Вы находитесь на странице: 1из 55

Laporan Kasus

Seorang Laki-Laki, 56 Tahun, Datang dengan Keluhan


Sesak Semakin Hebat Sejak 1 Hari SMRS

Oleh:

S. Ali Ar Ridha M. 04054821618062

Maya Chandra Dita 04084821618178

Pembimbing:

dr. Suprapti Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

2016
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Seorang Laki-Laki, 56 Tahun, Datang dengan Keluhan


Sesak Semakin Hebat Sejak 1 Hari SMRS

Oleh :

S. Ali Ar Ridha M.
Maya Chandra Dita

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.

Palembang, Desember 2016

dr.Suprapti Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Seorang Laki-Laki, 56 Tahun,
Datang dengan Keluhan Sesak Semakin Hebat Sejak 1 Hari SMRS.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Suprapti Sp.PD selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporanini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, Desember 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ..............................................................................2
Identifikasi..............................................................................................2
Anamnesis..............................................................................................2
Pemeriksaan Fisik..................................................................................3
Pemeriksaan Tambahan..........................................................................5
Diagnosis................................................................................................5
Tatalaksana.............................................................................................5
Prognosis................................................................................................6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................7
Gagal Ginjal Kronis...............................................................................7
Nefrosklerosis Hipertensif ....................................................................16
Anemia pada Penyakit Ginjal................................................................22
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal. Keadaan
dimana ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan
komposisi cairan tubuh yang berlangsung progresif, lambat, samar dan bersifat
irreversible (biasanya berlangsung beberapa tahun) di sebut dengan gagal ginjal
kronik. Gagal ginjal kronik bersifat samar karena hampir 75% jaringan ginjal
dapat dihancurkan sebelum gangguan fungsi ginjal terdeteksi. Karena besarnya
cadangan fungsi ginjal, 25% dari jaringan ginjal sudah cukup untuk menjalankan
semua fungsi regulatorik dan eksretorik ginjal. Namun dengan kurang dari 25%
jaringan fungsional ginjal yang tersisa, insufisiensi ginjal akan tampak. (1)
Di Amerika Serikat, kejadian dan prevalensi gagal ginjal meningkat, dan
jumlah orang dengan gagal ginjal yang dirawat dengan dialisis dan transplantasi
diproyeksikan meningkat dari 340.000 di tahun 1999 dan 651.000 dalam tahun
2010. Data menunjukkan bahwa setiap tahun 200.000 orang Amerika menjalani
hemodialisis karena gangguan ginjal kronis artinya 1140 dalam satu juta orang
Amerika adalah pasien dialisis. Di negara Malaysia dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya). Di dunia, sekitar
2.622.000 orang telah menjalani pengobatan End-Stage Renal Disease pada akhir
tahun 2010, sebanyak 2.029.000 orang (77%) diantaranya menjalani 2 pengobatan
dialisis dan 593.000 orang (23%) menjalani transplantasi ginjal. Sedangkan kasus
gagal ginjal di Indonesia setiap tahunnya masih terbilang tinggi karena masih
banyak masyarakat Indonesia tidak menjaga pola makan dan kesehatan tubuhnya.
Dari survei yang dilakukan oleh Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) pada
tahun 2009, prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia (daerah Jakarta,
Yogyakarta, Surabaya, dan Bali) sekitar 12,5%, berarti sekitar 18 juta orang
dewasa di Indonesia menderita penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik
berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. Sukarni bin Rebin
Tanggal Lahir : 5 April 1960
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Gajah Mati,Sungai Keruh,Banyuasin, Sumatera Selatan
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Suku Bangsa : Sumatera
MRS : Minggu 11 Desember 2016
No. RM : 983447

II.ANAMNESIS
II.1.Keluhan Utama:
Sesak semakin hebat sejak 1 hari SMRS

2.2. Riwayat Perjalanan Penyakit:

Tn. Sukarni, 56 tahun datang dengan keluhan sesak semakin hebat sejak 1
hari SMRS.
3 hari SMRS os mengeluh sesak napas, mengi tidak ada, sesak tidak
dipengaruhi oleh aktivitas, posisi, cuaca maupun emosi, sesak dirasakan terus
menerus, batuk ada, batuk tidak berdahak, mengi tidak ada, demam tidak ada,
mual dan muntah tidak ada, nyeri dada tidak ada, BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Os belum berobat.
1 hari SMRS os mengeluh sesak semakin hebat, mengi tidak ada, sesak
tidak dipengaruhi oleh aktivitas, os mengeluh sulit tidur, sesak dirasakan
bertambah bila os tidur terlentang, os nyaman tidur dengan posisi setengah duduk.
Bengkak pada kedua tungkai tidak ada, demam tidak ada, batuk dirasakan
penderita, os mengeluh mual jika makan, muntah ada dengan frekuensi 3-4 kali
per hari, dengan muntah apa yang dimakan, darah tidak ada. Os juga mengeluh
tidak bisa BAK, lalu os berobat ke rumah sakit di Banyuasin dan di rumah sakit
2
tersebut os dipasang kateter, os bisa BAK, BAK tidak berbuih, tidak berpasir, dan
tidak ada darah. BAB tidak ada keluhan, os lalu dirujuk ke RSMH, di IGD RSMH
os mengeluh timbul mata merah sebelah kiri dan gusi berdarah.

2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat asma tidak ada
Riwayat batuk lama tidak ada
Riwayat sakit paru tidak ada
Riwayat hipertensi tidak ada
Riwayat DM tidak ada
Riwayat BAK berpasir tidak ada
Riwayat batu di saluran kemih ada dan telah diangkat sejak 5 th lalu
Riwayat merokok ada sejak usia 30 tahun 1 bungkus/minggu.

2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Riwayat sakit paru dalam keluarga disangkal.
Riwayat darah tinggi, kencing manis, kelainan jantung, kelainan ginjal
dalam keluarga disangkal.

III. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik Umum
Kesadaran : GCS = 15 (E4M6V5)
Suhu Badan : 36,4 C
Nadi : 86 x/mnt
Pernapasan : 25 x/mnt
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
BB : 60 kg TB : 160 cm

Pemeriksaan Fisik Khusus


Kepala
Bentuk : Normochepali Deformitas : (-)
Simetris : simetris Nyeri tekan : (-)
Rambut : normal Bising : (-)

3
Mata
Exophtalmus :- sklera : ikterik (-/-)
Enophtalmus :- kornea : normal
Kelopak : normal pupil : normal
Conjunctiva visus : 6/6
- palpebra : anemis (+/+) gerakan : normal
- bulbi : perdarahan (+) lapangan pandang : normal

Leher
JVP : 5-2 cmH2O,
Kel. getah bening : tidak teraba Kaku kuduk :-
Kel. Gondok : tidak teraba Tumor :-
Trachea : sentral

Thorax
Jantung :Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II, batas kanan
linea sternalis dextra ICS V, batas kiri linea
mid clavicularis sinistra ICS V
Auskultasi : HR= 82x/menit, Bunyi jantung I-II (+)
normal, murmur (-), gallop (-)
Paru :Inspeksi : Statis simetris kanan = kiri
Dinamis simetris kanan & kiri
Retraksi sela iga (-)
Palpasi :Stem fremitus kiri = kanan
Pelebaran sela iga (-)
Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Perkusi :Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi
(-)
Abdomen :Inspeksi :datar, venektasi (-), jaringan parut (-)
Palpasi : Lemas, venektasi (-), jaringan parut (-),
hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan tidak
ada
Perkusi : Timpani, shifting dulness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema pretibial (-/-)

