Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TUJUAN
1. Mampu menjelaskan tujuan pemeriksaan obstetriluar
2. Mampu melakukan pemeriksaan obstetriluar (leopoldmanuver)
3. Mampu menjelaskan hasil pemeriksaan dan rencana lanjutan asuhan antenatal
PRIOR KNOWLEDGE/SKILL
1. Mengetahui perubahan anatomi dan fisiologi wanita hamil
2. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan janin sesuai dengan usia kehamilan
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
2. Meminta persetujuan pemeriksaan pada pasien
3. Persiapkan alat dan bahan.
a. Meja periksa ginekologi
b. Model Panggul Zoe
c. Selimut/kainpenutup
d. Stetoskopmonoaural/laenecatau Doppler
4. Minta pasien berbaring terlentang di meja periksa dengan meletakkan kedua telapak
kaki pada ranjang sehingga terjadi sedikit fleksi pada sendi paha (coxae) dan lutut
(genu), untuk mengurangi ketegangan dinding perut. Tutup paha & kaki ibu dengan
kain yang telah disediakan.
5. Cuci tangan sebelum pemeriksaan.
6. Lakukan Palpasi abdomen, menggunakan maneuver leopold I IV
a. Leopold I: Menentukan tinggi fundus uteri dan menentukan bagian janin yang
terletak di fundus uteri (dilakukan sejak awal trimester I)
1. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien dan menghadap ke kepala pasien
2. Letak kansisi lateral telunjuk kiri pada puncak fundus uteri untuk menentukan
tinggi fundus. Perhatikan agar jari tersebut tidak mendorong uterus kebawah
(jika diperlukan, fiksasi uterus bawah dengan meletakkan ibu jari dan telunjuk
tangan kanan dibagian lateral depan kanan dan kiri, setinggi tepi atas simfisis).
Angkat jari telunjuk kiri (dan jari-jari yang memfiksasi uterus bawah) kemudian
atur posisi pemeriksa sehingga menghadap kebagian kepala
3. Letakkan ujung telapak tangan kiri dan kanan pada fundus uteri dan rasakan
bagian bayi yang ada pada bagian tersebut dengan jalan menekan secara
lembut dan menggeser telapak tangan kiri dan kanan secara bergantian.
4. Pada usia kehamilan diatas 24 minggu dapat digunakan meteran untuk
menentukan usia kehamilan berdasarkan TFU dalam cm dan taksiran berat
badan janin dengan menghitung TFU x Lingkar perut dalam cm. Caranya
letakkan alat pengukur meteran diatas sympisisossis pubis sampai setinggi
fundus uteri, kemudian ukur lingkaran perut melalui umbilicus. Dari hasil
perkalian akan didapatkan TBJ dalam gram
b. Leopold II: Menentukan bagian janin pada sisi kiri dan kanan ibu (dilakukan mulai
akhir trimester II)
1. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan ibu dan menghadap ke kepala pasien
2. Letakkan telapak tangan kiri pada dinding perut lateral kanan dan telapak
tangan kanan pada dinding perut lateral kiri ibu secara sejajar dan pada
ketinggian yang sama.
3. Mulai dari bagian atas, tekan secara bergantian atau bersamaan (simultan)
telapak tangan kiri dan kanan, kemudian geser kearah bawah dan rasakan
adanya bagian yang rata dan memanjang (punggung) atau bagian-bagian kecil
(eksteremitas).
c. Leopold III: Menentukan bagian janin yang terletak di bawah uterus (dilakukan
akhir trimester III)
1. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan ibu dan menghadap ke kaki pasien
2. Letakkan ujung telapak tangan kiri pada dinding lateral kiri bawah, telapak
tangan kanan pada dinding lateral kanan bawah perut ibu.
3. Tekan secara lembut dan bersamaan/bergantian untuk menentukan bagian
terbawah bayi (bagian keras, bulat dan hamper homogen, adalah kepala
sedangkan tonjolan yang lunak dan kurang simetris, adalah bokong).
d. Leopod IV: Menentukan berapa jauh masuknya janin kepintu atas panggul
(dilakukan bila usia kehamilan > 36 minggu)
1. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan ibu dan menghadap ke kaki pasien
2. Letakkan ujung telapak tangan kiri dan kanan pada lateral kiri dan kanan
uterus bawah, ujung-ujung jari tangan kiri dan kanan berada pada tepi atas
simfisis.
3. Temukan kedua ibu jari kiri dan kanan, kemudian rapatkan semua jari-jari
tangan yang meraba dinding bawah uterus. Perhatikan sudut yang dibentuk
oleh jari-jari kiri dan kanan (konvergen atau divergen)
4. Setelah itu, pindahkan ibu jari dan telunjuk tangan kiri pada bagian terbawah
bayi (bila presentasi kepala, upayakan memegang bagian kepala di dekat leher
dan bila presentasi bokong, upayakan untuk memegang pinggang bayi).
5. Fiksasikan bagian tersebut kearah pintu atas panggul kemudian letakkan jari-
jari tangan kanan di antara tangan kiri dan simfisis untuk menilai seberapa jauh
bagian terbawah telah memasuki pintu atas panggul.
7. Lakukan auskultasi denyut jantung janin menggunakan fetoskop atau Doppler,
didengarkan frekuensi dan regularitasnya selama 60 detik (jika usia kehamilan > 16
minggu). Tempelkan telinga kiri pemeriksa dan dengarkan bunyi jantung bayi
(pindahkan titik dengar apabila pada titik pertama, bunyi jantung tersebut kurang
jelas, upayakan untuk mendapatkan punctum maksimum). Apabila dinding perut
cukup tebal sehingga sulit untuk mendengarkan bunyi jantung bayi, pindahkan ujung
stetoskop pada dinding perut yang relatif tipis yaitu sekitar 3 sentimeter di bawah
pusat (sub-umbilikus).
8. Beritahukan bahwa prosedur pemeriksaan telah selesai, angkat kain penutup dan
rapikan kembali pakaian ibu.
9. Letakkan semua peralatan yang telah digunakan pada tempat semula dan pemeriksa
mencuci tangan.
10. Jelaskan hasil pemeriksaan, Lakukan pemeriksaan tambahan bila diperlukan
(laboratorium dan USG) dan catat dalam rekam medik
11. Jelaskan tentang rencana asuhan antenatal berkaitan dengan hasil temuan tersebut.
Variasi Ketrampilan:
Pemeriksaan Leopold 3 pemeriksa menghadap ke kaki pasien.
Variasi Leopold 3 posisi pemeriksa dapat juga menghadap kearah kepala pasien dengan
cara pemeriksaan sebagai berikut: pemeriksa hanya menggunakan tangan kanan saja
dengan menggerak-gerakkan bagian terendah janin dan menentukan apa yang menjadi
bagian terendah janin (menentukan kepala atau bokong)
Contoh Kasus:
Seorang perempuan, G3P2A0, usia 30 tahun dating kepuskesmas pada tanggal 10
Oktober 2015 untuk memeriksakan kehamilannya. Dari anamnesis diketahui hari
pertama haid terakhir 1 Februari 2015 dan saat ini tidak ada keluhan, riwayat kehamilan
dan persalinan sebelumnya semua normal.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: KementerianKesehatan RI. 2013.
2. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Penerbit JNPKKR-POGI-Yayasan Bina PustakaSarwono, 2006.
BAB V. Sistem Saraf
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Melakukan penilaian kaku kuduk
2. Melakukan pemeriksaan Lasegue
3. Melakukan pemeriksaan Kernig
4. Melakukan pemeriksaan Brudzinski I(Tanda leher menurut Brudzinski)
5. Melakukan pemeriksaan Brudzinski II(Tanda tungkai kontralateral menurut Brudzinski/
Tanda tungkai kontralateral resiprokal menurut Brudzinski)
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan (Setting klinik standar)
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3. Cuci tangan dahulu.
4. Pemeriksaan kaku kuduk.
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal kepala.
b. Pemeriksa berdiri di sebelah kiri(kanan?) pasien.
c. Tangan kiri pemeriksa ditempatkan dibelakang kepala pasien.
d. Tempatkan tangan kanan pemeriksa pada sternum pasien, untuk memfiksasi
tubuh pasien.
e. Dengan hati-hati, putar kepala pasien ke kanan dan kiri.
f. Selanjutnya, dengan hati-hati, fleksikan kepala pasien sehingga dagu pasien
menyentuh dada.
g. Nilai adakah nyeri atau tahanan pada leher saat pemeriksaan ini dilakukan.
5. Pemeriksaan lasegue (usul untuk dihapusdari pemeriksaan Tanda Rangsang
Meningeal, dimasukkan ke dalam pemeriksaaan sindroma nyeri)
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal kepala dengan kedua
tungkai diekstensikan (lurus).
b. Pemeriksa mengangkat salah satu kaki tungkai dengan fleksi pada sendi
panggul.
c. Nilai adanya tahanan atau rasa nyeri.
d. Lakukan pemeriksaan pada tungkai lainnya dan bandingkan hasilnya.
6. Pemeriksaan kernig
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal kepala dengan kedua
tungkai diekstensikan (lurus).
b. Pemeriksa memfleksikan tungkai atas pada sendi panggul dan lutut sehingga
membentuk sudut 90 derajat.
c. Kemudian tungkai bawah diekstensikan.
d. Nilai adanya tahanan maupun rasa nyeri.
e. Lakukan pemeriksaan pada tungkai lainnya dan bandingkan hasilnya.
7. Tanda Brudzinski I(tanda leher menurut Brudzinski)
a. Sebelum melakukan prosedur pemeriksaan kaku kuduk pastikan kedua tungkai
dalam posisi ekstensi.
b. Pada saat melakukan pemeriksaan kaku kuduk nilai adakah fleksi pada kedua
tungkai
8. Tanda Brudzinski atau tanda tungkai kontralateral resiprokal. Adapun tahapan
pemeriksaannya adalah sebagai berikut:
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal dengan kedua
tungkai diekstensikan
b. Tungkai difleksikan pada sendi panggul dan lutut dengan tungkai lainnya dalam
keadaan ekstensi
c. Nilai tungkai lainnya apakah terjadi fleksi
d. Dalam kondisi fleksi, tungkai tersebut diturunkan.
e. Nilai tungkai yang lain, adakah fleksi yang terjadi
9. Tanda tungkai kontralateral menurut Brudzinski. Adapun tahapan pemeriksaannya
adalah sebagai berikut
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal kepala dengan kedua
tungkai lurus/ekstensi
b. Tungkai atas difleksikan pada sendi panggul dengan lutut dalam keadaan
ekstensi (versi a), atau tungkai atas difleksikan pada sendi panggul kemudian
tungkai bawah diekstensikan (versi b)
c. Nilai tungkai lainnya, adakah fleksi yang terjadi.
d. Lakukan pemeriksaan pada tungkai lainnya dan bandingkan hasilnya.
3. Pemeriksaan Kernig
Pada saat tungkai bawah diekstensikan, normalnya tungkai dapat mencapai sudut 135
derajat dari tungkai atas sebelum terdapat tahanan atau rasa sakit. Bila tahanan atau
rasa sakit ini timbul sebelum mencapai sudut tersebut, maka dikatakan kernig positif.
Lasegue positif dapat ditemukan pada rangsang selaput otak, isialgia dan iritasi
pleksus lumbosakral.
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates Guide to Physical Examination and History Taking, 10th
edition. Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Neurology Examination. 2009.
3. Campbell, WW. DeJongs Neurological Examination 6th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, 2005.
4. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Dian Rakyat, 1995.
5. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta. Balai penerbit
FKUI. 2008. p18-20.
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan prosedurnya.
3. Pastikan pasien tidak mengalami sistem penghidu (contoh pilek)
4. Memeriksa N.I: olfaktorius.
a. Pemeriksaan ini dapat dilakukan saat pasien dalam posisi duduk atau berbaring
(sesuai kondisi klinis)
b. Minta pasien untuk menutup kedua matanya dan menutup salah satu lubang
hidung. Pemeriksaan dilakukan dari lubang hidung sebelah kanan.
c. Dekatkan beberapa benda di bawah lubang hidung yang terbuka, seperti kopi,
teh, dan sabun satu per satu.
d. Tanyakan kepada pasien apakah ia menghidu sesuatu, bila ya, tanyakan jenisnya.
Pemeriksa juga dapat memberikan pilihan jawaban bila pasien merasa menhidu
sesuatu namun tidak dapat mengenalinya secara spontan, seperti, Apakah ini
kopi, atau teh?
e. Kemudian lakukan prosedur yang sama pada lubang hidung yang lain.
16. Penilaian indra pendengaran: lateralisasi, konduksi udara dan tulang (N. VIII)lihat
BAB INDERA: Tes Pendengaran
Gambaran funduskopi
normal
Warna kuning-
orange
Pembuluh darah
sedikit pada disc
Batas disc tegas
Atrofi optic
Warna putih
Tidak terdapat
pembuluh darah
pada disc
Papiledema
Warna pink,
hiperemis
Pembuluh darah
disc lebih terlihat
dan banyak
Disc sembab
Coupping pada glaucoma
Cup membesar,
warna pucat
Strabismus konvergen
(esotropia)
Strabismus divergen
(eksotropia)
Paralisis N VI kiri
7. Reaksi konvergensi
Pada tes konvergensi normalnya pupil mengecil (miosis).
8. Refleks kornea
Pada pemeriksaan ini reaksi normal yang ditimbulkan adalah refleks berkedip. Refleks
ini menghilang ada kerusakan atau lesi N V. Lesi pada n VII juga dapat menyebabkan
gangguan pada refleks ini.
9. Penilaian otot temporal dan masseter
Kelemahan atau hilangnya kontraksi otot temporal dan masseter pada salah satu sisi
dapat menunjukkan adanya lesi N V. Adanya kelemahan bilateral disebabkan oleh
gangguan perifer atau sentral. Pada pasien yang tidak memiliki gigi, hasil
pemeriksaan ini mungkin sulit dinilai.
10. Kesimetrisan otot wajah
1
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
Lipatan nasolabial yang mendatar dan kelopak mata yang jatuh kebawah
menandakan adanya kelemahan fasial. Cedera perifer n VII, seperti pada Bells palsy,
mempengaruhi otot wajah atas dan bawah sisi ipsilateral, sedangkan lesi sentral
hanya mempengaruhi otot wajah bagian bawah. Pada paralisis wajah unilateal, sudut
mulut sisi yang paralisis jatuh ke bawah saat pasien tersenyum atau meringis.
11. Penilaian sensasi wajah
Penurunan atau kehilangan sensasi wajah unilateral menunjukkan adanya lesi N V
atau jalur interkoneksi sensoris yang lebih tinggi.
12. Pemeriksaan nistagmus
Nistagmus dapat menunjukkan adanya gangguan vestibular ataupun kelaianan
sentral. Pada kelaianan nistagmus yang perlu dinilai antara lain:
a. Arah komponen cepat dan komponen lambat
b. Gerakan nistagmus
- Vertikal
- Horizontal
- Rotatoar
c. Arah pandangan dimana nistagmus muncul
13. Inspeksi palatum
Palatum tidak dapat naik pada lesi bilateral dari nervus vagus. Pada kelumpuhan
unilateral, satu sisi palatum tidak dapat terangkat dan bersama-sama uvula tertarik
ke arah sisi yang normal.
14. Penilaian otot sternomastoid dan trapezius
Kelemahan yang disertai atrofi dan fasikulasi menunjukkan adanya gangguan saraf
perifer. Saat m.trapezius mengalami paralisis, bahu terkulai dan skapula terjatuh
kebawah dan lateral.
Pada pasien dengan posisi berbaring yang mengalami kelemahan otot
strenokleidomastoideus bilateral akan mengalami kesulitan mengangkat kepalanya
dari bantal.
15. Pemeriksaan lidah
Pada pasien dengan paralisis N XII, inspeksi saat di dalam rongga mulut, dapat
terlihat lidah terdorong ke sisi yang sakit dan saat lidah dijulurkan, maka akan
terdorong ke sisi yang sehat. Interpretasi hasil perlu disebutkan apakah paralisis
terjadi sentral atau perifer.
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary Examination. 2009.
