Вы находитесь на странице: 1из 10

Teknik Budidaya Benih Udang Vannamei Secara Intensive

Abstrak
Perkembangan budidaya udang vannamei, di tambak dari tahun ketahun mengalami
perkembangan yang sangat pesat, terutama perkembangan benih vannamei yang berkualitas.
Untuk mendapatkan benih udang vannamei yang berkualitas harus memperhatikan dan
menerapkan sistim pengelolaan induk, pengelolaan kualitas air, pemberian pakan, ablasi
mata, pemijahan, pemanenan nauplius, penebaran nauplius, pemeliharaan larva, pemberian
pakan, pengelolaan kualitas air, dan kultur pakan alami, dan proses pemanenan yang sesuai
dengan teori dan kondisi lapangan. Sistim tersebut, dilakukan karena benih atau benur
merupakan ujung tombak dari keberhasilan pembenihan dan pembesaran udang
vannamei.Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan tentang Pembenihan Udang
Vannamei Litopenaeus vannamei pada sistim pengelolaan induk, pengelolaan kualitas air,
pemberian pakan, ablasi mata, pemijahan, pemanenan nauplius, penebaran nauplius,
pemeliharaan larva, pemberian pakan, pengelolaan kualitas air, dan kultur pakan alami, dan
proses pemanenan. Metode ablasi mata digunakan untuk merangsang perkembangan gonad
induk udang vannamei. Metode ablasi mata adalah memotong salah satu tangkai mata pada
induk udang vannamei. Pemberian pakan induk udang vannamei, berupa pakan segar (tiram
dan cacing laut) untuk merangsang perkembangan gonad. Dosis pemberian pakan segar 30%
per hari dari biomas udang. Pengelolaan kualitas air yang dilakukan dengan sistem flow
trough sebanyak 200 % perhari. Pemijahan dilakukan dengan menggunakan metode bak
maturasi terpisah untuk memudahkan dalam pengontrolan induk yang mating/kawin dan
dapat menunjukkan hasil yang baik dengan tingkat persentase induk yang mating 27 %
sampai dengan 34,9 % dari sampling induk yang matang gonad, serta hasil produksi nauplius
menunjukkan angka cukup tinggi walaupun angka yang mating/kawin masih kurang.

I. PENDAHULUAN
Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) masuk ke Indonesia pada tahun 2001 dan
secara resmi pemerintah menetapkan udang vannamei sebagai varietas unggulan melalui SK
Menteri KP No. 41/2001, dengan syarat induk udang vannamei yang digunakan adalah induk
yang bebas dari spesifik pathogen free (SPF) dan spesifik pathogen resistens (SPR).
Selanjutnya Oktiandi, (2009) menyatakan bahwa keunggulan udang vannamei adalah
resistensinya terhadap beberapa penyakit yang biasa menyerang udang, seperti WSSV
(White Spote Syndrome Virus), TSV (Taura Syndrome Virus) dan IHHNV (Infectious
Hypodermal and Hematopoietie Necrosis Virus). Dengan demikian induk udang vannamei
dikembangkan oleh hatchery sampai sekarang untuk menghasilkan benur yang berkualitas.
Untuk mempertahankan kualitas induk udang vannamei di pembenihan sedikitnya ada
beberapa komponen yang mempengaruhi produksi diantaranya pemilihan induk, kualitas air,
penanganan penyakit, pakan dan penerapan bio scurity di setiap pintu masuk, sebelum dan
sesudah masuk ruangan.
Pemeliharaan larva juga sangat penting dalam menentukan produksi benur. Kegiatan
pemeliharaan larva dimulai dari stadia naupli sampai post larva (PL) 12 yang dikenal dengan
benih atau benur. Termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan seperti persiapan bak, penebaran

