Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Klasifikasi batuan Q-System dikenal juga dengan istilah Rock Tunneling Quality Index
untuk keperluan perancangan penyangga penggalian bawah tanah.
Q-System digunakan dalam klasifikasi massa batuan sejak tahun 1980 di Iceland. Sistem
ini pertama kali dikembangkan oleh Barton, dkk di 1974 berdasarkan pengalaman pembuatan
terowongan terutama di Norwegia dan Finlandia.
Pembobotan Q-System didasarkan atas penaksiran numerik kualitas massa batuan
berdasarkan 6 parameter berikut;
1. RQD (Rock Quality Designation)
2. Jumlah Kekar/Joint Set Number (Jn)
3. Kekasaran Kekar atau Kekar Utama/Joint Roughness Number (Jr)
4. Derajat Alterasi atau pengisian sepanjang kekar yang paling lemah/Joint Alteration Number
(Ja)
5. Aliran Air/Joint Water Reduction Number (Jw)
6. Faktor Reduksi Tegangan /Stress Reduction Factor (SRF)
Dalam sistem ini, diperhatikan diskontinuitas dan joints. Angka dari Q bervariasi dari
0.001-1000 dan dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:
Tabel 1. RQD
Kualitas batuan menggunakan klasifikasi Q-system dapat berkisar dari Q= 0,0001 sampai
Q= 1000 pada skala logaritmik kualitas massa batuan.
Tabel 3. Jr
Tabel 7. Jw
ESR
Perhitungan Equivalent Dimention berdasarkan lebar bukaan terowongan dan nilai ESR
(Excavation Support Ratio). Nilai ESR sangat bergantung pada kategori penggalian.
ED = Excavation Span, Diameter or Height (m)/ESR
Tabel 10. ESR
Misalkan perhitung nilai Q :
Q = 90/4 x 3/1 x 1/15 = 4,5
904
Q= 904 31 115=4,5
Misalkan sebuah terowongan mau dibuka selebar 15 meter untuk keperluan
pertambangan permanent maka;
ED = 15 / 1,6 = 9,4
Berdasarkan nilai ED dan nilai Q tersebut dapat diperkirakan hubungan antara lebar
bukaan terowongan dengan sistem penyangga yang harus digunakan.
Hubungan tersebut dapat dilihat pada grafik yang dibuatkan oleh Barton tahun 1974. Grafik
tersebut kemudian diupdate lagi oleh Grimstad dan Barton tahun 1993.
Dengan nilai ED: 9,4 dan Q : 4,5 maka masuk dalam kategori 4. Kategori 4 mengharuskan
pemasangan rock bolt dengan spasi 2,1 meter dalam shotcrete setebal 4-10cm.
Jika nilai dari persamaan Q system telah ditemukan, maka system support dapat ditentukan
berdasarkan grafik berikut ini.
Tahun 1970 klasifikasi Terzaghi dimodifikasi Deere dan kawan-kawan dan membuat
klasifikasi sistem baru. Sistem klasifikasi ini memperkenalkan teknologi penyangga
batuan yang diberi nama rock bolt dan shorcrete, yang digunakan diberbagai proyek,
seperti di terowongan, ruang bawah tanah, tambang, lereng dan Pondasi.
Saat ini terdapat berbagai sistem klasifikasi massa batuan dan aspek penerapannya,
yaitu :
1. Rock Load (Terzaghi, USA 1946), untuk penerowongan dengan memperkirakan beban
batuan yang disangga dengan penyangga baja (sekarang dipakai hanya sebagai topik
bahasan teoritis saja).
2. Stand-up time (Lauffer, Austria, 1958), untuk penerowongan. Klasifikasi ini didasarkan
hasil kerja Stini (1950) dan merupakan langkah maju dalam seni penerowongan dengan
memperkenalkan stand-up time dari active span. Dimana dapat ditentukan tipe dan
jumlah penyangga di dalam terowongan secara relevan.
