakarta, dan (3) Kasus Pemadaman Listrik Jawa Bali tanggal 13 April
1997.
Meskipun pada saat itu hukum positif di Indonesia belum ada yang
mengatur secara tegas mengenai class action, namun kasus-kasus yang
diajukan secara class action seperti diuraikan di atas, tetap dapat diproses,
diperiksa dan diadili, karena sesuai dengan ketentuan pasal 14 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasan Kehakiman, bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
memeriksa dan mengadilinya.
Pada tahun 1999 perkembangan pengaturan class action di
Indonesia tergolong pesat, setidaknya dalam kurun waktu tahun 1999
pemerintah mengeluarkan 3 (tiga) peraturan dalam bentuk undang-undang
sebagaimana yang akan penulis uraikan lebih lanjut secara ringkas di
bawah ini.

26
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

a.

Undang-Undang

Nomor

Tahun

1999

Tentang

Perlindungan Konsumen diundangkan tanggal 20 April


1999 (Undang-Undang Perlindungan Konsumen).
Undang-Undang

Perlindungan

Konsumen

mengatur

mengenai dimungkinkannya sekelompok konsumen mengajukan


class action, yang dengan tegas menyebutkan :38
(1)

(2)

(3)

Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan


oleh:
a.
Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli
waris yang bersangkutan;
b.
sekelompok konsumen yang mempunyai
kepentingan yang sama;
c.
lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang memenuhi syarat yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang
dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan
tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan
konsumen dan telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.
pemerintah dan/atau instansi terkait apabila
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi
yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c atau huruf d, diajukan kepada peradilan
umum.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang
besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) huruf b


ditegaskan bahwa gugatan kelompok atau class action harus
diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat
dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya
bukti transaksi.
38

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999,


LN Nomor 42 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, ps. 46.

27
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku


usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang
berada di lingkungan peradilan umum. Demikian juga halnya
mengenai penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha dengan menggunakan class action mengacu pada ketentuan
tentang peradilan umum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam 45 dan
48 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Dari ketentuan tersebut di atas, diketahui bahwa gugatan
sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum, dengan
demikian ketentuan hukum acara yang digunakan mengacu kepada
hukum acara perdata biasa yaitu Herziene Inlands Reglemen (HIR)
yang memang sampai saat ini masih berlaku sebagai hukum positif.
Dalam mengajukan gugatan sengketa konsumen ada satu
persyaratan khusus yaitu harus ada dokumen yang membuktikan
bahwa konsumen benar-benar dirugikan salah satu di antaranya
yaitu bukti transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha.
Undang-Undang

Perlindungan

Kosumen

merumuskan

mengenai kerugian sebagai berikut :39

39

a.

Pelaku usaha bertanggung jawab memberi ganti rugi atas


kerusakan, pencemaran, dana/atau kerugian konsumen,
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.

b.

Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat


berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenisnya atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan, dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Ibid., ps. 19.

28
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Meskipun tidak diatur secara eksplisit, namun dari


ketentuan pasal 19 tersebut terlihat dengan jelas bahwa ganti rugi
yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
hanyalah ganti rugi materil. Sebagai contoh, jika sesorang
keracunan dan harus masuk rumah sakit, maka kerugian yang dapat
dituntut adalah kerugian berupa penggantian biaya pengobatan dan
perawatan. Menurut penulis hal tersebut tidak fair. Seharusnya
konsumen yang bersangkutan juga dapat menuntut kerugian berupa
keuntungan yang seharusnya didapatkan yang dia tidak dapatkan
karena

tidak

dapat

masuk

kerja

dan/atau

tidak

dapat

melaksanakan/menjalankan bisnisnya, atau atas kerugian berupa


beban pikiran yang dia alami akibat dari keracunan tersebut yang
tentunya sangat sulit dinilai dengan uang (kerugian immateril).

b.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa


Konstruksi, diundangkan tanggal 7 Mei 1999 (UndangUndang Jasa Konstruksi).
Undang-Undang

Jasa

Konstruksi

memungkinkan

sekelompok orang untuk mengajukan gugatan class action.


Ketentuan mengenai pengajuan gugatan class action dirumuskan
sebagai berikut :
Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara (a)
orang perorangan; (b) kelompok orang dengan pemberian kuasa;
(c) kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan
perwakilan.40

Tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau


berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup
kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan perundang40

Indonesia, Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi, Nomor 18 Tahun 1999, LN


Nomor 54 Tahun 1999, TLN Nomor 3833, ps. 38.

29
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

undangan yang berlaku. Khusus gugatan perwakilan yang diajukan


oleh masyarakat tidak dapat berupa tuntutan ganti rugi, melainkan
hanya terbatas gugatan lain yaitu :41

Memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak


dalam penyelenggaraan pekerja konstruksi untuk
melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan
dengan kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja
konstruksi;

Menyatakan seseorang (salah satu pihak) telah


melakukan perbuatan melawan hukum karena melanggar
kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam
kontrak kerja konstruksi;

Memerintahkan seseorang (salah satu orang) yang


melakukan usaha/kegiatan jasa konstruksi untuk
membuat atau memperbaiki atau mengadakan
penyelamatan bagi para pekerja jasa konstruksi.

Apabila dibaca secara seksama, ketentuan pasal 38 dan


penjelasan pasal 39 ayat (1) tidak singkron atau saling bertentangan
satu sama lain. Dalam pasal 38 disebutkan masyarakat yang
dirugikan, baik perorangan maupun kelompok orang (berdasarkan
kuasa atau perwakilan kelompok) dapat mengajukan gugatan.
Akan tetapi dalam penjelasan pasal 39 ayat (1) justru kelompok
orang yang mengajukan gugatan perwakilan kelompok tidak
diperbolehkan menuntut ganti rugi. Ketentuan ini juga menegaskan
bahwa gugatan perwakilan kelompok dalam Jasa Konstruksi tidak
mengenal adanya tuntutan ganti kerugian baik kerugian materil
maupun immateriil. Dengan demikian gugatan class action di
bidang Jasa Konstruksi tidak termasuk ke dalam kategori gugatan
perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

41

Ibid., ps. 39.

30
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

c.

Undang-Undang

Nomor

41

Tahun

1999

Tentang

Kehutanan, diundangkan tanggal 30 September 1999


(Undang-Undang Kehutanan).
Dalam

Undang-Undang

Kehutanan

diatur

bahwa

masyarakat yang merasa dirugikan akibat dari kerusakan hutan


dapat mengajukan gugatan class action. Ketentuan mengenai
pengajuan gugatan perwakilan dirumuskan sebagai berikut :
(1)

Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke


pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum
terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan
masyarakat.

(2)

Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) terbatas pada tuntutan pengelolaan hutan yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.42

Selain gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat,


undang-undang ini juga memungkinkan instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang kehutanan dan organisasi bidang
kehutanan

dapat

bertindak

untuk

kepentingan

masyarakat

mengajukan gugatan perwakilan.


Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran
dan/atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi
kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi
pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat
bertindak untuk kepentingan masyarakat.43
(1)

Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan


hutan, organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan
gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi
hutan.

(2)

Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan


gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan :

42

Indonesia, Undang-Undang Tentang Kehutanan, Nomor 41 Tahun 1999, LN Nomor 167


Tahun 1999, TLN Nomor 3888, ps. 71.
43
Ibid., ps. 72.

31
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

d.

Berbentuk badan hukum;

Organisasi tersebut dalam anggaran dasar


dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya
organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi
hutan; dan

Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan


anggaran dasar.44

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia


Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok.
Tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia,

mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002


Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (PERMA Nomor
1 Tahun 2002. PERMA Nomor 1 Tahun 2002 merupakan suatu
terobosan baru yang mengatur mengenai tata cara pengajuan
gugatan class action.
Dalam salah satu pertimbangan PERMA Nomor 1 Tahun
2002, disebutkan bahwa sambil menunggu peraturan perundangundangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah
Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur
oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian
ketertiban dan kelancaran dalam memeriksa gugatan perwakilan
kelompok,

dipandang

perlu

menetapkan

suatu

Peraturan

Mahkamah Agung.45
Meskipun hanya berbentuk sebuah PERMA dan sifatnya
sementara, namun keberadaannya untuk sementara waktu dapat
dipergunakan sebagai pedoman bagi para praktisi hukum
khususnya bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili gugatan
44

Ibid., ps. 73.


Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok, PERMA Nomor 1 Tahun 2002, bagian Menimbang huruf f.
45

32
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

perwakilan kelompok sambil terus menggali nilai-nilai yang hidup


dalam masyarakat serta menunggu diaturnya acara gugatan class
action dalam bentuk Undang-Undang yang lebih mempunyai
kekuatan mengikat dan lengkap. PERMA Nomor 1 Tahun 2002
mengatur secara lebih lengkap mengenai class action atau gugatan
perwakilan kelompok, mulai dari pengertian, prosedur dan tata cara
pengajuan gugatan, proses pemeriksaan dan pengambilan serta
pelaksanaan putusan gugatan pewakilan kelompok.
Secara keseluruhan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
PERMA Nomor 1 Tahun 2002, hampir sama dengan ketentuan
class action yang berlaku di Amerika Serikat. Hal ini sangat
beralasan, karena sebelum PERMA Nomor 1 Tahun 2002
dibentuk, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah melakukan
penelitian di empat Negara bagian Amerika Serikat dalam rangka
pembuatan Peraturan Mahkamah Agung tentang prosedur gugatan
class action, yang hasilnya secara ringkas dapat disampaikan
sebagai berikut :46
a.

46

Class action di Negara Bagian California.

Gugatan class action harus diajukan oleh private


attorney, yang khusus menangani class action. Pada
umumnya Private attorney tidak menerima bayaran jika
gugatannya ditolak oleh pengadilan.

Perkara yang dapat diajukan secara class action harus


memenui persyaratan-persyaratan : (1) numerousity,
yang tidak ditentukan banyaknya tetapi sedemikian besar
sehingga tidak efisien jika digugat secara sendiri-sendiri,
dan similarity, kesamaan-kesamaan harus dominan dan
menonjol, jika tidak akan ditolak, disamping pribadi
class representative yang pantas dan setelah melalui
proses sertifikasi/notifikasi. Proses sertifikasi yaitu
proses pembuktian bahwa perkara tersebut dapat
diterima untuk diajukan secara class action atau tidak.
Notifikasi yaitu pemberitahuan (dapat melalui
pemberitahuan umum, melalui surat kabar, berita radio,
tv atau pemberitahuan umum lainnya) kepada class
members tentang diajukannya gugatan.

Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XVII. Nomor 201, 2002, hal 127-135

33
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

b.

Notifikasi akan dilakukan oleh penggugat setelah hakim


memutuskan perkara tersebut dapat diajukan secara class
action. Draft Notifikasi harus mendapat persetujuan dari
Hakim, dan selalu harus mencantumkan jangka waktu
tertentu untuk memberi kesempatan kepada class
member yang tidak mau ikut dengan gugatan tersebut
mengajukan opt out.

Class member yang tidak bersedia ikut, tidak terikat pada


putusan pengadilan, dan ia jika mau dapat mengajukan
gugatan tersendiri. Class members yang pasif terikat
dengan isi putusan pengadilan.

Jika gugatan dikabulkan pada umumnya hakim


menentukan jumlah ganti kerugian yang harus dibayar
oleh tergugat.

Jika anggota class representative mempunyai conflict


kepentingan
terhadap
tergugat,
hakim
dapat
memerintahkan untuk mengganti anggota class
representative tersebut.

Jika tidak jelas siapa-siapa yang menjadi class member


maka gugatan akan ditolak. Oleh karena itu dalam
gugatan harus dirinci dengan jelas siapa-siapa yang
menjadi class member dan sub class member.

Class action di State Lousiana, New Orleans.

Kelemahan dari US class action adalah keharusan


adanya kesamaan yang harus dominan, jika tidak
dominan akan ditolak. Padahal untuk membuktikan
adanya kesamaan yang dominan, memakan waktu yang
lama dan berlarut-larut bahkan ada yang sampai
bertahun-tahun. Jika kerugian masing-masing anggota
kelas berbeda, kemungkinan besar akan ditolak, karena
tidak memenuhi persyaratan.

Jika terjadi perdamaian antara tergugat dengan class


representative, berarti perdamaian tersebut akan
mengikat seluruh class member, kecuali perdamaian itu
ditolak oleh hakim karena dianggap kurang adil bagi
kedua pihak.Hakim juga dapat mengusulkan untuk
memperbaiki isi perdamaian.

Gugatan class action tidak selalu menuntut ganti


kerugian berupa uang, bisa saja ganti rugi untuk
memperbaiki sesuatu keadaan, atau untuk menghentikan
suatu tindakan. Dalam hal ini tidak diperlukan adanya
notifikasi karena tidak ada ganti kerugian yang harus
dibagikan kepada class member.

34
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

c.

d.

Class action di Negara Bagian Florida.

Gugatan class action secara garis besarnya dapat


diilustrasikan sebagai berikut (1) Preliminary Hearing
untuk menentukan apakah perkara tersebut dapat
diajukan secara class action atau tidak, (2) disetujui atau
ditolak, jika ditolak selesai, jika dikabulkan disusul
dengan hakim menerbitkan class sertification order untuk
melakukan notifikasi kepada anggota kelas, (3)
dilakukan settlement hearing atau final hearing, (4)
pembayaran/pemberitahuan kepada class member (6)
penentuan attorney fee (7) cypress (jika ada) akan
diberikan kepada lembaga yayasan mana.

Untuk kepentingan umum, attorney general atau


pengacara pemerintah dapat mengajukan class action,
tetapi umumnya yang diminta bukan ganti kerugian
berupa uang yang dapat dibagikan kepada class member,
akan tetapi untuk melindungi kepentingan umum/publik,
seperti dalam perkara gugatan class action di bidang
persaingan usaha.

General attorney atas nama masyarakat dapat melakukan


gugatan class action pengusaha tertentu dan menuntut
ganti kerugian atau untuk memperbaiki keadaan, bila
terjadi pelanggaran hukum di bidang konsumen.

Class action di Washington.

Konsep class action sudah lama dikenal dan diatur dalam


Civil Procedure Act, tetapi sejak tahun 1966 diperluas
dan melibatkan juga peraturan-peraturan hukum publik.
Bahkan dalam perkara gugatan melanggar compentation
law, ganti kerugian dapat ditentukan sampai tiga kali
(treble damages).

Pada umumnya perkara-perkara gugatan class action


tidak sampai pada tingkat kasasi, kecuali ada perbedaan
atau tidak ada kekompakan antara majelis hakim atau
saling memberi tafsiran yang berbeda terhadap peraturan
hukum.

Ada rancangan Undang-Undang yang menghendaki


bahwa gugatan ganti kerugian yang lebih kecil dari $2
juta harus diajukan di Federal District Court. Pihak yang
menentang dan tidak setuju dengan perubahan ini
menyatakan lebih baik mengajukan di State Court karena
state court lebih mengetahui keadaan daerahnya dari
federal court dan hakim-hakim di Federal court lebih
tidak professional daripada di State Court.

35
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

C.

Di Amerika Serikat perubahan suatu Undang-Undang


tergantung dari kehendak partai yang berkuasa. Jika
partai Demokrat yang berkuasa, maka class action lebih
cenderung berpihak kepada class members atau publik
yang kecil, sebaliknya jika partai Republik yang lebih
berkuasa maka class action lebih cenderung berpihak
pada pengusaha.

Ketentuan Pengajuan Gugatan Class Action.


1.

Hukum Acara Yang Berlaku Dalam Class Action.


Menurut Sudikno, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum

yang mengatur bagaimana cara ditaatinya hukum perdata materiil dengan


perantaraan hakim. Lebih konkrit dikatakan bahwa hukum acara perdata
mengatur

tentang

bagaimana

caranya

mengajukan

tuntutan

hak,

memeriksa serta memutuskan pelaksanaan dari pada putusannya. 47


Prof. Dr. Wirjono Projodikoro (1997:12), mengemukakan batasan
bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang
memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka
Pengadilan dan bagaimana Pengadilan itu harus bertindak satu sama lain
untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.48
Sementara Retnowulan, menyebutkan hukum acara perdata sebagai
hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang
menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum
perdata materil.49
Dalam pasal 39 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
disebutkan bahwa tata cara pengajuan gugatan dalam lingkungan hidup
47

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Jogjakarta : Liberty, 1993, hal.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia,
Cet. II , Jakarta : Djambatan, 2002, hal. 2
49
Sutantio, Retnowulan. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung :
Mandar Maju, hal. 12.
48

36
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu


pada hukum acara perdata yang berlaku. Sementara dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen tidak mengatur secara tegas mengenai
tata cara pengajuan Gugatan Perwakilan Kelompok. Undang-Undang ini
dalam pasal 46 ayat (2) hanya menyebutkan bahwa gugatan yang diajukan
oleh sekelompok konsumen, diajukan kepada peradilan umum. Sedangkan
dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi dan Undang-Undang Kehutanan,
sama sekali tidak mengatur mengenai tata cara pengajuan class action.
Dari keempat Undang-Undang tersebut, terlihat dengan jelas tidak
ada yang mengatur secara tegas mengenai tata cara dan/atau prosedur
pengajuan gugatan class action atau gugatan perwakilan kelompok. Hal ini
juga terlihat dalam konsideran PERMA Nomor 1 Tahun 2002 yang
menyebutkan :
Bahwa telah ada berbagai undang-undang yang mengatur dasar-dasar
gugatan perwakilan kelompok, seperti Undang-Undang Nomor 23 tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, tetapi belum ada ketentuan yang
mengatur tentang acara memeriksa, mengadili dan memutus gugatan
yang diajukan. Bahwa sambil menunggu peraturan perundang-undangan
dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam
mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan
perundang-undangan, maka demi kepastian ketertiban dan kelancaran
dalam dalam memeriksa gugatan perwakilan kelompok, dipandang perlu
menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung.50

Dari ketentuan tersebut, terlihat dengan jelas bahwa sampai saat ini
ketentuan hukum acara yang mengatur mengenai prosedur dan tata cara
pengajuan gugatan perwakilan kelompok adalah PERMA Nomor 1 Tahun
2002 dan Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam perkara perdata biasa
yaitu Herziene Indische Regelemen (HIR).

50

Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan


Kelompok, PERMA Nomor 1 Tahun 2002, bagian Menimbang huruf e dan f.

37
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

2.

Persyaratan Mengajukan Gugatan Class Action.


Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, ditentukan bahwa suatu

gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara gugatan


perwakilan kelompok, apabila (memenuhi kriteria):51
a.

Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidak


efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendirisendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan ;

b.

terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dan kesamaan dasar


hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat
kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan
anggota kelompoknya ;

c.

wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesanggupan untuk


melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili.
Tidak ada ketentuan yang mengatur lebih lanjut, bagaimana
untuk membuktikan mengenai kejujuran atau kesanggupan
tersebut, apakah wakil kelompok tersebut perlu membuat surat
pernyataan dan/atau kesanggupan secara tertulis atau tidak.

3.

Persyaratan Formal Gugatan Class Action.


Dalam gugatan perdata biasa tidak ada ketentuan yang mengatur

perihal syarat-syarat dan isi gugatan. Pasal 118 HIR hanya mengatur
bagaimana suatu gugatan harus diajukan. Dalam praktek suatu gugatan
setidak-tidaknya memuat tentang :
i.

Identitas secara lengkap dan jelas pihak penggugat maupun


tergugat;

ii.

Fakta kasus dan fakta hukum yang menjadi dasar pengajuan


gugatan atau yang dikenal dengan posita. Pada bagian posita
(dasar gugatan), pada umumnya dalam praktek memuat perihal
fakta-fakta/peristiwa hukum (rechfeiten) yang menjadi dasar
gugatan tersebut (tentang peristiwanya) serta uraian singkat
perihal hukumnya yaitu dalam kaitan dengan terjadinya
hubungan hukum tersebut tanpa harus menyebutkan pasal-pasal
perundang-undangan atau aturan-aturan hukum termasuk hukum
adat, sebab hal-hal seperti itu akan ditunjukkan atau dijelaskan
oleh hakim dalam putusannya nanti, jika dipandang perlu
(positum).52

51

Ibid, ps. 2.
R. Soepramono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Cet. II, Jakarta : Mandar
Maju, 2005, hal. 9
52

38
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

iii.

Tuntutan yang dimohonkan oleh penggugat atau yang dikenal


dengan Petitum. Pada bagian petitum (pokok tuntrutan), yaitu
perihal apa-apa sajakah yang dikehendaki atau diminta oleh
Penggugat agar diharapkan untuk dapat diputus oleh Pengadilan
(conclusum).53

Persyaratan formal suatu gugatan perwakilan kelompok diatur


dalam ketentuan pasal 3 dan pasal 10 PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Dari
ketentuan kedua pasal tersebut, persyaratan formal suatu gugatan
perwakilan kelompok dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu persyaratan
khusus dan persyaratan umum, sebagaimana diuraikan secara ringkas di
bawah ini.
a.