LABORATORIUM

4
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin 11,7 gr/dL 13,48-17,40 gr/dL
Hematokrit 32% 43-49%
Eritrosit 4,07x 103 /mm3 4,40-6,30x103/mm3
Leukosit 41,2 x 103 /mm3 4,73-10,89 x 103 /mm3
Trombosit 25 x 103/L 170-396 x 103/L
GDS 147 mg/dL <200 mg/dL
SGOT 164 U/L 0-38 U/L
SGPT 106U/L 0-41 U/L
Ureum 234 mg/dL <50 mg/dL
Kreatinin 8,27 mg/dL 0,50-0,90 mg/dL
Kalsium 5,9 mg/dL 8,8-10,2 mg/dL
Natrium 136 mg/dL 135-155 mg/dL
Kalium 3,3 mg/dL 3,5-5,5 mg/dL

PEMERIKSAAN URIN

5
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Warna Kuning keruh Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
Berat Jenis 1,025 1,003-1,030
pH 5.0 5-9
Protein Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah Positif ++ Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen 1 0,1-1,8
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Esterase Positif +++ Negatif
Sedimen Urine
Epitel Negatif Negatif
Leukosit 6-8 0-5
Eritrosit 15-18 0-1
Silinder Silinder granular ++ Negatif
+
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Mukus Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif

6
IV. DIAGNOSIS
CKD stage V ec Nefropati Destruktif
Gastropati Uremikum
Trombositopenia
Infeksi Saluran Kemih
V. DIAGNOSIS BANDING :
Gagal Ginjal Akut

VI. PENATALAKSANAAN
A. Norfarmakologis
Istirahat
Edukasi
O2 Nasal Canul 5L/m
Rencana hemodialisis

B. Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m micro
- Inj. Furosemid 1 x 20 mg IV/ 24 jam
- Inj Ca Glukonas 1 x 1 gr IV/ 8 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 1 gr IV/ 12 jam
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg IV/ 24 jam
- Asam folat 1 x 1 mg per oral/ 8 jam

VII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad malam

VIII. FOLLOW UP

Tanggal/ Jam Catatan Perkembangan Terintegrasi

13 Desember S= lemas, mata merah sebelah kiri


2016/ 06.00 O= sens: CM, TD: 100/70 mmHg, N: 90x/m
RR: 26x/m, T: 36,8C
Keadaan spesifik

7
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/-,
subconjungtival bleeding (+)
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 90x/m, murmur (-) gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : edema pretibia (-/-)
A: CKD stage V ec nefropati destruktif
Subconjungtival bleeding ec trombositopenia
ISK
Gastropati Uremikum
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- O2 5 L/m kanul
- Edukasi
- Diet protein 40 gr
- Balance cairan
Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m micro
- Inj. Furosemid 1 x 20 mg IV/ 24 jam
- Inj Ca Glukonas 1 x 1 gr IV/ 8 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 1 gr IV/ 12 jam
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg IV/ 24 jam
- Asam folat 1 x 1 mg per oral/ 8 jam

19 agustus S= sesak
2016/ 06.00 O= sens: CM, TD: 160/100 mmHg, N: 92x/m
RR: 26x/m, T: 36,4C
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 92x/m, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi basah halus (+), wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, shifting dulness (-)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)
A: CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi

8
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- O2 5 L/m kanul
- Edukasi
- Diet protein 40 gr
Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m mikro
- Inj. Furosemid 1 x20 mg IV
- Asam folat 2 x 1 mg (PO)
- Neurodex 1 x 1tab
- Clonidine 2 x 0,15 mg PO
- Valsartan 1 x 50 mg PO
20 agustus S= -
2016/ 06.00 O= sens: CM, TD: 180/100 mmHg, N: 90x/m
RR: 21x/m, T: 36,5C
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 92x/m, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi basah halus (+), wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, shifting dulness (-)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)
A: CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- O2 5 L/m kanul
- Edukasi
- Diet protein 40 gr
Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m mikro
- Inj. Furosemid 1 x20 mg IV
- Asam folat 2 x 1 mg (PO)
- Neurodex 1 x 1tab
- Clonidine 2 x 0,15 mg PO

9
- Valsartan 1 x 50 mg PO

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi


Sistem urinarius terdiri dari 2 ginjal (ren), 2 ureter, vesika urinaria dan
uretra. System urinarius berfungsi sebagai system ekskresi dari cairan tubuh.
Ginjal berfungsi untuk membentuk atau menghasilkan urin dan saluran kemih
lainnya berfungsi untuk mengekskresikan atau mengeliminasi urin. Sel-sel tubuh
memproduksi zat-zat sisa seperti urea, kreatinin dan ammonia yang harus
diekskresikan dari tubuh sebelum terakumulasi dan menyebabkan toksik bagi
tubuh. Selain itu, ginjal juga berfungsi untuk regulasi volume darah tubuh,
regulasi elekterolit yang terkandung dalam darah, regulasi keseimbangan asam
basa, dan regulasi seluruh cairan jaringan tubuh. Saluran kemih bagian atas adalah
ginjal, sedangkan ureter, kandung kemih (vesika urinaria) dan uretra merupakan
saluran kemih bagian bawah.

Gambar 1. Struktur saluran kemih manusia

11
Ginjal memiliki tiga bagian penting yaitu korteks, medulla dan pelvis
renal. Bagian paling superfisial adalah korteks renal, yang tampak bergranula. Di
sebelah dalamnya terdapat bagian lebih gelap, yaitu medulla renal. Ujung
ureter yang berpangkal di ginjal, berbentuk corong lebar disebut pelvis renal.
Pelvis renal bercabang dua atau tiga, disebut kaliks mayor yang masing-masing
bercabang membentuk beberapa kaliks minor. Dari kaliks minor, urin masuk ke
kaliks mayor, ke pelvis renal kemudian ke ureter, sampai akhirnya ditampung di
dalam kandung kemih.
Ureter terdiri dari dua saluran pipa yang masing-masing menyambung
dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria). Panjangnya kira-kira 25-30 cm,
dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan
sebagian terletak dalam rongga pelvis. Kandung kemih adalah
kantong yang terbentuk dari otot tempat urin mengalir dari ureter. Dinding
kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium).

Gambar.2 Struktur anatomi ginjal,

Sumber: Essential of Anatomy and Physiology 5th edition, 2007, Hal. 422.

Bagian akhir saluran keluar yang menghubungkan kandung kemih


denganluar tubuh ialah uretra. Uretra pria sangat berbeda dari uretra wanita. Pada
laki-laki, sperma berjalan melalui uretra waktu ejakulasi. Uretra pada laki-laki
merupakan tuba dengan panjang kira-kira 17-20 cm dan memanjang dari kandung
kemih ke ujung penis.
Uretra pada laki-laki mempunyai tiga bagian yaitu : uretra prostatika,
12
uretra membranosa dan uretra spongiosa. Uretra wanita jauh lebih pendek
daripada pria, karena hanya 2,5-4 cm panjangnya dan memanjang dari kandung
kemih ke arah ostium diantara labia minora kira-kira 2,5 cm di sebelah belakang
klitoris.

Gambar 3. Vesika urinaria dan uretra pada perempuan dan laki-laki

Sumber: Essential of Anatomy and Physiology 5th edition,2007, Hal. 432

Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan
ekskretorik yaitu :
(1) filtrasi glomerulus
Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus
ke dalam kapsula Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk
membran glomerulus yaitu dinding kapiler glomerulus, lapisan
gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai membran basal dan lapisan
dalam kapsula bowman.
Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel gepeng,
memiliki lubang lubang dengan banyak pori pori besar atau fenestra,
13
yang membuatnya seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat
terlarut dibandingkan kapiler di tempat lain.
Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di
antara glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan
struktural, sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma
kecil. Walaupun protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi
karena tidak dapat melewati pori pori diatas, pori pori tersebut
sebenarnya cukup besar untuk melewatkan albumin dan protein plasma
terkecil. Namun, glikoprotein karena bermuatan sangat negatif akan
menolak albumin dan pritein plasma lain, karena yang terakhir juga
bermuatan negatif. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya
tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin yang berhasil
lolos untuk masuk ke kapsula bowman.
Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip
gurita yang mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki
banyak tonjolan memanjang seperti kaki yang saling menjalin dengan
tonjolan podosit di dekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang
berdekatan dikenal sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi cairan
untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke dalam lumen kapsula
bowman.
Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah
tekanan darah kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan
tekanan hidrostatik kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah
tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus.
Tekana darah glomerulus yang meningkat ini mendorong cairan keluar
dari glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di sepanjang kapiler
glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi
glomerulus.
GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid
yang melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan
filtrasi, penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan
peningkatan GFR. Sedangkan tekanan hidrostatik dapat meningkat secara
tidak terkontrol dan dapat mengurangi laju filtrasi. Untuk mempertahankan

