Вы находитесь на странице: 1из 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kanker payudara merupakan penyebab kematian kedua pada wanita
akibat dari kanker setelah kanker serviks (Rasjidi, 2009). Di Indonesia dan negara
lain peningkatan jumlah penderita kanker payudara dari tahun 1980 sampai 2010
mengalami peningkatan sebesar 3,1% (Forouzanfar, 2011). Menurut American
Cancer Society, ada sekitar 465.000 wanita didunia meninggal tiap tahunnya
karena kanker payudara (Rasjidi, 2009) dan satu dari sebelas wanita mengalami
kanker payudara (Price & Wilson, 1995).
Faktor risiko penyebab kanker payudara di negara maju seperti Jepang
dan Amerika adalah faktor reproduktif yang dipengaruhi oleh kadar estrogen
endogen, hormon eksogen (hormon post menopausal, kontrasepsi oral), faktor gizi
dan aktivitas fisik, faktor antropometri, faktor genetik dan keluarga (Saika &
Sobue, 2009). Cara pengobatan kanker menurut Tagliaferri (2007), yaitu
pembedahan, radiasi, kemoterapi, modulasi hormon, pengobatan alternatif,
meningkatkan sistem imun tubuh. Namun, ada efek samping dari pengobatan
modern seperti mual, muntah, rambut rontok, inflamasi, abnormalitas genetik.
Untuk mengurangi efek tersebut perlu adanya kombinasi dengan pengobatan
alternatif, cara yang bisa dilakukan seperti menggunakan akupuntur dan obat
herbal. Pengobatan herbal menjadi pilihan terapeutik karena aman dan banyak
instansi fitomedis yang telah membuktikan keefektifannya secara klinis (Heinrich,
2009).
Untuk menangani penyakit kanker payudara pada wanita harus diketahui
sifat dari sel kanker, karena setiap individu memiliki gen yang berbeda (Soemitro,
2012). Salah satu karakteristik sel kanker yaitu tidak sensitif terhadap induksi
apoptosis, penyebabnya adalah mutasi p53. Apoptosis berfungsi untuk
penghambatan sel kanker sehingga meningkatkan sensitivitas dari sel kanker

1
2

untuk memacu induksi apoptosis menjadi target dalam penemuan antikanker baru
(Brown & Attardi, 2005).
Menurut Food and Agriculture Organization of the United Nations
(FAO), ada 940 spesies tanaman di Indonesia yang telah digunakan sebagai
tanaman obat, salah satunya adalah tanaman jati belanda (Guazuma ulmifolia
Lamk.). Menurut BPOM (2008), tilirosida adalah isolat atau senyawa murni yang
dapat diperoleh dari jati belanda, selain itu senyawa ini merupakan senyawa
identitas jati belanda. Senyawa identitas bermanfaat untuk pengembangan obat
baru, sehingga dapat bermanfaat untuk kehidupan dimasa yang akan datang.
Tilirosida merupakan flavonoid polifenol yang mempunyai aktivitas antikanker
(Tsimplouli et al., 2011) dan antioksidan (Tomczyk et al., 2008). Antioksidan dari
flavonoid dan polifenol berperan dalam melindungi sel dari dampak oksidatif.
Biasanya aktivitas antioksidan berperan pada antikanker termasuk pro-apoptosis,
kerusakan DNA, antiangiogenik dan efek imunostimulator (Leong et al., 2001).
Senyawa ini telah diteliti aktivitas antikankernya terhadap sel CCRF-
CEM, NAMALWA (leukemia) (Dimas et al., 2000), Ehrlich (Esteves-Souza et
al., 2002), HepG2 (hepatoma), Colon 205 (kolon), Jurkat (limfositik) (Rao et al.,
2007), MCF-7 (Tomczyk et al., 2008), dan L292 (Matsuda et al., 2002). Nilai IC50
dari beberapa sel menunjukkan bahwa tilirosida terbukti aktif menghambat sel
dibuktikan dengan nilai IC50 < 20 g/mL atau < 33,7 M (Matsuda et al., 2002;
Dimas et al.,2000; Tomczyk et al., 2008; Rao et al., 2007; Saifudin, 2014).
Tilirosida mampu menginduksi apoptosis pada sel MCF-7 (Tomczyk et al., 2008)
dan tilirosida yang dimodifikasi dengan asetilasi mampu meningkatkan aktivitas
sitotoksik dan mampu menginduksi apoptosis pada sel SF268 (Tsimplouli et al.,
2012).
Penelitian-penelitian di atas menunjukan bahwa tilirosida mempunyai
aktivitas antikanker pada beberapa sel kanker. Masih sedikitnya pengetahuan aktivitas
induksi apoptosis pada sel kanker payudara T47D menjadi hal yang menarik untuk
diteliti. Metode kuantitatif dengan metode flow cytometry memiliki banyak kelebihan
dibandingkan metode yang lain seperti pengecatan DNA, degradasi PARP dengan
western blot, dan assay of cleavage of caspase. Penelitian ini dilakukan sebagai
3

salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan tentang khasiat dan manfaat,
dan sebagai dasar utama pembuatan bahan obat dari senyawa tilirosida yang
berguna di masa mendatang.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka dapat dirumuskan
permasalahan yaitu apakah senyawa tilirosida dari daun jati belanda mampu
menginduksi apoptosis terhadap sel T47D ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari
penelitian ini adalah mengetahui persentase induksi apoptosis tilirosida dari daun jati
belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) terhadap sel T47D.

D. Tinjauan Pustaka
1. Tumbuhan jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)
a. Klasifikasi
Klasifikasi tumbuhan jati belanda berdasarkan sistematika tanaman
jati belanda sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Subclass : Dilleniidae
Order : Malvales
Family : Sterculiaceae
Genus : Guazuma
Spesies : Guazuma ulmifolia Lamk.
(NRCS, 2009)
4

b. Tilirosida
Tilirosida (Gambar 1) merupakan senyawa identitas dalam jati
belanda. Tilirosida (kaempferol-3-O--(6-O-(E)p-coumaryl)glucoside)
merupakan glikosida flavonoid, yang mengikat satu atau lebih gugus gula.
Tilirosida memiliki rumus molekul C30H26O13, dengan berat molekul
sebesar 594 Da. Tilirosida mempunyai gugus OH (hidroksil) pada cincin A
dan B pada, senyawa ini merupakan senyawa polifenol (BPOM, 2008).

Gambar 1. Struktur tilirosida (BPOM, 2008).

c. Khasiat
Jati belanda mempunyai banyak khasiat yaitu antibakteri,
antimikroba, antifungi, antioksidan, antiulser, astringensia, depuratif,
diaforetik, emolien, hepatoprotektif, obat batuk, sudorifika, stomakika, obat
perdarahan, antiinflamasi, sitotoksik, dan obat diare (Taylor, 2005). Di
Indonesia daun jati belanda sering dimanfaatkan untuk melangsingkan
(Andriani, 2005) karena memiliki aktivitas antihiperkolesterol (Sukandar et
al., 2012). Penelitian Tsukamoto (2004), jati belanda memiliki aktivitas
sebagai antiinflamasi, antiproliferasi, antikanker, antioksidan,
hepatoprotektif. Menurut Kusumowati et al. (2012), ekstrak etanol daun jati
belanda memiliki aktivitas antiradikal.
Tilirosida merupakan senyawa identitas dari tanaman jati belanda
(BPOM, 2008), senyawa ini mempunyai khasiat sebagai antihiperglikemik
(Sousa et al., 2004), antikanker (Tomczyk et al., 2008; Dimas et al.,2000;
Esteves-Souza et al., 2002; Rao et al., 2007), antiproliferatif (Savietto et al.,
2013), hepatoprotektif (Matsuda et al., 2002), dan menghambat
5

topoisomerase I dan II (Tomczyk et al., 2008). Tilirosida yang dimodifikasi


strukturnya menjadi trans-tilirosida memiliki aktivitas antioksidan
(Tomczyk et al., 2010), tyrosinase inhibitory (Lu et al., 2009),
acetylcholinesterase inhibitory (Jung & Park, 2007), penurun berat badan
(Kiyofumi et al., 2007).

