Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
A. DIAGNOSIS
a. Hipertensi Gestasional
b. PREEKLAMSIA.
c. EKLAMSIA.
2. Hipertensi (140/90 mmHg atau lebih) yang terdeteksi sebelum usia kehamilan 20
minggu (kecuali apabila terdapat penyakit trofoblastik gestasional)
Insiden gangguan hipertensi akibat kehamilan pada wanita nulipara sehat baru-
baru ini diteliti secara cermat dalam sebuah uji klinis acak mengenai suplementasi
kalsium harian kepada ibu hamil solu (Hauth dkk., 2000). Dari 4302 wanita nulipara
yang melahirkan pada usia gestasi 20 minggu atau lebih, seperempatnya mengalami
hipertensi yang terkait kehamilan. Dari semua nulipara, preeklamsia di diagnosis
pada 7,6 persen dan penyakit yang berat terjadi pada 3,3 persen. Faktor risiko lain
yang berkaitan dengan preeklamsia adalah kehamilan multipeli riwayat hipertensi
kronik, usia ibu lebih dari 35 tahun, obesitas dan etnis Amerika-Afrika (Conde-
Agudelao dan perbBelizan, 2000, Sibai dkk., 1997, Walker, 2000). Hubungan
antara berat badan ibu dengan risiko preeklamsia bersifat progresif, meningkat dari
4,3 persen untuk wanita dengan indeks massa tubuh kurang dari 19,8 kg/m2 menjadi
13,3 persen untuk mereka yang indeksnya sama dengan atau lebih dari 35 kg/m 2.
Wanita dengan gestasi kembar dua, bila dibandingkan dengan yang gestasinya
tunggal, memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (13 versus 6 persen) dan
preeklamsia (13 versus 5 persen) yang secara bermakna lebih tinggi (Sibai dkk;
2000). Selain itu, wanita dengan kehamilan ganda dan hipertensi akibat kehamilan
memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih buruk dari pada mereka dengan janin
tunggal. Walaupun merokok pada ibu menyebabkan berbagai kerugian bagi
kehamilan, secara ironis hal tersebut secara konsisten dikaitkan dengan penurunan
risiko hipertensi selama kehamilan. (Ananth dkk., 1997)
C. PATOLOGI
Pada preeklamsia yang berat dan eklamsia dijumpai perburukan patologis fungsi
sejumlah organ dan sistem, mungkin akibat vasospasme dan iskemia. Untuk
mempermudah penjelasan, efek-efek ini dipisahkan menjadi efek pada ibu dan janin;
namun, kedua efek merugikan ini sering terjadi bersamaan. Walaupun terdapat banyak
kemungkinan konsekuensi gangguan hipertensi akibat kehamilan, untuk
memudahkan, efek-efek tersebut dibahas berdasarkan analisis terhadap perubahan
kardiovaskular, hematologis, endokrin dan metabolik, serta aliran darah regional
disertai gangguan end-organ. Kausa utama gangguan janin adalah berkurangnya
perfusiutero plasenta.
a. PERUBAHAN KARDIOVASKULAR.
1. PERUBAHAN HEMODINAMIK.
2. VOLUME DARAH.
Silver dkk. (2001) menyajikan data awal bahwa volume darah menurun pada
wanita yang memiliki genotipe angiotensin T235 homozigot yang dihubungkan
dengan preeklamsia. Penurunan akut hematokrit lebih mungkin disebabkan oleh
kehilanganya darah saat melahirkan karena tidak terjadi hipervolemia kehamilan;
atau kadang-kadang hal ini disebabkan oleh destruksi eritrosit yang intens, seperti
akan dijelaskan berikut ini.
b. PERUBAHAN HEMATOLOGIS.
