Вы находитесь на странице: 1из 33

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENGERTIAN
Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada

orang usia 16-44 tahun di seluruh dunia (WHO, 2004).

Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun)

kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

memprediksi bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas

menduduki peringkat ketiga dalam penyebab kematian dini

dan kecacatan (Peden, 2004).Multipel trauma adalah istilah

medis yang menggambarkan kondisi seseorang yang telah

mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera kepala

serius selain luka bakar yang serius. Multipel trauma atau

politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan

secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah

satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi dampak

pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan

disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011).

Multipel trauma atau politrauma adalah suatu istilah

yang biasa digunakan untuk menggambarkan pasien yang

mengalami suatu cedera berat yang diikuti dengan cedera


yang lain, misalnya dua atau lebih cedera berat yang dialami

pada minimal dua area tubuh. Kondisi yang penting dalam

menggambarkan penggunaan istilah ini adalah pada keadaan

trauma yang bisa disertai dengan shock dan atau perdarahan

serta keadaan yang dapat membahayakan jiwa seseorang

(Kroupa J, 1990).

Beberapa penelitian terdahulu, diantaranya Border dan

kawan-kawan mendefinisikan multipel trauma adalah cedera

yang cukup signifikan mengenai dua atau lebih regio

tubuh.Tscherne dan kawan-kawan mengatakan multipel

trauma adalah dua atau lebih cedera berat dengan salah

satunya atau semuanya dapat mengancam jiwa. Beberapa

penulis mendefinisikan multipel trauma menggunakan

pengukuran yang lebih objektif yaitu dengan menggunakan

scoring Injury Severity Score ( ISS ), dimana dikatakan

multipel trauma bila nilai ISS 15 sampai 26 atau lebih besar

(Nerida E, et al, 2013).

Kematian setelah trauma tergantung pada sejumlah

faktor, salah satunya tingkat ekonomi merupakan faktor

penentu utama.Laporan WHO 2004 mengutip angka kematian


untuk dewasa, yaitu mereka dengan cedera skor keparahan

(ISS) dari 9 atau lebih tinggi (Mock, 2004). ISS akan diuraikan

secara lebih rinci dalam bagian berikutnya. Keseluruhan

angka kematian, termasuk pra-rumah sakit dan di rumah

sakit, adalah 35% di negara-negara berpenghasilan tinggi,

namun meningkat menjadi 55% di negara berpenghasilan

menengah dan 63% di negara berpenghasilan rendah. Lebih

serius pasien cedera (ISS 15-24) mencapai rumah sakit

menunjukkan peningkatan enam kali lipat dalam mortalitas

pada pasien berpenghasilan ekonomi rendah.

Dalam sistem kesehatan yang canggih, korban dibawa

ke rumah sakit terdekat kemudian dilakukan manajemen

komprehensif di instalasi gawat darurat.Pengobatan berpusat

pada evaluasi, resusitasi dan stabilisasi.Fase ini menyatu ke

perawatan definitif dalam operasi, dengan kontrol jalan

napas, ventilasi, dan bedah (pengelolaan perdarahan).

Cedera muskuloskeletal pada awalnya stabil, diikuti oleh

pengobatan definitif.Level 2 atau 3 perawatan kritis mungkin

diperlukan untuk meminimalkan komplikasi dan mencegah

kematian, dan rehabilitasi berkepanjangan mungkin


diperlukan untuk memenuhi kebutuhan korban dengan cedera

otak dan kerusakan muskuloskeletal kompleks.

Kematian yang disebabkan oleh trauma itu secara klasik

memiliki 3 penyebaran, yang berhubungan antara waktu

kejadian dengan penanganan efektif yang dilakukan untuk

mengatasi mortalitas :

1. Immediate deaths ( kematian yang segera ) Dimana pasien

meninggal oleh karena trauma sebelum sampai ke rumah

sakit. Misalnya cedera kepala berat, atau trauma spinal

cord.Hanya sedikit dari pasien ini yang dapat hidup sampai

ke rumah sakit, karena hampir 60% dari kasus ini pasien

meninggal bersamaan dengan saat kejadian.


2. Early deaths Dimana pasien meninggal beberapa jam

pertama setelah trauma. Sebagian disebabkan oleh

perdarahan organ dalam dan sebagian lagi disebabkan

oleh cedera sistem saraf pusat.Hampir semua kasus pada

trauma ini potensial dapat ditangani.Bagaimanapun, pada

umumnya setiap kasus membutuhkan pertolongan dan

perawatan definitif yang sesuai di pusat-pusat

trauma.Khususnya pada institusi yang dapat melakukan


resusitasi segera, identifikasi trauma, dan sarana

pelayanan operasi selama 24 jam.