3. New Austrian Tunneling Method (NATM, Pacher dan kawan-kawan, Austria, 1964),
untuk penerowongan. Metode NATM merupakan pendekatan saintifik empirik, yang
melibatkan pengalaman praktek yang disebut emperical dimesioning (Rabcewicz,
1964). Ini merupakan dasar teoritis yang melibatkan hubungan antara tegangan dan
deformasi di sekeliling terowongan (lebih dikenal dengan konsep ground-reaction).
Pada awalnya ini merupakan dasar teoritis yang diberikan oleh Fenne dan Kastner.
Kemudian metode ini dikembangkan dengan menggunakan instrumen in-situ dan
pemantauan yang canggih dan menginterpretasikan pengukuran secara saintifik.
4. Rock Quality Designation (RQD, Deere dan kawan-kawan, USA, 1967), untuk core
logging dan penerowongan. RQD adalah modifikasi dari persentase dari perolehan inti
yang utuh dengan panjang 10 cm atau lebih. Ini adalah indeks kuantitatrif yang telah
digunakan secara luas untuk mengidentifikasi daerah batuan dan kualitasnya, sehingga
dapat diputuskan untuk menambah pemboran atau pekerjaan eksplorasi lainnya.
5. Rock Structure Rating (RSR, Wickman dan kawan-kawan, USA, 1972), untuk
penerowongan. Konsep RSR memandang dua parameter umum dari faktor yang
mempunyai perilaku massa batuan di dalam terowongan yaitu parameter geologi dan
parameter konstruksi.
6. Rock Massa Rating System (RMR-System, Bieniawski, Afrika Selatan, 1973), untuk
penerowongan, tambang, lereng dan pondasi. RMR-System menggunakan enam
parameter untuk menilai kualitas massa batuan yaitu kuat tekan batuan, RQD, jarak
bidang diskontinuitas, kondisi bidang diskontnuitas, kondisi air tanah dan orientasi
bidang diskontnuitas.
7. Q-System (Barton, Lien, Lunde, Norway, 1974), untuk penerowongan dan ruang bawah
tanah. Klasifikasi ini juga menggunakan 6 parameter untuk penilaian numerik kualitas
massa batuan, yaitu RQD, jumlah set kekar, jumlah set roughness, derajat alternasi,
aliran airtanah dan kondisi tegangan.
8. Rock Massa Index (Palmstrom, Norway, 1995), untuk rock engineering, evaluasi
penyangga, masukan dalam mekanika batuan. Dalam system ini juga memasukkan
parameter kuat tekan uniaksial material batuan dan set kekar (bidang diskontinuitas).
Untuk saat ini, sistem klasifikasi yang sering dipakai dalam praktek ialah Rock Massa Rating
System (RMR-System) yang diusulkan oleh Bieniawski (Afrika Selatan, 1973, direvisi 1979).
Di Indonesia, Sistem RMR telah mulai diterapkan di proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air
Cirata (1985) dan proyek PLTA Tulis Banjarnegara, terutama pada tahap penggalian headrace
tunnel. Dan Tambang emas di Pongkor Jawa Barat.
Kemudian Deere (1970) membuat klasifikasi teknis batuan utuh untuk beberapa
macam batuan dalam menilai kuat tekan batuan, seperti yang terlihat pada tabel 7.2.
Tabel 7.2. Klasifikasi Teknis Batuan Utuh (Deere, 1968).
75 90 Baik (Good)
90 100
Sangat baik (execellent)
Gambar 7.2. Prosedur Untuk Pengukur dan Perhitungan RQD (Deere, 1899)
3). Jarak Bidang Diskontinuitas
Sedangkan arah strike/dip kekar yang dijumpai di lapangan tidak semudah yang ditunjukkan oleh gambar
6.3(a), sehingga scan line AB tidak memungkin untuk dibuat tegak lurus dengan bidang-bidang kekar, maka
dilakukan pengukuran dan pengamatan dengan membuat scan line AB secara sembarang (Gambar 7.3b),
kemudian dihitung jarak kekar dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
Kekasaran (Roughness)
Kekasaran merupakan komponen penting dalam kuat geser terutama untuk
kekar yang mengalami pergeseran atau yang terisi oleh material lain. Kekasaran yang
saling mengunci dan menempel akan mempertinggi kuat geser. Di lapangan penentuan
kekasaran dapat dilakukan dengan meraba permukaan kekar.
