Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Perseptor:
Disusun Oleh:
Chan Hong Yi
130112152502
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh
Salmonella typhi (Widoyo, 2008).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram negatif,
mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang
terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai
makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel
dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. Bakteri Salmonella typhi
mempunyai beberapa komponen antigen yaitu :
1. Antigen dinding sel (o) merupakan polisakarida dan bersifat spesifik grup
2. Antigen flagella (H) yg merupakan kompnen protein berada dlm flagella,bersifat
spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida,berada di kapsul.Berhubungan dengan
daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin. Endotoksin merupakan bagian terluar
dinding sel terdiri dari :
a. antigen O yg sdh dilepaskan
b. lipopolisakarida
c. lipid A.
Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (Ig A) usus kurang
baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia pertama yang
simtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
limpa. Di organ-organ ini, kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melaui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,
gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologi
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
organ lainnya.
Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan
dengan penderita dewasa. Mas tunas rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika
infeksi terjadi melalui makanan,sedangkan yang terlamasampai 30 hari jika infeksi
melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten
dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-
angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi
pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan
normal kembali pada kahir minggu ketiga
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah.
Pemeriksaan Fisik
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 540 hari dengan rata-rata
antara 1040 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapat
terjadi disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik
penjamu, serta lama sakit di rumahnya. Penampilan demam pada kasus demam tifoid
mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan
demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai
titik tertinggi pada akhir minggu pertama. Setelah itu demam akan bertahan tinggi.
Pada minggu ke-4, demam turun perlahan secara lisis. Demam lebih tinggi saat sore
dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis.Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu berupa demam,
bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan peningkatan denyut
nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, ganguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, dan psikosis.
Pemeriksaan penunjang
Panatalaksanaan
1. Medikamentosa
Indikasi rawat
Klinis ringan dapat dirawat jalan dengan control poli teratur. Jika klinis disertai
hiperpireksia, muntah-muntah, intake tidak adekuat, dehidrasi, keadaan umum lemah,
maka harus di rawat inapkan.
Perawatan
Penderita harus tirah baring 5-7 hari bebas panas, kemudian secara bertahap mulai
mobilisasi.
Diet
Pemberian diet tahap awal pada penderita demam tifoid harus mengutamakan lunak,
mudah dicerna, tidak merangsang, bebas serat, dan tidak menimbulkan gas.
Pemberian makan dalam porsi kecil tetapi sering. Biasanya disajikan dalam bentuk
bubur saring.
Medikamentosa
Obat terpilih untuk penderita demam tifoid adalah kloramphenikol dengan
dosis 50-100 mg/kgBb/ hari maksimal 2 gr/hari. Obat diberikan sampai 7 hari bebas
panas, minimal diberikan selama 10 hari. Bila dalam 10 hari pemberian
kloramphenikol panas tidak turun maka obat diganti ampicilin 200mg/kgBb/hari
diberkan secara Iv selama 10-14 hari. Demikian juga bila ditemukan Hb<8 g/dl, dan
atau leukosit <2000/mm3 obat diganti dengan ampicilin.
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 80 mg/kg BB/kali dan
diberikan sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari.
2. Non medikamentosa
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan
sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi
demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah).
Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau
dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting
yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin
yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua
adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Ada beberapa
orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang tidak
boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki
reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh
mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan
vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi
berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis
lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh
mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang
diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang
menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-
obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu
atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan
sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian antibiotik.
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem
serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan
bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis
vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang
dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang
per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100).
Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam
atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak
Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian
pada anak-anak adalah 2,6% dan pada orang dewasa adalah 7,4 %. Sehingga rata-ratanya
adalah 5,7%.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer,
sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia
Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila
perawatan pasien kurang sempurna.
III. KESIMPULAN
1. Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi sistemik terutama
mengenai sistem retikuloendotelial, jaringan limfoid intestinal, dan kantung empedu, yang
disebabkan oleh kuman basil gram negatif Salmonella typhi maupun Salmonella
paratyphi.
2. Utama dari manifetasi klinik demam tifoid adalah : adanya demam lebih dari 7 hari,
gangguan gastrointestinal dan gangguan kesadaran
3. Penegakan diagnosis dari demam tifoid adalah didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
4. Gold standar dalam penegakan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur.
5. Penatalaksanaan kasus demam tifoid memerlukan upaya medikamentosa dan non medika
mentosa
6. Komplikasi demam tifoid dibagi menjadi 2, komplikasi intestinal dan ekstraintestinal.
IV.DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. Jakarta: EGC.
3. Garna Herry, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
4. Gunawan, SG, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
5. Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.
6. Nasronudin, dkk. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia: Solusi Kini dan Mendatang. Jakarta:
Airlangga University Press.
7. Staf Pengajar FKUI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
8. Sudoyo, AW, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4. Jakarta: FKUI.
9. Prasetyo, Risky Vitria., Ismoedijanto. 2010. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Divisi tropik dan penyakit infeksi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RSU
dr.Soetomo Surabaya
10. Siswandari, wahyu. 2012. Lecture : Pemeriksaan laboratorium pada infeksi
bakteri.Blok TROPMED
11. Wardhani, puspa., Prihatani., Probohusodo, M.Y. 2005. Kemampuan uji tabung widal
menggunakan antigen import dan antigen lokal. ndonesian Journal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 31-37