nauplius, penyediaan dan pemberian pakan, pengelolaan kualitas air, pengendalian penyakit
dan proses pemanenan (Wibowo, 2009).
Komponen produksi tersebut saling terkait dan menentukan kualitas benur atau benih
yang dihasilkan. Pada akhirnya akan menentukan keberhasilan dan optimasi panen dalam
kegiataan pembesaran. Kegiatan pembenihan udang Vannamei meliputi pengelolaan induk,
perawatan telur, pengelolaan kualitas air, pemberian pakan, ablasi mata, pemijahan,
pemanenan nauplius, penebaran nauplius, pemeliharaan larva pemberian pakan, pengelolaan
kualitas air, dan kultur pakan alami, dan proses pemanenan yang sesuai dengan teori dan
kondisi lapangan. Utama dalam pembenihan udang vannamei adalah memproduksi benur
yang berkualitas, yang dapat mengatasi permasalahan dalam penyediaan benur untuk
kegiatan budidaya udang di tambak.
Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan Pembenihan Udang Vannamei Litopenaeus
vannamei pada sistim pengelolaan induk, pengelolaan kualitas air, pemberian pakan, ablasi
mata, pemijahan, pemanenan nauplius, penebaran nauplius, pemeliharaan larva, pemberian
pakan, pengelolaan kualitas air, dan kultur pakan alami, dan proses pemanenan. Hasil
penelitian diharapkan dapat memberikan penjelasan menegenai pembenihan Udang
Vannamei pada sistim pengelolaan induk, pengelolaan kualitas air, pemberian pakan, ablasi
mata, pemijahan, pemanenan nauplius, penebaran nauplius, pemeliharaan larva, pemberian
pakan, pengelolaan kualitas air, dan kultur pakan alami, dan proses pemanenan.

II. METODE PEMILIHARAAN


II.1 Persiapan Wadah dan Air Media
Bak induk berukuran 8 x 4x 1,2 m yang dilapisi dengan cat U-poxy berwarna biru
muda dan dilengkapi dengan pipa saluran udara (instalasi aerasi), instalasi air laut, dan
saluran pengeluaran yang dilengkapi saringan sirkulasi dan pipa goyang. Adapun sistem
aerasi pada bak pemeliharaan induk menggunakan aerasi gantung dengan jarak antara
titik 1m dan jarak dari dasar bak adalah 15 cm agar sisa pakan dan kotoran teraduk
sehingga lumut tidak mudah tumbuh dan menempel pada dinding dan dasar bak.
Pencucian bak dilakukan dengan menggunakan kaporit 60% sebanyak 100 ppm yang
dicampur dengan diterjen 5 ppm dan dilarutkan dengan air tawar pada wadah berupa
ember kemudian dinding dan dasar bak digosokgosok dengan menggunakan scoring pad
dan dibilas dengan air tawar hingga bersih, kemudian dilakukan pengeringan selama 2
hari. Pencucian dan pengeringan bak ini bertujuan untuk menghilangkan dan mematikan
mikroorganisme pembawa penyakit.
Pengisian air laut ke dalam bak induk dilakukan dengan menggunakan filter bag. Air
laut langsung di transfer dari tandon yang sebelumnya telah dilakukan penyaringan
dengan menggunakan filter fisik dan disinari UV dan ditampung pada bak tandon yang
ditutup rapat serta dilakukan pemompaan ke tower yang dilengkapi UV pula.

II.2 Penebaran Induk


Induk vannamei yang digunakan adalah darihasil budidaya (domestika) yang telah
dikembangkan dan mengikuti kaidah pemuliaan dan terpantau. (SNI induk udang
vannamei, 2006 dalam Oktiandi, 2009). Sebelum induk vannamei dimasukkan ke dalam
bak maturasi terlebih dahulu dilakukan seleksi induk. Adapun syarat kuantitatif induk
udang vannamei yang baik yaitu umur minimal 12 bulan, panjang tubuh total induk
betina minimal 18 cm dan jantan 17 cm sedangkan berat tubuh induk betina minimal 40 g
dan jantan 35 g, periode peneluran setelah ablasi maksimal 6 bulan dan produksi nauplius
minimal 100.000 ekor/individu. (Anonymous, 2006).
Selanjutnya menurut Oktiandi, (2009) mengatakan organ produksi induk udang
vannamei dalam kondisi baik dan terbukti bebas virus WSSV (White Spote Syndrome
Virus), TSV (Taura Syndrome Virus) dan IHHNV (Infectious Hypodermal and
Hematopoietie Necrosis Virus) agar diketahui maka dilakukan uji dengan PCR
(Polymerase Chain Reaction). Apabila ditemukan penyakit atau pathogen yang dapat
disembuhkan, maka induk harus diberi perlakuan pengobatan dengan cara dan bahan
yang direkomendasikan, sedangkan apabila ditemukan penyakit atau pathogen yang tidak
dapat disembuhkan maka induk udang harus dimusnahkan. Persyaratan dimaksud dapat
dilihat pada tabel.1
Tabel 1. Persyaratan Kualitatif
Indikator
Warna
Bentuk Tubuh
Kesehatan

