Вы находитесь на странице: 1из 4

CAPITAL ADEQUACY RATIO

BY ALEXPCHANDRA OCTOBER 27, 2011


Capital Adequacy Ratio, disingkat CAR, adalah perbandingan
antara modal sebuah bank relatif terhadap assetnya (yang
dibobot berdasarkan resikonya). Bank Indonesia mensyaratkan
minimal sebuah bank mempertahankan CAR-nya 8%.

Artinya apa ?

Artinya, share holder harus menyediakan minimal 8% modal


sendiri dari total Assetnya (yang dibobot berdasarkan resikonya).
Misalnya terhadap persediaan cash yang likuid, resikonya 0%. Jadi
Bank tidak perlu menyiapkan modal terhadap persediaan cash-
nya.
Pinjaman KPR karena resikonya dinilai kecil, resikonya dibobot
40% saja. Jadi kalau BPR Lestari mempunyai 100 Milyar Pinjaman
jenis KPR, maka minimal harus menyiapkan modal sendiri 8% x
100M x 40% = 3.2 Milyar.

Pinjaman komersial, karena resikonya lebih besar dibobot 100%.


Jadi kalau BPR Lestari memberikan Pinjaman Komersial 100M,
maka minimal modal sendirinya adalah 8 M. Demikian seterusnya
dihitung.

Artinya terhadap setiap penambahan asset bank, harus diback-up


dengan kecukupan modal(capital adequacy ratio).
CAR ini cukup terkenal masyarakat awam, karena sering disebut-
sebut di media. Dan setiap bank yang jatuh kemudian dikaitkan
dengan CAR yang jelek. Dan seolah-olah menjadicommon
wisdom, pemahaman bersama, bahwa bank yang baik, CAR-nya
harus tinggi. Harus menyiapkan modal sendiri yang cukup besar.
Logikanya adalah kalau-kalau kredit yang dilepas oleh bank
tersebut menjadi gagal bayar (default), maka bank mempunyai
cadangan modal untuk menalanginya.
Dengan demikian, kalau sebuah bank memiliki kecukupan modal
yang baik, maka bank tersebut akan semakin tahan terhadap
resiko. Semakin tinggi semakin baik. The higher the better.
Saya sudah lebih dari 18 tahun berkarir di perbankan. Dan sampai
sekarang masih sulit memahami logic-nya. Atau at least
kesulitan memahami common wisdom, bahwa bank itu harus
memiliki CAR yang tinggi supaya sehat.
Saya setuju-setuju saja bahwa komponen CAR adalah sebuah
ratio yang harus diwaspadai oleh setiap banker, walaupun gagal
memahami kepentingannya.

Bank itu gagal karena 2 hal. Yang pertama adalah kegagalan atas
kreditnya. Artinya banyak sekali kredit yang gagal bayar
Kemudian karena biasanya terjadi conflict of interest, Banknya
tidak bisa menyelesaikan loan-problemnya. Saking tidak
terkontrolnya loan-problem bank tersebut, pendapatannya terus
berkurang sehingga banknya merugi. Kerugiannya tidak bisa
ditutupi oleh kemampuan modalnya.
Menurut saya, bank itu sehat kalau kreditnya sehat. Ini harusnya
yang menjadi fokus setiap banker. Non Performing Loan adalah
indikator utamanya. Berapa besar kreditnya yang
tidakperform dibandingkan relative dengan keseluruhan
portofolionya.
Berapapun besarnya CAR sebuah bank, tidak akan mampu
menjamin kemampuan sebuah bank mengatasi masalah
jika loan problemnya sudah tidak terkontrol.
Penyebab kegagalan kedua sebuah bank adalah likuiditas
problem. Yaitu jika sebuah bank tidak atau kurang menyiapkan
dana yang cukup untuk melayani penarikan dana deposan-
deposannya. Jika karena suatu hal bank itu gagal bayar, maka
kepercayaan, yang menjadi pondasi sebuah bank, menjadi
runtuh. Bank-nya akan diserbu oleh para deposan lain yang panik.
Terjadi rush. Tidak ada bank yang bisa survive jika terjadi rush.
Berapapun besarnya CAR sebuah bank (kecuali mencapai 100%;
namun kalau 100% bukannya Bank karena tidak memutar dana
orang lain J), tidak akan sanggup menolong sebuah bank yang di-
rush.
Jadi CAR sebagai sebuah indicator kesehatan sebuah bank adalah
sebuah ratio yang terlalu dibesar-besarkan kegunaannya.
Prakteknya, hampir tidak ada kegunaannya.

Jika loan problem yang menjadi masalah sebuah bank, ditambah


modalnya, diganti pengurusnya kalau ternyata tidak competence,
dimasukkan penjara pengurus dan pemiliknya jika ada indikasi
pidana-nya. Setelah kredit macetnya di-hapus-buku-kan, bank nya
akan sehat kembali, dan bisa beroperasi seperti sedia kala. Bank
Century termasuk yang seperti ini. Sekarang Bank Mutiara
beroperasi sebagai bank yang sehat.
Jika liquidity problem yang terjadi, dan bank-nya sehat, Bank
Indonesia harus step in, bertindak sebagai back up penyedia
dana, lender of the last resort. Bank Indonesia memberikan
pinjaman dengan jaminan seluruh asset bank tersebut, dan akan
dibayar kembali jika rush-nya mereda.
Capital Adequacy Ratio tidak menjawab 2 masalah besar yang
terpenting yang dihadapi oleh sebuah bank.

Problemnya dengan menerapkan capital adequacy ratio diatas


segalanya, adalah bank yang sehat, kemudian dibatasi
pertumbuhannya (kecuali menambah modalnya). Bank yang
sehat dan tumbuh harus dipenalti dengan kewajiban menambah
modalnya.
Baru-baru ini saya membaca artikelnya Steve Hanke di majalah
Global. Dia kurang lebih mengatakan hal yang sama. Bahwa
pemahaman bahwa perbank-an harus menyiapkan modal sendiri
yang cukup besar terhadap assetnya, membuat commercial
bank fly from risk. Bank-bank harus menata portofolio assetnya,
mengalihkannya ke asset-asset yang mempunyai bobot resiko
lebih kecil. Misalnya mengurangi commercial loan, dan
mengalihkannya ke Treasury Secutiries (karena rasio risknya lebih
kecil dibandingkan dengan commercial loan). Menghimpun cash
lebih banyak (karena rasio risknya 0%). Menghindari commercial
loan yang produktif dengan masuk lebih banyak ke real estate
loan (KPR) yang konsumtif.
Alhasil, jumlah uang beredar menciut drastis, dan pinjaman
komersial yang produktif, mengering. Banknya kuat, ekonominya
melemah. Ditenggarai oleh Steve Hanke, ini salah satu penyebab
krisis yang sekarang terjadi di Eropa dan Amerika.

Bagaiamana pendapat anda ?

Вам также может понравиться