Вы находитесь на странице: 1из 76

EFEKTIFITAS PEMBERIAN INFUS DAN BUBUK TEMULAWAK

(Curcuma xanthorrhiza ROXB.) TERHADAP PENAMPILAN DAN


KAJIAN EKONOMI AYAM PEDAGING YANG DIINFEKSI
Eimeria maxima

AGUNG ADI CANDRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektifitas Pemberian Infus dan
Bubuk Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Penampilan dan
Kajian Ekonomi Ayam Pedaging yang Diinfeksi Eimeria maxima adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Agung Adi Candra


NRP. B151060021
3

ABSTRACT

AGUNG ADI CANDRA. Efectivity Supplementation of Infuse and Powder


Curcuma xanthorrhiza Roxb. for Performance and Economic Analysis
Broiler During Eimeria maxima Infection. Under direction of UMI
CAHYANINGSIH and WIWIN WINARSIH

Coccidiosis is common disease in poultry industry. For fast growing and


coccidiosis prevention, bird were given with antibiotics that in a long period will
result in resistency to antibiotics and problems of product safety for consumer. A
search for new alternatives for Eimeria control, like supplementation with natural
medicine. Curcuma xanthorrhiza Roxb., one of traditional medicine of Indonesia
known as treatment for inflammation. The aim of this research was to know the
activities of supplementation Curcuma xanthorriza Roxb. in broiler during Eimeria
maxima infection
Research was done by completely randomize design using 200 birds were
devided into 10 group; drug control, positive control, negative control, curcuma
control, infuse curcuma 90, 180, and 360 mg.kg -1 body weight in water drink, and
90, 180, and 360 mg.kg -1 body weight in feed. Challenge infection used Eimeria
maxima were were 14th day old bird with 1 x 104 oocysts per oral.
Supplementation of Curcuma xanthorrhiza Roxb were given 1st until 6th day after
infection. Parameter was examined were performance, body weight gain, feed
conversion ratio, economic analysis and histomorfometry analysis.
The result showed that infection of Eimeria maxima decrease body weight
gain, feed conversion and efficiency of feed. Supplementation of infuse Curcuma
xanthorrhiza Roxb. can improve feed conversion, feed efficiency.
Supplementation of infuse Curcuma xanthorrhiza Roxb. 180 and 360 mg kg-1 body
weight can improve feed conversion and eficiency of feed and also decrease
number oocyst per gram feses on 7th day after infection. But Supplementation of
infuse and powder Curcuma xanthorriza Roxb powder no affected to carcass
percentage. Supplementation by infuse and powder Curcuma xanthorriza Roxb.
can help decrease lost profit because infection of Eimeria maxima and 360 mg.kg-
1
body weight give best IOFCC Rp. 2.108 dan gross income Rp. 340.842 per
hundred birds. Supplementation of infuse Curcuma xanthorriza Roxb 90, 180 and
360 mg.kg-1 body weight no affect to ileum histomorfometry analysis.
Supplementation of infuse Curcuma xanthorriza Roxb. 360 mg.kg-1 body weights
gave the best effect to broiler performance during Eimeria maxima infection.

Key word : Curcuma xanthorrhiza Roxb., Performance, Eimeria maxima


4

RINGKASAN

AGUNG ADI CANDRA. Efektifitas Pemberian Temulawak (Curcuma xanthorrhiza


Roxb.) Terhadap Penampilan dan Kajian Ekonomi Ayam Pedaging yang Diinfeksi
Eimeria maxima. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan WIWIN WINARSIH

Penyakit koksidiosis merupakan salah satu kendala dalam usaha


peningkatan produksi daging di Indonesia. Untuk mengatasi kerugian yang akan
muncul akibat koksidiosis, dalam pelaksanaannya peternak lebih suka mencegah
dengan cara menambahkan koksidiostat dalam ransum atau air minum yang
dapat menyebabkan terjadinya resistensi dan dapat membahayakan kosumen.
Koksidiostat yang terus menerus dapat menimbulkan residu pada produk daging
dan telur. Terobosan tentang penggunaan bahan yang relatif aman dan
seminimal mungkin meninggalkan residu dalam daging perlu dicari.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
menggunakan 200 ekor ayam pedaging yang didistribusikan kedalam 10
kelompok perlakuan; kontrol obat, kontrol positif, kontrol negatif, kontrol
temulawak, kelompok ayam yang diinfeksi E maxima dengan infus temulawak;
90, 180, dan 360 mg.kg -1 bobot badan di air minum dan temulawak bubuk 90,
180, dan 360 mg.kg -1 bobot badan pada ransum. Ayam perlakuan diinfeksi
dengan E. maxima 1x104 ookista/ekor pada hari ke-14 pemeliharaan.
Pemeriksaan ookista per gram feses (OPG) diperiksa sampai hari ke-14 dengan
menggunakan kamar hitung Mc master. Penampilan ayam pedaging diukur
dengan menghitung pertambahan bobot badan (PBB), Feed Conversion Ratio
(FCR), efisiensi ransum, persentase karkas, dan analisis ekonomi dengan
menghitung pendapatan diluar harga bibit dan ransum serta pendapatan kotor.
Pengamatan histomorfometri terhadap tinggi vili, kedalaman kripta, jumlah vili per
milimeter dan luas permukaan villi dilakukan terhadap preparat usus halus yang
diambil hari ke 3, 6 dan 9 setelah infeksi.
Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa temulawak mengandungs
enyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid dan kuinon. Infeksi E.
maxima menyebabkan penurunan PBB, meningkatkan nilai konversi ransum
(FCR) serta menurunkan tingkat efisiensi penggunaan ransum. Pemberian Infus
temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) 180 dan 360 mg kg-1 bobot badan,
mampu memperbaiki konversi ransum dan efisiensi penggunaan ransum dan
secara nyata mampu menurunkan jumlah ookista per gram feses pada puncak
produksi ookista E. maxima pada hari ke-7 setelah infeksi namun pemberian
infus dan bubuk temulawak tidak mempengaruhi persentase karkas.
Infeksi Eimeria menyebabkan ayam menjadi tumbuh lebih lambat dan
menyebabkan kematian. Pemberian infus temulawak mampu meningkatkan
bobot badan, sebaliknya penambahan bubuk temulawak dalam ransum secara
deskriptif tidak mampu meningkatkan bobot badan, hal ini mengindikasikan
bahwa penambahan infus temulawak yang makin tinggi memberikan pengaruh
positif dengan memperbaiki kemampuan ayam meningkatkan bobot badan. Infus
temulawak merupakan hasil ekstraksi temulawak sehingga lebih mudah diserap
oleh tubuh ayam dibandingkan dengan bubuk. Infeksi E. maxima menyebabkan
peningkatan NO2- + NO3- dalam plasma. Radikal bebas tersebut dihasilkan
sebagai respon kekebalan tubuh tingkat selular akibat infeksi parasit. Produksi
radikal bebas akan menyebabkan keseimbangan antara anti oksidan dan reaktif
oksigen akan menghasilkan stress oksidatif yang memicu kerusakan sel.
Flavonoid yang terkandung dalam temulawak akan membantu menjaga
keseimbangan akibat reaksi ini. Dalam penelitian ini nampak bahwa pemberian
5

infus temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima mampu meringankan


kerusakan usus ayam tersebut sehingga mempertahankan pertambahan bobot
badan pada minggu 1 sampai minggu 3 setelah infeksi.
Pemberian infus dan bubuk temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
mampu menekan kerugian ekonomis akibat infeksi E. maxima pengaruh terbaik
pada pemberian infus temulawak 360 mg.kg-1 bobot badan dengan memberikan
pendapatan diluar ransum dan bibit (Income Over Feed And Chick Cost/IOFCC)
sebesar Rp. 2.108 per ekor dan nilai pendapatan kotor (gross income) Rp.
340.842 per seratus ekor ayam. Pemberian infus dan bubuk temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.) semua dosis tidak berpengaruh pada histomofometri usus.
Dosis infus temulawak 360 mg. kg-1bobot badan merupakan dosis terbaik dalam
penelitian ini dengan meningkatkan bobot badan mingguan, konversi ransum,
efisiensi ransum, mampu menekan nilai ookista per gram feses pada puncak
produksi ookista, dan memiliki nilai IOFCC dan gross income tertinggi diantara
kelompok perlakuan

Kata kunci : Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.), Penampilan Ayam,


Eimeria maxima
6

Hak cipta milik IPB, tahun 2008


Hak cipta dilindungi Undang- Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
7

EFEKTIFITAS PEMBERIAN INFUS DAN BUBUK TEMULAWAK


(Curcuma xanthorrhiza ROXB.) TERHADAP PENAMPILAN DAN
KAJIAN EKONOMI AYAM PEDAGING YANG DIINFEKSI
Eimeria maxima

AGUNG ADI CANDRA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
8

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Drh. Sri Utami Handajani, MS
9

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Efektifitas Pemberian Infus dan Bubuk Temulawak


(Curcuma xanthorrhiza Roxb) terhadap Penampilan dan
Kajian Ekonomi Ayam Pedaging yang diinfeksi
Eimeria maxima
Nama : Agung Adi Candra
NRP : B151060021

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Drh. Umi Cahyaningsih, MS Dr. Drh. Wiwin Winarsih, M.Si


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Sains Veteriner

Dr. Drh. Bambang Pontjo P., MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 6 Agustus 2008 Tanggal Lulus :


10

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga Tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Januari sampai April 2008 adalah tentang penggunaan
temulawak sebagai terapi berak darah pada ayam, dengan judul Efektifitas
Pemberian Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Penampilan dan
Kajian Ekonomi Ayam Pedaging yang Diinfeksi Eimeria maxima.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS
dan Dr. Drh. Wiwin Winarsih, M.Si selaku pembimbing serta Dr. Drh. Bambang
Pontjo P., MS selaku ketua program studi Sains Veteriner. Penghargaan penulis
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya
tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Sugiat
Kuntadi, BA dan Ibunda Sukartini, Astria R, Adrian AK serta Ayu Chendra atas
segala doa, semangat dan kasih sayangnya.
Semoga karya ini bemanfaat.

Bogor, Agustus 2008

Agung Adi Candra


11

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Metro tanggal 21 Oktober 1981 dari Ayah Sugiat


Kuntadi, BA dan Ibu Sukartini. Penulis merupakan putra kedua dari 3 bersaudara.
Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri I Metro dan melanjutkan
pendidikan Sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
melalui jalur UMPTN. Tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana
dengan gelar Sarjana Kedokteran Hewan (S.KH). Tahun 2006 penulis diterima di
program studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Pascasarjana DIKTI.
Sejak tahun 2003 penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di
Politeknik Negeri Lampung sebagai dosen pada Jurusan Peternakan program
studi Teknologi Produksi Ternak
12

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii


DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................. 1
Tujuan Penelitian .............................................................................. 2
Manfaat Penelitian ............................................................................ 2
TINJAUN PUSTAKA ............................................................................... 3
Eimeria maxima ............................................................................. 3
Klasifikasi .......................................................................................... 3
Morfologi ........................................................................................... 3
Siklus Hidup ...................................................................................... 4
Perubahan Organ ............................................................................ 6
Patogenesis Eimeria ......................................................................... 7
TEMULAWAK (Curcuma xanthoriza Roxb.) ................................ 8
Klasifikasi .......................................................................................... 8
Deskripsi ........................................................................................... 8
Komposisi Rimpang Temulawak ...................................................... 10
Manfaat tanaman .............................................................................. 11
BAHAN DAN METODA
Waktu dan tempat ............................................................................ 14
Alat dan Bahan Penelitian ................................................................ 14
Metode
Persiapan Kandang Pemeliharaan .......................................... 14
Pembuatan Bubuk dan infus temulawak ................................. 15
Penapisan Fitokimia ................................................................ 15
Persiapan Ookista Eimeria maxima ......................................... 16
Kelompok Percobaan .............................................................. 17
Infeksi Eimeria maxima pada hewan coba ............................. 17
Pelaksanaan Penelitian ........................................................... 18
Teknik Penghitungan Jumlah Ookista per gram feses ........... 18
Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi .............................. 19
Peubah yang Diamati ....................................................................... 20
Analisis data ..................................................................................... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 23
Penapisan fitokimia ......................................................................... 23
Penampilan Ayam .......................................................................... 24
Jumlah Ookista Per Gram Feses ................................................... 30
Analisis Ekonomi ............................................................................ 33
Histomorfometri Usus ..................................................................... 35

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 39


DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 40
LAMPIRAN ............................................................................................... 44
13

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Hasil penapisan fitokimia temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) ... 23

2. Bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, feed conversion ratio,


efisiensi ransum dan persentase karkas pada berbagai penambahan
temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima (35 hari) ................. 24

3. Perkembangan bobot badan mingguan pada berbagai penambahan


temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima ................................ 28

4. Perkembangan pertambahan bobot badan mingguan pada berbagai


penambahan temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima .......... 28

5. Perkembangan Feed convertion Ratio mingguan pada berbagai penambahan


temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima ................................ 28

6. Jumlah ookista per gram feses kelompok perlakuan dari hari ke-5
sampai hari ke-13 setelah infeksi E. maxima dengan pemberian
infus dan bubuk temulawak dosis bertingkat ....................................... 31

7. Pendapatan diluar ransum dan bibit (Income Over Feed and Chick
Cost /IOFCC) selama penelitian ........................................................ 33

8. Pendapatan kotor per 100 ekor ayam (Sun et al. 2005) kelompok
perlakuan yang diinfeksi E maxima dengan pemberian infus dan
bubuk temulawak dosis bertingkat ...................................................... 35

9. Histomorfometri kelompok perlakuan ayam yang diinfeksi


E maxima dengan pemberian infus dan bubuk temulawak
dosis bertingkat ................................................................................... 36
14

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Ookista E. maxima......................................................................... 4

2. Siklus hidup E. maxima pada ayam............................................... 6

3. Tanaman dan rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) . 9

4. Pengamatan mikroskop cahaya pada pengukuran


histomorfometri vili usus. ............................................................... 21

5. Perkembangan bobot badan mingguan pada berbagai


penambahan temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima .... 29

6. Perkembangan Feed Conversion Ratio mingguan pada berbagai


penambahan temulawak pada ayam yang diinfeksi E maxima ..... 30

7. Grafik perkembangan jumlah ookista per gram feses kelompok


perlakuan dari hari ke-5 sampai hari ke-13 setelah infeksi
E maxima dengan pemberian infus dan bubuk temulawak
dosis bertingkat ............................................................................. 32
15

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
pertambahan bobot badan ayam pedaging yang diinfeksi E maxima......... 44

2. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus


dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
feed convertion ratio ayam pedaging yang diinfeksi E maxima................... 45

3. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus


dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
efisiensi ransum ayam pedaging yang diinfeksi E maxima ......................... 46

4. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus


dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
persentase karkas ayam pedaging yang diinfeksi E maxima ...................... 47

5. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus


dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
persentase karkas ayam pedaging minggu ke-3, 4 dan 5 setelah diinfeksi
E maxima .................................................................................................... 48

6. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus


dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
pertambahan bobot badan ayam pedaging minggu ke-3, 4 dan 5 setelah
diinfeksi E maxima ...................................................................................... 50

7. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus


dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
feed convertion ratio ayam pedaging minggu ke-3, 4 dan 5 setelah diinfeksi
E maxima .................................................................................................... 52

8. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus


dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
tinggi vili usus ayam pedaging yang diinfeksi E maxima ............................. 54

9. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus


dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
kedalaman kripta usus ayam pedaging yang diinfeksi E maxima ............... 56

10. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus


dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
jumlah vili usus ayam pedaging yang diinfeksi E maxima ........................... 58

11. Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus


dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
luas vili usus ayam pedaging yang diinfeksi E maxima ............................... 60

12. Hasil identifikasi tumbuhan .......................................................................... 61


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan taraf hidup


serta pemahaman penduduk tentang arti pentingnya kesehatan menyebabkan
terjadinya perubahan pola konsumsi yang lebih memperhatikan keseimbangan
asupan gizi. Protein hewani yang dahulu menjadi asupan mewah dan hanya
dikonsumsi oleh golongan tertentu saja kini menjadi sebuah kebutuhan yang
sangat penting, salah satunya yang berasal dari daging khususnya ayam
pedaging. Perubahan pola konsumsi ini belum dapat diimbangi dengan
peningkatan produksi ayam pedaging. Kenaikan harga sarana produksi
peternakan (sapronak) terutama ransum menyebabkan banyak peternak yang
terpaksa harus menutup usahanya sehingga kebutuhan daging belum dapat
tercukupi. Selain itu adanya penyakit yang bersifat klinis maupun subklinis masih
menjadi permasalahan peternak saat ini. Hal ini menjadi tantangan peternak
untuk meningkatkan produksi unggas untuk mencukupi kebutuhan daging.
Penyakit koksidiosis merupakan salah satu kendala dalam usaha
peningkatan produksi daging di Indonesia. Williams (1999) menyatakan bahwa
tingkat kerugian akibat pengendalian koksidiosis pada peternakan unggas di UK
adalah 38.5 juta pounsterling. Mc Dougald (2003) melaporkan biaya pencegahan
dan medikasi koksidiosis lebih dari 90 juta dolar di United States dan lebih dari
300 juta dolar diseluruh dunia. Untuk mengatasi kerugian yang akan muncul
akibat koksidiosis, dalam pelaksanaannya peternak lebih suka mencegah dengan
cara menambahkan koksidiostat dalam ransum atau air minum yang dapat
menyebabkan terjadinya resistensi dan dapat membahayakan kosumen bila tidak
bijaksana dalam penggunaannya. Terobosan tentang penggunaan bahan yang
relatif aman dan seminimal mungkin meninggalkan residu dalam daging perlu
dikembangkan.
Alternatif pilihan yang dilakukan sebagai terobosan dalam pencegahan
penyakit koksidiosis adalah menggunakan tanaman tradisional. Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia yang secara
empiris dipercaya dapat dipergunakan sebagai obat dan relatif aman tanpa
meninggalkan residu pada produk akhir. Beberapa laporan penggunaan
temulawak sebagai pengobatan telah banyak dilaporkan, diantaranya adalah
sebagai anti bakteri, menurunkan kadar kolesterol, menghilangkan nyeri, anti
2

radang, dan menurunkan panas serta menghaluskan kulit. Selain itu, juga
bermanfaat mencegah penyakit hati dan melancarkan air seni. Khasiat temulawak
dapat digunakan untuk mengurangi gangguan penyakit: hepatitis, batu empedu,
sakit maag, ginjal, asma, bisul, kolesterol, eksem, menambah nafsu makan, bau
badan, sembelit, memperbanyak ASI, sariawan, menghilangkan nyeri haid, dan
batuk, anti diare, dan anti inflamasi.
Kemampuan anti diare dan anti inflamasi serta manambah nafsu makan
ini diharapkan temulawak dapat menjadi alternatif bagi pengobatan dan
pencegahan koksidiosis di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian


temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap penampilan ayam pedaging
yang diinfeksi Eimeria maxima.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi bagi peternak


dalam penggunaan bahan obat tradisional untuk mengatasi permasalahan
koksidiosis pada ayam.
3

TINJAUAN PUSTAKA

Eimeria maxima

Klasifikasi
Menurut Levine (1985), Eimeria maxima diklasifikasikan sebagai berikut ;
Kingdom : Protista
Phylum : Apicomplexa
Class : Conoidasida
Subclass : Coccidiasina
Order : Eucoccidiorida
Family : Eimeriidae
Genus : Eimeria
Species : Eimeria maxima

