Вы находитесь на странице: 1из 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan berdampak pada meningkatnya


kesejahteraan rakyat. Hal ini berpengaruh pada demografi dan transisi
epidemiologi dimana pola penyakit yang semula berupa penyakit infeksi
menjadi penyakit kronik degeneratif. Penyakit degeneratif semakin
berkembang dan terkadang tidak terkontrol sehingga menyebabkan disfungsi
organ-organ atau alat gerak, misalnya pada stroke. Stroke jika tidak ditangani
maka akan terjadi hal yang lebih buruk atau menimbulkan kecacatan bahkan
kematian. Hal yang lebih buruk bukan saja dengan kondisi kesehatan, akan
tetapi juga memperburuk kondisi spiritual, sosial, atau bahkan ekonomi. Pada
kenyataannya, penanggulangan penyandang cacat ini masih bukan suatu
prioritas kesehatan.Perlu diketahui bahwa prevalensi kecacatan menurut
WHO adalah 710 % dari populasi, sedangkan prevalensi di lndonesia
sebesar 39 %.

Berdasarkan pengertian rehabilitasi yang menekankan kepada


fungsional, maka rehabilitasi medis tidak bisa terlepas dari cabang ilmu lain
seperti : Neuromuskular, Muskuloskeletal, Psikologi, Anatomi, Kenisiologi,
Fisiologi, Etika Profesi, dan lain-lain. Dokter spesialis rehabilitasi medis
adalah orang yang pada umumnya pertama dikunjungi oleh pasien. Biasanya,
dokter akan mengirim pasien ke fisioterapis atau okupasi terapis untuk
tindakan pemulihan lebih lanjut.

Pelayanan Rehabilitasi Medik ini sifatnya komprehensif mulai dari


promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Paradigma Pelayanan
Rehabilitasi Medik yang dianut saat ini dititik beratkan pada strategi
rehabilitasi pencegahan (prevention rehabilitation strategy), artinya
pencegahan ketidakmampuan (disabilitas) harus dilakukan sejak dini.
Apabila tidak dapat dicegah, tetap diupayakan mencapai tingkat
kemandirian seoptimal mungkin, sesuai dengan potensi yang dimiliki.

1
Untuk memberikan pelayanan Rehabilitasi Medik ini DEPKES
pada tahun 1997 telah menyusun Pedoman Pelayanan Rehabilitasi Medik di
Rumah Sakit kelas A, B, dan C , tetapi dengan adanya kemajuan IPTEK di
bidang kesehatan, kebijakan desentralisasi, perubahan kebutuhan layanan
dsb, maka pedoman ini perlu disempurnakan, sehingga dapat menjadi
acuan dalam melaksanakan pelayanan rehabilitasi medik yang bermutu dan
yang berorientasi pada patient safety.

1.2 Ruang Lingkup Bahasan

Pembahasan pada makalah ini berkenaan dengan materi kedokteran


komunitas, khususnya mengenai rehabilitasi medis dan sosial di rumah sakit
maupun di pelayanan kesehatan primer disertai dengan contoh studi kasus
rehabilitasi medis.

1.3 Tujuan Penulisan

Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas kepaniteraan


klinik Kedokteran Komunitas di UPTD PKM Perawatan Kota Bengkulu, serta
diharapkan makalah ini dapat menjadi salah satu sumber informasi yang dapat
menambah pengetahuan pembaca, khususnya mengenai Rehabilitasi Medik
dan sosial.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rehabilitasi Medik

2.1.1 Definisi

Menurut kamus kedokteran Dorland edisi 29, definisi rehabilitasi


adalah pemulihan ke bentuk atau fungsi yang normal setelah terjadi luka
atau sakit, atau pemulihan pasien yang sakit atau cedera pada tingkat
fungsional optimal di rumah dan masyarakat, dalam hubungan dengan
aktivitas fisik, psikososial, kejuruan dan rekreasi. Jika seseorang
mengalami luka, sakit, atau cedera maka tahap yang harus dilewati adalah
penyembuhan terlebih dulu. Setelah penyembuhan atau pengobatan
dijalani maka masuk ke tahap pemulihan. Tahap pemulihan inilah yang
disebut dengan rehabilitasi. Jadi, rehabilitasi medis adalah cabang ilmu
kedokteran yang menekankan pada pemulihan fungsional pasien agar
aktivitas fisik, psikososial, kejuruan, dan rekreasinya bisa kembali normal.

Menurut WHO, rehabilitasi medik adalah ilmu pengetahuan


kedokteran yang mempelajari masalah atau semua tindakan yang ditujukan
untuk mengurangi atau menghilangkan dampak keadaan sakit, nyeri, Cacat
dan atau halangan serta meningkatkan kemampuan pasien mencapai
integrasi sosial.

Menurut Depkes, rehabilitasi adalah proses pemulihan untuk


memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atau usaha
mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan
untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada
padanya (Depkes RI, 1983). Sehingga pelayanan rehabilitasi medik
merupakan pelayanan kesehatan terhadap gangguan fisik dan fungsi yang
diakibatkan oleh keadaan/kondisi sakit, penyakit atau cedera melalui
paduan intervensi medik, keterapian fisik dan atau rehabilitatif untuk
mencapai kemampuan fungsi yang optimal (Menkes RI, 2008).

3
Ilmu Rehabilitasi Medik (disebut juga sebagai ilmu kedokteran
fisik dan rehabilitasi) adalah ilmu yang mengkhususkan diri dalam
pelayanan masyarakat sejak bayi, anak, remaja, dewasa sampai usia tua,
yang memerlukan asuhan rehabilitasi medis. Dimana pelayanan yang
diberikan adalah untuk mencegah terjadinya kecacatan yang mungkin
terjadi akibat penyakit yang diderita serta mengembalikan kemampuan
penderita seoptimal mungkin sesuai kemampuan yang ada pada penderita.

2.1.2 Sejarah
Rehabilitasi Medik adalah spesialisasi yang relatif baru. Di antara
pelopor awal termasuk Dr Frank Krusen yang mengembangkan
Departemen Kedokteran Fisik di Mayo Clinic pada tahun 1936.
Rehabilitasi Medik diakui sebagai spesialisasi medis oleh American Board
of Medis Spesialisasi dan American Medical Association pada tahun 1947.
Bidang ini diperluas dengan cepat karena sebagian besar untuk Perang
Dunia II, ketika banyak tentara dengan cacat parah kembali ke Amerika
Serikat dan dokter diperlukan untuk mengobati dan mengelola kondisi
kelemahan kronis.
Polio epidemi di awal 1950-an juga membantu membangun nilai
physiatrists dalam pengelolaan gangguan neuromuskuler. Kemajuan yang
memungkinkan kelangsungan hidup lebih lama dari gangguan beragam
seperti cedera tulang belakang dan Stroke menyebabkan peran yang lebih
besar dari physiatrists dalam mengelola kondisi kronis ini. Dasar
penelitian khusus ini yang masih berkembang.
Pelayanan Kedokteran Rehabilitasi di Indonesia dikenal sejak
tahun 1947, saat Prof. Dr. R. Soeharso mendirikan Pusat Rehabilitasi
untuk penderita disabilitas, yaitu penderita buta, tuli dan cacat mental di
Surakarta. Karena tuntutan kebutuhan yang meningkat, maka pada tahun
1973, Menteri Kesehatan mendirikan Pelayanan Rehabilitasi di RS.
Dr.Kariadi Semarang, yang merupakan suatu pilot project yang disebut
Preventive Rehabilitation Unit (PRU). Keberadaan PRU menunjukkan
keberhasilan dalam peningkatan pelayanan kesehatan, mempersingkat