3. Late deaths Dimana pasien meninggal beberapa hari atau

minggu setelah trauma. Sepuluh sampai dua puluh persen

(10%-20%) dari seluruh kematian kasus trauma terjadi

pada periode ini.Kematian pada periode ini mayoritas

disebabkan oleh karena infeksi dan kegagalan multipel

organ.

Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien

multipel trauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat

seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan,

post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa

yang lain (David et al, 2008).

2.2. MANAJEMEN TRAUMA


Manajemen cedera diprioritaskan untuk mengobati

cedera yang mengancam nyawa terlebih dahulu, mengikuti

urutan ABCDE.Pengecualian ini adalah korban yang menderita

perdarahan perifer.Hal ini telah menyebabkan pengembangan

dari urutan CABC, di mana C merupakan singkatan untuk

bencana perdarahan (Hodgetts, 2002).Mengancam jiwa,

perdarahan eksternal dikendalikan, maka urutan ABC yang


biasa diikuti.Pada korban dengan obstruksi jalan napas dalam

beberapa menit, mengamankan jalan napas pasien selalu

menjadi prioritas.Setelah jalan napas terbuka, korban harus

diberi oksigen dan dipasang ventilasi jika napas tidak

memadai (ATLS, 2004).


Selama manajemen berlangsung, asumsi selalu dibuat

dimana kerusakan servikal dan tulang belakang lumbal

thoraco mungkin terjadi.Stabilitas tulang belakang leher harus

dilindungi sampai leher dijamin bebas dari risiko cedera

(Hodgetts, 2006).
2.2.1. Airway
Napas dibuka awalnya dengan 'manuver tangan '

angkat dagu dan dorong rahang, kepala tidak boleh

dimanipulasi dan harus dalam posisi netral. Jika darah,

air liur atau muntah ada dalam napas, suction harus

digunakan. Jika 'tangan kosong' teknik yang tidak

memadai, saluran udara orofaringeal atau nasofaring

(NP) jalan napas harus hati-hati ditempatkan untuk

mencegah aspek posterior lidah menghalangi faring. NP

saluran udara sangat berguna bagi korban dalam

menghalangi saluran udara yang dipertahankan dari

gag refleks untuk menahan orofaringeal, namun mereka

harus digunakan hati-hati pada korban dengan patah


tulang tengkorak basal dengan klinis jelas. Jika manuver

ini tidak berhasil, ada perangkat seperti Laringeal Mask

Airway (LMA), yang dapat dimasukkan ke dalam situasi

sulit (Hodgetts, 2002).Definitif nafas securement

dengan intubasi atau krikotiroidotomi sangat sulit dalam

korban terjebak.Tanpa penggunaan obat bius dan otot

relaksan, korban hanya dapat diintubasi.


2.2.2. Breathing
Setelah jalan napas dibuka dan aman, penilaian

pernapasan korban dibuat.Jika bernapas baik, oksigen

diberikan dengan laju alir 5 L/menit.Jika ada keraguan

bahwa pernapasan tidak memadai, maka ventilasi harus

didukung dengan bag-valve-mask (BVM).Ini harus

memiliki reservoir yang melekat dengan oksigen

mengalir dari 15 L / menit. Kecukupan oksigenasi harus

dinilai oleh penilaian klinis seperti warna bibir untuk

mendeteksi sianosis, atau menggunakan pulse

oksimetri. Kecukupan ventilasi dapat dinilai oleh

penilaian klinis ekspansi dada dan suara napas, atau

penggunaan elektronik end tidal karbon dioksida

(EtCO2) monitor (Clasper, 2004). Tidak adanya bunyi

nafas menunjukkan pneumothoraks atau hemothoraks.


Sebuah pneumothoraks harus diperbaiki secepatnya

karena merupakan cedera yang mengancam jiwa, dan

harus segera didekompresi dengan jarum besar (14

gauge) kanula intravena melalui interkostal kedua di

garis mid clavicularis pada sela iga VVI. Open atau

Sucking pneumothoraks harus ditutup dengan plester

pada tiga sisi -sisi keempat terbuka untuk mencegah

tension pneumotoraks berkembang. Ventilasi tekanan

positif kemungkinan untuk mempercepat konversi

tension pneumothoraks menjadi pneumothorax

sederhana.Jika korban yang diintubasi dan berventilasi,

dan pneumothoraks dicurigai, simple thoracostomy

dibuat di ruang intercostal 5, anterior garis mid-

clavikularis.Hal ini memungkinkan tension

pneumothoraks untuk di dekompresi.


