Вы находитесь на странице: 1из 11

Berisiko Obesitas Saat Dewasa

Posted September 16th, 2008 by viviroy

Kedokteran

Berisiko Obesitas Saat Dewasa

Rabu, 9 November, 2005 oleh: Siswono


Berisiko Obesitas Saat Dewasa
Gizi.net - Setiap tambahan satu jam menyaksikan TV di akhir pekan ketika anak usia 5 tahun
akan meningkatkan peluang obesitas ketika ia berumur 30 tahun sebanyak tujuh persen.

Sebuah temuan baru dari UK menyebutkan, orang yang semasa anak-anak banyak menghabiskan
waktu untuk TV berisiko terkena obesitas ketika dewasa. Seperti dilaporkan Reuters Health
(25/10), ada sejumlah faktor yang dicatat oleh para peneliti yang dikutip oleh The Journal of
Pediatrics. Menonton TV menggantikan aktivitas fisik yang biasa dilakukan anak-anak, anak-
anak melihat banyak iklan makanan tak sehat, dan sembari menonton TV anak-anak sambil
mengonsumsi junk food.

Para peneliti, Dr Russell M. Viner dari Middlesex Hospital di London dan Dr Tim J Cole of
University College London menemukan bahwa setiap tambahan satu jam menyaksikan TV di
akhir pekan ketika anak usia 5 tahun akan meningkatkan peluang obesitas ketika ia berumur 30
tahun sebanyak tujuh persen.

Di Amerika lebih dari 60 persen orang berumur 20 tahun ke atas kelebihan berat badan.
Seperempat dari orang dewasa di negeri itu obesitas sehingga meningkatkan risiko tinggi
terserang penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes tipe 2, tekanan darah tinggi, stroke,
dan beberapa bentuk kanker.

Apa sih obesitas itu? Bagi kebanyakan orang, istilah 'obesitas' berarti memiliki berat badah
berlebih. Para profesional di bidang kesehatan mendefinisikan overwight sebagai kelebihan
jumlah berat badan yang meliputi otot, tulang, lemak, dan air. Bagi sebagian orang, seperti
bodybuilders atau atlet lainnya yang memiliki banyak otot, mereka bisa menjadi overweight
tanpa menjadi obesitas.

Bagaimana obesitas diukur? Sebenarnya setiap orang membutuhkan sejumlah lemak tubuh untuk
cadangan energi, penyekatan panas (heat insulation), gonjangan penyerapan shock absorption,
dan fungsi-fungsi lainnya. Wanita memiliki lemak tubuh lebih banyak daripada pria. Kalangan di
bidang kesehatan sepakat bahwa bila pria memiliki lemak lebih dari 25 persen dan wanita lebih
dari 30 persen mereka sudah pantas disebut obesitas.

Wanita biasanya menyimpan lemaknya pada bagian pangkal paha dan pantat. Sedangkan pria
biasanya membangun tumpukan lemak seputar perut.
Obesitas terjadi pada saat seseorang mengonsumsi kalori lebih banyak daripada yang dibakar.
Penyebab ketidakseimbangan kalori yang masuk dan kalori yang keluar bisa berbeda dari
seseorang dengan yang lainnya. Genetik, lingkungan, psikologis, dan faktor-faktor lainnya bisa
ikut berperan.

Faktor genetik

Obesitas cenderung berlanjut dalam keluarga, penyebabnya adalah genetik. Dalam keluarga juga
berbagi diet dan kebiasaan gaya hidup yang bisa memberikan kontribusi pada obesitas.
Pemisahan ini dari faktor-faktor genetik sering kali sulit. Bahkan, ilmu pengetahuan
memperlihatkan bahwa keturunan berhubungan dengan obesitas.

Pada sebuah penelitian, orang dewasa yang diadopsi semenjak kecil ditemukan memiliki berat
badan yang mendekati orang tua biologisnya daripada orang tua yang mengadopsi mereka.
Dalam kasus ini, genetika orang tersebut memiliki pengaruh lebih besar daripada lingkungan
dalam keluarga yang mengadopsinya.

