Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1 Luka Bakar
Luka bakar dan luka akibat benda panas berkaitan dengan risiko tinggi kematian pada anak.
Yang bertahan hidup, akan menderita cacat dan trauma psikis sebagai akibat rasa sakit dan
perawatan yang lama di rumah sakit.
Penilaian
Luka bakar dapat terjadi pada sebagian lapisan kulit atau lebih dalam. Luka bakar yang dalam
(full-thickness) berarti seluruh ketebalan kulit pasien mengalami kerusakan dan tidak akan
terjadi regenerasi kulit.
Tanyakan dua hal berikut:
Tatalaksana
Rawat inap semua pasien dengan luka bakar >10% permukaan tubuh; yang meliputi
wajah, tangan, kaki, perineum, melewati sendi; luka bakar yang melingkar dan yang
tidak bisa berobat jalan.
Periksa apakah pasien mengalami cedera saluran respiratorik karena menghirup asap
(napas mengorok, bulu hidung terbakar),
o Luka bakar wajah yang berat atau trauma inhalasi mungkin memerlukan
intubasi, trakeostomi
o Jika terdapat bukti ada distres pernapasan, beri oksigen (lihat bagian 10.7).
Resusitasi cairan (diperlukan untuk luka bakar permukaan tubuh > 10%). Gunakan
larutan Ringer laktat dengan glukosa 5%, larutan garam normal dengan glukosa 5%,
atau setengah garam normal dengan glukosa 5%.
o 24 jam pertama: hitung kebutuhan cairan dengan menambahkan cairan dari
kebutuhan cairan rumatan (lihat bagan 17) dan kebutuhan cairan resusitasi (4
ml/kgBB untuk setiap 1% permukaan tubuh yang terbakar)
Berikan dari total kebutuhan cairan dalam waktu 8 jam pertama, dan
sisanya 16 jam berikutnya.
Contoh: untuk pasien dengan berat badan 20 kg dengan luka bakar
25%
Total cairan dalam waktu 24 jam pertama
= (60 ml/jam x 24 jam) + 4 ml x 20kg x 25% luka bakar
= 1440 ml + 2000 ml
= 3440 ml (1720 ml selama 8 jam pertama)
o 24 jam kedua: berikan hingga cairan yang diperlukan selama hari pertama
o Awasi pasien dengan ketat selama resusitasi (denyut nadi, frekuensi napas,
tekanan darah dan jumlah air seni)
o Transfusi darah mungkin diberikan untuk memperbaiki anemia atau pada lukabakar yang dalam untuk mengganti kehilangan darah.
Mencegah Infeksi
o Jika kulit masih utuh, bersihkan dengan larutan antiseptik secara perlahan
tanpa merobeknya.
o Jika kulit tidak utuh, hati-hati bersihkan luka bakar. Kulit yang melepuh harus
dikempiskan dan kulit yang mati dibuang.
o Berikan antibiotik topikal/antiseptik (ada beberapa pilihan bergantung
ketersediaan obat: peraknitrat, perak-sulfadiazin, gentian violet, povidon dan
bahkan buah pepaya tumbuk). Antiseptik pilihan adalah perak-sulfadiazin
karena dapat menembus bagian kulit yang sudah mati. Bersihkan dan balut
luka setiap hari.
o Luka bakar kecil atau yang terjadi pada daerah yang sulit untuk ditutup dapat
dibiarkan terbuka serta dijaga agar tetap kering dan bersih.
Nutrisi
o Bila mungkin mulai beri makan segera dalam waktu 24 jam pertama.
o Anak harus mendapat diet tinggi kalori yang mengandung cukup protein,
vitamin dan suplemen zat besi.
o Anak dengan luka bakar luas membutuhkan 1.5 kali kalori normal dan 2-3 kali
kebutuhan protein normal.
Cegah kontraktur dengan mobilisasi pasif atau dengan membidai permukaan fleksor
Balutan dapat menggunakan gips. Balutan ini harus dipakai pada waktu pasien tidur.
Harus dimulai sedini mungkin dan berlanjut selama proses perawatan luka bakar.
Jika pasien dirawat-inap dalam jangka waktu yang cukup lama, sediakan mainan
untuk pasien dan beri semangat untuk tetap bermain.
PENDAHULUAN
Luka bakar menjadi masalah oleh karena angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Penanganan dan perawatan luka bakar (khususnya luka bakar berat)
memerlukan perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan
tersendiri karena angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.1 Di
Amerika dilaporkan sekitar 2 3 juta penderita setiap tahunnya dengan jumlah
kematian sekitar 5 6 ribu kematian per tahun. Di Indonesia sampai saat ini
belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah
angka kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSCM Jakarta, pada
tahun 1998 dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat, 62 % dari
jumlah tersebut merupakan luka bakar derajat II III( > 40 %) dengan angka
kematian 37,38%. Angka ini lebih kurang sama dengan tahun berikutnnya, di
tahun 1999 jumlah kasus yang dirawat adalah 88 kasus, 75 % dari jumlah
tersebut merupakan luka bakar derajat II III dan dengan angka kematian > 40
%dengan masa rawat terpanjang antara 32 38 hari. 1,2
Dari unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data bahwa kematian
umumnya terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka
bakar yang disertai cedera pada saluran napas.
Pada fase ini dapat terjadi pula gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan
elektrolit akibat cedera termal/panas yang berdampak sistemik. Pada luka bakar
berat atau mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti
dengan ekstravasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskular ke
jaringan interstisial dan mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskular dan
edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu
sehingga sirkulasi ke bagian distal terhambat yang akhirnya menyebabkan
gangguan perfusi sel atau jaringan atau organ (syok). Syok yang timbul harus
segera diatasi dengan melakukan resusitasi cairan. Adanya syok yang bersifat
hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang masih berkaitan
dengan instabilitas sirkulasi.2
2, 13
9, 11
kulit hiperemik
berupa eritem, tidak dijumpai bula, dan terasa nyeri dengan intensitas ringan
sedang karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara
spontan dalam waktu singkat (beberapa hari) tanpa pengobatan khusus.2
2, 9
disertai proses eksudasi dan terdapat bula. Luka ini menimbulkan nyeri sedang
berat karena terangsangnya nosiseptor dan tereksposnya ujung saraf bebas
akibat kerusakan jaringan dermis yang berguna sebagai pelindung. 2 Luka ini
dibedakan atas dua bagian, yaitu:
kerusakan dan tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai bula. Kulit yang
terbakar berwarna abu-abu sampai berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi
protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar. Sensasi hilang
dan tidak dijumpai rasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik rusak.
