Вы находитесь на странице: 1из 8

ETIKA PENYIARAN DAN PROBLEMATIKANYA

Fenomena etika penyiaran di Indonesia mengalami problematika yang


semakin rumit. Seiring semakin besarnya industri penyiaran maka semakin besar
pula kepentingannya. Para pegiat industri penyiaran mungkin sudah pernah
menelaah tentang kodek etik penyiaran. Namun di sisi lain, mereka kerap kali
mengabaikan kode etik tersebut demi kepentingan golongan, bisnis, dan lainnya.
Hal ini mengakibatkan persoalan dilematis antara idealisme etika penyiaran
dengan kepentingan tertentu.
Sebuah masyarkat tanpa etika adalah masyarakat yang menjelang
kehancuran, ucap filosof S. Jack Odell. Menurut Odell, konsep dan teori dasar
etika memberikan kerangka yang dibutuhkan untuk melaksanakan kode etik atau
moral setiap orang. Odel yakin bahwa prinsip-prinsip etika adalah prasyarat
wajib bagi keberadaan sebuah komunitas social. Tanpa prinsip-prinsip etika
mustahil manusia bisa hidup harmonis dan tanpa ketakutan.

Berdasarkan UU Penyiaran, maka penyiaran di Indonesia harus diselenggarakan


berdasarkan Pancasila dan Undang-undang1945 dengan asas manfaat, adil dan
merata, kepastian hokum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika,
kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Penyiaran diselenggarakan dengan
bertujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri
bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat mandiri, demokratis,
adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industry penyiaran Indonesia.
Dalam UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran sangat jelas
menunjukkan nuansa demokratis dibandingkan dengan sebelumnya, UU No.
24/1997. Hal ini dapat dilihat dari proses terbentuknya yang memakan waktu
cukup lama karena penuh dengan perdebatan dengan argumentasi masing-masing,
serta tarik-menarik kepentingan.
KPI merupakan wujud dari peran serta masyarakat yang berfungsi untuk
mewadahi aspirasiserta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.
Sistempenyiaran Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali
utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya
terbatas, maka penggunaannya harussebesar-besarnya bagi kepentingan publik.
Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah prinsip Diversity of
Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip
keberagaman kepemilikan).
Wewenang KPI adalah: (1) Menetapkan standar programsiaran;(2).
Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran
(diusulkanolehasosiasiataumasyarakat penyiaran kepada KPI);(3) Mengawasi
pelaksanaan peraturan dan pedomanperilaku penyiaran serta standar
programsiaran;(4)Memberikan sanksiterhadap pelanggaran peraturandan pedoman
perilaku penyiaran serta standar programsiaran;(5) Melakukan koordinasi dan atau
kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
(http://www.kpi.go.id/?lang=&etats=detailmenu& nid=23).
Tayangan bermasalah yang melanggar P3-SPS yang telah ditetapkan,
merupakan perhatian KPI. Berbagai teguran, klarifikasi atau bahkan penghentian
siaran, diberikan kepada stasiun televisi yang dinilai melanggar. Untuk
memberikan kekuatan lebih pada teguran yang dilakukan KPI, pada tanggal 5
Oktober 2006, KPI menjalin kerjasama dengan Polrimelalui Memorandum of
Understanding. Kerjasama tersebut memungkinkan pelanggaran-pelanggaran
penyiaran bisa ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian (Newsletter KPI, Oktober-
Desember 2006).
Media Penyiaran Jadi Alat Politik Golongan Tertentu
Ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) pada tahun 2014 yang lalu, Komisi
Penyiaran Indonesia, KPI, menyatakan, sejumlah stasiun televisi milik petinggi
partai politik cenderung memihak kepada kubu calon presiden Jokowi atau
Prabowo, sehingga dapat merugikan masyarakat. Hal ini didasarkan dari
pemberitaan dan penayangan iklan yang ditampilkan beberapa televisi selama
menjelang pemilu presiden saat ini.
Temuan Komisi Penyiaran Indonesia, KPI menyebutkan, sejumlah media
televisi, khususnya televisi berita, cenderung memihak kepada calon Presiden dari
kubu Jokowi atau Prabowo, baik sisi pemberitaan atau iklannya. Berdasarkan
pemantauan KPI, dia menilai, menjelang pilpres, beberapa televisi menunjukkan
ketidaknetralan," kata Komisioner KPI bidang pengawasan, Agatha Lily, kepada
wartawan BBC Indonesia.
Apalagi pasca insiden menghebohkan yang dipertontonkan oleh stasiun
televisi berita TV One beberapa waktu lalu. Sangat jelas sekali televisi tersebut
memihak kepada kelompok atau partai tertentu. Stasiun TV ini mengalami insiden
"keceplosan" pada tayangan langsung Breaking News, Rabu malam (2/10). Dalam
video berdurasi 14 menit yang telah beredar di media sosial itu, dialog reporter
tentang larangan penyebutan Partai Golkar ikut terekam dan terdengar jelas.
"Golkar-nya gak usah disebut ya," demikian bunyi pada menit 8:32 dalam
rekaman tersebut.
Peristiwa ini bermula ketika acara Breaking News TV One menayangkan
pemberitaan tentang operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komplek Widyacandra Jakarta Selatan. Dalam
operasi ini KPK berhasil menangkap dua orang, pertama berinisial AM dari
lembaga peradilan, sementara yang kedua berinisal CN, yakni salah seorang
anggota DPR. Dari keduanya tim KPK berhasil mengamankan uang sejumlah 2-3
milyar rupiah.
Namun sepertinya para penonton sudah menebak bahwa anggota DPR
berinisial CN tersebut berasal dari Partai Golkar. Hal ini bisa diketahui karena
seorang reporter TV One bernama Fransisca mengalami insiden keceplosan
dengan berkata, "Golkar-nya gak usah disebut ya". Insiden itu terekam ketika sang
reporter melakukan komunikasi dengan pihak TV One yang berada di studio
berita.
Tidak lama setelah itu, reporter tersebut melaporkan hasil liputannya
dengan tanpa menyebutkan embel-embel Partai Golkar. Namun sangat
disayangkan, settingan berita semacam itu sudah terkuak ke tengah publik dengan
adanya insiden keceplosan itu. Masyarakat pun tentu bisa menilai, apakah stasiun
TV berita tersebut masih bisa dipercaya atau tidak. 0064
Aspek netralitas atau obyektifitas rupanya suda tidak diindahkan lagi oleh
media. Para politikus, terutama mereka yang menjadi bos media melakukan
pelanggaran kode etik penyiaran dengan mengeksploitasi media menjadi corong
politiknya. Mereka telah mencuri start kampanye demi melakukan pencitraan di
tengah masyarakat.
Sejumlah masalah di atas terjadi berulang-ulang dalam waktu yang cukup
lama. Belum ada penyelesaian yang ampuh baik dari media terkait atau pun KPI
sebagai pihak berwenang dalam hal penyiaran. Kasus di atas juga berpotensi akan
berulang pada Pemilu-Pemilu selanjutnya. Padahal di dalam UU No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran pada Pasal 36 ayat 4,5a sudah ditegaskan bahwa:
- Ayat (4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan
kepentingan golongan tertentu.
- Ayat (5) Isi siaran dilarang :
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

