Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh:
Eka Rini Susanti P07120213014
Heryuni Prastiwi P07120213019
Reza Mahrizal P07120213033
Wisnu Eka WihantoroP07120213039
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana anatomi fisiologi serta patologi sistem kardiovaskuler?
2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Anatomi Jantung
Jantung berbentuk seperti kerucut terletak seperti piramida terbalik
dengan apeks(puncak) berada di bawah dan basis (alas) berada di atas.
Jantung terletak pada rongga dada (cavum thorax) tepatnya pada rongga
mediastinumdiantara paru-paru kiri dan kanan.
a. Lapisan Perikardium
Lapisan paling atas dari jantung terdiri dari fibrosa dan serosa dan
berfungsi sebagai pembungkus jantung.
1) Perikardium parietalis
Lapisan luar jantung yang melekat pada tulang dada dan selaput
paru.
2) Perikardium visceralis
Lapisan dalam jantung yang langsung menempel pada jantung.
Diantara ke-2 lapisan tersebut terdapat sedikit cairan
pelumas yang disebut cairan perikardium/cairan serosa sebagai
pelumas pelindung jantung
b. Lapisan Miokardium
Lapisan yang memiliki banyak otot jantung yang dapat berkontraksi
dan berelaksasi.
c. Lapisan Endokardium
Berbatasan dengan jaringan endotelium tipis dan berbatasan
langsung dengan pembuluh darah.
d. Ruangan Jantung
Atrium (Serambi) Kanan berfungsi menerima darah kotor dari
seluruh tubuh.
Atrium (Serambi) Kiri berfungsi menerima darah bersih dari paru-
paru.
Ventrikel (Bilik) Kanan berfungsi menerima darah kotor dari
serambi kanan dan dipompakan ke paru-paru.
Ventrikel (Bilik) Kiri berfungsi menerima darah bersih dari serambi
kiri untuk dipompakan ke seluruh tubuh.
e. Katup Jantung
Katup atrioventrikuler : memisahkan atrium dan ventrikel, terdiri
dari :
1) Trikuspidalis memisahkan atrium kanan dan ventrikel kanan
2) Mitral memisahkan atrium kiri dan ventrikel kiri
3) Katup semilunar : memisahkan antara ruangan ventrikel dengan
pembuluh darah arteri, terdiri dari :
arteri pulmonalis memisahkan ventrikel kanan dengan
pembuluh darah arteri pulmonalis
aorta memisahkan ventrikel kiri dengan pembuluh darah
aorta.
2. MITRAL STENOSIS
Mitral Stenosis (MS) seringkali disebabkan penyakit jantung rheumatik
dengan gambaran klinis penyakit bermanifestasi setelah 3-5 tahun pasca infeksi.
Pada kasus ini, 25% merupakan murni MS , dan 40% merupakan kombinasi MS
dan mitral regurgitasi (MR). Stenosis terjadi karena fusi komissura, kalsifikasi,
dan penebalan lapisan dan chordae tendineae.
a. Evaluasi Klinis
Gejala yang timbul akibat aktivitas yang menimbulkan gangguan
hemodinamik merupakan suatu hal yang penting dalam menilai derajat
beratnya MS. Gejala utama pada MS yaitu dyspnea yang dikarenakan
berkurangnya daya komplains dari paru. Orthopnea, paroksimal nocturnal
dyspnea dan dyspnea saat istirahat seringkali berhubungan dengan tekanan
atrium kiri, sekunder karena perbedaan gradien tekanan antara atrium kiri dan
ventrikel kiri. Gradien ini dapat berubah secara cepat sebagai akibat
perubahan cardiac output dan waktu pengisian diastolik.
b. Premedikasi
Pemberian obat profilaksis pada pasien dengan MS seperti penanganan gagal
jantung antara lain digitalis untuk memperlambat laju ventrikel pada atrial
fibrillasi, diuretika dan retriksi natrium. Pemberian antikoagulan 1-3 hari
sebelum operasi. Terdapat beberapa obat-obatan untuk mengobati hipertensi
pulmonal yang berat antara lain inhaled prostasiklin dan nitrit oxide.
