Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
SKRIPSI
MINDO MORA
050803071
DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Mindo Mora : Analisis Sensitivitas Pengaruhnya Terhadap Urutan Prioritas Dalam Metode Analytic Hierarchy Process (AHP), 2009.
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
MINDO MORA
050803071
DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
PERSETUJUAN
Judul
Kategori
Nama
Nomor Induk Mahasiswa
Program Studi
Deparetemen
Fakultas
Komisi Pembimbing
Pembimbing 2
Pembimbing I
Diketahui/Disetujui oleh
Departemen Matematika FMIPA USU
Ketua.
PERNYATAAN
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan
dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
MINDO MORA
050803071
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia
Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini dalam waktu yang telah
ditetapkan.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing penulis dalam
penyusunan skripsi ini, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada :
1. Bapak Drs. Marwan Harahap, M.Eng. selaku pembimbing I dan Prof. DR.
Iryanto, M.Si. selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan
dan pengarahan kepada saya sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan.
2. Bapak Drs. Suwarno Ariswoyo, M.Si. dan Drs. Djakaria Sebayang selaku
dosen penguji.
3. Bapak Dr. Saib Suwilo, M.Sc. dan Drs. Henri Rani Sitepu, M.Si. selaku
Ketua dan Sekretaris Departemen Matematika.
4. Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Sumatera Utara.
5. Semua dosen pada Departemen Matematika FMIPA USU, pegawai di
FMIPA USU.
6. Seluruh teman teman kuliah dan junior Matematika khususnya stambuk
2005 dan juga teman saya Irpan Apandi, Muhammad Huda Firdaus, Kiki
Winarti, Fitriyanti dan Muhammad Amin yang telah memberikan
semangat, dorongan dan saran dalam pengerjaan skripsi ini.
7. Ayahanda Komis Siregar, Ibunda Nur Cahaya Hasibuan dan semua ahli
keluarga yang selama ini memberikan bantuan dan dorongan yang
diperlukan.
Semoga segala bentuk bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan
balasan yang lebih baik dari Allah SWT.
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
Halaman
Persetujuan
Pernyataan
Penghargaan
Abstrak
Abstract
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
ii
iii
iv
v
vi
vii
ix
x
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tinjauan Pustaka
1.4 Tujuan Penelitian
1.5 Kontribusi Penelitian
1.6 Metodologi Penelitian
1
1
3
3
6
6
7
8
8
10
12
16
21
23
28
29
29
31
33
35
37
40
40
40
41
41
43
46
48
52
52
55
10
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
Tabel 2.2.
Tabel 2.3.
Tabel 2.4
Tabel 2.5
Tabel 2.6
Tabel 2.7
Tabel 2.8
Tabel 2.9
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Halaman
13
14
23
24
25
25
26
26
27
29
30
30
32
32
32
33
34
34
35
36
36
37
38
11
diminta Sekolah yang dinormalkan
Tabel 3.16 Matriks Faktor Evaluasi Total
Tabel 3.17 Prioritas Global Pemilihan Sekolah Terbaik
38
40
41
DAFTAR GAMBAR
Halaman
8
10
BAB 1
PENDAHULUAN
Untuk pertama kali metode AHP diperkenalkan oleh Thomas L Saaty pada
periode 1971 1975 ketika di Warston School. Pengembangannnya mendasarkan pada
kemampuan judgment manusia untuk mengkontruksi persepsi secara hirarkis dari
sebuah persoalan keputusan multikriteria. Struktur yang hirarkis ini merepresentasikan
tipe hubungan ketergantungan fungsional yang paling sederhana dan berurutan sehingga
mempermudah mendekomposisikan persoalan multikriteria yang kompleks menjadi
elemen elemen keputusannya. Hirarki bersifat linear dan distrukturkan mulai dari
elemen keputusan yang bersifat umum (misalnya goals, objektif, kriteria dan subkriteria)
sampai ke variabel atau faktor yang paling konkrit dan mudah terkontrol pada level
hirarki terbawah yaitu alternatif keputusan.
Dalam suatu hirarki yang lengkap, setiap elemen keputusan dihubungkan dengan
elemen lain pada level yang lebih atas atau level yang dibawahnya. Pada level hirarki
pertama adalah objektif (goal) keputusan yang ingin dicapai. Elemen keputusan pada
hirarki di level kedua adalah sejumlah atribut atau kriteria untuk evaluasi preferensi
keputusan. Pada level ini kita membuat judgment perbandingan preferensi mana
yang lebih besar tingkat kepentingannya antara kriteria yang satu dengan yang lain untuk
mencapai goal yang sudah ditetapkan. Skala perbandingan judgment
yang
Dengan latar belakang inilah penulis memilih judul Analisis Sensitivitas dan
Pengaruhnya Terhadap Urutan Prioritas Dalam Metode Analytic Hierarchy Process
(AHP).
Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah menganalisis perubahan bobot
prioritas kriteria keputusan dan pengaruhnya terhadap urutan prioritas
Udisubakti Ciptomulyono dan DOU Henry [1] menggunakan model Fuzzy Goal
Programming untuk menetapkan pembobotan prioritas dalam metode Analytic Hierarchy
Process (AHP). Penggunaan pendekatan fuzzy goal programming sebagai alternatif
estimasi pembobotan prioritas dari metode AHP yang lazimnya dipakai, seperti metode
eigenvector atau metode lain. Model ini mengambil asumsi dan memperhatikan aspek
fuzzy yang hanya pada penetapan level aspirasi toleransi pencapain goal, bukan pada
penentuan prioritas fungsi goal nya.
dan
Siti Latifah [5] menjelaskan tentang keputusan dan prinsip prinsipnya yang
terdiri dari : Decomposition, Comporative judgment, Synthesis of Priority, Local
Consistency
dan
Pembatasan
Supiyono, Wisnu Arya Wardhana dan Sudaryo [8] menggunakan AHP dalam
sistem pemilihan Pejabat Struktural. Hasil simulasi menunjukkan bahwa untuk pemilihan
calon pejabat struktural Kepala Sub bagian Perlengkapan, urutannya adalah : Semar, SST
nilai 0.357741801, Srikandi, SE skor 0.342234743 dan Gareng, A.Md skor 0.342234743.