Dalam pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran


(P3danSPS) Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 22 ayat 5 diterangkan
bahwa: (5) Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dalam proses
produksi program siaran jurnalistik untuk tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal
maupun internal termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran.
Menyaksikan fenomena itu, sungguh sangat disayangkan media-media di
Indonesia sudah kehilangan independensi. Mereka dipaksa untuk menjadi sapi
perah bagai syahwat politik pemiliknya. Jika sudah demikian, kepercayaan
publik terhadap media akan hilang. Karena mereka tidak lagi memenuhi hak dan
aspirasi publik, namun sudah berubah menjadi sarana aspirasi politik figur atau
partai politik tertentu.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
meminta agar partai politik taat aturan dan menahan diri tidak berkampanye
terlebih dulu melalui media massa. Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah
mengatakan dalam Koran Sindo, kampanye lewat media cetak dan elektronik baru
diperbolehkan 21 hari menjelang Pemilu 2014. Parpol belum bisa beriklan
dengan muatan kampanye di media cetak dan elektronik sebelum masa kampanye
21 hari sebelum pemilu. Kalau ucapan selamat yang sifatnya tidak mengajak,
tidak ada pemuatan visi misi partai, tidak ada problem, kata Ferry.
Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers,
fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol
sosial. Sementara itu, dalam Pasal 6 UU Pers nasional di antaranya pers
melaksanakan peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,
menegakkan nilai nilai dasar demokrasi dan mendorong terwujudnya supremasi
hukum dan hak asasi manusia. Selain itu pers juga harus menghormati kebinekaan
mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan
benar melakukan pengawasan.
Namun, ironis media saat ini tidak lagi menaati UU tersebut. Media sudah
menyimpang dari fungsi sesungguhnya. Bahkan perselingkuhan antara media dan
politik sudah terjadi secara terang-terangan. Para pengawas pemilu dan pengawas
media pun tidak bisa berbuat banyak.
Sementara para politikus yang memang tidak memiliki media harus gigit
jari dengan fenomena itu. Kalaupun mau berkampanye, dia harus merogoh
koceknya dalam-dalam. Mereka harus mengeluarkan dana puluhan atau ratusan
juta hanya untuk beberapa kali tayang. Parahnya lagi, mereka juga kerap menjadi
bulan-bulanan tatkala ada kasus yang menjerat para petingginya. Sementara
politikus-bos media, mereka bisa tayang secara gratis dengan frekuensi waktu
sesukanya.
Melihat kenyataan seperti ini, sudah seharusnya KPI bersikap dan
memberi sanksi tegas agar kejadian seperti ini tidak terulang. Dengan adanya
sanksi tegas, boleh jadi media partisan itu akan berpikir dua kali untuk melakukan
pelanggaran serupa. Karena hal ini jelas sangat merugikan kepentingan khalayak.
Masyarakat berhak mendapat manfaat dunia penyiaran, bukan malah
dimanfaatkan untuk kepentingan golongan tertentu.