4
masa perawatan di RS, dan mengurangi beban kerja Pusat Rehabilitasi di
Surakarta.
Melalui SK Menteri Kesehatan No.134/Yan.Kes/SK/IV/1978 pada
masa PELITA II, diputuskan untuk mendirikan PRU di seluruh RS
pemerintah baik tipe A, B dan C. Istilah PRU kemudian berubah menjadi
Unit Rehabilitasi Medik (URM). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
pemerintah Menteri Kesehatan menaruh perhatian untuk memajukan
Pelayanan Kedokteran Rehabilitasi.
Dalam rangka meningkatkan Pelayanan Kedokteran Rehabilitasi,
Menteri Kesehatan mulai mengirim Dokter umum dari Indonesia untuk
mengikuti pendidikan menjadi Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
di Department Physical Medicine and Rehabilitation, Universitas Santo
Tomas di Manila, Filipina. Ada 12 Dokter Indonesia yang berhasil menjadi
spesialis KF & R dari Universitas tersebut. Beberapa lulusan tersebut
mulai mendirikan Organisasi Spesialis Rehabilitasi Medik Indonesia yang
diberi nama IDARI (Ikatan Dokter Rehabilitasi Medik Indonesia) pada
bulan Februari 1982, pada saat seminar untuk mengembangkan sumber
daya manusia di bidang Rehabilitasi Medik di Jakarta. Ketua IDARI
pertama adalah Dr. A. R. Nasution yang dilantik oleh Dr. I. G. Brataranuh,
Dirjen Pelayanan Kesehatan Departemen Kesehatan. Setelah itu mulailah
dibicarakan mengenai pelaksanaan penerimaan peserta Program
Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi.
Konggres Nasional IDARI pertama diadakan pada tahun 1988 di
Jakarta, dan Prof.Dr.H.Soelarto Reksoprodjo, SpB, SpOT, FICS terpilih
sebagai Ketua IDARI. Terjadi kemajuan baik di bidang Organisasi maupun
Edukasi. IDARI mulai memiliki perwakilan di CHS di bidang pendidikan,
dengan anggota : Prof.Dr.H.Soelarto Reksoprodjo, SpB, SpOT, FICS, dr.
Bayu Santoso, Sp. RM, dan dr. Angela BM Tulaar, Sp. RM, berdasarkan
SK No.265/PB/A.4/10/90.
Konggres Nasional IDARI ke Dua di adakan pada tahun 1991 di
Semarang, dan Prof. dr. H. Soelarto Reksoprodjo, Sp. B, Sp. OT, FICS
terpilih sebagai Ketua IDARI. Pada Konas tersebut IDARI berubah nama

5
menjadi PERDOSRI, demikian pula dengan symbol IDARI berubah
sebagai karya Dr. Herman Sukarman. Konggres Nasional III diadakan
pada tahun 1994 di Surabaya, dan Dr. Bayu Santoso, SpRM terpilih
sebagai Ketua Perdosri. Organisasi terus berkembang dan menunjukan
eksitensi. Musyawarah Keraja Nasional (MUKERNAS) selalu diadakan di
antara 2 KONAS.
Konggres Nasional IV diadakan pada tahun 1998 di Jakarta, dan
Alm. dr. Thamrinsyam Hamid, Sp. RM terpilih sebagai Ketua. Konggres
Nasional V diadakan pada tahun 2001 di Semarang, dan dr. Siti Annisa
Nuhonni, Sp. RM terpilih sebagai ketau PB PERDOSRI dan dr. Angela
BM Tulaar, Sp. RM sebagai ketua Kolegium periode 2001-2004. Setelah
KONAS V, Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) diadakan setiap tahun. PIT
pertama diadakan pada tahun 2002 di Jakarta. Setiap PIT selalu diadakan
presentasi makalah bebas dan kompetisi Penelitian akhir Residen.
Konggres Nasional VI diadakan pada tahun 2004 di Bali 3 rd ARMA
Conference . Pada KONAS VI, dr. Siti Annisa Nuhonni, Sp. RM terpilih
kembali sebagai ketua PB PERDOSRI. Konggres Nasional VII diadakan
pada tahun 2007 di Manado bersamaan dengan PIT ke VII dan 4 th ARMA,
dan Dr. A. Peni Kusumastuti, Sp. RM sebagai Ketua PB PERDOSRI.
Kongres Nasional VIII diadakan pada tahun 2010 di Bandung bersamaan
dengan PIT IX, dan dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp. KFR sebagai ketua PB
PERDOSRI.

2.1.3 Tujuan Rehabilitasi


1. Mengatasi keadaan/ kondisi sakit melalui paduan intervensi medik,
keterapian fisik, keteknisian medik dan tenaga lain yang terkait.
2. Mencegah komplikasi akibat tirah baring dan atau dampak
penyakitnya yang mungkin membawa kecacatan.
3. Memaksimalkan kemampuan fungsi, meningkatkan aktifitas dan
partisipasi pada difabel (sebutan bagi seseorang yang mempunyai
keterbatasan fungsional).

6
4. Mempertahankan kualitas hidup dan mengupayakan kehidupan
yang berkualitas.

2.1.4 Filosofi
Pelayanan Rehabilitasi Medik dilakukan dengan menjunjung
filosofi-filosofi berikut:
a. Rehabilitasi merupakan jembatan yang menjangkau perbedaan antara
kondisi tidak berguna-berguna, kehilangan harapan-berpengharapan
(Rehabilitation is a bridge spanning the gap between uselessness-
usefulness, hopelessness hopefulness).
b. Rehabilitasi tidak hanya memperpanjang usia tetapi juga menambah
makna/kualitas dalam hidup (rehabilitation is not only to add years to
life but also add life to years).

2.1.5 Gangguan Fungsi


Menurut WHO tingkatan gangguan fungsi dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1 Impairment, yaitu keadaan kehilangan atau ketidaknormalan dari
kondisi psikologis, fisiologis, atau struktur anatomi atau fungsi.
2 Disability, yaitu segala restriksi atau kekurangan kemampuan untuk
melakukan aktivitas dalam lingkup wajar bagi manusia yang
diakibatkan impairment.
3 Handicap, yaitu hambatan dalam individu yang diakibatkan oleh
impairment dan disability yang membatasi pemenuhan peran wajar
seseorang sesuai dengan faktor umur, seks, sosial, dan budaya.
Bertitik tolak dari kerangka pemikiran upaya rehabilitasi fisik
tersebut maka penanganan bersifat komprehensif, sehingga layanan
rehabilitasi dapat diartikan sebagai upaya terkoordinasi yang bersifat
medik, sosial, edukasi dan kekaryaan untuk melatih seseorang kearah
tercapainya kemampuan fungsional semaksimal mungkin, dan menjadikan
individu sebagai anggota masyarakat yang berswasembada dan berguna.
Upaya rehabilitasi fisik merupakan upaya medik untuk mencegah

7
terjadinya impairment, disability, dan handicap dengan memanfaatkan
kemampuan yang ada.