14
GFR tetap konstan, maka dapat dikontrol oleh otoregulasi dan kontrol
simpatis ekstrinsik.
Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri,
karena tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam
kapiler glomerulus. Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti
oleh peningkatan GFR. Untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus agar
tetap konstan, maka ginjal melakukannya dengan mengubah kaliber
arterial aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah dapat disesuaikan.
Apabila GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri, maka
GFR akan kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang
akan menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus.
Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap
konstan adalah dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh
masukan sistem saraf simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan
darah arteri sehingga terjadi perubahan GFR akibat refleks baroreseptor
terhadap perubahan tekanan darah.
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke
glomerulus difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan
180 L filtrat glomerulus setiap hari untuk GFR rata rata 125 ml/menit
pada pria dan 160 liter filtrat per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk
wanita.

(2) reabsorpsi tubulus


Merupakan proses perpindahan selektif zat zat dari bagian dalam
tubulus (lumen tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke
sistem vena kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Proses ini
meupakan transport aktif dan pasif karena sel sel tubulus yang
berdekatan dihubungkan oleh tight junction. Glukosa dan asam amino
dereabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui transport
aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif
dan di sekresi ke dalam tubulus distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara
aktif di sepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars descendens. H 2O,
Cl-, dan urea direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal melalui transpor
pasif. Berikut ini merupakan zat zat yang direabsorpsi di ginjal :

15
a. Reabsorpsi Glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus
proksimal. Proses reabsorpsi glukosa ini bergantung pada
pompa Na ATP-ase, karena molekul Na tersebut berfungsi
untuk mengangkut glukosa menembus membran kapiler
tubulus dengan menggunakan energi.
b. Reabsorpsi Natrium
Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 99%
akan direabsorpsi secara aktif ditubulus. Sebagian natrium
67% direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di
lengkung henle dan 8% di tubulus distal dan tubulus
pengumpul. Natrium yang direabsorpsi sebagian ada yang
kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga berperan
penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea.
c. Reabsorpsi Air
Air secar apasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang
tubulus. Dari H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di
tubulus proksimal dan ansa henle. Kemudian sisa H 2O
sebanyak 20% akan direabsorpsi di tubulus distal dan
duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin.
d. Reabsorpsi Klorida
Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi
secara pasif mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif
dan natrium yang bermuatan positif. Jumlah Klorida yang
direabsorpsikan ditentukan oleh kecepatan reabsorpsi Na
e. Reabsorpsi Kalium
Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan
direabsorpsi secara difusi pasif di tubulus proksimal
sebanyak 50%, 40% kalium akan dirabsorpsi di ansa henle
pars assendens tebal, dan sisanya direabsorpsi di duktus
pengumpul

f. Reabsorpsi Urea

16
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein.
Ureum akan difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian
akan direabsorpsi sebagian di kapiler peritubulus, dan urea
tidak mengalami proses sekresi. Sebagian ureum akan
direabsorpsi di ujung tubulus proksimal karena tubulus
kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea. Saat
mencapai duktus pengumpul urea akan mulai direabsorpsi
kembali.
g. Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium
Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion
fosfat dan kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi
seluruhnya di glomerulus, 40% direabsorpsi di tubulus
kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi di ansa henle
pars assendens. Dalam reabsorpsi kalsium dikendalikan
oleh homon paratiroid. Ion fosfat ayng difiltrasi, akan
direabsorpsi sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal
kemudian sisanya akan dieksresikan ke dalam urin.
(3) sekresi tubulus
Proses perpindahan selektif zat zat dari darah kapiler peritubulus
ke dalam lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H +,
K+ dan ion ion organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi
transepitel. Di sepanjang tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam
cairan tubulus sehingga dapat tercapai keseimbangan asam basa. Asam
urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari kalium
yang terfiltrasi akan dieksresikan ke dalam urin dan kontrol sekresi ion
K+ tersebut diatur oleh hormon antidiuretik. Kemudian hasil dari ketiga
proses tersebut adalah terjadinya eksresi urin, dimana semua
konstituen plasma yang mencapai tubulus, yaitu yang difiltrasi atau
disekresi tetapi tidak direabsorpsi, akan tetap berada di dalam tubulus
dan mengalir ke pelvis ginjal untuk eksresikan sebagai urin.

17
Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar
ditujukan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal :
1.
Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
2.
Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk
Na+, Cl-, K+, HCO3-, Ca++, Mg++, SO4=, PO4= dan H+
3.
Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan
dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini
dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan
garam dan H2O
4.
Membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh, dengan
menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin
5.
Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan
tubuh, terutama melalui pengaturan keseimbangan H2O
6.
Mengeksresikan (eliminasi) produk produk sisa (buangan) dari
metabolisme tubuh. Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika
dibiarkan menumpuk, zat zat sisa tersebut bersifat toksik, terutama
bagi otak
7.
Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah
pada makanan, pestisida, dan bahan bahan eksogen non-nutrisi
lainnya yang berhasil masuk ke dalam tubuh
8.
Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang
pembentukan sel darah merah
9.
Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi
berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal
10.
Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya

18
3.2. Gagal Ginjal Kronis
3.2.1. Definisi
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m,
seperti pada tabel berikut:

Tabel.1 Batasan penyakit ginjal kronik


Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
0 Kelainan patologik
1 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan


oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan
nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi
penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal
dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan
penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan
penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan
penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Suwitra, 2006).

19
Tabel 2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik
Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1.73
m)
0 Risiko meningkat 90 dengan faktor
risiko
1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau 90
Meninggi
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 umur) X berat badan *)


72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

3.2.2. Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer
apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis
sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis.
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara
kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat
medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis.
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa
darahnya

c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.

d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.

3.2.3. Faktor risiko


Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal
dalam keluarga (Mansjoer, 2002).

3.2.4. Patofisiologi
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun
penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan
adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang
sedang berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan
adanya mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama
pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun.
Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal
akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih
lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang
berakhir dengan gagal ginjal terminal (Mansjoer, 2002).

3.2.5. Gambaran klinik


Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan
kelainan kardiovaskular.
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi
bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml
per menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh
flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi
atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna
ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai
pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa
merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat
seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai
pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung (Mansjoer,
2002).

3.2.6. Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran
berikut:
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan


pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal
(LFG).
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,
yaitu:
1) Diagnosis etiologi GGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut,
ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi
antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).

2) Diagnosis pemburuk faal ginjal


Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG) (Suwitra, 2006).

3.2.7. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin
kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah,
anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat
badan (Suwitra, 2006).

3.2.8. Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.

c. Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat. Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal
buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel
(hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur
yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang
mahal.
2) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih
cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal) (Suwitra,
2006).
3.3. Infeksi Saluran Kemih
3.3.1. Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan
bakteriuria patogen dengan colony forming units per mL CFU/ ml urin > 105, dan lekositouria
>10 per lapangan pandang besar, disertai manifestasi klinik 4. ISK akhir-akhir ini juga
didefinisikan sebagai suatu respon inflamasi tubuh terhadap invasi mikroorganisme pada
urothelium3,6.

Beberapa istilah yang perlu dipahami:

Bakteriuria bermakna (significant backteriuri) adalah keberadaan mikroorganisme murni


(tidak terkontaminasi flora normal dari uretra) lebih dari 10 5 colony forming units per mL
(cfu/ml) biakan urin dan tanpa lekosituria1,4.
Bakteriuria simtomatik adalah bakteriuria bermakna dengan manifestasi klinik1,4
Bakteriuria asimtomatik (covert bacteriuria) adalah bakteriuria bermakna tanpa
manifestasi klinik1,4.