Pemilihan calon pejabat struktural Kepala Sub Bagian Persuratan dan Kepegawaian,
urutannya adalah : Gareng, A.Md skor 0.400834260, Dewi, SH skor 0.303295196 dan
Srikandi, SE skor 0.295870544. Pemilihan calon pejabat struktural
Kepala
Sub
Wayan R. Susila dan Ernawati Munadi [9] menggunakan AHP untuk penyusunan
Prioritas proposal penelitian. Dari dekomposisi masalah disusun prioritasnya, diperoleh
gambaran bahwa ada lima proposal penelitian yang akan dipilih atau disusun prioritasnya.
Ada lima kriteria yang digunakan yaitu waktu, biaya, efektivitas, kemudahan dan urgensi.
Melalui suatu analisis dengan teknik AHP, maka dapat disusun prioritas untuk kelima
proposal tersebut dengan urutan: Kajian dampak peraturan perijinan perdagangan dalam
negeri terhadap keinginan untuk melakukan bisnis di Indonesia (Perijinan); Dampak
penurunan tarif impor di sektor perikanan, kehutanan, dan produk-produk kimia (Tarif),
Kajian pengembangan pasar distribusi regional untuk produk agro (Ditribusi Regional),
Kajian minuman beralkohol asal import (Alkohol), Kajian tentang strategi yang
kompetitif dalam pemasaran hasil industri kerajinan tangan di Indonesia (Kerajinan
Tangan).
belajar
Mudrajad Koncoro [4] menguraikan tentang daya tarik investasi di DIY dengan
metode AHP. Hasil analisis menunjukkan bahwa investasi daerah untuk DIY dipengaruhi
oleh faktor non ekonominya terutama Kelembagaan (25%), kemudian Infrastruktur Fisik
(24%), Sosial Politik (23%), Ekonomi Daerah (12%), dan Tenaga Kerja (12%).
Secara umum tujuan dari penelitian ini untuk menyelesaikan promblema analisis
sensitivitas terhadap perubahan bobot prioritas kriteria keputusan serta pengaruhnya pada
urutan prioritas dalam metode AHP.
memecahkan
masalah
pembangunan
atau
pengembangan
BAB 2
LANDASAN TEORI
Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada
tahun 70 an ketika di Warston School. Metode AHP merupakan salah satu metode yang
dapat digunakan dalam sistem pengambilan keputusan dengan memperhatikan faktor
faktor persepsi, preferensi, pengalaman dan intuisi. AHP menggabungkan penilaian
penilaian dan nilai nilai pribadi ke dalam satu cara yang logis.
Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif
atas persoalan dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan
keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-bagiannya, menata
bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada
pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai
pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang memiliki prioritas paling
tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Metode AHP ini
membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarki
20
kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai pertimbangan
guna mengembangkan bobot atau prioritas. Metode ini juga menggabungkan kekuatan
dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis
berbagai pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita
secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat.
(2)
(3)
(4)
Dalam menyelesaikan persoalan dengan metode AHP ada beberapa prinsip dasar yang
harus dipahami antara lain :
1. Decomposition
Pengertian decomposition adalah memecahkan atau membagi problema yang utuh
menjadi unsur unsurnya ke bentuk hirarki proses pengambilan keputusan,
dimana setiap unsur atau elemen saling berhubungan. Untuk mendapatkan hasil
yang akurat, pemecahan dilakukan terhadap unsur unsur sampai tidak mungkin
dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari
persoalan yang hendak dipecahkan. Struktur hirarki keputusan tersebut dapat
Tingkata kedua
: Kriteria kriteria
Tingkat ketiga
: Alternatif alternatif
Tujuan
Kriteria I
Kriteria II
Kriteria III
Alternatif II
Alternatif I
Kriteria N
Alternatif M
2. Comparative Judgement
Comparative Judgement dilakukan dengan penilaian tentang kepentingan relatif
dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di
atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap
urutan prioritas dari elemen elemennya.
Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise
comparisons yaitu matriks perbandingan berpasangan memuat tingkat preferensi
beberapa alternatif untuk tiap kriteria. Skala preferensi yang digunakan yaitu skala
1 yang menunjukkkan tingkat yang paling rendah (equal importance) sampai
dengan skala 9 yang menunjukkan tingkatan yang paling tinggi (extreme
importance).
3. Synthesis of Priority
Synthesis of Priority dilakukan dengan menggunakan eigen vektor method untuk
mendapatkan bobot relatif bagi unsur unsur pengambilan keputusan.
4. Logical Consistency
Logical Consistency merupakan karakteristik penting AHP. Hal ini dicapai dengan
mengagresikan seluruh eigen vektor yang diperoleh dari berbagai tingkatan hirarki
dan selanjutnya diperoleh suatu vektor composite tertimbang yang menghasilkan
urutan pengambilan keputusan.