2.1.6 Pelayanan Rehabiltasi di Indonesia


Untuk memberikan pelayanan Rehabilitasi Medik secara merata
di lndonesia dibuat strategi melalui pelayanan berjenjang di Rumah
Sakit, Puskesmas serta di masyarakat yaitu dengan program
Rehabilitasi Bersumber daya Masyarakat (RBM). Strategi ini
dikembangkan sesuai dengan kebijakan, standar, pedoman, SOP yang
tersedia.
1 Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit
Upaya pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit
dikembangkan ke arah peningkatan mutu (pelayanan
spesialis/subspesialis), jangkauan pelayanan serta sistem rujukan
dengan tujuan pasien memperoleh pelayanan secara terpadu dan
paripurna.
Peningkatan mutu ini ditunjukkan dengan diikutsertakannya
pelayanan Rehabilitasi Medik pada kegiatan Akreditasi, serta
pemenuhan secara bertahap dari SDM, fasilitas/sarana yang sesuai
standar.
2 Pelayanan Rehabilitasi Medik Di Puskesmas
Upaya pelayanan Rehabilitasi Medik di Puskesmas ditujukan
untuk memberikan pelayanan Rehabilitasi Medik Dasar. Selain itu
dapat memberikan pembinaan kepada masyarakat melalui
program RBM (termasuk individu difabel) serta melaksanakan
rujukan sesuai ketentuan yang berlaku.
3 Rehabilitasi Bersumber daya Masyarakat (RBM)
Rehabilitasi Bersumber daya/Berbasis Masyarakat adalah suatu
strategi dalam pembangunan masyarakat agar lebih berperan
aktif dalam upaya mengatasi masalah kecacatan melalui
rehabilitasi, persamaan kesempatan, integrasi sosial dari semua
individu difabel dalam aspek kehidupan dan penghidupan.
Pengembangan RBM ini merupakan upaya terobosan dalam
menyelesaikan masalah kecacatan yang belum terjangkau oleh
pelayanan Rumah Sakit ataupun yang sudah dilayani tetapi masih

8
memerlukan kelanjutan yang bisa ditangani oleh keluarga atau
masyarakat.
Secara operasional RBM adalah upaya rehabilitasi sederhana
dan pencegahan kecacatan yang dilaksanakan di dalam keluarga dan
masyarakat melalui perubahan perilaku individu difabel, keluarga dan
masyarakat agar lebih berperan aktif secara optimal dalam
memandirikan individu difabel dengan menggunakan sumber daya
dan sumber dana yang ada di masyarakat.
Pembinaan program RBM dilakukan oleh Puskesmas atau rumah
sakit sesuai aturan yang berlaku.

2.1.7 Pelayanan dalam Rehabilitasi Medik


1. Pelayanan Fisioterapi
Adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan
memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan
menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan
(fisik, elektroterapeutis, dan mekanis), pelatihan fungsi dan
komunikasi.
2. Pelayanan Terapi Wicara
Adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk memulihkan dan mengupayakan
kompensasi atau adaptasi fungsi komunikasi, bicara dan menelan
dengan melalui pelatihan remediasi, stimulasi dan fasilitasi (fisik,
elektroterapeutis, dan mekanis).
3. Pelayanan Terapi Okupasi
Adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara,
memulihkan fungsi dan atau mengupayakan kompensasi/adaptasi
untuk aktifitas seharti-hari (Activity Day Life), produktifitas dan waktu
luang melalui pelatihan remediasi, stimulasi dan fasilitasi.
4. Pelayanan Ortotis-Prostetis
Adalah salah satu bentuk pelayanan keteknisian medik yang
ditujukan kepada individu untuk merancang, membuat dan mengepas

9
alat bantu guna pemeliharaan dan pemulihan fungsi, atau pengganti
anggota gerak.

2.1.8 Prinsip Rehabilitasi

Menurut Harsono (1996), ada beberapa prinsip rehabilitasi, yaitu:


1. Rehabilitasi dimulai sedini mungkin, bahkan segera sejak dokter
melihat penderita untuk pertama kalinya.
2. Tidak ada seorang pun yang boleh berbaring lebih lama dari yang
diperlukan, karena dapat mengakibatkan komplikasi.
3. Rehabilitasi merupakan terapi multidisipliner terhadap seorang
penderita.
4. Faktor yang terpenting adalah kontinuitas perawatan.
5. Perhatian untuk rehabilitasi diutamakan kepada sisa kemampuan
yang masih dapat diperbaiki dengan latihan.
6. Fungsi lain rehabilitasi adalah pencegahan serangan berulang.
7. Penderita merupakan subjek rehabilitasi, bukan sekedar objek.

a) Prinsip - prinsip dasar kegiatan rehabilitasi anak


Ada beberapa prinsip dasar kegiatan rehabilitasi anak
berkebutuhan khusus, diantaranya:
1. Ditinjau dari tujuan rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi bagi anak berkebutuhan khusus adalah agar
mereka mampu mengikuti pendidikan dengan baik, atau agar
mereka mampu melaksanakan fungsi sosial secara wajar dalam
kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan rehabilitasi
tersebut, prinsip dasar kegiatan rehabilitasi adalah:
a. Prinsip menyeluruh
Kegiatan rehabilitasi dilakukan secara menyeluruh atau
lengkap, baik pada aspek fisik, psikis, sosial maupun keterampilan
(Total Care Concept Rehabilitation). Seorang anak yang mengalami
amputasi, sedini mungkin ditangani bidang rehabilitasi medik,
tidakterbatasi kepada mempercepat penyembuhan luka, penguatan

10
otot, tetapi juga pembuatan kaki palsu, mempersiapkan mental agar
yang bersangkutan menerima alat tersebut, melatih keterampilan
sesuai dengan kemampuan yang ada, dan lain sebagainya.
b. Prinsip pelayanan segera atau pelayanan dini
Pelayanan rehabilitasi dilakukan mulai sejak usia dini atau
segera setelah diketahui kebutuhan rehabilitasi yang diperlukan
masing-masing anak.
c. Prinsip prioritas
Kondisi kesehatan atau kecacatan yang menimbulkan rasa
sakit dapat mengganggu setiap aktivitas anak, maka kegiatan
rehabilitasi medik bagi anak yang memerlukan, perlu didahulukan
atau mendahului kegiatan rehabilitasi yang lain. pada kasus-kasus
tertentu yang memerlukan pelayanan segera, perlu memperoleh
prioritas dalam rehabilitasi.
d. Kegiatan berpusat pada anak
Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan lebih banyak
memberikan kesempatan kepada anak/peserta didik untuk mencoba
sendiri, memecahkan masalahnya sendiri serta melakukan latihan
sendiri, sudah tentu setelah mereka memperoleh penjelasan
secukupnya dari provider.
e. Prinsip konsisten
Setiap kegiatan rehabilitasi didasarkan pada program yang
telah disiapkan sebelumnya, dan dievaluasisetiap kemajuan yang
dicapai anak/peserta didik secara konsisten.
f. Prinsip efektivitas dan penghargaan
Memberikan pujian dan penghargaan atas keberhasilan dan
kemajuan kemampuan anak/peserta didik.
g. Prinsip pentahapan
Artinya bahwa kegiatan rehabilitasi dimulai dari kegiatan
yang minimal (kecil, sederhana, mudah) sampai pada yang
maksimal (luas, besar, sukar), baik yang berhubungan dengan
bentuk, sifat maupun hasil yang diharapkan.

