Вы находитесь на странице: 1из 40

9.3.

1 Luka Bakar
Luka bakar dan luka akibat benda panas berkaitan dengan risiko tinggi kematian pada anak.
Yang bertahan hidup, akan menderita cacat dan trauma psikis sebagai akibat rasa sakit dan
perawatan yang lama di rumah sakit.
Penilaian
Luka bakar dapat terjadi pada sebagian lapisan kulit atau lebih dalam. Luka bakar yang dalam
(full-thickness) berarti seluruh ketebalan kulit pasien mengalami kerusakan dan tidak akan
terjadi regenerasi kulit.
Tanyakan dua hal berikut:

Sedalam apakah luka bakar tersebut?


o Luka bakar dalam, berwarna hitam/putih dan biasanya kering, tidak terasa dan
tidak memucat bila ditekan.
o Luka-bakar-sebagian, berwarna merah muda atau merah, melepuh atau berair
dan nyeri.

Seberapa luas tubuh pasien yang terbakar?


o Gunakan bagan luas permukaan tubuh berdasarkan umur berikut ini.
o Sebagai pilihan lain, gunakan telapak tangan pasien untuk memperkirakan luas
luka bakar. Telapak tangan pasien berukuran kira-kira 1% dari total permukaan
tubuhnya.

Bagan perkiraan persentase permukaan tubuh yang terbakar


Perkirakan total daerah yang terbakar dengan menjumlahkan persentase permukaan tubuh
yang terkena seperti yang ditunjukkan dalam gambar (lihat tabel untuk daerah AF yang
berubah sesuai dengan umur pasien).

Tatalaksana

Rawat inap semua pasien dengan luka bakar >10% permukaan tubuh; yang meliputi
wajah, tangan, kaki, perineum, melewati sendi; luka bakar yang melingkar dan yang
tidak bisa berobat jalan.

Periksa apakah pasien mengalami cedera saluran respiratorik karena menghirup asap
(napas mengorok, bulu hidung terbakar),
o Luka bakar wajah yang berat atau trauma inhalasi mungkin memerlukan
intubasi, trakeostomi

o Jika terdapat bukti ada distres pernapasan, beri oksigen (lihat bagian 10.7).

Resusitasi cairan (diperlukan untuk luka bakar permukaan tubuh > 10%). Gunakan
larutan Ringer laktat dengan glukosa 5%, larutan garam normal dengan glukosa 5%,
atau setengah garam normal dengan glukosa 5%.
o 24 jam pertama: hitung kebutuhan cairan dengan menambahkan cairan dari
kebutuhan cairan rumatan (lihat bagan 17) dan kebutuhan cairan resusitasi (4
ml/kgBB untuk setiap 1% permukaan tubuh yang terbakar)

Berikan dari total kebutuhan cairan dalam waktu 8 jam pertama, dan
sisanya 16 jam berikutnya.
Contoh: untuk pasien dengan berat badan 20 kg dengan luka bakar
25%
Total cairan dalam waktu 24 jam pertama
= (60 ml/jam x 24 jam) + 4 ml x 20kg x 25% luka bakar
= 1440 ml + 2000 ml
= 3440 ml (1720 ml selama 8 jam pertama)

o 24 jam kedua: berikan hingga cairan yang diperlukan selama hari pertama
o Awasi pasien dengan ketat selama resusitasi (denyut nadi, frekuensi napas,
tekanan darah dan jumlah air seni)
o Transfusi darah mungkin diberikan untuk memperbaiki anemia atau pada lukabakar yang dalam untuk mengganti kehilangan darah.

Mencegah Infeksi
o Jika kulit masih utuh, bersihkan dengan larutan antiseptik secara perlahan
tanpa merobeknya.
o Jika kulit tidak utuh, hati-hati bersihkan luka bakar. Kulit yang melepuh harus
dikempiskan dan kulit yang mati dibuang.
o Berikan antibiotik topikal/antiseptik (ada beberapa pilihan bergantung
ketersediaan obat: peraknitrat, perak-sulfadiazin, gentian violet, povidon dan
bahkan buah pepaya tumbuk). Antiseptik pilihan adalah perak-sulfadiazin
karena dapat menembus bagian kulit yang sudah mati. Bersihkan dan balut
luka setiap hari.
o Luka bakar kecil atau yang terjadi pada daerah yang sulit untuk ditutup dapat
dibiarkan terbuka serta dijaga agar tetap kering dan bersih.

Obati bila terjadi infeksi sekunder


o Jika jelas terjadi infeksi lokal (nanah, bau busuk, selulitis), kompres jaringan
bernanah dengan kasa lembap, lakukan nekrotomi, obati dengan amoksisilin
oral (15 mg/kgBB/dosis 3 kali sehari), dan kloksasilin (25 mg/kgBB/dosis 4

kali sehari). Jika dicurigai terdapat septisemia gunakan gentamisin (7.5


mg/kgBB IV/IM sekali sehari) ditambah kloksasilin (2550 mg/kgBB/dosis
IV/IM 4 kali sehari). Jika dicurigai terjadi infeksi di bawah keropeng, buang
keropeng tersebut .

Menangani rasa sakit


o Pastikan penanganan rasa sakit yang diberikan kepada pasien adekuattermasuk
perlakuan sebelum prosedur penanganan, seperti mengganti balutan.
o Beri parasetamol oral (1015 mg/kgBB setiap 6 jam) atau analgesik narkotik
IV (IM menyakitkan), seperti morfin sulfat (0.050,1 mg/kg BB IV setiap 24
jam) jika sangat sakit.

Periksa status imunisasi tetanus


o Bila belum diimunisasi, beri ATS atau immunoglobulin tetanus (jika ada)
o Bila sudah diimunisasi, beri ulangan imunisasi TT (Tetanus Toksoid) jika
sudah waktunya.

Nutrisi
o Bila mungkin mulai beri makan segera dalam waktu 24 jam pertama.
o Anak harus mendapat diet tinggi kalori yang mengandung cukup protein,
vitamin dan suplemen zat besi.
o Anak dengan luka bakar luas membutuhkan 1.5 kali kalori normal dan 2-3 kali
kebutuhan protein normal.

Kontraktur luka bakar


Luka bakar yang melewati permukaan fleksor anggota tubuh dapat mengalami kontraktur,
walaupun telah mendapatkan penanganan yang terbaik (hampir selalu terjadi pada
penanganan yang buruk).

Cegah kontraktur dengan mobilisasi pasif atau dengan membidai permukaan fleksor
Balutan dapat menggunakan gips. Balutan ini harus dipakai pada waktu pasien tidur.

Fisioterapi dan rehabilitasi

Harus dimulai sedini mungkin dan berlanjut selama proses perawatan luka bakar.

Jika pasien dirawat-inap dalam jangka waktu yang cukup lama, sediakan mainan
untuk pasien dan beri semangat untuk tetap bermain.

Penanganan Luka Bakar

PENDAHULUAN
Luka bakar menjadi masalah oleh karena angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Penanganan dan perawatan luka bakar (khususnya luka bakar berat)
memerlukan perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan
tersendiri karena angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.1 Di
Amerika dilaporkan sekitar 2 3 juta penderita setiap tahunnya dengan jumlah
kematian sekitar 5 6 ribu kematian per tahun. Di Indonesia sampai saat ini
belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah
angka kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSCM Jakarta, pada
tahun 1998 dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat, 62 % dari
jumlah tersebut merupakan luka bakar derajat II III( > 40 %) dengan angka
kematian 37,38%. Angka ini lebih kurang sama dengan tahun berikutnnya, di
tahun 1999 jumlah kasus yang dirawat adalah 88 kasus, 75 % dari jumlah
tersebut merupakan luka bakar derajat II III dan dengan angka kematian > 40
%dengan masa rawat terpanjang antara 32 38 hari. 1,2
Dari unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data bahwa kematian
umumnya terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka
bakar yang disertai cedera pada saluran napas.

Kematian umumnya terjadi pada 7 hari pertama masa perawatan (masalah


jangka pendek). Sementara sisa kasus yang bertahan hidup menghadapi
masalah tersendiri, antara lain lamanya masa perawatan yang berkisar antara
40 14 hari hari rawat dan dengan penyulit yang timbul (masalah jangka
panjang).1, 2
Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera berat yang memerlukan
penatalaksanaan sebaik-baiknya sejak awal. Peran masyarakat yang berhadapan
langsung serta pertolongan petugas yang menerima kasus ini pertama kali
sangat menentukan perjalanan penyakit ini selanjutnya. 1
Pada umumnya pasien luka bakar datang akan mengalami ancaman gangguan
airway (jalan napas), breathing (mekanisme bernapas), dan gangguan circulation
(sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa
saat setelah terjadi trauma, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran napas
akibat cedera inhalasi dalam 48 72 jam pascatrauma. Cedera inhalasi
merupakan penyebab kematian utama penderita pada fase akut. 2

Pada fase ini dapat terjadi pula gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan
elektrolit akibat cedera termal/panas yang berdampak sistemik. Pada luka bakar
berat atau mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti
dengan ekstravasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskular ke
jaringan interstisial dan mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskular dan
edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu
sehingga sirkulasi ke bagian distal terhambat yang akhirnya menyebabkan
gangguan perfusi sel atau jaringan atau organ (syok). Syok yang timbul harus
segera diatasi dengan melakukan resusitasi cairan. Adanya syok yang bersifat
hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang masih berkaitan
dengan instabilitas sirkulasi.2

PENILAIAN LUKA BAKAR


1. Derajat Kedalaman Luka Bakar
Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas
sumber, penyebab, dan lamanya kontak dengan tubuh penderita. Pembagiannya
terdiri atas 3 tingkat atau derajat, yakni:

2, 13

1. Luka bakar derajat I


Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superficial), 2,

9, 11

kulit hiperemik

berupa eritem, tidak dijumpai bula, dan terasa nyeri dengan intensitas ringan
sedang karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara
spontan dalam waktu singkat (beberapa hari) tanpa pengobatan khusus.2

2. Luka bakar derajat II


Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis,

2, 9

berupa reaksi inflamasi

disertai proses eksudasi dan terdapat bula. Luka ini menimbulkan nyeri sedang
berat karena terangsangnya nosiseptor dan tereksposnya ujung saraf bebas
akibat kerusakan jaringan dermis yang berguna sebagai pelindung. 2 Luka ini
dibedakan atas dua bagian, yaitu:

Derajat II dangkal/superficial (IIA) : Kerusakan mengenai bagian epidermis


dan lapisan atas dari dermis. Organ-organ kulit seperti folikel rambut,

kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea masih banyak. Penyembuhan


terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk sikatriks.

Derajat II dalam/deep (IIB) : Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian


dermis dan sisa-sisa jaringan epitel tinggal sedikit. Organ-organ kulit
seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea tinggal
sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama dan disertai parut hipertrofi.
Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.

3. Luka bakar derajat III


Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai
mencapai jaringan subkutan, otot, dan tulang. 2,

Organ kulit mengalami

kerusakan dan tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai bula. Kulit yang
terbakar berwarna abu-abu sampai berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi
protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar. Sensasi hilang
dan tidak dijumpai rasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik rusak.

Namun umumnya luka bakar derajat III merupakan bagian sentral dengan area
luka bakar derajat II di sekitarnya yang sangat nyeri. Penyembuhan terjadi lama
karena tidak terjadi epitelisasi spontan. 2

2. Luas Luka Bakar


Ada tiga metode yang umum digunakan dari perkiraan luas daerah luka bakar,
dan masing-masing metode memiliki peran dalam keadaan yang berbeda.
Eritema tidak boleh disertakan ketika menghitung luas daeran yang terbakar.