Penjelasan
Punggung bening kecoklatan, transparan, uropoda
transparan
Anggota tubuh lengkap, punggung tidak patah/retak
Tubuh tidak ditempeli parasit, tidak ada bercak hitam,
tidak berlumut, tidak ada luka, insang bersih, tidak
bengkak, lendir tidak berlebihan

Kekenyalan Tubuh

Tidak lembek, tidak keropos

Gerakan

Aktif normal, kaki, ekor membuka di dalam air

II.3 Pengelolaan kualitas air


Pengelolaan kualitas air pada pemeliharaan induk dilakukan dengan cara pergantian
air sistem flow trough yakni sebanyak 200 % dalam empat kali sehari dengan pergantian
air masing masing 50 % yaitu pukul 06.00, 12.00, 17.00, dan 21.00 WIB, jumlah ini
bisa lebih apabila kondisi air dalam bak pemeliharaan induk jelek.
Mekanisme perawatan air dan bak pemeliharaan berlangsung sebagai berikut. Pipa
goyang dibuka untuk mempercepat pergantian air, agar kotoran atau feses serta pakan
yang tersisa jelas dan tidak tersuspensi ketika disiphon maka aerasi dimatikan. Setelah
dasar bak kembali terlihat bersih maka penyiponan diberhentikan, kotoran berukuran
besar diserok dan aerasi dihidupkan kembali, jika kotoran cukup banyak yang melekat
dan sulit dihilangkan maka digosok menggunakan scoring pad dan pisau dengan cara

turun langsung ke dalam bak pemeliharaan induk dan penggosokan tidak boleh terlalu
lama, karena untuk mencegah stress. Peralatan yang telah digunakan kemudian dicuci
dengan larutan kaporit.
II.4 Pengelolaan pakan
Pakan yang diberikan adalah pakan yang mengandung nutrisi yang baik untuk
perkembangan gonad udang vannamei. Pakan segar yang dapat memacu perkembangan
gonad udang vannamei adalah cacing laut (Nereis sp) atau cacing tanah (Lumbricus sp.),
juga diberikan tiram/kerang-kerangan dengan jumlah untuk cacing 9 % dan kerangkerangan 16 % dari total biomas per hari (Subaidah et. al., 2009). Jenis pakan yang
diberikan berupa pakan segar yaitu tiram (gambar 1a) dan cacing laut (gambar 1b).
Pemberian pakan dilakukan 4 kali dalam sehari, yaitu jam 06.00, jam 12.00, jam 17.00,
dan jam 21.00 WIB. Agar pakan tetap segar maka pakan harus disimpan dalam freezer.
Pakan yang beku dicairkan dulu beberapa jam sebelum pakan diberikan. Pakan yang
diberikan sebanyak 30 % dari biomass udang vannamei. Pemberian vitamin juga dapat
mempercepat pertumbuhan induk udang vannamei. Untuk lebih jelasnya jenis pakan yang
diberikan dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2 adalah sebagai berikut :