Kelainan hematologis terjadi pada sebagian, tetapi jelas tidak semua, wanita
yang menderita gangguan hipertensi akibat kehamilan. Kelainan tersebut antara lain
trombositopenia, yang kadang-kadang sangat para Sehingga dapat mengancam
nyawa; kadar sebagian faktor pembekuan dalam plasma mungkin menurun; dan
eritrosit dapat mengalami trauma hebat sehingga bentuknya aneh dan mengalami
hemolisis cepat.
1. PEMBEKUAN.
Waktu trombin agak memanjang pada sepertiga kasus eklamsia, bahkan apabila
tidak dijumpai peningkatan produk degradasi fibrin. Penyebab peningkatan ini belum
diketahui. (Leduc dkk., 1992). Perubahan-perubahan koagulasi yang disebutkan di
atas juga ditemukan pada wanita dengan preeklamsia berat, tetapi jelas tidak lebih
sering.Berbaagai pengamatan pada eklamsi ini sangat konsisten dengan konsep bahwa
perubahan koagulasi merupakan akibat preeklamsia-eklamsia, bukan penyebab.
2. TROMBOSITOPENIA.
3. TROMBOSITOPENIA NEONATAL
4. HEMOLISIS FRAGMENTASI.
Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II, dan aldosteron dalam
plasma meningkat. Penyakit hipertensi akibat kehamilan menyebabkan kadar berbagai
zat ini menu run ke kisaran tidak hamil normal (Weir dkk., 1973). Pada retensi
natrium, hipertensi, atau keduanya, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus
berkurang. Karena renin mengkatalisis perubahan angiotensinogen menjadi
angiotensin I (yang kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh convertingenzyme),
maka kadar angiotensin II menurun sehingga sekresi aldosteron berkurang. Meski
demikian, wanita dengan preeklamsia dapat menahan dengan kuat natrium yang
diinfuskan (Brown dkk., 1988b). Kadar plasma mineralokortikoidpoten lainnya,
deoksikortikosteron (DOC), meningkat secara mencolok pada trimester ketiga (Bab 8,
hal. 211). Hal ini bukan disebabkan oleh peningkatan sekresi adrenal ibu tetapi akibat
konversi dari progesteron plasma. Dengan demikian, peningkatan tersebut tidak
berkurang oleh retensi natrium atau hipertensi, dan hal ini dapat menjelaskan mengapa
wanita dengan preeklamsia mampu menahan natrium.
A. Ginjal
Selama kehamilan normal, aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomelurus
meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklamsi, perfusi ginjal dan filtrasi
glomerulus menurun. Kadar yang jauh dibawah kadar nonhamil normal merupakan
akibat penyakit yang parah. Kosentrasi asam urat plasma biasanya meningkat, terutama
pada wanita dengan penyakit yang berat. Peningkatan ini melebihi penurunan laju filtrasi
glomerulustampakny aterjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar
kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibanding kadar normal selama hamil (sekitar 0,5
mg/dl). Namun pada beberapa kasus preeklmasi berat, keterlibatan ginjal menonjol dan
kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal nonhamil atau
hingga 2 sampai 3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan
intrinsik ginjal yang timbul oleh vasospasme hebat.
1. Proteinuria
Untuk memastikan diagnosis preeklamsi-eklamsia harus terdapat proteinuria.
Namun karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah
melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Albuminuria merupakan istilah yang salah
untuk menjelaskan proteinuria pada preeklmasi. Seperti pada glomerulopati lainnya,
terjadi peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat
molekul tinggi, maka peningkatan eksresi albumin juga disertai oleh protein lain,
misalnya hemoglobin, globulin, dan trasferin. Biasanya molekul-molekul besar ini
tidak di filtrasi oleh glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin
mengisyaratkan terjadinya proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil
yang biasanya difiltrasi namun kemudian direabsorbsi juga terdeteksi di dalam urin.
