Вы находитесь на странице: 1из 29

TUGAS

DISFAGIA

Disusun Oleh:
G. Harldy Parendra
G99142005

Pembimbing:
dr. Antonius Christanto, M. Kes, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
RSUD PANDAN ARANG
BOYOLALI
2015
I. KELUHAN UTAMA YANG DIRASAKAN PASIEN SAAT DATANG KE

POLI THT :
A. Telinga
1. Gangguan pendengaran/pekak (tuli)
2. Suara berdenging/berdengung (tinitus)
3. Rasa nyeri dalam telinga (otalgia)
4. Keluar cairan dari telinga (otorrhea)
5. Telinga gatal (itching)
6. Rasa pusing berputar (vertigo)
7. Benda asing dalam telinga (corpus alienum)
B. Hidung
1. Pilek (rhinorhoe)
2. Mimisan (epistaksis)
3. Bersin-bersin (sneezing)
4. Gangguan pembau/penciuman (anosmia/hiposmia)
5. Benda asing dalam hidung (corpus alienum)
6. Hidung tersumbat (obstruksi nasal)
7. Hidung berbau (foetor ex nasal)
C. Tenggorok
1. Batuk
2. Sakit tenggorok
3. Benjolan di leher
4. Sakit menelan (odinofagi)
5. Sulit menelan (disfagia)
6. Suara sengau (rhinolalia)
7. Suara serak (hoarsness)
8. Amandel (tonsil)
9. Benda asing di tenggorok (corpus alienum)
10. Bau mulut (halitosis)
11. Tenggorok berlendir
12. Tenggorok kering
II. DISFAGIA :
A. Anatomi Faring Dan Esofagus

2
Gambar 1. Anatomi faring

1. Anatomi Orofaring
Batas-batas orofaring adalah ujung bawah dari palatum mole dan
superior tulang hyoid inferior. Batas anterior dibentuk oleh inlet orofaringeal
dan pangkal lidah, dan perbatasan posterior dibentuk oleh otot-otot konstriktor
superior dan media dan mukosa faring.
Orofaring berhubungan dengan rongga mulut melalui saluran masuk
orofaringeal, yang menerima bolus makanan. Inlet orofaringeal terbuat dari
lipatan palatoglossal lateral, tepat di anterior tonsil palatina. Lipatan itu sendiri
terbuat dari otot palatoglossus, yang berasal dari palatum mole itu sendiri dan
mukosa diatasnya.
Di inferior, terdapat sepertiga posterior lidah, atau pangkal lidah,
meneruskan perbatasan anterior orofaring. Valekula, yang merupakan ruang
antara pangkal lidah dan epiglotis, membentuk perbatasan inferior dari
orofaring. Ini biasanya setara dengan tulang hyoid.
Pada dinding-dinding lateral orofaring terdapat sepasang tonsil palatina
di fosa anterior yang dipisahkan oleh lipatan palatoglossal dan posterior oleh
lipatan palatopharyngeal. Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terlibat
dalam respon imun lokal untuk patogen oral.

3
Otot-otot yang membentuk dinding posterior orofaring adalah otot
konstriktor faring superior dan menengah dan membran mukosa diatasnya yang
saling tumpang tindih. Saraf glossopharingeus dan otot faring stylopharyngeus
memasuki faring pada perbatasan antara konstriktor superior dan tengah.

2. Anatomi Hipofaring
Perbatasan hipofaring adalah di bagian superior terdapat tulang hyoid
dan sfingter esofagus atas (Upper Esophagus Sphincter/UES), dan otot
krikofaringeus di bagian inferior.
Batas anterior hipofaring sebagian besar terdiri dari inlet laring, yang
meliputi epiglotis dan kedua lipatan aryepiglottic dan tulang rawan arytenoid.
Permukaan posterior dari kartilago arytenoid dan pelat posterior kartilago
krikoid merupakan perbatasan anteroinferior dari hipofaring. Lateral kartilago
arytenoid, hipofaring terdiri dari kedua sinus Piriformis, yang dibatasi oleh
tulang rawan lateral tiroid.
Dinding posterior faring terdiri dari otot konstriktor tengah dan inferior
dan selaput lendir diatasnya. Di bawahnya, sejajar dengan kartilago krikoid, otot
cricopharyngeus membentuk UES. Otot ini kontraksi tonik selama istirahat dan
relaksasi saat menelan untuk memungkinkan bolus makanan masuk ke
esofagus.

3. Anatomi Esofagus
Esofagus adalah tabung muskular yang menghubungkan faring dengan
lambung. Esophagus berukuran panjang sekitar 8 inci dan dilapisi oleh jaringan
merah muda yang lembab disebut mukosa. Esophagus berjalan di belakang
trakea dan jantung, dan di depan tulang belakang. Tepat sebelum memasuki
lambung, esofagus melewati diafragma.

4
Gambar 2. Anatomi Esofagus

Sfingter esofagus bagian atas (UES) adalah sekumpulan muskulus di


bagian atas esofagus. Otot-otot UES berada di bawah kendali sadar (involunter),
digunakan ketika bernapas, makan, bersendawa, dan muntah.
Sfingter esophagus bagian bawah (Lower esophageal sphincter/LES)
adalah sekumpulan otot pada akhir bawah dari esofagus, yang mana berbatasan
langsung dengan gaster. Ketika LES ditutup, dapat mencegah asam dan isi
gaster naik kembali ke esofagus. Otot-otot LES tidak berada di bawah kontrol
volunter.