Namun umumnya luka bakar derajat III merupakan bagian sentral dengan area
luka bakar derajat II di sekitarnya yang sangat nyeri. Penyembuhan terjadi lama
karena tidak terjadi epitelisasi spontan. 2
9, 11
Metode
ini
sangat
baik,
dan
umumnnya
dipakai
dalam
memperkirakan
persentase luas permukaan luka bakar (total body surface area - TBSA). Cara
perkiraan sangat cepat untuk perkiraan luka bakar sedang sampai berat pada
orang dewasa. Wallace membagi tubuh atas bagian-bagian 9% atau kelipatan
dari 9 yang dikenal dengan rule of nine atau rule of Wallace. Luas kepala dan
leher, dada,
punggung,
pinggang
dan bokong,
ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta
tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. 2, 9,
11, 13, 14, 15
Gambar4.Rumus9(Wallaceruleofnine)untukorangdewasa
Padaanakdanbayidigunakanrumuslainkarenaluasrelatifpermukaankepalaanakjauhlebihbesar
danluasrelatifpermukaankakilebihkecil.Karenaperbandinganluaspermukaanbagiantubuhanak
kecilberbeda,dikenalrumus10untukbayi,danrumus101520untukanak. 2,9,13
Gambar5.Perbandinganestimasidariluasnyadaerahterbakarpadaanakanakdandewasa. 9,13
MetodeLunddanBrowder
Metode ini, jika digunakan dengan benar, merupakan metode paling akurat. Metode ini
mengkompensasi variasi tubuh bentuk dengan usia sehingga dapat memberikan penilaian yang
daerahlukabakaryangakuratpadaanakanak.9,14
Apabilatidaktersediatabeltersebut,perkiraanluaspermukaantubuhpadaanakdapatmenggunakan
Rumus9dandisesuaikandenganusia:
Padaanakdibawahusia1tahun:kepala18%dantiaptungkai14%.Torsodanlenganpersentasenya
samadengandewasa.
Untuktiappertambahanusia1tahun,tambahkan0.5%untuktiaptungkaidanturunkanpersentasi
kepalasebesar1%hinggatercapainilaidewasa.
Tabel 2. Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage
of body surface area affected by burns in children.
Kulit berpigmen biasanya sulit untuk dinilai, dan dalam kasus seperti ini mungkin perlu untuk
menyingkirkansemualapisanepidermislonggaruntukmenghitungukuranlukabakar.9
Sangatlah penting untuk menilai semua bagian tubuhyang terkena luka bakar. Selama penilaian,
lingkungan harus tetap hangat. 9 Tutup permukaan yang terpapar luka bakar ini berguna untuk
emncegah kehilangan panas dan mengurangi resiko infeksi. 13 Penutupan luka bakar juga
sangat perlu sebab dengan adanya aliran udara di atas permukaan luka bakar
akan memperberat nyeri.13
Pada pasien ini dalam mengitung luas permukaan luka bakar sebagai dasar
resusitasi cairan digunakan Rumus 9 (Wallace rule of nine). Hal ini dikarenakan
metode ini sangat baik, dan umumnnya banyak digunakan oleh praklinisi. Selain
itu cara perkiraannya juga sangat cepat untuk memperkirakan luas luka bakar
pada pasien dengan luka bakar sedang sampai berat pada orang dewasa.
Kriteria berat ringannya luka bakar menurut American Burn Association ialah:
1. Luka bakar ringan
a. Luka bakar derajat II < 15% pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III < 2%
2. Luka bakar sedang
a.
b.
c.
2, 13
TRAUMA INHALASI
1 Patofisiologi
Trauma panas langsung yang disebabkan akibat menghirup udara panas dengan
suhu (150 C atau lebih tinggi) biasanya mengakibatkan luka bakar di orofaring,
wajah, dan saluran nafas bagian atas (di atas pita suara). Bahkan udara dengan
panas berlebih dengan cepat didinginkan sebelum mencapai saluran pernafasan
bawah
karena
efisiensi
pertukaran
panas
luar
biasa
di
orofaring
dan
nasopharing.4
Panas dan bahan kimia dalam asap menghasilkan cedera langsung pada mukosa
saluran nafas, mengakibatkan edema, eritema, dan ulserasi.
4, 13, 14
Meskipun
jawab memperberat cedera. Oksidan dari asap dan dari sel-sel inflamasi
merupakan penyebab utama cedera.
2. Tahapan Klinis
Perjalanan klinis pasien dengan cedera inhalasi dibagi menjadi tiga tahap:
a. Tahap Pertama
Insufisiensi paru akut - Pasien dengan cedera paru berat akan menunjukkan
insufisiensi paru akut dalam 0-36 jam setelah cedera dengan asfiksia, keracunan
karbon monoksida, bronkospasme, obstruksi saluran napas atas dan kerusakan
parenkim.
b. Tahap Kedua
Edema paru - Tahap kedua ini terjadi pada 5-30% pasien, biasanya 48-96 jam
setelah terbakar.
c. Tahap Ketiga
Bronchopneumonia - Muncul di 15-60% dari jumlah pasien dengan laporan angka
kematian 50-86%. Bronchopneumonia biasanya terjadi 3-10 hari setelah luka
bakar, sering berkaitan dengan dahak lendir yang banyak yang terbentuk di
cabang tracheobronchial. Pneumonia muncul dalam beberapa hari pertama
biasanya karena spesies staphylococcus resisten penisilin, dan setelah 3-4 hari,
terjadi perunahan flora pada luka bakar luka ini tercermin dalam gambaran pada
paru-paru spesies gram negatif, terutama spesies Pseudomonas.
3 Diagnosa
Deteksi dini cedera bronkopulmonalis sangat penting dalam meningkatkan
kelangsungan hidup setelah dicurigai adanya trauma inhalasi.5
Tanda Klinis : Adanya riwayat paparan asap di ruang tertutup (pasien dengan
stupor atau sadar)5, 13, 14
Temuan Fisik: luka bakar wajah / hangus pada bulu hidung / bronchorrhea / dahak
dengan jelaga (Spooty sputum), teumuan auskultasi (whezing atau rales).5, 13, 14
laboratorium:
monoksida
hipoksemia
dan
atau
peningkatan
kadar
karbon
5, 13
4 Metode Diagnostik
Chest X-ray kurang membantu dan merupakan metode yang kurang sensitif
karena pasien masuk sangat jarang ditemukan abnormal dan mungkin masih
tetap normal selama tujuh hari kedepan setelah luka bakar.5, 14
Metode diagnostik standar pada setiap pasien luka bakar adalah bronkoskopi
untuk cedera saluran nafas bagian atas.5, 14 Temuan positif adalah: edema jalan
napas, peradangan, nekrosis mukosa,
jaringan yang luruh, material karbon pada jalan napas. Semua pasien yang
memiliki tanda klinis cedera inhalasi yang tercantum di atas harus menjalani
bronkoskopi baik melalui endotrakeal tube atau transnasal dengan sedasi untuk
menentukan adanya cedera inhalasi.5
Untuk menentukan cedera parenkim metode yang paling spesifik adalah 133 Xe
lung scanning, metode ini melibatkan injeksi intravena gas xenon radioaktif
diikuti oleh serial chest scintiphotograms. Teknik ini mengidentifikasi daerah
udara yang terperangkap dari obstruksi jalan nafas parsial atau total dengan
gambaran daerah yang menunjukkan menurun laju gas di alveolar. Selain itu tes
fungsi paru dapat dilakukan dan dapat menunjukkan peningkatan resistensi dan
penurunan aliran pada mereka yang abnormal dengan 133 scan Xe.5
Penanganan
Perawatan umum
Penanganan dari cedera inhalasi harus mulai segera mungkin dengan pemberian
oksigen 100% melalui masker wajah atau kanul hidung. Hal ini membantu
reverse efek dari keracunan CO dan juga membantu dalam bersihannya.5,
14
Oksigen 100% menurunkan waktu paruhnya dari 250 menjadi kurang dari 50
menit.