11
h. Prinsip kesinambungan, berulang dan terus-menerus
Artinya kegiatan terapi agar mencapai hasil maksimal perlu
dilakukan berkesinambungan, berulang-ulang, terus-menerus. Jadi,
tidak berhenti sebelum terlihat hasilnya yang lebih baik, menjadi
bertambah meningkat kemampuannya, menjadi berkurang
kesulitan dan hambatannya, dan sebagainya.
i. Prinsip terintegrasi
Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi tidak selalu terpisah
dengan kegiatan proses belajar mengajar dalam suatu bidang studi
tertentu, misalnya keterampilan, olahraga, PMP, agama, kesenian,
dan sebagainya.
2. Ditinjau dari jenis dan macam kelainan
a. Orientasi pada pengembalian fungsi
Kegiatan rehabilitasi dilakukan dengan berorientasi pada
pengembalian fungsi. Setiap anak berkelainan memiliki dampak
primer tertentu sesuai dengan jenis kecacatannya. Dampak primer
tersebut sedapat mungkin dikembalikan fungsinya, dan jika tidak
mungkin dialihkan pada fungsi organ tubuh yang lain/keterampilan
tertentu yang dapat menggantikan fungsi organ yang berkelainan.
b. Pinsip individualisasi
Kegiatan rehabilitasi berorientasi pada ketidakmampuan
dan kemampuan setiap anak/peserta didik. Pelaksanaan kegiatan
rehabilitasi diperlukan pendekatan individual.
c. Orientasi pada jenis kecacatan dan kasus
Ada kegiatan rehabilitasi yang dapat dilakukan secara
kelompok berdasarkan atas jenis kecacatan, macam kasus, tingkat
kelas, kelompok usia, dan sebagainya. MisaInya: semua anak
tunanetra memerlukan latihan orientasi dan mobilitas, semua anak
tunarungu memerlukan latihan komunikasi, semua anak tuna
grahita dan tunadaksa memerlukan latihan ADL, dan sebagainya.
3. Ditinjau dari kemampuan pelaksana (provider)
a. Prinsip kerja tim

12
Pekerjaan rehabilitasi dilakukan oleh suatu tim yang
masing-masing bekerja sesuai dengan profesi dan kemampuannya.
Kerjasama yang baik antar anggota tim rehabilitasi akan sangat
menentukan keberhasilan program rehabilitasi.
b. Prinsip kerja atas dasar profesi
Tidak semua anggota tim rehabilitasi memiliki profesi yang
sama, itulah sebabnya bekerja atas dasar profesi akan lebih mampu
mengurangi resiko kesalahan,di samping itu juga akan
memperbesar efektivitas kerja.Sebelum kegiatan rehabilitasi
dimulai, terlebih dahulu dipahami batas-batas kewenangan masing-
masing dan disusun pembagian tugas secara tertulis atas dasar
kesepakatan pihak-pihak yang tergabung dalam tim rehabilitasi
yang ada di sekolah masing-masing.
Tindakan konsultatif dan penyelenggaraan pertemuan tim
rehabilitasi secara periodik perlu ditempuh di setiap sekolah, demi
kelancaran kegiatan rehabilitasi dan menghindari kesalahan dalam
memberikan pelayanan rehabilitasi yang dapat menimbulkan
parahnya permasalahan atau kecacatan yang disandang oleh
anak/peserta didik yang memperoleh pelayanan.
Seluruh program rehabilitasi berada di bawah tanggung
jawab ketua tim yang dibantu oleh tiga ahli di bidang medik, sosial
psikologis dan keterampilan. Dalam pelaksanaannya dapat
dilakukan oleh beberapa pelaksana rehabilitasi sesuai dengan
kemampuan dan kewenangannya.Tindakan rujukan ke ahlinya
perlu dilakukan oleh para guru dan petugas rehabilitasi lainnya,
agar anak segera terpecahkan permasalahannya.Dalam hal ini perlu
disertai administrasi seperlunya (buku rujukan).
4. Ditinjau dari tempat, waktu dan sarana rehabilitasi
a. Prinsip integritas
Kegiatan rehabilitasi pada dasarnya dapat dilakukan secara
bersama-sama, kecuali rehabilitasi keterampilan sebaiknya
dilakukan setelah anak/peserta didik selesai mengikuti rehabilitasi

13
medik dan sosial.Misalnya anak tunanetra untuk mengikuti latihan
keterampilan massage, sebaiknya setelah menguasai orientasi
mobilitas, tidak sakit, dan setelah memiliki motivasi untuk bekerja
bidang keahlian massage.Pinsip ini juga menggariskan bahwa
pelaksanaan rehabilitasi juga dapat dilakukan bersama-sama saat
penyampaian materi bidang studi tertentu di sekolah.
b. Prinsip keluwesan tempat dan waktu
Tempat pelaksanaan rehabilitasi dapat dilakukan dimana
saja dan kapan saja, terkecuali pada kasus-kasus tertentu. Misalnya
operasi ortopedi harus dilakukan di rumah sakit.
c. Prinsip kesederhanaan
Sarana rehabilitasi diutamakan yang sederhana, mudah
didapat, murah harganya dan disesuaikan dengan kemampuan
lembaga/sekolah, kecuali pada kasus-kasus tertentu, seperti alat
bantu untuk mendengar, alat bantu untuk melihat, prothese, dan
sebagainya.
d. Prinsip keterlibatan orangtua dan masyarakat
Artinya kegiatan rehabilitasi perlu menyertakan orangtua
atau pembina asrama atau masyarakat, baik dalam melakukan
pelatihan, pengawasan dan pembinaan anak, mengingat jumlah
waktu anak kesehariannya lebih banyak di rumah atau di asrama.

2.1.9 Ruang Lingkup Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit


Bagian ini akan menjelaskan tentang ruang lingkup rehabilitasi
medis. Rephauge (dalam sidiarto 1980) pada seminar internasional I
rehabilitasi medis mengatakan bahwa rehabilitasi medis merupakan dasar
dan penunjang bentuk rehabilitasi lainnya, seperti rehabilitasi sosial,
karya, dan pendidikan. Jika ruang lingkup rehabilitasi medis dipandang
sebagai suatu ilmu, maka banyak yang perlu dipelajari dan berhubungan
langsung dengan rehabilitasi medis. Beradasarkan pengertian rehabilitasi

14
yang menekankan kepada fungsional, maka rehabilitasi medis tidak bisa
terlepas dari cabang ilmu lain seperti : Neuromuskular, Muskuloskeletal,
Psikologi, Anatomi, Kenisiologi, Fisiologi, Etika Profesi, dan lain-lain.
Sedangkan, jika ditinjau dari sudut pandang keprofesian,
rehabilitasi medis memiliki komponen yang terdiri dari berbagai macam
profesi. Dokter spesialis rehabilitasi medis adalah orang yang pada
umumnya pertama dikunjungi oleh pasien. Biasanya, dokter akan
mengirim pasien ke fisioterapis atau okupasi terapis untuk tindakan
pemulihan lebih lanjut. Tugas fisioterapis disini adalah mengukur
pergerakan sendi, kekuatan otot, fungsi paru dan jantung, dan mengukur
sejauh mana pasien bisa melakukan aktivitas serta pekerjaannya sehari-
hari (fremgen dan frucht 2002). Kesemuanya itu dilatih dan dibantu
pemulihannya oleh fisioterapis. Sedangkan okupasi terapis bertugas untuk
mendampingi pasien untuk mengembangkan, meningkatkan, dan
memulihkan kemampuan yang sangat penting untuk menunjang hidupnya.
Namun, okupasi terapis lebih menekankan kepada pelatihan pasien untuk
hidup mandiri dan produktif dengan tujuan mencapai hidup yang sejahtera.
Berbeda dengan fisioterapis dan okupasi terapis, ortosis dan prostesis
membantu pasien dengan menyediakan alat-alat penunjang pasien untuk
hidup mandiri dan produktif. Ortosis adalah orang yang membuat alat
bantu untuk beraktivitas, sedangkan prostesis menyediakan alat yang
merupakan suatu pengganti organ, misalnya kaki palsu.
Pada kenyataannya, banyak sekali perangkat rehabilitasi medis
yang ikut berperan dalam rehabilitasi pasien, misalnya psikolog untuk
memotivasi dan melatih pasien retardasi mental, perawat, dan paramedis
lainnya. Itu semua tergantung kebutuhan pada masing-masing pasien.
Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit meliputi seluruh
upaya kesehatan pada umumnya, yaitu upaya promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif.
1. Upaya Promotif
Penyuluhan, informasi dan edukasi tentang hidup sehat dan aktivitas
yang tepat untuk mencegah kondisi sakit.

