Вы находитесь на странице: 1из 8

METODE GEOFISIKA

Metode Geofisika seringkali digunakan dalam monitoring aktivitas gunung api.


Umumnya metode yang digunakan adalah Metode Passive Seismik, metode gaya
berat, dan metode geomagnet. Metode yang paling banyak digunakan untuk
pemantauan gunung api di Indonesia saat ini adalah metode seismik.
Ketika sebuah gunung api akan meletus maka akan timbul aktivitas seismik berupa
gempa tremor yang biasanya dirasakan oleh masyarakat lokal gunung api.
Timbulnya aktifitas kegempaan ini dikarenakan magma yang ada di dalam dapur
magma gunung api mendesak dan memberikan tekanan pada dinding dapur
magma. Akibat tekanan ini muncul rekahan-rekahan pada dinding dapur magma
yang menyebabkan timbulnya gempa vulkanik.

Pemantauan kegempaan dilakukan untuk memantau aktivitas gunung Kerinci.


Pemantauan dilakukan dari Pos PGA G. Kerinci dengan seismometer sistem pancar
(RTS) 1 komponen vertikal yang dipasang pada ketinggian 1890 mpdl dengan jarak
kira-kira 5 km dari puncak dan 5 km dari Pos PGA di desa Kersik Tuo.

Kegempaan yang terekam selain gempa tektonik adalah gempa-gempa vulkanik


baik tipe A atau tipe B, juga gempa-gempa hembusan terkadang menerus.
DEFORMASI GPS GUNUNGAPI

Disamping metode seismik, metode deformasi pun cukup banyak diaplikasikan


dalam pemantauan gunung api dengan menggunakan berbagai macam sensor atau
sistem, dan metode ini dianggap punya potensi yang sangat besar untuk
berkontribusi dalam pemantauan aktivitas gunung api. Metode ini pada dasarnya
ingin mendapatkan pola dan kecepatan dari deformasi permukaan gunung api, baik
dalam arah horisontal maupun vertikal.

Pada prinsipnya deformasi dari tubuh gunungapi dapat berupa penaikan permukaan
tanah (inflasi) ataupun penurunan permukaan tanah (deflasi). Deformasi yang
berupa inflasi umumnya terjadi karena proses gerakan magma ke permukaan yang
menekan permukaan tanah di atasnya. Dalam hal ini deformasi yang maksimal
biasanya teramati tidak lama sebelum letusan gunungapi berlansung. Sedangkan
deformasi berupa deflasi umumnya terjadi selama atau sesudah masa letusan. Pada
saat itu tekanan magma di dalam tubuh gunungapi telah melemah. Pada saat itu
permukaan tanah cenderung kembali ke posisinya semula. Gejala deformasi
gunungapi akan menyebabkan pergeseran posisi suatu titik di tubuh gunungapi.
Pergeseran posisi tersebut dapat terjadi baik dalam arah horisontal maupun
vertikal.

Pengukuran GPS dilakukan dengan menggunakan satelit. Satelit GPS secara


kontinyu mengirimkan sinyal-sinyal gelombang pada 2 frekuensi L-band yang
dinamakan L1 dan L2. Sinyal L1 berfrekuensi 1575.42 MHz dan sinyal L2
berfrekuensi 1227.60 MHz. Sinyal L1 membawa 2 buah kode biner yang dinamakan
kode-P (P-code, Precise atau Private code) dan code-C/A (C/A code, Clear Acces atau
Coarse Acquisation), sedangkan sinyal L2 hanya membawa kode-C/A. Dengan
mengamati sinyal-sinyal dari satelit dengan GPS penerima (Receiver) dalam jumlah
dan waktu yang cukup, seseorang kemudian dapat memprosesnya untuk
mendapatkan informasi posisi, kecepatan ataupun waktu secara cepat dan
teliti.Pada dasarnya pemantauan deformasi dengan GPS adalah selisih
posisi/koordinat (L,B,H/X,Y,Z) dari suatu titik pantau/bench mark pada pengukuran
periode satu dengan pengukuran periode berikutnya. Pemantauan deformasi
dengan GPS dapat di bagi dua yaitu pemantauan secara kontinyu dan pemantauan
secara episodik. Prinsip pemantauan deformasi secara kontinyu yaitu pemantauan
terhadap perubahan koordinat beberapa titik yang mewakili sebuah gunungapi dari
waktu ke waktu. Metode ini, menggunakan beberapa alat penerima sinyal (reciever)
GPS yang ditempatkan pada beberapa titik pantau pada punggung dan puncak
gunungapi, serta pada suatu pusat pemantau (stasiun referensi) yang merupakan
pusat pemroses data. Pusat pemantau adalah suatu lokasi yang telah diketahui
koordinatnya, dan sebaiknya ditempatkan di kota yang terdekat dengan gunungapi
yang bersangkutan (misalkan di pos pengamatan gunungapi). Koordinat titik-titik
pantau tersebut kemudian ditentukan secara teliti dengan GPS, relatif terhadap
pusat pemantau, dengan menggunakan metode penentuan posisi diferensial secara
real-time. Untuk itu data pengamatan GPS dari titik-titik pantau harus dikirimkan
secara real-time ke pusat pemantau untuk diproses bersama-sama dengan data
pengamatan GPS dari pusat pemantau. Pengiriman data ini dapat dilakukan dengan
menggunakan bantuan satelit komunikasi ataupun telemetri dengan gelombang
radio.