c. Monitor
Pembesaran Atrium kiri dan atrial fibrilasi merupakan gambaran utama pada
EKG. Deviasi aksis kanan dan hipertropi ventrikel kanan timbul akibat
hipertensi pulmonal. Gambaran rontgen dada menunjukkan pembesaran
atrium kiri dan ventrikel kanan. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat
sebagai pemeriksaan non invasif. Doppler echo juga berguna dalam menilai
derajat beratnya MS dan memperkirakan gradien transvalvular. System
skoring dengan menggunakan ekokardiografi berguna dalam menilai hasil
pemakaian percutaneus ballon valvuloplasty. Cardiac catheterization juga
dapat menentukan gradien transvalvular, area katup mitral , fungsi ventrikel
kiri dan tekanan ventrikel kanan.
Takikardi memperberat hemodinamik dengan cara menurunkan waktu
diastolik. Curah jantung yang menurun berkaitan tidak hanya dikarenakan
oleh derajat beratnya stenosis tetapi juga sekunder oleh penyakit vaskuler
pulmonal dan reflex vasokontriksi pada sirkulasi sistemik. Kenaikan yang
mendadak pada volume darah dapat mecetuskan edema, gagal jantung kanan,
atau atrial fibrillasi.
d. Manajemen Anestesi
Epidural anestesi merupakan tekhik anestesi regional yang terpilih. Hindari
hidrasi yang cepat, dan pertahankan level anestesi yang pelan. Efedrin dapat
meningkatkan denyut jantung. Epinefrin menyebabkan peningkatan afterload
ventrikel yang dapat mencetuskan gagal jantung.
e. Pemulihan
Pasien dengan MS mempunyai resiko terjadinya edema paru dan gagal
jantung kanan. Nyeri, hiperkarbia, asidosis respiratorik, dan hipoksia arteri
merupakan penyebab meningkatnya denyut jantung atau pulmonary vascular
resistence (PVR). Pemberian antibiotik dan antikoagulan dilanjutkan.3
3. MITRAL REGURGITASI
Prolapse Katup Mitral dan penyakit jantung rheumatik kronis akan
menyebabkan mitral regurgitasi (MR). Ruptur chordae tendineae dan prolaps
katup mitral dapat disebabkan trauma dan endokarditis. Derajat beratnya
regurgitasi dan lesi merupakan faktor yang menentukan perjalanan penyakit. MR
berat akut yang disebabkan oleh apapun, tanpa terapi bedah memiliki prognosis
yang jelek. MR ringan kronik memiliki prognosis yang lebih baik hingga
beberapa tahun tanpa adanya tanda-tanda disfungsi ventrikel kiri. Kelelahan dan
dispnoe merupakan gejala yang timbul sebagai konsekuensi dari disfungsi
ventrikel kiri. MR akut dapat menimbulkan manifestasi gagal jantung kongestif
yang berat dan edema paru, dan kadang terdapat kolaps kardiovaskuler dan
hipotensi.
a. Evaluasi Klinis
Pada MR kronis terjadi overload volume ventrikel kiri. Hipertropi ventrikel
kiri menyebabkan LV end-diastolic pressure (LVEDP) terpelihara normal,
meskipun ada peningkatan LV end-diastolic volume (LVEDV). Pembesaran
atrium kiri dan distensible menyebabkan tekanan atrium kiri normal
walaupun pada keadaan volume regurgitasi yang besar. Stroke volume
ventrikel kiri meningkat. Pada MR akut, complains dari atrium kiri terbatas
dan secara jelas meningkatkan tekanan pada atrium kiri yang menyebabkan
edema pulmonal serta mencetus kontraksi dan takikardia karena kompensasi
simpatis.
b. Premedikasi
Reduksi afterload bermanfaat dalam hal penatalaksanaan pasien dengan akut
dan kronik MR yang diharapkan akan mempertahankan stroke volume.
Selain itu dengan menurunkan volume ventrikel kiri dapat menurunkan
ukuran annulus mitral dengan demikian terhadap orifisium regurgitasi. Pasien
ini seringkali juga diobati dengan inotropik (digitalis) dan diuretik, karena
akan menurunkan fraksi regurgitan.