15
2. Upaya preventif
Edukasi dan penanganan yang tepat pada kondisi sakit atau penyakit
untuk mencegah dan atau meminimalkan gangguan fungsi atau risiko
kecacatan.

3. Upaya kuratif
Penanganan melalui paduan intervensi medik, keterapian fisik, dan
upaya rehabilitatif untuk mengatasi penyakit atau kondisi sakit untuk
mengembalikan dan mempertahankan kemampuan fungsi.

4. Upaya rehabilitatif
Penanganan melalui paduan intervensi medik, keterapian fisik,
keteknisan medik dan upaya rehabilitatif lainnya melalui pendekatan
psiko-sosio-edukasi-okupasi-vokasional untuk mengatasi penyakit atau
kondisi sakit yang bertujuan mengembalikan dan mempertahankan
kemampuan fungsi, meningkatkan aktivitas dan peran serta/partisipasi
di masyarakat.

2.1.10 Bentuk Pelayanan


Beberapa bentuk Pelayanan Rehabilitasi Medik, antara lain:
1 Mengembalikan fungsi pasien pasca stroke.
2 Mencegah kontraktur dan mengembalikan fungsi pasien pasca
operasi dan patah tulang.
3 Senam nafas sehat, senam hamil.
4 Memberikan alat bantu jalan, ortesa, protesa, splint, korset, dan
lain-lain.
5 Melatih bicara dan gerak motorik anak dengan CP, autism,
keterlambatan perkembangan.
6 Mengurangi nyeri, kaku diberbagai bagian tubuh

2.1.11 Tim Rehabilitasi

16
Tim rehabilitasi medik dilakukan oleh tim yang terdiri dari
berbagai disiplin ilmu, diantaranya:
1 Dokter rehabilitasi medik sebagai ketua tim yang menyusun program
rehabilitasi.
2 Perawat rehabilitasi, melakukan positioning yang benar, untuk
mencegah komplikasi serta memperpendek masa pemulihan.Latihan
buang air besar/kecil, aktivitas sehari-hari, transfer, mobilisasi bersama
fisioterapis dan terapi okupasi dilakukan di bangsal.
3 Fisioterapist, memeriksa dan mengevaluasi gangguan motorik dan
sensorik yang mempengaruhi fungsi dan menyesuaikan program
fisioterapi secara individu sesuai keadaan pasien.
4 Okupational Terapist, memeriksa, mengevaluasi dan menyusun
program yang berhubungan dengan Aktivitas Kehidupan Sehari-hari
(AKS) misalnya cara makan, menulis, berpakaian, membersihkan diri
sendiri, dan lain-lain.
5 Pekerja sosial medik, mengadakan penilaian terhadap kebutuhan
penderita dan keluarganya selama dirawat, di rumah dan di masyarakat
serta sumber daya yang dipunyainya.
6 Speech therapist (terapi wicara) yaitu mengevaluasi masalah-masalah
komunikasi.
7 Psikologi, mengevaluasi keadaan psikologi penderita secara tuntas,
termasuk keluarganya.
8 Ortotik-prostetik, mengevaluasi dan mengadakan alat-alat bantu yang
telah disesuaikan guna memperbaiki aktivitas.
9 Penderita dan keluarga, melengkapi tim rehabilitasi. Diskusi yang
memadai mengenai penyakit dan defisit neurologis adalah penting
untuk mengetahui gangguan fungsional yang sebenarnya.
10 Rohaniawan.

2.1.12 Kode Etik dalam Pelayanan Rehabilitasi

17
Tujuan adanya kode etik adalah mengatur tingkah laku para
pendukung profesi dalam rehabilitasi. Kode etik dalam rehabilitasi
menyangkut masalah-masalah kewajiban tenaga rehabilitasi terhadap :
a. Individu dan keluarga yang direhabilitasi
b. Masyarakat atau pihak yang berkepentingan dalam proses rehabilitasi
c. Teman sejawat antar profesi
d. Tanggung jawab profesional dan Keterbukaan pribadi
Ada delapan syarat sebagai pegangan untuk dijadikan kode etik
dalam pelayanan rehabilitasi, yaitu:
a. Memegang teguh rahasia klien dan rahasia-rahasia lain yang
berhubungan dengan klien.
b. Menghormati klien karena klien punya harga diri dan merupakan
pribadi yang berbeda dengan pribadi yang lain.
c. Mengikutsertakan klien dalam masalahnya.
d. Menerima klien sebagaimana keberadaannya.
e. Menempatkan kepentingan klien diatas kepentingan pribadi.
f. Tidak membedakan pelayanan klien atas dasar syarat dan status
tertentu.
g. Memperlihatkan sikap merendahkan diri, sederhana, sabar, tertib,
percaya diri, tidak mengenal putus asa, kreatif, lugas dan berani
berkata benar.
h. Tidak egois, tetap berusaha memahami kliennya, kesulitan klien,
kelebihan dan kekurangannya.

2.2 Rehabilitasi Sosial


2.2.1 Definisi
Pengertian rehabilitasi sosial (Depsos:2002) adalah suatu rangkaian
kegiatan professional dalam upaya mengembalikan dan meningkatkan
kemampuan warga masyarakat baik perorangan, keluarga, maupun
kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial agar dapat

18
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar, dan dapat menempuh
kehidupan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.
Sedangkan menurut The National Council On Rehabilitation
(1942), rehabilitasi sosial adalah perbaikan atau pemulihan menuju
penyempurnaan ketidakberfungsian fisik, mental, sosial dan ekonomi
sesuai kapasitas potensi mereka.
Pengertian rehabilitasi sosial yang dikutip oleh Zaenudin (1994)
dari pendapat LE.Hinsie &Canbell, bahwa rehabilitasi sosial adalah segala
tindakan fisik, penyesuaian psikologis dan penyesuaian diri secara
maksimal untuk mempersiapkan klien secara fisik, mental, sosial dan
vokasional bagi kehidupan sesuai dengan kemampuan. Dimana pada
prosesnya diarahkan untuk: (1) Mencapai perbaikan penyesuaian klien
sebesar-besarnya, (2) Kesempatan vokasional sehingga dapat bekerja
dengan kapasitas maksimal, (3) Penyesuaian diri dalam lingkungan
perorangan dan sosial secara memuaskan sehingga dapat berfungsi sebagai
anggota masyarakat.

