Вы находитесь на странице: 1из 44

LAPORAN PENDAHULUAN

ACUTE LUNG OEDEMA (ALO) + VENTILATOR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Medikal
di Ruang 5 (Kegawatan Kardiovaskuler) RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :
Etri Nurhayati
140070300011102

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
ACUTE LUNG OEDEMA (ALO) + VENTILATOR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners


Departemen Medikal
di Ruang 5 (Kegawatan Kardiovaskuler) RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :
Ni Wayan Asma Nira Yustika
115070201111011
Kelompok 10

Menyetujui,

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

(......) (....)
ACUTE LUNG OEDEMA
(ALO)

1. DEFINISI
Acute Lung Oedema (ALO) adalah adanya akumulasi cairan di paru yang
terjadi secara mendadak dan massif di rongga alveoli yang menyebabkan pasien
berada dalam kedaruratan respirasi dan ancaman gagal nafas.
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di
paru-paru. cairan ini terkumpul dalam kantung-kantung udara di paru-paru banyak,
sehingga sulit untuk bernapas. Dalam kebanyakan kasus, masalah jantung
menyebabkan edema paru. Tapi cairan dapat menumpuk karena alasan lain,
termasuk pneumonia, paparan terhadap racun tertentu dan obat-obatan, dan
olahraga atau hidup pada ketinggian tinggi.
Pulmonary edema adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-
paru. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru
ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini
adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon
dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli
normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran
udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini
kehilangan integritasnya.
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus paru
yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular
yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran
kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi
cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara
progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Saly, 2009; Soemantri 2011).

2. MEKANISME
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:
1) Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstitial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam kedaan
normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke
ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat
diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik (Harun dan Sally,
2009).

Q(iv-int) = Kf [(Piv - Pint) df (IIiv IIint)]

Keterangan:
Q = Kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstitial
Piv = Tekanan hidrostatik intravaskular
Pint = Tekanan hidrostatik interstitial
IIiv = Tekanan osmotik koloid intravaskular
IIint = Tekanan osmotik koloid interstitial
df = Kefisien refleksi protein
Kf = Kondukstan hidraulik

2) Sistem limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan
balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstitial
peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari
interstitium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini
ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila
kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan
terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan
istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan
kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200ml/jam pada orang dewasa dengan
ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem
limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk
mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat
mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema
interstitial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi
(Harun dan Sally, 2009).
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama
melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan
selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas
membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar
intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang alveolar hal ini
disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika
cairan memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang
peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke
sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan.
Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi
paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian
oleh gradien tekanan onkotik protein (Maria, 2010).

3. ETIOLOGI
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus (Harun dan Sally, 2009):
1. Ketidakseimbangan Starling Force
a. Peningkatan tekanan vena pulmonalis
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat
sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28
mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis
adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya
edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain: (1) tanpa gagal
ventrikel kiri (mis: stenosis mitral), (2) sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3)
peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan
arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi).
b. Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga
peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja
pada hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia
dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial
sehingga cairan dapat berpindah lebih mudah diantara sistem kapiler dan
limfatik.
c. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural.
Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah: (1) perpindahan yang cepat
pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan negatif yang besar.
Keadaan ini disebut edema paru re-ekspansi. Edema biasanya terjadi
unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan
penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan edema
paru re-ekspansi ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan
ekstensif, (2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan nafas
akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkhial).
2. Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult Respiratory
Distress Syndrome).
Kedaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler
dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang
berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat
ketidakseimbangan Straling Force
Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
Terisap toksin (NO, asap)
Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
Aspirasi asam lambung
Pneumonitis akut akibat radiasi
Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)
Dissemiated Intravascular Coagulation
Immunologi: pneumonitis hipersensitif
Shock-lung pada trauma non thoraks
Pankreatitis hemoragik akut
3. Insuffisiensi sistem limfe
Pasca transplantasi paru
Karsinomatosis, limfangitis
Limfangitis fibrotik (siilikosis)
4. Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya
High altitude pulmonary edema
Edema paru neurogenik
Overdosis obat narkotik
Emboli paru
Eklamsia
Pasca anastesi
Post cardiopulmonary bypass

5. FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor risiko untuk pulmonary edema pada dasarnya adalah penyebab-
penyebab yang mendasari kondisi. Tidak ada faktor risiko spesifik apa saja untuk
pulmonary edema yang lain daripada faktor-faktor risiko untuk kondisi-kondisi
kausatif (yang menyebabkan).
a. Edema paru-jantung
Edema paru jantung juga dikenal sebagai gagal jantung kongestif
terjadi ketika ventrikel kiri berpenyakit atau bekerja terlalu keras, sehingga tidak
mampu memompa cukup darah yang diterima dari arah paru-paru. Akibatnya,
terjadi peningkatan tekanan di atrium kiri dan kemudian menyebar ke pembuluh
darah serta kapiler paru-paru. Hal ini menyebabkan cairan harus didorong
melalui dinding kapiler ke dalam kantung udara.
Gagal jantung kongestif juga bisa terjadi bisa ventrikel kanan tidak
mampu mengatasi peningkatan tekanan di arteri paru, yang biasanya dihasilkan
dari gagal jantung kiri, penyakit paru kronis, atau tekanan darah tinggi di arteri
paru (hipertensi pulmonal). Kondisi medis yang dapat menyebabkan ventrikel
kiri melemah dan mengakibatkan gagal jantung diantaranya:
Penyakit arteri koroner. Seiring waktu, pembuluh darah yang memasok
darah ke jantung anda bisa menyempit akibat deposito lemak (plak).
Serangan jantung terjadi ketika gumpalan darah terbentuk di salah satu
arteri yang menyempit, hingga menghalangi aliran darah dan merusak
bagian otot jantung anda yang disuplai oleh arteri tersebut. Hasilnya
adalah otot jantung yang rusak dan tidak dapat lagi memompa darah
sebagaimana mestinya.
Meskipun bagian lain dari jantung anda akan mencoba untuk
mengkompensasi kondisi ini, bagian tersebut tidak akan mampu
mengatasinya secara efektif ataupun menjadi lemah karena tambahan
beban kerja. Ketika tindakan pemompaan jantung anda melemah, darah
kemudian mengalir ke arah paru-paru, memaksa cairan dalam darah
untuk melewati dinding kapiler ke dalam kantung udara.
Kardiomiopati. Ketika otot jantung anda rusak karena masalah aliran
darah lainnya, kondisi ini disebut kardiomiopati. Karena kardiomiopati
membuat ventrikel kiri menjadi lemah yakni pompa utama jantung
anda- jantung mungkin tidak mampu merespon kondisi yang
mengharuskan ia bekerja lebih keras, seperti peningkatan tekanan
darah, detak jantung lebih cepat, terlalu banyak garam dll dapat
menyebabkan retensi air atau infeksi. Ketika ventrikel kiri tidak dapat
memenuhi tuntutan yang ada, maka cairan akan kembali ke paru-paru
anda.
Masalah katup jantung. Pada penyakit katup mitral atau katup aorta,
kondisi katup yang mengatur aliran darah di sisi kiri jantung anda tidak
dapat membuka cukup lebar (stenosis) atau tidak dapat menutup
sepenuhnya (insufisiensi). Hal ini memungkinkan darah untuk mengalir
mundur melalui katup. Ketika katup menyempit, darah tidak dapat
mengalir dengan bebas ke dalam jantung dan timbul tekanan pada
ventrikel kiri, sehingga menyebabkan ventrikel kiri bekerja lebih keras
dengan setiap kontraksi. Ventrikel kiri juga melakukan pelebaran untuk
mengalirkan darah lebih banyak, tapi hal ini menyebabkan pemompaan
yang dilakukan ventrikel kiri menjadi tidak efisien. Karena ventrikel kiri
bekerja lebih sulit, maka akhirnya ia menebal/mengental, sehingga
memberi tekanan lebih besar pada arteri koroner, yang kemudian
melemahkan otot ventrikel kiri.
Peningkatan tekanan ini meluas ke atrium kiri dan kemudian ke
pembuluh darah paru, menyebabkan cairan menumpuk di paru-paru
anda. Di sisi lain, jika katup mitral mengalami kebocoran, sebagian darah
kembali ke arah paru-paru setiap kali jantung anda memompanya. Jika
kebocoran ini terjadi tiba-tiba, anda dapat mengalami edema paru cukup
parah.
Tekanan darah tinggi (hipertensi). Tekanan darah tinggi yang tidak
diobati atau dikontrol menyebabkan penebalan otot pada ventrikel kiri,
dan memperburuk penyakit arteri koroner.
Edema paru non cardiac
Tidak semua edema paru dihasilkan dari penyakit jantung. Cairan juga
dapat bocor dari kapiler dalam kantung udara paru-paru karena kapiler
sendiri memiliki banyak pori sehingga memungkinkan terjadi kebocoran
bahkan tapa disertai tekananan balik dari jantung. Kondisi ini dikenal
dengan edema paru non cardiac karena jantung anda bukanlah
penyebab masalah edema paru. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan edema paru non cardiac adalah:
Infeksi paru-paru. Bila edema paru dihasilkan dari infeksi paru-paru,
seperti pneumonia, maka edema hanya terjadi di bagian paru-paru anda
yang mengalami pembengkakan.
Terkena racun jenis tertentu. Termasuk ketika anda menghirup udara
beracun seperti klorin atau ammonia atau rancun yang beredar
dalam tubuh anda sendiri, misalnya ketika anda menghirup beberapa
kandungan isi perut anda ketika anda muntah.
Penyakit ginjal. Bila ginjal tidak dapat mengeluarkan sampah secara
efektif, maka cairan berlebihan terhimpun di ginjal, hal ini menimbulkan
edema paru.
Inhalasi asap. Asap dari api mengandung bahan kimia yang merusak
membran antara kantung udara dan kapiler, sehingga cairan dapat
memasuki paru-paru anda.
Reaksi obat. Banyak jenis obat mulai dari obat-obatan ilegal seperti
heroin dan kokain hingga aspirin dan obat kemoterapi diketahui dapat
menimbulkan edema paru non cardiac.
Sindrom kesulitan pernapasan akut (ARDS). Gangguan serius ini terjadi
ketika paru-paru anda tiba-tiba dipenuhi cairan dan peradangan sel
darah putih. Banyak kondisi yang dapat menimbulkan ARDS, termasuk
luka berat (trauma), infeksi sistemik (sepsis), radang paru-paru, dan
shock.
Ketinggian tertentu. Pendaki gunung dan orang-orang yang tinggal atau
melakukan perjalanan ke lokasi ketinggian tertentu memiliki risiko
terkena edema paru ketinggian (HAPE). Kondisi ini yang umumnya
terjadi pada ketinggian di atas 8000 kaki (2400 meter)- juga dapat
mempengaruhi pejalan kaki atau atlit ski yang mulai berolahraga pada
ketinggian ekstrim tanpa membiasakan diri terlebih dahulu. Akan tetapi,
bahkan orang-orang yang telah terbiasa mendaki atau berolahraga ski di
ketinggian tertentu tetap saja tidak kebal terhadap HAPE.
Meskipun penyebab HAPE tidak sepenuhnya dipahami, nampaknya
HAPE timbul sebagai akibat dari peningkatan tekanan yang dihasilkan
dari penyempitan kapiler paru-paru. Tanpa perawatan yang tepat, HAPE
juga bisa berakibat fatal.
Tenggelam. Menghisap air dapat menyebabkan edema paru non cardiac
yang dapat disembuhkan dengan pertolongan yang tepat.

6. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan
non-kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat
berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri
apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya
Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula
pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik
a. Cardiogenic pulmonary edema
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan
pada organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung
memompa tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang
buruk. Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung
yang buruk (datang dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan
penyakit-penyakit atau kelemahan dari otot jantung), serangan-serangan
jantung, atau klep-klep jantung yang abnormal dapat menjurus pada akumulasi
dari lebih dari jumlah darah yang biasa dalam pembuluh-pembuluh darah dari
paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya, menyebabkan cairan dari pembuluh-
pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan membesar.
b. Non-cardiogenic pulmonary edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan
oleh hal berikut:
1) Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang
bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
2) Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang
parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru,
merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru.
3) Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh
dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah,
berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal
yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan
cairan tubuh.
4) High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan
yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
5) Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-
seizure yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada
akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
6) Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-
expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika
paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan
sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang
cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi
yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema).
7) Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada
pulmonary edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi
yang kronis dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum
tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary edema.
8) Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary
edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah
berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi
atau transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi
virus, atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.

Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak Dan Nonkardiak

Edema Paru Non


Edema Paru Kardiak
Kardiak
Riwayat Penyakit : Penyakit Jantung Akut
Jantung Penyakit Dasar di
luar
Pemeriksaan Klinik :
Akral dingin Akral hangat
S3 gallop/Kardiomegali Pulsasi nadi meningkat
Distensi vena jugularis Tidak terdengar gallop
Ronki basah Tidak ada distensi vena
jugularis
Ronki kering
Pemeriksaan Penunjang :
EKG : Iskhemia/infark EKG : biasanya normal
Ro : distribusi edema perifer Ro : distribusi edema
Enzim jantung mungkin meningkat perifer
Tekanan Kapiler Paru > 18mmHg Enzim jantung
Intrapulmonary shunting : meningkat biasanya normal
ringan Cairan edema/protein serum Tekanan Kapiler Paru <
< 0,5 18mmHg
Intrapulmonary
shunting : sangat
meningkat Cairan
edema/serum
protein > 0,7
Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik
(dikutip dari Lorraine et al, 2005)

7. PATOFISIOLOGI
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan
filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih besar daripada
tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceralis yang menyebabkan
efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endothel tetap normal, maka cairan edema
yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan
tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan
tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan
tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18 25 mmHg)
menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang intersisial peribronkovaskular.
Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema akan
menembus epitel paru, membanjiri alveolus (gambar 2.4B). Kejadian tersebut akan
menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut
(Lorraine et al, 2005; Maria, 2010) :
Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya
pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi
pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan
ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin
menurunkan fungsi ventrikel kiri.
Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi
jantung.
Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada
transporaktif natrium dan klorida melintasi barier epitel alveolar. Bagian utama
reabsorbsi natrium dan klorida adalah ion channels epitel yang terdapat pada
membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal.
Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang interstitial dengan cara Na/ K-
ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif
mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang
ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Lorraine et al, 2005).

Gambar Patofisiologi Edema Paru (dikutip dari Lorraine et al, 2005)

Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis
Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya
gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang
tidak normal (Maria, 2010).
Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan
dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan
tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa
perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil
akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas
(Harun dan Sally, 2009).
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru
akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara
diparu dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada
keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai
ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup (Harun dan Sally,
2009).
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema
interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar
dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan
mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan
petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi
untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan
peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut, dan akan
terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks
bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan
mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang
semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya
hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru.
Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea (Harun dan Sally, 2009).
Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema
paru tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia
yang berat dan seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi
akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan
mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara
keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal.
Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang
telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila
keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis
respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru
obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek
depresi pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang
ketat (Harun dan Sally, 2009).
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik
maka sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan
protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus (Gambar 2.4C). Cairan edema
paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah
lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma.
Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak
adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara
aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury
dimana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan
untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang
merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya
udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas
(oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan
pengoksigenan darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai air dalam
paru-paru ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary
edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat
dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau
dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary
edema.

(Pathway terlampir)

8. MANIFESTASI KLINIK
Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini
mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang
secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus
dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah
lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas
yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau
kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada
pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru
dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal,
sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang
berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas).
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi
gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas
saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas
yang tertutup pada saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-
sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering
terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel
kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk
berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan
nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita
hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-
hati (Ingram and Braunwald, 1988).
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat
hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi
arteriakoronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang
dapat dicegah de-ngan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan
bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic nucleotide
phosphodiesterase akan mengurangi edema paru sekunder akibat peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler; pada ma-nusia masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. Kadang kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru,
tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya
pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru
sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup
yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.

9. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa
kemiripan.
a. Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya
riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung
kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi
pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang
menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang
akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
b. Pemeriksaan fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau
tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau
sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela
interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif
intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum
yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada
pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau
lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan gallop,
bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis
(Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
c. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi
edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah
rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim
jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan
prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema
paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan
dengan pulmonary artery occlusion pressure, left ventricular end-
diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien
gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal
jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas
93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai
BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure (Pasquate et al, 2004).
Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk menegakkan
gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung
kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP
memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit
lainnya (AHA, 2009).
d. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel
kiri. Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga
dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010).
e. EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia
atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi
gambaran EKG biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien
dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan
gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas,
dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam
1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa
keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-
endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding,
peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat
perubahan metabolik atau ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).
f. Kateterisasi pulmonal
Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan
tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan
dimajukan melalui ruang ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam
kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan
secara langsung mengukur tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut
pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih
tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge
pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic
cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi
data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU).
Pengukuran tekanan baji pulmonal (Pulmonary artery occlusion pressure /
PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan gold standard untuk menentukan
penyebab edema paru akut. Lorraine dkk mengusulkan suatu algoritma
pendekatan klinis untuk membedakan kedua jenis edema tersebut (Gambar 2.7).
Disamping itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema paru akut dengan
penyebab multipel. Sebagai contoh, pasien syok sepsis dengan ALI, dapat
mengalami kelebihan cairan karena resusitasi yang berlebihan. Begitu juga
sebaliknya, pasien dengan gagal jantung kongesti dapat mengalami ALI karena
pneumonia (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Gambaran Radiologi yang ditemukan :
- Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
- Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
- Kranialisasi vaskuler
- Hilus suram (batas tidak jelas)
- Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul
milier)

g. Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel
vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis
kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran
ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler
< 60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal
dan lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru.
Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan
dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto
thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan
diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya
terkesan menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan
tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa
masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru,
seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et al,
2005; Maria, 2010).
Tabel 1. Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non
Kardiogenik (dikutip dari Lorraine et al, 2005)
NO. Gamba Edema Edema Non
r Kardio Kardiog
a genik enik
n
R
a
di
ol
o
gi
1 Ukuran Normal atau Biasanya
J membe Normal
a sar
nt
u
n
g
2 Lebar Normal atau Biasanya
p meleba normal
e r
di
k
el
V
a
s
k
ul
er
3 Distribu Seimbang Normal/seimb
si ang
V
a
s
k
ul
er
4 Distribu rata / Sentral Patchy atau
si perifer
E
d
e
m
a
5 Efusi Ada Biasanya tidak
pl ada
e
ur
a
6 Peneba Ada Biasanya tidak
la ada
n
P
er
ib
ro
n
ki
al
7 Garis Ada Biasanya tidak
s ada
e
pt
al
8 Air Tidak selalu Selalu ada
br ada
o
n
c
h
o
gr
a
m

Gambar hasil radiologi


Gambar 1 : Edema Intesrtitial
Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi).

Gambar 2 : Kardiomegali dan edema paru


Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
Edema butterfly atau Bats Wing (edema sentral)

Gambar 3 : Bats Wing


Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai
kelainan sebelumnya, contoh : emfisema).
Gambar 4. Foto radiologi edema paru kardiogenik (gambar A) dan edema paru non
kardiogenik (gambar B)

h. Pengukuran plasma B-type natriuretic peptide (BNP)


Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari
dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide
(BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan
timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung.
Peningkatan dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari
beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac
pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya
menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya.