Beberapa tindakan pembedahan dapat lebih bijaksana dipertimbangkan
sebelum terjadinya kegagalan ventrikel kiri yang jelas, misalnya pada pasien
dengan disfungsi otot papillary mungkin memerlukan pemasangan pompa
balon intraortic pre operatif.
c. Monitor
Monitoring didasarkan pada derajat disfungsi ventrikel. Pemantauan tekanan
arteri pulmonal sangat bermanfaat pada pasien dengan gejala. Penurunan
afterload intraoperatif akibat vasodilator memerlukan pengawasan penuh
terhadap hemodinamik.
Kateterisasi arteri pulmonal sangat berguna untuk menilai tekanan pengisian
ventrikel, curah jantung, dan efek pemberian vasodilator. Ukuran regurgitan
dan gelombang V tidak berkorelasi dengan derajat MR.
d. Manajemen Anestesi
Penanganan anestesi disesuaikan dengan derajat beratnya MR dan fungsi
ventrikel kanan. Faktor-faktor yang memicu regurgitasi harus dihindari,
seperti denyut jantung yang lambat (sistolik yang panjang) dan peningkatan
afterload secara mendadak. Bradikardi dapat meningkatkan volume
regurgitasi akibat peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri dan
annulus mitral yang melebar secara mendadak. Denyut jantung harus
dipertahankan antara 80-100x/menit. Peningkatan afterload ventrikel kiri
secara mendadak, seperti akibat intubasi endotrakeal dan stimulasi
pembedahan, harus segera ditangani tetapi tanpa depresi miokardium yang
berat. Kelebihan cairan juga dapat memperburuk regurgitasi akibat
melebarnya ventrikel kiri.
Anestesi spinal dan epidural dapat ditoleransi dengan baik, juga dapat
menghindari terjadinya bradikardi. Anestesi epidural dapat menurunkan
tahanan vaskular sistemik (SVR), sehingga membantu aliran darah dan
mencegah kongesti paru. Pasien dengan gangguan ventrikel yang berat sering
sangat sensitif dengan efek depresan dari obat volatile. Anestetik yang
berbahan dasar opioid lebih cocok digunakan, karena menghindari
bradikardia. Pemilihan pankuronium sebagai relaksan otot disertai anestetik
yang berbahan dasar opioid biasanya sangat bermanfaat.
e. Pemulihan
Mencegah nyeri, hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis dapat membantu
meningkatkan SVR.
4. AORTA STENOSIS
Aorta stenosis (AS) bisa terjadi kongenital atau didapat. Penyebab
kongenital meliputi katup unikuspid atau bikuspid dan fusi sebelum lahir.
Penyebab didapat meliputi kalsifikasi senilis dan penyakit jantung rematik. Pada
AS karena kalsifikasi terjadi degenerasi dari daun katup, pembentukan kalsifikasi,
diikuti obstruksi akibat stenosis. Pada AS terjadi kelebihan tekanan ventrikel kiri.
Hipertropi konsentrik mempertahankan tekanan dinding yang normal, sehingga
fraksi ejeksi dipertahankan. Tekanan sistolik yang melampaui 50 mmHg dengan
curah jantung yang normal atau muara aorta efektif <0,75 cm2 pada rata-rata
ukuran dewasa biasanya dianggap sebagai kritis obstruksi aliran ventrikel kiri.
Ventrikel kiri menghadapi peningkatan secara bertahap untuk mengatasi ejeksi.
Afterload terus meningkat sampai pada saat volume sekuncup berkurang dan
ventrikel kiri mulai membesar akibat timbunan volume..
a. Evaluasi klinis
Tanda kardinal dari AS adalah trias dispnoe, angina, dan sinkop. Pasien bisa
tetap asimptomatik untuk waktu yang lama, namun onset gejala menunjukkan
harapan hidup kurang dari 5 tahun. Ekokardiagrafi sangat penting untuk
menilai derajat beratnya AS. Pada pasien yang menunjukkan gejala
diperlukan kateterisasi jantung untuk menilai gradasi AS berdasarkan
pengukuran aortic valve area (AVA). Pasien bisa ditangani secara non operatif
dengan ballon valvuloplasi aorta perkutaneus. Sedangkan pada pasien senilis
dengan fungsi ventrikel yang buruk mungkin memerlukan pembedahan
penggantian katup aorta untuk dapat memperbaiki gejala klinis.