Morfologi

Coccidia memiliki berbagai macam tahap perkembangan yaitu : ookista,


sporokista, tropozoit, skizon, merozoit, dan gametosit. Ookista berbentuk seperti
bola, oval atau elips dengan dinding terdiri dari dua lapis yang bersifat transparan.
Dinding sebelah dalam tersusun dari senyawa protein tanin dan kinin, sedangkan
dinding sebelah luar terdiri dari dua lapis yaitu lapis protein dan lemak (Levine
1985). Ookista Eimeria maxima lebar, berbentuk ovoid lebar dan tidak ada
perbedaan nyata dari lebar kedua belah ujungnya. Ukuran ookista bervariasi
antara 21,5-42,5 m, lebar 16,5-29,8 m dengan rataan panjang 29,3 m dan
lebar 22,6 m. Ookista merupakan tahapan dalam siklus hidup E. maxima yang
paling kuat. Pada tahap ini coccidia tahan terhadap pengaruh suhu maupun obat-
obatan. Ookista E. maxima bersporulasi mempunyai empat sporokista yang
masing-masing berisi dua sporozoit.
E. maxima menginfeksi pada bagian tengah usus terutama dekat dengan
Meckel's diverticulum sampai ke duodenum. Pada infeksi ganas kerusakan dapat
menyebar di distal ileum sampai pada perbatasan sekum. Masa prepaten E.
maxima adalah 121 jam ( 6 hari ) setelah infeksi terjadi (Calnek et al. 1994).
4

Gambar 1. Ookista E. maxima (Levine 1985)

Siklus Hidup
Parasit ini akan menyerang pada sepanjang usus halus, sebagian besar
terdapat pada pertengahan usus halus. Fase aseksual terjadi di permukaan usus
halus kemudian masuk ke dalam inti sel epitel dan masuk kedalam fase seksual
yang sangat besar jika dibandingkan dengan fase aseksual. Hal ini terjadi karena
ukuran pada fase seksual ini lebih besar dari fase aseksual sehingga fase
seksual berada pada tempat yang lebih dalam dari sel epitel yaitu pada dasar
lapis retikuler epitel usus. Ookista dikeluarkan pada hari ke-6 (Morgan & Hawkins
1949)
Siklus hidup Eimeria maxima terdiri dari dua stadium, yaitu stadium
endogenous dan eksogenous. Stadium endogenous terjadi dalam tubuh induk
semang meliputi fase aseksual (merogoni/skizogoni) dan fase seksual
(gametogoni). Stadium eksogenus terjadi di luar induk semang (Levine 1985).
Fase aseksual dimulai dari masuknya ookista bersporulasi sampai terbentuk
makrogamon dan mikrogamon yang akan berkembang menjadi makrogamet dan
mikrogamet (McDauglad & Reid 1997) dilanjutkan dengan fase seksual
(fertilisasi) hingga menjadi ookista.
Infeksi koksidiosis pada ayam terjadi karena ayam memakan makanan
yang terkontaminasi ookista bersporulasi. Ookista yang keluar bersama tinja
belum bersporulasi, berisi satu sel yang disebut sporont dan tidak infektif. Ookista
bersporulasi memerlukan oksigen, temperatur, dan kelembapan yang sesuai
(Levine 1985). Ookista E. maxima akan bersporulasi 30 jam setelah keluar
5

bersama feses (Calnek et al. 1994). Tampubolon (1996) suhu optimum agar
terjadi proses sporulasi berkisar antara 25-29oC.
Mekanisme terjadinya infeksi E. maxima diawali ketika ayam menelan
ookista bersporulasi. Dinding ookista akan dihancurkan secara mekanik oleh
gizard. Proses ini disebut ekskistasi; ekskistasi adalah proses pecahnya dinding
ookista dan sporokista yang dimakan oleh ayam. Sporozoit yang ada di dalam
sporokista akan keluar. Keluarnya sporozoit diaktivasi oleh enzim kemotripsin,
lipase dan empedu. Proses ini berlangsung setelah sporokista mencapai epitel
usus halus ayam (Calnek et al. 1994). Sporozoit akan masuk ke dalam epitel vili
dan masuk kedalam intra epitelial lymposit. Sporozoit selanjutnya membulat dan
tumbuh menjadi meron generasi I (skizon/skizogoni). Meron generasi I
memproduksi 900 merozoit generasi I yang kemudian melepaskan diri keluar dari
sel induk semang. Merozoit generasi I ini kemudian memasuki sel-sel epitel usus
yang baru dan berkembang menjadi meron generasi kedua (Levine 1985). Proses
lepasnya merozoit generasi I yang kemudian masuk ke sel epitel baru ini terjadi
pada hari ke-3 setelah infeksi (Calnek et al. 1994). Meron generasi II selanjutnya
menghasilkan 350 merozoit generasi II dan keluar dari sel induk semang (Levine
1985) hal ini terjadi pada hari ke-5 setelah infeksi (Calnek et al. 1994). Beberapa
merozoit generasi II masuk kedalam epitel usus baru dan membulat membentuk
merozoit III yang menghasilkan 4-30 merozoit generasi III. Merozoit-merozoit
generasi II juga masuk ke sel epitel usus induk semang dan memulai fase
seksual yang dikenal sebagai gametogoni (Levine 1985).
Merozoit generasi III mengalami gametogoni, yaitu membentuk
makrogamon yang berkembang menjadi makrogamet (penghasil gamet betina)
dan beberapa menjadi mikrogamon yang berkembang menjadi mikrogamet
(penghasil gamet jantan). Makrogamet dibuahi oleh mikrogamet dan terbentuklah
zigot. Zigot melindungi dirinya dengan sebuah dinding yang tebal dan menjadi
ookista muda. Ookista memecah sel induk semang kemudian keluar bersama
tinja pada hari ke-6 setelah infeksi (Morgan & Hawkins 1949). Bila lingkungan
sesuai dan memungkinkan maka dapat terjadi sporulasi dan siklus hidup ini akan
kembali berulang (Levine 1985).
6

Gambar 2. Siklus hidup E. maxima pada ayam (Calnek et al. 1994)

Perubahan Organ
Infeksi Eimeria maxima tidak seperti Eimeria tenella yang menyebabkan
kematian yang sangat tinggi, namun menyebabkan penurunan bobot badan dan
meningkatkan konversi ransum sehingga menyebabkan kerugian yang sangat
besar. E. maxima menyebabkan perbarahan berupa enteritis kataralis. Kondisi
perbarahan akibat infeksi E. maxima lebih sulit diidentifikasikan dengan skor lesio
yang terjadi dibandingkan dari temuan ookista pada kerokan mukosa usus.
Karakteristik lesio adalah ptekia atau perdarahan titik yang lebih mudah untuk
dikenali pada membran serosa dibandingkan pada membran mukosa. Adanya
infeksi E. maxima ditandai dengan kehadiran usus yang menggelembung dengan
mukus berwarna orange (merah bata) (Calnek et al. 1994).
Calnek et al. (1994) menyatakan bahwa infeksi Eimeria menyebabkan
kerusakan ringan pada siklus aseksual karena pada fase ini siklus terjadi di
permukaan sel epitel mukosa. Kerusakan usus ini semakin parah pada fase
seksual (hari ke-5 dan ke-8 setelah infeksi) karena siklus berjalan pada bagian
lebih dalam usus dibanding fase aseksual. Lesio pada usus yang terjadi adalah
edema, infiltrasi sel radang, dan penebalan mukosa. Hemoragi di dekat ujung vili
dan fokus infeksi terdapat pada lapisan serosa. Usus ayam terinfeksi E. maxima
berisi cairan berwarna kuning atau merah bata dan darah, akibatnya usus akan
menggelembung (balloning).
7

Patogenesis Eimeria

Koksidiosis pada ayam terjadi karena ayam peka memakan ookista


bersproulasi dalam jumlah besar. Penularan koksidiosis dapat melalui kotoran
ayam, makanan, minuman, peralatan, dan lalu lintas pekerja yang terkontaminasi
ookista. Faktor yang mendukung terjadinya penularan adalah kandungan air pada
litter yang melebihi 30% dan adanya penyakit imunosupresif seperti marek,
gumboro dan mikotoksikosis.
Koksidiosis terjadi pada unggas muda terutama yang berumur hingga
empat minggu, sedangkan unggas lebih tua sebagai pembawa penyakit. Ayam
sembuh mempunyai kekebalan, tetapi hanya berlangsung dalam waktu pendek
kecuali bila terjadi kontak terus menerus dengan agen penyebab penyakit. Levine
(1985) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi patogenitas
Eimeria yaitu jumlah sel induk semang yang rusak, besar dosis infeksi ookista,
patogenitas galur koksidia, ras, umur ayam, status gizi, agen penyakit lainnya,
adanya stress, derajat dan waktu reinfeksi, serta derajat imunitas induk semang.
Sedangkan menurut Kennedy (2001) faktor yang mempengaruhi patogenitas
Eimeria adalah jumlah ookista yang termakan, galur koksidia, faktor lingkungan
yang mempengaruhi masa tumbuh ookista, umur ayam, kualitas pakan, dan
kondisi induk semang untuk perkembangan coccidia.
Patogenitas dimulai saat sporozoit dikeluarkan dari ookista yang telah
bersporulasi dan kemudian menembus lamina propia usus. Saat yang
menentukan dalam infeksi adalah saat perkembangan skizon generasi II yang
telah matang, terjadi pada hari ke-4 setelah infeksi. Sebagian besar protozoa
penyebab enteritis termasuk Eimeria yang menyerang mukosa usus dan
menginduksi terjadinya kerusakan sel epitel, inflamasi dan atropi vili (Pout 1967).
Tanda-tanda koksidiosis akibat infeksi genus Eimeria berbeda-beda tergantung
spesies yang menginfeksi; umumnya terjadi dalam bentuk diare (E. acervulina)
atau diare hemoragi (E. tenella), perdarahan titik dan eksudat mukus (E.
maxima), dehidrasi, kehilangan bobot badan, prolapsus rektal dan disentri.
Perdarahan di sekum merupakan karakteristik infeksi E. tenella yang
mengakibatkan kehancuran ektensif dari mukosa dengan lesio pada jaringan
(Witlock et al. 1975). Hewan muda lebih rentan terhadap koksidiosis dan lebih
mudah menunjukkan gejala klinis, hewan tua relatif resisten terhadap infeksi
(Lillehoj & Choi 1998). Hewan muda yang sembuh dari infeksi Eimeria kemudian
8

hari bila terpapar lagi akan mengalami kehilangan bobot badan saja sedangkan
ketahanan tubuhnya relatif akan terjaga.
Infeksi Eimeria menginduksi imunitas protektif yang bersifat spesifik
spesies. Ookista dalam jumlah banyak secara umum akan menginduksi reaksi
imun yang tinggi pula, beberapa pengecualian adalah E maxima yang dapat
menginduksi imunitas yang tinggi walaupun terinfeksi ookista yang relatif sedikit.
Tahap merozoit dalam siklus hidup Eimeria lebih imunogenik dibandingkan fase-
fase seksual berikutnya (Rose & Hesketh 1976; Rose et al. 1984; Calnek et al.
1994) walaupun demikian, dilaporkan bahwa gamet (makrogamet dan
mikrogamet) E. maxima menunjukan imunogenitas yang tinggi dan mampu
menginduksi proteksi terhadap uji tantang dengan parasit hidup (Wallach et al.
1992).

TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

Klasifikasi

Menurut Purgeslove et al. (1981), tumbuhan temulawak diklasifikasikan


sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Keluarga : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.

Deskripsi

Tanaman ini merupakan tanaman monokotil yang tidak memiliki akar


tunggang melainkan memiliki rimpang (rhizoma), berbatang semu dengan tinggi
kurang dari 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang terbentuk
dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Setiap batang
mempunyai daun 29 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun
lanset, warna daun hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang
daun 3184 cm dan lebar 1018 cm dengan panjang tangkai daun 4380 cm.
9

Perbungaan lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai
923 cm dan lebar 46 cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi
atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu,
panjang 813 mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang
keseluruhan 4.5 cm, helai bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih
dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1,252 cm dan
lebar 1 cm (Sidik et al. 1995).
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) banyak ditemukan di hutan-
hutan daerah tropis. Temulawak juga berkembang biak di tanah tegalan sekitar
pemukiman, terutama pada tanah gembur, sehingga buah rimpangnya mudah
berkembang menjadi besar. Rimpang temulawak sejak lama dikenal sebagai
bahan ramuan obat. Aroma dan warna khas dari rimpang temulawak adalah
berbau tajam dan daging buahnya berwarna kekuning-kuningan. Daerah
tumbuhnya selain di dataran rendah juga dapat tumbuh baik sampai pada
ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut.

Gambar 3. Tanaman dan rimpang Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Anonim 2007)

Temulawak banyak dikembangbiakkan karena nilai komersialnya


menyebabkan permintaan akan rimpang ini cukup tinggi. Pada bagian bawah
rimpang biasanya tumbuh akar serabut yang panjangnya dapat mencapai 25 cm.
Terdapat dua jenis rimpang temulawak, yaitu rimpang induk yang berukuran
sebesar telur ayam ras, dan lainnya berukuran lebih kecil. Dibandingkan
keluarga jahe, rimpang temulawak tergolong paling besar. Biasanya dari rimpang
10

induk, tumbuh tiga atau empat rimpang anakan yang bentuknya memanjang. Bila
rimpang diiris, maka akan menebarkan aroma khas temulawak. Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tumbuhan tahunan yang hidup
merumpun dan berbatang semu berupa gabungan beberapa pangkal daun yang
terpadu.

Komposisi Rimpang Temulawak

Kandungan kimia rimpang temulawak yang memberi arti pada


penggunaannya sebagai sumber bahan pangan, bahan baku industri atau bahan
baku obat menurut Sidik et al. (1995) dapat dibedakan atas beberapa fraksi, yaitu
: (a) Fraksi pati, merupakan fraksi terbesar berbentuk serbuk warna putih
kekuningan; (b) Fraksi kurkuminoid, merupakan komponen yang memberi warna
kuning pada rimpang temulawak yang memiliki khasiat medis; (c) Fraksi minyak
atsiri, terdiri atas senyawa turunan monoterpen dan seskuiterpen. Rimpang
temulawak segar mengandung air sekitar 75%. Selain air, temulawak
mengandung minyak atsiri, lemak, zat warna, protein, resin, selulosa, pentosan,
pati, mineral, zat-zat penyebab rasa pahit dan sebagainya. Komposisi rimpang
temulawak segar berumur 9 bulan, berdasarkan bahan kering terdiri atas 75,18%
air; 27,62% pati; 5,38% lemak; 10,96% minyak atsiri; 1,93% kurkumin; 6,44%
protein; 6,89% serat dan 3,96% abu (Sidik et al. 1995).
Fraksi pati pada rimpang temulawak merupakan salah satu kandungan
dalam jumlah besar, berbentuk serbuk warna putih kekuningan karena
mengandung sesepora kukuminoid. Kadar pati dalam rimpang temulawak
bervariasi antara 4854% tergantung pada tempat tumbuh, makin tinggi tempat
tumbuh, makin rendah kadar patinya. Potensi rimpang temulawak sebagai bahan
pangan sangat tinggi bila dilihat dari kadar protein pati (1,5%) yang lebih tinggi
dari jagung (0,8%), kentang (0,4%) dan gandum (0,6%) (Sidik et al. 1995).
Fraksi kurkuminoid yang terdapat pada rimpang temulawak terdiri dari dua
komponen, yaitu kurkumin dan desmetoksikurkumin. Hal ini bebeda dengan
kandungan kurkumin pada rimpang kunyit (Curcuma domestica Vahl.) yang selain
mengandung kedua komponen tersebut, masih terdapat satu komponen lain yaitu
bisdesmetoksikurkumin. Sifat dari bisdesmetoksikurkumin ini memiliki aktivitas
terhadap sekresi empedu yang antagonis dengan kurkumin dan
desmetoksikurkumin yaitu menekan sekresi cairan empedu (Puseglove et al.
1981). Memperhatikan hal tersebut, maka penggunaan rimpang temulawak
11

sebagai sumber kurkuminoid lebih menguntungkan dibandingkan dengan


rimpang kunyit walaupun kandungan kurkuminoid temulawak lebih kecil dari
rimpang kunyit. Kandungan kurkumin dalam kurkuminoid rimpang temulawak
berkisar antara 5871 % sedangkan kadar desmetoksikurkumin berkisar antara
2942%. Keberadaan kurkumin dalam temulawak relatif stabil. Sukrasno et al.
(2003) menyatakan bahwa kandungan kurkuminoid pada rimpang temulawak
stabil pada berbagai perlakuan penyimpanan dengan melakukan penyimpanan
rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) utuh dan serbuk kering
terhadap kandungan kurkuminoidnya. Penyimpanan dilakukan dalam ruangan
suhu 25o30oC dan kelembaban 5061% selama 16 minggu. Rimpang utuh
disimpan dalam besek terbuka dan besek tertutup, sedangkan serbuk rimpang
kering disimpan dalam kantung plastik, kantung terigu dan dalam besek.
Kurkuminoid ditentukan kadarnya secara relatif dengan kromatografi cair kinerja
tinggi.
Fraksi minyak atsiri merupakan fraksi zat berbentuk cair yang terkandung
dalam simplisia nabati atau hewani, berbau harum dan segar dan berguna untuk
pengobatan, bumbu, kosmetika atau pewangi. Kadar atsiri temulawak termasuk
besar dibanding tumbuhan lain, yaitu 312 % (Maiwald & Schwantes 1991).
Persyaratan standar kadar minyak atsiri untuk ekspor minimum adalah 5%
Anonim 1979). Oei (1985) dengan metode kromatografi gas dapat mendeteksi
bahwa terdapat 31 komponen yang terkandung dalam minyak atsiri rimpang
temulawak. Beberapa komponen khas yang dikandung oleh minyak atsiri
temulawak yaitu isofuranogermakren, Trisiklin, Allo-Aromadendren dan
Xanthorrizol.