3.3.2. Epidemiologi

Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit yang paling sering ditemukan di
praktik umum. Kejadian ISK dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, gender, prevalensi
bakteriuria, dan faktor predisposisi yang mengakibatkan perubahan struktur saluran kemih
termasuk ginjal. ISK cenderung terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. ISK berulang
pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai factor predisposisi1.
Menurut penelitian, hampir 25-35% perempuan dewasa pernah mengalami ISK
selama hidupnya. Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering ditemukan pada
perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (School girls) 1% meningkat menjadi 5 %
selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30%
pada laki-laki dan perempuan jika disertai faktor predisposisi1.
Di Amerika Serikat, terdapat >7 juta kunjungan pasien dengan ISK di tempat praktik
umum. Sebagian besar kasus ISK terjadi pada perempuan muda yang masih aktif secara
seksual dan jarang pada laki-laki <50 tahun5. Insiden ISK pada laki-laki yang belum
disirkumsisi lebih tinggi (1,12%) dibandingkan pada laki-laki yang sudah disirkumsisi
(0,11%)3.
Tabel 3 Epidemiologi infeksi saluran kemih berdasarkan umur dan jenis kelamin

Sumber: Smiths General urology 17th edition, 2008, halaman 194

3.3.3. Etiologi
Pada umumnya ISK disebabkan oleh mikroorganisme (MO) tunggal seperti:1

Eschericia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan ISK
simtomatik maupun asimtomatik
Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK anak
laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp dan Stafilokokus dengan koagulase negatif
Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang dijumpai, kecuali pasca
kateterisasi
Gambar. 4 gambaran bakteri E.coli, berbentuk basil dan adanya fimbrae atau pili

Tabel 4. Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih

Sumber: Nefrologi Klinik, edisi III. 2006, hal.33

3.3.4. Patogenesis
Patogenesis bakteriuri asimtomatik menjadi bakteriuri simtomatik tergantung dari
patogenitas bakteri sebagai agent, status pasien sebagai host dan cara bakteri masuk ke
saluran kemih (bacterial entry) 1,3. Tidak semua bakteri dapat menginfeksi dan melekat pada
jaringan saluran kemih. Bakteri tersering yang menginfeksi saluran kemih adalah E.coli yang
bersifat uropathogen.1,3,7,8.
Strain bakteri E. coli hidup atau berkoloni di usus besar atau kolon manusia. Beberapa
strain bakteri E. coli dapat berkoloni di daerah periuretra dan masuk ke vesika urinaria. Strain
E. coli yang masuk ke saluran kemih dan tidak memberikan gejala klinis memiliki strain yang
sama dengan strain E. coli pada usus (fecal E.coli), sedangkan strain E. coli yang masuk ke
saluran kemih manusia dan mengakibatkan timbulnya manifestasi klinis adalah beberapa
strain bakteri E. coli yang bersifat uropatogenik dan berbeda dari sebagian besar E.coli di
usus manusia (fecal E.coli). Strain bakteri E.coli ini merupakan uropatogenik E.coli (UPEC)
yang memiliki faktor virulensi8.
Penelitian intensif berhasil menentukan faktor virulensi E.coli dikenal sebagai
virulence determinalis1.

Gambar 5. Penampang pemukaan Escherichia coli

Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 86


Tabel 5. Faktor Virulensi E.coli

Penentu virulensi Alur

Fimbriae Adhesi
Pembentuk jaringan ikat (scarring)

Resistensi terhadap pertahanan tubuh


Kapsul antigen K Perlengketan (attachment)

Resistensi terhadap fagositosis

Lipopolysaccharide side
chains (O antigen)
Inhibisi peristalsis ureter
Proinflamatori

Lipid A (endotoksin)
Kelasi besi
Antibiotika resisten
Kemungkinan perlengketan

Inhibisi fungsi fagosit


Membran protein lainnya Sekuestrasi besi

Hemolysin

Sumber: Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V, 2009, hal.1010

Bakteri patogen dari urin dapat menyebabkan manifestasi klinis bergantung pada
perlengketan mukosa oleh bakteri, faktor virulensi, dan variasi faktor virulensi1.

Peranan Perlengketan Mukosa oleh Bakteri (Bacterial attachment of mucosa)


Menurut penelitian, fimbriae (proteinaceous hair-like projection from bacterial surface)
merupakan salah satu pelengkap patogenesitas yang mempunyai kemampuan untuk melekat
pada permukaan mukosa saluran kemih1.
Fimbriae atau pili memiliki ligand di permukaannya yang berfungsi untuk berikatan
dengan reseptor glikoprotein dan glikolipid pada permukaan membran sel uroepithelial.
Fimbriae atau pili dibagi berdasarkan kemampuan hemaaglutinasi dan tipe sugar yang berada
pada permukaan sel. Pada umumnya P fimbriae yang dapat menaglutinasi darah, berikatan
dengan reseptor glikolipid antigen pada sel uroepithelial, eritrosit (antigen terhadap P blood
group) dan sel-sel tubulus renalis. Sedangkan fimbriae tipe 1 berikatan dengan sisa
mannoside pada sel uroepithelial3.
Berdasarkan penelitian P fimbriae terdapat pada 90% bakteri E.coli yang
menyebabkan pyelonefritis dan hanya < 20% strain E.coli yang menyebabkan ISK bawah.
Sedangkan fimbriae tipe 1 lebih berperan dalam membantu bakteri untuk melekat pada
mukosa vesika urinaria3.

Peranan Faktor Virulensi


Setelah fimbrae atau pili berhasil melekat pada sel uroepithelial (sel epitel saluran kemih),
maka proses selanjutnya dilakukan oleh faktor virulensi lainnya. Sebagian besar uropatogenik
E.coli (UPEC) menghasilkan hemolysin yang befungsi untuk menginisiasi invasi UPEC pada
jaringan dan mengaktivasi ion besi bagi kuman patogen (sekuestrasi besi). Keberadaan
kaspsul K antigen dan O antigen pada bakteri yang menginvasi jaringan saluran kemih
melindungi bakteri dari proses fagositosis oleh neutrofil. Keadaan ini mengakibatkan UPEC
dapat lolos dari berbagai mekanisme pertahanan tubuh host. Beberapa penelitian terakhir juga
mengatakan bahwa banyak bakteri seperti E.coli memiliki kemampuan untuk menginvasi sel
host sebagai patogen oportunistik intraseluler1,3,4.
Sifat patogenitas lain dari strain E.coli yaitu toksin, dikenal beberapa toksin seperti -
haemolysin, cytotoxic necrotizing factor-1 (CNF-1) dan iron uptake system (aerobactin dan
enterobactin). Hampr 95% sifat -haemolysin ini terikat pada kromosom dan berhubungan
dengan phatogenicity island (PAIS) dan hanya 5 % terikat pada gen plasmid4.

Peranan Variasi Fase Faktor Virulensi


Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan bergantung dari
respon faktor luar. Konsep variasi MO ini menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi
yang bervariasi di antara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu ketahanan hidup
bakteri berbeda dalam vesika urinaria dan ginjal1.

