Вы находитесь на странице: 1из 23

Tujuan Kebijakan Moneter

Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana
tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.

Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan
jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan
kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting
Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar
sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga
menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk
mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui
penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga
sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter
tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun
valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau
pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.

Kerangka Kebijakan Moneter


Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia

Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang
dinamakanInflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah
sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran
kebijakan moneter.

Apa itu ITF | Mengapa ITF? | Bagaimana ITF diterapkan?

Dengan kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan
moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai
sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya perubahan stance kebijakan moneter
dilakukan melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah
dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas
kebijakan kepada publik. Secara operasional, stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga
kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan
suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan inflasi.

Mengapa ITF? I Bagaimana ITF diterapkan?

Dengan telah dilepaskannya sistem nilai tukar dengan band intervensi nilai tukar (crawling band) di tahun 1997,
Bank Indonesia memerlukan jangkar nominal (nominal anchor) baru dalam rangka menjalankan kebijakan
moneter. Jangkar nominal adalah variabel nominal (seperti indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar) yang
ditargetkan secara eksplisit oleh bank sentral sebagai dasar/patokan bagi pembentukan harga lainnya. Misalnya
kalau nilai tukar dijadikan target, maka inflasi luar negeri akan menjadi inflasi domestik.
Mengapa kebijakan moneter memerlukan jangkar nominal? Karena tanpa adanya jangkar nominal, tidak ada
kejelasan kemana kebijakan moneter akan diarahkan sehingga masyarakat tidak memiliki pedoman dalam
membuat ekspektasi inflasi. Ibarat kapal yang mengapung di lautan tanpa kejelasan kearah mana kapal
dilabuhkan. Sebaliknya, dengan adanya jangkar nominal masyarakat akan membuat ekspektasi inflasi yang
diperlukan dalam kalkulasi usahanya sesuai dengan jangkar nominal tersebut. Dengan mengumumkan sasaran
inflasi dan Bank Indonesia secara konsisten dapat mencapainya akan meningkatkan kredibilitas kebijaan moneter
yang pada gilirannya ekspektasi inflasi masyarakat sesuai dengan sasaran yang ditetapkan BI.

Ada sejumlah alasan mengapa menggunakan jangkar nominal dengan ITF.

ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan sasaran inflasi secara eksplisit masyarakat akan
memahami arah inflasi. Sebaliknya dengan sasaran base money, apalagi jika hubungannya dengan inflasi tidak
jelas, masyarakat lebih sulit mengetahui arah inflasi kedepan.

ITF yang memfokuskan pada inflasi sebagai prioritas kebijakan moneter sesuai dengan mandat yang
diberikan kepada Bank Indonesia.

ITF bersifat forward looking sesuai dengan dampak kebijakan pada inflasi yang memerlukan time lag.

ITF meningkatkan trasparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter mendorong kredibilitas kebijakan
moneter. Aspek transparansi dan akuntabilitas serta kejelasan akan tujuan ini merupakan aspek-aspek good
governance dari sebuah bank yang telah diberikan independensi.

ITF tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang beredar, output dan inflasi. Sebaliknya,
ITF merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan sejumlah variabel informasi
tentang kondisi perekonomian.
Bagaimana ITF diterapkan?

Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu.
Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan
sasaran yang ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan sejumlah informasi yang
dapat menggambarkan kondisi inflasi ke depan. Jika proyeksi inflasi sudah tidak kompatibel dengan
sasaran, Bank Indonesia melakukan respon dengan menggunakan instrumen yang dimiliki. Misalnya jika
proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan cenderung melakukan pengetatan
moneter.
Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi inflasi
danoutlook ke depan serta keputusan yang diambil. Jika sasaran inflasi tidak tercapai maka diperlukan
penjelasan kepada publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengembalikan inflasi sesuai
dengan sasarannya.

Inflasi
Pengenalan Inflasi

Definisi Inflasi | Disagregasi Inflasi | Pentingnya Kestabilan Harga

Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan
harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau
mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.
Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan
IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.
Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH)
Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan
harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern
terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.

Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:

1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga
transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya
dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas. [Penjelasan lebih detail mengenai IHPB dapat
dilihat pada web site Badan Pusat Statistik www.bps.go.id]

2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final
goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi
PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.

Pengelompokan Inflasi

Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the
Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu :
1. Kelompok Bahan Makanan
2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
3. Kelompok Perumahan
4. Kelompok Sandang
5. Kelompok Kesehatan
6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.

Definisi Inflasi | Disagregasi Inflasi | Pentingnya Kestabilan Harga

Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan
pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk
menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.

Di Indonesia, disagegasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:

1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di
dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
o Interaksi permintaan-penawaran
o Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang
o Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen

2. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh
selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari :
o Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) :
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen,
gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan
harga komoditas pangan internasional.
o Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices) :
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga
BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.
3.
Determinan Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull
inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi
nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi
yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan
terganggunya distribusi.

Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap
ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang
melebihi outputpotensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas
perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi
dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut
apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di
tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan
tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR). Meskipun ketersediaan barang secara umum
diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat
hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari komdisi supply-demand tersebut. Demikian halnya pada saat
penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu
signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.
Inflasi sebagai single objective

Melalui amanat yang tercakup di Undang Undang tentang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia fokus pada
pencapaian sasaran tunggal atau single objective-nya, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta
kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara
aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang Negara lain.

Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai oleh Bank Indonesia
serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak
akan dapat diukur dengan mudah. Dalam upaya pencapaian tujuannya, Bank Indonesia menyadari bahwa
pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi perlu diselaraskan untuk mencapai hasil yang optimal
dan berkesinambungan dalam jangka panjang.

Inflasi

Pengendalian Inflasi

Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi
permintaanaggregat (demand management) relatif terhadap kondisi sisi penawaran. Kebijakan moneter tidak
ditujukan untuk merespon kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan yang bersifat
sementara (temporer) yang akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.

Sementara inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran ataupun yang bersifat
kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya gangguan panen atau banjir Dari bobot dalam
keranjang IHK, bobot inflasi yang dipengaruhi oleh faktor kejutan diwakili oleh kelompok volatile
food danadministered prices yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK.

Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi sangat terbatas apabila terdapat
kejutan (shocks) yang sangat besar seperti ketika terjadi kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2008 sehingga
menyebabkan adanya lonjakan inflasi.

Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan tersebut maka
pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dan BI melalui kebijakan
makroekonomi yang terintegrasi baik dari kebijakan fiskal, moneter maupun sektoral. Lebih jauh, karakteristik
inflasi Indonesia yang cukup rentan terhadap kejutan-kejutan (shocks) dari sisi penawaran memerlukan kebijakan-
kebijakan khusus untuk permasalahan tersebut.

Dalam tataran teknis, koordinasi antara pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi
Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI,
terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor
Menko Bidang Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen
Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menyadari pentingnya
koordinasi tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi
antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah
sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan dan berkelanjutan.
Penetapan Target Inflasi

Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan
Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank Indonesia dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke
depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tentang Sasaran Inflasi
tahun 2013, 2014, dan 2015 tanggal 30 April 2012 sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode
2013 2015, masing-masing sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% masing-masing dengan deviasi 1%.

Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam melakukan
kegiatan ekonominya ke depan sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan pada tingkat yang rendah dan stabil.
Pemerintah dan Bank Indonesia akan senantiasa berkomitmen untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan
tersebut melalui koordinasi kebijakan yang konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Salah satu upaya
pengendalian inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan membentuk dan mengarahkan
ekspektasi inflasi masyarakat agar mengacu (anchor) pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan (Lihat Peraturan
Menteri Keuangan tentang sasaran inflasi 2013, 2014, dan 2015)

Angka target atau sasaran inflasi dapat dilihat pada web site Bank Indonesia atau web site instansi Pemerintah
lainnya seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Perekonomian, atau Bappenas. Sebelum UU No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sementara setelah UU tersebut,
dalam rangka meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia maka sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah.

Tabel perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi

Inflasi Aktual
Tahun Target Inflasi
(%, yoy)

2001 4% - 6% 12,55

2002 9% - 10% 10,03

2003 9 +1% 5,06

2004 5,5 +1% 6,40

2005 6 +1% 17,11

2006 8 +1% 6,60


2007 6 +1% 6,59

2008 5 +1% 11,06

2009 4,5 +1% 2,78

2010 5+1% 6,96

2011 5+1% 3,79

2012 4.5+1% 4,30

2013 4.5+1% 8,38

2014* 4.5+1% 8,36

2015* 4+1%

*) berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tanggal 30 April 2012.

Bulan Tahun Tingkat Inflasi

Juni 2016 3.45 %


Mei 2016 3.33 %
April 2016 3.60 %
Maret 2016 4.45 %
Februari 2016 4.42 %
Januari 2016 4.14 %
Desember 2015 3.35 %
Nopember 2015 4.89 %
Oktober 2015 6.25 %
September 2015 6.83 %
Agustus 2015 7.18 %
Juli 2015 7.26 %
Juni 2015 7.26 %
Mei 2015 7.15 %
April 2015 6.79 %
Maret 2015 6.38 %
Februari 2015 6.29 %
Januari 2015 6.96 %
Desember 2014 8.36 %
Nopember 2014 6.23 %

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu,
sumber tekanan inflasi Indonesia tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia.
Dari hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak yang terutama dipengaruhi oleh
sisi suplai (sisi penawaran) berkenaan dengan gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Selain
itu, shocks terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait harga komoditas strategis seperti
BBM dan komoditas energi lainnya (administered prices).

Berdasarkan karakteristik inflasi yang masih rentan terhadap shocks tersebut, untuk mencapai inflasi yang rendah,
pengendalian inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi lintas instansi, yakni antara Bank Indonesia dengan
Pemerintah. Diharapkan dengan adanya harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan tersebut, inflasi yang rendah dan
stabil dapat tercapai yang pada gilirannya mendukung kesejahteraan masyarakat.

Gambar I. Koordinasi Antara Bank Indonesia dan Pemerintah Dalam Pengendalian Inflasi

Menyadari pentingnya peran koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, Pemerintah dan
Bank Indonesia membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005.
Penguatan koordinasi kemudian dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendalian Inflasi di level daerah (TPID)
pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas dan peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka
pada Juli 2011 terbentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang diharapkan dapat menjadi
katalisator yang dapat memperkuat efektivitas peran TPID. Keanggotaan Pokjanas TPID adalah Bank Indonesia,
Kemenko Perekonomian dan Kemendagri.

Gambar II. Keterkaitan Antara TPI, Pokjanas TPID dan TPID

Tentang Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI)

Pembentukan TPI didasarkan pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan No.88/KMK.02/2005 dan
Gubernur Bank Indonesia No.7/9/KEP.GBI/2005 yang berlaku untuk masa tugas 1 tahun (tahun 2005).Untuk
selanjutnya, dasar hukum pelaksanaan tugas TPI diatur dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan (Menkeu)
yang ditetapkan setiap tahun.

TPI dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan satu sasaran yang ingin
dicapai Pemerintah, sebagai bagian dalam upaya menjaga stabilitas makro ekonomi sesuai dengan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagai mana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.

Tugas dan Fungsi

Merujuk pada pertimbangan awal pembentukan TPI yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK),
di dalamnya termaktub beberapa tugas utama yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan tugas TPI, yakni:
1. Melakukan koordinasi dalam rangka penetapan sasaran inflasi tiga tahun ke depan;
2. Melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan evaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi
termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan yang ditempuh;
3. Melakukan koordinasi dalam rangka merekomendasikan pilihan kebijakan yang mendukung kepada
pencapaian sasaran inflasi kepada Menteri Keuangan.

Susunan Keanggotaan

Selain BI, keanggotaan TPI adalah dari instansi terkait dari Pemerintah yang kebijakannya berkaitan dengan
kebijakan di bidang harga dan pendapatan. Dengan pertimbangan tersebut, keanggotaan TPI dari instansi terkait
di Pemerintah adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian
Perhubungan, Kementerian ESDM, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Susunan keanggotaan dari setiap tahun diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan dan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan terutama dalam rangka meningkatkan efektivitas pengendalian inflasi. Pada tahun 2012, keanggotaan
Tim diatur dalam No. 966/KM.1/2012 terdiri dari Pengarah, Penanggung Jawab, Tim Pelaksana dan Sekretariat
Tim.