10. PENATALAKSANAAN
- Posisi duduk.
- Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
- Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak
bisa dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi
CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara
adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
- Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
- Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6 mg tiap 5
10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 5 ug/kgBB.
- Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 90
mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama
dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
- Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
- Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan
tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1
ml/kgBB/jam.
- Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
- Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
- Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.
- Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.

Menurut Lippincott Wiiliams & Wilkins (2008) tindakan keperawatan yang dapat
dilakukan oleh perawat adalah sebagai berikut:

a. Secara seksama pantau pasien yang berisiko untuk melihat apakah ada tanda
edema pulmoner, terutama takipnea, taikardi, dan bunyi napas abnormal. Periksa
adanya edema perifer, yang juga bisa mengindikasikan bahwa cairan
terakumulasi dalam jaringan pulmoner.

b. Beri oksigen sesuai perintah dan pantau adanya efek.

c. Pantau tanda vital tiap 15 sampai 30 menit saat memberikan nitroprusside


dalam dextrose 5% dalam air melalui tetesan I.V.

Algoritma Penatalaksanaan
Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012)

11. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah gagal napas. Selain itu kebanyakan
komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-
komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih
spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang
dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia)
dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke
organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak (Panji, 2008).

12. ASUHAN KEPERAWATAN


PENGKAJIAN
1. Identitas : Nama, usia, alamat, status pernikahan, pekerjaan
2. Umur : Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
3. Riwayat Masuk
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-
batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun
dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar
dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal
mungkin ditemui pada klien
5. Pemeriksaan fisik
- Sistem Integumen
Subyektif :-
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi
sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
- Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat,
terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
- Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,
kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung
tambahan
- Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
- Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
- Sistem genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
- Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
6. Pemeriksaan Laboratorium :
- Hb : menurun/normal
- Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah,
kadar karbon darah meningkat/normal
- Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal

DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan
alat bantu nafas
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme
sekunder terhadap pemasangan selang endotrakeal
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot
jantung
5. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan terhadap prosedur medis
6. Resiko terjadi trauma berhubungan dengan kegelisahan sekunder terhadap
pemasangan alat bantu nafas
7. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual sekunder
terhadap pemasangan alat bantu nafas
8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang
endotrakeal

RENCANA KEPERAWATAN
N
Diagnosa NOC Intervensi (NIC)
o
1 Ketidakefektifan Respiratory status: ventilation Airway management
pola nafas Respiratory status: aiway patency Oxygen therapy
berhubungan Vital sign status Vital sign monitoring
dengan keadaan Indicator 1 2 3 4 5 1. Atur posisi semi fowler
Tidak ada 2. Observasi tanda dan gejala
tubuh yang
dyspneu sianosis
lemah
3. Auskultasi suara napas
Irama nafas tambahan
Frekuensi 4. Berikan terapi oksigenasi
5. Pertahankan jalan napas
pernapasan
Tidak ada paten
6. Observasi tanda-tanda vital
suara nafas 7. Monitor irama dan frekuensi
abnormal pernapasan
TTV dalam 8. Monitor suara paru
batas normal 9. Monitor pola napas
abnormal
10. Observasi timbulnya gagal
nafas.
11. Kolaborasi dengan tim
medis dalam memberikan
pengobatan
2 Gangguan Respiratory status: gas exchange Airway management
pertukaran Gas Respiratory status: ventilation Respiratory monitoring
berhubungan Vital sign status Acid base management
dengan distensi Indicator 1 2 3 4 5 1. Atur posisi semi fowler
kapiler pulmonar Tidak ada 2. Observasi tanda dan gejala
dyspneu sianosis
Batuk efektif
Irama nafas 3. Auskultasi suara napas
Frekuensi tambahan
pernapasan 4. Berikan terapi oksigenasi
Tidak ada
5. Pertahankan jalan napas
suara nafas
paten
abnormal
TTV dalam 6. Observasi tanda-tanda vital

batas normal 7. Monitor irama dan frekuensi


pernapasan
- BGA normal: 8. Monitor suara paru
partial pressure of oxygen 9. Monitor pola napas
(PaO2): 75-100 mm Hg abnormal
partial pressure of carbon 10. Tentukan kebutuhan suction
dioxide (PaCO2): 35-45 mm Hg 11. Observasi timbulnya gagal
oxygen content (O2CT): 15- nafas.
23% 12. Kolaborasi dengan tim
oxygen saturation (SaO2): 94- medis dalam memberikan
100% pengobatan
bicarbonate (HCO3): 22-26 13. Pertahankan iv line
14. Monitor BGA
mEq/liter
pH: 7.35-7.45
3 Resiko tinggi Immune status Infection control
infeksi Risk control Infection protection
berhubungan Indicator 1 2 3 4 5 1. Instruksikan pengunjung
dengan area Tidak ada untuk mencuci tangan
invasi tanda-tanda sebelum dan stelah
mikroorganisme infeksi mengunjungi pasien
Jumlah leukosit
sekunder 2. Pertahankan teknik aseptic
dalam batas
terhadap saat pemasangan alat
normal
pemasangan 3. Tingkatkan intak nutrisi
selang 4. Berikan terapi antibiotic jika
endotrakeal perlu
5. Monitor leukosit
6. Pertahankan iv line
7. Tingkstksn istirahat

VENTILASI MEKANIK (VENTILATOR)

A. VENTILATOR
1. Pengertian dan Tujuan
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh
proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi, dengan tujuan:
Memberikan kekuatan mekanis pada sistem pernafasan untuk mempertahankan
ventilasi yang fisiologis
Manipulasi air way pressure dan corak ventilasi untuk memperbaiki efisiensi dan
oksigenasi
Mengurangi kerja miocard dengan cara mengurangi kerja nafas.
2. Indikasi Pemasangan Ventilator
Pasien dengan respiratory failure
(gagal napas)
Pasien dengan operasi tekhik hemodilusi.
Post Trepanasi dengan black out.
Respiratory Arrest.
3. Penyebab Gagal Napas
1. Penyebab sentral
a. Trauma kepala : Contusio cerebri.
b. Radang otak : Encepalitis.
c. Gangguan vaskuler : Perdarahan otak, infark otak.
d. Obat-obatan : Narkotika, Obat anestesi.
2. Penyebab perifer