COHb level
COHb level
Symtoms
0 - 10%
10-20%
Nausea, headache
20-30%
Drowsiness, lethargy
30-40%
Confusion, agitation
40-50%
> 50%
COHb = Carboxyhaemoglobin
Pemeliharaan jalan napas sangat penting. Jika adanya bukti awal edema saluran
napas bagian atas timbul, intubasi dini diperlukan karena edema saluran udara
bagian atas biasanya meningkat selama 8-12 h. Intubasi propilaktik tanpa
indikasi yang baik tidak mesti dilakukan. Metode intubasi harus dilakukan sesuai
dengan yang dianggap familier oleh intubator; baik rute hidung maupun mulut.
Kadang-kadang, cedera sekitar wajah dan leher memungkinkan resiko edema
pada saluran napas, sehingga teknik intubasi standar dengan pelumpuh mungkin
tidak aman. Dalam beberapa situasi, awake nasotracheal intubasi atau intubasi
serat optik, lebih disukai oleh beberapa personil yang berpengalaman.5
Pengunaan suxsamethonium dapat menyebabkan hiperkalemia akut, hal ini
dikarenakan migrasi ektra-junctional reseptor asetilkolin. Penggunaannya aman
dalam beberapa jam pertama, akan tetapi tidak boleh digunakan untuk 12 bulan
kemudian.14
Nilai
< 60
> 50 (acutely)
P/F ratio
Respiratory/ventilatory failure
< 200
Impending
Severe
10
Beberapa studi klinis telah menunjukkan bahwa edema paru tidak dapat
dicegah dengan restriksi cairan. Walaupun overhidrasi dapat menyebabkan
edema paru, tetapi hidrasi yang tidak cukup dapat meningkatkan keparahan
cedera paru dengan squestrasi sel polymorphonuclear yang mengarah pada
peningkatan mortalitas. Pada studi hewan dan study klinis, menunjukkan bahwa
resusitasi cairan sudah cukup jika indeks jantung normal atau urin output dapat
dipertahankan. Dalam hal ini mungkin diperlukan volume cairan yang lebih
banyak ( 2cc/kg /% TBSA luka bakar) dari yang dibutuhkan untuk luka bakar
dengan ukuran yang sama tanpa trauma inhalasi.5
Antibiotik profilaksis untuk trauma inhalasi tidak dianjurkan, tetapi jelas
diindikasikan
terapeutik).
kultur
untuk
5, 13, 14
infeksi
paru-paru
yang
didokumentasikan
(sebagai
sebelumnnya
dimana
harus
mencakup
jenis
methicillin-resisten
Staphylococcus aureus pada beberapa hari pertama setelah luka bakar (ini
berkembang dalam minggu pertama setelah luka bakar) dan organisme gram
negatif (terutama Pseudomonas atau Klebsiella) yang umumnya terjadi satu
minggu setelah luka bakar. Pemberian antibiotik sistemik didasarkan pada
monitoring
serial
dari
kultur
sputum,
bronkial
washing,
atau
aspirasi
transtraheal.5
Pada pemberian kortikosteroid, dalam beberapa studi klinis dan percobaan pada
hewan didapatkan peningkatan angka kematian dan pada bronkopneumonia
menunjukkan terjadinnya pembentukan abses
Criteria
PaO2/FiO2 (P/F) ratio
Value
> 250
> 60
> 5-7
> 15-20
volume
besar
kasus
dapat
terjadi
depresi
miokard.
Perubahan
ini
adalah peningkatan yang jelas pada permeabilitas vaskular baik pada jaringan
yang terbakar maupun tidak terbakar. Eksudasi cairan yang kaya protein pada
kompartemen intravaskular kedalam interstitial mengakibatkan hipovolemia
intravaskular dan akumulasi cairan interstitial yang masif. Aliran linfe kutaneus
meningkat secara praktis pada periode segera setelah luka bakar dan tetap
tinggi selama hampir 48 jam. Namun begitu akumulasi cairan yang progresive
yang berasal dari cairan intravaskuler kedalam interstitial akan menyebabkan
peningkatan aliran linfatik. Hal utama yang berhubungan dengan penyimpangan
cairan dalam jumlah yang besar adalah semua komponen dari hukum starling.
Perubahan yang spesifik termasuk :
(c)
diakibatkan
oleh
Kebocoran cairan dan protein kedalam ruang interstitial sering kali menyebabkan
hilangnya lapisan interstitial yang ditandai dengan peningkatan aliran limfe. Efek
yang nyata dari perubahan tersebut adalah perkembangan edema yang masiv
selama 12 24 jam setelah trauma termal yang disertai dengan hilangnnya
volume cairan intravaskular. Perkembangan edema yang progresive ini sangat
tergantung pada kecukupan volume resusitasi karena pemberian cairan akan
berdampak pada perkembangan terjadinnya edema. 3
cairan yang besar ditunjukkan untuk menjaga perfusi jaringan. Akan tetapi
resusitasi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinnya edema dan
terjadinya sindroma kompartement pada daerah abdomen dan ekstremitas.
