Вы находитесь на странице: 1из 7

BUDAYA POLITIK DAN BUDAYA DEMOKRASI

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan
Yang dibina oleh Bpk.Muhammad Mujtaba Habibi

Oleh :

1. Anggi Klarita Sari (160342606


2. Miftakhul Rahmadhani (160342606
3. Novika Dwi U.T (160342606
4. WardatunNafisah (160342606208)
5.

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Pebruari 2017
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang berazaskan demokrasi, dengan demikian semua
kepentingan dan urusan kenegaraan harus dilandaskan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Dalam mewujudkan demokrasi perlu adanya suatu upaya agar pelaksanaan demokrasi
berjalan sebagaimana mestinya.
1.2 Rumusan Masalah
a) Apa definsi dari budaya politik dan budaya demokrasi menurut para ahli?
b) Apa prinsip-prinsip budaya demokrasi?
c) Apa saja nilai-nilai demokrasi?
d) Apa saja tipe-tipe budaya politik?
e) Bagaimana konsep dasar civil society?
1.3 Tujuan
a) Mengidentifikasi dan menjelaskan definisi dari budaya politik dan budaya demokrasi
menurut para ahli
b) Mendeskripsikan prinsip-prinsip budaya demokrasi
c) Mendeskripsikan nilai-nilai demokrasi
d) Mendeskripsikan tipe-tipe budaya politik
e) Mendeskriksipkan konsep dasar civil society

BAB II
Pembahasan
2.1 Budaya Politik
2.2 Budaya Demokrasi
2.3 Civil Society
2.3.1 pengertian dan konsep civil society
Konseptualisasi civil society dapat di kemukakan sebagai suatu wilayah kehidpan
sosial yang terorganisasi yang bercirikan, antara lain : kesukarelaan (voluntary),
keswasembadaan (self-generating) dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi
berhadapan dengan negara dan keterikatan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti
oleh warganya (hikam, 1996 dalam Suparlan dkk). Gagasan civil society diletakkan pada
pemberdayaan masyarakat pluralis-multikultural dalam hubungannya dengan organisasi
negara. Sehingga terdapat hubungan yang harmonis dan saling percaya antara warga negara
sebagai mitra negara dengan negara sebagai pelaksana kebijakan negara. Civil society
berwujud sebagai organisasi/asosiasi yang dibuat oleh masyarakat diluar pengaruh negara.
Misalnya, lembaga swadaya masyarakat (LSM), paguyuban, dan kelompok-kelompok
kepentingan. civil society (masyarakat madani) sangat menentukan dalam proses
transformasi demokrasi. Semakin berkembangnya peradaban dan tingkat kecerdasan
masyarakat, maka potensi munculnya masyarakat madani dalam melakukan transformasi
sosial, ekonomi dan politik semakin besar. Konsep masyarakat madani (civil society)
digunakan untuk memahami gerakan demokratisasi yang bersifat universal, sebagaimana
yang belakangan ini mendominasi wacana politik di ber bagai negara ( Muhammad Asfar,
2001). Dalam civil society, masyarakat berhak mengajukan hal-hal yang dianggap tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip kenegaraan. Sehingga masyarakat melakukan kontrol kepada
kinerja pemerintah, dan segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Pengembangan
konsep civil society ini memiliki peran yang besar bagi negara maupun warga negara. Bagi
negara adanya civil society ini menjadi tolak ukur dan pemberi kontrol dalam penyusunan
kebijakan-kebijakan negara agar sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini dan tidak
menyimpang dari landasan demokrasi yang menyebutkan bahwa semua kebijkan dan
kepentingan negara harus memperhatikan 3 hal pokok yaitu berasal dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat. Dengan adanya civil society ini menjelaskan dan membuka kesadaran
tentang posisi saling berhadapan antara masyarakat dan negara (Muhammad Asfar, 2001).
Dalam hal ini masyarakat memiliki kedudukan yang sama dengan pemerintah, bukan hanya
sebagai objek kebijakan politik, melainkan sebagai pengontrol kebijakan-kebijakan politik
pemerintah. Dalam civil society, masyarakat dituntut aktif dan kritis dalam menanggapi dan
menganalisis segala hal yang menyangkut negara, baik itu dalam hal pembuatan,
pelaksanaan kebijakan, dan kinerja aparat negara.
2.3.2 Pemberdayaan Civil Society
Beberapa aspek strategis pendidikan kewarganegaraan dalam pemberdayaan civil society
dapat dilihat dari hal-hal berikut.
Membangun hubungan nagara dan masyarakat
Dalam kerangka civil society, secara adil dan berimbang secara normatif dan etik,
untuk membangun hubungan warga negara dengan negara yang bersangkutan dapat
ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut.
Inventarisasi variabel yang melekat pada diri warga negara
Inventarisasi variabel yang melekat pada organisasi negara
Menghubungkan variabel yang melekat pada diri warga negara dengan
variabel yang melekat pada organisasi negara
Mempersepsika hubungan kedua variabel (negara dan warga negara) identik
dengan hubungan hak dan kewajiban antara keduanya.
Mencari dasar norma sebagai pembenar hubungan antara warga negara dengan
negara yang bersumber dari jiwa dan nilai konstitusi (Diadaptasi dari Sanusi,
1972 dalam Suparlan dkk)
Sehingga dengan adanya langkah-langkah tersebut dapat menjadikan terbentuknya
keseimbangan dan keadilan dalam menjalankan fungsinya masing-masing (sebagai
negara dan warga negara). Hubungan antar negara dan warga negara haruslah kuat
dan kokoh, karena suatu negara akan berkembang dan mengalami kemajuan jika
antar warga negara dengan aparatur negara terjalin hubungan kerjasama dan saling
percaya untuk bersama-sama menegakkan dan memajukan negaranya. Oleh karena
itu, tidak ada jarak pemisah antara keduanya, jika ada jarak pemisah antar keduanya
maka dapat mengakibatkan perpecahan dan tidak tercapainya tujuan negara. Untuk
mencapai tujuan negara tersebut, maka antara masyarakat dan aparatur negara tidak
ada yang saling melemahkan ataupun bahkan menjatuhkan, organisasi baik formal
maupun informal harus saling menhormati dan mendukung agar konsep civil society
dapat berjalan sesuai dengan tujuannya.