a. Kelaian Neuromuskuler:
- Guillian Bare symdrom
- Tetanus
- Trauma servikal.
- Obat pelemas otot.
b. Kelainan jalan napas.
- Obstruksi jalan napas.
- Asma broncheal.
c. Kelainan di paru.
- Edema paru, atlektasis, ARDS
d. Kelainan tulang iga / thorak.
- Fraktur costae, pneumothorak, haemathorak.
e. Kelainan jantung.
- Kegagalan jantung kiri.
4. Kriteria Pemasangan Ventilator
I. Menurut Pontopi seseorang perlu bantuan (ventilator) bila :
Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit.
Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg.
PaCO2 lebih dari 60 mmHg
AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg.
Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB.
5. Macam-macam Ventilator.
II. Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu:
1. Volume Cycled Ventilator.
III. Perinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin
berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang ditentukan.
Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada komplain paru pasien
tetap memberikan volume tidal yang konsisten.
2. Pressure Cycled Ventilator
IV. Perinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan.
Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang telah
ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan
pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan komplain paru, maka volume udara
yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang setatus parunya tidak
stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan.
3. Time Cycled Ventilator
V. Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan wamtu
ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan oleh
waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit)
VI. Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi ) 1 : 2
6. Mode-Mode Ventilator.
VII. Pasien yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik dengan menggunakan
ventilator tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin ventilator, tetapi tergantung dari
mode yang kita setting, yaitu:
1. Mode Control.
VIII. Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan
pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek, lemah
sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol pasien, pernafasan
diberikan ke pasien pada frekwensi dan volume yang telah ditentukan pada
ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk mengawali inspirasi. Bila pasien
sadar, mode ini dapat menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila
pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara inspirasi
dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah dan
terjadi pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR (Controlled Respiration),
CMV (Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure
Ventilation)
2. Mode IMV / SIMV: Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized Intermitten
Mandatory Ventilation.
IX. Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang seling
dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory diberikan
pada frekwensi yang di set tanpa menghiraukan apakah pasien pada saat inspirasi
atau ekspirasi sehingga bisa terjadi fighting dengan segala akibatnya. Oleh karena
itu pada ventilator generasi terakhir mode IMVnya disinkronisasi (SIMV). Sehingga
pernafasan mandatory diberikan sinkron dengan picuan pasien. Mode IMV/SIMV
diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum normal sehingga
masih memerlukan bantuan.
3. Mode ASB / PS : (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Suport
X. Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau pasien
yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena nafasnya
dangkal. Pada mode ini pasien harus mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien
tidak mampu untuk memicu trigger maka udara pernafasan tidak diberikan.
4. CPAP : Continous Positive Air Pressure.
XI. Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan pada
pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat.
XII. Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih
otot-otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.
XIII.
7. Sistem Alarm
XIV. Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu
untuk mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah
menandakan adanya pemutusan dari pasien (ventilator terlepas dari pasien), sedangkan
alarm tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan, misalnya pasien batuk,
cubing tertekuk, terjadi fighting, dll. Alarm volume rendah menandakan kebocoran. Alarm
jangan pernah diabaikan tidak dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap.
8. Pelembaban dan suhu.
XV. Ventilasi mekanis yang melewati jalan nafas buatan meniadakan mekanisme
pertahanan tubuh unmtuk pelembaban dan penghangatan. Dua proses ini harus
digantikan dengan suatu alat yang disebut humidifier. Semua udara yang dialirkan dari
ventilator melalui air dalam humidifier dihangatkan dan dijenuhkan. Suhu udara diatur
kurang lebih sama dengan suhu tubuh. Pada kasus hipotermi berat, pengaturan suhu
udara dapat ditingkatkan. Suhu yang terlalu itnggi dapat menyebabkan luka bakar pada
trachea dan bila suhu terlalu rendah bisa mengakibatkan kekeringan jalan nafas dan
sekresi menjadi kental sehingga sulit dilakukan penghisapan.
9. Fisiologi Pernapasan Ventilasi Mekanik
XVI. Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot
intercostalis berkontrkasi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan negatif
sehingga aliran udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi berjalan secara pasif.
Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara dengan
memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan sselama inspirasi adalah positif dan
menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi tekanan dalam
rongga thorax paling positif.
10. Efek Ventilasi mekanik
XVII. Akibat dari tekanan positif pada rongga thorax, darah yang kembali ke
jantung terhambat, venous return menurun, maka cardiac output juga menurun. Bila
kondisi penurunan respon simpatis (misalnya karena hipovolemia, obat dan usia lanjut),
maka bisa mengakibatkan hipotensi. Darah yang lewat paru juga berkurang karena ada
kompresi microvaskuler akibat tekanan positif sehingga darah yang menuju atrium kiri