Manfaat Tanaman

Penggunaan rimpang temulawak di Indonesia disamping sebagai campuran obat


tradisional juga digunakan sebagai makanan, minuman dan kosmetika. Rimpang
temulawak memiliki kemampuan aktivitas kolagoga, yaitu meningkatkan produksi
dan sekresi empedu (Hendrawati 1999). Ozaki & Oei (1988) membandingkan
aktivitas kolagoga minyak atsiri rimpang temulawak dan minyak atsiri rimpang
kunyit yang diberikan secara oral pada tikus percobaan. Kedua minyak tersebut
ternyata mempunyai aktivitas meningkatkan sekresi cairan empedu. Kandungan
minyak atsiri temulawak paling tinggi diantara jenis Curcuma, mempunyai bau
dan rasa yang tajam dan dapat bersifat anti septik.
12

Aktivitas anti inflamasi rimpang temulawak telah dilaporkan oleh beberapa


peneliti; Ozaki (1990) melakukan penelitian anti inflamasi ekstrak metanol
rimpang temulawak dengan dosis 3 gram per kilogram bobot badan menunjukkan
aktivitas penghambatan pembengkakan yang disebabkan oleh induksi
karagenan. Hasil penelitian Ozaki ini menunjukkan bahwa aktivitas anti inflamasi
ekstrak metanol rimpang temulawak dengan dosis 3 gram per kilogram bobot
badan setara dengan aktivitas anti inflamasi indometasin dosis 10 mg per
kilogram bobot badan. Pemberian ekstrak pada dosis rendah yaitu 1 gram per
kilogram bobot badan tidak menunjukkan aktivitas anti inflamasi. Ozaki
mendapatkan bahwa komponen aktif dalam ekstrak metanol rimpang temulawak
yang mempunyai aktivitas anti inflamasi adalah germakron.
Selain germakron, dalam rimpang temulawak juga terkandung zat warna
kurkuminoid yang secara kimia merupakan turunan diferoloilmetan. Ghatak &
Basu (1972) dalam Sidik (1995) melaporkan bahwa garam natrium dari
kurkuminoid mempunyai aktivitas anti inflamasi yang lebih tinggi dibanding
dengan aktivitas anti inflamasi kurkuminoidnya sendiri. Nilai ED50 natrium
kurkuminoid pada percobaan Ghatak & Basu ini menunjukkan 0,36 mg per
kilogram bobot badan, sedangkan kurkumonoid mempunyai nilai ED50 sebesar
2,1 mg per kilogram bobot badan, bahkan hidrokortison sebagai pembanding
hanya dapat menghambat pembengkakan sebesar 47,8 % pada dosis 10 mg per
kilogram bobot badan yang diberikan secara intra peritoneral.
Srimal & Dhawan (1973) dalam Sidik (1995) melaporkan penelitian
aktivitas kurkumin sebagai anti inflamasi pada mencit dan tikus sebagai hewan
coba, dengan menggunakan fenilbutazon dan kortison sebagai pembanding.
Srimal dan Dhawan (1973) menyatakan bahwa kurkumin mempunyai aktivitas
anti inflamasi yang sama dengan fenilbutazon dan kortison, yaitu mencegah
timbulnya oedema pada peradangan akut maupun kronis. Srimal & Dhawan juga
mengamati bahwa kadar SGOT dan SGPT darah hewan coba yang cenderung
meningkat ketika proses inflamasi menunjukkan nilai yang mengarah kembali ke
normal setelah pemberian perlakuan. Daya anti inflamasi kurkumin dan
fenilbutazon serta kortison menurut Srimal & Dhawan (1973) menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata secara statistik. Selain itu dinyatakan pula bahwa
toksisitas kurkumin tergolong rendah dibandingkan dengan toksisitas fenilbutazon
karena kurkumin tidak bersifat ulserogenik dan non toksik terhadap sel darah.
13

Matsuura et al. (2007) menyatakan bahwa (12R)- dan (12S)-12,13-


dihydro-12,13-dihydroxyxanthorrhizols, yang diisolasi dari Curcuma xanthorrhiza
memiliki kemampuan sebagai anti Babesia. Hal serupa dilaporkan pula oleh
Kasahara (2007) tentang penggunaan Curcuma zoedaria (temu putih) yang
memiliki aktivitas sebagai anti Babesia. Penelitian lain tentang manfaat tanaman
temulawak dilaporkan oleh Rukayadi et al. (2006), dilaporkan kemampuan
Xanthorrhizol yang diisolasi dari ekstrak methanol Curcuma xanthorrhiza Roxb.
memiliki potensi aktivitas anti kandidiasis terhadap Candida albicans, Candida
glabrata, Candida guilliermondii, Candida krusei, Candida parapsilosis, dan
Candida tropicalis. Penelitian tentang penggunaan kurkumin sebagai komponen
kurkuminoid temulawak dilaporkan oleh Koide (2002) dan Saleheen (2002).
Kedua peneliti meneliti kemampuan kurkumin sebagai Leismanicidal. Koide
(2002) dan Saleheen (2002) menyatakan bahwa kurkumin memiliki kemampuan
sebagai Leishmanicidal secara in vitro dan ditemukan bahwa kurkumin memiliki
kemampuan yang lebih baik dibanding pentamidin.
Di Indonesia satu-satunya bagian yang dimanfaatkan adalah rimpang
temulawak untuk dibuat jamu godog. Manfaat tanaman ini adalah sebagai obat
jerawat, meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anti inflamasi, anemia, anti
oksidan, pencegah kanker, dan anti mikroba. Bagian yang sering dimanfaatkan
adalah rimpangnya. Adanya kandungan minyak atsiri dan juga kurkumin pada
temulawak, dimungkinkan sebagai anti bakteri, menurunkan kadar kolesterol,
menghilangkan nyeri, anti radang, dan menurunkan panas serta menghaluskan
kulit. Selain itu, juga bermanfaat mencegah penyakit lever dan melancarkan air
seni. Khasiat temulawak dapat digunakan untuk mengurangi gangguan penyakit:
hepatitis, batu empedu, sakit maag, ginjal, asma, bisul, kolesterol, eksem,
menambah nafsu makan, bau badan, sembelit, memperbanyak ASI, sariawan,
menghilangkan nyeri haid, dan batuk (Anonim 2007). Temulawak juga bersifat
anti bakteri terhadap kuman tertentu, sebab kurkumin yang dikandungnya bersifat
antioksidan dan antiendemik. Kandungan lain seperti minyak atsiri dan flavonoid,
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus
aureus. Kedua bakteri inilah penyebab diare. Khasiat temulawak untuk mengobat
diare diduga disebabkan oleh sifat antibakteri yang dimilikinya.
14

BAHAN DAN METODA

Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Protozologi, Bagian
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat dan Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan
Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan dari bulan Januari-April 2008.

Alat dan Bahan Penelitian


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang ayam,
sekam, sekat, tempat ransum (feeder), tempat minum (drinker), indukan buatan
(brooder), nomor ayam, spuit, mikroskop cahaya, timbangan, gelas ukur, gelas
objek, kamar hitung Mc Master, alat untuk pembuatan preparat histologi dan alat
penghitung (counter), pengukuran histomorfometri menggunakan mikroskop
Olympus BX51 divisualisasi dengan IV-560 Video Measuring Gove.
Bahan yang digunakan antara lain; ayam pedaging sebanyak 200 ekor,
ransum ayam, air minum, koksidostat, infus temulawak pelarut air, garam jenuh,
serbuk temulawak, alkohol, dan xylol.

Metode
Persiapan kandang pemeliharaan
Tahapan persiapan kandang percobaan adalah sebagai berikut :
1. Kandang dibersihkan dari kotoran, debu, sekam, dan sarang laba-laba
dengan sapu
2. Kandang dicuci bersih dengan air dan campuran detergen sampai bersih,
demikian pula dengan tempat ransum dan tempat minum yang akan
digunakan dalam penelitian
3. Persiapan kandang tahap dua dilaksakan satu minggu sebelum masuk
ayam perlakuan dengan menggunakan kapur panas yang disapukan
merata pada permukaan kandang
4. Selama tahap persiapan kedua dilakukan penyemprotan desinfektan,
termasuk tempat ransum dan tempat minum
15

5. Sehari sebelum ayam masuk, sekam ditabur merata 3-5 cm. Koran digelar
merata menutup 2-3 lapis untuk persiapan masa indukan buatan
6. Pemanas (brooder) dipersiapkan dengan menggunakan lampu dengan
standar 120 watt untuk 100 ekor DOC dengan penyebaran merata dengan
suhu 39oC.

Pembuatan Bubuk dan Infus Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)


Rimpang tanaman temulawak yang telah diidentifikasi di Herbarium
Bogoriense LIPI dibersihkan dari tanah yang melekat dan dicuci. Temulawak
bersih diiris memanjang dengan ketebalan 78 mm dan dikeringkan dengan sinar
matahari sampai rimpang kering (Sidik et al. 1995). Rimpang kering dihaluskan
dengan grinder hingga halus dan berbentuk bubuk. Bubuk inilah yang sebagian
digunakan untuk perlakuan dan sebagian lagi digunakan untuk pembuatan infus
temulawak.
Temulawak bubuk yang telah disiapkan dibuat bahan infus temulawak
dengan metode maserasi yaitu dengan merendam bubuk temulawak dengan
aquades selama 24 jam dengan perbandingan 1 : 5 (b/b). Hasil perendaman
disaring dengan kertas saring dan ditampung dalam sebuah wadah/jerigen. Hasil
maserasi inilah yang akan digunakan dalam perlakuan infus temulawak.

Penapisan Fitokimia

Identifikasi kualitatif metabolit sekunder dilakukan dengan metode identifikasi


pendahuluan senyawa metabolit sekunder (Darwis 2000) sebagai berikut:

1. Metode yang dilakukan untuk identifikasi alkaloid adalah metode


pendahuluan Culvenor Fitgerald. Sebanyak 4 gram sampel digerus halus
dengan bantuan pasir bersih yang dibasahi 10 ml kloroform. Sampel
ditambahkan dengan kloroform amoniak 0,05 M lalu digerus kembali dan
saring dalam tabung reaksi. Kedalam tabung reaksi ditambahkan 0,5 ml
asam sulfat 2 N kemudian dikocok dan akan terjadi 2 lapisan. Lapisan asam
sulfat diambil dan ditambahkan 1 tetes pereaksi meyer. Apabila ditemukan
adanya endapan putih menandakan adanya alkaloid dalam sampel.

2. Analisis untuk senyawa terpenoid, steroid, fenol, flavonoid, dan saponin


dilakukan dengan cara; 4 g sampel dididihkan dalam 25 ml etanol selama
20 menit, kemudian disaring dalam keadaan panas, dan pelarut etanol
diuapkan sampai kering. Ekstrak dikocok kuat dengan kloroform lalu
16

tambahkan air suling, akan terjadi 2 lapisan yaitu lapisan kloroform dan
lapisan air. Lapisan kloroform diteteskan pada plat tetes dan dibiarkan
sampai kering, tambahkan beberapa tetes asam asetat anhidrat dan asam
sulfat pekat (pereaksi Libermann Burchard). Apabila terbentuk warna merah
atau merah muda (pink) menandakan adanya terpenoid, terbentuk warna
biru menandakan adanya steroid. Satu mililiter lapisan air dikocok sampai
berbusa, jika busa tidak hilang selama 5 menit menandakan adanya
saponin. Beberapa tetes lapisan air diteteskan pada tabung reaksi dan
ditambah besi (III) klorida apabila terdapat hijau sampai ungu menandakan
adanya senyawa fenolik. Beberapa tetes lapisan air diteteskan pada tabung
reaksi dan ditambah asam klorida pekat dan magnesium, jika nampak
adanya warna merah menandakan adanya senyawa flavanoid.

Persiapan Ookista Eimeria maxima


Perbanyakan ookista Eimeria maxima dilakukan dengan metode donor.
Metodenya dilakukan dengan menginfeksi ayam umur 14 hari dengan Eimeria
maxima dengan dosis 1x104 ookista bersporulasi pe roral dengan spuit. Hari ke-6
sampai ke-10 setelah infeksi dilakukan koleksi feses. Feses dilarutkan dalam
larutan pengapung garam jenuh dan disentrifus 1500 rpm selama 10-15 menit.
Filtrat dikumpulkan dalam sebuah bak dan ditambahkan air lima kali volume filtrat
yang terkumpul. Campuran air dan filtrat dibiarkan selama 24 jam agar ookista
mengendap. Setelah 24 jam bagian atas dari campuran dibuang. Sisa endapan
disentrifus 1500 rpm selama 10-15 menit, filtrat dibuang dan endapan
dikumpulkan dalam gelas piala yang ditambahkan larutan kalium bikromat
(K2Cr2O7) 2,5% dan disimpan dalam suhu kamar.
Pemeriksaan ookista dilakukan setiap 24 jam sampai terbentuk ookista
yang bersporulasi. Ookista bersporulasi dibersihkan dari kalium bikromat dengan
cara menambahkan aquades dan disentrifus pada kecepatan 1500 rpm selama
10 menit, dan supernatan dibuang. Pencucian dilakukan 3-4 kali sampai kalium
bikromat telah bersih. Setelah bersih dilakukan perhitungan jumlah ookista
dengan menggunakan kamar hitung Neubaeur. Hasil perhitungan digunakan
sebagai patokan jumlah ookista dalam infeksi hewan coba.
17

Kelompok Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
menggunakan 200 ekor ayam pedaging yang didistribusikan kedalam 10
kelompok perlakuan dengan 5 kali ulangan masing-masing 4 ekor. Kelompok
perlakuan tersebut adalah :

1. KO : Kontrol obat; yaitu ayam yang diinfeksi E. maxima dan diberi


koksidiostat
2. Kmin : Kontrol positif; yaitu ayam yang diinfeksi E. maxima tetapi tidak
diberi obat
3. Kplus : Kontrol negatif; yaitu ayam yang tidak diinfeksi dan tidak
diberi obat
4. KT : Kontrol Temulawak; yaitu ayam yang tidak diinfeksi dan diberi
Temulawak selama 6 hari
5. PKC1 : Kelompok perlakuan; ayam yang diinfeksi E. maxima dan diberi
Infus temulawak cair dosis 90 mg.kg-1 BB
6. PKC2 : Kelompok perlakuan; ayam yang diinfeksi E. maxima dan diberi
infus temulawak cair dosis 180 mg.kg-1 BB
7. PKC3 : Kelompok perlakuan; ayam yang diinfeksi E. maxima dan diberi
infus temulawak cair dosis 360 mg.kg-1 BB
8. PKB1 : Kelompok perlakuan; ayam yang diinfeksi E. maxima dan diberi
bubuk temulawak dosis 90 mg.kg-1 BB dalam ransum
9. PKB2 : Kelompok perlakuan; ayam yang diinfeksi E. maxima dan diberi
bubuk temulawak dosis 180 mg.kg-1 BB dalam ransum
10. PKB3 : Kelompok perlakuan; ayam yang diinfeksi E. maxima dan diberi
bubuk temulawak dosis 360 mg.kg-1 BB dalam ransum

Infeksi Eimeria maxima pada hewan coba


Ayam berumur 14 hari dalam kelompok perlakuan diinfeksi dengan
Eimeria maxima dengan dosis 1 x 104 ookista/ekor dengan menggunakan spuit.
Ayam diberi obat koksidiostat dan perlakuan temulawak dua jam setelah infeksi.
Koksidiostat yang digunakan adalah koksidiostat yang mengandung
sulfachloropyrazine dengan dosis 180 mg/kg BB peroral dengan sistem 3-2-3 (3
hari pemberian obat, 2 hari tidak diberi obat dan 3 hari diberi obat lagi).
Temulawak diberikan pada kelompok coba kontrol temulawak dan kelompok
18

perlakuan melalui minum dan makanan dengan dosis rendah, sedang dan tinggi
selama 6 hari.

Pelaksanaan Penelitian
1. Ayam umur sehari (Day Old Chicken/DOC) dipelihara 1-14 hari, dilakukan
penimbangan, pemberian nomor, penimbangan kebutuhan pakan, kebutuhan
air minum kemudian dibagi menjadi 10 kelompok perlakuan
2. Ayam umur 14 hari diinfeksi dengan Eimeria maxima 1 x 104 ookista/ekor per
oral menggunakan spuit
3. Dua jam setelah infeksi dilakukan pengobatan dengan 3-2-3 (ESB3) untuk
kontrol obat dan perlakukan temulawak selama 6 hari
4. Pengambilan tinja pada hari 5 setelah infeksi sampai hari 21 setelah infeksi
untuk melihat produksi ookista pada tinja
5. Pengamatan terhadap penampilan ayam dilakukan dengan menghitung
konsumsi, penambahan bobot badan, dan Feed Conversion Ratio (FCR)
6. Setiap kelompok diambil 3 ekor ayam pada hari ke-3, 6, 9 setelah infeksi
untuk dibuat preparat histopatologi usus. Ayam dibunuh kemudian dibedah
untuk diambil usus halusnya pada bagian 1-2 cm sekitar diverticulum merckel
dan disimpan dalam buffer neutral formalin 10 % sampai proses selanjutnya
7. Penilaian penampilan karkas dilakukan pada minggu kelima dengan
melakukan penyembelihan ayam dan penilaian terhadap kualitas karkas.

Teknik penghitungan jumlah ookista per gram feses

Pengamatan terhadap produksi ookista per gram tinja ayam dilakukan


dengan metode Mc Master sesuai yang direkomendasikan oleh Lillehoj & Ruff
(1987) (Conway & McKenzie 1991). Tinja sebanyak 1 gram ditambahkan dengan
garam jenuh 14 ml, dihomogenkan dan disentrifus 1.500 rpm selama 15 menit
dan dimasukkan ke dalam kamar hitung Mc master. Volume tiap kamar hitung
adalah 0,5 ml. Jumlah ookista yang dihitung dengan kamar hitung Mc Master
dibawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali, hasil perhitungan dikalikan
dengan faktor konversi dengan menggunakan formula :
Total ookista = jumlah ookista x faktor dilusi x (volume sampel feses /volume kamar)
1 vt
=n x x
bt vc
n : jumlah ookista perhitungan pada kamar hitung Mc Master
bt : berat tinja contoh
vt : volume total pengenceran dan contoh tinja
vc: volume kamar hitung
19

Teknik pembuatan preparat histopatologi

Pembuatan preparat histopatologi dilakukan melalui beberapa tahapan.


Tahapan pertama yaitu pemotongan jaringan sekum secara melintang dan
memanjang kemudian dimasukkan ke dalam kasset dan difiksasi dalam larutan
Buffer Neutal Formalin (BNF) 10%.
Tahapan kedua yaitu penarikan air dari jaringan (dehidrasi) dengan cara
direndam dalam alkohol berturut-turut 70%, 80%, alkohol absolut I dan absolut II.
Tahapan ketiga adalah penjernihan (clearing) yaitu dengan direndam dalam xylol
I dan xylol II selama 30 menit. Kemudian jaringan mengalami proses infiltrasi
dalam parafin I dan parafin II masing-masing selama 2 jam.
Tahapan keempat yaitu penanaman jaringan (embeding) dilakukan
dengan cara memasukkan jaringan kedalam cetakan yang berisi parafin cair.
Pada pembuatan blok parafin organ diletakkan sedemikian rupa sehingga pada
saat pemotongan dapat menghasilkan potongan yang diinginkan. Dalam 1 blok
parafin diletakkan 3 potongan organ. Setelah setengah beku diberikan label dan
dibiarkan hingga mengeras
Tahapan kelima adalah pemotongan blok parafin dengan menggunakan
mikrotom. Blok parafin yang berisi organ diletakkan pada tempat meletakkan blok
pada mikrotom (rotary microtom), kemudian dilakukan trimming sampai seluruh
bagian permukaan jaringan muncul pada permukaan bidang sayatan, kemudian
atur ketebalan potongan 3-5 m. Potongan yang berbentuk pita diapungkan ke
dalam air hangat (560C), ambil tiap potong jaringan dengan menggunakan gelas
objek lalu dimiringkan sebentar dan kemudian dimasukkan ke dalam inkubator
minimal 2 jam sampai parafin hilang dan jaringan melekat sempurna pada gelas
objek (atau diletakkan di atas hot plate).
Pewarnaan jaringan dilakukan dengan merendam slide tahapan sebagai
berikut :
1. Xylol I 2 menit
2. Xylol II 2 menit
3. Alkohol Absolut 2 menit
4. Alkohol 95% 1 menit
5. Alkohol 80% 1 menit
6. Cuci dengan air mengalir 1 menit
7. Mayers hematoksilin 8 menit
8. Cuci dengan air mengalir 30 detik
20

9. Lithium Karbonat 15-30 detik


10. Cuci dengan air mengalir 2 menit
11. Eosin 2-3 menit
12. Cuci dengan air mengalir 3-60 detik
13. Alk 95% 10 celupan
14. Alk Absolut I 10 celupan
15. Alk Absolut II 2 menit
16. Xylol I 1 menit
17. Xylol II 2 menit
18. Tutup dengan cover glas
19. Preparat siap untuk diamati

Peubah yang diamati

Efektifitas pemberian temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap


penampilan ayam pedaging yang diinfeksi Eimeria maxima diukur dengan :
1. Pertambahan bobot badan
Pertambahan bobot badan diperoleh dengan cara bobot badan akhir
dikurangi dengan bobot badan awal (g)
2. Konversi ransum
Nilai konversi merupakan estimasi dari jumlah ransum yang dibutuhkan
untuk mendapatkan 1 kg daging. Nilai diperoleh dengan cara konsumsi
ransum dibagi dengan pertambahan bobot badan selama penelitian (g)
3. Efisiensi ransum
Efisiensi ransum adalah persentase penggunaan ransum oleh tubuh
ayam untuk diubah menjadi daging. Nilai efisiensi ransum diperoleh
dengan cara pertambahan bobot badan dibagi dengan konsumsi ransum
kemudian dikalikan 100% (%)
4. Pengukuran histologi (histomorfometri) organ usus; Pengukuran
berdasarkan metode yang dilakukan oleh Drozdowski et al. (2005) dan
Gulbinowicz et al. (2004). Pengukuran dilakukan sebanyak 6 lapang
pandang dengan menggunakan mikroskop Olympus BX51 dan
pengukuran morfometri dengan IV-560 Video Measuring Gove. Hasil
pengukuran dikalikan dengan faktor koreksi. Data histomorfometri diukur
dari preparat histopatologi yang diwarnai dengan hematoxylin-eosin.
Pengukuran dilakukan terhadap tinggi vili (villus height) usus, kedalaman
21

kripta (cript depth) usus, dan jumlah vili.mm-1. Ketinggian vili (VH) diukur
dari dasar yang berbatasan dengan kripta usus hingga ujung vili,
kedalaman kripta (CD) diukur dari dasar vili hingga berbatasan dengan
tunika muskularis, jumlah vili dihitung dengan menghitung jumlah vili
setiap 1000 m. Pengamatan dilakukan sebanyak enam kali pengulangan
perhitungan.