2. Perubahaan anatomis
Perubahan-perubahan yang dapat dideteksi dengan mikroskop cahaya atau
elektron sering dijumpai di ginjal. Sebagian besar penelitian biopsi ginjal dengan
mikroskop elektron konsisten menunjukan pembengkakkan endotel kapiler
glomerulus. Perubahan-perubahan ini disertai pengendapan materi protein di
subendotel, disebut endoteliosis kapiler glomerulus. Sel-sel endotel sedemikian
membengkak sehingga sel-sel tersebut menghambat lumen kapiler secara total atau
parsial. Pengendapan homogen zat padat-elektron ditemukan diantara lamina basal
dan sel endotel serta didalam sel-sel itu sendiri.
Lesi ditubulus ginjal sering sering dijumpai pada wanita dengan eklamsia,
tetapi apa yang diinterpretasikan sebagai perubahan degeneratif sebenarnya mungkin
hanya pencerminan penimbunan protein yang direabsorbsi dari filtrat glomerulus
didalam sel. Tubulus koligentes mungkin tampak tersumbat oleh silinder dari
turunan protein termasuk kadang-kadang hemoglobin.
Dapat terjadi pada gagal ginjal akut akibat nekrosis tubulus. Gagal ginjal
seperti ini ditandai oleh oliguria atau anuria dan azotemia proegresif (peningkatan
kreatinnin serum sekitar 1 mg/dl per hari). Walaupun lebih sering terjadi pada kasus
yang terlambat ditangani, penyulit ini umumnya dipicu oleh syok hipovolemik
biasanya berkaitan dengan perdarahan saat melahirkan yang tidak mendapat
penggantian darah yang memadai.
B. Hepar
Pada preeklamsi berat, kadang-kadang terjadi perubahan fungsi dan integritas
hepar, termasuk perlambatan eksresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar aspartat
amniotransferase serum. Hiperbilirubinemia yang parah jarang terjadi bahkan pada
preeklamsia berat.
Nekrosis hemoragik periporta dibagian perifer lobulus hepar kemungkinann besar
merupakan penyebab meningkatnya kadar enzim hati dalam serum. lesi ekstensif
semacam ini jarang ditemukan pada biopsi hati dari kasus nonfatal. Perdarahan dari lesi
ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas dibawah kapsul hepar dan
membentuk hematom subkapsular.
1. Sindrom HELLP
Keterlibatan hepar pada preeklamsia-eklamsia adalah hal yang serius dan
sering disertai oleh tanda-tanda keterlibatan organn lain, terutama ginjal dan otak,
bersama dengan hemolisis dan trombositopenia. Keadaan ini sering disebut dengan
sindrom HELLP-hemolisis, peningkatan enzim hati dan penurunan trombosit.
C. Otak
Manifestasi preeklamsia, dan terutama kejang pada eklamsia, pada susunan saraf pusat
telah lama diketahui. Secara khusus, banyak perhatian ditujukan kepada gejala
penglihatan. Penjelasan paling awal tentang keterlibatan otak berasal dari pemeriksaan
makroskopik dan histologis, tetapi teknik-teknik modern noninvasif, misalnya
pemeriksaan pencitraan dan Doppler, telah menambah pemahaman baru tentang
keterlibatan serebrovaskular.
1. Patologi anatomis
Dua jenis patologi otak yang berbeda tetapi berkaitan, salah satunya adalah
perdarahan makroskopik akibat ruptur arteri yang disebabkan oleh hipertensi berat.
Perdarahan ini dapat dijumpai pada setiap wanita dengan hipertensi gestasional, dan
timbulnya perdarahan ini tidak harus berasal dari preeklamsia. Penyulit ini lebih
sering terjadi apabila pasien sudah mengidap hipertensi kronik.
Lesi lain, yang terkadang tampak pada preeklamsia, tetapi lebih sering
ditemukan pada eklamsia, bersifat lebih luas dan jarang fatal. Lesi serebrum
postmortem yang utama adalah edema, hiperemia, anemia fokal, trombosis, dan
perdarahan.
