Вы находитесь на странице: 1из 17

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Indonesia sebagai suatu Negara yang terletak antara dua samudera dan dua benua dan
yang komposisi grafisnya terdiri dari pulau pulau dan laut laut, mempunyai kepentingan yang
sangat besar atas perkembangan hokum laut dan segala sesuatu yang berhunbungan dengan
pembinaan dan pengembangan kemampuan laut saat ini. Bangsa Indonesia adalah Negara
kepulauan oleh sebab itu, pada tanggal 13 desember 1957 Pemerintah Republik Indonesia
mengumumkan suatu pernyataan mengenai wilayah Perairan Indonesia, yang mengandung
makna bahwa Negara Indonesia adalah satu kesatuan yang meliputi tanah (daratan) dan air
(lautan) secara tidak terpisahkan sebagai Negara Kepulauan. Pengakuan dunia internasional
terhadap asas Negara kepulauan membawa konsekuensi bahwa Indonesia juga harus
menghormati hak hak masyarakat Internasional di perairan yang kini menjadi perairan nasional,
terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal kapal asing. Lalu lintas
yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak
bertentangan dengan/menganggu kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia.

Salah satu kekhawatiran yang besar dari Negara Maritim yang telah maju adalah
semakin banyaknya Negara yang menganut lebar laut wilayah 12 mil, karena itu Negara
Negara maritim merasa bahwa jika lebar ini diterima oleh konperensi hokum laut, maka selat
selat yang lebarnya kurang dari 24 mil akan menjadi laut wilayah, dan dengan demikian maka
pelayaran kapal kapal asing melalui selat tersebut dikhwatirkan akan harus tunduk kepada
rezime pelayaran melalui laut wilayah, yaitu rezim innocent passage, dimana tidak boleh ada
penangguhan melalui selat selat yang dipakai bagi pelayaran internasional.

Beberapa selat penting bagi pelayaran International misalnya selat Dover, Gibraltar,
bab-al-mandeb, Malaka, singapura. Kenyataan bahwa suatu bagian dari laut wilayahNegara
pantai yang sempit di selat yang sibuk dipakai bagi pelayaran internasional haruslah
memperkuat wewenang Negara pantai atas selatnya itu, bukan memperlemahnya, karena
dengan semakin sibuknya selat itu bagi pelayaran international, termasuk bagi segala jenis
kapal, maka semakin besar pulalah risiko yang harus ditanggung oleh Negara Pantai tersebut,
baik risiko terhadap pencemaran laut karena polusi yang disebabkan oleh kapal yang lewat,
maupun risiko terhadap keamanan rakyat di sekitar pantainya karena lewatnya kapal kapal
perang dan armada Negara Negara asing.
Negara Negara maritim tersebut tetap mengakui kedaulatan Negara pantai atas selat
yang merupakan wilayahnya, disertai wewenang wewenangnya untuk mengatur hal hal
tertentu di selat tersebut, tetapi haknya untuk mengatur tersebut diperinci dan diperjelas
sedemikian sehingga tidak menimbulkan hak yang sewenang wenang yang dapat menggangu
keselamatan lewat atau hak untuk lewat itu sendiri. Salah satu wewenang dari Negara pantai
yaitu dalam menetapkan alur laut dan skema pemisah lalu lintas dalam selat untuk pelayaran
internasional apabila diperlukan untuk meningkatkan lintasan yang aman bagi kapal dan
Negara pantai dengan persetujuan organisasi international yang berwenang. Alur laut
merupakan jalur di wilayah perairan Indonesia yang dapat dilewati kapal dan pesawat udara
asing. Alur laut dan skema pemisahan lalu lintas di selat Internasional tercantum dalam
UNCLOS 1982.

2. Rumusan Masalah
a. Pengertian alur laut dan skema pemisahan lalu lintas ?
b. Bagaimana Pengaturan alur laut dan skema pemisahan lalu lintas dalam pengaturan
perundang undangan yang berlaku ?
c. Bagaimana kaitannya dengan masalah selat malaka ?
d. Contoh kasus kecelakaan kapal tangki di selat malaka ?

3. Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum laut.
Serta ingin lebih mengkaji dan menganalisa alur laut dan skema pemisah lalu lintas dalam selat
yang digunakan untuk pelayaran internasional serta ingin lebih mendalami masalah selat
malaka dan contoh kasus kecelakaan kapal yang terkait.

BAB II
ISI

a. Pengertian alur laut dan skema pemisah lalu lintas


Menurut PP no 36 tahun 2002
Alur laut adalah alur pelayaran yang lazim digunakan untuk pelayaran yang ditetapkan
sebagai alur untuk pelayaran yang aman, terus-menerus, dan cepat.
Skema Pemisah Lalu Lintas adalah pengaturan pemisahan lintas untuk keselamatan
pelayaran melalui Alur Laut.
Peta navigasi adalah peta laut yang disusun dan dipergunakan untuk kepentingan
navigasi di laut dengan memperhatikan standar internasional, dalam rangka keselamatan
pelayaran
Menurut uu no 6 tahun 1996
Alur laut kepulauan adalah alur laut yang dilalui oleh kapal atau pesawat udara asing di
atas alur laut tersebut, untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan dengan cara normal
semata-mata untuk transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak
terhalang melalui atau di atasperairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan antara
satu bagian laut lepas atau ZonaEkonomi Eksklusif Indonesia dan bagian laut lepas atau Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya.

b. Pengaturan alur laut dan skema pemisah lalu lintas dalam selat untuk pelayaran
internasional
Alur laut dan skema pemisah lalu lintas dalam selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional menurut UNCLOS 1982 : pasal 41
1. Sesuai dengan ketentuan Bab ini, Negara yang berbatasan dengan selat dapat
menentukan alur laut dan dapat menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk
pelayaran di selat apabila diperlukan untuk meningkatkan lintasan yang aman bagi
kapal.
2. Negara yang demikian, apabila keadaan menghendakinya, dan setelah untuk itu
memberikan pengumuman sebagaimana mestinya, dapat menggantikan setiap alur-
alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkan
sebelumnya dengan alur-alur laut skema pemisah lalu lintas yang lain
3. Alur laut dan skema pemisah lalu lintas demikian harus sesuai dengan peraturan
internasional yang telah diterima secara umum.
4. Sebelum menentukan atau mengganti alur laut atau menetapkan atau mengganti
skema pemisah lalu lintas, Negara yang berbatasan dengan selat harus mengajukan
usul kepada organisasi internasional yang berwenang dengan maksud dapat
menerimanya. Organisasi itu hanya dapat menerima alur laut dan skema pemisah
lalu lintas yangtelah disepakati dengan Negara-negara yang berbatasan dengan
selat, setelah mana Negara-negara itu dapat menentukan, menetapkan atau
menggantinya.
5. Bertalian dengan suatu selat dimana sedang diusulkan alur laut atau skema pemisah
lalu lintas melalui perairan dua atau lebih Negara yang berbatasan dengan selat,
Negara-negara yang bersangkutan harus bekerjasama dalam merumuskan usul
melalui konsultasi dengan organisasi internasional yang berwenang.
6. Negara yang berbatasan dengan selat harus secara jelas mencantumkan semua alur
laut dan skema pemisah lalu lintas yang ditentukan atau ditetapkannya pada peta
yang diumumkan sebagaimana mestinya.
7. Kapal dalam lintas transit harus menghormati alur laut dan skema pemisah lalu lintas
yang berlaku dan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan pasal ini.

Alur laut yang ditetapkan sebagai Hak alur untuk pelaksanaan lintas alur kepulauan
berdasarkan konvensi hokum laut internasional. Ini merupakan alur alur untuk pelayaran dan
penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing tersebut di atas
laut untuk dilaksanakan pelayaran dan penerbangan damai dengan cara normal. Penetapan
alur laut dimaksudkan agar Pelayaran Internasional dapat terselenggara secara terus menerus,
cepat, dan dengan tidak terhalang oleh ruang dan udara Perairan Teritorial Indonesia.
Setiap kapal asing yang dari satu bagian laut bebas atau zona ekonomi eksklusif
melaksanakan Lintas Damai melintasi Laut Teritorial dan Perairan Kepulauan, ke bagian lain
laut bebas atau zona ekonomi eksklusif wajib menggunakan Alur Laut yang sesuai dengan asal
tujuan pelayarannya (pasal 3 ayat 1 PP no 36 tahun 2002)
Dalam melaksanakan pelayaran international , di selat-selat sempit seperti halnya selat
malaka, kapal-kapal asing dalam melaksanakan pelayaran di Alur Laut yang ditentukan, tidak
boleh berlayar mendekati pantai kurang dari 10% (sepuluh per seratus) dari lebar selat yang
sempit tersebut.

