Вы находитесь на странице: 1из 155

Kesehatan Mental

Bagian Petama

Ruang Lingkup Kesehatan Mental

A. Pengertian Kesehatan Mental


Secara etimologis, kata mental berasal dari kata latin, yaitu mens
atau mentis artinya roh, sukma, jiwa, atau nyawa. Di dalam bahasa Yunani,
kesehatan terkandung dalam kata hygiene, yang berarti ilmu kesehatan. Maka
kesehatan mental merupakan bagian dari hygiene mental (ilmu kesehatan
mental).1
Menurut Kartini Kartono dan Jenny Andary dalam Yusak, ilmu kesehatan
mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, yang
bertujuan mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan
emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta
memajukan kesehatan jiwa rakyat.2
Sebagaimana seorang dokter harus mengetahui faktor-faktor penyebab
dan gejala-gejala penyakit yang diderita pasiennya. Sehingga memudahkan
dokter untuk mendeteksi penyakit dan menentukan obat yang tepat. Definisi
mereka berdua menunjukan bahwa kondisi mental yang sakit pada
masyarakat dapat disembuhkan apabila mengetahui terlebih dulu hal-hal yang
mempengaruhi kesehatan mental tersebut melalui pendekatan hygiene
mental.
Dalam perjalanan sejarahnya, pengertian kesehatan mental mengalami
perkembangan sebagai berikut :
1. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan
penyakit jiwa (neurosis dan psikosis). Pengertian ini terelihat sempit, karena
yang dimaksud dengan orang yang sehat mentalnya adalah mereka yang tidak
terganggu dan berpenyakit jiwanya. Namun demikian, pengertian ini banyak
mendapat sambutan dari kalangan psikiatri3.
Kembali pada istilah neurosis, pada awalnya kata tersebut berarti
ketidakberesan dalam susunan syaraf. Namun, setelah para ahli penyakit dan
ahli psikologi menyadari bahwa ketidakberesan tingkah laku tersebut tidak
hanya disebabkan oleh ketidakberesan susunan syaraf, tetapi juga
1
Yusak Burhanuddin, Kesehatan Mental ( Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h.9

2
Lihat Ibid., h.9-10
3
Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 142

1
Kesehatan Mental
dipengaruhi oleh sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang
lain, maka aspek mental (psikologi) dimasukkan pula dalam istilah tersebut.4
2. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan
orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. Pengertian ini
lebih luas dan umum, karena telah dihubungkan dengan kehidupan sosial
secara menyeluruh. Dengan kemampuan penyesuaian diri, diharapkan akan
menimbulkan ketentraman dan kebahagiaan hidup.
3. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk mengatasi problem yang biasa
terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik).
4. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan
meningkatkan potensi, bakat dan pembawaan semaksimal mungkin, sehingga
membawa kebahagiaan diri dan orang lain, terhindar dari gangguan dan
penyakit jiwa.
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang
sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari gangguan dan penyakit
jiwa, maupun menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan
kegoncangan-kegoncangan yang bias, adanya keserasian fungsi jiwa, dan
merasa bahwa dirinya berharga, berguna, dan berbahagia serta dapat
menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin.5
Kesehatan mental (mental hygiens) adalah ilmu yang meliputi sistem
tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk
mempertinggi kesehatan ruhani.6 Menurut H.C. Witherington, kesehatan
mental meliputi pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan
Psikologi, kedokteran, Psikiatri, Biologi, Sosiologi, dan Agama7
Kesehatan Mental merupakan kondisi kejiwaan manusia yang
harmonis. Seseorang yang memiliki jiwa yang sehat apabila perasaan, pikiran,
maupun fisiknya juga sehat. Jiwa (mental) yang sehat keselarasan kondisi fisik
dan psikis seseorang akan terjaga. Ia tidak akan mengalami kegoncangan,
kekacauan jiwa (stres), frustasi, atau penyakit-penyakit kejiwaan lainnya.
Dengan kata lain orang yang memiliki kesehatan mental juga memiliki
kecerdasan baik secara intelektual, emosional, maupun spiritualnya.
Selanjutnya bila dicermati aktivitas manusia, ada yang selalu
bergembira dan berbahagia dan ada pula yang selalu mengeluh, merasa
gelisah dan bersedi hati, tidak cocok dengan orang lain, tidak bersemangat
serta tidak dapat memikul tanggung jawab. Gejala-gejala yang menggelisakan
itulah yang mendorong para ahli ilmu jiwa untuk berusaha menyelidiki faktor
4
Abdul Mujib, Fitrah & Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul Falah,1999), h.48
5
Lihat Sururin, op.cit., h. 144
6
Lihat dalam Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 154
7
Ibid.

2
Kesehatan Mental
apa yang menyebabkan tingkah laku orang itu berbeda-beda, kendatipun
kondisinya sama. Dan juga apa penyebabnya ada orang yang tidak mampu
merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup ini. Usaha inilah
menurut Zakiah Darajat menimbulkan satu cabang disiplin ilmu dari ilmu jiwa,
yaitu kesehatan mental (Mental Hygiene).8
Memberikan definisi kesehatan mental tidaklah mudah. Dalam psikologi
mutakhir, kesehatan mental oleh berbagai aliran dimasukkan ke dalam suatu
cabang psikologi yang terkenal dengan nama Psikologi Kepribadian atau
Psikologi Syahsiyah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ada ciri-ciri
khusus yang dimiliki oleh manusia yang secara keseluruhan dapat
membedakan dengan orang lain. Ciri-ciri tersebut nampak dalam pola-pola
tingkah laku, keinginan-keinginan dan cara-cara untuk memuaskannya. Atau
berbagai pola-pola tingkah laku yang digunakan oleh seseorang untuk
bergerak terhadap perangsang-perangsang yang dihadapinya, baik pola-pola
itu merupakan ekspressi melalui wajah atau gerak jasmaniah ataupun
merupakan ucapan kata-kata ataupun cara berfikir. Kadang juga kesehatan
mental itu diartikan dengan kebahagiaan di dunia.9
Kesehatan mental adalah terjemahan dari Hygiene dan mens atau
mentis. Hygiene berasal dari kata Hygeia bahasa Yunani yaitu nama dewi
kesehatan Yunani yang artinya kesehatan mental. Sedang mental berarti jiwa,
nyawa, sukma, roh, semangat. Dengan demikian kesehatan mental adalah jiwa
yang sehat. Ilmu kesehatan mental adalah ilmu kesehatan jiwa yang
memasalahkan kehidupan kerohanian yang sehat, dengan memandang pribadi
manusia sebagai satu totalitas psiko-fisik yang kompleks.10
Seseorang dikatakan sehat mentalnya bila terjalin secara harmonis
antara fungsi-fungsi psikisnya dengan fungsi-fungsi pisiknya. Atau orang yang
memiliki ketenteraman, kedamaian, ketenangan dan kestabilan hidupnya.
Hal-hal yang dilakukan dalam kesehatan mental adalah agar seseorang
mendapatkan keseimbangan jiwa, menegakkan kepribadian yang terintegrasi
dengan baik, serta mampu memecahkan segala kesulitan hidup dengan
kepercayaan diri dan keberanian. Kesemuanya itu bertujuan agar seseorang
memiliki dan membina jiwa yang sehat, berusaha mencega kepatahan jiwa,
mencegah berkembangnya macam-macam penyakit mental dan sebab
musabab timbulnya penyakit tersebut serta mengusahakan penyembuhan
dalam stadium permulaan
8
Zakiah Darajat, Kesehatan Mental (Cet.XVIII; Jakarta: CV.Haji Masagung,, 2005 ), h. 11
9
Lihat Hasan Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental (Cet.I; Jakarta: Radar Jaya Offset Jakarta, 1986),h.
295
10
Lihat Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam (Cet.VI; Bandung, CV Mandar
Maju, 1989), h.3-4

3
Kesehatan Mental
Kesehatan mental adalah salah satu cabang dalam psikologi. Oleh
karena itu pembicaraan tentang teori-teori dalam kesehatan mental tidak
dapat dipisahkan dengan teori-teori dalam psikologi. Dalam kaitan ini akan
dikemukakan beberapa teori yang menyangkut mental manusia diantaranya;
Teori Psikoanalisa, Behaviorisme, Eksistensialisme dan Teori Humanistic. 11
a. Teori Psikoanalisa
Para penganut Psikoanalisa berpendapat bahwa kesehatan mental yang
wajar terletak pada kesanggupan Aku yang Agung untuk membuat sintesis
antara berbagai alat-alat diri dan tuntutan masyarakat. Atau pertarungan
yang timbul antara alat-alat ini dan tuntutan-tuntutan realitas (Freud). Tetapi
mereka berpendapat bahwa manusia hanya sanggup mencapai sebagian saja
kesehatan mentalnya, sebab manusia tidak sanggup mncapai kebahagiaan
dan kemajuan sekaligus.12
Freud berpendapat bahwa kesehatan mental tentang manusia dimana
manusia bertarung terus menerus dengan kandungan-kandungan si Dia dan
tuntutan-tuntutan realitas dengan si Aku harus menyelesaikan pertarungan
itu. Akulah yang bertanggung jawab untuk memuaskan dorongan-dorongan si
Dia tanpa menentang tuntutan-tuntutan realitas.13
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa perkembangan mental adalah
belajar mempergunakan cara-cara baru dalam mereduksikan tegangan yang
timbul karena individu menghadapi berbagai hal yang dapat menjadi sumber
tegangan (tension) dan hal yang dapat menimbulkan tegangan atau rasa tidak
enak. Sering kali individu belajar, karena ingin mengurangi atau
menghilangkan rasa tidak enak. Itu dengan cara bertingkah laku seperti
orang lain. Inilah yang dimaksud dengan identifikasi.14
Kemudian Psikoanalisa sering ditafsirkan dalam tiga batas pengertian.
Pertama, sebagai suatu konsep toritik dalam ilmu perilaku yang menjelaskan
struktur dan dinamika kepribadian manusia. Kedua, suatu bentuk psikoterapi
bagi gangguan jiwa. Ketiga, sebagai suatu teknik untuk menelusuri pikiran-
pikiran dan perasaan-perasaan tak sadar manusia. Jadi konsep kepribadian
dalam teori ini diawali dengan pendapat Sigmund Freud tentang kehidupan
manusia yang dikuasai oleh alam ketidaksadarannya.15
Seorang tokoh dari aliran ini bernama Carl Gustav Jung juga semula
murid Freud tidak berbicara tentang mental kepribadian, tetapi berbicara
tentang psike. Adapun yang dimaksud dengan psike oleh Jung ialah segala
peristiwa psikis, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Jadi Psike
11
Sumardi Suryabrata, Psikologi Kepribadian (Cet.II; Jakarta CV. Rajawali, 1987), h. 77
12
Hasan Langgulung, op.cit., h. 18-19.
13
Ibid. h. 19
14
Sumardi Suryabrata, op.cit., h. 78
15
Lihat Elmira N. Sumintradja Konsep Manusia Menurut Psikoanalisa: Eksplansi, Kritik dan Titik Temu
dengan Psikologi Islami dalam Metodologi Psikologi Islami (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 23

4
Kesehatan Mental
dapat diartikan kepribadian. Menurut Jung kepribadian itu sendiri terdiri dari
dua alam yaitu : alam sadar dan alam tidak sadar. Kesadaran mempunyai dua
kelompok yaitu fungsi jiwa dan sikap jiwa yang keduanya mempunyai peranan
masing-masing dalam orientasi manusia terhadap dunianya.16
b. Teori Behaviorisme
Behaviorisme dianggap sebagai reaksi terhadap teori psikoanalisa. 17
Penganut aliran ini berpendapat bahwa mempelajari pengalaman pribadi
tentang asosiasi bebas atau tafsiran mimpi tidak akan memberikan fakta-fakta
ilmiah yang dapat diterima, karena sukar membuktikan kebenaran
persyaratan ini. Aliran behaviorisme melahirkan pendekatan yang sangat
kontradiktif dengan psikoanalisa yang memandang manusia sangat
dipengaruhi oleh insting tak sadar dan dorongan-dorongan nafsu rendah.
Teori ini tidak mengakui konsepsi ketidaksadaran/kesadaran yang menjadi inti
dari psikoanalisa, namun lebih memandang aspek stimulus lingkungan yang
bisa membentuk perilaku manusia dangan sesuka hati lingkungan eksternal
itu.18
Kebiasaan merupakan konsep dasar pada teori tentang tingkah laku,
yaitu proses kepribadian (personality). Seseorang memperoleh kebiasaan-
kebiasaannya, yakni ia mempelajarinya. Sedang kepribadian itu adalah
susunan tertentu yang terdiri dari kebiasaan. Susunan itulah yang
menentukan tingkah laku seseorang dan membedakan kepribadian dari orang
lain. Teori ini menguatkan pentingnya faktor lingkungan yang dihadapi
seseorang dalam hidupnya.19
Pendeknya teori ini memandang manusia sebagai satu susunan tertentu
yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh dan dipelajarinya.
Olehnya itu ditekankan pentingnya faktor-faktor lingkungan yang dihadapi
oleh seseorang dalam perkembangannya, dan kegoncangan emosi dan sosial
adalah hasil dari salah satu faktor dari: (a) kegagalan mempelajari atau
memperoleh tingkah laku yang sesuai, (b) mempelajari pola-pola tingkah laku
yang tidak sesuai atau penyakit, dan (c) seseorang menghadapi suasana-
suasana pertarungan yang menghendaki ia untuk membedakan dan
mengambil keputusan dimana ia merasa tidak sanggup mengerjakannya.
Jika seorang telah memperoleh kebiasaan yang sesuai dengan budaya
masyarakatnya dan menolong untuk hidup dengan dinamis, aktif dan berhasil
dengan orang-orang lain, maka ia memiliki kesehatan mental yang wajar.
Sebaliknya, jika ia gagal memperoleh kebiasaan atau ia memperoleh
16
Sumardi Suryabrata, op cit., h. 111
17
Mike W.Martin, From Morality to Mental Health Virtue and Vice in a Therapeutic Culture (Oxford: Oxford
University Press, 2006), h.16
18
Lihat Rismiyati.E.Koesma Konsep Manusia Menurut Psikologi Behavioristik: Kritik dan Kesejalanan
dengan Konsep dalam Metodologi.. op.cit.,h.56.
19
Hasan Langgulung,op.cit.h. 23.

5
Kesehatan Mental
kebiasaan yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang disetujui oleh
masyarakat, maka kesehatan mentalnya adalah buruk atau goncang
emosinya.20
Dengan demikian dapat dipahami bahwa teori behaviorisme sangat
mengagungkan pengaruh lingkungan dalam membentuk perilaku manusia.
Manusia dapat dikatakan pasif, karena tergantung dari perlakuan yang
diberikan lingkungan kepadanya.
c. Teori Eksistensialisme
Kesehatan mental menurut teori ini adalah agar manusia menikmati
wujudnya. Manusia menikmati wujudnya berarti ia mengetahui arti wujud ini,
menyadari potensi-potensinya, dan bahwa ia bebas untuk mencapai apa yang
ia kehendaki dengan cara yang dipilihnya. Begitu juga ia menyadari segi-segi
kelemahannya dan menerimanya. Ia menyadari sifat-sifat hidup yang
mengandung pertentangan-pertentangan. Wujudnya pertentangan ini salah
satu ciri-ciri kehidupan ini, ia berhasil mencapai susunan nilai-nilai tertentu
yang akan menjadi bingkai kehidupannya, dan akhirnya ia kembali dari
pengasingannya kepada ketentramannya. Manusia tidak sanggup mencapai
itu, kecuali jika ia menghadapi dirinya dengan jujur dan amanah atau berdiri
telanjang di depan cermin tanpa pakaian kepalsuan atau sarung dosa.21
Jadi aliran ini sangat pesimistis, sebab mereka menyadari kesulitan yang
dihadapi manusia untuk mencapai kesehatan mental yang wajar, terutama
dalam kehidupan yang tidak punyakeamanan dan ketentraman.
d. Teori Humanistik (kemanusiaan)
Teori Humanistik merasa kurang puas dengan eksplanasi tentang
perilaku manusia menurut psikoanalisa dan behavorisme. Kritiknya adalah
mengapa konsepsi tentang perilaku manusia harus dibangun pemahamannya
melalui studi manusia yang tidak sehat mental dan manusia yang dapat
dibentuk seenaknya seperti tanah liat oleh lingkungannya? Bukankah manusia
adalah mahkluk yang bebas menentukan perkembangan dirinya menjadi sehat
mental bila ia mendapat kesempatan, sehingga ia dapat berperilaku optimal
sesuai dengan potensi yang dimilikinya?22
Selanjutnya teori ini mengemukakan bahwa individu-individu dengan
seluruh kompleksitasnya dan segi pandangan ini diringkaskan dengan istilah
personologi, yang diciptakan oleh Murray (1983) untuk memberi usaha-
usahanya sendiri dan usaha orang-orang lain yang memiliki keprihatinan
mendalam untuk memahami individu secara penuh. Secara konsisten ia

20
Lihat Ibid.,h.24.
21
Ibid.,h.30-31 dan Rasmiyati,op.cit.,h. 58.
22
Elmira M.Sumintradja,op.cit.,h.41.

6
Kesehatan Mental
menekankan lainnya dalam pribadi berhubungan dengan fungsi yang lain. 23
Manusia tidak dapat menyatu dengan alam, mereka terisolasi dan kesepian.
Agar dapat survive, manusia harus menyatu dengan orang lain.24
Jadi teori humanistik tidak menolak mentah-mentah konsep yang
mendukung mazhab atau teori sebelumnya, tetapi sebenarnya berupaya untuk
mengintegrasikan segi yang bermanfaat, bermakna, dan dapat diterapkan
bagi kemanusiaan.
Definisi-definisi kesehatan mental yang diungkap secara umum dengan
menggunakan berbagai konsep, sebagian menggunakan istilah penyesuaian
dan yang lain menggunakan penyesuaian terpadu, dan ada pula yang
menggunakan konsep keterpaduan.
Keterlepasan dari teori-teori tersebut di atas, ada yang memberikan
definisi kesehatan mental sebagai penyesuaian sosial seseorang, seperti
pendapat Boehm (1955) yang mengatakan bahwa kesehatan mental adalah
keadaan dan paras dinamisme seseorang dari segi sosial yang membawa
kepada pemuasan kebutuhan-kebutuhan. Jadi yang dimaksud kesehatan
mental di sini adalah keadaan seseorang yang menentukan dinamisme
sosialnya. Definisi ini didasarkan atas asumsi bahwa orang yang hidup
bersama dengan orang lain karena bertujuan memuaskan berbagai
kebutuhannya. Semakin sanggup seseorang hidup bersama dengan orang lain
dan memuaskan kebutuhan-kebutuhannya tanpa membangkitkan kemarahan
mereka, maka itulah tanda baiknya penyesuaiannya dan selanjutnya menjadi
bukti kesehatan mentalnya yang wajar.25
Selanjutnya ada beberapa tokoh yang memberikan definisi kesehatan
mental sebagai berikut:
Kilander (1965) mengatakan kesehatan mental seseorang dapat diukur
dengan mengetahui sejauh mana ia dapat memberi pengaruh pada
lingkungannya, kesanggupan menyesuaikan diri dengan kehidupan yang akan
membawa kepada pemuasan pribadi, kemampuan dan kebahagiaan yang
wajar bagi seseorang.
Shoben (1965) berbeda sedikit dengan apa yang dikemukakan oleh
Kilander. Ia berbicara tentang penyesuaian terpadu yang ditentukan oleh
berbagai sifat seperti kesanggupan menjaga diri, rasa tanggung jawab
pribadi, rasa tanggung jawab sosial, menaruh perhatian pada berbagai nilai-
nilai terutama nilai-nilai demokrasi.26

23
Sumadi Suryabrata,op.cit.,h.126.
24
Paulus Budiharjo,op.cit.,h.62.
25
Lihat Abd.Salam Abd Gaffar, Muqaddimah fi al-Sihhah al-Nafsiyah (Kaheran: Dar an-Nahdah alArabiyah,
1977), 167 dan lihat Hasan Langgulung, op.cit., h. 299.
26
Raymond F.Paloutzian Crystal L.Park, Handbook of The Psychology of Religion and Spirituality (New York:
The Guilford Press, 2005), h.167

7
Kesehatan Mental
Al-Qoussy (1970) mengatakan bahwa kesehatan mental adalah
perpaduan antara berbagai fungsi-fungsi psikologis dengan kesanggupan
menghadapi krisis-krisis psikologis yang biasa menimpa manusia dan dengan
perasaan positif terhadap kebahagiaan dan kepuasan. Istilah perpaduan
dimaksudkan pengumpulan unit-unit kecil ke dalam jumlah besar untuk
membentuk unit yang lebih besar. Di sisi lain pemaduan yang dimaksud beliau
adalah penyesuaian yang sempurna di antara berbagai fungsi-fungsi
psikologis dan bebasnya manusia dari pertarungan dari dalam. Bebasnya
seseorang dari pertarungan kerisauan dan keragu-raguan yang
diakibatkannya, dan kemampuannya menyelesaikan pertarungan itu bila ia
terjadi, itulah syarat pertama kesehatan mental. Itu dapat dicapai melalui
falsafah agama atau sosial atau moral. . . Gejala-gejala kesehatan mental pada
definisi ini bukan hanya terbatas pada penyesusian psikologis seseorang,
sebab fungsi kehidupan psikologis dengan berbagai unsurnya adalah
penyesuaian seseorang dengan suasana lingkungan sosial dan pisik, dan
tujuannya adalah pemuasan kebutuhan-kebutuhan manusia.27
Definisi ini menonjolkan pentingnya seseorang berpegang pada falsafah
agama, sosial, atau moral supaya ia dapat merasakan kebahagiaan. Dan orang
yang betul-betul bahagia adalah yang memiliki pribadi yang kuat, selalu
mengejar tujuan yang mulia dan kebutuhan-kebutuhan serta keingingan-
keinginannya tidak bertentangan dengan kemaslahatan kemanusiaan.
Magarius (1974) menyatakan berbagai gejala aktivitas psikologis, yang
dianggap merupakan tanda-tanda kesehatan mental yang wajar. Menurut
beliau kesehatan mental adalah kesediaan seseorang menerima
kesanggupannya secara realistik, kenikmatan seseorang menikmati
hubungan-hubungan sosialnya, kejayaan seseorang dalam pekerjaannya dan
kerelaannya terhadap kerja tersebut, kegembiraan hidup secara umum,
kesanggupan menghadapi kekecewaan-kekecewaan hidup sehari-hari,
kesanggupan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan motif-motif, ketetapan
sikap, kesanggupan memikul tanggung jawab pekerjaan dan keputusan serta
keseimbangan emosi.28
Maslow (1972) menyatakan indikator terhadap kesehatan mental yang
wajar adalah bahwa orang itu adalah manusia yang sempurna sebab ia
bertalian dengan sejumlah nilai-nilai, di antaranya adalah kejujuran kepada
diri sendiri dan kepada orang lain, keberanian menyatakan apa yang dianggap
benar, bekerja keras, menunaikan kerja yang harus ditunaikannya,
mengetahui siapa dirinya, apa keinginannya, apa yang disukainya, mengetahui

27
Lihat Al-Qoussy, Usus al-Sihhah al-Nafsiyah (Kairo: Dar al-Nahdah al-Misriyah, 1970), h. 274
28
Lihat Magarius, al-Sihhah al-Madrasiyah wa al- Amal al-Madrasi (Kairo: al-Nahdah al-Misriyah, 1974), h.
73- 80.

8
Kesehatan Mental
apa yang baik baginya . . . dan menerima itu semua tanpa menggunakan cara
membela diri yang bertujuan merusak fakta yang sebenarnya.29
Zakiah Darajat memberikan pengertian kesehatan mental sebagai
berikut: 1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala
gangguan jiwa (neurose) 2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan diri sendiri dengan orang lain dan masyarakat
serta lingkungan dimana dia hidup dan berinteraksi. 3. Kesehatan mental
adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan
dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada
semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang
lain serta dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa 4. Kesehatan mental
adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-
fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-
problem biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan
kemampuan diri.30
Jadi dalam hal ini Kesehatan mental adalah keserasian atau kesesuaian
antara seluruh aspek psikologis yang dimiliki oleh seseorang untuk
dikembangkan secara optimal agar individu mampu melakukan kehidupan-
kehidupannya sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku
secara individual, kelompok maupun masyarakat luas sehingga sehat baik
secara mental maupun secara sosial.
Dari pemikiran tersebut di atas, maka muncul pula pengertian mengenai
kesehatan dalam beragam ungkapnya. Pengertian sehat atau kesehatan
menurut dokter mungkin sedikit banyak akan berbeda dengan perawat,
fisioterapi, apoteker atau tenaga paramedis lainnya, meskipun mereka
bersama-sama mengabdi pada bidang kesehatan.
Adapun pengertian tentang kesehatan dalam indeks buku The
International Dictionary Of Medicine and Biology (Freund,1991)
mendefinisikan kesehatan sebagai suatu kondisi yang dalam keadaan baik dari
suatu organisme atau bagiannya yang dirincikan oleh fungsi yang normal dan
tidak adanya penyakit. WHO mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan
(status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan sosial, bukan hanya suatu
keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan (Smeet, 1994).
Pembahasan mengenai konsep kesehatan lebih difokuskan pada model-model
kesehatan yang muncul. Model-model kesehatan itu antara lain model barat
dan model timur.
Menurut Eisenberg (Helman, 1990) yang dimaksud dengan model adalah cara

29
Lihat Maslow, The Further Reaches of Human Nature (New York: The Viking Press, 1972), h. 45-51 dan
lihat dalam Hasan Langgulung, op.cit. h. 304
30
Lihat Zakiah Darajat, op.cit., h. 6

9
Kesehatan Mental
merekonstruksi realita, memberikan makna kepada fenomena-fenomena alam
yang pada dasarnya bersifat chaos. Model kesehatan barat dapat dibedakan
menjadi beberapa macam yaitu model biomedis atau sering disebut sebagai
model medis ( Joesoet, 1990; Freund, 1991; Helman, 1990; Tamm, 1993),
model spikiatris (Helman, 1990) dan model psikosomatis (Tamm, 1993)
sedangkan model kesehatan timur umumnya disebut model kesehatan holistik
(Joesoet, 1990) yang menekankan pada keseimbangan (Helman,1990).
Model biomedis (Freud, 1991) memiliki 5 asumsi. 1.Terdapat perbedaan
yang nyata antara tubuh dan jiwa sehingga penyakit diyakini berada pada
suatu bagian tubuh tertentu. 2.Bahwa penyakit dapat direduksi pada
gangguan fungsi tubuh, entah secara biokimia atau neurofisiologi.31
3.Keyakinan bahwa setiap penyakit disebabkan oleh suatu agen khusus yang
secara potensial dapat didefinisikan. 4.Melihat tubuh sebagai suatu mesin.
5.Konsep bahwa obyek yang perlu diatur dan dikontrol.
Asumsi ini merupakan kelanjutan dari asumsi bahwa tubuh adalah suatu
mesin yang perlu mendapatkan pemeliharaan. Model psikosometik
menyatakan penyakit berkembang melalui saling terkait secara
berkesinambungan antara faktor fisik dan mental yang saling memperkait
satu sama lain melalui jaringan yang kompleks. Holisme dalam arti yang
sempit melihat organisme manusiawi sebagai suatu sistem kehidupan yang
semua komponennya saling terkait dan saling tergantung. Sementara menurut
arti luas pandangan holistis menyadari bahwa sistem tersebut merupakan
suatu bagian integral dari sistem-sistem yang luas dimana organisme individu
berinteraksi terus menerus dengan lingkungan fisik dan sosialnya yaitu tetap
terpengaruh oleh lingkungan. Seseorang dikatakan sehat tidak cukup dilihat
hanya dari segi fisik, psikologis dan sosial saja, tapi juga harus dilihat dari
segi spiritual dan agama. Inilah yang kemudian disebut Dadang Hawari
sebagai dimensi sehat itu, yaitu : Bio-psiko-sosial-spiritual.
Jadi seseorang yang sehat mentalnya tidak hanya sebatas pengertian
terhindarnya dia dari gangguan dan penyakit jiwa baik neurosis maupun
psikosis, melainkan patut pula dilihat sejauh mana seseorang itu mampu
menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, mampu
mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya, sanggup mengatasi problem hidup
termasuk kegelisahan dan konflik batin yang ada, serta sanggup
mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mencapai kebahagiaan.32

31
Robert H.Frank, What Price the Moral High Ground ? Ethical Dilemmas in Competitive Environments
(Oxford: Princeton University Press, 2004), h. 7
32
Lihat Dadang Hawari, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Cet.XI; Jakarta: PT.Dana
Bhakti Prima Yasa, 2004), h. 413- 415

10
Kesehatan Mental
Istilah kesehatan mental sendiri memperoleh pengertian yang beragam
seiring perkembangannya: 1. Sebagai kondisi atau keadaan sebagaimana
gambaran di atas. 2. Sebagai ilmu pengetahuan cabang dari ilmu psikologi
yang bertujuan mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin dan
menghindarkannya dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Seseorang dapat
berusaha memelihara kesehatan mentalnya dengan menegakkan prinsip-
prinsipnya dalam kehidupan, yaitu : 1. Mempunyai self image atau gambaran
dan sikap terhadap diri sendiri yang positif. 2. Memiliki interaksi diri atau
keseimbangan fungsi-fungsi jiwa dalam menghadapi problema hidup termasuk
stress. 3. Mampu mengaktualisasikan secara optimal guna berproses
mencapai kematangan. 4. Mampu bersosialisasi dan menerima kehadiran
orang lain 5. Menemukan minat dan kepuasan atas pekerjaan yang dilakukan
6. Memiliki falsafah atau agama yang dapat memberikan makna dan tujuan
bagi hidupnya. 7. Mawas diri atau memiliki kontrol terhadap segala kegiatan
yang muncul 8. Memiliki perasaan benar dan sikap yang bertanggung jawab
atas perbuatan-perbuatannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kesehatan mental itu
dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:1. Memiliki sikap batin
(Attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri, 2. Aktualisasi diri, 3. Mampu
mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi yang psikis 4. Mampu berotonom
terhadap diri sendiri (Mandiri), 5. Memiliki persepsi yang obyektif terhadap
realitas yang ada serta 6. Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan
diri sendiri.

B. Sejarah Kesehatan Mental


Seperti kesehatan fisik, kesehatan mental merupakan aspek sangat
penting bagi setiap fase kehidupan manusia. Kesehatan mental terentang dari
yang baik sampai dengan yang buruk. Setiap orang, mungkin dalam hidupnya
mengalami kedua sisi rentangan tersebut, kadang-kadang keadaan mentalnya
sangat sehat, tetapi di lain waktu justru sebaliknya. Pada saat mengalami
masalah kesehatan mental, seseorang membutuhkan pertolongan orang lain
untuk mengatasi masalah yang dihadapinya tersebut. Kesalahan mental dapat
memberikan dampak terhadap kehidupan sehari-hari atau masa depan
seseorang termasuk anak-anak dan remaja. Merawat dan melindungi
kesehatan mental anak-anak merupakan aspek yang sangat penting yang
dapat membantu perkembangan anak yang lebih baik di masa depan.
Untuk mengetahui sejarah kesehatan mental, berikut ini akan diuraikan
mulai dari masa pra ilmiah sampai dengan sekarang.
1. Era pra Ilmiah
a. Kepercayaan Animisme

11
Kesehatan Mental
Sejak zaman dulu sikap terhadap gangguan kepribadian atau mental
telah muncul dalam konsep primitif animeisme, ada kepercayaan bahwa dunia
ini diawasi atau dikuasai oleh roh-roh atau dewa-dewa. Orang primitif percaya
bahwa angin bertiup, ombak mengalun, batu berguling, dan pohon tumbuh
karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda tersebut. Orang yunani
percaya bahwa gangguan mental terjadi karena dewa marah dan membawa
pergi jiwanya. Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka mengadakan
perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra dari korban.
b. Kemunculan Naturalisme
Perubahan sikap terhadap tradisi animisme terjadi pada zaman
Hipocrates (460-467). Dia dan pengikutnya mengembangkan pandangan
revolusioner dalam pengobatan, yaitu dengan menggunakan pendekatan
Naturalisme, suatu aliran yang berpendapat bahwa gangguan mental atau
fisik itu merupakan akibat dari alam. Hipocrates menolak pengaruh roh,
dewa, sistim atau hantu sebagai penyebab sakit. Dia menyatakan: Jika anda
memotong batok kepala, maka anda akan menemukan otak yang basah, dan
memicu bau yang amis, akan tetapi anda tidak akan melihat roh, dewa atau
hantu yang melukai badan anda. Ide naturalistik ini kemudian dikembangkan
oleh Galen, seorang tabib dalam lapangan pekerjaan pemeriksaan atau
pembedahan hewan. Dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan
naturalistik ini tidak dipergunakan lagi di kalangan orang-orang Kristen.
Seorang dokter Perancis, Philipe Pinel (1745-1826) menggunakan filsafat
politik dan sosial yang baru untuk memecahkan problem penyakit mental. Dia
telah terpilih menjadi kepala Rumah Sakit Bicetre di Paris. Di rumah sakit ini,
para pasiennya (yang maniac) dirantai, diikat di tembok dan di tempat tidur.
Para pasien yang telah dirantai selama 20 tahun atau lebih, badan mereka
dipandang sangat berbahaya dibawa jalan-jalan di sekitar rumah sakit.
Akhirnya, di antara mereka banyak yang berhasil, mereka tidak menunjukkan
lagi kecenderungan untuk melukai atau merusak dirinya sendiri. 33
2. Era Ilmiah (Modern)
Perubahan yang sangat berarti dalam sikap dan era pengobatan
gangguan mental, yaitu dari animisme (ir-rasional) dan tradisional ke sikap
dan cara yang rasional (ilmiah), terjadi pada saat berkembangnya Psikologi
Abnormal dan psikiatri di Amerika Serikat, yaitu pada tahun 1783. ketika itu
Benyamin Rush (1745-1813) menjadi anggota staf medis di rumah sakit
Penisylvania. Di rumah sakit ini ada 24 pasien yang dianggap sebagai
lunaties (orang-orang gila atau sakit ingatan). Pada waktu itu sedikit sekali
pengetahuan tentang penyakit kegilaan tersebut, dan kurang mengetahui

33
Lihat dalam Ibid., h. 387-388

12
Kesehatan Mental
bagaimana menyembuhkannya. Sebagai akibatnya, pasien-pasien tersebut
dikurung dalam sel yang kurang sekali alat ventilasinya, dan mereka sekali-
sekali digugur dengan air.
Rush melakukan usaha yang sangat berguna untuk memahami orang-
orang yang menderita gangguan mental tersebut. Cara yang ditempuhnya
adalah dengan melalui penulisan artikel-artikel dalam koran, ceramah, dan
pertemuan-pertemuan lainnya. Akhirnya, setelah usaha itu dilakukan (selama
13 tahun), yaitu pada tahun 1796 di rumah mental. Ruangan ini dibedakan
untuk pasien wanita dan pria. Secara berkesenambungan, Rush mengadakan
pengobatan kepada para pasien dengan memberikan dorongan (motivasi)
untuk mau bekerja, rekreasi, dan mencari kesenangan.34
Perkembangan psikologi abnormal dan pskiatri ini memberikan
pengaruh kepada lahirnya Mental Hygiene yang berkembang menjadi suatu
Body Of Knowledge berikut gerakan-gerakan yang teorganisir.
Perkembangan kesehatan mental dipengaruhi oleh gagasan, pemikiran dan
inspirasi para ahli, dalam hal ini terutama dari dua tokoh perintis, yaitu
Dorothea Lynde Dix dan Clifford Whittingham Beers. Kedua orang ini banyak
mendedikasikan hidupnya dalam bidang pencegahan gangguan mental dan
pertolongan bagi orang-orang miskin dan lemah. Dorthea Lynde Dix lahir
pada tahun 1802 dan meninggal dunia tanggal 17 Juli 1887. Dia adalah
seorang guru sekolah di Massachussets, yang menaruh perhatian terhadap
orang-orang yang mengalami gangguan mental. Sebagian perintis (pioner),
selama 40 tahun dia berjuang untuk memberikan pengorbanan terhadap
orang-orang gila secara lebih manusiawi.
Usahanya mula-mula diarahkan pada para pasien mental di rumah sakit.
Kemudian diperluas kepada para penderita gangguan mental yang dikurung
di rumah-rumah penjara. Pekerjaan Dix ini merupakan faktor penting dalam
membangun kesadaran masyarakat umum untuk memperhatikan kebutuhan
para penderita gangguan mental. Berkat usahanya yang tak kenal lelah, di
Amerika Serikat didirikan 32 rumah sakit jiwa, dimana dia layak mendapat
pujian sebagai salah seorang wanita besar di abad 19. Pada tahun 1909,
gerakan kesehatan mental secara formal mulai muncul. Selama dekade 1900-
1909 beberapa organisasi kesehatan mental telah didirikan, seperti: American
Social Hygiene Associatin (ASHA), dan American Federation for Sex
Hygiene.35
Perkembangan gerakan-gerakan dibidang kesehatan mental ini tidak
lepas dari jasa Clifford Whittingham Beers (1876-1943). Bahkan, karena jasa-
jasanya itulah, dia dinobatkan sebagai The Founder Of The Mental Hygiene

34
Lihat dalam Maslow, op.cit., h. 313
35
Lihat dalam Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Cet.XVIII; Jakarta: Bulang Bintang, 2005), h. 7-8

13
Kesehatan Mental
Movement. Dia terkenal karena pengalamannya yang luas dalam bidang
pencegahan dan pengobatan gangguan mental dengan cara yang sangat
manusiawi. Dedikasi Beers yang begitu kuat dalam kesehatan mental,
dipengaruhi juga oleh pengalamannya sebagai pasien di beberapa rumah sakit
jiwa yang berbeda. Selama di rumah sakit, dia mendapatkan pelayanan atau
pengobatan yang keras dan kasar (kurang manusiawi). Kondisi seperti ini
terjadi, karena pada masa itu belum ada perhatian terhadap masalah
gangguan mental, apalagi pengobatannya.
Setelah dua tahun mendapatkan perawatan di rumah sakit dia mulai
memperbaiki dirinya, dan selama tahun terakhirnya sebagai pasien, dia mulai
mengembangkan gagasan untuk membuat suatu gerakan untuk melindungi
orang-orang yang mengalami gangguan mental atau orang gila (insane).
Setelah dia kembali dalam kehidupan yang normal (sembuh dari penyakitnya),
pada tahun 1908 di menindaklanjuti gagasannya dengan mempublikasikan
sebuah tulisan autobiografinya sebagai, mantan penderita gangguan mental,
yang berjudul A Mind That Found It Self. Kehadiran buku ini disambut baik
oleh Willian James, sebagai seorang pakar psikologi. Dalam buku ini, dia
memberikan koreksi terhadap program pelayanan, perlakuan atau
treatment yang diberikan kepada para pasien di rumah sakit-rumah sakit
yang dipandangnya kurang manusiawi. Disamping itu dia melupakan
reformasi terhadap lembaga yang diberikan perawatan gangguan mental.
Beers meyakini bahwa penyakit atau gangguan mental dapat dicegah
atau disembuhkan. Selanjutnya dia merancang suatu program yang bersifat
nasional yang bertujuan:
1. Mereformasi program perawatan dan pengobatan terhadap orang-orang
pengidap penyakit jiwa.
2. Melakukan penyebaran informasi kepada masyarakat agar mereka
memiliki pemahaman dan sikap yang positif terhadap para pasien yang
mengidap gangguan atau penyakit jiwa.
3. Mendorong dilakukannya berbagai penelitian tentang kasus-kasus dan
pengobatan gangguan mental.
4. Mengembangkan praktek-praktek untuk mencegah gangguan mental.36
Program Beers ini ternyata mendapat respon positif dari kalangan
masyarakat, terutama kalangan para ahli, seperti William James dan seorang
Psikiatris ternama, yaitu Adolf Mayer. Begitu tertariknya terhadap gagasan
Beers, Adolf Mayer menyarankan untuk menamai gerakan itu dengan nama
Mental Hygiene. Dengan demikian, yang mempopulerkan istilah Mental
Hygiene adalah Mayer. Belum lama setelah buku itu diterbitkan, yaitu pada

36
Lihat Ibid., h.9

14
Kesehatan Mental
tahun 1908, sebuah organisasi pertama, didirikan, dengan nama Connectievt
Society For Mental Hygiene. Satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 19
Februari 1909 didirikan National Community Society For Mental Hygiene,
37
di sini Beers diangkat menjadi sekretarisnya.
Organisasi ini bertujuan: Melindungi kesehatan mental masyarakat,
menyusun standar perawatan para pengidap gangguan mental, meningkatkan
studi tentang gangguan mental dalam segala bentuknya dan berbagai aspek
yang terkait dengannya. Menyebarkan pengetahuan tentang kasus gangguan
mental, pencegahan dan pengobatannya dan mengkoordinasikan dengan
lembaga-lembaga perawatan yang ada.
Terkait dengan perkembangan gerakan kesehatan mental ini, Deutsch
mengemukakan bahwa pada masa dan pasca Perang Dunia I, gerakan
kesehatan mental ini mengkonsentrasikan programnya untuk membantu
mereka yang mengalami masalah serius. Setelah perang usai, gerakan
kesehatan mental semakin berkembang dan cakupan garapannya meliputi
berbagai bidang kegiatan, seperti: pendidikan, kesehatan masyarakat,
pengobatan umum, industri, kriminologi dan kerja sosial.
Secara hukum, gerakan kesehatan mental ini mendapatkan
pengukuhannya pada tanggal 3 Juli 1946, yaitu ketika Presiden Amerika
Serikat menandatangani The National Mental Health Act. Dokumen ini
merupakan bluprint yang komprehensif, yang berisi program-program jangka
panjang yang diarahkan untuk meningkatkan kesehatan mental seluruh warga
masyarakat.
Beberapa tujuan yang terkandung dalam dokumen tersebut itu meliputi:
Meningkatkan kesehatan mental seluruh warga masyarakat Amerika Serikat,
melalui penelitian, investigasi, eksperimen penanganan kasus-kasus, diagnosis
dan pengobatan. Membantu lembaga-lembaga pemerintah dan swasta yang
melakukan kegiatan penelitian dan meningkatkan koordinasi antara para
peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian dan meningkatkan kegiatan dan
mengaplikasikan hasil-hasil penelitiannya. Memberikan latihan terhadap para
personel tentang kesehatan mental, dan mengembangkan serta membantu
negara dalam menerapkan berbagai metode pencegahan, diagnosis, dan
pengobatan terhadap para pengidap gangguan mental38
Pada tahun 1950 organisasi kesehatan mental terus bertambah, yaitu
dengan berdirinya National Association For Mental Health yang
bekerjasama dengan tiga organisasi swadaya masyarakat lainnya, yaitu
National Committee For Mental Hygiene, National Mental Health

37
Bandingkan dengan Maslow, op.cit., h. 317-318
38
Lihat dalam Yusuf Syamsu, Mental Hygiene Perkembangan Kesehatan Mental dalam Kajian Psikologi dan
Agama (Bandung: Pusta Bani Quraisy ,2004), h. 5-8

15
Kesehatan Mental
Foundation, dan Psychiatric Foundation. Gerakan kesehatan mental ini
terus berkambang, sehingga pada tahun 1075 di Amerika Serikat terdapat
lebih dari seribu tempat perkumpulan kesehatan mental. Di belahan dunia
lainnya, gerakan ini dikembangkan melalui The World Federation For Mental
Health dan The World Health Organization.39

Sejarah Kegilaan dan Konstruksi Kebenaran


Anda mungkin ingat, pada tahun 2002, sebuah film berjudul A Beautiful
Mind John Nash peraih Nobel matematika yang juga penderita
schizophrenia.40 Asal tahu saja, film itu lalu dikritik habis-habisan oleh
beberapa pengamat film dan perusahaan film pesaing, gara-gara dianggap
mengabaikan sisi homoseksualitas dan kecenderungan anti-Semit yang ada
pada diri Nash. Sementara itu, penulis biografi Nash, Sylvia Nasar, meskipun
membelanya namun ia malah menulis bahwa karya-karya tulis anti-Semit dari
Nash lebih merupakan wujud dari sakit jiwanya ketimbang kefanatikannya,
dinominasikan meraih piala Oscar. Kisah dalam film tersebut adalah karya
Pernyataan para pengkritik Nash ini, bahkan juga penulis biografinya
(yang tampak membelanya) adalah contoh gambaran nyata tentang citra
negatif dan perlakuan yang tidak mengenakkan terhadap orang yang
mengalami schizophrenia, yang malahan disebut oleh penulis biografi Nash
sebagai sakit jiwa. Bukan hanya itu, perilaku homoseksual dianggap sebagai
praktek yang menyimpang dan abnormal sehingga perlu dikenai sanksi sosial,
atau setidaknya disembuhkan.

Nasib Orang Gila dalam Keseharian.


