Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
(Peminangan/Lamaran)
TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : KHITBAH (PEMINANGAN)
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-
Quran dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di
antaranya adalah:
1. Khitbah (Peminangan)
Nabi shallallaahu alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang
ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita
yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau
mengizinkannya. [1]
Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat
mendorongnya untuk menikahi wanita itu.
Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama,
ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat
boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya,
berdasarkan sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, Melihat apa yang mendorongnya
untuk menikahinya. Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan
kedua tangannya. Wallaahu alam. [4]
Dari Anas bin Malik radhiyallaahu anhu, ia berkata, Tatkala masa iddah Zainab binti Jahsy
sudah selesai, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, Sampaikanlah
kepadanya bahwa aku akan meminangnya. Zaid berkata, Lalu aku pergi mendatangi Zainab
lalu aku berkata, Wahai Zainab, bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau
akan meminangmu. Zainab berkata, Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku
meminta pilihan yang baik kepada Allah. Lalu Zainab pergi ke masjidnya. [9] Lalu turunlah
ayat Al-Quran [10] dan Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam datang dan langsung
masuk menemuinya. [11]
Imam an-Nasai rahimahullaah memberikan bab terhadap hadits ini dengan judul Shalaatul
Marhidza Khuthibat wastikhaaratuha Rabbaha (Seorang Wanita Shalat Istikharah ketika
Dipinang).
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu
adanya:
Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling
berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke
atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara
seayah, kemudian paman. [1]
Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur
ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafii, dan selainnya
berkata, Wali dalam pernikahan adalah ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari
saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali. [2]
Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai
penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih
mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing
urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali,
dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.
Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda
menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.
Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga
berdasarkan dalil dari Al-Quranul Karim.
Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini.
Tentang firman Allah: Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka, al-Hasan al-
Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku Maqil bin Yasar, sesungguhnya
ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,
Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki
itu menceraikannya. Sehingga ketika masa iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan
suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, Aku telah menikahkan
dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau
menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia
tidak boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan
wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini:
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka. Maka aku berkata, Sekarang aku
akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah. Kemudian Maqil
menikahkan saudara perempuannya kepada laki-laki itu.[6]
Hadits Maqil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan
sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah
nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Maqil bin Yasar yang
berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang
akan ruju dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah
Taala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali
jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah,
baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, Para ulama berselisih tentang disyaratkannya
wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada
prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-
hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya
(untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya.
Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan
saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun
yang menyelisihi hal itu. [7]
Imam asy-Syafii rahimahullaah berkata, Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin
walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu alaihi wa
sallam bersabda, Maka nikahnya bathil (tidak sah).[8]
Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda
maupun gadis, melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya,
pamannya, atau anak laki-laki pamannya [9]
Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita
tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh
mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka
nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita
memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,
Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.
Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga
meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita
tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita
tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,
Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan
seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya. Para Shahabat berkata,
Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya? Beliau menjawab, Jika ia diam saja. [11]
Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi
Rasulullah shal-lallaahu alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah
menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam
menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia
ingin membatalkannya). [12]
Mahar
Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian
yang penuh kerelaan. [An-Nisaa : 4]
Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab
pernikahan.
Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar
oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh
seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.
Syariat Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan
dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam pernah bersabda:
Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah
rahimnya. [13]
Uqbah bin Amir radhiyallaahu anhu berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam
bersabda:
Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah. [14]
Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh
membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Quran yang dihafalnya. [15]
Khutbah Nikah
Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang
dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah
sebagai berikut:
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan
kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal
perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat
memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata,
tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa
sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa
kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. [Ali Imran : 102]
Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya
Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada
Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. [An-Nisaa : 1]
Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah
perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni
dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang
dengan kemenangan yang besar. [Al-Ahzaab : 70-71]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qadah
1427H/Desember 2006]
__________
Di setiap khutbahnya, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam selalu memulai dengan
memuji dan menyanjung Allah Taala serta ber-tasyahhud (mengucapkan dua kalimat
syahadat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh para Shahabat:
1. Dari Asma binti Abu Bakar radhiyallaahu anha, ia berkata: Nabi shallallaahu alaihi
wa sallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: Amma badu.