2. Kanker Payudara
Kanker payudara merupakan tumor ganas yang berada di sel
payudara. Sel ini akan tumbuh secara tidak terkendali dan dapat menyerang
jaringan-jaringan lain atau mengalami metastasis. Payudara wanita terdiri dari
lobulus (kelenjar penghasil susu), saluran (tabung kecil yang mengangkut susu
dari lobulus ke puting), dan stroma (jaringan ikat dan jaringan lemak yang
berada disekitar lobulus, pembuluh darah dan limfatik) (American Cancer
Society, 2010).
Menurut Tagliaferri (2007), sebagian besar kanker payudara tumbuh
di saluran kelenjar susu (garis duktus susu), karena adanya peningkatan jumlah
sel didalam garis duktus susu yang biasa disebut hiperplasia, kemudian sel
tersebut menjadi hiperplasia atipikal. Lambat laun sel tersebut akan
menyerupai sel kanker payudara, namun hanya terbatas pada bagian duktus,
yang disebut dengan karsinoma duktus in situ (ductal carcinoma in situ/DCIS).
Sel-sel kanker tersebut mengalami invasi ke tempat lain dan masuk ke jaringan
lemak menjadi kanker duktus yang invasif, ini merupakan kanker payudara.
Kanker ini dapat membentuk pembuluh darah baru untuk memberi makan sel-
sel tumor dan menyebar ke seluruh tubuh.
Sel kanker yang mempunyai ukuran lebih dari 2 mm (milimeter),
mampu menyerang pembuluh getah bening. Sel-sel kanker akan terus tumbuh
di tempat yang baru dan menimbulkan bengkak di kelenjar getah bening di
ketiak. Ketika sel-sel kanker payudara mengalami mutasi di kelenjar getah
bening aksila, sel kanker akan menyebar ke organ tubuh lainnya dan
menyebabkan penyakit sistematik (Subramaniam et al., 2006). Sel tersebut
6

dapat mengganggu fungsi vital dan dapat mengancam jiwa seseorang


(Tagliaferri, 2007).
Ketidaknormalan sel-sel tersebut bisa diakibatkan oleh adanya pemicu
oleh zat karsinogen, baik karsinogen radiasi, kimiawi dan mikroba. Karsinogen
radiasi dan kimiawi merupakan faktor pemicu yang banyak dijumpai (Kumar et
al., 2013).
Menurut Underwood (1999), p53 mempunyai fungsi untuk
memperbaiki DNA (deoxyribonucleic acid) yang telah rusak sebelum menuju
fase S (sintesis) dengan menurunkan siklus sel pada fase G1 (gap 1) sampai
perbaikannya selesai serta membunuh sel secara apoptosis. Kadar p53 akan
mengalami kenaikan saat sel DNA mengalami kerusakan, sehingga p53 sering
disebut pengawal gen.

3. Sel T47D
Sel T47D diperoleh dari wanita berusia 54 tahun bernama I. Keydar
yang mengalami kasinoma duktal payudara. Sel ini tidak berasal dari tumor
payudara primer, tetapi dari metastasis tumor yaitu efusi pleura. Sel T47D
berasal dari tumor yang lebih agresif dan mengalami metastasis (Burdall, 2003;
AATC, 2015). Morfologi sel T47D (Gambar 2) seperti sel epitel dan termasuk
dalam golongan ER+ (estrogen receptor)/PR+ (progesterone receptor) (Neve
et al., 2006).

Gambar 2. Sel T47D.

Sel T47D mengalami mutasi protein p53 (Al-Khalaf & El-Mowafy,


2003). Sel T47D mengekspresikan estrogen-endogen reseptor alfa dan beta
untuk membuat garis sel yang mudah ditumbuhkan di laboratorium. Sel T47D
7

mengekspresikan ER endogen sebesar 67,66,2 fmol/mg protein sitosol


(Watanabe et al., 1990). Sel-sel ini sensitif terhadap estrogen kuat (17-
estradiol, etinilestradiol, dan dietilstilbestrol) dan estrogen lemah (genistein,
HPTE (metabolit pestisida estrogenik), dan 4-nonilfenol) (Wilson et al., 2004).