(d)

Tinggi villi (a)

Jumlah vili/1000 m
(c)

Kedalaman
Kedalaman
kripta
kripta(b)
A B

Gambar 4. Pengukuran histomorfometri vili usus; tinggi villi (a), kedalaman kripta
(b), lebar dasar villi (c) dan lebar ujung villi (d) (4a) serta perhitungan
jumlah villi tiap 1000 m (4b).

5. Luas permukaan vili (villus surface area).


Pengukuran terhadap luas permukaan didasarkan pada persamaan yang
Iji et al. (2001a). Luas permukaan vili menggunakan data tinggi vili (a),
lebar dasar vili (c) dan lebar ujung vili (d) (gambar 4).
c+d
Luas permukaan vili (mm2) = xa
d
6. Persentase karkas
Persentase karkas merupakan salah satu parameter kualitas karkas
(ayam tanpa bulu, kepala, kaki/ceker dan jeroan) merupakan persentase
berat karkas terhadap berat hidup ayam.
7. Pendapatan di luar ransum dan bibit (Income Over Feed and chick Cost) ;
merupakan pendapatan dalam rupiah yang diperoleh dari hasil penjualan
satu ekor ayam pada akhir penelitian dengan rata-rata pengeluaran
berupa pembelian satu ekor DOC pada awal pemeliharaan dan rataan
22

makanan yang dihabiskan untuk satu ekor ayam selama pemeliharaan.


Untuk mengetahui pendapatan kotor (gross income) untuk pemeliharaan
100 ekor ayam digunakan formula yang diperkenalkan oleh Sun et al.
(2005). Pendapatan kotor per 100 ekor ayam dihitung dengan formula =
(harga ayam hidup per kg x rataan bobot hidup x 100 x persen ayam
hidup) ( biaya ransum ekor ayam).

Analisis Data

Analisis statistik menggunakan analisis sidik ragam (Anova) dilanjutkan


dengan uji wilayah berganda Duncan (Duncan Mulltiple Range Test) untuk
menguji perbedaan antara semua perlakuan (Sumertajaya & Mattjik 2006)
menggunakan software SAS versi 6.12. Pengolahan data deskriptif histogram dan
grafik menggunakan Microsoft Excel 2003.
23

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penapisan Fitokimia

Hasil penapisan fitokimia bubuk temulawak yang digunakan dalam


penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Hasil penapisan fitokimia bubuk temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)

JENIS UJI HASIL


Alkaloid +
Flavonoid +
Tanin -
Saponin -
Polifenol -
Kuinon +

Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa kandungan metabolit


sekunder dalam bubuk temulawak adalah alkaloid, flavonoid dan kuinon. Alkaloid
adalah senyawa organik terbanyak yang ada di alam. Alkaloid tidak memiliki
tatanama sistematik, oleh karena itu suatu alkaloid dinyatakan dalam bentuk
trivial dan hampir semua nama trivial berakhiranin. Beberapa trivial alkaloid yang
umum digunakan dalam dunia kedokteran misalnya quinine (anti malaria), nikotin
(stimulansia), morfin (analgesik), kodein (analgesik dan obat batuk), kokain
(analgesik) dan lain sebagainya (Lenny 2006).
Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di
alam. Flavonoid banyak ditemukan pada tanaman bunga, buah, dan tanaman
penghasil minuman (teh, kopi dan bir). Flavonoid memiliki aktivitas anti oksidan
yang tinggi sehingga dapat disejajarkan dengan kemampuan anti oksidan dari
vitamin C dan E (Buhler & Miranda 2008). Kuinon adalah senyawa mirip antibiotik
yang dalam dunia kedokteran memiliki fungsi sebagai penghilang rasa sakit.
Adanya kuinon bagi tumbuhan berperan dalam timbulnya warna gelap, kuning,
orange, dan coklat.
24

Penampilan Ayam

E. maxima adalah parasit saluran pencernaan yang merusak epitel usus


dari kerusakan yang bersifat ringan hingga pada kerusakan parah epitel usus.
Kehadiran parasit ini akan menyebabkan penurunan kemampuan ayam dalam
proses penyerapan sari makanan. Penampilan ayam pedaging yang diinfeksi E.
maxima dan diberikan infus dan bubuk temulawak dosis bertingkat disajikan pada
tabel di bawah ini.

Tabel 2. Bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, feed conversion ratio,
efisiensi ransum dan persentase karkas pada berbagai penambahan
temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima umur 35 hari
Pertambahan Persentase
Feed conversion Efisiensi
Peubah bobot badan/PBB karkas
ratio/FCR ransum/ER (%)
(g) (%)
Kplus 809,5 88,79 c 3,57 0,38 a 28,28 3,10 b 76,57 1,77 ab
abc bc
Ko 859 61,42 2,79 0,18 35,92 2,57 ab 74,11 8,7 ab
a c
Kmin 1.063 75,28 2,45 0,17 40,89 2,70 a 72,96 9,69 ab
ab c
K tem 1.028,5 101,20 2,55 0,25 39,46 3,89 a 72,76,02 ab
c bc
PKC1 798,25 15 1,75 2,90 0,52 35,33 6,72 ab 76,44 5,3 ab
PKC2 946,25 239,29 abc 2,59 0,61 c 40,38 10,21 a 83,89 6,32 a
abc c
PKC3 955,25 205,15 2,58 0,39 39,5 6,70 a 67,5 7,12 b
ac abc
PKB1 833,5 63,97 3,04 0,32 34,03 2,61 ab 70,53 2,88 ab
c ab
PKB2 743 58,26 3,28 0,25 30,61 2,40 b 75,72 13,53 ab
c bc
PKB3 788,25 86,18 2,91 0,33 34,67 3,80 ab 79,273,63 ab
Keterangan:
Nilai dengan superskip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
-1
Kplus : kontrol positif PKC2 : Pemberian infus temulawak 180 mg.kg BB
-1
Ko : kontrol obat PKC3 : Pemberian infus temulawak 360 mg.kg BB
-1
Kmin : kontrol negatif PKB1 : Pemberian bubuk temulawak 90 mg.kg BB
-1
Ktem : kontrol temulawak PKB2 : Pemberian bubuk temulawak 180 mg.kg BB
-1 -1
PKC1 : Pemberian infus temulawak 90 mg.kg BB PKB3 : Pemberian bubuk temulawak 360 mg.kg BB

Infeksi E. maxima pada ayam secara nyata mempengaruhi nilai


pertambahan bobot badan (PBB) ayam, hal ini nampak dari nilai PBB kontrol
positif yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol negatif (P<0,05)
masing-masing 809,5 g dan 1.063 g. Pemberian koksidiostat sebagai terapi
terhadap koksidiosis dalam penelitian ini secara statistik belum mampu
meningkatkan nilai PBB ayam, terlihat dari nilai PBB ayam kelompok kontrol obat
dan kelompok kontrol positif tidak berbeda nyata (P>0,05) yaitu masing-masing
809 g dan 859 g. Nilai PBB untuk kelompok perlakuan dengan pemberian infus
temulawak dan bubuk temulawak secara statistik tidak berbeda nyata dibanding
kontrol positif (P>0,05), meskipun demikian nilai PBB meningkat pada pemberian
infus temulawak bertingkat dengan kedenderungan makin tinggi dosis infus yang
25

diberikan maka makin tinggi pula pertambahan bobot badannya. Hubungan


antara pemberian dosis bertingkat infus temulawak dan kontrol positif dengan
tingkat pertambahan bobot badan membentuk garis persamaan Y=0,0476x-803,2
dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,724 artinya setiap penambahan satu
dosis infus temulawak mempengaruhi PBB sebesar 0,047 g. Sedangkan
hubungan penambahan bubuk temulawak jumlah bertingkat pada ransum dan
kontrol positif terhadap pertambahan bobot badan membentuk garis persamaan
Y=810,05-0,1047x dengan nilai R2 sebesar 0,175 artinya setiap penambahan
satu dosis bubuk temulawak justru akan menurunkan pertambahan bobot badan
sebesar 0,104 g. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan temulawak
dalam ransum akan menyebabkan perubahan rasa dan bau ransum yang
menyebabkan perubahan palatabilitas ransum ayam. Ayam pedaging memiliki
tingkat stress yang tinggi, sehingga perubahan terhadap ransum akan
berpengaruh terhadap konsumsi dan kemampuannya memproduksi daging
(Anonim 2005).
Pengaruh pemberian berbagai dosis infus temulawak terhadap PBB
secara statistik tidak memberikan hasil yang berbeda dibandingkan kontrol positif,
namun secara deskriptif nampak kecenderungan bahwa pemberian infus
temulawak 360 mg.kg-1 bobot badan dapat meningkatkan bobot badan ayam yang
diinfeksi E. maxima dibandingkan dengan pemberian temulawak dosis yang lain.
Sedangkan penambahan berbagai dosis bubuk temulawak tidak mampu
membantu ayam meningkatkan bobot badan. Infeksi E. maxima tanpa
penanganan lebih lanjut yang diwakili oleh kelompok kontrol positif akan sangat
mempengaruhi penampilan ayam pedaging. Dakpogan (2006) menyampaikan
bahwa infeksi E. maxima pada ayam akan berpengaruh terhadap bobot ayam
(body weight gain), meningkatkan jumlah ransum yang terbuang, dehidrasi dan
malabsorbsi nutrien akibat kerusakan vili usus. Penyebab tidak berpengaruhnya
penambahan temulawak terhadap nilai PBB dikarenakan dosis yang digunakan
dalam penelitian ini terlalu kecil. Hendrawati (1999) melaporkan bahwa
penambahan temulawak pada ransum sebanyak 6% dalam total pemberian
ransum belum dapat meningkatkan pertambahan berat badan ayam baru pada
pemberian 9% temulawak dalam total pemberian ransum memberikan efek yang
berbeda nyata.
Konversi ransum (Feed conversion ratio/FCR) merupakan salah satu
indikator efisiensi usaha peternakan ayam pedaging. Nilai FCR merupakan
26

gambaran jumlah ransum yang dikonsumsi ayam pedaging untuk menghasilkan


satu kilogram daging. Sehingga makin tinggi nilai FCR maka makin tinggi pula
biaya produksi. Infeksi E. maxima pada ayam perlakuan menyebabkan
penurunan kemampuan ayam dalam merubah ransum menjadi daging. Hal
tersebut dapat dilihat dari FCR kontrol positif (3,57) yang berbeda nyata bila
dibandingkan dengan ayam kontrol negatif yaitu 2,45 (P<0,05). Secara deskriptif
nampak pemberian infus temulawak mampu memperbaiki FCR kelompok
perlakuan dibanding kontrol positif (P<0,05) namun antara kelompok perlakukan
infus temulawak tidak berbeda nyata (P>0,05). Pemberian bubuk temulawak
bubuk 90, 180, dan 360 mg.kg-1 bobot tidak mampu memperbaiki FCR kelompok
perlakuan (P>0,05).
Kecenderungan serupa dengan FCR juga nampak pada nilai efisiensi
ransum (ER). Kelompok ayam yang diinfeksi E. maxima dan diberikan infus
temulawak secara deskriptif mampu membantu meningkatkan efisiensi ransum.
Kelompok ayam yang diberikan infus temulawak 180 dan 360 mg.kg-1 bobot
badan secara statistik nyata (P<0.05) mampu meningkatkan efisiensi
penggunaan ransum untuk diubah menjadi daging paling baik, namun nilai
efisiensi ransum kelompok yang diberi infus temulawak 90 mg.kg-1 bobot badan
tidak berbeda nyata dibanding kontrol (P>0,05). Penambahan temulawak bubuk
90, 180 dan 360 mg kg-1 bobot badan tidak mampu meningkatkan nilai efisiensi
ransum dibandingkan dengan kontrol (P>0,05). Korelasi nilai efisiensi ransum
terhadap pemberian infus temulawak pada ayam yang diinfeksi dengan
E. maxima dan kontrol negatif ditunjukkan dengan persamaan Y=0,092x+31,377
dengan nilai R2 sebesar 0,6597 artinya penambahan satu unit dosis infus
temulawak dalam penelitian mempengaruhi akan nilai efisiensi ransum sebesar
0,092%.
Penambahan infus temulawak pada berbagai tingkat dosis dan bubuk
temulawak dalam ransum tidak mempengaruhi persentase karkas ayam
perlakuan (P>0,05). Hal serupa dilaporkan oleh Berliana (2007), penambahan
kurkumin sebagai komponen aktif temulawak sampai dengan 12 ppm pada
ransum babi tidak dapat berpengaruh nyata terhadap penampilan produksi dan
karakteristik karkas.
Infeksi E. maxima akan menyebabkan inflamasi yang mengakibatkan
kerusakan usus. Calnek et al. (1994) menyatakan bahwa infeksi Eimeria
menyebabkan kerusakan usus. Kerusakan usus yang terjadi akan menyebabkan
27

tingkat penyerapan nutrient terganggu sehingga akan mempengaruhi penampilan


ayam pedaging. Penambahan temulawak secara deskriptif mampu membantu
ayam pedaging yang diinfeksi E. maxima, walaupun secara statistik tidak berbeda
nyata. Pada awal siklus aseksual kerusakan akan terjadi pada bagian permukaan
sel epitel mukosa usus, dan semakin dalam ke dalam jaringan usus pada fase
seksual (hari ke-5 dan ke-8 setelah infeksi). Kurkumin sebagai salah satu
komponen kurkuminoid dalam tanaman temulawak memiliki kemampuan sebagai
antiinflamasi. Ukil et al. (2003) menyatakan bahwa kurkumin 50 mg.kg-1 per hari
selama 10 hari berturut-turut secara signifikan mampu meringankan diare dan
kerusakan struktur kolon akibat pemberian asam 2,4,6-trinitrobenzene sulphonic
sebagai induksi kolitis mencit sebagai model inflammmatory bowel disease (IBD).
Pola perkembangan penampilan ayam pedaging yang diinfeksi E. maxima
dan diberikan pengobatan temulawak dosis bertingkat bedasarkan minggu
setelah infeksi disajikan dalam tabel 3-5 dan gambar 5-6. Pada 1 minggu setelah
infeksi dan 2 minggu setelah infeksi perlakuan bobot badan (weight gain) tidak
bebeda nyata pada tiap kelompok perlakuan, kemudian pada 3 minggu setelah
infeksi kelompok kontrol positif dan kontrol negatif memiliki nilai bobot badan yang
berbeda dibanding kelompok kelompok lain, walapun antar kelompok perlakuan
dengan pemberian infus dan bubuk temulawak tidak berbeda nyata (P>0,05).
Kecenderungan serupa juga nampak pada pertambahan bobot badan. Satu
minggu setelah infeksi semua kelompok tidak berbeda nyata kecuali pada
kelompok kontrol negatif dan kontrol temulawak. Ini menandakan adanya infeksi
telah menyebabkan penurunan tingkat PBB. Tiga minggu setelah infeksi terjadi
perbedaan pada kelompok yang diberikan infus temulawak dosis 360 mg.kg-1
bobot badan memiliki nilai PBB yang berbeda. Grafik perkembangan bobot badan
kelompok perlakuan disajikan dalam histogram berikut. Pola perkembangan
bobot badan dalam histogram (gambar 5) nampak bahwa penambahan infus
temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima secara gradual mampu
meningkatkan PBB pada tiap peningkatan dosis pada periode 1-3 minggu setelah
infeksi. Namun hal tersebut tidak nampak pada pola perkembangan PBB ayam
dengan pemberian bubuk temulawak dalam ransum ayam.
28
Tabel 3. Perkembangan bobot badan (BB) mingguan pada berbagai penambahan temulawak pada ayam yang diinfeksi E maxima
Kelompok Perlakuan
BB (g)
Kplus Ko Kmin K tem PKC1 PKC2 PKC3 PKB1 PKB2 PKB3
1 minggu
382.08 392.76 470.67 487 384.43 398.33 447.03 317.67 387.77 322.33
setelah j j hij hij j j ij j j j
16.02 27.78 12.86 35.16 4.69 65.96 29.87 53.29 39.29 23.52
infeksi
2 minggu
639.17 627.68 775.13 777.03 606.14 642.24 685 613.75 624.75 596.14
setelah
10.1 fgh 6.51 ghi 177.23 defg 44.57 defg 21.08 ghi 20.97 fgh 27.37 efg 37.50 ghi 25.4 ghi 34.85 ghi
infeksi
3 minggu
861.33 812.83 1090.67 1040 831.33 885.17 984.83 815.83 822.33 814
setelah cde cdef a ab cde bcd abc cdef cdef cdef
80.34 140.98 63.38 104.16 118.92 123.72 163.48 253.89 111.29 120.59
infeksi
Nilai dengan superskip berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Tabel 4. Perkembangan pertambahan bobot badan (PBB) mingguan berbagai penambahan temulawak pada ayam yang diinfeksi E maxima
Kelompok Perlakuan
PBB (g)
Kplus Ko Kmin K tem PKC1 PKC2 PKC3 PKB1 PKB2 PKB3
1 minggu
346.08 353.76 432.67 448 345.43 359.33 404.03 283.67 349.77 288.33
setelah j j ij hij j j j j j j
16.02 27.77 12.86 35.16 4.69 65.96 29.87 53.29 39.29 23.52
infeksi
2 minggu
603.17 588.68 737.13 738.03 567.14 603.24 642 579.75 586.75 562.14
setelah fgh fghi def def ghi fgh efg fghi fghi ghi
10.1 6.51 177.23 44.58 21.08 20.967 27.37 37.5 25.4 34.85
infeksi
3 minggu
809.57 859 1063 1028.5 798.25 946.25 955.25 833.5 743 788.25
setelah
88.77 bcd 61.42 bcd 75.28 a 101.2 a 151.75 bcde 239.29 abc 205.15 ab 63.96 bcd 58.26 def 86.18 cde
infeksi
Nilai dengan superskip berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Tabel 5. Perkembangan Feed conversion Ratio (FCR) mingguan berbagai penambahan temulawak pada ayam yang diinfeksi E maxima
Kelompok Perlakuan
FCR
Kplus Ko Kmin K tem PKC1 PKC2 PKC3 PKB1 PKB2 PKB3
1 minggu
2.24 2.38 2.03 1.94 2.18 2.23 2.09 2.66 2.28 2.61
setelah
0.10 efgh 0.19 defgh 0.06 gh 0.16 h 0.03 fgh 0.38 efgh 0.15 fgh 0.46 cdef 0.26 efgh 0.21 cdef
infeksi
2 minggu
2.78 2.62 2.41 2.21 2.49 2.42 2.54 2.59 2.65 2.59
setelah bcde cdef defgh efgh cdefgh defgh cdefg cdefg cdef cdefg
0.046 0.03 0.64 0.14 0.09 0.09 0.11 0.17 0.12 0.16
infeksi
3 minggu
3.56 2.79 2.45 2.55 2.90 2.59 2.58 3.04 3.28 2.91
setelah a bcde defgh cdefg bcd cdefg cdefg bc ab bcd
0.38 0.18 0.17 0.24 0.52 0.61 0.39 0.32 0.25 0.33
infeksi
Nilai dengan superskip berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
29

