Вы находитесь на странице: 1из 5

CYBERBULLYING PADA REMAJA

DI MEDIA SOSIAL INSTAGRAM


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Integrasi Psikologi

Disusun oleh:
Diah Arhamika
14/369133/PS/06838

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2016
I. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan Informasi dan teknologi yang semakin modern tidak dapat


dipisahkan dari sisi kehidupan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa memiliki
keterikatan yang kuat terhadap IT. Perkembangan teknologi telah menciptakan
platform atau media sosial yang dapat diakses oleh semua orang tanpa ada batasan
usia, contohnya adalah twitter, path dan instagram. Semua orang dapat dengan mudah
berbagi momen dan informasi melalui media sosial tersebut.

Perkembangan teknologi yang semakin modern dan canggih


ini bukan hanya memberi manfaat bagi penggunanya tapi juga
menimbulkan pengaruh yang negatif bagi penggunanya, terutama
bagi remaja. Salah satu dampak negatif dari perkembangan IT
adalah cyberbullying. Kowalski et al (2014) menyatakan bahwa
cyberbullying adalah penggunaan teknologi informasi yang berulang
untuk menyakiti, merugikan dan membahayakan oranglain. Bentuk
Cyber bullying diantaranya adalah menyebarkan kebencian melalui
postingan di sosial media mengenai oranglain. Banyak penelitian
menunjukan bahwa pelaku dan korban cyberbullying banyak terjadi
pada remaja dan dewasa awal serta penelitian lain menunjukan
75% cyberbullying terjadi pada sekolah menengah.

Hal yang menarik untuk diangkat mengenai cyber bullying


adalah banyaknya remaja yang bertindak sebagai pelaku daripada
sebagai korban. cyber bullying remaja dapat dengan mudah ditemui
pada sosial media Instagram. Instagram adalah sebuah platform
sharing foto yang didalamnya terdapat fitur komentar sehingga
orang dapat berkomentar mengenai foto yang diunggah oleh
oranglain. Contoh kasusnya adalah dalam kolom komentar sebuah
foto yang diunggah artis terdapat banyak komentar kasar dan
bersifat negatif yang ditulis oleh akun-akun instagram remaja
berumur 14 hingga 18 tahun. Remaja-remaja tersebut dengan
mudah mengungkapkan kalimat-kalimat yang tidak pantas terhadap
foto oranglain contohnya artis yang tidak ia sukai atau artis yang
berlawanan dengan artis idolanya.
Terdapat faktor yang mempengaruhi remaja menjadi pelaku
cyberbullying, yaitu faktor personal dan faktor situasional. Faktor
personal meliputi gender, umur, motivasi, persepsi, dan sifat
kepribadian (agresifitas, empati terhadap orang lain dan narsisme).
Sementara faktor situasional adalah provokasi, pola asuh dan
kontrol orangtua terhadap penggunaan media sosial, perkembangan
teknologi, dan anonimitas. Faktor situasional memiliki peran penting
terhadap munculnya fenomena remaja yang melakukan
cyberbullying. Faktor terkait anonimitas dianggap penting karena
ketika remaja pelaku cyberbullying melakukan bullying mereka tidak
merasakan malu atau ragu-ragu karena korban tidak mengetahui
siapa identitas pelaku tersebut. Maka dapat dipahami bahwa
anonimitas mengarahkan remaja melakukan apa yang seharusnya
tidak dapat dilakukan ketika berinteraksi secara face-to-face.
(Kowalski et al, 2014)

Cyberbullying adalah bentuk baru dari tindakan bulllying yang biasa terjadi
secara langsung atau disebut sebagai traditional bullying. Perbedaan cyberbullying
dan traditional bullying terletak pada aksesbilitas pada korban. Traditional bullying
biasa terjadi saat jam sekolah berlangsung, sementara cyberbullying dapat terjadi
kapan saja dan dimana saja, 24 jam sehari atau 7 hari seminggu. Hal ini terjadi karena
aksesbilitas atau adanya teknologi yang semakin modern sehingga memudahkan
pelaku untuk melakukan bullying.