Persyaratan Khusus Berdasarkan Pasal 3 PERMA


Nomor 1 Tahun 2002.
Berdasarkan ketentuan pasal 3 dari PERMA Nomor 1

Tahun 2002, suatu gugatan class action harus memuat :


1.

Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok.


Meskipun dalam huruf a ini hanya menetapkan

keharusan pencantuman identitas penggugat dalam hal ini


wakil kelompok secara lengkap dan jelas, namun tidak
berarti identitas tergugat tidak perlu dicantumkan secara
lengkap dan jelas. Pencantuman identitas tergugat secara
lengkap dan jelas diatur dan mengacu kepada pasal 118
HIR sebagai persyaratan umum sebagaimana dijelaskan
pada butir 1 di atas.
2.

Definisi kelompok secara rinci dan spesifik,


walapun tanpa menyebut nama anggota kelompok
satu persatu.

53

Ibid.

39
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Penyebutan

anggota

kelas

dilakukan

dengan

pendefinisian secara jelas, rinci dan spesifik kelasnya


dengan tanpa menyebut nama satu persatu anggota kelas
dan juga spesifikasi diri anggota kelas.54
3.

Keterangan

tentang

anggota

kelompok

yang

diperlukan dalam kaitannya dengan kewajiban


melakukan pemberitahuan.
Keterangan ini tidak dijumpai dalam formulasi
gugatan

berdasarkan

hukum

acara,

karena

dengan

mencantumkan identitas para pihak, pemberitahuan atau


panggilan sudah dapat dipenuhi, sebab secara riil mereka
tampil dalam gugatan. Tidak demikian halnya dalam
gugatan perwakilan kelompok, yang tampil secara nyata
dalam proses perkara hanya wakil kelompok (class
representative), sedangkan identitas anggota kelompok
tersembunyi atau in absentee di balik identitas wakil
kelompok. Anggota kelompok adalah penggugat yang tidak
hadir atau in absentee di forum persidangan. Oleh karena
itu apabila suatu saat diperlukan pemberitahuan kepada
anggota kelompok, perlu diterangkan keberadaan mereka
dalam gugatan dan keterangan itu sedemikian rupa
sehingga langkah tindakan pemberitahuan itu dapat
terlaksana secara efektif.55
4.

Posita dari seluruh kelompok, baik wakil kelompok


maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi
maupun tidak teridentifikasi, yang dikemukakan
secara jelas dan terinci.

54
55

Indro Sugianto, op. cit., hal. 132


M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 154.

40
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Karakteristik khusus dari suatu gugatan class action


atau gugatan perwakilan adalah dalam hal penyusunan
dasar gugatan ini adalah bahwa dalam pendiskripsian dasar
gugatan di samping memuat tentang kejadian atau
peristiwa, uraian tentang hak dalam hubungan hukum yang
menjadi dasari gugatan juga harus dapat mendiskripsikan
secara jelas dan rinci kesamaan hukum atau fakta di antara
wakil kelas dengan anggota kelas.56
5.

Dalam

satu

gugatan

perwakilan,

dapat

dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub


kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan
kerugian yang berbeda.
Syarat ini tidak bersifat imperatif secara permanen,
tetapi secara kondisional dengan acuan penerapan : 57

6.

sepanjang tidak ada secara objektif subkelompok


berdasarkan perbedaan jenis dan jumlah ganti
rugi, gugatan tidak perlu memuat hal itu;

dengan demikian keharusan merumuskan


penegasan
subkelompok
dalam
gugatan
perwakilan kelompok apabila hal itu secara
nyata memang ada;

dalam hal yang demikian gugatan perwakilan


kelompok harus menyebut atau memformulasi
subkelompok yang ada, dan menyebut perbedaan
sifat dan tuntutan ganti rugi bagi setiap sub
kelompok.

Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus


dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan
tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian
ganti kerugian kepada seluruh anggota kelompok,
termasuk usulan tentang pembentukan tim atau

56
57

Indro Sugianto, op. cit., hal. 32


M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 154.

41
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

panel

yang

membantu

memperlancar

pendistribusian ganti kerugian.


Syarat ini juga hampir sama dengan ketentuan atau
persyaratan umum sebagaimana diatur dalam hukum acara
perdata, namun dalam gugatan class action terdapat
tambahan mengenai usulan mekanisme dan tata cara
pendistribusian ganti kerugian dan pembentukan tim yang
akan membantu kelancaran pendistribusian ganti kerugian.

b.

Persyaratan

Umum

Berdasarkan

Hukum

Acara

Perdata (HIR).
Selain persyaratan khusus sebagaimana disebutkan dalam
butir 1 di atas, ketentuan-ketentuan dalam pengajuan gugatan
perdata biasa sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata
biasa yaitu HIR, juga tetap berlaku dalam pengajuan gugatan
perwakilan kelompok. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 juga
ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur
dalam Hukum Acara Perdata tetap berlaku, di samping ketentuanketentuan dalam PERMA ini.58
Sebenarnya jika diperhatikan ketentuan pasal 3 PERMA
Nomor 1 Tahun 2002, hampir terdapat syarat-syarat formulasi
gugatan dengan yang diatur dalam HIR. Dalam pasal 118 ayat (1)
HIR disebutkan : gugatan perdata harus dimasukkan ke Pengadilan
Negeri sesuai dengan kompetensi relative, dan dibuat dalam bentuk
surat permohonan (surat permintaan) yang ditandatangani oleh
penggugat atau oleh wakil (kuasanya).

58

Mahkamah Agung, op. cit., ps. 10.

42
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan


syarat formil keabsahan suatau gugatan. Surat gugatan yang tidak
menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas
tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada.
Identitas yang mutlak dicantumkan dalam suatu gugatan adalah
mengenai nama lengkap, alamat atau tempat tinggal. Syarat lain
yang harus ada dalam suatu gugatan adalah posita yaitu yang
menjadi dasar gugatan yang berisikan dasar hukum dan dasar fakta.
Selain itu, dalam suatau gugatan juga harus mencantumkan
mengenai petitum atau tuntutan yang diajukan oleh penggugat.
Berdasarkan kewenangan atau kompetensi relatif, gugatan
harus diajukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan berikut : 59

59

Gugatan Perdata, yang pada tingkat pertama masuk


kekuasaan pengadilan negeri, harus dimasukan dengan
surat permintaan yang ditanda tangani oleh penggugat
atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua
pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat
bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat
diamnya, tempat tinggal sebetulnya.

Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak


tinggal di dalam itu dimajukan kepada ketua pengadilan
negeri di tempat tinggal salah seorang dari tergugat itu,
yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat-tergugat satu
sama lain dalam perhubungan sebagai perutang utama
dan penanggung, maka penggugatan itu dimasukan
kepada ketua pengadilan negeri ditempat orang yang
berutang utama dari salah seorang dari pada orang
berutang utama itu, kecuali dalam hal yang di tentukan
pada ayat 2 dari pasal 6 dari reglemen tentang aturan
hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan kehakiman.

Bilamana tempat diam dari dari tergugat tidak kenal, lagi


pula tempat tinggal sebetulnya tidak diketahui, atau jika
tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan itu
dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat
tinggal penggugat, atau jika surat gugat itu tentang
barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada
ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak
barang itu.

R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasannya, Bogor : Peliteia, 1989, ps.118.

43
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

4.

Bila dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat


berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat
memasukan surat gugat itu kepada ketua pengadilan
negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat
kedudukan yang dipilih itu.

Prosedur Pengajuan dan Pemeriksaan Gugatan Class Action.


Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa saat ini hukum acara yang

secara khusus mengatur mengenai tata cara dan prosedur pengajuan


gugatan class action diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Secara
garis besar prosedur pengajuan gugatan class action berdasarkan PERMA
Nomor 1 Tahun 2002 adalah sebagai berikut :
a.

Pemeriksaan Awal.
Ketentuan mengenai pemeriksaan awal diatur dalam pasal 5

ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Dalam system gugatan


class action, hakim wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan
awal untuk mengetahui atau menentukan apakah gugatan yang
diajukan layak atau telah memenuhi kriteria suatu gugatan class
action yaitu (1) apakah jumlah anggota kelompok sedemikian
banyak sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan
dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu
gugatan.; (2) apakah terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dan
kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial,
serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok
dengan anggota kelompoknya; (3) apakah wakil kelompok
memiliki

kejujuran

dan

kesanggupan

untuk

melindungi

kepentingan anggota kelompok yang diwakili.


Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa yang wajib diperiksa
dan dipertimbangkan hakim dalam tahap proses pemeriksaan awal,
adalah :
1.

Adanya kelompok yang terdiri dari :


a.

Wakil kelompok yang memenuhi syarat :

44
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

b.

2.

3.

Memiliki kejujuran, dan

Memiliki kesungguhan melindungi


kepentingan anggota kelompok.

Anggota kelompok yang memenuhi syarat :

jumlahnya banyak (numerous), dan

kelompoknya dapat didefinisikan atau


dideskripsi secara jelas dan spesifik.

Terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum;


a.

kesamaan itu bersifat substansial atara wakil


dengan anggota kelompok;

b.

kesamaan itu tidak mengandung persaingan


kepentingan (competing interest), antara wakil
kelompok dengan anggota kelompok.

Terdapat kesamaan tuntutan;


a.

dapat juga diartikan kesamaan kepentingan


(common interest) atau kesamaan tujuan
(common purpose),

b.

boleh juga didasarkan pada


penderitaan (common grievance). 60

kesamaan

Di Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, sistem ini


disebut dengan proses realistic appraisal dan hasil proses ini
disebut Preliminary Certification Test (PCT), atau disebut pula
Judicial Certification. PCT bertujuan untuk mengetahui, pertama
apakah gugatan memenuhi criteria; kedua apakah class action
sesungguhnya memilki nilai efisien dan keadilan, dan ketiga,
apakah wakil kelompok dapat berlaku jujur dan sungguh-sungguh
dapat melindungi para anggota kelompok.61
Dalam pasal 5 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2002, juga
diatur bahwa Hakim dapat memberikan nasihat kepada penggugat
dan tergugat tetapi terbatas mengenai syarat-syarat formal suatu
gugatan class action sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dari
PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Hal seperti ini juga telah diatur
dalam pasal 119 HIR yang menegaskan bahwa Ketua Pengadilan
Negeri berwenang memberi nasihat dan pertolongan kepada
60
61

M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 155


NHT Siahaan, Hukum Lingkungan, Jakarta : Pancuran Alam, 2006, hal. 226

45
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

penggugat atau tergugat maupun kepada kuasa tentang hal yang


berkenaan dengan mengajukan gugatan, apakah gugatan telah
memenuhi syarat formil atau tidak. Ketentuan tersebut senada
dengan ketentuan pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman, yang menegaskan bahwa di dalam perkara perdata,
pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeraskerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Jika hakim berpendapat gugatan class action yang diajukan
sah memenuhi syarat formal yang digariskan dalam pasal 3
PERMA Nomor 1 Tahun 2002, maka sesuai dengan ketentuan
pasal 5 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, pengadilan menerbitkan
penetapan yang berisi : (1) menyatakan gugatan class action sah,
(2) memerintahkan penggugat segera mengajukan usulan model
pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim. Tidak ada
penegasan lebih lanjut, apakah terhadap penetapan ini dapat
diajukan banding atau tidak. Sebaliknya, jika dari hasil
pemeriksaan awal kriteria gugatan class action tidak sah, karena
tidak memenuhi syarat formal suatu gugatan class action
sebagaimana yang telah digariskan, maka pernyataan tersebut
dituangkan dalam bentuk putusan, yang berisi (1) menyatakan
gugatan class action tidak sah, dan menyatakan pemeriksaan
dihentikan.
b.

Penyelesaian Melalui Perdamaian.


Ketentuan mengenai penyelesaian melalui perdamaian

diatur dalam pasal 6 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, yang pada


intinya menegaskan bahwa hakim berkewajiban mendorong para
pihak untuk menyelesaikan perkara gugatan class action melalui
perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama
berlangsungnya pemeriksaan perkara. Ketentuan seperti ini juga

46
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

diatur dalam ketentuan hukum acara perdata biasa yang


menyebutkan :
1.

Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak


datang, maka pengadilan negeri mencoba dengan
perantaraan ketuanya akan memperdamaikan mereka itu.

2.

Jika perdamaian yang demikian itun terjadi, maka


tentang hal itu pada waktu bersidang, diperbuat sebuah
akte, dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk
mencukupi perjanjian yang diperbuat itu, maka surat
(akte) itu akan berkekuatan hukum dan akan dilakukan
sebagai putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.

3.

Tentang putusan yang demikian itu tidak diijinkan orang


minta banding.62

Dari ketentuan tersebut di atas, putusan perdamaian


dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap artinya : (1) tertutup terhadapnya
upaya hukum banding atau kasasi, (2) langsung final dan mengikat
kepada para pihak, (3) serta langsung melekat padanya kekuatan
eksekutorial sehingga apabila tidak dilakukan secara suka rela,
dapat dijalankan eksekusi melalui Pengadilan Negeri.
Ketentuan lain yang mengatur mengenai proses mediasi di
Pengadilan

adalah

Peraturan

Mahkamah

Agung

Republik

Indonesia (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur


Mediasi Di Pengadilan yang dikeluarkan tanggal 11 September
2003. Dalam pasal 2 ayat (1) dari PERMA Nomor 2 Tahun 2003
dengan tegas disebutkan bahwa semua perkara perdata yang
diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu
diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.
Berdasarkan ketentuan pasal 10 PERMA Nomor 1 Tahun
2002 yang menyebutkan ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur
62

R. Soesilo, op. cit., ps.130.

47
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

dalam hukum acara perdata tetap berlaku, di samping ketentuanketentuan dalam PERMA ini, maka tata cara pemeriksaan
perdamaian yang diatur dalam pasal 6 PERMA Nomor 1 Tahun
2002, tunduk pada pasal 130 HIR dan PERMA Nomor 2 Tahun
2003.

c.

Pemberitahuan Kepada Anggota Kelompok.


Dalam sistem gugatan class action diatur mengenai adanya

kewajiban untuk melakukan pemberitahuan kepada anggota


kelompok. Pemberitahuan kepada anggota kelas adalah mekanisme
yang diperlukan untuk memberi informasi kepada seluruh anggota
kelas, dan untuk memberi kesempatan bagi anggota kelas untuk
menentukan apakah mereka menginginkan untuk ikut serta dan
terikat dengan putusan dalam perkara tersebut, atau tidak
menginginkannya yaitu dengan cara menyatakan keluar/opt out
dari keanggota kelas.63
Beberapa hal yang diatur berkaitan dengan mekanisme
pemberitahuan sesuai ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2002,
yaitu :
1.

Cara Pemberitahuan.
Dalam

pasal

ayat

(1)

ditegaskan

bahwa

pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan


melalui : (1) media cetak dan/atau elektronik, (2) kantorkantor pemerintah seperti Kecamatan, Kelurahan atau Desa,
(3) Kantor Pengadilan atau (4) secara langsung kepada
anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang yang dapat
diidentifikasi dan ada persetujuan dari hakim.

63

Susanti Adi Nugroho, Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) Di


Indonesia - Sesuai Dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2002, Jakarta : Puslitbang Hukum dan
Peradilan Mahkamah Agung, 2002, hal. 45

48
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Berbagai
pemberitahuan
melalui

metoda
melalui

media

pengumuman/notifikasi

pemberitahuan

yaitu

massa,

pemberitahuan

dan

pemberitahuan

individual (apabila wakil kelas telah mengetahui namanama serta alamat anggota kelas potensial.64
2.

Waktu/Tahap Pemberitahuan.
Dalam pasal 7 yata (2) PERMA Nomor 1 Tahun

2002,

ditentukan

tahap-tahap

pemberitahuan

kepada

anggota kelompok yaitu :

3.

a.

segera setelah hakim memutuskan bahwa


pengajuan tata cara gugatan perwakilan
kelompok dinyatakan sah. Yang wajib
diberitahukan adalah penetapan pengadilan yang
mensahkan gugatan class action. Tujuan
pemberitahuan ini adalah agar anggota
kelompok mengetahui mengenai adanya
pengajuan gugatan class action, dan apa yang
diajukan itu telah dinyatakan sah oleh hakim.
Pemberitahuan
ini
memuat
mekanisme
pernyataan keluar, maksudnya memberikan
kesempatakn kepada anggota kelompok untuk
menyatakan keluar atau opt out dari keanggotaan
kelompok.65

b.

pada tahap penyelesaian dan pendistribusian


ganti rugi ketika gugatan dikabulkan.
Pemberitahuan juga wajib disampaikan kepada
anggota kelompok dalam rangka penyelesaian
dan pendistribusian ganti rugi.

Isi Pemberitahuan
Pemberitahuan kepada anggota kelompok, memuat :

64

Mas Acmahd Santosa, et al. op. cit., hal. 34.


Opt out adalah pernyataan tertulis dari anggota kelompok yang menyatakan keluar
dan/atau tidak ikut bergabung dengan wakil kelompok dan/atau anggota kelompok lainnya ke
dalam gugatan class action yang diajukan oleh wakil kelompok. Sebaliknya Opt in adalah
pernyataan tertulis dari anggota kelompok yang menyatakan masuk dan/atau ikut bergabung
dengan wakil kelompok dan/atau anggota kelompok lainnya dalam gugatan class action yang
diajukan oleh wakil kelompok
65

49
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

a.

Nomor gugatan dan identitas penggugat atau


para penggugat sebagai wakil kelompok serta
pihak tergugat atau para tergugat;

b.

Penjelasan singkat kasus perkara;

c.

Penjelasan tentang pendefinisian kelompok;

d.

Penjelasan dari implikasi keturutsertaan sebagai


anggota kelompok;

e.

Penjelasan tentang kemungkinan anggota


kelompok yang termasuk dalam definisi
kelompok untuk keluar dari keanggotaan
kelompok;

f.

Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal,


jam pemberitahuan pernyataan keluar dapat
diajukan ke pengadilan;

g.

Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk


mengajukan pernyataan keluar;

h.

Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok


tentang siapa dan tempat yang bersedia bagi
penyediaan informasi tambahan;

i.

Formulir isian tentang pernyataan ke luar dari


anggota kelompok sebagaimana diatur dalam
PERMA;

j.

Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan


diajukan.66

Jika class action diteruskan, karena telah memenuhi


ketentuan pasal 23 (b) (3), maka pengadilan akan secara
langsung memberitahukan kepada anggota kelas yang dapat
teridentifikasi

melalui

berbagai

cara.

Pemberitahuan

tersebut berisi tiga hal pokok, yaitu pertama, pemberitahuan


bahwa anggota yang tidak menyatakan diri tidak masuk
dalam kelompok dianggap menjadi anggota kelompok.
Kedua, mengenai putusan, baik menang atau kalah, akan
mengikat semua anggota kelas yang tidak menyatakan diri
tidak ikut dalam kelompok. Ketiga, anggota yang tidak

66

Mahkamah Agung, op. cit., ps. 7 ayat (4).

50
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

menyatakan

diri

menjadi

anggota

kelompok,

dapat

menghubungi wakilnya.67

Di Australia, berdasarkan Undang-Undang Federal


(Federal Court of Australia Act), dalam tahap awal gugatan
class action, persetujuan (consent) dan identifikasi dari
setiap anggota kelas tidak dipersyaratkan, namun anggota
kelas diberi peluang untuk keluar dari kelompok gugatan
(opt out) pada waktu dan tanggal yang ditetapkan oleh
pengadilan.68
4.

Pihak Yang wajib melakukan pemberitahuan.


Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, disebutkan

bahwa setelah pemberitahuan dilakukan oleh wakil


kelompok

berdasarkan

persetujuan

hakim,

anggota

kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim


diberikan kesempatan menyatakan keluar dari keanggotaan
kelompok dengan mengisi formulir sebagaimana diatur
dalam lampiran Peraturan Mahkamah Agung ini.69
Dari ketentuan tersebut, terlihat dengan jelas bahwa
pihak yang wajib melakukan pemberitahuan adalah wakil
kelompok, atas persetujuan dari hakim yang memeriksa
gugatan tersebut.

d.

Pernyataan Keluar.
Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, disebutkan bahwa

pernyataan keluar adalah suatu bentuk pernyataan tertulis yang


67

Inosentius Samsul, op. cit., hal. 215.


Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class
Action), Jakarta : ICEL, 1997, hal. 5
69
Mahkamah Agung, op. cit., ps. 8 ayat (1).
68

51
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

ditandatangani dan diajukan kepada pengadilan dan/atau pihak


penggugat, oleh anggota kelompok. Sebagaimana diuraikan
sebelumnya bahwa salah satu isi pemberitahuan adalah penjelasan
tentang kemungkinan anggota kelompok keluar dari kelompok
(pasal 7 ayat (4) huruf e). Persyaratan untuk menyatakan keluar
dari kelompok diatur dalam pasal 8 ayat (1) sebagaimana telah
diuraikan dalam butir 3 di atas. Selanjutnya Pihak yang telah
menyatakan diri keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan
kelompok, secara hukum tidak terikat dengan putusan atas gugatan
perwakilan kelompok dimaksud.70
Dari ketentuan pasal 8 PERMA Nomor 1 Tahun 2002
tersebut di atas terlihat bahwa tata cara pemberitahuan pernyataan
keluar, yaitu : (a) dilakukan dalam batas waktu yang disebut dalam
pengumuman (apabila lewat dari waktu itu, pernyataan keluar tidak
sah) dan (b) pernyataan dituangkan dalam bentuk formulir yang
sudah baku.
e.

Kewenangan Hakim dan Anggota Kelompok Terhadap


Kuasa Hukum dan Wakil Kelompok.
Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, diatur mengenai

kewenangan yang diberikan kepada hakim untuk menganjurkan


keapada wakil kelompok untuk mengganti pengacara, apabila
pengacara yang bersangkutan melakukan tindakan yang merugikan
atau bertentangan dengan kewajibannya membela dan melindungi
kepentingan kelompok.

PERMA Nomor 1 Tahun 2002, tidak

mengatur apakah hakim atau anggota kelompok diberikan


kewenangan untuk mengganti wakil kelompok.
Pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 menegaskan bahwa
untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil
kelompok tidak disyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari
70

Ibid., ps. 8 ayat (2).

52
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

anggota kelompok. Berdasarkan ketentuan ini, wakil kelompok


dalam mengajukan gugatan untuk dan atas nama seluruh anggota
kelompok tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota
kelompok. Ketentuan ini realistik dan efektif untuk mengatasi
kesulitan mendapatkan kuasa dari seluruh anggota kelompok.
f.

Putusan Pengadilan.
Setiap perkara harus berakhir dengan putusan hakim, sebab

tanpa putusan maka suatu perkara yang diperiksa tidak akan ada
artinya. Putusan hakim adalah pernyataan hakim sebagai pejabat
Negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang diberi
wewenang untuk itu yang diucapkan di hadapan persidangan dan
terbuka untuk umum yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu
perkara.
PERMA Nomor 1 Tahun 2002, tidak memberikan
penjelasan bagaimana bentuk putusan gugatan class action.
Mengacu kepada pasal 10 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, maka isi
putusan gugatan class action sama dengan isi putusan perkara
perdata biasa. Dalam praktek putusan yang dapat dijatuhkan
pengadilan dalam mengadili perkara sangat bervariasi : (a) bisa
menolak seluruh gugatan (b) dapat juga mengabulkan gugatan
sebagian atau seluruhnya, atau (c) dapat juga menyatakan gugatan
tidak dapat diterima. Dalam putusan gugatan class action, jika
putusan mengabulkan gugatan berkenaan dengan ganti rugi,
diperlukan perumusan amar putusan yang lebih khusus dan teknis
dibanding perkara biasa, memberikan pedoman kepada hakim
mengenai perumusan amar putusan dalam hal putusan atas
pengabulan ganti rugi.
Berkaitan dengan gugatan ganti rugi yang dikabulkan,
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 menentukan

bahwa dalam hal

gugatan ganti rugi dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah

53
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok


yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkahlangkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompk dalam proses
penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan
pemberitahuan atau notifikasi.71
Mengenai bentuk ganti rugi yang dapat dikabulkan,
tegantung pada kasus perkara gugatan class action yang
bersangkutan. Dalam kasus gugatan class action yang berkenaan
dengan masalah lingkungan hidup, dapat dikabulkan berbagai jenis
tuntutan ganti rugi, antara lain : (a) ganti rugi secara individual
kepada korban, (b) ganti rugi komunitas dan kolektif yang
diperuntukkan

sebagai

biaya

rehabilitasi

atau

pemulihan

lingkungan, dan (c) ganti rugi untuk generasi yang akan datang
(future generation).72
g.

Pendistribusian Ganti Rugi (Administrasi Penyelesaian


Ganti Kerugian).
Akhir dari proses guagatan class action adalah tahap

pendistribusian ganti rugi kepada anggota kelompok, apabila


pengadilan mengabulkan gugatan. Wakil kelompok menyampaikan
pemberitahuan atas pengabulan tuntutan ganti rugi kepada seluruh
anggota kelompok dengan cara mekanisme yang yang dituntutkan
dalam putusan melalui media atau perangkat yang ditentukan
dalam pasal 7 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2002.
Dalam putusan, pengadilan dapat mengabulkan cara
pendistribusian dilakukan oleh tim, yang terdiri dari penggugat,
tergugat dan pengadilan negeri. Pendistribusian dapat dilakukan
dengan cara : (1) diberikan langsung kepada masing-masing
anggota kelompok, dengan syarat yang bersangkutan membuktikan
71
72

Ibid., ps. 9.
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 176

54
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

dirinya sebagai anggota kelompok yang ikut mengalami kerugian,


(2) dapat juga melalui subkelompok (jika ada) tanpa mengurangi
keharusan membuktikan sebagai korban dari peristiwa yang
diperkarakan.
Administrasi penyelesaian ganti kerugian di dalamnya
mengatur

tentang

kewenangan

hakim

untuk

melakukan

pengawasan terhadap proses pelaksanaan penyelesaian ganti


kerugian, kewenangan untuk membentuk suatu panel khusus, guna
membantu hakim mengawasi proses pelaksanaan penyelesaian
ganti kerugian, serta kewenangan hakim untuk menentukan cara
pendistribusian ganti kerugian, cara anggota kelas menyampaikan
alat bukti, mekanisme bagi anggota kelas memperoleh ganti
kerugian serta alternative penyelesaian atas terjadinya kelebihan
maupun kekurangan ganti kerugian.73
Sebagaimana

telah

diuraikan

sebelumnya,

anggota

kelompok yang telah menyatakan keluar atau opt out, tidak berhak
mendapat ganti rugi.

5.

Manfaat Penggunaan Gugatan Class Action.


Meskipun pengaturan gugatan class action telah diakui dalam

hukum positif Indonesia sejak tahun 1997 yaitu sejak diundangkannya


Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diikuti
dengan

Undang-Undang

Tentang

Kehutanan,

Undang-Undang

Perlindungan Konsumen akan tetapi makna dan tujuan gugatan class


action tersebut belum banyak dipahami dan dimengerti dengan benar oleh
kalangan hukum (para praktisi hukum, akademisi hukum, termasuk para
mahasiswa hukum) apalagi oleh masyarakat luas di Indonesia.

73

Indro Sugianto, op. cit., hal. 139

55
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Manfaat penggunaan gugatan perwakilan kelompok (class action)


bukan hanya dari segi kepentingan pihak penggugat atau bagi pihak
tergugat tetapi juga bagi kepentingan publik. Manfaat demikian berupa :74
a.

Penghematan biaya.

b.

Akses yang terbuka bagi pencari keadilan dengan biaya hemat


melalui prosedur gugatan class action membuat masyarakat tidak
enggan lagi meminta perlindungan ke pengadilan. Secara
psikologis perkembangan itu akan menimbulkan deterrent effect
bagi para pelaku usaha yang berpotensi merugikan masyarakat.

c.

Menghindari kemungkinan terjadinya putusan yang berbeda satu


dengan yang lain. Putusan yang ditangai oleh hakim-hakim yang
berbeda-beda, apalagi dengan ruang waktu yang berbeda-beda
pula memunculkan kemungkinan adanya putusan-putusan yang
inkonsisten.

Menurut Ontario Law Reform Comission (1982:117-138), manfaat


class action itu adalah :75
(1) judicial economy. Singkatnya, pengadilan tidak perlu mengadili
perkara yang sama dari ratusan atau ribuan orang secara berulang-ulang.
Di samping itu, dari segi biaya perkara, barangkali lebih ringan
dibandingkan dengan gugatan individual, karena penggugat itu dapat
melakukan urunan. (2) Access to courts. Maksudnya dengan adanya class
action ini, individu (korban) dapat memiliki kesempatan untuk mencari
keadilan melalui pengadilan. Kalau seorang individu harus menggugat
sendiri, belum tentu dia berani menggugat dan belum tentu juga ia dapat
memperoleh apa yang menjadi tuntutannya. (3) Behaviour modification.
Artinya, penerapan class action ini mempunyai efek jera pada para
pelaku, baik yang sedang digugat maupun yang berpotensi untuk digugat.

Dalam konteks perlindungan konsumen, dengan mekanisme class


action, tuntutan dari banyak orang dapat diajukan bersamaan, dan dapat
menghindari pengulangan gugatan yang hampir sama dan juga
memberikan peluang kepada konsumen untuk mengajukan gugatan dalam
jumlah kecil.76

74

NHT Siahaan, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab


Produk), Cet. I, Jakarta : Panta Rei, hal. 246
75
Hyronimus Rhiti, op. cit., hal. 95
76
Inosentius Samsul, op. cit., hal. 227

56
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Mas Achmad Santosa, menyebutkan terdapat paling sedikit tiga


manfaat dan alasan atas keberadaan class action :
Pertama, yaitu proses berperkara yang bersifat ekonomis (judicial
economy). Dengan gugatan class action berarti mencegah pengulangan
(repition) gugatan-gugatan serupa secara individual. Tidaklah ekonomis
bagi pengadilan apbila harus melayani gugatan-gugatan sejenis secara
individual (satu persatu). Manfaat ekonomis juga ada pada diri tergugat,
sebab dengan class action tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya
untuk melayani gugatan masyarakat korban.
Kedua, akses pada keadilan (access to justice). Apabila diajukan secara
individual, maka hal tersebut mengakibatkan beban bagi calon penggugat
seringkali beban semacam ini menjadi hambatan bagi seseorang untuk
memperjuangkan haknya di pengadilan. Terlebih lagi apabila biaya
gugatan yang akan dikeluarkan tidak sebanding dengan tuntutan yang
akan diajukan. Melalui proses class action, kendala yang bersifat
ekonomis ini dapat teratasi dengan cara para korban menggabungkan diri
bersama dengan class members lainnya dalam satu gugatan.
Ketiga, perubahan sikap pelaku pelanggaran (behaviour modification).
Dengan diterapkannya prosedur class action berarti memberikan akses
yang lebih luas pada pencari keadilan untuk mengajukan gugatan dengan
cara cost efficiency. Akses class action ini dengan demikian berpeluang
mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan
kepentingan masyarakat luas. Peluang ini yang disebut peluang
menumbuhkan detterent effect (efek penjera).77

Manfaat penggunaan class action seperti yang diuraikan di atas,


juga diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, yaitu :

77

a.

Untuk menegakkan asas penyelenggaran peradilan sederhana,


cepat, biaya ringan agar akses masyarakat terhadap keadilan
semakin dekat. Dengan satu gugatan, diberi hak prosedural
terhadap satu atau beberapa orang bertindak sebagai penggugat
untuk memperjuangkan kepentingan penggugat dan sekaligus
kepentingan anggota kelompok (biasanya ratusan atau ribuan
anggota).

b.

Untuk kepentingan efisiensi dan efektivitas berperkara, karena


dengan cara ini satu orang saja dari pihak yang dirugikan yang
bertindak sebagai wakil kelompok dapat mengajukan gugatan
untuk diri sendiri dan sekaligus mewakili kelompok yang
jumlahnya banyak. Sangat tidak efisien dan efektif apabila
penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan secara
serentak atau sekaligus dan massal terhadap orang banyak yang
memiliki fakta, dasar hukum dan tergugat yang sama apabila
diajukan serta diselesaikan sendiri-sendiri atau bersama-sama
dalam satu gugatan.

Mas Achmad Santosa, op. cit., hal. 7

57
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Dari pendapat dan ketentuan sebagaimana diuraikan di atas, terlihat


bahwa gugatan class action bermakna untuk menghindari adanya gugatangugatan individual yang bersifat pengulangan terhadap permasalahan,
fakta hukum, dan tuntutan yang sama dari sekelompok orang yang
menderita kerugian. Ini berarti gugatan class action akan lebih bersifat
ekonomis jika dibanding setiap orang mengajukan gugatan sendiri-sendiri
ke pengadilan. Selain itu, waktu dan biaya yang harus dikeluarkan untuk
mengajukan gugatan class action akan menjadi lebih efisien apabila
dibandingkan dengan mengajukan gugatan secara individual dari masingmasing anggota kelompok.
Gugatan class action dapat memberi akses pada keadilan karena
beban yang ditanggung bersama untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
dalam rangka memperjuangkan hak kelompok masyarakat atas keadilan
memperoleh ganti kerugian dan/atau melakukan tindakan tertentu menjadi
lebih diperhatikan dan diprioritaskan penanganannya oleh pengadilan.
Selain itu gugatan class action juga mempunyai makna penting dalam
upaya pendidikan hukum dalam masyarakat : (a) di satu sisi dapat
mendorong perubahan sikap kelompok masyarakat untuk memperoleh
keadilan dan lebih berani menuntut haknya melalui jalur pengadilan; (b) di
sisi lain dapat mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi
merugikan hak dan kepentingan masyarakat luas dan (c) juga dapat
menimbulkan efek jera bagi siapa pun yang pernah merugikan hak dan
kepentingan kelompok orang dalam masyarakat.

58
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

BAB III
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENGGUNAAN
GUGATAN CLASS ACTION

Selain gugatan perdata dengan cara-cara yang telah diatur dan


dipraktekkan dalam hukum acara perdata selama ini, kini mulai berkembang
mekanisme pengajuan gugatan perdata dengan menggunakan mekanisme class
action. Penggunaan mekanisme pengajuan gugatan yang terbilang baru dalam
sistem hukum Indonesia tersebut, pada dasarnya merupakan hak masyarakat
secara luas untuk mengajukan gugatan dalam hal timbulnya kerugian baik yang
bersifat individual maupun komunal. Mekanisme ini pada dasarnya hanya
merupakan salah satu syarat masuk untuk beracara di pengadilan. Sementara
keberhasilan dari mekanisme itu sendiri dalam upaya mempertahankan hak atau
menuntut ganti kerugian akan sangat bergantung dari keseluruhan proses di
pengadilan.
Untuk mengetahui hambatan-hambatan dan/atau kesulitan-kesulitan yang
ditemui dalam penggunaan gugatan class action, penulis terlebih dahulu
menyajikan beberapa kasus menarik atau yang menjadi perhatian masyarakat yang
penyelesaiannya diajukan ke pengadilan dengan menggunakan mekanisme class
action, di bidang konsumen maupun dalam bidang lingkungan hidup.
A.

Beberapa Perkara Gugatan Yang Diselesaikan Dengan Menggunakan


Mekanisme

Class

Action

Sebelum

Adanya

Pengakuan

dan

Pengaturan Gugatan Class Action.


1.

Gugatan Pengacara RO Tambunan Terhadap Bentoel Remaja, Perusahaan


Iklan dan Radio Swasta Niaga Prambors.78
Pengacara RO Tambunan mengatasnamakan diri sendiri sebagai orang tua

dan mewakili seluruh remaja Indonesia mengajukan gugatan terhadap Bentoel


Remaja, Perusahaan Iklan dan Radio Swasta Niaga Prambors pada tahun 1987
78

NHT Siahaan, Hukum Lingkungan, Cet. I, Jakarta : Pancuran Alam, 2006, hal. 216.

59
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatannya RO Tambunan


mendalilkan bahwa iklan rokok Bentoel Remaja, telah meracuni kalangan remaja,
rokok telah menimbulkan gangguan kesehatan dan merusak masa depan generasi
muda Indonesia.
Gugatan tersebut telah diputus oleh pengadilan yang isinya menolak
gugatan penggugat. Salah satu pertimbangan hukum majelis hakim adalah bahwa
hukum positif di Indonesia belum ada yang mengatur mengenai gugatan class
action, baik mengenai definisi maupun prosedural mengajukan gugatan class
action ke pengadilan. Class action hanya dikenal di sistem common law yang
dianut oleh negara-negara anglosaxon, sedangkan Indonesia menganut sistem civil
law.
2.

Gugatan Muchtar Pakpahan terhadap Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu


Kota (DKI) Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta.79
Muchtar Pakpahan yang terjangkit penyakit demam berdarah selain

bertindak untuk diri sendiri sekaligus mengatasnamakan seluruh warga Jakarta


mengajukan gugatan terhadap Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota (DKI)
Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta pada tahun 1988,
melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatannya Muchtar Pakpahan
mendalilkan bahwa Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dan
Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta dianggap tidak menjalankan
kewajibannya untuk menjaga kebersihan lingkungan Jakarta, sehingga muncul
penyakit demam berdarah dan menimbulkan korban seperti yang dialaminya
sendiri maupun warga Jakarta yang lain.
Seperti halnya gugatan R.O. Tambunan, gugatan ini juga kandas dengan
pertimbangan hukum yang sama yaitu hukum positif di Indonesia belum ada yang
mengatur mengenai gugatan class action, baik mengenai definisi maupun
prosedural mengajukan gugatan class action ke pengadilan.

79

Ibid.

60
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

3.

Gugatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terhadap


PT. PLN Persero.80
Pada saat gugatan diajukan yaitu pada tanggal 30 Aril 1997, belum ada

hukum positif yang mengatur dan mengakui tentang gugatan class action. Tetapi
ketika proses pemeriksaan perkara masih berjalan, pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu pada tanggal 19 September
1997 yang didalamnya mengakui dan mengatur mengenai gugatan class action,
dan oleh majelis hakim, undang-undang ini telah dijadikan sebagai salah satu
pertimbangan hukum.
Kasus ini bermula dari terjadinya pemadaman aliran lsitrik secara tiba-tiba
dan tanpa pemberitahuan sebelumnya, di sebagian besar wilayah Jawa Bali pada
hari Minggu tanggal 13 April 1997, mulai pukul 10.00 dan berlangsung setidak
tidaknya selama 8 (delapan) jam. Pemadaman aliran listrik tersebut menyebabkan
penggugat tidak dapat menjalankan beberapa kegiatannya, karena tidak
berfungsinya alat-alat penerangan, dan alat-alat elekronik yang setiap hari
digunakan penggugat, seperti komputer, Ac, alat pendingin untuk menyimpan
sampel penelitian laboratorium dan lain-lain. Bagi masyarakat konsumen listrik,
pemadaman tersebut menyebabkan mereka tidak dapat menjalankan kegiatannya,
seperti memproduksi barang ataupun menyediakan jasa dengan baik, berhentinya
kegiatan-kegiatan yang sehari-hari biasa mereka lakukan, dengan menggunakan
tenaga listrik, tidak berfungsinya alat penerangan dan alat-alat elektronik lainnya,
bahkan diantaranya telah mengakibatkan rusaknya barang-barang itu dan juga
matinya hewan-hewan, seperti ikan peliharaan dan lain-lain, juga terganggunya
kenikmatan mereka untuk dapat berekreasi dan beristirahat karena tidak
berfungsinya penerangan dan alat-alat elektronik tenaga listrik.
Alasan penggugat mengajukan gugatan dengan menggunakan mekanisme
atau prosedur gugatan class action, adalah bahwa penggugat sebagai pengguna
(konsumen) tenaga listrik, mempunyai kepentingan yang sama dengan masyarakat
80

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 134/Pdt.G/PN.Jkt.Sel. tanggal 16


Desember 1997, Jo. Nomor 221/PDT/1998/PT.DKI tanggal 21 Juli 1998.

61
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

konsumen listrik lainnya, yang menjadi korban dan mengalami kerugian karena
padamnya aliran listrik, yaitu berhak untuk mendapatkan pelayanan yang sebaikbaiknya dan mendapatkan tenaga listrik secara terus menerus dari tergugat
sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor
15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan dan pasal 26 ayat (2) huruf b Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga
Listrik. Masyarakat konsumen listrik, korban padamnya aliran listrik pada tanggal
13 April 1997, yang domisilinya tersebut tersebar di wilayah Jawa-Bali,
jumlahnya sangat besar (dapat mencapai lebih dari satu juta jiwa) dan juga tidak
terorganisasi, dan bila masing-masing secara langsung dan sendiri-sendiri
bertindak sebagai penggugat dalam gugatan ini, akan memakan biaya. Mengingat
terdapat jumlah korban yang mencapai lebih dari satu juta konsumen listrik,
terdapat fakta yang sama maka sangat beralasan, penggugat selain bertindak untuk
dirinya sendiri, juga sekaligus mempunyai kedudukan hukum untuk mewakili
masyarakat konsumen listrik, yang dapat mencapai jumlah lebih satu juta
konsumen listrik yang menjadi korban padamnya listrik pada tannggal 13 April
1997, dengan menggunakan mekanisme gugatan perwakilan kelompok.
Dalam

jawabannya,

tergugat

mengajukan

bantahan

terhadap

pendayagunaan mekanisme gugatan class action, yang menyatakan pengajuan


gugatan perwakilan kelompok (class actian), sangat bertentangan dengan prinsip
hukum acara perdata yang berlaku (HIR atau RBg), karena penggugat tidak
mendapat kuasa dari masyarakat konsumen listrik di daerah Jawa - Bali yang
menjadi korban pemadaman listrik. Berdasarkan ketentuan Pasal 123 HIR, surat
kuasa mutlak diperlukan, dalam hal orang atau badan hukum tidak dapat beracara
sendiri, dengan menyerahkan segala sesuatu dalam mewujudkan kepentingan
hukumnya. Gugatan class action justru akan mengacaukan dan mengganggu
kepastian hukum serta menyimpangi ketentuan hukum acara perdata yang
berlaku, yang akhirnya akan merusak pranata hukum yang ada.