Kapal asing dalam melaksanakan pelayarannya dalam Alur Laut wajib (pasal 9 PP no
36 tahun 2002) :

A. senantiasa memonitor Radio Berita Pelaut Indonesia;

B. senantiasa memperhatikan kegiatan pelayaran kapal-kapal yang melakukan pelayaran


antarpulau.
Tidak ada pungutan yang dapat dibebankan pada kapal asing hanya karena meintasi laut
teritorialnya, pungutan dapat dibebankan kepada yang bertalian dengan layanan khusus yang
diberikan kepadanya sewaktu melaksanakan Lintas Damai melalui Laut Teritorial dan Perairan
Kepulauan.Terhadap kapal asing yang tidak memenuhi kewajiban dapat dikenakan eksekusi
sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang berlaku.

Alur alur laut dan rute penerbangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut

Harus melalui perairan kepulauan dan laut territorial yang berbatasan dengannya
Merupakan rute rute lintasan yang biasa digunakan untuk pelayaran dan penerbangan
international
Mencakup semua alur navigasi yang biasa digunakan oleh kapal-kapal, sepanjang tidak
mengakibatkan duplikasi bagi alur keluar dan masuk untuk satu arah yang sama.
Ditetapkan melalui suatu rangkaian garis potong (garis sumbu) yang bersambung dan
membentang mulai dari titik-titik masuk sampai ke titik-titik terluar rute lintasan tersebut.

Alur laut dan skema pemisah dalam peraturan pemerintah no 36 tahun 2002 pasal
11 :
1. Kapal tanker asing, kapal ikan asing, kapal riset kelautan atau kapal survei hidrografi
asing, dan kapal asing bertenaga nuklir atau kapal asing yang memuat bahan nuklir atau
bahan lainnya yang karena sifatnya berbahaya atau beracun, dalam melaksanakan
Lintas Damai hanya untuk melintas dari satu bagian laut bebas atau zona ekonomi
eksklusif ke bagian lainnya dari laut bebas atau zona ekonomi eksklusif melalui Perairan
Indonesia wajib menggunakan alur laut yang lazim digunakan untuk pelayaran
internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
a. Untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudra Hindia dan sebaliknya, yang
dapat digunakan adalah Alur Laut yang lazim digunakan untuk pelayaran
internasional yang melalui Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat
Sunda.
b. Untuk pelayaran dari Laut Sulawesi ke Samudra Hindia dan sebaliknya, yang dapat
digunakan adalah Alur Laut yang lazim digunakan untuk pelayaran internasional
yang melalui Selat Makasar, Laut Flores, dan Selat Lombok.
c. Untuk pelayaran dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia dan sebaliknya, yang
dapat digunakan adalah Alur Laut yang lazim digunakan untuk pelayaran
internasional yang melalui Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan
Laut Sawu.
d. Untuk pelayaran dari Samudra Pasifik ke Laut Timor atau ke Laut Arafuru dan
sebaliknya, yang dapat digunakan adalah Alur Laut yang lazim digunakan untuk
pelayaran internasional melalui Laut Maluku, Laut Seram, dan Laut Banda.
2. Alur Laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam peta navigasi atau
buku-buku kepanduan bahari yang diterbitkan secara khusus untuk keselamatan
pelayaran.
Penetetapan alur laut dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keamanan Negara dan
kondisi hidro-osenografi agar memungkinkan alur pelayaran yang aman untuk dilayari oleh
setiap kapal. Keberadaan alur laut akan membuka peluang pengembangan ekonomi kawasan
dengan menarik manfaat kondisi perekonomian kawasan asia pasifik dan ASEAN.
Manfaat alur laut yang didapatkan oleh Indonesia adalah :
a. Indonesia menjadi bagian penting dari terwujudnya sebuah peradaban yang
berhubungan dengan lautan.
b. Indonesia menjadi bagian penting dari Eurasian Blue Belt
c. Indonesia mengambil peranan penting dalam Global Logistic Suport System
d. Indonesian menghubungkan samudra hindia dan samudra pasifik