2.2.3. Circulation
Perdarahan eksternal dikendalikan terutama oleh

tekanan langsung dengan dressing, dan anggota tubuh

di elevasi jika memungkinkan. Metode lain yang

digunakan adalah penggunaan tourniquet, dressintag

hemostatik juga dapat digunakan pada setiap tahap

(Hodgetts, 2002). Torniket tidak dianjurkan dalam


perawatan pra-rumah sakit, karena signifikan

menimbulkan risiko komplikasi serius.Tidak tepat

diterapkan torniket dalam perdarahan karena hasil di

distal ekstremitas menjadi iskemia, dan menyebabkan

kerusakan tekanan langsung pada kulit, otot dan

saraf.Namun, dengan cedera ekstremitas dapat

mengakibatkan perdarahan (Hodgetts,

2006).Universitas Sumatera Utara Shock cenderung

merupakan hasil dari perdarahan yang tidak terkendali

baik eksternal atau ke internal (dada, perut, panggul,

dan beberapa tulang panjang).Kehilangan cardiac

output juga dapat disebabkan oleh tension

pneumothorax atau tamponade jantung.Tamponade

jantung paling sering dikaitkan dengan trauma tembus

dada pada garis putting anterior atau scapula

posterior.Shock berat menyebabkan aktivitas listrik

pulseless (PEA) atau henti jantung asystolic merupakan

indikasi untuk thoracostomy bilateral dan atau

pembukaan clamshell dada.Resusitasi adalah usaha

dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian

oksigen dan curah jantung yang cukup untuk


menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat

vital lainnya.Ini adalah prosedur darurat

menyelamatkan nyawa yang dilakukan ketika

pernapasan seseorang atau detak jantung telah

berhenti. Hal ini mungkin terjadi setelah sengatan

listrik, serangan jantung, atau tenggelam(Hazinski MF,

Samson R, Schexnayder S. 2010).

Berdasarkan Advanced Trauma Life Support, Dosis awal

pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada

dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat.

Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon

terhadap pemberian cairan awal:

a. Respon cepat - Pemberian cairan diperlambat sampai

kecepatan maintenance - Tidak ada indikasi bolus

cairan tambahan yang lain atau pemberian darah -

Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan -

Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi

operatif mungkin masih diperlukan


b. Respon sementara - Pemberian cairan tetap dilanjutkan,

ditambah dengan pemberian darah - Respon terhadap


pemberian darah menentukan tindakan operatif -

Konsultasikan pada ahli bedah


c. Tanpa respon - Konsultasikan pada ahli bedah - Perlu

tindakan operatif sangat segera - Waspadai

kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade

jantung atau kontusio miokard - Pemasangan CVP dapat

membedakan keduanya (ATLS, 2008) Konsep laparotomi

damage control untuk resusitasi pasien dengan trauma

berat mulai dikembangkan pada tahun 1983 oleh Stone

dan kawan-kawan di Grady Memorial Hospital

A.S.terbukti berhasil menurunkan kematian akibat

perdarahan massif yang mulai mengalami koagulopati.

Moore dan kawan-kawan pada tahun 1993

mengembangkan teknik laparotomi bertingkat sebagai

usaha damage control pada pasien perdarahan masif

yang akan mengalami asidosis metabolik, hipotermia,

dankoagulopati progresif yang disebut trias kematian

atau lingkaran setan perdarahan massif. Rotondo dan

kawan-kawan pada tahun 1993 kemudian

menamakannya sebagai laparotomi damage kontrol.

Operasi damage kontrol adalah operasi yang terbatas,

singkat dan bertahap sebagai bagian dari usaha


penyelamatan jiwa atau resusitasi pada pasien dengan

syok hemorragik berat yang telah atau akan mengalami

gangguan metabolik pre operatif ataupun intraoperatif

yang akan menyebabkan kematian dikamar bedah atau

setelah di ICU.

Ada tiga tahap damage kontrol :

Tahap I : Operasi singkat dan terbatas dikamar bedah

sebagai bagian dari resusitasi, untuk menghentikan

perdarahan dan mencegah kontaminasi, termasuk :

Menghentikan segera perdarahan luka jantung atau

paru
Packing perdarahan organ solid, dengan tindakan

minimal
Packing rongga badan yang berdarah bila telah terjadi

koagulopati (non surgical bleeding)


Reseksi bagian saluran pencernaan yang rusak berat

tanpa reanastomosis. Ujung-ujung saluran cerna yang

terbuka ditutup cepat dengan klip kulit, tali umbilikal

atau jahitan jelujur. Hindari pembuatan kolostomi

karena akan membuang waktu.


Luka operasi pada leher, torakotomi, laparotomi atau

pada tempat eksplorasi ekstremitas kulitnya tidak usah

ditutup.
Tahap II : Melanjutkan resusitasi di icu, termasuk :
Mengatasi hipotermi (rewarming)
Menstabilkan fungsi kardiovaskuler dengan infus cairan,

PRC, inotropik
Mengatasi koagulopati kalau kalau masih ada, dan

hanya akan berhasil baik bila hipotermia telah diatasi.


Memperbaiki gagal paru dan ginjal.

Tahap III :

Re operasi atau operasi definitif kalau mungkin


Apakah ada cedera lain yang terlewati diagnosisnya,

kalau ada segera atasi.


