Вы находитесь на странице: 1из 9

buku Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal

Malpraktek (Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H.) (hal. 23-24):

Malpraktek adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran
tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak dari para
dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan
melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar di dalam
masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka,
kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh
kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di dalamnya setiap sikap tindak profesional yang
salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban
hukum, praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51314ec548bec/hukum-malpraktik-di-indonesia
Pertanggungjawaban Pidana terhadap Dokter Malpraktek Dikaji Dari KUHP.
Keterikatan dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan
profesinya merupakan tanggungjawab hukum yang harus dipenuhi dokter salah
satunya adalah pertanggungjawan hukum pidana terhadap dokter diatur dalam
Kitab UndangUndang Hukum Pidana yaitu dalam Pasal 90, Pasal 359, Pasal 360 ayat
(1) dan (2) serta Pasal 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.6 Salah satunya
Pasal 360 KUHP menyebutkan :

1. Barangsiapa karena kekhilafan menyebabkan orang luka berat, dipidana dengan


pidana penjara selama-lamanya satu tahun.

2. Barang siapa karena kekhilafan menyebabkan orang luka sedemikian


rupasehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan
jabatan atau pekerjaannya sementara, dipidana dengan pidana penjara
selamalamanya Sembilan bulan atau pidana dengan pidana kurungan selama-
lamanya enam bulan atau pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus
rupiah. Jika berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, jika diterapkan pada kasus.

Malpraktek yang dilakukan oleh dokter, ada 3 unsur yang menonjol yaitu :

1. Dokter telah melakukan kesalahan dalam melaksanakan profesinya

2. Tindakan dokter tersebut dilakukan karena kealpaan atau kelalaian

3. Kesalahan tersebut akibat dokter tidak mempergunakan ilmu penegtahuan dan


tingkat keterampilan yang seharusnya dilakukan berdasarkan standar profesi

4. Adanya suatu akibat yang fatal yaitu meninggalnya pasien atau pasien menderita
luka berat.

Oleh karena itu setiap kesalahan yang diperbuat oleh seseorang , tentunya harus
ada sanksi yang layak untuk diterima pembuat kesalahan, agar terjadi
keseimbangan dan keserasian didalam kehidupan sosial.
Organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi biasanya akan
menjatuhkan sanksi administratif kepada anggotanya yang terbukti melanggar kode etik. Selain itu tidak
menutup kemungkinan bahwa ia dapat pula dikenakan sanksi pidana apabila terbukti memenuhi unsur-
unsur tindak pidana yang diatur dalam undang-undang masing-masing profesi.

Selain itu, klien atau pasien sebagai pengguna jasa juga merupakan konsumen sehingga dalam hal ini
berlaku juga ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Profesi-
profesi sebagaimana disebutkan di atas termasuk sebagai pelaku usaha (Pasal 1 angka 3 UUPK), yang
berarti ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPK berlaku pada mereka:

Pasal 19 ayat (1) UUPK:


Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.

Jadi, tindakan seperti apa yang termasuk sebagai malpraktik ditentukan oleh organisasi profesi
ataubadan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan kode etik masing-masing profesi. Setiap tindakan yang terbukti sebagai tindakan
malpraktik akan dikenakan sanksi.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51314ec548bec/hukum-malpraktik-di-indonesia
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam

melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam

pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau

kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai

penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena

menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam

mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik

melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI)

tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya

seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu

kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi

Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran

etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan

yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh

Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan

Presiden (pasal 54 ayat 3).

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis

Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau

kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri

dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang

mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila

dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif,

karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya

sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi.

Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja

dan kurang memikirkan kepentingan pasien.

https://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/malpraktek-dan-pertanggungjawaban-
hukumnya/
Dalam menjaga kesehatan tentu seringkali ditemukan beberapa tindakantindakan
yang mengancam kesehatan tersebut dapat berupa kesengajaan, kelalaian,
ataupun kecelakaan. Hal-hal seperti ini dapat dikategorikan sebagai malpraktek
yang lebih ditekankan kepada tindak pidana malpraktek. Didalam UU Kesehatan
tidak dicantumkan pengertian tentang Malpraktek, namun didalam Ketentuan
Pidana pada Bab XX diatur didalam Pasal 190 yang berbunyi:

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang


melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan
sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien dalam keadaan
gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.