Faktor lingkungan

Bukan hanya gen, lingkungan juga berpengaruh kuat terhadap obesitas. Ini meliputi gaya hidup,
dan kebiasaan, seperti bagaimana seseorang makan, aktivitas fisik apa yang dilakukannya.
Misalnya, orang Amerika cenderung makan makanan berkadar lemak tinggi, dan lebih
mementingkan rasa dan kesenangan melebihi nutrisi. Juga, kebanyakan orang Amerika tidak
melakukan aktivitas fisik yang cukup.

Faktor psikologi

Banyak orang makan untuk merespons emosi negatif, seperti kebosanan, kesedihan, dan
kemarahan. Kebanyakan orang dengan berat badan berlebih tidak lagi memiliki masalah-masalah
psikologi daripada mereka dengan berat badan rata-rata.

Sumber: http://www.republika.co.id/

DAMPAK OBESITAS
TERHADAP FAAL PARU

KOLOM - Edisi April 2007 (Vol.6 No.9), oleh andra


________________________________________

Laksmi Wulandari, Manasye Lulu Udju Edo


Bagian /SMF llmu Penyakit Paru FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

PENDAHULUAN

Obesitas yang menjadi epidemi di beberapa negara maju dan negara-negara berkembang
sebenarnya dapat dianggap sebagai akibat kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan teknologi
dalam beberapa dekade terakhir. Bahan makanan tersedia berlimpah dengan harga yang relatif
murah. Makanan dengan kandungan kalori yang tinggi tersedia di banyak gerai-gerai makanan
cepat saji di kota-kota besar. Teknologi yang memberikan kemudahan dan penggunaan alat-alat
elektronik telah menjadi gaya hidup sehari-hari yang mengakibatkan kurangnya aktifitas fisik.
Namun selain faktor perilaku dan lingkungan tersebut, faktor genetik juga ikut berperan pada
timbulnya obesitas.

Prevalensi obesitas terus meningkat secara dramatis dari sekitar 9,4% pada National Health and
Nutrition Examination Survey/NHANES I (1971-1974) menjadi 14,5% pada NHANES II (1976-
1980), 22,5% pada NHANES III (19881994), dan 30% pada survey tahun 1999-2000.

Obesitas, khususnya obesitas sentral (abdominal), berasosiasi dengan sejumlah gangguan


metabolisme dan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi antara lain: resistensi
insulin dan diabetes mellitus, hipertensi, hiperlipidemia, aterosklerosis, penyakit hati dan
kandung empedu, bahkan beberapa jenis kanker. Selain itu obesitas (khususnya tipe morbid) juga
berasosiasi dengan beberapa jenis gangguan pernafasan. Perubahan yang terjadi antara lain
meliputi: mekanika pernafasan, tahanan aliran udara, pola pernafasan, pertukaran gas dan
respiratory drive, yang akhirnya mengakibatkan abnormalitas tes faal paru.

Obesitas merupakan penyebab utama penurunan kapasitas latihan fisik dan gangguan pernafasan
pada saat tidur (obstructive sleep apnea syndrome [OSAS]). Sebagian kecil penderita obesitas
morbid mengalami hipoksia dan hipekarbia kronik tanpa adanya kelainan parenkim paru
(obesity-hypoventilation syndrome [OHS]). Makalah ini akan membahas dampak obesitas pada
sistem pernafasan, kelainan faal paru yang ditimbulkannya, serta manfast penurunan berat badan.

KOMPLIKASI RESPIRATORIK PADA OBESITAS

Komplikasi respiratorik yang dapat dijumpai pada obesitas (Tabel 1) sebagian besar ditentukan
oleh jumlah dan distribusi lemak tubuh. Hal tersebut dapat mempengaruhi mekanika dan
fisiologi pernafasan. Penelitian klinis, laboratorik, maupun epidemiologis telah menunjukkan
adanya hubungan antara obesitas dan gangguan pernafasan, termasuk pada OSAS, OHS, dan
asma, namun patofisiologinya belum sepenuhnya dapat dijelaskan.