Faktor Predisposisi Pencetus ISK


Menurut penelitian, status saluran kemih merupakan faktor risiko pencetus ISK. faktor
bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan penting untuk kolonisasi bakteri
pada saluran kemih. Kolonisasi bakteri sering mengalami kambuh (eksaserbasi) bila sudah
terdapat kelainan struktur anatomi saluran kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis
ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens normal
dan sangat peka terhadap infeksi1.
Selain itu urin juga memiliki karakter spesifik (osmolalitas urin, konsentrasi urin,
konsentrasi asam organik dan pH) yang dapat menghambat pertumbuhan dan kolonisasi
bakteri pada mukosa saluran kemih. Menurut penelitian urin juga mengandung faktor
penghambat perlekatan bakteri yakni Tamm-Horsfall glycoprotein, dikatakan bahwa
bakteriuria dan tingkat inflamasi di saluran kemih meningkat pada defisit THG. THG
membantu mengeliminasi infeksi bakteri pada saluran kemih dan berperan sebagai salah satu
mekanisme pertahanan tubuh3.
Retensi urin, stasis, dan refluks urin ke saluran cerna bagian atas juga dapat
meningkatkan pertumbuhan bakteri dan infeksi. Selain itu, abnormalitas anatomi dan
fungsional saluran kemih yang dapat menganggu aliran urin dapat meningkatkan kerentanan
host terhadap ISK1,3. Keberadaan benda asing seperti adanya batu, kateter, stent dapat
membantu bakteri untuk bersembunyi dari mekanisme pertahanan host3,9

Tabel 6. Faktor predisposisi (pencetus) ISK

Faktor predisposisi (pencetus) ISK

Litiasis
Obstruksi saluran kemih
Penyakit ginjal polikistik
Nekrosis papilar
DM pasca transplantasi ginjal
Nefropati analgesik
Penyakit Sickle-cell
Senggama
Kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron
Kateterisasi
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V, 2009, halaman 1009

Status Imunologi Pasien


Lapisan epitel pada dinding saluran kemih mengandung membran yang melindungi jaringan
dari infeksi dan berkapasitas untuk mengenali bakteri dan mengaktivasi mekanisme
pertahanan tubuh. Sel uroepithelial mengekspresikan toll-like receptors (TLRs) yang dapat
mengikat komponen spesifik dari bakteri sehingga menghasilkan mediator inflamasi. Respon
tubuh dengan mengsekresikan kemotraktan seperti interleukin-8 untuk merekrut neutrofil ke
area jaringan yang terinvasi. Selain itu, ginjal juga memproduksi antibodi untuk opsonisasi
dan fagositosis bakteri serta untuk mencegah perlekatan bakteri. Mekanisme imunitas seluler
dan humoral ini berperan dalam pencegahan ISK, oleh karena itu imunitas host berperan
penting dalam kejadian ISK3,4 Penelitian
laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah dan status secretor mempunyai
kontribusi untuk kepekaan terhadap ISK. Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan
golongan darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe fimbriae bakteri) dan dengan fenotipe
golongan darah lewis1. Terdapat
beberapa rute masuk bakteri ke saluran kemih. Pada umumnya, bakteri di area periuretra naik
atau secara ascending masuk ke saluran genitourinaria dan menyebabkan ISK 1,2,3 Sebagian
besar kasus pielonefritis disebabkan oleh naiknya bakteri dari kandung kemih, melalui ureter
dan masuk ke parenkim ginjal. Kejadian ISK oleh karena invasi MO secara ascending juga
dipermudah oleh refluks vesikoureter. Pendeknya uretra wanita dikombinasikan dengan
kedekatannya dengan ruang depan vagina dan rektum merupakan predisposisi yang
menyebabkan perempuan lebih sering terkena ISK dibandingkan laki-laki3,4.
Penyebaran secara
hematogen umumnya jarang, namun dapat terjadi pada pasien dengan immunocompromised
dan neonatus. Staphylococcus aureus, Spesies Candida, dan Mycobacterium tuberculosis
adalah kuman patogen yang melakukan perjalanan melalui darah untuk menginfeksi saluran
kemih2,3,4,9. Penyebaran limfatogenous melalui
dubur, limfatik usus, dan periuterine juga dapat menyebabkan invasi MO ke saluran kemih
dan mengakibatkan ISK. Selain itu, invasi langsung bakteri dari organ yang berdekatan ke
dalam saluran kemih seperti pada abses intraperitoneal, atau fistula vesicointestinal atau
vesikovaginal dapat menyebabkan ISK3.

3.3.5. Klasifikasi
Berdasarkan letak anatomi, ISK digolongkan menjadi:

Infeksi Saluran Kemih Atas


Infeksi saluran kemih atas terdiri dari pielonefritis dan pielitis. Pielonefritis terbagi menjadi
pielonefritis akut (PNA) dan pielonefritis kronik (PNK). Istilah pielonefritis lebih sering
dipakai dari pada pielitis, karena infeksi pielum (pielitis) yang berdiri sendiri tidak pernah
ditemukan di klinik4.
Pielonefritis akut (PNA) adalah radang akut dari ginjal, ditandai primer oleh radang
jaringan interstitial sekunder mengenai tubulus dan akhirnya dapat mengenai kapiler
glomerulus, disertai manifestasi klinik dan bakteriuria tanpa ditemukan kelainan radiologik3,4.
PNA ditemukan pada semua umur dan jenis kelamin walaupun lebih sering ditemukan pada
wanita dan anak-anak. Pada laki-laki usia lanjut, PNA biasanya disertai hipertrofi prostat 4.
Pielonefritis Kronik (PNK) adalah kelainan jaringan interstitial (primer) dan sekunder
mengenai tubulus dan glomerulus, mempunyai hubungan dengan infeksi bakteri (immediate
atau late effect) dengan atau tanpa bakteriuria dan selalu disertai kelainan-kelainan radiologi.
PNK yang tidak disertai bakteriuria disebut PNK fase inaktif. Bakteriuria yang ditemukan
pada seorang penderita mungkin berasal dari pielonefritis kronik fase aktif atau bakteriuria
tersebut bukan penyebab dari pielonefritis tetapi berasal dari saluran kemih bagian bawah
yang sebenarnya tidak memberikan keluhan atau bakteriuria asimtomatik. Jadi diagnosis
PNK harus mempunyai dua kriteria yakni telah terbukti mempunyai kelainan-kelainan faal
dan anatomi serta kelainan-kelainan tersebut mempunyai hubungan dengan infeksi bakteri.
Dari semua faktor predisposisi ISK, nefrolithiasis dan refluks vesiko ureter lebih memegang
peranan penting dalam patogenesis PNK4. Pielonefritis kronik mungkin akibat lanjut dari
infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Pada PNK juga sering
ditemukan pembentukan jaringan ikat parenkim1.
Infeksi Saluran Kemih Bawah
Infeksi saluran kemih bawah terdiri dari sistitis, prostatitis dan epidimitis, uretritis, serta
sindrom uretra. Presentasi klinis ISKB tergantung dari gender. Pada perempuan biasanya
berupa sistitis dan sindrom uretra akut, sedangkan pada laki-laki berupa sistitis, prostatitis,
epidimitis, dan uretritis1.
Sistitis terbagi menjadi sistitis akut dan sistitis kronik. Sistitis akut adalah radang
selaput mukosa kandung kemih (vesika urinaria) yang timbulnya mendadak, biasanya ringan
dan sembuh spontan (self-limited disease) atau berat disertai penyulit ISKA (pielonefritis
akut). Sistitis akut termasuk ISK tipe sederhana (uncomplicated type). Sebaliknya sistitis akut
yang sering kambuh (recurrent urinary tract infection) termasuk ISK tipe berkomplikasi
(complicated type), ISK jenis ini perlu perhatian khusus dalam pengelolaannya 4.
Sistitis kronik adalah radang kandung kemih yang menyerang berulang-ulang
(recurrent attact of cystitis) dan dapat menyebabkan kelainan-kelainan atau penyulit dari
saluran kemih bagian atas dan ginjal. Sistitis kronik merupakan ISKB tipe berkomplikas, dan
memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor predisposisi4.
Sindrom uretra akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan
mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis abakterialis karena tidak dapat diisolasi
mikroorganisme penyebabnya. Penelitian terkini menunjukkan bahwa SUA disebabkan oleh
MO anaerobik1,4.

3.3.6. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis ISK (simtomatologi ISK) dibagi menjagi gejala-gejala lokal,
sistemik dan perubahan urinalisis. Dalam praktik sehari-hari gejala cardinal seperti disuria,
polakisuria, dan urgensi sering ditemukan pada hampr 90% pasien rawat jalan dengan ISK
akut4.