Menteri perhubungan bertanggung jawab dalam menetapkan alur laut di perairan kepulauan
untuk digunakan sebagai bagian dari skema pemisah lalu lintas dalam rangka pelaksanaan
lintas transit melalui selat tersebut demi keselamatan pelayaran di selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional dengan tunduk pada ketentuan ketentuan lintas damai di perairan
kepulauan.
Dalam menetapkan alur laut dan skema pemisah lalu lintas tersebut, Negara kepulauan
harus memenuhi persyaratan seperti dibawah ini :
a. Harus sesuai dengan aturan internasional yang diterima secara umum
b. Setiap penetapan atau penggantian tersebut harus berdasarkan kepada penerimaan
oleh organisasi internasional yang berwenang dan disepakati bersama dengan Negara
kepulauan.
c. Harus mencatumkan secara jelas sumbu dari alur laut dan skema pemisah lalu lintas
yang telah ditetapkannya tersebut pada peta peta yang harus diumumkan sebagimana
mestinya.
Menetukan atau atau mengganti alur laut atau mengganti skema pemisah lalu lintas,
suatu Negara kepulauan harus mengajukan usul kepada organisasi international berwenang
dengan maksud dapat diterima. Penangguhan tersebut diperlukan untuk perlingan keamanan
atau untuk keperluan latihan senjata dilakukan oleh panglima Tentara Nasional Indonesia.
Penangguhan sementara ini diberitahukan oleh Departemen Luar Negeri kepada Negara
Negara asing melalui saluran diplomatic dan diumumkan melalui berita pelaut Indonesia
setelah memperoleh penetapan mengenai daerah dan jangka waktu berlakunya penangguhan
sementara tersebut dari Panglima Tentara Nasional Indonesia. Penangguhan sementara mulai
berlaku paling cepat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan dan pengumuman tersebut. (pasal 14
PP no 36 tahun 2002)
Setiap kapal wajib mematuhi peraturan peraturan perundang undangan Negara pantai
yang ditetapkan untuk melaksanakan hak lintas damai tersebut. Meskipun kapal kapal perang
mempunyai imunitas, namun tidak lepas dari kewajiban untuk memenuhi peraturan perundang
undangan Negara pantai. Apabila terbukti bahwa kapal asing melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut, Negara pantai mempunyai wewenang untuk meminta kapal tersebut
meninggalkan laut teritorialnya. Negara bendera kapal tersebut bertanggung jawab atas segala
kerugian atau kerusakan yang diderita oleh Negara pantai.

C. Masalah selat Malaka

Asal Mulanya

Persoalan Selat malaka timbul karena adanya perkembanganyang penting di bidang


perkapalan dan perubahan perubahan di dalam strategi militer secara global dari Negara negra
besar. Selat malaka adalah urat nadinya perekonomian Jepang, terutama karena kira-kira 90%
dari kebutuhan minyak Jepang diangkut melalui selat selat tersebut dengan mempergunakan
kapal-kapal tangki. Makin lama kapal kapal tangki itu semakin besar dan kemampuan selat
malaka yang sempit, dangkal dan ramai itu makin lama makin terbatas untuk melayani kapal
kapal tangki besar itu. Dengan demikian, maka makin seringlah terjadi kecelakan kapal kapal
tangki raksasa di selat tersebut yang mencemarkan laut kepada Negara pantai serta
mempengaruhi kehidupan rakyat Negara pantai. Sebagai contoh :
Tahun 1972 kapal tangki raksasa MYRTEA yang berukuran 210.000 dwt kandas dan
telah menimbulkan pencemaran laut yang besar.
Tanggal 23 maret 1973, kapal tangki korea KING STAR yang berukuran 134.000 dwt
kandas di dekat pulau Sebarok, dan 4 hari kemudian, kapal tangki Yunani PELINAION
kandas pula
Tetapi kecelakaan yang terbesar adalah kandasnya kapal tangki raksasa Jepang
SHOWA MARU yang berukuran 237.698 dwt tanggal 6 januari 1975 yang telah
menyebabkan ertumhnya kira-kira 7.500 ton minyak mentah dan telah menyebabkan
pencemaran laut yang sangat serius di perairan Selat malaka dan Singapura yang
smepit itu.
Masih banyak kecelakaan besar yang terjadi di selat selat tersebut.