Dalam kehidupan sehari-hari kisah lain tentang orang gila, orang yang
mengalami masalah kejiwaan atau kelainan mental seperti penderita psikosis,
schizophrenia, stress, depresi, dan sebagainya seringkali mengalami nasib
yang jauh mengenaskan. Gejala-gejala seperti ini dipandang sebagai penyakit
yang secara medis perlu disembuhkan. Masih beruntung bagi seorang Nash.
Orang-orang yang selama ini dibilang gila dan tidak waras oleh masyarakat
berkeliaran di pinggiran jalan dan menjadi obyek cemohan. Mereka berada
dalam kondisi yang benar-benar menyedihkan. Orang-orang gila ini seringkali
dikonsepsikan sebagai mereka yang menyimpang dari mayoritas masyarakat.
Mereka dianggap defiant dalam kategori abnormal. Terhadap mereka,
masyarakat menghardiknya sementara pemerintah pun menyingkirkannya,
39
Bandingkan dengan Maslow,op.cit., h. 323-324
40
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamin yaitu salah satu sel
kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons
emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah)
dan haluninasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). Lihat selengkapnya dalam Dadang Hawari, op.cit., h.592-594

16
Kesehatan Mental
setidaknya mengasingkannya secara tidak manusiawi. Di Jakarta dan di kota-
kota metropolitan pada umumnya, mereka dianggap sebagai sampah yang
mengganggu keindahan, kenyamanan, dan ketertiban kota. Tidak jarang kita
jumpai aparat Trantib pemerintah daerah setempat menggaruk mereka tanpa
rasa prikemanusiaan sedikitpun.
Perlakuan buruk masyarakat dan aparat pemerintah terhadap orang-
orang yang disebut gila ini ternyata juga tidak jauh berbeda dengan apa yang
dilakukan oleh kalangan akademis dan orang-orang terpelajar yang
menempuh studi bidang kedokteran. Atas nama penelitian ilmiah, kegilaan
dipahami dan diajarkan sebagai penyakit yang harus disembuhkan secara
medis. Mereka, para ahli psikiatri, sibuk menciptakan kategori-kategori dan
definisi-definisi kegilaan berikut cara-cara penanganannya. Melalui definisi
dan kategori itu lantas mereka merasa berhak menentukan mana orang gila
dan mana yang waras, siapa yang sehat dan siapa yang sakit, serta siapa yang
normal dan siapa yang abnormal. Pada gilirannya lalu mereka mengintrodusir
mekanisme-mekanisme tertentu dan berbeda tentang bagaimana seharusnya
memperlakukan mereka. Perlakuan terhadap orang gila yang semena-mena ini
biasanya ditentukan oleh persepsi dan konsepsi masyarakat atau pemerintah
terhadap kegilaan. Oleh karena itu sebuah konsepsi yang keliru tentang
kegilaan pasti akan membuahkan penanganan yang keliru pula. Dan pada
gilirannya cara penanganan yang salah ini akan menyebabkan orang yang
mengalami kegilaan sendiri malah bertambah menderita, bukannya
dipulihkan.
Dalam sajian ini saya ingin menunjukkan bahwa dalam sejarahnya
konsep kegilaan telah dipahami secara berbeda-beda oleh masyarakat. Setiap
masa dan periode memiliki konsep tersendiri mengenai kegilaan dan
bagaimana ia harus ditangani, serta bagaimana dampak penanganan itu bagi
penderita sendiri. Paparan ini sekaligus memperlihatkan bahwa konsep
kegilaan sebagai penyakit yang harus disembuhkan secara medis adalah
fenomena baru dalam dunia modern sekarang ini. Demikian juga kategori-
kategori abnormalitas dan menyimpang merupakan konstruksi sosial yang
telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas yang dibangun oleh aparat-
aparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme. Dalam hal ini tidak
bisa tidak kita berhutang jasa pada Michel Foucault yang berhasil menggali
bukti sejarah melalui serangkaian penelitiannya tentang sejarah kegilaan di
Eropa.41
Konsep kegilaan dalam lembaran sejarah: Orang Gila dan Penyakit
Lepra Pada abad Tengah, sebelum abad ke-15. Di Eropa orang-orang gila

41
Lihat selengkapnya dalam Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa . . .op.cit., h. 27-29

17
Kesehatan Mental
dihubungkan dengan terjadinya penghilangan dan pengeksklusian terhadap
para penderita lepra dari masyarakat umum, dan mereka ditempatkan pada
rumah-rumah sakit terpisah. Di seluruh daerah kekristenan ternyata jumlah
rumah sakitnya mencapai 19.000 buah. Sekitar tahun 1226 ketika Louis VIII
membuat undang-undang rumah sakit lepra bagi Perancis, lebih dari 2000
kantor pendaftaran muncul. Di keuskupan Paris sendiri terdapat 43 kantor.
Dua kantor paling besar sekitar Paris adalah Saint-Germain dan Saint-Lazare.
Sementara itu pada abad ke-12, Inggris dan Skotlandia memiliki sedikitnya
220 rumah sakit bagi setengah juta penduduknya. Lalu memasuki abad ke-15
semua rumah sakit itu perlahan-lahan mulai kosong. Dengan mulai
menghilangnya penyakit lepra ini di Eropa, masyarakat menyelenggarakan
pesta sukacita dan syukuran yang sangat meriah. Namun sesuatu telah
berubah. Ada fenomena baru yang muncul seiring dengan menghilangnya
lepra. Pada abad berikutnya kantor Saint-Germain di Paris bergeser menjadi
tempat untuk mereformasi anak-anak nakal. Sementara itu di Inggris institusi-
institusi rumah sakit itu digunakan untuk menangani orang-orang miskin.
Adapun di Stuttgart Jerman, sebuah laporan pengadilan tahun 1589
mengindikasikan bahwa selama lima puluh tahun tidak ada lagi penderita
lepra di rumah-rumah sakit. Tapi di Lipplingen, rumah sakit lepra berubah
dipakai untuk menampung orang-orang yang tidak bisa disembuhkan dan
orang-orang gila.42
Pada awal abad ke-17, lepra benar-benar lenyap dari daratan Eropa.
Meski demikian ada hal yang masih tersisa yang menarik dari hilangnya lepra
ini dan terus berlanjut ke periode berikutnya. Yakni suatu struktur yang tetap
tinggal dalam imaji-imaji masyarakat yang dilekatkan pada ciri penderita
lepra, yakni struktur pengucilan atau eksklusi itu sendiri. Mengapa struktur
ini masih bertahan meski penderita lepra telah tiada?. Berlanjutnya tradisi
pengucilan ini sebenarnya bisa ditemukan akarnya pada kosmologi gereja
abad pertengahan yang mengenal konsep penyerahan diri sebagai kunci
penyelamatan. Penyakit merupakan tanda kemarahan sekaligus anugerah
Tuhan. Menerima dengan sabar segala penderitaan serta menerima
konsekuensi pengucilan akibat penyakitnya memiliki makna sebentuk komuni
kepada Allah. Pandangan semacam inilah yang ikut memungkinkan struktur
pengucilan itu terus terjadi dan direproduksi bersamaan dengan
kepercayaan reintegrasi spiritual Gereja. Dengan demikian sebenarnya
hilangnya penderita lepra ini telah menyebabkan kekosongan obyek
pemberlakuan hukum moral dalam spiritual Gereja, sehingga konsekuensinya
nilai-nilai moral yang semula dikenakan kepada penderita lepra yang kini

42
Bandingkan dengan Zakiah Darajat dalam Kesehatan Mental op.cit., h. 17-24 dan Dadang Hawari, op.cit., h.
115-116.

18
Kesehatan Mental
telah lenyap harus mendapatkan kambing hitam lainnya. Pertanyaannya siapa
kambing hitamnya?
Mari kita ikuti kisah orang gila pada abad berikutnya.
Orang gila dan parodi kritik sosial memasuki periode renaisans, kisah tentang
orang-orang gila mulai beragam. Dalam beberapa karya sastra klasik
digambarkan mengenai orang-orang gila yang yang dinavigasikan dalam kapal
di lautan. Namun gambaran kapal-kapal itu bersifat romantik dan satiris yang
secara simbolis membawa orang-orang gila ke pulau keberuntungan dan
kebenaran mereka. Di antara karya-karya ini adalah Symphorien Champier
yang memadukan Ship of Princes and Battles of Nability pada tahun 1502
dengan Ship of Virtous Ladies tahun 1503. Terdapat juga Ship of Health
bersama dengan Bauwe Schute Jacob van Oestvoren tahun 1413. Adapun
dalam Narranschiff, orang-orang gila itu bebas berlayar dari kota ke kota.
Mereka berlayar dengan mudah dan diijinkan mengembara di daerah terbuka.
Pada masa renaisance ini, orang-orang gila diperlakukan secara baik, dirawat
sedemikian rupa di tengah-tengah warga kota, seperti di Jerman. Selain itu
bahtera-bahtera ziarah dan kargo-kargo menjadi perlambang orang-orang gila
yang tengah mencari rasionya. Masa ini disebut juga fase ambang bagi
orang-orang gila. Mereka yang di samping sebagai tahanan, juga memiliki
ruang bebas. Dalam karya sastra, semisal Praise of Folly karangan Erasmus,
dan The Cure of Madnes dan Ship of Fools karangan Hieronymus Bosch,
kegilaan sering dimainkan sebagai parodi atau satire dalam pertunjukan
drama-drama. Justeru mereka yang dilekati status gila adalah mereka yang
dengan keanehannya membawa kabar kebenaran dan pesan kebijaksanaan.
Foucault menyebutnya orang-orang yang dikaruniai hikmat. Orang gila, orang
bodoh atau orang tolol inilah yang justeru memiliki eksistensi penting sebagai
penjaga moral dan kebenaran. Dalam spontanitas parodi, mereka melontarkan
kritisisme sosial dan moral. Mereka menjungkirbalikkan norma-norma,
asumsi-asumsi, dan pandangan-pandangan umum yang dianut masyarakat.
Orang gila macam ini dibiarkan berkeliaran. Ia menjadi lambang/simbol
kebijaksanaan, atau semacam Kebodohan yang melawan dan berdialog
dengan supermasi kepintaran rasio. Orang Gila dan Hospital Generale seiring
bergulirnya waktu, makna positif kegilaan era renaisans yang menandai
dialog kritis antara kebodohan dan rasio ini pelan-pelan lenyap. Tema-tema
kapal kegilaan berakhir dan muncullah tema Rumah Sakit Jiwa. 43
Pada abad ke-17 terjadi pergeseran makna dan posisi orang-orang gila
ini. Di Paris, Inggris, Skotlandia, dan juga Jerman, tiba-tiba secara serentak
hampir bersamaan, orang-orang gila ditempatkan dalam Hospital Generale;
sebuah rumah pengurungan yang dibangun atas biaya pemerintah.

43
Lihat Zakiah Darajat, Kesehatan op.cit ,h. 7-9 dan bandingkan Hasan Langgulung, op.cit., h. 5-9

19
Kesehatan Mental
Di Paris, pendirian Hospital Generale ini sengaja didekritkan pada tahun
27 April 1656. Bersamaan dengan itu, gudang-gudang senjata, rumah tinggal,
balai-balai kota, dan rumah-rumah sakit difungsikan sebagai rumah
pengurungan. Ruang di mana orang miskin Paris, orang-orang cacat dengan
segala jenis kelamin dan keturunan, dalam kondisi sehat atau tidak sehat
ditempatkan di dalamnya. Pinel, misalnya menemukan orang-orang gila dalam
Hospital Generale di Bicetre (rumah prajurit) dan La Salpetriere (gudang
senjata). Di sana hukuman dan represi diberlakukan dengan sadis oleh raja,
polisi dan pengadilan.
Di Paris, Hopital Generale ini sama sekali tidak terkait dengan dengan
suatu konsep medis tertentu untuk merawat orang-orang gila, melainkan
kekuasaan. Kenyataan ini ditunjukkan dari peristiwa pembubaran Pusat
Yayasan Sosial Gereja Seluruh Negara (Grand Almonry of the Realm) yang
bertugas memberi bantuan sosial dan kesejahteraan kepada masyarakat oleh
penguasa raja.. Dengan penghapusan ini diharapkan pemerintah akan lebih
leluasa menerapkan proses pengurungan tanpa intervensi hukum dari
lembaga-lembaga lain. Dengan demikian sesungguhnya Hospital Generale
tidak lain merupakan instansi aturan dari tatanan monakhial dan borjuis
belaka yang dijalankan di Perancis selama periode tersebut.
Adapun di Jerman, rumah-rumah pengoreksian atau Zuchthausern,
semacam Hospital Generale didirikan di Hamburg sekitar tahun 1620, Basel
(1667), Breslau (1668), Frankfurt (1684), Spandau (1684) dan Konigsberg
(1691). Jumlah ini pun masih berkembang di Leipzig, Halle, Cassel, Brieg,
Osnabruck dan Torgau. Bangunan kurungan ini mirip struktur semi-
pengadilan, yang memiliki aparat-aparat administratif yang memiliki
kekuasaan mutlak dan aturan-aturan yang independen di luar peradilan,
kehakiman, dan keputusan raja. Orang-orang gila dikurung bersama-sama
dengan para tuna-wisma, pengangguran, orang sakit, orang tua, orang yang
tidak waras, dan kaum miskin.
Di Inggris, asal-usul pengurungan ini diperoleh dengan penemuan akta
pada tahun 1575 yang berisi hukuman atas para gelandangan dan
pembebasan orang-orang miskin. Rumah-rumah pengoreksian dibangun
mencapai angka satu rumah setiap desanya. Akta proyek ini telah
menempatkan para pengangguran, gelandangan, dan orang-orang miskin ke
dalam rumah-rumah pengoreksian. Mereka dikurung dan dipekerjakan di
dalamnya. Yang paling mengerikan mereka berada di bawah tanggungan
pribadi-pribadi sehingga sering diperlakukan sewenang-wenang. Sebuah akta
tahun 1670 pengadilan menegaskan status mereka dalam rumah-rumah
kerja. Tidak kalah juga pada tahun 1697 beberapa jemaah gereja Bristol
bersatu padu membentuk rumah-rumah kerja pertama di Inggris. Rumah kerja

20
Kesehatan Mental
kedua dibangun di Worcester tahun 1703 dan ketiga di Dublin, lalu di
Plymouth, Norwich, Hull dan Exester. Hingga pada akhir abad ke-18, rumah-
rumah kerja ini sudah mencapai 126 buah. Rumah-rumah kerja ini lalu
meluas sampai Belanda, Italia, dan Spanyol. Penghuninya pun mulai
heterogen. Dari orang-orang yang dituduh melanggar hukum dalam
masyarakat, anak nakal, pemboros, orang yang tidak memiliki profesi sampai
mereka yang dianggap tidak waras.
Perlu ditekankan di sini, bahwa pada abad tersebut masyarakat industri
yang menekankan sebesar-besarnya produksi mulai terbentuk di Eropa.
Karenanya lalu kriteria kegilaan pun ditujukan bagi mereka yang tidak mampu
bekerja, para peminta, orang-orang malas, atau mereka yang tidak lagi
produktif. Pada tahun 1532, Parlemen Paris memutuskan menangkap
pengemis dan memaksa mereka bekerja di pabrik tenun dengan kaki di rantai.
Tahun 1534, para pengemis dan gelandangan harus meninggalkan kota dan
dilarang menyanyi himne di jalan-jalan. Pada tahun 1657 keluar sebuah
maklumat berisi larangan kepada siapapun untuk mengemis di kota dan di
desa sekitar Paris. Bahkan pada tahun 1622 muncul pamflet Grievous Groan
for the Poor (Rintihan yang menyedihkan bagi orang-orang miskin) dibuat oleh
Thomas Dekker yang menekankan bahaya yang akan terjadi atas keberadaan
orang-orang miskin dan merekomendasikan agar mereka dibuang ke tanah
baru India Barat dan Timur. Atau mereka ditempatkan dalam rumah-rumah
pengoreksian. Tampak kemudian apa yang disebut sebagai Hospital Generale
ini adalah tempat pengurungan bagi orang-orang yang dianggap abnormal,
gila, dan menyimpang. Mereka adalah pengangguran, pengemis, pemalas,
orang-orang cacat, juga orang yang tidak waras dan tidak mampu bekerja. Di
dalam Hospital Generale ini lalu mereka ditempatkan untuk diberikan
pekerjaan oleh penguasa.44
Tujuannya bukan untuk menjamin kesejahteraan mereka, melainkan
sebagai disposisi penguasa tentang apa yang seharusnya mereka lakukan.
Tepatnya sebuah etika bahwa manusia harus melakukan kerja sebagai sebuah
hukuman. Menjadi kewajiban moral penguasa untuk membuat manusia itu
bekerja. Dengan bekerja, manusia membedakan dirinya dengan binatang,
yakni sebagai manusia yang waras.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa fungsi Hospital Generale
adalah alat koreksi belaka terhadap status kegilaan seseorang; yakni
mencegah kesemrawutan tatanan dari orang-orang malas, pengemis dan
pengangguran, yang notabene dianggap sebagai dimensi kebinatangan
manusia. Atas nama kewajiban moral ini penguasa melakukan serangkaian
praktek pendisiplinan dan represi fisik terhadap orang-orang gila. Mereka

44
Lihat Kartini Kartono, Patologi Sosial 3 (Cet.II; Bandung: Mandar Maju, 2006), h. 35-38

21
Kesehatan Mental
diikat dengan rantai, dipukuli, berada dalam pasungan, digantung, dan
dtempatkan dalam penjara-penjara untuk mentaati kerja. Peristiwa ini bisa
dihubungkan dengan pengkambinghitaman atas hilangnya subyek moral
setelah penyakit lepra di daratan Eropa menghilang.

Orang Gila dan Disiplin Psikiatri


Memasuki abad 19, orang-orang gila dikelompokkan dan
dikategorisasikan ke dalam mereka yang mengalami gangguan mental, stres,
neurosis, melankolis, atau schizoprenia dimasukkan dalam rumah-rumah sakit
jiwa. Mereka menjalani proses penyembuhan. Mereka tidak lagi mengalami
represi fisik (diikat pada rantai atau dicambuk seperti seabad sebelumnya),
juga mereka tidak menjadi tanggung jawab masyarakat bersama, melainkan
kegilaan itu ditangani oleh seorang dokter, seorang terapis atau seorang
psikiater untuk disembuhkan baik penyakitnya. Lalu bagaimana
mekanismenya?
Adapun mekanismenya adalah melalui kesunyian dan penyadaran
layaknya orang yang bertatapan dengan cermin. Maksudnya: orang-orang
gila ini ditempatkan dalam kesunyian, berbicara, menatap dan mengoreksi
dirinya sendiri, bagaikan berada dihadapan sebuah cermin, sehingga
menyadari kegilaannya. Melalui percakapan, bahasa dan kata-kata, terapi
mencoba meyakinkan orang gila akan status kegilaannya dan menyadari
dirinya sendiri benar-benar gila supaya bebas dari kegilaan tersebut. Melalui
terapi itu mereka dihinakan karena status kegilaannya itu. Di sini tentu saja
sang terapis-lah (dokter) yang menentukan disposisi gila dan tidak, rasional
atau tidak rasional. Dan perlahan-lahan cara-cara, aturan-aturan, dan
pengetahuan terapi ini diinstitusionalisasikan dalam suatu disiplin ilmu yang
kita kenal sekarang ini sebagai disiplin ilmu psikiatri, berikut teknik
psikoanalisisnya.
Penilaian kegilaan ini dilakukan secara terus menerus. Apa yang
dilakukan oleh tokoh medis ini dalam teknik psikiatrinya bukanlah diagnosa
obyektif dan ketat atas kegilaan itu sendiri, melainkan mengobservasi dan
mempercakapkan kegilaan itu sendiri pada penderitanya. Tokoh medis itu
mengorek sumber-sumber kegilaan, mengungkap kesalahan-kesalahan
tersembunyi, dan biasanya berusaha menghadirkan rasionalitas menggantikan
unsur-unsur atau perasaan irasionalitas penyebab kegilaan. Dokter, melalui
otoritas keilmuannya, mengontrol, mengawasi, dan menentukan kehendak,
moralitas dan makna keteraturan atau kewarasan dalam diri pasien.
Menurut Foucault, tahap ini merupakan tindakan yang lebih
menyakitkan daripada represi fisik sebagaimana terjadi sebelumnya.

22
Kesehatan Mental
Mengapa? Karena disiplin psikiatri justeru menjadi alat represi paling
paripurna yang langsung menusuk ke jantung batin, mengawasi perasaan dan
pikiran manusia. Jika pada abad klasik orang gila dibiarkan berkeliaran atau
dihempaskan berlayar dalam samudra kebebasan, lalu pada abad berikutnya
mereka dikurung dalam penjara Hospital Generale yang represif dan
mematikan, maka pada abad 19 ini kegilaan adalah sebuah penyakit dan
penderitanya mesti ditempatkan dalam rumah sakit jiwa untuk disembuhkan
secara medis. Bukan hanya itu, sekarang telah muncul suatu otoritas baru
yang memiliki otoritas tunggal menentukan status kegilaan seseorang, yakni
para ahli dan dokter. Tidak berhenti di situ mereka pun menciptakan disiplin
keilmuan baru untuk melegitimasi kekuasaannya, yakni disiplin ilmu psikiatri.
Dengan demikian pada zaman modern ada tiga institusi yang saling terkait
dan dianggap paling berhak menghakimi status kegilaan seseorang. Pertama,
dokter atau ahli medis; Kedua, disiplin ilmu psikiatri; dan ketiga, sebuah
struktur aneh yang disebut rumah sakit jiwa. Foucault menyebut fenomena ini
sebagai pendewaan atas tokoh medis dalam struktur penanganan kegilaan.45
Ketiga institusi inilah yang akhirnya memberikan label baru terhadap
orang-orang gila ini sebagai orang yang berpenyakit jiwa. Dari hasil penelitian
Michel Foucault mengenai sejarah kegilaan di atas, dapat dipahami
bagaimana sebuah kegilaan telah dikonsepsikan dan ditangani secara
berbeda-beda dalam setiap periode sejarah tertentu. Ada pergeseran-
pergeseran tentang makna kegilaan berikut posisi orang-orang gila dalam
masyarakat. Di situ pula ditunjukkan kekuasaan macam apa yang mengklaim
punya hak menentukan kategori-kategori kegilaan dan cara penanganannya.
Dalam kapal-kapal kegilaan abad renaisans, misalnya, orang-orang gila
adalah mereka kaum bijak yang bebas menyampaikan khotbah-khotbah satiris
dan kritis terhadap kekuasaan. Dalam Hospital Generale orang-orang gila
didefinisikan dan dikendalikan oleh kuasa obligasi etis negara. Sedangkan
dalam rumah sakit jiwa mereka diawasi, dikontrol dan dikendalikan para
tokoh medis dan ilmu psikiatrinya. Kini disiplin psikiatri sangat sentral dalam
penanganan masalah kelainan mental atau kegilaan ini. Dengan mudahnya
kegilaan dipersepsi sebagai penyakit yang mesti disembuhkan secara medis.
Misalnya laporan Scientific American 1999 yang mengutip hasil penelitian
W.W. Eaton, menyatakan bahwa pada tahun 1985 terdapat sekitar 1 %
penduduk dunia yang berumur antara 15 hingga 30 tahun mengidap penyakit
Schizoperenia. Angka tersebut akan terus membesar karena hingga kini
belum ditemukan metoda penyembuhan dan obat penyembuh yang manjur
dan meyakinkan. Lalu laporan itupun mengajukan tiga pendekatan untuk

45
Lihat Ibid., h. 39-40

23
Kesehatan Mental
mengenali gejala penyakit jiwa ini yaitu pendekatan genetika, pendekatan
kejiwaan, dan pendekatan anatomis keorganan otak.
Pendekatan genetika, katanya, cenderung mengkaitkan penderita
penyakit Schizoprenia berdasarkan garis keturunan dengan genetika generasi
sebelumnya seperti ayah-bunda, kakek, nenek dan seterusnya, mengenai
kemungkinan mengidap penyakit yang sama. Adapun pendekatan kejiwaan
menyimpulkan bahwa penyebab penyakit schizoprenia berasal dari
ketidakberesan mental (mental disorder). Masalah kejiwaan ini
(pathophysiology) berkaitan timbal balik dengan kerja fungsional otak melalui
jaringan sistem persyarafan. Dan pada akhir laporan tersebut dinyatakan
bahwa uji coba perawatan medis terhadap gejala-gejala kejiwaan tersebut
(penyakit-penyakit itu, kata mereka) terkadang menimbulkan dampak yang
mengerikan, terutama bagi penderita yang berusia produktif, karena dapat
menimbulkan kekurangan pathognomonic yang berpengaruh pada tingkat
kesuburan penderita.46 Oleh karena itu, diharapkan pengobatan alternatif
dapat berperan.
Dari laporan tersebut setidaknya secara implisit menunjukkan bahwa
penanganan medis terhadap gejala kegilaan atau sakit mental tidaklah
berhasil. Bisa jadi (atau malahan mungkin bisa dipastikan), ketidakberhasilan
ini akibat salah diagnosa terhadap gejala kegilaan. Ia dianggap sebuah
penyakit, padahal bisa jadi gejala-gejala yang ahli medis anggap sebagai sakit
jiwa, kelainan mental, atau kegilaan tersebut adalah produk atau pengaruh
dari sistem sosial kita yang sebenarnya fasis dan tidak memberi ruang
sejengkalpun pada manusia untuk membangun proyek imajinasinya. Bisa jadi
mereka adalah jiwa-jiwa yang kosong yang meratap dan mengalami histeria
ketakutan oleh situasi masyarakat dan sistem sosial kita yang telah sakit
parah. Sayangnya orang-orang yang mengaku sehat (padahal sebenarnya
sakit ini) malahan menghakimi mereka sebagai penderita penyakit jiwa.
Sejarah kegilaan dan bagaimana ia ditangani secara berbeda-beda di atas
memberi pelajaran mengenai kejatuhan kita dalam berbagai asumsi naif.
Asumsi-asumsi yang berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Karenanya, kita
seyogyanya perlu curiga terhadap asumsi-asumsi itu dan kekuasaan (kuasa
pengetahuan, kuasa institusi, kuasa otoritas tertentu) di baliknya. Ini artinya,
kita dituntut memiliki sensitifitas dan kepekaan dalam melihat kenyataan:
apakah suatu konsep atau sistem pengetahuan tertentu lebih humanis dan
emansipatoris atau, sebaliknya, justeru melakukan dehumanisasi?
Jelasnya, kita patut mempertanyakan jangan-jangan persepsi dan cara
kita memperlakukan orang gila, tidak waras, gangguan mental, dan
sebagainya selama ini adalah konstruksi belaka dari sebuah rezim

46
Lihat Zakiah Darajat, op.cit., h. 56-58

24
Kesehatan Mental
kebenaran yang diciptakan oleh para ahli medis dan disiplin ilmu psikiatri
yang sekarang ini giat diintrodusir melalui sekolah-sekolah dan perguruan
tinggi kita. Jika benar demikian, maka tibalah kita pada kesimpulan hipotetis,
bahwa pengetahuan dan tindakan kita sepenuhnya dikendalikan rezim
kekuasaan/pengetahuan yang fasis dan yang tak henti-hentinya
mencengkeram kehidupan kita.
Perlu juga saya tambahkan tentang studi kasus penyakit lepra yang ada
di Sulawesi Selatan yang konon menempati peringkat pertama di Indonesia
perlu mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan dan lapisan. Dan
begitu juga penderita gangguan jiwa dan penyakit jiwa (gila) perlu
penghargan dan perhatian serius, apalagi dewasa ini meningkat tajam yang
salah satu pemicunya adalah kegagalan dalam Pilkada, kegagalan dalam
mencapai karir, jabatan dan sebagainya.

Bagian Kedua

Gangguan Jiwa

Secara umum gangguan jiwa mencakup berbagai keadaan gangguan


fungsi mental dan perilaku seseorang seperti psikosis fungsional termasuk
skizofrenia, gangguan mood dan afek, gangguan waham dan sebagainya.

25
Kesehatan Mental
Demikian banyaknya jenis gangguan jiwa dan beragam manusia berbeda
akibat reaksi secara holistik baik fisik, psikis dan sosial, sehingga penyebab
gangguan jiwa adalah multifaktorial atau multidimensional. Bahkan hingga
saat ini belum ada kesepahaman definisi tentang gangguan jiwa. Seseorang
dikatakan mengalami gangguan jiwa bila terdapat gangguan pada unsur
psikis berupa pikiran, perasaan, perilaku, dan dapat disertai gangguan fisik
dan sosial.47
Dadang Hawari membagi gangguan jiwa ke dalam dua golongan besar
yaitu Psikosa dan Non-Psikosa. Golongan Psikosa ditandai dengan dua gejala
utama yaitu tidak adanya pemahaman diri (insight) dan ketidak mampuan
menilai realitas (reality testing ability ). Sedang golongan non-Psikosa kedua
gejala utama tersebut masih baik. Golongan Psikosa itu sendiri dibagi dalam
dua sub golongan, yaitu Psikosa Fungsional dan Psikosa Organik. Yang
dimaksud Psikosa Fungsional adalah gangguan jiwa yang disebabkan karena
terganggunya fungsi sistem tranmisi sinyal penghantar syaraf
(neurotransmilter) sel-sel saraf dalam susunan saraf pusat (otak), tidak
terdapat kelainan struktural pada sel-sel saraf otak tersebut. Sedangkan
Psikosa Organik adalah gangguan jiwa yang disebabkan karena adanya
kelainan pada struktur susunan saraf pusat otak yang disebabkan misalnya
terhadap tumor di otak, kelainan pembuluh darah di otak, infeksi di otak, dan
sebagainya.48
Penyebab gangguan jiwa biasanya tidak tunggal tetapi multiple.
Berbagai penyebab baik fisik, psikis dan sosial sekaligus sebagai penyebab
yang saling mempengaruhi sehingga dalam membuat diagnosa biasanya
dibuat diagnosa multiaksial (multifaktorial/multidimensional) seperti yang
digunakan pada Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ( PPDGJ )
yang mengacu kepada The Diagnosis And Statistical Manual of Mental
Disorder ( DSM ).
Tanda dan gejala gangguan jiwa sangat bervariasi tergantung jenis
gangguan jiwa yang terjadi. Secara umum biasanya beberapa gejala yang
muncul bersamaan, gejala itu membuat dirinya lain daripada sebelumnya atau
bertahan sampai jangka waktu yang cukup lama dan muncul terus-menerus.
Berbagai penyakit jiwa juga dapat dikenali melalui tanda dan gejala fisik,
psikis dan sosial. Banyak sekali gejala kejiwaan seperti sedih, marah, cemas
yang langsung dapat mempengaruhi kondisi fisik orang yang bersangkutan.
Manifestasi ini yang seringkali disebut sebagai psikosomatis atau reaksi
psikofisiologi, yaitu gangguan jiwa yang dapat menimbulkan manifestasi pada

47
Lihat M.Sattu Alang, op.cit., h. 14
48
Lihat Dadang Hawari, op.cit., h. 561-562

26
Kesehatan Mental
gangguan tubuh. Penyakit-penyakit yang biasanya dapat terpicu oleh reaksi
psikosomatis, antara lain: sakit kepala, insomnia, gangguan saluran cerna,
diare atau asma. Gejala yang mungkin timbul adalah sakit kepala, nyeri perut,
mual, muntah, sulit makan, diare, batuk, atau sesak. Bila dikaitkam dengan
psikosomatis, biasanya gejalanya berlangsung lama atau lebih dari 2 minggu
hilang timbul. Sedangkan gejala psikis yang bisa timbul adalah persepsi yang
kacau, pemikiran yang menyimpang dan kacau, ekpresi dari emosi yang
keliru, depresi macam-macam pengekspresian emosi, reaksi emosi yang tidak
tepat, aktivitas motorik yang tidak normal, atau aktivitas yang tidak
terkendalikan.49
Selain itu terdapat gejala dan tanda tanda lain yang dapat terjadi pada
penderita gangguan jiwa. Tanda-tanda lain tersebut sering kali dapat
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dari orang-orang yang normal. Di
antaranya adalah disorientasi; dimana seorang bisa tidak tahu di mana ia
berada, siapa dirinya, hari apa sekarang. Tanda lain adalah menarik diri dari
pertemuan-pertemuan dengan orang-orang lain, kecurigaan dan kepekaan
yang berlebih-lebihan, rangsangan dan kebutuhan seksuil yang tidak normal
atau kekanak-kanakan.
Tanda dan gejala gangguan sosial juga dapat menyertai gangguan jiwa.
Biasanya yang disebut abnormal oleh karena ia menunjukkan tingkah laku,
sikap, cara berpikir, yang tidak cocok dengan standar normal masyarakat atau
lingkungan di mana ia hidup. Manusia adalah makhluk sosial, karena itu ia
mempunyai kebutuhan-kebutuhan sosial dan ingin menjadi bagian integral
dari lingkungannya. Karena itu normal jika ia selalu cenderung untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Baru bisa mengenali adanya gejala
abnormal, jikalau orang yang bersangkutan secara tidak sadar bertingkah
laku yang tidak sesuai dengan standar normal masyarakat, yang secara
integral ia sendiri menjadi bagian di dalamnya. Gejala-gejala penyakit jiwa
dapat pula mengekspresikan diri secara spiritual, misalnya gagasan perasaan
berdosa yang tidak terampunkan, fanatisme tinggi atau malah sebaliknya
keragu-raguan yang terus-menerus.

A. Klasifikasi Gangguan Jiwa


Klasifikasi psikiatri melibatkan pembedaan dari perilaku normal dan
abnormal. Dalam hal ini normal dan abnormal dapat berarti sehat dan sakit,
tetapi bisa juga digunakan dalam arti lain. Sejumlah gejala psikiatri berbeda
tajam dari normal dan hampir selalu menunjukkan penyakit. (Ingram et al.,
1993) Gangguan Jiwa dibagi menjadi dua kelainan mental utama, yaitu
penyakit mental dan cacat mental. Cacat mental suatu keadaan yang

49
Lihat Ibid., h. 564

27
Kesehatan Mental
mencakup difisit intelektual dan telah ada sejak lahir atau pada usia dini.
Penyakit mental secara tidak langsung menyatakan yang kesehatan
sebelumnya, kelainan yang berkembang atau kelainan yang bermanifestasi
kemudian dalam kehidupan.
1. Penyakit mental secara prinsip dibagi dalam psikoneurosis dan psikosis.
Kategori ini sesuai dengan awam tentang kecemasan dan kegilaan.
Psikoneurosis merupakan keadaan lazim yang gejalanya dapat dipahami
dan dapat diempati. Psikosis merupakan penyakit yang gejalanya kurang
dapat dipahami dan tidak dapat diempati serta klien sering kehilangan
kontak realita.
2. Istilah fungsional dan organik menunjukkan etiologi penyakit dan
digunakan untuk membagi psikosis. Psikosis fungsional berarti ada
gangguan fungsi, tanpa kelainan patologi yang dapat dibuktikan50
Gejala utama atau gejala yang menonjol pada gangguan jiwa terdapat
pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di badan
(somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik) ataupun psikis (psikogenik),
(Maramis, 1994). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi
beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling
mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbulah gangguan
badan ataupun jiwa.

B. Macam-Macam Gangguan Jiwa


Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang
psikologik dari unsur psikis (Maramis, 1994). Macam-macam gangguan jiwa
oleh (Rusdi Maslim, 1998), yaitu; Gangguan mental organik dan simtomatik,
skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana
perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku yang
berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan
kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan
perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan onset
masa kanak dan remaja.
1. Skizofrenia.
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu
menilai realitas (Reality Testing Ability/ RTA) dengan baik dan pemahaman
diri (self insight) buruk.51 Skizoprenia merupakan penyakit otak yang timbul
akibat ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam
otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya
perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan

50
Lihat Zakiah Dajat,Kesehatan op.cit., h. 36-37
51
Dadang Hawari, op.cit., h. 593

28
Kesehatan Mental
antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah)
dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). Skizofrenia bisa
mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995
menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. 75%
Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja
dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh
stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan
lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.
Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting
karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering
dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang
mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan
psikolog.
Gejala Skizofrenia
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain
ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang
tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan
pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar
(sirkumstantial). Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan,
mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi
pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa
senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
a. Gejala-gejala Positif Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran
(kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi
jelas yang dapat diamati oleh orang lain.
b. Gejala-gejala Negatif Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif
karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal
seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu
menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku,
kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati
kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara
(alogia).52
1. Gejala Positif Skizofrenia
Secara rinci gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada penderita
Skizofrenia adalah sebagai berikut:
a. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional
(tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa

52
Lihat selengkapnya Zakiah Darajat, Kesehatan Mental op.cit., h. 82-85

29
Kesehatan Mental
keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini
kebenarannya.
b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa rangsangan
(stimulus). Misalnya penderita mendengar suara-suara/bisikan-bisikan
di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara/bisikan itu.

c. Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi


pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti
alur pikirannya.

d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif,


bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.

e. Merasa dirinya orang Besar, merasa serba mampu, serba


hebat dan sejenisnya.

f. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada


ancaman terhadap dirinya.
g. Menyimpan rasa permusuhan.
2. Gejala Negatif Skizofrenia
Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia
adalah sebagai berikut:
a. Alam perasaan (affect) tumpul dan mendatar. Gambaran alam
perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan
ekspresi.
b. Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn) tidak mau bergaul
atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).

c. Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam.

d. Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.

e. Sulit dalam berpikir abstrak.

f. Pola pikir stereotip

g. Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak (avolition) dan tidak ada


inisiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton,
serta tidak ingin apa-apa dan serba malas (kehilangan nafsu).53
Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia atau
penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan skizofrenia pada grup ini sangat

53
Lihat Dadang Hawari, op.cit., h. 594-596

30
Kesehatan Mental
sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger
atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan stres post-traumatik. Oleh
sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia pada anak-anak kecil
harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang
bersangkutan.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan
faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau
kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan
kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan
ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal
orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit,
percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya,
persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran
yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang
termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti
berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk
munculnya gejala skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik.
Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor
psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-
obatan terlarang seperti ganja, halusinogen atau amfetamin (ekstasi) juga
dapat menimbulkan gejala-gejala psikosis.
Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun
keluarga perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu
mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa
menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan
penderita skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang
dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis.
Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh penderita
skizofrenia. Keluarga perlu mendukung serta memotivasi penderita untuk
sembuh. Kisah John Nash, doktor ilmu matematika dan pemenang hadiah
Nobel 1994 yang mengilhami film A Beautiful Mind, membuktikan bahwa
penderita skizofrenia bisa sembuh dan tetap berprestasi.
Skizofrenia merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan
menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga
merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak
dahulu kala. Meskipun demikian pengetahuan kita tentang sebab-musabab
dan patogenisanya sangat kurang (Maramis, 1994). Dalam kasus berat, klien
tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya
abnormal.

31
Kesehatan Mental
Berikut ini ada beberapa contoh kasus penderita Skizofrenia:
Contoh Kasus 1.
Joe adalah siswa yang baik di sepanjang masa SMA-nya. Ia anggota tim
futbol, mempertahankan ranking yang bagus dan mendapatkan pujian pada
tiap semesternya. Ia ramah dan populer. Menjelang akhir semester pertama di
maktab (college)-nya, semuanya mulai berubah. Joe tak lagi makan bersama
dengan kawan-kawannya, pada kenyataannya ia mulai berkurung diri di
dalam kamarnya. Ia mulai mengebaikan kesehatan pribadinya dan berhenti
menghadiri kuliah. Joe mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dan harus
membaca kalimat yang sama secara berulang-ulang. Ia mulai percaya bahwa
kata-kata dalam naskah bukunya memiliki makna yang khusus baginya dan
dengan sesuatu cara memberitahukannya sebuah pesan untuk menjalankan
sebuah misi rahasia. Joe mulai menyangka bahwa kawan sekamarnya
bersekongkol dengan telepon dan komputernya untuk mengawasi
kegiatannya. Joe menjadi takut jika kawan sekamarnya tahu akan pesan
dalam naskah bukunya dan kini mencoba untuk menipunya. Joe mulai percaya
teman sekamarnya dapat membaca pikirannya, pada kenyataannya siapapun
yang ia lewati di aula atau di jalanan dapat mengatakan apapun yang ia
pikirkan. Saat Joe sedang sendirian di kamarnya, ia dapat mendengar bisikan
mereka yang ia percayai sedang mengawasinya. Ia tak dapat memastikan apa
yang mereka katakan tapi ia yakin bahwa mereka membicarakannya.
Contoh Kasus 2.
Roger adalah pria berusia 36 tahun yang memiliki riwayat panjang
mendengar suara-suara yang menyuruhnya untuk melukai diri sendiri dan
orang lain. Ia telah menuruti suara-suara itu di masa yang lalu dan akibatnya
ia harus menjalani pemenjaraan karena telah mengancam seseorang dengan
sebilah pisau. Ia juga takut dilukai oleh musuh-musuhnya dan hal itu
mengakibatkannya tidak tidur dengan tujuan untuk melindungi dirinya
sendiri. Roger secara aktif menggunakan alkohol, ganja dan kokain untuk
mengatasi gejala-gejalanya. Roger telah lama berhenti minum obat dari
dokternya karena pengalamannya akan ketidaknyamanan efek sampingnya. Ia
melaporkan bahwa ia merasa letih dan tidak dapat berhenti melangkah. Ia
pada mulanya mengalami pemulihan saat pertama kali menggunakan narkoba
dan alkohol. Tapi segera setelah itu ia menemukan bahwa semakin banyak ia
menggunakan narkoba dan alkohol semakin paranoid dan menjadi semakin
waspada ia jadinya dan gejala-gejalanya kembali menjadi parah.
Kekhawatiran Roger akan melukai orang lain dan ketakutan akan dilukai telah
mengakibatkan dirinya memiliki rencana untuk bunuh diri. Ia tak mampu
untuk mengetahui kaitan antara obat dari dokternya dan narkoba dengan
pengendalian gejala dan pemburukan penyakitnya. Roger juga harus berjuang

32
Kesehatan Mental
melawan diabetes dan ketidakmapanan gula darah karena kurang gizi dan
penggunaan alkohol.

Contoh Kasus 3
Edward menghabiskan waktunya sendirian di tempat tidur, jika ia bisa.
Sebelum ia sakit, ia menikmati waktunya bersama keluarganya atau bekerja.
Kadangkala ia berpikir masalah pekerjaan, dan kadang-kadang ia membuat
rencana, namun ia nampaknya tak pernah mencapai tahap wawancara atau
kontrak kerja. Saat ia mengunjungi orang tuanya mereka mencoba
membujuknya untuk berbicara tentang masalah keluarga atau politik. Edward
tak banyak berkata-kata. Walaupun ia menolak dikatakan depresi, dan ia
mengungkapkan harapannya akan masa depan, ia hampir-hampir tak pernah
tersenyum dan benci untuk membereskan piring sisa makan atau
membereskan tempat tidurnya. Psikiater telah menanyainya tentang suara-
suara, akan tetapi Edward bersikukuh bahwa ia tak pernah mendengarnya.
Saat ia dirawat di rumah sakit untuk pertama kalinya, ia ingat, ia kesulitan
untuk mempertahankan jalan pikirannya, dan ia tahu ia bertingkah aneh
karena polisi menangkapnya saat ia keluyuran di jalanan ketika mengenakan
pakaian menyelam. Tapi Edward tak dapat mengingat kenapa dan nampaknya
hal itu bukan lagi merupakan masalah baginya.
Seperti yang telah digambarkan dalam contoh kasus di atas, skizofrenia
adalah penyakit mental yang memiliki rentang yang luas. Bahkan beberapa
ahli meragukan bahwa penyakit ini adalah gangguan yang tunggal. Fakta
bahwa hanya ada satu kata untuk merujuk ke sesuatu penyakit tidaklah
berarti bahwa penyakit itu satu ekali-kali bisa timbul serangan. Jarang bisa
terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya
berakhir dengan personalitas yang rusak .
Untuk pemberian terapi dan rehabilitasi kepada penderita gangguan
jiwa skizofrenia perlu ditempuh cara-cara sebagai berikut:
1. Dari sisi organobiologik, dihindari kemungkinan adanya faktor genetik
(keturunan), maka perlu diteliti riwayat atau sissilah keluarga. Bila dalam
keluarga ditemukan salah seorang menderita skizofrenia sebaiknya menikah
dengan orang jauh dan sesama penderita skizofrenia sebaiknya tidak saling
menikah. Menikah sesuai anjuran agama adalah menentramkan kehidupan
manusia sebagaimana firman-Nya surah ar-Rum (30) ; 21:

Terjemahnya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia


menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya

33
Kesehatan Mental
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.54

Ayat di atas memberikan petunjuk bagi manusia (laki-laki dan


perempuan) untuk mengadakan perkawinan supaya merasa tenteram dan
berkasih-kasihan. Dengan cara ini seseorang yang menderita gangguan jiwa
skizofernia bisa sembuh.
Untuk menghindari kemungkinan adanya faktor epigenetik, hendaknya
selama kehamilan seorang ibu perlu mendapat perawatan yang baik. Olehnya
itu perlu dicegah adanya infeksi virus atau infeksi penyakit lainnya. Dicegah
menurunnya auto-immune, dicegah berbagai macam komplikasi kandungan.
Gizi harus cukup dan berimbang dan selama kehamilan dipelihara kondisi
mental emosional ibu dalam keadaan sehat atau stabil, bebas dari stres,
cemas dan depresi.
2. Psiko-Edukatif; dalam perkembangan jiwa atau kepribadian seseorang dari
mulai lahir hingga menginjak usia remaja, hendaknya tidak hanya
berkembang secara baik dari segi pisik tetapi juga aspek kejiwaaannya.
Pendidikan anak hendaknya diperhatikan oleh orang tua agar terbentuk
sifat /pribadi yang bisa menangkis terjadinya gangguan jiwa skizofrenia.
Orang tua perlu memberikan perhatian, kasih sayang, pendidikan yang baik
dan memberikan keteladanan bagi anak. Firman Allah dalam surah al-Ahzab
(33) , 21:

Terjemahnya: Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
ayat di atas dijadikan orang tua dalam membina, mendidik anak
dengan Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.55
Selanjutnya orang tua memperhatikan sikap-sikap anak yang merupakan
kemampauan daya kompetensi anak. Sikap itu antara lain; kemampuan untuk
percaya kepada kebaikan orang lain, sikap terbuka dan kemampuan
pengendalian diri terhadap orang lain. Perlu orang tua mendoakan anaknya
agar menjadi orang yang bertaqwa, orang baik dan orang yang berguna bagi
orang lain. Firman Allah dalam surah al-Furqan (25), 74:

54
Departemen Agama RI., Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Bumi Restu, 1988/1999), h. 644
55
Ibid., h. 670

34
Kesehatan Mental

Terjemahnya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah
kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-
orang yang bertakwa.56
Kalau meneladani atau mencontoh Rasulullah saw., maka hakkul yakin
anak atau generasi bisa terhindar dari gangguan jiwa khususnya skizofrenia.

2. Depresi
Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama dewasa ini.
Orang yang mengalami depresi adalah orang yang paling banyak menderita.
Kadang depresi penyebab utama tindakan bunuh diri.
Pengertian depresi beraneka ragam komentar para pakar, tergantung
dari sisi mana ia melihatnya.
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan,
1998). Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan
kejiwaan pada alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan,
ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain
sebagainya57. Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan
dengan penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri
atau perasaan marah yang mendalam (Nugroho, 2000). Depresi adalah
gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik berupa
bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseorang hidup
menyendiri, pesimis, putus asa, ketidak berdayaan, harga diri rendah,
bersalah, harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan datang.
Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan normal yang
muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang
dicintai. Sebagai ganti rasa ketidaktahuan akan kehilangan seseorang akan
menolak kehilangan dan menunjukkan kesedihan dengan tanda depresi
(Rawlins et al., 1993). Individu yang menderita suasana perasaan (mood) yang
depresi biasanya akan kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya
energi yang menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktiftas (Depkes,
56
Ibid., h. 569
57
Dadang Hawari, op.cit., h. 519

35
Kesehatan Mental
1993). Depresi dianggap normal terhadap banyak stress kehidupan dan
abnormal hanya jika ia tidak sebanding dengan peristiwa penyebabnya dan
terus berlangsung sampai titik dimana sebagian besar orang mulai pulih
(Atkinson, 2000).
Adapun ciri-ciri kepribadian depresif antara lain;
Pemurung, sukar untuk bisa senang, sukar untuk merasa bahagia, pesimis
menghadapi masa depan, memandang diri rendah, mudah merasa bersalah
dan berdosa, mudah mengalah, enggan bicara, mudah merasa haru, sedih dan
menangis, gerakan lamban, lemah, lesu, kurang energik. Seringkali mengeluh
sakit ini dan itu (keluhan-keluhan psikomatik), mudah tegang,agitatif, gelisah,
serba cemas, khawatir, takut, mudah tersinggung, tidak ada kepercayaan diri,
merasa tidak mampu, merasa tidak berguna. Merasa selalu gagal dalam
usaha, pekerjaan ataupun studi, suka menarik diri, pemalu dan pendiam, lebih
suka menyisihkan diri, tidak suka bergaul, pergaulan sosial amat terbatas.
Lebih suka menjaga jarak, menghindari keterlibatan dengan orang, suka
mencela, mengkritik, konvensional, sulit mengambil keputusan. Tidak agresif,
sikap oposisinya dalam bentuk pasif-agresif, pengendalian diri terlampau kuat,
menekan dorongan/impuls diri, menghindari hal-hal yan tidak menyenangkan.
Lebih senang berdamai untuk menghindari konflik ataupun konfrontasi.58
Orang yang memiliki gejala tersebut di atas, Al-Quran memberikan
solusi sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Anam (6) : 48:

Terjemahnya: Dan tidaklah kami mengutus para Rasul itu melainkan untuk
memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. barangsiapa
yang beriman dan mengadakan perbaikan Maka tak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih
hati.59

Maksud mengadakan perbaikan pada ayat tersebut berarti melakukan


pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek
dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan.
Ciri-ciri kepribadian depresif tersebut di atas pada setiap diri seseorang
tidak harus sama mencakup semua gejala-gejala secara keseluruhan.
Seseorang baru dikatakan mengalami gangguan depresi manakala yang
bersangkutan mengalami gangguan di bidang fisik (somatik) maupun psikis
sedemikian rupa sehingga menggangu fungsi dalam kehidupannya sehari-hari.
58
Lihat Ibid., h.,522-523
59
Ibid., h. 194

36
Kesehatan Mental
Dadang Hawari memberikan gejala-gejala depresi sebagai berikut:

a. Gejala Klinis Depresi;


Afek disforik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun,
tidak bersemangat, merasa tidak berdaya, perasaan bersalah, berdosa,
penyesalan. Nafsu makan menurun, berat badan menurun, konsentrasi dan
daya ingat menurun. Mengalami gangguan tidur; insomnia (sukar/tidak dapat
tidur) atau hipersomnia (terlalu banyak tidur). Agitasi atau retardasi
psikomotor (gaduh gelemah tak berdaya). Hilangnya rasa senang, semangat
dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi, kreativitas dan prokdutivitas
menurun. Gangguan seksual menurun dan pikiran-pikiran tentang kematian
dan bunuh diri.60
Gejala di atas ini banyak dialami oleh orang yang kehilangan jabatan
dan kedudukan atau kekuasaan. Olehnya itu Al-Quran memberi peringatan
sebagaimana firman-Nya dalam surah Ali Imran (3) , 139:

Terjemahnya: Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi
(derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.61
b. Depresi Pasca Kuasa
Adapun keluhan-keluhan penderita yang disertai dengan perubahan
sikap dan perilaku, misalnya: Suka mengkritik, merasa dirinya benardan
mengeluarkan kekesalan, prasangka buruk dan selalu curiga, merasa
diperlakukan tidak adil, suka mencela dan skeptis, perasaan tertekan, tidak
puas, kecewa dan bersikap oposan, suka menggerutu dan mengeluarkan
kekesalan, dan kekecewaan hatinya yang biasa dilakukan atau diucapkan
secara berulangulang.
c. Depresi Pasca Stroke
Gejala depresi pada penderita stroke, adalah adanya gejala utama pada
gangguan afek (mood), tidak terdapat tanda-tanda delirium (menurunnya
kesadaran), demensia (kemunduran daya ingat), sindrom waham organik, atau
halusinasi organik. Terdapat faktor organik spesifik (kelainan pada otak akibat
stroke) yang dinilai mempunyai hubungan etiologik (penyebab) dengan
gangguan itu,yang terbukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Selanjutnya peningkatan aktivitas (di tempat kerja, dalam
hubungan sosial atau seksual), atau ketidak-tenangan pikiran. Lebih banyak
berbicara dari lazimnya atau adanya dorongan untuk berbicara terus
menerus. Gagasan melompat-lompat (flight of ideas) atau penghayatan
60
Dadang Hawari, op.cit., h. 524
61
Departemen Agama, op.cit., h. 98

37
Kesehatan Mental
subyektif bahwa pikirannya sedang berlomba. Rasa harga diri yang
melambung (grandiosity), yang dapat setaraf dengan waham (keyakinan yang
tidak rasional namun diyakini kebenarannya), Berkurangnya kebutuhan tidur,
Mudah teralih perhatian, yaitu perhatiaanya terlalu cepat tertarik pada
stimulus luar yang tidak penting atau yang tidak berarti, Keterlibatan
berlebihan dalam akvitas-aktivitas yang mengandung kemungkinan resiko
tinggi akibat yang merugikan apabila tidak diperhitungkan secara bijaksana.
Misalnya, berbelanja berlebihan, tingkah laku eksual secara terbuka,
penanaman modal secara bodoh,mengemudi kendaraan (ngebut) secara
tidak bertanggung jawab dan tanpa perhitungan.
Gejala depresif berat adalah kurangnya nafsu makan atau penurunan
berat badan yang cukup berarti (tidak sedang diet), atau sebaliknya
penambahan nafsu makan atau kenaikan berat badan yang cukup berarti.
Sukar tidur (insomnia) atau sebaliknya banyak tidur (hipersomnia). Gaduh-
gelisa (agitasi) atau pasif dan lemah (retardasi psikomotor), bukan hanya
perasaan subyektif dari kegelisahan atau perlambanan. Hilangnya minat atau
rasa senang dalam hal yang bisa dikerjakannya, atau pengurang gairah
seksual yang tidak terbatas dalam periode ketika sedang ada waham atau
halusinasi. (catatan : waham adalah suatu keyakinan yang tidak rasional
namun diyakini kebenarannya; sedangkan halusinasi adalah pengalaman
pancaindera tanpa ada rangsangan. Hilangnya semangat, rasa letih, perasaan
tidak berguna, menyalahkan diri sendiri, atau perasaan bersalah dan berdosa
berlebihan yang tidak pada tempatnya, seringkali perasaan ini setaraf dengan
waham. Adanya tanda-tanda berkurangnya kemampuan berpikir atau
konsentrasi dan pikiran berulang tentang kematian, gagasan untuk bunuh
diri, keinginan mati atau usaha bunuh diri.62
Perlu dipahami bahwa hidup manusia itu selalu silih berganti, kadang
senang kadang susah, kadang miskin kadang kaya dan kadang kita berkuasa
dan kadang menjadi bawahan. Kalau kita mengalami depresi hendaklah
ditingkatkan keimanan dan ketaqwaan dan kedekatan kepada Allah swt.
sambil memiliki kesabaran. Hal ini difirmankan dalam Al-Quran surah Al-Hajj
( 22 ), 34-35:


Terjemahnya; (34). ... dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
tunduk patuh (kepada Allah),(35). (yaitu) orang-orang yang
apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang
yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang

62
Lihat dalam Ibid., h. 257-258

38
Kesehatan Mental
yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan
sebagian dari apa yang Telah kami rezkikan kepada mereka.63

d.Depresi Neurotik
Depresi neurotik adalah suatu gangguan afek (mood) yang menahun dn
mencakup gambaran efek (mood) depresif atau hilangnya minat atau rasa
senang di dalam semua atau hampir semua aktivitas kehidupan sehari-hari
dan waktu senggang yang biasa dilakukannya. Kadang-kala seseorang yang
mengalami depresi neurotik itu pada waktu-waktu tertentu (bebeapa hari
sampai beberapa minggu) terbebas dari gangguan tersebut (periode normal),
namun kemudian sesudah gangguan afektif tadi akan muncul kembali.
Seseorang degan gangguan depresi neurotik selama dalam periode
depresif akan menunjukkan gejala-gejala paling sedikit 3 dari gejala berikut :
a. Sukar tidur (insomnia) atau sebaliknya banyak tidur (hipersomnia).
b. Lesu atau keluhan yang menahun.
c. Perasaan kurang mampu, rendah diri atau mencela diri sendiri.
d. Berkurangnya efektivitas atau produktivitas di sekolah, pekerjaan, atau
di rumah.
e. Berkurangnya konsentrasi, perhatian atau kemampuan untuk berpikir
jernih.
f. Menarik diri dari pergaulan sosial.
g. Kehilangan minat atau kemampuan menikmati dalam aktivitas yang
menyenangkan.
h. Iritabilitas (mudah tersinggung) atau marah yang berlebihan tidak pada
tempatnya.
i. Tidak mampu menanggapi ujian atau penghargaan dengan perasaan
senang.
j. Kurang aktif atau kurang berbicara dari biasanya, merasa lamban dan
gelisah.
k. Bersikap pesimis terhadap masa depan, menyesali peristiwa masa lalu
atau mengasihani diri sendiri.
l. Mudah haru, mata berlinang atau menangis.
m.Pikiran berulang tentang kematian atau keinginan untuk bunuh diri.64
Pada gangguan depresif neurotik tadi yang bersangkutan masih mampu
menilai ralitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan aik dan demikian pula
halnya dengan pemahaman diri (insight), atau dengan kata lain tidak terdapat
ciri-ciri gangguan jiwa berat (psikosis), seperti waham, halusinasi, inkoherensi
ataupun asosiasi yang melonggar.