Pada pasal 63 UU No.36 Tahun 2009 jelas diatur mengenai upaya penyembuhan
penyakit dan upaya untuk pemulihan kesehatan sebagai tolak ukurperbuatan
malpraktek menurut ketentuan pidana yang terdapat pada pasal 190 diatas.

Pasal 63

(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk


mengembalikan status kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi badan
akibat cacat atau menghilangkan cacat.

(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan


pengobatan dan atau perawatan.

(3) Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran
dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

(4) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau
ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu.

(5) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan


pengobatan dan atau perawatan berdasarkan cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Pembentukan perundang-undangan di bidang pelayanan kesehatan diperlukan, hal
ini dilakukan supaya tindak pidana malpraktek dapat dijerat dengan ketentuan yang
tegas.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39387/3/Chapter%20II.pdf

Peraturan Hukum

Tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara


langsung menggunakan istilah malpraktek. Begitu juga dalam hukum kesehatan
Indonesia yang berupa UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidakmenyebutkan
secara resmi istilah malpraktek. Tetapi hanya menyebutkan kesalahan atau
kelalaian dalam melaksanakan profesi yaitu yang tercantum dalam Pasal 54 dan 55
UU Kesehatan.

Pasal 54:

1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam


melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.

2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

3) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi dan tata kerja Majelis Disiplin
Tenaga Kesehatan ditetapkan dengan keputusan Presiden.

Pasal 55:

1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan. 2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai ketentuan pidana yang diatur dalam UU Kesehatan tercantum didalam


Bab X yang intinya terdiri dari tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. Pasal yang
berhubungan dengan wewenang dan tugas bidan adalah Pasal 80 yaitu melakukan
tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2).

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37057/5/Chapter%20II.pdf
Standar pelayanan medis dibuat berdasarkan hak dan kewajiban dokter, baik yang diatur
kode etik maupun yang diatur perundang-undangan. Dengan diundangkannya Undang-Undang
No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, ancaman pidana terhadap kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan pasien menderita cacat atau luka-luka, tidak lagi
semata-mata mengacu pada ketentuan Pasal 359, 360, dan 361 KUHP, karena dalam Undang-
Undang kesehatan telah dirumuskan ancaman pidananya. Ancaman tersebut dimuat dalam pasal
82 Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan pada ayat (1) huruf (a) disebutkan
barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan pengobatan atau
perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah
Malpraktek medis selain dapat dituntut secara pidana juga dapat dituntut secara perdata
dalam bentuk pembayaran ganti rugi. Dalam pelayanan kesehatan, bila pasien atau keluarganya
menganggap bahwa dokter telah melakukan perbuatan melawan hukum, pasien atau keluarganya
dapat mengajukan tuntutan ganti rugi dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang No 23 Tahun
1992 Tentang Kesehatan.

http://helmichandrasy.blogspot.co.id/2014/04/malpraktek-kedokteran-dalam-
pandangan.html
Undang-Undang No 29 tahun 2004
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan
untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan
perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat,
dokter dan dokter gigi. Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004
mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang
dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang
diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan
memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan
kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten.
Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan
mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi. Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-
Undang No 29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran,
Standar Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan
proses registrasi tenaga dokter.

Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang


penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan
praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP
(memiliki STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas
maksimal 3 tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau
mencantumkan namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan
tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila
berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan
memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan
medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga
rahasia kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya.

Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban
dokter dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang
terpenting adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan
medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk
menyetujui atau menolak tindakan medis.

Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang


disiplin profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan
memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh
MKDKI adalah berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR
dan/atau SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu.

Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi


mereka yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan
dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah dokter, dokter yang
berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik
atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat diancamkan
kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR
dan/atau SIP

https://dokterindonesiaonline.com/2013/12/02/dampak-hukum-
malpraktek-kedokteran/

Вам также может понравиться