9, 11

Adapun metode tersebut yaitu, yaitu:

Luas permukaan palmar (Palmar surface)


Permukaan tangan pasien (termasukjari) kira-kira 0,8% dari total luas permukaan
tubuh. Permukaan palmardapat digunakan untuk memperkirakan luka bakar
yang relatif kecil (<15% dari total luas permukaan) atau luka bakar yang sangat
luas (> 85%). Untuk luka bakar berukuran sedang, metode ini tidak akurat.2,9, 14

Rumus 9 (Wallace rule of nine) untuk orang dewasa

Metode

ini

sangat

baik,

dan

umumnnya

dipakai

dalam

memperkirakan

persentase luas permukaan luka bakar (total body surface area - TBSA). Cara
perkiraan sangat cepat untuk perkiraan luka bakar sedang sampai berat pada
orang dewasa. Wallace membagi tubuh atas bagian-bagian 9% atau kelipatan
dari 9 yang dikenal dengan rule of nine atau rule of Wallace. Luas kepala dan
leher, dada,

punggung,

pinggang

dan bokong,

ekstremitas atas kanan,

ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta
tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. 2, 9,
11, 13, 14, 15

Gambar4.Rumus9(Wallaceruleofnine)untukorangdewasa
Padaanakdanbayidigunakanrumuslainkarenaluasrelatifpermukaankepalaanakjauhlebihbesar
danluasrelatifpermukaankakilebihkecil.Karenaperbandinganluaspermukaanbagiantubuhanak
kecilberbeda,dikenalrumus10untukbayi,danrumus101520untukanak. 2,9,13

Gambar5.Perbandinganestimasidariluasnyadaerahterbakarpadaanakanakdandewasa. 9,13

MetodeLunddanBrowder
Metode ini, jika digunakan dengan benar, merupakan metode paling akurat. Metode ini
mengkompensasi variasi tubuh bentuk dengan usia sehingga dapat memberikan penilaian yang
daerahlukabakaryangakuratpadaanakanak.9,14
Apabilatidaktersediatabeltersebut,perkiraanluaspermukaantubuhpadaanakdapatmenggunakan
Rumus9dandisesuaikandenganusia:
Padaanakdibawahusia1tahun:kepala18%dantiaptungkai14%.Torsodanlenganpersentasenya
samadengandewasa.
Untuktiappertambahanusia1tahun,tambahkan0.5%untuktiaptungkaidanturunkanpersentasi
kepalasebesar1%hinggatercapainilaidewasa.

Tabel 2. Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage
of body surface area affected by burns in children.

Kulit berpigmen biasanya sulit untuk dinilai, dan dalam kasus seperti ini mungkin perlu untuk
menyingkirkansemualapisanepidermislonggaruntukmenghitungukuranlukabakar.9
Sangatlah penting untuk menilai semua bagian tubuhyang terkena luka bakar. Selama penilaian,
lingkungan harus tetap hangat. 9 Tutup permukaan yang terpapar luka bakar ini berguna untuk
emncegah kehilangan panas dan mengurangi resiko infeksi. 13 Penutupan luka bakar juga
sangat perlu sebab dengan adanya aliran udara di atas permukaan luka bakar
akan memperberat nyeri.13
Pada pasien ini dalam mengitung luas permukaan luka bakar sebagai dasar
resusitasi cairan digunakan Rumus 9 (Wallace rule of nine). Hal ini dikarenakan
metode ini sangat baik, dan umumnnya banyak digunakan oleh praklinisi. Selain
itu cara perkiraannya juga sangat cepat untuk memperkirakan luas luka bakar
pada pasien dengan luka bakar sedang sampai berat pada orang dewasa.

3. Berat Ringannya Luka Bakar

Kriteria berat ringannya luka bakar menurut American Burn Association ialah:
1. Luka bakar ringan
a. Luka bakar derajat II < 15% pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III < 2%
2. Luka bakar sedang

a.
b.
c.

Luka bakar derajat II 15% 25% pada orang dewasa


Luka bakar derajat II 10% 20% pada anak-anak
Luka bakar derajat III < 10%

3. Luka bakar berat (mayor burn)


a.
b.
c.
d.
e.

2, 13

Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa


Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak
Luka bakar derajat III 10% atau lebih
Luka bakar mengenai wajah, telinga, mata, dan genitalia/perineum
Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain
Berdasarkan kritieria diatas dimana pasien memiliki luka bakar derajat II dengan
luas luka bakar 70 %, maka pasien termasuk dalam kriteria luka bakar berat
(mayor burn).

TRAUMA INHALASI
1 Patofisiologi
Trauma panas langsung yang disebabkan akibat menghirup udara panas dengan
suhu (150 C atau lebih tinggi) biasanya mengakibatkan luka bakar di orofaring,
wajah, dan saluran nafas bagian atas (di atas pita suara). Bahkan udara dengan
panas berlebih dengan cepat didinginkan sebelum mencapai saluran pernafasan
bawah

karena

efisiensi

pertukaran

panas

luar

biasa

di

orofaring

dan

nasopharing.4
Panas dan bahan kimia dalam asap menghasilkan cedera langsung pada mukosa
saluran nafas, mengakibatkan edema, eritema, dan ulserasi.

4, 13, 14

Meskipun

terjadi perubahan mukosa namun perubahan anatomis mungkin timbul beberapa


saat setelah luka bakar, perubahan fisiologis tidak akan timbul sampai terjadinya
edema yang cukup secara klinis mengganggu patensi jalan napas atas. Ini tidak
mungkin terjadi selama 12 sampai 18 jam.

Dalam beberapa keadaan makin diperburuk oleh keracunan carbon moniksida


(CO). Keracunan ini dapat menyebabkan rasa mual, muntah , sakit kepala
sampai gangguan mental, kejang dan

kematian tergangtung dari level

karboksihemoglobin dalam darah penderita.13, 14


Pemberian cairan dengan volume besar yang diperlukan untuk penanganan luka
bakar, dan perlepasan mediator dari kulit yang terbakar, sebagian bertanggung

jawab memperberat cedera. Oksidan dari asap dan dari sel-sel inflamasi
merupakan penyebab utama cedera.

2. Tahapan Klinis
Perjalanan klinis pasien dengan cedera inhalasi dibagi menjadi tiga tahap:

a. Tahap Pertama
Insufisiensi paru akut - Pasien dengan cedera paru berat akan menunjukkan
insufisiensi paru akut dalam 0-36 jam setelah cedera dengan asfiksia, keracunan
karbon monoksida, bronkospasme, obstruksi saluran napas atas dan kerusakan
parenkim.
b. Tahap Kedua
Edema paru - Tahap kedua ini terjadi pada 5-30% pasien, biasanya 48-96 jam
setelah terbakar.
c. Tahap Ketiga
Bronchopneumonia - Muncul di 15-60% dari jumlah pasien dengan laporan angka
kematian 50-86%. Bronchopneumonia biasanya terjadi 3-10 hari setelah luka
bakar, sering berkaitan dengan dahak lendir yang banyak yang terbentuk di
cabang tracheobronchial. Pneumonia muncul dalam beberapa hari pertama
biasanya karena spesies staphylococcus resisten penisilin, dan setelah 3-4 hari,
terjadi perunahan flora pada luka bakar luka ini tercermin dalam gambaran pada
paru-paru spesies gram negatif, terutama spesies Pseudomonas.

3 Diagnosa
Deteksi dini cedera bronkopulmonalis sangat penting dalam meningkatkan
kelangsungan hidup setelah dicurigai adanya trauma inhalasi.5
Tanda Klinis : Adanya riwayat paparan asap di ruang tertutup (pasien dengan
stupor atau sadar)5, 13, 14
Temuan Fisik: luka bakar wajah / hangus pada bulu hidung / bronchorrhea / dahak
dengan jelaga (Spooty sputum), teumuan auskultasi (whezing atau rales).5, 13, 14

Laju pernafasan yang cepat di indikasikan akibat terjadinya kerusakan saluran


nafas bawah yang di pengaruhi oleh edema yang terjadi kemudian atau bisa juga
diindikasikan akibat inhalasi asap dengan keracunan metabolik. 14
Temuan

laboratorium:

monoksida

hipoksemia

dan

atau

peningkatan

kadar

karbon

5, 13

4 Metode Diagnostik
Chest X-ray kurang membantu dan merupakan metode yang kurang sensitif
karena pasien masuk sangat jarang ditemukan abnormal dan mungkin masih
tetap normal selama tujuh hari kedepan setelah luka bakar.5, 14
Metode diagnostik standar pada setiap pasien luka bakar adalah bronkoskopi
untuk cedera saluran nafas bagian atas.5, 14 Temuan positif adalah: edema jalan
napas, peradangan, nekrosis mukosa,

adanya jelaga pada saluran nafas,

jaringan yang luruh, material karbon pada jalan napas. Semua pasien yang
memiliki tanda klinis cedera inhalasi yang tercantum di atas harus menjalani
bronkoskopi baik melalui endotrakeal tube atau transnasal dengan sedasi untuk
menentukan adanya cedera inhalasi.5
Untuk menentukan cedera parenkim metode yang paling spesifik adalah 133 Xe
lung scanning, metode ini melibatkan injeksi intravena gas xenon radioaktif
diikuti oleh serial chest scintiphotograms. Teknik ini mengidentifikasi daerah
udara yang terperangkap dari obstruksi jalan nafas parsial atau total dengan
gambaran daerah yang menunjukkan menurun laju gas di alveolar. Selain itu tes
fungsi paru dapat dilakukan dan dapat menunjukkan peningkatan resistensi dan
penurunan aliran pada mereka yang abnormal dengan 133 scan Xe.5

Penanganan
Perawatan umum
Penanganan dari cedera inhalasi harus mulai segera mungkin dengan pemberian
oksigen 100% melalui masker wajah atau kanul hidung. Hal ini membantu
reverse efek dari keracunan CO dan juga membantu dalam bersihannya.5,

14

Oksigen 100% menurunkan waktu paruhnya dari 250 menjadi kurang dari 50
menit.

COHb level
COHb level

Symtoms

0 - 10%

Minimal (normal level in heavy smokers)

10-20%

Nausea, headache

20-30%

Drowsiness, lethargy

30-40%

Confusion, agitation

40-50%
> 50%

Coma, respiratory depression Death

COHb = Carboxyhaemoglobin

Pemeliharaan jalan napas sangat penting. Jika adanya bukti awal edema saluran
napas bagian atas timbul, intubasi dini diperlukan karena edema saluran udara
bagian atas biasanya meningkat selama 8-12 h. Intubasi propilaktik tanpa
indikasi yang baik tidak mesti dilakukan. Metode intubasi harus dilakukan sesuai
dengan yang dianggap familier oleh intubator; baik rute hidung maupun mulut.
Kadang-kadang, cedera sekitar wajah dan leher memungkinkan resiko edema
pada saluran napas, sehingga teknik intubasi standar dengan pelumpuh mungkin
tidak aman. Dalam beberapa situasi, awake nasotracheal intubasi atau intubasi
serat optik, lebih disukai oleh beberapa personil yang berpengalaman.5
Pengunaan suxsamethonium dapat menyebabkan hiperkalemia akut, hal ini
dikarenakan migrasi ektra-junctional reseptor asetilkolin. Penggunaannya aman
dalam beberapa jam pertama, akan tetapi tidak boleh digunakan untuk 12 bulan
kemudian.14

Table 4. Kriteria Intubasi5


Criteria

Nilai

PaO2 (mm Hg)

< 60

PaCO2 (mm Hg)

> 50 (acutely)

P/F ratio
Respiratory/ventilatory failure

< 200

Upper airway edema

Impending
Severe

Menurut Shehan secara klinis indikasi untuk intubasi adalah :

10

Visualisasi secara langsung didapatkan eritema atau pembengkakan


oropharing.