Tabel 7. Simtomatologi ISK

Lokal Sistemik

Disuria Panas badan sampai


Polakisuria menggigil
Stranguria Septicemia dan syok
Tenesmus
Nokturia
Perubahan urinalisis
Enuresis nocturnal
Prostatismus Hematuria
Inkontinesia Piuria
Nyeri uretra Chylusuria
Nyeri kandung kemih Pneumaturia
Nyeri kolik
Nyeri ginjal
Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 37

Manifestasi klinik pada infeksi saluran kemih atas dan infeksi saluran kemih bawah
pada pasien dewasa dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 6. Hubungan antara lokasi infeksi saluran kemih dengan keluhan

Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 85

Pada pielonefritis akut (PNA), sering ditemukan panas tinggi (39.5C-40,5C),


disertai menggigil dan sakit pinggang1. Pada pemeriksaan fisik diagnostik tampak sakit berat,
panas intermiten disertai menggigil dan takikardia. Frekuensi nadi pada infeksi E.coli
biasanya 90 kali per menit, sedangkan infeksi oleh kuman staphylococcus dan streptococcus
dapat menyebabkan takikardia lebih dari 140 kali per menit. Ginjal sulit teraba karena spasme
otot-otot. Distensi abdomen sangat nyata dan rebound tenderness mungkin juga ditemukan,
hal ini menunjukkan adanya proses dalam perut, intra peritoneal. Pada PNA tipe sederhana
(uncomplicated) lebih sering pada wanita usia subur dengan riwayat ISKB kronik disertai
nyeri pinggang (flank pain), panas menggigil, mual, dan muntah. Pada ISKA akut (PNA akut)
tipe complicated seperti obastruksi, refluks vesiko ureter, sisa urin banyak sering disertai
komplikasi bakteriemia dan syok, kesadaran menurun, gelisah, hipotensi hiperventilasi oleh
karena alkalosis respiratorik kadang-kadang asidosis metabolik4. Pada pielonefritis
kronik (PNK), manifestasi kliniknya bervariasi dari keluhan-keluhan ringan atau tanpa
keluhan dan ditemukan kebetulan pada pemeriksaan urin rutin. Presentasi klinik PNK dapat
berupa proteinuria asimtomatik, infeksi eksaserbasi akut, hipertensi, dan gagal ginjal kronik
(GGK)4. Manifestasi klinik pada sistitis akut dapat
berupa keluhan-keluhan klasik seperti polakisuria, nokturia, disuria, nyeri suprapubik,
stranguria dan tidak jarang dengan hematuria. Keluhan sistemik seperti panas menggigil
jarang ditemukan, kecuali bila disertai penyulit PNA. Pada wanita, keluhan biasanya terjadi
36-48 jam setelah melakukan senggama, dinamakan honeymoon cystitis. Pada laki-laki,
prostatitis yang terselubung setelah senggama atau minum alkohol dapat menyebabkan sistitis
sekunder1,4. Pada sistitis kronik, biasanya tanpa keluhan atau
keluhan ringan karena rangsangan yang berulang-ulang dan menetap. Pada pemeriksaan fisik
mungkin ditemukan nyeri tekan di daerah pinggang, atau teraba suatu massa tumor dari
hidronefrosis dan distensi vesika urinaria4.
Manifestasi klinis sindrom uretra akut (SUA) sulit dibedakan dengan
sistitis. Gejalanya sangat miskin, biasanya hanya disuri dan sering kencing1.

3.3.7. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis


Analisis urin rutin4
Pemeriksaan analisa urin rutin terdiri dari pH urin, proteinuria (albuminuria), dan
pemeriksaan mikroskopik urin. Urin normal mempunyai pH bervariasi antara 4,3-8,0. Bila
bahan urin masih segar dan pH >8 (alkalis) selalu menunjukkan adanya infeksi saluran kemih
yang berhubungan dengan mikroorganisme pemecah urea (ureasplitting organism).
Albuminuria hanya ditemukan ISK. Sifatnya ringan dan kurang dari 1 gram per 24 jam.
Pemeriksaan mikroskopik urin terdiri dari sedimen urin tanpa putar (100 x) dan
sedimen urin dengan putar 2500 x/menit selama 5 menit. Pemeriksaan mikroskopik dengan
pembesaran 400x ditemukan bakteriuria >105 CFU per ml. Lekosituria (piuria) 10/LPB hanya
ditemukan pada 60-85% dari pasien-pasien dengan bakteriuria bermakna (CFU per ml >10 5).
Kadang-kadang masih ditemukan 25% pasien tanpa bakteriuria. Hanya 40% pasien-pasien
dengan piuria mempunyai bakteriuria dengan CFU per ml >10 5. Analisa ini menunjukkan
bahwa piuria mempunyai nilai lemah untuk prediksi ISK.
Tes dipstick pada piuria untuk deteksi sel darah putih. Sensitivitas 100% untuk >50
leukosit per HPF, 90% untuk 21-50 leukosit, 60% untuk 12-20 leukosit, 44 % untuk 6-12
leukosit. Selain itu pada pemeriksaan urin yang tidak disentrifuge dapat dilakukan
pemeriksaan mikroskopik secara langsung untuk melihat bakteri gram negatif dan gram
positif. Sensitivitas sebesar 85 % dan spesifisitas sebesar 60 % untuk 1 PMN atau
mikroorganisme per HPF. Namun pemeriksaan ini juga dapat mendapatkan hasil positif palsu
sebesar 10%10.

Uji Biokimia4
Uji biokimia didasari oleh pemakaian glukosa dan reduksi nitrat menjadi nitrit
dari bakteriuria terutama golongan Enterobacteriaceae. Uji biokimia ini hanya
sebagai uji saring (skrinning) karena tidak sensitif, tidak spesifik dan tidak dapat
menentukan tipe bakteriuria.

Mikrobiologi4
Pemeriksaan mikrobiologi yaitu dengan Colony Forming Unit (CFU) ml urin.
Indikasi CFU per ml antara lain pasien-pasien dengan gejala ISK, tindak lanjut selama
pemberian antimikroba untuk ISK, pasca kateterisasi, uji saring bakteriuria asimtomatik
selama kehamilan, dan instrumentasi. Bahan contoh urin harus dibiakan lurang dari 2 jam
pada suhu kamar atau disimpan pada lemari pendingin. Bahan contoh urin dapat berupa urin
tengah kencing (UTK), aspirasi suprapubik selektif.
Interpretasi sesuai dengan kriteria bakteriura patogen yakni CFU per ml >105 (2x)
berturut-turut dari UTK, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai lekositouria > 10 per ml
tanpa putar, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai gejala klinis ISK, atau CFU per ml >10 5
dari aspirasi supra pubik. Menurut kriteria Kunin yakni CFU per ml >10 5 (3x) berturut-turut
dari UTK..
Renal Imaging Procedures1
Renal imaging procedures digunakan untuk mengidentifikasi faktor predisposisi ISK,
yang biasa digunakan adalah USG, foto polos abdomen, pielografi intravena, micturating
cystogram dan isotop scanning. Investigasi lanjutan tidak boleh rutin tetapi harus sesuai
indikasi antara lain ISK kambuh, pasien laki-laki, gejala urologik (kolik ginjal, piuria,
hematuria), hematuria persisten, mikroorganisme jarang (Pseudomonas spp dan Proteus spp),
serta ISK berulang dengan interval 6 minggu.

3.3.8. Terapi
Infeksi Saluran Kemih Atas
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut (PNA) memerlukan rawat inap untuk
memelihara status hidrasi dan terapi antibiotik parenteral minimal 48 jam. Indikasi rawat
inap pada PNA antara lain kegagalan dalam mempertahankan hidrasi normal atau toleransi
terhadap antibiotik oral, pasien sakit berat, kegagalan terapi antibiotik saat rawat jalan,
diperlukan investigasi lanjutan, faktor predisposisi ISK berkomplikasi, serta komorbiditas
seperti kehamilan, diabetes mellitus dan usia lanjut.
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternative
terapi antibiotic IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam, sebelum adanya hasil kepekaan
biakan yakni fluorokuinolon, amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin dan sefalosporin
spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.