5
4. Vaskularisasi Faring dan Esofagus
a) Faring
Pasokan arteri ke faring berasal dari 4 cabang dari arteri karotis
eksternal. Kontribusi utama adalah dari arteri faring asenden, yang berasal
dari arteri karotis eksternal yang tepat berada diatas bifurkasio
(percabangan) karotis dan melewati posterior selubung karotis, memberikan
cabang ke faring dan tonsil.
Cabang arteri palatina memasuki faring tepat diatas dari muskulus
konstriktor faring superior. Arteri fasialis juga bercabang menjadi arteri
palatina asenden dan arteri tonsilaris, yang membantu pasokan untuk
muskulus konstriktor faring superior dan palatum. Arteri maksilaris
bercabang menjadi arteri palatina mayor dan cabang pterygoideus, dan arteri
lingualis dorsalis berasal dari arteri lingual memberi sedikit kontribusi. 2
Darah mengalir dari faring melalui pleksus submukosa interna dan
pleksus faring eksterna yang terkandung dalam fasia buccopharyngeal
terluar. Pleksus mengalir ke vena jugularis interna dan, sesekali, vena
fasialis anterior. Hubungan yang luas terjadi antara vena yang terdapat di
tenggorokan dan vena-vena pada lidah, esofagus, dan laring. 2

b) Esofagus
Esofagus mendapat perdarahan dari arteri secara segmental. Cabang-
cabang dari arteri tiroid inferior memberikan pasokan darah ke sfingter
esofagus atas dan esofagus servikal. Kedua arteri aorta esofagus atau
cabang-cabang terminal dari arteri bronkial memperdarahi esofagus bagian
toraks. Arteri gaster sinistra dan cabang dari arteri frenikus sinistra
memperdarahi sfingter esophagus bagian bawah dan segmen yang paling
distal dari esofagus. Arteri yang memperdarahi akhir esofagus dalam
jaringan sangat luas dan padat di submukosa tersebut. Suplai darah
berlebihan dan jaringan pembuluh darah yang berpotensi membentuk
anastomosis dapat menjelaskan kelangkaan dari infark esofagus.

6
Vaskularisasi vena juga mengalir secara segmental. Dari pleksus vena
submukosa yang padat darah mengalir ke vena cava superior. Vena esofagus
proksimal dan distal mengalir ke dalam sistem azygos. Kolateral dari vena
gaster sinistra, cabang dari vena portal, menerima drainase vena dari mid-
esofagus. Hubungan submukosa antara sistem portal dan sistem vena
sistemik di distal esofagus membentuk varises esofagus pada hipertensi
portal. Varises submukosa ini yang merupakan sumber perdarahan GI utama
dalam kondisi seperti sirosis.

5. Persarafan Faring dan Esofagus


a) Faring
Pleksus saraf faring memberi pasokan saraf eferen dan aferen faring dan
dibentuk oleh cabang dari nervus glossopharingeus (saraf kranial IX),
nervus vagus (saraf kranial X), dan serat simpatis dari rantai servikal. Selain
muskulus stylopharyngeus, yang dipersarafi oleh saraf glossopharingeus,
semua otot-otot faring dipersarafi oleh nervus vagus.2
Semua otot-otot intrinsik laring dipersarafi oleh nervus laringeus,
cabang nervus vagus, kecuali untuk otot krikotiroid, yang menerima
persarafan dari cabang eksternal dari nervus laringeus superior, juga dari
cabang nervus vagus.
Pleksus faring menerima cabang-cabang nervus vagus dan
glossopharingeus untuk persarafan sensorik faring. Sepertiga lidah posterior,
di orofaring, menerima baik sensasi rasa dan sensasi somatik dari nervus
glossopharingeus. Otot krikofaringeus (UES) menerima persarafan
parasimpatis untuk relaksasi dari nervus vagus dan persarafan simpatis
untuk kontraksi dari serabut post ganglionik dari ganglion servikalis
superior.

7
b) Esofagus
Persarafan motor esophagus didominasi melalui nervus vagus.
Esophagus menerima persarafan parasimpatis dari nucleus ambiguus dan inti
motorik dorsal nervus vagus dan memberikan persarafan motor ke mantel otot
esofagus dan persarafan secretomotor ke kelenjar. Persarafan simpatis berasal dari
servikal dan rantai simpatis torakalis yang mengatur penyempitan pembuluh darah,
kontraksi sfingter esofagus, relaksasi dinding otot, dan meningkatkan aktivitas
kelenjar dan peristaltik.

Gambar 3 persyarafan Faring dan Esofagus

Pleksus Auerbach, yaitu ganglia yang terletak antara lapisan longitudinal dan
melingkar dari tunika muskularis myenteric bekerja mengatur kontraksi lapisan
otot luar. Pleksus Meissner, yaitu ganglia yang terletak dalam submukosa bekerja
mengatur sekresi dan kontraksi peristaltik dari mukosa muskularis.

8
6. Aliran Limfatik Faring dan Esofagus
a) Faring
Aliran limfatik faring mengalir ke KGB servikalis profunda (deep
cervical lymph node) sepanjang selubung karotis. Aliran limfatik pada
hipofaring juga dapat mengalir ke KGB paratrakeal. Pembuluh limfatik
laring mengalir ke kelenjar servikalis profunda, nodus pretracheal, dan
nodus prelaryngeal.
b) Esofagus
Limfatik dari sepertiga proksimal esofagus mengalir ke kelenjar getah
bening servikal profunda, dan kemudian menjadi duktus toraksikus.
Limfatik dari sepertiga tengah esofagus mengalir ke nodus mediastinum
superior dan posterior. Limfatik sepertiga distal esofagus mengikuti arteri
gaster kiri ke kelenjar getah bening gaster dan celiac.
Ada interkoneksi yang cukup besar antara ketiga wilayah drainase
terutama karena asal embryologic ganda jalur limfatik dari branchiogenic
dan mesenkim tubuh. Aliran getah bening dua arah di daerah ini
bertanggung jawab untuk penyebaran keganasan dari esofagus bawah ke
kerongkongan bagian atas.

