Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
OLEH:
Telah Diterima Dan Disahkan Oleh Clinical Teacher (CT) Dan Clinical
Instructure Stase Gadar Sebagai Syarat Memperoleh Penilaian Dari Department
Gadar Ners STIKES Buleleng.
Denpasar, 2017
3. ETIOLOGI
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a) Cedera traumatik
Dapat disebabkan oleh :
Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan.
Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan misalnya jatuh dengan kaki berjulur sehingga menyebabkan
fraktur
Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat
b) Fraktur patologik
Dalam hal ini, kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur yang dapat terjadi pada
berbagai keadaan berikut :
Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif
Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan
nyeri
Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skeletal lain biasanya
disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan
kegagalan absorbsi vitamin D atau oleh karena asupan kalsium dan
fosfat yang rendah.
Osteoporosis
c) Secara spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.
4. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan (Apley, 1993). Namun, apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang
(Carpenito, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya (Black, 1995)
4) Stadium IV-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan
osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur dan tepat
dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk
struktur yang mirip dengan normalnya (Black, 1993 dan Apley,1993)
5. KLASIFIKASI
Berdasarkan hubungan dengan dunia luar:
a) Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih
utuh, tulang tidak menonjol melalui kulit
b) Fraktur terbuka adalah fraktur yang merusak jaringan kulit, karena
adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka
potensial terjadi infeksi.
Berdasarkan luas dan garis fraktur:
a) Fraktur complete adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang
luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya
menyeberangkan dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh
korteks.
b) Fraktur incomplete adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang
dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai korteks
(masih ada korteks yang utuh)
Berdasarkan garis patah tulang:
a) Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang
b) Transverse yaitu patah melintang
c) Longitudinal yaitu patah memanjang
d) Obligue yaitu garis patah miring
e) Spiral yaitu patah melingkar
6. MANIFESTASI KLINIS
Lewis (2006) menyampaikan gejala klinis dari fraktur adalah sebagai berikut:
a) Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan
sekitarnya. Nyeri dirasakan terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan
gerakan antar fragmen tulang.
b) Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c) Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
d) Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e) Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f) Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot,
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g) Mobilitas abnormal
Mobilitas abnormal adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian
yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada
fraktur tulang panjang.
h) Krepitasi
Krepitasi merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian
tulang digerakkan. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
i) Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma
dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal,
akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j) Syok hipovolemik
Syok terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat. Ditandai
dengan nadi cepat, kerja jantung meningkat, vasokontriksi.
k) Pemendekan tulang
Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm
(1 sampai 2 inci)
7. PEMERIKSAAN FISIK
a) Mengidentifikasi tipe fraktur
b) Inspeksi daerah mana yang terkena
Deformitas yang nampak jelas
Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
Laserasi
Perubahan warna kulit
Kehilangan fungsi daerah yang cidera
Penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan
Kulit robek atau utuh
Perhatikan adanya sindrom kompartemen pada bagian distal fraktur
femur.
c) Palpasi
Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
Krepitasi pada daerah paha
Nadi, dingin
Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
Terdapat nyeri tekan setempat
d) Movement
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih penting
untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi-sendi dibagian
distal cedera. Gerakan yang dilihat adalah gerakan pasif dan aktif.
Berdasarkan pemeriksaan didapatkan adanya gangguan/keterbatasan gerak
tungkai, ketidakmampuan menggerakkan kaki, dan penurunan kekuatan
otot ekstremitas bawah dalam melakukan pergerakan
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-
ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-
ray:
Bayangan jaringan lunak.
Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu teknik khususnya
seperti:
Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja
tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat
trauma.
Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
9. DIAGNOSIS/KRITERIA DIAGNOSIS
a) Anamnesis : pada penderita didapatkan riwayat trauma ataupun cedera
dengan keluhan bagian dari tungkai tidak dapat digerakkan
b) Pemeriksaan fisik :
Look: Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang
abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi
hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit robek dan
luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka
Feel: Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa
bagian distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji
sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang
memerlukan pembedahan
Movement: Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi
lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan
sendi-sendi di bagian distal cedera.
b. Penanganan Operasi
c. Pembatasan aktivitas
Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau tanpa
pembatasan aktivitas belum ada. Jadi toleransi terhadap respon
pengobatan yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi
praktisi. Pada tahap akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan
gerak leher berlebihan. Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang
benar sangatlah membantu untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih
jauh. Seperti contohnya : penggunaan telepon dengan posisi leher
menekuk dapat dikurangi dengan menggunakan headset, menghindari
penggunaan kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang berlebihan,
posisi tidur yang salah. Saat menonton pertandingan pada lapangan
terbuka, maupun layar lebar sebaiknya menghindari tempat duduk yang
menyebabkan kepala menoleh/berotasi ke sisi lesi.
d. Penggunaan collar brace
Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi
gerak leher. Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih
banyak dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi
dan ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih
pada pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan
pasien untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%. Penggunaan kolar
sebaiknya selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar
dapat digunakan hanya pada keadaan khusus , seperti saat menyetir
kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang.
