Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh:
Pembimbing:
2016
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Oleh :
S. Ali Ar Ridha M.
Maya Chandra Dita
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.
dr.Suprapti Sp.PD
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Seorang Laki-Laki, 56 Tahun,
Datang dengan Keluhan Sesak Semakin Hebat Sejak 1 Hari SMRS.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Suprapti Sp.PD selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporanini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ..............................................................................2
Identifikasi..............................................................................................2
Anamnesis..............................................................................................2
Pemeriksaan Fisik..................................................................................3
Pemeriksaan Tambahan..........................................................................5
Diagnosis................................................................................................5
Tatalaksana.............................................................................................5
Prognosis................................................................................................6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................7
Gagal Ginjal Kronis...............................................................................7
Nefrosklerosis Hipertensif ....................................................................16
Anemia pada Penyakit Ginjal................................................................22
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal. Keadaan
dimana ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan
komposisi cairan tubuh yang berlangsung progresif, lambat, samar dan bersifat
irreversible (biasanya berlangsung beberapa tahun) di sebut dengan gagal ginjal
kronik. Gagal ginjal kronik bersifat samar karena hampir 75% jaringan ginjal
dapat dihancurkan sebelum gangguan fungsi ginjal terdeteksi. Karena besarnya
cadangan fungsi ginjal, 25% dari jaringan ginjal sudah cukup untuk menjalankan
semua fungsi regulatorik dan eksretorik ginjal. Namun dengan kurang dari 25%
jaringan fungsional ginjal yang tersisa, insufisiensi ginjal akan tampak. (1)
Di Amerika Serikat, kejadian dan prevalensi gagal ginjal meningkat, dan
jumlah orang dengan gagal ginjal yang dirawat dengan dialisis dan transplantasi
diproyeksikan meningkat dari 340.000 di tahun 1999 dan 651.000 dalam tahun
2010. Data menunjukkan bahwa setiap tahun 200.000 orang Amerika menjalani
hemodialisis karena gangguan ginjal kronis artinya 1140 dalam satu juta orang
Amerika adalah pasien dialisis. Di negara Malaysia dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya). Di dunia, sekitar
2.622.000 orang telah menjalani pengobatan End-Stage Renal Disease pada akhir
tahun 2010, sebanyak 2.029.000 orang (77%) diantaranya menjalani 2 pengobatan
dialisis dan 593.000 orang (23%) menjalani transplantasi ginjal. Sedangkan kasus
gagal ginjal di Indonesia setiap tahunnya masih terbilang tinggi karena masih
banyak masyarakat Indonesia tidak menjaga pola makan dan kesehatan tubuhnya.
Dari survei yang dilakukan oleh Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) pada
tahun 2009, prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia (daerah Jakarta,
Yogyakarta, Surabaya, dan Bali) sekitar 12,5%, berarti sekitar 18 juta orang
dewasa di Indonesia menderita penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik
berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. Sukarni bin Rebin
Tanggal Lahir : 5 April 1960
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Gajah Mati,Sungai Keruh,Banyuasin, Sumatera Selatan
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Suku Bangsa : Sumatera
MRS : Minggu 11 Desember 2016
No. RM : 983447
II.ANAMNESIS
II.1.Keluhan Utama:
Sesak semakin hebat sejak 1 hari SMRS
Tn. Sukarni, 56 tahun datang dengan keluhan sesak semakin hebat sejak 1
hari SMRS.
3 hari SMRS os mengeluh sesak napas, mengi tidak ada, sesak tidak
dipengaruhi oleh aktivitas, posisi, cuaca maupun emosi, sesak dirasakan terus
menerus, batuk ada, batuk tidak berdahak, mengi tidak ada, demam tidak ada,
mual dan muntah tidak ada, nyeri dada tidak ada, BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Os belum berobat.
1 hari SMRS os mengeluh sesak semakin hebat, mengi tidak ada, sesak
tidak dipengaruhi oleh aktivitas, os mengeluh sulit tidur, sesak dirasakan
bertambah bila os tidur terlentang, os nyaman tidur dengan posisi setengah duduk.
Bengkak pada kedua tungkai tidak ada, demam tidak ada, batuk dirasakan
penderita, os mengeluh mual jika makan, muntah ada dengan frekuensi 3-4 kali
per hari, dengan muntah apa yang dimakan, darah tidak ada. Os juga mengeluh
tidak bisa BAK, lalu os berobat ke rumah sakit di Banyuasin dan di rumah sakit
2
tersebut os dipasang kateter, os bisa BAK, BAK tidak berbuih, tidak berpasir, dan
tidak ada darah. BAB tidak ada keluhan, os lalu dirujuk ke RSMH, di IGD RSMH
os mengeluh timbul mata merah sebelah kiri dan gusi berdarah.
III. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik Umum
Kesadaran : GCS = 15 (E4M6V5)
Suhu Badan : 36,4 C
Nadi : 86 x/mnt
Pernapasan : 25 x/mnt
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
BB : 60 kg TB : 160 cm
3
Mata
Exophtalmus :- sklera : ikterik (-/-)
Enophtalmus :- kornea : normal
Kelopak : normal pupil : normal
Conjunctiva visus : 6/6
- palpebra : anemis (+/+) gerakan : normal
- bulbi : perdarahan (+) lapangan pandang : normal
Leher
JVP : 5-2 cmH2O,
Kel. getah bening : tidak teraba Kaku kuduk :-
Kel. Gondok : tidak teraba Tumor :-
Trachea : sentral
Thorax
Jantung :Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II, batas kanan
linea sternalis dextra ICS V, batas kiri linea
mid clavicularis sinistra ICS V
Auskultasi : HR= 82x/menit, Bunyi jantung I-II (+)
normal, murmur (-), gallop (-)
Paru :Inspeksi : Statis simetris kanan = kiri
Dinamis simetris kanan & kiri
Retraksi sela iga (-)
Palpasi :Stem fremitus kiri = kanan
Pelebaran sela iga (-)
Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Perkusi :Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi
(-)
Abdomen :Inspeksi :datar, venektasi (-), jaringan parut (-)
Palpasi : Lemas, venektasi (-), jaringan parut (-),
hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan tidak
ada
Perkusi : Timpani, shifting dulness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema pretibial (-/-)
LABORATORIUM
4
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin 11,7 gr/dL 13,48-17,40 gr/dL
Hematokrit 32% 43-49%
Eritrosit 4,07x 103 /mm3 4,40-6,30x103/mm3
Leukosit 41,2 x 103 /mm3 4,73-10,89 x 103 /mm3
Trombosit 25 x 103/L 170-396 x 103/L
GDS 147 mg/dL <200 mg/dL
SGOT 164 U/L 0-38 U/L
SGPT 106U/L 0-41 U/L
Ureum 234 mg/dL <50 mg/dL
Kreatinin 8,27 mg/dL 0,50-0,90 mg/dL
Kalsium 5,9 mg/dL 8,8-10,2 mg/dL
Natrium 136 mg/dL 135-155 mg/dL
Kalium 3,3 mg/dL 3,5-5,5 mg/dL
PEMERIKSAAN URIN
5
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Warna Kuning keruh Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
Berat Jenis 1,025 1,003-1,030
pH 5.0 5-9
Protein Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah Positif ++ Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen 1 0,1-1,8
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Esterase Positif +++ Negatif
Sedimen Urine
Epitel Negatif Negatif
Leukosit 6-8 0-5
Eritrosit 15-18 0-1
Silinder Silinder granular ++ Negatif
+
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Mukus Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif
6
IV. DIAGNOSIS
CKD stage V ec Nefropati Destruktif
Gastropati Uremikum
Trombositopenia
Infeksi Saluran Kemih
V. DIAGNOSIS BANDING :
Gagal Ginjal Akut
VI. PENATALAKSANAAN
A. Norfarmakologis
Istirahat
Edukasi
O2 Nasal Canul 5L/m
Rencana hemodialisis
B. Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m micro
- Inj. Furosemid 1 x 20 mg IV/ 24 jam
- Inj Ca Glukonas 1 x 1 gr IV/ 8 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 1 gr IV/ 12 jam
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg IV/ 24 jam
- Asam folat 1 x 1 mg per oral/ 8 jam
VII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad malam
VIII. FOLLOW UP
7
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/-,
subconjungtival bleeding (+)
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 90x/m, murmur (-) gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : edema pretibia (-/-)
A: CKD stage V ec nefropati destruktif
Subconjungtival bleeding ec trombositopenia
ISK
Gastropati Uremikum
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- O2 5 L/m kanul
- Edukasi
- Diet protein 40 gr
- Balance cairan
Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m micro
- Inj. Furosemid 1 x 20 mg IV/ 24 jam
- Inj Ca Glukonas 1 x 1 gr IV/ 8 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 1 gr IV/ 12 jam
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg IV/ 24 jam
- Asam folat 1 x 1 mg per oral/ 8 jam
19 agustus S= sesak
2016/ 06.00 O= sens: CM, TD: 160/100 mmHg, N: 92x/m
RR: 26x/m, T: 36,4C
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 92x/m, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi basah halus (+), wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, shifting dulness (-)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)
A: CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi
8
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- O2 5 L/m kanul
- Edukasi
- Diet protein 40 gr
Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m mikro
- Inj. Furosemid 1 x20 mg IV
- Asam folat 2 x 1 mg (PO)
- Neurodex 1 x 1tab
- Clonidine 2 x 0,15 mg PO
- Valsartan 1 x 50 mg PO
20 agustus S= -
2016/ 06.00 O= sens: CM, TD: 180/100 mmHg, N: 90x/m
RR: 21x/m, T: 36,5C
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 92x/m, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi basah halus (+), wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, shifting dulness (-)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)
A: CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- O2 5 L/m kanul
- Edukasi
- Diet protein 40 gr
Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m mikro
- Inj. Furosemid 1 x20 mg IV