4. Apoptosis Sel
Apoptosis atau kematian sel secara terprogram, merupakan proses
fisiologis yang normal untuk menghilangkan sel-sel yang tidak diinginkan.
Program kematian sel dikodekan secara genetik, baik morfologis, biokimia dan
molekuler. Proses kematian sel terjadi melalui dua mekanisme yaitu apoptosis
dan nekrosis, keduanya memiliki mekanisme yang berbeda, secara morfologi
(Gambar 3), biokimia dan fisiologi keduanya juga berbeda. Nekrosis
merupakan hasil pasif dari sel yang mengalami cedera akibat peningkatan
volume sel dan hilangnya tekanan membran akibat dari lepasnya enzim lisis
lisosomal, lalu diikuti reaksi inflamasi (Wyllie et al., 2000).
Apoptosis merupakan peristiwa normal dari fisiologis sel. Apoptosis
menggambarkan keadaan sel aktif berupaya menuju proses kematian setelah
menerima rangsangan tertentu. Apoptosis memastikan keseimbangan antara
proliferasi sel dan kematian sel. Apoptosis juga berperan dalam regulasi
kontrol ukuran sel dan jaringan. Sinyal oleh hormon pertumbuhan, sitokinin,
dan sel matriks sangat dibutuhkan oleh sel dalam pertahanan diri selama
apoptosis berlangsung yang menjaga sel tetap hidup. Sel yang paling sensitif
untuk bertahan hidup akan mampu bertahan hidup, sedangkan sel tidak mampu
bersaing dengan sel-sel yang mengalami pembelahan, akan mengalami
apoptosis karena faktor kemampuan hidup. Kematian sel melalui apoptosis
tidak akan timbul inflamasi (bengkak) dan akan mengurangi efek inflamasi
yang terjadi oleh pasien. Apoptosis yang terlalu sedikit akan menyebabkan
keganasan sel, limfoproliferatif, resistensi antikanker, leukemia, infeksi virus
atau penyakit autoimun. Jika proses apoptosis terlalu banyak, akan
menyebabkan penurunan kekebalan tubuh, dan penyakit degeneratif. Maka,
pengetahuan tentang apoptosis dan nekrosis itu penting guna pemakaian obat
8

antikanker. Sel yang mengalami apoptosis atau nekrosis dapat diukur dengan
flow cytometer (Kerr & Harmon, 1991; Vermes et al., 2000; Hingorani et al.,
2011; Wong, 2011).

Gambar 3. Perbedaan mekanisme sel nekrosis dan apoptosis (Huether & McCance, 2012).

Mekanisme apoptosis melalui jalur ekstrinsik (kematian reseptor) dan


intrinsik (mitokodria) (Gambar 4) (Mossalam, 2012). p53 berfungsi sebagai
pengatur proses apoptosis yang dapat memodulasi titik kontrol kunci pada jalur
ekstrinsik dan jalur intrinsik. Jalur intrinsik diaktifkan sebagai respon dari
sinyal yang dihasilkan dari kerusakan DNA, hilangnya faktor sel hidup, stress
yang parah atau jenis lain. Protein pro-apoptosis dilepaskan dari mitokondria
untuk mengaktifkan protease caspase sehingga memacu apoptosis (Lessene et
al., 2008). Jalur intrinsik merupakan hasil dari peningkatan permeabilitas
mitokondria dan pelepasan molekul pro-apoptosis seperti sitokrom c kedalam
sitoplasma. Ketika sinyal pro-apoptosis tidak dilepaskan, maka sel tidak akan
mati. Jalur intrinsik tergantung dari keseimbangan aktivitas antara sinyal pro-
dan anti-apoptosis dari keluarga Bcl-2. Keluarga Bcl-2 mengatur permeabilitas
membran mitokondria dan menentukan pelepasan sinyal pro- atau anti-
apoptosis dalam sel (Vogler et al., 2009; Mayer & Oberbauer, 2003).
Kelompok utama dari keluarga Bcl-2 yaitu pro-apoptosis seperti Bax, Bak,
9