Infeksi Saluran Kemih Bawah


Prinsip manajemen ISKB adalah dengan meningkatkan intake cairan, pemberian antibiotik
yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkanisasi urin dengan natrium
bikarbonat 16-20 gram per hari1,4
Pada sistitis akut, antibiotika pilihan pertama antara lain nitrofurantoin, ampisilin,
penisilin G, asam nalidiksik dan tetrasiklin. Golongan sulfonamid cukup efektif tetapi tidak
ekspansif. Pada sistitis kronik dapat diberikan nitrofurantoin dan sulfonamid sebagai
pengobatan permulaan sebelum diketahui hasil bakteriogram4.

3.3.9. Komplikasi1
Komplikasi ISK bergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana (uncomplicated) dan ISK tipe
berkomplikasi (complicated).
ISK sederhana (uncomplicated)
ISK akut tipe sederhana yaitu non-obstruksi dan bukan pada perempuan hamil
pada umumnya merupakan penyakit ringan (self limited disease) dan tidak
menyebablan akibat lanjut jangka lama.

ISK tipe berkomplikasi (complicated)


ISK tipe berkomplikasi biasanya terjadi pada perempuan hamil dan pasien
dengan diabetes mellitus. Selain itu basiluria asimtomatik (BAS) merupakan risiko
untuk pielonefritis diikuti penurun laju filtrasi glomerulus (LFG).

Komplikasi emphysematous cystitis, pielonefritis yang terkait spesies kandida


dan infeksi gram negatif lainnya dapat dijumpai pada pasien DM. Pielonefritis
emfisematosa disebabkan oleh MO pembentuk gas seperti E.coli, Candida spp, dan
klostridium tidak jarang dijumpai pada pasien DM. Pembentukan gas sangant intensif
pada parenkim ginjal dan jaringan nekrosis disertai hematom yang luas. Pielonefritis
emfisematosa sering disertai syok septik dan nefropati akut vasomotor.

Abses perinefritik merupakan komplikasi ISK pada pasien DM (47%), nefrolitiasis


(41%), dan obstruksi ureter (20%).

Tabel 8. Morbiditas ISK selama kehamilan

Kondisi Risiko Potensial

BAS tidak diobati Pielonefritis


Bayi prematur
Anemia
Pregnancy-induced hypertension

Bayi mengalami retardasi mental


ISK trimester III
Pertumbuhan bayi lambat
Cerebral palsy
Fetal death
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 2009, hal. 1012
3.3.10. Prognosis4
Prognosis pasien dengan pielonefritis akut, pada umumnya baik dengan penyembuhan
100% secara klinik maupun bakteriologi bila terapi antibiotika yang diberikan sesuai. Bila
terdapat faktor predisposisi yang tidak diketahui atau sulit dikoreksi maka 40% pasien PNA
dapat menjadi kronik atau PNK. Pada pasien Pielonefritis kronik (PNK) yang didiagnosis
terlambat dan kedua ginjal telah mengisut, pengobatan konservatif hanya semata-mata untuk
mempertahankan faal jaringan ginjal yang masih utuh. Dialisis dan transplantasi dapat
merupakan pilihan utama.
Prognosis sistitis akut pada umumnya baik dan dapat sembuh sempurna, kecuali bila
terdapat faktor-faktor predisposisi yang lolos dari pengamatan. Bila terdapat infeksi yang
sering kambuh, harus dicari faktor-faktor predisposisi. Prognosis sistitis kronik baik bila
diberikan antibiotik yang intensif dan tepat serta faktor predisposisi mudah dikenal dan
diberantas.

3.4. Perdarahan Subkonjungtiva


3.4.1. Definisi
Patch merah yang terdapat pada konjungtiva atau biasa disebut dengan mata merah yang terjadi
akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat di bawah lapisan konjungtiva. Pecahnya arteri konjungtiva
atau arteri episklera sering tidak disadari sebelumnya

3.4.2. Etiologi
Spontan (idiopatik biasanya ditemukan pada orang tua dengan arterisklerosis) , trauma ringan
(menggosok mata) hingga trauma berat. Aktivitas yang terlalu berat (batuk, bersin, mengangkat beban berat,
defekasi dengan konsistensi keras), pasien dengan hipertensi atau adanya kelainan pembuluh darah (faktor
koagulasi,hemophilia, konsumsi obat seperti turunan coumarin, sildenafil citrate, tadafi, verdenafil,
pralidoxime, obat antikoagulan)

3.4.3. Gejala dan Tanda


Bercak merah dan terasa mengganjal. Perdarahan tanpa disertai nyeri

3.4.4. Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan tekanan darah, funduskopi perlu dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan kelainan pada segmen posterior. Pada pasien dengan riwayat trauma, jika ditemukan tekanan
bola mata yang rendah, penurunan tajam penglihatan serta pupil lonjong maka diperlukan eksplorasi bola
mata untuk mencurigai adanya rupture bulbus okuli.

3.4.5. Tata Laksana


Kompres hangat. Perdarahan dapat diabsorpsi dan menghilang dalam waktu 1-2 minggu tanpa
diobati.
BAB IV
Analisa Kasus