Frekwensi besarnya kecelakaan di Selat malaka tersebit dapat dimengerti, jika dipahami
kepadatan lalu lintas dan keadaan fisik selat tersebut :
1. Hasil penyelidikan menunjukan bahwa kira kira 150 kapal setiap hari lewat di selat
tersebut. Sebagian besar kapal yang lewat tersebut adalah kapal kapal tangki minyak,
40 diantaranya berukuran 180.000 dwt ke atas.
2. Bagian selat yang dapat dilayari di Phillips Channel hanyalah kira kira 800 meter
lebarnya, dan arus laut dpat mencapai 3 mil dengan perubahan kecepatan yang tidak
teratur.
3. Nelayan nelayan setempat banyak pula yang menangkap ikan di perairan tersebut.
4. Kedangkalan yang kurang dari 23 m banyak terdapat di selat tersebut yang merupakan
bahaya bagi kapal kapal tangki raksasa yang lewat dari 19 meter tersebut.
5. Keadaan alam misalkan hujan dan angin yang kuat pada waktu tertentu
Persoalannya
Persoalan persoalan yang timbul bagi selat malaka adalah kemampuan Negara pantai
untuk menanggulangi bahaya yang mungkin timbul dari kapal kpal tangki raksasas, kapal
perang dan kapal nuklir yang masih sangat minim atau tidak ada sama sekali dimana jelas akan
mempengaruhi kelestarian dan keamanan Negara pantai.
Karena persoalan tersebut maka dirasa perlu mengadakan aturan aturan di selat
tersebut untuk menjamin keselamatan Negara pantai dan menjamin kelancaran lalu lintas lintas
pelayaran internasional tersebut yang makin lama makin padat dan berbahaya.
Persoalan hokum bagi selat malaka juga mempunyai segi politis dan teknis. Segi politis
yaitu menggalang kesatuan pandangan di antara ketiga Negara pantai dalam mengahapai
Negara luar terutama jepang dan Negara besar lainnya. Sedangkan segi teknis menyangkut
usaha ketiga Negara pantai meningkatkan keselamatan pelayaran dan meningkatakan
kelestarian lingkungan di selat tersebut. . Oleh karena itu Negara pantai peru membuat aturan-
aturan salah satunya yaitu dalam menetapkan alur laut dan menentukan skema pemisah lalu
lintas untuk pelayaran di selat untuk meningkatkan lintasan yang aman bagi kapal dan Negara
pantai.
Segi segi hokum
Bagian dari Selat Malaka yang lebarnya kurang dari 24 mil kini telah termasuk
kedalam laut wilayah Indonesia dan Malaysia oleh karena itu berlakulah kedaulatan Indonesia
dan Malaysia, dimana kapal kapal asing dapat lewat sesuai dengan prinsip Innocent Passage
sebagaimana lazimnya dalam laut wilayah.

Persoalan hokum dan politik Selat Malaka adalah persoalan mempertahankan UUnya
(12mil), mempertahankan ketentuan ketentuan hokum Internasional yang telah ada yang
menjamin keseimbangan antara kepentingan Negara Negara selat dan Negara Negara maritim

Selat Malaka dan IMCO

Upaya Jepang dalam mengemukakan perlunya pembentukan suatu badan Internasional


guna mengurus kedua selat tersebut, Badan mana disarankan supaya terdiri dari Negara
Negara pemakai selat dan Negara Negara pantai. Indonesia dan Malaysia menentang dnegan
keras adanya usaha usaha untuk menginternasiolisasikan selat tersebut. Dalam siding sub-
komite IMCO delegasi Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa selat Malaka adalah laut
wilayah Negara Negara tepinya dan Indonesia tidak dapat menerima gagasan tersebut dan
pernyataan ini didukung oleh Malaysia.