Perubahan suara dengan batuk yang kasar atau suara serak.

Stridor, tachypnoe atau dyspnoea

Beberapa studi klinis telah menunjukkan bahwa edema paru tidak dapat
dicegah dengan restriksi cairan. Walaupun overhidrasi dapat menyebabkan
edema paru, tetapi hidrasi yang tidak cukup dapat meningkatkan keparahan
cedera paru dengan squestrasi sel polymorphonuclear yang mengarah pada
peningkatan mortalitas. Pada studi hewan dan study klinis, menunjukkan bahwa
resusitasi cairan sudah cukup jika indeks jantung normal atau urin output dapat
dipertahankan. Dalam hal ini mungkin diperlukan volume cairan yang lebih
banyak ( 2cc/kg /% TBSA luka bakar) dari yang dibutuhkan untuk luka bakar
dengan ukuran yang sama tanpa trauma inhalasi.5
Antibiotik profilaksis untuk trauma inhalasi tidak dianjurkan, tetapi jelas
diindikasikan
terapeutik).
kultur

untuk

5, 13, 14

infeksi

paru-paru

yang

didokumentasikan

(sebagai

Pilihan empiris untuk pengobatan pneumonia adalah hasil

sebelumnnya

dimana

harus

mencakup

jenis

methicillin-resisten

Staphylococcus aureus pada beberapa hari pertama setelah luka bakar (ini
berkembang dalam minggu pertama setelah luka bakar) dan organisme gram
negatif (terutama Pseudomonas atau Klebsiella) yang umumnya terjadi satu
minggu setelah luka bakar. Pemberian antibiotik sistemik didasarkan pada
monitoring

serial

dari

kultur

sputum,

bronkial

washing,

atau

aspirasi

transtraheal.5
Pada pemberian kortikosteroid, dalam beberapa studi klinis dan percobaan pada
hewan didapatkan peningkatan angka kematian dan pada bronkopneumonia
menunjukkan terjadinnya pembentukan abses

yang lebih luas, sehingga

penggunaan kortikosteroid masih merupakan suatu kontraindikasi.5, 14

Table 5. Kriteria Ekstubasi

Criteria
PaO2/FiO2 (P/F) ratio

Value
> 250

Maximum inspiratory pressure (MIP) (cm H2O)

> 60

Spontaneous tidal volume (ml/kg)

> 5-7

Spontaneous vital capacity (ml/kg)

> 15-20

Maximum voluntary ventilation


minute

> present twice the

Audible leak around the ET tube with cuff deflated

volume

PATOFISIOLOGI SYOK LUKA BAKAR


Cedera termal memberikan efek sirkulasi sistemik dan manajemen
hemodinamik merupakan penatalaksanaan yang utama. Setelah cedera termal
yang masif maka akan terjadi syok akibat hipovolemik intravaskuler, dan pada
sebagian

besar

kasus

dapat

terjadi

depresi

miokard.

Perubahan

ini

mengakibatkan penurunan curah jantung. Respon tubuh terhadap turunnya


curah jantung akan menimbulkan reflek peningkatan tahanan vaskuler sistemik
sebagai suatu usaha untuk mempertahankan tekanan darah arteri. Namun
begitu, jika status turunnya curah jantung ini dan tingginnya tahanan perifer
vaskuler yang akan menetap, maka akan menyebabkan terjadinnya hipoperfusi
jaringan. Hal ini terutaman terjadi pada sirkulasi splanknik yang sering kali
sebagai hasil kompensasi untuk memepertahankan perfusiorgan vital seperti
otak dan jantung.

Walaupun patifisiologi syok luka bakar tidak sepenuhnya dimengerti,


beberapa penelitian yang penting telah dilakukan. Tanda dari syok luka bakar

adalah peningkatan yang jelas pada permeabilitas vaskular baik pada jaringan
yang terbakar maupun tidak terbakar. Eksudasi cairan yang kaya protein pada
kompartemen intravaskular kedalam interstitial mengakibatkan hipovolemia
intravaskular dan akumulasi cairan interstitial yang masif. Aliran linfe kutaneus
meningkat secara praktis pada periode segera setelah luka bakar dan tetap
tinggi selama hampir 48 jam. Namun begitu akumulasi cairan yang progresive
yang berasal dari cairan intravaskuler kedalam interstitial akan menyebabkan
peningkatan aliran linfatik. Hal utama yang berhubungan dengan penyimpangan
cairan dalam jumlah yang besar adalah semua komponen dari hukum starling.
Perubahan yang spesifik termasuk :

1. Peningkatan permeabilitas koefesien mikrovaskuler (K) yang disebabkan


oleh pelepasan mediator lokal dan sistemik seperti bradikinin, histamin,
platelet activating factor dan leukotrien. Peningkatan pemeabilitas
vaskular melibatkan tidak hanya cairan dan elektrolit tetapi juga plasma
kolid. Pada jaringan yang terbakar, peningkatan permeabilitas vaskular
secara nyata sebagai akibat desrupsi endotelial.
2. Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (Pc) akibat dilatasi
mikrovaskular. Hal ini disebabkan karena produksi oksida nitrit dan
vasodilator prostaglandin yang menyebabkan peningkatan aliran darah
pada tempat terjadinnya luka bakar sama seperti daerah yang tidak
terkena trauma terpapar mediator infalamasi.
3. Penurunan tekanan hidrostatik interstitial (Pi). Walaupun penyebab nyata
terjadinnya tekanan negatif pada pasien luka bakar belum bisa di
mengerti, penomena ini telah dilaporkan pada beberapa penelitian. Lund,
dkk mengatakan bahwa tekanan negatif interstisial pada jaringan luka
bakar disebabkan oleh degradasi kolagen
4. Menurunkan tekanan onkotik intra vaskular
kebocoran protein dari ruang intravaskular.

(c)

diakibatkan

oleh

5. Peningkatan relatif tekanan onkotik interstitial (i) disebabkan oleh


pergerakan cairan yang kaya akan protein dari ruang intravaskular ke
ruang interstisial.

Kebocoran cairan dan protein kedalam ruang interstitial sering kali menyebabkan
hilangnya lapisan interstitial yang ditandai dengan peningkatan aliran limfe. Efek
yang nyata dari perubahan tersebut adalah perkembangan edema yang masiv
selama 12 24 jam setelah trauma termal yang disertai dengan hilangnnya
volume cairan intravaskular. Perkembangan edema yang progresive ini sangat
tergantung pada kecukupan volume resusitasi karena pemberian cairan akan
berdampak pada perkembangan terjadinnya edema. 3

Hipotensi yang dihubungkan dengan trauma luka bakar juga mempunyai


peranan dalam menyebabkan depresi miokard. Respon inflamasi akibat trauma
termal menyebabkan pelepasan Tumor Necrosis Factor (TNF-), Interleukin-1 (IL1) dan prostaglandin dalam jumlah yang besar. Mediator TNF- dan beberapa
faktor yang tidak dikenal dianggap berperan dalam menyebabkan depresi fungsi
miokard. Hipotensi disebabkan oleh deplesi volume intravaskular dan depresi
miokard akan menginduksi suatu reflek yang akan meningkatkan resistensi
pembuluh darah sistemik. Semua faktor ini menyebabkan penurunan curah
jantung dan penurunan perfusi jaringan jika pasien tidak diresusitasi secara
optimal. Jika pasien dapat bertahan pada stadium awal luka bakar dan sudah
teresusitasi secara edekwat, tingkat hiperdinamik sirkulasi pasien masih
berkembang kurang lebih 3 sampai 4 hari setelah trauma. Respon hiperdinamik
sirkulasi ini dipicu oleh reaksi inflamasi akibat adanya kerusakan jaringan yang
besar akibat luka bakar. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya SIRS ( Sistemic
Imflammatory Response Syndrome) yang ditandai dengan takikardi, menurunnya
resistensi pembuluh darah sistemik dan peningkatan curah jantung. 3
SIRS merupakan suatu tanda tanda yang bersifat berat yang ditandai dengan
takikardi, takipnue, demam, hingga hipotensi yang bersifat refrakter. Dan hal ini
merupakan suatu bentuk syok dan disfungsi multi organ yang bersifat berat.
Pada pasien dengan cedera termal, sebagian besar penyebab SIRS adalah luka
bakar itu sendiri. SIRS yang disertai dengan infeksi juga sering terjadi. Resusitasi
yang tertunda atau tidak adekwat merupakan faktor independent untuk resiko
berkembangnnya SIRS.3

RESUSITASI PASIEN LUKA BAKAR


Pasien luka bakar memerlukan resusitasi volume cairan yang besar segera
setelah trauma. Resusitasi cairan yang tertunda atau yang tidak adekwat
merupakan faktor resiko yang independent terhadap tingkat kematian pada
pasien dengan luka bakar yang berat diatas. Tujuan dari resusitasi pasien luka
bakar adalah untuk tetap menjaga perfusi jaringan dan meminimalkan edema
interstitial. Idealnya sedikit cairan dibutuhkan untuk menjaga perfusi jaringan
perlu diberikan. Pemberian volume cairan seharusnya secara terus menerus di
titrasi untuk menghindari terjadinnya resusitasi yang kurang atau yang
berlebihan. Ketika resusitasi cairan pada pasien luka bakar ditingkatkan, volume

cairan yang besar ditunjukkan untuk menjaga perfusi jaringan. Akan tetapi
resusitasi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinnya edema dan
terjadinya sindroma kompartement pada daerah abdomen dan ekstremitas.
Mengitip dari Pruitt, Paru paru dan kompartement jaringan akan dikorbankan
untuk meningkatkan fungsi ginjal, yang bermanifestasi sebagi edema post
resusitasi, kebutuhan fasciotomi pada ektremitas bawah yang tidak terbakar,
dan kejadian strong kompartement pada abdomen. 3
Sampai saat ini, belum ada kesepakatan tentang jenis cairan yang harus
digunakan untuk resusitasi luka bakar. Pada kenyataannya setiap jenis cairan
mempunyai keuntungan dan kerugian masing masing pada berbagai macam
kondisi. Akan tetapi yang paling penting adalah apaun jenis cairan yang
diberikan, volume cairan dan garam yang adekwat harus diberikan untuk
menjada perfusi jaringan dan memperbaiki homeostatis. 3

a. Kristaloid

Beberapa protokol resusitasi menggunakan kombinasi kristaloid, koloid, dan


cairan hipertonik, telah dikembangkan (Tabel 6).

Resusitasi cairan isotonik

kristaloid di gunakan pada sebagian pusat penanganan luka bakar dan


umumnnya merupakan hasil resusitasi yang adekwat. Buffer cairan kristaloid
seperti ringer laktat merupakan cairan yang paling popular untuk resusitasi
sampai saat ini. Formula resusitasi yang klasik di modifikasi oleh Brooke dan
Parkland. Formula modifikasi dari Brooke di kembangkan dari formula Evans dan
Brooke yang menyarankan pemberian 2 ml/ kg / % dari total tubuh yang terkena
luka bakar selama 24 jam pertama dan merupakan jenis formula pertama yang
berdasarkan persentase total permukaan tubuh yang terkena luka bakar.
Formula Brooke merupakan modifikasi dari formula Evans yang mengandung
persentase kristaloid yang relatif lebih besar di bandingkan koloid pada formula
Evans. Modifikasi formula Brooke murni menggunakan cairan kristaloid. Konsep
terbaru

yang

dikembangkan

oleh

Baxter

dan

Shires

menghasilkan

perkembangan 4 ml /kg / % luas permukaan tubuh yang terkena luka bakar.


