Вы находитесь на странице: 1из 90

ANALISIS SENSITIVITAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP

URUTAN PRIORITAS DALAM METODE ANALYTIC HIERARCHY


PROCESS (AHP)

SKRIPSI

MINDO MORA
050803071

DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Mindo Mora : Analisis Sensitivitas Pengaruhnya Terhadap Urutan Prioritas Dalam Metode Analytic Hierarchy Process (AHP), 2009.

ANALISIS SENSITIVITAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP URUTAN


PRIORITAS DALAM METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

MINDO MORA
050803071

DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

PERSETUJUAN

Judul

Kategori
Nama
Nomor Induk Mahasiswa
Program Studi
Deparetemen
Fakultas

: ANALISIS SENSITIVITAS DAN PENGARUHNYA


TERHADAP URUTAN PRIORITAS DALAM
METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP)
: SKRIPSI
: MINDO MORA
: 050803071
: SARJANA (S1) MATEMATIKA
: MATEMATIKA
: MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA
Diluluskan di
Medan , Agustus 2009

Komisi Pembimbing

Pembimbing 2

Pembimbing I

Prof. DR. Iryanto, M.Si


NIP 130 353 140

Drs. Marwan Harahap, M.Eng


NIP 130 422 443

Diketahui/Disetujui oleh
Departemen Matematika FMIPA USU
Ketua.

Dr. Saib Suwilo, M.Sc

NIP 19640109 198803 1004

PERNYATAAN

ANALISIS SENSITIVITAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP URUTAN


PRIORITAS DALAM METODE ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan
dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2009

MINDO MORA
050803071

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia
Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini dalam waktu yang telah
ditetapkan.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing penulis dalam
penyusunan skripsi ini, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada :
1. Bapak Drs. Marwan Harahap, M.Eng. selaku pembimbing I dan Prof. DR.
Iryanto, M.Si. selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan
dan pengarahan kepada saya sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan.
2. Bapak Drs. Suwarno Ariswoyo, M.Si. dan Drs. Djakaria Sebayang selaku
dosen penguji.
3. Bapak Dr. Saib Suwilo, M.Sc. dan Drs. Henri Rani Sitepu, M.Si. selaku
Ketua dan Sekretaris Departemen Matematika.
4. Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Sumatera Utara.
5. Semua dosen pada Departemen Matematika FMIPA USU, pegawai di
FMIPA USU.
6. Seluruh teman teman kuliah dan junior Matematika khususnya stambuk
2005 dan juga teman saya Irpan Apandi, Muhammad Huda Firdaus, Kiki
Winarti, Fitriyanti dan Muhammad Amin yang telah memberikan
semangat, dorongan dan saran dalam pengerjaan skripsi ini.
7. Ayahanda Komis Siregar, Ibunda Nur Cahaya Hasibuan dan semua ahli
keluarga yang selama ini memberikan bantuan dan dorongan yang
diperlukan.
Semoga segala bentuk bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan
balasan yang lebih baik dari Allah SWT.

ABSTRAK

Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu metode yang


digunakan dalam pengambilan keputusan terhadap masalah penentuan prioritas pilihan
dari berbagai alternatif. Metode ini diawali dengan membentuk struktur hirarki dari
pernasalahan yang ingin dipecahkan, struktur hirarki ini terdiri dari tujuan yang ingin
dicapai atau goal, kriteria dan alternatif pilihan dari kriteria tersebut. Kemudian membuat
matriks perbandingan berpasangan (pair-wise comparison matrix) untuk mengetahui
hubungan tingkat kepentingan antara elemen yang satu dengan yang lain. Pada matriks
tersebut akan dicari bobot dari tiap kriteria dan alternatif dengan cara menormalkan rata
rata geometrik dari penilaian decision maker. Bobot prioritas global diperoleh dengan
mengalikan bobot prioritas lokal dari kriteria dengan bobot prioritas lokal dari alternatif
keputusan. Analisis sensitivitas dalam AHP dengan mengubah bobot prioritas dari kriteria
keputusan. Bobot prioritas kriteria tersebut diubah lebih kecil dan lebih besar dari bobot
sebelumnya, sehingga diperoleh hasil terjadinya perubahan urutan prioritas.

SENSITIVITY ANALYSIS AND EFFECT TO-WARD ORDER OF PRIORITY IN


ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP) METHOD

ABSTRACT

Analytic Hierarchy Process (AHP) method is a decision making method on determining


the priority alternative of any alternative. This method is begin by making the hierarchy
structure of the studied problem to solve, this hierarchy structur consist of goal, criteria,
alternative. Then making pair wise comparison matrix to know how importance element
with others. In this matrix, the weight of each criteria is determined by normalization of
geometric mean from decision maker opinion. Weight global priority determined of cross
weight local priority criteria with weight local priority alternative. Sensitivity analysis in
AHP with change weight priority of criteria. Weight priority changed less and more from
weight priority before, then result determined the global priority will change.

DAFTAR ISI

Halaman
Persetujuan
Pernyataan
Penghargaan
Abstrak
Abstract
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar

ii
iii
iv
v
vi
vii
ix
x

Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tinjauan Pustaka
1.4 Tujuan Penelitian
1.5 Kontribusi Penelitian
1.6 Metodologi Penelitian

1
1
3
3
6
6
7

Bab II Landasan Teori


2.1 Analytic Hierarchy Process
2.2 Prinsip Dasar Analytic Hierarchy Process
2.2.1 Penyusunan Prioritas
2.2.2 Eigen Value dan Eigen Vektor
2.2.3 Uji Konsistensi Indeks dan Rasio
2.3 Analisis Sensitivitas pada Analytic Hierarchy Process (AHP)
2.3.1 Analisis Sensitivitas pada Bobot Prioritas dari
Kriteria Keputusan

8
8
10
12
16
21
23

BAB III Pembahasan


3.1 Perhitungan Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria
3.2 Perhitungan Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses
Belajar Mengajar
3.3 Perhitungan Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan
3.4 Perhitungan Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah
Secara Umum
3.5 Perhitungan Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta
Sekolah
3.6 Perhitungan Total Rangking/Prioritas Global

28
29
29
31
33
35
37
40

3.6.1 Faktor Evaluasi Total


3.6.2 Total Rangking/Prioritas Global

3.7 Analisis Sensitivitas AHP Pada Bobot Prioritas Kriteria Keputusan


3.7.1 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Proses
Belajar Mengajar
3.7.2 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Lingkungan
Pergaulan
3.7.3 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Kehidupan
Sekolah Secara Umum
3.7.4 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Kualifikasi
yang diminta Sekolah
BAB IV Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Daftar Pustaka
Lampiran

40
40

41
41
43
46
48
52
52
55

10

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.
Tabel 2.2.
Tabel 2.3.
Tabel 2.4
Tabel 2.5
Tabel 2.6
Tabel 2.7
Tabel 2.8
Tabel 2.9
Tabel 3.1
Tabel 3.2

Matriks Perbandingan Berpasangan


Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan
Nilai Random Indeks (RI)
Matriks perbandingan berpasangan pada level dua
Matriks perbandingan berpasangan terhadap PBM
Matriks perbandingan berpasangan terhadap LP
Matriks perbandingan berpasangan terhadap KS
Matriks perbandingan berpasangan terhadap KUA
Prioritas Global
Matriks Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria
Matriks Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria
yang disederhanakan
Tabel 3.3 Matriks Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria
yang dinormalkan
Tabel 3.4 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar
Tabel 3.5 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar
yang disederhanakan
Tabel 3.6 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar
yang dinormalkan
Tabel 3.7 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan
Tabel 3.8 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan
yang disederhanakan
Tabel 3.9 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan
yang dinormalkan
Tabel 3.10 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan
Sekolah Secara Umum
Tabel 3.11 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah
Secara umum yang disederhanakan
Tabel 3.12 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah
Secara Umum yang dinormalkan
Tabel 3.13 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang
diminta Sekolah
Tabel 3.14 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang
diminta Sekolah yang disederhanakan
Tabel 3.15 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang

Halaman
13
14
23
24
25
25
26
26
27
29
30
30
32
32
32
33
34
34
35
36
36
37
38

11
diminta Sekolah yang dinormalkan
Tabel 3.16 Matriks Faktor Evaluasi Total
Tabel 3.17 Prioritas Global Pemilihan Sekolah Terbaik

38
40
41

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Hirarki


Gambar 2.2 Struktur Hirarki Pemilihan Sekolah Terbaik

Halaman
8
10

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya dikarenakan faktor ketidakpastian


atau ketidaksempurnaan informasi saja. Namun masih terdapat penyebab lainnya seperti
banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap pilihan pilihan yang ada, dengan
beragamnya kriteria pemilihan dan jika pembuat keputusan yang lebih dari satu
merupakan suatu bentuk penyelesaian masalah yang sangat kompleks. Adapun metode
yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan multikriteria tersebut dikenal
dengan metode proses analisis hirarki (Analytical Hierarchy Process AHP)

Untuk pertama kali metode AHP diperkenalkan oleh Thomas L Saaty pada
periode 1971 1975 ketika di Warston School. Pengembangannnya mendasarkan pada
kemampuan judgment manusia untuk mengkontruksi persepsi secara hirarkis dari
sebuah persoalan keputusan multikriteria. Struktur yang hirarkis ini merepresentasikan
tipe hubungan ketergantungan fungsional yang paling sederhana dan berurutan sehingga
mempermudah mendekomposisikan persoalan multikriteria yang kompleks menjadi
elemen elemen keputusannya. Hirarki bersifat linear dan distrukturkan mulai dari
elemen keputusan yang bersifat umum (misalnya goals, objektif, kriteria dan subkriteria)
sampai ke variabel atau faktor yang paling konkrit dan mudah terkontrol pada level
hirarki terbawah yaitu alternatif keputusan.