Luka insisi operasi laparotomi, torakotomi, dan luka

eksplorasi ditutup kembali bila keadaan telah

memungkinkan. ( Warko karnadiharja, DSTC, 2010)


2.2.4. Disability
Dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) dan

penilaian untuk ukuran pupil dan ketidaksamaan.


2.3. Primary survey and resucitation
Setelah setiap tahap dalam ABC selesai, korban

dievaluasi kembali untuk menilai kerusakan atau

perbaikan.Pada saat penyelesaian penilaian pernapasan, jalan

napas diperiksa ulang dan jalan napas dan pernapasan ulang


sebelum pindah ke sirkulasi. A - Airway dan kontrol tulang

belakang leher. Ada dua teknik untuk ini :


1. Manual, in-line imobilisasi.
2. Cervical collar (Earlam, 1997).
B Breathing Segera setelah jalan napas dijamin, dada

harus terbuka dan diperiksa dengan melihat, mendengar

dan merasakan. Trakea adalah teraba dalam kedudukan

supra sternal untuk mendeteksi penyimpangan yang

disebabkan oleh tension pneumothorax, dan dada

percussed untuk hiper - resonansi tension pneumothorax

atau hemothorax.
C - Circulation Universitas Sumatera Utara Kontrol

perdarahan, sirkulasi dinilai dengan mencari perdarahan

eksternal dan terlihat tanda-tanda syok seperti pucat, dan

penurunan tingkat kesadaran. Pada jantung, dilakukan

auskultasi untuk mendeteksi jantung tamponade, dan

perfusi rendah dinilai dengan meraba berkeringat dan

mendinginkan kulit.Nadi perifer dan sentral nadi teraba

untuk mendeteksi tachycardia.


Perdarahan eksternal dikendalikan oleh tekanan, dan dua

14-gauge kanula digunakan untuk pemberian cairan dan

darah. D- Disability Hal ini jauh lebih tepat dari nilai AVPU

(Aware, verbal responsif, Nyeri responsif dan tidak


responsif) (Solomon, 2010). GCS dianggap sekunder untuk

cedera otak sampai terbukti sebaliknya.


2.4. SECONDARY SURVEY
Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi

head-to-toe untuk mengidentifikasi semua cedera yang tidak

dijumpai di primary survey. Ini terjadi setelah survei primer

selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan

perawatan definitif (JRCALC,2008).


Pentingnya survei sekunder adalah bahwa luka ringan dapat

ditemukan selama survei primer dan resusitasi, tapi

menyebabkan jangka panjang morbiditas jika diabaikan,

misalnya dislokasi sendi kecil. Komponen dari survei sekunder

adalah:
1. Riwayat cedera
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Tes diagnostik lebih lanjut
5. Evaluasi ulang
2.5. Trauma servikal dan tulang belakang
Hanya 2% - 3% dari trauma tumpul yang menyebabkan

cedera servikal, tetapi potensi untuk cedera neurologik

membuatnya harus dikenal dengan baik dan penanganannya

sulit. Tulang servikal subaxial (C3-C7) adalah tempat dimana

terjadi dua-pertiga dari semua fraktur servikal dan tiga

perempat dari semua dislokasi servikal.Seperti halnya dengan

torakolumbal, klasifikasi dari cedera servical subaxial masih


merupakan permasalahan besar, sering klasifikasi

memfokuskan pada mekanisme cedera, dan tidak

memperhatikan stabilitas ligament-ligament dan defisit

neurologik. Baru-baru ini sebuah sistim klasifikasi juga telah

dikembangkan, sama halnya seperti klasifikasi torakolumbal

TLIC, yang dikenal dengan nama subaxial injury classification

(SLIC), yang memfokuskan pada : morfologi cedera, defisit

neurologik dan integritas discoligament complex (DLC), untuk

memberikan petunjuk penanganan pada cedera servikal

(Sastrodiningrat, 2012).
Morfologi cedera pada SLIC sama dengan cedera

torakolumbal: kompresi, distraksi, dan rotasi/ translasi,

dengan memberikan skor angka yang meningkat sesuai

dengan derajat keparahan. Defisit neurologik juga

diklasifikasikan dengan cara yang sama. DLC berbeda dengan

PLC, karena pada tulang servikal, anterior lungitudinal

ligament (ALL) dan diskus intervertebralis juga terlibat

bersama posterior longitudinal ligament (PLL), ligamentum

flavum, ligamentum supraspinosum, ligamentum

interspinosum, dan kapsul faset. Alignment faset yang

abnormal dan pelebaran anterior disc space merupakan tanda

kerusakan DLC. Sebaliknya, ligamentum interspinosum


merupakan komponen yang paling lemah dari DLC, jadi

pelebaran interspace saja tidak merupakan DLC compromise

pada tulang servikal. Total skor 3 ditangani non operatif,

sedangkan skor 5 memerlukan intervensi bedah

(Sastrodiningrat, 2012).
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh

dari tempat yang tinggi serta pada aktivitas olahraga yang

berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa bagian

ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa timbul adalah

seperti berikut (Sastrodiningrat, 2012):