62
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Dalam putusannya majelsi hakim sependapat dengan tergugat bahwa


kuasa yang dilampirkan dalam surat gugatan yang ditandatangani oleh YLKI
dengan tanpa ada surat kuasa dari konsumen listrik se Jawa-Bali yang diwakili
oleh YLKI, dianggap bertentangan dengan ketentuan pasal 123 HIR. Majelis
hakim juga menyatakan gugatan yang diajukan oleh YLKI dengan menggunakan
mekanisme class action, tidak dapat diterima. Majelis hakim berpendapat bahwa
class action yang diakui dan dicantumkan dalam Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, hanya dimaksud khusus dalam lingkungan hidup, sehingga
tidak dapat diartikan secara luas mengenai hal-hal lain di luar lingkungan hidup.
Pada hakekatnya, suatu gugatan class action hanya dapat diakui dan diterapkan
manakala ada undang-undang yang secara jelas menyebutkannya, sehingga
dengan demikian class action hanya khusus untuk hukum lingkungan hidup, tidak
akan dapat berlaku untuk penegakan hukum di bidang lainnya.
Terhadap putusan ini, YLKI menyatakan banding pada tanggal 28 Januari
1998. Pengadilan pada tingkat banding menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dengan mengambil alih seluruh alasan dan pertimbangan hukum
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berdasarkan informasi yang
penulis peroleh dari YLKI, terhadap putusan banding ini, YLKI tidak mengajukan
upaya hukum kasasi, sehingga dengan demikian putusan tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkrahct).
Apabila dilihat dari definisi dan unsur-unsur suatu gugatan class action
sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya pada bab sebelumnya,
penulis berpendapat bahwa gugatan ini lebih cenderung atau mendekati kepada
gugatan yang diajukan dengan berdasarkan hak gugat organisasi atau Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) atau yang lebih dikenal dengan legal standing.
Memang dalam beberapa literatur, gugatan YLKI ini dikategorikan sebagai salah
satu contoh gugatan perwakilan kelompok (class action), karena memang dalam
gugatannya sendiri, YLKI dengan tegas-tegas mengklaim bahwa gugatan ini
diajukan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action.

63
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

B.

Beberapa Perkara Gugatan Yang Diselesaikan Dengan Menggunakan


Mekanisme Class Action Setelah Adanya Pengakuan dan Pengaturan
Gugatan Class Action.
Setelah adanya pengakuan dan pengaturan gugatan class action, terdapat

puluhan sengketa atau perkara yang penyelesaiannya diajukan ke pengadilan


melalui mekanisme gugatan class action. Penulis akan mencoba menyajikan
beberapa diantaranya yang menarik perhatian masyarakat.
1.

Gugatan 139 orang penarik becak terhadap Pemerintah RI cq Menteri


Dalam Negeri cq Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.81
Para penggugat dalam surat gugatannya tertanggal 17 Februari 2000

menyebutkan dengan tegas bahwa gugatan diajukan sebagai gugatan perwakilan


perbuatan melawan hukum. Dalam gugatannya, 139 orang penarik becak
mendalilkan bertindak sebagai wakil kelas yang mewakili dirinya sekaligus juga
mewakili 5000 orang penarik becak yang beroperasi di wilayah DKI Jakarta.
Alasan pegunggat mengajukan gugatan ini dengan menggunakan
mekanisme class action adalah jumlah penarik becak di Jakarta sangat banyak
mencapi 5000 jiwa. Jika gugatan diajukan secara sendiri-sendiri akan
membutuhkan energi dan biaya yang sangat mahal. Bagi penggugat sendiri
pengajuan gugatan perwakilan sangat bermanfaat, terutama karena penggugat
merupakan pihak yang lemah, yang belum pernah memiliki akses di hadapan
hukum/pengadilan. Gugatan perwakilan telah pula dimungkinkan dalam perkara
lingkungan hidup dan konsumen sebagaimana tertera dalam Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Adapun awal mula kasus ini adalah pada tahun 1988 Pemda DKI
mengeluarkan Perda Nomor 11 tahun 1988 pada intinya melarang keberadaan
becak di Jakarta. Pada tanggal 25 Juni 1998, tergugat selaku Gubernur DKI
81

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 50/PDT.G/2000/PN.Jkt.Pst., tanggal 24


Juli 2000, Jo. Nomor 646/PDT/2000/PT.DKI. tanggal 20 Desember 2000, Jo. Nomor 3047
K/PDT/2001 tanggal 6 Desember 2001.

64
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

mengeluarkan kebijaksanaan yang mengijinkan becak beroperasi di Jakarta.


Kemudian pada tanggal 30 Juni 1998, Gubernur DKI mengeluarkan kebijakan
menarik kembali kebijakan pemberian ijin bagi penarik becak dan memerintahkan
kepada 5 walikota diwilayah DKI Jakarta untuk menertibkan kembali becak.
Akibat kebijakan tersebut, terjadi penggarukan becak yang dilakukan secara
mendadak oleh staf tergugat tanpa menunjukan surat perintah dan surat buktikan
penyitaan, dilakukan kekerasan fisik dan perusakan becak milik para penggugat.
Penggugat mendalilkan bahwa tindakan dan keputusan yang dikeluarkan oleh
tergugat bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik (the general principles
of good administration) yakni asas kepastian hukum; asas pertimbangan; asas
kejujuran dan kerterbukaan, kewajaran, asas motivasi dan asas pertanggung
jawaban serta merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dan
diancam dalam pasal 1365 KUHPerdata.
Berkaitan dengan pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme
gugatan class action, tergugat memberikan bantahan yang intinya bahwa kapasitas
139 orang penarik becak sebagai penggugat yang mewakili 5.000 orang penarik
becak, berdasarkan ketentuan pasal 123 ayat (1) HIR harus dilengkapi dengan
surat kuasa khusus dari 5.000 orang penarik becak yang diwakilinya. Penggugat
tidak mencantumkan indentitas kependudukan (KTP) masing-masing sebagai
warga DKI Jakarta sehingga penggugat tidak mempunyai kapasitas mengajukan
gugatan mewakili 5.000 orang penarik becak.
Terhadap keberatan (eksepsi) tergugat mengenai penggunaan mekanisme
class action, majelis hakim berpendapat bahwa perwakilan kelas sejumlah 139
orang penarik becak dinyatakan dapat diterima. Hal ini dituangkan dalam putusan
tersendiri (putusan sela) pada tanggal 20 April 2000. Selanjutnya dalam putusan
pokok perkara tanggal 31 Juli 2000, majelis hakim menghukum agar tergugat
sebagai kepala Daerah DKI agar menyediakan ruang dan jalur khusus dan
menyatakan penggugat dapat melaksanakan pekerjaannya sebagai penarik becak
yang akan beroperasi di jalan-jalan pemukiman dan pasar sesuai dengan jalurjalur yang diterapkan.

65
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Meskipun dalam perkara ini majelis hakim dengan tegas mengakui


dan/atau menerima pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme class
action, namun dalam proses pemeriksaan selanjutnya diterapkan prosedur
sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata. Setelah Pengadilan memutuskan
bahwa penggunaan prosedur class action dapat diterima, proses pemeriksaan
langsung dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara, alat bukti dan
seterusnya tanpa ada perintah dan/atau putusan yang mengharuskan dilakukan
notifikasi (pemberitahuan) kepada anggota.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakata Pusat tersebut, Gubernur DKI
Jakarta mengajukan upaya hukum banding pada tanggal 8 Agustus 2000. Dalam
putusannya, majelis hakim tingkat banding membatalkan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Dalam putusannya pada bagian eksepsi majelis hakim pada
tingkat banding menyatakan menolak eksepsi dari tergugat. Meskipun eksepsi
atau keberatan mengenai penggunaan mekanisme gugatan class action ditolak,
tetapi karena pokok perkara dalam gugatan ditolak, penolakan eksepsi menjadi
tidak berarti. Pertimbangan majelis hakim menolak gugatan karena dasar gugatan
para penggugat bertentangan dengan Perda Nomor 11 tahun 1988 yang melarang
keberadaan becak di Jakarta. Perda Nomor 11 tahun 1988 belum pernah dicabut.
Para penggugat yang mendalilkan bahwa tanggal 25 Juni 1998, Gubernur DKI
Jakarta pernah mengeluarkan kebijakaan yang mengijinkan becak beroperasi di
Jakarta, hanya didasarkan pada berita melalui media massa yang masih dalam
bentuk gagasan dan belum berwujud suatu keputusan resmi yang sah.
Terhadap putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, ke-139
penarik becak megajukan upaya hukum kasasi. Dalam putusannya, majelis hakim
pada tingkat kasasi berpendapat bahwa putusan majelis hakim pada tingkat
banding sudah tepat dan tidak salah dalam menerapkan dan/atau tidak melanggar
hukum yang berlaku. Dengan demikian putusan pengadilan tinggi DKI Jakarta
yang menolak gugatan ke-139 orang penaik becak telah mempunyai kekuatan
hukum yang pasti (inkracht).

66
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa putusan majelis hakim tingkat
pertama pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan menerima para
penggugat selaku wakil kelas, namun akhirnya kandas di tengah jalan, karena
pada tingkat banding gugatan para penggugat ditolak, yang kemudian dikuatkan
oleh majelis hakim pada tingkat kasasi.
2.

Gugatan R.M. Waskito Aqdiri Wibowo, dkk (9 orang) konsumen gas


LPG, terhadap Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
(Pertamina) dan Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina.82
Dalam gugatannya, para penggugat mendalilkan bahwa tergugat secara

sepihak dan tanpa pemberitahuan sebelumnya baik lisan maupun secara tertulis
dan tanpa proses sosialisasi kepada para penggugat berikut konsumen gas elpiji,
telah menaikan harga jual gas elpiji (LPG) sebesar 40% dari harga jual lama
Rp.1.500 ,-/Kg sehingga terhitung sejak tanggal 3 November 2000 harga jual gas
elpiji (LPJ) menjadi Rp.2.100,-/kg sebagaimana dituangkan dalam SK Nomor
Kpts-097/c00000/2000-S3 tanggal 2 November 2000. Kenaikan harga secara tibatiba tersebut juga tidak sesuai dengan himbauan yang dikeluarkan oleh Tim
Pemantau Harga yang dibentuk oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan
berdasarkan

Keputusan

Menteri

Peridustrian

dan

Perdagangan

Nomor

289/MPP/Kep/9/2000, yang menyatakan kenaikan harga elpiji seharusnya tidak


boleh lebih 5%. Tindakan tergugat adalah merupakan perbuatan melawan hukum
in casu pasal 4 huruf b, c dan d jo pasal 7 huruf a, b, dan d jo. pasal 12 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan telah
menimbulkan kerugian materiil dengan perincian.
Dalam gugatannya, para penggugat menyebutkan alasan mengajukan
gugatan dengan menggunakan mekanisme class action. Jumlah masyarakat
konsumen-konsumen LPG lainnya di Jabotabek, sangat besar, dapat mencapai
sekitar dan atau lebih dari 200.000 konsumen LPG dan juga tidak teroganisir, dan
82

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 550/PDT.G/2000/PN.Jkt.Pst., tanggal 4


Oktober 2001, Jo. Nomor 94/PDT/2002/PT.DKI. tanggal 4 Juni 2002, Jo. Nomor 551 K/PDT/203
tanggal 5 Juni 2003.

67
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

bila masing-masing secara langsung dan sendiri-sendiri bertidak sebagai


penggugat dalam gugatan ini, maka proses pengajuan gugatan menjadi tidak
sederhana, tidak cepat dan memakan biaya besar, sehingga menjadi tidak sesuai
dengan ketentuan dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun1970
Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. pasal 46 UU Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Terdapat fakta yang sama, seperti antara
lain bahwa kenaikan harga LPG terhitung mulai tanggal 3 November 2000, bahwa
LPG yang beredar dan diperjualkan, diproduksi oleh tergugat I, bahwa LPG yang
digunakan oleh para penggugat maupun konsumen lainnya adalah tabung berisi
12 Kg dll., adanya dalil dan tuntutan yang sama serta adanya wakil kelas (class
represetatives) yang secara jujur dan sunguh-sungguh melindungi kepentingan
dari anggota kelasnya (class members), sehingga dengan demikian telah
memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukan suatu gugatan perwakilan kelompok
(class action) seperti, numerosity, commonality, typicalty, protection/adequasi of
representative, maka sangat beralasan dalam rangka memenuhi ketentuan
ketentuan yang telah disebutkan di atas, penggugat, selain bertidak untuk dirinya
sendiri, juga dapat sekaligus mempunyai kedudukan hukum untuk mewakili
masyarakat konsumen LPG lainnya di jabotabek, yang mengalami kerugian
karena dinaikannya harga LPG oleh tergugat I .
Terhadap gugatan yang diajukan dengan menggunakan mekanisme class
action, tergugat mengajukan keberatan bahwa gugatan penggugat tidak dapat
dikualifikasi sebagai gugatan class action karena gugatan class action sama
sekali tidak dikenal dalam system Hukum Acara Perdata yang berlaku di
Indonesia dan peraturan lebih lanjut sebagai pelaksanaan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, sampai saat ini belum diterbitkan. Kedudukan dari para
penggugat sebagai komponen perwakilan kelas, sangat tidak jelas, karena tampil
sebagai perwakilan kelas, harus diketahui terlebih dahulu secara terperinci, siapa
saja anggota kelas dari pada para penggugat, tentunya hal ini diajukan saat
gugatan didaftarkan ke Pengadilan, hal ini sangatlah penting untuk menjamin
adanya kepastian hukum. Para penggugat tidak dapat menunjukkan secara pasti
dan terperinci siapa-siapa yang termasuk dalam kelompok para penggugat dan

68
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

siapa-siapa yang termasuk dalam kelompok yang menggugat dan siapa-siapa


dalam kelompok yang tidak ikut tergugat. Penggugat juga tidak mempunyai
kapasitas dan kualitas sebagai penggugat, karena status hukum KAPAK (Komite
Advokasi Pemakai Anti Kenaikan) LPG tidak jelas, dan juga bukan merupakan
suatu LSM yang bergerak dibidang perlindungan konsumen, sehingga tidak
memenuhi kriteria pertama untuk gugatan class action, khususnya mengenai class
representatif dan class members. Gugatan penggugat kabur (obscure libel), tidak
jelas karena tidak mengajukan rincian siapa-siapa yang menjadi anggota kelas
(class members), class representatif dan class action, yang untuk tiap-tiap kelas
tersebut ternyata tidak didukung oleh surat kuasa yang sah.
Dalam putusannya, majelis hakim menolak seksepsi yang diajukan para
tergugat untuk seluruhnya. Majelis hakim bahwa gugatan para penggugat telah
sesuai dengan ketentuan pasal 46 huruf b Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yaitu gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen yang
mempunyai kepentingan yang sama (class action). Ketentuan pasal 46 tersebut
membedakan antara gugatan sekelompok konsumen (class action) dengan hak
gugat LSM (NGOstanding to sue). Gugatan yang diajukan oleh para penggugat
adalah gugatan yang bersifat class action, sehingga tidak perlu kuasa para
penggugat (Kapak LPG) harus merupakan LSM yang bergerak di bidang
perlindungan konsumen sebagaiman dipersoalkan dalam tergugat. Dalam gugatan
class action tidak ada keharusan untuk merinci siapa-siapa yang menjadi anggota
kelas (class members) di dalam surat gugatan. Dalam hal pendefinisian/penemuan
kelas dapat dilakukan dengan dua prosedur, yaitu prosedur option out dan option
in, dalam prosedur option out maka anggota kelas cukup didenfisikan secara
umum dalam gugatan class action dan diberitahukan di media masa.
Dalam pokok perkara majelis hakim memutuskan menetapkan para
penggugat bertindak dan berkedudukan hukum untuk mewakili kepentingan
hukum masyarakat konsumen elpiji di Jabotabek, menerima gugatan masyarakat
konsumen elpiji yang diwakili oleh para penggugat, menyatakan tergugat I dan
tergugat II melakukan perbuatan melawan hukum, menghukum tergugat I untuk

69
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

membayar

ganti

rugi

kepada

para

penggugat

masing-masing

sebesar

Rp. 144.000,- perbulannya, menghukum tergugat I untuk membayar ganti rugi


kepada masyarakat konsumen elpiji yang diwakili oleh para penggugat masingmasing sebesar Rp.16.000,- perbulannya sampai adanya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, memerintahkan pembentukan Komisi Pembayaran
Ganti Rugi yang anggotanya terdiri 3 (tiga) orang wakil dari para penggugat
dalam perkara ini, dan 2 (dua) orang wakil dari tergugat I yang mekanisme
tugasnya adalah sebagai berikut: (a) Komisi dalam waktu sekurang-kurangnya 7
hari kerja, (b) Komisi harus sudah melakukan pemberitahuan kepada para anggota
kelompok (class members) untuk mendaftarkan diri membawa bukti-bukti
kerugian yang dimilikinya, selama paling lambat 30 hari kerja. Setelah itu komisi
menjumlahkan seluruh anggota kelompok (class members) yang telah diverifikasi
dan memerintahkan tergugat untuk melakukan pembayaran ganti rugi selambatselambatnya selama 14 hari kerja setelah diajukan oleh komisi.
Dalam perkara ini penggugat telah mengemukakan usulan tentang
pembentukan komisi untuk menyelesaikan administrasi distribusi ganti rugi
kerugian kepada anggota kelas. Gugatan class action didasarkan pada penafsiran
analogis

terhadap

(empat)

undang-undang

yang

mengatur

tentang

dimungkinkannya penggunaan gugatan class action dalam perkara perdata, yaitu


(1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, (3) Undang-Undang Jasa Konstruksi dan (4) UndangUndang Kehutanan.
Sama dan senasib dengan gugatan 139 orang penarik becak terhadap
Gubernur DKI Jakarta, gugatan R.M. Waskito Aqdiri Wibowo, dkk (9 orang)
Konsumen gas LPG ini juga kandas di tengah jalan. Meskipun majelis hakim
tingkat banding menyatakan gugatan class action para penggugat dapat
dibenarkan, namun dalam tingkat kasasi, putusan ini dianulir. Dalam pokok
perkara, baik Majelis Hakim baik pada tingkat banding maupun kasasi sama-sama
menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili
gugatan ini yang menjadi wewnang Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta.

70
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

3.

Gugatan

15

warga

DKI

Jakarta

terhadap

Presiden

Megawati

Soekarnoputri, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan Gubernur Jabar R


Nuriana, dalam kasus banjir yang terjadi akhir Januari sampai dengan awal
Pebruari 2002.83
Para penggugat yang terdiri dari 15 orang wakil kelas, yang memberikan
kuasa khusus tertanggal 4 Maret 2002 kepada Tim Advokasi Banjir Jakarta,
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Negara Republik
Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia sebagai tergugat I, Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai tergugat II serta
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat sebagai turut tergugat
pada tanggal 13 Maret 2002.
Dalam gugatannya, para penggugat sebagai wakil kelas mendalilkan
bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang mengalami kerugian (korban)
akibat banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada akhir Januari sampai
dengan awal Februari 2002. Berdasarkan hal tersebut, maka kedudukan dan
keberpihakan para wakil kelas tidak diragukan lagi, sehingga patut dan pantas
untuk mewakili masyarakat luas khususnya masyarakat dan warga DKI Jakarta
mengajukan gugatan ini. Untuk menguatkan kedudukannya sebagai pihak yang
dapat mengajukan gugatan ini, para penggugat menunjukkan peraturan
perundang-undangan sebagai dasarnya antara lain Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undnag
Jasa Konstruksi serta Undang-Undang Kehutanan.
Menurut para penggugat, tergugat I dan tergugat II telah melakukan
pelanggaran

terhadap

beberapa

ketentuan

perundang-undangan

yaitu:

(a) ketentuan pasal 28 (f) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar tahun 1945,
(b) pasal 7 ayat (2) dan pasal 43 (e) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

83

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 83/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst.