Dalam suatu hirarki yang lengkap, setiap elemen keputusan dihubungkan dengan
elemen lain pada level yang lebih atas atau level yang dibawahnya. Pada level hirarki
pertama adalah objektif (goal) keputusan yang ingin dicapai. Elemen keputusan pada
hirarki di level kedua adalah sejumlah atribut atau kriteria untuk evaluasi preferensi
keputusan. Pada level ini kita membuat judgment perbandingan preferensi mana
yang lebih besar tingkat kepentingannya antara kriteria yang satu dengan yang lain untuk
mencapai goal yang sudah ditetapkan. Skala perbandingan judgment

yang

berpasangan (pairwise comparison matrix) untuk masing masing elemen dapat


diproleh. Pada level hirarki terbawah alternatif keputusan mengacu pada kriteria pada
level di atasnya, pengambil keputusan diminta lagi menetapkan perbandingan
judgment- nya dan preferensi untuk alternatif keseluruhan secara berpasangan. Objektif
dari penggunaan metode multikriteria AHP adalah untuk menetapkan bobot kepentingan
relatif masing masing kriteria, kemudian kriteria ini akan digunakan sebagai dasar
acuan untuk evaluasi penetapan prioritas relatif pada level hirarki di bawahnya (alternatif
keputusan).

Umumnya pada saat pengambil keputusan menetapkan pembobotan relatif antar


elemen keputusan dalam metode AHP dilakukan dalam evaluasi lingkungan keputusan
yang samar dan subyektif, misalnya saat harus menetapkan intensitas pembobotan
kualitatif kriteria seperti sama penting, cukup penting, lebih dan sangat
penting.

Terdapat banyak usulan pendekatan untuk melakukan estimasi bobot prioritas


relatif dalam metode AHP. Pendekatan least square diusulkan oleh Jensen (1984),
metode logarithmic least square diusulkan oleh de Jong (1984), juga penggunaan
teknik linear programming dikemukaan oleh Korhonen dan Wallenius (1990). Pada
praktiknya metode yang paling umum dipakai untuk melakukan estimasi bobot prioritas
relatif dalam AHP adalah pendekatan eigenvector seperti yang dikembangkan pertama
kali oleh Saaty (Saaty 1977; Vargas 1990; Saaty 1990).

Analisisis sensitivitas dapat dipakai untuk memprediksi keadaan apabila terjadi


perubahan yang cukup besar, misalnya terjadi perubahan bobot prioritas atau urutan
prioritas dan kriteria karena adanya perubahan kebijaksanaan. Berubahnya bobot prioritas
menyebabkan berubahnya urutan prioritas yang baru dan tindakan apa yang perlu
dilakukan.

Dengan latar belakang inilah penulis memilih judul Analisis Sensitivitas dan
Pengaruhnya Terhadap Urutan Prioritas Dalam Metode Analytic Hierarchy Process
(AHP).

1.2 Perumusan Masalah

Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah menganalisis perubahan bobot
prioritas kriteria keputusan dan pengaruhnya terhadap urutan prioritas

1.3 Tinjauan Pustaka

Thomas L. Saaty [6] menguraikan metode AHP dan menjelaskan penggunaan


metode AHP ini bagi para pemimpin dan pengambil keputusan dalam situasi yang
kompleks. Masalah kompleks dapat diartikan bahwa pemimpin dihadapkan pada situasi
untuk secepatnya mengambil keputusan dan kriteria yang begitu banyak.

Udisubakti Ciptomulyono dan DOU Henry [1] menggunakan model Fuzzy Goal
Programming untuk menetapkan pembobotan prioritas dalam metode Analytic Hierarchy
Process (AHP). Penggunaan pendekatan fuzzy goal programming sebagai alternatif
estimasi pembobotan prioritas dari metode AHP yang lazimnya dipakai, seperti metode
eigenvector atau metode lain. Model ini mengambil asumsi dan memperhatikan aspek

fuzzy yang hanya pada penetapan level aspirasi toleransi pencapain goal, bukan pada
penentuan prioritas fungsi goal nya.

Darwin Trisna [11] menguraikan tentang pengambilan keputusan investasi jalan


tol kota Bandung dengan metode AHP. Hasil analisis menunjukkan bahwa kriteria
jaringan merupakan kriteria yang paling dominan dengan bobot 48, 8%, selanjutnya
kriteria lalu Lintas 17%, Lingkungan 12,7%, aspek Finansial dan Bisnis 11, 6%

dan

aspek Manajerial dan kontruksi 9, 9%.

Siti Latifah [5] menjelaskan tentang keputusan dan prinsip prinsipnya yang
terdiri dari : Decomposition, Comporative judgment, Synthesis of Priority, Local
Consistency

Kardi Teknomo, Hendro Siswanto dan Sebastinus Ari Yudhanto [10]


menggunakan AHP dalam menganalisis faktor faktor yang mempengaruhi pemilihan
moda ke kampus. Hasil analisa menunjukkan bahwa alternatif Jalan Kaki dari Pondokan
merupakan alternatif terbaik dan yang paling diminati oleh responden yaitu sebesar 33, 2
%, kemudian Mobil Pribadi (18, 6%), Carpool (16, 2%), Angkutan Kampus (12, 4%),
dan yang terakhir adalah Angkutan Umum (4, 5%).

Haryono Sukarto [7] menguraikan tentang pemilihan transportasi di DKI Jakarta


dengan metode AHP. Hasil analisa menunjukkan bahwa pembenahan angkutan umum
(biskota) menjadi prioritas utama dalam upaya menurunkan tingkat kepadatan lalu lintas
kendaraan bermotor (22%), kemudian Sistem Angkutan Umum Massal(SAUM) (18, 1%),
Pembatasan Mobil Pribadi (16, 7%), Konsep Pembatasan Penumpang 3 in 1 (13, 5%),
Penambahan Jaringan Jalan, Fly Over dan underpass (10,6%),

dan

Pembatasan

Kendaraan Umum (5, 9%).

Joko Agus Hariyono dan Udisubakti Ciptomulyono [2] melakukan analisis


terhadap pemilihan mitra LSM dan optimasi budgeting dengan menggunakan metode
AHP dan Goal Programming. Hasil analisa dengan menggunakan metode AHP yang
diintegrasikan dengan Goal Programming diperoleh suatu model keputusan multikriteria.
Digunakan untuk menyelesaikan problema dan optimasi dalam memilih mitra yang paling
baik untuk diajak bekerja sama.

Supiyono, Wisnu Arya Wardhana dan Sudaryo [8] menggunakan AHP dalam
sistem pemilihan Pejabat Struktural. Hasil simulasi menunjukkan bahwa untuk pemilihan
calon pejabat struktural Kepala Sub bagian Perlengkapan, urutannya adalah : Semar, SST
nilai 0.357741801, Srikandi, SE skor 0.342234743 dan Gareng, A.Md skor 0.342234743.
Pemilihan calon pejabat struktural Kepala Sub Bagian Persuratan dan Kepegawaian,
urutannya adalah : Gareng, A.Md skor 0.400834260, Dewi, SH skor 0.303295196 dan
Srikandi, SE skor 0.295870544. Pemilihan calon pejabat struktural

Kepala

Sub

Keuangan, urutannya adalah : Srikandi, SE skor 0.379755402, Bimo, SE skor


0.368120130 dan Dewi, SH skor 0.252124468.

Wayan R. Susila dan Ernawati Munadi [9] menggunakan AHP untuk penyusunan
Prioritas proposal penelitian. Dari dekomposisi masalah disusun prioritasnya, diperoleh
gambaran bahwa ada lima proposal penelitian yang akan dipilih atau disusun prioritasnya.
Ada lima kriteria yang digunakan yaitu waktu, biaya, efektivitas, kemudahan dan urgensi.
Melalui suatu analisis dengan teknik AHP, maka dapat disusun prioritas untuk kelima
proposal tersebut dengan urutan: Kajian dampak peraturan perijinan perdagangan dalam
negeri terhadap keinginan untuk melakukan bisnis di Indonesia (Perijinan); Dampak
penurunan tarif impor di sektor perikanan, kehutanan, dan produk-produk kimia (Tarif),
Kajian pengembangan pasar distribusi regional untuk produk agro (Ditribusi Regional),
Kajian minuman beralkohol asal import (Alkohol), Kajian tentang strategi yang
kompetitif dalam pemasaran hasil industri kerajinan tangan di Indonesia (Kerajinan
Tangan).

Sandy Kosasi [3] menguraikan masalah pemilihan sekolah dengan menggunakan


metode AHP. Hasil simulasi menunjukkan bahwa yang menjadi prioritas pertama pada
level dua adalah Proses Belajar Mengajar sebesar 0, 32 disusul Kualifikasi yang diminta
sekolah sebesar 0, 24, Lingkungan Pergaulan sebesar 0, 14 dan Mutu Pendidikan Musik
0, 14, Pendidikan Kejuruan 0, 13 dan Pendidikan Sekolah Secara Umum 0, 03. Secara
umum urutan prioritas sekolah B merupakan sekolah yang paling tinggi prioritas
globalnya dan disusul sekolah A dengan bobot prioritas 0, 37, sedangkan sekolah C
sebesar 0, 25. Kemudian dilakukan analisis sensitivitas pada kriteria proses

belajar

mengajar dari 0, 32 diturunkan ke 0,2 dan keadaan berubah dimana A mempunyai


prioritas global tertinggi menggeser B, sebaliknya apabila prioritas PBM dinaikkan maka
perbedaan bobot prioritas B dengan A akan semakin besar dengan B tetap menjadi
prioritas global tertinggi.

Mudrajad Koncoro [4] menguraikan tentang daya tarik investasi di DIY dengan
metode AHP. Hasil analisis menunjukkan bahwa investasi daerah untuk DIY dipengaruhi
oleh faktor non ekonominya terutama Kelembagaan (25%), kemudian Infrastruktur Fisik
(24%), Sosial Politik (23%), Ekonomi Daerah (12%), dan Tenaga Kerja (12%).

1.4 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini untuk menyelesaikan promblema analisis
sensitivitas terhadap perubahan bobot prioritas kriteria keputusan serta pengaruhnya pada
urutan prioritas dalam metode AHP.