63
Departemen Agama, opcit., h. 517
64
Lihat Ibid., h. 530-531

39
Kesehatan Mental
Pengidak depresi neurotik banyak mengalami putus asa dalam
hidupnya. Al-Quran melarang hamba-hamba Allah berpustus asa. Hal ini
difirmankan dalam Al-Quran surah Az-Zumar (39) ; 53:


Terjemahnya: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas
terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.65
e. Depresi Siklotimit
Seseorang dengan depresi Siklotimit paling sedikit dalam kurun waktu 2
tahun mengalami gangguan alam perasaan (affect mood) ini, yang mencakup
suatu saat yang lain mengalami episode hipomatik. Pada gangguan depresif
siklotimit tidak terdapat ciri psikotik seperti waham, halusinasi, inkoherensi
atau pelonggaran assosiasi. Juga tidak disebabkan gangguan jiwa lainnya,
seperti remisi.
Berikut ini beberapa contoh orang yang mengalami depresi:
Kasus 1 :
Dalam satu malam tetapi setiap satu jam sekali selalu terbangun. Ny T
mengalami kesulitan memulai tidur dan hanya tidur kurang lebih tiga jam
Kondisi ini mengakibatkan Ny T selalu merasa tubuhnya tidak fresh dan berat
badannya mengalami penurunan dari 52 kg menjadi 47 kg. Penyebab Ny T
mengalami insomnia adalah suami Ny T menuduh Ny T telah berselingkuh
karena hasutan tetangga yang tidak suka pada Ny T. Ny T berusaha
menjelaskan pada suaminya bahwa dirinya tidak berselingkuh, tetapi suami
Ny T tetap tidak percaya. Suami Ny T selalu marah-marah pada Ny T dan
melarang Ny T untuk berbincang-bincang dengan tetangga di luar rumah.
Suami Ny T juga pelit dalam memberikan uang belanja dan melarang Ny T
untuk berdagang. Pada awalnya, Ny T berusaha untuk tidak terlalu serius
dalam memikirkan masalahnya dan menuruti keinginan suaminya, namun
suami Ny T tetap memperlakukan Ny T dengan buruk. Suami Ny T selalu
memarahi Ny T sehingga Ny T selalu memikirkannya dan merasa tertekan. Ny
T dan suaminya juga pisah ranjang. Ny T juga takut bercerita pada suaminya
bahwa dirinya mengalami kesulitan tidur setiap hari.
Kasus 2. Takut pada kegelapan.
Seorang pasien menghubungi saya untuk meminta diterapi. Ia
mengatakan mengalami rasa takut bila ingin ke kamar mandi. Saya katakan
padanya bahwa ia mengalami fear of darkness atau rasa takut di tempat

65
Departemen Agama, opcit., h. 753

40
Kesehatan Mental
gelap. Ia mengatakan bahwa ia merasa seolah-olah akan diserang oleh
seseorang di rumahnya sendiri, terutama ketika ia ingin pergi ke kamar
mandi. Ia tidak dapat tidur dan merasa kawatir bila tidur dengan kondisi
lampu mati. Dan bila ia ingin ke kamar mandi semua lampu di rumah harus
menyala. Atau kalau tidak ia akan memilih untuk tetap di kamar tidurnya dan
menjalani malamnya dengan penderitaan. Saya hanya melakukan satu kali
sesi dengan empat putaran untuk masalah fear of darknessnya. Saya lakukan
tapping pada bebeapa masalah emosional yang menjadi penyebabnya. secara
keseluruhan sesi terapi hanya memakan waktu kurang dari satu jam dan kini
pasien berani pergi ke kamar mandi kapanpun ia mau tanpa harus
menyalakan semua lampu di rumah. Berhati-hatilan dengan segala informasi
yang masuk kepada anda, mungkin itu bisa berbentuk iklan atau berita
kekerasan di TV, cerita dari seseorang, dll. Karena bila sistim keyakinan anda
memecayainya, anda akan mengalami keadaan seperti yang anda takutkan.
Hal itu akan membuat anda menderita. Dan akan diperparah lagi bila anda
mencoba mengatasi masalah anda dengan obat penenang. Selain anda akan
tergantung dengan obat itu, pemakaian jangka panjang akan mengganggu
daya ingat.
Kasus 3. Kejadian Traumatis Karena Dikhianati Pacar
Sebut saja, Ani, wanita 28 tahun di sebuah kota di Jawa Timur,
menceritakan pengalaman traumatisnya yang terjadi lebih dari 3 tahun yang
lalu. Ia merasa dikhianati oleh kekasihnya yang baru sadar bahwa kekasihnya
itu sudah beristri. Ia telah menyerahkan segalanya kepada kekasihnya ini,
karena kekasihya berjanji akan menikahinya. Suatu peristiwa klien saya hamil
dan oleh kekasihnya disuruh untuk menggugurkan kandungannya. Dan Klien
saya mengambil resiko dengan nyawanya untuk menggugurkan calon bayi
yang ada dalam kandungannya itu. Tapi sayang, setelah kekasihnya lalu
meninggalkannya begitu saja.
Sejak saat itu Klien saya mengalami depresi selama hampir tiga tahun
lebih akibat trauma masa lalu dengan kekasihnya itu. Namun ia tidak
menceritakan apakah traumanya itu sudah menimbulkan rasa sakit pada
tubuh fisiknya. Begitu banyak hal, kenangan dan benda-benda yang
mengingatkannya kembali pada kekasihnya, seperti bila melihat mobil Zenia
ia akan teringat kekasihnya, bila melihat kalender, pakaian, ia akan teringat
kekasihya, bila malam tiba ia juga teringat ketika kekasihnya sering datang ke
kostnya dan mengobrol bersama teman-teman kostnya, ia teringat prosesi
waktu menggugurkan kangdungannya,dll. Ia mengatakan dalam sehari bisa
lebih dari 10 kali ia teringat akan kekasihnya itu. Bila trauma itu datang,
maka di situ berkumpul kebencian, penyesalan, dendam, amarah, dan
kekecewaan, dan ia akan mengirim sms kepada kekasihya sebagai ungkapan

41
Kesehatan Mental
kemarahanya. Saya melakukan terapi dengan EFT untuk menghapus memori
traumatis itu pada aspek-aspek-aspek yang membuatnya depresi. Sempat
klien saya mengalami kesulitan mengingat hal-hal yang membuatnya depresi.
Karena itu lalu saya meminta klien saya untuk segera mencatat ketika timbul
hal-hal yang memicu ingatanya. Setelah dilakukan tapping pada semua aspek
yang ada, klien saya melaporkan bahwa kini ia merasa lebih tenang dan dapat
mengendalikan emosinya untuk tidak mengirim sms ke kekasihya itu. Ia juga
mengatakan sekarang ia tidak merasa sakit hati lagi.
Depresi yang dialami klien saya ini tidak hanya datang dari trauma
masa lalunya, tapi juga rencana perkawinannya yang akan dilangsungkan satu
bulan lagi. Ketakutan-ketakutan datang membayangi klien saya untuk
menghadapi kehidupan bersama calon suaminya nanti. Beberapa
ketakutannya seperti takut trauma masa lalunya akan mempengaruhi
hubungan perkawinanya, klien saya tidak mencintai calon suaminya karena ia
menikah atas kemauan orang tua, takut menghadapi malam pertama karena
tidak ada hasrat seks kepada calon suaminya, beberapa bentuk fisik dari calon
suami tidak ia sukai. Karena itu saya lakukan tapping pada aspek-aspek di
atas.
Setelah pesta perkawinan dilangsungkan, saya menunggu kabar dari
klien saya pada keesokan harinya. Dan malam harinya klien saya memberi
kabar bahwa baru besok malam ia akan menjalani malam pertama bersama
suaminya. Ia mengatakan mohon dibantu doa. Dua bulan kemudian saya
mencoba untuk menanyakan kabar dan keadannya. Klien saya mengatakan
bahwa kehidupan perkawinan bersama suaminya dalam keadaan baik dan kini
mereka sedang fokus untuk mendapatkan momongan serta mengembangkan
usaha suaminya.
Kasus 4. Trauma dibalik derita sakit kepala dan insomnia bertahun-
tahun.
Kita akan melihat bahwa derita fisik sering merupakan efek lanjutan
dari masalah emosional. Hendi, pria 25 tahun, mengeluhkan sakit kepalanya
yang intens yang ia derita setiap hari. Menurutya sakit kepalanya karena ia
selalu kurang tidur atau insomnia. Saya mencoba melakukan tapping EFT
pada aspek sakit kepalanya. Sesi tapping pertama menurukan intensitas sakit
kepalanya menjadi 8 dari skala10. Tapping kedua menurunkan intensitas sakit
kepalanya menjadi 5. Tapping ketiga tidak menurunkan intensitas sakit
kepalanya. Lalu saya mulai menggali faktor-faktor emosional yang mungkin
menjadi penyebabnya. Saya ketahui bahwa klien saya mengalami kepedihan
emosional dari masa lalu dengan kekasihnya pada waktu mereka masih
kuliah.
Beberapa faktor utama emosional yang dimiliki klien saya ini adalah :

42
Kesehatan Mental
- Merasa sangat kehilangan kekasihnya
- Memendam amarah kepada bapak kekasihya
- Teringat saat jalan-jalan bersama kekasihnya
- Merasa hidupnya berantakan gara-gara peristiwa ini
- Teringat kebaika kekasihya
Setelah dilakukan tapping EFT intensitasnya turun menjadi 2 dan sakit
kepalanya hanya tersisa sedikit dan hal itu bukan masalah lagi baginya
sebagaimana penuturannya. Seluruh sesi terapi ini berjalan kurang dari satu
jam Walaupun intensitas sakit kepalanya sudah tidak mengganggu lagi, saya
menyarankan klien saya untuk melakukan tapping di rumah untuk
menuntaskan masalah yang mungkin terlewatkan. Tiga bulan kemudian saya
kembali menanyakan kondisi klien saya ini. Ia melaporkan bahwa sekarang ia
dapat tidur dengan baik dan sakit kepalanya sudah hilang.

Terapi Depresi
Ada beberapa pendekatan dalam terapi depresi antara lain;
a. Pendekatan Terapi Psikofarmaka
Yang dimaksud dengan terapi psikofarmaka adalah pengobatan dengan
memakai obat-obatan (farmaka) yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan
neuro-transmitter di susunan saraf pusat otak. Terapi psikofarmaka yang
banyak dipakai oleh para dokter (psikiater) adalah obat anti cemas (anxiolytic)
dan obat anti depresi.
b. Pendekatan Terapi Somatik;
Maksudnya dalam pengalaman praktek sehari-hari sering dijumpai
gejala atau keluhan fisik (somatik) sebagai gejala ikutan atau akibat dari
stress, kecemasan dan depresi yang berkepanjangan. Untuk menghilangkan
keluhan-keluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan obat- obatan yang
ditujukan kepada organ tubuh yang bersangkutan.
c. Pendekatan Terapi Psikologik (Psikoterapi/Konseling)
Psikoterapi ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan
baik individual maupun keluarga, misalnya; Psikoterapi suportif( memberikan
motivasi), Psikoterapi re-edukatif (pendidikan ulang), Psikoterapi re-
konstruktif (rekontruksi kepribadian), Psikoterapi kognitif (memulihkan fungsi
kognitif pasien), Psikoterapi psiko-dinamik (menganalisa dan menguraikan
proses dinamika kejiwaan pasien), Psikoterapi perilaku (memulihkan
gangguan perilaku untuk beradaptasi) dan Psikoterapi keluarga(memperbaiki
hubungan kekeluargaan).
c. Pendekatan Terapi Perilaku( Psikososial)
Maksudnya untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar yang
bersangkutan dapat kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehai-

43
Kesehatan Mental
hari baik di rumah, di sekolah/kampus, di tempat kerja, maupun dilingkungan
pergaulan sosialnya. Untuk mencapai hal tersebut di atas hendaknya kita
melakukan perubahan-perubahan kebiasaan (gaya hidup) yang idak sehat.
d. Pendekatan Terapi Religi (Agama).
Allah berfirman dalam surah Asy-Syura ( 26 ), 80:

Terjemahnya:Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.66
.Ayat ini maksudnya manusia harus berusaha dan berikhtiyar apabila ia
sakit, yaitu berobat dan Insya Allah akan menyembuhkanya. Soal
penyembuhan juga disebutkan dalam Al-Quran surah Yunus (10): 57:


Terjemahnya: Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran
dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang
yang beriman.67
Olehnya itu setiap fasien harus mendekatkan diri kepada Allah dalam
artian meningkatkan ketaqwaan serta selalu berdoa dan berzikir, supaya dosa-
dosa yang salah satu penyebab penyakit bisa disembuhkan oleh Allah swt.

3. Kecemasan
Kecemasan sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang
pernah dialami oleh setiap orang dalam rangka memacu individu untuk
mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya, Maslim (1991). Suatu
keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari
ancaman yang tidak spesifik (Rawlins 1993). Penyebabnya maupun sumber
biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali. Intensitas kecemasan dibedakan
dari kecemasan tingkat ringan sampai tingkat berat. Menurut Sundeen (1995)
mengidentifikasi rentang respon kecemasan kedalam empat tingkatan yang
meliputi, kecemasan ringan, sedang, berat dan kecemasan panik.
Seseorang akan menderita gangguan cemas manakala yang
bresangkutan tidak mampu mengatasi stresor psikososial. 68 Tipe kepribadian
pencemas antara lian; Cemas, khawatir, tidak tenang, ragu dan bimbang;
Memandang masa depan dengan was-was (khawatir); Kurang percaya diri,
gugup apabila tampil di muka umum (demam panggung); Sering merasa
tidak bersalah, menyalahkan orang lain; Tidak mudah mengalah, suka
ngotot; gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, gelisah;

66
Departemen Agama, op.cit., h. 579
67
Ibid., h. 315
68
Dadang Hawari, op.cit., h.504

44
Kesehatan Mental
Seringkali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir
berlebihan terhadap penyakit; Mudah tersinggung, suka membesar-besarkan
masalah yang kecil (dramatisasi); Dalam mengambil keputusan sering diliputi
rasa bimbang dan ragu; bila mengemukakan sesuatu atau bertanya seringkali
diulang-ulang; Kalau sedang emosi sering kali bertindak histeris.
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami
gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut: Cemas, khawatir, firasat
buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung; Merasa tegang,
tidak tenang, gelisah, mudah terkejut; Takut sendirian, takut pada keramaian
dan banyak orang; Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan;
Gangguan konsentrasi dan daya ingat; Keluhan-keluhan somatik, misalnya
rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-
debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala
dan lain sebagainya.
Gejala-gejala fisiknya adalah sebagai berikut: gemetar, tegang, nyeri
otot, letih, tidak dapat santai, kelopak mata bergetar, kening berkerut, muka
tegang, gelisah, tidak dapat diam, mudah kaget, berkeringat berlebihan,
jantung berdebar-debar, rasa dingin, telapak tangan/kaki basah, mulut kering,
pusing, kepala terasa ringan, kesemutan, rasa mual, rasa aliran panas atau
dingin, sering buang air seni, diare, rasa tidak enak di ulu hati, kerongkongan
tersumbat, muka merah atau pucat, denyut nadi dan nafas yang cepat waktu
istirahat.
Tiap manusia pasti mempunyai rasa cemas. rasa cemas ini biasanya
terjadi pada saat adanya kejadian atau peristiwa tertentu, maupun dalam
menghadapi suatu hal. Misalkan, orang merasa cemas, ketika tampil
dihadapan banyak orang atau ketika sebelum ujian berlangsung, dan masih
banyak lagi. Kecemasan yang dimiliki seseorang seperti diatas adalah normal.
dan bahkan kecemasan ini perlu dimiliki oleh manusia. akan tetapi kecemasan
berubah menjadi abnormal ketika kecemasan yang ada dalam diri individu
menjadi berlebihan atau melebihi dari kapasitas umumnya.
Individu yang mengalami gangguan seperti ini bisa dikatakan
mengalami anxiety disorder (gangguan kecemasan) yaitu ketakutan yang
berlebihan dan sifatnya tidak rasional. Seseorang dikatakan menderita anxiety
disorder apabila kecemasan atau anxietas ini mengganggu aktivitas dalam
kehidupan dari diri individu tersebut. salah satunya terganggunya fungsi
sosial dalam diri individu. Misalnya, kecemasan yang berlebihan ini
menghambat diri seseorang untuk menjalin hubungan akrab antar individu
maupun kelompoknya.
Tipe-Tipe Gangguan Kecemasan.

45
Kesehatan Mental
Anxiety disorder memiliki bebrapa pembagian yang lebih spesifik.
diantaranya:
1. Fobia
Fibia adalah ketakutan yang berlebihan yang disebabkan oleh benda,
binatang ataupun peristiwa tertentu. sifatnya biasanya tidak rasional, dan
timbul akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami individu. Fobia juga
merupakan penolakan berdasar ketakutan terhadap benda atau situasi yang
dihadapi, yang sebetulnya tidak berbahaya dan penderita mengakui bahwa
ketakutan itu tidak ada dasarnya. Ada beberapa macam Fobia:
a. Fobia Spesifik adalah ketakutan berlebih yang disebabkan oleh benda,
atau peristiwa traumatik tertentu, misalnya: ketakutan terhadap kucing
(ailurfobia), ketakutan terhadap ketinggian (acrofobia), ketakutan terhadap
tempat tertutup (agorafobia), fobia terhadap kancing baju, dsb.
b. Fobia Sosial adalah ketakutan berlebih pada kerumunan atau tempat
umum. ketakutan ini disebabkan akibat adanya pengalaman yang traumatik
bagi individu pada saat ada dalam kerumunan atau tempat umum. misalnya
dipermalukan didepan umum, ataupun suatu kejadian yang mengancam
dirinya pada saat diluar rumah.69
2. Obsesif Kompulsif
Seperti contoh Kasus dibawah ini: X adalah seorang remaja madya yang
saat ini sedang kuliah disuatu universitas. sudah beberapa hari ini ia
mempunyai kebiasaan aneh yang tidak bisa ia hentikan. kebiasannya adalah
mencuci tangannya lebih dari 10x dalam satu hari. teman-temannya juga
heran mengapa ia berperilaku seperti itu. ketika ia berkonsultasi kepada
psikolog sekolahnya ia baru tahu apa yang terjadi padanya. psikolog
menanyainya apa yang menyebabkannya seperti itu, lalu X mulai
menceritakan kejadian apa yang sebenarnya ia lakukan.X adalah kakak dari A.
saat kecil keduanya pernah bertengkar, X tanpa sengaja mengambil gunting
dan menorehkannya ke lengan adiknya,A. akibatnya lengan A terluka dan
menyebabkannya cacat. peristiwa ini membuatnya bersalah dan ia terus
menerus memikirkan kesalahannya ini (obsesif), dan tiap kali ia mengingatnya
ia akan mencuci tangannya berulang-ulang. (kompulsif).
Berdasarkan cerita diatas, kita bisa melihat bahwa obsesif adalah
pemikiran yang berulang dan terus-menerus. Sedangkan kompulsif adalah
pelaksanaan dari pemikirannya tersebut. Perilaku ini merupakan ritual
pembebasan dari dosa pada orang tersebut. dengan mencuci tangan ia
berharap bisa membersihkan dari dosa yang telah ia perbuat. obsesif
kompulsif ini biasanya cenderung pada perilaku bersih-bersih. Perilaku seperti

69
Supratinya,A. Mengenal Perilaku Abnormal, (Yogyakarta: Kanisius.
LAB/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1995), h.7-8

46
Kesehatan Mental
ini sebenarnya banyak terjadi pada lingkungan kita tetapi, kita kadang malah
menganggap perilaku ini wajar.
3. Post Traumatik-Stress Disorder (PTSD/ Gangguan Stress Pasca Trauma)
PTSD merupakan kecemasan akibat peristiwa traumatik yang biasanya
dialami oleh veteran perang atau orang-orang yang mengalami bencana alam .
PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah kejadian dan biasanya diawali
dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat
mengembangkan PTSD. Simtom dan diagnosis:
Akibat kejadian traumatik atau bencana yang tingkatnya sangat buruk:
perkosaan, peperangan, bencana alam, ancaman yang serius terhadap orang
yang sangat dicintai, melihat orang lain disakiti atau dibunuh. Akan berakibat
tidak dapat konsentrasi, mengingat, tidak dapat santai, impulsif, mudah
terkejut, gangguan tidur, cemas, depresi, mati rasa; hal-hal yang
menyenangkan tidak menarik lagi, ada perasaan asing terhadap orang-lain
dan yang lampau. Kalau trauma dialami bersama orang lain, dan yang lain
mati: ada rasa bersalah, sering terjadi mimpi buruk atau gangguan tidur.
Gangguan pasca trauma dapat akut, kronis atau lambat, trauma akibat
orang, perang, serangan fisik atau penganiayaan berlangsung lebih lama
daripada trauma setelah bencana alam. Simtom memburuk jika dihadapkan
kepada situasi yang mirip. Dapat terjadi pada anak dan orang dewasa. Simtom
pada anak: mimpi tentang monster atau perubahan tingkah laku: ramai
pendiam Riwayat psikopatologi pada keluarga memegang peranan Perlakuan
Dapat melalui terapi kelompok. Dengan cara ini penderita mendapatkan
support dari teman-temannya.
4. GAD (Generalized Anxiety Desease: Gangguan Kecemasan
Tergeneralisasikan)
Tanda-tanda; kecemasan kronis terus menerus rnencakup situasi hidup
(cemas akan terjadi kecelakaan, kesulitan finansial). Ada keluhan somatik:
berpeluh, merasa panas, jantung berdetak keras, perut tidak enak, diare,
sering buang air kecil, dingin, tangan basah, mulut kering, tenggorokan
terasa tersumbat, sesak nafas, hiperaktivitas sistem saraf otonomik. Merasa
ada gangguan otot: ketegangan atau rasa sakit pada otot terutama pada leher
dan bahu, pelupuk mata berkedip terus, bcrgetar, mudah lelah, tidak mampu
untuk santai, mudah terkejut, gelisah, sering berkeluh. Cemas akan terjadinya
bahaya, cemas kehilangan kontrol, cemas akan mendapatkan.serangan
jantung, cemas akan mati. Sering penderita tidak sabar, mudah marah, tidak
dapat tidur, tidak dapat konsentrasi.
5. Gangguan Panik
Tanda-tanda: sekonyong-sekonyong\sesak nafas, detak jantung keras,
sakit di dada, merasa tercekik, pusing, berpeluh, bergetar, ketakutan yang

47
Kesehatan Mental
sangat akan teror, ketakutan akan ada hukuman. Depersonalisasi dan
derealisasi: perasaan ada di luar badan, merasa dunia tidak nyata, ketakutan
kehilangan kontrol, ketakutan menjadi gila, takut akan mati. Terjadinya:
sering, sekali seminggu atau lebih sering. Beberapa menit. Dihubungkan
dengan situasi khusus, misalnya mengendarai mobil. 70
Terapi Gangguan Kecemasan
Pendekatan-pendekatan psikologis berbeda satu sama lain dalam
tekhnik dan tujuan penanganan kecemasan. Tetapi pada dasarnya berbagai
tekhnik tersebut sama-sama mendorong klien untuk menghadapi dan tidak
menghindari sumber-sumber kecemasan mereka. Dalam menangani gangguan
kecemasan dapat melalui beberapa pendekatan :
1.Pendekatan-Pendekatan Psikodinamika
Dari perspektif psikodinamika, kecemasan merefleksikan energi yang
dilekatkan kepada konflik-konflik tak sadar dan usaha ego untuk
membiarkannya tetap terepresi. Psikoanalisis tradisional menyadarkan bahwa
kecemasan klien merupakan simbolisasi dari konflik dalam diri mereka.
Dengan adanya simbolisasi ini ego dapat dibebaskan dari menghabiskan
energi untuk melakukan represi. Dengan demikian ego dapat memberi
perhatian lebih terhadap tugas-tugas yang lebih kreatif dan memberi
peningkatan. Begitu juga dengan yang modern, akan tetapi yang modern lebih
menjajaki sumber kecemasan yang berasal dari keadaaan hubungan sekarang
daripada hubungan masa lampau. Selain itu mereka mendorong klien untuk
mengembangkan tingkah laku yang lebih adaptif.
2.Pendekatan-Pendekatan Humanistik
Para tokoh humanistik percaya bahwa kecemasan itu berasal dari
represi sosial diri kita yang sesungguhnya. Kecemasan terjadi bila
ketidaksadaran antara inner self seseorang yang sesungguhnya dan kedok
sosialnya mendekat ke taraf kesadaran. Oleh sebab itu terapis-terapis
humanistik bertujuan membantu orang untuk memahami dan
mengekspresikan bakat-bakat serta perasaan-perasaan mereka yang
sesungguhnya. Sebagai akibatnya, klien menjadi bebas untuk menemukan dan
menerima diri mereka yang sesunggguhnya dan tidak bereaksi dengan
kecemasan bila perasaan-perasaan mereka yang sesungguhnya dan
kebutuhan-kebutuhan mereka mulai muncul ke permukaan.
3.Pendekatan-Pendekatan Biologis.
Pendekatan ini biasanya menggunakan variasi obat-obatan untuk
mengobati gangguan kecemasan. Diantaranya golongan benzodiazepine
Valium dan Xanax (alprazolam). Meskipun benzodiazepine mempunyai efek
70
Lihat dalam Pedoman Diagnosis Dan Terapi (Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan RSUD
Dr. Soetomo., 1994), h. 26-27

48
Kesehatan Mental
menenangkan, tetapi dapat mengakibatkan depensi fisik. Obat antidepresi
mempunyai efek antikecemasan dan antipanik selain juga mempunyai efek
antidepresi. 71
4.Pendekatan-Pendekatan Belajar Efektifitas
Penanganan kecemasan dengan pendekatan belajar telah banyak
dibenarkan oleh beberapa riset. Inti dari pendekatan belajar adalah usaha
untuk membantu individu menjadi lebih efektif dalam menghadapi situasi
yang menjadi penyebab munculnya kecemasan tersebut.
Ada beberapa macam model terapi dalam pendekatan belajar,
diantaranya :
a) Pemaparan Gradual Metode ini membantu mengatasi fobia ataupun
kecemasan melalui pendekatan setapak demi setapak dari pemaparan aktual
terhadap stimulus fobik. Efektifitas terapi pemaparan sudah sangat terbukti,
membuat terapi ini sebagai terapi pilihan untuk menangani fobia spesifik.
Pemaparan gradual juga banyak dipakai pada penanganan agorafobia. Terapi
bersifat bertahap menghadapkan individu yang agorafobik kepada situasi
stimulus yang makin menakutkan, sasaran akhirnya adalah kesuksesan
individu ketika dihadapkan pada tahap terakhir yang merupakan tahap
terberat tanpa ada perasaan tidak nyaman dan tanpa suatu dorongan untuk
menghindar. Keuntungan dari pemaparan gradual adalah hasilnya yang dapat
bertahan lama. Cara Menanggulangi ataupun cara membantu memperkecil
kecemasan:
b) Rekonstruksi Pikiran Yaitu membantu individu untuk berpikir secara logis
apa yang terjadi sebenarnya. biasanya digunakan pada seorang psikolog
terhadap penderita fobia.
c) Flooding Yaitu individu dibantu dengan memberikan stimulus yang paling
membuatnya takut dan dikondisikan sedemikan rupa serta memaksa individu
yang menderita anxiety untuk menghadapinya sendiri.
d) Terapi Kognitif Terapi yang dilakukan adalah melalui pendekatan terapi
perilaku rasional-emotif, terapi kognitif menunjukkan kepada individu dengan
fobia sosial bahwa kebutuhan-kebutuhan irrasional untuk penerimaan-
penerimaan sosial dan perfeksionisme melahirkan kecemasan yang tidak perlu
dalam interaksi sosial. Kunci terapeutik adalah menghilangkan kebutuhan
berlebih dalam penerimaan sosial. Terapi kognitif berusaha mengoreksi
keyakinan-keyakinan yang disfungsional. Misalnya, orang dengan fobia sosial
mungkin berpikir bahwa tidak ada seorangpun dalam suatu pesta yang ingin
bercakap-cakap dengannya dan bahwa mereka akhirnya akan kesepian dan
terisolasi sepanjang sisa hidup mereka. Terapi kognitif membantu mereka
71
Lihat Panggabean, L. (2003). Pengembangan Kesehatan Perkotaan ditinjau dari Aspek Psikososial. (makalah).
Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat DepKes. H.5-7

49
Kesehatan Mental
untuk mengenali cacat-cacat logis dalam pikiran mereka dan membantu
mereka untuk melihat situasi secara rasional. Salah satu contoh tekhnik
kognitif adalah restrukturisasi kognitif, suatu proses dimana terapis
membantu klien mencari pikiran-pikiran dan mencari alternatif rasional
sehingga mereka bisa belajar menghadapi situasi pembangkit kecemasan.
e) Terapi Kognitif Behavioral (CBT) Terapi ini memadukan tehnik-tehnik
behavioral seperti pemaparan dan tehnik-tehnik kognitif seperti
restrukturisasi kognitif. Beberapa gangguan kecemasan yang mungkin dapat
dikaji dengan penggunaan CBT antara lain : fobia sosial, gangguan stres
pasca trauma, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif
dan gangguan panik. Pada fobia sosial, terapis membantu membimbing
mereka selama percobaan pada pemaparan dan secara bertahap menarik
dukungan langsung sehingga klien mampu menghadapi sendiri situasi
tersebut.72

4. Gangguan Kepribadian
Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian
(psikopatia) dan gejala-gejala neurosa berbentuk hampir sama pada orang-
orang dengan intelegensi tinggi ataupun rendah. Jadi boleh dikatakan bahwa
gangguan kepribadian neurose dan gangguan intelegensi sebagaian besar
tidak tergantung pada satu dan lain atau tidak berkorelasi. Klasifikasi
gangguan kepribadian: kepribadian paranoid, kepribadian afektif atau
siklotemik, kepribadian skizoid, kepribadian axplosif, kepribadian anankastik
atau obsesif-konpulsif, kepridian histerik, kepribadian astenik, kepribadian
antisosial, Kepribadian pasif agresif, kepribadian inadequat, Maslim (1998).
John C. Nemiah, MD, profesor psikiatri dari Harvard Medical School
dalam bukunya Foundations of Psychopathology menjelaskan istilah
narsisme berasal dari kata Narcissus, nama seorang pemuda tampan dalam
mitos Yunani kuno. Konon suatu hari Narcissus menangkap citra wajahnya
pada permukaan air yang tenang di hutan, dan sontak ia jatuh cinta pada diri
sendiri. Selanjutnya ia putus asa karena tidak mampu memenuhi apa yang
sangat diinginkannya; ia bunuh diri dengan sebilah belati. Dari tetesan
darahnya yang jatuh di dekat air, tumbuhlah bunga yang sampai sekarang
dikenal dengan nama Narcissus. Dari penjelasan di atas, tergambar adanya
kesulitan besar berhubungan dengan orang lain bila kita terlalu mengagumi
diri sendiri. Kekaguman pada diri sendiri yang berlebihan membuat kita selalu
72
Lihat selengkapnya dalam Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. (Bandung:
PT. Refika Aditama., 2005), h. 74-77

50
Kesehatan Mental
lapar untuk memuaskan kebutuhan dan kepentingan diri sendiri, selalu
mencari perhatian dan pujian, serta tidak peka terhadap perasaan dan
kebutuhan orang lain.
A. Pengertian Gangguan Kepribadian
Gangguan Kepribadian adalah pola-pola perilaku maladaptive yang
sifatnya kronis, dan sepenuhnya tidak merasakan gangguan (Meyer dan
Salmon, 1984). Beberapa ciri lain gangguan kepribadian antara lain adalah
kepribadian menjadi tidak fleksibel, tidak wajar atau tidak dewasa dalam
menghadapi stres dalam memecahkan masalah. Mereka umumnya tidak
kehilangan kontak dengan realitas dan tidak menunjukkan kekacauan perilaku
yang mencolok seperti pada penderita narsistik. Penderitaan ini biasanya
dialami oleh para remaja dan dapat berlangsung sepanjang hidup ( Atkinson
dkk., 1992).
Gangguan kepribadian narsissistik (narcissistic personality disorder)
atau cinta pada diri sendiri digambarkan sebagai orang yang memiliki rasa
kepentingan diri yang melambung (gradiositas) dan dipenuhi khayalan-
khayalan sukses bahkan saat prestasi mereka biasa saja, jatuh cinta pada
dirinya sendiri karena merasa mempunyai diri yang unik, selalu mencari
pujian dan perhatian, serta tidak peka terhadap kebutuhan orang lain,
malahan justru seringkali mengeksplorasinya. ( Atkinson dkk., 1992). Dan
mereka juga beranggapan bahwa dirinya spesial dan berharap mendapatkan
perlakuan yang khusus pula. Oleh karena itu, mereka sangat sulit atau tidak
dapat menerima kritik dari orang lain. Mereka selalu ingin mengerjakan
sesuatu sesuai dengan cara yang sudah mereka tentukan dan seringkali
ambisius serta mencari ketenaran. Sikap mereka ini mengakibatkan hubungan
yang mereka miliki biasanya rentan (mudah pecah) dan mereka dapat
membuat orang lain sangat marah karena penolakan mereka untuk mengikuti
aturan yang telah ada. Mereka juga tidak mampu untuk menampilkan empati,
kalaupun mereka memberikan empati atau simpati, biasanya mereka memiliki
tujuan tertentu untuk kepentingan diri mereka sendiri, atau dengan kata lain
mereka bersifat self-absorbed.
Meski mereka berbagi ciri tertentu dengan kepribadian histrionik,
seperti tuntutan untuk menjadi pusat perhatian, mereka memiliki pandangan
yang jauh lebih membanggakan tentang diri mereka sendiri dan kurang
melodramatik dibanding orang dengan kepribadian histrionik. Label
gangguan kepribadian ambang (BPD) terkadang dikenakan pada mereka,
namun orang dengan kepribadian narsistik umumnya dapat mengorganisasi
pikiran dan tindakan mereka dengan lebih baik. Mereka cenderung lebih
berhasil dalam karier mereka dan lebih bisa meraih posisi dengan status

51
Kesehatan Mental
tinggi dan kekuasaan. Hubungan mereka juga cenderung lebih stabil
dibanding dengan orang BPD.
Walaupun lebih dari setengah orang yang didiagnosis dengan gangguan
ini adalah laki-laki, kita tidak dapat mengatakan bahwa ada perbedaan gender
yang mendasar pada tingkat prevalensi dalam populasi umum. Derajat
tertentu dari narsisme dapat mencerminkan penyesuaian diri yang sehat akan
rasa tidak aman, sebuah tameng akan kritik dan kegagalan, atau motif untuk
berprestasi (Goleman, 1988). Kualitas narsistik yang berlebihan dapat menjadi
tidak sehat, terutama bila kelaparan akan pemujaan yang menjadi
keserakahan.
b. Ciri-Ciri Gangguan
Menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
Fourth Edition) individu dapat dianggap mengalami gangguan kepribadian
narsissistik jika ia sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) dari 9 (sembilan) ciri
kepribadian sebagai berikut:
1. Merasa Diri Paling Hebat
2. Seringkali memiliki rasa iri pada orang lain atau menganggap bahwa orang
lain iri kepadanya (is often envious of others or believes that others are
envious of him or her).
3. Fantasi Kesuksesan & Kepintaran
4. Sangat Ingin dikagumi (requires excessive admiration).
5. Kurang empati (lacks of empathy: is unwilling to recognize or identify with
the feelings and needs of others).
6. Merasa Layak Memperoleh Keistimewaan (has a sense of entitlement).
7. Angkuh dan Sensitif Terhadap Kritik (shows arrogant, haughty behavior or
attitudes).
8. Kepercayaan Diri yang Semu
9. Yakin bahwa dirinya khusus, unik dan dapat dimengerti hanya oleh atau
harus dengan orang atau institusi yang khusus atau memiliki status
tinggi.73
Secara sains tidak ditemukan sebab-sebab yang sifatnya
mengungkapkan narsistik, tapi banyak riset yang mengungkapkan bahwa ada
faktor tertentu yang menandakan bahwa seseorang itu memiliki gangguan
kepribadian narsistik antara lain:
1. merasa dirinya sangat penting dan ingin dikenal oleh orang lain
2. merasa diri unik dan istimewa
3. Suka dipuji dan jika perlu memuji diri sendiri
4. kecanduan difoto atau di shooting

73
Lihat Fausiah, F & Widury, J. 2005.Psikologi Abnormal Klinis Dewasa (Jakarta : Universitas Indonesia,
2005), h. 47-51

52
Kesehatan Mental
5. suka berlama lama di depan cermin
6. kebanggan berlebih
7. Eksploitatif secara interpersonal(is interpersonally exploitative), yaitu
mengambil keuntungan dari orang lain demi kepentingan diri sendiri.
8. Perilaku congkak/ sombong.74
Spencer A Rathus dan Jeffrey S. Nevid menyebutkan dalam bukunya,
Abnormal Psychology (2000) bahwa orang yang Narcissistic memandang
dirinya dengan cara yang berlebihan. Mereka senang sekali menyombongkan
dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian. Hal tersebut dapat
berupa kekaguman yang berlebihan terhadap wajah sendiri atau dapat pula
terhadap bagian tubuh tertentu seperti menyukai bentuk mata, bentuk bibir,
betis dsb.Kebutuhan untuk diperhatikan dapat pula menjadikan seseorang
rentan terhadap kekurangan fisik. Ada yang merasa sangat tidak nyaman gara
gara jerawat bandel, ada merasa perlu dandan total, walaupun cuma mau ke
pasar.75
Contoh Kasus:
David berprofesi sebagai pengacara dan berusia awal 40an. Dia
pertama kali datang mengunjungi psikolog untuk mengatasi mood negatifnya.
Sejak awal pertemuan tampak bahwa David sangat menaruh perhatian pada
penampilannya. Dia secara khusus menanyakan pendapat terapis mengenai
baju setelan model terbaru yang dikenakannya dan juga sepetu barunya.
David juga bertanya kepada terapis tentang mobil yang digunakan dan berapa
banyak klien kelas atas yang ditangani oleh terapis tersebut. David sangat
ingin memastikan bahwa dia sedang berhubungan dengan seseorang yang
terbaik bidangnya. David bercerita tentang kesuksesannya dalam bidang
akademis dan olahraga, tanpa mampu memberikan bukti apapun yang
memastikan keberhasilannya. Selama bersekolah di sekolah hukum, dia
adalah seorang work- aholic, penuh akan fantasi akan keberhasilannya hingga
tidak memiliki waktu untuk isterintya. Setelah anak mereka lahir, David
semakin sedikit menghabiskan waktu dengan keluarganya. Tidak lama setelah
dia memliki pekerjaan yang mapan, David menceraikan isterinya karena tidak
lagi membutuhkan bantuan ekonomi dario sang istri. Setelah perceraian
tersebut, David memutuskan bahwa dia benar-benar bebas untuk menikmati
hidupnya. Dia sangat suka menghabiskan uang untuk dirinya sendiri,
misalnya dengan menghias apaartemennya dengan berbagai benda-benda
yang sangat menarik perhatian. Dia juga seringkali berhubungan dengan
wanita-wanita yang sangat menarik. Dalam pergaulannya, David merasa
74
Lihat Ibid., h. 54
75
Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal jilid 1. (Jakarta : Erlangga, 2003), h.. 72-
74

53
Kesehatan Mental
nyaman apabila dirinya menjadi pusat perhatian semua orang. Dia pun
merasa nyaman ketika dia berfantasi mengenai kepopuleran yang akan
diraihnya, mendapatkan suatu penghargaan, ataupun memiliki kekayaan
berlimpah (sumber : Barlow & Durant, 1995).
Dengan Individu dengan gangguan kepribadian narsisitik tidak memiliki
self-esteem yang mantap dan mereka rentan untuk menjadi depresi. Masalah-
masalah yang biasanya muncul karena tingkah laku individu yang narsistik
misalnya sulit membina hubungan interpersonal, penolakan dari orang lain,
kehilangan sesuatu atau masalah dalam pekerjaan. Kesulitan lainnya adalah
mereka ternyata tidak mampu mengatasi stress mereka rasakan dengan baik.
Gangguan kepribadian narsistik merupakan gangguan yang kronis dan sulit
untuk mendapatkan perawatan. Mereka biasanya tidak dapat menerima
kenyataan bahwa usia mereka sudah lanjut, mereka tetap menghargai
kecantikan, kekuatan, dan usia muda secara tidak wajar. Oleh karena itu,
mereka lebih sulit untuk melewati krisis pada usia senja ketimbang individu
lain pada umumnya.
Pada penderita narsisme terdapat hubungan erat antara kebutuhan
narsistik dengan kemarahan, bila kebutuhan itu tidak terpuaskan maka akan
timbul reaksi tidak setuju dan marah ketika gagal mendapatkan sesuatu yang
kita inginkan. Kebutuhan dan tuntutannya atas orang lain lebih kuat dan lebih
sering dibanding orang dewasa yang berkepribadian matang. Akibat adanya
perasaan lemah, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan yang dialami secara
intensif; dan seringnya terjadi ketidakpuasan (kekecewaan); ia mulai
berharap, seringkali mencari, menyeberang ke orang lain, dan makin kuat
sensitivitasnya terhadap penolakan sehingga reaksi-reaksi kemarahannya
sangat kuat. Ini bertentangan dengan harapannya untuk menjadi orang yang
baik dan mencintai, sehingga menambah perasaan ketidakcakapan,
ketidakberdayaan, dan rasa bersalah.
Penderita narsisme terjebak dalam lingkaran setan, di mana sebuah
tindakan dapat membuat mereka semakin mengalami kesulitan. Kondisi
psikologis ambivalen (atau keadaan memiliki hubungan yang ambivalen
dengan seseorang yang penting) seperti itu, jelas bukan keadaan yang
nyaman. Nemiah juga menjelaskan bahwa penderita narsisme besar
kemungkinannya menderita kesulitan emosional, bila dihadapkan pada
kematian individu tempat dirinya bergantung dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhan narsistiknya.
c. Metode Penanganan
Adakah cara untuk keluar dari gamgguan kepribadian narsisme? Tentu
saja yaitu dengan mengambil jalur lain; tidak mengikuti dorongan emosi atau
dorongan bertindak yang diarahkan oleh narsisme. Untuk itu diperlukan

54
Kesehatan Mental
kesediaan mengamati gerak-gerik emosi dan keinginan-keinginan di balik
perilaku kita dalam berhubungan dengan orang lain, supaya dorongan yang
egoistis dan tidak realistis dapat dikenali. Selain itu juga harus mulai belajar
berempati, membiasakan diri mengamati masalah dari perspektif orang
lain.Sedikitnya ada dua fakta yang bisa menjelaskan kesombongan di dalam
diri manusia. Yang pertama, semua orang tidak suka melihat kesombongan di
dalam diri orang lain. Kedua, tidak ada orang yang bisa menerima dengan
ikhlas apabila kesombongannya dikoreksi orang lain. Dalam Al-quran sifat-
sifat seperti itu harus ditinggalkan dan dihindari dalam hubungan kita dengan
sesama manusia, sebagaimana firman-Nya dalam surah Luqman (31), ayat 18
berbunyi:


Terjemahnya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri.76
Adapun proses atau solusi yang dapat kita lakukan:
1. Selalu menciptakan perbandingan positif. Artinya,kita melihat orang lain
sebagai makhluk yang piunya kelebihan dan mempunyai sesuatu materi
yang bisa kita bagikan untuk memperbaiki diri, siapapun orang itu.
2. Koreksi langsung. Terkadang kita memunculkan ucapan, perilaku dan
sifat-sifat yang mengandung kesombongan dan itu baru kita sadari setelah
kita renungkan.
3. Menumbuhkan dorongan untuk melaklukan learning (pembelajaran
hidup).
4. Belajar hidup sederhana. Sederhana disini bukan berati miskin atau
berpura-pura miskin. Sederhana adalah moderasi yang proporsional.
Sederhannya orang kaya adalah menghindari kefoya-foyaan atau berlebih-
lebihan untuk hal-hal yang manfaatnya kecil, sedangkan sederhannya
orang yang belum atau tidak kaya adalah menghindari munculnya nafsu
untuk mendapatkan kekayaan dengan cara yang menyengsarakan diri. Hal
ini agar kita tidak masuk kedalam perangkap hedonisme.
5. Belajar memilih ungkapan, penyingkapan dan keputusan yang
bersumber dari kerendahan hati (humble). Misalnya: melihat cara orang
lain, membaca buku, mengoreksi diri kita dimasa lalu dan lain. Karena
hukum paradoks yang bekerja didunia ini menggariskan bahwa ketika kita
humble,justru feed back yang muncul adalah sebaliknya, begitu juga
tinggi hati (arogant), feed back yang muncul sebaliknya lagi.

76
Departemen Agama, op.cit., h. 655

55
Kesehatan Mental

5. Gangguan Mental Organik


Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang
disebabkan oleh gangguan fungsi jaringan otak (Maramis,1994). Gangguan
fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang
terutama mengenai otak atau yang terutama diluar otak. Bila bagian otak
yang terganggu itu luas , maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama
saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian
otak dengan fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang
menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya.
Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan kepada
berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada pembagian akut
dan menahun.
Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat
suatu patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit
cerebrovaskuler, intoksifikasi obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah
gangguan otak dimana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara
umum (contohnya Skizofrenia. Depresi) Dari sejarahnya, bidang neurologi
telah dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut organik dan
Psikiatri dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut
fungsional.77
Didalam DSM IV diputusakan bahwa perbedaan lama antara gangguan
organik dan fungsional telah ketinggalan jaman dan dikeluarkan dari tata
nama. Bagian yang disebut Gangguan Mental Organik dalam DSM III-R
sekarang disebut sebagai Delirium, Demensia, Gangguan Amnestik Gangguan
Kognitif lain, dan Gangguan Mental karena suatu kondisi medis umum yang
tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain.78
Menurut PPDGJ III gangguan mental organik meliputi berbagai
gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat
dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat
disfungsi otak Disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan
ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti
pada gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah
satu dari beberapa organ atau sistem tubuh .79

77
Lihat W.F.Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa (Cet. VI;Surabaya: Airlangga University Press, 1992), h.
179-211.
78
Lihat Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, edisi ketujuh,
jilid 1. (Jakarta: Binarupa Aksara,1997), h. 502-540.
79
Lihat Kapita Selekta Kedoktera, Edisi ketiga, jilid 1. (Jakarta: Media Aesculapsius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2001), h. 189-192.