Menurut Indonesia dan Malaysia, penggunaan selat tersebut haruslah mengutamakan


kepentingan Negara pantai tanpa merugikan bagi pelayaran internasional yang tidak
menggangu. Karena itu regime pelayaran bagi kapal kapal asing melalui selat tersebut haruslah
regime innocent passage bukan regime free transit. Maka lewatnya kapal perang haruslah
dengan sepengetaguan Negara pantai atau setidaknya tidak membawa bahaya bagi keamanan
Negara pantai, dan kapal selam haruslah berlayar di atas permukaan laut.

Dengan terbatasnya kemapuan selat tersebut secara fisik (panjang, sempit, berkelok
kelok, dangkal, dll) untuk melayani kapal kapal tangki raksasa, maka perlu diadakan
pembatasan-pembatasan terhadap kapal-kapal yang lewat, demi keselamatan Negara-negara
pantai dan kepentingan kapal-kapal tangki itu sendiri agar tidak terjadi kecelakaan.

Pertemuan Menteri Menteri Luar Negeri Tiga Negara Pantai

Dengan sering terjadinya kecelakaan kapal kapal tangki raksasa di selat tersebut yang
memuncak dengan kecelakaan kapal SHOWA MARU, maka Indonesia mengusulkan
Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri yang diikuti oleh ketiga Negara pantai yaitu Indonesia,
Malaysia, dan Singapura, maka sudah tiba waktunya bagi Negara Negara pantai untuk
mengambil tindakan konkrit dalam mengatur keselamatan pelayaran, termasuk tindakan
membatasi kapal yang lewat, demi keselamatan dan kesejahteraan Negara-negara pantai dan
kapal yang lewat itu sendiri.

Usaha usaha dalam meningkatkan keselamatan pelayaran :

Mengingat kedalam selat tersebut pada umunya 23 meter, maka Inonesia mengusulkan
19 meter yang mencakup kapal yang berukuran 200.000 dwt jika lewat dengan
membawa minyak melalui selat-sebut tersebut. Tetapi Singapura mengusulkan
pembatasan sarat 22 meter.
Ketiga Negara sepakat untuk menambah alat-alat pembantu naviagsi di selat tersebut.
Kebijaksanaa anti-polusi maksudnya yaitu masalah kompensasi karena kecelakaan
yang timbul karena minyak dari kapal. Ketiga Negara pantai sepakat bahwa meraka
menghendaki agar kompensasi tersebut juga mencakup kerugian-kerugian yang
ditimbulkan oleh akibat polusi tersebut, baik terhadap pendapatan para nelayan maupun
terhadap kelestarian lingkungan dalam jangka jauh.
Pertemuan tersebut juga sepakat untuk menyatakan prihatin atas kecelakaan kapal
SHOWA MARU dan membentuk suatu badan tingkat menteri luar negeri yang
dinamakan Council For the Safety of Navigation and the Control of Marine Pollution in
the Straits of Malacca and Singapore yang bertugas mengatur usaha-usaha yang
berhubungan dengan keselamatan pelayaran.
Dengan demikian beberapa kemajuan telah dicapai dalam soal keselamatan pelayaran di
Selat Malaka-Singapura pertama telah disepakatinya TSS (Trafic separation scheme), dan
ketiga Negara pantai telah memperiapkan konsep TSS tersebut.TSS tersebut akan disertai
aturan aturan tersendiri uang sesuai dengan kebutuhan khusus di selat selat tersebut. Perlunya
ketentuan tentang pembatasan UKC min 3,5 meter bagi kapal yang melewati selat Malaka-
Singapura yaitu kedalaman air di bawah kapal yang diperlukan oleh suatu kapal tangki raksasa
untuk melewati selat tersebut dengan aman.
Penyelesaian soal selat Malaka dalam IMCO
Konsep ketiga Negara pantai tentang TSS yang disertai aturan-aturan khusus,termasuk
pembatasan UKC min 3,5 meter. Kemudian diajukan pada sidang Assembly IMCO yang
diadakan pada bulan November 1977 di London. Assembly IMCO kemudian menerima dan
menyetujui kosep Negara pantai yang telah disesuaikan dengan ahli IMCO yang disertai aturan
aturan khusus demi keselamatan pelayaran di selat Malaka-Singapura.
d.Contoh kasus kecelakaan kapal yang terjadi di Selat Malaka :

Kasus tumpahan minyak kapal Showa Maru

Kejadian yang berlangsung pada tahun 1975 ini menjadikannya kasus yang menarik
untuk dijadikan salah satu contoh karena kasus ini terjadi di tengah minimnya legislasi
internasional maupun nasional.