71
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Tentang Pemerintahan Daerah jo. Pasal 9,10,11, dan 12 Undang-Undang Nomor


34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Republik
Indonesia Jakarta, dan (c) SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi DKI
Jakarta Nomor 222 tahun 1998 tentang Prosedur Tetap (Protap) Penanggulangan
Bencana di Wilayah DKI Jakarta.
Dalam gugatannya, para penggugat mengklaim bahwa banjir yang terjadi
Januari Pebruari 2002 telah menimbulkan kerugian bagi para tergugat, baik
materiil seperti harta benda, immateriil maupun kehilangan korban jiwa. Kerugian
yang dikemukakan oleh para penggugat ini meliputi kerugian materiil individu
yang diperkirakan sebesar Rp. 133.985.000,-, kerugian immateriil individu
masing-masing Rp. 100.000.000,- dan kerugian komunal Rp. 1.200.000.000,untuk memperbaiki sarana publik yang rusak akibat terjadinya banjir sebagaimana
dijabarkan dalam gugatannya.
Berkaitan dengan pengajuan gugatan yang menggunakan mekanisme class
action, para tergugat mengajukan eksepsi (keberatan) yang pada intinya
menyatakan gugatan para penggugat tidak memenuhi syarat-syarat hukum bagi
sebuah gugatan perwakilan kelompok (class action), surat kuasa penggugat cacat
yuridis dan istilah wakil kelas untuk menggantikan sebutan penggugat. Menurut
tergugat I gugatan para penggugat tidak memenuhi syarat-syarat hukum bagi
sebuah gugatan perwakilan kelompok (class action). Tergugat I menyatakan
bahwa gugatan class action hanya dapat diajukan dalam hal undang-undang yang
berlaku memperkenankan diajukannya gugatan semacam itu. Tergugat II juga
mendalilkan bahwa surat kuasa penggugat cacat yuridis, karena dalam surat kuasa
para penggugat tertanggal 4 Maret 2003, pada bagian identitas pemberi kuasa
hanya disebutkan Nuraeni, dkk, sementara 14 wakil kelas lain yang memberikan
kuasa tidak secara langsung disebutkan pada bagian identitas pemberi kuasa,
melainkan dilampirkan pada bagian lampiran di halaman 2. Menurut tergugat II
seharusnya surat kuasa tersebut dibuat dalam 15 surat kuasa dari pemberi kuasa
dengan bea materai untuk masing-masing surat kuasa.

72
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Selain itu, menurut para tergugat, bahwa Peraturan Perundang-undangan


Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia hanya mengatur istilah
penggugat dan tergugat sebagai pihak berperkara dalam suatu yurisdiksi
kontentiosa di pengadilan (vide Pasal 118 HIR) dan sampai saat ini belum ada
peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum formal (hukum acara) yang
mengenal istilah penggugat. Oleh karena itu, gugatan perwakilan yang diajukan
oleh bukan penggugat melainkan hanya menyebutkan wakil kelas saja
menyebabkan tidak jelasnya siapa penggugat dalam perkara a-quo dan
pelanggaran atas formalitas beracara sehingga gugatan perwakilan a quo harus
dinyatakan tidak dapat diterima.
Berkaitan dengan eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh para tergugat
mengenai penggunaan mekanisme class action, majelis hakim berpendapat bahwa
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 untuk sementara dapat dijadikan sebagai dasar
dalam memeriksa dan mengadili gugatan class action sampai adanya ketentuan
perundang-undangan untuk itu, sehingga dengan demikian eksepsi tergugat I yang
menyatakan belum ada ketentuan yang mengatur acara memeriksa, mengadili dan
memutus gugatan yang diajukan bahwa gugatan perwakilan kelompok (class
action) harus ditolak. Majelis hakim juga berpendapat bahwa surat kuasa para
penggugat telah sesuai dengan ketentuan yang ada. Lampiran surat kuasa
tertanggal 4 Maret 2002 adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaran
pertama yang memuat nama pemberi kuasa Nuraeni, dkk (terlampir) dan
karenanya hal tersebut tidak mengurangi nilai kedudukan para pemberi kuasa,
sehingga dengan demikian surat kuasa para penggugat tidak cacat yuridis.
Terhadap eksepsi tergugat yang menyatakan bahwa eksepsi tergugat II mengenai
istilah wakil kelas yang menggantikan istilah penggugat, majelis hakim juga
berpendapat bahwa eksepsi tidak berdasar sehingga patut untuk ditolak karena
istilah para wakil kelas bukan dimaksudkan untuk menggantikan penyebutan
penggugat melainkan hal tersebut sama dan sejiwa dengan penyebutan para
penggugat.

73
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Dari putusan pengadilan dalam perkara gugatan ini, terlihat bahwa


meskipun majelis hakim mengakui dan menerima para penggugat sebagai wakil
kelas, akan tetapi dalam pokok perkara, gugatan tidak dapat dikabulkan atau
ditolak karena menurut majelis hakim, para tergugat tidak terbukti melakukan
perbuatan melawan hukum.
4.

Gugatan 8 orang warga ibu kota Jakarta yang tergabung dalam Komunitas
Pelanggan Air Minum Jakarta (Komparta) terhadap PT. Thames Pam Jaya
dan PT. Palyjaya.84
Dalam gugatannya para penggugat mengklaim selain bertindak untuk diri

sendiri sekaligus juga mewakili masyarakat konsumen air minum golongan K3A
yang mengalami kerugian akibat mutu pelayanan PT. Thames Pam Jaya dan PT
Palyjaya, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 2,3 juta jiwa. Menurut para
penggugat, menyatakan bahwa PT. Thames Pam Jaya dan PT. Palyjaya telah
melakukan perbuatan melawan hukum karena selama mengelola PAM Jaya,
PT. Thames Pam Jaya dan PT. Palyjaya tidak pernah berhasil menaikkan kualitas
dan kuantitas air minum buat warga Ibukota Jakarta, seperti halnya, adanya
tingkat kebocoran pipa masih tidak sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu dari
54% hanya mampu ditekan 48%, bahkan untuk menekan tingkat kebocoran air
(Non Revenue Water) pihak Thames dan Lyonnaise hanya melakukan simulasi.
Kualitas dan kuantitas olahan air yang kurang layak seperti hal kualitas air minum
yang keruh dan bau kaporit, kuantitas air minum yang hanya mengalir kecil
bahkan sering tidak mengalir (mati) terbukti banyak sekali para pelanggan sering
mengalami komplain, hal itu dapat di lihat dari mengalirnya surat atau telepon
(melalui call center PT. Thames PAM Jaya / PT. Palyja) dan di media-media cetak
atau elektronik. Demikian juga dengan sistem pelayanan administratif lainnya
yang menyangkut tata cara pembayaran (penagihan rekening) manajemennya
sangat memprihatinkan, seperti halnya yang dialami oleh salah seorang dari wakil
kelas yaitu Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Harun Al Rasyid yang dikenakan
84

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 276/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst., tanggal 7


Juli 2004.

74
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

denda Rp. 5.000 atas keterlambatan pembayaran rekening bulan November 1999.
Setelah diperiksa ternyata pembayaran itu sudah dilakukan pada tanggal 15
November 1999, jauh sebelum tempo tanggal 25 Desember 1999. Begitu pula
dengan target pertambahan pelanggan dari tahun 1998-2000 tidak tercapai
dibawah rata-rata kualitas pelayanan yang dilakukan oleh operator sebelumnya
PAM Jaya mampu mencapai angka 25.000 selama tahun 1997, sedangkan
Lyonnaise sepanjang tahun 1998 hanya mencapai angka 5.000 pelanggan.
Demikian juga Thames PAM Jaya dalam tahun 1998 hanya 17.500 pelanggan,
itupun terealisasi sekitar 12.500 pelanggan.
Dalam jawabannya, baik tergugat I maupun tergugat II memberikan
bantahan terhadap penggunaan mekanisme class action. Menurut tergugat,
gugatan para penggugat bertentangan dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum
class action yang berlaku sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun
2002. Dalam gugatannya, penggugat menyebut dirinya sebagai Tim Bantuan
Hukum Komparta, yang bertindak untuk diri sendiri dan/atau atas nama anggota
Komparta sebanyak 800 orang (di bagian lain, penggugat mengklaim Komparta
mencapai 2,3 jiwa). Walaupun menyebut dirinya sebagai wakil kelas, akan tetapi
penggugat tidak menyebutkan dengan jelas identitas dirinya apakah mewakili
dirinya sendiri sebagai Tim Bantuan Hukum Komparta atau mewakili diri
Komparta sebagai suatu organisasi. Bila mewakili dirinya sendiri sebagai Tim
Bantuan Hukum Komparta, maka penggugat tidak memiliki kapasitas sebagai
wakil kelas karena tidak memiliki kesamaan kepentingan/fakta dan kesamaan
tuntutan dengan anggota kelas. Sebaliknya bila mewakili Komparta maka
identitas dan sepak terjang organsisasi tersebut tidak jelas karena tidak
mencantumkan anggaran dasar dan kegiatannya sehingga secara hukum dapat
mewakili masyarakat pelanggan air minum. Para tergugat menyebutkan bahwa
gugatan penggugat tidak memuat dengan jelas dan lengkap identitas
kelas/kelompok, definisi kelas/kelompok secara rinci dan spesifik, keterangan
tentang anggota kelas/kelompok dalam kaitan dengan kewajiban untuk
pemberitahuan, posita dari seluruh kelas/kelompok, tuntutan atau petitum tentang
ganti rugi harus jelas dan rinci untuk masing-masing kelas/kelompok.

75
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Sayangnya keberatan-keberatan tergugat I dan tergugat II berkaitan


dengan penggunaan mekanisme class action, sampai dengan gugatan diputus,
sama sekali belum disentuh. Dalam putusannya majelis hakim berpendapat bahwa
surat kuasa dari para penggugat bersifat umum, karena tidak mencantumkan
keperluan tertentu untuk apa surat kuasa itu dibuat, tidak mencantumkan masalah
hukum apa yang dipersengketakan (misalnya dalam perkara waris, atau hutang
piutang atau perbuatan melawan hukum tertentu dan sebagainya), sehingga
dengan demikian gugatan yang diajukan oleh penggugat dinyatakan tidak dapat
diterima. Adapun yang menjadi pertimbangan hukum dari majelis hakim adalah
karena ternyata surat kuasa tertanggal 27 Juni 2003 dari 8 orang wakil kelas
kepada kantor hukum hanya menyebutkan keperluan untuk mewakili atau
mendampingi pemberi kuasa hukum, dalam hal-hal yang bersangkutan dengan
dan/atau berkisar mengenai persoalan, mutu/kualitas pelayanan air minum yang
telah dilakukan oleh PT. Thames Pam Jaya dan PT. Palyja.
5.

Gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau terhadap PT. Adel


Plantation Industri, dkk., dalam kasus kabut asap Pekanbaru.85
Dalam gugatannya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau yang diwakili

oleh Ketua Dewan Pengurusnya Firdaus Basyir mengklaim selain bertindak untuk
diri sendiri sekaligus juga atas nama masyarakat kota Pekanbaru sejumlah
600.000 jiwa orang yang terkena dampak kasus kabut asap Pekanbaru. Para
penggugat mendalilkan bahwa penduduk kota pekanbaru yang berjumlah 600.000
jiwa orang, telah terganggu aktifitas sejak tanggal 1 Februari 2000 sampai dengan
10 Maret 2000, akibat pembersihan lahan yang dilakukan para tergugat dengan
melakukan pembakaran di lahan para tergugat. Perbuatan para tergugat, telah
menyebabkan aktifitas masyarakat pekanbaru terganggu olehnya dan terserang
penyakit ISPA, asma, bronkitis, empisema, iritasi mata, diare, kanker paru-paru.
Perbuatan para tergugat telah menimbulkan kerugian materiil karena diserang
berbagai penyakit dan kesulitan menghirup udara bersih serta telah terganggu.

85

Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 32/Pdt/G/2000/PBN/PBR.

76
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Adapun alasan para penggugat mengajukan gugatan dengan menggunakan


mekanisme class action adalah karena jumlah penduduk kota Pekanbaru yang
terkena dampak atau mengalami kerugian akibat pembakaran lahan begitu banyak
mencapai 600.000 (enam ratus ribu) jiwa penduduk, dan penggugat selaku wakil
kelas adalah merupakan segolongan orang yang berada dalam masyarakat kota
Pekanbaru dan oleh karenanya dapat mengajukan gugatan class action.
Terhadap gugatan yang diajukan dengan menggunakan mekanisme class
action tersebut, tergugat I mengajukan tanggapan yang intinya penggugat tidak
memiliki ius standi (standing to sue) untuk mengajukan gugatan perwakilan. Jika
benar ada sekelompok orang/individu yang mengalami kerugian akibat asap yang
meliputi kota Pekanbaru, maka yang dapat mewakili kelompok ini adalah orang
(naturlijk person) yang menjadi anggota kelompok tersebut. Penggugat selaku
yayasan (recht person) bukanlah anggota kelompok yang tergolong sebagai
natulurlijk person, sehingga tidak memiliki kapasitas untuk mewakili masyarakat
kota Pekanbaru. Jika penggugat mendasarkan gugatannya pada ketentuan pasal 37
(1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka masyarakat dalam
konteks pengajuan gugatan perwakilan (class action) adalah individu-individu
(naturlijk person) yang mengalami penderitaan yang sama dan karena itu memiliki
kepentingan hukum yang sama pula. Tergugat II dan tergugat III mendalilkan
bahwa penggugat bukanlah organisasi yang berbentuk badan hukum atau yayasan
yang berhak dan/atau berwenang untuk mengajukan gugatan lingkungan hidup,
baik untuk diri sendiri dan/atau untuk atas nama masyarakat Pekanbaru,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Sementara tergugat IV mendalilkan bahwa berdasarkan ketentuan pasal 37
ayat (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penggugat tidak dapat
memenuhi syarat-syarat numerousity, the same legal interest dan the same legal
remedies. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau bukan manusia atau
masyarakat sehingga permasalahan serta tuntutan hukumnya (seandainya ada)
tidak ada persamaan dengan masyarakat Pekanbaru, karena tidak mungkin YLBH
Riau bisa sakit sehingga tuntutan YLBH Riau tidak sama dan tidak dapat
disatukan dengan tuntutan dan kepentingan masyarakat Pekanbaru.

77
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan gugatan tidak dapat


diterima karena tidak memenuhi persyaratan sebagai gugatan class action. Majelis
hakim berpendapat bahwa dari sudut kemasyarakat maka YLBH Riau tersebut
merupakan kelompok masyarakat atau kumpulan beberapa orang dalam suatu
masyarakat yang dapat diperkenankan untuk menggugat dengan gugatan class
action, dan penggugat dapat menjadi pihak yang mewakili kelompok dalam
Yayasan sekaligus pula mewakili warga/penduduk di kotamadya Pekanbaru.
Namun demikian dalam gugatan class action, penggugat diharuskan untuk
mengumumkan kepada para pihak yang diwakili tentang gugatan yang
dilakukannya, sehingga masyarakat yang diwakili dapat diketahui dengan jelas.
Kesempatan mengumumkan kepada para yang diwakili tersebut memang secara
yuridis belum ada pengaturannya, oleh karena itu majelis hakim berpendapat
bahwa pengumuman yang dilakukan tersebut dapat dilakukan pada awal
persidangan maupun pertengahan akhir pemeriksaan perkara. Majelis hakim telah
memerintahkan, baik secara lisan maupun tertulis kepada penggugat untuk
melakukan proses pemberitahuan (nontifikasi) kepada masyarakat yang diwakili
sebagai persyaratan class action, akan tetapi ternyata penggugat tidak dapat
memenuhinya dan tidak melakukan proses pemberitahuan (notifikasi) dengan
alasan tidak memiliki biaya yang cukup untuk memenuhi perintah hakim tersebut,
oleh karenanya gugatan class action dari penggugat ini tidak memenuhi
persyaratan, dan oleh karenanya dinyatakan tidak dapat diterima.
Menurut penulis, supaya gugatan ini dapat diajukan dengan menggunakan
class action, selain harus memenuhi syarat pemberitahuan sebagaimana telah
diperintahkan oleh majelis hakim dalam perkara ini, seharusnya gugatan diajukan
oleh Firdaus Basyir, dalam kapasitasnya selaku masyarakat bukan dalam
kapasitasnya selaku ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Riau. Jika Firdaus Basyir dalam mengajukan gugatan bertindak dalam
kapasitasnya selaku ketua Dewan Pengurus, maka menurut penulis gugatan ini
lebih cocok sebagai gugatan yang diajukan berdasarkan hak gugat organisasi.

78
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

6.

Gugatan Ali Sugondo, dkk terhadap M. Mahfudz Basya, dkk anggota


Komisi B DPRD Propinsi Jawa Timur.86
Ali Sugondo, dkk (sebanyak 10 orang) bertindak untuk diri sendiri

sekaligus mewakili 34 juta penduduk Jawa Timur mengajukan gugatan terhadap


M. Mahfudz Basya, dkk (sebanyak 18 orang) anggota Komisi B DPRD Propinsi
Jawa Timur dengan menggunakan mekanisme class action. Dalam gugatannya,
para penggugat mempermasalahkan perjalanan dinas studi banding yang
dilakukan oleh anggota Komisi B DPRD Propinsi Jawa Timur ke Pulau Batam
yang dilanjutkan ke luar negeri pada tanggal 8 sampai dengan 12 Agustus 2000.
Berdasarkan Surat Perintah Tugas yang dikeluarkan oleh Ketua DPRD Propinsi
Jawa Timur Nomor 090/593/090/2000 tertanggal 7 Agustus 2000, anggota komisi
B ditugaskan untuk melakukan kunjungan kerja ke Medan dan Manado, sehingga
dengan demikian tindakan tersebut merupakan suatu bentuk penyalahgunaan
kewenangan atas pemanfaatan dana APBD. Perbuatan para tergugat telah
menimbulkan kerugian materil berupa berkurangnya dana APBD Jawa Timur
sebesar Rp. 142.500.000,- (seratus empat puluh dua juta lima ratus ribu Rupiah).
Tindakan para tergugat tersebut juga menimbulkan kerugian immateril berupa
timbulnya kecemasan dan ketidakpercayaan rakyat (34 juta) kepada DPRD yang
apabila dinilai dengan uang adalah sebesar Rp. 1.000.000,- x 34.000.000,- atau
sebesar Rp, 34.000.000.000.000,- (tiga puluh empat triliun Rupiah).
Penggunaan gugatan class action didasarkan pada penafsiran analogis
terhadap 4 (empat) undang-undang yang mengatur dimungkinkannya penggunaan
gugatan class action dalam perkara perdata yaitu (1) Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (3) UndangUndang Kehutanan, dan (4) Undang-Undang Ketenaganukliran.
Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan gugatan yang diajukan dengan
menggunakan mekanisme gugatan class action, tidak dapat diterima. Dalam
pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan bahwa hukum acara perdata
yang berlaku belum memiliki ketentuan tentang bagaimana suatu class action
86

Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 593/Pdt.G/2000/PN.SBY.

79
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

harus ditangani, sehingga dalam hal ini pengadilan membuat kajian berdasarkan
praktek peradilan yang dimuat dalam literatur hukum. Langkah pertama dalam
meneliti suatu class action adalah bahwa baik class representative dan class
members haruslah merupakan pihak yang mengalami kerugian nyata (concrete
inured parties). Apakah ke 10 orang class reperesentative dan 34 juta penduduk
Jawa Timur adalah benar-benar concrete injured parties karena ulah perbuatan
para tergugat ? Majelis hakim sependapat dengan penggugat bahwa APBD
bersumber antara lain pada penghasilan daerah yang berupa retribusi, pajak
daerah, dan lain-lain. Tidak semua penduduk Jawa Timur membayar retribusi,
pajak daerah, dan lain-lain, tetapi hanyalah mereka yang menurut peraturan
daerah dibebani kewajiban membayarnya. Sejak penduduk yang bersangkutan
membayar retribusi, pajak daerah, dan lain-lain, sejak itu pula hak untuk
mempergunakan uang itu telah beralih kepada PEMDA Jawa Timur yang
diaktualisasikan dalam APBD. Dengan demikian sebenarnya yang menjadi korban
atau pihak yang menderita kerugian karena penyimpangan oleh para tergugat
adalah PEMDA Jawa Timur bukan para penggugat, sehingga dengan demikian
pengadilan berpendapat bahwa para penggugat tidak memiliki legalitas untuk
mengajukan gugatan class action dengan tuntutan monetary damages.
7.

Gugatan Korban Tabrakan Kereta Api di Brebes tanggal 25 Desember


2001 terhadap PT. Kereta Api Indonesia.87
Dalam perkara gugatan ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

mengakui para penggugat sebagai class reperesentatives (wakil kelas) dan


menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian. Putusan ini kemudian
dikuatkan dalam putusan banding dan kasasi, sehingga dengan demikian putusan
dalam perkara ini telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Penulis akan
menguraikan lebih rinci mengenai putusan ini dan analisis hukum penulis dalam
bab berikutnya.
87

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No.114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst.


tanggal 6 Januari 2003, Jo. No. 87/PDT/2004/PT.DKI. tanggal 3 September 2004, Jo. No. 1440
K/PDT/2006 tanggal 3 Januari 2007.