berkurang, akibatnya cardiac output juga berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi bisa
terjadi gangguan oksigenasi. Selain itu bila volume tidal terlalu tinggi yaitu lebih dari 10-
12 ml/kg BB dan tekanan lebih besar dari 40 CmH2O, tidak hanya mempengaruhi
cardiac output (curah jantung) tetapi juga resiko terjadinya pneumothorax.
XVIII. Efek pada organ lain: Akibat cardiac output menurun; perfusi ke
organ-organ lainpun menurun seperti hepar, ginjal dengan segala akibatnya. Akibat
tekanan positif di rongga thorax darah yang kembali dari otak terhambat sehingga
tekanan intrakranial meningkat.
11. Komplikasi Ventilasi Mekanik (Ventilator)
XIX. Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tapi bila
perawatannya tidak tepat bisa, menimbulkan komplikasi seperti:
1. Pada paru
a. Baro trauma: tension e. Jalan nafas buatan: king-king
pneumothorax, empisema sub (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
cutis, emboli udara vaskuler. f. Aspirasi cairan lambung
b. Atelektasis/kolaps g. Tidak berfungsinya
alveoli diffuse penggunaan ventilator
c. Infeksi paru h. Kerusakan jalan nafas bagian
d. Keracunan oksigen atas
2. Pada sistem kardiovaskuler
XX. Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran
balik vena akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian ventilasi
mekanik dengan tekanan tinggi.
3. Pada sistem saraf pusat
a. Vasokonstriksi cerebral : Terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2)
dibawah normal akibat dari hiperventilasi.
b. Oedema cerebral : Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal
akibat dari hipoventilasi.
c. Peningkatan tekanan intra kranial
d. Gangguan kesadaran
e. Gangguan tidur.
4. Pada sistem gastrointestinal
a. Distensi lambung, illeus
b. Perdarahan lambung.
5. Gangguan psikologi
XXI.
12. Prosedur Pemberian Ventilator
XXII. Sebelum memasang ventilator pada pasien. Lakukan tes paru pada
ventilator untuk memastikan pengesetan sesuai pedoman standar. Sedangkan
pengesetan awal adalah sebagai berikut:
1. Hubungkan ventilator dengan sumber listrik
2. Hubungkan ventilator dengan sumber oksigen dan udara tekan
3. Isi humidifier dengan aqua steril sampai batas yang ditentukan
4. Pastikan breathing sircuit apakah ada kebocoran dan tes fungsi masing-masing
preset dengan menggunakan testlang
5. Atur mesin sesuai dengan klasifikasi kerja yang dibutuhkan :
- Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%
- Volume Tidal: 4-5 ml/kg BB
- Frekwensi pernafasan: 10-15 kali/menit
- Aliran inspirasi: 40-60 liter/detik
- PEEP (Possitive End Expiratory Pressure) atau tekanan positif akhir
ekspirasi: 0-5 Cm, ini diberikan pada pasien yang mengalami oedema paru
dan untuk mencegah atelektasis. Pengesetan untuk pasien ditentukan oleh
tujuan terapi dan perubahan pengesetan ditentukan oleh respon pasien yang
ditujukkan oleh hasil BGA
6. Alat siap digunakan
13. Kriteria Penyapihan
XXIII. Pasien yang mendapat bantuan ventilasi mekanik dapat dilakukan
penyapihan bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Kapasitas vital 10-15 ml/kg BB
- Volume tidal 4-5 ml/kg BB
- Kekuatan inspirasi 20 cm H2O atau lebih besar
- Frekwensi pernafasan kurang dari 20 kali/menit.
XXIV.
B. FISIOLOGI PERNAPASAN VENTILASI MEKANIK
Napas Spontan
- Diafragma dan otot intercostalis berkontraksi rongga dada mengembang
terjadi tekanan (-) aliran udara masuk ke paru dan berhenti pada akhir
inspirasi
- Fase ekspirasi berjalan secara pasif
XXV.
Pernapasan dengan ventilasi mekanik
- Udara masuk ke dalam paru karena ditiup, sehingga tekanan rongga thorax (+)
- Pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorax paling positif
- Ekspirasi berjalan pasif.
XXVI.
C. EFEK VENTILASI MEKANIK
Pada Kardiovaskuler
- Akibat dari tekanan posistif pada rongga thorax darah yang kembali ke jantung
terhambat venous return menurun maka cardiac out put menurun.
- Darah yang lewat paru juga berkurang karena ada kompresi microvaskuler akibat
tekanan (+) sehingga darah berkurang cardiac out put menurun.
- Bila tekanan terlalu tinggi bisa terjadi ex oksigenasi.
Pada organ Lain
- Akibat cardiac out put menurun perfusi ke organ lainpun akan menurun
seperti, hepar, ginjal, otak dan segala akibatnya.
- Akibat tekanan (+) di rongga thorax darah yang kembali dari otak terhambat
TIK meningkat.
XXVII.
D. TERAPI OXIGEN
XXVIII. Setelah jalan nafas bebas, maka selanjutnya tergantung dari derajat
hipoksia atau hiperkabinya serta keadaan penderita. Pontiopidan memberi batasan
mekanik, oksigenasi dan ventilasi untuk tindakan selanjutnya
XXX. Accapt XXXII. Intuba
XXXI. Fisioterap
able Range si
i Dada, Terapi
(Tidak Tracheost
XXIX. Parameter Oksigen,
Perlu omi
Monitoring
Terapi Ventilasi
Ketat
Khusus) Mekanik.
1. MEKANIK XXXIV. XLIV. LVIII.
- Frekwensi nafas 12 - 25 XLV. 25 - 35 LIX. > 35
- Vital capacity (ml/kg) 70 - 30 XLVI. 30 - 15 LX. < 15
- Inspiratori force, XXXV. XLVII. LXI.
CmH2O XXXVI.100 - XLVIII. 50 - 25 LXII. < 25
2. OKSIGENASI 50 XLIX. LXIII.
- A - aDO2 100% O2 XXXVII. L. LXIV.
mmHg XXXVIII. LI. 200 - LXV. > 350
- PaO2 mmHg 50 - 200 350 LXVI.
XXXIII. XXXIX. LII. LXVII. < 70
3. VENTILASI 100 - 75 LIII. 200 - 70 LXVIII. ( O2
- VD / VT XL. (Air) LIV. ( O2 Mask) Mask )
- PaCO2 XLI. LV. LXIX.
XLII. 0,3 - LVI. 0,4 - 0,6 LXX. 0,6
0,4 LVII. 5 - 60 LXXI. 60
XLIII. 35 -
45
LXXII.
E. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BANTUAN VENTILASI MEKANIK
(VENTILATOR)
I. Pengkajian
LXXIII. Hal-hal yang perlu dikaji pada psien yang mendapat nafas buatan dengan
ventilator adalah:
1. Biodata
LXXIV. Meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, suku, agama, alamt, dll.
LXXV. Pengkajian ini penting dilakukan untuk mengetahui latar belakang status
sosial ekonomi, adat kebudayaan dan keyakinan spritual pasien, sehingga
mempermudah dalam berkomunikasi dan menentukan tindakan keperawatan yang
sesuai.
2. Riwayat penyakit/riwayat keperawatan
LXXVI. Informasi mengenai latar belakang dan riwayat penyakit yang sekarang dapat
diperoleh melalui oranglain (keluarga, tim medis lain) karena kondisi pasien yang
dapat bentuan ventilator tidak mungkin untuk memberikan data secara detail.
Pengkajian ini ditujukan untuk mengetahui kemungkinan penyebab atau faktor
pencetus terjadinya gagal nafas/dipasangnya ventilator.
3. Keluhan
LXXVII. Untuk mengkaji keluhan pasien dalam keadaan sadar baik, bisa