2.5.1. Dislokasi atlanto-oksipital (atlanto-occipital dislocation)

Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan

batang otak dan apnea atau kerusakan neurologis yang

menetap (kuadriplegia serta ventilator dependent)


2.5.2. Fraktur atlas (C1) Merupakan kurang lebih 5% dari

kasus fraktur servikal. Mekanisme terjadinya cedera

adalah axial loading, seperti kepala tertimpa secara

vertikal oleh benda berat atau penderita terjatuh

dengan puncak kepala terlebih dahulu.


2.5.3. Rotary subluxation dari C1. Cedera ini banyak

ditemukan pada anak-anak, terjadi spontan setelah

terjadinya cedera berat/ringan, infeksi saluran nafas

atas, atau penderita dengan rheumatoid artritis.


2.5.4. Fraktur Axis (C2) Merupakan 18% dari seluruh fraktur

tulang servikal. Merupakan tulang vertebra terbesar

sehingga mudah mengalami berbagai jenis fraktur,

tergantung arah dan kekuatan trauma. Universitas

Sumatera Utara
2.5.5. Fraktur dislokasi ( C3-C7 ) Pada orang dewasa level C5

merupakan level tersering tulang servikal mengalami

fraktur, sedangkan antara C5-C6 merupakan level

tersering mengalami dislokasi.


2.5.6. Fraktur vertebra thorakalis ( T1-T10 ) Terbagi 4 :
1. Fraktur baji karena kompresi korpus anterior,

terjadi akibat axial loading disertai dengan fleksi.


2. Fraktur burst disebabkan oleh kompresi vertikal-

aksial
3. Fraktur chance, merupakan fraktur transversal

pada korpus vertebra, disebabkan oleh fleksi

dengan aksis anterior dari kolumna vertebralis

dan sering dijumpai setelah kecelakaan dimana

penderita hanya menggunakan lap belt saja tanpa

shoulder belt. Biasanya berhubungan dengan

cedera retroperitoneal dan cedera organ

abdomen.
4. Fraktur dislokasi, relatif jarang pada daerah

thorakal dan lumbal.


2.5.7. Fraktur thorako lumbal (T11-L1) Biasanya disebabkan

oleh kombinasi dari hiperfleksi akut dan rotasi, dan

sebagai konsekuensinya fraktur ini biasanya tidak stabil.

Sering terjadi pada penderita yang jatuh dari ketinggian

atau pengemudi mobil yang memakai sabuk pengaman

tetapi dalam kecepatan tinggi.Cedera pada daerah ini

menyebabkan disfungsi dari kandung kencing dan usus

serta penurunan sensasi dan motorik pada daerah

ekstremitas bawah.
2.5.8. Fraktur lumbal Kemungkinan terjadinya defisit

neurologis komplit jarang dijumpai pada cedera ini.


2.6. Cedera kepala (Traumatic Brain injury)
Definisi TBI yang kita kenal selama ini, adalah trauma

yang mengenai kepala, dapat menyebabkan gangguan

struktural dan atau gangguan fungsional sementara atau

menetap.Center for Disease Control and Prevention (CDC)

memperkirakan, setiap tahun di Amerika Serikat paling tidak

1.4 juta orang mengalami TBI. Dari jumlah ini kira-kira 1,1 juta

orang ditolong dan diizinkan pulang dari Unit Gawat Darurat,

235.000 dirawat di rumah sakit dan 50.000 meninggal dunia.

Penyebab utama dari kematian yang berhubungan dengan

TBI adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh dan penyerangan /

perkelahian (assaults).Klasifikasi Universitas Sumatera Utara


mengenai berat ringannya TBI sangat penting untuk mengarti

dan menjelaskan penanggulangan TBI.Beberapa sistem

skoring dapat menilai status neurologik awal pada pasien TBI,

diantaranya Glasgow Coma Scale (GCS), Trauma Score,

Trauma Score Revised, dan Abbreviated Injury Scale (AIS).GCS

terlepas dari berbagai kekurangannya, merupakan sistem

yang paling banyak dipakai.GCS sederhana, merupakan skala

praktis untuk menilai derajat kesadaran pasien TBI dan untuk

memprediksi hasil akhirnya.Secara sederhana juga dapat

mengklasifikasikan berat ringannya penderita TBI. TBI ringan,

GCS 13-15, TBI sedang, GCS 9-12, dan TBI berat, GCS 3-8

(Sastrodiningrat, 2012). TBI memicu sederetan kejadian pada

tingkat selular dan molekular sehingga menimbulkan

histochemical responses, molecular responses, dan genetic

response yang menyebabkan secondary insult, terutama

keadaan iskemia, dan memperberat cedera otak primer

(primary braindamage).Akan tetapi sebaliknya, beberapa dari

responses ini ada yang bersifat neuroprotective

(Sastrodiningrat, 2012).
2.7. Trauma thoraks Trauma thoraks bisa terbagi dua yaitu :
2.7.1. Trauma thoraks yang langsung dapat mengancam jiwa
1. Tension pneumothoraks Terjadi karena adanya one way