Tayangan Kekerasan dan Sadisme dalam layar kaca


Untuk menarik minat penonton, media penyiaran kerap kali mendramatisir
suatu berita, film, dan lainnya. Bahkan tidak sedikit yang menampilkan unsur-
unsur sadisme secara vulgar. Nitibaskara menyebutkan televisi berpotensi
mempengaruhi 75 % pemirsanya. (Psyche, 1994). Saat ini televisi mulai banyak
menyajikan acara yang menampilkan kekerasan. Penelitian mengenai aksi
kekerasan yang muncul di televisi pernah dilakukan oleh surat kabar Kompas
pada bulan Sepetember 1993. Dalam satu hari, empat stasiun televisi yaitu TVRI,
RCTI, TPI dan SCTV menayangkan adegan kekerasan sebanyak 127 kali dari
sebelas film yang disajikan (Budyatna, 1994)
Sebuah survei yang pernah dilakukan salah satu harian di negara bagian
Amerika Serikat menyebutkan, empat dari lima orang Amerika menganggap
kekerasan di televisi mirip dengan dunia nyata. Oleh sebab itu sangat berbahaya
kalau anak-anak sering menonton tayangan televisi yang mengandung unsur
kekerasan. Kekerasan di televisi membuat anak menganggap kekerasan adalah
jalan untuk menyelesaikan masalah (Era Muslim, 27/07/2004).
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) berdasarkan Undang-
Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) mempunyai tugas
dan kewajiban untuk menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan
masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran. Berdasarkan pemantauan KPI,
Program Siaran Bioskop Trans TV Spesial kerap menayangkan film dengan
muatan kekerasan yang intensif dan eksplisit seperti pada tayangan Shooter,
Street Fighter, dan The Karate Kid. Adapun program siaran dengan muatan
kekerasan wajib mematuhi ketentuan jam tayang dewasa yakni disiarkan di antara
pukul 22.00-03.00 waktu setempat.
Kekerasan dan sadisme banyak ditemukan pada program televisi, mulai
darifilm layar lebar (movie), reality show, sinetron, talkshow, berita, bahkan
program anak-anak. Komisi Penyiaran Indonesia sebenarnya telah mengatursecara
tegas masalah pembatasan dan pelarang-an kekerasandan
sadismeditelevisimelaluiPedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar
ProgramSiaran (SPS). Dalam pasal 25 SPS diatur masalah
PembatasanProgramKekerasan. SedangkanProgramSiaran Kekerasan yang
dilarang, diatur dalam pasal 26.
Program Siaran Bioskop Trans TV Spesial sebelumnya telah
mendapatkan Sanksi Administratif TeguranTertulis Nomor 1049/K/KPI/10/15
tertanggal 7 Oktober 2015 terkait pelanggaran tentang perlindungan remaja,
pelarangan adegan kekerasan, dan penggolongan program siaran. Perlu diketahui
bahwa tayangan dengan muatan adegan kekerasan secara detail dan eksplisit dapat
berimplikasi pada sanksi administratif penghentian sementara sesuai dengan
Standar Program Siaran KPI Tahun 2012 Pasal 80. (KPI.go.id)
Selain bersifat fisik, kekerasan juga ditampilkan dalam bentuk kata-kata
kasar dan makian. Secara jelas, KPI telah melarang kekerasan seperti ini, pada
Standar Program Siaran (SPS) pasal27 ayat (1)sampaidengan (6). Berbagai bentuk
kata-kata kasar dan makian terlarang ditayangkan di televisi,seperti yang
diatursecara detail pada pasaldan ayat-ayat tersebut. Sayangnya, aturan tersebut
banyak dilanggarstasiun televisi. Kekerasan dalambentuk kekerasan verbal,
banyak ditemukan pada berbagai program televisi seperti talkshow, siaran berita
langsung (live) dan sinetron. Talkshow yang seharusnya menjadi program
perbincangan yang menarik untuk ditonton ternyata seringkali menampilkan kata-
kata kasar daripara nara-sumber yang ditampilkan. Pada program talkshow
Curhat Bareng Anjasmara yang disiarkanTPI, misalnya, para narasumbersecara
penuh emosi menampilkan kata-katakasar dan penuh makian, yang kemudian
berlanjut dengankekerasan fisik. Demikianjuga dengan siaran berita langsung
(live) yang menampilkan debat anggota parlemen, Gayus Lumbuun dan Ruhut
Sitompul, dalam kasus Bank Century, juga menampilkan kekerasan verbal berupa
makian dan kata-kata kasar.
Dalam Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 tentang isi siaran,
pada pasal 36 ayat 3 menyatakan: Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan
pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan
menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib
mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi
siaran. Sedangkan Ayat 5: Isi siaran dilarang: Pertama, bersifat fitnah, menghasut,
menyesatkan dan/atau bohong. Kedua, Menonjolkan unsur kekerasan, cabul,
perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau Ketiga,
Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Pada pasal 48 tentang
Pedoman Perilaku Penyiaran ayat 4 point D, juga menyebutkan adanya
pembatasan adegan seks, kekerasan dan sadisme. (Saeful Rokhman)

Вам также может понравиться