2.2.2 Tujuan
Tujuan rehabilitasi sosial adalah untuk memulihkan kembali rasa
harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa
depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya, dan
memulihkan kembali kemauan dan kemampuan agar dapat melaksanakan
fungsi sosialnya secara wajar.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kegiatan-kegiatan yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pencegahan
Artinya mencegah timbulnya masalah sosial penyandang cacat,
baik masalah yang datang dari penca itu sendiri maupun masalah dari
lingkungannya.
b. Tahap Rehabilitasi
a. Rehabilitasi diberikan melalui bimbingan sosial dan pembinaan
mental, bimbingan keterampilan.

19
b. Bimbingan sosial diberikan baik secara individu maupun
kelompok. Usaha rehabilitasi ini untuk meningkatkan kesadaran
individu terhadap fungsi sosialnya dan menggali potensi positif
seperti bakat, minat, hobi, sehingga timbul kesadaran akan harga
diri serta tanggung jawab sosial secara mantap.
c. Bimbingan keterampilan diberikan agar individu mampu
menyadari akan keterampilan yang dimiliki dan jenis-jenis
keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Lebih lanjut
agar individu dapat mandiri dalam hidup bermasyarakat dan
berguna bagi nusa dan bangsa.
d. Bimbingan dan penyuluhan diberikan terhadap keluarga dan
lingkungan sosial dimana penca berada. Bimbingan dan
penyuluhan dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan
tanggung jawab sosial keluarga dan lingkungan sosial, agar benar
benar memahami akan tujuan program rehabilitasi dan kondisi
klien sehingga mampu berpartisipasi dalam memecahkan
permasalahan klien.

2.2.3 Resosialisasi
Resosialisasi adalah segala upaya yang bertujuan untuk
menyiapkan penca agar mampu berintegrasi dalam kehidupan masyarakat.
Resosialisasi merupakan proses penyaluran dan merupakan usaha
penempatan para penca setelah mendapat bimbingan dan penyuluhan
sesuai dengan situasi dan kondisi individu yang bersangkutan.
Resosialisasi merupakan penentuan apakah individu penca betul-betul
sudah siap baik fisik, mental, emosi, dan sosialnya dalam berintegrasi
dengan masyarakat, dan dari kegiatan resosialisasi akan dapat diketahui
apakah masyarakat sudah siap menerima kehadiran dari penca.

2.2.4 Pembinaan Tindak Lanjut (after care)


Pembinaan tindak lanjut diberikan agar keberhasilan klien dalam
proses rehabilitasi dan telah disalurkan dapat lebih dimantapkan, dari

20
pembinaan tindak lanjut juga akan diketahui apakah klien dapat
menyesuaikan diri dan dapat diterima di masyarakat.
Tujuan dari pembinaan tindak lanjut adalah memelihara,
memantapkan, dan meningkatkan kemampuan sosial ekonomi dan
mengembangkan rasa tanggung jawab serta kesadaran hidup
bermasyarakat. Oleh karena itu, kegiatan tindak lanjut sangat penting,
karena di samping klien termonitoring kegiatannya juga dapat diketahui
keberhasilan dari program rehabilitasi yang telah diberikan.
Usaha rehabilitasi sosial (Depsos 1988:9) menurut pendekatan
pelayanan sosial dilaksanakan melalui tiga sistem, yaitu:
a. Sistem Panti
Pusat/panti/sasana rehabilitasi sosial dibangun dan dilengkapi
dengan berbagai peralatan dan fasilitas untuk menyelenggarakan program
dan kegiatan rehabilitasi sosial guna membimbing penca kearah kehidupan
yang produktif serta memberikan kemungkinan-kemungkinan yang lebih
luas agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
b. Sistem Non Panti yang Berbasis Masyarakat
Pada dasarnya konsep layanan rehabilitasi sosial non panti ini
berorientasikan kepada masyarakat sebagai basis pelayanannya
(community-based social rehabilitation), artinya menggunakan masyarakat
sebagai wadah atau pangkalan untuk menyelenggarakan pelayanan
rehabilitasi, yang pelaksanaannya terutama dilakukan dengan bantuan
tenaga sosial sukarela yang berasal dari masyarakat desa (LKMD).
Fungsi rehabilitasi sosial non panti adalah meningkatkan usaha-
usaha ke arah penyebaran pelayanan rehabilitasi sosial yang berbasis
masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan
bidang kesejahteraan sosial yang semakin merata, meningkatkan integrasi
para penca.
c. Lingkungan Pondok Sosial
Lingkungan pondok sosial adalah usaha rehabilitasi secara
komprehensif dan integratif bagi penyandang permasalahan sosial

21
termasuk penca di suatu perkampungan sosial dalam rangka
refungsionalisasi dan pengembangan baik fisik, mental, maupun sosialnya.
Tujuan dikembangkannya lingkungan pondok sosial adalah:
memberi kesempatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan fungsi
sosial para penyandang permasalahan sosial, yang semula tidak
berkesempatan dan berkemampuan melaksanakan fungsi sosialnya
sebagaimana mestinya,baik untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri,
keluarga, dan kelayakan pergaulan dalam masyarakat.
Dengan demikian penanganan masalah sosial penca merupakan
serangkaian kegiatan dalam rehabilitasi medis, vokasional, dan rehabilitasi
sosial dimana satu dan lainnya saling keterkaitan, baik yang bersifat
pencegahan, pembinaan, bimbingan dan penyuluhan, penyantunan sosial
dan pengembangan sebagai upaya mempersiapkan pengentasan para penca
sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan
masyarakat.

BAB III
LAPORAN KASUS REHABILITASI MEDIK

3.1 Kasus
3.1.1 Anamnesis (alloanamnesis keluarga penderita)

22
a. Keluhan utama
Kelemahan anggota gerak kanan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Kelemahan anggota gerak kanan dialami penderita sejak 2 minggu
yang lalu (10 Juni 2014). Kelemahan anggota gerak kanan terjadi secara
tiba- tiba saat penderita sedang bangun tidur di pagi hari. Kelemahan
anggota gerak kanan disertai dengan mulut mencong ke kanan dan
gangguan bicara. Penderita tidak mengalami penurunan kesadaran,
gangguan menelan tidak ada, muntah tidak ada, kejang tidak ada dan sakit
kepala tidak ada. Penderita kemudian dibawa ke RSUP Prof Kandou dan
dirawat selama 7 hari. Saat pemeriksaan, penderita tampak lemah anggota
gerak kanan dan mengalami gangguan berbicara. Penderita duduk di kursi
roda dan dalam beraktivitas membutuhkan bantuan orang lain. Menurut
keluarga penderita, sejak sakit penderita tampak lebih pendiam dan kurang
berinteraksi dengan keluarga. Buang air kecil biasa via pampers, buang air
besar biasa via pampers.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Penderita mengalami hipertensi sejak 30 tahun yang lalu, tidak
terkontrol. Keluarga dan penderita lupa nama obat yang diminum. Riwayat
penyakit jantung sejak 10 tahun yang lalu, tidak terkontrol. Keluarga dan
penderita lupa nama obat yang diminum. Sebelumnya penderita tidak
pernah mengalami stroke. Riwayat diabetes melitus, kolesterol, asam urat,
dan penyakit ginjal sebelumnya tidak dialami penderita.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Hanya penderita yang mengalami sakit seperti ini.
e. Riwayat Kebiasaan
Penderita biasanya melakukan aktifitas bercocok tanam. Penderita
tidak memiliki kebiasaan merokok dan tidak minum minuman beralkohol.

f. Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita seorang pensiunan, mempunyai 7 orang anak dan sudah
menikah, tidak ada tanggungan lagi. Saat ini penderita tinggal bersama

23
suaminya dan 1 orang anak beserta menantu dan cucunya di sebuah rumah
permanen, atap seng, dinding beton, berlantai beton, tidak bertingkat, dan
memiliki 5 buah kamar. Kamar mandi dan Water Closed (WC) berada di
dalam rumah, dengan menggunakan kloset jongkok. Sumber penerangan
menggunakan listrik, dan sumber air minum menggunakan air bor. Untuk
biaya pengobatan penderita saat ini ditanggung oleh askes.