Teknik Pemeriksaan
1. Persiapkan alat yang dibutuhkan
2. Menilai Refleks tendon (bisep, trisep, pergelangan, patella, tumit):
Tendon bisceps (posisi pasien duduk)
a. Apabila pemeriksa tidak kidal, pegang siku pasien dengan tangan kiri.
b. Lengan bawah pasien harus rileks berada diatas lengan bawah pemeriksa.
c. Jempol kiri pemeriksa harus berada diatas tendon biscep di lipat siku pasien.
d. Ketuk jempol anda dengan palu refleks.
e. Nilai adanya kontraksi pada otot bisceps dan pergerakan lengan bawah,
bandingkan kanan dan kiri.
Tendon biceps (posisi pasien berbaring)
a. Fleksikan lengan dan letakkan lengan bawah di atas abdomen.
b. Pastikan otot biscep dalam keadaan rileks dengan menggerakkan siku secara
pasif.
c. Tempatkan jempol atau telunjuk kiri pemeriksa pada tendon bisceps di lipat siku
pasien sebagai pemandu lokasi tendon otot biceps.
d. Ketuk jari pemandu dengan palu refleks.
f. Nilai adanya fleksi lengan bawah dan kontraksi pada otot bisceps, bandingkan
kanan dan kiri.
3. Refleks abdominal
a. Pasien berbaring dalam keadaan rileks.
b. Goreskan ujung lancip palu refleks dengan arah dari tepi ke umbilikus di enam
regio abdomen (epigastrik, mesogastrik, hipogastrik, kanan dan kiri)
c. Nilai adanya pergerakan umbilikus yang disebabkan oleh adanya kontraksi otot
abomen.
4. Refleks kremaster
a. Pasien berbaring diatas meja periksa
b. Goreskan ujung lanciip palu refleks didaerah paha dalam dengan arah dari distal
ke proksimal.
c. Nilai bila terlihat testis terangkat, bandingkan kanan dan kiri.
5. Refleks anal
a. Pasien berbaring dengan posisi litotomi.
b. Dengan perlahan, goreskan ujung lancip palu refleks di sekitar anus dengan
gerakkan melingkar.
c. Nilai adanya kontraksi dari muskulus sfingter ani eksternal.
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination. 2009.
5. Pemeriksaan Refleks Patologis
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan:
Melakukan pemeriksaan
1. Hofmann tromner
2. Babinski
3. Oppenheim
4. Chaddock
5. Gordon
6. Schaefer
7. Gonda
Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3. Mencuci tangan.
4. Refleks Hoffman tromner
a. Minta pasien untuk melakukan hiperekstensi di pergelangan tangannya, kemudian
ujung jari tengah disentil (snapped)
b. Lihat gerakan jari lainnya, hasil positif adalah bila jari-jari fleksi dan ibu jari
adduksi
5. Kemudian, minta pasien berbaring di meja periksadengan kedua tungkai diluruskan.
6. Refleks babinski
a. Pemeriksa memegang pergelangan kaki untuk memfiksasi kaki pasien.
b. Gunakan ujung tajam palu refleks untuk menggores telapak kaki bagian lateral,
mulai tumit menuju pangkal jempol kaki.
c. Goresan dilakukan secara perlahan dan tidak sampai mengakibatkan rasa nyeri.
d. Lakukan prosedur pemeriksaan ini pada kaki lainnya dan bandingkan hasilnya.
7. Refleks Chaddock
Rangsangan diberikan dengan cara menggoreskan ujung runcing palu refleks di
bagian lateral maleolus.
Gambar 22. Refleks Chaddock
8. Refleks Oppenheim
Rangsangan diberikan dengan mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis anterior
dari arah proksimal ke distal.
9. Refleks Gordon
Rangsangan diberikan dengan mencubit otot gastroknemius.
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates Guide to Physical Examination and History Taking, 10th
edition. Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Neurology Examination. 2009
3. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta. Balai penerbit
FKUI. 2008. p46-47.
6. Pemeriksaan Sistem Sensorik (Eksteroseptif dan
Proprioseptif)
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan:
menilai fungsi sistem sensorik.
Teknik Pemeriksaan
Disusun berdasar dermatom, mulai dari C3 untuk rangsang nyeri, raba halus dan suhu
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan prosedurnya.
3. Penilaian sensasi nyeri:
a. Biarkan pasien merasakan perbedaan rangsangan saat pemeriksa menekan ujung
runcing tusuk gigi dan ujung tumpul cotton bud pada area dimana pemeriksa
yakin tidak terdapat defisit sensorik.
b. Minta pasien menutup mata.
c. Kemudian lakukan prosedur ini di beberapa tempat dengan menekankan ujung
tajam tusuk gigi dan ujung tumpul cotton bud secara bergantian dan acak.
Tanyakan kepada pasien setiap pemeriksa menekankan salah satu benda diatas,
apakah pasien merasakan tajam atau tumpul.
d. Apabila terdapat gangguan membedakan sensasi tajam dan tumpul, gunakan
istilah hipalgesia atau analgesia dan catat bagian tubuh yang mengalami
gangguan.
4. Penilaian sensasi suhu:
a. Pada pemeriksaan ini, siapkan dua buah tabung reaksi yang berisi air dingin dan
air panas.
b. Biarkan pasien merasakan perbedaan rangsangan suhu yang diberikan pada area
dimana pemeriksa yakin tidak terdapat defisit sensorik.
c. Minta pasien menutup mata.
d. Sentuhkan rangsangan panas dan dingin di beberapa area pada tubuh pasien,
tanyakan apa yang pasien rasakan setiap kali memberikan rangsangan.
e. Catat bagian tubuh mana saja yang mengalami gangguan dalam membedakan
rangsangan suhu.
5. Penilaian sesasi raba halus:
a. Untuk pemeriksaan ini, gunakan ujung cotton bud.
b. Minta pasien untuk menutup mata.
c. Selalu sentuh pasien dengan sentuhan ringan, jangan di tekan.
d. Minta pasien mengatakan ya setiap kali pasien merasakan kontak.
e. Minta pasien untuk menyebutkan bila pasien merasakan sensasi yang berbeda
saat disentuh.
f. Catat bagian tubuh mana saja yang mengalami gangguan dalam membedakan
rangsangan suhu.
6. Penilaian rasa posisi (propioseptif):
a. Minta pasien menutup mata.
b. Pegang jempol kaku pasien diantara jempol dan jari telunjuk pemeriksa.
c. Pastikan bahwa pemeriksa tidak menyentuh jari pasien yang lainnya.
d. Gerakkan jempol kaki pasien dan tanyakan bila pasien merasakan gerakan
tersebut dan menyebutkan arahnya.
e. Lakukan juga prosedur ini pada ekstremitas atas.
f. Lakukan pula pemeriksaan getar dan posisi dua tempat (two point discrimination).
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Dengan menandai area yang mengalami defisit neurologis, pemeriksa dapat
mengetahui adanya kelainan mononeuropathy, polineuropathy, lesi saraf tepi
maupun lesi pada saraf sentral.
2. Penilaian sensasi nyeri dan suhu merupakan penilaian fungsi sensoris
spinothalamikus sehingga kelainan pada pemeriksaan ini merupakan tanda adanya
gangguan pada fungsi sensoris spinothalamiskus.
3. Penilaian sensasi raba dan posisi (propioseptif) merupakan penilaian fungsi sensoris
kolumna dorsalis sehingga kelainan pada pemeriksaan ini merupakan tanda adanya
gangguan pada fungsi sensoris kolumna dorsalis.
4. Kondisi yang melibatkan korda spinalis dapat menyebabkan gangguan pada salah
satu fungsi tersebut, misanya fungsi sensoris spinothalamikus yang intak namun ada
defisit dari fungsi sensoris kolumna dorsalis.
5. Berdasarkan lokasi gangguan fungsi sensoris, pemeriksa dapat memperkirakan
kemungkinan letak lesi.
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination. 2009.
7. Pemeriksaan Sistem Motorik
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Menilai postur dan habitus (lihat Bab III General Survey).
2. Menilai adanya gerakan involunter.
3. Menilai tonus otot.
4. Menilai kekuatan otot.
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
4. Inspeksi:
1. Minta pasien berdiri dengan santai.
2. Nilai postur tubuh pasien dan kontur otot. Amati tanda-tanda adanya hipertrofi
maupun atrofi otot.
3. Nilai adanya gerakan involunter seperti tremor, fasikulasi dan gerakan koreiform.
5. Penilaian tonus otot:
a. Persiapkan pasien dalam posisi berbaring, se-rileks mungkin.
b. Pegang lengan pasien dengan menempatkan tangan pemeriksa disekitar
pergelangan tangan pasien (hanya di sendi siku dan lutut;sendi-sendi besar). Siku
dalam keadaan menempel pada meja periksa.
c. Tempatkan jari-jari pemeriksa pada tendon biceps.
d. Fleksi dan ekstensikan sendi siku beberapa kali.
e. Nilai tonus otot-otot lengan atas pasien dan bandingkan kanan dan kiri.
f. Nilai juga tonus otot-otot tungkai atas dengan fleksi dan ekstensi secara pasif
sendi panggul dan lutut.
6. Penilaian kekuatan otot:
a. Untuk menilai kekuatan otot, pasien harus mengkontraksikan ototnya secara
maksimal.
b. Coba untuk membuat tahanan terhadap otot yang diperiksa dengan
menggunakan tangan pemeriksa.
c. Saat menilai kekuatan otot pasien, coba untuk membuat perbandingan dengan
kekuatan pemeriksa.
a. Buat penilaian semi kuantitatif berdasarkan skala 0-5.
Ekstremitas atas
M. serratus anterior
a. Pasien berdiri dengan kedua tangan diregangkan dan disandarkan pada dinding.
Tinggi tangan yang menempel pada dinding kurang lebih sejajar dengan bahu.
b. Minta pasien mendorong tembok. Nilai kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. deltoideus
a. Minta pasien untuk mengekstensikan kedua lengannya ke arah samping dan minta ia
untuk mempertahankan posisi tersebut.
b. Pemeriksa mencoba menekan kedua lengan pasien ke bawah dan nilai kekuatan
ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. biceps brachii
a. Minta pasien memfleksikan sendi sikunya dengan maksimal ke arah bahu, dengan
posisi supinasi lengan bawah.
b. Pemeriksa mencoba meluruskan lengan pasien dan nilai kekuatan ototnya,
bandingkan kanan dan kiri.
M. triceps brachii
a. Minta pasien mengekstensikan maksimal lengannya pada sendi siku.
b. Pemeriksa mencoba menekuk lengan pasien pada sendi siku, nilai kekuatan ototnya,
bandingkan kanan dan kiri.
M. opponens pollicis
a. Minta pasien untuk menautkan ujung jempol dan ujung kelingkingnya sehingga
membentuk lingkaran.
b. Pemeriksa mencoba melepaskan lingkaran tersebut dengan jarinya, nilai kekuatan
ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
Muskulus-muskulus interoseus
a. Minta pasien untuk mengekstensikan seluruh jarinya dan regangkan.
b. Pemeriksa melakukan hal yang sama dan menempatkan jari-jarinya diantara jari-jari
pasien.
c. Minta pasien untuk merapatkan jari-jarinya sekuatnya.
d. Nilai kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
Ekstremitas bawah
M. gluteus medius dan m. gluteus minimus
a. Minta pasien untuk berdiri tegak.
b. Amati apakah tubuh bagian atas pasien terlihat membungkuk.
c. Amati apakah pasien dapat mempertahankan pelvis pada posisi sejajar garis
horizontal.
M. iliopsoas
a. Minta pasien berbaring di meja periksa dengan posisi sendi panggul fleksi maksimal.
b. Pemeriksa mencoba meluruskan sendi panggul pasien dan nilai kekuatan ototnya,
bandingkan kanan dan kiri.
M. quadricep
a. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien.
b. Tempatkan tangan kanan pemeriksa pada pergelangan kaki kanan pasien yang
sedang dalam posisi lurus, angkat sedikit kaki pasien.
c. Letakkan tangan kiri pemeriksa dibawah kaki kanan pasien tepat melewati bawah
lutut dan pegang lutut kaki kiri pasien.
d. Tangan kanan pemeriksa mencoba untuk menekuk sendi lutut kanan pasien dan nilai
kekuatan ototnya.
e. Lakukan prosedur yang sama untuk kaki sebelah kiri dan bandingkan kekuatannya.
M. femoral adductor
a. Pasien berbaring dengan posisi fleksi pada sendi panggul dan lutut. Rapatkan kedua
lutut.
b. Pemeriksa mencoba memisahkan kedua lutut pasien dan nilai kekuatan ototnya,
bandingkan kanan dan kiri.
M. hamstrings
a. Pasien berbaring dengan posisi fleksi pada sendi panggul dan fleksi maksimal pada
sendi lutut sehingga tumit pasien menyentuh paha atas.
b. Pemeriksa mencoba mengekstensikan sendi lutut pasien dan nilai kekuatannya,
bandingkan kanan dan kiri.
M. gastrocnemius
a. Pasien berbaring dengan posisi kedua tungkai ekstensi. Minta pasien untuk
meluruskan telapak kakinya seperti menginjak rem (plantar fleksi).
b. Pemeriksa mencoba mendorong kaki pasien mendekati tubuh dan nilai kekuatannya,
bandingkan kanan dan kiri.
M. peroneal
a. Tangan pemeriksa diletakkan di sisi luar kaki pasien sejajar jari kelingking.
b. Minta pasien mendorong tangan pemeriksa sekuatnya dan nilai kekuatan ototnya,
bandingkan kanan dan kiri.
2. Gerakan involunter:
a. Fasikulasi merupakan kontraksi otot yang tidak beraturan. Kadaan ini dapat
mengindikasikan adanya lesi motor neuron (contohnya polimielitis, amyotrophic
lateral sclerosis) namun dapat juga tidak memiliki makna patologis.
b. Tremor merupakan gerakan involunter yang relatif berirama, yang kurang lebih
dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
- Resting (Static) Tremors
Tremor ini paling mencolok saat istirahat dan dapat berkurang atau
menghilang dengan adanya pergerakan.
- Postural Tremors
Tremor ini terlihat saat bagian yang terkena aktif menjaga postur. Contohnya
tremor pada hipertiroid dan tremor pada kecemasan atau kelelahan. Tremor ini
dapat memburuk bila bagian yang terkena disengaja untuk mempertahankan
suatu postur tertentu.
- Intention Tremors
Merupakan tremor yang hilang saat istirahat dan timbul saat aktivitas dan
semakin memburuk bila target yang akan disentuh semakin dekat.
Penyebabnya antara lain gangguan jaras serebelar seperti pada multiple
sclerosis.
c. Tick
Tics merupakan gerakan yang singkat, berulang, stereotip, gerakan terkoordinasi
yang terjadi pada interval yang tidak teratur. Contohnya termasuk berulang
mengedip, meringis, danmengangkat bahu bahu. Penyebab termasuk sindrom
dan obat-obatan seperti Tourette, fenotiazin dan amfetamin.
d. Chorea
Gerakan Choreiform merupakan gerakan yang singkat, cepat, tidak teratur, dan
tak terduga. Terjadi saat istirahat atau mengganggu gerakan terkoordinasi
normal. Tidak seperti tics, chorea jarang berulang. Wajah, kepala, lengan bawah,
dan tangansering terlibat. Penyebabnya termasuk chorea Sydenham (dengan
demam rematik) dan penyakit Huntington.
e. Athetosis
Gerakan Athetoid lebih lambat dan lebih memutar dan menggeliat dibandingkan
gerakan choreiform, dan memiliki amplitudo yang lebih besar. Paling sering
melibatkan wajah dan ekstremitas distal. Athetosis sering dikaitkan dengan
spastisitas. Penyebabnya antara laincerebral palsy.
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination. 2009.
8. Pemeriksaan Koordinasi
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan:
Menilai fungsi koordinasi.
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan prosedurnya.
2. Inspeksi cara berjalan (gait):
a. Minta pasien untuk berjalan melintasi ruangan beberapa kali.
b. Amati cara berjalan pasien, pola kontak kaki dengan lantai, ayunan tangan dan
lebar langkah.