1.5 Kontribusi Penelitian

Dengan mengadakan penulisan ini, penulis berharap dapat menambah referensi,


menambah pengetahuan dan pemahaman bagi penulis, pembaca dan pengambil keputusan
baik pemerintah maupun perusahaan swasta atau instansi yang lain yang menggunakan
metode AHP dalam
kelembagaan.

memecahkan

masalah

pembangunan

atau

pengembangan

1.6 Metode Penelitian

Secara umum, penelitian dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut :


1. Menguraikan masalah AHP dan menjelaskan landasan aksiomatik, tahapan
tahapan dalam pengambilan keputusan dan prinsip prinsip dasar AHP
2. Menjelaskan analisis sensitivitas pada AHP dan pengaruhnya terhadap urutan
prioritas.
3. Menyelesaikan contoh permasalahan pengambilan keputusan AHP dan
melakukan analisis sensitivitas pada keputusan sementara. Menarik kesimpulan dari hasil penelitian.
4.

BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Analytic Hierarchy Process (AHP)

Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada
tahun 70 an ketika di Warston School. Metode AHP merupakan salah satu metode yang
dapat digunakan dalam sistem pengambilan keputusan dengan memperhatikan faktor
faktor persepsi, preferensi, pengalaman dan intuisi. AHP menggabungkan penilaian
penilaian dan nilai nilai pribadi ke dalam satu cara yang logis.

Analytic Hierarchy Process (AHP) dapat menyederhanakan masalah yang


kompleks dan tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi bagiannya, serta
menjadikan variabel dalam suatu hirarki (tingkatan). Masalah yang kompleks dapat di
artikan bahwa kriteria dari suatu masalah yang begitu banyak (multikriteria), struktur
masalah yang belum jelas, ketidakpastian pendapat dari pengambil keputusan, pengambil
keputusan lebih dari satu orang, serta ketidak akuratan data yang tersedia.

Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif
atas persoalan dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan
keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-bagiannya, menata
bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada
pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai
pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang memiliki prioritas paling
tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Metode AHP ini
membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarki

20

kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai pertimbangan
guna mengembangkan bobot atau prioritas. Metode ini juga menggabungkan kekuatan
dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis
berbagai pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita
secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat.

Analytic Hierarchy Process (AHP) mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri


dari :
(1)

Resiprocal Comparison, yang mengandung arti bahwa matriks


perbandingan berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan.
Misalnya, jika A adalah k kali lebih penting dari pada B maka B
adalah 1/k kali lebih penting dari A.

(2)

Homogenity, yaitu mengandung arti kesamaan dalam melakukan


perbandingan. Misalnya, tidak dimungkinkan membandingkan jeruk
dengan bola tenis dalam hal rasa, akan tetapi lebih relevan jika
membandingkan dalam hal berat.

(3)

Dependence, yang berarti setiap level mempunyai kaitan (complete


hierarchy) walaupun mungkin saja terjadi hubungan yang tidak
sempurna (incomplete hierarchy).

(4)

Expectation, yang berarti menonjolkon penilaian yang bersifat


ekspektasi dan preferensi dari pengambilan keputusan. Penilaian dapat
merupakan data kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif

Tahapan tahapan pengambilan keputusan dalam metode AHP pada dasarnya


adalah sebagai berikut :

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan


2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan kriteria kriteria dan alternaif alternatif pilihan yang ingin di
rangking.

3. Membentuk matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan


kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing masing
tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan
berdasarkan pilihan atau judgement dari pembuat keputusan dengan
menilai tingkat tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen
lainnya.
4. Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen di
dalam matriks yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom.
5. Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya, jika tidak
konsisten maka pengambilan data (preferensi) perlu diulangi. Nilai eigen
vector yang dimaksud adalah nilai eigen vector maximum yang diperoleh
dengan menggunakan matlab maupun dengan manual.
6. Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.
7. Menghitung eigen vector dari setiap matriks perbandingan berpasangan.
Nilai eigen vector merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk
mensintesis pilihan dalam penentuan prioritas elemen elemen pada
tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan.
8. Menguji konsistensi hirarki. Jika tidak memenuhi dengan CR < 0, 100
maka penilaian harus diulang kembali.

2.2 Prinsip Dasar Analytic Hierarchy Process (AHP)

Dalam menyelesaikan persoalan dengan metode AHP ada beberapa prinsip dasar yang
harus dipahami antara lain :
1. Decomposition
Pengertian decomposition adalah memecahkan atau membagi problema yang utuh
menjadi unsur unsurnya ke bentuk hirarki proses pengambilan keputusan,
dimana setiap unsur atau elemen saling berhubungan. Untuk mendapatkan hasil
yang akurat, pemecahan dilakukan terhadap unsur unsur sampai tidak mungkin
dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari
persoalan yang hendak dipecahkan. Struktur hirarki keputusan tersebut dapat

dikategorikan sebagai complete dan incomplete. Suatu hirarki keputusan disebut


complete jika semua elemen pada suatu tingkat memiliki hubungan terhadap
semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya, sementara hirarki keputusan
incomplete kebalikan dari hirarki yang complete. Bentuk struktur dekomposisi
yakni :
Tingkat pertama

: Tujuan keputusan (Goal)

Tingkata kedua

: Kriteria kriteria

Tingkat ketiga

: Alternatif alternatif

Tujuan

Kriteria I

Kriteria II

Kriteria III

Alternatif II

Alternatif I

Kriteria N

Alternatif M

Gambar 2.1 Struktur Hirarki

Hirarki masalah disusun untuk membantu proses pengambilan keputusan dengan


memperhatikan seluruh elemen keputusan yang terlibat dalam system. Sebagian besar
masalah menjadi sulit untuk diselesaikan karena proses pemecahannya dilakukan tanpa
memandang masalah sebagai suatu sistem dengan suatu struktur tertentu.

2. Comparative Judgement
Comparative Judgement dilakukan dengan penilaian tentang kepentingan relatif
dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di

atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap
urutan prioritas dari elemen elemennya.

Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise
comparisons yaitu matriks perbandingan berpasangan memuat tingkat preferensi
beberapa alternatif untuk tiap kriteria. Skala preferensi yang digunakan yaitu skala
1 yang menunjukkkan tingkat yang paling rendah (equal importance) sampai
dengan skala 9 yang menunjukkan tingkatan yang paling tinggi (extreme
importance).

3. Synthesis of Priority
Synthesis of Priority dilakukan dengan menggunakan eigen vektor method untuk
mendapatkan bobot relatif bagi unsur unsur pengambilan keputusan.

4. Logical Consistency
Logical Consistency merupakan karakteristik penting AHP. Hal ini dicapai dengan
mengagresikan seluruh eigen vektor yang diperoleh dari berbagai tingkatan hirarki
dan selanjutnya diperoleh suatu vektor composite tertimbang yang menghasilkan
urutan pengambilan keputusan.

2.2.1 Penyusunan Prioritas

Setiap elemen yang terdapat dalam hirarki harus diketahui bobot relatifnya satu
sama lain. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kepentingan pihak pihak yang
berkepentingan dalam permasalahan terhadap kriteria dan struktur hirarki atau sistem
secara keseluruhan.

Langkah pertama dilakukan dalam menentukan prioritas kriteria adalah menyusun


perbandingan berpasangan, yaitu membandingkan dalam bentuk berpasangan seluruh
kriteria

untuk

setiap

sub

sistem

hirarki.

Perbandingan

tersebut

kemudian

ditransformasikan dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan untuk analisis


numerik.

Misalkan terdapat sub sistem hirarki dengan kriteria C dan sejumlah n alternatif
dibawahnya, Ai sampai An. Perbandingan antar alternatif untuk sub sistem hirarki itu dapat
dibuat dalam bentuk matriks n x n, seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 2. 1 Matriks Perbandingan Berpasangan

An

A2

A1

A1

a11

a12

a1n

A2

a21

a2 2

a2 n

Am

am1

am 2

am n

Nilai a11 adalah nilai perbandingan elemen A1 (baris) terhadap A1 (kolom)


yang menyatakan hubungan :
a. Seberapa jauh tingkat kepentingan A1b(aris) terhadap kriteria

C dibandingkan

dengan A1 (kolom) atau


b. Seberapa jauh dominasi Ai (baris) terhadap Ai (kolom) atau
c. Seberapa banyak sifat kriteria C terdapat pada A1 (baris) dibandingkan dengan
A1 (kolom).

Nilai numerik yang dikenakan untuk seluruh perbandingan diperoleh dari


skala perbandingan 1 sampai 9 yang telah ditetapkan oleh Saaty, seperti pada
tabel berikut ini.

Tabel 2. 2 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan


Tingkat

Definisi

Keterangan

Kepentingan
1
3

Sama

Kedua elemen mempunyai pengaruh yang

pentingnya

sama.

Sedikit

lebih Pengalaman dan penilaian sangat memihak

penting

satu

elemen

dibandingkan

dengan

pasangannya.
5

Lebih penting

Satu elemen sangat disukai dan secara praktis


dominasinya

sangat

nyata,

debandingkan

dengan elemen pasangannya.


7

Sangat penting

Satu elemen terbukti sangat disukai


secara

praktis

dominasinya

dan

sangat

dibandingkan dengan elemen pasangannya.


9

Mutlak
penting

lebih Satu

elemen

dibandingkan

mutlak
dengan

lebih

disukai

pasangannya,

pada

tingkat keyakinan tertinggi


Resiprokal

Kebalikan

Jika elemen i memiliki salah satu angka diatas


ketika dibandingkan elemen j, maka
memiliki

kebalikannya

ketika

dibanding

elemen i

Seorang decision maker akan memberikan penilaian, mempersepsikan ataupun


memperkirakan kemungkinan dari sesuatu hal/peristiwa yang dihadapi. Penilaian tersebut
akan dibentuk ke dalam matriks berpasangan pada setiap level hirarki.

Contoh Pair Wise Comparison Matrix pada suatu level of hierarchy, yaitu :
K
K 1
L 13
A

M1 7
1
N
9

L M

9
1
4

5
1

7
1
6

6 1
4 1
5

Baris 1 kolom 2 : jika K dibandingkan L, maka K sedikit lebih penting/cukup penting


dari L yaitu sebesar 3, artinya : K moderat pentingnya daripada L,
dan seterusnya.