Program/Agenda Kerja

Mekanisme kerja TPI disandarkan pada tugas-tugas yang tercantum di dalam Keputusan Menteri Keuangan yang
diperbaharui setiap tahunnya. Di dalam KMK tersebut, untuk level teknis tim antara lain melakukan pertemuan
rutin setiap bulan yang mengagendakan beberapa hal, diantaranya untuk memperoleh updating dan monitoring
kebijakan masing-masing instansi yang berdampak pada inflasi. Dengan pertukaran informasi tersebut, TPI dapat
mengidentifikasi sumber-sumber sekaligus potensi tekanan inflasi ke depan sehingga dapat menyelaraskan
berbagai kebijakan di masing-masing instansi agar konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi.

Selain itu, untuk memperkuat keberadaan dan peran TPI dilakukan juga pertemuan di tingkat eselon I pertemuan
tersebut yang merupakan pertemuan pembuat keputusan (decision maker) dari masing-masing lembaga. Dalam
pertemuan tersebut dikemukakan beberapa permasalahan yang terkait dengan pengendalian inflasi dikemukanan
sekaligus pilihan-pilihan kebijakan yang mungkin ditempuh. Dengan pertemuan tingkat tinggi tersebut,
permasalahan pengendalian inflasi yang telah teridentifikasi di level teknis dapat ditindak-lanjuti sehingga kinerja
TPI menjadi lebih efektif.

Selanjutnya, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut, TPI bertanggung jawab memberikan laporan
kepada Menteri Keuangan di setiap akhir tahun periode tugasnya.

Untuk tahun 2013, Kegiatan TPI akan difokuskan pada beberapa kegiatan, yaitu

1. Pemantauan dan identifikasi tekanan inflasi serta penyusunan rekomendasi mengenai langkah-langkah
pengendalian tekanan inflasi.
2. Melakukan asesmen dan menyusun rekomendasi kebijakan stabilisasi harga pangan dalam konteks
implementasiUndang-undang No.18/2012 tentang Pangan.
3. Penguatan aspek kelembagaan dan penyelarasan kegiatan antara TPI dan Pokjanas TPID.
4. Penguatan kapasitas sumber daya manusia dan penerbitan publikasi singkat tentang inflasi.

Tentang Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)

Inisiatif pembentukan TPID dimulai sejak 2008 dengan dukungan dari berbagai kalangan, khususnya di
daerah. Saat initelah terbentuk 93 TPID di 33 provinsi yang mencerminkan semakin tingginya kesadaran
daerah terhadap implikasi inflasi bagi kegiatan pembangunan dan untuk kesejahteraan masyarakat secara
umum.

Keberadaan TPID juga menekankan pentingnya kerangka kerjasama yang lebih bersinergi antar daerah
sejalan dengan implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
Besarnya komitmen daerah untuk turut berpartisipasi menjaga stabilitas harga tertuang dalam Agenda
Jakarta 2011 yang merupakan hasil Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) II TPID yang diselenggarakan
pada 16 April 2011. Pada Rakornas II TPID juga disepakati pembentukan Kelompok Kerja Nasional
(Pokjanas) TPID yang beranggotakan Bank Indonesia (BI), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
(Kemenko), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui penandatanganan Nota Kesepahaman
(MoU) Nomor. MOU-01/M.EKON/03/2011, 13/I/GBI/DKM/NK, 300-194 Tahun 2011 . Sebagai tindak lanjut
dari MoU tersebut, pada penyelenggaraan Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) TPID Jakarta-Jabar-Banten
tanggal 14 Juli 2011 ditandatangani Perjanjian Kerjasama (PKS) antara ketiga pihak tersebut yang
menandai terbentuknya Pokjanas TPID.

Pokjanas TPID berperan dalam mengkoordinasikan sekaligus mengarahkan berbagai kegiatan yang
dilakukan oleh TPID dalam menjaga stabilitas harga di daerah. Selain itu, Pokjanas TPID dibangun sebagai
sarana untuk memperkuat sinergi pusat-daerah dalam mengatasi berbagai persoalan di daerah yang
memerlukan kebijakan pemerintah pusat. Berbagai rekomendasi pengendalian harga yang dihasilkan TPID
dinilai sedikit banyak telah membantu pemangku kepentingan di daerah dalam merumuskan kebijakan
terkait pengendalian harga. Keanggotaan TPID yang terdiri atas berbagai instansi pemerintahan daerah,
Kantor Bank Indonesia (KBI), Biro Perekonomian, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait, Bulog,
BUMD, serta pihak terkait lainnya sejauh ini mampu membuka jalan bagi sinergi koordinasi kebijakan dan
kegiatan dalam kerangka stabilitas harga.

Koordinasi yang solid di antara berbagai penentu kebijakan publik di daerah tersebut menghasilkan
kombinasi kebijakan yang terintegrasi, sehingga secara keseluruhan berdampak positif bagi terjaganya
harga barang pokok bagi masyarakat. Ke depan, TPID diharapkan tidak hanya menyasar persoalan yang
memicu gejolak harga melalui pendekatan yang bersifat jangka pendek, namun secara bertahap
direncanakan mulai menyentuh pada solusi atas berbagai persoalan yang bersifat struktural seperti
peningkatan produktivitas, kelancaran distribusi, dan struktur pasar yang efisien.

Tugas dan Fungsi


Tugas Pokjanas TPID secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tugas yang dilakukan
oleh masing-masing anggota (Tugas Para Pihak) dan tugas yang dalam pelaksanaannya
diemban bersama (Tugas Kolektif).

Tugas Para Pihak merupakan tugas yang menjadi tanggung jawab dari masing-masing unsur yang terlibat
dalam Pokjanas TPID (Kemenko, BI, dan Kemendagri) sesuai dengan kewenangan dan tugas pokok
masing-masing instansi. Sementara tugas kolektif merupakan tugas bersama dalam rangka
mengkoordinasikan pelaporan dan evaluasi TPID, memfasilitasi pembentukan TPID, dan strategi
pengembangan TPID, serta edukasi/sosialisasi kepada publik terkait berbagai isu tentang stabilitas harga.