Pusat pemantau adalah suatu lokasi yang telah diketahui koordinatnya, dan
sebaiknya ditempatkan di kota yang terdekat dengan gunungapi yang bersangkutan
(misalkan di pos pengamatan gunungapi). Koordinat titik-titik pantau tersebut
kemudian ditentukan secara teliti dengan GPS, relatif terhadap pusat pemantau,
dengan menggunakan metode penentuan posisi diferensial secara real-time. Untuk
itu data pengamatan GPS dari titik-titik pantau harus dikirimkan secara real-time ke
pusat pemantau untuk diproses bersama-sama dengan data pengamatan GPS dari
pusat pemantau. Pengiriman data ini dapat dilakukan dengan menggunakan
bantuan satelit komunikasi ataupun telemetri dengan gelombang radio.

Dalam proses pemantauan aktivitas (geometrik) gunungapi dengan GPS, sebagai


contoh, kalau jarak antara dua titik pantau yang diletakkan sebelah menyebelah sisi
gunungapi secara sistematis semakin memanjang dari waktu ke waktu, atau beda
tinggi antara titik-titik pantau dengan pusat pemantau makin membesar secara
kontinyu, maka kita harus waspada bahwa mungkin gunung yang bersangkutan
akan meletus. Perlu ditekankan di sini bahwa untuk mendapatkan suatu kesimpulan
yang lebih konprehensif tentang aktivitas gunungapi tersebut, informasi geometrik
yang diberikan oleh GPS sebaiknya diintegrasikan dengan informasi-informasi
vulkanologis. Pemantauan secara episodik yaitu, pemantauan GPS terhadap titik-
titik pantau secara berkala, yang membedakannya dengan pemantauan secara
kontinyu, adalah disini pemantauan dilakukan pada periode tertentu dengan
metode pengukuran secara statik.

Pengukuran GPS yang dilakukan di POS1. Pengukuran dilanjutkan di sekitar bibir


kawah yaitu KBE1, KBE2 dan KBE3. Lama pengukuran di kawah ini bervariasi mulai
dari 9 jam hingga 13 jam seperti yang terlihat pada lampiran hasil pengukuran GPS,
sedangkan pada POS2, pengukuran dilakukan selama 15 jam. Titik referensi pada
pengukuran GPS ini adalah POS1 yang terletak di halaman depan POS PENGAMATAN
G. KABA, Curup Bengkulu. Sedangkan rovernya adalah titik KBE1, KBE2, KBE3 dan
POS2, sehingga membentuk pola radial. Pengolahan data menggunakan perangkat
lunak SKIPro buatan Leica, sedangkan hasil dari pengolahan posisi ini kemudian
dibuat jaring trilaterasi.

Pengukuran GPS yang dilakukan pad bulan Agustus 2005 ini dilakukan pada saat
aktifitas G. Kaba dalam kondisi Aktif Normal. Hasil dari pengukuran GPS ini disajikan
dalam 3 tipe koordinat, yaitu: Geodetik, Cartesian dan UTM, seperti terlihat pada
table berikut :
Hal ini dimaksudkan agar nantinya dapat dibandingkan dengan hasil pengukuran
terestris lainnya seperti EDM atau sipat datar. Sedangkan dari posisi
geodetik/Cartesian dan UTM ini kemudian dibuat jarak seperti yang terlihat pada
tabel. Sedangkan analisis terhadap strain (regangan) dan pengkerutan (stress)
terhadap hasil dari pengukuran ini belum dapat dilakukan berhubung penelitian
deformasi dengan metode GPS ini baru pertama kali dilakukan di G. Kaba.
Hambatan yang terjadi pada penelitian ini boleh dikatan tidak ada, bahkan
pendakian dapat dilkukan dengan menggunakan kendaraan roda dua atau empat
hingga ke bibir kawah.
GEOKIMIA
Analisis Batuan G. Kerinci : yang dianalisis pada bulan Mei 1973 oleh Hardjadinata
adalah andesit bertekstur trakit dengan kalsit yang mengisi rongga kecil batuan
sebagai mineral sekunder.

Вам также может понравиться