Gambar 1. a) Tiram, dan b) Cacing laut


Tabel 2. Jenis, dosis dan waktu pemberian pakan
Jenis pakan
Tiram
Cacing Laut

Dosis (%) dan waktu pemberian pakan buatan


06.00
12.00
17.00
21.00
25 %
25 %
25 %
25 %

Jumlah
dosis (%)
50 %
50 %

Pada data tabel 2 diatas terlihat bahwa pemberian tiram dan cacing laut mempunyai
kandungan protein yang tinggi sehingga menjadikan daya tahan tubuh induk udang
vannamei terhadap penyakit meningkat dan mempercepat perkembangan gonad.
Selanjutnya menurut Kokarkin, et. al. (1986) dalam Jabarullah, (2007), bahwa pakan
yang banyak mengandung protein hewani diperkirakan cukup mengandung vitamin
sehingga dapat menjaga daya tahan tubuh terhadap penyakit dan cacing mempunyai
kandungan yang tinggi. Cara penghitungan pemberian pakan dalam satu hari digunakan
rumus:

Pakan = Udang x BB x 30 %.

II.5 Ablasi
Ablasi merupakan salah satu cara untuk mempercepat perkembangan gonad pada
induk betina udang vannamei dengan cara memotong salah satu tangkai matanya.
Hormone pengontrol reproduksi atau organ X pada udang vannamei terletak pada tangkai
mata, sehingga untuk mendorong berkembangnya ovary maka hormone penghambat
(Gonadropin Inhibiting Hormone) yang terletak di organ X harus dihilangkan dengan cara
ablasi salah satu tangkai mata, karena dengan ablasi diharapkan GSH (Gonadropin
Stimulating Hormone) segera terjadi sehingga dapat merangsang perkembangan ovary
induk udang. Hal ini senada dengan Kokarkin, et. al. (1986) dalam Suprianto (2008),
berpendapat bahwa ablasi pada prinsipnya adalah menghilangkan fungsi kelenjar sinus
dan organ X yang ada pada mata. Kelenjar tersebut berfungsi menghasilkan hormone
Gonadropin Inhibiting Hormone (GIH). Fungsi dari GIH dapat secara langsung
menghambat perkembangan ovary pada induk betina.
Teknik ablasi yang dilakukan adalah dengan cara memotong salah satu tangkai mata
dengan penjepit panas. Adapun teknik ablasi mata adalah dengan cara induk betina yang
akan diablasi di tangkap menggunakan seser, kemudian satu persatu dilakukan ablasi
dengan posisi induk dipegang dengan tangan kiri, kemudian lengkungkan badan udang
dengan ibu jari di atas carapace, dan ketiga jari lainnya memegang perut dan kaki,
sedangkan jari kelingking dibagian ekor dalam keadaan melengkung. Karet yang ada di
lengan tangan kiri menarik salah satu tangkai mata induk udang sampai bola matanya
keluar, kemudian salah satu tangkai matanya digunting yang dipanaskan. Setelah ablasi,
induk betina tersebut di letakkan pada tempatnya. Setelah 4-7 hari pasca ablasi induk
udang vannamei akan matang gonad, kemudian dilakukan sampling matang gonad untuk
dikawinkan. Untuk lebih jelasnya teknik ablasi mata dapat dilihat pada gambar 3 sebagai
berikut :

Gambar 3. Teknik ablasi mata


Sampling kematangan gonad Sampling kematangan gonad dilakukan dua kali dalam
sehari semalam yaitu pada siang hari dan sore hari jam 12.00 dan 17.00 WIB dengan
menggunakan seser. Induk betina yang sudah matang gonad ditandai dengan
perkembangan ovary yang nampak tebal di bagian dorsal (punggung) sampai kepala,

melebar dari ruas abdomen dengan warna orange, sedangkan pada induk jantan
kematangan gonad terlihat jelas pada kantong sperma (spermatophore) yang berwarna
putih terisi sperma.Untuk lebih jelasnya induk jantan dan betina yang matang gonad dapat
dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. a) Induk Jantan, dan b) Induk Betina