Tabel 1: Komplikasi respiratorik akibat obesitas

Perubahan mekanika respirasi / berkurangnya kemampuan regangan jaringan paru


Peningkatan tahanan sistem pernafasan
Perubahan pola pernafasan dan respiratory drive
Berkurangnya kekuatan dan ketahanan otot-otot pernafasan
Gangguan pertukaran gas
Peningkatan beban kerja pernafasan
Berkurangnya toleransi aktivitas fisik
Gangguan pernafasan saat tidur
Peningkatan risiko tromboemboli vena
Peningkatan risiko aspirasi
Peningkatan risiko komplikasi pernafasan pada pembiusan dan perioperatif
Perubahan mekanika respirasi / kemampuan regangan paru

Obesitas, khususnya pada penderita OHS, menyebabkan kemampuan regangan (compliance)


paru, dinding thorax, dan sistem pernafasan secara keselurnhan. Penurunan compliance ini
disebabkan oleh bertambahnya volume darah pulmoner dan kolapsnya saluran-saluran nafas
terminal. Kelebihan berat badan memberikan beban tambahan pada thorax dan abdomen dengan
akibat peregangan yang berlebihan pada dinding thorax. Selain itu otot-otot pernafasan harus
bekerja lebih keras untuk menghasilkan tekanan negatif yang lebih tinggi pada rongga pleura
untuk memungkinkan aliran udara masuk saat inspirasi. Pada penderita obesitas sederhana
(simple obesity, tanpa OHS) compliance paru mungkin normal atau mendekati normal. Dengan
demikian diduga ada mekanisme lain yang menyebabkan timbulnya perubahan compliance pada
penderita OHS.

Peningkatan tahanan sistem pernafasan

Tahanan sistem pernafasan secara keseluruhan mengalami peningkatan pada penderita obese.
Pada penderita obesitas sederhana peningkatan terjadi sekitar 30%, sedangkan pada penderita
OHS dapat mencapai 100%. Peningkatan ini kemungkinan besar berkaitan dengan peningkatan
tahanan pada saluran-saluran nafas kecil (bukan saluran nafas besar) karena ternyata volume
paru berkurang. Dengan demikian ratio FEV/ FVC akan tetap normal (selama tidak dijumpai
penyakit paru obstruksif). Tahanan ini makin meningkat bila penderita berbaring terlentang
karena beban massa yang ditimbulkan oleh lemak di daerah supra-laring pada saluran nafas, dan
peningkatan aliran darah pulmoner, yang pada akhirnya mengakibatkan saluran nafas makin
menyempit. Pada posisi terlentang juga terjadi penurunan kapasitas residual fungsional
(functional recidual capasity [FRCl) yang akan menambah tahanan saluran nafas.

Perubahan pola pernafasan / respiratory drive

Sebagian besar penderita obesitas adalah eukapnik. Namun sebagian kecil di antaranya (terutama
penderita OHS) mengalami peningkatan PaCO2 secara kronis. Baik kelompok penderita obesitas
sederhana maupun OHS mengalami perubahan pola pernafasan, namun masing-masing memiliki
pola yang berbeda. Sebagai usaha untuk mengkompensasi peningkatan beban pada otot-otot
pernafasan, penderita obese mengalami peningkatan respiratory drive yang mengakibatkan
peningkatan ventilasi semenit (minute ventilation [Ve]). Penderita obese eukapnik mengalami
peningkatan frekuensi nafas sekitar 25% - 40% dibandingkan orang normal, sedangkan volume
tidalnya (Vt) tetap normal baik pada saat istirahat maupun saat aktivitas fisik. Eukapoia juga
tetap dipertahankan akibat terjadi peningkatan rangsangan saraf pada otot-otot pernafasan, dan
peningkatan respons pernafasan terhadap hipoksia. Penderita obese eukapnik juga mengalami
perubahan central breath timing (penurunan waktu ekspirasi) sebagai akibat perubahan
compliance sistem pernafasan. Penderita obesitas sederhana menunjukkan penurunan respons
pernafasan terhadap CO2 dibandingkan penderita non obese.