Pada bulan Januari 1975 kapal tanker Showa Maru, yang membawa minyak mentah
dari Teluk Persia menuju Jepang, kandas dan menumpahkan minyak di Selat Malaka sehingga
menumpahkan minyak mentah sebanyak 7300 ton. Berdasar keterangan dari Mahkamah
Pelayaran Indonesia, kandasnya kapal Showa Maru bermula dari kelalaian nakhkoda yang
mana tanker membentur karang sehingga menyebabkan dasar kapal sepanjang 160 meter
sobek.

Sebagai akibat tumpahan minyak tersebut, langkah cepat segera diambil oleh
pemerintah Indonesia dengan membentuk 3 Satuan Tugas di bawah koordinasi tiga menteri,
yaitu Menteri Perhubungan menangani segi teknis operasional, Menristek menangani urusan
penelitian dan Menteri Kehakiman mempersiapkan perangkat hukum dan ganti ruginya.

Dari segi hukum, masalah Showa Maru di waktu itu justru menempatkan Indonesia pada
posisi sangat lemah dan sulit dalam penyelesaian hukum dan tuntutan ganti rugi. Karena selain
belum ada UU Nasional tentang Pencemaran Laut, juga karena konvensi-konvensi
internasional yang ada seperti Konvensi Brussel tahun 1969 belum diratifikasi.

Untuk mengatasinya, delegasi Indonesia berkonsultasi ke Malaysia, Singapura, Thailand


dan Philipina. Namun upaya delegasi tidak berhasil karena penanggulangan hukum
pencemaran laut di negara-negara tersebut juga masih pada tahap awal, kecuali Singapura
yang sistem hukumnya telah menggunakan pola Konvensi London tahun 1954.

Sementara itu pakar hukum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH, mengatakan bahwa
saat itu kerusakan ekologi laut di Indonesia sangat sedikit dituntut ganti rugi, karena kerusakan
akibat penemaran oleh tumpahan minyak berada di luar jangkauan asuransi. Peristiwa Showa
Maru yang melemahkan posisi Indonesia, menurut Komar karena kriteria kerusakan, metode
survei dan dasar hukum nasional maupun internasional kurang jelas. Maka klaim Indonesia
-berkaitan kerusakan mata rantai makanan akibat terganggunya ekosistem kelautan oleh
tumpahan minyak- atas kerusakan ekologi laut dalam jangka panjang tidak dapat diterima.
Akibat jangka langsung maupun tidak langsung atas kejadian ini adalah nelayan
setempat masih saja mengalami kesulitan mendapat hasil tangkapan ikan seperti sebelum
kejadian kecelakaan kapal dan bahkan penduduk yang biasa mengandalkan hidupnya pada
mencari kayu bakar pun tak luput dari kesusahan. Sebab hutan bakau yang menjadi sumber
penghasil kayu bakar mengalami kerusakan dan kekeringan.

Indonesia sendiri sudah mulai mendapat ganti rugi dari pemilik Showa Maru, tanker
Jepang yang kandas karena bocor di Selat Malaka, Januari 1975. Pembayaran yang meliputi
US $ 1,2 juta itu baru merupakan pembayaran tahap pertama dan akan digunakan untuk
ongkos pembersihan perairan bagian Indonesia yang tercemar serta pembayaran ganti rugi
nelayan yang sementara ini terputus jalur mata pencarian mereka.

Namun hingga 3 tahun setelah kejadian tersebut masalah ganti rugi masih saja
meninggalkan persoalan bagi penduduk Kabupaten Kepulauan Riau, yaitu soal ganti rugi bagi
penduduk yang menderita kerugian langsung ataupun tidak langsung akibat tercemarnya
wilayah laut.