valve (fenomena pentil) dimana kebocoran udara yang


berasal dari paru-paru atau dari luar melalui dinding

dada, masuk kedalam rongga pleura dan tidak dapat

keluar lagi. Sehingga tekanan intra pleura meninggi,

paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke

kontralateral dan menghambat pengembalian darah

vena ke jantung, dan akan menekan paru kontralateral.


2. Pericardial tamponade Sering disebabkan oleh luka

tembus, namun cedera tumpul juga dapat

menyebabkan perikardium terisi darah, baik dari

jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh

darah perikard.
3. Open Pneumothoraks (Pneumothoraks Terbuka) Defek

atau luka yang besar pada dinding dada akan

menyebabkan pneumothoraks terbuka. Tekanan

intrapleura akan sama dengan tekanan atmosfer. Jika

defek pada dinding dada lebih besar dari 2/3 diameter

trakea maka Universitas Sumatera Utara udara akan

cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai

tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan

dengan trachea. Akibatnya ventilasi terganggu

sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.


4. Hemothoraks masif Terjadi bila terkumpulnya darah

dengan cepat lebih dari 1500cc di dalam rongga pleura.


Sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak

pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada

hilus paru.
5. Flail chest Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi

mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding

dada. Terjadi bila adanya fraktur iga yang multipel pada

dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis

fraktur (Oakley, 1998).


2.7.2. Trauma thoraks yang potensial dapat mengancam jiwa
1. Ruptur aorta Sering menyebabkan kematian segera

setelah kecelakaan mobil dengan tabrakan frontal atau

jatuh dari ketinggian.Untuk penderita yang selamat

sesampainya dirumah sakit kemungkinan sering dapat

diselamatkan bila ruptur aorta dapat diidentifikasi dan

secepatnya dilakukan operasi (Williams, 2004).


2. Cedera tracheobronkial Sering disebabkan oleh cedera

tumpul dan terjadi pada 1 inci dari karina. Sering

ditemukan hemoptisis, emfisema subkutis dan tension

pneumothoraks dengan pergeseran mediastinum.

Adanya pneumothoraks dengan gelembung udara yang

banyak pada WSD setelah dipasang selang dada harus

dicurigai adanya cedera trakeo bronkial.


3. Cedera tumpul jantung Dapat menyebabkan kontusio

otot jantung, ruptur atrium atau ventrikel ataupun

kebocoran katup.
4. Cedera diafragma Ruptur diafragma traumatik lebih

sering terdiagnosa pada sisi kiri karena obliterasi hepar

pada sisi kanan atau adanya hepar pada sisi kanan

sehingga Universitas Sumatera Utara mengurangi

kemungkinan terdiagnosisnya ataupun terjadinya ruptur

diafragma kanan
5. Kontusio paru Merupakan kelainan yang paling sering

ditemukan pada pada golongan potentially lethal chest

injury.Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan

berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi

setelah kejadian.
2.8. Trauma abdomen Abdomen dibagi 3 bagian (Tintinallis

Emergency Medicine, 2004):


1. Rongga peritoneum : terdiri dari liver, lien, gaster, usus

halus, sebagian duodenum, dan sebagian usus besar


2. Retroperitoneum : terdiri dari ginjal, ureter, pankreas, aorta

dan vena cava.


3. Rongga pelvic : terdiri dari vesica urinaria, rectum dan

genitalia interna pada wanita Trauma abdomen juga dapat

dibagi dua yaitu :


a. Trauma tumpul ( Blunt abdominal trauma )
b. Trauma tembus ( Penetrating abdominal trauma )
2.9. Trauma musculoskeletal
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang

dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda

paksa (Solomon, 2010).


Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat

hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung

fragmen fraktur tersebut yang menembus dari dalam hingga

kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami

penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga ke dalam

(Lamichhane, 2010).
Setelah patah tulang terjadi maka otot, pembuluh

darah, dan jaringan lunak lainnya mengalami kerusakan.

Sebuah respon sel dengan sel-sel inflamasi dan sel

mesenkimal dibedakan yang menonjol dalam tiga sampai lima

hari pertama. Peristiwa biologis yang menyebabkan fraktur

yang komplek tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan patah

tulang sembuh dengan cara pembentukan kalus. Dalam

penyembuhan fraktur pada tulang panjang menjalani proses

klinis dalam lima tahap : inflamasi, proliferasi, pembentukan

callus, konsolidasi, remodelling. Proses penyembuhan suatu

fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh

untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya.