56
Kesehatan Mental
PPDGJ II membedakan antara Sindroma Otak Organik dengan
Gangguan Mental Organik. Sindrom Otak Organik dipakai untuk menyatakan
sindrom (gejala) psikologik atau perilaku tanpa kaitan dengan etiologi.
Gangguan Mental Organik dipakai untuk Sindrom Otak Organik yang
etiolognnya (diduga) jelas Sindrom Otak Organik dikatakan akut atau
menahun berdasarkan dapat atau tidak dapat kembalinya (reversibilitas)
gangguan jaringan otak atau Sindrom Otak Organik itu dan akan berdasarkan
penyebabnya, permulaan gejala atau lamanya penyakit yang
menyebabkannya. Gejala utama Sindrom Otak Organik akut ialah kesadaran
yang menurun (delirium )dan sesudahnya terdapat amnesia, pada Sindrom
Otak Organik menahun (kronik) ialah demensia.80
Menurut PPDGJ III, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai
berikut :
l. Demensia pada penyakit Alzheimer
1.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini.
1.2.Demensia pada penvakit Alzheimer dengan onset lambat.
1.3.Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe
campuran.
1.4. Demensia pada penyakit Alzheimer Yang tidak tergolongkan ( YTT).
2. Demensia Vaskular
2.1.Demensia Vaskular onset akut.
2.2. Demensia multi-infark
2.3 Demensia Vaskular subkortikal.
2.4. Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
2.5. Demensia Vaskular lainnya
2.6. Demensia Vaskular YTT
3. Demensia pada penyakit lain yang diklasifikasikan di tempat lain (YDK)
3.1. Demensia pada penyakit Pick.
3.2. Demensia pada penyakit Creutzfeldt Jakob.
3. 3. Demensia pada penyakit huntington.
3.4. Demensia pada penyakit Parkinson.
3.5. Demensia pada penyakit human immunodeciency virus (HIV).
3.6. Demensia pada penyakit lain yang ditentukan (YDT) dan YDK
4. Demensia YTT.
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada 1-4
sebagai berikut :
1. Tanpa gejala tambahan.
2. Gejala lain, terutama waham.

80
Lihat Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993, h.3

57
Kesehatan Mental
3. Gejala lain, terutama halusinasi
4. Gejala lain, terutama depresi
5. Gejala campuran lain.
5. Sindrom amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
6. Delirium bukan akibat alkohol dan psikoaktif lain nya
6.1. Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia
6.2. Delirium, bertumpang tindih dengan demensia
6. 3. Delirium lainya.
6.4 DeliriumYTT.
7. Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit
fisik.
7.1. Halusinosis organik.
7.2. Gangguan katatonik organik.
7.3. Gangguan waham organik (lir-skizofrenia)
7.4. Gangguan suasana perasaan (mood, afektif) organik.
7.4.1. Gangguan manik organik.
7.4.2. Gangguan bipolar organik.
7.4.3. Gangguan depresif organik.
7.4.4. Gangguan afektif organik campuran.
7.5. Gangguan anxietas organik
7.6. Gangguan disosiatif organik.
7.7. Gangguan astenik organik.
7.8. Gangguan kopnitif ringan.
7.9. Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit
fisik lain YDT.
7.10. Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan
penyakit fisik YTT.
8. Gangguan keperibadian dan prilaku akibat penyakit, kerusakan dan fungsi
otak
8.1. Gangguan keperibadian organik
8.2. Sindrom pasca-ensefalitis
8.3. Sindrom pasca-kontusio
8.4. Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit,
kerusakan dan disfungsi otak lainnya.
8.5. Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit,
kerusakan dan disfungsi otak YTT.
9. Gangguan mental organik atau simtomatik YTT81
Menurut Maramis, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai
berikut:

81
Lihat Ibid., h. 5-9

58
Kesehatan Mental
1. Demensia dan Delirium
2. Sindrom otak organik karena rudapaksa kepala.
3. Aterosklerosis otak
4. Demensia senilis
5. Demensia presenilis.
6. Demensia paralitika.
7. Sindrom otak organik karena epilepsi.
8. Sindrom otak organik karena defisiensi vitamin, gangguan
metabolisme dan intoksikasi.
9. Sindrom otak organik karena tumor intra kranial.
Menurut DSM IV, klasifikasi gangguan mental organik sebagai berikut:
1. Delirium
1.1. Delirium karena kondisi medis umum.
1.2. Delirium akibat zat.
1.3. Delirium yang tidak ditentukan (YTT)
2. Demensia.
2.1. Demensia tipe Alzheimer.
2.2. Demensia vaskular.
2.3. Demensia karena kondisi umum.
2.3.1. Demensia karena penyakit HIV.
2.3.2. Demensia karena penyakit trauma kepala.
2.3.3. Demensia karena penyakit Parkinson.
2.3.4. Demensia karena penyakit Huntington.
2.3.5. Demensia karena penyakit Pick
2.3.6. Demensia karena penyakit Creutzfeldt Jakob
2.4. Demensia menetap akibat zat
2.5. Demensia karena penyebab multipeL
2.6. Demensia yang tidak ditentukan (YTT)
3. Gangguan amnestik
3.1.Gangguan amnestik karena kondisi medis umum.
3.2 Gangguan amnestik menetap akibat zat
3.3 Gangguan amnestik yang tidak ditentukan ( YTT )
4. Gangguan kognitif yang tidak ditentukan.82
Salah satu contoh gejala utama pada penyakit delirium adalah
kesadaran yang menurun. Gejala-gejala lain adalah penderita tidak mampu
mengenal orang dan berkomunikasi dengan baik, ada yang bingung atau
cemas, gelisah dan panik, ada pasien yang terutama berhalusinasi dan ada
yang hanya berbicara komat-kamit dan inkoherent. Pasien delirium yang
berhubungan dengan sindrom putus obat merupakan jenis hiperaktif yang

82
Lihat W.F Maramis, op.cit., h. 211-215

59
Kesehatan Mental
dapat dikaitkan dengan tanda-tanda otonom, seperti flushing, berkeringat,
takikardi, dilatasi pupil, nausca, mundan dan hipertermi. Orientasi waktu
seringkali hilang, sedangkan orientasi tempat dan orang mungkin terganggu
pada kasus yang berat. Pasien seringh mengalami Abromalitas dalam
berbahasa, seperti pembicaraan yang bertele-tele, tidak relevan dan
inkoheren. Fungsi kognitif lain yang mungkin terganggu adalah daya ingat
dan fungsi kognitif umum. Pasien mungkin tidak mampu membedakan
rangsang sensorik dan mengintegrasikannya sehingga sering merasa
terganggu dengan rangsang yang tidak sesuai atau timbul agitasi, gejala yang
sering tampak adalah marah, mengamuk dan ketakutan yang tidak beralasan,
pasien selalu mengalami gangguan tidur sehingga tampak mengamuk
sepanjang hari dan tertidur dimana saja .
Delirium biasanya hilang bila penyakit badaniah yang menyebabkannya
sudah sembuh, mungkin sampai kira-kira 1 bulan sesudahnya. Jika disebabkan
oleh proses langsung menyerang otak, bila proses itu sembuh, maka gejala-
gejalanya tergantung pada besarnya kerusakan yang ditinggalkan (gejala
neurologik/gangguan mental dengan gejala utama gangguan intelegensi).
Biasanya delirium muncul tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari) faktor
penyebabnya telah dapat diketahui dan dihilangkan, walaupun delirium
biasanya terjadi mendadak, gejala-gejala prodnormal mungkin telah terjadi
beberapa hari sebelumnya. Prognosa tergantung pada dapat atau tidak dapat
kembalinya penyakit yang menyebabkannya dan kemampuan otak untuk
menahan pengaruh penyakit itu .83
Adapun upaya-upaya /pendekatan dalam menangani gangguan mental
organik antara lain;
1. Pendekatan Medis pada Gangguan Mental
a). Sejak 2 abad terakhir, konsep gangguan mental sebagai penyakit yang
disebabkan oleh faktor natural dan dapat dijelaskan secara ilmiah
merupakan pandangan yang cukup dominan.
b). Para dokter berusaha menjelaskan bentuk dan jenis penyakit mental,
menemukan penyebabnya, ciri-cirinya dan mengembangkan metode
treatment yang tepat.
c). Anggapan dokter adalah bahwa setiap terjadi perilaku yang patologis
merupakan penyakit susunan saraf. Penelitian dalam hal ini sudah
banyak dilakukan.
d). Tradisi psikiatri medis paling terwakili oleh Emil Kraepelin (1855
1926). Ia mencoba mendaftar gejala-gejala yang tampak dari disfungsi
mental, kemudian mengklasifikasikan pasien berdasarkan pola simtom
dan mengidentifikasi serta mengklasifikasikan penyakit mental.

83
Lihat Ibid., h. 182

60
Kesehatan Mental
e). Kraepelin melabel 2 penyakit mental parah yang paling umum yakni
dementia praecox (sekarang lebih dikenal dengan sebutan skizofrenia,
dari istilah Eugen Bleuler) dan manic-depressive psychosis.
2. Pendekatan Psikologis pada Gangguan Mental
a. Psikopatologi tidak hanya mengetengahkan konsep penyakit
psychological functioning, tapi juga mengetengahkan bahwa gangguan
tersebut disebabkan oleh faktor-faktor psikologis.
b. Orientasi psikogenik muncul pada studi tentang histeria, yaitu suatu
kondisi neurotis yang sering ditandai dengan gejala fisik seperti, mati
rasa, kebutaan dan juga gejala behavioral seperti kehilangan memori,
kepribadian atau kondisi emosi yang tidak menentu. Pada abad 18 dan
19, di Eropa banyak dijumpai subjek yang mengalami simtom histeria
tersebut.
c. Untuk menjelaskan terjadinya histeria tersebut, muncul beberapa
pandangan yang berorientasi psikogenik. Salah satunya adalah dokter
Austria, Franz Anton Mesmer (1734 1815).
d. Studi tentang histeria ini menggunakan metode hipnotis. Di bawah
kondisi hipnotis, pasien dengan histeria dapat memunculkan kembali
simtom histeria yang biasanya muncul. Hipnotis kemudian menjadi
suatu metode yang penting dalam treatment psikologis, terutama
psikoanalisa yang biasa menggunakan asosiasi bebas dan interpretasi
mimpi untuk mengeksplorasi alam bawah sadar.
e. Selain hipnotis, metode lain yang digunakan untuk melakukan terapi
pada gangguan mental adalah katarsis yang dikenalkan oleh Josef
Breuer dan kemudian dikembangkan oleh Sigmund Freud.
f. Katarsis adalah suatu metode terapeutik dimana pasien diminta untuk
mengingat kembali dan melepaskan emosi yang tidak menyenangkan,
mengalami kembali ketegangan dan ketidakbahagiaannya dengan
tujuan untuk melepaskan dari penderitaan emosional.
g. Mesmer, Charcot, Breuer dan Freud mengembangkan metode hipnotis
dan katarsis. Hal itu menunjukkan adanya orientasi psikogenik terhadap
gangguan mental.84
3. Pendekatan Agama yaitu dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut:
- Sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar
- Puasa dapat meningkatkan ketakwaan dan kesehatan.
- Zakat dapat mendistribusikan kekayaaan dari mereka yang mampu
- Menutup aurat dan Jilbab dapat mencegah dari kejahatan seksual
- Sabar dan Shalat dapat menjadi penolong
- Tahajud dapat meningkatkan daya sembuh penyakit

84
Mike W.Martin, op.cit., h.126

61
Kesehatan Mental
- Wudhu dapat meredakan amarah
- Mandi sebelum tahajud dapat meningkatkan kecerdasan
- Shodaqoh dapat mencegah bala dan musibah
- Dzikir dapat meningkatkan ketentraman
- Membaca al-Quran meningkatkan ketenangan dan rasa bahagia
- Majelis ilmu dapat meningkatkan sakinah
- Seksual sehat dapat meningkatkan kasih sayang
- Silaturahmi memperluas jejaring rizki
- Tidur miring ke kanan posisi barat-utara memberi manfaat
- Meludah dan taawudz dapat menghilangkan pengaruh mimpi buruk
- Berdoa sebelum tidur menentramkan jiwa dan menghilangkan gangguan
sulit tidur/semacam imsomnia
- Berdoa setelah bangun tidur menghilangkan malas
- Memaafkan dapat melapangkan hati
- Ar-ruqyah dapat menghilangkan gangguan psikologis dan syetan
Selanjutnya pengobatan dilakukan dengan beberapa cara dengan
mempertimbangkan pengobatan somatis (berorientasi pada organ tubuh yang
mengalami gangguan), pengobatan secara psikologis (psikoterapi dan
sosioterapi) serta psikofarmakoterapi (penggunaan obat-obatan yang
berhubungan dengan psikologi). Metode mana yang kemudian dipilih oleh
dokter sangat tergantung pada jenis kasus dan faktor-faktor yang terkait
dengannya.
Pada kasus tahap awal, biasanya pengobatan hanya ditujukan kepada
faktor somatis (fisik). Hal ini dapat menyebabkan penyakit timbul kembali dan
yang lebih parah akan menurunkan kepercayaan pasien akan kemungkinan
penyakitnya sembuh yang sebenarnya akan memperparah kelainan
psikosomatiknya sendiri. Akan tetapi memang agak sulit untuk
membedakannya dengan gangguan psikosomatis sehingga baru dapat
dibedakan bila kejadiannya telah berulang. Disinilah perlunya psikoterapi
sebagai pendamping terapi somatik.
Psikoterapi bertujuan untuk menggali masalah-masalah psikologis yang
tersembunyi pada pasien dengan harapan setelah masalah-masalah tersebut
disingkirkan, keluhan fisik pasien dapat turut hilang. Pada keadaan tertentu
dimana terapi somatik dan psikoterapi telah dilakukan tetapi penyakit masih
menetap atau terus berulang perlu dipertimbangkan penggunaan
psikofarmaka (obat-obat yang biasa digunakan dalam bidang psikologi) karena
mungkin gangguan psikologis yang diderita berhubungan dengan kondisi
kimiawi di otak yang mengalami ketidakseimbangan.
Terapi psikofarmaka dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk
mengobati atau mengoreksi perilaku, pikiran, atau mood (keinginan) yang

62
Kesehatan Mental
mengalami gangguan akibat perubahan zat kimia atau cara fisik lainnya.
Hubungan antara keadaan fisik tubuh dengan otak pada satu sisi dan
pengaruhnya pada sisi lain sangatlah kompleks dan belumlah dimengerti
seluruhnya. Karena tidak lengkapnya pengetahuan tentang otak dan
gangguan yang mempengaruhinya, terapi obat gangguan mental adalah
bersifat empiris (bukti yang didapatkan setelah pemberian obat). Namun
demikian, banyak terapi organik yang langsung memperbaiki kelainan pada
otak telah terbukti sangat efektif dan merupakan terapi pilihan untuk kondisi
tertentu. Golongan obat psikofarmaka yang banyak dipergunakan adalah obat
tidur, obat penenang, dan antidepresan. Penggunaan jenis obat ini perlu
pengawasan yang ketat karena seringkali menimbulkan efek samping seperti
ketergantungan psikologis dan fisik yang dapat mengakibatkan keracunan
obat, depresi dan kehilangan sifat menahan diri, gangguan paru-paru,
gangguan psikomotoris dan iritatif (mudah marah, gelisah dan ansietas bila
obat dihentikan).85
Yang dapat anda lakukan: Lihat/ukur kemampuan sendiri. Belajar untuk
menerima dan mencintai diri sendiri seperti apa adanya. Temukan penyebab
perasaan negatif dan belajar untuk menangulanginya. Jangan memperberat
masalah dan coba untuk sekali-sekali mengalah terhadap orang lain meskipun
mungkin anda dipihak yang benar. Biarkan orang lain ikut memikirkan
masalah anda. Ceritakan kepada pasangan hidup, teman, supervisor atau
pemimpin agama. Mereka mungkin bisa membantu meletakkan masalah anda
sesuai dengan proporsinya dan menawarkan cara-cara pemecahan yang
berguna .Cobalah mandi dengan air hangat dan ramuan wewangian sebelum
tidur untuk menghilangkan stress sepanjang hari. Teknik relaksasi seperti
napas dalam, meditasi atau pijatan mungkin bisa membantu menghilangkan
stress.
Tips untuk mencegah terjadinya gangguan mental organik adalah
rencanakan perubahan-perubahan besar dalam kehidupan anda dalam jangka
lama dan beri waktu secukupnya bagi diri anda untuk menyesuaikan dari
perubahan satu ke yang lainnya. Rencanakan waktu anda dengan baik. Buat
daftar yang harus dikerjakan dan dilaksanakan sesuai urutan prioritas. Buat
keputusan dengan hati-hati. Pertimbangkan masak-masak segi baik atau
buruk sebelum memutuskan sesuatu. Bangun suatu sistim pendorong yang
baik dengan cara banyak berteman dan mempunyai keluarga yang bahagia.
Mereka akan selalu bersama anda dalam setiap kesulitan. Jaga kesehatan,
makan dengan baik, tidur cukup dan latihan olah raga secara teratur.
Rencanakan waktu untuk rekreasi dan teknik relaksasi seperti napas dalam,
meditasi atau pijatan mungkin bisa membantu menghilangkan stress.

85
Lihat Ibid., h. 137

63
Kesehatan Mental
Berolahragalah, bisa berupa aerobic; paling sedikit 3 kali dalam satu
minggu, selama 20-45 menit. Tingkatkan makan makanan yang kaya akan
karbohidrat (buah-buahan, sayuran, dan padi-padian) dan kurangi konsumsi
gula dan makanan yang telah dimurnikan. Kurangi konsumsi kopi, teh, dan
alkohol. Di pagi hari bukalah jendela kamar, dan mulailah hari Anda dengan
mengambil napas dalam-dalam, dan ulangilah bila Anda sedang mengalami
stress. Pertahankan hubungan baik dengan keluarga anda. Tetap pelihara
hubungan dengan teman-teman anda. Gunakan waktu anda sebaik-baiknya
dengan melakukan hobi anda atau melakukan sesuatu untuk orang lain.
Pertahankan agar pikiran anda tetap aktif dengan mengikuti hal-hal yang
baru.

6. Gangguan Psikosomatik
Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi
badaniah. Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan
sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh
yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat
disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena
biasanya hanya fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga
gangguan psikofisiologik.86
Gangguan psikosomatis adalah faktor psikologis yang merugikan,
mempengaruhi kondisi medis pasien. Faktor psikologis tersebut dapat berupa
gangguan mental, gejala psikologis, sifat kepribadian atau gaya mengatasi
masalah, dan prilaku kesehatan yang maladaptif.
- Kedokteran psikosomatis menyadari kesatuan dari pikiran dan tubuh
serta interaksi diantara keduanya, dimana faktor psikologis penting dalam
perkembangan semua penyakit, namun apakah peranannya dalam memulai,
perkembangan, memperberat dan eksaserbasi penyakit, predisposisi atau
reaksi terhadap suatu penyakit masih dalam perdebatan. Dengan demikian
kedokteran prilaku adalah istilah yang khusus untuk kedokteran
psikosomatis.87-
-Psikosomatis berasal dari dua kata yaitu psiko yang artinya psikis, dan
somatis yang artinya tubuh. Dalam Diagnostic And Statistic Manual of Mental
Disorders edisi ke empat (DSM IV) istilah psikosomatis telah digantikan
dengan kategori diagnostik faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi
medis.88

86
Lihat Ibid., h. 214-216
87
Lihat Grebb Saddock Kaplan, Sinopsis Psikiatri. Jilid II. Edisi ketujuh. (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1997), h.
276-303
88
Lihat Ibid., h. 304

64
Kesehatan Mental
Menurut Wittkower psikosomatis secara luas didefinisikan sebagai
usaha untuk mempelajari interelasi aspek-aspek psikologis dan aspek-aspek
fisis semua faal jasmani dalam keadaan normal maupun abnormal. Ilmu ini
mencoba mempelajari, menemukan interelasi dan interaksi antara fenomena
kehidupan psikis (jiwa) dan somatis (raga) dalam keadaan sehat maupun
sakit.89
Ada beberapa penyebab dari gangguan psikosomatis :
1. Stres Umum
Stres ini dapat berupa suatu peristiwa atau suatu situasi kehidupan
dimana individu tidak dapat berespon secara adekuat. Menurut Thomas
Holmes dan Richard Rahe, di dalam skala urutan penyesuaian kembali sosial
(social read justment rating scale) menuliskan 43 peristiwa kehidupan yang
disertai oleh jumlah gangguan dan stres pada kehidupan orang rata-rata.
Sebagai contohnya kematian pasangan 100 unit perubahan kehidupan,
perceraian 73 unit, perpisahan perkawinan 65 unit, dan kematian anggota
keluarga dekat 63 unit. Skala dirancang setelah menanyakan pada ratusan
orang dengan berbagai latar belakang untuk menyusun derajat relatif
penyesuaian yang diperlukan oleh perubahan lingkungan kehidupan.
Penelitian terakhir telah menemukan bahwa orang yang menghadapi stres
umum secara optimis bukan secara pesimis adalah tidak cenderung
mengalami gangguan psikosomatis, jika mereka mengalaminya mereka mudah
pulih dari gangguan.
2. Stres Spesifik Lawan Non Spesifik
Stres psikis spesifik dan non spesifik dapat didefenisikan sebagai
kepribadian spesifik atau konflik bawah sadar yang menyebabkan
ketidakseimbangan homeostatis yang berperan dalam perkembangan
gangguan psikosomatis. Tipe kepribadian tertentu yang pertama kali
diidentifikasi berhubungan dengan kepribadian koroner (orang yang memiliki
kemauan keras dan agresif yang cenderung mengalami oklusi miokardium).
3. Variabel Fisiologis
Faktor hormonal dapat menjadi mediator antara stres dan penyakit, dan
variabel lainnya adalah kerja monosit sistem kekebalan. Mediator antara stres
yang didasari secara kognitif dan penyakit mungkin hormonal, seperti pada
sindroma adaptasi umum Hans Selye, dimana hidrokortison adalah
mediatornya, mediator mungkin mengubah fungsi sumbu hipofisis anterior
hipotalamus adrenal dan penciutan limfoit. Dalam rantai hormonal, hormon
dilepaskan dari hipotalamus dan menuju hipofisis anterior, dimana hormon
tropik berinteraksi secara langsung atau melepaskan hormon dari kelenjar
89
Lihat Budihalim S, dan Sukatman D. Psikosamatis Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI
Jakarta, 1999), h. 591-592

65
Kesehatan Mental
endokrin lain. Variabel penyebab lainnya mungkin adalah kerja monosit sistem
kekebalan. Monosit berinteraksi dengan neuropeptida otak, yang berperan
sebagai pembawa pesan (messager) antara sel-sel otak. Jadi, imunitas dapat
mempengaruhi keadaan psikis dan mood.
--Proses emosi terdapat di otak dan disalurkan melalui susunan saraf
otonom vegetatif ke alat-alat viseral yang banyak dipersarafi oleh saraf-saraf
otonom vegetatif tersebut, seperti kardiovascular, traktus digestifus,
respiratorius, sistem endokrin dan traktus urogenital. 90
Adapun kriteria klinis penyakit psikosomatis terdiri atas kriteria yang
negatif dan kriteria yang positif.
1. Kriteria yang positif ( yang biasanya tidak ada)
a.. Tidak didapatkan kelainan-kelainan organik pada pemeriksaan yang teliti
sekalipun, walaupun mempergunakan alat-alat canggih. Bila ada kelainan
organik belum tentu bukan psikosomatik, sebab :
1).Bila penyakit psikosomatik tidak diobati, dalam jangka waktu yang
cukup lama dapat menimbulkan kelainan-kelainan organik pada alat-alat
yang dikeluhkan.
2). Secara kebetulan ada kelainan organik, tapi kelainan ini tidak dapat
menerangkan keluhan yang ada pada pasien tersebut, yang dinamakan
koinsidensi.
3). Sebelum timbulnya psikosomatis, telah ada lebih dahulu kelainan
organiknya tetapi tidak disadari oleh pasien. Baru disadari setelah
diberitahu oleh orang lain atau kadang-kadang oleh dokter yang
mengobatinya. Hal ini membuatnya menjadi takut, khawatir dan gelisah,
yang dinamakan iatrogen.91
b. Tidak didapatkan kelainan psikiatri. Tidak ada gejala-gejala psikotik yakni
tidak ada disintegrasi kepribadian, tidak ada distorsi realitas. Masih mengakui
bahwa dia sakit, masih mau aktif berobat.
2. Kriteria positif (yang biasanya ada)
a. Keluhan-keluhan pasien ada hubungannya dengan emosi tertentu
b. Keluhan-keluhan tersebut berganti-ganti dari satu sistem ke sistem lain,
yang dinamakan shifting phenomen atau alternasi.
c. Adanya vegetatif imbalance (ketidakseimbangan susunan saraf otonom)
d. Penuh dengan stress sepanjang kehidupan (stress full life situation)
yang menjadi sebab konflik mentalnya.
e. Adanya perasaan yang negatif yang menjadi titik tolak keluhan-
keluhannya.

90
Lihat Mansyur A, dkk. Gangguan Psikosomatis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. (Jakartta: Media
Aesculapius FK UI 1999), h. 228-231
91
Lihat Ibid., h. 232-234

66
Kesehatan Mental
f. Adanya faktor pencetus (faktor presipitasi) proksimal dari keluhan-
keluhannya.
g. Adanya faktor predisposisi yang dicari dari anamnesis longitudinal. Yang
membuat pasien rentan terhadap faktor presipitasi itu.
Faktor predisposisi dapat berupa faktor fisik / somatik, biologi, stigmata
neurotik, dapat pula faktor psikis dan sosiokultural. Kriteria-kriteria ini tidak
perlu semuanya ada tetapi bila ada satu atau lebih, presumtif, indikatif untuk
penyakit psikosomatis.92-
Manifestasi klinis
- Beberapa manifestasi klinis dari gangguan psikosomatis antara lain:
1. Terdapat suatu kondisi medis umum
2. Faktor psikologis secara merugikan mempengaruhi kondisi medis umum
dengan cara:
a. Faktor psikologis telah mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum
seperti yang ditunjukkan oleh hubungan temporal yang erat antara
faktor psikologis dan perkembangan atau eksaserbasi dari atau
keterlambatan penyembuhan dari kondisi medis umum.
b. Faktor psikologis mempengaruhi terapi kondisi medis umum
c. Faktor psikologis berperan dalam resiko kesehatan individu
d. Respon psikologis yang berhubungan dengan stres mencetuskan atau
mengeksasebasi gejala kondisi medis umum.93
- Yang dimaksud dengan faktor psikologis tersebut adalah:
a. Gangguan mental mempengaruhi kondisi medis (misalnya gangguan
depresi berat memperlambat penyembuhan infark miokard)
b. Gangguan psikologis mempengaruhi kondisi medis (misalnya
gejala depresi memperlambat pemulihan setelah pembedahan,
kecemasan mengeksasebasi asma)
c. Sifat kepribadian atau gaya menghadapi masalah mempengaruhi
kondisi medis (misalnya penyangkalan patologis terhadap kebutuhan
pembedahan pada seorang pasien dengan kanker, psikologi lain yang
tidak ditentukan mempengaruhi kondisi perilaku bermusuhan dan
tertekan berperan pada penyakit kardiovaskuler)
d. Gangguan kesehatan maladatif mempengaruhi kondisi medis
(misalnya tidak melakukan olahraga, seks yang tidak aman, makan
yang berlebihan)
e. Respon fisiologis yang berhubungan dengan stres mempengaruhi
kondisi medis (misalnya eksasebasi ulkus, hipertensi, aritmia, atau nyeri
kepala yang berhubungan dengan stres).

92
Lihat Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. (Surabaya: Airlangga University Press,1980), h.:339-341
93
Lihat Ibid., h. 345-347

67
Kesehatan Mental
f. Faktor medis (misalnya faktor personal, kultural atau religius).94-
Gangguan Spesifik pada Psikosomatis
- Ada beberapa gangguan spesifik yang dapat disebabkan oleh gangguan
psikis:
1. Sistem Kardiovaskuler
- Mekanisme yang terjadi pada psikosomatis dapat melalui rasa takut
atau kecemasan yang akan mempercepat denyutan jantung, meninggikan
daya pompa jantung dan tekanan darah, menimbulkan kelainan pada ritme
dan EKG. Kehilangan semangat dan putus asa mengurangi frekuensi, daya
pompa jantung dan tekanan darah.
- Gejala-gejala yang sering didapati antara lain: takikardia, palpitasi,
aritmia, nyeri perikardial, napas pendek, lelah, merasa seperti akan pingsan,
sukar tidur. Gejala- gejala seperti ini sebagian besar merupakan manifestasi
gangguan kecemasan.95
a. Penyakit arteri koroner
- Penyakit arteri koroner menyebabkan penurunan aliran darah ke
jantung yang ditandai oleh rasa tidak nyaman, tekanan pada dada dan jantung
episodik. Keadaan ini biasanya ditimbulkan oleh penggunaan tenaga dan stres
dan dihilangkan oleh istirahat atau nitrogliserin sublingual.
- Flanders Dunbar menggambarkan pasien dengan penyakit jantung
koroner sebagai kepribadian agresif-kompulsif dengan kecenderungan bekerja
dengan waktu yang panjang dan untuk meningkatkan kekuasaan. Meyer
Fiedman dan Ray Rosenman mendefinisikan kepribadian tipe A tipe B.
Kepribadian tipe A adalah berhubungan erat dengan perkembangan penyakit
jantung koroner. Mereka adalah orang yang berorientasi tindakan berjuang
keras untuk mencapai tujuan yang kurang jelas dengan cara permusuhan
kompetitif. Mereka sering agresif, tidak sabar, banyak bergerak dan berjuang
dan marah jika dihalangi. Kepribadian tipe B adalah kebalikannya. Mereka
cenderung santai, kurang agresif, kurang aktif berjuang mencapai
tujuannya.96
- Untuk menghilangkan ketegangan psikis yang berhubungan dengan
penyakit, klinisi menggunakan obat psikotropika, contohnya diazepam. Terapi
medis harus suportif dan menentramkan, dengan suatu penekanan psikologis
untuk menghilangkan stres psikis, kompulsivitas dan ketegangan.

b. Hipertensi esensial

94
Lihat Ibid., h. 348-349
95
Lihat Budihalim S. Mudjadid. Kedokteran Psikosamatis. Dalam : buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II
edisi IV.(Jakarta: FK UI Jakarta 2006), h.: 903-908
96
Lihat Ibid., h. 909-910

68
Kesehatan Mental
- Orang dengan hipertensi tampak dari luar menyenangkan, patuh dan
kompulsif walaupun kemarahan mereka tidak di ekspresikan secara terbuka,
mereka memiliki kekerasan yang terhalangi, yang ditangani secara buruk.
Mereka tampak memiliki presdiposisi untuk hipertensi, yaitu bila terjadi stres
kronis pada kepribadian kompulsif yang terpresdiposisi secara genetik yang
telah merepresi dan menekan kekerasan, dapat terjadi hipertensi. Keadaan ini
cenderung terjadi pada kepribadian tipe A.97
- Psikoterapi supotif dan dan teknik perilaku ( biofeedback, meditasi,
terapi relaksasi) telah dilaporkan berguna dalam pengobatan hipertensi.
c. Gagal jantung kongestif
- Faktor psikologis seperti stres, dan konflik emosional non spesifik,
sering kali bermakna dalam memulai atau eksaserbasi gangguan. Intinya
bahwa psikoterapi suportif adalah penting pada pengobatannya.
d. Sinkop vasomotor (vasodepressor)
- Sinkop vasomotor ditandai oleh kehilangan kesadaran secara tiba-tiba
yang disebabkan oleh serangan vasovagal. Rasa khawatir atau takut akut
menghambat impuls untuk berkelahi atau melarikan diri, dengan demikian
menampung darah di anggota gerak bawah, dari vasodilatasi pembuluh darah
didalam tungkai. Reaksi tersebut menyebabkan penurunan pasokan darah ke
otak, sehingga terjadi hipoksia otak dan kehilangan kesadaran.

e. Aritmia jantung
Aritmia yang potensial membahayakan hidup kadang-kadang terjadi
dengan luapan emosional dan trauma emosional. Terapi yang digunakan untuk
membantu melindungi terhadap aritmia akibat emosi adalah psikotropika dan
obat penghambat Beta seperti propanolol.
f. Fenomena Raynaud
- Fenomena Raynaud seringkali disebabkan oleh stres eksternal. Terapi
dapat diobati dengan psikotropika suportif, relaksasi progesif atau
biofeedback dan dengan melindungi tubuh dari dingin dan menggunakan
sedatif ringan.
g. Jantung psikogenik bukan penyakit
- Beberapa pasien adalah bebas dari penyakit jantung tetapi masih
mengeluh gejala yang mengarah ke jantung. Mereka seringkali menunjukkan
keprihatinan morbid tentang jantung mereka dan rasa takut akan penyakit
jantung yang meningkat. Rasa takut mereka dapat terentang dari masalah

97
Lihat Sukatman D, Budihalim S, Biran S.I. Aspek Psikosomatis Gangguan Pernafasan. Dalam : Ilmu
Penyakit Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI ,1999), h.:614-620

69
Kesehatan Mental
kecemasan yang dimanifestasikan oleh fobia atau hipokondriasis parah,
sampai pada keyakinan waham bahwa mereka menderita penyakit jantung. 98
- Pengobatan psikofarmaka ditujukan pada gejala yang menonjol. Obat
antiansietas dapat digunakan pada kecemasan yang berat.
2. Sistem pernafasan
a. Asma bronkialis
- Faktor genetik, alergik, infeksi, stres akut dan kronis semuanya
berperan dalam menimbulkan penyakit. Stimuli emosi bersama dengan alergi
penderita menimbulkan konstriksi bronkioli bila sistem saraf vegetatif juga
tidak stabil dan mudah terangsang. Walaupun pasien asma karateristiknya
memiliki kebutuhan akan ketergantungan yang berlebihan, tidak ada tipe
kepribadian yang spesifik yang telah diindentifikasi. Pasien asmatik harus
diterapi dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu antara lain menghilangkan
stres, penyesuaian diri, menghilangkan alergi serta mengatur kerja sistem
saraf vegetatif dengan obat-obatan.
b. Hay fever
- Faktor psikologis yang kuat berkombinasi dengan elemen energi untuk
menimbulkan Hay Fever. Faktor psikiatrik, medis, dan alergik harus
dipertimbangkan sebagai terapi hay fever.
c. Sindroma hiperventilasi
-Sindroma hiperventilasi disebut juga dispneu nerveous (freud), pseudo
asma, distonia pulmonal (hochrein). Gambaran klinis berupa:
1). Parastesia, terutama pada ujung tangan dan kaki
2). Gejala-gejala sentral seperti gangguan penglihatan berupa mata kabur
yang dikenal sebagai Blury eyes. Penderita juga mengeluh bingung,
sakit kepala dan pusing
3). Keluhan pernafasan seperti dispneu, takipneu, batuk kering, sesak dan
perasaan tidak dapat bernafas bebas
4). Keluhan jantung. Sering dijumpai kelainan yang menyerupai angina
pektoris dan juga ditemukan pada kelainan fungsional jantungdan
sirkulasi
5). Keluhan umum, seperti kaki dan tangan dingin yang sangat menganggu,
cepat lelah, lemas, mengantuk, dan sensitif terhadap cuaca
d. Tuberkulosis
- Onset dan perburukan tuberkulosis sering kali berhubungan dengan
stres akut dan kronis. Faktor psikologis mempengaruhi sistem kekebalan dan
mungkin mempengaruhi daya tahan pasien terhadap penyakit. Psikoterapi

98
Lihat Ibid., h. 621-624

70
Kesehatan Mental
suportif adalah berguna karena peranan stres dan situasi psikososial yang
rumit.99
3. Sistem gastrointestinal
a. Gastritis
- Kriteria psikologis diperlukan karena diagnosis dengan penemuan
negatif organis dan keluhan vegetatif tidak mencukupi. Dari evaluasi psikis
ditemukan:7
1). Gejala bersifat neurosis
2). Depresi dan anxietas
3). Berkeinginan untuk dirawat dan dimanja dan untuk memiliki
objek yang diinginkan
b. Ulkus peptikum
- Sifat kepribadian ulkus menjadi faktor presdiposisi. Sifat kepribadian itu
antara lain:1,8
1). Tingkah laku
- Orang tersebut biasanya tegang, selalu was-was, sangat aktif dalam
berbagai bidang. Tidak mudah menerima kenyataan bila dia gagal
2). Kepandaian
- Mempunyai kepandaian dalam berbagai bidang yang dikerjakan
sekaligus pada waktu yang bersamaan
3). Pertanggungjawaban
- Mempunyai tanggung jawab yang sangat besar bahkan sampai
memikirkan pekerjaan orang lain
4). Pengenalan terhadap penyakitnya
- Tidak menghiraukan penyakitnya, sering terlambat makan, merasa sakit
ulu hati tapi masih mau bekerja terus, sering datang terlambat ke
dokter
5). Umur
- Terbanyak pada usia 30-an, karena banyak faktor stres, kesulitan dalam
bidang ekonomi dan keluarga
6). Jenis kelamin/ bangsa
- laki-laki lebih sering dibandingkan wanita. Kulit hitam lebih jarang
dibandingkan kulit putih
7). Faktor sosial
- Sering ditemukan dikota besar dan daerah industri. 100

99
Lihat Budihalim S, Sukatman D. Sindrom Fungsional pada traktus Digestivus. Dalam : Ilmu Penyakit
Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI 1999), h. 623-624

100
Lihat Budihalim S, Aspek Psikosomatis Ulkus Peptik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II (Jakarta: FK
UI ,1999), h., 628-629

71
Kesehatan Mental
- Stres dan kecemasan yang disebabkan oleh berbagai konflik yang tidak
spesifik dapat menyebabkan hiperasiditas lambung dan hipersekresi pepsin,
yang menyebabkan suatu ulkus. Psikoterapi merupakan terapi yang dapat
dipakai untuk konflik ketergantungan pasien. Biofeedback dan terapi relaksasi
mungkin berguna. Terapi medis lain yang digunakan adalah cimetidine,
famotidine.
c. Kolitis ulserativa
- Tipe kepribadian dari pasien dengan Kolitis ulserativa menunjukkan
sifat kompulsif yang menonjol. Pasien cenderung pembersih, tertib, rapi, tepat
waktu, hiperintelektual, malu-malu, dan terinhibisi dalam mengungkapkan
kemarahan. Stres non spesifik dapat memperberat penyakit ini. Terapi yang
dianjurkan pada kolitis ulserativa yang akut adalah psikoterapi yang non
konfrontatif dan suportif dengan psikoterapi interpretatif selama periode
tenang. Terapi medis terdiri dari tindakan medis nonspesifik, seperti
antikolinergik dan anti diare.
d. Obesitas
Terdapat presdiposisi familial genetika pada obesitas, dan faktor
perkembangan awal ditemukan pada obesitas masa anak-anak. Faktor
psikologis adalah penting pada obesitas hipergrafik (makan berlebihan).
Terapi yang dianjurkan adalah pembatasan diet dan penurunan asupan kalori.
Dukungan emosional dan modifikasi perilaku adalah membantu untuk
kecemasan dan depresi yang berhubungan dengan makan berlebihan dan
diet.
- Teknik behaviour modification bertujuan untuk mengubah kebiasaan
makan, salah satu programnya sebagai berikut:
1). Dekripsi tingkah laku untuk mengidentifikasi unsur mana dalam
tingkah laku itu yang dapat diubah.
2). Pengendalian stimuli yang mendahului makan
3). Memperlambat proses makan
4). Menyediakan nilai untuk pengendalian yang berhasil
e). Anoreksia nervosa
- Anoreksia nervosa ditandai oleh perilaku yang diarahkan untuk
menghilangkan berat badan, pola aneh dalam menangani makanan,
penurunan berat badan, rasa takut yang kuat terhadap kenaikan berat badan,
gangguan citra tubuh, dan pada wanita amenore:101
4. Sistem muskuloskletal
a. Artritis rematoid
- Stres psikologis mungkin mempresdiposisikan pasien pada artritis
rematoid dan penyakit autoimun melalui supresi kekebalan. Orang artritik

101
Lihat Ibid., h. 630-633

72
Kesehatan Mental
merasa terkekang, terikat dan terbatas. Karena banyak orang artritik memiliki
riwayat aktivitas fisik. mereka seringkali memiliki rasa marah yang terepresi
tentang pembatasan fungsi otot-otot mereka, yang memperberat kekakuan
dan imobilitas mereka.
- Kriteria diagnostik untuk rasa sakit psikosomatis adalah :
1). Saat rasa sakit bersamaan dengan krisis emosional
2). Kepribadian yang khusus
3). Perbedaan frekuensi pada pria dan wanita
4). Hubungan dengan gangguan psikosomatis yang lain
5) Riwayat keluarga
6). Hilang timbul
7). Hilang pada perubahan lingkungan, pergaulan, kebudayaan
b. Nyeri punggung bawah
- Seringkali seorang pasien dengan nyeri punggung bawah melaporkan
bahwa nyerinya dimulai saat trauma psikologis atau stres. Disamping itu
reaksi pasien terhadap nyeri adalah tidak sebanding secara emosional,
dengan kecemasan dan depresi yang berlebihan.102
5. Sistem endokrin
a. Hipertiroidisme
- Hipertiroidisme (tirotoksikosis) adalah suatu sindroma yang ditandai
oleh perubahan biokimiawi dan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari
kelebihan hormon tiroid endogen atau eksogen yang kronis. Gejala medis
yang sering muncul berupa intoleransi panas, keringat berleb ihan, diare,
penurunan berat badan, takikardi, palpitasi dan muntah. Gejala dan keluhan
psikiatrik yang muncul antara lain ketegangan, eksitabilitas, iritabilitas,
bicara tertekan, insomnia, mengekspresikan rasa takut yang berlebihan
terhadap ancaman kematian.
b. Diabetes melitus
- Diabetes melitus adalah suatau gangguan metabolisme dan sistem
vaskuler yang dimanifestasikan oleh gangguan penanganan glukosa, lemak,
dan protein tubuh. Riwayat herediter dan keluarga sangat penting dalam
onset diabetes. Onset yang mendadak sering kali berhubungan dengan stres
emosional yang mengganggu keseimbangan homeostatik pasien yang
terpredisposisi.1 Meninger berpendapat bahwa ada hubungan antara
psikoneurotik dengan diabetes, dengan alasan:
1). Jelas adanya gangguan mental sebelum timbulnya penyakit diabetes
2). Gangguan mental yang lain dari gejala mental yang timbul pada
penyakit hati atau hipoglikemi
102
Lihat Arsyad Z, Syahbuddin S. Aspek Psikosomatis Obesitas. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II. (Jakarta:
FK UI, 1999), h. 657-658

73
Kesehatan Mental
3). Penyembuhan gangguan mental pararel dengan keadaan kadar gula
darah
4). Gangguan metabolisme karbohidrat dan glukosuria membaik dengan
diet
5). Dengan sembuhnya gangguan mental, diabetes juga membaik
Menurut Meninger ada 3 gangguan mental yang dijumpai pada
diabetes:
a. Depresi
b. Anxietas
c. Fatik (letih)103
c. Gangguan Endokrin Wanita
- Premenstrual syndrome (PMS), ditandai oleh perubahan subjektif mood,
rasa kesehatan fisik, dan psikologis umum yang berhubungan dengan siklus
menstruasi. Secara khusus, perubahan kadar estrogen, progesteron, dan
prolaktin dihipotesiskan berperan penting sebagai penyebab.Gejala biasanya
dimulai segera setelah ovulasi, meningkat secara bertahap, dan mencapai
intensitas maksimum kira-kira lima hari sebelum periode menstruasi dimulai.
Faktor psikososial, dan biologis telah terlibat didalam patogenesis gangguan.
- Penderitaan menopause (menopause distress), adalah suatu keadaan
yang terjadi setelah tidak adanya periode menstruasi selama satu tahun yang
disebut menopause. Banyak gejala psikologis yang dihubungkan dengan
menopause, termasuk kecemasan, kelelahan, ketegangan, labilitas emosional,
mudah marah (iritabilitas), depresi, pening, dan insomnia. Tanda dan gejala
fisik adalah keringat malam, muka kemerahan, dan kilatan panas (hot flash).
keadaan ini kemungkinan berhubungan dengan sekresi luteinizing hormone
(LH). Fungsi yang tergantung pada estrogen hilang secara berurutan, dan
wanita mungkin mengalami perubahan atrofik pada permukaan mukosa,
disertai oleh vaginitis, pruritus, dispareunia, dan stenosis.
- Wanita mungkin juga mengalami perubahan dalam metabolisme kalsium
dan lemak, kemungkinan sebagai efek sekunder dari penurunan kadar
estrogen, dan perubahan tersebut mungkin disertai oleh sejumlah masalah
medis yang terjadi pada tahun-tahun pasca menopause, seperti osteoporosis
dan aterosklerosis koroner.
- Keparahan gejala menopause tampaknya berhubungan dengan
kecepatan pemutusan hormon, jumlah deplesi hormon, kemampuan
konstitusional wanita untuk menahan proses ketuaan, kesehatan, dan tingkat
aktivitas mereka, serta arti psikologis ketuaan bagi mereka.
- Kesulitan psikiatrik yang bermakna secara klinis dapat berkembang
selama siklus kehidupan fase involusional. Wanita yang sebelumnya

103
Lihat Ibid., h. 659-660

74
Kesehatan Mental
mengalami kesulitan psikologis, seperti harga diri yang rendah dan kepuasan
hidup yang rendah, kemungkinan rentan terhadap kesulitan selama
menopause.104
6. Gangguan kekebalan
a. Penyakit Infeksi
- Penelitian klinis menyatakan bahwa variabel psikologis mempengaruhi
kecepatan pemulihan dari mononukleosis infeksius dan influensa. Stres dan
keadaan psikologis yang buruk menurunkan daya tahan terhadap tuberkulosis
dan mempengaruhi perjalanan penyakit. Dengan demikian perkembangan
penyakit sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis orang.
b. Gangguan Alergi
- Bukti klinis menyatakan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan
pencetus alergi. Asma bronkial adalah contoh utama proses patologis yang
melibatkan hipersensitifitas segera yang berhubungan dengan proses
psikososial.
c. Transplantasi Organ
- Pengaruh psikososial seperti kehidupan yang penuh dengan stres,
kecemasan dan depresi mempengaruhi sistem kekebalan yang berperan
dalam mekanisme penolakan transpalantasi organ.105
7. Kanker
a. Masalah Pasien
- Reaksi psikologis mereka adalah rasa takut akan kematian, cacat,
ketidakmampuan, rasa takut diterlantarkan dan kehilangan kemandirian, rasa
takut diputuskan dari hubungan, fungsi peran dan finansial, kecemasan,
kemarahan, dan rasa bersalah. Setengah dari pasien kanker menderita
gangguan mental berupa gangguan penyesuaian 68%, gangguan depresi berat
13% dan delirium 8%. Pada pasien kanker sering ditemukan pikiran dan
keinginan bunuh diri.
b. Masalah yang berkaitan dengan pengobatan
1). Terapi radiasi. Efek samping terapi radiasi adalah ensefalopati yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
2). Kemoterapi. Efek samping kemoterapi berupa mual dan muntah
3). Rasa sakit. Pasien kanker dengan rasa sakit memiliki insidensi depresi
dan kecemasan yang lebih tinggi dibanding mereka yang tanpa rasa
sakit.
c. Masalah Keluarga

104
Lihat Nasution H.N. Anoreksia Nervosa. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II.(Jakarta: FK UI,1999), h.
659-660
105
Lihat Ibid., h. 667-668

75
Kesehatan Mental
- Kecemasan dan depresi dalam anggota keluarga memerlukan intervensi
yang aktif. Keluarga harus memberikan pelayanan untuk pasien.
8. Gangguan kulit
a. Pruritus Menyeluruh
- Pruritus psikogenik menyeluruh adalah tidak ada penyebab organik .
kemarahan yang terekspresi dan kecemasan yang terekspresi merupakan
penyebab paling sering, karena secara disadari atau tidak mereka menggaruk
dirinya sendiri secara kasar.
b. Pruritus setempat (Pruritus ani dan Pruritus vulva).
c. Hiperhidrosis
- Hiperhidrosis dipandang sebagai fenomena kecemasan yang
diperantarai oleh sistem saraf otonom. Ketakutan, kemarahan dan ketegangan
dapat menyebabkan meningkatnya sekresi keringat, karena manusia memiliki
2 mekanisme berkeringat yaitu termal dan emosional. Berkeringat emosional
terutama tampak pada telapak tangan, telapak kaki dan aksila. Berkeringat
termal paling jelas pada dahi, leher, punggung tangan dan lengan bawah.106
9. Nyeri kepala
a. Migren
- Migren adalah ganguan paroksismal yang ditandai oleh nyeri kepala
rekuren, dengan atau tanpa gangguan visual dan gastrointestinal. 2/3 pasien
memiliki riwayat gangguan yang sama. Kepribadian obsesional yang jelas
terkendali dan perfeksionistik, yang menekan marah, dan yang secara genetik
berpresdisposisi pada migren mungkin menderita nyeri kepala tersebut 1
Mekanisme terjadinya migren psikosomatis berupa:
1). Vasospasme arteri serebri
2). Distensi arteri karotis eksterna
3). Edema dinding arteri
- Pada periode prodromal migren paling baik diobati dengan Ergotamine,
Tartrate (Cafergot), dan analgetik. Psikoterapi bermanfaat untuk
menghilangkan efek konflik dan stres.
b. Tension ( kontraksi otot)
- Terjadi pada 80% populasi selama perode stres emosional. Kepribadian
tipe A yang tegang, berjuang keras dan kompetitif peka terhadap gangguan
ini. Stres emosional sering kali disertai kontraksi otot kepala dan leher yang
lama melebihi beberapa jam dapat menyempitkan pembuluh darah yang
menyebabkan iskemia.
Gejalanya berupa nyeri tumpul dan berdenyut dimulai pada sub
ocipitalis yang menyebar keseluruh kepala. Kulit kepala nyeri terhadap
106
Lihat Sukatman D, Budihalim S, Aspek Psikosomatis Penyakit Reumatik Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid
II, (Jakarta: FK UI,1999), h. 648- 649

76
Kesehatan Mental
sentuhan, biasanya bilateral dan tidak disertai gejala prodromal seperti mual
dan muntah. Onset cenderung pada sore dan malam hari. Pada stadium awal
dapat diberikan anti ansietas, pelemas otot dan pemijatan atau aplikasi panas
pada kepala dan leher. Jika terdapat depresi yang mendasari anti depresan
perlu diberikan. Jika kronis psikoterapi merupakan terapi pilihan. 107

Pemeriksaan
- Biasanya penderita datang kepada dokter dengan keluhan-keluhan,
tetapi tidak didapatkan penyakit atau diagnosis tertentu, namun selalu
disertai dengan keluhan dan masalah. Pada 239 penderita dengan gangguan
psikogenik Streckter telah menganalisis gejala yang paling sering didapati
yaitu 89% terlalu memperhatikan gejala-gejala pada badannya dan 45%
merasa kecemasan, oleh karena itu pada pasien psikosomatis perlu
ditanyakan beberapa faktor yaitu:
1. Faktor sosial dan ekonomi, kepuasan dalam pekerjaan, kesukaran
ekonomi, pekerjaan yang tidak tentu, hubungan dengan dengan
keluarga dan orang lain, minatnya, pekerjaan yang terburu-buru, kurang
istirahat.
2. Faktor perkawinan, perselisihan, perceraian dan kekecewaan dalam
hubungan seksual, anak-anak yang nakal dan menyusahkan.
3. Faktor kesehatan, penyakit-penyakit yang menahun, pernah masuk
rumah sakit, pernah dioperasi, adiksi terhadap obat-obatan, tembakau.
4. Faktor psikologik, stres psikologik, keadaan jiwa waktu dioperasi, waktu
penyakit berat, status didalam keluarga dan stres yang timbul.
- Quirido membagi cara pemeriksaan dalam 3 lapangan :
a. Lapangan psikis
b. Lapangan sosial
c. Lapangan somatis
- Yang ditujukan pada lapangan kejiwaan dinamakan psikoterapi indentik.
Yang ditujukan pada lapangan sosial dan somatik disebut psikoterapi non
identik, yang terdiri dari pemeriksaan fisik, mengobati kelainan fisik dengan
obat, memperbaiki kondisi sosial ekonomi, lingkungan, kebiasaan hidup sehat.