Susunan Keanggotaan
Keanggotaan Pokjanas TPID terdiri dari Bank Indonesia, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang
Perekonomian dan Kementerian Dalam Negeri.Susunan keanggotaan Pokjanas TPID dapat disesuaikan
dengan kebutuhan terutama dalam rangka meningkatkan efektivitas pengendalian inflasi. Saat ini,
keanggotaan Pokjanas TPID terdiri dari Pengarah, Komite Kebijakan, Tim Pelaksana, dan Sekretariat.

Mekanisme Kerja dan Program Kerja


Tim Pelaksana melakukan pemantauan secara rutin perkembangan inflasi daerah dan mengidentifikasi
berbagai permasalahan terkait pengendalian inflasi di level teknis. Hasil pemantauan tersebut kemudian
disampaikan kepada Komite Kebijakan bersama dengan usulan rencana aksi dan rekomendasi kebijakan
kepada Komite Kebijakan. Komite kebijakan kemudian mengambil keputusan dan memberikan arahan
serta masukan kepada Tim Pelaksana terkait pelaksanaan tugas Pokjanas TPID dalam rangka mengatasi
permasalahan inflasi daerah.

Dalam hal usulan ataupun rekomendasi kebijakan yang disampaikan bersifat strategis dan membutuhkan
keputusan di level yang lebih tinggi, Komite Kebijakan kemudian menyampaikan hal tersebut kepada
Pengarah. Adapun fungsi Sekretariat dalam Pokjanas TPID adalah menatausahakan kegiatan dan
dokumen, menyelenggarakan rapat, serta melaksanakan tugas kesekretariatan lainnya. Sekretariat
Pokjanas TPID saat ini disepakati bertempat di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Rapat koordinasi di tataran teknis, pada tingkat pelaksana, dilakukan secara rutin sekali dalam sebulan
untuk membahas berbagai isu terkait perkembangan harga di daerah dalam bulan berjalan. Sementara
rapat Komite Kebijakan diselenggarakan minimal satu kali dalam satu tahun untuk membahas isu-isu
strategis terkait kebijakan harga di daerah. Rapat koordinasi Komite Kebijakan dilaksanakan apabila
terdapat hal-hal penting dan strategis yang memerlukan keputusan ataupun menghasilkan kebijakan
dalam lingkup nasional.

Dalam kerangka penguatan koordinasi dan kerjasama, Pokjanas TPID juga memfasilitasi berbagai
kegiatan forum koordinasi. Di tingkat nasional, Pokjanas TPID menyelenggarakan Rapat Koordinasi
Nasional (Rakornas) TPID yang merupakan wadah pertemuan seluruh TPID se-Indonesia. Forum
koordinasi juga diselenggarakan dalam lingkup antar wilayah melalui Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil),
serta melalui Rapat Koordinasi Pusat-Daerah Berbagai forum koordinasi ini bertujuan untuk
menginventarisasi permasalahan pengendalian harga yang perlu menjadi prioritas untuk ditangani.
Beberapa rekomendasi solusi yang dihasilkan dan memerlukan penanganan langsung dari Pemerintah
Pusat dikomunikasikan oleh Pokjanas TPID kepada Kementerian/Lembaga terkait.

Operasi Moneter

PENJELASAN OPERASI MONETER

Kerangka Operasi Moneter | Proses Operasi Moneter | Kriteria Surat Berharga &
Counterparty Penyempurnaan Operasi Moneter | Proyeksi Likuiditas Harian

Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan
moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga). Stance kebijakan moneter dicerminkan oleh
penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate). Dalam tataran operasional, BI Rate tercermin dari suku bunga pasar
uang jangka pendek yang merupakan sasaran operasional kebijakan moneter. Sejak 9 Juni 2008, BI menggunakan
suku bunga Pasar Uang Antara Bank (PUAB)1 overnight (o/n) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter.

Agar pergerakan suku bunga PUAB o/n tidak terlalu melebar dari anchor-nya (BI Rate), Bank Indonesia selalu
berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara seimbang sehingga terbentuk suku
bunga yang wajar dan stabil melalui pelaksanaan operasi moneter (OM).

Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter
melalui Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT
merupakan kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dalam rangka
mengurangi (smoothing) volatilitas suku bunga PUAB o/n. Sementara instrumen Standing Facilities merupakan
penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit
facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka membentuk koridor suku bunga di PUAB o/n. OPT dilakukan
atas inisiatif Bank Indonesia, sementara Standing Facilities dilakukan atas inisiatif bank.

Instrumen Operasi Moneter


Keterangan :
PUAB atau Pasar Uang Antar Bank adalah kegiatan pinjam meminjam dana
antara satu bank dengan bank lainnya. Suku bunga PUAB merupakan harga
yang terbentuk dari kesepakatan pihak yang meminjam dan meminjamkan
dana. Kegiatan di PUAB dilakukan melalui mekanisme over the counter
(OTC) yaitu terciptanya kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana
yang dilakukan tidak melalui lantai bursa. Transaksi PUAB dapat berjangka
waktu dari satu hari kerja (overnight) sampai dengan satu tahun.
Kerangka Operasi Moneter | Proses Operasi Moneter | Kriteria Surat Berharga &
Counterparty Penyempurnaan Operasi Moneter | Proyeksi Likuiditas Harian

A. Proyeksi Likuiditas

Untuk menentukan berapa jumlah likuiditas yang harus diserap (absorpsi) maupun disediakan (injeksi) dalam rangka
menjaga keseimbangan supply dan demand, Bank Indonesia melakukan estimasi kebutuhan likuiditas perbankan
sehingga dapat ditetapkan target operasi moneter setiap harinya. Estimasi likuiditas perbankan dilakukan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor otonom (autonomous factor) seperti operasi keuangan Pemerintah dan mutasi uang
kartal.