Angka 3 bukan berarti bahwa K tiga kali lebih besar dari L, tetapi K moderat importance
dibandingkan dengan L, sebagai ilustrasi perhatikan matriks resiprokal berikut ini :

K
K1

A L7
M1
9

L M
1

7
1
1
4

4
1

Membacanya/membandingkannya, dari kiri ke kanan. Jika K dibandingkan dengan L,


maka L very strong importance daripada K dengan nilai judgement sebesar 7. Dengan
demikian pada baris 1 kolom 2 diisi dengan kebalikan dari 7 yakni 1/7. Artinya,

K dibanding L

L lebih kuat dari K

Jika K dibandingkan dengan M, maka K extreme importance daripada G dengan nilai


judgement sebesar 9. Jadi baris 1 kolom 3 diisi dengan 9, dan seterusnya.

2ig.2en.2vaElue dan Eigen vector

Apabila decision maker sudah memasukkan persepsinya atau penilaian untuk


setiap perbandingan antara kriteria kriteria yang berada dalam satu level (tingkatan)
atau yang dapat diperbandingkan maka untuk mengetahui kriteria mana yang paling
disukai atau paling penting, disusun sebuah matriks perbandingan di setiap level
(tingkatan).

Untuk melengkapi pembahasan tentang eigen value dan eigen vector maka akan
diberikan definisi definisi mengenai matriks dan vector.

1.

Matriks

Matriks adalah sekumpulan himpunan objek (bilangan riil atau

kompleks,

variabel variabel) yang disusun secara persegi panjang (yang terdiri dari baris dan
kolom) yang biasanya dibatasi dengan kurung siku atau biasa. Jika sebuah matriks
memiliki m baris dan n kolom maka matriks tersebut berukuran (ordo) m x n. Matriks
dikatakan bujur sangkar (square matrix) jika m = n. Dan skalar skalarnya berada di
baris ke-i dan kolom ke-j yang disebut (ij) matriks entri.

2. Vektor dari n dimensi

Suatu vektor dengan n dimensi merupakan suatu susunan elemen elemen yang
teratur berupa angka angka sebanyak n buah, yang disusun baik menurut baris, dari kiri
ke kanan (disebut vector baris atau Row Vektor dengan ordo 1 x n ) maupun menurut
kolom , dari atas ke bawah (disebut vector kolom atau Colomn Vector dengan ordo n x 1).
n

Himpunan semua vector dengan n komponen dengan entri riil dinotasikan dengan R .

Untuk vector kolom

dirumuskan sebagai berikut :

UR

u Rn
a1
a
2
n

R
u


a n

3. Eigen value dan eigen vector

Definisi : JIka A adalah matriks n x n maka vektor tak nol x di dalam Rn


dinamakan eigen vektor

dari A jika

Ax kelipatan skalar x, yakni

Ax x
Skalar

dinamakan eigen value dari A dan x dikatakan eigen vector yang

Bersesuaian dengan . Untuk mencari eigen value dari matriks A yang berukuran
n x n maka dapat ditulis pada persamaan berikut :
Ax x
Atau secara ekivalen
(I A)x 0
Agar

menjadi eigen value, maka harus ada pemecahan tak nol dari persamaan

ini. Akan tetapi, persamaan diatas akan mempunyai pemecahan tak nol jika dan hanya
jika :

det(I A) 0

Ini dinamakan persamaan karakteristik A, skalar yang memenuhi persamaan ini


adalah eigen value dari A.

Bila diketahui bahwa nilai perbandingan elemen Ai terhadap elemen Aj adalah a ij ,


maka secara teoritis matriks tersebut berciri positif berkebalikan, yakni a ij=1/aij
Bobot yang dicari dinyatakan dalam vector (1.,2 ,3,...,n )
Nilai

n menyatakan bobot kriteria An terhadap keseluruhan set kriteria pada sub

sistem tersebut.

Jika a mewakili derajat kepentingan i terhadap faktor j


a j kmenyatakan
ij
dan
kepentingan dari factor j terhadap factor k, maka agar keputusan menjadi konsisten,
kepentingan i terhadap factor k harus sama dengan

ai j .a j atau jika ai j .a j ai k
k

untuk semua i, j, k maka matriks tersebut konsisten .


Untuk suatu matriks konsisten dengan vektor , maka elemen ai j

dapat ditulis

menjadi :
ai j

i ;

i, j 1,2,3,...,
n

(1)

Jadi matriks konsisten adalah :

ai j .a j k

i j
.

j k

ai

(2)

k
Seperti yang di uraikan diatas, maka untuk pair-wise comparison matrix diuraikan
seperti berikut ini :
a ji

j
i

1
i

1
ai j

(3)

Dari persamaan tersebut di atas dapat dilihat bahwa :


a j i i
.
1

i, j 1,2,3,...,
n

(4)

30

Dengan demikian untuk pair-wise comparison matrix yang konsisten menjadi :


n

ai j .i 1 n ;

i, j 1,2,3,...,
n

i j

j
j 1

(5)

i, j 1,2,3,..., n

a
j 1

i j .i j ni

(6)

Persamaan diatas ekivalen dengan bentuk persamaan matriks dibawah ini :


A. n.

adalah eigen vektor dari

Dalam teori matriks, formulasi ini diekspresikan bahwa

(7)
matriks A dengan eigen value n. Perlu diketahui bahwa n merupakan dimensi matriks
itu sendiri. Dalam bentuk persamaan matriks dapat ditulis sebagai berikut :

1
2
A


1
n
1
2

2
2

n
1
2

n n
n n
1 2 m

Pada prakteknya, tidak dapat dijamin bahwa ;


a
ij

ai k

(9)

ajk

Salah satu faktor penyebabnya yaitu karena unsur manusia (decision maker) tidak

31
selalu dapat konsisten mutlak (absolte consistent) dalam mengekspresikan preferensinya
terhadap elemen-elemen yang dibandingkan. Dengan kata lain, bahwa judgement yang
diberikan untuk setiap elemen persoalan pada suatu level hierarchy dapat
inconsistent.

saja

1 , 2 ,...,
n

Jika :
1). Jika

adalah bilangan- bilangan yang memenuhi persamaan :

A.x x

(10)

Dengan eigen value dari matriks A dan jika aii = 1;

I = 1,2,,n; maka dapat ditulis


(11)

Misalkan kalau suatu pair-wise comparison matrix bersifat ataupun memenuhi


kaidah konsistensi seperti pada persamaan (2), maka perkalian elemen matriks sama
dengan 1.
A

11

A
12

A21 A2 2

maka

A21

1
A12

(12)

Eigen value dari matriks A,

Ax x 0
( A I )x
0

(13)

A I 0
Kalau diuraikan lebih jauh untuk persamaan (13), hasilnya menjadi :
A11

A12
0

A21

A2 2

(14)

Dari persamaan (14) kalau diuraikan untuk mencari harga eigen value maximum


max

yaitu :

1 2 1 0
1 2 1 0
2

2 2 0
( 2) 0
1 0

2 2

Dengan demikian matriks pada persamaan


dimana nilai
max

(12) merupakan matriks yang konsisten,

sama dengan harga dimensi matriksnya.

Jadi untuk n > 2 , maka semua harga eigen velue-nya sama dengan nol dan hanya ada
satu eigen value yang sama dengan n (konstan dalam kondisi matriks konsisten).
2). Bila ada perubahan kecil dari elemen matriks maka

ai j eigen value-nya akan

Berubah menjadi semakin kecil pula.


Dengan menggabungkan kedua sifat matriks (aljabar linier ), jika :

a. Elemen diagonal matriks A


(ai i

1)

i 1,2,..., n

b. Dan untuk matriks A yang konsisten, maka variasi kecil dari


ai j

i, j 1,2,..., n akan membuat harga eigen value yang lain mendekati nol.

j2i.2K.3onsUistensi Indeks dan Rasio

Salah satu utama model AHP yang membedakannya dengan model model pengambilan
keputusan yang lainnya adalah tidak adanya syarat konsistensi mutlak. Dengan model
AHP yang memakai persepsi decision maker sebagai inputnya maka ketidakkonsistenan
mungkin terjadi karena manusia memiliki keterbatasan dalam menyatakan persepsinya
secara konsisten terutama kalau harus mambandingkan banyak kriteria. Berdasarkan
kondisi ini maka decision maker dapat menyatakan persepsinya dengan bebas tanpa ia
harus berfikir apakah persepsinya tersebut akan konsisten nantinya atau tidak.

Pengukuran konsistensi dari suatu matriks itu sendiri didasarkan atas eigenvalue
maksimum. Thomas L. Saaty telah membuktikan bahwa Indeks konsistensi dari matriks
berordo n dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut :

CI

max

n
1

CI

= Rasio penyimpangan (deviasi) konsistensi (consistency indeks)

max

= Nilai eigen terbesar dari matriks berordo n

= Orde matriks

Apabila CI bernilai nol, maka matriks pair wise comparison tersebut konsisten.
Batas ketidakkonsistenan (inconsistency) yang telah ditetapkan oleh Thomas L. Saaty
ditentukan dengan menggunakan Rasio Konsistensi (CR), yaitu perbandingan indeks
konsistensi dengan nilai random indeks (RI) yang didapatkan dari suatu eksperimen oleh
Oak Ridge National Laboratory kemudian dikembangkan oleh Wharton School dan
diperlihatkan seperti tabel 2.3. Nilai ini bergantung pada ordo matriks n. Dengan
demikian, Rasio Konsistensi dapat dirumuskan sebagai berikut :
CR

CI
RI

CR

= Rasio konsistensi

RI

= Indeks Random

(16)

Tabel 2.3 Nilai Random Indeks (RI)

n
RI

0, 00 0, 00

3
0, 58

0, 90 1, 12

1, 24

1, 32

1, 41

1, 45

10

11

12

13

14

15

RI

1,49

1,51

1,48

1,56

1,57

1,59

Bila matriks pair wise comparison dengan nilai CR lebih kecil dari 0, 100 maka
ketidakkonsistenan pendapat dari decision maker masih dapat diterima jika tidak maka
penilaian perlu diulang.

2n.a3lisAis Sensitivitas pada Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analisis sensitivitas pada AHP dapat terjadi untuk memprediksi keadaan apabila
terjadi perubahan yang cukup besar, misalnya terjadi perubahan bobot prioritas karena
adanya perubahan kebijaksanan sehingga muncul usulan pertanyaan bagaimana urutan
prioritas alternatif yang baru dan tindakan apa yang perlu dilakukan.
.
Analisa sensitivitas adalah unsur dinamis dari sebuah hirarki. Artinya penilaian yang
dilakukan pertama kali dipertahankan untuk suatu jangka waktu tertentu dan adanya
perubahan kebijaksanaan atau tindakan yang cukup dilakukan dengan analisa sensitivitas
untuk melihat efek yang terjadi.