II.6 Perkawinan
Bak pematang, antara bak induk betina dengan bak induk jantan dipisah bertujuan
untuk memudahkan perkawinan terkontrol. Induk betina yang matang gonad dipindah ke
bak pematang induk jantan yang sudah matang gonad pada siang hari dan sore hari yaitu
pada jam 12.00 dan 17.00 WIB untuk dikawinkan, setelah kawin induk betina dipindah
ke bak penetasan pada jam 21.00 WIB dengan ditandai induk betina pada permukaan
telycum yang ditempeli sperma secara sempurna dan utuh dengan berbentuk V. Apabila
penempelan kurang sempurna dan tidak utuh dinyatakan kurang matangnya induk betina
atau rusaknya kantung sperma yang disebabkan kerasnya sentakan udang pada saat
diambil atau dipegang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 6 .

(a)

(b)

Gambar 6. a) sperma yang menempel pada kaki renang,


b) sperma yang menempel pada telycum.
Perkawinan terjadi pada setiap waktu karena kondisi gelap yang menyerupai malam
hari. Proses perkawinan dimulai dengan berenangnya induk betina yang kemudian diikuti
salah satu atau beberapa induk jantan. Induk jantan mengikuti induk betina dikarenakan

pada saat itu induk betina mengeluarkan feromone. Hal ini senada dengan Wyban and
Sweeney, (1991) dalam Subaidah, et. al. (2006), bahwa pada saat induk betina yang
matang gonad akan mengeluarkan feromene sehingga menarik induk jantan akan
berenang sejajar di bawah induk betina. Dengan feromene inilah induk jantan terangsang
mengikuti induk betina dan mating serta sperma yang dikeluarkan/ditempeli pada
telycum bagian luar, sehingga 1-2 jam kemudian udang betina akan segera mengeluarkan
telur dan terjadi pembuahan. (Wyban and Sweeney, 1991 dalam Oktiandi, 2009).
II.7 Peneluran dan penetasan telur
Derajat pembuahan dan penetasan sangat ditentukan oleh kualitas sperma dan
kemampuan penempelan pada telycum serta media penetasan dengan temperatur 31 0C.
Telur menetas dalam jangka waktu 16-18 jam dan dipanen ke esokan harinya, hal ini
sesuai dengan pendapat Oktiandi, (2009). Kepadatan induk yang matang gonad pada saat
peneluran berkisar 4-5 ekor/m2 dari kapasitas bak peneluran 3 x 4 x 1,25 m.
Bak peneluran sekaligus bak penetasan telur diisi air laut sebanyak 10 ton melalui
saringan filter bag ukuran 10 mikron, lalu ditraitmen dengan EDTA sebanyak 5 ppm
kemudian diaerasi. Induk yang mating/kawin dipindah ke bak peneluran/penetasan telur
pada malam hari jam 21.00 WIB, 10-12 jam kemudian induk akan melepaskan telurnya,
dan ke esokan harinya induk diangkat dan dikembalikan ke bak pematangnya pada jam
06.00 pagi hari, kemudian aerasi dinyalakan dan heacter (pemanas) dinyalakan hingga
suhu mencapai 310C.
II.8 Pemanenan nauplius
Pemanenan nauplius dilakukan pada sore hari dengan menyeser naupli yang
berkumpul di dalam waring. Adapun mekanisme pemanenan ialah waring disambung
pada pompa pengeluaran air yang ditempatkan disamping bak penetasan telur yang telah
diisi air laut sebanyak 3 ton dari kapasitas volume 8 ton, kemudian pipa pengeluaran pada
bak penetasan dibuka, sehingga naupli akan berkumpul di waring, apabila jumlah naupli
di waring padat maka di seser pelan-pelan kemudian di tampung dalam ember 30 liter
yang berisi air laut bersih, kemudian di aerasi) dan pemanenan nauplius dilakukan pada
sore hari.
II.9 Pengamatan nauplius
Sampel naupli diambil dengan beaker glass volume 10 ml di dalam ember plastik
volume 30 liter, kemudian dituang ke dalam petri dish bergaris yang ditambah dengan air
tawar supaya naupli tidak terlalu bergerak/mati serta dialasi kertas berwarna hitam agar
lebih jelas, kemudian dilakukan perhitungan. Jumlah naupli (tabel 3.5) yang ada didalam
wadah tersebut di hitung dengan alat Bantu Hand Counter.