II. Dampak Bagi Remaja


Cyberbullying memiliki dampak bagi remaja yang berperan sebagai pelaku
(Perpetrator) dan yang menjadi korban (victim). Individu yang terlibat dalam
cyberbullying memiliki potensi yang tinggi untuk mengalami masalah perilaku,
rendahnya prestasi akademik, dan juga menghasilkan masalah-masalah psikologis
seperti kecemasan, kesepian, depresi, dan rendahnya kepercayaan diri dan kepuasan
terhadap diri sendiri. Pelaku cyberbullying dapat beresiko mengalami masalah
terhadap empati, yaitu kurangnya kepekaan dalam memahami perasaan oranglain dan
masalah dalam regulasi emosi. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh The

National Youth Violence Prevention Resource Center (2016) menemukan


7% dari siswa sekolah menengah di dunia melakukan percobaan bunuh

diri karena menjadi korban cyberbullying.

III. Kaitan Psikologi Perkembangan

Remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang krusial dimana di


akhir periode ini sesorang harus sudah mendapatkan rasa ego identitasnya yang tetap
(Feist& Feist, 2014). Menurut tahap perkembangan psikososial Erik Erikson, Remaja
berada tahap konflik antara identitas dan kebingungan identitas yang berujung pada
sebuah kesetiaan. Identitas diri dapat timbul dari penegasan dan penyangkalan remaja
akan pengalaman masa kanak-kanak. Hal inilah yang dapat menjadi latar belakang
mengapa remaja dapat melakukan cyberbullying. Remaja melakukan penegasan
identitas terhadap pengalaman yang dialami pada masa kanak-kanak hingga saat ini.
Ketika anak dididik oleh orangtua dengan celaan dan kekerasan maka anak juga akan
belajar merasa rendah diri dan mencoba mencemooh oranglain karena anak belajar
dari apa yang ia terima. Individu pada tahapan remaja memang dalam tahapan
mencoba berbagai peran yang ada, walaupun mencoba peran yang berlawanan dengan
standar sosial yang ada.

IV. Solusi
Cyberbullying meruapakan masalah kompleks yang perlu perhatian dari
berbagai peran, seperti dari keluarga, teman sebaya, dan juga kebijakan dari
pemerintah mengenai penggunaan media sosial.

Tindakan preventif, keluarga khususnya orangtua mendidik anak dengan toleransi


dan penerimaan tak bersyarat (unconditional positif regard) agar anak nantinya
tumbuh menjadi individu yang dapat menghargai oranglain dan toleransi terhadap
perbedaan yang ada. Ketika anak remaja, orangtua memberikan dukungan sosial
pada anak supaya anak percaya diri terhadap apa yang dimiliki. Lingkungan
pertemanan remaja juga seharusnya membangun iklim empati agar masing-
masing individu dapat memahami perasaan oranglain.
Ketika remaja melakukan cyberbullying, orangtua disarankan untuk berdiskusi
dengan anak mengenai masalah yang dihadapi anak tanpa memojokan dan
judging, selain itu orangtua melakukan kontrol terhadap aktivitas internet anak
secara formal dan infromal yaitu melalui software yang dipasang di laptop. Ketika
orangtua sibuk dengan pekerjaan, belajar teknologi dan sosia media yang
digunakan anak dirasa penting agar anak tetap kerkontrol.
Remaja harus belajar bahwa setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang
baik, sehingga remaja dapat memperlakukan oranglain seperti apa ia ingin
diperlakukan. (Hinduja& Patchin, 2015)
Daftar pustaka

Feist, J., & Feist, G. J. (2014). Theories of Personality (8th ed.). New York:
McGraw-Hill
Hinduja, S. & Patchin, J.W. (2015). What To Do When Your Child Cyberbullies
Others: Top Tips for Parents. Cyberbullying Research Center. Retrieved
(insert date), from http://cyberbullying.org/tips-for-parents-when-your-child-
cyberbullies-others.pdf
Kowalski, Robin., Schroeder, Amber., Giumetti, Gary., Lattanner, Micah. (2014).
Bullying in the Digital Age: A Critical Review and Meta-Analysis of
Cyberbullying Research Among Youth. Psychological Bulletin. 4, 1073
1137
The Top Six Unforgettable CyberBullying Cases Ever. (2016, October 19).
Retrieved November 7, 2016, from No Bullying.com :
https://nobullying.com/six-unforgettable-cyber-bullying-cases/

Вам также может понравиться