dilakukan dengan cara pasien diberi alat tulis untuk menyampaikan keluhannya.
Keluhan pasien yang perlu dikaji adalah rasa sesak nafas, nafas terasa berat,
kelelahan dan ketidaknyamanan.
LXXVIII. Sistem pernafasan
a. Setting ventilator meliputi:
Mode ventilator
- CR/CMV/IPPV (Controlled Respiration/Controlled Mandatory
Ventilation/Intermitten Positive Pressure Ventilation)
- SIMV (Syncronized Intermitten Mandatory Ventilation)
- ASB/PS (Assisted Spontaneus Breathing/Pressure Suport)
- CPAP (Continous Possitive Air Presure)
FiO2: Prosentase oksigen yang diberikan
PEEP: Positive End Expiratory Pressure
Frekwensi nafas
b. Gerakan nafas apakah sesuai dengan irama ventilator
c. Expansi dada kanan dan kiri apakah simetris atau tidak
d. Suara nafas: adalah ronkhi, whezing, penurunan suara nafas
e. Adakah gerakan cuping hidung dan penggunaan otot bantu tambahan
f. Sekret: jumlah, konsistensi, warna dan bau
g. Humidifier: kehangatan dan batas aqua
h. Tubing/circuit ventilator: adakah kebocoran tertekuk atau terlepas
i. Hasil analisa gas darah terakhir/saturasi oksigen
j. Hasil foto thorax terakhir
LXXIX. Sistem kardiovaskuler
LXXX. Pengkajian kardiovaskuler dilakukan untuk mengetahui adanmya gangguan
hemodinamik yang diakibatkan setting ventilator (PEEP terlalu tinggi) atau
disebabkan karena hipoksia. Pengkajian meliputi tekanan darah, nadi, irama jantung,
perfusi, adakah sianosis dan banyak mengeluarkan keringat.
LXXXI. Sistem neurologi
LXXXII. Pengkajian meliputi tingkat kesadaran, adalah nyeri kepala, rasa
ngantuk, gelisah dan kekacauan mental.
LXXXIII. Sistem urogenital
LXXXIV. Adakah penurunan produksi urine (berkurangnya produksi urine
menunjukkan adanya gangguan perfusi ginjal)
LXXXV. Status cairan dan nutrisi
LXXXVI. Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan
status nutrisi dn cairan akan memperberat keadaan. Seperti cairan yang berlebihan
dan albumin yang rendah akan memperberat oedema paru.
LXXXVII. Status psycososial
LXXXVIII. Pasien yang dirawat di ICU dan dipasang ventilator sering mengalami
depresi mental lyang dimanifestasikan berupa kebingungan, gangguan orientasi,
merasa terisolasi, kecemasan dan ketakutan akan kematian.
LXXXIX.
XC.
XCI.
II. Diagnosa Keperawatan
XCII. Diagnosa keperawatan yang sering terjadi pada pasien yang mendapat
bentuan nafas mekanik/dipasang ventilator diantaranya adalah:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan, proses
penyakitnya
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, pengesetan ventilator
yang tidak tepat, obstruksi selang endotracheal
4. Cemas berhubungan dengan penyakit kritis, takut terhadap kematian
5. Gangguan pemenuhan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang
endotracheal
6. Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas berhubungan dengan pemasangan
selang endotracheal
7. Resiko tinggi terjadinya trauma atau cedera berhubungan dengan ventilasi mekanis,
selang endotracheal, ansietas, stress
8. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan ventilasi mekanis, letak selang
endotracheal
XCIII.
III. Rencana Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehubungan dengan peningkatan produksi
sekret
XCIV. Tujuan: Meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan napas.
XCV.Kriteria hasil:
Bunyi napas terdengar bersih.
Ronchi tidak terdengar.
Tracheal tube bebas sumbatan.
XCVI. Tindakan keperawatan:
XCVII. INTERVENSI
- Auskultasi bunyi napas tiap 2-4 jam dan kalau diperlukan.
- Lakukan pengisapan bila terdengar ronchi dengan cara:
a. jelaskan pada pasien tentang tujuan dari tindakan pengisapan.
b. Berikan oksigen dengan O2 100 % sebelum dilakukan pengisapan,
minimal 4 - 5 X pernapasan.
c. Perhatikan teknik aseptik, gunakan sarung tangan steril, kateter
pengisap steril.
d. Masukan kateter kedalam selang ET dalam keadaan tidak mengisap
(ditekuk), lama pengisapan tidak lebih dari 10 detik.
e. Atur tekanan isap tidak lebih dari 100 - 120 mmHg.
f. Lakukan oksigenasi lagi dengan O2 100 % sebelum melakukan
pengisapan berikutnya.
g. Lakukan pengisapan berulang-ulang sampai suara napas bersih.
- Pertahankan suhu humidifer tetap hangat (35 - 37,8 o C
- Monitor statur hidrasi pasien
- Melakukan fisioterapi napas / dada sesuai indikasi dengan cara
clapping, fibrasi dan pustural drainage.
- Berikan obat mukolitik sesuai indikasi / program.
- Kaji suara napas sebelum dan sesudah melakukan tindakan
pengisapan.
- Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
XCVIII.
2. Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan sekresi tertahan, proses
penyakitnya
XCIX. Tujuan: Pertukaran gas kembali normal.
C. Kriteria hasil:
Hasil analisa gas darah normal yang terdiri dari:
- PH (7,35 - 7,45) - BE (-2 - + 2)
- PO2 (80 - 100 mmHg) - Tidak sianosis
- PCO2 (35 - 45 mmHg)
CI. Tindakan keperawatan:
CII. INTERVENSI
CIII. Cek analisa gas darah setiap 10 - 30 menit setelah perubahan setting
ventilator.
CIV. Monitor hasil analisa gas darah (blood gas) atau oksimeteri selama
periode penyapihan.
CV. Pertahankan jalan napas bebas dari skresi.
CVI. Monitor tanda dan gejala hipoksia
CVII.
CVIII.
3. Ketidak efektifan pola nafas sehubungan dengan kelelahan,
pengesetan ventilator yang tidak tepat, obstruksi selang endotracheal
CIX. Tujuan: Pola napas efektif.
CX. Kriteria hasil:
Napas sesuai dengan irama Volume napas adekuat.
ventilator. Alarm tidak berbunyi.
CXI. Tindakan keperawatan:
CXII. INTERVENSI
CXIII. Lakukan pemeriksaan ventilator tiap 1 - 2 jam.
CXIV. Evaluasi semua alarm dan tentukan penyebabnya.
CXV. Pertahankan alat resusitasi manual (bag & mask) pada posisi
tempat tidur sepanjang waktu.
CXVI. Monitor selang / cubbing ventilator dari terlepas , terlipat, bocor
atau tersumbat.
CXVII. Evaluasi tekanan atau kebocoran balon cuff.
CXVIII. Masukan penahan gigi (pada pemasangat ETT lewat oral)
CXIX. Amankan selang ETT dengan fiksasi yang baik.
CXX. Monitor suara dan pergerakan dada secara teratur.
CXXI.
4. Cemas sehubungan dengan penyakit kritis, takut terhadap kematian
CXXII. Tujuan: Cemas berkurang atau hilang
CXXIII. Kriteria hasil: Mampu mengekspresikan kecemasan, tidak
gelisah, kooperatif.
CXXIV. Tindakan keperawatan:
CXXV. INTERVENSI
CXXVI. Lakukan komunikasi terapiutik.
CXXVII. Dorong pasien agar mampu mengekspresikan
perasaannya.
CXXVIII. Berikan sentuhan kasih sayang.
CXXIX. Berikan support mental.
