Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Vaginosis bakterial didefinisikan sebagai suatu keadaan abnormal pada
ekosistem vagina yang dikarakterisasi oleh pergantian konsentrasi Lactobacillus
yang tinggi sebagai flora normal vagina oleh konsentrasi bakteri anaerob yang
tinggi, terutama Bacteroides Spp., Mobilincus Spp., G. vaginalis, dan
Mycoplasma hominis. Jadi vaginosis bakterial bukan suatu infeksi yang
disebabkan oleh satu organisme, tetapi timbul akibat perubahan kimiawi dan
pertumbuhan berlebih dari bakteri yang berkolonisasi di vagina.1,2
Awalnya infeksi pada vagina hanya disebut dengan istilah vaginitis, di
dalamnya termasuk vaginitis akibat Trichomonas vaginalis dan akibat bakteri
anaerob lain berupa Streptococcus dan Bacteroides sehingga disebut vaginitis non
spesifik. Setelah Gardner menemukan adanya spesies baru yang akhirnya disebut
G. vaginalis, istilah vaginitis non spesifik pun mulai ditinggalkan. Berbagai
penelitian dilakukan dan hasilnya disimpulkan bahwa Gardnerella melakukan
simbiosis dengan berbagai bakteri anaerob, sehingga menyebabkan manifestasi
klinis vaginitis, diantaranya termasuk dari golongan Mobilincus, Bacteriodes,
Fusobacterium, Veilonella, dan golongan Eubacterium, misalnya Mycoplasma
hominis, Ureaplasma urealyticum dan Streptococcus viridians.2-4
G. vaginalis merupakan bakteri anaerob batang gram variable yang
mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan flora normal vagina dari yang
tadinya bersifat asam menjadi bersifat basa. Perubahan ini terjadi akibat
berkurangnya jumlah Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen peroksida.
Lactobacillus sendiri merupakan bakteri anaerob batang besar yang membantu
menjaga keasaman vagina dan menghambat mikroorganisme anaerob lain untuk
tumbuh di vagina.4,5
2.2. Epidemiologi
2
3
2.3. Etiologi
4
2.4. Patogenesis
Vaginosis bakterial disebabkan oleh faktorfaktor yang mengubah
lingkungan asam normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong
pertumbuhan berlebihan bakteri-bakteri penghasil basa. Hal yang dapat mengubah
pH melalui efek alkalinisasi antara lain mukus serviks, semen, darah haid,
mencuci vagina (douching), pemakaian antibiotik dan perubahan hormon saat
hamil dan menopause.2,3,8
Pada pemeriksaan sangat khas didapatkan sekret vagina yang tipis dan
sering berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan
jarang berbusa. Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai
lapisan tipis atau kelainan yang difus dengan pH vagina berkisar 4,5-5,5.
Sebaliknya sekret vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel
vagina yang memberikan gambaran bergerombol. Vaginosis bakterial dapat timbul
bersama infeksi traktus genital bawah seperti trikomoniasis dan servisitis sehingga
menimbulkan gejala genital yang tidak spesifik.8-10
2. Whiff test
Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi dengan
penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul sebagai
akibat pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob. Whiff
test positif menunjukkan vaginosis bakterial. 2-4
11
2.7. Diagnosis
Diagnosis vaginosis bakterial ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis menggambarkan riwayat sekresi
vagina terus-menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang penderita mengeluh
iritasi pada vagina disertai disuria/dispareunia, atau nyeri abdomen. Pada
pemeriksaan fisis relatif tidak banyak ditemukan apa-apa, kecuali hanya sedikit
inflamasi dapat juga ditemukan sekret vagina yang berwarna putih atau abu-abu
yang melekat pada dinding vagina. 11,12
Gardner dan Dukes (1980) menyatakan bahwa setiap wanita dengan
aktivitas ovum normal yang mengeluarkan cairan vagina berwarna abu-abu,
homogen, berbau dengan pH 5-5,5 dan tidak ditemukan T. vaginalis,
kemungkinan besar menderita vaginosis bakterial. Diagnosis dibuat atas dasar
ditemukannya clue cell, pH vagina lebih besar dari 4,5, tes amin positif dan
adanya G. vaginalis sebagai flora vagina utama menggantikan Lactobacillus. 11,12
Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu
diagnosis. Oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk vaginosis bakterial yang
sering disebut sebagai kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa terdapat
tiga dari empat gejala, yaitu: 11,12
1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding
vagina dan abnormal
2. Ph vagina > 4,5
3. Tes amin yang positif, yang mana sekret vagina yang berbau amis sebelum
atau setelah penambahan KOH 10% (Whiff test).
4. Adanya clue cell pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)
Ditemukan tiga dari empat kriteria diagnosis ini sudah cukup menegakkan
diagnosis vaginosis bakterial. Duh tubuh yang ditemukan biasanya lengket,
menempel ke vagina, homogen, tipis, dan yang khas ialah warnanya yang keabu-
abuan. Kadang-kadang dapat dilihat gelembung kecil di dalamnya.
A. Anamnesis
13
Wanita dengan vaginosis bakterial akan mengeluh adanya duh tubuh dari
vagina yang ringan atau sedang dan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis
atau bau ikan (fishy odor). Bau lebih menusuk setelah sanggama dan
mengakibatkan darah menstruasi berbau abnormal. Iritasi daerah vagina atau
sekitarnya (berupa gatal dan rasa terbakar) relatif lebih ringan dari trikomoniasis.
Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, sementara yang lain
mengeluhkan kemerahan dan edema pada vulva. Jarang ditemukan keluhan lain,
misalnya nyeri abdomen, dispareunia, atau nyeri waktu kencing. Kalaupun ada,
biasanya akibat penyakit lain. Di samping itu, penderita vaginosis bakterial
bersifat asimptomatik. 4,6,12
2. Trikomoniasis
Trikomoniasis adalah penyakit menular seksual yang ditandai dengan
sejumlah besar sekret vagina yang bau yang disertai oleh rasa gatal di daerah
genital dan nyeri saat berkemih pada wanita. Penyebabnya adalah Trichomonas
vaginalis, organisme oval berflagella yang berukuran setara dengan sebuah
leukosit. Bakteri ini akan hidup optimal pada lingkungan lembab dengan suhu 35-
37oC dan pH 4,9-7,5. Kadar pH menjadi faktor penting dalam pertumbuhan
T.vaginalis; vagina yang sudah terinfeksi akan memiliki pH basa yaitu 5,5-6.
Dengan demikian, keadaankeadaan yang meningkatkan pH vagina misalnya
haid, kehamilan, pemakaian kotrasepsi oral, dan tindakan sering mencuci vagina
merupakan predisposisi timbulnya trikomoniasis. 15-17
16
2.9. Tatalaksana
Karena penyakit vaginosis bakterial merupakan vaginitis yang cukup
banyak ditemukan dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi. Sekitar 1 dari
4 wanita akan sembuh dengan sendirinya karena organisme Lactobacillus vagina
kembali meningkat ke level normal dan bakteri lain mengalami penurunan
jumlah. Namun pada beberapa wanita, bila vaginosis bakterial tidak diberi
pengobatan, akan menimbulkan keadaan yang lebih parah. Oleh karena itu perlu
mendapatkan pengobatan dimana jenis obat yang digunakan hendaknya tidak
membahayakan dan sedikit efek sampingnya. Ahli medis biasanya menggunakan
antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk mengobati vaginosis
bakterial. 18,19
A. Terapi sistemik18,19
17
1.
Metronidazol 400-500 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Dilaporkan efektif dengan
kesembuhan 84-96%. Metronidazol dapat menyebabkan mual dan urin menjadi
gelap. Metronidazol 200-250 mg, 3x sehari selama 7 hari untuk wanita hamil.
Metronidazol 2 gram dosis tunggal kurang efektif daripada terapi 7 hari untuk
pengobatan vaginosis bakterial oleh karena angka rekurensi lebih tinggi.
2. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan
metronidazol untuk pengobatan vaginosis bakterial dengan angka kesembuhan
94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil klindamisin dapat
menembus ASI.
3. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari selama
7 hari. Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap
metronidazol.
4.
Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari
5.
Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari
6.
Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari
7.
Cefaleksin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari
B. Terapi Topikal18,19
1.
Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.
2.
Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
3.
Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.
4.
Triple sulfonamide cream.(3,6) (Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7% dan
Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini dilaporkan
angka penyembuhannya hanya 15-45 %.
250 mg, 3 x sehari selama 7 hari untuk wanita hamil). Penisilin aman digunakan
selama kehamilan, tetapi ampisilin dan amoksisilin jelas tidak sama efektifnya
dengan metronidazol pada wanita tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut
memberi angka kesembuhan yang rendah.
Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena
klindamisin tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester II dan
III dapat digunakan metronidazol oral walaupun mungkin lebih disukai gel
metronidazol vaginal atau klindamisin krim. Selain itu, amoklav cukup efektif
untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap metronidazol.
2.10. Pencegahan
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menjaga kondisi tubuh adalah: 16
1. Bersihkan vagina dengan pembersih yang tidak mengganggu kestabilan pH.
Gunakan produk pembersih yang terbuat dari bahan dasar susu karena mampu
menjaga seimbangan pH sekaligus meningkatkan pertumbuhan flora normal
dan menekan pertumbuhan bakteri lainnya. Sabun antiseptik biasa umumnya
bersifat keras dan dapat flora normal di vagina.
2. Hindari pemakaian bedak pada vagina. Bedak memiliki partikel-partikel halus
yang mudah terselip dan akhirnya mengundang petumbuhan jamur dan bakteri.
3. Selalu keringkan vagina sebelum berpakaian.
4. Gunakan celana dalam yang kering. Seandainya basah atau lembab, usahakan
cepat mengganti dengan yang bersih dan belum dipakai.
5. Gunakan celana dalam yang bahannya menyerap keringat, seperti katun.
Celana dari bahan satin atau bahan sintetik lain membuat suasana disekitar
organ intim panas dan lembab.
6. Pakaian luar juga perlu diperhatikan. Celana jeans tidak dianjurkan karena
pori-porinya sangat rapat. Pilihlah seperti rok atau celana bahan non-jeans agar
sirkulasi udara di sekitar organ intim bergerak leluasa.
7. Ketika haid, sering-seringlah berganti pembalut
8. Gunakan panty liner disaat perlu saja dan jangan terlalu lama.
2.11. Prognosis
19
2.11. Komplikasi
Pada kebanyakan kasus, vaginosis bakterial tidak menimbulkan komplikasi
setelah pengobatan. Namun pada keadaan tertentu, dapat terjadi komplikasi yang
berat. Vaginosis bakterial sering dikaitkan dengan penyakit radang panggul
(Pelvic Inflamatory Disease/PID), dimana angka kejadian vaginosis bakterial
tinggi pada penderita PID. 1,16
Pada penderita vaginosis bakterial yang sedang hamil, dapat menimbulkan
komplikasi antara lain: kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat lahir
rendah, dan endometritis post partum. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan
agar semua wanita hamil yang sebelumnya melahirkan bayi prematur agar
memeriksakan diri untuk screening vaginosis bakterial, walaupun tidak
menunjukkan gejala sama sekali. Vaginosis bakterial disertai peningkatan resiko
infeksi traktus urinarius. 1,16