Gambar 4 Aliran limfatik esofagus

9
B. Histologi
Pharynx merupakan rongga peralihan antara rongga mulut, sistem
pernapasan dan sistem pencernaan, membentuk hubungan antara bagian
nasal dan pharynx. Pharynx dilapisi oleh epitel berlapis gepeng jenis
mukosa, kecuali pada daerah bagian respirasi yang tidak mengalami
gesekan. Daerah terakhir ini dilapisi oleh epitel bertingkat silindris bersilia
bersel goblet. Pharynx mengandung tonsila, mukosa pharynx memiliki
banyak kelenjar mukosa kacil dalam lapisan jaringan ikat padat. Muskular
konstriktor dan longitudinalis pharynx terletak di luar lapisan ini.
Esofagus merupakan sebuah tabung lurus yang ada pada orang dewasa
panjangnya sekitar 25 cm, berfungsi memindahkan makanan dari mulut ke
dalam lambung. Sebagian besar terdapat dalam mediastinum, setelah
melalui diaphragma masuk dalam cavum abdominalis untuk bermuara
dalam gaster. Ia dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.
Dalam submukosa terdapat kelompokan kelenjar penghasil mukus kecil,
yaitu kelenjar esofageal. Pada lamina propria dekat lambung terdapat
kelompokan kelenjar yang disebut kelenjar kardia esofagus yang juga
menghasilkan mukus. Pada ujung distal esofagus, lapisan ototnya terdiri atas
serat otot polos, pada bagian tengah terdapat campuran serat otot bergaris
(rangka) dan serat otot polos, pada ujung proksimal terdapat serat otot
rangka. Hanya bagian esofagus dalam rongga peritoneum yang ditutupi oleh
serosa. Sisanya ditutupi lapisan jaringan ikat longgar yang disebut
adventisia.
1. Tunica Mucosa
Karena kontraksi otot-otot stratum circulare tunica muskular maka t
unica mukosa membentuk lipatan-lipatan memanjang.
Epitel, tebalnya mencapai 300 mikron dan berbentuk epitel gepeng
berlapis tanpa keratinasi dengan kira-kira 25 lapis sel.
Lamina propria, merupakan jaringan pengikat longgar yang tidak
banyak mengandung sel-sel. Bentuk tubuler dan saluran keluarnya
melalui puncak papila untuk bermuara dalam lumen. Bentuknya
mirip glandula cardiaca maka disebut sebagai glandula oesophagea
cardiaca.

10
Lamina muskularis mucosa, merupakan lapisan otot polos yang
tebal. Hanya memiliki lapisan serabut-serabut yang tersusun
longitudinal.
2. Tunica Submukosa
Lapisan sangat longgar hubungannya dengan lapisan dibawahnya
hingga dapat membentuk lipatan-lipatan memanjang. Tebalnya sekitar
300-700 mikron. Di dalam tunica submukosa terdapat kelenjar yang
berbentuk tubulo alveolar kompleks dan menghasilkan mukus. Saluran
keluarnya menembus muscularis mukosa kemudian melalui diantara
papila untuk bermuara ke dalam lumen. Kelenjar ini dinamakan
glandula oesophagea propria.
3. Tunica Muskularis
Terdiri atas dua lapisan masing-masing sebagai:
Stratum circulare : disebelah dalam
Stratum longitudinale : disebelah luar
Di bagian atas stratum circular menebal membentuk m.
Sphincter oesophageus superior. Pada bagian sebelah oral, seluruhnya
terdiri atas otot bercorak. Pada bagian tengah terdiri atas campuran
otot bercorak dan otot polos. Pada bagian anal terdiri seluruhnya stas
otot polos. Pada perbatasan dengan ventrikulus terdapat m. Sphincter
oesophageus inferior.
4. Tunica Adventitia
Pada bagian terluar dari lapisan ini merupakan jaringan pengikat
longgar. 2-3 cm sebelum ventrikulus terdapat banyak serabut-serabut
elastis yang melekat pada diaphragma. Fungsi oesophagus terutama
untuk menyalurkan makanan dari pharynx ke ventrikulus.

C. Fisiologi Menelan
Proses menelan di mulut, faring, laring dan esophagus secara
keseluruhan akan terlibat secara berkesinambungan. Dalam proses menelan
akan terjadi hal-hal seperti berikut:

11
1. Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik,
2. Upaya sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase
menelan,
3. Memepercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat
respirasi.
4. Mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan
laring,
5. Kerjasama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong
bolus makanan kea rah lambung,
6. Usaha untuk membersihkan kembali esophagus.
Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase: fase oral, fase laryngeal dan
fase esophageal.
1. Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini
bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah
lidah akibat kontraksi otot intrinsik lidah.
Kontraksi m.levator veli palatine mengakibatkan rongga pada lekukan
dorsum lidah diperluas, palatum molle terangkat dan bagian atas dinding
posterior faring (Passavants ridge) akan terangkat pula. Bolus
terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas. Bersamaan dengan
ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontraksi m.levator veli
palatine. Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatoglosus yang
menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi
m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga
mulut.

2. Fase Faringal
Fase faringal terjadi secara reflex pada akhir fase oral, yaitu perpindahan
bolus makanan dari faring ke esophagus. Faring dan laring bergerak ke
atas oleh kontraksi m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirohioid dan
m.palatofaring.
Auditus laring tertutup oleh epiglotis, sedang kan ketiga sfingter laring,
yaitu plika ariepiglotika, plika ventikularis dan plika vokalis tertutup

12
karena kontraksi m.ariepiglotika dan m.aritenoid obliges. Bersamaan
dengan ini terjadi juga penghentian aliran udara ke laring karena reflex
yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan
masuk ke dalam saluran napas. Selanjutnya bolus makanan akan
meluncur ke arah esophagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah
dalam keadaan lurus.
3. Fase Esofagal
Fase esofagal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esophagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esophagus selalu tertutup.
Dengan adanya ransangan bolus makanan pada akhir fase faringal, maka
terjadi relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus esophagus terbuka dan
bolus makanan masuk ke dalam esophagus.
Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih
kuat, melebihi tonus introitus esophagus pada waktu istirahat, sehingga
makanan tidak akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks dapat
dihindari. Gerak bolus makanan di esophagus bagian atas masih
dipengaruhi oleh kontraksi m.konstriktor faring inferior pada akhir fase
faringal. Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke distal oleh
gerakan peristaltic esophagus.
Dalam keadaan istirahat sfingter esophagus bagian bawah selalu tertutup
dengan tekanan rata-rata 8 milimeter Hg lebih dari tekanan di dalam
lambung, sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir
fase esofagal sfingter ini akan terbuka secara reflex ketika dimulainya
peristaltic esofagal servikal untuk mendorong balus makanan ke distal.
Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan
menutup kembali.