Setengan dari volume cairan resusitasi diberikan pada 8 jam pertama dan
setengahnya lagi di berikan pada 16 jam berikutnnya setelah trauma. Akan
tetapi perlu diperhatikan bahwa formula ini merupakan suatu penuntun yang

sederhana untuk terapi cairan di mana pasien harus di monitor secara ketat
untuk mengoptimalisasi resusitasi syoks akibat luka bakar. Beberapa peneliti
memperlihatkan bahwa kebutuhan cairan terutama untuk pasien dengan area
luka bakar yang luas sering di prediksi dengan menggunakan rumus Parkland. 3
Kristaloid merupakan cairan yang paling sering digukan untuk resusitasi syok
akibat luka bakar. Sampai saat ini tidak ada studi prosfektif yang dapat
memperlihatkan bahwa koloid atau salin hipertonik memiliki mamfaat yang lebih
dibandingkan kristaloid isotonik dalam hal resusitasi pasien pasien luka bakar.
Selain itu kriataloid isotonik lebih murah dibandingkan koloid, meskipun kerugian
penggunaan kristaloid memerlukan volume yang realtif lebih besar untuk
resusitasi syok akibat luka bakar dan berpotensi menyebabkan terjadinnya
edema jaringan. Ada kemungkinan hal ini terjadi akibat resusitasi yang
berlebihan jika pasien tidak dimonitor ketat. Penumpukan cairan ini terjadi
terutama pada ruang interstitial. Kebanyakan studi tidak memperlihatkan insiden
edema paru pada pasien yang menerima resusitasi dengan kristaloid. Kolm dkk,
baru-baru ini mengkomfirmasi bahwa kebanyakan pasien-pasien luka bakar tidak
memperlihatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru setelah luka
bakar dan edema paru jarang terjadi selama tekanan pengisian intravaskuler
dipertahankan dalam batas normal. Komplikasi potensial yang lain akibat
resusitasi kristaloid yang berlebihan adalah hipoalbuminemia dan ketidak
seimbangan elektrolit. Perubahan ini belum memperlihatkan hubungan secara
signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas. 3

Tabel 6 . Formula untuk perkiraan resusitasi luka bakar pada orang dewasa. 3

Formula
Kristaloid

Koloid

Formula Kristaloid
Modifikasi Brooke
Parkland

Formula kristaloid + koloid

RL 2 ml/kg/% luka bakar


RL 4 ml/kg/% luka bakar

Evans
luka bakar

NaCl 1 ml/kg/% luka bakar

Brooke

1 ml/kg/%

RL 1,5 ml/kg/% luka bakar

Slater
75ml/kg/24 jam

0,5 ml/kg

RL 2 ltr / 24 jam

Demling
1ml/kg/% luka

FFP

Dektran dalam saline -

FFP 0,5-

2 ml/kg/jam

Bakar

RL (jaga urin output)

Formula hipertonik
Monafo (salin hipertonik)

250 mEq sodium / ltr


(1-2 ml/kg/% luka bakar)

Warden

RL + 50 mEq NaHCO3

(Modifikasi hipertonik)

(4 ml/kg/% luka bakar/8 jam pertama)


RL (jaga urin autput/ 8 jam kedua)
RL + Albumin
(jaga urin autput/ 8 jam ketiga)

b. Koloid
Secara teoritis koloid memberikan keuntungan yang lebih dalam menjaga
volume intravaskular dengan volume yang lebih sedikit dengan waktu yang lebih
pendek dibandingkan kristaloid. Pada pasien dengan endotel yang intak koloid
lebih bertahan lama dibandingkan kristaloid dalam kompartemen intravaskular.
Protein plasma memegang peranan yang penting dalam dalam mempertahankan
volume vaskular dengan memberikan tekanan koloidosmotik yang berlawanan
dengan tekanan hidrostatik intravaskular.3
Meskipun

demikian

vermianilitas

pada

vaskular

pasien

terhadap

luka

bakar

cairan

memperlihatkan

elektrolit

dan

kolid

penigkatan
sehingga

menyebabkan para peneliti mempertanyakan penggunaan koloid pada 8-24 jam

pertama setelah luka bakar. Akibat peningkatan permeabilitas vaskular yang


diobservasi pada luka bakar, koloid mungkin saja tidak bertahan lebih lama
dalam sirkulasi di bandingkan dengan kristaloid. Lebih lanjut beberapa ahli
merasa khawatir jika aliran koloid ke interstitial dapat memperburuk edema. 3
Meskipun demikian tingkat dan durasi permeabilitas vaskuler terhadap protein
plasma belum sepenuhnnya jelas dan sangat tergantung pada beratnya luka
bakar. Kemudian, beberapa pendekatan empiris terhadap penggunaan koloid
pada resusitasi syok luka bakar setelah dibuat beberapa ahli menganjurkan
untuk menghindari penggunaan koloid dalam 28 jam pertama setelah trauma
luka bakar. Mereke berpendapat bahwa koloid belum menunjukkan adanya
keuntungan dibandingkan kristaloid dalam resusitasi akibat syok luka bakar dan
dapat memperburuk edema. Yang lain menganjurkan penggunaan koloid protein
pada 8-12 jam pertama setelah luka bakar, sedangkan kelompok ke tiga
mennganjurkan penggunaan koloid protein selama resusitasi syok luka bakar.
Semua pendekatan tadi masih bersifat tidak jelas karena tidak ada bukti ilmiah
yang kuat yang mendukung pendekatan manapun. Studi terhadap binatang
menunjukkanbahwa koloid yang diberikan dalam 8 jam pertama setelah luka
bakar secara signifikan menurunkan kebutuhan cairan total. Beberapa peneliti
yang menunjukkan pemberian albumin pada 6-8 jam pertama setelah luka bakar
tidak meningkatkan insiden komplikasi pulmoner. Meski demikian, resusitasi
koloid dalam 24 jam pertama setelah luka bakar tidak menimbulkan adanya
perbaikan out-come bila dibandingkan dengan resusitasi kristaloid. Lebih lanjut,
meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa mortalitas yang lebih tinggi pada
pasien luka bakar yang menerima albumin sebagai protokol resusitasi awal
dengan 2,4 resiko relatif mortalitas dibanding dengan pasien yang hanya
mendapatkan

kristaloid.

Meski

demikian,

meta-analisis

ini

diragukan

metodeloginnya. Secara keseluruhan konsensus dinyatakan bahwa tidak ada


bukti yang cukup untuk menentukan apakah pemberian albumin dalam
resusitasi luka bakar menguntungkan atau merugikan. Oleh karena biaya yang
lebih besar dan keuntungan yang sedikit, koloid tidak digunakan secara rutin di
Amerika serikat untuk resusitasi awal pada pasien luka bakar. Namun demikian,
banyak yang tetap melakukan pemberian albumin sebagai bagian dari protokol
resusitasi luka bakar. Hal ini sangat jelas pada populasi anak-anak dimana kadar
protein plasma menurun secara cepat setelah luka bakar. 3

c. Cairan hipertonik
Penggunaan salin hipertonik baik sendiri maupun bersama sama dengan koloid
setelah dianjurkan oleh beberapa praktisi untuk resusitasi awal pada pasien luka
bakar. Salah satu keuntungan dari cairan hipertonik adalah mengurangi
kebutuhan volume untuk mencapai tingkat yang sama dengan cairan isotonik.
Secara teoritis pengurangan volume dari koloid yang dibutuhkan ini akan
mengurangi resiko terjadinya resiko edema paru dan edema jaringan yang dapat
mengurangi

insiden

intubasi

trakeal.

Cairan

salin

hipertonik

telah

memperlihatkan ekspansi volume intravaskular dengan jalan memindahkan


cairan dari intra selular dan kompartemen interstisial. Bagaimanapun ekspansi
intravaskular ini bersifat sementara. Beberapa peneliti telah memperlihatkan
besarnya total cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi tidak akan berkurang bila
digunakan cairan hipertonik pada awal luka bakar. 3
Walupun semua keuntungan cairan hipertonik yang digunakan untuk resusitasi
luka bakar perlu dipertimbangkan, cairan hipertonik mungkin berguna pada
suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu termasuk keadan dimana sulit untuk
menggunakan volume cairan yang besar dan pada pasien dengan penyakit
penyerta

yang

mempunyai

resiko

untuk

terjadinnya

gagal

jantung.

Bagaimanapun tidak ada kesepakatan yang menyatakan cairan hipertonik mana


yang paling menguntungkan. Beberapa penelitian telah mempelajari cairan
hipertonik

salin

dan

hipertonik

laktat

salin.

Terdapat

suatu

studi

yang

memperlihatkan tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada pasien yang menerima
laktat salin hipertonik di bandingkan pasien yang menerima cairan isotonik. Pada
beberapa kasus, koloid telah dikombinasi dengan cairan hipertonik pada
resusitasi luka bakar. Griswold dkk, melaporkan penambahan volume pada
pasien yang menerima albumin dan fresh frozen plasma yang digabungkan
dengan cairan salin hipertonik, dan Jelenko dkk melaporkan berkurangnya
insiden eskriotomi, pengurangan hari penggunaan vetilator, dan berkurangnya
volume cairan yang di butuhkan pada pasien yang menerima kombinasi albumin
dan salin hipertonik di bandingkan pasien yang hanya menerima cairan kristaloid
isotonik. Akan tetapi Gun dkk, tidak memperhatikan volume cairan saat
memberikan fresh frozen plasma yang digabungkan dengan cairan salin
hipertonik.3
Kekhawatiran

utama

dalam

penambahan

cairan

salin

hipertonik

adalah

berkembangnya hipernatremia. Konsentrasi natrium serum lebih dari 160 mEq/L

telah dilaporkan terjadinnya pada 40% - 50 % pasien yang menerima saline hiper
tonik untuk resusitasi luka bakar. Huang dkk, melaporkan beberapa kasus
kematian yang berhubungan dengan teknik resusitasi ini. Karena berpotensinnya
terjadi gangguan elektrolit yang berat dan sedikitnnya bukti yang menunjukkan
bahwa resusitasi dengan hipertonik akan meningkatkan tingkat mortalitas,
cairan garam isotonik digunakan pada sebagian besar pusat resusitasi luka
bakar. Secara keseluruhan cairan hipertonik hanya digunakan oleh para ahli yang
mempunyai pengalaman menggunakannya, karena adanya beberapa resiko dan
komplikasi.