- Asam folat 2 x 1 mg (PO)
- Neurodex 1 x 1tab
- Clonidine 2 x 0,15 mg PO
9
- Valsartan 1 x 50 mg PO
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
11
Ginjal memiliki tiga bagian penting yaitu korteks, medulla dan pelvis
renal. Bagian paling superfisial adalah korteks renal, yang tampak bergranula. Di
sebelah dalamnya terdapat bagian lebih gelap, yaitu medulla renal. Ujung
ureter yang berpangkal di ginjal, berbentuk corong lebar disebut pelvis renal.
Pelvis renal bercabang dua atau tiga, disebut kaliks mayor yang masing-masing
bercabang membentuk beberapa kaliks minor. Dari kaliks minor, urin masuk ke
kaliks mayor, ke pelvis renal kemudian ke ureter, sampai akhirnya ditampung di
dalam kandung kemih.
Ureter terdiri dari dua saluran pipa yang masing-masing menyambung
dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria). Panjangnya kira-kira 25-30 cm,
dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan
sebagian terletak dalam rongga pelvis. Kandung kemih adalah
kantong yang terbentuk dari otot tempat urin mengalir dari ureter. Dinding
kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium).
Sumber: Essential of Anatomy and Physiology 5th edition, 2007, Hal. 422.
Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan
ekskretorik yaitu :
(1) filtrasi glomerulus
Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus
ke dalam kapsula Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk
membran glomerulus yaitu dinding kapiler glomerulus, lapisan
gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai membran basal dan lapisan
dalam kapsula bowman.
Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel gepeng,
memiliki lubang lubang dengan banyak pori pori besar atau fenestra,
13
yang membuatnya seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat
terlarut dibandingkan kapiler di tempat lain.
Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di
antara glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan
struktural, sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma
kecil. Walaupun protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi
karena tidak dapat melewati pori pori diatas, pori pori tersebut
sebenarnya cukup besar untuk melewatkan albumin dan protein plasma
terkecil. Namun, glikoprotein karena bermuatan sangat negatif akan
menolak albumin dan pritein plasma lain, karena yang terakhir juga
bermuatan negatif. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya
tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin yang berhasil
lolos untuk masuk ke kapsula bowman.
Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip
gurita yang mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki
banyak tonjolan memanjang seperti kaki yang saling menjalin dengan
tonjolan podosit di dekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang
berdekatan dikenal sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi cairan
untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke dalam lumen kapsula
bowman.
Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah
tekanan darah kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan
tekanan hidrostatik kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah
tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus.
Tekana darah glomerulus yang meningkat ini mendorong cairan keluar
dari glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di sepanjang kapiler
glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi
glomerulus.
GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid
yang melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan
filtrasi, penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan
peningkatan GFR. Sedangkan tekanan hidrostatik dapat meningkat secara
tidak terkontrol dan dapat mengurangi laju filtrasi. Untuk mempertahankan
14
GFR tetap konstan, maka dapat dikontrol oleh otoregulasi dan kontrol
simpatis ekstrinsik.
Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri,
karena tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam
kapiler glomerulus. Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti
oleh peningkatan GFR. Untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus agar
tetap konstan, maka ginjal melakukannya dengan mengubah kaliber
arterial aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah dapat disesuaikan.
Apabila GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri, maka
GFR akan kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang
akan menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus.
Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap
konstan adalah dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh
masukan sistem saraf simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan
darah arteri sehingga terjadi perubahan GFR akibat refleks baroreseptor
terhadap perubahan tekanan darah.
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke
glomerulus difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan
180 L filtrat glomerulus setiap hari untuk GFR rata rata 125 ml/menit
pada pria dan 160 liter filtrat per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk
wanita.