D. Patofisiologi
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang
berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan
berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari
beberapa faktor, yaitu:
Ukuran bolus makanan,
Diameter lumen esophagus yang dilalui bolus,

13
Kontraksi peristaltik esophagus,
Fungsi sfingter esophagus bagian atas dan bagian bawah,
Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah

E. Gangguan Menelan
1. Disfagia Orofaring
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuro-
muskular mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik
dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esophagus serta persarafan
intrinsic otot-otot esophagus bekerja dengan baik, sehingga aktivitas
motorik berjalan lancar. Kerusakan pada pusat menelan dapat menyebabkan
kegagalan aktivitas komponen orofaring, otot lurik esophagus dan sfingter
esophagus bagian atas. Oleh karena otot lurik esophagus dan sfingter
esophagus bagian atas juga mendapat persarafan dari inti motor n.vagus,
maka aktivitas peristatltik esophagus masih tampak pada kelainan di otak.
Relaksasi sfingter esophagus bagian bawah terjadi akibat peregangan
langsung dinding esophagus.
Gangguan menelan dapat terjadi pada ketidaknormalan setiap organ
yang berperan dalam proses menelan. Dilihat dari fisiologi proses menelan,
disfagia dapat terjadi pada fase oral, fase faringeal dan fase esofagal.
Disfagia dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan dapat
meningkatkan resiko terjadi aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidrasi,
penurunan berat badan dan sumbatan jalan napas. Salah satu resiko yang
paling serius adalah aspirasi pneumonia terutama dapat terjadi pada setiap
kelainan yang mengenai organ yang berperan pada fase oral dan fase
faringal dan gangguan pertahanan paru. Higine mulut yang buruk juga
berperan dalam terjadinya aspirasi pneumonia karena sekresi mulut yang
mengandung bakteri anaerob yang ikut teraspirasi bersama dengan
makanan. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan usia lanjut karena fungsi
menelan yang menurun, penyakit pada sistem saraf pusat seperti stroke,
trauma kepala, serebral palsi, penyakit Parkinson, multiple sklerosis dan
penyakit neuromuscular seperti poliomyelitis, dermatomiositis, Mystenia
Gravis, muscular disrofi, Myotonic Muscular Dystrophy MMD), Limb

14
Girdie syndrome, Duchene Muscular dystrophy. Penyakit motor neuron juga
dapat menyebabkan disfagia adalah amyotropic lateral sclerosis, congenital
spinal muscular atrophy, dan postpolio syndrome. Hal yang sama juga
terjadi pada pasien dengan tumor kepala leher dan keganasan yang telah
menjalani operasi, radiasi, maupun kemoterapi. Komplikasi radioterapipada
keganasan nasofaring dapat mempengaruhi fungsi menelan seperti
terjadinya xerostomia, trismus, karies dentis, neuropati motorik dan
sensorik, fibrosis leher, pembentukan striktur dan nekrosis jaringan dan
serebral.
Pada fase oral aktivitas yang terjadi adalah persiapan untuk memulai
proses menelan. Saliva merupakan stimulus proses menelan. Bila didapat
mulut kering (xerostomia) maka menelan akan lebih sukar. Pada fase
persiapan oral yang merupakan fase pertama, makanan dikunyah dan
dimanipulasi menjadi bolus kohesif bercampur dengan saliva dan
dilanjutkan fase transportasi oral berupa psndorongan bolus yang telah
berbentuk kebelakang (hipofaring). Saat melewati pilar anterior, reflex
menelan akan timbul dan makanan masuk ke faring.

Dampak yang timbul akibat ketidaknormalan fase oral antara lain :


a) Keluar air liur (drooling = sialorrhea) yang disebabkan gangguan
sensori dan motorik pada lidah, bibir dan wajah
b) Ketidaksanggupan membersihkan residu makanan di mulut dapat
disebabkan oleh defiseiensi sensori pada rongga mulut dan/atau
gangguan motorik lidah
c) Karies gigi yang mengakibatkan gangguan distribusi saliva dan
meningkatakan sensitivitas gigi terhadap panas, dingin dan rasa manis.
d) Hilangnya rasa pengecapan dan penciuman akibat keterlibatan
langsung dari saraf cranial
e) Gangguan proses mengunyah dan ketidak sangguppan memanipulasi
bolus
f) Gangguan mendorong bolus ke faring

15
g) Aspirasi cairan sebelum proses menelan dimulai yang terjadi karena
gangguan motorik dari fungsi lidah sehingga cairan akan masuk ke
faring sebelum reflex menelan muncul
h) Rasa tersedak (choking) oleh batuk (coughing) pada saat fase faring
Fase faringal dimulai pada saat reflex menelan muncul setelah akhir fase
oral. terjadinya fase ini tidak dapat timbuk secara volunteer dan tidak dapat
berlangsung bila tidak timbul reflex menelan. Pernapasan terhenti selama
fase faring dan muncul kembali pada akhir fase ini. Dua keadaan yang
penting dalam menjaga keamanan fase faring adalah:
a) Proteksi saluran napas yang adekuat selama proses menelan sehingga
makanan tidak masuk ke jalan napas.
b) Penyelesaian satu seri proses menelan berlangsung cepat sehingga
pernapasan dapat segera dimulai
Fase faringal dapat dibagi dalam 3 tahap.
I. Tahap pertama dimulai segera setelah timbul reflex menelan berupa:
a. Kontraksi pilar
b. Elevasi palatum molle
c. Konstraksi otot konstriktor faring suoerior yang menimbulkan
penonjolan pada dinding faring atas
Fungsi dari tahap pertama adalah untuk membantu bolus masuk faring
dan mencegah masuknya bolus ke nasofaring atau kembali ke mulut.