Rekomendasi-rekomendasi
Rekomendasi : Kristaloid saat ini merupakan cairan yang terpilih dan paling
sering digunakan untuk resusitasi cairan awal pada penderita luka bakar (level
IB).3
Rasional : Sebagian besar studi tidak memperlihatkan peningkatan insiden
edema paru pada pasien yang mendapatkan cairan kristaloid. Holm dkk, dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa sebagian besar pasien luka bakar tidak
memperlihatkan peningkatan permeabilitas kapiler paru setelah trauma dan
insiden edema paru jarang terjadi sepanjang tekanan pengisian intravaskular
dipertahankan dalam batas normal. Berdasarkan tinjauan sistematik oleh
Schierhout dan Roberts dari 26 RCT s dengan 1622 pasien yang mendapatkan
koloid atau kristaloid, mortalitas adalah outcome utama yang dinilai. Hasil yang
didapatkan adalah mortalitas pada pasien yang mendapat cairan koloid lebih
besar 4 % di banding yang mendapat kristaloid (95% CI 0-8%). 3

Rekomendasi : Cairan koloid dan atau cairan hipertonik sebaiknya dihindari


dalam 24 jam pertama setelah trauma luka bakar (level II B). 3
Rasional : Koloid tidak memperlihatkan keuntungan dibanding kristaloid pada
awal resusitasi cairan pada penderita luka bakar dan bahkan memperburuk
edema formation pada awal-awal terjadinnya luka bakar. Hal ini oleh karena
selama 8-24 jam setelah luka bakar terjadi peningkatan permeabilitas kapiler,
sehingga koloid mengalami influks masuk kedalam interstitium sehingga
memperburuk edema. Studi meta-analisis terakhir memperlihatkan mortalitas

lebih tinggi pada pasien yang mendapatkan albumin sebagai bagian resusitasi
awal dengan 2,4 kali resiko relatif mortalitas di banding yang mendapatkan
kristaloid.3

Rekomendasi : Cairan koloid dan atau cairan hipertonik (salin) mengurangi


kebutuhan cairan total dan memperbaiki performa jantung pada luka bakar (level
I B).3
Rasional

Cairan

hipertonik

memperlihatkan

daya

ekspansi

volume

intravaskular dengan memobilisasi cairan dari kompartemen intraseluler dan


interstitial serta mengurangi disfungsi kontraksi jantung yang berkaitan dengan
luka bakar.3

Formula resusitasi
Banyak formula telah dirancang untuk menentukan jumlah cairan yang tepat
untuk diberikankan pada pasien luka bakar, dan semuanya berasal dari studi
eksperimental tentang patofisiologi syok pada luka bakar.

15

Kebanyakan unit luka bakar umumnnya menggunakan formua Parkland atau


yang mirip dengannya.15 .Formula Parkland yang menggunakan larutan kristaloid
Ringer Laktat (RL) 4 cc/kg/% luka bakar. Setengah nya diberikan dalam 8 jam
pertama dan sisanya diberikan dalam 16 jam kemudian. 1,

3, 9, 13, 15

Formula Ini

merupakan pedoman untuk resusitasi langsung dari jumlah cairan yang


diperlukan untuk mempertahankan perfusi yang memadai. 15
Selain dari jumlah cairan diatas, pada anak-anak menerima cairan pemeliharaan
dengan pertitungan perjam nya: 9

4 ml / kg untuk 10 kg pertama dari berat badan, ditambah.


2 ml / kg untuk 10 kg kedua dari berat badan, ditambah.
1 ml / kg untuk berat badan > 20 kg.
Adapun target resusitasi (End poits)9 pada formula ini adalah

Urine output 0,5-1,0 ml / kg / jam pada orang dewasa


Urine output dari 1,0-1,5 ml / kg / jam pada anak-anak

Contoh kasus resusitasi luka bakar berdasarkan Parkland Formula

Regimen resusitasi cairan untuk dewasa


Seorang laki-laki muda 25 tahun dengan berat 70 kg dengan luka bakar 30 %
datang jam 4 sore. Pasien terbakar jam 3 sore.

1)

Total cairan yang diberikan untuk 24 jam pertama

4 ml(30% total burn surface area)(70 kg) = 8400 ml dalam 24 jam


2)

Setengahnya diberikan dalam 8 jam pertama, Setangahnya lagi diberikan dalam


16 jam selanjutnnya.
Akan diberikan 4200 ml selama 0 - 8 jam dan 4200 ml selama 8 - 24 jam.
3)

Kurangicairanyangyangditerimadarijumlahyangdiperlukanuntuk8jamPertama

Pasientelahmenerima1000mlcairandaripelayananEmergensisehinggadiamembutuhkan3200ml
dalam8jampertamasesudahcedera.
4)

Perhitungan kecepatan infus perjam untuk 8 jam pertama

Bagilahjumlahcairanpadapoint(3)dengansisawaktusampai8setelahpasienterbakar
Kebakaran terjadi pada pukul 3 siang, jadi 8 jam kedepan jatuh pada pukul 11
malam. Sekarang pukul 4 siang, jadi dibutuhkan 3200 ml selama 7 jam
kedepan:
3200 / 7 = 457 ml/jam dari jam 4 siang sampai jam 11 malam.
5)

Perhitingan kecapatan infus perjam untuk 16 jam selanjutnnya.

Bagi jumlah cairan point (2) dengan 16 jam untuk mendapatkan kecaparan
cairan infus
Dibutuhkan 4200 ml dalam 16 jam:
4200/16 = 262.5 ml/jam dari jam 11 malam sampai jam 3 siang hari
berikutnnya.

Pemeliharan cairan yang dibutuhkan untuk anak


Anak 24 kg yang mendapatkan resusitasi cairan luka bakar yang diikuti
pemberian maintenen cairan sebagai berikut:
4 ml/kg/jam untuk 10 kg pertama dari berat badan= 40 ml/jam ditambah
2 ml/kg/jam untuk 10 kg berikutnnya dari berat badan = 20 ml/jam ditambah

1 ml/kg/jam untuk 4 kg selanjutnnya dari berat badan= 14 kg = 4 ml/jam


Total = 64 ml/jam

MONITORING RESUSITASI
Setiap pasien luka bakar mempunyai reaksi yang berbeda-beda dan juga
memerlukan dukungan cairan dalam

jumlah yang juga bervariasi. Berbagai

faktor dapat mempengaruhi respon pasien pada saat resusitasi seperti usia,
kedalaman luka bakar, trauma inhalasi yang bersamaan, dan penyakit penyerta.
Jika klinisi menggunakan sebuah endpoint dari resusitasi yang handal dan akurat
dalam mengukur kecukupan perfusi seluler, maka mereka akan tahu kapan
harus''menghentikan'' terapi cairan yang agresif serta dapat menghindari
masalah over-resusitasi.

1. Tradisional endpoints.
Marker tradisional keberhasilan resusitasi seperti tekanan darah dan nadi
dapat normal karena merupakan bagian kompensasi syok serta tidak dapat
mendeteksi hipoperfusi selular yang tersembunyi. Pengukuran noninvasif dari
tekanan darah mungkin sulit di nilai karena adanya edema jaringan.Takikardi
mungkin juga akibat dari nyeri dan kecemasan, yang umum terjadi pada pasien
luka bakar dan oleh karena itu merupakan marker yang kurang dapat dipercaya
akibat dari hipovolemia. Secara tradisional, urine output telah digunakan sebagai
pemandu resusitasi. Urine output mencerminkan keadaan perfusi ginjal, yang
sensitif terhadap penurunan cardiac output dan hipovolemik. The American Burn
Association menyarankankan bahwa kecapatan cairan infus harus dititrasi untuk
mendapatkan urin output 0,5-1,0 ml / kg / jam pada orang dewasa, Dengan
munculnya

kompartemen

sindrom,

beberapa

klinisi

luka

bakar

yang

berpengalaman mulai dapat menerima urin output yang lebih lebih rendah
sebagai endpoint resusitasi. Namun, ada beberapa penelitian yang telah
menunjukkan nilai output urin per jam dapat menggambarkan perfusi yang
cukup memadai. Tetapi, terdapat pula banyak studi yang menyoroti kegagalan
penilaian

urin

output

dalam

menilai

kecukupan

perfusi

global.

Karena

keterbatasan marker tradisional dalam hal resusitasi inilah, sehingga telah

menimbulkan banyak minat untuk menggunakan metode yang lebih maju dalam
pemantauan endpoint resusitasi.

2. Advanced hemodinamik monitoring


Pada tahun 1996, sebuah survei penggunaan monitoring kardiovaskuler invasif
pada pasien dengan luka bakar lebih dari 30% TBSA menunjukkan bahwa 55%
dari unit luka bakar di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia
Baru menggunakan monitoring tekanan vena sentral (CVP) pada lebih dari
separuh pasien mereka. Hanya 8% dari unit tersebut yang menggunakan kateter
arteri pulmonari pada lebih dari separuh pasien mereka, dan jumlah ini mungkin
makin menurun sampai saat ini. Kateter arteri pulmonalis telah di kaitkan
dengan sejumlah komplikasi, dan pulmonary artery occlusion pressure (PAOP)
juga telah terbukti sebagai marker preload yang tidak dapat diandalkan.

Intrathoracic blood volume (ITBV) adalah total kombinasi volume jantung kanan,
jantung kiri, dan volume darah paru yang diukur pada akhir diastolik. ITBV telah
terbukti berkorelasi erat dengan cardiac output. Holm dkk, baru-baru ini meneliti
efek dari monitoring intensif ITBV pada resusitasi luka bakar dengan syok.
Pengukuran hemodinamik dibuat menggunakan sistem COLD system (Pulsion
Medical Systems), yang memanfaatkan kateter vena sentral standart

dan

thermistor-tipped fibreoptic catheter yang dimasukkan ke dalam arteri femoralis.


Pasien yang menerima resusitasi yang di pandu dengan ITBV menerima cairan
lebih banyak secara signifikan dalam 24 jam pertama setelah terbakar
dibandingkan dengan mereka yang diresustasi menurut formula Parkland. Tidak
ada perbedaan yang signifikan pada ITBV, cardiac output, tingkat serum lactate,
mortalitas

atau

morbiditas

diantara

kedua

kelompok.

Holm

dkk.

Juga

menunjukkan bahwa walaupun terapi cairan agresif telah dilakukan, hipoperfusi


yang tersembunyi kemungkinan masih bisa terjadi. Sebaliknya, Arlati dkk. Target
resusitasi cairan telah dapat dicapai dengan pemberian cairan yang lebih sedikit,
kurangnya pembentukan edema, dan kejadian disfungsi organ yang lebih rendah
melalui pendekatan dengan intrathoracic blood volume-guided dan cardiac
output-guided dibandingkan dengan melalui pendekatan formula Parkland.7
Monitoring doppler oesophageal memberikan relatif noninvasif perkiraan preload
jantung dengan mengukur aliran darah aorta yang turun dalam aorta torakal.
Corrected flow time (FTc), jika digunakan dengan tepat dapat menilai respon

kardiovaskular terhadap fluid challenge. Penggunaan doppler oesophageal pada


periode perioperatif sebagai guided manajemen cairan pasien yang menjalani
operasi

besar

perawatan

di

telah
rumah

memperbaiki
sakit.

outcome

Yamamoto

dkk,

dan

penurunan

baru-baru

ini

angka

lama

mengevaluasi

penggunaan doppler esofageal pada empat pasien dengan luka bakar yang luas,
dan menemukan bahwa pengukuran cardiac index dengan menggunakan
Doppler esofageal berkorelasi baik dengan yang diperoleh dari kateter arteri
pulmonalis. Penempatan kateter vena sentral secara teknis sulit silit dilakukan
pada pasien burn-luka akibat edema dan kerusakan jaringan, sehingga
penggunaan

Doppler

esofageal

sangat

menguntungan dalam situasi begini. Studi menunjukkan adanya peningkatkan


outcome dengan menggunakan Doppler esofagus pada pasien luka bakar.

3. Subcutaneous tissue gas tensions


Venkatesh, dkk. Baru-baru mengukur tegangan gas jaringan subkutan pada
pasien luka bakar dengan menggunakan tabung silastic yang dimasukkan ke
dalam jaringan subkutan dari kulit yang terbakar dan kulit yang tidak terbakar.
Meskipun indeks normal baik sirkulasi sistemik dan oksigenasi selama periode
resusitasi, ketegangan gas jaringan subkutan pada kulit yang terbakar dan kulit
yang tidak terbakar memburuk secara signifikan, hal ini menunjukkan penurunan
oksigenasi

jaringan

secara

signifikan.