Dibandingkan penderita obesitas sederhana, penderita OHS mengalami peningkatan frekuensi


nafas sebesar 25% dan penurunan Vt sebesar 25%. Penurunan Vt menyebabkan gangguan
ventilasi alveolar. Perubahan mekanika dinding thorax atau gangguan fungsi otot-otot pernafasan
menyebabkan berkurangnya kemampuan penderita untuk mengoreksi PaCO2 selama manuver
hiperventilasi volunter. Selain itu didapatkan pula penurunan respons tekanan oklusi rongga
mulut terhadap perubahan CO2. Keduanya mengindikasikan bahwa pada penderita OHS terjadi
perubahan pola pernafasan akibat abnormalitas respiratory drive. Secara umum, penderita OHS
memiliki gangguan respons pernafasan terhadap perubahan CO2 dan hipoksia yang lebih berat
dibandingkan penderita obesitas sederhana.

Kekuatan dan ketahanan otot pernafasan

Kekuatan otot-otot inspirasi dan ekspirasi mungkin sedikit terganggu pada penderita OHS.
Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, namun diduga berkaitan dengan infiltrasi lemak
pada otot-otot dan peregangan berlebihan pada otot diefragma. Ketahanan otot-otot pernafasan
yang diukur dengan manuver ventilasi volunter maksimal (maximal voluntary ventilation [MW])
juga menurun.

Gangguan pertukaran gas

Gangguan pertukaran gas pada obesitas tergantung pada derajat keparahan obesitas, apakah
penderita termasuk obesitas sederhana atau OHS (Tabel 2). Penderita obesitas ringan hingga
sedang memiliki PaC02 yang normal. Penderita dengan obesitas sederhana mengalami
penurunan PaCO2 dan perbedaan tekanan oksigen alveolar dan arteri yang makin lebar.
Abnormalitas tersebut makin parah pada penderita OHS. Penderita OHS mengalami hipoksemia,
baik pada siang maupun malam hari. Hipoksemia ini disebabkan oleh ketidaksetaraan ventilasi /
perfusi (V/Q) dan shunting pada bagian paru (khususnya bagian basal) yang mengalami
atelektasis dan oklusi saluran nafas tetapi masih tetap mendapatkan perfusi yang normal.
Dibandingkan penderita obesitas sederhana, pada penderita OHS didapatkan fraksi shunting
yang lebih besar ( 40% curah jantung) dan rasio V/Q yang lebih rendah. Hipoventilasi ikut
berperan pada terjadinya hipoksemia pada penderita OHS. Hipoksemia ini makin berat bila
penderita berbaring terlentang, karena FRC akan makin berkurang. Pada penderita OHS PaCO2
meningkat. Hal ini mungkin disebabkan oleh abnormalitas respiratory drive dan peningkatan
beban kerja pernafasan. Pada kondisi dimana terjadi peningkatan baban kerja pernafasan yang
berlebihan maka hipoventilasi dan toleransi terhadap PaCO2 yang lebih tinggi merupakan
mekanisme kompensasi untuk mencapai efisiensi energi. Kemoreseptor pada susunan saraf pusat
kemudian menyesuaikan diri terhadap peningkatan PaC02 yang menyebabkan berkurangnya
respiratory drive. Beberapa faktor yang lain, termasuk OSAS, diameter saluran nafas bagian atas
yang kecil, dan obesitas sendiri ikut berperan pada patogenesis OHS.

Tabel 2: Abnormalitas tes faal paru dan pertukaran gas pada Obesitas sederhana (OS) dan
Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)

Parameter OS OHS
VC Normal
ERV
FRC
TLC Normal
RV Normal
MW Normal
Pl max Normal
PE max Normal
PaO2 Normal
PaCO2 Normal
PACO2-PaCO2 Normal

VC = vital capacity, ERV = expiratory reserve volume, FRC = functional residual capacity, TLC
= total lung capacity, RV = residual volume, MW = maximum voluntary ventilation, Pl max =
maximum inspiratory muscle pressure, PE max = maximum expiratory muscle pressure