Mengitip dari Pruitt, Paru paru dan kompartement jaringan akan dikorbankan
untuk meningkatkan fungsi ginjal, yang bermanifestasi sebagi edema post
resusitasi, kebutuhan fasciotomi pada ektremitas bawah yang tidak terbakar,
dan kejadian strong kompartement pada abdomen. 3
Sampai saat ini, belum ada kesepakatan tentang jenis cairan yang harus
digunakan untuk resusitasi luka bakar. Pada kenyataannya setiap jenis cairan
mempunyai keuntungan dan kerugian masing masing pada berbagai macam
kondisi. Akan tetapi yang paling penting adalah apaun jenis cairan yang
diberikan, volume cairan dan garam yang adekwat harus diberikan untuk
menjada perfusi jaringan dan memperbaiki homeostatis. 3
a. Kristaloid
yang
dikembangkan
oleh
Baxter
dan
Shires
menghasilkan
sederhana untuk terapi cairan di mana pasien harus di monitor secara ketat
untuk mengoptimalisasi resusitasi syoks akibat luka bakar. Beberapa peneliti
memperlihatkan bahwa kebutuhan cairan terutama untuk pasien dengan area
luka bakar yang luas sering di prediksi dengan menggunakan rumus Parkland. 3
Kristaloid merupakan cairan yang paling sering digukan untuk resusitasi syok
akibat luka bakar. Sampai saat ini tidak ada studi prosfektif yang dapat
memperlihatkan bahwa koloid atau salin hipertonik memiliki mamfaat yang lebih
dibandingkan kristaloid isotonik dalam hal resusitasi pasien pasien luka bakar.
Selain itu kriataloid isotonik lebih murah dibandingkan koloid, meskipun kerugian
penggunaan kristaloid memerlukan volume yang realtif lebih besar untuk
resusitasi syok akibat luka bakar dan berpotensi menyebabkan terjadinnya
edema jaringan. Ada kemungkinan hal ini terjadi akibat resusitasi yang
berlebihan jika pasien tidak dimonitor ketat. Penumpukan cairan ini terjadi
terutama pada ruang interstitial. Kebanyakan studi tidak memperlihatkan insiden
edema paru pada pasien yang menerima resusitasi dengan kristaloid. Kolm dkk,
baru-baru ini mengkomfirmasi bahwa kebanyakan pasien-pasien luka bakar tidak
memperlihatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru setelah luka
bakar dan edema paru jarang terjadi selama tekanan pengisian intravaskuler
dipertahankan dalam batas normal. Komplikasi potensial yang lain akibat
resusitasi kristaloid yang berlebihan adalah hipoalbuminemia dan ketidak
seimbangan elektrolit. Perubahan ini belum memperlihatkan hubungan secara
signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas. 3
Tabel 6 . Formula untuk perkiraan resusitasi luka bakar pada orang dewasa. 3
Formula
Kristaloid
Koloid
Formula Kristaloid
Modifikasi Brooke
Parkland
Evans
luka bakar
Brooke
1 ml/kg/%
Slater
75ml/kg/24 jam
0,5 ml/kg
RL 2 ltr / 24 jam
Demling
1ml/kg/% luka
FFP
FFP 0,5-
2 ml/kg/jam
Bakar
Formula hipertonik
Monafo (salin hipertonik)
Warden
RL + 50 mEq NaHCO3
(Modifikasi hipertonik)
b. Koloid
Secara teoritis koloid memberikan keuntungan yang lebih dalam menjaga
volume intravaskular dengan volume yang lebih sedikit dengan waktu yang lebih
pendek dibandingkan kristaloid. Pada pasien dengan endotel yang intak koloid
lebih bertahan lama dibandingkan kristaloid dalam kompartemen intravaskular.
Protein plasma memegang peranan yang penting dalam dalam mempertahankan
volume vaskular dengan memberikan tekanan koloidosmotik yang berlawanan
dengan tekanan hidrostatik intravaskular.3
Meskipun
demikian
vermianilitas
pada
vaskular
pasien
terhadap
luka
bakar
cairan
memperlihatkan
elektrolit
dan
kolid
penigkatan
sehingga
kristaloid.
Meski
demikian,
meta-analisis
ini
diragukan
c. Cairan hipertonik
Penggunaan salin hipertonik baik sendiri maupun bersama sama dengan koloid
setelah dianjurkan oleh beberapa praktisi untuk resusitasi awal pada pasien luka
bakar. Salah satu keuntungan dari cairan hipertonik adalah mengurangi
kebutuhan volume untuk mencapai tingkat yang sama dengan cairan isotonik.
Secara teoritis pengurangan volume dari koloid yang dibutuhkan ini akan
mengurangi resiko terjadinya resiko edema paru dan edema jaringan yang dapat
mengurangi
insiden
intubasi
trakeal.
Cairan
salin
hipertonik
telah
yang
mempunyai
resiko
untuk
terjadinnya
gagal
jantung.
salin
dan
hipertonik
laktat
salin.
Terdapat
suatu
studi
yang
memperlihatkan tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada pasien yang menerima
laktat salin hipertonik di bandingkan pasien yang menerima cairan isotonik. Pada
beberapa kasus, koloid telah dikombinasi dengan cairan hipertonik pada
resusitasi luka bakar. Griswold dkk, melaporkan penambahan volume pada
pasien yang menerima albumin dan fresh frozen plasma yang digabungkan
dengan cairan salin hipertonik, dan Jelenko dkk melaporkan berkurangnya
insiden eskriotomi, pengurangan hari penggunaan vetilator, dan berkurangnya
volume cairan yang di butuhkan pada pasien yang menerima kombinasi albumin
dan salin hipertonik di bandingkan pasien yang hanya menerima cairan kristaloid
isotonik. Akan tetapi Gun dkk, tidak memperhatikan volume cairan saat
memberikan fresh frozen plasma yang digabungkan dengan cairan salin
hipertonik.3
Kekhawatiran
utama
dalam
penambahan
cairan
salin
hipertonik
adalah
telah dilaporkan terjadinnya pada 40% - 50 % pasien yang menerima saline hiper
tonik untuk resusitasi luka bakar. Huang dkk, melaporkan beberapa kasus
kematian yang berhubungan dengan teknik resusitasi ini. Karena berpotensinnya
terjadi gangguan elektrolit yang berat dan sedikitnnya bukti yang menunjukkan
bahwa resusitasi dengan hipertonik akan meningkatkan tingkat mortalitas,
cairan garam isotonik digunakan pada sebagian besar pusat resusitasi luka
bakar. Secara keseluruhan cairan hipertonik hanya digunakan oleh para ahli yang
mempunyai pengalaman menggunakannya, karena adanya beberapa resiko dan
komplikasi.
