Вы находитесь на странице: 1из 20

MAKALAH KARDIOVASKULER (EPILEPSI)

DISUSUN OLEH :

LISA AULIA PUTRI

MUHAMMAD ANDRI PERMANA

MUCHLIS SETYO BUDI

Program Diploma III Keperawatan


Tahun Akademik 2016 / 2017

AKADEMI KESEHATAN SWAKARSA


JL. H. Saaba Raya No. 65 Telp (021) 5856955 5864363Fax. (021) 5856372
Meruya Selatan
Jakarta Barat 11650
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, karena Penulis dapat
menyelesaikan Makalah yang berjudul Epilepsi Bukan Penyakit Menular ,
suatu permasalahan yang sering dilupakan oleh banyak orang. Padahal dapat
menimbulakan permasalahan yang cukup besar.
Makalah ini di susun berdasarkan hasil pengumpulan data yang telah
penulis lakukan dengan mencari informasi di berbagai media, salah satunya
internet. Makalah ini di susun untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca
mengenai penyakita epilepsi dan untuk kembali mengingatkan masyarakat untuk
tidak menjauhi penderita epilepsi.Selain itu semoga setelah membaca makalah
ini masyarakat tahu bahwa epilepsi bukan penyakit menular.
Dalam penyelesaian Makalah ini banyak kesulitan yang Penulis temui,
seperti adanya perbedaan pendapat pada setiap sumber yang Penulis temui .
Namun Penulis berusaha untuk menutupi kesulitan dalam pembuatan Makalah
ini.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak pihak yang telah
membantu menyusun Makalah ini dari awal sampai akhir, kepada guru
pembimbing Ibu Endang Widiastuti ,dan tidak lupa pula kepada teman teman.
Penulis berharap Makalah ini dapat memenuhi tugas Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia, dan bermanfaat bagi pembaca,dan bagi adik adik kelas.Penulis
berusaha menyusun Makalah ini dengan sebaik mungkin, dan apabila dalam
penyusunan Makalah ini ada kesalahan dan kekurangan, penulis mengharapkan
saran dan kritik nya.

Jakarta, 26 Februari 2017


Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi
di masyarakat, mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi.Bagi
orang awam, epilepsi dianggap sebagai penyakit menular ( melalui buih
yang keluar dari mulut ), penyakit keturunan, menakutkan dan
memalukan.
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang
umur dan ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi,
puncak insiden terdapat pada golongan anak dan lanjut usia.Penelitian
insidensi dan prevalensi telah dilaporkan oleh berbagai negara, tetapi di
Indonesia belum diketahui secara pasti. Para peneliti umumnya
mendapatkan insidens 20 - 70 per 100.000 per tahun dan prevalensi
sekitar 0,5 - 2 per 100.000 pada populasi umum. Sedangkan pada
populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4 % di antaranya menderita epilepsi.
Penderita laki-laki umumnya lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan.
World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi dinegara
maju berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara
berkembang 100 per 100.000 ribu. Salah satu penyebab tingginya
insidens epilepsi di negara berkembang adalah suatu kondisi yang dapat
menyebabkan kerusakan otak permanen. Kondisi tersebut di antaranya:
infeksi, komplikasi prenatal, perinatal, serta post natal. ( WHO.2009)
Menurut Devinsky sebagaimana dikutip oleh Harsono, pada epilepsi
tidak ada penyebab tunggal. Banyak faktor yang dapat mencederai sel-
sel, saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Lebih kurang 65%
dari seluruh kasus epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya. Beberapa
faktor risiko yang sudah diketahui antara lain: trauma kepala, demam
tinggi, stroke, intoksikasi ( termasuk obat-obatan tertentu ), tumor otak,
masalah
kardiovaskuler tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi
( ensefalitis, meningitis ) dan infeksi parasit terutama cacing pita.
Apabila diketahui penyebabnya maka disebut epilepsi simtomatik.
sedangkan apabila penyebabnya tidak diketahui disebut epilepsi
idiopatik.( Harsono.2007) Hasil data dari rekam medis di RSUD Pandan
Arang Boyolali terdapat jumlah pasien epilepsi pada bulan Januari
sampai Maret adalah sebanyak 3 kasus penderita epilepsi. Dari data
diatas penulis termotivasi untuk menyusun karya tulis ilmiah dengan
judul Asuhan Keperawatan pada An.M Dengan Epilepsi Di Ruang
Edelweiss RSUD Pandan Arang Boyolali.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah penerapan asuhan keperawatan pada An.M dengan
gangguan persyarafan: epilepsi Di Bangsal Edelwais RSUD Pandan
Arang Boyolali.
C. Tujuan
1. Tujuan umum:
Perawat mengetahui penerapan asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan persyarafan: epilepsi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi


dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan
listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik
dan laboratorik.