1200
kontrol positif
1000
kontrol obat

bobot badan (g)


800 kontrol negatif
kontrol temulaw ak
600
infus temulaw ak 90 mg/kg BB
400 infus temulaw ak 180 mg/kg BB
200 infus temulaw ak 360 mg/kg BB
bubuk temulaw ak 90 mg/kg BB
0
bubuk temulaw ak 180 mg/kg BB
1 minggu 2 minggu 3 minggu
bubuk temulaw ak 360 mg/kg BB
minggu (setelah infeksi)

Gambar 5. Perkembangan bobot badan mingguan pada berbagai penambahan


temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima

Infeksi E. maxima menyebabkan pertumbuhan ayam kelompok kontrol


positif semakin lambat dibandingkan keadaan tanpa infeksi yang diwakili
kelompok kontrol negatif. JanSuszkiw (1997) menyatakan bahwa adanya infeksi
Eimeria menyebabkan ayam menjadi tumbuh lebih lambat dan menyebabkan
kematian. Pemberian infus temulawak nampak mampu meningkatkan bobot
badan, sebaliknya penambahan bubuk temulawak dalam ransum secara
deskriptif tidak mampu meningkatkan bobot badan, hal ini mengindikasikan
bahwa penambahan infus temulawak yang makin tinggi memberikan pengaruh
positif dengan memperbaiki kemampuan ayam meningkatkan bobot badan. Infus
temulawak merupakan hasil ekstraksi temulawak sehingga lebih mudah diserap
oleh tubuh ayam dibandingkan dengan bubuk.
Allen (1997) menyampaikan bahwa infeksi E. tenella menyebabkan
peningkatan NO2- + NO3- dalam plasma. Radikal bebas tersebut dihasilkan
sebagai respon kekebalan tubuh tingkat selular akibat infeksi parasit (Adams et
al. 1990). Nilai NO2- + NO3- mulai meningkat secara signifikan pada hari ke-4 dan
tertinggi pada hari ke-6 setelah infeksi, yaitu ketika tingkat kerusakan mukosa
usus tinggi akibat keluarnya ookista dalam siklus E. maxima. Buhler & Miranda
(2008) menyatakan produksi radikal bebas akan menyebabkan keseimbangan
antara anti oksidan dan reaktif oksigen akan menghasilkan stress oksidatif yang
memicu kerusakan sel. Flavonoid yang terkandung dalam temulawak akan
membantu menjaga keseimbangan akibat reaksi ini. Dalam penelitian ini nampak
bahwa pemberian infus temulawak pada ayam yang diinfeksi E. maxima mampu
30

meringankan kerusakan usus ayam tersebut sehingga mempertahankan


pertambahan bobot badan pada minggu 1 sampai minggu 3 setelah infeksi.
Nilai feed conversion ratio (FCR) kontrol positif sebagai kelompok yang
diinfeksi E. maxima tanpa pengobatan apapun memiliki nilai FCR yang paling
tinggi pada akhir penelitian. Nilai FCR 3,56 menyebabkan biaya produksi yang
ditanggung peternak makin tinggi. Pemberian koksidiostat mampu menekan nilai
kerugian akibat infeksi E. maxima. Nilai FCR kelompok yang diberikan infus
temulawak 180 dan 360 mg.kg-1 bobot badan mampu menekan nilai FCR
sehingga kerugian akibat infeksi dapat ditekan. Namun pemberian bubuk
temulawak semua kelompok tidak mampu menurunkan FCR periode 1-3 minggu
setelah infeksi.

4
3.5 kontrol positif
3 kontrol obat

2.5 kontrol negatif


FCR

kontrol temulaw ak
2
infus temulaw ak 90 mg/kg BB
1.5
infus temulaw ak 180 mg/kg BB
1 infus temulaw ak 360 mg/kg BB
0.5 bubuk temulaw ak 90 mg/kg BB
0 bubuk temulaw ak 180 mg/kg BB
bubuk temulaw ak 360 mg/kg BB
1 minggu 2 minggu 3 minggu
minggu (setelah infeksi)

Gambar 6. Perkembangan Feed Conversion Ratio (FCR) mingguan pada


berbagai penambahan temulawak pada ayam yang diinfeksi E.
maxima

Jumlah ookista per gram feses

Hasil perhitungan ookista per gram feses yang dilakukan dengan


menggunakan kamar hitung Mc master disajikan pada tabel 5. Pengamatan
derajat infeksi Eimeria dengan menggunakan nilai ookista per gram tinja
merupakan pengamatan yang umum dilakukan selain penilaian lesio usus. Nilai
ookista per gram feses mulai muncul pada hari ke-5, mencapai puncak produksi
ookista pada hari ke-7 atau 8 kemudian secara gradual menurun sampai
akhirnya hilang, sedangkan Morgan & Hawkins (1949) menyatakan bahwa
ookista akan ditemukan bersama feses pada hari ke-6 setelah infeksi.
31

Tabel 6 Jumlah ookista per gram feses kelompok perlakuan dari hari ke-5 sampai
hari ke-13 setelah infeksi E. maxima dengan pemberian infus dan bubuk
temulawak dosis bertingkat

Hari (setelah infeksi)


peubah Total
5 6 7 8 9 10 11 12 13
e e bc a b cde c abc a ab
Kplus 1.230 19.665 195.420 88.620 19.575 7.770 870 11.460 2.670 347.280
bc dc ef b c de ab abc bc ab
Ko 43.320 48.210 33.270 31.050 9.150 4.860 23.850 22.320 810 216.840
e f g d d e c c c b
Kmin 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
e f g d d e c c c b
K tem 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
de d c cd a bc bc a bc ab
PKC1 17.970 44.130 173.760 13.320 35.370 15.240 10.050 46.470 390 356.700
dc c e b cd cd ab ab c ab
PKC2 28.530 58.350 60.600 32.280 7.440 9.240 25.350 38.850 120 260.760
ba b fg bc b a a abc b ab
PKC3 60.990 80.700 25.680 20.820 19.470 84.540 35.700 30.720 1.560 360.180
ba ef d a bc de c bc c ab
PKB1 57.330 12.855 111.540 78.660 12.480 5.760 2.130 6.150 150 287.055
a a a a cd b bc abc bc a
PKB2 63.870 145.545 252.060 75.990 6.930 17.670 12.690 10.230 1.140 586.125
bc d b bc c bc ab abc bc ab
PKB3 43.350 37.200 221.160 22.230 11.760 14.070 24.390 24.840 1.170 362.970
Keterangan :
Nilai dengan superskip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
-1
Kplus : kontrol positif PKC2 : Pemberian infus temulawak 180 mg.kg BB
-1
Ko : kontrol obat PKC3 : Pemberian infus temulawak 360 mg.kg BB
-1
Kmin : kontrol negatif PKB1 : Pemberian bubuk temulawak 90 mg.kg BB
-1
Ktem : kontrol temulawak PKB2 : Pemberian bubuk temulawak 180 mg.kg BB
-1 -1
PKC1 : Pemberian infus temulawak 90 mg.kg BB PKB3 : Pemberian bubuk temulawak 360 mg.kg BB

Nilai ookista per gram feses hari ke-5 setelah infeksi semua kelompok
ayam yang diberikan perlakuan lebih tinggi dan berbeda nyata jika dibandingkan
dengan kontrol positif (p<0,05) kecuali pada pemberian infus temulawak 90
mg.kg-1 bobot badan. Hal yang sama hari ke-6 setelah infeksi produksi ookista
semua perlakuan lebih tinggi dibanding kontrol positif (p<0,05). Kelompok yang
diberikan bubuk temulawak 180 mg.kg-1 bobot badan menghasilkan ookista
tertinggi dibandingkan dengan kontrol positif. Kontrol obat, infus temulawak 90
dan 180 mg.kg-1 bobot badan, dan bubuk temulawak 360 mg.kg-1 bobot badan
tidak berbeda nyata secara statistik (P>0,05).
Nilai ookista per gram feses hari ke-7 setelah infeksi, infus temulawak
180 dan 360 mg.kg-1 bobot badan secara nyata mampu menurunkan jumlah
ookista dibandingkan kontol positif (P<0,05), namun infus temulawak 90 dan
bubuk temulawak 360 mg.kg-1 bobot badan tidak berbeda statistik (P>0,05)
artinya bahwa penambahan infus temulawak 90 mg.kg-1 bobot badan dan bubuk
temulawak 360 mg.kg-1 bobot badan pada ransum tidak berpengaruh terhadap
produksi ookista. Produksi ookista kontrol obat, infus temulawak 180, 360 dan
temulawak bubuk 90 mg.kg-1 bobot badan memiliki rataan ookista yang tidak
berbeda nyata (P>0,05). Kelompok bubuk temulawak 180 mg.kg-1 bobot badan
memiliki produksi ookista terbesar diantara semua kelompok seperti hari-hari
sebelumnya. Hal serupa juga terjadi pada hari ke-8 setelah infeksi yaitu dengan
kelompok pemberian infus temulawak memiliki nilai ookista per gram feses lebih
32

rendah dibandingkan dengan kelompok yang diberikan bubuk temulawak. Grafik


fluktuasi jumlah ookista pergram feses pada kelompok perlakuan disajikan dalam
gambar 7.

300000 kontrol positif


250000 kontrol obat
jum lah ookista

200000 kontrol negatif


kontrol temulaw ak
150000
infus temulaw ak 90 mg/kg BB
100000 infus temulaw ak 180 mg/kg BB
50000 infus temulaw ak 360 mg/kg BB

0 bubuk temulaw ak 90 mg/kg BB

5 6 7 8 9 10 11 12 13 bubuk temulaw ak 180 mg/kg BB

hari (setelah infeksi) bubuk temulaw ak 360 mg/kg BB

Gambar 7. Grafik perkembangan jumlah ookista per gram tinja kelompok


perlakuan dari hari ke-5 sampai hari ke-13 setelah infeksi E. maxima
dengan pemberian infus dan bubuk temulawak dosis bertingkat

Kecenderungan produksi ookista semua kelompok perlakuan yang tidak


berbeda dengan kontrol setiap pengamatan terus berlanjut hingga hari ke-13
setelah infeksi. Penurunan yang terjadi pada semua kelompok perlakuan terjadi
karena siklus E. maxima yang dimulai dari hari ke-5 setelah infeksi, puncak
produksi ookista pada hari ke-7 dan kemudian menurun hingga nol.
Jumlah ookista per gram feses pada puncak produksi (hari ke-7 setelah
infeksi) nampak kecenderungan pemberian infus cair 180 dan 360 mg.kg-1 bobot
badan mampu menurunkan jumah ookista per gram feses. Pemberian temulawak
cair lebih baik dibandingkan pemberian bubuk temulawak karena pemberian
bentuk cair lebih efisien diserap tubuh ayam dibanding bubuk karena pemberian
bentuk bubuk akan mempengaruhi palatabilitas ransum sehingga ambilan
ransum pun berkurang.
Goodwin et al. (1999) menyatakan bahwa dalam diagnosis koksidiosis
umumnya menggunakan Eimeria oocyst count scores (OCS) dan Eimeria gross
lesion scores (GLS). Penggunaan kedua metode tersebut digunakan untuk
menduga keparahan infeksi Eimeria, namun dalam kondisi tertentu metode OCS
dan GLS tidak dapat dijadikan sebagai acuan tingkat keparahan infeksi akibat
33

Eimeria. Oleh karena itu peneguhan diagnosa dengan menggunakan sediaan


histopatologi akan makin menyakinkan tingkat keparahan akibat infeksi Eimeria.

Analisis Ekonomi
Nilai ekonomis dari penambahan temulawak cair dan bubuk dengan dosis
bertingkat dideskripsikan dengan nilai income over feed and chick cost (IOFCC),
yaitu perbedaan antara rata-rata pendapatan (dalam rupiah) yang diperoleh dari
hasil penjualan satu ekor ayam pedaging pada akhir penelitian dengan rata-rata
pengeluaran berupa nilai pembelian satu ekor ayam umur sehari pada awal
penelitian dan harga dari ransum yang dikonsumsi selama penelitian. Secara
ekonomis suatu teknologi baru harus memberikan sebuah kontribusi bagi
peternak. Nilai pendapatan diluar ransum dan bibit atau IOFCC dapat dijadikan
parameter efisiensi usaha peternakan (Bintang & Nataatmijaya 2003). Nilai
pendapatan usaha peternakan ditentukan oleh nilai bibit, konsumsi ransum, dan
penerimaan hasil penjualan (Rasyaf 2001).

Tabel 7. Pendapatan diluar ransum dan bibit (Income Over Feed And Chick
Cost /IOFCC) selama penelitian
Variabel Kplus ko kmin ktem pkc 1 pkc2 pkc3 pkb1 pkb2 pkb3
Harga doc (Rp) 1.300 1.300 1.300 1.300 1.300 1.300 1.300 1.300 1.300 1.300
Harga ransum
(Rp./Kg) 4.400 4.400 4.400 4.400 4.400 4.400 4.400 4.400 4.400 4.400

Rataan
konsumsi
(kg/ekor/5 2,86 2,39 2,59 2,60 2,25 2,34 2,54 2,44 2,42 2,27
minggu)
Biaya Konsumsi
ransum (Rp) 12.595 10.521 11.438 11.468 9.941 10.309 11.177 10.778 10.679 10.003

Biaya konsumsi
ransum dan 13.895 11.821 12.738 12.768 11.241 11.609 12.477 12.078 11.979 11.303
DOC (Rp)
Rataan berat
hidup (Kg/ekor) 0,89 0,85 1,08 1,02 0,85 0,86 0,98 0,80 0,86 0,83

Harga ayam
(Rp/Kg)
1 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000

Hasil penjualan
(Rp/ekor) 15.113 14.369 18.338 17.263 14.438 15.056 16.530 13.578 14.565 14.191

IOFCC (Rp/Kg) -560,77 857,28 3.442 2.463,77 1.498,81 1.675,1 2.108,42 -97,166 872,23 1.219
Keterangan :
1
: harga karkas bulan februari 2008
-1
Kplus : kontrol positif PKC2 : Pemberian infus temulawak 180 mg.kg BB
-1
Ko : kontrol obat PKC3 : Pemberian infus temulawak 360 mg.kg BB
-1
Kmin : kontrol negatif PKB1 : Pemberian bubuk temulawak 90 mg.kg BB
-1
Ktem : kontrol temulawak PKB2 : Pemberian bubuk temulawak 180 mg.kg BB
-1 -1
PKC1 : Pemberian infus temulawak 90 mg.kg BB PKB3 : Pemberian bubuk temulawak 360 mg.kg BB
34

Adanya infeksi E. maxima tanpa penanganan (kontrol positif) pada ayam


akan menyebabkan kerugian dibanding dengan tidak adanya infeksi (kontrol
negatif). Nilai IOFCC menggambarkan tingkat kerugian yang ditanggung oleh
peternak. Infeksi E. maxima yang tidak ditangani menyebabkan kerugian
sebesar Rp. 560,77 per ekor, sementara bila kasus infeksi E. maxima ditangani
dengan pemberian koksidiostat maka tingkat kerugian yang ditanggung peternak
menjadi lebih kecil yaitu memberikan keuntungan sebesar Rp. 857,28 per ekor.
Chapman (2003) menyatakan bahwa adanya infeksi koksidiosis selain
menyebabkan kematian juga akan menyebabkan kerugian dalam industri
peternakan berupa penurunan penampilan dan peningkatan biaya produksi.
Penanganan infeksi dengan pemberian koksidiostat (kontrol obat) akan
membantu menekan kerugian akibat infeksi. Pemberian koksidiostat sebagai
salah satu upaya kontrol terhadap koksidiosis mampu menekan kerugian akibat
infeksi koksidia. Pemberian temulawak baik cair maupun bubuk pada dosis yang
bertingkat secara deskriptif mampu membantu menekan tingkat kerugian akibat
-1
infeksi E. maxima. Pemberian infus temulawak cair 360 mg.kg bobot badan
nampak mampu memberikan pendapatan paling tinggi diantara penambahan
temulawak dosis yang lain yaitu sebesar Rp. 2.108,42 per ekor.
Sun et. al (2005) menggunakan sebuah formula yang digunakan untuk
menghitung nilai ekonomis berdasarkan penampilan ayam. Hasil analisis dengan
formula Sun (2005) didapatkan nilai pendapatan kotor (gross income) untuk 100
ayam disajikan dalam tabel 8. Berdasarkan formula Sun (2005) dapat dilihat
bahwa dengan harga ayam hidup Rp. 15.000 adanya infeksi E. maxima tanpa
medikasi akan menyebabkan pendapatan per 100 ekor kelompok yang diinfeksi
E. maxima tanpa pengobatan menjadi sangat kecil yaitu Rp. 73.922 bila
dibandingkan bila tidak terjadi infeksi E. maxima sebesar Rp. 474.204.
Pengobatan dengan koksidiostat mampu memperbaiki penampilan ayam
sehingga kerugian yang ditanggung peternak per 100 ekor ayam menjadi lebih
kecil yaitu Rp. 215.728. Penambahan temulawak pada kelompok ayam yang
diinfeksi E. maxima mampu memberikan kontribusi bagi perbaikan penampilan
ayam pedaging, terlihat bahwa pemberian infus temulawak lebih efektif dalam
memberikan keuntungan bagi peternak dibandingkan dengan pemberian bubuk
temulawak. Keuntungan terbesar pada kelompok ayam yang diberikan infus
temulawak 360 mg.kg-1 yaitu memberikan keuntungan sebesar Rp. 340.842 per
seratus ekor ayam diakhir pemeliharaan.
35

Tabel 8. Pendapatan kotor per 100 ekor ayam (Sun et al. 2005) kelompok
perlakuan yang diinfeksi E. maxima dengan pemberian infus dan
bubuk temulawak dosis bertingkat
variabel Kplus ko kmin ktem pkc 1 pkc2 pkc3 pkb1 pkb2 pkb3
Harga ransum
(Rp./Kg) 4.400 4.400 4.400 4.400 4.400 4.400 4.400 4.400 4.400 4.400

Rataan
konsumsi (5 2,86 2,39 2,59 2,60 2,25 2,34 2,54 2,44 2,42 2,27
minggu)
Biaya Konsumsi
ransum 12.595 10.521 11.438 11.468 9.941 10.309 11.177 10.778 10.679 10.003
(Rp/ekor)
Rataan berat
hidup (Kg) 0,89 0,85 1,08 1,02 0,85 0,86 0,98 0,80 0,86 0,83

Harga ayam
(Rp/Kg)
1 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000

Pendapatan
Kotor (Rp/100 73.922 215.728 474.204 376.377 279.881 297.510 340.842 120.283 217.223 251.902
ekor)
Keterangan :
1
: harga karkas bulan februari 2008
-1
Kplus : kontrol positif PKC2 : Pemberian infus temulawak 180 mg.kg BB
-1
Ko : kontrol obat PKC3 : Pemberian infus temulawak 360 mg.kg BB
-1
Kmin : kontrol negatif PKB1 : Pemberian bubuk temulawak 90 mg.kg BB
-1
Ktem : kontrol temulawak PKB2 : Pemberian bubuk temulawak 180 mg.kg BB
-1 -1
PKC1 : Pemberian infus temulawak 90 mg.kg BB PKB3 : Pemberian bubuk temulawak 360 mg.kg BB

Pemberian bubuk temulawak secara deskriptif nampak lebih rendah


pengaruhnya dibandingkan dengan infus temulawak, hal ini dikarenakan
penurunan palatabilitas terhadap ransum yang ditambah temulawak. Menurut
Rasyaf (2001) konsumsi ransum sangat dipengaruhi oleh palatabilitas ransum.
Penurunan palatabilitas akan menurunkan konsumsi yang berimbas pada
penurunan pertambahan bobot badan. Penurunan palatabilitas ransum pada
kelompok ayam yang diberikan bubuk temulawak dalam ransum disebabkan oleh
rasa pahit dan bau sehingga konsumsi berkurang dan pertambahan bobot badan
berkurang.