II. Fase kedua, terjadi proses fisiologis berupa :


a.
Kontraksi otot faring dengan peregangan ke atas
b.
Penarikan pangkal lidah kea rah depan untuk mempermudah
passase bolus
c.
Elevasi laring karena kontraksi otot hyoid tepat di bawah
penonjolan pangkal lidah
d.
Adduksi pita suara asli dan palsu
e.
penutupan epiglotis kea rah pita suara 1
Fungsi dari tahap kedua adalah menarik bolus kearah faring sehingga
dapat menyebar masuk ke vallecula yang terletak diatas epiglotis
sebelum didorong oleh gerakan peristaltik. Proteksi jalan napas
terutama terjadi pada 3 tempat yang berbeda :
a. Pintu masuk faring (aryepiglottic foids)
b. Pita suara palsu dan pita suara asli

16
c. Penutupan epiglotis
Bolus akan melewati dan mengelilingi epiglotis, turun dan masuk ke
sfingter krikofaring dilanjutkan dengan pergerakan os hyoid dan
elevasi laring kea rah atas dan lekukan tiroid.
III. Tahap tiga, bolus akan terdorong melewati sfingter krikofaring dalam
keadaan relaksasi dan masuk ke esophagus. Proses fisiologi yang
terjadi berupa:
a. Peristaltik faring
b. Relaksasi sfingter krikofaring
Peristaltik faring terjadi oleh karena relaksasi otot dinding faring yang
terletak didepan bolus, dilanjutkan dengan kontraksi otot dibelakang
bolus yang akan mendorong bolus dengan gerakan seperti
gelombang. Sfingter krikofaring selalu dalam keadaan kontraksi
untuk mencegah masukanya udara ke dalam lambung.
Bila makanan telah melewati sfingter krikofaring, fase esofagal
dimulai dan otot faring, velum, laring dan hyoid akan relaksasi,
selauran nafas terbuka dan dilanjtkan dengan proses pernapasan.
Dampak ketidaknormalan pada fase faringal adalah choking,
coughing dan aspirasi. Hal ini dapat terjadi bila:
a. Refleks menelan gagal teraktifasi sehingga fase faring tidak
berlangsung. Terjadi akibat gangguan neurologi pada suatu pada
pusat proses menelan di medulla atau saraf cranial seingga terjadi
ketidakstabilan saat menelan ludah dan timbul pengeluaran air
liur serta penumumpukan sekresi.
b. Refleks menelan terlambat, sehingga dapat terjadi aspirasi
sebelum proses menelan dimulai.
c. Proteksi laring tidak adekuat akibat recurrent laryngeal palsy,
efek operasi pada struktur orofaring, adanya pita trakeostomi yang
membatasi elevasi laring, reflex batuk, dan batuk volunteer lemah
atau tidak ada.
d. Silent aspiration yaitu aspirasi yang tidak disadari tanpa gejala
batuk yang terjadi karena hilangnya atau penurunan sensasi
dilaring. Penyebab dari hilangnya sensasi secara umum pada
daerah tersebut timbul karena kelainan neurologis seperti penyakit

17
vascular dan CVA (Cerebrovascular Accident), Multipel sklerosis,
penyakit Parkinson terjadi jaringan parut pasca operasi. Refleks
batuk tidak mncul untuk membersihkan pita suara dari masuknya
bahan/materi kedalam saluran napas.
e. Peristaltik faring yang lemah atau tidak timbul mengakibatkan
aspirasi setelah proses menelan berlangsung karena residu/sisa
makanan yang menetap dapat masuk ke saluran napas yang
terbuka. Hal ini berhubungan dengan penyakit neurologi baik
sentral maupun perifer dan jaringan parut pasca operasi.
Peristaltik yang lemah dapat pula terjadi pada usia tua.
f. Sfingter krikofaring gagal berelaksasi. Aspirasi dapat terjadi
karena penumpukan bahan/ makanan pada sfingter yang tertutup
sehingga dapat masuk ke napas sedang mulai terbuka.

2. Disfagia Esofagal
Disfagia esofagus mengacu pada sensasi makanan menempel atau
mendapatkan digantung di pangkal tenggorokan atau dada. Penyebab
umum dari disfagia esofagus meliputi:
a. Akalasia. Hal ini terjadi ketika otot esophagus bawah (sfingter) tidak
benar-benar rileks untuk membiarkan makanan masuk ke lambung.
Otot-otot di dinding esofagus sering lemah juga. Hal ini dapat
menyebabkan regurgitasi makanan belum tercampur dengan isi
perut, kadang-kadang menyebabkan untuk membawa makanan
kembali ke dalam tenggorokan.
b. Proses penuaan. Dengan usia, kerongkongan cenderung kehilangan
beberapa kekuatan otot dan koordinasi yang diperlukan untuk
mendorong makanan ke dalam perut.
c. Spasme difus. Kondisi ini menghasilkan beberapa, tekanan tinggi,
kontraksi kurang terkoordinasi kerongkongan biasanya setelah
menelan. Spasme difus pada esofagus adalah gangguan langka yang
mempengaruhi otot polos di dinding esofagus bawah secara
involunter. Kontraksi sering terjadi sesekali, dan mungkin menjadi
lebih parah selama periode tahun.