15
a. Reabsorpsi Glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus
proksimal. Proses reabsorpsi glukosa ini bergantung pada
pompa Na ATP-ase, karena molekul Na tersebut berfungsi
untuk mengangkut glukosa menembus membran kapiler
tubulus dengan menggunakan energi.
b. Reabsorpsi Natrium
Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 99%
akan direabsorpsi secara aktif ditubulus. Sebagian natrium
67% direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di
lengkung henle dan 8% di tubulus distal dan tubulus
pengumpul. Natrium yang direabsorpsi sebagian ada yang
kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga berperan
penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea.
c. Reabsorpsi Air
Air secar apasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang
tubulus. Dari H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di
tubulus proksimal dan ansa henle. Kemudian sisa H 2O
sebanyak 20% akan direabsorpsi di tubulus distal dan
duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin.
d. Reabsorpsi Klorida
Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi
secara pasif mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif
dan natrium yang bermuatan positif. Jumlah Klorida yang
direabsorpsikan ditentukan oleh kecepatan reabsorpsi Na
e. Reabsorpsi Kalium
Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan
direabsorpsi secara difusi pasif di tubulus proksimal
sebanyak 50%, 40% kalium akan dirabsorpsi di ansa henle
pars assendens tebal, dan sisanya direabsorpsi di duktus
pengumpul
f. Reabsorpsi Urea
16
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein.
Ureum akan difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian
akan direabsorpsi sebagian di kapiler peritubulus, dan urea
tidak mengalami proses sekresi. Sebagian ureum akan
direabsorpsi di ujung tubulus proksimal karena tubulus
kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea. Saat
mencapai duktus pengumpul urea akan mulai direabsorpsi
kembali.
g. Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium
Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion
fosfat dan kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi
seluruhnya di glomerulus, 40% direabsorpsi di tubulus
kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi di ansa henle
pars assendens. Dalam reabsorpsi kalsium dikendalikan
oleh homon paratiroid. Ion fosfat ayng difiltrasi, akan
direabsorpsi sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal
kemudian sisanya akan dieksresikan ke dalam urin.
(3) sekresi tubulus
Proses perpindahan selektif zat zat dari darah kapiler peritubulus
ke dalam lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H +,
K+ dan ion ion organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi
transepitel. Di sepanjang tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam
cairan tubulus sehingga dapat tercapai keseimbangan asam basa. Asam
urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari kalium
yang terfiltrasi akan dieksresikan ke dalam urin dan kontrol sekresi ion
K+ tersebut diatur oleh hormon antidiuretik. Kemudian hasil dari ketiga
proses tersebut adalah terjadinya eksresi urin, dimana semua
konstituen plasma yang mencapai tubulus, yaitu yang difiltrasi atau
disekresi tetapi tidak direabsorpsi, akan tetap berada di dalam tubulus
dan mengalir ke pelvis ginjal untuk eksresikan sebagai urin.
17
Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar
ditujukan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal :
1.
Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
2.
Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk
Na+, Cl-, K+, HCO3-, Ca++, Mg++, SO4=, PO4= dan H+
3.
Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan
dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini
dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan
garam dan H2O
4.
Membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh, dengan
menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin
5.
Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan
tubuh, terutama melalui pengaturan keseimbangan H2O
6.
Mengeksresikan (eliminasi) produk produk sisa (buangan) dari
metabolisme tubuh. Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika
dibiarkan menumpuk, zat zat sisa tersebut bersifat toksik, terutama
bagi otak
7.
Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah
pada makanan, pestisida, dan bahan bahan eksogen non-nutrisi
lainnya yang berhasil masuk ke dalam tubuh
8.
Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang
pembentukan sel darah merah
9.
Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi
berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal
10.
Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya
18
3.2. Gagal Ginjal Kronis
3.2.1. Definisi
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m,
seperti pada tabel berikut:
19
Tabel 2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik
Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1.73
m)
0 Risiko meningkat 90 dengan faktor
risiko
1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau 90
Meninggi
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft Gault sebagai berikut :
3.2.2. Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer
apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis
sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis.
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara
kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat
medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis.
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa
darahnya
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.
3.2.4. Patofisiologi
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun
penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan
adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang
sedang berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan
adanya mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama
pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun.
Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal
akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih
lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang
berakhir dengan gagal ginjal terminal (Mansjoer, 2002).
3.2.6. Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran
berikut:
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
3.2.7. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin
kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah,
anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat
badan (Suwitra, 2006).