Efektivitas operasi moneter berbasis suku bunga tidak terlepas dari adanya informasi yang handal dan setara kepada
seluruh pelaku pasar, sehingga tercipta persepsi yang sama untuk mencapai tujuannya, yaitu terbentuknya suku
bunga yang wajar. Oleh karena itu, sejak Oktober 2008 Bank Indonesia mulai mengumumkan kondisi likuiditas
perbankan kepada pelaku pasar dan masyarakat sebanyak dua kali setiap harinya melalui website Bank Indonesia,
BI-SSSS dan sarana lainnya. Dengan adanya informasi mengenai kondisi likuiditas, diharapkan dapat membantu
treasury bank dalam mengelola kebutuhan likuiditasnya dan meningkatkan efektifitas pelaksanaan Operasi Moneter.

Pengumuman proyeksi likuiditas meliputi 2 (dua) materi utama yaitu:


Proyeksi Total Likuiditas Tersedia
Proyeksi Total Likuiditas adalah perkiraan ketersediaan likuiditas rupiah di pasar dan merupakan
hasil proyeksi dari net perubahan faktor otonomus yang berperan dalam menambah/mengurangi
ketersediaan likuiditas rupiah. Ketersediaan likuiditas rupiah antara lain dipengaruhi oleh net aliran
masuk/keluar uang kartal dari/ke sistem perbankan dan mutasi rekening pemerintah di Bank
Indonesia, net instrumen Operasi Moneter jatuh waktu, dan net perubahan saldo giro perbankan di
Bank Indonesia.

Proyeksi Excess Reserve


Proyeksi Excess Reserve adalah perkiraan selisih antara saldo giro perbankan di Bank Indonesia
dengan kewajiban pemeliharaan Giro Wajib Minimum (GWM).

Tautan Terkait:
Pengumuman Proyeksi Likuiditas

B. Operasi Pasar Terbuka

Operasi Pasar Terbuka (OPT) adalah kegiatan transaksi di pasar uang dalam rangka Operasi Moneter yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Peserta Operasi Moneter. Operasi Pasar Terbuka dilakukan untuk mencapai
target suku bunga PUAB O/N sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. OPT terdiri dari 2 jenis, yaitu:

1. OPT Absorpsi
OPT absorpsi dilakukan apabila dari perkiraan perhitungan likuiditas maupun dari indikator suku
bunga di PUAB diperkirakan mengalami kelebihan likuiditas, yang diantaranya diindikasikan melalui
penurunan suku bunga PUAB secara tajam. Instrumen yang digunakan dalam OPT absorpsi ini
adalah (i) Penerbitan SBI dan SBIS, (ii) Penerbitan SDBI (iii)Transaksi Reverse Repo SBN, (iv)
Transaksi Penjualan SBN secara outright, (v) Penempatan berjangka (Term Deposit) dalam rupiah di
Bank Indonesia dan (vi) Jual Valuta Asing terhadap Rupiah (dalam bentuk spot, forward atau swap).
Peserta pada OPT Absorpsi adalah bank dan/atau lembaga perantara yang melakukan transaksi
untuk kepentingan bank.

2. OPT Injeksi
OPT injeksi dilakukan apabila dari perkiraan perhitungan likuiditas maupun dari indikator suku
bunga di PUAB diperkirakan mengalami kekurangan likuiditas, yang diantaranya diindikasikan
melalui peningkatan suku bunga PUAB secara tajam. Instrumen yang digunakan dalam OPT injeksi
ini adalah (i) Transaksi Repo, (ii) Transaksi Pembelian SBN secara outright dan (iii) Beli Valuta Asing
terhadap Rupiah (dalam bentuk spot, forward atau swap). Peserta pada OPT Injeksi adalah bank
dan/atau lembaga perantara yang melakukan transaksi untuk kepentingan bank.

Berikut ini adalah tabel jenis instrumen OPT dan dampaknya terhadap likuiditas serta karakteristiknya :
Keterangan:

- VRT (Variable Rate Tender)


- FRT (Fixed Rate Tender)
- FX (foreign exchange)
- SBI (Sertifikat Bank Indonesia)
- SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah)
- SBN (Surat Berharga Negara)
- SDBI (Sertifikat Deposito Bank Indonesia)

Kerangka Operasi Moneter I Proses Operasi Moneter I Kriteria Surat Berharga &
Counterparty Penyempurnaan Operasi Moneter I Proyeksi Likuiditas Harian

A. Surat Berharga
1. Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Operasi Moneter adalah sebagai berikut :
1. diterbitkan oleh Bank Indonesia dan/atau Negara Republik Indonesia;
2. dalam mata uang rupiah;
3. ditatausahakan di Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS);
4. tercatat di rekening perdagangan/aktif (active) di BI-SSSS; dan
5. tidak sedang diagunkan.
2. Jenis-jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari :
1. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) & Sertifikat Bank Indonesia (SBIS);
2. Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SBI); dan
3. Surat Berharga Negara (SBN), yang terdiri dari :
Surat Utang Negara (SUN), yang terdiri dari Surat Perbendaharaan Negara
(SPN) dan Obligasi Negara termasuk ZCB dan ORI; dan
Surat Berharga Syariah Negara (SBS) termasuk SBSN Ritel.
3. Persyaratan Surat Berharga :
Untuk transaksi repo dalam rangka OPT dan lending facility :
1. SBI, SBIS dan SDBI memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja pada
saat second leg transaksi repo.
2. SBN Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada saat second leg
transaksi repo.