6. Tes Tumit-Lutut:
a. Minta pasien untuk menutup kedua matanya, kemudian menempatkan tumit
kanan di atas lutut kiri.
b. Minta pasien untuk menurunkan tumitnya menyusuri tungkai bawah kaki kiri
kebawah.
c. Lakukan rosedur bergantian dengan kaki kiri.
d. Nilai bila pasien menunjukkan tanda-tanda hipermetria atau ataksia, yaitu bila
tumit berkali-kali terjatuh dari jalurnya pada tungkai bawah.
e. Bila pemeriksa menemukan tanda hipermetria atau ataksia, minta pasien
melakukan prosedur pemeriksaan dengan mata terbuka.
f. Bandingkan kanan dan kiri.
7. Pemeriksaan Disdiadokokinesis:
a. Minta pasien melakukan gerakan tangan pronasi dan supinasi. Tangan kanan
dimulai dari pronasi, tangan kiri dimulai dari supinasi, lakukan gerakan ini secepat
mungkin.
b. Bila diperlukan pemeriksa boleh memberikan contoh pemeriksaan terhadap
pasien.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination. 2009.
Pemeriksaan Fungsi Luhur belum ada
Tingkat kemampuan 4A untuk Orientasi, berbahasa, konsentrasi/Atensi, dan memori.
Usul untuk pemeriksaan fungsi Luhur digunakan MMSE (Mini Mental State Examination)
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3. Minta pasien berbaring di meja periksadengan kedua tungkai diluruskan.
4. Patricks sign
a. Pemeriksa melakukan fleksi sendi lutut, abduksi dan internal rotasi pada salah
satu tungkai pasien.
b. Salah satu tangan pemeriksa diletakkan pada anterior superior os iliaka untuk
menstabilkan panggul, sedangkan tangan lainnya diletakkan pada lutut pasien
yang fleksi kemudian ditekan.
c. Nilai adakah nyeri dan lokasinya, bandingkan tungkai kanan dan kiri.
Contra-patricks sign
Pemeriksaan ini merupakan kebalikan dari tindakan patricks sign. Bila nyeri timbul pada
pemeriksaan ini, maka hal ini menandakan adanya kelainan pada sendi sakroiliaka.
Referensi
Buckup K. Clinical test for the musculoskeletal system: examinations-signs-phenomena.
2nd ed. Stuttgart: Thieme; 2008.
Tujuan:
melihat dan menilai kelainan kulit dan jaringan penunjang
Teknik Pemeriksaan
Kulit
Inspeksi dan palpasi
- Warna lihat apakah banyak peningkatan pigmentasi, hilangnya pigmentasi,
kemerahan, pucat, sianosis dan kekuningan di kulit
- Kelembaban lihat dan rasakan apakah kulit pasien kering, banyak keringat atau
berminyak
- Suhu dengan menggunakan punggung jari tangan untuk memeriksa ini. Sebagai
tambahan untuk mengidentifikasi kehangatan generalisata atau kulit yang dingin,
catat temperatur di setiap tempat yang kemerahan
- Tekstur nilai dan rasakan kelembutan atau kekasaran kulit pasien
- Turgor dan mobilitas angkat sedikit dari lipatan kulit dan catat kemudahannya
dalam terangkat dan kembali ke bentuk semula
Lesi kulit
Observasi setiap kelainan yang ditemukan
- Tentukan lokasi anatomi dan distribusinya di tubuh generalisata, lokal, universalis,
difus, sirkumskripta, unilateral, bilateral, regional
- Tipe lesi kulit setinggi permukaan (makula), diatas permukaan kulit (urtika, vesikel,
bula, kista, pustul, papul, nodus), lesi sekunder (ekskoriasi, krusta, skuama, erosi)
disertai keterangan warna (sewarna kulit, eritem, hipo/hiperpigmantasi)
- warna
- Pola dan bentuk liniar, anular, arsinar polisiklik, korimbiformis pola dan bentuk
diganti dengan konfigurasi, ukuran dan distribusi lesi
Rambut
Inspeksi dan palpasi rambut. Catat kuantitas, distribusi rambut dan
teksturnyaditambahkan: pemeriksaan skalp, warna rambut, kerapuhan batang rambut
Kuku
Inspeksi dan palpasi kuku jari tangan dan kuku jari kaki. Lihat warna, bentuk dan kelainan
bentuk. Garis longitudinal seperti pigmen mungkin dapat terlihat pada orang normal
dengan kulit yang lebih gelapditambahkan: permukaan, alur kuku, kerapuhan dan
lokasi kelainan (Nailplate, nail bed, lateral kuku, dll)
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates Guide to Physical Examination and History Taking,
10th edition. Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009, p 168-170
Andrew's Disease of the skin, Edisi XII, 2016
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, 2012
Contoh Kasus:
Seorang laki-laki, usia 18 tahun, pelajar, datang dengan keluhan bercak-bercak
putih yang disertai rasa gatal bila berkeringat di punggung sejak 3 bulan yang
lalu. Mulanya sedikit dan makin lama semakin luas. Pasien mudah berkeringat bila
beraktivitas.
Pada pemeriksaan dermatologis di regio punggung didapatkan makula
hipopigmentasi, multipel, berukuran lentikuler hingga numuler, dengan skuama
halus diatasnya. Kulit teraba lembab.
Pada pemeriksaan lampu Wood didapatkan fluoresensi kuning keemasan di
punggung dan lengan atas.
Tujuan:
mampu menilai kelainan kulit yang terlihat dengan objektif.ditambahkan:konfigurasi,
ukuran dan distribusi lesi / kelainan kulit
Teknik Pemeriksaan
Efloresensi terdiri dari efloresensi primer dan sekunder.
Efloresensi primer, yaitu:
Makula: kelainan kulit berbatas tegas setinggi permukaan kulit, berupa perubahan
warna semata-mata.
Papula: penonjolan di atas permukaan kulit, sirkumskrip, berukuran diameter <0,5 cm
dan berisi zat padat.
Plak: peninggian di atas permukaan kulit, permukaan rata dan berisi zat padat,
diameter 2 cm
Urtika: edema setempat yang timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan.
Nodus: massa padat sirkumskrip, terletak di kutan dan subkutan, dapat menonjol.
Nodulus: nodus yang berukuran <1 cm
Vesikel: gelembung berisi cairan serum, beratap, berukuran <0,5 cm garis tengah,
mempunyai dasar. Vesikel yang berisi darah disebut vesikel hemoragik.
Bula: vesikel yang berukuran lebih besar, disebut juga dengan bula hemoragik, bula
purulen dan bula hipopion.
Pustul: vesikel yang berisi nanah, bila nanah mengendap di bagian bawah vesikel
disebut dengan vesikel hipopion.
Kista: ruanganrongga berdinding dan berisi cairan, sel maupun sisa sel. Kista tidak
terbentuk karena peradangan, namun dapat terjadi radang.
Tumor: penonjolan di atas permukaan kulit yang merupakan pertumbuhan sel atau
jaringan tubuh.
Efloresensi khusus antara lain adalah kanalikuli, milia, komedo, eksantema, telangiektasi,
vegetasi, raseola, dst.
Referensi
Sri Linuwih, dkk Djuanda A, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5 7. Balai
Penerbit FKUI: Jakarta. 2007 2015. Hal 96-97.
Andrew's Disease of the skin, Edisi XII, 2016
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, 2012
Contoh Kasus:
Seorang perempuan, 30 tahun, pekerjaan pegawai swasta, datang dengan keluhan
bercak merah dengan bintil-bintil berair disertai rasa nyeri mulai dari punggung kanan
hingga dada kanan sejak 3 hari yang lalu.Mulanya pasien merasakan nyeri di pungung
sejak 1 minggu sebelumnya, kemudian muncul bintil-bintil berair di punggung dan
kemudian meluas ke dada.Pasien tidak mengeluhkan demam.
Pada pemeriksaan dermatologikus pada regio punggung dan dada didapatkan plak
eritem berukuran plakat dengan vesikel berkelompok diatasnya, disertai krusta kuning
yang tersebar dermatomal, unilateral, setinggi thorakal IV.
PANDUAN MAHASISWA
PENILAIAN AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI/ ADL
Penulis: dr. Indrayuni Lukitra Wardhani, Sp.KFR (FK Unair)
Aktivitas Skor
Makan
0 =Tidak mampu
5 =Memerlukan bantuan memotong, mengoles mentega, dll, 0 / 5 / 10
atau memerlukan modifikasi diet
10 =Independen
Mandi
0 = Bergantung pada orang lain 0 / 5
5 = Independen
Grooming
0 = Perlu bantuan dalam perawatan diri 0 / 5
5 = Independen merawat wajah/rambut/gigi/cukur
Berpakaian
0 = Bergantung pada orang lain
5 = Dibantu, namun dapat melakukan separuhnya sendiri 0 / 5 / 10
10 = Independen (termasuk kancing, resleting, tali, dll)
Buang Air Besar
0 = Inkontinen (atau perlu bantuan enema) 0 / 5 / 10
5 = Kadang tidak terkontrol
10 = Terkontrol
Buang Air Kecil
0 = Inkontinen (atau terpasang kateter) 0 / 5 / 10
5 = Kadang tidak terkontrol
10 = Terkontrol
Penggunaan Toilet
0 = Bergantung kepada orang lain 0 / 5 / 10
5 = Perlu bantuan, namun dapat melakukan sebagian sendiri
10 = Independen (melepas pakaian, cebok, berpakaian)
Transfer (Ranjang ke kursi dan kembali ke ranjang)
0 = Tidak mampu, tidak ada keseimbangan duduk
5 = Bantuan besar (1-2 orang, bantuan fisik), dapat duduk 0 / 5 / 10 / 15
10 = Bantuan kecil (verbal atau fisik)
15 = Independen
Mobilitas (Pada permukaan rata)
0 = Imobil atau < 45,72 meter
5 = Kursi roda independen, termasuk belok, >45, 72 meter 0 / 5 / 10 / 15
10 = Berjalan dibantu 1 orang, >45.72 meter
15 = Independen (namun dapat menggunakan bantuan,
seperti tongkat), >45,72 meter
Naik Tangga
0 = Tidak mampu 0 / 5 / 10
5 = Perlu bantuan
10 = Independen
Catatan:
dalam menginterpretasi barthel index perlu untuk menghindari penilaian kemampuan
pasien berdasarkan pemeriksaan fisik saat itu. Barthel-Index harus dinilai berdasarkan
kemampuan pasien sesungguhnya.
Contoh Kasus
Ny Maerah, 50 tahun ,guru SD, mengalami serangan Stroke 1 bulan yang lalu. Beliau
mengalami hemiparese dekstra dan disartri. Di rumah tinggal bersama suami dan 1
anaknya. Beliau menanyakan, kapan boleh mulai mengajar. Tentukan tingkat
ketergantungannya berdasarkan BaRTHEL Index.
Referensi
1. Panduan Rehabilitasi Stroke , Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi Indonesia ( PB PERDOSRI),2014, cetakan pertama.
2. Walter R Frontera. Joel A DeLisa. DeLisas Physical Medicine & Rehabilitation,
Principle and Practice, 5th Ed 2011
3. Michael WO Dell, C David lin, Andre Panagos, The Physiatric History and Physical
Examination in Randall L Braddom : Physical medicine and Rehabilitation. 5th Ed.
PANDUAN MAHASISWA
BANTUAN HIDUP DASAR
Penulis: dr. Christrijogo Sumartono, Sp.An-KAR (FK Unair)
Prosedur Keterampilan
1. Dimulai dengan menilai respons dilakukan setelah penolong yakin bahwa dirinya
sudah aman untuk melakukan pertolongan. Penilaian respons dilakukan dengan
menepuk-nepuk dan menggoyangkan penderita sambil memanggil penderita.
Gambar 1 : Check respon pada
pasien tidak sadar.
b. Jaw thrust
- Letakkan siku-siku pada bidang datar tempat korban dibaringkan. Cari rahang
bawah. Pegang rahang bawah dengan jari-jari kedua tangan dari sisi kanan
dan kiri korban
- Dorong rahang bawah dengan mendorong kedua sudutnya ke depan dengan
jari-jari kedua tangan
- Buka mulut korban dengan ibu jari dan jari telunjuk kedua tangan.
Mulut ke sungkup
a. Letakkan sungkup pada muka penderita dan dipegang dengan kedua ibu jari
b. Lakukan head tilt chin lift/ jaw thrust. Tekan sungkup ke muka penderita dengan
rapat.
c. Hembuskan udara melalui lubang sungkup hingga dada terangkat.
d. Amati turunnya pergerakan dinding dada.
Gambar 7 : A. Tehnik E-
C Clamp ( penolong sendiri
ventilasi) ; B. 2 penolong ventilasi
8. Bila masih belum teraba denyut nadi leher, lanjutkan 30 x pijat jantung dan 2 x
nafas buatan.
9. Lakukan tindakan ini terus sampai datang bantuan atau ambulans dengan peralatan
lengkap atau masuk tahapan Advance Life Support
Contoh Kasus
Seorang laki-laki mengeluh sakit dada saat sedang bermain sepak bola dan kemudian
jatuh pingsan (tidak sadarkan diri).
Referensi
1. Purwanto A, GELS /General Emergency Life Support PPGD/ Penanggulangan
Penderita Gawat Darurat 2014 , FK Unair, RSUD dr.Sutomo, edisi 12.
2. Gavin Perkins et all ,Resuscitation council (UK) guideline 2015
3. AHA, Guideline 2015 CPR & ECC.
4. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2015
PANDUAN MAHASISWA
PEMERIKSAAN MANUAL MUSCLE TESTING
Penulis: dr. Indrayuni Lukitra Wardhani, Sp.KFR (FK Unair)
Prosedur Keterampilan
f. Mahasiswa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
g. Mahasiswa menjelaskan tujuan-prosedur pemeriksaan kepada pasien, meminta
izin/informed consent, dan meminta pasien untuk rileks
h. Mahasiswa melakukan cuci tangan
i. Mahasiswa meminta pasien menggerakkan sendi yang akan diperiksa melawan
gravitasi ,sepanjang luas gerak sendinya (bila bisa, kemungkinan nilai otot 3, 4, atau 5)
j. Mahasiswa mengukur/menentukan kekuatan otot dengan cara :
- Bila pasien mampu melakukannya, mahasiswa meminta pasien
mengulangi gerakan tersebut sambil memberikan tahanan pada - bagian distal sendi
dengan tangan dominan, sedangkan tangan non dominan digunakan untuk smem-
fiksasi bagian proksimal sendi
- Bila pasien tak mampu menggerakkan sendi melawan gravitasi , mahasiswa meminta
pasien menggerakkan sendi dengan menghilangkan pengaruh gravitasi ( bila bisa
nilai otot 2)
- Bila tak ada gerakan ,maka dilihat / diraba pada bagian belly otot yang diperiksa
(bila bisa, nilai MMT otot 1, bila tak tampak ,nilai MMT otot 0 )
k.Mahasiswa menentapkan hasil pemeriksaan dan mencatatnya dalam muscle chart
yang tersedia dalam rekam medis.
l. Mahasiswa menyampaikan hasil pemeriksaan ke pasien dan menyampaikan
terimakasih atas kerjasamanya.
Contoh Kasus
Maranu yang mengalami fraktur femur 2 bulan yang lalu merasa otot-otot pahanya
makin mengecil. Lakukan pemeriksaan MMT otot Quadriceps femoris .