3.1.2 Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis

Keadaan umum : Sedang


Kesadaran : Compos mentis
Glasgow Coma Scale (GCS) : E4M6V5
Tanda Vital : Tekanan Darah : 150 / 90 mmHg
Nadi : 84 x / menit
Respirasi : 20 x / menit
Suhu : 36,00 C
Kepala : Normosefal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,Pupil
bulat isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+
Normal
Telinga : Sekret tidak ada
Hidung : Septum tidak ada deviasi, sekret tidak ada
Mulut : Bibir tidak sianosis, deviasi lidahke kanan
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax : Bentuk simetris, retraksi tidak ada
Cor : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas-batas jantung normal
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal.
bising (-)
Pulmo : Inspeksi : pergerakan simetris
Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan

24
kiri
Perkusi : sonor kanan sama dengan kiri
Auskultasi : suara pernapasan vesikuler, ronkhi
(-/-), wheezing(-/-)
Abdomen : Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar/lien
tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)

b. Status Neurologis
Pemeriksaan nervus cranialis :
Nervus Tes Dekstra Sinistra

N. I (N. Sensorik
Normal Normal
Olfaktorius)
- Tes penciuman
Sensorik

- Tes ketajaman normal normal


N. II (N. Optikus) penglihatan

- Tes lapang pandang


normal normal

Motorik
N. III (N.
- Ptosis Tidak ada Tidak ada
Okulomotorius) - Posisi bola mata
- Pupil normal normal
N. IV (N.
Troklearis) Refleks Cahaya Refleks Cahaya
(positif) bulat, (positif) bulat,
N. VI (N.
isokor isokor
Abdusen) - Gerakan bola mata
normal Normal

25
Motorik

- Menggerakkan normal normal


rahang
- Kontraksi m. Maseter normal normal
N. V (N. dan m. Temporalis
Trigeminus) Sensorik

- Rasa Raba
- Refleks Kornea normal normal

normal normal

N. VII (N. Motorik


Fasialis)
- Angkat alis menurun normal
- Memejamkan mata
- Memperlihatkan gigi normal normal

menurun normal
Sensorik

- Pengecapan (2/3
anterior lidah)
normal normal

N. VIII (N. Sensorik


Vestibulo-
- Tes pendengaran normal
Koklearis) - Romberg Test
Tidak dievaluasi

N. IX Motorik

(N. Letak uvula tengah


Glosofaringeus)
Sensorik
N. X (N. Vagus)
- Pengecapan (1/3 normal
posterior lidah)

26
Motorik

N. XI - Otot Sternokleido- normal normal

(N.Aksesorius) mastoideus
- Otot Trapezius

normal normal

N. XII (N. Motorik


Hipoglosus)
- Menjulurkan lidah deviasi ke kanan

c. Status Motorik dan Sensorik

Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior


Status
Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Gerakan Menurun Normal Menurun Normal

Kekuatan otot 1/1/1/1 5/5/5/5 1/1/1/1 5/5/5/5

Tonus otot Meningkat Normal Meningkat Normal

Atrofi otot (-) (-) (-) (-)

Refleks fisiologis Meningkat (+)Normal Meningkat (+)Normal

Refleks patologis (-) (-) (-) (-)

Sensibilitas :

Protopatik (+)Normal (+)Normal (+)Normal (+)Normal

Propioseptif (+)Normal (+)Normal (+)Normal (+)Normal

d. Status Otonom :
Buang air kecil biasa via pampers, buang air besar biasa via
pampers.

Indeks Barthel

27
Aktivitas Tingkat Kemandirian N Nilai

Bladder Kontinensia, tanpa memakai alat bantu. 10


Kadang-kadang ngompol. 5 5
Inkontinensia urin. 0

Bowel/BAB Kontinensia, supositoria memakai alat bantu. 10


Dibantu. 5 5
Inkontinensia alvi. 0

Toileting Tanpa dibantu (buka/pakai baju, bersihkan dubur tidak 10


mengotori baju), boleh berpegangan pada dinding,
benda, memakai bad pan. Dibantu hanya salah satu 5
kegiatan diatas. 5
Dibantu.

Kebersihan Tanpa dibantu cuci muka, menyisir rambut, hias, gosok 5


diri gigi, termasuk persiapan alat-alat tersebut. 5
Dibantu. 0

Berpakaian Tanpa dibantu/dibantu sebagian. 10


10
Dibantu. 5

Makan Tanpa dibantu. 10


Memakai alat-alat makan dibantu sebagian. 5 5
Dibantu. 0

Transfer/ Tanpa dibantu berpindah. 15


berpindah Bantuan minor secara fisik atau verbal. 10
Bantuan mayor secara fisik, tetapi dapat duduk tanpa 5 5
dibantu.
Tidak dapat duduk / berpindah. 0

Mobilitas Berjalan 16m di tempat datar, boleh dengan alat bantu 15


kecuali rolling walker, berjalan tanpa dibantu.
Menguasai alat bantunya, memakai kursi roda dengan 10 10
dibantu.
Immobile. 5

28
Aktivitas Tingkat Kemandirian N Nilai

Naik turun Tanpa dibantu. 10


tangga Dibantu secara fisik / verbal. 5 0
Tidak dapat. 0

Mandi Tanpa dibantu. 5


0
Dibantu. 0

Total 100 50

Nilai Interpretasi
0-20 Disabilitas Total
25-45 Disabilitas Berat
50-75 Disabilitas Sedang
80-90 Disabilitas Ringan
100 Mandiri
Interpretasi : 50 (Disabilitas Sedang)

3.1.3 Resume
Perempuan, 76 tahun dengan kelemahan anggota gerak kanan yang
terjadi secara tiba-tiba sejak 2 minggu yang lalu saat penderita bangun
tidur di pagi hari.Riwayat penyakit dahulu, hipertensi sejak 30 tahun
yang lalu, tidak terkontrol.Penyakit jantung sejak 10 tahun yang lalu,
tidak terkontrol.Mulut mencong ke kanan (+), gangguan bicara (+). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah : 150 / 90 mmHg, nadi 84 kali
/ menit, respirasi 20 kali / menit, suhu 36 C. Pada pemeriksaan nervus
cranialis didapatkan kesan paresis N. VII dan XII sentral dextra. Pada
pemeriksaan motorik, kekuatan otot ekstremitas superiordekstra 1/1/1/1
danekstremitas inferiordekstra 1/1/1/1, tonus otot meningkatpada
ekstremitas superior dan inferior dextra. Indeks Barthel :50 (disabilitas
sedang).