Penulis

menunjukkan

perubahan

ketegangan gas pada jaringan memburuk akibat berkembang edema serta


diperburuk dengan pemberian cairan. Monitoring jaringan subkutan mungkin
memiliki peran dalam mendeteksi deteksi dini edema luka bakar dan juga
sebagai penuntun resusitasi cairan pada pasien luka bakar di masa depan.7

4. Peralatan berbasis optik.


Peralatan monitoring jaringan berbasis optik telah digunakan pada pasien
trauma dengan luka parah yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa meskipun
pengangkutan oksigen ke jaringan sudah adekwat, tetapi penggunaan oksigen di
tingkat selular masih tetap terganggu. Saturasi oksigen jaringan yang diukur
dengan menggunakan Near-infrared spectroscopy (NIRS) telah menunjukkan
hasil

sebagai

akses

dasar

yang

baik

(good

as

base

axcess)

dalam

mengidentifikasi pasien trauma yang berisiko berkembang menjadi MODS. Hal


ini merupakan potensi besar yang sangat berguna sebagai alat monitoring
endpoint, tetapi penelitian lebih lanjut tentang penggunaannya pada pasien luka
bakar masih diperlukan.7

NYERI AKUT PADA LUKA BAKAR


Setelah luka bakar, pasien akan mendapatkan sejumlah tindakan yang mungkin
menyakitkan.

Hal

ini

termasuk

pemindahan

dari

kebakaran,

resusitas,

transportasi ke rumah sakit, dan prosedur yang urgensi, seperti akses intravena,
kontrol jalan napas, pemasangan kateter uretra, radiografi, escharotomies, dan
transportasi ke unit luka bakar atau unit perawatan intensif. Manajemen Nyeri
merupakan isu yang penting selama tindakan. Nyeri pasien bisa berat atau yang
mengejutkan bisa ringan, namun tingkat keparahan nyeri jarang yang dicatat.
Persepsi nyeri pada pasien juga dapat dipengaruhi oleh alkohol, penggunaan
obat-obatan, atau penyebab lainnya seperti perubahan tingkat kesadaran, (bisa
akibat inhalasi asap, hipoksia, atau hipotensi).

12

Manajemen nyeri luka bakar sulit di laksanakankan, sebelum dilakukan


pemeriksaan formal dan stabilisasi pada pasien. Oleh karena itu rekomendasi
berdasarkan pengamatan dan pengalaman klinis. Langkah-langkah sederhana,
seperti cooling, menutupi permukaan luka bakar dan immobilisasi pasien,
mungkin sudah cukup memadai.12, Penutupan luka bakar sangat perlu sebab
dengan adanya aliran udara di atas permukaan luka bakar akan memperberat
nyeri.13
Pendinginan lokal, walau bagaimanapun, tidak bisa mencegah pengembangan
hiperalgesia pada manusia. Setelah personil yang tepat dan terlatih telah
tersedia, di suatu tempat atau setibanya di rumah sakit, pemberian opioid
parenteral merupakan bentuk analgesia yang paling sering digunakan untuk
semua pasien dengan luka bakar walaupun yang paling sepele. 12
Pemberian opioid harus diberikan melalui rute intravena. Pemberian melalui rute
intramuskular atau subkutan tidak dapat diandalkan, terutama bila disertai
dengan hipovolemia dan vasokonstriksi. Terlepas dari jenis opioid yang dipilih,
titrasi dosis kecil bolus intravena merupakan cara yang paling efektif untuk

menghilangkan rasa sakit. Setelah kontrol nyeri diperoleh, infusion atau PatientControlled Analgesia (PCA) biasa di gunakan.12

Opioid
Opioid intravena tetap menjadi metode yang paling populer dalam mengurangi
nyeri pada luka bakar. Morfin telah banyak diteliti dan digunakan dalam hal ini.
Secara farmakokinetik, metabolit aktif dari

morfin

pada prinsipnya tidak

berbeda secara signifikan antara pasien dengan dan tampa luka bakar, sehingga
dapat digunakan dosis yang sama. Pada umum dibandingkan dengan opioid
lain, morfin memiliki sifat sedatif dan antitusif, hal ini tergantung pada metode
pemberian, morfin memiliki durasi yang relatif panjang. Metabolit morfin,
terutama

morfin-6-glukuronat,

memainkan

peran

aktif

dalam

analgesia,

terutama ketika morfin digunakan untuk periode lama. Morfin biasanya


digunakan dengan PCA untuk penanganan nyeri luka bakar. Kelemahannya PCA
sangat bergantung pada kemampuan pasien dalam menggunakan peralatan.
Infus dengan kecepatan tetap telah digunakan pasca operasi pada pasien
dengan luka bakar tetapi kelihatannya ketika timbulnya rasa sakit yang hebat,
metode ini hanya dapat memberikan tingkat analgesia yang rendah.12
Opioid lain yang lebih umum digunakan dalam anestesi telah dapat digunakan
dalam prosedur penanganan nyeri. Onset yang cepat, meningkatnnya kelarutan
dalam lemak, dan kemudahan dalam titrasi membuat obat ini mempunyai
keuntungan

yang

potensial,

meskipun

potensi depresi pernafasan masih menjadi suatu kekhawatiran. PCA fentanyl


telah digunakan untuk menagani nyeri pasca operasi pada luka bakar dan juga
telah

berhasil

digunakan melalui rute intranasal pada pasien anak. Remifentanil, dengan masa
kerja yang sangat cepat, telah digunakan selama pembedahan luka bakar, dan
mungkin

layak

digunakan

ini di luar ruang operasi, meskipun keamanan obat ini dalam penggunaannya
masih perlu di teliti lagi.12
Pemberian pethidine (meperidin) telah dapat dilakukan dengan menggunakan
PCA,
tapi yang menjadi masalah adalah dengan norpethidine (normeperidine) yang

bisa berakibat mudah terjadi toksisitas, terutama pada dosis tinggi, penggunaan
jangka panjang, atau pasien dengan gangguan ginjal.12
Obat lain, seperti benzodiazepines, dapat digunakan dalam kombinasi dengan
opioid untuk mengurangi kecemasan yang berat, namun kombinasi ini berisiko
terjadinya

depresi

pernapasan

yang

lebih

besar.

Lorazepam,

yang

dikombinasikan dengan morfin, telah memperlihatkan peningkatkan analgesia


pada pasien yang dengan nyeri yang lebih hebat. Meskipun penggunaan opioid
untuk penanganan nyari pada luka bakar telah meluas, tetapi ketergantungan
opioid secara psikologis tidak terjadi hal ini sebagai konsekuensi dari pengobatan
nyeri

pada

luka

bakar,

ketergantungan fisik dapat terjadi. Opioid juga

walaupun
secarateori sering dikaitkan

dengan depresi dari fungsi kekebalan tubuh dan dalam satu studi retrospektif
penggunaan opioid dihubungkan dengan peningkatan risiko infeksi pada pasien
dengan luka bakar.

12

Nonopioid Analgesia
Berbagai obat nonopioid telah diteliti untuk menangani nyeri pada luka bakar.
Pada salah satu pusat studi luka bakar telah dilakukan pengamatan dimana
opioid tidak digunakan, kemudian didapatkan bahwa

pengurangan nyeri

diperoleh dengan menggunakan nonopioids adalah serupa dengan yang


diperoleh dengan menggunakan opioids. Di samping itu, ada keengganan untuk
memberikan opioid kepada pasien usia lanjut dengan luka bakar karena
berakibat pada peningkatan risiko efek samping. 12
Non Steroid anti-inflamatory Drugs (NSAIDs) telah berhasil digunakan untuk
menangani nyeri atau mengurangi penggunaan opioid dalam berbagai kondisi
nyeri akut. Penggunaan secara

parenteral obat NSAIDs, seperti ketorolac,

seperti yang telah dijelaskan dapat diberikan untuk menangani luka bakar.
Penggunaan ketorolac dalam hubungannya dengan manfaat lainnya berupa efek
anti-inflamasi yang diperlukan pada luka bakar perlu diperhatikan. Pasien luka
bakar biasanya selalu berhadapan dengan hipovolemia atau gangguan ginjal
sehingga penggunaan NSAID pada pasien luka bakar telah dikaitkan dengan
memburuk

fungsi

ginjal.

Kecemasan

juga

dapat

menyebabkan

atau

memperburuk ulserasi gastrointestinal sehingga penggunaan NSAID pada pasien


luka bakar harus dibatasi. Meskipun potensi risiko gastrointestinal lebih rendah

dibandingkan dengan obat siklooksigenase-2-selektif inhibitor, tetapi obatobatan ini memiliki resiko terhadap kardiovaskuler dan ginjal yang signifikan.
Sehingga, penggunaan keterolak sebagai analgesik pada pasien luka bakar harus
dipertimbangkan

untung

dan

ruginya

serta

mampaat

klinisnya

secara

potensial.12
Secara Eksperimental nyeri luka bakar dapat dikurangi dengan menggunakan
antagonis NMDA seperti ketamin. Tetapi sayangnya, dosis tinggi dari ketamin
sering dikaitkan dengan efek samping yang tidak menyenangkan, seperti
halusinasi dan dysphoria. Ketamine dosis rendah mungkin efektif sebagai
analgesik dan dapat mengurangi kebutuhan opioid. Ini adalah pilihan yang
menarik sebagai Ketamine yang bekerja pada reseptor NMDA telah terbukti
mengurangi sensitisasi sentral dan pengembangan hiperalgesia sekunder dari
nyeri neuropatik pada model hewan. Pengalaman dalam beberapa percobaan
kecil dan seri kasus yang lebih besar telah memberikan bukti bahwa Ketamine
efektif dan aman untuk pengelolaan nyeri pada pasien luka bakar. 12

NUTRISI
Pasien dengan luka bakar mayor membutuhkan nutrisi yang baik untuk
menghindari

kehilanagan

masa

tubuh

yang

berlebihan

dan

mencegah

kelemahan yang akan terjadi. Dukungan nutrisi yang segera diindikasikan untuk
mengatur "stress respon" berat karena akan terjadinya katabolisme. Dukungan
nutrisi juga diindikasikan untuk pasien yang sudah mengalami kekurangan gizi.
Tingkat

dukungan

nutrisi

harus

disesuaikan

dengan

ukuran

luka

bakar.