Setiap elemen yang terdapat dalam hirarki harus diketahui bobot relatifnya satu
sama lain. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kepentingan pihak pihak yang
berkepentingan dalam permasalahan terhadap kriteria dan struktur hirarki atau sistem
secara keseluruhan.
untuk
setiap
sub
sistem
hirarki.
Perbandingan
tersebut
kemudian
Misalkan terdapat sub sistem hirarki dengan kriteria C dan sejumlah n alternatif
dibawahnya, Ai sampai An. Perbandingan antar alternatif untuk sub sistem hirarki itu dapat
dibuat dalam bentuk matriks n x n, seperti pada tabel dibawah ini.
An
A2
A1
A1
a11
a12
a1n
A2
a21
a2 2
a2 n
Am
am1
am 2
am n
C dibandingkan
Definisi
Keterangan
Kepentingan
1
3
Sama
pentingnya
sama.
Sedikit
penting
satu
elemen
dibandingkan
dengan
pasangannya.
5
Lebih penting
sangat
nyata,
debandingkan
Sangat penting
praktis
dominasinya
dan
sangat
Mutlak
penting
lebih Satu
elemen
dibandingkan
mutlak
dengan
lebih
disukai
pasangannya,
pada
Kebalikan
kebalikannya
ketika
dibanding
elemen i
Contoh Pair Wise Comparison Matrix pada suatu level of hierarchy, yaitu :
K
K 1
L 13
A
M1 7
1
N
9
L M
9
1
4
5
1
7
1
6
6 1
4 1
5
Angka 3 bukan berarti bahwa K tiga kali lebih besar dari L, tetapi K moderat importance
dibandingkan dengan L, sebagai ilustrasi perhatikan matriks resiprokal berikut ini :
K
K1
A L7
M1
9
L M
1
7
1
1
4
4
1
K dibanding L
Untuk melengkapi pembahasan tentang eigen value dan eigen vector maka akan
diberikan definisi definisi mengenai matriks dan vector.
1.
Matriks
kompleks,
variabel variabel) yang disusun secara persegi panjang (yang terdiri dari baris dan
kolom) yang biasanya dibatasi dengan kurung siku atau biasa. Jika sebuah matriks
memiliki m baris dan n kolom maka matriks tersebut berukuran (ordo) m x n. Matriks
dikatakan bujur sangkar (square matrix) jika m = n. Dan skalar skalarnya berada di
baris ke-i dan kolom ke-j yang disebut (ij) matriks entri.
Suatu vektor dengan n dimensi merupakan suatu susunan elemen elemen yang
teratur berupa angka angka sebanyak n buah, yang disusun baik menurut baris, dari kiri
ke kanan (disebut vector baris atau Row Vektor dengan ordo 1 x n ) maupun menurut
kolom , dari atas ke bawah (disebut vector kolom atau Colomn Vector dengan ordo n x 1).
n
Himpunan semua vector dengan n komponen dengan entri riil dinotasikan dengan R .
UR
u Rn
a1
a
2
n
R
u
a n
dari A jika
Ax x
Skalar
Bersesuaian dengan . Untuk mencari eigen value dari matriks A yang berukuran
n x n maka dapat ditulis pada persamaan berikut :
Ax x
Atau secara ekivalen
(I A)x 0
Agar
menjadi eigen value, maka harus ada pemecahan tak nol dari persamaan
ini. Akan tetapi, persamaan diatas akan mempunyai pemecahan tak nol jika dan hanya
jika :
det(I A) 0
sistem tersebut.
ai j .a j atau jika ai j .a j ai k
k
dapat ditulis
menjadi :
ai j
i ;
i, j 1,2,3,...,
n
(1)
ai j .a j k
i j
.
j k
ai
(2)
k
Seperti yang di uraikan diatas, maka untuk pair-wise comparison matrix diuraikan
seperti berikut ini :
a ji
j
i
1
i
1
ai j
(3)
i, j 1,2,3,...,
n
(4)
30
ai j .i 1 n ;
i, j 1,2,3,...,
n
i j
j
j 1
(5)
i, j 1,2,3,..., n
a
j 1
i j .i j ni
(6)
(7)
matriks A dengan eigen value n. Perlu diketahui bahwa n merupakan dimensi matriks
itu sendiri. Dalam bentuk persamaan matriks dapat ditulis sebagai berikut :
1
2
A
1
n
1
2
2
2
n
1
2
n n
n n
1 2 m
ai k
(9)
ajk
Salah satu faktor penyebabnya yaitu karena unsur manusia (decision maker) tidak
31
selalu dapat konsisten mutlak (absolte consistent) dalam mengekspresikan preferensinya
terhadap elemen-elemen yang dibandingkan. Dengan kata lain, bahwa judgement yang
diberikan untuk setiap elemen persoalan pada suatu level hierarchy dapat
inconsistent.
saja
1 , 2 ,...,
n
Jika :
1). Jika
A.x x
(10)
11
A
12
A21 A2 2
maka
A21
1
A12
(12)
Ax x 0
( A I )x
0
(13)
A I 0
Kalau diuraikan lebih jauh untuk persamaan (13), hasilnya menjadi :
A11
A12
0
A21
A2 2
(14)
Dari persamaan (14) kalau diuraikan untuk mencari harga eigen value maximum
max
yaitu :
1 2 1 0
1 2 1 0
2
2 2 0
( 2) 0
1 0
2 2
Jadi untuk n > 2 , maka semua harga eigen velue-nya sama dengan nol dan hanya ada
satu eigen value yang sama dengan n (konstan dalam kondisi matriks konsisten).