Pada masa itu, terdapat proyek pembangunan pelabuhan dan tempat pendaratan ikan
di Teluk Antang, Pulau Tarempa namun asal dana proyek tersebut juga masih simpang siur
karena belum tentu merupakan uang ganti kerugian atau juga sumbangan dari pemilik Showa
Maru. Sementara berdasar keterangan dari Departemen Luar Negeri, mengatakan bahwa
perundingan dengan pemilik kapal baru sampai pada taraf menyetujui biaya pembersihan saja.
Sementara mengenai masalah ganti rugi untuk korban warga sekitar masih dalam proses dan
akan ditangani oleh Departemen Dalam Negeri dengan dibantu oleh instansi lainnya.
BAB III
KESIMPULAN

Penetapan alur laut dan penetapan skema pemisah lalu lintas negara pantai harus
memperhatikan :
a. Rekomendasi organisasi Internasional yang berwenang.
b. Setiap alur yang biasanya digunakan navigasi Internasional
c. Sifat-sifat khusus kapal dan alur tertentu
d. Kepadatan lalu lintas
Wewenang negara pantai untuk mengambil langkah yang dilakukan seperti :
a. Mengambil langkah langkah yang diperlukan untuk mencegah lintas yang tidak damai
b. Mengambil langkah langkah yang diperlukan untuk setiap pelanggaran terhadap
persyaratan yang telah ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalama atau
untuk singgah di pelabuhan
c. Menangguhkan untuk sementara waktu lintas damai alur alur laut tertentu bagi lintas
damai kapal asing apabila penangguhan diperlukan untuk perlindungan dan keamanan.
Lebar laut wilayah 12 mil kini lebih berhak untuk disebut sebagai aturan hukum
internasional daripada 3 mil. Dengan menetapkan lebar laut wilayah 12 mil, maka indonesia dan
Malaysia hanyalah memakai aturan yang telah dianut oleh hukum Internasional dan tidak
melanggar ketentuan dan kepentingan masyarakat internasional. Bagian dari Selat Malaka
yang lebarnya kurang dari 24 mil kini telah termasuk kedalam laut wilayah Indonesia dan
Malaysia, oleh karena itu berlakulah kedaulatan Indonesia dan Malaysia, dimana kapal kapal
asing dapat lewat sesuai dengan prinsip Innocent Passage sebagaimana lazimnya dalam laut
wilayah.
Dengan terbatasnya kemapuan selat Malaka Secara fisik (panjang, sempit, berkelok
kelok, dangkal, dll) untuk melayani kapal kapal tangki raksasa, maka perlu diadakan
pembatasan-pembatasan terhadap kapal-kapal yang lewat, demi keselamatan Negara-negara
pantai dan kepentingan kapal-kapal tangki itu sendiri agar tidak terjadi kecelakaan

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadiran allah SWT atas karunianya sehingga mampu
menyelesaikan pembuatan makalah ini. Kepada dosen pengajar juga saya ucapkan terima
kasih karena telah membantu memberikan bantuan dalam makalah ini yang berjudul Alur Laur
dan Skema Pemisah Lalu Lintas dalam selat untuk pelayaran Internasional.
Saya sebagai penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dengan baik bagi
pembacanya,terutama bagi mahasiswa fakultas Hukum dalam mata kuliah hokum laut.
Saya juga menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah ini
sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa penulis harapkan demi
kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya

Penulis
DAFTAR PUSTAKA

Djalal Hasjim, Dr ,Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Percetakan Ekonomi


Bandung,1979.
Konvesnsi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982)
Undang Undang no 6 tahun 1996
Peraturan Pemerintah no 36 tahun 2002
RENATHA SANDYA PRADANIA, Tanggung jawab Pemilik Kapal Tangker dalam
Pencemaran Minyak di Laut yang Bersumber dari Kapal tangker (skripsi),2008
Muliadirusmana.blogspot.com, Hukum Internasional Hak Lintas Damai dan Hak Transit
Sekolahayosekolah.blogspot.com. Kekuatan Alur Laut
HUKUM LAUT
Alur Laut dan Skema Pemisah Lalu Lintas Dalam Selat
Untuk Pelayaran Internasional

Dosen Pengajar : Dr. Zainul Daulay,S.H,M.H,

Oleh

Elsyania Paramitha

1210112040
Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Ilmu Hukum

Universitas Andalas

2013/2014

Вам также может понравиться