Peningkatan beban kerja pernafasan

Beban kerja pernafasan adalah banyaknya energi yang dibutuhkan dalam proses pernafasan.
Untuk mengukur banyaknya energi yang dibutuhkan tersebut digunakan ukuran antara berupa
banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh otot-otot pernafasan untuk tiap liter ventilasi (oxygen
cost). Pada penderita obesitas berat oxygen cost meningkat beberapa kali lipat. Secara
keseluruhan terjadi peningkatan beban kerja pernafasan pada penderita obesitas karena
peningkatan oxygen cost, penurunan kemampuan regangan jaringan paru (compliance),
peningkatan tahanan sistem pernafasan, peningkatan nilai ambang beban inspirasi akibat massa
jaringan lemak yang berlebihan. Penderita OSAS juga mengalami peningkatan tahanan saluran
nafas di daerah faring dan nasofaring yang berkorelasi dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan
semakin meningkatkan beban kerja pernafasan. Penderita obesitas sederhana mengalami
peningkatan beban kerja pernafasan sebesar 60% dibandingkan orang normal, sedangkan
penderita OHS mengalami peningkatan sebesar 250% 42.

Berkurangnya toleransi aktivitas fisik

Kebanyakan penderita obesitas mengalami hambatan untuk melakukan aktivitas fisik. Beberapa
mekanisme berperan pada berkurangnya toleransi aktivitas fisik tersebut (Tabel 3). Sebagian
besar penelitian tentang aktivitas fisik dan obesitas dilaksanakan pada penderita obesitas
sederhana. Laju metabolisme tubuh saat istirahat mengalami peningkatan. Penderita obese
mengkonsumsi oksigen 25% lebih banyak dibandingkan nonobese. Hal ini makin bertambah saat
penderita melakukan aktivitas fisik. Banyaknya energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan
massa tubuh merupakan salah satu penyebab meningkatnya beban metabolisme untuk
menghasilkan kerja ringan hingga sedang. Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen ikut
berperan pada peningkatan beban kerja ventilasi. Hal ini akan memicu makin meningkatnya
denyut jantung dan frekwensi pernafasan pada saat puncak aktivitas fisik, walaupun aktivitas
fisik yang dikerjakannya hanya sub-maksimal. Dengan demikian penderita obese akan
mengalami penurunan kemampuan melakukan aktivitas fisik walaupun kondisi
kardiovaskulernya cukup sehat. Konsumsi oksigen maksimal (V02 max) yang dinyatakan dalam
mL/kg berat badan/menit adalah rendah dan berbanding terbalik dengan prosentase lemak tubuh.
Perbandingan nilai ambang anaerobik terhadap berat badan juga menurun.

Semua perubahan tersebut menimbulkan sensasi sesak nafas dan mengakibatkan penderita obese
cenderung mengurangi tingkat aktivitas fisiknya (deconditioning). Faktor kardiovaskuler juga
ikut berperan. Penderita hipoksemia kronik dengan / tanpa gangguan pernafasan saet tidur akan
mengalami hipertensi pulmoner. Akibatnya akan timbul gangguan fungsi ventrikel kanan dan kiri
pada saat aktivitas. Disfungsi diastolik juga dapat terjadi bila terdapat hipertensi, iskemia
miokard, penyakit mikrovaskuler (biasanya terkait dengan Diabetes) seringkali dijumpai pada
penderita obesitas. Gangguan muskulo-skeletal (misalnya kesulitan berjalan dan rasa nyeri akibat
artritis) akan makin membatasi aktivitas penderita. Semua faktor tersebut menyebabkan
menurunnya kapasitas fungsional Penderita obesitas berat akan makin sulit melaksanakan
aktivitas sehari-hari.

Tabel 3: Mekanisme penurunan toleransi aktivitas fisik pada obesitas.

Peningkatan laju metabolisme saat istirahat dan saat aktivitas


Beban metabolisme yang tinggi untuk menggerakkan massa tubuh
Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen
Rendahnya cadangan ventilasi dan kardiovaskuler
Rendahnya nilai ambang anaerobik
Sesak nafas
Deconditioning
Hipertensi pulmoner
Disfungsi diastolik
Iskemia miokard
Penyakit pembuluh darah tepi / mikrovaskuler
Abnormalitas muskulo-skeletal
Kecemasan