II.10 Pemeliharaan Larva


Persiapan bak
Bak pemeliharaan larva udang vannamei dilapisi dengan cat U-Poxy
berwarna hijau kebiruan dan dilengkapi dengan pipa saluran udara (instalasi
aerasi), instalasi air laut, dan saluran pengeluaran yang dilengkapi saringan
sirkulasi dan pipa goyang sesuai dengan pendapat (Wibowo, 2009). Bak dengan
bentuk bulat dengan ukuran 4,25 x 1,15 m yang memudahkan dalam
pengelolaan dan bagus bagi larva karena tidak ada titik matinya.
Bak pemeliharaan larva ditutup dengan terpal plastik trasparan tembus
cahaya supaya suhu tetap stabil selama proses pemeliharaan larva. Hal ini sesuai
dengan Ditjenkan (1991) dalam Jabarullah (2007), yang menyatakan untuk
mengatasi penurunan suhu air pada malam haribak larva perlu diberi penutup dari
terpal plastik. Adapun sistem aerasi pada bak pemeliharaan larva menggunakan
aerasi gantung dengan jarak antar titik 40 cm dan jarak dari dasar bak adalah 5
cm agar sisa pakan dan kotoran teraduk sehingga lumut tidak mudah tumbuh dan
menempel pada dinding dan dasar bak.
Bak yang telah selesai digunakan dalam proses pemeliharan larva dicuci
dengan menggunkan deterjen, seluruh permukaan dinding dan dasar bak di
gosok-gosok dengan menggunakan scoring pad atau spon bertujuan untuk
menghilangkan kotoran atau lumut yang menempel di bak, kemudian dibilas
dengan air tawar sampai bersih setelah itu disiram dengan larutan kaporit 25 ppm
keseluruh permukaan bak dan biarkan hingga kering selama 2-3 hari dan bila
kotoran atau lumut terlalu tebal, maka disiram dengan larutan kaporit dengan
dosis 50 ppm. Apabila bak akan digunakan maka bak dan perlengkapan lainnya
dicuci dengan deterjen, kemudian bak diisi air laut sebanyak 8 ton dari total
volume bak 9 ton dengan menggunakan filter bag kemudian aerasi dihidupkan
dan air ditreatmen dengan treflan 0,5 ppm.
Penebaran Nauplius
Penebaran nauplius ke bak pemeliharaan larva dilakukan dengan hati-hati
dan tidak langsung dimasukkan, tetapi melalui proses aklimatisasi atau
penyesuain diri terhadap lingkungan dengan tujuan untuk menghindari perubahan
temperatur air yang drastis pada bak pemeliharaan larva. Hal ini senada dengan
Wibowo (2009), yang menyatakan bahwa aklimatisasi bertujuan untuk
menyesuaikan naupli dengan perubahan kondisi lingkungan air di bak
pemeliharaan larva.
Proses aklimatisasi dilakukan dengan cara baskom/ember yang sudah terisi
naupli diapungkan di dalam bak pemeliharaan sambil memasukkan air laut

sedikit demi sedikit sampai penuh dengan menggunakan selang kecil dan biarkan
naupli keluar dengan sendirinya yang ditandai dengan mengumpulya naupli
kepermukaan air kemudian secara perlahan-lahan dituangkan dalam bak
pemeliharaan agar tidak setres. Selesai penebaran, maka bak pemeliharaan
ditutup dengan terpal plastic berwarna putih trasparan agar suhu tetap stabil.
Naupli yang ditebar adalah naupli muda (N3-4), hal ini bertujuan agar
menekan ganguan proses metamorfosis sekecil mungkin dari stadia naupli ke
stadia protozoea 1, karena pada proses pemeliharaan larva udang putih vannamei
sering dikenal dengan istilah zoea syndrome atau zoea lemah. Dimana pada fase
ini larva kelihatan lemah dan tubuh kotor yang dapat menyebabkan kematian
hingga 90% (Elovaara, 2001) dalam (Wibowo, 2009). Hal ini berbeda dengan
Wyban (1991) dalam Wibowo (2009) yang menyatakan naupli yang baik untuk
dilakukan pemanenan adalah N5-6. Pada stadia ini belum diberi pakan tambahan
karena mulut larva muda ini belum berkembang dan makanan masih tergantung
pada kuning telur. Pada keesokan harinya baru dimulai diberikan Chaetoceros sp.