2). Bila ada perubahan kecil dari elemen matriks maka
1)
i 1,2,..., n
i, j 1,2,..., n akan membuat harga eigen value yang lain mendekati nol.
Salah satu utama model AHP yang membedakannya dengan model model pengambilan
keputusan yang lainnya adalah tidak adanya syarat konsistensi mutlak. Dengan model
AHP yang memakai persepsi decision maker sebagai inputnya maka ketidakkonsistenan
mungkin terjadi karena manusia memiliki keterbatasan dalam menyatakan persepsinya
secara konsisten terutama kalau harus mambandingkan banyak kriteria. Berdasarkan
kondisi ini maka decision maker dapat menyatakan persepsinya dengan bebas tanpa ia
harus berfikir apakah persepsinya tersebut akan konsisten nantinya atau tidak.
Pengukuran konsistensi dari suatu matriks itu sendiri didasarkan atas eigenvalue
maksimum. Thomas L. Saaty telah membuktikan bahwa Indeks konsistensi dari matriks
berordo n dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut :
CI
max
n
1
CI
max
= Orde matriks
Apabila CI bernilai nol, maka matriks pair wise comparison tersebut konsisten.
Batas ketidakkonsistenan (inconsistency) yang telah ditetapkan oleh Thomas L. Saaty
ditentukan dengan menggunakan Rasio Konsistensi (CR), yaitu perbandingan indeks
konsistensi dengan nilai random indeks (RI) yang didapatkan dari suatu eksperimen oleh
Oak Ridge National Laboratory kemudian dikembangkan oleh Wharton School dan
diperlihatkan seperti tabel 2.3. Nilai ini bergantung pada ordo matriks n. Dengan
demikian, Rasio Konsistensi dapat dirumuskan sebagai berikut :
CR
CI
RI
CR
= Rasio konsistensi
RI
= Indeks Random
(16)
n
RI
0, 00 0, 00
3
0, 58
0, 90 1, 12
1, 24
1, 32
1, 41
1, 45
10
11
12
13
14
15
RI
1,49
1,51
1,48
1,56
1,57
1,59
Bila matriks pair wise comparison dengan nilai CR lebih kecil dari 0, 100 maka
ketidakkonsistenan pendapat dari decision maker masih dapat diterima jika tidak maka
penilaian perlu diulang.
Analisis sensitivitas pada AHP dapat terjadi untuk memprediksi keadaan apabila
terjadi perubahan yang cukup besar, misalnya terjadi perubahan bobot prioritas karena
adanya perubahan kebijaksanan sehingga muncul usulan pertanyaan bagaimana urutan
prioritas alternatif yang baru dan tindakan apa yang perlu dilakukan.
.
Analisa sensitivitas adalah unsur dinamis dari sebuah hirarki. Artinya penilaian yang
dilakukan pertama kali dipertahankan untuk suatu jangka waktu tertentu dan adanya
perubahan kebijaksanaan atau tindakan yang cukup dilakukan dengan analisa sensitivitas
untuk melihat efek yang terjadi.
Sebagai contoh, seorang siswa sekolah menengah pertama diterima di tiga sekolah
menengah atas. Anak tersebut akan mengalami kesulitan dalam memilih satu dari tiga
sekolah yang menerimanya sebagai siswa. Untuk membantu menemukan jalan keluar
maka masalah tersebut dapat dipecahkan dengan membuat suatu hirarki. Pada level
pertama berupa tujuan memilih sekolah terbaik dan level kedua berupa kriteria yang
terdiri dari proses belajar mengajar (PBM), lingkungan pergaulan (LK),
kehidupan
sekolah secara umum (KS), dan kualifikasi yang diminta sekolah (KUA). Pada level
ketiga berupa alternatif yang terdiri dari sekolah A, B dan C.
PBM
LP
KS
KUA
Tujuan
PBM
LP
KS
KUA
Bobot
Prioritas
PBM
LP
KS
1
2
3
2
1
1
1
2
3
2
2
2
1
2
3
3
3
x1
2
3
x2
4
x3
KUA
x4
Dimana :
x1 = bobot prioritas PBM
x3 = bobot prioritas KS
x2 = bobot prioritas LP
x4 = bobot prioritas
KUA
1
2
3
2
1
1
2
3
2
2
1
2
3
Bobot prioritas
a1
3
b1
3
c1
Dimana :
a1 = bobot prioritas alternatif A terhadap PBM
b1 = bobot prioritas alternatif B terhadap
PBM c1 = bobot prioritas alternatif C terhadap
PBM
1
2
2
1
1
2
2
2
1
2
Bobot prioritas
a2
3
b2
c2
Dimana :
a2 = bobot prioritas alternatif A terhadap LP
b2 = bobot prioritas alternatif B terhadap LP
c2 = bobot prioritas alternatif C terhadap
LP
2
3
1
1
1
2
1
2
3
Bobot prioritas
a3
3
b3
3
c3
Dimana :
a3 = bobot prioritas alternatif A terhadap KS
b3 = bobot prioritas alternatif B terhadap
KS c3 = bobot prioritas alternatif C terhadap
KS
1
2
3
2
1
1
1
2
1
2
3
Bobot prioritas
a4
3
b4
3
c4
Dimana :
a4 = bobot prioritas alternatif A terhadap KUA
b4 = bobot prioritas alternatif B terhadap KUA
c4 = bobot prioritas alternatif C terhadap
KUA
Untuk menentukan bobot prioritas global dapat diperoleh dengan melakukan perkalian
bobot prioritas lokal pada level dua dan level tiga seperti pada tabel berikut :
K1
K2
K3
K4
Prioritas global
Bobot
x1
x2
x3
x4
a1
a2
a3
a4
b1
b2
b3
b4
c1
c2
c3
c4
Dimana :
X = prioritas global sekolah A
Y = prioritas global sekolah B
Z = prioritas global sekolah C
(17)
Analisis sensitivitas pada kriteria keputusan dapat terjadi karena ada informasi
tambahan sehingga decision maker mengubah penilaiannya. Akibat terjadinya perubahan
penilaian menyebabkan berubahnya urutan prioritas.