Gangguan pernafasan saat tidur

Sekitar 50% penderita obese menderita OSAS. Obesitas dan lingkar leher yang besar (> 43 cm)
merupakan predisposisi terjadinya penyempitan pada saluran nafas bagian atas (daerah
retrofaring). Timbunan lemak pada dan di sekitar faring, demikian pula pada dinding thorax dan
abdomen ikut berperan pada timbulnya penyempitan dan oklusi saluran nafas bagian atas pada
saat penderita tertidur. Akibatnya terjadi penurunan ventilasi, apnea, penurunan saturasi
oksihemoglobin, yang menimbulkan rangsangan kemoreseptor perifer di carotid bodies dan
membangkitkan refleks pada susunan saraf pusat berupa peningkatan aktivitas saraf simpatis.
Akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah dan gelombang elektroensefalografik (EEG). Pada
saat penderita terjaga dari tidurnya, saluran nafas bagian atas kembali terbuka, apnea terhenti,
ventilasi meningkat diatas normal, saturasi oksigen kembali normal, demikian pula aktivitas
saraf simpatis. Penderita OSAS yang tidak diterapi memiliki mortalitas yang tinggi.

Penderita yang lebih obese biasanya menderita OHS yang ditandai dengan hipoventilasi alveolar,
hiperkarbia dan hipoksia pada pagi dan siang hari yang makin parah saat penderita tidur,
hipertensi pulmoner, dan peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Sebagian besar penderita
OHS juga mengidap OSAS. Komplikasi pada OSAS dan OHS meliputi: gangguan neuro-
psikiatrik yang berkaitan dengan kurangnya waktu tidur, aritmia jantung, hipertensi pulmoner
dan cor pulmonale, hipertensi sistemik, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif,
polisitemia, dan stroke.
Risiko terjadinya trombosis vena dan emboli paru

Obesitas merupakan faktor risiko indipenden terjadinya trombosis vena profundus. Risiko
terjadinya emboli paru juga meningkat seiring dengan peningkatan IMT. Tromboemboli terutama
terjadi pasca tindakan operasi. Kurangnya aktivitas fisik dan penurunan fibrinolisis pada obesitas
diduga mendasari kedua hal tersebut.

Risiko teriadinya aspirasi

Tingginya volume cairan lambung, tingginya kejadian refluks gastro-esofageal, dan peningkatan
tekanan intra-abdominal merupakan beberapa hal yang yang meningkatkan risiko terjadinya
aspirasi pada penderita obesitas.

KELAINAN FAAL PARU PADA OBESITAS

Kelainan faal paru yang dijumpai pada penderita obesitas menggambarkan perubahan fisiologis
pada mekanika pernafasan dan resistensi aliran udara. Derajat beratnya kelainan faal paru
tergantung pada beratnya obesitas, dan distribusi lemak tubuh (Tabel 2). Abnormalitas faal paru
yang paling sering dijumpai pada obesitas adalah penurunan volume cadangan ekspirasi
(expiratory reserve volume [ERV]). Hal ini disebabkan oleh beban massa dan pemindahan beban
dari dinding thorax bagian bawah dan abdomen ke paru-paru, serta naiknya posisi diafragma.
Penurunan ERV terjadi seiring dengan bertambahnya derajat obesitas, lebih-lebih pada saat
penderita berbaring terlentang. Didapatkan pula penurunan kapasitas vital paksa (forced vital
capacity [FVC]), dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (forced expiratory volume in 1
second [FEV,]). Pada penderita obesitas sederhana kapasitas vital (vital capacity [VC]) dan FRC
mungkin menurun, namun nilai kapasitas paru total (total lung capacity [TLC]) tetap normal.
Dengan demikian bila dijumpai kelainan TLC pada penderita obesitas, harus segera dicari
adanya penyebab yang lain. Penurunan volume paru (termasuk ERV, FRC, VC, dan TLC) lebih
parah terjadi pada penderita OHS dibandingkan penderita obesitas sederhana. Kapasitas difusi
gas-gas pernafasan juga menurun seiring dengan bertambahnya derajat obesitas. Kapasitas difusi
gas CO umumnya masih normal pada penderita obesitas sederhana, tetapi mulai menurun pada
penderita OHS.

