Вы находитесь на странице: 1из 5

Nama: Mira Ulfa

ETIKA DALAM REPRODUKSI

Etika adalah seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku
manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh
sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi.. Etika dimulai bila manusia
merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan
refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda
dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku
manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku
manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik
dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Masalah-masalah yang berhubungan dengan reproduksi manusia merupakan masalah
yang sangat khusus dan paling rumit ditinjau dari segi etik, agama, hukum dan sosial, terlebih
dengan begitu pesatnya perkembangan dalam bidang obstetri ginekologi dalam tiga dekade
terakhir ini. Masalah-masalah kontrasepsi, aborsi, teknologi reproduksi buatan, operasi
plastik selaput dara dan sebagainya, memerlukan perhatian penuh pihak profesi kedokteran,
hukum, agama dan masyarakat luas.
Komisi Etik dari berbagai negara memberi pandangan dan pegangan, terhadap hak
reproduksi dan etika dalam ranah reproduksi manusia, dengan memperhatikan beberapa asas
yang perlu dipahami, yaitu 1. Niat untuk berbuat baik (beneficence) 2. Bukan untuk kejahatan
(non maleficence).
Pelayanan kontrasepsi
Pengaturan kelahiran harus selalu memperhatikan harkat dan martabat manusia serta
mengindahkan nilai nilai agama dan sosial budaya. Untuk menghindarkan hal yang berakibat
negatif, setiap alat, obat dan cara yang dipakai sebagai pengatur kehamilan harus aman dari
segi medik dan dibenarkan oleh agama, moral dan etika. Setiap pasangan suami istri dapat
menentukan pilihannya dalam merencanakan dan mengatur jumlah anak, dan jarak antara
kelahiran anak yang berlandaskan pada kesadaran dan tanggung jawab terhadap generasi
sekarang maupun generasi mendatang.
Suami dan isteri harus sepakat mengenai pengaturan kehamilan dan cara yang akan
dipakai agar tujuannya tercapai dengan baik. Keputusan atau tindakan sepihak dapat
menimbulkan kegagalan atau masalah di kemudian hari. Kewajiban yang sama berarti juga,
bahwa apabila isteri tidak dapat memakai alat, obat dan cara pengaturan kelahiran, misalnya
karena alasan kesehatan, maka suami mempergunakan alat, obat dan cara yang diperuntukkan
bagi laki-laki.
Abortus Provokatus
Dalam keadaan darurat, sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau
janinnya, dapat dilakukan tindakan medik tertentu dan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya dan dilakukan pada sarana kesehatan tertentu.
Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-pasal yang mengancam pelaku abortus ilegal
sebagai berikut :
a. Wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain
melakukannya (KUHP pasal 346, hukuman maksimum 4 tahun).
b. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita tanpa seijinnya (KUHP pasal
347, hukuman maksimum 12 tahun dan bila wanita itu meninggal, hukuman maksimum 15
tahun).
c. Seorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seijin wanita tersebut
(KUHP pasal 348, hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan dan bila wanita itu meninggal,
hukuman maksimum 7 tahun).
d. Dokter, Bidan atau Juru Obat yang melakukan kejahatan di atas (KUHP pasal 349,
hukuman ditambah sepertiganya dan pencabutan hak pekerjaannya).
Menurut etika kedokteran, setiap dokter harus menghormati setiap makhluk insani.
Namun karena masih terdapat pertentangan maksud pasal dan sumpah dokter yang berkaitan
dengan waktu dimulainya suatu awal kehidupan, maka dalam etika kedokteran, pelaksanaan
aborsi dalam kasus ini diserahkan kembali kepada hati nurani masing-masing dokter.
Dalam etika profesionalisme, apabila seorang dokter tidak memberanikan dirinya
untuk melaksanakan tindakan aborsi, maka dokter tersebut dapat merekomendasikan
pelaksanaan aborsi tersebut kepada dokter lain yang jelas kompeten di bidangnya, dengan
tetap memantau dan bertanggung jawab atas keselamatan dan perkembangan pasien
selanjutnya.
Reproduksi Buatan
In-Vitro Fertilization (IVF) yang akan kita diskusikan hari ini hanyalah salah satu dari
berbagai teknik reproduksi buatan (artificial reproduction) yang sekarang tersedia
dimasyarakat. Teknik reproduksi buatan lainnya adalah inseminasi buatan
(Intrauterian Insemination), Gamete Intrafallopian Transfer, Zygote Intrafalopian Transfer,
dan Ovum Transfer.
Ketika praktik inseminasi buatan menggunakan sperma yang dibeli atau didonor oleh
pihak ketiga atau orang asing menjadi begitu populer selama tiga puluh tahun belakangan,
sangat sedikit bahkan nyaris tidak ada orang yang melihat adanya masalah moral di
dalamnya. Orang sepertinya menganggap praktik semacam ini tidak bermasalah secara etis.
Meskipun begitu, semakin meningkat juga kesadaran dewasa ini bahwa praktik semacam ini
tidak boleh
dianggap netral secara moral. Bahkan terbuka kemungkinan bahwa praktik semacam ini
dapat menimbulkan keburukan (harm) bagi para pihak yang terlibat. Karena itu,
pertimbangan etis terhadap praktik inseminasi buatan haruslah dikemukakan dan
didiskusikan.
Problem etika seputar IVF dalam didiskusikan di bawah ini
1. keberatan utama biasanya datang dari kaum agamawan berhubungan dengan proses
fertilisasi yang terjadi di luar hubungan seksual dan di luar tubuh manusia.
2. Dalam IVF, adalah mungkin menggunakan sperma dan telur secara komersial dan
juga mungkin untuk mentransfer embrio ke dalam kandungan pihak ketiga tanpa ada
hubungan genetik atau sosial dengan sang anak.
The International Islamic Center for Population Studies and Research dan FIGO,
mengemukakan:
1. Fertilisasi in-vitro diperbolehkan, kecuali menggunakan sperma, ovum, atau embrio yang
berasal dari donor (bukan pasangan suami istri).
2. Pre-implantation genetic diagnostic (PGD) diperbolehkan untuk alasan medik, untuk
menghindari penyakit keturunan, dan penyakit tertentu, kecuali untuk memilih jenis kelamin
tertentu.
3. IVF pada wanita pasca menopause, dilarang; karena mempunyai resiko yang tinggi pada
kesehatan ibu dan bayinya.
Etik dan Hukum Reproduksi Buatan di Indonesia
1) Pelayanan Teknologi Buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami-
isteri yang bersangkutan.
2) Pelayanan Reproduksi Buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga
kerangka pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara
keseluruhan.
3) Embrio yang dapat dipindahkan satu waktu ke dalam rahim isteri tidak lebih dari tiga;
boleh dipindahkan empat embrio pada keadaan: a) rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan
intensif bayi baru lahir. b) pasangan suami-isteri sebelumnya sudah mengalami sekurang-
kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal, atau c) isteri berumur lebih
dari 35 tahun. 4) Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun.
5) Dilarang melakukan jual beli embrio, ova dan spermatozoa.
6) Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian. Penelitian atau
sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dilakukan kalau tujuan penelitiannya telah
dirumuskan dengan sangat jelas.
7) Dilarang melakukan penelitian terhadap atau dengan menggunakan embrio manusia yang
berumur lebih dari 14 hari sejak tanggal fertilisasi.
8) Sel telur manusia yang dibuahi dengan spermatozoa manusia tidak boleh dibiak in-vitro
lebih dari 14 hari (tidak termasuk hari-hari penyimpanan dalam suhu yang sangat rendah/
simpan beku).
9) Dilarang melakukan penelitian atau eksperimentasi terhadap atau dengan menggunakan
embrio, ovum dan atau spermatozoa manusia tanpa izin khusus dari siapa sel telur berasal.