3.2.8. Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
3.3.2. Epidemiologi
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit yang paling sering ditemukan di
praktik umum. Kejadian ISK dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, gender, prevalensi
bakteriuria, dan faktor predisposisi yang mengakibatkan perubahan struktur saluran kemih
termasuk ginjal. ISK cenderung terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. ISK berulang
pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai factor predisposisi1.
Menurut penelitian, hampir 25-35% perempuan dewasa pernah mengalami ISK
selama hidupnya. Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering ditemukan pada
perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (School girls) 1% meningkat menjadi 5 %
selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30%
pada laki-laki dan perempuan jika disertai faktor predisposisi1.
Di Amerika Serikat, terdapat >7 juta kunjungan pasien dengan ISK di tempat praktik
umum. Sebagian besar kasus ISK terjadi pada perempuan muda yang masih aktif secara
seksual dan jarang pada laki-laki <50 tahun5. Insiden ISK pada laki-laki yang belum
disirkumsisi lebih tinggi (1,12%) dibandingkan pada laki-laki yang sudah disirkumsisi
(0,11%)3.
Tabel 3 Epidemiologi infeksi saluran kemih berdasarkan umur dan jenis kelamin
3.3.3. Etiologi
Pada umumnya ISK disebabkan oleh mikroorganisme (MO) tunggal seperti:1
Eschericia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan ISK
simtomatik maupun asimtomatik
Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK anak
laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp dan Stafilokokus dengan koagulase negatif
Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang dijumpai, kecuali pasca
kateterisasi
Gambar. 4 gambaran bakteri E.coli, berbentuk basil dan adanya fimbrae atau pili
3.3.4. Patogenesis
Patogenesis bakteriuri asimtomatik menjadi bakteriuri simtomatik tergantung dari
patogenitas bakteri sebagai agent, status pasien sebagai host dan cara bakteri masuk ke
saluran kemih (bacterial entry) 1,3. Tidak semua bakteri dapat menginfeksi dan melekat pada
jaringan saluran kemih. Bakteri tersering yang menginfeksi saluran kemih adalah E.coli yang
bersifat uropathogen.1,3,7,8.
Strain bakteri E. coli hidup atau berkoloni di usus besar atau kolon manusia. Beberapa
strain bakteri E. coli dapat berkoloni di daerah periuretra dan masuk ke vesika urinaria. Strain
E. coli yang masuk ke saluran kemih dan tidak memberikan gejala klinis memiliki strain yang
sama dengan strain E. coli pada usus (fecal E.coli), sedangkan strain E. coli yang masuk ke
saluran kemih manusia dan mengakibatkan timbulnya manifestasi klinis adalah beberapa
strain bakteri E. coli yang bersifat uropatogenik dan berbeda dari sebagian besar E.coli di
usus manusia (fecal E.coli). Strain bakteri E.coli ini merupakan uropatogenik E.coli (UPEC)
yang memiliki faktor virulensi8.
Penelitian intensif berhasil menentukan faktor virulensi E.coli dikenal sebagai
virulence determinalis1.
Fimbriae Adhesi
Pembentuk jaringan ikat (scarring)
Lipopolysaccharide side
chains (O antigen)
Inhibisi peristalsis ureter
Proinflamatori
Lipid A (endotoksin)
Kelasi besi
Antibiotika resisten
Kemungkinan perlengketan
Hemolysin
Sumber: Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V, 2009, hal.1010
Bakteri patogen dari urin dapat menyebabkan manifestasi klinis bergantung pada
perlengketan mukosa oleh bakteri, faktor virulensi, dan variasi faktor virulensi1.
Litiasis
Obstruksi saluran kemih
Penyakit ginjal polikistik
Nekrosis papilar
DM pasca transplantasi ginjal
Nefropati analgesik
Penyakit Sickle-cell
Senggama
Kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron
Kateterisasi
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V, 2009, halaman 1009
3.3.5. Klasifikasi
Berdasarkan letak anatomi, ISK digolongkan menjadi:
Lokal Sistemik
Manifestasi klinik pada infeksi saluran kemih atas dan infeksi saluran kemih bawah
pada pasien dewasa dapat dilihat pada gambar berikut:
Uji Biokimia4
Uji biokimia didasari oleh pemakaian glukosa dan reduksi nitrat menjadi nitrit
dari bakteriuria terutama golongan Enterobacteriaceae. Uji biokimia ini hanya
sebagai uji saring (skrinning) karena tidak sensitif, tidak spesifik dan tidak dapat
menentukan tipe bakteriuria.
Mikrobiologi4
Pemeriksaan mikrobiologi yaitu dengan Colony Forming Unit (CFU) ml urin.