Tn. TAM, 41 tahun datang dengan keluhan sesak semakin hebat sejak 1 hari SMRS.
1 bulan SMRS os mengeluh sesak napas, mengi (-), sesak timbul saat beraktivitas,
dan sesak hilang dengan istirahat. Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, terbangun
malam hari karena sesak (-) os nyaman tidur dengan satu bantal seperti biasa. Batuk (-),
demam (-), os mengeluh bengkak pada kedua tungkai yang terjadi sepanjang hari, os merasa
BAK menjadi lebih sedikit dari biasanya dan frekuensinya menjadi berkurang, mual (-),
muntah (-), BAB tidak ada keluhan, os tidak berobat.
1 minggu SMRS os mengeluh sesak bertambah dan dirasakan saat aktivitas sedang,
mengi (-), sesak berkurang dengan istirahat. Bengkak pada kedua tungkai belum menghilang,
dan os belum juga berobat.
1 hari SMRS os mengeluh sesak semakin hebat saat berjalan ke kamar mandi, mengi
(-), sesak sedikit berkurang dengan istirahat, sesak dirasakan bertambah bila os tidur
terlentang, os nyaman tidur dengan posisi setengah duduk. Bengkak pada kedua tungkai (+),
demam (-), mual (-), muntah (-), BAK semakin berkurang hanya 1/4 gelas, buih (-), busa (-),
berwarna keruh (-), berpasir (-), darah (-). BAB tidak ada keluhan, os lalu berobat ke RS
Lubuk Linggau dan dikatakan sakit ginjal lalu os di rujuk ke RSMH
Pasien memiliki riwayat hipertensi ada sejak usia 20 tahun, riwayat DM disangkal,
riwayat BAK berpasir tidak ada, riwayat merokok ada sejak usia 35 tahun 1 bungkus/minggu.
Riwayat darah tinggi, kencing manis, kelainan jantung, kelainan ginjal dalam keluarga
disangkal.
Pasien datang dengan GCS 15 (E4M6V5), suhu 36,4 C, nadi 95 kali/menit, pernapasan
28 kali/menit, reguler, cepat dan dalam, tekanan darah 170/100 mmHg yaitu hipertensi stage
II. Pasien memiliki berat badan 55 kg dan tinggi badan 165 cm yaitu keadaan gizi
normoweight.
Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan konjungtiva palpebra anemis +, JVP 5-
2 cmH2O, dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Pada pemeriksaan thorax ditemukan ronkhi basah halus (+), cor terdapat kardiomegali.
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi cembung, venektasi (-), jaringan parut (-);
palpasi lemas, venektasi (-), jaringan parut (-), hepar dan lien tak teraba; perkusi timpani,
shifting dullness (+); auskultasi bising usus (+) normal.
Pada pemeriksaan ekstremitas akral hangat (+/+), edema pretibial (+/+).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan kondisi anemia,
hipoalbuminemia, dan ureum serta kreatinin yang tinggi. Pada pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan kardiomegali dan pembesaran ventrikel kiri yang mengindikasikan hipertensi
kronis.
Mekanisme terjadinya NH oleh hipertensi belum sepenuhnya dipahami. Ada banyak
faktor yang berperan seperti mekanisme autoregulasi yang tidak adekuat sehingga tidak
mampu mempertahankan homeostasis tubuloglomerular feedback dan tekanan
intraglomerular, adanya iskemi glomerular, hemodinamik glomerular, dan peranan
angiotensin II intraglomerular.
Tekanan glomerular dipengaruhi oleh tiga faktor yakni tekanan arteri rerata (mean
arterial pressure MAP) atau tekanan perfusi, dan resistensi relatif dari kedua arteriole yakni
aferen dan eferen. Pada kondisi normal, tekanan darah sistemik yang mengalami peningkatan
secara episodik ataupun kontinyu tidak berakibat banyak pada mikrovaskular glomerular. Hal
ini karena adanya perlindungan oleh suatu mekanisme autoregulasi dengan vasokonstriksi
arteriole aferen (preglomerular) untuk mempertahankan renal blod flow dan agar tekanan
hidrostatik intraglomerular dalam keadaan relatif konstan. Respons awal terhadap
peningkatan MAP adalah peningkatan resistensi arteriol aferen (RA) untuk mencegah
diteruskannya tekanan sistemik yang tinggi ke dalam kapiler glomerular. Resistensi arteriol
eferen (RE) akan menurun dan menyebabkan dekompresi pada glomerulus. Hal ini berguna
untuk membatasi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler glomerular dan untuk
mempertahankan aliran plasma renal.
Jika MAP berada sedikit di atas batas autoregulasi, yang terjadi adalah nefrosklerosis
benigna, namun akselerasi peningkatan tekanan darah yang mendadak mengakibatkan
terjadinya nefrosklerosis maligna. Pada hipertensi, mekanisme autoregulasi dan fungsi
endotel dalam memproduksi nitric oxide (NO) yang masih normal dan intak terhadap shear
stress akan mampu mempertahankan tekanan intraglomerular dalam keadaan normal
sehingga penurunan fungsi ginjal menjadi sangat lambat. Kompensasi yang terjadi dari sisa-
sisa glomerulus terjadi melalui mekanisme adaptasi yakni dengan meningkatkan laju fi ltrasi
glomerulus. Resistensi arteriol baik pada aferen dan eferen akan mengalami penurunan yang
akan menyebabkan peningkatan aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerular. Pada kondisi
ini, peningkatan tekanan MAP akan diteruskan langsung ke dalam kapiler glomerular
mengakibatkan terjadinya hipertensi glomerular, peningkatan fi ltrasi protein, dan
merangsang pelepasan sitokin dan growth factor yang akan menyebabkan jejas pada kapiler.
Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan resistensi arteriol
aferen dan eferen yang telah menyempit akibat perubahan struktur mikrovaskuler. Kondisi ini
akan menyebabkan iskemi glomerular dan mengaktivasi respons infl amasi. Hasilnya, akan
terjadi pelepasan mediator infl amasi, endotelin, dan aktivasi angiotensin II (AII) intrarenal.
Kondisi ini pada akhirnya akan mengaktivasi apoptosis, meningkatkan produksi matriks dan
deposit pada mikrovaskular glomerulus dan terjadilah sklerosis glomerulus atau
nefrosklerosis.
Pasien ini didiagnosis dengan CKD stage V ec Nefrosklerosis Hipertensi serta
hipertensi stage II. Dasar diagnosis dari CKD dan kecurigaan terhadap nefrosklerosis
hipertensif adalah dari LFG pada pasien ini yang bernilai 0,71 ml/menit/1,73 2, riwayat
hipertensi lama, dan hipertrofi ventrikel kiri jantung. Penatalaksanaan farmakologis yang
dilakukan yaitu istirahat, serta O2 Nasal Canul 5L/m untuk oksigenasi yang adekuat pada
kondisi sesak. Tatalaksana farmakologis yaitu IVFD D5 gtt x/m micro, inj. Furosemid 1 x 20
mg IV untuk mengatasi edema akibat transudasi cairan ke jaringan interstitial, asam folat 2 x
1 gr (P.O), neurodex 1 x 1 gr (P.O), dan clonidine 3 x 0,15 gr (P.O) untuk tatalaksana
hipertensi yang diderita pasien.
Prognosis pasien ini untuk quo ad vitam adalah dubia ad bonam, dan quo ad
fungsionam adalah dubia ad malam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adamson JW (ed). Iron Deficiency and Another Hipoproliferative Anemias in


Harrisons Principles of Internal Medicine 16 th edition vol 1. McGraw-Hill
Companies : 2005;586-92

2. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi
13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.

3. Mansjoer A, et al. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2002.

4. Marin R, Gorostidi M, Ferna F, Vega N, Navascues RA. Systemic and glomerular


hypertension and progression of chronic renal disease: The dilemma of
nephrosclerosis. Kidney International 2005;68: S526.

5. Moutzouris DA, Herlitz L, Appel GB, et al. Renal biopsy in the very elderly. Clin J
Am Soc Nephrol 2009;4(6):1073-82

6. Rose BD, Kaplan M. Clinical features and treatment of hypertensive nephrosclerosis.


UpToDate. Last literature review version 17.3: September 2009.

7. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-434.

8. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006: 581-5.

9. Tracy RE, Ishii T. What is nephrosclerosis? lessons from USA, Japan and Mexico.
Nephrol Dial Transplant 2000;15: 1357-66.

10. Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran
Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003.
11. Sukandar, E. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing. 2009:1008-1014.
12. Anonim. Urinary Tract Infections (Acute Urinary Tract Infection: Urethritis, Cystitis,
and Pyelonephritis). In Kasper, et all ed. Harrisons Manual of Medicine16th Edition.
Newyork: Mc Graw Hill Medical Publishing Division. 2005:724
13. Nguyen, H.T. Bacterial Infections of The Genitourinary Tract. In Tanagho E. &
McAninch J.W. ed. Smiths General urology 17th edition. Newyork: Mc Graw Hill
Medical Publishing Division. 2008: 193-195
14. Sukandar, E. Infeksi (non spesifik dan spesifik) Saluran Kemih dan Ginjal. In
Sukandar E. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII) Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD. 2006: 29-72
15. Scanlon, V.C & Sanders, T. Essential of Anatomy and Physiology 5th edition.
Philadelpia: FA Davis Company. 2007: 420-432
16. Macfarlane, M.T. Urinary Tract Infections. In, Brown B, et all ed. 4th Urology.
California: Lippincott Williams & Wilkins. 2006: 83-16
17. Ronald A.R & Nicoll L.E. Infections of the Upper Urinary Tract. In Schrier R.W, ed.
Diseases of the Kidney and Urinary Tract 7th edition Vol.1. Newyork: Lippincott
Williams & Wilkins Publishers. 2001: 1687
18. Weissman, S.J, et all. Host-Pathogen Interactions and Host Defense Mechanisms. In
In Schrier R.W, ed. Diseases of the Kidney and Urinary Tract 8th edition Vol.1.
Newyork: Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2007: 817-826
19. Abdelmalak, J.B, et all. Urinary Tract Infections in Adults. In Potts J.M, ed. Essential
Urology, A Guide to Clinical Practice. New Jersey: Humana Press. 2004:183-189
20. Anonim. Pyelonephritis Acute. In Williamson, M.A & Snyder L.M. Wallachs
Interpretation of Diagnostic Test 9th. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins a
Wolters Kluwer Publishers. 2011: 730-731
21. Meyrier, A. Urinary Tract Infection. Available from:
http://www.kidneyatlas.org/book2/adk2_07.pdf (diakses 22 Mei 2012)

Вам также может понравиться