Diagnosis
- Pada umumnya penderita dengan gangguan psikosomatis dapat dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu:

107
Lihat Kadri. Aspek Psikosomatis. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II,(Jakarta: FK UI, 1999), h. 665-666

77
Kesehatan Mental
1. Terdapat keluhan tentang fisik, akan tetapi tidak terdapat penyakit fisik
dan kelainan organik yang dapat menyebabkan keluhan tersebut.
2. Terdapat kelainan organik tetapi yang primer yang menyebabkannya
adalah faktor psikologis
3. Terdapat kelainan organik tetapi terdapat juga gejala lain yang timbul
bukan sebab penyakit organik itu, akan tetapi karena faktor psikologis.
Faktor psikologis ini mungkin timbul akibat penyakit organik seperti
kecemasan.
- Lewis memberikan beberapa kriteria khusus untuk diagnosis gangguan
psikosomatis yaitu:
1. Gejala-gejala yang didapat mempunyai permulaan, akibat, manifestasi
dan jalannya yang sangat mencurigakan akan adanya gangguan
psikosomatik.
2. Dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak didapatkan penyakit
organik yang dapat menyebabkan gejala-gejala.
3. Adanya suatu stres atau konflik yang menyulitkan penderita.
4. Reaksi penderita terhadap stres ini banyak hubungannya dengan gejala-
gejala yang dikeluhkannya, yaitu bahwa gejala-gejala itu secara
psikosomatik merupakan manifestasi fisik dari konflik atau penyelesaian
masalah yang tidak memuaskan.
5. Terjadinya stres harus memiliki korelasi antara waktu dan timbulnya
keluhan, bertambah beratnya penyakit yang ada.108
- Untuk diagnosis perlu dievaluasi faktor-faktor sebagai berikut:
Komponen organik versus komponen nonorganik.
Komponen fungsional nonpsikogenik versus psikogenik.
Dasar kestabilan emosi (kepribadian premorbid dan predisposisi).
Stres yang menimbulkan gejala-gejala.
Beratnya gangguan fisik atau psikologik.
Pengobatan
- Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter
umum tidak mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai
gangguan organik tetapi keluhannya berlebihan. Dengan kesabaran dan
simpati banyak penderita dengan gangguan psikosomatik dapat ditolong. Kita
dapat menerangkan kepada penderita tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya
yang rusak atau yang kurang, tidak terdapat infeksi dan kanker, hanya
anggota tubuhnya bekerja tidak teratur. Untuk menerangkan bagaimana
emosi dapat mengganggu tubuh dapat diambil contoh sehari-hari seperti
orang yang malu mukanya akan menjadi merah, orang yang takut menjadi
108
Lihat A.H. Dahlan P. Asdie, Migren dan Sakit Kepala. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI,
1999), h. 652-654

78
Kesehatan Mental
bergemetar dan pucat. Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan dan
pengetahuan penderita.
- Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi
yaitu:
Fase 1 : Ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan
dokter bersama-sama berusaha dan saling membantu melalui
anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti dan tes laboratorium
bila perlu. Diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit
organik dan dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik
serta keterangan tentang gejala-gejala. Berikan kesempatan kepada
penderita untuk bertanya.
Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara.
Untuk memberi keterangan tentang keluhan, meyakinkan serta
menenangkan pasien, dapat dikatakan antara lain :
Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh
dan menderita
Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang sudah
kita obati
Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain
Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan
gangguan emosional
Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu,
tetapi akan hilang atau berkurang bila diobati dengan baik
Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan
kecemasan
Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh
sehingga timbul gejala
Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa
Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat.
Sering gejala merupakan pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan
Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.
Fase 3 : Ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini pasien
yang lebih banyak bicara. Terjadi pengakuan, katarsis dan wawancara
psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat pribadi, rahasia, tanpa sering
terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan pengertian.
Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan berjalan dengan baik, tidak
terlalu menyimpang dari pokok pembicaraan.109
Terdapat 3 golongan senyawa psikofarmaka:
109
Lihat Budihalim S, Sukatman D. Psikofarmaka dan Psikosamatik. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II,
(Jakarta: FK UI,1999),h. 602-603

79
Kesehatan Mental
1. Obat Tidur (hipnotik)
- Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang
dianjurkan adalah senyawa benzodiazepine berkhasiat pendek seperti
nitrazepam, flurazepam, dan triazolam. Pada insomnia dengan kegelisahan
dapat diberikan senyawa fenotiazin seperti tioridazin, prometazin.
2. Obat penenang minor dan mayor
Obat penenang minor, diazepam merupakan obat yang efektif yang
dapat digunakan pada anxietas, agitasi, spasme otot, delirium, epilepsi.
Benzodiazepine hanya diberikan pada anxietas hebat maksimal 2 bulan.
Obat penenang mayor, yang paling sering digunakan adalah senyawa
fenotiazin dan butirofenon seperti clorpromazin, tioridazin dan
haloperidol.
3. Antidepresan
- Yang dianjurkan adalah senyawa trisiklik dan tetrasiklik seperti
amitriptilin, imipramin, mianserin dan maprotilin yang dimulai dengan dosis
kecil yang kemudian ditingkatkan.
-
7. Retardasi Mental (Keterebelakangan Mental)
Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti
atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya
keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada
tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif,
bahasa, motorik dan sosial (Maslim,1998). Keterbelakangan Mental atau lazim
disebut Retardasi Mental adalah suatu keadaan dimana keadaan dengan
Intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir
atau sejak masa anak-anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang
kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah Intelegensi yang
terbelakang. Retardasi Mental disebut juga Oligofrenia (oligo- kurang atau
sedikit dan fren - jiwa) atau Tuna Mental. Keadaan tersebut ditandai dengan
fungsi kecerdasan umum yang berada dibawah rata-rata dan disertai dengan
berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri atau berprilaku adaptif
Retardasi Mental sebenarnya bukan suatu penyakit walaupun retardasi
mental merupakan hasil dari proses Patologik di dalam otak yang memberikan
gambaran keterbatasan terhadap Intelektualitas dan fungsi Adaptif. Retardasi
Mental ini dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa maupun gangguan
fisik lainnya.
Retardasi Mental sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai
berikut:
1. Lemah Pikiran ( feeble-minded)
2. Terbelakang Mental (Mentally Retarded)

80
Kesehatan Mental
3. Bodoh atau Dungu (Idiot)
4. Pandir (Imbecile)
5. Tolol (moron)
6. Oligofrenia (Oligophrenia)
7. Mampu Didik (Educable)
8. Mampu Latih (Trainable)
9. Ketergantungan Penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat
10. Mental Subnormal
11. Defisit Mental
12. Defisit Kognitif
13. Cacat Mental
14. Defisiensi Mental
15. Gangguan Intelektual
Pada kenyataannya IQ (Intelligence Quotient) bukanlah merupakan satu-
satunya patokan yang dapat dipakai untuk menentukan berat ringannya
Retardasi Mental. Melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah besar
keterampilan spesifik yang berbeda. Penilaian tingkat kecerdasan harus
berdasarkan semua informasi yang tersedia, termasuk temuan Klinis, Prilaku
Adaptif dan hasil Tes Psikometrik. Untuk diagnosis, yang pasti harus ada
penurunan tingkat kecerdasan yang mengakibatkan berkurangnya
kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan sosial biasa sehari-
hari. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan Retardasi Mental dapat ditemukan
berbagai macam perubahan bentuk fisik, misalnya perubahan bentuk kepala:
Mikrosefali, Hidrosefali, dan Sindrom Down. Wajah pasien dengan Retardasi
Mental sangat mudah dikenali seperti Hipertelorisme, lidah yang menjulur
keluar, gangguan pertumbuhan gigi dan ekspresi wajah tampak tumpul.
Sebagai kriteria dan bahan pertimbangan dapat dipakai juga kemampuan
untuk dididik atau dilatih dan kemampuan sosial atau kerja. Tingkatannya
mulai dari taraf yang Ringan, Taraf Sedang, Taraf Berat, dan Taraf Sangat
Berat. . Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan
Retardasi Mental Ringan
IQ sekitar 50-55 sampai 70. Sekitar 85 % dari orang yang terkena
Retardasi Mental. Pada umumnya anak-anak dengan Retardasi Mental Ringan
ini tidak dapat dikenali sampai anak tersebut menginjak tingkat pertama atau
kedua disekolah.
Retardasi Mental Sedang
IQ sekitar 35-40 sampai 50-55.
Retardasi Mental Berat
IQ sekitar 20-25 sampai 35-40.

81
Kesehatan Mental
Retardasi Mental Sangat Berat
IQ dibawah 20 atau 25.
Penyebab kelainan mental ini adalah faktor keturunan (genetik) atau tak
jelas sebabnya (simpleks).keduanya disebut Retardasi Mental Primer.
Sedangkan Faktor Sekunder disebabkan oleh faktor luar yang berpengaruh
terhadap otak bayi dalam kandungan, setelah lahir atau terhadap anak-anak.
Beberapa Penyebab Retardasi Mental yaitu :
1. Akibat Infeksi dan/atau Intoksikasi.
Dalam Kelompok ini termasuk keadaan Retardasi Mental karena
kerusakan jaringan otak akibat infeksi Intrakranial, cedera Hipoksia
(kekurangan oksigen), cedera pada bagian kepala yang cukup berat, Infeksi
sitomegalovirus bawaan, Ensefalitis, Toksoplasmosis kongenitalis, Listeriosis,
Infeksi HIV, karena serum, obat atau zat toksik lainnya.
2. Akibat Rudapaksa dan atau Sebab Fisik Lain.
Rudapaksa sebelum lahir serta juga trauma lain, seperti sinar x, bahan
kontrasepsi dan usaha melakukan abortus dapat mengakibatkan kelainan
Retardasi Mental, Pemakaian alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya
pada ibu hamil, Keracunan metilmerkuri, Keracunan timah hitam juga dapat
mengakibatkan Retardasi Mental.
4. Akibat Gangguan Metabolisme, Pertumbuhan atau Gizi.
Semua Retardasi Mental yang langsung disebabkan oleh gangguan
Metabolisme (misalnya gangguan metabolime lemak, karbohidrat dan
protein), Sindroma Reye, Dehidrasi hipernatremik, Hipotiroid kongenital,
Hipoglikemia (diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik),
pertumbuhan atau gizi termasuk dalam kelompok ini hal-hal seperti
Kwashiorkor, Marasmus, Malnutrisi dapat mengakibatkan Retardasi Mental.
5. Akibat Kelainan pada Kromosom
Kelainan ini bisa diartikan dengan kesalahan pada jumlah Kromosom
(Sindroma Down), defek pada Kromosom (sindroma X yang rapuh, sindroma
Angelman, sindroma Prader-Willi), dan Translokasi Kromosom.
6. Akibat Kelainan Genetik dan Kelainan Metabolik Yang Diturunkan.
Seperti Galaktosemia, Penyakit Tay-Sachs, Fenilketonuria, Sindroma
Hunter, Sindroma Hurler, Sindroma Sanfilippo, Leukodistrofi metakromatik,
Adrenoleukodistrofi, Sindroma Lesch-Nyhan, Sindroma Rett, Sklerosis
tuberose
7. Akibat Penyakit Otak Yang Nyata (Postnatal).
Dalam kelompok ini termasuk Retardasi Mental akibat Neoplasma (tidak
termasuk pertumbuhan sekunder karena rudapaksa atau peradangan) dan
beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, tetapi yang belum diketahui betul

82
Kesehatan Mental
etiologinya (diduga herediter). Reaksi sel-sel otak ini dapat bersifat
degeneratif, infiltratif, radang, proliferatif, sklerotik atau reparatif.
8. Akibat Penyakit/Pengaruh Pranatal Yang Tidak Jelas.
Keadaan ini diketahui sudah ada sejak sebelum lahir, tetapi tidak
diketahui etiologinya, termasuk Anomali Kranial Primer dan Defek Kogenital
yang tidak diketahui sebabnya.
9. Akibat Prematuritas dan Kehamilan Wanita diatas 40 tahun.
Kelompok ini termasuk Retardasi Mental yang berhubungan dengan
keadaan bayi pada waktu lahir berat badannya kurang dari 2500 gram
dan/atau dengan masa hamil kurang dari 38 minggu. Serta behubungan pula
dengan kehamilan anak pertama pada wanita Adolesen dan diatas 40 tahun.
10. Akibat Gangguan Jiwa Berat.
Untuk membuat diagnosa ini harus jelas telah terjadi gangguan jiwa
yang berat itu, dan tidak terdapat tanda-tanda patologi otak.
11. Akibat Deprivasi Psikososial dan Lingkungan
Retardasi Mental dapat disebabkan oleh fakor-faktor Biomedik maupun
Sosiobudaya seperti kemiskinan, status ekonomi rendah, Sindroma deprivasi.
Contohnya Gangguan gizi yang tergolong berat dan berlangsung lama
dibawah dan sebelum umur 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangan
otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental. Namun keadaan gangguan
gizi ini dapat diperbaiki dengan memperbaiki gizi sebelum usia menginjak
umur 6 tahun, namun tetap saja intelegensi yang rendah itu sudah sukar
ditingkatkan walaupun anak itu dibanjiri dengan makanan bergizi.
Untuk mendiagnosa Retardasi Mental pada seseorang dengan tepat,
perlu diambil Anamnesa dari orang tua dengan sangat teliti mengenai
kehamilan, persalinan dan perkembangan anak. Bila mungkin dilakukan juga
pemeriksaan Psikologik, bila perlu diperiksa juga di laboratorium, diadakan
evaluasi pendengaran dan bicara. Observasi Psikiatrik dikerjakan untuk
mengetahui adanya gangguan Psikiatrik disamping Retardasi Mental itu
sendiri.
Pencegahan Primer pada orang dengan Retardasi Mental dapat
dilakukan dengan pendidikan kesehatan pada masyarakat, perbaikan keadaan
Sosio-Ekonomi, Konseling Genetik dan Tindakan Kedokteran (seperti
perawatan Prenatal yang baik, pertolongan persalinan yang baik, kehamilan
pada wanita Adolesen dan diatas 40 tahun dikurangi dan pencegahan
peradangan otak pada anak-anak).
Pencegahan Sekunder meliputi diagnosa dan pengobatan dini
peradangan otak, Perdarahan Subdural, Kraniostenosis (sutura tengkorak
menutup terlalu cepat, dapat dibuka dengan Kraniotomi; pada Mikrosefali
yang Kogenital, operasi tidak menolong)

83
Kesehatan Mental
Pencegahan Tersier merupakan pendidikan penderita atau latihan
khusus sebaiknya disekolah luar biasa. Dapat diberi Neuroleptika kepada
yang gelisah, Hiperaktif atau Dektruktif. Konseling kepada orang tua
dilakukan secara Fleksibel dan Pragmatis dengan tujuan antara lain
membantu mereka dalam mengatasi Frustrasi oleh karena mempunyai anak
dengan Retardasi Mental. Orang tua sering menghendaki anak diberi obat,
oleh karena itu dapat diberi penerangan bahwa sampai sekarang belum ada
obat yang dapat membuat anak menjadi pandai, hanya ada obat yang dapat
membantu pertukaran Zat (Metabolisme) sel-sel otak

84
Kesehatan Mental

Bagian Ketiga

PENYAKIT JIWA

A. Pengertian Penyakit Jiwa


Seorang yang diserang penyakit jiwa (Psychose), kepribadiannya
terganggu, dan selanjutkan kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar,
dan tidak sanggup memahami problemnya. Seringkali orang yang sakit jiwa,
tidak merasa bahwa ia sakit, sebaliknya ia menganggap bahwa dirinya normal
saja, bahkan lebih baik, lebih unggul dan lebih penting dari orang lain.
Sakit jiwa itu ada 2 macam, yaitu :
Pertama : Yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada anggota tubuh.
Misalnya otak, sentral saraf atau hilangnya kemampuan berbagai
kelenjar. hal ini mungkin disebabkan oleh karena keracunan akibat
minuman keras, obat-obatan perangsang atau narkotik, akibat
penyakit kotor dan sebagainya.
Kedua : Disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang telah berlarut-larut
sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyelesaian secara wajar
atau hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh, akibat
suasana lingkungan yang sangat menekan, ketegangan batin dan
sebagainya.110

B. Macam-Macam Penyakit Jiwa


Menurut Zakiah Darajat ada beberapa macam penyakit jiwa di
antaranya:

1.Schizophrenia
Schizophrenia adalah penyakit jiwa yang paling banyak terjadi
dibandingkan dengan penyakit jiwa lainnya, penyakit ini menyebabkan
kemunduran kepribadian pada umumnya, yang biasanya mulai tampak pada
masa puber, dan paling banyak adalah orang yang berumur antara 15 30
tahun.
Gejala-gejala diantaranya :
Dingin perasaan, tak ada perhatian pada apa yang terjadi di sekitarnya.
Tidak terlihat padanya reaksi emosional terhadap orang yang terdekat
kepadanya, baik emosi marah, sedih dan takut. Segala sesuatu dihadapinya
dengan acuh tak acuh. Banyak tenggelam dalam lamunan yang jauh dari
kenyataan, sangat sukar bagi orang untuk memahami pikirannya. Dan ia lebih

110
Lihat Zakiah Darajat, Kesehatan Mental (Cet.XIV; Jakarta: Masagung, 2006), h. 34-37

85
Kesehatan Mental
suka menjauhi pergaulan dengan orang banyak dan suka menyendiri.
Mempunyai prasangka-prasangka yang tidak benar dan tidak beralasan,
misalnya apabila ia melihat orang yang menulis atau membicarakan sesuatu,
disangkanya bahwa tulisan atau pembicaraan itu ditujukan untuk mencelanya.
Sering terjadi salah tanggapan atau terhentinya pikiran, misalnya orang
sedang berbicara tiba-tiba lupa apa yang dikatakannya itu. Kadang-kadang
dalam pembicaraan ia pindah dari suatu masalah ke masalah lain yang tak ada
hubungannya sama sekali atau perkataannya tidak jelas ujung pangkalnya.
Halusinasi pendengaran, penciuman atau penglihatan, dimana penderita
seolah-olah mendengar, mencium atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak
ada. Ia seakan-akan mendengar orang lain (tetangga) membicarakannya, atau
melihat sesuatu yang menakutkannya. Banyak putus asa dan merasa bahwa ia
adalah korban kejahatan orang banyak atau masyarakat. Merasa bahwa
semua orang bersalah dan meyebabkan penderitaannya, keinginan
menjauhkan diri dari masyarakat , tidak mau bertemu dengan orang lain dan
sebagainya, bahkan kadang-kadang sampai kepada tidak mau makan atau
minum dan sebagainya, sehingga dalam hal ini ia harus diinjeksi supaya
tertolong.111
Demikian antara lain gejala Schizophrenia, dan tiap-tiap pasien
mungkin hanya mengalami satu atau dua macam saja dari gejala tersebut,
sedangkan dalam hal lain terlihat jauh dari kenyataan. Sampai sekarang
belum diketahui dengan pasti apa sesungguhnya yang menimbulkan
Schizophrenia itu. Ada yang berpendapat bahwa keturunanlah yang besar
peranannya. Menurut hasil beberapa penelitian terbukti bahwa 60% dari
orang yang sakit ini berasal dari keluarga yang pernah dihinggapi sakit jiwa.
Adapula yang mengatakan bahwa sebabnya adalah rusaknya kelenjar-kelenjar
tertentu dalam tubuh. Ada yang menitik beratkan pandangannya pada
penyesuaian diri yaitu karena orang tidak mampu menghadapai kesukaran
hidup , tidak bisa menyesuaikan diri sedemikian rupa sehingga sering
menemui kegagalan dalam usaha menghadapi kesukaran.
Apapun sebab sesungguhnya, namun terbukti bahwa kebanyakan
penyakit ini mulai menyerang setelah orang setelah menghadapi satu
peristiwa yang menekan, yang berakibat munculnya penyakit yang mungkin
sudah terdapat secara tersembunyi di dalam orang itu. Faktor pendorong lain
ialah kesukaran ekonomi, keluarga, hubungan cinta, selain itu terdapat
kegelisahan yang timbul akibat terlalu lama melakukan onani, sehingga
merasa berdosa dan menyesal, sedang menghentikannya tak sanggup.
Penyakit ini biasnya lama sekali perkembangannya, mungkin dalam beberapa
bulan atau beberapa tahun, baru ia menunjukkan gejala-gejala ringan, tapi

111
Lihat Ibid., h. 42-44

86
Kesehatan Mental
akhirnya setelah peristiwa tertentu, tiba-tiba terlihat gejala yang hebat
sekaligus.
2.Paranoia
Paranoia merupakan penyakit gila kebesaran atau gila menuduh
orang. Di antara ciri-ciri penyakit ini adalah delusi yaitu satu pikiran salah
yang menguasai orang yang diserangnya. Delusi ini berbeda bentuk dan
macamnya sesuai dengan suasana dan kepribadian penderita, misalnya :
Penderita mempunyai satu pendapat (keyakinan) yang salah, segala
perhatiannya ditujukan ke sana dan yang satu itu pula yang menjadi buah
tuturnya, sehingga setiap orang yang ditemuinya akan diyakinkannya pula
akan kebenarannya pendapatnya itu. Misalnya ada seorang suami yang
menyangka bahwa istrinya berniat jahat meracuninya. Maka selalu
menghindar makan di rumah, karena takut akan terkena racun itu. Penderita
merasa bahwa ada orang yang jahat kepadanya dan selalu berusaha untuk
menjatuhkannya atau menganiayanya. Penderita merasa bahwa dirinya orang
besar, hebat tidak ada bandingannya, meyakini dirinya adalah seorang
pemimpin besar atau mungkin mengaku Nabi. Delusi atau pikiran salah yang
dirasakan oleh penderita sangat menguasainya dan tidak bisa hilang. Kecuali
itu jalan pikirannya terlihat teratur dan tetap. Pada permulaan orang
menyangka bahwa pikirannya itu logis dan benar., biasanya orang yang
diserang paranoia ia cerdas, ingatannya kuat, emosinya terlihat berimbang
dan cocok dengan pikirannya. Hanya saja ia mempunai suatu kepercayaan
salah, sehingga perhatiaan dan perkataannya selalu dikendalikan oleh
pikirannya yang salah itu.
Sebenarnya kita harus membedakan antara antara sakit jiwa paranoia
yang sungguh-sungguh dengan kelakuan paranoid. Kelakuan paranoid yang
juga abnormal juga diantaranya : Terlihat sekali dalam segala tindakannya,
bahwa ia egois, keras kepala dan sangat keras pendirian dan pendapatnya.
Tidak mau mengakui kesalahan atau kekurangannya, selalu melempar
kesalahan pada orang lain, dan segala kegagalannya disangkannya akibat dari
campur tangan orang lain. Ia berkeyakinan bahwa dia mempunyai
kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa. Ia berasal dari keturunan yang
jauh lebih baik dari orang lain dan merasa bahwa setiap orang iri, dengki dan
takut kepadanya. Dalam persaudaraan ia tidak setia, orang tadinya sangat
dicintainya, akan dapat berubah menjadi orang yang sangat dibencinya oleh
sebab-sebab yang remeh saja. Orang ini tidak dapat bekerja dan mempunyai
kepatuhan pada pimpinan. Karena ia suka membantah atau melawan dan
mempnuayai pendapat sendiri, tidak mau menerima nasehat atau pandangan
dari orang lain.112

112
Lihat Ibid., h.51-53

87
Kesehatan Mental
3. Manicdepressive
Penderita mengalami rasa besar/gembira yang kemudian kemudian
menjadi sedih/tertekan. Gejalanya yaitu :
a. Mania,
Mania mempunyai tiga tingkatan yaitu ringan (hipo), berat (acute) dan
sangat berat (hyper). Dalam tindakannya orang yang diserang oleh mania
ringan terlihat selalu aktif, tidak kenal payah, suka penguasai pembicaraan,
pantang ditegur baik perkataan maupun perbuatannya, tidak tahan
mendengar kecaman terhadap dirinya.biasanya orang ini suka mencampuri
urusan orang lain. Dalam mania yang berat (acute), orang biasanya di serang
oleh delusi-delusi pada waktu-waktu tertentu, sehingga sukar baginya untuk
melakukan suatu pekerjaan dengan teratur. Penderita mengungkapkan rasa
gembira dan bahagianya secara berlebihan. kadang-kadang diserang lamunan
yang dalam sekali, sehingga tidak dapat membedakan tempat, waktu dan
orang disekelilingnya.
Dalam hal mania yang sangat berat (hyper) orang yang diserangnya
kadang-kadang membahayakan dirinya sendiri dan mungkin membahayakan
orang lain dalam sikap dan perbuatannya. Penyakit ini dinamakan juga gila
kumat-kumatan, karena penderita berubah-ubah dari rasa gembira yang
berlebihan, sudah itu bisa kembali atau menurun menjadi sedih, muram dan
tak berdaya. Dalam hal pertama penderita berteriak, mencai-maki, marah-
marah dan sebagainya, kemudian kembali pada ketenangan biasa dan bekerja
seperti tidakl ada apa-apa.
b.Melancholia
Penderita terlihat muram, sedih dan putus asa. Ia merasa diserang oleh
berbagai macam penyakit yang tidak bisa sembuh,atau merasa berbuat dosa
yang tak mungkin diampuni lagi. Kadang-kadang ia menyakiti dirinya sendiri.
Orang yang diserang penyakit melancholia ringan sering mengeluh nasibnya
tidak baik dan merasa tidak ada harapan lagi. Dan bagi penderita melancholia
berat menjauhkan dirinya dari masyarakat.
Demikianlah antara lain gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa yang
membuktikan betapa besar akibat terganggunya kesehatan mental seseorang,
yang akan menghilangkan kebahagiaan dan ketenangan hidupnya.113
Ada juga pakar lain yang membagi macam-macam penyakit jiwa sebagai
berikut:
1. Kleptomania
Kleptomania (bahasa Yunani: , kleptein, "mencuri", ,
"mania") adalah penyakit jiwa yang membuat penderitanya tidak bisa

113
Lihat Ibid., h. 57-62

88
Kesehatan Mental
menahan diri untuk mencuri. Benda-benda yang dicuri oleh penderita
kleptomania umumnya adalah barang-barang yang tidak berharga, seperti
mencuri gula, permen, sisir, atau barang-barang lainnya. Sang penderita
biasanya merasakan rasa tegang subjektif sebelum mencuri dan merasakan
kelegaan atau kenikmatan setelah mereka melakukan tindakan mencuri
tersebut. Tindakan ini harus dibedakan dari tindakan mencuri biasa yang
biasanya didorong oleh motivasi keuntungan dan telah direncanakan
sebelumnya.Penyakit ini umum muncul pada masa puber dan ada sampai
dewasa. Pada beberapa kasus, kleptomania diderita seumur hidup. Penderita
juga mungkin memiliki kelainan jiwa lainnya, seperti kelainan emosi, Bulimia
Nervosa, paranoid, schizoid atau border114
Penyakit jiwa ini membuat penderitanya tidak bisa menahan diri
untuk mencuri. Benda-benda yang dicuri oleh penderita kleptomania
umumnya adalah barang-barang yang tidak berharga, seperti mencuri gula,
permen, sisir, ya apa deh terserah si penderita. Sang penderita biasanya
merasakan rasa tegang subjektif sebelum mencuri dan merasakan kelegaan
atau kenikmatan setelah mereka melakukan tindakan mencuri tersebut.
Tindakan ini harus dibedakan dari tindakan mencuri biasa yang biasanya
didorong oleh motivasi keuntungan dan telah direncanakan sebelumnya.
Penyakit ini umum muncul pada masa puber dan ada sampai dewasa.
Pada beberapa kasus, kleptomania diderita seumur hidup. Penderita juga
mungkin memiliki kelainan jiwa lainnya, seperti kelainan emosi, Bulimia
Nervosa, paranoid, schizoid atau borderline personality disorder.Kleptomania
dapat muncul setelah terjadi cedera otak traumatik dan keracunan karbon
monoksida.
2.Neurosis
Adalah istilah umum yang merujuk pada
ketidakseimbangan mental yang menyebabkan stress, tapi tidak
seperti psikosis atau kelainan kepribadian, neurosis tidak mempengaruhi
pemikiran rasional. Konsep neurosis berhubungan dengan
bidang psikoanalisis, (suatu aliran pemikiran dalam psikologi atau psikiatri.)
3.Psikosis
Psikosis adalah ketidakmampuan seseorang menilai realita
dengan fantasi dirinya. Hasilnya, terdapat realita baru versi orang psikosis
tersebut. Psikosis adalah suatu kumpulan gejala atau sindrom yang
berhubungan gangguan psikiatri lainnya, tetapi gejala tersebut bukan
merupakan gejala spesifik penyakit tersebut, seperti yang tercantum dalam
kriteria diagnostik DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental

114
Lihat Grant JE (2004). "Co-occurrence of personality disorders in persons with kleptomania: a preliminary
investigation". J. Am. Acad. Psychiatry Law 32 (4):, (2004), 395-398.

89
Kesehatan Mental
Disorders) maupun ICD-10 (The International Statistical Classification of
Diseases) atau menggunakan kriteria diagnostik PPDGJ- III (Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa). Arti psikosis sebenarnya masih
bersifat sempit dan bias yang berarti waham dan halusinasi, selain itu juga
ditemukan gejala lain termasuk di antaranya pembicaraan dan tingkah laku
yang kacau, dan gangguan daya nilai realitas yang berat. Oleh karena itu
psikosis dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan gejala/terdapatnya
gangguan fungsi mental, respon perasaan, daya nilai realitas, komunikasi dan
hubungan antara individu dengan lingkungannya.
4.Sindrom mahasiswa kedokteran
Sindrom ini muncul ketika seseorang membaca atau mempelajari
mengenai suatu penyakit atau kelainan dan mulai percaya bahwa ia juga
sedang mengidap penyakit atau kelainan tersebut, misalnya pada apofenia.
Sebenarnya sindrom ini tidak hanya terbatas
pada mahasiswa kedokteran saja, namun bisa pada siapapun. Namun, sindrom
ini dipercaya banyak diidapi oleh mahasiswa kedokteranDalam masa
pembelajaran, para mahasiswa kedokteran harus mempelajari berbagai
daftar sindrom dan tanda ataupun gejala penyakit baik yang sering maupun
jarang terjadi. Ketika sedang mempelajari, mereka merasa mereka turut
memiliki gejala atau sindrom yang ada. Misalnya, ketika mempelajari tumor
otak, salah satu tandanya adalah sakit kepala. Ketika mahasiswa tersebut
sakit kepala, ia percaya hal itu disebabkan oleh tumor di otak.

C. Tanda-tanda Utama dari Penyakit Jiwa


Tidak ada satu manusia pun di bumi ini yang terbebas sama sekali dari
kemungkinan untuk menjadi penderita gangguan kejiwaan. Dalam pemakaian
"defense mechanism" misalnya, barangkali dapat dikatakan bahwa perbedaan
normal dan abnormal hanya terletak pada frekuensi dan intensitas dari
penggunaan defense itu. Begitu juga dengan gejala dan tanda-tanda yang
abnormal pada umumnya. Hampir setiap orang yang tergolong normal pada
saat-saat tertentu dan dalam kondisi hidup yang tertentu pernah
menunjukkan gejala abnormal dalam sikap, cara berpikir, dan tingkah laku
mereka.
Oleh karena itu, hamba-hamba Tuhan sebagai konselor harus berhati-
hati dalam mengenali dan mengklasifikasikan klien dalam kelompok orang-
orang yang disebut penderita gangguan kejiwaan. Hal ini disebabkan oleh
karena tanda-tanda dan gejala-gejala abnormal yang klien tunjukkan belum
tentu gejala penyakit jiwa yang sesungguhnya sehingga, kita menyadari
keterbatasan dan kelemahan manusiawi dokter- dokter jiwa dan petugas
rumah sakit jiwa yang sering kali salah mendiagnosa klien/pasien.

90
Kesehatan Mental
D.N. Rosenhan telah membuktikan hal ini dengan eksperimen-
eksperimennya, yang seharusnya membuat setiap hamba Tuhan lebih
waspada dan berhati-hati dalam mengirimkan pasien ke rumah sakit jiwa.
Ini tidak berarti bahwa hamba Tuhan tidak perlu bekerja sama dengan
psikiater dan rumah sakit jiwa, karena hal tersebut di atas menunjukkan
kepada kelemahan manusiawi si dokter dan pihak rumah sakit jiwa dan bukan
menunjukkan pada "ketidakbenaran" ilmu psikatri dan psikologi itu sendiri.
Kelemahan-kelemahan manusiawi dari profesional-profesional lain justru
menyadarkan hamba-hamba Tuhan betapa besar tanggung jawab mereka
dalam pelayanan konseling. Untuk itu ia harus mempunyai pengenalan umum
tentang gejala-gejala dan tanda-tanda utama dari penyakit jiwa.
a. Beberapa gejala yang muncul secara bersamaan.
Bagi orang yang tergolong normal, gejala abnormal biasanya muncul
sebagai satu-satunya gejala, sedangkan aspek-aspek hidup lainnya tidak
menunjukkan gejala abnormal.
Misalnya: Oleh karena tekanan kehidupan, seorang dapat menangis meraung-
raung; tetapi begitu muncul orang lain ia sadar dan tahu mengontrol ataupun
mengarahkan tangisan itu pada tujuan yang rasional dan dapat diterima oleh
lingkungan itu pada umumnya. Tapi lain halnya dengan penderita penyakit.
Beberapa gejala abnormal muncul dan nampak secara bersamaan; ia
menangis meraung- raung, tidak menyadari bagaimana pikiran orang lain
terhadap tingkah lakunya dan ia mengarahkan tangisan itu pada sesuatu yang
kacau dan irrasional.
b. Gejala-gejala itu membuat dirinya lain daripada sebelumnya.
Munculnya gejala itu membuat orang yang bersangkutan lain daripada
sebelumnya. Orang-orang lain mengenali bahwa ia sesungguhnya tidak
seperti itu, dan seharusnya tidak melakukan tingkah laku yang semacam itu.
Misalnya: Bermain-main dengan kotorannya sendiri, bahkan kadang-kadang
dimakannya.
c. Gejala-gejala itu bertahan sampai jangka waktu yang cukup lama dan
muncul terus-menerus.
Orang yang normal dapat bertingkah laku abnormal, tetapi akan segera
menyadari dirinya dan cenderung untuk segera menyesuaikan diri dengan apa
yang diinginkan lingkungannya. Tetapi lain halnya dengan penderita penyakit
jiwa.
Di samping itu penyakit jiwa juga dapat dikenali melalui gejala- gejala:
1. Physical (fisik/badani)
Banyak sekali gejala kejiwaan (seperti misalnya, perasaan tidak aman,
sedih, marah, cemas, dsb.) yang langsung dapat mempengaruhi kondisi tubuh
orang yang bersangkutan. Jikalau orang tersebut kemudian menderita sakit,

91
Kesehatan Mental
maka jelas penyakit itu pertama-tama disebabkan oleh keadaan kejiwaannya.
Ini yang seringkali disebut sebagai 'psychosomatic' atau 'psychophysiological
reaction', yaitu gangguan kejiwaan yang menggejala secara badani sebagai
gangguan tubuh. Penyakit-penyakit yang biasanya (tidak selalu) tergolong
'psychosomatic reaction' antara lain: asma, sakit kepala, insomnia, radang
usus besar, diarrhea, beberapa penyakit kulit seperti: eksem, gatal-gatal,
borok yang tidak sembuh-sembuh, dsb.
Tentu saja orang-orang dengan gejala psyhosomatis tidak begitu saja
dapat digolongkan sebagai penderita sakit jiwa, meskipun gejala-gejala itu
timbul oleh karena gangguan-gangguan kejiwaan. Sebagian besar dari gejala-
gejala ini ada pada orang-orang yang normal, oleh karena itu meskipun
memerlukan pengobatan dari dokter, mereka tidak boleh sama sekali
diperlakukan sebagai pasien-pasien penyakit jiwa.
2. Psychological (jiwani)
Penyakit dan gangguan kejiwaan biasanya juga diekspresikan secara
jiwani misalnya:
Faulty Perception (persepsi yang kacau) Manusia diperlengkapi dengan
bermacam-macam indera. Jikalau rangsangan tiba, maka rangsangan itu akan
diteruskan melalui sistem persyaratan ke otak. Dengan inilah orang dapat
melihat, mengenali, mendengar suara, merasa panas dingin, sakit, mencium
bau, dsb. Tetapi, ada kasus-kasus kejiwaan yang kadang-kadang dapat
menyebabkan terganggunya proses persepsi ini sehingga orang tersebut
dengan mata, hidung, telinga, lidah dan kulit yang normal ternyata
mempunyai persepsi yang berbeda bahkan kacau balau. Ia bisa seolah-olah
buta (psychological blindness), tidak dapat mendengar apa-apa, atau selalu
mendengar suara yang orang lain tidak dengar, dan melihat penglihatan yang
orang lain tidak lihat. Gangguan kejiwaan dapat menyebabkan orang merasa
lampu 20 watt dalam kamar itu terlalu terang, atau suara titik air yang jatuh
satu per satu dari kran sebagai suara pukulan palu di kepalanya, dsb.
Dari sini kita mengenal istilah-istilah seperti: Ilusi, yaitu
penyalahtafsiran stimulan pada indera penglihatan. Misalnya: Melihat pohon
sebagai orang. Halusinasi, yaitu persepsi yang terjadi meskipun tidak ada
stimulan yang sesungguhnya. Misalnya: Melihat suami yang sudah
meninggal, bahkan dapat berkata-kata kepadanya. Mendengar suara-suara
aneh, dsb.
3.Distorted thinking (pemikiran yang menyimpang dan kacau)
Gangguan kejiwaan sering kali juga diekspresikan dalam bentuk
pemikiran yang kacau dan tidak masuk akal.
Misalnya: Si Amir yang yakin bahwa ia lahir 2000 tahun yang lalu. Si
Ahmad yang begitu yakin bahwa di bawah tempat tidurnya

92
Kesehatan Mental
ada bom waktu yang dipasang oleh anak buah Khomeini. Inilah yang disebut
'distorted thinking', yang menjadi salah satu tanda dari gangguan kejiwaan.
Melihat isinya, 'distorted thinking' dapat dibagi dalam tiga golongan
yaitu:
a. Obession (obsesi):
Yaitu pemikiran yang irasional yang timbul karena dorongan dan
kenangan yang tidak menyenangkan, sehingga seolah-olah ada sesuatu yang
membuat dia terus-menerus berpikir, "...saya harus..." atau "pasti akan...",
dsb. Misalnya: Pengalaman melihat orang yang dianiaya dalam peperangan,
menyebabkan ia berpikir "pasti suatu hari saya akan mengalami hal yang
serupa". Ia begitu yakin di luar rumah sudah menanti orang-orang yang akan
menganiaya dia, sehingga ia terdorong untuk terus-menerus melakukan hal-
hal yang irasional, seperti bersembunyi di bawah kolong, mengintip melalui
lubang pintu, dsb. Pengalaman dengan orangtua yang perfectionist, membuat
ia selalu merasa ada dorongan "saya harus membereskan ini", "saya harus
menyelesaikan itu"; dan ini sering kali tidak masuk akal, misalnya, bangun
tengah malam hanya untuk membersihkan mobil, dsb.
b. Phobia:
Yaitu rasa takut yang irasional. Dan ini bisa berbentuk rasa takut berada
dalam ruangan gelap, rasa takut pada darah, air, ular, angin, di tengah banyak
orang, berada di tempat tinggi, lewat jembatan, dsb.
c. Delusion (delusi):
Yaitu pemikiran yang irasional yang menggejala dalam bentuk
munculnya keyakinan (palsu) bahwa hal itu benar-benar ia alami, atau ia
dengar, atau ia lihat, dsb. Misalnya: Yakin betul bahwa ia bertemu dengan Al-
Qaeda, bahkan yakin betul bahwa ia sendiri telah diangkat menjadi rasul dan
menuntut orang-orang lain mengikut dan menyembah dia.
4. Faulty Emotional Expression (Ekpresi dari emosi yang keliru)
Setiap orang sudah belajar sejak kecil bagaimana mengekspresikan
perasaan senang, susah, sakit, bahagia, kasih, benci, dsb. Dan umumnya
orang yang normal mempunyai pengekspresian yang mirip dengan orang-
orang lain. Misalnya, tertawa sebagai ekspresi dari rasa sedih. Tetapi tidak
demikian halnya dengan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan,
mereka seringkali melakukan pengekspresian emosi secara keliru, dan
tentunya berbeda daripada orang-orang pada umumnya.
Pengekspresian emosi yang keliru ini dapat berbentuk:
a. Tanpa ekspresi
Penderita sakit jiwa seringkali hidup dalam dunianya sendiri, sehingga
emosinya tidak tergerak oleh keadaan dan situasi di sekelilingnya. Mereka

93
Kesehatan Mental
tidak tertawa atas hal-hal yang lucu dan menyenangkan, juga tidak sedih atas
hal-hal yang menyedihkan.
b. Elation atau Euphoria (ekspresi/gembira yang berlebih-lebihan)
Penderita sakit jiwa juga sering kali mengekspresikan emosi secara
berlebih-lebihan. Untuk hal yang kecil dia bisa tertawa sampai menangis.
c. Depresi
Pada saat-saat tertentu setiap orang bisa mengalami/merasa tidak
bergairah, kecil hati dan susah, tetapi hanya untuk sementara saja. Tetapi
tidak demikian halnya dengan penderita sakit jiwa. Ada kasus-kasus di mana
tanpa alasan yang jelas perasaan sedih itu timbul tenggelam dan bahkan
bertahan lama. Mereka memang dapat mengatakan bahwa mereka kuatir
terhadap sesuatu (entah pekerjaan, keluarga, kesehatan, masa depan, dll.)
tetapi sebenarnya hal-hal itu bukan penyebab utama dari kekuatiran yang
berlebih-lebihan itu. Hal-hal itu hanyalah 'precipitating factor' yang menjadi
gangguan kejiwaan oleh karena sudah ada 'predisposing factor' pada mereka
itu. Oleh karena itu, hal-hal yang bagi orang lain cuma menimbulkan perasaan
sedih yang normal dan untuk sementara, bagi mereka menjadi "depresi"
dimana putus asa dan tidak bahagia yang terus-menerus.
Enos D. Martin seorang psikiater menyebutkan tentang tiga jenis
depresi dengan contoh-contoh praktis:
1) Normal grief reaction (rasa sedih sebagai reaksi yang normal atas suatu
'kehilangan'). Seorang pejabat yang mendekati masa pensiun merasa sedih
oleh karena munculnya perasaan 'tidak berguna dan tidak dapat dipakai lagi'.
Tekanan kesedihan itu telah menimbulkan macam- macam gangguan seperti
misalnya kehilangan nafsu makan, tidak bisa tidur, sakit kepala, dsb. Ternyata
setelah ustas menyatakan bahwa jabatan baginya cuma berarti bahwa ia tidak
perlu lagi mengerjakan tugas-tugas administrasi (yang berarti bahwa ia masih
boleh berkarya, melakukan konseling, dsb.) langsung gejala-gejala kejiwaan
itu lenyap.