3.1.4 Diagnosis

29
Diagnosis Klinik : Hemiperesis dextra, Paresis N.VII perifer dextra
Disartria
Diagnosis Topis : Lesi subkortikal
Diagnosis Etiologis : Stroke iskemik
Diagnosis Fungsional : Impairment : Kelemahan anggota gerak kanan
Disability : Gangguan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
Handicap : tidak dapat melakukan kegiatan
sosial (bekerja dan beribadah)

3.1.5 Problem Rehabilitasi Medik


a. Kelemahan anggota gerak kanan.
b. Gangguan transfer dan ambulasi.
c. Gangguan mobilisasi.
d. Gangguan bicara.
e. Gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (AKS).
f. Penderita tampak lebih pendiam dan kurang berinteraksi dengan
keluarga.
g. Kecemasan keluarga akan kondisi pasien

3.1.6 Penatalaksanaan
1. Fisioterapi
Evaluasi :
Kontak dan pemahaman baik.
Kelemahan extremitas superior dan inferior dekstra, dengan
kekuatan otot 1/1/1/1 dan 1/1/1/1.
Program :
Infra red ekstremitas superior dan inferior dextra.
Latihan lingkup gerak sendi (LGS) pasif untuk ekstremitas
superior dan inferior dextra.
Latihan peningkatan kekuatan otot-otot ekstremitas superior dan
inferior dextra.

30
Streching ekstremitas superior dan inferior dextra

2. Terapi Okupasi
Evaluasi :
Kontak dan pemahaman baik.
Kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, seperti
toileting(memegang gayung), kebersihan diri (memegang sikat
gigi),feeding (memegang sendok serta gelas), berpakaian
(memakai baju, mengancing baju, melepaskan baju), ambulasi dan
naik turun tangga.
Program :
Latihan peningkatan aktivitas sehari-hari dengan ketrampilan.

3. Terapi Wicara
Evaluasi :
Kontak dan pemahaman baik.
Bicara pelo (+)
Program :
Masase otot bicara.
Latihan bicara dan artikulasi.

4. Ortotik Prostetik
Evaluasi :
Kontak dan pemahaman baik.
Kelemahan extremitas superior dan inferior dekstra, dengan
kekuatan otot 1/1/1/1 dan 1/1/1/1.
Program :
Saat ini penderita menggunakanwheel chair
Rencana ankle foot orthosis (AFO)
Rencana arm sling

31
5. Psikologi
Evaluasi :
Kontak dan pemahaman baik.
Penderita tampak lebih pendiam dan kurang berinteraksi dengan
keluarga.
Keluarga pasien cemas dengan kondisi pasien
Program :
Memberikan dukungan mental pada penderita dan keluarga tentang
penyakit penderita dan prognosisnya.

6. Sosial Medik
Evaluasi :
Penderita seorang pensiunan, mempunyai 7 orang anak dan sudah
menikah, tidak ada tanggungan lagi. Tinggal di sebuah rumah
permanen bersama suaminya dan 1 orang anak beserta menantu
dan cucunya. Kamar mandi dan water closed (WC) terletak di
dalam rumah, kloset jongkok. Biaya pengobatan penderita saat ini
ditanggung oleh ASKES.
Program :
Memberikan edukasi dan bimbingan kepada penderita untuk
berobat dan berlatih secara teratur.
Mengadakan edukasi dan evaluasi terhadap lingkungan rumah.
Modifikasi kloset jongkok menjadi kloset duduk.

3.1.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

3.2 Pembahasan Program Rehabilitasi Medik pada Penderita Stroke

32
Perhatian utama rehabilitasi adalah evaluasi potensi perkembangan
pasien dengan rehabilitasi yang intensif. Tujuan dari rehabilitasi harus
realistis dan fleksibel sebab status neurologis dari pasien dan derajat kelainan
biasanya berubah seiring waktu. Hal terbaik didapatkan jika pasien dan
keluarga berpartisipasi dalam mencapai tujuan rehabilitasi.
a. Fase awal
Tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi sekunder dan
melindungi fungsi yang tersisa. Program ini dimulai sedini mungkin setelah
keadaan umum memungkinkan dimulainya rehabilitasi. Hal-hal yang dapat
dikerjakan adalah proper bed positioning, latihan lingkup gerak sendi,
stimulasi elektrikal dan begitu penderita sadar dimulai penanganan masalah
emosional.
b. Fase lanjutan
Tujuannya adalah untuk mencapai kemandirian fungsional dalam
mobilisasi dan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Fase ini dimulai pada
waktu penderita secara medik telah stabil.Biasanya penderita dengan stroke
trombotik atau embolik, biasanya mobilisasi dimulai pada 2-3 hari setelah
stroke. Penderita dengan perdarahan subarakhnoid mobilisasi dimulai 10-15
hari setelah stroke. Program pada fase ini meliputi :
1. Fisioterapi
Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan
2 kebawah).
Diberikan terapi panas superficial (infra red) untuk melemaskan
otot.
Latihan lingkup gerak sendi bisa pasif, aktif dibantu atau aktif
tergantung dari kekuatan otot.
Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.
Latihan fasilitasi atau reedukasi otot.
Latihan mobilisasi.
2. Okupasi Terapi
Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS), meskipun pemulihan fungsi

33
neurologis pada ekstremitas yang terkena belum tentu baik. Dengan alat
bantu yang disesuaikan, AKS dengan menggunakan satu tangan secara
mandiri dapat dikerjakan. Kemandirian dapat dipermudah dengan
pemakaian alat-alat yang disesuaikan.
3. Terapi Bicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi.
Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara:
Latihan pernapasan ( pre speech training ) berupa latihan napas,
menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan
mengucapkan kata-kata.
Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi
mengucapkan kata-kata.
Pelaksana terapi adalah tim medik dan keluarga.
4. Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti
dalam membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering
digunakan antara lain: arm sling, walker, wheel chair, knee back slap, short
leg brace, cock-up splint, ankle foot orthotic (AFO), knee ankle foot
orthotic (KAFO).
5. Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan
melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase syok, fase penolakan, fase
penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian penderita mengalami fase-fase
tersebut secara cepat, sedangkan sebagian lagi mengalami secara lambat,
berhenti pada salah satu fase, bahkan kembali ke fase yang telah
lewat.Penderita harus berada pada fase psikologis yang sesuai untuk dapat
menerima rehabilitasi.
6. Sosial Medik dan Vokasional
Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan wawancara
keluarga, keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial, ekonomi dan
lingkungan hidup serta keadaan rumah penderita.

34
DAFTAR PUSTAKA

1 Ahmad Toha Muslim. 1996. Peranan Rehabilitasi Medis dalam Pelayanan


Kesehatan. Bandung. FK UNPAD.
2 Ahsani, E.2010.Rehabilitasi Medik.http://noteskedokteran.blogspot.com
diakses 26 November 2013 pukul 13.00 WIB
3 Opitz, JL., Folz, T.J., Gelfman, R., Peters, D.J.1997. The history of physical
medicine and rehabilitation as recorded in the diary of Dr.Frank Krusen : Part
1.Gathering momentum (the years before 1942).
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9111468
4 Keputusan Menteri Kesehatan No: 378/Menkes/SK/IV/2008 tentang Pedoman
Pelayanan Rehabilitasi Medis
5 Ridwan, dr. 2011. Rehabilitasi Medis. www.google.com.

35

Вам также может понравиться