Sangatlah sulit untuk menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu
digunakan lagi, namun dengan berpatokan : hilangnya rasa nyeri,
hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan
sebagai petunjuk.
e. Modalitas terapi lain
Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan
nyeri. Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi
servikal untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-
30 menit, 1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas /pemanasan selama
30 menit , 2 sampai 3 kali sehari jika dengan kompres dingin/pendinginan
tidak efektif. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah
pragmatik tergantung pada persepsi pasien terhadap pengurangan nyeri.
Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan
meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan
komplikasi sendi temporomandibular. Ada beberapa jenis traksi, namun
yang dapat dilakukan di rumah adalah door traction. Traksi dapat
dilakukan 3 kali sehari selama 15 menit , dan dapat dilakukan dengan
frekuensi yang lebih sedikit selama 4 sampai 6 minggu. Setelah keluhan
nyeri hilang pun traksi masih dapat dianjurkan. Traksi dikontraindikasikan
pada pasien dengan spondilosis berat dengan mielopati dan adanya
arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial. Latihan yang menggerakan leher
maupun merangsang nyeri sebaiknya dihindari pada fase akut. Saat nyeri
hilang latihan penguatan otot leher isometrik lebih dianjurkan.
Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa
nyeri dan mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf (meskipun
inflamasi sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun
diskus). Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas,
aktivitas dapat secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau
kualitas diturunkan. Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami
perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk
pemeriksaan MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti
pemberian steroid epidural maupun terapi operatif. Tidak ada patokan
sampai berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan
operatif. Defisit neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup
besar dilaporkan bisa terjadi perbaikan tanpa operasi. Mungkin hal ini juga
bisa terjadi pada herniasi diskus di servikal.
11. KOMPLIKASI
Komplikasi awal
a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat perdarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan
ekstrasel ke jaringan yang rusak.
b) Sindrom emboli lemak
Setelah terjadi fraktur femur dapat terjadi emboli lemak khususnya pada
dewasa muda (20-30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak
dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi
dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi
stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya
globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan gejalanya
sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah
cedera, namun paling sering terjadi dalam 24 sampai 72 jam. Gambaran
khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia dan pireksia. Gangguan
cerebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang
bervariasi dari agitasi ringan dan kebingungan sampai delirium dan koma
yang terjadi sebagai respon terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli
lemak di otak.
c) Sindrom kompertemen
Sindrom kompartemen disebabkan karena penurunan ukuran
kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau
gips atau balutan yang menjerat, atau peningkatan isi kompartemen otot
karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah.
Pasien mengeluh adanya nyeri dalam, berdenyut tak tertahankan. Palpasi
pada otot akan terasa pembengkakan dan keras.
Komplikasi lambat
a) Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan
kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan
terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik atau distraksi
fragmen tulang. Tidak ada penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan
ujung-ujung patahan tulang.
Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya.
Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
b) Nekrosis avaskuler tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati,
dapat terjadi setelah fraktur khususnya pada kolum femoris. Tulang yang
mati mengalami kolaps atau diabsorbsi dan diganti dengan tulang baru.
Pasien mengalami nyeri dan keterbatasan gerak.
c) Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi,
namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai
menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator
utama telah terjadi masalah. Masalah tersebut meliputi pemasangan dan
stabilisasi yang tidak memadai, alat yang cacat atau rusak, berkaratnya alat
menyebabkan inflamasi lokal, respon alergi terhadap campuran logam
yang digunakan dan remodeling osteoporotik di sekitar alat fiksasi.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak (Doenges, 1999).
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang
punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk membersihkan sekret yang menumpuk.
4) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen
cedera pada jaringan lunak) ditandai dengan pasien tampak meringis,
laporan secara verbal terasa nyeri, perubahan posisi untuk menghindari
nyeri.
5) Hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi sistemik ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh > 37,5 C, akral teraba hangat.
6) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot ditandai
dengan pasien tidak mampu menggerakkan daerah yang mengalami
fraktur, pasien mengeluh nyeri saat menggeser bagian yang fraktur.
7) Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan
vaskularisasi ditandai dengan oedema ekstremitas, sianosis, perubahan
temperatur kulit.
8) PK: Perdarahan
9) PK: Anemia
10) Ansietas berhubungan perubahan kondisi fisik (patah tulang) ditandali
dengan pasien mengeluh merasa cemas dengan situasi fisiknya, pasien
tampak gelisah.
11) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif aibat tindakan
ORIF/OREF
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan
tulang punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem
muskuloskeletal.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan selam .x24 jam, klien
mampu menunjukan perilaku pola napas efektif, dengn kriteria hasil:
NOC Label >> Respiratory status: ventilation, Respiratory status:
Airway patency
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspnea.
Menunjukkan jalan napas yang paten.
Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan napas
Intervensi:
NIC Label >> Airway management
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Lakukan fisioterapi dada bila perlu
3. Keluarkan secret dengan batuk dan suctioning
4. Auskultasi suara napas, catat adanya suara napas tambahan
5. Berikan bronkodilator bila perlu
6. Atur intake dan ouput untuk mengoptimalkan keseimbangan.
9) PK: Anemia
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x jam, perawat dapat
meminimalkan komplikasi anemia yang terjadi, dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Vital Signs
- Tekanan darah dalam batas normal (110/70-130/90 mmHg) atau
terkontrol
- Nadi dalam batas normal (60-100x/mnt)
- RR dalam batas normal (16-20 x/mnt)
- Suhu tubuh dalam batas normal (36-37,5C)
NOC Label >> Tissue Perfussion: Peripheral
- CRT < 3 detik
- Akral hangat
- Pasien tidak pucat
- Konjungtiva berwarna merah muda
NOC Label >> Blood Loss Severity
- Hb pasien dalam batas normal (12-16 g/dL)
- HCT dalam batas normal (45-55%)
- Mukosa bibir lembab
- Pasien tidak mengalami lemas dan lesu
Intervensi:
1. Pantau tanda dan gejala anemia yang terjadi.
Rasional: memantau gejala anemia pasien penting dilakukan agar tidak
terjadi komplikasi yang lebih lanjut.
2. Pantau tanda-tanda vital pasien.
Rasional: perubahan tanda vital menunujukkan perubahan pada
kondisi pasien.
3. Anjurkan pasien mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak
zat besi dan vit B12.
Rasional: Makanan yang mengandung vitamin B12 dan asam folat
dapat menstimulasi pembentukan Hemoglobin.
4. Minimalkan prosedur yang bisa menyebabkan perdarahan.
Rasional: Dapat memperparah kondisi pasien yang mengalami anemia.
5. Pantau nilai PT dan PTT
Rasional: Untuk mengkaji apakah terjadi perpanjangan waktu
pembekuan darah
6. Pantau hasil lab Hb dan HCT
Rasional: Penurunan Hb dan perubahan nilai HCT menunjukkan
terjadi anemia pada pasien
NIC Label >> Blood Products Administration
7. Kolaborasi pemberian tranfusi darah sesuai indikasi.
Rasional: transfusi darah diperlukan jika kondisi anemia pasien buruk
untuk menambah jumlah darah dalam tubuh.
4. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan yang sudah
dilakukan
5. EVALUASI
No. Diagnosa keperawatan Evaluasi
Dx
1 Ketidakefektifan pola napas yang NOC Label >> Respiratory status:
berhubungan dengan kerusakan tulang ventilation, Respiratory status: Airway
punggung, disfungsi neurovaskular, patency
kerusakan sistem muskuloskeletal. Mendemonstrasikan batuk efektif dan
suara napas yang bersih, tidak ada sianosis
dan dyspnea.
Menunjukkan jalan napas yang paten.
Suhu : 36-370,5C
Nadi: 60-100x/menit
RR: 16-20 x/menit
TD: 120/80 mmHg
6 Hambatan mobilitas fisik berhubungan Fleksbilitas sendi dapat dipertahankan
dengan kontraktur otot ditandai dengan Otot tidak mengalami atropi
pasien tidak mampu menggerakkan
Otot tidak mengalami kontraktur
daerah yang mengalami fraktur, pasien
mengeluh nyeri saat menggeser bagian
yang fraktur.
Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta :
Widya Medika
Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensens Medikal Nursing : A Nursing
Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company.
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan.
Jakarta : EGC.
Doenges M.E. 2000. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2nd
ed). Philadelpia, F.A. Davis Company
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta:
EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1999. Sistem Kesehatan Nasional.
Jakarta
Henderson, M.A. 1992. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yogyakarta: Yayasan
Essentia Medika
Hudak and Gallo. 1994. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Ignatavicius, Donna D. 1995. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process
Approach, W.B. Saunder Company.
Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aesculapius.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem
Muskuloskletal. Jakarta : EGC
Oswari, E. 1993. Bedah dan Perawatannya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Price, Evelyn .1997. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia.
Price Sylvia, A. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.
Sylvia, A. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta:
EGC
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta:
EGC
Reksoprodjo, Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa
Aksara
Tucker, Susan Martin. 1998. Standar Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.