Distribusi lemak tubuh ikut menentukan pengaruh obesitas pada tes faal paru. Dibandingkan
penderita obesitas perifer, penderita obesitas sentral mengalami penurunan FVC, FEV,, TLC, dan
MW yang lebih berat. Penurunan MW berbanding lurus dengan peningkatan IMT dan penurunan
aliran udara ekspirasi (FVC dan FEV,) serta volume paru.

MANFAAT PENURUNAN BERAT BADAN

Penurunan berat badan membawa dampak yang menguntungkan dari segi metabolik
dan kardiovaskuler. Demikian pula halnya terhadap gangguan pernafasan. Upaya pengaturan
diet, olahraga, atau pembedahan terbukti memperbaiki gangguan pernafasan pada obesitas.
Penurunan berat badan menyebabkan perbaikan oksigenasi, kadar karbon dioksida, volume paru,
fungsi otot-otot pernafasan, toleransi terhadap aktivitas fisik dan pertukaran gas saat aktivitas
fisik. Pertukaran gas saat penderita tidur juga mengalami perbaikan dan dengan demikian
memperbaiki kwalitas tidur serta mengurangi gejala mengantuk pada pagi dan siang hari.

Strategi intervensi untuk menurunkan berat badan yang berhasil akan menurunkan morbiditas
dan mortalitas penderita obese secara bermakna. Perencanaan diet terstruktur dan program
olahraga, termasuk didalamnya program rehabilitasi paru, harus selalu dipertimbangkan pada
penderita obesitas yang mengalami gangguan pernafasan. Selama olahraga saturasi oksigen
harus dipertahankan > 90%, terutama pada penderita dengan hipertensi pulmoner, agar tidak
terjadi aritmia atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis saat aktivitas fisik yang dapat
menyebabkan penderita jatuh pingsan atau mengalami kegagalan sirkulasi.

RINGKASAN

Obesitas menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tidak dapat diremehkan. Gangguan fungsi
pernafasan yang terjadi pada obesitas meliputi: berkurangnya kemampuan regangan paru,
peningkatan tahanan saluran nafas kecil, gangguan fungsi otot-otot pernafasan, peningkatan
beban kerja pernafasan, gangguan pertukaran gas, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas
fisik, gangguan pernafasan saat tidur, serta meningkatnya risiko tromboemboli dan aspirasi,
khususnya pada penderita obesitas berat. Perubahan-perubahan tersebut tidak tergantung pada
adanya penyakit dasar parenkim paru. Adanya komplikasi pernafasan ikut menambah
keterbatasan fisik, menurunkan kwalitas hidup, dan makin meningkatkan mortalitas.

Penurunan berat badan secara bermakna akan menurunkan risiko dan derajat gangguan
pernafasan pada penderita. Penderita obesitas dengan gangguan pernafasan harus diikutsertakan
dalam program rehabilitasi terstruktur yang meliputi perencanaan diet, olahraga, dan perubahan
perilaku yang ditujukan untuk memperbaiki kapasitas fungsional dan kwalitas hidup, serta
mengurangi risiko terjadinya hipertensi pulmoner dan kegagalan kardiorespirasi.

DAFTAR PUSTAKA ada di Redaksi

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=457

Jumat, 26 Okt 2007,


Pria Gendut, Cepat Tua
Ada korelasi antara penuaan dini dengan obesitas (kegemukan). Pria yang menderita obesitas,
terutama central obesity (obesitas di perut), mempercepat proses penuaan. Sementara, tua itu
akrab dengan penyakit. Sebab, lemak pada perut banyak mengandung estrogen (hormon
dominan pada wanita) dan meningkatkan kortisol (indikator penuaan).

Dua hal itu bisa mengurangi kadar testosteron (hormon dominan pada pria) pada tubuh. Untuk
pria, kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan. Dalam dunia medis, kondisi itu disebut
testosterone deficiency syndrome (TDS).

Pakar mens health Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah - RSAL dr Ramelan Prof Dr dr
Arif Adimoelja PhD MSc SpAnd FSS (Be) mengatakan, testosteron bagi pria berguna untuk
perkembangan otot tubuh, menghalangi terjadinya osteoporosis, dan meremajakan pembuluh
darah. Testosteron juga berperan penting ketika pria melakukan hubungan seksual. "Bisa
dibayangkan bila kadar testosteron menurun. Pria tak hanya menderita gangguan seksual, tapi
juga cepat tua," paparnya. Ukuran tua, dalam hal ini, bukan karena pertambahan usia.