B. Peserta & Perantara Operasi Moneter


Pihak yang dapat menjadi counterparty Bank Indonesia dalam pelaksanaan operasi moneter di pasar keuangan
domestik, baik yang melibatkan transaksi rupiah maupun valuta asing harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Peserta Operasi Moneter
1. Peserta Operasi Moneter terdiri dari :
Peserta OPT, yaitu Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia; dan
Peserta Standing Facilities, yaitu bank
2. Persyaratan peserta Operasi Moneter adalah sebagai berikut:
Berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;
Tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti
kegiatan Operasi Moneter;
Wajib memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia;
Wajib memiliki rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dalam hal peserta
operasi moneter mengikuti transaksi OPT di pasar valuta asing.
Wajib memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS dan/atau di lembaga
kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Peserta Operasi Moneter wajib menyediakan dana yang cukup di rekening giro
rupiah di Bank Indonesia dan/atau surat berharga yang cukup di rekening surat berharga di
BI-SSSS atau di lembaga kustodian untuk penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian
transaksi
Peserta Operasi Moneter yang mengikuti transaksi di pasar valuta asing wajib
menyediakan dana di Bank Indonesia atau transfer dana ke rekening Bank Indonesia yang
cukup penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi
Peserta OPT dapat mengikuti OPT secara langsung dan/atau tidak langsung
melalui lembaga perantara.
3. Lembaga Perantara
Lembaga Perantara melakukan transaksi OPT untuk kepentingan peserta
Operasi Moneter.
Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud terdiri dari:
Pialang pasar uang rupiah dan valuta asing; dan
Pialang pasar modal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia sebagai Dealer Utama.
Pialang pasar modal hanya dapat menjadi lembaga perantara dalam transaksi
repo, transaksi reverse repo dan transaksi pembelian atau penjualan Surat Berharga secara
outright.
Persyaratan Lembaga Perantara adalah sebagai berikut :
Berstatus aktif sebagai Peserta BI-SSSS; dan
Tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas
pengawas yang berwenang.
Kerangka Operasi Moneter | Proses Operasi Moneter | Kriteria Surat Berharga &
Counterparty Penyempurnaan Operasi Moneter | Proyeksi Likuiditas Harian

Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan operasi moneter dan mendorong perkembangan pasar uang
domestik, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan operasi moneter yang mulai dilakukan sejak Maret 2010.
Penyempurnaan operasi moneter tersebut dilakukan melalui upaya penyerapan ekses likuiditas rupiah dengan lebih
mengutamakan penggunaan instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT) tenor yang lebih panjang.

Secara umum, pasar uang domestik berada pada kondisi ekses likuiditas yang bersifat permanen/struktural yang
ditunjukkan dengan meningkatnya posisi Operasi Moneter dari waktu ke waktu. Kondisi ekses likuiditas
menyebabkan secara harian penawaran (supply) likuiditas umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat
permintaannya (demand). Hal tersebut mendorong suku bunga pasar uang jangka pendek, dalam hal ini suku
bunga PUAB o/n, berada di level yang rendah.

Di sisi lain, sebagai sasaran operasional kebijakan moneter, Bank Indonesia menjaga agar suku bunga pasar uang
jangka pendek tersebut tidak terlalu melebar dari suku bunga kebijakan (BI Rate) untuk mendukung pencapaian
sasaran akhir kebijakan moneter. Dengan kondisi supply likuiditas harian di pasar uang yang masih tinggi, dan
untuk menjaga agar suku bunga pasar uang jangka pendek bergerak tidak terlalu jauh dari BI Rate, maka Bank
Indonesia akan melakukan operasi pasar terbuka dengan berbagai variasi tenor.

1. Perpanjangan Profil Jatuh Waktu Sertifikat Bank Indonesia

Dalam rangka menyempurnakan operasi moneter, Bank Indonesia memperpanjang profil jatuh waktu Sertifikat
Bank Indonesia (SBI). Perubahan tersebut dilakukan melalui perubahan pelaksanaan lelang SBI dari mingguan
menjadi bulanan, dan melakukan penyerapan ekses likuiditas rupiah dengan lebih mengutamakan kepada SBI.
dengan tenor yang lebih panjang.

Pelaksanaan lelang dari mingguan menjadi bulanan diharapkan dapat mendorong bank mengelola likuiditasnya
dalam rentang waktu yang lebih panjang. Adapun penyerapan ekses likuiditas yang mengutamakan SBI dengan
tenor yang lebih panjang diharapkan dapat mendorong berkembangnya transaksi di pasar uang dan pelaksanaan
operasi moneter yang lebih efektif.

Penyempurnaan operasi moneter diimplementasikan mulai Juni 2010, dengan masa transisi selama 3 (tiga) bulan
mulai 10 Maret 2010. Pada masa transisi, BI mengatur tenor penyerapan likuiditas sehingga jatuh waktunya dapat
disesuaikan pada minggu kedua setiap bulannya. Pada masa transisi tersebut lelang SBI dapat memiliki tenor di
luar kebiasaan dan target indikatif yang lebih besar dari biasanya. Secara bertahap lelang SBI yang masih
dilaksanakan mingguan akan menjadi dwi-mingguan dan kemudian bulanan. Pada masa transisi, upaya
penyerapan ekses likuiditas sudah mulai diarahkan ke SBI 3 dan 6 bulan. Untuk memudahkan pelaku pasar uang
dalam mengelola likuiditasnya di masa transisi, BI menetapkan kalender lelang SBI. Dalam rangka menjaga
kecukupan likuiditas agar stabilitas suku bunga tetap terjaga, BI tetap mengoptimalkan penggunaan instrumen
operasi moneter lainnya, seperti Term Deposit, Standing Facility, Repo dan Reverse Repo. Dengan demikian, tidak
ada perubahan struktur instrumen operasi moneter yang ada saat ini. Sementara itu, pelaksanaan lelang SBI
Syariah (SBIS) mengikuti jadwal lelang dan tenor SBI terpendek.

Penjelasan resmi mengenai hal ini dapat dilihat dalam Siaran Pers No.12/12/PSHM/Humas tanggal 5 Maret 2010

Dokumen terkait:
a. FAQ - Penyempurnaan Operasi Moneter: Perpanjangan Profil Jatuh Waktu SBI.
b. Sosialisasi Penyempurnaan Operasi Moneter: Perpanjangan Profil Jatuh Waktu SBI.
c. Jadwal lelang SBI dan SBIS periode bulan Maret Juni 2010 (updated)

Kembali keatas
2. Paket Kebijakan Penguatan Manajemen Moneter dan Pengembangan Pasar Keuangan

Untuk merespon dan mengantisipasi berbagai dinamika pasar keuangan domestik maupun global, Bank Indonesia
mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter, memperkuat
stabilitas sistem keuangan, serta mendorong pendalaman pasar keuangan, pada Selasa, 15 Juni 2010, di Jakarta.
Kebijakan ini bukan merupakan kontrol devisa dan tetap dalam koridor sistem devisa bebas yang secara konsisten
dianut Indonesia selama ini. Pada gilirannya kebijakan tersebut juga akan mendukung kesinambungan stabilitas
makro ekonomi dan memperkuat momentum pemulihan ekonomi.