Panduan untuk menentukan profil kekasaran dan diskripsinya diberikan oleh
ISRM (1981). Panduan ini untuk panjang profil dalam 1 10 m dengan skala vertikal
dan horizontal sama (Gambar 7.4)
Dengan istilah diskripsi sebagai berikut.
- Sangat kasar (very rough surfaces) ; terdapat banyak gelombang yang sangat
berdekatan pada permukaan kekar.
- Kasar (rough surfaces) ; terdapat beberapa gelombang, kekasaran jelas terlihat dan
permukaan kekar terasa sangat abrasif.
- Sedikit kasar (slightly rough surface) ; permukaan kekar dapat dibedakan dan
dirasakan antara yang relatif kasar dengan yang relatif halus.
- Halus (smooth surfaces) ; permukaan kekar terasa halus ketika disentuh.
- Polesan (slickensided surfaces) ; terlihat seperti dipoles (digosok).
Gambar 7.4. Profil Kekasaran dan Diskripsinya (ISRM, 1981)
Rengangan (Separation)
Separasi adalah jarak tegak lurus yang memisahkan batuan dinding dari kekar yang
terbuka (Gambar 7.5). Kekar yang terisi oleh material lain (misalnya clay) dapat
digolongkan sebagai separasi, jika material pengisinya telah tercuci (hilang) secara
lokal. Seperasi dapat dikatakan kecil, jika kekasaran didnding kekar cenderung menjadi
terkunci dan material pengisi kekar memberikan dukungan terhadap kuat geser.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kuat geser kekar tegantung pada tingkat separasi,
ada tidaknya material pengisi, kekasaran permukaan kekar dan sifat material pengisi.
Gambar 7.5. Ilustrasi Pengertian Separasi
Material Pengisi
Material pengisi kekar antara lain kalsit, klorit, clay, lanau, kwarsa dan lain sebagainya.
Jika kekar terisi oleh material pengisi maka harus ditentukan tebal, jenis dan
kemenerusannya. Material pengisi kekar sangat mempengaruhi kekuatan massa
batuan, karena mampu sebagai perekat dan sebagai pemisah antar bidang kekar.
5). Kondisi Airtanah
Dalam pembuatan terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran airtanah dalam
liter/menit per panjang 10 m penggalian. Tetapi di lapangan dipakai cara yang relatif
mudah yaitu dengan melihat dan meraba permukaan batuan lalu kondisi airtanahnya
dinyatakan dengan kondisi ; kering (dry), lembab (dam), basah (wet), menetes
(dripping) dan mengalir (flowing).
6). Orientasi Bidang Diskontinuitas
Orientasi bidang diskontinuitas digambarkan oleh jurus dan kemiringan. Jurus dicatat
dengan mengacu pada kutub utara megnet bumi, sedangkan kemiringan adalah sudut
yang dibentuk antara bidang horizobtal dengan bidang kekar searah dengan bidang
kemiringan.
Orientasi bidang diskontinuitas dalam terowongan dapat dikategorikan dengan istilah
menguntungkan dan tidak menguntungkan. Bidang kekar yang menguntungkan dalam
terowongan, jika jurus kekar relatif tegak lurus terhadap arah sumbu aksis terowongan,
sedangkan jika jurus kekar relatif sejajar terhadap arah sumbu aksis terowongan maka
kondisi ini dikatakan tidak menguntungkan.
7.5.2. PROSEDUR KLASIFIKASI SISTEM RMR
Ada enam langkah dalam menggunakan Sistem RMR :
1. Menghitung bobot (rating) total dalam tabel 7.6. Sesuai dengan kondisi lapangan yang
sebenarnya, yakni dengan menjumlahkan semua rating dari UCS, RQD, jarak
diskontinuitas, kondisi diskontinuitas dan kondisi airtanah.
2. Menilai kedudukan sumbu terowongan terhadap jurus dan kemiringan bidang
diskontinuitas seperti yang ditunjukkan pada tabel 7.7.