Pada sebuah studi anatomis lain, Govan (1961) menyimpulkan bahwa
perdarahan otak merupakan penyebab kematian pada 39 di antara 110 kasus
eklamsia yang fatal. Pada 40 di antara 47 wanita yang meninggal akibat gagal
kardiorespirasi, juga ditemukan lesi-lesi perdarahan kecil di serebrum. Lesi yang
selalu ditemukan adalah perubahan fibrinoid di dinding pembuluh serebrum. Lesi-
lesi ini tampaknya sudah ada sejak beberapa lama, berdasarkan adanya respons
leukositik dan makrofag berpigmen hemosiderin di sekitarnya. Temuan-temuan ini
konsisten dengan pandangan bahwa gejala neurologis prodromal dan kejang
mungkin berkaitan dengan lesi-lesi ini.
2. Penelitian neuroimaging
Penelitian-penelitian pencitraan abnormal paling awal dimulai dengan
penggunaan CT scan. Pada laporan paling awal dari Parkland Hospital, Brown dkk.
(1988a) mendapatkan bahwa hampir. separuh wanita dengan eklamsia yang diteliti
memperlihatkan kelainan radiologis. Yang tersering adalah daerah-daerah hipodens
di korteks serebrum, yang sesuai dengan perdarahan petekie dan infark yang
ditemukan pada otopsi. Walaupun memberikan pemahaman yang berguna tentang
jumlah dan lokasi kelainan, penelitian-penelitian ini tidak menjawab pertanyaan
mengenai penyebab lesi-lesi lokal edematosa ini. Masih belum diketahui apakah
lesi-lesi tersebut disebabkan oleh nekrosis iskemik atau hiperperfusi. Penemuan
magnetic resonance imaging (MRI) memungkinkan diperolehnya resolusi yang lebih
baik, tetapi kausa mendasar lesi-lesi tersebut masih belum terungkapkan. Sebagai
contoh, dalam sebuah studi lain dari Parkland Hospital, Morriss dkk. (1997)
mengkonfirmasi adanya perubahan yang nyata, terutama di daerah arteri serebri
posterior.
Temuan-temuan ini membantu memberi penjelasan mengapa sebagian wanita
dengan preeklamsia mengalami kejang sementara yang lain tidak. Otak, seperti juga
ginjal dan hati, tampaknya lebih terkena pada sebagian wanita dibandingkan dengan
wanita lain. Luas dan lokasi lesi iskemik serta petekie subkortikal kemungkinan
besar mempengaruhi insiden eklamsia. Luas lesi juga dapat menjelaskan terjadinya
penyulit neurologis yang lebih mengkhawatirkan misalnya kebutaan atau koma.
3. Kebutaan
Walaupun gangguan penglihatan sering terjadi pada preeklamsia berat,
kebutaan, baik tersendiri atau disertai kejang, jarang dijumpai. Sebagian besar
wanita dengan amaurosis dalam derajat bervariasi memperlihatkan tanda-tanda
hipodensitas lobus oksipitalis yang luas pada pemeriksaan radiografik.
4. Edema serebri
Manifestasi susunan saraf pusat pada edema serebri yang luas merupakan hal
yang mengkhawatirkan. Pada sebagian kasus, gambaran utama adalah kesadaran
berkabut dan kebingungan, dan gejala ini hilang timbul. Pada beberapa kasus, pasien
mengalami koma. Prognosis pasien yang mengalami koma dubia dan penyulit yang
serius adalah hemiasi batang otak. Gejalanya berkisar dari letargi, kebingungan, dan
penglihatan kabur sampai kesadaran berkabut dan koma. Perubahan status mental
berkaitan dengan derajat keterlibatan yang tampak pada pemeriksaan dengan CT
scan dan MRI.
D. Perfusi uteroplasenta
Gangguan perfusi plasenta akibat vasospasme hampir pasti merupakan penyebab
utama meningkatnya morbiditas dan mortalitas perinatal yang menyertai preeklamsia.