18
d. Striktur esofagus. Penyempitan kerongkongan (striktur)
menyebabkan potongan besar makanan tidak dapat lewat.
Persempitan lumen ini mungkin akibat dari pembentukan jaringan
parut, sering disebabkan oleh penyakit gastroesophageal reflux
(GERD), atau dari tumor.
e. Tumor. Kesulitan menelan cenderung untuk mendapatkan semakin
buruk ketika terdapat tumor esofagus.
f. Benda asing. Terkadang, makanan, seperti sepotong besar daging,
atau objek lain dapat menjadi tersangkut di tenggorokan atau
kerongkongan. Orang dewasa dengan gigi palsu dan orang-orang
yang mengalami kesulitan mengunyah makanan mereka dengan baik
mungkin lebih cenderung memiliki gangguan pada tenggorokan atau
kerongkongan. Anak-anak mungkin akan menelan benda-benda
kecil, seperti peniti, koin atau potongan mainan, yang dapat menjadi
terjebak.
g. Cincin esofagus. Pada daerah ini terdapat penyempitan di esophagus
bagian bawah yang dapat menyebabkan kesulitan menelan makanan
padat.
h. Gastroesophageal reflux disease (GERD). Kerusakan jaringan
esophagus dari asam lambung yang naik (refluks) ke dalam
kerongkongan dapat menyebabkan spasme atau jaringan parut dan
penyempitan kerongkongan bawah membuat sulit menelan.
i. Eosinofilik esofagitis. Kondisi ini, disebabkan oleh kelebihan
populasi sel yang disebut eosinofil di kerongkongan, dapat
menyebabkan kesulitan menelan. Ini mungkin terkait dengan alergi
makanan, tetapi sering tidak ada penyebab yang ditemukan.
j. Scleroderma. Penyakit ini ditandai oleh perkembangan bekas luka
seperti jaringan, menyebabkan kekakuan dan pengerasan jaringan.
Hal ini dapat melemahkan lower esophageal sphincter, sehingga
asam lambung dapat refluks ke kerongkongan dan menyebabkan
gejala dan komplikasi mirip dengan GERD.

19
k. Terapi radiasi. Hal ini pengobatan kanker dapat menyebabkan
peradangan dan jaringan parut pada kerongkongan, yang dapat
menyebabkan kesulitan menelan.

III. Diagnosis
A. Anamnesis
1. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesis yang cermat untuk

menentukan diagnosis kelainan atau penyakit yang menyebabkan

timbulnya disfagia.
2. Jenis makanan yang menyebabkan disfagia dapat memberikan informasi

kelainan yang terjadi. Pada disfagia mekanik mula-mula kesulitan

menelan hanya terjadi pada waktu menelan makanan padat. Bolus

makanan tersebut kadang-kadang perlu didorong dengan air, dan pada

sumbatan yang lebih lanjut, cairanpun akan sulit ditelan. Bila sumbatan

ini terjadi secara progressive dalam beberapa bulan, maka harus

dicurigai adanya proses keganasan dalam esophagus. Sebaliknya pada

disfagia motoric, yaitu pada pasien akalasia dan spasme difus

esophagus, keluhan sulit menelan makanan padat dan cairan terjadi

dalam waktu bersamaan.


3. Waktu dan perjalanan keluhan disfagia dapat memberikan gambaran

yang lebih jelas untuk diagnostic. Disfagia yang hilang dalam beberapa

hari dapat disebabkan oleh peradangan. Disfagia yang terjadi dalam

beberapa bulan dengan penurunan berat badan yang cepat dicurigai

adanya keganasan di esophagus. Bila disfagia ini berlangsung bertahun-

tahun untuk makanan padat perlu dipikirkan adanya kelainan yang

20
bersifat jinak atau di esophageal bagian distal (lower esophageal

muscular ring).
4. Lokasi rasa sumbatan di daerah dada dapat menunjukkan kelainan

esophagus bagian torakal, tetapi bila sumbatan terasa dileher, maka

kelainannya dapat di faring, atau esophagus bagian servikal. Gejala lain

yang menyertai disfagia, seperti masuknya cairan ke dalam hidung

waktu minum menandakan adanya kelumpuhan otot-otot faring.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Pada pemeriksaan fisik, periksa mekanisme mekanisme motoris oral dan

laryngeal. Pemeriksaan nervus V dan VII-XII penting dalam

menentukan bukti fisik dari disfagia orofaringeal.


2. Pengamatan langsung penutupan bibir, rahang, mengunyah, pergerakan

dan kekuatan lidah, elevasi palatal dan laryngeal, salivasi dan sensitifitas

oral.
3. Periksa kesadaran dan status kognitif pasien karena dapat

mempengaruhi keamanan menelan dan kemampuan kompensasinya.


4. Dysphonia dan dyarthria adalah tanda disfungsi motoris struktur-struktur

yang terlibat dalam menelan.


5. Periksa mukosa dan gigi geligi mulut, daerah rongga mulut perlu diteliti,

apakah adanya tanda-tanda peradangan orofaring dan tonsil selain

adanya massa tumor yang dapat mengganggu proses menelan.


6. Periksa reflek muntah
7. Periksa fungsi pernafasan
8. Tahap terakhir adalah pengamatan langsung aktivitas menelan. Setelah

makan amati pasien selama 1 menit atau lebih jika ada batuk tertnda.
9. Pemeriksaan daerah leher dilakukan untuk melihat dan meraba adanya

massa tumor atau pembesaran kelenjar limfa yang dapat menekan

esophagus.

C. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi

21
Pemeriksaan foto polos esophagus dan yang memakai zat kontras, dapat

membantu menegakkan diagnosis esophagus. Pemeriksaan ini tidak

invasive. Dengan pemeriksaan fluoroskopi, dapat dilihat kelenturan

dinding esophagus dari luar, isi lumen esophagus dan kadang-kadang

kelainan mukosa esophagus. Pemeriksaan kontras ganda dapat

memperlihatkan karsinoma stadium dini. Akhir-akhir ini pemeriksaan

radiologic esophagus lebih maju lagi. Untuk memperlihatkan adanya

gangguan motilitas esophagus dibuat cine-film atau video tape.

Tomogram dan CT-Scan dapat mengevaluasi bentuk esophagus dan

jaringan disekitarnya. MRI dapat membantu melihat kelainan di otak

yang menyebabkan disfagia motorik.