Sebagai contoh, seorang siswa sekolah menengah pertama diterima di tiga sekolah
menengah atas. Anak tersebut akan mengalami kesulitan dalam memilih satu dari tiga
sekolah yang menerimanya sebagai siswa. Untuk membantu menemukan jalan keluar
maka masalah tersebut dapat dipecahkan dengan membuat suatu hirarki. Pada level
pertama berupa tujuan memilih sekolah terbaik dan level kedua berupa kriteria yang
terdiri dari proses belajar mengajar (PBM), lingkungan pergaulan (LK),

kehidupan

sekolah secara umum (KS), dan kualifikasi yang diminta sekolah (KUA). Pada level
ketiga berupa alternatif yang terdiri dari sekolah A, B dan C.

Permasalahan tersebut diatas memiliki struktur hirarki sebagai berikut :


Tujuan

PBM

LP

KS

KUA

Gambar 2.2 Struktur Hirarki Pemilihan Sekolah Terbaik


Dari struktur hirarki tersebut dibentuk matriks perbandingan berpasangan pada
setiap level hirarki. Matriks Perbandingan berpasangan pada level kedua adalah sebagai berikut :
Tabel 2.4 Matriks perbandingan berpasangan pada level dua

Tujuan

PBM

LP

KS

KUA

Bobot
Prioritas

PBM
LP
KS

1
2
3

2
1
1

1
2
3

2
2
2

1
2
3

3
3

x1

2
3

x2

4
x3

KUA

x4

Dimana :
x1 = bobot prioritas PBM

x3 = bobot prioritas KS

x2 = bobot prioritas LP

x4 = bobot prioritas

KUA

Matriks Perbandingan berpasangan pada level ketiga adalah sebagai berikut :

a). Matriks perbandingan berpasangan terhadap PBM


Tabel 2.5 Matriks perbandingan berpasangan terhadap PBM
PBM
A
B
C

1
2
3

2
1

1
2
3

2
2

1
2
3

Bobot prioritas
a1

3
b1

3
c1

Dimana :
a1 = bobot prioritas alternatif A terhadap PBM
b1 = bobot prioritas alternatif B terhadap
PBM c1 = bobot prioritas alternatif C terhadap
PBM

b). Matriks perbandingan berpasangan terhadap LP


Tabel 2.6 Matriks perbandingan berpasangan terhadap LP
LP
A
B

1
2

2
1

1
2

2
2

1
2

Bobot prioritas
a2

3
b2

c2

Dimana :
a2 = bobot prioritas alternatif A terhadap LP
b2 = bobot prioritas alternatif B terhadap LP
c2 = bobot prioritas alternatif C terhadap
LP

c). Matriks perbandingan berpasangan terhadap KS


Tabel 2.7 Matriks perbandingan berpasangan terhadap KS
KS
A
B
C

2
3

1
1

1
2

1
2
3

Bobot prioritas
a3

3
b3

3
c3

Dimana :
a3 = bobot prioritas alternatif A terhadap KS
b3 = bobot prioritas alternatif B terhadap
KS c3 = bobot prioritas alternatif C terhadap
KS

d). Matriks perbandingan berpasangan terhadap KUA


Tabel 2.8 Matriks perbandingan berpasangan terhadap KUA
KUA
A
B
C

1
2
3

2
1
1

1
2

1
2
3

Bobot prioritas
a4

3
b4

3
c4

Dimana :
a4 = bobot prioritas alternatif A terhadap KUA
b4 = bobot prioritas alternatif B terhadap KUA
c4 = bobot prioritas alternatif C terhadap
KUA

Untuk menentukan bobot prioritas global dapat diperoleh dengan melakukan perkalian
bobot prioritas lokal pada level dua dan level tiga seperti pada tabel berikut :

Tabel 2.9 Prioritas Global


Kriteria

K1

K2

K3

K4

Prioritas global

Bobot

x1

x2

x3

x4

a1

a2

a3

a4

b1

b2

b3

b4

c1

c2

c3

c4

Dimana :
X = prioritas global sekolah A
Y = prioritas global sekolah B
Z = prioritas global sekolah C

Dari tabel tersebut prioritas global dapat dirumuskan sebagai berikut :


X a1x1 a2 x2 a3 x3 a4 x4
Y b1x1 b2 x2 b3 x3 b4 x4
Z c1x1 c2 x2 c3 x3 c4 x4

(17)

2.3.1 Analisis Sensitivitas pada Bobot Prioritas dari Kriteria Keputusan

Analisis sensitivitas pada kriteria keputusan dapat terjadi karena ada informasi
tambahan sehingga decision maker mengubah penilaiannya. Akibat terjadinya perubahan
penilaian menyebabkan berubahnya urutan prioritas.
Dari persoalan di atas dituliskan persamaan urutan prioritas global sebagai berikut :
X a1 x1 a2 x2 a3 x3 a4 x4
Y b1 x1 b2 x2 b3 x3 b4 x4
Z c1 x1 c2 x2 c3 x3 c4 x4

(18)

Apabila dilakukan perubahan terhadap penilaian dimana bobot prioritas kriteria x1


Maka urutan prioritas berubah. Bobot prioritas kriteria x1 dapat diubah lebih kecil dari x1
atau lebih besar dari x1. Analisis sensitivitas ini juga dapat dilakukan terhadap kriteria
kriteria lainnya yaitu kriteria x2, x3, dan x4. Sehingga analisis ini menunjukkan perubahan
terhadap urutan prioritas.

40

BAB 3
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas secara khusus tentang penetapan prioritas menggunakan
metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dan analisis sensitivitas serta pengaruhnya
terhadap urutan prioritas.

3.1 Perhitungan Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria

Pada gambar 2.2 mengilustrasikan struktur hirarki permasalahan pemilihan


sekolah terbaik. Setelah penyusunan hirarki, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
perbandingan antara elemen dengan memperhatikan pengaruh elemen pada level
diatasnya. Pembagian pertama dilakukan untuk elemen elemen pada level kriteria
dengan memperhatikan level diatasnya yaitu goal atau tujuan utama. Pada level dua
terdiri dari kriteria proses belajar mengajar (PBM), lingkungan pergaulan (LP), kehidupan
sekolah secara umum (KS), dan kualifikasi yang diminta sekolah (KUA). Pembandingan
dilakukan dengan menggunakan skala satu sampai sembilan dan memenuhi aksioma
aksioma pada metode AHP. Matriks perbandingan berpasangan dari level dua dengan
memperhatikan level satu adalah :

Tabel 3.1 Matriks Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria


PBM

LP

KS

KUA

PBM

LP

1/2

KS

1/8

1/7

1/5

KUA

1/4

1/3

Perhitungan matriks untuk semua kriteria :

Tabel 3.2 Matriks Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria


yang disederhanakan
PBM

LP

KS

KUA

PBM

1, 000

2, 000

8, 000

4, 000

LP

0, 500

1, 000

7, 000

3, 000

KS

0, 125

0, 142

1, 000

0, 200

KUA

0, 250

0, 333

5, 000

1, 000

1, 875

3, 475

21, 000

8, 200

Dengan unsur unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang
bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen
dihasilkan dari rata rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada
tabel sebagai berikut :

Tabel 3.3 Matriks Faktor Pembobotan Hirarki Untuk semua Kriteria


yang dinormalkan
PBM

LP

KS

KUA

Vektor Eigen (yang


dinormalkan)

PBM

0, 533

0, 575

0, 380

0, 487

0, 493

LP

0, 266

0, 287

0, 333

0, 365

0, 312

KS

0, 066

0, 047

0, 047

0, 024

0, 046

KUA

0, 133

0, 095

0, 238

0, 121

0, 146

Selanjutnya nilai eigen maksimum (maksimum )

diperoleh dengan menjumlahkan

hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang
disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah
sebagai berikut :

maksimum (1, 875 x 0, 493) + (3, 475 x 0, 312) + (21 x 0, 046) + (8, 200 x 0, 146)
= 4, 171

Karena matriks berordo 4 (yakni terdiri dari 4 kriteria), nilai indeks konsistensi
yang diperoleh :
CI

max n
n1

4,171 4
41

0,057

Untuk n = 4, RI = 0, 900 (tabel Saaty), maka :


CR

CI
RI

0,057
0,900

0,063

Karena CR < 0, 100 berarti preferensi penilaian adalah konsisten.

Dari hasil perhitungan pada tabel diatas menunjukkan kriteria Proses Belajar
Mengajar (PBM) merupakan kriteria yang paling penting dalam menentukan sekolah
terbaik dengan nilai bobot 0, 493 atau 49, 3%, berikutnya kriteria Lingkungan Pergaulan
(LP) dengan nilai bobot 0, 312 atau 31, 2%, kriteria kualifikasi yang diminta sekolah
dengan nilai bobot 0, 146 atau 14, 6% dan kriteria kehidupan sekolah secara umum
dengan nilai bobot 0, 046 atau 4, 6%.

3.2 Perhitungan Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar

Perbandingan berpasangan untuk kriteria proses belajar mengajar pada tiga


sekolah menengah atas yaitu perbandingan berpasangan antara sekolah A dengan sekolah
B, sekolah A dengan sekolah C. Perbandingan sekolah B dengan sekolah A, sekolah B
dengan sekolah C. Perbandingan sekolah C dengan sekolah A, sekolah C dengan sekolah
B. Maka matriks perbandingan berpasangan preferensi diatas adalah sebagai berikut :

Tabel 3.4 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar
PBM

1/3

1/2

1/3

Perhitungan matriks untuk kriteria Proses Belajar Mengajar

Tabel 3.5 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar yang
disederhanakan
PBM

1, 000

0, 333

0, 500

3, 000

1, 000

3, 000

2, 000

0, 333

1, 000

6, 000

1, 666

4, 500

Dengan unsur unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang
bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen
dihasilkan dari rata rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel 3.6 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Proses Belajar Mengajar
yang dinormalkan
Vektor Eigen (yang
PBM

dinormalkan)

0, 161

0, 199

0, 111

0, 158

0. 500

0,600

0, 666

0, 588

0, 333

0, 199

0, 222

0, 251

Selanjutnya nilai eigen maksimum (


maksimum )

diperoleh dengan menjumlahkan

hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang
disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah
sebagai berikut :

maksimum (6, 000 x 0, 158) + (1, 666 x 0, 588) + (4, 500 x 0, 251)
= 3, 056
Karena matriks berordo 3 (yakni terdiri dari 3 alternatif), maka nilai indeks
konsistensi yang diperoleh adalah :
CI

max n
n1

3,056 3
31

0,028

Untuk n = 3, RI = 0, 580 (tabel skala saaty), maka ;


CR

CI
RI

0,028
0,580

0,048

Karena CR < 0, 100 berarti preferensi penilaian adalah konsisten.