2). Neurotic depression (depresi yang neurotis)


Seorang ustas mengalami depresi oleh karena sebagai ustas senior ia
merasa tersaing dengan munculnya ustas muda yang dalam beberapa hal
sangat dikagumi oleh jamaah. Ia tidak bisa tidur, kehilangan nafsu makan,
dsb. Penghiburan dari banyak orang bahwa ia mempunyai lebih banyak
kelebihan ternyata tidak menolong. Dalam kasus ini jelas bahwa kesedihannya
bukan sekedar 'normal grief reaction', ia betul-betul menderita depresi dan
harus mendapatkan pengobatan dari dokter. Diketemukan oleh dokter jiwa
bahwa ustas ini ternyata mempunyai 'predisposing faktor' untuk depresi,

94
Kesehatan Mental
seperti misalnya, kegoncangan emosi cukup hebat pada masa kecil ketika ia
sakit dan harus masuk rumah sakit, juga faktor lain bahwa semasa kecilnya ia
kurang mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya.
3) Endogenous depression (bakat depresi yang diturunkan dari orang-
tuanya).
Seorang direktur mengalami depresi oleh karena usahanya untuk
mendamaikan dua orang pakar, bahkan berakibat fatal, yaitu kedua-duanya
justru menyalahkan dan melawan dia. Ia sekarang merasa bahwa seluruh
kehidupannya termasuk pelayanannya gagal. Ia kemudian menderita insomnia
(tidak dapat tidur), kehilangan nafsu seksuil, nafsu makan, tidak ada gairah
lagi pada segala hobinya, sering menangis dan menjauhkan diri dari
perjumpaan dengan orang lain bahkan berkali-kali mencoba untuk bunuh diri.
Diketemukan pada direktur ini, adanya 'predisposing factor' depresi yang
lebih berat dari ustas karena direktur mempunyai bakat-bakat biologis yang
diturunkan dari orangtuanya. Ibunya juga seorang penderita depresi berat. 115
d. Emotional variability (macam-macam pengekspresian emosi) .
Setiap orang akan mengalami naik turunnya emosi sebagai reaksi atas
pengalaman-pengalaman kehidupan ini. Tetapi bagi penderita penyakit jiwa
naik turunnya emosi ini tidak sesuai dengan realita yang ada. Mungkin
pengalaman yang menyenangkan ini sudah terjadi beberapa hari yang lalu
dan tiba-tiba ia bisa tersenyum-tersenyum bahkan tertawa-tawa tanpa dapat
dikontrol oleh karena ingat akan hal itu. Sering juga diketemukan penderita
penyakit jiwa yang menangis tanpa alasan untuk menangis, atau tiba-tiba
marah dan menyerang orang lain tanpa sebab, dsb.
d. Inappropriate affect (reaksi emosi yang tidak tepat)
Sedikit berbeda dengan 'emotional variability', di sini orang yang
mendapat gangguan kejiwaan biasanya memberikan reaksi emosi yang tidak
cocok dengan stimulan yang ada. Misalnya: -- Menangis mendengar cerita
yang lucu -- Tertawa geli melihat orang yang sedih menangis ditinggalkan
kekasihnya.
5. Unusual motor activity (activitas motorik yang tidak normal)
Dalam kehidupan ini kita kadang-kadang dapat melakukan aktivitas
motorik yang tidak biasa, misalnya: berlari, berkata, berpikir, berbuat lebih
cepat atau lebih lambat daripada biasanya. Tetapi untuk itu selalu ada alasan
dan tujuan yang jelas dan disadari, dan hanya untuk sementara saja, tetapi
lain halnya dengan penderita penyakit jiwa. Sering kali kita bisa mengenali
adanya tanda-tanda gangguan kejiwaan melalui aktivitas motorik yang tidak
normal, misalnya:
a. Over activity (activitas yang berlebihan)

115
Lihat dalam Winter "What is Depression", Leadership, 1982, Vol. III, No. 1, h., 82-83.

95
Kesehatan Mental
Sebagai contoh, pasien yang berbicara terus-menerus dengan susunan
kalimat yang tidak mengandung pengertian sama sekali (kacau, dan irasional).
Ketidakmampuan untuk duduk tenang, terus- menerus gelisah; terkejut
bahkan lari ketakutan atas suara tertentu; tangan dan kaki bahkan mata yang
bergerak-gerak terus, dsb.
b. Under Activity (kurang aktif)
Sebagai kebalikan dari 'over activity', maka gejala penyakit jiwa sering
kali ditandai oleh sikap diam, tidak bergerak-gerak, seperti seolah-olah lemah
badan, tidak dapat berbicara, dsb.
c. Compulsive activity (aktivitas yang tidak terkendalikan)
Dalam hidup ini sering kali kita merasakan adanya dorongan yang besar
untuk melakukan sesuatu, tetapi sering kali oleh karena sebab-sebab tertentu
hal itu belum dapat dilaksanakan. Bagi orang yang normal hal ini biasa dan ia
bisa menyesuaikan diri dengan mengalihkan perhatian pada aktivitas-aktivitas
yang lain. Tetapi pada penderita penyakit jiwa tidak demikian, mungkin apa
yang ia ingin lakukan sendiri tidak ia sadari lagi, tetapi ia merasakan adanya
dorongan yang kuat untuk melakukan sesuatu aktivitas. Dan ini diekspresikan
dengan menggigit-gigit kuku terus-menerus, menggaruk-garuk kaki,
mempermainkan alat kelamin, menggigit-gigit bibir, melipat-lipat tangan,
menulis-nulis dengan jari, menghisap ujung baju, dsb.
6. Gejala abnormal yang lain
Tanda-tanda lain dari adanya gangguan kejiwaan dalam ketegori ini
sering kali dapat diketemukan dalam kehidupan sehari-hari dari orang-orang
yang normal. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dan tidak
menyamaratakan setiap gejala sebagai abnormal atau gejala penyakit jiwa.
Misalnya:
a..Disorientasi; dimana seorang bisa tidak tahu di mana ia berada, siapa
dirinya, hari apa sekarang, dsb.
b. Withdrawal; menarik diri dari pertemuan-pertemuan dengan orang-
orang lain.
c. Kecurigaan yang berlebih-lebihan.
Kepekaan yang berlebih-lebihan terhadap otoritas.
d. Menyembunyikan sesuatu secara tidak normal, misal, uang disimpan di
bawah tanah.
e. Rangsangan dan kebutuhan seksuil yang tidak normal.
f. Kekanak-kanakan, dsb.
3. Sosial
Biasanya yang disebut abnormal oleh karena ia menunjukkan tingkah
laku, sikap, cara berpikir, yang tidak cocok dengan standar normal
masyarakat atau lingkungan di mana ia hidup. Manusia adalah makhluk

96
Kesehatan Mental
sosial, karena itu ia mempunyai kebutuhan-kebutuhan sosial dan ingin
menjadi bagian integral dari lingkungannya. Karena itu normal jika ia selalu
cenderung untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Meskipun
demikian, tidak secara otomatis orang yang "tidak dapat menyesuaikan diri"
dapat disebut sebagai orang yang tidak normal atau punya gejala penyakit
jiwa, jikalau ia dengan sadar melakukan hal itu. Yang mungkin oleh karena ia
memang tidak/belum menjadi bagian integral dari masayarakat itu. Kasus-
kasus seperti misionaris konteks sosial, kita baru bisa mengenali adanya
gejala abnormal, jikalau orang yang bersangkutan secara tidak sadar
bertingkah laku yang tidak sesuai dengan standar normal masyarakat, yang
secara integral ia sendiri menjadi bagian di dalamnya.
4. Spiritual (rohani)
Gejala-gejala penyakit jiwa dapat pula mengekspresikan diri secara
spiritual, misalnya gagasan perasaan berdosa yang tidak terampunkan,
fanatik, keragu-raguan yang terus-menerus, dsb. Frank Minirth mengatakan
bahwa gangguan-gangguan kejiwaan bisa menggejala secara rohani:
"A person with an impending psychotic break may display an intense
religious preoccupation. Someone having an obsessive compulsive neurosis
may struggle with a fear of having committed the unpardonable sin. Or he
may fear he hasn't really trusted Christ as Savior. Emotional and physical
problems manifest still another spiritual cloaks. Individuals with temporal
lobe epilepsy may communicate renewed religious interest and moral piety.
Those with a manic-depressive psychosis may talk in a religious jargon. People
diagnosed as having schizophrenia, obsessive-compulsive, ego-alien thought,
and multiple personalities are sometimes victims of demon-possession."
5. Terapi atau Pengobatan
Salah seorang ulama Islam Syekh Muhammad bin al-Utsaimin mencoba
mengobati atau menawarkan terapi dengan pendekatan Ruqyah bagi fasien
penyakit jiwa sebagai berikut:
Ada seorang mengajukan pertanyaan kepada Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin : Apakah seorang mukmin bisa menderita sakit jiwa?
Apakah obatnya secara syara? Perlu diketahui bahwa pengobatan modern
mengobati penyakit-penyakit ini hanya dengan obat-obatan masa kini saja?
Beliau menjawab tidak disangsikan lagi bahwa manusia bisa menderita
penyakit-penyakit jiwa berupa hamm (sakit hati) terhadap masa depan huzn
(duka cita) terhadap masa lalu. Penyakit-penyakit kejiwaaan lebih banyak
mempengaruhi tubuh dari penyakit-panyakit anggota tubuh. Pengobatan
penyakit-penyakit ini dengan perkara-perkara syariyah (ruqyah) lebih manjur
daripada pengobatannya dengan obat-obatan yang bisa digunakan.
Di antara obat-obatnya adalah hadits shahih Ibnu Masud: :

97
Kesehatan Mental
Artinya : Tidak ada seorang mukmin yang menderita hamm, atau, ghamm,
atau duka cita, lalu ia menjawab, Ya Allah sesungguhnya aku adalah
hambaMu, anak hamba laki-lakiMu, anak hamba perempuanMu, ubun-ubunku
di tanganMu, berlalu hukum Engkau padaku, qadhaMu sangat adil padaku,
aku memohon kepadaMu dengan segala nama yang Engkau namakan diriMu
dengannya, atau Engkau beritahu kepada seseorang makhlukMu, atau Engkau
turunkan dalam kitabMu, atau hanya Engkau yang mengetahuinya dalam ilmu
ghaib di sisiMu, jadikanlah Al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku,
penerang duka citaku, dan hilangnya hamm (sakit hati)ku. Melainkan Allah
Subhanahu wa Taala melapangkan darinya [HR Ahmad dalam Al-Musnad
3704-4306]

Ini termasuk pengobatan secara syara. Demikian pula seorang manusia


membaca.
Artinya : Tiada ilah (yang berhak diibadahi) selain Engkau, Maha Suci
Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang yang berbuat aniaya
(HR At-Tirmidzi, Ad-Daawt 3505 dan Ahmad no. 1465)
Siapa yang meginginkan tambahan lagi, rujuklah (bacalah) kepada kitab
yang ditulis para ulama dalam bab dzikir, seperti Al-Wabil Ash-Shayyib karya
Ibnul Qayyim, Al-Kalim Ath-Thayib karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al-
Adzkar oleh An-Nawawi, demikian pula Zad Al-Maad karya Ibnul Qayyim.
Tetapi, manakala iman lemah, niscaya lemahlah penerimaan jiwa
terhadap obat-obat syariyah. Sekarang manusia lebih banyak berpegang
kepada obat-obatan nyata daripada berpegang mereka terhadap obat-obatan
syariyah. Dan manakala iman kuat, niscaya obat-obatan syariyah
memberikan implikasi secara sempurna, bahkan implikasinya lebih cepat dari
pada pengaruh obat-obatan biasa. Sangat jelas bagi kita semua cerita
seseorang yang diutus Rasulullah saw dalam satu pasukan (sariyah). Lalu
mereka singgah di suatu kaum bangsa Arab. Tetapi kaum/suku yang mereka
singgahi tidak memberikan jamuan kepada para sahabat. Maka, Allah
Subhanahu wa Taala menghendaki pemimpin kaum tersebut di gigit ular.
Sebagian mereka berkata kepada yang lain, Pergilah kepada mereka
yang telah singgah/mampir, mungkin saja kalian mendapatkan ahli ruqyah di
sisi mereka. Para sahabat berkata, Kami tidak akan meruqyah pimpinan
kalian, kecuali kalau kalian memberikan kepada kami kambing sebanyak
begini dan begini. Mereka mejawab, Tidak mengapa. Lalu salah seorang
sahabat pergi membacakan atas orang yang di gigit ular tersebut. Ia hanya
membaca surah Al-Fatihah. Orang yang digigit ular tadi langsung
berdiri,seolah-olah berlepas dari ikatan. Seperti inilah, bacaan Al-Fatihah
memberikan pengaruh atas laki-laki ini; karena ia muncul dari hati orang yang

98
Kesehatan Mental
penuh iman. Nabi saw bersabda setelah mereka kembali kepada beliau,
Tahukah engkau bahwa ia adalah ruqyah (HR Al-Bukhari, kitab Ath-Thibb
5749, Muslim, kitab As-Salam 2201)
Namun di zaman kita sekarang ini, iman dan agama telah lemah.
Manusia berpegang atas perkara-perkara yang terasa dan nampak.
Sebenarnya mereka diuji padanya. Akan tetapi di hadapan mereka terdapat
para ahli sulap dan mempermainkan akal, kemampuan, dan harta manusia.
Mereka meyakini sebagai qurra (pembaca Al-Quran) yang bersih, namun
mereka sebenarnya adalah pemakan harta dengan cara batil. Manusia berada
di antara dua sisi yang kontradiktif, di antara mereka ada yang bersikap
ekstrim dan tidak melihat adanya implikasi secara absolut terhadap bacaan.
Ada pula yang bersikap ekstrim dan bermain dengan akal manusia dengan
bacaan bohong serta menipu. Ada pula yang berada di tengah.116
D. Ilmuwan Islam, Perintis Pengobatan Penyakit Jiwa
Peradaban Barat kerap mengklaim bahwa Philipe Pinel (1793)
merupakan orang pertama yang memperkenalkan metode penyembuhan
penyakit jiwa. Tak cuma itu, Barat juga menyatakan rumah sakit jiwa (RSJ)
pertama di dunia adalah Viennas Narrenturm yang dibangun pada tahun
1784. Benarkah klaim peradaban Barat itu? Klaim itu tentu sangat tak
berdasar. Sebab, jauh sebelum Barat mengenal metode penyembuhan
penyakit jiwa berikut tempat perawatannya, pada abad ke-8 M di Kota
Baghdad.
Menurut Syed Ibrahim B PhD dalam bukunya berjudul Islamic
Medicine: 1000 years ahead of its times, mengatakan, rumah sakit jiwa atau
insane asylums telah didirikan para dokter dan psikolog Islam beberapa abad
sebelum peradaban Barat menemukannya. Hampir semua kota besar di dunia
Islam pada era keemasan telah memiliki rumah sakit jiwa. Selain di Baghdad
ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah insane asylum juga terdapat di kota Fes,
Maroko. Selain itu, rumah sakit jiwa
juga sudah berdiri di Kairo, Mesir pada tahun 800 M. Pada abad ke-13. M,
kota Damaskus dan Aleppo juga telah memiliki rumah sakit jiwa. Mari kita
bandingkan dengan Inggris. Negara terkemuka di Eropa itu baru membuka
rumah sakit jiwa pada th 1831 M. Rumah sakit jiwa pertama di negeri Ratu
Elizabeth itu adalah Middlesex County Asylum yang terletak di Hanwell
sebelah barat London. Pemerintah Inggris membuka rumah sakit jiwa setelah
mendapat desakan dari Middlesex County Court Judges. Setelah itu Inggris
mengeluarkan Madhouse Act 1828 M. Lalu

116
Lihat selengkapnya dalam Syaikh Ibnn Baz, Ibn Utsaimin, Fatawa Al-Ilaj bil Quran wa Sunnah, Ar-Ruqa
ma Yataallahqu Biha Al-Lajnah al-Daimah, h. 22-24 dan lihat fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

99
Kesehatan Mental
Bagaimana peradaban Islam mulai mengembangkan pengobatan
kesehatan jiwa? Menurut Syed Ibrahim, berbeda dengan para dokter Kristen
di abad pertengahan yang mendasarkan sakit jiwa pada penjelasan yang
takhayul, dokter Muslim justru lebih bersifat rasional. Para dokter Muslim
mengkaji justru melakukan kajian klinis terhadap pasien-pasien yang
menderita sakit jiwa. Tak heran jika para dokter Muslim berhasil mencapai
kemajuan yang signifikan dalam bidang ini. Mereka berhasil menemukan
psikiatri dan pengobatannya berupa psikoterapi dan pembinaa moral bagi
penderita sakit jiwa.
Selain itu, para dokter dan psikolog Muslim juga mampu menemukan
bentuk pengobatan modern bagi penderita sakit jiwa seperti, mandi
pengobatan dengan obat, musik terapi dan terapi jabatan, papar Syed
Ibrahim. Konsep kesehatan mental atau al-tibb al-ruhani pertama kali
diperkenalkan dunia kedokteran Islam oleh seorang dokter dari Persia
bernama Abu Zayd Ahmed ibnu Sahl al-Balkhi (850-934). Dalam kitabnya
berjudul Masalih al-Abdan wa al-Anfus (Makanan untuk Tubuh dan Jiwa), al-
Balkhi berhasil menghubungkan penyakit antara tubuh dan jiwa. Ia biasa
menggunakan istilah al-Tibb al-Ruhani untuk menjelaskan kesehatan spritual
dan kesehatan psikologi. Sedangkan untuk kesehatan mental dia kerap
menggunakan istilah Tibb al-Qalb . Ia pun sangat terkenal dengan teori yang
dicetuskannya tentang kesehatan jiwa yang berhubungan dengan tubuh.
Menurut dia, gangguan atau penyakit pikiran sangat berhubungan dengan
kesehatan badan. Jika jiwa sakit, maka tubuh pun tak akan bisa menikmati
hidup dan itu bisa menimbulkan penyakit kejiwaan, tutur al-Balkhi.
Menurut al-Balkhi, badan dan jiwa bisa sehat dan bisa
pula sakit. Inilah yang disebut keseimbangan dan ketidakseimbangan. Dia
menulis bahwa ketidakseimbangan dalam tubuh dapat menyebabkan demam,
sakit kepala, dan rasa sakit di badan. Sedangkan, ketidakseimbangan dalam
jiwa dapat mencipatakan kemarahan, kegelisahan, kesedihan, dan gejala-
gejala yang berhubungan dengan kejiwaan lainnya.
Dia juga mengungkapkan dua macam penyebab depresi. Menurut dia,
depresi bisa disebabkan alasan yang diketahui, seperti mengalami kegagalan
atau kehilangan. Ini bisa disembuhkan secara psikologis. Kedua, depresi bisa
terjadi oleh alasan-alasan yang tak diketahui, kemukinan disebabkan alasan
psikologis. Tipe kedua ini bisa disembuhkan melalui pemeriksaan ilmu
kedokteran. Selain al-Balkhi, peradaban Islam juga memiliki dokter kejiwaan
bernama Ali ibnu Sahl Rabban al-Tabari. Lewat kitab Firdous al-Hikmah yang
ditulisnya pada abad ke-9 M, dia telah mengembangkan psikoterapi untuk
menyembuhkan pasien yang mengalami gangguan jiwa. Al-Tabari
menekankan kuatnya hubungan antara psikologi dengan kedokteran.

100
Kesehatan Mental
Menurut dia, untuk mengobati pasien gangguan jiwa membutuhkan
konseling dan dan psikoterapi. Al-Tabari menjelaskan, pasien kerap kali
mengalami sakit karena imajinasi atau keyakinan yang sesat. Untuk
mengobatinya, kata al-Tabari, dapat dilakukan melalui konseling bijak.
Terapi ini bisa dilakukan oleh seorang dokter yang cerdas dan punya humor
yang tinggi. Caranya dengan membangkitkan kembali kepercayaan diri
pasiennya. Melalui kitab yang ditulisnya yakni El-Mansuri dan Al-Hawi ,
dokter Muslim legendaris al-Razi juga telah berhasil mengungkapkan definisi
symptoms (gejala) dan perawatannya untuk menangani sakit mental dan
masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental.
Al-Razi juga tercatat sebagai dokter atau psikolog pertama yang
membuka ruang psikiatri di sebuah rumah sakit di Kota Baghdad. Pemikir
Muslim lainnya di masa keemasan Islam yang turut menyumbangkan
pemikirannya untuk pengobatan penyakit kejiwaan adalah Al-Farabi. Ilmuwan
termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait psikologi sosial dan
berhubungan dengan studi kesadaran. Selain itu, Ibnu Zuhr, alias Avenzoar
juga telah berhasil mengungkap penyakit syaraf secara akurat. Ibnu Zuhr
juga telah memberi sumbangan yang berarti bagi neuropharmakology
modern. Yang tak kalah penting lagi, Ibnu Rusyd atau Averroes ilmuwan
Muslim termasyhur telah mencetuskan adanya penyakit Parkinsons.
Sejarawan Francis Bacon menyebut Al-Haitham sebagai ilmuwan yang
meletakkan dasar-dasar psychophysics dan psikologi eksperimental.
Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukannya, Bacon merasa yakin
bahwa Al-Haitham adalah sarjana pertama yang berhasil menggabungkan
fisika dengan psikologi, dibandingkan Fechner yang baru menulis Elements
of Psychophysics pada tahun 1860 M. Begitulah, kedokteran dan psikologi
Islam mengembangkan pengobatan penyakit jiwa. merupakan Utang Budi
Kedokteran Modern.
Kontribusi umat Islam bagi peradaban manusia adalah fakta yang tak
terbantahkan. Para sejarawan sains Barat dalam sebuah konferensi mengakui
bahwa dunia kedokteran modern berutang begitu banyak terhadap para
ilmuwan Muslim di era keemasan Islam. Betapa tidak, dokter Muslim di era
kekhalifahan merupakan perintis diagnosis dan penyembuhan beragam
penyakit.
Dr Emilie Savage-Smith dari St Cross College di Oxford
mengungkapkan, Islam adalah peradaban pertama yang memiliki rumah sakit.
Menurut dia, rumah sakit pertama di dunia dibangun Kekhalifahan Abbasiyah
di kota Baghdad, Irak sekitar tahun 800 M. Rumah sakit yang berdiri di
Baghdad itu lebih mutakhir dibandingkan rumah sakit di Eropa Barat yang

101
Kesehatan Mental
dibangun beberapa abad setelahnya, papar Savage-Smith seperti dikutip
Independent.
Savage-Smith mengungkapkan, rumah sakit (RS) Islam terbesar di
zaman keemasan dibangun di Mesir dan Suriah pada abad ke-12 dan 13 M.
Pada masa itu, RS Islam sudah menerapkan sistem perawatan pasien
berdasarkan penyakitnya. Menurut Savage-Smith, pembangunan sebuah
sistem rumah sakit yang begitu luas merupakan salah satu pencapaian
terbesar dalam peradaban Islam pada abad pertengahan.
Peradaban Islam pada abad ke-10 M untuk pertama kalinya
memperkenalkan sistem pendidikan kedokteran secara langsung di rumah
sakit, papar Savage-Smith. Ia pun mengagumi Islam yang mengajarkan
umatnya untuk merawat seluruh jenis penyakit tanpa memandang status
ekonomi pasiennya.
Menurut dia, rumah sakit Islam pada era kejayaannya terbuka bagi
semua; laki-laki, perempuan, warga sipil, militer, kaya, miskin, Muslim dan
non-Muslim. Pada masa itu, kata Savage-Smith, rumah sakit memiliki beragam
fungsi yakni sebagai; pusat perawatan kesehatan, rumah penyembuhan bagi
pasien yang sedang dalam tahap pemulihan dari sakit atau kecelakaan.
Selain itu, ungkap Savage-Smith, peradaban Islam juga sudah memiliki
rumah sakit jiwa atau insane asylum. Menurut dia, masyarakat Muslim juga
tercacat sebagai yang pertama mendirikan dan memiliki rumah sakit jiwa.
Rumah sakit pada era keemasan Islam juga berfungsi sebagai tempat
perawatan para manusia lanjut usia (manula) yang keluarganya kurang
beruntung.
Smith-Savage menuturkan, para dokter Muslim menguasai dunia
kedokteran berkat upaya penerjemahan terhadap karya-karya kedokteran
Yunani klasik. Tak cuma menerjemahkan, namun para dokter Muslimpun
mengembangkan, menemukan serta menulis buku-buku kedokteran. Para
dokter Muslim pun berhasil menemukan sejumlah penyakit, cara pengobatan
hingga penyembuhannya. Menurut Smith-Savage, dokter Muslim telah
mampu menjelaskan beragam jenis penyakit infeksi seperti cacar air. Selain
itu, kedokteran Islam juga menemukan penyakit yang sebelumnya tak
diketahui manusia, seperti kataraks. Bahkan, kedokteran Islam juga telah
berhasil melakukan operasi atau bedah. Peradaban Barat pun belajar dan
mengembangkan hasil penemuan dan penelitian di bidang kedokteran. Tanpa
kontribusi kedokteran Islam, boleh jadi dunia Barat tak akan menguasai ilmu
kedokteran seperti saat ini.
Berikut ini penulis menyajikan beberapa contoh studi kasus yang erat
kaitannya dengan penyakit jiwa sebagai berikut:

102
Kesehatan Mental
Studi Kasus 1
Putriku mengalami gangguan kejiwaan kronis. Pada bulan Ramadan lalu
dia tidak berpuasa karena kambuh dan kesadarannya hilang. Saya sangat
berat menghadapinya penderitaannya selama berbulan-bulan. Apa yang harus
saya lakukan?. Pertanyaan kedua: Putriku ini kalau tidur tidak dapat
dibangunkan untuk shalat apa saja, sampai dia bangun sendiri. Karena
kesulitan tersebut, apakah ibunya terkena dosa? Anak wanitaku berumur 23
tahun dan mengalami sakit sudah 4 tahun, dan kambuh dua kali dalam
setahun. Mohon doa anda agar dia sembuh. Alhamdulillah.
Pertama: Kami memohon kepada Allah agar menyembuhkan putri anda,
dan memperbaiki kondisinya. Kedua: Kalau penyakitnya parah sampai hilang
kesadarannya selama bulan Ramadan. Maka dia tidak diharuskan mengqada
dan membayarat kaffarah. Karena waktu itu dia tidak termasuk terkena beban
berpuasa. Sedangkan kalau kondisi sakitnya hanya sebatas stres, sedangkan
kesadaraannya masih ada, dalam hal ini ada dua kondisi. Kondisi pertama,
jika sakitnya ada harapan sembuh menurut rekomendasi para dokter. Maka
dia harus mengqada yang telah terlewat ketika penyakitnya telah hilang.
Kondisi kedua, penyakitnya tidak ada harapan sembuh. Maka dia tidak wajib
berpuasa, cuma diharuskan memberi makan untuk setiap hari yang tidak
berpuasa kepada seorang miskin.
Syekh Ibnu Baz rahimahullah pernah sebagai berikut, 'Ada orang sakit
telah mendapatkan sebagian bulan Ramadan kemudian mengalami hilang
kesadaran dan terus berlanjut. Apakah anak-anaknya mengqada untuknya?'
Beliau menjawab: Dia tidak perlu mengqada kalau mengalami hilang
kesadaran atau yang dikenal dengan pingsan. Kalau kesadarannya kembali,
dia tidak perlu mengqada. Hal ini seperti kondisi orang gila atau idiot, tidak
wajib qada. Melainkan kalau pingsannya sebentar, misalnya sehari, dua hari
atau paling lama tiga hari. Maka tidak mengapa diqada sebagai kehati-hatian.
Adapun kalau waktunya lama, maka tidak wajib mengqada karena disamakan
seperti orang idiot. Kalau Allah kembalikan akalnya, maka dia mulai lagi
dengan amalan (yang baru).' (Majmu Fatawa Syekh Ibn Baaz)
Ketiga: Jika putri anda tidak bangun untuk menunaikan shalat pada
waktunya, dan anda tidak dapat membangunkannya. Maka tidak mengapa
bagi anda Insya Allah Taala. Jika sudah bangun, dia harus mengqada shalat-
shalat yang terlewatkan. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
Barangsiapa lupa (menunaikan) shalat atau tertidur, maka tebusannya
adalah menunaikan shalat ketika mengingatnya. (HR. Muslim, no. 684)
Kalau pelaksanaan shalat setiap waktu membuatnya berat, maka dia
dibolehkan menjama antara Zuhur dan Ashar, dan antara Magrib dan Isya,
baik taqdim (memajukan waktu akhir di waktu yang lebih awal) maupun

103
Kesehatan Mental
takhir (mengakhirkan waktu awal ke waktu yang akhir), mana yang mudah
baginya.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Qashar
(memendekkan shalat) sebabnya adalah khusus safar. Tidak diperkenankan
selain safar. Sedangkan jamak (menggabungkan dua shalat menjadi satu)
sebabnya adalah keperluan dan uzur. Kalau dia butuh, maka dia dapat
menjama dalam safar, baik safar sebentar ataupun lama. Begitu juga
dibolehkan menjamak jika ada hujan dan semisalnya. Dan sebab-sebab
lainnya. Karena tujuan jamak adalah menghilangkan kesulitan pada umat.
(Majmu Fatawa, 22/293)
Studi kasus kedua ini terjadi pada hari senin 15 Pberuari 2010 di
Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat yang dimuat di Antara News oleh Aco
sebagai berikut:

Kasus 2:
Mamuju (ANTARA News) - Amri (40) penderita sakit lumpuh dari
lingkungan So`do, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat yang sedang menjalani
perawatan medis di RSUD Mamuju kian terguncang setelah dokter setempat
mendiagnosa dirinya mengalami "Sakit Jiwa" (gila). "Seminggu saya menjalani
perawatan di RSUD karena penyakit lumpuh, namun tiba-tiba dokter ahli
penyakit dalam, dr Arif Ibrahim yang menangani saya menyarankan untuk
menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Jiwa di Kota Pare-Pare, Sulawesi
Selatan," kata Amri, saat ditemui di RSUD Mamuju, Minggu. Ia mengatakan,
dirinya terkejut mendengar permintaan dokter tersebut karena telah
menyarankan untuk segera dirujuk ke rumah sakit jiwa jika ingin mencari
kesembuhan secara total. "Saya tidak tahu, kenapa dokter menyarankan
seperti itu, padahal saya masih merasa cara berfikir hingga saat ini masih
normal dan masih berkelakuan yang wajar," katanya. Dia mengatakan,
pernyataan dokter yang meminta untuk segera menjalani perawatan di rumah
sakit jiwa telah mengganggu dirinya secara psikologis bahkan keluarganya
pun ikut terguncang, apalagi mereka itu dari keluarga yang tidak mampu.
"Mestinya dokter tidak mengeluarkan pernyataan yang membingunkan saya,
karena mau tidak mau beban derita yang saya tanggung selama ini justeru
malah bertambah, apalagi kondisi saya belum sempat sembuh, tiba-tiba
muncul penyakit baru yakni kelainan jiwa," tuturnya.
Dia mengatakan, sejak dirawat di RSUD Mamuju, keluarga Amri sudah
tak mampu menutupi biaya karena keluarga mereka sudah menganggur yang
hanya mengandalkan menambang pasir di sungai oleh istri pasien. "kami
tidak punya biaya apa-apa untuk hidup untuk menjalani perawatan di rumah
sakit ini apalagi jika harus di rujuk ke tempat lain, karena kami tidak lagi

104
Kesehatan Mental
bekerja," sebut Asmija, Istri Amri yang turut setia mendampinginya di RSUD
Mamuju. Ia mengatakan, untuk biaya sehari-hari keluarganya selama dirawat
di rumah sakit Mamuju tidak ada, meski biaya pengobatan suaminya
ditanggung oleh pihak rumah sakit secara gratis. "Sejak suami saya (Amri)
menderita lumpuh akibat mengalami infeksi usus di bagian pencernaannya
sejak dua tahun lalu, hanya saya yang mencari nafkah untuk suami saya itu,
karena suami saya sudah tidak bisa bekerja, jangankan bekerja untuk berdiri
saja sulit," katanya. Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga sudah tidak mampu
lagi memberikan sesuap nasi bagi anaknya Nuramanah (6), yang juga
mengalami kelainan atau cacat karena kulitnya bersisik seperti ular sejak
lahir. "Saya bekerja sebagai penambang pasir dengan upah Rp15.000 per
hari, untuk memberi makan anak saya yang cacat dan suami saya yang
lumpuh meski saya sendiri juga menderita penyakit gondok dan tidak lagi
bekerja," ujarnya.
Namun, sejak suaminya diboyong ke rumah sakit Mamuju oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten Mamuju, maka pihaknya tidak dapat berbuat apa-apa
lagi, karena harus mendampingi suaminya yang dirawat di rumah sakit. "Saya
sudah tidak bekerja sehingga tidak punya uang untuk hidup di rumah sakit,
karena petugas medis hanya memberikan pengobatan gratis tanpa
memberikan biaya hidup," katanya. Oleh karena itu, ia meminta agar
pemerintah Kabupaten Mamuju dapat memberikan bantuan dana untuk
mengurangi beban hidup keluarganya yang membutuhkan selama dirawat di
rumah sakit.

E. Berbagai Pendekatan dalam Memahami Agama


Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara
aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia.
Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti
sekedar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional
menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan
masalah.Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala
pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan
teologis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan
pendekatan lain, yang secara oprasional konseptual, dapat memberikan
jawaban terhadap masalah yang timbul.117
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum
ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah
masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun

117
Abdullah, Yatmin, Studi Islam Kontemporer (Cet.I; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006),h. 3

105
Kesehatan Mental
peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal
itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga
kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang
penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian
tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah
satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan
sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah
satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat
menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam
kehidupan, di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama
tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik
keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama
dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara
doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual
agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang
dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua
adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan.
Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena
agama tidak berada dalam realitas yang vakum selalu original. Mengingkari
keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas
agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari
oleh budayanya.118
Berkenaan dengan pemikiran di atas, maka penulis akan mengkaji
berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami agama. Hal
demikian perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut kehadiran
agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya, sebaliknya tanpa
mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi
sulit dipahami oleh masyarakat tidak fungsional, dan akhinya masyarakat
mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh
terjadi.
Berbagai pendekatan yang dilakukan para peneliti dalam memahami
agama, namun penulis dalam makalah ini membatasi pada pendekatan
teologis normatif filosofis dan pendekatan Antropologi. Adapun yang dimaksud
dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat
dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama.

118
Lihat Ibid., h. 6

106
Kesehatan Mental
Ada dua variabel yang perlu dijelaskan pengertiannya di sini yaitu
pendekatan Teologis Normatik dan pendekatan Antropologi.
1. Pendekatan Teologis Normatif
Menurut M. Amin Abdullah teologi pasti mengacu kepada agama
tertentu. Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara
harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan
menggunakan empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling
benar.119 Selanjutnya beliau mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita
ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas
terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta
penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku,
bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk
pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan
mudah kita dapat menemukan teologi Kristen Katolik, teologi Kristen
Protestan, dan begitu seterusnya.120
Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era komtemporer ada
4 prototipe pemikiran keagamaan Islam yaitu pemikiran keagamaan
fundalisme, modernis, mislanis, dan tradisionalis. Salah satu ciri teolog masa
kini adalah sifat kritisnya. Sikap kritis ini ditujukan pertama-tama pada
agamanya sendiri (agama sebagai institusi sosial dan kemudian juga kepada
situasi yang dihadapinya). Penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam teologi
merupakan fenomena baru dalam teologi.
Pendekatan teologis normatif semata-mata tidak dapat memecahkan masalah
esensial pluralitas agama saat ini. Kemudian muncul terobosan baru untuk
melihat pemikiran teologi masa kritis yang termanifestasikan dalam budaya
tertentu secara lebih objektif lewat pengamatan empiris faktual. 121
Dan jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama
tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan.
Dalam Islam sendiri secara tradisional, dapat dijumpai teologi Mu'tazilah,
teologi Asy'ariyah, dan Maturidivah. Dan sebelumnya terdapat pula teologi
yang bernama Khawarij dan Murji'ah. Menurut pengamatan Savyed Hosein
Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam,
yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis, mesianis, dan
tradisionalis. Keempat prototipe pemikiran keagamaan tersebut sudah barang
tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai
"keyakinan" teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan. Mungkin kurang
119
Abdullah, M. Amin, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, (Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), h. 3.
120
Lihat Ibid., h. 5
121
Lihat dalam H.M. Amin Abdullah, dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural. (Yogyakarta;
IAIN Sunan kalijaga-Kurnia Kalam Semesta, 2002), h. 12

107
Kesehatan Mental
tepat menggunakan istilah "teologi" di sini, tetapi menunjuk pada gagasan
pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan dan
pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu adalah juga
bentuk dari pemikiran teologi dalam bentuk dan wajah yang baru.122
Berkenaan dengan pendekatan teologi tersebut, Amin Abdullah
mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan
masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih lagi kenyataan
demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi pada dasarnya memang
tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan
social kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan
ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang
sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat
tertentu. 123
Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang
menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai
agama yang paling benar, yang lainnya salah sehingga memandang bahwa
paham orang lain itu keliru, kafir, sesat, dan murtad. Pendekatan teologis
normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai
upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan
yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari keagamaan
dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Pendekatan teologis dalam memahami agama cenderung bersikap
tertutup, tidak ada dialog yang saling menyalahkan dan mengkafirkan, yang
ada pada akhirnya terjadi pembagian-pembagian umat, tidak ada kerja sama
dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Melalui pendekatan teologis ini
agama dapat menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial cenderung
menjadi lambang atau identitas yang tidak memiliki makna.124
Pendekatan teologis juga erat kaitannya dengan ajaran pokok dari
Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penularan pemikiran manusia. Dalam
pendekatan teologis agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari
Tuhan, tidak ada keraguan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam
kaitan ini agama tampil prima dengan seperangkat ciri yang khas.
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara
berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang
diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan
sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu,

122
Lihat Ibid., h. 23-24
123
Lihat Amin Abdullah, op.cit., h.6
124
Lihat Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Cet.II;
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990), h. 27-28.

108
Kesehatan Mental
melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-
dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis tersebut menunjukkan adanya
kekurangan yang antara lain bersifat ekslusif, dogmatis, tidak mau mengakui
kebenaran agama lain. Sedangkan kelebihannya melalui pendekatan teologis
normatif ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni
berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa
memandang dan meremehkan agama lainnya.125
Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap
fanatis terhadap agama yang dianutnya. Pendekatan teologis ini selanjutnya
erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang
memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang
di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan
teologis ini agama dilihat dari suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada
kekurangan sedikitpun dan nampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama
tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama
Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur.
Untuk bidang sosial agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan,
kebersamaan, tolong menolong, tenggang ras, persamaan derajat dan
sebagainya. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong
pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi setinggi-tingginya,
menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya.126
Pendekatan Teologis Normatif oleh Charles J. Adams diklasifikasi
menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Pendekatan Missionaris Tradisional
Pada abad 19, terjadi gerakan misionaris besar-besaran yang dilakukan
oleh gereja-gereja, aliran, dan sekte dalam Kristen. Gerakan ini menyertai dan
sejalan dengan pertumbuhan kehidupan politik, ekonomi, dan militer di Eropa
yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Asia dan Afrika.
Sebagai konsekuensi logis dari gerakan itu, banyak misionaris dari kalangan
Kristen yang pergi ke Asia dan Afrika mengikuti kolonial (penjajah) untuk
merubah suatu komunitas masyarakat agar masuk agama Kristen serta
meyakinkan masyarakat akan pentingnya peradaban Barat.
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para missionaris berusaha
dengan sungguh untuk membangun dan menciptakan pola hubungan yang
erat dan cair dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan penjajah,
mereka harus mempelajari bahasa daerah setempat dan bahkan tidak jarang

125
Lihat Umam Kh, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktis, (Jakarta: Grafindo
Persada, 2006), h. 52-55
126
Lihat Agus Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: Raja
Grapindo Persada, 2006), h. 57-59

109
Kesehatan Mental
mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural.
Dengan demikian, eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional dan
penjajah (yang sama-sama beragama Kristen) mempunyai pengaruh yang
sangat signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam. Dalam konteks itu
karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris Kristen, maka
Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan
dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan
yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan
missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.127
2. Pendekatan Apologetik
Di antara ciri utama pemikiran Muslim pada abad kedua puluh satu
adalah keasyikannya (preoccupation) dengan pendekatan apologetik dalam
studi agama. Dorongan untuk menggunakan pendekatan apologetik dalam
khazanah pemikiran keislaman semakin kuat. Di sebagian wilayah dunia
Islam, seperti di India, cukup sulit ditemukan penulis yang tidak
menggunakan pendekatan apologetik. Perkembangan pendekatan apologetik
ini dapat dimaknai sebagai respon mentalitas umat Islam terhadap kondisi
umat Islam secara umum ketika dihadapkan pada kenyataan modernitas.
Selain itu, apologetik ini muncul didasari oleh kesadaran seorang yang ingin
keluar dari kebobrokan internal dalam komunitasnya dan dari jerat
penjajahan peradaban Barat.128
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi yang
positif dan cukup berarti terhadap generasi Islam dalam banyak hal.
Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali
percaya diri dengan identitas keislamannya dan bangga terhadap warisan
klasik. Dalam konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik
mencoba menghadirkan Islam dalam bentuk yang baik. Sayangnya,
pendekatan ini terkadang jatuh dalam kesalahan yang meniadakan unsur ilmu
pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal.
Pertama, metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan
kedudukan doktrinal melawan para pengecamnya. Kedua, dalam teologi,
usaha membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Ketiga,
apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang
mempertahankan dan membenarkan dogma dengan argumen yang masuk
akal. Ada yang mengatakan bahwa apologetika mempunyai kekurangan
internal. Karena, di satu pihak apologetik menekankan rasio, sementara di
pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang pokok dan tidak dapat

127
Lihat dalam Connolly, Peter (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), h.., 7-8.
128
Lihat Ibid., h. 14-16

110
Kesehatan Mental
ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam bentuk
tetapi irasional dalam isi.129
2. Pendekatan Irenic
Yang ketiga ini ada semacam usaha untuk membuat jembatan antara
cara pandang para orientalis terdahulu yang penuh dengan motivasi negatif
dan para pengikut Islam yang merasa hasil kajian para orientalis tersebut
banyak mengandung penyimpangan.
Sejak Perang Dunia II, gerakan yang berakar dari lingkungan kegamaan
dan universitas tumbuh di Barat. Gerakan itu bertujuan untuk memberikan
apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu
mengembangkan sikap apresiatif itu. Langkah ini dilakukan untuk
menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh
barat, khususnya Kristen Barat terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah
praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan
kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling
menguntungkan antara tradisi kegamaan dan bangsa.
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah melalui
pendekatan irenic. Usaha ini pernah dilakukan oleh uskup Kenneth Gragg,
seorang yang menekuni dalam kajian Arab dan teologi. Melalui beberapa seri
tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahasa yang puitis, ia telah
cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen
secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai
tradisi Islam. Karenanya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap
terbuka terhadap kenyataan ini.
Tokoh lain yang telah mengembangkan pendekatan ini adalah W.C.
Smith yang mensosialisasikan konsep ini melalui buku dan tulisan-tulisannya
yang lain. Smith sangat concern pada persoalan diversitas (perbedaan)
agama. Menurutnya, perbedaan agama (religious diversity) merupakan
karakter dari ras/bangsa manusia secara umum, sedang eksklusifitas agama
(religous exclusiviness) merupakan karakter dari sebagian kecil dari umat
manusia.130
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga
model pertanyaan, yaitu: pertama, pertanyaan ilmiah (scientific question)
untuk menanyakan apa bentuk perbedaan, mengapa, dan bagaimana
perbedaan itu dapat terjadi. Kedua, pertanyaan teologis (theological question)
untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas

129
Lihat D. Hendropuspito. Sosiologi Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984),h. 47-48

130
Lihat Pals, Daniel L. (ed), Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996), h., 57-58

111
Kesehatan Mental
agama dan ketiga, pertanyaan moral (moral question) yang mengetahui sikap
seseorang terhadap perbedaan kepercayaan.131
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi
dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada
bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk
forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai
yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang
satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan
faham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat,
kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat
dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir.
Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling meng-kafirkan, salah
menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran
lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah
ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan
terkotak-kotak.132
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan teologis dalam
memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir
yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena
ajaran yang bersalal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu
ditanyakan lebih dahulu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan ini
memiliki kekurangan yaitu bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui
kebenaran agama lain dan sebagainya.
2. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui
pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu
Antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami
agama. 133
Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo,
lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari
sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi
131
Lihat Ibid., h. 59
132
Lihat Mudzhar, M. Atho, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999, h.5-7 .
133
Lihat Olson, Carl, Theory and Method in the Study of Religion; a Selection of Critical Readings, (Canada:
Thomson Wadsworth, 2003), h. 76-77

112
Kesehatan Mental
pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis.
penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan
tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri
dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak
sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang
mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan
kepada penelitian historis.134
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara
kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan
masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih
tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang
menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan
orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang
sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.
Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai opium atau
candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan
teori konflik atau yang biasa disebut dengan teori pertentangan kelas.
Menurutnya, agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan tertentu untuk
melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem
kapitalisme di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber
(1964-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Protestan
dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika Protestan dilihatnya
sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang kapitalistik.
Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah dalam
karyanya The Religion of Tokugawa. Dia juga melihat adanya korelasi positif
antara ajaran agama Tokugawa, yakni semacam percampuran antara ajaran
agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos
kerja orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran
Paris, Maxime Rodinson, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap
bahwa ekonomi Islam itu lebih dekat kepada sistem kapitalisme, atau
sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.135
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama
ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu
masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan
sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah
pandangan keagamaannya.
134
Lihat dalam D. Hendopuspiti, op.cit., h. 54-56
135
Lihat Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h. 15-17

113
Kesehatan Mental
Dalam kajian Islam memberikan arti bahwa perkembangan agama
dalam sebuah masyarakat, baik dalam wacana dan praktis sosialnya
menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan
ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan
hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan seperti yang
tercermin dalam kitab-kitab suci dan konstruksi manusia terjemahan dan
interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek
ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran
agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya primordial yang
telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi
terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford
Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami
Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik,
sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah.
Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat
dipengaruhi oleh lingkungan budaya.136
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya
adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari
pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan
sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik
dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi
kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia dalam hal ini masalah
interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan
kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai
dengan keragaman masalah sosialnya.137
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi
sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang
manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan
kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan
komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka
sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari
agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid
mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk
memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil

136
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Cet.III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), h.. 82-84
137
Lihat Ibid., h. 84

114
Kesehatan Mental
Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia
dalam Islam.138
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa
sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah
bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia
adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam
kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya.
Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia
dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan
'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan
kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional
ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah
kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar
maupun teknologi.139
Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim
tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud
yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbangan gejala
kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting
bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha
manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi
fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini usaha untuk memahami
agama dan menegasi eksistensi agama sesungguhnya menggambarkan betapa
kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.140
Menurut M.Atho Mudhar , ada lima fenomena agama yang dapat dikaji,
yaitu:
a. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
b. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap,
perilaku dan penghayatan para penganutnya.
c. Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan.
d. Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya
e. Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan
berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja
Protestan, Syiah dan lain-lain.

138
Lihat Umam Kh, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktis ( Cet.II; Jakarta: Grafindo Persada,
2006), h. 67
139
Lihat Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, ( Cet V; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 91-92.
140
Lihat Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah. ( Cet IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 62-
63

115
Kesehatan Mental
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi,
karena kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan
kreasi manusia.141
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah
dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas
keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah
dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah
terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu,
antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk
memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah
dipraktikkan Islam that is practised yang menjadi gambaran sesungguhnya
dari keberagamaan manusia.
Dari uraian di atas dapat dipahami bawa:
1. Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama menggunakan
cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang
diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang bersalal dari Tuhan,
sudah pasti benar, sehingga tidak perlu ditanyakan lebih dahulu. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pendekatan ini memiliki kekurangan yaitu
bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain.
2. Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang
dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama
yang datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu
agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan
kepercayaan kepada yang sakral, wilayah antropologi hanya terbatas pada
kajian terhadap fenomena yang muncul.
3. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat..

F. Agama dan Kesehatan Mental (Versi Dunia Barat)


1. Religiosity, Meaning in Life, and Psychological well-being (Hubungan
antara Religiusitas, Makna Dalam Hidup, dan Kesejahteraan Psikologis).

Agama telah sering dipertimbangkan mempunyai pengaruh yang


signifikan terhadap kesehatan jiwa dan psikologi kesejahteraan, meskipun
arah dari pengaruh ini telah sering diperdebatkan. (Bergin, Masters, &
Richards, 1987; Bergin, Stiuchfield, Gaskin, Masters dan Sullivan, 1988).
Penelitian terakhir dan Tinjauan dari bukti menyatakan, bahwa keagamaan itu
memiliki hubungan yang positif dengan kesejahteraan dan kesehatan jiwa.