Indikasi CFU per ml antara lain pasien-pasien dengan gejala ISK, tindak lanjut selama
pemberian antimikroba untuk ISK, pasca kateterisasi, uji saring bakteriuria asimtomatik
selama kehamilan, dan instrumentasi. Bahan contoh urin harus dibiakan lurang dari 2 jam
pada suhu kamar atau disimpan pada lemari pendingin. Bahan contoh urin dapat berupa urin
tengah kencing (UTK), aspirasi suprapubik selektif.
Interpretasi sesuai dengan kriteria bakteriura patogen yakni CFU per ml >105 (2x)
berturut-turut dari UTK, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai lekositouria > 10 per ml
tanpa putar, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai gejala klinis ISK, atau CFU per ml >10 5
dari aspirasi supra pubik. Menurut kriteria Kunin yakni CFU per ml >10 5 (3x) berturut-turut
dari UTK..
Renal Imaging Procedures1
Renal imaging procedures digunakan untuk mengidentifikasi faktor predisposisi ISK,
yang biasa digunakan adalah USG, foto polos abdomen, pielografi intravena, micturating
cystogram dan isotop scanning. Investigasi lanjutan tidak boleh rutin tetapi harus sesuai
indikasi antara lain ISK kambuh, pasien laki-laki, gejala urologik (kolik ginjal, piuria,
hematuria), hematuria persisten, mikroorganisme jarang (Pseudomonas spp dan Proteus spp),
serta ISK berulang dengan interval 6 minggu.
3.3.8. Terapi
Infeksi Saluran Kemih Atas
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut (PNA) memerlukan rawat inap untuk
memelihara status hidrasi dan terapi antibiotik parenteral minimal 48 jam. Indikasi rawat
inap pada PNA antara lain kegagalan dalam mempertahankan hidrasi normal atau toleransi
terhadap antibiotik oral, pasien sakit berat, kegagalan terapi antibiotik saat rawat jalan,
diperlukan investigasi lanjutan, faktor predisposisi ISK berkomplikasi, serta komorbiditas
seperti kehamilan, diabetes mellitus dan usia lanjut.
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternative
terapi antibiotic IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam, sebelum adanya hasil kepekaan
biakan yakni fluorokuinolon, amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin dan sefalosporin
spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.
3.3.9. Komplikasi1
Komplikasi ISK bergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana (uncomplicated) dan ISK tipe
berkomplikasi (complicated).
ISK sederhana (uncomplicated)
ISK akut tipe sederhana yaitu non-obstruksi dan bukan pada perempuan hamil
pada umumnya merupakan penyakit ringan (self limited disease) dan tidak
menyebablan akibat lanjut jangka lama.
3.4.2. Etiologi
Spontan (idiopatik biasanya ditemukan pada orang tua dengan arterisklerosis) , trauma ringan
(menggosok mata) hingga trauma berat. Aktivitas yang terlalu berat (batuk, bersin, mengangkat beban berat,
defekasi dengan konsistensi keras), pasien dengan hipertensi atau adanya kelainan pembuluh darah (faktor
koagulasi,hemophilia, konsumsi obat seperti turunan coumarin, sildenafil citrate, tadafi, verdenafil,
pralidoxime, obat antikoagulan)
3.4.4. Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan tekanan darah, funduskopi perlu dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan kelainan pada segmen posterior. Pada pasien dengan riwayat trauma, jika ditemukan tekanan
bola mata yang rendah, penurunan tajam penglihatan serta pupil lonjong maka diperlukan eksplorasi bola
mata untuk mencurigai adanya rupture bulbus okuli.
Tn. TAM, 41 tahun datang dengan keluhan sesak semakin hebat sejak 1 hari SMRS.
1 bulan SMRS os mengeluh sesak napas, mengi (-), sesak timbul saat beraktivitas,
dan sesak hilang dengan istirahat. Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, terbangun
malam hari karena sesak (-) os nyaman tidur dengan satu bantal seperti biasa. Batuk (-),
demam (-), os mengeluh bengkak pada kedua tungkai yang terjadi sepanjang hari, os merasa
BAK menjadi lebih sedikit dari biasanya dan frekuensinya menjadi berkurang, mual (-),
muntah (-), BAB tidak ada keluhan, os tidak berobat.
1 minggu SMRS os mengeluh sesak bertambah dan dirasakan saat aktivitas sedang,
mengi (-), sesak berkurang dengan istirahat. Bengkak pada kedua tungkai belum menghilang,
dan os belum juga berobat.