(HR. Al-Bukhari, no. 86, 184 dan 922)
2. Amr bin Taghlib, dengan lafazh yang sama dengan hadits Asma. (HR. Al-Bukhari, no.
923)
3. Aisyah radhiyallaahu anha berkata: Tatkala selesai shalat Shubuh Nabi shallallaahu
alaihi wa sallam menghadap kepada para Shahabat, beliau bertasyahhud (mengucapkan
kalimat syahadat) kemudian bersabda: Amma badu (HR. Al-Bukhari, no. 924)
4. Abu Humaid as-Saidi berkata: Bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam
berdiri khutbah pada waktu petang sesudah shalat (Ashar), lalu beliau bertasyahhud dan
menyanjung serta memuji Allah yang memang hanya Dia-lah yang berhak mendapatkan
sanjungan dan pujian, kemudian bersabda: Amma badu (HR. Al-Bukhari no. 925).
Menurut Syaikh al-Albani, yang dimaksud dengan tasyahhud di hadits ini adalah khutbatul
haajah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam kepada para Shahabat
radhiyallaahu anhum, yaitu: Innalhamdalillaah (Hadits Ibnu Masud).
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah: Khutbah ini adalah Sunnah, dilakukan
ketika mengajarkan Al-Qur-an, As-Sunnah, fiqih, menasihati orang dan semacamnya.
Sesungguhnya hadits Ibnu Masud radhiyallaahu anhu, tidak mengkhususkan untuk khutbah
nikah saja, tetapi khutbah ini pada setiap ada keperluan untuk berbicara kepada hamba-hamba
Allah, sebagian kepada se-bagian yang lainnya (Majmuu Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni
Taimiyyah, XVIII/286-287)
Kemudian beliau melanjutkan: Khutbatul haajah ini hukumnya sunnah bukan wajib, dan
saya membawakan hal ini untuk menghidup-kan Sunnah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam
yang ditinggalkan oleh kaum Muslimin dan tidak dipraktekkan oleh para khatib, penceramah,
guru, pengajar dan selain mereka. Mereka harus berusaha untuk menghafalnya dan
mempraktekkannya ketika memulai khutbah, ceramah, makalah, atau pun mengajar. Semoga
Allah merealisasikan tujuan mereka. (Khutbatul Haajah (hal. 40) cet. I/ Maktabah al-
Maarif, dan an-Nashiihah (hal. 81-82) cet. I/ Daar Ibnu Affan/th. 1420 H.)
3. Walimah
Walimatul urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana
mungkin.
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:
Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing [2]
Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya
maupun miskin, sesuai sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam:
Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan
makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa [4]
Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan
tersebut.
Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang
berpuasa.
Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga
menyulitkan atau sibuk, maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7]
Hal ini berdasarkan riwayat dari Atha bahwa Ibnu Abbas radhiyallaahu anhu pernah
diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia
berkata kepada orang-orang, Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah salamku
kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk [8]
Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:
Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh
mengajak orang lain yang tidak diundang oleh tuan rumah.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Masud al-Anshari, ia berkata, Ada seorang pria yang
baru saja menetap di Madinah bernama Syuaib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia
berkata kepada anaknya, Buatlah makanan karena aku akan mengundang Rasulullah
shallallaahu alaihi wa sallam. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam datang bersama
empat orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam
bersabda, Engkau mengundang aku bersama empat orang lainnya. Dan orang ini ikut
bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut makan, jika tidak maka aku suruh pulang.
Syuaib menjawab, Tentu, saya mengizinkannya [9]
Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu alaihi
wa sallam bersabda:
Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana dan
nyanyian (yang dimainkan oleh anak-anak kecil) [15]
Juga berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallaahu anha, ia pernah mengantar mempelai
wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar.
Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Apakah kalian
mengirimkan bersamanya seorang gadis (yang masih kecil -pen) untuk memukul rebana dan
menyanyi? Aisyah bertanya, Apa yang dia nyanyikan? Beliau shallallaahu alaihi wa
sallam menjawab, Dia mengucapkan:
Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian
Hormatilah kami, maka kami hormati kalian
Seandainya bukan karena emas merah
Niscaya kampung kalian tidaklah mempesona
Seandainya bukan gandum berwarna coklat
Niscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.[17]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qadah
1427H/Desember 2006]
__________