B. ETIOLOGI

1. Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak


2. Factor herediter,ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang
disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberose, neurofibromatosis,
angiomatosis ensefalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme,
hipoglikemia.
3. Factor genetic; pada kejang demem dan breath holding spells
4. Kelainan congenital otak; atropi, porensefali, agenesis korpus kalosum
5. Gangguan metabolik; hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia
6. Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
7. selaputnya,toxoplasmosis
8. Trauma; kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural
9. Neoplasma otak dan selaputnya
10. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
11. Keracunan; timbale (Pb), kapur barus, fenotiazin,air
12. Lain-lain; penyakit darah,gangguan keseimbangan hormone,degenerasi
serebral,dan
13. lain-lain.(Anonim, 2008)
C. PATOFISIOLOGI

1. Patofisiologi Epilepsi Umum

Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara


lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum,
onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan
pasien bengong dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa
detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat
beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari
thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa
penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada
sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal
pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga
menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas
ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.3 Patofisiologi epilepsi
yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi
sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (tabel 3). Contoh:
Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal
convulsions.

Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6

Kanal Gen Sindroma

Voltage-gated

Kanal Natrium SCN1A, SCN1B, Generalized


epilepsies with

SCN2A, GABRG2 febrile seizures plus

Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial


neonatal

convulsions
Kanal Kalsium CACNA1A, CACNB4 Episodic ataxia tipe
2

CACNA1H Childhood absence


epilepsy

Kanal Klorida CLCN2 Juvenile myoclonic


epilepsy

Juvenile absence
epilepsy

Epilepsy with grand


mal

seizure on
awakening

Ligand-gated

Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4 Autosomal


dominant frontal

lobe epilepsi

Reseptor GABA GABRA1, GABRD Juvenile myoclonic


epilepsy

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga
terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron
(gambar 1A). Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada
generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang
berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti semula sehingga terjadi
depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi
hipereksitasi pada neuron (gambar1B). Hal yang sama terjadi pada benign
familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga
terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel
neuron (gambar 1C)

Gambar 1. Mutasi kanal ion3

2. Patofisiologi Epilepsi Parsial

Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah


epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada
sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel
piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks
entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori dari
interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular) (gambar 2). Sel
granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat
menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal,

Gambar 2. hippokampus2
Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke
lapisan molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang
aberant ini menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk
sinaps pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu
interneuron eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara
normal mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas
(gambar 3).

Gambar 3. Sel granula dentatus3

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di


hippocampus. Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di
daerah proliferatif gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula
dentatus baru dan pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi.
Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi
reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit
yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi neuron
dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy lobus temporal, terjadi
perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula dentatus berubah sehingga
menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat dan akhirnya
menghambat mekanisme inhibisi.3,4 Mekanisme epilepsi lain yang dapat
diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu
mekanisme cedera di otak maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan
menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan terjadi influx ion calsium yang
berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion
calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak terjadi
kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.

3. Patofisiologi Anatomi Seluler

Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,


stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf
yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang
mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada
cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam
mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan
pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa
menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa
ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa
mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi
fisik dan retardasi mental.1 Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan
epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi
neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan
sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang
selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.6
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR)
disebutsebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi.6-8 Secara
farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat
antiepilepsi.7 Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa
faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada
ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-
gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis
yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik
subunit alfa 4.9 Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan
kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron
lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik
yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.9 Jika terjadi kerusakan atau
kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu
sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja
reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa
neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai
inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap
dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus
dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar .
(Fitri Octaviana, 2008)

D. MANIFESTASI KLINIS

1. Epilepsi Umum

a. Major

Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder
Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-tonik.
Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum
serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului
aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak focus epileptogen pada
permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu,
mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu,
sakit kepala dan sebagainya. Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran
sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang
tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan
tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga
terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian
disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan
membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2
-- 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat,
midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang
berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai
koma. Kira-kira 45 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau
tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam
sampai setahun sekali.

b. Minor :

Elipesi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul
pada anak sebelum pubertas (4 -- 5tahun). Bangkitan berupa kehilangan
kesadaran yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk
sering kali masih dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis,
kelopak dan bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan
aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari.
Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit
mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan
4 ciri : Timbul pada usia 4 -- 5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal,
harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik, mudah ditanggulangi
hanya dengan satu macam obat, Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan
lambat dengan frekuensi 3 per detik. Bangkitan mioklonus Bangkitan berupa
gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang teijadi
berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui
apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap
rangsang sensorik. Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola
sikap tubuh karena menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga
penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian

dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan
akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-
laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan
kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma,
infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala
kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang
disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis dan
berkeringat. Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik.
Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai
dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot
yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah
dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche

2. Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).

a. Bangkitan sensorik

Bangkitan sensorik adalah bangkitan yang terjadi tergantung dari letak


fokus epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan
fokus terletak di gyrus post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada
salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan
salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar
ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi
kejang-kejang.

b.Epilepsi lobus temporalis.

Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas


yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi
kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga
indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini
bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut
epilepsi psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik
la-zimnya berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut:
Kesadaran hilang sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk
ke alam pikiran antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini
timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang
berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme
yang mungkin timbul : Halusinasi dengan automatisme pengecap, halusinasi
dengan automatisme membaca, halusinasi dengan automatisme penglihatan,
pendengaran atau perasaan aneh.(Anonim, 2008)
Klasifikasi Epilepsi

Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan


klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-
faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau
idiopatik), usia, dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan
klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan
elektroensefalogram.1

Tabel 1. Klasifikasi internasional bangkitan epilepsi (1981)1

I. Bangkitan Parsial

A. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

1. Dengan gejala motorik


2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan

kesadaran

a. Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

b. Dengan automatisme

2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan

a. Dengan gangguan kesadaran saja

b. Dengan automatisme

C. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)

1. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum


2. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
3. kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
II. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)

A. Bangkitan lena
B. Bangkitan mioklonik
C. Bangkitan tonik
D. Bangkitan atonik
E. Bangkitan klonik
F. Bangkitan tonik-klonik
III. Bangkitan epileptik yang tidak tergolongkan

Tabel 2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma1

A. Localization-related (focal, partial) epilepsies

Idiopatik

Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes


Childhood epilepsy with occipital paroxysm
Symptomatic

Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi


anatomi yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang
predominan, EEG interiktal dan iktal, gambaran neuroimejing
Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder berasal
dari lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus
tidak diketahui
Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik
B. Epilepsi Umum

Idiopatik

Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions


Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
Other generalized idiopathic epilepsies
Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik

Wests syndrome (infantile spasms)


Lennox gastaut syndrome
Epilepsy with myoclonic astatic seizures
Epilepsy with myoclonic absences
Simtomatik

Etiologi non spesifik


Early myoclonic encephalopathy
Specific disease states presenting with seizures (Fitri Octaviana, 2008)
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh
berulangnya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan
psikososial.Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut 2 cara yaitu pada serangan
dan sindrom epilepsi.
Prinsip pengobatan epilepsi adalah : mengurangi serangan untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita, terapi diberikan sedini mungkin setelah
diagnosa pasti, pilihan OAE sesuai dengan jenis epilepsi, obat diudpayakan
tunggal, dosis minimal yang efektif m (Uf, biaya terjangkau dan terapi harus
berdasarkan evidense based clinical practice.
Pada pasien dengan banyak tipe serangan, pengobatan OAE dapat ditunda
jika ada interval yang panjang diantara serangan-serangan tersebut atau jika tipe
serangan diketahui jinak. Pengobatan dengan OAE dilakukan sampai penderita
bebas serangan selama minimal 2 tahun, lalu dapat dihentikan secara bertahap
dalam waktu dari 6-12 bulan.
Status epileptikus merupakan suatu keadaan darurat, serangan timbul sangat
sering sehingga pasien tidak pernah sadar.
Kejang yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat menimbulkan
kerusakan otak akibat hipoksia. Keadaan ini ditambah lagi dengan beberapa
keadaan yang kurang menguntungkan misalnya hiperpireksia dan hipotesa yang
akan menimbulkan kerusakan diserebelum. Epilepsi tidak menular dan bisa
disembuhkan, maka jangan menjauhi penderita epilepsi.

B. Saran
Karena bukan penyakit menular dan bisa disembuhkan, menurut dr Hardiono,
penting untuk mengabarkan kepada semua orang untuk tidak mengucilkan
penyandang epilepsi. Penyakit ini bisa diobati dan dikendalikan, supaya
penyandangnya bisa menjalani hidup seperti kebanyakan orang lainnya.
Perlu dihilangkan anggapan-anggapan mistis yang membayangi penyakit
epilepsi. Ada yang memberi label kemasukan roh jahat, kesurupan, diguna-guna,
atau bahkan kutukan. Persepsi salah semacam ini bisa menekan dan membuat
penyandangnya depresi sehingga membahayakan keberhasilan perawatan.
Amat disarankan untuk memberikan perawatan sedini dan setuntas mungkin
bagi balita yang ditengarai menyandang penyakit epilepsi agar bisa diatasi
sesegera mungkin.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2008. Epilepsi. http://ilmukedokteran.net/pdf/Ilmu-Penyakit-


Saraf/epilepsi.pdf.Fitri Octaviana. 2008. Epilepsi.

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS


Cipto Mangunkusumo. Jakarta.

Doengoes, Marylin,1999. Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.

Elizabeth, J.Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Cetakan I. Penerbit : EGC,


Jakarta.

Engram, Barbara.1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 3,


Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Hudak & Gallo, 1996, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Vol 2 EdisiVI,
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Mansjoer, Arif. dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Auskulapius,


Jakarta

Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC, Jakarta

Вам также может понравиться