Dari persoalan di atas dituliskan persamaan urutan prioritas global sebagai berikut :
X a1 x1 a2 x2 a3 x3 a4 x4
Y b1 x1 b2 x2 b3 x3 b4 x4
Z c1 x1 c2 x2 c3 x3 c4 x4
(18)
40
BAB 3
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas secara khusus tentang penetapan prioritas menggunakan
metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dan analisis sensitivitas serta pengaruhnya
terhadap urutan prioritas.
LP
KS
KUA
PBM
LP
1/2
KS
1/8
1/7
1/5
KUA
1/4
1/3
LP
KS
KUA
PBM
1, 000
2, 000
8, 000
4, 000
LP
0, 500
1, 000
7, 000
3, 000
KS
0, 125
0, 142
1, 000
0, 200
KUA
0, 250
0, 333
5, 000
1, 000
1, 875
3, 475
21, 000
8, 200
Dengan unsur unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang
bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen
dihasilkan dari rata rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada
tabel sebagai berikut :
LP
KS
KUA
PBM
0, 533
0, 575
0, 380
0, 487
0, 493
LP
0, 266
0, 287
0, 333
0, 365
0, 312
KS
0, 066
0, 047
0, 047
0, 024
0, 046
KUA
0, 133
0, 095
0, 238
0, 121
0, 146
hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang
disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah
sebagai berikut :
maksimum (1, 875 x 0, 493) + (3, 475 x 0, 312) + (21 x 0, 046) + (8, 200 x 0, 146)
= 4, 171
Karena matriks berordo 4 (yakni terdiri dari 4 kriteria), nilai indeks konsistensi
yang diperoleh :
CI
max n
n1
4,171 4
41
0,057
CI
RI
0,057
0,900
0,063
Dari hasil perhitungan pada tabel diatas menunjukkan kriteria Proses Belajar
Mengajar (PBM) merupakan kriteria yang paling penting dalam menentukan sekolah
terbaik dengan nilai bobot 0, 493 atau 49, 3%, berikutnya kriteria Lingkungan Pergaulan
(LP) dengan nilai bobot 0, 312 atau 31, 2%, kriteria kualifikasi yang diminta sekolah
dengan nilai bobot 0, 146 atau 14, 6% dan kriteria kehidupan sekolah secara umum
dengan nilai bobot 0, 046 atau 4, 6%.
Tabel 3.4 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar
PBM
1/3
1/2
1/3
Tabel 3.5 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar yang
disederhanakan
PBM
1, 000
0, 333
0, 500
3, 000
1, 000
3, 000
2, 000
0, 333
1, 000
6, 000
1, 666
4, 500
Dengan unsur unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang
bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen
dihasilkan dari rata rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel 3.6 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar
yang dinormalkan
Vektor Eigen (yang
PBM
dinormalkan)
0, 161
0, 199
0, 111
0, 158
0. 500
0,600
0, 666
0, 588
0, 333
0, 199
0, 222
0, 251
hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang
disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah
sebagai berikut :
maksimum (6, 000 x 0, 158) + (1, 666 x 0, 588) + (4, 500 x 0, 251)
= 3, 056
Karena matriks berordo 3 (yakni terdiri dari 3 alternatif), maka nilai indeks
konsistensi yang diperoleh adalah :
CI
max n
n1
3,056 3
31
0,028
CI
RI
0,028
0,580
0,048
Dari hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh urutan prioritas lokal untuk
kriteria Proses Belajar Mengajar yaitu sekolah B menjadi prioritas pertama dengan nilai
bobot 0, 588 atau 58, 4%, kemudian sekolah C menjadi prioritas ke-2 dengan nilai bobot
0, 251 atau 25, 1%, sekolah A menjadi prioritas ke-3 dengan nilai bobot 0, 158 atau 15,
8%.
1/2
1/2
1/2
1, 000
2, 000
2, 000
0, 500
1, 000
0, 500
0, 500
2, 000
1, 000
2, 000
5, 000
3, 500
Dengan unsur unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang
bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen
dihasilkan dari rata rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
dinormalkan)
0, 500
0, 400
0, 571
0, 490
0. 250
0, 200
0, 142
0, 197
0, 250
0, 400
0, 285
0, 311
hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang
disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah
sebagai berikut :
maksimum (2, 000 x 0, 490) + (5, 000 x 0, 197) + (3, 500 x 0, 311)
= 3, 053
Karena matriks berordo 3 (yakni terdiri dari 3 alternatif), maka nilai indeks
konsistensi yang diperoleh adalah :
CI
max n
n1
3,053 3
31
0,026
CI
RI
0,026
0,580
0,044
Dari hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh urutan prioritas lokal untuk
kriteria Lingkungan Pergaulan yaitu sekolah A menjadi prioritas pertama dengan nilai
bobot 0, 490 atau 49%, kemudian sekolah C menjadi prioritas ke-2 dengan nilai bobot
0, 311 atau 31, 1%, sekolah B menjadi prioritas ke-3 dengan nilai bobot 0, 197 atau 19,
7%.