80
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

C.

Hambatan-Hambatan Dalam Penggunaan Gugatan Class Action.


Dari beberapa kasus atau perkara gugatan yang penyelesaiannya diajukan

ke pengadilan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action, baik


sebelum maupun setelah adanya pengakuan mengenai mekanisme gugatan class
action sebagaimana diuraikan di atas, ditemukan beberapa hambatan dan/atau
kendala dan/atau kesulitan.
Hasil kajian dari Tim ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law
(ICEL) pada tahun 2002 terhadap beberapa kasus class action yang sedang atau
dalam proses di peradilan sebelum terbitnya PERMA Nomor 1 Tahun 2002,
menemukan beberapa permasalahan yang sering terjadi dalam praktek gugatan
class action di peradilan di Indonesia antara lain :88
1.

Tentang surat kuasa dari anggota kelompok kepada perwakilan


kelompok.
Dari keseluruhan putusan pengadilan yang dianalisa, dapat dicatat

bahwa bantahan pertama yang sering dikemukakan oleh tergugat terhadap


penggunaan prosedur class action adalah tidak adanya surat kuasa dari
anggota kelompok kepada perwakilan kelompok. Hal ini dapat dilihat dari
putusan pengadilan dalam perkara gugatan YLKI terhadap PT. PLN
Persero tanggal 13 April 1997, gugatan 139 orang penarik becak terhadap
Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Gugatan 15 warga DKI Jakarta
dalam kasus banjir yang terjadi akhir Januari 2002.
Pada umumnya yang menjadi alasan tergugat adalah mengacu
pada ketentuan dalam hukum acara perdata (HIR yaitu Pasal 123 yang
mensyaratkan bahwa untuk dapat bertindak sebagai wakil atau kuasa,
seseorang harus memperoleh surat kuasa khusus dari pihak yang
diwakilinya. Tetapi setelah dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2002
hambatan ini telah dapat diantisipasi setidak-tidaknya diminimalisir.

88

Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar, Makalah Disampaikan Pada Kursus
HAM Untuk Pengacara X, Jakarta, 2005, hal. 21-22

81
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Dalam pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 ditentukan bahwa wakil


kelompok dalam mengajukan gugatan untuk kepentingan seluruh anggota
kelompok, tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota kelompok.
Meskipun masih ada sebagian kalangan berpendapat bahwa ketentuan ini
bertentangan dengan asas-asas hukum acara perdata di Indonesia yang
mengatur bahwa pihak yang menunjuk pihak lain untuk mewakilinya di
dalam proses persidangan harus mendapat kuasa khusus dari pihak yang
menunjuk atau pihak yang diwakilinya.

2.

Tentang surat gugatan.


Dalam surat gugatan yang diajukan pada umumnya tidak

menjelaskan karakteristik dari sebuah gugatan yang menggunakan


prosedur class action, dalam hal ini tidak mendeskripsikan secara jelas
defenisi kelas, posita gugatan tidak menjelaskan secara rinci dan jelas
kesamaan tentang fakta dan hukum serta kesamaan tuntutan antara wakil
kelompok dengan anggota kelompok, serta tata cara pendistribusian ganti
kerugian. Selain itu dalam menentukan wakil kelompok, penggugat
cenderung mengajukan jumlah wakil kelompok dalam jumlah yang besar.
Hal ini akan menyulitkan penggugat dalam membuktikan adanya unsur
kesamaan kepentingan antara wakil kelompok dengan anggota kelompok.

3.

Mempersamakan gugatan class action dengan gugatan legal


standing.
Dalam beberapa putusan baik penggugat, tergugat maupun

pengadilan masih terjebak pada pemikiran bahwa gugatan dengan


prosedur class action adalah identik dengan gugatan atas dasar hak gugat
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs standing to sue.
Tidak sedikit praktisi hukum yang mencampuradukkan antara pengertian
gugatan class action dengan konsep hak gugat LSM. Padahal gugatan class

82
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

action dan legal standing memiliki perbedaan. Dalam gugatan class action
terdiri dari unsur yaitu wakil kelas yang berjumlah satu orang atau lebih
dan anggota kelas yang pada umumnya berjumlah besar. Baik wakil kelas
maupun anggota kelas pada umumnya merupakan pihak korban atau yang
mengalami kerugian secara nyata. Sedangkan dalam konsep legal
standing, LSM sebagai pihak penggugat bukan sebagai pihak yang
mengalami kerugian secara nyata, namun karena kepentingannya ia
mengajukan gugatan. Demikian mengenai tuntutan ganti rugi, dalam
gugatan class action pada umumnya adalah tuntutan ganti rugi dalam
bentuk uang, sedangkan dalam legal standing tidak dikenal tuntutan ganti
rugi uang. Ganti rugi data dimungkinkan terbatas pada ongkos atau biaya
yang telah dikeluarkan oleh organisasi itu.
Dari beberapa contoh kasus yang penulis sajikan pada awal bab ini,
terdapat beberapa kasus yang diajukan oleh organisasi dan/atau yayasan
akan tetapi dalam gugatan dengan tegas-tegas disebutkan bahwa gugatan
diajukan dengan menggunakan mekanisme class action, seperti gugatan
YLKI terhadap PT. PLN Persero tanggal 13 April 1997, gugatan Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Riau terhadap PT. Adel Plantation Industri,
dkk., dalam kasus kabut asap Pekanbaru.
Dalam hukum di Indonesia tidak ditemukan definisi secara jelas
mengenai pengertian legal standing. Dalam Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dikenal dengan istilah hak gugat organisasi lingkungan,
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen hak gugatan kepada
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, sedangkan dalam
Undang-Undang Kehutanan dikenal dengan istilah gugatan perwakilan
oleh organisasi bidang kehutanan.
Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen
memberi hak gugatan kepada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak
di

bidang

perlindungan

konsumen

mengajukan

tuntutan

dengan

mengatasnamakan kepentingan perlindungan konsumen. Sementara dalam

83
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup,


ditegaskan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan
gugatan untuk kelestarian fungsi lingkungan hidup. Berdasarkan ketentuan
Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan
pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, suatu
lembaga swadaya masyarakat konsumen atau organisasi lingkungan hidup,
mempunyai hak legal standing mengajukan gugatan atas nama
kepentingan kelompok tertentu, jika lembaga swadaya masyarakat
konsumen atau organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan yaitu
(1) berbentuk badan hukum atau yayasan, (2) dalam anggaran dasar
organisasi tersebut, disebut dengan tegas tujuan didirikannya untuk
kepentingan tertentu, (3) telah melakukan kegiatan sesuai dengan
Anggaran Dasar.

4.

Tentang prosedur acara pemeriksaan.


Penentuan pengakuan atau keabsahan dari suatu gugatan yang

menggunakan prosedur class action dalam berbagai putusan, dilakukan


dalam tahap pemeriksaan yang berbeda-beda. Ada yang mengesahkan
penggunaan prosedur ini diperiksa dan diputus pada akhir putusan
bersama-sama dengan pokok perkara, sedangkan pada putusan perkara
lainnya diputus pada tahapan putusan sela.
Dari beberapa kasus yang disajikan di atas, ada putusan pengadilan
yang dengan tegas menerima dan mengakui penggugat sebagai wakil kelas
dari anggota kelas, akan tetapi pemeriksaan pokok perkara dilaksanakan
dengan prosedur hukum acara perdata biasa tanpa ada notifikasi
(pengumuman). Hal ini dapat dilihat dalam putusan perkara gugatan 139
orang penarik becak terhadap Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

84
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

5.

Tentang notifikasi atau pemberitahuan.


Belum adanya aturan atau petunjuk mengenai tata cara pengadilan

dalam memeriksa dan mengadili perkara gugatan perdata melalui prosedur


class action, mengakibatkan perintah notifikasi atau pemberitahuan (yang
dalam sistem hukum negara lain merupakan suatu kewajiban) tidak
menjadi suatu prioritas atau suatu keharusan.
Meskipun dalam hukum acara yang mengatur class action tidak ada
yang mengatur secara tegas mengenai adanya keharusan dan/atau
kewajiban untuk melakukan notifikasi, namun dari kasus-kasus yang
penulis sajikan di atas, ada salah satu gugatan yang diajukan dengan
menggunakan mekanisme gugatan class action terpaksa dinyatakan tidak
dapat diterima, karena penggugat tidak dapat melakukan notifikasi. Hal ini
dapat dilihat dalam putusan pengadilan terhadap gugatan Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Riau terhadap PT. Adel Plantation Industri,
dkk., dalam kasus kabut asap Pekanbaru.
6.

Tentang implementasi putusan pengadilan dalam hal distribusi


ganti kerugian.
Tahapan ini merupakan tahap terakhir dari keseluruhan proses

prosedur gugatan perwakilan kelompok setelah tahapan-tahapan yang


sebelumnya selesai. Meskipun tahapan penyelesaian ganti kerugian ini
hanya bersifat administrative saja, tetapi pelaksanaannya sangat sulit dan
rumit.89
Pada dasarnya pelaksanaan ganti kerugian merupakan eksekusi
putusan gugatan class action yang dikabulkan oleh pengadilan.
Pelaksanaan ganti kerugian ini akan menimbulkan kesulitan jika dalam
amar putusan hakim tidak secara jelas disebutkan mengenai mekanisme
pendistribusian ganti kerugian, termasuk mengenai penunjukan dan

89

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya. Cet. I. Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2008, hal.
287.

85
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

susunan tim/panel untuk membantu kelancaran pendistribusian ganti


kerugian dan pengumuman pemberitahuan rencana pendistribusian ganti
kerugian melalui iklan. Ganti kerugian baru dapat dibagikan kepada
anggota kelas atau sub kelas setelah dilakukan pemberitahuan atau
notifikasi.

Khusus

berkaitan

dengan

pemberitahuan

rencana

pendistribusian ganti kerugian melalui iklan, dalam amar putusan


sebaiknya diatur secara jelas mulai dari kriteria harian umum, tanggal
kapan iklan harus dimuat, berapa kali harus diumumkan, batas waktu bagi
class repesentatif dan class members mendaftarkan diri termasuk pihak
yang bertanggung jawab membayar biaya iklan.
Hambatan dan/atau kendala yang timbul dalam pendistibusian
ganti kerugian dalam kaitannya dengan pemberitahuan lewat iklan karena
dalam amar putusan tidak diatur secara tegas, juga dialami oleh Tim/Panel
Pembayar Ganti rugi dalam kasus gugatan class action korban tabrakan
kereta api sebagaimana informasi yang penulis peroleh dari YLKI dalam
upaya penulis untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan eksekusi
atas putusan pengadilan dalam kasus tabrakan kereta api di Brebes.
Memang ini tidak semata-mata permasalahan yang berkaitan dengan amar
putusan yang tidak mengatur secara tegas mengenai pendistribusian ganti
kerugian, tetapi hal ini juga tidak terlepas dari gugatan class action yang
diajukan oleh para penggugat. Jika dalam petitum (tuntutan) gugatan, para
penggugat tidak menguraikan secara tegas mengenai petitum yang
dimintakan termasuk mengenai teknis pelaksanaan pendistribusian ganti
kerugian, maka meskipun hakim dengan kewenangan yang dimilikinya
(hak untuk menggali nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat),
namun dalam prakteknya sangat jarang dan bahkan dapat dipastikan
Hakim tidak akan mungkin untuk mengabulkan di luar yang diminta oleh
penggugat.

86
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Beberapa hambatan lain atau kelemahan dalam penggunaan gugatan class


action.90
1.

Kesulitan dalam mengelola.


Semakin banyak jumlah anggota kelompok, semakin sulit

mengelola gugatan class action. Kesulitan yang terjadi biasanya pada saat
pemberitahuan dan pendistribusian ganti kerugian. Jumlah anggota
kelompok yang banyak dan menyebar di beberapa wilayah yang tidak
sama akan menyulitkan dalam hal pemberitahuan dan memerlukan biaya
yang tidak sedikit. Apabila gugatan dikabulkan dan ganti rugi diberikan,
bukan tidak mungkin jumlah ganti kerugian tidak sebanding dengan biaya
pendistribusiannya.
Menurut penulis, faktor biaya merupakan salah satu faktor
penghambat yang sangat berpengaruh dalam penggunaan gugatan class
action. Meskipun biaya yang akan dikeluarkan dalam pengajuan gugatan
class action mulai dari proses pengajuan sampai dengan pendistribusian
biaya, termasuk biaya pengacara akan ditanggung secara bersama-sama
antara class reperesantatif dan/atau class members, namun karena system
hukum acara di Indonesia yang menganut adanya upaya hukum banding,
dan kasasi bahkan peninjauan kembali, terkadang hasil yang didapatkan
tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Sebagai salah satu
contoh dalam hal melaksanakan isi putusan pengadilan dalam perkara
gugatan class action yang diajukan korban tabrakan kereta api di Brebes
tanggal

25

Desember

2001.

Biaya

untuk

iklan

pengumuman

pemberitahuan mengenai rencana pendistribusian ganti kerugian, menjadi


salah satu kendala bagi Tim/Komisi Pembayar Ganti Kerugian, akhirnya
atas pertimbangan biaya, Komisi memutuskan pengumuman cukup dimuat
di harian Warta Kota. Sampai lewatnya waktu pengumuman, hanya 5
anggota kelas yang memberikan tanggapan atas pengumuman tersebut.

90

Emerson Yuntho, op. cit., hal. 6

87
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

2.

Dapat meyebabkan ketidakadilan.


Apabila prosedur yang dipilih untuk penentuan keanggotaan

kelompok adalah opt in, maka tidak adanya pernyataan masuk dari
anggota kelompok yang sesungguhnya mempunyai kesamaan kepentingan
hanya

karena

tidak

mengetahui

adanya

pemberitahuan,

akan

mengakibatkan hilangnya hak mereka untuk menikmati keberhasilan


gugatan class action, karena putusan hakim hanya akan mempunyai akibat
bagi mereka yang masuk sebagai anggota kelompok. Sebaliknya apabila
prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan kelompok adalah
dengan prosedur opt out maka tidak adanya pernyataan opt out dari orang
yang potensial menjadi anggota kelompok, hanya karena tidak mengetahui
adanya pemberitahuan, akan mengakibatkan mereka menjadi anggota
kelompok dengan segala konsekuensinya. Mereka akan terikat dengan
utusan yang dijatuhkan oleh hakim. Apabila gugatan dikalahkan atau
digugat balik, maka mereka juga harus menanggung akibatnya.

3.

Dapat menyebabkan kebangkrutan pada tergugat.


Jumlah tuntutan ganti kerugian pada gugatan class action dapat

mengakibatkan tergugat bangkrut apabila gugatan dikabulkan, di mana


tergugat wajib memberikan ganti kerugian atau melakukan tindakan
tertentu kepada seluruh anggota kelompok yang jumlahnya sangat banyak.

4.

Publikasi gugatan class action dapat menyudutkan pihak tergugat.


Pemberitaan media massa dan adanya pemberitahuan gugatan class

acion di media massa dapat menjadi serangan bagi kedudukan atau


kekuasaan pihak tergugat. Biasanya pembaca media akan mempunyai
prasangka yang tidak baik. Padahal belum tentu tergugat adalah pihak
yang bersalah karena benar tidaknya tergugat masih harus menunggu
pembuktian di pengadilan.

88
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Menurut penulis faktor-faktor lain yang menjadi penghambat dalam


penggunaan gugatan class action antara lain dipengaruhi oleh (1) rendahnya
tingkat kesadaran masyarakat mengenai adanya hak-hak konsumen yang dijamin
oleh undang-undang khususnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (2)
tingginya biaya yang harus dikeluakan dalam proses beracara di pengadilan, serta
(3) belum adanya peraturan setingkat Undang-Undang yang mengatur mengenai
tata cara pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme class action.
Faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat kesadaran masyarakat
mengenai adanya hak-hak konsumen yang dijamin oleh undang-undang
khususnya

Undang-Undang

Perlindungan

Konsumen,

adalah

kurangnya

sosialisasi terhadap undang-undang dan/atau ketentuan-ketentuan peraturan


perundang-undangan yang mengatur mengenai hak-hak konsumen termasuk
mengenai hak konsumen untuk mengajukan upaya hukum gugatan class action.
Dalam upaya penulis untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kasuskasus konsumen yang diselesaikan dengan menggunakan mekanisme gugatan
class action, penulis menemukan fakta di lapangan, masih ada beberapa pegawai
pengadilan yang tidak tahu apa itu class action.
Faktor lain yang ikut menentukan rendahnya tingkat kesadaran hukum
konsumen adalah budaya hukum masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia
memandang bahwa berperkara di pengadilan adalah suatu hal yang aib karena
mengganggu harmoni hubungan diantara sesama warga masyarakat. Sikap enggan
berperkara di pengadilan ini juga berpengaruh terhadap sikap para konsumen yang
menjadi korban produk yang cacat, sebagian besar enggan menyelesaikan perkara
mereka di pengadilan. Rendahnya kepercayaan warga masyarakat terhadap
perlindungan konsumen, ditambah dengan rasa tidak yakin bahwa melalui
Undang-Undang Perlindungan Konsumen hak-hak mereka yang dilanggar dapat
dipulihkan, juga berpengaruh terhadap kesadaran hukum konsumen Indonesia.91

91

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2008, hal. 232 233

89
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Biaya yang dikeluarkan dalam proses pengajuan gugatan class action


termasuk biaya untuk pengacara memang dapat dan/atau akan ditanggung oleh
anggota wakil kelas. Namun tidak bisa dipungkiri, tersedianya upaya hukum bagi
kedua belah pihak untuk mengajukan upaya hukum yaitu upaya hukum banding
dan kasasi bahkan upaya hukum peninjauan kembali serta tidak adanya
pembatasan waktu yang secara tegas, berapa lama suatu perkara gugatan class
action harus diselesaikan (diputus) di pengadilan negeri atau tingkat pertama,
berapa lama di tingkat banding, berapa lama di tingkat kasasi maupun peninjauan
kembali, secara tidak langsung akan mengakibatkan besarnya biaya yang timbul
yang harus ditanggung oleh penggugat yang pada akhrinya akan dibebankan
kepada konsumen. Dari kasus-kasus yang penulis sajikan di atas, ada suatu kasus
yang oleh pengadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan menggunakan
mekanisme class action, karena penggugat tidak dapat melakukan notifikasi.
Penggugat tidak dapat melakukan notifikasi hanya karena pertimbangan biaya,
sebagaimana dapat dilihat dalam putusan pengadilan terhadap gugatan Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Riau terhadap PT. Adel Plantation Industri, dkk.,
dalam kasus kabut asap Pekanbaru.
Saat ini ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme pengajuan
gugatan class action ke pengadilan adalah PERMA Nomor 1 Tahun 2002.
Meskipun dalam salah satu pertimbangan (konsideran) dari PERMA Nomor 1
Tahun 2002, dengan tegas disebutkan bahwa PERMA Nomor 1 Tahun 2002
sifatnya hanya sementara sambil menunggu adanya peraturan perundangundangan yang mengatur acara peradilan secara class action, namun faktanya
sampai sekarang (2008) belum ada tanda-tanda ke arah pembentukan peraturan
perundang-undangan yang dimaksud. Dari beberapa kasus konsumen yang
diselesaikan melalui pengadilan dengan mengunakan mekanisme gugatan class
action sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya pada bab ini, pada
umumnya tergugat masih mempertanyakan mengenai keberadaan dari PERMA
Nomor 1 Tahun 2002. Kedudukan PERMA jauh di bawah Undang-Undang atau

90
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (HIR) di mana dalam pasal 123 HIR
dengan tegas disebutkan mengenai kewajiban penggugat untuk mendapat kuasa
dari pihak yang diwakilikannya untuk bersidang di pengadilan.
Belum terbitnya peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan UndangUndang Kehutanan yang mengatur mengenai mekanisme pengajuan gugatan class
action dan/atau belum adanya peraturan yang mengatur mekanisme pengajuan
gugatan setingkat undang-undang, yang mengatur secara lengkap mengenai
prosedur pengajuan gugatan class action, mengakibatkan kurangnya pemahaman
dan pengetahuan masyarakat termasuk para praktisi hukum baik pengacara
maupun hakim mengenai pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme
class action. Terbukti dari beberapa kasus/perkara yang disajikan di atas, terdapat
beberapa kasus yang dalam gugatan secara tegas disebutkan bahwa gugatan
diajukan dengan menggunkan mekanisme class action, namun penggugat tidak
dapat menguraikan gugatan tersebut ke dalam masing-masing unsur-unsur dari
sutau gugatan class action yang pada akhirnya mengakibatkan gugatan ditolak
atau tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya membuka peluang bagi penggugat
untuk mengajukan tangkisan (eksepsi).
Jika seandainya saja, ketentuan hukum acara class action yang diatur
dalam PERMA Nomor 1 tahun 2002, dituangkan ke dalam suatu peraturan
setingkat undang-undang, dan diikuti dengan sosialisasi yang baik dan cukup
kepada masyarakat, penulis yakin hambatan-hambatan khususnya yang berkaitan
dengan proses pengajuan gugatan class action akan dapat diminimalisir.