Referensi
1. Pedoman Keterampilan Medik 1 Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga.Editor ;Prof Dr N Margarita Rehatta,dr.,Sp.AnKIC., KNA; Suwandito,dr.,MS;
Fundhy Sinar IP,dr.,M.Med.Ed. Cetakan Pertama, Airlangga university Press, 2015
2. Hislop H., Montgomery J. Daniels and Worthinghams Muscle Testing ,Technique of
Manual Examination, 8 th ed. Saunders Elsevier. Philadelphia, 2007
3. Clarkson HZ. Musculoskeletal Joint Range of Motion and Manual Muscle Testing.
2nd eds. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia,2000
4. Neuman DA.Kinesiology of the Musculoskeletal System. Mosby. St Louis Missouri,
2002
PANDUAN MAHASISWA
PENGUKURAN LINGKUP GERAK SENDI
Penulis: dr. Indrayuni Lukitra Wardhani, Sp.KFR (FK Unair)
15. Pengukuran Lingkup Gerak Sendi/ Range of Motion
(ROM)
Tujuan
Setelah mempelajari topik ini, mahasiswa :
-mengetahui jenis gerakan tiap sendi
-mampu melakukan pengukuran lingkup gerak sendi
-mampu mendeteksi adanya stffness, kontraktur sendi, laxity
Prosedur Keterampilan
m. Mahasiswa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
n. Mahasiswa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan kepada pasien dan
meminta pasien untuk rileks
o. Mahasiswa melakukan cuci tangan
p. Meminta pasien melepas/ membuka pakaian yang menutupi sendi yang akan
diperiksa.
q. Mahasiswa memeriksa sendi yang akan diukur, memastikan tak ada udem,nyeri,
fraktur, deformitas.
r. Menetapkan posisi netral sendi yang akan diukur.
s.Menetapkan fulkrum sendi yang akan diperiksa,
t. Menempatkan goniometer pada sendi yang akan diperiksa
u. Melakukan pengukuran lingkup gerak sendi ,dengan melihat besar sudut lingkup
gerak sendi pada masing-masing gerakan , sesuai sendi yang bersangkutan (fleksi-
ekstensi)
v.Mencatat hasil pengukuran lingkup gerak sendi.
w. Menyampaikan hasilnya kepada pasien
x. Mengakhiri pertemuan dengan mengucapkan terimakasih kepada pasien atas
kerjasamanya.
Contoh Kasus
An Adrian, 4 tahun, mengalami fraktur humerus dekstra dan dilepas gips nya 2 minggu
yang lalu, lakukan pengukuran lingkup gerak sendi siku kanannya.
Referensi
1. Walter R Frontera. Joel A DeLisa. DeLisas Physical Medicine & Rehabilitation,
Principle and Practice, 5th Ed
2. Pedoman Keterampilan Medik 1 Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga.Editor ;Prof Dr N Margarita Rehatta,dr.,Sp.AnKIC., KNA; Suwandito,dr.,MS;
Fundhy Sinar IP,dr.,M.Med.Ed. Cetakan Pertama, Airlangga university Press, 2015
3. Hislop H., Montgomery J. Muscle Testing Technique of Manual Examination, 8 th
ed. WB Saunders Co. Philadelphia,2007
4. Clarkson HZ. Musculoskeletal Joint Range of Motion and Manual Muscle Testing.
2nd eds. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia,2000
5. Michael WO , Dell, C David lin, Andre Panagos, The Physiatric History and Physical
Examination in Randall L Braddom : Physical medicine and Rehabilitation. 5th Ed.
PANDUAN MAHASISWA
RESUSITASI CAIRAN
Penulis: dr. Christrijogo Sumartono, Sp.An-KAR (FK
Unair)
Prosedur Keterampilan
1. Dimulai dengan penyakit atau cedera atau apapun yang dapat mengubah
keseimbangan cairan dan elektrolit dan distribusi kebutuhan dalam banyak
cara karena :
- Respon metabolik nonspesifik terhadap stres (terutama di sakit parah atau
terluka);
- Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit karena disfungsi organ atau sistem
atau efek dari obat-obatan atau terapi .
- Kehilangan cairan tubuh akut karena perdarahan yang menyebabkan shock.
2. Identifikasi tanda atau gejala gangguan keseimbangan cairan atau elektrolit, baik
tanda-tanda interstial sgn (mata cowong , tugor, rasa hasus) atapun plasma sign
(nadi cepat , tekanan darah turun, sampai produksi urine menurun bahkan warna
urine berubah. Bila perubahan keseimbangan cairan menjadi memberat maka tanda-
tanda kegawatan akan mulai mengganggu organ atau sistem vital, misalnya ,
pernapasan, jantung dan saluran pembuluh
darahnya serta keasadaran otak.
3. Menentukan status hidrasi atau status shock sesuai dengan kehilangan cairan yang
disebabkan suatu penyakit atau trauma.
Ganbar status
dehidrasi
(masih dicarikan)
Pemeriksaan: nilai dan catat hasil pemeriksaan untuk indikasi kebutuhan resusitasi
cairan: tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan (lihat Bab Tanda Vital)
capillary refill time (lihat Bab Kardiovaskular) perabaan ekstrimitas (lihat Bab
Kardiovaskular)
Algoritme Resusitasi
a. Berikan oksigenasi.
b. Pasang kanula IV berkururan besar.
c.Identifikasi penyebab gangguan yang terjadi dan respons pasien.
d. Berikan bolus 500 ml cairan kristaloid.
e. Nilai ulang kondisi pasien dengan menggunakan ABCDE (lihat Bagian Bantuan
Hidup Dasar). Pertimbangkan apakah pasien masih membutuhkan resusitasi cairan.
f. Jika cairan yang diberikan masih kurang dari 2000 ml, berikan lagi 250-500 ml bolus
cairan kristaloid. Setelah pemberian cairan selesai, nilai ulang kondisi pasien dengan
ABCDE .
g. Jika tidak, nilai kebutuhan cairan dan elektrolit pasien.
h. Jika penderita tidak membutuhkan resusitasi cairan, pastikan kebutuhan cairan
dan nutrisi terpenuhi.
i. Nilai kebutuhan cairan dan elektrolit pasien dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan.
j. Jika terdapat tanda-tanda kekurangan dan kelebihan cairan serta cairan yang keluar
masih berlangsung, maka lanjut ke bagian penggantian dan redistribusi cairan. Jika
tidak lanjut ke bagian rumatan rutin.
Rumatan rutin
a. Berikan rumatan cairan IV sesuai dengan kebutuhan cairan dan elektrolit normal
harian 25-30 ml/kg/hari air.
b. Nilai ulang dan awasi kondisi pasien.
c.Stop cairan IV jika sudah tidak ada indikasi yang sesuai.
Pada luka bakar
a. Pemberian terapi cairan dilakukan dengan memberikan 2-4 ml RL/RA per kg BB
tiap %luka bakar.
- dosis diberikan 8 jam pertama
- dosis berikut 16 jam kemudian
b. Sesuaikan dosis infus untuk menjaga urin 30-50 ml/jam pada dewasa
c. Jika respon membaik, turunkan laju infus secara bertahap.
5.1. Istilah
Beberapa istilah dengan resusitasi cairan
Contoh Kasus
Seorang Wanita 32 tahun dibawa temannya serumah kost ke Rumah sakit Primer
dengan kesadaran menurun , napas cepat akibat 3 hari mengalami diare dan muntah-
muntah hebat.
Referensi
1. Purwanto A, GELS /General Emergency Life Support PPGD/
Penanggulangan Penderita Gawat Darurat 2013 , FK Unair,RSUD dr.Sutomo, edisi
12.
2. Gavin Perkins et all ,Resuscitation council (UK) guideline 2015.
3. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2015.
4. PTC , Primary Trauma Care, Indonesia, Perdatin, WFSA, UK University
2008.
5. ATLS, Advance Trauma Life Support , 2010, edisi ke 9.
6. Simadibrata, M.Daldiyono 2006, Diare Akut in Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid VI Jakarta.
7. Hooper L, Abdelhamid A, Ali A, Bunn DK, Jennings A, John WG, Kerry S,
Lindner G, Pfortmueller CA, Sjstrand F, Walsh NP, Fairweather-Tait SJ, Potter JF,
Hunter PR, Shepstone L. Diagnostic accuracy of calculated serum osmolarity to
predict dehydration in older people: adding value to pathology laboratory reports. BMJ
Open. 2015 Oct 21;5(10):e008846. doi:10.1136/bmjopen-2015-008846. PubMed PMID
26490100.
PANDUAN MAHASISWA
SIRKUMSISI
Penulis: dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-KBD (FK USU)
17. Sirkumsisi
Tujuan Pembelajaran
Tujuan Umum:
Setelah selesai latihan ini mahasiswa diharapkan mampu melakukan tindakan sirkumsisi
secara mandiri.
Skills
1. Menyiapkan peralatan sirkumsisi
2. Melakukan tindakan sirkumsisi
Prosedur Keterampilan
PERALATAN DAN BAHAN
1. Manekin
2. Meja/troli ukuran sedang.
3. Linen penutup meja steril.
4. Sarung tangan steril .
5. Larutan antiseptik.
6. (Povidon iodine 10%) 10 cc.
7. Kasa steril 5 helai.
8. Linen penutup berlubang (Perforated surgical drape) dan linen penutup.
9. Anaestetik lokal (Lidocaine 2 % tanpa adrenalin) 5 cc dan kapas alkohol.
10. Disposable syringe 5cc 1 buah
11. Alat bedah minor (minor surgery kit) + 2 buah klem lurus
12. Benang absorbable (Plain catgut) nomor 3.0
PERKENALAN
1. Sapa dan perkenalkan diri.
2. Tanyakan identitas pasien dan cocokkan dengan data rekam medik.
3. Informasikan tindakan yang dilakukan dan minta persetujuan pasien.
PERSIAPAN PASIEN
1. Posisikan pasien terlentang (supine) dan buka celana.
2. Tutup anggota gerak bawah pasien dengan linen penutup.
3. Periksa keadaan penis : normal atau tidak
Catatan : jika tidak ada kontra indikasi lanjutkan)
PERSIAPAN DOKTER
1. Berdiri di sebelah kanan pasien.
2. Pakai sarung tangan dengan metode hand to hand pada tangan kanan saja.
3. Pegang vial lidocaine 2 % dengan tangan kiri, bersihkan bagian atasnya dengan
kapas alkohol, tusukkan jarum dan ambil larutan sebanyak 5 cc
4. Simpan vial di luar daerah steril, pasang kembali tutup jarum dan letakkan syringe di
atas meja.
5. Pakai sarung tangan dengan metode glove to glove untuk tangan kiri (sekarang
kedua tangan sudah memakai sarung tangan).
TEKNIK SIRKUMSISI
1. Bersihkan daerah genital dengan povidon iodine
2. Memasang linen penutup berlubang pada daerah genital sehingga penis keluar dari
lubang dan letakkan linen penutup pada paha.
3. Suntikkan lidocaine 2 % tanpa adrenalin pada pangkal penis jam 2,4,8,10, masing
masing 1 cc subkutan, aspirasi apakah ada darah atau tidak.
4. Coba efek anaestesi dengan mencubit kulit penis menggunakan pinset.
5. Tarik foreskin ke belakang, bersihkan glans penis dari smegma dengan kasa yang
telah dibasahi povidon iodine
6. Klem foreskin pada jam 11 dan jam 1 sampai 0.5 cm dari sulcus coronarius.
7. Klem foreskin pada jam 6 sampai ke frenulum.
8. Gunting foreskin di antara klem jam 11 dan 1 dari sulcus coronarius sampai ke
frenulum, gunting foreskin pada klem jam 6 sampai 0,5 cm dari frenelum kemudian
gunting foreskin sirkumferensial 0,5 cm.
9. Setiap pembuluh yang mengeluarkan darah diklem dan diikat dengan plain catgut.
10. Jahit tepi kulit dan mukosa yang telah terpotong dengan plain catgut secara
interrupted.
11. Bersihkan penis menggunakan kasa yang telah dibasahi povidon iodine.
12. Tutup luka dengan kasa steril dan plaster.
13. Buang perlengkapan yang habis pakai dan bersihkan perlengkapan yang tidak
habis pakai.
DOKUMENTASI
1. Catat tanggal dan waktu pelaksanaan
2. Nama dokter yang melakukan
3. Anjuran tindakan selanjutnya.
Contoh Kasus
Seorang laki-laki usia 12 thn datang ke dokter umum bersama ayahnya karena ingin
disirkumsisi.
Lakukan penatalaksanaan sirkumsisi.
Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Guide to Physical Examination and History Taking. 9th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007
2. Hanno et al. Clinical Manual of Urology 3rd ed, McGraw Hill ; 2001
3. Tanagho, McAninch. Smiths General Urology, 16th ed, McGraw Hill ; 2004
PANDUAN MAHASISWA
TEKNIK PENJAHITAN LUKA
Penulis: dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-KBD (FK USU)
Tujuan Pembelajaran
Tujuan Umum:
Setelah latihan ini mahasiswa diharapkan dapat memahami berbagai aspek penjahitan
luka serta dapat melakukannya dengan baik dan benar.
Tujuan Khusus:
Mahasiswa mampu melakukan :
1. Teknik penjahitan terputus berulang (simple interrupted)
2. Teknik penjahitan terputus matras vertikal (Donati)
3. Teknik penjahitan intrakutan
Prosedur Keterampilan
Teknik Tindakan
Jahitan dasar (simple interrupted)
1. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan prosedurnya
2. Minta pasien untuk berbaring
3. Tanyakan riwayat alergi tentang obat anestesi atau iodine
4. Tempatkan cahaya ke area luka yang akan dijahit
5. Disinfeksi luka dan area-area disekitarnya
6. Cuci tangan 6 langkah dan pakai sarung tangan steril
7. Tutup luka dengan drape steril
8. Berikan anestesi lokal atau blok saraf lokal dengan metode oberst, tunggu sampai
anestesi bekerja
9. Pasangkan benang sutera (silk) pada jarum berpinggir tajam yang telah diposisikan
pada needle holder dengan menjepitnya pada 1/3 bagian ekor jarum
10. Pegang pinset chirurgis seperti memegang pensil dengan satu tangan. Tangan yang
lainnya memegang needle holder yang tadi sudah terpasang jarum
11. Dengan menggunakan pinset, pegang ujung luka di tempat yang terjauh untuk
meminimalisasi kerusakan jaringan, bagian pinset yang memiliki satu gigi harus
berada di tepi luka dan bagian dengan dua gigi harus berada di kulit
12. Posisikan jarum tegak lurus terhadap kulit kurang lebih 0,5 cm dari tepi luka dan
masukkan ke dalam kulit
13. Dengan pergerakan tangan supinasi, bawa jarum menuju tepi luka dengan gerakan
seperti busur panah, mirip dengan lekukan jarum. Untuk luka yang tidak melampaui
kutis dan tidak ada ketegangan di tepi lukanya, langsung saja melangkah ke langkah
18. Untuk luka yang dalam, langkah penjahitan ada 2 langkah (buat jahitan dari tepi
luka ke tengah luka, lalu pindahkan needle holder ke ujung jarum yang telah
melewati tepi luka dan lanjutkan dari tepi luka yang berlawanan hingga keluar ke
tepi luka)
14. Buka needle holder dan tarik jarum menuju ke luka
15. Tarik jarum melalui kulit dan keluar dari luka dalam jalur melengkung
16. Reposisi jarum di posisi yang benar di needle holder
17. Tarik benang melalui kulit, tinggalkan panjang yang cukup untuk nanti dijahit (sekitar
2 cm jika diikat dengan needle holder atau 10 cm jika diikat dengan tangan)
18. Dengan menggunakan pinset, pegang ujung luka yang paling dekat dengan kita dan
putar batas luka ke arah luar
19. Dengan pergerakan melengkung, masukkan jarum ke batas luka dan bawa sedalam
mungkin sampai ke dasar luka dan bawa kembali ke atas sampai ujung jarum terlihat
menembus kulit
20. Buka needle holder saat berdekatan dengan luka dan gunakan untuk memegang
kembali jarum di bagian luar dari kulit
21. Tarik jarum dengan bentuk melengkung melalui kulit dengan menggunakan pinset
untuk memfiksasi titik keluar jarum di luka
22. Dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, pegang jarum pada pangkalnya
dengan aman dan hati-hati, lalu buka needle holder
23. Tarik benang pada pangkal jarum dengan tangan kiri hingga menyisakan 2-3 cm
pada sisi yang pertama.
24. Lilitkan benang satu kali pada ujung needle holder ke arah dalam kemudian jepit
ujung sisa benang lalu tarik benang mendekati tubuh operator sehingga terbentuk
simpul pertama.
25. Ulangi poin (24) untuk membentuk simpul kedua dengan menarik benang ke arah
sebaliknya hingga terbentuk simpul yang kuat.
26. Gunting benang dengan menyisakan kira-kira 1 cm dari simpul.
27. Lakukan penjahitan yang sama hingga seluruh panjang luka tertutup.
28. Pantau aproksimasi kulit dan hindari tension (ditandai dengan warna kulit sama
dengan sekitarnya).