Histomorfometri Usus

Kajian terhadap perubahan morfologi usus akibat pemberian infus


-1
temulawak dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg bobot badan ayam
yang diinfeksi E. maxima dilakukan untuk mengetahui adanya perubahan
terhadap morfologi usus halus. Kajian yang dilakukan adalah kajian terhadap
tinggi vili, kedalaam kripta, jumlah vili per milimeter dan luas permukaan vili
disajikan dalam tabel berikut.
36

Tabel 9. Histomorfometri kelompok perlakuan ayam yang diinfeksi E maxima dengan pemberian infus dan bubuk temulawak dosis bertingkat

Kplus1 Ko Kmin K tem PKC1 PKC2 PKC3 PKB1 PKB2 PKB3


Tinggi vili (m) hari
ke-
562,67 669,33 678,67 670 625,33 741 743,33 742.67 765,33 670,67
3 h efgh efgh efgh fgh defgh defgh defgh bdcefgh efgh
130,22 145,74 119,08 57,12 68,57 204,72 82,06 85.93 190,77 167,27
902,67
840 991,33 1066 1068,67 752,67 766 784 596 999,33
6 abcdef abc a 153,65abc a cdefgh bcdefgh bcdefgh gh ab
164.01 192,59 102,75 318,62 148,41 108,66 171,67 91,49 230,59
de
752,67 892 786,67 994,67 939,33 869,33 957,33 866 952 810,67
9 cdefgh abcde bcdefgh abc abcd abcde abcd abcdef abcd bcdefg
109,73 212,49 526,85 63,43 86,51 135,61 25,51 50,07 148,12 63,53
Kedalaman kripta
(m) hari ke-
226,67 276 287,33 297,33 282 285,33 396 301.33 308 278,67
3 j ghij ghij fghij ghij ghij cdefg fghij fghij ghij
18,18 41,34 81,21 34,93 28,59 129,83 125,50 58.39 54,67 50
444 396 400 375,33 560 291,33 502,67 430 456,67 499,33
6 bcde cdefg cdefg cdefghi ab ghij abc cdef bcd abc
233.57 92,02 100,27 138,44 166,93 20,30 92,56 85,82 169,39 90,42
320 356 243,33 288 306 392 503,33 256,67 602,67 279,33
9 efghij defghij ij ghij fghij cdefgh abc hij a ghij
39,68 42,33 85,81 11,59 79,63 99,92 104,56 37,13 154,93 25,47
Jumlah vili/mm hari
ke-
8,17 8,17 8,5 8,33 8,17 8,33 8,83 9 8 7,83
3 fghij fghij efghij efghij fghij efghij defgh defg fghij ghij
0,75 1,92 1,05 0,82 1,17 2,07 0,75 0.89 2,28 0,753
10,17 7,83 12,33 9,5 10,17 8 9,83 10,5 7,16 11,67
6 cd ghij a cdef cd fghij cde bc ij ab
2,40 1,17 0,516 0,55 1,17 0,63 0,76 1,05 0,4 0,52
9,5 8,17 7,67 10 7,67 8,67 7 7,5 7,33 8,17
9 cdef fghij ghij cd ghij defghi j ghij hij fghij
0,84 1,33 1,21 0,63 0,52 0,81 0,89 0,55 0,82 0,41
Luas permukaan vili
2
(mm ) hari ke-
0,14 0,18 0,18 0,17 0,15 0,2 0,18 0.18 0,19 0,18
3 f cdef cdef def ef bcdef cdef cdef bcdef cdef
0,04 0,07 0,03 0,02 0,02 0,05 0,01 0.03 0,04 0,05
0,2 0,25 0,25 0,23 0,25 0,22 0,19 0,19 0,15 0,21
6 bcdef abc abc abcd abc abcde cdef cdef ef abcde
0,04 0,03 0,05 0,04 0,07 0,03 0,02 0,04 0,03 0,05
0,19 0,25 0,23 0,25 0,26 0,24 0,24 0,24 0,28 0,2
9 bcdef abc abcd abc ab abc abcd abc a bcdef
0,03 0,1 0,16 0,05 0,04 0,05 0,02 0,02 0,08 0,02
Keterangan:
1
Nilai Standar Deviasi; Nilai dengan superskip berbeda pada masing-masing variabel menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
-1
Kplus : kontrol positif PKC2 : Pemberian infus temulawak 180 mg.kg BB
-1
Ko : kontrol obat PKC3 : Pemberian infus temulawak 360 mg.kg BB
-1
Kmin : kontrol negatif PKB1 : Pemberian bubuk temulawak 90 mg.kg BB
-1
Ktem : kontrol temulawak PKB2 : Pemberian bubuk temulawak 180 mg.kg BB
-1 -1
PKC1 : Pemberian infus temulawak 90 mg.kg BB PKB3 : Pemberian bubuk temulawak 360 mg.kg BB
37

Pengamatan tinggi vili hari ke-3 setelah infeksi semua kelompok perlakuan
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata bila dibandingan dengan kontrol positif
(P>0,05), demikian pula untuk pengamatan hari ke-6 dan 9 setelah infeksi. Tinggi vili
usus hari ke-6 relatif lebih tinggi dibanding hari ke-3, namun secara statistik tinggi
semua kelompok yang diinfeksi E. maxima baik yang diberikan obat, perlakuan
maupun kontrol negatif tidak berbeda nyata (P>0,05). Pengaruh pemberian dosis
bertingkat infus temulawak dan pertambahan hari terhadap tinggi vili bila dianalisis
dengan regresi berganda didapatkan persamaan Y=564+35,2hari + 0,167 dosis. Dari
persamaan tersebut nampak bahwa jika hari bertambah satu hari pada dosis yang
sama maka tinggi vili akan bertambah 35,2 m, namun bila dosis ditambah pada hari
yang sama maka tinggi vili akan bertambah sebesar 0,167 m pada taraf 10%. Jika
dibandingkan dengan persamaan regresi akibat penambahan bubuk temulawak dan
hari terhadap tinggi vili (Y=579+26,7 hari + 0,251 dosis) nampak bahwa pemberian
infus temulawak lebih baik dalam meningkatkan tinggi vili usus pada pertambahan hari
yaitu dengan meningkatkan 35,2 m.hari-1 dibanding penambahan bubuk temulawak
yang hanya mampu meningkatkan tinggi vili sebesar 26,7 m.hari-1.
Kedalaman kripta usus pada hari ke-3 juga tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata secara statistik (P>0,05) kecuali kelompok dengan pemberian infus temulawak
360 mg.kg-1 bobot badan lebih tinggi dari kelompok perlakuan yang lain. Kedalaman
kripta pada hari ke-6 menunjukkan bahwa kelompok dengan pemberian infus
temulawak 90 mg.kg-1 bobot badan memiliki kedalaman kripta paling kecil dibanding
kelompok perlakuan lainnya (P<0,05).Uji duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang nyata tinggi vili untuk hari ke-3,6,9. Pengaruh hari dan peningkatan
dosis infus dan bubuk temulawak terhadap kedalaman kripta usus berturut-turut
sebagai berikut Y=239+13,8 hari + 0,339 dosis dan Y=265+14,3 hari + 0,104 dosis.
Kedalaman kripta usus dengan penambahan infus temulawak pada dosis tetap akan
meningkatkan 13,8 m.hari-1 sedangkan penambahan bubuk hanya meningkatkan
sekitar 14,3 m.hari-1.
Pengamatan jumlah vili per milimeter hari ke-3, 6 dan 9 setelah infeksi tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata secara statistik (P>0,05), demikian pula dengan
jumlah vili pada pertambahan hari. Luas permukaan vili (villus surface area)
merupakan estimasi luas permukaan vili yang mengindikasikan luasan permukaan bagi
penyerapan nutrien. Luas permukaan vili antar kelompok dan antar hari tidak berbeda
nyata secara statistik (P>0,05).
38

Kerusakan vili akibat infeksi E. maxima terjadi pada hari ke-3 setelah infeksi
(Calnek et al. 1994). Skizon akan merusak vili usus untuk melepaskan merozoit I.
Kerusakan vili usus ini berakibat perubahan struktur usus1c, dalam penelitian ini
secara deskriptif nampak bahwa kelompok ayam yang diinfeksi E. maxima dan tidak
diberikan obat memiliki kecenderungan tinggi vili paling rendah dibanding kontrol
negatif dan kelompok yang diberi infus atau bubuk temulawak, namun secara statistik
tidak berbeda nyata (P>0,05). Hari ke-3 setelah infeksi (umur ayam 17 hari)
merupakan fase pertumbuhan ayam. Iji et al. (2001b) menyatakan bahwa hingga hari
ke-21 tinggi vili akan terus bertambah, dan kripta pun akan bekerja dengan cepat
apabila tejadi kerusakan vili tersebut sehingga perbaikan dapat cepat terjadi. Hal ini
menyebabkan tinggi vili pun masih akan terus bertambah panjang seiring perjalanan
waktu. Walaupun secara statistik tinggi vili antar hari pengamatan tidak berbeda nyata
(P>0,05), namun dengan analisis regresi nampak bahwa pertumbuhan itu masih terus
terjadi. Penggunaan peubah tinggi vili sebagai indikator penampilan ayam didasarkan
pada pernyataan Iji et al. (2001b) bahwa tinggi vili dapat digunakan sebagai parameter
penampilan saluran cerna karena adanya hubungan positif dengan kemampuan
absorbsi nutrisi dan pengaturan pertumbuhan dengan dua proses seluler yaitu;
penggantian dan kehancuran sel. Kripta yang lebih tinggi merupakan respon inang
dalam menstimulasi proliferasi sel yang makin intensif untuk menggantikan vili yang
rusak akibat infeksi E. maxima (Alfaro et al. 2007).
44
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. Infeksi E. maxima menyebabkan penurunan PBB, meningkatkan nilai konversi


ransum (FCR) serta menurunkan tingkat efisiensi penggunaan ransum.
2. Pemberian Infus temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) 180 dan 360 mg kg-1
bobot badan mampu memperbaiki konversi ransum dan efisiensi penggunaan
ransum dan secara nyata mampu menurunkan jumlah ookista per gram feses
pada hari ke-7 setelah infeksi, namun pemberian infus dan bubuk temulawak tidak
mempengaruhi persentase karkas.
3. Pemberian infus dan bubuk temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) mampu
menekan kerugian ekonomis akibat infeksi E. maxima pengaruh terbaik pada
-1
pemberian infus temulawak 360 mg.kg bobot badan dengan memberikan
pendapatan di luar ransum dan bibit (Income Over Feed And Chick Cos/IOFCC)
sebesar Rp. 2.108 per ekor dan nilai pendapatan kotor (gross income) Rp.
340.842 per seratus ekor ayam
4. Pemberian infus dan bubuk temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) semua dosis
tidak berpengaruh pada histomorfometri usus
5. Dosis infus temulawak 360 mg. kg-1bobot badan merupakan dosis terbaik dalam
penelitian ini dengan meningkatkan bobot badan mingguan, konversi ransum,
efisiensi ransum, mampu menekan nilai ookista per gram feses pada puncak
produksi ookista, dan memiliki nilai IOFCC dan gross income tertinggi diantara
kelompok perlakuan

SARAN

1. Perlu dilakukan pengujian lanjut untuk menetapkan dosis efektif dan lama
penggunaan temulawak yang paling efektif bagi peningkatan penampilan ayam
2. Perlu dilakukan pengujian fitokimia untuk mengetahui zat aktif dalam temulawak
Curcuma xanthorriza Roxb. yang bekerja sebagai bahan aktif yang berperan
dalam mengtasi koksidiosis
3. Perlu pengujian lebih lanjut menggunakan media ekstraksi lain agar dapat
mengekstrak zat aktif potensial lainnya dalam tanaman temulawak.

PUSTAKA

Adams, LB., Hibbs JB.Jr. Taintor RR, Krahenbuhl JL. 1990. Microbiostatistic effect of
murine macrophages for Toxoplasma gondii; role of synthesis of inorganic nitrogen
oxides from L-arginine. J. Immunol. 144:2725-2729
45

Alfaro, DM., et al. 2007. Use of Yucca schidigera extract in broiler diets and Its effects on
performance result obtain with different coccidiosis control method. J. Appl. Poult.
Res. 16:248-258

Allen, PC. 1997. Production of free radical spesies during Eimeria maxima infection in
Chickens. Poultry Science. 76:814-821

[Anonim]. 1979. Materia Medika Indonesia. Jakarta

[Anonim]. 2005. Buku Penuntun Praktikum Ternak Unggas 2. Politeknik Negeri Lampung.
Bandar Lampung

[Anonim]. 2007. Khasiat Tanaman Herbal. http:/www.webspawner.com. Diakses tanggal


17 Januari 2007

Berliana, DC. 2007. Karakteristik karkas dan lemak babi dengan pemberian ransum
mengandung kurkumin. tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Bintang, IAK., Nataatmijaya AG. 2003. Pengaruh penambahan tepung kencur


(Kaempferia galaga L) dan tepung bawang putih ( Allium sativum L.) ke dalam
pakan terhadap performans broiler. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner 2003.

Buhler, DR., Miranda C. 2008 Antioxidant activities of Flavonoid.


www.lpi@oregonstate.edu. Diakses tanggal 1 Agustus 2008

Calnek, BW., Barnes HJ, Beard CW, Reid WM, Wiyodi H.Jr. 1994. Disease of poultry. 9th
Ed. Iowa State University. Iowa

Chapman, HD. 2003. Origins of coccidiosis research in the fowl-the first fifty years. Avian
Dis. 47:1-20

Conway, DP., McKenzie ME. 1991. Poultry coccidiosis, diagnostic and testing procedures.
2nd ed. Pfizer Inc. New York

Dakpogan, HB. 2006. Free-range chick survivability in improved conditions and the effect
of 3 medicinal plants on Eimeria tenella. tesis. Department of Veterinary
Pathobiology, The Royal Veterinary and Agricultural University

Darwis, D. 2000. Teknik Dasar Laboratorim dalam Penelitian Senyawa Bahan Alam
Hayati. Workshop Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Bidang Kimia
Organik Bahan Alam Hayati. Universitas Andalas Padang

Drozdowski L, Woudstra T, Wild G, Clandinin MJT, Thomson ABR. 2005. Dietary lipids
modify the age-associated changes in intestinal uptake of fructose in rat. Am J.
Physiol Gastointest Liver Physiol. 288:125-134

Goodwin, MA, Denise IB, John B, Mark AD. 1999. Clinical application of a light
microscopic scoring method to make decisions regarding the pharmacotherapy of
an Eimeria maxima abatement programme. Avian Pathology 28:305-308

Gulbinowicz, M., et al. 2004. Morphometric analysis of the small intestine in wild type
mice C57BL/6J a developmental study. Folia Morphol. 63:423-430
46
Hendrawati, A. 1999. Penurunan kadar kolesterol daging dengan penambahan
temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) dalam ransum. tesis. Institut Pertanian
Bogor. Bogor

Iji, PA, Hughes RJ, Choct M, Tivey DR. 2001a. Intestine structure and function of broiler
chickens on wheat-based diets supplemented with a microbial enzyme. J. Anim.
Sci. 14:54-60

Iji, PA, A. Saki, Tivey DR. 2001b. Intestinal structure and function of broiler chicken on
diets swith a mannano. J. Sci. Food Agric. 80:1186-1192

JanSuszkiw. 1997. Broiler chicks may from spicier feed. International Journal of Poultry
Science 2 (5): 351-353

Kasahara K, et al. 2007. Anti-babesial compounds from Curcuma zedoaria. Planta Med.
71(5):482-4

Kennedy. 2001. Coccidiosis in chickens. http://www.agric.goc.ab.ca. Diakses tanggal 17


Januari 2007

Koide, T. 2002 Leishmanicidal effects of curcumin in vitro. Biol. Pharm. Bull. 25(1):131-
133.

Lenny S. 2006. Senyawa flavonoida, fenil propanoida, alkaloida. USU Repositiry

Levine ND. 1985. Veterinary Parasitology. Ames: Iowa State University Press. Hlm: 130
185.

Lillehoj, HS., Ruff MD. 1987. Comparison of disease susceptibility and subclass-specific
antibody response In SC and FP chickens experimentally inoculated with Eimeria
tenella, E. acervulina, E. maxima. Avian Dis. 31:112-119

Lillehoj, HS., Choi KD. 1998. Recombinant chicken interferon gamma mediated inhibition
of Eimeria tenella development in vitro and reduction of oocyst production and
body weight loss following Eimeria acervulina chalange infection. Avian Dis.
42:307-314

Maiwald, L., Schwantes PA. 1991. Curcuma xanthoriza Roxb. Zeitschrift for
Phytotherapic. 12: 35-45

Matsuura H, et al. 2007. Anti-babesial compounds from Curcuma xanthorrhiza. Nat Prod
Res. 21(4):328-33

McDougald, LR. 2003. Coccidiosis. Eds. Diseases of poultry. 11th ed. Ames: Iowa State
University Press, pp. 974-976

McDauglad, Reid 1997. Disease of poultry. USA Iowa State University Press

Morgan, BB., PA Hawkins. 1949. Veterinary Protozology. Burgess Publishing Company.


Minneapolis. pp 123

Oei BL. 1985. Penentuan efek antiinflamasi minyak atsiri Curcuma domestica dan
Curcuma xanthorrhiza secara in vitro. Pt Darya Varia Laboratoria.

Ozaki, Y., Oei BL. 1988. Cholagogic action the essential oil obtained from Curcuma
xanthorrhiza Roxb. Shoyaku zasshi. 24 : 257-263
47
Ozaki, Y. 1990. Antiinflamatory effect of Curcuma xanhorriza and its active Principles.
Chem Pharm, Bull. 38: 1045-1048

Pout, DD. 1967. Vilous Atropy And Coccidiosis. Nature 213:306-307.

Purseglove, JW., et al. 1981. Spices. Vol 11. Longmans, London

Rasyaf, M. 2001. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta

Rose, ME., Hesketh P. 1976. Immunity to coccidiosis: stage of the cycle of Eimeria
maxima which induce and are affected by the response of the host. Parasitology
73:25-57

Rose, ME., Lawn AM, Millard BJ, 1984. The effect of immunity on the early events in the
life cycle of Eimeria tenella in the caecal mucosa Pf the chicken. Parasitol. 88:
199-210

Rukayadi Y, Yong D, Hwang JK. 2006. In vitro anticandidal activity of xanthorrhizol


isolated from Curcuma xanthorrhiza Roxb. J Antimicrob Chemother. Vol
57(6):1231-4

Saleheen, D. 2002. Latent activity of curcumin against leishmaniasis in vitro. Biol. Pharm.
Bull. 25(3):386-389

Sidik, Moelyono MW., Muhtadi A. 1995. Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb. Yayasan
Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medica.