Penyembuhan dari Universitas Sumatera Utara fraktur


dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik,

adapun faktor lokal:


o Lokasi fraktur,
o Jenis tulang yang mengalami fraktur,
o Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil,
o Adanya kontak antar fragmen.
o Ada tidaknya infeksi.
o Tingkatan dari fraktur.
Dan faktor sistemik :
o umur,
o nutrisi,
o riwayat penyakit sistemik,
o hormonal,
o obat-obatan,
o rokok.
2.9.1. Klasifikasi fraktur Fraktur dapat dibedakan jenisnya

berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan

disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang

fisis.
2.9.2. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar

Fraktur dapat dibagi menjadi :


A. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat

hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.


B. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat

hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

Klasifikasi patah tulang terbuka yang dibuat oleh

Gustillo and Anderson pada tahun 1976 sebagai

berikut:
1. Tipe I
o Panjang luka < 1 cm, biasanya luka tusukan

atau puncture dimana patokan ujung tulang

menembus kulit.
o Kerusakan jaringan lunak sedikit dan tidak ada

tanda-tanda Crushing Injury.


o Fraktur biasanya simple, tranverse atau oblique

pendek dan sedikit comminutive.


2. Tipe II
o Panjang luka > 1 cm dan tidak ada kerusakan

jaringan lunak yang luas, flap atau infeksi.


o Terdapat Crushing Injury ringan sedang.
o Fraktur comminutive sedang dan kontaminasi

sedang.
3. Tipe III
o Ditandai dengan kerusakan jaringan lunak luas

meliputi otot, kulit dan struktur neurovaskuler

serta kontaminasi tinggi, sering disebabkan oleh

Universitas Sumatera Utara trauma high velocity

yang menyebabkan derajat comminutive dan

instabilitas tinggi.
Tipe III ini dibagi lagi menjadi i. Tipe III a Jaringan

lunak yang meliputi tulang yang patah cukup

adekuat meskipun terdapat laserasi luas, flap

atau trauma high velocity, tanpa memandang

ukuran luka.ii. Tipe III b Cedera luas, terdapat

atau hilangnya sebagian dari pada jaringan


lunak dan stripping periosteal dan bone expose,

kontaminasi dan fraktur comminutive yang

berat. iii.
Tipe III c Meliputi semua fraktur yang terbuka

yang berhubungan dengan kerusakan pembuluh

darah yang harus di repair tanpa memandang

cedera jaringan lunak. 2.10. Prinsip penanganan

fraktur Penatalaksanaan sebagai alat triase.

Secara Umum Menurut Long (1996),

penanganan pada fraktur dibagi menjadi

beberapa hal antara lain:


A. Penanganan langsung
a) Pasang bidai sebelum memindahkan

pasien atau pertahankan gerakan diatas

dan dibawah tulang yang fraktur sebelum

dan transplantasi
b) Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi

oedema
c) Kirim pasien untuk pertolongan

emergency
d) Pantau daerah yang cedera dalam periode

waktu yang pendek untuk sedini mungkin

dapat melihat perubahan waktu,

pernafasan, dan suhu.


B. Imobilisasi
a) X-Ray
b) Fiksasi eksternal bidai dan gips
c) Traksi
d) Fiksasi internal jarum, plat, skrup, kawat
e) Bone Scans, termogram atau MRI Scans
f) Arteriogram, dilakukan bila ada kerusakan

vaskuler
g) CCT kalau banyak kerusakan otot

Universitas Sumatera Utara


C. Penanganan pada tulang terbuka
a) Debridemen untuk membersihkan

kotoran atau benda asing


b) Pemakaian toksoid tetanus
c) Kultur jaringan dan luka
d) Kompres terbuka
e) Pengobatan dengan antibiotik
f) Penutupan luka bila ada benda infeksi
g) Imobilisasi fraktur menurut Handerson

(1997) imobilisasi fraktur yaitu

mengembalikan atau memperbaiki

bagian-bagian yang patah dalam

bentuk semula (anatomis) imobilisasi

untuk mempertahankan bentuk dan

memperbaiki fungsi bagian tulang yang

rusak. Cara-cara yang dapat dilakukan

meliputi:
a. Reposisi atau reduksi
- Manipulasi atau Close

reduction adalah tindakan non


bedah untuk mengembalikan

posisi, panjang dan bentuk.

Close reduksi dilakukan

dengan lokal anestesi ataupun

umum.
- Open reduction adalah

perbaikan bentuk tulang

dengan tindakan pembedahan.

Sering dilakukan dengan

internal fiksasi menggunakan

kawat, screws, pins, plate,

intermedulari rods atau nail.