Dalam kondisi tua, lanjut Arif, seorang pria akan butuh waktu lama untuk bisa ereksi. Kalaupun
bisa ereksi, pancarannya juga kurang kuat. Kondisi itu bisa mengurangi frekuensi melakukan
hubungan seksual. "Hal-hal tersebut pencetus disharmoni hubungan suami-istri. Juga, rentan
terkena penyakit," tambahnya.

Penyakit yang kerap menyertai penderita central obesity adalah dislipidemia, hipertensi (tekanan
darah tinggi), sindrom metabolic, dan jantung. Seorang pria dikatakan menderita central obesity
jika ukuran lingkar perutnya lebih dari 92 sentimeter. Serta, tingginya kadar gula darah dan
turunnya jumlah HDL dalam tubuh. "Intinya, central obesity itu membuat potensi terjadinya TDS
makin tinggi," kata Arif.

Guru besar FK UHT tersebut lalu mencontohkan pasiennya yang berusia 37 tahun. Pria itu
datang dengan gejala penurunan libido, kegemukan, serta lekas capai. Dia juga mengalami
gangguan seks dan sudah mendapatkan terapi obat serta injeksi. Arif mengatakan, pasien tersebut
telah menderita TDS dan hanya bisa disembuhkan dengan terapi suntikan yang bisa
meningkatkan kadar testosteron.

"Setelah sepuluh bulan berobat, kondisi pasien itu lebih baik. Berat badan menurun dan
ereksinya juga lebih baik," ungkapnya. Selain terapi suntikan untuk meningkatkan kadar
testosteron, pasien harus diet makanan dan rajin olahraga.

Karena itu, jika menderita gejala seperti pasien tersebut, Arif menyarankan segera berobat ke
ahlinya. Hal itu penting agar tak mengurangi kualitas hidup pasien tersebut. (ai)

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=309499

Research in obesity

Solvay Pharmaceuticals is developing a compound together with Bristol Myers Squibb with
potential for use in treating obesity and other metabolic disorders. The compound SLV 319,
which is a result of our own research, is currently in early development (Phase 1).
SLV319 belongs to a novel class of agents called CB1 antagonists. They work by blocking the
cannabinoid type 1 (CB1) receptor. Clinical and preclinical studies involving this class of drug
have shown that blocking the CB1 receptor results in reduced food intake.
Obesity
Obesity is not a simple condition of eating too much. It is now recognized that obesity is a
serious, chronic disease. Obesity is defined as an excessively high amount of body fat in relation
to lean body mass. The cause of obesity differs from one person to another. Genetic,
environmental, psychological, and other factors may all play a part.
BMI (Body Mass Index) is a common measure expressing the relationship (or ratio) of weight-
to-height. It is a mathematical formula in which a person's body weight in kilograms is divided
by the square of his or her height in meters (i.e., wt/(ht)2. The BMI is more highly correlated
with body fat than any other indicator of height and weight. Individuals with a BMI of 25 to 29.9
are considered overweight, while individuals with a BMI of 30 or more are considered obese.
The location of body fat is also of influence. People who carry fat mainly around the waist are
more likely to develop obesity-related health problems.
Obesity is considered to be a real health hazard. According to the World Health Organization, in
1995, there were an estimated 200 million obese adults worldwide and another 18 million under-
five children classified as overweight. As of 2000, the number of obese adults has increased to
over 300 million.
Several serious medical conditions have been linked to obesity, including diabetes, heart disease,
high blood pressure and stroke. Obesity is also linked to higher rates of certain types of cancer.
Other diseases and health problems linked to obesity include: gallbladder disease and gallstones,
liver disease, diseases affecting the joints, pulmonary (breathing) problems and reproductive
problems in women.

Emotional suffering may be one of the most painful parts of obesity. Overweight people feel
unattractive and often face prejudice or discrimination in the job market, at school, and in social
situations. Feelings of rejection, shame, or depression are common.

Вам также может понравиться