91
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

BAB IV
IMPLEMENTASI PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION
OLEH KONSUMEN PENGGUNA JASA KERETA API

Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, perkembangan gugatan


class action di Indonesia dibagi menjadi 2 (dua) periode yaitu sebelum adanya
pengakuan mekanisme gugatan class action dan setelah adanya pengakuan
mekanisme gugatan class action.
Dalam bab ini penulis akan menganalisis dari segi hukum salah satu
putusan pengadilan yang menggunakan mekanisme gugatan class action yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkarcht) yang terjadi setelah
adanya pengakuan mekanisme gugatan class action, yaitu putusan pengadilan
terhadap gugatan korban tabrakan kereta api yang terjadi di stasiun Brebes pada
tanggal 25 Desember 2001.

A.

Posisi Kasus.
Pada tanggal 25 Desember 2001 sekitar pukul 04.30 telah terjadi tabrakan

hebat (head to head) antara kereta api Empu Jaya jurusan Pasar Senen
Yogyakarta dengan Kereta Api Gaya Baru Malam jurusan Surabaya Pasar
Senen di Stasiun Ketanggungan Barat, Kabupaten Brebes. Tabrakan tersebut
mengakibatkan sekurang-kurangnya 31 (tiga puluh satu) orang meninggal dunia, 5
(lima) orang harus masuk ICU, 44 (empat puluh empat) orang menjalani rawat
inap dan 20 (dua puluh) orang menjalani rawat jalan.
Adapun pihak penggugat yang bertindak selaku perwakilan kelompok
(class reperesentative) dalam perkara gugatan tersebut adalah : (1) Agus
Yustianingsih selaku penggugat I sekaligus perwakilan kelompok (class
reperesentative) untuk sub class anggota kelompok konsumen korban tabrakan
dengan kategori konsumen Kereta Api Empu Jaya yang meninggal dunia yang
berdomisili di Jakarta/Bekasi dan sekitarnya, (2) Eko Suyanto selaku penggugat II

92
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

sekaligus perwakilan kelompok (class reperesentative) untuk sub class anggota


kelompok konsumen korban tabrakan dengan kategori konsumen Kereta Api
Gaya Baru Malam yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang
berdomisili di Jakarta/Bekasi sekitarnya, (3) Kholil Rahman selaku penggugat III
sekaligus perwakilan kelompok (class reperesentative) untuk sub class anggota
kelompok konsumen korban tabrakan, dengan kategori konsumen Kereta Api
Empu Jaya yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang
berdomisili di Jawa Tengah/D.I,Yogyakarta dan sekitarnya, (4) Hartoyo selaku
penggugat IV sekaligus perwakilan kelompok (class reperesentative) untuk sub
class anggota kelompok konsumen korban tabrakan, dengan kategori konsumen
Kereta Api Gaya Baru Malam, yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat
tetap yang berdomisili di Jawa Timur dan sekitarnya, dan 5) Mulyadi selaku
penggugat V sekaligus perwakilan kelompok (class reperesentative) untuk sub
class anggota kelompok konsumen korban tabrakan, dengan kategori konsumen
Kereta Api Empu Jaya yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap
yang berdomisili di Jakarta/Bekasi dan sekitarnya.
Dalam mengajukan gugatannya, para penggugat memberikan kuasa
kepada Sudaryanto, SH dan Rekan-rekan dari Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) berdasarkan Surat Kuasa tertanggal 18 Maret 2002. Gugatan
ditujukan kepada (1) PT. Kereta Api (Persero) selaku tergugat I, (2) Menteri
Perhubungan Republik Indonesia selaku tergugat II, (3) Menteri Negara
Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selaku tergugat III dan (4)
Menteri Keuangan Republik Indonesia selaku tergugat IV.
Dalam gugatannya, para penggugat dengan tegas menyebutkan bahwa
gugatan diajukan dengan menggunakan mekanisme atau prosedur gugatan
perwakilan kelompok (class action) yang sudah diakui dalam doktrin hukum dan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Para penggugat selain bertindak
untuk dirinya sendiri, sekaligus juga mewakili komunitas konsumen kereta api
yang mengalami kerugian akibat terjadinya tabrakan antara kereta api Empu Jaya
dengan Kereta Api Gaya Baru Malam tanggal 25 Desember 2001 di stasiun

93
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Ketanggungan Barat Kabupaten Brebes. Adapun dasar hukum para penggugat


mengajukan gugatan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action
adalah Pasal 46 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1998 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan :
Pasal 46 ayat (1) huruf b :
Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang
mempunyai kepentingan yang sama.
Pasal 46 ayat (2 :
Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, atau lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud alam ayat (1)
huruf b, c, atau d diajukan kepada peradilan umum.

Untuk menguatkan kedudukannya sebagai pihak yang dapat mengajukan


gugatan ini, para penggugat menunjukkan peraturan perundang-undangan lain
sebagai dasarnya antara lain : (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian,92 (3) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun
1999 Tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api, (4) Peraturan Pemerintah Nomor
3 Tahun 1983 Tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan
Jawatan, (5) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1998 Tentang Pengalihan
Kedudukan, Tugas dan Wewenang Menteri Keuangan selaku Pemegang Saham
atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Perusahaan Perseroan (persero)
kepada Menteri Negara Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara, dan (5)
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pelaksanaan dan Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.
Selain

ketentuan

peraturan

perundang-undangan

tersebut,

untuk

menguatkan keberadaan para wakil kelas yang memiliki kepentingan dan


kedudukan hukum untuk mewakili anggota kelas dalam memperjuangkan hakhaknya, para penggugat juga merujuk pada beberapa putusan pengadilan yaitu :
(1)

Putusan

Pengadilan

Negeri

Jakarta

Pusat

dalam

92

perkara

nomor

Undang-Undang ini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007


Tentang Perkeretaapian.

94
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

50/PDT.G/2000/PN.Jkt.Pst., yaitu keterwakilan 139 tukang becak atas 5000


tukang becak lainnya di Jakarta ; (2) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dalam perkara nomor 550/PDT.G/2000/PN.Jkt.Pst., yaitu keterwakilan 9 orang
konsumen LPG atas 200.000 konsumen LPG se Jabotabek ; dan (3) Putusan
Pengadilan

Negeri

Jakarta

Pusat

dalam

perkara

nomor

493/Pdt.G/2001/PN.Jkt.Pst., yaitu keterwakilan 8 masyarakat miskin kota


mewakili komunitas masyarakat miskin

kota dari unsur pengemudi becak,

pengamen dan penghuni miskin.


Menurut para penggugat, gugatan yang diajukan, merupakan gugatan
perbuatan melawan hukum yang telah menimbulkan kerugian bagi para
penggugat. Penggugat I sebagai ahli waris korban tabrakan kereta api atas nama
Edy Sugiarto menderita kerugian dalam bentuk hilangnya sumber penghasilan
ekonomi keluarga dan harus menanggung biaya pendidikan anak satu-satunya atas
nama Dyah Huznul Yusdhini sampai bisa mandiri (dari Sekolah Dasar sampai
dengan Perguruan Tinggi) sebesar Rp. 119.878.000,- (seratus sembilan belas juta
delapan ratus tujuh puluh ribu Rupiah). Penggugat II menderita kerugian sebesar
Rp. 2.410.900,- (dua juta empat ratus sepuluh ribu sembilan ratus Rupiah) terdiri
dari penggantian barang yang hilang (hand phone merek Ericson dan uang tunai )
sebesar Rp. 1.300.000,- (satu juta tiga ratus ribu Rupiah), pendapatan yang hilang
selama tiga minggu (@ Rp. 300.000,-) sebesar Rp. 900.000,- (sembilan ratus ribu
Rupiah) dan biaya rawat lanjutan sebesar Rp. 210.900,- (dua ratus sepuluh ribu
sembilan ratus rupiah). Penggugat III menderita kerugian sebesar Rp. 3.367.500,(tiga juta tiga ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus Rupiah) terdiri dari barang
yang hilang sebesar Rp. 767.500,- (tujuh ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus
Rupiah), pendapatan yang hilang selama tiga bulan (@ Rp. 700.000,-) sebesar Rp.
2.100.000,- (dua juta seratus ribu Rupiah) dan kompensasi cacat dimuka sebesar
Rp. 500.000,- (lima ratus ribu Rupiah). Penggugat IV menderita kerugian sebesar
Rp. 11.556.000,- (sebelas juta lima ratus lima puluh enam ribu Rupiah) terdiri dari
barang yang hilang sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu Rupiah), pendapatan
yang hilang selama 12 bulan (@ Rp. 500.000,-) sebesar Rp. 6.000.000,- (enam
juta Rupiah), biaya rawat lanjutan sebesar Rp. 5.341.000,-(lima juta tiga ratus

95
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

empat puluh satu ribu Rupiah) dan biaya pengurusan surat yang hilang (KTP)
sebesar Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu Rupiah). Penggugat V menderita
kerugian sebesar Rp. 15.050.000,- (lima belas juta lima puluh ribu Rupiah) terdiri
dari barang yang hilang sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu Rupiah), pendapatan
yang hilang selama 12 bulan (@ Rp. 750.000,-) sebesar Rp. 9.000.000,- (sembilan
juta Rupiah), biaya rawat lanjutan sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) dan
biaya pengurusan surat yang hilang sebesar Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh
ribu Rupiah).
Selanjutnya para penggugat memohon kepada pengadilan untuk
memutuskan antara lain : (a) Menyatakan para penggugat dapat diterima sekaligus
bertindak dan berkedudukan hukum untuk mewakili kepentingan hukum
masyarakat konsumen kereta api yang menjadi korban tabrakan kereta api yang
terjadi tanggal 25 Desember 2001; (b) Menyatakan para tergugat telah melakukan
perbuatan melawan hukum; (c) Menghukum para tergugat untuk membayar ganti
rugi materiil yang besarnya masing-masing : (i) Penggugat I sebesar Rp.
119.878.000,- (seratus sembilan belas juta delapan ratus tujuh puluh ribu Rupiah),
(ii) Penggugat II sebesar Rp. 2.410.900,- (dua juta empat ratus sepuluh ribu
sembilan ratus Rupiah), (iii) Penggugat III menderita kerugian sebesar Rp.
3.367.500,- (tiga juta tiga ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus Rupiah), (iv)
Penggugat IV sebesar Rp. 11.556.000,- (sebelas juta lima ratus lima puluh enam
ribu Rupiah), (v) Penggugat V sebesar Rp. 15.050.000,- (lima belas juta lima
puluh ribu Rupiah) ; (d) Menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi
immateriil secara tanggung renteng kepada Para Penggugat dan masyarakat
konsumen kereta api yang diwakili oleh para Penggugat, besarnya masing-masing
konsumen setara dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah); dan (e)
Memerintahkan

pembentukan

Komisi

Pembayaran

Ganti

Rugi,

yang

keanggotaannya terdiri dari 3 orang wakil dari para penggugat, 2 orang wakil dari
tergugat, yang akan melaksanakan penyelesaian pembayaran ganti rugi kepada
para anggota kelompok (class members).

96
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

B.

Putusan Pengadilan.
Pada tanggal 6 Januari 2003, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan

gugatan para korban tabrakan kereta api, yang intinya adalah :


1.

Menyatakan menerima para penggugat sebagai perwakilan kelas


(class representative) mewakili masyarakat konsumen korban
tabrakan kereta api antara kereta api Empu Jaya dengan kereta api
Gaya Baru Malam yang terjadi di stasiun Ketanggungan Barat
Brebes pada tanggal 25 Desember 2001;

2.

Menyatakan PT. Kereta Api telah terbukti melakukan perbuatan


melawan hukum, dan menghukum untuk membayar ganti rugi
berupa : biaya penguburan, santunan kematian, biaya antar
jenazah, biaya perjalanan pulang kembali ke Stasiun asal atau
stasiun tujuan, penggantian barang atau surat yang hilang, bagi
korban yang memiliki surat tanda titipan atau angkutan barang atau
surat bagasi, biaya pengobatan sampai korban menjadi pulih
dan/atau santunan bagi bagai korban yang mengalami cacat badan
dengan ketentuan atas kerugian tersebut dapat dibuktikan dan tidak
melebihi dari jumlah maksimum asuransi yang ditutup oleh
PT. Kereta Api dalam penyelenggaraannya, serta belum dibayar
baik oleh PT. Jasa Raharja atau PT. Jasa Raharja Putra ;

3.

Memerintahkan para penggugat dan para tergugat untuk


membentuk KOMISI PEMBAYARAN GANTI RUGI yang
keanggotaannya terdiri dari 2 (dua) orang wakil dari Penggugat, 2
(dua) orang wakil dari tergugat I dan 1 (satu) orang wakil dari
tergugat II yang bertugas : (1) Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap, wajib
mengumumkan melalui media surat kabar agar anggota kelompok
(class members) mendaftarkan diri serta menyerahkan bukti-bukti
kerugian yang dideritanya, (2) Komisi melakukan penelitian dan
verifikasi untuk menguji kebenaran bukti tersebut dengan mengacu
pada putusan ini dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari, dan
(3) mengajukan bukti-bukti yang patut untuk dibayar kepada
Tergugat I dan Tergugat I membayar langsung kepada korban atau
ahli warisnya.

Terhadap putusan ini, PT. Kereta Api mengajukan upaya hukum banding
dan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta permohonan banding tersebut telah
diputus tanggal 3 September 2004, yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri

97
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Jakarta Pusat. Kemudian pada tanggal 6 April 2006, PT. Kereta Api mengajukan
upaya hukum kasasi dan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia permohonan
kasasi yang diajukan oleh PT. Kereta Api ditolak sebagaimana dituangkan dalam
Putusan Nomor 1440 K/Pdt/2006 tertanggal 3 Januari 2007, sehingga dengan
demikian putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 6 Januari 2003, telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

C.

Analisis Kasus.
Analisis ini didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Nomor 114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst tertanggal 6 Januari 2003, yang dikuatkan


dalam putusan banding dan kasasi. Adapun yang akan menjadi pokok bahasan
dalam analisis ini meliputi keberatan para tergugat terhadap pengajuan gugatan
dengan menggunakan mekanisme class action dan berkaitan dengan pembuktian
mengenai adanya perbuatan melawan hukum serta ganti kerugian.

1.

Mengenai Keberatan Para Tergugat Terhadap Penggugaan


Mekanisme Class Action.
Terhadap gugatan yang diajukan dengan menggunakan mekanisme

class action, tergugat II dan tergugat IV mengajukan keberatan. Tergugat I


tidak mengajukan keberatan, sementara tergugat III tidak memberikan
jawaban karena tergugat III hadir dalam persidangan setelah para
penggugat mengajukan replik.
Dalam jawabannya pada bagian eksepsi, tergugat II menyatakan
keberatan terhadap pengajuan gugatan dengan mengunakan class action
dengan alasan pemberian surat kuasa khusus oleh para penggugat kepada
YLKI bertentangan dengan pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 yang
menyebutkan :
untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok
tidak dipersyaratkaan memperoleh Surat Kuasa Khusus dari anggota
kelompok.

98
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Terhadap keberatan tergugat II ini, majelis hakim berpendapat


bahwa keberatan tersebut merupakan penafsiran yang keliru. Dalam
PERMA Nomor 1 Tahun 2002, yang tidak perlu memakai surat kuasa
adalah anggota kelompok kepada wakil kelompok, tetapi pemberian kuasa
dari wakil kelas kepada pengacara/advokat memerlukan adanya surat
kuasa khusus. Penulis sependapat dengan pertimbangan hukum dari
majelis hakim tersebut. Jika seandainya pun dalam suatu perkara gugatan
class action ternyata wakil kelompok memberikan kuasa kepada wakil
kelas, menurut penulis hal tersebut tidak bertentangan dengan PERMA
Nomor 1 Tahun 2002, karena ketentuan pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun
2002 hanya memberikan kemudahan kepada wakil kelas dalam
mengajukan gugatan bertindak untuk diri sendiri sekaligus mewakili
anggota kelompok.
Dalam jawabannya pada bagian eksepsi, tergugat IV juga
menyatakan

menolak

pengajuan

gugatan

dengan

menggunakan

mekanisme class action, karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 2 butir
a, pasal 5 ayat (3) dan pasal 3 huruf (f) dari PERMA Nomor 1 Tahun
2002, yang menyebutkan :
Pasal 2.a :
Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif
dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu gugatan.
Pasal 5 ayat (3) :
Sahnya gugatan perwakilan kelompok sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dituangkan dalam suatu penetapan pengadilan.
Pasal 3 huruf f :
Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas
dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara
pendistribusian ganti rugi kepada keseluruhan anggota kelompok
termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu
memperlancar pendistribusian ganti kerugian.

99
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Terhadap

keberatan

tergugat

IV

tersebut,

majelis

hakim

memberikan pertimbangan dan pendapat bahwa para penggugat dalam


mengajukan gugatan ini tidak wajib memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, karena gugatan para
penggugat telah didaftar dan mulai diperiksa sebelum dikeluarkannya
PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Memang benar, gugatan para penggugat
diajukan kurang dari 1 bulan sebelum PERMA Nomor 1 Tahun 2002
dikeluarkan. Gugatan diajukan pada tanggal 1 April 2002 sementara
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 dikeluarkan pada tanggal 26 April 2002.
Namun penulis melihat majelis hakim tidak konsisten dalam memberikan
pertimbangan atau pendapat hukum. Terhadap keberatan tergugat II yang
menyatakan bahwa pemberian kuasa dari para penggugat kepada YLKI
bertentangan dengan pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, majelis hakim
berpendapat bahwa pemberian kuasa tersebut tidak bertentangan dengan
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 sementara untuk keberatan tergugat IV,
majelis berpendapat bahwa tidak wajib memenuhi syarat-syarat PERMA
Nomor 1 Tahun 2002.
Dalam mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action),
pada dasarnya ada dua syarat utama yang harus dipenuhi yakni: pertama,
adanya sejumlah besar orang; dan yang kedua adanya kepentingan atau
permasalahan yang sama. Kedua hal ini tercermin pula di dalam pasal 2
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 dimana disebutkan bahwa gugatan dapat
diajukan dengan mempergunakan tata cara gugatan perwakilan kelompok
apabila (a) jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga
tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendirisendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan; (b) terdapat
kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan
yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara
wakil kelompok dengan anggota kelompoknya, (c) wakil kelompok
memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan
anggota kelompok yang diwakilinya.

100
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Menurut penulis syarat-syarat tersebut telah terpenuhi dalam


gugatan ini dimana para penggugat terdiri dari wakil kelompok dan
anggota kelompok yang terdiri dari banyak orang (konsumen) yang
menuntut kerugian atas peristiwa terjadinya tabrakan kereta api tersebut.
Dalam hal ini telah ada demikian banyak orang (konsumen) dengan
kesamaan fakta dan dasar hukum untuk selanjutnya mengajukan tuntutan
yang sama. Dengan demikian putusan pengadilan yang menyatakan
menerima para penggugat sebagai class representative mewakili
masyarakat konsumen korban tabrakan kereta api tanggal 25 Desember
2001, membuktikan bahwa secara tidak langsung, majelis hakim telah
menjadikan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 sebagai bahan pertimbangan
hukum dalam mengadili perkara gugatan ini.

2.

Mengenai Pembuktian Perbuatan Melawan Hukum.


Dalam gugatannya para penggugat, mendalilkan para tergugat telah

melakukan perbuatan melawan hukum. Perbuatan tergugat I yang menurut


para penggugat sebagai perbuatan melawan hukum yaitu :
a.

Tidak melaksanakan ketentuan pasal 28 dan Penjelasan


pasal 25 ayat (1) huruf a, dan b Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1992 Tentang Perkeretapian, yang menyebutkan :93
Pasal 28 :
badan penyelenggara bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh pengguna jasa dan/atau pihak ketiga yang timbul
dari penyelenggaraan angkutan kereta api.
Penjelasan pasal 25 ayat (1) huruf a:
hak pengguna jasa untuk memperoleh pelayanan sesuai dengan
tingkat pelayanan yang disepakati misalnya pemegang karcis
yang dimilikinya.

93

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian

101
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Penjelasan pasal 25 (1) huruf b :


Penyelenggara wajib (1) mengangkut penumpang yang telah
memiliki karcis penumpang sesuai dengan tingkat pelayanan
penumpang yang telah disepati atau mengangkut barang
pengguna jasa yang telah dimiliki syarat angkutan barang, (2)
membayar ganti rugi sesuai syarat-syarat umum yang telah di
sepakati, kepada pengguna jasa yang mengalami kerugian
sebagai akibat kelalaian badan penyelenggara, (3) memberikan
pelayanan dalam batas-batas kelayakan sesuai kemampuan badan
penyelengggara kepada pengguna jasa, selama menunggu
keberangkatan dalam hal terjadi kelambatan pemberangkatan
karena kelalaian badan penyelenggara.