1 2 3
4 5
6
Jahitan intrakutan
1. Tetapkan titik masuk pertama bersama dengan ekstensi luka 1 cm dari permulaan
luka
2. Bubuhkan benang ke kulit dengan mengikat jahitan di ujung
3. Masukkan jarum di ujung luka
4. Masukkan jarum secara intrakutan di salah satu batas luka
5. Keluarkan intrakutan dan masukkan lagi intrakutan di batas luka yang berlawanan
arah
6. Lakukan terus seperti ini (zig-zag) sampai mencapai ujung dari luka
7. Titik keluar yang terakhir harus bersama dengan penarikkan seleuruh garis luka
hingga tepi satu bertemunya dengan tepi lainnya
8. Bubuhkan kembali jahitan di ujung lukanya dan ikat
Contoh Kasus
Seorang laki-laki usia 20 tahun datang ke Puskesmas karena mengalami luka sayat
terkena pecahan kaca pada lengan kanan bawah kira kira 1 jam sebelumnya.
Tentukan diagnosa pada pasien tersebut ?
Lakukan penatalaksanaan nonfarmakologi pada pasien tersebut (teknik jahitan dasar)
Referensi
1. Prof. Stapert J, Dr. Kunz M. Skills in Medicinie: Minor Surgery. Mediview: Maastricht
University, Netherlands, 2009, p 15, p 41-47
2. Brunicardi, F.C., Andersen, D.K., Billiar, T.R. Schwartzs Manual of Surgery. Ed. 9.
McGraw Hill. 2011
3. Boros, M. Surgical Techniques Textbook for Medical Students. Ed. 1. University of
Szeged Faculty of Medicine Institute of Surgical Research
4. Russel,R.G.C., Williams, N.S. Bailey & Loves Short Practice of Surgery, Ed. 26.
London: Hodder Arnold. 2013
5. Sjamsuhidajat, R., de Jong, W. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. 4. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2012
Pedoman Mahasiswa
Ketrampilan Klinis Paru
Pemeriksaan inspeksi
Inspeksi keadaan umum berkaitan dengan pernapasan
o Menyebutkan pasien tampak sesak atau tidak
o Menyebutkan ada tidaknya napas cuping hidung, ada idaknya penggunaan otot
bantu napas
o Menyebutkan terdengar tidaknya suara serak, mengi, stridor
Inspeksi warna kulit berkaitan dengan pernapasan
o Menyebutkan ada tidaknya penggunaan otot bantu napas M.
Sternokleidomastoideus, suprasternal
o Menyebutkan ada tidaknya bendungan vena leher
Inspeksi ekstremitas berkaitan dengan pernapasan
o Menyebutkan ada tidaknya jari tabuh
Inspeksi dada depan
o Menyebutkan ada tidaknya bendungan vena, benjolan (tumor), ginecomastia,
emfisema subkutis
o Menyebutkan ada tidaknya retraksi M. Interkostal
o Menyebutkan bentuk dada dengan menilai diameter anteroposterior dibandingkan
diameter sagital, serta besar sudut angulus costae
o Menyebutkan ada tidaknya penyempitan dan pelebaran sela iga
o Menyebutkan kesimetrisan hemitoraks kiri dan kanan (statis) dan saat bernapas
(dinamis)
o Menyebutkan frekuensi pernapasan dengan melihat gerakan dada
o Menyebutkan sifat pernapasan dengan menilai pergerakan toraks dan abdomen
o Menyebutkan irama pernapasan
Tujuan Pembelajaran
Setelah melakukan ketrampilan klinis inhalasi maka mahasiswa mampu untuk melakukan
terapi inhalasi berupa nebuliser, inhalasi dosis terukur dan turbuhaler dengan sistematis
dan benar
Pemakaian turbuhaler
- Buka penutup turbuhaler
- Pegang turbuhaler tegak lurus dan putar grip bawah ke arah kanan sampai penuh dan
kemudian ke arah kiri sampai terdengar bunyi klik
- Hembuskan napas maksimal di luar turbuhaler
- Letakkan mouth piece di antara gigi, rapatkan kedua bibir sehingga tidak ada
kebocoran di sekitar mouth piece kemudian tarik napas dengan kekuatan inspirasi yang
kuat
- Sebelum menghembuskan napas, keluarkan turbuhaler dari mulut. Jika yang diberikan
lebih dari satu dosis ulangi tahap 2-5 dengan selang waktu 1-2 ment
- Pasang kembali tutupnya
Pemakaian nebuliser
- Masukkan obat ke dalam wadah/tube nebuliser
- Pasangkan mouth piece atau masker (sesuai kondisi pasien), tekan tombol on pada
nebulizer, atau pasang oksigen sampai keluar uap dari nebuliser tersebut
- Anjurkan pasien untuk bernapas seperti biasa jika memakai masker
- Anjurkan pasien untuk bernapas lewat mulut jika memakai mouth piece
- Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai obat habis (10-15 menit)
- Kumur-kumur daerah tenggorok pada penggunaan steroid inhalasi
Variasi
Prosedur kumur-kumur pascainhalasi hanya dilakukan pada penggunaan steroid
inhalasi
Apabila tidak menggunakan spacer maka pemakaian langsung di mouthpiece
Untuk anak harus ditemani dengan orangtua, misalnya saat dilakukan inhalasi anak
dipangku oleh orangtua
Kasus
Seorang laki-laki usia 25 tahun datang ke IGD RS, dengan keluhan sesak napas semakin
memberat sejak 1 hari sebelumnya. Sesak napas berbunyi ngi-ngik disertai dada
seperti tertekan. Seminggu sebelumnya pasien menderita influenza dengan gejala batuk,
hidung tersumbat nyeri otot. Dalam dua bulan terakhir pasien sering serangan seperti ini
sekitar 3-4 x seminggu, pasien minum obat sesak napas yang dijual di warung hampir
setiap hari dan serangan tersebut menganggu tidur malam sekitar 2-3 kali seminggu.
Pasien menderita penyakit ini sejak usia 5 tahun
Pemeriksaan fisik
o Sadar, keadaan umum sedang
o TD; 130/80 mmHg, Frekuensi nadi 120x/menit, frekuensi pernapasan 26 x/menit,
suhu: 35.6 C, Sat O2: 94%
o PF Paru
Inspeksi: simetris statis dan dinamis
Perkusi: sonor dikedua paru
Palpasi: fremitus kanan dan kiri sama
Auskutasi: vesikuler +/+, ronki -/-, mengi +/+
Pertanyaan:
Sebutkan kelainan yang didapati pada pasien tersebut?
Sebutkan obat-obatan yang akan digunakan untuk pasien tersebut?
Sebutkan jenis inhalasi yang digunakan untuk tatalaksana pasien di gawat darurat?
Jawaban:
Kelainan yang didapati:
- Frekuensi napas meningkat (> 18 x/menit)
- Frekuensi nadi meningkat (> 80 x/menit)
- Saturasi oksigen menurun (< 95%)
Obat yang digunakan dalam situasi kegawatdaruratan adalah beta-2 agonis kerja
singkat
Inhalasi nebuliser
Daftar Pustaka
1. Pedoman Pemeriksaan Fisis Paru. Departemen Pulmonologi & I. Kedokteran Respirasi
FKUI, RS Persahabatan, 2007, Jakarta
2. Wilkins R & Specht L. Fundamentals of Physical Examination. In : Wilkins R, Sheldon
RL, Krider JS eds. Clinical Assessment in Respiratory Care. 5ed Elsevier Mosby. St
Louis, 2000 : 63-82
3. Thorax and the Lung. Bickley LS & Szilagyi PG eds. In : Guide to Physical Examination.
And history taking. 9ed. Lippincott William &Wilkins, Philadelphia, 2007 : 241-267
4. Unit Laboratorium Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Panduan dan
daftar tilik ketrampilan klinik dasar. 2015.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Menilai ukuran dan kontur ginjal
2. Menilai apakah terdapat proses inflamasi pada ginjal
3. Menilai kemungkinan terdapat batu dan pielonefritis
4. Menilai tinggi kandung kemih di atas simfisis pubis
5. Menilai nyeri pada kandung kemih
Pengetahuan dasar:
Mahasiswa mengetahui anatomi saluran kemih dan ginjal
Mahasiswa mengetahui patofisiologi saluran kemih
Mahasiswa mengetahui tatacara pemeriksaan ginjal dan saluran kemih
Mahasiswa mengetahui tanda patologis dari pemeriksaan ginjal dan saluran kemih
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien prosedur dan tujuan pemeriksaan.
2. Posisikan pasien berbaring dengan rileks.
3. Ekspos bagian abdomen dari daerah prosesussi poideus sampai dengan simpisis
pubis.
4. Pemeriksa berdiri di sisikanan pasien. Untuk melakukan palpasi ginjal kiri,
pemeriksasebaiknyaberdiri di sisikiripasien.
5. Letakkan tangan kanan di bawah pinggang pasien tepat di bawah kosta ke-12 dan
jari-jari tangan menyentuh sisi bawah sudut kostover tebra. Kemudian dorong ginjal
kearah anterior.
6. Tangan kiri diletakkan di kuadran kiri atas abdomen.
7. Minta pasien untuk bernapas dalam, saat pasien inspirasi maksimal, tekan abdomen
tepat di bawah kostaun tuk menilai ginjal, saat ginjal ada di antara kedua tangan
pemeriksa. Nilai ukuran dan kontur ginjal.
8. Kemudian minta pasien untuk menghembuskan napas perlaha sambil tangan
pemeriksa dilepaskan secara perlahan.
9. Lakukan cara yang sama untuk menilai ginjal kanan, dengan pemeriksa berdiri di sisi
sebelah kanan pasien.
Contoh Kasus:
Seorang wanita berusia 35 tahun dating keklinik dengan keluhan nyerisaat berkemih,
terasa panas dan disertai dengan demam sejak 2 hari yang lalu. BAK Nampak lebih
keruh. Ia merasakan hal seperti ini berulang kali dalam 2 tahun terakhir. Ia juga sering
mengalami keputihan.
TUJUAN
Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi, kontraindikasi, komplikasi dan melakukan
pemberian obat secara intra kutan, subkutan,intramuskular, dan intravena.
PRIOR KNOWLEDGE & SKILL
1. Komunikasi interpersonal (inform consent)
2. Universal precaution
3. Anatomi dan Fisiologi Kulit (penyuntikan intrakutan dan subkutan)
4. Anatomi dan Fisiologi Otot (penyuntikan intramuskular)
5. Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah (penyuntikan intravena)
PROSEDUR
Menjelaskan indikasi, kontraindikasi, dan komplikasi pemberian obat intrakutan,
subkutan, intramuskular, dan intravena.
Intrakuta Subkuta Intramuskul Intravena
n n ar
Indikasi Vaksinas Anastes Vaksinasi Antibiotik
i BCG, i lokal, DPT parenteral
skin test insulin
Kontraindika Alergi bahan yang akan disuntikkan, luka pada lokasi
si penyuntikkan
Komplikasi Nyeri Nyeri, Nyeri, Nyeri,
lipoatro neuritis perdaraha
pi (bila n,
(insulin) mengenai hematom,
saraf) flebitis
REFERENSI
1. Alimul Hidayat, Azis. 2008. Edisi 2 Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk
Kedokteran. Jakarta : Salemba Medika
2. Eko W Nurul dan Ardiani Sulistiani. 2010. KDPK (Keterampilan Dasar Praktik Klinik
Kedokteran). Yogjakarta : Pustaka Rihama
3. WHO guideline on the use of safety-engineered syringes for intramuscular,
intradermal and subcutaneous injections in health-care settings. WHO. 2015.
23. Resusitasi Jantung Paru/RJP (CPR/Cardio Pulmonary
Resucitation)
TUJUAN
Mahasiswa mengetahui indikasi dan dapat melakukan RJP.
PROSEDUR KETERAMPILAN
1. Bila menemukan orang tidak sadar. Pastikan tingkat kesadarannya dengan
memanggil secara keras, menepuk atau menggoyang bahunya. Pastikan
lingkungan aman untuk penolong memberikan pertolongan.
2. Nilai pernafasan dan denyut nadi. Penilaian pernafasan dan denyut nadi dapat
dilakukan bersamaan.
3. Bila nafas terhenti atau tidak normal dan denyut tidak teraba dalam 10 detik.
Aktifkan sistem gawat darurat dan ambil AED (bila penolong sendiri) atau minta
orang lain melakukannya. Lakukan kompresi dada 30 pijat jantung luar diikuti 2
nafas buatan (1 atau 2 penolong) dengan kecepatan100-120 kali/menit selama 5
siklus atau 2 menit. (Circulation, C)
Pijat jantung luar dilakukan dengan meletakkan kedua tangan pada
bagian bawah sternum
Kedalaman kompresi minimum 2 inci (5 cm), maksimal 2,4 cm (6 cm)
Rekoil penuh setiap kali kompresi, jangan bertumpu pada dada setelah
kompresi.
Minimal jeda setiap kompresi, maksimal jeda 10 detik.
4. Pastikan jalan nafas paten, lakukan manuver head tilt - chin lift atau jaw thrust.
(Airway, A)
5. Memberikan ventilasi yang cukup hingga dada terangkat (tidak berlebihan), 2 kali
setelah 30 kompresi. Bila mendapat fasilitas nafas lanjut, berikan pernafasan
setiap 6 detik. (Breathing, B)
6. Gunakan AED (Automatic External Defibrillator) atau defibrilator segera bila
tersedia.
7. Lanjutkan kembali RJP. Berikan satu shock terlebih dahulu bila terdapat indikasi.
VARIASI
Pada kasus trauma, ahli bedah menggunakan urutan yang berbeda yaitu A-B-C.
CONTOH KASUS
Seorang laki-laki, 48 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri dada sejak 4 jam yang
lalu, nyeri dirasakan semakin meningkat, menjalar ke lengan kiri, disertai keringat dingin.
Saat akan dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadar. Nadi teraba halus pada
karotis, pernasan tersengal.
Diagnosis : Sudden Cardiac Arrest
Tatalaksana : resusitasi jantung paru
REFERENSI
2015 American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2015 ; 132 (2) : S315-S367.
24. Pemeriksaan Fisik Ginekologi Wanita
Tujuan Pembelajaran
Mampu melakukan pemeriksaan fisik ginekologi wanita (Kompetensi 4A)
Prior Knowledge/Skill
1. Memahami anatomi organ reproduksi wanita
2. Memahami fisiologi organ reproduksi wanita
3. Memahami kelainan yang dapat terjadi pada organ reproduksi wanita
Prosedur
1. Informed consent: Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan, tujuan, dan prosedur
pemeriksaan yang akan dilakukan. Informasikan bahwa pemeriksaan yang akan
dilakukan tidak menyebabkan nyeri namun pasien mungkin akan merasa tidak
nyaman.
2. Persiapkan alat dan bahan.
a. Meja periksa ginekologi
b. Cairan antiseptik
c. Kasa steril
d. Kapas lidi
e. Sarung tangan, minimal DTT
f. Apron
g. Handuk kering
h. Lubrikan gel
i. Lampu sorot
j. Spekulum dan nampan
k. Meja instrumen
l. Larutan Klorin 0,5%
m.Kursi pemeriksa
n. Air kran dan sabun.
3. Minta pasien untuk mengosongkan kandung kencingnya dan membersihkan genitalia
eksterna terlebih dahulu.
4. Minta pasien melepaskan pakaian dalam dan berbaring di meja periksa dengan posisi
litotomi.
5. Nyalakan lampu dan diarahkan ke arah genitalia
6. Pemeriksa mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan kemudian duduk
menghadap aspektus genitalia pasien.
7. Menyampaikan kepada pasien bahwa pemeriksaan akan dimulai.
8. Sentuh paha sebelah dalam terlebih dahulu, sebelum menyentuh daerah genital
pasien.
9. Lakukan Pemeriksaan Inspeksi: Perhatikan labia, klitoris dan perineum, apakah
terdapat parut, lesi, inflamasi atau retakan kulit.