Dari hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh urutan prioritas lokal untuk
kriteria Proses Belajar Mengajar yaitu sekolah B menjadi prioritas pertama dengan nilai
bobot 0, 588 atau 58, 4%, kemudian sekolah C menjadi prioritas ke-2 dengan nilai bobot
0, 251 atau 25, 1%, sekolah A menjadi prioritas ke-3 dengan nilai bobot 0, 158 atau 15,
8%.

3.3 Perhitungan Faktor Evaluasi untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan


Tabel 3.7 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan
LP

1/2

1/2

1/2

Perhitungan matriks untuk kriteria Lingkungan Pergaulan :

Tabel 3.8 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan


yang disederhanakan
LP

1, 000

2, 000

2, 000

0, 500

1, 000

0, 500

0, 500

2, 000

1, 000

2, 000

5, 000

3, 500

Dengan unsur unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang
bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen
dihasilkan dari rata rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada
tabel berikut ini :

Tabel 3.9 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Lingkungan Pergaulan


yang dinormalkan
Vektor Eigen (yang
LP

dinormalkan)

0, 500

0, 400

0, 571

0, 490

0. 250

0, 200

0, 142

0, 197

0, 250

0, 400

0, 285

0, 311

Selanjutnya nilai eigen maksimum (maksimum )

diperoleh dengan menjumlahkan

hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang
disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah
sebagai berikut :

maksimum (2, 000 x 0, 490) + (5, 000 x 0, 197) + (3, 500 x 0, 311)

= 3, 053

Karena matriks berordo 3 (yakni terdiri dari 3 alternatif), maka nilai indeks
konsistensi yang diperoleh adalah :
CI

max n
n1

3,053 3
31

0,026

Untuk n = 3, RI = 0, 580 (tabel skala saaty), maka ;


CR

CI
RI

0,026
0,580

0,044

Karena CR < 0, 100 berarti preferensi penilaian adalah konsisten.

Dari hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh urutan prioritas lokal untuk
kriteria Lingkungan Pergaulan yaitu sekolah A menjadi prioritas pertama dengan nilai
bobot 0, 490 atau 49%, kemudian sekolah C menjadi prioritas ke-2 dengan nilai bobot
0, 311 atau 31, 1%, sekolah B menjadi prioritas ke-3 dengan nilai bobot 0, 197 atau 19,
7%.

3.4 Perhitungan Faktor Evaluasi untuk Kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum
Tabel 3.10 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah Secara
Umum
KS

1/2

1/4

1/4

Perhitungan matriks untuk kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum :

Tabel 3.11 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah


Secara umum yang disederhanakan
KS

1, 000

0, 500

0, 250

2, 000

1, 000

0, 250

4, 000

4, 000

1, 000

7, 000

5, 500

1, 500

Dengan unsur unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang bersangkutan,
akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen dihasilkan dari rata
rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.12 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kehidupan Sekolah


Secara Umum yang dinormalkan
Vektor Eigen (yang
KS

dinormalkan)

0, 142

0, 090

0, 166

0, 132

0. 285

0, 181

0, 166

0, 210

0, 570

0, 727

0, 666

0, 654

Selanjutnya nilai eigen maksimum (maksimum )

diperoleh dengan menjumlahkan

hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang
disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah
sebagai berikut :

maksimum (7, 000 x 0, 132) + (5, 500 x 0, 210) + (1, 500 x 0, 654)
= 3, 060

Karena matriks berordo 3 (yakni terdiri dari 3 alternatif), maka nilai indeks
konsistensi yang diperoleh adalah :
CI

max n
n1

3,060 3
31

0,030

Untuk n = 3, RI = 0, 580 (tabel skala saaty), maka ;


CR

CI
RI

0,030
0,580

0,050

Karena CR < 0, 100 berarti preferensi penilaian adalah konsisten.

Dari hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh urutan prioritas lokal untuk
kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum yaitu sekolah C menjadi prioritas pertama
dengan nilai bobot 0, 654 atau 65, 4%, kemudian sekolah B menjadi prioritas ke-2 dengan
nilai bobot 0, 210 atau 21%, sekolah A menjadi prioritas ke-3 dengan nilai bobot 0, 132
atau 13, 2%.

3.5 Perhitungan Faktor Evaluasi untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta Sekolah
Tabel 3.13 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta
Sekolah
KUA

1/2

1/4

1/3

Perhitungan matriks untuk kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum :

Tabel 3.14 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta
Sekolah yang disederhanakan
KUA

1, 000

2, 000

4, 000

0, 500

1, 000

3, 000

0, 250

0, 333

1, 000

1, 750

3, 300

9, 000

Dengan unsur unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang
bersangkutan, akan diperoleh bobot relatif yang dinormalkan. Nilai vektor eigen
dihasilkan dari rata rata nilai bobot relatif untuk setiap baris. Hasilnya dapat dilihat pada
tabel berikut ini :

Tabel 3.15 Matriks Faktor Evaluasi Untuk Kriteria Kualifikasi yang diminta
Sekolah yang dinormalkan
Vektor Eigen (yang
KUA

dinormalkan)

0, 571

0, 600

0, 444

0, 538

0. 285

0, 300

0, 333

0, 306

0, 142

0, 099

0, 111

0, 117

Selanjutnya nilai eigen maksimum

(maksimum )

diperoleh dengan menjumlahkan

hasil perkalian antara jumlah entri-entri kolom pada matriks faktor pembobotan yang
disederhanakan dengan vektor eigen. Nilai eigen maksimum yang diperoleh adalah
sebagai berikut :

50

maksimum (1, 750 x 0, 538) + (3, 333 x 0, 306) + (9, 000 x 0, 117)
= 3, 092

Karena matriks berordo 3 (yakni terdiri dari 3 alternatif), maka nilai indeks
konsistensi yang diperoleh adalah :
CI

max n
n1

3,092 3
31

0,046

Untuk n = 3, RI = 0, 580 (tabel skala saaty), maka ;


CR

CI
RI

0,046
0,580

0,079

Karena CR < 0, 100 berarti preferensi penilaian adalah konsisten.

Dari hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh urutan prioritas lokal untuk
kriteria Kualifikasi yang diminta Sekolah yaitu sekolah A menjadi prioritas pertama
dengan nilai bobot 0, 538 atau 53, 8%, kemudian sekolah B menjadi prioritas ke-2 dengan
nilai bobot 0, 306 atau 30, 6%, sekolah C menjadi prioritas ke-3 dengan nilai bobot 0, 117
atau 11, 7%.

3.6 Perhitungan Total Rangking/Prioritas Global

3.6.1 Faktor Evaluasi Total

Dari seluruh evaluasi yang dilakukan terhadap faktor faktor proses balajar mengajar,
lingkungan pergaulan, kehidupan sekolah secara umum dan kualifikasi yang diminta
sekolah diperoleh factor evaluasi total sebagai berikut :

Tabel 3.16 Matriks Faktor Evaluasi Total


Faktor

PBM

LP

KS

KUA

0, 158

0, 490

0, 132

0, 538

0, 588

0,197

0, 210

0, 306

0, 251

0. 311

0, 654

0, 117

3o.t6a.l2RaTngking/Prioritas Global

Total rangking/prioritas global diperoleh dengan mengalikan matriks faktor evaluasi total
dengan matriks pembobotan hirarki, yaitu :
0,493
0,158 0,490 0,132 0,538 0,312 0,313
0,403
0,588 0,196 0,210 0,306

0.046

0,251 0,311 0,654 0,117


0,267
0,146

Dari hasil perhitungan diatas diperoleh urutan prioritas global yaitu sekolah B menjadi
prioritas utama (40, 3%), kemudian sekolah A (31, 3%) dan sekolah C (26, 7%).

3.7 Analisis Sensitivitas AHP Pada Bobot Prioritas Kriteria Keputusan

Untuk menentukan total rangking/prioritas global, matriks diatas dapat juga


ditunjukkan seperti tabel berikut :

Tabel 3.17 Prioritas Global Pemilihan Sekolah Terbaik


Kriteria

PBM

LP

KS

KUA

Prioritas

Bobot

0, 493

0, 312

0, 046

0, 146

Global

0, 158

0, 490

0, 132

0, 538

0, 313

0, 588

0,197

0, 210

0, 306

0, 403

0, 251

0. 311

0, 654

0, 117

0, 267

3.7.1 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Proses Belajar Mengajar

Model prioritas global sekolah A, B dan C dinyatakan pada persamaan 17,


sehingga prioritas global tersebut diperoleh sebagai berikut:
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,313
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,403
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,267

Dari kondisi diatas, terlihat bobot prioritas PBM adalah 0, 493 dan pada kondisi
tersebut prioritas global sekolah B adalah prioritas yang paling utama yaitu 0, 403,
kemudian prioritas global sekolah A adalah 0, 313 dan sekolah C dengan bobot prioritas
global 0, 267.

Apabila bobot prioritas PBM diturunkan ke 0, 300, maka urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :

A (0,300) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)


0,283
B (0,300) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,290
C (0,300) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,219

Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 290 atau 29% disusul A dengan bobot 0, 283 atau 28, 3%
dan C dengan bobot 0, 219 atau 21, 9%.

Apabila bobot prioritas PBM diturunkan ke 0, 200, maka urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :
A (0,200) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,267
B (0,200) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,231
C (0,200) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,194

Urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan prioritas tertinggi


dengan bobot 0, 267 atau 26, 7% menggeser B dengan bobot 0, 231 atau 23, 1% dan C
tetap di urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 194 atau 19, 4%.