3. Setelah menentukan kedudukan sumbu terowongan terhadap jurus dan kemiringan
bidang-bidang diskontinuitas, maka ratingnya ditetapkan berdasarkan tabel 7.8.
Langkah ini disebut juga sebagai penyesuaian rating (rating adjustment).
4. Menjumlahkan rating yang didapat dari langkah pertama dengan rating yang
didapatkan dari langlah tiga, sehingga diperoleh total rating sesudah pennyesuaian.
Dari rating ini dapat diketahui kelas massa batuan berdasarkan tabel 7.9.
5. Setelah kelas massa batuan diperoleh maka dapat diketahui arti klas massa batuan
dengan memperoleh nilai stand-up time dari massa batuan tersebut dengan span
tertentu serta kohesi dan sudut geser dalam-nya seperti yang diperlihatkan oleh tabel
7.10.
6. Berdasarkan klasifikasi Geomekanika ini, Bieniawski memberikan petunjuk untuk
penggalian dan penyangga terowongan batuan dalam hubungan dengan sistem RMR
(Tabel. 7.11). Petunjuk ini hanya berlaku untuk terowongan dibatuan dengan lebar 10
m, berbentuk tapal kuda, tegangan vertikal lebih kecil dari 25 MPa, serta metode
penggalian dengan pemboran dan peledakan.
1 Batuan UCS
Utuh > 250 100 200 50 100 25 50 5-25 1-5
(MPa)
Pembobotan 15 12 7 4 2 1
Permukaan sangat
Agak kasar,
kasar, tidak Agak kasar, Slikensided/gouge < 5
Kondisi separasi < 1 Gouge lunak > 5 mm, atau sep
menerus, tidak separasi < 1 mm, atau separasi 1 5
Diskontinuitas mm, sangat 5 mm, menerus
4 renggang, tidak mm, agak lapuk mm, menerus
lapuk
lapuk
Pembobotan 30 25 20 10 0
Airtanah
5
Aliran /
10 m panjang Tidak ada < 10 10 25 25 125 > 125
tunnel (L/min)
Tekanan pori 0 < 0,1 0,1 0,2 0,2 0,5 > 0,5
dibagi tegangan
utama
Keadaan Umum Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
Pembobotan 15 10 7 4 0
Tidak
Jurus dan Kemiringan Sangat Mengun- Sangat tidak
Sedang Mengun-
Orientasi Diskontinuitas Mengun-tugkan tungkan Menguntungkan
tungkan
Tabel 7.9. Kelas Massa Batuan Yang Ditentukan Dari Pembobotan Total
20 Tahun 1 Minggu
Stand-up time 6 Bulan untuk 10 jam untuk 30 Menit untuk span 1
untuk span 15 untuk span
Rata-rata span 8 m span 2,5 m m
m 5m
Kohesi Massa Batuan (Kpa) > 400 300 400 200 300 100 200 < 100
Bieniawski (1976) memberikan hubungan antara waktu stabil tanpa penyangga (stand-
up time) denga span untuk berbagai kelas masssa batuan menurut klasifikasi
geomekanikan seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 7.6. Hubungan ini sangat
penting sekali diketahui pada saat penggalian terowongan.
KELAS PENYANGGAAN
MASSA PENGGALIAN ROCK BOLT (20 mm
BATUAN SHOTCRETE STEEL SETS
Dia, Fully Grouted)
Batuan Sangat
Full Face, dengan Umumnya tanpa penyanggaan, adakalanya pengukuran dilakukan untuk
Baik (Kelas I)
Kemajuan 3 m memakai spot bolting
RMR 81 - 100
Batuan Baik Full Face, dengan Lokalisasi, bolts pada 50 mm di atap Tidak ada
(Kelas II) kemajuan 1 1,5 m atap sepanjang 3 m
RMR 61 - 80 penyangga komplet 20 m adakalanya dengan wire
dari face mesh
6.5.3. KASUS
Unit Pertambangan Emas Pongkor PT. Aneka Tambang Tbk. Bogor Jawa Barat akan
mengkonstruksi drift footwall 700 Ciurug. Kontruksi drift tersebut berbentuk segiempat
dengan sudut-sudutnya membundar. Panjang drift 90 m dengan geometri lubang
bukaan 3 m x 3 m dengan data pada tabel berikut ini.