141
Mudzhar, M. Atho, op.cit., h. 47-48

116
Kesehatan Mental
Dalam suatu tinjauan awalnya, Lea (1982) menyimpulkan keagamaan
yang positif berhubungan dengan penyesuaian diri dalam masyarakat dewasa
serta lebih kuat bagi usia lanjut. Witter, Stock, Okun dan Haring (1985)
melakukan suatu meta-analisis dari 28 penelitian yang diberikan efek ukuran
56 tentang hubungan antara agama dan subjektif kesejahteraan. Efek ukuran
berkisar dari 01 dan + -.. 58, dan Witter dkk, menyimpulkan bahwa
"beragama yang positif berhubungan dengan persepsi tentang kesejahteraan"
(p.335). Pengukuran beragama diklasifikasikan sebagai kegiatan keagamaan
(pertemuan jemaat gereja dan keikutsertaan diberi nilai) atau keagamaan
(minat pada agama dan kesadaran akan agama), dan efek ukuran yang
ditemukan itu sedikit lebih besar pada kegiatan keagamaan daripada
beragama. Langkah-langkah Kesejahteraan ini juga diklasifikasikan sebagai
penilaian kepuasan hidup, moral, kualitas hidup, kesejahteraan, atau
kebahagiaan, namun tidak ada perbedaan dalam efek ukuran yang ditemukan
antara keduanya.
Bergin (1983) melaporkan sebuah meta-analisis terhadap 24 penelitian
yang meneliti hubungan antara beragama dan psikopatologi. Efek ukuran di
sini berkisar dari 32 -. sampai + 0,82. Sebagian kecil (23 persen) terkait
hubungan negatif antara beragama dan kesehatan jiwa, sedangkan hampir
setengah (47 persen) menunjukkan hubungan yang positif. Namun, efek yang
paling kecil dan tidak signifikan. Bergin menyimpulkan bahwa klaim
sebelumnya keyakinan beragama mengerahkan efek negatif terhadap
kesehatan jiwa tidak dapat dipertahankan namun memerhatikan kesulitan
dalam penilaian hubungan itu dengan jelas mengingat ukuran keragaman
beragama dan kesehatan jiwa yang terkait.
Donahue (1985) meninjau berbagai macam penelitian meneliti
religiusitas ekstrinsik dan intrinsik. Meskipun tidak secara langsung berkaitan
dengan kesehatan jiwa dan masalah kesejahteraan, Donahue melaporkan
bahwa beberapa relevan konstruksi yang diferensial yang berkaitan dengan
dimensi-dimensi beragama. Extrinsicness ditemukan berkorelasi positif
dengan prasangka dan dogmatisme, sedangkan instrinsicness itu tidak
berkorelasi dengan sifat-sifat ini. Extrinsicness berkorelasi positif dengan
kegelisahan sedangkan instrinsicness berkorelasi negatif dengan kegelisahan.
Peterson dan Roy (1985) menyimpulkan dari pandangan mereka bahwa
religiusitas psikis memudahkan mencapai kesejahteraan. Bergin dkk . (1987)
menemukan orientasi keagamaan hakiki yang negatif berhubungan dengan
kecemasan sedangkan yang positif berhubungan dengan kontrol diri dan
penyesuaian pribadi. Mereka menyarankan bahwa "keterlibatan agama secara
signifikan mampu berkorelasi positif yang berfungsi menjadi pribadi yang
normal" (hal. 200), dan tidak selalu berhubungan dengan kemiskinan

117
Kesehatan Mental
terhadap kesehatan mental . Bergin dkk . (1988), dalam penelitian kualitatif
bersama peserta agama, tidak menemukan bukti religiusitas berkorelasi
negatif dengan kesehatan mental, dan menemukan penyesuaian yang lebih
baik bagi peserta yang agamanya terintegrasi secara positif ke dalam gaya
hidup mereka. Willits dan Crider (1988) melaporkan bahwa religiusitas dalam
sampel paruh baya berkorelasi positif dengan keseluruhan psikologis
kesejahteraan. Pollner (1989) menemukan bahwa hubungan simbolis dengan
korelasi yang signifikan "ilahi lainnya" adalah dari subjektif kesejahteraan.
Bersamaan, dangan bobot pembuktian yang menunjukkan bahwa agama
itu memiliki hubungan yang kecil namun positif dengan kesehatan mental dan
psikologis kesejahteraan. Namun, temuan tersebut sering dicampur dan
tampaknya tergantung pada keduanya baik secara religiusitas serta
kesejahteraan yang diukur. Beberapa peneliti di bidang ini telah mencatat
pengaruh ini, menyatakan bahwa agama dapat memiliki kedua aspek yaitu
peningkatan dan patogen (misalnya, Bergin dkk , 1988;. Willits & Crider,
1988). Hubungan tersebut juga telah ditemukan bervariasi tergantung pada
variabel lainnya yang terlibat dan yang dikendalikan (misalnya, Lea, 1982;
Peterson & Roy, 1985).
Mekanisme dengan agama yang mana dapat memberikan efek terhadap
kesejahteraan belum dieksplorasi secara luas, meskipun beberapa hipotesis
telah dikemukakan. Pollner (1989) mengusulkan tiga proses melalui
religiusitas dapat mempengaruhi kesehatan mental serta kesejahteraan.
Pertama, agama bisa memberikan sumber daya sebagai penjelasan serta
penyelesaian keadaan yang bermasalah. Kedua, agama dapat beroperasi
untuk meningkatkan rasa diri sendiri sebagai kewenangan atau berkhasiat.
Ketiga agama dapat memberikan dengan berdasarkan arti bagi perasaan ,
tujuan, serta identitas pribadi, dan menanamkan potensi dalam menjauhkan
peristiwa dengan makna. Argumen serupa juga dikemukakan oleh Peterson
serta Roy (1985), yang menyatakan secara khusus bahwa agama dapat
memberikan skema penafsiran yang menyeluruh hal itu memungkinkan
seorang individu untuk memahami eksistensi. Jadi, agama tidak dapat
berkontribusi langsung kepada kesejahteraan seseorang , melainkan dapat
mempengaruhi kesejahteraan secara tidak langsung dengan memberikan rasa
pemaknaan serta arah tujuan dalam hidup.
Terlepas dari mana makna muncul, apakah dari sumber agama atau
tidak ada keterkaitan yang nyata antara pencarian seseorang terhadap
(pencapaian) makna serta kesehatan emosional mereka. Pandangan ini telah
didukung keduanya baik secara secara teoritis empiris. Frank (1959, 1967)
meyakini bahwa kehendak kepada makna adalah motivasi manusia yang
penting, ketika pencarian kesejahteraan seseorang terhadap makna dihalangi,

118
Kesehatan Mental
maka frustrasi eksistensi terjadi, yang menyebabkan kondisi patologis yang
disebutnya "penyakit saraf noogenic." Maddi (1967) menggambarkan kondisi
serupa, penyakit saraf eksistensi, yang "ditandai dengan keyakinan hal itu
hidup seseorang tidak berarti dengan nada afektif apatisme kebosanan,
dengan tidak adanya selektivitas dalam tindakan" (p.313). Demikian pula,
Reker Wong (1988 / mengusulkan bahwa pencapaian pemaknaan pribadi
memberikan seseorang sebuah penafsiran terhadap pengalaman hidup, tujuan
yang berharga maksud tertentu, perasaan kepuasan dan pemenuhan.
Penelitian ini juga mendukung kesimpulan umum bahwa tercapainya
pemaknaan dikaitkan dengan hasil positif kesehatan mental, sedangkan
kurangnya pemaknaan dikaitkan dengan hasil patologis (Coleman, Kaplan, &
Downing, 1986; Ganellen & Blaney, 1984; Harlow, Newcomb, & Bentler, 1986;
Yalom, 1980; Zika & Chamberlain, 1987). Pencarian makna dan pencapaian
yang muncul menjadi dasar dalam kehidupan yang sukses (Lacocque, 1982;
Yalom, 1980).
Di samping itu erat kaitannya dengan psikologis kesejahteraan, makna
secara konseptual terkait dengan agama yang mana. Yalom (1980)
membedakan antara dua kelompok luas terhadap pemaknaan, makna kosmos,
dimana "... mengimplikasikan beberapa desain yang ada di luar dan unggul
kepada orang dan selalu mengacu dalam beberapa keajaiban atau urutan
spiritual alam semesta" (p.423) dan bumi tak bermakna tanpa makna kosmis
maka akan mengalami makna pribadi yang dipenuhi selaras dengan makna
kosmik. Adanya perasaan pemaknaan kosmik akan memberikan hubungan
yang jelas antara religiusitas dan sistem makna.
Gagasan bahwa agama menyediakan sebuah kerangka kerja yang
memberikan arti dan tujuan hidup telah didukung oleh beberapa penyelidikan
empiris. Makna dalam kehidupan telah ditemukan lebih tinggi dalam intrinsik
daripada ekstrinsik agama (Bolt, 1975; Crandall & Rasmussen, 1975;
Soderstrom & Wright, 1977), bagi mereka dengan sudut pandang agama
berkomitmen kemudian tidak berkomitmen (Soderstom & Wright , 1977), bagi
mereka yang konservatif agama daripada nonreligius (Dufton & Perlman,
1986) dan bagi mereka yang baru-baru ini mengalami konversi agama
(Paloutzian, 1981). Yalom (1980) melaporkan bahwa rasa makna positif dalam
hidup dikaitkan dengan kedua nilai-nilai diri transenden dan keyakinan agama
yang dipegang.
Namun, makna dalam konteks tentang religiusitas telah rancu. Peneliti
mengajukan dimensi dari religiusitas yang telah mengusulkan bahwa makna
tersebut hanya satu dimensi (Raja & Hunt, 1975; Hilty, Morgan, & Burns,
1984). Peneliti lain telah menemukan arti sebagai bagian dari kesejahteraan
psikologis (misalnya, Peterson & Roy, 1985). Yang lainnya telah

119
Kesehatan Mental
diperjualbelikan arti yang terpisah (Reker & Wong, 1988), dengan tidak ada
relevansi yang kuat dengan agama dan spiritual (misalnya, Yalom, 1980;
Paloutzian, 1981).
Jelaslah bahwa, makna dapat berasal dari berbagai sumber, dan agama
hanya salah satu dari sejumlah yang mudah diakses. Battista dan Almond
(1973) menyarankan beberapa model yang berbeda untuk mengenali makna
dalam kehidupan, yang artinya berasal dari Tuhan (agama), dari yang
(eksistensial), dari kemanusiaan (humanistik), atau dari kehidupan (self-
transenden). Mereka menemukan bahwa orang-orang sering berkomitmen
untuk dua atau lebih dari sistem kepercayaan, yang artinya berasal dari
gabungan sumber. DeVogler-Ebersole dan Ebersole (1985) menemukan bahwa
makna dapat digolongkan menjadi delapan sumber yang berbeda, dengan
individu biasanya pelaporan tentang empat yang relevan dengan diri mereka
sendiri. Reker dan Wong (1988) mengusulkan tiga belas sumber penting dari
makna, mencakup keyakinan agama dan aktivitas. Reker & Guppy (1988)
menemukan perubahan umur dalam sumber-sumber, dengan agama menjadi
sumber semakin penting dengan usia. Chamberlain dan Zika (1988), dalam
studi faktor analisis tindakan makna, menyimpulkan bahwa artinya adalah
multidimensional. Mereka menyarankan bahwa makna memiliki beberapa
asal-usul, melalui pencapaian tujuan atau pemenuhan, memiliki filosofi yang
jelas atau kerangka kerja, kami melalui contentedness dan kepuasan dengan
apa yang dimiliki seseorang dalam hidup. Dengan demikian, bisa berarti
memiliki berbagai sumber yang berbeda, termasuk agama. Meskipun agama
bisa meningkatkan arti, itu tidak mungkin satu-satunya sumber makna, dan
tampaknya tidak pantas untuk membatasi makna pada dimensi religiusitas.
Kami telah menguji penelitian hubungan antara religiusitas, makna
dalam hidup, dan kesejahteraan psikologis. Berikut ini adalah rincian dari dua
studi tersebut. Sebagaimana dicatat bahwa makna dapat diperoleh dari
beberapa sumber selain dari agama, dan dengan demikian kita ingin menilai
hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan ketika artinya itu
diperhitungkan. Alasan lebih lanjut bahwa makna termasuk dari sumber
tersebut karena memiliki hubungan kuat dengan agama dan kesejahteraan
dan karena itu kami menganggap itu sebagai variabel kontrol kritis.
Penelitian yang terbaru telah disarankan bahwa kesejahteraan terdiri
dari setidaknya tiga dimensi utama: kepuasan hidup, dampak positif dan
dampak negatif. Kepuasan hidup ini dianggap secara kognitif berdasarkan
(rasional) evaluasi terhadap kesejahteraan, berbeda dengan efek positif dan
negatif, yang berdasarkan evaluasi afektif (emosional) evaluasi tampaknya
sesuai dalam mencakup semua ketiga dimensi kesejahteraan karena bukti
secara empiris menunjukkan bahwa mereka memiliki korelasi yang berbeda

120
Kesehatan Mental
(Chamberlain, 1988). Karena hasil campuran dari penelitian sebelumnya
menghubungkan religiusitas dan kesejahteraan, kami menganggap penting
untuk menguji apakah tingkat religiusitas akan berbeda terhadap masing-
masing dimensi kesejahteraan.
Studi 1
Penelitian ini melibatkan dua kelompok yang berbeda dari masyarakat
yang ikut serta dalam penelitian secara umum tentang kepribadian dan
kesejahteraan dan telah disarankan akan menjadi "resiko" dalam hal
mengalami kesejahteraan yang lebih rendah. Kelompok-kelompok ini adalah
para ibu di rumah untuk merawat anak-anak dan orang lanjut usia. Individu di
dalam kelompok telah dianggap sebagai "resiko" karena mereka cenderung
agak terisolasi tidak membayar kerja sering memiliki keterbatasan sumber
daya keuangan dan sering memiliki tingkat ketergantungan pada orang lain.
Selain itu ibu memiliki tuntutan dan tanggung jawab terhadap perawatan
anak dan orang lanjut usia sering menghadapi masalah kesehatan.
Para ibu yang termasuk dalam studi ini jika mereka bukan dalam
pekerjaan yang dibayar dan memiliki perawatan paling tidak satu anak di
bawah usia lima tahun. Dari 188 ibu dalam kelompok itu, hampir semua sudah
menikah (95 persen) dan tinggal sedikit saja (5 persen). Yang dapat
dimasukkan kedalam sampel lanjut usia, peserta harus berusia 60 tahun atau
lebih. Berbeda dengan ibu, proporsi yang jauh lebih kecil (54 persen) dari 137
subyek lansia yang sudah menikah, dan proporsi yang jauh lebih besar (43
persen) tinggal sendirian. Kedua kelompok responden menyelesaikan sebuah
kuesioner yang berisi langkah-langkah psikologis kesejahteraan, religiusitas,
dan tujuan dalam hidup.
Psikologis kesejahteraan dinilai dengan dua ukuran yang berbeda.
Dimensi afektif kesejahteraan, dampak positif dan negatif, ditentukan dengan
efek ukuran (Kammann & Flett, 1983). Komponen kesejahteraan lainnya,
kepuasan hidup, dinilai dengan (1976) ukuran secara global Andrews dan
Withey's, Kepuasan hidup-3. Arti hidup dinilai dengan ujian Tujuan Hidup
(Crumbaugh & Maholick 1964.). Religiusitas diukur dengan dua dari (1975)
skala Raja dan Hunt, Orientasi terhadap Pertumbuhan dan Berjuang, dan Arti:
mental. Skala ini telah dicatat oleh Raja dan Hunt (1975) meliputi dimensi
intrinsik keagamaan dan dipilih sebagai yang paling relevan untuk meneliti
dalam konteks -makna kehidupan. Sebuah analisis korelasional terhadap
dokumen dari skala ini mendorong kami untuk menggabungkan mereka dalam
mengukur keagamaan tunggal bagi analisis kami.
Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan ukuran
keagamaan tunggal. Kami memilih ukuran yang intrinsik sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang telah menunjukkan instrinsicness untuk menjadi

121
Kesehatan Mental
lebih kuat terkait dengan makna kehidupan (Bolt, 1975; Crandall &
Rasmussen, 1975; Soderstorm & Wright, 1977). Namun, hubungan antara
keagamaan dan kesejahteraan dapat bervariasi dengan berbagai komponen
kesejahteraan. Kami memutuskan untuk meneliti ini dalam studi kedua
dengan menggunakan ukuran multidimensi keagamaan.
Studi 2
Penelitian ini terus meneliti hubungan antara agama dan kesejahteraan
dalam konteks makna, dengan menggunakan sampel agama dan ukuran
multidimensi religiusitas. Dua kelompok responden agama yang dilibatkan
melalui kelompok-kelompok lokal yaitu jemaat kajian Injil, Katolik Roma 99
dan 112 anggota jemaat Pantekosta. Setiap responden menyelesaikan
kuesioner tertulis yang meliputi ukuran religiusitas, yang berarti dalam hidup,
dan kesejahteraan psikologis.

Kami tidak mencoba untuk membedakan antara sistem makna kosmik


dan terestrial. arti Cosmic, yang berkaitan dengan pengertian tentang
ketertiban spiritual di alam semesta (Yalom, 1980), secara langsung relevan
dengan keyakinan agama. Yalom berpendapat bahwa skema makna yang
komprehensif, dalam pengertian ini, telah disediakan oleh tradisi Yahudi-
Kristen di dunia barat. Meskipun kami telah berpendapat bahwa agama
adalah hanya salah satu sumber yang tersedia beberapa makna, ia harus
memiliki peran penting dalam pengembangan makna kosmik. Karena itu,
mungkin untuk mengeksplorasi perbedaan antara makna kosmik dan
terestrial dalam penelitian mendatang untuk memeriksa hubungan antara
religiusitas dan kesejahteraan, dan khususnya untuk membandingkan
kelompok-kelompok keagamaan dan non keagamaan pada masalah-masalah.
Bagaimanapun, agama nampaknya tidak memiliki peran penting dalam
pengembangan sistem makna. Dalam literatur tentang makna hidup, ada
perdebatan tentang apakah makna ditemukan atau dibuat. Baird (1985)
berpendapat bahwa makna merupakan produk penciptaan daripada
penemuan. Individu harus menemukan dan membangun rasa mereka sendiri
dan makna dari prestasi mereka, komitmen, dan hubungan. Reker dan Wong
(1988) menyatakan bahwa makna diciptakan dengan membuat pilihan,
mengambil tindakan, dan memasuki hubungan, tetapi makna yang juga
ditemukan dari kodrat seperti adanya alam semesta dan kehidupan. Agama.
Sebagaimana Yalom (1980) berkomentar, menyediakan kerangka kerja
potensial yang dapat eksis sebagai diberikan untuk banyak orang. Salah satu
alasan mengapa orang beragama cenderung memiliki tingkat yang lebih
tinggi terhadap makna hidup mungkin bahwa ada sesuatu "di luar sana" bagi

122
Kesehatan Mental
mereka untuk menemukan. Masalah ini berguna untuk dieksplorasi dalam
penelitian masa depan.
Pembahasan di atas menunjukkan kebutuhan untuk mempertimbangkan
konteks di mana hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan diuji. Dari
penelitian kami, menunjukkan bahwa hubungan antara religiusitas dan
kesejahteraan dapat ditengahi oleh makna. Meskipun agama dapat
memberikan sumber penting terhadap makna, bagi kebanyakan orang makna
mungkin akan berasal dari kombinasi sumber (Battista & Almond, 1973).
Temuan kami menunjukkan bahwa makna hidup sangat terkait dengan
kesejahteraan psikologis, dan bahwa setiap hubungan antara religiusitas dan
kesejahteraan mungkin memiliki jalur melalui makna.
Selain itu, pemahaman kita tentang hubungan antara religiusitas dan
kesejahteraan atau kesehatan mental mungkin lebih baik maju jika konstruksi
dipisahkan sejelas mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan tetap fokus pada
aspek rohani non kesejahteraan dan kesehatan mental, dan merupakan
relasional untuk pendekatan yang diambil dalam penelitian ini. Namun, fokus
ini seharusnya tidak menghalangi penyelidikan ke kesejahteraan spiritual
dalam dirinya sendiri. Mengingat lebih konseptual memperjelas dari
kesejahteraan rohani membangun, pertanyaan yang menarik dapat diatasi
tentang faktor penentu dan hubungannya dengan spiritual non kesejahteraan.
Mungkin juga penting untuk membangun kesejahteraan yang digunakan
pada studi dalam menyelidiki religiusitas. Sejumlah peneliti (Elliuson, 1983
'Moberg, 1984; Moberg & Brusek, 1978; Paloutzian & Ellison, 1982)
berpendapat kuat untuk harus menyertakan aspek-aspek spiritual
kesejahteraan. Moberg (1971) mengusulkan dua dimensi besar, satu yang
berkaitan dengan rasa kesejahteraan dalam hubungannya dengan Tuhan, dan
yang lain yang berkaitan dengan rasa kepuasan hidup dan tujuan. Dalam
publikasi kemudian, Moberg (1984) mengemukakan bahwa kesejahteraan
rohani "adalah sebuah fenomena multidimensi dengan ratusan komponen"
(p.352). Polutzaian & Ellison mengusulkan bahwa kesejahteraan rohani bisa
dibagi yaitu agama kesejahteraan dan eksistensial kesejahteraan (Ellison,
1983). Penelitian di bidang ini akan berkembang lebih pesat sekali konsepsi
spiritual yang lebih jelas kesejahteraan dirumuskan, dan sekali hubungannya
dengan aspek-aspek sekuler kesejahteraan didirikan.
Temuan dari studi 2 menunjukkan secara jelas bahwa dimensi
religiusitas berbeda yang berhubungan dengan kesejahteraan. Tiga dari
variabel religiusitas menunjukkan asosiasi yang konsisten dengan
kesejahteraan, sedangkan dua tidak. Tiga dimensi yang berhubungan
(keyakinan pribadi, keterlibatan gereja, dan ortodoksi) dengan keyakinan
agama pribadi, komitmen, dan keterlibatan, dan mungkin bahwa dimensi

123
Kesehatan Mental
religiusitas semacam ini hanya relevan untuk mencapai kesejahteraan
psikologis. Dua dimensi lainnya (kesadaran sosial dan pengetahuan agama)
tidak memberikan ukuran religiusitas pribadi dalam arti yang sama. Bahkan,
akan ada kemungkinan nonreligius masih memiliki tingkat pengetahuan
agama dan sikap positif terhadap keterlibatan gereja dalam masalah-masalah
sosial. Hal ini menimbulkan kekhawatiran seperti apa sebenarnya yang
dimaksud dengan religiusitas dan apa ruang lingkup yang seharusnya.
Sebelumnya kami telah berpendapat bahwa arti dalam hidup, meskipun
sangat relevan dengan keyakinan agama, dapat dicapai dengan cara
nonreligius dan lebih luas dari dimensi religiusitas. Isu-isu konseptual
memerlukan klarifikasi.
Walaupun temuan-temuan ini sulit diperbandingkan dari studi 1 dan
Studi 2 secara langsung, perbandingan ini dapat dilakukan di seluruh
kelompok untuk ukuran religiusitas intrinsik dalam studi 1 dan ukuran
intrinsik, keyakinan pribadi, dalam Studi 2. Perbandingan ini menunjukkan
bahwa arti-penting agama bagi kelompok mempengaruhi kekuatan dan ruang
lingkup pergaulan. Ibu memiliki korelasi positif kecil dengan kepuasan hidup
saja. Tetapi orang yang lanjut usia, agama telah meningkat arti-penting, yang
memiliki korelasi positif moderat dengan kepuasan hidup dan Katolik positif
menunjukkan pola yang serupa dengan orang tua, sementara Pentakosta,
dengan orientasi mereka yang lebih intrinsik, memiliki hubungan yang lebih
kuat dengan semua tiga ukuran sumur sedang.

Yang menjadi utama bagi kami adalah untuk mempelajari bagaimana


hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan akan bertahan ketika makna
kehidupan diperhitungkan. karena ada perbedaan religiusitas antara
kelompok, analisis yang terpisah dilakukan pada setiap kelompok. Namun,
menghasilkan hasil yang sama pada kedua kelompok, meskipun perbedaan
dari segi religiusitas. Analisis menunjukkan bahwa setiap dimensi religiusitas
dicatat dalam berbagai varians dalam dimensi kesejahteraan sekalipun makna
dalam hidup ini sebagian keluar. Dalam kasus terbaik, religiusitas
menjelaskan hanya satu-setengah dari satu persen dari varians dalam
kesejahteraan. seperti dalam studi 1, mengontrol efek makna secara efektif
menghapus semua hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan yang
disarankan oleh (orde pertama) korelasi sederhana. Sebaliknya, kehidupan
yang berarti dengan religiusitas sebagian keluar adalah prediktor substansial
dari setiap dimensi kesejahteraan, menjelaskan antara 20 persen dan 30
persen dari varians dalam kesejahteraan.
Hubungan yang diperoleh dalam studi ini memastikan hasil temuan
penelitian yang sebelumnya dari asosiasi positif sederhana antara religiusitas

124
Kesehatan Mental
dan psikologi kesejahteraan (Bergin, 1983; Lea, 1982; Witter dkk, 1985.).
Namun demikian, sebagai peneliti sebelumnya telah mencatat kekuatan dari
hubungan tersebut dapat bergantung tentang bagaimana kesejahteraan
ditentukan, bagaimana religiusitas ditentukan, dan sifat dari kelompok yang
terlibat.
Hasil ini menunjukkan bahwa, di mana religiusitas secara signifikan
berhubungan dengan kesejahteraan, hal ini bias menjelaskan antara 5 persen
dan 23 persen dari varians dalam kesejahteraan, tergantung pada dimensi
religiusitas dan kesejahteraan yang terlibat. Temuan ini paralel dengan hasil
sebelumnya yang melibatkan hubungan langsung antara komponen
religiusitas dan langkah-langkah kesejahteraan dan kesehatan mental (Bergin,
1983; Witter et al, 1985.).
Akhirnya, kami menguji hubungan antara religiusitas, makna dan
kesejahteraan bagi kedua kelompok. Untuk Katolik, tiga dimensi religiusitas
berkorelasi antara, keyakinan pribadi, keterlibatan gereja dan ortodoksi,
semua berhubungan di moderat ke tingkat yang rendah dengan semua tiga
ukuran kesejahteraan. Dimensi religiusitas dua lainnya, hati nurani sosial dan
ilmu agama, yang tidak berkorelasi dengan kesejahteraan kecuali untuk
asosiasi negatif kecil antara pengetahuan agama dan dampak negatif pada
kelompok Pentakosta. seperti yang diharapkan, tujuan hidup berkorelasi
sedang dengan semua dimensi kesejahteraan pada kedua kelompok.
Selanjutnya kita meneliti hubungan antara dimensi religiusitas, dan
termasuk makna kehidupan karena Hilty dkk. (1984) menganggap di antara
dimensi. Untuk kedua kelompok, tiga dimensi religiusitas (keyakinan pribadi,
terlibat di gereja, dan ortodoksi) yang berkorelasi pada tingkat sedang, dan
sakit tiga berkorelasi sedang dengan tujuan dalam hidup. Dua dimensi lainnya
religiusitas berbeda antara kelompok. Untuk Pentakosta, kesadaran sosial dan
pengetahuan agama tidak berkorelasi dengan dimensi lain. Pada kelompok
Katolik, kedua dimensi tersebut berkorelasi dengan beberapa dimensi lain.
Tujuan dalam hidup ini tidak berkorelasi dengan kedua dimensi. Hasil ini
secara umum mirip dengan Hilty dkk. (1984) mengemukakan beberapa
pengecualian. Di sini, pengetahuan agama tidak berkorelasi negatif dengan
dimensi lain dalam kelompok, dan hati nurani sosial memiliki korelasi yang
lebih tinggi bagi umat Katolik.
Pentakosta juga dinilai lebih tinggi dari ortodoks, ukuran penerimaan
kepercayaan tradisional dan doktrin. Hal ini mencerminkan penekanan
Pentakosta terhadap keyakinan fundamental dan interpretasi literal dari
Alkitab (McGaw, 1980). Katolik dinilai lebih tinggi terhadap hati nurani sosial,
menunjukkan bahwa mereka melihat diri mereka sendiri dan gereja mereka
memiliki peran yang kuat dalam masyarakat dan isu-isu sosial daripada

125
Kesehatan Mental
Pentakosta. Tidak ada perbedaan terhadap dimensi pengetahuan agama,
mungkin karena kelompok belajar Alkitab adalah sumber peserta dari kedua
gereja.
Pantekosta dinilai lebih tinggi terhadap keyakinan pribadi, yang menilai
pentingnya agama dalam kehidupan pribadi seseorang, dan merupakan
ukuran religiusitas intrinsik. Mengingat Pantekosta menekankan terhadap
spiritualitas pribadi dan komitmen, hasil ini menegaskan harapan bagi
Pentakosta lebih hakiki. Pentakosta juga dinilai lebih tinggi terhadap
pengaturan gereja, dan mencerminkan orientasi ekstrinsik. Sekali lagi,
penekanan Pantekosta pada partisipasi pribadi dalam pertemuan gereja,
digabungkan dengan harapan yang kuat untuk mendukung gereja dan terlibat
dalam penginjilan, yang akan memprediksi hasil ini. Temuan ini menunjukkan
bahwa Pentakosta sesuai dengan (1978) kategori Hood tentang agama tanpa
pandang bulu .
Pertama-tama kita membandingkan hasil antara Katolik dan Pentakosta
terhadap perbedaan dalam religiusitas, makna hidup, dan kesejahteraan.
Tidak ada perbedaan antara kelompok dalam kesejahteraan, kecuali untuk
efek positif, di mana Pentakosta memiliki tingkat sedikit lebih tinggi daripada
Katolik. Begitupun juga tidak ada perbedaan dalam arti kehidupan, tetapi
perbedaan-perbedaan substansial muncul di religiusitas.
Dimensi afektif kesejahteraan lagi-lagi dinilai dengan pengaruh meter .
Kepuasaan hidup diukur dengan Tingkat Kepuasan dengan Skala Kehidupan
(Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985). Arti dalam hidup ini sekali lagi
dievaluasi dengan ujian Tujuan dalam Kehidupan . Untuk menilai religiusitas
secara lebih rinci, kami menggunakan revisi Raja dan skala Hunt yang
dikemukakan oleh Hilty dkk. (1984). Dua skala dihilangkan: Tujuan Hidup,
yang kita ukur dengan ujian Tujuan dalam Hidup, dan Intoleransi Kerancuan,
yang berisi item budaya sesuai untuk sampel kami. Skala Sosial Hati Nurani
juga diubah dengan menghilangkan referensi untuk orang kulit hitam.
Mungkin juga penting untuk membangun kesejahteraan yang digunakan
pada studi dalam menyelidiki religiusitas. Sejumlah peneliti (Elliuson, 1983
'Moberg, 1984; Moberg & Brusek, 1978; Paloutzian & Ellison, 1982)
berpendapat kuat untuk harus menyertakan aspek-aspek spiritual
kesejahteraan. Moberg (1971) mengusulkan dua dimensi besar, satu yang
berkaitan dengan rasa kesejahteraan dalam hubungannya dengan Tuhan, dan
yang lain yang berkaitan dengan rasa kepuasan hidup dan tujuan. Dalam
publikasi kemudian, Moberg (1984) mengemukakan bahwa kesejahteraan
rohani "adalah sebuah fenomena multidimensi dengan ratusan komponen"
(p.352). Polutzaian & Ellison mengusulkan bahwa kesejahteraan rohani bisa
dibagi yaitu agama kesejahteraan dan eksistensial kesejahteraan (Ellison,

126
Kesehatan Mental
1983). Penelitian di bidang ini akan berkembang lebih pesat sekali konsepsi
spiritual yang lebih jelas kesejahteraan dirumuskan, dan sekali hubungannya
dengan aspek-aspek sekuler kesejahteraan didirikan.
Selain itu, pemahaman kita tentang hubungan antara religiusitas dan
kesejahteraan atau kesehatan mental mungkin lebih baik maju jika konstruksi
dipisahkan sejelas mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan tetap fokus pada
aspek rohani non kesejahteraan dan kesehatan mental, dan merupakan
relasional untuk pendekatan yang diambil dalam penelitian ini. Namun, fokus
ini seharusnya tidak menghalangi penyelidikan ke kesejahteraan spiritual
dalam dirinya sendiri. Mengingat lebih konseptual memperjelas dari
kesejahteraan rohani membangun, pertanyaan yang menarik dapat diatasi
tentang faktor penentu dan hubungannya dengan spiritual non kesejahteraan.
Pembahasan di atas menunjukkan kebutuhan untuk mempertimbangkan
konteks di mana hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan diuji. Dari
penelitian kami, menunjukkan bahwa hubungan antara religiusitas dan
kesejahteraan dapat ditengahi oleh makna. Meskipun agama dapat
memberikan sumber penting terhadap makna, bagi kebanyakan orang makna
mungkin akan berasal dari kombinasi sumber (Battista & Almond, 1973).
Temuan kami menunjukkan bahwa makna hidup sangat terkait dengan
kesejahteraan psikologis, dan bahwa setiap hubungan antara religiusitas dan
kesejahteraan mungkin memiliki jalur melalui makna.
Bagaimanapun, agama nampaknya tidak memiliki peran penting dalam
pengembangan sistem makna. Dalam literatur tentang makna hidup, ada
perdebatan tentang apakah makna ditemukan atau dibuat. Baird (1985)
berpendapat bahwa makna merupakan produk penciptaan daripada
penemuan. Individu harus menemukan dan membangun rasa mereka sendiri
dan makna dari prestasi mereka, komitmen, dan hubungan. Reker dan Wong
(1988) menyatakan bahwa makna diciptakan dengan membuat pilihan,
mengambil tindakan, dan memasuki hubungan, tetapi makna yang juga
ditemukan dari kodrat seperti adanya alam semesta dan kehidupan. Agama.
Sebagaimana Yalom (1980) berkomentar, menyediakan kerangka kerja
potensial yang dapat eksis sebagai diberikan untuk banyak orang. Salah satu
alasan mengapa orang beragama cenderung memiliki tingkat yang lebih
tinggi terhadap makna hidup mungkin bahwa ada sesuatu "di luar sana" bagi
mereka untuk menemukan. Masalah ini berguna untuk dieksplorasi dalam
penelitian masa depan.
Kami tidak mencoba untuk membedakan antara sistem makna kosmik
dan terestrial. arti Cosmic, yang berkaitan dengan pengertian tentang
ketertiban spiritual di alam semesta (Yalom, 1980), secara langsung relevan
dengan keyakinan agama. Yalom berpendapat bahwa skema makna yang

127
Kesehatan Mental
komprehensif, dalam pengertian ini, telah disediakan oleh tradisi Yahudi-
Kristen di dunia barat. Meskipun kami telah berpendapat bahwa agama
adalah hanya salah satu sumber yang tersedia beberapa makna, ia harus
memiliki peran penting dalam pengembangan makna kosmik. Karena itu,
mungkin untuk mengeksplorasi perbedaan antara makna kosmik dan
terestrial dalam penelitian mendatang untuk memeriksa hubungan antara
religiusitas dan kesejahteraan, dan khususnya untuk membandingkan
kelompok-kelompok keagamaan dan non keagamaan pada masalah-masalah.
Dari uraian di atas, secara teoritis ditemukan bahwa agama telah sering
dipertimbangkan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan
jiwa dan psikologi kesejahteraan. Keagamaan yang positif berhubungan
dengan penyesuaian diri dalam masyarakat dewasa serta lebih kuat bagi usia
lanjut (Lea, 1982). Peterson dan Roy (1985) menyimpulkan bahwa religiusitas
psikis memudahkan mencapai kesejahteraan. Bergin dkk (1987) menyatakan
bahwa orientasi keagamaan hakiki yang negatif berhubungan dengan
kecemasan sedangkan yang positif berhubungan dengan kontrol diri dan
penyesuaian pribadi. Keterlibatan agama secara signifikan mampu berkorelasi
positif yang berfungsi menjadi pribadi yang normal, dan tidak selalu
berhubungan dengan kemiskinan terhadap kesehatan mental.
Pollner (1989) mengusulkan tiga proses melalui religiusitas dapat
mempengaruhi kesehatan mental serta kesejahteraan. Pertama, agama bisa
memberikan sumber daya sebagai penjelasan serta penyelesaian keadaan
yang bermasalah. Kedua, agama dapat beroperasi untuk meningkatkan rasa
diri sendiri sebagai kewenangan atau berkhasiat. Ketiga agama dapat
memberikan dengan berdasarkan arti bagi perasaan , tujuan, serta identitas
pribadi, dan menanamkan potensi dalam menjauhkan peristiwa dengan
makna.
Peterson serta Roy (1985), menyatakan secara khusus bahwa agama
dapat memberikan skema penafsiran yang menyeluruh hal itu memungkinkan
seorang individu untuk memahami eksistensi. Jadi, agama tidak dapat
berkontribusi langsung kepada kesejahteraan seseorang, melainkan dapat
mempengaruhi kesejahteraan secara tidak langsung dengan memberikan rasa
pemaknaan serta arah tujuan dalam hidup.
Frank (1959, 1967) meyakini bahwa kehendak kepada makna adalah
motivasi manusia yang penting, ketika pencarian kesejahteraan seseorang
terhadap makna dihalangi, maka frustrasi eksistensi terjadi, yang
menyebabkan kondisi patologis yang disebutnya "penyakit saraf noogenic."
Maddi (1967) menggambarkan kondisi serupa, penyakit saraf eksistensi, yang
"ditandai dengan keyakinan hal itu hidup seseorang tidak berarti dengan nada
afektif apatisme kebosanan, dengan tidak adanya selektivitas dalam tindakan"

128
Kesehatan Mental
(p.313). Demikian pula, Reker Wong (1988) mengusulkan bahwa pencapaian
pemaknaan pribadi memberikan seseorang sebuah penafsiran terhadap
pengalaman hidup, tujuan yang berharga maksud tertentu, perasaan
kepuasan dan pemenuhan.
Namun demikian, secara empiris teori di atas masih banyak
diperdebatkan. Hal ini dapat ditemukan dalam artikel ini sebagaimana
terungkap sebagai berikut: Witter, Stock, Okun dan Haring (1985) melakukan
suatu meta-analisis dari 28 penelitian. Witter dkk, menyimpulkan bahwa
"beragama yang positif berhubungan dengan persepsi tentang kesejahteraan"
(p.335). Sementara itu, Bergin (1983) melaporkan sebuah meta-analisis
terhadap 24 penelitian yang meneliti hubungan antara beragama dan
psikopatologi. Berdasarkan meta-analisis tersebut Bergin menemukan
sebagian kecil (23 persen) terkait hubungan negatif antara beragama dan
kesehatan jiwa, sedangkan hampir setengah (47 persen) menunjukkan
hubungan yang positif. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Donahue
(1985) meninjau berbagai macam penelitian meneliti religiusitas ekstrinsik
dan intrinsik. Donahue melaporkan bahwa beberapa relevan konstruksi yang
diferensial yang berkaitan dengan dimensi-dimensi beragama. Extrinsicness
ditemukan berkorelasi positif dengan prasangka dan dogmatisme, sedangkan
instrinsicness itu tidak berkorelasi dengan sifat-sifat ini. Extrinsicness
berkorelasi positif dengan kegelisahan sedangkan instrinsicness berkorelasi
negatif dengan kegelisahan. Bergin dkk (1988), dalam penelitian kualitatif
bersama peserta agama, tidak menemukan bukti religiusitas berkorelasi
negatif dengan kesehatan mental, dan menemukan penyesuaian yang lebih
baik bagi peserta yang agamanya terintegrasi secara positif ke dalam gaya
hidup mereka. Willits dan Crider (1988) melaporkan bahwa religiusitas dalam
sampel paruh baya berkorelasi positif dengan keseluruhan psikologis
kesejahteraan. Pollner (1989) menemukan bahwa hubungan simbolis dengan
korelasi yang signifikan "ilahi lainnya" adalah dari subjektif kesejahteraan.
Berdasarkan tinjauan teoritis dan empiris di atas, maka saya
menyimpulkan bahwa dalam penelitian mengenai religiusitas, makna dalam
hidup, dan kesejahteraan psikologis memiliki variabel atau dimensi yang
banyak. Oleh karena itulah sehingga antara penelitian yang satu dengan yang
lainnya menunjukan perbedaan karena dimensi yang digunakan adalah
berbeda.
Mengenai penelitian dalam artikel ini ada beberapa hal menurut saya
merupakan suatu kelemahan penelitian yaitu penggunaan pengukuran
variabel keagamaan yaitu hanya menggunakan ukuran intrinsik, sementara
varibel ini dapat diukur dengan ukuran lain. Namun demikian, peneliti telah
jujur mengungkap hal ini sebagai keterbatasan dalam penelitiannya

129
Kesehatan Mental
sebagaimana diungkapkan sebagai berikut: One limitation of this study was
the use of a single religiosity measure. We chose an intrinsic measure in line
with previous research that had shown instrinsicness to be more strongly
associated with meaning (Bolt, 1975; Crandall & Rasmussen, 1975;
Soderstorm & Wright, 1977). Kelemahan lain bila dikaitkan anatara studi 1
dan studi 2 dalam hal pemilihan sampel atau penentuan responden menjadi
berbeda yaitu pada studi 1 sampelnya adalah kelompok ibu rumah tangga
yang berjumlah 188 orang dan kelompok lansia yang berjumlah 137 orang,
sementara pada studi 2 sampelnya adalah dua kelompok responden agama
yang dilibatkan melalui kelompok-kelompok lokal yaitu Jemaat Kajian Injil,
Katolik Roma 99 orang dan 112 orang anggota Jemaat Pantekosta. Penentuan
sampel atau responden termasuk perbedaan jumlah sampel dalam penelitian
perbandingan menurut saya sangat berpengaruh terhadap jastifikasi hasil
penelitian atau dengan kata lain akan sulit untuk mengambil keputusan hasil
penelitian. Hal ini secara tidak langsung diakui oleh peneliti sebagaimana
diungkapkan dalam kesimpulan artikel ini yaitu sebagai berikut: Although it is
difficult to compare findings from Study 1 and Study 2 directly, a comparison
can be made across groups for the intrinsic religiosity measure in Study 1 and
the intrinsic measure, personal faith, in the Study 2.
Hal lain paling mendasar dalam suatu penelitian menurut saya adalah
metodologi dan alat analisis atau metode analisis yang digunakan. Dalam
artikel atau penelitian ini tidak ditunjukan atau dijelaskan dengan jelas
mengenai metode analisis yang digunakan. Oleh karena itu, menurut saya, ini
juga adalah merupakan kelemahan dalam penelitian ini.
Terlepas dari beberapa kelemahan di atas, namun penelitian ini telah
membuktikan beberapa hal sebagaimana terungkap dalam hasil penelitiannya
yaitu sebagai berikut: dimensi religiusitas berbeda yang berhubungan dengan
kesejahteraan. Tiga dari variabel religiusitas menunjukkan asosiasi yang
konsisten dengan kesejahteraan, sedangkan dua tidak. Tiga dimensi yang
berhubungan (keyakinan pribadi, keterlibatan gereja, dan ortodoksi) dengan
keyakinan agama pribadi, komitmen, dan keterlibatan, dan mungkin bahwa
dimensi religiusitas semacam ini hanya relevan untuk mencapai kesejahteraan
psikologis. Dua dimensi lainnya (kesadaran sosial dan pengetahuan agama)
tidak memberikan ukuran religiusitas pribadi dalam arti yang sama. Bahkan,
akan ada kemungkinan nonreligius masih memiliki tingkat pengetahuan
agama dan sikap positif terhadap keterlibatan gereja dalam masalah-masalah
sosial. Hal ini menimbulkan kekhawatiran seperti apa sebenarnya yang
dimaksud dengan religiusitas dan apa ruang lingkup yang seharusnya.
Sebelumnya kami telah berpendapat bahwa arti dalam hidup, meskipun
sangat relevan dengan keyakinan agama, dapat dicapai dengan cara

130
Kesehatan Mental
nonreligius dan lebih luas dari dimensi religiusitas. Isu-isu konseptual
memerlukan klarifikasi.
Hasil lain disebutkan bahwa arti-penting agama bagi kelompok
mempengaruhi kekuatan dan ruang lingkup pergaulan. Ibu memiliki korelasi
positif kecil dengan kepuasan hidup. Tetapi orang yang lanjut usia, agama
telah meningkat arti-penting, yang memiliki korelasi positif moderat dengan
kepuasan hidup dan Katolik positif menunjukkan pola yang serupa dengan
orang tua, sementara Pantekosta, dengan orientasi mereka yang lebih
intrinsik, memiliki hubungan yang lebih kuat dengan semua tiga ukuran.

References

Andrews, F.M., & Withey, S.B. (1976). Social indicators of wellbeing. New
York: Plenum.
Baird, R.M. (1985). Meaning in life: Discovered or created? Journal of Religion
and Health, 24, 117-124.
Battista, J., & Almond, R. (1973). The development of meaning in life.
Psychiatry, 36, 409-427.
Bergin, A.E. (1983). Religiosity and mental health: A critical reevaluation and
meta-analysis. Professional Psychology: Research and Practice, 14, 170-
184.
Bergin, A.E., Masters, K.S., & Richards, P.S. (1987). Religiousness and mental
health reconsidered: A study of an intrinsically religious sample. Journal
of Counseling Psychology, 34, 197-204.
Bergin, A.E., Stinchfield, R.D., Gaskin, T.A., Masters, K.S., & Sullivan, C.E.
(1988). Religious life-styles and mental health: An exploratory study.
Journal of Counseling Psychology,35, 91-98.
Bolt, M. (1975). Purpose in life and religious orientation. Journal of
Psychology and Theology, 3, 116-118.
Chamberlain, K. (1988). On the structure of subjective and well-being. Social
Indicators Research, 20, 581-604.
Chamberlain, K., & Zika, S. (1988). Measuring meaning in life: An examination
of three scales. Personality and Individual Differences, 9, 689-596.
Coleman, s., Kaplan, J., & Downing, R.D. (1975). Life cycle and loss-the
spiritual vacuum of heroin addiction. Family Process, 25, 5-23.
Crandall, J.E., & Rasmussen, R.D. (1975). Purpose in life as related to specific
values. Journal of Clinical Psychology, 31, 483-485.
Crumbaugh, J.C., & Maholick, L.T. (1964). An experimental study in
existentialism: The psychometric approach to Frankls concept of
noogenic neurosis. Journal of Clinical Psychology, 20, 200-207.

131
Kesehatan Mental
DeVogler-Ebersole, K.L., & Ebersole, P. (1985). Depth of meaning in life.
Psychological Reports, 56, 303-310.
Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-575.
Diener, E., Emmons, R.A., Larsen, R.J., & Griffin, S. (1985). The Satisfaction
with Life Scale. Journal of Personality Assessment, 49, 71-75.
Donahue,M.J. (1985). Intrinsic and extrinsic religiousness: Review and meta-
analysis. Journal of Personality and Social Psychology, 48, 400-419.
Dufton, B.D., & Perlman, D. (1986). The association between religiosity and
the Purpose in Life Test: Does it reflect purpose or satisfaction? Journal
of Psychology and Theology, 14, 42-48.
Ellison, C.W. (1983). Spiritual well-being: Conceptualization and
measurement. Journal of Psychology and Theology, 11, 330-340.
Frankl, V. (1959). Mans search for meaning. London: Hooder & Stoughton.
Frankl, V. (1967). Psychotherapy and existentialism. New York: Simon &
Schuster.
Ganellen, R.J., & Blaney, P.H. (1984). Hardiness and social support as
moderators of the effects of life stress. Journal of Personality and Social
Psychology, 47, 156-163.
Harlow, L.L., Newcomb, M.D., & Bentler, P.M. (1986). Depression, self-
derogation, substance use, and suicide ideation: Lack of Purpose in life
as a mediational factor. Journal of Clinical Psychology, 42, 5-21.
Hilty, D.M., Morgan, R.L., & Burns, J.E. (1984). King and Hunt revisited:
Dimensions of religious involvement. Journal for the Scientific Study of
Religion, 23, 252-266.
Hood, R.W. (1973). Forms of religious commitment and intense religious
experience. Review of Religious Research, 15, 29-36.

2. Ritual Agama dan Kesehatan Mental


Penelitian lintas-budaya ritual agama yang biasanya merujuk kepada
perspektif sosial dimana ritual upacara keagamaan diperiksa melalui lensa
teori seorang fungsionalis. Adanya pengecualian untuk pendekatan ini
ditemukan dalam karya Scheff (1979), sosok yang lebih dari 1 dekade
memprakarsai perdebatan tentang nilai emosional ritual dari sudut pandang
rasa terharu dan pengurangan kecemasan. Menurut Scheff, ritual
memungkinkan adanya pengakuan atas gangguan emosi dalam lingkungan
sosial serta sanksi yang menyediakan batas aman dimana untuk
menghidupkan kembali, mengalami rasa sakit, dan penderitaan emosi.
Pembebasan perasaan dalam membalikkan kecenderungan terhadap

132
Kesehatan Mental
penindasan dengan memfasilitasi pengakuan dan ekspresi menyakitkan, takut,
sedih, atau memalukan.
Teori Scheff tentang ritual pembersihan merupakan konsep yang
terkemuka dalam menjauhkan emosional. Hasilnya, Scheff menentang bahwa
ritual menawarkan bentuk pembebasan dari rasa haru dengan menciptakan
kondisi dimana peserta dapat menjadi aktif dengan melibatkan ekspresi
perasaan sambil menjauhkan dirinya dari intensitas pengalaman emosional.
Kesenjangan emosi dapat diwujudkan dalam peran ganda yang
mengasumsikan bahwa individu baik sebagai peserta maupun sebagai
pengamat dalam suatu upacara keagamaan. Pemecahan yang mengarah pada
suatu respon yang bertentangan sebagai peserta adalah pada orang yang
percaya pada saat yang sama atau pada orang yang sedang ragu. Oleh karena
itu, Scheff menyimpulkan bahwa ritual doa berfungsi sebagai jarak pada
komunikan sehingga membuat hal ini terjadi baik antara individu maupun
pengamat. selama komunikan baik beriman maupun kafir berada dalam
komunikasi dengan makhluk ghaib. Sementara itu interpretasi Scheff tentang
kesenjangan emosi yang menawarkan perspektif menarik tentang ritual dan
emosi. Bab ini menyajikan pemahaman alternative tentang hubungan antara
ritual, katarsis dan kesehatan mental. Sebagai sebuah proses interaktif, ritual
melibatkan peserta dalam perilaku yang memperkuat hubungan keterkaitan
yang signifikan kepada orang lain. Subjek yang menjadi lampiran tersebut
bisa jadi merupakan pribadi ilahiyah, pemimpin spiritual, komunitas agama
atau seluruh masyarakat. Namun, ada rasa keterkaitan yang memfasilitasi
respon katarsis yang melalui emosi rasa sakit dapat di bawah pada kesadaran
dan kenangan atau mengungkapkan untuk pertama kali.
Kembali ke contoh Scheff tentang doa dan nilai katarsis dari upacara
agama melalui hubungan interpersonal antara komunikan dan dewa.
Dibandingkan dengan keraguan dan emosional, keduanya memiliki
keterkaitan ilahiyah, supernatural, dan sebagai ritual yang signifikan yang
member kekuatan potensi untuk menimbulkan emosi yang luar biasa yang
kemudian diakhiri dengan tindakan yang nyata dalam aktualisasi ketaatan
beragama. Dalam kerangka ini, interaktif, analisis, lintas budaya, ritual dan
katarsis akan disajikan melalui penggambaran data antropologi dan teori
sosial psikologis, rasa malu, kesedihan, kemarahan, yang akan diuji melalui
upacara pengakuan ritual, berkabung dan konfortasi.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Scheff menentang ritual yang
menawarkan bentuk pembebasan dari rasa haru dengan menciptakan kondisi
dimana peserta dapat menjadi aktif dengan melibatkan ekspresi perasaan
sambil menjauhkan dirinya dari intensitas pengalaman emosional.
pemahaman alternative tentang hubungan antara ritual, katarsis dan

133
Kesehatan Mental
kesehatan mental. Sebagai sebuah proses interaktif, ritual melibatkan peserta
dalam perilaku yang memperkuat hubungan keterkaitan yang signifikan
kepada orang lain, keraguan dan emosional, keduanya memiliki keterkaitan
ilahiyah, supernatural, dan sebagai ritual yang signifikan yang memberi
kekuatan potensi untuk menimbulkan emosi yang luar biasa yang kemudian
diakhiri dengan tindakan yang nyata dalam aktualisasi ketaatan beragama.
Sementara itu interpretasi Scheff tentang kesenjangan emosi yang
menawarkan perspektif ritual dan emosi, hal ini sangat bergantung pada
pemahaman seseorang tentang bagaimana proses ritual yang memiliki
kesempurnaan ritual supranatural.
Ritual memang bagian dari ajaran agama. Ritual itu penting, dimana
kita bisa menafikan ritualitas dalam malaksanakan agama. Tetapi ada aspek
yang tidak kalah penting yaitu aktualitas. Aktualitas dalam beragama berarti
mengejawantahkan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Scheff menyimpulkan bahwa ritual doa berfungsi sebagai jarak pada
komunikan sehingga membuat hal ini terjadi baik antara individu maupun
pengamat. selama komunikan baik beriman maupun kafir berada dalam
komunikasi dengan makhluk ghaib. Seorang muslim seharusnya
mengaktualsiasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah dalam Islam
tidak hanya untuk dikerjakan, tetapi juga harus diimplementasikan nilai-
nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Kesalehan tidak hanya berupa
kesalehan ritual hubungan mansusia dengan Tuhannya, tetapi juga kesalahan
sosial hubungan manusia sesama manusia dan makhluk hidup lainnya.