Rekomendasi-rekomendasi
Rekomendasi : Kristaloid saat ini merupakan cairan yang terpilih dan paling
sering digunakan untuk resusitasi cairan awal pada penderita luka bakar (level
IB).3
Rasional : Sebagian besar studi tidak memperlihatkan peningkatan insiden
edema paru pada pasien yang mendapatkan cairan kristaloid. Holm dkk, dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa sebagian besar pasien luka bakar tidak
memperlihatkan peningkatan permeabilitas kapiler paru setelah trauma dan
insiden edema paru jarang terjadi sepanjang tekanan pengisian intravaskular
dipertahankan dalam batas normal. Berdasarkan tinjauan sistematik oleh
Schierhout dan Roberts dari 26 RCT s dengan 1622 pasien yang mendapatkan
koloid atau kristaloid, mortalitas adalah outcome utama yang dinilai. Hasil yang
didapatkan adalah mortalitas pada pasien yang mendapat cairan koloid lebih
besar 4 % di banding yang mendapat kristaloid (95% CI 0-8%). 3
lebih tinggi pada pasien yang mendapatkan albumin sebagai bagian resusitasi
awal dengan 2,4 kali resiko relatif mortalitas di banding yang mendapatkan
kristaloid.3
Cairan
hipertonik
memperlihatkan
daya
ekspansi
volume
Formula resusitasi
Banyak formula telah dirancang untuk menentukan jumlah cairan yang tepat
untuk diberikankan pada pasien luka bakar, dan semuanya berasal dari studi
eksperimental tentang patofisiologi syok pada luka bakar.
15
3, 9, 13, 15
Formula Ini
1)
Kurangicairanyangyangditerimadarijumlahyangdiperlukanuntuk8jamPertama
Pasientelahmenerima1000mlcairandaripelayananEmergensisehinggadiamembutuhkan3200ml
dalam8jampertamasesudahcedera.
4)
Bagilahjumlahcairanpadapoint(3)dengansisawaktusampai8setelahpasienterbakar
Kebakaran terjadi pada pukul 3 siang, jadi 8 jam kedepan jatuh pada pukul 11
malam. Sekarang pukul 4 siang, jadi dibutuhkan 3200 ml selama 7 jam
kedepan:
3200 / 7 = 457 ml/jam dari jam 4 siang sampai jam 11 malam.
5)
Bagi jumlah cairan point (2) dengan 16 jam untuk mendapatkan kecaparan
cairan infus
Dibutuhkan 4200 ml dalam 16 jam:
4200/16 = 262.5 ml/jam dari jam 11 malam sampai jam 3 siang hari
berikutnnya.
MONITORING RESUSITASI
Setiap pasien luka bakar mempunyai reaksi yang berbeda-beda dan juga
memerlukan dukungan cairan dalam
faktor dapat mempengaruhi respon pasien pada saat resusitasi seperti usia,
kedalaman luka bakar, trauma inhalasi yang bersamaan, dan penyakit penyerta.
Jika klinisi menggunakan sebuah endpoint dari resusitasi yang handal dan akurat
dalam mengukur kecukupan perfusi seluler, maka mereka akan tahu kapan
harus''menghentikan'' terapi cairan yang agresif serta dapat menghindari
masalah over-resusitasi.
1. Tradisional endpoints.
Marker tradisional keberhasilan resusitasi seperti tekanan darah dan nadi
dapat normal karena merupakan bagian kompensasi syok serta tidak dapat
mendeteksi hipoperfusi selular yang tersembunyi. Pengukuran noninvasif dari
tekanan darah mungkin sulit di nilai karena adanya edema jaringan.Takikardi
mungkin juga akibat dari nyeri dan kecemasan, yang umum terjadi pada pasien
luka bakar dan oleh karena itu merupakan marker yang kurang dapat dipercaya
akibat dari hipovolemia. Secara tradisional, urine output telah digunakan sebagai
pemandu resusitasi. Urine output mencerminkan keadaan perfusi ginjal, yang
sensitif terhadap penurunan cardiac output dan hipovolemik. The American Burn
Association menyarankankan bahwa kecapatan cairan infus harus dititrasi untuk
mendapatkan urin output 0,5-1,0 ml / kg / jam pada orang dewasa, Dengan
munculnya
kompartemen
sindrom,
beberapa
klinisi
luka
bakar
yang
berpengalaman mulai dapat menerima urin output yang lebih lebih rendah
sebagai endpoint resusitasi. Namun, ada beberapa penelitian yang telah
menunjukkan nilai output urin per jam dapat menggambarkan perfusi yang
cukup memadai. Tetapi, terdapat pula banyak studi yang menyoroti kegagalan
penilaian
urin
output
dalam
menilai
kecukupan
perfusi
global.
Karena
menimbulkan banyak minat untuk menggunakan metode yang lebih maju dalam
pemantauan endpoint resusitasi.
Intrathoracic blood volume (ITBV) adalah total kombinasi volume jantung kanan,
jantung kiri, dan volume darah paru yang diukur pada akhir diastolik. ITBV telah
terbukti berkorelasi erat dengan cardiac output. Holm dkk, baru-baru ini meneliti
efek dari monitoring intensif ITBV pada resusitasi luka bakar dengan syok.
Pengukuran hemodinamik dibuat menggunakan sistem COLD system (Pulsion
Medical Systems), yang memanfaatkan kateter vena sentral standart
dan
atau
morbiditas
diantara
kedua
kelompok.
Holm
dkk.
Juga
besar
perawatan
di
telah
rumah
memperbaiki
sakit.
outcome
Yamamoto
dkk,
dan
penurunan
baru-baru
ini
angka
lama
mengevaluasi
penggunaan doppler esofageal pada empat pasien dengan luka bakar yang luas,
dan menemukan bahwa pengukuran cardiac index dengan menggunakan
Doppler esofageal berkorelasi baik dengan yang diperoleh dari kateter arteri
pulmonalis. Penempatan kateter vena sentral secara teknis sulit silit dilakukan
pada pasien burn-luka akibat edema dan kerusakan jaringan, sehingga
penggunaan
Doppler
esofageal
sangat
jaringan
secara
signifikan.
Penulis
menunjukkan
perubahan
sebagai
akses
dasar
yang
baik
(good
as
base
axcess)
dalam
Hal
ini
termasuk
pemindahan
dari
kebakaran,
resusitas,
transportasi ke rumah sakit, dan prosedur yang urgensi, seperti akses intravena,
kontrol jalan napas, pemasangan kateter uretra, radiografi, escharotomies, dan
transportasi ke unit luka bakar atau unit perawatan intensif. Manajemen Nyeri
merupakan isu yang penting selama tindakan. Nyeri pasien bisa berat atau yang
mengejutkan bisa ringan, namun tingkat keparahan nyeri jarang yang dicatat.
Persepsi nyeri pada pasien juga dapat dipengaruhi oleh alkohol, penggunaan
obat-obatan, atau penyebab lainnya seperti perubahan tingkat kesadaran, (bisa
akibat inhalasi asap, hipoksia, atau hipotensi).