Paket kebijakan yang diambil secara umum berupa kebijakan untuk memperkuat operasi moneter dan
menyempurnakan aspek prudential perbankan, terdiri dari penambahan instrumen dan penyempurnaan beberapa
ketentuan baik di pasar uang rupiah maupun valas, yang terdiri dari:

1. Pelebaran koridor suku bunga PUAB O/N; diimplementasikan mulai 17 Juni 2010.
2. Penerapan minimum one month holding period Sertifikat Bank Indonesia (SBI); diimplementasikan mulai 7
Juli 2010.
3. Penambahan instrumen moneter non-securities dalam bentuk term deposit; berlaku mulai 7 Juli 2010.
4. Penyempurnaan ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto (PDN); berlaku mulai 1 Juli 2010.
5. Penerbitan SBI berjangka waktu 9 dan 12 bulan; yang diimplementasikan pada minggu ke-II Agustus 2010
(SBI 9 Bulan)
6. Penerapan mekanisme triparty repurchase (repo) Surat Berharga Negara (SBN);
Sebagai tindak lanjut dari beberapa penyempurnaan Operasi Moneter dimaksud, Bank Indonesia juga telah
menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan ketentuan pelaksanaanya (Surat Edaran Bank Indonesia),
yaitu PBI No. 12/11/PBI/2010 tanggal 2 Juli 2010 tentang Operasi Moneter dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE
BI) No. 12/16/DPM tanggal 6 Juli 2010 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga
Perantara dalam Operasi Moneter, SE BI No. 12/17/DPM tanggal 6 Juli 2010 perihal Koridor Suku Bunga (Standing
Facilities) dan SE BI No. 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka

STANDING FACILITIES

Koridor Suku Bunga atau Standing Facilities (SF) adalah kegiatan penyediaan
dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan
penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia
dalam rangka Operasi Moneter. Penyediaan Standing Facilities berfungsi
untuk membatasi volatilitas suku bunga PUAB O/N. Standing facilities terdiri
dari 2 jenis, yaitu:
1. Penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank (lending
facility), yaitu fasilitas bagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas
dengan cara merepokan SBI/SDBI/SBN yang dimilikinya kepada Bank
Indonesia; dan
2. Penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia (deposit
facility), yaitu fasilitas bagi bank yang memiliki kelebihan likuiditas dengan
cara menempatkan dana yang dimilikinya kepada Bank Indonesia.
Penempatan Dana Penyediaan Dana
Instrumen
dan Deposit
Keterangan Financing
Deposit Facility Facility - Lending Facility
Facility
FASBIS

Mengurangi
Dampak likuiditas Mengurangi likuiditas likuiditas Menambah likuiditas Menambah likuiditas
Frekuensi Setiap hari
transaksi Setiap hari kerja kerja Setiap hari kerja Setiap hari kerja
overnight s.d
14 hari
Jangka waktu overnight kalender overnight overnight
Nominal
pengajuan minimal Rp1.000jt Rp1.000jt Rp1.000jt Rp1.000jt
Nominal kelipatan Rp100jt Rp100jt 1 unit surat berharga 1 unit surat berharga

Repo SBIS:
akad qard diikuti
rahn
Repo SBSN:
akad bai' ma'al
wa'ad (jual
Mekanisme Repo surat berharga : dengan janji
transaksi Non Lelang Aqad Wadiah metode non lelang membeli kembali)

Setelmen T+0 T+0 T+0 T+0


Tingkat diskonto Tingkat diskonto
sebesar BI-Rate sebesar BI-Rate
dikurangi marjin Tingkat imbalan ditambah marjin Tingkat biaya Repo
Suku bunga tertentu FASBIS tertentu SBIS/SBSN
Peserta Bank Konvensional Bank Syariah Bank Konvensional Bank Syariah
Surat Berharga
Yang Dapat
Direpokan - - SBI, SDBI dan SBN SBIS dan SBSN
Keterangan :
Sebelum 7 Juli 2010, Deposit Facility disebut FASBI
Sebelum 7 Juli 2010, Lending Facility disebut Repo O/N
FASBIS: Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah
KRITERIA SURAT BERHARGA & COUNTERPARTY

A. Surat Berharga
1. Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Operasi Moneter adalah sebagai berikut :
1. diterbitkan oleh Bank Indonesia dan/atau Negara Republik Indonesia;
2. dalam mata uang rupiah;
3. ditatausahakan di Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS);
4. tercatat di rekening perdagangan/aktif (active) di BI-SSSS; dan
5. tidak sedang diagunkan.
2. Jenis-jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari :
1. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) & Sertifikat Bank Indonesia (SBIS);
2. Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SBI); dan
3. Surat Berharga Negara (SBN), yang terdiri dari :
Surat Utang Negara (SUN), yang terdiri dari Surat Perbendaharaan Negara
(SPN) dan Obligasi Negara termasuk ZCB dan ORI; dan
Surat Berharga Syariah Negara (SBS) termasuk SBSN Ritel.
3. Persyaratan Surat Berharga :
Untuk transaksi repo dalam rangka OPT dan lending facility :
1. SBI, SBIS dan SDBI memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja pada
saat second leg transaksi repo.
2. SBN Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada saat second leg
transaksi repo.
B. Peserta & Perantara Operasi Moneter
Pihak yang dapat menjadi counterparty Bank Indonesia dalam pelaksanaan operasi moneter di pasar keuangan
domestik, baik yang melibatkan transaksi rupiah maupun valuta asing harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Peserta Operasi Moneter
1. Peserta Operasi Moneter terdiri dari :
Peserta OPT, yaitu Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia; dan
Peserta Standing Facilities, yaitu bank
2. Persyaratan peserta Operasi Moneter adalah sebagai berikut:
Berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;
Tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti
kegiatan Operasi Moneter;
Wajib memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia;
Wajib memiliki rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dalam hal peserta
operasi moneter mengikuti transaksi OPT di pasar valuta asing.
Wajib memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS dan/atau di lembaga
kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Peserta Operasi Moneter wajib menyediakan dana yang cukup di rekening giro
rupiah di Bank Indonesia dan/atau surat berharga yang cukup di rekening surat berharga di
BI-SSSS atau di lembaga kustodian untuk penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian
transaksi
Peserta Operasi Moneter yang mengikuti transaksi di pasar valuta asing wajib
menyediakan dana di Bank Indonesia atau transfer dana ke rekening Bank Indonesia yang
cukup penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi
Peserta OPT dapat mengikuti OPT secara langsung dan/atau tidak langsung
melalui lembaga perantara.
3. Lembaga Perantara
Lembaga Perantara melakukan transaksi OPT untuk kepentingan peserta
Operasi Moneter.
Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud terdiri dari:
Pialang pasar uang rupiah dan valuta asing; dan
Pialang pasar modal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia sebagai Dealer Utama.
Pialang pasar modal hanya dapat menjadi lembaga perantara dalam transaksi
repo, transaksi reverse repo dan transaksi pembelian atau penjualan Surat Berharga secara
outright.
Persyaratan Lembaga Perantara adalah sebagai berikut :
Berstatus aktif sebagai Peserta BI-SSSS; dan
Tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas
pengawas yang berwenang.