Malu dan Pengakuan


Malu mungkin merupakam sesuatu yang sangat meresap pada emosi
manusia dan merupakan unsur intrinsik dalam pemahaman tentang nilai ritual
sebagai katarsis. Dalam membahas tentang pentingnya rasa malu dalam
pengembangan kepribadian dan hubungan sosial di tengah-tengah
masyarakat barat, Giddens (1984) mencatat tingginya pevalensi, istilah yang
berhubungan dengan rasa malu saat mereka berada dalam kursus bahasa
sehari-hari. Ia mengamati bahwa malu akan mengancam pondasi harga diri
dan beberapa komentar bahwa komponen motivasi berasal dari kepribadian
anak dan orang dewasa yang umumnya menghindar dari kecemasan dan
pengokohan harga diri melawan banjir melalui rasa malu dan rasa bersalah.
(Giddens, 1984. p 55-57).
Rasa malu dan rasa bersalah memiliki lintas budaya yang sangat
relevan, itu terbukti melaui tatacara yang menginformasikan berbagai sistem
agama. Dari sebuah suku, dipraktekkan seekor kambing hitam sebagai ritual
pengakuan dosa umat katolik. Universalitas pengakuan ritual telah diamati

134
Kesehatan Mental
oleh Reik (1959) yang merasakan dalam diri manusia adanya suatu
keharusan untuk mengakui (hal. 180), yang dapat meringankan beban
penderitaan. Seperti perspektif pada ritual yang menunjukkan bahwa harga
diri dan penerimaan merupakan inti dari tindakan pengakuan. Tujuannya
adalah untuk mengurangi rasa malu dan kebencian terhadap diri sendiri yang
menyertai persepsi dari khilaf dan dosa.
Di Hunchol, meksiko selatan, pengakuan layaknya api yang berkobar,
api suci di mana semua dosa dilemparkan. Berikut. La Barre (1964)
menggambarkan pengakuan dosa seksual dalam persiapan untuk sebuah
kunjungan: Setiap wanita menyiapkan pada setiap rumah sehelai benang strip
daun kelapa dengan simpul berpasangan. Dia membawa benang ke kuil dan
berdiri di depan kobaran api sambil menyebutkan nama mereka satu per satu
kemudian melemparkan kabel pada api untuk di bakar. Dikatakan bahwa tidak
ada bentakan keras dari pengakuan ini jika tidak maka pria tidak akan
menemukan sebuah pabrik hikuli tunggal. Orang-orang juga tidak merasa
ganjil saat mereka pergi bersama mengingat dosa-dosa mereka dan di kamp
tertentu mereka berbicara kepada arah angin dan disertai hembusannya,
kepada pemimpin yang akan dibakar di dalam kobaran api. (Hal. 41).
Yang lebih umumnya lagi, dari pengakuan telah ditemukan di kalangan
penduduk asli Amerika di Amerika Serikat sebagaimana dicontohkan dalam
upacara pengakuan dosa dari Ojibway yang menyatakan dosa-dosa mereka
secara terbuka di hadapan seluruh masyarakat. Pada awal abad keduapuluh,
Skinner (1914) mempersiapkan tabungan financial khusus untuk upacara
pengakuan dosa: Ini dulunya adalah kebiasaan untuk menyatakan pengakuan
kepada publik perihal hubungan seksual yang tidak sah pada interval.
Beberapa laki-laki, diberi hak dalam mimpi untuk memanggil, mengumpulkan
orang bersama-sama di penginapan di mana mereka berada. Pertama para
orang tua kemudian para pemuda dan kemudian wanita. Sebuah batu yang
diibaratkan semangat besar hadir dan ditempatkan di tengah-tengah lantai
untuk membuat satu kesungguhan. batu itu mendengar perkataan mereka dan
bencana melanda semua pendusta. Pria yang tidak mengatakan kebenaran itu
pasti akan mati terbunuh pada perang antar budaya dikalangan mereka
berikutnya.
Demikian pula, Hari Raya Pendamaian Yahudi dirayakan dengan cepat
komunal selama dua puluh empat jam disertai dengan pelayanan keagamaan
di mana anggota jemaat bersama-sama bertobat dari perbuatan yang salah
pada tahun sebelumnya. Pengakuan dosa dibacakan dengan keras dan
bersamaan, dalam pengakuan tersebut mereka menekankan tanggung jawab
bersama dari komunitas Yahudi. Beberapa kali ditampilkan dalam ibadah,
para peserta bangkit dan berkata kepada Allah :

135
Kesehatan Mental
Kami telah berdosa terhadapMu dengan menjadi orang yang keras hati.
Dan kami telah berdosa terhadapMu dengan berbicara sembarangan.
Kami telah berdosa terhadapMu baik secara terbuka maupun secara
rahasia.
Dan kami telah berdosa terhadapMu melalui lisan yang ofensif.
Kami telah berdosa kepadaMu melalui pikiran kotor.
Dan kami telah berdosa terhadapMu melalui pengakuan kosong
(Harlow, 1978, hal 407).
Umumnya, pengakuan semacam ini melibatkan ekspresi kolektif dari
dosa, yang menciptakan kesadaran salah paham. Efeknya adalah untuk
mengurangi lebih jauh rasa isolasi yang melekat pada perasaan malu. Kami
menyarankan penggunaan inklusif ini tidak ada satu orang lebih atau kurang
yang jauh dari dosa. Dalam ritual publik, hal ini telah dibahas dalam semua
upacara pengakuan dosa. Pengungkapan melalui upacara meningkatkan
ekspresi katarsis emosi oleh ekisternalisasi rasa bersalah dan rasa malu yang
mungkin akan berbalik ke arah dalam diri. Oleh karena itu, upacara
pengakuan menjadi salah satu sarana untuk melepaskan penderitaan
diinternalisasi penderitaan emosional. Dalam cara yang sama, ritual publik
berkabung memberikan struktur ritual di mana perasaan duka dan kesedihan
secara terbuka mengakui dan divalidasi dalam sebuah komunitas agama yang
mendukung.
Sungguh beruntung orang-orang yang memiliki rasa malu. Islam telah
memberikan tempat yang mulia bagi perasaan malu. Simaklah beberapa
hadits berikut: Salim bin Abdullah dari ayahnya, mengatakan bahwa
Rasulullah saw lewat pada seorang Anshar yang sedang memberi nasihat
(dalam riwayat lain: menyalahkan) saudaranya perihal malu. (Ia berkata,
Sesungguhnya engkau selalu merasa malu, seakan-akan ia berkata,
Sesungguhnya malu itu membahayakanmu.) Lalu, Rasulullah saw. bersabda,
Biarkan dia, karena malu itu sebagian dari iman. (Shahih Bukhari). Karena
sesungguhnya rasa malu itu punya tempat, dan rasa malu yang baik itu pasti
kan membawa kebaikan bagi pemiliknya.
Reik berperspektif pada ritual yang menunjukkan bahwa harga diri dan
penerimaan merupakan inti dari tindakan pengakuan. Tujuannya adalah untuk
mengurangi rasa malu dan kebencian terhadap diri sendiri yang menyertai
persepsi dari khilaf dan dosa. Orang-orang dengan sifat pemalu secara naluri
menyimpan kesadaran kalau diri mereka terlewatkan dari orang lain. Sifat
pemalu biasanya membuat seseorang kehilangan kesempatan, kurang
mendapat kesenangan dan terkucil dari hubungan sosial. Sifat pemalu dapat
membawa banyak kerugian. Tapi bagi orang yang memiliki sifat ini, tak perlu
berkecil hati, karena pada dasarnya ada banyak cara untuk mengusir jauh-

136
Kesehatan Mental
jauh sifat yang merugikan ini. Sebenarnya, formula dari rasa malu terdiri dari
terlalu berpusat pada diri sendiri dicampur dengan rasa gugup. Rasa malu
adalah sebuah kombinasi dari kegugupan sosial dan pengkondisian sosial. Ini
dulunya adalah kebiasaan untuk menyatakan pengakuan kepada publik
perihal hubungan seksual yang tidak sah pada interval. Dalam kebanyakan
kasus, emosi yang memuncak dalam bersosialisasi membuat orang
menanggapi berbagai kejadian dengan rasa takut. Bila kita kembali kepada
hadits Rasulullah di atas yang mengatakan rasa malu adalah manifestasi dari
iman, maka hanya orang-orang yang imannya menancap kuat dan tumbuh
yang memiliki tingkat sensitivitas rasa malu yang sangat tinggi.

Kesedihan dan Upacara Berkabung


Studi tentang upacara berkabung telah sebagian besar dikaitkan dengan
investigasi antropologi ke dalam fungsi sosial dari upacara kematian. Dalam
kerangka ini ritus komunal untuk orang mati telah dijelaskan dalam hal
solidaritas kelompok dan interaksi yang disimbolkan dengan proses
berkabung (Mandelbaum, 1959). Dibandingkan dengan pendekatan
fungsionalis, penekanan yang jauh lebih sedikit telah ditempatkan pada nilai
psikologis dari upacara berkabung, meskipun penelitian dokumen yang intens
ekspresi kesedihan sering menyertai aspek-aspek sosial dari ritual keagamaan
untuk orang mati.
Di antara COCOPA, seorang penduduk asli Amerika Budaya, Kelly (1949)
melaporkan bahwa, pada pengumuman kematian, anggota keluarga masuk ke
dalam masa berduka di mana mereka menangis, meratap dan menjerit hampir
sampai ke titik kelelahan sempurna. katarsis rilis tersebut, yang terganggu
dengan lagu upacara dan tari, dapat dilakukan selama dua hari sebelum
kremasi almarhum. Ungkapan duka melalui ritual seperti ini melibatkan
pertukaran individu dalam membuka perasaan mereka. Menurut Pincus
(1974), ini memberikan kontribusi bagi kesehatan mental peserta yang
dinyatakan mungkin menderita akibat efek dari penolakan dan "kemiskinan
pribadi" yang lebih nampak pada kebudayaan represif . Dalam hal ini, tidak
adanya ritual berduka dapat menyebabkan penolakan norma-norma budaya
dan sifat pemberontak di mana penderitaan seseorang mendapat respon
melalui perlakuan yang keras dan dengan sikap acuh tak acuh (Gorrer, 1965).
Bagian dari nilai katarsis dari ritual berduka yang terkandung dalam
aspek-aspek berkabung yang memfasilitasi identifikasi korban dengan
penderitaan almarhum. COCOPA ini misalnya, menganalisis sebab kematian
sebelum membakarnya dengan melibatkan harta benda dalam sebuah upacara
kremasi rumit. Masa penguburan Katolik memberikan asosiasi yang sama

137
Kesehatan Mental
dengan orang mati melalui representasi simbolis dari penyaliban. Jackson
(1959) menjelaskan identifikasi antara pelayat katolik dengan cara ini :
Dalam upacara ritual orang mengidentifikasi dirinya (sendiri) dengan
Yesus. Seorang individu yang telah mati (almarhum) (pemuka agama) yang
terlibat dalam suatu ritus yang melibatkan baik pikiran dan tindakan.
Bersama dengan orang tersebut, ia memiliki penerimaan agama sosial pada
saat yang sama memiliki khasiat pribadi sehingga menjadikan kondisi aman
bagi perasaan yang mendalam. Sejak perang dunia II, upacara peringatan
untuk Hari Raya Pendamaian dalam tradisi Yahudi mengingatkan para peserta
tidak hanya kehilangan orang yang mereka cintai tetapi juga kematian enam
juta orang Yahudi dalam Holocaust. Sebuah kutipan dari layanan ini berbunyi
sebagai berikut:
Wahai Tuhan penuh kasih, perdamaian yang besar di hadapanMu kini tengah
berlindung di antara yang kudus dan yang murni untuk diri kami sekalian,
saudara laki-laki, perempuan dan anak-anak dari rumah Israel yang dibantai
dan dibakar. memori Mei silam, membuat mereka perpegang teguh pada
kebenaran dan kesetiaan inspirasi dalam hidup. Semoga jiwa mereka terjaga
sampai pada datangnya kehidupan selanjutnya. (Harlow. 1978.p. 691).
Setiap Tahun, identifikasi pelayat Yahudi dengan almarhum
mengasumsikan pribadi serta dimensi sosial sebagai pengingat dari Holocaust
yang kemudian menimbulkan emosi yang mendalam disertai kesedihan dan
kesedihan kolektif. Melalui ritual berkabung, sambungan simbolis yang secara
kontekstual merupakan pelepasan emosi, menciptakan sikap tegas terikat
dengan mereka yang telah meninggal. Melalui ikatan emosional dengan
almarhum, perasaan putus asa dan kerinduan yang dinyatakan sebagai
kematian merupakan perpisahan akhir. Perasaan takut, serta kesedihan,
menyampaikan respon individu untuk takut akan kematian. Hal ini dibuktikan
dalam prevalensi mitologi dan keyakinan yang mengelilingi nasib yang tidak
diketahui oleh orang-orang yang telah meninggal. Dengan demikian, ritual
berkabung menyediakan kerangka kerja untuk mengatasi rasa takut dan
kesedihan dengan memperbanyak amal baik untuk memastikan memberikan
perasaan aman dan tenang pada jiwa. Dalam tradisi Kristen, tindakan
pencegahan tersebut ditemukan dalam penyelenggaraan upacara terakhir,
sedangkan agama Hindu membutuhkan perhatian besar dalam membebaskan
jiwa untuk reinkarnasi. Di Kota di India, seorang anak muda melakukan
pembakaran jenazah secara kremasi yang seolah-olah semua anggota
masyarakat lainnya dianggap najis. Kebiasaan ini memastikan bahwa roh tidak
akan berlama-lama dan menyebabkan kerusakan bagi yang hidup, dan juga
akan menemukan bagian-bagian yang aman bagi dunia di luar kehidupan
jasmani (Mandelbaum. 1959).

138
Kesehatan Mental
Ritual berkabung bertujuan untuk mengurangi kecemasan melalui
pengenaan ritual seremonial yang mengatur interaksi dengan almarhum.
Pengaruh katarsis dengan demikian ditingkatkan dalam situasi di mana
perlindungan dan keamanan menginformasikan kerangka relasional dari
proses ritual. Dalam ekspresi ritual keprihatinan, kemarahan dan keselamatan
sangat signifikan sebagai pelepasan permusuhan yang berpotensi merugikan
diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian, kemarahan ritual yang telah
dipelajari secara ekstensif jauh lebih sedikit dibandingkan upacara pengakuan
dosa atau berkabung yang menawarkan wawasan ke dalam proses katarsis
dari perspektif hubungan kekuasaan konflik dan seremonial.
Dengan demikian, ritual berkabung menyediakan kerangka kerja untuk
mengatasi rasa takut dan kesedihan dengan memperbanyak amal baik untuk
memastikan memberikan perasaan aman dan tenang pada jiwa, umumnya
kesedihan akan berkurang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.
Namun pada beberapa orang, kesedihan tetap bertahan meskipun peristiwa
yang menyebabkannya sudah lama terjadi. Orang yang menderita kesedihan,
merasa sangat sedih dan terus teringat dengan peristiwa penyebabnya,
seolah-olah peristiwa itu baru saja terjadi.
Orang yang menderita kesedihan tidak bisa merasakan indahnya hidup,
selalu murung, mengurung diri, tidak semangat bekerja, mudah sakit, dan
mengalami berbagai masalah fisik atau emosi lainnya. Tidak jarang, banyak
penderita kesedihan menjadi pemabuk atau pecandu narkoba. Beberapa
gejala lain adalah: Banyak orang yang menderita kesedihan merasa hidupnya
sudah berakhir. Bahkan tidak jarang yang mengira dirinya sudah gila karena
dia tidak bisa mengendalikan perasaanya sendiri. Apabila kita mengalami
kesedihan yang mendalam sehingga kita tidak punya semangat hidup seperti
dulu. Janganlah berputus asa..! Rokok, alkohol, dan narkoba bukanlah
obatnya. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk bangkit, salah satunya
adalah hipnoterapi.
Melalui ritual berkabung, sambungan simbolis yang secara kontekstual
merupakan pelepasan emosi, menciptakan sikap tegas terikat dengan mereka
yang telah meninggal. Melalui ikatan emosional dengan almarhum, perasaan
putus asa dan kerinduan yang dinyatakan sebagai kematian merupakan
perpisahan akhir.
Kehidupan di dunia merupakan permainan dan senda gurau. Ada
kalanya menang ada kalanya kalah. Susah dan senang silih berganti.
Senangnya merupakan kesenangan yang menipu, sedihnya merupakan
kesengsaraan sementara. Itulah dinamika kehidupan di alam fana. Sungguh
berbeda dengan kehidupan sejati dan abadi di akhirat kelak nanti.
Barangsiapa senang, maka ia akan selamanya senang.

139
Kesehatan Mental

4. Ekspresi Ritual Kemarahan


Penelitian menunjukkan bahwa kemarahan, katarsis ekspresi emosi
bertentangan dalam kebanyakan katarsis. Spesifiknya, ketika target
permusuhan berada dalam hubungan yang kurang baik (marah) kepada
individu (Tavris, 1982). Ketika kemarahan dinyatakan oleh seseorang dalam
posisi kurang kuat, pengaruh katarsis dikurangi dengan kecemasan yang
mengelilingi perasaan takut akan pembalasan. Selanjutnya, karena asosiasi
kemarahan dengan agresi, manfaat katarsis pelepasan mungkin dapat
dikurangi dengan ketegangan yang mengelilingi ekspresi marah secara
terbuka, karena kesulitan yang menjadi ciri katarsis pelepasan kemarahan,
tindakan ritual agresi memberikan interaksi yang terstruktur di mana
permusuhan menyatakan akan dikendalikan oleh batas-batas ritual seremonial
yang menengahi hubungan sosial dari kekuasaan di antara anggota
masyarakat yang terlibat dalam ekspresi upacara kemarahan terhadap
anggota masyarakat yang lebih kuat. Dalam karyanya pada Ritual dan proses,
Turner menjelaskan panjang lebar Festival Holi di India, sebuah ritual musim
semi yang didedikasikan untuk Lord Krishna di mana aggress lemah terhadap
yang kuat. berikut mengilustrasikan ini ritual dari pembalikan peran :
Siapakah wanita yang sedang tersenyum ketika dipukuli tanpa ampun?
Mereka adalah Brahman Jat kaya dan petani desa. Dan siapakah mereka
orang-orang yang bersemangat, istri-istri desa "memikirkan dengan baik
melalui sistem intercaste nyata dan fiksi kekerabatan. Istri dari "pasangan itu
tengah bercanda seorang pria, dia lalu dihapus dalam aturan hormat ekstrim,
tetapi keduanya bergabung sebagai ibu manusia, istri-istrinya "ayah adik laki-
laki". Dalam salah satu komplotan rahasia revolusioner dari "istri" yang
memotong semua garis yang lebih kecil dan link. Orang paling berani dalam
batalionnya terselubung sebenarnya istri petani rendah kasta lapangan-buruh,
pengrajin atau-menials para selir yang membantu korban. "Pergilah dan
panggang roti!" Goda seorang petani, menghasut penyerangnya. "Apakah
Anda ingin beberapa benih dari saya?" Teriak korban lain tersanjung, pedih di
bawah pukulan, tapi berdiri di tempatnya. Brahman enam pria di usia lima
puluhan, sosok yang dijadikan pilar masyarakat desa, tertatih-tatih di masa
lalu dan terengah-engah dalam penerbangan dari staf kuartal dikerahkan oleh
tukang sapu Bhangin besar. (Turner, 1969, hal.186). Menurut turner (1969)
ritual tersebut katarsis karena mereka membersihkan masyarakat dari
"struktural menimbulkan 'dosa (hal. 185) melalui pelanggaran norma
legitimasi yang memungkinkan ketidak berdayaan untuk melampiaskan
amarah mereka dari permusuhan dengan orang-orang yang menindas dan

140
Kesehatan Mental
menyiksa mereka. Pada saat yang sama, yang kuat harus mempertahankan
serangan fisik dan verbal sosial mereka.
Dalam pendekatan yang agak berbeda untuk pembalikan daya ritual,
wallance (1966) membahas istilah Saturnalia ritual, yakni ritual
pemberontakan yang melanggar norma kesopanan sosial. Dalam budaya Zuni,
misalnya, badut memainkan peran seremonial penting. Dalam golongan
misionaris Katolik. Norbeck (1961) menyediakan akun ini sebagai ritual pura-
pura. Meskipun Wallance mengusulkan bahwa ritual pemberontakan jenis ini
lebih sekuler dibandingkan agama murni. Interpretasi yang dimilikinya gagal
dalam mengambil bagian (peran) spiritual sebagai badut dalam tradisi
amerika (Cameroon, 1981). Sebagai anggota masyarakat yang menyatakan
sebuah kebenaran dan menghadirkan kebijakan terhadap suku bangsa.
Contoh yang disebutkan disini, yakni kebijakan tentang komunikasi melalui
perasaan terhina dan kemarahan yang telah dialami oleh orang-orang pribumi
yang budaya dan warisan leluhurnya telah hilang nilainya dan dirusak oleh
koloni.
Upacara penyembuhan yang ditemukan dikalangan golongan spiritual
feminis di United States masih menawarkan perspektif lain dari ritual
kemarahan dan ekspresi haru terhadap pembalasan dan sikap
ketidakramahan. Dalam pergerakan ini, kaum wanita yang melakukan
penyalahgunaan fisik dan seksual menemukan kekuatan dalam pusat
ketuhanan sebagai upacara penyembuhan dari pembalasan terhadap
pelanggaran melalui aksi serangan. Korban pemerkosaan mendeskripsikan
pembagian sifat ketidakramahan dalam cara berikut :
Disaat kita melempar telur seraya berteriak bahwasanya saya tengah
merasakan kemarahan yang sebenar-benarnya, sangat cepat dan saya
menagis dan melihatnya disana datang dengan wanita lain. Dan ini terasa
seperti sesuatu yang dapat kamu raih dan sentuh. Sungguh kondisi yang
menyerukan keadaan. Saya dapat melihat rasa sakit seorang wanita dan
merasakan sesuatu yang sama antara rasa sakitnya dan rasa sakit saya. Saya
menebak disana ada dua elemen, perasaan marah dan perasaan itu timbul
kepermukaan dengan sangat cepat. Dan perasaan yang lebih besar yang pada
umumnya dimiliki oleh wanita. Dan kita perlu untuk mendapatkannya.
Dalam ritual penyembuhan, peserta melaporkan informasi ketegangan
dan kegelisahan yang meningkat akibat kehadiran orang-orang yang memiliki
pengalaman emosi. Juga, dalam status menyatakan upacara yang
dideskripsikan oleh Turner dan Wallace, peserta menerima permohonan/izin
untuk merasakan kebencian dan kemarahan tanpa konsekuensi ketakuatan
atau sesuatu yang sifatnya murahan. Katarsis tersebut terjadi akibat emosi
yang dibenarkan dalam struktur ritual yang membolehkan serangan tanpa

141
Kesehatan Mental
ketakutan akan kerugian yang nyata. Melalui aksi ritual ini pihak korban
menerima kekuasaan yang besar dari pelaku.
Sebagai contoh saran ritual, emosi marah, lebih cenderung menjadi ritual
yang diekspresikan oleh sebagian anggota masyarakat yang mengalami
penurunan kekuatan dan dominasi. Aksi katarsis demikian menjadi makna
untuk meniru kenyataan opresif hubungan sosial sebagai aksi ritual dari
kekuatan yang menyatakan pengurangan moment dan efek ilmu psikologi
dari strata sosial.
Sementara beberapa ulama berpendapat bahwa masyarakat industri
kontemporer menderita akibat tidak adanya ritual keagamaan (Mandelbaum.
1959: klapp, 1969: Goffman 1971.). Penting bagi mereka untuk menunjukkan
bahwa pandangan-pandangan tersebut tidak memperhitungkan prevalensi
praktek ritual antar budaya kelompok modern seperti Amerika Serikat. Di
Afrika Amerika, Hispanik, dan populasi penduduk asli Amerika, ritual dan
upacara keagamaan terus memberikan identitas sosial dan hubungan
emosional untuk anggota masyarakat yang kehilangan haknya dan
terasingkan dari masyarakat. Aspek katarsis tradisi revivalis di gereja hitam di
Amerika Serikat sangat jelas dalam pengalaman Angelou (1969), yang
menggambarkan efek dari pertemuan jasad dan rohani: Semua orang
menghadiri pertemuan dalam upacara rohani. Anggota toity-hoity Gunung
Sion, Gereja Baptis berbaur dengan anggota intelektual dari Afrika dengan
menggunakan Methodist Episkopal, Methodis Episkopal Sion, dan orang-
orang pekerja sederhana dari piscopal Methodist Kristen. Mereka tergabung
dalam kebenaran dari keeksklusifan kaum miskin yang terinjak. Meskipun
whitefolks punya uang dan kekuasaan, segregasi dan sarkasme serta rumah
yang besar, sekolah-sekolah, halaman rumput seperti karpet, dan buku. Itu
lebih baik untuk menjadi figure lemah lembut dan rendah, diludahi dan
disalahgunakan, dan akan menghabiskan kekekalan dalam api neraka. Tidak
seorang pun akan mengakui bahwa orang-orang Kristen dan amal perbuatan,
memikirkan penindas mereka, berpaling selamanya. (Hal. 103-111). Dalam
doa-doa para jemaat African American, kemarahan penindasan dan
subordinasi terbantu dengan kepercayaan pada Tuhan yang adil dan benar
yang akan menghukum orang fasik dan menebus umat yang beriman.
Hubungan antara status sosial dan praktik ritual sehingga menjadi
kesimpulan atas pertanyaan Goffinan bahwa "dalam ritual masyarakat
kontemporer dilakukan untuk berdiri tegap dan untuk entitas supernatural di
mana-mana di peluruhan" (1971, hal 63). Sebaliknya pendekatan yang lebih
pluralistik terhadap studi budaya modern menunjukkan bahwa bagi
perempuan dan etnis minoritas dan rasial, ritual keagamaan tetap menjadi

142
Kesehatan Mental
kendaraan penting bagi pelepasan emosi yang dinyatakan mungkin akan
ditolak dan ditekan oleh budaya yang dominan.
Setiap orang yang benar-benar percaya pada keberadaan Allah, yang
sungguh-sungguh takut kepada-Nya, dan bersandar pada kitab yang telah
diturunkan-Nya, tidak akan pernah sanggup mengambil segala bentuk
tindakan yang bisa menyakiti orang-orang yang tak bersalah dan tidak bisa
membela diri. Karena itulah, orang yang melaksanakan tindak terorisme dan
kekerasan atas nama Islam, tidak bisa dikatakan sebagai kelompok agama.
Pesan sesungguhnya dari sebuah agama atau sistem pemikiran lainnya
acapkali diselewengkan oleh mereka yang menamakan diri sebagai
pengikutnya, atau ditafsirkan secara keliru. Hal tersebut berlaku untuk
Yudaisme maupun Kristen. Para tentara Perang Salib, sebagai contoh, adalah
orang-orang Kristen Eropa yang berangkat dari Eropa pada akhir abad ke-11
dengan tujuan membebaskan Tanah Suci. Mereka mungkin berangkat dengan
tujuan agama, tapi nyatanya mereka menyebarkan ketakutan dan kebiadaban
ke mana pun mereka pergi.
Kebiadaban mereka, yang menyalah tafsirkan agama Kristen, yang
merupakan agama cinta kasih dan tentunya tidak memberikan ruang untuk
kekerasan, jelas sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama sejati
sama sekali. Tidak boleh dilupakan bahwa pada akar semua gerakan-gerakan
menyimpang, baik yang dibahas dalam penelitian ini maupun yang tidak,
terdapat kenyataan bahwa orang-orang seperti itu telah berpaling dari akhlaq
agama dan telah dibesarkan tanpa pengetahuan yang benar tentang agama.
Akhlaq yang umum pada agama Islam, Kristen, dan Yahudi amat bertentangan
dengan sistem Dajjal, yang dibangun di atas kekerasan dan kebiadaban. Pada
akar agama terdapat cinta, perhatian, dan belas kasih. Allah telah
memerintahkan kita untuk memperlakukan sesama dengan adil, tenggang
rasa, pengertian, belas kasih, dan rasa hormat. Lebih jauh lagi, manusia
diwajibkan bersikap seperti itu tanpa memandang agama, bahasa, ras, atau
jenis kelamin dari orang yang dihadapinya. Karena itulah, mustahil terdapat
kekerasan di dalam masyarakat tempat akhlaq agama berlaku. Akhlaq agama
merupakan satu-satunya sistem yang dapat membimbing manusia ke arah
kedamaian dan keamanan
Dalam beberapa keterangan tentang kelompok dan organisasi yang
menganggap kekerasan sebagai hal yang normal dan perlu. Tidak seorang
pun akan mengakui bahwa orang-orang Kristen dan amal perbuatan,
memikirkan penindas mereka, berpaling selamanya. Tujuannya adalah
mengungkap sistem ideologi Dajjal, yang memperdaya kelompok-kelompok ini
hingga menganggap kekerasan sebagai pemecahan masalah, apa pun

143
Kesehatan Mental
pahamnya. Informasi yang diberikan ini amat penting dari sudut pandang
penggambaran rumitnya sistem, yang saat ini begitu meluas di dunia.
Banyak orang mungkin membayangkan bahwa Ku Klux Klan melakukan
sebagian besar serangan dan penindasan terhadap orang berkulit hitam hanya
pada 1920-an dan 1930-an, tapi kenyataan itu sudah masuk keranjang sampah
sejarah di zaman modern ini. Kelompok Klan masih hidup. Saat ini, di seluruh
Amerika Serikat, terdapat banyak sekali gereja Ku Klux Klan, bahkan dengan
nama yang berbeda, dan banyak organisasi rasis yang terkait dengan ajaran-
ajaran gereja tersebut. Gereja dan organisasi yang terkait dengannya itu tidak
hanya bermusuhan dengan orang berkulit hitam, tetapi juga memusuhi semua
ras bukan Eropa, terutama muslimin yang tinggal di Amerika, dengan
memercayai perlunya suatu kerja sama dalam perjuangan untuk melawan ras-
ras tersebut. "Perjuangan" tersebut meliputi pembentukan satuan-satuan
bersenjata.
Dalam rangka mencegah pencemaran seperti itu, ras lainnya tidak boleh
diizinkan hidup di wilayah ras kulit putih. Pemikirannya adalah bahwa ras lain
tidak punya hak untuk setiap bentuk kesempatan yang dinikmati oleh ras kulit
putih. Ras-ras ini dianggap sebagai hama yang mencoba mencemari
kemurnian dan keunggulan ras kulit putih, dan mereka percaya bahwa segala
tindakan yang perlu harus dilakukan untuk melawannya. Pandangan Klan
inilah yang menjadi dasar dari serangan-serangan yang dilakukan terhadap
ras lain di Amerika. Pada akar pemikiran ini terdapat kebencian dan agresi,
dan bukannya cinta, tenggang rasa, dan musyawarah.
Survei yang dilakukan terhadap mahasiswa Asia menunjukkan tidak
adanya hubungan emosi positif dengan penurunan kadar stres atau depresi.
Hal ini terlihat berbeda dengan orang Eropa dan Amerika yang justru
menunjukkan adanya kaitan emosi positif terhadap penurunan kadar stres dan
depresi sehingga lebih ekspresif dalam mengungkapkan kebahagiaan. Studi
ini melibatkan 633 mahasiswa asal Asia, Amerika-Asia dan Eropa-Amerika.
Penelitian ini untuk melihat perilaku ketika mengalami stres dan depresi,
seberapa sering memiliki suasana hati yang sedih, merasa tidak berharga atau
perubahan tidur dan nafsu makan. Temuan ini menunjukkan bahwa orang-
orang Asia menafsirkan dan memiliki reaksi emosi positif yang berbeda pada
kesehatan mentalnya. "Orang Asia beranggapan kebahagiaan yang muncul
adalah sinyal sesuatu yang buruk akan terjadi selanjutnya, dan mereka
percaya rasa bahagia tersebut akan cepat berlalu," ujar Janxin Leu, seperti
dikutip dari MedIndia: Kurangnya pengaruh emosi positif terhadap ekspresi
bahagia pada orang Asia diduga karena sebagian besar orang Asia selalu
berpegangan pada prinsip Yin dan Yang, yang menanamkan keseimbangan
alami untuk hal baik dan buruk. Kondisi ini pula yang turut mempengaruhi

144
Kesehatan Mental
orang Asia untuk sulit mengekspresikan kebahagiaan dan pikiran positifnya.
"Jadi terapi yang mengandalkan emosi dan berpikir positif pada orang barat
mungkin tidak akan cocok digunakan untuk orang Asia dan bisa saja membuat
pasien merasa lebih buruk," ungkap Leu.
Sebagai analisis lintas-budaya, studi ritual agama dan kesehatan mental
mencakup pengkajian praktek keagamaan di seluruh dunia, serta terdapat
pula dalam ragam budaya Amerika Serikat. Penilaian tersebut menyarankan
bahwa upacara keagamaan memainkan peran penting dalam mengurangi
kecemasan dan isolasi sebagai emosi yang mengakui, menyatakan, dan
perspektif tentang katarsis serta menekankan hubungan antara pelepasan
perasaan dan hubungan sosial interaktif yang menjadi ciri ritual berkabung,
pengakuan, dan konfrontasi. Manfaat psikologis dari ritual sehingga muncul
dari aspek relasional tindakan upacara yang memvalidasi dan memberikan
ekspresi emosional dengan realitas pengalaman manusia. Menurut La Barre
(1964), ritual pengakuan antara penduduk asli Amerika tidak dipaksakan oleh
otoritas misionaris tetapi berasaskan adat budaya ini.
Ritual itu intinya terletak pada pelaksanaannya dengan tepat. Sehingga
lama kelamaan orang cenderung memfokuskan pada Teknik Ritual. Teknik
pelaksanaan ritual itu umumnya rumit dan panjang. Sehingga kemudian
diperlukan orang-orang khusus untuk menjadi pemimpin ritual. Dalam posisi
pemimpin ibadah yang rutin (dan seringkali rumit) inilah, lalu diperlukan
tempat dan jabatan khusus, muncullah kasta Imam (golongan Lewi, pandhita,
pendeta, imam, brahmana, ulama, dll). Kemudian ada spesialisasi, ada yang
menjadi penyanyi, ada yang sebagai pendoa, atau ada yang melaksanakan
korban. Belakangan muncul spesialisasi pengkhotbah. Belakangan, banyak
dari para imam yang tidak lagi hanya menjadi pemimpin ritual, tetapi
mengarahkan perhatian pada teologi.

References

Angelou, M. (1969). I know why the caged bird sings. New York: Bantam
Books.
Cameron, A. (l981). Daughters of copper woman. Vancouver. BC: Press Gang
Publishers.
Darlington, H.S. (1937). Confessions of sins. Psychoanalytic Review. 24.l50-
164.
Giddens, A. (1984). The constitution of society. Berkeley. CA: University of
California Press.
Goffman, E. (1971). Relation in public. New York: Basic Books.

145
Kesehatan Mental
Gorer, G. (1965). Death grief and mourning in contemporary Britain. London:
The Crosset Press.
Harlow, J.(Ed.).(1978). Mahzor for Rosh Hashanah and Yom Kippur.
NewYork:The Rabbinical Assembly.
Jackson, E. ( I959) Grief and ritual. In H. Feifel (Ed.). The meaning of death
(pp. 213-218). New York: McGraw-Hill.
Jacobs, J .L. (1989). The effects of ritual healing on female victims of abuse: A
study of empowerment and transformation. Sociological analysis. 50,
265-279.
Kelly, W. H. (1949). Cocopa attitudes and practices with respect to death and
mourning. Southwestern Journal of Anthropolgy. 5 , 151- I65.
Klapp, O.E. (1969). Collective research for identity. New York: Holt. Rinehart
& Winston.
La Barre, W. ( 1964) .Confession as a cathartic therapy in American Indian
tribes. In .A. Kiev(Ed.). Magic, faith, and healing (pp. 36-49). Glencoe,
IL: Free Press.
Mandelbaum, D.G. (1959). Social uses of funeral rites. In H. Feifel (Ed.). The
meaning of death (pp. 189-217). New York: McGraw-Hill.
Norbeck, E.(1961). Religion in primitive society. New York:Harper & Row.
Pincus, L.(1974). Death and the family; The importance of mourning. New
York: Vintage.
Reik, T. (l959).The compulsion to confess. New York:Farrar, Straus, &Cudahy.
Scheff, T.J. (1979). Catharsis in healing ritual, and drama. Berkeley. CA:
University of California Press.
Skinner , A. ( l9 14). Political organizations cults, and ceremonies of the
Plains Ojibway and Plains Cree Indans. Anthropological Papers,
American Museum of Natural History. 11.540
Tavris, C. (l982). Anger: The misunderstood emotion. New York: Simon
&Schuster .
Turner, V.W. (1969). The ritual process. Chicago: Aldine.
Wallace, A.F. C. ( 1969). Religion: An anthropological view: New York: Random
House.

146
Kesehatan Mental

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abd.Salam Abd Gaffar, Muqaddimah fi al-Sihhah al-Nafsiyah Teheran: Dar an-


Nahdah alArabiyah, 1977

Abdullah, Yatmin, Studi Islam Kontemporer Cet.I; Jakarta: Sinar Grafika


Offset, 2006.

Abdullah, M. Amin, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan


Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga,
2006.

--------------------------.,Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural.


Yogyakarta; IAIN Sunan kalijaga-Kurnia Kalam Semesta, 2002

Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah


Pengantar Cet.II; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990

Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001

Agus, Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi


Agama, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006

A.H. Dahlan P. Asdie, Migren dan Sakit Kepala. Dalam Ilmu Penyakit Dalam
jilid II. Jakarta: FK UI, 1999

Arsyad Z, Syahbuddin S. Aspek Psikosomatis Obesitas. Dalam Ilmu Penyakit


Dalam jilid II. Jakarta: FK UI, 1999

A. Wiramihardja, Sutardjo, Pengantar Psikologi Abnormal Bandung: PT. Refika


Aditama, 2005

147
Kesehatan Mental
Al-Qoussy, Usus al-Sihhah al-Nafsiyah Kairo: Dar al-Nahdah al-Misriyah, 1970

Budihalim S, dan Sukatman D. Psikosamatis Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid


II, Jakarta: FK UI Jakarta, 1999

-----------, Sindrom Fungsional pada traktus Digestivus. Dalam : Ilmu Penyakit


Dalam jilid II, Jakarta: FK UI 1999

-----------, Psikofarmaka dan Psikosamatik. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II,
Jakarta: FK UI,1999

Burhanuddin Yusak,, Kesehatan Mental Bandung: CV Pustaka Setia, 1999

Budihalim S, Aspek Psikosomatis Ulkus Peptik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam


jilid II Jakarta: FK UI ,1999

Connolly, Peter (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS, 2002.

Darajat, Zakiah, Kesehatan Mental Cet.XVIII; Jakarta: CV.Haji Masagung,


2005

--------------------, Ilmu Jiwa Agama Cet.XVIII; Jakarta: Bulang Bintang, 2005

D. Hendropuspito. Sosiologi Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984

Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi Jakarta: Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988

Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah Cet IV; Jakarta: Logos


Wacana Ilmu, 2000

E. Koesma,Rismiyati., Konsep Manusia Menurut Psikologi Behavioristik:


Kritik dan Kesejalanan dengan Konsep

Fausiah, F & Widury, J. 2005.Psikologi Abnormal Klinis Dewasa Jakarta :


Universitas Indonesia, 2005

Frank.H, Robert, What Price the Moral High Ground ? Ethical Dilemmas in
Competitive Environments (Oxford: Princeton University Press, 2004

148
Kesehatan Mental
Grant JE. "Co-occurrence of personality disorders in persons with
kleptomania: a preliminary investigation". J. Am. Acad. Psychiatry Law
32 (4): 2004

Hawari, Dadang, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa Cet.XI;
Jakarta: PT.Dana Bhakti Prima Yasa, 2004

Kadri. Aspek Psikosomatis. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II Jakarta: FK UI,
1999

Kartini, Kartini, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam Cet.VI;
Bandung, CV Mandar Maju, 1989

-------------------, Patologi Sosial 3 Cet.II; Bandung: Mandar Maju, 2006

Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku


Psikiatri Klinis, edisi ketujuh, jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara,1997

Kaplan, Saddock,Grebb, Sinopsis Psikiatri. Jilid II. Edisi VII. Jakarta: Bina
Rupa Aksara, 1997

Kapita Selekta Kedoktera, Edisi ketiga, jilid 1. Jakarta: Media

Langgulung, Hasan Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental Cet.I; Jakarta:


Radar Jaya Offset Jakarta, 1986

L. Panggabean, Pengembangan Kesehatan Perkotaan ditinjau dari Aspek


Psikososial. (makalah). Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat
Departemen Kesehatan, 2003.

Magarius, al-Sihhah al-Madrasiyah wa al- Amal al-Madrasi Kairo: al-Nahdah


al-Misriyah, 1974

Mansyur A, dkk. Gangguan Psikosomatis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran.


Jakartta: Media Aesculapius FK UI 1999

Maslow, The Further Reaches of Human Nature New York: The Viking Press,
1972

149
Kesehatan Mental
Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press,1980

Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek Cet.III;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

-----------------------.,Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato


Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999

Mudjadid, Budihalim S., Kedokteran Psikosamatis. Dalam : buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam jilid II edisi IV Jakarta: FK UI Jakarta 2006

Mujib, Abdul, Fitrah & Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis,


Jakarta: Darul Falah,1999.
Nasution H.N. Anoreksia Nervosa. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta:
FK UI,1999

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam Cet V; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000.

Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal jilid 1.
Jakarta : Erlangga, 2003

Olson, Carl, Theory and Method in the Study of Religion; a Selection of


Critical Readings Canada: Thomson Wadsworth, 2003

Pals, Daniel L. (ed), Seven Theories of Religion New York: Oxford University
Press, 1996

Pedoman Diagnosis Dan Terapi Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas


Airlangga dan RSUD Dr. Soetomo., 1994

Rusdi Maslim (editor) Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-
III, 1993

Raymond F.Paloutzian Crystal L.Park, Handbook of The Psychology of Religion


and Spirituality New York: The Guilford Press, 2005

Sukatman D, Budihalim S, Biran S.I. Aspek Psikosomatis Gangguan


Pernafasan. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II, Jakarta: FK UI ,1999

150
Kesehatan Mental

-----------------------------------------------, Aspek Psikosomatis Penyakit Reumatik Dalam


Ilmu Penyakit Dalam jilid II, Jakarta: FK UI,1999

Sumintradja, Elmira N. Konsep Manusia Menurut Psikoanalisa: Eksplansi,


Kritik dan Titik Temu dengan Psikologi Islami dalam Metodologi
Psikologi Islami Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000

Sururin, Ilmu Jiwa Agama Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004

Suryabrata, Sumardi, Psikologi Kepribadian Cet.II; Jakarta CV. Rajawali, 1987

Supratinya, Mengenal Perilaku Abnormal, Yogyakarta: Kanisius.


LAB/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1995

Syaikh Ibnn Baz, Ibn Utsaimin, Fatawa Al-Ilaj bil Quran wa Sunnah, Ar-Ruqa
ma Yataallahqu Biha Al-Lajnah al-Daimah

Syamsu, Yusuf, Mental Hygiene Perkembangan Kesehatan Mental dalam


Kajian Psikologi dan Agama Bandung: Pusta Bani Quraisy ,2004

Umam Kh, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktis Jakarta: Grafindo
Persada, 2006

W.F.Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Cet.VI; Surabaya: Airlangga


University Press, 1992

Winter "What is Depression", Leadership, 1982, Vol. III, No. 1

W.Martin,Mike, From Morality to Mental Health Virtue and Vice in a


Therapeutic Culture Oxford: Oxford University Press, 2006

151
Kesehatan Mental

KESEHATAN MENTAL

Oleh
Prof.Dr.H.M.Sattu Alang, MA

2011

KATA PENGANTAR

Buku kesehatan mental ini adalah lanjutan dari buku Kesehatan Mental
dan Terapi Islam yang sudah dicetak beberapa kali. Paparannya memuat
tentang ruang lingkup kesehatan mental yang diawali dari pandangan para
pakar kesehatan mental tentang pengertian, ciri serta sejarah lahirnya ilmu
kesehatan mental sebagai salah satu disiplin ilmu psikologi, khususnya
psikologi Islam. Juga dikemukakan sebagian mengenai macam-macam

152
Kesehatan Mental
gangguan jiwa dan penyakit jiwa serta bagaimana menangani setiap kasus
kejiwaan tersebut lewat terapi agama dan pendekatan medis.
Buku ini bertujuan untuk membantu para dosen dan mahasiswa jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
dalam mengenal dan memahami beberapa masalah kejiwaan serta upaya
menuntun para klien untuk menemukan kembali jati dirinya dalam artian
sehat jasmani dan rohani yang dalam bahasa agama hasanah fi al-Dunyah wa
al-Akhirah. Buku ini juga memuat muatan-muatan sebagian silabi mata kuliah
Kesehatan Mental dan mata kuliah Psikoterapi Islam bagi mahasiswa
semester IV (empat) dan VI (enam) jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam pada
Fakultas Dakwah dan Komunikai. Juga ditambah dengan berbagai pendekatan
dalam memahami agama.Hal ini penting untuk memperkaya dan memperluas
wawasan mahasiswa dan pembaca lainnya tentang pentingnya pemahaman
agama bagi diri seseorang. Pada bagian terakhir kami sajikan beberapa
pandangan tentang agama dan kesehatan mental (versi dunia barat). Hal ini
penting agar wawasan tentang kesehatan mental baik menurut pandangan
dari kalangan pakar muslim mapun dari para pakar yang menggeluti agama
dan kesehatan mental di dunia barat.
Bahan-bahan atau referensi dalam buku ini, banyak bersumber dari
buku-buku para pakar psikologi Islam dan para pakar kesehatan mental serta
bahan-bahan yang diperoleh lewat internet. Contoh kasus yang dipaparkan
bersumber dari; majalah, surat kabar dan internet. Kemudian diolah dan
dianalisa apa adanya serta didukung ayat-ayat al-Quran dan berbagai kasus-
kasus yang kami tangani beberapa tahun.
Buku ini juga, saya hadirkan kepermukaan sebagai hasil motivasi dari
research fellow ke luar negeri (Jerman) dalam peningkatan mutu dosen
Pendidikan Tinggi Islam dalam meningkatkan wawasan intelektual dan
budaya meneliti dan menulis bagi para dosen, utamanya yang sudah meraih
gelar doktor dan profesor. Olehnya itu, saya mengucapkan banyak terima
kasih kepada bapak Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Islam Departemen
Agama Republik Indonesia Prof.Dr.Muhammad Ali, MA, Direktur Pendidikan
Tinggi Islam Prof.Dr.H.Machasin, MA. Dan kepala Kasubdit. Pendidikan Tinggi
Islam Dr.Muhammad Zein ,MA. Juga kepada Rektor UIN Alauddin Makassar
(Prof.Dr.H.A.Qadir Gassing, HT.MS) yang mencanangkan seribu buku pada
masa kepemimpinannya
Ucapan terima kasih saya haturkan juga kepada Prof.Dr.H.Ahmad
M.Sewang, MA, selaku Pembantu Rektor Bidang Akademik bersama
jajarannya yang berkenan menerbitkan buku ini. Juga kepada Dra.Hj.Sitti
Trinurmi, M.Pd.I yang bersedia mengoreksi/mengedit bahasa buku ini,

153
Kesehatan Mental
khususnya bahasa yang digunakan dalam penulisan. Saya pilih sebagai editor
dengan pertimbangan beliau adalah dosen Psikologi dan Bahasa Indonesia.
Semoga buku ini bermanfaat bagi dunia pendidikan dan masyarakat,
serta saya mengharapkan masukan-masukan dan perbaikan demi terwujudnya
sebuah buku yang layak.

Makassar, 25 Oktober 2011

.Prof.Dr.H.M.Sattu Alang, M.A

DAFTAR ISI
Bagian Pertama
Ruang Lingkup Kesehatan Mental
A. Pengertian Kesehatan Mental
B. Sejarah Kesehatan Mental
Bagian Kedua
Gangguan Jiwa
A. Klasifikasi Gangguan Jiwa

154
Kesehatan Mental
B. Macam-Macam Gangguan Jiwa
1. Skizofrenia.
2. Depresi
3. Kecemasan
4. Gangguan Kepribadian
5. Gangguan Mental Organik
6. Gangguan Psikosomatik
7. Retardasi Mental (Keterebelakangan Mental

Bagian Ketiga

Penyakit Jiwa

1. Pengertian Penyakit Jiwa


2. Macam-Macam Penyakit Jiwa
a. Schizophrenia
b. Paranoia
c. Manicdepressive
d. Kleptomania
e. Neurosis
f. Psikosis
3. Tanda-tanda Utama dari Penyakit Jiwa
4. Ilmuwan Islam, Penemu Pengobatan Penyakit Jiwa
5. Berbagai Pendekatan Dalam Memahami Agama
6. Agama dan Kesehatan Mental (Versi Dunia Barat)
Daftar Pustaka .

155

Вам также может понравиться