Tabel 7.12. Data Massa Batuan dan Kondisi Geologi Unit Pertambangan Emas Pongkor
PT. Aneka Tambang Tbk. Bogor Jawa Barat
1. Panjang drift 40 m 11 m 39 m
2. Jenis batuan Tufa breksi Andesit Tufa breksi
3. Kuat Tekan batuan 36 MPa 72 MPa 36 MPa
utuh (UCS)
4. Kualitas Inti 85,75 % 92,2 % 67,7 %
Batuan (RQD)
5. Spasi Rekahan 150 mm 400 mm 300 mm
6. Kondisi Rekahan Menerus, agak Sangat kasar, tidak Agak kasar,
kasar, renggang, < menerus, tidak renggang < 1 mm
1 mm dan lapuk renggang dan tidak dan lapuk
lapuk
7. Kondisi Airtanah Basah Basah Basah
8. Orientasi Rakahan Relatif tegak lurus Relatif tegak lurus Relatif tegak
drift dengan arah drift dengan arah lurus drift dengan
umum N 289o E/20o umum N 335o E/25o arah umum
N346oE/22o
Dari Tabel 7.12 terlihat bahwa dilakukan pembagian zona di sepanjang 90 m drift. Pembagian zona ini
berdasarkan perubahan jenis batuan yakni zona I batuan tufa breksi, zona II batuan andesit dan Zona III
dijumpai kembali batuan tufa breksi. Dari ketiga zona ini akan dilakukan pembagian kelas dan arti massa
batuan. untuk merekomendasikan penyanggaan. Dengan perubahan jenis batuan tersebut tentunya akan
berubah kelas dan arti massa batuan. Maka rekomendasi penyanggaan yang dibutuhkan juga tidak akan sama
pada masing-masing zona. Sehingga dapat memberikan kontribusi nilai ekonomis dengan tidak mengabaikan
aspek stabilitas terowongan. Untuk masing-masing zona akan di analisis sebagai berikut.
Zona I
Zona I dengan panjang drift 40 m dan mempunyai batuan tufa breksi akan dilakukan
pembobotan berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk mengetahui kelas dan
arti massa batuan (Tabel 7.13)
PEMBOBOTAN
NO URAIAN ZONA I
SISTEM RMR
1. Kuat Tekan batuan 36 MPa 4
utuh (UCS)
Dari pembobotan total 59 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas III dengan Batuan Sedang (lihat Tabel
7.9). Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-up time rata-rata 1 Minggu untuk span 5 m, kohesi sebesar
200 300 KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 25o 35o (Tabel 7.10).
Zona II
Zona II dengan panjang drift 11 m dan mempunyai batuan andesit akan dilakukan
pembobotan berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk mengetahui kelas dan
arti massa batuan (Tabel 7.14)
Tabel 7.14. Pembobotan Data-Data Zona II
PEMBOBOTAN
NO URAIAN ZONA II
SISTEM RMR
Pembobotan Total 72
Dari pembobotan total 70 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas II dengan Batuan Baik (lihat Tabel 7.9).
Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-up time rata-rata 1 Tahun untuk span 10 m, kohesi sebesar 300
400 KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 35o 45o (Tabel 7.10).
Zona III
Zona III dengan panjang drift 39 m dan mempunyai batuan tufa breksi akan dilakukan
pembobotan berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk mengetahui kelas dan
arti massa batuan (Tabel 7.15)
Tabel 7.15. Pembobotan Data-Data Zona III
PEMBOBOTAN
NO URAIAN ZONA III
SISTEM RMR
Pembobotan Total 57
Dari pembobotan total 57 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas III dengan Batuan Sedang (lihat Tabel
6.9). Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-up time rata-rata 1 Minggu untuk span 5 m, kohesi sebesar
200 300 KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 25o 35o (Tabel 7.10).