Pemberian protein, kalori dan mikronutrisi harus ditingkatkan sesuai kebutuhan


sebelum terjadinnya komplikasi yang akan menyebabkan terjadinnya kehilangan
berat badan, dan perkembangan ke arah protein energy malnutrition.4
Dalam memberikan dukungan nutrisi , maka harus di nilai beberpapa hal yaitu :
kebutuhan energi (kalori), kebutuhan protein, kebutuhan cairan, kebutuhan
mikronutrien, dan nutrient mix.4
Untuk menilai kebutuhan energi (kalori) pada umumnya digunakan rumus HarrisBenedict untuk menghitung Basal Energy Expenditure (BEE). Adapun rumus
tersebut adalah:

Wanita

: BEE = 655,1 + [9,56 x BB] + [1,85 x TB] - [4.68 x U]

Laki-laki

: BEE = 66,47 + [13,75 x BB] + [5,0 x TB] - [6.76 x U]

Ket :

BB: Berat badan (dalam kg),

TB: Tinggi Badan (dalam cm),

U : Umur (dalam tahun)


BEE : Basal Energy Expenditure

Untuk menghitung kebutuhan total energi = (BEE) X stress faktors. Adapun


Stress faktor untuk luka bakar berat (Severe burn) adalah 2,0.4
Pada pasien luka bakar rata tata memerlukan protein 1,2 sampai 2 gr / kg / hari,
sementara untuk luka bakar mayor (major burn) membutuhkan protein
sebanyak 1,5 2 gr/kg/hari. Pemberian kandungan protein lebih dari 2 gr/kg/hari
tidak akan meningkatkan sintesis protein lebih jauh lagi dan protein tersebut
hanya digunakan untuk kalori.2
Karbohidrat merupakan bahan bakar yang lebih disukai untuk sebagian besar
jaringan, tetapi harus ada batas yang jelas dalam jumlah penggunaan
karbohidrat, terutama pada pasien dengan luka bakar hypermetabolic atau
septik. Kelebihan karbohidrat hanya akan menyebabkan pembentukan lemak,
yang

akan

membutuhkan

energi

yang

lebih

memproduksinya. Selain itu peningkatan karbonhidrat

besar

dalam

proses

akan mengarah ke pada

peningkatan produksi karbon dioksida. Untuk mencegah hal itu terjadi maka
dibutuhkanlah suatu nutrient mix. Secara optimum komposisi pencampuran
makronutrien (macronutrient mix) adalah sebagai berikut; karbonhidrat 55-60 %,
lemak 20-25 %, protein 20-25 %.2
Pemberian makanan enteral berdasarkan beberapa study telah menunjukan
dapat melindungi usus dari tranlocation toksis dan mikroorganisme, yang juga
dapat mengurangi angka kejadian sepsis.14

REFERENSI
1. Moenadjat RY. Luka bakar pengetahuan klinis praktis.Cet 1. Jakarta:
Farmedia ; 2000

2. Tim Bantuan Medis 110 [Online]. 2011 Feb 10 [cite 2011 Nov 14];
Available from : URL: http://www.tbm110.org/artikel-medis/manajemenluka-bakar.
3. Arif SK. Panduan tatalaksana terapi cairan perioperatif: terapi cairan pada
luka bakar berat. Jakarta : PP IDSAI; 2010. p. 193-205.
4. Burnsurgery.org: Educating the burn care professionals worldwide
[Online]. [cite 2011 Feb 10]; [10 screens]. Available from: URL:
http://www.burnsurgery.org/
5. Wolf S, Herndon DN. Burn care. Texas (USA): Landes Bioscience; 1999. p.
245-261.
6. Shehan Hettiaratchy, Peter Dziewulski. ABC of burns. BMJ 2004;328:1366
8 BMJ 2004;328:15557
7. Tricklebank S. Modern trends in fluid therapy for burns. Department of
Anaesthesia, Queen Victoria Hospital, UK. Burns Journal 2008 Sep 4; 35:
757-767.
8. Mlcak RP, Suman OE, Herndon DN. Respiratory management of inhalation
injury. Burns Journal 2006 Jul 26; 33: 2-13.
9. Hettiaratchy s, Papini R. Initial management of a major burn: II
assessment and resuscitation, BMJ 2004;329:1013.
10.Hettiaratchy s, Papini R. Initial management of a major burn: Ioverview,
BMJ 2004;328:5557.
11.Wood F, Hei LE, Crompton D, Sweeney M, Rosenthal D, Maitz P. Burns
assessment and triage. Australian Rural Doctor. 2006 Jun 19; 17-20.
12.Kinsella J, Rae CP. Clinical pain management acut pain. In : Macintyre PE,
editor. Akut pain management in burns. 2 nd rd. London: Hodder &
Stoughton Limited ; 2008. p.399-405.
13.Rab H. Agenda gawat darurat (Critical Care) : pengetasan kritis pada
intergumenter- luka bakar. Bandung : PT. Alumni; 1998. p.963-973.
14.Allman KG, Mclndoe AK, Wilson IH. Emergencies in anesthesia. New York:
Oxford University Press; 2006. p.334-337.
15.Gallagher JJ, Herdon DN. Controversy in inhalation injury and burn
resuscitation. Emergency Medicine & Critical Care Review,2007;1-3.

Pengaturan Gizi Pasien


Januari 11, 2013 by juliyuliastuti

Manusia membutuhkan berbagai zat gizi untuk menjaga kesehatan dan daya tahan tubuh. Zat
gizi adalah bahan kimia yang terdapat dalam bahan pangan yang dibutuhkan tubuh untuk
menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses
kehidupan. Tidak hanya orang sehat yang membutuhkan gizi melainkan juga pasien yang
berada di rumah sakit. Kebutuhan gizi pada pasien tersebut diatur dalam bentuk diet untuk
membantu mempercepat kesembuhan pasien sehingga masa perawatan dapat diperpendek.
Pengaturan gizi pasien tersebut bertujuan bukan hanya untuk meningkatkan atau
mempertahankan status nutrisi pasien tetapi juga untuk meningkatkan atau mempertahankan
daya tahan tubuh dalam menghadapi penyakit / cedera khususnya infeksi serta membantu
kesembuhan pasien dari penyakit / cederanya dengan memperbaiki jaringan yang aus atau
rusak serta memulihkan keadaan homeostasis yaitu keadaan seimbang dalam lingkungan
internal tubuh yang normal / sehat. Pada umumnya rumah sakit memiliki standar makanan
untuk pasien, yaitu standar makanan secara umum dan standar makanan secara khusus.
Standar makanan ini disesuaikan dengan pengaturan gizi pada pasien.
1. Pengaturan secara umum
Pengaturan gizi secara umum, biasanya tidak memerlukan diet khusus. Diet umum hanya
berdasarkan pada jenis makanan yang diberikan kepada pasien. Jenis makanan yang umum
diberikan adalah Makanan Biasa dan Makanan Lunak.
a. Makanan Biasa
Makanan biasa sama dengan makanan sehari-hari yang beraneka ragam, bervariasi dengan
bentuk, tekstur, dan aroma yang normal. Makanan biasa diberikan pada pasien yang
berdasarkan penyakitnya tidak memerlukan diet khusus. Makanan biasa bertujuan
memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi untuk mencegah dan mengurangi kerusakan
tubuh.
b. Makanan Lunak

Makanan lunak adalah makanan yang memiliki tekstur yang mudah dikunyah,ditelan dan
dicerna dibandingkan dengan Makanan Biasa. Makanan ini mengandung cukup zat-zat gizi,
asalkan pasien mampu mengkonsumsi makanan dalam jumlah cukup. Makanan lunak
bertujuan memberikan makanan dalam bentuk lunak yang mudah ditelan dan dicerna sesuai
kebutuhan gizi dan keadaan penyakit.
2. Pengaturan secara khusus
Makanan khusus atau diet khusus umumnya dalam penyajian dikombinasikan dengan
Makanan Biasa atau Makanan Lunak. Terdapat beberapa macam pengaturan diet khusus yang
umum disediakan di rumah sakit yang disesuaikan dengan penyakit pasien, diantaranya:
a. Diet Diabetes Melitus
Diet ini khusus diberikan kepada penderita Diabetes Melitus (DM). DM adalah kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami peningkatan kadar gula (glukosa) darah
akibat kekurangan hormon insulin. DM merupakan penyakit turunan tapi dapat juga
disebabkan karena berbagai faktor risiko seperti umur, kegemukan, kurang aktifitas dan pola
makan yang tidak sehat. Tujuan diet penyakit diabetes melitus adalah membantu pasien
memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk mendapatkan kontrol metabolik yang
lebih baik. Diet yang digunakan sebagai bagian dari penatalaksanaan DM dikontrol
berdasarkan kandungan energi, protein, lemak dan karbohidrat. Perencanaan makan bagi
penderita diabetes sangat penting untuk kontrol glukosa darah untuk mencegah terjadinya
komplikasi. Standar diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang yang
dianjurkan terdiri dari energi 90-125%, karbohidrat 60-70%, protein 10-15% dan lemak 2025%. Pada umumnya, pasien dengan Diet DM dibatasi dalam penggunaan jumlah gula dan
penggunaan gula murni tidak diperbolehkan serta asupan serat diutamakan serat larut air yang
terdapat dalam buah dan sayur. Pasien DM dengan tekanan darah normal diperbolehkan
mengkonsumsi natrium dalam bentuk garam dapur seperti pasien biasa, apabila mengalami
hipertensi maka asupan garam harus dikurangi.
b. Diet Jantung
Penyakit jantung terjadi akibat proses berkelanjutan, di mana jantung secara berangsur
kehilangan kemampuannya untuk melakukan fungsi secara normal. Pada awal penyakit,
jantung mampu mengkompensasi ketidakefisiensian fungsinya dan mempertahankan sirkulasi
darah normal melalui pembesaran dan peningkatan denyut nadi. Dalam keadaan tidak
terkompensasi, sirkulasi darah yang tidak normal menyebabkan sesak napas, rasa lelah, dan
rasa sakit di daerah jantung. Berkurangnya aliran darah dapat menyebabkan kelainan pada
fungsi ginjal, hati, otak, serta tekanan darah yang berakibat terjadinya reasorpsi natrium.
Tujuan diet penyakit jantung adalah memberikan makanan secukupnya tanpa memberatkan
kerja jantung, menurunkan berat badan bila terlalu gemuk, mencegah atau menghilangkan
penimbunan garam atau air. Diet ini diberikan kepada pasien dengan kelainan pada
jantungnya. Diet diberikan dengan syarat cukup energi, rendah protein dan lemak, cukup

vitamin dan mineral, rendah garam (jika disertai dengan hipertensi), makanan mudah cerna
dan tidak menimbulkan gas, cukup serat untuk menghindari konstipasi, makanan umumnya
juga diberikan dalam porsi kecil dan jarang menyajikan makanan dengan minyak berlebih
dan bahan makanan yang digoreng.
c. Diet Pascabedah
Diet pascabedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani
pembedahan. Pengaruh pembedahan terhadap metabolisme pascabedah tergantung berat
ringannya pembedahan, keadaan gizi pasien prabedah, dan pengaruh pembedahan terhadap
kemampuan pasien untuk mencerna dan mengabsorpsi zat-zat gizi. Setelah pembedahan
sering terjadi peningkatan ekskresi nitrogen dan natrium yang dapat berlangsung selama 5-7
hari atau lebih pascabedah. Peningkatan ekskresi kalsium terjadi setelah operasi besar, trauma
kerangka tubuh, atau setelah lama tidak bergerak (imobilisasi). Demam meningkatkan
kebutuhan energi, sedangkan luka dan pendarahan meningkatkan kebutuhan protein, zat besi,
dan vitamin C serta penggantian cairan yang hilang. Tujuan diet pascabedah adalah
mengupayakan agar status gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses
penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh pasien. Makanan yang tidak berikan untuk
Diet Pascabedah adalah makanan dengan bumbu tajam dan minuman yang mengandung
karbondioksida (CO2).
d. Diet Saluran Cerna
Saluran cerna adalah saluran yang berfungsi untuk mencerna makanan, mengabsorpsi zat-zat
gizi, dan mengekskresi sisa-sisa pencernaan. Gangguan pencernaan dan absorpsi dapat terjadi
pada proses menelan, mengosongkan lambung, absorpsi zat-zat gizi, dan proses defekasi.
Gangguan ini antara lain terjadi karena infeksi atau peradangan, gangguan motilitas,
perdarahan atau hematemesis-melena, kondisi saluran cerna pascabedah, dan tumor atau
kanker. Diet yang digunakan adalah Diet Penyakit lambung. Diet penyakit lambung
merupakan pengaturan diet pada pasien penyakit lambung atau gastrointestinal meliputi
gastritis akut dan kronis, ulkus peptikum, pasca-operasi lambung yang sering diikuti dengan
Dumping Syndrome dan kanker lambung. Gangguan gastrointestinal sering dihubungkan
dengan emosi atau psikoneurosis dan/atau makan terlalu cepat karena kurang dikunyah serta
terlalu banyak merokok. Tujuan diet penyakit lambung adalah memberikan makanan dan
cairan secukupnya yang tidak memberatkan lambung serta mencegah dan menetralkan asam
lambung yang berlebihan. Gangguan pada lambung umumnya berupa sindroma dispepsia,
yaitu kumpulan gejala yang terdiri dari mual, muntah, nyeri epigastrum, kembung, nafsu
makan berkurang, dan rasa cepat kenyang. Oleh sebab itu, diet yang diberikan umumnya
makanan yang cukup energi, protein dan cairan; mudah cerna, porsi kecil dan sering
diberikan; tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam; rendah lemak, serat
dan laktosa (umumnya tidak dianjurkan minum susu terlalu banyak) dan tidak menggunakan
bahan makanan yang mengandung serat tinggi dan menimbulkan gas seperti kol, sawi,
kacang panjang, apel, santan dan cabai.