Apabila bobot prioritas PBM diturunkan ke 0, 100, maka urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :
A (0,100) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,251
B (0,100) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,172
C (0,100) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,169
Urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan prioritas tertinggi
dengan bobot 0, 251 atau 25, 1% menggeser B dengan bobot 0, 172 atau 17, 2% dan C
tetap di urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 169 atau 16, 9%.

Apabila bobot prioritas PBM naik menjadi 0, 500, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,500) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,315
B (0,500) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,408
C (0,500) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,269

Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 408 atau 40, 8% disusul A dengan bobot 0, 315 atau 31,
5% dan C dengan bobot 0, 269 atau 26, 9%.

Apabila bobot prioritas PBM naik sampai menjadi 0, 600, urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :
A (0,600) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,330
B (0,600) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,466
C (0,600) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,294
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 466 atau 46, 6% disusul A dengan bobot 0, 330 atau 33%
dan C dengan bobot 0, 294 atau 29, 4%.

Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas PBM sensitif
ketika diubah dari 0, 493 menjadi 0, 200.

3.7.2 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Lingkungan Pergaulan

Pada keadaan bobot prioritas LP adalah 0, 312 dan pada keadaan tersebut prioritas
global sekolah B adalah prioritas yang paling utama yaitu 0, 403, kemudian prioritas
global sekolah A adalah 0, 313 dan sekolah C dengan bobot prioritas global 0, 267.

Apabila bobot prioritas LP diturunkan ke 0, 200, maka urutan prioritas global


adalah sebagai berikut :

A (0,493) (0,158) (0,200) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)


0,259
B (0,493) (0,588) (0,200) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,381
C (0,493) (0,251) (0,200) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,232

Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 381 atau 38, 1% disusul A dengan bobot 0, 259 atau 25,
9% dan C dengan bobot 0, 232 atau 23, 2%.

Apabila bobot prioritas LP diturunkan ke 0, 100, maka urutan prioritas global


adalah sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,100) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538) 0,210
B (0,493) (0,588) (0,100) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,361
C (0,493) (0,251) (0,100) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,201
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 361 atau 36, 1% disusul A dengan bobot 0, 210 atau 21%
dan C dengan bobot 0, 201 atau 20, 1%.

Apabila bobot prioritas LP naik menjadi 0, 400, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,400) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,357
B (0,493) (0,588) (0,400) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,420
C (0,493) (0,251) (0,400) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,294
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 420 atau 42% disusul A dengan bobot 0, 357 atau 35, 7%
dan C dengan bobot 0, 294 atau 29, 4%.

Apabila bobot prioritas LP naik menjadi 0, 500, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,500) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,406
B (0,493) (0,588) (0,500) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,440
C (0,493) (0,251) (0,500) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,325

Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 440 atau 44% disusul A dengan bobot 0, 406 atau 40, 6%
dan C dengan bobot 0, 325 atau 32, 5%.

Apabila bobot prioritas LP naik menjadi 0, 600, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,600) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,455
B (0,493) (0,588) (0,600) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,460
C (0,493) (0,251) (0,600) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,356
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 460 atau 46% disusul A dengan bobot 0, 455 atau 45, 5%
dan C dengan bobot 0, 356 atau 35, 6%.

Apabila bobot prioritas LP naik menjadi 0, 700, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,700) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,504
B (0,493) (0,588) (0,700) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,479
C (0,493) (0,251) (0,700) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,387
Urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan prioritas tertinggi
dengan bobot 0, 504 atau 50, 4% menggeser B dengan bobot 0, 479 atau 47, 9%
tetap di urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 387 atau 38, 7%.

dan C

Apabila bobot prioritas LP naik menjadi 0, 800, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,800) (0,490) (0,046) (0,132) (0,146) (0,538)
0,553
B (0,493) (0,588) (0,800) (0,197) (0,046) (0,210) (0,146) (0,306)
0,499
C (0,493) (0,251) (0,800) (0,311) (0,046) (0,654) (0,146) (0,117)
0,418

Urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan prioritas tertinggi


dengan bobot 0, 553 atau 53, 3% menggeser B dengan bobot 0, 499 atau 49, 9%

dan C

tetap di urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 418 atau 41, 8%.

Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas LP sensitif


ketika diubah dari 0, 312 menjadi 0, 700.

3.7.3 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum

Pada keadaan bobot prioritas KS adalah 0, 046 dan pada keadaan tersebut prioritas
global sekolah B adalah prioritas yang paling utama yaitu 0, 403, kemudian prioritas
global sekolah A adalah 0, 313 dan sekolah C dengan bobot prioritas global 0, 267.

Apabila bobot prioritas KS diturunkan ke 0, 030, maka urutan prioritas global


adalah sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,030) (0,132) (0,146) (0,538)
0,310
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,030) (0,210) (0,146) (0,306)
0,400
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,030) (0,654) (0,146) (0,117)
0,256
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 400 atau 40% disusul A dengan bobot 0, 310 atau 31%
dan C dengan bobot 0, 256 atau 25, 6%

Apabila bobot prioritas KS diturunkan ke 0, 020, maka urutan prioritas global


adalah sebagai berikut :

A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,020) (0,132) (0,146) (0,538)


0,309
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,020) (0,210) (0,146) (0,306)
0,398
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,020) (0,654) (0,146) (0,117)
0,250

Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 398 atau 39, 8% disusul A dengan bobot 0, 309 atau 30,
9% dan C dengan bobot 0, 250 atau 25%.

Apabila bobot prioritas KS naik menjadi 0, 100, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,100) (0,132) (0,146) (0,538) 0,320
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,100) (0,210) (0,146) (0,306)
0,415
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,100) (0,654) (0,146) (0,117)
0,302
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 415 atau 41, 5% disusul A dengan bobot 0, 320 atau 32%
dan C dengan bobot 0, 302 atau 30, 2%.

Apabila bobot prioritas KS naik menjadi 0, 200, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,200) (0,132) (0,146) (0,538)
0,333
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,200) (0,210) (0,146) (0,306)
0,436
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,200) (0,654) (0,146) (0,117)
0,367
Sekolah B tetap menjadi urutan prioritas global tertinggi dengan bobot 0, 436 atau
43, 6%

tetapi C menjadi urutan prioritas ke-2 dengan bobot 0, 367 atau 36, 7%

menggeser A dengan bobot 0, 333 atau 33, 3%.

Apabila bobot prioritas KS naik menjadi 0, 400, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,400) (0,132) (0,146) (0,538)
0,359
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,400) (0,210) (0,146) (0,306)
0,478
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,400) (0,654) (0,146) (0,117)
0,498

Urutan priotitas berubah dimana sekolah C menjadi urutan prioritas tertinggi


dengan bobot 0, 498 atau 49, 8% menggeser B dengan bobot 0, 478 atau 47, 8% dan A di
urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 359 atau 35, 9%.

Apabila bobot prioritas KS naik drastis sampai menjadi 0, 800, urutan prioritas
global adalah sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,800) (0,132) (0,146) (0,538)
0,412
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,800) (0,210) (0,146) (0,306)
0,562
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,800) (0,654) (0,146) (0,117)
0,760

Urutan priotitas berubah dimana sekolah C menjadi urutan prioritas tertinggi


dengan bobot 0, 760 atau 76% menggeser B dengan bobot 0, 562 atau 56, 2% dan A di
urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 412 atau 41, 2%.

Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas KS sensitif


ketika diubah dari 0, 046 menjadi 0, 200 dan 0, 400.

3.7.4 Analisis Sensitivitas Terhadap Kriteria Kualifikasi yang diminta Sekolah

Pada keadaan bobot prioritas KUA adalah 0, 146 dan pada keadaan tersebut
prioritas global sekolah B adalah prioritas yang paling utama yaitu 0, 403, kemudian
prioritas global sekolah A adalah 0, 313 dan sekolah C dengan bobot prioritas global 0,
267.
Apabila bobot prioritas KUA diturunkan ke 0, 040, maka urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :

A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,040) (0,538)


0,256
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,040) (0,306)
0,371
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,040) (0,117)
0,254

60

Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 371 atau 37, 1% disusul A dengan bobot 0, 256 atau 25,
6% dan C dengan bobot 0, 254 atau 25, 4%.

Apabila bobot prioritas KUA diturunkan ke 0, 030, maka urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,030) (0,538)
0,251
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,030) (0,306)
0,368
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,030) (0,117)
0,253
Sekolah B tetap menjadi urutan prioritas global tertinggi dengan bobot 0, 368 atau
36, 8%

tetapi C menjadi urutan prioritas ke-2 dengan bobot 0, 253 atau 25, 3%

menggeser A dengan bobot 0, 251 atau 25, 1%.

Apabila bobot prioritas KUA diturunkan ke 0, 020, maka urutan prioritas global
adalah sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,020) (0,538)
0,245
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,020) (0,306)
0,365
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,020) (0,117)
0,252

Sekolah B tetap menjadi urutan prioritas global tertinggi dengan bobot 0, 365 atau
36, 5%

tetapi C menjadi urutan prioritas ke-2 dengan bobot 0, 252 atau 25, 2%

menggeser A dengan bobot 0, 245 atau 24, 5%.

61
Apabila bobot prioritas KUA naik 0, 300, urutan prioritas global adalah sebagai
berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,300) (0,538)
0,396
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,300) (0,306)
0,450
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,300) (0,117)
0,285

Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 450 atau 45% disusul A dengan bobot 0, 396 atau 39, 6%
dan C dengan bobot 0, 285 atau 28, 5%.

Apabila bobot prioritas KUA naik menjadi 0, 500, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,500) (0,538)
0,504
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,500) (0,306)
0,512
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,500) (0,117)
0,308
Urutan prioritas tidak berubah dimana sekolah B tetap menjadi urutan prioritas
global tertinggi dengan bobot 0, 512 atau 51, 2% disusul A dengan bobot 0, 504 atau 50,
4% dan C dengan bobot 0, 308 atau 30, 8%.

Apabila bobot prioritas KUA naik menjadi 0, 600, urutan prioritas global adalah
sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,600) (0,538)
0,557
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,600) (0,306)
0,542
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,600) (0,117)
0,320
Urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan prioritas tertinggi
dengan bobot 0, 557 atau 55, 7% menggeser B dengan bobot 0, 542 atau 54, 2% dan C
tetap di urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 320 atau 32%.