10. Lakukan Pemeriksaan Palpasi:
a. Pisahkan labia majora dengan dua jari, memeriksa labia minora, klitoris, mulut
uretra dan mulut vagina.Palpasi labia minora. Apakah terdapat benjolan, cairan,
ulkus dan fistula. Rasakan apakah ada ketidakberaturan atau benjolan dan apakah
ada bagian yang terasa nyeri.
b. Periksa kelenjar Skene untuk melihat adanya keputihan dan nyeri. Dengan telapak
tangan menghadap ke atas masukkan jari telunjuk ke dalam vagina lalu dengan
lembut mendorong ke atas mengenai uretra dan menekan kelenjar pada kedua sisi
kemudian langsung ke uretra
c. Periksa kelenjar Bartholin untuk melihat apakah ada cairan dan nyeri. Memasukkan
jari telunjuk ke dalam vagina di sisi bawah mulut vagina dan meraba dasar
masing-masing labia majora. Dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari,
mempalpasi setiap sisi untuk mencari apakah ada benjolan atau nyeri.
d. Minta ibu untuk mengejan ketika menahan labia dalam posisi terbuka. Periksa
apakah terdapat benjolan pada dinding anterior atau posterior vagina
11. Pemeriksaan In spekulo
a. Ambil spekulum dengan tangan kanan, masukkan ujung jari telunjuk kiri pada
introitus (agar terbuka), masukkan spekulum dengan arah sejajar introitus
(yakinkan bahwa tidak ada bagian yang terjepit) lalu dorong bilah ke arah lumen
b. Setelah masuk setengah panjang bilah, putar spekulum 90 0 hingga tangkainya ke
arah bawah. Atur bilah atas dan bawah dengan membuka kunci pengatur bilah
atas dan bawah (hingga masing-masing bilah menyentuh dinding atas dan bawah
vagina)
c. Tekan pengungkit bilah sehingga lumen vagina dan serviks tampak jelas
(perhatikan ukuran dan warna porsio, dinding dan sekret vagina ataupun forniks).
Fiksasi/kunci spekulum pada posisi terbuka sehingga pandangan di serviksdapat
terjaga selama pemeriksaan.
d. Bersihkan lendir dan getah vagina apabila menghalangi pandangan ke serviks
e. Periksa serviks apakah ada kecurigaan kanker serviks, servisitis, ektopion, tumor,
ovula Naboti atau luka (Bila ada indikasi, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
pap smear)
f. Lepaskan spekulum dan letakkan ke dalam wadah berisi larutan klorin 0.5%
12. Pemeriksaan bimanual:
a. Pemeriksa dalam posisi berdiri.
b. Buka labium mayus kiri dan kanan dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri,
kemudian memasukkan jari telunjuk dan tengah kedalam vagina (vaginal toucher)
c. Letakkan ujung-ujung jari tangan kiri pada suprasimfisis, lakukan penilaian:
1. Nilai dinding vagina. Apakah teraba massa, atau ada infiltrasi massa?
2. Nilai porsio: konsistensi, ukuran, besar, ektopi, adanya masa, adanya nyeri
goyang porsio.
3. Nilai korpus uteri: konsistensi, ukuran, posisi (antefleksi/retrofleksi), adanya
benjolan atau massa (Bila curiga ada kehamilan, periksa tanda hegar)
4. Nilai adneksa: adanya nyeri tekan, masa/benjolan, tegang/kaku (pada penyakit
radang panggul/PRP, perdarahan intraabdomen).
5. Nilai kavum Douglasi: menonjol atau tidak (adanya masa, cairan).
d. Kemudian, keluarkan jari tangan pemeriksa secara perlahan.
e. Bersihkan kembali area vulva dengan kasa kering atau yang diberi antiseptik.
(Pemeriksaan colok dubur/rectal touch dapat dilakukan pada pasien anak atau
wanita yang belum menikah)
13. Setelah selesai melakukan pemeriksaan:
a. Buang bahan habis pakai pada tempat sampah medis yang tersedia.
b. Kumpulkan semua alat yang telah digunakan dan lakukan dekontaminasi alat
dalam larutan klorin 0,5%.
c. Pemeriksa melepaskan sarung tangan di dalam larutan klorin dan mencuci
tangan.
14. Minta pasien mengenakan kembali pakaian dalamnya dan komunikasikan temuan
klinis yang didapatkan saat pemeriksaan.
15. Catat hasil pemeriksaan dalam rekam medis pasien dan jika diperlukan lakukan
pemeriksaan penunjang atau rujukan.
16. Beritahukan pasien apabila diperlukan kunjungan selanjutnya
Contoh Kasus
Seorang perempuan,P2A0, usia 43 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan benjolan
di perut bagian bawah yang dirasakan sejak 3 bulan terakhir tanpa nyeri. Siklus haid
tidak teratur dalam 3 bulan terakhir ini. Saat ini tidak menggunakan alat kontrasepsi.
Referensi
1. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kandungan. Sarwono
Prawirohardjo. Ed 3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011.
2. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Penerbit
JNPKKR-POGI-Yayasan Bina Pustaka Sarwono, 2006
3. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Pencegahan Kanker Leher Rahim
dan Kanker Payudara. Jakarta:Depkes RI. 2007
Teknik Pemeriksaan
1. Bagian kulit/rambut/kuku yang intak (tidak luka) sebelumnya dibersihkan dengan
swab alkohol, untuk daerah yang tidak intak/luka dapat dibersihkan dengan larutan
fisiologis
2. Ambilah bahan untuk pemeriksaan laboratorium dan taruh di kaca objek
- Kulit tidak berambut dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit
siluar kelainan sisik kulit
- Kulit berambut rambut dicabut pada bagian yang mengalami kelainan, kulit di
daerah tersebut dikerok untuk mengumpulkan sisikkulit
- Kuku diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong sedalam-dalamnya
hingga mengenai seluruh tebal kuku
- Mukosa mulut diambil dari permukaan mukosa (lidah, bukal) dengan cara
mengusapkan lidi kapas (digeser dan diputar 3600) sambil agak ditekan.
3. Kemudian ditambahkan 1-2 tetes larutan KOH
- KOH 10% untuk sediaan rambut
- KOH 20% untuk sediaan kulit dan kuku (untuk kuku ditambahkan DMSO 40%)
4. Setelah dicampur dengan larutan KOH, tunggu 15-20 menit untuk melarutkan
melisiskan jaringan
5. Dapat dipercepat dengan dengan melakukan pemanasan sediaan basah di atas api
kecil dan dilewatkan beberapa kali (jangan sampai menguap).
6. Setelah itu langsung dapat dilihat di bawah mikroskop
Referensi
Djuanda A, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
2007. Hal 96-97.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Inspeksi penis, inspeksi skrotum,
2. Palpasi penis, testis, duktus spermatikus, epididimis
3. Transluminasi skrotum
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien tujuan dan prosedur pemeriksaan
2. Dokter ditemani oleh asisten dalam melakukan pemeriksaan
3. Kondisikan ruang pemeriksaan yang nyaman
4. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan
5. Bebaskan alat genital untuk pemeriksaan meminta pasien membuka pakaian
bagian bawah
Penis
1. Lakukan inspeksi pada penis, nilai kulit di sekitar penis apakah terdapat lesi kulit
ekskoriasi atau inflamasi.
2. Preputium: apabila pasien tidak disirkumsisi, tarik preputium ke belakang atau minta
pasien yang melakukan, perhatikan apakah terdapat karsinoma lesi (ulserasi, skar,
nodul, atau tanda-tanda inflamasi), smegma, atau kotoran di bawah lipatan kulit dan
gland penis, perhatikan apakah terdapat ulserasi, skar, nodul, atau tanda-tanda
inflamasi.
3. Nilai posisi dari meatus uretra.
4. Tekan glans penis menggunakan ibu jari dan telunjuk, untuk menilai apakah terdapat
duh tubuh (discharge). Jika tidak terdapat duh tubuh discharge, namun pasien
mengeluhkannya terdapat discharge, maka lakukan pemijatan penis dari pangkal
hingga glans untuk mengeluarkan duh tubuh discharge. Sediakan tabung untuk kultur
discharge.
5. Lakukan palpasi pada penis, nilai apakah terdapat benjolan atau indurasi.
6. Kembalikan preputium ke posisi semula sebelum melakukan pemeriksaan lainnya.
Skrotum
1. Lakukan inspeksi, nilai kulit dan kontur dari skrotum. Angkat skrotum untuk menilai
permukaan posterior skrotum, perhatikan apakah ada lesi kulit (benjolan, atau
pelebaran pembuluh darah vena, dll).
2. Palpasi testis dan epididimitis menggunakan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Nilai
ukuran, bentuk, konsistensi, dan perhatikan apakah terdapat kelainan testis nodul.
3. Palpasi korda spermatikus, menggunakan ibu jari jari-jari dari belakang epididymis ke
cincin inguinal superfisial. Perhatikan apakah ada nodul atau pembengkakan.
-->urologi
4. Untuk menilai pembesaran skrotum di luar testis, dapat dilakukan pemeriksaan
transluminasi. Di dalam ruang pemeriksaan yang gelap, arahkan sinar senter dari
belakang skrotum, jika terdapat cairan, maka akan tampak bayangan merah dari
transmisi sinar melewati cairan. ---> urologi
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates Guide to Physical Examination and History Taking, 10th
edition. Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009.
Contoh Kasus:
Seorang laki-laki, 27 tahun, pekerjaan pedagang, datang dengan keluhan keluar cairan
putih dari kemaluan sejak 4 hari. Satu minggu yang lalu, pasien melakukan hubungan
seksual dengan seorang perempuan yang baru dikenalnya di tempat karaoke. Cairan
putih lebih banyak keluar pada pagi hari. Pasien mengeluhkan sakit bila buang air kecil.
Pasien tidak merasakan demam.
Pada pemeriksaan genitalia, kulit penis, prepusium dan skrotum tidak tampak kelainan.
Dengan penarikan prepusium tampak glands penis sedikit eritem, orifisium uretra
eksterna eritem dan sedikit udem. Duh tubuh uretra berwarna kekuningan, seropurulen,
dan banyak. Pada palpasi penis tidak didapatkan nyeri pada bagian ventral penis dan
skrotum.
Tujuan:
Menilai kelenjar limfe
Prior Knowledge :
Fisiologi Sistem Limfatik
Prosedur Keterampilan
1. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan prosedurnya
2. Lakukan Sanitasi Tangan (Tidak perlu dilakukan jika pemeriksaan ini merupakan
lanjutan dari pemeriksaan sebelumnya)
3. Palpasi menggunakan bantalan dari jari telunjuk dan jari tengah dengan gerakan
memutar yang lemah lembut, minta pasien untuk santai
Variasi
Prosedur ini dapat dilakukan pada posisi berbaring maupun duduk, sesuai dengan posisi
KGB yang akan diperiksa
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates Guide to Physical Examination and History Taking, 10th
edition. Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009, p 481-483
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI Jilid 1 EdisiVI, Interna Publishing, Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam
Catatan:
Tujuan:
Mengetahui Indikasi dan Jenis Transfusi
Prior Knowledge :
Safety Blood Transfusion
Reaksi Transfusi
Uji Kompatibilitas
- Golongan darah ABO
- Faktor Rhesus
- Jenis komponen darah
Prosedur Keterampilan
1. Menentukan Darah yang akan ditransfusikan sesuai dengan golongan
darahnya
Golongan darah Gologan darah Donor
Pasien Sel Darah Merah Plasma
AB Pilihan 1 : AB Pilihan 1 : AB
Pilihan 2 : A atau B
Pilihan 3 : O
A Pilihan 1 : A Pilihan 1 : A
Pilihan 2 : O Pilihan 2 : AB
B Pilihan 1 : B Pilihan 1 : B
Pilihan 2 : O Pilihan 2 : AB
O Pilihan 1 : O Pilihan 1 : O
Pilihan 2 : A atau B
Pilihan 3 : AB
Contoh Kasus
Seorang wanita berusia 19 tahun datang ke Unit Gawat Darurat RS dengan keluhan
bercak-bercak kemerahan di seluruh tubuh. Dari anamnesis diketahui tidak ada riwayat
trauma maupun pengobatan apapun sebelumnya.
Tanda-tanda Vital dalam batas normal.
Hasil lab, HB: 11; Leukosit: 7800; Platelet: 8000
D/ Immune Thrombocytopenia
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI Jilid 1 EdisiVI, Interna Publishing, Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam
29. Konseling Anemia Defisiensi Besi
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan:
Melakukan konseling pada pasien yang mengalami anemia defisiensi Fe
Contoh Kasus
Seorang wanita berusia 18 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan cepat lelah dan
mudah pusing sejak 1 bulan. Dari anamnesis diketahui pekerjaan membantu orang tua
berkebun, jarang makan daging, rumah tidak berlantai (lantai tanah), jarang memakai
sendal dan jarang mencuci tangan sebelum makan.
Pada Pemeriksaan fisik hanya didapatkan tanda-tanda anemia
Pada pemeriksaan lab didapatkan Hb: 6,8; Leukosit 8900; Trombosit 560.000; Hapusan
Darah Tepi : Anemia Mikrositik Hipokrom
Referensi
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI Jilid 1 EdisiVI, Interna Publishing, Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Tujuan pembelajaran
- Melakukan konseling secara baik dan benar saat pasien sudah membutuhkan terapi
insulin
- Melakukan penyuntikan insulin subkutan
Prosedur keterampilan
Bahan dan alat
- Sarung tangan non steril
- Sediaan insulin sesuai kebutuhan dan indikasi
- Jarum insulin 1 cc = 100 u
- Kapas alkohol
- Sharp container
- Alcohol scrub
- Tempat sampah infeksi
- Trolley
- Manekin suntikan subkutan
Langkah prosedur
- Melakukan konseling pra insulin
b. Contoh kasus
Seorang pria 48 tahun datang dengan keluhan berat badan yang semakin turun
sejak 6 bulan sebelum ke puskesmas. Pasien adalah penyandang diabetes selama
10 tahun dengan pengobatan terakhir metformin 3x850 mg dan glibenklamid
2x10 mg. Selain mengeluhkan penurunan berat badan 8 kg dalam waktu 6 bulan,
pasien juga mengeluhkan sering kencing malam dan rasa lemas. Pasien
membawa hasil gula darah puasa 276 mg/dl dan gula darah 2 jam sesudah
makan 354 mg/dl.
Instruksi:
Lakukan konseling untuk rencana pemberian insulin pada pasien lalu peragakan
penyuntikan insulin 8 unit subkutan.
c. Referensi
1. Konsensus Terapi Insulin PERKENI 2015
2. New Insulin Injection Recommendation. Diabetes and Metabolism. 2010. Vol.
36. S19-29
Prosedur keterampilan
Langkah prosedur
- Mencuci tangan
- Memperkenalkan diri, menjelaskan pemeriksaan yang akan dilakukan serta
meminta ijin
- Meminta pasien untuk duduk dan sedikit mengekstensikan kepalanya
- Melakukan inspeksi tiroid dari sisi depan pasien
- Berdiri di belakang pasien
- Melakukan palpasi pada regio tiroid dengan menggunakan ujung jari dari kedua
tangan
- Meminta pasien melakukan gerakan menelan
- Memeriksa seluruh bagian kelenjar tiroid
- Menggunakan stetoskop untuk menilai adanya bruit
- Melaporkan hasil dengan benar
- Melakukan pemeriksaan dengan cara yang menyenangkan.
- Mencuci tangan setelah pemeriksaan
b. Contoh kasus
Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan adanya
benjolan di leher depan sejak 3 bulan. Benjolan awalnya dirasakan sebesar
kelereng dan tidak bertambah besar sejak dirasakan. Pasien tidak merasa ada
gangguan menelan atau kesulitan bernafas. Selain keluhan benjolan di leher
pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan lain.
Instruksi:
Lakukan pemeriksaan fisik kelenjar tiroid lalu laporkan hasil pemeriksaan.
Referensi
1. Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates Guide to Physical Examination and History
Taking, 10th edn, Lippincott Williams & Wilkins, China, h. 166-167
2. Braverman LE, Cooper DS. The Thyroid: A Fundamental and Clinical Text. Werner and
Ingbar. 2013. 10th edition.
Kompetensi
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012, menyebutkan bahwa insersi kanula
vena perifer adalah kompetensi yang harus dapat dikerjakan secara mandiri oleh
seorang dokter (level kompetensi 4A). Hal ini berarti seorang dokter harus memahami
latar belakang teori, indikasi dan kontra indikasi, prosedur tindakan, komplikasi dan cara
penanggulangannya.