12
menghilangkan rasa sakit. Setelah kontrol nyeri diperoleh, infusion atau PatientControlled Analgesia (PCA) biasa di gunakan.12
Opioid
Opioid intravena tetap menjadi metode yang paling populer dalam mengurangi
nyeri pada luka bakar. Morfin telah banyak diteliti dan digunakan dalam hal ini.
Secara farmakokinetik, metabolit aktif dari
morfin
berbeda secara signifikan antara pasien dengan dan tampa luka bakar, sehingga
dapat digunakan dosis yang sama. Pada umum dibandingkan dengan opioid
lain, morfin memiliki sifat sedatif dan antitusif, hal ini tergantung pada metode
pemberian, morfin memiliki durasi yang relatif panjang. Metabolit morfin,
terutama
morfin-6-glukuronat,
memainkan
peran
aktif
dalam
analgesia,
yang
potensial,
meskipun
berhasil
digunakan melalui rute intranasal pada pasien anak. Remifentanil, dengan masa
kerja yang sangat cepat, telah digunakan selama pembedahan luka bakar, dan
mungkin
layak
digunakan
ini di luar ruang operasi, meskipun keamanan obat ini dalam penggunaannya
masih perlu di teliti lagi.12
Pemberian pethidine (meperidin) telah dapat dilakukan dengan menggunakan
PCA,
tapi yang menjadi masalah adalah dengan norpethidine (normeperidine) yang
bisa berakibat mudah terjadi toksisitas, terutama pada dosis tinggi, penggunaan
jangka panjang, atau pasien dengan gangguan ginjal.12
Obat lain, seperti benzodiazepines, dapat digunakan dalam kombinasi dengan
opioid untuk mengurangi kecemasan yang berat, namun kombinasi ini berisiko
terjadinya
depresi
pernapasan
yang
lebih
besar.
Lorazepam,
yang
pada
luka
bakar,
walaupun
secarateori sering dikaitkan
dengan depresi dari fungsi kekebalan tubuh dan dalam satu studi retrospektif
penggunaan opioid dihubungkan dengan peningkatan risiko infeksi pada pasien
dengan luka bakar.
12
Nonopioid Analgesia
Berbagai obat nonopioid telah diteliti untuk menangani nyeri pada luka bakar.
Pada salah satu pusat studi luka bakar telah dilakukan pengamatan dimana
opioid tidak digunakan, kemudian didapatkan bahwa
pengurangan nyeri
seperti yang telah dijelaskan dapat diberikan untuk menangani luka bakar.
Penggunaan ketorolac dalam hubungannya dengan manfaat lainnya berupa efek
anti-inflamasi yang diperlukan pada luka bakar perlu diperhatikan. Pasien luka
bakar biasanya selalu berhadapan dengan hipovolemia atau gangguan ginjal
sehingga penggunaan NSAID pada pasien luka bakar telah dikaitkan dengan
memburuk
fungsi
ginjal.
Kecemasan
juga
dapat
menyebabkan
atau
dibandingkan dengan obat siklooksigenase-2-selektif inhibitor, tetapi obatobatan ini memiliki resiko terhadap kardiovaskuler dan ginjal yang signifikan.
Sehingga, penggunaan keterolak sebagai analgesik pada pasien luka bakar harus
dipertimbangkan
untung
dan
ruginya
serta
mampaat
klinisnya
secara
potensial.12
Secara Eksperimental nyeri luka bakar dapat dikurangi dengan menggunakan
antagonis NMDA seperti ketamin. Tetapi sayangnya, dosis tinggi dari ketamin
sering dikaitkan dengan efek samping yang tidak menyenangkan, seperti
halusinasi dan dysphoria. Ketamine dosis rendah mungkin efektif sebagai
analgesik dan dapat mengurangi kebutuhan opioid. Ini adalah pilihan yang
menarik sebagai Ketamine yang bekerja pada reseptor NMDA telah terbukti
mengurangi sensitisasi sentral dan pengembangan hiperalgesia sekunder dari
nyeri neuropatik pada model hewan. Pengalaman dalam beberapa percobaan
kecil dan seri kasus yang lebih besar telah memberikan bukti bahwa Ketamine
efektif dan aman untuk pengelolaan nyeri pada pasien luka bakar. 12
NUTRISI
Pasien dengan luka bakar mayor membutuhkan nutrisi yang baik untuk
menghindari
kehilanagan
masa
tubuh
yang
berlebihan
dan
mencegah
kelemahan yang akan terjadi. Dukungan nutrisi yang segera diindikasikan untuk
mengatur "stress respon" berat karena akan terjadinya katabolisme. Dukungan
nutrisi juga diindikasikan untuk pasien yang sudah mengalami kekurangan gizi.
Tingkat
dukungan
nutrisi
harus
disesuaikan
dengan
ukuran
luka
bakar.
Wanita
Laki-laki
Ket :
akan
membutuhkan
energi
yang
lebih
besar
dalam
proses
peningkatan produksi karbon dioksida. Untuk mencegah hal itu terjadi maka
dibutuhkanlah suatu nutrient mix. Secara optimum komposisi pencampuran
makronutrien (macronutrient mix) adalah sebagai berikut; karbonhidrat 55-60 %,
lemak 20-25 %, protein 20-25 %.2
Pemberian makanan enteral berdasarkan beberapa study telah menunjukan
dapat melindungi usus dari tranlocation toksis dan mikroorganisme, yang juga
dapat mengurangi angka kejadian sepsis.14
REFERENSI
1. Moenadjat RY. Luka bakar pengetahuan klinis praktis.Cet 1. Jakarta:
Farmedia ; 2000
2. Tim Bantuan Medis 110 [Online]. 2011 Feb 10 [cite 2011 Nov 14];
Available from : URL: http://www.tbm110.org/artikel-medis/manajemenluka-bakar.
3. Arif SK. Panduan tatalaksana terapi cairan perioperatif: terapi cairan pada
luka bakar berat. Jakarta : PP IDSAI; 2010. p. 193-205.
4. Burnsurgery.org: Educating the burn care professionals worldwide
[Online]. [cite 2011 Feb 10]; [10 screens]. Available from: URL:
http://www.burnsurgery.org/
5. Wolf S, Herndon DN. Burn care. Texas (USA): Landes Bioscience; 1999. p.
245-261.
6. Shehan Hettiaratchy, Peter Dziewulski. ABC of burns. BMJ 2004;328:1366
8 BMJ 2004;328:15557
7. Tricklebank S. Modern trends in fluid therapy for burns. Department of
Anaesthesia, Queen Victoria Hospital, UK. Burns Journal 2008 Sep 4; 35:
757-767.
8. Mlcak RP, Suman OE, Herndon DN. Respiratory management of inhalation
injury. Burns Journal 2006 Jul 26; 33: 2-13.