Apabila bobot prioritas KUA naik drastis sampai menjadi 0, 800, urutan prioritas
global adalah sebagai berikut :
A (0,493) (0,158) (0,312) (0,490) (0,046) (0,132) (0,800) (0,538)
0,665
B (0,493) (0,588) (0,312) (0,197) (0,046) (0,210) (0,800) (0,306)
0,603
C (0,493) (0,251) (0,312) (0,311) (0,046) (0,654) (0,800) (0,117)
0,343

Urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan prioritas tertinggi


dengan bobot 0, 665 atau 66, 5% menggeser B dengan bobot 0, 603 atau 60, 3% dan C
tetap di urutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 343 atau 34, 3%.

Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas KUA sensitif
ketika diubah dari 0, 146 menjadi 0, 030 dan 0, 600.

BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dalam menentukan urutan prioritas


dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dan analisis sensitivitas
terhadap kriteria keputusan, maka diperoleh :

e4s.1imKpulan

1. Secara global, sekolah B merupakan prioritas pertama dengan bobot 0, 403 atau 40,
3%, kemudian sekolah A dengan bobot 0, 313 atau 31, 3% dan prioritas terakhir
adalah sekolah C dengan bobot 0, 267 atau 26, 7%.

2. Analisis sensitivitas pada kriteria Proses Belajar Mengajar dengan menurunkan bobot
prioritas dari 0, 493 menjadi 0, 300 maka diperoleh keadaan dimana urutan prioritas
tidak berubah. Apabila bobot prioritas diturunkan menjadi 0, 200 maka keadaan
berubah dimana A mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai bobot 0, 267
atau 26, 7% menggeser B dengan bobot 0, 231 atau 23, 1% kemudian C dengan bobot
0, 149 atau 14, 9%. Apabila bobot prioritas diturunkan menjadi 0, 100 maka keadaan
berubah dimana A mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai bobot 0, 251
atau 25, 1% menggeser B dengan bobot 0, 172 atau 17, 2% kemudian C dengan bobot
0, 169 atau 16, 9%.Apabila bobot prioritas Proses Belajar Mengajar dinaikkan dari 0,
493 menjadi 0, 500 dan 0, 600 maka diperoleh keadaan dimana urutan prioritas tidak
berubah.

Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas PBM sensitif
ketika diubah dari 0, 493 menjadi 0, 200.

3. Analisis sensitivitas pada kriteria Lingkungan Pergaulan dengan menurunkan bobot


prioritas dari 0, 312 menjadi 0, 200 dan 0, 100 maka diperoleh hasil urutan prioritas
tidak berubah. Apabila bobot proritas dinaikkan menjadi 0, 400, 0, 500 dan 0, 600
diperoleh hasil urutan prioritas tidak berubah. Apabila bobot prioritas Lingkungan
Pergaulan dinaikkan dari 0, 312 menjadi 0, 700 maka diperoleh keadaan A
mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai bobot 0, 504 atau 50, 4%
menggeser B dengan bobot 0, 479 atau 47, 9% kemudian C dengan bobot 0, 387 atau
38, 7%. Apabila bobot prioritas dinaikkan menjadi 0, 800 maka diperoleh keadaan
dimana A mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai bobot 0, 553 atau 55, 3%
menggeser B dengan bobot 0, 499 atau 49, 9% kemudian C dengan bobot 0, 418 atau
41, 8%.
Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas LP sensitif
ketika diubah dari 0, 312 menjadi 0, 700.

4. Analisis sensitivitas pada kriteria Kehidupan Sekolah Secara Umum dengan


menurunkan bobot prioritas dari 0, 046 menjadi 0, 030 dan 0, 020 maka diperoleh
hasil urutan prioritas tidak berubah. Apabila bobot prioritas Kehidupan Sekolah
Secara Umum dinaikkan dari 0, 046 menjadi 0, 100 maka diperoleh hasil urutan
prioritas tidak berubah. Apabila bobot proritas dinaikkan menjadi 0, 200 diperoleh
hasil B tetap menjadi urutan prioritas global tertinggi dengan bobot 0, 436 atau 43,
6% tetapi C menjadi urutan prioritas ke-2 dengan bobot 0, 367 atau 36, 7%
menggeser A dengan bobot 0, 333 atau 33, 3%. Apabila bobot prioritas naik menjadi
0, 400 maka urutan priritas berubah dimana C menjadi prioritas global tertinggi
dengan bobot 0, 498 atau 49, 8% menggeser B dengan bobot 0, 478 atau 47, 8%
kemudian A dengan bobot 0, 359 atau 35, 9%. Apabila bobot prioritas naik menjadi 0,
800 maka diperoleh keadaan dimana C mempunyai prioritas global tertinggi dengan
nilai bobot 0, 760 atau 76% menggeser B dengan bobot 0, 562 atau 56, 2% kemudian
A dengan bobot 0, 412 atau 41, 2%.

Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas KS sensitif ketika
diubah dari 0, 046 menjadi 0, 200 dan 0, 400

5. Analisis sensitivitas pada kriteria Kualifikasi yang diminta Sekolah dengan


menurunkan bobot prioritas dari 0, 146 menjadi 0, 040 maka diperoleh keadaan
dimana urutan prioritas tidak berubah. Apabila bobot prioritas menjadi 0, 030
diperoleh hasil B tetap menjadi urutan prioritas global tertinggi dengan bobot 0, 368
atau 36, 8% tetapi C menjadi urutan prioritas ke-2 dengan bobot 0, 253 atau 25, 3%
menggeser A dengan bobot 0, 251 atau 25, 1%. menjadi 0, 020 maka diperoleh
keadaan dimana B mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai bobot 0, 365
atau 36, 5% kemudian C dengan bobot 0, 252 atau 25, 2% menggeser A dengan bobot
0, 245 atau 24, 5%. Apabila bobot prioritas naik menjadi 0, 300 dan , 0, 500 maka
diperoleh hasil urutan prioritas tidak berubah. Apabila bobot prioritas dinaikkan
menjadi 0, 600 maka urutan prioritas berubah dimana sekolah A menjadi urutan
prioritas tertinggi dengan bobot 0, 557 atau 55, 7% menggeser B dengan bobot 0, 542
atau 54, 2% dan C tetap diurutan prioritas ke-3 dengan bobot 0, 320 atau 32% Apabila
bobot prioritas Kualifikasi yang diminta sekolah dinaikkan dari 0, 146 menjadi 0, 800
maka diperoleh keadaan dimana A mempunyai prioritas global tertinggi dengan nilai
bobot 0, 665 atau 66,5% menggeser B dengan bobot 0, 603 atau 60, 3% kemudian C
dengan bobot 0, 343 atau 34, 3%.
Dari analisis sensitivitas dapat disimpulkan bahwa bobot prioritas KUA sensitif ketika
diubah dari 0, 146 menjadi 0, 030 dan 0, 600.

Berdasarkan hasil tersebut, diperoleh kesimpulan umum bahwa analisis sensitivitas


pada bobot prioritas kriteria keputusan dengan mengubah bobot prioritas lebih besar atau
lebih kecil dapat mengubah urutan prioritas.

a4r.2anS

1. Disarankan kepada pembaca agar mengembangkan analisis sensitivitas terhadap


bobot prioritas alternatif keputusan.

2. Diharapkan kepada pembaca agar kajian perlu dikembangkan lebih lanjut untuk
menetapkan model interval atau batasan seberapa jauh bobot prioritas dari kriteria
diturunkan dan dinaikkan sehingga menyebabkan terjadinya perubahan urutan
prioritas.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ciptomulyono, Udisubakti dan Henry, DOU. 2000.


Model Fuzzy Goal
Programming untuk Penetapan Pembobotan Prioritas dalam Metode Analisis
Hirarki Proses (AHP), Jurnal IPTEK, Februari, pp.19 29
[2]

Hariyono, Joko Agus dan Ciptomulyono. 2006. Analisis Pemilihan Mitra LSM
dan Optimasi Budgeting dengan menggunakan metode AHP dan Goal
Programming, Jurnal Teknik Industri dan MMT ITS.

[3] Kosasi, Sandy. 2002. Sistem Penunjang Keputusan (Decision Support System).
Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
[4] Kuncoro, Mudrajad. 2005. Daya Tarik Investasi dan Pungli di DIY, Jurnal
Ekonomi Pembangunan, Vol. 10, No. 2, Agustus 2005. Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
[5] Latifah, Siti. Prinsip prinsip dasar Analytical Hierarchy Process. Jurnal Studi
Kasus Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.
[6]

Saaty, T. Lorie. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses


Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks,
Pustaka Binama Pressindo.

[7] Sukarto, Haryono. 2006. Pemilihan Model Transportasi di DKI Jakarta dengan
Analisis Kebijakan Proses Hirarki Analitik, Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3, No. 1,
Januari 2006, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang.
[8] Supriyono, Wardhana, Aryu Wusnu dan Sudaryo. 2007. Sistem Pemilihan
Pejabat Struktural dengan Metode AHP, Jurnal STTN BATAN, Yoyakarta.
[9] Susila, W dan Munadi, Ernawati. 2007. Penggunaan Analytic Hierarchy Process
Untuk Penyusunan Prioritas Proposal Penelitian, Jurnal Informatika Pertanian
Vol. 16, No. 2. Departemen Pertanian.
[10] Teknomo, K., Siswanto, H., dan Yudhanto, A. 1999. Penggunaan Metode
Analytic Hierarchy Process (AHP) dalam Menganalisa Faktor faktor yang
Mempengaruhi Pemilihan Moda ke Kampus, Jurnal Teknik Sipil, Vol. 1, No. 1
Maret 1999, Universitas Kristen Petra, Surabaya.
[11] Trisna, Darwin. 2001. Penerapan Proses Hirarki Analisis dalam Pembuatan
Keputuswan Investasi Jalan Tol Dalam Kota Bandung, Jurnal S2 Highway
System Engineering, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

[12]

http://getuk.wordpress.com/2006/11/30/analisasensitivitas-ahp/. Diakses pada


tanggal 4 Maret 2009.

Вам также может понравиться