Bad, Bcl-Xs, Bid, Bik, Bim and Hrk dan anti-apoptosis seperti Bcl-2, Bcl-
XL,Bcl-W,Bfl-1, dan Mcl-1 (Wong, 2011).
Faktor apoptosis lainnya yang dilepaskan dari mitokondria
intermembran kedalam sitoplasma termasuk AIF (apoptosis inducing factor),
Smac (second mitochondria-derived activator of caspase), DIABLO (direct
IAP Binding protein with Low pI) dan HtrA2 (high temperature requirement
protein A) (Kroemer et al., 2007). Sitokrom-c dilepaskan oleh adanya sinyal
apoptosis sel dari mitokondria ke sitosol untuk berikatan dengan pro-caspase 9
dan Apaf-1 untuk membentuk apoptosom yang akan menginduksi caspase 3, 7
dan 9 lalu akan terjadi apoptosis (Boedina, 2011).
Jalur ekstrinsik, ligan kematian akan berikatan dengan reseptor
kematian. Reseptor yang paling dikenal yaitu reseptor TNF tipe 1 (TNFR1) dan
protein Fas (CD95) dan masing-masing ligannya adalah TNF dan FasL.
Reseptor kematian memiliki domain intraseluler kematian mendapatkan
protein adaptor seperti TRADD (TNF receptor-associated death domain) dan
FADD (Fas-associated death domain) serta protease sistein seperti caspase-8
(Wong, 2011). Pengikatan ligan kematian dan reseptor kematian menghasilkan
pembentukan tempat pengikatan untuk adaptor protein dan kompleks protein
semua ligan-reseptor-adaptor yang dikenal sebagai DISC (death-inducing
signalling complex). DISC kemudian memulai aktivasi pro-caspase 8. Bentuk
aktif dari enzim, caspase-8 adalah inisiator caspase yang menginisiasi
apoptosis melalui pembelahan caspase downstream atau executioner (Karp,
2008).
10

Gambar 4. Jalur apoptosis melalui jalur intrinsik dan ekstrinsik (Tait & Green, 2010).

5. Flow cytometry
Flow cytometry adalah teknik untuk menganalisis dan menghitung
partikel secara mikroskopis yang tersuspensi dalam aliran fluida (Ningrum,
2010). Alat yang digunakan untuk metode ini dinamakan flow cytometer. Flow
cytometer adalah instrumen untuk menghitung jumlah sel dalam sekali analisis,
instrumen ini dilakukan secara otomatis, waktunya relatif singkat yaitu kurang
dari satu menit. Instrumen ini mampu mengukur ukuran sel, jumlah komponen
seperti jumlah total DNA, DNA yang baru disintesis, ekspresi gen pada jumlah
mRNA (messenger Ribonucleic acid), jumlah reseptor spesifik, dan jumlah
protein intraseluler (Martz, 2003). Menurut Rowley (2013), flow cytometer
digunakan untuk aplikasi dalam analisis ekspresi green fluorescent protein
(GFP), analisis DNA, diagnosis kanker, penemuan obat, dan mikrobiologi.
Secara umum, flow cytometer adalah mikroskop fluoresensi yang
digunakan untuk analisis perpindahan partikel dalam suspensi, dilihat dengan
11

sinar UV atau laser dan pada saatnya akan memancarkan epi-fluoresensi


melalui cermin dichroic. Epi-fluoresensi terhadap jumlah sel yang dipancarkan
akan dikonversikan menjadi sebuah grafik dengan suatu program yang ada
pada flow cytometer. Flow cytometer terdiri dari fluidik, optik dan elektronik
(Robinson, 2006). Flow cytometry bersifat preparatif, yaitu sel-sel yang hidup
diurutkan ke dalam tempat yang terpisah berdasarkan sifat dari masing-masing
sel (Martz, 2003). Dasar dari penggunaan flow cytometer dapat digambarkan
seperti pada gambar 5.

Gambar 5. Skema flow cytometer (Semrock, 2010).

Keuntungan dari metode flow cytometry yaitu waktu yang


dibutuhkan untuk analisis sangat singkat, hasil yang didapat juga cepat, dapat
memroses hingga 100.000 partikel per detik, dapat memisahkan partikel
tunggal dari campuran populasi, dan adanya komputer yang modern dapat
melakukan analisis multiparameter. Sedangkan kekurangan dari metode ini
lebih mahal daripada radioimunoassay, lebih lambat dibandingkan dengan
sistem otomatis imageprocessing (Robinson, 2004).
12