Tujuan Pembelajaran
Tujuan Pembelajaran Umum :
Mahasiswa mampu melaksanakan prosedur kanulasi intravena perifer dengan benar
pada manekin / boneka
Dasar Teori
a. Indikasi dan kontra indikasi kanulasi vena perifer
Indikasi kanulasi vena antara lain :
pemberian obat-obatan secara bolus atau kontinyu untuk terapi maupun
diagnostik
pemberian infus cairan dan elektrolit atau nutrisi parenteral
transfusi komponen darah
monitoring hemodinamik
Secara umum tidak ada kontra indikasi untuk pemasangan kanulasi vena, namun
harus diperhatikan kanulasi vena pada ekstremitas yang cedera, terinfeksi, atau
mengalami luka bakar harus dihindari bila memungkinkan.
Beberapa cairan dan obat obatan dengan karakteristik tertentu yaitu pH <5, pH >5,
osmolaritas >600 mOsm/L termasuk larutan skleroterapi, obat kemoterapi, dan
vasopressor dapat menyebabkan kerusakan pada vena atau jaringan bila terjadi
kebocoran ke jaringan.Bahan bahan tersebut harus diberikan melalui akses vena sentral.
b. Terapi cairan
60% tubuh manusia terdiri dari air.Cairan tubuh total terbagi dalam dua
kompartemen yaitu cairan intra seluler dan cairan ekstra seluler. Cairan ekstra seluler
terbagi dalam dua bagian yaiut cairan intravaskuler dan intersisial.Caiarn tubuh relatif
berada dalam kesetimbangan antara masing masing kompartemen dengan jumlah yang
relatif konstan.Pada kondisi normal, tubuh mengalami kehilangan cairan dari keringat,
urine, feses dan insensible water loss melalui penguapan respirasi dan kulit. Input cairan
didapatkan dari sejumlah air yang diminum dan produksi air hasil metabolisme energi.
Cairan yang diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan normal disebut cairan
rumatan. Pemberian cairan rumatan harus memperhitungkan kebutuhan elektrolit,
kalori, dan protein yang dibutuhkan pasien. Jumlah cairan yang diperlukan untuk pasien
dewasa secara umum adalah 30-40 ml/kg/24 jam sedangkan pada pasien anak
kebutuhan cairan rumatan selama 24 jam dapat dihitung dengan rumus Holliday-Segar
yaitu:
Kondisi 100 ml/kg untuk 10 kg pertama patologis
50 ml/kg untuk 10 kg kedua
dapat 20 ml/kg untuk sisa berat badannya menyebabkan
tubuh kehilangan
cairan berlebihan dari kompartemen intravaskuler karena perdarahan dan kompartemen
intersisial karena dehidrasi. Kehilangan cairan dari salah satu kompartemen tersebut
akan dikompensasi oleh kompartemen yang lain. Kehilangan cairan yang berat akan
menimbulkan syok yaitu gangguan perfusi dan oksigenasi jaringan.Syok karena
kehilangan sebagian cairan tubuh digolongkan dalam syok hipovolemik.
Tanda klinis syok antara lain adalah adanya gangguan perfusi, pada perabaan akan
didapatkan akral yang dingin, basah, dan pucat, capilary refil time memanjang >2 detik.
Nadi akan meningkat >100 kali/menit, dan pada kondisi lanjut akan didapatkan tekanan
darah sistolik turun samapai <100 mmHg. Tanda lain dapat berupa pernafasan yang
cepat, produksi urine menurun sampai < 1ml/kgBB/jam, atau kesadaran yang menurun
sampai coma.
Idealnya pasien yang mengalami syok dapat didiagnosa di ruang triase dan segera
ditransfer ke ruang resusitasi. Semua pasien diberikan oksigen konsentrasi tinggi,
dipasang iv line berdiameter besar dan monitor vital sign. Setelah jalan nafas dan
pernafasan stabil bila pasien mengalami syok hipovolemik diberikan loading cairan
kristaloid 20 ml/kg dalam waktu cepat (15 30 menit).Respon hemodinamik pasien
dievaluasi bila didapatkan perbaikan perfusi, nadi, dan tekanan darah loading cairan
dihentikan dan diberikan terapi cairan lanjutan sesuai causa syoknya apakah karena
sebab defisit cairan ekstra seluler atau defisit cairan intravaskuler.
Pemilihan ukuran jarum infus harus memperhatikan tujuan dan ukuran vena akan
dikanulasi. Secara umum pada orang dewasa digunakan no 18G atau 20G, untuk pasien
anak digunakan nomer 20G atau 22G, dan pada pasien bayi digunakan nomer 24G atau
26G.Bila diperlukan pemberian infus yang cepat dapat dipasang nomer yang lebih besar.
Infus set berberda dengan transfusi set. Transfusion set di dalam chambernya
terdapat filter sebesar 170 micron.
Botol infus sesuai tujuan terapi cairan di gantung di standar infus kemudian ujung
infus set / transfusion set di tusukkan ke botol infus dengan posisi tegak lurus. Perhatikan
bahwa ujung infus set / transfusion set yang dimasukkan ke botol infus dan kanul vena
harus tetap steril dan tidak boleh disentuh.
Gambar 1. Cairan yang umum digunakan untuk cairan intravena
Tekan chamber infus/transfusion set sampai setengah camber terisi cairan kemudian
cairan dialirkan ke bengkok melalui selang infus sampai seluruh selang infus terisi cairan,
kemudian selang infus diklem. Perhatikan bahwa tidak boleh ada gelembung udara yang
tersisa di dalam selang infus, karena bila gelembung udara tersebut masuk ke aliran
darah dapat menyebabkan emboli dan kematian.
Gambar 4. Infus set
Gambar 3. Transfusion
set
Gambar 5.Infus set
dengan tetesan mikro
c. Pemilihan vena
Pemilihan lokasi kanulasi harus memperhatikan faktor spesifik pasien misalnya pada
lengan dengan aterio venous (AV) shunt tidak boleh dilakukan kanulasi vena atau pada
pasien gagal ginjal yang mungkin memerlukan dialisis dihindari kanulasi pada vena
sefalika. Bila pada vena yang dipilih sudah ada bekas kanulasi maka kanulasi yang baru
dilakukan di sebelah proksimalnya.
Kanulasi vena perifer dianjurkan dilakukan pada vena distal lengan yang tidak
dominan, misalnya vena dorsum manus, vena sefalika, vena basilika atau vena
antecubiti.Vena yang dipilih adalah vena yang lurus dan tidak bercabang.Bila kesulitan
mendapatkan vena di lengan dapat dipilih vena di bagian kaki misalnya vena dorsum
pedis atau safena magna, namun harus diperhatikanbahwa kanulasi pada vena kaki
resiko terjadinya trombophlebitis dan trombosis lebih tinggi dibandingkan vena
lengan.Pada bayi vena di kepala dapat dijadikan alternatif lokasi kanulasi bila kesulitan
mendapatkan vena di tangan dan kaki.
Bila didapatkan vena pada pasien kolaps dapat dilakukan pemasangan tourniket
diatas vena yang akan dikanulasi dan diposisikan lebih rendah dari jantung, ditepuk
pelan-pelan, digosok-gosok, dihangatkan, menggengam dan membuka telapak tangan
agar darah yang diotot masuk ke vena. Pemasangan tidak boleh terlalu erat karena akan
menyebabkan bendungan arteri dan vena akibatnya vena akan tetap tidak terisi darah.
1) Povidon-iodine 10%
- Dioleskan dua kali
- Tunggu 30 detik
- Tak perlu dibilas dengan alkohol
2) Tingtura jodium
- Konsentrasi 2%
- Tunggu 30 detik
- Cuci dengan alkohol 70%
3) Etil Alkohol
- Konsentrasi 70%
- Tunggu 60 detik
- Biarkan yang kering
Setelah dilakukan desinfeksi lokasi kanulasi tidak boleh disentuh tangan atau benda
yang tidak steril.
Setelah larutan desinfeksi di kulit mengering, tusukkanlah kanul vena searah aliran
vena ke jantung dengan lubang pada ujung jarum menghadap keatas. Penusukan
dilakukan dengan jarak 0,5 cm dari vena yang dituju dengan sudut 20-45 0, arahkan
kateter untuk menembus sisi samping vena sampai terlihat aliran balik darah didalam
chamber kanul vena. Stylet (jarum penuntun) ditarik sedikit kemudian kateter didorong
kedalam sampai seluruh kateter masuk di dalam vena.Mendorong kateter vena dengan
cara dipilin dapat memudahkan kateter masuk ke dalam vena.Setelah dipastikan
catheter masuk vena jarum ditarik sampai keluar dengan menekan vena di
proksimalvena yang dikanulasi agar darah tidak tercecer.Kemudian sambungkan dengan
ujung selang infus.Buka klem selang infus / transfusion set bila pemasangan berhasil,
maka tetesan akan berjalan lancar, selanjutnya selang di klem kembali. Perhatikan
bahwa tourniket harus dilepas sebelum meneteskan cairan infus.
f. Fiksasi
Jarum atau kanula sudah terpasang harus dilakukan fiksasi dengan baik agar tidak
bergerak-gerak dan tercabut, jarum atau kanula yang bergerak akan:
Menembus dinding vena
Melukai dinding dalam vena
Mengundang infeksi
Fiksasi dilakukan dengan plester atau semacamnya sedemikian rupa sehingga jarum
atau kanula tidak bergerak dan tidak mudah tercabut.
Bila tidak fiksasi steril tidak dapat dikerjakan, harus diperhatikan bahwa lokasi
tusukan tidak boleh ditutup dengan plester non steril. Kasa steril dapat digunakan untuk
menutup lokasi tusukan sebelum kemudian dilakukan fiskasi dengan plester.Perhatikan
juga sambungan kanul vena dan selang infus tidak boleh tertutup oleh plester.
Bersihkan sisa sampah. Pisahkan sampah tajam, medis dan non medis. Buka
handskon dengan cara yang benar dan buanglah pada tempat sampah medis.Kemudian
cuci tangan kembali.
Beri identitas pada infuse atau slang infuse dengan plester : tanggal dan waktu
pemasangan, nama, umur, jenis kelamin pasien, dokter yang bertanggung jawab, jenis
cairan, jumlah tetesan dan ukuran iv cath.
g. Menghitung tetesan
Setelah terpasang kanula vena cairan infus di teteskan sesuai dengan :
Dewasa
Jumlah cairan infus (ml) X 20= Jumlah cairan infus (ml)
Lamanya infus (jam) X 60 Lamanya infus (jam) X 3
h. Anak
Jumlah cairan infus (ml) X 60 = Jumlah cairan infus (ml)
Lamanya infus (jam) X 60 Lamanya infus (jam)
RENCANA PEMBELAJARAN
Pembelajaran keterampilan kanulasi intravena dilakukan dalam 2 kali pertemuan @ 2
jam, bertempat di Laboratorium Keterampilan Klinik yang disetting dengan manikin
beserta alat dan bahan kanulasi intravena.
1. Pembukaan:
- Pembuka Instruktur 15 menit
- Presensi dan mengumpulkan workplan Mahasiswa
- Skenario dan pre-tes mahasiswa
- Tujuan Pembelajaran instruktur
2. Aktivitas Utama:
i. Video atau demostrasi oleh instruktur dan Mahasiswa 15 menit
pasien simulasi Instruktur
ii. Sesi praktik:
60 menit
- Mahasiswa bergantian untuk melakukan
kanulasi intravena.
- Mahasiswa lain mengamati sesi praktik
teman satu kelompok
- Setiap selesai satu mahasiswa, anggota
kelompok yang melakukan observasi
10 menit
memberikan umpan balik dengan dipandu
instruktur.
iii. Diskusi
3. Penutupan:
- Refleksihasil praktik, aspek positif yang Instruktur 20 menit
harus diperkuat dan aspek negatif yang
perlu untuk dihindari selanjutnya.
- Penjelasan mengenai tugas untuk
meningkatkan ketrampilan melalui belajar
mandiri.
- Mengingatkan mahasiswa tentang
pentingnya ketrampilan ini
- Refleksi oleh mahasiswa terhadap sesi
praktik (masukan untuk Skills Lab)
- Penutup
Tujuan pembelajaran:
A. Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi pemeriksaan elektrokardiografi
B. Mahasiswa mampu melakukan perekaman elektrokardiografi pada pasien dewasa
dengan benar
C. Mahasiswa mampu menafsirkan irama hasil rekam anelektrokardiografi, laju
denyut jantung, sumbu listrik EKG.
Prosedur ketrampilan:
Elektrokardiografi (EKG)
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Mengetahui aktifitas elektrik jantung
Teknik Pemeriksaan
1. Memperkenalkan diri, konfirmasi identitas pasien, jelaskan prosedur dan
mendapatkan izin secara verbal.
2. Posisikan pasien pada posisi yang nyaman (duduk atau tidur) dengan bagian atas
badan, kaki dan badan terlihat.
3. Membersihkan lokasi yang akan dipasang elektroda dengan mencukur rambut dan
membersihkan kulit dengan alkohol untuk mencegah hambatan hantaran gelembong
elektrik.
4. Memberikan gel pada lokasi penempelan elektroda.
5. Masing-masing elektroda dipasang dengan menempelkan atau penjepitan bantalan
atau ujung elektroda pada kulit pasien. Bantalan elektroda biasa diberi label dan
berbeda dari segi warna untuk mencegah kesalahan pemasangan.
6. Lokasi pemasangan elektroda ekstremitas secara umum:
- Tangan kanan: merah
- Tangan kiri: kuning
- Kaki kanan: hijau
- Kaki kiri: hitam
7. Lokasi pemasangan elektroda precordial
- V1 : ICS 4 tepat disebelah kanan sternum
- V2 : ICS 4 tepat di sebelah kiri sternum
- V3 : garis tengah antara V2 dan V4
- V4 : ICS 5 garis midklavikula sinistra
- V5 : garis aksilaris anterior sinistra, sejajar dengan V4
- V6 : garis midaksilaris, sejajar dengan V4
8. Setelah terpasang, nyalakan mesin EKG, mengoperasikan sesuai prosedur tetap
sesuai jenis mesin EKG (manual atau otomatis).
9. Cek kalibrasi dan kecepatan kertas (1 mV harus digambarkan dengan defleksi vertikal
sekitar 10 mm dan kecepatan kertas 25 mm/detik atau setara dengan 5 kotak
besar/detik).
10. Memastikan nama pasien, catat tanggal dan waktu pencatatan.
11. Setelah hasil didapatkan, lepaskan elektroda yang terpasang.
2
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier, 2005.
Gambar 73. Perhitungan irama jantung 7
4. Lihat axis
Batas normal sumbu jantung berada antara -30 sampai +90. Jika lebih besar dari
-30 maka deviasi ke kiri, dan jika lebih besar dari +90 maka sumbu jantung deviasi
ke kanan.
5. Gelombang P
Analisis adakah kelainan dari gelombang P. lihat pula bentuknya apakah P mitral atau
P pulmonal. Normalnya tinggi tidak lebih dari 3 kotak kecil, lebar tidak lebih dari 3
kotak kecil, positif kecuali di AVR, gelombang simetris.
6. PR interval
PR interval normal adalah 0,12-0,2 detik. Jika PR interval memanjang curiga sebagai
suatu block jantung.
3
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier, 2005.
7. Gelombang Q
Lebar gelombang Q normal kurang dari 0,04 detik, tinggi kurang dari 0,1 detik.
Keadaan patologis dapat dilihat dari panjang gelombang Q >1/3 R, ada QS pattern
dengan gelombang R tidak ada. Adanya gelomang Q patologis ini menunjukkan
adanya old miocard infark.
8. QRS kompleks
Adanya kelainan kompleks QRS menunjukkan adanya kelainan pada ventrikel (bisa
suatu block saraf jantung atau kelainan lainnya). Lebar jika aliran listrik berasal dari
ventrikel atau terjadi blok cabang berkas. Normal R/S = 1 di lead V3 dan V4. Rotasi
menurut arah jarum jam menunjukkan penyakit paru kronik. Artinya gelombang QRS
menjadi berbalik. Yang tadinya harus positif di V5 dan V6 dan negative di V1 dan V2
maka sekarang terjadi sebaliknya.