3.4 Perhitungan Faktor Evaluasi untuk Kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum
Tabel 3.10 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah Secara
Umum
KS
1/2
1/4
1/4
1, 000
0, 500
0, 250
2, 000
1, 000
0, 250
4, 000
4, 000
1, 000
7, 000
5, 500
1, 500
Dengan unsur unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang bersangkutan,
akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen dihasilkan dari rata
rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
dinormalkan)
0, 142
0, 090
0, 166
0, 132
0. 285
0, 181
0, 166
0, 210
0, 570
0, 727
0, 666
0, 654
hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang
disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah
sebagai berikut :
maksimum (7, 000 x 0, 132) + (5, 500 x 0, 210) + (1, 500 x 0, 654)
= 3, 060
Karena matriks berordo 3 (yakni terdiri dari 3 alternatif), maka nilai indeks
konsistensi yang diperoleh adalah :
CI
max n
n1
3,060 3
31
0,030
CI
RI
0,030
0,580
0,050
Dari hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh urutan prioritas lokal untuk
kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum yaitu sekolah C menjadi prioritas pertama
dengan nilai bobot 0, 654 atau 65, 4%, kemudian sekolah B menjadi prioritas ke-2 dengan
nilai bobot 0, 210 atau 21%, sekolah A menjadi prioritas ke-3 dengan nilai bobot 0, 132
atau 13, 2%.
3.5 Perhitungan Faktor Evaluasi untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta Sekolah
Tabel 3.13 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta
Sekolah
KUA
1/2
1/4
1/3
Tabel 3.14 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta
Sekolah yang disederhanakan
KUA
1, 000
2, 000
4, 000
0, 500
1, 000
3, 000
0, 250
0, 333
1, 000
1, 750
3, 300
9, 000
Dengan unsur unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang
bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen
dihasilkan dari rata rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel 3.15 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta
Sekolah yang dinormalkan
Vektor Eigen (yang
KUA
dinormalkan)
0, 571
0, 600
0, 444
0, 538
0. 285
0, 300
0, 333
0, 306
0, 142
0, 099
0, 111
0, 117
(maksimum )
hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang
disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah
sebagai berikut :
50
maksimum (1, 750 x 0, 538) + (3, 333 x 0, 306) + (9, 000 x 0, 117)
= 3, 092
Karena matriks berordo 3 (yakni terdiri dari 3 alternatif), maka nilai indeks
konsistensi yang diperoleh adalah :
CI
max n
n1
3,092 3
31
0,046
CI
RI
0,046
0,580
0,079
Dari hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh urutan prioritas lokal untuk
kriteria Kualifikasi yang diminta Sekolah yaitu sekolah A menjadi prioritas pertama
dengan nilai bobot 0, 538 atau 53, 8%, kemudian sekolah B menjadi prioritas ke-2 dengan
nilai bobot 0, 306 atau 30, 6%, sekolah C menjadi prioritas ke-3 dengan nilai bobot 0, 117
atau 11, 7%.
Dari seluruh evaluasi yang dilakukan terhadap faktor faktor proses balajar mengajar,
lingkungan pergaulan, kehidupan sekolah secara umum dan kualifikasi yang diminta
sekolah diperoleh factor evaluasi total sebagai berikut :
PBM
LP
KS
KUA
0, 158
0, 490
0, 132
0, 538
0, 588
0,197
0, 210
0, 306
0, 251
0. 311
0, 654
0, 117
3o.t6a.l2RaTngking/Prioritas Global
Total rangking/prioritas global diperoleh dengan mengalikan matriks faktor evaluasi total
dengan matriks pembobotan hirarki, yaitu :
0,493
0,158 0,490 0,132 0,538 0,312 0,313
0,403
0,588 0,196 0,210 0,306
0.046
Dari hasil perhitungan diatas diperoleh urutan prioritas global yaitu sekolah B menjadi
prioritas utama (40, 3%), kemudian sekolah A (31, 3%) dan sekolah C (26, 7%).
PBM
LP
KS
KUA
Prioritas
Bobot
0, 493
0, 312
0, 046
0, 146
Global
0, 158
0, 490
0, 132
0, 538
0, 313
0, 588
0,197
0, 210
0, 306
0, 403
0, 251
0. 311
0, 654
0, 117
0, 267
Dari kondisi diatas, terlihat bobot prioritas PBM adalah 0, 493 dan pada kondisi
tersebut prioritas global sekolah B adalah prioritas yang paling utama yaitu 0, 403,
kemudian prioritas global sekolah A adalah 0, 313 dan sekolah C dengan bobot prioritas
global 0, 267.
Apabila bobot prioritas PBM diturunkan ke 0, 300, maka urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 290 atau 29% disusul A dengan bobot 0, 283 atau 28, 3%
dan C dengan bobot 0, 219 atau 21, 9%.
Apabila bobot prioritas PBM diturunkan ke 0, 200, maka urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :
A (0,200) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,267
B (0,200) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,231
C (0,200) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,194
Apabila bobot prioritas PBM diturunkan ke 0, 100, maka urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :
A (0,100) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,251
B (0,100) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,172
C (0,100) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,169
Urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan prioritas tertinggi
dengan bobot 0, 251 atau 25, 1% menggeser B dengan bobot 0, 172 atau 17, 2% dan C
tetap di urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 169 atau 16, 9%.