Sukrasno, Irda F, Niar Y. 2003. Pengaruh penyimpanan rimpang temulawak (Curcuma


xanthorrhiza Roxb) terhadap kandungan kurkuminoid. Acta Pharmaceutica
Indonesia Vol. 28 No. 2 Hal. 51-58

Sumertajaya IM, Mattjik AA. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. IPB Press. Bogor

Sun, X, McElroy A, Webb KE.Jr., Sefton AE, Novak C. 2005. Broiler performance and
intestinal alterations when fed drug-free diets. Poultry Science 84:12941302

Tampubolon, MP. 1996. Protozologi. Bogor. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati IPB

Ukil, A., et al. 2003. Curcumin, the major component of food flavour turmeric, reduces
mucosal injury in trinitrobenzene sulphonic acid-induced colitis. British Journal of
Pharmacology. 139: 209218

Wallach, M., et al. 1992. Maternal imunization with gametocyte antigen as a means of
providing protective immunity against Eimera maxima in chicken. Infect. Immun.
60:2036-2039

Williams, RB. 1999. A compartmentalized model for the estimation of the cost of
coccidiosis to the worlds chicken production industry. Internat J Parasitol. 29:
1209-1229.

Witlock, DR., Lushbaugh WB, Danforth HD, Ruff MD. 1975. Electron microcopy of cecal
mucosa in Eimeria tenella infected and uninfected. Avian Dis. 19: 293-304
48

Lampiran 1 Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus temulawak dan bubuk
temulawak 90, 180 dan 360 mg.kg -1 bobot badan terhadap pertambahan bobot badan
ayam pedaging yang diinfeksi E maxima

HasilAnalisisRagamRAL
AnalysisofVarianceProcedure
ClassLevelInformation

ClassLevelsValues
PERL10kminkokplusktempkb1pkb2pkb3pkc1pkc2pkc3
Numberofobservationsindataset=40

AnalysisofVarianceProcedure

DependentVariable:PBB(pertambahanbobotbadan)
SourceDFSumofSquaresMeanSquareFValuePr>F
Model9427905.9000000047545.100000002.880.0140
Error30494562.0000000016485.40000000
CorrectedTotal39922467.90000000
RSquareC.V.RootMSEPBBMean
0.46387114.54989128.39548279882.45000000

SourceDFAnovaSSMeanSquareFValuePr>F
PERL9427905.9000000047545.100000002.880.0140

HasilAnalisisRagamRAL
AnalysisofVarianceProcedure

LevelofPBB
PERLNMeanSD
kmin41063.0000075.281693
ko4859.0000061.422037
kplus4809.5000088.786260
ktem41028.50000101.201120
pkb14833.5000063.966137
pkb24743.0000058.258047
pkb34788.2500086.179561
pkc14798.25000151.750618
pkc24946.25000239.291141
pkc34955.25000205.154210

AnalysisofVarianceProcedure
NOTE:ThistestcontrolsthetypeIcomparisonwiseerrorrate,nottheexperimentwiseerrorrate

Alpha=0.05df=30MSE=16485.4

NumberofMeans2345678910
CriticalRange185.4194.9201.0205.3208.6211.2213.3215.0216.4
Meanswiththesameletterarenotsignificantlydifferent.

DuncanGroupingMeanNPERL
A1063.004kmin
BA1028.504ktem
BAC955.254pkc3
BAC946.254pkc2
BAC859.004ko
BC833.504pkb1
C809.504kplus
C798.254pkc1
C788.254pkb3
C743.004pkb2
Lampiran 2 Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus temulawak dan bubuk
temulawak 90, 180 dan 360 mg.kg -1 bobot badan terhadap feed convertion ratio ayam
pedaging yang diinfeksi E maxima

HasilAnalisisRagamRAL
GeneralLinearModelsProcedure
ClassLevelInformation

ClassLevelsValues
TREAT10kminkokplusktempkb1pkb2pkb3pkc1pkc2pkc3
49
Numberofobservationsindataset=40

AnalysisofVarianceProcedure

DependentVariable:FCR(FeedConvertionRatio)
SourceDFSumofSquaresMeanSquareFValuePr>F
Model94.503343020.500371453.770.0029
Error303.984156750.13280523
CorrectedTotal398.48749978

RSquareC.V.RootMSEFCRMean
0.53058512.713550.364424512.86642500

SourceDFAnovaSSMeanSquareFValuePr>F
PERL94.503343020.500371453.770.0029

AnalysisofVarianceProcedure

LevelofFCR
PERLNMeanSD
kmin42.454500000.17305972
ko42.786000000.18180759
kplus43.565500000.37780462
ktem42.552500000.24498503
pkb143.038250000.31552536
pkb243.281250000.24904267
pkb342.910750000.32848579
pkc142.903750000.52009254
pkc242.591000000.61160499
pkc342.580750000.38504058


Duncan'sMultipleRangeTestforvariable:FCR
NOTE:ThistestcontrolsthetypeIcomparisonwiseerrorrate,nottheexperimentwiseerrorrate

Alpha=0.05df=30MSE=0.132805
NumberofMeans2345678910
CriticalRange.5263.5531.5704.5828.5922.5995.6054.6102.6142
Meanswiththesameletterarenotsignificantlydifferent.
DuncanGroupingMeanNPERL
A3.56554kplus
BA3.28134pkb2
BAC3.03834pkb1
BC2.91084pkb3
BC2.90384pkc1
BC2.78604ko
C2.59104pkc2
C2.58084pkc3
C2.55254ktem
C2.45454kmin

Lampiran 3 Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus temulawak dan bubuk
-1
temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg bobot badan terhadap efisiensi ransum ayam
pedaging yang diinfeksi E maxima


HasilAnalisisRagamRAL
GeneralLinearModelsProcedure
ClassLevelInformation

ClassLevelsValues
TREAT10kminkokplusktempkb1pkb2pkb3pkc1pkc2pkc3

Numberofobservationsindataset=40

DependentVariable:ER(EfisiensiRansum)
SourceDFSumofSquaresMeanSquareFValuePr>F
Model9647.9690916071.996565732.760.0177
Error30782.8834055026.09611352
CorrectedTotal391430.85249710

RSquareC.V.RootMSEERMean
0.45285514.226915.1084355335.90685000

SourceDFAnovaSSMeanSquareFValuePr>F
PERL9647.9690916071.996565732.760.0177

50
HasilAnalisisRagamRAL
AnalysisofVarianceProcedure

LevelofER
PERLNMeanSD

kmin440.89025002.8959497
ko435.92425002.5688826
kplus428.27750003.1016398
ktem439.45850003.8824340
pkb1434.02500002.6111733
pkb2430.61175002.3974545
pkb3434.67350003.7906223
pkc1435.33075006.7164169
pkc2440.383250010.2125326
pkc3439.49375006.7038107

Duncan'sMultipleRangeTestforvariable:ER
NOTE:ThistestcontrolsthetypeIcomparisonwiseerrorrate,notthe
experimentwiseerrorrate
Alpha=0.05df=30MSE=26.09611

NumberofMeans2345678910
CriticalRange7.3777.7537.9968.1708.3018.4048.4868.5548.610

Meanswiththesameletterarenotsignificantlydifferent.
DuncanGroupingMeanNTREAT
A40.8904kmin
A40.3834pkc2
A39.4944pkc3
A39.4594ktem
BA35.9244ko
BA35.3314pkc1
BA34.6744pkb3
BA34.0254pkb1
B30.6124pkb2
B28.2784kplus
51

Lampiran 4 Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus temulawak
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
persentase karkas ayam pedaging yang diinfeksi E maxima

HasilAnalisisRagamRAL
GeneralLinearModelsProcedure
ClassLevelInformation

ClassLevelsValues
TREAT10kminkokplusktempkb1pkb2pkb3pkc1pkc2pkc3
Numberofobservationsindataset=30

DependentVariable:PC(PersentaseCarcas)
SourceDFSumofSquaresMeanSquareFValuePr>F
Model9566.0055498562.889505541.180.3578
Error201064.2601348553.21300674
CorrectedTotal291630.26568469

RSquareC.V.RootMSEPCMean
0.3471869.7302017.2947245874.96992333
SourceDFAnovaSSMeanSquareFValuePr>F
PERL9566.0055498562.889505541.180.3578

HasilAnalisisRagamRAL
AnalysisofVarianceProcedure

LevelofPC
PERLNMeanSD
kmin372.96333339.6881414
ko374.11203338.7003444
kplus376.56733331.7660222
ktem372.70000006.0187039
pkb1370.53766672.8717871
pkb2375.721166713.5321075
pkb3379.27436673.6275699
pkc1376.43633335.2956662
pkc2383.88700006.3243425
pkc3367.50000007.1179079

Duncan'sMultipleRangeTestforvariable:PC
ThistestcontrolsthetypeIcomparisonwiseerrorrate,notthe
experimentwiseerrorrate
Alpha=0.05df=20MSE=53.21301

NumberofMeans2345678910
CriticalRange12.4213.0413.4313.7113.9114.0614.1814.2814.36
Meanswiththesameletterarenotsignificantlydifferent.

DuncanGroupingMeanNTREAT
A83.8873pkc2
BA79.2743pkb3
BA76.5673kplus
BA76.4363pkc1
BA75.7213pkb2
BA74.1123ko
BA72.9633kmin
BA72.7003ktem
BA70.5383pkb1
B67.5003pkc3
Lampiran 5 Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus temulawak
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
bobot badan ayam pedaging minggu ke-3, 4 dan 5 setelah diinfeksi E
maxima

TheSASSystem
GeneralLinearModelsProcedure
ClassLevelInformation

ClassLevelsValues
52

MGG3345
PERL16PKB1PKB2PKB3PKC1PKC2PKC3kminkokplusktempkb1pkb2pkb3
pkc1pkc2pkc3
MGG_PERL303PKB13PKB23PKB33PKC13PKC23PKC33kmin3ko3kplus3ktem
4PKB14PKB24PKB34PKC14PKC24PKC34kmin4ko4kplus4ktem
5kmin5ko5kplus5ktem5pkb15pkb25pkb35pkc15pkc25pkc3
Numberofobservationsindataset=120
GeneralLinearModelsProcedure

DependentVariable:WGWeightGain
SourceDFSumofSquaresMeanSquareFValuePr>F
Model295841088.40807627201416.8416578017.330.0001
Error901045942.254559301621.58060621
CorrectedTotal1196887030.66263557

RSquareC.V.RootMSEWGMean
0.84812915.13361107.80343504712.34455833

SourceDFTypeISSMeanSquareFValuePr>F
MGG25051807.670232902525903.83511645217.350.0001
PERL15731720.4049163548781.360327764.200.0001
MGG_PERL1257560.332927024796.694410580.410.9551

SourceDFTypeIIISSMeanSquareFValuePr>F
MGG00.00000000...
PERL00.00000000...
MGG_PERL1257560.332927024796.694410580.410.9551

GeneralLinearModelsProcedure
LevelofWG
MGG_PERLNMeanSD
3PKB13317.6666753.294778
3PKB23387.7666739.289481
3PKB33322.3333323.521710
3PKC13384.433334.691837
3PKC23398.3333365.957057
3PKC33447.0333329.865755
3kmin3470.6666712.858201
3ko3392.7600027.769134
3kplus3382.0833316.016268
3ktem3487.0000035.156792
4PKB13613.7500037.502500
4PKB23624.7500025.400541
4PKB33596.1390034.854049
4PKC13606.1433321.079472
4PKC23642.2400020.966230
4PKC33685.0000027.373573
4kmin3775.13333177.231638
4ko3627.683336.510824
4kplus3639.1666710.103630
4ktem3777.0333344.576236
5kmin61090.6666763.377178
5ko6812.83333140.975766
5kplus6861.3333380.343430
5ktem61040.00000104.163333
5pkb16815.83333253.897945
5pkb26822.33333111.295403
5pkb36814.00000120.590215
5pkc16831.33333118.916217
5pkc26885.16667123.718094
5pkc36984.83333163.472832

GeneralLinearModelsProcedure
Duncan'sMultipleRangeTestforvariable:WG
NOTE:ThistestcontrolsthetypeIcomparisonwiseerrorrate,notthe
experimentwiseerrorrate
Alpha=0.05df=90MSE=11621.58
WARNING:Cellsizesarenotequal.
HarmonicMeanofcellsizes=3.6

NumberofMeans234567891011
53

CriticalRange159.6168.0173.5177.6180.7183.2185.3187.1188.6189.9
NumberofMeans12131415161718192021
CriticalRange191.1192.1193.1193.9194.6195.3195.9196.5197.0197.4
NumberofMeans222324252627282930
CriticalRange197.9198.3198.6199.0199.3199.6199.9200.1200.4
Meanswiththesameletterarenotsignificantlydifferent.
DuncanGroupingMeanNMGG_PERL
A1090.6765kmin
BA1040.0065ktem
BAC984.8365pkc3
BDC885.1765pkc2
EDC861.3365kplus
EDC831.3365pkc1
EFDC822.3365pkb2
EFDC815.8365pkb1
EFDC814.0065pkb3
EFDC812.8365ko
EFDG777.0334ktem
EFDG775.1334kmin
EFG685.0034PKC3
FHG642.2434PKC2
FHG639.1734kplus
IHG627.6834ko
IHG624.7534PKB2
IHG613.7534PKB1
IHG606.1434PKC1
IHG596.1434PKB3
IHJ487.0033ktem
IHJ470.6733kmin
IJ447.0333PKC3
J398.3333PKC2
J392.7633ko
J387.7733PKB2
J384.4333PKC1
J382.0833kplus
J322.3333PKB3
J317.6733PKB1
Lampiran 6 Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus temulawak
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
pertambahan bobot badan ayam pedaging minggu ke-3, 4 dan 5 setelah
diinfeksi E maxima

TheSASSystem
GeneralLinearModelsProcedure
ClassLevelInformation

ClassLevelsValues
MGG3345
PERL16PKB1PKB2PKB3PKC1PKC2PKC3kminkokplusktempkb1pkb2pkb3
pkc1pkc2pkc3
MGG_PERL303PKB13PKB23PKB33PKC13PKC23PKC33kmin3ko3kplus3ktem
4PKB14PKB24PKB34PKC14PKC24PKC34kmin4ko4kplus4ktem
5kmin5ko5kplus5ktem5pkb15pkb25pkb35pkc15pkc25pkc3

Numberofobservationsindataset=100
GeneralLinearModelsProcedure
DependentVariable:PBBPertambahanBobotBadan
SourceDFSumofSquaresMeanSquareFValuePr>F
Model295312981.00229225183206.2414583521.490.0001
Error70596707.587892668524.39411275
CorrectedTotal995909688.59018491

RSquareC.V.RootMSEPBBMean
0.89902914.2579292.32764544647.55347000
SourceDFTypeISSMeanSquareFValuePr>F
MGG24690057.324515552345028.66225777275.100.0001
PERL15583890.1874713538926.012498094.570.0001
MGG_PERL1239033.490305353252.790858780.380.9659

SourceDFTypeIIISSMeanSquareFValuePr>F
54

MGG00.00000000...
PERL00.00000000...
MGG_PERL1239033.490305353252.790858780.380.9659

GeneralLinearModelsProcedure
LevelofPBB
MGG_PERLNMeanSD
3PKB13283.6666753.294778
3PKB23349.7666739.289481
3PKB33288.3333323.521710
3PKC13345.433334.691837
3PKC23359.3333365.957057
3PKC33404.0333329.865755
3kmin3432.6666712.858201
3ko3353.7600027.769134
3kplus3346.0833316.016268
3ktem3448.0000035.156792
4PKB13579.7500037.502500
4PKB23586.7500025.400541
4PKB33562.1390034.854049
4PKC13567.1433321.079472
4PKC23603.2400020.966230
4PKC33642.0000027.373573
4kmin3737.13333177.231638
4ko3588.683336.510824
4kplus3603.1666710.103630
4ktem3738.0333344.576236
5kmin41063.0000075.281693
5ko4859.0000061.422037
5kplus4809.5000088.786260
5ktem41028.50000101.201120
5pkb14833.5000063.966137
5pkb24743.0000058.258047
5pkb34788.2500086.179561
5pkc14798.25000151.750618
5pkc24946.25000239.291141
5pkc34955.25000205.154210

GeneralLinearModelsProcedure
Duncan'sMultipleRangeTestforvariable:PBB
NOTE:ThistestcontrolsthetypeIcomparisonwiseerrorrate,notthe
experimentwiseerrorrate
Alpha=0.05df=70MSE=8524.394
WARNING:Cellsizesarenotequal.
HarmonicMeanofcellsizes=3.272727

NumberofMeans234567891011
CriticalRange144.0151.5156.4160.0162.8165.1166.9168.5169.8171.0
NumberofMeans12131415161718192021
CriticalRange172.0172.9173.6174.3175.0175.5176.1176.5177.0177.3
NumberofMeans222324252627282930
CriticalRange177.7178.0178.3178.6178.8179.1179.3179.5179.7

Meanswiththesameletterarenotsignificantlydifferent.
DuncanGroupingMeanNMGG_PERL
A1063.0045kmin
A1028.5045ktem
BA955.2545pkc3
BAC946.2545pkc2
BDC859.0045ko
BDC833.5045pkb1
BDC809.5045kplus
BEDC798.2545pkc1
EDC788.2545pkb3
FED743.0045pkb2
FED738.0334ktem
FED737.1334kmin
FEG642.0034PKC3
FGH603.2434PKC2
FGH603.1734kplus
FIGH588.6834ko
55

FIGH586.7534PKB2
FIGH579.7534PKB1
IGH567.1434PKC1
IGH562.1434PKB3
IJH448.0033ktem
IJ432.6733kmin
J404.0333PKC3
J359.3333PKC2
J353.7633ko
J349.7733PKB2
J346.0833kplus
J345.4333PKC1
J288.3333PKB3
J283.6733PKB1
Lampiran 7 Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus temulawak
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
feed convertion ratio ayam pedaging minggu ke-3, 4 dan 5 setelah diinfeksi
E maxima

TheSASSystem
GeneralLinearModelsProcedure
ClassLevelInformation

ClassLevelsValues
MGG3345
PERL16PKB1PKB2PKB3PKC1PKC2PKC3kminkokplusktempkb1pkb2pkb3
pkc1pkc2pkc3
MGG_PERL303PKB13PKB23PKB33PKC13PKC23PKC33kmin3ko3kplus3ktem
4PKB14PKB24PKB34PKC14PKC24PKC34kmin4ko4kplus4ktem
5kmin5ko5kplus5ktem5pkb15pkb25pkb35pkc15pkc25pkc3
Numberofobservationsindataset=100
GeneralLinearModelsProcedure

DependentVariable:FCRFeedConvertionRatio
SourceDFSumofSquaresMeanSquareFValuePr>F
Model2912.931302840.445906995.050.0001
Error706.186250620.08837501
CorrectedTotal9919.11755347
RSquareC.V.RootMSEFCRMean
0.67641011.497640.297279342.58556846

SourceDFTypeISSMeanSquareFValuePr>F
MGG26.321090773.1605453835.760.0001
PERL155.100247200.340016483.850.0001
MGG_PERL121.509964870.125830411.420.1760

SourceDFTypeIIISSMeanSquareFValuePr>F
MGG00.00000000...
PERL00.00000000...
MGG_PERL121.509964870.125830411.420.1760

GeneralLinearModelsProcedure
LevelofFCR
MGG_PERLNMeanSD
3PKB132.659280140.46117737
3PKB232.275926320.25949377
3PKB332.610719390.21497489
3PKC132.180111070.02974380
3PKC232.232621150.37889261
3PKC332.093397100.15342944
3kmin32.034884010.06141934
3ko32.379796260.18959894
3kplus32.243608340.10356760
3ktem31.942301310.15879627
4PKB132.593573630.17421236
4PKB232.652798700.11709511
4PKB332.591402620.15717421
4PKC132.496334850.09385064
4PKC232.422321620.08563194
4PKC332.536429430.10899314
56