CXXX. Berikan kesempatan pada keluarga dan orang-orang yang dekat
dengan klien untuk mengunjungi pada saat-saat tertentu.
CXXXI. Berikan informasi realistis pada tingkat pemahaman klien.
CXXXII.
CXXXIII.
5. Gangguan pemenuhan komunikasi verbal sehubungan dengan
pemasangan selang endotracheal
CXXXIV. Tujuan: Mempertahankan komunikasi
CXXXV. Kriteria hasil: Klien dapat berkomunikasi dgn
menggunakan metode alternatif.
CXXXVI. Tindakan keperawatan:
CXXXVII. INTERVENSI
CXXXVIII. Berikan papan, kertas dan pensil, gambar untuk komunikasi,
ajukan pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak.
CXXXIX. Yakinkan klien bahwa suara akan kembali bila ETT dilepas.
CXL.
6. Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas sehubungan dengan
pemasangan selang endotracheal
CXLI. Tujuan: Tidak terjadi infeksi saluran napas s/d
pemasangan selang ETT / ventilator
CXLII. Kriteria hasil:
Suhu tubuh normal (36 - 37,5 C)
Warna sputum jernih.
Kultur sputum negatif.
CXLIII. Tindakan keperawatan:
CXLIV. INTERVENSI
CXLV. Evaluasi warna, jumlah, konsistensi dan bauh sputum setiap kali
pengisapan.
CXLVI. Lakukan pemeriksaan kultur sputum dan test sensitifitas sesuai
indikasi.
CXLVII. Pertahanakan teknik aseptik pada saat melakukan
pengisapan (succion)
CXLVIII. Jaga kebersihan bag & mask.
CXLIX. Lakukan pembersihan mulut, hidung dan rongga faring setiap shitf.
CL. Ganti selang / tubing ventilator 24 - 72 jam.
CLI. Monitor tanda-tanda vital yang menunjukan adanya infeksi.
CLII. Berikan antibiotika sesuai program dokter.
CLIII.
7. Resiko tinggi terjadinya trauma atau cedera sehubungan dengan
ventilasi mekanis, selang endotracheal, ansietas, stress
CLIV. Tujuan: Bebas dari cedera selama ventilasi mekanik.
CLV. Kriteria hasil:
Tidak terjadi iritasi pada hidung maupun jalan napas.
Tidak terjadi barotrauma.
CLVI. Tindakan keperawatan:
CLVII. INTERVENSI
CLVIII. Monitor ventilator terhadap peningkatan secara tajam.
CLIX. Yakinkan napas pasien sesuai dengan irama ventilator
CLX. Mencegah terjadinya fighting kalau perlu kolaborasi dengan dokter
untuk memberi sedasi.
CLXI. Observasi tanda dan gejala barotrauma.
CLXII. Lakukan pengisapan lendir dengan hati-hati dan gunakan kateter
succion yang lunak dan ujungnya tidak tajam.
CLXIII. Lakukan restrain / fiksasi bila pasien gelisah.
CLXIV. Atur posisi selang / tubing ventilator dengan cepat.
CLXV.
8. Gangguan rasa nyaman sehubungan dengan ventilasi mekanis, letak
selang endotracheal
CLXVI. Tujuan: Merasa nyaman selama dipasang ventilator.
CLXVII. Kriteria hasil:
Klien tidak gelisah.
Klien dapat istirahat dan tidur dengan tenang.
CLXVIII. Tindakan keperawatan:
CLXIX. INTERVENSI
CLXX. Atur posisi selang ETT dan Tubing ventilator.
CLXXI. Atur sensitivitas ventilator.
CLXXII. Atur posisi tidur dengan menaikkan bagian kepala tempat
tidur, kecuali ada kontra indikasi.
CLXXIII. Kalau perlu kolaborasi dengan kokter untuk memberi
analgesik dan sedasi.
CLXXIV.
CLXXV.
CLXXVI.
CLXXVII.
CLXXVIII.
CLXXIX.
CLXXX.
CLXXXI.
CLXXXII. DAFTAR PUSTAKA
CLXXXIII.
1. Brunner &Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 2.
Jakarta: EGC.
2. Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
3. Harrison. 1995. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Simon, G. 1981. Diagnostik Rontgen untuk Mahasiswa Klinik dan Dokter Umum.
Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga.
5. Smeltzer C.S & Bare B.(2003). Brunner & Suddarths Textbook of Medical
Surgical Nursing. 10th Edition. Philadelphia: Lippincott.
6. AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and
Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016.
7. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary Edema.
N Engl J Med 2008;359:142-51.
8. Daulat. Tatalaksana Gagal Jantung Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1515-1519.
9. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96.
10. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis
VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.
11. McCance KL. 2006. Structure and Function of The Cardiovascular and
Lymphatic Systems. In: McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The
Biologic Basis for Disease in Adults and Children. USA: Elsevier Mosby; p.
1075.
12. Ursella et al. The Use of Non-Invasive Ventilation in The Treatment of Acute
Cardiogenic Pulmonary Edema. European Review for Medical and
Pharmacological Sciences. 2007; 11: 193-205.
13. Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines in
the Management of acute decompensated heart failure. [monograph on the
internet]. California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting; 2006 [cited 2015 Okt
4]. Available from www.ashpadvantage.com/website_
images/pdf/adhf_scios_06.pdf.
14. Lindenfeld J. Evaluation and Management of Patients with Acute
Decompensated Heart Failure. Journal of Cardiac Failure [serial on the
internet]. 2010 Jun [cited 2015 Okt 4]; 16 (6): [about 23 p]. Available from
http://www.heartfailureguideline.org/_assets/document/2010_heart_failure_g
uideline_sec_12.pdf.
15. Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et
al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2008. European Journal of Heart Failure [serial on the internet].
2008 Aug [cited 2015 Okt 4]. Available from
http://eurjhf.oxfordjournals.org/content/10/10/933.full.pdf#page=1&view=FitH.
16. McBride BF, White M. Acute Decompensated Heart Failure: Pathophysiology.
Journal of Medicine [serial on the internet]. 2010 [cited 2015 Okt 4].
Available from http://www.medscape.com/viewarticle/459179_3
17. Hollander JE. Current Diagnosis of Patients With Acute Decompensated
Heart Failure. [monograph on the internet]. Philadelphia : Departement of
Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2001 [cited 2015 Okt 4].
Available from www.emcreg.org.
18. Tallaj JA, Bourge RC. The Management of Acute Decompensated Heart
Failure. [monograph on the internet]. Birmingham : University of Alabama;
2003 [cited 2015 Okt 4]. Available from
http://www.fac.org.ar/tcvc/llave/c038/bourge.PDF
19.Kirk JD. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel Approaches To
Cclassification Aand Treatment. [monograph on the internet]. Philadelphia :
Departement of Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2004 [cited
2015 Okt 4]. Available from www.emcreg.org.

Вам также может понравиться