9. Hettiaratchy s, Papini R. Initial management of a major burn: II
assessment and resuscitation, BMJ 2004;329:1013.
10.Hettiaratchy s, Papini R. Initial management of a major burn: Ioverview,
BMJ 2004;328:5557.
11.Wood F, Hei LE, Crompton D, Sweeney M, Rosenthal D, Maitz P. Burns
assessment and triage. Australian Rural Doctor. 2006 Jun 19; 17-20.
12.Kinsella J, Rae CP. Clinical pain management acut pain. In : Macintyre PE,
editor. Akut pain management in burns. 2 nd rd. London: Hodder &
Stoughton Limited ; 2008. p.399-405.
13.Rab H. Agenda gawat darurat (Critical Care) : pengetasan kritis pada
intergumenter- luka bakar. Bandung : PT. Alumni; 1998. p.963-973.
14.Allman KG, Mclndoe AK, Wilson IH. Emergencies in anesthesia. New York:
Oxford University Press; 2006. p.334-337.
15.Gallagher JJ, Herdon DN. Controversy in inhalation injury and burn
resuscitation. Emergency Medicine & Critical Care Review,2007;1-3.
Manusia membutuhkan berbagai zat gizi untuk menjaga kesehatan dan daya tahan tubuh. Zat
gizi adalah bahan kimia yang terdapat dalam bahan pangan yang dibutuhkan tubuh untuk
menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses
kehidupan. Tidak hanya orang sehat yang membutuhkan gizi melainkan juga pasien yang
berada di rumah sakit. Kebutuhan gizi pada pasien tersebut diatur dalam bentuk diet untuk
membantu mempercepat kesembuhan pasien sehingga masa perawatan dapat diperpendek.
Pengaturan gizi pasien tersebut bertujuan bukan hanya untuk meningkatkan atau
mempertahankan status nutrisi pasien tetapi juga untuk meningkatkan atau mempertahankan
daya tahan tubuh dalam menghadapi penyakit / cedera khususnya infeksi serta membantu
kesembuhan pasien dari penyakit / cederanya dengan memperbaiki jaringan yang aus atau
rusak serta memulihkan keadaan homeostasis yaitu keadaan seimbang dalam lingkungan
internal tubuh yang normal / sehat. Pada umumnya rumah sakit memiliki standar makanan
untuk pasien, yaitu standar makanan secara umum dan standar makanan secara khusus.
Standar makanan ini disesuaikan dengan pengaturan gizi pada pasien.
1. Pengaturan secara umum
Pengaturan gizi secara umum, biasanya tidak memerlukan diet khusus. Diet umum hanya
berdasarkan pada jenis makanan yang diberikan kepada pasien. Jenis makanan yang umum
diberikan adalah Makanan Biasa dan Makanan Lunak.
a. Makanan Biasa
Makanan biasa sama dengan makanan sehari-hari yang beraneka ragam, bervariasi dengan
bentuk, tekstur, dan aroma yang normal. Makanan biasa diberikan pada pasien yang
berdasarkan penyakitnya tidak memerlukan diet khusus. Makanan biasa bertujuan
memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi untuk mencegah dan mengurangi kerusakan
tubuh.
b. Makanan Lunak
Makanan lunak adalah makanan yang memiliki tekstur yang mudah dikunyah,ditelan dan
dicerna dibandingkan dengan Makanan Biasa. Makanan ini mengandung cukup zat-zat gizi,
asalkan pasien mampu mengkonsumsi makanan dalam jumlah cukup. Makanan lunak
bertujuan memberikan makanan dalam bentuk lunak yang mudah ditelan dan dicerna sesuai
kebutuhan gizi dan keadaan penyakit.
2. Pengaturan secara khusus
Makanan khusus atau diet khusus umumnya dalam penyajian dikombinasikan dengan
Makanan Biasa atau Makanan Lunak. Terdapat beberapa macam pengaturan diet khusus yang
umum disediakan di rumah sakit yang disesuaikan dengan penyakit pasien, diantaranya:
a. Diet Diabetes Melitus
Diet ini khusus diberikan kepada penderita Diabetes Melitus (DM). DM adalah kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami peningkatan kadar gula (glukosa) darah
akibat kekurangan hormon insulin. DM merupakan penyakit turunan tapi dapat juga
disebabkan karena berbagai faktor risiko seperti umur, kegemukan, kurang aktifitas dan pola
makan yang tidak sehat. Tujuan diet penyakit diabetes melitus adalah membantu pasien
memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk mendapatkan kontrol metabolik yang
lebih baik. Diet yang digunakan sebagai bagian dari penatalaksanaan DM dikontrol
berdasarkan kandungan energi, protein, lemak dan karbohidrat. Perencanaan makan bagi
penderita diabetes sangat penting untuk kontrol glukosa darah untuk mencegah terjadinya
komplikasi. Standar diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang yang
dianjurkan terdiri dari energi 90-125%, karbohidrat 60-70%, protein 10-15% dan lemak 2025%. Pada umumnya, pasien dengan Diet DM dibatasi dalam penggunaan jumlah gula dan
penggunaan gula murni tidak diperbolehkan serta asupan serat diutamakan serat larut air yang
terdapat dalam buah dan sayur. Pasien DM dengan tekanan darah normal diperbolehkan
mengkonsumsi natrium dalam bentuk garam dapur seperti pasien biasa, apabila mengalami
hipertensi maka asupan garam harus dikurangi.
b. Diet Jantung
Penyakit jantung terjadi akibat proses berkelanjutan, di mana jantung secara berangsur
kehilangan kemampuannya untuk melakukan fungsi secara normal. Pada awal penyakit,
jantung mampu mengkompensasi ketidakefisiensian fungsinya dan mempertahankan sirkulasi
darah normal melalui pembesaran dan peningkatan denyut nadi. Dalam keadaan tidak
terkompensasi, sirkulasi darah yang tidak normal menyebabkan sesak napas, rasa lelah, dan
rasa sakit di daerah jantung. Berkurangnya aliran darah dapat menyebabkan kelainan pada
fungsi ginjal, hati, otak, serta tekanan darah yang berakibat terjadinya reasorpsi natrium.