Sebagai salah satu kelompok rentan, perempuan seharusnya dilindungi. Meskipun


demikian, perlindungan terhadap perempuan, terutama dalam hal akses terhadap kesehatan
reproduksi, bukan tanpa batas. Beberapa aspek seperti akses terhadap kesehatan reproduksi
sebagai hak yang dihubungkan dengan hak atas seks, pengendalian kelahiran atau penentuan
jenis kelamin anak melalui teknologi reproduksi, dan semacamnya, justru berpotensi
mereduksikan perempuan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu di luar dirinya.

Setiap dokter dan petugas kesehatan lainnya diharapkan mendahulukan keselamatan


pasien di atas berbagai kepentingan ideologis, religius, atau ekonomis. Dengan begitu,
keputusan-keputusan yang diambil, terutama yang menyangkut akses terhadap teknologi
reproduksi, seharusnya berdasarkan pertama-tama pada the best interest of the patient.
Dalam arti itu, pendekatan yang seharusnya ditonjolkan adalah pendekatan equity dan bukan
equality, dalam arti kepentingan setiap manusia (atau perempuan) dipertimbangkan secara
setara, tetapi bukan pada perlakuan kepada setiap mereka. Dalam arti itu, menjalankan PP
No. 61 Tahun 2014 secara sistemik dan setara justru bertentangan dengan maksud awal PP itu
sendiri, yakni memperlakukan perempuan sebagai makhluk yang bermartabat.

Вам также может понравиться