Terhadap dalil-dalil para penggugat yang menyatakan


bahwa tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum
dengan alasan sebagaimana diuraikan di atas, majelis hakim
berpendapat bahwa dari surat-surat bukti dan keterangan saksi,
majelis hakim tidak memperoleh cukup bukti bahwa sebelum
terjadinya tabrakan, tergugat I telah : (1) Tidak mengangkut
penumpang yang membeli karcis; (2) Tidak membayar ganti rugi
kepada pengguna jasa yang mengalami kerugian akibat kecelakaan;
(3) Tidak memberi pelayanan yang baik selama menunggu
pemberangkatan dalam hal terjadi keterlambatan pemberangkatan;
dan (4) Tidak memberi pelayanan yang semestinya terhadap
penumpang yang telah membeli karcis.
Menurut penulis meskipun tabrakan tersebut terjadi bukan
karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dan
Penjelasan pasal 25 ayat (1) huruf a, dan b Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1992 sebagaimana diuraikan di atas, namun karena
faktanya tabrakan terjadi dan terjadinya bukan karena keadaan
diluar kemampuan manusia (force majeur) maka sesuai dengan
ketentuan pasal 28 Undang-Undang Nomor 13/1992, tergugat I
tetap wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
para penggugat.

102
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

b.

Tidak melaksanakan ketentuan pasal 3 huruf c, d, e, f, jo.


pasal 4 huruf a, c, d, e dan h, jo. pasal 7 huruf b, d, f dan g,
jo. pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan :
Pasal 3 huruf c, d, e dan f :
Perlindungan konsumen bertujuan untuk (1) meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen, (2) menciptakan
system perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi, (3) menumbuhkan kesadaran pelaku
usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha,
(4) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Pasal 4 huruf a, b, c, d, e, dan h :
Konsumen mempunyai hak untuk (1) hak atas kenyamanan,
keamanan dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang
dan/atau jasa, (2) hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, (3) hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan, (4) hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut, (5) hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagai
mana mestinya.
Pasal 7 huruf b, d, f, dan g :
Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk (1) memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, (2) menjamin mutu
barang dan atau penggantian jasa yang diproduksi dan/atau
diperdangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku, (3) memberikan kompensasi, ganti
rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan dan/atau yang diperdagangkan, (4)
memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.

103
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Pasal 8 ayat (1) huruf a :


Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai
standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan.

Terhadap dalil-dalil para penggugat yang menyatakan


bahwa tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum
karena

tidak

melaksanakan

ketentuan

Undang-Undang

Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud di atas, majelis


hakim

berpendapat

bahwa

para

penggugat

tidak

dapat

membuktikan secara khusus tentang adanya pelanggaran atau


kelalaian dalam ketentuan-ketentuan pasal tersebut yang secara
langsung menimbulkan kerugian bagi para pengguna jasa.
Penulis kurang sependapat dengan pertimbangan majelis
hakim yang menyatakan para penggugat tidak dapat membuktikan
secara khusus tentang adanya pelanggaran atau kelalaian dalam
ketentuan-ketentuan

pasal

tersebut

yang

secara

langsung

menimbulkan kerugian bagi para pengguna jasa. Sebagaimana


yang penulis sampaikan sebelumnya, karena tabrakan terjadi bukan
karena adanya kejadian di luar kekuasaan atau kemampuan
manusia (force majeur), maka dapat dipastikan tabrakan terjadi
karena kelalaian tergugat I dalam memberikan kenyamanan,
keamanan dan keselamatan para penggugat, dan oleh karenanya
para penggugat berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi
akibat terjadinya tabrakan tersebut.
c.

Tidak melaksanakan ketentuan Pasal 87 ayat (1) S. 1928200 yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5
Tahun 1963 Tentang Peraturan Perkeretapian, yang
menyebutkan :
Urutan rangkaian kendaraan, pada tiap-tiap kereta api yang
digunakan untuk angkutan penumpang, yang mencapai

104
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

kecepatan tertinggi lebih dari 45 km sejam, langsung di belakang


lokomotif harus ditempatkan sekurang-kurangnya satu
kendaraan, dimana tidak diijinkan ada penumpang kecuali
pegawai kereta api atau pegawai jawatan pos.

Terhadap dalil-dalil para penggugat ini, majelis hakim


sependapat dengan para penggugat. Menurut majelis hakim,
tergugat I telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum
karena lalai menempatkan kendaraan (gerbong) di belakang
lokomotif dengan tidak dijinkannya ada penumpang kecuali
pegawai kereta api atau jawatan pegawai pos sebagaimana
diwajibkan dalam pasal 87 ayat (1) S. 1928-200 yang diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1963.
Menurut penulis pertimbangan hukum majelis hakim yang
menyatakan bahwa tergugat I hanya tebukti melakukan perbuatan
melawan hukum karena lalai menempatkan kendaraan (gerbong) di
belakang lokomotif, belum menyentuh substansi permasalahan.
Jika seandainya pun tergugat I menempatkan kendaraan (gerbong)
di belakang lokomotif, tabrakan itu sendiri tetap terjadi.
Penempatan kendaraan (gerbong) di belakang lokomotif bukan
berarti dapat menghindari terjadinya tabrakan akan tetapi hanyalah
mengurangi jumlah korban tabrakan. Seharusnya yang perlu
dipertimbangkan adalah apakah tabrakan tersebut terjadi karena
adanya kelalaian dari tergugat I atau tidak.
d.

Melanggar azas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian


dalam melaksanakan manajemen lalu lintas perkeretapian
yang baik, sehingga telah memberhentikan dua kereta api
sekaligus dalam Emplasemen yang hanya terdiri dari 3
(tiga) spoor, hal itu sangat membahayakan dan berpotensi
menimbulkan kecelakaan/ tabrakan.

105
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Terhadap dalil-dalil para penggugat ini, majelis hakim tidak


memberikan pendapat atau pertimbangan hukum. Jika dikaitkan
dengan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal
1365 KUHPerdata, maka menurut penulis justru disinilah
seharusnya pertanggungjawaban PT. Kereta Api Indonesia dapat
dimintakan. Tindakan PT. Kereta Api Indonesia memberhentikan
dua kereta api sekaligus dalam Emplasemen yang hanya terdiri dari
3 (tiga) spoor, jelas-jelas merupakan suatu kelalaian yang
berpotensi menimbulkan kecelakaan/ tabrakan.
Selain terhadap tergugat I, para penggugat juga medalilkan bahwa
tergugat II, tergugat III dan tergugat IV telah melakukan perbuatan
melawan hukum. Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum
karena tidak melaksanakan ketentuan Pasal 75 Peraturan Pemerintah
Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api, yang
menyebutkan :
Menteri melakukan pembinaan terhadap penyediaan, perwatan dan
pengusahaan prasarana dan sarana kereta api melalui kegiatan
pengaturan, pengawasan dan pengendalian guna meningkatkan peran
serta angkutan kereta api dalam keseluruhan moda teransportasi secara
terpadu.

Tergugat III telah melakukan perbuatan melawan hukum karena


telah melakukan perbuatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1998 Tentang Pengalihan
Kedudukan, Tugas dan Wewenang Menteri Keuangan selaku Pemegang
Saham atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Perusahaan
Perseroan (persero) kepada Menteri Negara Pemberdayaan Badan Usaha
Milik Negara, yang menyebutkan :
Kedudukan, tugas dan kewenangan Menteri Keuangan yang mewakili
pemerintah selaku pemegang saham atau Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) pada perusahaan perseroan (Persero), dialihkan kepada Menteri
Negara Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara.

106
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Sedangkan tergugat IV telah melakukan perbuatan melawan


hukum karena telah tidak melaksanakan ketentuan pasal 5 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 Tentang Tata Cara Pembinaan
dan Pengawasan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan
Perseroan, yang menyebutkan :
Pembinaan kekayaan negara yang tertanam dalam Persero dilakukan oleh
Menteri Keuangan yang berkedudukan sebagai Rapat Umum Pemegang
Saham dalam hal seluruh modal Persero adalah modal negara dan sebagai
pemegang saham dalam hal tidak seluruh modal persero adalah modal
negara.

Terhadap perbuatan melawan hukum yang ditujukan kepada


tergugat II, tergugat III dan tergugat IV, majelis hakim menyatakan tidak
terbukti, karena para penggugat tidak dapat membuktikan kesalahan
dan/atau perbuatan melawan hukum dari tergugat II, tergugat III dan
tergugat IV yang secara langsung menyebabkan kerugian bagi para
penggugat.

3.

Mengenai Ganti Rugi.


Dalam putusannya, majelis hakim hanya menghukum tergugat I

untuk membayar ganti rugi berupa : (a) Biaya penguburan, (b) Santunan
kematian, (c) Biaya antar jenazah, (d) Biaya perjalanan pulang kembali ke
Stasiun asal atau stasiun tujuan, (e) Penggantian barang atau surat yang
hilang, bagi korban yang memiliki surat tanda titipan atau angkutan barang
atau surat bagasi, (f) Biaya pengobatan sampai korban menjadi pulih
dan/atau santunan bagi bagai korban yang mengalami cacat badan dengan
ketentuan atas kerugian tersebut dapat dibuktikan dan tidak melebihi dari
jumlah maksimum asuransi yang ditutup oleh tergugat I dalam
penyelenggaraannya, serta belum dibayar baik oleh PT. Jasa Raharja atau
PT. Jasa Raharja Putra.

107
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Menurut pertimbangan majelis hakim, gugatan ganti rugi dari


penggugat dikabulkan sepanjang mengenai biaya penguburan, santunan
kematian, biaya perjalanan pulang pergi ke stasiun kedatangan atau tujuan,
biaya penggantian barang yang hilang, biaya pengobatan sampai pulih,
serta santunan bagi yang cacat, tetapi tidak jelas berapa nilai ganti rugi
yang harus dibayarkan. Selain itu ada persyaratan yang harus dipenuhi,
yaitu semua kerugian yang diderita korban harus bisa dibuktikan.
misalnya, barang yang hilang harus ada bukti barang tersebut memang
tercatat di tiket bagasi. Selain itu biaya ganti rugi tidak boleh melebihi
jumlah asuransi yang ditutup oleh tergugat I serta belum dibayarkan oleh
Asuransi Jasa Raharja.
Menurut penulis meskipun tergugat I telah membayar uang
perawatan dan santunan asuransi jasa raharja, bukan berarti menghapus
sama sekali hak-hak korban atau ahli warisnya untuk menggugat ganti rugi
kepada penyelenggara jasa angkutan kereta api. Selaku penyelenggara
angkutan, tergugat I tetap harus bertanggung jawab. Sebab, asuransi jasa
raharja adalah perikatan antara konsumen dengan perusahaan asuransi,
bukan dengan penyelenggara jasa angkutan, hal ini telah sesuai dengan
ketentuan pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Perkeretaapian. Sifat asuransi
jasa raharja adalah sosial, bukan asuransi jiwa. Artinya, pembayaran
santunan oleh Asuransi Jasa Raharja tidak otomatis menutup kerugian
yang dialami korban atau konsumen. Selain kerugian materil seperti
hilangnya harta benda, keluarnya biaya untuk pengobatan dan perawatan,
para penggugat juga telah mengalami kerugian immateriil seperti
kehilangan korban jiwa, sehingga dengan demikian berdasarkan ketentuan
pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, para penggugat
(konsumen) masih tetap berhak menuntut ganti rugi immaterial dari
tergugat I atas kecelakaan tersebut.

108
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

BAB V
PENUTUP
D.

Kesimpulan.
Dari hasil penelitian dan analisis yang penulis lakukan, diperoleh beberapa

kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat


dalam tesis ini.
Untuk pertama kalinya class action di Indonesia diakui pada tahun 1997,
yaitu sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan

Lingkungan

Hidup.

Setelah

Undang-Undang

Pengelolaan

Lingkungan Hidup, tercatat ada 3 (tiga) Undang-Undang yang secara ekspilist


mengatur dan mengakui mengenai gugatan class action yaitu (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (ii) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, dan (iii) Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Di dalam keempat peraturan perundang-undangan tersebut di atas
ditegaskan bahwa penerapan class action, didasarkan kepada ketentuan Hukum
Acara Perdata yang berlaku di peradilan umum. Sementara dalam Hukum Acara
Perdata yang berlaku di Indonesia yaitu HIR, ternyata tidak mengenal adanya
konsep prosedur gugatan class action ini. Saat ini penerapan penggunaan
mekanisme class action baru diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung yaitu
PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Dalam salah satu pertimbangannya, disebutkan
bahwa PERMA ini, sifatnya hanya sementara yaitu sambil menunggu adanya
peraturan perundang-undangan yang mengatur acara peradilan secara class action.
Dalam penggunaan class action ditemukan beberapa hambatan-hambatan
baik dalam proses pengajuan maupun dalam pelaksanaan isi putusan. Tidak
diperlukannya surat kuasa dari wakil kelompok kepada wakil kelas sebagaimana
diatur dalam pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, pada umumnya justru
menjadi salah satu peluang bagi tergugat untuk mengajukan keberatan dengan
mengacu pada ketentuan yang diatur dalam pasal 123 HIR yang mensyaratkan

109
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

perlu adanya kuasa khusus. Pada umumnya penggugat tidak dapat menjelaskan
karakteristik dari sebuah gugatan yang menggunakan prosedur class action, tidak
mendeskripsikan secara jelas defenisi kelas, posita dan petitum gugatan, serta tata
cara

pendistribusian

ganti

kerugian.

Masyarakat

pada

umumnya

juga

mempersamakan gugatan class action dengan gugatan legal standing. Belum


adanya aturan atau petunjuk tentang notifikasi atau pemberitahuan dapat
mengakibatkan perintah notifikasi tidak menjadi suatu prioritas atau suatu
keharusan (padahal dalam sistem hukum negara lain merupakan suatu kewajiban).
Hambatan juga ditemukan pada saat implementasi putusan pengadilan dalam hal
distribusi ganti kerugian, apabila dalam amar putusan hakim tidak secara jelas
disebutkan mengenai mekanisme pendistribusian ganti kerugian, termasuk
mengenai penunjukan dan susunan tim/panel dan pengumuman pemberitahuan
rencana pendistribusian ganti kerugian. Hambatan-hambatan lain berupa kesulitan
dalam mengelola gugatan class action. Gugatan class action juga dapat
menyebabkan kebangkrutan pada tergugat. Publikasi gugatan class action juga
dapat menyudutkan pihak tergugat. Hambatan-hambatan tersebut pada umumnya
dipengaruhi oleh (1) rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai adanya
hak-hak konsumen (menggunakan gugatan class action) yang dijamin oleh
undang-undang khususnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen akibat
kurangnya sosialisasi, (2) tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam proses
beracara di pengadilan, serta (3) belum adanya peraturan setingkat undang-undang
yang mengatur mengenai tata cara pengajuan gugatan class action.
Dalam gugatan yang diajukan oleh korban tabrakan antara kereta api
Empu Jaya dengan kereta api Gaya Baru Malam di stasiun Ketanggungan Barat
Kabupaten Brebes tanggal 25 Desember 2001, pengadilan telah mengakui
penerapan mekanisme gugatan class action. Namun dalam gugatan ini masih
ditemui banyak hambatan khususnya dalam pelaksanaan putusan pengadilan yaitu
pendistribusian ganti kerugian. Sampai dengan batas waktu yang ditentukan
dalam pengumuman (14 hari), hanya 5 orang dari anggota kelompok yang
memberikan respons.

110
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

E.

Saran.
Berdasarkan uraian pada bab II sampai dengan Bab IV sebagaimana yang

telah disimpulkan pada bagian A di atas, maka untuk ke depannya, penulis


menyarankan beberapa hal yaitu :
1.

Pertama, penggunaan mekanisme gugatan class action perlu diatur


dalam ketentuan setingkat undang-undang dan/atau setidak-tidaknya
menyempurnakan ketentuan undang-undang yang telah ada yang
mengatur mengenai gugatan class action

2.

Kedua, perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat mengenai


ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
gugatan class action

3.

Ketiga, perlu adanya publikasi yang lebih luas atas putusan-putusan


pengadilan mengenai gugatan class action.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ujang. Gugatan Perwakilan Kelompok Dan Hak Gugat Organisasi
Dalam Kaitannya Dengan Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara,
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII Nomor 254 (Januari
2007): 49-62.
Barkatullah, Abdul Halim. Hukum Perlindunan Konsumen, Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikirian, Banjarmasin : Nusa Media, 2008.
Daniel, Bony. Legal Standing Perkembangan Dalam Hukum Acara Perdata,
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXI Nomor 248 (Juli 2006):
4773.
Dani, AA. Himpunan Peraturan Tentang Class Action. Cet. I, Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2004.

111
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ujang. Gugatan Perwakilan Kelompok Dan Hak Gugat Organisasi
Dalam Kaitannya Dengan Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara,
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII Nomor 254 (Januari
2007): 49-62.
Barkatullah, Abdul Halim. Hukum Perlindunan Konsumen, Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikirian, Banjarmasin : Nusa Media, 2008.
Daniel, Bony. Legal Standing Perkembangan Dalam Hukum Acara Perdata,
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXI Nomor 248 (Juli 2006):
4773.
Dani, AA. Himpunan Peraturan Tentang Class Action. Cet. I, Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Ginting, Jamin. Eksistensi Wakil Kelompok Dalam Gugatan Class Action Di
Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 Nomor 3 Tahun 2003 : 84 90.
Harahap, Krisna. Hukum Acara Perdata. Class Action, Arbitrase & Alternatif
Serta Mediasi. Cet. V, Bandung : PT. Grafitri, 2007.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Cet. I. Jakarta : Sinar
Grafika, 2004.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Cet. I.
Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan
Indonesia. Cet. II Edisi Revisi. Jakarta : Djambatan, 2002.
Nugroho, Susanti Adi. Proses Penyelesaian Senhketa Konsumen Ditinjau Dari
Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Cet. I. Jakarta : Kencana
Predana Media Group, 2008, hal. 287.
Pieris, John dan Wieik Sri Widiarty. Negara Hukum Dan Perlindungan
Konsumen Terhadap Produk Pangan Kedaluarsa. Cet. I. Jakarta :
Cendikia, 2007.
Rhiti, Hyronimus. Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. Ed I. Cet.I.
Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2006.

1
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Samsul, Inosentius. Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan


Tanggung Jawab Mutlak. Cet.I. Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Santosa, Mas Ahmad. Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok
(Class Action), Jakarta : ICEL, 1997
Santosa, Mas Ahmad. Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Enviromental Legal
Standing), Jakarta : ICEL, 1997
Santosa, Mas Ahmad. et al. Pedoman Penggunaan Class Action (Class Action).
Cet. I, Jakarta : ICEL, 1999
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen. Cet. III Edisi Revisi II. Jakarta :
Grasindo, 2006.
Shofie, Yusuf. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori & Praktek Penegakan Hukum.
Cet. I. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia. Cet. I. Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti, 2006
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung
Jawab Produk). Cet. I. Jakarta : Panta Rei, 2005.
Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan. Jakarta : Pancuran Alam, 2006.
Silalahi, Daud. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia. Ed III. Cet. I. Bandung : PT. Alumni, 2001.
Soepramono, R. Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Cet. II, Jakarta :
Mandar Maju, 2005.
Sundari, E. Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan
dan Penerapannya di Indonesia Jogjakarta: Universitas Atma Jaya, 2002.
Soesilo, R. RIB/HIR Dengan Penjelasannya, Bogor : Peliteia, 1989, ps.118.
Sutiyoso, Bambang. Penyelesaian Sengketa Bisnis. Cet. I. Yogjakarta : Citra
Media, 2006.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase Seri Hukum Bisnis. Cet.
III. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

2
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Widjaja, Gunawan. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta : PT. Raja Grafindo


Persada, 2005.
Yuntho, Emerson. Class Action Sebuah Pengantar. (Makalah Disampaikan pada
Kursus HAM untuk Pengacara X, Jakarta.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor 23
Tahun 1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun
1999, LN Nomor 42 Tahun 1999, TLN Nomor 3821
Indonesia, Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi, Nomor 18 Tahun 1999, LN
Nomor 54 Tahun 1999, TLN Nomor 3833
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kehutanan, Nomor 41 Tahun 1999, LN
No.167 Tahun 1999, TLN Nomor 3888
Indonesia, Undang-Undang Tentang perkeretaapian, Nomor 23 Tahun 2007, LN
Nomor 65 Tahun 2007, TLN Nomor 4722.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Nomor 4 Tahun
2004, LN Nomor 8 Tahun 2004, TLN No.4358
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Pengawasan Partai Politik Oleh
Mahkamah Agung, Nomor 2 Tahun 1999
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok, Nomor 1 Tahun 2002

3
Penggunaan gugatan..., Simalongo, Miliater, FHUI, 2009

Вам также может понравиться