9. Segmen ST
Segmen ST normal di V1-V6 bisa naik 2 kotak kecil atau turun 0,05 kotak kecil.
Patologis: elevasi (infark miokard akut atau pericarditis), depresi (iskemia atau terjadi
setelah pemakaian digoksin).
10. Gelombang T
4
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier, 2005.
Gelombang T normal = gelombang P. Gelombang ini positif di lead I, II, V3-V6 dan
negatif di AVR.
Patologis:
- Runcing: hiperkalemia
- Tinggi lebih dari 2/3 R dan datar: hipokalemia
- Inversi: bisa normal (di lead III, AVR, V1, V2 dan V3 pada orang kulit hitam) atau
iskemia, infark, RVH dan LVH, emboli paru, sindrom WPW, blok berkas cabang.
11. Kriteria untuk membantu diagnosis LVH (left ventricle hypertrophy): Jumlah
kedalaman gelombang S pada V1ditambah dengan ketinggian gelombang R pada V5
atau V6 lebih dari 35 mm, atau; gelombang R di V1 11-13 mm atau lebih, atau; ST
depresi diikuti inversi T dalam dan luas, atau; Left axis deviation (LAD), atau;
gelombang P yang lebar pada lead ekstrimitas atau gelombang P bifasik pada V1.
12. Gelombang R yang lebih besar disbanding gelombang S pada V1menandakan namun
tidak mendiagnosis RVH (right ventricle hypertrophy); Gelombang R yang lebih tinggi
pada lead prekordial kanan; right axis deviation; inverse gelombang T pada lead
prekordial menandakan RVH.
Gambar 78. Kompleks QRS di V1 dan V6 ada pasien normal, LVH, dan RVH 5
5
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier, 2005.
6
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier, 2005.
14. Atrial fibrilasi
- Frekuensi denyut sangat cepat hingga 350-600 kali per menit.
- Gelombang berombak ireguler menggantikan gelombang P yang normal.
Gelombang ini disebut f waves.
7
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier, 2005.
Gambar 83. Perbedaan ventricular premature beat (atas) dan atrial premature beat
(bawah) 13
17. Akut miokard infark
- Fase akut yaitu ditandai dengan ST segmen elevasi yang sudah disertai atau tidak
dengan gelombang Q patologis. Fase ini terjadi kurang lebih dari 0-24 jam.
- Fase early evolution, yaitu ditandai masih dengan elevasi segmen ST tapi
gelombang T mulai inverted. Proses ini terjadi antara 1 hari sampai beberapa
bulan.
- Fase old infarck, yaitu gelombang Q yang menetap disertai gel T kembali ke
normal. Proses ini dimulai dari beberapa bulan MI sampai dengan tahun dan
seumur hidup.
Berikut daftar lead yang mengalami kelainan dan tempat dicurigai kelainan tersebut :
- I, III, AVF: inferior
- V1-V2: lateral kanan
- V3-V4: septal atau anterior
- I, AVL, V5-V6: lateral kiri
- V1-V3: posterior
Gambar 84. Evolusi segmen ST pada infark miokard inferior. A. fase akut infark miokard:
ST elevasi; B. fase perubahan ditandai dengan T inverted dalam; C. revolving phase,
regresi parsial atau total segmen ST, terkadang timbul gelombang Q 8
8
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier, 2005.
Gambar 85. Mobitz tipe I 9
- Mobitz tipe II: kegagalan konduksi mendadak tanpa ada kelainan interval PR
sebelumnya.
c. Blok AV derajat III: terdapat gelombang P, dengan denyut atrial lebih cepat dari
denyut ventricular; terdapat kompleks QRS dengan frekuensi ventrikuler yang lambat
(biasanya tetap); gelombang P tidak berhubungan dengan kompleks QRS, dan
interval PR sangat bervariasi karena hubungan listrik atrium dan ventrikel terputus.
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates Guide to Physical Examination and History Taking,10 th
Ed. China: Lippincott Williams & Wilkins, 2009.
2. Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier, 2005.
3. Taylor GJ, 150 Practice ECGs: Interpretation and review. 3rd ed., Massachussets,
Blackwell publishing, 2006.
Variasi :
Istilah yang sama:
- ECG = EKG
- Sandapan = lead = electrode
- Lajudenyutjantung = laju QRS = QRS rate
- Sumbu = axis
- Terdapatvariasialat EKG yang tersedia di pasaran, ada yang manual ada yang
otomatis.
Contoh kasus:
Seorang pasien laki-laki usia 50 tahun dating ke Poli Jantung di Rumah Sakit tempat anda
bekerja dengan keluhan utama nyeri dada bila melakukan aktifitas naik tangga satu
9
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier, 2005.
lantai, yang berkurang dengan istirahat. . Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi
sejak 2 tahun yang lalu dan merokok 5 batang dalam sehari sejak 20 tahun yang lalu.
Riwayat pengobatan: pasien tidak rutin control dan tidak rutin minum obat. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/90 mmHg, denyut nadi 90 kali per
menit, laju pernapasan 18 kali per menit. Pemeriksaan fisik lainnya tidak diketemukan
kelainan.
Instruksi: Lakukan pemeriksaan rekamelektro kardiografi.
Tujuan pembelajaran:
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik jantung yang berupa inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi secara berurutan dan benar.
Prosedur ketrampilan :
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai kondisi fisik jantung
Teknik Pemeriksaan
Inspeksi dada
1. Minta pasien berbaring dengan nyaman.
2. Lepaskan pakaian yang menghalangi dada.
3. Perhatikan bentuk dada dan pergerakan dada saat pasien bernafas. Perhatikan jika
terdapat deformitas atau keadaan asimetris, retraksi interkostae dan suprasternal, dan
kelemahan pergerakan dinding dada saat bernafas.
4. Auskultasi jantung
a. Murmur sistolik
Menjalar ke karotis, dapat terjadi pada stenosis/sklerosis aorta
b. Murmur diatolik
Terdengar paling keras di tepi sternal kiri bawah, dapat terjadi pada regurgiasi
pulmonal, regurgitasi aorta
c. Murmur pansistolik
Paling keras di apeks, dapat terjadi pada regurgitasi mitral, regurgitasi trikuspid
d. Murmur mid-diastolik
Paling keras di apeks, dapat terjadi pada stenosis mitral, stenosis tricuspid
e. Intensitas murmur.
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates Guide to Physical Examination and History Taking , 10th Ed.
China: Lippincott Williams & Wilkins, 2009.
2. Goldberg C, A Practical Guide to Clinical Medicine. A comprehensive physical
examination and clinical education site for medical students and other health care
professionals.University of California, San Diego School of Medicine, 2004.
3. Constant J, Essentials of Bedside Cardiology, 2nd ed., Humana press, New York, 2003
1. Variasi istilah:
2. Contoh kasus:
Seorang pasien laki-laki usia 60 tahun dating ke poli tempat anda bekerja dengan
keluhan dada sering berdebar dan mudah letih. Keluhan ini dialami sejak 3 bulan yang
lalu. Pasien diketahui memiliki riwayat diabetes mellitus dan hiper kolesterolemia.
Tekanan darah 150/90 mmHg, dengan laju nadi 112 kali per menit, tidak teratur.
Instruksi untuk kandidat:
Lakukan pemeriksaan fisik jantung yang benar pada pasien tersebut.
Judul ketrampilan :
Pemeriksaantekanan vena jugulari sinterna
Tujuan pembelajaran:
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan tekanan vena jugularis dengan benar dan
legeartis.
Prosedur ketrampilan :
Pemeriksaan JVP
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: menilai fungsij Antung dan status cairan pasien
9. Ukurlah jarak vertikal (tinggi) antara manubrium dan titik tertinggi pulsasi vena
10. Catat hasilnya.
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates Guide to Physical Examination and History Taking,
10th ed. Lippincott Williams & Wilkins, 2009; p 265 266.
2. .Goldberg C, A Practical Guide to Clinical Medicine. A comprehensive physical
examination and clinical education site for medical students and other health care
professionals.University of California, San Diego School of Medicine, 2004.
3. Constant J, Essentials of Bedside Cardiology, 2nd ed., Humana press, New York, 2003
Variasi istilah:
JVP = jugular venous pressure = tekanan vena jugularis.
Contoh kasus:
Seorang laki-laki berusia 63 tahun dating ke IGD tempat anda bekerja dengan keluhan
utama mudah lelah dan kaki bengkak. Pasien merasa lebih nyaman bila tidur denngan 4
bantal. Keluhan ini dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Pasien diketahui mengidap
hipertensi, tidak berobat teratur.
Pada pemeriksaan tanda vital diketahui tekanan darah 110/70 mmHg, laju denyut nadi
100 kali per menit.
Instruksi : Lakukan pemeriksaan jugular venous pressure dengan benar.
Tujuan pembelajaran:
Mahasiswa mampu melakukan perabaan denyut nadi dan pemeriksaan tekanan darah
secara legeartis.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Mengukur tekanan darah
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
3. Mempersilahkan pasien untuk istirahat paling tidak 5 menit dalam posisi
pemeriksaan (posisi duduk).
4. Pastikan ruang pemeriksaan tenang dan nyaman.
5. Lengan yang akan diperiksa harus bebas dari pakaian. Pastikan pada lengan tersebut
tidak terdapat cimino untuk dialisis, bekas luka yang disebabkan putusnya arteri
brachial sebelumnya maupun limfaoedem.
6. Lakukan palpasi pada arteri brakhialis untuk memastikan terabanya denyut.
7. Posisikan lengan pasien sedemikian rupa sehingga arteri brakhialis sejajar dengan
jantung. Apabila pasien dengan posisi duduk maka letakkan lengan pada meja
sedikit diatas pinggul.
8. Tentukan ukuran manset. Bila manset terlalu besar untuk lengan pasien, seperti
pada anak-anak, maka pembacaannya akan lebih rendah dari tekanan sebenarnya.
Bila manset terlalu kecil, misalnya pada penggunaan manset standar pada pasein
obes, maka pembacaan tekanan akan lebih tinggi dibanding tekanan sebenarnya.
9. Pasang manset dengan membalutkannya dengan kencang dan lembut pada lengan
atas. Batas bawah manset berada pada 2.5 cm di atas fossa antecubiti, dan balon
manset harus berada di tengah arteri brakialis.
10. Posisikan lengan pasien sedemikan rupa sehingga siku sedikit fleksi.
11. Pompa manset hingga mengembang. Untuk menentukan seberapa tinggi tekanan
manset, pertama-tama perkirakan tekanan sistolik dengan palpasi. Raba arteri
radialis dengan satu tangan, kembangkan manset secara cepat sampai dengan
pulsasi arteri radialis menghilang. Baca tekanan yang terbaca pada manometer, lalu
tambahkan 30 mmHg. Gunakan jumlah ini sebagai target untuk mengembangkan
manset sehingga mengurangi ketidaknyamanan karena manset yang terlalu
kencang.
12. Kempiskan manset dan tunggu 15-30 detik.
13. Tempatkan membran stetoskop pada arteri brachialis.
14. Kembangkan manset secara cepat sampai dengan tekanan yang telah ditentukan
sebelumnya.
15. Kempiskan secara perlahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per detik.
16. Dua bunyi pertama yang terdengar adalah tekanan sistolik pasien.
17. Turunkan tekanan 10-20 mmHg.
18. Kemudian kempiskan manset secara cepat hingga nol.
19. Titik dimana bunyi terdengar menghilang merupakan tekanan diastolik pasien.
20. Tunggu selama 2 menit, kemudian ulangi pemeriksaan untuk mendapatkan nilai rata-
rata.
Gambar 9. Teknik pemeriksaan tekanan darah
mmHg
Tabel 6. Klasifikasi tekanan darah dewasa (> 18 th) menurut JNC VII
Kategori Sistolik (mm Diastolik (mm Hg)
Hg)
Normal <120 <80
Prehiperten 120-139 80-89
si
Hipertensi
Stage 1 140-159 90-99
Stage 2 160 100
Catatan: target tekanan darah pada pasien
dengan hipertensi, DM atau penyakit ginjal
<130/80 mmHg
Apabila tekanan darah sistolik dan diastolik berada pada kategori yang berbeda,
gunakan kategori yang tertinggi. Misalnya, tekanan darah 170/92 mmHg berada pada
kategori hipertensi stage II; tekanan darah 135/100 mmHg berada pada kategori
hipertensi stage I.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau
tekanan darah diastolik 10 mmHg setelah pasien berdiri sampai dengan 3 menit.
Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates guide to physical examination and history taking. 10th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2009.
2. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleods clinical examination. Ed 13. Edenburg:
Elsevier. 2013.
3. Pickering TG, Hall JE, Appel LJ, Falkner BE, Graves J, Hill MN, Jones DW, Kurtz T, Sheps
SG, Roccella EJ. Recommendations for Blood Pressure Measurement in Humans and
Experimental Animals. Part 1: Blood Pressure Measurement in Humans. A Statement
for Professionals From the Subcommittee of Professional and Public Education of the
American Heart Association Council on High Blood Pressure Research. Hypertension.
2005;45:142-161.
4. Beevers G, Lip GY, OBrien E. ABC of hypertension: blood pressure measurement. II.
Conventional sphygmomanometry: technique of auscultatory blood pressure
measurement. BMJ 2001;322:1043-7.
5. Williams JS, Stacey M. Brown SM, Conlin PR. Blood-Pressure Measurement. N Engl J
Med 2009;360:e6.
6. Ogedegbe G, Pickering T. Principles and techniques of blood pressure measurement.
Cardiol Clin. 2010 November ; 28(4): 571586.
37. Pemeriksaan Denyut Nadi
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai sirkulasi perifer
Teknik Pemeriksaan
1. Pasien dalam posisi terlentang
2. Dengan menggunakan telunjuk dan jari tengah, tekan arteri radialis sampai dengan
terdeteksi denyut maksimal. Yang perlu dinilai adalah frekuensi, irama dan kuat
angkat.
3. Apabila didapatkan frekuensi denyut dan irama normal, maka hitung frekuensi
selama 30 detik lalu kalikan 2. Jika frekuensi denyut nadi sangat cepat atau sangat
lambat, hitung selama 60 detik.
4. Untuk menilai irama, rasakan denyut radialis. Apabila didapatkan irama ireguler,
cek kembali irama dengan menempelkan stetoskop pada apeks jantung.
Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates guide to physical examination and history taking.
10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2009.
2. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleods clinical examination. Ed 13. Edenburg:
Elsevier. 2013.
3. Walker HK, Hall DW,Hurst JW.Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations. 3rd edition, Butterworths 1990.
Teknik Pemeriksaan
1. Palpasi arteri karotis pada bagian ventral dari otot sternikleidomastoideus kanan
dan kiri
2. Palpasi dilakukan secara bergantian antara kanan dan kiri
3. Lakukan penilaian.
4. Dengarkan thrill dan bruit pada arteri karotis dengan menggunakan stetoskop.
5. Letakkan stetoskop pada daerah arteri karotis, minta pasien untuk menahan
napasnya agar auskultasi terdengar jelas dan tidak tersamarkan oleh bunyi
napas.
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates Guide to Physical Examination and History Taking, 10th
ed. China: Lippincott Williams & Wilkins, 2009; p 267-268.
2. Goldberg C, A Practical Guide to Clinical Medicine. A comprehensive physical
examination and clinical education site for medical students and other health care
professionals.University of California, San Diego School of Medicine, 2004.
3. Constant J, Essentials of Bedside Cardiology, 2nd ed., Humana press, New York, 2003
Variasi istilah:
Contoh kasus:
Seorang pasien perempuan usia 75 tahun dating ke IGD Rumah sakit tempat anda
bekerja dengan keluhan badan lemas tidak bertenaga. Pasien diketahui tidak mau makan
dan minum empat hari terakhir. Riwayat penyakit dahulu: pasien diketahui menderita
hipertensi namun tidak rutinberobat.
Instruksi untuk kandidat:
Lakukan pemeriksaan tanda vital berupa: perabaan denyut nadi, dan pemeriksaan
tekanan darah.