4kmin32.408159580.64227221
4ko32.618089330.02892593
4kplus32.778854330.04636698
4ktem32.216006210.13739811
5kmin42.454500000.17305972
5ko42.786000000.18180759
5kplus43.565500000.37780462
5ktem42.552500000.24498503
5pkb143.038250000.31552536
5pkb243.281250000.24904267
5pkb342.910750000.32848579
5pkc142.903750000.52009254
5pkc242.591000000.61160499
5pkc342.580750000.38504058

GeneralLinearModelsProcedure
Duncan'sMultipleRangeTestforvariable:FCR
NOTE:ThistestcontrolsthetypeIcomparisonwiseerrorrate,notthe
experimentwiseerrorrate
Alpha=0.05df=70MSE=0.088375
WARNING:Cellsizesarenotequal.
HarmonicMeanofcellsizes=3.272727

NumberofMeans234567891011
CriticalRange.4635.4877.5036.5153.5243.5315.5375.5425.5468.5505
NumberofMeans12131415161718192021
CriticalRange.5537.5566.5591.5614.5634.5652.5669.5684.5698.5710
NumberofMeans222324252627282930
CriticalRange.5721.5732.5741.5750.5758.5766.5773.5779.5785
Meanswiththesameletterarenotsignificantlydifferent.
DuncanGroupingMeanNMGG_PERL
A3.565545kplus
BA3.281345pkb2
BC3.038345pkb1
BCD2.910845pkb3
BCD2.903845pkc1
BECD2.786045ko
BECD2.778934kplus
FECD2.659333PKB1
FECD2.652834PKB2
FECD2.618134ko
FECD2.610733PKB3
GFECD2.593634PKB1
GFECD2.591434PKB3
GFECD2.591045pkc2
GFECD2.580845pkc3
GFECD2.552545ktem
GFECD2.536434PKC3
GFECDH2.496334PKC1
GFEDH2.454545kmin
GFEDH2.422334PKC2
GFEDH2.408234kmin
GFEDH2.379833ko
GFEH2.275933PKB2
GFEH2.243633kplus
GFEH2.232633PKC2
GFEH2.216034ktem
GFH2.180133PKC1
GFH2.093433PKC3
GH2.034933kmin
H1.942333ktem

Lampiran 8 Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus temulawak
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
tinggi vili usus ayam pedaging yang diinfeksi E maxima

GeneralLinearModelsProcedure
ClassLevelInformation

ClassLevelsValues
57

HR3369
PERL10PKB1PKB2PKB3PKC1PKC2PKC3kminkokplusktem
HR_PERL303PKB13PKB23PKB33PKC13PKC23PKC33kmin3ko3kplus3ktemPKB16PKB2
6PKB36PKC16PKC26PKC36kmin6ko6kplus6ktem9PKB19PKB29PKB39PKC19PKC29PKC39kmin
9ko9kplus9ktem

Numberofobservationsindataset=180
GeneralLinearModelsProcedure
DependentVariable:VHVillusheight
SourceDFSumofSquaresMeanSquareFValuePr>F
Model293350779.11111112115544.107279693.860.0001
Error1504495303.9999999929968.69333333
CorrectedTotal1797846083.11111111

RSquareC.V.RootMSEVHMean
0.42706421.23528173.11468260815.22222222

SourceDFTypeISSMeanSquareFValuePr>F
HR21482098.3111111141049.1555555624.730.0001
PERL9363737.3333333340415.259259261.350.2167
HR_PERL181504943.4666666783607.970370372.790.0003

SourceDFTypeIIISSMeanSquareFValuePr>F
HR00.00000000...
PERL00.00000000...
HR_PERL181504943.4666666783607.970370372.790.0003

GeneralLinearModelsProcedure
LevelofVH
HR_PERLNMeanSD

3PKB16742.6666785.927101
3PKB26765.33333190.773863
3PKB36670.66667167.268248
3PKC16625.3333368.570159
3PKC26741.33333204.722902
3PKC36743.3333382.069889
3kmin6678.66667119.080925
3ko6669.33333145.737664
3kplus6562.66667130.222374
3ktem6670.0000057.117423
6PKB16784.00000171.674110
6PKB26596.0000091.494262
6PKB36999.33333230.594594
6PKC161068.66667318.621196
6PKC26752.66667148.408445
6PKC36766.00000108.657259
6kmin61066.00000102.754075
6ko6991.33333192.589373
6kplus6840.00000164.009756
6ktem6902.66667153.647215
9PKB16866.0000050.071948
9PKB26952.00000148.118871
9PKB36810.6666763.531619
9PKC16939.3333386.511656
9PKC26869.33333135.615142
9PKC36957.3333325.508169
9kmin6786.66667526.845202
9ko6892.00000212.490000
9kplus6752.66667109.731794
9ktem6994.6666763.430802

GeneralLinearModelsProcedure
Duncan'sMultipleRangeTestforvariable:VH
NOTE:ThistestcontrolsthetypeIcomparisonwiseerrorrate,notthe
experimentwiseerrorrate
Alpha=0.05df=150MSE=29968.69

NumberofMeans234567891011
CriticalRange197.5207.9214.8219.9223.8227.0229.7232.0233.9235.6
NumberofMeans12131415161718192021
58

CriticalRange237.1238.5239.7240.8241.8242.7243.5244.3245.0245.6
NumberofMeans222324252627282930
CriticalRange246.2246.8247.3247.8248.3248.7249.1249.5249.9
Meanswiththesameletterarenotsignificantlydifferent.
DuncanGroupingMeanNHR_PERL
A1068.6766PKC1
A1066.0066kmin
BA999.3366PKB3
BAC994.6769ktem
BAC991.3366ko
BDAC957.3369PKC3
BDAC952.0069PKB2
BDAC939.3369PKC1
EBDAC902.6766ktem
EBDAC892.0069ko
EBDAC869.3369PKC2
EBDACF866.0069PKB1
EBDACF840.0066kplus
EBDGCF810.6769PKB3
EBDGHCF786.6769kmin
EBDGHCF784.0066PKB1
EBDGHCF766.0066PKC3
EBDGHCF765.3363PKB2
EDGHCF752.6769kplus
EDGHCF752.6766PKC2
EDGHF743.3363PKC3
EDGHF742.6763PKB1
EDGHF741.3363PKC2
EGHF678.6763kmin
EGHF670.6763PKB3
EGHF670.0063ktem
EGHF669.3363ko
GHF625.3363PKC1
GH596.0066PKB2
H562.6763kplus

Lampiran 9 Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus temulawak
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
kedalaman kripta usus ayam pedaging yang diinfeksi E maxima

GeneralLinearModelsProcedure
ClassLevelInformation
ClassLevelsValues
HR3369
PERL10PKB1PKB2PKB3PKC1PKC2PKC3kminkokplusktem
HR_PERL303PKB13PKB23PKB33PKC13PKC23PKC33kmin3ko3kplus3ktem6PKB16PKB2
6PKB36PKC16PKC26PKC36kmin6ko6kplus6ktem9PKB19PKB29PKB39PKC1
9PKC29PKC39kmin9ko9kplus9ktem
Numberofobservationsindataset=180
GeneralLinearModelsProcedure

DependentVariable:CDCryptDepth
SourceDFSumofSquaresMeanSquareFValuePr>F
Model291737492.9777777859913.550957856.210.0001
Error1501448245.333333339654.96888889
CorrectedTotal1793185738.31111111

RSquareC.V.RootMSECDMean
0.54539727.1903098.25970125361.37777778

SourceDFTypeISSMeanSquareFValuePr>F
HR2606056.71111111303028.3555555631.390.0001
PERL9518591.6444444457621.293827165.970.0001
HR_PERL18612844.6222222234046.923456793.530.0001

SourceDFTypeIIISSMeanSquareFValuePr>F
HR00.00000000...
PERL00.00000000...
59

HR_PERL18612844.6222222234046.923456793.530.0001

GeneralLinearModelsProcedure
LevelofCD
HR_PERLNMeanSD
3PKB16301.33333358.387213
3PKB26308.00000054.669919
3PKB36278.66666750.002667
3PKC16282.00000028.593706
3PKC26285.333333129.828605
3PKC36396.000000125.500598
3kmin6287.33333381.207553
3ko6276.00000041.337634
3kplus6226.66666718.184242
3ktem6297.33333334.932316
6PKB16430.00000085.818413
6PKB26456.666667169.392641
6PKB36499.33333390.418287
6PKC16560.000000166.929925
6PKC26291.33333320.304351
6PKC36502.66666792.560611
6kmin6400.000000100.271631
6ko6396.00000092.017390
6kplus6444.000000233.567121
6ktem6375.333333138.435063
9PKB16256.66666737.130401
9PKB26602.666667154.933104
9PKB36279.33333325.476787
9PKC16306.00000079.629140
9PKC26392.00000099.919968
9PKC36503.333333104.565131
9kmin6243.33333385.805983
9ko6356.00000042.332021
9kplus6320.00000039.678710
9ktem6288.00000011.593101

GeneralLinearModelsProcedure
Duncan'sMultipleRangeTestforvariable:CD
NOTE:ThistestcontrolsthetypeIcomparisonwiseerrorrate,nottheexperimentwise
errorrate

Alpha=0.05df=150MSE=9654.969
NumberofMeans234567891011
CriticalRange112.1118.0121.9124.8127.0128.9130.4131.7132.8133.7
NumberofMeans12131415161718192021
CriticalRange134.6135.4136.0136.7137.2137.7138.2138.6139.0139.4
NumberofMeans222324252627282930
CriticalRange139.8140.1140.4140.7140.9141.2141.4141.6141.8

Meanswiththesameletterarenotsignificantlydifferent.

DuncanGroupingMeanNHR_PERL

A602.6769PKB2
BA560.0066PKC1
BAC503.3369PKC3
BAC502.6766PKC3
BAC499.3366PKB3
BDC456.6766PKB2
BEDC444.0066kplus
FEDC430.0066PKB1
GFEDC400.0066kmin
GFEDC396.0066ko
GFEDC396.0063PKC3
GFEDCH392.0069PKC2
GFEDICH375.3366ktem
GFEDIJH356.0069ko
GFEIJH320.0069kplus
GFIJH308.0063PKB2
GFIJH306.0069PKC1
GFIJH301.3363PKB1
60

GFIJH297.3363ktem
GIJH291.3366PKC2
GIJH288.0069ktem
GIJH287.3363kmin
GIJH285.3363PKC2
GIJH282.0063PKC1
GIJH279.3369PKB3
GIJH278.6763PKB3
GIJH276.0063ko
IJH256.6769PKB1
IJ243.3369kmin
J226.6763kplus
Lampiran 10 Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus temulawak
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
jumlah vili ayam pedaging yang diinfeksi E maxima

GeneralLinearModelsProcedure
ClassLevelInformation

ClassLevelsValues
HR3369
PERL10PKB1PKB2PKB3PKC1PKC2PKC3kminkokplusktem
HR_PERL303PKB13PKB23PKB33PKC13PKC23PKC33kmin3ko3kplus3ktem6PKB16PKB2
6PKB36PKC16PKC26PKC36kmin6ko6kplus6ktem9PKB19PKB29PKB39PKC1
9PKC29PKC39kmin9ko9kplus9ktem

Numberofobservationsindataset=180
GeneralLinearModelsProcedure

DependentVariable:JVJmlVili
SourceDFSumofSquaresMeanSquareFValuePr>F
Model29292.5611111110.088314188.040.0001
Error150188.166666671.25444444
CorrectedTotal179480.72777778

RSquareC.V.RootMSEJVMean
0.60858012.816501.120019848.73888889

SourceDFTypeISSMeanSquareFValuePr>F
HR286.8777777843.4388888934.630.0001
PERL966.005555567.333950625.850.0001
HR_PERL18139.677777787.759876546.190.0001

SourceDFTypeIIISSMeanSquareFValuePr>F
HR00.00000000...
PERL00.00000000...
HR_PERL18139.677777787.759876546.190.0001

GeneralLinearModelsProcedure
LevelofJV
HR_PERLNMeanSD
3PKB169.00000000.89442719
3PKB268.00000002.28035085
3PKB367.83333330.75277265
3PKC168.16666671.16904519
3PKC268.33333332.06559112
3PKC368.83333330.75277265
3kmin68.50000001.04880885
3ko68.16666671.94079022
3kplus68.16666670.75277265
3ktem68.33333330.81649658
6PKB1610.50000001.04880885
6PKB267.16666670.40824829
6PKB3611.66666670.51639778
6PKC1610.16666671.16904519
6PKC268.00000000.63245553
6PKC369.83333330.75277265
6kmin612.33333330.51639778
6ko67.83333331.16904519
6kplus610.16666672.40138849
6ktem69.50000000.54772256
61

9PKB167.50000000.54772256
9PKB267.33333330.81649658
9PKB368.16666670.40824829
9PKC167.66666670.51639778
9PKC268.66666670.81649658
9PKC367.00000000.89442719
9kmin67.66666671.21106014
9ko68.16666671.32916014
9kplus69.50000000.83666003
9ktem610.00000000.63245553

GeneralLinearModelsProcedure
Duncan'sMultipleRangeTestforvariable:JV
NOTE:ThistestcontrolsthetypeIcomparisonwiseerrorrate,nottheexperimentwise
errorrate

Alpha=0.05df=150MSE=1.254444

NumberofMeans234567891011
CriticalRange1.2781.3451.3901.4221.4481.4691.4861.5011.5131.524
NumberofMeans12131415161718192021
CriticalRange1.5341.5431.5511.5581.5641.5701.5751.5801.5851.589
NumberofMeans222324252627282930
CriticalRange1.5931.5971.6001.6031.6061.6091.6121.6141.617
Meanswiththesameletterarenotsignificantlydifferent.
DuncanGroupingMeanNHR_PERL
A12.333366kmin
BA11.666766PKB3
BC10.500066PKB1
DC10.166766PKC1
DC10.166766kplus
DC10.000069ktem
DCE9.833366PKC3
DFCE9.500066ktem
DFCE9.500069kplus
DFGE9.000063PKB1
HDFGE8.833363PKC3
HDFGEI8.666769PKC2
HJFGEI8.500063kmin
HJFGEI8.333363ktem
HJFGEI8.333363PKC2
HJFGI8.166769ko
HJFGI8.166763ko
HJFGI8.166763PKC1
HJFGI8.166769PKB3
HJFGI8.166763kplus
HJFGI8.000063PKB2
HJFGI8.000066PKC2
HJGI7.833366ko
HJGI7.833363PKB3
HJGI7.666769PKC1
HJGI7.666769kmin
HJGI7.500069PKB1
HJI7.333369PKB2
JI7.166766PKB2
J7.000069PKC3

Lampiran 11 Analisis Varian dan kelas berganda Duncan penambahan infus temulawak
dan bubuk temulawak 90, 180 dan 360 mg. kg -1 bobot badan terhadap
luas vili usus ayam pedaging yang diinfeksi E maxima

GeneralLinearModelsProcedure
ClassLevelInformation
ClassLevelsValues
HR3369
PERL10PKB1PKB2PKB3PKC1PKC2PKC3kminkokplusktem
HR_PERL303PKB13PKB23PKB33PKC13PKC23PKC33kmin3ko3kplus3ktem6PKB16PKB2
PKB36PKC16PKC26PKC36kmin6ko6kplus6ktem9PKB19PKB29PKB39PKC1
9PKC29PKC39kmin9ko9kplus9ktem

62

Numberofobservationsindataset=180
GeneralLinearModelsProcedure
DependentVariable:VSALuasvili
SourceDFSumofSquaresMeanSquareFValuePr>F
Model290.239229010.008249282.980.0001
Error1500.415210410.00276807
CorrectedTotal1790.65443942

RSquareC.V.RootMSEVSAMean
0.36554825.346230.052612450.20757502

SourceDFTypeISSMeanSquareFValuePr>F
HR20.126403180.0632015922.830.0001
PERL90.035425150.003936131.420.1834
HR_PERL180.077400680.004300041.550.0795

SourceDFTypeIIISSMeanSquareFValuePr>F
HR00.00000000...
PERL00.00000000...
HR_PERL180.077400680.004300041.550.0795

GeneralLinearModelsProcedure
LevelofVSA
HR_PERLNMeanSD
3PKB160.178468600.03403954
3PKB260.190291360.04367943
3PKB360.179215120.04839756
3PKC160.146943840.01967675
3PKC260.194257300.04556542
3PKC360.179560180.00896640
3kmin60.175564450.02809730
3ko60.182051670.07050874
3kplus60.136635860.03834564
3ktem60.165466830.02339368
6PKB160.188571680.04372793
6PKB260.148962190.02716614
6PKB360.212903180.04814485
6PKC160.245125920.06907440
6PKC260.216622760.02506427
6PKC360.187015410.02077608
6kmin60.250553800.05183738
6ko60.247481000.02942334
6kplus60.197249780.03516665
6ktem60.232946400.03925034
9PKB160.240511850.02501076
9PKB260.276750770.07981806
9PKB360.197930220.02299589
9PKC160.264053330.03941335
9PKC260.239951990.05085299
9PKC360.236011090.02118978
9kmin60.233007300.16014766
9ko60.245175910.09628084
9kplus60.191227890.03114595
9ktem60.246742990.04669497

GeneralLinearModelsProcedure
Duncan'sMultipleRangeTestforvariable:VSA
NOTE:ThistestcontrolsthetypeIcomparisonwiseerrorrate,nottheexperimentwise
errorrate
Alpha=0.05df=150MSE=0.002768

NumberofMeans234567891011
CriticalRange.06002.06317.06527.06682.06802.06900.06981.07049.07109.07161
NumberofMeans12131415161718192021
CriticalRange.07207.07248.07284.07317.07348.07375.07400.07424.07445.07465
NumberofMeans222324252627282930
CriticalRange.07484.07501.07517.07532.07546.07559.07571.07583.07594

Meanswiththesameletterarenotsignificantlydifferent.
DuncanGroupingMeanNHR_PERL
A0.2767569PKB2
63

BA0.2640569PKC1
BAC0.2505566kmin
BAC0.2474866ko
BAC0.2467469ktem
BAC0.2451869ko
BAC0.2451366PKC1
BAC0.2405169PKB1
BAC0.2399569PKC2
BDAC0.2360169PKC3
BDAC0.2330169kmin
BDAC0.2329566ktem
EBDAC0.2166266PKC2
EBDAC0.2129066PKB3
EBDFC0.1979369PKB3
EBDFC0.1972566kplus
EBDFC0.1942663PKC2
EBDFC0.1912369kplus
EBDFC0.1902963PKB2
EDFC0.1885766PKB1
EDFC0.1870266PKC3
EDFC0.1820563ko
EDFC0.1795663PKC3
EDFC0.1792263PKB3
EDFC0.1784763PKB1
EDFC0.1755663kmin
EDF0.1654763ktem
EF0.1489666PKB2
EF0.1469463PKC1
F0.1366463kplus

Lampiran 12. Gambaran Histopatologi usus halus ayam pedaging yang diinfeksi
E. maxima
64

Keterangan:
Perbesaran 800 x
-1
Kplus : kontrol positif PKC2 : Pemberian infus temulawak 180 mg.kg BB
-1
Ko : kontrol obat PKC3 : Pemberian infus temulawak 360 mg.kg BB
-1
Kmin : kontrol negatif PKB1 : Pemberian bubuk temulawak 90 mg.kg BB
-1
Ktem : kontrol temulawak PKB2 : Pemberian bubuk temulawak 180 mg.kg BB
-1 -1
PKC1 : Pemberian infus temulawak 90 mg.kg BB PKB3 : Pemberian bubuk temulawak 360 mg.kg BB
63

Desain perkandangan penelitian


65

Вам также может понравиться