Вы находитесь на странице: 1из 3

Etika Atasan dan Bawahan

Menurut Islam (1)


Februari 2, 2015 14:53

BAGIKAN
Facebook

Twitter

Jakarta, Aktual.co Hendaklah seorang pimpinan memberikan kemudahan untuk para


karyawan dalam mengerjakan kewajiban mereka kepada Allah SWT seperti salat dan puasa.
Selain itu, janganlah membuat peraturan perusahaan yang bertentangan dengan hukum
Allah SWT seperti, melarang jilbab dan sebagainya, atau membuat aturan yang memudahkan
terjadinya perbuatan maksiat dan dosa seperti ikhtilat yang diharamkan antara laki-laki dan
perempuan.

Seorang pimpinan hendaknya mengetahui bahwa seorang karyawan yang beragama lebih
dekat kepada kebaikan. Sebab, dia bekerja atas dasar keikhlasan, selalu merasa diawasi oleh
Allah SWT, dan lebih amanah dalam menjalankan peraturan. Orang yang paling bisa
dipercaya adalah mereka yang suka melakukan salat.

Umar bin Khatab berkata kepada para Walinya, Ingatlah bahwa perkara yang paling penting
bagiku adalah salat. Ingatlah bahwa tidak ada yang paling berharga dan tidak ada
keberuntungan dalam Islam bagi orang yang tidak salat. Ia menambahkan, Siapa yang
kehilangan salatnya, maka rusak pula perbuatan yang lainnya.
Setiap pimpinan perusahaan hendaklah memilih karyawan dengan sebaik-baiknya.

Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (al-Qashash:26).

Seorang pemimpin dibebani amanah dan tanggung jawab yang harus ia laksanakan untuk
mencapai tujuan dari organisasi yang ia pimpin. Dalam islam setiap manusia yang terlahir di
muka Bumi ini yakni seorang pemimpin yang memimpin umat ini kepada Allah SWT. Semakin
banyak orang yang dipimpinnya semakin berat pula beban yang dipikulnya. Dalam sebuah
Hadist Rasulullah saw bersabda:

Artinya: setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan diminta pertanggungjawaban
tentang bapa yang ia pimpin.

Kepemimpinan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya terlebih dengan
ambisius untuk mendapatkannya. Kenapa? Karena dikhawatirk dia tidak mampu mengemban
amanah tersebut kemudian mungkin mempunyai niat lain atau ingin mengambil keuntungan
yang banyak ketika ia telah mempunyai kekuasaan.

Dalam hal ini, Abu Dzar RA berkata, Aku bertanya, Wahai Rasulullah SAW, maukah engkau
mengangkatku memegang satu jabatan? kemudian Rasulullah saw menepuk bahuku dengan
tangannya sambil bersabda:

Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau ini lemah dan sesungguhnya itu (jabatan) adalah
amanah. Dan, sesungguhnya ia pada hari kiamat menjadi kesengsaraan dan penyesalan,
kecuali yang mengambilnya dengan haqnya dan menyempurnakan apa yang menjadi wajib
keatasnya dan di atas jabatan itu.

Seorang pemimpin juga harus memberikan pemahaman kepada anggotanya bahwa amanah
yang dipikul ini akan dipertanggungjawabkan diakhirat kelak. Apakah ketika mengemban
amanah pernah mendzolimi orang atau tidak. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

Apabila seorang hamba (manusia) yang diberikan kekuasaan rakyat mati, sedangkan di hari
matinya ia telah mengkhianati rakyatnya, maka Allah swt mengharamkan surga kepadanya.
(muttafaqun laih)
Sebelum memberi amanah pemimpin harus melihat kapasitas yang akan diberi amanah
tersebut. Karena amanah haruslah diberikan kepada orang yang kompeten atasnya kalau
tidak maka akan menimbulkan ketidak sampainya tujuan bahkan mungkin menimbulkan
kerusakan.

Dalam sebuah Hadist dikatakan Kalau seandainya perkara itu diserahkan kepada yang bukan
ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya.

Tidak hanya pemimpin, sebagai bahawan pun mempunyai etika yang harus dilakukan kepada
pemimpin yang memmimpinnya.

Dimana bawahan harus taat pada pemimpin yang Islami: Nabi SAW bersabda, Barang siapa
yang taat kepadaku maka ia telah taat kepada Allah SWT, dan barang siapa yang tidak taat
kepadaku maka berarti tidak taat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada pimpinan
(yang sunnah) maka berarti ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa yang tidak taat kepada
pimpinan (yang sunnah) maka berarti ia telah tidak taat kepadaku.

Вам также может понравиться