Tujuan diet penyakit jantung adalah memberikan makanan secukupnya tanpa memberatkan
kerja jantung, menurunkan berat badan bila terlalu gemuk, mencegah atau menghilangkan
penimbunan garam atau air. Diet ini diberikan kepada pasien dengan kelainan pada
jantungnya. Diet diberikan dengan syarat cukup energi, rendah protein dan lemak, cukup
vitamin dan mineral, rendah garam (jika disertai dengan hipertensi), makanan mudah cerna
dan tidak menimbulkan gas, cukup serat untuk menghindari konstipasi, makanan umumnya
juga diberikan dalam porsi kecil dan jarang menyajikan makanan dengan minyak berlebih
dan bahan makanan yang digoreng.
c. Diet Pascabedah
Diet pascabedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani
pembedahan. Pengaruh pembedahan terhadap metabolisme pascabedah tergantung berat
ringannya pembedahan, keadaan gizi pasien prabedah, dan pengaruh pembedahan terhadap
kemampuan pasien untuk mencerna dan mengabsorpsi zat-zat gizi. Setelah pembedahan
sering terjadi peningkatan ekskresi nitrogen dan natrium yang dapat berlangsung selama 5-7
hari atau lebih pascabedah. Peningkatan ekskresi kalsium terjadi setelah operasi besar, trauma
kerangka tubuh, atau setelah lama tidak bergerak (imobilisasi). Demam meningkatkan
kebutuhan energi, sedangkan luka dan pendarahan meningkatkan kebutuhan protein, zat besi,
dan vitamin C serta penggantian cairan yang hilang. Tujuan diet pascabedah adalah
mengupayakan agar status gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses
penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh pasien. Makanan yang tidak berikan untuk
Diet Pascabedah adalah makanan dengan bumbu tajam dan minuman yang mengandung
karbondioksida (CO2).
d. Diet Saluran Cerna
Saluran cerna adalah saluran yang berfungsi untuk mencerna makanan, mengabsorpsi zat-zat
gizi, dan mengekskresi sisa-sisa pencernaan. Gangguan pencernaan dan absorpsi dapat terjadi
pada proses menelan, mengosongkan lambung, absorpsi zat-zat gizi, dan proses defekasi.
Gangguan ini antara lain terjadi karena infeksi atau peradangan, gangguan motilitas,
perdarahan atau hematemesis-melena, kondisi saluran cerna pascabedah, dan tumor atau
kanker. Diet yang digunakan adalah Diet Penyakit lambung. Diet penyakit lambung
merupakan pengaturan diet pada pasien penyakit lambung atau gastrointestinal meliputi
gastritis akut dan kronis, ulkus peptikum, pasca-operasi lambung yang sering diikuti dengan
Dumping Syndrome dan kanker lambung. Gangguan gastrointestinal sering dihubungkan
dengan emosi atau psikoneurosis dan/atau makan terlalu cepat karena kurang dikunyah serta
terlalu banyak merokok. Tujuan diet penyakit lambung adalah memberikan makanan dan
cairan secukupnya yang tidak memberatkan lambung serta mencegah dan menetralkan asam
lambung yang berlebihan. Gangguan pada lambung umumnya berupa sindroma dispepsia,
yaitu kumpulan gejala yang terdiri dari mual, muntah, nyeri epigastrum, kembung, nafsu
makan berkurang, dan rasa cepat kenyang. Oleh sebab itu, diet yang diberikan umumnya
makanan yang cukup energi, protein dan cairan; mudah cerna, porsi kecil dan sering
diberikan; tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam; rendah lemak, serat
dan laktosa (umumnya tidak dianjurkan minum susu terlalu banyak) dan tidak menggunakan
bahan makanan yang mengandung serat tinggi dan menimbulkan gas seperti kol, sawi,
kacang panjang, apel, santan dan cabai.
diberian bila pasien telah mempunyai cukup nafsu makan dan dapat menerima makanan
lengkap. Tujuan Tinggi Kalori Tinggi Protein adalah memenuhi kebutuhan energi dan protein
yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh, serta menambah
berat badan hingga mencapai berat badan. Pada umumnya, untuk pasien diet TKTP diberikan
Makanan Biasa dengan tambahan bahan makanan protein yang lebih dari pasien diet biasa
serta bahan makanan tidak dimasak dengan banyak minyak atau santan kental.
Pemberian terapi diet yang sesuai dengan kebutuhan gizi akan mempercepat kecepatan
sembuh pasien. Pengaturan gizi untuk pasien umumnya dilakukan dengan perkiraan
kebutuhan energi yang diberikan berdasarkan pemeriksaan klinis, antropometri dan hasil
pemeriksaan laboratorium pasien. Dokter menghitung perkiraan kebutuhan dan menuliskan
jenis diet yang akan dijalani oleh pasien dan menentukan diet pasien tersebut. Setelah dokter
menentukan diet tersebut, dietisien (ahli gizi) akan mempelajari dan menerjemahkan ke
dalam menu dan porsi makanan serta frekuensi makan yang akan diberikan sesuai dengan
kebutuhan dengan memperhatikan zat gizi yang dibutuhkan serta jenis dan jumlah bahan
makanan yang digunakan. Apabila perlu dilakukan penyesuaian, maka dietisien akan
mongkonsultasikan kepada dokter. Pengaturan diet bagi pasien rawat inap di Rumah Sakit
bukan merupakan tindakan yang berdiri-sendiri dan terpisah dari perawatan dan pengobatan,
melainkan merupakan kesatuan dalam proses penyembuhan penyakit pasien antara dokter,
perawat dan ahli gizi. Pengaturan diet khusus yang umum disediakan di rumah sakit untuk
pasien penyakit jantung adalah Diet Jantung, Diet Diabetes Melitus untuk pasien diabetes
melitus, Diet Saluran Cerna untuk pasien penyakit lambung, Diet Rendah Garam untuk
pasien penderita hipertensi, Diet Pascabedah untuk pasien setelah menjalani pembedahan,
Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein untuk pasien dengan nafsu makan cukup dan dapat
menerima makanan lengkap, dan Diet Gout Artritis untuk pasien penderita asam urat.
Daftar Pustaka
Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier, dkk. 2011. Gizi seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
[Anonim] Instalasi Gizi RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia.
2010. Penuntun Diet. Editor: Dr. Sunita Almatsier, M.Sc. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2005. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta:
Depkes RI.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2006. Pedoman Praktis Terapi Gizi Medis. Jakarta: Depkes
RI.
Hartono, Andry. 2006. Terapi Diet dan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: EGC.
Indarti. 2004. Perbedaan kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus berdasarkan
pengaturan makanan [skripsi]. Fakultas Kedokteran UNDIP.
Moehyi, S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta: Bhratara.
Nelson JK, et al. 1994. Mayo clinic diet manual, A Handbook of Nutrition Practices Ed 7th. St
Louis: M. Mosby.
[Perkeni] Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus Pengelolaan
Diabetes Melitus di Indonesia. http://www.perkeni.net/index.pkp? page= jurnal_ tinjauan_
protokol. [29 Juni 2012].
Prakoso, M. 1982. Pelayanan Gizi di RSCM. Jakarta: Instalasi Gizi RSCM.
Suyono, Slamet. 2005. Patofisiologi Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Pusat. Diabetes dan
Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.