1 hari SMRS os mengeluh sesak semakin hebat saat berjalan ke kamar mandi, mengi
(-), sesak sedikit berkurang dengan istirahat, sesak dirasakan bertambah bila os tidur
terlentang, os nyaman tidur dengan posisi setengah duduk. Bengkak pada kedua tungkai (+),
demam (-), mual (-), muntah (-), BAK semakin berkurang hanya 1/4 gelas, buih (-), busa (-),
berwarna keruh (-), berpasir (-), darah (-). BAB tidak ada keluhan, os lalu berobat ke RS
Lubuk Linggau dan dikatakan sakit ginjal lalu os di rujuk ke RSMH
Pasien memiliki riwayat hipertensi ada sejak usia 20 tahun, riwayat DM disangkal,
riwayat BAK berpasir tidak ada, riwayat merokok ada sejak usia 35 tahun 1 bungkus/minggu.
Riwayat darah tinggi, kencing manis, kelainan jantung, kelainan ginjal dalam keluarga
disangkal.
Pasien datang dengan GCS 15 (E4M6V5), suhu 36,4 C, nadi 95 kali/menit, pernapasan
28 kali/menit, reguler, cepat dan dalam, tekanan darah 170/100 mmHg yaitu hipertensi stage
II. Pasien memiliki berat badan 55 kg dan tinggi badan 165 cm yaitu keadaan gizi
normoweight.
Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan konjungtiva palpebra anemis +, JVP 5-
2 cmH2O, dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Pada pemeriksaan thorax ditemukan ronkhi basah halus (+), cor terdapat kardiomegali.
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi cembung, venektasi (-), jaringan parut (-);
palpasi lemas, venektasi (-), jaringan parut (-), hepar dan lien tak teraba; perkusi timpani,
shifting dullness (+); auskultasi bising usus (+) normal.
Pada pemeriksaan ekstremitas akral hangat (+/+), edema pretibial (+/+).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan kondisi anemia,
hipoalbuminemia, dan ureum serta kreatinin yang tinggi. Pada pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan kardiomegali dan pembesaran ventrikel kiri yang mengindikasikan hipertensi
kronis.
Mekanisme terjadinya NH oleh hipertensi belum sepenuhnya dipahami. Ada banyak
faktor yang berperan seperti mekanisme autoregulasi yang tidak adekuat sehingga tidak
mampu mempertahankan homeostasis tubuloglomerular feedback dan tekanan
intraglomerular, adanya iskemi glomerular, hemodinamik glomerular, dan peranan
angiotensin II intraglomerular.
Tekanan glomerular dipengaruhi oleh tiga faktor yakni tekanan arteri rerata (mean
arterial pressure MAP) atau tekanan perfusi, dan resistensi relatif dari kedua arteriole yakni
aferen dan eferen. Pada kondisi normal, tekanan darah sistemik yang mengalami peningkatan
secara episodik ataupun kontinyu tidak berakibat banyak pada mikrovaskular glomerular. Hal
ini karena adanya perlindungan oleh suatu mekanisme autoregulasi dengan vasokonstriksi
arteriole aferen (preglomerular) untuk mempertahankan renal blod flow dan agar tekanan
hidrostatik intraglomerular dalam keadaan relatif konstan. Respons awal terhadap
peningkatan MAP adalah peningkatan resistensi arteriol aferen (RA) untuk mencegah
diteruskannya tekanan sistemik yang tinggi ke dalam kapiler glomerular. Resistensi arteriol
eferen (RE) akan menurun dan menyebabkan dekompresi pada glomerulus. Hal ini berguna
untuk membatasi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler glomerular dan untuk
mempertahankan aliran plasma renal.
Jika MAP berada sedikit di atas batas autoregulasi, yang terjadi adalah nefrosklerosis
benigna, namun akselerasi peningkatan tekanan darah yang mendadak mengakibatkan
terjadinya nefrosklerosis maligna. Pada hipertensi, mekanisme autoregulasi dan fungsi
endotel dalam memproduksi nitric oxide (NO) yang masih normal dan intak terhadap shear
stress akan mampu mempertahankan tekanan intraglomerular dalam keadaan normal
sehingga penurunan fungsi ginjal menjadi sangat lambat. Kompensasi yang terjadi dari sisa-
sisa glomerulus terjadi melalui mekanisme adaptasi yakni dengan meningkatkan laju fi ltrasi
glomerulus. Resistensi arteriol baik pada aferen dan eferen akan mengalami penurunan yang
akan menyebabkan peningkatan aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerular. Pada kondisi
ini, peningkatan tekanan MAP akan diteruskan langsung ke dalam kapiler glomerular
mengakibatkan terjadinya hipertensi glomerular, peningkatan fi ltrasi protein, dan
merangsang pelepasan sitokin dan growth factor yang akan menyebabkan jejas pada kapiler.
Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan resistensi arteriol
aferen dan eferen yang telah menyempit akibat perubahan struktur mikrovaskuler. Kondisi ini
akan menyebabkan iskemi glomerular dan mengaktivasi respons infl amasi. Hasilnya, akan
terjadi pelepasan mediator infl amasi, endotelin, dan aktivasi angiotensin II (AII) intrarenal.
Kondisi ini pada akhirnya akan mengaktivasi apoptosis, meningkatkan produksi matriks dan
deposit pada mikrovaskular glomerulus dan terjadilah sklerosis glomerulus atau
nefrosklerosis.
Pasien ini didiagnosis dengan CKD stage V ec Nefrosklerosis Hipertensi serta
hipertensi stage II. Dasar diagnosis dari CKD dan kecurigaan terhadap nefrosklerosis
hipertensif adalah dari LFG pada pasien ini yang bernilai 0,71 ml/menit/1,73 2, riwayat
hipertensi lama, dan hipertrofi ventrikel kiri jantung. Penatalaksanaan farmakologis yang
dilakukan yaitu istirahat, serta O2 Nasal Canul 5L/m untuk oksigenasi yang adekuat pada
kondisi sesak. Tatalaksana farmakologis yaitu IVFD D5 gtt x/m micro, inj. Furosemid 1 x 20
mg IV untuk mengatasi edema akibat transudasi cairan ke jaringan interstitial, asam folat 2 x
1 gr (P.O), neurodex 1 x 1 gr (P.O), dan clonidine 3 x 0,15 gr (P.O) untuk tatalaksana
hipertensi yang diderita pasien.
Prognosis pasien ini untuk quo ad vitam adalah dubia ad bonam, dan quo ad
fungsionam adalah dubia ad malam.
DAFTAR PUSTAKA
2. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi
13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.
3. Mansjoer A, et al. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2002.
5. Moutzouris DA, Herlitz L, Appel GB, et al. Renal biopsy in the very elderly. Clin J
Am Soc Nephrol 2009;4(6):1073-82
7. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-434.
9. Tracy RE, Ishii T. What is nephrosclerosis? lessons from USA, Japan and Mexico.
Nephrol Dial Transplant 2000;15: 1357-66.
10. Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran
Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003.
11. Sukandar, E. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing. 2009:1008-1014.
12. Anonim. Urinary Tract Infections (Acute Urinary Tract Infection: Urethritis, Cystitis,
and Pyelonephritis). In Kasper, et all ed. Harrisons Manual of Medicine16th Edition.
Newyork: Mc Graw Hill Medical Publishing Division. 2005:724
13. Nguyen, H.T. Bacterial Infections of The Genitourinary Tract. In Tanagho E. &
McAninch J.W. ed. Smiths General urology 17th edition. Newyork: Mc Graw Hill
Medical Publishing Division. 2008: 193-195
14. Sukandar, E. Infeksi (non spesifik dan spesifik) Saluran Kemih dan Ginjal. In
Sukandar E. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII) Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD. 2006: 29-72
15. Scanlon, V.C & Sanders, T. Essential of Anatomy and Physiology 5th edition.
Philadelpia: FA Davis Company. 2007: 420-432
16. Macfarlane, M.T. Urinary Tract Infections. In, Brown B, et all ed. 4th Urology.
California: Lippincott Williams & Wilkins. 2006: 83-16
17. Ronald A.R & Nicoll L.E. Infections of the Upper Urinary Tract. In Schrier R.W, ed.
Diseases of the Kidney and Urinary Tract 7th edition Vol.1. Newyork: Lippincott
Williams & Wilkins Publishers. 2001: 1687
18. Weissman, S.J, et all. Host-Pathogen Interactions and Host Defense Mechanisms. In
In Schrier R.W, ed. Diseases of the Kidney and Urinary Tract 8th edition Vol.1.
Newyork: Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2007: 817-826
19. Abdelmalak, J.B, et all. Urinary Tract Infections in Adults. In Potts J.M, ed. Essential
Urology, A Guide to Clinical Practice. New Jersey: Humana Press. 2004:183-189
20. Anonim. Pyelonephritis Acute. In Williamson, M.A & Snyder L.M. Wallachs
Interpretation of Diagnostic Test 9th. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins a
Wolters Kluwer Publishers. 2011: 730-731
21. Meyrier, A. Urinary Tract Infection. Available from:
http://www.kidneyatlas.org/book2/adk2_07.pdf (diakses 22 Mei 2012)