III. KESIMPULAN
Perkembangan budidaya udang vannamei, di tambak dari tahun ketahun mengalami
perkembangan yang sangat pesat, terutama perkembangan benih vannamei yang berkualitas.
Untuk mendapatkan benih udang vannamei yang berkualitas harus memperhatikan dan
menerapkan sistim pengelolaan induk, pengelolaan kualitas air, pemberian pakan, ablasi
mata, pemijahan, pemanenan nauplius, penebaran nauplius, pemeliharaan larva, pemberian
pakan, pengelolaan kualitas air, dan kultur pakan alami, dan proses pemanenan yang sesuai
dengan teori dan kondisi lapangan.
Sistim tersebut, dilakukan karena benih atau benur merupakan ujung tombak dari
keberhasilan pembenihan dan pembesaran udang vannamei. Metode ablasi mata digunakan
untuk merangsang perkembangan gonad induk udang vannamei. Metode ablasi mata adalah
memotong salah satu tangkai mata pada induk udang vannamei. Pemberian pakan induk
udang vannamei, berupa pakan segar (tiram dan cacing laut) untuk merangsang
perkembangan gonad. Dosis pemberian pakan segar 30% per hari dari biomas udang.
Pengelolaan kualitas air yang dilakukan dengan sistem flow trough sebanyak 200 % perhari.
Pemijahan dilakukan dengan menggunakan metode bak maturasi terpisah untuk
memudahkan dalam pengontrolan induk yang mating/kawin dan dapat menunjukkan hasil
yang baik dengan tingkat persentase induk yang mating 27 % sampai dengan 34,9 % dari
sampling induk yang matang gonad, serta hasil produksi nauplius menunjukkan angka cukup
tinggi walaupun angka yang mating/kawin masih kurang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2006. SNI (Standar Nasional Indonesia) Udang Vannamei. Balai Budidaya
Air Payau (BBAP) Situbondo.
Anonymous. 2009. Teknik Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei).
Direktorat Jenderal Kelautan dan Perikanan. Pelatihan Pembenihan dan
Pembesaran Udang Politeknik Pertanian Negeri Pangkep di BBAP
Situbondo.
Haliman, R.W & D. Adijaya, S. 2006. Udang Vannamei. Seri Agribisnis. Pembudidayaan
dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Isnansetyo, Alim dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.
Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius.
Jabarullah. 2007. Kajian Teknik Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
Florida Hawai di BBAP Situbondo. Laporan Integrasi Sekolah Tinggi
Perikanan Jakarta.
Oktiandi, D. 2009. SNI Perbenihan Perikanan (Pengelolaan Induk Udang). Pelatihan
MPMCPIB untuk Pembenihan Udang di BBAP Situbondo.
Sahidir, I. 2005. Teknik Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Balai
Budidaya Air Payau Situbondo. Laporan Praktek Kerja Lapangan. Fakultas
Perikanan dan Kelautan, Universitas Diponegora. Semarang.
Subaidah. 2006. Teknik Pemeliharaan Larva Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei).
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya BBAP Situbondo.
Suprianto. 2008. Teknik Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di
Instalasi Pembenihan Udang Gelung Situbondo. Tugas Akhir. Jurusan
Budidaya Perikanan, Politeknik Pertanian Negeri Pangkajene dan
Kepulauan, Pangkep.
Wibowo, H. 2009. SNI Perbenihan Perikanan (Produksi Benih Udang). Pelatihan
MPMCPIB untuk Pembenihan Udang di BBAP Situbondo

Вам также может понравиться