Apabila bobot prioritas PBM naik menjadi 0, 500, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,500) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,315
B (0,500) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,408
C (0,500) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,269
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 408 atau 40, 8% disusul A dengan bobot 0, 315 atau 31,
5% dan C dengan bobot 0, 269 atau 26, 9%.
Apabila bobot prioritas PBM naik sampai menjadi 0, 600, urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :
A (0,600) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,330
B (0,600) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,466
C (0,600) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,294
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 466 atau 46, 6% disusul A dengan bobot 0, 330 atau 33%
dan C dengan bobot 0, 294 atau 29, 4%.
Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas PBM sensitif
ketika diubah dari 0, 493 menjadi 0, 200.
Pada keadaan bobot prioritas LP adalah 0, 312 dan pada keadaan tersebut prioritas
global sekolah B adalah prioritas yang paling utama yaitu 0, 403, kemudian prioritas
global sekolah A adalah 0, 313 dan sekolah C dengan bobot prioritas global 0, 267.
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 381 atau 38, 1% disusul A dengan bobot 0, 259 atau 25,
9% dan C dengan bobot 0, 232 atau 23, 2%.
Apabila bobot prioritas LP naik menjadi 0, 400, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,400) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,357
B (0,493) (0,588) (0,400) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,420
C (0,493) (0,251) (0,400) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,294
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 420 atau 42% disusul A dengan bobot 0, 357 atau 35, 7%
dan C dengan bobot 0, 294 atau 29, 4%.
Apabila bobot prioritas LP naik menjadi 0, 500, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,500) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,406
B (0,493) (0,588) (0,500) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,440
C (0,493) (0,251) (0,500) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,325
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 440 atau 44% disusul A dengan bobot 0, 406 atau 40, 6%
dan C dengan bobot 0, 325 atau 32, 5%.
Apabila bobot prioritas LP naik menjadi 0, 600, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,600) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,455
B (0,493) (0,588) (0,600) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,460
C (0,493) (0,251) (0,600) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,356
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 460 atau 46% disusul A dengan bobot 0, 455 atau 45, 5%
dan C dengan bobot 0, 356 atau 35, 6%.
Apabila bobot prioritas LP naik menjadi 0, 700, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,700) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,504
B (0,493) (0,588) (0,700) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,479
C (0,493) (0,251) (0,700) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,387
Urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan prioritas tertinggi
dengan bobot 0, 504 atau 50, 4% menggeser B dengan bobot 0, 479 atau 47, 9%
tetap di urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 387 atau 38, 7%.
dan C
Apabila bobot prioritas LP naik menjadi 0, 800, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,800) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,553
B (0,493) (0,588) (0,800) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,499
C (0,493) (0,251) (0,800) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,418
dan C
tetap di urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 418 atau 41, 8%.
Pada keadaan bobot prioritas KS adalah 0, 046 dan pada keadaan tersebut prioritas
global sekolah B adalah prioritas yang paling utama yaitu 0, 403, kemudian prioritas
global sekolah A adalah 0, 313 dan sekolah C dengan bobot prioritas global 0, 267.
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 398 atau 39, 8% disusul A dengan bobot 0, 309 atau 30,
9% dan C dengan bobot 0, 250 atau 25%.
Apabila bobot prioritas KS naik menjadi 0, 100, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,100) (0,132) (0,146) (0,538) 0,320
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,100) (0,210) (0,146) (0,306)
0,415
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,100) (0,654) (0,146) (0,117)
0,302
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 415 atau 41, 5% disusul A dengan bobot 0, 320 atau 32%
dan C dengan bobot 0, 302 atau 30, 2%.
Apabila bobot prioritas KS naik menjadi 0, 200, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,200) (0,132) (0,146) (0,538)
0,333
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,200) (0,210) (0,146) (0,306)
0,436
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,200) (0,654) (0,146) (0,117)
0,367
Sekolah B tetap menjadi urutan prioritas global tertinggi dengan bobot 0, 436 atau
43, 6%
tetapi C menjadi urutan prioritas ke-2 dengan bobot 0, 367 atau 36, 7%
Apabila bobot prioritas KS naik menjadi 0, 400, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,400) (0,132) (0,146) (0,538)
0,359
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,400) (0,210) (0,146) (0,306)
0,478
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,400) (0,654) (0,146) (0,117)
0,498
Apabila bobot prioritas KS naik drastis sampai menjadi 0, 800, urutan prioritas
global adalah sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,800) (0,132) (0,146) (0,538)
0,412
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,800) (0,210) (0,146) (0,306)
0,562
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,800) (0,654) (0,146) (0,117)
0,760
Pada keadaan bobot prioritas KUA adalah 0, 146 dan pada keadaan tersebut
prioritas global sekolah B adalah prioritas yang paling utama yaitu 0, 403, kemudian
prioritas global sekolah A adalah 0, 313 dan sekolah C dengan bobot prioritas global 0,
267.
Apabila bobot prioritas KUA diturunkan ke 0, 040, maka urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :
60
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 371 atau 37, 1% disusul A dengan bobot 0, 256 atau 25,
6% dan C dengan bobot 0, 254 atau 25, 4%.