b. Premedikasi
Pasien AS memerlukan antibiotika profilaksis untuk mencegah endokarditis
infektif. Teknik anestesi yang dapat menyebabkan depresi miokardium atau
penurunan tekanan darah harus dihindari, biasanya yang disebabkan oleh
agen volatile. Pemilihan agen penghambat neuromuscular didasarkan pada
denyut jantung pada saat istirahat. Obat-obatan yang menurunkan afterload
dapat menurunkan tekanan diastolik aorta dan mengganggu aliran darah
subendokardial.
c. Monitor
Diperlukan pengawasan ketat pada EKG dan tekanan darah, yang bertujuan
mempertahankan irama sinus, denyut jantung, dan volume intravaskular yang
normal. Hipotensi harus dihindari dan preload harus dipertahankan adekuat.
Hipotensi harus segera diatas untuk mencegah penurunan tekanan perfusi
koroner. Kebutuhan oksigenasi meningkat. Fenilefrin dosis kecil (50-100 ug)
dapat menaikkan tekanan darah dan perfusi koroner. Takikardi sangat penting
diperhatikan karena menurunkan waktu perfusi subendokardial. Bradikardi
akan meningkatkan gradient katup, yang menyebabkan hipertensi sistemik
dan iskemik subendokardial. Pada EKG, iskemia akan menunjukkan depresi
segmen-ST dan kelainan gelombang-T. Takiartimia supraventrikular harus
ditangani segera karena dapat menyebabkan kekacauan hemodinamik.
Hilangnya sistolik atrial dapat mengganggu pengisian ventrikel kiri dan
kongesti paru yang berat. Disritmia atrial memerlukan DC kardioversi.
d. Manajemen Anestesi
Pada pasien dengan AS ringan sampai sedang (biasanya asimptomatik)
umumnya anestesi spinal atau epidural lumbal dapat ditoleransi dengan baik.
Perhatian khusus diberikan pada terjadinya hipotensi akibat penurunan
preload, afterload, atau keduanya. Anestesi epidural lebih disukai karena
onset hipotensi lebih lambat dan memungkinkan penanganan yang lebih
agresif.
Pada pasien dengan AS yang berat, anestesi spinal dan epidural menjadi
kontraindikasi. Pemilihan obat anestesi umum sangat penting. Tekhik anestesi
yang berbahan dasar opioid biasanya menyebabkan depresi jantung minimal,
sehingga lebih sesuai dipakai agen induksi non-opioid seperti etomidat dan
kombinasi ketamin dan benzodiazepine. Jika digunakan agen volatile,
konsentrasinya harus diperhatikan untuk menghindari depresi miokardium,
vasodilatasi, dan hilangnya sistolik atrium yang normal. Esmolol, pilihan
penghambat beta adrenergik, lebih disukai karena waktu paruhnya pendek.
e. Pemulihan
Analgesia harus diberikan serta menghindari disritmia, hiperkarbia, dan
hipotermia merupakan hal yang diperhatikan post operatif.3
5. AORTA INSUFISIENSI
a. Evaluasi klinis
Aorta insufisiensi (AI) dapat disebabkan oleh penyakit katup akibat demam
rematik, atau proses degeneratif pada akar aorta yang menyebabkan
kelemahan katup pada usia lanjut. AI biasanya berkembang secara lambat dan
progresif (kronis), tetapi juga bisa berkembang secara akut. Pada AI kronis,
terjadi kelebihan volume yang menyebabkan dilatasi ventrikel kiri, hipertrofi
dinding ventrikel, dan dapat berlanjut menjadi disfungsi ventrikel kiri akibat
hipertrofi yang tidak lagi adekuat untuk mengatasi tekanan pada dinding
ventrikel. Pada AI yang akut, terjadi overload diastolik ventrikel kiri yang
berat, yang dapat berlanjut menjadi kegagalan ventrikel kiri. Penurunan curah
jantung mengaktifkan refleks system saraf simpatik yang meningkatkan
denyut jantung dan SVR.