Kelemahan tindakan ini adalah

kemungkinan infeksi dan

komplikasi berhubungan

dengan anestesia.
b. Traksi, alat traksi diberikan dengan

kekuatan tarikan pada anggota yang

fraktur untuk meluruskan bentuk

tulang. Ada dua macam yaitu:


- Skin traction (traksi kulit)

adalah menarik bagian tulang

yang fraktur dengan


menempelkan plaster

langsung pada kulit untuk

mempertahankan bentuk,

membentuk menimbulkan

spasme otot pada bagian yang

cidera, dan biasanya

digunakan untuk jangka

pendek (48 72 jam).


- Skeletal traction adalah traksi

yang digunakan untuk

meluruskan tulang yang

cedera pada sendi panjang

untuk mempertahankan

bentuk dengan memasukkan

pins atau kawat ke dalam

tulang.
c. Imobilisasi setelah dilakukan reposisi

dan posisi fragmen tulang sudah

dipastikan pada posisi baik

hendaknya diimobilisasi dan gerakan

anggota badan Universitas Sumatera

Utara yang mengalami fraktur


diminimalisir untuk mencegah

fragmen tulang berubah posisi.


2.10. Revised Trauma Score dan Injury Severity Score Revised
Trauma Score (RTS) adalah sebuah skor fisiologis

keparahan cedera. Data yang diperoleh terdiri dari

(Feliciano, 2008)
1. Glasgow Coma Scale (GCS)
2. Sistolik Tekanan Darah (SBP)
3. Tingkat pernapasan (RR) The GCS, SBP dan RR diberi

nilai kode, RTS kemudian dihitung dengan

menjumlahkan nilai-nilai kode. Glasgow Coma Scale

Systolic blood pressure Respiratory Rate Coded Value

13-15 >89 10-29 4 9-12 76-89 >29 3 6-8 50-75 6-9 2

4-5 1-49 1-5 1 3 0 0 0 Di lapangan skor unweighted

berkisar 0-12, skor kurang dari 11 merupakan indikasi

untuk transfer ke pusat trauma khusus. Sebuah

bentuk kode dari RTS digunakan untuk jaminan

kualitas dan hasil prediksi. Nilai untuk coded RTS

berkisar 0-7,8408. (0 = mati 7,8408 = normal) The

RTS sangat bergantung terhadap Glasgow Coma Scale

untuk mengkompensasi cedera kepala berat tanpa

cedera multisistem atau perubahan fisiologis utama.

Sebuah ambang RTS < 2 mmol/L) dalam 24 jam dapat

bertahan hidup dan hanya 3 dari 22 pasien (13,6%)


pasien yang kadar laktat tidak menghilang dalam 48

jam dapat bertahan hidup. Waktu yang Universitas

Sumatera Utara dibutuhkan untuk mengembalikan

kadar laktat kembali ke dalam nilai normal dapat

menjadi indikator dalam menentukan prognosis pada

pasien dengan trauma berat. Dokter yang bertugas di

bagian emergensi dan tenaga kesehatan emergensi

harusnya dapat memberikan perhatian yang lebih

pada saat resusitasi pada pasien trauma.Semakin

lama waktu yang dibutuhkan untuk bersihan laktat,

semakin tinggi kemungkinan multi organ failure dan

mortalitas.Multiple Organ Dysfunction Syndrome

(MODS) dapat didefinisikan sebagai perkembangan

kekacauan fisiologis yang berpotensi reversibel yang

melibatkan dua atau lebih sistem organ tidak terlibat

dalam gangguan yang mengakibatkan perawatan ICU,

dan timbul setelah gangguan fisiologis yang

berpotensi mengancam nyawa.(Vincent, 1996).

Sementara gagal nafas merupakan keadaan yang

tidak memadai dalam pertukaran gas oleh sistem

pernafasan, dengan hasil bahwa kadar oksigen arteri,


karbon dioksida atau keduanya tidak dapat

dipertahankan dalam rentang normal mereka (Burt,

2009). Sepsis merupakan komplikasi yang berpotensi

mengancam nyawa dari infeksi.Sepsis terjadi ketika

bahan kimia yang dilepaskan ke dalam aliran darah

untuk melawan infeksi memicu peradangan di seluruh

tubuh.Peradangan ini dapat memicu aliran perubahan

yang dapat merusak beberapa sistem organ,

menyebabkan mereka gagal (Mayo Foundation for

Medical Education and Research, 2014).Ditemukan

pada 43% meninggal jika bersihan laktat berlangsung

lebih dari 24 jam. Sehingga kadar laktat pada pasien

trauma dapat menentukan prognosis dan usaha

menormalkan kadar laktat pada pasien trauma

menjadi sangat penting untuk menentukan morbiditas

dan mortalitas pasien trauma berat. (Abramson,

1993).

Вам также может понравиться