e. Diet Rendah Garam


Garam yang dimaksud dalam diet rendah garam adalah garam natrium seperti yang terdapat
di dalam garam dapur (NaCl), soda kue (NaHCO 3), baking powder, natrium benzoat, dan
vetsin (monosodium glutamat). Asupan makanan sehari-hari umumnya mengandung lebih
banyak natrium daripada yang dibutuhkan tubuh. Dalam keadaan normal, jumlah natrium
yang dikeluarkan sama dengan jumlah yang dikonsumsi, sehingga terdapat keseimbangan.
Asupan natrium yang berlebihan, terutama dalam bentuk natrium klorida, dapat
menyebabkan edema dan/atau hipertensi. Dalam keadaan demikian asupan natrium perlu
dibatasi. Tujuan diet rendah garam adalah membantu menghilangkan retensi garam atau air
dalam jaringan tubuh dan menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Pengaturan gizi
untuk diet rendah garam yang biasanya dilakukan adalah dengan mengurangi asupan garam
pada makanan yang dipesan khusus oleh dietisien pada penderita hipertensi ringan.
Sedangkan pada penderita hipertensi berat, makanan yang dipesan tidak ditambahkan garam
dapur dan menghindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya seperti asinan, acar,
kecap dan keju.
f. Diet Gout Artritis
Gout adalah salah satu penyakit artritis yang disebabkan oleh metabolisme abnormal purin
yang ditandai dengan meningkatnya kadar asam urat dalam darah yang diikuti dengan
terbentuknya timbunan kristal berupa garam urat di persendian yang menyebabkan
peradangan sendi pada lutut dan/atau jari. Diet Gout Artritis merupakan diet rendah purin,
rendah lemak, cukup vitamin dan mineral. Diet ini dapat menurunkan berat badan, bila ada
tanda-tanda berat badan berlebih. Diet gout artritis diberikan kepada pasien dengan gout
dan/atau batu asam urat dengan kadar asam urat 7,5 mg/dl. Tujuan diet Gout Artritis adalah
untuk mencapai dan mempertahankan status gizi optimal serta menurunkan kadar asam urat
dalam darah dan urin. Lama pemberian diet adalah sampai kadar asam urat darah dan berat
badan menjadi normal. Energi sesuai dengan kebutuhan tubuh. Bila berat badan berlebih atau
kegemukan, asupan energi sehari dikurangi secara bertahap sebanyak 500-1000kkal dari
kebutuhan energi normal hingga tercapai berat badan normal. Pengaturan diet pada pasien
gout atritis umumnya dengan cukup protein, vitamin dan mineral; lemak sedang, yaitu 1020% dari kebutuhan energi total (lemak berlebih dapat menghambat pengeluaran asam urat
atau purin melalui urin); menghindari baham makanan sumber protein yang mempunyai
kandungan purin >150 mg/100g. Selain itu dengan cara memberikan makanan yang tidak
mengandung kandungan purin tinggi seperti jeroan, udang, dan membatasi pemberian
kangkung, dan bayam.
g. Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) adalah diet yang mengandung energi dan protein di
atas kebutuhan normal. Diet TKTP diberikan kepada pasien yang telah mempunyai cukup
nafsu makan dan dapat menerima makanan lengkap. Diet diberikan dalam bentuk Makanan
Biasa ditambah bahan makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur, dan daging. Diet ini

diberian bila pasien telah mempunyai cukup nafsu makan dan dapat menerima makanan
lengkap. Tujuan Tinggi Kalori Tinggi Protein adalah memenuhi kebutuhan energi dan protein
yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh, serta menambah
berat badan hingga mencapai berat badan. Pada umumnya, untuk pasien diet TKTP diberikan
Makanan Biasa dengan tambahan bahan makanan protein yang lebih dari pasien diet biasa
serta bahan makanan tidak dimasak dengan banyak minyak atau santan kental.
Pemberian terapi diet yang sesuai dengan kebutuhan gizi akan mempercepat kecepatan
sembuh pasien. Pengaturan gizi untuk pasien umumnya dilakukan dengan perkiraan
kebutuhan energi yang diberikan berdasarkan pemeriksaan klinis, antropometri dan hasil
pemeriksaan laboratorium pasien. Dokter menghitung perkiraan kebutuhan dan menuliskan
jenis diet yang akan dijalani oleh pasien dan menentukan diet pasien tersebut. Setelah dokter
menentukan diet tersebut, dietisien (ahli gizi) akan mempelajari dan menerjemahkan ke
dalam menu dan porsi makanan serta frekuensi makan yang akan diberikan sesuai dengan
kebutuhan dengan memperhatikan zat gizi yang dibutuhkan serta jenis dan jumlah bahan
makanan yang digunakan. Apabila perlu dilakukan penyesuaian, maka dietisien akan
mongkonsultasikan kepada dokter. Pengaturan diet bagi pasien rawat inap di Rumah Sakit
bukan merupakan tindakan yang berdiri-sendiri dan terpisah dari perawatan dan pengobatan,
melainkan merupakan kesatuan dalam proses penyembuhan penyakit pasien antara dokter,
perawat dan ahli gizi. Pengaturan diet khusus yang umum disediakan di rumah sakit untuk
pasien penyakit jantung adalah Diet Jantung, Diet Diabetes Melitus untuk pasien diabetes
melitus, Diet Saluran Cerna untuk pasien penyakit lambung, Diet Rendah Garam untuk
pasien penderita hipertensi, Diet Pascabedah untuk pasien setelah menjalani pembedahan,
Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein untuk pasien dengan nafsu makan cukup dan dapat
menerima makanan lengkap, dan Diet Gout Artritis untuk pasien penderita asam urat.
Daftar Pustaka
Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier, dkk. 2011. Gizi seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
[Anonim] Instalasi Gizi RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia.
2010. Penuntun Diet. Editor: Dr. Sunita Almatsier, M.Sc. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2005. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta:
Depkes RI.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2006. Pedoman Praktis Terapi Gizi Medis. Jakarta: Depkes
RI.
Hartono, Andry. 2006. Terapi Diet dan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: EGC.

Indarti. 2004. Perbedaan kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus berdasarkan
pengaturan makanan [skripsi]. Fakultas Kedokteran UNDIP.
Moehyi, S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta: Bhratara.
Nelson JK, et al. 1994. Mayo clinic diet manual, A Handbook of Nutrition Practices Ed 7th. St
Louis: M. Mosby.
[Perkeni] Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus Pengelolaan
Diabetes Melitus di Indonesia. http://www.perkeni.net/index.pkp? page= jurnal_ tinjauan_
protokol. [29 Juni 2012].
Prakoso, M. 1982. Pelayanan Gizi di RSCM. Jakarta: Instalasi Gizi RSCM.
Suyono, Slamet. 2005. Patofisiologi Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Pusat. Diabetes dan
Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Вам также может понравиться

  • Seksi 5 Pancreas Eksokrin
    Seksi 5 Pancreas Eksokrin
    Документ8 страниц
    Seksi 5 Pancreas Eksokrin
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Bagian IX. Toksikologi
    Bagian IX. Toksikologi
    Документ40 страниц
    Bagian IX. Toksikologi
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Bagian I. Prinsip Dasar
    Bagian I. Prinsip Dasar
    Документ76 страниц
    Bagian I. Prinsip Dasar
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Seksi 7 Peritoneum Dan Struktur
    Seksi 7 Peritoneum Dan Struktur
    Документ7 страниц
    Seksi 7 Peritoneum Dan Struktur
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Smp-Pencegahan Obesitas Pada Remaja
    Smp-Pencegahan Obesitas Pada Remaja
    Документ4 страницы
    Smp-Pencegahan Obesitas Pada Remaja
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Sd-Pentingnya Sarapan Pagi
    Sd-Pentingnya Sarapan Pagi
    Документ2 страницы
    Sd-Pentingnya Sarapan Pagi
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Seksi 3 Esofagus
    Seksi 3 Esofagus
    Документ9 страниц
    Seksi 3 Esofagus
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Pornografi
    Pornografi
    Документ2 страницы
    Pornografi
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Krisis Adrenal
    Krisis Adrenal
    Документ11 страниц
    Krisis Adrenal
    Achmad Kurniawan
    100% (1)
  • LO 2 Minggu V
    LO 2 Minggu V
    Документ4 страницы
    LO 2 Minggu V
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Asma
    Asma
    Документ11 страниц
    Asma
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Klasifikasi 3
    Klasifikasi 3
    Документ11 страниц
    Klasifikasi 3
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Pleno Minggu 4 II
    Pleno Minggu 4 II
    Документ9 страниц
    Pleno Minggu 4 II
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Kecanduan Media Sosial
    Kecanduan Media Sosial
    Документ6 страниц
    Kecanduan Media Sosial
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Komplikasi Dan Prognosis 2
    Komplikasi Dan Prognosis 2
    Документ6 страниц
    Komplikasi Dan Prognosis 2
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Interaksi Siswa Dan Guru Di Sekolah
    Interaksi Siswa Dan Guru Di Sekolah
    Документ5 страниц
    Interaksi Siswa Dan Guru Di Sekolah
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Pornografi
    Pornografi
    Документ2 страницы
    Pornografi
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Asma
    Asma
    Документ11 страниц
    Asma
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Belajar Cara Belajar
    Belajar Cara Belajar
    Документ4 страницы
    Belajar Cara Belajar
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Tutorial Minggu 4
    Tutorial Minggu 4
    Документ15 страниц
    Tutorial Minggu 4
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Asma
    Asma
    Документ11 страниц
    Asma
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Komplikasi Dan Prognosis
    Komplikasi Dan Prognosis
    Документ3 страницы
    Komplikasi Dan Prognosis
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Blok 9 Metabolisme Nutrisi Endokrin "Kelenjar Adreanal"
    Blok 9 Metabolisme Nutrisi Endokrin "Kelenjar Adreanal"
    Документ33 страницы
    Blok 9 Metabolisme Nutrisi Endokrin "Kelenjar Adreanal"
    AnisaHanifRizkiAinia
    Оценок пока нет
  • Pleno Minggu 4
    Pleno Minggu 4
    Документ9 страниц
    Pleno Minggu 4
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Komplikasi Dan Prognosis
    Komplikasi Dan Prognosis
    Документ3 страницы
    Komplikasi Dan Prognosis
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Klasifikasi Aritmia
    Klasifikasi Aritmia
    Документ7 страниц
    Klasifikasi Aritmia
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Tutorial 4
    Tutorial 4
    Документ13 страниц
    Tutorial 4
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Diare Kronik
    Diare Kronik
    Документ1 страница
    Diare Kronik
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Regurgitasi Katup Aorta
    Regurgitasi Katup Aorta
    Документ10 страниц
    Regurgitasi Katup Aorta
    Arie160
    Оценок пока нет
  • Seksi 5 Pancreas Eksokrin
    Seksi 5 Pancreas Eksokrin
    Документ8 страниц
    Seksi 5 Pancreas Eksokrin
    Arie160
    Оценок пока нет