Apabila bobot prioritas KUA diturunkan ke 0, 030, maka urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,030) (0,538)
0,251
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,030) (0,306)
0,368
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,030) (0,117)
0,253
Sekolah B tetap menjadi urutan prioritas global tertinggi dengan bobot 0, 368 atau
36, 8%
tetapi C menjadi urutan prioritas ke-2 dengan bobot 0, 253 atau 25, 3%
Apabila bobot prioritas KUA diturunkan ke 0, 020, maka urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,020) (0,538)
0,245
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,020) (0,306)
0,365
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,020) (0,117)
0,252
Sekolah B tetap menjadi urutan prioritas global tertinggi dengan bobot 0, 365 atau
36, 5%
tetapi C menjadi urutan prioritas ke-2 dengan bobot 0, 252 atau 25, 2%
61
Apabila bobot prioritas KUA naik 0, 300, urutan prioritas global adalah sebagai
berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,300) (0,538)
0,396
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,300) (0,306)
0,450
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,300) (0,117)
0,285
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 450 atau 45% disusul A dengan bobot 0, 396 atau 39, 6%
dan C dengan bobot 0, 285 atau 28, 5%.
Apabila bobot prioritas KUA naik menjadi 0, 500, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,500) (0,538)
0,504
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,500) (0,306)
0,512
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,500) (0,117)
0,308
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 512 atau 51, 2% disusul A dengan bobot 0, 504 atau 50,
4% dan C dengan bobot 0, 308 atau 30, 8%.
Apabila bobot prioritas KUA naik menjadi 0, 600, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,600) (0,538)
0,557
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,600) (0,306)
0,542
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,600) (0,117)
0,320
Urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan prioritas tertinggi
dengan bobot 0, 557 atau 55, 7% menggeser B dengan bobot 0, 542 atau 54, 2% dan C
tetap di urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 320 atau 32%.
Apabila bobot prioritas KUA naik drastis sampai menjadi 0, 800, urutan prioritas
global adalah sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,800) (0,538)
0,665
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,800) (0,306)
0,603
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,800) (0,117)
0,343
Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas KUA sensitif
ketika diubah dari 0, 146 menjadi 0, 030 dan 0, 600.
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
e4s.1imKpulan
1. Secara global, sekolah B merupakan prioritas pertama dengan bobot 0, 403 atau 40,
3%, kemudian sekolah A dengan bobot 0, 313 atau 31, 3% dan prioritas terakhir
adalah sekolah C dengan bobot 0, 267 atau 26, 7%.
2. Analisis sensitivitas pada kriteria Proses Belajar Mengajar dengan menurunkan bobot
prioritas dari 0, 493 menjadi 0, 300 maka diperoleh keadaan dimana urutan prioritas
tidak berubah. Apabila bobot prioritas diturunkan menjadi 0, 200 maka keadaan
berubah dimana A mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai bobot 0, 267
atau 26, 7% menggeser B dengan bobot 0, 231 atau 23, 1% kemudian C dengan bobot
0, 149 atau 14, 9%. Apabila bobot prioritas diturunkan menjadi 0, 100 maka keadaan
berubah dimana A mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai bobot 0, 251
atau 25, 1% menggeser B dengan bobot 0, 172 atau 17, 2% kemudian C dengan bobot
0, 169 atau 16, 9%.Apabila bobot prioritas Proses Belajar Mengajar dinaikkan dari 0,
493 menjadi 0, 500 dan 0, 600 maka diperoleh keadaan dimana urutan prioritas tidak
berubah.
Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas PBM sensitif
ketika diubah dari 0, 493 menjadi 0, 200.
Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas KS sensitif ketika
diubah dari 0, 046 menjadi 0, 200 dan 0, 400
a4r.2anS
2. Diharapkan kepada pembaca agar kajian perlu dikembangkan lebih lanjut untuk
menetapkan model interval atau batasan seberapa jauh bobot prioritas dari kriteria
diturunkan dan dinaikkan sehingga menyebabkan terjadinya perubahan urutan
prioritas.
DAFTAR PUSTAKA
Hariyono, Joko Agus dan Ciptomulyono. 2006. Analisis Pemilihan Mitra LSM
dan Optimasi Budgeting dengan menggunakan metode AHP dan Goal
Programming, Jurnal Teknik Industri dan MMT ITS.
[3] Kosasi, Sandy. 2002. Sistem Penunjang Keputusan (Decision Support System).
Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
[4] Kuncoro, Mudrajad. 2005. Daya Tarik Investasi dan Pungli di DIY, Jurnal
Ekonomi Pembangunan, Vol. 10, No. 2, Agustus 2005. Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
[5] Latifah, Siti. Prinsip prinsip dasar Analytical Hierarchy Process. Jurnal Studi
Kasus Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.
[6]
[7] Sukarto, Haryono. 2006. Pemilihan Model Transportasi di DKI Jakarta dengan
Analisis Kebijakan Proses Hirarki Analitik, Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3, No. 1,
Januari 2006, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang.
[8] Supriyono, Wardhana, Aryu Wusnu dan Sudaryo. 2007. Sistem Pemilihan
Pejabat Struktural dengan Metode AHP, Jurnal STTN BATAN, Yoyakarta.
[9] Susila, W dan Munadi, Ernawati. 2007. Penggunaan Analytic Hierarchy Process
Untuk Penyusunan Prioritas Proposal Penelitian, Jurnal Informatika Pertanian
Vol. 16, No. 2. Departemen Pertanian.
[10] Teknomo, K., Siswanto, H., dan Yudhanto, A. 1999. Penggunaan Metode
Analytic Hierarchy Process (AHP) dalam Menganalisa Faktor faktor yang
Mempengaruhi Pemilihan Moda ke Kampus, Jurnal Teknik Sipil, Vol. 1, No. 1
Maret 1999, Universitas Kristen Petra, Surabaya.
[11] Trisna, Darwin. 2001. Penerapan Proses Hirarki Analisis dalam Pembuatan
Keputuswan Investasi Jalan Tol Dalam Kota Bandung, Jurnal S2 Highway
System Engineering, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
[12]