Transmisi Kebijakan Moneter

Bagaimana Bekerjanya Kebijakan Moneter?

Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya
tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku
bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan
perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai
dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag).

Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai
mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui
perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi
dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi
antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi
melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur
ekspektasi.

Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan.
Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang
ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate
menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan
meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan
investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin
bergairah. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan
suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan
inflasi.

Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai
tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan
suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk
menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan
mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan
mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan
barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan
mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan
kegiatan perekonomian.

Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku
bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan
perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti
konsumsi dan investasi.

Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur
ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya
inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini
pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.

Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-masing jalur
bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku
bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh
pada kecepatan tarnsmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi,
respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan
sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya
permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku
bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila
prospek perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil
sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.
Transparansi dan Akuntabilitas Kebijakan Moneter

Transparansi dan Komunikasi

Agar kebijakan moneter dapat berkerja secara efektif, komunikasi yang terbuka antara Bank Indonesia dengan
masyarakat sangat dibutuhkan. Oleh karenanya, kebijakan moneter Bank Indonesia senantiasa dikomunikasikan
secara transparan kepada masyarakat. Komunikasi tersebut juga sebagai bagian dari akuntabilitas kebijakan
moneter dan berperan dalam membantu pembentukan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi ke depan. Melalui
komunikasi, Bank Indonesia mengajak masyarakat untuk memandang dan membentuk tingkat inflasi ke depan
sebagaimana yang diitetapkan dalam sasaran yang diumumkan. Oleh karenanya, komunikasi kebijakan moneter
dilakukan dengan terus menerus memuat pengumuman dan penjelasan tentang sasaran inflasi ke depan, analisis
Bank Indonesia terhadap perekonomian, kerangka kerja, dan langkah-langkah kebijakan moneter yang telah dan
akan ditempuh, jadwal Rapat Dewan Gubernur (RDG), serta hal-hal lain yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur.

Komunikasi kebijakan moneter dilakukan dalam bentuk siaran pers, konferensi pers setelah Rapat Dewan
Gubernur, publikasi Tinjauan/Laporan Kebijakan Moneter yang memuat latar belakang pengambilan keputusan,
maupun penjelasan langsung kepada masyarakat luas, media massa, pelaku ekonomi, analis pasar dan akademisi.

Media komunikasi Kebijakan Moneter Bank Indonesia dalam bentuk publikasi :


a. Tinjauan Kebijakan Moneter
b. Laporan Perekonomi Indonesia
c. Laporan Triwulanan DPR RI
d. Siaran Pers Kebijakan Moneter (link BI Rate)

Akuntabilitas

Bank Indonesia secara reguler menyampaikan pertanggung-jawaban pelaksanaan kebijakan moneter kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai bentuk akuntabilitas Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenang yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Pertanggung-jawaban kebijakan moneter dilakukan
dengan penyampaian secara tertulis maupun penjelasan langsung atas pelaksanaan Kebijakan Moneter secara
triwulanan dan aspek-aspek tertentu kebijakan moneter yang dipandang perlu. Selain itu Laporan
Pertanggungjawaban Pelaksanan Kebijakan tersebut disampaikan pula kepada Pemerintah dan masyarakat luas
untuk transparansi dan koordinasi.
Dalam hal sasaran inflasi untuk suatu tahun tidak tercapai, maka Bank Indonesia menyampaikan penjelasan
kepada Pemerintah sebagai bahan penjelasan Pemerintah bersama Bank Indonesia secara terbuka kepada DPR dan
masyarakat.

Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal

Mengingat bahwa laju inflasi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor permintaan (demand pull) namun
juga faktor penawaran (cost push), maka agar pencapaian sasaran inflasi dapat dilakukan dengan efektif,
kerjasaama dan koordinasi antara pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi sangatlah
diperlukan. Sehubungan dengan hal tersebut, di tingkat pengambil kebijakan, Bank Indonesia dan Pemerintah
secara rutin menggelar Rapat Koordinasi untuk membahas perkembangan ekonomi terkini. Di sisi lain, Bank
Indonesia juga kerap diundang dalam Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Presiden RI untuk memberikan pandangan
terhadap perkembangan makroekonomi dan moneter terkait dengan pencapaian sasaran inflasi. Koordinasi
kebijakan fiskal dan moneter juga dilakukan dalam penyusunan bersama Asumsi Makro di Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang dibahas bersama di DPR. Selain itu, Pemerintah juga berkoordinasi dengan Bank
Indonesia dalam melakukan pengelolaan Utang Negara.

Di tataran teknis, koordinasi antara Pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi
Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI,
terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko
Bidang Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen
Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menyadari pentingnya
koordinasi tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi
antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah
sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan dan berkelanjutan.

Вам также может понравиться