Optimalisasi pelaksanaan hak dan kewajiban civil society


Pemberdayaan civil society dilakukan dengan cara mengoptimalisasikan hak dan
kewajiban dalam sebuah komunitas sosial. Dasar dari pengajaran civil society ini
dapat diterapkan dari pendidikan kewarganegaraan yang memiliki komitmen dengan
upaya optimasisasi dan sosialisasi hak dan kewajiban masyarakat dalam civil society.
Jadi pendidikan kewarganegaraan memiliki andil besar dalam pembentukan karakter
masyarakat dalam perwujudan masyarakat madani (civil society).
Ada 3 tahap sosialisasi hak dan kewajiban kultural bagi warga negara atau
masyarakat:
Tahap internalisasi, yaitu tahap pemahaman konsep masyarakat plural-
multikultural
Tahap aplikasi, yakni tahap pelaksanaan nilai-nilai budaya lokal dalam
konteks membangun wawasan kebangsaan
Tahap kristalisasi, yaitu suatu tahap dimana warga negara/ masyarakat telah
mampu mencapai predikat sebagai manusia pluralis-multikultural, yang
mampu bersikap religius, demokratis, adil, terbuka, tidak mudah berprasangka
buruk, empati kepada orang lain.
2.3.3 Pemberdayaan Civil Sociey Dalam Konteks Pendidikan Kewarganegaraan
Proses pembentukan karakter yang berjiwa kritis dan aktif dalam civil society tidak
bisa dilepaskan dari pendidikan kewarganegaraan. Berdasarkan embrio materi dan tujuan
pendidikan kewarganegaraan, maka pendekatan dalam upaya pemberdayaan civil society
antara lain sebagai berikut.
Pendekatan yuridis
Pendekatan berkaitan dengan pendidikan bagi warga negara untuk memahami norma-
norma formal yang selanjutnya dengan norma itu akan memiliki sikap loyal terhadap
konstitusi. Dengan pendekatan ini diharapkan adanya pengakuan hak-hak kebebasan
individu (warga negara) sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945.
Pendekatan struktural-fungsional
Pendekatan ini lebih diproyeksikan dalam menganalisis nilai fungsional terhadap
sistem politik yang digunakan sebagai wacana demokrasi dalam masyarakat plural-
multikutural. Dalam pendekatan ini lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-
hak dan kewajiban warga negara sebagai sebuah potensi individual yang harus
diapresiasikan dalam proses politik.
Pendekatan etika-moral
Pendekatan etika moral pada dasarnya digunakan sebagai wacana pembenaran
(justification) terhadap tindakan sosial (Held, 1989 dalam Suparlan dkk). Dalam hal
ini tindakan yang yang dilakukan oleh masyarakat dalam civil society dapat
dikategorikan sebagai tindakan sosial, karena tindakannya akan berdampak pada
orang lain. Tindakan yang dilakukan hendaknya sesuai dengan etika dan moral yang
benar, tidak secara sembarangan, karena etika yan salah akan mengakibatkan hal-hal
yang negatif bagi orang lain.
Pendekatan psikologis-pedagogis
Pendekatan ini lebih menekankan pada lingkungan tempat peserta didik melakukan
kegiatan pembelajaran. Materi yang diberikan dalam rangka pemberdyaan civil
society berupa fakta budaya, konsep dan generalisasi yang kesemuanya dirujuk pada
hak dan kewajiban. Dan materi yang diberikan disesuakan dengan jenjang peserta
didik.
Pendekatan pengurangan prasangka (buruk)
Prasangka menimbulakan timbulnya etnosentrisme dimana seseorang bertindak
terhadap orang lain yang berbeda kultur berdasarkan sudut pandang kulturnya sendiri,
dan cenderung memandang kulturnya sendiri sebagai yang terbaik. Etnosentrisme
dapat dikurangi dengan pembelajaran yang memberi kesempatan bagi siswa untuk
mengemukakan pendapatnya mengenai berbagai hal positif tentang budaya.
Pendekatan empati
Pendekatan ini lebih mengedepankan pada realitas majemuk dan asumsi perbedaan.
Dalam hal ini bararti kita berpartisipasi pada pengalaman orang lain, yang akan
menjadikan kita dekat dan mampu mendorong orang lain untuk bertindak positif
dalam mencapai masyarkat civil society.

Dalam civil society masyarakat dituntut aktif dan kritis dalam menanggapi berbagai hal yang
menyangkut masalah kenegaraan, sehingga proses hubungan antara warga negara dengan
aparatur negara dapat berjalan secara beriringan dan berkesinambungan. Pemberdayaan civil
society dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yang akan membentuk karakter setiap
individu dalam mencapai tujuan civil society.
Daftar Rujukan
AL Hakim, suparlan., Soegiarto LM., Suparlan., Untari, Sri., Diara astwa, ktut., Hady,
nuruddin. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia. Malang :
Madani.
Muhammad Asfar. 2001. Wacana Masyarakat Madani (Civil Society): Relevansi untuk Kasus
Indonesia, Masyarakat, Kebudayaan dan Politik , Th XIV, No 1, Januari 2001, 49 -60.

Вам также может понравиться