2) Esofagoskopi
Tujuan tindakan esofagoskopi adalah untuk melihat langsung isi lumen

esophagus dan keadaan mukosanya. Diperlukan alat esofagoskop yang

kaku atau yang lentur. Karena pemeriksaan ini bersifat invasive, maka

perlu persiapan yang baik. Dapat dilakukan dengan analgesic. Untuk

menghindari komplikasi yang mungkin timbul perlu diperhatikan

indikasi dan kontraindikasi tindakan. Persiapan pasien, operator,

peralatan dan ruang pemeriksaan perlu dilakukan. Risiko dari tindakan,

seperti perdarahan dan perforasi pasca biopsy harus dipertimbangkan.


3) Pemeriksaan Manometrik
Pemeriksaan manometrik bertujuan untuk menilai fungsi motoric

esophagus. Dengan mengukur tekanan dalam lumen esophagus dan

tekanan sfingter esophagus dapat dinilai gerakan peristaltic secara

kualitatif dan kuantitatif.

22
Untuk diagnosis selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis kelainan disfagia fase
oral dan fase faring antara lain: Video fluoroscopic Swallow Study
(=Modified Barium Swallow(MBS)), Fiberoptic Endoscopic
Examination of Swallowing (FEES)), Fiberoptic Endoscopic
Examination of Swallowing with sensory Testing (FEESST),
Scintigraphy.
a. Video Fluroskopi Swallow Assessment (VFSS)
Pemeriksaan ini dikenal sebagai modified barium swallow (MBS)
adalah pemeriksaan yang sering dilakukan dalam mengevaluasi
disfagia dan aspirasi. Pemeriksaan ini menggambarkan struktur dan
fisiologi menelan pada rongga mulut, faring, laring dan esophagus
bagian atas. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan bolus
kecil dengan berbagai konsistensi yang dicampur dengan barium.
VFSS dapat untuk panduan dalam terapi menelan dengan
memberikan bermacam bentuk makanan pada berbagai posisi kepala
dan melakukan beberapa maneuver untuk mencegah aspirasi untuk
memperoleh kondisi optimal dan proses menelan.
b. FEES (Fleksible Endoscopi Evaluation of Swallowing)
FEES sekarang menjadi pilihan pertama untuk evaluasi pasien
dengan disfagia di eropa karena mudah, dapat dilakukan berpindah
tempat dan lebih murah dibandingkan MBS. Prosedur ini dapat
dilakukan oleh dokter spesialis THT-KL bersama dokter spesialis
Rehabilitasi Medik dan dapat menilai anatomi dan fisiologi menelan,
perlindungan jalan napas dan hubungannya dengan fungsi menelan
makanan padat atau cair, diagnostic, rencana terapi selanjutnya serta
evaluasi keberhasilan setelah terapi.
FEES adalah pemeriksaan fase faringal pada proses menelan
yang dilakukan secara endoskopi. FEES sudah digunakan sebagai
alat evaluasi pada kasus gangguan menelan sejak di deskripsikan
oleh Susan E.Langmore pada tahun 1998. Beberapa penelitian
menyebutkan FEES dapat mendeteksi dengan baik adanya aspirasi,
penetrasi dan residu faringeal apabila dibandingkan dengan

23
videofluroskopi. Namun demikian FEES bukan merupakan
pengganti pemeriksaan lainnya seperti videofluroskopi.
Indikasi untuk dilakukan FEES antara lain penanganan
sekresi/cairan, penilaian pasien yang beresiko tinggi terjadi aspirasi,
melihat struktur laring dan faring, penilaian kemampuan menelan
jenis makanan padat atau cair, penilaian fungsi menelan pasien yang
tidak dapat dilakukan videofluoroskopi (karena tidak dapat
mobilisasi, ketiadaan peralatan atau keadaan umum yang kurang
stabil), dan penilaian berulang.
Pemeriksaan evaluasi fungsi menelan dengan menggunakan
nasofaringoskop serat optic lentur. Pasien diberikan berbagai jenis
konsistensi makanan dari jenis makanan cair sampai padat dan
dinilai kemampuan pasien dalam proses menelan. tahap pemeriksaan
dibagi dalam 3 tahap:
a. Pemeriksaan sebleum pasien menelan (Reswallowing
Assessment) untuk menilai fungsi muscular dari oromotor dan
mengtahui kelinan fase oral.
b. Pemeriksaan langsung dengan memebrikan berbagai konsistensi
makanan, dinilai kemampuan pasien dan diketahui konsistensi
apa yang paling aman untuk pasien.
c. Pemeriksaan terapi dengan mengaplikasikan berbagai maneuver
dan posisi kepala untuk menilai pakah terdapat peningkatan
kemampuan menelan.
Dengan pemeriksaan FESS diniliai 5 proses fisiologis seperti:
1. Sensitivitas pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat
berperan dalam terjadinya spirasi.
2. Spilage (reswalling Leakage): masuknya makanan ke dalam
hipofaring sebelum reflex menelan dimulai sehingga mudah
terjadi aspirasi.
3. Residu: menumpuknya sisa amkanan pada daerah valecula sinus
piriformis kanan dan kiri, poskrikoid dan dinding faring posterior
sehingga makanan tersebut akan mudah masuk ke jalan napas
pada saat proses menelan terjadi ataupun sesudah proses
menelan.

24
4. Penetrasi: masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum
melewati pita suara. Sehingga menyebabkan mudah masuknya
makanan ke jalan napas saat inhalasi.
5. Aspirasi: masukknya makanan ke jalan napas melewati pita
suara yang sangat berperan dalam terjadi komplikasi paru.