Gejala yang dapat ditemui antara lain takikardi dan dispnoe akibat kongesti
vena pulmonal, serta angina akibat berkurangnya tekanan perfusi koroner.
Sedangkan pada AI yang akut dengan onset kegagalan ventrikel kiri yang
cepat tanpa kompensasi, menimbulkan gejala kolaps kardiovaskular
(kelelahan, dispnoe, dan hipotensi).
b. Premedikasi
Pasien AI akut sering memerlukan operasi emergensi sehingga beresiko
tinggi untuk terjadi aspirasi. Induksi dengan etomidat bermanfaat karena
menurunkan SVR dengan depresi miokardium minimal. Pankuronium
merupakan pilihan yang baik sebagai relaksan otot karena dapat mencegah
bradikardi.
c. Monitor
Denyut jantung harus dipertahankan dalam batas atas normal (80-100
x/menit). Bradikardi meningkatkan volume regurgitan. Distensi ventrikel
dapat menghasilkan bradikardi yang berat. Penderita lebih bisa mentoleransi
kenaikan denyut jantung yang moderat.
Agen inotropik positif dapat bermanfaat untuk mempertahankan tekanan
perfusi sistolik, khususnya pasien pre-operatif dengan disfungsi ventrikel kiri.
Sebagai vasopressor untuk mengatasi hipotensi lebih dipilih menggunakan
efedrin. Fenilefrin dosis kecil (25-50 ug) dapat digunakan jika terjadi
hipotensi akibat vasodilatasi yang berat. Penurunan afterload intraoperatif
dengan nitroprusside secara optimal membutuhkan monitoring ketat pada
hemodinamik.
d. Manajemen Anestesi
Penderita AI kronik dapat dengan aman diberikan anestesi umum atau
regional. Sebagian besar penderita mentoleransi dengan baik anestesi spinal
dan epidural. Anestesi umum sebaiknya menggunakan isoflurane dan
desflurane karena adanya vasodilatasi. Penderita AI berat mungkin tidak
dapat mentoleransi depresi miokardium, sehingga tekhik narkosis berbahan
dasar opioid lebih sesuai.
6. REGURGITASI TRIKUSPID
a. Evaluasi klinis
Regurgitasi trikuspid umumnya merupakan kelainan fungsional yang ditandai
dilatasi dari ventrikel kanan yang disebabkan hipertensi pulmonal.
Regurgitasi trikuspid biasanya terjadi pada hipertensi pulmonal dan overload
volume dari ventrikel kanan yang sering disebabkan kegagalan ventrikel kiri
akibat penyakit katup aorta atau mitral. Angka kejadian yang signifikan
regurgitasi tricuspid yang merupakan komplikasi sekunder dari infeksi
endokarditis yang sering menyertai penderita penyalahgunaan obat secara
intravena. Regurgitasi trikuspid biasanya dikarenakan stenosis dari katup
tricuspid yang merupakan komplikasi dari demam rheumatik.
b. Monitor
Volume cairan intravaskuler dan tekanan vena sentral dipertahankan dalam
batas maksimal normal untuk menjamin terpenuhinya stroke volume
ventrikel kanan dan pengisian dari ventrikel kiri. Tekanan intratorak yang
tinggi pada tekanan positif ventilasi paru atau venodilatasi oleh obat dapat
menurunkan tekanan balik vena dan lambat laun akan mempengaruhi stroke
volume ventrikel kiri. Hindari terjadinya peningkatan resistensi vaskuler
pulmonal seperti hypoxemia arterial dan hiperkarbia.
Pengawasan intraoperatif temasuk pengukuran tekanan pengisian atrium
kanan akan sangat membantu dalam memilih pengganti cairan intravena dan
menditeksi efek yang lebih lanjut dari obet anastesi atau tehnik pada jumlah
regurgitasi tricuspid.
c. Manajemen anestesi
Manajeman anastesi dari pasien dengan regurgitasi tricuspid sama, baik
dengan satu kelainan itu saja maupun yang disertai dengan penyakit katup
aorta atau mitral.