6. Analisis apoptosis dengan annexin V-PI


Analisis induksi apoptosis dengan metode flow cytometry, dilakukan
dengan pewarnaan menggunakan zat warna, seperti propdium iodida (PI),
etidium bromida (EB), dan Hoechst-3342 (HO33342), pewarna tersebut
mampu membedakan sel hidup, apoptosis, dan nekrosis. Sehingga flow
cytometry dapat dimanfaatkan secara kuantitatif untuk menghitung jumlah sel
hidup, apoptosis dan nekrosis (Vermes et al., 2000). Annexin-V dapat
digunakan untuk mendeteksi apoptosis dengan flow cytometry. Pada apoptosis
awal, membran fosfolipid fosfatidilserin/phosphatidylserine (PS) yang berada
di dalam membran plasma akan keluar ke bagian eksternal sel dan akan
berinterkasi dengan Annexin V (Gambar 6). Annexin-V mempunyai energi 35-
36 kDa mengandung protein fosfolipid yang berikatan dengan Ca2+, afinitas
tinggi dengan PS dan berikatan dengan sel melalui PS. Annexin V akan
menembus membran yang telah kehilangan integritas atau yang telah rusak
pada sel nekrosis atau apoptosis (Hingorani et al., 2011). Mekanisme dari
reaksi annexin V-PI dapat dilihat di gambar 6.

Gambar 6. Mekanisme reaksi dari reagen Annexin V-PI dan sel (Hingorani et al., 2011).
13

E. Landasan Teori
Penelitian di Brazil pada tahun 1990 menjelaskan bahwa ekstrak daun
jati belanda dapat digunakan sebagai agen sitotoksik pada sel kanker secara in
vitro, hasilnya 97,3% mampu menghambat pertumbuhan sel (Nascimeto et al.,
1990). Percobaan Syaefudin et al. (2014), tanaman jati belanda memiliki
aktivitas antioksidan, sifat antioksidan berhubungan dengan modulasi
apoptosis. Uji apoptosis dilakukan pada sel ragi, Saccharomyces cerevisiae
dengan mengamati penyusutan sel dan membran blebbing, dari uji tersebut
menunjukkan adanya penurunan jumlah koloni sebesar > 30%.
Menurut BPOM (2008), tanaman jati belanda mengandung senyawa
identitas yaitu tilirosida. Aktivitas antikanker dari tilirosida terhadap berbagai
sel kanker, sudah banyak diteliti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Nilai IC50
dari beberapa sel menunjukkan bahwa tilirosida terbukti aktif menghambat sel
dibuktikan dengan nilai IC50 < 20 g/mL atau < 33,7 M (Matsuda et al.,
2002; Dimas et al.,2000; Tomczyk et al., 2008; Rao et al., 2007; Saifudin,
2014). Tomczyk et al. (2008), menyatakan bahwa tilirosida mampu
menginduksi apoptosis dengan cara pengecatan DNA dengan ethidium
bromida dan acrydine orange pada sel MCF-7. Menurut Melannisa (2004),
pengecatan DNA kurang memberikan hasil yang jelas karena diuji secara
kualitatif.
Tabel 1. Hasil penelitian antikanker tilirosida secara in vitro
Sel Nilai IC50 Sumber
NAMALWA 16,1 g/mL Dimas et al., 2000
CCRF-CEM 17,1 g/mL
Ehrlich 69,50 14,90 M Esteves-Souza et al., 2002
MCF-7 21,60 2 M Tomczyk et al., 2008
L929 44 2 M Matsuda et al., 2002
Jurkat 11,6 2,6 M
HepG2 14,3 3,1 M Rao et al., 2007
Colon205 55,4 5,7 M

Menurut Tsimplouli et al. (2012), tilirosida yang dimodifikasi dengan


asetilasi yang diuji pada sel SF268 mampu meningkatkan aktivitas sitotoksik
sebesar 3,7 g/mL dan mampu menginduksi apoptosis. Induksi apoptosis pada
sel SF268 sebesar 18% - 20% dengan kadar 10 M dan 30 M. Velagapudi et
14

al. (2014) menyatakan bahwa tilirosida mampu menghambat jalur NF-B dan
TNF-, serta menurunkan respon COX-2.

F. Hipotesis
Tilirosida dari ekstrak daun jati belanda memiliki aktivitas induksi
apoptosis terhadap sel T47D yang ditandai dengan besarnya persentase
apoptosis awal dan apoptosis akhir yang dibandingkan dengan kontrol sel dan
kontrol doksorubisin.

Вам также может понравиться