Langmore menyebutkan ada 4 pola disfagia yang umum ditemui:


1) Menurunnya kemampuan mengolah bolus makanan secara oral,
2) Ketidakmampuan untuk memulai proses menelan dengan waktu dan
cara yang terkoordinasi dengan baik,
3) Ketidakmampuan melindungi jalan napas ketika menelan,
4) Penelanan bolus makanan yang tidak sempurna

Setelah pemeriksaan FEES diperoleh informasi seperti anatomi dan


fisiologi menelan, menelan makanan padat atau cair, postur, strategi dan
maneuver, ukuran dan konsistensi bolus yang optimal/sebaiknya
diberikan, teknik terapi.
Derajat disfagia dapat dinilai dengan skala dari American Speech-
Language-Hearing Association (ASHA) sebagai berikut:
Level 0: Pasien tidak dapat diperiksa
Level 1: Proses menelan tidak fungsional
Level 2: Proses menelan yang tidak konsisten/proses menelan
yang lambat, sehingga mengakibatkan pasien tidak dapat
memenuhi seluruh nutrisinya, namun demikian proses
menelan masih bias dilakukan meskipun tidak sempurna.
level 3: Gangguan menelan yang mengakibatkan pasien tidak
dapat makan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya
sehingga diperlukan pengawasan dalam proses makan.
Level 4: Gangguan menelan namun pasien masih bias memenuhi
kebutuhan nutrisinya, walaupun pengawasan masih
diperlukan untuk memastikan penggunaan modifikasi
teknik menelan.
Level 5: Proses menelan masih fungsional untuk dapat memenuhi
kebutuhan nutrisi, walaupun modifikasi teknik menelan
digunakan dan dapat dilakukan secara mandiri, pasien

25
kadang mungkin memerlukan petunjuk dalam modifikasi
teknik menelan.
Level 6: Proses menelan masih fungsional untuk sebagian besar
proses menelan, walaupun kadang timbul kesulitan.
Waktu tambahan untuk menyelesaikan proses makan.
level 7: Proses menelan normal dalam semua situasi.

Komplikasi dari pemeriksaan FEES cukup rendah. Dilaporkan pada


tahun 1995, dari 6000 prosedur FEES, dicatat hanya 27 kasus
komplikasi yang terjadi. Angka pembatalan prosedur FEES 3,7%
dibandingkan dengan 3,1% pada prosedur videofluoroskopi akibat
adanya muntah atau aspirasi yang memerlukan tindakan pembersihan
jalan nafas (suctioning)

IV. Differential Diagnosis

26
V. Farmakoterapi
A. ISDN (isosorbide dinitrat)
1. Golongan : Short-acting nitrates: efektif meringankan
disfagia dalam beberapa menit.
2. Mekanisme: Vasodilator, melemaskan otot polos
3. Dosis dan Sediaan: Tablet 3x5mg
4. Efek samping
Rebound hypertension (uncommon), syncope, unstable angina flushing,
hypotension/orthostatic hypotension, lightheadedness, palpitations,
tachyarrhythmia, dizziness, headache, restlessness, weakness, nausea,
methemoglobinemia

B. Atropine
1. Golongan : Anticholinergic: dapat menurunkan peristaltik
2. Mekanisme: menghambat kerja asetilkolin pada saraf parasimpatis pada
otot polos, SSP, dan kelenjar sekresi.
3. Dosis dan Sediaan: Tablet 4x0.4mg
4. Efek Samping
Ataxia, Coma, Confusion, Delirium, Dizziness, Drowsiness,
Hallucinations, Headache, Insomnia, Nervousness, Arrhythmia,
Flushing, Hypotension, Palpitation, Tachycardia, Dyspnea,
Laryngospasm, Pulmonary edema, Bloating, Constipation, Delayed

27
gastric emptying, Loss of taste, Nausea, Paralytic ileus, Vomiting,
Xerostomia, Nasal dryness, Fever, Anhidrosis, Urticaria, Rash,
Scarlantiniform rash, Urinary hesitancy and retention, Anaphylaxis,
Angle closure glaucoma, Blurred vision, Dry eyes, Ocular pressure
increased

C. Nifedipine
1. Golongan : Calcium channel blockers: menurunkan tekanan esofagal
dan amplitudo kontraksi esofagal
2. Mekanisme: menghambat transmembrane influx ion kalsium
ekstraselular melewati membran sel otot polos vaskuler dan otot jantung
tanpa mengubah konsentrasi serum kalsium sehingga menghambat
kontraksi otot polos vaskuler dan otot jantung
3. Dosis dan Sediaan: kapsul 3x10mg
4. Efek Samping
Edema perifer, pusing, flushing, cephalgia, heartburn, nausea

D. Diltiazem
1. Golongan : Calcium channel blockers: menurunkan tekanan esofagal
dan amplitudo kontraksi esofagal
2. Mekanisme: menghambat transmembran influx ion kalsium ekstraselular
melewati membran sel otot polos vaskuler dan otot jantung tanpa
mengubah konsentrasi serum kalsium sehingga menghambat kontraksi
otot polos vaskuler dan otot jantung.
3. Dosis dan Sediaan: Tablet 4x30mg
4. Efek Samping: edema, pusing

E. Alprazolam
1. Golongan : Sedatif dan tranquilizers
2. Dosis dan Sediaan: Tablet 3x0.25mg
3. Efek Samping :
Kantuk, depresi, cephalgia, konstipasi, diare, dry mouth

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi
ke 6. Jakarta: FKUI. 2007. h. 276-302.
2. Moore KL., 2002. Anatomi Klinik Dasar Jakarta: EGC

3. Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Penerbit
buku kedokteran EGC. Jakarta 1997
4. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher edisi 6.2007. FKUI
5. Saeian K, Shaker R, editor. Oropharyngeal Dysphagia. USA: Current Science; 2000.
6. Dysphagia.
http://www.merckmanuals.com/professional/sec02/ch012/ch012b.html#v891324
7. Throat anatomy. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1899345-
overview#showall.
8. Esophagus - anatomy and development. Diunduh dari
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo6.html.
9. Digestive Disorders Health Center: Human Anatomy. Diunduh dari
http://www.webmd.com/digestive-disorders/picture-of-the-esophagus.

29

Вам также может понравиться