Kombinasi obat-obat anestesi atau tehnik yang spesifik tidak dianjurkan
dalam menangani pasien dengan regurgitasi tricuspid. Namun anastesi
volatile yang dapat menyebabkan vasodilatasi pulmonal dapat
dipertimbangkan untuk digunakan, dan ketamin dapat digunakan karena
efeknya dalam mempertahankan aliran balik vena. Nitro-oksida adalah
vasokonstriktor yang lemahapabila dikombinasikan dengan opioid dan dapat
memperparah regurgitasi tricuspid dengan mekanisme ini. Penggunaan nitro-
oksida akan membantu mengontrol aliran darah balik vena sentral dan
kemungkinan dapat membantu meningkatkan tekanan atrium kanan.
Evaluasi preoperatif
Evaluasi preoperatif harus ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang
menyeluruh dari anatomi dan semua prosedur bedah yang pernah dijalani. Hanya
dengan adanya hipoksemia, hal ini menunjukkan penanganan yang inadekuat dan
terdapatnya abnormalitas jantung. Selain menentukan derajat hipoksemia pada
keadaan istirahat, riwayat episode hipersianotik termasuk faktor pencetus atau
perubahan yang mendadak pada derajat hipoksemia harus diketahui. Walaupun
penurunan toleransi latihan tidak spesifik untuk hipoksemia, ini dapat menjadi
indikator yang baik untuk fungsi kardiovaskuler secara keseluruhan dan
merupakan bagian anamnesis yang dapat mempengaruhi pengelolaan anestesi.
Anak dengan hipoksemia biasanya lebih kecil untuk usianya. Walaupun
sangat sulit untuk membedakan apakah hipoksemia disebabkan gangguan pada
jantung atau paru, usaha ini harus dilakukan karena infeksi paru aktif merupakan
indikasi untuk menunda prosedur bedah elektif. Bila terdapat gejala yang
berkaitan dengan hiperviskositas atau hemostasis abnormal, harus dikonsultasikan
dengan ahli hematologi untuk menentukan perlunya phlebotomi preoperatif.
Riwayat kerusakan neurologis sebelumnya akibat pembedahan, emboli, atau
infeksi harus diperhatikan.
Pemeriksaan laboratorium preoperatif harus dimulai dengan hematokrit
dan indeks ukuran eritrosit. Secara umum, hematokrit berhubungan dengan
tingkat keparahan hipoksemia. Namun, anak-anak atau dewasa dapat menderita
defisiensi besi atau phlebotomi yang berlebihan, sehingga hematokrit tampak
berkurang. Bergantung pada besarnya pembedahan, hemostasis yang adekuat
harus dipastikan dengan uji fungsi platelet dan koagulasi. Pemeriksaan
echocardiografi sangat penting untuk menentukan anatomi dan pola aliran darah.
Echocardiografi transesofageal harus dipertimbangkan bila dengan pemeriksaan
prekordial tidak adekuat.
Hipoksemia saja bukan merupakan indikasi untuk pemantauan invasif.
Besarnya pembedahan, fungsi ventrikel, teknik anestesi dan tingkat keparahan
penyakit yang mendasari merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan
sebelum memasang kateter vena sentral atau arteri. Pemasangan kateter pada
arteri pulmonalis secara teknis sulit dan informasi yang didapat sulit untuk
ditafsirkan. Tentu saja, oksimeter yang baik sangat diperlukan. Bila tersedia,
echocardiografi transesofageal dapat memberikan data yang berguna tentang
fungsi ventrikel, volume akhir diastolik dan besarnya shunt kanan ke kiri. Ruang
rugi fisiologis dapat meningkat dan pengukuran end tidal CO2 dapat lebih rendah
dari PCO2 arteri.
5. Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena
efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi
oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.3,8,10
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi
dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat
menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan
laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi
laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya
fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum
tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.3,10
1. Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama
5- 10 menit.
2. Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil
0,5-1 mikrogram/ kgbb).
3. Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
4. Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
5. Menggunakan anestesia topikal pada airway..
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-
masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat
keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi.3 Untuk
pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan
atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai
obat induksi secara inhalasi.
7. Hipertensi Intraoperatif
Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab
hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit
bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau
efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3).3,19 Berikut ini
ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:3